Post on 29-Mar-2021
transcript
v
RISK STUDY OF SOIL VULNERABILITY DUE TO SOIL
LIQUEFACTION BECAUSE EARTHQUAKE IN COASTAL AREA OF
PACITAN CITY
Student Name : Dicky Nanda Warriessandy
Reg. Number : 4309 100 054
Department : Teknik Kelautan FTK-ITS
Supervisors : Dr. Ir. Wahyudi, M.Sc.
Dr. Kriyo Sambodho, ST., M.Eng.
ABSTRACT
The coastal area Pacitan is earthquake prone areas due to be passed by the Indo-
Australian Plate and the Eurasian Plate. Based on the results of test boring at the 5 points
that have been made, that the condition of the soil in the study area are predominantly
sandy soil occurring soil liquefaction potential. Soil liquefaction potential was evaluated
based on the value of SF (Safety Factor) which is the ratio between the CSR (Cyclic
Stress Ratio) and CRR (Cyclic Resistance Ratio). For the risk assessment carried out by
using the method of liquefaction probability and the value of LPI (Liquefaction Potential
Index). The results of the analysis showed that the possible locations of soil liquefaction
phenomenon occurred in Pacitan city coastal areas that are in southwest side Bagak area,
southeast side Bagak area, Sidorejo area, northwest side Sidorejo areas, west side Kali
Muso area, east side Kali Muso area, southwest side Kali Teleng area, Sidoharjo area,
northwest side Pleren area, Ngampel area, north side Kali Muso area, Selare area, east
side Sidosari area, Plosomakmur area, west side Plosorejo area, east side Plosorejo area,
northwest side Selare area, Kradenan area, east side Sidorukun area, east side Baleharjo
area, Sundeng area, Betulo area, Purwoharjo area, and northeast side Kuwarasan area. For
the level of risk due to soil liquefaction is the area with the risk category "Very High"
occurs in west side Kali Muso area, southwest side Kali Teleng area, Sidoharjo area,
northwest side Pleren area, Ngampel area, Selare area, Plosomakmur area, west side
Plosorejo area, northwest side Selare area, and Sundeng area. While areas with risk
categories "Low" occurs in southeastern side Bagak area, Sidorejo area, northwest side
Sidorejo area, and east side Sidorukun area.
Keywords: Soil liquefaction, Earthquake, Risk, Probability of liquefaction, LPI
(Liquefaction Potential Index).
iv
STUDI RISIKO KERENTANAN TANAH AKIBAT SOIL LIQUEFACTION
KARENA GEMPA BUMI DI WILAYAH PESISIR KOTA PACITAN
Nama Mahasiswa : Dicky Nanda Warriessandy
NRP : 4309 100 054
Jurusan : Teknik Kelautan FTK-ITS
Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Wahyudi, M.Sc.
Dr. Kriyo Sambodho, ST., M.Eng.
ABSTRAK
Wilayah pesisir kota Pacitan merupakan daerah rawan gempa karena dilalui oleh
Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Berdasarkan hasil boring test di 5 titik
yang telah dilakukan, bahwa kondisi tanah di lokasi studi sebagian besar adalah tanah
berpasir yang berpotensi terjadi soil liquefaction. Potensi soil liquefaction dievaluasi
berdasarkan nilai SF (Safety Factor) yang merupakan perbandingan antara CSR (Cyclic
Stress Ratio) dengan CRR (Cyclic Resistance Ratio). Untuk penilaian risiko dilakukan
dengan menggunakan metode probabilitas likuifaksi dan nilai LPI (Liquefaction Potential
Index). Hasil analisis yang didapatkan bahwa lokasi yang memungkinkan terjadi
fenomena soil liquefaction di wilayah pesisir kota Pacitan yaitu di daerah sisi barat daya
Bagak, daerah sisi tenggara Bagak, daerah Sidorejo, daerah sisi barat laut Sidorejo,
daerah sisi barat Kali Muso, daerah sisi timur Kali Muso, daerah sisi barat daya Kali
Teleng, daerah Sidoharjo, daerah sisi barat laut Pleren, daerah Ngampel, daerah sisi utara
Kali Muso, daerah Selare, daerah sisi timur Sidosari, daerah Plosomakmur, daerah sisi
barat Plosorejo, daerah sisi timur Plosorejo, daerah sisi barat laut Selare, daerah
Kradenan, daerah sisi timur Sidorukun, daerah sisi timur Baleharjo, daerah Sundeng,
daerah Betulo, daerah Purwoharjo, dan daerah sisi timur laut Kuwarasan. Untuk tingkat
risiko yang dihadapi akibat terjadinya soil liquefaction yaitu daerah dengan kategori
risiko “Sangat Tinggi” terjadi di daerah sisi barat Kali Muso, daerah sisi barat daya Kali
Teleng, daerah Sidoharjo, daerah sisi barat laut Pleren, daerah Ngampel, daerah Selare,
daerah Plosomakmur, daerah sisi barat Plosorejo, daerah sisi barat laut Selare, dan daerah
Sundeng. Sedangkan daerah dengan kategori risiko “Rendah” terjadi di daerah sisi
tenggara Bagak, daerah Sidorejo, daerah sisi barat laut Sidorejo, dan daerah sisi timur
Sidorukun.
Kata kunci: Soil liquefaction, Gempa bumi, Risiko, Probabilitas likuifaksi, LPI
(Liquefaction Potential Index).
xiv
DAFTAR NOTASI
F = gaya geser (N)
N = gaya normal (N)
θ = sudut geser (°)
D50 = diameter butiran tanah (mm)
CSR = Cyclic Stress Ratio
σ = tegangan vertikal total (kN/m²)
σ’ = tegangan vertikal efektif (kN/m²)
αmax = percepatan gempa maksimum di permukaan tanah (m/s2)
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2)
rd = faktor reduksi terhadap tegangan
γw = berat volume air (9,8 kN/m3)
γsat = berat volume tanah jenuh air (kN/m3)
H = tinggi muka air diukur dari permukaan tanah (m)
HA = jarak titik yang ditinjau dengan muka air (m)
Gs = berat spesifik butiran
e = void ratio (angka pori)
u = tekanan air pori tanah
r = jarak episentrum (km)
Mw = magnitude gempa (SR)
z = kedalaman tanah (m)
MSF = Magnitude Scalling Factor
CRR = Cyclic Resistance Ratio
qc1N = normalisasi tahanan CPT (kPa)
CQ = faktor normalisasi tahanan CPT (kPa)
qc = tekanan konus (kPa)
Pa = 100 kPa (1 atm untuk tekanan yang sama yang digunakan oleh 𝜎’)
n = nilai eksponen untuk berbagai macam tipe tanah
(qc1N)cs = normalisasi tahanan CPT clean sand (kPa)
xv
Kcqc1N = koreksi normalisasi tahanan CPT
Ic = indeks jenis tanah
Q = normalisasi tahanan CPT (kPa)
F = friction ratio (%)
fs = friction sleeve (%)
SF = Safety Factor
PL = The Probability of Liquefaction
LPI = Liquefaction Potential Index
F(i) = SF (Safety Factor)
W(i) = fungsi bobot berdasarkan kedalaman
zi = kedalaman titik tengah pada lapisan tanah (m)
Hi = selisih ketebalan antar lapisan tanah yg terlikuifaksi (m)
n = kedalaman tanah
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai soil liquefaction di wilayah pesisir Kota Pacitan pernah
dilakukan oleh Ariantini (2011) dengan menggunakan data CPT (Cone
Penetration Test). Hasil penelitian yang didapatkan adalah potensi soil
liquefaction terjadi pada 3 titik dari 10 titik lokasi pengujian sondir pada
lokasi yang ditinjau, yaitu terjadi pada Magnitude gempa 4,7 dengan αmax
(percepatan horizontal maksimum gempa) 0,36 m/s2 dan Magnitude gempa
5,1 dengan a max 0,89 m/s2.
Indra (2011) juga pernah melakukan penelitian tentang soil liquefaction di
wilayah pesisir Kota Pacitan dengan menggunakan data SPT (Standard
Penetration Test). Hasil 5 titik Soil Boring menunjukkan bahwa jenis tanah di
wilayah pesisir Kota Pacitan adalah tanah berpasir. Korelasi antara soil
liquefaction akibat gempa bumi dengan properti tanah berdasar data SPT
adalah berbanding lurus, yaitu semakin besar nilai N-value maka nilai CRR
(Cyclic Resistance Ratio) juga semakin besar. Jadi, kemungkinan untuk
terjadinya soil liquefaction semakin kecil. Sedangkan korelasi antara nilai
magnitude terhadap parameter yang menyebabkan terjadinya soil liquefaction
adalah berbanding terbalik, yaitu semakin besar nilai magnitude maka nilai SF
(Safety Factor) akan semakin kecil, yang memungkinkan terjadinya soil
liquefaction semakin besar.
Firucha (2012) melakukan analisis risiko soil liquefaction karena gempa bumi
pada pipa bawah laut East Java Gas Pipeline (EJGP) Pertagas, menyimpulkan
bahwa semakin besar magnitude gempa yang diterima, maka semakin dalam
pula settlement yang terjadi pada setiap lapisan tanah dan begitu pula
6
sebaliknya. Tingkat risiko yang terjadi untuk semua variasi perhitungan
terletak pada zona ALARP (As Low As Reasonably Practicable).
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Soil Liquefaction
Beberapa definisi mengenai soil liquefaction menurut beberapa peneliti,
diantaranya:
Seed et al (1982) mendefinisikan soil liquefaction merupakan proses
perubahan kondisi tanah pasir yang jenuh air menjadi cair, akibat
meningkatnya tekanan air pori yang nilainya menjadi sama dengan tegangan
total oleh sebab terjadinya beban siklik, sehingga tegangan efektif tanah
menjadi nol.
Sladen et al. (1985) memberikan definisi mengenai soil liquefaction yaitu,
sebuah fenomena dimana massa tanah hilang dalam presentase yang sangat
besar pada tahanan gesernya akibat beban monotik, siklik, maupun beban
kejut, dimana beban tersebut mengalir seperti sebuah cairan hingga tegangan
geser partikel tanah tersebut rendah seperti berkurangnya daya dukung geser
yang dimilikinya.
Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat
getaran. Getaran yang dimaksud dapat berupa getaran yang berasal dari
gempa bumi maupun yang berasal dari pembebanan cepat lainnya seperti
beban gelombang. Likuifaksi biasanya terjadi pada tanah yang tidak padat.
Misalnya tanah yang tersusun dari pasir dan endapan bekas delta sungai (Chi
and Ou, 2003).
Untuk memahami fenomena soil liquefaction dapat dilihat pada Gambar 2.1
dan Gambar 2.2 serta persamaan 2.1 sampai 2.7 berikut ini :
7
Gambar 2.1 Kondisi tanah sebelum dan setelah terjadi gempa (sumber:
http://geology.isu.edu/wapi/envgeo/EG5_earthqks/eg_mod5.htm)
a. b.
c.
Gambar 2.2 Ilustrasi fenomena soil liquefaction: a. Skematis gaya-gaya yang
bekerja dalam tanah (The Japanese Geotechnical Society, 1998); b.Interaksi antar
gaya-gaya yang bekerja dalam tanah; c. Vektor gaya-gaya yang bekerja dalam
tanah
8
Pada Gambar 2.2 menunjukkan hubungan antara gaya normal (N dalam Newton),
gaya geser (F dalam Newton), dan sudut geser (θ) sebagai berikut:
tan 𝜃 = 𝐹
𝑁 (2.1)
Dengan memperhitungkan faktor tekanan air (u dalam N/m2), maka Persamaan
(2.1) dapat dituliskan sebagai berikut:
𝐹 = 𝑁 − 𝐴𝑢 tan 𝜃 (2.2)
dimana A adalah luasan efektif dalam m2
Apabila kita membagi kedua ruas pada Persamaan (2.2) dengan A, maka
didapatkan:
𝐹
𝑁 =
𝑁
𝐴 − 𝑢 tan 𝜃 (2.3)
dengan,
𝐹
𝑁 = 𝜏 (2.4a)
𝑁
𝐴= 𝜎 (2.4b)
dimana τ adalah tegangan geser tanah (N/m2) dan σ adalah tegangan total (N/m
2).
Subsitusi Persamaan (2.4a) dan Persamaan (2.4b) kedalam Persamaan (2.3)
menghasilkan:
𝜏 = 𝜎 − 𝑢 tan 𝜃 (2.5)
Diketahui bahwa tegangan total adalah fungsi dari tegangan efektif dan tekanan
air pori:
𝜎 = 𝜎′ + 𝑢 (2.6)
Maka Persamaan (2.5) dapat dituliskan sebagai berikut
𝜏 = 𝜎′ tan 𝜃 (2.7)
Dari Persamaan (2.5) dan dapat disimpulkan bahwa soil liquefaction bisa terjadi
apabila tekanan air pori naik hingga mendekati harga tegangan total. Hal ini akan
menyebabkan hilangnya tegangan efektif (σ’ = 0) sehingga tanah cenderung
bersifat seperti benda cair.
9
2.2.2 Pengaruh Ukuran Butir Tanah Terhadap Soil Liquefaction
Berikut adalah grafik liquefable soil pada Gambar 2.2 yang menunjukkan
pengaruh dari ukuran butiran tanah terhadap liquefaction. Soil liquefaction
hanya terjadi pada butiran tanah berpasir. Ukuran butiran tanah yang
seragam dengan 0,2 mm ≤ D50 ≤ 0,4 mm sensitif terhadap liquefaction.
Gambar 2.3 Potensi soil liquefaction berdasarkan diameter butiran tanah (Oka, F,
1995)
2.2.3 CPT (Cone Penetration Test)
CPT (Cone Penetration Test) atau tes sondir tanah adalah salah satu
pengujian penetrasi yang bertujuan untuk mengetahui perlawanan penetrasi
konus dan hambatan lekat tanah. Perlawanan penetrasi konus adalah
perlawanan tanah terhadap ujung konus yang dinyatakan dalam gaya per
satuan luas. Dan hambatan lekat adalah perlawanan geser tanah terhadap
10
selubung bikonus dalam gaya per satuan luas. Alat tes sondir dapat dilihat
pada Gambar 2.4 berikut ini:
Gambar 2.4 Alat tes sondir tanah (sumber: http://www.ilmusipil.com/wp-
content/uploads/2010/01/alat-tes-sondir1.jpg)
2.2.4 Metode Untuk Mengevaluasi Terjadinya Soil Liquefaction Akibat
Gempa Bumi Berdasarkan Data CPT (Cone Penetration Test)
Pada dasarnya analisis potensi soil liquefaction dilakukan dengan mencari
dua parameter utama yaitu CSR (Cyclic Stress Ratio) yang merupakan
tegangan geser siklik yang terjadi akibat gempa dibagi dengan tegangan
efektif lain, dan CRR (Cyclic Ressistance Ratio) yang merupakan
ketahanan tanah untuk menahan soil liquefaction.
2.2.4.1 CSR (Cyclic Stress Ratio)
CSR (Cyclic Stress Ratio) adalah nilai perbandingan antara tegangan geser
rata-rata yang diakibatkan oleh gempa dengan tegangan vertikal efektif di
11
tiap lapisan. Nilai CSR pada suatu lapisan tanah sangat dipengaruhi oleh
nilai percepatan gempa. Dengan menganggap nilai percepatan rata-rata
akibat gempa adalah 0,65 dari percepatan maksimum, maka nilai tegangan
geser rata-rata dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Seed et al,
1971):
CSR = 𝜏𝑐𝑦𝑐
𝜎′ = 0.65
𝜎
𝜎′ 𝛼𝑚𝑎𝑥
𝑔 𝑟𝑑 (2.8)
dengan,
σ = tegangan vertikal total (kN/m²)
σ’ = tegangan vertikal efektif (kN/m²)
αmax = percepatan gempa maksimum di permukaan tanah (m/s2)
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2)
rd = faktor reduksi terhadap tegangan
Rasio antara tegangan total dengan tegangan efektif dihitung dengan
persamaan-persamaan yang ada di dalam teori Mekanika Tanah (Das,
1998):
𝜎 = 𝐻𝛾𝑤 + 𝐻𝐴 + 𝐻 𝛾𝑠𝑎𝑡 (2.9)
dengan,
σ = tegangan vertikal total (kN/m2)
γw = berat volume air (9,8 kN/m3)
γsat = berat volume tanah jenuh air (kN/m3)
H = tinggi muka air diukur dari permukaan tanah (m)
HA = jarak titik yang ditinjau dengan muka air (m)
Berat volume tanah jenuh air dihitung dengan persamaan:
γsat
= Gs +e γw
1 +e (2.10)
dengan,
Gs = berat spesifik butiran
e = void ratio (angka pori)
γw = berat volume air (9,8 kN/m3)
12
Tegangan efektif tanah dihitung menggunakan persamaan:
𝜎′ = 𝜎 – 𝑢 (2.11)
dengan,
u = tekanan air pori tanah yang dihitung dengan persamaan:
𝑢 = 𝐻𝐴 𝛾𝑤 (2.12)
dengan,
HA = jarak titik yang ditinjau dengan muka air (m)
Nilai percepatan gempa maksimum di permukaan tanah (amax) dihitung
dengan menggunakan persamaan (Boore dan Joyner, 1981):
𝐿𝑜𝑔 𝑃𝐺𝐴 = −1.02 + 0.249𝑀𝑤 − log 𝑟 − 0.00255𝑟 (2.13)
dengan,
r = jarak episentrum (km)
Mw = magnitude gempa (SR)
Koefisien reduksi kedalaman (rd) dihitung berdasarkan persamaan (Seed
dan Idriss, 1971):
rd = 1 – 0,00765z, untuk z ≤ 9,15 m (2.14)
rd = 1,174 – 0,0267z, untuk 9,15 m < z ≤ 23 m (2.15)
rd = 0,744 – 0,008z, untuk 23 m < z < 30 m (2.16)
rd = 0,5 untuk z > 30 m (2.17)
dengan,
rd = faktor reduksi terhadap tegangan
z = kedalaman tanah (m)
Nilai rd sangat akan mempengaruhi besarnya nilai CSR (Cyclic Stress
Ratio) pada suatu lapisan tanah. Semakin kecil nilai rd maka akan semakin
kecil pula nilai CSR sehingga potensi terjadinya likuifaksi juga akan
semakin kecil.
13
Pada dasarnya rumus CSR tersebut berlaku untuk gempa dengan
magnitude sama dengan 7,5. Sedangkan untuk gempa dengan magnitude
tidak sama dengan 7,5 menggunakan faktor koreksi MSF (Magnitude
Scalling Factor) terhadap persamaan CSR menjadi sebagai berikut (Seed
dan Idriss, 1982):
CSR = 0,65 𝜎
𝜎′ 𝛼𝑚𝑎𝑥
𝑔
𝑟𝑑
𝑀𝑆𝐹 (2.18)
Untuk gempa dengan magnitude lebih besar dari 7,5, NCEER
merekomendasikan menggunakan persamaan MSF sebagai berikut (Youd
dan Idriss, 1997):
MSF = 102,24
𝑀𝑤2,56 (2.19)
Dan untuk gempa dengan magnitude lebih kecil dari 7,5, menggunakan
persamaan MSF sebagai berikut (Andrus dan Stokoe, 1997):
MSF = (𝑀𝑊
7,5)−3,3 (2.20)
Dengan Mw adalah magnitude gempa.
2.2.4.2 CRR (Cyclic Resistance Ratio)
CRR (Cyclic Resistance Ratio) adalah nilai ketahanan tanah untuk
menahan soil liquefaction. Nilai CRR dapat diperoleh dengan pengujian
laboratorium maupun dari korelasi empiris berdasarkan kasus-kasus yang
pernah terjadi di lapangan.
Nilai CRR dihitung dengan persamaan berikut (Chih, 2004):
CRR = 0,058 exp[0,02qc1N] (2.21)
dengan,
qc1N = normalisasi tahanan CPT (kPa)
dimana,
𝑞c1N = CQ (𝑞c
𝑃a)
(2.22)
dimana,
CQ = (𝑃a
𝜎′)
n (2.23)
14
dengan,
CQ = faktor normalisasi tahanan CPT (kPa)
qc = tekanan konus (kPa)
Pa = 100 kPa (1 atm untuk tekanan yang sama yang digunakan oleh
𝜎’)
σ’ = tegangan vertikal efektif (kPa)
n = nilai eksponen untuk berbagai macam tipe tanah, untuk clean
sand 0,5, silty sand 0,5 – 1, dan clay 1
Normalisasi tahanan CPT (qc1N) untuk tanah lanau berpasir dikoreksi
terhadap nilai clean sand (qc1N)cs dengan mengetahui indeks jenis
tanahnya, yang didapat dari persamaan berikut (Robertson dan Wride,
1990):
(qc1N)cs = Kcqc1N (2.24)
Nilai Kc diperoleh dari persamaan berikut:
Ic < 1,64 Kc = 1 (2.25)
Ic > 1,64 Kc = -0,403 Ic4+5,581 Ic
3-21,63 Ic
2+33,75 Ic-17,88 (2.26)
Dengan Ic sebagai indeks jenis tanah yang dapat mengetahui batas-batasan
antar jenis tanah untuk meningkatkan kandungan material yang halus dan
plastisitas tanah, maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut
(Robertson dan Wride, 1990):
Ic = [(3,47-log Q)2 + (log F+1,22)
2]0.5
(2.27)
dimana,
𝑄 = 𝑞𝑐−𝜎
𝑃𝑎
𝑃𝑎
𝜎 ′ 𝑛 (2.28)
dan,
𝐹 = 𝑓𝑠
𝑞𝑐−𝜎 × 100% (2.29)
dengan,
Ic = indeks jenis tanah
Q = normalisasi tahanan CPT (kPa)
15
F = friction ratio (%)
fs = friction sleeve (%)
2.2.4.3 Menentukan SF (Safety Factor)
Pada analisis soil liquefaction akibat gempa, safety factor dapat ditentukan
setelah didapatkan nilai CSR dan CRR. NCEER (1996) mendefinisikan
faktor keamanan terhadap bahaya likuifaksi dapat dinyatakan sebagai
berikut:
SF = 𝐶𝑅𝑅
𝐶𝑆𝑅 , SF ≤ 1 (2.30)
Jika SF (Safety Factor) lebih kecil atau sama dengan satu (SF ≤ 1) maka
terjadi soil liquefaction dan jika SF lebih besar satu (SF > 1) maka tidak
terjadi soil liquefaction (Jha dan Suzuki, 2008).
2.2.5 Penilaian Risiko
Risiko adalah hasil dari frekuensi kejadian yang tidak diinginkan yang
diantisipasi dengan konsekuensi dari kejadian. Risk Assessment adalah
metode yang sistematis untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki
risiko yang dapat diterima atau tidak. Langkah awal dari risk assessment
adalah mengidentifikasi bahaya atau hazard dan dampak dari bahaya
tersebut. Kemudian langkah berikutnya adalah menentukan frekuensi
kejadian atau kemungkinan terjadinya bahaya. Karena risiko adalah
kombinasi dari consequency dan probability.
Dalam lingkup matematika, risiko dapat dihitung dengan menggunakan
rumus (ABS, 2003):
Risiko = Frekuensi x Konsekuensi (2.31)
dengan,
Risiko = Kemungkinan bahaya yang dapat terjadi akibat sebuah
peristiwa yang sedang berlangsung atau kejadian yang
akan datang.
Frekuensi = Kemungkinan terjadinya peristiwa per satuan waktu,
biasanya dalam satu tahun.
16
Konsekuensi = Seberapa besar tingkat kerusakan yang diakibatkan
karena adanya bahaya.
2.2.6 Simulasi Monte Carlo
Ketika suatu sistem yang sedang dipelajari mengandung variabel atau
parameter yang memiliki nilai random, atau mengandung perubah acak
maka metode simulasi Monte Carlo dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan ini, suatu set nilai dari tiap-tiap variabel (satu nilai untuk setiap
variabel) dari suatu sistem disimulasikan berdasarkan distribusi peluangnya,
misalnya berdasarkan fungsi kerapatan peluang tiap-tiap variabel tersebut.
Dalam setiap set ini, respon atau kinerja sistem dihitung berdasarkan fungsi
kinerja dari sistem tersebut. Perhitungan respon atau kinerja sistem dihitung
berdasarkan fungsi deterministik untuk suatu set nilai dari respon atau
kinerja sistem tersebut, sehingga pada akhir simulasi akan diperoleh
sekumpulan data respon atau kinerja sistem.
Pada tugas akhir ini random variabel yang digunakan adalah pada nilai CSR
(Cyclic Stress Ratio) dimana pada variabel di dalamnya mengandung
variabel magnitude gempa. Magnitude gempa yang ada dan telah diketahui
sebagai sampel data yang akan di acak kejadian dengan mengambil nilai
minimum, maksimum, dan rata-rata dari setiap kejadiannya dengan
menggunakan distribusi peluang beserta variasi deviasinya. Sehingga nilai
magnitude gempa dapat diperoleh sesuai dengan perkiraan frekuensi yang
telah diperhitungkan menggunakan metode Monte Carlo.
Sekumpulan data ini dapat dianggap sebagai sampel data, dengan analisa
statistik dapat dilakukan untuk menentukan nilai rata-rata, simpangan baku,
bahkan distribusi dari respon atau kinerja sistem tersebut. Unsur pokok yang
diperlukan di dalam simulasi Monte Carlo adalah sebuah Random Number
Generator (RNG). Hal ini karena secara teknis prinsip dasar simulasi Monte
Carlo sebenarnya adalah sampling numerik dengan bantuan RNG, dimana
17
simulasi dilakukan dengan mengambil beberapa sampel dari perubah acak
berdasarkan distribusi peluang perubah acak tersebut. Ini berarti, simulasi
Monte Carlo mensyaratkan bahwa distribusi peluang dari perubah acak yang
terlibat di dalam sistem yang sedang dipelajari telah diketahui atau dapat
diasumsikan. Sampel yang telah diambil tersebut dipakai sebagai masukan
ke dalam persamaan fungsi kinerja FK(x) dan harga FK(x) kemudian
dihitung. Untuk suatu fungsi kinerja tertentu, misalnya setiap kali FK(x)<0
maka sistem atau komponen yang ditinjau dianggap gagal. Jika jumlah
sampel tersebut adalah N (atau replikasi sejumlah N) maka dapat dicatat
kejadian FK(x)<0 sejumlah n kali. Dengan demikian, peluang kegagalan
(Pg) sistem atau komponen yang sedang ditinjau adalah rasio antara jumlah
kejadian gagal dengan sampel atau replikasi, Pg = n/N. Persoalan utama di
dalam simulasi Monte Carlo adalah bagaimana mentranformasikan angka
acak yang dikeluarkan oleh Random Number Generator (RNG) menjadi
besaran fisis yang sesuai dengan fungsi kerapatan peluang (fkp)-nya. Ini
disebabkan karena angka acak yang dikeluarkan oleh RNG memiliki fkp
uniform, sedangkan perubah dasar dalam FK(x) seringkali tidak demikian
(misal terdistribusi secara normal, lognormal, dan sebagainya). RNG
biasanya ada dalam CPU komputer sebagai built-in computer program
dalam bagian ROM-nya. RNG yang disediakan ini hampir selalu berbentuk
linear congruential generator yang mengeluarkan suatu deretan bilangan
cacah (integer) I1, I2, I3.
Tranformasi bilangan acak menjadi nilai perubah acak juga dapat dilakukan
secara numerik dengan prosedur intuitif berikut:
1. Untuk XP dengan fungsi kerapatan peluang yang diketahui fkp, bagilah
rentang XP menjadi I interval yang sama sepanjang dx.
2. Hitung luas tiap pias (ini akan menghasilkan peluang XP memiliki harga
dalam interval i, yaitu sebesar Pi) dengan mengalikan interval dx dengan
tinggi fkp pada Xi. Untuk setiap aP, yang keluar dari RNG maka aP
18
diperbandingkan dengan batas interval yang sesuai. Apabila Pi < aP < Pi+1
maka aP “dipahami” (ditransformasikan) sebagai Xi.
Disamping itu, transformasi dari bilangan acak ke nilai perubah acak dapat
dilakukan secara analitik berdasarkan fungsi distribusi kumulatif perubah
acak tersebut. Oleh karena fungsi distribusi kumulatif (fdk) dari suatu
perubah acak X merupakan fungsi kontinyu dan monotonik dari X maka
nilai Fx(x) dapat dipakai sebagai alat transformasi dari nilai bilangan acak U
menjadi nilai perubah acak X.
2.2.7 Distribusi Normal
Pada pengerjaan tugas akhir ini menyelesaikan penilaian risiko
menggunakan metode simulasi monte carlo dengan memakai distribusi
normal sebagai cumulative distribution function. Distribusi normal mungkin
merupakan distribusi probabilitas yang paling penting baik dalam teori
maupun aplikasi statistik. Terminologi ”normal” itu sendiri bukan tidak pada
tempatnya, karena memang distribusi ini adalah yang paling banyak
digunakan sebagai model bagi data riil diberbagai bidang yang meliputi
antara lain karakteristik fisik makhluk hidup (berat, tinggi badan manusia,
hewan, dan sebagainya), kesalahan-kesalahan pengukuran dalam ekperimen
ilmiah, pengukuran perilaku, nilai skor berbagai pengujian, dan berbagai
ukuran dan indikator ekonomi. Bahkan, meskipun variabel yang ditangani
dalam distribusi adalah variabel diskrit, kurva distribusi normal sering juga
digunakan sebagai pendekatan (Harinaldi, 2005).
Sekurang-kurangnya terdapat empat alasan mengapa distribusi normal
menjadi distribusi yang paling penting:
1. Distribusi normal terjadi secara ilmiah, seperti diuraikan sebelumnya
banyak peristiwa di dunia nyata yang terdistribusi secara normal.
19
2. Beberapa variabel acak yang tidak terdistribusi secara normal dapat
dengan mudah ditransformasi menjadi suatu distribusi variabel acak yang
normal.
3. Banyak hasil dan teknik analisis yang berguna dalam pekerjaan statistik
hanya bisa berfungsi dengan benar jika model distribusinya merupakan
distribusi normal.
4. Ada beberapa variabel acal yang tidak menunjukkan distribusi normal
pada populasinya, namun distribusi dari rata-rata sampel yang diambil
secara random dari populasi tersebut ternyata menunjukkan distribusi
normal.
Distribusi normal komulatif didefinisikan sebagai probabilitas variabel acak
normal x bernilai kurang dari atau sama dengan suatu nilai x tertentu. Maka
fungsi distribusi kumulatif (cdf) dari distribusi normal ini dinyatakan
sebagai (Harinaldi, 2005):
(2.32)
dengan,
μx : Mean
σx : Deviasi standard
2.2.8 Frekuensi Kejadian
Frekuensi kejadian dilakukan dengan menggunakan metode probabilitas
likuifaksi, yaitu dengan cara mengaplikasikan nilai SF (Safety Factor) pada
persamaan PL (The Probability of Liquefaction) (Chen dan Juang, 2000):
PL = 1
1+ (𝑆𝐹/0.96)4.5 (2.33)
dengan,
SF = Safety Factor
20
Chen dan Juang (2000) memberikan klasifikasi kemungkinan likuifaksi
yang dapat diaplikasikan dengan menggunakan nilai PL (The Probability of
Liquefaction) yang dapat dilihat pada Tabel 2.1:
Tabel 2.1 Klasifikasi probabilitas likuifaksi (Chen dan Juang, 2000)
Probabilitas Deskripsi (kemungkinan likuifaksi)
0.85 ≤ PL < 1.00 Hampir pasti likuifaksi
0.65 ≤ PL < 0.85 Sangat mungkin
0.35 ≤ PL < 0.65 Mungkin
0.15 ≤ PL < 0.35 Tidak mungkin
0.00 ≤ PL < 0.15 Hampir pasti tidak likuifaksi
Pada Tabel 2.1, likuifaksi akan terjadi hanya jika probabilitas likuifaksi
lebih besar 35%. Perhitungan probabilitas hanya dilakukan pada lapisan
tanah yang mudah mengalami likuifaksi selama terjadi gempa.
2.2.9 Konsekuensi Kejadian
Konsekuensi yang mungkin terjadi bila terjadi soil liquefaction yg
disebabkan oleh gempa adalah terjadinya kerusakan pada pondasi tanah.
Persamaan yang dapat digunakan untuk mengestimasi hal tersebut adalah
dengan menggunakan persamaan LPI (Liquefaction Potential Index), yaitu
suatu indeks yang digunakan untuk mengestimasi potensi likuifaksi yang
dapat menyebabkan kerusakan pondasi tanah. LPI (Liquefaction Potential
Index) diusulkan pertama kali oleh Iwasaki et al. (1982) dan divariasi oleh
Sonmez (2003) yang dirumuskan pada persamaan berikut:
LPI = 𝐹 𝑖 . 𝑊 𝑖 . 𝐻𝑖𝑛
𝑖=1 (2.34)
dengan,
F(i) = SF (Safety Factor), yaitu F(i) = 1 – SF untuk SF < 1, F(i) = 0
untuk SF ≥ 1
W(i) = fungsi bobot berdasarkan kedalaman, yaitu W(i) = 10 – 0.5zi
untuk 0 ≤ zi ≤ 20 m, W(i) = 0 untuk zi ≥ 20 m
21
zi = kedalaman titik tengah pada lapisan tanah (m)
Hi = selisih ketebalan antar lapisan tanah yg terlikuifaksi (m)
n = kedalaman tanah
Untuk mengaplikasikan nilai LPI, Iwasaki (1982) mengusulkan klasifikasi
risiko kerusakan dan potensi mengalami likuifaksi yang divariasi oleh
Sonmez (2003) yang dapat dilihat pada Tabel 2.2:
Tabel 2.2 Klasifikasi potensi likuifaksi (Sonmez, 2003)
LPI Kategori potensi likuifaksi
0 Tidak likuifaksi
0 < LPI ≤ 2 Rendah
2 < LPI ≤ 5 Menengah
5 < LPI ≤ 15 Tinggi
15 > LPI Sangat tinggi
2.2.10 Evaluasi Risiko
Untuk melakukan evaluasi risiko, diperlukan matriks risiko untuk
mengkorelasikan frekuensi kejadian dan konsekuensi kejadian yang dapat
dilihat pada Gambar 2.3:
Gambar 2.5 Matriks Risiko
Untuk daerah yang berada di zona risiko sedang merupakan perbatasan
antara risiko itu dapat diterima atau tidak, akan tetapi masih dapat diterima
dan merupakan batas minimal suatu risiko untuk dapat diterima.
22
(halaman ini sengaja dikosongkan)
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian pada Tugas Akhir ini dapat dijelaskan pada bagan alir dibawah
ini:
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
Mulai
Studi literatur
Perhitungan Soil Liquefaction akibat Gempa Bumi
dan Identifikasi akibat Soil Liqufaction
Perhitungan Frekuensi dan Konsekuensi
Penilaian Frekuensi
Menentukan Tingkat Risiko
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Penilaian Konsekuensi
Risk Mapping
Pengumpulan data
Pelaksanaan survey
Skenario
kejadian gempa Hasil tes CPT
24
3.2 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian dalam diagram alir penelitian yang ditunjukkan pada
Gambar 3.1 dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Studi literatur
Studi literatur dilakukan untuk mempelajari fenomena soil liquefaction dengan
membaca diktat, jurnal, tugas akhir, standard code, maupun mencari informasi
di internet yang dibutuhkan untuk mendukung dalam pengerjaan Tugas akhir
ini.
2. Pelaksanaan survey
Pelaksanaan survey dilakukan langsung di wilayah pesisir kota Pacitan dengan
melakukan tes sondir tanah di 30 titik lokasi S (Sondir) dan 5 titik lokasi SB
(Soil Boring).
3. Pengumpulan data
Data-data yang dikumpulkan dalam Tugas Akhir ini meliputi:
a. Data hasil tes CPT (Cone Penetration Test) dan Soil Boring.
b. Data gempa bumi yang diperoleh dari skenario kejadian gempa dengan
menggunakan simulasi metode Monte Carlo.
4. Perhitungan Soil Liquefation akibat Gempa Bumi dan Identifikasi Bahaya
akibat Soil Liquefaction
Dari data-data yang diperoleh, dilakukan perhitungan sehingga data tersebut
dapat digunakan dalam formulasi yang ditentukan dalam analisa. Perhitungan
soil liquefaction dilakukan sampai nilai SF (Safety Factor) yang kemudian
dilakukan identifikasi bahaya akibat soil liquefaction. Bahaya yang
diperkirakan jika terjadi soil liquefaction adalah kerusakan pada pondasi tanah.
Apabila properti tanah tidak memenuhi terjadi soil liquefaction maka selesai
dan apabila memenuhi terjadi soil liquefaction maka akan dilanjutkan dengan
penilaian risiko.
25
5. Perhitungan Frekuensi dan Konsekuensi
a. Perhitungan Frekuensi Kejadian (Peluang Kejadian)
Perhitungan frekuensi kejadian (peluang kejadian) dilakukan dengan metode
The Probability of Liquefaction (PL). Dari perhitungan tersebut akan
dianalisa berapa banyak frekuensi yang akan terjadi pada setiap kejadian
kemudian dilakukan perangkingan.
b. Perhitungan Konsekuensi
Perhitungan konsekuensi dilakukan untuk mengetahui konsekuensi-
konsekuensi yang terjadi bila terjadi soil liquefaction yang dapat
menyebabkan kerusakan pada pondasi tanah, kemudian dilakukan
perangkingan.
6. Menentukan Tingkat Risiko
Menganalisa tingkat risiko yang terjadi dengan memasukkan frekuensi kejadian
dan konsekuensi kejadian ke dalam matriks risiko. Kemudian dilakukan
perkalian antara frekuensi dan konsekuensi untuk mengetahui matrik risiko
(risk matrix). Risiko tersebut akan ditentukan dalam risk matrix untuk dapat
diterima atau tidak.
7. Risk Mapping
Setelah dilakukan penilaian tingkat risiko, kemudian dilakukan Risk Mapping
(pemetaan risiko) di wilayah pesisir kota Pacitan untuk mengetahui di wilayah
mana yang berisiko tinggi ataupun tidak jika terjadi soil liquefaction.
8. Kesimpulan dan Saran
Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan dari hasil analisa yang telah
dilakukan dan memberikan saran untuk penelitian selanjutnya yang terkait pada
topik penelitian dalam tugas akhir ini.
26
(halaman ini sengaja dikosongkan)
27
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Daerah Studi
Ditinjau dari sudut geografisnya wilayah Kabupaten Pacitan seluas 1.389,8716
Km² atau 138.987,16 Ha sebagian besar tanahnya terdiri atas :
1. Tanah ladang : 21,51% atau 29.890,58 ha.
2. Pemukiman Penduduk : 02,27% atau 3.153,33 ha.
3. Hutan : 58,56% atau 81.397 ha.
4. Sawah : 09,36% atau 13.014,26 ha.
5. Pesisir dan tanah kosong : 08,29% atau 11.530,99 ha.
Daerah studi direncanakan dimulai dari wilayah sekitar ±500 m ke arah utara
dari Pantai Teleng Ria Pacitan. Dengan penentuan titik pengujian tanah secara
acak yang tersebar di wilayah Kota Pacitan yaitu 5 titik SB (Soil Boring) dan
30 titik S (Sondir) yang ditunjukkan pada Gambar 4.1:
Gambar 4.1 Titik Pengujian Tanah SB (Soil Boring) dan S (Sondir) di wilayah
Kota Pacitan
S (Sondir)
SB (Soil Boring)
28
4.2 Hasil Pengujian Tanah SB (Soil Boring) dan S (Sondir)
4.2.1 Hasil Soil Boring (SB)
Pengujian tanah di 5 titik SB (Soil Boring) dilakukan sampai kedalaman 15
m. Hasil boring test dapat dilihat pada Gambar 4.2:
Gambar 4.2 Bore Log titik SB-6 sampai SB-10
Dari hasil boring test di 5 titik SB (Soil Boring) dapat disimpulkan bahwa
kondisi tanah di daerah studi adalah dominan tanah berpasir.
4.2.2 Hasil Sondir (S)
Berikut hasil sondir titik S-11 sampai S-40 yang dapat dilihat pada Gambar
4.3 sampai Gambar 4.8:
Gambar 4.3 Hasil Sondir titik S-11 dan S-12
29
Gambar 4.4 Hasil Sondir titik S-13 sampai S-18
30
Gambar 4.5 Hasil Sondir titik S-19 sampai S-24
31
Gambar 4.6 Hasil Sondir titik S-25 sampai S-30
32
Gambar 4.7 Hasil Sondir titik S-31 sampai S-36
33
Gambar 4.8 Hasil Sondir titik S-37 sampai S-40
Pada titik S-13, S-14, S-15, S-16, S-18, S-19, S-20, S-24, S-25, S-30 S-31,
S-33, S-34, S-35, S-37, S-38, S-39, S-40 sondir test dilakukan tidak sampai
kedalaman 15 m, hal ini dilakukan karena sampai kedalaman yang ditinjau
penetrometer sudah menunjukkan angka 250 kg/cm2, karena menurut
prosedur sondir test, jika penetrometer sudah menunjukkan angka 250
kg/cm2 maka sondir test dihentikan meskipun tidak sampai kedalaman yang
ditentukan yaitu 15 m.
Pada titik S-11, S-12, S-17, S-21, S-22, S-23, S-26, S-27, S-28, S-29, S-32,
S-36 sebagian besar jenis tanahnya adalah silty-sand, karena nilai cone
34
resistance dan local friction yang rendah hingga kedalaman 15 m.
Sedangkan pada titik S-13, S-14, S-15, S-16, S-18, S-19, S-20, S-24, S-25,
S-30, S-31, S-33, S-34, S-35, S-37, S-38, S-39, S-40 jenis tanahnya adalah
tanah campuran yaitu silty-sand dan lempung hingga kedalaman yang
ditinjau.
4.3 Data Gempa dan Data Pendukung
4.3.1 Data Gempa
Berikut data history gempa yang pernah mengenai Kota Pacitan yang
didapat dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan
dari berbagai sumber lainnya di internet:
Tabel 4.1 Data kejadian gempa di Pacitan Tahun 2004-2013
Tanggal Lintang Bujur Magnitude (SR) Jarak Episentrum (Km)
13/5/2004 9.1 LS 111.25 BT 4.9 101
12/8/2006 8.9 LS 110.96 BT 4.5 81
30/8/2006 8.91 LS 111.17 BT 3.9 76
6/11/2006 8.24 LS 110.98 BT 5.1 16
17/11/2006 8.34 LS 111.36 BT 4.7 31
28/3/2010 8.76 LS 111.42 BT 4.9 67
21/12/2010 9.08 LS 111.19 BT 5.8 67
18/12/2012 9.15 LS 111.29 BT 5.2 114
25/5/2013 11.19 LS 110.51 BT 5.2 350
8/8/2013 8.89 LS 110.87 BT 5.5 93
4.3.2 Data Pendukung
Berikut adalah data percepatan gempa (αmax) dari peta zona seismik yang
dikeluarkan oleh PU (Kementerian Pekerjaan Umum) 2010 yang
ditunjukkan pada Gambar 4.9:
35
Gambar 4.9 Peta zona seismik PU (Kementerian Pekerjaan Umum) 2010
(sumber: http://rovicky.wordpress.com/2010/07/19/peta-zonasi-gempa-2010/)
Pada Gambar 4.9 menunjukkan bahwa data percepatan gempa (αmax)
tersebut untuk probabilitas terlampaui sebesar 2% dalam 50 tahun, yang
artinya persentase tersebut cukup besar untuk probabilitas dalam 50 tahun ke
depan. Percepatan gempa (αmax) di wilayah Pacitan dan sekitarnya adalah
sebesar 0,3g.
4.4 Analisis Soil Liquefaction Berdasarkan Grain Size
Untuk mengklasifikasikan jenis tanah menurut diameter butirannya dengan
menggunakan parameter Cu (Koefisien Keseragaman) dan Cc (Koefisien
Gradasi). Untuk tanah pasir bergradasi baik (well graded) memiliki nilai Cu
lebih dari 6 dan Cc antara 1-3. Berikut tabel nilai Cu dan Cc pada Tabel 4.2
sampai 4.6:
36
Tabel 4.2 Nilai Cu dan Cc pada titik SB6
Titik SB6
Kedalaman (m) Cu Cc
1.5 – 2 3.2 0.9
3.5 – 4 3.6 0.8
5.5 – 6 3.4 0.9
7.5 – 8 3.7 0.9
9.5 – 10 3.9 0.8
11.5 - 12 3.1 0.8
13.5 - 14 4.3 0.9
Tabel 4.3 Nilai Cu dan Cu pada titik SB7
Titik SB7
Kedalaman (m) Cu Cc
1.5 – 2 6.1 0.8
3.5 – 4 6.1 0.8
5.5 – 6 4.8 0.7
7.5 – 8 5.6 1.7
9.5 – 10 4.2 0.8
11.5 - 12 5.0 0.7
13.5 - 14 - -
Tabel 4.4 Nilai Cu dan Cc pada titik SB8
Titik SB8
Kedalaman (m) Cu Cc
1.5 – 2 - -
3.5 – 4 - -
5.5 – 6 - -
7.5 – 8 3.5 2.9
9.5 – 10 7.5 0.3
37
(Lanjutan Tabel 4.4)
11.5 - 12 - -
13.5 - 14 2.6 0.9
Tabel 4.5 Nilai Cu dan Cc pada titik SB9
Titik SB9
Kedalaman (m) Cu Cc
1.5 – 2 - -
3.5 – 4 - -
5.5 – 6 3.1 0.9
7.5 – 8 5.6 0.7
9.5 – 10 5.9 0.7
11.5 - 12 5.9 0.8
13.5 - 14 - -
Tabel 4.6 Nilai Cu dan Cc pada titik SB10
Titik SB10
Kedalaman (m) Cu Cc
1.5 – 2 - -
3.5 – 4 - -
5.5 – 6 - -
7.5 – 8 - -
9.5 – 10 - -
11.5 - 12 - -
13.5 - 14 - -
Dari Tabel 4.2 – Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata nilai Cu < 6
yang merupakan tanah bergradasi seragam yang dapat diartikan bahwa sampel
tanah pada titik tersebut berpotensi terjadi soil liquefaction.
38
Berikut data Grain-Size Analysis sampel tanah pada Titik SB6 – SB10 yang
ditunjukkan pada Gambar 4.10 – Gambar 4.14:
Gambar 4.10 Hasil Grain-Size Analysis sampel tanah Titik SB6 di lokasi studi
yang diplot dalam Grafik Liquefaction Potential (Oka, 1995)
Pada analisis Grain-Size, contoh tanah diambil tiap kedalaman 2m, kemudian
diplotkan pada grafik Liquefaction Potential. Daerah yang di dalam grafik
merupakan daerah yang most liquefable soil, sedangkan daerah diluar garis
merupakan daerah yang aman dari potensi soil liquefaction. Pada Gambar 4.10
menunjukkan bahwa Titik SB6 merupakan daerah yang most liquefable soil.
39
Gambar 4.11 Hasil Grain-Size Analysis sampel tanah Titik SB7 di lokasi studi
yang diplot dalam Grafik Liquefaction Potential (Oka, 1995)
Pada Gambar 4.11 menunjukkan bahwa Titik SB7 merupakan tanah berpasir
dengan butiran seragam. Sampel tanah Titik SB7 berada di dalam daerah most
liquefable soil yang berpotensi terjadi soil liquefaction.
Gambar 4.12 Hasil Grain-Size Analysis sampel tanah Titik SB8 di lokasi studi
yang diplot dalam Grafik Liquefaction Potential (Oka, 1995)
40
Pada Gambar 4.12 menunjukkan bahwa pada Titik SB8 di kedalaman 2m dan
4m merupakan tanah campuran antara pasir dan lempung. Tetapi sebagian
besar sampel tanah Titik SB8 berada di dalam daerah most liquefable soil dan
berpotensi terjadi soil liquefaction.
Gambar 4.13 Hasil Grain-Size Analysis sampel tanah Titik SB9 di lokasi studi
yang diplot dalam grafik Liquefaction Potential (Oka, 1995)
Pada Gambar 4.13 menunjukkan bahwa pada Titik SB9 di kedalaman 2m
merupakan tanah campuran antara lempung dan pasir. Tetapi sebagian besar
sampel tanah Titik SB9 berada di dalam daerah most liquefable soil dan
berpotensi terjadi soil liquefaction.
41
Gambar 4.14 Hasil Grain-Size Analysis sampel tanah Titik SB10 di lokasi studi
yang diplot dalam grafik Liquefaction Potential (Oka, 1995)
Pada Gambar 4.14 menunjukkan bahwa Titik SB10 merupakan tanah berpasir
dengan butiran seragam. Sampel tanah Titik SB10 berada di dalam daerah
most liquefable soil dan berpotensi terjadi soil liquefaction.
4.5 Analisis Soil Liquefaction Berdasarkan Probabilitas Magnitude Gempa
dan Probabilitas Percepatan Gempa
Dari data percepatan gempa yang didapatkan dari peta zona seismik dari PU
yaitu sebesar 0,3g dan probabilitas gempa yang didapatkan dari simulasi
monte carlo, dari 1000 kejadian gempa diambil nilai magnitude gempa yang
maksimum yaitu sebesar 0,65, maka selanjutnya dilakukan analisis soil
liquefaction pada semua titik lokasi studi yang dapat dilihat pada Gambar
4.15 sampai 4.17:
42
Gambar 4.15 Grafik SF yang terjadi soil liquefaction pada titik S-11, S-12, S-13,
S-17, S-19, S-20, S-21, S-22, S-23, S-24
43
Gambar 4.16 Grafik SF yang terjadi soil liquefaction pada titik S-25, S-26, S-27,
S-28, S-29, S-30, S-31, S-32, S-34, S-35
44
Gambar 4.17 Grafik SF yang terjadi soil liquefaction pada titik S-36, S-37, S-39,
S-40
Setelah dilakukan perhitungan analisis soil liquefaction, hanya di titik S-14,
S-15, S-16, S-18, S-33, S-38 yang tidak terjadi soil liquefaction.
4.6 Peta Lokasi yang Berpotensi Terjadi Soil Liquefaction
Berikut adalah gambar pemetaan lokasi yang berpotensi terjadi soil
liquefaction yang dapat dilihat pada Gambar 4.18:
Gambar 4.18 Peta Lokasi yang Berpotensi Terjadi Soil Liquefaction
Likuifaksi
45
Pada Gambar 4.18 menunjukkan bahwa lokasi yang berwarna merah adalah
lokasi yang berpotensi terjadi soil liquefaction yaitu pada magnitude gempa
6,5 SR dengan percepatan gempa 0,3g. Dengan demikian, setelah dilakukan
pemetaan tersebut dapat dijadikan antisipasi terhadap bahaya yang akan
timbul jika terjadi soil liquefaction pada lokasi yang ditinjau.
4.7 Perkiraan Frekuensi
Untuk menentukan frekuensi kejadian dilakukan dengan menggunakan
metode probabilitas likuifaksi, yaitu dengan cara mengaplikasikan nilai SF
(Safety Factor) pada persamaan 2.25 yang diusulkan oleh Chen dan Juang
(2000) yang selanjutnya nilai PL (The Probability of Liquefaction) dimasukkan
kedalam klasifikasi probabilitas likuifaksi berdasarkan Tabel 2.1. Hasil
perhitungan PL (The Probability of Liquefaction) dan klasifikasi probabilitas
likuifaksi dapat dilihat pada Tabel 4.7:
Tabel 4.7 Perhitungan PL (The Probability of Liquefaction) dan klasifikasi
probabilitas likuifaksi di wilayah pesisir kota Pacitan
Titik Sondir Koordinat Probabilitas likuifaksi (Chen dan Juang, 2000)
x y PL Kategori
S-11 509171 9091973 0.699 Sangat Mungkin
S-12 509710 9091987 0.574 Mungkin
S-13 510207 9091982 0.517 Mungkin
S-14 510717 9091954 0 Hampir Pasti Tidak Likuifaksi
S-15 511166 9091944 0 Hampir Pasti Tidak Likuifaksi
S-16 509295 9092400 0 Hampir Pasti Tidak Likuifaksi
S-17 509857 9092396 0.490 Mungkin
S-18 510466 9092377 0 Hampir Pasti Tidak Likuifaksi
S-19 510991 9092382 0.922 Hampir Pasti Likuifaksi
S-20 511563 9092358 0.676 Sangat Mungkin
S-21 509157 9092650 0.940 Hampir Pasti Likuifaksi
S-22 509644 9092645 0.972 Hampir Pasti Likuifaksi
S-23 510119 9092608 0.946 Hampir Pasti Likuifaksi
S-24 510840 9092645 0.929 Hampir Pasti Likuifaksi
S-25 511303 9092607 0.818 Sangat Mungkin
S-26 509271 9093192 0.951 Hampir Pasti Likuifaksi
46
(Lanjutan Tabel 4.7)
S-27 510028 9093147 0.771 Sangat Mungkin
S-28 510781 9093119 0.962 Hampir Pasti Likuifaksi
S-29 511431 9093053 0.962 Hampir Pasti Likuifaksi
S-30 511906 9093073 0.817 Sangat Mungkin
S-31 509066 9093575 0.983 Hampir Pasti Likuifaksi
S-32 509841 9093542 0.631 Mungkin
S-33 510472 9093494 0 Hampir Pasti Tidak Likuifaksi
S-34 511051 9093545 0.573 Mungkin
S-35 511743 9093570 0.879 Hampir Pasti Likuifaksi
S-36 509382 9093952 0.907 Hampir Pasti Likuifaksi
S-37 510056 9093974 0.627 Mungkin
S-38 510813 9093982 0 Hampir Pasti Tidak Likuifaksi
S-39 511369 9093954 0.823 Sangat Mungkin
S-40 511961 9093985 0.890 Hampir Pasti Likuifaksi
Pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa probabilitas likuifaksi sebagian besar
adalah daerah yang tergolong “Hampir Pasti terjadi Likuifaksi” yaitu di lokasi
S-19, S-21, S-22, S-23, S-24, S-26, S-28, S-29, S-31, S-35, S-36, dan S-40.
Untuk daerah yang tergolong “Sangat Mungkin terjadi Likuifaksi” terjadi di
lokasi S-11, S-20, S-25, S-27, S-30, dan S-39. Untuk daerah yang tergolong
“Mungkin terjadi likuifaksi” terjadi di lokasi S-12, S-13, S-17, S-32, S-34, dan
S-37. Sedangkan daerah yang tergolong “Hampir Pasti Tidak terjadi
Likuifaksi” terjadi di lokasi S-14, S-15, S-16, S-18, S-33, dan S-38.
4.8 Perkiraan Konsekuensi
Perkiraan konsekuensi pada penilaian risiko terhadap suatu sistem yang
ditinjau merupakan bagian terpenting untuk menentukan bahaya yang
mungkin terjadi akibat adanya bahaya yang diperkirakan akan datang pada
sistem yang ditinjau, dalam hal ini sistem yang ditinjau adalah kerusakan pada
pondasi tanah yaitu dengan menghitung nilai LPI (Liquefaction Potential
Index) akibat adanya fenomena soil liquefaction.
47
Sistem pada seluruh kerusakan tanah yang ditinjau terdapat pada setiap lapisan
tanah, maka konsekuensi yang mungkin terjadi apabila mengalami kerusakan
tanah adalah terjadinya kerusakan bangunan atau struktur yang ada di atas
permukaan tanah. Untuk menentukan besarnya kerusakan tanah atau nilai LPI
(Liquefaction Potential Index) pada tiap lapisan tanah dapat diperoleh dengan
menggunakan Persamaan 2.26 yang diusulkan oleh Iwasaki (1982) dan
klasifikasi kerusakan tanah divariasi oleh sonmez (2003) seperti pada kriteria-
kriteria pada Tabel 2.2. Hasil perhitungan nilai LPI (Liquefaction Potential
Index) dan klasifikasi risiko kerusakan tanah dapat dilihat pada Tabel 4.8:
Tabel 4.8 Perhitungan LPI (Liquefaction Potential Index) dan klasifikasi
risiko kerusakan di wilayah pesisir kota Pacitan
Titik Sondir Koordinat Indeks Potensi Likuifaksi (Sonmez, 2003)
x y LPI Kategori
S-11 509171 9091973 2.127 Sedang
S-12 509710 9091987 1.607 Rendah
S-13 510207 9091982 1.661 Rendah
S-14 510717 9091954 0 Tidak Likuifaksi
S-15 511166 9091944 0 Tidak Likuifaksi
S-16 509295 9092400 0 Tidak Likuifaksi
S-17 509857 9092396 1.216 Rendah
S-18 510466 9092377 0 Tidak Likuifaksi
S-19 510991 9092382 10.920 Tinggi
S-20 511563 9092358 1.085 Rendah
S-21 509157 9092650 28.992 Sangat Tinggi
S-22 509644 9092645 23.417 Sangat Tinggi
S-23 510119 9092608 21.959 Sangat Tinggi
S-24 510840 9092645 12.356 Tinggi
S-25 511303 9092607 3.040 Sedang
S-26 509271 9093192 17.947 Sangat Tinggi
S-27 510028 9093147 8.980 Tinggi
S-28 510781 9093119 19.826 Sangat Tinggi
S-29 511431 9093053 16.117 Sangat Tinggi
S-30 511906 9093073 5.527 Tinggi
S-31 509066 9093575 22.707 Sangat Tinggi
S-32 509841 9093542 3.417 Sedang
S-33 510472 9093494 0 Tidak Likuifaksi
48
(Lanjutan Tabel 4.8)
S-34 511051 9093545 1.547 Rendah
S-35 511743 9093570 4.971 Sedang
S-36 509382 9093952 16.660 Sangat Tinggi
S-37 510056 9093974 5.784 Tinggi
S-38 510813 9093982 0 Tidak Likuifaksi
S-39 511369 9093954 9.755 Tinggi
S-40 511961 9093985 3.089 Sedang
Pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa daerah dengan kategori kerusakan
“Sangat Tinggi” terjadi pada lokasi S-21, S-22, S-23, S-26, S-28, S-29, S-31,
dan S-36. Untuk daerah dengan kategori kerusakan “Tinggi” terjadi pada
lokasi S-19, S-24, S-27, S-30, S-35, S-37, dan S-39. Untuk daerah dengan
kategori kerusakan “Sedang” terjadi pada lokasi S-11, S-25, S-32, S-35, dan
S-40. Untuk daerah dengan kategori kerusakan “Rendah” terjadi pada lokasi
S-12, S-13, S-17, S-20, dan S-34. Sedangkan daerah dengan kategori
kerusakan “Tidak mengalami Likuifaksi” terjadi pada lokasi S-14, S-15, S-16,
S-18, S-33, dan S-38.
4.9 Evaluasi Risiko
Setelah didapatkan nilai frekuensi kejadian dan konsekuensi kejadian, maka
selanjutnya dapat dilakukan evaluasi risiko dengan menggunakan matriks
risiko seperti pada Gambar 2.3. Hasil klasifikasi risiko dapat dilihat pada
Tabel 4.9:
Tabel 4.9 Klasifikasi risiko kerentanan tanah akibat soil liquefaction karena
gempa bumi di wilayah pesisir kota Pacitan
Titik Sondir Koordinat
Level Risiko x y
S-11 509171 9091973 Tinggi
S-12 509710 9091987 Rendah
S-13 510207 9091982 Rendah
S-14 510717 9091954 Sangat Rendah
S-15 511166 9091944 Sangat Rendah
49
(Lanjutan Tabel 4.9)
S-16 509295 9092400 Sangat Rendah
S-17 509857 9092396 Rendah
S-18 510466 9092377 Sangat Rendah
S-19 510991 9092382 Sangat Tinggi
S-20 511563 9092358 Sedang
S-21 509157 9092650 Sangat Tinggi
S-22 509644 9092645 Sangat Tinggi
S-23 510119 9092608 Sangat Tinggi
S-24 510840 9092645 Sangat Tinggi
S-25 511303 9092607 Tinggi
S-26 509271 9093192 Sangat Tinggi
S-27 510028 9093147 Tinggi
S-28 510781 9093119 Sangat Tinggi
S-29 511431 9093053 Sangat Tinggi
S-30 511906 9093073 Tinggi
S-31 509066 9093575 Sangat Tinggi
S-32 509841 9093542 Sedang
S-33 510472 9093494 Sangat Rendah
S-34 511051 9093545 Rendah
S-35 511743 9093570 Tinggi
S-36 509382 9093952 Sangat Tinggi
S-37 510056 9093974 Tinggi
S-38 510813 9093982 Sangat Rendah
S-39 511369 9093954 Tinggi
S-40 511961 9093985 Tinggi
Pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa daerah dengan kategori risiko “Sangat
Tinggi” terjadi pada lokasi S-19, S-21, S-22, S-23, S-24, S-26, S-28, S-29, S-
31, dan S-36. Untuk daerah dengan kategori risiko “Tinggi” terjadi pada
lokasi S-11, S-25, S-27, S-30, S-35, S-37, S-39, dan S-40. Untuk daerah
dengan kategori risiko “Sedang” hanya terjadi pada lokasi S-20 dan S-32.
Untuk daerah dengan kategori risiko “Rendah” terjadi pada lokasi S-12, S-13,
S-17, dan S-34. Sedangkan daerah dengan kategori risiko “Sangat Rendah”
terjadi pada lokasi S-14, S-15, S-16, S-18, S-33, dan S-38.
50
4.10 Pemetaan Risiko (Risk Mapping)
Setelah dilakukan klasifikasi tingkat risiko, selanjutnya dapat dibuat
pemetaan risiko (risk mapping) dengan menggunakan software Surfer 10
untuk mengetahui daerah mana yang memiliki tingkat risiko yang paling
tinggi sampai tingkat risiko yang paling rendah dengan ditambahkan data
penelitian sebelumnya Ariantini (2011). Hasil pemetaan risiko (risk mapping)
di wilayah pesisir kota Pacitan dapat dilihat pada Gambar 4.19:
Gambar 4.19 Peta Risiko wilayah pesisir kota Pacitan
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Lokasi yang memungkinkan terjadi fenomena soil liquefaction di wilayah
pesisir kota Pacitan yaitu di daerah sisi barat daya Bagak, daerah sisi
tenggara Bagak, daerah Sidorejo, daerah sisi barat laut Sidorejo, daerah sisi
barat Kali Muso, daerah sisi timur Kali Muso, daerah sisi barat daya Kali
Teleng, daerah Sidoharjo, daerah sisi barat laut Pleren, daerah Ngampel,
daerah sisi utara Kali Muso, daerah Selare, daerah sisi timur Sidosari,
daerah Plosomakmur, daerah sisi barat Plosorejo, daerah sisi timur
Plosorejo, daerah sisi barat laut Selare, daerah Kradenan, daerah sisi timur
Sidorukun, daerah sisi timur Baleharjo, daerah Sundeng, daerah Betulo,
daerah Purwoharjo, dan daerah sisi timur laut Kuwarasan.
2. Tingkat risiko yang dihadapi akibat terjadinya soil liquefaction karena
gempa bumi di wilayah pesisir kota Pacitan yaitu daerah dengan kategori
risiko “Sangat Tinggi” terjadi di daerah sisi barat Kali Muso, daerah sisi
barat daya Kali Teleng, daerah Sidoharjo, daerah sisi barat laut Pleren,
daerah Ngampel, daerah Selare, daerah Plosomakmur, daerah sisi barat
Plosorejo, daerah sisi barat laut Selare, dan daerah Sundeng. Untuk daerah
dengan kategori risiko “Tinggi” terjadi di daerah sisi barat daya Bagak,
daerah sisi utara Kali Muso, daerah sisi timur Sidosari, daerah sisi timur
Plosorejo, daerah sisi timur Baleharjo, daerah Betulo, daerah Purwoharjo,
dan daerah sisi timur laut Kuwarasan. Untuk daerah dengan kategori risiko
“Sedang” hanya terjadi di daerah sisi timur Kali Muso dan daerah
Kradenan. Untuk daerah dengan kategori risiko “Rendah” terjadi di daerah
sisi tenggara Bagak, daerah Sidorejo, daerah sisi barat laut Sidorejo, dan
daerah sisi timur Sidorukun. Sedangkan daerah dengan kategori risiko
52
“Sangat Rendah” terjadi di daerah sisi timur Ploso, daerah ploso, daerah sisi
barat daya Sidoharjo, daerah sisi timur Pleren, daerah selatan Sidomakmur,
dan daerah utara Sidorukun.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah dapat dilakukan penelitian tentang
mitigasi atau penanggulangan bencana penyebab terjadinya fenomena soil
liquefaction karena gempa bumi di wilayah pesisir kota Pacitan.
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-1
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-2
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-3
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-4
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-5
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-6
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-7
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-8
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-9
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-10
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-11
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-12
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-13
Perhitungan SF titik S-14
Perhitungan SF titik S-15
Perhitungan SF titik S-16
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-17
Perhitungan SF titik S-18
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-19
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-20
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-21
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-22
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-23
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-24
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-25
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-26
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-27
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-28
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-29
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-30
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-31
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-32
Perhitungan SF titik S-33
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-34
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-35
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-36
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-37
Tabel 28. Perhitungan SF titik S-38
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-39
Perhitungan SF, PL, dan LPI titik S-40
BIODATA PENULIS
Dicky Nanda Warriessandy lahir di Surabaya, pada
tanggal 3 September 1991, merupakan anak kedua dari
dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan
dasar di SDN Wonokusumo VII/46 Surabaya pada
tahun 2003, kemudian melanjutkan studinya di SMP
Negeri 2 Surabaya dan lulus pada tahun 2006,
kemudian melanjutkan studinya di SMA Negeri 19
Surabaya dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009,
penulis melanjutkan studi dan diterima di Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya, Fakultas Teknologi Kelautan, Jurusan Teknik Kelautan melalui
jalur SNMPTN dengan NRP 4309100054.
Selama kuliah, penulis pernah mengikuti kegiatan UKM (Unit Kegiatan
Mahasiswa) Sepak Bola ITS, Badminton, dan juga berpartisipasi dalam kegiatan
HIMATEKLA (Himpunan Mahasiswa Teknik Kelautan). Pada tahun 2013 dan
2014, penulis melakukan kerja praktek di PT. Biro Klasifikasi Indonesia Cabang
Utama Surabaya selama satu bulan dan di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika Perak Surabaya selama satu bulan. Pada bulan Oktober 2013, penulis
memulai Tugas Akhir sebagai syarat kelulusan pendidikan sarjana (S1) dengan
mengambil Bidang Studi Pantai yang berjudul “Studi Risiko Kerentanan Tanah
Akibat Soil Liquefaction Karena Gempa Bumi Di Wilayah Pesisir Kota Pacitan”
dan diselesaikan dalam waktu dua semester.