Post on 17-Jan-2016
description
transcript
BAB I
BAHAN DAN CARA
A. Sumber
Jurnal ini diambil dari Brain A Journal of Neurology. 2012.
B. Judul dan Penulis
Judul jurnal ini adalah “Recognition memory is impaired in children
after prolonged febrile seizures”.
Artikel ini ditulis oleh Marina M. Martinos, Michael Yoong, Shekhar
Patil, Richard F. M. Chin, Brian G. Neville, Rod C. Scott2, and Michelle de
Haan
C. Abstrak
1. Latar Belakang
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Predileksi kejang demam terjadi pada anak usia 6 bulan -
5 tahun. Kejang demam berulang dapat mengakibatkan individu tersebut
mengalami sklerosis mesial temporal yang terutama terdiri dari gangguan
asosiasi retrospektif atau fungsi daya ingat. Akan tetapi, masih belum
jelas apakah kejang demam berulang berhubungan dengan gangguan
memori, seperti gangguan yang terkait dengan besarnya tanda-tanda akut
kelainan struktural yang muncul pada area hipocampus pada pemeriksaan
MRI.
Penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
manisfestasi klinis yang signifikan pada sklerosis mesial temporal (area
hipocampus) dengan kejang demam berulang. Selain itu, penelitian pada
hewan telah menunjukkan bahwa tikus dewasa yang menderita kejang
demam selama perkembangannya sudah terbukti mengalami gangguan
memori.
1
Penelitian ini disetujui oleh Great Ormond Street Hospital (GOSH) /
UCL Institude of Child Health yang mendapat pendanaan dari
Departemen Kesehatan NIHR Biomedical Research Centres, di mana
pusat riset ini merupakan pusat dari epidemiologi dan biostatik bagian
pediatrik yang mendapat dukungan dana dari Medical Research Council
(MRC) sebagai pusat epidemiologi kesehatan anak..
2. Tujuan
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui fungsi memori pada anak
dengan kejang demam berulang yang pada umumnya terjadi pada 3 tahun
pertama pasca kelahiran, kemudian diteliti setelah periode kejang demam
berakhir.
3. Metode
Peneliti melakukan jenis penelitian cohort.
Tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti sebagai berikut:
a) Pengambilan sampel penelitian
Pengambilan sampel penelitian pada kasus ini didasarkan pada
pengambilan sebagian sampel penelitian yang lebih besar yakni pada
kasus kelainan struktur dan efek fungsional status epileptikus pada
populasi anak.
Sampel yang diambil merupakan sampel kohort pada anak-anak
yang mengalami sedikitnya satu kali periode kejang demam berulang
pada bulan Desember 2006 sampai dengan Maret 2010 melalui
jaringan penelitian epilepsi yang sudah ada di London Utara. Melalui
persetujuan dari orang tua, peneliti melakukan MRI dan analisis
neuropsikologi di GOSH, rumah sakit khusus anak. Kemudian
pasien diundang kembali satu tahun setelah diberikan perlakuan.
b) Kontrol penelitian
Kontrol penelitian diambil pada anak-anak dengan rentang usia
yang sama dengan sampel penelitian pada keluarga yang tidak
memiliki riwayat gangguan perkembangan anak sebelumnya.
Kontrol diambil melalui diskusi parental dan pengenalan video untuk
2
ibu yang memiliki anak dengan rentang usia yang sama. MRI hanya
dilakukan pada orang tua yang setuju untuk dilakukan perlakuan
tanpa adanya indikasi medis dan hanya dilakukan sekali pada anak-
anak yang kooperatif dengan MRI tanpa bius. Peneliti tidak
melakukan bius karena menurut peneliti, hal tersebut kurang etis.
Tiga saudara dari kontrol penelitian juga dimasukkan dalam analisa
sebagai faktor penguat tidak adanya riwayat gangguan
perkembangan pada kontrol.
c) Analisis neurodevelopmental
Analisa asosiasi kognitif anak usia <42 bulan didasarkan pada
skala Bayley of Infant and Toddler Development (edisi ke 3).
Sedangkan untuk anak usia >42 bulan menggunakan Wechsler
Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI)-III edisi UK.
d) Pengukuran MRI secara kuantitatif
Semua metode MRI yang dilakukan pada anak-anak dengan
Siemens Avanto 1.5 T yang dipaparkan ke seluruh tubuh. Volume
otak (termasuk cairan serebrospinal pada ventrikel) dihitung
menggunakan metode ekstraksi otak otomatis yang tersedia.
Pemeriksaan scan dilakukan secara manual dan disesuaikan
seperlunya. Pengukuran kuantitatif volume hipokampus dilakukan
dengan menggunakan gambar yang diperoleh dari rangkaian 3D-
FLASH (tembakan sudut cepat rendah). Hal ini memberikan 1 mm
voxel isometrik. Gambar-gambar paralel tersebut diputar dengan
sumbu panjang dari hipokampus, area yang menjadi perhatian
tersebut secara manual ditarik melingkupi seluruh hipokampus
menggunakan MRIcronN. Rasio rata-rata hipokampus dihitung
dengan membagi volume hipokampus rata-rata dengan jumlah
volume otak.
e) Uji perbandingan visual berpasangan
Uji ini meliputi:
3
1. Stimulasi
Dua stimulasi set yang menggambarkan wajah wanita, telah
dikembangkan dalam uji ini. Wajah-wajah wanita tersebut
diambil dari kumpulan The NitStim Face Stimulus. Ukuran
gambar yang digunakan adalah 22x19 cm, dengan sudut 23,5o dari
jarak pandang sepanjang 60 cm. Setengah dari jumlah pasien diuji
terlebih dahulu pada set A kemudian dilanjutkan dengan set B
pada waktu kunjungan selanjutnya, dan begitu pula sebaliknya
pada setengah jumlah pasien yang lain. Hal ini dilakukan untuk
menghindari jejak ingatan wajah, khususnya pada anak yang lebih
dewasa. Cara uji yang sama dilakukan pada kontrol.
2. Prosedur dan peralatan
Stimulasi disajikan pada layar datar yang terletak dalam
sebuah bilik gelap untuk meminimalkan gangguan visual perifer.
Mereka duduk di kursi yang berjarak sekitar 60 cm dari layar
dengan cara duduk sendiri atau berada pada pangkuan
pendamping. Sebuah kamera digital diposisikan di atas layar
untuk merekam seluruh gerakan mata pada percobaan. Output
dari kamera dapat dilihat secara langsung pada layar kontrol yang
terhubung dengan kamera. Orang tua diminta untuk memastikan
anak-anaknya fokus pada inisiasi setiap percobaan, dan dapat
membiarkan mereka menatap bebas setelahnya. Jeda waktu
istirahat untuk setiap percobaan berlangsung selama 5 menit, di
mana anak-anak diijinkan untuk bermain bebas.
3. Uji kecenderungan terhadap hal baru
Tahap pertama pada uji perbandingan visual berpasangan,
subyek diuji untuk menentukan apakah mereka mampu
menentukan kecenderungan terhadap hal baru dalam tuntutan
daya ingat minimal. Uji kecenderungan terhadap hal baru ini
terdiri dari 12 percobaan selama 10 detik, dilakukan selama uji
fungsi sosialisasi diselingi dengan uji percobaan. Penelitian
4
sebelumnya dengan metode yang sama menunjukkan bahwa
anak-anak normal usia 1-3 bulan mampu menunjukkan
kecenderungan terhadap hal baru pada waktu tersebut. Dengan
demikian, peneliti mengharapkan dapat mendeteksi
kecenderungan tersebut bahkan jika ada uji pada bayi termuda.
Enam percobaan pada tes kecenderungan hal baru terdiri dari
presentasi identik wajah ditempatkan kiri dan kanan dari titik
fiksasi. Sedangkan enam sisanya, menampilkan wajah asli yang
disajikan bersama sebuah wajah baru-unik percobaan.
4. Uji pengenalan daya ingat
Tahap kedua pada uji perbandingan visual berpasangan,
subyek dibiasakan untuk melihat wajah tunggal dengan tujuan
untuk menentukan apakah subyek dapat mengingat wajah tersebut
pada jeda waktu 5 menit berikutnya.
5. Coding
Setengah dari rekaman uji perbandingan visual berpasangan
diberi kode oleh penyidik yang tidak mengetahui diagnosis, dan
setengah lainnya diberi kode oleh peneliti saat ini. Para penyidik
secara acak memberi kode dengan hanya melalui memperhatikan
posisi dari wajah baru dari seluruh coding. Para subyek
diharuskan untuk melihat kanan atau kiri dari titik fiksasi sesuai
dengan refkesi kornea yang terlintas dari mata subyek.
6. Variabel penelitian
Untuk setiap percobaan kecenderungan terhadap hal baru,
kecenderungan dihitung dengan membagi waktu melihat gambar
wajah baru dengan waktu melihat keseluruhan percobaan.
Proporsi rata-rata dari uji kecenderungan baru pada enam tes
kecenderungan baru tahap segera dan dua tes uji coba pada
komponen pengenalan daya ingat memberikan gambaran baru
secara keseluruhan untuk setiap uji. Total waktu sosialisasi dan
total waktu penglihatan pada pengenalan pola pikir daya ingat
5
juga dihitung dan digunakan sebagai variable terikat pada
penelitian.
7. Analisis statistik
Satu sampel Uji T digunakan untuk menentukan tingkat
signifikan terhadap hal baru dengan rasio kemungkinan 0,50.
Telah ditemukan secara konsisten untuk mencapai skor di atas
benchmark ini yang menandakan signifikansi terhadap
kecenderungan hal baru, sedangkan sebaliknya tidak terdapat
hasil yang signifikan terhadap hasil uji sosialisasi. Tidak terdapat
tanda-tanda tingkat kemungkinan baik untuk kecenderungan
terhadap hal baru maupun pada uji sosialisasi pada sebagian dari
peserta. Untuk menunjukkan perbedaan rata-rata sebesar 0,1
antara observasi pada penelitian dan peluang yang ada, peneliti
mengasumsikan standar deviasi sebesar 0,12 dan α = 0,8 maka
perlu ditemukan 20 kasus pada setiap grup penelitian.
Analisis ANOVA dilakukan untuk mengetahui sosialisasi dan
kecenderungan antara hasil uji sosialisasi dengan kecenderungan
terhadap hal baru dalam dua kelompok. Sedangkan korelasi
Spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan antara durasi
dan hari-hari yang telah dilalui pada periode kejang demam
berulang dan kelangsungan kinerja subyek. Uji T berpasangan
digunakan untuk mendeteksi perubahan kinerja dari awal dan
setelah follow-up kedatangan pada kelompok sampel. Analisis
struktural-fungsional dilakukan secara terpisah untuk kelompok
sampel penelitian dan kelompok kontrol untuk menghindari
kerancuan hubungan pada kelompok sampel kejang demam
berulang.
6
Example of a familiarization (A) and a novelty (B) trial used in the visual paired-comparison paradigm. Familiarization and novelty trials were interchanged with the position of thenovel face counterbalanced between left and right. A cartoon character was displayed between trials to engage the child before initiation of the upcoming trial. Corneal reflection was used to determine positioning of gaze on the left or right part of the screen.
7
4. Hasil penelitian
a) Deskripsi sampel penelitian
Tabel 1 menggambarkan karakteristik kejang demam berulang
pada sampel penelitian saat ini dibandingkan dengan sampel yang
diperoleh pada studi epidemiologi peneliti di London Utara. Selama
periode rekrutmen sampel yang dilakukan peneliti, 225 kasus kejang
pada status epileptikus dirujuk kepada peneliti melalui jaringan
referral yang peneliti miliki. Enam puluh delapan dari kasus tersebut
diklasifikasikan sebagai kejang demam berulang (30,2%). Hasil ini
merupakan kurang lebih sepertiga kasus kejang pada kasus status
epileptikus, merupakan proporsi yang merepresentasikan dari
keseluruhan kasus kejang demam berulang yang mengacu pada studi
epidemiologi sebelumnya. Dari 68 kasus dengan kejang demam
berulang, 34 setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Non-
partisipasi sampel disebabkan karena salah satu alasan berikut: (i)
delapan anak tidak dapat hubungi karena hilang atau tidak benar
rincian; (ii) 19 orang tua menolak partisipasi; (iii) lima anak tinggal
pada jarak yang cukup jauh dan tidak ingin melakukan perjalanan ke
8
pusat studi peneliti; dan (iv) dua anak itu tidak cocok untuk sedasi
karena terdapat beberapa kondisi komorbiditas.
Tanggal lahir dan beberapa detail kekurangan data yang terdapat
pada 31 dari 34 non-partisipan, dan informasi jenis kelamin sudah
tersedia pada tabel 2. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada usia
sampel dalam kasus ini (P = 0,818) dan juga pada beberapa indeks
kekurangan (P = 0,922) antara kedua kelompok. Ada kecenderungan
perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin antara peserta (23
perempuan) dan non-peserta (15 perempuan) [X2(1) = 3,82, P = 0,09].
Data klinis juga tersedia untuk non-peserta yang berhubungan dengan
angka kejadian kejang sebelumnya (n = 34), baik kejang demam
berulang fokal maupun umum (n = 25), durasi kejang demam
berulang (n = 26) dan apakah kejang demam berulang adalah kejang
yang terus menerus atau intermiten (n = 34). Durasi rata-rata bagi
peserta dan non-peserta adalah 53,5 menit (range 30-190 menit); Oleh
karena itu, peneliti menkategorikan pembagian sampel berdasarkan
median menjadi sampel yang mengalami kejang selama <53,5 menit
dan yang mengalami kejang >53,5 menit. Perbandingan peserta dan
non-peserta pada semua variabel klinis menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Dari 34 sampel
yang mengikuti pemeriksaan neuropsikologi, 26 diantaranya juga diuji
dengan perbandingan visual berpasangan. Sebuah analisa Mann-
Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan usia (P = 0,858), periode
hari kejang (P = 1), durasi kejang (P = 0.510) dan fungsi kognitif (P =
0,636) antara sampel yang diuji dengan perbandingan visual
berpasangan (n = 26) dan sampel yang tidak (n = 8).
Sampel yang berpartisipasi terlihat pada median 37,5 hari
pengamatan terjadinya kejang (kisaran 10-254 hari). Namun, sample
anak yang dinilai selama 254 hari pasca-kejang merupakan sampel
asing dengan sisa sampel anak terlihat pada <120 hari pasca-kejang.
Kejang demam berulang berlangsung rata-rata sekitar 75 menit
9
(kisaran 30-190 menit). Hanya satu anak dari seluruh kelompok
diberikan pengobatan (fenitoin) pada saat penilaian. Fenitoin
diberikan karena kecemasan orang tua sampel dan bukti dari
perdarahan hipofisis pada MRI yang dilakukan di rumah sakit
setempat. Ulasan dari MRI memindai di Great Ormond Street Hospital
meningkatkan kekhawatiran pada penelitian. Sedangkan sisa sample
anak yang ada tidak menerima pengobatan. Dengan demikian, hasil
apapun dilaporkan di sini tidak berhubungan dengan efek obat.
Inspeksi visual scan MRI menunjukkan bahwa hanya satu pasien pada
scan terdapat kelaian kelainan yang dianggap minor (lesi materi
putih). Tujuh dari 26 anak-anak memiliki riwayat kejang demam
durasi singkat sebelum mengalami kejang demam berulang, dan dua
dari sampel mengalami riwayat kejang demam berulang sebelumnya.
Tes Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
(P = 0,569) dan kecenderungan terhadap fase tunda (P = 0,711) antara
sampel yang memiliki dan yang tidak mengalami episode kejang
sebelumnya; Oleh karena itu, kedua kelompok ditelitii secara
bersamaan.
Sampel penelitian dibandingkan dengan 37 anak yang mengalami
perkembangan normal. Kedua kelompok memiliki jenis kelamin yang
sama [χ2(1) = 3.01, P = 0,12], representasi preterms dalam setiap
sampel [χ2(1) = 3,36, P = 0,15], rasio rata-rata hippocampus [t (35) =
0.70, P = 0.49] dan indeks gangguan fungsi multipel [t (58) = - 0,57, P
= 0.57]. Namun, kelompok kejang demam berulang memperoleh hasil
signifikan pada fungsi kognitif dengan skor yang lebih rendah (rata-
rata 95,36) dibandingkan kontrol (rata-rata 110,58) [t(59) = - 3,85, P
<0.01], dan mereka mengungkapkan kecenderungan untuk menjadi
lebih muda dari kontrol [t (61) = - 1.85, P = 0,07].
10
b) Apakah kelompok penelitian mampu menunjukkan kecenderungan
terhadap hal baru tanpa penundaan?
Tabel 2 berisi rerata dan standar deviasi untuk total proporsi
kecenderungan yang diperlihatkan oleh masing-masing kelompok
selama uji kecenderungan terhadap hal baru. Satu sample pada Uji T
menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki kecenderungan baru
ketika sebenarnya hampir tidak ada fase tunda yang diberlakukan
antara sosialisasi dan saat percobaan (P<0.001).
c) Apakah kelompok penelitian menunjukan fungsi pengenalan terhadap
uji sosialisasi?
Rerata dan standar deviasi untuk total fungsi pengenalan terhadap
uji sosialisassi dalam uji pengenalan daya ingat untuk kedua
kelompok dijelaskan pada tabel 2. Analisis berulang dengan Uji
ANOVA pada jumlah waktu yang dipakai untuk melaksanakan uji
pada fase wajah yang harus diingat selama lima uji sosialisasi dan
kelompok sebagai faktor sampel subjek yang mengungkapkan efek
perubahan utama pada uji sosialisasi dari percobaan satu ke percobaan
yang lain [F (4,57) = 8,434, P<0.001] menunjukkan bahwa sampel
subjek menjadi semakin akrab dengan wajah yang disajikan. Tidak
ada kelompok pada interaksi uji sosialisasi (P = 0.69), yang
11
menunjukkan sebuah pola sosialisasi yang serupa pada kedua
kelompok.
d) Apakah kelompok penelitian dapat mengenali wajah yang harusnya
diingat setelah penundaan selama 5 menit?
Tabel 2 berisi rerata dan standar deviasi untuk total waktu
pencarian selama uji percobaan dan proporsi kecenderunagn terhadap
hasil baru setelah fase tunda 5 menit untuk kedua kelompok
pengujian dan proporsi preferensi kebaruan setelah delay 5-menit.
Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dalam jumlah total
waktu keduanya pada pencarian stimulasi uji sosialisasi [t (60) = -
1.42, P = 0.16] atau selama uji [t (61)= - 1.35, P = 0.18]. Satu sampel
Uji T memperlihatkan bahwa hanya kelompok kontrol menunjukkan
kecenderungan untuk wajah baru setelah 5 menit fase tunda [t (36) =
2.31, P = 0,03]. Kelompok kejang demam berulang menunjukkan
bahwa tidak ada kecenderungan untuk wajah baru setelah tunda [t (25)
= 0.49, P = 0,65], merupakan sebuah temuan yang mendukung bahkan
setelah pengecualian dari preterms [t (21) = - 0,30, P = 0,77], yang
dikaitkan dengan defisit pada uji ini.
12
e) Apakah ada akibat dari keterlambatan kinerja diantara dua kelompok
penelitian?
Sebuah langkah pengulangan uji ANOVA dengan proporsi
kecenderungan baru pada tahap segera dan kondisi fase tertunda dan
usia, fungsi kognitif, total tahap pengenalan dan jumlah waktu
13
pencarian fase tunda sebagai variasi pendukung dan jenis kelamin
sebagai faktor tetap menunjukkan kecenderungan terhadap efek
keseluruhan fase tunda [F (1, 52) = 3.30, P = 0.08]. Terdapat
kelompok yang signifikan pada interaksi fase tunda [F (1, 52) = 7.52,
P = 0,008], menunjukkan bahwa dua kelompok berperilaku berbeda
setelah fase tunda (Gambar 3), dengan kelompok kejang demam
berulang yang menunjukkan penurunan besar dalam kinerja daya ingat
dari tahap segera ke paradigma fase tunda yang tidak diamati pada
kelompok kontrol. Ada juga interaksi antara fase tunda dengan fungsi
kognitif [F (1,52) = 6,54, P = 0,014].
f) Apakah terdapat penurunan kinerja yang pada kelompok kejang
demam berulang sebagai hasil dari kapasitas kognitif yang lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol?
Untuk menentukan seluas apa efek yang sudah disebutkan tadi
yang merupakan hasil penurunan fungsi kognitif dalam kelompok
kejang demam berulang atau karena defisit minimal fungsi daya ingat,
peneliti menghubungkan analisis di atas pada sampel dengan
kecocokan fungsi kognitif pada kejang demam berulang (n = 18) dan
kontrol (n = 27). Untuk melakukannya peneliti mengecualikan bagian
presentil 15 terbawah dan teratas pada kesatuan dari gabungan fungsi
kognitif. Yakni, peneliti tidak memasukkan sampel dengan skor
kognitif antara < 95 dan > 122. Semua kelompok yang mempunyai
kecocokan pada semua variabel terlepas dari jenis kelamin yang mana
pada kelompok kejang demam berulang ditemukan mengandung
proporsi yang signifikan lebih besar pada perempuan daripada
kelompok kontrol [X2(1) = 7.20, P = 0,01] (Tabel 3). Pengulangan uji
ANOVA dengan proporsi kecenderungan baru pada tahap segera dan
kondisi fase tunda dan usia, fungsi kognitif, jumlah uji sosialisasi dan
jumlah wkatu pencarian sebagai varian pendukung dan jenis kelamin
dan kelompok sebagai faktor tetap mengungkapkan interaksi antara
fase tunda dan kelompok [F (1,36) = 7.43, P = 0,01]. Tidak ada efek
14
utama atau interaksi lain yang terbukti signifikan dalam analisis
cocok-kelompok.
Selain itu, satu sampel Uji T mengkonfirmasikan bahwa hasil yang
diperoleh sampel yang lebih besar. Yakni, dalam kelompok kejang
demam berulang mampu menunjukkan kecenderungan baru dalam
kondisi segera [t (16) = 5.78, P<0.001], tetapi tidak dalam kondisi fase
tunda [t (17) = - 0,47, P = 0,642], sedangkan kelompok kontrol
tampak sebuah kecenderungan baru dalam kedua kondisi [segera: t
(26) = 3,31, P = 0,003; fase tunda : t (26) = 2,381, P = 0,025].
g) Korelasi antara kinerja dan variabel klinis
Spearman korelasi menunjukkan tidak terdapat hubungan antara
hari berlalu dari terjadinya kejang demam berulang atau durasi saat
pengujian tahap segera dan fase tunda pada kecenderungan baru pada
penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa deteksi gangguan daya
ingat yang diamati pada sampel dengan kejang demam berulang tidak
terpengaruh oleh kedua karakteristik terkait kejang. Pengulangan uji
ANOVA dengan proporsi kecenderungan baru dalam tahap segera dan
kondisi fase tunda sebagai faktor subjek dan durasi sebagai varian
pendukung menunjukkan tidak ada hubungan antara perubahan dalam
kinerja dan durasi [F (1,22) = 0,45, P = 0.51]. Hal yang sama terjadi
ketika kita melihat secara terpisah hubungan antara hari terjadinya
kejang demam berulang dan kinerja. [F (1,22) = 0,02, P = 0,89).
15
h) Bagaimana sampel penelitian menjalankan uji visual berpasangan
dibandingkan pada saat follow-up?
Peserta diuji pada satu set stimuli yang berbeda pada waktu follow-
up; Oleh karena itu, setiap perubahan yang signifikan antara kinerja
awal dan saat follow-up yang dilaporkan di sini tidak dapat diartikan
sebagai efek tes dan tes ulang. Lima belas anak dari 26 (57,7%)
terlihat seperti semula pada saat awal yang dinilai kembali pada uji
perbandingan visual berpasangan yang rata-rata 12,5 bulan setelah
penilaian pertama mereka. Empat dari 15 pasien mengalami periode
kejang demam singkat saat periode interim, tetapi tidak ada dari
mereka memakai obat-obatan. Sampel uji T independen menunjukkan
tidak adanya perbedaan antara follow-up dan sampel yang tidak di
follow-up (Tabel 4). Satu sampel Uji T menggandakan hasil awal,
yaitu, pasien menunjukkan kecenderungan baru saat fase segera [t (14)
= 5,217, P <0.001], tetapi tidak pada kecenderungan baru fase tunda [t
(14) = - 0.538, P = 0.599]. kecenderungan baru fase segera tidak
prediksikan pada kecenderungan baru fase tunda (r = - 0.366, P =
0.180), mirip dengan temuan awal. Uji T Berpasangan menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan antara kinerja saat awal dan saat
follow-up fase segera [t (14) = - 1,099, P = 0.290] dan dan kondisi fase
tunda [t (14) = 0,418, P = 0,682]. Pada akhirnya, Uji T Berpasangan
16
menunjukkan penurunan pada kecenderungan baru fase awal dengan
fase tunda [t (14) = 2,801, P = 0,014] saat kinerja follow-up pasien.
Diluar empat sample kasus dengan riwayat kejang demam singkat
selama periode follow-up membuat tidak adanya perubahan pada
hasil. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa kelompok
kejang demam berulang secara keseluruhan terus memiliki defisit
memori rata-rata 12,5 bulan setelah penilaian pertama mereka.
Pengulangan uji ANOVA saat fase segera dan fase tunda sebagai
ukuran pengulangan dan rasio hipokampus terdapat ada efek utama
atau interaksi, berbeda dengan hasil awal di mana rerata rasio
hipokampus terbukti menjadi prediksi terhadap penurunan kinerja
fungsi daya ingat setelah fase tunda.
5. Kesimpulan
Secara keseluruhan dari hasil penelitian yang didapat, peneliti
menyetujui literatur yang menyatakan temuan yang berasal dari hewan
yang mengasosiasikan kejang demam berulang dengan gangguan daya
ingat. Berbeda dengan penelitian pada hewan, dari penelitian ini tidak
dapat disimpulkan apakah kejang demam berulang menyebabkan
kelainan klinis yang dapat diamati atau tidak. Bagaimanapun itu, peneliti
mengesampingkan kemungkinan seperti bahwa terjadinya gangguan
tersebut adalah efek sementara dari kejang demam berulang dan
tampaknya lebih memungkinkan menjadi hasil dari perubahan jaringan
fungsional yang lebih permanen atau akibat dari kondisi premorbid.
Selain itu, deteksi gangguan daya ingat ini telah terbukti berhubungan
dengan ukuran rata-rata minimum awal hipokampus dan saat
perkembangannya sekarang, bahkan ketika pasien kontrol, telah terbukti
secara intelektual. Data ini menunjukan tidak adanya hubungan antara
fungsi kognitif secara keseluruhan dan fungsi daya ingat pada kelompok
kejang demam berulang. Menentukan lintasan jangka panjang pada
gangguan ini membutuhkan tindak lanjut dari sampel anak pada
penelitian ini dan untuk menggali fungsi daya ingat spesifik yang
17
diketahui sebagai fungsi hipokampus, seperti proses memori episodik.
Namun, jika gangguan daya ingat yang diamati adalah permanen, maka
deteksi awal dapat menyebabkan pemulihan yang juga lebih awal di
lingkungan sekolah, dan pada perubahannya cenderung berdampak
positif terhadap kinerja sekolah anak.
18
BAB II
PEMBAHASAN
Jurnal “Recognition memory is impaired in children after prolonged
febrile seizures” dikritisi sesuai dengan pedoman epidemiologi klinik. Tujuan dari
epidemiologi klinik adalah untuk mengembangkan dan menerapkan metode
epidemiologi berdasarkan pengamatan klinik yang akan menghasilkan kesimpulan
yang sahih.
1. Kritisi Jurnal Faktor Risiko dari Sudut Pandang Epidemiologi Klinik
a. Apakah desain studi yang digunakan cukup kuat?
Cukup kuat
Karena studi kohort merupakan desain studi yang baik dalam
menerangkan dinamika hubungan antara faktor risiko dengan efek yang
ditimbulkan. Perlu diketahui urutan desain studi dengan urutan kekuatan
yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah sebagai berikut :
1) Clinical Trial
2) Cohort
3) Case Control
4) Cross Sectional
5) Case Series
6) Case Report
b. Apakah penilaian paparan dan keluaran bebas dari bias?
Tidak
Faktor perancu dalam penelitian ini tidak dijelaskan apakah
diminimalisir dengan penggunaan kriteria inklusi dan eksklusi yang
relevan.
c. Apakah ada hubungan yang bermakna secara statistik?
Ya
Perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin antara peserta dan non-
peserta perempuan. Kelompok kejang demam berulang memperoleh hasil
19
signifikan pada fungsi kognitif dengan skor yang lebih rendah
dibandingkan kontrol. Kelompok kejang demam berulang menunjukkan
penurunan besar dalam kinerja daya ingat dari tahap segera ke paradigma
fase tunda. Kelompok kejang demam berulang tidak mampu menunjukkan
kecenderungan baru dalam kondisi fase tunda.
d. Apakah hubungan yang diteliti konsisten dengan peneliti lain?
Ya
Hasil dalam literatur yang berkaitan dengan jangka panjang hasil dari
anak-anak setelah kejang demam berulang, dengan beberapa studi
melaporkan perkembangan selanjutnya adalah normal (Nelson dan
Ellenberg, 1978; Verity et al., 1993). Pada penelitian lain menyebutkan
bahwa ada dua kemungkinan yang menyebbkan hasil yang juga tidak
signifikan, antara lain (i) beberapa kasus yang tidak terjawab; dan (ii)
kejadian berkepanjangan kejang demam telah turun karena manajemen
klinis yang lebih baik dengan sampel cukup mewakili populasi sebagai
secara keseluruhan Chin et al. (2006).
2. The ‘PICO’ Principle
a. What is the question of the study?
Population / problem
Sampel yang diambil merupakan sampel kohort pada anak-anak
yang mengalami sedikitnya satu kali periode kejang demam
berulang pada bulan Desember 2006 sampai dengan Maret 2010
melalui jaringan penelitian epilepsi yang sudah ada di London
Utara. Melalui persetujuan dari orang tua, peneliti melakukan MRI
dan analisis neuropsikologi di GOSH, rumah sakit khusus anak.
Kemudian pasien diundang kembali satu tahun setelah diberikan
perlakuan.
Intervention / indicator
Dilakukan uji visual dengan tahapan :
1. Uji stimulasi
20
2. Uji kecenderungan terhadap hal baru
3. Uji daya ingat
Comparator / control
Kontrol penelitian diambil pada anak-anak dengan rentang usia
yang sama dengan sampel penelitian pada keluarga yang tidak
memiliki riwayat gangguan perkembangan anak sebelumnya.
Kontrol diambil melalui diskusi parental dan pengenalan video
untuk ibu yang memiliki anak dengan rentang usia yang sama.
Outcome
Kejang demam berulang tidak dapat disimpulkan sebagai penyebab
kelainan klinis fungsi memori.
Reseach Question:
Apakah kejang demam berulang menyebabkan kelainan klinis
fungsi memori ?
b. What is the purpose of the study?
Untuk mengetahui fungsi memori pada anak dengan kejang demam
berulang yang pada umumnya terjadi pada 3 tahun pertama pasca
kelahiran, kemudian diteliti setelah periode kejang demam berakhir.
c. Which primary study type would give the highest quality evidence to
answer the question?
Randomized Controlled Trial (RCT)
d. Which is the best study type is also feasible?
Cohort retrospective
e. What is the study type used?
Cohort retrospective
3. Validitas Internal
a. Apakah subyek penelitian cukup representatif?
Ya
Jenis pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling.
Sampel diperoleh dari studi epidemiologi peneliti di London Utara.
21
Selama periode rekrutmen sampel yang dilakukan peneliti, 225 kasus
kejang pada status epileptikus dirujuk kepada peneliti melalui jaringan
referral yang peneliti miliki. Enam puluh delapan dari kasus tersebut
diklasifikasikan sebagai kejang demam berulang (30,2%). Hasil ini
merupakan kurang lebih sepertiga kasus kejang pada kasus status
epileptikus, merupakan proporsi yang merepresentasikan dari keseluruhan
kasus kejang demam berulang yang mengacu pada studi epidemiologi
sebelumnya.
b. Allocation / Adjustment
Sampel yang diambil merupakan sampel kohort pada anak-anak yang
mengalami sedikitnya satu kali periode kejang demam berulang pada
bulan Desember 2006 sampai dengan Maret 2010 melalui jaringan
penelitian epilepsi yang sudah ada di London Utara bertempat di Great
Ormond Street Hospital (GOSH).
c. Maintenance
Kedua kelompok kasus dan control mendapatkan perlakuan yang sama
dari peneliti.
d. Measurement
Terdapat sebuah sistem blinding dalam penelitian ini, yaitu terhadap
penilai, sehingga hasil yang diperoleh bersifat objektif.
22
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Jurnal yang berjudul “Recognition memory is impaired in children after
prolonged febrile seizures” sesuai dengan pedoman epidemiologi klinik.
b. Kesahihan jurnal “Recognition memory is impaired in children after
prolonged febrile seizures” dipengaruhi oleh kekuatan dan kelemahan
dalam penelitian ini.
c. Komorbiditas, tidak dijelaskan sebagai faktor risiko penyakit lain yang
dapat mempengaruhi kejang demam berulang.
2. Saran
a. Perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan Random Control Trial
dengan durasi yang lebih lama dan sampel yang lebih besar sehingga
diketahui faktor risiko lain yang mempengaruhi kejang demam berulang.
b. Pada penelitian lanjutan sebaiknya menyingkirkan faktor perancu dengan
memberikan kriteria instrinsik dan ekstrinsik yang relevan.
c. Penelitian selanjutnya sebaiknya memberikan lebih banyak variasi
intervensi pada sampel.
23