Post on 02-Aug-2015
transcript
Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru: Perspektif Ekonomi Islam
Written by SUGIANTO Tuesday, 22 May 2012 05:47 font size Print Email Be the first to comment!
Rate this item
1 2 3 4 5
(0 votes)
A. Pendahuluan
Globalisasi adalah suatu proses yang multi-dimensi, meliputi
ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi.[1] Fenomena
globalisasi mewujud dalam bentuk penyempitan waktu dan ruang
dalam hubungan sosial.[2] Artinya hubungan sosial antara
individu dengan masyarakat maupun antar masyarakat dalam
suatu negara bahkan antar negara telah menjadi begitu
transparan, tidak lagi mengenal batas-batas politik.
Perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi informasi,
perdagangan internasional, serta mobilitas tenaga kerja,
modal dan keuangan antar negara sejak tiga dasawarsa terakhir
telah mengakibatkan peran ekonomi suatu negara secara
individual terhadap perekonomian global menjadi semakin kurang
penting atau kurang berarti. Tentunya, proses ini telah dan akan
mempengaruhi suatu konstruk sistem sosial suatu masyarakat
yang telah mapan selama ini. Sejauh mana pengaruh ini,
ditentukan oleh bagaimana sebuah masyarakat atau negara itu
memberikan respon terhadap globalisasi tersebut.
Globalisasi, dari perspektif pesimis, dapat mengarah pada
melemahnya lembaga-lembaga ekonomi nasional dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan global seperti perusahaan-
perusahaan multinasional dan pasar-pasar uang internasional,
yang muncul adalah kecemasan memasuki abad 21. Globalisasi
hanya akan menghasilkan sedikit pemenang dan sejumlah besar
pecundang. Para calon pemenangnya adalah negara-negara
industri maju, perusahaan-perusahaan multinasional dan kelas
profesional, sedangkan calon pecundangnya adalah sejumlah
besar negara-negara berkembang, usaha-usaha skala kecil dan
menengah serta kelas buruh.[3] Dari perspektif optimis,
globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi
masyarakat dan negara-negara sedang berkembang untuk
mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan bidang
ekonomi dan sosial terhadap negara-negara maju. Beberapa data
empiris memang menunjukkan bahwa negara-negara sedang
berkembang yang terlibat secara aktif dalam globalisasi cendrung
mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik dibandingkan
dengan negara-negara yang relatif tertutup terhadap
perekonomian dunia.[4]
Makalah ini berupaya menguraikan jawaban dari beberapa
pertanyaan tentang globalisasi dan pengaruhnya terhadap negara
berkembang (terutama negara-negara Muslim). Pertama, apakah
sebenarnya pengertian dan proses terjadinya globalisasi? Kedua,
apa sajakah dimensi-dimensi globalisasi? Ketiga, bagaimanakah
implikasinya terhadap negara berkembang? Keempat,
bagaimanakah ekonomi Islam memberikan solusi kritis terhadap
implikasi globalisasi tersebut? Makalah ini tidak berusaha
menguraikan pengaruh globalisasi terhadap negara berkembang
dalam segala aspeknya, tetapi penekanan ditujukan pada
hubungannya dengan pembangunan ekonomi di negara
berkembang.
B. Globalisasi: Pengertian dan Proses
Pembicaraan tentang ‘globalisasi’ atau ‘global’ akhir-akhir
ini cukup populer. Sebelum dibahas lebih jauh, penjelasan
tentang definisi diperlukan agar lebih jelas. Kata global berasal
dari kata “globe” dan mulai dimaksudkan sebagai planet yang
berarti bumi bulat sejak beberapa abad yang lalu.[5] Dalam
bahasa Inggris kata sifat global populer sejak tahun 1890-an yang
dimaksudkan sebagai “keseluruhan dunia’ dengan tambahan arti
“berbentuk bola”.[6] Istilah-istilah “globalize” dan ”globalism”
dalam penerbitan baru muncul 50 tahun yang lalu,[7] sedangkan
istilah “globalization” pertama sekali muncul dalam sebuah
kamus (American English) tahun 1961,[8] dan “global village”
dipakai oleh McLuhan tahun 1964,[9] ketika menjelaskan
kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang telah
menciptakan sebuah dunia baru.
Penggunaan istilah globalisasi dalam wacana keilmuan
kontemporer ternyata mempunyai banyak arti. Menurut hasil
kajian Scholte,[10] definisi globalisasi dapat dibagi kepada lima
konsep. Pertama, globalisasi adalah “internationalization.”[11]
Global adalah kata sifat yang menggambarkan hubungan-
hubungan lintas batas antar negara, dan globalisasi menunjuk
suatu pertumbuhan pertukaran dan saling ketergantungan
internasional. Konsep globalisasi dalam pengertian pertama ini
digunakan oleh Paul Hirst dan Grahme Thomson yang
mengidentifikasi globalisasi dalam pengertian “pertumbuhan dan
perluasan arus perdagangan dan investasi modal antar
negara.”[12] Kedua, konsep globalisasi digunakan dalam arti
“liberalization” yaitu suatu proses menghilangkan pembatasan-
pembatasan yang dibebankan pemerintah terhadap pergerakan-
pergerakan antar negara agar tercipta suatu ekonomi dunia yang
‘terbuka’, ‘tanpa batas’. Sander menyarankan agar globalisasi
menjadi suatu slogan terkemuka untuk menggambarkan proses
integrasi ekonomi internasional.[13] Ketiga, konsep globalisasi
digunakan sebagai “universalization”, yaitu proses penyebaran
berbagai objek dan pengalaman kepada orang di seluruh penjuru
bumi. Pengertian ini yang pertama sekali dimaksud oleh Oliver
Reisre dan B. Davies tahun 1940-an yang menggunakan kata
kerja “globalize” dalam arti “universalize” dan meramalkan suatu
sistesis budaya planet dalam suatu “humanisme global”.[14]
Keempat, globalisasi berarti “westernization” atau
“modernization”, khususnya dalam suatu bentuk ‘Amerikanisasi’.
[15] Globalisasi adalah suatu dinamika dengan cara modernisasi
struktur-struktur sosial (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme,
birokratisme, dll.) tersebar ke seluruh dunia, biasanya, dalam
prosesnya menghancurkan keberadaan budaya lokal dan
penentuan nasibnya sendiri. Globalisasi digambarkan seperti
imperialisme McDonald’s, Hollywood dan CNN.[16] Martin Khor
menggolongkan kolonisasi Dunia Ketiga termasuk dalam
pengertian ini.[17] Dan kelima, konsep globalisasi diartikan
sebagai “deterritorialization” atau “supraterritorialization”.
Globalisasi membawa suatu penyusunan kembali geografi, agar
ruang sosial tidak lebih panjang pemetaannya dalam pengertian
tempat, jarak dan batas-batas wilayah. David Held dan Tony
McGrew dalam hal ini mendefinisikan globalisasi sebgai “suatu
proses (atau sekumpulan proses) yang mewujudkan suatu
transformasi dalam ruang organisasi hubungan-hubungan dan
transaksi-transaksi sosial”.[18] Tampaknya Scholte sendiri lebih
setuju dengan definisi kelima ini. Menurutnya, globalisasi,
suprateritorial atau istilah lain ‘transworld’, atau ‘transborder”
menggambarkan keadaan dimana ruang wilayah secara
substansial adalah lebih penting.[19]
Kelima definisi di atas, walaupun terdapat perbedaan
secara substansial tetapi tetap menunjukkan bahwa batas-batas
wilayah, budaya, politik, sosial dan ekonomi tidak dapat menahan
laju globalisasi. Kelima definisi tersebut mewakili berbagai pola
pemikiran aliran masing-masing. Golablisasi secara substansial
berarti transparannya berbagai batas baik wilayah, politik, sosial,
budaya maupun ekonomi yang selama ini sangat ketat. Walaupun
demikian proses globalisasi dan respon masing-masing negara
berbeda-beda, terutama negara-negara berkembang.
Dari segi kemunculannya, terdapat perdebatan panjang
tentang awal munculnya globalisasi.[20] Menurut Immanuel
Wallerstein,[21] proses globalisasi dapat dilihat dari tiga tingkat
sistem sosial. Pertama, mini system, yaitu gabungan satu
pembagian kerja[22] dengan satu sistem budaya. Ekonomi
diusahakan melalui pertanian dan perburuan sederhana secara
bersama. Kedua, world-empires, mempunyai sistem budaya yang
beragam tetapi satu sistem politik dengan satu pembagian kerja.
Contoh peradaban Cina, Mesir dan Roma. Dan ketiga, world-
economics, yaitu penggabungan politik dan budaya yang
beragam dalam satu pembagian kerja. Pada tingkat ketiga ini
globalisasi dimulai yaitu pada abad ke-16.
Scholte[23] membagi proses globalisasi kepada tiga tahap.
Pertama, munculnya suatu imajinasi global hingga abad ke-18.
tahap ini merupakan masa persiapan yang panjang tanpa suatu
konsepsi yang jelas. Globalisasi masih dalam imajinasi dan
pemikiran. Ide-ide tentang bumi sebagai satu tempat sudah ada,
seperti agama-agama “dunia”. Kedua, globalisasi yang baru mulai
(incipient globalization), bahwa globalisasi sudah bukan imajinasi
dan hubungan-hubungan sosial yang lebih substantif muali
dibangun dari tahun 1850-an hingga 1950-an. Tahap ini dimulai
oleh munculnya teknologi komunikasi, yaitu telegrap tahun 1850-
an, telepon dan radio tahun 1890-an, dan transportasi air tahun
1919. Dimulainya pasar global yang pertama dengan berdirinya
The London Metal Exchange (LME) tahun 1876. tahap ketiga,
globalisasi skala penuh (full-scale globalization), yaitu dimulai
1960-an. Pada tahap ini hubungan-hubungan lintas dunia
mencapai peningkatan yang besar selama empat dekade terakhir
abad kedua puluh baik dari segi jumlah, ragam, intensitas,
kelembagaan, dan pengaruh fenomena globalisasi.
C. Globalisasi: Suatu Keniscayaan
Globalisasi pada prinsipnya dijelaskan oleh dua kata kunci;
interaksi dan integrasi, yaitu interaksi ekonomi antar negara dan
tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi mencakup arus
perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi
berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara
secara efektif merupakan bagian tak terpisahkan dari satu
perekonomian tunggal dunia. Karena itu globalisasi ekonomi
dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana perekonomian
nasional dan lokal terintegrasi ke dalam satu perekonomian
tunggal yang bersifat global.[24]
Globalisasi tidak serta merta wujud, tetapi terdapat berbagai
faktor yang mendorong atau menyebabkan globalisasi. Menurut
Scholte,[25] paling tidak terdapat empat penyebab terjadinya
proses globalisasi. Pertama, penyebaran rasionalisme sebagai
kerangka pikir pengetahuan yang dominan. Rasionalisme
merupakan suatu konfigurasi umum tentang pengetahuan yang
meningkatkan penyebaran pemikiran global dan, melalui
rasionalisme tersebut, globalisasi menjadi tren yang lebih luas.
Kerangka pikir pengetahuan itu menyangkut (i) rasionalisme
adalah sekular, bahwa realitas adalah dunia fisik, materi,
meniadakan daya-daya transenden dan ketuhanan; (ii)
rasionalisme adalah antroposentris, bahwa realitas dunia yang
utama untuk kepentingan dan aktivitas manusia (keutuhan
lingkungan tidak diutamakan); (iii) rasionalisme mempunyai
karakter ‘ilmuwan’, bahwa fenomena yang dipahami melalui
metode penelitian ‘objektif’ mempunyai kebenaran yang tak
dapat dibantah; (iv) rasionalisme adalah alat, bahwa rasionalisme
merupakan alat untuk manusia dalam memecahkan masalah
secara cepat. Kedua, perubahan-perubahan utama dalam
perkembangan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu struktur
produksi dimana aktivitas ekonomi diorientasikan pertama dan
terutama kepada akumulasi surplus. Kapitalisme mendorong
globalisasi dalam empat cara: (i) global market (pasar global)
untuk meningkatkan volume penjualan dan mencapai skala
ekonomi tertentu; (ii) glabal accounting harga dan
pertanggungjawaban beban untuk meningkatkan keuntungan; (iii)
global sourcing untuk meminimalisasi biaya produksi; dan (iv)
global commodities sebagai tambahan saluran akumulasi. Ketiga,
inovasi-inovasi teknologi komunikasi dan pemrosesan data.
Kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah
mendorong komunikasi global, transaksi finasial global, koordinasi
produksi dan pemasaran global, dan aktivitas-aktivitas global
lainnya. Keempat, konstruksi kerangka-kerja regulatory
(peraturan) yang memungkinkan. Regulasi yang menjadi motor
penggerak globalisasi dalam empat cara: (i) standardisasi yang
bersifat teknis dan prosedural; (ii) liberalisasi pergerakan-
pergerakan uang, investasi dan perdagangan lintas batas negara;
(iii) jaminan hak-hak milik modal global; dan (iv) legalisasi
organisasi dan aktivitas global.
Senada dengan pendapat Scholte di atas, menurut Firdausy,[26]
ada tiga motor penggerak dalam globalisasi ekonomi: pertama,
liberalisasi yaitu liberalisasi aliran modal dalam bentuk aliran
uang yang menyertai perdagangan barang dan jasa, penanaman
modal asing dan investasi porto-folio. Kedua, privatisasi, karena
secara teoritis dan praktis dapat berfungsi dalam mengalokasikan
sumber-sumber ekonomi secara lebih efisien dan efektif
dibandingkan dengan nasionalisasi. Kebijakan privatisasi pertama
sekali dicanangkan oleh Perdana Menteri Margareth Tatcher dari
Inggris pada tahun 1979 dan terbukti sukses. Ketiga, deregulasi
yaitu pengurangan berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah
yang tidak pro-pasar dan tidak pro-efisiensi sehingga peran
pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi
para pelaku ekonomi dan bisnis.
Menurut The Group of Lisbon (1995) sebagaimana dikutip oleh
Firdausy,[27] bentuk globalisasi dapat dikategorikan menjadi
tujuh jenis. Pertama, globalisasi keuangan dan pemilikan modal
melalui deregulasi pasar modal, mobilisasi modal internasional,
merjer dan akuisisi. Kedua, globalisasi pasar dan strategi ekonomi
melalui integrasi kegiatan usaha skala intersional, aliansi
strategis, dan pembangunan usaha terpadu di negara lain. Ketiga,
globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan
pengembangan. Keempat, globalisasi sikap hidup dan pola
konsumsi atau globalisasi budaya. Kelima, globalisasi aturan-
aturan pemerintah. Keenam, globalisasi politik internasional.
Ketujuh, globalisasi persepsi dan sosial budaya internasional.
Menurut Scholte,[28] globalisasi paling tidak berhubungan
dengan empat dimensi, yaitu dimensi produksi, dimensi
pemerintahan, dimensi komunitas, dan dimensi pengetahuan.
Pada dimensi produksi, globalisasi telah menimbulkan global
kapital. Kapital tidak saja menjadi komoditas, tetapi telah menjadi
commodification.[29] Percepatan globalisasi telah memperluas
skop commodifikation ke dalam tiga area. Pertama,
konsumerisme[30] – banyak berhubungan dengan produk global –
telah memperluas bidang industri kapital. Merek-merek global
(global branding) menjadi incaran para konsumen global ini,
seperti Sony, Armani, Michael Jackson, Coca-Cola, dan lain-lain.
Kedua, pertumbuhan skop kapital finansial. Perbankan global,
sekuritas global dan jenis-jenis bisnis global lainnya telah secara
luar biasa meningkatkan volume dan ragam instrument finansial.
Ketiga, globalisasi juga telah menciptakan keadaan-keadaan
pertumbuhan besar dalam kapital komunikasi dan informasi. Pada
dimensi ini globalisasi juga mereorganisasi perusahaan secara
global. Globalisasi pada dimensi pemerintahan mempercepat lima
perubahan umum: (i) berakhirnya kedaulatan negara; (ii)
reorientasi pelayanan suprateritorial sebaik kepentingan wilayah
negaranya; (iii) menurunnya tekanan terhadap jaminan
keselamatan sektor publik; (iv) redefinisi penggunaan
peperangan; dan (v) meningkatnya ketergantungan terhadap
penyusunan regulasi multilateral. Pada dimensi komunitas,
globalisasi mendorong (i) peningkatan bentuk bangsa dari state-
nation (negara-bangsa) kepada ethno-nation, region-nation, dan
transworld-nation; (ii) munculnya identitas kolektif yang tidak
didasarkan pada kerangka-kerja nasional; (iii) menikatnya
komunitas manusia kosmopolitan kepada komunitas manusia
universal; dan (iv) tumbuhnya identitas hibrida[31] dan komunitas
yang saling melengkapi dalam politik dunia kontemporer.
Globalisasi pada dimensi pengetahuan, disamping meningkatnya
rasionalime dengan berbagai atributnya seperti sekularisme,
antroposentrisme, saintisme, dan instrumentalisme, juga telah
menumbuhkan pengetahuan non-rasional, seperti revivalisme
keagamaan, ekosentrisme, dan pemikiran pos-modernisme.
D. Implikasi Globalisasi terhadap Negara Berkembang
Kenyataannya, globalisasi bak air bah, tidak dapat
dibendung, apalagi bagi negara-negara yang telah
menandatangani perjanjian WTO, termasuk Indonesia. Menurut
Marzuki Usman seperti yang dikutip oleh Mahmud Toha,
globalisasi atau era kesejagatan bagi Indonesia adalah suatu hal
yang pasti karena Indonesia salah satu negara pendiri World
Trade Organization (WTO), yaitu dengan ditandatangani
perjanjian WTO pada bulan April 1994 yang kemudian diratifikasi
oleh DPR pada bulan November 1994. Hakekat perjanjian
tersebut adalah dunia akan menuju kepada pasar bebas paling
lambat sebelum tahun 2020.[32]
Bagi negara-negara maju globalisasi lebih banyak
berimplikasi positif ketimbang negatif, karena mereka adalah
negara-negara yang paling siap baik secara ekonomi maupun
politik dibandingkan negara-negara berkembang. Pasar bebas
dan globalisasi, terutama bagi negara-negara berkembang
menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua pandangan yang
kontradiktif berkaitan implikasi globalisasi; pandangan optimis
dan pandangan pesimis.
Bagi para ekonom dan pendukung kapitalisme, sperti Stern
(2000) dan Madison (1998) sebagaimana dikutip Mahmud Toha,
globalisasi (i) dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
pengentasan kemiskinan; (ii) dapat mempercepat terwujudnya
pemerintahan yang demokratik dan masyarakat madani dalam
skala global; (iii) tidak mengurangi ruang gerak pemerintah dalam
kebijakan ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi
jangka panjang; (iv) tidak berseberangan dengan desentralisasi;
dan (v) bukan penyebab krisis ekonomi.[33]
Pandangan kontradiktif diberikan oleh kalangan skeptis
seperti Holley (2000) sebagaimana dikutip oleh Mahmud Toha,
bahwa globalisasi adalah: (i) sebagai kapitalisme kasino; (ii) anti
negara; (iii) sebagai kompetisi yang menghancurkan; (iv) sebagai
pembunuh pekerjaan; (v) merugikan kaum miskin; (vi) sebagai
individualisme yang berlebihan; (vii) sebagai imperialisme
budaya; dan (viii) merupakan kompor bagi munculnya gerakan-
gerakan neo-nasionalis dan fundamentalis.[34]
Implikasi-implikasi globalisasi bagi negara berkembang
dapat dilihat uraian berikut ini. Pertama, peningkatan integrasi
perekonomian nasional ke dalam pasar global menjanjikan
pembesaran dramatis atas volume dan karakter arus-arus sumber
daya internasional. Kenyataannya, tatkala pasar-pasar nasional
negara berkembang dibuka, pasar-pasar internasional justru
banyak yang masih tertutup bagi ekspor mereka. Proteksionisme
negara-negara maju terhadap produk ekspor negara-negara
berkembang terus meningkat sebelum tercapainya Perjanjian
GATT (Generat Agreement on Tariff and Trade; Persetujuan
Umum tentang Tarif dan Perdagangan) pada tahun 1994 dengan
dicapainya kesepakatan Uruguay Round dan WTO.[35] Bahkan,
proteksionisme negara-negara maju masih terus berlanjut setelah
perjanjian GATT tersebut. Berbagai alasan digunakan oleh
negara-negara maju dalam melegalisasi proteksionisme mereka,
seperti standar kualitas barang yang rendah, negara pengekspor
melanggar HAM atau perusak ekologi hutan tropis, dan
sebagainya.
Kedua, karena ekspansi perdagangan sangat ditentukan
oleh sektor perbankan yang menjadi sumber pembiayaan bagi
semua transaksi dagang internasional itu, maka peningkatan
ukuran, daya saing, dan difusi pasar finansial internasional
mengandung kekuatan potensial yang besarguna menarik
perekonomian berpendapatan rendah ke dalam perekonomian
dunia secara utuh. Bagi negara-negara berkembang peningkatan
integrasi ke dalam pasar-pasar finansial internasional sangat
berpotensi untuk memperbaiki prospek mereka dalam upaya
meningkatkan fleksibilitas dan pertumbuhan ekonomi
nasionalnya. Kenyataannya, proses globalisasi pasar finansial
dunia hanya akan menurunkan biaya-biaya transaksi dagang bagi
negara-negara masju yang sudah memiliki akses ke pasar-pasar
internasional; sedangkan bagi negara-negara berkembang yang
sama sekali belum atau kurang memiliki akses itu, maka
globalisasi pasar finansial hanya akan memperbesar kerugian
komparatif mereka.[36]
Ketiga, globalisasi pasar finansial juga sangat rentan dari
pelaku spekulan pasar uang dan pasar modal. Ketergantungan
setiap negara terhadap valuta asing menjadi sangat tinggi.
Devisa yang dikumpulkan negara dengan susah payah guna
membiayai pembangunan dapat dengan mudah dan dalam
sekejap lari ke luar negeri (capital flight) oleh ulah para spekulan
jahat yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Streeten
(2001) sebagaimana dikutip Toha,[37] memberikan bukti-bukti
empiris bahwa arus devisa global telah mencapai jumlah yang
sangat mencengangkan yaitu US $ 2 triliun setiap hari, 98 persen
diantaranya untuk aktivitas ekonomi yang bersifat spekulatif.
Krisis keuangan yang terjadi di Indonesia yang diperkirakan
sebagai “contagian effects” dari krisis keuangan yang terjadi di
Thailand adalah diakibatkan oleh ulah spekulasi ini.
Keempat, poses globalisasi ternyata cenderung
memperkecil kekuatan dan pengaruh ekonomi suatu negara
secara individual, apalagi jika itu adalah negara berkembang
yang kemampuannya serba terbatas. Negara-negara berkembang
yang tidak terlibat secara aktif atau secara langsung ke dalam
blok-blok perdagangan yang didominasi oleh dolar Amerika, yen
Jepang atau mark Jerman, baik di kawasan Amerika Utara, di
Palung Pasifik maupun di Eropa, akan menghadapi masa-masa
sulit.[38]
Kelima, proses globalisasi telah meningkatkan dominasi
ekonomi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, para pemilik
modal dan para menejer serta kelompok profesional. Masa
dominasi negara telah beralih kepada lembaga-lembaga
keuangan dunia seperti IMF (International Monetery Fund) dan
Bank Dunia (World Bank). Ketergantungan terhadap kedua
lembaga ini telah membuat negara-negara penerima bantuan
atau peminjam tidak berdaya dalam menentukan kebijakan-
kebijakan ekonomi dan pembagunan negaranya. Bank Dunia dan
IMF adalah corong dan eksekutor paham ekonomi neo classic
yang sangat mengagungkan kekuatan dan mekanisme pasar
sebagai mesin pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dunia.
Instrumen kebijakan utamanya adalah deregulasi, liberalisasi,
privatisasi, devaluasi, dekontrol dan anti defisit anggaran belanja
negara.[39]
Keenam, salah satu perwujudan ketidakadilan antar negara
yang terus memburuk adalah meningkatnya arus migrasi
internasional ilegal, terutama migrasi tenaga kerja atau biasa
dikenal dengan istilah ‘international brain drain” dari berbagai
negara Selatan yang miskin ke negara-negara industri di Utara
yang lebih makmur. Tetapi, bagi negara-negara maju tujuan
migrasi itu mulai merasa bahwa para pekerja pendatang tersebut
merupakan ancaman terhadap perekonomian dan juga
kebudayaan serta “cara hidup” mereka.[40]
E. Tatanan Ekonomi Baru dan Peran Pemerintah:
Perspektif Islam
Resistensi terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis
sebagai motor penggerak utama globalisasi sebenarnya sudah
sering disuarakan, bahkan dari jantung kapitalisme itu sendiri.
[41] Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama krisis ekonomi
tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa
tatanan ekonomi dunia saat ini mencerminkan ketidak-adilan dan
ketimpangan struktur ekonomi di banyak tempat terutama
negara-negara berkembang. Beberapa alternatif telah dimajukan,
seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk
ahli-ahli ekonomi Barat mulai melirik sistem ekonomi yang
ditawarkan oleh Islam sebagai pilar tatanan ekonomi baru dunia.
Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan
keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan
moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi
dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah
(perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).[42]
Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling
terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia
Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan
diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang
bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S.
Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun: 15). Dari pandang tauhid
manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu.
Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-
Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya
alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas
bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi
dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan
universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan
menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya
sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta.
Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa
dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan
dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan
dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25).
Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari
semua faktor ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara
sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak tepat karena
mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling
tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat
pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut
harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan
(equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan
menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran
sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi
pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi
adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah
ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga
pada manusia dalam jangka panjang.[43]
Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan
dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan
distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan
kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang
diterima secara universal.[44] Tujuan ini juga berhubungan
dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-
A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan
penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7),
dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi
kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-
Ma’arij: 24-25).[45] Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi
Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf
Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan
ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif,
sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru)
yang lebih banyak daripada yang mungkin bisa diciptakan dalam
keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus
diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan
usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban
untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan
mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-
sektor yang mampu menyerap semua lapisan.
Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral
dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah.
Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah
melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga
mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah.
[46] Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap
penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam
pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat
diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas
dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam
adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak
akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh
perilaku menyimpang pelaku ekonomi.
F. Penutup
Suka atau tidak suka, globalisasi telah dan segera menyapa
setiap negara, setiap masyarakat di dunia. Oleh karena itu, tidak
satu negarapun mampu dan menganggap perlu untuk
mengisolasi diri dari pengaruh perekonomian dunia. Yang menjadi
permasalahan adalah seberapa besar manfaat yang dapat
dinikmati dan mudharat yang bakal dipikul oleh setiap negara
yang terlibat dalam proses globalisasi akan terpulang kepada
kesiapan negara yang bersangkutan dalam mengantisipasi segala
kemungkinan yang terjadi.
Sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di atas, ternyata kesiapan
negara-negara berkembang sangat lemah dibanding negara-
negara industri maju. Oleh karena itu, implikasi yang negatif
justru yang menimpa mereka, mulai dari sulitnya mengatasi krisis
ekonomi hingga ketergantungannya yang sangat besar kepada
negara-negara industri maju dan lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti Bank Dunia dan IMF, terutama bantuan luar
negeri atau hutang.
Tatanan ekonomi baru yang lebih adil sangat diperlukan dan
ekonomi Islam dapat dijadikan alternatifnya, karena dibangun
tiga landasan utama yang mencerminkan dan menjamin keadilan
berjalan.
Daftar Bacaan
Firdausy. “Tantangan dan Peluang Globalisasi Bagi Perekonomian Nasional”. Dlm. Indonesia Menapak Abad 21: Kajian Ekonomi Politik. Jakarta: Millenium Publisher, 2000.
Harvey, D. The Condition of Postmodernity. Oxford: Blackwell, 1989.
Held, David dkk. global Transformation Politics, Economics and Culture. Cambridge: Polity Press, 1999.
Hirst, Paul & Thomson, Grahme. “Globalisation: Ten Frequently Asked Questions and Some Surprising Answers.” Soundings. Vol. 4 (Autumn), 1996
Ibn Taimiyah, Ahmad bin ‘Abd al-Halim. al-Hisbah fi al-Islam wa Wazifat al-Hukumah al-Islamiyah. Madinah: Islamic University, t.th..
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam). Terj. Machnum Husein dari The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Khor, Martin. “Address to the International Forum on Globalization”. New York City, November 1995.
McLuhan, M. Understanding Media. London: Routledge, 1964.
Mittelmann, James H. “The Dynamics of Globalization”. Dlm. James H. Mittelmann (peny.). Globalization: Critical Reflections. Boulder: Lynne Rienner, 1996.
Naqvi, Syed Nawab Haider. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Terj. M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin dari Islam, Economics and Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nasution, Mustafa Edwin. “Wakaf Tunai: Strategi untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi.” Istislah: Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan. Vol. I. No.2 (Apr-Jun 2002)
Reiser, Oliver L. & Davies, B. Planetary Democracy: an Introduction to Scientific Humanism and Applied Semantics. New York: Creative Age Press, 1944
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture. London; Sage Publications, 1992
Sander, H. “Multilateralism, Regionalism and Globalisation: The Challenges to the World Trading System.” Dlm. H. Sander dan A. Inotai (peny.). World Trade After the Uruguay Round: Prospects and Policy Options for the Twenty First Century. London; Routledge, 1996.
Schiller, H.I. “Not Yet the Post-Imperialist Era”. Critical Studies in Mass Communication. vol.8, no.1 (Maret), 1991.
Scholte, Jan Aart. Globalization: A Critical Introduction. London: Macmillan Press Ltd., 2000.
Spybey, T. Globalization and World Society. Cambridge: Polity Press, 1996.
Stern, Nicholas. “Globalization and Poverty”. Paper dpresentasikan pada seminar LPEM, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2000.
The Oxford English Dictionary. VI 2nd ed. Oxford: Clarendon, 1989.
Thoha, Mahmud. “Globalisasi antara Harapan dan Kecemasan”. Dlm. Mahmud Thoha (peny.). Globalisasi, Krisis Ekonomi & Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Todaro, Michael P. Economic Development. 6th ed. London: Longman, 1997.
Wallerstein, Immanuel. “The Rise and Future Demise of the World Capitalist System: Concepts of Comparative Analysis”. Comparative Studies in Society and History, 16 (1974): 387-415
--------------The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth Century. New York: Academic Press, 1976).
Waters, M. Globalisation. London: Routledge, 1995
Waters, M. Globalisation. London: Routledge, 1995.
Webster’s Third NewInternational Dictionary of the English Language Unabridged. Springfield, MA: Merriam, 1961.
[1]M. Waters, Globalisation (London: Routledge, 1995); James H. Mittelmann, “The Dynamics of Globalization” dlm. James H. Mittelmann (peny.), Globalization: Critical Reflections (Boulder: Lynne Rienner, 1996).
[2]D. Harvey, The Condition of Postmodernity (Oxford: Blackwell, 1989).
[3]Mahmud Thoha, “Globalisasi antara Harapan dan Kecemasan’, dlm. Mahmud Thoha (peny.), Globalisasi, Krisis Ekonomi & Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Pustaka quantum, 2002), h. 1-2.
[4]Nicholas Stern, “Globalization and Poverty”, paper yang dpresentasikan pada seminar LPEM, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2000, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 1.
[5]Jan Aart Scholte, Globalization: A Critical Introduction (London: Macmillan Press Ltd., 2000), h. 43.
[6]The Oxford Emnglish Dictionary, VI 2nd ed. (Oxford: Clarendon, 1989), h. 582.
[7]Istilah ini dipakai pertama sekali oleh Oliver L.Reiser dan B. Davies, Planetary Democracy: an Introduction to Scientific Humanism and Applied Semantics (New York: Creative Age Press, 1944), h. 212, 219. Lihat: Scholte, Globalization, h. 43.
[8]Webster’s Third NewInternational Dictionary of the English Language Unabridged (Springfield, MA: Merriam, 1961), h. 965.
[9]M. McLuhan, Understanding Media (London: Routledge, 1964).
[10]Scholte, Globalization, h. 15-17.
[11]Menurut Paul Kennedy (1993) dan Hadi Susastro (1999) sebagaimana dikutip oleh Firdausy, pengertian globalisasi perlu dibedakan dengan internasionalisasi dan multinasionalisasi; internasionalisasi merupakan aliran bahan baku, barang dan jasa maupun uang dan gagasan serta tenaga kerja dan arus modal antara dua negara atau lebih. Sedangkan multinasionalisasi merupakan proses pemindahan dan relokasi sumberdaya ekonomi, khususnya modal dan tenaga kerja dari suatu negara ke negara lain. Lihat Firdausy, “Tantangan dan Peluang Globalisasi Bagi Perekonomian Nasional”, dlm. Indonesia Menapak Abad 21: Kajian Ekonomi Politik (Jakarta: Millenium Publisher, 2000), h. 1-2.
[12]Paul Hirst dan Grahme Thomson, “Globalisation: Ten Frequently Asked Questions and Some Surprising Answers,” Soundings, vol. 4 (Autumn), 1996, h. 48, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 15.
[13]H. Sander, “Multilateralism, Regionalism and Globalisation: The Challenges to the World Trading System,” dlm. H. Sander dan A. Inotai (peny.), World Trade After the Uruguay
Round: Prospects and Policy Options for the Twenty First Century (London; Routledge, 1996), h. 27, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.
[14]Oliver L.Reiser dan B. Davies, Planetary Democracy, h. 39, 201, 205, 219, 225, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.
[15]T. Spybey, Globalization and World Society (Cambridge: Polity Press, 1996), h. 27, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.
[16]H.I. Schiller, “Not Yet the Post-Imperialist Era”, Critical Studies in Mass Communication, vol.8, no.1 (Maret), 1991, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.
[17]Martin Khor, “Address to the International Forum on Globalization”, New York City, November 1995, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.
[18]David Held dkk., global Transformation Politics, Economics and Culture (Cambridge: Polity Press, 1999), h. 16, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.
[19]Scholte, Globalization, h. 48.
[20]Lihat misalnya, Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture (London; Sage Publications, 1992); M. Waters, Globalisation (London: Routledge, 1995).
[21]Immanuel Wallerstein, “The Rise and Future Demise of the World Capitalist System: Concepts of Comparative Analysis”, Comparative Studies in Society and History, 16 (1974): 387-415; lihat juga, idem, The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1976).
[22]Pembagian kerja dalam konsep Wallerstein merupakan suatu sistem sosial dimana sektor-sektor atau kawasan-kawasan yang berbeda tergantung pada pertukaran ekonomi dengan sektor-sektor atau kawasan-kawasan lain untuk keperluan masa
depan yang berkelanjutan bagi kawasan itu. Lihat: Wallerstein, The Rise and Future, h. 390.
[23]Scholte, Globalization, h. 62-88.
[24]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 3.
[25]Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 89-108.
[26]Firdausy, Tantangan dan Peluang, h. 3-4.
[27]Firdausy, Tantangan dan Peluang, h. 4.
[28]Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, terutama bagian II Change and Continuity, h. 110-203.
[29]Komoditas dalam pandangan Marxian adalah objek-objek diciptakan, diserap dan dihimpum melalui pemilikan produksi dan pertukaran surplus. Suatu sumberdaya menjadi commodified ketika ia digabung atau dimasukkan kedalam proses akumulasi kapitalis.Contoh, sebuah lagu bisa menjadi commodofied melalui perekaman dan penjualan oleh industri musik. Lihat: Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 112.
[30]Konsumerisme menggambarkan perilaku dimana dengan hingar-bingarnya orang memperoleh (dan biasanya dengan cepat membuang) berbagai ragam barang yang disediakan untuk pengguna dengan segera tetapi kepuasannya berlangsung sebentar saja. Contohnya, entertainment, fantasi, fesyen dan foya-foya (pleasure). Sedangkan ‘Consumer capital’ merupakan surplus akumulasi didapat dalam konteks konsumsi hedonistik tersebut. Lihat: Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 113.
[31]Identitas hibrida mengambil dari beberapa untaian yang berbeda dalam ukuran substansial, supaya tidak ada penilai tunggal yang menganggap keunggulannya jelas dan konsisten daripada orang lain. Misalnya, seseorang bisa memegang beberapa kewarganegaraan, atau suku campuran, dll. Lihat: Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 180.
[32]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 7.
[33]Ibid, h. 17-25.
[34]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 9-17.
[35]Michael P. Todaro, Economic Development, 6th ed. (London: Longman, 1997), h. 660.
[36]Ibid.
[37]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 9-10.
[38]Michael P. Todaro, Economic Development,h. 660.
[39]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 14. Bandingkan: Mustafa Edwin Nasution, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi,” Istislah: Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, vol. I. No.2 (Apr-Jun 2002), h. 140-141. Melalui deregunalsi, segala aturan birokrasi yang membelenggu dunia bisnis harus dikendurkan. Dengan liberalisasi, segala macam tarif dan hambatan-hambatan bukan tarif juga harud diturunkan dan kalau perlu dihapuskan guna mendorong perdagangan internasional yang bebas. Privatisasi atau swastanisasi perusahaan-perusahaan negara diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Dengan dekontrol, segala macam bentuk subsidi, termasuk subsidi energi terutama BBM dan listrik harus dihapus, karena hanya membebani anggalan belanja negara. Akhirnya melalui kebijakan APBN seimbang atau anti defisit, diharapkan dapat menekan tingkat inlasi. Lihat: Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 14-15.
[40]Michael P. Todaro, Economic Development,h. 660-661.
[41]Ormerod (1994), misalnya , dalam karyanya, The Death of Economics; Stephen Rousseas (1979), Capitalism and Catastrophe. Sementara dari luar kapitalisme telah banyak lagi ulasan terhadap sistem ini, seperti karya Umae Chapra (1992), Islam and Economic Challenge.
[42]Umumnya para ahli ekonomi Islam menjadikan ketiga dasar di atas menjadi landasan utama ekonomi Islam, walaupun dalam uraiannya melebar.
[43]Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, terj. M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin dari Islam, Economics and Society (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 39.
[44]Ibid. h. 128. keadilan distributif merupakan sub-bagian dari konsep yang lebih luas yaitu “keadilan sosial” yang mewarnai seluruh jenis hubungan dalam masyarakat; dan diperhatikan terutama dalam hubungan-hubungan ekonomis. Ibid., h. 140-141.
[45]Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), terj. Machnum Husein dari The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 137.
[46]Ahmad bin ‘Abd al-Halim Ibn Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam wa Wazifat al-Hukumah al-Islamiyah (Madinah: Islamic University, t.th.), h. 15-17.