Post on 26-Jan-2023
transcript
Penelitian
PENGEMBANGAN KARIR
SERTA PENDIDIKAN DAN LATIHAN HAKIM NIAGA
MaPPI FHUI
A. LATAR BELAKANG
Dengan berbagai pertimbangan dan kondisi yang mendesak maka
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan
sebagai UU No.4 Tahun 1998. Lahirnya mekanisme hukum kepailitan di Indonesia,
membawa konsekuensi logis untuk keberadaan Pengadilan Niaga. Dalam
memberikan daya dukung bagi mekanisme peradilan niaga maka direkrut hakim
pengadilan niaga yang dipilih dari Hakim Pengadilan Negeri sebagai hakim karir dan
hakim ad hoc dari berbagai kalangan profesi hukum. Hakim yang telah direkrut
tersebut kemudian diberikan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan hakim dalam menangani perkara pengadilan niaga. Hakim-hakim yang
mengikuti pelatihan tersebut tidak semuanya menjadi hakim niaga.
Dalam perjalanannya hakim (karir) pengadilan niaga tersebut harus juga
tunduk pada ketentuan kepegawaian dimana hakim tersebut dalam masa tertentu
dimutasi ketempat yang lain. Awalnya pemindahan hakim tersebut ditujukan untuk
dapat membantu pembentukan pengadilan niaga dibeberapa daerah lain. Hakim
niaga yang dimutasikan tersebut adalah untuk kepentingan karir mereka sehingga
perlu pengalaman dan peningkatan pengetahuan lebih banyak dengan ditempatkan
ke daerah lain. Hakim-hakim yang pernah mendapatkan pelatihan pembentukan
menjadi hakim niaga tersebut adakalanya ditempatkan di pengadilan yang tidak
terdapat perkara pengadilan niaga. Sehingga menimbulkan tanda tanya besar akan
investasi negara yang telah ditanamkan pada hakim niaga tersebut melalui berbagai
pelatihan.
www.pemantauperadilan.com 1
Penelitian
Keadaan ini tidak saja terjadi pada pengadilan niaga, tetapi juga pada hakim-
hakim yang telah diberangkatkan untuk mengikuti pelbagai pelatihan tentang
penanganan perkara lingkungan di luar negeri, dimana didapati hakim yang
ditempatkan pada pengadilan negeri yang tidak ada potensi perkara lingkungan. Hal
inilah yang kemudian melatarbelakangi perlunya pemikiran ulang untuk
pengembangan karir dan mekanisme pelatihan bagi hakim pada pengadilan yang
spesifik. Dimana prinsip penempatan didasarkan pada kemampuan dan keahlian
(competence based), sehingga pengetahuan yang telah didapat dan dimiliki olehnya
tidak menjadi sesuatu yang percuma dalam beberapa waktu tertentu.
Pokok permasalahan utama yang akan diangkat adalah bagaimana
pengembangan kariri hakim niaga yang diangkat pada tahun 1998. Selain itu juga
untuk menelaah, apakah pendidikan dan latihan yang diperoleh oleh para hakim
niaga sudah cukup memadai dalam menunjang tugas mereka sebagai hakim niaga.
B. SEJARAH PEMBENTUKAN PENGADILAN NIAGA
Diundangkannya UU Kepailitan sebagai perbaikan terhadap Perpu Kepailitan
membawa beberapa perubahan penting. Diantaranya adalah pembentukan
pengadilan niaga sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pembentukan pengadilan niaga
merupakan terobosan fenomenal diantara berbagai upaya lainnya. Pembentukan
pengadilan niaga merupakan suatu langkah awal bagi reformasi peradilan untuk
memenuhi kebutuhan dalam bidang perekonomian.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu
dibentuk. Salah satunya adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang
diperkirakan akan mengalami lonjakan besar kasus kepailitan. Pembentukan
Pengadilan Niaga juga dimaksudkan sebagai model percontohan bagi Pengadilan
Indonesia yang dapat bekerja secara baik dan tertib.
www.pemantauperadilan.com 2
Penelitian
Rencana untuk memiliki institusi sejenis Pengadilan Niaga telah bergulir
sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Kekuasaan
Kehakiman. Selain membagi kekuasaan pengadilan di 4 (empat) lingkungan
peradilan, menurut undang-undang ini juga tidak tertutup kemungkinan
diadakannya suatu pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) di masing-masing
lingkungan peradilan. Misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan
pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan
Ekonomi, dan sebagainya sesuai dengan aturan dalam Undang Undang.[1] Hal
senada juga ditegaskan dalam Pasal 8 UU Nomor 2 Tahun 1986[2] tentang Peradilan
Umum mengenai Peradilan Umum yang menyebutkan bahwa dalam lingkungan
peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam UU.
Pengkhususan inilah yang kini diwujudkan dalam bentuk Pengadilan Niaga yang
kita kenal saat ini.
Pada dasarnya telah pernah ada contoh pengkhususan pada Pengadilan
Umum, yaitu Pengadilan Ekonomi pada Tahun 1955 yang.[3] Pengadilan Ekonomi
pada saat itu diceritakan mempunyai kewenangan yang istimewa dalam memeriksa
perkara-perkara tindak pidana ekonomi secara khusus oleh hakim-hakim istimewa
yang memang mempunyai keahlian khusus di bidang itu.[4] Pengkhususan ini
kemudian diikuti dengan pembentukan Pengadilan Anak sebagai hasil dari
keleluasaan yang diberikan oleh pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970. Kedua
pengkhususan pengadilan ini terlihat berbeda. Pengadilan ekonomi bukan saja
mempunyai kekhususan pada hukum acara namun juga mempunyai hakim ekonomi
khusus, jaksa khusus, serta gedung yang khusus pula.[5] Berbeda halnya dengan
Pengadilan Anak yang hanya mempunyai hukum acara yang khusus saja. Meskipun
disebutkan bahwa dalam Pengadilan Anak diperlukan hakim yang khusus namun
pada kenyataanya hakim ini adalah hakim umum yang mendapat pelatihan khusus
untuk menjadi hakim anak. Kemudian hanya di Bandung saja yang mempunyai
www.pemantauperadilan.com 3
Penelitian
gedung khusus bagi Pengadilan Anak, selain itu semua gedung Pengadilan Anak
tetap menyatu dengan gedung Pengadilan Negeri.
Kenyataan saat ini menunjukan bahwa Pengadilan Niaga lebih diperlakukan
sebagai pengkhususan pengadilan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan Anak
daripada pengadilan pengkhususan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan
Ekonomi di tahun 1955. Dengan demikian tak heran apabila sistem pendukung
pengadilan seperti sistem kepegawaian hakim, sistem kepegawaian staf-staf
pengadilan lainnya, dan sistem pengadaan infrastruktur pengadilan tunduk pada
peraturan yang berlaku di Peradilan Umum. Kecenderungan ini bukan saja
diberlakukan pada Pengadilan Niaga saja tetapi juga pada semua Pengadilan baru
lain yang merupakan pengkhususan dari 4 lingkup Pengadilan pada UU No. 14
Tahun 1970. Hal ini menunjukan bahwa pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970
diterjemahkan sebagai suatu pengkhususan pada prosedur suatu perkara tertentu saja
tanpa kekhususan lain pada sistem pendukung Pengadilan tersebut. Keadaan ini
dianggap telah melenceng dari tujuan awal semula yang memaksudkan Pengadilan
Niaga untuk mendekati contoh pengkhususan Pengadilan Ekonomi, dengan segala
perangkat istimewa untuk mengatasi perkara-perkara niaga yang dikhawatirkan dan
diperkirakan akan membludak akibat krisis ekonomi di Indonesia pada saat itu.
Secara konvensi teori perundang-undangan, pembentukan suatu pengadilan
khusus biasanya dilakukan melalui satu undang-undang tersendiri yang
mengamanatkan pembentukannya tersebut.[6] Keistimewaan pembentukan
Pengadilan Niaga tersebut tak lepas dari upaya perbaikan terhadap peraturan
mengenai kepailitan yang ada sebelum tahun 1998, yaitu Failissemen Verordening
(FV) Staatsblaad 1905 No. 217 jis tahun 1906 No. 348. Upaya perbaikan tersebut
dianggap merupakan salah satu solusi utama yang perlu mendapat prioritas karena
Indonesia mengalami krisis perekonomian pada tahun 1998. sehingga lahirlah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 1998, yang
kemudian oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU No, 4 Tahun 1998 (UU
t
www.pemantauperadilan.com 4
Penelitian
Kepailitan). Dalam UU inilah pendirian Pengadilan Niaga diatur, yaitu dalam pasal 1
ayat (1), pasal 280 ayat (2) serta pasal 281. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU kepailitan
menyebutkan.[7]
“Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah pengadilan niaga yang
merupakan pengkhususan pengadilan dibidang perniagaan yang
dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum…..”
Pembentukan Pengadilan Niaga adalah dipisahkannya yurisdiksi untuk
memeriksa permohonan pailit dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga.[8]
Undang-undang mengatur bahwa dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka
permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang hanya dapat
diperiksa oleh Pengadilan Niaga.
UU Kepailitan hanya memerintahkan pembentukan satu pengadilan niaga,
yaitu pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun secara bertahap, dengan
memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya manusia, maka keberadaan
Pengadilan Niaga akan diperluas ke daerah-daerah lain.[9] Tidak lama setelah
Pengadilan Niaga beroperasi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka melalui
Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999[10], pemerintah membentuk Pengadilan
Niaga pada empat wilayah Pengadilan Negeri lainnya, yaitu di Pengadilan Negeri
Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Surabaya, dan Pengadilan
Semarang.
Sebelum pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain, maka Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk menerima permohonan pailit atas debitur di
seluruh wilayah Indonesia. Dengan dibentuknya empat Pengadilan Niaga Tersebut,
maka pembagian wilayah yurisdiksi relatif bagi perkara yang diajukan kepada
Pengadilan Niaga menjadi sebagai berikut[11]:
www.pemantauperadilan.com 5
Penelitian
1. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung pandang
meliputi wilayah propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi
propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera barat, Jambi, Bengkulu dan Daerah
Istimewa Aceh.
3. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi
propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi
propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pembagian ini sekaligus mereduksi kewenangan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga hanya daerah hukumnya hanya meliputi
propinsi Daerah Khusus ibukota Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan
Kalimantan Barat. Bagi permohonan pailit yang tengah dalam proses penyelesaian
di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diperkenankan untuk menyelesaikan permohonan
pailit tersebut di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sedangkan bagi permohonan pailit
yang sudah diajukan namun belom diproses, maka penanganannya dapat mulai
dialihkan ke Pengadilan Niaga lain yang memiliki kewenangan relatif tersebut.
C. PENGANGKATAN HAKIM NIAGA
Hakim Niaga terdiri dari Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya berdasarkan
Keputusan Presiden dan Hakim Karir yang pengangkatanya melalui Surat Keputusan
Ketua Mahkamah Agung. Pada penelitian ini hanya akan membahas hakim Karir
saja.
Dibentuknya Pengadilan Niaga mau tidak mau membawa konsekuensi
diselenggarakannya pembentukan hakim yang secara khusus menangani perkara
www.pemantauperadilan.com 6
Penelitian
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pasal 283 UU Kepailitan
menentukan persyaratan hakim niaga, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum
2. memiliki dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah
yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
3. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; dan
4. telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada
Pengadilan Niaga.
Pada awalnya Tim Pembentukan Pengadilan Niaga (untuk selanjutnya
disebut “Tim”) pada tahun 1998 mengharapkan ada beberapa persyaratan lain untuk
diangkat menjadi hakim niaga, contohnya kemampuan Bahasa Inggris yang baik dan
mendapat rangking yang bagus dalam pendidikan dan pelatihan niaga.[12] Tim saat
itu mendapat kesulitan dengan adanya keengganan para hakim untuk diuji melalui
suatu ujian kelulusan pendidikan dan pelatihan niaga. Padahal sudah disiapkan suatu
panitia ujian khusus yang diketuai oleh Bapak Purwoto Gandasubrata (Mantan
Ketua Mahkamah Agung).[13] Bukan itu saja, ternyata pada kenyataannya ada
beberapa persyaratan lain, yang kurang terlihat saat itu oleh Tim, yaitu persyaratan
usia dan kepangkatan tertentu untuk dapat diangkat menjadi hakim niaga di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Klas I A. Tim saat itu tidak leluasa untuk
memilih calon-calon hakim untuk menjadi hakim niaga dan hanya dapat memilih
dari daftar nama (disodorkan oleh Din Muhammad kepada Tim) yang akan
menjalankan tugas di Pengadilan Jakarta Pusat saja untuk kemudian diangkat
menjadi hakim niaga.[14] Keinginan Tim agar hakim niaga yang telah diangkat tetap
bertugas di Jakarta Pusat tanpa perlu dimutasikan ke lain tempat, juga tidak
terwujud karena hal ini tidak sejalan dengan sistem kepegawaian hakim pada
umumnya yang notabene harus diikuti juga oleh para hakim niaga tersebut. Saat itu
Tim juga mengusahakan agar dibuat suatu sistem kepegawaian khusus bagi hakim
www.pemantauperadilan.com 7
Penelitian
niaga, namun hal ini tidak juga dilaksanakan karena dikhawatirkan akan
menimbulkan kecemburuan hakim lain dan tidak adanya sistem lain yang lebih
mendasarkan keunggulan pengetahuan (competence based) daripada kepangkatan
berjenjang dan “tour of duty” dalam sistem kepegawaian hakim.[15]
Pengangkatan Hakim Niaga di Jakarta Pusat terdiri dari 2 (dua) gelombang
besar yaitu Gelombang I pada tahun 1998 dan Gelombang II pada tahun 2003.
Pengangkatan Gelombang I diangkat dengan dasar hukum SK Ketua MA-RI No.
KMA/023/SK/VIII/1998. Gelombang II diangkat dengan dasar hukum SK Ketua MA-
RI No. KMA/051/SK/X/2003. Selain itu SK Individual akan dikeluarkan apabila ada
kebutuhan pengangkatan hakim niaga baru di Jakarta Pusat.
Pengangkatan Hakim Niaga tersebut dipilih dari peserta-peserta pendidikan
dan pelatihan pembentukan Ada dua tahap pendidikan dan latihan hakim niaga
(selanjutnya disebut dengan “diklat”), yaitu diklat pembentukan hakim niaga yang
kemudian dilanjutkan dengan diklat teknis fungsional. Runutan Pendidikan dan
Pelatihan Niaga adalah sebagai berikut:[16]
1. Diklat pra pembentukan Pengadilan Niaga diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung sebelum bulan Juli 1998 dengan peserta kurang lebih 57 (lima puluh
tujuh) orang.
2. Diklat pra pembentukan yang diselenggarakan oleh BPHN dengan IMF pada
bulan Juli 1998 di Jakarta dan Bulan April-Mei 1998 di kota-kota lain seperti
Surabaya, Semarang, Makasar, Medan.
3. Diklat pasca pembentukan Pengadilan Niaga diselenggarakan oleh Pusat
Pengkajian Hukum (PPH) sejak tahun 1999.
Diklat pembentukan hakim niaga pertama kali diselenggarakan Mahkamah
Agung pada tahun 1998. Diklat tersebut diikuti oleh 32 (tiga puluh dua) hakim
peserta dari berbagai wilayah pengadilan negeri serta juga diikuti oleh hakim
yustisial dari Mahkamah Agung RI. Dari diklat tersebut ditunjuk 17 (tujuh belas)
www.pemantauperadilan.com 8
Penelitian
hakim niaga yang kemudian ditempatkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Sedangkan diklat pembentukan hakim niaga yang kedua dilaksanakan pada tahun
2002 setelah diadakan pembentukan Pengadilan Niaga di wilayah lain (wilayah
Surabaya, Medan, Ujung Pandang dan Semarang). Dari diklat yang dilaksanakan di
Jakarta tersebut diangkat 8 (delapan) orang hakim untuk menjadi hakim niaga pada
tahun 2003. Sampai saat ini hakim-hakim yang pernah dan masih bertugas di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 36 (tiga puluh enam) orang. Sehingga yang
diangkat menjadi hakim niaga melalui SK Individual sebanyak 11 (sebelas) orang.
Setelah melalui diklat pembentukan hakim niaga, maka para hakim niaga
tersebut mendapatkan diklat teknis fungsional yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan para hakim mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang. Diklat teknis fungsional ini tidak saja diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung maupun Depkehham, tetapi juga diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian
Hukum (PPH) dengan koordinasi dari Mahkamah Agung serta Depkehham.[17]
D. SISTEM MUTASI DAN PROMOSI HAKIM NIAGA
Pengadilan Niaga yang lebih diperlakukan menyerupai pengkhususan seperti
Pengadilan Anak daripada pengkhususan Pengadilan Ekonomi seperti telah di
jelaskan pada Bab II, pada kenyataanya memberi konsekuensi terhadap sistem
Kepegawaian Hakim Niaga. Konsekuensi tersebut adalah memberlakukan sistem
Kepegawaian Hakim pada umumnya kepada Hakim Niaga. Sistem Kepegawaian
Hakim pada saat ini telah mengalami perubahan yang cukup berati dengan
diberlakukannya “sistem satu atap” bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia.[18]
Status hakim pada tingkat pertama dan tingkat banding yang semula adalah pegawai
negeri sipil (PNS) berubah menjadi pejabat negara dengan diundangkannya UU No.
43 Tahun 1999 mengenai Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974.[19]
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa perbedaan kondisi akibat penerapan
“sistem satu atap” di Mahkamah Agung.
www.pemantauperadilan.com 9
Penelitian
1. MUTASI PROMOSI HAKIM PRA-SATU ATAP
Dalam UU No. 8 Tahun 1974 ditegaskan bahwa status hakim agung adalah
pejabat negara dan status hakim pengadilan di bawah MA adalah PNS.[20] Meskipun
status hakim adalah PNS, sejak awal UU No. 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa
hakim adalah jabatan yang berbeda (tidak sepenuhnya sama) dengan PNS lainnya.
Ada beberapa pengkhususan (keistimewaan) dalam pembinaan SDM hakim. Pasal 32
UU No. 14/1970 tersebut menyatakan secara tegas bahwa “hal-hal yang mengenai
pangkat, gaji, dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan tersendiri”. Walau
telah ada beberapa pengkhususan bagi jabatan hakim sebagaimana diatur dalam UU
peradilan umum, tata usaha negara, agama, dan peradilan militer, namun
pengkhususan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14/ 1970 tersebut baru
direalisasikan mulai tahun 1994.
Dalam hal rekruitmen, perbedaan utama antara jabatan hakim dengan
mayoritas PNS lainnya adalah pada persyaratan usia dan pihak yang mengangkat.
Jika dalam pengaturan PNS lain tidak dikenal pembatasan usia maksimum untuk
menjadi pegawai, khusus untuk jabatan hakim diatur syarat usia minimum secara
khusus. Selain itu setiap hakim diangkat oleh Presiden sedangkan untuk PNS
lainnya, pengangkatan oleh Presiden hanya dilakukan dengan golongan atau jabatan
tertentu saja (yang tinggi).
Selain hakim agung yang merupakan pejabat negara, sistem karir Hakim
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding menggunakan sistem karir tertutup.
Hakim memiliki keistimewaan untuk dapat menduduki beberapa pos jabatan
struktural yang seharusnya merupakan porsi PNS, misalnya sebagai pejabat
struktural di Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, dan di pengadilan-
pengadilan.
Pada awalnya awalnya, hakim diangkat pada pangkat dan golongan tertentu
yang sama persis dengan pangkat dan golongan pada PNS pada umumnya. Sejak
www.pemantauperadilan.com 10
Penelitian
dikeluarkannya PP No. 33 Tahun 1994 tentang Peraturan Gaji Hakim, maka hakim
memiliki terminologi jabatan yang berbeda dengan PNS pada umumnya, namun
tetap pararel dengan pangkat dan golongan pada PNS.
Sejak dikeluarkannya PP No. 33 Tahun 1994 yang di dalamnya mengatur
mengenai gaji dan tunjangan Hakim, akhirnya hakim memiliki ketentuan yang
mengatur struktur penggajian dan besar gaji tersendiri. Sebelum dikeluarkannya PP
tersebut, struktur penggajian hakim pengadilan diatur berdasarkan Peraturan Gaji
Pegawai Negeri Sipil (PGPS) yang merupakan sistem remunerasi yang berlaku bagi
PNS biasa. Besaran gaji yang diterima hakim pada waktu itu sama dengan PNS
lainnya pula. Hanya saja ada beberapa perbedaan dari PNS pada umumnya yaitu
selain gaji, hakim menerima beberapa jenis tunjangan jabatan yang, baik yang terkait
dengan kedudukannya sebagai hakim, maupun yang terkait dengan jabatannya
sebagai pimpinan pengadilan.[21]
Dengan dikeluarkannya PP No. 33 Tahun 1994 mengenai Peraturan Gaji
Hakim yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keppres No. 10 Tahun 1995 mengenai
Tunjangan Hakim, maka struktur penggajian dan besaran gaji hakim mengalami
perubahan (peningkatan) signifikan. Seriring dengan perbaikan struktur gaji
tersebut, maka dilakukan pula perbaikan terhadap struktur pensiun bagi hakim,
yang intinya menyesuaikan diri dengan penyesuain tingkat gaji yang diterima hakim
berdasarkan PP No. 33 Tahun 1994. Hal in merupakan terobosan penting karena
sebelumnya pemerintah enggan untuk menaikan gaji hakim karena dikhawatirkan
akan menimbulkan kecemburuan di kalangan PNS lainnya.[22]
Pembinaan dan pengawasan hakim melibatkan dua pihak, yaitu departemen
dan MA. Pembinaan dan pengawasan hakim oleh departemen dilakukan dalam
rangka status hakim sebagai PNS sedangkan pembinaan dan pengawasan oleh MA
dilakukan dalam rangka fungsi hakim sebagai penyelesai sengketa. Dengan adanya
keterlibatan MA dalam pembinaan hakim, maka dimungkinkannya adanya
mekanisme evaluasi SDM guna kepentingan promosi yang tidak hanya didasarkan
www.pemantauperadilan.com 11
Penelitian
pada mekanisme seperti DP3 yang digunakan untuk mengevaluasi PNS. Pada masa
lalu salah satu persyaratan kenaikan pangkat bagi hakim dari golongan III/d ke IV/a
adalah syarat untuk menyertakan hasil eksaminasi putusan yang dilakukan oleh
Ketua Pengadilan. MA memiliki beberapa mekanisme evaluasi terhadap kualitas dan
performance hakim, misalnya eksaminasi putusan, penilaian individu berdasarkan
formulir EVA dan WAS, inspeksi rutin maupun mendadak.
Mekanisme pemberhentian hakim diatur secara tersendiri dan berbeda sama
sekali dengan mekanisme pemberhentian seluruh PNS lainnya. Jika PNS lainnya
diberhentikan oleh pimpinannya semata melalui prosedur yang umumnya,
pemberhentian hakim hanya dapat dilakukan oleh Presiden berdasarkan usul
menteri dan persetujuan Ketua MA. Dan sebelum diusulkan pemberhentian, hakim
tersebut harus dapat membela diri dalam suatu forum yang disebut Majelis
Kehormatan Hakim. Majelis ini berfungsi untuk ‘mengadili’ hakim yang akan
diberhentikan dan memberikan masukan mengenai pemberhentian tersebut kepada
menteri dan Ketua MA.
2. MUTASI PROMOSI HAKIM PASCA SATU ATAP
Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan
Ketetapan No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Dalam TAP MPR tersebut dinyatakan perlunya segera diwujudkannya pemisahan
yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Pemerintahan Habibie
kemudian menindaklanjuti perintah TAP tersebut dengan mengeluarkan Keppres
No. 21/1999 yang isinya membentuk Tim Kerja Terpadu Mengenai Pengkajian
Pelaksanaan TAP MPR No. X/MPR/1998 berkaitan dengan Pemisahan yang Tegas
antara Fungsi-fungsi Yudikatif dan Eksekutif (Tim Kerja Terpadu) di bawah
koordinasi Menteri Pendayaguaan Aparatur Negara. Dua dari beberapa rekomendasi
Tim tersebut adalah perlunya segera dilakukan penyatuan atap bagi pengelolaan
www.pemantauperadilan.com 12
Penelitian
administrasi pengadilan dan perlunya perubahan status hakim dari PNS menjadi
pejabat negara.[23]
Pada tahun 1999, dua rekomendasi Tim Kerja Terpadu tersebut dikuatkan
dalam aturan hukum, yaitu dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999
mengenai Perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai penyatuan atap dan
UU No. 43 Tahun 1999 mengenai Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974
mengenai Pokok-pokok Kepegawaian yang di dalamnya mengatur perubahan status
hakim dari PNS menjadi pejabat negara.
Tujuan utama adanya kebutuhan untuk merubah status dari PNS menjadi
pejabat negara adalah untuk memperkokoh independensi peradilan (termasuk
independensi hakim) dan meningkatkan wibawa hakim. Ketua Muda MA Prof. DR.
Paulus Efendie Lotulung SH dalam suatu wawancara sehubungan dengan penelitian
mengenai status hakim misalnya, menyoroti permasalahan status hakim sebagai PNS
sebagai penghambat utama dalam pelaksanaan fungsi yudisial, karena sistem hierarki
yang dipraktekan secara kaku pada PNS dianggap mempengaruhi performa seorang
hakim. Hakim menjadi tidak independen terutama apabila ia harus memutus perkara
dimana salah satu pihaknya adalah pejabat negara.[24] Masih menurut Ketua Muda
MA tersebut, secara tidak langsung UU No. 43/1999 telah memberikan jawaban yang
tepat atas permasalahan tersebut karena dengan kedudukan hakim sebagai pejabat
negara maka hakim dapat independen dalam menjalankan tugasnya. Namun sistem
kaku PNS yang diberlakukan pada hakim bukan saja menjadi masalah dalam hal
independensi hakim namun juga dalam hal pengakuan kemampuan dan
pengetahuan hakim sebagai salah satu faktor utama dalam peningkatan karir hakim.
Sampai saat ini sistem kepegawaian hakim menggunakan sistem kepangkatan
berjenjang. Pada masa awal jabatannya, seorang hakim akan ditempatkan di
pengadilan dengan tingkat dan kelas terendah untuk kemudian dimutasikan dan
dipromosikan ke pengadilan dengan tingkat dan kelas yang lebih tinggi dan/atau ke
www.pemantauperadilan.com 13
Penelitian
posisi/jabatan yang lebih tinggi. Pola pengembangan karir hakim in menggunakan
prinsip “tour of duty” (perpindahan berdasar wilayah). Parameter untuk
menentukan mutasi hanyalah jangka waktu kerja seorang hakim di suatu wilayah.
Sedangkan parameter yang digunakan untuk mempromosikan seorang hakim ada
dua, yaitu masa kerja dan prestasi kerja sang hakim.[25]
Sistem kepegawaian seperti inilah yang kemudian dirasakan sudah tidak
terlalu cocok lagi untuk diberlakukan mengingat menjamurnya pengkhususan
pengadilan yang menuntut adanya hakim khusus untuk bertugas di Pengadilan
tersebut. Dengan sistem kepegawaian hakim yang masih seperti ini membutuhkan
pelatihan pelatihan khusus terus menerus kepada semua hakim agar terjadi
regenerasi pada pengadilan khusus tersebut akibat pasti adanya kemungkinan hakim
untuk dipindahkan ke pengadilan lain yang tidak ada pengkhususan pengadilan.
Pelatihan ini menghabiskan energi, dana, dan waktu yang tidak sedikit. Sebagian
pihak memandang ini sebagai suatu pemborosan dan mengharapkan adanya
perubahan pada sistem kepegawaian hakim, entah itu secara keseluruhan maupun
parsial.
Perubahan status hakim menjadi pejabat negara memiliki implikasi bahwa
pembinaan SDM hakim harus dilakukan pula oleh seorang pejabat negara pula.
Tetapi sangat janggal jika pembinaan SDM hakim sebagai pejabat negara pasca satu
atap akan dilakukan oleh pejabat struktur eselon I di MA yang berstatus PNS
setingkat dengan Direktur Jenderal.
Lebih jauh lagi peraturan teknis pelaksana mengenai kenaikan jabatan hakim
yang diatur dalam Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2002
tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim menuntut dipenuhinya suatu
pencapaian prestasi tertentu, jangka waktu jabatan dan pangkat tertentu agar hakim
tersebut dapat naik pangkat ataupun jabatan.[26] Pada Ketentuan ini juga
menyebutkan bahwa kenaikan jabatan dan pangkat Hakim hanya diberikan sampai
dengan batas jenjang jabatan dan pangkat tertinggi di lingkungan pengadilan yang
www.pemantauperadilan.com 14
Penelitian
bersangkutan, tanpa melampaui jabatan dan pangkat Pimpinan Pengadilan yang
bersangkutan.[27] Ketentuan-ketentuan seperti ini ternyata pada prakteknya telah
menimbulkan kesukaran bagi para hakim yang ditempatkan di Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga seperti telah disebutkan di atas adalah pengkhususan
pengadilan yang menempel pada Peradilan Umum dalam hal ini Pengadilan Negeri.
Tidak semua Pengadilan Negeri mempunyai Pengadilan Niaga karena sesuai yang
diamanatkan oleh Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999[28] Pemerintah hanya
membentuk Pengadilan Niaga pada lima Pengadilan Negeri saja, yaitu pada
Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri
Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Semua Pengadilan Negeri tersebut
adalah Pengadilan Negeri Kelas IA yang hanya menerima hakim-hakim dengan
golongan ruang minimal III/d (Hakim Pratama Utama).[29] Seperti telah dijelaskan
di atas para hakim hanya dapat naik pangkat sejauh tidak melampaui tingkat
kepangkatan Pimpinan Pengadilan di Pengadilan tersebut. Hal ini tentunya akan
menghambat kepangkatan mereka jika ternyata Pimpinan Pengadilannya,
golongannya hanya setingkat IV/c (Hakim Madya Utama).[30] Dengan demikian
para hakim tentunya harus pindah ke Pengadilan Negeri lain misalnya dengan
menjadi Pimpinan Pengadilan pada Pengadilan Kelas II atau Pengadilan yang
Pimpinan Pengadilannya bergolongan setingkat diatas IV/c agar tingkatan
kepangkatannya tidak terganggu. Cara lainnya adalah dengan menjadi Hakim pada
Pengadilan Tinggi.
Dengan awal pemikiran-pemikiran di atas dan ketentuan-ketentuan
pelaksananya, suatu mutasi ataupun promosi tak dapat dihindari dalam sistem
kepegawaian hakim. Hal mana dirasakan mengganggu bila diterapkan juga di
Pengadilan Niaga, dikarenakan mutasi dan promosi dikhawatirkan memberi efek
negatif terhadap investasi ilmu dan praktek penanganan perkara niaga yang telah
ditanamkan pada para Hakim Niaga karena para Hakim tersebut akan berganti-ganti
www.pemantauperadilan.com 15
Penelitian
dan cenderung setelah dimutasikan tidak ditempatkan di Pengadilan yang
membutuhkan keahliannya sebagai Hakim Niaga.
E. PEMETAAN KEPEGAWAIAN HAKIM NIAGA DI PENGADILAN NIAGA
JAKARTA PUSAT
1. PEMETAAN RIWAYAT KEPEGAWAIAN HAKIM NIAGA ANGKATAN I
(LIHAT TABEL 1)
Dari seluruh nama hakim niaga angkatan pertama (sebanyak 17 orang), maka
berdasarkan data kepegawaian yang telah kami dapatkan hanya 12 hakim yang
datanya valid. Adapun data kepegawaian hakim niaga angkatan pertama yang tidak
valid tersebut antara lain adalah R. Joedijono, Mohammad Saleh, Sujatno, I Gede
Ketut Sukarata dan Harjono.
Dari tabel di atas maka terlihat bahwa sebagian besar hakim yaitu sebanyak 7
orang hakim, pernah menjabat secara struktural sebelum diangkat menjadi hakim
niaga. Ketujuh hakim tersebut adalah Ch Kristipurnamiwulan, Hasan Basri, Hirman
Purwanasuma, I Gede Nyoman Putra, Mahdi Soroinda Nasution, Parwoto
Wignyosumarto, Syamsuddin M Sinaga, serta Victor Hutabarat. Adapun klasifikasi
kelas pengadilan pada saat mereka menjabat sebagai struktural adalah pengadilan
kelas II, dimana klasifikasi kelas pengadilan tersebut telah disesuaikan dengan
batasan golongan ruang minimal untuk dapat menjabat sebagai struktural di
pengadilan negeri kelas II.
Dilihat dari sejarah mutasi promosi para hakim niaga tersebut, maka dapat
kita lihat bahwa klasifikasi kelas pengadilan negeri dimana mereka ditempatkan
selalu meningkat secara bertahap. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
RI tanggal 4 Agustus 1977 No. J.S. 1/7/5/1977 Tentang Pola Penyempurnaan
Pembinaan Peradilan[31], maka klasifikasi kelas pengadilan negeri terbagi menjadi
www.pemantauperadilan.com 16
Penelitian
dua, yaitu kelas I yang masih dibagi lagi menjadi kelas IA dan kelas IB, serta kelas II
yang juga terbagi menjadi IIA dan IIB. Klasifikasi tersebut ditentukan berdasarkan
keadaan daerah hukum (tempat kedudukan Pengadilan Negeri) serta jumlah perkara
yang ditangani oleh Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Untuk Pengadilan Negeri
yang berkedudukan di ibukota propinsi/daerah tingkat I, maka dengan sendirinya
ditetapkan sebagai Pengadilan Kelas I. Adanya pembagian kelas tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi klasifikasi kelas pengadilan, maka jumlah
perkara serta tingkat kompleksitas perkara yang ditangani juga akan semakin
meningkat. Dengan demikian, dimutasikannya para hakim tersebut ke wilayah
Pengadilan Negeri dengan klasifikasi kelas pengadilan yang lebih tinggi akan sangat
mempengaruhi peningkatan kinerja serta pengalaman si hakim.
Pola mutasi para hakim niaga tersebut penting untuk digarisbawahi
mengingat para hakim niaga adalah merupakan hakim khusus yang hanya
menangani perkara niaga (kepailitan, PKPU serta HaKI). Sampai dengan saat ini,
pengadilan niaga hanya berkedudukan di Jakarta; Medan; Surabaya; Ujung Pandang
serta Medan. Pola mutasi promosi para hakim niaga bertambah pelik mengingat UU
Kepailitan tidak mengenal mekanisme banding dalam proses perkara niaga. Sehingga
dengan demikian, sistem karir hakim pengadilan niaga perlu mendapat perhatian
khusus.
Merujuk pada Tabel 1, maka terlihat adanya beberapa pola mutasi dari para
hakim niaga tersebut. Setelah masa tugas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah
selesai, hanya 6 hakim niaga yang dimutasikan ke wilayah pengadilan negeri lain
yang menangani perkara niaga. Keenam hakim niaga tersebut adalah Erwin
Mangatas Malau (Ujung Pandang), Hirman Purwanasuma (Surabaya), Mahdi
Soroinda Nasution (Surabaya), Putu Supadmi (Ujung Pandang), Nur Aslam
Bustaman (Medan) dan Tjahjono (Ujung Pandang). Diantara 6 hakim niaga ini,
hanya dua orang hakim yang menduduki jabatan struktural, yaitu Hirman
Purwanasuma serta Mahdi Soroinda Nasution. Keduanya pernah menjabat sebagai
www.pemantauperadilan.com 17
Penelitian
Wakil Ketua PN Surabaya setelah bertugas sebagai hakim niaga di Pengadilan Niaga
Jakarta Selatan.
Pola mutasi kedua adalah dimutasikan hakim niaga ke wilayah pengadilan
negeri lain yang tidak menangani perkara niaga, namun menduduki jabatan
struktural. Hanya ada satu hakim niaga berdasarkan pola ini, yaitu I Gusti Nyoman
Putra. Setelah bertugas sebagai hakim niaga, ia dipindahkan ke PN Singaraja sebagai
Ketua Pengadilan Negeri. Disini terdapat temuan yang menarik. Pada saat
dipromosikan sebagai Ketua Pengadilan Negeri Singaraja, ia memiliki pangkat
hakim Pembina Utama Madya dengan golongan ruang IV/d. Pada saat itu,
Pengadilan Negeri Singaraja adalah merupakan pengadilan kelas IB. Jadi disini,
terlihat adanya penurunan kelas pengadilan dalam sejarah sistem karir I Gusti
Nyoman Putra. Namun setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2002[32], maka ia dipindahtugaskan sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan
Tinggi Bengkulu. Perlu diketahui bahwa berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2002
tersebut, maka untuk pengadilan kelas IB, maka golongan ruang tertinggi bagi Ketua
Pengadilan Negeri adalah IV/c, sedangkan golongan ruang terendah adalah golongan
IV/b. dengan demikian, terlihat bahwa sebelum adanya PP tersebut, tidak ada
standar baku yang jelas mengenai penentuan pangkat dan golongan ruang terendah
dan tertinggi bagi seorang hakim untuk dapat menduduki jabatan struktural
berdasarkan kelas pengadilan.
Pola mutasi ketiga adalah dimutasikannya hakim niaga ke wilayah
pengadilan negeri lain yang tidak menangani perkara niaga, dan juga tidak
menduduki jabatan struktural. Hakim niaga dalam pola promosi ini adalah Hasan
Basri. Setelah bertugas sebagai hakim niaga, maka sejak tahun 2003 ia dipindahkan
ke Pengadilan Negeri Palembang (kelas IA).
Pola mutasi keempat adalah dimutasikannya hakim niaga ke pengadilan
wilayah pengadilan negeri lain yang tidak menangani perkara niaga, namun dalam
proses mutasi selanjutnya ditempatkan sebagai hakim tinggi. Hakim niaga yang
www.pemantauperadilan.com 18
Penelitian
termasuk dalam pola mutasi ini adalah Ch Kristipurnamiwulan (PN Semarang,
kemudian PT Palu). Hirman Purwanasuma serta Mahdi Soroinda Nasution juga
ditempatkan sebagai hakim tinggi. Namun sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
sebelum menjadi hakim tinggi, keduanya ditempatkan di wilayah pengadilan negeri
yang menangani perkara niaga.
Hakim lainnya yang dalam sejarah mutasinya juga ditempatkan sebagai
hakim tinggi adalah I Gusti Nyoman Putra. Namun sebelumnya ia ditempatkan di
pengadilan negeri yang tidak menangani perkara niaga. Sedangkan Victor Hutabarat
langsung diangkat sebagai hakim tinggi. Setelah bertugas sebagai hakim niaga di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, ia ditempatkan sebagai hakim tinggi pada
Pengadilan Tinggi Palangkaraya. Setelah itu dia kembali ditempatkan sebagai hakim
tinggi pada Pengadilan Tinggi Semarang.
Terdapat juga hakim niaga yang ditempatkan sebagai hakim yustisial pada
Mahkamah Agung, yaitu Parwoto Wignjosumarto. Setelah itu, ia ditempatkan
sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta yang diperbantukan pada
Mahkamah Agung. Syamsuddin Manan Sinaga juga ditempatkan sebagai Hakim
Diperbantukan pada Pengadilan Tinggi Jakarta selepas ia bertugas sebagai hakim
niaga pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dari uraian di atas, bahwa tidak seluruh hakim niaga angkatan pertama
dimutasikan ke wilayah pengadilan yang menangani perkara niaga, yaitu hanya 6
hakim niaga. Sedangkan sisanya dimutasikan ke berbagai wilayah pengadilan negeri
dengan dan tanpa jabatan struktural. Dalam perjalanan karir hakim secara umum,
karir hakim niaga memang cenderung mengalami peningkatan. Namun
perkembangan karir secara khusus dalam kapasitas mereka sebagai hakim niaga, para
hakim niaga tersebut berada dalam grey area. Fakta bahwa tidak seluruh hakim
niaga dapat dimutasikan ke Pengadilan Niaga di wilayah lain menunjukkan tidak
adanya sinkronisasi antara pembentukan pengadilan niaga dengan pembentukan
hakim niaga. Pelatihan pembentukan hakim niaga cenderung hanya dilaksanakan
www.pemantauperadilan.com 19
Penelitian
sebagai suatu “rutinitas” tanpa melihat apakah penambahan jumlah hakim niaga
merupakan sesuatu yang diperlukan atau tidak.[33] Sangat disayangkan bahwa ilmu
yang diperoleh para hakim niaga melalui berbagai diklat pengadilan niaga akan
terbuang sia-sia hanya karena mereka tidak ditempatkan di wilayah pengadilan yang
menangani perkara niaga. Pembentukan hakim niaga tanpa memikirkan jenjang
karir bagi mereka sama saja dengan penyia-nyian uang negara.[34]
Pemerintah perlu memikirkan sistem karir bagi para hakim niaga. Hal ini
penting mengingat pelatihan bagi para hakim niaga tersebut selain merupakan
investasi yang tidak boleh terbuang sia-sia, para hakim niaga juga merupakan hakim
khusus pada pengadilan yang khusus juga.[35]
2. PERBANDINGAN RIWAYAT KEPEGAWAIAN HAKIM NIAGA DI
PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT DENGAN HAKIM YANG
MENGIKUTI DIKLAT PEMBENTUKAN HAKIM NIAGA TAHUN 1998
NAMUN BELUM PERNAH DIANGKAT MENJADI HAKIM NIAGA (LIHAT
TABEL 3)
Pada diklat pembentukan hakim niaga tahun 1998, terdapat 32 hakim peserta
pada diklat tersebut. Melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor.
KMA/023/SK/VIII/1998[36], hanya ada 17 hakim yang diangkat sebagai hakim niaga
pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sedangkan 15 hakim peserta diklat yang tidak
diangkat sebagai hakim niaga, tetap melanjutkan tugasnya sebagai hakim pada
pengadilan umum.
Bagian ini akan memaparkan proses mutasi promosi para hakim yang
mengikuti diklat pembentukan pengadilan niaga, namun tidak diangkat sebagai
hakim niaga. Namun dari keseluruhan data yang kami peroleh tentang 15 hakim
peserta diklat yang tidak ditunjuk sebagai hakim niaga, hanya ada 7 data
kepegawaian hakim yang valid. Dalam melakukan perbandingan ada 3 (tiga) variabel
yang digunakan, yaitu:
www.pemantauperadilan.com 20
Penelitian
1. Kelas Pengadilan tempat hakim ditempatkan
2. Jabatan Struktural Hakim tersebut
3. Lamanya hakim bertugas pada suatu tempat
Dari data yang kami peroleh, 5 diantara 7 hakim tersebut, pernah menduduki
jabatan struktural sebelum mengikuti diklat pembentukan hakim niaga. Kelima
hakim tersebut adalah Maulidan Sakti Negara, Djuwadi Pronodihardjo, Djalius
Amin, Th. Soaloon Pardede dan Pasti Serefina Sinaga.
Terlihat adanya keunikan dalam sejarah mutasi promosi Maulida Sakti
Negara, Djuwadi Pronodihardjo serta Djalius Amin. Dalam mutasi promosi para
hakim niaga, maka dari awal sejarah mutasi promosi mereka cenderung dipindahkan
ke kelas pengadilan yang lebih tinggi. Namun berbeda dengan ketiga hakim di atas,
klasifikasi kelas pengadilan pada saat mereka dimutasikan cenderung fluktuatif..
Terkadang mereka dipindahkan ke wilayah pengadilan negeri yang kelasnya justru
lebih rendah dibandingkan sebelum ia dimutasikan.
Sedangkan untuk keempat hakim lainnya, yaitu Rahmi Maulyati, Th. Soaloon
Pardede, Pasti Serefina Sinaga serta Binsar Pamopo Pakpahan, terlihat bahwa
mereka dimutasikan ke Pengadilan Negeri yang kelasnya lebih tinggi.
Dalam hal peningkatan karir, empat diantara ketujuh hakim tersebut yaitu
Maulida Sakti Negara, Djuwadi Pronodihardjo, Djalius Amin serta Th. S. Pardede
menjadi Hakim Tinggi setelah mengikuti diklat pembentukan hakim niaga. Rahmi
Mulyati dan Binsar P. Pakpahan sudah menjadi hakim yustisial sebelum mengikuti
diklat pembentukan niaga.
3. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DAN LATIHAN HAKIM NIAGA
ANGKATAN TERBARU
Setelah diadakan diklat pembentukan hakim pengadilan niaga pada tahun
2002, maka berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No:
KMA/051/SK/X/2003[37] diangkatlah 15 hakim pengadilan niaga yang akan
www.pemantauperadilan.com 21
Penelitian
ditempatkan di berbagai wilayah Pengadilan Niaga. Delapan diantaranya adalah
hakim yang ditempatkan di Pengadilan Niaga Jakarta Selatan. Kedelapan hakim
niaga tersebut adalah Cicut Sutiarso, I Made Karna, Sudradjat Dimyati, Edy
Tjahjono, Sugito, Suripto, Mulyani dan Agus Subroto. Kemudian Binsar Siregar juga
ditempatkan pada tahun yang sama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga.
Sebagai hakim niaga angkatan baru yang bertugas pada tahun 2003, mereka
langsung dihadapkan dengan berbagai perkara niaga dengan tingkat kompleksitas
yang semakin tinggi. Tingkat kompleksitas tersebut terlihat dengan adanya
perluasan kewewenangan relatif pengadilan niaga pada tahun 2001. Dengan adanya
perluasan tersebut, maka pengadilan niaga tidak hanya menangani masalah
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, namun juga menangani
perkara Hak atas Kekayaan Internasional (HaKI).
Dengan demikian, peranan diklat dalam bidang niaga merupakan penunjang
utama bagi para hakim niaga angkatan baru dalam rangka menjalankan tugas
mereka. Setiap hakim niaga harus melalui 2 tahap diklat, yaitu diklat pembentukan
hakim niaga dan diklat teknis fungsional. Pada diklat pembentukan hakim niaga
2002, materi diklat tidak saja hanya mengenai kepailitan, penundaan kewajiban
pembayaran utang serta HaKI, tetapi juga mengenai Pasar Modal, Asuransi, hukum
perusahaan serta bidang-bidang hukum ekonomi lainnya. Tim pengajar diklat
sebanyak 19 orang yang terdiri dari berbagai kalangan seperti akademisi, praktisi dan
juga dari kalangan Mahkamah Agung sendiri. Total materi diklat yang diberikan
adalah sebanyak 20 materi. Diklat Pembentukan Hakim Pengadilan Niaga tahun
2002 diikuti oleh 25 hakim peserta. Seluruh hakim peserta pada diklat berasal dari
berbagai wilayah pengadilan negeri serta hampir seluruh peserta menduduki jabatan
structural. Diklat itu diikuti oleh 17 Ketua Pengadilan Negeri, 2 Wakil Ketua
Pengadilan Negeri, 1 hakim yustisial Mahkamah Agung, serta 4 hakim tingkat
pengadilan negeri.
www.pemantauperadilan.com 22
Penelitian
Sedangkan untuk diklat teknis fungsional, para hakim niaga angkatan baru
mengikuti diklat teknis fungsional yang diselenggarakan pada tahun 2004.
Berdasarkan data yang kami terima hanya 6 orang hakim niaga angkatan baru yang
mengikuti diklat teknis fungsional tahun 2004. Keenam hakim tersebut antara lain
adalah Cicut Sutiarso, Sudradjat Dimyati, Edy Tjahjono, Sugito, Suripto dan Agus
Subroto. Sedangkan hakim niaga angkatan lama yang mengikuti diklat tersebut
adalah Putu Supadmi.
Materi diklat teknis fungsional 2004 secara kurang lebih memang sama
dengan diklat pembentukan hakim niaga 2002. Namun, materi yang disajikan dalam
diklat teknis fungsional tersebut tetap diperlukan karena melalui diklat tersebut
kemampuan teknis dari para hakim niaga dapat ditingkatkan.
Dari data mengenai semua kegiatan diklar dan kursus yang pernah diikuti
oleh hakim niaga anggkatan 2003, terlihat bahwa diklat dalam bidang niaga serta
bidang hukum ekonomi yang mereka ikuti masih sangat minim. Dari keseluruhan
diklat yang mereka ikuti, masing-masing hakim niaga hanya pernah mengikuti
sekitar dua atau tiga diklat bidang niaga saja. Itupun merupakan diklat pembentukan
hakim niaga serta diklat teknis fungsional pengadilan niaga. Terdapat dua hakim
niaga angkatan baru yang aktif berpartisipasi dalam diklat bidang niaga, yaitu
Sudradjat Dimyati dan Mulyani. Diklat yang diikuti oleh Mulyani mayoritas hanya
berfokus pada bidang HaKI. Sedangkan diklat bidang niaga yang diikuti oleh
Sudradjat Dimyati lebih bervariatif, yaitu antara lain tentang HaKI, pailit dan kredit
sindikasi.
Hal lain yang menarik untuk disoroti adalah minimnya pengalaman para
hakim niaga angkatan baru untuk mengikuti training di luar negeri. Dari seluruh
hakim niaga angkatan baru, hanya 3 orang hakim yang pernah mengikuti diklat di
luar negeri. Ketiga hakim tersebut adalah Cicut Sutiarso, Mulyani serta Agus
Subroto.
www.pemantauperadilan.com 23
Penelitian
Kami juga menyoroti latar belakang pendidikan dari para hakim niaga
angkatan baru tersebut. Berdasarkan data yang kami peroleh, hanya lima hakim
niaga angkatan 2003 yang menempuh pendidikan pascasarjana. Kelima hakim
tersebut adalah Cicut Sutiarso (Magister Humaniora), Edy Tjahjono (jurusan hukum
bisnis), Sudradjat Dimyati, Sugito dan Agus Subroto.
F. KESIMPULAN AKHIR PENELITIAN
Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa hal
yang dapat disimpulkan yang akan terbagi dalam 2 (dua) bagian pemetaan utama,
yaitu:
Mutasi Dan Promosi
Bahwa Hakim Niaga dimungkinkan untuk dipindahkan ke Pengadilan Negeri
lain yang tidak mempunyai Pengadilan Niaga
Bahwa Sistem Kepegawaian Hakim diatur dalam UU Nomor. 43 Tahun 1999
dan Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 41 Tahun 2002 memberi dibuatnya
ketentuan-ketentuan tambahan agar hakim niaga tidak mengalami hambatan
dalam peningkatan karirnya. Berbagai ketentuan tersebut antara lain adalah:
1. Adanya kesepakatan tidak tertulis mengenai pangkat dan golongan
ruang minimal dari hakim yang dapat diangkat sebagai hakim niaga,
yaitu golongan IV/a
2. Hakim niaga diperkenankan untuk menangani perkara non niaga di
Pengadilan tempat ia bertugas dengan pembagian tugas oleh Ketua
Pengadilan tempat ia bertugas dengan pembagian tugas oleh Ketua
Pengadilan Negeri setempat. Hal ini diatur dalam SK Wakil Ketua MA
Nomor: 121/Um-Tu/X/N/2001
www.pemantauperadilan.com 24
Penelitian
Bahwa hakim Niaga rata-rata mengalami peningkatan karir dalam sejarah
mutasi promosi mereka sesuai ketentuan yang masih berlaku saat itu.
Bahwa sistem mutasi promosi saat ini tidak memfokuskan hakim untuk
menjadi spesialis dan berpengalaman pada bidang tertentu.
Pendidikan Dan Latihan (Diklat)
Bahwa diklat hakim niaga dilakukan secara terus-menerus untuk regenerasi
dan peningkatan teknis terutama apabila terjadi kekosongan posisi hakim
niaga.
Bahwa tidak semua hakim niaga dapat mengikuti diklat teknis fungsional.
Sebagian besar Peserta Diklat teknis Fungsional mayoritas justru bukan
merupakan hakim niaga
Bahwa parameter untuk dapat menunjuk hakim calon peserta dikklat bagi
hakim niaga hanya berdasarkan golongan ruang.
Meskipun kesimpulan akhir pemetaan berhasil mengetahui bahwa karir
hakim niaga tidaklah cenderung menurun seperti yang banyak diberitakan, namun
hal ini lebih dikarenakan adanya kompromi-kompromi yang dibuat untuk menutupi
berbagai kelemahan sistem karir hakim sekarang ini khususnya terhadap karir
hakim niaga. Kompromi-kompromi tersebut patut dipertanyakan lebih kanjut
keefektifitasannya dalam menunjang suatu sistem yang telah ada. Bila ternyata tidak
terlalu efektif maka memperbaharui suatu kompromi atau bahkan mengganti sistem
dasarnya sendiri patut untuk dipertimbangkan. Sistem karir secara competence
based memang dipercaya banyak orang lebih mendukung profesionalisme kerja
dibandingkan suatu sistem yang lebih berdasarkan kepangkatan yang kaku
berdasarkan usia ataupun berdasarkan lamanya seorang hakim bertugas di suatu
tempat. Namun, apakah sistem ini mendesak untuk diterapkan oleh Indonesia
www.pemantauperadilan.com 25
Penelitian
sekarang ini tentunya tidak dapat diputuskan secara gegabah tanpa adanya suatu
kajian yang mendalam.
Pemikiran-pemikiran di atas telah mengangkat isu keefektifan sistem karir
dari hakim niaga saat ini. Bahkan sistem karir hakim secara keseluruhan lebih
memfokuskan hakim untuk memiliki pengalaman disemua bidang hukum, yang
ditempa dengan tantangan wilayah yang berbeda-beda, dengan persyaratan usia dan
lamanya bekerja daripada pengalaman pada bidang khusus dan pada wilayah yang
khusus pula. Secara kasat mata dapat terlihat bahwa dengan sistem karir seperti
sekarang ini (tour of duty dan tour of area) menuntut adanya pendidikan dan
pelatihan hakim secara berkesinambungan terhadap seluruh sumber daya hakim
yang tentunya membutuhkan dana yang sangatlah besar.
[1]Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14
Tahun 1970, khususnya penjelasan Pasal 10.
[2] Indonesia, Undang-Undang Mengenai Peradilan Umum, No. 2 Tahun
1986, LN 20/1986.
[3]Berdasarkan wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro (Tim
Pembentukan Niaga), Jumat 15 Oktober 2004.
[4]UU Darurat No. 7 Tahun 1955 psl. 35 ayat (1) menyebutkan: “Pada tiap-
tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang
panitera atau lebih, dan seorang jaksa atau lebih jang semata-mata diberi tugas
masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi.” Namum tidak
banyak literature tambahan lain yang menceritakan sistem kepegawaian para hakim
www.pemantauperadilan.com 26
Penelitian
di Pengadilan Ekonomi tersebut, apakah tetap mengikuti atau terpisah dari sistem
kepegawaian hakim pada umumnya. Keterangan yang didapat berasal dari
wawancara dengan narasumber Prof. Mardjono Reksodiputro (Jumat, 15/10/04) dan
Eros Djarot (Oktober 2001).
[5]Dr. Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, (Jakarta: Erlangga 1986), hal.
5.
[6]Berdasarkan pasal 13 UU No, 14 Tahun 1970, dinyatakan bahwa Badan-
badan peradilan khusus selain badan peradilan yang sudah ada hanya dapat
dilakukan melalui undang-undang. Sebagai contoh, pembentukan Pengadilan HAM
tidak diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1999 mengenai hak Asasi Manusia,
melainkan melalui UU Khusus, yaitu UU Nomor 26 Tahun 2000 mengenai
Pengadilan HAM. Contoh lainnya adalah dibentuknya Pengadilan Pajak melalui UU
Nomor 14 Tahun 2002.
[7]Indonesia, Undang-undang mengenai kepailitan, UU No. 4 Tahun 1998.
[8]Meskipun Pengadilan Niaga berada di bawah naungan Pengadilan Negeri,
namun terdapat pemisahan yurisdiksi yang ketat disini (sesuia dengan penjelasan
Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan).
[9] Op.cit, UU Kepailitan, psl. 281.
[10]Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 mengenai Pembentukan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri
Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 142 Tahun 1999.
[11]Ibid., psl. 2.
[12]Berdasarkan wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro.
[13]Ibid.
[14]Ibid.
[15]Berdasarkan wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodipoetro dan
Gregory Churchill, 22 Oktober 2004.
www.pemantauperadilan.com 27
Penelitian
[16]Kesimpulan setelah menganalisa data-data yang ada pada Pusat
Pendidikan dan Pelatihan MA-RI.
[17] Wawancara dengan Direktur PPH, Ibu Emmy Yuhassarie, Senin, 27
September 2004.
[18] UU No. 35 Tahun 1999 sebagai amandemen atas UU No. 14 Tahun 1970,
psl 11. ayat (1).
[19]UU No. 43 Tahun 1999 mengenai Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun
1974 mengenai Pokok-pokok Kepegawaian Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999
mengenai Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 mengenai Pokok-pokok
Kepegawaian, psl 11.
[20]Ibid. hal. 7, Lihat penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1974 dan
bandingkan dengan penjelasan pasal 11 UU No. 8 Tahun 1974.
[21]Ibid., hal. 7.
[22]Ibid. hal. 8.
[23]Ibid. hal. 10.
[24]Ibid., hal 15, mengutip Mosgan Situmorang et.al., “Laporan Akhir
Penelitian tentang Aspek Hukum Kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara” Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman & Hak Asasi Manusia RI,
Tahun 200, hal 77.
[25]Ibid., hal. 192.
[26]Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2002
tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Bagian IV Butir
[27]Ibid, Bagian IV Butir C.
[28]Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 mengenal Pembentukan
Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri
Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, Dan Pengadilan Negeri Semarang, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 142 Tahun 1999.
[29]Ketentuan Pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2002, Bagian II Butir 2.
www.pemantauperadilan.com 28
Penelitian
[30]Ibid, Bagian II Butir 3 memberikan bagan bahwa untuk menjadi
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan minimal harus berpangkat IV/c dan maksimal
adalah IV/d.
[31] Sebelum dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman,
sebagian besar dari pola pembinaan peradilan tersebut telah dimulai pelaksanaannya
baik oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum maupun oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, berdasarkan atas Keputusan Rapat Kerja
Departemen Kehakiman dengan para Ketua Pengadilan Negeri pada tahun 1976.
[32] Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Pangkat
Dan Jabatan Hakim.
[33]Berdasarkan wawancara dengan Nur Aslam Bustaman, Senin, 26 Oktober
2004.
[34] Ibid
[35] Wawancara dengan Greg Churcill, 22 Oktober 2004.
[36]Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
KMA/023/SK/VIII/1998 tentang Pengangkatan Hakim Pengadilan Niaga Pada
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
[37] Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No: KMA/051/SK/X/2003
tentang Pengangkatan Hakim Pengadilan Niaga Pada Masing-Masing Pengadilan
Negeri.
www.pemantauperadilan.com 29