Post on 31-Oct-2021
transcript
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 3 (2018): 556-588
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1746
REKONSEPTUALISASI JUDICIAL PARDON DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA (STUDI PERBANDINGAN SISTEM HUKUM
INDONESIA DENGAN SISITEM HUKUM BARAT)
Mufatikhatul Farikhah *
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Korespondensi: mufatikhatul@ub.ac.id
Naskah dikirim: 20 Nopember 2017
Naskah diterima untuk diterbitkan: 19 Februari 2018
Abstract
Judicial Pardon in Indonesia is the result of comparative studies with several
countries including the Netherlands, Greece, Portugal and Uzbekistan. The
author tries to discover what legal system underlies the concept of Judicial
Pardon applied in some countries and how the concept of judicial pardon is
most compatible with the Indonesian Law System. This paper is based on
normative legal research with a Historical Approach, Comparative Approach,
and conceptual approach. Currently the criminal law is also influenced by the
Anglo saxon legal system. Responding to the second issue is more appropriate
when incorporating the conception of Islam as well as the customary court in
its formulation, where there should be a clear formulation of any crime that can
be given by the judges, so that the legal certainty is guaranteed and formulated
in the RKUHAP into one type of decision that can be given by the judge for the
forgiveness of a judge that is a guilty verdict without punishment.
Keywords: Judicial Pardon, Indonesian Legal System, Western Legal System.
Abstrak
Judicial Pardon di Indonesia merupakan hasil dari studi perbandingan dengan
beberapa negara yakni konsep yang telah dipraktekkan di Belanda, Yunani,
Portugal dan Uzbekistan. Penulis mencoba untuk menemukan sistem hukum
apa yang mendasari konsep Judicial Pardon yang diterapkan di beberapa
negara serta bagaimana konsep judicial pardon yang paling sesuai dengan
Sistem Hukum di Indonesia. Tulisan ini didasarkan pada penelitian yuridis
normatif dengan Pendekatan Historis (Historical approach), pendekatan
Perbandingan (Comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Saat ini hukum pidananya juga di pengaruhi oleh sistem hukum
Anglo saxon. Menjawab permasalahan kedua lebih tepat ketika memasukkan
konsepsi Islam dan juga Peradilan adat dalam perumusannya, dimana harus ada
perumusan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja yang bisa diberikan
pemaafan oleh hakim, sehingga kepastian hukumnya terjamin serta
menformulasikan dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis putusan yang dapat
diberikan oleh hakim atas pemaafan hakim yakni putusan salah tanpa pidana (a
guilty verdict without punishment). Kata Kunci: Judicial Pardon, Sistem Hukum Indonesia, Sistem Hukum Barat.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 557
I. PENDAHULUAN
Hukum pidana merupakan salah satu bidang dari sistem hukum nasional
yang didalam kerangka kerjanya merupakan bagian dari sistem peradilan
pidana. Hukum pidana dan sistem peradilan pidana, merupakan salah satu
instrumen pengaturan dan perlindungan berbagai kepentingan secara seimbang
diantara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kolektivitas
didalamnya maupun kepentingan individu atau perorangan termasuk
kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan1. Hukum pidana
cenderung merupakan penyempurna bagi peraturan hukum lainnya, dimana
hukum pidana sebagai sebuah pisau yang membatasi kewenangan dan juga hak
dari seseorang, seringkali kita mendengar bahwa hukum pidana merupakan
alternatif terakhir yang digunakan dalam menyelesaikan suatu konflik yang
timbul dari adanya pergeseran hak antar masyarakat. Disatu sisi hukum pidana
akan melindungi hak seseorang tapi disisi lain juga membatasi bahkan
merampas hak seseorang lainnya.
Rasa keadilan masyarakat (Moral Justice) pernah selalu di anggap
jarang bisa terpenuhi oleh apa yang telah menjadi hasil dari sebuah acara
persidangan di Pengadilan. Telah banyak dilakukan tindakan dan upaya oleh
lembaga-lembaga hukum pidana di negara kita untuk memulihkan citra hukum
di mata masyarakat, bahkan tidak henti-hentinya negara kita melakukan
perbandingan hukum dengan negara-negara lain demi mendapatkan akan
sesuatu peraturan atau kebijakan yang nantinya di harapkan bisa menekan
angka tindak pidana dan tentu saja juga demi tercapainya rasa keadilan
masyarakat dari putusan-putusan yang di keluarkan oleh hakim-hakim pidana
nantinya.
Dalam perkembangannya sekarang, perbandingan hukum tidak
mempunyai objek tersendiri tetapi mempelajari hubungan-hubungan sosial
yang telah menjadi objek studi dari cabang-cabang hukum yang telah ada2.
Sebagian dari hasil perbandingan hukum pidana nasional dengan hukum pidana
di negara-negara lain itulah kemudian menjadi bahan dalam pembaharuan
hukum pidana Indonesia yang kemudian dituangkan dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dan mungkin juga akan di tuangkan dalam
peraturan perundang-undangan lain nantinya, dimana tentu saja sejauh tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana nasional.
Sejalan dengan selalu munculnya harapan-harapan dari masyarakat
untuk pencapaian Moral Justice ini, sebenarnya hal ini telah terlebih dahulu di
pikirkan atau di harapkan untuk selalu dapat tercapai oleh hakim-hakim pidana.
Hakim mengenal ada dua rasa keadilan yang akan berlaku setelah dia membuat
suatu keputusan atau setelah menjatuhkan suatu hukuman atau pidana terhadap
seorang individu anggota masyarakat. Rasa keadilan masyarakat dan rasa
keadilan berdasar undang-undang. Apabila rasa keadilan berdasar undang-
undang ini di anggap oleh hakim telah terpenuhi lewat putusan yang ia
jatuhkan, maka belum tentu juga di rasakan adil oleh masyarakat, atau bahkan
1 Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana”, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995),hal. ix. 2 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), hal. 2-3.
558 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
ada yang menyatakan keputusan itu benar-benar tidak adil, dan begitu pula
sebaliknya. Walaupun keputusan hakim untuk menghukum seringan-ringannya
terhadap seorang pelaku tindak pidana yang menurut hakim putusan tersebut
sudah sangat tepat, namun masih saja di anggap tidak adil oleh si terdakwa
dengan berbagai alasan.
Hakim bisa saja menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa jika
dalam perbuatannya tidak memenuhi unsur melawan hukum, menjatuhkan
putusan lepas terhadap terdakwa jika dalam perbuatannya bukan merupakan
suatu tindak kejahatan dan menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap
seorang terdakwa jika semua unsur pertanggungjawaban pidana terbukti,
sehingga bisa di katakan sebagai suatu tindak pidana atau dengan kata lain
terdakwa terbukti bersalah. Namun dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana konsep 2016 terdapat sebuah pembaharuan dimana hakim dapat
menjatuhkan putusan yang di katakan sebagai Judicial Pardon (pemaafan oleh
hakim) terhadap terdakwa yang jelas terbukti bersalah melakukan tindak
pidana. Dalam konsep ini Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu,
hukum memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf atau
pengampunan kepada terpidana tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan
apapun. Konsep Judicial Pardon ini dituangkan dalam pasal 56 ayat (2)
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana konsep 2016 yang berbunyi:
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan peneliti sebelumnya terdapat
kelemahan–kelemahan yang muncul dalam rumusan Judicial Pardon jika
dikaitkan dengan hukum Indonesia sendiri terutama jika terkait dengan hukum
yang berlaku dalam masyarkat. Untuk itu sudah seharusnya melihat konsep ini
tidak hanya dari hukum negara lain yang telah ada namun mencoba untuk
menggali dari apa yang ada di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Diketahui
bahwa Indonesia menganut sistem campuran yakni didasarkan pada apa yang
benar-benar ada dalam masyarakat Indonesia.
Judicial Pardon di harapkan bisa menjadi salah satu motor untuk
tercapainya dua rasa keadilan yang ada dalam penerapan hukum dan Undang-
Undang yaitu Moral Justice dan Law Justice. Harapan inilah yang tentu saja
dharapkan oleh tidak hanya penegak hukum namun juga semua elemen
masyarakat yang ada diIndonesia ini. Judicial Pardon di Indonesia merupakan
hasil dari studi perbandingan dengan beberapa negara yakni konsep yang telah
dipraktekkan di Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Namun pembuat
undang-undang belum melihat hukum adat di Indonesia yang juga telah
menerapkan konsep yang sama dengan Judicial Pardon yakni dalam
masyarakat adat, diantara nya Masyarakat Batak Karo, Masyarakat Lampung
Menggala, Minangkabau, serta di Aceh. Untuk itulah perlu adanya kerangka
dasar konsep Judicial Pardon yang akan bertitik tolah pada sistem hukum
Universal yang dipakai oleh negara-negara yang telah mempraktekkan konsep
tersebut serta perlu juga untuk melihat konsep yang ada di Indonesia sehingga
tujuan dasar dari pembaharuan hukum pidana terkait dengan pedoman
pemidaan yang hasil akhirnya adalah putusan yang adil dapat tercapai.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 559
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan Jenis Penelitian Yuridis Normatif yang
mengkaji pokok permasalahan berdasarkan kaidah hukum dan norma hukum
yang ada di dalam hukum Positif. Dalam penelitian ini terdapat tiga (3) Metode
pendekatan yang akan digunakan yaitu Pendekatan Historis (Historical
approach) dan pendekatan Perbandingan (Comparative approach) untuk
permasalahan pertama serta pendekatan konseptual (conceptual approach)
untuk permasalahan kedua. Pendekatan Historis (Historical approach)
dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke
waktu, serta untuk memahami perkembangan dan perubahan filosofis yang
malandasi suatu aturan hukum3. Dalam penelitian ini pendekatan tersebut
digunakan untuk menemukan dasar filososofis munculnya konsep Judicial
Pardon.
Pendekatan Perbandingan (Comparative approach) dilakukan untuk
membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum
dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain4. Dalam
penelitian ini, perbandingan yang dilakukan adalah perbandingan antara Sistem
hukum negara yang telah menggunakan dan menerapkan Judicial Pardon
dengan Indonesia yang mencoba untuk memasukkan Judicial Pardon dalam
pembaharuan hukum pidana-nya.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan suatu
pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kejelasan dan pembenaran
ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip
hukum.5 Pendekatan ini dilakukan dengan melihat pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang bertujuan untuk
menemukan ide yang melahirkan konsep-konsep hukum, pengertian hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Hukum Yang Mendasari Konsep Judicial Pardon Di Beberapa
Negara
Judicial pardon merupakan konsep baru dalam Perkembangan Hukum
Pidana Indonesia yang kemudian tertuang dalam Rancangan undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) konsep 2016. Namun
konsep ini sebelumnya juga telah diberlakukan di beberapa negara yakni
Yunani, Belanda dan Portugal dengan berbagai formulasi yang berbeda namun
memiliki kesamaan makna yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang kepada hakim untuk memberikan pemaafan kepada seorang terdakwa
yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana dengan beberapa
ketentuan sebagai syarat adanya pemberian maaf tersebut. Konsep ini kemudian
di coba untuk di formulasikan dalam RUU KUHP konsep 2005, 2008 hingga
2016.
3 Peter Mahmud Marzuki, ”Penelitian Hukum”, (Kencana; Jakarta, 2005), hal.126 4 Ibid,hal.133 5 Ibid,hal. 138
560 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Untuk mengetahui apakah kemudian konsep ini sesuai dan bisa
diberlakukan di Indonesia maka haruslah dilihat terlebih dahulu asal-usul atas
konsep ini dan juga latar belakang munculnya konsep ini. Untuk melihat asal
usul dari konsep ini perlu dilakukan perbandingan dengan negara yang telah
memberlakukan konsep ini. Perbandingan dilakukan dengan melihat sistem
hukum dari negara-negara yang telah menggunakan judicial pardon dalam
hukum pidananya masing-masing sehingga akan nampak perbedaan dan juga
kesamaannya. Seperti yang di ungkapkan Rudolph von Jhering (Konrad
Zweigert, 1977: 13).6 Bahwa:
“Resepsi institusi hukum asing ke dalam hukum nasional bukanlah
masalah apakah nasionalisme atau tidak, tetapi lebih merupakan
masalah manfaat dan kebutuhan. Tidak ada orang yang keberatan untuk
memagari halamannya setingi-tingginya jika semua cukup tersedia di
pekarangan sendiri. Tetapi hanya orang bodoh yang menolak makan
buah apel, hanya karena buah apel tersebut tdak dipetik dari pohon yang
terdapat dalam pekarangannya sendiri”
Dari kalimat tersebut maka bisa dilihat bahwa mempelajari hukum dari negara
lain diperlukan untuk melihat apakah manfaat dan juga kebutuhan atas hukum
asing tersebut atas hukum Indonesia.
Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang dikelompokkan oleh
beberapa ahli berdasarkan asal-usul, sejarah perkembangannya dan berdasarkan
metode penerapannya. Ada beberapa pengelompokan keluarga sistem hukum,
diantaranya sebagai berikut:
1. Marc Ancel, membedakan menjadi 5 sistem:
a. Sistem Eropa Kontinental (system of civil law)
b. Sistem Anglo American (common law system)
c. Sistem Timur Tengah (middle East system)
d. Sistem Timur Jauh (far East system)
e. Sistem negara-negara sosialis 7
2. Rene David, mengelompokkannya menjadi empat sistem:
a. Hukum Romawi-Jerman (The Romano Germanic Family)
b. Hukum Kebiasaan (The common Law Family)
c. Hukum Sosialis (The family of socialis law)
d. Konsepsi-konsepsi hukum dan tatanan sosial lainnya (keluarga hukum
agama dan hukum tradisional)8
Dalam pengelompokan ini terdapat dua sistem hukum yang berpengaruh besar
terhadap perkembangan hukum di dunia yakni sistem hukum anglo american
(common law) dan sistem hukum Eropa kontinental (civil law) yang kemudian
telah dijelaskan penulis dalam bab kajian pustaka. Dalam kaitannya dengan
konsep judicial pardon, penulis membandingakan tiga negara yang telah
menggunakan konsep tersebut, yang secara hukum memiliki sistem hukum
6 Konrad Zweigert, dan Heint Kotz, An Introduction to Comparative Law, Volume
I.Amsterdam,Belanda: North Holland Publishing company,1977 Dikutif dari bukunya Munir
Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, PT.Refika Aditama, Bandung, 2007, Hlm 1 7 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, London,
Routledge and Kegan paul, 1965. Hal 21. 8 Rene David dan John E.C.Brierley, Major Legal Systems in The World Today, London,
Stevens and Sons, 1978,. Hal. 28
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 561
yang sama namun memiliki sejarah dan asal-usul yang berbeda mengenai
sistem hukumnya.
1. Yunani
Hukum Yunani kuno adalah salah satu sumber sejarah terpenting bagi
tatanan hukum modern di eropa. Plato dan Aristoteles, dua tokoh Yunani yang
membangun tatatan kenegaraan yang ideal serta merupakan titik tolak dari ilmu
politik masa kini menjadikan Yunani sebagai negara yang tidak akan pernah
lepas dari bagian sejarah hukum dan politik dunia. Selain itu kota Athena yang
merupakan salah satu negara kota terbesar Yunani membentuk institusi
demokrasi pertama di Dunia.
Pada akhir abad IV SM (356-323 SM), iskandar muda, Raja Macedonia
Yunani, merebut Asia Kecil, Mesir, Babilonia, Persia dll. Kerajaan yang
terbentuk melalui penaklukan-penaklukan ini terlampau luas untuk bisa
bertahan, sehingga tak lama kemudian kerajaan itu pecah menjadi sejumlah
monarchi absolutisme. Dimana kehendak monarkh (raja) adalah “undang-
undang/aturan-aturan hidup”, suatu formula yang kemudian dimabil alih oleh
kaisar-kaisar Romawi maupun raja-raja Eropa Barat.9
Bangsa Yunani kuno (abad IV SM – III SM) miskin prestasi di bidang
perundang-undangan dan hukum, sehingga praktis hampir tidak ada
peninggalan-peninggalan berupa kitab hukum atau undang-undang. Yang bisa
dicatat oleh sejarah hukum Yunani kuno adalah naskah-naskah hukum sebagai
berikut:10
1. Pledoi-pledoi dari Demosthenes dan Isaios (abad IV SM)
2. Undang-undang Gortyn (di luar Athena), yang diketemukan kembali
naskahnya di Pulau Kreta pada tahun 1884. Undang-undang ini berasal dari
tahun 480-460 SM, umumnya mengatur tentang hukum perdata, seperti
perkawinan, hukum warus, hak milik, adopsi anak dan lain-lain.
3. Undang-undang Dura, yang berasal dari abad IV SM, berasal dari Dura (di
daerah Eufrat)
Pada abad III SM kebudayaan Hellenisme mulai mempengaruhi orang-
orang terkemuka Kerajaan Romawi. Sejak didirikan kota Roma pada abad VIII
SM orang Romawi membentuk peraturan hidup bersama sesuai dengan
kebutuhan Rakyat. Pada awalnyanya peraturan ini hanya menyangkut
kehidupan dalam kota, namun kemudian menjadi lebih universal dengan
bertambahnya wilayah kekuasaan romawi hingga menaklukkan Yunani pada
146 SM. Aliran filsafat hukum Yunani yang paling mempengaruhi Romawi
adalah aliran Stoa.11 Dalam aliran stoa suatu ide baru tentang negara
dikembangkan. Menurut filsafat Yunani klasik negara membawa manusia ke
arah kesempurnaan. Karenanya negara berhak dan berkewajiban mendidik
orang dalam segala bidang kehidupan. Namun ide ini tidak di terima oleh
Cicero, menurutnya negara merupakan perkumpulan orang banyak yang
9 Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengatar,
Bandung; PT.Refika Aditama, 2005. Hlm. 155. 10 Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Bandung; PT.Refika Aditama, 2007. Hlm.
66 11 Ide dasar stoa adalah, bahwa semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang
teratur (kosmos), berkat sutu prinsip yang menjamin kesatuan itu yakni jiwa dunia (logos).
562 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
dipersatukan melalui sutu aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.12
Sehingga negara dalam pelaksanaannya harus tetap berpedoman pada hukum
yang ditentukan (hukum alam) dan memiliki tujuan untuk memajukan
kepentingan umum.
Pada abad V M kekaisaran Romawi Runtuh, hal ini menjadi suatu
permulaan zaman baru dalam sejarah yang diberi nama abad Pertengahan. Pada
abad ini mulai masuk Agama Kristiani dan Islam serta bangsa-bsangsa lain
selain Yunani dan Romawi yaitu bangsa Eropa dan bangsa Arab. Namun
warisan Romawi dan Yunani tidak serta merta hilang, karena Yunani dengan
filsafat Aristoteles-nya dipelajari terus oleh pemikir-pemikir Islam dan
kemudian sejak abad 12 di teruskan kepada pemikir Eropa. Sedangkan Romawi
pada abad ke VI mengalami perekmbangan dibidang hukumnya yang muncul di
bagian timur kekaisaran Romawi yakni Kekaisaran Byzantium. Pada tahun 528-
534 sarjana-sarjana hukum byzantium telah menyusun Codex Juris Romani atas
perintah kaisar Justinianus. Yang kemudian disebut dengan Codex Justinianus
atau Corpus Juris Civilis. Kekaisaran Byzantium ini bertahan selama abad
pertengahan sampai abad ke-15, yakni sampai Byzantium (Istanbul) direbut
oleh Sultan Osman (1453).13
Masa kejayaan Byzantium ini juga mepengaruhi hukum di Yunani,
dimana Yunani pada masa itu terpengaruh atas hukum perdata Romawi dan
menggunakannya dalam hukum perdata negara Yunani pada masa itu.
Kemudian di tahun 1946 Yunani menggantinya dengan mengeluarkan Kitab
Undang-undang Perdata Yunani yang banyak dipengaruhi oleh hukum Jerman,
dimana Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jerman yang berlaku 1 januari
1900 di dasarkan pada Corpus Juris Civilis dan hukum kebiasaan Jerman,
sehingga tidak menggunakan Corpus Juris Civillis secara murni.
Corpus Juris Civillis terdiri dari empat bagian yaitu: 14
1. The Institute
Berisikan teks yang merupakan pengantar dari Corpus Juris Civillis
2. The Digest
Merupakan kumpulan aturan hukum yang paling lengkap, dan yang sangat
mempengaruhi perkembangan hukum selanjutnya dalam sistem hukum
Eropa Kontinental khusunya dalam bidang-bidang seperti status personal,
perbuatan melawan hukum, pemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah
ganti rugi, dan lain-lain.
3. The Code
Merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa Romawi yang di susun secara
sitematis.
4. The Novels
Marupakan aturan legislasi yang dibuat setelah selesainya pembuatan The
Digest dan The Code
Hukum Romawi merupakan cikal bakal dari sistem hukum Eropa
Kontinental, namun pengaruh hukum Romawi juga terasa dalam perkembangan
sistem hukum Anglo Saxon. Hukum Romawi sebagaimana yang ada dalam
12 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta; Kanisius, 1982.
Hlm.33. 13 Ibid. Hlm.35 14 Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 59
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 563
Corpus Juris Civillis terus berlaku dan berkembang sampai setelah jatuhnya
Kerajaan Romawi. Pada saat penaklukan oleh bangsa Germania, hukum
Romawi juga masih digunakan disamping juga mulai berlaku hukum Kanonik
(Gerejawi). Hukum Kanonik merupakan hukum yang sangat dipengaruhi oleh
ajaran agama, yanga dalam hal ini agama kristen, tetapi hukum ini sebenarnya
mempunyai watak hibrida yakni hukum campuran antara unsur ide-ide agama
kristen dengan struktur, prinsip, kaidah, dan aturan hukum Romawi Klasik.
Hukum Kanonik ini ikut mempengaruhi berbagai pembentukan hukum saat itu
dan beberapa saat setelahnya yakni:15
1. Beberapa undang-undang yang dibuat oleh penguasa Eropa dari Bangsa
Germania
2. Legislasi dari The Carolingian (800 M)
3. Iperium Romawi Suci (962 M)
Menurut Mary Ann Glendon 16Pada abad pertengahan gereja telah mempunyai
yuridiksi pengadilan sendiri, khususnya dalam bidang hukum perkawinan,
warisan dan sampai pada batas-batas tertentu juga dalam bisang hukum pidana,
dan hukum kanonik yang dibuat di masa pemerintahan gereja ini diberlakukan
pula oleh pengadilan-pengadilan sekuler, bahkan setelah hilangnya kekuasaan
yuridiksi hukum sipil dan gereja.
Pada tahun 1896 dibuat kodifikasi Jerman Pertama yakni Kodifikasi
Jerman yang dikenal dengan sebutan Burgerliches Gesetzbuch yang kemudian
mulai berlaku taun 1900. Negara-negara di dunia dengan sistem hukum Eropa
Kontinental memberlakukan salah satu diantara kodifikasi Jerman dan
Kodifikasi Perancis (Code Napoleon). Kodifikasi Jerman memilki beberapa ciri
tersendiri yang berbeda dengan Kodifikasi Perancis, diantaranya adalah:17
1. Kodifikasi Jerman lebih ilmiah, sistematis, rumit, tetapi dengan konsep-
konsep hukum yang lebih abstrak. Pembuatannya membutuhkan waktu 22
tahun (1874-1900)
2. Kodifikasi Jerman bukan dimaksudkan untuk dibaca oleh rakyat biasa yang
awam dari hukum, namun diperuntukkan kepada para profesional hukum,
seperti profesor hukum, hakim, jaksa, polisi atau pengacara.
3. Kodifikasi Jerman mencoba membuat hukum baru dengan mendasari pada
hukum tradisi Jerman, yang hal ini dipengaruhi oleh ajaran ahli hukum Von
savigny yang menyatakan hukum harus dikaji dari sejarahnya (aliran sejarah
hukum)
4. Kodifikasi Jerman ini disumberkan juga dari Sumber Hukum Romawi
Langsung, sehingga Kodifikasi ini mengambil langsung bahan-bahannya
dari hukum Romawi versi Kode Justinian.
5. Kodifikasi Jerman sering disebut bersifat pandectist (istilah untuk menyebut
orang-orang jerman masa itu), karena dalam pembutaan kodifikasi jerman
tersebut dilakukan dengan menggali sejarah hukum dan hanya menerima
hukum romawi sebagai sebagai suatu data saja, dan menganalisis dan
menformulasikan kembali dalam versi mereka.
15 Ibid, Hlm. 62 16 Mary Ann Glendon, Comparative Legal Tradition, St.Paul,Minnesota,USA; West
Publishing Co, 1982. Hlm. 20. Dikutip dari Munir Fuady, Ibid. 17 Uraian ini berdasarkan karya Munir Fuady, Ibid. Hlm. 65-96
564 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
6. Model kodifikasinya Abstrak dan Teoritik. Kitab undang-undang dibuat
secara hati-hati dan terorganisir dengan baik, konsisten, dengan suatu alur
berfikir secara filosofis, yang banyak memuat teori-teori, prinsip-prinsip,
konsep-konsep, kaidah-kaidah hukum yang diatur secara logis dan koheren.
Namun kodifikasi dengan model ini dapat menyebankan sedikit kaku dan
sulit untuk di mengerti.
Kodifikasi Jerman memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Kodifikasi dimulai dari Bagian umum yang memberikan definisi dan
penjelasan terhadap prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang digunakan
dalam kitab hukum tersebut.
2. Mempergunakan bahasa-bahasa khusus yang dipakai secara berulang-ulang
secara konsisten
3. Pengguaan konsep-konsep hukum secara konsisten
4. Mempunyai tingkat keakuratan tekhnis yang sangat tinggi, lebih tinggi
dibandingkan kodifikasi manapun di dunia
5. Setiap konstruksi kalimat umumnya menunjukkan di pundak siapa berada
beban pembuktian
6. Kodifikasi menghindari sistem bertele-tele (prolixity) dari kodifikasi di
Prussia
7. kodifikasi juga menghindari sistem ringkas dan skematis (epigramatic
brevity) dari kodifikasi di perancis
8. semua bagian dari kodifikasi itu dikunci dengan sistem cross reference yang
komprehensif sehngga menghasilkan suatu sistem logis yang tertutup
9. meskipun kodifikasi tidak terlalu Rumit, tetapi hampir semua persoalan
hukum dapat dicari acuannya dalam salah satu bagian dari kodifikasi
tersebut.
Karakteristik diatas yang hingga kini mempertahankan Kodifikasi Jerman
sebagai salah satu kodifikasi yang banyak di ikuti oleh negara-negara dengan
sistem Hukum Eropa Kontinental.
Dari uraian sejarah panjang Yunani kuno hingga Yunani Modern,
bisa dilihat bahwa perkembangan sistem hukum Eropa Kontinental berpengaruh
luas di negara tersebut, dimana salah satu ciri penting dari sistem hukum ini
adalah adanya kodifikasi hukum. Yunani yang merdeka dari Turki ditahun 1828
dan pada masa Perang dunia II berada dibawah kekuasaan Jerman memang
lebih banyak terpengaruh oleh kodifikasi Jerman dalam pembuatan hukumnya
namun kodifikasi Napoleon juga berpengaruh pada pembentukan hukumnya
yakni pada Kitab Hukum negara Yunani (yang baru) yang di buat di abad ke-
20. Negara Yunani sudah lama menjadi negara dengan sistem hukum Eropa
Kontinental, tetapi baru memiliki Kitab Undang-undang setelah Perang Dunia
II.
Pada masa yunani kuno belum ada pemisahan hukum antara publik
dan privat, sehingga pada masa ini proses peradilan nya dilakukan dengan
prosedur yang mirip dengan sistem peradilan pidana yang berlaku sekarang.18
Sistem pemidanaan pada masa ini di dukung oleh sembilan pengadilan yang
didirikan di seantero Athena.
a. Middle Court (Pengadilan Pusat)
b. Greater Court (Pengadilan Superior/yang lebih besar)
18 Uraian ini didasarkan pada karya Herman Bakir,Op.Cit. hlm. 63-71
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 565
c. Red Court (Pengadilan Merah)
d. Green Court (Pengadilan Hijau)
e. Areopagus
pengadilan ini berada di bukit Ares di Athena. Pegadilan ini bersidang hanya
untuk kasus-kasus berkelas intentional homicide (pembunuhan berencana)
yang dikelola oleh para Arkhon yang sudah memiliki pengalaman yang luas
dalam segi administrasi pemerintahan termasuk administrasi pengadilan.
Sejumlah putusan-putusan common (publik; pidana) yang sudah diputusakan
oleh pengadilan ini telah mengirimkan beberapa yang bersalah ke
pengasingan atau menyita seluruh harta kekayaan. Di abad ke 5 SM,
pengadilan ini diturunkan ke dalam empat tipe pengadilan:
- Palladion
Pengadilan untuk kasus unintentional homicide (pembunuhan tidak
berencana) dimana seseorang mengakibatkan kematian orang lain
dikarenakan sesuatu yang tidak direncanakan (dalam keadaan membela
diri). Hukuman yang diberikan untuk mdel pembunuhan yang tidak
disengaja ini adalah dengan mengasingkan atau mendeportasi pelaku ke
luar dari kota Athena.
- Delphinion
Pengadilan ini untuk kasus-kasus pembunuhan yang dlakukan oleh
seseorang dengan alasan pembenar atas tindakannya mengakibatkan
kematian orang lain.
- Prythaneion
Pengadilan ini untuk hewan, obyek in-animasi atau orang yang tidak
dikenali yang mengakibatkan kematian terhadap orang athena.
- Phreatto
Pengadilan ini diperuntukkan untuk usaha percobaan pembunuhan tidak
berencana.
Proses hukum yang digelar di pengadilan-pengadilan ini lebih mengutamakan
aspek ekonomisnya baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya, dari sini bisa
menjelaskn bahwa proses hukum di Athena melihat pada asas manfaat selain
juga mengutamakan asas kepastian hukum dan keadilan. Untuk mengakomodir
ketiga asas ini maka pengadilan di Athena dijalankan oleh rakyat biasa untuk
mengungkap kebenaran, menyatakan putusan dan melaksanakan putusan.
Proses peradilan juga dilakukan hanya dalam waktu satu hari untuk tiap kasus,
tidak menunggu berlarut-larut yang kiranya bisa memperpanjang waktu proses
hukum suatu kasus.
Sistem yang dilakukan dalam proses pengadilan di Athena adalah
sistem juri, yaitu sekelompok orang yang dipilih untuk menetapkan mana yang
adil dan benar melalui pembuktian secara faktual dalam suatu proses dan pada
istruksi dari pengadilan untuk menerapkan hukum ke dalam fakta-fakta.
Terdapat beberapa fakta menarik mengenai juri di Athena diantaranya:
a. Juri yang beracara dalam suatu perkara ditetapkan dalam jumlah yang cukup
besar yaitu umumnya 6001 orang anggota tiap perkara, namun kuantitas ini
masih relatif tergantung dari tingkat kerumitan kasusnya. Banyak nya juri
diyakini akan menghindari praktek manipulasi dan korupsi dari orang-orang
tertentu.
b. Juri yang bersidang harus berjumlah ganjil, tidak boleh bersidang dalam
jumlah genap. Misalnya dewan juri harus terdiri dari 5001,1003,2007 orang
566 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
dan seterusnya. Angka ganjil ini untuk menghindari keadaan tie (seri).
Karena dalm hukum Athena kondisi ties ini akan menguntungkan terdakwa
dimana hal itu berarti pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
c. Persyaratan mutlak dari juri adalah harus warga Athena (kedua orang tuanya
asli orang Athena), dan sudah berusia minimal 30 tahun.
Aspek lain yang cukup menarik dari prosedur pemidanaan di Athena adalah
hanya warga berkelamin pria saja yang diperbolehan mengajukan tuntutan
(memperkarakan seseorang) ke pengadilan, sebagai salah satu pihak yang
menjadi litigant. Perempuan boleh mengajukan tuntutan namun harus diwakili
ayahnya, saudara laki-lakinya atau laki-laki lain yang ada hubungan darah
dengannya.
Dari aspek-aspek diatas dapat di lihat mengenai pemahaman orang
Athena mengenai konsep Keadilan, dimana pemahaman tentang keadilan
haruslah sesuatu yang mempresentasikan realitas kemasyarakatan. Yang bisa
diartikan bahwa sesuatu baru bisa dikatakan adil ketika itu adalah apa yang oleh
sebagin besar masyarakat diterima sebagai hukum. Konsep keadilan ini
kemudian menginspirasi kehadiran doktrin sociological jurisprudence yang
pada awal abad XX mulai dikembangkan oleh yuris Amerika Roscoe Pound.
Sistem peradilan pidana Yunani saat ini terpengaruh oleh sistem
perdilan pidana Jerman, dimana Yunani tidak lagi menggunakan sistem Juri,
namun menggunakan sistem campuran dimana terdapat hakim yang merupakan
ahli hukum dan juga hakim yang berasal dari masyarakat awam yang disebut
dengan lay judges. Hakim ini secara bersama-sama memeriksa dan memutus
perkara. Jumlah dari hakim ahli hukum dan hakim awam tergantung dari berat
ringan suatu perkara. Jika terjadi pelanggaran hukum ringan maka hanya akan
di adili oleh satu hakim tunggal, untuk kejahatan ringan diadili oleh 1 hakim
ahli dan 2 hakim awam, kejahatan tergolong berat dengan 2 hakim ahli dan 2
hakim awam, kejahatan-kejahatn khusus dengan 3 hakim ahli dan 2 hakim
awam, dan untuk kejahatan serius terhadap hak asasi manusia maka akan diadili
oleh 5 juri ahli tanpa juri awam.19
Dalam hukum pidana Yunani memang tidak disebutkan secara
langsung mengenai istilah Judicial Pardon namun dari formulasi kalimatnya
menunjukkan adanya Judicial Pardon. Dalam salah satu pasal di KUHP Yunani
disebutkan bahwa:
Dalam hal-hal tertentu pengadilan dapat menahan diri untuk
menjatuhkan pidana, yaitu apabila:
(a) Delik sangat ringan;
(b) mempertimbangkan watak jahat dari pelaku; dan
(c) penjatuhan pidana dipandang tidak bermanfaat sebagai sarana
untuk mencegah pelaku mengulangi lagi tindak pidana (special
deterrence).20
Dari rumusan diatas Judicial Pardon nampak pada kalimat Pengadilan dapat
menahan diri untuk menjatuhkan pidana, dari kalimat tersebut terdapat dua hal
19 Casper, Gerhard; Zeisel, Hans (January 1972). "Lay Judges in the German Criminal
Courts" . Journal of Legal Studies 1 (1): 142 . http://www.jstor.org/stable/724014. diakses
tanggal 29 Agustus 2017. 20 Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana. Log.Cit.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 567
yang merujuk pada Judicial Pardon yakni kata “dapat” dan “menahan diri”.
Kata “dapat” memiliki definisi yaitu ada kemampuan untuk berbuat, boleh,
mampu; sanggup; bisa,21 sedangkan “menahan diri” berasal dari dua kata
“menahan” dan “diri”, “menahan” berarti menghambat atau mencegah supaya
berhenti22 dan “diri” menunjuk pada hakimnya. Sehingga dua kata ini
menjelaskan bahwa hakim sebagai pemutus perkara memiliki kewenangan
secara mutlak untuk memutuskan berdasarkan segala pertimbangannya, di sini
hakim bisa atau boleh menggunakan kewenangnya itu untuk menjatuhkan
pidana atapun tidak menjatuhkan pidana. Namun dalam hal ini hakim mendapat
batasan yang juga dimuat dalam rumusan pasalnya, dimana Hakim untuk
memberikan Judicial Pardon pada terdakwa harus mempertimbangakan
batasan-batasannya yakni:
1. Delik sangat ringan
Di dalam pasal ini tidak dijelaskan batasan mengenai delik ringan, tapi
berdasarkan ilmu pengetahun yang bisa dikategorikan delik ringan adalah
perbuatan yang tidak menimbulkan akibat yang cukup berarti untuk
korban.
2. Mempertimbangkan watak jahat dari pelaku
Untuk mengetahui watak dari pelaku bisa di lihat dari asal ususl pelaku
baik dengan menelusuri sifat pelaku secara genetikal yakni dengan melihat
bagaimana keluarga pelaku, maupun dengan melihat lingkungan tempat
tinggap pelaku. Selain itu secara psikologi watak seseorang juga bisa
dilihat yakni melalui ilmu yang disebut karakterologi. Ilmu ini mepelajari
tentang watak manusia. Karakterologi berasal dari bahasa belanda yaitu
karakter, yang berarti watak dan logos, yang berarti ilmu. Jadi
karakterologi adalah ilmu watak. Tipe manusia disolongkan menjadi:23
a. Konstitui jasmani, merupakan keadaan jasmani yang secara fisiologis
merupakan sifat-sifat bawaan sejak lahir. Konstitusi jasmani ini
berpengaruh juga pada tingkah laku orang itu, dan merupakan sifat-
sifat yang khas, asli dan tidak dapat diubah. Misalnya sifat-sifat orang
bertubuh langsing, tentu berbeda dengan sifat-sifat orang berubuh
gemuk dan sebagainya.
b. Temperamen, merupakan sifat-sifat seseorang yang disebabakan
adanya campuran-campuran zat didalam tubuhnya yang juga
mempengaruhi tingkah laku orang itu. Jadi temperamen berarti sifat
laku jiwa, dalam hubungannya dengan sifat-sifat kejasmanian.
Temperamen, juga merupakan sifat-sifat yang tetap tidak dapat
dididik.
c. Watak ialah pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala
tindakan dan pernyataan dalam hubungannya dengan bakat,
pendidikan, pengalaman dan alam sekitarnya.
Disini Temperamen dan Watak adalah suatu pribadi jiwa, yang
membedakan adalah temperamen sifatnya tetap sedangkan watak dapat di
didik atau di ubah. Selain itu watak manusia di golongkan kepada tiga tipe,
21 Kamus Besar Bahasa Indonesia 22 ibid 23 Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Edisi Revisi), Semarang: PT. Bina Ilmu Offset,1992.
Dalam http://atriaindahlestari.ngeblogs.com/2010/04/24/karakterologi/, diakses tanggal 09
Agustus 2017.
568 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
yang digolongkan oleh Heymans seorang ahli psikologi belanda,
penggolongan tersebut adalah:24
a. Emotienoliteit, orang emosional bersifat lekas memihak, fantasinya
kuat, tulisan dan bicaranya agak aneh, kurang mencintai kebenaran,
mudah marah, mudah mencintai dan senang sensasi
b. Fungsi Sekunder, orang yang berfungsi sekunder bersifat betah
dirumah, taat kepada adat, setia dalam persahabatan, besar rasa terima
kasihnya, sukar menyesuaikan diri, mudah verstroit dan konsekuen.
c. Aktifiteit, orang yang aktif bersifat suka bekerja, mudah bertindak,
mempunyai banyak hobi, mudah mengatasi kesulitan dan sebagainya.
Sehingga dengan menilai seseorang secara psikologi, hakim akan bisa
melihat kebenaran dibalik seseorang, sehingga hakim akan bisa menilai
secara adil.
3. Penjatuhan pidana dipandang tidak bermanfaat sebagai sarana untuk
mencegah pelaku mengulangi lagi tindak pidana (special deterrence).
Disini nampak bahwa tujuan pemidanaan di tekankan pada asas
kemanfaatan, dimana pemidaaan diberikan kepada seorang terdakwa
dengan mempertimbangan manfaat baik bagi terdakwa ataupun bagi
masyaratak secara luas. Sehingga ketika pemidanaan dipandang tidak ada
manfaatnya untuk mencegah pelaku melakukan tindak pidana lagi hakim
bisa memberikan pemaafannya.
Sejauh yang di ketahui penulis, dalam hal ini tidak ada penjelasan dalam pasal
tersebut apakah pertimbangan-pertimbangan ini bersifat kumulatif atau berdiri
sendiri, sehingga bisa dikatakan bahwa semua putusan tersebut diserahkan
kepada hakim apakah akan memberikan pemaafan atau tidak sepenuhnya
adalah kewenangan hakim dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang
disayaratkan undang-undang serta proses yang ada dalam persidangan.
Selain dalam pasal tersebut, dalam KUHP Yunani juga ditemukan
rumusan yang mengarahkan pada Judicial Pardon melalui Undang-undang
1419 tahun 1984 yang memasukkan ketentuan ke dalam KUHP Yunani dimana
pasal-pasal ini memungkinkan pengadilan tidak menjatuhkan sanksi apapun
yakni dalam Pasal 302:2 dan Pasal 314:2 PC yang rumusannya: 25
1. Apabila korban dari hilangnya nyawa atau luka-luka karena kealpaan
adalah keluarga dekat dari si pelaku (the offender’s next of kin), dan
2. Apabila si pelaku seharusnya tidak dipidana karena trauma psikologis yang
dideritanya karena delik itu.
Rumusan diatas cukup jelas maknanya dimana unsur-unsurnya yang terpenting
adalah adanya kealpaan, korban adalah keluarga dekat, dan pelaku mengalami
trauma psikologis. Kealpaan dapat diartikan sebagai tidak ada niat dari sipelaku
untuk melakukan kejahatan, namun karena kurang kehati-hatian menyebabkan
terjadinya tindak pidana. Keluarga dekat bisa diartikan ada hubungan secara
genetikal atau hubungan darah, sedangkan trauma psikologis tentu saja
membutuhkan penilaian dari ahli psikologi, ketiga unsur ini lebih jelas makna
nya dan pengertiannya sehingga juga lebh mudah hakim dalam memutuskan
memberikan atau tidak Judicial Pardon dalam keputusannya.
24 ibid 25 Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana. Log.Cit
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 569
2. Belanda
Belanda merupakan negara yang pernah masuk ke dalam kekaisaran
perancis dalam penaklukan yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte yang
kemudian bisa lepas dari perancis setelah kekalahan Napoleon. Kerajaan
Belanda berdiri pada tahun 1815 dan pernah berada dalam kekuasaan Jerman
pada masa Perang Dunia II (1940). Sistem hukum yang ada di Belanda
dipengaruhi oleh Perancis yakni dengan sistem hukum Eropa Kontinental-nya,
namun berbeda dengan Yunani yang menggunakan Kodifikasi Jerman, Belanda
dipengaruhi oleh Kode Napoleon Perancis. Perbedaan itu terjadi ketika hukum
Romawi mengalami masa kebangkitan kembali di abad XI dengan munculnya
keinginan para ahli hukum untuk kembali memberlakukan hukum romawi dan
kemudian memberlakukan kembali Corpus Juris Civilis, yang pada masa
sebelumnya dihilangkan oleh bangsa Germania yang mengubah hukumnya
menjadi campuran antara hukum romawi klasik dengan hukum germania.
Kebangkitan kembali hukum romawi ini dimulai dari Bologna
(Italia) dengan berkembangnya universitas modern yang terkenal yaitu
Universitas of Bologna yang mempelajari hukum romawi versi Corpus Juris
Civilis. Selanjutnya muncul berbagai universitas yang mempelajari hukum
Romawi di Italia. Di universitas-universitas tersebut terbentuk kelompok-
kelompok ahli hukum yang disebut dengan Glassator dan Commentator.
Glassator adalah generasi pertama dari Universitas Bologna yang mencoba
menafsirkan kembali hukum Roawi yang sudah banyak tida dimengerti lagi
oleh orang-orang saat itu. Sedangkan Commentator datang kemudian (abad
XIII M) yang juga menafsirkan hukum Romawi. Setelah tamat belajar dari
Universitas-universitas di italia tersebut mereka kembali ke negeri nya masing-
masing, dan mereka kemudian mendirikan universitas-universitas dan
mengajarkan hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis sesuai versi Glassator
dan Commentator. Hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis, Glassator dan
Commentator ini kemudian disebut dengan istilah “Cus Commune”.26
Seperti juga yang terjadi pada Kodifikasi Jerman yang dipengaruhi
oleh hukum Kanonik, maka pada masa kebangkitan kembali hukum Romawi
ini juga tidak bisa lepas dari hukum Kanonik tersebut, apalagi hukum Kanonik
pada masa itu telah tertulis secara baik dan merupakan obyek studi bersama-
sama dengan hukum civil versi Corpus Juris Civilis di Italia. Sehingga hukum
Kanonik dan juga hukum civil versi Corpus Juris Civilis sama-sama
mempengaruhi terbentuknya Jus Commune yang kemudian juga ikut
mempengaruhi terbentuknya Code Napoleon di Perancis. Code Napoleoan ini
dibuat satu abad sebelum adanya Kodifikasi Jerman dan mulai diberlakukan
pada tahun 1804 di Perancis.
Jika dilihat dari sejarah maka Jus Commune digunakan disebagian
besar negara eropa pada masa resepsi hukum Romawi (abad ke-16), dan
kemudian terjadi perkembangannya pada abad ke-19 sampai abad ke-20 dalam
masa resepsi kodifikasi Hukum Eropa Kontinental dengan adanya penyebaran
hukum Romawi melalui penerimaan kitab undang-undang Napoleon dibanyak
negara eroa, Amerika Latin, Asia, Afrika dan juga Belanda sebagai salah satu
negara bekas jajahan Perancis.
26 Munir Fuady, Op.Cit.61
570 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Code Napoleon ini bukan merupakan murni sebuah undang-undang
yang diciptakan baru, namun dalam pembentukannya menggunakan bahan-
bahan hukum yang sudah ada sebelumnya, dimana materi yang digunakan
untuk pembuatannya adalah:27
1. Yang utama dan paling utama adalah hukum Romawi yang berasal dari Jus
Commune.
2. Tulisan-tulisan para ahli (doktrin)
3. Peratutan-peraturan raja
4. Hukum Kebiasaan
Dari materi yang digunakan tersebut membentuk sebuah kodifikasi hukum yang
memiliki tiga konsep utama di dalamnya yaitu:
1. Konsep Hak Milik Individu. Konsep ini meruapkan perombakan besar
terhadap sistem hukum hak milik dan hukum tanah feodal yang saat itu
berlaku di perancis dengan prinsip aristokrasi-nya dalam penguasaan tanah.
2. Konsep kebebasan berkontrak (freedom of contract)
3. konsep keluarga patriarchad, dengan memberikan perlindungan dan
pengakuan terhadap otonomi dari sistem keluarga patriarchad
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa code napoleon ini
berbeda dengan Kodifikasi Jerman, dimana Code Napoleon memilki beberapa
ciri tersendiri yang berbeda dengan Kodifikasi Jerman, diantaranya adalah:28
1. Code Napoleon dibuat pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte,
dengan adanya semangat Revolusi Perancis kala itu maka huum dibuat
dengan lebih mementingkan kepentingan rakyat jelata (kaum proletar) dan
anti borjuis. Dibuat oleh sebuah komisi yang terdiri dari empat orang ahli
hukum terkenal dan dibuat hanya dalam waktu kurang dari 4 tahun.
2. Code Napoleon dibuat dengan bahasa, alur pikir, dan konsep-konsep yang
lurus, sederhana bahkan sentimentil, sehingga dapat dibaca dan dimengerti
oleh rakyat banyak tanpa bantuan para profesional karena memang
pembuatan undang-undang ini bertitik fokus pada rakyat jelata, sehingga
bisa menjadi semacam textbook untuk rakyat biasa.
3. Code Napoleon dibuat untuk melepaskan diri dari hukum yang sudah ada
yang dianggap tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan cita-
cita revolusi saat itu.
4. Code Napoleon dibuat berdasarkan pemikiran hukum alam yang sekuler,
dimana adanya pengakuan terhadap hak-hak kodrat manusia yang perlu
dilindungi oleh negara dan hukum dan adanya pengakuan bahwa semua
manusia diciptakan sama dan mempunyai kedudukan yang sama dimata
hukum.
5. Code Napoleon ini disumberkan dari Sumber Hukum Romawi berdasarkan
penafsiran para Glassator dan Commentator.
6. Code Napoleon memiliki model kodifikasi Subjektif dan Praktis, dengan
memakai bahasa yang mudah untuk di mengerti, Code Napoleon ini hanya
menjawab berbagai persoalan yang pokok saja tetapi diatur sampai setuntas-
tuntasnya.
Code Napoleon ini memberikan pemikiran yang modern pada masa itu tentang
manusia, hukum, politik dan pemerintahan. Kodifikasi ini kemudian melahirkan
27 Ibid, hlm.75 28 Uraian ini berdasarkan karya Munir Fuady, Ibid. Hlm. 65-96
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 571
berbagai kitab undang-undang yaitu di bidang hukum perdata (Code Civil),
pidana (Code Penal), dagang (Code Du Commrece), dan Code tentang hukum
acara perdata dan acara pidana.
Code Napoleon inilah yang kemudian di resepsi oleh Belanda, hal
ini bisa dilihat dalam abad-abad XIII dan XIV dengan didirikannya Universitas
Leuven pada tahun 1425, yang di dalamnya terdapat para Commentator yang
mengajarkan hukum Romawi versi Corpus Juris Civilis, juga nampak pada
putusan-putusan pengadilan dan akte-akte yuridis abad-abad XIII, XIV, dan
XV. Hukum Romawi yang di bawa perancis ini juga masuk dalam beberapa
bagian hukum antara lain hukum pidana dalam ordonansi-ordonansi tahun 1570
dan hukum laut ordonansi tahun 1563 dan 1590.29
Belanda dengan sistem hukum eropa kontinental-nya mengalami
perkembangan yang cukup besar baik dalam hal pemidanaan maupun sistem
peradilan pidananya sejak berada di bawah kekuasaan Perancis hingga Belanda
dimasa modern saat ini. Perkembangan-perkembangan di dalam sistem
peradilan pidananya antara lain adalah:
1. Abad X – Abad XII30
Belanda dan juga beberapa negara eropa lainnya berada pada
Periode feodal dimana pengadilan masa itu terpecah-pecah seperti
terpecahnya kekuasaan pada masa itu sehingga seseorang yang akan
mempertahankan atau memperoleh hak-haknya atau untuk mempertahankan
kepentingan-kepentingannya seringkali membutuhkan waktu selama
bertahun-tahun, dengan biaya yang cukup besar dan hasil yang sulit
diprediksi.
Pada masa ini berlaku sebuah prinsip umum iudicium parium,
vonisnya dijatuhkan oleh pares (yang setingkat auat setara), dimana seorang
bangsawan hanya boleh diadili oleh kaum bangsawan, anggota kelas
menengah diadili oleh kaum kelas menengah, dan seorang budak diadili oleh
rekan-rekan mereka di golongan budak. Pada masa ini wilayah pengadilan
dibagi berdasarkan wilayah-wilayah tuan tanah, setiap tuan tanah memiliki
pengadilannya masing-masing yang disebut dengan curia. Institusi ini
berwenang mengadili perselisihan antar anggota-anggota yang berada di
wilayah tuan tanah yang bersangkutan.
2. Abad XIII – Abad XVIII31
Pada masa ini Pengadilan-pengadilan feodal mulai dihilangkan dan
di gantikan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan dimana kekuasaan yudikatif
berada ditangan Raja. Pada mas ini Raja mengaggap dirinya sebagai wakil
dari Tuhan di bumi dan merupakan sumber segala keadilan dan kepatuhan
(Rex est fons omnismodi iustitiae). Disini raja memiliki penasehat-penasehat
yang membantunya dan Raja juga bisa melimpahkan kekuasaan hukum nya
pada para penasehatnya (justice deleguee).
Terdapat pengadilan-pengadilan kerajaan tingkat rendah yang
secara fungsional berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal
ini adalah Raja. Raja juga bisa melakukan pemeriksaan banding atas putusan
dari pengadilan-pengadilan kerajaan tingkat rendah tersebut. Kemudian di
29 Uraian ini didasarkan pada karya Emiritus John Gilissen, Op.Cit.hlm.322 30 Ibid. Hlm.322-346 31 Ibid
572 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Abad ke XV pengadilan kerajaan digantikan oleh pengadilan presidial
(sieges presideaux) melalui Raja Henry II yang mengawali adanya unifikasi
parsial bagi institusi-institusi kehakiman ditahun 1552.
Setelah masa itu pengadilan dibagi menjadi dua yakni Raad Van
Vlaanderen (pengadian tertinggi) dan Pengadilan-pengadilan Schepen
(pengadilan kota), dimana pada pengadilan ini semua hakim yang bersidang
adalah para legis (hakim-hakim keluaran fakultas hukum) yang sebelumnya
hukum dijalankan oleh hakim-hakim rakyat (hakim-hakim tanpa latar
belakang hukum).
Dalam periode ini mulai muncul jabatan Advokat yang pada
abad XIII di sebut Taelman yang dalam bahasa perancis avant-parlier atau
amparlier. istilah advocatus pada saat itu diberi arti pelindung atau wali,
baru pada abad XV advokat diartikan sebagai Yuris yang memberikan
nasehat dan mewakili para pihak. Kemudian pada abad XVI untuk jabatan
advokat disyaratkan berlatar belakang pendidikan universitas.
Pada masa pendudukan Perancis, Pengadilan Belanda
menggunakan sistem juri, namun setelah belanda kembali menjadi Negara
bebas, sistem ini di hapus dan digantikan dengan sistem pengadilan dengan
menggunakan hakim dalam setiap persidangannya.
3. Abad XIX – Sekarang 32
Pada masa sekarang hakim di Belanda adalah Hakim
Independent yang di tetapkan oleh pemerintah, hakim ini disebut dengan
hakim reguler yang harus merupakan lulusan universitas dengan latar
belakang akademis yang sesuai. Pengadilan Belanda juga menggunakan
hakim ad hoc untuk kasus-kasus tertentu, untuk menjadi hakim Ad Hoc
harus merupakan Sarjana Hukum dan telah menjadi profesional hukum
dalam hal ini adalah Pengacara sekurang-kurangnya 6 tahun sebelum dia
masuk menjadi hakim Ad Hoc.
Di Pengadilan Belanda juga dikenal adanya lay judges namun
proporsinya sangat kecil dalam sistem peradilan pidana Belanda dan hanya
terbatas pada kasus-kasus tertentu seperti kasus kejahatan militer. Tapi disini
pendapat dari lay judges hanya sebagai tambahan, bukan penentu keputusan
sebuah perkara.
Sistem Peradilan Pidana Belanda menganut “Principle of Open
Justice” yang berarti bahwa keterbukaan hukum sangat di junjung tinggi, hal
ini bisa dilihat dari kebebbasan media masaa untuk bisa melihat jalannya
peridangan dan juga bisa mengakses putusan hakim. Pengadilan bersifat
terbuka untuk umum, sehingga siap saja boleh melihat proses sebuah
persidangan.
Perkembangan paling baru di abad ke-20 ini adalah
dimasukkannya Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana Belanda.
Restorative Justice dijalankan dengan mempertemukan tersangka, korban,
keluarga korban dan keluarga tersangka dalam sebuah pertemuan yang
disebut dengan Eacht Recht. Pertemuan ini melibatkan pihak ketiga yang
32 Uraian ini didasarkan pada karya Marijke Malsch, Lay Participation In The
Netherlands Criminal Law System,Paper presented at the International Society for the Reform
of Criminal Law Convergence of Criminal Justice Systems: Building Bridges - Bridging the
Gaps,24-28 August 2003, www.isrcl.org/Papers/Malsch.pdf, diakses tanggal 09 Agustus 2017.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 573
disebut sebagai pengawas, yang dalam pertemuan ini bertindak sebagai
penengah dan juga fasilitator dalam terbentuknya kesepakatan. Pengawas
bisa diambil dari Polisi, Jaksa, ataupun organisasi-organisasi lain yang
berkaitan dengan kasus yang trejadi. Dalam pertemuan ini akan dicari
penyelsaian terbaik untuk korban dan juga pelaku serta keluarga mereka,
setelah kesepakatan di dapatkan maka kesepakatan itu akan dibuat dalam
bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh para pihak yang ikut serta dalam
pertemuan tersebut. Eacht Recht ini sebagai salah satu alternatif yang
diberikan oleh sistem peradilan pidana Belanda untuk lebih mengefektifkan
asas kemanfaatan hukum bagi semua warganya.
Dari beberapa pemisahan perkembangan berdasarkan abad diatas, dapat dilihat
bagaimana pengadilan di belanda berkembang dari pengadilan berdasarkan juri
seperti pengadilan kuno pada umumnya hingga pengadilan modern saat ini.
Dimana perkembangan tersebut juga kemudian di bawa ke Indonesia sebagai
negara yang dijajah Belanda saat itu.
Dalam Pemidanaannya Belanda juga mengalami beberapa
perkembangn mengingat perjalanan panjang belanda pada masa di bawah
kekuasaan Perancis hingga pasca Perang Dunia II. Perkembangan tersebut
antara lain:33
1. Pada tahun 1811 Kerajaan Belanda menyatu dengan Kekaisaran Perancis
dan KUHP Belanda yang telah berlaku sejak tahun 1809, digantikan oleh
Code Penal Napoleon Perancis. Setelah pemulihan kemerdekaan pada 1813,
Code Penal Napoleon Perancis masih berlaku untuk sementara waktu, hanya
beberapa hal yang mengalami perubahan yakni penghapusan sitem juri dan
mengembalikan sistem sanksi dari KUHP tahun 1809.
2. Pada tahun 1856 Hukuman badani dihapuskan, denda pengganti penahanan
mulai diperkenalkan pada tahun 1864 dan pada tahun 1870 hukuman mati
dihapuskan.
3. Pada 1863 Menteri Kehakiman, Modderman, mempublikasikan tesis
kedoktorannya tentang Reformasi KUHP Belanda, yang memuat deskripsi
terperinci tentang bagaimana KUHP nasional seharusnya disusun. Dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Kehakiman, pada tahun 1870 Modderman
membentuk komite reformasi hukum pidana untuk menyusun rancangan
KUHP yang kemudian diserahkan ke Parlemen pada tahun 1879, dan
kemudian disepakati pada tahun 1881, karena beberapa ketentuan perbuatan
pidana harus direvisi dan penjara baru berdasarkan sistem penjara sel harus
dibangun terlebih dahulu maka KUHP ini mulai berlaku pada tahun 1886
dengan nama resmi Wetboek van Strafrecht (WvS).
4. Sejak tahun 1886 WvS mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan
dengan tuntutan kemajuan teknologi, perubahan-perubahan ini antara lain:
- Tahun 1976 dimasukkannya Korporasi (Badan Hukum) sebagai subyek
hukum pidana.
- Tahun 1980-an mencantumkan alternatif denda pada semua perumusan
delik
33 Uraian ini didasarkan pada karya Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana
Beberapa Negara, Jakarta:Sinar Grafika,2009. Hlm.10-20. Dan karya Nyoman Samuil
Kurniawan, Hukum Pidana Belanda, www.scribd.com/elkurnia/document. Diakses tanggal 29
Agustus 2017.
574 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
- Tahun 1984 karena pengaruh hukum pidana modern maka memasukkan
hak atas privasi dan Judicial Pardon dalam WvS
- Tahun 1985 sebagai pengaruh dari Hukum Pidana Internasional, maka
dimasukkan perjanjian-perjanjian antar negara mengenai hukum pidana
ke dalam WvS.
Perubahan-perubahan itu WvS Belanda saat ini terlihat lebih “lunak” jika
dibandingkan WvS masa lalu, hal ini nampak dari adanya alternatif denda
dalam semua delik di dalam WvS, serta dimasukkannya Judicial Pardon.
WvS memiliki beberapa karakteristik diantaranya Kesederhanaan yang nampak
pada pembagian antara kejahatan atau pelanggaran dan dari sistem sanksi-nya
yang hanya terdiri dari tiga hukuman pokok, yaitu penjara, penahanan dan
denda, sehingga WvS ini nampak lebih Praktis. Karakteristik Kepercayaan
terhadap pengadilan juga terlihat dengan tidak adanya hukuman maksimum
khusus untuk pelanggaran serius.
Seperti telah disebutkan diatas, dimana pada tahun 1984 WvS
mengalami perubahan yang salah satunya adalah memasukkan Judicial Pardon
dalam pasal 9a, yang berbunyi:
Indien de rechter dit raadzaam acht in verband met de geringe ernst
van het feit, de persoonlijkheid van de dader of de omstandigheden
waaronder het feit is begaan, dan wel die zich nadien hebben
voorgedaan, kan hij in het vonnis bepalen dat geen straf of maatregel
zat worden opgelegd. (jika hakim menganggap patut berhubung
dengan kecilnya arti suatu perbuatan, kepribadian pelaku atau
keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula
sesudah perbuatan dilakukan, ia menentukan dalam putusan bahwa
tidak ada pidana atau tindakan yang akan dikenakan)34
Dari rumusan diatas dapat dipecah-pecah unsur-unsur dari Judicial Pardon
versi WvS, yaitu:
1. Kecilnya arti suatu perbuatan
Perumusan unsur pertama ini sama dengan yang ada di Yunani, dimana
perbuatan yang dilakukan pelaku dipandang sebagai perbuatan yang ringan
dari segi dampaknya. Unsur ini dipengaruhi oleh hukum pidana modern
yang menurut Prof.Dr.jur.Andi Hamzah disebut sebagai subsosialitas
(subsocialiteit), yang mengatakan bahwa jika suatu perbuatan merupakan
suatu delik tetapi secara sosial kecil artinya. Jadi di sini pandangan
masyarakat mempunyai pengaruh besar terhadap besar atau kecilnya akibat
dari delik tersebut.
2. kepribadian pelaku
Unsur ini lebih ditekankan pada watak dari pelaku, pertimbangan ini sama
dengan yang ditentukan oleh Yunani.
3. keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan dan sesudah perbuatan
dilakukan
Unsur ini yang berbeda dari Judicial Pardon di Yunani. Unsur ini melihat
keadaan pada saat perbuatan dilakukan serta keadaan sesudah perbuatan
dilakukan. Hal ini lebih melihat pada unsur pembuatnya, dimana kondisi-
kondisi yang mengikuti pelaku saat perbuatan terjadi dan sesudahnya
menjadi pertimbangan juga dalam memberikan pemaafan kepada pelaku.
34 Andi Hamzah, Ibid. Hlm. 18
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 575
Kemudian jika unsur-unsur itu terpenuhi maka hakim harus
memberikan Pemaafan kepada pelaku. Keharusan disini nampak pada kalimat
“ia menentukan dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang akan
dikenakan” dimana kata “menentukan” yang artinya menetapkan; memastikan35
sehingga memiliki makna jika hakim telah melihat unsur-unsur itu ada pada
pelaku maka dalam putusannya hakim harus menentukan dan memastikan isi
dari putusannya adalah bahwa pelaku bersalah tetapi tidak dikenakan pidana
atau tindakan apapun.
Hal ini jelas berbeda dengan rumusan di Yunani, dimana disana ada
kata ”dapat” yang memberikan kewenangan pada hakim untuk memberikan
atau tidak pemaafan tersebut, namun pada WvS nampak bahwa hakim tidak
memiliki pilihan jika unsur-unsur tersebut dapat dibuktikan oleh pelaku atau
wakilnya maka hakim harus memberikan pemaafan. Yang masih sama dengan
Yunani adalah sifat dari unsur-unsur tersebut apakah kumulatif atau tidak
memang tidak ada keterangan yang bisa di ambil dari WvS namun jika dilihat
dari rumusannya maka sifatnya bisa dikatakan masing-masing unsur berdiri
sendiri, tidak bersifat kumulatif. Hal ini nampak dari adanya kata “atau” dalam
rumusannya.
3. Portugal
Sejarah portugal36 dimulai dengan keinginan kaum kristen untuk
merebut kembali wilayah yang telah di kuasai Islam atau yang mereka sebut
dengan Moor yang telah menaklukkan hampir sebagian Afrika Utara dan
Maroko pada abad VI. Moor juga menguasai Spanyol pada 711 dan kemudian
berhasil menaklukkan hampir seluruh semenanjung, salah satunya wilayah
portugal saat ini. Penaklukan ini membawa dampak positf pada daerah-daerah
tersebut dimana Moor dengan kecerdasannya dan kemampuan ilmu
pengetahuan telah mampu memperbaiki sistem irigasi yang dibawa sejak
romawi menjadi lebih sempurna, serta menjadikan bangsa yang berad dalam
kekuasaannya lebih berpendidikan dengan penggunaan kertas linen untuk
membuat penggandaan buku lebih mudah daripada sebelumnya yang
menggunakan gulungan perkamen. Selama bertahun-tahun, orang-orang
Kristen berusaha merebut kembali beberapa daerah dari utara ke selatan
semenanjung, yang pada akhirnya Kota-kota Portugal kembali di tangan
Kristen, Oporto di tahun 868 dan Coimbra di tahun 1064.
Pada 1095, Alfonso VI, penguasa kerajaan Leon dan Castile
mendirikan County Portucale antara sungai Douro dan Mondego. Pada 1139,
penguasa county ini, Afonso Henriques memenangkan pertempuran atas Moor,
dan menyatakan Portucale kerajaan yang terpisah, dengan dirinya sebagai raja.
Empat tahun kemudian, Alfonso VII dari Leon-Kastilia mengakui Portucale
sebagai kerajaan terpisah, independen, seperti yang dilakukan Paus Alexander
III pada tahun 1179. Alfonso Henriques terus merebut wilayah dari bangsa
Moor, dan 1147 dia merebut kembali Lisbon dengan bantuan Inggris, Flemish,
35 Kamus Besar Bahasa Indonesia 36Uraian ini didasarkan pada The History of Portugal,
http://www.golisbon.com/culture/history.html. Dan karya Denden Immadudin Sholeh, Sistem
Hukum Portugal, http://denden-imadudin.blogspot.com/2010/03/sistem-hukum-portugal.html,
Diakses tanggal 29 Agustus 2017
576 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Jerman, dan Perancis dengan tentara salibnya. Pada 1166 penaklukan Portugal
itu selesai, dan Portugal menjadi negara pertama Eropa mencapai batas
ekspansi teritorialnya, yang tetap tidak berubah sampai hari ini.
Pada Tahun 1807 Perancis menduduki Portugal dan keluarga
kerajaan Portugal melarikan diri ke Brazil. Pada 1808 Portugal mendapat
bantuan dari sekutu Inggris dan mendapatkan kembali Negara-nya. Selama
Perang Dunia I Portugal bergabung dengan Sekutu, dan selama Perang Dunia II
Portugal dinyatakan netral. Pada tahun 1961 India menduduki Goa dan
nasionalis lokal bangkit di Angola. Pada 25 April 1974 koloni-koloni Afrika
diberi kemerdekaan, dan sebuah konstitusi baru berkomitmen Portugal untuk
campuran sosialisme dan demokrasi dibentuk, Portugal baru stabil pada
pertengahan tahun 1980-an. Dari sejarahnya dan perkembangannya Portugal
telah mengalami 6 kali pergantian konstitusi yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Portugal 1822
2. Piagam Konstitusi Portugal 1826
3. Undang-Undang Dasar Portugal 1838
4. Undang-Undang Dasar Portugal tahun 1911
5. Konstitusi Portugal tahun 1933
6. Undang-Undang Dasar Portugal 1976, dan kemudian telah mengalami 7 kali
revisi konstitusional yaitu, pada tahun 1982, 1989, 1992, 1997, 2001, 2004
dan 2005
Meskipun Konstitusi pertama Portugal itu lahir pada tahun 1822, tetapi
Pengaruh Sistem hukum Eropa Kontinetal kodifikasi Perancis baru berlaku
pada tahun 1867, dan pengaruh Sistem hukum Eropa Kontinental kodifkasi
Jerman baru terlihat di Kitab Hukum Portugal pada tahun 1916.
Disini terlihat bahwa pengaruh kodifikasi Perancis lebih dahulu di
terima Portugal di banding pengaruh Kodifikasi Jerman, itu terjadi karena
Perancis yang pertama kali melakukan kodifikasi modern pertama di dunia
melalui Code Napoleon yang berlaku pada tahun 1804, sedangkan kodifikasi
Jerman baru terbentuk dalam tahun 1896, hampir satu abad setelah kodifikasi
di Perancis, maka tidak seperti kodifikasi di Perancis, kodifikasi di Jerman
terlalu terlambat untuk dapat mempengaruhi kitab hukum Negara-negara lain,
yang sudah terlebih dahulu di pengaruhi oleh kodifikasi Perancis.
Seperti yang di sebutkan diatas bahwa sistem hukum Portugal
merupakan bagian dari sistem hukum hukum sipil, juga disebut keluarga sistem
hukum kontinental. Sampai akhir abad ke-19, kodifikasi hukum Perancis adalah
pengaruh utama. Tetapi Setelah itu hukum Jerman telah berpengaruh besar pada
perkembangan hukum Portugal. Dengan adanya Konstitusi Baru ditahun 1976,
sebagaimana telah diubah pada Revisi Konstitusi VII pada tahun 2005 (VII
Revisao Constitucional, 2005), dan juga Hukum Perdata pada 25 Nopember
1966 dengan keluarnya Codigo Civil Portugues dan KUHP Portugal pada tahun
1983, sebagaimana telah diubah menjadi Codigo Penal Actualizado Ate DL
38/2003.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai sejarah dan
juga sistem hukum Portugal yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh Kode
Napoleon dan kemudian dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh
Kodifikasi Jerman, maka hal itu juga sangat berpengaruh pada sistem peradilan
pidana yang berlaku di Portugal. Dari sejarah bisa dilihat bahwa negara ini
dipengaruhi oleh bebrapa hukum, tidak hanya Romawi yang mendasari sistem
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 577
Eropa Kontinental namun juga dipengaruhi hukum Kanonik yang dibawa gereja
serta Hukum Islam yang dibawa bangsa Moor, meskipun dua hukum terakhir
itu tidak berpengaruh banyak terhadap hukum nasionalnya karena memang
lebih di dominasi sistem hukum yang dibawa oleh Napoleon pada masa
pendudukannya di Portugal.
Pada awalnya KUHP Portugal juga dipengaruhi oleh Code Penal
Napoleoan, KUHP pertama portugal dibuat tahun 1852 dan kemudian diubah
kembali dan KUHP kedua berlaku tahun 1886, namun kemudian setelah
mengalami berbagai pendudukan oleh negara lain serta pemberontakan di
dalam negeri sampai akhirnya Portugal stabil di tahun 1980-an, negara ini
membuat KUHP baru dimana KUHP itu termasuk dalam Kategori Modern
yang berlaku sejak 1 Januari 198337. KUHP ini disusun secara revolusioner
radikal mengubah sistem yang ada di KUHP Lama, pembentukannya juga
berbeda dengan KUHP negara lain, KUHP portugal di susun secara mencicil
dimana randangan Buku I tentang Ketentuan Umum disusun ditahun 1963
sedangkan Buku II tentang Ketentuan Khusus (Delik) di susun ditahun 1966.38
Hal yang paling mendasar dari pembaharuan hukum pidana di
Portugal ada pada deskriminalisasi dan humanisasi administrasi penuntutan
pidana, pengurangan pidana penjara, penekanan kepada perlindungan
masyarakat dan rehabilitasi pelanggar hukum. Sanksi pidana yang ada dalam
KUHP lama Portugal banyak jenisnya dan sangat keras sehingga dalam KUHP
baru lebih disederhanakan.
Sistem sanksi baru tersebut antara lain:39
1. Pidana Pokok, yang terdiri atas:
a. Pidana Penjara, di KUHP Portugal hanya ada satu jenis dengan minimum
penjara adalah satu bulan dan maksimum 20 tahun, kecuali untuk delik
tertentu seperti genocide dan terorisme dapat dinaikkan menjadi 25 tahun.
Disini dikenal keadaan yang memperingan pidana, dimana semisal jika
kerusakan telah diperbaiki maka dapat dikenakan pidana yang kurang
daripada minimumnya, dimana tiap delik terdapat batas minimum dan
maksimum nya sendiri-sendiri.
b. Denda, ketentuannya sama dengan KUHP Jerman yaitu didasarkan
kepada pendapatan pelanggar perhari, sehingga denda yang dijatuhkan
kepada orang kaya lebih besar dari pada orang yang pendapatannya lebh
rendah, untuk delik yang sama. Jenis pidana ini bisa disebut dengan denda
harian (day fine).
c. Pidana yang ditunda (Suspended sentence), hakim mempunyai
kewenangan untuk menentukan pidana yang ditunda jika menurut
petimbangannya dengan pidana ditunda ini sudah memadai untuk
mecegah terpidana melakukan kejahatan lagi dan sesuai dengan kutukan
publik dan pencegahan umum. Syarat-syarat penundaan pidana antara
lain:
- Mengganti kerugian korban atau ada jaminan untuk itu
- melakukan perbaikan moral korban
37 Andi Hamzah, Op.Cit.hlm.46 38 Ibid, hlm.47. 39 Uraian ini di dasarkan pada karya Andi Hamzah, Ibid, hlm.47-54
578 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
- pembayaran uang tertentu untuk korban, kepada negara setara dengan
jumlah denda yang tercantum dalam deliknya.
Saat ini pidana yang ditunda ini juga bisa diberikan terhadap residive juga
pada pidana yang diancam 3 tahun juga dapat diberikan penundaan
dengan syarat-syarat diatas.
d. Pidana Bersyarat (probation), untuk jenis ini sama dengan yang berlaku
di Indonesia.
e. Teguran didepan umum, tindakan ini diambil hakim jika pada saat
terpidana mendapatkan penundaaan pidana namun tidak dapat melakukan
syarat-syarat yang ditentukan dalam batas waktu yang telah ditetapkan
hakim.
f. Pidana kerja sosial (community service), jika pada KUHP lama pidana ini
merupakan sanksi yaitu bekerja untuk kepentingan umum tanpa dibayar
sebagai alternatif jika denda tidak dibayar, namun dalam KUHP 1983
menjadi pidana pokok, dimana bekerja tanpa di bayar ada dua macam:
- Sebagai pidana alternatif bagi pidana penjara 3 bulan atau kurang atau
pidan denda harian sampai 90 hari
- Sebagai pidana pengganti denda yang tidak dapat ditarik dari
pendapatan atau harta terpidana.
g. Pelepasan Bersyarat, jenis pidana ini juga sama dengan yang ada di
Indonesia.
2. Pidana Tambahan disini ialah pemecatan atau dskors dari jabatan publik atau
penolakan hak untuk menjabat jabatan tertentu, pekerjaan atau fungsi
tertentu.
3. Pidana yang relatif tidak ditentukan (jangka waktunya) ialah semacam
pidana penjara yang dapat dikenakan kepada penjahat profesional,
kebiasaan, atau yang ketagihan alkohol/obat. Disini hakim pada saat
penjatuhan pidana tidak menentukan lamanya pidana, hanya menentukan
minimum dan maksimum pidana, yang nantinya berakhirnya pidana
tergantung pada hasil perbaikan (treatment) yang dilakukan oleh terpidana.
Ini merupakan pidana moder baru, yang sesuai dengan tujuan pemidanaan
yang berupa rehabilitasi.
4. Tindakan untuk melindungi keselamatan publik, pidana ini dikenakan pada
pelanggar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan nya,
termasuk penempatan pada lembaga untuk pemeliharaan, pengobatan atau
perlindungan dan larangan untuk profesi atau pekerjaan tertentu.
Dari sistem sanksi diatas dapat dilihat bahwa KUHP Portugal sangat lunak,
dimana sebisa mungkin pidana penjara dapat dihindari sehingga
mengefektifkan pidana denda dan pidana-pidana yang lainnya dimana yang
diuatamakan adalah agar terpidana tidak melakukan kejahatan lagi sehingga
dari sini sisi kemanfaatan lebih di utamakan baik bagi pelanggar maupun bagi
masyarakat.
Selain mengenai saknsi diatas dalam KUHP Portugal juga dikenal
adanya perubahan perundang-undangan yang menguntungkan terdakwa,
dimana jika suatu perbuatan telah dikatakan sebagai kejahtan sebelumnya,
namun dengan berjalannya waktu terdapat perubahan sehingga kejahatan
tersebut ditiadakan (deskriminalisasi) maka segala penyelesaian yang berjalan
bagi tersangka kejahatan tersebut harus dihentikan, begitu juga bagi pelanggar
yang telah mendapat putusan maka eksekusi serta semua efek pidananya di
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 579
hentikan, hal ini yang berbeda dengan KUHP dari negara-negara lain termasuk
Indonesia.
Keinginan pembentuk KUHP Portugal untuk lebih mengutamakan
tujuan pemidanaan untuk kemanfaatan dan kedamaian masyarakat luas ini bisa
dilihat dari pembukaan KUHP Portugal dinyatakan bahwa sanksi ini terutama
dimaksudkan untuk pelaku pemula (first offenders) dan para pelanggar yang
mempunyai rasa harga diri yang baik (delinquents who have a well developed
self esteem), yang tidak melakukan delik sangat serius, dan kepadanya tidak
diperlukan pidana yang lebih berat. 40 sehingga disini unsur pribadi dan
masyarakat lebih dipentingkan untuk perbaikan efek dari kejatan yang
dilakukan oleh pelanggar.
Sistem peradilan Portugal bisa dikatakan campuran dimana sistem
peradilan utamanya dipengaruhi oleh Perancis yang menggunakan hakim bukan
juri, namun untuk kasus-kasus tertentu seperti terorisme dan kejahatan
terorganisir lainnya peradilannya mengakomodir sistem Juri dari Anglo Saxon
hal ini nampak pada Pasal 207 ayat (1) konstitusi Portugal hasil Revisi KE VII
tahun 2005, yang menyatakan bahwa41:
Juri dalam kasus dan disusun sebagai hukum dapat membentuk,
berpartisipasi dalam persidangan kejahatan berat, dari yang
melibatkan terorisme dan kejahatan terorganisir, terutama ketika
penuntutan atau permintaan pembela.
Sehingga dari pasal tersebut diatas bisa dilihat bahwa pada dasarnya hukum
Pidana Portugal menganut sitem hukum eropa kontinental yang dalam system
peradilannya berdasarkan pada undang-undang dan dilakukan oleh Hakim
untuk memeriksa dan memutuskan, tetapi terdapat pengecualian seperti yang di
tegaskan dalam pasal tersebut di atas.
Setelah di uraikan diatas mengenai sistem pemidanaan yang relatif
lebih “lunak’ dari pada sistem pemidaan negara lain di eropa, maka memang
dimungkinkan adanya pemaafan hakim di dalam sistem pemidanaanya, apalagi
jika melihat bahwa tujuan dari pemidanaan itu adalah perbaikan bagi pelanggar
(rehabilitasi) dan juga bagi masyarakat merupakan hal yang utama dalam
hukum pidana Portugal. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tinjauan pustaka
dimana Salah satu rekomendasi dari Komisi para Dewan Menteri Eropa (dalam
Resolusi No. 10/76 tgl. 9 Maret 1976) memberi perhatian pada kemungkinan
diberikannya hak kepada hakim untuk dapat tidak menjatuhkan pidana apa pun
terhadap delik-delik ringan. Portugal merupakan salah satu negara yang
menerima rekomendasi ini dan memasukkan 2 bentuk Dispensa de pena atau
non imposing of a penalty ke dalam KUHP 1983, yaitu tidak menjatuhkan
pidana terhadap delik:42
a. Ancaman pidana maksimal 6 bulan penjara; dan
40 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada,
2002.hlm.70-71. 41 Artigo 207. (Juri, Participacao Popular E Assessoria Tecnica) Constituicao Da
Republica Portuguesa VII Revisao Constitucional (2005) http://translate.google.co.id/ diakses
tanggal 29 Agustus 2017. 42 Barda Nawawi Arief, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, Log.Cit. hlm.
84
580 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
b. Ancaman pidana gabungan (penjara dan denda) tidak melebihi 180 denda
harian.
Rumusan delik yang bisa mendapatkan Dispensa de pena (Pemaafan hakim)
bisa dikategorikan pada kejahtan ringan dimana sanksi pidana yang dikenakan
adalah maksimal 6 bulan penjara dan pidana gabungan maksimal 180 denda
harian (3 bulan). Didalam rumusan ini lebih jelas dan tegas dari pada pemaafan
di negara lainnya dimana kepada siapa pemaafan itu diberikan sudah sangat
jelas datur dalam KUHP nya. Hakim bisa memberikan pemaafan itu dengan
syarat:
a. Kesalahan minimal
Disini berarti kesalahan yang dilakukan dipandang ringan dengan akibat
yang kecil atau tidak terlalu berarti bagi korban dan masyarakat.
b. Kerugian telah di bayar
Jika dalam tindakannya pelaku mengakibatkan kerugian bagi korban maka
kerugian tersebut harus telah dibayar oleh pelaku, sehingga kerugian korban
dapat tertutupi.
c. Tidak ada faktor penghalang penyelesaian.
Disini yang berbeda, dimana nampak bahwa hakim melihat faktor-faktor lain
selain korban dan juga pelaku dalam menyelesaikan perkaranya, dimana
hakim juga melihat dari faktor keluarga pelaku dan korban, masyarakat, serta
lingkungan dimana terjadi pelanggaran. Sehingga hakim juga
mempertimbangkan semua faktor tersebut sebelum memutuskan
memberikan Pemaafan.
Apabila syarat b dan c tidak ada, tetapi hakim berpendapat bahwa hal itu dapat
direalisir dalam waktu 1 tahun, maka hakim dapat menunda putusannya sampai
1 tahun.43 Dari sini juga nampak bahwa hakim masih memberikan alternatif-
alternatif lain untuk menyelesaikan suatu perkara yang dimungkinkan bisa
memperoleh pemaafan sehingga seminimal mungkin sanksi pidana di hindari
dalam perkara-perkara tersebut.
Tujuan dibalik dispensa de pena tidak hanya untuk menghindari
penjatuhan pidana penjara pendek, tetapi juga untuk mencegah pemidanaan
yang tidak dibenarkan/diperlukan dilihat dari sudut kebutuhan, baik kebutuhan
untuk melindungi masyarakat maupun untuk rehabilitasi si pelanggar. Dengan
kata lain, fungsinya tidak hanya sebagai alternatif pidana (penjara) pendek,
tetapi juga sebagai koreksi judicial terhadap asas legalitas (judicial corrective to
the legality principle).44
B. Rekonseptualisasi Judicial Pardon Dalam Sistem Hukum Di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki ideologi yang berbeda
yakni mengacu pada filsafat pancasila, masyarakatpun juga terdiri dari begitu
banyak suku yang sangat pluralistik, dan negara yang juga dikatakan sebagai
negara dengan sistem demokrasi yang berbeda yakni demokrasi yang
didasarkan pada pancasila. Dari ketigal hal ini bisa dipastikan bahwa hukum
yang berlaku di Indonesia sudah seharusnya berbeda dengan hukum dari negara
lain, meskipun memiliki tujuan yang sama didalamnya yakni kedamaian dalam
43 Ibid. hlm.85 44 Ibid.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 581
masyarakat. Memang secara historis Indonesia tidak bisa begitu saja
melepaskan diri dari peran Belanda dalam pembentukan hukumnya, namun
dengan perkembangan yang ada saat ini baik secara sistem hukumnya maupun
masyarakatnya sudah seharusnya untuk tidak menjadikan hukum barat sebagai
kiblat utama pembentukan hukum di Indonesia. Sehingga selain dengan melihat
hukum barat, juga harus melihat hukum yang ada dalam masyarakat baik itu
yang berasal dari adat maupun dari agama.
Bila dikaitkan dengan Judicial Pardon yang ada dalam RUU KUHP
konsep 2016 maka rumusannya hampir sama dengan Belanda namun
kewenangannya sama dengan yang ada di Yunani. Rumusan pasal 56 ayat (2)
sebagai berikut:
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan
Rumusan tersebut bisa dipecah menjadi beberapa unsur yakni:
1. Ringannya Perbuatan
Dalam penjelasan dari ayat ini yang dimaksud ringannya perbuatan
adalah tidak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius), namun tidak ada
batasan atau ukuran sejauh mana tindak pidana bisa dikatakan serius atau
tidak serius. Jika dalam KUHP lama yang dikatakan kejahatan ringan apabila
kerugian yang diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima rupiah dan hanya
diancam dengan hukuman seberat-beratnya penjara 3 bulan.45 Namun
dalam RUU KUHP sudah berubah dimana pidana penjara paling singkat
adalah 6 (enam) bulan dan kerugian tidak melebihi Rp.500.000,
perumusannya spesifik pada tindak pidana tertentu seperti pencurian riangan,
penipuan ringan, dan penggelapan ringan. Sedangkan dalam rumusan
perbuatan ringan di konsep Judicial Pardon ini tidak ditentukan secara jelas
oleh pembuat undnag-undang. Jika dibandingkan dengan pidana bersyarat
dalam pasal 14a ayat (1) KUHP disana dituliskan dengan jelas mengenai
tindak pidana apa saja yang bisa mendapatkan pidana bersyarat yakni pada
pidana penjara paling lama satu tahun.
2. Keadaan pribadi pembuat
Unsur ini sama dengan yang ada di belanda dan yunani. Yang
pertimbangkan disini adalah unsur individu pembuat. Yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa hal ini bisa dilihat dengan mencari sejarah kehidupan
pembuat baik dalam keluarga ataupun masyarakat dan bia juga dilihat
dengan menggunakan ilmu karakterologi.
3. Keadaan pada waktu dilakukan Perbuatan atau Keadaan yang terjadi
kemudian
Unsur ini sama dengan yang ada di Belanda dengan melihat
keadaan pada saat perbuatan dilakukan serta keadaan sesudah perbuatan
dilakukan. Hal ini lebih melihat pada unsur pembuatnya, dimana kondisi-
kondisi yang mengikuti pelaku saat perbuatan terjadi dan sesudahnya
menjadi pertimbangan juga dalam memberikan pemaafan kepada pelaku.
45 Wirjono Prodjodokoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:Refika
Aditama, 2009. Hlm.35.
582 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Keadaan-keadaan tersebut adalah46 :
a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh
puluh) tahun
b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana
c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar
d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban
e. terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan
menimbulkan kerugian yang besar
f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain
g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut
h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak
mungkin terulang lagi
i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan
melakukan tindak pidana yang lain
j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa
atau keluarganya
k. pembinaan yang bersifat non-institusional diperkirakan akan cukup
berhasil untuk diri terdakwa
l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya
tindak pidana yang dilakukan terdakwa
m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga
n. terjadi karena kealpaan.
Selain itu keadaan yang terjadi kemudian bisa berupa terdakwa menyesaklli
perbuatannya, kemudian meminta maaf, dan ada pemaafan dari pihak korban
atau keluarga korban.
4. Dapat dijadikan dasar pertimbangan
Kata dapat disini sama dengan yang ada di Yunani, dapat ini
menunjukkan pada diberikannya kewenangna pada hakim untuk
memberikan atau tidak Pemaafan tersebut. Karena kata “dapat” menunjuk
pada kata “boleh; bisa” sehingga meskipun unsur-unsur terpenuhi hakim bisa
saja tidak memberikan putusan judicial pardon terhadap pelaku.
Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian hukum, dimana jika
kewenangan ini berada pada seseorang yang memang memiliki integritas
tinggi dalam hukum maka akan menjadikan putusan yang sesuai dengan
keadilan dan kemanfaatan, namun jika kewenangan di pegang oleh
seseorang yang memiliki kepentingan dalam hukum maka akan
menghasilkan putusan yang diskriminatif dan berpihak sehingga hukum
tidak lagi netral berdasarkan atas asas keadilan dan kemanfaatan.
Rumusan ini berbeda dengan belanda yang dengan sangat jelas
memerintahkan kepada hakim untuk tidak memberikan hukuman jika
pertimbangan-pertimbangan telah terpenuhi.
5. Tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
Yang dimaksud disini adalah pemberian maaf tersebut dengan
memberikan putusan yang berisi tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
46 Elsam, “Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan
Tindakan dalam Rancangan KUHP”, http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-
undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%203.pdf, diakses 21 Agustus
2017.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 583
tindakan, namun dengan tetap menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana. Hal ini harus dicantumkan dalam putusan hakim.
6. Keadilan dan kemanusiaan
Dua kata ini yang paling abstrak diantara pertimbangan yang lain.
Karena dua hal ini merupakan asas yang siapapun bisa mengartikannya
secara berbeda tergantung dari sudut mana seseorang tersebut
memandangnya. Jika dikaitkan dengan Pnacasila sebagai dasar dari hukum
Indonesia, maka akan ditemukan kedua arti dari asas ini berdasarkan
pancasila. Dimana asas-asas ini tercantum dalam sila ke-2 dan ke-5.
Dalam sila ke-2 hakekat manusia menurut Notonagoro (Pancasila
dasar filsafat negara,1962)47 dimana manusia itu ada dua yakni
Monodualisme dan Monopluralisme. Dalam monodualisme diajarkan bahwa
manusia terdiri dari 2 asas yang merupakan kesatuan, misalnya kesatuan
jiwa dan raga. Sedangkan Monopluralisme mengajarkan bahwa manusia
terdiri atas banyak asas yang merupakan satu kesatuan, misalnya jiwa, raga,
individu, sosial, mandiri dan terikat sebagai makhluk tuhan, kesemua asas ini
menjadi satu kesatuan.
Sedangkan keadilan seperti yang dijelaskan di awal bahwa apa yng
dikatakan adil sangat abstrak, pancasila juga memiliki konsep adil yang
berbeda yakni memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya;
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.48 Disini makna dari keadilan
dan kemanusian sangat abstark, sehingga akan sangat kesulitan dalam
prakteknya untuk menjadikan dua asas ini sebagai pertimbangannya.
Dari ke enam unsur diatas terdapat tiga unsur yang tidak jelas dalam pengetian
maupun maksudnya yakni ringannya perbuatan, kata ”dapat” dijadikan
pertimbangan” dan asas keadilan serta kemanusiaan. Ketidak jelasan makna
dari tiga unsur diatas bisa menyebabkan kesalahan dalam penerapan, sehingga
tujuan pemidanan yang integratif antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum tidak akan bisa tercapai. Selain itu unsur-unsur tersebut diatas bukan
kumulatif, hal ini terlihat dari perumusannya yang menggunakan tanda koma
dan atau, sehingga jika salah satu saja terpenuhi maka hakim bisa memberikan
putusan Judicial Pardon, bila itu diterapkan maka banyak kasus yang tidak
hanya ringan namun tergolong berat bisa lepas dari hukuman dengan
pertimbang-pertimbangan yang lainnya.
Perlu kiranya dibuat sebuah perumusan yang bisa menjadikan
konsep tersebut sesuai dan bisa dipraktekkan dalam hukum pidana Indonesia.
Untuk itu sudah seharusnya melihat konsep ini tidak hanya dari hukum barat
yang telah ada namun mencoba untuk menggali dari apa yang ada di dalam
masyarakat Indonesia sendiri. Diketahui bahwa Indonesia menganut sistem
campuran berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya yakni didasarkan
pada apa yang benar-benar ada dalam masyarakat Indonesia. Selain hukum
adata yang telah dijelaskan diatas juga terdapat Sistem hukum islam yang
memiliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena
memang mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Secara
tidak langsung hukum Islam juga berpengaruh pada hukum nasional yang saat
47 Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila (Pendekatan Melalui Etika Pancasila), Log.Cit 48 Ibid
584 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
ini berlaku, bahkan secara khusus hukum Islam di gunakan disalah satu
Provinsi di Indonesia yakni aceh.
Selain dengan melihat hukum Islam, bisa juga dilihat dalam hukum
adat yang berlaku di Indonesia, karena Indonesia merupakan Negara yang
terdiri dari puluhan suku yang memiliki hukum adat masing-masing dimana
dalam pembuatan hukum nasional juga harus dilihat mengenai hukum yang
berlaku di masyarakat.
mengenai hukum yang berlaku di masyarakat.
Natangsa mencatat bahwa proses penyelesaian berbagai perkara
yang ada didalam masyarakat rata-rata diselesaikan dengan cara damai, baik
secara langsung antara para pihak yang bersengketa, maupun dengan perantara
pihak ketiga yakni keluaga hingga tokoh masyarakat atau pihak pemerintah
setingkat kelurahan, atau bahkan hingga kepolisian namun tidak melibatkan
Pengadilan.49 Penelitian tersbeut dilakukan pada tiga wilayah adat, yakni jawa,
Lampung dan Bali. Berdasarkan penelitiannya, di tiga wilayah tersebut
peradilan adat masih eksis dan masih digunakan dalam masyarakatnya. Dan
konsep pemaafan ini merupakan bagian utama dalam penyelesaian secara
damai di wilayah-wilayah adat tersebut.
Selain itu judicial pardon juga harus ditempatkan pada ide
keseimbangan, dimana harus ada keseimbangan antara kepentingan umum atau
masyarakat dan kepentingan individu, antara perlindungan atau kepentingan
pelaku (ide individualisasi pidana) dan korban. Sejauh ini konsep Judicial
pardon yang tertuang dalam pasal 56 ayat (2) tersebut lebih melihat pada
kepentingan pelaku, hal ini bisa dilihat dalam rumusannya yang secara jelas
mempertimbangkan perbuatan pelaku serta keadaan-keadaan yang mengikuti
perbuatan pelaku pada saat dan setelah terjadinya tindak pidana, dalam pasal ini
belum nampak adanya perlindungan kepada korban, sehingga perlu di
seimbangkan dengan memberikan perlindungan kepada korban melalui
pemberian syarat bagi terdakwa yang akan mendapatkan putusan judicial
Pardon. Syarat-syarat tersebut akan lebih dapat memperlihatkan perlindungan
pada korban, misalnya dengan memberikan syarat adanya ganti rugi yang
diberikan pada korban.
Penelitian dari penulis sebelumnya menemukan bahwa perlu adanya
perumusan kembali terkat dengan konsep judicial pardon yang ada dalam RUU
KUHP, namun tidak hanya perumusan konsep nya saja, terdapat satu
permasalahan terkait dengan pertimbangan yang bisa digunakan oleh hakim
untuk memberikan pemaafan ataupun tidak, hal ini menyebabkan adanya
perubahan terhadap jenis putusan hakim. Majelis hakim dalam memutuskan
suatu perkara berdasarkan KUHAP terdapat tiga kemungkinan, yaitu:50
1. Pemidanaan (veroordeling tot enigerlei sanctie)
2. Putusan Bebas (vrij spraak)
3. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht
vervolging)
49 Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan
Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis, Semarang: Universitas
Diponegoro, 2003. 50 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006, hlm. 347-354
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 585
Yang menjadi persoalan adalah ketika seorang terdakwa dinyatakan bersalah
dan terbukti secara sah dan meyakinkan namun majelis hakim memandang
bahwa perbuatan yang dilakukan tidak harus dijatuhkan pemidanaan sehingga
hakim memberi maaf sesuai dengan pasal 56 ayat (2) RUU KUHP, maka hakim
tidak memungkinkan untuk menjatuhkan salah satu jenis putusan diatas.
Sehingga diperlukan adanya penyelarasan dengan Rancangan KUHAP
(RKUHAP), sehingga pasal 56 ayat (2) dapat diterapkan.
RKUHAP mengatur jenis putusan dalam pasal 187 dimana terdapat
jenis putusan akhir yang dapat diberikan kepada terdakwa yaitu putusan
pemidanaan, putusan lepas dan putusan bebas, hal ini sama dengan yang ada
dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Sehingga tidak ada jenis putusan yang
dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang diberikan Judicial Pardon. Jika tidak
ada perubahan dalam RKUHAP terkait dengan jenis putusan maka konsep yang
ada dalam pasal 56 ayat (2) RUU KUHP hanya akan menjadi pasal tumpul
yang tidak dapat diterapkan. Hal ini berbeda deangn di Belanda, dimana
pengaturan terkait Judicial Pardon tidak hanya dimuat dalam hokum pidana
materiil saja, namun juga telah ada dalam hokum acara pidananya. Hakim
pidana di Belanda dapat menajtuhkan 4 (empat) bentuk putusan, yakni: 51
1. Putusan Bebas (Vrijkpraak)
2. Putusan Lepas (onslag van alle rechtsvervolging)
3. Putusan Pemidanaan (veroordeling tot enigerlei sanctie) dan,
4. Putusan Pemaafan hakim (recthterlijk pardon)
Sehingga majelis hakim di Belanda dapat menjatuhkan putusan judicial pardon
yang memiliki bentuk khusus jika dibandingkan dengan tiga putusan yang
lainnya. RKUHAP juga tidak mengatur mengenai banding atau kasasi yang
dapat dimintakan atas putusan judicial pardon ditingkat pengadilan pertama,
berbeda dengan di Belanda dimana putusan judicial pardon bersifat final,
sehingga tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.52 Dengan demikian perlu
adanya konsep baru Judicial Pardon baik di dalam RKUHP menyesuaikan
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyakarat Indonesia serta menformulasikan
dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis putusan yang dapat diberikan oleh
hakim atas pemaafan hakim yakni putusan salah tanda pidana (a guilty verdict
without punishment).
IV. KESIMPULAN
1. Sistem hukum yang dipakai di tiga negara yang dijadikan bahan analisa
bersumber pada satu sistem yakni Eropa Kontinental namun namun dalam
perkembangannnya juga dipengaruhi oleh sistem hukum yang lain, baik itu
sistem hukum yang dibawa oleh bangsa Moor yakni sistem hukum Islam,
sistem hukum yang dibawa bangsa Germanik yakni sistem hukum adat
bangsa germanik, serta sistem hukum Yunani Kuno yang sekarang diadopsi
oleh sistem Hukum Anglo Saxon. Hal ini tentu saja berpengaruh pada
produk perundangan-undangan yang dibuat dalam hal ini adalah yang
berhubungan dengan hukum pidana serta berpengaruh pada proses
pelaksanaan dan penegakan hukumnya.
51 Adery Ardhan Saputra, Konsepsi Rechterlijk pardon atau Pemaafan Hakim Dalam
Rancangan KUHP, Jurnal Mimbar Hukum Vol.28 No.1, 2016, hllm. 73 52 Ibid.
586 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Negara Yunani yang pada awalnya menggunakan sistem juri pada
peradilannya, kemudian terpengaruh oleh romawi serta bangsa germanik
mengakibatkan perubahan pada sistem peradilannya yang menggunakan
sistem campuran antara juri profesional yang disebut dengan judges dan
juri dari orang yang awam hukum disebut dengan lay judges. Belanda juga
berkiblat pada Eropa Kontinental versi perancis, dimana hampir semua
peraturan perundang-undangannya terpengaruh oleh kode Napoleon.
Namun dalam perkembangannya mengalami perubahan terutama dalam
ssitem peradilannya dimana dalam Hukum pidana Belanda juga masih di
kenal adanya lay judges yang berasal dari masayarakt awam (non hukum)
tapi proporsinya sangat sedikit dan terbatas pada kasus-kasus tertentu saja.
Kemudian dalam perkembangan hukum modern saat ini hukum tidak
hanya dipandang sebagai undang-undang yang sifatnya baku dan keras,
tapi juga sebagai sesutu yang bisa digunakan untuk menjaga kedamaian di
dalam masyarakat. Yang hal ini terakomodir dengan adanya penyelesaian
pidana yang tidak hanya dilakukan di dalam pengadilan namun juga di luar
pengadilan yakni dengan adanya Eacht Recht, yang mengambil dasarnya
dari konsep restoratif Justice.
Portugal pada awalnya memang dipengaruhi oleh Kode Napoleon, namun
dalam perkembangnya juga dipengaruhi oleh Sistem Hukum Islam yang
dibawa bangsa Moor meskipun tidak cukup signifikan pengaruhnya. Jika
dilihat maka Portugal merupakan negara yang memiliki sistem hukum
campuran dimana dia dipengaruhi oleh Kode Napoleon, namun kemudian
juga di pengaruhi oleh Kodifikasi Jerman. Dan pada akhirnya saat ini
hukum pidanyanya juga di pengaruhi oleh sistem hukum Anglo saxon,
dimana hal ini nampak pada penggunaan sistem juri pada kejahatan-
kejahatan terorisme dan kejahatan terorganisir lainnya.
2. Memasukkan konsepsi Islam dan juga Peradilan adat dalam perumusannya,
dimana harus ada perumusan yang jelas mengenai tindak pidana apa saja
yang bisa diberikan pemaafan oleh hakim, sehingga kepastian hukumnya
terjamin serta menformulasikan dalam RKUHAP menjadi salah satu jenis
putusan yang dapat diberikan oleh hakim atas pemaafan hakim yakni
putusan salah tanda pidana (a guilty verdict without punishment).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Edisi Revisi), Semarang: PT. Bina Ilmu
Offset,1992. Dalam
http://atriaindahlestari.ngeblogs.com/2010/04/24/karakterologi/.
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
------------------, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Cicil law, Common
Law, Hukum Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Adery Ardhan Saputra, Konsepsi Rechterlijk pardon atau Pemaafan Hakim
Dalam Rancangan KUHP, Jurnal Mimbar Hukum Vol.28 No.1,
2016.
Rekonseptualisasi Judicial Pardon, Mufatikhatul Farikhah 587
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara,Jakarta:Sinar
Grafika,2009.
Artigo 207. (Juri, Participacao Popular E Assessoria Tecnica) Constituicao Da
Republica Portuguesa VII Revisao Constitucional (2005)
http://translate.google.co.id/ .
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung; Mandar
Maju, 2008.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung; PT.
Citra Aditya Bakti, 1996.
------------------, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta; Raja
Grafindo Persada,2004.
------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
Casper, Gerhard; Zeisel, Hans (January 1972). "Lay Judges in the German
Criminal Courts" . Journal of Legal Studies 1 (1): 142 .
http://www.jstor.org/stable/724014.
Denden Immadudin Sholeh, Sistem Hukum Portugal, http://denden-
imadudin.blogspot.com/2010/03/sistem-hukum-portugal.html.
Elsam, “Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3 Pemidanaan, Pidana dan
Tindakan dalam Rancangan KUHP”, http://www.prakarsa-
rakyat.org/download/Perundang-
undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%2
03.pdf.
Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu
Pengatar, Bandung; PT.Refika Aditama, 2005.
Herman Bakir. Filsafat Hukum :Desain dan Artsitektur Kesejarahan. Bandung:
PT Refika Aditama. 2007
M. Sholehuddin, Sistem Snksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta; RajaGrafindo
Persada, 2003.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems,
London, Routledge and Kegan paul, 1965.
Marijke Malsch, Lay Participation In The Netherlands Criminal Law System,
Paper presented at the International Society for the Reform of
Criminal Law Convergence of Criminal Justice Systems:
Building Bridges - Bridging the Gaps,24-28 August 2003,
www.isrcl.org/Papers/Malsch.pdf.
Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta; Gramedia, 1981.
Mohammad Ridwan, Perspektif Teoritik Ilmu Hukum tentang Kapasitas Hukum
Pemerintahan Daerah Dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama
Internasional, disertasi, Malang; Universitas Brawijaya, 2007.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995.
Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Bandung; PT.Refika Aditama, 2007.
Natangsa Surbakti, Gagasan Lembaga Pemberian Maaf dalam Konteks
Kebijakan Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro, 2003.
588 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.3 Juli-September 2018
Nyoman Samuil Kurniawan, Hukum Pidana
Belanda,www.scribd.com/elkurnia/document.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana; Jakarta, 2005.
Rene David dan John E.C.Brierley, Major Legal Systems in The World Today,
London, Stevens and Sons, 1978.
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila (Pendekatan Melalui Etika Pancasila),
Yogyakarta: PT.Hanindita, 1990
Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya
Penanggulangannya, Medan; USU, 2003.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta; Kanisius,
1982.
Tolib Setiadi. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta,
2010.
The History of Portugal, http://www.golisbon.com/culture/history.html.
Wirjono Prodjodokoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2009.