Post on 03-Aug-2019
transcript
1
Optimisasi Dan Pemetaan Pembangkit Listrik Sumber Mata Air Panas
(Hotspring) dengan Siklus Kalina dan ORC
Grano Prabumukti* dan Widodo Wahyu Purwanto
1.Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok,
16424, Indonesia
*Email: grano.prabumukti@ui.ac.id
Abstrak
Sumber mata air panas memiliki potensi untuk menghasilkan tenaga terutama di daerah off grid
PLN (terpencil). Ada dua siklus biner yang dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dari
sumber panas suhu rendah yaitu siklus Kalina dan ORC. Fluida kerja yang digunakan adalah
Propana, Propena, R1234yf dan R407a untuk ORC dan Ammonia 85% untuk Siklus Kalina.
Simulasi masing-masing siklus untuk tiap fluida kerja dilakukan dengan menggunakan
software UNISIM untuk menghasilkan nilai effisiensi dan LCOE dengan mengubah kondisi
operasi tekanan masuk turbin, suhu sumber panas dan laju alir sumber panas. Tren nilai
effisiensi berbanding terbalik dengan tren nilai LCOE pada pengaruh tekanan masuk turbin.
Nilai effisensi terbaik berbeda bergantung pada suhu sumber panas. R1234yf dan Propena
dengan konfigurasi basic ORC menghasilkan effisiensi terbaik untuk rentang suhu sumber
panas 60oC - 99oC. Dari data simulasi, dapat dibentuk persamaan regresi untuk melakukan
pemetaan dari tiap lokasi sumber mata air panas. Dari lokasi hotspring, didapat rentang nilai
daya 2,1 kWe - 61,3 kWe dan nilai LCOE 99,4¢/kWh -15.9¢/kWh. Lokasi hotspring APSGA
2, Losseng 2, Beang, Kawah Sirung, Pamandian, Kadidia, Pulu 1, Sajau 3 dan Sajau 2
berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut karena memiliki nilai LCOE lebih rendah dari
pembangkit diesel termurah.
Kata Kunci: Optimisasi, Pemetaan, Mata Air Panas, Siklus Kalina, ORC
OPTIMIZATION AND MAPPING OF HOTSPRING POWER GENERATION
WITH KALINA CYCLE AND ORC
Abstract
Hotsprings have the potential to generate power, especially in off grid areas of PLN. There are
two binary cycles that can be used to generate power from low temperature heat source, Kalina
Cycle and ORC. The working fluids used are Propane, Propene, R1234yf and R407a for ORC
and Ammonia 85% for Kalina Cycle. The simulation of each cycle for each working fluid is
done by using UNISIM software to produce efficiency and LCOE values by changing turbine
inlet pressur, heat source temperature and heat source flow rate. Efficiency value trends are
inversely proportional to the trend of LCOE values on the influence of turbine inlet pressure.
The best value of efficiency differs depending on the temperature of the heat source. R1234yf
and Propena with ORC basic configuration produce the best efficiency for hoto temperature
range 60oC - 99oC. From the simulation data, regression equation can be formed to mapping
from each hot springs location. From the hotspring location, there is a range of power values of
2.1 kWe - 61.3 kWe and a LCOE value of 99.4 ¢ / kWh -15.9 ¢ / kWh. The hotspring locations
of APSGA 2, Losseng 2, Beang, Sirung Crater, Pamandian, Kadidia, Pulu 1, Sajau 3 and Sajau
2
2 have the potential to be developed in the future as they have lower LCOE value than the
cheapest diesel generators.
Keywords : Optimization, Mapping, Hotspring, Kalina Cycle, ORC
I. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan panas bumi terkaya di dunia
yaitu dengan 40% potensi panas bumi di dunia berada di Indonesia. Namun, pemanfaatannya
saat ini hanya 4,1% dari potensi totalnya. (Nenny, 2013). Sistem panas bumi di Indonesia
umumnya merupakan sistem hidrotermal dengan suhu lebih dari 225°C, hanya beberapa lokasi
yang memiliki suhu antara 125-225°C. Keberadaan sumber hidrotermal dalam perut bumi
biasanya ditandai dengan adanya manifestasi permukaan seperti hot spring, geyser, fumarole,
mud pool, steaming ground dan altered rock. (Nenny, 2013).
Hot spring atau sumber air panas merupakan sumber manifestasi panas yang berpotensi
untuk digunakan sebagai sumber panas untuk menghasilkan daya. Hot spring di Indonesia
biasanya memiliki suhu di bawah 100°C. Selama ini, manifestasi panas bumi dalam bentuk hot
spring di Indonesia, hanya banyak digunakan untuk penggunaan langsung sebagai wisata
pemandian air panas. Padahal, manifestasi hot spring ini juga dapat dimanfaatkan untuk
pembangkit listrik skala kecil. Pembangkit listrik skala kecil ini dapat berguna untuk memasok
kebutuhan listrik pada daerah-daerah yang belum dialiri listrik namun memiliki manifestasi
panas bumi di dekatnya. Pembangkitan listrik menggunakan hot spring sebagai sumber panas
ini dapat dilakukan dengan pembangkit listrik sistem biner. (Pikra, dkk. 2015)
Sistem pembangkitan biner merupakan sistem yang dapat menghasilkan listrik dari
sumber panas dengan suhu rendah. Sistem ini tidak menggunakan air sebagai fluida kerjanya.
Fluida kerja yang digunakan dalam sistem pembangkitan biner, adalah fluida kerja dengan titik
didih lebih rendah dari air. Sumber panas dengan suhu rendah menyebabkan effisiensi
termodinamika dari siklus ini rendah. Diperlukan optimisasi dari sergi konfigurasi ataupun
inovasi agar dapat dihasilkan effisiensi siklus yang paling baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan jenis siklus dengan fluida kerja dan
kondisi operasi yang mampu menghasilkan effisiensi siklus maksimum dan biaya produksi
listrik per satuan daya yang minimum pada tiap lokasi sumber mata air panas. Selain itu,
penelitian ini juga ingin mendapatkan peta potensi nilai daya dan ekonomi pembangkit sumber
mata air panas di Indonesia.
Siklus yang ditinjau pada penelitian ini adalah siklus kalina dengan tipe KCS11, siklus
ORC sederhana dan ORC dual pressure. Fluida kerja yang digunakan adalah fluida kerja
3
dengan nilai suhu kritis mendekati suhu sumber panas. Sedangkan, untuk siklus Kalina
menggunakan campuran air-ammonia. Sumber panas yang digunakan adalah sumber panas
dengan suhu 60°C -99°C. Suhu dan laju alir hotspring yang digunakan adalah suhu dan laju ali
rata-rata hotspring, fluktuasi nilai suhu dan laju alir hotspring tidak diperhitungkan.
II. Tinjauan Teoritis
2.1 Manifestasi Panas Bumi
Manifestasi panas bumi adalah gejala di permukaan yang merupakan ciri terdapatnya
potensi energi panas bumi. Manifestasi panasbumi bisa berupa sumber mata air panas,
kubangan lumpur panas (mud pools), geyser ataupun fumarole. Manifestasi panas bumi di
permukaan diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawah permukaan atau
karena adanya rekahan-rekahan yang memungkinkan fluida panasbumi (uap dan air panas)
mengalir ke permukaan. (Pikra, dkk., 2015)
2.2 Sistem Produksi Listrik dari Panas
2.2.1 Organic Rankine Cycle (ORC)
Pada siklus ini, tekanan dari fluida kerja saat keluar dari kondensor mencapai tekanan
evaporator dengan bantuan pompa. Setelah melewati pre-heater fluida kerja memasuki
evaporator dalam fasa saturated liquid dan keluar dari evaporator dalam fasa saturated vapor.
Fluida kerja mendapatkan panas dari fluida panas bumi di evaporator. Setelah dari evaporator,
fluida kerja mengalami ekspansi pada turbin ke tekanan condenser dan akhirnya didinginkan
dengan menggunakan air pendingin. Skema dari Organic Rankine Cycle dapat dilihat pada
Gambar 2.1, sedangkan untuk proses termodinamis yang digambarkan dalam diagram P-h pada
siklus dapat dilihat pada Gambar 2.2. Fluida kerja yang masuk ke turbin harus berupa uap jenuh
ataupun superheated. Oleh karena itu, untuk fluida kerja dengan sifat wet, dibutuhkan
penguapan sampai fasa superheated untuk menghindari terbentuknya fluida dua fasa pada titik
keluar turbin. Adanya fasa cair yang terbentuk pada turbin uap dapat menyebabkan kerusakan
pada turbin. Untuk diagram T-s pada fluida kerja dengan jenis wet dapat dilihat pada Gambar
2.5.
Gambar 2.1 Siklus ORC
Gambar 2.2 Diagram T-s siklus ORC dengan Fluida Kerja Jenis Dry
(Sumber: DiPippo, 2008)
4
2.2.2 Siklus Kalina
Pada siklus Kalina, campuran ammonia-air memasuki separator setelah mendapatkan
panas yg berasal dari fluida panas bumi di pre-heater dan evaporator. Pada separator, campuran
dengan fasa saturated vapor memasuki turbin dan berekspansi menuju tekanan kondensor.
Sementara itu, campuran fluida dengan fasa saturated liquid, memasuki HTR (High
Temperature Recuperator) untuk melepaskan panas ke fluida keluaran LTR (Low Temperature
Recuperator). Setelah itu, campuran fluida yang telah melepas panas di HTR, memasuki
expansion valve dan bercampur dengan fluida keluaran turbin. Fluida yang telah bercampur
dimanfaatkan panasnya pada LTR untuk memanaskan fluida keluaran kondensor.
Secara umum, dengan penggunaan fluida kerja campuran ammonia dan air, siklus kalina
memiliki suhu evaporasi dan kondensasi yang tidak konstan. Hal ini menyebabkan effisiensi
karnot dari siklus kalina akan lebih baik dibanding siklus ORC. Dapat dilihat pada Gambar 2.4,
pada diagram T-s, siklus kalina akan memiliki suhu yang terus naik 6saat evaporasi dan terus
turun saat kondensasi.
Gambar 2.3 Skema siklus Kalina
(Sumber: Shokati, 2012)
Gambar 2.4 Diagram T-s Siklus Kalina
(Sumber: http://www.htrdltd.com, diakes
pada 15 November 2016)
2.3 Levelized Cost of Electricity (LCOE)
LCOE (levelized cost of electricity) adalah salah satu cara untuk mengukur harga listrik
yang diproduksi oleh generator. LCOE dihitung dengan memperhitungkan biaya sistem
keseluruhan termasuk konstruksi, financing, fuel, perawatan, pajak, asuransi dan insentif.
Variabel-variabel tersebut dibagi dengan ekspektasi daya (kWh) yang dihasilkan dari suatu
sistem. Sebagai alat pengukuran keuangan, LCOE sangat berguna untuk melihat pilihan
teknologi untuk memroduksi listrik. LCOE yang kecil menunjukkan bahwa listrik diproduksi
dengan biaya yang kecilBiasanya suatu sistem energi terbarukan memiliki biaya yang cukup
5
tinggi dalam pembuatannya, namun memiliki biaya perawatan yang murah dan tidak memiliki
biaya pembelian sumber energi selama periode 20-30 tahun waktu operasinya.
Berikut ini adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung LCOE
𝐿𝐶𝑂𝐸 =𝐶𝑖𝑛𝑣 × 𝐶𝑅𝐹+𝐶𝑂&𝑀,𝑦
𝐸𝑦 (2.1)
𝐶𝑅𝐹 =𝑖(1+𝑖)𝑛
(1+𝑖)𝑛−1 (2.2)
dengan CRF adalah Capital Recovery Factor, Cinv adalah biaya total investasi, CO&M,y adalah
biaya perawatan pembangkit per tahun, Ey adalah besar daya listrik diproduksi per tahun, i
adalah nilai suku bunga ber tahun dan n adalah lama waktu investasi.
III. Metode Penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan input data yang diperlukan untuk melakukan
simulasi dengan variasi decision variable yaitu jenis siklus, jenis fluida kerja dan kondisi
operasi tekanan masuk turbin. Dari simulasi didapatkan nilai effisiensi termodinamika siklus
secara keseluruhan dan NME. Nilai NME kemudian dengan persamaan investasi dan biaya
operasi digunakan untuk menghitung jumlah LCOE dari siklus. Setelah mendapatkan nilai
effisiensi dan keekonomian siklus, masing-masing data dilakukan regresi untuk mendapatkan
suatu persamaan empirik. Dari persamaan ini nantinya dilakukan optimisasi terhadap
bagaimana jenis siklus, fluida kerja dan kondisi operasi tekanan masuk turbin yang optimal.
Hasil optimisasi akan dibandingkan dan dilakukan pemilihan mana jenis siklus dan kondisi
operasi yang paling optimum. Berikut adalah diagram alir penelitian yang akan dilakukan.
Tabel 3.1 Asumsi dan constraint yang digunakan dalam penelitian
Basic ORC & Dual- Pressure ORC Kalina
Tcw 27 27
Pump Efficiency 80 80
Turbine Eficiency 85 85
Delta T Pinch Evaporator dan Condenser 5 10
Generator Efficiency 96 96
Working Fluid Propane, Propene, R1234yf, R407a Ammonia 85%
Tabel 3.2 Asumsi perhitungan biaya
Capital Investment
Turbine 6000 x Wtur0.7 (Shokati, dkk. 2012)
Pump 1120 x Wpu0.8 (Shokati, dkk. 2012)
Generator 10 x 106 (Wgen/160 x 103)0.7
(Shokati, dkk. 2012)
Heat Exchanger 588 x A0.8 (Shokati, dkk. 2012)
6
Instalation Cost 45% Total Equipment Cost
(Rodríguez, dkk. 2013)
Operation And Maintenance Cost
Operation & Maintenance 6% Total Investment
(Rodríguez, dkk. 2013)
Economic Lifetime & Interest Rate
Interest Rate 10%
Economic Lifetime 30 Years.
Simulasi Proses Siklus ORC dan Kalina
dengan fluida kerja tertentu
Menyusun array data pada masing-masing
siklus dengan tekanan masuk turbin tertentu
Array Data
Regresi untuk mendapatkan persamaan sebagai
fungsi dari tekanan masuk turbin
EffisiensiMenghitung Biaya Pokok
Produksi Listrik
Pemetaan potensi sumber mata air panas di
Indonesia
Persamaan LCOE dan
Effisiensi sebagai fungsi
decision variable
Peta potensi, daya
dan keekonomian
Analisis keekonomian untuk daerah rural
Data sudah
Mencukupi?
Tekanan inlet
turbin dengan
interval baru
Ya
Tidak
LCOE
Data Input Jenis Siklus,
Jenis Fluida Kerja dan
beserta Asumsi (tabel
3.1)
NME
Variasi Kondisi
Operasi (pers. 3.5)
Persamaan Biaya
Investasi dan
Operasional Beserta
Perawatan (tabel 3.2)
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
IV. Hasil Penelitian
4.1 Simulasi
4.1.1 Pengaruh Kondisi Operasi terhadap Effisiensi Termal
Simulasi dilakukan dengan base case yaitu suhu sumber panas 95°C dengan laju alir
50kg/s. Nilai minimum approach pada evaporator adalah sebesar 5°C, sehingga suhu masuk
turbin sebesar 90°C. Gambar 4.1 menunjukkan hasil simulasi dengan variasi tekanan masuk
7
turbin terhadap nilai effisiensi termal dari siklus. Secara umum, naiknya tekanan masuk turbin
akan mengakibatkan naiknya nilai effisiensi. Hal ini dikarenakan semakin besarnya perbedaan
nilai entalpi antara kondisi masuk turbin dan keluaran turbin. Kondisi ini menghasilkan nilai
Wnet yang lebih besar, sehingga nilai effisiensi termal akan naik. Namun, pada suatu titik, nilai
effisiensi akan mengalami penurunan ketika tekanan terus dinaikkan. Hal ini dikarenakan
pertambahan nilai perbedaan entalpi antara kondisi masuk dan keluar turbin sudah tidak
signifikan.
Untuk suatu kondisi sumber panas, akan didapatkan titik optimum kondisi operasi
berupa nilai tekanan masuk turbin dimana dihasilkan nilai effisiensi paling tinggi. Nilai tekanan
optimum ini tergantung dengan nilai tekanan jenuh masing-masing fluida kerja pada suhu
keluaran evaporator. Fluida kerja dengan tekanan jenuh rendah akan memiliki nilai tekanan
optimum pada tekanan yang rendah pula, dan begitu juga kebalikannya.
Pada base case nilai suhu sumber panas 95°C, nilai effisiensi paling tinggi didapat pada
jenis konfigurasi basic ORC diikuti oleh Kalina dan Dual-Pressure ORC. Untuk ORC, fluida
kerja dengan nilai effisiensi terbaik adalah R1234yf, diikuti oleh Propane dan Propene dan
terakhir R407a.
Untuk fluida kerja propane, propene dan R1234yf tidak tedapat penurunan nilai
effisiensi ketika tekanan masuk turbin terus dinaikkan. Melainkan, kenaikan akan terbatas oleh
fraksi uap yang dihasilkan fluida kerja setelah melewati evaporator. Pada tiga fluida kerja
tersebut, tekanan optimum dicapai saat nilai tekanan maksimum fraksi uap fluida kerja sama
dengan 1. Sedangkan untuk siklus Kalina dan fluida kerja R407a, terdapat tekanan optimum,
yaitu saat nilai effisiensi mencapai puncak.
Gambar 4.1 Pengaruh tekanan masuk turbin terhadap effisiensi termal
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Th
erm
al E
ffic
ien
cy (
%)
Turbine Inlet Pressure (kPa)
Basic ORC Propane Basic ORC PropeneBasic ORC R1234yf Basic ORC R407aDP ORC Propane DP ORC PropeneDP ORC R1234yf DP ORC R407aKalina
8
Siklus dengan konfigurasi basic ORC memiliki nilai effisiensi lebih besar dibanding
siklus kalina ataupun dual-pressure ORC. Hal ini dikarenakan pada siklus basic ORC, energi
berupa entalpi dari fluida kerja yang diekstrak dari turbin menjadi shaft work terjadi pada
tekanan tinggi. Ekspansi pada tekanan tinggi menyebabkan besarnya daya yang dapat
dikonversi dari fluida kerja. Tekanan tinggi, secara umum menghasilkan effisiensi maksimum
siklus yang lebih besar karena besarnya nilai delta entalpi antara kondisi masuk dan keluar
turbin.
Gambar 4.2 Variasi suhu sumber panas dan tekanan masuk turbin terhadap nilai effisiensi
(a) Propane Basic ORC (b) Propene Basic ORC (c) R1234yf Basic ORC (d) R407a Basic ORC (e) Propane Dual
Pressure ORC (f) Propene Dual Pressure ORC (g) R1234yf Dual Pressure (h) R407a Dual Pressure (i) Siklus
Kalina
(
a)
(
b)
(
c)
(
d)
(
e)
(
f)
9
Variasi suhu sumber panas hotspring terhadap effisiensi dilakukan terhadap setiap
fluida kerja, setiap konfigurasi dan setiap jenis siklus. Variabel bebas yang diubah adalah suhu
sumber panas dan tekanan masuk turbin. Sehingga, terbentuk suatu grafik tiga dimensi yang
menggambarkan pengaruh suhu sumber panas dan tekanan masuk turbin terhadap effisiensi
termal masing-masing fluida kerja dari masing-masing konfigurasi siklus. Variasi dilakukan
untuk menghasilkan effisiensi maksimum dari masing-masing siklus dan masing-masing fluida
kerja pada suatu level suhu. Gambar 4.2 menunjukkan grafik hasil simulasi tersebut.
Dari hasil simulasi, tiap level suhu sumber panas akan menghasilkan suatu effisiensi
maksimum pada tekanan tertentu. Tekanan ini, pada tiap konfigurasi, secara umum, akan
bernilai tekanan paling tinggi yang dapat dicapai pada suatu level suhu dengan nilai pinch
temperature di evaporator sebesar 5°C. Dengan set pinch temperature 5°C, suhu keluaran
evaporator akan kurang 5°C dari suhu sumber panas untuk tiap level suhu sumber panas.
Tekanan jenuh pada suhu keluar evaporator dari masing-masing fluida kerja akan
mempengaruhi tekanan maksimum yang dapat dicapai fluida kerja agar dapat berubah fasa
menjadi uap. Nilai tekanan maksimum ini akan memengaruhi effisiensi, semakin rendah
tekanan jenuh, akan semakin tinggi effisiensi yang bisa dicapai dari fluida kerja tersebut.
Di kondisi operasi tekanan yang sama, nilai effisiensi siklus akan naik seiring naiknya
suhu sumber panas. Namun, kenaikan effisiensi yang dipengaruhi naiknya suhu sumber panas
tidak signifikan dibanding naiknya effisiensi karena naiknya tekanan. Hal ini dikarenakan,
naiknya suhu sumber panas yang berarti naiknya suhu fluida kerja, hanya akan berakibat pada
mengecilnya jarak antara titik cair jenuh dan uap jenuh pada diagram T-s, sehingga energi yang
dibutuhkan untuk menguapkan fluida akan semakin kecil. Namun, hal ini juga diikuti oleh lebih
banyaknya kalor yang masuk ke dalam sistem, sehingga membuat effisiensi siklus tidak naik
dengan signifikan.
Secara umum, urutan nilai effisiensi tertinggi yang dapat dicapai suatu fluida kerja sama
dengan simulasi variasi kondisi operasi terhadap effisiensi siklus seperti pada Gambar 4.1.
Namun, terjadi beberapa perbedaan untuk level suhu sumber panas tertentu.
Suhu suatu manifestasi panas bumi berupa hotspring dapat memiliki suhu yang berbeda.
Suhu ini berkisar dari 60°C sampai dengan 99°C. Perbedaan suhu sumber panas ini, dengan
nilai pinch temperature 5°C menyebabkan perbedaan suhu masuk turbin. Secara umum, suhu
masuk turbin akan 5°C lebih rendah dari suhu sumber panas karena batasan nilai pinch
temperature. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.3, berbedanya suhu masuk turbin akan
effisiensi maksimum yang dapat dicapai suatu fluida kerja dengan konfigurasi tertentu. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan pada nilai tekanan jenuh suatu fluida kerja pada suhu masuk
10
turbin tertentu. Nilai effisiensi maksimal yang dapat dicapai oleh suatu siklus, dengan
konfigurasi dan fluida kerja tertentu, pada rentang suhu sumber panas tertentu dapat dilihat pada
Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Nilai effisiensi maksimum masing-masing siklus dan konfigurasi untuk rentang suhu sumber panas
Siklus basic ORC memiliki nilai effisiensi paling baik pada tiap rentang suhu. Siklus kalina
memiliki effisiensi termal di bawah basic ORC, kemudian diikuti oleh konfigurasi dual-
pressure ORC. Fluida kerja dengan effisiensi paling besar untuk tiap rentang suhu tidak tetap.
Namun, secara umum, R1234yf memiliki effisiensi lebih besar dibanding fluida kerja lain.
Propene menghasilkan effisiensi paling besar urutan kedua, Propane urutan ketiga, dan R407a
di urutan keempat. Namun, pada level suhu 91°C-99°C. nilai effisiensi propane lebih baik
dibanding propene.
Fluida kerja R1234yf dengan konfigurasi Basic ORC dapat menghasilkan effisiensi
lebih baik dibanding konfigurasi dan fluida kerja lain, khususnya pada rentang suhu 83°C
sampai 99°C. Hal ini dikarenakan fluida kerja R1234yf memiliki tekanan jenuh yang rendah
dibanding fluida kerja lain pada rentang suhu tersebut. Untuk level suhu 60°C, 63°C, 65°C,
66°C, 68°C, 70°C, 71°C, 75°C, 77°C, 78°C, 80°C, 82°C, fluida kerja terbaik adalah Propene
dengan konfigurasi basic ORC. Untuk rentang suhu lain, nilai effisiensi paling tinggi didapat
dari fluida kerja jenis R1234yf pada konfigurasi Basic ORC. Data rentang suhu hotspring
dengan fluida kerja, konfigurasi dan effisiensi terbaik dapat dilihat di lampiran
4.1.2 Pengaruh Kondisi Operasi terhadap LCOE
Nilai LCOE pada masing-masing siklus dengan konfigurasi tertentu berbanding
terbalik dengan tekanan masuk turbin. Semakin besar nilai tekanan masuk turbin, nilai LCOE
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
60.00 70.00 80.00 90.00 100.00
Th
erm
al E
ffic
ien
cy (
%)
Heat Source Temperature (°C)
Basic ORC Propane Basic ORC Propene
Basic ORC R1234yf Basic ORC R407a
DP ORC Propane DP ORC Propene
DP ORC R1234yf DP ORC R407a
Kalina
11
semakin kecil. Dapat dikatakan juga, nilai LCOE berbanding terbalik dengan nilai effisiensi
siklus. Semakin tinggi nilai effisiensi, semakin rendah LCOE. Nilai LCOE akan mencapai titik
terendah pada suatu nilai tekanan masuk turbin. Dapat dikatakan, nilai LCOE akan mencapai
titik optimum, LCOE dengan nilai terendah, pada nilai tekanan masuk turbin tertentu.
Gambar 4.4 Variasi tekanan masuk turbin terhadap LCOE\
Nilai LCOE turun seiring dengan naiknya effisiensi dikarenakan siklus dapat
mengonversi energi termal menjadi energi listrik lebih banyak. Namun, naiknya nilai daya
bersih dari siklus juga akan menaikkan biaya investasi. Kenaikan biaya investasi lebih kecil
yang terjadi lebih kecil dibanding kenaikan daya bersih siklus. Kenaikan nilai pembagi LCOE,
yaitu daya yang dihasilkan selama satu tahun, akan lebih besar dibanding nilai investasi dan
biaya operasional pemeliharaan dari suatu pembangkit. Hal ini mengakibatkan kenaikan
effisiensi siklus berakibat pada turunnya nilai LCOE. Tetapi, semakin tinggi nilai tekanan
masuk turbin yang berarti semakin tinggi effisiensi, menghasilkan pertambahan yang tidak
signifikan dibanding naiknya biaya investasi. Sehingga, gradien tren penurunan nilai LCOE
akan semakin mengecil. Terdapat titik optimum untuk suatu nilai LCOE. Titik tersebut dimana
nilai LCOE menghasilkan nilai terendah. Secara umum, dapat dikatakan, nilai LCOE terendah
ada pada nilai Effisiensi tertinggi karena nilai LCOE dan effisiensi yang berbanding terbalik
proporsional.
Pada base case simulasi yang dilakukan, nilai LCOE terendah yang dapat dicapai adalah
5.45 ¢/kWh. Nilai ini dicapai oleh R1234yf dengan konfigurasi basic ORC. Nilai LCOE
tertinggi yang didapat pada kondisi optimum masing-masing fluida kerja dan masing-masing
konfigurasi, adalah R407a Dual-Pressure ORC dengan nilai LCOE sebesar 7.7 ¢/kWh.
0
2
4
6
8
10
12
14
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
LC
OE
(cen
t/kW
h)
Turbine Inlet Pressure (kPa)
Basic ORC Propane Basic ORC Propene
Basic ORC R1234yf Basic ORC R407a
DP ORC Propane DP ORC Propene
DP ORC R1234yf DP ORC R407a
12
Performa fluida kerja terbaik pada variasi kondisi operasi terhadap nilai LCOE sama
dengan pada Gambar 4.1. Seperti yang disebutkan sebelumnya, nilai effisiensi akan berbanding
terbalik dengan nilai LCOE. Sehingga fluida kerja dan konfigurasi dengan effisiensi paling
tinggi, R1234yf dan Propene dengan konfigurasi Basic ORC, menghasilkan LCOE paling
rendah. Namun, Terjadi hal yang berbeda untuk siklus Kalina. Pada nilai effisiensi, siklus
Kalina berada di urutan keempat untuk siklus dengan effisiensi paling tinggi. Namun, untuk
nilai LCOE, siklus Kalina berada di urutan ketiga, menjadi lebih baik dari R407a Basic ORC.
Secara umum, nilai LCOE pada Basic ORC lebih baik dibanding Dual Pressure ORC
dan Kalina. Hal ini dikarenakan pada siklus Kalina dan Dual Pressure ORC, terjadi penambahan
alat penukar kalor yang mengakibatnya naiknya biaya investasi. Kenaikan biaya investasi yang
signifikan, terjadi pada konfigurasi Dual Pressure ORC karena terdapatnya dua level tekanan
dan dua level turbin, sehingga membutuhkan investasi tambahan pada alat turbin dan pompa.
Kenaikan biaya investasi dari konfigurasi siklus Kalina dan Dual Pressure ORC ini
mengakibatkan nilai LCOE yang lebih tinggi dibanding konfigurasi Basic ORC.
Dilakukan simulasi untuk pengaruh suhu sumber panas dan kondisi operasi tekanan
masuk turbin terhadap nilai LCOE. Grafik yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Seperti pada simulasi pengaruh suhu sumber panas dan tekanan masuk turbin terhadap
effisiensi siklus, pada suatu level suhu sumber panas, nilai LCOE akan mempunyai titik dengan
nilai LCOE terendah. Titik ini adalah titik optimum dari suatu konfigruasi siklus dan fluida
kerja. Pada setiap level suhu sumber panas, terdapat satu titik optimum dari masing-masing
tekonologi yang digunakan. Nilai optimum ini, pada umumnya, dicapai pada tekanan tertinggi
agar fluida kerja masuk turbin memiliki fasa saturated vapor atau superheated. Nilai LCOE
yang dihasilkan, dipengaruhi oleh effisiensi siklus. Semakin tinggi effisiensi siklus, maka nilai
LCOE akan semakin rendah. Kenaikan daya bersih yang lebih signifikan dibanding naiknya
nilai investasi menyebabkan turunnya nilai LCOE pada tiap adanya kenaikan nilai effisiensi.
Sehingga, nilai LCOE terendah akan dicapai pada suatu kondisi operasi dengan nilai effisiensi
tertinggi.
13
Gambar 4.5 Variasi suhu sumber panas dan tekanan masuk turbin terhadap nilai LCOE
(a) Propane Basic ORC (b) Propene Basic ORC (c) R1234yf Basic ORC (d) R407a Basic ORC (e) Propane Dual
Pressure ORC (f) Propene Dual Pressure ORC (g) R1234yf Dual Pressure (h) R407a Dual Pressure (i) Siklus
Kalina
4.2 Regresi Hasil Simulasi
Regresi dilakukan untuk mendapatkan persamaan empiris untuk pengaruh suhu sumber
panas dan laju alir massa terhadap nilai daya bersih yang dapat dihasilkan siklus. Persamaan
4.1 adalah persamaan yang merepresentasikan hasil regresi. Konsiderasi siklus yang digunakan
tergambar pada Gambar 4.4.
Tabel 4.1 Hasil regresi Wnet
Wnet(x,y) = p00 + p10*x + p01*y + p11*x*y + p02*y^2 + p12*x*y^2 + p03*y^3 (4.1)
(
a)
(
b)
(
c)
(
d)
(
e)
(
f)
(
g)
(
h)
(
i)
14
Coefficients (with 95% confidence bounds):
p00 = 591,5 (545.2, 637.8)
p10 = -10,28 (-10.5, -10.05)
p01 = -22,91 (-24.69, -21.13)
p11 = 0,05612 (0.05041, 0.06183)
p02 = 0,2918 (0.2692, 0.3144)
p12 = 0,002714 (0.002679, 0.00275)
p03 = -0,001224 (-0.001318, -0.001129)
Goodness of fit:
SSE: 2,956e+04
R-square: 0,9999 Adjusted R-square: 0,9999
RMSE: 3,16
Dengan nilai variabel x adalah laju alir massa dalam satuan kg/s, nilai variabel y adalah
suhu dalam °C dan nilai fungsi Wnet (x,y) adalah net power (daya bersih) dari siklus dalam
satuan kW. Persamaan regresi digunakan untuk menghitung potensi manifestasi panas bumi
berupa hotspring yang dapat dikonversi menjadi energi listrik. Persamaan hasil regresi di atas
berlaku pada rentang nilai laju alir massa dan suhu hotspring 60 °C < x < 99 °C dan 0 kg/s < x
< 100 kg/s.
Kriteria konsiderasi yang digunakan dalam memilih manifestasi panas bumi berupa
hotspring untuk dikonversi menjadi listrik yaitu suhu sumber panas yang harus lebih dari 60°C.
Hal ini dikarenakan akan besarnya nilai LCOE pada suhu di bawah 60°C. Proyek dianggap
tidak memungkinkan ketika nilai LCOE di atas 100 ¢/kWh.
Tabel 4.2 Hasil regresi LCOE
LCOE (x,y) = p00 + p10*x + p01*y + p20*x^2 + p11*x*y + p02*y^2 + p30*x^3 + p21*x^2*y + p12*x*y^2 +
p03*y^3 + p40*x^4 + p31*x^3*y + p22*x^2*y^2 + p13*x*y^3 (4.4) Coefficients (with 95% confidence bounds):
p00 = 2940 (2877, 3003)
p10 = -913,2 (-937.7, -888.6)
p01 = -88,23 (-90.59, -85.86)
p20 = 127 (123, 131.1)
p11 = 21,83 (21.02, 22.64)
p02 = 0,925 (0.8953, 0.9546)
p30 = -11,24 (-11.81, -10.67)
p21 = -1,617 (-1.684, -1.55)
p12 = -0,1908 (-0.2002, -0.1814)
p03 = -0,003299 (-0.003423, -0.003176) p40 = 0,463 (0.4221, 0.504)
p31 = 0,05611 (0.05246, 0.05976)
p22 = 0,006071 (0.005704, 0.006438)
p13 = 0,0005806 (0.0005423, 0.000619)
Goodness of fit:
SSE: 2069
R-square: 0,9967
Adjusted R-square: 0,9966
RMSE: 1,128
Persamaan di atas merupakan hasil regresi dari array data untuk pengaruh suhu sumber
panas (x) dalam °C dan laju alir massa (y) dalam kg/s terhadap nilai LCOE (Levelized Cost of
Electricity) LCOE(x,y) dalam ¢/kWh. Hasil Regresi di atas berlaku pada rentang nilai laju alir
massa dan suhu sumber panas 60 °C < x < 99 °C dan 0,5 kg/s < x < 5 kg/s .
15
4.3 Pemetaan Potensi Hotspring di Indoensia
Pemetaan manifestasi sumber mata air panas dapat dilihat pada Gambar 4.6. Dari hasil
pemetaan, dapat dilihat bahwa sumber mata air panas (hotspring) yang dapat dimanfaatkan
menjadi listrik banyak terletak di Sulawesi dan Maluku. Hal ini dikarenakan wilayah Sulawesi
dan Maluku terletak pada ring of fire yang berarti terdapat banyak lempeng tektonik dan gunung
berapi. Adanya gunung berapi mengindikasikan adanya sumber panas di bawah perut bumi.
Sumber panas di bawah permukaan bumi mengindikasikan adanya reservoir panas bumi, yang
berakibat banyaknya manifestasi panas bumi yang muncul di permukaan. Heat duty dari
hotspring berkisar dari 69 kWt sampai dengan 1.030 kWt. Heat duty dari tiap lokasi hotspring
dipengaruhi level suhu dan laju alirnya.
Untuk pemetaan nilai power generated dan LCOE pada masing-masing lokasi,
digunakan jenis siklus dengan nilai effisiensi paling tinggi pada suatu level suhu sumber panas
seperti pada Gambar 4.7. Dengan begitu, effisiensi yang dihasilkan akan berbeda, bergantung
suhu lokasi hotspring, dan akan semakin besar seiring dengan naiknya level suhu. Nilai
effisiensi siklus pada masing masing lokasi dapat dilihat pada lampiran. Besarnya LCOE
bergantung pada kapasitas daya yang dihasilkan dan nilai effisiensi siklus pada suatu lokasi
sumber panas. Semakin besar nilai kapasitas pembangkit, nilai LCOE akan semakin rendah.
Semakin besar nilai effisiensi, nilai LCOE akan semakin rendah.
Daya yang dihasilkan pada hotspring berkisar dari 2 kWe sampai dengan 61,3 kWe.
Daya yang dihasilkan bergantung level suhu dan heat duty dari lokasi hotspring. Nilai daya
paling besar dihasilkan di Kawah Sirung, Nusa Tenggara Timur. Pada lokasi Kawah Sirung,
dihasilkan daya sebesar 61,3 kWe dengan LCOE 15,9 US¢/kWh. Sedangkan untuk daya
terendah dihasilkan di Kaendi, Sulawesi Tengah, dengan daya dihasilkan 2,1 kWe dengan
LCOE sebesar 99,4 US¢/kWh.
Gambar 4.6 Pemetaan potensi hotspring di Indonesia
16
Gambar 4.7 Pemetaan daya dan keekonomian pembangkit hotspring di Indonesia
4.4 Analisis Biaya Pokok Produksi dan Tarif
Dari nilai LCOE yang dihasilkan pada masing-masing lokasi, dilakukan analisis apakah
dengan nilai LCOE tersebut, proyek pemanfaatan hotspring menjadi sumber listrik dapat
direalisasikan. Nilai LCOE pada masing-masing lokasi hotspring dibandingkan dengan nilai
LCOE pada proyek di area rural dimana pada daerah tersebut belum teraliri jaringan listrik dari
PLN (isolated grid/off grid). Gambar 4.8 adalah data pembangkitan listrik untuk daerah isolated
grid di Indonesia dengan skema full day electricity generation dengan berbagai sumber energi.
Gambar 4.8 Nilai LCOE untuk daerah rural isolated grid dari berbagai sumber energi dan lokasi hotspring
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Roburan Dolok
Cubadak 1
Cubadak 3
Cimanggu
Sajau 1
Sajau 2
Sajau 3
Pulu 1
Lompio 6
Kaendi
Nokilaki
Kadidia
Kaleosan
Pamandian
Kanan Kumbi
Kawah Sirung
Beang
Losseng 2
APSGA 1
APSGA 2
APPD
Micro Hydro
PV + Battery 100%
PV + Battery 90%
PV + Battery 80%
Diesel
LCOE (cent/kWh)
LCOE (cent/kWh)
LCOE tanpa Carbon Incentive(cent/kWh)
Faktor Jarak
BPP PLN
TDL PLN
TDL Non-Subsidi
17
Daerah isolated grid adalah daerah yang tidak dialiri jaringan listrik oleh PLN, sehingga
nilai LCOE cenderung lebih mahal dibanding daerah on grid (daerah dialiri jaringan listrik
PLN). Untuk pembangkit tenaga diesel, nilai LCOE bergantung pada jarak lokasi pembangkit
dengan pusat distribusi bahan bakar diesel. Garis berwarna abu-abu pada pembangkit diesel
adalah garis yang merepresentasikan range LCOE pada titik terdekat dari pusat distribusi
(bagian paling kiri dari garis abu-abu) dan pada titik terjauh dari pusat distribusi (bagian paling
kanan dari garis abu-abu). Garis hijau vertikal adalah Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik
nasional rata-rata yaitu sebesar 9,75 US¢/kWh atau sebesar Rp.1.300/kWh (Statistik PLN
2015). Sedangkan, garis merah vertikal adalah Tarif Dasar Listrik (TDL) yang rata-rata yaitu
sebesar 7.76 US¢/kWh atau sebesar Rp. 1.035/kWh (Statistik PLN 2015).
Nilai LCOE pembangkit listrik tenaga sumber mata air panas (Hotspring) berkisar 15,9
US¢/kWh sampai 99,4 US¢/kWh. Pembangkit listrik diesel memiliki LCOE berkisar antara
34,6 US¢/kWh untuk daerah berjarak dekat dengan pusat distribusi bahan bakar diesel, 50,5
US¢/kWh untuk kategori daerah berjarak sedang dan 62,1 US¢/kWh untuk kategori daerah
berjarak jauh. Pembangkit Micro Hydro memiliki LCOE sebesar 15,7 US¢/kWh. Pembangkit
PV dengan baterai memiliki nilai LCOE bergantung dengan kapasitas pemenuhan yang
diberikan. Kapasitas pemenuhan 100% menghasilkan LCOE sebesar 59,5 US¢/kWh, 90%
menghasilkan 44,9 US¢/kWh dan 80% menghasilkan 43,8 US¢/kWh. Data pembangkit listrik
diesel, micro hydro, dan PV didapat dari penelitian yang dilakukan Blum dkk. tahun 2013. Pada
nilai LCOE untuk pembangkit diesel, digunakan faktor pengali untuk biaya bahan bakar 1 untuk
daerah berjarak dekat, 2 untuk daerah berjarak sedang dan 2,73 untuk daerah berjarak jauh dari
pusat distribusi (Blum dkk., 2013)
Pembangkit listrik hotspring di beberapa lokasi masih kompetitif dibanding harga
pembangkit tenaga lain, terutama untuk jenis pembangkit yang menggunakan bahan bakar
diesel. Hotspring tidak membutuhkan biaya distribusi bahan bakar, sehingga, untuk daerah
yang bersifat rural, akan memotong biaya distribusi yang cukup tinggi untuk bahan bakar diesel.
Nilai LCOE pembangkit jenis Micro Hidro paling murah di antara jenis pembangkit lain karena
besarnya effisiensi dan teknologi yang lebih sederhana dibanding pembangkit jenis lain. Nilai
LCOE lokasi APSGA 2, Losseng 2, Beang, Kawah Sirung, Pamandian, Kadidia, Pulu 1, Sajau
3, Sajau 2 dan Roburan Dolok lebih rendah dari nilai LCOE diesel dengan kategori jarak pusat
distribusi dekat 34,6 US¢/kWh. Sehingga, pada lokasi tersebut dapat digunakan pembangkit
hotspring sebagai subtitusi untuk pembangkit diesel. Sementara untuk kategori daerah berjarak
terjauh memiliki nilai LCOE 62,1 US¢/kWh dan lokasi hotspring yang kompetitif adalah
18
APSGA 2, Losseng 2, Beang, Kawah Sirung, Pamandian, Kadidia, Pulu 1, Sajau 3, Sajau 2 dan
Roburan Dolok, APPD, APSGA 1, Kanan Kumbi, Lompio 6 dan Cimanggu.
Pembangkit listrik tenaga hotspring, khususnya untuk lokasi dengan nilai LCOE <0,20
US¢/kWh (Kawah Sirung dan Losseng 2) sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut
karena nilai LCOE yang tidak jauh berbeda dengan nilai LCOE Micro Hydro yang berkisar
0,15 US¢/kWh. Hal ini dengan pertimbangan lokasi hotspring yang biasanya terdapat di
pegununagan ataupun perbukitan sehingga jarang memiliki sumber micro hydro.
Kapasitas penyediaan PV sebesar 90% kebutuhan adalah kapasitas yang paling effisien
untuk penyediaan listrik karena besarnya pengurungan nilai LCOE dibanding kapasitas
penyediaan PV 100%. Untuk lokasi hotspring dengan nilai LCOE<45 US¢/kWh menjadi
kompetitif dibanding pembangkit solar PV, terutama dengan kelebihan pembangkit hotspring
dibanding PV yang bisa menyediakan 100% kebutuhan listrik. Lokasi seperti Roburan Dolok,
Cubadak 1, Sajau 1, Sajau 2, Sajau 3, Pulu 1, Kadidia, Pamandian, Kanan Kumbi, Kawah
Sirung, Beang, Losseng 2 dan APSGA 2 menjadi potensial untuk dimanfaatkan ketika di daerah
tersebut tidak terdapat sumber Micro Hydro dan berjarak kategori sedang dari pusat distribusi
bahan bakar diesel.
Selain masalah ekonomi, pembangkit hotspring memiliki keunggulan di sisi emisi.
Pembangkit hotspring menghasilkan emisi karbon yang lebih sedikit. Berkurangnya emisi ini
membuat pembangkit hotspring lebih ramah lingkungan dibanding pembangkit diesel.
Pengurangan jumlah karbon dari pembangkit diesel ke pembangkit hotspring cukup signifikan
yaitu 0,6 kgCO2/kWh. Data ini diambil dari penelitian yang dilakukan Schütz dkk., 2013 yaitu
dengan besar emisi pembangkit geotermal biner sebesar 0,045 kgCO2/kWh dan dari penelitian
yang dilakukan Blum dkk., 2013 dengan besar emisi pembangkit diesel sebesar kgCO2/kWh.
Adapun untuk besar emisi pembangkit PV sebesar 0,14 kgCO2/kWh dan micro hydro 0,006
kgCO2/kWh (ESMAP, 2007).
V. Kesimpulan
5.1 Kesimpulan
Dari simulasi dan hasil perhitungan yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan berupa:
Kenaikan tekanan masuk turbin akan mengakibatkan naiknya nilai effisiensi dan
turunnya nilai LCOE siklus sampai titik optimum di saat nilai effisiensi maksimum
dan LCOE minimum.
Kenaikan suhu sumber panas mengakibatkan naiknya nilai effisiensi dan penurunan
nilai LCOE.
19
Kenaikan effisiensi karena kenaikan tekanan masuk turbin lebih signifikan dibanding
kenaikan suhu sumber panas.
Untuk level suhu 60°C, 63°C, 65°C, 66°C, 68°C, 70°C, 71°C, 75°C, 77°C, 78°C,
80°C, 82°C, fluida kerja terbaik adalah Propene dengan konfigurasi basic ORC.
Untuk level suhu 61°C, 62°C, 64°C, 67°C, 69°C, 72°C, 73°C, 74°C, 76°C 79°C,
81°C, 83°C-99°C, fluida kerja terbaik adalah R1234yf dengan konfigurasi basic ORC.
Daya yang dihasilkan dari lokasi pembangkit sumber mata air panas (hotspring)
berkisar dari 2,1 kWe sampai dengan 61,3 kWe.
Nilai keekonomian dari lokasi pembangkit sumber mata air panas (hotspring) berkisar
dari 99,4¢/kWh sampai dengan 15.9¢/kWh.
Sumber mata air panas di lokasi APSGA 2, Losseng 2, Beang, Kawah Sirung,
Pamandian, Kadidia, Pulu 1, Sajau 3 dan Sajau 2 berpotensi untuk dikembangkan
lebih lanjut karena memiliki nilai LCOE lebih rendah dari pembangkit diesel dengan
lokasi pusat distribusi dekat.
5.2 Saran
Metode pengambilan keputusan untuk jenis siklus-fluida kerja dan kondisi operasi
dalam regresi nilai daya bersih fungsi suhu sumber panas dan laju alir massa masih
menggunakan metode analitik, sebaiknya, pengambilan keputusan dilakukan dengan
metode numerik agar hasil lebih akurat.
Fluida kerja R1234yf dan R407a merupakan fluida kerja yang tergolong baru,
sehingga data sifat termodinamikanya belum lengkap. Terdapat kemungkinan
kesalahan sifat termodinamika yang dihitung oleh perangkat lunak UNISIM.
VI. Daftar Referensi
Abadi, G.B., Kim, K.C., Investigation of organic Rankine cycles with zeotropic mixtures as a working fluid: Advantages and issues. Renewable and Sustainable Energy Reviews 73 (2017) 1000–1013
Bahrami, M., Hamidi, A.A., Porkhial, S. Investigation of the effect of organic working fluids on thermodynamic
performance of combined cycle Stirling-ORC. International Journal of Energy and Environmental
Engineering, January 2013
Blum, N. U., Wakeling, R. S., & Schmidt, T. S. (2013). Rural electrification through village grids—Assessing the
cost competitiveness of isolated renewable energy technologies in Indonesia. Renewable and
Sustainable Energy Reviews, 22, 482-496.
DiPippo, Ronald. “Geothermal Power Plants: Principles, Applications, Case Studies and Environmental Impact”
Elsevier: 2012
DiPippo, Ronald. Second Law assessment of binary plants generating power from low-temperature geothermal
fluids. Geothermics 33, 2004: 565–586 Fallah, M., Mahmoudi, S.M.S., Yari, M., Ghiasi, R.A. Advanced exergy analysis of the Kalina cycle applied for
low temperature enhanced geothermal system. Energy Conversion and Management 108, 2016: 190–
201
Hettiarachchia, H.D.M., Golubovica, M., Woreka, W.M., Ikegamib, Y., Optimum design criteria for an Organic
Rankine cycle using low-temperature geothermal heat sources. Energy 32, 2007:1698–1706
20
Heat Transfer Research & Development, Ltd. Waste or Unused Energy Recovery for Power Generation.
HTRDLTD: 2014
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Indonesia Energy Outlook 2014. ESDM: 2015
Liu, Pei. Modelling and Optimization of Polygeneration Energy Systems. Imperial College London Department of
Chemical Engineering and Chemical Technology: 2009
Modi, A., Kærn, M.R., Andreasen, J.G., Haglind, F. Thermoeconomic optimization of a Kalina cycle for a central
receiver concentrating solar power plant. Energy Conversion and Management 115 (2016) 276–287
Nazari, N., Heidarnejad, P., Porkhial, S. Multi-objective optimization of a combined steam-organic Rankine cycle
based on exergy and exergo-economic analysis for waste heat recovery application. Energy Conversion
and Management 127, 2016: 366–379
Nuñez, Oscar F. Cideos. Power Production Using Low-Temperature Heat Sources In El Salvador. Geothermal Training Programme, Iceland: 2012
Pikra, G., Rohmaha, N., Pramanaa, R.I., Purwanto, A.J. The electricity power potency estimation from hot spring
in Indonesia with temperature 70-80°C using organic Rankine cycle. Energy Pr°Cedia 68, 2015: 12 –
21
Pusat Sumber Daya Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Kolokium 2015.
ESDM: 2016
Pusat Sumber Daya Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Kolokium 2014.
ESDM: 2015
Pusat Sumber Daya Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Kolokium 2013.
ESDM: 2014
Quoilin, S., Van Den Broek, Ma., Declaye, S., Dewallef, P., Lemort, V., Techno-economic survey of Organic Rankine Cycle (ORC) systems. Renewable and Sustainable Energy Reviews 22 (2013) 168–186
Rodríguez, C.E.C., Palacio, J.C.E, Venturini, O.J., Lora, E.E.S., Cobas, V.M., dos Santos, D.M., Dotto, F.R.L.,
Gialluca, V. Exergetic and economic comparison of ORC and Kalina cycle for low temperature
enhanced geothermal system in Brazil. Applied Thermal Engineering 52, 2013: 109-119
Saptadji, Nenny. Sekilas tentang panas bumi. Modul Perkuliahan Panas Bumi, ITB: 2013
Sadeghi, M., Nemati, A., Alireza ghavimi, Yari M. Thermodynamic analysis and multi-objective optimization of
various ORC (organic Rankine cycle) configurations using zeotropic mixtures. Energy 109, (2016)
791-802
Shengjun, Z., Huaixin, W., Tao, G. Performance comparison and parametric optimization of subcritical Organic
Rankine Cycle (ORC) and transcritical power cycle system for low-temperature geothermal power
generation. Applied Energy 88, 2011: 2740–2754.
Shokati, N., Ranjbar, F., Yari, M. Exergoeconomic analysis and optimization of basic, dual-pressure and dual-fluid ORCs and Kalina geothermal power plants: A comparative study. Renewable Energy 83, 2015:
527-542
Victor, R.A., Kim, J., Smith, Robin. Composition optimisation of working fluids for Organic Rankine Cycles and
Kalina cycles. Energy 55 (2013) 114-126
Walraven, D., Laenen, B., D’haeseleer, W. Comparison of thermodynamic cycles for power production from low-
temperature geothermal heat sources. Energy Conversion and Management 66, 2013: 220–233
Wang, Y.Z., Zhao, J., Wang Y., An, Q.S. Multi-objective optimization and grey relational analysis on
configurations of organic Rankine cycle. Applied Thermal Engineering, 2016
Wu, C., Wang, S., Jiang, X., Li, J. Thermodynamic analysis and performance optimization of transcritical power
cycles using CO2-based binary zeotropic mixtures as working fluids for geothermal power plants.
Applied Thermal Engineering 115 (2017) 292–304 Yari, M., Mehr, A.S., Zare, V., Mahmoudi, S.M.S., Rosen, M.A. Exergoeconomic comparison of TLC (trilateral
Rankine cycle), ORC (organic Rankine cycle) and Kalina cycle using a low grade heat source. Energy
83, 2015: 712-722
Zhang, F., Jiang, P. Thermodynamic analysis of a binary power cycle for different EGS geofluid temperatures.
Applied Thermal Engineering 48, 2012: 476-485
Zare, V. A comparative exergoeconomic analysis of different ORC configurations for binary geothermal power
plants. Energy Conversion and Management 105, 2015: 127–138