Post on 19-Nov-2021
transcript
1
Sosialisasi Nilai Toleransi Beragama Melalui Kurikulum Terselubung
Kevin Nobel Kurniawan & Indera Ratna Irawati Pattinasarany
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok.
Email: KevinNobel93@gmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses sosialisasi nilai toleransi beragama siswa melalui peran kurikulum terselubung. Pendidikan toleransi dibutuhkan untuk menjawab persoalan radikalisme yang sedang berkembang di masyarakat dan lembaga pendidikan Indonesia. Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif dengan mixed method dalam mengumpulkan data. Hasil studi menunjukkan bahwa persepsi siswa yang toleran dibentuk melalui kurikulum terselubung, melalui aspek formal dan informal. Toleransi masih menyisakan ruang bagi kekerasan simbolik. Pendidikan multikultural adalah sebuah proses yang inklusif. Selain struktur formal, agensi relasional melibatkan partisipasi individu untuk membangun komunitas multireligius sekolah yang inklusif.
Socialisation of Religious Tolerance Through the Hidden Curriculum
Abstract
This study describes the socialisation of religious tolerance through the hidden curriculum. Tolerance education is necessary to answer the spread of religious radicalism in the society and institution of education. This research applies the qualitative approach, strategised with mixed method. The result shows that students’ perspective on religious tolerance is socialised formally and informally by the hidden curriculum. Despite that, this study discovers that tolerance has reserved a vulnerable room for symbolic violence. Multicultural education is a continual process of inclusion. Besides the school’s formal structure, relational agency can be exercised through the school’s informal culture to build an inclusive multireligious community.
Keywords: Religious Tolerance; Hidden Curriculum; Islamisation; Inclusion
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
2
Pendahuluan
Tulisan ini ditujukan untuk mendeskripsikan proses pendidikan nilai toleransi beragama
melalui kurikulum terselubung. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia dengan tingkat
kekerasan atas nilai keagamaan yang tergolong tinggi, multikulturalisme adalah sebuah
urgensi dalam konteks pendidikan Indonesia (INFID, 2013; KOMNAS HAM, 2015; Maarif,
2013:7; Pew Research Center, 2016; WI, 2014). Ironisnya, intoleransi justru bermula di
institusi pendidikan. Dalam sebuah penelitian yang dikaji oleh Lembaga Kajian Islam dan
Perdamian, ditemukan bahwa hampir 50% dari 993 responden siswa di Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) justru menyetujui tindakan kekerasan atas nilai
keagamaan seperti penyegelan atau penutupan rumah ibadah.
Dalam studi lain, intoleransi beragama justru disebabkan oleh pemerintah yang kurang
berperan dalam merancang pendidikan multikultural (Al-Makassary & Suparto, 2010 dalam
Raihani, 2011). Menurut Raihani (2011), lemahnya peran pemerintah dalam pendidikan
multikultural disebabkan oleh masuknya nilai Islam (Islamisasi) ke dalam ruang publik
institusi negara dan pendidikan. Adapun sikap guru yang bersikap diskriminatif dalam
menanggapi keragaman kelompok beragama juga menjadi salah satu sumber intoleransi yang
terbentuk pada perilaku siswa (Appleby, 2000; Brosnan & Turner, 2009; Ghosh, 2010: 28;
Hefner, 2009: 77). Dalam konteks sekolah publik yang dirancang dan diregulasikan oleh
negara, komunitas siswa yang multireligius sebetulnya dapat menjadi “wadah” bagi
pendidikan multikultural (Keddie, 2014; Laksana, 2014: 20-25).
Peneliti ingin menjelaskan bahwa pendidikan toleransi beragama dipelajari melalui
kurikulum terselubung. Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa proses pendidikan toleransi
tidak terbatas pada jenis kurikulum terulis seperti buku dan rancangan sekolah, melainkan
melalui pengalaman sehari-hari yang ditopang oleh kebijakan formal sekolah dan interaksi
informal dalam ruang komunitas siswa (Azimpour & Khalilzade, 2015; Bayanfar, 2013;
Mossop, 2013). Dalam tulisan ini, peneliti mencoba untuk menjawab dua pertanyaan
penelitian: 1. Bagaimana persepsi siswa sekolah negeri mengenai nilai toleransi beragama? 2.
Bagaimana nilai toleransi beragama dapat disosialisasikan melalui kurikulum terselubung?
Peneliti juga akan memberikan catatan kritis terhadap kerangka konsep yang digunakan.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
3
Tinjauan Teoritis
Pendidikan toleransi beragama bermula dari konsep multikulturalisme, sebagai sebuah
rekognisi terhadap hak dan kebebasan kelompok sosial masyarakat (Hanum, 2013;
Mirchandani & Tastsoglou, 2000). Di arat, konsep multikulturalisme yang dikemukakan oleh
Kymlicka berbicara soal hubungan antara kelompok warganegara ras kulit putih dan hitam
(Almagor, 2000: 89-107). Bowen (dalam Kymlicka, 2005) menjelaskan bahwa pluralisme di
Indonesia melbatkan berbagai faktor seperti ras, budaya, dan agama. Di tengah karakteristik
masyarakat yang plural, Ng & Bloemraad (2015) dan Smith (2007) menjelaskan bahwa
interaksi antarkelompok sosial dapat membangun kohesi sosial, yang kemudian berkontribusi
bagi negara. Pancasila merupakan manifestasi nilai multikulturalisme di Indonesia yang dapat
membangun sinergi antara nilai religius dan Demokrasi (Hefner, 2009; Menchik, 2014; Sadan,
2015). Sebaliknya, beberapa studi juga menjelaskan bahwa terdapat resistensi terhadap nilai
multikulturalisme oleh kelompok yang konservatif (Kauff, 2013; Modood & Ahmad, 2007).
Pendidikan toleransi beragama dapat menciptakan kondisi masyarakat yang demokratis
(Caliskan & Saglam, 2012). Individu yang mendapatkan akses pendidikan cenderung bersikap
lebih toleran (Bahari, 2010; Coleman & White, 2011; Chzhen, 2013; Ciftci, 2010; Verkuyten
& Slooter, 2007). Berbagai studi menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan
mempunyai peran dalam proses sosialisasi nilai toleransi beragama (Esther, 2015; Kiwan,
2007). Adapun pendidikan agama/budaya juga menjadi ruang diskusi bagi siswa untuk
mempelajari ragam nilai kultural (Kihkham, 2016; Leeman, 2008; Martin, 2013; Raihani,
2016; Rosenblith, 2008; Tan, 2007). Sementara itu, peneliti juga menemukan bahwa proses
pendidikan tidak berhenti pada kurikulum tertulis, melainkan juga dilakukan melalui
kurikulum terselubung.
Istilah “Kurikulum terselubung” (Hidden Curriculum) dicetuskan oleh Philip Jackson
(dalam Protelli, 2007) sebagai jenis kurikulum yang dapat menyampaikan sebuah nilai secara
implisit. Komunikasi nilai tersebut dapat dilakukan secara formal dan informal melalui
kebijakan dan komunitas siswa sekolah (Alsubaie, 2015; Kentli, 2009; Ruff, 2013). Pada
umumnya, kurikulum terselubung digunakan oleh studi ilmu pendidikan dan kedokteran
dalam proses pembentukan perilaku calon dokter yang sejalan dengan nilai profesionalisme
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
4
yang dituntut oleh sebuah lembaga (Hafferty, 2015; Mossop, 2013). Beberapa ciri dari
pendidikan melalui kurikulum terselubung adalah: adanya kebijakan sekolah sebagai kontrol
sosial, interaksi sosial dan peran figur guru (role-modelling) dalam menyampaikan sebuah
nilai tertentu (Cubukcu, 2012; Hopman, et al, 2014; Nobile et al, 2015; Rahmawati, 2015;
Sabe, 2007, Seda, 1987). Dalam konteks pendidikan toleransi beragama, karakteristik
kelompok beragama siswa yang heterogen merupakan lahan bagi bertumbuhnya relasi
multireligius yang konstruktif (Janmaat & Mons, 2011; Khareng & Awang, 2012; Keddie,
2014; Jati, 2014; Verkuyten & Thijs, 2010).
Pendidikan melalui kurikulum terselubung menekankan pada konteks sosial (Asbeck,
2010: 20, Berger & Kellner 1981: 63). Konteks pendidikan toleransi beragama di Indonesia,
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (MOEC, 2012; Parker, 2008 dalam
Laksana, 2014). Akan tetapi, makna multikulturalisme yang tertuang dalam Pancasila masih
menjadi sebuah perdebatan. Beberapa studi menyebutkan bahwa multikulturalisme harus
dibarengi dengan pemerataan akses sosial-ekonomi; individu yang hidup dalam kemiskinan
justru akan menolak nilai post-materiil seperti toleransi beragama (Andersen & Fetner, 2008;
Hidayat, 2012; Kanas, 2015; Kymlicka, 2012; Mudhoffir, 2014; Tadjoeddin, 2016; Putra,
2013: 70; Widya, 2010). Ditambahkan pula dengan situasi sosial-politik, institusi formal
keagamaan beberapa kali merumuskan kebijakan yang memperkuat polarisasi hubungan
kelompok beragama yang segregatif (Basedau, 2015; Bowen, 2010; Hasyim, 2015; Hoon,
2016; Mashuri, 2016; Schafer, 2015; Ysseldyk, 2011).
Dalam rana pendidikan, isu mengenai nilai toleransi beragama menjadi semakin relevan
untuk diteliti ketika terjadi kontestasi nilai keagamaan dalam ruang publik sekolah
(Abdhurakhman, 2013:103; Goplen & Plant, 2015; Khalikin, 2012; Maarif, 2013: 7).
Penyebaran paham radikalisme mulai memasuki tubuh lembaga pendidikan sekolah negeri
(Hasan, 2010; Munip, 2012; Rokhmad, 2012). Adapun di tengah perkembangan psikologis
remaja dalam menemukan komunitas keagamaan, para siswa berdiri dalam sebuah posisi
yang rentan terhadap paparan pemahaman agama yang harafiah dan radikal, khususnya yang
sedang menyebar di dalam lembaga pendidikan Indonesia (Almond, 2010; Baidhawy dalam
Syamsiyatun, 2013; Hunter, 2012; Shoaib, 2013; Rahman, 2013; Mink, 2015; Vala & Lopes,
2010).
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
5
Kerangka Konseptual: Toleransi Beragama dalam Kurikulum Terselubung
Agama adalah seperangkat nilai yang dimaknai oleh suatu kelompok beragama (Berger,
1967). David Little (dalam Fuad, 2007: 101) menjelaskan bahwa toleransi merupakan sebuah
sikap yang menahan (forbearance) kekerasan fisik terhadap individu yang berbeda agama.
Peneliti ingin mengambil sebuah makna “toleransi” yang lebih jauh, yaitu sebagai sebuah
sikap yang mengakui/merekognisi hak dan kebebasan beragama (Parillo, 2006 dalam Mather
& Tranby, 2014).
Bretherton (2004) menjelaskan bahwa setidaknya adalah tiga hal yang termuat dalam
makna “toleransi” yang literal: 1. Tidak menyetujui sebuah nilai atau kegiatan keagamaan oleh
kelompok tertentu, 2. Tidak menggunakan kekuasaan secara koersif dalam mengintervensi
kegiatan keagamaan, 3. Isu toleransi beragama harus relevan bagi subjek; subjek yang tidak
terlibat atau tidak menanggapi hubungan antarkleompok beragama tidak dapat dibilang
toleran maupun intoleran. Adapun Bretherton juga berargumen bahwa makna “toleransi”
yang lebih ideal adalah sebuah keinginan (willingness) individu untuk menerima dan hidup
bersama-sama dengan ragam kelompok beragama di tengah masyarakat. Dalam makna seperti
ini, toleransi bukanlah sebuah sikap yang pasif yang menahan kekerasan, melainkan sebuah
sikap yang memiliki rasa hormat terhadap keberadaan kelompok beragama (mutual respect
and recognition).
Sekolah sebagai agen sosialisasi berperan dalam proses pendidikan nilai toleransi
beragama (Abdhullah, 2011; Berger, 1974 dalam Okon, 2012). Sekolah sebagai konteks
sosial dapat menyalurkan nilai kultural kepada para siswa (Berger & Luckmann, 1969 dalam
Brisko, 2012). Nilai tersebut dapat ditemukan dalam ideologi atau visi misi sekolah yang
menjadi tujuan jangka panjang yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan (Damsar, 2011).
Kurikulum terselubung adalah jenis kurikulum yang dapat menyampaikan nilai toleransi
beragama secara implisit (Glatthorn, 2000; 2015). Dapat dikatakan bahwa kurikulum
terselubung menopang proses sosialisasi yang dilakukan secara “tidak sengaja” (unintended
curriculum) melalui kebijakan formal dan komunitas informal sekolah. Kurikulum
terselubung merupakan jenis pendidikan yang terjadi di luar rancangan sekolah, namun
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
6
memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kehidupan siswa melalui pengalaman
sehari-hari.
Dalam konteks pendidikan toleransi beragama, Whole-School Approach merupakan salah
satu pendekatan pedagogi yang melibatkan komponen-komponen sekolah sebagai bentuk
kurikulum terselubung. Raihani (2011) mengulas enam komponen yang terlibat dalam
pproses pendidikan toleransi beragama. Penjelasan mengenai komponen kurikulum
terselubung adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Komponen Kurikulum Terselubung: Pendekatan Whole-School dalam Pendidikan Toleransi Beragama.
Sumber: Raihani. (2011). A Whole-School Approach: A Proposal for Education for Tolerance in Indonesia. Theory &
Research in Education.
1. Visi dan Misi Sekolah (Vision andd Policies): Komponen ini memuat tujuan jangka
panjang sekolah, serta strategi sekolah seperti program kerja untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam komponen ini, termuat nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada siswa seperti kecerdasan
spiritual (nilai religius), kecerdasan sosial-emosional (toleransi), dan lain sebagainya.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
7
2. Kepemimpinan dan Manajemen Sekolah (Leadership and Management): Aktor-aktor
sekolah dalam struktur manajemen yang mempunyai wewenang untuk menerapkan tata tertib
dan kebijakan sekolah. Tata tertib berlaku sebagai kontrol sosial. Pengambilan keputusan
(decission-making) yang demokratis oleh para aktor yang memiliki otoritas dapat mendukung
nilai toleransi beragama.
3. Kurikulum dan Proses Pendidikan (Curriculum and Teaching): Ketersediaan fasilitas
pendidikan agama mencerminkan dukungan sekolah terhadap setiap kelompok beragama.,
Proses belajar-mengajar yang dilakukan dalam ruang kelas yang melibatkan peran dan figur
guru, metode belajar (gaya sosialisasi) yang membuka ruang diskusi dapat membuka
wawasan siswa mengenai keberagaman kelompok beragama.
4. Kultur Sekolah (Capacity and Cultures): Manifesitasi nilai yang tertuang dalam visi-misi
sekolah melalui simbol keagamaan dan interaksi informal dalam komunitas sekolah. Di sini,
peran teman sebaya (peer group) dapat memupuk pengalaman individu dalam memahami
nilai toleransi beragama.
5. Kegiatan Kesiswaan (Student Activities): Komponen ini memuat aktivitas siswa yang
dikelola melalui organisasi kesiswaan (OSIS). Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh sekolah
seperti struktur formal organisasi siswa, ekstrakurikuler kerohanian dan non-kerohanian dapat
mencerminkan hubungan antarkelompok beragama siswa.
6. Komunitas Luar Sekolah (Collaboration with Wider Community): Peran orang tua, alumni,
dan tempat ibadah yang menunjang proses pendidikan toleransi. Dalam hal ini, hubungan
kerja sama antara sekolah dan pihak luar seperti ragam tempat ibadah dapat mencerminkan
keterbukaan sekolah dalam menanggapi keberagaman.
Dalam analisis pendidikan nilai toleransi beragama melalui kurikulum terselubung
sekolah, Raihani (2011) menjelaskan bahwa analisis bermula dari komponen “visi dan misi
sekolah”, yang kemudian diimplementasikan kepada lima komponen lainnya. Analisis
kurikulum terselubung tidak berhenti pada konten yang ditemukan pada masing-masing
komponen, melainkan juga melalui hubungan antarkomponen sekolah.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
8
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian kualitatif berupaya untuk mendeskripsikan persepsi siswa dan
peran kurikulum terselubung sekolah dalam sosialisasi nilai toleransi beragama. Jenis
penelitian ini adalah studi kasus yang ditujukan untuk mendeskripsikan konteks pendidikan
pada salah satu sekolah negeri (sekolah model) di Kota Depok (Ritchie & Lewis, 2003).
Peneliti memilih lokasi tersebut sebab sekolah negeri merupakan jenis lembaga pendidikan
yang diregulasikan oleh negara. Wajah pendidikan toleransi beragama di sekolah negeri dapat
menggambarkan sejauh apa peran pemerintah dalam menerapkan nilai multikulturalisme.
Adapun perkembangan psikologis anak remaja, komunitas sosial, dan jenis ilmu yang
dipelajari merupakan faktor-faktor yang dapat mengarahkan proses interpretasi siswa terhadap
nilai toleransi beragama (Damon, 1983 dalam Oppong, 2013:14; Dillon, 2003: 161; Ecklund,
2007; Ecklund & Scheitle, 2007; Johnson, et al, 2015; Lahouari, 2009; Qodir, 2013 dalam
Maarif, 2013: 45; Mink, 2015; Saroglou, 2012).
Subjek penelitian adalah siswa dan kurikulum terselubung sekolah. Peneliti menerapkan
sequential exploratory mixed method research strategy dalam metode pengumpulan data
(Creswell, 2014). Analisis dititikberatkan pada data kualitatif (catatan observasi penelitian,
studi dokumen, dan wawancara mendalam) untuk mendeskripsikan konteks, persepsi siswa,
dan peran kurikulum terselubung mengenai sosialisasi nilai toleransi beragama. Peneliti
menyeleksi informan siswa dari kelas 11 SMA sebab mereka mempunyai pengetahuan
mengenai kurikulum terselubung setelah melewati proses pendidikan selama satu tahun di
sekolah tersebut.
Sementara itu, data kuantitatif (survei) mengenai pola sikap siswa terhadap “Hak dan
Kebebasan Beragama” digunakan untuk mendukung data kualitatif (Suadey, 2010: 71).
Survei ini mengukur sikap toleransi siswa pada tingkat universal (global), makro (negara dan
kelompok beragama), meso (hubungan antarkelompok beragama), dan mikro (hubungan
personal) (Davis, 2000; Doorn, 2014; Golebiowska, 2009). Ada enam kategori untuk
menggambarkan sikap siswa terhadap setiap pertanyaan survei: Sangat tidak setuju - sangat
setuju (Dane, 2007; Rungson, 2010). Survei dapat dicermati pada Tabel 1.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
9
Tabel 1. Pertanyaan Survei mengenai Hak dan Kebebasan Beragama
Dimensi Indikator Kategori Universal Setiap individu bebas untuk memeluk agama yang dia pilih. 1. Sangat Tidak
Setuju 2. Tidak Setuju 3. Agak Tidak Setuju 4. Agak Setuju 5. Setuju 6. Sangat Setuju
Setiap individu bebas untuk mempelajari nilai-nilai agama yang dia pilih. Setiap individu bebas untuk beribadah baik secara tertutup maupun terbuka. Setiap individu bebas memilih untuk berpindah agama. Setiap individu bebas untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
Makro Negara harus menjunjung tinggi nilai kebersamaan/keharmonisan seperti pluralisme dan toleransi antarkelompok beragama. Selama tidak melanggar hukum negara, lembaga keagamaan (MUI/PGI/KWI/dll) seharusnya tidak melabel “sesat”/mendiskriminasi suatu kelompok agama. Negara harus melindungi hak dan kebebasan setiap kelompok beragama untuk beribadah baik secara tertutup maupun terbuka. Negara harus melindungi hak dan kebebasan setiap kelompok beragama untuk membangun dan mendirikan rumah ibadah. Setiap orang dari latar belakang agama mana pun bebas untuk menjadi pejabat politik (Bupati, Gubernur, Menteri, dll).
Meso Kita bebas untuk menjalin relasi sosial dan berteman dengan yang berbeda agama. Kita harus menghargai keberadaan kelompok agama lainnya dengan tidak merusak rumah ibadah, tidak menggunakan kekerasan fisik dan verbal, dll.
Kita harus menghormati nilai dan ajaran setiap kelompok beragama. Kita bebas memakai simbol agama di tempat umum (Hijab, kalung salib, pakaian Ihram/Biksu, dll). Kita bebas untuk menyebarluaskan ajaran agama masing-masing selama tidak menggunakan kekerasan verbal maupun fisik.
Mikro Saya ingin mempelajari dan memahami nilai & ajaran agama yang lain. Saya dapat menerima seorang tetangga yang berbeda agama untuk beribadah di dekat rumah saya. Saya dapat berdialog/berdiskusi dengan seseorang meskipun dia tidak setuju dengan ajaran agamaku. Saya dapat menerima anggota keluargaku meskipun dia telah menikah dengan seseorang yang berbeda agama. Saya dapat menerima anggota keluargaku meskipun dia telah berpindah agama.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
10
Hasil Penelitian: Persepsi Siswa Sekolah Negeri
Pada bagian ini, peneliti akan menjawab pertanyaan penelitian yang pertama,
“Bagaimana persepsi siswa sekolah negeri mengenai nilai toleransi beragama?”. Bretherton
(2004) menjelaskan bahwa “toleransi beragama” dapat dimaknai secara literal dan ideal.
Dalam pemahaman yang literal, toleransi adalah sikap yang menahan kekerasan terhadap
kelompok beragama (forbearance). Dalam pemahaman yang lebih ideal, toleransi merupakan
pengakuan (rekognisi) terhadap hak dan kebebasan beragama, serta sikap yang memuat rasa
hormat terhadap kelompok beragama. Menurut hasil wawancara pada Tabel 2, peneliti
menemukan bahwa nilai toleransi beragama yang ditanggapi oleh para informan siswa
memuat makna literal dan ideal. Para informan memahami toleransi beragama sebagai bentuk
penolakan terhadap kekerasan verbal dan fisik, serta sebagai bentuk rekognisi terhadap hak
kelompok beragama.
Tabel 2. Pendapat Para Informan Siswa mengenai Nilai Toleransi Beragama
Informan Karakteristik Kutipan Wawancara Informan F Siswa Beragama
Islam “Mungkin ada satu hal si, mayoritas di sini agak salah. Saya kan ini pandangan saya benar-benar di itu, agama untuk perdamaian.” (Wawancara dengan Informan F, 8 November 2016)
Informan DK Siswa Beragama Kristen Protestan
“Kalau buat aku sih, toleransi penting. Dan beranekaragam, maksudnya membedakan agama gua baik dan agama lu salah, itu sebenarnya salah…karena Tuhan kita satu, buat apa Tuhan ciptain banyak agama, yaitu tujuannya supaya kita saling toleransi.” (Wawancara dengan Informan DK, 15 November 2016)
Informan Y Siswa Beragama Kristen Katolik
“Nilai-nilainya sih, itu kan kasih untuk menghargai setiap mahluk hidup, memberikan kasih sayang, tidak membenci, dan juga kalau bagi saya yang paling important itu menghargai ciptaan Tuhan.” (Wawancara dengan Informan Y, 8 November 2016)
Informan S Siswa Beragama Hindu
“Kalau di Hindu kita diajarin hukum Karma, di mana kalau kita berbuat baik sama orang, pasti Tuhan kasih kita kebaikan, kalau kita berbuat jahat pasti ada balasan tersendiri…kalau misalnya kita berbuat baik sama orang itu, Tuhan kita selalu menjaga gitu, dikasih perlindungan.” (Wawancara dengan Informan S, 15 November 2016)
Informan W Siswa Beragama Konghucu
“Terus selalu ngajarin jangan nuntut mereka maksa mereka buat kerja sama, tapi mulai dari sendiri. …ya itu hitungannya kita itu berteman itu gak pernah mikirin namanya “oh dia tu agamanya apa?” (Wawancara dengan informan W, 11 November 2016)
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
11
Informan yang diwawancarai oleh peneliti adalah informan siswa yang berasal dari
berbagai kelompok beragama. Berdasarkan pemaparan pendapat informan siswa di atas,
peneliti menemukan bahwa nilai toleransi beragama ditanggapi oleh siswa menurut nilai
religius masing-masing. Misalnya, pemahaman “toleransi” yang literal dapat dijelaskan
melalui “Hukum Karma” (Informan S). Sementara itu, ada beberapa siswa yang menjelaskan
bahwa toleransi beragama harus menghindari kekerasan verbal dan tindakan yang bersifat
koersif (Informan DK dan W). Adapun Informan F dan Y juga menjelaskan bahwa nilai
religius dapat ditujukan untuk membangun hubungan antarkelompok beragama yang
harmonis. Dari beberapa kutipan wawancara di atas, tampak bahwa para informan
mempunyai persepsi yang cukup terbuka dalam menanggapi nilai toleransi beragama. Hal ini
sejalan dengan hasil survei di Tabel 3 yang menyatakan bahwa 70 responden bersikap
“toleran”, mendekati “sangat toleran” dalam menanggapi survei mengenai “Hak dan
Kebebasan Beragama”.
Tabel 3. Hasil Survei mengenai Sikap Siswa terhadap Nilai Toleransi Beragama
Indikator Skoring Survei
Skor 20-40 Tidak Toleran
Skor 41-60 Kurang Toleran
Skor 61-80 Cukup Toleran
Skor 81-100 Toleran
Skor 101-120 Sangat Toleran
Informasi Survei
Skor Minimum 20
Skor Maksimum 120
Jumlah Responden 70
Jumlah Responden IPA 33
Jumlah Responden IPS 37
Hasil Survei
Rata-rata Skor Survei 98.91
Skor Terendah 66
Skor Tertinggi 117
Rata-Rata Skor Siswa IPA 100.21
Rata-Rata Skor Siswa IPS 97.76
Rata-Rata Skor Responden 98.91
Berlanjut dari bagian sebelumnya, Grafik 1 menunjukkan bahwa 70 responden menjawab
hampir tidak mempunyai kesulitan dalam menanggapi hubungan antarakelompok beragama.
Sebaliknya, para responden bersikap konservatif dalam menanggapi nilai toleransi beragama
pada hubungan personal. Sikap toleransi pada tingkat makro masih relatif lebih tinggi – siswa
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
12
menyetujui bahwa negara harus melindungi hal kelompok beragama. Namun terlihat sedikit
lebih rendah pada tingkat universal; siswa masih mendukung hak dan kebebasan beragama
secara global. Hal ini menunjukkan bahwa siswa di SMA N mempunyai sikap yang terbuka
dalam menjalin hubungan dengan teman yang berbeda agama dibandingkan mempelajari nilai
agama yang lain maupun menerima anggota keluarga yang telah berpindah agama.
Grafik 1. Analisis Hasil Survei Toleransi Beragama secara Bertingkat
Hasil Penelitian: Peran Kurikulum Terselubung Sekolah
Pada bagian ini, peneliti akan menjawab pertanyaan penelitian, “Bagaimana nilai
toleransi beragama dapat disosialisasikan melalui kurikulum terselubung?” Peneliti perlu
menjelaskan bagaimana hubungan antarkomponen sekolah (Whole-School Approach). Secara
lebih sederhana, struktur kurikulum terselubung dapat dibagi menjadi tiga bagian: nilai
(value), aspek formal (formal curricula), dan aspek informal (informal curricula) (Mossop,
2013). Senada dengan argumentasi Raihani (2011), peneliti menemukan bahwa visi-misi
sekolah merupakan “inti” yang kemudian mengarahkan implementasi nilai pada komponen
lainnya Namun, berbeda dengan Gambar 1 yang mengindikasikan bahwa peran setiap
komponen sekolah terdistribusi secara merata, peneliti menemukan bahwa ada komponen
kurikulum terselubung tertentu yang lebih dominan. Pada Gambar 2, peneliti ingin
menjelaskan bahwa nilai toleransi beragama dapat disosialisasikan melalui aspek formal dan
informal dalam struktur kurikulum terselubung seperti kebijakan dan komunitas sekolah.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
13
Gambar 2. Analisis Hubungan Antarkomponen Kurikulum Terselubung Sekolah
Visi Misi Sekolah
Kultur Sekolah
Kepemimpinan & Manajemen
Kegiatan Kesiswaan
Komunitas Luar Sekolah
Kurikulum & Proses Pendidikan
Value
Formal Curricula
Informal Curricula
Toleransi Beragama
Islamisasi
Tempat Ibadah Mata Pelajaran Agama
Figur Guru & Metode Belajar
Teman Sebaya, Organisasi Siswa,
Program Rohis
Peran Orang Tua & Figur Alumni
Kebijakan mengenai
Rokris
Tata Tertib: Seragam,
Kontrol Sosial
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
Value merupakan nilai sosial yang termuat dalam tujuan jangka panjang sekolah. Ada dua
nilai yang termuat dalam visi-misi sekolah, yaitu nilai toleransi beragama dan nilai religius
Islam. Ruang publik sekolah yang mulai diwarnai dengan nilai Islam tidak terlepas dari tren
Islamisasi yang telah muncul dalam struktur formal pemerintahan dan institusi pendidikan
(Raihani, 2011). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merumuskan kecerdasan
spiritual (religiusitas) dan kecerdasan sosial-emosional (toleransi beragama) sebagai nilai
yang perlu dicapai oleh sekolah dalam visi-misi jangka panjang negara (Berita Daerah Kota
Depok, 2015; Keast, 2006; KEMENDIKBUD, 2015; KEMENDIKNAS, 2010).
Menurut Bruce (dalam Furseth & Repstad, 2006: 99), nilai religius tidak dapat bersinergi
dengan nilai toleransi beragama; sebaliknya, Hefner (2009) menjelaskan bahwa nilai religius
bisa berjalan bersama-sama dengan nilai demokrasi. Dalam proses penelitian, peneliti
menemukan bahwa kedua nilai tersebut saling bernegosiasi dalam komponen-komponen
sekolah. Ada beberapa bukti penelitian yang menunjukkan dorongan maupun hambatan
dalam pendidikan toleransi beragama melalui kurikulum terselubung.
Berdasarkan hasil temuan penelitian pada Gambar 2, tampak bahwa “kepemimpinan dan
manajemen sekolah” mempunyai peran yang cukup signifikan dalam membangun hubungan
kerja sama dengan “komunitas luar sekolah” seperti tempat ibadah, dan meregulasikan
“kurikulum dan proses pendidikan”. Struktur formal sekolah diletakkan pada sebuah posisi
yang cukup dominan dalam mengimplementasikan nilai visi-misi sekolah dalam berbagai
komponen kurikulum terselubung. Ada beberapa hal penting yang dapat diketahui
dideskripsikan pada bagian formal curricula.
Dalam formal curricula, nilai toleransi beragama dapat dipelajari ketika sekolah
menyediakan kurikulum dan fasilitas mata pelajaran agama bagi setiap kelompok beragama
siswa melalui hubungan kerja sama dengan berbagai tempat ibadah. Di dalam proses
pendidikan itu sendiri, peneliti juga menemukan bahwa para guru mempunyai sikap yang
cukup objektif dalam menyampaikan informasi yang bersinggungan dengan nilai dan sejarah
kelompok beragama. Adapun dalam pendidikan kewarganegaraan, guru juga mengajarkan
siswa untuk mempunyai sikap toleransi yang lebih inklusif dalam menanggapi keragaman
kelompok beragama siswa di sekolah. Kebijakan sekolah yang diregulasikan oleh aktor-aktor
sekolah juga mencerminkan keterbukaan ketika proses seleksi berdasarkan prestasi akademis
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
15
tanpa membedakan profil siswa berdasarkan kelompok beragama maupun etnis. Kemudian,
peneliti juga menemukan bahwa kebijakan sekolah yang meregulasikan tata tertib sekolah
dalam meregulasikan atribut seragam siswa dan konflik sosial juga dapat memupuk nilai
toleransi beragama; sekolah tidak mengharuskan siswa non-Muslim untuk mengenakan
atribut Muslim (Hijab, Baju Kokoh), dan sekolah mendorong siswa untuk menghindari
perilaku yang dapat menyebabkan konflik antarkelompok beragama.
Meski demikian, peneliti juga menemukan adanya tindakan yang cukup diskriminatif
ketika kebijakan formal sekolah belum dapat menampung siswa yang berasal dari kelompok
Penganut Nilai Kepercayaan – sebuah kelompok aliran agama yang tidak diakui oleh negara.
Kolom nilai agama yang kosong telah menjadi masalah prosedural sehingga siswa tersebut
tidak dapat naik kelas dan melanjutkan studi di sekolah. Sekolah memberikan fasilitas bagi
ekstrakurikuler kerohanian, Rohis (Kerohanian Islam) dan Rokris (Kerohanian Kristen) dalam
melakukan kegiatan ibadah pada tiap minggu dan pada Hari Raya Keagamaan (Idul Qurban,
Natal, dll). Akan tetapi, dalam penyelenggaran kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, terlihat
bahwa kegiatan ibadah antara Rokris dan Musala yang saling berdekatan dapat memicu
potensi konflik sosial. Meskipun guru agama Islam mengambil sikap untuk mendukung
kegiatan ekstrakurikuler Kristen untuk dipindahkan lokasinya, pengambilan keputusan oleh
wakil kepala sekolah yang lebih dominan dalam mengundurkan jadwal (bukan lokasi) telah
merugikan para siswa yang beragama Kristen. Siswa Kristen harus menunggu sampai
selesainya ibadah siswa Muslim untuk melanjutkan ekstrakurikuler kerohanian, padahal
masalah tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan penyesuaian lokasi kegiatan ibadah.
Bila para guru, wakil kepala sekolah, dan staf sekolah mempunyai wewenang dalam
mengarahkan kebijakan melalui formal curricula, maka dinamika pendidikan toleransi
beragama pada informal curricula dibentuk oleh komunitas siswa sekolah. Sama seperti
bagian sebelumnya, peneliti menemukan adanya negosiasi antara nilai toleransi beragama dan
proses Islamisasi dalam “kultur sekolah” dan “kegiatan kesiswaan”. Pada bagian ini, peneliti
akan berfokus pada struktur kurikulum terselubung yang menunjukkan adanya peran teman
sebaya dan aktivitas-aktivitas yang memupuk pengalaman siswa yang berhubungan dengan
kehidupan multireligius di sekolah.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
16
Dalam informal curricula, peneliti menemukan bahwa ekstrakurikuler menjadi wadah
interaksi sosial dengan siswa yang berbeda agama. Dalam ekstrakurikuler non-kerohanian,
informan menjelaskan bahwa siswa dari ragam kelompok beragama dapat berkumpul dan
mendalami minat (skill) yang sama. Sementara itu, mengingat bahwa ekstrakurikuler
kerohanian merupakan simbol atau representasi dari kelompok beragama siswa, peneliti juga
menemukan hubungan teman sebaya yang terjalin antara pengurus Rohis dan Rokris.
“Komunitas luar sekolah”, partisipasi orang tua dan alumni dalam merayakan hari keagamaan
bersama-sama, serta dengan memfasilitasi kegiatan setiap ekstrakurikuler sekolah juga
menjadi figur bagi siswa; pengalaman dan sikap mereka yang lebih terbuka dalam kelompok
masyarakat yang lebih heterogen juga menjadi “contoh” untuk dipelajari oleh siswa. Adapun
melalui komponen “kegiatan kesiswaan” ini pada setiap tahunnya, para siswa juga
mengadakan ritual (Buka Bareng Puasa) dirayakan oleh siswa Muslim dan non-Muslim.
Kegiatan ekstrakurikuler sekolah juga berhubungan dengan “kultur sekolah”, yaitu
kebiasaan-kebiasaan dan interaksi informal yang terbentuk di dalam sekolah. Dalam proses
wawancara mendalam, peneliti menemukan bahwa para informan menjalin hubungan dengan
“teman dekatnya” dengan siswa yang berbeda agama. Melalui cerita personal (dialog nilai dan
pengalaman personal) dan dukungan akademis (kerja kelompok), para siswa dapat
mempelajari nilai toleransi beragama melalui peran teman sebaya. “Kultur sekolah” yang
dibangun pada interaksi informal seperti ini mengkonstruksi nuansa sekolah yang
multireligius. Perlu dicatat juga bahwa nuansa komunitas sekolah yang inklusif tidak hanya
berlaku bagi siswa yang berbeda agama, namun juga kepada siswa Ahmadiyah, sebuah
kelompok aliran Islam yang dianggap menyimpang.
Sebaliknya, ada juga beberapa hal yang dapat melemahkan pendidikan toleransi
beragama dalam informal curricula. Senada dengan argumentasi Raihani (2011) mengenai
tren Islamisasi dalam ruang publik sekolah, peneliti juga menemukan bahwa kultur di SMA N
bernuansa Islam. Hal ini tidak berarti bahwa pendidikan nilai religius perlu dihindari, tetapi
ketika terdapat nilai religius/kultural tertentu yang lebih dominan dalam ruang publik sekolah,
muncullah kesadaran bahwa kelompok agama mayoritas adalah kelompok yang superior.
Melalui proses Islamisasi, kesempatan untuk mempelajari nilai toleransi beragama menjadi
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
17
lebih sulit ketika kultur multireligius di sekolah negeri “diwarnai” dengan kultur sekolah
Islam.
Berdasarkan Gambar 2, ada beberapa temuan penelitian yang dapat menggambarkan
“kultur sekolah” yang bernuansa Islam. Pertama, pengenalan kultur Islam bermula dari
program “Kegiatan Kesiswaan” yang dikelola oleh Ekstrakurikuler Kerohanian Islam. Setiap
siswa baru yang beragama Islam diwajibkan untuk mengikuti serangkai aktivitas yang
berguna untuk menanamkan nilai religius Islam, dan di setiap tahunnya, masing-masing kelas
dimonitor oleh ekstrakurikuler Rohis dalam mengadakan pengajian (kegiatan ibadah)
bersama-sama. Kegiatan Kerohanian Islam tidak hanya digerakkan oleh siswa, namun
diregulasikan oleh aktor sekolah (Pembina OSIS) melalui komponen “Kepemimpinan dan
Manajemen Sekolah”.
Kedua, peraturan sekolah (formal curricula) yang mewajibkan siswi Muslim untuk
mengenakan Hijab, dan siswa Muslim untuk memakai baju Muslim (Baju Kokoh), serta
regulasi untuk melakukan ritual keagamaan (Tilawah & Saritilawah) sebelum kegiatan formal
di ruang publik sekolah (sebelum kegiatan belajar-mengajar, dan debat pemilihan calon ketua
OSIS) juga menunjukkan adanya reproduksi nilai keagamaan yang lebih dominan dalam
komponen “kultur sekolah’. Dalam peraturan ini, siswa didorong untuk bersikap religius, dan
kebutuhan siswa untuk bersikap religius memperkuat regulasi kebijakan formal tersebut.
Meskipun hal tersebut bisa dikatakan sebagai upaya untuk memenuhi nilai religius
(kecerdasan spiritual), tetapi hal yang sama dapat melemahkan nilai sosial-emosional
(toleransi beragama). Salah satu contohnya adalah calon ketua OSIS (Organisasi Siswa
Intrasekolah) “harus” beragama Islam. Peneliti tidak menemukan kebijakan tertulis (formal
curricula) mengenai syarat pemilihan calon ketua OSIS (kegiatan kesiswaan), namun
preferensi siswa (dan guru) dalam seleksi calon ketua OSIS dipengaruhi oleh kebijakan
non-tertulis, yaitu “kultur sekolah” yang bernuansa Islam (informal curricula).
Kurikulum terselubung merupakan jenis pendidikan yang dipelajari secara implisit. Dari
analisis hubungan antarkomponen kurikulum terselubung, peneliti menemukan bahwa
pendidikan nilai toleransi beragama dapat dilakukan melalui aspek formal dan informal
seperti kebijakan dan komunitas siswa sekolah. Meski demikian, pendidikan toleransi
beragama juga bernegosiasi dengan proses Islamisasi yang sedang berkembang dalam
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
18
lembaga pendidikan sekolah negeri. Hal ini tidak terlepas dari nilai yang ingin dicapai dalam
visi-misi pemerintah (makro), yang diturunkan pada tingkat organisasi sekolah (meso), dan
diinterpretasikan oleh siswa melalui pengalaman sehari-hari di dalam maupun di luar ruang
kelas (mikro). Pembahasan
Pendidikan multikultural harus dimaknai sebagai sebuah proses yang inklusif; toleransi
beragama masih menyisakan ruang untuk kekerasan simbolik. Daivd Little (dalam Fuad, 2007:
101) mengutarakan bahwa toleransi merupakan sebuah sikap yang menahan kekerasan
terhadap kelompok beragama (forbearance). Kritik terhadap Little oleh Bretherton (2004)
adalah toleransi beragama tidak dapat disempitkan sebagai sebuah sikap yang pasif,
melainkan harus dilihat lebih jauh sebagai sebuah sikap yang merekognisi hak dan kebebasan
beragama, serta rasa hormat dan keinginan untuk hidup dengan perbedaan.
Seorang individu yang toleran belum tentu mengakui dan menghormati kelompok agama
yang lain; masih terdapat ruang bagi prasangka dalam sikap tersebut (Varadi, 2014). Hal ini
kemudian melahirkan sebuah bentuk kekerasan yang dilakukan secara implisit, yaitu
kekerasan simbolik. Bourdieu menjelaskan bahwa kekerasan simbolik adalah bentuk
dominasi kelompok superordinat terhadap kelompok subordinat tanpa menggunakan
kekuasaan, melainkan melalui nilai kultural tertentu yang diregulasikan oleh agen dan struktur
sosial (Connolly & Healy, 2004; Schubert, 2002). Berdasarkan temuan penelitian, SMA N
tidak mengadakan tindakan diskriminatif yang dilakukan secara sistematis, namun kekerasan
simbolik adalah bentuk intoleransi yang lebih halus yang diregulasikan melalui kebijakan
formal dan kultur informal sekolah.
Kemudian, perlu dicatat bahwa pengakuan terhadap “Hak dan Kebebasan Beragama” saja
belum tentu dapat membangun sebuah hubungan multireligius yang inklusif. Dalam konsep
citizenship (kewarganegaraan), setiap individu mempunyai hak dan kewajiban (Jones &
Gaventa, 2002); hak tidak dipisahkan dari kewajiban seseorang. Konsep “hak dan kewajiban”
yang dikemukakan oleh Marshall mengenai sosial-ekonomi (Marshall, 1950), berlaku juga
terhadap hubungan intercultural citizenship sebagai “tipe ideal” (ciri khas) hubungan
antarkelompok beragama di Indonesia (Barbalet, 2010). Toleransi masih memuat nuansa
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
19
individualisme dan apatisme; individu yang mengakui hak dan kebebasan beragama dapat
memperhatikan hak kelompok ingroup tanpa memikirkan hak kelompok outgroup (Leeuwen,
2010; Weithman, 2002: 16). Oleh karena itu, makna toleransi beragama dalam ruang lingkup
kewarganegaraan perlu dimaknai sebagai sebuah proses inklusi dan kewajiban individu untuk
ikut berpartisipasi dalam melindungi hak individu dan setiap kelompok beragama (Dean,
2014; Kiwan, 2007). Dalam proses tersebut, individu tidak merasa puas dengan kondisi yang
“sudah toleran”, namun individu akan terus berpartisipasi dalam proses yang lebih inklusif.
Makna pendidikan toleransi beragama perlu diinterpretasikan kembali. Levinas (dalam
Best, 2016) menjelaskan bahwa inklusi perlu dilakukan secara informal dan formal, melalui
aspek sosio-kultural dan sosial-politik. Pengakuan hak dan kebebasan beragama seharusnya
dijadikan sebuah tindakan yang konkrit. Giddens (dalam Sewell, 1992) menawarkan konsep
agensi untuk menghubungkan kedua aspek tersebut - antara struktur sosial dan individu.
Agensi merupakan intensi yang termuat dalam tindakan individu yang dapat memengaruhi
struktur sosial.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, saya ingin menawarkan sebuah pandangan
mengenai agensi relasional (relational agency) sebagai orientasi pendidikan multikultural
yang lebih inklusif. Agensi relasional melihat bahwa terdapat hubungan interdependen
antarindividu – sebuah kesadaran bahwa setiap orang membutuhkan satu dengan yang lain
(Burkitt, 2016). Saya melihat bahwa kelompok beragama tidak saling “menolak” atau
“menahan”, namun saling “membutuhkan” dan “menginginkan” satu dengan yang lain, untuk
saling melindungi dan mengiklusi hak setiap kelompok beragama. Kesadaran ini dapat
dibentuk bubungan personal dapat dibentuk melalui aktivitas-aktivitas dalam komunitas siswa,
yakni melalui kurikulum terselubung sekolah (Quick & Feldman; Yukich, 2010).
Sebagaimana kekerasan simbolik dapat terjadi melalui kebijakan formal dan kultur sekolah,
inklusi dapat dilakukan secara simbolik melalui partisipasi individu, kebijakan yang
demokratis, dan komunitas siswa yang multireligius.
Penelitian ini masih sangat terbatas. Peneliti hanya dapat melakukan studi di salah satu
sekolah negeri. Sehingga, penelitian ini belum dapat memotret pendidikan toleransi pada
tingkat regional maupun nasional. Adapun konsep kurikulum terselubung bersifat ahistoris,
maka konsep ini tidak dapat memotret perkembangan kebijakan negara terhadap nilai-nilai
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
20
yang ingin diajarkan dalam ruang lingkup sekolah, maupun faktor-faktor lain seperti tingkat
pendidikan orang tua, dan lain sebagainya. Masih diperlukan banyak studi terkait tema
penelitian ini. Kesimpulan
Pendidikan toleransi beragama beruaya untuk menjawab fenomena radikalisme pada
kalangan siswa. Studi terdahulu menunjukkan bahwa intoleransi bermula dalam lembaga
pendidikan Indonesia. Studi ini ditujukan untuk menjelaskan peran kurikulum terselubung
dalam sosialisasi nilai toleransi beragama. Kurikulum terselubung adalah proses pendidikan
yang dilakukan di luar rancangan sekolah dan kurikulum tertulis, siswa dapat mempelajari
nilai toleransi beragama melalui kebijakan formal sekolah dan komunitas informal kesiswaan.
Studi ini dilakukan pada salah satu sekolah negeri di Kota Depok.
Menjawab pertanyaan penelitian yang pertama, peneliti menemukan bahwa para
informan siswa menanggapi nilai toleransi sebagai sikap yang menolak kekerasan, dan
sebagai sikap yang mengakui hak dan kebebasan beragama. Hasil survei menunjukkan bahwa
70 responden di SMA N bersikap “toleran”, serta menunjukkan bahwa mereka hampir tidak
mempunyai kesulitan dalam menjalin relasi dengan teman yang berbeda agama.
Menjawab pertanyaan penelitian yang kedua, peneliti menemukan bahwa nilai toleransi
beragama dapat disosialisasikan melalui kurikulum terselubung. Proses pendidikan tersebut
dapat dilakukan melalui aspek formal (formal curricula) seperti kebijakan sekolah dalam
berkolaborasi dengan berbagai tempat ibadah untuk memfasilitasi mata pelajaran agama bagi
siswa SMA N. Hal yang sama juga dapat dilakukan melalui aspek informal (informal
curricula) seperti peran teman sebaya dalam kegiatan ekstrakurikuler kerohanian dan
non-kerohanian.
Meski demikian, peneliti juga menemukan adanya kekerasan simbolik yang dapat
melemahkan pendidikan toleransi beragama. Walaupun sekolah tidak melakukan tindakan
diskriminatif secara sistematis, Islamisasi yang terjadi dalam sekolah negeri membangun
sebuah kesadaran hubungan antara kelompok mayoritas-superior dan kelompok
minoritas-inferior pada kalangan siswa.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
21
Pendidikan toleransi harus dimaknai ulang sebuah sebuah proses untuk mencapai
hubungan multireligius yang lebih ideal. Setiap individu mempunyai status dan kewajiban
untuk melindungi hak setiap kelompok beragama. Proses pendidikan tersebut dapat dibangun
melalui kesadaran individu bahwa adanya hubungan interdependen antarkelompok beragama,
dan tindakan agen dalam membentuk kebijakan dan komunitas sekolah yang lebih inklusif. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Dra. Indera Ratna Irawati Pattinasarany, M.A. sebagai dosen pembimbing dalam proses
penulisan, dan juga kepada beberapa dosen dan rekan-rekan yang telah ikut mendukung proses penelitian. Penulis berterima kasih kepada
Prof. Dr. Raihani, M. Ed, Ph. D, selaku penulis artikel Whole-School Approach yang telah memberikan izin terhadap penggunaan bagan
tersebut, serta memperkaya konsep kurikulum terselubung dalam tulisan ini.
Daftar Referensi
Abdhullah Idi, Haji. (2011). Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers.
Abdhurakhman. (2013). Gerakan Tarbiyah 1980-2010: Respon Ormas Islam Terhadap Gerakan Islam Transnasional. Depok: Universitas
Indonesia.
Almagor, R, C. "Democracy and Multiculturalism". Ed. Cohen-Almagor. (2000). Challenges to Democracy: Essays in Honour and Memory
of Isaiah Berlin. London: Ashgate, Publishing Ltd. Hal 89-107.
Almond, Brenda. (2010). Education for Tolerance: Cultural Difference and Family Values. Journal of Moral Education.
Alsubaie, M, A. (2015). Hidden Curriculum as One of Current Issue of Curriculum. Journal of Education and Practice.
Andersen, R, & Fetner, T. (2008). Economic Inequality and Intolerance. American Journal of Political Science.
Appleby, Scott. (2000). The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation. Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Asbeck, Richard. (2010). Religious Pluralism. Munich Hanns Seidel Stiftung.
Azimpour, E, & Khalilzade, A. (2015). Hidden Curriculum. World Essays Journal.
Barbalet, Jack. (2010). Citizenship in Max Weber. Journal of Classical Sociology.
Basedau, M, & Koos, C. (2015). When do Religious Leaders Support Faith-Based Violence. Political Research Quarterly.
Bayanfar, Fatemeh. (2013). The Effect of Hidden Curriculum on Academic Achievement of High School Students. International Research
Journal of Applied and Basic Science.
BDKD. (2015). Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Depok Tahun 2016. Berita Daerah Kota Depok.
Berger, P,L, Kellner, H. (1981). Sociology Reinterpreted: An Essay on Method and Vocation. Jakarta: LP3ES.
Berger, P,L. (1967). The Sacred Canopy. New York: Doubleday & Company, Incorporated.
Bertram, Dane. (2007). Likert Scales. Academia.Edu.
Best, Shaun. (2016). Zygmunt Bauman: On What It Means to be Included. Power Education.
Bowen, J, R. (2010). Religious Discrimination and Religious Governance Across Secular and Islamic Countries: France and Indonesia as
Limiting Cases. American Behavioral Scientist.
Bretherton, Luke. (2004). Tolerance, Education, and Hospitality. The Continuum Publishing Group.
Brisko, B. 2012. The Socialization: Process and the Functional Significance of Education. EDP Sciences.
Brosnan, C, Turner, B,S. (2009). Handbook of the Sociology of Medical Education. New York: Routledge.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
Burkitt, Ian. (2016). Relational Agency Relational Sociology, Agency and Interaction. European Journal of Social Theory.
Caliskan, H, & Saglam, H,I. (2012) A Study on the Development of the Tendency to Tolerance Scale and an Analysis of the Tendencies of
Primary School Students to Tolerance through Certain Variables. Educational Consultancy and Research Center.
Chomeya, Rungson. (2010). Quality of Psychology Test Between Likert Scale 5 and 6 Points. Journal of Social Sciences.
Chzhen, Yekaterina. (2013). Education and Democratisation: Tolerance of Diversity, Political Engagement, and Understanding of
Democracy. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Ciftci, Sabri. (2010). Modernization, Islam, or Social Capital. Comparative Political Studies.
Coleman, E,B, & White, K. (2011). Religious Tolerance, Education and the Curriculum. Sense Publishers.
Connoly, P, Healy, J. (2004). Symbolic Violence, Locality and Social Class: The Educational and Career Aspirations of 10-11-Year-Old
Boys in Belfast. Pedagogy, Culture and Society.
Creswell, J,W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 4th Edition. SAGE Publications.
Cubukcu, Zuhal. (2012). The Effect of Hidden Curriculum on Character: Education Process of Primary School Students. Educational
Ccnsultancy and Research Center.
Damsar. (2011). Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kecana.
Davis, D,W. (2000). Individual Level Examination of Postmaterialism in the U.S. Political Research Quarterly.
Dillon, Michele. (2003). Handbook of the Sociology of Religion. Cambridge University Press.
Doorn, M,V. (2014). The Nature of Tolerance and the Social Circumstances in which It Emerges. Current Sociology Review.
Ecklund, E, H, & Scheitle, C, P. (2007). Religion among Academic Scientists: Distinctions, Disciplines, and Demographics. Society for the
Study of social Problems.
Ecklund, E, H. (2007). Religion and Spirituality among University Scientists. Social Sicence Research Council.
Esther, Chia O. (2015). Refocusing the Social Studies Curriculum for Religious Tolerance, Unity and Peaceful Coexistence in Nigeria.
Journal of Research & Method in Education.
Fuad, Zainul. (2007). Religious Pluralism in Indonesia Muslim-Christian Discourse. Universitat Hamburg.
Furseth, R, Repstad, P. (2006). An Introduction to the Sociology of Religion: Classical and Contemporary Perspectives. Ashgate Publishing
Limited.
Ghosh, Ratna. (2010). Racism: A Hidden Curriculum. Canadian Education Association.
Glatthorn, A,A. (2000). The Principal as Curiculum Leader Shaping What is Taught & Tested, 2nd Edition. Corwin Press.
Glatthorn, A,A. (2015). Curriculum Leadership: Strategies for Development and Implementation. SAGE Publications.
Golebiowska, Ewa. (2009). Ethnic and Religious Tolerance in Poland. East European Politics and Societies.
Goplen, J, & Plant, E,A. (2015). A Religious Worldview: Protecting One's Meaning System through Religious Prejudice. Personality and
Social Psychology Bulletin.
Hafferty, et al. (2015). The Role of the Hidden Curriculum in "On Doctoring" Courses. AMA Journal of Ethics.
Hanum, Farida. (2013). Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa. Universitas Negeri Yogyakarta.
Hasan, Noorhaidi. (2010). The Failure of the Wahabi Campaign. South East Asia Research.
Hasyim, Syafiq. (2015). Majelis Ulama Indonesia and Pluralism in Indonesia. Philosophy and Social Criticism.
Hefner, R,W. (2009). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.
Hefner, R,W. (2009). Islamic Schools, Social Movements, and Democracy in Indonesia. University of Hawai'I Press.
Hidayat, Dady. (2012). Gerakan Dakwah Salafi di Indonesia pada Era Reformasi. Jurnal Sosiologi Masyarakat.
Hoon, Chang Yau. (2016). Religious Aspirations Among Urban Christians in Contemporary Indonesia. International Sociology.
Hopman, et al. (2014). The Hidden Curriculum of Youth Policy: A Dutch Example. Youth & Society
Hunter, A, G et al. (2012). Race, Class, and Religious Differences in the Social Networks of Children and Their Parents. Youth & Society.
INFID. (2013). Kebebasan Beragama di Indonesia 2010-2012. International NGO Forum on Indonesian Development.
Janmaat, J.G, & Mons, N. (2011). Promoting Ethnic Tolerance and Patriotism. Chicago Journals.
Jati, W, R. (2014). Toleransi Beragama dalam Pendidikan Multikulturalisme. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Johnson, et al. (2015). Individual Religiosity and Orientation Towards Science: Reformulating Relationships. Sociological Science.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
Jones, E, & Gaventa, J. (2002). Concepts of Citizenship: A Review. Institute of Development Studies.
Kanas, et al. (2015). Interreligious Contact, Perceived Group Threat, and Perceived Discrimination. Social Psychology Quarterly.
Kauff, Mathias et al. (2013). Side Effects of Multiculturalism. Personality and Social Psychology Bulletin.
Keast, John. (2006). Religious Diversity and Intercultural Education. Council of Europe.
Keddie, Amanda. (2014). Students' Understandings of Religious Identities and Relations. Education, Citizenship and Social Justice.
KEMENDIKBUD. (2015). Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
KEMENDIKNAS. (2010). Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2015. Kementerian Pendidikan Nasional.
Kentli, F, D. (2009). Comparison of Hidden Curriculum Theories. European Journal of Educational Studies.
Khalikin, Ahsanul. (2012). Ikhwanul Muslimin dan Gerakan Tarbiyah di Banten dan Kota Batam. Jurnal Multikultural & Multireligius.
Khareng, M, & Awang, J. (2012). Cultural Socialization and Its Relation to the Attitude of Religious Tolerance. International Journal of
Islamic Thought.
Kirkham, Sam. (2016). Constructing Multiculturalism at School. Discourse & Society.
Kiwan, Dina. (2007). Developing a Model of Inclusive Citizenship: 'Institutional Multiculturalism' and the Citizen-State Relationship.
Theory and Research in Educaiton.
KOMNAS HAM. (2015). Laporan Akhir Tahun: Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia.
Kymlicka, Will. (2012) Liberal Multiculturalism Western Models, Global Trends, and Asian Debates. Migration Policy Institute.
Kymlicka, Will. 2005. Multiculturalism in Asia. Oxford University Press
Lahouari, Addi. (2009). Islam Re-Observed: Sanctity, Salafism and Islamism. The Journal of North African Studies.
Laksana. (2014). Living Together in a Religious Plural Society. University of Wellington
Leeman, Yvonne. (2008). Education and Diversity in the Netherlands. European Educational Research Journal.
Leeuwen, B, V. (2010). Dealing with Urban Diversity: Promises and Challenges of City Life for Intercultural Citizenship. Political Theory.
Maarif et al. (2013). Fenomena Radikalisme di Kalangan Anak Muda. Maarif Institute.
Marshall, T, H. (1950). Citizenship and Social Class and other essays. The Syndics of The Cambridge University Press.
Martin, I,S. (2013). Teaching about Religions and Education in Citizenship in France. Education, Citizenship & Social Justice.
Mashuri, et al. (2016). The Role of Identity Subversion in Structuring the Effects of Intergroup Threats and Negative Emotions on Belief in
Anti-West Conspiracy Theories in Indonesia. Psychology and Developing Societies.
Mather, D, M, & Tranby, E. (2014). New Dimensions of Tolerance. Sociological Science.
Menchik, Jeremy. (2014). Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia. Comparative Studies in Society and History.
Ministry of Education and Culture. (2012). Indonesia: Educational Statistics in Brief 2011/2012. Jakarta: MOEC.
Mink, Charles. (2015). It’s about the Group, Not God: Social Causes and Cures for Terrorism. Journal for Deradicalization.
Mirchandani, K, & Tastsoglou, E. (2000). Towards a Diversity Beyond Tolerance. Studies in Political Economy.
Mirchandani, K, & Tastsoglou, E. (2000). Towards a Diversity Beyond Tolerance. Studies in Political Economy.
Modood, T, & Ahmad, F. (2007). British Muslim Perspectives on Pluralism. Theory, Culture & Society.
Mossop, Liz. (2013). Analysing the Hidden Curriculum: Use of a Cultural Web. Blackwell Publishing.
Mudhoffir, A,M. (2014). Political Islam & Religious Violence in Post-New Order Indonesia. Jurnal Sosiologi Masyarakat.
Munip, Abdul. (2012). Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Jurnal Pendidikan Islam.
Ng, E, S, & Bloemraad, I. (2015) A SWOT Analysis of Multiculturalism. American Behavioral Scientist.
Nobile, et al. (2015). Whole School Behavior Management. Management and Perceptions of Behaviour Problems in Australian Primary
Schools. Management in Education.
Okon, Etim. (2012). Religion as Instrument of Socialization and Social Control. European Scientific Journal.
Oppong, S,H. (2013). Religion and Identity. American International Journal of Contemporary Research.
Pew Research Center. (2016). Trends in Global Restrictions on Religion.
Portelli, J, P. (2007). Exposing the Hidden Curriculum. Journal of Curriculum Studies.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017
Putra, Arie. (2013). Potret Intelektual Muslim. Cak Tarno Institute.
Quick, K, S, Feldman, M, S. (2011). Distinguishing Participation and Inclusion. Journal of Planning Education and Research.
Rahman, N, F, A. (2013). Religious Tolerance in Malaysia: Problems and Challenges. International Journal of Islamic Thought.
Rahmawati, et al. (2015). Variasi Pandangan Siswa terhadap Penanaman Nilai Toleransi Kehidupan Beragama di Sekolah dan Masyarakat.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Raihani. (2011). A Whole-School Approach: A Proposal for Education for Tolerance in Indonesia. Theory & Research in Education.
Raihani. (2011). Education for Multicultural Citizens in Indonesia: Policies and Practices. Australia Research Institute.
Raihani. (2016). Minority Right to Attend Religious Education in Indonesia. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies.
Ritchie, J, Lewis, J. (2003). Qualitative Research Practice. SAGE Publications.
Rokhmad, Abu. (2012). Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal. Walisongo.
Rosenblith, Suzanne. (2008). Beyond Coexistence. Theory and Research in Education.
Ruff, C, S. (2013). Perspectives on the Hidden Curriculum within the Social Studies. Ohio University.
Sabe, J,C. (2007). The Crisis in Religious Socialization: An Analytical Proposal. Social Compass.
Sadan, Masthuriyah. (2015). Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam Al-Qur'an & Urgensi Sikap Keberagaman untuk Masyarakat Indonesia.
Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama.
Saroglou, Vassilis. (2012). Adolescents' Social Development and the Role of Religion. Cambridge University Press.
Schafer, Saskia. (2015). Renegotiating Indonesian Secularism through Debates on Ahmadiyya and Shia. Philosophy and Social Criticism.
Schubert, J, D. (2002). Defending Multiculturalism. American Behavioral Scientist.
Seda, Francisia S.S.E. (1987). Kurikulum Terselubung dan Modernitas Individu: Suatu Studi Kasus Mengenai Sekolah Sebagai Agen
Sosialisasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
SETARA, (2015). Ringkasan Laporan: Indeks Kota Toleran 2015. SETARA Institute.
Sewell, W, H. (1992). A Theory of Structure Duality, Agency, and Transformation. American Journal of Sociology.
Shoaib, et al. (2013). Family Environment and the Concept of Tolerance among Family Members. World Applied Sciences Journal.
Smith, B, G. (2007). Attitudes towards Religious Pluralism. Social Compass.
Suaedy, Ahmad et al. (2010). Islam, The Constitution, and Human Rights. Jakarta: Wahid Institute.
Syamsiyatun, S, & Siregar, F,M. (2013). Etika Islam dan Problematika Sosial di Indonesia. Globalethics.net.
Tadjoeddin, M, Z. (2016). Earnings, Productivity, and Inequality in Indonesia. The Economic and Labour Relations Review.
Tan, Charlene. (2007). Islam and Citizenship Education in Singapore. Education, Citizenship & Social Justice.
Vala, J, & Lopes, R, C. (2010). Youth Attitutes toward Difference and Diversity in a Cross-National Analysis. Analise Sosial.
Varadi, L. (2014). Youths Trapped in Prejudice. Politische Psychologie.
Verkuyten, & M, Thijs, J. (2010). Religious Group Relations Among Christian, Muslim and Nonreligious Early Adolescents in the
Netherlands. Journal of Early Adolescent.
Verkuyten, M, & Slooter, L. (2007). Tolerance of Muslim Beliefs and Practices: Age Related Differences and Context Effects. The
International Society for the Study of Behavioral Development.
Weithman, P, J. (2002). Religion and the Obligations of Citizenship. Cambridge University Press.
WI. (2014). Laporan Tahunan: Kebebasan Beragama/Berkeyanikan dan Intoleransi. The WAHID Institute.
Widya, Diatyka. (2010). Tradisi, Ekonomi-Politik dan Toleransi Yogyakarta. Jurnal Masyarakat Sosiologi.
Ysseldyk, Renate. (2011). Love thine Enemy? Evidence that (ir)religious Identification can Promote Outgroup Tolerance under Threat.
Group Processes & Intergroup Relations.
Yukich, Grace. (2010). Boundary Work in Inclusive Religious Groups Constructing Identity at the New York Catholic Worker. Sociology of
Religion.
Sosialisasi Nilai ..., Kevin Nobel Kurniawan, FISIP UI, 2017