Post on 24-Jul-2015
transcript
PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB TA’LI AL-MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ( Telaah Dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)8 Juni 2010 oleh maragustamsiregar
Abstract
Ta’lim al-Muta’allim is one of the Syekh Tajudin Nu’man bin Ibrahim al-Khalil al-Zarnuji’s
monumental work who lived in the century of 6 th H/13-14 AD. There are three reasons
why this book to be foused on this writing; first, the contents of this book are enriched
by Islamic educational values; second, the teaching of this book have been practised in
the Islamic world Education in Indonesia especially in pesantren (Islamic Boarding
School); and the third, the rest of teaching of this books is still relevant to be applied in
Islamic world education today, more especially religious and pluralistic Indonesian
societies who are moslems. The subject of discussion are as follows (1) what is the
purpose of education / how to get knowledge according to al-Zarnuji in his book, (2) how
is the basic features of human moral and human resource development and (3) how is
the position of al-Zarnuji thought on educational purpose in the map of Islamic
educational philosophy. The approach used in this writing is the instrument of
educational philosophy (exlective incooperative) and the analysis technique uses
analysis content. The result of research according to al-Zarnuji said fount that the
purpose of knowledge education focussed more on the God’s values/religious compared
to human values/worldly. The basic feature and process of its development are good
interactive or positive interactive. While the position of thought in the map of educational
thought are in the conservative and religious fields and plus convergence.
Key Words: ta’lim al-muta’allim, tujuan pendidikan, sifat dasar moral, rida Allah, dan
aliran pemikiran pendidikan.
A. Pendahuluan
Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan
kehidupan. Selama manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah
dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan
pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode,
pendidik dan pembelajar, baik konsep filosufinya maupun tataran praktiknya.
Aksentuasinya pada pendidikan, karena masalah kehidupan manusia, pada umumnya
dicari pemecahannya melalui pendidikan.
Perkembangan yang cepat sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi,
bagaimanapun juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan
proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran
praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem
pendidikan sebenarnya, berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis
pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan
para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pembahasan
Kitab Ta’li>m al-Muta’llim.Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena
ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang
mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis
Madjid mengatakan, bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya,
sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika sejarahnya
yang telah berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan
pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk
memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah keharusan mempelajari secukupnya
warisan kekayaan intelektual Islam.[1]Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi
penulis bahwa (1) kitab ini telah memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia
pendidikan pesantren, (2) ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh
pendidikan Islam, dan (3) semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan
Islam karena disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam
dunia pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam.
Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab
manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir
pendidikannyapun ialah memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik
semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua
aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan
sebagai khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada lima perbedaan pendidikan
Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat proses belajar mengajar
tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Berdasarkan
pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif dan objek
belajar pun adalah sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat,
Islam mengajarkan bahwa aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu
amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada
umumnya konsep pendidikan Barat beranggapan bahwa masalah belajar dan
mengajar itu adalah semata-mata urusan manusia, sedangkan Islam
mengajarkan bahwa terdapat hak-hak Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada
setiap individu, khususnya bagi orang yang berilmu. Mereka kelak akan
diminta pertanggungan jawabnya bagaimana cara mengamalkan ilmunya.
Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak membahas masalah
kehidupan sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk kepentingan
dunia, sekarang dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan
Islam. Belajar tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia sekarang, tetapi
juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep pendidikan
Barat pada umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak ahli
Barat yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values free).
Maka cara-cara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya. Praktek yang
demikian itu tentu saja tidak dikenal dalam ajaran Islam. Kebajikan dan akhlak
yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam. Kelima, pada
umumnya tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera di dunia
secara maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga
masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam ialah
terwujudnya insa>n ka>mil, yang pembentukannya selalu dalam proses
sepanjang hidup (has a beginning but not an end).[2]
Ada tiga persoalan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu (1) apa tujuan
pendidikan/memperoleh ilmu menurut al-Zarnuji (2) bagaimana sifat dasar moral
manusia dan pengembangan sumber daya manusia dan (3) bagaimana posisi pemikiran
al-Zarnuji tentang tujuan pendidikan dalam aliran filsafat pendidikan Islam. Tulisan yang
bersifat deskriptif ini digunakan pendekatan filsafat pendidikan yakni inkorporatif yakni
gagasan dari kajian teks karya al-Zarnuji mengenai pendidikan, dilihat dari berbagai
pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Teknik analisisnya
menggunakan content analisis yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan
karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Dengan demikian
pemikiran pengarang kitab tidaklah dihubungkan dengan setting sosial yang
melingkupinya dan latar belakang pendidikannya.
1. B. Sketsa Pengarang Kitab Ta’li>m al-Muta’allim
Pengarang kitab Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum ialah al-Zarnuji, yang nama
lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam
Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji ialah
Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin al-Zarnuji,
ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji adalah seorang
sastrawan dari Bukhara,[5] dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau
sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’li>m al-
Muta’lim.[6] Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh
Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum dan
oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul
Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]
Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di
pondok pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri
dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan
pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-
Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam
Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji tinggal di
Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan
dalamQa>mu>s Islami[9], bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang
masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (ma> wara’a al-nahr) yakni Turtkistan
Timur.
. ] [ ( , خوقند, من بالقرب تقع الشرقية تركستان النهر وراء ما إقليم في مشهورة كانت بدة رنوق أو زرنوجى
Dalam kitabnya seacra implisit, al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun
secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir
ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di
kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya
contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
[10]
1. C. Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu
Pendidikan merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi
tujuannya. Maksud tujuan pendidikan atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu
kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan
belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan
mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar.
Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat
perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat
penting artinya karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan
segala aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan
lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan
memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri
bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan
manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas
sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang (2007). Lebih-lebih
tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental,
seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan
kutalitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia
lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya
bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka
dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan,
menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro tentu
tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan bangsa lain,
disamping adanya persamaan-persamaan.
Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal
statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup
mereka di dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung
jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam
semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam
semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan
Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11]Menurut
Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu
orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).
[12] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan
Islam yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan
kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan pemeliharaan
segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual
semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan,
kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia
tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan,
atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4)
Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5) untuk menyiapkan
pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai
profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup
dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut al-
Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]
وإحياء الجهال سائر وعن نفسه من الجهل وازلة اآلخرة والدار تعالى الله رضا العلم يطلب المتعلم ينوي أن وينبغى
. . برهان األجل اإلمام الشيخ والنشد الجهل مع والتقوى الزهد واليصح بالعلم اإلسالم بقاء فأن اإلسالم إبقاء و الدين
: لبعضهم شعرا الهداية صاحب الدين
متهتك عالم كبير متنسك * فساد جاهل منه وأكبر
. يتمسك * دينه فى بهما لمن عظيمة العالمين في فتنة هما
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah,
mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri
maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu
dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu.
Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka
bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar
bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan
umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]:
عند والكرامة الدنيا حطام استجالب وال الناس اقبال به ينوى وال البدن وصحة العقل نعمة على الشكر به وينوي
. . وآلئهم عن تبرأت و العتقتهم عبيدى كلهم الناس كان لو تعالى الله رحمه الحسن ابن محمد قال وغيره السلطان
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat
akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan
tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan
pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya,
maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki oleh orang
lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:
. ابراهم حمادالدين الدين قوام األستاذ اآلجل اإلمام الشيخ انشد الناس عند فيما قلما به والعمل العلم لذة وجد ومن
شعرا : تعالى الله رحمه حنيفة البي امآلء األنصاري الصفار اسماعيل بن
الرشاد * من بفضل فاز للمعاد العلم طلب من
طالبه . فيالخسران العباد * من فضل لنيل
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya,
maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam
Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah:
Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah
kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari
kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal),
tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen
pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
ذلك فيجوز وهواه لنفسه ال الدين واعزاز الحق وتنفيذ المنكر عن والنهى بالمعروف لألمر الجاه طلب اذا اال اللهم
. بجهد العلم يتعلم فإنه ذلك في يتفكر أن العلم لطالب وينبغى المنكر عن والنهى بالمعروف األمر به مايقيم بقدر
: شعر الفانية القليلة الحقيرة الدنيا الى يصرفه فال كثير
القليل من اقل الدنيا الذليل * هي من اذل¦ وعاشقها
تعمي * و قوما بسحرها . تصم دليل بال متحيرون فهم
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh
kedudukan, kalau kedudukan tersebut digunakan untuk amar makruf nahi munkar,
untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari
keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu.
Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari
dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah
mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak
kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang
yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya
adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-
orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan
pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-
tujuan professional.[18] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-
Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal,
mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang
bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi
perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan
menuju akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari
anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan
melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga
tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan
tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat
bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri,
tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu
itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun
kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat
secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan
ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas
dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya al-
Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhiratmenjadi awal dari
segala tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada
empat yakni (1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung
memperoleh kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan
peradaban mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini
sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih
jelasnya dapat diliat dalam gambar berikut:
Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai
penghubung mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan
menyinari dan membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja
memperoleh ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan
peradaban asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat
dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya. Karena tujuan
haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya, pembelajar
menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan,
mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan
lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan
memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh
Ali Abdul Azim sebagai tujuan yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19]
. والجمال والخير للحق األعلى المثل هو وتعالى سبحانه بالله اإلتصال هو اإلسالم في للمعرفة األكثر الهداف وكان
Maksudnya: Tujuan memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung
dalam Islam, ialah pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini
merupakan hal yang paling utama untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan
keindahan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal
maupun yang bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu
pertama, dimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia.
Nilai ini mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan
dan kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang
mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar untuk
tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang materealistis di dunia, tetapi ada
tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan
terhadap nilai ini, menjadikan pembelajar terkontrol dari syahwat kenikmatan
dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan
antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin, keseimbangan dan
keserasian antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-
pengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup
manusia, baik yang bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam
hidup pribadi manusia.[20]
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari
aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam
aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan
berdasar pada hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat
negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia melahirkan
pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan (3)
pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran
pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy
al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy (pragmatis instrumental).[21] Aliran
konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama
sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid
dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan
keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda
dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah
tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung
lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran
pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran
pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan
lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan
kegunaan dan fungsinya dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas
jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan
belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan
belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh
ilmu. Sehingga boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh
ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar
makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah.
Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida
Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia
ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang
menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang
maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya
sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh
ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat
dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa
tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan
mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan
pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab
keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-
tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai
tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral dalam
pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi
tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian)
tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan
dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya
menjadikan term al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas
menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan
pencapaian spritual yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke
arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang
sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya
terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh
orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat
Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan
transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia
luar? Sebelum dibahas ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat
para ahli. Menurut Morris L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya
terhadap dunia luar bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan
netral (tidak baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri
dari; aktif, pasif, dan interaktif.[22] Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat
dasar manusia dan aksinya bad-activeialah seperti aliran Theistic Mental Discipline,
[23] yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada
harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka yang
tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah mengusahakan
pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik.
Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya bersifat good-active, maka tanpa
mereka dipengaruhi oleh dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya
dalam pendidikan ialah orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan
sedemikian rupa agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu
tersebut.
Yang berpandangan bahwa sifat dasar manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada
dasarnya manusia itu bersifat netral yang berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula
buruk. Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk
pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah baik
atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.
Bagi yang berpendpat bahwa sifat dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar
bersifat neutral-interactive, adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja
aksinya terhadap dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan,
tidak akan dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki,
karena pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil
proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian
seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori yang
dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.
Dalam Filsafat Empirisme disebutkan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia
itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran
ini ialah Joshn Locke ( 1632-1704) yang dikenal denga teori Tabularasa atau Empirisme
yaitu bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi
corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal
dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Nampak dari teori ini bersifat
optimis, karena bagaimanpun juga lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Berbeda dengan Nativisme yang lebih pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini
dipelopori oleh Athur Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini mengatakan
bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat
serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi
ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar
atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah sebagai kepribadian manusia, bukan
hasil binaan lingkungan pengalaman dan pendidikan. Bagaimanapun usaha pendidikan
untuk membentuk pribadi manusia atau tingkatan yang dikehendaki, tanpa didukung
oleh potensi dasar tersebut, harapan tersebut tidak akan tercapai. Menurut Muhammad
Noor Syam, bahwa aliran ini bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian
sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah
kepribadian.[24]
Teori (hukum) Konvergensi berbeda dengan kedua teori di atas, yang memposisikan
keduanya secara tajam dan berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima. Menurut teori
yang dipelopori oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa perkembangan manusia itu
berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar,
termasuk pendidikan. Karena dalam kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar
yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan, termasuk budaya dan pendidikan
tidak akan mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama
pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan
kepribadian yang sesuai dengan harapan tujuan pendidikan. Dengan demikian proses
perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia merupakan proses interaktif dan
dialektis antara kemampuan dasar dan alam lingkungan secara berkesinambungan.
Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor, baik
internal (potensi hereditas), maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya dan
pendidikan).
Disamping teori dari Barat tersebut juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang
dikenal dengan teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat
fitrah dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan.
Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi
oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana
kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan,
apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata fitrah dan segala
bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[25] Menurut Mohamed
pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana kemampuannya
untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis-pasif, (2) netral-
pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26]
Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah
baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau
sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang
menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan
Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam
keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa
kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori Tabularasa
dari John Locke. Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat
tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-
aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan
kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang bersifat aktif.
Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam.
Yang berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat
ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain
cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan
setara.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara
eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran
kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan
penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]:
بعد بعد سليمان ابي بن حم¦اد حينئذ حنيفة ابو اختار كما واالسن واالورع االعلم يختار أن فينبغى األستاذ اختيار واما
: . : . أبي بن حماد عند ثبت وقال صبورا حليما وقورا شيخا وجدته تعالى الله رحمه حنيفة ابو وقال والتفكر التأمل
. فنبت سليمان
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu
hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’(menjauhkan diri dari
dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah
Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi
Sulaiman, karena beliau mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata :
Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku
bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak
yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih
pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz.
Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara
mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada
orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua
bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu
tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan
bermanfaat.[28]
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi
pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-
Zarnuji[29]:
والمعطل الكسالن من يفر و والمتفهم المستقيم الطبع وصاحب والورع المجد يختار أن فينبغى الشريك اختيار أما و
: . قيل والفتان والمفسد والمكثار
قرينته وابصر تسأل المرءى يقتدي * عن بالمقارن القرين فإن
سرعة فجنبه ذاشر كان تهدى * فإن فقارنه خير ذا كان وإن
وانشدت:
حاالته في الكسالن يفسد * التصحب آخر بفساد صالح كم
سريعة الجليد البليد فيخمد * عدوى الرماد في يوضع كالجمر
. : ويمجسانه وينصرانه يهودانه ابواه أن اال اإلسالم فطرة على يولد مولود كل والسالم الصالة عليه النبي وقال
Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar,
yang wara’, yang mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari
berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang
penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa
temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi
buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya,
tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali
bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak
orang yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat
menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi,
Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut
ini dan artinya:[30]
°ه° ³ه±و²د±ان ي ±و±اه³ ب± ف±أ ة° ال́ف°ط́ر± ع±ل±ى ±د³ ³ول ي µال° إ ³ود¶ م±و́ل م°́ن م±ا لµم± و±س± ±ي́ه° ع±ل اللµه ص±لµى µه° الل ول³ س³ ر± ق±ال± ±ق³ول³ ي ±ان± ك µه³ ن
± أ ة± ي́ر± ه³ر± °ي ب± أ ع±́ن
³́م ئ́ت ش° °́ن إ ء³وا و±اق́ر± ة± ي́ر± ه³ر± ³و ±ب أ ±ق³ول ي µ³م ث ج±د́ع±اء± م°́ن ف°يه±ا ون± ³ح°س· ت ه±́ل ج±́مع±اء± ±ه°يم±̧ة ب ±ه°يم±ة³ ال́ب ±ُج³ ³ن́ت ت ±م±ا ك °ه° ان ³م±ج²س± و±ي °ه° ان ±ص²ر± ³ن و±ي
±ة±) ( اآ́لي ²م³ ال́ق±ي الد²ين³ ذ±ل°ك± µه° الل °خ±ل́ق° ل ±ب́د°يل± ت ال± ±ي́ه±ا ع±ل µاس± الن ف±ط±ر± °ي µت ال µه° الل ة± ف°ط́ر±
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral
manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam klasifikasi pemikiran
pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik,
aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi
hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh
alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga
sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik
secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya
al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti
memilih ustadz, memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba
ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme,
karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu
merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji
dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak
lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses
kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi
kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah(pertolongan Tuhan).
Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan
diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun
suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya
sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan
dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah
tawakkal.
D. Simpulan
Dari berbagai bahasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam
menentukan tujuan belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan
praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa
tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan
praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah
diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun
tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang
merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat
individual, sosial dan professional.
Mengenai pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap
dunia luar, nampaknya lebih cenderung kepada good- interactive atau fitrah positif-
interaktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon
terhadap lingkungan social budaya bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun
nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial,
seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar dapat
bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut. Demikianlah,
mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat
بالصواب أعلم والله
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi al, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha>, Mesir: ‘Isa al-
Bab al-Halabi wa Syurakah, 1975.
Ahmad Athiyatullah, Qa>mus Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3.
Arifin, H.M, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Attas al, Syed Muhammad al-Naqueib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979.
Azim, Ali Abdul, Falsafah Al-Ma’rifah fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Al-Hajah al-‘Ammah
al-Syu’un al- Mathabi, 1939 H/ 1973 M.
Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qur’a>n al-Kari>m, Mesir:
al-Haidah al-Ammah, 1987.
Bigge, Morris L., Learning Theories for Theachers, USA: Harper and Row, Publisher, Inc,
1982.
Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis
Madjid”, Majalah Rindang, XIX, No. 9, April 1994.
Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail, Al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim, Indonesia: Maktabah
Da>r Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.
Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah al-Insa>n al-Jadi>d, Tunisia: Al-Syirkah al-Tunisia
Thurnisiyah Littauzi, 1967.
Lois Ma’luf, Al-Munjid fi> al-Lugoh wa al-‘A’la>m, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975.
Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi> Us}u>lih al-
Ijitima’iyyah wa al-‘Aqla>niyah, Kuwait: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.
Syabani al, Omar Mohammad Al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Syam, Muhammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
Surabaya: Usaha Nasioanal, 1986.
Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia
dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2, April, 1991.
Yaqub, Ali Musthafa, “ Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,” Pesantern, Vol.III, No. 3,
Februari, 1986.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji IV
Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Ta’lim al-Muta’allim Thariqat al-
Ta'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, kitab tersebut cenderung
memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada semangat dan pesan moral di
dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya.
Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan
dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang
diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok
pesantren.
Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Ta’lim al-Muta’allim dalam
cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah
pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.
Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan
Ta’lim al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja
misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-
Muta’alim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.).
Namun, Ta’lim al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-
kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu
dibanding Ta’lim al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad Ketujuh
Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren:
1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter
terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada
hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-
psikologis.
Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka,
dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi
juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis.
Ta’lim al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru,
belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’lim al-Muta’allim
juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak
ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang
menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian
mengesankan bahwa Ta’lim al-Muta’allim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya
lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap
Ta’lim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma wara’a al-nahar (lembah sungai
Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad.
Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi
pemikiran al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim.
Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Ta’lim al-Muta’allim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan
basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim al-Muta’allim kemudian
banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan.
Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point
dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi.
Pesan-pesan universal Ta’lim al-Muta’allim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan
manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral.
Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang
secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah
sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain.
Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk
pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-
kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-
kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang
pelajar maupun pengajar.
Sajian cerita yang dimuat dalam Ta’lim al-Muta’allim juga perlu disikapi dalam bingkai teladan-
moral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi
personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses
pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk
ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu.
Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Ta’lim al-Muta’allim. Hanya diperlukan
sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti
diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Ta’lim al-Muta’allim bisa
elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Ta’lim al-Muta’allim adalah jawaban
ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan.
Terhadap keberadaan kitab Ta’lim al-Muta’allim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya al-
Zarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin
Abd al-Qadir al-Mishri—sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)—mengakui
bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.
Apresiasi positif untuk Ta’lim al-Muta’allim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam
memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar
terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama
(adab) dalam segala prosesnya.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan moral dalam proses
pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari
Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier,
1995:201).
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Ta’lim al-Muta’allim pada sisi
kepatuhan murid pada guru yang “mutlak” dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia
juga menemukan pengaruh Ta’lim al-Muta’allim dalam pembentukan kritisisme dan
pengembangan pendidikan Islam modern.
Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat
kritik dan koreksi melalui Ta’lim al-Muta’allim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam
Ta’lim al-Muta’allim yang ia pegang: “Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah
lakunya tidak sesuai ajaran Islam”. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk
mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
benar—tentu dengan menggunakan cara yang juga benar.
Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Ta’lim al-Muta’allim kadang dinilai secara tidak
adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Ta’lim al-
Muta’allim. Hal itu karena Ta’lim al-Muta’allim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan
proporsional.
Husein Muhammad (2001:51) memandang Ta’lim al-Muta’allim telah mengemukakan metode
pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. “Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Ta’lim al-
Muta’allim tentang metode (diskusi) ini: ‘Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca
berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan".
Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan
mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh
para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka,
tapi disertai dengan rasa saling hormat.
Ilustrasi yang terkait dengan Ta’lim al-Muta’allim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya
monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang
berbeda, Ta’lim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan
pesantren, sekaligus eksesnya.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan
untuk menyudutkan Ta’lim al-Muta’allim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir
mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan
kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali.
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti
terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek.
Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa
yang masih belum sepenuhnya mati.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-
Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam
melakukan kegiatan belajar-mengajar.
1. Anjuran untuk selalu belajar
Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang
mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias
bagi pemiliknya.
Syairnya adalah sebagai berikut:
المــــحامد لكل وعنوان وفضل – الهــله زين العلم فان تعلم
الفــوائد بحور فى واسبح العلم من – زيـادة يوم كل مستفيدا وكن
قــائد واعدل والتقوى البــر الى – قــائد افضل الفقه فان تفقه
الشدائـد جميع من ينجى الحصن هو – الهدى سنن الى الهادى العلم هو
عابد الف مـن الشيـطان على اشد – متـورعا واحدا فــقيها فان
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.
Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing
menuju kebaikan dan takwa,
Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni
jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.
Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada
menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)
Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari
dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama.
Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.
2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan
mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak
murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf
(berlebihan), bakhil dan lain-lain.
Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan:
وغيرها والتقتير واالسراف والعفة والتواضع والتكبر والجرأة والجبن والبخل الجود نحو االخالق سائر فى وكذلك
"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela,
seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari
keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain."
3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan
Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini
membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga
menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal
(irasional).
Ia mengatakan:
ممكن غير وقدره الله قضاء من والهرب ينفع وال يضر النه حرام فتعلمه المرض بمنزلة النجوم وعلم
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang
amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa
menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9).
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan
pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu
Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia
menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.
Ia mengatakan:
االحوال جميع فى االصل هي النية اذا. العلم تعلم زمان فى النية من له البد
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala
amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12).
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat
mencari ilmu itu, yaitu:
a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah;
b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan;
c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan
catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan
kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan
karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14).
5. Sifat tawadlu
Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta
benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan
tawadlu, sebagai berikut:
يرتقى المعالى الى التــقى وبه – المتـقى خصـال من التواضـع ان
الشقى ام السعيد اهو حاله فى – جاهل هو من عجب االعجائب ومن
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang
bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh
yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (Al-
Zarnuji, 1995:16).
6. Cara memilih guru
Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru.
Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana
dikatakannya:
واالسن واالورع االعلم يختار ان فينبغى االستاذ اختيار واما
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (Al-
Zarnuji, 1995:18-19).
7. Cara memilih jenis ilmu
Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan
dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal,
keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.
Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih
oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga
sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-
Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (Al-Zarnuji,
1995:18).
Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para
ulama Salaf.
8. Nasihat kepada para pelajar
Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak
bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain.
a. Anjuran untuk bermusyawarah
Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji
menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang
lain.
Ia mengatakan:
واوجب اهم فيه المشاورة فكان واصعبها االمور اعلى من العلم وطلب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah
dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21).
b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun
Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari
ilmu. Ia mengatakan:
االمور جميع فى كبير اصل والثبات الصبر ان واعلم
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (Al-
Zarnuji, 1995:22).
Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
ببيان مجموعها عن سأنبك – بسـتة اال العـلم االالتـنال
الزمان وطول استاذ وارشاد – وبلغة واصطبار وحرص ذكاء
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya
sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk
bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23).
c. Anjuran untuk bersikap berani
Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian.
Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
ساعة صبر الشجاعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22).
d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu
Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia
mengatakan:
نفسه تريد عما يصبر ان وينبغى
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23).
e. Anjuran berteman dengan orang baik
Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang
yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:
والفتان والمكثاروالمفسد والمعطل الكسالن من ويفر والمتفهم المستقيم الطبع وصاحب والورع المجد
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai.
Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka
memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24).
f. Anjuran menghormati ilmu dan guru
Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia
ingin sukses dalam mencari ilmu.
Ia berkata:
وتوقيره االستاذ وتعظيم واهله العلم بتعظيم اال به ينتفع وال العلم الينال العلم طالب بأن اعلم
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan
bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru".
(Al-Zarnuji, 1995:25-26).
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada
para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan
guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27).
Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di
hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran Al-
Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya
untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan
kreativitas siswa dalam berdiskusi.
Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena
dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30).
g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar
Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-
himmah), Al-Zarnuji mengatakan:
ولجز ولُج الباب قرع من. وجد وجد شيئا طلب من .... واالهمة والمواظبة الجد من البد ثم
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-
sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk
pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38).
h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar
para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:
االستاذ من الفهم فى يجتهد ان وينبغى
"Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-
Zarnuji, 1995:54-55).
i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa
Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak
akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa
senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:
تعالى الله ويدعو يجتهد ان وينبغى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah".
(Al-Zarnuji, 1995:55).
j. Anjuran untuk berdiskusi
Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami
materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:
الشغب عن ويتحرز والتأن باالنصاف يكون ان وينبغى. والمناظرة المذاكرة من العلم لطالب والبد
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah
(berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak
emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56).
k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur
Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia
berkata:
والمال واالركان والجنان اللسان من بالشكر يستغل ان العلم لطالب ينبغى
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan
nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63).
l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa
Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius.
Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah.
Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.
آفة فانها وتحير فترة العلم لطالب يكون ان وينبغى
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk".
(Al-Zarnuji, 1995:69).
m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal
Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah
berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
بذلك قلبه يشغل وال الرزق المر يهتم وال العلم طلب فى التوكل من العلم لطالب البد
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki.
Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71).
n. Anjuran untuk saling mengasihi
Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia
berkata:
حاسد غير ناصحا مشفقا العلم صاحب يكون ان وينبغى
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad".
(Al-Zarnuji, 1995:77).
o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk
Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk.
Dalam kitabnya, ia mengatakan:
ذلك يحل وال العداوة منشأ فانه سوءا بالمؤمن تظن وان واياك
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal
itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81).
p. Anjuran bersikap wara'
Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-
hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka:
اكثر ايسروفوائده له والتعلمه انفع علمه كان اورع العلم طالب كان فمهما
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan
memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86).
q. Anjuran memperbanyak shalat
Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah
SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat.
والتعلم التحصيل على له عون ذلك فان الخاشعين صالة ويصلى الصالة يكثر ان وينبغى
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat
dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji,
1995:90-91).
E. Kesimpulan
1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya
Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu
(siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua,
kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan.
Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru.
Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu.
2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai
berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk
bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang
baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8)
anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran
untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus
asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran
untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak
shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat
diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang
tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks
pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik
dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan
dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh
Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks
pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang dapat diaplikasikan, misalnya,
anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguh-sungguh, banyak beribadah,
memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.
NILAI ETIKA KITAB TA’LIM AL-MUTA’ALLIM KARYA AL-ZARNUJĪ
PendahuluanJaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan jaman.Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis. Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan jaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Nilai-nilai ( values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai “robot-robot” berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin. Kondisi pendidikan yang demikian, mendorong kita untuk membangun paradigma baru pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan ( knowledge oriented) dan ketrampilan ( skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai ( values oriented). Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (kejujuran, keharmonisan, saling menghargai, dan kesetaraan) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan ( ‘ilm), pengajaran ( ta’lim), dan pengasuhanyang baik ( tarbiyah). Proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai sebagaimana di atas mendapat perhatian serius tokoh pendidikan abad ke-12 M, al-Zarnuji. Dia menyusun Ta’lim al-Muta’allim yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi wajib bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di Nusantara. Nilai estetik tampak pada pemikiran al-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan lingkungan sekitar.Al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allimNama lengkap al-Zarnuji adalah Burhan al-Islam al-Zarnuji. Pendapat lain mengatakan
bahwa nama lengkapnya adalah Burhan al-Din al-Zarnuji . Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnuj , yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya. Menurut M. Plessner,al-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermazhab Hanafiyah , dan tinggal di wilayah Persia.Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al- Zarnuji. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa al-Zarnuji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub B. Sulaeman al-Kafrawi dalam kitabnya, A’lam al Akhyar min Fuqaha’ Madzhab al-Nu’man al-Mukhdar, yang menempatkan al-Zarnuji dalam kelompok generasi ke-12 ulama mazhab Hanafiyah. Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnuji, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah : 1. Imam Burhan al-Din Ali bin Abi Bakr al- Farghinani al-Marghinani (w. 593 H/ 1195 M). 2. Imam Fakhr al-Islam Hasan bin Mansur al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M). 3. Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani (w.600 H/ 1204 M). 4. Imam Fakhr al-Din al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M), dan Imam Rukn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade (491-576 H). Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan al-Zarnuji lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ditulis setelah tahun 593 H.Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/ 1195M. Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H.Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji yang sampai sekarang masih ada. Menurut Haji Khalifah dalam bukunya Kasyf al-Zunun ‘an Asami’ al-Kitab al-Funun, dikatakan bahwa di antara 15000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji. Kitab ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Ta’lim fi Ta’lim al-Muta’allim. Kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diakui oleh ilmuwan Barat dan Timur. Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad menilainya sebagai karya monumental, yang mana orang alim seperti al-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad hanya menulis sebuah buku. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan karya lain al-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab ( invation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (1220-1225 M), yang menghancurkan dan menaklukkan Persia Timur, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang cukup maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya. Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim al-Muta’allimTa’lim al-Muta’allim, sebagai panduan pembelajaran (belajar-mengajar) terutama bagi murid berisi muqaddimah dan 13 fasl (pasal, bagian). Dalam muqqadimah, al-Zarnuji mengatakan bahwa pada jamannya, banyak penuntut ilmu (murid) yang tekun tetapi tidak bisa memetik
manfaat dari ilmu itu (mengamalkan dan menyebarkannya). Hal ini disebabkan karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka gagal. Al-Zarnuji dalam muqaddimah kitabnya mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk “meluruskan” tata-cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasl 1 sampai 13, al-Zarnuji memberikan solusi tentang tata-cara menuntut ilmu.Pada kajian ini, penulis tidak akan membahas secara keseluhan yang berkaitan dengan solusi yang ditawarkan al-Zarnuji, tetapi penulis membatasi pada relasi antara guru dengan murid yang memiliki nilai estetik. Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Adapun dimensi ukhrawi, al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak. Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”. Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya. Unsur kedua yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan
dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah. Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian.Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajarmengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik. Dalam masalah kurikulum, al-Zarnuji tidak menjelaskan secara rinci. Dalam kitab Ta’lim muta’allim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara filosofis, dia memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari. Sekuen materi pelajaran hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit ( tajrij) sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan sukar dan di atas kemampuanya, anak akan sukar untuk memahaminya, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuan. Pernyataan al-Zarnuji di atas sejalan dengan pendapat pakar pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar. Untuk mengimplementasikan kurikulum secara praktis, al-Zarnuji memberi acuan hal-hal yang harus dikerjakan, seperti wara’ dalam belajar, pemilihan waktu belajar-mengajar yang tepat, dan ukuran (sekuen) materi pelajaran. Bagi al-Zarnuji, bukan masalah banyak sedikitnya materi, tetapi yang lebih penting adalah materi yang lebih mendesak dan dibutuhkan. Ini berarti, al-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari harus relevan, yakni sesuai kebutuhan peserta didik. Hal ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karenanya, mula-mula bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan harus
disesuaikan dengan kematangan anak didik. Sesuai dengan pandangan al-Zarnuji ini, ilmu dapat diklasterisasikan menjadi beberapa kriteria, yakni ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama dan ilmu umum, seperti kedokteran dan ilmu falak, yang semuanya digunakan untuk kemaslahatan. Di samping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya, karena dianggap membahayakan seperti; ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu jad. Meskipun secara gamblang al-Zarnuji tidak merinci ilmu mana yang secara sekuen diperuntukkan untuk tingkat rendah, menengah, dan tinggi, tetapi dia memberikan pandangannya tentang ilmu mana yang patut dipelajari oleh pelajar. Dalam Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanakkanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati. Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Ta’lim al-Muta’allim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini.
Di samping itu, guru dalam Ta’lim al-Muta’allim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada “keleluasaan” seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan “terpaksa” atau “terintimidasi”, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena “terpaksa”. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan dijaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan “budaya yang penting”, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan. Bagi al-Zarnuji, hapalan adalah salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk anak-anak. Hal ini karena anak-anak memiliki daya tangkap ( auditory) yang kuat. Implementasinya, pelajaran hari ini sebaiknya dipelajari tiga kali, pelajaran kemarin sebaiknya dipelajari dua kali, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kontinuitas pembelajaran akan terjaga, sehingga pencerapan dalam memory menjadi kuat. Ini senada dengan Teori Decay (kelunturan), yang mana Spitzer mengatakan bahwa setelah jangka waktu sehari informasi yang dilupakan sekitar 46%, seminggu yang dilupakan 56%, dan sebulan informasi yang dilupakan adalah 81%. Hanya saja, hapalan memang semakin tidak cocok bagi anak yang usianya semakin besar, apalagi untuk remaja dan dewasa. Selain itu, strategi pembelajaran aktif ( active learning) lain adalah strategi pembelajaranyang di dalamnya mengandung unsur saling mengingatkan ( mudzakarah), tukar pandangan ( munadzarah), dan berdiskusi ( mutharahah, munaqasyah).“Laboratorium” sosial al-Zarnuji ini dapat mengembangkan sikap toleran, inklusif, dan pluralis. Dengan sikap ini akan memunculkan kerukunan sosial dan keharmonisan hidup. Hanya saja realitas yang ada, pemikiran al-Zarnuji dipahami secara tekstual oleh praktisi pendidikan.Kesimpulan 1. Atmosfir akademik (pendidikan) dalam Ta’lim al-Muta’allim–sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya, al-Zarnuji– memiliki nuansa sufistik paedagogik. Hal ini tampak pada landasan pikir yang dibangun berangkat dari term-term tasawuf sebagai landasan utama. Konsep ridha, tawaddhu’, wara’, ikhlas, dan sabar merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran.2. Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah “mikro” sosial, sebagai “laboratorium”, yang bernama pendidikan. Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa sufistik paedagogik. 3. Dari pendidikan yang bernilai sufistik paedagogik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas,toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana ( global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.