Post on 23-Oct-2021
transcript
540 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2018.01003.7
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERKAIT PEREDARAN PANGAN HASIL REKAYASA GENETIKA
DI INDONESIA
Yuliati
Fakultas Hukum Universitas BrawijayaJl. MT. Haryono 169 Malang Email: yuliaticholil@ub.ac.id
Abstract
The distribution of food products containing genetic modifi ed organism (GMO) in the market has the potential ito harm the public as consumers, even though consumers have the right to food security and the right to obtain information protected by Act Number 8 year 1999 on Consumer Protection. This article is a legal research that use statutes approach. The result shows that the government of Indonesia has provide adequate legal protection for consumers regarding the distribution of food product containing GMO in the form of the obligation to conduct safety testing of engineering products for business actors as outlined in Government Regulation No.21 Year 2005. Meanwhile, the government has also provided a clear defi nition of prohibited activities as well as sanction as stated on Consumers Protection Act and Food Act.Key words: food, genetic engineering, consumer’s protection
Abstrak
Beredarnya produk pangan hasil rekayasa genetika di pasaran, berpotensi merugikan masyarakat sebagai konsumen produk tersebut, padahal konsumen memiliki hak atas keamanan pangan dan hak untuk mendapat informasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Artikel ini adalah hasil penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen atas peredaran produk pangan rekayasa genetika baik sebelum peredaran produk dalam bentuk keharusan untuk melakukan uji keamanan produk rekayasa bagi pelaku usaha yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika dan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban tentang pelabelan produk pangan yang mengandung rekayasa genetika.Kata Kunci: Pangan, Rekayasa Genetika, Perlindungan Konsumen
Latar Belakang
Perdagangan adalah kegiatan yang telah
dilakukan oleh manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pada masyarakat yang
sederhana pemenuhan kebutuhan tersebut
dapat dilakukan dengan cara barter, namun
dalam perkembangannya perdagangan
merupakan kegiatan yang sangat komplek,
541 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
karena melibatkan banyak pihak mulai dari penyediaan bahan baku, proses produksi sampai dengan proses pemasaran produk yang pada akhirnya akan dikonsumsi oleh konsumen.
Pemakaian teknologi yang semakin canggih, di satu sisi memungkinkan pelaku usaha mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat.1 Namun, disisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.2 Dengan demikian apabila tidak ada jaminan tentang keamanan produk pangan dari pemerintah, maka masyarakat sebagai konsumen akan sulit untuk memilih dan memilah makanan yang benar-benar aman.
Keterbukaan informasi atas bahan pangan yang diperdagangkan kepada konsumen harus diperhatikan oleh pemerintah karena informasi ini menyangkut keamanan konsumen untuk mengkonsumsi pangan yang diperdagangkan.Ditengah informasi yang minim, fakta menunjukkan bahwa
produk pangan hasil rekayasa genetika telah lama masuk ke pasar Indonesia.3 Hal ini telah terbukti 3 hasil pengujian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menunjukkan bahwa beberapa produk turunan kedelai, jagung dan kentang positif mengandung rekayasa genetika.4 Bukan saja produk tidak bermerk seperti tahu dan tempe yang positif mengandung rekayasa genetika, tetapi sejumlah produk pangan bermerk dan terdaftar juga terbukti mengandung rekayasa genetika.5 Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen terhadap produk pangan dari kentang dan jagung, terbukti bahwa produk-produk impor seperti Pringleys Potato dan Honig Maizena yang dijual bebas di pasaran Indonesia mengandung bahan rekayasa genetika.6
Rekayasa genetika adalah salah satu aplikasi dari bioteknologi yang merupakan teknologi pemanfaatan oganisme atau mikoba atau produk organisme yang bertujuan untuk menghasilkan bahan lain. Bioteknologi secara sederhana bukanlah hal baru bagi peradaban manusia, teknologi pembuatan tape, empe dan kecap menunjukkan pemanfaatan mikroba untuk mengubah bahan dasar menjadi bahan yang bersifat ekonomi lebih tinggi.7
Sedangkan seiring dengan perkembangan
1 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006),hlm. 19.2 Ibid.3 Kehadiran Benih Produk Rekayasa Genetika di Indonesia,Balai Besar PPMB, Bogor, 14 Januari 20144 Koalisi Ornop untuk Keamanan dan Pangan, “Menggugat Peredaran Pangan Transgenik”, http://www.ylki.
or.id, diakses 12 Maret 2017.5 Ibid.,6 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, “Pemerintah Harus Serius Tangani Produk Pangan Transgenik”,
http://www.ylki.or.id, diakses 12 Maret 2017.7 Muhammad Djumhana, Hukum dalam Perkembangan Bioteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000),
hlm.62.
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 542
ilmu pengetahuan timbulah bioteknologi modern (modern biotechnology) sebagaimana disebut dalam The Cartagene Protocol on Bio Safety to the Convention on Biological
Diversity8 menyebutkan :
“modern biotechnology means the application of :
(a) In vitro necleid techniques, including recombinant deoxyribonucleid acid (DNA) and direct injection of nucleid acid into cells or organelles, or
(b) Fusion of cells beyond the taxonomix family”
Keberadaan Protocol Cartagena ini merupakan tindak lanjut dari persoalan keamanan pangan terutama produk pangan hasil rekayasa genetika. Persoalan keamanan pangan ini merupakan hal yang sangat penting karena akan berdampak langsung dengan kesehatan manusia sehingga pemanfaatan produk pangan hasil rekayasa genetika ini perlu diterapkan unsur kehati-hatian
(precautionary principle).9
Sejarah panjang pembentukan undang-undang perlindungan konsumen di berbagai negara maju berawal dari adanya perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur yang pada intinya bermaksud melindungi hak-hak konsumen sekaligus
mendorong persaingan usaha yang sehat.10
Sedangkan di negara-negara berkembang
pembentukan pengaturan undang-undang
perlindungan konsumen juga didasarkan pada
The UN Guidelines for Consumer Protection
melalui Resolusi PBB No.A/RES/39/248 yang
merupakan pengakuan atas hak-hak dasar
konsumen yang wajib dipenuhi oleh negara-
negara peserta.11
Pada Tahun 1999, pemerintah Indonesia
telah mengundangkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan
jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih dan menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi ;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang
8 Article 3 sub (i)The Cartagene Protocol on Bio Safety to the Convention on Biological Diversity, protocol ini sudah diratifi kasi oleh pemerintah Indonesia dengan UURI No 21 tahun 2004. Protokol ini merupakan pelengkap dari Konvensi PBB tentang keanekaragaman Hayati yang juga telah diratifi kasi oleh pemerinah Indonesia dengan UURI No.5 tahun 1994.
9 Anto Ismu Budianto, “Perlindungan Hukum Terhdap Konsumen Produk Rekayasa Genetik di Indonesia”, Jurnal Hukum No.15, Vol.7, (Desember 2000): 124
10 Firman Tumantara Endiapraja, Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang: Setara Press,2016), hlm.103.11 NHT Siahaan, Hukum Konsumen,( Jakarta: Panta Rei, 2005), hlm. 13.
543 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barag dan jasa
yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan jasa untuk kesehatan,
keamanan dan kenyamanan konsumen.
Dalam rangka melindungi hak-hak
konsumen dari praktek perdagangan yang
tidak etis, keberadaan undang-undang
perlindungan konsumen ini sangat berarti,
karena undang-undang ini merupakan langkah
awal reformasi atas keadaan yang tidak adil
yang dialami konsumen,12 namun demikian
dalam prakteknya masih banyak terjadi
pelanggaran terhadap hak- hak konsumen.
Bertolak dari kondisi tersebut, maka perlu
diadakan penelitian mengenai perlindungan
hukum terhadap hak-hak konsumen terutama
hak atas informasi, keamanan dan keselamatan
terhadap produk pangan hasil rekayasa
genetika. Hal ini sangat penting karena
konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari
segala bahaya yang mengancam kesehatan,
jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau
mengkonsumsi makanan terutama produk
pangan hasil rekayasa genetika, karena sampai
saat ini belum dinyatakan aman pangan oleh
pemerintah.
Pembahasan
A. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Peredaran Produk Pangan Rekayasa Genetika (PRG) Di Indonesia.
Bentuk perlindungan hukum bagi
konsumen atas suatu produk yang beredar di
masyarakat terkait erat dengan pemenuhan
hak konsumen atas informasi yang jujur dan
akurat atas suatu produk. Hak konsumen
atas informasi ini penting bagi konsumen
karena konsumen memerlukan data dan fakta
agar dapat menentukan pilihan berdasarkan
informasi yang tersedia. Penyebaran informasi
kepada konsumen dapat dilakukan dengan
pemberian label dan penyiaran iklan tentang
produk pangan sebagaimana diatur dalam UU
RI No.18 Tahun 2012 tentang Pangan.13 Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran
konsumen atas hak dan kewajibannya serta
agar konsumen dapat bersikap hati-hati dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Setiap label harus memuat keterangan
mengenai pangan dengan benar. Produk
pangan hendaknya tidak dinyatakan,
didiskripsikan atau dipresentasikan secara
salah, menyesatkan (misleading atau
deceptive), atau menjurus pada munculnya
impresiyang salah terhadap karakter
12 Yusuf Shofi e, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, ( Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002), hlm. 32.
13 Pasal 96-Pasal 107 UURI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 544
produk pangan tersebut. Bahkan, diskripsi
ataupresentasi baik melalui kata-kata, gambar,
atau cara lain hendaknya tidak secarasugestif,
baik langsung atau tidak langsung, membuat
konsumen mempunyai impresi dan asosiasi
terhadap produk lain.
Pengertian benar dan tidak menyesatkan
berarti bahwa istilah yang digunakanpada
label hendaknya diartikan sama, baik oleh
pemerintah (untuk keperluanpengawasan),
kalangan produsen (untuk keperluan
persaingan yang sehat) maupun oleh konsumen
(untuk keperluan menentukan pilihannya).
Ketentuan tentang pemberian label telah
diatur secara khusus dalam PP No. 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Menurut
Pasal 1 Angka 3 PP No. 69 Tahun 1999, label
pangan adalah:
“Setiap keterangan mengenai
pangan yang berbentuk gambar,
tulisan, kombinasi keduanya, atau
bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam,
ditempelkan pada, atau merupakan
bagian kemasan pangan”.
Dalam Pasal 2 PP tentang Label dan Iklan
Pangan tersebut disebutkan bahwa setiap
orang yang memproduksi atau memasukkan
pangan yang dikemas kedalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan/
atau di kemasan pangan. Label tersebut harus
dilakukan sedemikian rupa agar tidak mudah
lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur
atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan
pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Ketentuan mengenai pemberian label
pangan juga diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU
RI No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen khususnya angka i yang berbunyi:1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/
atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.
Selain itu, ketentuan mengenai pemberian
label telah diatur juga dalam Pasal 97 UURI
No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, yang
berbunyi:
“Setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan ke dalam
wilayah Indonesia yang dikemas
untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, didalam,
dan/atau di kemasan pangan”
Pemberian label pada kemasan makanan
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan
oleh pelaku usaha dalam memproduksi produk
makanan dalam kemasan. Label pangan dan
iklan tentang pangan memiliki beberapa
fungsi, antara lain:
1. Sebagai sumber informasi. Produsen bisa
memasukkan unsur-unsur yang dapat
memikat konsumen untuk membelinya.
Namun, informasi yang dicantumkan
545 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
harus benar, jelas dan jujur, mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa sesuai dengan ketentuan pada Pasal
4 UURI No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
2. Label dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi konsumen untuk
menentukan pilihan. Hal-hal yang dapat
dijadikan pertimbangan adalah dari segi
komposisi, berat bersih, serta harganya.
3. Label dapat digunakan sebagai sarana
mengikat transaksi, artinya apa yang
diinformasikan dalam label dan
dijanjikan dalam iklan harus dapat
dibuktikan kebenarannya dan bersedia
dituntut bila ternyata tidak benar. Oleh
karena itu diperlukan pengawas iklan
independen untuk menjamin bahwa iklan
tersebut legal, terukur, jujur, dan objektif
sehingga konsumen bisa terlindungi.
Berbagai peraturan hukum dan ketentuan
perundang-undangan telah mengatur tentang
pengemasan dan pemberian label kemasan
makanan, seperti UURI No. 18 Tahun 2012
tentang Pangan dan PP No. 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan
tersebut mengatur bahwa label kemasan harus
memuat sekurang-kurangnya antara lain:14
1. Nama Produk dan Merek Dagang.
Nama produk dan merek dagang
merupakan tanda yang dipakai
untuk membedakan makanan yang
diperdagangkan oleh produsen satu
dengan lainnya. Fungsi pencantuman
nama produk dan merek dagang adalah
untuk memudahkan pengenalan suatu
produk.
2. Daftar Bahan yang digunakan.
Pencantuman daftar bahan yang
digunakan dalam suatu produk makanan
dapat memberikan informasi susunan
bahan penyusun dan/atau komponen
yang terdapat dalam makanan.Fungsi
pencantuman daftar bahan yang
digunakan adalah agar konsumen lebih
memahami produk yang telah dibelinya.
3. Berat Bersih (Netto).
Berat bersih yaitu berat produk diluar
kemasan.Untuk produk dengan media
cair (sirup, kuah, larutan garam, saus)
harus disertai dengan berat tuntas, yaitu
berat makanan dikurangi berat cairannya.
Fungsi pencantuman berat bersih adalah
untuk mengetahui proporsi isi kemasan,
media dan harga.
4. Nama dan Alamat Produsen.
Nama dan alamat produsen yaitu alamat
lengkap pihak yang memproduksi atau
mengedarkan produk makanan. Fungsi
pencantuman nama dan alamat produsen
adalah untuk memudahkan konsumen
dalam melakukan pengaduan jika terjadi
sesuatu yang merugikan konsumen.
5. Tanggal Kadaluwarsa.
Tanggal kadaluwarsa yaitu keterangan
yang mengindikasikan waktu (tanggal,
bulan dan tahun) kapan makanan aman
dikonsumsi sejak diproduksi dan diterima
14 Tim Boga AKS, “Label Pada Kemasan Makanan”, Koki, (Edisi 0039, Maret 2005): hlm.22.
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 546
konsumen.Fungsinya untuk antisipasi
keamanan, keselamatan konsumen
mengkonsumsi suatu produk makanan.
6. Keterangan Halal.15
Keterangan halal untuk suatu produk
pangan sangat penting bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas memeluk
agama Islam.Namun, pencantumannya
pada label pangan baru merupakan
kewajiban apabila setiap orang
yang memproduksi pangan dan/atau
memasukkan pangan kedalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan
menyatakan bahwa pangan yang
bersangkutan adalah halal bagi umat
Islam. Adapun keterangan tentang halal
dimaksudkan agar masyarakat terhindar
dari mengkonsumsi pangan yang tidak
halal (haram).Dengan pencantuman
halal pada label pangan, dianggap telah
terjadi pernyataan dimaksud dan setiap
orang yang membuat pernyataan tersebut
bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan itu.
7. Kode Produksi
Kode produksi yaitu keterangan huruf
atau angka atau kombinasi keduanya yang
menunjukkan riwayat barang produksi.
Kode produksi hanya diketahui produsen.
Fungsinya adalah untuk memudahkan
produsen menarik produknya dari
pasaran jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.
8. Nomor pendaftaran.
Nomor pendaftaran yaitu nomor yang
diberikan oleh Kementerian Kesehatan
RI untuk makanan yang telah terdaftar,
seperti No.SP/… untuk makanan
produksi industri kecil, No.MD untuk
makanan produksi industri besar dalam
negeri, dan No.ML untuk makanan yang
diimport dari luar negeri.Fungsinya
adalah untuk memberikan informasi
bahwa produk tersebut telah melalui
pemeriksaan standar Kementerian
Kesehatan (KEMENKES) sehingga
aman dikonsumsi.
9. Keterangan Lainnya
Keterangan lainnya adalah keterangan-
keterangan selain yang dimaksud diatas.
Misalnya, keterangan mengenai tata cara
penggunaan dan pemakaian, kandungan
gizi pangan, cara penyimpanan, ataupun
efek samping pangan bagi kelompok
masyarakat tertentu dan informasi
lain yang akan membantu konsumen
memahami produk yang dibelinya.
Disamping itu, pemerintah dapat
melarang pencantuman gambar atau
tulisan pada label yang dapat memberikan
gambaran yang menyesatkan atau tidak
benar.
Berkaitan dengan pangan produk rekayasa
genetika, beberapa fungsi dari label makanan
tersebut sangat penting. Pertama, label
menjadi satu-satunya sumber informasi bagi
15 Lebih lanjut diatur dalam ketentuan dalam UURI No. 30 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
547 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
konsumen tentang makanan yang dikemas,
sebagai suatu produk pangan yang berbeda
dengan pangan konvensional maka pangan
produk rekayasa genetika ini harus lebih
diperhatikan keberadaan informasinya.
Informasi terhadap keberadaan pangan
produk rekayasa genetika sangat penting,
jika pemberian informasi tersebut tidak
dilakukan secara benar, jelas dan jujur, maka
hak konsumen untuk memperoleh informasi
terhadap produk yang diinformasikan tersebut
akan terlanggar.
Kedua, sebagai pangan produk yang
berbeda materi dan substansi dengan produk
makanan lainnya, maka keberadaan label
pada produk tersebut sangat penting bagi
konsumen untuk menentukan pilihan, karena
konsumen berhak untuk mengetahui apakah
produk makanan yang mereka konsumsi aman
atau tidak. Semakin informatif label pada
kemasan makanan akan semakin membantu
konsumen untuk menentukan pilihan dalam
membeli produk atau tidak, karena memilih
suatu produk makanan dalam kemasan bukan
hanya untuk rasa dan preferensi, namun
untuk keamanan dan kesehatan kita sebagai
konsumen.
Penerapan bioteknologi modern ini
bertujuan untuk menghasilkan hewan/tanaman
dengan varietas unggul yang memiliki
berbagai kelebihan, seperti produktivitas
yang tinggi, tahan hama, dan lingkungan
ekstrim. Dengan harapan teknologi rekayasa
genetik dapat menjawab persoalan krisis
pangan dunia yang kini tengah menjadi
isu global. Makhluk hidup hasil rekayasa
genetik kemudian dimanfaatkan sebagai
bahan baku pengolahan pangan yang sebagian
besar berasal dari tanaman dan pada saat ini
tanaman yang paling banyak dibudidayakan
secara transgenik.
Di satu sisi produk pangan hasil rekayasa
genetik semakin beragam dan menarik untuk
dikonsumsi. Namun di sisi lain, konsumsi
pangan Produk pangan Rekayasa Genetika
(selanjutnya disebut PRG) masih menuai
kekhawatiran bahwa pangan tersebut
mungkin dapat beresiko terhadap kesehatan
manusia. Kekhawatiran terhadap pangan
PRG mencakup berbagai aspek yang sering
dipermasalahkan antara lain kecenderungan
untuk menyebabkan reaksi alergi
(alergenisitas), transfer gen dan outcrossing.
Peredaran produk pangan rekayasa
genetika seperti jagung, kedelai, minyak
kanola, kacang polong, tomat, pepaya,
kentang, beras dan produk susu beserta
turunannya, saat ini sudah meluas hampir di
semua negara di dunia termasuk di Indonesia.
Walaupun masih banyak pertentangan
pendapat antara kebaikan dan keburukan yang
ditimbulkan atas produk pangan rekayasa
genetika ini, maka disinilah diperlukan peran
pemerintah untuk melindungi kepentingan
warganya. Dalam hal ini bentuk perlindungan
hukum yang dapat diberikan adalah kebijakan
yang jelas tentang pelabelan produk pangan
rekayasa genetika.
Seiring dengan perkembangan
perdagangan internasional dan perjanjian
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 548
internasional, maka pada tahun 2004
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi
The Cartagene Protocol on Bio safety
yang kemudian di sahkan melalui UURI
No.21 Tahun 2004 tentang Pengesahan The
Cartagene Protocol on Bio safety. Ratifikasi
Protocol Cartagene on Bio Safety inilah yang
menjadi dasar perubahan UURI No.7 Tahun
1996 tentang Pangan menjadi UU RI No.18
Tahun 2012 tentang Pangan. Sementara itu PP
No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan masih berlaku hingga saat ini.
Kebijakan hukum yang terkait dengan
peredaran produk pangan hasil rekayasa
genetika diturunkan dalam Peraturan
Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetika, Peraturan Presiden No. 39 tahun
2010 tentang Komisi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik sebagaimana
diperbarui dengan Peraturan Presiden No.
53 tahun 2014.Selain itu, dalam tataran
aplikatif diatur dalam Peraturan Kepala
Badan POM RI No. HK.03.23.03.12.1563
tahun 2012 tentang Pedoman Pengkajian
Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika
dan Peraturan Kepala Badan POM RI
No.HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012 tentang
Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Pangan
Rekayasa Genetika.
Dalam Pasal 77 ayat (2) UURI No.18
Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan
kegiatan atau proses produksi
pangan dilarang menggunakan
bahan baku , bahan tambahan
pangan dan atau bahan lain yang
dihasilkan dari rekayasa genetika
pangan yang belum mendapatkan
persetujuan keamanan pangan
sebelum diedarkan”.
Dari isi ketentuan pasal tersebut
merupakan perwujudan dari pendekatan
kehati-hatian (precautionary approach)
sebagaimana dimuat dalam the Cartagene
Protocol on Biosafety. Pendekatan kehati-
hatian ini diperlukan guna memastikan aspek
keamanan dari produk pangan rekayasa
genetika tersebut. Sedangkan Pasal 109
UURI No.39 tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan :
“Setiap orang dan/atau badan hukum
yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan
minuman yang diperlakukan sebagai
makanan dan minuman hasil
teknologi rekayasa genetik harus
menjamin agar aman bagi manusia,
hewan yang dimakan manusia, dan
lingkungan”.
Pemerintah mewajibkan pemeriksaan
keamanan pangan PRG sebelum diedarkan
(pre-market food safety assessment).
Pengkajian keamanan dilakukan oleh Komisi
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
(selanjutnya disebut KKH PRG).
Peraturan Kepala Badan POM RI No.
HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012 tentang
Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Pangan
549 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
Rekayasa Genetika, mengatur penerapan
pelabelan keterangan pangan produk rekayasa
genetika sebagai berikut:16
1. Pangan PRG yang diperdagangkan dalam
bentuk curah atau dalam keadaan tidak
dikemas harus diberi informasi yang
jelas bahwa pangan tersebut merupakan
pangan PRG. Informasi tersebut
ditempatkan sedemikian rupa sehingga
mudah terlihat dan harus berada dalam
wadah atau berdekatan dengan wadah
tempat penjualan pangan tersebut.
2. Pangan PRG yang telah memenuhi
persyaratan dan diedarkan dalam
kemasan wajib mencantumkan
keterangan tertulis berupa “Pangan
Produk Rekayasa Genetik”.
3. Tulisan “Pangan Produk Rekayasa
Genetik” dicantumkan jika pangan
mengandung paling sedikit 5 (lima) persen
pangan PRG, berdasarkan presentase
kandungan Asam Deoksiribonukleat
(Deoxyribo Nucleic Acid/DNA) PRG
terhadap kandungan DNA non PRG.
4. Pangan yang menggunakan 1 (satu)
pangan PRG (ingredient tunggal), tulisan
“Pangan Produk Rekayasa Genetik”
dicantumkan setelah penulisan nama
jenis pangan pada bagian utama label.
5. Dalam hal pangan mengandung lebih
dari 1 (satu) pangan PRG, perhitungan
presentase kandungan dilakukan terhadap
masing-masing pangan PRG, tulisan
“Pangan Produk Rekayasa Genetik”
dicantumkan setelah penulisan nama
bahan pangan yang bersangkutan pada
bagian daftar bahan yang digunakan.
6. Ukuran huruf untuk tulisan “Pangan
Produk Rekayasa Genetik” harus sama
dengan ukuran huruf nama jenis pangan
atau nama bahan pangan.
7. Pangan yang telah mengalami proses
pemurnian lebih lanjut sehingga tidak
teridentifi kasi mengandung protein PRG
seperti minyak, lemak, gula, dan pati,
tidak wajib diberi keterangan PRG.
Bentuk perlindungan hukum bagi
konsumen atas peredaran pangan produk
rekayasa genetika juga diwujudkan dalam
Peraturan Pemerintah No.21 tahun 200
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Gentika. Peraturan Pemerintah ini diperlukan
oleh karena peraturan perundang-undangan
yang telah ada belum cukup untuk mengatur
segala sesuatu tentang PRG sebagaimana
diamanatkan dalam Konvensi, maka
diperlukan pengaturan yang sistematis dan
efektif. Peraturan Pemerintah ini dijadikan
dasar hukum dalam mewujudkan keamanan
hayati, keamanan pangan, dan/atau pakan PRG
bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip
kesehatan serta pengelolaan sumberdaya
hayati, perlindungan konsumen dan kepastian
berusaha dengan mempertimbangkan agama,
etika, sosial, budaya dan estetika.
16 Yusra Egayanti, Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika, Simposium dan SeminarNasional Produk Rekayasa Genetika, Universitas Brawijaya, Fakultas MIPA, 10 September 2015.
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 550
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 21
Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetik disebutkan:
”Pengaturan yang diterapkan
dalam Peraturan Pemerintah ini
menggunakan pendekatan kehati-
hatian dalam rangka mewujudkan
keamanan lingkungan, keamanan
pangan dan/atau pakan dengan
didasarkan pada metode ilmiah yang
sahih serta mempertimbangkan
kaidah agama, etika, sosial budaya,
dan estetika.”
Penjelasan pasal ini menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pendekatan
kehati-hatian adalah suatu pendekatan
dalam pengambilan keputusan untuk
melakukan tindakan pencegahan atas adanya
kemungkinan terjadinya dampak merugikan
pada lingkungan dan kesehatan manusia yang
signifi kan, bahkan sebelum bukti-bukti ilmiah
konklusif mengenai dampak tersebut muncul.
Peraturan pemerintah ini menetapkan
bahwa pendekatan kehati-hatian
diimplementasikan dalam ketentuan bahwa
sebelum suatu PRG dapat dimanfaatkan perlu
dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan
pengelolaan resiko keamanan lingkungan,
pangan dan/atau pakan dengan metode ilmiah
yang sahih dan pertimbangan faktor sosial,
ekonomi, dan etika, untuk menjamin bahwa
risiko pemanfaatan PRG terhadap lingkungan
dan kesehatan manusia dapat diterima
berdasarkan persyaratan peraturan yang ada.
Pertimbangan dari kaidah agama, etika,
sosial budaya dan etika, antara lain adalah gen
yang ditransformasikan ke PRG harus berasal
dari organisme yang tidak bertentangan
dengan kaidah agama tertentu, bentuk atau
fenotipe hewan PRG harus sepadan dengan
tetuanya dan sesuai dengan estetika yang
berlaku.
Peraturan Pemerintah ini telah memberikan
aturan yang lebih spesifi k mengenai
pemanfaatan produk rekayasa genetik, akan
tetapi sama dengan peraturan-peraturan
sebelumnya, Peraturan Pemerintah No. 21
Tahun 2005 ini belum mampu menyediakan
acuan yang jelas mengenai hal kapan tindakan
pencegahan dini dilakukan pada situasi yang
konkrit. Akibatnya, prinsip pencegahan
dini menjadi samar-samar (sekedar konsep)
dan sulit untuk diejawantahkan ke dalam
kebijakan. Untuk itu, langkah-langkah yang
diperlukan dalam rangka mendukung prinsip
pencegahan dini harus dilihat dari berbagai
aspek, diantaranya: (1) aspek legalitas; (2)
aspek pengembangan kelembagaan; (3) aspek
pengembangan fasilitas sarana dan peralatan;
(4) aspek penelitian dan pengembangan;
(5) aspek pencerahan masyarakat (public
awareness) ; dan (6) peranan kelembagaan.17
17 Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Transgenik, Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta, Oktober 2001.
551 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
B. Bentuk Pertanggungjawaban Hu-kum Bagi Pelaku Usaha yang Terkait Dengan Peredaran Produk Pangan Rekayasa Genetika (PRG) Di Indonesia.
Dalam mencermati hubungan hukum yang
terjadi antara pelaku usaha dan konsumen
maka ada beberapa prinsip tanggungjawab
hukum yang dapat di terapkan antara lain :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan
unsur kesalahan18
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang
baru dapat dimintakan pertanggung
jawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan (fault liability principle atau
liability based on fault) ini merupakan
prinsip yang cukup umum berlaku
dalam hukum pidana dan hukum
perdata. Prinsip ini dipegang teguh
dalam pasal 1365, pasal 1366 dan pasal
1367 KUHPerdata.Persoalan yang
perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang
sebenarnya juga berlaku umum untuk
prinsip-prinsip lainnya adalah defi nisi
tentang subyek pelaku kesalahan (lihat
pasal 1367 KUHPerdata). Dalam doktrin
hukum dikenal asas vicariousliability
dan corporate liability.
Vicarious liability (atau disebut
juga respondeat superior, let the
masteranswer), mengandung pengertian,
majikan bertanggung jawab atas
kerugian pihak lain yang ditimbulkan
oleh orang-orang/karyawan yang berada
di bawah pengawasannya. Jika karyawan
itu dipinjamkan ke pihak lain, maka
tanggung jawabnya beralih pada pemakai
karyawan tadi.
Dalam corporate liability, lembaga
(korporasi) yang menanggung suatu
kelompok pekerja mempunyai tanggung
jawab terhadap tenaga-tenaga yang
dipekerjakan. Latar belakang penerapan
prinsip ini adalah konsumen hanya
melihat semua di balik dinding suatu
korporasi itu sebagai satu kesatuan. Ia
tidak dapat membedakan mana yang
berhubungan secara organik dengan
korporasi dan mana yang tidak.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung
jawab19
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat
selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle)
sampai ia dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian
ada pada tergugat (beban pembuktian
terbalik atau omkering von bewijsslast).
UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) juga
mengadopsi sistem pembuktian terbalik
ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal
19, pasal 22 dan pasal 23 UUPK (lihat
ketentuan pasal 28 UUPK).
18 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Gramedia Media Sarana Indonesia:2000), hlm. 73-75
19 Ibid, hlm. 75-76
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 552
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab20
Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab (presumption of
non-liability principle) menyatakan
bahwa tergugat selalu dianggap tidak
bertanggung jawab sampai terbukti bahwa
ia benar-benar bersalah menurut putusan
pengadilan. Pihak yang dibebankan untuk
membuktikan kesalahan itu ada pada
konsumen, biasanya penerapan prinsip
ini adalah pada hukum pengangkutan
udara.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak21
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability principle) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut
(absolute liability principle). Namun
demikian, dalam penggunaan istilah ini
ternyata tidak sama karena yang menjadi
ukuran utama dari prinsip tanggung
jawab mutlak adalah tanggung jawab
yang tidak mempersoalkan ada atau
tidaknya kesalahan.
5. Prinsip tanggung jawab dengan
pembatasan22
Prinsip tanggung jawab dengan
pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku
usaha untuk dicantumkan sebagai
klausula eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung
jawab ini sangat merugikan konsumen
bila ditetapkan secara sepihak oleh
pelaku usaha.
6. Prinsip tanggung jawab produk dan
Prinsip tanggung jawab profesional23
Prinsip tanggung jawab produk (product
liability principle) mengacu pada
tanggung jawab yang dibebankan kepada
produsen. Agnes M. Toar mengartikan
tanggung jawab produk sebagai
tanggung jawab produsen untuk produk
yang dibawanya ke dalam peredaran
yang menimbulkan atau menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut.24
Sedangkan prinsip tanggung jawab
profesional (professional liability principle)
lebih berhubungan dengan jasa. Menurut
Komar Kantaatmadja, tanggung jawab
profesional adalah tanggung jawab hukum
(legal liability) dalam hubungan dengan jasa
profesional yang diberikan kepada klien25.
Tanggung jawab profesional timbul karena
mereka (para penyedia jasa profesional) tidak
memenuhi perjanjian yang mereka sepakati
dengan klien mereka atau akibat kelalaian
penyedia jasa tersebut mengakibatkan
terjadinya perbuatan melawan hukum.
20 Ibid, hlm. 7721 Ibid, hlm. 77-7922 Ibid, hlm. 7923 Ibid, hlm. 8024 Ibid, hlm, 80-8125 Ibid, hlm. 82
553 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
Dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen terkait dengan peredaran pangan produk rekayasa genetika maka pertanggungjawaban hukum bagi pelaku usaha dapat dianalisis dari berbagai peraturan.
UURI No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Berbicara tentang tanggung jawab pelaku usaha, maka terlebih dahulu harus dibicarakan mengenai kewajibannya karena dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir tanggung jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena Undang-undang dan hukum (statutory
obligation)26. Dalam kaitannya dengan UU Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik dalam aktivitas produksinya (pasal 7 huruf a UUPK) dan pelaku usha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan (pasal 7 huruf b UUPK). Rumusan pasal ini mengandung suatu keharusan atau kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan.
Merujuk UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produk meskipun antara pelaku usaha dan konsumen tidak terdapat
persetujuan lebih dahulu. Hal ini di dasarkan
pada perbuatan melawan hukum, sebagaimana
ditentukan di dalam pasal 1365 KUHPerdata,
yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan (pasal
19 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999).Ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (pasal 19 ayat (2) UU No. 8
Tahun 1999).
Rincian kompensasi yang disebutkan
dalam Pasal 19 ayat (2) UU No. 8 Tahun
1999 tampak hanya bersifat material karena
tidak ditentukan tentang kemungkinan lain
yang melebihi kerugian material. Misalnya,
dalam hal kerugian yang bersifat immaterial
atau moral, yang terkadang kerugiannya lebih
besar daripada kerugian material.27
26 N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), hlm 137.
27 Ibid, hlm. 144
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 554
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi (pasal 19 ayat (3) UU No. 8 tahun
1999). Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan (pasal 19
ayat (4) UU No. 8 Tahun 1999).Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen (pasal 19
ayat (5) UU No. 8 Tahun 1999).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
UUPK menyediakan bermacam-macam
sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku
usaha sesuai dengan pasal yang dilanggar
antara lain: 1. Sanksi administratif, Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang
menjatuhkan sanksi administratif terhadap
pelaku usaha yang melanggar pasal 19 ayat
(2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25 dan pasal
26. Sanksi administratif berupa penetapan
ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) (pasal 60). 2.Sanksi
pidana, Penuntutan dapat dilakukan terhadap
pelaku usaha dan/atau pengurusnya (pasal
61). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
(pasal 62). 3. Hukuman tambahan,terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan,
berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu
yang menyebutkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari
peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Terkait dengan tanggung jawab pelaku
usaha atas peredaran pangan produk rekasaya
genetika, undang-undang ini menegaskan
bahwa pelaku usaha harus memenuhi
persyaratan uji keamanan sebelum produk
beredar serta memenuhi aturan pelabelan.
Pasal 77 UU no.18 Tahun 2012 tentang pangan
menyatakan bahwa :1. Setiap Orang dilarang memproduksi
Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.
2. Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.
Sedangkan terkait dengan uji keamanan
pelaku usaha juga tunduk pada ketetentuan
pasal 78 sebagai berikut:1. Pemerintah menetapkan persyaratan dan
prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik
555 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
Pangan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sedangkan sanksi yang dapat diterapkan
terhadap ketentuan pasal 77 diatur dalam
pasal 79 sebagai berikut:1. Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan,
produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh
produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sedangkan pada saat peredaran produk
pangan rekayasa genetika pelaku usaha tunduk
pada ketentuan tentang pelabelan pangan yang
diatur dalam pasal 100 UU no.18 Tahun 2012
tentang pangan menyatakan bahwa :4. Setiap label Pangan yang diperdagangkan
wajib memuat keterangan mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
5. Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada label.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 100
UURI No. 18 Tahun 2012 ini dapat dikenai
sanksi Sanksi administratif sebagaimana
diatur dalam Pasal 103 berupa: a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan,
produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan
Pangan dari peredaran oleh produsen; d.
ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin.
Dalam pelaksanaan lebih lanjut dari
ketentuan ini diatur dalam penduan pelabelan
pangan produk rekaya genetika yang
dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan
POM RI No.HK.03.23.03.12.1564 tahun
2012 tentang Pengawasan Pelabelan Pangan
Produk Pangan Rekayasa Genetika.
Dari beberapa peraturan tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab
pelaku usaha terkait dengan peredaran pangan
produk rekayasa genetika telah diatur secara
rinci dan dapat diterapkan di Indonesia.
Simpulan
Bentuk perlindungan hukum bagi
konsumen terkait dengan peredaran produk
pangan rekasaya genetika di Indonesia secara
normatif dapat disimpulkan bahwa pemerintah
Indonesia telah memberikan perlindungan
hukum yang memadai bagi konsumen atas
peredaran produk pangan rekayasa genetika
baik sebelum peredaran produk dalam bentuk
keharusan untuk melakukan uji keamanan
produk rekayasa bagi pelaku usaha yang
Yuliati, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terkait Peredaran Pangan Hasil... 556
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika dan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban tentang pelabelan produk pangan yang mengandung rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pangan dan Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.23.03.12.1563 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetika dan pada saat produk diedarkan melalui Peraturan Kepala Badan POM RI
No.HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012 tentang
Pengawasan Pelabelan Pangan Produk Pangan
Rekayasa Genetika.
Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha
terkait dengan peredaran produk pangan
rekayasa genetika ini pemerintah juga sudah
memberikan batasan yang jelas bagi pelaku
usaha terkait dengan perbuatan yang dilarang
serta sanksi yang dapat dikenakan terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam undang-undang
perlindungan konsumen dan undang-undang
pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Djumhana, Muhammad,Hukum dalam
Perkembangan Bioteknologi, Bandung:
Citra Aditya Bhakti, 2000
Endia Praja, Firman Tumantara, Hukum
Perlindungan Konsumen, Malang:
Setara Press,2016
Siahaan NHT, Hukum Konsumen, Jakarta
:Panta Rei, 2005
-------Hukum Konsumen: Perlindungan
Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Jakarta: Panta Rei, 2005
Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia, Bandung:Citra
Aditya Bakti, 2006
Shofie,Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen dan
Tindak Pidana Korporasi, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002
Shidarta,Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia, Jakarta: Gramedia Media
Sarana Indonesia, 2000
Yusra Egayanti, Pengkajian Keamanan
Pangan Produk Rekayasa Genetika,
Simposium dan SeminarNasional
Produk Rekayasa Genetika, Universitas
Brawijaya, Fakultas MIPA, 10
September 2015.
Jurnal
Anto Ismu Budianto, Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Produk Rekayasa
Genetik di Indonesia, Jurnal Hukum
No.15 Vol.7, Desember 2000
Guspri Devi Artanti, Hardinsyah, Dewa Ketut
Sadra Swastika, dan Retnaningsih,
Analisis Faktor-Faktor Yang
557 ARENA HUKUM Volume 11, Nomor 3, Desember 2018, Halaman 540-557
Mempengaruhi Penerimaan Petani
Terhadap Produk Rekayasa Genetika,
Jurnal Gizi Dan Pangan. 2012;5(2).
Dewi Sulistianingsih, Pemahaman Masyarakat
Terhadap Bahaya Penyalah-Gunaan
Pemakaian Kemasan Produk Makanan
Dan Penegakan Hukumnya, Jurnal
Litigasi. 2016;16(1) Doi 10.23969/
Litigasi.V16i1.50.
Makalah
Kehadiran Benih Produk Rekayasa Genetika
di Indonesia, Balai Besar PPMB,
Bogor, 14 Januari 2014
Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan
dan Pemanfaatan Pangan Transgenik,
Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan,
Jakarta, Oktober 2001.
Artikel Internet
Koalisi Ornop untuk Keamanan dan Pangan,
2006, Menggugat Peredaran Pangan
Transgenik, http://www.ylki.or.id,
diakses 12 Maret 2017
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
2006, pemerintah Harus Serius Tangani
Produk Pangan Transgenik, http://
www.ylki.or.id, diakses 12 Maret 2017
Peraturan Perundang-undangan
The Cartagene Protocol on Bio Safety to the
Convention on Biological Diversity
UURI No 21 tahun 2004 tentang Ratifikasi
The Cartagene Protocol on Bio Safety to
the Convention on Biological Diversity
UURI No.5 tahun 1994 tentang Ratifikasi
Konvensi PBB tentang Keanake
Ragaman Hayati
UURI No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
UURI No. 30 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal
UURI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsmen
Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2005
tentang Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetika
Peraturan Presiden No. 39 tahun 2010
tentang Komisi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik sebagaimana
diperbarui dengan Peraturan Presiden
No. 53 tahun 2014.
Peraturan Kepala Badan POM RI No.
HK.03.23.03.12.1563 tahun 2012
tentang Pedoman Pengkajian Keamanan
Pangan Produk Rekayasa Genetika
Peraturan Kepala Badan POM RI No.
HK.03.23.03.12.1564 tahun 2012
tentang Pengawasan Pelabelan Pangan
Produk Pangan Rekayasa Genetika