Post on 15-Oct-2021
transcript
62
PERJUANGAN RAKYAT MUSI RAWAS PADA MASA REVOLUSI FISIK
(1947 -1949)
Syafruddin Yusufa, Adhitya Rol Asmib, Muhammad Reza Pahlevic
syafruddin_y@yahoo.com, adhityarolasmi@unsri.ac.id, mrpahlevi@fkip.unsri.ac.id aUniversitas Sriwijaya, Indonesia. bUniversitas Sriwijaya, Indonesia. cUniversitas Sriwijaya, Indonesia.
ABSTRACT
This study examines an event of the struggle of the people of Musi Rawas during the
Physical Revolution (1947-1949). This study aims to analyze the state of Musi
Rawas during the physical revolution (1947-1949), and describe the struggle of the
people and the traditional elite of Musi Rawas in guerrilla warfare. The method used
in the study is a historical method with heuristic research steps, criticism,
interpretation, and historiography. Since the beginning of the proclamation of
Indonesian independence, the people of Musi Rawas have played an active role in
the struggle for independence. The struggle in the form of resistance against the
Netherlands is a continuation of the struggle that has been carried out before.
During the war of independence the Dutch did not succeed in controlling the entire
Musi Rawas area, due to various kinds of resistance carried out by all groups of the
people of Musi Rawas, making it difficult for the Dutch troops to seize the Musi
Rawas.
KEYWORDS Struggle, Musi Rawas, Physical Revolution
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji mengenai peristiwa perjuangan rakyat Musi Rawas pada
masa Revolusi Fisik (1947-1949). Penelitian ini bertujuan menganalisis keadaan
Musi Rawas pada masa revolusi fisik (1947-1949), dan mendeskripsikan
perjuangan rakyat dan elit tradisional Musi Rawas dalam perang gerilya. Metode
yang digunakan dalam penelitian adalah metode historis dengan langkah penelitian
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sejak awal peristiwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia, rakyat Musi Rawas telah berperan aktif dalam melakukan
perjuangan membela kemerdekaan. Perjuangan tersebut berupa perlawanan
menghadapi Belanda yang merupakan kelanjutan dari perjuangan yang telah
dilakukan masa sebelumnya. Selama masa perang kemerdekaan itu Belanda tidak
berhasil menguasai secara keseluruhan wilayah Musi Rawas, dikarenakan berbagai
macam perlawanan yang dilakukan oleh seluruh golongan dari rakyat Musi Rawas
sehingga membuat pasukan Belanda mengalami kesulitan dalam upaya merebut
Musi Rawas.
KATA KUNCI
Perjuangan, Musi Rawas, Revolusi Fisik
Permalink/DOI
10.17977/um020v14i22020p62
Copyright © 2020, Sejarah dan Budaya. All right reserved Print ISSN: 1979-9993 Online ISSN: 2503-1147
ARTICLE INFO
Received: 9th July 2020
Revised: 9th December 2020
Accepted: 9th December 2020
Published: 31th December 2020
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
63
PENDAHULUAN Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang diproklamirkan di Jakarta pada tanggal 17
Agustus 1945, merupakan puncak perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dalam
mendapatkan kemerdekaan. Di Palembang, berita proklmasi itu sudah diterima oleh
sebagian masyarakat Palembang pada 18 Agustus 1945 yang masih bersifat rahasia. Berita
proklamasi secara resmi diterima di Palembang setelah kedatangan tiga orang anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) wakil dari Sumatra yaitu, Mr. Teuku Moh.
Hasan, Mr. A. Abbas dan Dr. Moh. Amir pada 24 Agustus 1945. Para anggota PPKI ini
kemudian mengadakan pertemuan di rumah A.K. Gani dengan tokoh-tokoh perjuangan dan
masyarakat Palembang, seperti dr. A.K. Gani, drg. M. Isa, Nungtjik A.R., Ir. Ibrahim Zahir, dan
lain-lain. Dalam pertemuan itu dijelaskan bahwa Indonesia sudah merdeka dan Proklamasi
kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan Jepang. Selain itu dijelaskan pula
tentang telah ditetapkannya UUD, terbentuknya Komite Nasional Indonesia, susunan
pemerintahan, dan usaha cara pengambilalihan pemerintahan dari Jepang (Kempen RI,
1954, dan (SUBKOSS, 2003)).
Berita Proklamasi diterima oleh daerah di luar Palembang dalam waktu yang
berbeda. Didaerah OKI (Ogan Komering Ilir) pada 20 Agustus 1945, OKU (Ogan Komering
Ulu) 3 September 1945, Musi Banyuasin 24 Agustus 1945, dan Musirawas 20 Agustus 1945,
Lahat (Pagaralam) 19 Agustus 1945 (SUBKOSS, 2003, hlm. 54–57). Hal ini disebabkan oleh
sulitnya hubungan komunikasi antara Jakarta dengan daerah Sumatra Selatan. Radio yang
dimiliki oleh rakyat disegel oleh Jepang, di antara rakyat yang mendengar berita tersebut,
ada yang ragu terhadap kebenarannya karena secara nyata Jepang masih berkuasa penuh di
daerah ini dengan bala tentaranya yang lengkap dan kuat. Sebaliknya para pimpinan
pemerintahan Jepang di Palembang telah mengetahui akan kekalahan dan menyerahnya
Jepang kepada Sekutu, namun mereka masih tetap merahasiakan dan belum menyampaikan
kepada masyarakat.
Adanya informasi kemerdekaan itu mempunyai dampak yang positif bagi bangsa
Indonesia. Rakyat menyambutnya dengan kegembiraan dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Bagi Belanda, proklamasi kemerdekaan
Indonesia itu tidaklah dapat mereka terima dan berusaha untuk mengambil kembali
Indonesia dengan jalan kekuatan militer. Oleh karena itu, kemerdekaan dalam
perkembangannya mendapatkan tantangan, dan rintangan dari penjajah Belanda yang
ditandai dengan kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) yang membonceng Belanda (NICA)
datang ke Indonesia. Pada bulan September 1945, pasukan Sekutu (Inggris) telah mendarat
di Jakarta dan dilanjutkan dengan daerah-daerah lain. Di Sumatra Selatan, Sekutu dan
Belanda datang melalui jalur Sungai Musi pada 12 Oktober 1945 (Said, 1992).
Kedatangan Pasukan Inggris pada mulanya bertujuan untuk melucuti tentara Jepang
di Indonesia. Dalam perkembangannya, pasukan Inggris memberikan wilayah yang
didudukinya setelah menyelesaikan tugasnya tersebut kepada Belanda. Akibatnya setelah
Inggris meninggalkan Palembang, wilayah tersebut dikuasai Belanda. Dalam
menghancurkan kekuatan pihak Republik di Sumatra Selatan, Belanda berusaha untuk
menguasai Palembang yang merupakan pusat pemerintahan, ekonomi dan politik. Di sisi
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
64
lain, semangat dan tekad rakyat Sumatra Selatan untuk mempertahankan kemerdekaan
sangatlah kuat, sehingga terjadilah pertempuran lima hari lima malam (1-5 Januari 1947).
Pasca pertempuran ini, Palembang dikuasai oleh Belanda. Agresivitas Belanda tidak hanya
cukup sampai penguasaan Palembang, Belanda kemudian melancarkan Agresi Militer
Belanda I di Indonesia pada 21 Juli 1947, sehingga membuat rakyat melakukan perlawanan,
namun perlawanan itu belum dapat mengusir Belanda dari wilayah yang didudukinya
seperti di Palembang, akibatnya pasukan TNI dan para pejuang mundur ke Musi Rawas.
Musi Rawas terletak sekitar 400 km sebelah selatan Kota Palembang. Musi Rawas
adalah daerah yang mempunyai andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia di bidang militer. Daerah ini pada masa revolusi merupakan pusat kekuatan
militer di Sumatra Selatan. Musi Rawas (dalam hal ini Lubuk Linggau) menjadi markas Sub
Komandemen Sumatra Selatan (Subkoss) dan markas Sub Teritorial Palembang (STP), dari
sinilah konsolidasi pasukan dan pejuang dilakukan. Tokoh-tokoh militer seperti Kolonel M.
Simbolon, Letkol Bambang Utoyo, dan tokoh sipil seperti A.K. Gani, Drg. M. Isa, dan Residen
A. Rozak berada di Musi Rawas sambil menggerakkan rakyat untuk berjuang menghadapi
Belanda.
Penelitan mengenai sejarah perjuangan pada masa Revolusi Fisik di daerah Sumatra
Selatan, sudah ada yang meneliti sebelumnya. Pada tahun 2003, sebuah penelitian dilakukan
Tim dari Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Sumsel untuk menggali tentang “Perjuangan
TNI dalam Menghadapi Belanda di Sumbagsel pada Masa 1945-1950”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam mempertahankan kemerdekaan di Sumatra Bagian Selatan
(Sumbagsel), peran TNI dan pejuang non TNI, masyarakat sipil pedesaan dan tokoh-tokoh
pemerintahan sipil saling bahu membahu dalam membela kemerdekaan. Mestika Zed
(2003), dalam karyanya tentang revolusi di Sumatra Selatan telah mengupas tentang peran
dr. A. K. Gani sejak awal proklamasi dalam memobilisasi rakyat, menyusun pemerintahan
dan militer di Sumatra dan mencari bantuan perjuangan melalui perdagangan gelap.
Penelitian yang dilakukan oleh Syafruddin Yusuf pada tahun 2016 mengenai,
“Peranan Residen Abdul Rozak pada Masa Revolusi Fisik (1945-1949)”. Abdul Rozak
merupakan masyarakat sipil yang menjadi bagian administrasi pemerintahan pada masa
penjajahan Belanda, Jepang, dan perang mempertahankan kemerdekaan. Jabatan paling
tinggi yang didapatkan oleh Abdul Rozak yaitu menjadi Residen Palembang pada awal
kemerdekaan. Menjadi seorang pejabat pada masa tersebut tidak menyurutkan Abdul Rozak
berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diincar oleh Belanda untuk
ditangkap atau disingkirkan (Yusuf, 2016)
Penelitian lain juga dilakukan oleh Amatullah Fauziah, Syafruddin Yusuf, dan Alian
dengan judul “Peranan Letnan satu Nawawi Manaf di Bengkulu pada masa Revolusi Fisik
(1945-1949)”. Wilayah Bengkulu dahulunya merupakan bagian dari Propinsi Sumatra
Selatan, Keresidenan Bengkulu. Sebagai seorang anggota milter, Nawawi Manaf dipercaya
memimpin organisisi militer seperti API, BKR, PKR, dan wakil komandan TKR. Dia juga
pernah dipenjara oleh Inggris di Muara Padang akibat kejadian penyerangan terhadap
tentara Inggris di Pasar Bengkulu. Nawawi Manaf menjadi komandan Batalyon XVIII di
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
65
Bengkulu, dengan menggunakan berbagai strategi militer dalam mempertahankan
wilayahnya dari serangan Belanda (Fauziyah et al., 2020).
Penelitian di atas mengkaji mengenai perang Revolusi Fisik di wilayah Sumatra
Selatan umumnya dan keresidenan Palembang, dan keresidenan Bengkulu pada khususnya,
dengan peranan dari TNI, Letnan Satu Nawawi Manaf, dari A.K Gani, Residen Abdul Rozak.
Hal ini berbeda dengan yang peneliti lakukan yang mengkaji mengenai, revolusi fisik yang
terjadi di daerah Musi Rawas dengan keterlibatan rakyat dan elit tradisional pada perang
gerilya pada tahun 1947-1949. Pihak TNI dan para pejuang menghadapi pasukan Belanda
yang ingin menguasai kembali Musi Rawas, sementara rakyat dan elite tradisonal menjadi
penyumbang logistik bagi para pejuang.
METODE
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode historis. Penelitian
mengacu kepada empat langkah penelitian, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan
historiografi. Heuristik merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk mencari jejak-
jejak sejarah yang ditinggalkan melalui pengumpulan data yang berupa catatan pribadi dari
pelaku sejarah, buku, dokumen, dan lain-lain. Beberapa sumber utama yang digunakan
dalam penelitian ini adalah buku Sejarah dan Peranan Subkoss dalam Perjuangan Rakyat
Sumbagsel (1945-1950), Buku Data Sejarah Perjuangan Rakyat Sumbagsel yang berupa
himpunan hasil Wawancara dengan pelaku sejarah masa revolusi fisik. Biografi tokoh
pejuang Sumsel, dan lain-lain. Peneliti melakukan kritik terhadap sumber yang didapatkan
baik kritik intern maupun ekstern, selanjutnya melakukan interpretasi terhadap data yang
ada dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai langkah terakhir dari kegiatan penelitian
adalah penyusunan laporan yang disebut dengan historiografi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Musi Rawas Pada Masa Revolusi Fisik (1947-1949)
Konflik antara Indonesia dan Belanda pada masa Revolusi Fisik, khususnya setelah
terjadinya Agresi Militer Belanda I (1947), diakhiri dengan sebuah perjanjian yang dikenal
dengan nama Perjanjian Renville (17 Januari 1948). Perjanjian ini dari sisi politik, dan
geografis banyak merugikan pihak Indonesia. Hal ini disebabkan dalam perjanjian itu
disepakati bahwa daerah-daerah pendudukan Belanda yang sudah dikuasai TNI, haruslah
dikosongkan, dan selanjutnya akan diambil alih oleh Belanda. Akibatnya daerah Republik
semakin kecil jauh berkurang jika dibandingkan dengan hasil persetujuan Linggarjati.
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Renville, maka di Sumatra Selatan diadakan pula
perundingan antara pihak Belanda dan pihak Indonesia. Perundingan itu diadakan di Lahat
pada 27 Januari 1948. Pihak Indonesia diwakili oleh Kolonel Maluddin Simbolon selaku
Panglima Divisi VIII Garuda, dan Kolonel Mollinger yang mewakili pemerintah Belanda.
Perundingan berhasil menyepakati garis demarkasi untuk wilayah Sumatra Selatan dengan
batas-batasnya sebagai berikut (Kementerian Penerangan RI, Sumatra Selatan, 1954 : 65):
1) Daerah Ogan Komering Ilir
2) Bagian selatan dari daerah Musi Ilir dan daerah Kubu di sebelah utara dibatasi
dengan Air Banyuasin dan Teluk Tenggulung (keduanya termasuk di
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
66
dalamnya, di sebelah barat oleh jaluran pipa Keluang dan Karangangin yang
letaknya:
a. Sungai Musi, Pengabang daerah aliran Sungai Keruh sebelah baratnya
b. Daerah Lematang Ulu dan Lematang Ilir dan wilayah Palembang atas
c. Daerah Ogan Ulu dan sebagian tempat daerah Komering Ulu, di sebelah
utara jalan kereta api pada simpang jalan Baturaja- Martapura daerah ogan
dan Komering Ulu.
Berdasarkan perundingan di atas wilayah dalam keresidenan Palembang yang masih
dikuasai pihak RI adalah Pagaralam, Musi Ulu Rawas ditambah sebagian dari wilayah Musi
Ilir bagian Utara, Komering Ulu dan Muaradua. Dengan demikian, kawasan Musirawas
adalah kawasan yang masih memiliki kebebasan atau menjadi wilayah republik. Atas dasar
itu pula maka Musi Rawas dijadikan daerah basis kekuatan pertahanan TNI. Pusat kekuatan
militer ditempatkan di Muara Beliti sebagai markas komando pertempuran Garuda Merah
Sub Teritorium Palembang, sementara Markas Divisi VIII Garuda dipusatkan di
Lubuklinggau.
Penempatan kekuatan militer ini dimaksudkan untuk melindungi pemerintahan sipil
Sumatra Selatan yang berada di Curup. Secara geografis untuk mencapai wilayah Musi
Rawas, maka ada tiga jalur jalan yang dapat ditempuh yaitu melalui Lahat-Tebing Tinggi-
Lubuklinggau, melalui Lahat-Pagar Alam-Lintang-Tebing Tinggi-Lubuklinggau, dan melalui
Mangunjaya-Sekayu-Lubuklinggau. Dalam mengantisipasi kemungkinan serangan Belanda
melalui jalur tersebut, maka kekuatan TNI ditempatkan di tiga front utama, yaitu Tebing
Tinggi, Pagaralam dan Mangunwijaya. Semua pasukan TNI disiagakan di front utama dan
daerah sekitarnya.
Penempatan pasukan tersebut, merupakan realisasi dari instruksi Panglima Divisi
VIII Garuda (Kolonel Simbolon), kepada Pasukan TNI yang berada di bawah Komando
Operasi Palembang, yang berbunyi:
“Komando operasi Front Palembang ditugaskan untuk menahan gerakan Belanda
dari arah Lahat menuju Tebing Tinggi, Lahat menuju Pagaralam dan dari Sekayu
menuju Muara Rupit dan Bingin Teluk serta ke Lubuklinggau melalui Muara
Kelingi.” Pasukan yang disebar ketiga wilayah tersebut adalah Batalion XI
Mangunwijaya, dipimpin Mayor Dani Effendi, Batalion XII Tebing Tinggi dipimpin
Kapten Robani Kadir, dan Batalion XIII Pagaralam dipimpin Kapten Rasyad
Nawawi, satu kompi ALRI dipimpin Kapten Saroinsong. Semua pasukan ini berada
di bawah tanggung jawab Panglima Sub Teritorial Palembang yang dipimpin oleh
Letkol Bambang Utoyo (SUBKOSS, 2003, hlm. 367–368).
Agresi Belanda Ke Musi Rawas
Agresi Militer Belanda II dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948. Ada dua kota
yang menjadi sasaran utama penyerangan Belanda yaitu Yogyakarta dan Bukit Tinggi.
Yogyakarta dipilih Belanda karena kota ini adalah Ibu Kota Negara Republik Indonesia pada
saat itu, sedangkan Bukit Tinggi diserang Belanda karena daerah ini adalah pusat
pemerintahan (Komisariat Pemerintah Pusat) wilayah Sumatra dan juga pusat kekuatan
militer republik (Komandemen Sumatra), yang belum dikuasai Belanda. Selain kedua
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
67
sasaran utama tersebut, Belanda juga melakukan Agresi Militer ke wilayah Sumatra Selatan.
Wilayah ini dijadikan sasaran oleh Belanda karena jika ditinjau dari aspek ekonomi, politik
dan militer merupakan daerah yang sangat potensil untuk direbut. Segi ekonomi Sumatra
Selatan memiliki sumber daya alam yang melimpah baik dari hasil hutan maupun
pertambangan. Segi politik Sumatra Selatan adalah pusat pemerintahan kedua setelah Bukit
Tinggi. Sedangkan dari segi militer, kekuatan di Sumatra tidak dapat dilepaskan dari
kekuatan militer yang berada di Sumatra Selatan. Oleh karena itu, menguasai wilayah
Sumatra Selatan akan memberikan keuntungan yang banyak bagi Belanda.
Pada sore hari, tanggal 21 Desember 1948, informasi mengenai terjadinya Agresi
Militer Belanda II di Yogyakarta diterima oleh Markas Sub Territorial Palembang (STP) di
Muara Beliti. Selain itu diterima juga informasi tentang perintah dari Jenderal Sudirman
untuk mempertahankan setiap jengkal tanah air Indonesia. Sehubungan dengan adanya
informasi tersebut, maka Komandan STP Letkol Bambang Utoyo mengadakan konsolidasi
staf dan memutuskan bahwa markas Komando Pertempuran STP dipindahkan ke Lubuk
Linggau. Pemindahan markas ini dalam rangka untuk menjalin konsolidasi dengan Markas
Divisi VIII Garuda yang sudah berada di Lubuklinggau, dan sebagai persiapan untuk perang
gerilya serta untuk melindungi pusat pemerintahan sipil Keresidenan Palembang di Curup.
Komandan STP menyusun rencana perlawanan menghadapi Belanda. Pertahanan
STP dibagi atas tiga sektor pertahanan, yaitu:
1) Sektor Utara Sub Teritorial Palembang (SUSTP) meliputi wilayah Kabupaten
Muba, dan Musirawas, dipimpin oleh Kapten A.R Saroinsong dengan kepala
stafnya Kapten M. Saihusin.
2) Sektor Tengah Sub Teritorial Palembang (STSTP) meliputi daerah kabupaten
Muara Enim, dan Lahat dipimpin kapten A. Rasyad Nawawi dengan Kepala
stafnya Kapten M. Yunus.
3) Sektor Selatan Sub Teritorial Palembang (S3TP), meliputi Kabupaten OKI, dan
OKU yang dipimpin oleh Mayor Dani Effendi dan Letnan satu Alamsyah Ratu
Perwiranegara (Sarobu, A, 1990, hlm. 6).
Pada tanggal 22 Desember 1948, dilakukan pemindahan sebagian pasukan dari
Muara Beliti ke Lubuklinggau. Dalam rangka kepindahan ke Lubuklinggau, Letkol Bambang
Utoyo selaku Panglima STP mengadakan apel pasukan TNI dan para pejuang lainnya di
pinggir Sungai Beliti. Dalam amanatnya Bambang Utoyo mengeluarkan perintah siap untuk
bertempur menghadapi Belanda yang melakukan agresi kedua, dan memberi instruksi
kepada para perwira dan komandan pasukan untuk mengadakan perlawanan dan
menghancurkan semua bangunan milik pemerintah dan semua jembatan yang terdapat di
sepanjang jalan menuju Lubuk Linggau. Tugas ini diberikan kepada Letnan Dua Muchtar
Aman dan pasukan TNI dari unsur Vernielings Corp yaitu Kapten Kiswoto, dan Kapten
Mulyadi. Sistem komando dalam pertempuran diubah menjadi bersifat mobile guna
menjalankan perang gerilya. Keputusan Komandan STP ini sejalan dengan perintah dari
Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dikenal dengan Perintah Siasat No.1 (Letda Muchtar
Aman, catatan pribadi).
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
68
Penyerbuan ke Sumatra Selatan oleh Belanda dilakukan pada 29 Desember 1948.
Agresi ini ditandai dengan terjadinya penyerangan terhadap daerah pertahanan Palembang,
baik di sektor Palembang Utara maupun sektor Palembang Selatan. Sektor Palembang utara
yaitu daerah Mangunjaya (Musi Banyuasin), dan Musi Rawas (Lubuklinggau). Mangunjaya
mendapat serbuan Belanda pada pukul 07.00 pagi, sedangkan Lubuklinggau mendapat
serangan satu jam kemudian. Pada hari yang sama untuk memperkuat pertahanan
Lubuklinggau dibentuk satu batalyon baru yang diberi nama “Batalion Bukit Sulap”. Batalion
ini terdiri dari semua kesatuan tempur baik berkelompok maupun perorangan dan laskar
rakyat di Lubuklinggau.
Batalion Bukit Sulap dipimpin oleh Letnan Satu A. Wahab Sarobu. Personil lain
pimpinan dari Batalion ini adalah Letnan Dua R. Sunardi DM (Kepala Staf), Letnan Dua Ilham
(Perwira Operasi), Letda H.M Nur (logistik), Letnan Dua Yondiman, Serma Kosim (Intel),
Letnan Dua Ujang Rahman (Perwira pelatih dan Administrasi), Letnan Dua Nur Amin
(perwira penghubung dan staf Operasi STP), serta Letnan Dua Munir sebagai koordinator
Pasirah Perang. Batalion Bukit Sulap memiliki kesatuan tempur sebanyak 4 kompi, yaitu:
kompi satu dipimpin Letnan Dua R. Winarto dengan personil terdiri dari Detasemen Poliisi
Tentara (PT) ditambah 70 orang anggota ALRI. Kompi Dua dipimpin Letnan Dua Badaruddin
dan Letnan Dua Nur Amin. Personil kompi ini berjumlah 70 orang yang berasal dari
Detasemen Markas STP ditambah anggota staf dan dinas jawatan STP. Kompi tiga dipimpin
Letnan Dua A. Gori Ujud beranggotakan 95 orang (Sarobu, A, 1990, hlm. 7).
Dalam penyerbuan ke Mangunjaya, Belanda melakukan dua cara yaitu penyerbuan
melalui jalur Sungai Musi dan jalur darat. Serangan dari jalur Sungai Musi dilakukan dengan
tembakan mortir, dan meriam Howitzser yang diarahkan pada pos pertahanan TNI.
Bersamaan itu, pasukan darat Belanda bergerak maju. Perlawanan TNI di front Palembang
utara khususnya di Mangunjaya dipimpin oleh Letnan Satu Makmun Murod. Pasukan ini
terdiri dari tiga seksi yaitu seksi satu, dan dua dipimpin oleh A. Karim Umar Hasan, bertugas
menghadapi Belanda di darat dan seksi tiga yang ditugaskan menghadang pasukan Belanda
melalui jalur sungai Musi. Pasukan seksi satu di bawah komando Letnan Satu Makmun
Murod berhasil menembak motor landing craft Belanda yang melintas Sungai Musi.
Akibatnya gerak maju pasukan Belanda ini terhambat dan tidak dapat memberikan bantuan
kepada pasukan darat yang bergerak maju. Pasukan darat Belanda ditahan oleh pasukan TNI
dari seksi satu, dan dua di daerah Babat Toman. Setelah bertempur selama delapan jam,
Babat Toman dapat dikuasai Belanda. Selanjutnya pasukan TNI mengundurkan diri dan
melakukan konsolidasi di daerah Talang Selensing di belakang dusun Babat Toman untuk
mempersiapkan diri melakukan perang gerilya di daerah Sekayu (Hasan, tanpa tahun : 7-9;
Said, (2003, hlm. 154))
Bersamaan dengan serangan atas Mangunjaya, Belanda juga melakukan serangan
udara atas Kota Lubuklinggau. Serangan terutama ditujukan kepada Markas Divisi VIII
Garuda dan beberapa tempat pertahanan lainnya. Serangan udara Belanda ini dihadapi oleh
TNI dengan segala kemampuannya, namun karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya
Panglima Divisi VIII Garuda, Kolonel M. Simbolon, dan Letnan Satu A. M. Thalib beserta
sebagian pasukan mengundurkan diri ke Curup untuk mempersiapkan perang gerilya.
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
69
Sebagian pasukan lagi ditinggalkan di Lubuklinggau untuk bergabung dengan pasukan yang
mengundurkan diri dari Muara Beliti guna mengadakan perlawanan menghadapi Belanda.
Serangan udara ini memberi pertanda bahwa Belanda pasti akan menyerbu Lubuklinggau.
Oleh karena itu, dilakukan semua persiapan untuk mempertahankan Kota Lubuklinggau.
Mengingat serangan Belanda melalui Mangunjaya telah dihambat oleh pasukan Makmun
Murod, maka kemungkinan serangan melalui Tebing Tinggi lebih besar. Komandan STP,
Letkol Bambang Utoyo, yang mundur dari Muara Beliti ke Lubuklinggau segera melakukan
konsolidasi pasukan. Letnan Dua Muchtar Aman, diperintahkan untuk meledakkan beberapa
lokomotif kereta api yang ada di stasiun Lubuklinggau bila Belanda telah mendekati
Lubuklinggau. Apabila Lubuklinggau dapat direbut Belanda maka pasukan TNI diminta
mengundurkan diri ke Padang Ulak tanding. Sebelum mengundurkan diri pasukan harus
melakukan bumi hangus terhadap semua instalasi yang dapat digunakan Belanda. Salah
satunya adalah dengan meledakkan kantor telepon dan telegrap untuk memutuskan
hubungan informasi antara pasukan Belanda dengan induk pasukannya di Lahat (Letda
Muchtar Aman, catatan Pribadi).
Belanda melakukan penyerangan ke front Tebing Tinggi melalui Lahat pada pukul
05.00 pagi, tanggal 29 Desember 1948. Penyerbuan dilakukan dengan dengan melakukan
pelanggaran garis demarkasi yang telah disepakati sebelumnya. Berdasarkan kesepakatan
dengan pihak Belanda, maka daerah demarkasi disepakati di Sungai Empayang (Saung
Naga). Garis Demarkasi ini adalah daerah pembatas antara TNI dengan pihak Belanda yang
telah disepakati untuk wilayah Lahat-Tebing Tinggi dalam perjanjian sebelumnya.
Pelanggaran garis demarkasi merupakan salah satu taktik Belanda untuk bergerak ke Tebing
Tinggi dan selanjutnya ke Lubuklinggau. Serangan pasukan Belanda itu mendapatkan
perlawanan dari satu kompi kepolisian RI yang dipimpin oleh, Letnan Dua Sumaji.
Pertempuran berlangsung seru antara kedua pihak. Letnan Dua Sumaji dan beberapa anak
buahnya gugur dalam mempertahankan Saung Naga (SUBKOSS, 2003, hlm. 392). Pasukan
TNI selanjutnya mengundurkan diri mundur ke Tebing Tinggi. Pengunduran diri
dimaksudkan untuk menghimpun kekuatan (konsolidasi) menghadapi Belanda melalui
perang gerilya.
Pertempuran dan jatuhnya Saung Naga, membuat Komandan Batalion XII (Kapten
Robani Kadir), mengadakan rapat dengan para perwira stafnya. Keputusan terpenting yang
diambil adalah: Pertama, Kota Tebing Tinggi dikosongkan dan dibiarkan jatuh ke tangan
Belanda. Salah satu pertimbangannya adalah kekuatan persenjataan yang tidak seimbang
sehingga apabila tetap melakukan perlawanan, maka persenjataan akan habis. Kedua,
sebelum mengundurkan diri, maka pasukan TNI melakukan perusakan bangunan dan
jembatan. Ketiga, dilakukan pembagian tugas sebagai berikut:
1) Letnan R. Z. Abidin diperintahkan untuk bergerilya di daerah Bungamas dan
sekitarnya;
2) Pasukan Kapten A. Karim Kadir dan Adnan Ibrahim diperintahkan masuk ke
daerah Lintang antara Kota Lahat dan Pagaralam;
3) Pasukan Letnan Dua Faisol dipertahankan berada di Lintang Empat Lawang;
4) Semua komandan pasukan diperintahkan untuk masuk ke pedalaman;
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
70
5) Dusun Perangai ditetapkan sebagai tempat pertemuan staf batalion.
6) (Kadir, 1979. Catatan pribadi)
Berdasarkan keputusan itu, maka sebelum mundur, pasukan TNI menghancurkan
jembatan kereta api dan mobil yang berada di dekat Markas Batalion XII. Tujuannya adalah
agar pasukan Belanda tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Lubuklinggau, karena satu-
satunya jalur atau jalan untuk mencapai lubuk linggau hanya melalui jalur kereta api yang
membentang di atas sungai Musi. Menghadapi kenyataan itu maka pihak Belanda melakukan
tembakan mortir, dan mitraliur ke arah markas Batalion XII yang berada di bekas benteng
Belanda. Pasukan TNI berusaha mengadakan perlawanan, namun karena kekuatan tidak
seimbang, akhirnya pasukan TNI mengundurkan diri sebagian mengundurkan diri ke arah
Muara Saling dan sebagian lagi ke arah Lintang untuk mempersiapkan diri melakukan
perang gerilya. Situasi saat itu dilaporkan melalui telepon oleh Letda A. Aziz kepada Letkol
Bambang Utoyo yang masih berada di Muara Beliti (Panitia Pengumpulan Data Perjuangan
Rakyat, 1984).
Kota Tebing Tinggi akhirnya dapat direbut Belanda pada tengah hari tanggal 31
Desember 1948. Pasukan TNI yang mengundurkan diri ke arah Pendopo Lintang, tidak
dikejar oleh pasukan Belanda, namun pasukan TNI yang mengundurkan diri ke arah
Lubuklinggau dikejar oleh pasukan penyerbu Belanda (Stoot Tropen). Akibatnya terjadi
pertempuran di Dusun Muara Saling. Jembatan Muara Saling diputuskan oleh pasukan TNI
guna menghambat gerak maju pasukan Belanda. Pertempuran di Muara Saling berlangsung
tidak lama dan desa ini dapat dikuasai Belanda. Setelah Muara Saling direbut Belanda, maka
pasukan penyerbu Belanda di Mangunjaya melanjutkan serangan ke Muara Beliti yang
menjadi markas Komando Pertempuran Garuda Merah dengan Komandannya Letkol
Bambang Utoyo.
Serangan Belanda ke Muara Beliti mendapat perlawanan yang gigih dari pasukan TNI
dan rakyat, sehingga gerak pasukan Belanda sempat tertahan sebelum masuk ke Muara
Beliti. Melihat kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan TNI mengundurkan diri ke
talang-talang dan masuk hutan untuk mengadakan perlawanan secara gerilya. Hal ini diikuti
oleh rakyat yang berada di dusun-dusun banyak yang mengungsi ke talang-talang untuk
membantu pasukan TNI. Sebelum pasukan TNI mengundurkan diri secara total dari Kota
Muara Beliti, telah dilakukan pembumihangusan terhadap bangunan-bangunan vital antara
lain, rumah markas STP dan kantor pemerintahan lainnya. Kapten A.R Saroinsong, Sersan
CPM Argani Tharam, dan Bachtiar Amin melakukan tindakan pemutusan dan
pembumihangusan jembatan Muara Beliti di tengah serangan udara Belanda yang
menembak rumah rakyat dan jalan di Muara Beliti, Muara Kelingi, dan Lubuklinggau.
Perkembangan selanjutnya, Kota Muara Beliti dapat direbut Belanda dan pasukan
Belanda berencana meneruskan penyerbuan ke Lubuklinggau. Dalam perjalanan menuju
Lubuklinggau pasukan Belanda mendapat perlawanan TNI di Dusun Periuk. Pasukan TNI di
bawah komando, Letnan Dua Syamsul Bachri Umar, dan Sersan M. Jazid Denin, meledakkan
jembatan Megang guna menghambat pasukan Belanda. Peledakan jembatan Megang
dilakukan oleh vernielings corps TNI diantaranya Kapten Kiswoto, Kapten Mulyadi, dan
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
71
kawan-kawan. Akibatnya pasukan Belanda tertahan untuk masuk ke Lubuklinggau. Dalam
mengatasi itu, Belanda melakukan penyerangan terhadap Lubuklinggau dengan
menggunakan pesawat udara dan menembak markas Divisi Garuda VIII dan jalan yang
menghubungkan antara Tebing Tinggi-Muara Beliti dengan Lubuklinggau.
Keberhasilan Belanda merebut Muara Beliti, salah satu penyebabnya adalah karena
kekuatan TNI lebih difokuskan untuk mempertahankan Lubuklinggau yang menjadi basis
pertahanan kedua setelah Muara Beliti. Serangan Belanda atas Lubuklinggau dilakukan
melalui serangan udara dan darat. Pasukan TNI yang mundur dari Muara Beliti dan pasukan
dari Batalion Bukit Sulap yang baru terbentuk segera mengambil peran bertempur
menghadapi Belanda pada tanggal 30 Desember 1948. Pasukan Belanda tidak dapat
bergerak maju menguasai Lubuklinggau. Sepanjang jalan Muara Beliti-Lubuklinggau
perlawanan dilakukan oleh pasukan TNI, politik bumi hangus diterapkan untuk
menghambat pasukan Belanda sampai ke Lubuklinggau. Jembatan Sungai Kelingi
dihancurkan pasukan TNI, demikian pula lokomotif yang ada di stasiun Lubuklinggau juga
diledakkan, kantor-kantor dan rumah Panglima Divisi Garuda VIII (sekarang menjadi
Museum Subkoss) juga dirusakkan agar tidak dapat digunakan Belanda.
Pembumihangusan yang dilakukan TNI menambah kemarahan pihak Belanda,
sehingga Belanda melakukan serangan udara secara membabi buta terhadap Kota
Lubuklinggau untuk mendukung pasukan daratnya yang bergerak dari Muara Beliti. Akibat
dari serangan brutal Belanda itu, maka tiga mobil truk pengangkut pasukan hancur, asrama
perlengkapan alat perang dan logistik di di Talang Bandung juga ikut hancur. Tiga bom juga
dijatuhkan oleh Belanda di Dusun Selangit dan ikut menghancurkan rumah Pasirah M. Sani,
sehingga menyebabkan meninggalnya ibu dari Pasirah M. Sani beserta dua orang
keluarganya yang lain, yaitu Sarikatan dan isteri Delamit. Situasi pertempuran yang semakin
memburuk menjadi pertimbangan bagi Panglima Divisi VIII Garuda (Kolonel M. Simbolon,
Residen Palembang Abdul Rozak dan Komandan STP (Letkol Bambang Utoyo) untuk
mengundurkan diri ke Padang Ulak Tanding. Pengunduran diri dari Lubuklinggau dilakukan
pada tengah malam (sekitar pukul 23.30) tanggal 30 Desember 1948. Rombongan yang
mengundurkan diri ini terdiri dari Komandan STP dan stafnya yaitu Letnan Satu Sulaiman
Amin, Letnan Satu Rusnawi, Letnan Satu Idham Danal, Letnan Muda Ali Siregar, Letnan Muda
A. Aziz, Vandrig Nelson Tobing, Vandrig A. Kadir Alamlah, Letnan Muda A. Madjid, letnan
Muda Sofyan Kasim, Letnan Muda Syarnubi Said, Letnan Satu R. Abdullah (Cek Seh),
Panglima Divisi VIII Garuda Kolonel M. Simbolon, dan Residen Palembang A. Rozak
(SUBKOSS, 2003, hlm. 420).
Setelah dua hari dipertahankan, Kota Lubuklinggau akhirnya dapat direbut Belanda
pada 31 Desember 1948. Pasukan TNI mengundurkan diri dan membentuk kantong-
kantong gerilya di sekitar Muara Beliti dan Lubuklinggau. Pasukan ini berada di bawah
komando Kapten A.R Saroinsong, yang menjabat sebagai Komandan Sektor Palembang
Utara. Kota Lubuklinggau selanjutnya dijadikan Belanda sebagai Staf Komando Detasemen
Belanda. Kekuatan Detasemen adalah 40 orang dan 4 seksi pasukan penyerbu yang terdiri
dari 2 seksi Tentara Belanda (KL), dan 2 seksi KNIL yang masing-masing seksi
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
72
beranggotakan 40 orang. Pasukan Belanda ini dipimpin Letnan Kolonel Bumen. Lokasi
pasukan Belanda setelah jatuhnya Lubuklinggau adalah sebagai berikut:
1) Pasukan KNIL ditempatkan di Kampung B, Tugu Mulyo, Muara Beliti, Binjai
dan Terawas, masing-masing satu Detasemen
2) Detasemen Kavaleri tanpa panser dengan jumlah personil 80 orang
ditempatkan di Muara Kelingi dipimpin oleh Letnan Dua Wooldrik
3) Satu Detasemen KL ditempatkan di Semangus dan Muara Lakitan
4) Satu Pleton KL dan staf komando ditempatkan di Desa Ngulak dipimpin
Letnan Dua Luxma (SUBKOSS, 2003, hlm. 367–368).
Kota Lubuklinggau merupakan kota terakhir yang dipertahankan oleh Pasukan TNI
dalam Agresi Belanda di Musi Rawas. Setelah kota ini diduduki Belanda, maka perlawanan
dan perjuangan membela kemerdekaan RI dilakukan secara bergerilya. Dalam rangka
melakukan perang gerilya, maka dilakukan pembagian wilayah gerilya oleh Komandan
Sektor Palembang Utara STP Kapten A.R Saroinsong. Pasukan TNI yang disebar di seluruh
wilayah Musi rawas adalah sebagai berikut.
1) Pasukan Gerilya yang dipimpin, Letnan Satu Badaruddin, dan Letnan Dua Nur Amin ditempatkan di daerah sekitar Tugu Mulyo, Muara Beliti, Muara Kati dan Lubuklinggau
2) Pasukan Letnan Satu Winarto, berada di sekitar Air Kati, Durian Mas, Kebur dan Muara Saling
3) Pasukan Kapten M. Saihusin, berada di sekitar Air Kati kemudian dipindahkan ke Binjai Muara Kelingi
4) Pasukan Komisaris Polisi M. Hasan, berada di Mandi Aur Muara Kelingi 5) Pasukan Kapten A.R Saroinsong, Sersan Arghani Tharam dan Ali Kuang dari
laskar bersifat mobil ke semua sektor perlawanan 6) Pasukan Kapten A Wahab Sarobu, berada di sekitar Lubuklinggau, Megang
Selangit dan Terawas 7) Barisan Palang Merah, berada di sekitar front Tugu Mulyo Lubuk Linggau
dipimpin H. A. Kadir (Sarobu, A, 1990, hlm. 9). Penyebaran pasukan TNI, merupakan salah satu langkah untuk tetap
mempertahankan wilayah republik dan sekaligus mengganggu kekuatan Belanda. Selain TNI
AD, pasukan yang berada di sektor Palembang Utara ini juga dibantu oleh TNI AL dan
Kepolisian. Pasukan ini diberi tugas untuk mempertahankan Musi Rawas dari jalur sungai.
Oleh karena itu diatur penempatan pasukan sebagai berikut:
1) Letnan Muda Hasibuan, diangkat sebagai Komandan Tempur yang disebut “Jin Kelingi”;
2) Letnan Muda Hanafi, diangkat sebagai wakil Komandan Tempur yang diberi nama “Macan Lapar Sindang Kelingi”;
3) Letnan Satu Darmowiyono, diangkat sebagai komandan Pos pertahanan di Dusun Petunang;
4) Sersan Mayor Juani Ahmad, diangkat sebagai Komandan Pos Pertahanan Mandi Aur;
5) Letnan Muda Sulaiman Salam, diangkat sebagai komandan Pos Pertahanan Dusun Mambang;
6) Letnan Muda Legiman, sebagai Komandan Pos Muara Lakitan;
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
73
7) Sersan Supangkat, sebagai Komandan Pos Dusun Pulau Panggung. (Luntungan, 1998, Riwayat Singkat TKR Laut/ ALRI Palembang, catatan Pribadi)
Keberadaan pasukan Belanda di Lubuklinggau yang semakin kuat, membuat para
pimpinan TNI dari Sub Sektor Tengah Palembang Utara melakukan konsolidasi dan
mengatur pertahanan di daerah ini. Sampai dengan bulan Maret 1949, pasukan yang ada di
sektor ini berjumlah tiga batalion, yaitu:
1) Batalion XI dipimpin, Letnan Satu Usman Bakar, berkedudukan di Bingin Teluk
dengan wilayah pertahanannya meliputi Bingin Teluk menelusuri sungai
sampai dekat Sekayu. Daerah Sekayu sendiri dipertahankan oleh pasukan
Wachid Udin dan Muchsin Syamsuddin.
2) Batalion Istimewa I dipimpin, Letnan Satu A. Wahab Sarobu, mempertahankan
daerah Muara Rupit, dan Rawas ulu Surolangun.
3) Batalion Istimewa II, dipimpin Kapten Makmun Martawinata, berada di daerah
Rawas dan Muara Rupit.
Kekuatan pasukan TNI semakin bertambah dengan bergabungnya beberapa
kelompok pasukan lain yang mengundurkan diri ke Lubuklinggau. Pasukan TNI dan laskar
perjuangan ini diatur penempatannya di sekitar Lubuklinggau. Pasukan tersebut di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Satu kompi pasukan dari Batalion 34, dipimpin Letnan Dua Roni Asir dari
Bengkulu dengan kekuatan 60 (enam puluh) orang yang ditempatkan di
Kampung G.1 Tugu Mulyo
2) Pasukan Letnan Dua Ismairin, dengan kekuatan 25 (dua puluh lima) orang,
ditempatkan di Air Kati.
3) Pasukan Letnan Dua A. Rahman Nawawi, dan Mahmud Malaya yang berjumlah
belasan orang dan Pasukan Vandrig Sayuti Rozak di sekitar Lubuklinggau.
4) Pasukan Perlawanan Rakyat Ali Kuang, yang berada di setiap dusun antara
Muara Kelingi dengan Muara Lakitan dengan kekuatan sekitar 10-20 orang per
dusun yang menguasai sepanjang aliran Sungai Kelingi dan Lakitan.
5) Sejumlah pasukan lain juga ditempatkan di bawah Komando Distrik Militer,
antara lain pasukan Vandrig Abim Arvai, yang ditempatkan di daerah Selangit
sampai Megang dan sekitar Lubuklinggau. Pasukan Sersan Zainal Arifin,
ditempatkan di Selangit sampai Terawas. Pasukan Sersan Mayor (Opsir Muda)
Nanguning, untuk Muara Kati dan sekitarnya, dan Sersan Mayor (Opsir Muda),
M. Yasin yang ditempatkan di daerah Semangus, dan sekitarnya (SUBKOSS,
2003, hlm. 424). Selama masa Agresi II, semua pasukan TNI dan kelompok perjuangan rakyat bahu
melakukan penyerangan kepada pasukan Belanda yang mereka temui atau yang mereka
ketahui keberadaannya secara bergerilya. Dalam bulan Maret 1949, pasukan Kapten A.R
Saroinsong, melakukan pencegatan pasukan Belanda di Dusun Petunang. Dalam
pertempuran itu, satu orang Belanda tewas. Satu senjata Brends jenis MK III dan satu pucuk
senjata L.E dengan lima ratus peluru dapat direbut pasukan TNI. Keberhasilan pasukan
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
74
Saroinsong itu mengakibatkan Belanda menangkap kepala Dusun Petunang yang bernama,
Rozi, dan penggawo-nya, Ani bin Musa. Keduanya ditangkap, dan kemudian ditembak mati
oleh Belanda di Sungai Pero Lubuk Tanjung. Tindakan Belanda yang menghukum warga sipil
tersebut menambah semangat pasukan TNI dan para pejuang untuk membalas dan
menyerang Belanda. Pasukan TNI dari Kompi Sindang Kelingi pada 27 Maret 1949, berhasil
mencegat patroli pasukan Belanda di Kampung K Tugu Mulyo. Dalam aksi ini, satu tentara
Belanda dapat ditembak mati. Selanjutnya untuk mencegah agar Belanda tidak terlalu bebas
untuk melakukan patroli ke Tugu Mulyo, maka jembatan Kelingi di Simpang Periuk
diputuskan oleh pasukan TNI yang dipimpin oleh Letnan Dua Noer Amin, dan Letnan Dua A.
Badaruddin, serta Kapten A.R Saroinsong (Panitia Pengumpulan Data Perjuangan Rakyat,
1984, hlm. 10).
Meskipun Jembatan Simpang Periuk sudah diputuskan, namun patroli pasukan
Belanda masih tetap berjalan. Oleh karena itu, pasukan TNI mengadakan gerakan
pencegatan patroli tersebut. Dalam Bulan April 1949, pasukan Sindang Kelingi berhasil
mencegat patroli Belanda di Kampung Mataram Tugu Mulyo. Satu tentara Belanda dari KNIL
berhasil ditangkap. Beberapa hari kemudian patroli Belanda yang memasuki Kampung Air
Ketuan dapat dihalau. Pertempuran yang terjadi menyebabkan satu orang Belanda tewas.
Pasukan perlawanan rakyat yang dipimpin Ali Kuang, juga melakukan pencegatan pasukan
Belanda di Dusun Pinang.
Keberhasilan pasukan TNI maupun pasukan perlawanan rakyat lainnya dalam
mencegat patroli Belanda, menjadikan Belanda tidak tenang dalam menguasai daerah Musi
Rawas. Sebaliknya, keberhasilan mencegat pasukan Belanda itu menambah semangat
pasukan TNI dan pejuang lainnya untuk mengusir Belanda. Oleh karena itu, sesuai dengan
konsep perang gerilya, maka penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di semua
tempat di Musi Rawas. Pada tanggal 27 Mei 1949, pasukan Sindang Kelingi bersama anggota
laskar Dusun Semangus, melakukan serangan terhadap serdadu Belanda yang sedang mudik
dengan memakai kendaraan kapal roda lambung (Kapal Bumi Agung) bertempat di sebelah
hilir Dusun Semangus. Dalam pertempuran tersebut satu orang laskar bersama Bahri gugur
dan dikebumikan di Dusun Semangus. Beberapa hari kemudian pasukan TNI dipimpin
Komandan Sektor Palembang Utara mencegat patroli pasukan Belanda yang sedang
menyeberangi Sungai Musi dengan memakai perahu di Dusun Semangus. Di Dusun Tanjung
Muara Kelingi, terjadi pencegatan terhadap patroli Belanda oleh pasukan Sindang Kelingi
bersama anggota laskar Dusun Tanjung. Dalam situasi tembak-menembak tersebut satu
orang serdadu Belanda mengalami luka berat. Peristiwa tembak-menembak tersebut juga
mengakibatkan beberapa orang serdadu Belanda mengalami luka-luka.
Pasukan TNI kembali mencegat patroli Belanda di Dusun Pendingan, namun tidak
mengakibatkan kerugian baik di pihak pasukan TNI maupun pihak pasukan Belanda. Akibat
seringnya dilakuan pencegatan oleh pasukan TNI, pihak Belanda semakin gencar
mengadakan patroli dan berkeinginan menghancurkan kekuatan pasukan TNI. Pada akhir
bulan Juli 1949 pukul 16.00, Belanda melakukan serangan mendadak terhadap pasukan TNI
di pos pertahanan di Desa Pendingan. Saat itu pasukan TNI sedang membagikan ransum
(makan sore), sehingga serangan pasukan Belanda itu mengakibatkan Kopral Aras gugur
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
75
dan dikebumikan di dusun itu. Di Dusun Mambang, patroli Belanda juga dicegat oleh anggota
laskar yang dipimpin oleh Komandan Pos Mambang Letnan Muda (ALRI), Sulaiman Salam,
namun tidak mengakibatkan kerugian. Pasukan Macan Lapar yang dipimpin Letnan Muda
(ALRI) Bakri Hanafi, juga mencegat patroli Belanda di Jembatan Sungai Kambil (antara
Dusun Lubuk Tua dengan Pasar Muara Kelingi). Pada pertempuran tersebut satu orang
serdadu Belanda ditembak mati dan satu orang lainnya luka-luka. Beberapa malam
kemudian Sersan Maliki (ALRI) bersama pasukan Muara Kelingi (kuburan Cina) dapat
menembak mati satu orang serdadu Belanda. Pada bulan Juli itu juga, pasukan Jin Kelingi
dipimpin Letnan Muda (ALRI) Hasibuan, melakukan pencegatan terhadap Patroli Belanda di
antara Dusun Sungai Naik dengan Dusun Sungai Bunut (Rantau Pintasan). Pada
pertempuran tersebut satu orang anggota laskar bernama Bahtiar, dapat ditawan oleh
musuh beserta senjatanya. Senjata karabin yang dirampas oleh Belanda itu adalah pinjaman
dari rakyat Dusun Pulau Panggung bernama, Abdullah Hasjim (orang tuanya Nanung
Hasyim).
Pada bulan September 1949, pasukan yang dipimpin langsung oleh Komandan
Kapten Saroinsong juga menyerang pos Belanda di Dusun Binjai. Dalam serangan tersebut
satu orang serdadu Belanda dapat ditembak dan luka parah. Pasukan Belanda memaksa
rakyat yang berada di dusun untuk mengantarkan serdadu Belanda tersebut meski akhirnya
meninggal dunia. Berselang beberapa hari kemudian (sekitar akhir bulan November 1949),
pos Belanda di Dusun Binjai juga ikut diserang kembali oleh pasukan TNI. Penyerangan
tersebut dipimpin oleh Mayor Saroinsong, dari Dusun Pulau Panggung. Serangan tersebut
mengakibatkan pasukan Belanda meninggalkan posnya di Binjai, dan kembali ke Muara
Kelingi dengan memakai perahu. Ketika pasukan Belanda tersebut berada di sebelah hilir
Dusun Pulau Panggung, mereka kembali diserang oleh pasukan TNI yang mengakibatkan
satu perahunya karam, setelah kejadian itu pasukan Belanda kembali melakukan patroli
untuk mencari pasukan TNI.
Patroli pasukan Belanda bukan hanya ke Dusun Binjai, tetapi juga ke dusun-dusun
lain. Pasukan TNI dan laskar pun mempersiapkan diri untuk melakukan pencegatan
terhadap pasukan Belanda. Patroli Belanda yang sedang naik perahu menuju Dusun Bingit,
dicegat oleh anggota laskar Dusun Bingit yang dipimpin oleh Bakup. Pencegatan tersebut
mengakibatkan perahu Belanda karam dan tenggelam. Pada akhir bulan November 1949,
ketika pasukan Belanda melakukan patroli di Sungai Musi dari Muara Kelingi menuju Muara
Lakitan, dengan memakai nomor air (NIRUP) dan berlabuh di Dusun Bingin, pasukan TNI
telah siap menunggu dan langsung menyerang yang mengakibatkan beberapa orang
serdadu Belanda luka-luka. Setelah kejadian itu patroli Belanda segera berangkat
meninggalkan Dusun Bingin. Pertempuran terakhir yang dilakukan oleh pasukan TNI AL
terjadi di Ibukota Kecamatan Muara Lakitan. Pertempuran terakhir ini dipimpin oleh
Komandan Pos Muara Kelingi Letnan Dua (AL) Parjan, Letnan Muda Hamidur, Sersan Mayor
Kadet, dan Sersan P.T. Amir Hamzah.
Perang gerilya di daerah Musi Rawas ini berjalan selama lebih kurang satu tahun.
Hampir setiap hari ada pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI Subkoss dengan
pasukan Belanda, baik dalam bentuk perang kecil maupun secara besar-besaran. Akibatnya,
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
76
tidak sedikit anggota TNI Subkoss maupun anggota gerilyawan lainnya yang gugur, tertawan
maupun luka-luka. Menurut A. Madjid mestik (1994, hlm. 20–24) Lokasi pertempuran yang
sering terjadi selama perang kemerdekaan adalah :
1) Pertempuran di Simpang Periuk sebanyak empat kali
2) Pertempuran di Kota Lubuklinggau sebanyak empat kali
3) Pertempuran di Tababingin sebanyak tiga kali
4) Pertempuran di Tahajemekih sebanyak satu kali
5) Pertempuran di Air Ketuan sebanyak tiga kali
6) Pertempuran di Jembatan Kelingi Lubuklinggau sebanyak empat kali
7) Pertempuran di Megang Ulak Surung sebanyak sebelas kali
8) Pertempuran di antara Batu Urip dan Kamp H. Tugu Mulyo sebanyak dua kali
9) Pertempuran di Gua Mesat Lubuklinggau sebanyak satu kali
10) Pertempuran di Terawas sebanyak dua kali
11) Pertempuran di kebun karet Belalau sebanyak tiga kali
12) Pertempuran di Air Kati sebanyak tujuh kali
13) Pertempuran di Dusun Kebur sebnyak tiga kali
14) Pertempuran di Muara Saling sebanyak satu kali
15) Pertempuran di Petunang sebanyak dua kali (satu kali dipimpin langsung oleh
komandan SSTPU (Saroinsong), mendapat satu senjata Brends jenis MK III dan
satu senapan dengan sangkurnya (tiga orang Belanda mati).
Perjuangan Rakyat Dan Elite Tradisional Musi Rawas Dalam Perang Gerilya
Perjuangan menghadapi Belanda tidaklah dapat dilakukan secara sepihak oleh pihak
TNI. Oleh karena itu sifat perjuangan menghadapi Belanda adalah “Perjuangan Semesta”.
Dalam konsep perjuangan semesta ini, semua potensi yang ada di daerah haruslah
dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan. TNI tidaklah dapat bergerak sendiri tanpa
dukungan rakyat dan elite tradisional. Mereka dibutuhkan terutama sebagai kekuatan
logistik selama perjuangan. Dalam perjuangan di Musi Rawas beberapa elite tradisional dan
rakyat sangat membantu perjuangan. Beberapa nama yang terlibat di antaranya Pasirah
Pangeran H. Moh. Amin, Pangeran H. Mantap, Pasirah H. Abdussomad Mantap, Pasirah H.
Abuhusin, Depati Sani, dll. Pasirah Abdussomad Mantap dari Muara Kati memberikan
bantuan beras dengan jumlah yang sangat banyak (beberapa ton) hasil dari sawahnya di
daerah Air Ketuan dan bahan makanan lain. Bantuan ini diberikan untuk konsumsi para
tentara dan pejuang yang berada di Muara Beliti. Muara Kati juga menjadi tempat menginap
bagi para pimpinan perjuangan, seperti Letkol Harun Sohar, Kapten A.R Saroinsong, dan
anak buahnya. Selain itu rakyat juga memberikan bantuan informasi tentang gerakan
pasukan Belanda yang melakukan patroli. Informasi ini sangatlah penting bagi TNI untuk
melakukan penghadangan terhadap pasukan Belanda yang melintas di daerah tertentu.
Serangan pasukan TNI telah mengganggu konsentrasi pasukan Belanda yang melakukan
patroli untuk mengawasi dan memperluas wilayah pendudukannya (Amin, 1992).
Sementara itu untuk mencegah agar bangunan-bangunan besar tidak dipergunakan
oleh pasukan Belanda untuk mendukung operasi militernya, maka dilakukanlah
pembumihangusan Hotel Spoor Zieht (sekarang Hotel Merdeka), di Lubuklinggau. Hotel
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
77
tersebut kepunyaan Abdussomad Mantap yang tadinya merupakan kantor dan markas
pemuda-pemuda pejuang. Hotel Spoor Zieht dibakar oleh pasukan Letnan Noer Amin, dan
Letnan Satu A. Mohd. Amin (orang tua Letda Bachtiar Amin, Letnan Noer Amin dan Sulaiman
Amin).
Pangeran Mohd. Amin adalah pasirah Muara Beliti. Selama masa perjuangan dari
Agresi Belanda, ia memberikan andil yang besar bagi perjuangan bangsa. Pangeran Muh.
Amin menyediakan beberapa rumahnya untuk menjadi markas TNI dari Sub Teritorial
Palembang (STP) di bawah pimpinan Letkol Bambang Utoyo. Ia juga memberikan bantuan
makan untuk para tentara dan pejuang yang berada di Muara Beliti. Selain itu tiga orang anak
Pangeraan Moh. Amin yaitu Bachtiar Amin, Sulaiman Amin dan Noer Amin melibatkan diri
menjadi anggota TNI dan aktif berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan di
Sumtera Selatan. Hal ini diketahui Belanda, sehingga ketika Muara Beliti dapat direbut
Belanda, ia dan keluarga mengungsi ke hutan. Rumah Pangeran Amin kemudian diambil alih
Belanda sebagai markas pasukan Belanda.
Setelah bebarapa lama mengungsi, Pangeran Amin kembali kerumahnya dan
bertemu dengan pasukan Belanda. Dalam pertemuan itu komandan tentara Belanda
mengatakan bahwa Lettu Bachtiar Amin, Kapten Sulaiman Amin, dan Lettu Noer Amin
adalah musuh Belanda, dan harus diserahkan kepada Belanda. Namun Pangeran H. Mohd.
Amin, menjawab bahwa: "Anak-anak saya itu adalah Tentara Republik Indonesia. Mereka
berjuang untuk membela Negara dan Tanah Airnya, mempertahankan Kemerdekaan Bangsa
Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945". Mendengar jawaban demikian, Belanda bertambah
marah dan mengusir secara paksa keluarga Pangeran H. Mohd. Amin, karena paksaan
tersebut, akhirmya dengan tidak sempat membawa barang apa-apa, Pangeran H. Mohd.
Amin beserta keluarganya berangkat meninggalkan rumah kampung halamannya untuk
pindah menuju ke Dusun Muara Kati tempat saudaranya, H. Mantap Pangeran Muara Kati.
(Amin, 1992, hlm. 15).
Pengakuan Kedaulatan
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan RI secara
umum memperoleh kesuksesan dengan diberikannya pengakuan kedaulatan oleh Belanda
pada 27 Desember 1949. Pengakuan kedaulatan itu merupakan hasil terpenting dari
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda. Pengakuan kedaulatan
itu ditindaklanjuti oleh adanya penyerahan kekuasaan dari pihak Belanda kepada pihak
Indonesia, di seluruh wilayah yang diduduki Belanda. Sebelum dilakukan penyerahan
kekuasaan, diadakan kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata atau penghentian
tembak-menembak antara pihak Belanda dan Indonesia. Mengingat pasukan TNI tersebar di
seluruh Musi Rawas, maka diperlukan adanya koordinasi agar semua pasukan TNI dan
pejuang lainnya dapat masuk Kota Lubuklinggau untuk mengikuti upacara penyerahan
kekuasaan itu.
Pasukan TNI dan pejuang yang tersebar di seluruh Musi Rawas diharuskan untuk
memasuki Kota Lubuklinggau. Pasukan tersebut dibagi atas 4 sektor, yaitu:
1) Sektor satu, di bawah pimpinan dan tanggungjawab dari Letda Winarno
berkumpul di Muara Kati. Pasukan yang berkumpul adalah pasukan dari
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
78
daerah Air Kati, Muara Saling, dan Kebur.
2) Sektor dua, di bawah pimpinan Lettu Usman Bakar berkumpul di Bingin Teluk.
Pasukan yang berkumpul berasal dari Bingin Teluk, Rawas Ulu, dan Muara
Rupit.
3) Sektor tiga, dipimpin Lettu A. Wahab Sarobu berkumpul di Mandi Aur.
Pasukan yang berkumpul adalah pasukan TNI dari Terawas, Tugu Mulyo,
Muara Kati, Semangus, dan Muara Lakitan.
4) Sektor empat, dipimpin kapten Sai Husin berkedudukan di Binaji, kemudian
bergabung dengan sektor III di Mandi Aur. Pasukan dari sektor ini adalah
Binjai, Muara Kelingi, Muara Beliti (SUBKOSS, 2003, hlm. 649).
Pasukan-pasukan ini bergerak dan berkumpul di Mandi Aur pada 26 Desember 1949.
Selanjutnya pada 29 Desember 1949 pasukan ini bergerak ke Lubuklinggau. Pada keesokan
harinya upacara penyerahan kekuasaan dan kedaulatan pemerintahan diserahkan pihak
Belanda kepada pihak Indonesia yang diterima oleh Bupati R. Ahmad, sementara untuk
daerah Musi rawas diterima oleh M. Hasan, dan di Muara Rupit oleh Kapten A.R Saroinsong.
Dilakukannya penyerahan kedaulatan tersebut, maka berakhirlah kekuasaan Belanda di
Indonesia, khususnya di Musi Rawas.
KESIMPULAN
Kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu hal yang diperjuangkan dan sangat
didambakan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia khususnya
masyarakat di Musi Rawas mempunyai satu tekad yang kuat untuk membela dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu dengan segala kemampuannya.
Sejak Palembang dikuasai oleh Belanda pasca-perang lima hari lima malam pada
tanggal 1-5 Januari 1947, pasukan TNI beserta rakyat mulai masuk keluar dari
Palembang membuat benteng-benteng pertahanan di sekitar wilayah Ogan Ilir dan
Banyuasin. Penguasaan kembali oleh Belanda ini di wilayah Indonesia semakin terlihat
dengan adanya Agresi Militer pertama Belanda yang terjadi pada tanggal 21 Juli-4
Agustus 1947, kemudian adanya perjanjian Renville membuat adanya perjanjian di Lahat
oleh Kolonel Simbolon dan Kolonel Mollinger mengenai perbatasan wilayah. Pelanggaran
perjanjian Lahat yang ditandai dengan Agresi Militer kedua Belanda inilah, yang
membuat terjadinya perang di Musi Rawas.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukan hanya dilakukan
oleh pihak TNI dan laskar perjuangan lainnya, tetapi juga diikuti oleh kelompok elite
tradisional yang berada di Musi Rawas, seperti Pangeran Mantap, Pangeran Moh. Amin
dan keluarganya. Apabila pasukan TNI dan pejuang lainnya berjuang melalui jalur
pertempuran, maka pihak elite tradisional ini berjuang dengan memberikan dukungan
logistik untuk keperluan perjuangan terutama pada saat terjadinya perang gerilya yang
berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Hal inilah yang membuat Belanda tidak
berhasil menguasai secara keseluruhan wilayah Musi Rawas. Perjuagan rakyat Musi
Rawas ini ini berakhir setelah Belanda memberikan pengakuan kedaulatan pada 27
Desember 1949.
Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 62-79 Syafruddin Yusuf, Adhitya Asmi, Muhammad Pahlevi
79
DAFTAR RUJUKAN Buku dan Jurnal
Amin, B. (1992). Peranan Sub Komandemen Garuda Sriwijaya Musi Rawas. Yayasan Subkos Garuda Sriwijaya.
Fauziyah, A., Yusuf, S., & Alian, A. (2020). Peranan Letnan I Nawawi Manaf Di Bengkulu Pada Masa Revolusi Fisik Tahun 1945-1949. AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA. https://doi.org/10.25273/ajsp.v10i1.4343
Panitia Pengumpulan Data Perjuangan Rakyat. (1984). Data Sejarah Perjuangan Rakyat Sumbagsel. Yayasan Bhakti Pejuang.
Said, A. H. (1992). Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah. Yayasan KramaYudha.
Said, A. H. (2003). Pengabdian H. Makmun Murod Otobiografi Veteran Pejuang Kemerdekaan RI. nn.
Sarobu, A, W. (1990). Kisah Peristiwa Agresi Belanda I dan II, Pengalaman Kolonel (Purn) A. Wahab Sarobu. Monpera.
SUBKOSS, T. P. S. P. (2003). Sejarah dan Peranan SUBKOSS dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel (1945-1950). In Provinsi Sumatra Selatan: Dewan Harian Daerah Badan Penggerak Pembudayaan Jiwa, semangat dan Nilai-Nilai Kejuangan. CV. Komring Jaya.
Usul, A, M. (1994). Ringkasan Sejarah Perjuangan Rakyat Musi rawas. nn.
Yusuf, S. (2016). Peran Residen Abdul Rozak pada Masa Revolusi Fisik (1945-1949). Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(1).
Zed, M. (2003). Kepialangan, politik, dan revolusi: Palembang, 1900-1950. LP3ES.