38417
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
THE WORLD BANK OFFICE JAKARTAJakarta Stock Exchange Building Tower II/12th Fl.Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910Tel: (6221) 5299-3000Fax: (6221) 5299-3111Website: http://www.worldbank.org/id
THE WORLD BANK 1818 H Street N.W.Washington, D.C. 20433, U.S.A.Tel: (202) 458-1876Fax: (202) 522-1557/1560Email: [email protected]: http://www.worldbank.org
Dicetak pada bulan Desember 2006
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
iii
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Ucapan Terima Kasih
Analisa Belanja Publik Aceh (Aceh Public Expenditure Analysis - APEA) ini adalah hasil kerjasama antara Bank Dunia dan universitas-universitas di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry (Banda Aceh), Universitas Malikul Saleh, dan Politeknik (Lhokseumawe). Laporan ini disusun oleh tim inti yang dipimpin Oleksiy Ivaschenko, Ahya Ihsan dan Enrique Blanco Armas, bersama Cut Dian Rahmi dan Eleonora Suk Mei Tan. Tim inti juga terdiri dari Patrick Barron, Cliff Burkley, John Cameron, Taufi q C. Dawood, Guy Janssen, Rehan Kausar, Harry Masyrafah, Sylvia Njotomihardjo, Peter Rooney, dan Chairani Triasdewi. Syamsul Rizal (Universitas Syiah Kuala) menjadi koordinator mitra universitas, dan Djakfar Ahmad menyelenggarakan sosialisasi kepada pemerintah provinsi dan daerah. Wolfgang Fengler memberikan pengawasan dalam proses APEA dan penyusunan laporan ini.
Andrew Steer (Country Director), bersama Victor Bottini (Resident Representative in Aceh), Joel Hellman (Chief Governance Advisor and Aceh Coordinator), dan Scott Guggenheim (Lead Social Development Specialist) memberikan bimbingan secara keseluruhan sepanjang proses ini.
Tim besar yang turut membantu penyusunan laporan ini terdiri dari Nasruddin Daud dan Ir. Sufi i; komentar yang berharga disampaikan oleh Owen Podger; dari Bank Dunia: Francisco Javier Arze del Granado, Andre Bald, Maulina Cahyaningrum, Ahmad Zaki Fahmi, Alicia J. Hetzner, Indra Irnawan, Bambang Suharnoko, Juliana Wilson, Bastian Zaini; dan tim-tim universitas berikut:
Universitas Syiah Kuala (Banda Aceh). Razali Abdullah, Zinatul Hayati, Teuku M. Iqbalsyah, Fadrial Karmil, Yahya Kobat, Jeliteng Pribadi, Yanis Rinaldi, Agus Sabti, Yunus Usman, and Teuku ZulhamIAIN Ar-Raniry (Banda Aceh). Fakhri YacobUniversitas Malikul Saleh (Lhokseumawe). Wahyudin Albra, Jullimursyida Ganto, and Andria Zulfa Politeknik Lhokseumawe (Lhokseumawe). Riswandi and Indra Widjaya
Foto-foto dibuat oleh Kristin Thompson kecuali “Polindes di Kecamatan Padang Tiji, Kab. Pidie” oleh staf World Bank.
Data APBD dikumpulkan dan diolah oleh Nova Idea, Sidra Muntahari, Ridwan Nurdin, Cut Yenizar, Miftachuddin, dan Akhiruddin (GeRAK). Survei Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh dilaksanakan oleh tim Local Government Support Program (LGSP) (USAID) yang dipimpin oleh Philip Schwehm dan Andrew Urban. Peter Rooney mengkoordinir pelaksanaan ini dari Bank Dunia. Governance and Decentralization Survey (GDS) di 10 kabupaten di Aceh dilaksanakan oleh Bank Dunia dan dikoordinir oleh Daan Pattinasarany. Peer reviewers dilakukan oleh Islahuddin dan Raja Masbar (Universitas Syiah Kuala); dan John Clark dan Kai Kaiser (Bank Dunia).
Akhir kata, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pejabat Gubernur Pemerintah Aceh, Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si, para staf beliau, serta staf di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, yang dipimpin oleh Amin Subekti atas dukungannya bagi prakarsa APEA. Tim penasehat Gubernur serta staf BRR menyampaikan komentar-komentar yang berharga selama proses ini. Dukungan keuangan disediakan oleh Decentralization Support Facility dan Singapore Trust Fund.
iv
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Akronim, Singkatan, dan Istilah
Adat Kebiasaan sosial atau tradisi
ADB Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank)
AMDAL Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Environment Impact Permit)
AMM Aceh Monitoring Mission
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Regional Government Budget)
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (State Budget)
APEA Analisis Pengeluaran Publik Aceh (Aceh Public Expenditure Analysis)
ARI Acute Respiratory Infection
AusAid Australian Agency for InterNasional Development
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Regional Development Planning Agency)
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Nasional Development Planning Agency)
BAKORNAS Badan Koordinasi Nasional (Nasional Disaster Management Board)
BCG Bacillus of Calmette and Guerin
BKN Badan Kepegawaian Negara (State Personnel Agency)
BOS Bantuan Operasional Sekolah (Block grant from central government to schools to cover primary and junior school operational costs)
BPD Bank Pembangunan Daerah (Regional Development Bank)
BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Land and Building Transfer Fee)
BPK Badan Pemeriksa Keuangan (Audit Board)
BPN Badan Pertanahan Nasional (Nasional Land Agency)
BPR Bank Perkreditan Rakyat (Rural Credit Bank)
BPS-SK Badan Pusat Statistik – Statistik Keuangan (Financial Statistics from Indonesian Nasional Statistics Offi ce)
BQ Baitul Qiradh (Syariah Financial Cooperative)
BRA Badan Reintegasi Aceh (Reintegration Agency for Aceh)
BRR Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehabilitation and Reconstruction Agency)
CDA Community-Driven Adjudication
CDD Community-Driven Development
CFAN Coordination Forum for Aceh and Nias
CoHA Perjanjian Penghentian Permusuhan (Cessation of Hostilities Framework Agreement)
CoSA Committee on Security Arrangements
CPI Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)
CSO Civil Society Organization
Dana Otsus Dana Otonomi Khusus (Special Autonomy Fund)
DAK Dana Alokasi Khusus (Earmarked Grant)
D&L Damage and Loss
DAU Dana Alokasi Umum (General Allocation Grants)
DBH Dana Bagi Hasil (Revenue-Sharing)
DBHDR Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (Revenue-Sharing Reforestation Fund)
DDR Perlucutan Senjata, Demobilisasi dan Reintegrasi (Disarmament Demobilization and Reintegration)
v
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Dinas Pengelola Sub-Proyek Provinsi/Kabupaten/Kota (Regional Sector Offi ce)
DIPA Daftar Isian Proyek Anggaran (Issuance of Spending Authority)
DOM Daerah Operasi Militer (Military Operational Area)
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Provincial House of Representatives/Regional Parliaments)
DPT3 Combined Vaccination against Diphtheria: Pertussis-whooping Cough-tetanus
DSCR Debt Service Coverage Ratio
EEZ Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone)
ERTR Emergency Response and Transitional Recovery
ETESP Earthquake and Tsunami Emergency Support Project
FGD Focus Group Discussions
FIRM Financial Intermediation and Mobilization
FM Financial Management
GAM Gerakan Aceh Merdeka (Free Aceh Movement)
GCF Gross Capital Formation
GDP Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)
GDS Universitas Gajah Mada
GER Tingkat Partisipasi Sekolah Bruto (Gross Enrollment Rate)
GeRAK Gerakan Rakyat Anti Korupsi (People’s Movement for Anti Corruption)
GOI Pemerintah Indonesia (Government of Indonesia)
GRDP Produk Domestik Bruto Daerah (Gross Regional Domestic Product)
ha hektare
HDI Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
IAIN Institut Agama Islam Negeri (State Islamic Institute)
IDHS Indonesian Demographic and Health Survey
IDP Pengungsi (Internally Displaced Person)
ILO Organisasi Buruh Internasional (InterNasional Labour Organisation)
IMR Infant Mortality Rate
INPRES Instruksi Presiden (Presidential Instruction)
IOM InterNasional Organization for Migration
IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologie (Science and Technology)
IRD InterNasional Relief and Development
JPK–Gakin Jaminan Pemeliharaan Kesehatan-Keluarga Miskin (Government Health Insurance for Poor Households)
JPK-MM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan-Masyarakat Miskin (Government Health Insurance for the Poor)
KDK Komite Darurat Kemiskinan
Kepmen Keputusan Menteri (Ministerial Decree)
Keppres Keputusan Presiden (Presidential Decision)
KERAP Pemilihan Anggota Komite Rehabilitasi Permukiman (Elected Local Committee that is In Charge of and Monitors Reconstruction)
Kesbanglimas Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Regional Agency in Charge of Social and Political Life in the Community)
km kilometer
vi
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
LG Pemerintah Lokal (Local Government)
LGSP Local Government Support Program
LOGA Law on Government in Aceh
MCFD Million Cubic Feet per Day
MDF Multi-Donor Fund
MoE Departemen Lingkungan Hidup (Ministry of Environment)
MoF Departemen Keuangan (Ministry of Finance)
MoNE Departemen Pendidikan Nasional (Ministry of Nasional Education)
MoRA Departemen Agama (Ministry of Religious Aff airs)
MoU Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding)
MPW Departemen Pekerjaan Umum (Departemen PUs)
NAD Nangroe Aceh Darussalam (Provinsi of Aceh (formal name)
NBFI Lembaga Keuangan Bukan Bank (Nonbank Financial Institution)
NGO Lemabaga Swadaya Masyarakat (Non-Governmental Organization)
O&M Operasional & Pemeliharaan (Operations and Maintenance)
OCHA Offi ce for the Coordinator of Humanitarian Aff airs
PAD Pendapatan Asli Daerah (Own-Sumber Revenue)
PBB Pajak Bumi dan Bangunan (Land and Building Tax)
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum (Local Water Supply Enterprise)
PEACH Public Expenditure Analysis Capacity Harmonization
Perpu Peraturan Pemerintah Penggati Undang-undang (Regulation In Lieu of Law)
Perda Peraturan Daerah (Regional Regulation)
Pesantren Sekolah Islam (Islamic school)
PFM Pengelolaan Keuangan Publik (Public Financial Management )
PLN Perusahaan Listrik Negara (The Nasional Electricity Company)
PMU Program Management Unit
PODES Potensi Desa BPS (Village Potential Survey)
Polindes Pos Persalinan Desa (Village Maternity Post)
Posko Pos Kordinasi (Coordination Post)
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat (Community Health Center at Subdistrict Level)
Posyandu Pusat Pelayanan Terpadu (Integrated Health Services Unit)
Pustu Puskesmas Pembantu (Subcommunity Health Center)
Qanun Peraturan Daerah (istilah yang digunakan di Aceh)
RALAS Proyek Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh (Reconstruction for Aceh Land Administration Project)
Renja KL Rencana Kerja Kementrian/Lembaga (Ministry Work Plan)
Renstra Rencana Strategis (Strategic Plan)
Renstra KL Rencana Strategi Kementrian/Lembaga (Ministry Strategic Plan)
Renstra SKPD Rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Dinas Work Plan Budget)
RKP Rencana Kerja Pemerintah (Government Annual Work Plan)
RKP-D Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Regional Government Annual Work Plan)
SD Sekolah Dasar (Primary School)
vii
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
SDI Surface Distress Index
SDO Subsidi untuk Daerah Otonom (Subsidy for Autonomous Region)
SE Usaha Kecil (Small Enterprise)
SIKD Sistem Informasi Keuangan Daerah (Regional Finance Information System)
SME Usaha Kecil/Menengah (Small/Medium Enterprise)
SMP Sekolah Menengah Pertama (Junior High School)
SPADA Support for Poor and Disadvantage Area
STR Student Teacher Ratio
Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS Nasional Socioeconomic Survey)
Syariah Hukum Islam/Shari’a (Islamic Law)
TA Technical Assistance
UGM Universitas Gajah Mada
UNDP United Nations Development Programme
UNICEF United Nations Children’s Fund
USAID United States Agency for InterNasional Development
WB Bank Dunia (World Bank)
WBOJ Kantor Bank Dunia di Jakarta (World Bank Offi ce Jakarta)
WUA Water Users Association (Keujruen Blang)
viii
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif xiii
1. Kondisi Ekonomi dan Sosial di Aceh 1
Konteks Sejarah 2
Konfl ik dan Dampaknya terhadap Pembangunan 4
Dampak Bencana Tsunami 26 Desember 2004 6
Perekonomian Aceh 7
Kemiskinan dan Kondisi Sosial 11
2. Aliran Dana dan Proses Anggaran 15
Proses Anggaran 21
Format Anggaran Baru 22
3. Penerimaan dan Pembiayaan 25
Penerimaan 26
Pembiayaan dan Pinjaman 46
Rekomendasi 48
4. Pengeluaran 51
Sekilas tentang belanja pemerintah Aceh 52
Belanja Rutin vs. Belanja Pembangunan 54
Belanja pada Program Rekonstruksi 59
Rekomendasi 64
5. Analisis Sektoral serta Rekomendasi 65
Kesehatan 66
Pendidikan 76
Infrastruktur 88
6. Kapasitas Pemerintah Kabupaten/kota untuk Mengelola Dana Anggaran 97
Desentralisasi: beban kerja pemerintah kabupaten/kota telah meningkat dari segi kuantitas dan kualitas
98
Dampak Konfl ik dan Tsunami terhadap Administrasi Kabupaten/Kota 98
Kapasitas Administratif Secara Umum Masih Lemah 99
Pemerintah kabupaten/kota tidak berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas kabupaten/kota 102
Persepsi Para Pimpinan Kabupaten/Kota dan Masyarakat tentang Isu-isu Utama dalam Proses Anggaran
104
Rekomendasi 104
Apendiks A. Isu-isu Utama dan Rekomendasi 108
Apendiks B. Gambar dan Tabel 111
Apendiks C. Catatan Metodologi 119
Apendiks D. Apendiks Statistik 124
Kotak
Kotak 1. Poin utama Undang-undang Pemerintahan Aceh, UU 11/2006 3
Kotak 2. Pengelolaan dan alokasi Dana Otonomi Khusus dari UU No. 18/2001 40
ix
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar
Gambar 1. Sumber daya fi skal Aceh menunjukkan peningkatan tajam, 1999–2006 xiii
Gambar 2. Aceh memiliki pendapatan per kapita tertinggi ketiga xiii
Gambar 3. Aceh menduduki peringkat keempat termiskin, dan kemungkinan menjadi lebih tinggi setelah tsunami
xiv
Gambar 4. Kebutuhan dan komitmen untuk rekonstruksi (milyar AS$, akhir Juni 2006) xv
Gambar 5. Undang-undang Pemerintah Aceh yang baru memberikan tambahan pendapatan yang besar untuk Aceh meski produksi gas menurun
xvi
Gambar 6. Pemerintah daerah memiliki kemampuan pengelolaan keuangan publik yang lemah xviii
Gambar 1.1. Struktur perekonomian Aceh, 2004 8
Gambar 1.2. PDB per kapita dan kemiskinan di kabupaten penghasil minyak/gas, tahun 2004 8
Gambar 1.3. Pertumbuhan ekonomi Aceh vs. rata-rata nasional 9
Gambar 1.4. PDB per kapita, pembelanjaan publik, dan jumlah penduduk miskin per provinsi, 2004 9
Gambar 1.5. PDB per kapita, pembelanjaan publik dan kemiskinan di kabupaten-kabupaten Aceh, 2004 10
Gambar 1.6. Perkembangan tingkat kemiskinan di provinsi Aceh, 1990–2004 (%) 12
Gambar 1.7. Tren IHK (CPI) di Banda Aceh dan daerah-daerah lain 12
Gambar 2.1. Aliran dana di Aceh 17
Gambar 2.2. Pengaturan bagi hasil non-pajak untuk pemerintah provinsi dan daerah 19
Gambar 2.3. Alokasi Otonomi Khusus 20
Gambar 2.4. Format anggaran lama vs. baru 23
Gambar 3.1. Penerimaan Aceh sebelum dan sesudah desentralisasi, dan setelah tsunami, 1999–2006 26
Gambar 3.2. Penerimaan pemerintah daerah di Aceh naik pesat setelah desentralisasi, 1994-2006 26
Gambar 3.3. Pendapatan per kapita Aceh termasuk yang tertinggi di Indonesia 27
Gambar 3.4. Aceh memiliki alokasi terbesar ketiga dari bagi hasil sumber daya alam, 2004 29
Gambar 3.5. Kabupaten/kota di Aceh memiliki tingkat disparitas pendapatan per kapita yang besar, 2004 29
Gambar 3.6. Alokasi migas per kapita antara kabupaten/kota di Aceh, 2004 30
Gambar 3.7. Hubungan antara DAU per kapita dan tingkat kemiskinan di kabupaten-kabupaten di Aceh, 2004–05
30
Gambar 3.8. Proyeksi pendapatan Aceh tahun 2008 dengan dan tanpa alokasi DAU 2% 31
Gambar 3.9. Kepekaan harga minyak terhadap bagi hasil sumber daya alam (triliun Rp) 31
Gambar 3.10. PAD per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2004 34
Gambar 3.11. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh 35
Gambar 3.12. Komposisi bagi hasil pajak provinsi, 1999–2004 36
Gambar 3.13. Komposisi bagi hasil pajak pemerintah daerah, 1999–2004 36
Gambar 3.14. Bagi hasil pajak per kapita antara pemerintah daerah di Aceh, 2004 36
Gambar 3.15. Kecenderungan bagi hasil sumber daya alam di Aceh, 1994–2005 37
Gambar 3.16. Sumber daya alam per kapita antar kabupaten/kota di in Aceh, 2004 37
Gambar 3.17. Dana otsus Aceh sebagai persentase terhadap total pendapatan 38
Gambar 3.18. Produksi gas PT. Arun LNG di Aceh 38
x
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.19. Tren alokasi DAU untuk NAD 40
Gambar 3.20. DAU per kapita untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 41
Gambar 3.21. Alokasi DAU kepada pemerintah daerah di Aceh, 2006 42
Gambar 3.22. Alokasi DAU per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006 42
Gambar 3.23. Tren alokasi DAK untuk Aceh, 2001–06 43
Gambar 3.24. DAK per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006 43
Gambar 3.25. Alokasi spasial pembelanjaan dekonsentrasi pemerintah daerah di Aceh, 2004 44
Gambar 3.26. Komposisi dana reintegrasi Aceh, 2005–07 46
Gambar 3.27. Surplus/defi sit pemerintah daerah di Aceh, 1994–2005 (%total pembelanjaan) 46
Gambar 3.28 Batas pinjaman dengan dan tanpa pembatasan tunggakan untuk Aceh 48
Gambar 4.1 Belanja publik di Aceh pra dan pasca desentralisasi, dan setelah tsunami 52
Gambar 4.2 Porsi belanja pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di Aceh 53
Gambar 4.3 Komposisi sektoral dan kelembagaan dari belanja pembangunan di Aceh, 2004 (Rp Milyar) 54
Gambar 4.4. Porsi belanja pemerintah provinsi 55
Gambar 4.5. Porsi belanja pemerintah kabupaten/kota 55
Gambar 4.6. Kebutuhan rekonstruksi vs. sumber daya yang dialokasikan dan dijanjikan di Aceh 60
Gambar 4.7. Distribusi sektoral dana rekonstruksi (juta AS$) 60
Gambar 4.8. Alokasi dana dibandingkan dengan kebutuhan minimum inti, per sektor, bulan Juni 2006 (AS$ juta)
61
Gambar 4.9. Pembiayaan dibandingkan dengan kebutuhan geografi s 61
Gambar 4.10. Anggaran BRR dan pencairan, 2005 dan 2006 62
Gambar 4.11. Pencairan oleh BRR tahun 2005 dan anggaran tahun 2006 (Rp. Milyar) 63
Gambar 4.12. Penyaluran anggaran BRR di Aceh menurut kabupaten/kota, tahun 2005 dan 2006 63
Gambar 5.1. Polindes di Kecamatan Padang Tiji, Kab. Pidie 67
Gambar 5.2. Jumlah bidan umum dan swasta per 10.000 penduduk dan luas kilometer persegi yang dilayani
67
Gambar 5.3. Jumlah bidan dan dokter di perkotaan vs. pedesaan per 10.000 penduduk 68
Gambar 5.4. Sumber-sumber pengeluaran bidang kesehatan 70
Gambar 5.5. Persentase pengeluaran bidang kesehatan pemerintah daerah, 2004 71
Gambar 5.6. Pengeluaran kesehatan per kapita daerah menurut provinsi, 2004 71
Gambar 5.7. Belanja bidang kesehatan dari total belanja daerah, 2001–05 72
Gambar 5.8. Pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota (kanan) dan provinsi (kiri)
73
Gambar 5.9. Total pengeluaran rutin bidang kesehatan yang dirinci untuk pegawai atau gaji, barang dan lainnya (persentase dan Rp milyar)
73
Gambar 5.10. Pengeluaran bidang kesehatan kabupaten/kota per kapita dan persentase dari total pengeluaran, 2004 dan 2005
74
Gambar 5.11. Tren angka partisipasi bruto untuk pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah di Aceh, 1999–2006
76
Gambar 5.12. GER sekolah menengah pertama dan jarak ke sekolah per pemerintah daerah, 2005 77
xi
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.13. Jumlah murid per tingkat pendidikan, negeri vs. swasta, 2004–05 78
Gambar 5.14. Kondisi Ruang Kelas (%), 2005 79
Gambar 5.1.5. Variasi per kabupaten, rasio guru: kelas (SD negeri), Tahun 2005–06 79
Gambar 5.16. Komposisi belanja pendidikan di Aceh, Tahun 2005 (%) 81
Gambar 5.17. Belanja pendidikan perkapita pemerintah daerah per provinsi, tahun 2004 82
Gambar 5.18. Perkiraan sumber daya Aceh untuk pendidikan, Tahun 2006–11 83
Gambar 5.19. Porsi belanja pendidikan daerah dalam keseluruhan belanja daerah (harga tetap tahun 2006) 83
Gambar 5.21. Belanja Spesifi kasi belanja pendidikan rutin (Rp. Milyar) 85
Gambar 5.22. Tren belanja prasarana pembangunan daerah di Aceh, 1994–2005 92
Gambar 5.23. Rata-rata belanja pembangunan dalam subsektor-subsektor, 2003–05 92
Gambar 5.24. Belanja infrastruktur daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota) 92
Gambar 5.25. Komposisi rata-rata belanja rutin tahun 2001–04 (%) 93
Gambar 6.1. Belanja rutin dan jumlah pemerintah kabupaten/kota di Aceh, 1994–2004 102
Tabel
Tabel 1.1. Evolusi pengaturan fi skal antar-pemerintah untuk Aceh 3
Tabel 1.2. Tahapan konfl ik dan korban jiwa 4
Tabel 1.3. Indikator kemajuan rekonstruksi (per April 2006) 6
Tabel 2.1. Pengaturan dana bagi hasil dan dana otonomi khusus Aceh 18
Tabel 3.1. Komposisi pendapatan pemerintah provinsi dan daerah di Aceh, 1999–2006 (milyar Rp) 27
Tabel 3.2. Persentase berbagai sumber pendapatan terhadap total pendapatan daerah di Aceh, 1997–2005
28
Tabel 3.3. Komposisi PAD provinsi di Aceh 32
Tabel 3.4. Komposisi PAD pemerintah daerah di Aceh 33
Tabel 3.5. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh (milyar Rp) 35
Tabel 3.6. Persentase dana otsus terhadap total pendapatan dan total transfer di Aceh Utara, 2003–05 (milyar Rp)
39
Tabel 3.7. Bagian dana dekonsentrasi terhadap total pendapatan daerah, 1999–2005 44
Tabel 3.8 Pemerintah daerah Aceh telah mengumpulkan cadangan yang signifi kan (milyar Rp) 47
Tabel 3.9 Catatan pinjaman pemerintah daerah dan PDAM di Aceh, 2004 (milyar Rp) 48
Tabel 4.1 Belanja publik secara keseluruhan pra dan pasca desentralisasi di Aceh 53
Tabel 4.2. Struktur belanja rutin daerah di Aceh, 1999–2005 55
Tabel 4.3. Belanja pembangunan daerah per sektor di Aceh, 1999–2005 56
Tabel 4.4. Komposisi belanja daerah berdasarkan format anggaran yang baru (belanja aparatur dan belanja publik) di Aceh, 2003–05
58
Tabel 4.5. Rencana Belanja vs. Realisasi di Aceh, 2002–03 59
Tabel 5.1. Perbandingan cakupan imunisasi (%) 69
Tabel 5.2 Pengeluaran kesehatan rata-rata bulanan rumah tangga di seluruh kuintil pendapatan (%) 70
Tabel 5.3. Belanja kesehatan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, 2005 72
Tabel 5.4. Kualifi kasi Guru di Provinsi Aceh, Tahun 2005–06 (%) 78
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIFxii
Tabel 5.5. Jumlah sekolah yang hancur per kabupaten, tahun 1998–Juni 2003 80
Tabel 5.6 Belanja pendidikan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, tahun 2005 (harga konstan 2006)
84
Tabel 5.7. Alokasi sumber daya dana pendidikan (belanja riil, Rp Milyar) 86
Tabel 5.8. Perincian belanja provinsi, tahun 2002–06 86
Tabel 5.9. Tingkat partisipasi pendidikan per kuintil penghasilan, tahun 2004 87
Tabel 5.10 Indikator infrastruktur Aceh dibandingkan dengan rata-rata nasional, beberapa tahun (%) 89
Tabel 5.11. Jaringan jalan di Aceh, 2004 90
Tabel 5.12. Belanja prasarana Aceh: Provinsi vs. Kab/Kota, 2001–05 (harga konstan tahun 2006) 91
Tabel 6.1. Hasil survei PFM di 9 lokasi di Aceh (%) 100
Tabel 6.2. Tingkat pendidikan pegawai pemerintah di Aceh, 2003 (%) 101
Tabel 6.3. Bagian investasi modal untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan, 2003–06 103
Tabel 6.4. Belanja untuk mengembangkan sumber daya manusia dari total anggaran pemerintah kabupaten/kota, 2003–06 (%)
103
9
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIF xiii
Ringkasan Eksekutif
Sejak tahun 1999, sumber daya fi skal Aceh telah meningkat tajam. Setelah desentralisasi dan otonomi khusus, jumlah anggaran yang dikelola langsung oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Aceh naik beberapa kali lipat. Di samping itu, setelah terjadinya bencana tsunami bulan Desember 2004, Aceh menerima bantuan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional. Pada tahun 2006, total dana yang mengalir ke Aceh diperkirakan sebesar Rp 28,5 triliun (AS$3,1 milyar). Sebagian besar sumber daya ini berasal dari program rekonstruksi (Rp. 16,4 triliun). Belanja daerah juga meningkat pesat dan diperkirakan akan mencapai Rp. 12,2 triliun pada tahun 2006 (gambar 1).
Gambar 1. Sumber daya fi skal Aceh menunjukkan peningkatan tajam, 1999–2006
3.22.6 2.9
1.8
6.1 8.3
1.0
16.4
0
5
10
15
20
25
30
1999 2002 2006
Triliu
n R
upia
h
Dekonsentrasi Provinsi Kab/Kota Anggaran rekonstruksi
Anggaran rekonstruksi
0.6
1.5
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia (harga konstan 2006) berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BRR.
Dengan kekayaan ini, Aceh memiliki kesempatan untuk mengurangi tingkat kemiskinannya dan memperbaiki pelayanan publik. Aceh adalah provinsi terkaya ketiga dari segi pendapatan per kapita setelah Papua dan Kalimantan Timur (gambar 2). Pendapatan Aceh tercatat dua kali angka rata-rata nasional dan peringkat relatifnya terhadap provinsi lain akan semakin kuat dengan pelaksanaan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA No. 11/2006) yang baru pada tahun 2008.
Gambar 2. Aceh memiliki pendapatan per kapita tertinggi ketiga
-
1
2
3
4
Pap
ua
Kaltim
NA
D
Riau
Kalteng
Maluku
Go
rontalo
Bang
ka Belitung
Jamb
i
Sulteng
Bali
Kalsel
NT
T
Sulut
Sum
bar
Beng
kulu
Sulsel
DI Yo
gyakarta
Sum
sel
Sum
ut
NT
B
Lamp
ung
Jatim
Jateng
Banten
Jabar
Juta
Rup
iah
Provinsi Kab/kota
Aceh
Sumber: SIKD/Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan APBD 2004.
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIFxiv
Pada saat yang sama, Aceh masih merupakan provinsi termiskin keempat di Indonesia (gambar 3). Pada tahun 2004 diperkirakan 1,2 juta penduduk Aceh (28,5 persen total penduduk) hidup di bawah garis kemiskinan (Rp 130.000 atau sekitar AS$14 per kapita per bulan). Dengan demikian, tingkat kemiskinan di Aceh hampir dua kali lipat tingkat kemiskinan rata-rata Indonesia (16,7 persen). Sebesar 13 persen penduduk Aceh lainnya menjadi rentan terhadap kemiskinan setelah bencana tsunami.
Gambar 3. Aceh menduduki peringkat keempat termiskin, dan kemungkinan menjadi lebih tinggi setelah tsunami
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Pro
v. P
apua
Pro
v. M
aluk
u
Pro
v. G
oro
ntal
o
Pro
v. N
AD
Pro
v. N
TT
Pro
v. N
TB
Pro
v. B
eng
kulu
Pro
v. L
amp
ung
Pro
v. S
ulte
ngg
Pro
v. S
ulte
ng
Pro
v. J
awa
Ten
gah
Pro
v. S
umse
l
Pro
v. J
awa
Tim
ur
Pro
v. D
IY
Ave
rag
e
Pro
v. S
umut
Pro
v. S
ulse
l
Pro
v. K
alb
ar
Pro
v. J
amb
i
Pro
v. M
aluk
u U
tara
Pro
v. J
awa
Bar
at
Pro
v. R
iau
Pro
v. K
altim
Pro
v. S
umb
ar
Pro
v. K
alte
ng
Pro
v. B
ang
ka B
elitu
ng
Pro
v. S
ulaw
esi U
tara
Pro
v. B
ante
n
Pro
v. K
alse
l
Pro
v. B
ali
Pro
v. D
KI J
akar
ta
Rentan terhadap kemiskinan pasca tsunami
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS, 2004.
Pelaksanaan Nota Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, memberikan kesempatan baru untuk membangun Aceh yang lebih baik serta memberikan layanan ke daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik. Konfl ik 30 tahun antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memakan korban sekitar 15.000 jiwa, membuat ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal dan menyebabkan kerusakan prasarana dan sarana umum maupun swasta. Konfl ik juga menghalangi penyediaan pelayanan publik dasar di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak konfl ik. Pelaksanaan Kesepakatan Helsinki sejauh ini berjalan sesuai rencana dan memberi kesempatan bagi Aceh untuk membangun kembali masyarakat yang damai dan meraih kemakmuran ekonomi.
Penerimaan Dan Pengeluaran
Selama 6 tahun terakhir, Aceh telah menerima arus masuk pendapatan daerah yang belum pernah terjadi sebelumnya, di samping program rekonstruksi terbesar di dunia berkembang. Tingkat sumber daya keuangan Aceh yang tinggi itu tidak akan berubah dalam tahun-tahun mendatang, dan justru akan meningkat. Ada tiga faktor penyebab kenaikan tersebut:
1. Aceh merupakan salah satu daerah penerima utama manfaat desentralisasi. Sejak tahun 1999, pendapatan daerah Aceh, yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan daerah, meningkat dari Rp 2,4 triliun pada tahun 1999 menjadi 11,2 triliun di tahun 2006. Ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan yang luar biasa ini, termasuk pengalihan tanggung jawab pemerintahan pada tahun 2001, pemberlakuan status otonomi khusus Aceh tahun 2002, dan kenaikan tajam pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun 2006.
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIF xv
2. Antara tahun 2005–2009, pembelanjaan untuk rekonstruksi akan nyaris melipatgandakan angka belanja daerah Aceh. Portofolio rekonstruksi total adalah kurang lebih Rp 45 triliun, yang terdiri dari sekitar 1500 proyek yang tengah dijalankan oleh lebih dari 250 institusi. Total pembelanjaan untuk upaya rekonstruksi diperkirakan akan melebihi 70 triliun rupiah pada tahun 2009.
3. Mulai tahun 2008, undang-undang Pemerintahan Aceh yang baru (UU No. 11/2006) akan mengalokasikan tambahan dana sebesar 4 triliun rupiah melalui dana otonomi khusus (otsus) yang akan mencapai total 5 triliun rupiah pada tahun 2011. dengan menurunnya pendapatan dari migas, dana otsus kemungkinan akan menjadi sumber terpenting kedua dari pendapatan Aceh, yang arti pentingnya kurang lebih sama dengan dana otsus di Papua.
Dana rehabilitasi dan rekonstruksi memberi Aceh peluang untuk membangun kembali provinsi yang lebih baik. Kerusakan fi sik dan kerugian yang disebabkan oleh bencana tsunami dan gempa bumi di Nias (28 Maret 2005) diperkirakan bernilai AS$ 4,9 milyar, yang masih perlu ditambahkan paling tidak AS$ 1,2 milyar lagi karena faktor infl asi. Pada bulan Juni 2006, proyek dan program senilai AS$ 4,9 milyar telah dialokasikan untuk upaya rekonstruksi. Sebesar AS$ 3,1 milyar lagi telah dijanjikan, sehingga nilai total program rekonstruksi menjadi AS$ 8 milyar. Dengan dana tambahan ini, Aceh dan Nias akan memperoleh kesempatan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dan melakukan investasi dalam proyek dan program-program yang memiliki dampak jangka panjang pada perekonomian dan kehidupannya (gambar 4).
Gambar 4. Kebutuhan dan komitmen untuk rekonstruksi (milyar AS$, akhir Juni 2006)
GOI (1.2 )
Penilaian KehilanganDan Kerusakan
(4.5) NGOs (1.7 )
NIAS (0.4 )
DONORS (2.0 )
Inflasi (1.2)GOI ( 1.5)
- Peningkatan fasilitas di wilayahterkena tsunami dan gempa bumi
- Reintegrasi pasca konflikdan program pembangunan NGOs (0.4 )
pinjaman lunak (0.7)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kebutuhan Program
Mily
ar U
SD
Komitmentnamun belumdilakukan(3.1)
Telah dialokasikan kedalamproyektertentu(4.9)
Membangun Kembali(6.1)
Membangun kembali lebih baik(1.9)
hibah(0.5)DONORS
Sumber: BRR/perkiraan staf Bank Dunia.
Pendapatan daerah Aceh akan semakin meningkat. Undang-undang baru Aceh menetapkan kembali penyediaan dana otsus. Dengan dana tersebut, pendapatan Aceh diperkirakan akan meningkat dari 11,2 triliun rupiah menjadi hampir 16,7 triliun rupiah pada tahun 2011 (gambar 5). Dana otsus dan alokasi DAU yang lebih tinggi hingga tahun 2028 akan lebih dari cukup untuk menutupi berkurangnya dana dari sumber daya alam karena menipisnya cadangan minyak dan gas bumi. Alokasi sumber daya yang besar untuk 20 tahun ke depan tersebut kiranya dapat dimanfaatkan untuk menyediakan layanan yang lebih baik serta menciptakan sektor produksi yang lebih kuat.
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIFxvi
Gambar 5. Undang-undang Pemerintah Aceh yang baru memberikan tambahan pendapatan yang besar untuk Aceh meski produksi gas menurun
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Triliu
n R
upia
h (h
arga
kon
stan
200
6)
Total penerimaan dengan dana otsus ($60/brl) Total penerimaan tanpa dana otsus ($60/brl)
Tambahan Pendapatan dari UUPA no. 11/2006
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu..
Karena besarnya sumber daya keuangan yang masuk setelah desentralisasi, pembelanjaan daerah pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota juga telah meningkat tajam. Pemerintah daerah Aceh rata-rata telah mengelola lebih dari 2/3 total pembelanjaan publik. Sebelum desentralisasi, hampir 60 persen pembelanjaan dilakukan oleh pemerintah pusat, sehingga peran pemerintah daerah untuk memberikan layanan dan pembangunan daerah menjadi terbatas. Meningkatnya biaya administratif sebagai akibat dari pertambahan jumlah kabupaten/kota di Aceh menghabiskan sumber daya daerah tambahan dengan porsi yang tidak sebanding. Pembelanjaan rutin kini menjadi 60 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah kabupaten/kota.
Pelayanan Publik
Aceh memiliki sumber daya untuk memerangi kemiskinan, namun masih belum mencapai banyak kemajuan. Sayangnya, begitu pendapatan Aceh mulai meningkat tajam pada tahun 2001, tingkat kemiskinannya belum berubah, tetap 30 persen meski daerah lain mengalami penurunan drastis hingga di bawah 20 persen. Konfl ik yang semakin parah pada tahun 2001 dan 2002 turut menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan ini. Di dalam wilayah Aceh, daerah-daerah yang memiliki pendapatan tinggi tidak terbebas dari kemiskinan. Aceh Utara, daerah penghasil minyak dan gas bumi dan sangat terimbas konfl ik, adalah kasus yang paling ekstrim. Kabupaten ini memiliki sumber daya fi skal terbesar dan juga memiliki salah satu tingkat kemiskinan yang tertinggi.
Aceh bukan hanya memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi tetapi juga layanan masyarakat yang sangat buruk. Dalam bidang kesehatan dan pendidikan, masalah struktural jangka panjang yang sangat menonjol mengalahkan tantangan jangka pendek pasca tsunami. Rekonstruksi telah berjalan dengan baik dalam sektor-sektor ini. Sebagian besar fasilitas sekolah telah direhabilitasi atau sedang direkonstruksi. Meskipun demikian, kurang dari separuh fasilitas sekolah dasar terpelihara dengan baik, dan sebagian besar guru tidak memiliki kualifi kasi yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Banyak bidan dan guru yang pindah dari daerah pedesaan yang kurang aman ke perkotaan, sehingga salah satu tantangan utama adalah memberikan insentif bagi mereka agar mau kembali ke daerah terpencil.
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIF xvii
Kesehatan
Pembelanjaan pemerintah daerah untuk kesehatan praktis tidak naik sejak tahun 2002. Proporsi pembelanjaan kesehatan yang dikeluarkan untuk gaji terus naik. Aceh termasuk provinsi yang memiliki jumlah dokter dan juru rawat yang terbanyak di Indonesia dan sejumlah besar fasilitas perawatan kesehatan. Meskipun demikian, stafnya sering kali tidak hadir, pasokan listrik tidak dapat diandalkan, aliran air langka, dan obat-obatan yang diperlukan tidak tersedia. Anggaran untuk biaya operasional non-gaji sangat rendah, hingga memperburuk layanan kesehatan yang sudah kurang. Fokus pemerintah adalah memperbaiki atau membangun fasilitas, antara lain karena semakin banyaknya kabupaten yang ingin membangun fasilitas baru, meski beberapa fasilitas terlalu jarang digunakan untuk bisa dipertahankan.
Pendidikan
Aceh memiliki jumlah guru yang cukup, namun kesenjangan antar daerah tetap sangat besar. Para guru lebih menyukai daerah perkotaan daripada pedesaan, sehingga menimbulkan kesenjangan yang serius di daerah pedesaan. Dari pada menambah jumlah guru, pemerintah daerah sebaiknya mengembangkan sistem insentif dan sanksi yang sesuai yang akan memberikan pendidikan bermutu yang terjangkau oleh semua rakyat Aceh. Meskipun pembelanjaan daerah untuk pendidikan meningkat 4 kali lipat pada tahun 2002, sejak itu alokasi untuk anggaran pendidikan menunjukkan penurunan. Sebagian besar dana itu dihabiskan untuk pembelanjaan pendidikan rutin. Buruknya kondisi fasilitas pendidikan dan kurangnya perlengkapan dan materi yang tersedia di sekolah menjadi masalah utama. Aceh memiliki angka pembelanjaan pendidikan per kapita tertinggi di Indonesia (Rp 457.000 dibandingkan angka rata-rata nasional yaitu Rp 196.000), sehingga fokus pada mutu semakin mendesak.
Infrastruktur
Bencana tsunami tahun 2005 memperparah kesulitan dalam bidang infrastruktur yang sudah lama ada. Namun di beberapa subsektor, pencapaian Aceh sudah hampir setara dengan rata-rata nasional. Angka sambungan listrik rumah tangga dan kepadatan jalan lebih tinggi dari rata-rata nasional, tetapi sambungan air rumah tangga, sanitasi pribadi dan infrastruktur irigasi jauh di bawah rata-rata nasional. Dua per tiga rumah tangga di Aceh sudah mendapat sambungan listrik, tetapi pasokan sering terputus di banyak daerah di provinsi ini.
Pembelanjaan untuk infrastruktur meningkat dengan signifi kan setelah desentralisasi tetapi menurun sejak 2002. Gaji menghabiskan sebagian besar pembelanjaan rutin anggaran infrastruktur, sementara pengeluaran operasional dan pemeliharaan hanya memiliki porsi yang sangat kecil. Setelah tsunami, banyak pemerintah daerah yang semakin mengurangi investasi infrastrukturnya dengan harapan pemerintah pusat, donor dan NGO akan mengambil alih proyek rekonstruksi.
Kapasitas Pemerintah Daerah untuk Mengelola Keuangan Daerah
Pada tahun-tahun belakangan ini, peran, tanggung jawab dan beban kerja pemerintah daerah telah meningkat tajam. Meskipun demikian, kombinasi keterampilan dan insentif bagi para pejabat dan pegawai daerah untuk melaksanakan tugas-tugas mereka belum disetarakan dengan tanggung jawab mereka yang bertambah. Survei Pengelolaan Keuangan Publik di 9 kabupaten menunjukkan bahwa kemampuan rata-rata pemerintah daerah setempat tidak cukup untuk mengemban tugas-tugas baru ini (gambar 6). Di beberapa kabupaten, terutama Nagan Raya dan Aceh Jaya, kapasitas pengelolaan keuangan daerah sangat rendah.
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIFxviii
Gambar 6. Pemerintah daerah memiliki kemampuan pengelolaan keuangan publik yang lemah
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pengadaan PemeriksaanInternal
PengelolaanAset
PengelolaanKas
Pembukuan& Pelaporan
Perencanaan &Penyusunan
Anggaran
KerangkaPeraturanDaerah
EksternalAudit
Hutang Publik &Investasi
Sumber: Survei Pengelolaan Keuangan Publik, skor rata-rata untuk 9 kabupaten/kota yang disurvei, 2006.
Sebagian besar pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam mengelola arus dana yang bertambah. Sejak desentralisasi, pembelanjaan personil telah melebihi investasi modal untuk pelayanan publik. Pembelanjaan pembangunan dipusatkan pada aparat pemerintah, hingga merugikan bidang-bidang lain di mana dana itu jauh lebih dibutuhkan. Bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan yang teridentifi kasi, pemerintah daerah hanya menghabiskan sedikit dana untuk pelatihan, sementara sebagian besar investasi modalnya adalah untuk bangunan, kendaraan dan perlengkapan. Alokasi dana untuk administrasi umum perlu diteliti. Reorientasi pembelanjaan menuju pengembangan kapasitas staf yang sudah ada amat sangat diperlukan.
Agenda Pelaksanaan
Para penyusun kebijakan di Aceh dapat mengadakan banyak perubahan agar dapat mengelola sumber dayanya yang sangat besar dengan lebih baik. Ketiga reformasi yang terpenting berkaitan dengan (a) perbaikan alokasi sumber daya, (b) perbaikan pengelolaan sumber daya, dan (c) perbaikan analisis data untuk memberikan informasi terhadap alokasi dan pengelolaan sumber daya.
1. Perbaikan Alokasi Sumber Daya
Pembelanjaan untuk pembangunan perlu ditingkatkan, bukan dikurangi. Sumber daya pemerintah provinsi dan daerah yang melimpah adalah kunci untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Aceh. Pemerintah provinsi dan daerah Aceh termasuk daerah yang memperoleh manfaat utama desentralisasi dan otonomi khusus. Meskipun demikian, pemerintah daerah masih belum terjun sepenuhnya untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyat Aceh. Di tahun 2005, sebagian besar pemerintah daerah memangkas porsi pembelanjaan pembangunan mereka sebagai respon atas tambahan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan para donor.
Pembelanjaan untuk aparat pemerintah terlalu tinggi. Pemerintah daerah menghabiskan sebagian besar anggaran daerahnya untuk belanja pegawai, sehingga merugikan pembelanjaan untuk pembangunan. Pembelanjaan untuk aparat pemerintah terus naik, bahkan setelah pertambahan jumlah kabupaten/kota mulai stabil. Kecenderungan ini harus diteliti. Tidak ada indikasi bahwa tambahan pembelanjaan untuk aparat pemerintah telah menghasilkan pengelolaan sumber daya fi skal yang lebih baik. Pembelanjaan publik harus diperuntukkan bagi
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIF xix
kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan yang dapat memperbaiki pemberian layanan dan kesejahteraan sosial serta menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang, bukan aparatur.
Pembelanjaan di masa mendatang oleh pemerintah pusat untuk fungsi-fungsi yang telah didesentralisasi hendaknya dikurangi. Tanpa menyertakan pendanaan untuk rekonstruksi sekalipun, pemerintah pusat masih memberikan kontribusi lebih dari 30 persen investasi di Aceh. Sebagian besar investasi ini adalah untuk fungsi-fungsi yang telah terdesentralisasi. Pembelanjaan pemerintah pusat dapat diarahkan dengan baik melalui dana alokasi khusus (DAK). Yang dapat dijadikan fokus antara lain daerah yang tertinggal, kegiatan yang menjadi prioritas nasional, serta kegiatan yang memiliki skala ekonomi yang besar.
Keputusan (re-)alokasi strategis yang terkait dengan dana rekonstruksi harus diambil sekarang. Pada bulan Juni 2006, dana rekonstruksi yang dialokasikan adalah AS$ 4,9 milyar. Pada tahap rekonstruksi yang masih cukup awal ini, sumber utama dana skala besar yang masih dapat diprogram telah terbatas. Kesenjangan keuangan yang tersisa harus segera diatasi. BRR memiliki jumlah dana fl eksibel yang terbesar untuk mengatasi kesenjangan ini. Kesenjangan tersebut paling mencolok dalam bidang transportasi serta di kawasan-kawasan di selatan Meulaboh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan), di sekitar Lhokseumawe (Aceh Timur, Aceh Tamiang) dan Nias.
2. Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya
Kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola keuangannya perlu ditingkatkan. Menurut survei Pengelolaan Keuangan Publik, kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya fi skal termasuk paling rendah di bidang perencanaan dan penyusunan anggaran, pembukuan dan pelaporan, audit eksternal, pengelolaan hutang publik, dan investasi. Selain itu, ada kesenjangan yang mencolok dalam hal kemampuan pemerintah daerah di berbagai kabupaten. Untuk beberapa indikator, ada beberapa kabupaten yang ternyata memiliki tingkat kemampuan yang sangat rendah. Jika ingin memberikan manfaat kepada rakyat Aceh dari sumber daya keuangan yang bertambah di kawasan ini, masalah kurangnya kapasitas harus segera ditangani.
Proses perencanaan dan penyusunan anggaran pemerintah daerah memerlukan perbaikan yang signifi kan. Sebagian besar pemerintah daerah sangat terlambat melakukan pengesahan anggarannya, seringkali sampai enam bulan setelah tahun anggaran berjalan. Penundaan ini membuat pelaksanaan proyek menjadi tertunda. Untuk mulai melaksanakan proyeknya pada permulaan setiap tahun anggaran, pemerintah daerah harus mempercepat proses pengesahan anggarannya. Selain itu, anggaran yang ada seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, terutama dalam sektor pendidikan dan kesehatan.
3. Perbaikan Kualitas Data
Ada kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki pengumpulan dan pengolahan data. Kurangnya data dan rendahnya kualitas membuat penyusunan program dan anggaran sangat sulit. Data yang akurat juga diperlukan untuk penyusunan kebijakan, pemantauan dan evaluasi yang berdasarkan bukti. Pengumpulan dan pengolahan data hendaknya digabungkan dengan identifi kasi indikator yang sesuai, yang pada gilirannya dapat memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan dan program.
Untuk pemantauan rekonstruksi, sistem pemantauan padat karya telah terbukti lebih unggul dari sistem informasi teknologi tinggi dengan sistim pemasukan data sendiri (self entry). Sistem informasi Recovery Aceh-Nias (RAN) Database belum memberikan hasil yang berarti, termasuk dalam hal janji utamanya yaitu melacak uang. Alasan utamanya adalah lemahnya metodologi untuk mengkategorisasikan dana, terbatasnya kendali mutu dan analisis data, dan sistem IT yang terlalu canggih hingga sulit memasukkan dan mencari data inti. Satu-satunya sistem pelacakan yang dapat digunakan memiliki pendekatan yang jauh lebih “berteknologi rendah,” yang didasarkan pada tindak lanjut sistematis dengan instansi-instansi utama digabungkan dengan penekanan yang kuat pada analisis data.
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
RINGKASAN EKSEKUTIFxx
1Kondisi Ekonomi dan Sosial di Aceh
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH2
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Konteks Sejarah
Provinsi Aceh, yang sebelumnya dikenal sebagai Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terletak di ujung utara pulau Sumatera. Aceh dikelilingi oleh jalur perdagangan penting yaitu Selat Malaka di utara dan timur, Provinsi Sumatera Utara di selatan, dan Samudera Hindia di barat. Provinsi ini meliputi daerah seluas 57.365 km2 dan berpenduduk kurang lebih 4 juta jiwa. Saat ini Aceh terdiri dari 17 kabupaten dan 4 kota. Ibu kotanya adalah Banda Aceh.
Agama Islam sudah masuk ke Aceh pada abad ke-9 dan tetap merupakan agama yang paling dominan. Sekitar 98,7 persen penduduk Aceh adalah pemeluk agama Islam (BPS 2002). Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah negeri perdagangan Aceh yang kuat. Pada tahun 1300-an, kerajaan besar Samudra Pasai, yang terletak dekat Lhokseumawe sekarang, terkenal sebagai pusat perdagangan dan studi agama Islam. Karena kedudukannya sebagai pusat pembelajaran agama Islam, Aceh diberi julukan Serambi Mekah. Syariah Islam telah digunakan sebagai dasar hukum kerajaan-kerajaan di Aceh dan dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Aceh.
Kerajaan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan mulai meraih ketenaran setelah penaklukan Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511. Zaman keemasan kerajaan ini datang pada awal abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yang menjadikan Aceh salah satu kekuatan militer dan perdagangan yang paling penting di kawasan ini. Pada tahun 1820, Aceh adalah pemasok separuh cadangan lada dunia. Kerajaan yang kuat dan kaya ini memelihara hubungan dengan kekuatan-kekuatan asing termasuk Kekaisaran Ottoman, Perancis, Inggris Raya dan Amerika Serikat. Ketika Belanda bermaksud menguasai Aceh pada tahun 1874, rakyat Aceh memulai perang gerilya yang berlanjut sampai tahun 1912.
Tidak diduduki setelah Perang Dunia II, Aceh memainkan peranan penting dalam memberikan dukungan dana kepada pemerintah republik Indonesia selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebagai pengakuan atas jasanya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, Aceh dijadikan daerah otonomi pada tahun 1949. Selama sisa masa pemerintahan Soekarno, daerah ini bergolak. Pada tahun 1950, daerah yang baru memperoleh status otonomi ini dimasukkan ke provinsi Sumatera Utara hingga pecah pemberontakan pertama Aceh. Dipimpin oleh Daud Beureueh, pemberontakan ini menyebabkan penetapan kembali Aceh sebagai provinsi (1957) dan status daerah otonomi pada tahun 1959. Namun otonomi yang lebih besar tidak melindungi Aceh dari kemerostan ekonomi yang parah pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, kondisi di Aceh tidak membaik.1 Kekayaan sumber daya alam di satu pihak dan kemiskinan yang berlanjut di pihak lain membuat rakyat Aceh semakin merasa diperlakukan tidak sama oleh pemerintah pusat. Pemerintah tidak menyikapi ketidakseimbangan sosial dan ekonomi yang berlarut-larut itu, dan suatu gerakan pemberontakan/separatis lain yang dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun dimulai pada tahun 1976 di bawah kepemimpinan Hasan Tiro. Pergulatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM ini berlanjut sampai tahun 2005.
Sebagai bagian untuk merespon perkembangan ini, di samping desentralisasi di tingkat nasional, Aceh memperoleh status Otonomi Khusus berdasarkan Undang-undang No. 18/2001. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menyikapi masalah-masalah penting yang berkaitan dengan ketidaksetaraan dan keadaan ekonomi yang buruk di Aceh serta menawarkan otonomi yang lebih besar kepada Aceh untuk mengelola sumber daya dan fungsi-fungsi pemerintahannya. Tiga poin utama otonomi khusus Aceh adalah:
1. Porsi pendapatan yang diperoleh dari minyak dan gas yang lebih besar 2. Pemilihan langsung gubernur dan kepala pemerintah daerah (bupati/walikota) 2
3. Pemberlakuan Syariah Islam.
Nota kesepahaman (MOU) Helsinki 2005 adalah upaya terbaru untuk mengakhiri konfl ik 30 tahun ini. MOU ini menawarkan peluang yang sangat besar bagi rakyat Aceh untuk memperbaiki kinerja ekonomi
1 Orde Baru adalah masa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto antara tahun 1966–98.
2 Ini diposisikan sebagai pemilu langsung pertama pada tingkat daerah di Indonesia sebelum disahkannya UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pemilihan langsung kepala pemerintahan daerah akan dilaksanakan secara nasional.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 3
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
masyarakatnya, mencapai taraf hidup yang lebih baik, dan beralih menuju sistem pemerintahan yang baik. Butir utama dari kesepakatan ini adalah bahwa Aceh diperbolehkan membentuk partai politik lokal yang sejalan dengan peraturan di tingkat nasional. Pemerintah pusat juga menyanggupi untuk memberikan porsi pendapatan yang lebih besar dari sumber daya alam dan alokasi khusus dari DAU (Kotak 1). UU No. 11/2006 yang menetapkan ketentuan ini disahkan pada bulan Agustus 2006. Pengaturan fi skal berdasarkan undang-undang yang lama dan yang baru diberikan pada Tabel 1.1.
Kotak 1. Poin utama Undang-undang Pemerintahan Aceh, UU 11/2006
Pemerintahan/PolitikHak menggunakan simbol-simbol daerah termasuk bendera, lambang dan lagu kebangsaanHak membentuk partai politik lokalPerlindungan kebudayaan lokal dan pembentukan Wali Nanggroe
Fiskal/EkonomiHak memperoleh 70 persen pendapatan dari migas, hidrokarbon dan sumber-sumber daya alam lainnyaPengelolaan bersama sumber daya migas antara pemerintah provinsi dan pusat, dan transparansi alokasi bagi hasil, yang diaudit oleh auditor independenTambahan pendapatan dari 2 persen alokasi DAU nasional selama 15 tahun dan 1 persen untuk 5 tahun berikutnya.
•••
•
•
•
Tabel 1.1. Evolusi pengaturan fi skal antar-pemerintah untuk Aceh
Bagi hasilUU 33/2004
(alokasi nasional)
UU 18/2001 (Otonomi Khusus)
UU 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh
Pusat Provinsi Pusat Provinsi Pusat Provinsi
Bagi hasil pajak
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 90 10 90 10 90
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 20 80 20 80 20 80
Pajak Penghasilan (PPh) 80 20 80 20 80 20
Bagi hasil non-Pajak
Kehutanan 20 80 20 80 20 80
Pertambangan 20 80 20 80 20 80
Perikanan 20 80 20 80 20 80
Panas bumi 20 80 20 80 20 80
Pendapatan bersih minyak bumi (non-pajak) 85 15 30 70 30 70
LNG (non-pajak) 70 30 30 70 30 70
Dana otonomi khusus (tambahan pendapatan dari total alokasi DAU, 2% selama 15 tahun dan 1% selama 5 tahun)
2
Sumber: UU No. 18/2001, UU No. 33/2004, dan UU No. 11/2006.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH4
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Konfl ik dan Dampaknya terhadap Pembangunan
Dampak dan biaya konfl ik
Konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia terjadi dalam beberapa tahap. Tahap pertama tidak menimbulkan dampak yang berarti di Aceh, dan GAM masih memiliki kekuatan politik atau militer yang sedikit. Saat timbulnya kembali konfl ik pada tahun 1989, GAM sudah lebih terlatih dan bersenjata lebih baik. Sebagai respon, pemerintah menyatakan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Perubahan ini mengakibatkan dikirimnya pasukan tentara dan polisi dalam jumlah yang besar. Pasukan ini tetap berada di provinsi ini sampai ditarik kembali pada akhir tahun 2005 sebagai hasil dari MOU. Fasa terakhir adalah yang paling parah. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta menyebar bahkan sampai ke daerah perkotaan. Dari tahun 1999 sampai penandatanganan kesepakatan damai pada tahun 2005, kontak senjata antara GAM dan militer sering terjadi (Tabel 1.2). Sebuah studi Bank Dunia yang didasarkan pada pemantauan konfl ik dan surat kabar-surat kabar menunjukkan bahwa meskipun kontak antara GAM dan militer berkurang setelah tsunami, perang terus berlanjut.3 Banyak pakar dan pengamat Aceh sependapat bahwa konfl ik ini didorong terutama oleh dua masalah, yaitu hubungan pusat-daerah yang sulit antara Jakarta dan Aceh, dan perasaan dikucilkan atau dieksploitasi dalam hal pemanfaatan sumber daya alamnya.
Tabel 1.2. Tahapan konfl ik dan korban jiwa
Tahapan I: 1976–1979 II: 1989–1991 III:1999–2005
Peristiwa utama
Berdirinya GAM
DOMJeda
kemanusiaan: 2000–01
COHA: Des 2002–May
2003
Darurat militer/ keadaan daruratMei 2003 – Mei
2005
MoU Aug. 2005
Korban 100 2,000–10,000 5,000
Kekuatan GAM
25–200 200–750 15,0 00–27,000
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: COHA = Cessation of Hostilities Framework Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan)
Tidak diragukan lagi, konfl ik memiliki pengaruh yang kuat di Aceh. Meskipun demikian, ukuran yang akurat mengenai biaya dan dampak konfl ik Aceh sulit diperkirakan. Pada umumnya, data tidak disimpan secara sistematis, dan banyak yang hilang akibat tsunami. Di antara informasi yang tersedia, keakuratan pun dapat menjadi masalah. Meskipun demikian, artikel di media dan wawancara yang diadakan dalam studi-studi terdahulu cukup memberikan gambaran mengenai dampak dan biaya konfl ik. Dampak dan biaya tersebut dapat digolongkan ke dalam lima kategori, yaitu (1) korban jiwa, (2) dampak sosial, (3) tidak adanya pemerintah yang berjalan, (4) dampak ekonomi, dan (5) dampak fi skal operasi militer.
1. Korban jiwa. Dampak terbesar konfl ik ini adalah korban jiwa yang jatuh. Jumlahnya diperkirakan sekitar 15.000 orang selama jangka waktu 30 tahun. Organisasi hak asasi manusia dan surat kabar secara rutin melaporkan adanya korban konfl ik bahkan selama masa Kesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA).
2. Dampak sosial. Konfl ik yang berkepanjangan ini memperparah dampak negatif krisis moneter tahun 1997 terhadap tingkat kemiskinan di Aceh. Sementara daerah-daerah lain lambat laun mulai pulih dari krisis tersebut, keadaan di Aceh justru semakin buruk. Tingkat kemiskinan naik hampir dua kali lipat dari 14,8 persen pada tahun 1999 menjadi 29,8 persen pada tahun 2002.
Sistem pendidikan menjadi sasaran dan tujuan khusus. Sekolah sering digunakan militer sebagai barak
3 Barron dan Daud 2005.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 5
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
sementara dalam upaya memburu GAM, dan militer mengklaim bahwa GAM juga menggunakan sekolah-sekolah sebagai pangkalan sementara. Menurut perkiraan sementara pihak, antara tahun 1998-2002 ada 60 guru yang tewas dan 200 guru diserang. Dalam tahun-tahun DOM dan darurat militer, 57 sekolah dan 122 rumah dinas guru dibakar atau dihancurkan. Selama setengah tahun pertama 2003, sekitar 880 sekolah dilaporkan hancur atau rusak.4 Akibatnya, sistem pendidikan di sebagian besar wilayah Aceh praktis terhenti.
3. Tidak adanya pemerintahan yang berjalan. Pada masa puncak kekuatan GAM, cukup luas wilayah Aceh yang berada di bawah pengaruh atau kendali GAM. Strategi GAM adalah melumpuhkan pemerintah setempat dan menggantikan lembaga-lembaga ini dengan lembaga GAM/Aceh. GAM konon telah menjalankan berbagai fungsi pemerintahan di banyak daerah, seperti menarik pajak, menyelenggarakan dan mendaftarkan akad nikah, dan mengeluarkan perijinan. Pernyataan dari pemerintah maupun GAM menunjukkan bahwa pada puncak fasa ketiga GAM, pemerintah daerah sempat lumpuh di beberapa bagian Aceh. Paling tidak di basis GAM di bagian-bagian Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, pemerintah setempat nyaris tidak berjalan. Pegawai pemerintah tidak masuk kerja karena takut diserang. Pada tahun 2001, Gubernur Aceh konon mengatakan bahwa sampai pertengahan 2001 baru seperenam anggaran Aceh untuk tahun tersebut telah dibelanjakan, karena konfl ik – dan sebagian besar digunakan untuk penegakan hukum.5
4. Dampak ekonomi. Dampaknya terhadap perekonomian provinsi sangatlah besar, yaitu perekonomian secara keseluruhan mandek. Selama fasa terakhir konfl ik, kesulitan ekonomi meningkat dengan memburuknya situasi keamanan. Investor mundur, dan tempat-tempat usaha, terutama di sekitar ladang gas, tutup atau mengurangi produksi. Di Aceh Timur dan Aceh Utara, perkebunan kelapa sawit menghentikan operasinya pada tahun 2003.6 Para nelayan dilarang melaut tanpa ijin dari pemerintah. Tahun 1990, Aceh memberikan kontribusi 3,6 persen kepada PDB Indonesia. Kontribusi ini anjlok menjadi 2,2 persen di tahun 2001 di masa puncak konfl ik, terutama karena berkurangnya kontribusi dari ladang minyak dan gas bumi.
5. Dampak fi skal operasi militer. Beberapa penuturan mengenai konfl ik menunjukkan adanya pembelanjaan anggaran yang besar oleh pemerintah, terutama selama tahun-tahun darurat militer. Beberapa minggu sebelum pembicaraan antara Pemerintah Indonesia dan GAM terhenti, dari hanya 6000 tentara pada awal tahun 1990an, kekuatan angkatan darat di Aceh telah ditambah menjadi sekitar 30.000 orang dan polisi menjadi 12.000 orang. Rasio personil militer terhadap penduduk naik dari 1:570 pada awal 1990-an menjadi 1:80, atau 12,5 orang untuk setiap 1,000 orang penduduk pada puncak konfl ik. Rasio nasional adalah 1:1000. Data jumlah tentara yang ditarik setelah MOU mengisyaratkan bahwa pada saat perjanjian damai ada lebih dari 50.000 orang tentara dan polisi di Aceh.
Pemerintah membiayai operasi tersebut sebagian besar dari dana pemerintah pusat. Dana provinsi digunakan untuk menambah sumber daya pemerintah nasional serta membiayai kebutuhan kesejahteraan sosial (penampungan sementara, makanan, untuk kaum pengungsi). Antara tahun 2002-2005, ada sekitar 55.000 orang yang mendapat bantuan dari pemerintah dalam bentuk diyat sebagai korban konfl ik. Pemerintah membelanjakan hampir AS$ 12 juta untuk menutupi pengeluaran ini. Pada bulan Februari 2006, Pemerintah Aceh membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA). BRA diharapkan akan menjadi badan utama yang mengkoordinir program-program pasca konfl ik pemerintah dan donor. Lembaga ini telah mulai memproses usulan-usulan dari GAM dan orang-orang yang terimbas konfl ik.
4 Schulze 2004.
5 Aspinall 2003, 2005.
6 R. Sukma 2004.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH6
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Dampak Bencana Tsunami 26 Desember 2004
Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi terjadi di 150 km lepas pantai Aceh.7 Tidak lama kemudian, tsunami pun melanda, dan dalam waktu beberapa menit saja telah menyapu bersih 800 km daerah pesisir Aceh. Sekitar 170.000 orang tewas, dan kurang lebih 500.000 jiwa lagi kehilangan tempat tinggal.
Bencana alam ini menyebabkan kehancuran sosial, ekonomi dan lingkungan yang sangat dahsyat terhadap wilayah-wilayah yang memang sudah miskin. Musibah ini juga membangkitkan respon yang belum pernah terjadi sebelumnya baik dari tingkat nasional maupun internasional, di mana LSM dan donor memberikan kontribusi pendanaan untuk rekonstruksi dalam jumlah yang memecahkan rekor. Sebelum tsunami sekalipun, sekitar sepertiga penduduk Aceh hidup dalam kemiskinan. Setelah bencana ini, ratusan ribu lagi menjadi rawan kemiskinan dan bergantung pada bantuan pangan.
Kerusakan dan kerugian fi sik diperkirakan bernilai AS$ 4,9 milyar. Sektor produksi saja diperkirakan mengalami kerugian sebesar AS$ 1,2 milyar. Lebih dari setengah kerugian tersebut diderita oleh sektor perikanan, sedangkan sisanya terbagi antara pertanian dan produksi. Program cash-for-work yang dibiayai oleh banyak donor dan NGO telah memainkan peran yang vital dalam menyediakan jaring pengaman dan menghidupkan kembali perekonomian. Seiring makin banyaknya proyek pembangunan rumah dan diluncurkannya aktivitas pekerjaan rutin lainnya, program ini berangsur-angsur mulai dihapuskan. Karena tekanan pada harga akibat upaya rekonstruksi pasca tsunami, harga-harga naik lebih tajam di provinsi ini daripada di tingkat nasional. Lonjakan harga ini sangat terasa di Banda Aceh, di mana infl asi setahun (year-on-year) bulan Desember 2005 mencapai 41 persen.
Setelah awal yang lambat, sejak September 2005 laju rekonstruksi mulai meningkat tajam. Kemajuan yang lebih cepat dari perkiraan telah dicapai dalam hal mengembalikan anak-anak ke sekolah, memulihkan jaringan perawatan kesehatan, menggantikan kapal ikan, dan memulihkan kembali tanah pertanian serta tambak-tambak. Kemajuan juga tampak di sektor perumahan yang sangat penting itu. Sampai akhir April sekitar 47.500 rumah dilaporkan telah selesai atau hampir selesai dibangun (Tabel 1.3). Setiap bulan dibangun sekitar 3.500-5000 rumah. BRR telah menetapkan sasaran yang ambisius, yaitu membangun 78.000 rumah baru pada tahun 2006. Sasaran ini hanya dapat dicapai jika laju pembangunan dipercepat.
Tabel 1.3. Indikator kemajuan rekonstruksi (per April 2006)
Indikator Kerusakan/ kebutuhan Pemulihan Kembali Sumber
Perumahan 120,000 47,489 UN habitat
Sekolah 2,006 260 BRR Survey
Guru 2,500 2,400 BRR
Fasilitas kesehatan 127 113 BRR
Jalan 3,000 490 BRR
Jembatan 120 41 BRR
Pelabuhan 14 2 (complete) BRR
Bandar udara 11 5 BRR
Kapal ikan 7,000 6,160 BRR
Tambak 20,000 7,111 BRR Survey
Sawah dan perkebunan 60,000 37,926 BRRSumber: data BRR, 2006
Banyak kebutuhan masih belum terpenuhi. Tempat penampungan transisi, khususnya, masih menjadi masalah yang parah. Sekitar 15.000 sampai 20.000 keluarga masih tinggal di tenda-tenda, dan 25.000 sampai 30.000 keluarga lagi ditampung di barak. Tidak adanya fasilitas pengangkutan yang memadai di sepanjang pantai barat Aceh
7 Bagian ini didasarkan pada laporan “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward” (BRR dan mitra-mitra internasional), Desember 2005.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 7
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
memperparah kesulitan pengiriman material rekonstruksi ke daerah-daerah yang kurang terlayani. Mata pencaharian juga menjadi keprihatinan besar. Angka pengangguran untuk kaum perempuan khususnya mencapai 21 persen, 50 persen lebih tinggi dari angka rata-rata nasional untuk perempuan. Angka pengangguran untuk kaum laki-laki jauh lebih rendah tetapi tetap signifi kan pada 7 persen, dan kemungkinan dapat naik kembali apabila kegiatan konstruksi sudah berkurang.
Meski skala kehancuran demikian hebat, Aceh kini memiliki kesempatan untuk membenahi diri dari wilayah Indonesia yang terisolasi dan terimbas konfl ik menjadi provinsi yang berkembang dengan baik dan pusat ekonomi yang penting bagi negara ini. Yang menjadi tantangan adalah “membangun kembali dengan lebih baik,” bukan hanya dari segi infrastruktur tetapi juga dalam pemanfaatan sumber daya yang ada untuk kesejahteraan rakyat provinsi ini. Untuk mencapai hal itu, Aceh dan Nias perlu mengatasi masalah-masalah struktural jangka panjang agar dapat terus tumbuh dan mengentaskan kemiskinan.
Pemerintah daerah masih belum sepenuhnya ikut serta dalam rekonstruksi dan hendaknya memainkan peran yang lebih penting. Pemerintah daerah dan provinsi Aceh termasuk penerima utama manfaat desentralisasi. Dengan meningkatnya pengalihan wewenang dari pemerintah pusat, ditambah pendapatan yang lebih tinggi dari migas, wilayah Aceh akan dapat membelanjakan lebih dari AS$ 1 milyar pada tahun 2006 untuk program rutin, di samping proyek rekonstruksi yang ada. Pada tahun 2005, dengan mengantisipasi penggantian dari BRR dan para donor, pemerintah daerah justru memotong porsi pembelanjaan modalnya sebagai respon terhadap bencana tsunami (dari sekitar 50 persen sebelum tsunami menjadi 42 persen setelah tsunami). Secara umum, pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang diperlukan untuk menanggapi krisis seperti ini. Porsi yang lebih besar dan volume mutlak pembelanjaan untuk aparat pemerintah daerah yang bertambah dengan mengorbankan pembelanjaan untuk pembangunan seperti ini mengkhawatirkan. Satu lagi masalah yang sangat mendesak adalah persepsi umum akan kurangnya kemampuan pemerintah daerah untuk memanfaatkan sumber daya publik yang bertambah itu secara efektif.
Meningkatkan kontribusi keuangan pemerintah daerah dalam proses rekonstruksi adalah amat penting. Pemerintah daerah memiliki sumber daya besar yang belum dimanfaatkan, yaitu lebih dari AS$ 5 milyar yang berasal dari total pendapatan selama tahun 2006-09 jika harga minyak tetap pada tingkatnya sekarang. Lebih penting lagi, pemerintah provinsi dan daerah juga akan bertanggung jawab atas semua infrastruktur rekonstruksi setelah amanat BRR berakhir pada tahun 2009 nanti. Sangatlah penting melibatkan pemerintah daerah sekarang dalam setiap proyek infrastruktur skala besar baru. Penggunaan program dana padanan (matching funds) – seperti Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur MDF yang baru – akan menjadi kesempatan yang baik untuk meningkatkan keterlibatan pemerintah setempat dalam proyek infrastruktur. Proses anggaran 2007 akan memberikan tanda yang penting tentang kesiapan pemerintah provinsi dan daerah untuk memainkan peran yang lebih kuat dalam proses rekonstruksi. Pemantauan dan evaluasi pembelanjaan pemerintah daerah akan penting untuk memastikan bahwa dana publik dibelanjakan dengan semestinya.
Perekonomian Aceh
Struktur Perekonomian Aceh
Perekonomian Aceh sangat tergantung pada produksi minyak dan gas bumi, yang menyumbangkan sekitar 40 persen dari PDB provinsi. Namun produksi ini mempekerjakan kurang dari 10 persen angkatan kerjanya. Kabupaten-kabupaten penghasil migas adalah Aceh Timur, Aceh Utara dan Aceh Tamiang. Aceh Utara menyumbangkan 80 persen produksi migas keseluruhan. Sebaliknya, sektor pertanian menyumbangkan 24 persen PDB provinsi ini (Gambar 1.1) tetapi mempekerjakan lebih dari separuh angkatan kerja.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH8
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 1.1. Struktur perekonomian Aceh, 2004
Jasa10%
Perhubungan & Komunikasi 5%
Perdagangan, Restoran & Hotel 12%
Konstruksi 4%
Pengolahan (Non-Migas) 4%
Listrik, Gas & Air 0%
Pengolahan (Migas) 14%
Pertambangan (Minyak) 26%
Penggalian 1%
Pertanian24%
Sumber: BPS 2004.
Dalam sejarahnya, sektor migas hanya memberikan dampak positif yang sedikit bagi kesejahteraan ekonomi kebanyakan masyarakat Aceh. Di masa lalu, sebagian besar perolehan dari bagi hasil sumber daya alam ditahan oleh pemerintah pusat. Sumber daya yang tersedia dialokasikan dengan sangat tidak optimal. Sebagai contoh, Aceh Utara yang kaya minyak, dengan PDB per kapita 2,6 kali rata-rata nasional, memiliki jumlah penduduk miskin 34,2 persen, yaitu dua kali lipat rata-rata nasional (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. PDB per kapita dan kemiskinan di kabupaten penghasil minyak/gas, tahun 2004
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Indonesia AcehTamiang
Provinsi Aceh Aceh T imur Aceh Utar a0.05.010.015.020.025.030.035.040.0
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0.05.010.015.020.025.030.035.040.0
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
0.05.010.015.020.025.030.035.040.0
PRDB Per Kapita (kali rata-rata Nasional)Tingkat Kemiskinan, %
Sumber: BPS, perhitungan staf Bank Dunia.
Pertumbuhan ekonomi dan PDB per kapita Aceh
Sejak tahun 1970-an, laju pertumbuhan Aceh tertinggal dari laju pertumbuhan rata-rata nasional kecuali untuk waktu yang singkat pada awal tahun 1980-an. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh sangat merasakan dampak krisis moneter tahun 1997-98, yang mengakibatkan laju pertumbuhan negatif selama empat tahun berturut-turut. Sejak tahun 2001, perekonomian Aceh sudah mulai pulih kembali (Gambar 1.3). Bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, perekonomian Aceh termasuk stagnan. Salah satu alasannya mungkin adalah konfl ik berkepanjangan yang telah merenggut vitalitas perekonomian wilayah tersebut. Meskipun demikian, terdapat banyak juga alasan struktural, seperti diversifi kasi ekonomi yang tidak cukup, tidak adanya modernisasi, dan letak banyak daerah yang jauh dari pasar.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 9
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 1.3. Pertumbuhan ekonomi Aceh vs. rata-rata nasional
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-04
NAD
Nasional
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Meskipun demikian, Aceh termasuk salah satu provinsi terkaya di Indonesia dari segi PDB per kapita. Per tahun 2004, PDB per kapita tahunan Aceh adalah 9,8 juta rupiah, atau sekitar AS$ 1.090. Aceh menduduki peringkat sebagai provinsi terkaya kelima, tetapi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak keempat (Gambar 1.4). Fakta bahwa dua provinsi terkaya dari segi PDB per kapita (Aceh dan Papua) memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak kiranya mengundang keprihatinan. PDB per kapita yang tinggi sebagai hasil dari eksploitasi sumber daya alam di Aceh maupun Papua tidak memberikan manfaat bagi kaum miskin di wilayah tersebut.
Gambar 1.4. PDB per kapita, pembelanjaan publik, dan jumlah penduduk miskin per provinsi, 2004
38
28
3
12
12
32
(0.5)
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
-5.0
0.0
5.0
10
.0
15
.0
20
.0
25
.0
30
.0
35
.0
40
.0
PRDB Per kapita tahunan(juta Rupiah)
Bel
anja
Dae
rah
tahu
nan
per
kap
ita
(Jut
a R
upia
h)
Papua
Aceh
Maluku
Kalimantan T imur
JakartaRiau
Sumber: BPS.Catatan: Besar lingkaran-lingkaran di atas mewakili tingkat penduduk miskin.
PDB per kapita sangat bervariasi antar kabupaten/kota Aceh. Sebagai contoh, di Aceh Tenggara dan Simeulue, PDB per kapita per tahun masing-masing adalah 3,1 dan 3,3 juta rupiah. Sebaliknya, Aceh Utara dan Lhokseumawe memiliki PDB per kapita lebih dari 10 kali lipat dari jumlah tersebut (Gambar 1.5). Meskipun demikian, Aceh Utara, dengan tingkat PDB per kapita tertinggi kedua di Aceh, memiliki salah satu jumlah penduduk miskin terbanyak.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH10
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 1.5. PDB per kapita, pembelanjaan publik dan kemiskinan di kabupaten-kabupaten Aceh, 2004
31
34 15
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
- 10 20 30 40 50 60 70PRDB Per kapita (Juta Rupiah)
Pen
gel
uara
n P
ublik
per
kap
ita
(Jut
a R
upia
h) Sabang
Aceh Utar aLhokseumawe
Sumber: Depkeu, BPS, dan perhitungan staf Bank Dunia.Catatan: Besar lingkaran-lingkaran di atas mewakili tingkat penduduk miskin.
Dampak yang diperkirakan dari gempa bumi dan tsunami bulan Desember 2004 mengisyaratkan adanya kemerosotan ekonomi sekitar 5 persen pada tahun 2005. Dampak total terhadap perekonomian Aceh ini meliputi perkiraan variasi yang substansial antar kabupaten – dari penurunan kira-kira 0,5 persen di Aceh Utara dan Aceh Tamiang ke penurunan lebih dari 50 persen di Simeuleu dan Aceh Jaya (gambar B1 dan B2).8
Perekonomian Aceh: Tantangan dan kesempatan
Prospek ekonomi jangka pendek akan lebih banyak ditentukan oleh kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fasa rekonstruksi, seperti boom rekonstruksi. Potensi ekonomi jangka panjang daerah ini akan tergantung dari bagaimana menyikapi permasalahan berikut:
Modernisasi perekonomian. Sektor-sektor tradisional, seperti perikanan dan pertanian, memiliki potensi yang baik jika dikembangkan dan dimodernisasi. Sebagai contoh, nelayan Aceh masih mengandalkan perahu kecil dengan daya tangkap yang terbatas. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Aceh mencakup wilayah laut seluas 238.807 km persegi. ZEE memiliki kekayaan ikan yang diperkirakan 1000 kali lebih besar dari kekayaan yang terdapat di air tawar, namun hanya kapal besar yang dapat mencari ikan di perairan tersebut. Menyediakan kapal yang lebih besar, daripada mengganti kapal kecil yang hancur, kiranya akan mendongkrak hasil perolehan. Sektor pertanian juga memiliki potensi yang baik jika dikembangkan hingga lebih dari pertanian gurem. (Perkebunan skala besar memang ada, namun bukan merupakan inti produksi pertanian.) Masih banyak tanah yang sesuai tetapi belum digunakan. Luas totalnya diperkirakan sebesar 293.000 hektar (ha). Pengembangan lahan ini akan memungkinkan perluasan pertanian modern.
Diversifi kasi ekspor. Di Aceh, 98 persen nilai ekspor diperoleh dari gas alam cair dan kondensat. Hanya 2 persen diperoleh dari hasil pertanian dan industri. Kopi adalah komoditi ekspor pertanian nomor satu: 98 persen dari total ekspor pertanian. Diversifi kasi ekspor memberikan peluang yang baik untuk mendorong pertumbuhan, tetapi itu bukanlah tugas yang mudah. Potensi diversifi kasi yang ada untuk kakao, vanilla dan nilam terbatas oleh produksi yang berskala kecil dan hasil keluaran yang tidak tentu.
Memaksimalkan kesempatan kerja selama proses rekonstruksi dan sesudahnya. Diperkirakan ada 318.000 orang warga Aceh mencari kerja atau tidak bekerja. Proyek konstruksi skala besar mulai menggeliat, dan membutuhkan sekitar 200.000 orang pekerja selama puncak upaya rekonstruksi di pertengahan 2006. Untuk memaksimalkan keuntungan lapangan pekerjaan untuk penduduk Aceh diperlukan beberapa kebijakan.
8 Untuk metodologi perkiraan dampak tsunami terhadap PDB pada tingkat pemerintah daerah, lihat “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward,” Desember 2005.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 11
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Menurut International Labour Organisation (ILO), kebijakan-kebijakan ini meliputi9:
1. Mengatur pasar tenaga kerja (menjembatani permintaan dan penawaran untuk pekerjaan)2. Meningkatkan potensi kerja warga dengan cara menyediakan pelatihan keterampilan dan kejuruan3. Mempekerjakan warga melalui investasi infrastruktur padat karya. Kebijakan ini hendaknya diimbangi
dengan strategi untuk mempromosikan kerja mandiri dan pengembangan kewiraswastaan.
Pengembangan alat pengolah (processing units) di tingkat kabupaten/kota. Petani kecil di Aceh umumnya menjual bahan mentah, karena fasilitas pengolahan setempat masih belum ada. Karena itu, petani kecil tidak memperoleh manfaat dari berbagi nilai tambah besar yang umumnya dihasilkan dari pengolahan. Produsen setempat juga tidak terorganisir dengan rapi dan kurang mengetahui potensi pasar penuh produk mereka. Pengembangan usaha pengolahan setempat akan menguntungkan bagi produsen setempat.
Memastikan pemulihan ekonomi menjaga kelangsungan lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi harus menyertakan kebijakan lingkungan hidup yang sehat. Sekitar 74,6 persen wilayah Aceh terdiri dari daerah hutan. Hutan hujan ini, yang kaya akan kayu dan satwa liar, sangat terancam kepunahan. Dua puluh perusahaan telah diberi ijin untuk mengeksploitasi sekitar 1,6 juta hektar lahan yang digolongkan sebagai hutan produksi. Meningkatnya permintaan akan kayu, yang didorong oleh kebutuhan rekonstruksi pasca tsunami, sudah mulai memperparah eksploitasi hutan secara liar.
Menjajaki peluang investasi. Iklim bisnis yang transparan dan stabil dapat meningkatkan minat investor terhadap peluang investasi yang beraneka ragam di wilayah ini. Sektor-sektor potensial antara lain zona pelabuhan bebas Sabang, penangkapan ikan dan perikanan, pariwisata, hotel dan restoran, industri cetakan (molding), industri peternakan, pengembangan perkebunan, dan hutan wisata.
Kemiskinan dan Kondisi Sosial
Kemiskinan tersebar luas di Provinsi Aceh bahkan sebelum bencana gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004. Pada tahun 2004 diperkirakan 1,2 juta orang (28,5 persen jumlah penduduk) di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu dengan penghasilan Rp 129.615, atau sekitar AS$14, per kapita per bulan.10 Bahkan sebenarnya, jumlah warga yang hidup dalam kemiskinan mutlak di kawasan ini hampir dua kali lebih besar daripada angka untuk Indonesia secara keseluruhan (16,7) sehingga menjadikan Aceh salah satu provinsi termiskin (Gambar 1.6). Bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004 memperparah kemiskinan di wilayah ini. Diperkirakan ada sekitar 325.000 lagi warga Aceh yang kini rawan kemiskinan. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa perkiraan bertambahnya kemiskinan itu tidak memperhitungkan dampak bantuan pangan, program cash-for-work, dan mekanisme lainnya yang membantu mengangkat kesejahteraan masyarakat.11 Tingkat kemiskinan antar kabupaten di Aceh menunjukkan perbedaan spasial yang signifi kan. Perbedaan ini telah semakin mencolok akibat dampak tsunami. Di kabupaten-kabupaten yang paling parah terkena dampak tsunami, lebih dari 50 persen penduduknya kemungkinan akan hidup dalam kemiskinan (gambar B3).
9 Internasional Labour Organization, 2005.
10 Garis kemiskinan mewakili nilai uang dari paket makanan umum yang menyediakan 2100 kalori per hari ditambah pembelanjaan non-makanan yang diperlukan.
11 Untuk metodologi perkiraan dampak tsunami terhadap kemiskina, lihat “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward” 2005.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH12
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 1.6. Perkembangan tingkat kemiskinan di provinsi Aceh, 1990–2004 (%)
0
5
10
15
20
25
30
35
1990 1993 1996 1999 2002 2003 2004
%
Sumber: BPS
Infl asi
Kenaikan biaya hidup yang besar akan mempengaruhi daya beli penduduk Aceh. Sejak tsunami, harga-harga di daerah yang terkena dampak tsunami telah naik lebih tajam dari tingkat rata-rata nasional karena masuknya dana bantuan dan program cash-for-work ke wilayah tersebut. Terbatasnya transportasi berarti permintaan akan barang dan material (yang terkait dengan upaya rekonstruksi) telah menyebabkan meningkatnya ongkos pengangkutan yang lebih tinggi dan karenanya menaikkan harga-harga secara umum. Kenaikan yang paling drastis terjadi di Banda Aceh. Infl asi tahunan (year on year) pada bulan Desember 2005 mencapai 41 persen di Banda Aceh, 23 persen di Medan, dan 18 persen di Lhokseumawe, bila dibandingkan dengan 17 persen di seluruh Indonesia (Gambar 1.7).
Gambar 1.7. Tren IHK (CPI) di Banda Aceh dan daerah-daerah lain
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Jan-
04
Feb
- 04
Ma r
-04
Ap
r-0
4
Ma y
- 04
J un -
04
J ul-
04
Au g
-04
Se p
-04
Oc t
-04
No
v -0
4
De c
-04
J an-
05
F eb
- 05
Ma r
- 05
Ap
r-0
5
Ma y
- 05
J un -
05
J ul-
05
Au g
-05
Sep
- 05
Oc t
-05
No
v -0
5
De c
- 05
J an -
06
F eb
-06
Ma r
- 06
Ap
r-0
6
Ma y
-06
J un -
06
Nasional Banda Aceh Lhokseumawe Medan
inflasi %, tahunan
Banda Aceh
Sumber: BPS, perhitungan staf Bank Dunia.
Banyak rumah tangga di Aceh sudah dan akan memperoleh manfaat dari kenyataan bahwa fasa rekonstruksi mendorong kenaikan upah pekerja bangunan. Meskipun demikian, infl asi yang ikut bertambah menihilkan manfaat ini. Tahun 2005, upah mengalami kenaikan paling tidak 40 persen-50 persen di antara semua kategori pekerja bangunan. Meskipun demikian, efek bersihnya tidak jelas karena harga barang konsumsi juga naik. Setelah boom konstruksi, infl asi upah yang berlebihan akan mengurangi daya saing Aceh di dalam maupun luar negeri. Infl asi tidak dapat diubah dengan mudah, tetapi pemantauan harga-harga dan pola konsumsi adalah perlu untuk memahami dampaknya terhadap taraf hidup.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 13
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Mata pencaharian
Perikanan, pertanian dan usaha kecil sejak dulu telah menjadi pilar utama yang menunjang penghidupan rakyat Aceh. Meskipun demikian, sektor-sektor ini menghadapi berbagai tantangan yang berhubungan dengan dampak bencana alam serta berubahnya struktur ekonomi. Satu hal yang penting adalah, pemulihan kembali mata pencaharian lebih dari sekedar membangun kembali aset-aset fi sik. Meskipun penggantian aset memang sangat penting, tantangan prioritasnya adalah menyediakan dukungan penghidupan untuk pemulihan kembali masyarakat yang terimbas secara berkelanjutan. Selama tahun-tahun sebelum tsunami, seiring menurunnya industri perkotaan dan berbasis jasa, angkatan kerja Aceh telah kembali ke sektor pertanian dan perikanan secara signifi kan. Jika faktor-faktor dasar yang menyebabkan perubahan komposisi sektoral perekonomian tersebut tidak disikapi, maka penghasilan rumah tangga akan menurun secara signifi kan seiring menipisnya sumber-sumber daya yang dialokasikan untuk rekonstruksi.
Tekanan untuk segera memulihkan basis aset menyebabkan kurangnya perhatian terhadap mutu. Sebagai contoh, pada sektor perikanan, penyedia bantuan bermaksud menyerahkan perahu sebanyak mungkin dan sesegera mungkin, menyebabkan pengiriman banyak perahu kecil yang murah. Kurangnya konsultasi dan koordinasi dengan nelayan stempat serta mutu konstruksi yang rendah telah menyebabkan perahu itu banyak ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kondisi setempat.
Pertanian dan perikanan perlu segera dimodernisasi. Sebelum bencana sekalipun, kedua sektor ini ditandai dengan banyaknya petani dan nelayan kecil yang praktis hanya berproduksi untuk konsumsi mereka sendiri atau pasar terdekat. Pengolahan dan pengemasan umumnya dilakukan di luar daerah. Kedua sektor perlu dimodernisasi melalui teknologi baru, pendanaan, dan layanan pengembangan usaha; dan skala produksi juga perlu ditingkatkan.
Penciptaan Lapangan Kerja
Dampak tsunami terhadap lapangan pekerjaan tidak separah yang diduga sebelumnya, tetapi bencana itu telah menyebabkan perubahan besar terhadap susunan dan struktur angkatan kerja. Meskipun angka pengangguran naik menyusul bencana tersebut, keikutsertaan angkatan kerja pulih dengan cepat.. Keikutsertaan laki-laki dewasa dalam angkatan kerja telah kembali ke angka sebelum tsunami, dan keikutsertaan perempuan dan kaum muda (usia 15-24 tahun) telah banyak bertambah. Sumber tenaga kerja yang belum termanfaatkan ini dapat membantu dicapainya pertumbuhan dan pemulihan ekonomi dengan lebih cepat. Semakin banyaknya remaja yang mencari pekerjaan daripada mendaftar ke sekolah mengurangi peluang mereka untuk memperoleh pelatihan dan pendidikan, yang akan memungkinkan mereka memperoleh pekerjaan dengan upah yang lebih baik dalam jangka panjang.
Kebutuhan rekonstruksi telah mengakibatkan boom konstruksi. Pekerjaan konstruksi di Aceh ditaksir bernilai antara AS$ 100-150 juta per bulan selama 2 tahun mendatang, dibandingkan dengan kurang dari AS$ 10 juta per bulan pada tahun 2003. Untuk memenuhi kebutuhan ini, ILO memperkirakan bahwa akan diperlukan sekitar 200.000 pekerja terampil (tukang kayu, tukang batu), serta pekerja tidak terampil dalam jumlah yang signifi kan. Di samping itu, boom konstruksi akan menciptakan pasar sekunder yang besar untuk barang dan jasa. Meskipun demikian, boom konstruksi tetap tidak akan menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk semua yang menganggur. Sensus pasca bencana terakhir menunjukkan bahwa hampir 20 persen angkatan kerja (lebih dari 300.000 orang) aktif mencari pekerjaan atau tidak bekerja. Angka tertinggi dijumpai pada golongan usia 15-24 tahun, di mana hampir 25 persen dari mereka mencari pekerjaan. Memperbaiki potensi kerja warga setempat melalui pelatihan keterampilan adalah kunci. Pelatihan keterampilan harus digerakkan oleh permintaan dan dikaitkan dengan pekerjaan yang ada di pasar, dengan fokus pada pelatihan siklus pendek untuk pekerja yang pasti akan direkrut.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH14
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
2Aliran Dana dan Proses Anggaran
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH16
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh menerima pendanaan dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan (transfer antar-pemerintah), dan dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat dan provinsi. Pendapatan asli daerah dihasilkan oleh daerah itu sendiri, sebagian besar dari pajak dan pungutan setempat. Transfer antar-pemerintah adalah dana publik yang memberikan dimensi transfer vertikal dan horisontal. Transfer vertikal adalah pendistribusian kembali pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah, sedangkan transfer horisontal adalah pendistribusian pendapatan antar pemerintah kabupaten.
Setelah desentralisasi diterapkan pada tahun 2001, Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi sumber pendapatan utama di Aceh. Bersama dengan dana bagi hasil dan DAK, DAU menggantikan transfer antar pemerintah yang sebelumnya yaitu SDO (Subsidi Daerah Otonomi) dan Inpres (Instruksi Presiden). Transfer tersebut terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Arus transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diuraikan pada Gambar 2.1.
Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil adalah pendapatan pajak dan non-pajak (sumber daya alam) yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Tujuan dana bagi hasil adalah mengurangi ketidakseimbangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah.12 Undang-undang No. 33/2004 adalah dokumen pokok yang mengatur perimbangan keuangan pusat/daerah. UU tersebut menetapkan persentase pendapatan yang akan dibagi antara pusat dan daerah serta proses distribusinya, yaitu dana ditransfer langsung ke rekening pemerintah daerah.
Berdasarkan Undang-undang No. 18/2001, sebagai daerah otonomi khusus, di samping alokasi pembagian nasonal standar dari pendapatan pajak dan non-pajak, Aceh memperoleh bagian tambahan dari pendapatan migasnya. Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11/2006 yang baru, yang akan menggantikan UU No. 18/2001, akan memberikan pengaturan serupa. Peraturan perundang-undangan tambahan yang mengatur pembagian pendapatan ini adalah peraturan daerah Aceh Qanun No. 4/2002. Qanun tersebut menguraikan proses transfer bagi hasil termasuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dana-dana ini ditransfer langsung ke pemerintah provinsi dan daerah. Pembagian hasil untuk pajak penghasilan dan dana otonomi khusus ditransfer oleh pusat ke provinsi, dan provinsi bertanggung jawab mentrasfernya ke pemerintah daerah.
Undang-undang Pemerintahan Aceh yang baru, UU No. 11/2006, memberi Aceh dana otonomi khusus yang baru, yaitu 2 persen alokasi DAU tambahan mulai tahun 2008. Dana otonomi khusus ini akan dialokasikan untuk program-program pembangunan yang diselenggarakan oleh provinsi. Selain itu, Aceh masih berhak menerima pembagian hasil tambahan dari minyak dan gas bumi. UU No. 11/2006 juga menetapkan bahwa sekurang-kurangnya 30 persen dari pembagian hasil tambahan ini digunakan untuk pendidikan. Sisanya yang 70 persen dialokasikan untuk program-program pembangunan pada tingkat pemerintah provinsi dan daerah.
12 Keputusan Menteri KMK No. 344/2001 juga menjadi kunci pelaksanaan bagi hasil.
KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 17
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 2.1. Aliran dana di Aceh
P E M E R I N T A HP U S A T
PAD
Transfer langsung70 persen total bagi hasil (Pemda dan Provinsi), DAU, lain-lain
Bagi hasil untuk sumber daya alam, DAK, pajak penghasilan, dan dana
dekonsentrasi
P E M E R I N T A H D A E R A H
Otsus, DAK, pajak penghasilan dan bagi hasil pajak provinsi
P R O V I N S I
Pendidikan30% total bagi hasil (Pemerintah provinsi & daerah)
PAD
Sumber: UU No. 18/2001 dan Qanun 4/2002.
Bagi hasil pajak
Pembagian pendapatan pajak antara pemerintah pusat dan daerah berbeda-beda menurut pajaknya. Pembagian antara pusat dan daerah adalah 10 persen-81 persen untuk pajak bumi dan bangunan (PBB), 20 persen-80 persen untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan 80 persen-20 persen untuk pajak penghasilan (Tabel 2.1).
Pengaturan umum alokasi antara pemerintah provinsi dan daerah adalah 20 persen untuk provinsi dan 80 persen untuk pemerintah daerah, kecuali untuk pajak penghasilan. Pembagian pajak penghasilan adalah 40 persen untuk provinsi dan 60 persen untuk pemerintah daerah. Distribusi pembagian pajak penghasilan kepada pemerintah daerah berdasarkan faktor-faktor seperti penduduk dan luas wilayah diatur dengan Keputusan Gubernur. Sebelum desentralisasi, pajak penghasilan dikelola dan dipungut seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sekarang pemerintah daerah menerima bagian 20 persen dari pajak ini. Perluasan basis pajak penghasilan berpotensi mengangkat pendapatan pemerintah daerah dari pajak penghasilan. Meskipun pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) masih diatur oleh pemerintah pusat, pendapatan dari kedua pajak ini kini ditransfer seluruhnya ke pemerintah daerah.13
Pemerintah daerah kini berhak menerima pembagian pajak tambahan dari provinsi. Berdasarkan kesepakatan pembagian pajak yang telah direvisi, pemerintah daerah kini menerima 30 persen dari 2 pajak provinsi, yaitu pajak kendaraan dan bea balik nama. Sebelum desentralisasi, pemerintah daerah hanya berhak menerima sebagian dari pajak bahan bakar provinsi, jumlah yang kini dikurangi dari 90 persen menjadi 70 persen. Administrasi pajak air bawah tanah dan air permukaan telah dialihkan ke provinsi, dengan pengaturan pembagian 70 persen untuk pemerintah daerah.
13 UU No. 34/2004 menyebutkan bahwa 90 persen PBB diberikan kepada pemerintah daerah: 16,2 persen kepada provinsi, 64,8 persen kepada pemerintah daerah, dan 9 persen untuk administrasi. 10 persen yang dikuasai oleh pemerintah pusat ditransfer kembali ke pemerintah daerah: 6,5 dibagi rata antar pemerintah daerah dan 3,5 persen dibagikan ke pemerintah daerah yang berkinerja terbaik. Untuk BPHTB, 16 persen masuk ke kas provinsi dan 64 persen ke pemerintah daerah. Sisanya yang 20 persen dibagi rata antar pemerintah daerah.
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN18
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Bagi hasil non-pajak (sumber daya alam)
Undang-undang nomor 33/2004 mengatur lebih banyak lagi jenis bagi hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelum ini, bagi hasil sumber daya alam hanya mencakup kehutanan dan pertambangan. Alokasi umum untuk pemerintah pusat dan daerah untuk pendapatan non-pajak adalah 20 persen-80 persen. Pendapatan migas adalah dua pengecualian yang penting. Setiap daerah menerima persentase pendapatan migas dan reboisasi yang berbeda-beda. Yang paling signifi kan untuk Aceh adalah alokasi minyak dan gas bumi, yang masing-masing 85-15 dan 70-30. Peraturan perundang-undangan otonomi khusus memberi Aceh tambahan 55 persen lagi untuk minyak dan 40 persen untuk gas. Jadi Aceh menerima 70 persen pendapatan minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Aceh.14
Tabel 2.1. Pengaturan dana bagi hasil dan dana otonomi khusus Aceh
Bagi hasil Pemerintah pusat Daerah Provinsi
Semua kabupaten
/kota
Kabupaten/kota
penghasil
Pemerintah daerah non-
penghasil
Bagi hasil pajak
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 81 16.2 64.8Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
20 80 16 64
Pajak Penghasilan (PPh) 80 20 8 12
Bagi hasil non-pajak
Kehutanan: sewa lahan (IHPH) 20 80 16 64
Kehutanan: sewa sumber daya (PSDH) 20 80 16 64 32 32
Reboisasi 60 40 40
Pertambangan: sewa lahan 20 80 16 64
Pertambangan: Royalti 20 80 16 64 32 32
Perikanan 20 80 80
Pendapatan bersih minyak (non-pajak) ** 30 15 3 12 6 6
Dana otonomi khusus 55 22 33 13.75 19.25
LNG (nonpajak) 30 30 6 24 12 12
Dana otonomi khusus 40 16 24 10 14
Panas bumi 20 80 16 64 32 32
Bagi hasil pajak lainnya (pajak provinsi)
Pajak kendaraan bermotor, pajak kendaraan di atas air, bea kepemilikan kendaraan bermotor/di atas air
100 70 30
Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pemakaian air (bawah tanah dan permukaan)
100 30 70
Sumber: UU No. 18/2001, UU No. 33/2004, dan Qanun No. 4/2002 yang dihimpun oleh staf Bank Dunia. Catatan: ** = Pembagian antara pemerintah provinsi dan daerah ditetapkan oleh Qanun.
Alokasi sumber daya alam antara pemerintah provinsi dan daerah juga mengikuti rumus 20-80. Untuk pendapatan yang dihasilkan dari sewa sumber daya kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, alokasi 50-50 lagi dari alokasi 80 persen untuk pemerintah daerah disediakan bagi kabupaten penghasil dan non-penghasil (pemerintah daerah) di mana pemerintah daerah-daerah non-penghasil itu harus membagi rata bagian yang 50 persen itu sesama mereka. Adapun untuk pendapatan yang tidak mengikuti alokasi 50-50 dari alokasi 80 persen, sumber daya harus dibagi rata antar sesama pemerintah daerah (Gambar 2.2). Metode penggunaan rumus alokasi menurut UU No. 18/2001 adalah sebagai berikut: Dengan menggunakan bagi hasil dari minyak sebagai contoh,
14 UU No. 33/2004 menetapkan bahwa sampai tahun 2009, bagi hasil migas antara pusat dan daerah masing-masing adalah 85-15 untuk minyak dan 70-30 untuk gas bumi. Mulai tahun 2009, porsi minyak dan gas yang menjadi bagian pemerintah pusat akan menjadi 84,5 persen dan 69,5 persen, dan untuk daerah 15,5 persen dan 30,5 persen (di mana 0,5 persen akan dialokasikan untuk sektor pendidikan).
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN 19
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
daerah-daerah berbagi 15 persen pendapatan dari minyak bumi. 30 persen dari alokasi untuk daerah dialokasikan untuk pendidikan. Selebihnya dapat dialokasikan dengan bebas oleh pemerintah provinsi dan daerah. Provinsi menerima 20 persen dari sisa tersebut; 40 persen diberikan kepada pemerintah daerah penghasil; dan 40 persen ke pemerintah daerah non-penghasil.
Gambar 2.2. Pengaturan bagi hasil non-pajak untuk pemerintah provinsi dan daerah
BAGI HASIL NON-PAJAK
Kehutanan: sewa lahanPertambangan: sewa lahan
••
Pemerintah daerah: 80%(dibagi rata)
Provinsi: 20%
Kehutanan: sewa sumber dayaPertambangan: RoyaltiMinyak bumi (non-pajak)Gas (nontax)
••••
Pemerintah daerah: 80% - 40% untuk pemerintah daerah
penghasil.- 40% dibagi rata untuk
pemerintah daerah non-penghasil.
Provinsi: 20%
Sumber: UU No. 11/2006, UU No. 18/2001, Qanun No. 4/2002
Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh
Sesuai dengan UU No. 18/2001, dana otsus untuk Aceh terdiri dari bagi hasil tambahan, yaitu 55 persen dari minyak dan 40 persen dari gas bumi, di samping pembagian nasional (masing-masing 15 persen dan 30 persen untuk minyak dan gas bumi). Dana ini ditransfer setiap triwulan ke provinsi dan diatur oleh provinsi. Bagian tersebut dihitung berdasarkan pendapatan dari lifting (pengiriman atau ekspor), bukan produksi keseluruhan dari eksplorasi. 30 persen dana ini dialokasikan untuk pendidikan. Sisanya dialokasikan oleh pemerintah daerah, yaitu 40 persen untuk provinsi, 25 persen untuk pemerintah daerah penghasil minyak, dan 35 persen untuk pemerintah daerah non-penghasil minyak. Separuh transfer ke daerah non-penghasil dibagi rata sementara sisanya dialokasikan berdasarkan formula. Dana ini memberikan fl eksibilitas alokasi dan fl eksibilitas pembelanjaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah (Gambar 2.3).
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN20
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 2.3. Alokasi Otonomi Khusus
Dana Otonomi Khusus100%
30% Pendidikan
40% Provinsi
25% PemdaPenghasil
Minyak
25% Pemdanon
Penghasil
70%Keputusan sendiri
Sumber: Qanun 4/2002.
UU No. 11/2006 memberi Aceh tambahan 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional selama 15 tahun, mulai tahun 2008. Pada tahun 2023 alokasi ini akan dikurangi menjadi 1 persen dari DAU nasional sampai tahun 2028. Menurut undang-undang tersebut, dana ini dimaksudkan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, memberdayakan masyarakat, mengentaskan kemiskinan, dan membiayai pendidikan, kesehatan serta sektor sosial. Dana otsus akan dikelola oleh pemerintah provinsi Aceh. Undang-undang baru ini telah merubah defi nisi dana otsus. Istilah dana otsus kini hanya digunakan untuk dana yang diterima dari alokasi 2 persen DAU nasional. Nama “dana otonomi khusus” dari tambahan bagi hasil migas itu telah berubah menjadi “dana bagi hasil migas”.
Bagi hasil pajak lainnya
Pemerintah daerah berhak memperoleh bagian dari pendapatan pajak provinsi. Pemerintah daerah menerima 30 persen dari pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air provinsi serta bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; dan 70 persen dari pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak pemakaian air (bawah tanah dan permukaan).
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah hibah tidak bersyarat (block grant) yang dirancang untuk menyamakan kemampuan fi skal pemerintah-pemerintah daerah. DAU ditransfer setiap bulan dan langsung dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dana ini dialokasikan berdasarkan rumus nasional yang terdiri dari kesenjangan fi skal dan alokasi dasar. Kesenjangan fi skal diperoleh dari selisih antara kebutuhan fi skal dan kemampuan fi skal masing-masing daerah. Kebutuhan fi skal memperhitungkan berbagai variabel seperti penduduk, luas wilayah, produk domestik bruto daerah (PDB daerah) per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Kemampuan fi skal diukur dari pendapatan asli daerah dan porsi bagi hasil daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan pembelanjaan anggaran untuk gaji pegawai negeri sipil di daerah terkait.
DAU dibagikan ke daerah dengan perbandingan 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk pemerintah daerah.15 Alokasi DAU antar pemerintah daerah diperoleh dengan mengalikan bobot setiap pemerintah daerah dengan jumlah total DAU untuk semua pemerintah daerah. Bobot itu sendiri ditentukan dari perbandingan kesenjangan fi skal pemerintah daerah yang bersangkutan dengan total kesenjangan fi skal semua pemerintah daerah.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah hibah bersyarat yang mencerminkan prioritas nasional yang disediakan untuk membiayai kebutuhan khusus daerah-daerah yang tidak tercakup dalam rumus DAU. DAK tidak dapat digunakan
15 Berdasarkan Peraturan Pemerintah PP 55/2005.
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN 21
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
untuk penelitian, administri, maupun perjalanan dinas. Sumber DAK adalah anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN). Kecuali untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan terbatas, suatu daerah harus menyediakan dana pendamping (matching grant) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebesar minimal 10 persen dari anggaran proyek. DAK ditransfer setiap triwulan berdasarkan perkembangan proyek. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, DAK ditransfer langsung ke pemerintah provinsi dan daerah. Di Aceh, Qanun No. 4/2002 menetapkan bahwa DAK ditransfer oleh pemerintah daerah ke provinsi, yang selanjutnya bertanggung jawab membagikannya kepada pemerintah-pemerintah daerah. Mulai tahun 2003, DAK mencakup beberapa sektor seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sarana pemerintah (untuk pemerintah daerah yang baru terbentuk).
Dana Dekonsentrasi dan Darurat
Di samping ketiga jenis transfer yang disebutkan di atas, daerah juga menerima dana dekonsentrasi (Dekon) dari pemerintah pusat.16 Dana dekon dapat dianggap sebagai pendapatan untuk pemerintah provinsi dan daerah, karena pelaksanaannya yang sebenarnya adalah di daerah.17 Dana tersebut ditransfer ke provinsi berdasarkan prioritas pemerintah pusat dalam bentuk pembelanjaan untuk pembangunan yang tidak termasuk pembelanjaan rutin/berulang instansi-instansi vertikal di daerah tersebut untuk proyek non-fi sik. UU No. 33/2004 menyebutkan bahwa provinsi dapat meminta dana darurat dari pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan luar biasa dan mendesak, seperti bencana alam, yang tidak dapat ditutup oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Meskipun program ini dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan daerah, dana dekon tidak dicatat dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), melainkan dalam anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN). Pemerintah provinsi dan daerah melaporkan pembelanjaan mereka, dan bertanggung jawab langsung ke pemerintah pusat.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Undang-undang desentralisasi yang direvisi telah memberikan kesempatan kepada pemerintah - pemerintah daerah untuk memperluas basis pendapatannya, terutama dari pajak. UU No. 33/2004 memungkinkan pajak daerah, pungutan daerah, pendapatan dari badan usaha milik daerah, dan pendapatan daerah lainnya yang memenuhi ketentuan. Di Aceh, UU No. 18/2001 menambahkan satu komponen lagi yaitu zakat sebagai salah satu sumber pendapatannya.18 Secara keseluruhan, pengaturan tentang pajak daerah didasarkan pada UU No. 34/2000 dan peraturan-peraturan pemerintah (PP 65/2001 dan 66/2001) tentang pajak dan pungutan daerah.
Proses Anggaran
Ada lima peraturan perundang-undangan yang mengatur proses anggaran dan akuntabilitasnya, yaitu UU No. 17/2003, UU No. 15/2004, UU No. 32/2004, UU No. 33/2004, dan Keputusan Menteri No. 29/2002. Proses anggaran dimulai pada bulan Januari tahun sebelumnya dengan disusunnya rencana kerja daerah (RKPD) oleh pemerintah daerah untuk dijadikan dasar kebijakan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pada pertengahan Juni, pemerintah daerah mengajukan kebijakan umum APBD kepada DPRD. Dalam minggu pertama bulan Oktober, pemerintah daerah mengajukan rancangan APBD kepada DPRD dalam bentuk peraturan daerah (Perda). DPRD bersama dengan pemerintah daerah hendaknya menyepakati rancangan APBD paling tidak satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran (gambar B4).
16 Perincian pengaturan untuk dana dekonsentrasi ditetapkan dalam UU No. 33/2004.
17 Dana dekonsentrasi adalah pembelanjaan pembangunan pemerintah pusat di daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi atau daerah sebagai bagian dari tanggung jawab departemen teknis. Tujuan utamanya adalah membiayai fungsi-fungsi dan kegiatan pemerintah pusat yang terkait dengan prioritas nasional dengan membiayai aset non-fi sik (dekonsentrasi) dan aset fi sik (tugas pembantuan).
18 Zakat adalah jumlah uang yang wajib dibayarkan oleh setiap pemeluk agama Islam dewasa yang waras, bebas dan mampu, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menunjang orang-orang dari golongan tertentu (fakir miskin dan mereka yang membutuhkan). Jumlah uang yang perlu dibayarkan adalah 2,5 persen dari penghasilan orang yang bersangkutan, yang dapat dibayarkan setiap bulan atau pun setiap tahun..
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN22
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Evaluasi anggaran dimulai dengan pemaparan pelaksanaan anggaran semester pertama dan perkiraan semester kedua kepada DPRD pada akhir bulan Juli tahun anggaran tersebut. Ketika tahun anggaran berakhir, pelaksanaan APBD diperiksa oleh BPK dan laporan pemeriksaannya disampaikan kepada DPRD dalam waktu 2 bulan setelah APBD diterima. Terakhir, kepala daerah mengajukan rancangan Perda dan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk disetujui, selambat-lambatnya enam bulan setelah akhir tahun anggaran yang bersangkutan (gambar B5).
Pada prakteknya, proses anggaran seringkali tidak mengikuti rencana waktu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Suatu studi tahun 2005 tentang kemampuan pemerintah daerah di 10 kabupaten yang terkena tsunami menunjukkan bahwa untuk menerima persetujuan anggaran dari DPRD diperlukan waktu rata-rata 4 bulan. Menurut ketentuan, anggaran seharusnya diajukan ke DPRD bulan Oktober dan disetujui oleh DPRD sebelum tahun anggaran yang baru dimulai. Di beberapa kabupaten, anggaran diajukan setelah tahun anggaran baru dimulai dan baru disetujui pada bulan Juni. Simeulue dan Banda Aceh melaporkannya pada bulan Agustus 2005. Tertundanya pengajuan dan persetujuan anggaran umum terjadi di Aceh sebelum tsunami, yang menunjukkan perlunya peningkatan koordinasi antara eksekutif dan legislatif untuk memenuhi rencana waktu proses anggaran.
Perencanaan anggaran dari bawah (bottom up) dan proses anggaran yang tepat waktu diperlukan guna mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Beberapa masalah utama penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang perlu ditanggapi adalah:
Ketidaksetaraan antara dana alokasi dan hasil pembangunan di berbagai daerah.Kurangnya korelasi antara rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, program pembangunan daerah, dan rencana strategis.Kesenjangan sektoral dan geografi s: Alokasi dana publik lintas sektoral maupun antar daerah hendaknya memenuh kebutuhan masyarakat.
Format Anggaran Baru
Keputusan Menteri. 29/2002 (Kepmen 29) merubah format anggaran pemerintah daerah. Format anggaran yang baru ini khususnya merubah struktur pembelanjaan, sementara struktur pendapatan relatif tetap sama. Format pendapatan yang baru tidak memasukkan sisa kas (carry over) dan rekening pinjaman, dan mengikuti struktur anggaran gabungan yang menggolongkan pembelanjaan menjadi aparat pemerintah dan pembelanjaan publik. Di samping itu, format anggaran yang baru memiliki rekening pinjaman yang terpisah, yang mencakup semua transaksi pinjaman, cadangan, dan arus keuangan lainnya seperti transfer dari/ke dana cadangan dan penjualan/perolehan aset keuangan (Gambar 2.4).19 Yang termasuk butir-butir pendapatan yang kini dipertimbangkan sebagai arus masuk penyedia biaya adalah pinjaman dan sisa (carry over) dari tahun sebelumnya. Dari pembelanjaan-pembelanjaan yang dianggap membiayai arus keluar, terdapat sisa yang diteruskan ke tahun berikutnya dan pembayaran modal pinjaman.
19 Format anggaran yang baru diadopsi oleh pemerintah provinsi dan daerah Aceh tahun 2003. Pada tingkat nasional, format anggaran diadopsi oleh 197 dari 334 pemerintah daerah yang mengajukan anggaran kepada Depkeu pada tahun 2003.
••
•
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN 23
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 2.4. Format anggaran lama vs. baruFormat Lama Format Baru
1. Pendapatan 1. Pendapatan
- Sisa kas (carry-over) dari tahun sebelumnya
- Pendapatan Asli Daerah - Pendapatan Asli Daerah
- Dana Perimbangan - Dana Perimbangan
- Pinjaman Daerah
- Pendapatan lain - Pendapatan Lain
2. Pembiayaan
2. Pembelanjaan 3. Pembelanjaan
2.1. Pembelanjaan Rutin 3.1. Pembelanjaan Aparat
- Administrasi Umum
- Operasional dan Perawatan
- Modal
2.1. Pembelanjaan Pembangunan 3.2. Pembelanjaan Publik
- Administrasi Umum
- Operasional dan Perawatan
- Modal
Sumber: Analisis Pembelanjaan Publik Papua, Pemerintah Daerah Papua, dan Bank Dunia 2005.
Format pembelanjaan yang baru ini mempengaruhi struktur anggaran daerah secara signifi kan karena meningkatkan fokus pada penerima manfaat dan bukan program/proyek. Berdasarkan struktur yang baru tersebut, pembelanjaan untuk kegiatan/program yang menguntungkan masyarakat luas akan dilaporkan sebagai pembelanjaan publik, sementara pembelanjaan untuk program-program yang dialokasikan untuk aparat pemerintah akan dilaporkan sebagai pembelanjaan aparat. Diharapkan bahwa dengan format baru ini, duplikasi anggaran kegiatan atau proyek dapat dihindari dan analisis yang lebih baik dapat dilakukan. Meskipun demikian, jika tidak diberikan panduan yang jelas mengenai cara menggolongkan pos-pos berdasarkan format anggaran baru ini, analisis keuangan dan pembelanjaan publik dapat menjadi bermasalah, dan hasil yang optimum mungkin tidak tercapai.
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN24
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
3Penerimaan dan Pembiayaan
ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN26
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Penerimaan
Gambaran keseluruhan penerimaan Aceh
Aceh adalah salah satu penerima manfaat utama desentralisasi dan dana daerah; antara tahun 1999-2006, total penerimaan daerah naik lebih dari 5 kali lipat. Seperti halnya di bagian lain Indonesia, penerimaan pemerintah daerah Aceh naik secara signfi kan sejak peraturan desentralisasi tahun 1999. Kenaikan tambahan bagi pendapatan daerah datang ketika Aceh memperoleh status Otonomi Khusus pada tahun 2001. Setelah bencana tsunami tahun 2004, Aceh menerima dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang besar dari masyarakat dan donor di dalam maupun luar negeri. Tahun 2006, alokasi dana untuk rekonstruksi dan rehabilitasi diperkirakan mencapai sekitar AS$ 1,8 milyar (16 triliun rupiah). Pendapatan Aceh sebelum dan sesudah desentralisasi, dan sesudah tsunami, serta tren pendapatan pemerintah daerah di Aceh digambarkan pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.
Gambar 3.1. Penerimaan Aceh sebelum dan sesudah desentralisasi, dan setelah tsunami, 1999–2006
3
9 11
5
11
2 1
2
1
0
5
10
15
20
25
30
35
1999 2002 2006
Tri
liun
Rup
iah
Dekonsentrasi/pusat Anggaran rekonstruksi Pemerintah daerah
Donors & NGOs
BRR ke provinsi
BRR ke kab/kota
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu, BPS-SK, dan BRR. Data riil (harga konstan 2006).
Gambar 3.2. Penerimaan pemerintah daerah di Aceh naik pesat setelah desentralisasi, 1994-2006
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
_pla
n
20
06
_pla
n
Mily
ar R
upia
h
Harga Konstan 2006 Harga Berlaku
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK.
Dari segi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), Aceh termasuk salah satu provinsi terkaya di Indonesia, terlebih lagi dalam perhitungan per kapita. Meskipun penduduk Aceh hanya 4,1 juta jiwa, provinsi ini menerima pendapatan 8,4 triliun rupiah pada tahun 2004. Sebagai perbandingan, Jawa Timur, yang berpenduduk
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 27
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
lebih dari 37 juta jiwa, menerima 18 triliun rupiah. Dari segi pendapatan per kapita, Aceh termasuk dalam ketiga daerah teratas di Indonesia, hanya kalah dari Papua dan Kalimantan Timur (Gambar 3.3).
Gambar 3.3. Pendapatan per kapita Aceh termasuk yang tertinggi di Indonesia
0
1
2
3
4
Pro
p. P
ap
ua
Pro
p. K
alim
an
tan T
imu
r
Pro
p. A
ce
h
Pro
p. R
iau
Pro
p. K
alim
an
tan Te
ng
ah
Pro
p. M
alu
ku Uta
ra
Pro
p. M
alu
ku
Pro
p. G
oro
nta
lo
Pro
p. B
an
gka B
elitu
ng
Pro
p. Ja
mb
i
Pro
p. S
ula
we
si Ten
ga
h
Pro
p. B
ali
Pro
p. K
alim
an
tan S
ela
tan
Pro
p. S
ula
we
si Ten
gg
ara
Pro
p. N
usa Te
ng
ga
ra Tim
ur
Pro
p. S
ula
we
si Uta
ra
Pro
p. S
um
atra B
ara
t
Pro
p. B
en
gku
lu
Pro
p. S
ula
we
si Se
lata
n
Pro
p. K
alim
an
tan B
ara
t
Pro
p. Y
og
yaka
rta
Ind
on
esia
Pro
p. S
um
atra S
ela
tan
Pro
p. S
um
atra U
tara
Pro
p. N
usa Te
ng
ga
ra Ba
rat
Pro
p. L
am
pu
ng
Pro
p. Ja
wa T
imu
r
Pro
p. Ja
wa T
en
ga
h
Pro
p. B
an
ten
Pro
p. Ja
wa B
ara
t
Juta
Rup
iah
Provinsi Kab/kota
Aceh
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu, 2004.
Kenaikan pendapatan daerah Aceh sebagian besar berasal dari dana perimbangan (transfer), yang naik lebih dari 3 kali lipat secara riil dari tahun 1999 sampai 2006, dari 2,2 triliun rupiah menjadi 10,4 triliun (Tabel 3.1). Peran transfer antar pemerintah selama ini signifi kan terhadap anggaran pemerintah daerah baik sebelum maupun sesudah desentralisasi. Dari tahun 1997 sampai 2000, transfer merupakan 91 persen total pendapatan di Aceh, suatu angka yang tetap tinggi setelah desentralisasi, yaitu rata-rata 87 persen. Provinsi Aceh menerima bagi hasil non-pajak yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan pemerintah daerah, terutama sejak tahun 2002. Pelaksanaan Otonomi Khusus pada tahun 2002 berarti bahwa dana bagi hasil non-pajak yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan ditransfer ke rekening provinsi. Meskipun demikian, komposisi pendapatan keseluruhan menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki sumber daya yang lebih banyak baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan desentralisasi.
Tabel 3.1. Komposisi pendapatan pemerintah provinsi dan daerah di Aceh, 1999–2006 (milyar Rp)
1999 2002 2006 (proyeksi)
Prov. Kab/Kota Total Prov. Kab/Kota Total Prov. Kab/Kota Total
PAD 78 107 185 160 146 306 148 133 281
Bagi hasil pajak 49 203 252 72 260 333 108 473 582
Bagi hasil non-pajak
18 8 26 2,078 1,335 3,413 2,006 2,156 4,161
SDO 98 779 877
INPRES 353 732 1,085
DAU 260 3,583 3,842 461 4,560 5,021
DAK 0.34 122 12 0 593 593
Lain-lain 44 653 697 147 341 488
Total 596 1,829 2,425 2,615 6,098 8,713 2,870 8,255 11,125Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK. Data riil (harga konstan 2006).
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN28
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sumber pendapatan Aceh yang terpenting adalah DAU dan bagi hasil. Sejak tahun 2001, sumber-sumber pendanaan ini menyumbangkan rata-rata 44 persen dan 41 persen dari total pendapatan. Kenaikan pendapatan dari sumber-sumber lain setelah desentralisasi mungkin disebabkan oleh pengaturan bagi hasil pajak yang baru antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah sumber dana terkecil dan hanya menyumbangkan 4 persen dari total pendapatan. Kecilnya pangsa pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan tersebut menandakan bahwa pemerintah daerah masih perlu memperbaiki efektivitas dan efi siensi sistem pengumpulannya. Meskipun demikian, walaupun masih merupakan penyumbang terkecil, pendapatan asli daerah juga telah mengalami peningkatan yang berarti dari tahun 1999-2006.
Tabel 3.2. Persentase berbagai sumber pendapatan terhadap total pendapatan daerah di Aceh, 1997–2005
1997 1998 1999 2000% rata-
ratapra.des.
2001 2002 2003 2004 2005% rata-
rata pasca des.
Pendapatan Asli Daerah
10 10 8 6 8 3 4 3 5 4 4
Bagi Hasil 18 17 11 8 14 29 43 45 44 45 41
SDO 39 39 36 31 36
INPRES 33 33 45 55 42
DAU 63 44 33 37 42 44
DAK 1 1 3 3 3 2
Lain-lain 0.15 0.02 0.02 0.10 0.07 4 8 16 11 6 9
Total transfer 90 90 92 94 91 93 88 81 84 90 87
Total pendapatan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SKCatatan: * = pada tahun 2003, jumlah “pendapatan lain-lain” sangat tinggi. Mungkin bahwa sebagian jumlah itu adalah bagi hasil. Maka diasumsikan bahwa 15 persen saham dari “pendapatan lain” dialokasikan untuk bagi hasil.
Dalam hal bagi hasil sumber daya alam, Aceh menerima alokasi terbesar ketiga. Hanya tiga provinsi yang menerima bagi hasil sumber daya alam dalam jumlah yang sangat besar. Kedua provinsi yang lain adalah Kalimantan Timur dan Riau (Gambar 3.4). Dari total 4,6 triliun rupiah bagi hasil di tahun 2004, sekitar 4 triliun disumbangkan oleh porsi sumber daya alam. Hanya 561 milyar rupiah berasal dari pembagian pajak. Setelah pelaksanaan otonomi khusus, volume bagi hasil sumber daya alam di Aceh meningkat dari 26 milyar rupiah pada tahun 1999 menjadi 3,4 triliun pada tahun 2002, dan lebih dari 4 triliun rupiah pada tahun 2004, yang berarti naik lebih dari 100 kali lipat.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 29
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.4. Aceh memiliki alokasi terbesar ketiga dari bagi hasil sumber daya alam, 2004
0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000
DI YogyakartaBanten
BaliGorontaloBengkulu
Nusa Tenggara TimurSulawesi Utara
Sulawesi TengahSulawesi Tenggara
Kalimantan BaratMaluku
Jawa TengahJawa Timur
Sumatera BaratSumatera UtaraIrian Jaya Barat
Sulawesi SelatanMaluku Utara
DKI JakartaKalimantan Tengah
Bangka BelitungJambi
Nusa Tenggara BaratPapua
Kalimantan SelatanLampung
Kepulauan RiauJawa Barat
Sumatera SelatanNADRiau
Kalimantan Timur
Milyar rupiah
Sumber: Depkeu; perkiraan staf Bank Dunia, harga berlaku
Disparitas dan ketidaksetaraan fi skal
Meskipun Aceh termasuk daerah yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi, disparitas pembagian pendapatan per kapita antar pemerintah daerah cukup signifi kan. Pada tahun 2004, salah satu kabupaten terkaya (Kota Sabang) memiliki pendapatan (per kapita) hampir 6 kali lipat dari kabupaten termiskin (Kab. Bireuen) (Gambar 3.5).
Gambar 3.5. Kabupaten/kota di Aceh memiliki tingkat disparitas pendapatan per kapita yang besar, 2004
0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000
Bireuen
Pidie
Aceh Tamiang
Aceh Tengah
Aceh Timur
Kota Banda Aceh
Aceh Besar
Aceh Jaya*
Kota Langsa
Aceh Selatan
Aceh Tenggara
Aceh Barat
Aceh Barat Daya
Nagan Raya
Kota Lhokseumawe
Aceh Utara
Gayo Lues
Kota Sabang
Ribu Rupiah
Bagi has i l per kapi ta Pendapatan (selain bagi hasil per kapita)
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu.Catatan: Data tersedia untuk 18 dari 21 pemerintah daerah.* = data tahun 2003.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN30
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Seperti halnya di daerah-daerah lain Indonesia, kabupaten-kabupaten di Aceh mengalami ketidaksetaraan yang signifi kan dalam hal alokasi pendapatan dari minyak dan gas bumi. Alokasi pendapatan migas tahun 2004 menunjukkan bahwa sebagai kabupaten penghasil, Kab. Aceh Utara menerima lebih dari 15 kali lipat alokasi pendapatan migas Aceh Pidie, yang merupakan kabupaten non-penghasil (Gambar 3.6). Namun demikian, daerah-daerah non-penghasil lainnya, seperti Kota Sabang, menerima alokasi per kapita pendapatan migas yang besar.
Gambar 3.6. Alokasi migas per kapita antara kabupaten/kota di Aceh, 2004
0 100 200 300 400 500 600 700
Kab. Aceh Pidi e
Kab. Bi reuen
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Tengah
Kota Banda Aceh
Kab. Aceh Tamiang
Kab. Aceh Selata n
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh Bara t
Kab. Aceh Singki l
Kota Lhokseumawe
Kota Langs a
Kab. Aceh Timur
Kab. Aceh Raya
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Aceh Jaya
Kab. Simeuleu
Kab. Gayo Lue s
Kota Sabang
Kab. Aceh Utar a
Ribu rupiah
Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Alokasi DAU antar pemerintah daerah seharusnya mengurangi ketidaksetaraan yang timbul karena bagi hasil. Pada kenyataannya, sebagai hibah, DAU tidak menyinggung ketidakseimbangan pendapatan antar kabupaten. Untuk menutupi ketidakseimbangan, daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi seharusnya menerima transfer DAU yang lebih tinggi. Saat ini praktis tidak ada hubungan antara tingkat kemiskinan dan jumlah DAU yang diterima kabupaten. Daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi tidak menerima transfer yang jauh lebih tinggi dari daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan lebih rendah (Gambar 3.7).
Gambar 3.7. Hubungan antara DAU per kapita dan tingkat kemiskinan di kabupaten-kabupaten di Aceh, 2004–05
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Tingkat Kemiskinan 2004
Kota Sabang
DA
U p
er k
apita
200
5
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan BPS.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 31
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Proyeksi Pendapatan
Menurut UU Pemerintahan Aceh, yang disahkan bulan Agustus 2006, pada tahun 2008 nanti Aceh akan mulai menerima pendapatan tambahan. Sumber baru pendapatan ini adalah 2 persen dari alokasi DAU nasional selama 15 tahun disusul dengan 1 persen dari alokasi DAU nasional selama 5 tahun berikutnya (sampai 2028). Dana tambahan ini dimaksudkan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta pemberdayaan sektor ekonomi, pendidikan, sosial dan kesehatan. Undang-undang baru ini juga merevisi bagi hasil migas antara pemerintah pusat dan daerah. Aceh akan terus menerima 70 persen dari pendapatan migas. Tetapi dana dari pendapatan sumber daya alam mungkin akan turun, karena berkurangnya produksi minyak dan gas bumi. Dengan memperhitungkan dana tambahan tersebut, pendapatan Aceh diproyeksikan akan meningkat mulai tahun 2008. Pendapatan diperkirakan akan naik menjadi 14 triliun rupiah lebih pada tahun 2009. Dana tambahan 2 persen dari alokasi DAU akan sedikit menutupi pendapatan yang menurun dari produksi minyak dan gas bumi (Gambar 3.8).
Gambar 3.8. Proyeksi pendapatan Aceh tahun 2008 dengan dan tanpa alokasi DAU 2%
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Triliu
n R
upia
h (h
arga
kon
stan
200
6)
Total penerimaan dengan dana otsus ($75/brl) Total penerimaan dengan dana otsus ($60/brl)Total penerimaan dengan dana otsus ($50/brl) Total penerimaan dengan dana otsus ($60/brl)
Tambahan Penerimaan UUP A No 11/2006
Proyeksi
Angka sebenarnya
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan PT Arun LNG.
Karena minyak dan gas bumi adalah sumber daya alam utama Aceh, pendapatan bagi hasil akan berkurang menjadi hampir 4 triliun rupiah pada tahun 2007 dan akan merosot tajam menjadi 3,5 triliun rupiah atau kurang dari itu setelah tahun 2009 (Gambar 3.9). Penurunan ini akan ditutupi oleh DAU yang terus bertambah serta pendapatan lainnya.
Gambar 3.9. Kepekaan harga minyak terhadap bagi hasil sumber daya alam (triliun Rp)
0
1
2
3
4
5
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tri
liun
Rup
iah
Bagi has i l dengan A S$ 50/bare l Tambahan AS$10 Tambahan AS$15
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan PT Arun LNG.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN32
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Seperti daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh belum mengalami peningkatan PAD setelah desentralisasi fi skal. Pajak besar tetap menjadi bagian pemerintah pusat. Sebagai contoh, pajak bumi dan bangunan (PBB), yang di negara lain sudah banyak didesentralisasi, masih dipungut oleh pemerintah pusat dan kemudian ditransfer ke provinsi. Sebelum desentralisasi, PAD menyumbangkan kurang dari 6 persen terhadap pendapatan pemerintah kabupaten/kota dan 19 persen dari total pendapatan provinsi.
PAD provinsi bertambah setelah desentralisasi namun mengalami penurunan tajam pada tahun 2005. Menyusutnya PAD pada tahun 2005 adalah akibat dari bencana tsunami, yang mempengaruhi banyak basis pajak potensial dan menghambat pengumpulan pajak. Kenaikan PAD setelah desentralisasi terutama digerakkan oleh perluasan basis pajak oleh pajak kendaraan bermotor dan penambahan pajak pemakaian air bawah tanah dan permukaan. Di antara PAD provinsi, pajak provinsi secara konstan menjadi penyumbang utama, dengan nilai lebih dari 2/3 total PAD. Kategori “PAD lain yang memenuhi ketentuan” (jasa giro dan sumbangan pihak ketiga), yang merupakan penyumbang terbesar kedua, telah banyak meningkat sejak desentralisasi (tabel 3.3).20
Tabel 3.3. Komposisi PAD provinsi di Aceh
Pendapatan asli daerah
1999 2002 2003 2004 2005
Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp %
Pajak Provinsi 70,216 90 125,400 78 141,322 84 212,663 70 132,673 81
Retribusi 4,017 5 5,615 4 5,349 3 5,929 2 3,249 2
Laba dari BUMD 171 0 2,388 1 2,545 2 2,818 1 2,610 2
PAD lainnya 3,563 5 26,585 17 19,155 11 83,807 27 24,527 15
Total 77,967 100 159,988 100 168,371 100 305,207 100 163,060 100Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan basis data Desentralisasi Bank Dunia. Data riil (harga konstan 2006).
Bea balik nama kendaraan bermotor adalah penyumbang utama pajak provinsi. Pada tahun 2004 bea balik nama kendaraan bermotor menyumbangkan 46% dari pajak provinsi keseluruhan, disusul oleh pajak kendaraan bermotor (31 persen) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (20 persen). Pajak lampu jalan memainkan peran besar dalam hal pajak pemerintah daerah di Aceh. Pajak lampu jalan menyumbangkan lebih dari 70 persen pajak setempat, disusul dengan pajak hotel dan restoran, dan pajak pengangkatan dan pengolahan sumber daya tambang tipe C.
PAD pemerintah daerah naik setelah desentralisasi, tetapi menurun pada tahun 2004 dan 2005 akibat konfl ik dan tsunami. Komposisi PAD pemerintah daerah juga berubah setelah desentralisasi. Sebelum desentralisasi, pajak daerah menyumbangkan lebih dari 70 persen total PAD pemerintah daerah. Peran pajak daerah dalam total pengumpulan pajak berkurang setelah desentralisasi sementara “PAD lain yang memenuhi ketentuan” semakin penting (Tabel 3.4).
20 Sumbangan pihak ketiga dapat berupa hibah dari donor, NGO, atau swata yang disumbangkan langsung ke pemerintah daerah, dan kontribusi dari kontraktor sejumlah 5 persen dari nilai proyek. Jasa giro dapat mengenakan pajak atas transaksi perbankan dan bunga bank dari simpanan pemerintah daerah.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 33
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 3.4. Komposisi PAD pemerintah daerah di Aceh
Pendapatan asli daerah
1999 2002 2003 2004 2005
Rp mio % Rp mio % Rp mio % Rp mio % Rp mio %
Pajak Daerah 76,879 72 42,319 29 37,207 21 45,587 23 44,273 26
Retribusi 29,846 28 42,841 29 32,393 18 41,093 21 39,588 24
Laba dari BUMD 212 0.20 3,824 3 2,862 2 5,118 3 6,433 4
PAD Lainnya 0 0 56,535 39 108,022 60 104,503 53 77,976 46
Total 106,938 100 145,519 100 180,484 100 196,302 100 168,269 100
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan basis data Desentralisasi Bank Dunia. Data riil (harga konstan 2006).
Kecilnya kontribusi pajak daerah terhadap PAD mungkin dikarenakan rendahnya tingkat tarif. Beberapa kabupaten dan kota telah mulai melakukan penyesuaian tingkat tarif dengan merevisi peraturan-peraturan daerah yang sudah ketinggalan jaman. Penyesuaian tarif ini telah diterapkan di beberapa pemerintah daerah, seperti Kab. Aceh Tamiang, Kab. Aceh Timur, Kota Langsa, Kab. Bener Meriah, dan Kab. Aceh Tengah. Pengumpulan pajak telah naik seiring membaiknya keamanan dan iklim investasi sejak penandatanganan perjanjian damai.
UU No. 18/2001 secara resmi mencantumkan zakat sebagai sumber PAD bagi pemerintah provinsi dan daerah. Namun pada prakteknya, zakat belum disertakan sebagai PAD dalam anggaran mereka karena 4 alasan:
1. Banyak pemerintah daerah masih belum membentuk badan penyelenggara zakat (Baitul Mal).2. Masyarakat tidak yakin apakah pajak yang mereka bayar itu disalurkan dengan semestinya kepada ke-8
asnaf (penerima zakat menurut hukum Islam)3. Badan penyelenggara zakat tidak memiliki sumber daya, informasi dan teknologi.4. Apakah zakat seharusnya dicatat oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari pendapatan pemerintah
masih belum jelas. Menurut syariah Islam, zakat seharusnya tidak menjadi pendapatan pemerintah. Meskipun demikian, Pemerintah Daerah Aceh mengakui zakat sebagai pendapatan pemerintah.
Sejauh ini, pengelolaan dan administrasi zakat dijalankan oleh organisasi-organisasi Islam individu, kantor pemerintah daerah, BUMD, dan perusahaan swasta. Pemerintah daerah pada umumnya mengumpulkan zakat sebagai 2,5 persen dari gaji bulanan pegawai pemerintah.
Terdapat tingkat disparitas PAD per kapita yang tinggi antar pemerintah daerah. Kota Sabang memiliki PAD per kapita lebih dari 15 kali lebih tinggi daripada Kab. Pidie. Pemerintah daerah yang memiliki PAD per kapita lebih tinggi tampaknya cenderung merupakan wilayah kota. Hasil temuan ini dapat mengisyaratkan bahwa struktur pajak dan pungutan daerah yang ada saat ini menguntungkan daerah perkotaan (Gambar 3.10). Konfl ik antara GAM dan Pemerintah RI telah menjadi penghambat besar bagi pertumbuhan PAD di wilayah ini. Konfl ik tersebut sangat membatasi semua kegiatan ekonomi, sehingga berdampak negatif bagi PAD secara keseluruhan. Konfl ik juga menghalangi pejabat pemerintah untuk memungut pajak.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN34
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.10. PAD per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2004
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Kota Sabang
Kab. Aceh
Utara
Kota Lhokseumawe
Kota Banda
Aceh
Kab. Gayo
Lues
Kab. Aceh Barat
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh Tengah
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Nagan Raya
Kab. Aceh Selatan
Kota Langsa
Kab. Aceh Tamiang
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Timur
Kab. Bireuen
Kab. Pidie
Kab. Aceh
Jaya*
Pajak Daerah Restribusi Keuntungan BUMD Penerimaan Lainnya
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan basis data Desentralisasi Bank Dunia.Catatan: * = data tahun 2003.
Pembentukan kabupaten baru juga menimbulkan masalah dalam hal pembagian sumber-sumber PAD antara pemerintah daerah lama dan baru. Alasannya ada tiga. Pertama, ada pembagian pengelolaan aset dan administrasi pajak yang tidak jelas antara pemerintah daerah yang lama dan baru. Pemerintah daerah yang lama masih mengumpulkan pajak, sementara secara administratif aset-aset ini telah diberikan kepada dan terletak di wilayah pemerintahan daerah yang baru. Sebagai contoh, Kabupaten Aceh Tamiang yang baru dibentuk itu belum menerima bagian labanya yang ditahan dari pengoperasian PDAM21 dan pengelolaan sarang burung walet dari kabupaten asalnya (Aceh Barat), meskipun kegiatan tersebut dan pengelolaannya berada di wilayah Kab. Aceh Tamiang. Kedua, pemerintah daerah yang baru dibentuk seringkali kekurangan kemampuan administrasi dan pengumpulan pajak. Ketiga, pembentukan kabupaten baru telah menjauhkan pemerintah daerah semula dari sumber-sumber PAD yang potensial.
Bagi Hasil Pajak
Aceh menerima pendapatan yang meningkat dari bagi hasil pajak setelah desentralisasi dan pendapatannya diperkirakan akan naik dalam tahun mendatang. Antara tahun 1999-2001, pendapatan bagi pemerintah provinsi dan daerah dari bagi hasil pajak naik 60 persen. Sejak tahun 2001, pendapatan dari bagi hasil pajak berfl uktuasi, kemungkinan besar akibat dari kondisi keamanan yang tidak stabil. Bencana tsunami adalah satu lagi alasan menurunnya pendapatan bagi hasil pajak pada tahun 2005. Bencana tersebut merusak atau menghancurkan ribuan rumah dan usaha, yang semuanya merupakan sumber pajak bumi dan bangunan yang potensial, dan bea balik nama perumahan. Pendapatan provinsi dari bagi hasil pajak turun dari 81 milyar rupiah pada tahun 2003 menjadi 56 milyar rupiah pada tahun 2005. Pendapatan bagi hasil pajak pemerintah daerah mengalami kenaikan yang relatif besar pada tahun 2003 dan 2004. Meskipun demikian, jumlah itu menurun secara signifi kan dari sekitar 484 milyar rupiah pada tahun 2004 menjadi kurang dari 30 milyar rupiah pada tahun 2005 (Gambar 3.11).
21 Perusahaan Daerah Air Minum
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 35
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.11. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh
0
100
200
300
400
500
600
1999 2001 2002 2003 2004 2005
Juta
rup
iah
Provinsi Kabupaten/Kota
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu/SIKD (harga konstan 2006).
Meskipun pemerintah daerah telah menikmati pendapatan yang lebih tinggi dari bagi hasil pajak setelah desentralisasi, kontribusi bagi hasil pajak terhadap total pendapatan telah menurun selama tahun-tahun terakhir. Sebelum desentralisasi, bagi hasil pajak menyumbangkan lebih dari 8 persen total pendapatan provinsi; tahun 2005, bagi hasil pajak tersebut tercatat di bawah 2 persen. Demikian pula, kontribusi bagi hasil pajak bagi pendapatan pemerintah daerah turun dari 11 persen di tahun 1999 menjadi 6 persen di tahun 2005. Penurunan ini dapat dijelaskan dari kenaikan dana alokasi umum (DAU) pemerintah pusat ke pemerintah daerah pasca desentralisasi yang sangat menonjol (Tabel 3.5)
Tabel 3.5. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh (milyar Rp)
Tahun
Provinsi Pemerintah daerah
Bagi hasil
pajak
Total pendapatan
Bagi hasil pajak terhadap total
pendapatan(%)
Bagi hasil
pajak
Total pendapatan
Bagi hasil pajak terhadap total
pendapatan(%)
1999 49 596 8.2 203 1,829 11.1
2001 77 961 8.0 327 5,515 5.9
2002 72 2,615 2.8 260 6,098 4.3
2003 81 3,103 2.6 318 7,019 4.5
2004 77 3,473 2.2 484 6,956 7.0
2005 56 3,376 1.7 343 5,705 6.0Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu/SIKD (harga konstan 2006)..
Dalam sejarahnya, PBB adalah sumber pendapatan bagi hasil pajak yang terpenting bagi provinsi. Sebelum desentralisasi, PBB merupakan hampir 90 persen dari total bagi hasil pajak provinsi. Sejak desentralisasi, kontribusi dari pajak penghasilan telah meningkat sampai kira-kira sepertiga total pendapatan bagi hasil pajak, yang juga meningkatkan pendapatan provinsi dan mengimbangi arti penting PBB (Gambar 3.12). PBB juga merupakan sumber terpenting pendapatan bagi hasil pajak bagi pemerintah daerah di Aceh. Pada tahun 1999, PBB merupakan hampir 90 persen dari total bagi hasil pajak. Perannya memang telah menurun sejak desentralisasi, namun PBB masih menyumbangkan lebih dari dua per tiga total bagi hasil pajak.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN36
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.12. Komposisi bagi hasil pajak provinsi, 1999–2004
Gambar 3.13. Komposisi bagi hasil pajak pemerintah daerah, 1999–2004
0%
20%
40%
60%
80%
100%
1999 2001 2002 2003 2004
(PBB) (BPHTB ) ( PPh ) Pembagian pajak lainnya
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1999 2001 2002 2003 2004
(PBB) (BPHTB ) ( PPh )
Pajak bahan bakar Pembagian pajak lainnya
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu.
Terdapat disparitas yang besar antar kabupaten/kota di Aceh dalam bagi hasil pajak per kapita. Pidie memiliki bagi hasil pajak per kapita terkecil, yaitu 15 kali lebih rendah dari Sabang (Gambar 3.14). Peraturan daerah (Qanun No. 4/2002) tidak menyebutkan mekanisme pembagian yang jelas untuk bagi hasil pajak antar kabupaten/kota di Aceh. Satu-satunya panduan mengenai distribusi ditetapkan untuk bagi hasil pajak penghasilan. Distribusi bagi hasil pajak dari pajak bumi dan bangunan serta hak milik tanah dan bangunan tidak disebutkan. Pembagian itu tampaknya lebih menguntungkan daerah perkotaan dan kabupaten penghasil minyak dan gas bumi.
Gambar 3.14. Bagi hasil pajak per kapita antara pemerintah daerah di Aceh, 2004
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Kab. Pidi eKab. Aceh Besar
Kab. Aceh Tengah Kab. Aceh Jaya*
Kab. Aceh Barat DayaKab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh SelatanKota Banda Aceh
Kab. Gayo LuesKab. Aceh Bara t
Kab. Bir euenKota Langsa
Kab. Aceh Utar aKab. Aceh Timur
Kab. Aceh TamiangKota Loksumaw eKab. Nagan Raya
Kota Sabang
Ribu Rupiah
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS.Catatan: * = data tahun 2003.
Bagi hasil sumber daya alam (non-pajak)
Sebelum desentralisasi pajak, bagi hasil sumber daya alam yang diterima oleh pemerintah provinsi dan daerah sangat terbatas, baik dalam hal jumlah maupun jenis pendapatan. Sebelum desentralisasi, rata-rata bagi hasil dari sumber daya alam hanyalah 1,1 persen dari total pendapatan. Jumlah ini meningkat tajam setelah desentralisasi dan perluasan jenis sumber daya yang tercakup, hingga mencapai 4 triliun rupiah, atau 39 persen dari total pendapatan tahun 2004 (Gambar 3.15).
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 37
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.15. Kecenderungan bagi hasil sumber daya alam di Aceh, 1994–2005
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Mily
ar R
upia
h
Provinsi Kab/kota
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu. Data bersifat riil (harga konstan 2006).
Perluasan jenis bagi hasil telah merubah komposisi bagi hasil sumber daya alam dan para penerima manfaatnya di Aceh. Sewa sumber daya hutan, yang dulunya merupakan kontributor utama bagi hasil sumber daya alam, telah digantikan oleh minyak dan gas bumi sebagai kontributor utama. Porsi sewa sumber daya kehutanan telah menurun secara signifi kan dari rata-rata 64 persen sebelum tahun 2001 menjadi 0,2 persen setelah desentralisasi. Sebaliknya, minyak dan gas bumi telah menjadi sumber utama bagi hasil dari sumber daya alam dengan pangsa rata-rata 26 persen untuk minyak dan 50 persen untuk gas bumi (Gambar B6).
Semua pemerintah daerah di Aceh menerima bagi hasil yang lebih tinggi dari sumber daya alam setelah desentralisasi. Rata-rata tertimbang per tahun untuk pemerintah daerah menunjukkan kenaikan dari 1,1 milyar rupiah menjadi 69 milyar rupiah. Sebagai daerah penghasil, Aceh Utara menjadi penerima utama bagi hasil sumber daya alam setelah desentralisasi, sementara Aceh Barat sebelumnya merupakan penerima manfaat terbesar (tabel B1). Sabang memiliki bagi hasil sumber daya alam per kapita tertinggi di antara pemerintah-pemerintah daerah di Aceh, disusul oleh Aceh Utara dan Gayo Lues. Seperti halnya pada bagi hasil pajak dan pendapatan asli daerah, bagi hasil sumber daya alam per kapita menunjukkan disparitas yang lebar antar pemerintah daerah (Gambar 3.16).
Gambar 3.16. Sumber daya alam per kapita antar kabupaten/kota di in Aceh, 2004
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1,000
Kab. Aceh Tengah
Kab. Bireuen
Kab. Pidie
Kota Banda Aceh
Kota Langs a
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Tamiang
Kab. Aceh Selatan
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh Barat
Kota Loksumaw e
Kab. Aceh Timur
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Aceh Jaya*
Kab. Gayo Lues
Kab. Aceh Utara
Kota Sabang
Ribu Rupiah
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan BPD.Catatan: *=data tahun 2003.
Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus)
Aceh mendapatkan manfaat yang besar dari status otonomi khusus dalam hal bagi hasil minyak dan gas yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, Aceh menerima 70 persen bagi hasil dari minyak dan gas bumi, yang jauh di atas pengaturan pembagian nasional. Program khusus ini dipandang sebagai upaya untuk menyelesaikan konfl ik
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN38
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
berkepanjangan di wilayah itu. Meskipun undang-undang otonomi yang lama disahkan pada tahun 2001, Aceh mulai menikmati pendapatannya yang besar dari migas pada tahun 2002. Rata-rata sekitar 70 persen pendapatan ini berasal dari bagi hasil gas; yang 30 persen lagi berasal dari bagi hasil minyak.
Dana otsus, salah satu sumber pendapatan utama Aceh, telah meningkat secara stabil sejak tahun 2003. Akumulasi dana otsus yang dialokasikan ke Aceh dari tahun 2002-05 mencapai 6,7 triliun rupiah dari segi nominal.22 Pada tahun pertama, alokasi tersebut mencapai 1,3 triliun rupiah, yang sangat mengangkat pendapatan pemerintah daerah. Alokasi tersebut menurun pada tahun 2003, tetapi naik kembali sesudah itu, hingga mencapai 2,2 triliun rupiah pada tahun 2005. Sebagai akibatnya, pangsanya dalam total pendapatan pemerintah daerah juga naik dari 27 persen di tahun 2002 menjadi 30 persen di tahun 2005 (Gambar 3.17).
Gambar 3.17. Dana otsus Aceh sebagai persentase terhadap total pendapatan
0
5
10
15
20
25
30
35
2002 2003 2004 2005
%
% minyak terhadap total pendapatan % gas terhadap total pendapatan
Sumber: Berbagai Keputusan Menkeu (KMK 241/2002, KMK 237/2003, KMK 275/2004, Keputusan Gubernur Aceh 2005).
Dengan menurunnya produksi migas di masa mendatang, maka ada kemungkinan bahwa pendapatan dari sumber ini akan turun.23 Diperkirakan bahwa volume produksi gas di Aceh Utara akan turun menjadi hanya 7 kargo/tahun pada tahun 2014 (Gambar 3.18). Aceh akan terus memperoleh manfaat dari sumber-sumber pendapatan lainnya. Meskipun demikian, sangatlah penting bahwa pemerintah provinsi dan daerah di Aceh mengadakan alokasi strategis pembelanjaan publik untuk mengantisipasi penurunan pendapatan tersebut dari dana otsus.
Gambar 3.18. Produksi gas PT. Arun LNG di Aceh
0
50
100
150
200
250
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
*
20
06
*
20
07
*
20
08
*
20
09
*
20
10
*
20
11
*
20
12
*
20
13
*
20
14
*
Ka
rgo
/tah
un
Sumber: PT. Arun LNG, 2004.Catatan: Angka dari tahun 2005 dan seterusnya adalah perkiraan. Angka diukur dalam kargo. 1 kargo = 9.82 MCFD (juta kaki kubik per hari).
22 Jumlah ini hanya mengacu pada dana otsus dan di luar dana yang diterima Aceh melalui bagi hasil sumber daya alam yang “normal” antara pemerintah pusat dan daerah.
23 Produksi gas alam dimulai pada tahun 1978 dengan tingkat produksi 250 MCFD. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1994 sebesar 2200 MCFD, sama dengan 224 kargo. Produksi terendah adalah pada tahun 2001 dengan hanya 51 kargo. Setelah 27 tahun, diperkirakan 90 persen lebih sumber daya alam gas telah dieksploitasi. Pada awal tahun 2005, produksi mencapai MCFD. Proyeksi PT Arun NGL menunjukkan kecenderungan menurun, sampai 100 MCFD pada tahun 2018.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 39
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sistem desentralisasi nasional tahun 1999 dirancang untuk memberdayakan pemerintah daerah. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan otonomi khusus memberikan hampir 40 persen sumber daya fi skal kepada pemerintah provinsi. Maka provinsi seharusnya lebih bertanggung jawab atas alokasi sumber dayanya serta lebih tanggap terhadap kebutuhan layanan publik. Dana otsus meningkatkan pendapatan di daerah-daerah penghasil. Kab. Aceh Utara, sebagai kabupaten penghasil utama migas, telah menerima pendapatan tambahan yang signifi kan dari dana otsus. Setelah pelaksanaan undang-undang otonomi khusus, dana ini mewakili rata-rata 41 persen dari total pendapatan Kab. Aceh Utara dan 61 persen dari total transfer (Tabel 3.6). Meskipun demikian, kecenderungan yang menurun saat ini berarti bahwa Kab. Aceh Utara harus menggunakan dananya dengan cara yang strategis dan efi sien sambil mencari sumber alternatif untuk membiayai pembelanjaannya di masa depan.
Tabel 3.6. Persentase dana otsus terhadap total pendapatan dan total transfer di Aceh Utara, 2003–05 (milyar Rp)
2003 2004 2005
Minyak 160 135 120
Gas bumi 370 209 332
Total 530 343 452
% of total transfer 72 50 62
% total pendapatan 35 30 58Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Aceh Utara, Depkeu, dan perhitungan staf Bank Dunia.Catatan: Dana otsus tahun 2002 dicatat pada tahun 2003 karena tertundanya transfer dari pemerintah pusat ke provinsi.
Lima tahun setelah berjalannya otonomi khusus, masih ada beberapa tantangan yang menyangkut transfer dan alokasi dana otsus. Pemerintah pusat belum menyediakan data yang dapat diandalkan mengenai biaya produksi maupun eksplorasi minyak dan gas bumi. Tanpa data ini, pemerintah daerah tidak dapat menghitung pembagian hasil dengan akurat. Kurangnya transparansi pemerintah pusat mengenai biaya-biaya lain seperti ongkos pengelolaan dan pajak juga membatasi akurasi perhitungan bagi hasil. Pemerintah daerah seringkali mengalami penundaan transfer dana otsus. Penundaan tersebut mengganggu arus kasnya dan mengganggu pelaksanaan program-program pembangunan. Dana bagi hasil seharusnya ditransfer setiap triwulan, dimulai dengan triwulan pertama sekitar bulan Desember sampai Februari tahun berikutnya. Meskipun demikian, penundaan sangat umum terjadi. Sebagai contoh, transfer Kab. Aceh Utara untuk bulan Maret 2006 baru diterima bulan Juni. Transfer dan alokasi dana otsus di masa mendatang perlu dibenahi, terutama dalam kaitannya dengan kebutuhan rekonstruksi yang mendesak serta pelaksanaan MOU Helsinki (Kotak 3.1.).
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN40
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Kotak 2. Pengelolaan dan alokasi Dana Otonomi Khusus dari UU No. 18/2001
Skema distribusi yang ada sekarang lebih banyak menguntungkan daerah penghasil dan memperlebar disparitas fi skal yang ada antar pemerintah daerah. Kedua variabel yang digunakan dalam rumusnya, yaitu jumlah penduduk dan luas wilayah, tidak mengatasi ketidaksetaraan atau pun mewakili kebutuhan riil di wilayah tersebut. Indikator yang relevan untuk mengidentifi kasi kebutuhan fi skal seperti tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IHD), produk domestik regional bruto (PDRB) dan kemampuan fi skal tidak disertakan.
Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi tantangan dalam pengelolaan dana otsus. Penundaan transfer pendapatan migas sering terjadi. Penundaan tersebut membatasi perencanaan, pengelolaan fi skal, dan arus kas di tingkat daerah serta mengganggu program-program pembangunan. Pemerintah daerah tidak memiliki akses ke informasi terinci mengenai produksi migas dan biayanya. Di tingkat daerah, sistem pelaporan anggaran tidak memisahkan dana otsus dari sumber-sumber pendapatan lainnya, yang menciptakan kesulitan dalam mengukur penggunaan efektif dan evaluasi dampak dana tersebut. Banyak warga Aceh berpendapat bahwa dana otsus selama ini tidak dikelola dan dibelanjakan dengan baik. Sebagai contoh, tidak adanya kejelasan peraturan tentang pembelanjaan pendidikan memungkinkan pengalihan dana dari layanan publik.
Pembagian dana DAU tambahan yang dimulai tahun 2008 nanti masih dalam pembahasan. Aceh dapat menggunakan pengalaman dari pembagian dana otsus untuk memperbaiki alokasi sumber dana tambahan tersebut:
1. Menutup disparitas fi skal antar kabupaten dengan jalan menaikkan porsi alokasi rumus dan memperbaiki rumus yang digunakan untuk pembagian. Rumus tersebut hendaknya transparan, sederhana, dan menggunakan variabel yang lebih relevan dan mewakili kebutuhan di daerah yang bersangkutan.
2. Memperbaiki akuntabilitas, arus informasi, serta sistem pengelolaan dan evaluasi; dan mengurangi penundaan. Membentuk rekening dan sistem pelaporan yang terpisah untuk dana otsus dalam anggaran pemerintah daerah.
3. Mengklarifi kasi defi nisi yang tidak jelas dalam peraturan untuk memperbaiki alokasi dan pemantauan serta evaluasi.
Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU menjadi sumber pendapatan utama di Aceh setelah sistem desentralisasi diperkenalkan pada tahun 2001. Dari alokasi nasional, Aceh menerima 5 triliun rupiah pada tahun 2006, atau sekitar 3,4 persen dari alokasi nasional. Kontribusi rata-rata DAU bagi pendapatan total di Aceh pasca desentralisasi adalah 44 persen. Dalam pelaksanaannya, alokasi DAU ke Aceh mengalami penurunan pada tahun 2002 dan 2003 tetapi naik secara signifi kan pada tahun 2006 (Gambar 3.19). Kenaikan yang tajam pada tahun 2006 tersebut mencerminkan pelaksanaan alokasi DAU nasional yang meningkat menjadi 26 persen pendapatan bersih domestik dan penanggungan 100 persen gaji pegawai negeri sipil, sesuai amanat UU No. 33/2004.
Gambar 3.19. Tren alokasi DAU untuk NAD
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
5500
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Mily
ar R
upia
h
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu (harga konstan 2006).
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 41
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Rumus untuk DAU diperbaiki pada tahun 2002, ketika bagi hasil disertakan dalam perhitungan kemampuan fi skal. Sebagai akibatnya, banyak wilayah yang kaya sumber daya menerima DAU yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Meskipun demikian, di Aceh, pada tahun 2002 terdapat 10 pemerintah daerah yang menerima alokasi DAU yang sama dengan yang diterimanya tahun 2001. Alokasi DAU pada tahun 2002 dibuat dengan ketentuan “hold harmless”.24 Alokasi DAU dari tahun 2003-2005 mengikuti konsep dan proses yang serupa. Satu-satunya modifi kasi adalah komponen yang agak berbeda yang digunakan dalam rumusnya, atau ditambahnya bobot beberapa komponen (seperti gaji pegawai negeri sipil).
Pada tahun 2006 Aceh diuntungkan oleh alokasi DAU dan pembagian per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dalam perhitungan per kapita, Aceh menerima 1,2 milyar rupiah, lebih dari dua kali lipat alokasinya untuk tahun 2001 (Gambar 3.20).
Gambar 3.20. DAU per kapita untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
Ba
nte
n
Jaw
a Ba
rat
Ria
u
Jaw
a Tim
ur
Jaw
a Ten
ga
h
La
mp
un
g
Su
ma
tera S
ela
tan
Su
ma
tra Uta
ra
Ind
on
esia
Nu
sa Ten
gg
ara B
ara
t
D I Y
og
yaka
rta
Ka
lima
nta
n Tim
ur
Ke
pu
lau
an R
iau
Ba
li
Su
law
esi S
ela
tan
Ka
lima
nta
n Se
lata
n
Jam
bi
Nu
sa Ten
gg
ara T
imu
r
Su
ma
tra Ba
rat
Ka
lima
nta
n Ba
rat
Ac
eh
Su
law
esi U
tara
Ke
pu
lau
an B
an
gka B
elitu
ng
Su
law
esi Te
ng
ah
Be
ng
kulu
Su
law
esi Te
ng
ga
ra
Go
ron
talo
Ma
luku
Ma
luku U
tara
Ka
lima
nta
n Ten
ga
h
Pa
pu
a
Pa
pu
a Ba
rat
Rib
u R
upia
h
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu.
Semua pemerintah daerah, kecuali Aceh Utara, menerima kenaikan besar alokasi DAU pada tahun 2006. Sebagai daerah yang kaya sumber daya, Kab. Aceh Utara hanya menerima alokasi “hold harmless” pada tahun 2006. Rata-rata alokasi DAU di Aceh naik 67 persen pada tahun 2006 (gambar B7). Di dalam wilayah Aceh, alokasi DAU berbeda-beda antar pemerintah daerah. Kab. Aceh Pidie menerima alokasi terbesar yaitu 390 milyar rupiah, disusul Kab. Aceh Besar dan Kab. Bireun yang masing-masing lebih dari 300 milyar rupiah. Meskipun ada alokasi “hold harmless” tersebut, Aceh Utara masih tetap menerima sumber daya DAU yang cukup besar (Gambar 3.22).
24 Berdasarkan ketentuan “hold harmless” ini, pemerintah provinsi atau daerah tidak akan menerima alokasi lebih rendah dari alokasi tahun sebelumnya.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN42
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.21. Alokasi DAU kepada pemerintah daerah di Aceh, 2006
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Kab. SimeulueKota Sabang
Kab. Aceh Jay aKota Lhokseumaw e
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Aceh Singki lKab. Gayo Lues
Kota LangsaKab. Mener Mera h
Kab. Aceh TamiangKab. Nagan RayaKab. Aceh Utar a
Kab. Aceh TenggaraKab. Aceh Bara t
Kab. Aceh TengahKab. Aceh Timur
Kab. Aceh Selata nKota Banda Aceh
Kab. Bir euen
Kab. Aceh BesarKab. Aceh Pidi e
Milyar Rupiah
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu.
Perbedaan antar pemerintah daerah lebih besar lagi dalam perhitungan per kapita. Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie termasuk memiliki tingkat kemiskinan tertinggi pada tahun 2004 (30-35 persen). Namun kabupaten-kabupaten itu menerima alokasi terkecil (Gambar 3.22). Sabang menerima alokasi lebih dari 5 juta rupiah, lebih dari dua kali lipat alokasi Kab. Gayo Lues, yang menerima alokasi per kapita tertinggi kedua.
Gambar 3.22. Alokasi DAU per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006
0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000
Kab. Aceh Utar a
Kab. Aceh Timu r
Kab. Aceh Pidi e
Kab. Aceh Tamiang
Kab. Bireuen
Kota Banda Aceh
Kab. Aceh Singki l
Kota Lhokseumaw e
Kab. Aceh Tengah
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh Selata nKota Langsa
Kab. Aceh Bara t
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Nagan Raya
Kab. Mener Mera h
Kab. Aceh Jaya
Kab. Simeulue
Kab. Gayo Lues
Kota Sabang
Ribu Rupiah
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan BPS.
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Undang-undang otonomi khusus No. 18/2001 memberikan prioritas kepada Aceh dalam hal alokasi DAK. Alokasi DAK Aceh telah naik secara signifi kan, tetapi kontribusinya bagi pendapatan keseluruhan masih tetap kecil. Pada tahun 2006 Aceh menerima alokasi DAK sebesar 593 milyar rupiah, atau hampir 10 kali lipat alokasinya tahun 2001 (Gambar 3.23). Kenaikan yang tajam pada tahun 2006 itu antara lain disebabkan oleh perluasan sektor-sektor yang disertakan dalam alokasi DAK.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 43
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.23. Tren alokasi DAK untuk Aceh, 2001–06
0
100
200
300
400
500
600
700
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Mily
ar R
upia
h
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu. Data riil (harga konstan 2006).
Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, Aceh termasuk 10 provinsi teratas dalam hal alokasi DAK, baik dari segi angka mutlak maupun per kapita. Pada tahun 2006, alokasi Aceh sebesar 593 milyar rupiah sama dengan Rp 147.000 per kapita (gambar B9). Di dalam wilayah Aceh, alokasi DAK berbeda-beda antar kabupaten/kota. Kab. Pidie menerima alokasi tertinggi, yaitu lebih dari 40 milyar rupiah, disusul oleh Kab. Bireuen, Kab. Aceh Utara dan Kab. Aceh Timur. Kesamaan unsur yang dijumpai di semua kabupaten dengan alokasi DAK tertinggi tersebut adalah bahwa semuanya adalah bekas “pusat” konfl ik (gambar B10). Dari segi per kapita, sekali lagi, alokasi terbesar adalah untuk Sabang, disusul oleh kabupaten-kabupaten lainnya yang memiliki jumlah penduduk sedikit (Gambar 3.24).
Gambar 3.24. DAK per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
Kab. Aceh Utar a
Kab. Aceh Pidi e
Kota Banda Aceh
Kab. Bir euen
Kab. Aceh Tamiang
Kab. Aceh Timur
Kab. Aceh Tengah
Kota Lhokseumaw e
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Aceh Selata n
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Bara t
Kota Langsa
Kab. Aceh Singki l
Kab. Nagan Raya
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Mener Mera h
Kab. Aceh Jaya
Kab. Gayo Lues
Kab. Simeulue
Kota Sabang
Ribu Rupiah
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan BPS.
Pada tahun 2001 dan 2002, DAK lebih banyak digunakan untuk reboisasi.25 Tahun 2003, alokasi DAK diperluas untuk mencakup infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sarana pemerintah, pertanian, perikanan, dan lingkungan hidup. Sejak tahun 2003, infrastruktur telah menjadi fokus utama DAK, tetapi alokasi infrastruktur itu sendiri telah menurun selama tahun-tahun terakhir. Pada tahun 2003, infrastruktur menghabiskan sampai 50 persen dana non-reboisasi DAK, tetapi pada tahun 2006 angka itu telah menurun menjadi 30 persen. Pendidikan dan kesehatan menyusul infrastruktur, dengan rata-rata masing-masing 25 persen dan 18 persen. Pada tahun 2004, sektor perikanan juga menerima bagian dari DAK non-reboisasi. Tahun 2006, pertanian menerima 10 persen DAK non-reboisasi.
25 Dana pemulihan dibagikan sebagai berikut: 40 persen ke daerah penghasil, dan 60 persen ke pemerintah pusat untuk melaksanakan kegiatan reboisasi di seluruh negeri, terutama di daerah non-penghasil sumber daya alam.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN44
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Dana Dekonsentrasi dan Darurat
Persentase dari dana dekonsentrasi dan darurat terhadap total pendapatan di Aceh turun dari 57 persen pada tahun 1999 menjadi sekitar 15 persen pada tahun 2002 dan bertahan pada angka ini (Tabel 3.7). Perbedaan tipis sejak tahun 2002 dapat dijelaskan dari kenaikan penerimaan daerah di Aceh.
Tabel 3.7. Bagian dana dekonsentrasi terhadap total pendapatan daerah, 1999–2005
Pendapatan
1999 2002 2003 2004 2005
Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp %
Pendapatan Daerah 2,425 433 8,713 85 10,122 83 10,433 87 9,081 83
Dana Dekonsentrasi 3,178 56.7 1,522 15 2,124 17 1,602 13 1,873 17
Total Pendapatan Daerah + Dana Dekonsentrasi
5,604 100 10,235 100 12,245 100 12,035 100 10,954 100
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BAPPEDA NAD. Data riil (harga konstan 2006).
Alokasi dana dekonsentrasi di Aceh tidak mencapai warga termiskin. Di satu pihak, Kab. Gayo Lues yang baru dibentuk (kabupaten termiskin keenam) menerima alokasi per kapita tertinggi. Di lain pihak, daerah-daerah yang lebih dekat ke ibukota Banda Aceh, yaitu Kab. Aceh Besar dan Kota Sabang, termasuk dalam lima besar alokasi per kapita. Adalah masuk akal bahwa alokasi per kapitanya yang tinggi itu mencerminkan fakta bahwa ketiga pemerintah daerah ini memiliki infrastruktur “sentral” utama yang lebih banyak, seperti pelabuhan nasional dan bangunan pemerintah. Selain itu juga, Kab. Simeulue (pulau yang terletak di pantai barat Aceh) memiliki alokasi per kapita yang hampir empat kali lebih rendah dari Kab. Aceh Besar. Kabupaten yang termiskin, Nagan Raya, menerima alokasi per kapita tiga kali lebih rendah dari Kota Banda Aceh yang memiliki jumlah penduduk termiskin terendah di Aceh (Gambar 3.25).
Gambar 3.25. Alokasi spasial pembelanjaan dekonsentrasi pemerintah daerah di Aceh, 2004
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
Gayo L
ues
Banda A
ceh
Saban
g
Aceh B
esar
Simeu
leu
Aceh
Singkil
Nagan
Raya
Aceh
Teng
ah
Lhoks
eum
awe
Aceh
Barat
Daya
Aceh
Teng
gara
Aceh
Bar
at
Aceh
Sela
tan
Lang
sa
Aceh
Timur
Bireue
n
Aceh
Jaya
Aceh
Pidie
Aceh
Utara
Aceh
Tam
iang
Dan
a D
eko
nsen
tras
i
Juta
Rup
iah
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Tin
gka
t K
emis
kina
n %
Dana Dekonsentrasi Per-Kapita Tingkat Kemiskinan
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BAPPEDA NAD dan BPS.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 45
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Salah satu sumber pendapatan lain untuk pemerintah provinsi dan daerah adalah dana darurat. 26 Seperti halnya dana dekonsentrasi, dana darurat digolongkan sebagai pendapatan pemerintah daerah karena pembelanjaan yang sebenarnya dilaksanakan di daerah. Dana ini disediakan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan disediakan bagi pemerintah provinsi dan daerah untuk kebutuhan darurat dan dalam situasi darurat. Pemerintah pusat mengalokasikan 5 persen anggaran tahunan nasional untuk dana darurat ini. UU No. 33/2004 mendefi nisikan bencana alam berskala nasional atau krisis yang dapat dipecahkan sebagai kebutuhan darurat. Presiden menyatakan bencana alam sebagai bencana alam nasional, seperti bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004. Sebaliknya, krisis yang dapat dipecahkan pada tingkat pemerintah provinsi dan daerah dievaluasi oleh pemerintah pusat dan DPR. Di Aceh, anggaran pemerintah provinsi dan daerah tidak menunjukkan adanya data dana darurat dalam rekening pendapatannya. Yang paling mungkin adalah, pemerintah pusat membelanjakan anggaran langsung ke daerah melalui badan penanggulangan keadaan darurat nasional, misalnya BAKORNAS. Jadi jumlah ini tidak dicatat dalam anggaran daerah. Sebagai respon terhadap bencana tsunami, pemerintah pusat mendirikan kantor BAKORNAS di Aceh untuk menyediakan bantuan keuangan selama masa pemberian bantuan darurat sebelum Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dibentuk.
Pendapatan yang berhubungan dengan proses perdamaian
Penandatanganan MOU Helsinki meliputi penyediaan dana untuk dialirkan ke Aceh guna mendukung proses perdamaian. Setelah kesepakatan damai, pemerintah pusat mencairkan 200 milyar rupiah (AS$ 21,5 juta) untuk memperkuat proses perdamaian di Aceh pada tahun 2005. Pemerintah mencadangkan 600 milyar lagi (64,5 juta rupiah) dalam APBN 2006.27 Pemerintah pusat diharapkan akan mengalokasikan sekitar 700 milyar rupiah (AS$ 97,8 juta) pada tahun 2007. Dana tersebut dialokasikan untuk menunjang reintegrasi, terutama untuk membantu mantan pejuang GAM kembali ke masyarakat. Pada tahun 2005, Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia mengalokasikan 50 milyar rupiah (AS$ 5,4 juta) untuk mendukung reintegrasi. Selain itu, Komisi Eropa (EC) menyediakan 4 juta euro (AS$ 5,2 juta) di bawah Mekanisme Reaksi Cepatnya, untuk membantu mantan tahanan politik dan pejuang GAM untuk berintegrasi kembali dengan kehidupan sipil. 28 Komisi Eropa juga mengalokasikan dana sehubungan dengan Misi Pemantauan Aceh (AMM), yang dibentuk pada bulan September 2005 untuk menjaga kelanjutan reintegrasi serta memantau pelaksanaan MOU. Pada tanggal 20 Desember 2005, EC menyetujui bantuan senilai 15,9 juta euro (AS$ 22,2 juta) untuk Aceh guna mendukung proses perdamaian yang sedang berjalan. 29
Baik pemerintah pusat maupun provinsi telah secara proaktif memperkuat proses perdamaian di Aceh. Pada tanggal 11 Februari 2006, Gubernur Aceh mendirikan Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Badan ini menyediakan bantuan pemberdayaan ekonomi kepada mantan GAM dan dana kompensasi bagi korban konfl ik. Komitmen pemerintah RI untuk melaksanakan MOU Helsinki di Aceh dapat dilacak dengan mudah dalam alokasi anggaran untuk reintegrasi. Pemerintah RI sejauh ini telah mencadangkan jumlah paling banyak untuk mendanai kebutuhan reintegrasi, yaitu sekitar 82 persen dari total dana yang dijanjikan dari tahun 2005-2007 (Gambar 3.26). Komitmen para donor saat ini selama 3 tahun (2005-07) berjumlah AS$ 35 juta. Donor terbesar antara lain EC, JICA, dan USAID.
26 Sekitar 50 persen dana dekonsentrasi dilaksanakan oleh provinsi dan tidak dapat dipecah-pecah oleh pemerintah daerah. Data yang digunakan dalam gambar ini adalah dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah saja.
27 Republika 2006. 28 Uni Eropa, Siaran Pers September 2005. Aceh: Commission releases €4 million to support the peace process.
29 Uni Eropa, Siaran Pers, 20 December 2005, European Commission provides additional €15.85 million assistance for Aceh peace process. www.delidn.cec.eu.int/en/newsroom/2005-PI13EN.pdf
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN46
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 3.26. Komposisi dana reintegrasi Aceh, 2005–07
APBN82%
Kantor Wakil Presiden2%
Donor16%
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan matriks donor EU dan perkiraan BRA.
Pembiayaan dan Pinjaman
Di bawah format anggaran yang lama, analisa pembiayaan dihitung berdasarkan surplus dan defi sit anggaran bersih.30 Sebelum desentralisasi, seperti halnya kebanyakan pemerintah daerah di Indonesia, pemerintah daerah di Aceh sering menghasilkan defi sit anggaran dari tahun ke tahun. Selama tahun 1994-1998, pemerintah daerah di Aceh mencatat defi sit rata-rata sebesar 4 persen total pembelanjaan (Gambar 3.27). Hanya pada tahun 1999 pemerintah daerah di Aceh memperoleh sedikit surplus.
Gambar 3.27. Surplus/defi sit pemerintah daerah di Aceh, 1994–2005 (%total pembelanjaan)
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
19941995
19961997
19981999
20002001
20022003
20042005_1
Per
sen
Sumber: Depkeu dan perhitungan staf Bank Dunia.
Setelah desentralisasi fi skal, pemerintah daerah Aceh menghasilkan surplus yang besar. Pada tahun 2005, surplus pemerintah provinsi mencapai lebih dari 1,5 triliun rupiah. Pemerintah daerah juga menghasilkan surplus yang cukup besar sampai tahun 2005, ketika mereka mengalami defi sit kecil yaitu kira-kira 0,3 triliun rupiah. Pemerintah daerah menggunakan anggaran mereka untuk rekonstruksi pasca tsunami, khususnya untuk membiayai pembangunan kembali bangunan-bangunan dan infrastruktur pemerintah. Pada akhir tahun 2005, pemerintah provinsi dan daerah di Aceh telah mengumpulkan cadangan yang signifi kan yaitu sebesar 2,7 triliun rupiah (Tabel 3.8).
Penting untuk dicatat bahwa pengumpulan cadangan seringkali disebabkan oleh tertundanya transfer bagi hasil migas dari pemerintah pusat. Penundaan ini memperlambat pelaksanaan proyek dan pencairan. Jumlah yang belum dicairkan tercatat sebagai surplus dalam anggaran provinsi dan diteruskan ke tahun anggaran berikutnya.
30 Surplus/defi sit anggaran bersih tidak memperhitungkan pinjaman, pembayaran kembali, dan sisa dari tahun-tahun sebelumnya serta ke tahun berikutnya.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 47
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 3.8 Pemerintah daerah Aceh telah mengumpulkan cadangan yang signifi kan (milyar Rp)
2001 2002 2003 2004 2005*
Provinsi 57 170 928 1,198 1,627
Kab/Kota 199 48 436 188 (397)
Total provinsi dan kab/kota 256 218 1,364 1,387 1,230
Sisa tahun sebelumnya 95 365 725 1,584 1,447
Cadangan pada akhir periode 351 583 2,089 2,971 2,677Sumber: Depkeu dan perhitungan staf Bank Dunia. Catatan: * = angka rencana anggaran.
UU No. 33/2004 memperbolehkan pemerintah daerah untuk meminjam langsung dari sumber dalam negeri dan tidak langsung dari sumber internasional atas persetujuan Departemen Keuangan. Sumber pinjaman dalam negeri berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, bank, lembaga non-bank, dan penempatan obligasi daerah. Peraturan pemerintah tentang pinjaman daerah (PP 54/2005) menyediakan rangkaian pengaturan mengenai batas pinjaman serta ketentuan bagi pemerintah daerah. Pinjaman kumulatif dari pemerintah pusat dan daerah tidak boleh melebihi 60 persen PDB berjalan.31 Pemerintah daerah harus mengikuti empat persyaratan pinjaman yaitu:
1. Pinjaman daerah kumulatif tidak boleh lebih dari 75 persen total pendapatan anggaran umum tahun sebelumnya.
2. Rasio penutupan pembayaran hutang (DSCR) setidak-tidaknya 2,5 persen.3. Pinjaman pemerintah daerah tidak ada yang tertunggak.4. Pinjaman disetujui oleh DPRD. Di samping pinjaman, UU No. 11/2006 menetapkan bahwa pemerintah
Ach berhak menerima hibah tidak bersyarat dari sumber-sumber internasional dengan diketahui oleh pemerintah pusat dan DPRD.
Pemerintah provinsi Aceh telah memiliki sejarah meminjam sejak tahun 1981. Pemerintah daerah yang memiliki catatan pinjaman adalah Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Banda Aceh. Data Depkeu tahun 2004 menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Aceh memiliki transaksi pinjaman yang lebih besar bila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Sebagian besar transaksi dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pemerintah daerah. PDAM provinsi tidak melakukan transaksi pinjaman. Sekitar 55 persen total pinjaman dilakukan oleh pemerintah daerah; sisanya yang 45 persen adalah oleh PDAM (Tabel 3.9).
31 Pinjaman kumulatif pemerintah pusat dan daerah sama dengan total pinjaman pemerintah pusat dikurangi pinjaman yang diberikan kepada pemerintah daerah, ditambah total pinjaman pemerintah daerah dikurangi pinjaman yang diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah lain.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN48
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 3.9 Catatan pinjaman pemerintah daerah dan PDAM di Aceh, 2004 (milyar Rp)
Jumlah pinjaman
Pembayaran yang harus dilakukan
Total tunggakan
Total terhutang
Pemerintah
Provinsi 24 46 36 17
Kab/kota 25 65 44 11
Total pemerintah 50 111 80 28
PDAM
Provinsi - - - -
Kab/kota 41 50 50 41
Total PDAM 41 50 50 41
Total 90 161 130 69Sumber: Depkeu.
Karena total jumlah pinjaman telah naik cukup signifi kan sejak tahun 2001, pemerintah Aceh perlu mulai lebih memperhatikan transaksi-transaksi pinjamannya. Jumlah pinjaman telah meningkat dari 55 milyar rupiah pada tahun 2001 menjadi 90 milyar rupiah pada tahun 2004. Kenaikan itu semata-mata berasal dari pemerintah daerah, karena jumlah pinjaman provinsi tidak mengalami kenaikan. Meski ada kecenderungan untuk menambah pinjaman, jumlah pinjaman kumulatif Aceh masih di bawah banyak provinsi lain di Indonesia, dan di bawah rata-rata nasional (Gambar B11).
Untuk mengantisipasi kecenderungan lebih besarnya pinjaman di masa mendatang, penting bahwa pemerintah daerah memperhitungkan batas pinjaman yang ditetapkan oleh undang-undang. Simulasi batas pinjaman menunjukkan bahwa jika tunggakan diperhitungkan, maka tidak ada pemerintah daerah di Aceh yang memiliki catatan pinjaman yang dapat mengadakan transaksi pinjaman lagi. Pembatasan tunggakan memiliki dampak yang signifi kan bagi batas pinjaman karena pemerintah daerah yang memiliki angka tunggakan tinggi tidak boleh meminjam(Gambar 3.28). Dengan pembatasan seperti ini sekalipun, pemerintah daerah di Aceh masih dapat meminjam sampai total 500 milyar rupiah.
Gambar 3.28 Batas pinjaman dengan dan tanpa pembatasan tunggakan untuk Aceh
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
Pinjaman Batas dengan pembatasan tunggakan
Batas tanpa pembatasantunggakan
Mily
ar R
upia
h
Prov Kab/kota
Sumber: perhitungan staf Bank Dunia.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 49
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Rekomendasi
1. Mengembangkan koordinasi yang lebih baik antara provinsi, pemerintah daerah, BRR dan BRA dalam mengelola rekonstruksi, reintegrasi dan pembangunan jangka panjang. Desentralisasi fi skal dan otonomi khusus telah memperbaiki kemampuan fi skal pemerintah provinsi dan daerah di Aceh. Selain itu, arus uang masuk yang sangat besar dari dalam dan luar negeri untuk membiayai rekonstruksi dan reintegrasi menaikkan total pendapatan beberapa kali lipat bila dibandingkan dengan apa yang diterima Aceh pada tahun 1999. Program pembangunan yang terpadu akan memperbaiki pelaksanaannya dan mengatasi kesenjangan geografi s dan sektoral antar pemerintah daerah di Aceh.
2. Memperbaiki transparansi dan akuntabilitas alokasi dan distribusi dana otsus serta pencatatannya dalam anggaran pemerintah daerah. Pemerintah daerah di Aceh prihatin bahwa perhitungan dan alokasi dana otsus dari pemerintah pusat tidak transparan. Pemerintah daerah tidak memiliki akses terhadap informasi terinci tentang produksi minyak dan gas bumi serta biayanya. Penundaan yang tidak perlu dalam mentransfer dana otsus akan memperbaiki pengelolaan keuangan serta arus kas dan pelaksanaan program-program pembangunan yang dibiayainya. Pemerintah daerah sendiri hendaknya memperbaiki kapasitas pengelolaan keuangan dan transparansinya dalam mengelola dan membelanjakan dana otsus. Di masa lalu, pemerintah daerah tidak konsisten mencatat dana otsus dalam anggarannya.
3. Memperbaiki pengelolaan dana otsus. Tujuan, kriteria pembagian, dan pengelolaan dana harus disebutkan dengan jelas dalam peraturan daerah (Qanun). Ada dua masalah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dana, yaitu (1) penghapusan disparitas fi skal antar kabupaten, dan (2) perbaikan akuntabilitas, arus informasi, dan sistem pengelolaan dan evaluasi dana, antara lain dalam rangka mengurangi penundaan. Peraturan yang ada sekarang (Qanun No. 4/2002) tampaknya kurang jelas, sehingga memungkinkan fl eksibilitas yang terlalu besar dalam hal pemanfaatan dana otsus. Akibatnya, sejumlah besar pendapatan dari dana otsus telah diarahkan untuk tambahan pembelanjaan rutin dan aparat pemerintah.
4. Memperbaiki sistem pajak daerah guna memperbaiki pengerahan pendapatan asli daerah pemerintah daerah. Rejim pajak daerah tampaknya memihak pemungutan pajak di daerah perkotaan. Pendelegasian pengumpulan pajak yang lebih banyak kepada pemerintah daerah dapat menaikkan insentif untuk membenahi pengumpulan pajak, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB). Permasalahan ini harus diputuskan pada tingkat nasional. Setelah pembentukan pemerintah daerah baru, pemerintah provinsi hendaknya menyediakan bimbingan tentang administrasi pajak kepada pemerintah daerah baru dan lama yang bersangkutan dan memberikan bantuan kepada kabupaten yang baru terbentuk dalam hal administrasi dan pemungutan pajak. Penunjukan dan pengelolaan sumber-sumber pajak dengan jelas dapat memperbaiki pengumpulan pajak dan akuntabilitas. Berakhirnya konfl ik juga memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki pungumpulan pajak dan memperluas basis pajaknya.
5. Memperbaiki alokasi transfer antar-pemerintah. Transfer dari pemerintah pusat dan provinsi (misalnya DAU, DAK, dana otsus, pembagian pajak) dan dana dekonsentrasi hendaknya menyikapi ketidakseimbangan fi skal horizontal antar kabupaten/kota di Aceh. Ada bukti bahwa kabupaten yang berpenduduk sedikit menerima pangsa dana yang tidak sebanding dan indikator seperti letak yang terpencil atau tingkat kemiskinan tidak cukup dimasukkan dalam perhitungan.
6. Memperbaiki proses perencanaan dan penyusunan anggaran di tingkat daerah, di mana kepemimpinan pemerintah provinsi dan bupati memegang peran kunci. Sangatlah penting bagi pemerintah daerah untuk mempercepat proses persetujuan anggarannya agar dapat mulai melaksanakan proyek-proyeknya pada awal setiap tahun pajak. Penyesuaian anggaran yang sebenarnya dengan kebutuhan yang diidentifi kasi hendaknya diperbaiki.
PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN50
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
4Pengeluaran
52 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sekilas tentang belanja pemerintah Aceh
Setelah desentralisasi, porsi daerah dalam pembelanjaan pemerintah di Indonesia meningkat hingga lebih dari 30 persen. Pada masa lalu, pemerintah daerah hanya mengelola 17 persen dari total belanja yang dikeluarkan di daerah.32 Kenaikan tersebut mencerminkan transformasi dari fungsi pemberian layanan utama dan pengalihan sekitar dua pertiga dari tenaga kerja pemerintah pusat ke daerah.
Secara keseluruhan belanja publik di Aceh meningkat cukup besar dalam tahun-tahun belakangan ini. Peningkatan ini didorong oleh penerimaan tambahan yang diperoleh dari transfer antar pemerintahan setelah desentralisasi dan dari tambahan dana bagi hasil minyak dan gas alam sebagai akibat pemberian status otonomi khusus. Total belanja mencapai lebih dari Rp. 25 Triliun pada tahun 2006, termasuk pembiayaan rekonstruksi (Gambar 4.1.). Pembelanjaan publik di Aceh diperkirakan meningkat cukup besar dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Apabila sumber daya dikelola dan dibelanjakan secara efektif, penduduk Aceh memiliki peluang besar untuk mendorong pembangunan ekonomi daerah.
Gambar 4.1 Belanja publik di Aceh pra dan pasca desentralisasi, dan setelah tsunami
3.22.6 2.9
1.8
6.1 8.3
1.0
16.4
0
5
10
15
20
25
30
1999 2002 2006
Triliu
n R
upia
h
Dekonsentrasi Provinsi Kab/Kota Anggaran rekonstruksi
Anggaran rekonstruksi
0.6
1.5
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu, BPS-SK/BPS, dan BRR. Catatan: Anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk tahun 2006 diproyeksikan dengan menggunakan pertumbuhan rata-rata setelah desentralisasi. Data riil (harga konstan 2006).
Pada tahun 2005 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh membelanjakan dana sebesar Rp. 7,5 Triliun dan mengelola alokasi tambahan dari kementerian lini sebesar Rp. 1,9 Triliun. Baik pengeluaran pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota meningkat cukup besar setelah desentralisasi tahun 1999 dan otonomi khusus tahun 2001 (Tabel 4.1).33
32 Bank Dunia 2002.
33 Desentralisasi tahun 1999 berlaku pada tahun 2000, dan status otonomi khusus tahun 2001 berlaku pada tahun 2002.
53PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 4.1 Belanja publik secara keseluruhan pra dan pasca desentralisasi di Aceh
TahunDekonsentrasi Provinsi Kab/kota Total
Rp Milyar % Rp Milyar % Rp Milyar % Rp Milyar
1994 2,264.8 48.0 1,192.5 25.3 1,260.1 26.7 4,717.3
1995 3,416.8 55.9 1,153.0 18.9 1,537.1 25.2 6,106.8
1996 2,344.2 45.3 1,238.2 24.0 1,587.0 30.7 5,169.5
1997 3,919.3 56.0 1,272.4 18.2 1,808.0 25.8 7,000.2
1998 2,228.5 53.3 536.4 12.8 1,419.5 33.9 4,184.4
1999 3,178.4 57.6 583.0 10.6 1,755.8 31.8 5,517.3
2000 3,318.7 50.9 539.9 8.3 2,662.0 40.8 6,520.6
2001 1,916.8 24.3 849.1 10.8 5,126.7 65.0 7,892.6
2002 1,521.8 15.4 2,321.9 23.6 6,015.2 61.0 9,858.8
2003 2,123.5 21.2 1,594.3 15.9 6,309.2 62.9 10,027.0
2004 1,601.7 16.2 1,630.1 16.5 6,670.6 67.4 9,902.4
2005 1,873.3 19.9 1,358.2 14.4 6,198.0 65.7 9,429.5Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS.Catatan: Data merupakan angka yang sebenarnya (harga konstan 2006).
Terjadi perubahan yang cukup besar dalam pembagian belanja publik di Aceh antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebelum desentralisasi, pemerintah pusat memainkan peran penting dalam pembangunan daerah. Pada tahun 1999, hampir 60 persen pembelanjaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dengan hanya menyisakan peran terbatas bagi pemerintah daerah dalam penyediaan layanan dan pembangunan daerah. Proses perencanaan dan penganggaran diawali setelah ada persetujuan oleh pemerintah pusat. Setelah desentralisasi, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki wewenang lebih besar atas alokasi anggaran mereka. Rata-rata, setelah desentralisasi, pemerintah daerah di Aceh mengelola lebih dari dua pertiga dari jumlah total belanja publik. Pemerintah kabupaten/kota mengelola lebih dari 60 persen dari belanja publik; pemerintah provinsi mengelola hampir 20 persen dari total belanja (Tabel 4.2).
Gambar 4.2 Porsi belanja pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di Aceh
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
%
Dekonsentrasi Pusat Provinsi Kab/Kota
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS.
54 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Status otonomi khusus meningkatkan wewenang provinsi dalam mengendalikan pendanaan pemerintah daerah. Dana otonomi khusus ditransfer langsung dari pusat kepada provinsi, dan dari provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2002, total belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan nilai yang dicapai pada tahun 2001; porsi belanja pemerintah provinsi dalam total pengeluaran fi skal meningkat hingga sekitar 24 persen.
Walaupun memliliki peran yang lebih kecil dalam belanja daerah setelah desentralisasi, pemerintah pusat tetap membelanjakan dana yang cukup besar di daerah. Belanja pemerintah pusat ditujukan untuk mendanai proyek-proyek yang digolongkan sebagai prioritas nasional. Pada tahun 2004, pemerintah pusat sendiri menanggung lebih dari 30 persen dari belanja pembangunan. Data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat tetap mengeluarkan belanja untuk fungsi-fungsi yang sebagian besar telah didesentralisasi.34 Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memiliki pola belanja yang serupa. Pemerintah pusat melakukan pembelanjaan terutama pada lima sektor, yang, pada umumnya, juga diprioritaskan oleh pemerintah daerah, yaitu prasarana, pendidikan, pembangunan daerah, kesehatan, dan pertanian. Selain kelima sektor tersebut, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memfokuskan belanja pada administrasi dan aparat pemerintah.
Dua fungsi utama yang didesentralisasi, pendidikan dan kesehatan, sebagian besar telah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, pemerintah pusat dan provinsi juga menghabiskan porsi yang hampir sama untuk pendidikan dan porsi yang cukup besar untuk sektor kesehatan (Gambar 4.3). Untuk menghindari tumpang tindih dan ketidakefi sienan dalam alokasi anggaran, karena pemerintah daerah telah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prioritas daerah, anggaran belanja di masa mendatang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk fungsi-fungsi yang sebagian besar telah didesentralisasi harus dihentikan.
Gambar 4.3 Komposisi sektoral dan kelembagaan dari belanja pembangunan di Aceh, 2004 (Rp Milyar)
0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400
Pariwisata & Telekomunikasi
Kependudukan & Keluarga Berencana
Ketenagakerjaan
Lingkungan & Tata ruang
Industri, Perdagangan & Usaha Daerah
Pertambangan & Energi
Pertanian & Kehutanan
Kesehatan & Kesejahteraan Masyarakat
Pembanguanan Daerah Perumahan
Pendidikan & Kebudayaan
Transport, Irigasi & Sumber daya air
Aparatur & Adm. Keuangan
Kab/Kota Provinsi Dekonsentrasi
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS-SK/BPS dan SIKD/Depkeu. Data merupakan angka yang sebenarnya (harga konstan 2006).
Belanja Rutin vs. Belanja Pembangunan
Analisis belanja didasarkan pada klasifi kasi format lama yang terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Klasifi kasi format lama tersebut meliputi jangka waktu yang lebih panjang, dan informasi anggaran baru dalam format baru dapat dipetakan ke dalam format lama. Namun demikian, tidak mungkin dilakukan hal sebaliknya. Dengan demikian, analisis pra dan pasca desentralisasi dapat dilakukan hanya dengan menggunakan format lama.
Sebelum desentralisasi, hampir 70 persen belanja pemerintah provinsi diperuntukkan bagi anggaran rutin. Sebagian besar dari belanja ini disebabkan oleh tanggung jawab pemerintah provinsi untuk membayar gaji pegawai negeri sipil. Pada tahun 2002 Aceh menerima sumber daya tambahan yang cukup besar sebagai akibat otonomi
34 Fungsi yang didesentralisasi meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, komunikasi, pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal, tanah, koperasi, sumber daya manusia, dan layanan prasarana.
55PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
khusus, porsi belanja pembangunan dalam total belanja provinsi meningkat secara besar-besaran. Saat ini, belanja rutin dan pembangunan masing-masing mencapai kurang lebih 25 persen dan 75 persen (Gambar 4.4).
Gambar 4.4. Porsi belanja pemerintah provinsi Gambar 4.5. Porsi belanja pemerintah kabupaten/kota
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005
%
Rutin Pembangunan
0
10
20
30
40
50
60
70
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005
%
Rutin Pembangunan
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS.
Sama halnya, sebelum desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota melakukan pengeluaran agak lebih pada belanja rutin dan mungkin akan tetap melakukan hal yang sama. Pada tahun 2005, hampir 60 persen fari belanja pemerintah kabupaten/kota adalah berupa belanja rutin (gambar 4.5). Pengeluaran rutin yang besar terjadi sebagian karena pengalihan gaji pegawai negeri sipil kepada pemerintah daerah pasca desentralisasi. Jumlah pemerintah kabupaten/kota yang bertambah akibat desentralisasi juga menambah pengeluaran administrasi. Belanja rutin telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dari angka sebelum desentralisasi, sehingga melebihi pengeluaran pembangunan. Pengeluaran Aceh untuk pegawai telah meningkat dalam jumlah nyata namun tetap konstan pada sekitar 70 persen dari seluruh belanja rutin (Tabel 4.2). Angka ini sama dengan angka rata-rata di Indonesia (72 persen) tetapi jauh lebih tinggi dari produksi minyak dan gas bumi provinsi lain (Papua, Riau, Kalimantan Timur). Sejak tahun 2003, bantuan keuangan dan pengeluaran yang tidak diharapkan telah meningkat secara nyata. Tabel 4.2. Struktur belanja rutin daerah di Aceh, 1999–2005
Belanja Rutin
1999 2002 2003 2004 2005
Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp %
Pegawai 826.3 68.0 2,348.7 67.7 2,805.5 68.9 3,098.4 69.9 2,686.4 67.4
Barang &Jasa 122.0 10.0 402.3 11.6 444.1 10.9 499.3 11.3 516.7 13.0
Operasional & Perawatan
27.8 2.3 116.6 3.4 115.5 2.8 100.1 2.3 91.2 2.3
Perjalanan Dinas 22.1 1.8 52.4 1.5 87.1 2.1 83.4 1.9 104.5 2.6
Lain-lain 109.2 9.0 279.8 8.1 26.4 0.6 0.0 0.0 0.0 0.0
Bantuan Keuangan & Pengeluaran tak terduga
106.9 8.8 269.1 7.8 593.2 14.6 650.7 14.7 586.4 14.7
Total 1,214.3 100.0 3,469.0 100.0 4,071.7 100.0 4,431.9 100.0 3,985.3 100.0Sumber: Kalkulasi Staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS. Data riil (harga konstan 2006).
Belanja pembangunan daerah di Aceh meningkat empat kali lipat sejak tahun 1999–2002, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2003–2004. Penurunan tersebut disebabkan setidaknya sebagian oleh peningkatan intensitas konfl ik sejak tahun 2003.35 Sebelum desentralisasi, pemerintah daerah melakukan investasi sebagian besar pada prasarana. Pascadesentralisasi, aparat pemerintah, pendidikan, dan prasarana tetap merupakan prioritas utama pemerintah daerah. Namun demikian, bagian dari anggaran pembangunan yang dikeluarkan untuk
35 Menyusul perubahan dalam bentuk anggaran pemerintah kabupaten/kota, data tahun 2003 dan 2004 telah disesuaikan menurut kategori rutin dan pembangunan. Namun demikian, masih terbuka kemungkinan adanya kesalahan data yang besar.
56 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
aparat pemerintah meningkat, sementara bagian untuk prasarana menurun (Tabel 4.3). Setelah desentralisasi, pengeluaran untuk prasarana meningkat, tetapi kembali menurun tajam tak lama setelah itu. Porsinya dalam total belanja juga menurun. Tabel 4.3. Belanja pembangunan daerah per sektor di Aceh, 1999–2005
Sektor
1999 2001 2003 2004 2005
Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp %
Aparat Pemerintah 138.9 12.4 403.9 13.3 1,142.6 29.8 1,464.9 37.9 1,239.8 34.7
Pertanian 65.2 5.8 286.8 9.5 216.8 5.7 197.8 5.1 202.5 5.7
Mineral dan Energi 2.9 0.3 5.7 0.2 16.7 0.4 16.4 0.4 12.6 0.4
Industri dan perdagangan
38.7 3.4 276.9 9.1 58.5 1.5 44.2 1.1 51.6 1.4
Tenaga Kerja 0.2 0.0 4.9 0.2 16.4 0.4 27.9 0.7 24.0 0.7
Kesehatan, Sosial, Kesejahteraan
134.9 12.0 258.8 8.5 265.9 6.9 283.1 7.3 237.8 6.7
Pendidikan dan Kebudayaan
139.8 12.4 494.6 16.3 1,060.6 27.7 879.7 22.7 748.3 21.0
Lingkungan dan Perencanaan Tata Ruang
39.5 3.5 83.5 2.8 27.1 0.7 38.5 1.0 40.7 1.1
Keluarga Berencana dan Kependudukan
3.2 0.3 5.8 0.2 7.0 0.2 23.1 0.6 12.9 0.4
Prasarana 561.2 49.9 1,211.0 39.9 1,020.0 26.6 893.2 23.1 1,000.7 28.0
Pengangkutan, Air dan irigasi
350.8 31.2 781.3 25.8 795.5 20.8 641.2 16.6 863.3 24.2
Pariwisata dan telekomunikasi
10.4 0.9 21.6 0.7 11.1 0.3 13.0 0.3 9.7 0.3
Perumahan dan Permukiman
200.0 17.8 408.1 13.5 213.5 5.6 239.0 6.2 127.7 3.6
Total 1,124.6 100.0 3,031.9 100.0 3,831.7 100.0 3,868.7 100.0 3,570.9 100.0
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS. Data menurut harga konstan 2006.
Sejak tahun 2003, pengeluaran pembangunan untuk aparat pemerintah merupakan prioritas belanja tertinggi bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Porsi sektor ini dalam total belanja pembangunan telah meningkat secara terus menerus, dari sekitar 12 persen pada tahun 1999 hingga hampir 40 persen pada tahun 2004. Peningkatan jumlah pemerintah kabupaten/kota mungkin meningkatkan belanja untuk bidang prasarana dan pengawasan pemerintah.
Pada tahun 2002 diperkenalkan konsep baru tentang penganggaran berbasis kinerja, dan format penganggaran pemerintah disatukan ke arah pendekatan manajemen pembelanjaan yang lebih terintegrasi.36 Format anggaran yang baru ditandai oleh pergeseran dari pendekatan berbasis program/proyek (pemisahan antara belanja rutin dan pembangunan) menjadi pendekatan berbasis penerima manfaat (pemisahan antara belanja untuk aparat pemerintah dan belanja untuk pelayanan publik). Pemerintah daerah di Aceh telah menerapkan format anggaran yang baru tersebut secara luas pada tahun 2003. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang melaporkan anggaran mereka kepada Depkeu semuanya menggunakan format anggaran yang baru. Perubahan ini memungkinkan penilaian atas jumlah anggaran belanja pemerintah daerah yang dialokasikan untuk proyek-proyek yang memberi manfaat bagi masyarakat dan aparat pemerintah.
36 Perubahan ini diatur dengan Keputusan Kementerian Dalam Negeri No. 29/2002 (Kepmen 29).
57PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Pada tahun 2003 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah mengalokasikan lebih dari 50 persen dari anggaran mereka untuk pelayanan publik mereka (tabel 4.4). Porsi dari, serta total alokasi untuk, pelayanan publik menurun pada tahun 2004 dan 2005. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengalokasikan sekitar 35 persen untuk belanja aparat pada tahun 2003 dan meningkatkannya hingga 40 persen pada tahun 2005.
58 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l 4.4
. Kom
posi
si b
elan
ja d
aera
h be
rdas
arka
n fo
rmat
ang
gara
n ya
ng b
aru
(bel
anja
apa
ratu
r dan
bel
anja
pub
lik) d
i Ace
h, 2
003–
05
Bela
nja
2003
2004
2005
Prov
insi
Kab/
Kota
Tota
lPr
ovin
siKa
b/Ko
taTo
tal
Prov
insi
Kab/
Kota
Tota
l
Mily
ar R
p %
Mily
ar R
p %
Mily
ar R
p %
Mily
ar
Rp
%M
ilyar
Rp
%
Mily
ar
Rp
%M
ilyar
Rp
%
Mily
ar
Rp
%M
ilyar
Rp
%
Peng
elua
ran
Apar
at
553.
034
.72,
197.
334
.92,
750.
334
.860
6.8
37.2
2,56
9.5
38.5
3,17
6.3
38.3
555.
040
.92,
469.
839
.83,
024.
740
.0
Adm
inist
rasi
Um
um
362.
422
.71,
646.
626
.12,
009.
025
.438
1.4
23.4
1,88
0.1
28.2
2,26
1.4
27.2
328.
924
.21,
929.
031
.12,
257.
929
.9
Mod
al
86.5
5.4
259.
54.
134
6.0
4.4
80.0
4.9
284.
54.
336
4.5
4.4
96.9
7.1
295.
04.
839
1.9
5.2
Ope
rasio
nal &
Pe
mel
ihar
aan
104.
16.
529
1.2
4.6
395.
35.
014
5.5
8.9
404.
96.
156
0.4
6.6
129.
29.
524
5.8
4.0
375.
05.
0
Peng
elua
ran
Publ
ik
1,03
7.0
65.0
3,50
3.6
55.6
4,54
0.7
57.5
1,02
0.4
62.6
3,45
3.2
51.8
4,47
3.6
53.9
790.
858
.23,
154.
250
.93,
945.
052
.2
Adm
inist
rasi
Um
um
33.3
2.1
1,41
6.9
22.5
1,45
0.3
18.4
20.9
1.3
1,49
8.8
22.5
1,51
9.7
18.3
12.1
0.9
1,12
8.8
18.2
1,14
0.9
15.1
Mod
al
460.
328
.91,
046.
916
.61,
507.
219
.145
7.6
28.1
1,01
5.2
15.2
1,47
2.8
17.7
332.
524
.51,
151.
718
.61,
484.
219
.6
Ope
rasio
nal &
Pe
mel
ihar
aan
543.
434
.11,
039.
816
.51,
583.
220
.054
1.8
33.2
939.
214
.11,
481.
017
.844
6.2
32.9
873.
614
.11,
319.
817
.5
Peng
elua
ran
dilu
ar d
ugaa
n 4.
20.
314
5.5
2.3
149.
61.
92.
80.
214
2.2
2.1
145.
01.
712
.40.
996
.21.
610
8.6
1.4
Bant
uan
Keua
ngan
& P
orsi
Peng
elua
ran
457.
073
457.
05.
850
5.7
7.6
505.
76.
147
7.8
7.7
477.
86.
3
Tota
l pen
gelu
aran
m
odal
54
6.8
34.3
1,30
6.4
20.7
1,85
3.2
23.5
537.
633
.01,
299.
719
.51,
837.
222
.142
9.4
31.6
1,44
6.7
23.3
1,87
6.1
24.8
Tota
l1,
594.
310
0.0
6,30
3.4
100.
07,
897.
710
0.0
1,63
0.1
100.
06,
670.
610
0.0
8,30
0.6
100.
01,
358.
210
0.0
6,19
8.0
100.
07,
556.
210
0.0
Sum
ber:
Kalk
ulas
i Ban
k D
unia
ber
dasa
rkan
dat
a da
ri D
atab
ase
Des
entr
alis
asi B
ank
Dun
ia d
an S
IKD
/Dep
keu.
Dat
a m
erup
akan
ang
ka y
ang
sebe
narn
ya (h
arga
kon
stan
200
6).
59PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sama seperti yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah kabupaten/kota di Aceh tidak selalu mampu merealisasikan pembelanjaan sesuai dengan rencana. Realisasi belanja pembangunan dan belanja rutin lebih rendah dibandingkan dengan alokasinya. Pemerintah kabupaten/kota di Aceh mengeluarkan anggaran belanja yang lebih kecil dari rencana untuk semua mata anggaran rutin, terutama pada operasional dan pemeliharaan (OdanM) (Tabel 4.5). Secara keseluruhan pada tahun 2003, belanja rutin menyimpang dari yang direncanakan lebih dari 10 persen. Belanja pembangunan menyimpang sebesar lebih dari 40 persen. Realisasi anggaran belanja yang rendah tersebut dapat mengindikasikan rendahnya daya serap pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, keterlambatan transfer dana bagi hasil dari sumber daya alam mungkin turut andil dalam rendahnya tingkat realisasi tersebut. Karena kebutuhan akan investasi dan program pembangunan di Aceh meningkat, perlu dipastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota meningkatkan daya serap mereka, terutama untuk belanja pembangunan.
Tabel 4.5. Rencana Belanja vs. Realisasi di Aceh, 2002–03
2002 2003
Rencana Realisasi % perbedaan Rencana Realisasi %
perbedaan
Pegawai 1,570 1,160 (35.4) 871 797 (9.23)
Barang dan Jasa 162 137 (17.7) 98 85 (15.09)
Operasional dan Pemeliharaan
50 36 (39.0) 22 18 (25.42)
Perjalanan Dinas 21 20 (9.1) 15 13 (19.24)
Lain-lain 306 128 (139.5) - - -
Total Rutin 2,109 1,480 (42.4) 1,006 913 (10.23)
Total Pembangunan 1,154 1,088 (6.1) 1,264 883 (43.26)Sumber: Kalkulasi Staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu.Catatan: Data pemerintah kabupaten/kota berdasarkan sampel nonacak dari tujuh Pemkab/kot di Aceh yang menyerahkan data rencana dan realisasi pada tahun 2002-03. Ketujuh Pemkab/kot tersebut adalah Aceh Besar, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Pidie, Aceh Barat, Banda Aceh, dan Langsa.
Belanja pada Program Rekonstruksi
Rekonstruksi setelah tsunami dan gempa bumi menimbulkan arus uang masuk yang cukup besar ke Aceh dan Nias. Pada akhir bulan Juni 2004, dana sebesar AS$4,9 Milyar telah dialokasikan untuk rekonstruksi dalam bentuk berbagai macam proyek dan program. Jumlah ini lebih dari separuh dari total yang diperkirakan untuk program rekonstruksi tetapi belum cukup memenuhi seluruh kebutuhan rekonstruksi saat ini. Namun demikian, kenaikan infl asi akan meningkatkan biaya program rekonstruksi sebesar kurang lebih 40 persen, atau AS$1,2 Milyar. Selisih antara jumlah total dana yang dijanjikan untuk rekonstruksi dan pembangunan sebesar AS$8 Milyar, dan jumlah total biaya sebesar AS$6,1 Milyar, menyisakan sumber daya tambahan sebesar sekitar AS$1,9 Milyar yang dapat diinvestasikan untuk program pembangunan jangka panjang (Gambar 4.6).
60 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 4.6. Kebutuhan rekonstruksi vs. sumber daya yang dialokasikan dan dijanjikan di Aceh
GOI (1.2 )
Penilaian KehilanganDan Kerusakan
(4.5) NGOs (1.7 )
NIAS (0.4 )
DONORS (2.0 )
Inflasi (1.2)GOI ( 1.5)
- Peningkatan fasilitas di wilayahterkena tsunami dan gempa bumi
- Reintegrasi pasca konflikdan program pembangunan NGOs (0.4 )
pinjaman lunak (0.7)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kebutuhan Program
Mily
ar U
SD
Komitmentnamun belumdilakukan(3.1)
Telah dialokasikan kedalamproyektertentu(4.9)
Membangun Kembali(6.1)
Membangun kembali lebih baik(1.9)
hibah(0.5)DONORS
Sumber: Estimasi staf BRR/Bank Dunia, Juni 2006.
Kecenderungan dan kesenjangan sektoral
Sektor prasarana dan sosial telah mendapat alokasi tertinggi. Total dana untuk kedua sektor tersebut adalah sebesar AS$2,7 Milyar – atau 75 persen – dari portofolio rekonstruksi yang ada saat ini sebesar AS$4,9 Milyar. Perumahan merupakan sektor terdepan dengan dana sebesar AS$1,1 Milyar, yang disusul oleh transportasi, kesehatan, pendidikan, dan prasarana masyarakat (Gambar 4.7). Perumahan telah menjadi fokus utama bagi BRR dan LSM-LSM, yang disusul oleh sektor-sektor seperti pengembangan pemerintah kabupaten/kota (BRR) dan kesehatan serta mata pencaharian (LSM). Para donor memusatkan perhatian pada pendidikan dan transportasi.
Gambar 4.7. Distribusi sektoral dana rekonstruksi (juta AS$)
0 200 400 600 800 1000 1200
Lingkungan
Pengendali banjir dan irigasi
Pertanian dan Peternakan
Perikanan
Air dan Sanitasi
Infrastruktur Lainnya
Industri Perdagangan dan UKM
Pemerintah & administrasi
Agama, Budaya & Masyarakat
Pendidikan
Kesehatan
Transpor
Perumahan
Juta Dolar AS
GOI Donors NGOs
Sumber: Estimasi staf Bank Dunia, Juni 2006.
Kesenjangan pembiayaan yang tajam masih tetap terjadi di seluruh sektor dan wilayah. Walaupun dana yang mencukupi telah dijanjikan untuk mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi, alokasi dana yang ada saat ini bahkan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan minimum pada beberapa sektor dan di beberapa wilayah. Sektor terpenting adalah transportasi yang memiliki kesenjangan ketiadaan pembiayaan yang besar (Gambar 4.8).
61PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 4.8. Alokasi dana dibandingkan dengan kebutuhan minimum inti, per sektor, bulan Juni 2006 (AS$ juta)
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
Kes
ehat
an
MA
syar
akat
, Bud
aya,
Aga
ma
Usa
ha/e
kono
mi
Pen
didi
kan
Pem
erin
taha
n &
Adm
inis
tras
i
Per
umah
an
Air
& S
anita
si
Per
tani
an &
pet
erna
kan
Per
ikan
an
infra
stru
ktur
lain
nya
Kom
unik
asi
Ene
rgy
Ling
kung
an
Pen
gend
alia
n B
anjir
, Irig
asi
Tran
spor
Juta
Dol
ar A
S
Defis it
Surplus
20% inflasi
Sumber: Staf BRR/Bank Dunia.
Dalam hal kesenjangan wilayah, daerah di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar memiliki sumber daya lebih dari cukup untuk membangun kembali, sementara daerah lain, seperti sebagian besar daerah Pantai Barat, Selatan Meulaboh, dan Pantai Timurlaut Aceh (Kab. Aceh Timur dan Aceh Tamiang), tidak memiliki sumber daya yang mencukupi (Gambar 4.9).
Gambar 4.9. Pembiayaan dibandingkan dengan kebutuhan geografi s
ACEH UTARA
ACEH TENGGARA
BENER MERIAH
ACEH TENGAH
SIMEULUE
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOTA)
SABANG (KOTA)
67
54
43
41
122
43
84
39
53
66
72
6870
65
125
197
79
ACEH SINGKIL
ACEH SELATAN
ACEH TIMUR
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT DAYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN RAYA
ACEH JAYA
NIAS SELATAN
NIAS
31
68
Financing-to-Needs Ratio (% )Diatas 125100 sampai 12575 sampai 10050 sampai 75Dibawah 50Tidak tersedia
Sumber: Catatan konsep BRR dan kalkulasi staf Bank Dunia, Desember 2005.Catatan: Kebutuhan penduduk Aceh Singkil mungkin lebih tinggi karena kerusakan dan kerugian akibat gempa bumi tanggal 28 Maret 2005.
62 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Penyaluran dana telah mengalami peningkatan yang cukup besar sejak bulan September 2005 dan mencapai jumlah AS$1,5 Milyar pada bulan Juni 2006. Meskipun terjadi kenaikan, penyaluran dana untuk membangun Aceh kembali, tetap di bawah harapan. Tingkat penyaluran dari pihak-pihak utama sangat bervariasi. Hingga akhir bulan Juni 2006, LSM-LSM telah menyalurkan 46 persen komitmen mereka, donor 22 persen, dan BRR 29 persen. Angka penyaluran ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku menghadapi kesulitan besar dalam menyalurkan dana yang telah mereka janjikan. Total program untuk seluruh periode rekonstruksi (2005-09) mencapai AS$8,0 Milyar. Jumlah ini menunjukkan angka penyaluran tahunan rata-rata sekitar AS$1,8 Milyar, atau AS$150 juta/bulan. Angka penyaluran saat ini masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dengan sukses dalam jangka waktu yang telah disepakati.
Dibandingkan dengan anggaran tahun 2005, anggaran BRR tahun 2006 meningkat sebesar 50 persen. Diantara sektor-sektor tersebut, sektor prasarana mengalami kenaikan alokasi terbesar. Dengan dana sebesar Rp. 4,6 Triliun yang tersedia dari sisa anggaran tahun 2005 dan anggaran 2006, sektor prasarana (termasuk perumahan) merupakan fokus pelaksanaan proyek tahun 2006 ( 0).
Gambar 4.10. Anggaran BRR dan pencairan, 2005 dan 2006
2000 1000 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Perumahan & Infrastruktur
Kelembagaan
Perekonomian
Kesehatan & Pendidikan
Agama Sosial & budaya
Nias Sekret. Komunikasi &Keuangan
Perencanaan % Program
Milyar RupiahAnggaran 2005 Pencairan 2005 Anggaran 2006 Pencairan 2006
Sumber: BRR.
BRR merupakan pelaku rekonstruksi utama. Portofolio BRR sekitar dua kali lipat pelaku utama lainnya (Palang Merah). Total komitmen pemerintah termasuk BRR untuk jangka waktu 5 tahun program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh adalah sekitar AS$2,4 Milyar. Anggaran sekitar AS$800 juta untuk tahun 2007 memberi BRR peluang untuk mengembangkan posisinya dalam pendanaan rekonstruksi. BRR hanya akan menyisakan AS$500 juta untuk dibelanjakan selama tahun 2008-09. Hingga akhir bulan September 2006, BRR telah membelanjakan sekitar Rp. 4,2 Triliun (gambar 4.11). Pembelanjaan tersebut setara dengan 31 persen dari total anggaran tahun 2005 dan 2006. Sejak bulan Juni 2006, BRR telah menyalurkan 62,73 persen dari alokasi anggarannya untuk tahun 2005 (Rp. 3,96 Triliun). Sejak bulan September, BRR hanya melakukan pembelanjaan sebesar 18 persen dari alokasi anggaran untuk tahun 2006 (Rp. 9,6 Triliun). Pola penyaluran tampaknya menunjukkan bahwa BRR tidak akan mampu menyalurkan seluruh anggarannya pada tahun 2006.
63PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 4.11. Pencairan oleh BRR tahun 2005 dan anggaran tahun 2006 (Rp. Milyar)
-
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
OctNov
Des Jan
Feb
Mar
chApril
May
June
July
Agustus
Septe
mber
Mily
ar R
upia
h
Bulanan Kumulatif
Sumber : BRR.
Pencairan nampaknya tidak merata di seluruh sektor dan bahkan lebih tidak merata lagi di seluruh wilayah. Lhokseumawe, Kab. Pidie, Kab. Nagan Raya, and Kab. Aceh Tenggara mencapai tingkat penyaluran sebesar 20 persen atau lebih tinggi. Kab. Aceh Tamiang, Kab. Aceh Singkil, dan Kab. Gayo Lues memiliki angka Penyaluran paling rendah: dibawah 5 persen (gambar 4.12).
Gambar 4.12. Penyaluran anggaran BRR di Aceh menurut kabupaten/kota, tahun 2005 dan 2006
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
KA
B. A
CE
H T
IMU
R
KO
TA L
AN
GS
A
KO
TA L
HO
KS
UM
AW
E
KA
B. B
IRE
UN
KA
B. A
CE
H B
ES
AR
KA
B. P
IDIE
KO
TA B
AN
DA
AC
EH
KA
B. S
IME
ULU
E
NA
NG
GR
OE
AC
EH
DA
RU
SS
ALA
M
SU
MA
TE
RA
UT
AR
A
KA
B. A
CE
H J
AYA
KA
B. A
CE
H B
AR
AT
KA
B. N
I A
S
KA
B. A
CE
H U
TA
RA
KO
TA S
AB
AN
G
KA
B. N
AG
AN
RA
YA
KA
B. A
CE
H T
EN
GA
H
KA
B. N
IAS
SE
LA
TAN
KA
B. A
CE
H T
EN
GG
AR
A
KA
B. A
CE
H B
AR
AT
DA
YA
KA
B. B
EN
ER
ME
RIA
H
KA
B. A
CE
H T
AM
IAN
G
KA
B. G
AY
O L
UE
S
KA
B. A
CE
H S
ING
KIL
KO
TA M
EU
LAB
OH
Mei (anggaran 2005)Juli (anggaran 2006 (25 wilayah)
Penyaluran oleh Daerah*
*25 daerah untuk anggaran 2006
Sumber: BRR.
Tingkat pencairan yang relatif rendah pada proyek-proyek BRR disebabkan oleh kombinasi antara masalah struktural dan masalah spesifi k. Pelaporan, garis tanggung jawab dan pertanggungjawaban yang tidak jelas; staf yang tidak mencukupi dan ketiadaan insentif; prosedur pengadaan yang rumit; dan meningkatnya biaya hidup dan operasional yang tidak tercakup dalam DIPA tahun 2005 (Daftar Isian Pengeluaran Anggaran) merupakan
64 PENGELUARAN
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
beberapa masalah struktural yang terjadi di Aceh. Rumitnya dan kurangnya persiapan dan pengawasan atas proyek-proyek, serta tidak tersedianya pelatihan bagi manajer proyek, merupakan beberapa masalah spesifi k yang harus diperhatikan.
Rekomendasi
Saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Aceh untuk “membangun kembali dengan lebih baik” setelah tsunami dan konfl ik berkepanjangan yang membawa dampak yang menghancurkan. Dana rekonstruksi dalam jumlah besar, ditambah APBD dalam jumlah besar, memungkinkan Aceh untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan struktural, meningkatkan pembangunan ekonomi daerah, dan meningkatkan kualitas penyediaan layanan publik. Namun demikian, pertanggungjawaban dan transparansi pemerintah daerah harus ditingkatkan guna memastikan pengelolaan dan pembelanjaan sumber daya publik dikelola yang efektif.
Saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuat keputusan strategis tentang (re-) alokasi dana rekonstruksi. Hingga akhir tahun 2006, lebih dari AS$6 Milyar––sekitar 75 persen dari total dana––diperkirakan akan dialokasikan. Pada bagian awal dari tahap rekonstruksi ini, meskipun terdapat sumber daya yang tersedia dalam jumlah yang sangat besar, sangat sedikit pelaku yang masih memiliki dana yang “dapat diprogram” dalam jumlah yang besar. Kesenjangan pendanaan yang masih terjadi perlu diatasi dengan segera. Dana yang mencukupi telah dijanjikan seluruhnya untuk mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun demikian, di beberapa bidang penting, alokasi dana yang telah diprogram oleh pemerintah pusat dan para donor bahkan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan minimum, terutama transportasi. Beberapa daerah juga masih mendapatkan dana yang sangat kurang memadai, terutama Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Tamiang, and Nias.
Pembelanjaan pemerintah pusat di masa mendatang untuk sebagian besar fungsi-fungsi yang didesentralisasi harus dihentikan karena pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prioritas daerah tersebut sehingga dapat menghindari tumpang tindih dan ketidakefi sienan dalam alokasi anggaran. Belanja pemerintah pusat dapat diarahkan secara lebih baik melalui dana alokasi khusus (DAK) yang berfokus pada daerah tertinggal dan kegiatan-kegiatan yang bekaitan dengan prioritas nasional dan yang dapat menghasilkan penghematan yang besar.
Berbagai tingkatan pemerintahan harus meneliti dengan seksama kecenderungan peningkatan pengeluaran pada belanja rutin dan belanja pembangunan aparat pemerintah secara keseluruhan. Penelitian secara seksama tersebut penting terutama karena adanya indikasi yang menunjukkan bahwa peningkatan belanja aparat pemerintah belum menghasilkan pengelolaan sumber daya fi skal yang lebih baik. Belanja publik harus ditujukan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan yang dapat memperbaiki penyediaan layanan dan kesejahteraan masyarakat dan menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang.
Untuk meningkatkan pelaksanaan program, realisasi anggaran belanja pemerintah kabupaten/kota harus ditingkatkan. Realisasi belanja pembangunan dan rutin pada umumnya jauh lebih rendah daripada belanja yang dianggarkan. Realisasi pembelanjaan yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor yang perlu diperhatikan, seperti daya serap yang rendah dari pemerintah kabupaten/kota dan penundaan persetujuan anggaran dan transfer pendapatan, terutama pembagian hasil sumber daya alam.
Dengan pertimbangan keadaan yang kompleks dan luasnya cakupan pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh BRR, maka fl eksibilitas daur belanja BRR harus ditingkatkan, sehingga memungkinkan BRR untuk menggunakan anggaran yang belum dibelanjakan pada tahun-tahun berikutnya. Fleksibilitas ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan kemampuan BRR untuk melakukan perencanaan program dan pengawasan.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
5Analisis Sektoral serta Rekomendasi
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI66
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Bab ini membahas tentang sektor-sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Masing-masing analisis sektor disertai dengan rekomendasi.
Kesehatan
Akses terhadap sarana perawatan kesehatan utama di Aceh secara umum lebih baik dari pada di bagian lain Indonesia. Menurut survei Podes (Survei Potensi Desa BPS), pada tahun 2005 Aceh memiliki 277 puskesmas, 705 pustu (puskemas pembantu), 427 praktek dokter swasta, 1.078 praktek bidan swasta, 4.247 posyandu (pos pelayanan terpadu), dan 2,765 polindes (pondok bersalin desa).37 Menurut Survei Kesehatan dan Gizi UNICEF38, kira-kira 25 persen desa di Provinsi Aceh tidak memiliki sarana kesehatan ditempat. Akan tetapi, survei ini kemungkinan memiliki perkiraan yang terlalu tinggi tentang kebutuhan sarana kesehatan karena terdapat banyak desa kecil di Aceh yang mana jumlah penduduknya dan jaraknya ke desa-desa yang lebih besar menunjukkan tidak cukupnya alasan untuk memiliki sarana kesehatan tersebut. Dibandingkan dengan rata-rata nasional, rata-rata sarana kesehatan di Aceh melayani jumlah penduduk yamg lebih sedikit (14.577 vs. 26.789 jiwa) dan memiliki wilayah layanan yang lebih kecil (200 vs. 242 km2).
Penyebaran rumah sakit yang tidak merata menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak perlu di beberapa kabupaten/kota. Sebagian besar rumah sakit (20 dari 37) terkonsentrasi di 4 kota (Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan Sabang) sementara 5 kabupaten/kota masih belum memiliki satu rumah sakit pun. Karena kecilnya jumlah penduduk di sebagian besar kabupaten/kota serta jarak ke kabupaten/kota lainnya yang memiliki rumah sakit, rumah sakit per kabupaten/kota mungkin bukan merupakan indikator yang tepat. Aceh memiliki profi l layanan kesehatan yang relatif sama dengan profi l layanan kesehatan Indonesia: rumah sakit per penduduk (0,89 vs. 0,77 per 100.000 penduduk), penduduk per tempat tidur rumah sakit (1.703 vs. 1.641), dan wilayah layanan rumah sakit (1.500 vs. 1.200 km2).
Sarana perawatan kesehatan umumnya tersedia, tetapi sebagian besar tidak berfungsi. Sebagai contoh, di Kab. Bireuen, hanya 19 persen polindes yang kondisinya baik atau wajar. Selebihnya sebanyak 81 persen polindes tidak dapat memberikan pelayanan, yang mana tidak berfungsinya disebabkan kurangnya perawatan dan diperburuk oleh konfl ik dan tsunami (gambar 5.1).39 Dengan tidak adanya penyedia kesehatan di lokasi, unit kesehatan keliling harus meningkatkan akses terhadap perawatan pengobatan resmi di desa-desa. Jumlah unit-unit tersebut meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Teorinya, unit-unit keliling tersebut dapat meningkatkan akses penduduk terhadap perawatan kesehatan. Namun, dalam kenyataannya, banyak desa yang tidak dilayani oleh puskesmas keliling; dan walaupun suatu desa dilayani, puskesmas keliling hanya memberikan layanan pada hari-hari yang tidak tentu (GDS).40
37 Ketidakkonsistenan data yang besar ditemukan antara dinas-dinas kesehatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Jumlah sarana yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi jauh lebih besar dari yang dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Data dinas kesehatan kabupaten/kota lebih dapat diandalkan, tetapi informasi ke seluruh 21 dinas tidak tersedia.
38 UNICEF 2005.
39 Dinas kesehatan Kabupaten/kota Bireuen, 2004. Bireuen mungkin tidak merupakan pengecualian. Staff dinas kesehatan Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Pidie melaporkan kondisi sarana yang serupa.
40 Survei Pemerintahan dan Desentralisasi, 2006. Penjelasan tentang metodologi terdapat dalam lampiran survei B7.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 67
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.1. Polindes di Kecamatan Padang Tiji, Kab. Pidie
Sumber: Staf Bank dunia, 6 Juni, 2006.
Jumlah tenaga kesehatan di Aceh relatif besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Dengan jumlah 11 bidan per 10.000 penduduk, jumlah bidan per kapita di Aceh merupakan yang tertinggi di Indonesia (Gambar 5.2). Seorang bidan di Aceh melayani rata-rata wilayah kurang lebih 12 km2, sementara di provinsi-provinsi lain kecuali Kepulauan Riau dan DKI Jakarta, seorang bidan memiliki wilayah layanan dua kali lipat dari wilayah itu. Jumlah dokter juga agak lebih tinggi di Aceh dibandingkan di daerah lain di Indonesia (2 vs. 1.8 per 10.000). Hal yang sama juga berlaku untuk tenaga kesehatan lainnya (5 vs. 3.6 per 10,000) (tabel D20 dan D21 dalam lampiran statistik D).
Gambar 5.2. Jumlah bidan umum dan swasta per 10.000 penduduk dan luas kilometer persegi yang dilayani
0
2
4
6
8
10
12
NA
D
Pap
ua
Ben
gku
lu
Mal
uku
Mal
uku
Sul
awes
i
NT
T
Sul
awes
i
Sum
ater
a
Kal
iman
tan
Sul
awes
i
Sum
ater
a
Kal
iman
tan
Jam
bi
Sum
ater
a
Go
ront
alo
Kal
iman
tan
Sul
awes
i
Bal
i
Kal
iman
tan
Ban
gka
Lam
pun
g
Jaw
a
Jaw
a T
imur
Ria
u
NT
B DI
Jaw
a B
ara
t
Ban
ten
0
50
100
150
200
250
Rasio bidan Wilayah Pelayanan
Sumber: Podes 2005.
Penyedia pelayanan kesehatan lebih memilih wilayah perkotaan dari pada wilayah perdesaan. Berbeda dengan kondisi rata-rata di Indonesia, distribusi bidan di Aceh agak cenderung lebih banyak di wilayah-wilayah perkotaan (Gambar 5.3). Temuan ini didukung oleh bukti subjektif dari GDS dan dinas-dinas kesehatan kabupaten/kota yang menyatakan bahwa, selama masa konfl ik, para bidan meninggalkan wilayah perdesaan dan pindah ke wilayah perkotaan. Standar hidup yang rendah dan konfl ik merupakan salah satu alasan yang diberikan atas pindahnya penyedia pelayanan kesehatan ke wilayah perkotaan. Dokter juga cenderung lebih banyak di wilayah-wilayah perkotaan tetapi tidak terlalu berbeda dengan kondisi rata-rata di Indonesia.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI68
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.3. Jumlah bidan dan dokter di perkotaan vs. pedesaan per 10.000 penduduk
11.3
3.1
5.93.6
10.7
4.10.60.9
0
2
4
6
8
10
12
Bidan Aceh BidanIndonesia
Dokter Aceh DokterIndonesia
Perkotaan Pedesaan
Sumber: Podes 2005.
Penggunaan layanan kesehatan di Aceh relatif lebih tinggi. Angka penggunaan sarana kesehatan (swasta dan umum) adalah 194 per 1.000 penduduk, lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu 154 per 1.000. Kelahiran yang dibantu oleh penyedia layanan kesehatan yang berkualifi kasi juga relatif tinggi. Di Aceh, 75 persen kelahiran dibantu oleh bidan yang berkualifi kasi atau dokter dibandingkan dengan tingkat rata-rata nasional sebesar 61 persen. Sebagian besar penduduk menggunakan layanan perawatan kesehatan umum. Di Aceh, 77 persen dari total kunjungan rawat jalan adalah ke sarana-sarana umum, sementara rata-rata untuk Indonesia jauh lebih rendah yaitu 46 persen. Perbandingan data dari Podes (dokter dan bidan) menunjukkan bahwa tidak banyak penyedia layanan kesehatan di Aceh yang benar-benar swasta.
Penggunaan layanan Puskesmas sangat bervariasi di Aceh. Puskesmas menerima rata-rata 230 pasien rawat jalan per minggu (GDS),41 atau 360 menurut survei Universitas Gajah Mada (UGM).42 Akan tetapi, terdapat variasi yang sangat besar di antara puskesmas-puskesmas di Aceh yang berkisar antara 0 sampai lebih dari 6.500 pasien rawat jalan per minggu. Hampir sepertiga dari sarana tersebut menerima kurang dari 100 kunjungan per minggu, atau 20 kunjungan per hari. Suatu pengkajian harus dilakukan untuk memahami mengapa sarana-sarana ini menyediakan sedikit pelayanan dan apakah perawatan atas tiap-tiap sarana tersebut mencukupi.
Dalam banyak hal, mutu layanan perawatan kesehatan dapat ditingkatkan. Banyak sarana berada di bawah standar minimum yang dapat diterima. Survei GDS memperlihatkan bahwa 5 dari 34 puskesmas tidak memiliki sarana air bersih; 12 puskesmas tidak memiliki genset sendiri sehingga sering mengalami mati lampu, dan 1 puskesmas tidak dilengkapi sambungan listrik. Dari 34 puskesmas yang disurvei, di masing-masing puskesmas paling sedikit 1 jenis obat tidak tersedia. Selain itu, rata-rata 2–3 dari 13 obat-obatan dasar tidak tersedia atau sudah habis persediaannya selama 3 bulan terakhir. Setengah dari puskesmas tersebut tidak mempunyai paling sedikit 1 dari 4 vaksin utama. Ketidakhadiran tenaga kesehatan merupakan hal yang lumrah dalam sistem kesehatan publik. Studi yang dilakukan pada tahun 2004 menemukan bahwa 40 persen penyedia layanan kesehatan di Indonesia tidak berada di tempat selama jam kerja resmi. Berdasarkan bukti subjektif, tampaknya keadaan di Aceh tidak berbeda.43
Pencapaian di bidang Kesehatan
Indikator pencapaian bidang kesehatan secara keseluruhan di Aceh tampaknya lebih buruk dari pada rata-rata nasional. Berbagai sumber digunakan untuk membandingkan informasi dari sumber-sumber yang tersedia (dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, SUSENAS, BPS, dan UNICEF). Terdapat banyak alasan (kerusakan karena tsunami, kesulitan dalam pengumpulan data karena konfl ik) yang mengakibatkan kurang akuratnya data dalam sektor kesehatan. Cakupan imunisasi di Aceh lebih rendah dari tingkat rata-rata nasional. Semua sumber data menunjukan bahwa angka imunisasi tuberkulosa (Bacillus of Calmette dan Guerin-BCG), DPT3 (gabungan vaksinasi untuk mencegah dipteri: pertussis -batu reja -tetanus), dan campak berada di bawah rata-rata nasional (tabel 5.1).44
41 GDS mencakup 34 puskesmas di 6 kabupaten/kota.
42 Survei sarana UGM (Universitas Gajah Mada) memuat data andal penggunaan 165 puskesmas di seluruh bagian provinsi.
43 Smeru 2004.
44 Survei kesehatan dan survey UNICEF, September 2005.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 69
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 5.1. Perbandingan cakupan imunisasi (%)
Aceh(UNICEF 2005)
(%)
Aceh (Dinas Kesehatan 2004) (%)
Aceh(SUSENAS 2004)
(%)
Indonesia(SUSENAS 2002–03)
(%)
BCG 62 36.4 76.2 90.2
DPT 3 48 33.3 21.1 43.2
Polio 3 n.a. n.a. 6.6 12.8
Campak 49 31.8 76.5 84.2Sumber: UNICEF 2005, Dinas Kesehatan 2004, dan Indonesian Demographic and Health Survei (IDHS) 2002–03.
Data dari survei UNICEF yang dilakukan di Aceh setelah tsunami memperlihatkan pencapaian kesehatan yang lebih buruk di Aceh dari pada bagian lain Indonesia. Survei tersebut dilaksanakan pada bulan Maret dan September 2005 di 18 kabupaten/kota di provinsi Aceh yang mencerminkan kejadian penyakit pada anak-anak di bawah enam tahun dan wanita hamil. Fakta bahwa kedua survei dilakukan setelah tsunami agak mempengaruhi analisis tersebut. Survei menunjukkan bahwa, di Aceh, 37 persen anak-anak menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan 38 persen menderita demam. Persentase ini lebih tinggi dari tingkat rata-rata nasional, di mana 6.3 persen dari anak-anak menderita ISPA dan 20 persen menderita demam. Indikator kejadian gizi buruk juga lebih buruk di Aceh, di mana 44 persen dari anak-anak memiliki berat badan yang kurang, dibandingkan dengan 26 persen di Indonesia.45
Dampak konfl ik dan tsunami terhadap sistem kesehatan dan pencapaian bidang kesehatan
Selama konfl ik, walaupun sarana kesehatan bukan merupakan sasaran––sebagaimana halnya sekolah–– prasarana kesehatan sangat rusak parah. Selama minggu pertama pemberlakuan undang-undang keadaan darurat pada tahun 2003, tiga puskesmas pembantu dan 35 klinik bidan desa dibakar di Kab. Bireuen dan Kab. Pidie. Angka tersebut merupakan tambahan dari 8 puskesmas, 19 puskesmas pembantu, dan 7 unit keliling yang hancur di provinsi tersebut di tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, dari tahun 1999 sampai 2004, 20 staf perawatan kesehatan tewas, dan 29 staf kesehatan di 20 kabupaten/kota menjadi korban kekerasan. Sebagai akibat dari konfl ik tersebut, banyak bidan meninggalkan pos mereka dan tinggal di perkotaan. Konfl ik telah sangat membebani sistem perawatan kesehatan karena banyaknya jumlah pengungsi, akses yang terbatas terhadap layanan-layanan di wilayah-wilayah konfl ik, dan meningkatnya kebutuhan terhadap perawatan khusus. Selain itu, selama konfl ik, banyak pekerja kesehatan pindah dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan, sehingga menyebabkan sangat sedikitnya penyediaan layanan kesehatan di wilayah-wilayah pedesaan. Bahkan walaupun konfl ik telah berakhir, para penyedia layanan kesehatan tersebut belum kembali ke pos mereka. Di beberapa desa, layanan telah terhenti, sebaliknya di daerah lain, layanan tersedia pada jam-jam yang tidak teratur tergantung pada penyedia layanan. Penduduk desa sering tergantung pada penyedia layanan yang ada di tempat yang lebih jauh.
Tsunami menyebabkan kerusakan yang besar terhadap sarana-sarana kesehatan dan sumber daya manusia. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember mengakibatkan kerusakan yang parah pada sektor kesehatan, merusakkan atau menghancurkan 8 rumah sakit, 41 puskesmas, 59 pustu, 44 posyandu, and 240 polindes. Dinas kesehatan provinsi juga rusak parah, disertai banyaknya data yang hilang. Banyak tenaga kesehatan profesional yang tewas. Kekurangan tenaga kesehatan tersebut telah ditangani dengan menyediakan tenaga pengganti yang jumlahnya hampir dua kali lipat jumlah penyedia layanan kesehatan. Kurang lebih 1,306 staf kesehatan baru, termasuk 222 dokter dan 162 bidan, direkrut segera setelah kejadian tersebut untuk menggantikan staf yang tewas. Sebagian besar tenaga kerja baru dipekerjakan oleh LSM, dan bekerja di pos-pos layanan kesehatan sementara dan tidak digaji oleh pemerintah.
Tsunami membuat 500,000 orang kehilangan tempat tingal. Sebagian besar terpaksa pindah ke kamp-kamp pengungsi. Hal ini menimbulkan masalah kesehatan khusus. Sampai bulan Juli 2006, lebih dari 50.000 orang masih tinggal di kamp-kamp pengungsi. Kamp-kamp pengungsi mengalami kekurangan air bersih dan
45 Abreu 2005.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI70
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
memiliki sarana sanitasi yang buruk. Walaupun terdapat persepsi ancaman yang lebih besar terhadap indikator nutrisi kesehatan, kajian yang dilakukan baru-baru ini oleh UNICEF tidak menunjukan perbedaan yang besar dalam hal limbah, kekurangan gizi akut global, hambatan pertumbuhan, kekurangan berat badan, dan anemia di antara anak-anak yang hidup di kamp-kamp pengungsi dan bukan pengungsi.46 Permulihan sedang berlangsung, tetapi berjalan lebih lama dari yang diperkirakan. Pada bulan Juli 2006, 25 persen dari prasarana kesehatan yang rusak telah dibangun kembali. Proyek-proyek pembangunan dan rehabilitasi delapan rumah sakit telah selesai dilaksanakan; 13 lagi sedang berlangsung. Setengah dari puskesmas dan pustu yang rusak saat ini sedang dibangun kembali.
Belanja bidang kesehatan vs. mutu perawatan kesehatan dan pencapaian bidang kesehatan
Pada tahun 2005 total pengeluaran bidang kesehatan hampir Rp. 700 milyar, sebagian besarnya berasal dari provinsi dan kabupaten/kota. Pengeluaran bidang kesehatan sebagian besar telah terdesentralisasi; 60 persen dari pengeluaran bidang kesehatan dilakukan oleh provinsi dan kabupaten/kota. Belanja kesehatan dari saku (out-of-pocket) rumah tangga, swasta hampir sepertiga dari jumlah total yaitu lebih dari Rp. 200 milyar.47 Belanja pemerintah pusat melalui APBN hanya menyumbang 9 persen dari jumlah belanja tersebut (Gambar 5.4).
Gambar 5.4. Sumber-sumber pengeluaran bidang kesehatan
9.4%
10.4%
49.3%
30.9%APBN (2005)
Provinsi (2005)
Kab/kota (2005)
Pengeluaran Rumah tangga (2004)
Sumber: SIKD dan SUSENAS 2004.
Keluarga miskin memiliki persentase pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih besar dari keluarga kaya. Akan tetapi, keluarga kaya melakukan pengeluaran yang lebih banyak secara riil. Rata-rata, rumah tangga di Aceh menghabiskan Rp. 3.504 per bulan untuk kesehatan, atau 2,0 persen dari total pengeluarannya (SUSENAS 2004) (Tabel 5.2). Angka tersebut relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata keluarga Indonesia, yang menghabiskan Rp 7.722 atau 3,7 persen dari total pengeluarannya untuk kesehatan per bulan. Sedikitnya persentase atas layanan kesehatan swasta yang relatif mahal dan rendahnya biaya puskesmas mungkin turut mempengaruhi pengeluaran kesehatan swasta yang relatif rendah di Aceh.
Tabel 5.2 Pengeluaran kesehatan rata-rata bulanan rumah tangga di seluruh kuintil pendapatan (%)
Paling Miskin 2 3 4 Paling
Kaya Rata-rata
Pengeluaran kesehatan rumah tangga Aceh (Rp) 2,616 2,439 2,959 3,187 6,320 3,504
Bagian dari total pengeluaran rumah tangga (%) 2.1 1.7 1.8 1.8 2.3 2.0
Pengeluaran kesehatan rumah tangga Indonesia (Rp) 3,399 4,249 5,403 7,381 18,179 7,724
Bagian dari total pengeluaran rumah tangga (%) 2.9 3.0 3.2 3.5 4.7 3.7
Sumber: SUSENAS 2004.
46 UNICEF 2005.
47 Data pengeluaran rumah tangga dari SUSENAS 2004 digunakan untuk mengetahui pengeluaran 2005.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 71
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Pada tahun 2004 berdasarkan persentase dari total belanja, belanja bidang kesehatan di Aceh merupakan yang terendah di Indonesia. Pemerintah daerah secara rata-rata menghabiskan 7 persen dari anggaran pengeluaran mereka untuk kesehatan, sementara pemerintah daerah di Aceh menghabiskan sedikit di atas 5 persen (Gambar 5.5).
Gambar 5.5. Persentase pengeluaran bidang kesehatan pemerintah daerah, 2004
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gor
onta
lo
Jaw
a Te
ngah
Kal
iman
tan
Sel
atan
Ben
gkul
u
Sum
atra
Uta
ra
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
Sul
awes
i Ten
gah
Jaw
a Ti
mur
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
Yogy
akar
ta
Bal
i
Sum
atra
Bar
at
Jaw
a B
arat
D K
I Ja
kart
a
Rat
a-ra
ta n
asio
nal
Jam
bi
Kal
iman
tan
Bar
at
Ban
ten
Pap
ua
Kal
iman
tan
Teng
ah
Sul
awes
i Sel
atan
Mal
uku
Ban
gka
Bel
itung
Lam
pung
Ria
u
Sum
atra
Sel
atan
Kal
iman
tan
Tim
ur
Ace
h
Sul
awes
i Uta
ra
Sul
awes
i Ten
ggar
a
Mal
uku
Uta
ra
(% d
ari j
umla
h pe
ngel
uara
n)
Sumber: Staf WB, SIKD, 2004.
Sebaliknya, pengeluaran daerah bidang kesehatan per kapita di Aceh lebih tinggi dari rata-rata Indonesia. Pengeluaran bidang kesehatan per kapita pemerintah daerah di Aceh lebih kurang Rp 78.000, jauh di atas rata-rata Indonesia yaitu Rp. 51.000 (Gambar 5.6).
Gambar 5.6. Pengeluaran kesehatan per kapita daerah menurut provinsi, 2004
0
50
100
150
200
250
Pap
ua
Kal
iman
tan
Tim
ur
Go
ront
alo
Kal
iman
tan
Ten
gah
DK
I Jak
arta
Ria
u
Mal
uku
Sul
awes
i Ten
gah
NA
D
Kal
iman
tan
Sel
atan Bal
i
Ben
gku
lu
Jam
bi
NT
T
Sum
ater
a B
ara
t
Ban
gka
Bel
itung
DI Y
og
yaka
rta
Kal
iman
tan
Bar
at
Sul
awes
i Sel
atan
Sum
ater
a U
tara
Nas
iona
l
NT
B
Sul
awes
i Ten
gg
ara
Sul
awes
i Uta
ra
Mal
uku
Uta
ra
Sum
ater
a S
elat
an
Jaw
a T
eng
ah
Jaw
a T
imur
Lam
pun
g
Jaw
a B
ara
t
Ban
ten
Rp
('0
00
)
Sumber: Staf Bank Dunia.Catatan: Data untuk DKI Jakarta tidak tersedia
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI72
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Setelah desentralisasi, pengeluaran kesehatan daerah meningkat secara mencolok, tetapi persentasenya dari total pengeluaran daerah tidak berubah banyak (Gambar 5.7). Sebagai akibat dari status otonomi khusus, pengeluaran kesehatan meningkat secara mencolok lebih kurang 50 persen, tetapi persentasenya terhadap total belanja yang dialokasikan untuk bidang kesehatan tetap antara 5 persen dan 7 persen.
Gambar 5.7. Belanja bidang kesehatan dari total belanja daerah, 2001–05
342
545 539444
508
6%
7%6%
5%
6%
0
100
200
300
400
500
600
2001 2002 2003 2004 2005
Rp
(Mily
ar R
p.)
0%
1%
2%
3%
4%
5%
6%
7%
Sumber: Perkiraan staf Bank dunia staff berdasarkan data Depkeu (harga konstan 2006).
Pemerintah kabupaten/kota mengeluarkan anggaran belanja yang lebih besar untuk bidang kesehatan dibandingkan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Setelah desentralisasi, persentase belanja provinsi terhadap total belanja bidang kesehatan masyarakat berkurang sementara belanja bidang kesehatan pemerintah daerah meningkat. Pada tahun 2005 hanya 15 persen dari total belanja bidang kesehatan masyarakat disumbangkan oleh provinsi, dibandingkan dengan 71 persen dari kabupaten/kota dan 14 persen dari pusat. Rincian yang serupa juga berlaku untuk belanja rutin dan pembangunan (Tabel 5.3).
Tabel 5.3. Belanja kesehatan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, 2005
Pusat Provinsi Kabupaten/kota Total
Milyar Rp % Milyar
Rp % Milyar Rp % Milyar
Rp %
Total 99 13.6 88 15 420 71.3 607 100
Pembangunan 23 11.9 34 18 135 70.2 192 100
Rutin 77 14.5 54 13.6 285 71.9 416 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia (harga konstan 2006).
Belanja rutin meningkat sedangkan belanja pembangunan menurun. Tren ini meningkatkan persentase belanja rutin untuk bidang kesehatan. Sejak desentralisasi, belanja rutin daerah meningkat lebih dari dua kali lipat dari Rp. 152 milyar menjadi 339 milyar, sebagian besar karena peningkatan dalam belanja rutin kabupaten/kota. Belanja pembangunan menurun. Pada tahun 2001 pengeluaran pembangunan Rp. 21 milyar lebih tinggi dari pada tahun 2005 (Gambar 5.8). Sebagai hasil dari kedua kecenderungan ini, persentase belanja rutin meningkat dari 45 persen pada tahun 2001 menjadi 67 persen pada tahun 2005. Di antara kabupaten/kota, terdapat variasi yang besar dalam hal belanja rutin vs. belanja pembangunan. Kab. Langsa memiliki persentase belanja rutin yang relatif lebih tinggi (sampai dengan 79 persen dari total belanja bidang kesehatan kabupaten), sementara Kab. Aceh Barat Daya mengeluarkan anggaran belanja yang relatif lebih tinggi untuk pembangunan (44 persen). Bagian belanja rutin yang meningkat digunakan untuk gaji penyedia layanan kesehatan. Persentase gaji dari total belanja meningkat dari 33 persen pada tahun 2001, atau 74 persen dari belanja rutin, menjadi 54 persen, atau 83 persen dari belanja rutin, pada tahun 2004 (Gambar 5.9).
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 73
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.8. Pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota (kanan) dan provinsi (kiri)
0
100
200
300
400
500
2001 2002 2003 2004 2005
Milyar Rp. rutin Pembangunan
0
100
200
300
400
500
2001 2002 2003 2004 2005
Milyar Rp. rutin Pembangunan
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu (harga konstan 2006).
Biaya operasional terlalu kecil untuk menjamin tersedianya layanan yang bermutu. Pada tahun 2004 hanya Rp 0,8 juta (2 persen dari total belanja bidang kesehatan) digunakan untuk biaya operasional. Sarana Puskesmas menerima alokasi yang kecil untuk biaya operasional, yang selalu lebih kecil dari alokasi anggaran yang diminta. Sebagai akibatnya, tidak terdapat sumber daya yang cukup untuk mengoperasikan puskesmas secara penuh. Sebagai contoh, karena kurangnya dana, puskesmas keliling sering tidak beroperasi, dan digunakan sebagai ambulan.
Gambar 5.9. Total pengeluaran rutin bidang kesehatan yang dirinci untuk pegawai atau gaji, barang dan lainnya (persentase dan Rp milyar)
113 237 256 239
2436 44 38
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2001 2002 2003 2004
Personel Barang Operasional Perjalanan Lain
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan pada data Depkeu (harga konstan 2006).
Sebagian besar pemerintah daerah di Aceh menghabiskan lebih banyak dana untuk bidang kesehatan dibandingkan rata-rata kabupaten/kota lain secara nasional. Walaupun, secara proporsi, kabupaten/kota di Aceh menghabiskan dana yang hampir sama untuk bidang kesehatan, belanja kesehatan per kapitanya sangat bervariasi. Sabang menghabiskan 33 kali lebih banyak per orang dibandingkan kabupaten/kota yang baru dibentuk, Langsa. Belanja kesehatan kabupaten/kota berkisar antara 1.5 persen dan 13.0 persen dari total belanja (Gambar 5.10).
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI74
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.10. Pengeluaran bidang kesehatan kabupaten/kota per kapita dan persentase dari total pengeluaran, 2004 dan 2005
0
100
200
300
400
500
600S
aban
g
Ace
h Ta
mia
ng*
Sim
elue
Ace
h B
esar
Ace
h T
eng
gar
a*
Ace
h B
arat
Ace
h U
tara
Lho
kseu
maw
e*
Ace
h B
arat
Day
a*
Ace
h T
eng
ah
Nag
an R
aya
Bire
uen
Ace
h T
imur
Ace
h S
elat
an*
Ind
one
sia
Ace
h S
ing
kil
Pid
ie
Ban
da
Ace
h
Ace
h Ja
ya
Lang
sa*
Rp
('0
00
)
0
2
4
6
8
10
12
14
%
per kapita Persentase dari total
Sumber: Perhitungan staf Bank dunia staff berdasarkan data Depkeu (harga konstan 2006)Catatan: * = kabupaten/kota untuk mana data 2005 tidak tersedia dan data 2004 digunakan.
Kebijakan Perawatan Kesehatan
Kartu kesehatan, yang diganti dengan JPK Gakin (jaminan pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin) pada tahun 2005, berdasarkan peraturan Gubernur Aceh, dan JPK-MM (jaminan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin) semuanya dimaksudkan untuk mengurangi biaya saku sendiri (out-of-pocket cost). JPK-Gakin memberi hak kepada keluarga miskin untuk mendapatkan layanan rawat inap dan rawat jalan kelas tiga. Peraturan gubernur tahun 2002 memberikan hak kepada seluruh penduduk Aceh untuk mendapatkan layanan puskesmas tanpa dipungut bayaran. Dana bantuan langsung JPK-MM bertujuan untuk “meningkatkan akses (untuk masyarakat miskin) dan mutu layanan perawatan kesehatan dengan mengurangi biaya kesehatan saku sendiri (out-of-pocket).”48 Gabungan dari kebijakan-kebijakan ini mungkin turut berperan atas rendahnya belanja kesehatan swasta yang dilakukan oleh masyarakat Aceh.
Sebagian besar puskesmas tidak memungut biaya, tetapi tidak semua puskesmas mengetahui peraturan tersebut. Hasil GDS 2 menunjukkan bahwa 67 persen dari pasien puskesmas tidak membayar ongkos untuk mendapatkan layanan. Selebihnya 33 persen membayar antara Rp. 1.000 sampai Rp.400.000.49 Enam puluh sembilan persen dari puskesmas melaporkan tidak mengenakan biaya apapun untuk layanan rawat jalan, sementara selebihnya mengenakan antara Rp. 200 sampai Rp 6.000. Kurangnya kepatuhan terhadap peraturan gubernur tersebut mungkin disebabkan oleh terbatasnya penyebaran informasi tentang peraturan tersebut. Delapan puluh persen dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan hampir 40 persen staf puskesmas tidak mengetahui tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tarif puskesmas. Belum ada tambahan dana yang diberikan kepada puskesmas untuk mengganti pendapatan yang hilang, menyebabkan ketatnya anggaran operasi. Sebelum tahun 2002, puskesmas diperbolehkan untuk menyimpan 20 persen dari biaya layanan yang dikumpulkan, yang dapat digunakan untuk insentif staf dan dana operasional. Jumlah pendapatan yang dikumpulkan melalui biaya, berbeda-beda berdasarkan penggunaan: puskesmas dengan “rata-rata” 350 pasien per minggu dan biaya Rp. 1.500 akan menerima pendapatan tahunan dari retribrusi sebesar Rp. 5,2 juta. Kurangnya dana penggantian, secara rata-rata dapat mengurangi 10 persen dari pendapatan puskesmas.
48 Manlak Depkes, 2005 Sejak Juli 2005 pemerintah pusat menyediakan subsidi langsung dalam bentuk block grant ke puskesmas. Block grant JPK-MM dialokasikan untuk kegiatan 4 puskesmas: Layanan Kesehatan Dasar, Paket Layanan Kelahiran, Sumber Daya Manajamen dan Operasional, serta Nutrisi, Rehabilitasi dan Revitalisasi. Puskesmas yang berpartisipasi dalam program tersebut harus menandatangani Perjanjian Penyediaan Bantuan yang menyepakati penggunaan sumber dana sesuai dengan pedoman yang tegas..
49 Biaya yang tinggi timbul ketika layanan rawat inap diperlukan.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 75
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Keterlambatan pencairan dana bantuan berpengaruh pada pemberian layanan. Puskesmas melaporkan terjadinya keterlambatan dalam pencairan dana bantuan JPK-MM. Tidak semua puskesmas dapat menalangi biaya layanan kesehatan dan, sebagai akibatnya, terdapat gangguan dalam penyediaan layanan kesehatan. Setelah dana masuk ke rekening puskesmas, dana tersebut tetap belum dapat dikeluarkan karena peraturan tentang penggantian biaya puskesmas tidak jelas. Hak-hak lain seperti pemberian layanan kebidanan secara gratis telah dibayar oleh pasien dan dengan demikian tidak dapat dengan mudah dikembalikan. Kepala Puskesmas tidak memiliki wewenang untuk menetapkan kembali alokasi dana sehingga dana tersebut tetap tidak bisa digunakan sampai ada informasi lebih lanjut dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Dana bantuan dari pemerintah pusat merupakan langkah mundur dari desentralisasi karena menggantikan wewenang kabupaten/kota. Sejak desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab untuk mengelola sektor kesehatan publik. Program dana bantuan dari pemerintah pusat mengesampingkan wewenang kabupaten/kota, dan sehingga bertentangan dengan tujuan desentralisasi. Dana bantuan langsung untuk mempertahankan tersedianya layanan kesehatan pada tingkat minimum sambil meningkatkan kapasitas pemerintah daerah mungkin dikarenakan pemerintah pusat menyadari bahwa pemerintah-penerintah daerah tidak dapat menyediakan layanan minimum. Akan tetapi, hal ini tampaknya bukan maksud dari JPK-MM (atau BOS, bantuan serupa untuk sektor pendidikan). Program-progam peningkatan kapasitas kelembagaan untuk pemerintah daerah yang menunjukkan maksud ini tidak didapati.
Rekomendasi
1. Tiga bidang prioritas untuk meningkatkan pemberian layanan kesehatan adalah (1) menyederhanakan sistem informasi kesehatan, (2) meningkatkan alokasi belanja untuk pemeliharaan dan operasi, dan (3) mengkaji kapasitas sumber daya manusia yang ada di dinas kesehatan pemerintah daerah. Pengeluaran kesehatan publik sebagai bagian dari total pengeluaran relatif rendah di Aceh, tetapi pengeluaran kesehatan per kapita relatif tinggi. Dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Indonesia, belanja kabupaten/kota untuk bidang kesehatan, yang menyumbang 71 persen dari belanja bidang kesehatan, termasuk rendah. Sumbangan swasta dari rumah tangga merupakan bagian yang besar dari total belanja kesehatan. Sumber daya publik yang dialokasikan untuk bidang kesehatan dan dana yang tersedia melalui upaya rekonstruksi memberikan peluang untuk semakin meningkatkan sistem perawatan kesehatan di Aceh.
2. Sementara fokus saat ini adalah pada kuantitas sarana dan penyedia layanan kesehatan, fokus tersebut seharusnya diarahkan pada peningkatan mutu layanan. Kombinasi antara pengeluaran harus ditingkatkan untuk mengatasi ketidakhadiran, insentif yang rendah untuk bekerja di wilayah-wilayah pedesaan, serta kondisi yang buruk dan tidak adanya dana operasi di banyak sarana kesehatan. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota dan desa telah menimbulkan permintaan sarana kesehatan yang tidak tepat. Perhatian harus dialihkan dari pembangunan sarana baru yang menjadi fokus saat ini. Pemeliharaan telah diabaikan, dan biaya operasi kadang-kadang terlalu kecil untuk dapat digunakan. Layanan akan menjadi lebih baik dengan belanja pemeliharaan dan operasional yang lebih tinggi.
3. Pemetaan yang tepat tentang sarana perawatan kesehatan, pemeliharaannya, dan sumber daya manusia merupakan hal yang penting sebelum memutuskan untuk membangun lebih banyak layanan perawatan kesehatan. Sejak desentralisasi, jumlah puskesmas dan pustu meningkat. Walaupun terdapat jumlah yang tinggi atas penyedia kesehatan publik dan swasta, sumber daya manusia tidak selalu cukup untuk secara benar mengelola sarana baru tersebut. Sebagai akibatnya, peralatan yang tersedia di sarana kesehatan hanya minimalis, dan lingkungan kerja yang tidak mendukung staf perawatan kesehatan mengakibatkan mereka meninggalkan pos-posnya.
4. Sistem informasi manajemen data perlu dibangun kembali untuk mendukung penentuan prioritas alokasi anggaran kesehatan. Lembaga-lembaga kesehatan pemerintah memiliki data yang berlimpah, yang tampaknya dikumpulkan tidak dengan tujuan yang jelas. Akibatnya, mutu data kurang diperhatikan. Perbandingan berbagai sumber data dalam lingkungan dinas kesehatan memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan. Selain itu, sebagai akibat dari konfl ik dan tsunami, banyak data yang hilang.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI76
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Oleh karena itu, pendataan terhadap prasarana kesehatan, sumber daya manusia, dan layanan sangat sulit. Tidakadanya arus data yang terlembaga antara kabupaten/kota dan provinsi membuat mutu data semakin rendah. Verifi kasi data yang selayaknya tidak memungkinkan, dan verifi kasi belum mendapatkan perhatian yang layak.
5. Belanja pemerintah pusat seharusnya hanya untuk tugas-tugas yang tersentralisasi saja. Subsidi pemerintah pusat (bantuan dana) ke puskesmas merupakan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Alokasi belanja pemerintah pusat di daerah-daerah sangat tidak dapat diprediksikan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat bergantung pada bantuan tersebut, yang pengoperasiannya berdasarkan pada peraturan-peraturan yang terus berubah. Perlu diperhatikan bahwa kabupaten/kota tampaknya menyesuaikan belanja mereka sehubungan dengan hal di atas, tidak memegang tanggung jawab penuh untuk bidang-bidang yang merupakan tanggung jawab mereka.
6. Mobilitas penyedia layanan kesehatan harus difasilitasi untuk meningkatkan efektifi tas layanan kesehatan. Pada tingkat desa, penyedia bergantung pada transportasi mereka sendiri. Penyediaan transportasi untuk staf perawatan kesehatan, khususnya bidan-bidan di lapangan, penting untuk meningkatkan layanan mereka. Tanpa dukungan puskesmas, penyediaan perawatan pra kelahiran, bantuan selama melahirkan, perawatan setelah melahirkan, imunisasi, dan sosialisasi tentang informasi terbaik dan praktek tebaik bergantung pada bidan.
Pendidikan
Sistem pendidikan dan pencapaian-pencapaian bidang pendidikan
Data Dinas Pendidikan Provinsi menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir angka partisipasi pendidikan di Aceh meningkat dengan pasti. Antara tahun 2000 dan 2004, angka partisipasi bruto pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) meningkat sedikit dari 111 persen menjadi 118 persen; angka partisipasi bruto pendidikan tingkat sekolah menengah pertama (SMP) meningkat dari 67 persen menjadi 80 persen; dan angka partisipasi bruto pendidikan tingkat sekolah menengah atas (SMA) dari 57 persen menjadi 72 persen (Gambar 5.11). Perbandingan terhadap angka partisipasi bruto pendidikan tingkat nasional (Gross Enrollment Rates/GER) sepanjang waktu menunjukkan bahwa Aceh memiliki angka partisipasi pendidikan yang relatif tinggi. Pada tahun 2004 angka GER nasional umtuk tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas adalah masing-masing 107 persen, 82 persen, dan 54 persen.50
Gambar 5.11. Tren angka partisipasi bruto untuk pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah di Aceh, 1999–2006
0
20
40
60
80
100
120
140
99/00 00/01 2001/02 2002/ 2003/04 2004/05 2005/06
GER (%)
GER SD GER SM P GER SM A
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional dan data penduduk BPS, berbagai tahun.
50 Rancangan Analisis Pengeluaran Publik terhadap sector pendidikan, 2006.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 77
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tren angka partisipasi pendidikan lebih dapat diandalkan dari pada tingkat partisipasi pendidikan, yang tampak terlalu tinggi perkiraannya.51 Kajian atas data dinas pendidikan dan data penduduk BPS perlu dilakukan untuk membuat perkiraan yang andal tentang angka partisipasi pendidikan. Tiga sumber yang berbeda (BPS, Dinas Pendidikan, dan SUSENAS) tentang jumlah pendaftaran murid SD tahun 2004–05 (baik swasta maupun umum) berbeda dari 523.228 sampai 579.804 murid. Data dinas agama tampaknya tidak terlalu berbeda, dimana GER berkisar antara 118 persen sampai dengan 127 persen.52 Masalah data lainnya mencakup ketidakkonsistenan antara jumlah murid SD yang lulus pada tahun 2004–05 dengan jumlah murid SD yang terdaftar di tingkat akhir tahun tersebut.
Angka partisipasi pendidikan netto dan bruto tingkat sekolah dasar menunjukan akses yang selayaknya ke sekolah-seolah dasar, tetapi tetap ada perbedaan yang besar antara kabupaten/kota; Kab. Aceh Jaya tampak di bawah rata-rata. Podes 2005 menunjukkan bahwa terdapat 1.033 taman kanak-kanak dan 3.560 sekolah dasar di provinsi Aceh. Dibandingkan dengan rata-rata nasional, angka partisipasi netto pada tingkat pendidikan dasar di Aceh agak lebih tinggi: 93 persen pada tahun 2004. Hanya 4 kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata nasional: Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Nagan Raya, Kab. Aceh Barat, dan Kab. Aceh Jaya (gambar B12). Angka GER yang lebih besar dari 90 persen untuk tingkat pendidikan tertentu menunjukkan bahwa jumlah agregat tempat untuk murid mendekati jumlah yang dipersyaratkan untuk akses umum bagi kelompok usia resmi.53 Partisipasi pendidikan tingkat menengah tampak lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Terdapat sedikit variasi dalam angka pendaftaran di antara kabupaten/kota. Banda Aceh berada di luar jalur dengan GER 140 persen, mungkin karena masuknya murid yang tidak terdaftar di kota tersebut setelah tsunami. GER kabupaten/kota lainnya bervariasi antara 80 persen dan 115 persen. Jarak rata-rata ke sekolah menengah pertama di luar desa adalah 5 km, tetapi di Kab. Aceh Jaya para murid harus mencapainya dengan rata-rata 16 km. Jarak ke SMP dan GER SMP tidak mempunyai korelasi yang signifi kan. (Gambar 5.12).
Gambar 5.12. GER sekolah menengah pertama dan jarak ke sekolah per pemerintah daerah, 2005
0
4
8
12
16
20
Ban
da
Ace
h
Nag
an R
aya
Lang
sa
Sim
eulu
e
Lho
kseu
maw
e
Ace
h Ja
ya
Ace
h B
arat
Sab
ang
Ace
h S
elat
an
Pid
ie
Ben
er M
eria
h
Bire
uen
Ace
h
Ace
h T
eng
ah
Ace
h B
arat
Ace
h T
amia
ng
Ace
h U
tara
Ace
h B
esar
Ace
h S
ing
kil
Ace
h T
imur
Gay
o Lu
es
km
0
40
80
120
160
GE
R
Jarak GER
Sumber: Podes 2005, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Sensus.
Sekolah-sekolah negeri biasanya lebih disukai karena biayanya rendah, peralatan yang lebih baik, dan mutu yang lebih baik. Akan tetapi, beberapa sekolah negeri mempunyai kursi yang terbatas. Kurang dari 10 persen murid bersekolah di sekolah swasta (Gambar 5.13). Sekolah negeri dan swasta memiliki kurikulum, jam belajar dan persyaratan ujian nasional yang sama. Sekolah-sekolah swasta diinginkan ketika sekolah-sekolah negeri tidak tersedia, ketika sekolah negeri telah mencapai batas pendafataran maksimum, dan jika memang ada rumah tangga yang mampu menyekolahkan anak mereka di sekolah yang mahal, dengan mutu pendidikan yang lebih baik. SMA Anak Bangsa di Banda Aceh dan SMA Yapena di Lhokseumawe adalah contoh sekolah swasta dengan mutu yang lebih baik. Biaya yang tinggi memungkinkan sekolah-sekolah tersebut mempekerjakan guru-guru yang bermutu dan membeli buku-buku yang bagus dan peralatan yang bermutu.
51 Jumlah murid di sekolah kelompok usia 7–12 (2005) dari dinas pendidikan melebihi jumlah anak dengan kelompok usia yang sama dalam sensus penduduk.
52 “Rangkuman Data Pendidikan” and “Data Kebutuhan Guru” Dinas Pendidikan Provinsi, Aceh Dalam Angka, dan Departemen Pendidikan Nasional.
53 Lembaga Statistik UNESCO, “Indikator-indikator Pendidikan.” 2003
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI78
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.13. Jumlah murid per tingkat pendidikan, negeri vs. swasta, 2004–05
0 100 200 300 400 500 600
SD/MI
SMP/MTsN
SMA/MA
siswa ('000)
Negeri
Swasta
Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi.
Undang-undang pendidikan No. 19/2005 yang baru mengharuskan para guru untuk memiliki pendidikan sarjana strata satu, akan tetapi di seluruh Aceh hanya 37 persen guru yang memenuhi persyaratan ini.54 Pada tingkat sekolah dasar, antara 13 sampai dengan 28 persen guru memenuhi persyaratan ini (Tabel 5.4.). Kualifi kasi guru di Aceh lebih rendah dari tingkat rata-rata nasional, yaitu: masing-masing 55 persen dan 73 persen guru memiliki kualifi kasi minimal yang disyaratkan untuk pendidikan tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP). Guru-guru pada sekolah agama rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada guru-guru pada sekolah non-agama. Meskipun guru-guru pada sekolah agama memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (58 persen–75 persen vs. 50 persen), data Biro Pendidikan Provinsi memperlihatkan prestasi siswa yang sama untuk kedua jenis sekolah dalam ujian nasional. Guru-guru sekolah menengah pertama lebih memenuhi kualifi kasi daripada guru-guru sekolah dasar. Kualifi kasi tertinggi didapati pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas (SMA).
Tabel 5.4. Kualifi kasi Guru di Provinsi Aceh, Tahun 2005–06 (%)
SD MI SMP MTs SMA/MA
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri SwastaNegeri + swasta
D1 44 50 26 34 13 16 5 13 2
D2 37 26 43 26 9 6 3 4 1
D3 6 8 6 12 32 27 19 26 19
Sarjana strata satu atau lebih tinggi 13 15 25 28 46 51 73 58 77
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Biro Pendidikan Provinsi NAD.
Tingkat ketidakhadiran guru relatif tinggi. GDS, yang meliputi 72 orang guru di Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat, mengindikaskan bahwa 30 persen guru-guru tidak hadir selama jam sekolah, dikarenakan terlibat dalam tugas-tugas di luar sekolah, sakit atau melakukan urusan pribadi. Berdasarkan suatu kajian yang dilakukan terhadap 147 sekolah di Indonesia didapati bahwa 19 persen dari guru-guru mangkir.55 Pengajaran yang bermutu menjadi terhambat oleh buruknya kondisi gedung sekolah. Hampir seperempat (23 persen) dari ruangan kelas sekolah dasar dapat dikategorikan rusak parah dan memerlukan rekonstruksi menyeluruh. Hanya 44 pesen ruangan kelas sekolah dasar di Aceh yang dianggap dalam kondisi baik, sementara 33 persen lainnya mengalami rusak ringan dan memerlukan perbaikan sebagian. (Gambar 5.14). Meskipun kondisi umum dari pendidikan yang lebih tinggi jauh lebih baik, lebih dari 1 dari 10 ruangan kelas harus direnovasi secara menyeluruh.
54 Biro Pendidikan Provinsi, NAD.
55 SMERU 2004.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 79
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.14. Kondisi Ruang Kelas (%), 2005
44
74
85
33
12
4
23
14
11
0 20 40 60 80 100
SD
SMP
SMA
Kondisi Baik Rusak Ringan Rusak Berat
Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi, NAD.
Kelangkaan buku sekolah menghambat proses pendidkan. Survei GDS menunjukkan bahwa sekitar seperempat dari sekolah-sekolah di Aceh memiliki sebuah buku bahasa Indonesia dan sebuah buku matematika per siswa. Selebihnya rata-rata memiliki buku yang memadai untuk dipergunakan oleh 45 persen dari siswa. Persoalan yang sama juga dihadapi oleh daerah lainnya di Indonesia.
Guru-guru lebih menyukai daerah perkotaan, sehingga menimbulkan kebutuhan yang tidak semestinya di daerah pedesaan. Rasio guru-kelas sebesar 1:3 cukup memadai untuk memenuhi standar layanan minimal. Data per kabupaten mengindikasikan bahwa jumlah guru jauh lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan. (Gambar 5.15). Masalah ini masih tetap ada di tahun-tahun belakangan ini.
Gambar 5.1.5. Variasi per kabupaten, rasio guru: kelas (SD negeri), Tahun 2005–06
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Kot
a B
anda
Ace
h
Kot
a Lh
ok S
eum
awe
Ace
h B
esar
Kot
a S
aban
g
Kot
a La
ngsa
Bire
uen
Ace
h B
arat
Ace
h Ta
mia
ng
Pid
ie
Ace
h Te
ngah
Rec
omm
ende
d
Ace
h
Ace
h Te
ngga
ra
Nag
an R
aya
Sim
eulu
Abd
ya
Ace
h S
elat
an
Ace
h Ti
mur
Ace
h U
tara
Ben
er M
eria
h
Ace
h S
ingk
il
Gay
o Lu
es
Ace
h Ja
ya
Sumber: Biro Pendidikan Provinsi, NAD.
Standar layanan minimal tidak selalu mencerminkan kebutuhan daerah dan meningkatkan inefi siensi dalam alokasi sumber daya manusia. Kebutuhan guru diperhitungkan berdasarkan jumlah guru per sekolah. Menurut aturan standar layanan minimal, setiap sekolah dasar harus memiliki sedikitnya 6 orang guru kelas, seorang guru olah raga dan seorang guru agama. Berdasarkan aturan tersebut, dibutuhkan 5.654 orang guru tambahan untuk sekolah dasar (SD). Rasio siswa guru (STR) untuk sekolah dasar di Aceh sudah setengah dari STR yang ditargetkan, yaitu 40:1, sebagaimana diindikasikan dalam standar layanan minimal. Mengalokasikan guru tambahan hanya meningkatkan inefi siensi penggunaan sumber daya manusia yang telah ada. Peningkatan jumlah guru hanya diperlukan apabila jumlah siswa bertambah secara singinifi kan. Tingkat partisipasi pendidikan tingkat sekolah dasar yang hampir sempurna dan menurunnya tingkat kelahiran tidak menunjukkan adanya kebutuhan tersebut di masa yang akan datang. Pengelompokan kembali sekolah di daetah yang secara geografi s memungkinkannya dan pengajaran multitingkat di daerah terpencil akan sangat mengurangi kebutuhan akan guru.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI80
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Dampak konfl ik dan tsunami terhadap sistem pendidikan dan pencapaian-pencapaiannya
Konfl ik yang berkepanjangan telah menimbulkan kerusakan parah terhadap prasarana pendidikan. Hilangnya sumber daya manusia, banyaknya siswa yang sementara putus sekolah dan tertundanya pelaksanaan kebijakan merupakan kemunduran utama dalam sektor layanan pendidikan. Antara bulan Agustus 1998 sampai dengan bulan Agustus 2001, 369 gedung sekolah dibakar, 70 persen di antaranya adalah gedung sekolah dasar. Keadaan yang bahkan jauh lebih buruk lagi terjadi selama periode darurat militer yang dimulai pada tahun 2003 (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Jumlah sekolah yang hancur per kabupaten, tahun 1998–Juni 2003
Kabupaten
Periode Agustus 1998–Agustus 2001 Periode Darurat Militer, 19 Mei–18 Juni 2003
SD SMP SMA and SMK SD SMP SMA and
SMK Total
Pidie 28 15 6 219 29 4 301
Bireuen 7 1 1 119 11 5 144
Aceh Utara 66 26 14 3 1 1 111
Aceh Timur 17 5 4 37 8 7 78
Aceh Tengah 36 5 1 0 0 0 42
Aceh Barat 13 9 3 6 2 0 33
Aceh Selatan 65 18 6 0 0 0 89
Kabupaten lainnya 11 8 4 41 14 3 81
Total 243 87 39 425 65 20 879Sumber: Bappeda dan Departemen Pendidikan NAD.
Banyak anak yang kehilangan tempat tinggal akibat konfl ik dan tinggal di kamp-kamp pengungsi berhenti sekolah paling tidak untuk sementara waktu. Menurut Kanwil Departemen Pendidikan NAD pada tahun 2003 jumlah pengungsi mencapai sekitar 41.000 jiwa, termasuk 16.352 orang siswa (sekitar satu persen dari seluruh siswa). Proses pendidikan menjadi terganggu dan banyak siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama gagal mengkuti ujian akhir.56 Guru-guru juga menjadi korban dan banyak dari mereka pindah ke perkotaan. Pemerintah memperlihatkan komitmen untuk menyediakan tenda-tenda sementara dan membangun kembali sekolah-sekolah yang rusak. Pada tahun 2003, anggaran sebesar Rp.40 Milyar (sekitar AS$4,4 juta) dialokasikan untuk rekonstruksi dan bantuan kemanusiaan lainnya. Dalam anggaran pendidikan sebesar 30 persen yang telah disetujui, belanja disesuaikan untuk pengalihan dana dari biaya nonfi sik menjadi untuk pembangunan prasarana pendidikan darurat.
Gempa bumi dan tsunami pada tangal 26 Desember 2004 memakan korban hampir 2.500 guru dan puluhan ribu siswa. Dilaporkan lebih dari 2.000 sekolah rusak parah atau hancur. Akan tetapi, banyak sekolah yang kondisinya sudah buruk akibat konfl ik atau kurangnya pemeliharaan. Misalnya di Kab. Bireuen, hanya 25 persen dari kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami atau gempa bumi. Rekonstruksi sedang berjalan. Guru-guru telah direkrut untuk menggantikan mereka yang menjadi korban, akan tetapi sebagian besar dari sekolah yang rusak masih perlu untuk dibangun kembali. Sampai dengan bulan April 2006, 2.400 dari 2.500 guru yang meninggal telah mendapatkan pengganti. Dua ratus enam puluh sekolah telah dibangun kembali dan 104 sekolah lainnya sedang dalam tahap pembangunan. Sekitar 1.500 masih perlu untuk direhabilitasi setelah diperolehnya komitmen bantuan untuk bencana tsunami. Sayangnya, upaya rekonstruksi kurang terkoordinasi dengan baik. Akibatnya, terjadi rekonstruksi yang tumpang tindih di perkotaan dan kesenjangan yang besar di pedesaan.
56 Serambi Indonesia, 26 Mei 2003.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 81
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tsunami untuk sementara waktu mengganggu proses pendidikan, akan tetapi sebagian besar anak-anak pada akhirnya dapat bersekolah kembali. Menurut sensus penduduk bulan Oktober 2005 di Aceh, 95 persen dari anak-anak yang berusia 7–12 tahun telah bersekolah, yang tidak berbeda dengan tingkat partisipasi pendidikan sebelum tsunami. Dampak dari tsunami terhadap kelangsungan pendidikan dan tingkat kelulusan siswa dapat diketahui hanya setelah masalah-masalah yang terkait dengan data seperti yang disebutkan pada bagian awal dari bab ini telah diselesaikan.
Tsunami banyak memakan korban anak balita berusia 0-4 tahun, yang akan menyebabkan perubahan dalam penyebaran siswa. Perbandingan dasar antara sensus penduduk tahun 2005 dengan proyeksi penduduk tahun 2005 mengindikasikan penurunan sebesar 7 persen dalam jumlah anak-anak dalam kelompok 0-4 tahun dan penurunan sebesar 3 persen dalam kelompok umur 5-9 tahun. Hal ini berarti bahwa jumlah anak yang pada awalnya diperkirakan akan memasuki pendidikan dasar selama empat tahun berikutnya akan menurun sekitar 40.000 siswa. Perbandingan antara jumlah pendaftaran siswa baru dengan proyeksi yang dibuat sebelum terjadinya tsunami memperlihatkan penurunan dalam jumlah partisipasi pendidikan; yaitu 114.410 siswa vs prediksi sebanyak 126.510.57 Dengan demikian, menurunnya jumlah siswa dalam satu kelas pada awalnya untuk SD dan kemudian untuk SMP perlu diantisipasi. Jumlah dana bantuan yang dialokasikan untuk sektor pendidikan pasca tsunami dapat digunakan untuk program-program peningkatan mutu pengajaran dan menciptakan pendidikan dengan mutu yang lebih baik di Aceh pada waktu yang akan datang.
Belanja Bidang Pendidikan vs. Mutu Pendidikan dan Pencapaian Bidang Pendidikan
Belanja bidang pendidikan di Aceh mencakup belanja yang berasal dari pemerintah pusat (APBN), pemerintah daerah (APBD I + II), dan rumah tangga swasta. Pada tahun 2005, seluruh belanja pendidikan berjumlah Rp.8 Triliun. Pengeluaran publik untuk pendidikan, apabila tidak didefi nisikan secara berbeda, termasuk belanja oleh biro-biro agama dan kebudayaan. Pemerintah kabupaten/kota merupakan pembelanja terbesar dengan sekitar Rp.1,2 Triliun atau 46 persen dari keseluruhan belanja. Kemudian diikuti oleh belanja pusat sebesar 655 Milyar (APBN dan BOS memberikan kontribusi 24 persen dari belanja). Kontribusi swasta dari rumah tangga tidak boleh diabaikan; swasta memberikan kontribusi sebesar Rp.340 Milyar untuk belanja pendidikan secara keseluruhan (Gambar 5.16).
Gambar 5.16. Komposisi belanja pendidikan di Aceh, Tahun 2005 (%)
21
3
13
1746
APBN
BOS
APBD (P rov)
APBD (Kab/kota)
Pengeluaran Rumah Tangga (2004)
Sumber: SIKD Depkeu, BOS Depdiknas, dan SUSENAS 2004.
Belanja swasta memberikan kontribusi yang cukup besar dalam belanja bidang pendidikan secara keseluruhan. Dengan tetap menggunakan data SUSENAS Tahun 2004 yang telah disesuaikan untuk tahun 2005, terdapat indikasi bahwa kontribusi swasta untuk bidang pendidikan menambah jumlah sekitar Rp.340 Milyar ke dalam jumlah belanja bidang pendidikan. Analisis atas data dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi memperlihatkan bahwa belanja swasta untuk SMP dan SMA terutama ditujukan untuk pembelian buku-buku, alat tulis dan transportasi apabila diperlukan, sementara biaya pendaftaran dan SPP nampaknya merupakan bagian kecil dari belanja.
57 Biro Pendidikan Provinsi, Tahun 2005.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI82
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Aceh memiliki belanja pendidikan perkapita tertinggi kedua dari semua provinsi di Indonesia. Bersama dengan Papua, provinsi Aceh mengeluarkan belanja yang jauh lebih banyak untuk bidang pendidikan per jumlah penduduknya dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Belanja pendidikan perkapita sebesar Rp.457.000 adalah lebih dari dua kali rata-rata belanja pendidikan nasional sebesar Rp.198.000 (Gambar 5.17).
Gambar 5.17. Belanja pendidikan perkapita pemerintah daerah per provinsi, tahun 2004
0
100
200
300
400
500
600
Pap
ua
NA
D
Gor
onta
lo
Sul
awes
i Uta
ra
Sum
ater
a B
arat
Kal
iman
tan
Teng
ah
Sul
awes
i Ten
gah
Pro
vins
i R
iau
DI Y
ogya
kart
a
Bal
i
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Sel
atan
Ben
gkul
u
Sul
awes
i Ten
ggar
a
NTT
Ban
gka
Bel
itung
NTB
Kal
iman
tan
Bar
at
Sum
ater
a U
tara
Sul
awes
i Sel
atan
Jam
bi
Mal
uku
Nat
iona
l
Jaw
a Te
ngah
Sum
ater
a S
elat
an
Mal
uku
Uta
ra
Lam
pung
Jaw
a Ti
mur
Jaw
a B
arat
DK
I Jak
arta
Ban
ten
Rp
('000
)
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
Undang-undang Otonomi Aceh No. 11/2006 yang baru menetapkan alokasi dana untuk pendidikan. Sedikitnya 30 persen dari dana bagi hasil tambahan harus dialokasikan untuk belanja pendidikan di Aceh. Sedikitnya 20 persen dari keseluruhan belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus dialokasikan untuk pendidikan. Undang-undang yang baru ini menjamin alokasi pendapatan yang stabil untuk sektor pendidikan tanpa ketergantungan pada pendapatan minyak dan gas, sehingga dinas pendidikan dapat melakukan perencanaan untuk jangka pendek. Perkiraan pendapatan sampai dengan tahun 2011 mengindikasikan bahwa sekitar Rp.2 Triliun akan tersedia untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh untuk pendidikan selama 5 tahun mendatang (Gambar 5.18.).
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 83
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.18. Perkiraan sumber daya Aceh untuk pendidikan, Tahun 2006–11
0
500
1000
1500
2000
2500
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Mily
ar R
p.
30% dari tambahan bagi hasil20% dari penerimaan lainnyatotal anggaran Pendidikan
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
Secara kuantitas, belanja bidang pendidikan daerah meningkat empat kali lipat setelah desentralisasi, akan tetapi kemudian menurun secara perlahan. Meskipun demikian, porsi belanja pendidikan dari keseluruhan belanja daerah masih di atas 25 persen. Sebelum penetapan otonomi khusus, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing mengelola Rp.70 Milyar dan Rp.491 Milyar. Pada tahun 2002, sumber daya daerah bertambah hingga mencapai Rp.440 Milyar dan Rp.1,8 Triliun, akan tetapi kemudian turun secara perlahan masing-masing menjadi Rp.319 Milyar dan Rp.1,7 Triliun, pada tahun 2005. Porsi belanja pendidikan meningkat secara drastis setelah undang-undang otonomi Aceh dilaksanakan untuk pertama kali pada tahun 2002, 34 persen dari belanja provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan untuk pendidikan. Sejak itu, porsinya menurun, akan tetapi tetap di atas 25 persen sejalan dengan Undang-undang Otonomi yang baru. (Gambar 5.19. ). Belanja oleh dinas pendidikan telah meningkat sejak desentralisasi; sebagian besar belanja merupakan kontribusi pemerintah kabupaten/kota. Sepertinya penurunan belanja pendidikan provinsi setelah tahun 2004 disebabkan oleh janji pemerintah pusat untuk meningkatkan belanja melalui program BOS yang dimulai pada bulan Juli 2005.58
Gambar 5.19. Porsi belanja pendidikan daerah dalam keseluruhan belanja daerah (harga tetap tahun 2006)
696
2,790 2,8762,545
2,11211%
34% 33%
27%25%
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
2001 2002 2003 2004 2005
Mily
ar R
p.
0%
10%
20%
30%
40%
Pengeluaran Pendidikan Presentase Pengeluaran Pendidikan
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
Belanja rutin sebagian besar merupakan belanja kabupaten/kota, sementara belanja pembangunan hampir terbagi rata antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota membelanjakan 74 persen dari keseluruhan belanja rutin; pemerintah pusat menambah 24 persen; dan kontribusi provinsi hampir tidak signifi kan. Dengan 34 persen, 29 persen, dan 37 persen, tingkat pemerintahan yang berbeda memberikan kontribusi yang hampir sama kepada belanja pembangunan di bidang pendidikan (Tabel 5.6.).
58 BOS adalah dana alokasi umum dari pemerintah pusat kepada sekolah-sekolah untuk menutupi biaya operasional SD dan SMP. Sekolah-sekolah menandatangani surat perjanjian (LoA) tentang Pemberian Bantuan yang mana sekolah-sekolah tersebut harus mematuhi peraturan tentang formulir pendaftaran, buku teks dan bahan, biaya untuk pelatihan, ujian dan biaya lainnya. Besarnya dana alokasi umum tersebut didasarkan atas banyaknya siswa dan tingkat pendidikan, yaitu: Rp. 235,000 per siswa SD dan Rp.324.500 per siswa SMP.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI84
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 5.6 Belanja pendidikan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, tahun 2005 (harga konstan 2006)
Pusat Provinsi Kab/Kota Total
Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp %
Total 813 27.8 341 11.7 1771 60.5 2,925 100
Pembangunan 370 33.9 313 28.7 407 37.3 1,090 100
Rutin 443 24.1 28 1.5 1364 74.3 1,835 100Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
Porsi belanja Rutin dari keseluruhan belanja pendidikan semakin meningkat, sehingga meninggalkan sedikit ruang untuk belanja pembangunan. Porsi belanja rutin terus meningkat sejak tahun 2002. Mulai tahun 2003 dan seterusnya, lebih dari 60 persen dari keseluruhan belanja pendidikan daerah merupakan belanja rutin. Di tahun 2005, dua pertiga dari belanja pendidikan daerah adalah untuk pembelanjaan rutin. (Gambar 5.20).
Gambar 5.20. Belanja rutin dan pembangunan pemerintah provinsi (kiri) dan pemerintah kabupaten/kota (kanan) (Milyar Rp, harga konstan 2006)
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
2001 2002 2003 2004 2005
Mily
ar R
p.
Total Rutin Total Pembangunan
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
2001 2002 2003 2004 2005
Mily
ar R
p.
Total Rutin Total Pembangunan
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia..
Hampir semua belanja rutin dialokasikan untuk gaji para guru. Pada penghujung tahun 2004, 93 persen dari belanja rutin adalah untuk gaji, sedikit lebih rendah dari rata-rata nasional (96 persen). Akibatnya, belanja barang dan operasional untuk bidang pendidikan mendapatkan porsi yang sangat kecil dibanding keseluruhan belanja. Pada tahun 2003 dan 2004, kurang dari AS$ 10 juta dibelanjakan untuk kedua bidang tersebut di atas. (Gambar 5.21.).
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 85
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.21. Belanja Spesifi kasi belanja pendidikan rutin (Rp. Milyar)
339 1335 1621 1551
12 59 80 102
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2001 2002 2003 2004
Pembayaran Hutang
Lain-lain
Perjalanan Dinas
Operasional & Pemeliharaan
Barang
Gaji
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia. Data rill (harga konstan 2006)
Undang-undang tentang Guru yang baru (No. 19/2005) akan meningkatkan belanja untuk gaji guru pada tahun-tahun mendatang. Undang-undang ini menetapkan bahwa para guru di semua tingkatan sekolah harus memiliki ijazah akta empat atau ijazah sarjana; mengharapkan agar semua guru memiliki sertifi kat dalam waktu 10 tahun, dan memberikan insentif khusus bagi guru-guru yang mengajar di daerah konfl ik dan daerah bencana alam.59 Undang-undang tersebut dapat meningkatkan jumlah guru di daerah terpencil dan mengurangi tingkat kemangkiran. Undang-undang tentang guru yang baru ini tentunya akan menambah kebutuhan fi skal atas sumber daya untuk pendidikan karena guru yang memiliki pendidikan lebih baik akan menerima gaji pokok yang lebih tinggi. Undang-undang tersebut akan bermanfaat bagi pendidikan hanya apabila jumlah guru yang ada sekarang dibatasi dan dimanfaatkan secara lebih efi sien. Pemerintah kabupaten/kota rata-rata membelanjakan porsi yang sangat signifi kan dari keseluruhan belanja mereka untuk bidang pendidikan. Hanya empat kabupaten/kota memberikan anggaran belanja di bawah 20 persen dari keseluruhan belanja mereka untuk pendidikan (Gambar B8). Terdapat variasi yang signifi kan dalam alokasi dana pendidikan di keempat kabupaten/kota tersebut. Sebagian besar, akan tetapi tidak semua, kabupaten/kota berpedoman kepada undang-undang otonomi (untuk mengontribusikan paling sedikit 30 persen dari belanja kabupaten/kota untuk pendidikan). Antara tahun 2002 dengan 2005, porsi yang cukup besar dari dana pendidikan dialokasikan untuk lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berkaitan dengan pendidikan umum. Kecenderungan ini telah berganti pada tahun-tahun belakangan ini. Pelatihan untuk pejabat pemerintah yang tidak berkaitan dengan pendidikan didanai melalui dana pendidikan (tertinggi pada tahun 2002 sebesar 14 persen) (tabel 5.7.). Qanun no. 23/2002 menetapkan penggunaan dana pendidikan hanya untuk pendidikan umum, jadi belanja yang tidak berkaitan dengan pendidikan melanggar peraturan daerah Aceh.60
59 Pasal 29, UU 19/2005.
60 Dana pendidikan harus dialokasikan untuk (1) pendidikan pramadrasah, (2) pendidikan dasar, (3) SMA dan sekolah kejuruan, (4) pendidikan pada dayah, (5) pendidikan tinggi, (6) pendidikan nonformal, (7) sekolah khusus, (8) dewan pendidikan provinsi (dikenal sebagai Majelis Pendidikan Daerah), (9) dana perwalian pendidikan, (10) beasiswa, (11) R&D dalam pendidikan, dan (12) perpustakaan dan ruang baca sekolah.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI86
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 5.7. Alokasi sumber daya dana pendidikan (belanja riil, Rp Milyar)
2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 %
Biro Pendidikan Provinsi 220,6 32 245,2 35 243,4 34 193,7 39 161,8 34
Departement dan instansi lainnya 96.5 14 62.4 9 62.3 9 53.7 11 7.2 2Komite perpusatakaan dan pendidikan
3.0 0 3.3 0 2.7 0 3.0 1 2.8 1
Universitas dan pusat pelatihan 51.2 7 56.0 8 57.7 8 48.8 10 59.4 12
Biro Pendidikan Kabupaten/Kota 279.7 40 262.1 37 264.5 37 196.0 40 228.3 48
Dana Warisan Pendidikan 49.0 7 70.0 10 70.0 10 0.0 0 0.0 0
Lainnya 0.0 0 2.0 0 5.0 1 0.0 0 20.5 4
Total Dana Pendidikan 700.0 700.0 721.4 491.0 480.0Sumber: Dinas Pendidikan NAD ”Perbandingan Alokasi Dana Pendidikan Tahun 2002–2006.” Catatan: Tahun 2005 dan 2006 merupakan rencana anggaran.
Pada tahun 2004 dan 2005, porsi yang besar dari anggaran belanja provinsi ditujukan untuk pendidikan dasar (SD dan SMP). Meskipun porsi belanja pendidikan yang dibelanjakan untuk pendidikan umum selalu di atas 50 persen, porsi tersebut secara khusus sangat tinggi masing-masing sebesar 79 persen dan 86 persen pada tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006, alokasi untuk pendidikan umum menurun sedikit menjadi 66 persen karena meningkatnya alokasi untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK dan untuk bidang anggaran baru yaitu, “Pengembangan Pendidikan Islam” dan “Manajemen Pendidikan” (Tabel 5.8).
Tabel 5.8. Perincian belanja provinsi, tahun 2002–06
2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 %
Pendidikan dasar dan prasekolah 82 37 56 23 139 54 122 64 107 66
Pendidikan menengah pertama dan menengah atas
41 18 64 26 64 25 42 22
Pendidikan tinggi 10 5
Pendidikan ekstrakurikuler /pendidikan nonformal /pendidikan untuk anak sekolah dini
45 20 48 20 48 18 23 12 21 13
Sinkronisasi dan koordinasi pengembangan pendidikan
36 16 57 23
Penelitian dan pengembangan IPTEK 7 3 19 8 8 3 4 2 8 5
Pengembangan pendidikan Islam dan pengembangan dayah
12.7 8
Manajemen pendidikan 13 8
Total provinsi 221 100 244 100 259 100 189 100 162 100Sumber: Biro Pendidikan Provinsi, NAD.
Belanja pemerintah untuk tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih berpihak pada masyarakat miskin. Tingkat partisipasi pendidikan untuk tingkat SD rata-rata sama dan hampir tidak berbeda di antara semua kelompok penghasilan. Perbedaan pada tingkat partisipasi pendidikan meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Tingkat partisipasi pendidikan tingkat SMP dari kuantil penghasilan yang paling miskin di Aceh adalah 10 persen lebih rendah dari tingkat partisipasi pendidikan dari kuintil penghasilan tertinggi. Untuk SMA, perbedaannya meningkat sampai 25 persen. Setengah dari seluruh anak-anak dari kuintil penghasilan paling rendah terdaftar di SMA dibandingkan dengan tiga perempat dari seluruh anak-anak dari kuintil penghasilan paling tinggi (Tabel 5.9).
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 87
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 5.9. Tingkat partisipasi pendidikan per kuintil penghasilan, tahun 2004
Kunitil Penghasilan SD SMP SMA
Paling Miskin 95 76 50
2 96 78 59
3 96 80 61
4 96 84 70
Paling Kaya 95 86 75
Sumber: Susenas 2004.
Proses Penyusunan Anggaran Pendidikan
Proses penyusunan anggaran pendidikan masih tetap menggunakan proses dari atas ke bawah (top-down). Proses penyusunan anggaran dalam era desentralisasi belum secara signifi kan berubah dari masa yang lalu. Teorinya, sistem perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up) diberlakukan mulai dari proposal oleh kepala sekolah, musyawarah untuk memberikan masukan masyarakat dan kemudian diteruskan kepada pemerintah kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Dalam kenyataannya, terdapat bukti yang sangat kuat tentang penerapan proses perencanaan dari atas ke bawah (GDS).
Pada semua tingkatan, para penyusun rencana pendidikan terhambat oleh informasi keuangan yang tidak lengkap. Para tenaga pendidikan, baik guru-guru maupun kepala sekolah, telah terbiasa untuk menunggu pembiayaan dari pemerintah, keterlambatan dalam pencairan dana, dan ketidakpastian tentang hak-hak mereka. Hal ini menghambat perencanaan dini dan kemungkinan pengawasan (checks and balances). Dinas pendidikan kabupaten/kota tidak tahu pasti tentang dukungan keuangan yang akan mereka terima dari sumber provinsi dan pusat sampai mereka menerima uang tersebut. Pada waktu yang bersamaan, para pemangku kepentingan di tingkat provinsi kekurangan data dari kabupaten/kota karena tidak semua kabupaten/kota mengirimkan data tentang keuangan dan pendidikan mereka ke tingkat provinsi. Lambatnya pencairan sumber dana secara drastis mengurangi dampak aliran keuangan. Sumber dana sering mengalami keterlambatan dalam pencairan yang bervariasi antara beberapa bulan sampai dengan setengah tahun yang mengakibatkan pembatalan pos anggaran atau penundaan dalam pelaksanaan proyek.
Rekomendasi
1. Momentum yang dimiliki oleh Aceh harus digunakan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Undang-undang otonomi yang baru menjamin alokasi minimal untuk bidang pendidikan dan sumber dana yang ada untuk rekonstruksi setelah tsunami menciptakan peluang untuk secara drastis meningkatkan pendidikan di Aceh. Tingkat rata-rata partisipasi pendidikan untuk jenjang SD hampir 100 persen, sementara untuk jenjang pendidikan yang lebih tingggi memiliki tingkat rata-rata partisipasi yang lebih rendah. Peningkatan akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus lebih diperhatikan, dari mana tingkat pengembalian (rate of return) yang lebih signifi kan dapat dapat diperoleh.
2. Pemerintah harus memprioritaskan mutu pendidikan. Data yang ada saat ini mengindikasikan bahwa tingkat rata-rata partisipasi pendidikan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat rata-rata nasional, akan tetapi terdapat masalah yang jelas berkenaan dengan kurangnya pemeliharaan dan kurangnya prasarana.
3. Dinas pendidikan memiliki data yang melimpah, akan tetapi data yg berkualitas tidak banyak. Identifi kasi dan pengumpulan masukan (keuangan) utama, proses dan indikator pencapaian sangat penting untuk perencanaan. Pada tingkat kabupaten/kota, meskipun disyaratkan oleh peraturan yang baru tentang proses penganggaran, pengambilan kebijakan dan perencanaan anggaran jarang
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI88
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
menggunakan data (Kepmendagri No. 29/2002). Tanpa data dasar, perencanaan yang baik tidak mungkin untuk dilakukan. Pemerintah provinsi tidak memiliki wewenang untuk meminta informasi dari pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, laporan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi jarang ada dan mutunya buruk, dan ini merupakan masalah yang secara jelas mempengaruhi mutu laporan provinsi. Pelaksanaan sistem pendidikan ”satu atap” di mana baik pendidikan nonkeagamaan maupun pendidikan keagamaan akan masuk dalam dinas pendidikan mulai tahun 2008, akan memberikan peluang untuk meningkatkan pengumpulan data dan pengambilan kebijakan berdasarkan data.
4. Penyusunan rencana anggaran dan program pendidikan harus didasarkan pada indikator kinerja, bukan pada standar layanan pendidikan minimum. Standar layanan minimum harus mencerminkan kebutuhan kabupaten/kota dan harus layak, baik secara praktis maupun secara fi nansial. Target untuk mematuhi peraturan tentang “9 orang guru per sekolah” akan semakin mengurangi rasio murid-guru, yang menimbulkan beban keuangan tambahan pada sistem tanpa peningkatan efi siensi. Aturan “9 orang guru” tersebut juga akan membatasi fl eksibilitas pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan solusi lainnya untuk masalah penyediaan tenaga kependidikan. Solusi dapat mencakup pelaksanaan pengelompokan kembali di perkotaan dan pengajaran multitingkat di pedesaan.
5. Untuk memastikan pemerataan guru, kebijakan penempatan pegawai negeri harus dievaluasi kembali. Meskipun dinas pendidikan mengetahui pendistribusian guru-guru yang jelas tidak merata antara perkotaan dan pedesaan, dinas pendidikan belum melakukan upaya yang nyata untuk mendistribusikan kembali para guru-guru tersebut. Teorinya, undang-undang tentang guru yang baru akan meningkatkan insentif untuk mengajar di daerah terpencil dan daerah konfl ik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, pedesaan tetap menderita kekurangan guru-guru yang memenuhi syarat.
6. Lebih banyak sumber dana harus dialokasikan untuk pemeliharaan. Porsi sumber daya pendidikan yang dibelanjakan untuk pemeliharaan tidak signifi kan dibandingkan dengan porsi yang dibelanjakan untuk gaji para guru. Undang-undang tentang guru yang baru mungkin akan mengakibatkan meningkatnya porsi belanja yang ditujukan untuk gaji para guru.
7. Dalam kenyataannya, wewenang belanja tetap berada di pusat. Program BOS telah meningkatkan wewenang pusat. Porsi yang besar dari belanja pendidikan kabupaten/kota seperti sumber daya keuangan dari DAK, telah dialokasikan, dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota tidak memiliki wewenang untuk menggunakan uang untuk apa yang mereka anggap perlu. Perencanaan dari bawah ke atas dalam pendidikan dengan peran serta lebih besar dari semua pemangku kepentingan, termasuk para orang tua, komite sekolah dan pemerintah kabupatan/kota harus ditingkatkan.
8. Pencairan sumber keuangan secara tepat waktu dan informasi dini dan akurat tentang besaran dana dan waktu pencairan sangat penting. Para penyusun rencana di tingkat kabupaten/kota harus memiliki informasi yang tepat waktu tentang sumber keuangan yang tersedia bagi mereka sehingga mereka dapat menggunakan sumber dana tersebut secara efi sien.
Infrastruktur
Bahkan sebelum tsunami bulan Desember 2004, kondisi infrastruktur di Aceh telah buruk karena kurangnya investasi pemerintah dan swasta. Bencana alam melumpuhkan sektor yang kondisinya telah buruk tersebut. Prasarana listrik, air dan sanitasi serta transportasi Aceh yang tidak memadai sebelum bencana tsunami merupakan pertanda yang jelas tentang kurangnya pembangunan ekonomi di daerah yang kaya akan sumber daya tersebut.
Selain investasi besar dalam bidang industri, termasuk minyak dan gas bumi, pupuk alam dan semen, swasta hanya melakukan sedikit investasi langsung dalam infrastruktur. Pemerintah daerah telah berperan dan masih berperan sebagai investor utama dalam pembangunan infrastruktur. Volume belanja infrastruktur daerah telah meningkat secara nyata dari Rp.452 Milyar pada tahun 1999 menjadi Rp.1.188 Milyar pada tahun 2002. Pembangungan infrastruktur di Aceh berada di bawah tingkat nasional pada banyak aspek. Jumlah desa yang telah
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 89
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
dialiri listrik dan rumah tangga yang memiliki sambungan telepon atau sanitasi pribadi dan pengelolaan limbah semuanya masih di bawah rata-rata nasional. Sebaliknya, tingkat penyediaan listrik dan kepadatan jalan secara signifi kan lebih tinggi daripada rata-rata nasional. (Tabel 5.10).
Tabel 5.10 Indikator infrastruktur Aceh dibandingkan dengan rata-rata nasional, beberapa tahun (%)
Aceh Indonesia
Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik 73.0 68.7
Desa-desa tanpa listrik 7.7 7.3
Sambungan telepon 6.2 12.2
Lahan beririgasi sebagai % dari lahan subur 52.8 54.6
Sanitasi oleh swasta 34.2 52.2
Pengelolaan limbah 3.7 8.5
Kepadatan jalan (km/1000 orang)* 7 1.7
Kondisi jalan baik** 55 49Sumber: Podes 2005.Catatan: * = Bappeda 2004. ** = 2002.
Bencana tsunami dan gempa bumi meluluhlantakkan prasarana umum dan layanannya. Bencana tsunami dan gempa bumi menimbulkan kerusakan yang parah pada jaringan air dan sanitasi; jalan-jalan provinsi, kabupaten, kota dan jalan-jalan desa; saluran pembuangan; serta sarana listrik dan komunikasi serta lahan beririgasi dan prasarana irigasi. Konfl ik secara langsung merusak beberapa aset prasarana dasar dan berdampak secara tidak langsung kepada prasarana-prasarana lain. Banyak keterampilan penting yang diperlukan untuk melaksanakan proyek tidak tersedia di Aceh. Akuntabilitas dan transparansi tidak dapat dijamin. Korupsi menjadi masalah yang besar dan banyak sumber dana yang diperuntukkan untuk kegiatan operasi rutin dan pemeliharaan tidak tepat sasaran.
Listrik
Sekitar 27 persen dari rumah-rumah tangga di Aceh tidak memiliki sambungan listrik. Kondisi tersebut di atas terjadi meskipun berdasarkan fakta bahwa 92 persen dari 5.800 desa-desa di Aceh dilaporkan telah mendapat aliran listrik (Podes 2005). Pada umumnya, rumah tangga tidak mendapat aliran listrik karena karena rumah tangga tersebut tidak mampu membayar biaya penyambungan yang tinggi. Selain itu, pemadaman listrik merupakan hal biasa di Aceh dan bahkan terjadi lebih sering lagi terjadi setelah tsunami yang menyebabkan rusaknya prasarana. Aceh memiliki pembangkit listrik dan kapasitas transmisi yang tidak memadai dan konfl ik yang terjadi telah merusak sebagian dari pasokan listrik. Sebagian besar listrik berasal dari Sumatera Utara atau dari pembangkit listrik tenaga diesel kecil (yang mahal). Perusahaan listrik negara, PLN, memperkirakan bahwa konfl ik telah merusak sebanyak 35 unit pembangkit listrik. Sekitar 6.751 kilowatt kapasitas atau 9 persen telah hilang dari kapasitas sebesar 71.500 kilowatt sebagai akibat dari konfl ik.
Jalan dan Transportasi
Jalan merupakan moda angkutan dominan di Aceh. Jaringan jalan terdiri atas jalan nasional (1.716 km), jalan provinsi (1.572 km), dan jalan kabupaten dan jalan desa (15.340 km). Kepadatan jalan di Aceh lebih tinggi daripada rata-rata nasional, yaitu 0,5 km/km2, atau sekitar 7,0 km/1.000 orang. Kepadatan jalan rata-rata nasional adalah 0,3 km/km2, atau 1,7 km/1.000 orang. Jalan-jalan tersebut mendukung kegiatan transportasi yang fl eksibel secara relatif. Akan tetapi, karena jalan-jalan kabupaten dan desa merupakan sebagian besar dari jaringan jalan yang ada (82 persen), tekanan keuangan diarahkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memelihara jaringan jalan daerah. Tidak memadainya sumber dana dan buruknya alokasi sumber dana sering berakibat kepada pemeliharaan yang tidak memadai dan memburuknya jalan kabupaten.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI90
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sebelum tsunami, sekitar 25 persen jaringan jalan dikategorikan dalam kondisi yang buruk. Untuk masing-masing jalan nasional/provinsi/kabupaten, porsi jalan yang berada dalam kondisi buruk adalah 31 persen, 46 persen, and 20 persen. (Tabel 5.11). Tidak seimbangnya pembangunan jalan antara wilayah barat dengan wilayah timur dari provinsi Aceh, di mana industri minyak dan gas berada; buruknya kondisi jalan; dan tidak memadainya anggaran untuk pemeliharaan jalan menyebabkan biaya transportasi swasta dan publik relatif tinggi.
Tabel 5.11. Jaringan jalan di Aceh, 2004
Tipe jalanKondisi baik Kondisi sedang Kondisi buruk Panjang keseluruhan
km % km % km % km %
Nasional 127 7.4 1,052 61.3 538 31.3 1,716.27 100
Provinsi 199 12.6 646 41.1 727 46.2 1,571.66 100
Kabupaten 2,995 19.5 9,410 61.3 2995 19.5 15,339.37 100
Total 3,320 17.8 11,108 59.4 4259 22.8 18,687.30 100
Sumber: BAPPEDA..
Sektor transportasi mengalami kerusakan yang signifi kan sebagai akibat dari tsunami. Jalan di pesisir barat yang menghubungkan Banda Aceh dengan Meulaboh (250km) mengalami kerusakan terparah. Di Banda Aceh sendiri, jalan perkotaan sekunder sepanjang 380 km rusak parah. Secara keseluruhan, hampir 3.000 km jalan tidak dapat dilalui. Di pesisir timur, tsunami berdampak lebih kecil. Akan tetapi, truk dan tingginya volume lalu lintas yang membawa bahan-bahan serta persediaan untuk rekonstruksi telah memperburuk kondisi jalan.
Irigasi
Konfl ik merusak sistem irigasi. Sebelum tsunami, Aceh memiliki sekitar 465.000 ha lahan yang subur61 termasuk di dalamnya hampir seluas 267.000 ha (60 persen) telah beririgasi. Tujuh puluh persen proyek-proyek irigasi adalah proyek skala menengah sampai besar. Hanya 25 persen tercakup dalam skema kecil sampai menengah (150–500 ha), dan lima persen tercakup dalam skema kecil sampai sangat kecil (<150 ha). Rasio lahan yang mendapatkan irigasi terhadap lahan yang subur di Aceh sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Jaringan irigasi dan sumber air rusak karena konfl ik. Beberapa kanal irigasi dirusak dengan sengaja untuk menyebabkan banjir dan merusak lahan pertanian. Pemeliharaan irigasi, rehabilitasi, dan kegiatan perbaikan harus ditunda karena pertimbangan keamanan. Lahan irigasi dan lahan subur lainnya rusak parah akibat tsunami. Selain hilangnya tanaman dan ternak, kerugian juga disebabkan karena endapan yang terjadi, genangan air laut, salinitas, kerusakan terhadap irigasi, prasarana drainase, dan jalan-jalan di tengah lahan. Skala kerusakan yang sebenarnya (wilayah lahan yang terkena dampak dan mengalami penurunan produktivitas) dan tingkat pemulihan tidak diketahui dan sulit untuk ditentukan.
Aceh tertinggal jauh dari provinsi lainnya dalam melaksanakan reformasi irigasi seperti mengalihkan tanggung jawab kepada Perhimpunan Pengguna Air setempat (WUA). Kelompok pengguna air tradisional (Keujruen Blang) bertanggung jawab untuk menentukan periode tanam dan pola penanaman, dan mengelola penggunaan air dalam jaringan irigasi. Menurut Dinas Sumber Daya Air Aceh, sedikitnya 1.125 WUA telah dibentuk. Akan tetapi, tingkat tanggung jawab yang telah dialihkan oleh pemerintah kepada kelompok tersebut belum dapat dipastikan.
Air dan Sanitasi
Sebelum tsunami, akses ke layanan air dan sanitasi formal di Aceh masih rendah. Hanya 9 persen rumah tangga terhubung dengan pipa pasokan air dari PDAM (perusahaan daerah air minum), dibandingkan dengan rata-
61 Mencakup tanah olahan dengan atau tanpa irigasi tetapi tidak mencakup rawa-rawa.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 91
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
rata nasional sebesar 17 persen.62 Sebagian besar penduduk mendapatkan air dari sumur-sumur yang dibangun baik dengan dana mereka sendiri, atau oleh masyarakat/desa yang mempunyai akses ke pembiayaan proyek. Selama tahun-tahun konfl ik, banyak rumah tangga mendapatkan air dari tanker-tanker militer. Semua sanitasi perkotaan dan pedesaan di Aceh berada ditempat, khususnya dalam bentuk septic tank dan WC Lubang, yang seringkali dibangun dekat dengan sumur. Sebelum tsunami, Aceh memiliki sarana pengumpulan endapan kotoran yang terbatas, tidak ada pengolahan air limbah, dan tidak ada sistem selokan perkotaan di Aceh. Hal serupa juga ditemukan di bagian Indonesia lainnya, di mana hanya 1 persen penduduk terhubung ke sistem selokan.63
Jaringan air dan sanitasi Aceh yang sebelumnya tidak mencukupi, termasuk instalasi pengolahan, jaringan pipa, tanker air, dan sumur air, mengalami kerusakan parah akibat tsunami dan gempa bumi. Tsunami sendiri merusak hampir 17.000 dari 28.000 sambungan pipa yang terdapat di kabupaten/kota Banda Aceh. Satu-satunya tempat pengolahan endapan kotoran di Banda Aceh hancur. Drainase kabupaten/kota tidak efektif akibat pergerakan tanah yang diakibatkan oleh gempa bumi. Sebagian besar sumur-sumur dangkal dan daerah tangkapan air yang merupakan sumber air utama bagi penduduk setempat terkontaminasi dan mengandung garam.
Belanja Infrastruktur
Pemerintah kabupaten/kota memainkan peranan besar dalam belanja infrastruktur di Aceh. Setelah desentralisasi dan otonomi khusus, tanggung jawab atas sebagian besar layanan-layanan infrastruktur umum dialihkan kepada pemerintah daerah (Tabel 5.12). Akan tetapi, total belanja infrastruktur oleh pemerintah daerah menurun.
Tabel 5.12. Belanja prasarana Aceh: Provinsi vs. Kab/Kota, 2001–05 (harga konstan tahun 2006)
Rutin Pembangunan Total belanja
Provinsi Kab/Kota
TotalPendapatan
% dari total belanja Provinsi Kab/Kota Total
Pendapatan% dari total
belanja
2001 47 24 70 5.6 86 1,105 1,190 94.4 1,260
2002 47 87 134 8.3 354 1,123 1,477 91.7 1,611
2003 39 80 118 10.4 228 788 1,015 89.6 1,134
2004 39 90 129 12.5 237 668 905 87.5 1,035
2005 33 80 113 11.1 250 661 911 88.9 1,025
Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.
Setelah desentralisasi dan otonomi khusus, belanja pembangunan daerah untuk infrastruktur meningkat tinggi hampir mencapai Rp. 1,5 Triliun pada tahun 2002 akan tetapi telah menurun dalam beberapa tahun belakangan. Belanja infrastruktur meningkat dalam harga konstan dari rata-rata Rp. 596 Milyar sebelum 1999 sampai hampir sebesar Rp. 1.150 Milyar setelah desentralisasi (Gambar 5.22).
62 Plummer, 2005
63 ibid
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI92
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar 5.22. Tren belanja prasarana pembangunan daerah di Aceh, 1994–2005
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Mily
ar R
p.
Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia. Data riil (harga konstan 2006)
Pos-pos belanja pembangunan untuk pekerjaan umum (air dan irigasi, jalan) mengambil sebanyak tiga perempat dari total belanja pembangunan infrastruktur, senilai lebih dari Rp. 700 Milyar pada tahun 2005 (Gambar 5.23).
Gambar 5.23. Rata-rata belanja pembangunan dalam subsektor-subsektor, 2003–05
1%
21%
7%
72%
Sektor Pekerjaan umum (Air dan irigasi)
Sektor Transportasi (termasuk telekomunikasi)
Sektor perumahan, pembangunan daerah, dan pemukiman
Energi (listrik)
Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia (harga konstan 2006).
Belanja rutin, yang mencakup biaya gaji dan biaya-biaya operasional lainnya, tetap relatif konstan sejak tahun 2002, tetapi belanja pembangunan menurun. Rata-rata belanja rutin selama tahun 2002–05 diperkirakan sebesar Rp. 120 Milyar, atau 11 persen dari belanja total infrastruktur yang mengindikasikan komitmen pemerintah provinsi untuk membangun jaringan infrastruktur. Akan tetapi, selama periode yang sama, belanja pembangunan menurun lebih dari Rp. 500 Milyar (Gambar 5.24). Penurunan anggaran pembangunan kemungkinan disebabkan oleh bertambah buruknya konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia (GOI), yang mencapai puncaknya pada tahun 2003 setelah pemberlakuan hukum darurat militer.
Gambar 5.24. Belanja infrastruktur daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota)
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
2001 2002 2003 2004 2005
Mily
ar R
p.
Rurin Pembangunan
Sumber: Data Bank Dunia. Data dalam harga konstan 2006.
Biaya rutin terutama terdiri atas gaji, dengan sedikit perhatian untuk memelihara aset yang sudah ada. Data menunjukkan bahwa secara rata-rata selama tahun 2001–04, gaji merupakan bagian terbesar belanja rutin,
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 93
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
yaitu 76%. Dalam jangka waktu yang sama, biaya operasional dan pemeliharaan termasuk rendah, yaitu 7 persen (Gambar 5.25).
Gambar 5.25. Komposisi rata-rata belanja rutin tahun 2001–04 (%)
76%
2% 2%
7%
13%Biaya gaji
Belanja barang
Biaya operasional dan pemeliharaan
Biaya perjalanan
Lainnya
Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.
Tiga masalah utama yang dihadapi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terkait dengan belanja prasarana adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sepertinya tidak memprioritaskan belanja infrastruktur berdasarkan kebutuhan kabupaten/kota. Aceh tidak memiliki pola belanja infrastruktur tertentu yang berasal dari kebutuhan kabupaten/kota. Sebagian besar belanja dibagi antara pekerjaan umum dan transportasi.64
2. Kapasitas bervariasi antara unit-unit pemerintah kabupaten/kota. Jumlah staf umumnya memadai, akan tetapi gabungan antara keterampilan dan motivasi belum cukup. Kurangnya keahlian teknis untuk melakukan perencanaan proyek, implementasi, pengawasan, dan pemeliharaan perlu diatasi.
3. Kehadiran BRR kemungkinan menjadi penyebab pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan anggaran yang lebih sedikit untuk pembangunan dan lebih banyak untuk belanja rutin. Akan tetapi, mengingat mandat BRR yang sementara serta pengalihan semua aset kepada pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dari BRR, akan ada kebutuhan pembangunan dan pemeliharaan yang signifi kan untuk sektor infrastruktur di tingkat pemerintah kabupaten/kota.
Belanja Rekonstruksi untuk Prasarana dan Peran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)
Pendanaan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur datang dari Pemerintah Indonesia, yang menyalurkan sejumlah besar dana melalui BRR dan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota, dan melalui para donor multilateral, bilateral, dan LSM-LSM. Sektor-sektor infrastruktur dan sosial telah mendapatkan alokasi sumber daya yang terbesar. Akan tetapi, jumlah “surplus” yang terlihat dalam total dana yang tersedia untuk membangun kembali kebutuhan-kebutuhan minimum menyembunyikan kekurangan dalam sektor-sektor utama. Sektor infrastruktur menunjukkan defi sit sebesar AS$653 juta dari dana yang tersedia untuk rekonstruksi. Kurangnya pendanaan yang cukup untuk sektor transportasi jelas merupakan masalah yang kritis karena jaringan transportasi yang efi sien sangat penting untuk pemberian bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi dan untuk seluruh pembangunan ekonomi.
Terdapat perbedaan yang signifi kan dalam ketersediaan dana antar daerah di Aceh. Daerah-daerah yang dekat dengan Banda Aceh (Banda Aceh Kota dan Aceh Besar) memiliki sumber dana yang lebih dari cukup untuk membangun kembali, akan tetapi daerah-daerah lainnya sangat kekurangan dana. Infl asi sekarang ini adalah salah satu masalah besar yang dihadapi upaya rekonstruksi, dengan biaya pekerja konstruksi meningkat 40 persen–50 persen selama tahun 2005. Mendanai kesenjangan kritis dalam sektor infrastruktur kemungkinan akan ditanggung oleh Pemerintah Indonesia melalui BRR dan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota. Banyak LSM akan menyelesaikan tugas rekonstruksi mereka pada akhir tahun 2006 dan sepertinya tidak akan memberikan komitmen
64 Sebaliknya, Papua mengalokasikan hampir 90 persen anggaran prasarana untuk pembangunan transportasi.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI94
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
lebih lanjut. Sama halnya dengan itu, para donor bilateral dan multilateral lainnya kemungkinan akan melanjutkan pendanaan proyek-proyek yang telah mereka danai sebelumnya dan akan berkonsentrasi pada sektor perumahan, pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian. Penting agar BRR mempertahankan keterlibatan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota dan provinsi setiap waktu karena mereka bertanggung jawab secara langsung untuk operasi dan pemeliharaan prasarana saat ini dan selanjutnya. Beberapa proyek prasarana besar mencakup jalan-jalan besar dan sistem drainasi skala besar berada di luar kapasitas badan-badan dan LSM-LSM internasional. Oleh karena itu, keterlibatan lebih dalam dari pemerintah-pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pembiayaan prasarana sangat penting. Selain itu, alokasi sumber dana pemerintah saat ini sepertinya tidak cukup untuk memelihara aset.
Rekomendasi
1. BRR perlu untuk melibatkan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota dan provinsi lebih lanjut sebagai para pemilik dari proyek-proyek yang didanai. Kepemilikan tidak hanya akan membantu mengembangkan keterampilan dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota akan tetapi juga akan memastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota dan provinsi terlibat secara langsung dalam pemeliharaan dan perawatan aset-aset yang baru direkonstruksi. Untuk meningkatkan kepemilikan pemerintah kabupaten/kota, direkomendasikan agar para pemerintah kabupaten/kota diminta untuk ikut membiayai proyek-proyek infrastruktur dengan BRR dan LSM-LSM lainnya apabila mungkin. Idealnya, pemerintah-pemerintah kabupaten/kota akan menanggung bagian biaya proyek-proyek prasarana yang meningkat dalam tahun-tahun mendatang sejak tahun 2007.
2. Berbagai tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) seharusnya meningkatkan iklim investasi yang menguntungkan untuk menarik investasi sektor swasta dalam bidang infrastruktur. Iklim yang menguntungkan memerlukan penanganan masalah-masalah jangka panjang, seperti manajemen publik yang transparan dan reformasi hukum yang sangat dibutuhkan. Pemerintah harus mendorong sektor swasta untuk mengambil beberapa proyek rekonstruksi dan rehabilitasi yang utama.
3. Hambatan-hambatan terhadap kapasitas penyerapan teknis dan kelembagaan pemerintah kabupaten/kota harus diatasi. Kapasitas pemerintah kabupaten/kota yang rendah membatasi realisasi peningkatan belanja meskipun pendanaan sudah tersedia. Proyek-proyek bantuan teknis oleh para donor dan badan-badan lainnya penting untuk membantu memastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota telah siap dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan proyek-proyek kualitas tinggi. Kapasitas pelaksanaan mereka harus dipertahankan setelah tahun 2009 saat proses rekonstruksi telah selesai. Rencana pembangunan infrastruktur perlu disosialisasikan sampai ke tingkat kecamatan sehingga koordinasi semakin meningkat dan tanggung jawab dialihkan secara efi sien.
4. Pemeliharaan aset infrastruktur yang sudah ada dan yang sedang dibuat harus dijamin. Pemeliharaan merupakan prioritas utama untuk menjamin kesinambungan dan untuk menghindari kerusakan prasarana yang sudah ada yang baru saja dibangun. Sebagai landasan, keseimbangan optimal diperlukan antara belanja rutin (pemeliharaan) dan belanja pembangunan. Keseimbangan tersebut memerlukan strategi bagi pemerintah kabupaten/kota dan provinsi untuk memegang kepemilikan atas semua proyek yang akan diserahkan kepada mereka setelah rekonstruksi yang didanai oleh donor selesai dilaksanakan.
5. Untuk membuat belanja infrastruktur lebih efektif, pemerintah kabupaten/kota dan BRR perlu menyusun rencana jangka panjang untuk pembangunan prasarana di provinsi tersebut. Rencana kerja sama ini akan memerlukan koordinasi yang lebih baik antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dalam jangka pendek sampai menengah, BRR akan menjadi pemandu rekonstruksi dan pembangunan prasarana di daerah tersebut. Akan tetapi, dalam jangka menengah, pemerintah kabupaten/kota harus mengembangkan kapasitas mereka sebagai pembuat peraturan dan perencana, sebagai investor di sub-sektor prasarana tertentu, dan yang paling penting, sebagai pembuat kebijakan. Adalah
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 95
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
berguna untuk mengembangkan kerangka fi skal dan belanja jangka menengah yang akan menentukan pagu belanja untuk jangka menengah –baik untuk belanja modal maupun belanja rutin dalam operasional dan pemeliharaan. Kerangka tersebut perlu merinci belanja dalam jangka waktu yang lebih panjang sesuai dengan perkiraan pendapatan.
6. BRR dan pemerintah daerah harus memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi. Delapan belas bulan pertama dari rehabilitasi dan rekonstruksi mungkin menghasilkan infrastruktur yang lebih efektif dari segi biaya dan berkesinambungan apabila sistem-sistem MandE lebih pasti. Sektor tersebut harus merancang sistem MandE yang dapat diterapkan dan dimanfaatkan oleh semua proyek di segala tingkat pelaksanaan: dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten.
ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI96
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
6 Kapasitas Pemerintah Kabupaten/kota untuk Mengelola Dana Anggaran
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN98
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Desentralisasi: beban kerja pemerintah kabupaten/kota telah meningkat dari segi kuantitas dan kualitas
Pemerintah kabupaten/kota perlu meningkatkan keterampilan stafnya saat ini. Kebutuhan akan staf tambahan kurang diperlukan. Desentralisasi telah mengubah jenis pekerjaan pemerintah kabupaten/kota. Staf mungkin memerlukan pelatihan baru atau tambahan untuk melaksanakan tanggung jawab baru tersebut. Desentralisasi tidak hanya menggeser jenis pekerjaan pemerintah kabupaten/kota akan tetapi menambah jumlah administrator (melalui mutasi) dan sumber daya yang tersedia. Dengan demikian, mengelola desentralisasi seharusnya tidak memerlukan staf tambahan. Otonomi khusus menyediakan sumber daya keuangan tambahan, dan staf baru mungkin diperlukan untuk mengelola dana tersebut.
Desentralisasi menambah beban kerja pemerintah kabupaten/kota, akan tetapi pengalihan sumber daya manusia tambahan dan sumber daya lain menjamin bahwa beban kerja administratif tetap sama. Desentralisasi memberikan kendali atas keuangan pemerintah kabupaten/kota dan pelayanan umum daerah kepada pemerintah-pemerintah kabupaten/kota. Undang-undang desentralisasi menetapkan bahwa instansi-instansi pemerintah pusat di tingkat daerah harus bergabung dengan instansi-instansi terkait dari pemerintah daerah. Dengan demikian, semua aset dan staf dari instansi-instansi sebelumnya dialihkan kepada pemerintah daerah. Sementara terdapat pengalihan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah kabupaten/kota, pengalihan sumber daya dan staf juga telah menjamin bahwa para staf pemerintah kabupaten/kota tidak melakukan tambahan pekerjaan. Mereka hanya bekerja di bawah wewenang yang berbeda.
Desentralisasi memerlukan perbaikan keterampilan administratif pada tingkat kabupaten/kota karena jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota telah berubah. Sebelum desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota hanyalah perwakilan dan pelaksana kebijakan dan program-program pemerintah pusat (GTZ 2003). Dengan desentralisasi, tugas baru pemerintah kabupaten/kota adalah untuk menganalisa kebutuhan dan mengidentifi kasi prioritas untuk daerah mereka, yang memerlukan keterampilan yang lebih baik serta staf yang terlatih. Para administrator pemerintah kabupaten/kota perlu mengembangkan kapasitas dan pengalaman mereka dalam perumusan kebijakan dan alokasi sumber daya secara efektif.
Dampak Konfl ik dan Tsunami terhadap Administrasi Kabupaten/Kota
Konfl ik memiliki dampak yang besar terhadap operasi pemerintah kabupaten/kota, khususnya di daerah pedesaan. Diperkirakan bahwa pada puncak operasinya, GAM berhasil mengendalikan antara 70 sampai 80 persen Provinsi Aceh, termasuk pemerintah kabupaten/kotanya, melalui intimidasi pegawai negeri sipil di semua tingkat pemerintah. Dilaporkan bahwa lebih dari setengah kepala desa berada di bawah kendali GAM, dan hampir tidak ada satu pun kabupaten memiliki administrasi yang berfungsi secara penuh.
Tidak ada penilaian terperinci atas dampak dari konfl ik yang berkepanjangan di Aceh terhadap kapasitas keuangan publik. Bukti subjektif sepertinya mendukung hipotesis bahwa tingginya intensitas konfl ik dan/atau keberadaan GAM menghambat fungsi-fungsi pemerintah karena adanya larangan perjalanan. Para administrator tidak dapat tinggal di desa-desa; para supervisi tidak dapat memeriksa pelaksanaan; dan informasi perencanaan tidak dapat dikumpulkan. Konfl ik tersebut juga menyebabkan beban keuangan yang besar untuk mengganti prasarana layanan publik, meskpun gedung-gedung administratif jarang diserang dan sebagian besar tidak mengalami kerusakan akibat konfl ik.
Menurut BRR, 5.266 pegawai negeri sipil meninggal karena tsunami. Sebagian besar korban adalah staf yang memberikan layanan umum dan para pekerja tambahan. Hanya sedikit administrator yang meninggal. Dalam lima bulan setelah tsunami, semua korban tsunami yang memegang posisi pemerintahan administratif telah diganti. Sebagian besar korban berada di tingkat eselon rendah, yang relatif berlebihan jumlahnya dalam hirarki pemerintah
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 99
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
kabupaten/kota.65 Meskipun demikian, beberapa kepada kabupaten/kota mengatakan bahwa mekanisme pemilihan pejabat tidak jelas dan transparan, mempengaruhi baik kualitas maupun motivasi para staf.
Tsunami menyebabkan kerusakan yang parah terhadap infrastruktur fi sik, akan tetapi tidak pada tingkat administrasi kabupaten/kota. Hancurnya struktur fi sik pemerintah di 10 kabupaten sampel terpusat terutama pada kantor-kantor kecamatan. Sekali lagi, prasarana layanan publik menderita kerusakan yang lebih parah dibandingkan gedung-gedung yang digunakan oleh administrasi. Beberapa instansi administratif terkait dari Kab. Simeulue, Kota Banda Aceh, dan Kab. Aceh Singkil rusak. Yang mengalami kerusakan lebih parah adalah Kab. Aceh Jaya, yang mana semua kantor instansi administratif terkait hancur. Instansi-instansi administratif pemerintah terkait di kabupaten-kabupaten lain sebagian besar tidak mengalami kerusakan.
Pemerintah kabupaten/kota cukup responsif dalam tahap tanggap darurat, akan tetapi kurang proaktif dalam proses rekonstruksi. Di tiga kabupaten yang terkena dampak terbesar (Kab. Aceh Besar, Kab. Simeulue, dan Kab. Aceh Jaya), masyarakat melihat bahwa para bupati memobilisasi penduduk untuk membantu dalam evakuasi korban dan untuk membersihkan kabupaten mereka. Akan tetapi, pemerintah kabupaten/kota lalai untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan para penduduknya dan dalam mengembangkan strategi rekonstruksi yang jelas. Mereka malah menyatakan harapannya bahwa rekonstruksi dilakukan terutama oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi atau masyarakat internasional.
Kapasitas Administratif Secara Umum Masih Lemah
Dalam menghadapi peningkatan dana yang besar dan wewenang untuk mengelola dana tersebut, kapasitas pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola dana publik secara efi sien masih tidak mencukupi. Penilaian ini diindikasikan dari hasil Survei Pengelolaan Keuangan Publik (PFM),66 yang menilai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah kabupaten/kota, kerangka peraturan, dan pertanggungjawaban.67 Survei PFM tidak mengukur perlengkapan dan prasarana yang tersedia secara menyeluruh, akan tetapi pejabat pemerintah mengatakan bahwa kurangnya perlengkapan kerja menghambat proses perencanaan dan penganggaran. Secara umum bangunan yang ada dianggap memadai dan tidak disebutkan sebagai hambatan administrasi. Nilai rata-rata keseluruhan untuk pengelolaan dana publik dari 9 pemerintah kabupaten/kota yang disurvei adalah 41 persen (Tabel 6.1). Dua nilai tertinggi diperoleh Kab. Aceh Utara (71 persen) dan Kota Banda Aceh (59 persen), sementara nilai yang paling rendah didapatkan oleh Kab. Aceh Jaya (19 persen). Di Aceh, secara rata-rata, nilai tertinggi diperoleh untuk pengadaan dan audit internal (masing-masing 58 persen dan 52 persen). Akan tetapi, sistem menanggapi dan menyelesaikan keluhan terkait dengan proses pengadaan di pemerintah kabupaten/kota masih lemah (33 persen). Kemudian, hampir semua pemimpin yang diwawancarai mengidentifi kasi bahwa pengadaan adalah kegiatan yang paling rentan terhadap kurangnya transparansi.
65 Temuan ini didasarkan pada survei bersama Bank Dunia/LSM lokal yang berfokus pada 6 sampel instansi pemerintah (pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, perencanaan, pertanian, dan perikanan) di 10 pemerintah kabupaten/kota (Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Singkil, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara). Dalam 58 instansi terkait yang dinilai, terdapat total 3.869 pegawai pemerintah, atau rata-rata 67 staf per kantor.
66 Survei PFM dilaksanakan dalam dua tahap di Aceh pada bulan Mei dan September 2006. Kerangka PFM dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri Pemerintah Indonesia.
67 Kerangka dan metodologi PFM serta penilaian dan bidang-bidang strategis dibahas secara mendetil dalam lampiran B.
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN100
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel 6.1. Hasil survei PFM di 9 lokasi di Aceh (%)
Bidang strategis
Nagan Raya
Aceh Barat
Aceh Jaya
Aceh Besar
Aceh Timur
Aceh Utara Biruen Pidie
Banda Aceh
Rata-rata nilai untuk 9 Pemlok
Kerangka Peraturan
12 8 20 56 56 56 56 56 48 29
Perencanaan dan Penganggaran
25 26 25 42 51 74 47 36 53 34
Pengelolaan Kas
23 50 14 48 34 57 36 48 70 41
Pengadaan 60 69 33 62 63 79 71 71 67 58
Akuntansi 19 22 11 59 52 74 41 41 59 34
Audit Internal 67 61 11 67 78 78 44 67 56 52
Utang dan Investasi Publik
13 50 0 38 50 63 13 0 50 30
Manajemen Aset
41 64 14 45 36 68 36 50 41 41
Audit Eksternal dan Pengawasan
0 0 11 67 33 67 33 33 67 29
Rata-rata 33 42 19 53 52 71 45 47 59 41Sumber: Survei PFM 2006.
Nilai terendah diperoleh untuk manajemen utang dan investasi, audit eksternal, dan kerangka peraturan (masing-masing 30 persen, 29 persen, dan 29 persen). Secara terperinci, hasil dari PFM menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki kerangka peraturan yang lemah untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi publik (39 persen), untuk mengelola dana publik secara efektif (41 persen), dan untuk menegakkan peraturan dan struktur organisasi (33 persen). Audit eksternal lemah karena audit eksternal secara rutin (42 persen) dan pengawasan independen yang efektif (32 persen) masih kurang. Sebagai ilustrasi, semua pemerintah kabupaten yang disurvei (kecuali Nagan Raya dan Singkil) menyebutkan bahwa anggaran mereka adalah dokumen publik dan tersedia bagi setiap pihak yang berkepetingan. Akan tetapi, akses ke anggaran kabupaten tanpa wewenang tingkat tinggi masih terbatas.
Pemerintah kabupaten/kota juga lemah dalam perencanaan dan penganggaran serta dalam akuntansi dan pelaporan. Jalur yang paling lemah dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hubungan antara anggaran dan rencana jangka menengah (15 persen). Konsistensi antara perencanaan partisipatif dari bawah ke atas (bottom-up), perencanaan pemerintah kabupaten/kota, dan anggaran juga lemah (26 persen). Temuan ini mengindikasikan penggunaan dana ad hoc dibandingkan strategi yang koheren. Kapasitas akuntansi dan pelaporan untuk manajemen kas masih lemah (masing-masing 34 dan 41 persen). Secara umum, para pemimpin menyebutkan bahwa proses mendapatkan masukan dari masyarakat dalam sidang terbuka untuk merumuskan rencana-rencana proyek kebupaten dianggap sebagai formalitas. Para pemimpin tersebut menganggap bahwa instansi terkait telah mengembangkan serangkaian rencana proyek yang akan mereka usulkan dan dimasukkan dalam anggaran kabupaten.
Tantangan utama terhadap pemerintah kabupaten/kota yang teridentifi kasi adalah kapasitas dari staf yang tersedia, bukan jumlah staf. Desentralisasi dan otonomi khusus telah meningkatkan kebutuhan akan administrator dengan kualifi kasi lebih baik, bukan jumlah yang lebih banyak. Survei PFM mendukung klaim tersebut secara empiris. Pemerintah kabupaten/kota sering kekurangan peralatan kerja untuk bekerja secara efektif, khususnya, dalam proses perencanaan dan penganggaran. Dalam wawancara, staf kabupaten menekankan bahwa
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 101
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh data yang akurat dari lapangan karena terbatasnya sumber daya. Tingkat kualifi kasi pejabat pemerintah di Aceh cukup baik dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Kajian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pegawai pemerintah di Aceh lebih tinggi dari rata-rata nasional, meskipun hal ini tidak berlaku terhadap tingkat pendidikan yang lebih tinggi (S2) (Tabel 6.2). Distribusi kualifi kasi staf di antara kabupaten-kabupaten relatif seimbang. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa perbedaan. Staf di kota memiliki tingkat pendidikan yang paling tinggi diikuti oleh staf pemerintah di kabupaten lama dan staf di kabupaten baru (Tabel B2).
Tabel 6.2. Tingkat pendidikan pegawai pemerintah di Aceh, 2003 (%)
<SLTA SLTA DIPLOMA S1 S2 S3
Rata-rata di Indonesia 5.41 41.13 25.06 26.07 2.14 0.19
Aceh 4.39 37.38 23.46 32.76 1.86 0.16 Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
Belanja pembangunan untuk aparatur pemerintah terus meningkat bahkan ketika belanja untuk infrastruktur menurun. Pada tahun 1999, tingkat belanja pembangunan untuk sektor administratif sekitar seperempat dari tingkat dana yang dialokasikan untuk infrasturktur. Sampai tahun 2003, belanja untuk sektor administratif telah melebihi belanja infrastruktur dan terus meningkat. Setelah tahun 2002, belanja pembangunan untuk aparatur pemerintah terus meningkat meskipun belanja pembangunan secara keseluruhan menurun.68 Sebagaimana tercatat, prasarana layanan publik yang rusak akibat konfl ik dan tsunami lebih banyak dibandingan prasarana administratif. Oleh karena itu, pergeseran keseluruhan investasi modal ke aparatur administratif berlawanan dengan kebutuhan yang teridentifi kasi.
Pemekaran kabupaten: Sebab dan akibat
Sejak awal desentralisasi, jumlah kabupaten (pemerintah kabupaten/kota) dan kecamatan di Provinsi Aceh telah meningkat. Sebelum desentralisasi, terdapat 10 pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Sampai tahun 2003, jumlah tersebut meningkat sampai angka 21. Selain itu, terdapat pertumbuhan jumlah kecamatan dalam kabupaten. Kecuali satu kota (Sabang), semua pemerintah kabupaten/kota telah meningkatkan jumlah kecamatan dalam wilayahnya. Sebagai akibatnya, jumlah kecamatan di Provinsi Aceh hampir berlipat ganda dari 140 pada tahun 1999 menjadi 235 pada tahun 2005.
Menjamurnya kabupaten dan kecamatan tidak diperlukan dan memerlukan banyak biaya, meningkatkan biaya administratif dan gaji. Pemekaran badan administrasi terutama disebabkan oleh perburuan rente (rent-seeking) dan dimungkinkan akibat adanya celah dalam hukum. Kapasitas staf di dalam kabupaten yang baru didirikan lebih rendah dibandingkan kabupaten yang telah didirikan sebelumnya. Pemekaran struktur administratif semakin menurunkan kapasitas pemerintah kabupaten/kota yang sebelumnya sudah rendah. Sebaliknya, desentralisasi dan otonomi khusus telah meningkatkan kebutuhan akan adanya para administrator berkualifi kasi tinggi. Sementara pemerintah kabupaten/kota membenarkan struktur administratif tambahan dengan kebutuhan geografi s dan layanan pemerintah yang meningkat, peluang untuk mengangkat birokrat baru dan mendapatkan alokasi tambahan dari pusat merupakan penyebab sebenarnya dari pemekaran tersebut. Pembentukan struktur administratif baru melalui prakarsa parlemen memungkinkan adanya tambahan kabupaten tanpa pemeriksaan yang sesuai.
Belanja rutin yang terus meningkat dibandingkan dengan belanja pembangunan sebagian besar disebabkan oleh peningkatan jumlah pemerintah kabupaten/kota dan kecamatan. Hal tersebut menyebabkan bertambahnya jumlah struktur pemerintah dan terciptanya posisi eselon baru. Data menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara tren belanja rutin dan jumlah pemerintah kabupaten/kota (Gambar 6.1). Pemekaran pemerintah kabupaten/kota dimulai pada tahun 1998, akan tetapi awalnya tidak menimbulkan peningkatan yang berarti dalam
68 Belanja pembangunan untuk aparatur mewakili investasi dalam prasarana fi sik dan peralatan untuk operasi administrasi pemerintah. Belanja tersebut mencakup pembelian gedung kantor pemerintah untuk administrasi pemerintah umum dan kendaraan untuk kepala kabupaten dan instansi-instansi.
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN102
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
belanja rutin. Sejak penerapan desentralisasi – dan pengalihan wewenang dan dana kepada pemerintah-yang berlangsung pada tahun 2000, pengeluaran belanja rutin mulai meningkat secara signifi kan.
Gambar 6.1. Belanja rutin dan jumlah pemerintah kabupaten/kota di Aceh, 1994–2004
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Mily
ar R
p.
0
5
10
15
20
25
Belanja Rutin Kab/Kota Jumlah Kab/Kota
Sumber: Staf Bank Dunia. Semua data bersifat ril (harga konstan tahun 2005).
Pendirian satu kabupaten baru mengurangi penyediaan layanan pemerintah. Survei PFM menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah dalam kabupaten yang baru didirikan lebih lemah dibandingkan yang ada di dalam kabupaten yang telah ada sebelumnya. Pemisahan daerah perkotaan dari daerah pedesaan menjadi kota dan kabupaten diperbolehkan dengan dalil bahwa kota memiliki kebutuhan layanan yang berbeda dibandingkan dengan kabupaten. Sebaliknya, survei PFM menunjukkan bahwa kabupaten memiliki kapasitas yang lebih rendah setelah berpisah dari pusat-pusat perkotaan.
Pendirian kabupaten/kabupaten baru dengan prakarsa parlemen melanggar persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 129/2000 tentang pemisahan dan penggabungan daerah mengatur tentang persyaratan dan proses untuk mendirikan kabupaten-kabupaten baru, termasuk persetujuan kabupaten asal. Ketetapan ini mengimbangi pemerintah kabupaten/kota yang sedang berkembang. Aplikasi untuk penciptaan kabupaten baru diajukan kepada parlemen untuk ditetapkan sebagai undang-undang nasional. Selain itu, undang-undang tersebut menetapkan bahwa kabupaten yang baru harus terdiri atas sedikitnya tiga kecamatan.69 Akan tetapi, terdapat metode alternatif untuk membentuk pemerintah kabupaten/kota baru, yaitu melalui prakarsa parlemen. Pendekatan ini sepertinya memungkinkan mereka yang mendukung pembentukan pemerintah kabupaten/kota baru untuk menghindari persyaratan yang diwajibkan agar memperoleh persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota awal. Bukti yang subjektif mengindikasikan bahwa metode ini kurang transparan dibandingkan metode pertama.70
Pemerintah kabupaten/kota tidak berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas kabupaten/kota
Berlawanan dengan kebutuhan yang teridentifi kasi, pemerintah kabupaten/kota hanya mengeluarkan dana yang sedikit untuk pelatihan. Sebaliknya, sebagian besar dari investasi modal mereka dialokasikan untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan. Sementara survei PFM telah mengidentifi kasikan pengembangan keterampilan sebagai prioritas, pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan hanya sebagian kecil dari total anggaran mereka untuk pelatihan. Secara rata-rata, pemerintah kabupaten kota menggunakan sekitar 25 persen dari total anggaran mereka untuk belanja investasi modal. Di antara jenis-jenis investasi modal, bagian terbesar digunakan untuk bangunan-bangunan. Dari sekitar 25 persen anggaran untuk investasi modal (gabungan aparatur
69 Pemerintah Indonesia, 2000.
70 Kasus khusus yang mengacu pada bupati Riau terdahulu (yang saat ini merupakan sebuah provinsi), yang merupakan pemrakarsa utama untuk pendirian Provinsi Riau.
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 103
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
dan layanan umum), pemerintah kabupaten/kota menggunakan setengah dari jumlah tersebut untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan. Belanja investasi modal untuk bangunan-bangunan mendominasi dari tiga jenis belanja tersebut. Bangunan menempati sepertiga dari semua belanja modal, meskipun tidak diidentifi kasi sebagai kebutuhan prioritas. Belanja peralatan dan kendaraan masing-masing mencapai 11 dan 8 persen (Tabel 6.3).
Tabel 6.3. Bagian investasi modal untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan, 2003–06
Tahun
Belanja modal
sebagai % APBD
Bangunan, peralatan, dan
transportasi sebagai % belanja modal
Bangunan sebagai % belanja
modal.
Peralatan sebagai % belanja modal
Transportasi sebagai % belanja
modal
2003 20.52 55.34 30.08 13.28 11.98
2004 22.85 56.63 39.63 9.79 7.21
2005 28.10 48.12 32.03 10.16 5.93
2006 28.80 48.42 31.97 9.92 6.53
Rata-rata 25.07 52.13 33.43 10.79 7.91 Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.
Secara rata-rata, pemerintah kabupaten/kota mengeluarkan kurang dari 1,5 persen total anggaran mereka untuk belanja pembangunan sumber daya manusia. Kapasitas yang lemah diidentifi kasi oleh survei PFM dan meningkatnya kebutuhan akan staf dengan kualifi kasi tinggi setelah desentralisasi mengindikasikan agar investasi dalam pengembangan staf perlu dilakukan. Mengingat sampel yang terbatas dari kajian ini, hasilnya menunjukkan bahwa, meskipun staf di kabupaten baru memiliki kapasitas administratif yang lebih rendah, kabupaten-kabupaten tersebut tidak mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia mereka (Tabel 6.4).
Tabel 6.4. Belanja untuk mengembangkan sumber daya manusia dari total anggaran pemerintah kabupaten/kota, 2003–06 (%)
Tahun
Rata-rata pelatihan sebagai % APBD (semua pemerintah kabupaten/
kota)
Rata-rata pelatihan sebagai % APBD
(pemerintah kabupaten/kota lama)
Rata-rata pelatihan sebagai % APBD
(pemerintah kabupaten/kota baru)
2003 0.91 1.09 0.58
2004 1.07 1.11 0.97
2005 1.54 1.42 1.74
2006 1.55 1.40 1.75
Rata-rata 1.27 1.26 1.26Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.
Pemerintah kabupaten/kota baru mengeluarkan biaya yang sedikit lebih besar untuk investasi modal dibandingkan pemerintah kabupaten/kota lama. Hasil yang ada mengindikasikan bahwa pemerintah kabupaten/kota baru memiliki biaya pendirian yang besar, sebagaimana diindikasikan oleh belanja yang relatif lebih tinggi di kabupaten/kota baru untuk investasi modal dalam bangunan, peralatan, dan kendaraan sebagai proporsi total anggaran pemerintah kabupaten/kota. Lebih banyak belanja peralatan dan kendaraan dikeluarkan untuk administrasi dan bukan layanan publik. Secara rata-rata, administrasi menyerap sekitar 43 persen investasi modal untuk peralatan dan 70 persen investasi modal untuk kendaraan. Mengingat kebutuhan yang ada dalam bidang pendidikan dan kesehatan, belanja tersebut sangat sulit dipenuhi.
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN104
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Persepsi Para Pimpinan Kabupaten/Kota dan Masyarakat tentang Isu-isu Utama dalam Proses Anggaran
Mekanisme dengar pendapat standar tidak menjamin partisipasi masyarakat yang memadai dalam proses anggaran.71 Seluruh pimpinan kabupaten/kota menyatakan bahwa mereka telah mengumpulkan pendapat masyarakat melalui mekanisme dengar pendapat standar (Musrenbang). Namun demikian, beberapa pimpinan kabupaten/kota menyatakan bahwa Musrenbang tidak efektif karena para pimpinan desa yang berpartisipasi di dalam dengar pendapat di tingkat kecamatan tidak mengetahui bagaimana menetapkan kebutuhan mereka. Sebagian besar proyek yang diajukan oleh para pimpinan desa lebih mengarah kepada “keinginan daripada kebutuhan mereka yang sebenarnya.”
Masalah transparansi tetap ada dalam birokrasi pemerintah kabupaten/kota. Dari 10 kabupaten/kota yang dikunjungi, para tokoh masyarakat di 8 kabupaten/kota menyinggung masalah yang berkaitan dengan transparansi dalam pemerintahan kabupaten/kota. Praktik-praktik pengadaan proyek-proyek pemerintah telah diidentifi kasi sebagai bidang yang paling rentan terhadap kurangnya transparansi. Dalam beberapa kasus, kurangnya transparansi dikatakan telah mempengaruhi keseluruhan birokrasi.
Rekomendasi
1. Instansi-instansi perencanaan (Bappeda provinsi dan kabupaten/kota) harus memeriksa dengan teliti alokasi dana untuk administrasi umum. Perluasan sistem dan struktur pemerintahan memiliki dampak serius terhadap struktur anggaran pemerintah daerah. Perluasan telah mengalihkan belanja dari penyediaan layanan publik ke administrasi umum. Meskipun terdapat peningkatan belanja untuk administrasi umum, kapasitas pemerintah daerah tetap lemah.
2. Akan lebih bijaksana apabila pemerintah provinsi dan nasional mencegah terciptanya kabupaten-kabupaten baru. Menjamurnya kabupaten nampaknya telah mengurangi kapasitas untuk pengelolaan dana anggaran. Terciptanya kabupaten-kabupaten baru juga menimbulkan penurunan tingkat penghematan (dis-economies of scale), meningkatkan biaya untuk penambahan personil, peralatan dan gedung diatas biaya investasi untuk layanan masyarakat. Dengan demikian, proses penyaringan pembentukan kabupaten baru perlu dilakukan secara lebih transparan.
3. BRR, para donor dan pemerintah provinsi harus memberikan prioritas tertinggi kepada pengembangan kapasitas pemerintah kabupaten/kota. Ancaman utama terhadap penggunaan sumber daya masyarakat yang efi sien disebabkan oleh kurangnya kapasitas untuk pengelolaan keuangan dan kurangnya transparansi dan pertanggungjawaban di semua tingkat. Namun, dengan kondisi pemerintah kabupaten/kota telah memberikan investasi yang besar untuk administrasi umum tetapi dengan dampak positif yang kecil, kapasitas mereka harus ditingkatkan, terutama untuk perencanaan, penganggaran, transparansi, dan pertanggungjawaban untuk meningkatkan alokasi dana masyarakat.
4. Pemerintah kabupaten/kota harus harus melengkapi kerangka hukum untuk memastikan bahwa sumber daya mereka dialokasikan secara strategis, bertanggung jawab dan transparan. Apabila kerangka hukum telah siap, audit eksternal dapat digunakan untuk memastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab. Pemerintah kabupaten/kota harus menetapkan kerangka kerja peraturan dan mekanisme perencanaan partisipatif yang sesuai serta prosedur pembukuan dan pelaporan yang akurat dan tepat waktu. Di samping itu, mereka harus mempersiapkan dan melaksanakan mekanisme pemantauan dan pengawasan yang independen dan transparan.
5. Investasi tambahan untuk aparat administratif harus secara nyata menghasilkan peningkatan
efi siensi yang selayaknya. Apabila peningkatan efi siensi tidak mendukung untuk dilakukannya investasi,
71 Hasil-hasil yang disajikan di sini didasarkan atas contoh 10 kabupaten yang terkena dampak tsunami tetapi dinilai cukup untuk mewakili semua provinsi di Aceh.
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 105
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
sumber daya harus dialihkan kepada layanan masyarakat. Keuntungan dari menginvestasikan dana publik untuk meningkatkan layanan masyarakat nampaknya lebih besar daripada pembangunan gedung-gedung baru untuk administrasi umum.
KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN106
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Apendiks
APENDIKS 108
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Ape
ndik
s A
. Isu
-isu
Uta
ma
dan
Reko
men
dasi
Bab
Isu
Uta
ma
Reko
men
dasi
Uta
ma
Inst
itusi
Ter
kait
Pros
es A
ngga
ran Ku
rang
nya
disip
lin a
ngga
ran.
Pro
ses a
ngga
ran
serin
gkal
i tid
ak m
emat
uhi b
atas
wak
tu y
ang
dite
tapk
an o
leh
pera
tura
n pe
rund
ang-
unda
ngan
, seh
ingg
a m
engh
amba
t pel
aksa
naan
pr
ogra
m-p
rogr
am p
emba
ngun
an se
cara
tepa
t wak
tu.
Ting
katk
an k
apas
itas p
eren
cana
an d
an p
enga
ngga
ran
dina
s mel
alui
du
kung
an te
knis,
dan
ting
katk
an k
oord
inas
i ant
ara
dina
s dan
Bad
an
Pere
ncan
aan
dan
Pem
bang
unan
Dae
rah
(BAP
PED
A).
Parle
men
kab
upat
en/k
ota,
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta, p
ara
dono
r
Ketid
akse
suai
an a
ntar
a da
na y
ang
dial
okas
ikan
den
gan
hasil
pe
mba
ngun
an li
ntas
dae
rah.
Kes
enja
ngan
sekt
oral
dan
geo
grafi
s
teta
p ad
a.
Das
arka
n al
okas
i ang
gara
n at
as d
ata
yang
dap
at d
iper
caya
, yan
g m
enga
rahk
an a
gar a
loka
si se
ktor
al d
an g
eogr
afi s
terfo
kus p
ada
sekt
or-s
ekto
r den
gan
hasil
rend
ah d
an w
ilaya
h-w
ilaya
h ya
ng le
bih
terb
elak
ang.
Tin
gkat
kan
kual
itas d
ata.
Pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta, B
PS, p
ara
dono
r
Pene
rim
aan
Kapa
sitas
pem
erin
tah
daer
ah d
alam
men
gelo
la su
mbe
r dan
a pu
blik
mas
ih te
rlalu
lem
ah u
ntuk
men
anga
ni p
enin
gkat
an
pend
apat
an p
ublik
yan
g be
sar
Ting
katk
an k
apas
itas p
emer
inta
h da
erah
dal
am m
enge
lola
sum
ber
dana
pub
lik, t
erut
ama
pere
ncan
aan,
pem
buku
an, d
an a
udit
ekst
erna
l. Tin
gkat
kan
koor
dina
si an
tara
pem
erin
tah
prov
insi,
dae
rah,
BR
R, d
an B
RA se
hubu
ngan
den
gan
reko
nstr
uksi,
rein
tegr
asi,
dan
pem
bang
unan
jang
ka p
anja
ng.
Pem
erin
tah
daer
ah, p
emer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
BRR
, BRA
, dan
par
a do
nor
Kete
rlam
bata
n tr
ansf
er d
an k
etid
akte
pata
n al
okas
i dan
a ot
onom
i kh
usus
, dita
mba
h ku
rang
nya
info
rmas
i ten
tang
pro
duks
i min
yak
dan
gas,
men
gura
ngi k
eefe
ktifa
n da
na.
Ting
katk
an tr
ansp
aran
si, p
emba
gian
info
rmas
i, da
n pe
rtan
ggun
gjaw
aban
ata
s alo
kasi
dan
dist
ribus
i dan
a ot
onom
i kh
usus
, dan
ting
katk
an k
etep
atan
wak
tu tr
ansf
er.
Pem
erin
tah
pusa
t
Prov
insi
men
erim
a 40
% d
ari d
ana
oton
omi k
husu
s; 21
ka
bupa
ten/
kota
yan
g be
rtan
ggun
g ja
wab
ata
s lay
anan
m
asya
raka
t men
erim
a 60
% si
sany
a.
Sera
hkan
wew
enan
g ya
ng le
bih
besa
r unt
uk m
enga
was
i dan
a ot
onom
i khu
sus k
epad
a pe
mer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
den
gan
men
ingk
atka
n ba
gian
mer
eka.
Pro
vins
i har
us m
enga
was
i dan
m
enge
valu
asi p
engg
unaa
nnya
.
Pem
erin
tah
daer
ah
Terd
apat
per
beda
an fi
skal
yan
g sig
nifi k
an (p
enda
pata
n pe
r ka
pita
) ant
ar k
abup
aten
/kot
a. T
rans
fer a
ntar
pem
erin
taha
n tid
ak
men
gura
ngi p
erbe
daan
ini.
Ting
katk
an d
istrib
usi p
enda
pata
n an
tar k
abup
aten
/kot
a (D
AU,
DAK
), de
ngan
mem
perh
itung
kan
kem
iskin
an d
an d
ana
bagi
has
il da
ri m
inya
k da
n ga
s. Re
visi
form
ula
untu
k al
okas
i pen
dapa
tan
anta
r ka
bupa
ten/
kota
.
Pem
erin
tah
nasio
nal d
an p
rovi
nsi
(dist
ribus
i pen
dapa
tan,
alo
kasi
uang
pr
ovin
si da
n pe
mer
inta
h pu
sat)
Pend
apat
an a
sli d
aera
h (P
AD) t
etap
kec
il se
tela
h di
laku
kann
ya
dese
ntra
lisas
i. Pe
misa
han
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta te
lah
men
cipt
akan
mas
alah
dal
am d
istrib
usi s
umbe
r-sum
ber P
AD
anta
ra p
emer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
lam
a da
n ba
ru.
Laku
kan
anal
isis t
erha
dap
pote
nsi p
enda
pata
n su
mbe
r mili
k se
ndiri
da
n uk
ur k
eefe
ktifa
n pe
mun
guta
n pa
jak.
Lak
ukan
ana
lisis
terh
adap
at
uran
stru
ktur
paj
ak k
abup
aten
/kot
a sa
at in
i unt
uk m
engi
dent
ifi ka
si su
mbe
r-sum
ber p
ajak
lain
yan
g po
tens
ial.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta,
para
don
or
Peng
elua
ran
Alok
asi f
ungs
iona
l tid
ak se
lalu
men
jadi
yan
g pa
ling
efi s
ien.
Pe
mer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
men
gelu
arka
n se
mak
in b
anya
k ba
gian
dar
i bel
anja
kes
elur
uhan
unt
uk b
elan
ja ru
tin. A
para
t pe
mer
inta
h te
lah
men
jadi
prio
ritas
pen
gelu
aran
tert
ingg
i unt
uk
pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta.
Perik
sa d
enga
n te
liti k
ecen
deru
ngan
pen
ingk
atan
pen
gelu
aran
unt
uk
bela
nja
rutin
kes
elur
uhan
dan
unt
uk b
elan
ja p
enge
mba
ngan
apa
rat
pem
erin
tah.
Teta
pkan
bat
as-b
atas
yan
g je
las u
ntuk
ini.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta
APENDIKS 109
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Terd
apat
per
beda
an y
ang
besa
r ant
ara
angg
aran
yan
g di
renc
anak
an d
an re
alisa
sinya
. Pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta ti
dak
dapa
t men
gelu
arka
n da
na se
baga
iman
a ya
ng d
irenc
anak
an.
Penj
elas
an y
ang
tepa
t: ku
rang
nya
pere
ncan
aan
dan
peng
elol
aan
angg
aran
, ket
erla
mba
tan
dala
m tr
ansf
er p
enda
pata
n da
ri pe
mer
inta
h pu
sat d
an p
rovi
nsi,
tidak
stab
ilnya
kea
man
an.
Laku
kan
anal
isis u
ntuk
mem
aham
i den
gan
lebi
h ba
ik k
esen
jang
an
anta
ra a
ngga
ran
yang
dire
ncan
akan
dan
real
isasin
ya. P
enin
gkat
an
kete
pata
n w
aktu
tran
sfer
dar
i pem
erin
tah
pusa
t dan
pro
vins
i ke
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta a
kan
men
ingk
atka
n re
alisa
si.
Pem
erin
tah
pusa
t, pr
ovin
si, d
an
kabu
pate
n/ko
ta, p
ara
dono
r
Kese
njan
gan
fi nan
sial y
ang
besa
r ant
ara
reko
nstr
uksi
sekt
oral
dan
da
erah
teta
p ad
a.Ti
ngka
tkan
efi s
iens
i alo
katif
dan
a re
kons
truk
si de
ngan
mem
berik
an
foku
s pad
a ke
senj
anga
n ge
ogra
fi s d
an se
ktor
al y
ang
terid
entifi
kas
iBR
R, p
emer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
, par
a do
nor
Rend
ahny
a an
gka
pem
baya
ran
dala
m p
roye
k-pr
oyek
reko
nstr
uksi
(teru
tam
a BR
R)
Ting
katk
an lin
i pel
apor
an, t
angg
ung
jaw
ab, d
an p
erta
nggu
ngja
wab
an.
Ting
katk
an p
ersia
pan
dan
peng
awas
an p
roye
k; s
erah
kan
TA k
epad
a pa
ra m
anaj
er p
roye
k. S
eder
hana
kan
pros
edur
pen
gada
an.
Berik
an
fl eks
ibili
tas d
alam
men
gelu
arka
n an
ggar
an ta
huna
n BR
R.
BRR,
pem
erin
tah
pusa
t, da
n Pa
rlem
en
Pem
erin
tah
pusa
t ter
us m
enge
luar
kan
dana
unt
uk fu
ngsi-
fung
si ya
ng se
bagi
an b
esar
terd
esen
tral
isasi
di d
aera
h, se
hing
ga
men
enta
ng d
esen
tral
isasi.
Cega
h pe
ngel
uara
n da
na d
i kem
udia
n ha
ri ol
eh p
emer
inta
h pu
sat
untu
k fu
ngsi-
fung
si ya
ng se
bagi
an b
esar
terd
esen
tral
isasi.
Targ
etka
n pe
ngel
uara
n pe
mer
inta
h pu
sat m
elal
ui d
ana
alok
asi k
husu
s.Pe
mer
inta
h na
siona
l
Kese
hata
n
Sist
em in
form
asi k
eseh
atan
di A
ceh
lum
puh
dise
babk
an o
leh
konfl
ik d
an ts
unam
i.Ba
ngun
kem
bali
siste
m in
form
asi m
anaj
emen
dat
a un
tuk
men
duku
ng p
enen
tuan
prio
ritas
alo
kasi
angg
aran
kes
ehat
an.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta,
BPS,
par
a do
nor
Fasil
itas p
eraw
atan
kes
ehat
an u
mum
nya
ters
edia
, tet
api s
ebag
ian
besa
r tid
ak b
erfu
ngsi
kare
na k
uran
gnya
pem
elih
araa
n da
n st
af.
Kaitk
an k
onst
ruks
i fas
ilita
s-fa
silita
s bar
u de
ngan
pen
ilaia
n ke
butu
han;
tin
gkat
kan
pem
enuh
an k
ebut
uhan
-keb
utuh
an y
ang
terid
entifi
kas
i de
ngan
sum
ber d
aya.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta
Tena
ga k
eseh
atan
rela
tif b
esar
apa
bila
dib
andi
ngka
n de
ngan
pr
ovin
si-pr
ovin
si la
in d
i Ind
ones
ia te
tapi
tida
k te
rdist
ribus
i sec
ara
mer
ata
di se
luru
h pr
ovin
si, se
bagi
an d
iseba
bkan
ole
h ko
nfl ik
.
Berik
an in
sent
if ya
ng p
anta
s kep
ada
para
tena
ga k
eseh
atan
unt
uk
kem
bali
ke w
ilaya
h-w
ilaya
h pe
desa
an.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta
Pend
idik
an
APENDIKS 110
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Peng
elua
ran
dana
Ace
h un
tuk
pend
idik
an ti
nggi
dan
aka
n re
latif
tin
ggi a
pabi
la d
iban
ding
kan
deng
an p
rovi
nsi-p
rovi
nsi l
ain
di
Indo
nesia
. Nam
un d
emik
ian,
pen
gelu
aran
yan
g le
bih
tingg
i tid
ak m
enun
jukk
an p
enin
gkat
an y
ang
besa
r pad
a ha
sil-h
asil
pend
idik
an.
Ting
katk
an a
loka
si da
na p
endi
dika
n. T
ingk
atka
n M
&E p
engg
unaa
n da
na p
endi
dika
n da
n da
mpa
knya
.Pe
mer
inta
h pr
ovin
si da
n ka
bupa
ten/
kota
Kual
itas p
enga
jara
n te
rham
bat o
leh
kond
isi g
edun
g-ge
dung
se
kola
h ya
ng b
uruk
dan
kur
angn
ya p
eral
atan
bel
ajar
-men
gaja
r. Se
bagi
an b
esar
alo
kasi
fung
siona
l dib
erik
an u
ntuk
gaj
i gur
u.
Ting
katk
an b
agia
n su
mbe
r dan
a ya
ng d
igun
akan
unt
uk
pem
elih
araa
n fa
silita
s pen
didi
kan.
Ber
ikan
inse
ntif
yang
pan
tas u
ntuk
m
enga
tasi
dist
ribus
i gur
u ya
ng ti
dak
mer
ata.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta
Terd
apat
stan
dar l
ayan
an m
inim
um te
tapi
tida
k se
suai
de
ngan
keb
ijaka
n in
form
asi.
Stan
dar l
ayan
an m
inim
um ti
dak
haru
s men
cerm
inka
n ke
butu
han
daer
ah d
an m
enin
gkat
kan
ketid
akefi
sie
nan
alok
asi s
umbe
r day
a m
anus
ia.
Kant
or p
endi
dika
n pr
ovin
si da
n ka
bupa
ten/
kota
har
us m
enga
dapt
asi
stan
dar l
ayan
an p
endi
dika
n m
inim
um a
gar l
ayak
seca
ra p
rakt
ik d
an
fi nan
sial.
Pem
erin
taha
n pr
ovin
si da
n ka
bupa
ten/
kota
Kant
or p
endi
dika
n ke
banj
iran
data
, tet
api k
ekur
anga
n da
ta y
ang
berk
ualit
as. I
dent
ifi ka
si da
n pe
ngum
pula
n in
dika
tor m
asuk
an,
pros
es, d
an h
asil
(fi na
nsia
l) ut
ama
pent
ing
untu
k pe
renc
anaa
n.
Perb
aiki
sist
em in
form
asi p
endi
dika
n.Pe
mer
inta
h pr
ovin
si da
n ka
bupa
ten/
kota
, pa
ra d
onor
Pras
aran
a/in
fras
truk
tur
Alok
asi y
ang
rend
ah u
ntuk
ope
rasi
dan
pem
elih
araa
n te
lah
men
gaki
batk
an b
uruk
nya
pem
elih
araa
n pr
asar
ana
publ
ik d
an
mem
buru
knya
pen
yedi
aan
laya
nan
mas
yara
kat.
Ting
katk
an a
loka
si an
ggar
an u
ntuk
pra
sara
na, d
enga
n m
embe
rikan
fo
kus p
ada
pem
elih
araa
n pr
asar
ana
umum
.Pe
mer
inta
h pr
ovin
si da
n ka
bupa
ten/
kota
Sete
lah
bera
khirn
ya m
anda
t BRR
tahu
n 20
09, p
emer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
per
lu m
emas
tikan
kel
angs
unga
n da
n pe
mel
ihar
aan
reko
nstr
uksi
pras
aran
a.
Unt
uk m
enin
gkat
kan
kepe
mili
kan
proy
ek, B
RR p
erlu
lebi
h m
elib
atka
n pe
mer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
dal
am p
eran
cang
an d
an
pela
ksan
aan
proy
ek. P
roye
k-pr
oyek
yan
g di
biay
ai b
ersa
ma
dapa
t m
enin
gkat
kan
kepe
mili
kan
dan
mel
anca
rkan
tran
sisi.
Sera
hkan
TA
untu
k m
empe
rsia
pkan
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta d
an m
enga
tasi
ham
bata
n-ha
mba
tan
kapa
sitas
pen
yera
pan
tekn
is da
n in
stitu
siona
l.
BRR
dan
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta
Ting
katk
an ik
lim in
vest
asi y
ang
baik
unt
uk m
enar
ik in
vest
asi s
ekto
r sw
asta
kep
ada
pras
aran
a/in
frast
rukt
urPe
mer
inta
h pr
ovin
si da
n ka
bupa
ten/
kota
Kapa
sita
s pe
mer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
Kapa
sitas
dan
ket
eram
pila
n pe
mer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
per
lu
ditin
gkat
kan.
Dal
am m
enan
gani
pen
ingk
atan
aru
s mas
uk d
ana
yang
bes
ar d
an k
ewen
anga
n un
tuk
men
gelo
lany
a, k
apas
itas
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta u
ntuk
men
gelo
la d
ana
mas
yara
kat
seca
ra e
fi sie
n le
mah
, khu
susn
ya y
ang
berh
ubun
gan
deng
an
audi
t eks
tern
al d
an k
eran
gka
huku
m.
Ting
katk
an k
apas
itas p
emer
inta
h ka
bupa
ten/
kota
dal
am P
FM.
Berik
an in
sent
if ya
ng p
anta
s kep
ada
para
pej
abat
pem
erin
tah
kabu
pate
n/ko
ta u
ntuk
men
jala
nkan
tang
gung
jaw
ab y
ang
men
ingk
at.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta,
para
don
or
Men
jam
urny
a ke
cam
atan
mem
akan
bia
ya ti
nggi
dan
tida
k pe
rlu,
sert
a m
enin
gkat
kan
biay
a ad
min
istra
tif d
an p
erso
nil.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
nasio
nal
haru
s m
ence
gah/
mem
bata
si te
rcip
tany
a ka
bupa
ten/
kota
bar
u.Pe
mer
inta
h na
siona
l dan
pro
vins
i
Mek
anism
e de
ngar
pen
dapa
t sta
ndar
tida
k m
enja
min
par
tisip
asi
mas
yara
kat y
ang
cuku
p da
lam
pro
ses a
ngga
ran.
Ting
katk
an tr
ansp
aran
si da
lam
per
enca
naan
ang
gara
n un
tuk
mem
astik
an b
ahw
a pr
opos
al m
asya
raka
t dim
asuk
kan
ke d
alam
an
ggar
an. P
erku
at k
apas
itas m
asya
raka
t mad
ani k
abup
aten
/kot
a da
lam
mem
anta
u an
ggar
an.
Pem
erin
tah
prov
insi
dan
kabu
pate
n/ko
ta,
para
don
or
APENDIKS 111
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Apendiks B. Gambar dan Tabel
Gambar B1. Distribusi PDB per kapita per wilayah di Aceh, tahun 2004
SIMEULUE
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
ACEH UTARA
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOT A)
SABANG (KOTA)
2.6
5.9
46.4
30.6
8.4
5.5
2.2
2.8
4.9
9.2
ACEH SINGKI L
ACEH SEL ATAN
ACEH TIMU R
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT D AYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN R AYA
ACEH J AYA
3.3
7.9
5.1
5.0
3.8 6.1
7.0
7.24.5
4.1
NIAS SEL ATAN
NIAS3.5
3.6
PDB Daerah Tahunan per kapita (Juta Rp)
20 sampai 4715 sampai 2010 sampai 155 sampai 100 sampai 5
Sumber: Data BPS, dipetakan oleh staf Bank Dunia.
Gambar B2. Estimasi penurunan PDB per kabupaten, tahun 2005 (%),
SIMEULUE
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
ACEH UTARA
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOT A)
SABANG (KOTA)
56.0
18.2
0.2
0.6
0.7
36.0
23.9
27.9
32.4
4.2
ACEH SINGKI L
ACEH SEL ATAN
ACEH TIMU R
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT D AYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN R AYA
ACEH J AYA
1.9
1.6
33.2
14.4
5.5 3.4
2.4
0.534.1
86.4
NIAS SEL ATAN
NIAS20.6
19.2
Penurunan PDB
50 sampai 9020 sampai 5010 sampai 205 sampai 10Dibawah 5Tidak ada penurunanTidak ada data
Sumber: estimasi staf Bank Dunia.
APENDIKS 112
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar B3. Tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota di Aceh (%)
Panel A. Tingkat kemiskinan sebelum bencana
ACEH TENGGARA
ACEH TENGA H
BENER MERIAH
ACEH UTARA
SIMEULUE
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOT A)
SABANG (KOTA)
29.9
35.2
35.9
35.7
34.3
31.6
27.9
27.6
28.9
8.9
34.2
15.0
15.3
30.0
28.0
25.2
32.4
23.9
29.3
31.5
ACEH SINGKI L
ACEH SEL ATAN
ACEH TIMU R
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BAR AT DAYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN R AYA
ACEH J AYA
NIAS SEL ATAN
NIAS
19.2
20.6
Jumlah rakyat miskin sebelum bencana (%)
Diatas 4535 sampai 4525 sampai 3515 sampai 25Dibawah 15Tidak ada data
Panel B. Tingkat kemiskinan pasca bencana, tahun 2004
SIMEULUE
ACEH TENGGARA
ACEH TENGAH
BENER MERIAH
ACEH UTARA
LHOKSUMAWE (KOTA)
LANGSA (KOTA)
BANDA ACEH (KOT A)
SABANG (KOTA)
72.7
36.0
23.9
27.9
32.4
14.2
15.1
34.9
15.7
35.8
ACEH SINGKIL
ACEH SEL ATAN
ACEH TIMU R
ACEH BARAT
ACEH BESAR
PIDIE BIREUEN
ACEH BARAT D AYA
GAYO LUES
ACEH TAMIANGNAGAN R AYA
ACEH J AYA
30.6
31.6
74.7
44.1
41.6 32.5
30.2
25.776.4
86.2
NIAS SEL ATAN
NIAS
52.5
53.1
Jumlah rakyat miskin pasca bencana (%)
Diatas 4535 sampai 4525 sampai 3515 sampai 25Dibawah 15Tidak ada
Sumber: BPS (data aktual tahun 2004) dan staf Bank Dunia (estimasi angka kemiskinan pasca bencana).
APENDIKS 113
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar B4. Proses penyusunan anggaran
Juni : Pemerintah daerah menyerahkan kebijakan umum APBD kepada parlemen daerah (DPRD Komite anggaran eksekutif
Oktober-November : Diskusi rancangan Perda tentang APBD
Januari-Mei: Penyusunan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) sebagai dasar kebijakan umum anggaran pemerintah daerah
September-Oktober:Evaluasi proposal anggaran badan-badan terkait dan penyusunan rancangan peraturan daerah (Perda) tentang APBD
Minggu Pertama Oktober:Pemerintah daerah menyerahkan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
Dikusi kebijakan umum tentang APBD
Kebijakan umum tentang APBD disetujui
September-OktoberBadan-badan lini di daerah menyusun program-program kerja dan estimasi-estimasi anggaran untuk tahun berikutnya
November-Desember:APBD disetujui
Desember : APBD tersusun melalui persetujuan peraturan daerah
Juli-Agustus:Pemerintah daerah dan DPRD membahas prioritas dan batas anggaran
Menjadi referensi badan-badan lini di daerah
Sumber: DG Keseimbangan Anggaran dan Fiskal-Menteri Keuangan berdasarkan Undang-undang No. 17/2003, Undang-undang No. 15/2004, Undang-undang No. 32/2004, Undang-undang No. 33/2004, Keputusan Menteri No. 29/2002.
Gambar B5. Evaluasi anggaran
Juli : Realisasi semester pertama dan estimasi semester kedua yang diajukan kepada DPRD
Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD yang telah direvisi kepada DPRD untuk disetujui selambat-lambatnya tiga bulan sebelum akhir tahun anggaran yang bersangkutan
Realisasi APBD diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun anggaran yang bersangkutan
BPK harus mengaudit realisasi APBD dalam jangka waktu dua bulan setelah menerima laporan APBD
Kepala daerah menyerahkan rancangan Perda tentang laporan pertanggungjawaban APBD kepada DPRD untuk disetujui selambat-lambatnya enam bulan setelah akhir tahun anggaran yang bersangkutan
Sumber: Undang-undang No. 15/2004, Undang-undang No. 17.2003, PP No. 58/2005, PP No. 56/2005.
APENDIKS 114
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar B6. Komposisi dana bagi hasil sumber daya alam, sebelum dan pasca desentralisasi, tahun 1994–2005 (% dana bagi hasil sumber daya alam keseluruhan)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005
Sewa Sumber Daya Kehutanan (IHH)/(PSDH) Sewa Lahan Kehutanan (IHPH) Sewa Lahan PertambanganRoyalti Pertambangan Biaya eksplorasi pertambangan Biaya Perusahaan PerikananBiaya sumber daya perikanan Minyak GasState land right issue Lain-lain
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Menteri Keuangan.
Gambar B7. Perubahan alokasi DAU, tahun 2005–06 (%)
Kab. Aceh Utara
Kab. Simeulue
Kab. Aceh Singkil
Kab. Aceh Selatan
Kab. Aceh Tenggara
Kab. Bener Meriah
Kab. Aceh Tengah
Kota Banda Aceh
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe
Kab. Aceh Timur
Kab. Aceh Barat
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Pidie Kab. Bireuen
Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Gayo Lues
Kab. Aceh TamiangKab. Nagan Raya
Kab. Aceh Jaya
Kota Sabang
Perubahan alokasi DAU, tahun 2005-06 (%)160 sampai 606 (1)
80 sampai 160 (1)60 sampai 80 (11)50 sampai 60 (4)20 sampai 50 (3)
No change (hold harmless) to 20 (1)
Sumber: Kalkulasi Menteri Keuangan dan staf Bank Dunia.
APENDIKS 115
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar B8. Belanja bidang pendidikan (termasuk kebudayaan) persentase dari total belanja kabupaten/kota di beberapa kabupaten/kota tertentu di aceh (2005 dan 2004)
0
10
20
30
40
50
Ban
da
Ace
h
Pid
ie
Bire
uen
Ace
h S
elat
an *
Ace
h T
eng
gar
a *
Lang
sa *
Ace
h B
esar
Ace
h Ta
mia
ng *
Ace
h B
arat
Day
a *
Ace
h T
eng
ah
Ace
h B
ara
t
Lho
kseu
maw
e *
Ace
h U
tara
Nag
an R
aya
Ace
h U
tara
Ace
h T
imur
Ace
h Ja
ya
Sab
ang
Sim
elue
Ace
h S
ing
kil
%
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia.
Gambar B9. DAK per kapita di seluruh provinsi di Indonesia, tahun 2006
-50,000
100,000150,000200,000250,000300,000350,000400,000450,000
Banten
Jawa B
arat
Jawa T
imur
Jawa T
engah
Riau
D I Y
og
yakarta
Lamp
ung
Sum
atera Selata
n
Sum
atra Utara
Kep
ulauan Riau
Bali
Nusa T
engg
ara Bara
t
Jamb
i
Kalim
antan Tim
ur
Kalim
antan Bara
t
Sulaw
esi Selata
n
Kalim
antan Selata
n
Sum
atra Bara
t
Nusa T
engg
ara Tim
ur
Sulaw
esi Teng
ah
Sulaw
esi Utara
Nang
gro
e Aceh D
arussalam
Go
rontalo
Sulaw
esi Teng
gara
Kep
ulauan Bang
ka Belitung
Beng
kulu
Kalim
antan Teng
ah
Maluku
Maluku U
tara
Pap
ua
Pap
ua Bara
t
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data Menteri Keuangan.
APENDIKS 116
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar B10. Alokasi DAK di antara pemerintah kabupaten/kota di Aceh, tahun 2006
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Kota LhokseumaweKota Langs a
Kab. Gayo Lue sKota Banda Aceh
Kab. Aceh TenggaraKab. Aceh Jaya
Kab. Nagan RayaKab. Aceh Tengah
Kab. Aceh Bara tKab. Simeuleu
Kab. Aceh SingkilKab. Aceh Barat Daya
Kab. Aceh TamiangKota Sabang
Kab. Aceh Selata nKab. Bener Meriah
Kab. Aceh BesarKab. Aceh TimurKab. Aceh Utar a
Kab. Bi reuenKab. Pidi e
MIlyar Rupiah
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data Menteri Keuangan.
Gambar B11. Pinjaman seluruh provinsi di Indonesia (% terhadap PDRB), tahun 2004
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
Maluku
Sulsel
Kalsel
Beng
kulu
Bali
Sulut
DK
I Jakarta
Sum
sel
Sum
ut
Jamb
i
Jateng
Banten
Jatim
Kalb
ar
Sultra
Sum
bar
Maluku U
tara
Go
rontalo
Sulteng
DI Y
og
yakarta
NT
B
NA
D
Jabar
Lamp
ung
Pap
ua
Kaltim
Kep
. Bang
ka Belitung
Kalteng
NT
T
Riau
pers
en P
DR
B
Sumber: Kalkulasi Menteri Keuangan dan staf Bank Dunia.
APENDIKS 117
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Gambar B12. Angka partisipasi pendidikan SD bersih tingkat kabupaten/kota, tahun 2005
80
85
90
95
100
Sab
ang
Ben
er M
eria
h
Ace
h S
elat
an
Ace
h Ta
mia
ng
Lang
sa
Gay
o Lu
es
Ace
h U
tara
Ace
h p
rovi
nce
Ace
h B
esar
Ban
da
Ace
h
Pid
ie
Ace
h T
eng
gar
a
Ace
h S
ing
kil
Ace
h T
imur
Ace
h T
eng
ah
Sim
eulu
e
Lho
kseu
maw
e
Bire
uen
Ace
h B
arat
Day
a
Nag
an R
aya
Ace
h B
arat
Ace
h Ja
ya
Sumber: Sensus Aceh oleh BPS tahun 2005.
Tabel B1. Daerah yang menerima manfaat dana bagi hasil sumber daya alam, per daerah (Jutaan Rupiah)
Rata-rata tahunan pradesentralisasi
Rata-rata tahunan pasca desentralisasi
Aceh Barat 3,820 74,903
Aceh Besar 245 53,412
Aceh Selatan 1,988 83,208
Aceh Singkil - 298
Aceh Tengah 1,632 35,801
Aceh Tenggara 487 60,460
Aceh Timur 2,004 162,592
Aceh Utara 332 469,233
Aceh Bireuen - 55,501
Pidie 169 73,510
Simeulue - 16,419
Kota Banda Aceh 225 53,113
Kota Sabang 117 52,052
Kota Langsa - 22,680
Kota Lhokseumawe - 35,519
Aceh Barat Daya - 31,125
Gayo Lues - 31,063
Aceh Tamiang - 39,331
Nagan Raya - 13,549
Aceh Jaya - 17,875
Sumber: Kalkulasi Menteri Keuangan dan staf Bank Dunia.
APENDIKS 118
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel B2. Kualifi kasi staf pemerintahan di Aceh, tahun 2003
<SLTA(% staf kab/
kota)
SLTA(% staf kab/
kota)
Diploma (% staf kab/
kota)
S1 (% staf
kab/kota)
S2 (% staf
kab/kota)
Total staf ( %)
Keseluruhan 3.77 31.22 20.78 25.17 0.57
Aceh Selatan* 4.03 39.46 26.99 28.72 0.79 4.84
Aceh Tenggara 5.62 50.05 20.42 22.88 1.02 4.37
Aceh Timur 8.28 39.34 24.24 27.91 0.23 4.47
Aceh Tengah 3.53 38.77 29.90 27.34 0.45 6.36
Aceh Barat 3.29 40.16 26.64 29.25 0.63 5.00
Aceh Besar 2.78 34.75 24.81 36.43 1.20 8.71
Banda Aceh 3.34 33.36 14.46 41.06 6.98 18.48
Pidie 6.59 32.66 27.40 32.86 0.49 10.67
Aceh Utara 6.72 39.53 24.76 28.84 0.15 5.86
Simeuleu 2.88 47.53 24.74 24.45 0.40 1.65
Aceh Singkil 2.64 42.42 19.74 34.24 0.97 2.17
Bireuen 4.57 33.35 30.19 31.62 0.26 7.04
Aceh Barat Daya 4.15 33.27 33.75 27.87 0.96 1.97
Gayo Lues 4.91 43.18 24.78 26.10 1.03 1.30
Aceh Tamiang 3.72 35.80 28.89 31.25 0.33 2.87
Nagan Raya 4.27 41.88 28.70 24.74 0.40 2.12
Aceh Jaya 4.75 39.55 28.21 27.21 0.28 1.34
Sabang 6.27 43.36 17.20 32.29 0.88 2.06
Langsa 3.32 39.90 19.99 35.58 1.17 4.08
Lhokseumawe 2.82 39.33 17.16 38.81 1.85 4.63 Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN)Catatan: * = Staf pemerintahan dengan gelar doktor belum dimasukkan. Banda Aceh memiliki dua universitas negeri pada tahun 2003 (UNSYIAH dan IAIN), dan data yang disajikan mencakup para staf pengajar universitas sebagai staf pemerintahan yang cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi . Data Banda Aceh menunjukkan bahwa jumlah staf pemerintahan yang memiliki tingkat pendidikan setingkat pasca sarjana (S2) tinggi dikarenakan hal ini.
APENDIKS 119
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Apendiks C. Catatan Metodologi
C.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah anggaran tahunan yang dialokasikan dan/atau dibelanjakan oleh pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Anggaran tersebut terdiri atas dua kategori: yang berupa rencana (diajukan untuk mendapat persetujuan DPRD) dan realisasi (pengeluaran aktual atau laporan pertanggungjawaban kepala daerah). Rentang waktu data adalah dari tahun 1994 sampai dengan 2006 dari berbagai sumber. Untuk periode 1994–99, data disediakan oleh BPS. Untuk periode 2000–04, data diambil dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) milik Depkeu. Data untuk tahun 2005 diperoleh dari pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Aceh. Angka-angka untuk tahun 2006 merupakan angka-angka perkiraan.
Sejak desentralisasi, pemerintah daerah wajib mengajukan data APBD kepada Departemen Keuangan (SIKD) secara tepat waktu. Pemerintah pusat dapat mengenakan sanksi berupa penundaan pencairan DAU apabila pemerintah daerah tidak mengajukan data tersebut secara tepat waktu. Akan tetapi, banyak pemerintah daerah yang tidak mengajukan APBD-nya ke Depkeu. Pada tahun 2003, 334 dari total 370 pemerintah daerah yang ada di Indonesia mengajukan laporan APBD-nya ke Depkeu. Di Aceh, hanya 10 dari 20 pemda yang mengajukan laporan APBD pada tahun 2003, dan 12 dari 21 pemda pada tahun 2004. Depkeu melengkapi kekurangan data SIKD dengan mengumpulkan data langsung dari pemerintah daerah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang pendapatan dan belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh, data yang tidak tersedia untuk kabupaten-kabupaten dan tahun-tahun tertentu dibuat perkiraannya dengan menggunakan porsi PDRB dari pemda-pemda yang bersangkutan sebagai faktor infl asi. Nilai yang sebenarnya untuk rentang waktu tersebut dihitung berdasarkan perkiraan CPI untuk tahun 2006.
C.2 Proyeksi Pendapatan Aceh (2006–11) dan Sensitivitas Simulasi Harga Minyak
Proyeksi ini didasarkan pada beberapa asumsi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan fi skal, tingkat infl asi, dan harga minyak, yang terkait dengan perkiraan anggaran pemerintah pusat. Simulasi harga minyak didasarkan pada 3 skenario harga minyak sbb: rendah(AS$50/barel), sedang (AS$60/barel), dan tinggi (AS$75/barel).
Dana bagi hasil dari sumberdaya alam dan Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dua komponen utama pendapatan yang menggunakan harga minyak dan simulasi sensitivitas. Porsi tertimbang diberikan untuk pendapatan migas di Aceh dengan menggunakan data produksi gas. Untuk DAU, diasumsikan bahwa Aceh menerima bagian sebesar 3 persen dari alokasi reguler DAU nasional (alokasi tahunan rata-rata). Alokasi tambahan sebesar 2 persen akan ditambahkan mulai tahun 2008 berdasarkan UU No. 11/2006 yang baru dikeluarkan. Untuk komponen-komponen pendapatan lainnya, yang terdiri atas PAD, Dana Alokasi Khusus, dan pendapatan lainnya, perkiraannya didasarkan pada asumsi pertumbuhan sebesar 5 persen.
C.3 Simulasi Pinjaman
Tujuan dari simulasi ini adalah untuk melihat kemampuan untuk menerima pinjaman dan pagu pinjaman pemerintah daerah di Aceh. Simulasi ini didasarkan pada UU No. 33/2004 tentang Keseimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan PP No. 54/2005 tentang Pinjaman Daerah.
Peraturan tersebut menetapkan bahwa pemerintah daerah harus memenuhi persyaratan berikut ini untuk mendapatkan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang: (1) sisa pinjaman pemerintah daerah ditambah jumlah pinjaman yang ingin diperoleh tidak lebih dari 75 persen dari pendapatan umum dalam APBD tahun sebelumnya; (2) rasio perkiraan kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk melunasi pinjaman tersebut sekurang-kurangnya 2,5; (3) pemerintah daerah tidak memiliki tunggakan pembayaran hutang yang berasal dari pemerintah pusat, dan (4) pinjaman tersebut disetujui oleh DPRD.
APENDIKS 120
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Berdasarkan peraturan tersebut, simulasi batas maksimum pinjaman untuk Pemda Aceh pada tahun 2004 tercapai dengan cara:
1. Mengalikan pendapatan umum pemerintah daerah pada tahun 2003 dengan 0,75. Pendapatan umum terdiri atas semua komponen pendapatan kecuali dana alokasi khusus (DAK), dana darurat, pinjaman-pinjaman lama, dan pendapatan lainnya.
2. Menghitung rasio kemampuan keuangan pemerintah daerah, dengan rumus sebagai berikut: DSCR: = {PAD + ( DBH – DBHDR ) + DAU} – belanja wajib ≥ 2.5 Pokok pinjaman + bunga + biaya-biaya lain
DSCR: Rasio Kemampuan Pembayaran Utang PAD: Pendapatan Asli Daerah DAU: Dana Alokasi Umum DBH: Dana Bagi Hasil DBHDR: Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi Belanja wajib: Biaya Pegawai dan DPRD
3. Mendapatkan jumlah tunggakan utang pemerintah daerah.
Akhirnya, terdapat dua jenis batas maksimum: (1) batas pinjaman yang berkaitan dengan tunggakan utang, apabila pemerintah daerah tidak diperbolehkan mencari pinjaman karena masih memiliki tunggakan, dan (2) batas pinjaman yang tidak berkaitan dengan tunggakan utang, yang diperoleh dari jumlah minimum antara poin 1 dan poin 2 di atas.
C.4 Estimasi Pembiayaan Rekonstruksi Estimasi pembiayaan untuk rekonstruksi dibuat berdasarkan dua parameter utama:
1. Kebutuhan
Seluruh kebutuhan untuk rekonstruksi didasarkan pada Penilaian Kerusakan dan Kerugian yang dilakukan pada bulan Januari 2005 dan disesuaikan setelah terjadinya gempa bumi di Nias dan perkiraan infl asi. Untuk Nias, perkiraan kebutuhan dilakukan secara terpisah dengan menggunakan data dari penilaian kerusakan yang dilakukan InterNasional Organization for Migration (IOM) dan BRR setelah terjadinya gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005 dan mengaplikasikan Metodologi Kerusakan dan Kerugian untuk Aceh.
Kebutuhan minimum inti meupakan bagian dari Penilaian Kerusakan dan Kerugian serta Rencana Induk. Kebutuhan-kebutuhan inti didefi nisikan sebagai (1) penggantian secara penuh atas semua kerusakan sektor publik (sesuai dengan penilaian kerusakan dan kerugian); (2) pembiayaan kebutuhan sektor swasta seperti perumahan, pertanian, dan perikanan sampai dengan batasan yang ditentukan dalam Rencana Induk; (3) pembiayaan parsial untuk kerusakan lingkungan, yang hanya dapat diatasi sampai dengan tingkat yang sangat terbatas oleh upaya-upaya pihak luar, dan (4) penyesuaian infl asi dengan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan harga terakhir.
Kebutuhan minimum inti merupakan dasar untuk pelaksanaan analisis sektoral yang menunjukkan kesenjangan sektoral dana yang tersedia dan kebutuhan sektoral.
2 Dana pembiayaan Angka-angka keuangan didasarkan pada pelaksanaan dan difokuskan pada lembaga-lembaga pelaksana. Pembiayaan dikategorikan berdasarkan sektor-sektor dalam Penilaian Kerusakan dan Kerugian: sektor sosial, prasarana dan perumahan, sektor-sektor produktif, dan lintas sektoral, yang masing-masingnya terdiri atas beberapa sub-sektor.
Angka-angka pembiayaan mencakup kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung serta proyek-proyek yang telah disetujui yang mencakup daerah-daerah yang terkena dampak tsunami maupun tidak.
Dana tersebut terdiri atas komitmen, alokasi, dan pencairan dana. Yang dimaksud dengan komitmen adalah dana yang telah dijanjikan oleh para donor, LSM, dan Pemerintah Indonesia. Alokasi dana adalah dana yang telah dialokasikan untuk proyek-proyek tertentu. Sementara pencairan dana adalah dana yang
APENDIKS 121
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
telah dikeluarkan untuk berbagai proyek (pencairan dana oleh donor), belanja aktual adalah belanja yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan proyek (belanja Pemerintah Indonesia) dan dana-dana yang telah dikeluarkan untuk proyek-proyek secara langsung atau telah ditransfer ke lembaga-lembaga pelaksana (pencairan dana oleh LSM).
C.5 Dampak Tsunami pada PDB di Tingkat Kabupaten
Perkiraan dampak pada PDB di tingkat kabupaten dibuat dengan langkah-langkah sebagai berikut72 :
Membuat estimasi nilai kerusakan di tingkat kabupaten. Karena estimasi kerusakan hanya mencakup kerusakan pada sektor-sektor non-produktif, para penyusun terlebih dahulu menggunakan penilaian Kerusakan dan Kerugian agregat untuk memperkirakan rasio kerusakan pada sektor-sektor produktif (termasuk 50 persen kerusakan pada infrastruktur) terhadap kerusakan pada sektor-sektor non-produktif. Mereka kemudian menggunakan perkiraan rasio tersebut (25 persen) untuk mendapatkan nilai moneter dari kerusakan pada sektor-sektor produktif, per kabupaten. Penilaian Kerusakan dan Kerugian agregat untuk sektor-sektor produktif menunjukkan bahwa kerusakan (termasuk 50 persen dari kerusakan infrastruktur) adalah sebesar AS$670 juta (352 + 318), dan kerugian (selama 4 tahun) adalah sebesar AS$952 juta (termasuk 50 persen dari kerugian infrastruktur). Dengan memperkirakan bahwa 40 persen dari kerugian akan ditanggung selama tahun pertama, angka-angka tersebut menunjukkan bahwa setiap $1 dari kerusakan (konsep stock) akan berubah menjadi $0,57 kerugian (konsep fl ow) selama tahun pertama setelah terjadinya bencana. Dengan mengaplikasikan rasio tersebut pada estimasi-estimasi yang telah diperoleh sebelumnya tentang kerusakan sektor produktif per kabupaten, para penyusun mendapatkan estimasi kerugian sektor produktif per kabupaten, yang kemudian dibandingkan dengan besaran PDB tahun 2004 per kabupaten.
C.6 Data Kemiskinan
Data estimasi kemiskinan dari tahun 1992 sampai dengan 2004 berasal dari BPS. Simulasi dilakukan untuk memperkirakan dampak tsunami pada tingkat kemiskinan di Aceh. Perkiraan tersebut tidak memperhitungkan efek-efek penurunan yang ditimbulkan oleh program-program mata pencaharian dan kesejahteraan pasca tsunami.
Elastisitas kemiskinan untuk tahun 2004 yang berkaitan dengan pertumbuhan digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiskinan pada tahun 2005. Estimasi kerusakan akibat tsunami digunakan untuk memperkirakan kerugian sebagai suatu persentase dari PDB per kabupaten/kota. Elastisitas kemiskinan diperoleh dengan menggunakan analisis penurunan antara estimasi kerugian PDB dan angka kemiskinan. Elastisitas tersebut dan persentase perubahan PDB tahun 2004 digunakan untuk memperkirakan angka kemiskinan pasca tsunami berdasarkan angka kemiskinan tahun 2004.
C.7 Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (Governance and Decentralization Survey - GDS)
Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (GDS) 2, setelah pelaksanaan GDS 1+ pada tahun 2002, adalah survei yang dilaksanakan di 132 kabupaten/kota dan 31 provinsi di Indonesia antara bulan Mei sampai dengan Agustus 2006. Survei tersebut berupaya untuk memberikan masukan untuk pengukuran tingkat penyediaan layanan publik pasca desentralisasi dan kecenderungan-kecenderungan pada beberapa sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar, layanan administratif, dan kepolisian. Selain itu, survei tersebut bertujuan untuk melihat hubungan-hubungan insentif lokal yang berlaku serta pembiayaan sarana kesehatan dan pendidikan yang
72 Metodologi ini diambil dari laporan “Aceh dan Nias atu Tahun setelah Tsunami: Upaya Pemulihan dan Langkah Ke Depan,” BRR dan Mitra Internasional, 2005.
••
•
•
APENDIKS 122
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
mengatur penyediaan layanan-layanan tersebut.
Sembilan puluh kabupaten dan kota dipilih secara acak di seluruh Indonesia. Data dari 5 kabupaten/kota di Aceh (Aceh Barat, Aceh Besar, Aceh Singkil, Banda Aceh, dan Simeulue) digunakan dalam laporan ini. Pengalaman masyarakat tentang pemberian layanan dan pemerintahan dikaitkan dengan perspektif dari para pejabat pemda, sarana kesehatan dan pendidikan, serta para pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Sampelnya mencakup 298 KK responden dari 60 dusun dengan menggunakan sampel acak berdasarkan Probability Proportional to Size (PPS), dan responden dari 30 SD, 15 SMP, dan 14 puskesmas.
C.8 Kerangka Kerja PFM: Bidang-bidang Strategis, Keluaran, dan Indikator
Kerangka Kerja PFM dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri untuk menilai kemampuan manajemen keuangan pemerintah daerah. Kerangka kerja tersebut dibagi menjadi sembilan bidang strategis yang penting untuk manajemen keuangan publik yang efektif oleh pemerintah kabupaten/kota: (1) Kerangka Hukum, (2) Perencanaan dan Penganggaran, (3) Manajemen Kas, (4) Pengadaan, (5) Akunting dan Pelaporan, (6) Audit Internal, (7) Utang dan Investasi, (8) Manajemen Aset, dan (9) Audit Eksternal dan Pengawasan.
Masing-masing bidang strategis dibagi menjadi 1 sampai 5 keluaran, dan daftar-daftar indikator dibuat untuk masing-masing keluaran. Keluaran-keluaran tersebut merupakan prestasi yang diharapkan dalam masing-masing bidang strategis tersebut, dan indikator-indikator tersebut digunakan untuk menilai bagaimana kinerja pemerintah kabupaten/kota dalam bidang tersebut. Harus dipahami bahwa praktik-praktik terbaik internasional belum digunakan sebagai dasar untuk keluaran-keluaran tersebut, karena, dalam praktiknya, kesenjangan antara praktik-praktik tersebut dan realitas yang ada saat ini terlalu lebar untuk mendapatkan hasil-hasil yang baik.
Para responden diminta untuk menjawab “ya” atau “tidak” untuk setiap pernyataan yang dinyatakan dalam setiap indikator. Jawaban positif dijumlahkan untuk setiap keluaran, dan skor dihitung sesuai dengan persentase jawaban “ya”. Beberapa bidang strategis memiliki indikator yang lebih banyak dari bidang strategis lainnya; oleh karena itu, bidang-bidang tersebut memiliki bobot yang lebih besar dalam hasil secara keseluruhan. Contohnya, perencanaan dan penanggaran memiliki 49 indikator, namun utang dan investasi pemerintah hanya memiliki 8 indikator. Bidang-bidang lain yang memiliki bobot yang besar antara lain adalah pengadaan (41 indikator) dan manajemen kas (31 indikator).
10%
21%
15%
21%
10%
7%
3%
9%4%
Kerangka hukum
Perencanaan dan anggaranManajemen Kas
Pengadaan
Akuntansi dan Laporan
Audit internal
Hutang dan Investasi PublikManajemen Aset
Audit dan pengawasan eksternal
Pembobotan bidang-bidang strategis berdasarkan jumlah indikator
Sumber: Penyusun.
APENDIKS 123
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Lokasi-lokasi survey
Kerangka kerja PFM di Aceh dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahapan pertama, yang dipimpin oleh LGSP-USAID, mencakup 5 kabupaten/kota di Aceh (Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Besar, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat, dan Kab. Nagan Raya) dan 2 kabupaten di Nias (Kab. Nias dan Kab. Nias Selatan). Semua lokasi survei di Aceh mengalami kerusakan yang sangat parah karena bencana tsunami yang terjadi di bulan Desember 2004; kedua kabupaten di Nias mengalami kerusakan yang sangat parah karena gempa bumi yang terjadi di bulan Maret 2005. Tahapan kedua, yang dilaksanakan oleh Bank Dunia, mencakup empat kabupaten/kota di Aceh (Kab. Pidie, Kab. Bireuen, Kab. Aceh Utara, dan Kab. Aceh Timur).
Para peneliti yang terlibat berasal dari universitas-universitas terkemuka dengan latar belakang yang kuat dalam bidang akuntansi dan keuangan daerah. Universitas Sumatera Utara mengirimkan peneliti untuk Nias; Universitas Hasanudin mengirimkan peneliti ke Aceh Barat dan Nagan Raya, Pidie, serta Bireuen; Universitas Andalas menangani Aceh Jaya, Aceh Utara, dan Aceh Timur; dan Institut TARI serta Universitas Syiah Kuala menangani Banda Aceh dan Aceh Besar.
Metodologi
Hasil-hasil yang diperoleh melalui wawancara dan diskusi grup fokus (FGD) dengan perwakilan pemerintah daerah di instansi-instansi terkait. Instansi-instansi tersebut antara lain adalah BAPPEDA, departemen keuangan; DPRD, dinas pendapatan daerah; kantor perbendaharaan negara setempat; instansi pekerjaan umum; dan lembaga pengawas setempat. Untuk memastikan keakuratan data, jawaban “ya” harus didukung dengan dokumentasi yang terkait dan/atau yang diperiksa secara silang kepada responden tambahan.
Hasil interpretasi
Sebuah skor diberikan untuk setiap bidang strategis dan lokasi survei, dan skor kerseluruhan diberikan kepada masing-masing lokasi survei. Untuk keperluan perbandingan dan evaluasi, skor-skor dari bidang-bidang strategis dapat diperingkatkan sesuai dengan kategori-kategori yang ditunjukkan di bawah ini.
Skor Keseluruhan (%)
80–100 Sempurna/sangat amat diterima
60–79 Sangat bagus/dapat diterima secara substansial
40–59 Diterima/cukup dapat diterima
20–39 Sedang/dapat diterima sebagian
0–19 Rendah/tidak dapat diterima
APENDIKS 124
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Apendiks D. Apendiks Statistik
Pendapatan
Tabel D1. Komposisi penerimaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh (harga konstan 2006)
Pendapatan
1999 2001 2002 2003 2004 2005
Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar %
PAD 185 7.6 194 3.0 306 3.5 349 3.4 502 4.8 331 3.6
DBH Pajak 252 10.4 404 6.2 333 3.8 399 3.9 561 5.4 399 4.4
DBH Non pajak (SDA)
26 1.1 1,453 22.4 3,413 39.2 2,618 25.9 4,034 38.7 3,681 40.5
SDO 877 36.2
INPRES 1,085 44.8
DAU 4,059 62.7 3,842 44.1 3,368 33.3 3,891 37.3 3,825 42.1
DAK 78 1.2 122 1.4 284 2.8 262 2.5 269 3.0
Lain-lain 0 0.0 288 4.5 697 8.0 3,104 30.7 1,184 11.3 576 6.3
Total 2,425 100 6,475 100 8,713 100 10,122 100 10,433 100 9,081 100
Tabel D2. Komposisi penerimaan pemerintah provinsi Aceh (harga konstan 2006)
Pendapatan 1999 2001 2002 2003 2004 2005
Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar %
PAD 78 13.1 95 9.9 160 6.1 168 5.4 305 8.8 163 4.8
DBH Pajak 49 8.2 77 8.0 72 2.8 81 2.6 77 2.2 56 1.7
DBH Non pajak (SDA) 18 3.0 324 33.7 2,078 79.5 1,045 33.7 2,808 80.9 2,808 83.2
SDO 98 16.5
INPRES 353 59.3
DAU 319 33.2 260 9.9 124 4.0 117 3.4 336 10.0
DAK 13 1.4 0 0.0 6 0.2 0 0.0 1 0.0
Lain-lain 0 0.0 133 13.8 44 1.7 1,679 54.1 166 4.8 12 0.3
Total 596 100 961 100 2,615 100 3,103 100 3,473 100 3,376 100
APENDIKS 125
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D3. Komposisi penerimaan pemerintah kabupaten/kota di Aceh (harga konstan 2006)
Pendapatan
1999 2001 2002 2003 2004 2005
Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar %
PAD 107 5.8 98 1.8 146 2.4 180 2.6 196 2.8 168 2.9
DBH Pajak 203 11.1 327 5.9 260 4.3 318 4.5 484 7.0 343 6.0
DBH Non pajak (SDA) 8 0.4 1,129 20.5 1,335 21.9 1,573 22.4 1,226 17.6 873 15.3
SDO 779 42.6
INPRES 732 40.0
DAU 3,740 67.8 3,583 58.7 3,244 46.2 3,774 54.2 3,489 61.2
DAK 65 1.2 122 2.0 279 4.0 262 3.8 268 4.7
Lain-lain 0 0.0 155 2.8 653 10.7 1,425 20.3 1,018 14.6 564 9.9
Total 1,829 100 5,515 100 6,098 100 7,019 100 6,960 100 5,705 100
APENDIKS 126
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D4.
Kom
posi
si p
ener
imaa
n pe
mer
inta
h pr
ovin
si d
an k
abup
aten
/kot
a di
Ace
h, 2
004
(per
kap
ita d
an %
dar
i pen
dapa
tan
tota
l)
No.
Kab/
kota
PAD
DBH
paj
akD
BH n
on p
ajak
DAU
DA
Kla
in-la
inTo
tal
Rp %
Rp %
Rp %
Rp %
Rp %
Rp %
Rp
1Pr
ov. A
ceh
48,5
278.
812
,185
2.2
446,
497
80.9
18,6
163.
4-
-26
,367
4.8
552,
193
2Ka
b. A
ceh
Bara
t34
,035
2.8
55,8
924.
619
4,92
016
724,
869
59.6
60,1
854.
914
7,22
512
.11,
217,
126
3Ka
b. A
ceh
Besa
r15
,940
1.6
26,9
942.
715
8,71
716
634,
284
64.1
23,4
832.
413
0,85
613
.299
0,27
4
4Ka
b. A
ceh
Sela
tan
19,6
941.
848
,105
4.3
184,
679
16.4
688,
720
61.3
45,7
424.
113
6,02
712
.11,
122,
967
5Ka
b. A
ceh
Sing
kil
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
720,
736
-53
,018
n.a
n.a
n.a
n.a
6Ka
b. A
ceh
Teng
ah
24,8
733
30,4
133.
755
,302
6.7
551,
340
66.4
29,0
483.
513
9,07
516
.883
0,05
1
7Ka
b. A
ceh
Teng
gara
25,9
422.
346
,506
4.1
188,
744
16.8
727,
638
64.6
50,4
434.
587
,474
7.8
1,12
6,74
7
8Ka
b. A
ceh
Tim
ur12
,268
1.4
87,5
6410
250,
864
28.5
461,
114
52.4
34,9
284
33,2
533.
887
9,99
2
9Ka
b. A
ceh
Uta
ra78
,029
585
,498
5.5
405,
642
26.2
410,
153
26.5
14,2
400.
955
3,62
735
.81,
547,
188
10Ka
b. B
ireue
n12
,097
1.6
61,7
458.
210
1,31
113
.545
7,86
660
.831
,287
4.2
88,2
0811
.775
2,51
3
11Ka
b. P
idie
11,5
211.
521
,610
2.8
104,
945
13.6
492,
703
63.7
23,7
753.
111
8,75
915
.477
3,31
3
12Ka
b. S
imeu
leu
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
1,26
0,24
2-
100,
351
n.a
n.a
n.a
n.a
13Ko
ta B
anda
Ace
h39
,618
4.1
51,9
325.
410
9,81
311
.361
4,20
863
.447
,894
4.9
104,
918
10.8
968,
383
14Ko
ta S
aban
g19
1,26
74
391,
211
8.2
902,
356
192,
817,
157
59.4
193,
057
4.1
246,
982
5.2
4,74
2,03
1
15Ko
ta L
angs
a17
,843
1.6
75,8
436.
812
2,64
511
640,
407
57.3
79,3
357.
118
1,16
716
.21,
117,
240
16Ko
ta L
hoks
eum
awe
67,8
875
286,
713
21.2
205,
981
15.3
688,
446
5168
,503
5.1
32,2
212.
41,
349,
751
17Ka
b. A
ceh
Bara
t Day
a24
,400
1.9
46,3
023.
730
5,06
324
.372
7,59
057
.949
,385
3.9
103,
830
8.3
1,25
6,56
9
18Ka
b. G
ayo
Lues
38,8
772.
154
,253
2.9
404,
766
21.8
1,25
7,28
167
.780
,657
4.3
22,5
111.
21,
858,
345
19Ka
b. A
ceh
Tam
iang
17,8
122.
210
3,31
712
.817
6,22
021
.940
2,11
550
79,5
579.
925
,362
3.2
804,
383
20Ka
b. N
agan
Ray
a20
,800
1.5
318,
980
23.7
00
879,
670
65.3
49,3
193.
778
,120
5.8
1,34
6,88
8
21Ka
b. A
ceh
Jaya
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
1,15
0,72
7 n
.a
68,7
85 n
.a
n.a
n
.a
n.a
22Ka
b. B
ener
Mer
iah
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
Ra
ta-r
ata
(kab
upat
en/
kota
)38
,406
2.6
105,
463
7.7
241,
998
17.4
815,
363
58.3
59,1
504.
413
1,15
410
.71,
334,
339
M
inin
um
(kab
upat
en/
kota
)11
,521
1.4
21,6
102.
755
,302
6.7
402,
115
26.5
14,2
400.
922
,511
1.2
752,
513
M
aksi
mum
(kab
upat
en/
kota
)19
1,26
75.
039
1,21
123
.790
2,35
628
.52,
817,
157
67.7
193,
057
9.9
553,
627
35.8
4,74
2,03
1
APENDIKS 127
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D5. Komposisi PAD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh, 2004 (per kapita dan % dari total PAD)
No Kabupaten/KotaPajak Daerah Retribusi
daerahLaba dari
BUMD PAD lainnya Total
Rp % Rp % Rp % Rp % Rp
1 Prov. Aceh 33,811 69.7 943 1.9 448 0.9 13,325 27.5 48,527
2 Kab. Aceh Barat 7,379 21.7 12,372 36.4 1,541 4.5 12,743 37.4 34,035
3 Kab. Aceh Besar 2,410 15.1 1,608 10.1 25 0.2 11,898 74.6 15,940
4 Kab. Aceh Selatan 3,478 17.7 5,028 25.5 1,920 9.7 9,268 47.1 19,694
5 Kab. Aceh Singkil n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
6 Kab. Aceh Tengah 3,644 14.7 15,559 62.6 278 1.1 5,392 21.7 24,873
7 Kab. Aceh Tenggara 4,377 16.9 9,481 36.5 0 0 12,085 46.6 25,942
8 Kab. Aceh Timur 838 6.8 8,433 68.7 58 0.5 2,938 23.9 12,268
9 Kab. Aceh Utara 5,735 7.3 1,906 2.4 2,111 2.7 68,277 87.5 78,029
10 Kab. Bireuen 4,177 34.5 2,712 22.4 630 5.2 4,579 37.8 12,097
11 Kab. Pidie 3,290 28.6 4,853 42.1 264 2.3 3,114 27 11,521
12 Kab. Simeuleu n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
13 Kota Banda Aceh 21,585 54.5 14,543 36.7 0 0 3,491 8.8 39,618
14 Kota Sabang 17,195 9 22,440 11.7 12,285 6.4 139,342 72.9 191,267
15 Kota Langsa 10,854 60.8 4,259 23.9 0 0 2,730 15.3 17,843
16 Kota Lhokseumawe 48,400 71.3 2,443 3.6 0 0 17,044 25.1 67,887
17 Kab. Aceh Barat Daya 4,221 17.3 1,117 4.6 4 0 19,058 78.1 24,400
18 Kab. Gayo Lues 8,620 22.2 21,794 56.1 8,426 21.7 37 0.1 38,877
19 Kab. Aceh Tamiang 4,269 24 4,963 27.9 0 0 8,580 48.2 17,812
20 Kab. Nagan Raya 4,995 24 1,013 4.9 0 0 14,792 71.1 20,800
21 Kab. Aceh Jaya n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
22 Kab. Bener Meriah n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
Rata-rata (kabupaten/kota) 9,145 26.3 7,913 28.0 1,620 3.2 19,728 42.5 38,406
Mininum (kabupaten/kota) 838 6.8 1,013 2.4 0 0.0 37 0.1 11,521
Maksimum (kabupaten/kota) 48,400 71.3 22,440 68.7 12,285 21.7 139,342 87.5 191,261
APENDIKS 128
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D6. Alokasi DAU per kabupaten/kota di Aceh (harga berlaku, Milyar Rupiah)
No Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Prov. Aceh 165.8 172.4 76.1 76.1 271.1 460.9
2 Kab. Aceh Barat 174.8 174.8 76.3 115.7 139.5 229.5
3 Kab. Aceh Besar 167.0 167.0 192.2 192.2 192.2 322.7
4 Kab. Aceh Selatan 137.1 137.5 114.3 126.3 145.7 244.9
5 Kab. Aceh Singkil 88.0 101.5 93.3 106.0 117.8 174.7
6 Kab. Aceh Tengah 146.1 146.1 149.7 158.7 120.3 239.2
7 Kab. Aceh Tenggara 130.6 130.6 89.1 117.3 149.2 215.4
8 Kab. Aceh Timur 220.5 180.1 139.0 143.9 159.0 244.4
9 Kab. Aceh Utara 245.6 199.9 149.1 199.9 199.9 199.9
10 Kab. Bireuen 138.9 138.9 154.0 159.1 183.7 308.1
11 Kab. Pidie 233.0 233.0 221.8 233.0 242.1 391.5
12 Kab. Simeuleu 87.3 87.3 79.7 90.0 105.4 149.3
13 Kota Banda Aceh 138.0 138.0 134.5 145.1 160.4 266.7
14 Kota Sabang 79.9 79.9 77.8 80.3 92.7 149.8
15 Kota Langsa 57.5 62.6 85.5 104.8 184.3
16 Kota Lhokseumawe 62.7 87.3 95.5 108.1 168.5
17 Kab. Aceh Jaya 41.9 77.7 100.0 157.4
18 Kab. Nagan Raya 64.9 94.9 116.3 189.4
19 Kab. Aceh Barat Daya 47.6 80.5 103.2 171.5
20 Kab. Gayo Lues 58.9 85.7 112.2 179.3
21 Kab. Aceh Tamiang 52.5 92.0 120.7 188.7
22 Kab. Bener Meriah 57.7 185.0
Total 2,152.4 2,207.1 2,162.4 2,555.5 3,101.9 5,020.9
APENDIKS 129
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D7. Alokasi DAK (non-reboisasi) per kabupaten/kota di Aceh (harga berlaku, Milyar Rp)
No Kabupaten/kota 2003 2004 2005 2006
1 Prov. Aceh - - - -
2 Kab. Aceh Barat 9.2 9.7 13.1 26.7
3 Kab. Aceh Besar 7.0 8.4 11.4 32.5
4 Kab. Aceh Selatan 10.9 8.5 14.5 27.8
5 Kab. Aceh Singkil 3.6 7.8 11.2 26.8
6 Kab. Aceh Tengah 12.5 8.4 11.8 25.8
7 Kab. Aceh Tenggara 10.2 8.5 11.7 24.4
8 Kab. Aceh Timur 8.4 10.9 16.0 37.8
9 Kab. Aceh Utara 4.4 6.9 11.6 37.9
10 Kab. Bireuen 4.8 10.9 10.5 38.5
11 Kab. Pidie 8.7 9.0 14.7 41.4
12 Kab. Simeuleu 10.2 7.2 11.2 26.8
13 Kota Banda Aceh 8.4 6.7 7.7 22.6
14 Kota Sabang 9.6 5.5 7.7 27.5
15 Kota Langsa 3.4 10.8 8.3 21.7
16 Kota Lhokseumawe 3.7 9.5 7.1 18.9
17 Kab. Aceh Jaya 8.6 5.5 11.6 25.3
18 Kab. Nagan Raya 8.8 5.5 11.7 25.8
19 Kab. Aceh Barat Daya 8.7 5.5 12.2 26.9
20 Kab. Gayo Lues 8.2 5.5 10.4 22.5
21 Kab. Aceh Tamiang 9.1 5.5 11.3 27.1
22 Kab. Bener Meriah 0.0 0.0 4.0 28.3
Total 158.5 156.1 229.6 592.8
APENDIKS 130
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D8. Alokasi dana otsus per kabupaten/kota di Aceh, 2005
No Kabupaten/kota Total (Rp milyar)
Persentase dari total alokasi
(%)Per kapita
1 Prov. Aceh 613.7 40.0 151,987.91
2 Kab. Aceh Barat 25.4 1.7 153,958.61
3 Kab. Aceh Besar 31.6 2.1 145,544.94
4 Kab. Aceh Selatan 29.9 2.0 157,092.35
5 Kab. Aceh Singkil 27.1 1.8 177,637.93
6 Kab. Aceh Tengah 29.4 1.9 153,334.39
7 Kab. Aceh Tenggara 30.0 2.0 176,239.76
8 Kab. Aceh Timur 50.7 3.3 163,801.53
9 Kab. Aceh Utara 362.9 23.7 748,871.68
10 Kab. Bireuen 31.5 2.1 89,488.19
11 Kab. Pidie 41.2 2.7 85,613.36
12 Kab. Simeuleu 21.2 1.4 294,186.02
13 Kota Banda Aceh 21.8 1.4 91,057.15
14 Kota Sabang 14.7 1.0 506,384.32
15 Kota Langsa 18.7 1.2 139,011.75
16 Kota Lhokseumawe 19.4 1.3 138,495.34
17 Kab. Aceh Barat Daya 21.2 1.4 188,656.52
18 Kab. Gayo Lues 30.2 2.0 438,895.34
19 Kab. Aceh Tamiang 38.2 2.5 167,625.11
20 Kab. Nagan Raya 27.7 1.8 245,414.37
21 Kab. Aceh Jaya 26.2 1.7 316,241.08
22 Kab. Bener Meriah 21.4 1.4 208,970.66
Total 1,534.3 100.0 379,970.03
APENDIKS 131
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D9. Penerimaan pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota di seluruh provinsi, 2004 (per kapita dan % dari total penerimaan)
No. ProvinsiPAD DBH Pajak DBH Non-pajak DAU DAK lain-lain Total
Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Rp
1 Aceh 86,549 4.9 107,759 6.1 483,166 27.2 642,198 36.1 45,715 2.6 413,599 23.2 1,778,986
2Sumatra Utara
145,001 20.8 77,819 11.2 2,834 0.4 393,023 56.5 15,085 2.2 61,710 8.9 695,470
3Sumatra Barat
136,874 15.4 62,431 7.0 5,676 0.6 604,964 67.9 29,897 3.4 50,746 5.7 890,588
4 Riau 204,576 12.0 322,471 18.9 710,567 41.6 383,356 22.5 3,238 0.2 83,209 4.9 1,707,417
5 Jambi 166,317 15.1 188,398 17.1 52,882 4.8 608,092 55.1 32,924 3.0 54,704 5.0 1,103,317
6Sumatra Selatan
100,942 13.5 104,962 14.1 151,793 20.4 336,155 45.1 9,486 1.3 42,220 5.7 745,557
7 Bengkulu 93,261 10.5 60,230 6.8 2,057 0.2 648,438 73.3 32,155 3.6 47,926 5.4 884,067
8 Lampung 75,442 13.5 45,582 8.2 28,265 5.1 369,281 66.1 13,088 2.3 27,303 4.9 558,960
9 D K I Jakarta 734,914 55.7 468,471 35.5 10,254 0.8 105,974 8.0 0 0.0 0 0.0 1,319,613
10 Jawa Barat 114,608 25.3 64,217 14.2 12,774 2.8 225,048 49.6 3,415 0.8 33,485 7.4 453,546
11 Jawa Tengah 96,379 19.6 36,304 7.4 1,204 0.2 301,870 61.3 15,118 3.1 41,487 8.4 492,362
12 Yogyakarta 173,029 22.2 48,866 6.3 626 0.1 483,380 62.1 14,161 1.8 58,671 7.5 778,734
13 Jawa Timur 122,103 23.8 49,982 9.8 1,116 0.2 286,731 56.0 7,182 1.4 45,035 8.8 512,148
14Kalimantan Barat
99,908 12.5 64,387 8.0 6,694 0.8 565,040 70.4 28,077 3.5 38,052 4.7 802,158
15Kalimantan Tengah
135,680 8.6 170,960 10.8 55,879 3.5 1,099,225 69.5 68,860 4.4 50,171 3.2 1,580,776
16Kalimantan Selatan
168,376 16.9 105,761 10.6 57,821 5.8 569,181 57.1 31,467 3.2 64,113 6.4 996,718
17Kalimantan Timur
427,553 13.8 961,871 31.1 929,190 30.0 610,365 19.7 17,070 0.6 151,458 4.9 3,097,507
18Sulawesi Utara
118,171 13.0 64,947 7.1 2,808 0.3 615,764 67.8 34,971 3.8 72,028 7.9 908,689
19Sulawesi Tengah
86,512 8.2 78,031 7.4 5,529 0.5 793,850 75.5 39,819 3.8 48,342 4.6 1,052,083
20Sulawesi Selatan
114,872 13.9 78,705 9.5 4,690 0.6 549,653 66.4 31,027 3.7 49,168 5.9 828,115
21Sulawesi Tenggara
87,964 9.3 67,071 7.1 7,516 0.8 683,761 72.2 45,583 4.8 54,716 5.8 946,611
22 Bali 336,746 32.5 70,267 6.8 1,370 0.1 516,754 49.9 21,202 2.0 88,887 8.6 1,035,227
23Nusa Tenggara Barat
71,988 11.4 37,293 5.9 39,555 6.3 424,152 67.2 21,763 3.4 36,708 5.8 631,459
24Nusa Tenggara Timur
80,868 8.7 51,390 5.5 1,553 0.2 715,162 76.9 34,399 3.7 46,629 5.0 930,002
25 Maluku 121,420 8.8 105,688 7.7 16,312 1.2 1,029,428 74.5 52,631 3.8 55,707 4.0 1,381,185
26 Papua 185,034 5.3 307,043 8.9 48,901 1.4 1,818,923 52.5 189,410 5.5 916,479 26.4 3,465,790
27Maluku Utara
55,832 4.0 141,752 10.2 80,664 5.8 957,822 68.9 87,149 6.3 67,188 4.8 1,390,407
28 Banten 139,777 29.1 110,537 23.0 416 0.1 197,225 41.0 4,045 0.8 29,089 6.0 481,090
29Bangka Belitung
212,176 18.1 97,082 8.3 87,272 7.4 634,647 54.0 43,472 3.7 100,183 8.5 1,174,831
30 Gorontalo 103,448 8.4 62,964 5.1 8,085 0.7 929,284 75.3 66,589 5.4 63,874 5.2 1,234,244
Nasional 149,994 19.4 102,534 13.3 53,035 6.9 388,104 50.2 17,046 2.2 61,829 8.0 772,542
Minimum 55,832 4.0 36,304 5.1 416 0.1 105,974 8.0 0 0.0 0 0.0 453,546
Maksimum 734,914 55.7 961,871 35.5 929,190 41.6 1,818,923 76.9 189,410 6.3 916,479 26.4 3,465,790
APENDIKS 132
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D10. Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi dan kabupaten/kota, 2004 (per kapita dan % dari total PAD)
No ProvinsiPajak Daerah Retribusi
DaerahLaba dari
BUMD PAD lainnya Total
Rp % Rp % Rp % Rp % Rp
1 Aceh 43,459 50.2 5,680 6.6 1,166 1.3 36,244 41.9 86,549
2 Sumatra Utara 116,487 80.3 18,959 13.1 1,629 1.1 7,926 5.5 145,001
3 Sumatra Barat 88,113 64.4 16,487 12.0 12,103 8.8 20,171 14.7 136,874
4 Riau 140,782 70.9 19,256 9.7 8,599 4.3 30,024 15.1 198,661
5 Jambi 105,610 71.0 22,588 15.2 4,009 2.7 16,597 11.2 148,804
6 Sumatra Selatan 71,500 70.8 9,838 9.7 2,754 2.7 16,850 16.7 100,942
7 Bengkulu 61,594 71.5 15,227 17.7 2,339 2.7 7,041 8.2 86,201
8 Lampung 56,831 75.3 10,753 14.3 1,631 2.2 6,227 8.3 75,442
9 D K I Jakarta 628,334 85.5 48,351 6.6 11,664 1.6 46,565 6.3 734,914
10 Jawa Barat 85,664 74.7 16,297 14.2 3,073 2.7 9,574 8.4 114,608
11 Jawa Tengah 61,486 63.8 23,295 24.2 1,278 1.3 10,319 10.7 96,379
12 Yogyakarta 121,314 70.1 29,314 16.9 9,079 5.2 13,323 7.7 173,029
13 Jawa Timur 87,630 74.0 19,592 16.5 2,612 2.2 8,660 7.3 118,494
14 Kalimantan Barat 75,548 75.6 11,343 11.3 852 0.9 12,216 12.2 99,959
15 Kalimantan Tengah 7,268 13.8 19,166 36.4 1,071 2.0 25,203 47.8 52,708
16 Kalimantan Selatan 121,600 72.2 14,286 8.5 6,000 3.6 26,490 15.7 168,376
17 Kalimantan Timur 235,530 63.3 74,573 20.1 28,165 7.6 33,600 9.0 371,868
18 Sulawesi Utara 77,812 65.8 20,480 17.3 4,207 3.6 15,673 13.3 118,171
19 Sulawesi Tengah 49,051 79.7 5,630 9.1 163 0.3 6,694 10.9 61,537
20 Sulawesi Selatan 72,896 63.5 23,570 20.5 6,176 5.4 12,229 10.6 114,872
21 Sulawesi Tenggara 47,743 54.1 18,969 21.5 5,590 6.3 15,882 18.0 88,184
22 Bali 274,930 81.6 32,653 9.7 12,865 3.8 16,297 4.8 336,746
23 Nusa Tenggara Barat 41,756 58.0 12,992 18.0 5,303 7.4 11,937 16.6 71,988
24 Nusa Tenggara Timur 25,020 30.9 16,784 20.8 5,420 6.7 33,644 41.6 80,868
25 Maluku 54,388 44.8 16,748 13.8 893 0.7 49,390 40.7 121,420
26 Papua 63,620 37.3 21,289 12.5 12,699 7.4 72,847 42.7 170,455
27 Maluku Utara 28,848 51.9 9,794 17.6 0 0.0 16,973 30.5 55,615
28 Banten 115,569 82.7 17,402 12.4 1,272 0.9 5,534 4.0 139,777
29 Bangka Belitung 146,780 69.2 22,715 10.7 1,164 0.5 41,517 19.6 212,176
30 Gorontalo 44,439 43.0 33,081 32.0 5,246 5.1 20,682 20.0 103,448
Nasional 107,801 73.3 20,356 13.8 4,004 2.7 14,968 10.2 147,129
Minimum 7,268 13.8 5,630 6.6 0 0.0 5,534 4.0 52,708
Maksimum 628,334 85.5 74,573 36.4 28,165 8.8 72,847 47.8 734,914
APENDIKS 133
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
BELANJA
Tabel D11. Belanja pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat (dekonsentrasi) di Aceh (harga konstan, 2006)
Pengeluaran1999 2001 2002 2003 2004 2005
Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar % Rp milyar % Rp
milyar %
Kabupaten/Kota
Rutin 985 56.1 2,537 49.5 3,000 49.9 3,672 58.2 4,027 60.4 3,632 58.6
Pembangunan 771 43.9 2,590 50.5 3,016 50.1 2,637 41.8 2,644 39.6 2,566 41.4
Total 1,756 100.0 5,127 100.0 6,015 100.0 6,309 100.0 6,671 100.0 6,198 100.0
Provinsi
Rutin 229 39.3 407 48.0 469 20.2 400 25.1 405 24.9 353 26.0
Pembangunan 354 60.7 442 52.0 1,853 79.8 1,194 74.9 1,225 75.1 1,005 74.0
Total 583 100.0 849 100.0 2,322 100.0 1,594 100.0 1,630 100.0 1,358 100.0
Total daerah 2,339 42.4 5,976 75.7 8,337 84.6 7,903 78.8 8,301 83.8 7,556 80.1
Dana Dekonsentrasi 3,178 57.6 1,917 24.3 1,522 15.4 2,124 21.2 1,602 16.2 1,873 19.9
Total 5,517 100.0 7,893 100.0 9,859 100.0 10,027 100.0 9,902 100.0 9,430 100.0
APENDIKS 134
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D12. Belanja rutin dan pembangunan per kabupaten/kota di Aceh, 2004 (Rp milyar, per kapita, dan % dari total belanja)
No Kabupaten/kota
Rutin Pembangunan Total
Total (Rp
milyar)
Per kapita %
Total (Rp
milyar)Per kapita % Rp
milyar Per kapita
1 Prov. Aceh 263 64,416 24.9 796 194,760 75.1 1,060 259,176
2 Kab. Aceh Barat 117 722,378 59.4 80 492,854 40.6 197 1,215,233
3 Kab. Aceh Besar 177 583,125 66.0 91 300,281 34.0 268 883,406
4 Kab. Aceh Selatan 135 722,010 63.3 78 418,342 36.7 213 1,140,352
5 Kab. Aceh Singkil n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a
6 Kab. Aceh Tengah 187 648,933 61.5 117 405,418 38.5 303 1,054,351
7 Kab. Aceh Tenggara 103 609,773 56.2 80 474,436 43.8 182 1,084,209
8 Kab. Aceh Timur 202 648,596 77.3 60 190,824 22.7 262 839,419
9 Kab. Aceh Utara 299 613,303 40.7 435 891,983 59.3 734 1,505,286
10 Kab. Bireuen 176 503,010 65.4 93 266,355 34.6 269 769,365
11 Kab. Pidie 284 600,030 76.1 89 188,934 23.9 374 788,963
12 Kab. Simeuleu 63 876,469 47.2 70 979,685 52.8 133 1,856,155
13 Kota Banda Aceh 161 675,154 74.8 54 227,456 25.2 215 902,611
14 Kota Sabang 77 2,710,870 59.5 53 1,843,998 40.5 130 4,554,868
15 Kota Langsa 80 594,839 59.6 54 402,600 40.4 134 997,439
16 Kota Lhokseumawe 133 957,396 70.2 56 406,904 29.8 189 1,364,300
17 Kab. Aceh Barat Daya 71 633,224 54.8 58 522,295 45.2 129 1,155,519
18 Kab. Gayo Lues 69 1,011,914 51.5 65 953,448 48.5 134 1,965,363
19 Kab. Aceh Tamiang 98 428,137 60.0 65 285,813 40.0 163 713,950
20 Kab. Nagan Raya 83 748,658 55.9 66 591,736 44.1 149 1,340,394
21 Kab. Aceh Jaya n.a n.a n.a 0 n.a n.a n.a n.a
22 Kab. Bener Meriah n.a n.a n.a 0 n.a n.a n.a n.a
Rata-rata (kabupaten/kota) 140 793,768 61.1 83 546,853 38.9 232 1,340,621
Minimum (kabupaten/kota) 63 428,137 40.7 0 188,934 22.7 129 713,950
Maksimum (kabupaten/kota) 299 2,710,870 77.3 435 1,843,998 59.3 734 4,554,868
APENDIKS 135
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D13
. Bel
anja
Rut
in p
er k
lasi
fi kas
i eko
nom
i dan
kab
upat
en/k
ota
di A
ceh,
200
4 (p
er k
apita
dan
% d
ari t
otal
bel
anja
rutin
)
No
Kabu
pate
n/ko
taPe
gaw
aiBa
rang
Ope
rasi
dan
pe
mel
ihar
aan
Perj
alan
an
dina
sLa
in-la
inBi
aya
tak
terd
uga
Pens
iun
dan
bant
uan
Bant
uan
keua
ngan
Tota
l
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp
1Pr
ov. A
ceh
42,
648
66.2
1
3,39
7 20
.8
5,0
05
7.8
2,9
13
4.5
00.
0 4
52
0.7
0 0.
0 0
0.0
64,
416
2Ka
b. A
ceh
Bara
t 5
33,7
93
73.9
4
4,74
8 6.
2 14
,348
2.
0 9
,816
1.
4 0
0.0
9,0
14
1.2
0 0.
0 11
0,66
1 15
.3
722
,378
3Ka
b. A
ceh
Besa
r 4
58,6
54
78.7
2
9,28
6 5.
0 10
,567
1.
8 5
,230
0.
9 0
0.0
3,8
31
0.7
0 0.
0 7
5,55
6 13
.0
583
,125
4Ka
b. A
ceh
Sela
tan
457
,885
63
.4
85,
219
11.8
20
,445
2.
8 1
4,55
7 2.
0 0
0.0
5,3
50
0.7
0 0.
0 13
8,55
3 19
.2
722
,010
5Ka
b. A
ceh
Sing
kil
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n
.a
n.a
6Ka
b. A
ceh
Teng
ah
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n
.a
7Ka
b. A
ceh
Teng
gara
443
,941
72
.8
40,
306
6.6
164
0.
0 1
,168
0.
2 21
0.0
15,8
70
2.6
0 0.
0 10
8,30
3 17
.8
609
,773
8Ka
b. A
ceh
Tim
ur 4
16,0
37
64.1
7
3,21
0 11
.3
12,6
36
1.9
15,
046
2.3
00.
0 23
,712
3.
7 0
0.0
107,
955
16.6
6
48,5
96
9Ka
b. A
ceh
Uta
ra 4
59,3
34
74.9
5
4,98
4 9.
0 9
,099
1.
5 6
,528
1.
1 0
0.0
60,3
07
9.8
0 0.
0 2
3,05
1 3.
8 6
13,3
03
10Ka
b. B
ireue
n 4
18,7
90
83.3
4
4,93
2 8.
9 6
,064
1.
2 8
,035
1.
6 0
0.0
6,8
30
1.4
0 0.
0 1
8,35
9 3.
6 5
03,0
10
11Ka
b. P
idie
433
,365
72
.2
48,
473
8.1
7,9
77
1.3
2,5
19
0.4
00.
0 39
,056
6.
5 0
0.0
68,
639
11.4
6
00,0
30
12Ka
b. S
imeu
leu
628
,624
71
.7
116
,953
13
.3
20,2
65
2.3
44,
660
5.1
00.
0 0
0.0
0 0.
0 6
5,96
7 7.
5 8
76,4
69
13Ko
ta B
anda
Ace
h 5
67,8
15
84.1
8
5,81
1 12
.7
12,9
24
1.9
6,4
89
1.0
00.
0 0
0.0
0 0.
0 2
,116
0.
3 6
75,1
54
14Ko
ta S
aban
g 1
,551
,199
57
.2
602
,763
22
.2
96,1
68
3.5
103,
094
3.8
00.
0 5
,688
0.
2 0
0.0
351
,959
13
.0
2,71
0,87
0
15Ko
ta L
angs
a 3
86,7
63
65.0
7
6,21
3 12
.8
10,2
65
1.7
19,
309
3.2
00.
0 15
,894
2.
7 0
0.0
86,
395
14.5
5
94,8
39
16Ko
ta L
oksu
maw
e 4
90,4
52
51.2
1
43,6
44
15.0
18
,645
1.
9 1
7,86
6 1.
9 0
0.0
34,9
27
3.6
0 0.
0 2
51,8
60
26.3
9
57,3
96
17Ka
b. A
ceh
Bara
t Day
a 4
05,6
71
64.1
5
2,80
5 8.
3 8
,021
1.
3 1
2,64
9 2.
0 0
0.0
14,8
15
2.3
0 0.
0 1
39,2
64
22.0
6
33,2
24
18Ka
b. G
ayo
Lues
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
19Ka
b. A
ceh
Tam
iang
258
,128
60
.3
75,
077
17.5
6
,116
1.
4 1
1,60
2 2.
7 0
0.0
27,2
26
6.4
0 0.
0 4
9,98
8 11
.7
428
,137
20Ka
b. N
agan
Ray
a 4
23,6
92
56.6
5
7,35
6 7.
7 11
,589
1.
5 1
5,43
0 2.
1 0
0.0
6,7
25
0.9
0 0.
0 23
3,86
7 31
.2
748
,658
21Ka
b. A
ceh
Jaya
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.
a
22Ka
b. B
ener
Mer
iah
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n.a
n.
a n
.a
n.a
n
.a
Ra
ta-r
ata
(Kab
/kot
a)52
0,88
468
.310
1,98
611
.016
,581
1.8
18,3
752.
01
0.0
16,8
282.
70
0.0
114,
531
14.2
789,
186
M
inin
um (K
ab/k
ota)
258,
128
51.2
29,2
865.
016
40.
01,
168
0.2
00.
00
0.0
00.
02,
116
0.3
428,
137
M
aksi
mum
(Kab
/kot
a)1,
551,
199
84.1
602,
763
22.2
96,1
683.
510
3,09
45.
121
0.0
60,3
079.
80
0.0
351,
959
31.2
2,71
0,87
0
APENDIKS 136
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tab
el D
14. B
elan
ja P
emba
ngun
an p
er s
ekto
r dan
kab
upat
en/k
ota
di A
ceh,
200
4 (p
er ka
pita
dan
% d
ari b
elan
ja p
emba
ngun
an)
No
Kabu
pate
n/ko
ta
App
arat
ur
Pem
erin
tah
Pert
ania
n da
n Ke
huta
nan
Pert
amba
-ng
an
dan
Ener
gi
Perd
agan
gan
dan
Peng
emba
ngan
U
saha
Kete
naga
-ke
rjaa
n
Kese
hata
n da
n Ke
seja
hter
aan
Sosi
al
Pend
idik
an d
an
Kebu
daya
an
Ling
kung
an
dan
Tata
Ru
ang
Pem
bang
unan
D
aera
h da
n Pe
rum
ahan
Tran
spor
tasi
, Air
da
n Ir
igas
i
Kepe
ndud
u-ka
n da
n Ke
luar
ga
Bere
ncan
a
Tele
kom
u-ni
kasi
dan
Pa
riw
isat
aTo
tal
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp
1Pr
ov. A
ceh
68
,379
35
.1
11,
641
6.0
1,4
88
0.8
2,
814
1.4
1,
381
0.7
8
,733
4.
5
60,5
53
31.1
1,02
6 0.
5
- 0.
0
37,0
97
19.0
1,19
0 0.
6
459
0.
2
194
,760
2Ka
b. A
ceh
Bara
t
157,
831
32.0
1
6,74
4 3.
4 3
,959
0.
8
1,57
5 0.
3 3
5,16
8 7.
1
34,5
88
7.0
104
,039
21
.1
9,
266
1.9
-
0.0
129
,684
26
.3
- 0.
0
-
0.0
4
92,8
54
3Ka
b. A
ceh
Besa
r
41,2
78
13.7
1
4,71
3 4.
9 2
,741
0.
9
3,97
8 1.
3
-
0.0
20
,720
6.
9
87,6
01
29.2
439
0.
1 0.
0 1
26,4
12
42.1
1,08
2 0.
4
1,31
6 0.
4
300
,281
4Ka
b. A
ceh
Sela
tan
12
9,92
3 31
.1
25,
279
6.0
0.0
22,
258
5.3
1,
738
0.4
22
,268
5.
3 1
38,7
90
33.2
2,42
6 0.
6
8
03
0.2
74
,857
17
.9
- 0.
0 0.
0
418
,342
5Ka
b. A
ceh
Sing
kil
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
6Ka
b. A
ceh
Teng
ah
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
7Ka
b. A
ceh
Teng
gara
14
7,71
2 31
.1
17,
867
3.8
- 0.
0
5,79
7 1.
2
-
0.0
23
,413
4.
9 1
35,9
33
28.7
7,63
4 1.
6
- 0.
0 1
26,3
38
26.6
6,54
2 1.
4
3,20
1 0.
7
474
,436
8Ka
b. A
ceh
Tim
ur
101,
459
53.2
6,70
5 3.
5
-
0.0
2
85
0.1
3,
711
1.9
26
,014
13
.6
10
,195
5.
3
6,80
0 3.
6
- 0.
0
34,4
54
18.1
-
0.0
1,
201
0.6
1
90,8
24
9Ka
b. A
ceh
Uta
ra
362,
980
40.7
3
8,55
7 4.
3 5
,104
0.
6
4,33
8 0.
5
1,98
1 0.
2
98,2
76
11.0
1
01,5
44
11.4
4,78
6 0.
5 2
51,7
30
28.2
6,7
75
0.8
12,
205
1.4
3,
707
0.4
8
91,9
83
10Ka
b. B
ireue
n
67,4
65
25.3
2
4,72
6 9.
3
-
0.0
3,
050
1.1
1,
630
0.6
26
,508
10
.0
70
,627
26
.5
- 0.
0
- 0.
0
72,3
49
27.2
-
0.0
- 0.
0
266
,355
11Ka
b. P
idie
64
,778
34
.3
18,
940
10.0
-
0.0
1,
978
1.0
- 0.
0
10,6
66
5.6
64
,234
34
.0
6
08
0.3
23
,345
12
.4
3
,252
1.
7
1,13
2 0.
6
-
0.0
1
88,9
34
12Ka
b. S
imeu
leu
37
0,39
4 37
.8
27,
789
2.8
- 0.
0
5,06
5 0.
5
-
0.0
177
,956
18
.2
170
,216
17
.4
6,
127
0.6
-
0.0
217
,023
22
.2
1,
959
0.2
3,
156
0.3
9
79,6
85
13Ko
ta B
anda
Ace
h
89,2
63
39.2
5,35
2 2.
4
-
0.0
4,
081
1.8
1,
250
0.5
14
,532
6.
4
57,5
93
25.3
6,16
0 2.
7
6
21
0.3
46
,606
20
.5
- 0.
0
1,99
8 0.
9
227
,456
14Ko
ta S
aban
g
830,
359
45.0
7
9,24
6 4.
3
-
0.0
19,
896
1.1
50,
982
2.8
179
,661
9.
7 2
50,3
87
13.6
4
3,31
2 2.
3
- 0.
0 3
54,1
95
19.2
-
0.0
35
,960
2.
0 1
,843
,998
15Ko
ta L
angs
a
205,
607
51.1
2
4,04
2 6.
0
-
0.0
1,
014
0.3
7
15
0.2
1
,328
0.
3
84,0
56
20.9
-
0.0
-
0.0
85
,838
21
.3
- 0.
0
-
0.0
4
02,6
00
16Ko
ta L
hoks
eum
awe
18
9,81
2 46
.6
- 0.
0
-
0.0
1,
794
0.4
- 0.
0
36,5
60
9.0
39
,420
9.
7 3
9,45
5 9.
7
- 0.
0
97,7
97
24.0
2,06
6 0.
5
-
0.0
4
06,9
04
17Ka
b. A
ceh
Bara
t D
aya
18
3,92
5 35
.2
28,
239
5.4
- 0.
0 1
4,25
1 2.
7
-
0.0
41
,619
8.
0 1
29,2
30
24.7
1
0,93
9 2.
1
- 0.
0 1
06,7
03
20.4
-
0.0
7,
389
1.4
5
22,2
95
18Ka
b. G
ayo
Lues
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
19Ka
b. A
ceh
Tam
iang
80
,676
28
.2
19,
977
7.0
- 0.
0
767
0.
3
829
0.
3
28,2
13
9.9
68
,017
23
.8
- 0.
0
- 0.
0
85,5
98
29.9
1,73
8 0.
6
-
0.0
2
85,8
13
20Ka
b. N
agan
Ray
a n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.a
21Ka
b. A
ceh
Jaya
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
22Ka
b. B
ener
Mer
iah
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n
.a
n.a
n.
a n
.a
Ra
ta-r
ata
(kab
/kot
a)20
1,56
436
.323
,212
4.9
843
0.2
6,00
81.
26,
534
0.9
49,4
888.
410
0,79
221
.69,
197
1.7
19,7
502.
710
4,52
521
.21,
782
0.3
4,13
80.
452
6,18
4
Min
imum
(kab
/ko
ta)
41,2
7813
.70
0.0
00.
028
50.
10
0.0
1,32
80.
310
,195
5.3
00.
00
0.0
3,25
20.
80
0.0
00.
018
8,93
4
M
aksi
mum
(k
ab/k
ota)
830,
359
53.2
79,2
4610
.05,
104
0.9
22,2
585.
350
,982
7.1
179,
661
18.2
250,
387
34.0
43,3
129.
725
1,73
028
.235
4,19
542
.112
,205
1.4
35,9
602.
01,
843,
998
APENDIKS 137
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D15
. Bel
anja
Pen
didi
kan,
Kes
ehat
an d
an In
fras
truk
tur p
er b
elan
ja ru
tin &
pem
bang
unan
dan
kab
upat
en/k
ota
di A
ceh,
200
4 (p
er ka
pita
, % d
ari t
otal
sekt
or, d
an %
sekt
or d
ari t
otal
bel
anja
)
No
Kabu
pate
n/Ko
ta
Pend
idik
anKe
seha
tan
Infr
astr
uktu
r
Tota
l Bel
anja
Rutin
Pem
bang
unan
Tota
l Pen
-di
dika
n
% P
en-
didi
kan
terh
adap
To
tal
Bela
nja
Rutin
Pem
bang
unan
Tota
l Ke
se-
hata
n
% K
ese-
hata
n te
rhad
ap
Tota
l Be
lanj
a
Rutin
Pem
bang
unan
Tota
l In
fras
truk
tur
%
Infr
astr
uktu
r te
rhad
ap
Tota
l Bel
anja
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp
1Pr
ov. A
ceh
5,42
8 8.
657
,472
91
.462
,900
24
.310
,170
59
.96,
817
40.1
16,9
87
6.6
6,20
7 14
.137
,662
85
.943
,870
16
.9
2
59,1
76
2Ka
b. A
ceh
Bara
t28
3,15
1 73
.110
4,03
9 26
.938
7,19
0 31
.971
,697
67
.534
,588
32.5
106,
285
8.7
23,3
70
15.1
131,
188
84.9
154,
559
12.7
1
,215
,233
3Ka
b. A
ceh
Besa
r31
0,68
0 78
.485
,613
21
.639
6,29
3 44
.942
,601
68
.719
,430
31.3
62,0
32
7.0
10,0
51
7.3
127,
454
92.7
137,
505
15.6
883
,406
4Ka
b. A
ceh
Sela
tan
296,
196
68.1
138,
790
31.9
434,
986
38.1
44,2
89
69.0
19,8
5831
.064
,148
5.
613
,023
14
.775
,659
85
.388
,683
7.
8
1,1
40,3
52
5Ka
b. A
ceh
Sing
kil
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
6Ka
b. A
ceh
Teng
ah
315,
708
63.5
18
1,25
9 36
.5
496,
968
47.1
39
,460
61
.7
24,4
56
38.3
63
,916
6.
1 7,
405
5.2
136,
156
94.8
14
3,56
1 13
.6
1,05
4,35
1
7Ka
b. A
ceh
Teng
gara
264,
814
66.1
135,
933
33.9
400,
747
37.0
48,0
38
68.4
22,1
9031
.670
,228
6.
514
,721
10
.412
6,33
8 89
.614
1,06
0 13
.0
1,0
84,2
09
8Ka
b. A
ceh
Tim
ur18
1,36
7 94
.710
,195
5.
319
1,56
1 22
.872
,370
73
.626
,014
26.4
98,3
84
11.7
14,1
82
29.2
34,4
54
70.8
48,6
36
5.8
839
,419
9Ka
b. A
ceh
Uta
ra24
3,15
3 70
.510
1,54
4 29
.534
4,69
7 22
.949
,494
72
.418
,825
27.6
68,3
18
4.5
12,4
22
4.6
260,
444
95.4
272,
866
18.1
1
,505
,286
10Ka
b. B
ireue
n31
6,89
6 81
.870
,627
18
.238
7,52
3 50
.435
,097
73
.112
,902
26.9
47,9
99
6.2
11,2
62
13.5
72,3
49
86.5
83,6
11
10.9
769
,365
11Ka
b. P
idie
285,
773
81.8
63,6
13
18.2
349,
387
44.3
46,0
44
84.1
8,71
615
.954
,760
6.
912
,072
31
.226
,597
68
.838
,670
4.
9
7
88,9
63
12Ka
b. S
imeu
leu
34,8
62
17.0
170,
216
83.0
205,
078
11.0
30,5
63
24.8
92,8
8975
.212
3,45
2 6.
711
,853
5.
221
7,02
3 94
.822
8,87
6 12
.3
1,8
56,1
55
13Ko
ta B
anda
Ace
h38
1,72
2 86
.957
,593
13
.143
9,31
6 48
.735
,583
71
.014
,532
29.0
50,1
15
5.6
25,2
94
34.9
47,2
27
65.1
72,5
21
8.0
902
,611
14Ko
ta S
aban
g52
2,06
4 67
.625
0,14
1 32
.477
2,20
5 17
.022
9,20
6 65
.512
0,88
434
.535
0,09
1 7.
794
,367
21
.035
4,19
5 79
.044
8,56
2 9.
8
4,5
54,8
68
15Ko
ta L
angs
a28
3,22
2 77
.184
,056
22
.936
7,27
8 36
.88,
047
85.8
1,32
814
.29,
374
0.9
16,8
87
16.4
85,8
38
83.6
102,
725
10.3
997
,439
16Ko
ta L
hoks
eum
awe
402,
383
91.1
39,4
20
8.9
441,
803
32.4
47,9
75
56.8
36,5
6043
.284
,535
6.
221
,521
18
.097
,797
82
.011
9,31
8 8.
7
1,3
64,3
00
17Ka
b. A
ceh
Bara
t Day
a25
3,80
7 66
.312
9,23
0 33
.738
3,03
7 33
.128
,089
44
.235
,440
55.8
63,5
29
5.5
9,38
2 8.
110
6,70
3 91
.911
6,08
5 10
.0
1,1
55,5
19
18Ka
b. G
ayo
Lues
509,
706
78.0
143,
364
22.0
653,
070
33.2
31,2
36
46.6
35,7
5453
.466
,990
3.
419
,976
7.
624
2,92
3 92
.426
2,90
0 13
.4
1,9
65,3
63
19Ka
b. A
ceh
Tam
iang
178,
886
72.5
68,0
17
27.5
246,
903
34.6
29,0
18
51.0
27,8
5349
.056
,871
8.
06,
706
7.3
85,5
98
92.7
92,3
04
12.9
713
,950
20Ka
b. N
agan
Ray
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
an.
a
21Ka
b. A
ceh
Jaya
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
22Ka
b. B
ener
Mer
iah
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
Ra
ta-r
ata
(kab
/kot
a)29
7,90
5 72
.6
107,
862
27.4
40
5,76
7 34
.5
52,2
83
63.8
32
,483
36
.2
84,7
66
6.3
19,0
88
14.7
13
1,05
5 85
.3
150,
144
11.1
1,
340,
635
Min
imum
(kab
/kot
a)34
,862
17
.0
10,1
95
5.3
191,
561
11.0
8,
047
24.8
1,
328
14.2
9,
374
0.9
6,70
6 4.
6 26
,597
65
.1
38,6
70
4.9
713,
950
M
aksi
mum
(kab
/kot
a)52
2,06
4 94
.7
250,
141
83.0
77
2,20
5 50
.4
229,
206
85.8
12
0,88
4 75
.2
350,
091
11.7
94
,367
34
.9
354,
195
95.4
44
8,56
2 18
.1
4,55
4,86
8
APENDIKS 138
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D16. Belanja rutin dan pembangunan pemerintah daerah di seluruh provinsi, 2004 (milyar rupiah, per kapita, dan % dari total belanja)
No ProvinsiRutin Pembangunan Total
Milyar Rp
Per kapita (Rp) % Milyar
RpPer kapita
(Rp) % Milyar Rp Per kapita (Rp)
1 Aceh 3,017 737,896 51.4 2,853 697,709 48.6 5,870 1,435,605
2 Sumatra Utara 5,178 427,072 68.8 2,345 193,424 31.2 7,523 620,496
3 Sumatra Barat 2,698 594,880 70.1 1,150 253,556 29.9 3,848 848,437
4 Riau 4,142 925,620 52.7 3,716 830,468 47.3 7,858 1,756,088
5 Jambi 1,422 541,490 55.4 1,144 435,623 44.6 2,565 977,113
6 Sumatra Selatan 2,480 374,092 53.9 2,118 319,480 46.1 4,597 693,572
7 Bengkulu 920 593,977 69.5 403 260,330 30.5 1,323 854,307
8 Lampung 2,663 376,978 74.3 922 130,589 25.7 3,585 507,567
9 D K I Jakarta 4,023 459,785 37.2 6,784 775,291 62.8 10,807 1,235,077
10 Jawa Barat 10,352 268,103 69.6 4,523 117,134 30.4 14,874 385,237
11 Jawa Tengah 10,564 324,614 72.1 4,097 125,892 27.9 14,661 450,506
12 Yogyakarta 1,661 515,297 69.8 720 223,334 30.2 2,381 738,631
13 Jawa Timur 11,172 306,232 66.1 5,725 156,935 33.9 16,897 463,167
14 Kalimantan Barat 2,070 513,347 65.5 1,090 270,342 34.5 3,161 783,689
15 Kalimantan Tengah 1,480 791,014 51.4 1,397 746,908 48.6 2,877 1,537,921
16 Kalimantan Selatan 1,790 554,561 61.2 1,135 351,767 38.8 2,925 906,328
17 Kalimantan Timur 3,346 1,209,761 43.4 4,368 1,579,195 56.6 7,713 2,788,956
18 Sulawesi Utara 1,412 654,115 75.2 466 215,850 24.8 1,878 869,964
19 Sulawesi Tengah 1,451 644,234 63.5 835 370,678 36.5 2,286 1,014,912
20 Sulawesi Selatan 4,612 551,118 67.8 2,186 261,251 32.2 6,799 812,369
21 Sulawesi Tenggara 1,139 592,311 62.6 681 354,193 37.4 1,820 946,504
22 Bali 2,262 665,739 71.0 926 272,575 29.0 3,188 938,314
23 Nusa Tenggara Barat 1,732 424,046 71.9 676 165,417 28.1 2,407 589,463
24 Nusa Tenggara Timur 2,125 511,213 58.9 1,482 356,716 41.1 3,607 867,930
25 Maluku 1,028 826,121 63.5 591 475,083 36.5 1,619 1,301,204
26 Papua 4,189 2,235,652 50.2 4,153 2,216,103 49.8 8,342 4,451,754
27 Maluku Utara 674 771,693 56.5 519 594,180 43.5 1,192 1,365,873
28 Banten 1,786 195,591 49.7 1,804 197,597 50.3 3,589 393,188
29 Bangka Belitung 582 568,610 60.6 379 370,111 39.4 961 938,721
30 Gorontalo 595 662,687 55.4 480 534,438 44.6 1,074 1,197,126
Nasional 92,561 424,877 60.8 59,667 273,883 39.2 152,228 698,760
Minimum 582 195,591 37.2 379 117,134 24.8 961 385,237
Maksimum 11,172 2,235,652 75.2 6,784 2,216,103 62.8 16,897 4,451,754
APENDIKS 139
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D17
. Bel
anja
rutin
pem
erin
tah
daer
ah p
er k
lasi
fi kas
i eko
nom
i di s
elur
uh p
rovi
nsi,
2004
(per
kap
ita d
an %
dar
i tot
al b
elan
ja ru
tin)
No
Prov
insi
Pega
wai
Bara
ngO
pera
si d
an
pera
wat
anPe
rjal
anan
di
nas
Lain
-lain
Biay
a ta
k te
rdug
a
Pens
iun
dan
bant
uan
Bant
uan
keua
ngan
Tota
l
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp
1Ac
eh
521,
266
70.6
81,9
4811
.115
,782
2.1
13,0
931.
82
0.0
23,6
713.
20
0.0
82,1
3611
.173
7,89
62
Sum
atra
Uta
ra33
0,56
877
.445
,590
10.7
7,79
71.
88,
487
2.0
00.
03,
104
0.7
00.
031
,527
7.4
427,
072
3Su
mat
ra B
arat
461,
351
77.6
59,5
2110
.014
,291
2.4
11,9
292.
056
0.0
4,55
90.
80
0.0
43,1
737.
359
4,88
04
Riau
477,
586
51.6
175,
695
19.0
42,7
584.
637
,571
4.1
42,2
344.
641
,794
4.5
00.
010
7,98
111
.792
5,62
05
Jam
bi37
8,78
370
.068
,182
12.6
19,7
763.
715
,911
2.9
19,1
293.
512
,924
2.4
190.
026
,767
4.9
541,
490
6Su
mat
ra S
elat
an26
7,87
271
.645
,320
12.1
10,0
862.
711
,044
3.0
00.
08,
069
2.2
00.
031
,701
8.5
374,
092
7Be
ngku
lu44
6,52
975
.262
,836
10.6
15,7
182.
614
,316
2.4
15,7
982.
715
,934
2.7
00.
022
,847
3.8
593,
977
8La
mpu
ng29
2,09
877
.534
,737
9.2
13,5
283.
68,
117
2.2
00.
03,
594
1.0
00.
024
,903
6.6
376,
978
9D
K I
Jaka
rta
378,
658
82.4
71,3
5115
.57,
050
1.5
661
0.1
00.
02,
065
0.4
00.
00
0.0
459,
785
10Ja
wa
Bara
t19
8,37
574
.022
,127
8.3
6,61
82.
54,
208
1.6
3,82
11.
44,
828
1.8
00.
028
,126
10.5
268,
103
11Ja
wa
Teng
ah24
6,44
675
.926
,801
8.3
6,25
61.
93,
457
1.1
687
0.2
5,93
91.
80
0.0
35,0
2810
.832
4,61
412
Yogy
akar
ta42
0,90
481
.733
,581
6.5
8,56
61.
76,
493
1.3
00.
05,
108
1.0
00.
040
,645
7.9
515,
297
13Ja
wa
Tim
ur22
6,27
373
.930
,342
9.9
7,26
22.
44,
098
1.3
2,08
60.
76,
995
2.3
30.
029
,174
9.5
306,
232
14Ka
liman
tan
Bara
t34
7,23
767
.665
,390
12.7
13,2
632.
617
,554
3.4
3,78
40.
727
,161
5.3
00.
038
,958
7.6
513,
347
15Ka
liman
tan
Teng
ah52
4,66
466
.310
4,57
013
.222
,312
2.8
30,7
553.
931
,230
3.9
29,9
653.
80
0.0
47,5
176.
079
1,01
416
Kalim
anta
n Se
lata
n40
5,77
073
.260
,632
10.9
16,9
063.
013
,767
2.5
00.
06,
297
1.1
00.
051
,189
9.2
554,
561
17Ka
liman
tan
Tim
ur54
5,88
045
.122
4,03
018
.543
,544
3.6
57,0
444.
770
,567
5.8
46,4
653.
80
0.0
222,
231
18.4
1,20
9,76
118
Sula
wes
i Uta
ra54
4,02
583
.246
,212
7.1
9,50
51.
515
,700
2.4
00.
09,
612
1.5
00.
029
,062
4.4
654,
115
19Su
law
esi T
enga
h45
9,31
371
.373
,755
11.4
18,6
442.
924
,007
3.7
35,6
485.
519
,415
3.0
40.
013
,448
2.1
644,
234
20Su
law
esi S
elat
an41
8,05
475
.956
,848
10.3
16,8
123.
112
,895
2.3
00.
07,
579
1.4
00.
038
,930
7.1
551,
118
21Su
law
esi T
engg
ara
464,
317
78.4
42,5
417.
215
,759
2.7
20,7
903.
50
0.0
14,9
412.
50
0.0
33,9
635.
759
2,31
122
Bali
478,
706
71.9
50,8
837.
616
,816
2.5
9,88
21.
50
0.0
7,38
01.
10
0.0
102,
073
15.3
665,
739
23N
usa
Teng
gara
Bar
at31
9,61
075
.437
,377
8.8
7,50
91.
89,
423
2.2
168
0.0
2,84
90.
70
0.0
47,1
1011
.142
4,04
624
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
377,
825
73.9
41,0
588.
015
,742
3.1
23,0
734.
50
0.0
4,15
40.
80
0.0
49,3
619.
751
1,21
325
Mal
uku
610,
160
73.9
53,5
776.
517
,055
2.1
42,6
115.
238
,330
4.6
26,0
103.
10
0.0
38,3
784.
682
6,12
126
Papu
a1,
112,
037
49.7
331,
904
14.8
88,8
184.
011
2,79
95.
055
,819
2.5
278,
461
12.5
00.
025
5,81
511
.42,
235,
652
27M
aluk
u U
tara
451,
851
58.6
110,
960
14.4
11,2
261.
555
,149
7.1
18,3
772.
456
,646
7.3
00.
067
,484
8.7
771,
693
28Ba
nten
131,
493
67.2
24,1
9812
.48,
019
4.1
3,57
41.
80
0.0
1,93
11.
00
0.0
26,3
7613
.519
5,59
129
Bang
ka B
elitu
ng38
2,12
467
.279
,438
14.0
15,0
352.
628
,876
5.1
00.
05,
651
1.0
00.
057
,485
10.1
568,
610
30G
oron
talo
536,
006
80.9
49,6
857.
512
,664
1.9
25,9
133.
90
0.0
9,04
01.
40
0.0
29,3
784.
466
2,68
7
Nas
iona
l30
3,46
471
.446
,171
10.9
11,1
162.
69,
899
2.3
4,71
91.
110
,599
2.5
10.
038
,908
9.2
424,
877
M
inim
um13
1,49
345
.122
,127
6.5
6,25
61.
566
10.
10
0.0
1,93
10.
40
0.0
00.
019
5,59
1
Mak
sim
um1,
112,
037
83.2
331,
904
19.0
88,8
184.
611
2,79
97.
170
,567
5.8
278,
461
12.5
190.
025
5,81
518
.42,
235,
652
APENDIKS 140
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D18
. Bel
anja
pem
bang
unan
pem
erin
tah
daer
ah p
er s
ekto
r di s
elur
uh p
rovi
nsi,
2004
(per
kapi
ta d
an %
dar
i tot
al b
elan
ja p
emba
ngun
an)
No
Prov
insi
App
arat
ur
Pem
erin
tah
Pert
ania
n da
n Ke
huta
nan
Pert
amba
ngan
da
n En
ergi
Perd
agan
gan
dan
Peng
em-
bang
an U
saha
Kete
naga
-ke
rjaa
n
Kese
hata
n da
n Ke
seja
hter
aan
Sosi
al
Pend
idik
an d
an
Kebu
daya
an
Ling
kung
an d
an
Tata
Rua
ng
Pem
bang
unan
D
aera
h da
n Pe
rum
ahan
Tran
spor
tasi
, Air
da
n Ir
igas
i
Kepe
ndud
u-ka
n da
n Ke
luar
ga
Bere
ncan
a
Tele
kom
unik
asi
dan
Pari
wis
ata
Tota
l
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp
1Ac
eh
265,
041
38.0
34,6
915.
02,
963
0.4
8,43
41.
22,
468
0.4
49,3
497.
115
3,91
822
.16,
523
0.9
54,6
847.
811
2,60
516
.14,
775
0.7
2,25
70.
369
7,70
9
2Su
mat
ra
Uta
ra48
,426
25.0
9,44
64.
929
90.
21,
792
0.9
496
0.3
13,9
717.
214
,753
7.6
10,1
115.
212
,979
6.7
79,7
5441
.253
70.
385
90.
419
3,42
4
3Su
mat
ra B
arat
64,7
3825
.513
,543
5.3
945
0.4
6,93
42.
780
20.
316
,249
6.4
23,4
989.
37,
950
3.1
23,0
029.
191
,946
36.3
780
0.3
3,16
91.
225
3,55
6
4Ri
au16
7,46
520
.244
,732
5.4
18,1
732.
234
,793
4.2
2,86
20.
365
,896
7.9
135,
512
16.3
11,8
521.
413
8,21
616
.619
7,96
323
.81,
958
0.2
11,0
451.
383
0,46
8
5Ja
mbi
122,
838
28.2
29,1
196.
72,
444
0.6
10,2
152.
31,
559
0.4
36,2
038.
337
,081
8.5
5,40
11.
27,
484
1.7
179,
641
41.2
1,44
50.
32,
191
0.5
435,
623
6Su
mat
ra
Sela
tan
67,3
7121
.19,
369
2.9
3,15
91.
02,
462
0.8
803
0.3
21,5
616.
730
,458
9.5
4,01
71.
31,
045
0.3
175,
575
55.0
1,21
50.
42,
446
0.8
319,
480
7Be
ngku
lu11
5,41
344
.310
,660
4.1
1,18
80.
55,
043
1.9
2,26
60.
913
,680
5.3
26,9
4110
.33,
024
1.2
26,2
2510
.150
,578
19.4
710
0.3
4,60
31.
826
0,33
0
8La
mpu
ng38
,102
29.2
6,83
55.
21,
665
1.3
1,21
30.
944
50.
314
,158
10.8
9,77
27.
52,
359
1.8
16,3
2912
.538
,209
29.3
755
0.6
748
0.6
130,
589
9D
K I
Jaka
rta
188,
007
24.2
14,6
431.
93,
580
0.5
15,5
082.
06,
901
0.9
94,0
5812
.112
6,14
616
.335
,631
4.6
49,7
456.
422
5,17
029
.05,
957
0.8
9,94
51.
377
5,29
1
10Ja
wa
Bara
t34
,580
29.5
4,53
83.
979
50.
72,
482
2.1
843
0.7
11,8
4910
.113
,571
11.6
5,76
44.
95,
985
5.1
35,0
4829
.958
00.
51,
101
0.9
117,
134
11Ja
wa
Teng
ah37
,510
29.8
4,77
83.
844
80.
42,
203
1.7
945
0.8
19,3
9515
.415
,316
12.2
3,73
93.
04,
563
3.6
35,0
5927
.898
20.
895
60.
812
5,89
2
12Yo
gyak
arta
67,7
4030
.38,
154
3.7
00.
02,
598
1.2
1,60
30.
724
,429
10.9
29,5
6113
.23,
910
1.8
960.
080
,572
36.1
2,42
81.
12,
244
1.0
223,
334
13Ja
wa
Tim
ur51
,023
32.5
5,87
03.
737
40.
23,
363
2.1
1,07
80.
714
,229
9.1
22,9
8914
.63,
918
2.5
8,28
15.
343
,459
27.7
1,45
60.
989
40.
615
6,93
5
14Ka
liman
tan
Bara
t67
,689
25.0
14,0
205.
21,
145
0.4
4,15
81.
544
40.
219
,433
7.2
42,7
0915
.82,
561
0.9
35,5
3013
.179
,702
29.5
1,06
20.
41,
889
0.7
270,
342
15Ka
liman
tan
Teng
ah16
1,29
321
.688
,038
11.8
5,51
30.
725
,266
3.4
1,76
70.
246
,860
6.3
89,4
9312
.019
,853
2.7
50,1
276.
725
3,75
034
.01,
869
0.3
3,07
90.
474
6,90
8
16Ka
liman
tan
Sela
tan
97,8
4227
.823
,908
6.8
4,55
61.
33,
794
1.1
1,42
20.
435
,246
10.0
38,6
8911
.05,
584
1.6
37,7
0010
.710
0,78
028
.690
60.
31,
340
0.4
351,
767
17Ka
liman
tan
Tim
ur44
1,98
028
.077
,068
4.9
8,27
40.
516
,138
1.0
5,86
80.
471
,203
4.5
86,4
265.
523
,142
1.5
26,3
951.
781
5,63
251
.64,
315
0.3
2,75
30.
21,
579,
195
18Su
law
esi
Uta
ra13
0,26
660
.410
,708
5.0
326
0.2
1,31
20.
646
30.
211
,472
5.3
15,4
217.
12,
674
1.2
19,6
869.
121
,226
9.8
197
0.1
2,09
91.
021
5,85
0
19Su
law
esi
Teng
ah94
,772
25.6
21,5
035.
82,
777
0.7
8,77
32.
42,
961
0.8
31,9
468.
638
,148
10.3
4,16
41.
168
,869
18.6
93,6
2525
.31,
795
0.5
1,34
60.
437
0,67
8
20Su
law
esi
Sela
tan
97,6
6837
.413
,144
5.0
904
0.3
4,85
91.
91,
212
0.5
23,3
658.
920
,470
7.8
9,48
83.
68,
227
3.1
79,1
0130
.398
10.
41,
832
0.7
261,
251
21Su
law
esi
Teng
gara
178,
554
50.4
13,0
223.
712
,249
3.5
3,49
11.
02,
509
0.7
14,0
824.
025
,103
7.1
5,93
11.
729
,334
8.3
67,8
0219
.163
30.
21,
483
0.4
354,
193
22Ba
li10
0,17
036
.717
,242
6.3
520.
03,
694
1.4
1,28
70.
532
,462
11.9
29,0
6910
.79,
731
3.6
673
0.2
73,1
1326
.81,
589
0.6
3,49
31.
327
2,57
5
23N
usa
Teng
gara
Ba
rat
57,5
4534
.88,
977
5.4
778
0.5
1,80
21.
188
70.
521
,865
13.2
25,4
5215
.41,
939
1.2
13,9
918.
530
,169
18.2
1,29
80.
871
40.
416
5,41
7
24N
usa
Teng
gara
Ti
mur
123,
920
34.7
26,0
507.
36,
121
1.7
6,02
81.
72,
883
0.8
35,2
179.
961
,111
17.1
2,70
30.
824
,041
6.7
62,6
1817
.62,
707
0.8
3,31
70.
935
6,71
6
25M
aluk
u12
2,30
525
.746
,624
9.8
1,37
70.
37,
490
1.6
2,13
40.
430
,211
6.4
39,0
378.
24,
860
1.0
27,2
535.
719
1,05
140
.21,
130
0.2
1,60
90.
347
5,08
3
26Pa
pua
798,
175
36.0
124,
636
5.6
10,2
130.
552
,720
2.4
7,98
50.
420
4,00
99.
236
9,72
216
.715
,448
0.7
58,3
492.
654
5,17
524
.621
,108
1.0
8,56
20.
42,
216,
103
27M
aluk
u U
tara
252,
177
42.4
29,4
905.
06,
007
1.0
8,43
71.
44,
255
0.7
37,4
166.
355
,581
9.4
2,99
70.
526
,875
4.5
164,
641
27.7
2,42
90.
43,
875
0.7
594,
180
28Ba
nten
53,1
3926
.910
,051
5.1
2,72
11.
44,
034
2.0
1,50
80.
815
,500
7.8
32,6
2016
.525
,767
13.0
4,50
72.
345
,503
23.0
1,29
80.
795
00.
519
7,59
7
29Ba
ngka
Be
litun
g11
1,41
730
.119
,017
5.1
6,09
21.
63,
291
0.9
994
0.3
26,8
397.
337
,145
10.0
11,8
853.
255
,919
15.1
95,5
1925
.81,
315
0.4
677
0.2
370,
111
30G
oron
talo
166,
937
31.2
35,5
676.
71,
500
0.3
9,31
01.
72,
024
0.4
75,4
2514
.143
,011
8.0
9,26
01.
733
,320
6.2
154,
675
28.9
1,09
60.
22,
314
0.4
534,
438
N
asio
nal
81,1
8629
.612
,865
4.7
1,88
40.
75,
219
1.9
1,48
40.
524
,969
9.1
35,1
3612
.87,
771
2.8
16,5
826.
183
,250
30.4
1,56
00.
61,
977
0.7
273,
883
Min
imum
34,5
8020
.24,
538
1.9
00.
01,
213
0.6
444
0.2
11,4
724.
09,
772
5.5
1,93
90.
596
0.0
21,2
269.
819
70.
167
70.
211
7,13
4
M
aksi
mum
798,
175
60.4
124,
636
11.8
18,1
733.
552
,720
4.2
7,98
50.
920
4,00
915
.436
9,72
222
.135
,631
13.0
138,
216
18.6
815,
632
55.0
21,1
081.
111
,045
1.8
2,21
6,10
3
APENDIKS 141
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D19
. Bel
anja
Pem
erin
tah
Dae
rah
untu
k Se
ktor
Pen
didi
kan,
Kes
ehat
an d
an In
fras
truk
tur p
er b
elan
ja ru
tin d
an p
emba
ngun
an d
i sel
uruh
pro
vins
i, 20
04 (p
er ka
pita
, % d
ari t
otal
sekt
or, d
an %
sekt
or d
ari t
otal
bel
anja
)
No
Prov
insi
Pend
idik
anKe
seha
tan
Infr
astr
uktu
r
Tota
l be
lanj
aRu
tinPe
mba
ngun
anTo
tal P
en-
didi
kan
%
Pend
idik
an
dari
Tot
al
Bela
nja
Rutin
Pem
bang
unan
Tota
l Ke
se-
hata
n
% K
ese-
hata
n da
ri T
otal
Be
lanj
a
Rutin
Pem
bang
unan
Tota
l In
fras
truk
tur
%
Infr
astr
uktu
r da
ri T
otal
Be
lanj
a
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp%
Rp
1Ac
eh
306,
638
67.1
150,
569
32.9
457,
208
31.8
50,9
2165
.127
,294
34.9
78,2
145.
420
,389
10.8
168,
415
89.2
188,
803
13.2
1,43
5,60
5
2Su
mat
ra U
tara
206,
559
93.3
14,8
346.
722
1,39
335
.737
,597
72.6
14,1
5427
.451
,752
8.3
14,5
1313
.097
,413
87.0
111,
926
18.0
620,
496
3Su
mat
ra B
arat
296,
327
92.7
23,3
997.
331
9,72
637
.748
,560
76.1
15,2
7023
.963
,830
7.5
21,5
9415
.811
5,30
784
.213
6,90
116
.184
8,43
7
4Ri
au25
4,48
667
.712
1,32
932
.337
5,81
521
.448
,419
44.1
61,4
4155
.910
9,86
06.
335
,965
9.3
351,
103
90.7
387,
068
22.0
1,75
6,08
8
5Ja
mbi
182,
160
86.0
29,6
4814
.021
1,80
821
.740
,064
57.7
29,3
3642
.369
,399
7.1
21,8
5010
.418
7,63
589
.620
9,48
521
.497
7,11
3
6Su
mat
ra S
elat
an15
6,03
685
.227
,036
14.8
183,
072
26.4
22,7
7052
.720
,471
47.3
43,2
416.
213
,581
7.1
177,
820
92.9
191,
401
27.6
693,
572
7Be
ngku
lu24
0,84
190
.126
,435
9.9
267,
276
31.3
58,5
1281
.513
,262
18.5
71,7
758.
424
,719
24.2
77,3
3675
.810
2,05
411
.985
4,30
7
8La
mpu
ng15
9,21
594
.29,
772
5.8
168,
987
33.3
19,0
8558
.813
,365
41.2
32,4
496.
413
,102
19.2
55,1
7180
.868
,273
13.5
507,
567
9D
K I
Jaka
rta
12,6
1510
.211
0,84
989
.812
3,46
410
.09,
621
10.6
81,4
7389
.491
,094
7.4
45,7
8114
.227
6,27
585
.832
2,05
626
.11,
235,
077
10Ja
wa
Bara
t11
9,62
489
.813
,548
10.2
133,
172
34.6
17,6
0161
.511
,030
38.5
28,6
317.
410
,028
19.5
41,3
3480
.551
,362
13.3
385,
237
11Ja
wa
Teng
ah16
8,52
891
.715
,309
8.3
183,
837
40.8
23,7
7855
.818
,838
44.2
42,6
169.
512
,553
24.0
39,7
9276
.052
,345
11.6
450,
506
12Yo
gyak
arta
261,
920
90.0
29,1
1810
.029
1,03
839
.437
,227
65.1
19,9
6634
.957
,193
7.7
24,2
4123
.180
,667
76.9
104,
908
14.2
738,
631
13Ja
wa
Tim
ur13
7,53
386
.221
,986
13.8
159,
519
34.4
24,3
2566
.412
,323
33.6
36,6
477.
913
,473
20.6
51,8
8479
.465
,357
14.1
463,
167
14Ka
liman
tan
Bara
t19
1,18
786
.031
,153
14.0
222,
340
28.4
37,2
3767
.418
,008
32.6
55,2
457.
012
,461
10.0
112,
027
90.0
124,
488
15.9
783,
689
15Ka
liman
tan
Teng
ah25
3,77
479
.565
,449
20.5
319,
223
20.8
64,2
4660
.941
,228
39.1
105,
474
6.9
25,8
437.
730
8,07
492
.333
3,91
721
.71,
537,
921
16Ka
liman
tan
Sela
tan
230,
815
85.6
38,6
8914
.426
9,50
429
.747
,582
61.2
30,1
4838
.877
,730
8.6
19,1
1812
.014
0,21
188
.015
9,32
917
.690
6,32
8
17Ka
liman
tan
Tim
ur21
1,77
173
.875
,114
26.2
286,
885
10.3
98,5
1358
.669
,608
41.4
168,
121
6.0
32,8
373.
784
7,89
796
.388
0,73
431
.62,
788,
956
18Su
law
esi U
tara
317,
162
95.4
15,4
214.
633
2,58
338
.235
,547
76.4
10,9
5123
.646
,498
5.3
19,7
5132
.541
,035
67.5
60,7
867.
086
9,96
4
19Su
law
esi T
enga
h28
0,08
990
.429
,905
9.6
309,
994
30.5
52,3
4864
.528
,763
35.5
81,1
118.
023
,714
12.6
164,
223
87.4
187,
937
18.5
1,01
4,91
2
20Su
law
esi S
elat
an19
9,75
590
.720
,470
9.3
220,
225
27.1
32,9
9860
.921
,143
39.1
54,1
416.
716
,825
16.1
87,6
7283
.910
4,49
712
.981
2,36
9
21Su
law
esi T
engg
ara
231,
094
90.6
24,0
809.
425
5,17
527
.035
,345
75.1
11,7
3024
.947
,075
5.0
19,7
2817
.096
,583
83.0
116,
311
12.3
946,
504
22Ba
li25
9,93
989
.929
,069
10.1
289,
008
30.8
41,5
8257
.430
,910
42.6
72,4
927.
722
,471
23.3
73,8
0676
.796
,278
10.3
938,
314
23N
usa
Teng
gara
Bar
at20
4,25
988
.925
,452
11.1
229,
711
39.0
28,5
8759
.219
,697
40.8
48,2
848.
215
,024
25.3
44,4
5674
.759
,480
10.1
589,
463
24N
usa
Teng
gara
Tim
ur18
5,95
775
.360
,929
24.7
246,
886
28.4
34,7
3751
.532
,684
48.5
67,4
207.
813
,193
12.9
88,9
8587
.110
2,17
811
.886
7,93
0
25M
aluk
u16
4,51
880
.839
,037
19.2
203,
555
15.6
57,3
9967
.427
,731
32.6
85,1
296.
529
,319
11.8
218,
828
88.2
248,
147
19.1
1,30
1,20
4
26Pa
pua
395,
806
53.5
343,
569
46.5
739,
375
16.6
121,
727
39.7
184,
920
60.3
306,
647
6.9
66,8
939.
662
6,37
290
.469
3,26
515
.64,
451,
754
27M
aluk
u U
tara
132,
013
74.0
46,4
8126
.017
8,49
413
.125
,465
55.9
20,1
0744
.145
,572
3.3
16,8
278.
218
9,05
891
.820
5,88
615
.11,
365,
873
28Ba
nten
75,4
7969
.832
,620
30.2
108,
099
27.5
13,5
2049
.014
,093
51.0
27,6
137.
07,
014
12.1
51,0
4487
.958
,058
14.8
393,
188
29Ba
ngka
Bel
itung
202,
681
84.5
37,1
4515
.523
9,82
625
.537
,882
62.0
23,2
2438
.061
,106
6.5
14,5
448.
615
3,75
391
.416
8,29
717
.993
8,72
1
30G
oron
talo
312,
735
87.9
43,0
1112
.135
5,74
629
.741
,643
36.1
73,7
8863
.911
5,43
09.
617
,979
8.7
188,
565
91.3
206,
543
17.3
1,19
7,12
6
N
asio
nal
165,
538
83.4
32,8
7016
.619
8,40
828
.428
,855
59.0
22,4
3143
.751
,286
7.3
16,3
0613
.910
1,05
386
.111
7,35
916
.869
8,76
0
Min
imum
12,6
1510
.29,
772
4.6
108,
099
10.0
9,62
110
.610
,951
18.5
27,6
133.
37,
014
3.7
39,7
9267
.551
,362
7.0
385,
237
M
aksi
mum
395,
806
95.4
343,
569
89.8
739,
375
40.8
121,
727
81.5
184,
920
89.4
306,
647
9.6
66,8
9332
.584
7,89
796
.388
0,73
431
.64,
451,
754
APENDIKS 142
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
INDIKATOR-INDIKATOR SEKTORAL DAN SOSIAL
Tabel D20. Indikator-indikator Layanan Kesehatan di Aceh, 2005 (PODES 2005)
No Kabupaten/kota Jumlah dokter
Rasio dokter/ 10000
penduduk
Jumlah dokter /km2
(wilayah layanan)
Jumlah Bidan
Rasio Bidan /10.000
penduduk
Jumlah bidan /km2 (wilayah
layanan)
1 Kab. Aceh Barat 13 0.9 225.2 127 8.3 23.1
2 Kab. Aceh Besar 74 2.6 40.1 451 16.1 6.6
3 Kab. Aceh Selatan 32 1.6 120.4 139 6.9 27.7
4 Kab. Aceh Singkil 26 1.7 137.5 134 8.8 26.7
5 Kab. Aceh Tengah 21 1.3 205.5 204 12.5 21.2
6 Kab. Aceh Tenggara 36 2.0 116.4 152 8.4 27.6
7 Kab. Aceh Timur 24 0.7 251.7 371 11.1 16.3
8 Kab. Aceh Utara 42 0.9 76.0 468 9.5 6.8
9 Kab. Bireuen 60 1.7 31.7 514 14.4 3.7
10 Kab. Pidie 64 1.3 53.6 715 14.2 4.8
11 Kab. Simeuleu 10 1.2 205.1 96 11.9 21.4
12 Kota Banda Aceh 148 7.5 0.4 124 6.2 0.5
13 Kota Sabang 16 5.1 9.6 37 11.8 4.1
14 Kota Langsa 38 2.9 6.9 134 10.2 2.0
15 Kota Lhokseumawe 119 7.1 1.5 139 8.2 1.3
16 Kab. Aceh Barat Daya 18 1.6 218.2 97 8.5 40.5
17 Kab. Gayo Lues 10 1.5 381.7 59 8.8 64.7
18 Kab. Aceh Tamiang 46 2.0 32.8 237 10.1 6.4
19 Kab. Nagan Raya 7 0.6 817.0 107 9.0 53.4
20 Kab. Aceh Jaya 8 1.3 242.5 56 8.9 34.6
21 Kab. Bener Meriah 8 0.7 181.7 114 10.3 12.8
Total 820 4,475
Rata-rata 39 2.2 159.8 213 10.2 19.3
Minimum 7 0.6 0.4 37 6.2 0.5
Maksimum 148 7.5 817.0 715 16.1 64.7Sumber: BPS, PODES 2005.
APENDIKS 143
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D21. Indikator-indikator Layanan Kesehatan di seluruh Provinsi, 2005 (PODES 2005)
No Provinsi Jumlah dokter
Rasio dokter/ 10000
penduduk
Jumlah dokter /km2 (wilayah
layanan)
Jumlah Bidan
Rasio Bidan /10.000
penduduk
Jumlah bidan /km2
(wilayah layanan)
1 Prop. Aceh 818 2.0 68 4,471 11.1 12
2 Prop. Sumatra Utara 2,761 2.2 25 7,142 5.8 10
3 Prop. Sumatra Barat 1,013 2.2 43 2,723 5.9 16
4 Prop. Riau 903 1.5 118 1,616 2.7 66
5 Prop. Jambi 537 2.0 94 1,270 4.8 40
6 Prop. Sumatra Selatan 1,002 1.5 97 3,048 4.5 32
7 Prop. Bengkulu 311 1.9 64 1,287 8.1 15
8 Prop. Lampung 710 1.0 50 2,302 3.2 15
9 D K I Jakarta 2,893 3.3 n.a. 907 1.0 n.a.
10 Prop. Jawa Barat 5,531 1.4 6 8,615 2.2 4
11 Prop. Jawa Tengah 5,356 1.6 6 9,973 3.0 3
12 Prop. Yogyakarta 1,307 4.0 2 792 2.4 4
13 Prop. Jawa Timur 6,410 1.7 7 10,294 2.8 5
14 Prop. Kalimantan Barat 494 1.2 301 1,367 3.3 109
15 Prop. Kalimantan Tengah 317 1.7 484 1,125 5.9 137
16 Prop. Kalimantan Selatan 520 1.6 74 1,778 5.5 22
17 Prop. Kalimantan Timur 711 2.5 295 1,152 4.1 182
18 Prop. Sulawesi Utara 937 4.3 16 1,273 5.8 12
19 Prop. Sulawesi Tengah 360 1.6 188 1,541 6.7 44
20 Prop. Sulawesi Selatan 1,659 2.0 38 3,242 3.8 19
21 Prop. Sulawesi Tenggara 306 1.6 123 1,431 7.3 26
22 Prop. Bali 1,378 4.0 4 1,156 3.4 5
23 Prop. Nusa Tenggara Barat 445 1.1 45 1,096 2.6 18
24 Prop. Nusa Tenggara Timur 502 1.2 94 3,077 7.3 15
25 Prop. Maluku 176 1.4 222 1,009 8.0 39
26 Prop. Papua 463 1.8 908 2,084 8.3 202
27 Prop. Maluku Utara 146 1.6 240 712 8.0 49
28 Prop. Banten 1,069 1.1 6 2,018 2.2 3
29 Prop. Bangka Belitung 187 1.8 88 346 3.3 47
30 Prop. Gorontalo 173 1.9 70 374 4.1 33
Total 36,502 78,314
Rata-rata 1,313 2.0 130 2,641 4.9 41
Minimum 146 1.0 2 346 1.0 3
Maksimum 6,410 4.3 908 10,294 11.1 202Sumber: BPS, PODES 2005.
APENDIKS 144
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D22
. Kel
uara
n da
n In
dika
tor L
ayan
an P
endi
dika
n di
Ace
h, 2
005
No
Kabu
pate
n/ko
ta
Ting
kat
Part
isip
asi
Bers
ih (%
)Ti
ngka
t Par
tisip
asi K
otor
(%)
Jum
lah
Seko
lah
Wila
yah
laya
nan
(Km
2)
Sens
us B
PS
Din
as P
endi
dika
n Pr
ovin
siBP
S, P
OD
ES 2
005
BPS,
PO
DES
200
5
SD
SDSM
PSM
ASD
SMP
SMA
SDSM
PSM
A
1Ka
b. A
ceh
Bara
t90
.713
6.9
91.9
64.1
151
2819
19.4
104.
615
4.1
2Ka
b. A
ceh
Besa
r95
.711
7.3
89.3
58.8
196
5130
15.1
58.2
99.0
3Ka
b. A
ceh
Sela
tan
96.4
157.
010
1.6
52.4
223
4321
17.3
89.6
183.
4
4Ka
b. A
ceh
Sing
kil
94.9
115.
880
.949
.916
430
1621
.811
9.2
223.
5
5Ka
b. A
ceh
Teng
ah
93.9
116.
797
.564
.318
435
1123
.512
3.3
392.
3
6Ka
b. A
ceh
Teng
gara
95.2
111.
195
.460
.817
139
2324
.510
7.4
182.
1
7Ka
b. A
ceh
Tim
ur94
.413
8.5
85.2
46.7
299
5521
20.2
109.
828
7.6
8Ka
b. A
ceh
Uta
ra95
.911
4.7
93.6
56.8
407
7938
7.8
40.4
84.0
9Ka
b. B
ireue
n93
.212
0.4
104.
658
.427
447
296.
940
.565
.6
10Ka
b. P
idie
95.4
117.
510
1.5
67.9
451
9542
7.6
36.1
81.7
11Ka
b. S
imeu
leu
93.8
120.
010
7.8
29.9
108
4013
19.0
51.3
157.
8
12Ko
ta B
anda
Ace
h95
.613
0.1
148.
011
2.0
7922
240.
82.
82.
6
13Ko
ta S
aban
g96
.812
8.1
107.
464
.135
84
4.4
19.1
38.3
14Ko
ta L
angs
a96
.111
1.9
120.
170
.369
2013
3.8
13.1
20.2
15Ko
ta L
oksu
maw
e93
.212
1.5
114.
070
.772
1610
2.5
11.3
18.1
16Ka
b. A
ceh
Bara
t Day
a92
.813
0.2
101.
862
.912
022
1032
.717
8.5
392.
8
17Ka
b. G
ayo
Lues
96.0
127.
080
.146
.877
137
49.6
293.
654
5.3
18Ka
b. A
ceh
Tam
iang
96.2
113.
994
.342
.117
550
228.
630
.268
.6
19Ka
b. N
agan
Ray
a91
.714
7.2
112.
848
.011
124
1051
.523
8.3
571.
9
20Ka
b. A
ceh
Jaya
88.0
189.
510
2.4
42.1
8212
223
.716
1.6
969.
9
21Ka
b. B
ener
Mer
iah
96.6
136.
210
2.1
61.1
112
2813
13.0
51.9
111.
8
Ra
ta-r
ata
94.7
117.
580
.371
.535
6075
737
815
.673
.214
6.6
M
inim
um88
.011
1.1
80.1
29.9
35.0
8.0
2.0
0.8
2.8
2.6
M
aksi
mum
96.8
189.
514
8.0
112.
045
1.0
95.0
42.0
51.5
293.
696
9.9
APENDIKS 145
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D23. Indikator-indikator Layanan Pendidikan per provinsi, 2005 (PODES 2005)
No ProvinsiWilayah Layanan Sekolah / 10.000 siswa
SD/km2 SMP/km2 SMA/km2 SD SMP SMA
1 Aceh 15.6 73.2 146.6 65.7 27.5 16.4
2 Sumatra Utara 7.7 31.0 65.5 51.8 26.8 18.6
3 Sumatra Barat 10.8 57.0 116.7 66.0 27.4 18.7
4 Riau 31.1 108.9 272.2 52.3 34.4 16.9
5 Jambi 15.9 84.2 198.5 92.0 36.9 20.1
6 Sumatra Selatan 19.9 86.7 195.7 54.6 23.4 13.2
7 Bengkulu 14.2 72.2 155.9 63.2 26.5 14.9
8 Lampung 6.8 25.1 69.6 55.5 30.1 17.2
9 D K I Jakarta n.a. n.a. n.a. 36.7 26.6 20.9
10 Jawa Barat 1.5 7.9 19.3 45.7 18.9 11.6
11 Jawa Tengah 1.4 8.1 25.3 61.7 20.4 11.9
12 Yogyakarta 1.4 6.4 15.3 75.0 33.1 25.4
13 Jawa Timur 1.7 9.0 23.4 72.4 28.2 15.6
14 Kalimantan Barat 36.4 175.4 504.3 72.6 32.4 15.5
15 Kalimantan Tengah 59.4 345.1 908.7 94.1 34.8 18.6
16 Kalimantan Selatan 11.1 57.3 162.6 86.9 35.8 17.2
17 Kalimantan Timur 96.0 351.4 760.0 60.9 37.7 24.5
18 Sulawesi Utara 7.1 27.8 76.1 87.6 47.6 24.0
19 Sulawesi Tengah 25.2 115.7 338.5 92.9 41.0 20.5
20 Sulawesi Selatan 8.1 41.6 97.6 67.5 28.0 17.0
21 Sulawesi Tenggara 18.3 83.7 199.3 72.3 33.4 17.4
22 Bali 2.2 16.6 31.5 45.7 18.9 11.6
23 Nusa Tenggara Barat 5.8 23.3 49.5 61.7 20.4 11.9
24 Nusa Tenggara Timur 10.9 63.7 194.3 75.0 33.1 25.4
25 Maluku 25.4 100.6 232.9 80.0 45.1 25.8
26 Papua 169.7 1,045.8 2,802.8 84.6 35.5 21.3
27 Maluku Utara 32.9 134.6 299.0 60.4 25.8 15.4
28 Banten 1.2 5.3 12.2 42.1 19.8 11.4
29 Bangka Belitung 20.4 102.0 234.6 61.6 23.4 15.4
30 Gorontalo 14.1 75.6 253.4 68.6 68.6 68.6
31 Kepulauan Riau n.a. n.a. n.a. 50.2 50.2 50.2
32 Papua Barat n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.
Rata-rata 23.2 115.0 291.8 60.4 25.8 15.4
Minimum 1.2 5.3 12.2 36.7 18.9 11.4
Maksimum 169.7 1,045.8 2,802.8 94.1 68.6 68.6Sumber: BPS, PODES 2005.
APENDIKS 146
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D24
. Ind
ikat
or-in
dika
tor K
elua
ran
Infr
astr
uktu
r di A
ceh
No
Kabu
pate
n/ko
ta
Sara
na L
istr
ik
(%KK
)Sa
mbu
ngan
te
lepo
n (%
KK)
Pers
enta
se
laha
n pe
rtan
ian
(%)
Laha
n pe
rtan
ian
beri
riga
si
(%)
Sani
tasi
Sw
asta
(%
Des
a)
Kepa
data
n Ja
lan
Kabu
pate
n (K
m/1
000
jiwa)
% Ja
lan
Kabu
pate
n de
ngan
Kon
disi
Bai
k
POD
ES 2
005
Dep
arte
men
PU
, 200
2
1Ac
eh B
arat
45.1
0.1
17.0
24.0
27.2
2.7
55.7
2Ac
eh B
esar
68.7
4.5
16.6
62.9
34.4
7.1
34.2
3Ac
eh S
elat
an65
.44.
14.
659
.319
.03.
361
.8
4Ac
eh S
ingk
il75
.23.
514
.351
.728
.4n.
a.n.
a.
5Ac
eh Te
ngah
80.2
4.8
10.7
97.8
22.5
4.3
77.2
6Ac
eh Te
ngga
ra77
.02.
26.
583
.916
.84.
160
.3
7Ac
eh T
imur
75.3
2.9
7.7
36.0
62.4
3.8
61.2
8Ac
eh U
tara
74.2
4.4
16.8
69.9
40.8
4.5
55.7
9Bi
reue
n78
.74.
912
.475
.063
.8n.
a.n.
a.
10Pi
die
74.0
3.1
10.7
83.7
5.3
2.0
64.6
11Si
meu
lue
47.0
8.7
8.9
21.2
45.2
5.7
30.9
12Ba
nda
Aceh
81.4
16.4
4.2
32.6
64.0
n.a.
n.a.
13Sa
bang
86.7
20.9
0.4
0.0
61.1
n.a.
n.a.
14La
ngsa
91.3
18.1
11.8
18.0
98.0
n.a.
n.a.
15Lh
okse
umaw
e95
.537
.118
.838
.389
.7n.
a.n.
a.
16Ac
eh B
arat
Day
a47
.65.
49.
176
.87.
0n.
a.n.
a.
17G
ayo
Lues
74.3
3.8
2.0
86.1
13.4
n.a.
n.a.
18Ac
eh Ta
mia
ng92
.14.
610
.45.
962
.2n.
a.n.
a.
19N
agan
Ray
a55
.31.
48.
336
.823
.8n.
a.n.
a.
20Ac
eh Ja
ya12
.90.
129
.64.
122
.2n.
a.n.
a.
21Be
ner M
eria
h77
.81.
93.
286
.617
.4 n
.a.
n.a
.
Ra
ta-r
ata
73.0
6.2
10.5
52.8
34.2
4.2
55.7
M
inim
um12
.90.
10.
40.
05.
32.
030
.9
M
aksi
mum
95.5
37.1
29.6
97.8
98.0
7.1
77.2
APENDIKS 147
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabe
l D25
. Ind
ikat
or-in
dika
tor K
elua
ran
Infr
astr
uktu
r per
Pro
vins
i
No
Prov
insi
Sara
na L
istr
ik (%
KK)
Sam
bung
an
tele
pon
(%KK
)
Pers
enta
se
laha
n pe
rtan
ian
(%)
Laha
n pe
rtan
ian
beri
riga
si (%
)Sa
nita
si S
was
ta (%
D
esa)
Kepa
data
n Ja
lan
Kabu
pate
n (K
m/1
000
jiwa)
% Ja
lan
Kabu
pate
n de
ngan
Kon
disi
Ba
ik
POD
ES 2
005
Dep
arte
men
PU
, 200
2
1Ac
eh73
.06.
210
.552
.83.
72.
855
.42
Sum
ater
a U
tara
83.4
11.1
1153
.79.
91.
838
3Su
mat
era
Bara
t70
12.6
1066
.817
.42.
545
.64
Riau
59.9
7.7
3.1
27.4
7.2
1.7
50.6
5Ja
mbi
56.1
7.5
6.8
42.8
7.9
2.9
47.5
6Su
mat
era
Sela
tan
56.4
10.3
9.5
17.7
9.1
1.1
48.6
7Be
ngku
lu56
.58.
19.
757
.613
.32.
256
.88
Lam
pung
51.1
6.2
12.8
50.5
5.9
1.3
45.5
9D
K I
Jaka
rta
98.7
64.2
2.3
70.8
95.9
n.a.
n.a.
10Ja
wa
Bara
t76
13.6
30.4
73.3
11.9
0.3
66.2
11Ja
wa
Teng
ah65
.44.
936
.265
.18.
30.
663
.112
D I
Yogy
akar
ta83
.47.
720
.475
.912
.31.
249
13Ja
wa
Tim
ur70
.912
.332
.280
9.5
0.6
65.6
14Ka
liman
tan
Bara
t59
.69.
84.
725
5.8
1.7
38.5
15Ka
liman
tan
Teng
ah57
.113
.64.
931
.12.
92.
934
.816
Kalim
anta
n Se
lata
n70
.78.
815
.316
.27.
31.
760
17Ka
liman
tan
Tim
ur79
.916
.23.
436
.610
.81.
550
.518
Sula
wes
i Uta
ra72
.214
.55.
773
.513
1.7
51.7
19Su
law
esi T
enga
h51
.96.
94.
166
.65.
13.
246
.720
Sula
wes
i Sel
atan
68.3
11.6
13.1
52.1
10.3
1.9
51.6
21Su
law
esi T
engg
ara
48.8
5.5
470
.64
2.1
47.2
22Ba
li 74
.515
.218
.398
.923
.71.
571
.123
Nus
a Te
ngga
ra B
arat
34.4
3.2
20.9
74.7
91.
254
.624
Nus
a Te
ngga
ra T
imur
29.5
3.9
4.4
53.6
3.8
2.7
40.3
25M
aluk
u56
.59.
60.
378
.93.
83.
222
.126
Papu
a38
9.5
0.2
27.8
2.2
6.3
27.5
27M
aluk
u U
tara
52.6
5.9
0.5
60.3
4.7
3.8
9.4
28Ba
nten
79.1
21.7
22.6
53.8
11.7
0.4
67.8
29Ke
pula
uan
Bang
ka B
elitu
ng78
.49.
515
.518
.48.
12.
452
.330
Gor
onta
lo45
.75.
63.
262
.77.
14.
456
.631
Kepu
laua
n Ri
au76
.122
.20.
351
.624
.7n.
a.n.
a.32
Prop
. Pap
ua B
arat
n.a.
n.a.
n.a.
n.a.
n.a
n.a.
n.a.
Ra
ta-r
ata
68.7
12.2
7.1
54.6
8.5
2.1
48.8
M
inim
um29
.53.
20.
216
.22.
20.
39.
4
Mak
sim
um98
.764
.236
.298
.995
.96.
371
.1
APENDIKS 148
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D26. Jumlah penduduk per kabupaten/kota di Aceh (1999–2005)
No Kabupaten/kota 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 Kab. Aceh Barat 479,200 440,239 431,787 423,334 228,149 162,250 165,2582 Kab. Aceh Besar 306,149 288,760 291,562 294,364 302,752 303,019 216,9983 Kab. Aceh Selatan 555,280 261,309 285,940 310,571 167,511 186,860 190,5304 Kab. Aceh Singkil 120,040 124,727 129,416 175,175 147,119 152,5945 Kab. Aceh Tengah 265,079 228,380 251,000 273,621 280,058 287,799 192,0276 Kab. Aceh Tenggara 237,929 211,649 214,154 216,660 168,488 168,309 170,2457 Kab. Aceh Timur 781,669 708,830 589,377 469,925 253,257 312,070 309,6998 Kab. Aceh Utara 589,010 632,200 561,065 489,931 396,755 487,369 484,5929 Kab. Bireuen 340,269 341,615 342,962 352,174 349,350 352,312
10 Kab. Aceh Pidie 638,669 479,410 496,686 513,963 519,205 473,500 481,58711 Kab. Simeulue 57,060 56,097 55,134 76,896 71,449 72,11012 Kota Banda Aceh 206,139 219,070 219,831 220,593 269,942 238,699 239,50113 Kota Sabang 24,610 23,649 23,482 23,315 27,531 28,489 29,07914 Kota Langsa 117,260 117,271 117,283 141,212 134,279 134,24715 Kota Lhokseumawe 141,039 141,054 141,068 156,934 138,679 139,93216 Kab. Aceh Barat Daya 153,893 111,370 112,23017 Kab. Gayo Lues 83,921 68,190 68,78418 Kab. Aceh Tamiang 238,824 228,820 228,08919 Kab. Nagan Raya 153,393 111,519 112,96120 Kab. Aceh Jaya 93,905 79,959 82,78921 Kab. Mener Merah 102,336
Total/Provinsi 4,083,734 4,269,164 4,145,648 4,022,140 4,239,975 4,089,098 4,037,900Sumber: BPS / MoF baseline data for DAU calculation
Tabel D27. Jumlah Penduduk Miskin (%) dan Indeks Pembangunan Manusia per kabupaten/kota di Aceh
No Kabupaten/kota
Jumlah Penduduk Miskin (%) Indeks Pembangunan Manusia
1999 2000 2002 2003 2004 1996 1999 2002
BPS/data dasar Depkeu untuk perhitungan DAU BPS UNDP
1 Kab. Aceh Barat 18.3 15.0 38.1 36.1 35.7 67.1 64.3 65.62 Kab. Aceh Besar 23.2 22.0 33.2 30.5 29.9 68.4 66.8 67.23 Kab. Aceh Selatan 7.5 12.4 28.3 29.4 27.6 64.2 62.1 63.84 Kab. Aceh Singkil n.a 12.4 28.3 29.5 28.9 n.a n.a 62.25 Kab. Aceh Tengah 14.3 13.0 28.4 28.9 27.9 68.3 66 66.76 Kab. Aceh Tenggara 26.4 26.8 29.8 24.2 23.9 67.7 63.9 66.87 Kab. Aceh Timur 20.4 17.7 25.3 31.6 30.0 69.5 65.4 66.78 Kab. Aceh Utara 37.3 18.5 25.5 38.2 34.2 69.5 63.1 65.99 Kab. Bireuen n.a 18.5 25.3 30.0 29.3 n.a n.a 70.5
10 Kab. Aceh Pidie 2.4 2.5 44.0 38.9 35.2 67.8 64.1 67.811 Kab. Simeuleu n.a 15.0 38.1 35.0 34.3 n.a n.a 61.812 Kota Banda Aceh 5.0 3.4 10.3 9.7 8.9 74.2 70.5 71.913 Kota Sabang 22.8 21.6 36.7 32.4 31.5 70.1 63.7 69.514 Kota Langsa 25.3 16.3 15.3 n.a n.a n.a15 Kota Lhokseumawe 16.4 15.0 n.a n.a n.a16 Kab. Nagan Raya 34.7 35.9 n.a n.a n.a17 Kab. Aceh Jaya 32.0 31.6 n.a n.a n.a18 Kab. Aceh Barat Daya 27.9 28.0 n.a n.a n.a19 Kab. Gayo Lues 32.2 32.4 n.a n.a n.a20 Kab. Aceh Tamiang 26.0 25.2 n.a n.a n.a
Aceh 17.4 15.0 29.8 29.8 28.5 69.4 65.3 66
APENDIKS 149
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Tabel D28. Jumlah Penduduk Miskin (%) dan Indeks Pembangunan Manusia di seluruh provinsi di Indonesia
No Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin (%) Indeks Pembangunan Manusia
1999 2000 2002 2003 2004 1996 1999 2002
BPS/data dasar Depkeu untuk perhitungan DAU BPS UNDP
1 Aceh 17.4 15.0 29.8 29.8 28.5 69.4 65.3 66
2 Sumatera Utara 19.1 17.2 15.8 15.9 14.9 70.5 66.6 68.8
3 Sumatera Barat 16.5 14.2 11.6 11.2 10.5 69.2 65.8 67.5
4 Riau 19.2 12.5 13.6 13.5 13.1 70.6 67.3 69.1
5 Jambi 27.0 28.2 13.2 12.7 12.5 69.3 65.4 67.1
6 Sumatera Selatan 26.5 25.2 22.3 21.5 20.9 68 63.9 66
7 Bengkulu 24.9 21.5 22.7 22.7 22.4 68.4 64.8 66.2
8 Lampung 25.9 30.6 24.1 22.6 22.2 67.6 63 65.8
9 DKI Jakarta 7.7 4.5 3.4 3.4 3.2 76.1 72.5 75.6
10 Jawa Barat 20.6 19.8 13.4 12.9 12.1 68.2 64.6 65.8
11 Jawa Tengah 27.3 28.4 23.1 21.8 21.1 67 64.6 66.3
12 Yogyakarta 23.6 25.4 20.1 19.9 19.1 71.8 68.7 70.8
13 Jawa Timur 26.6 29.8 21.9 20.9 20.1 65.5 61.8 64.1
14 Kalimantan Barat 26.8 27.4 15.5 14.8 13.9 63.6 60.6 62.9
15 Kalimantan Tengah 24.1 14.5 11.9 11.4 10.4 71.3 66.7 69.1
16 Kalimantan Selatan 18.4 14.8 8.5 8.2 7.2 66.3 62.2 64.3
17 Kalimantan Timur 20.0 20.9 12.2 12.2 11.6 71.4 67.8 70
18 Sulawesi Utara 26.1 11.5 11.2 9.0 8.9 71.8 67.1 71.3
19 Sulawesi Tengah 28.8 29.0 24.9 23.0 21.7 66.4 62.8 64.4
20 Sulawesi Selatan 22.8 18.8 15.9 15.9 14.9 66 63.6 65.3
21 Sulawesi Tenggara 26.3 28.5 24.2 22.8 21.9 66.2 62.9 64.1
22 Bali 9.8 8.3 6.9 7.3 6.9 70.1 65.7 67.5
23 Nusa Tenggara Barat 29.1 33.4 27.8 26.3 25.4 56.7 54.2 57.8
24 Nusa Tenggara Timur 36.4 45.3 30.7 28.6 27.9 60.9 60.4 60.3
25 Maluku 44.5 55.8 34.8 32.9 32.1 68.2 67.2 66.5
26 Papua 31.5 52.5 41.8 39.0 38.7 60.2 58.8 60.1
27 Maluku Utara 40.7 44.3 14.0 13.9 12.4 65.8
28 Banten 17.1 9.2 9.6 8.6 66.6
29 Bangka Belitung 10.2 11.6 10.1 9.1 65.4
30 Gorontalo 32.9 32.1 29.3 29.0 64.1
Nasional 23.4 23.6 18.2 17.4 16.7 67.7 64.3 65.8
150
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Daftar Pustaka
Aceh Forum. 2006. “Sekilas Aceh.” www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-129.html.
Aspinall, E. 2005. “The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?” Policy Studies 20. East-West Center, Washington, DC.
_____ and H. Crouch. 2003. “The Aceh Peace Process: Why It Failed.” East-West Center, Washington, DC.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2004. Aceh Dalam Angka 2004. Banda Aceh, BPS.
_____. 2005. SPAN: Population Census of Nanggroe Aceh Darussalam.
_____ and InterNasional Partners. 2005. “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward.” Jakarta.
BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) NAD-Nias and World Bank. 2005. “Rebuilding a Better Aceh and Nias: Stocktaking of the Reconstruction Eff ort.” Jakarta.
BAPPENAS, Natural ReSumber Management (NRM), and LPEM FEUI. 2000. “Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam.” Jakarta.
Barron, P., S. Clark, and M. Daud. 2005. “Confl ict and Recovery in Aceh.” World Bank, Jakarta.
Brodjonegoro, B., and J. Martinez-Vazquez. 2002. “An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects.” Conference on Can Decentralization Help Build Indonesia? Atlanta.
Burke, Adam and Afnan. 2005. “Aceh: Reconstruction in a Confl ict Environment (Views from Civil Society, Donors and NGOs).” Indonesian Social Development Paper 8. Decentralization Support Facilities, Jakarta.
CGI (Consultative Group on Indonesia). 2003. “Promoting Peaceful Development in Aceh.” Brief for the Consultative Group on Indonesia.
Cohen, M. 1999. “Captive of the Cause.” Far Eastern Economic Review (2 September): 16–18.
Depkes, M. 2005. Operational Manual of the Ministry of Health, Government of Indonesia.
GTZ (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) 2003. “Decentralization in Indonesia Since 1999: An Overview.” Support for Decentralization Measures, www.gtzsfdm.or.id/dec_in_ind.htm
Hedman, E.E. 2005. “State of Emergency, a Strategy of War: Internal Displacement, Forced Relocation, and Involuntary Return in Aceh.” Aceh under Martial Law: Confl ict Violence and Displacements, ed. Eva-Lotta E. Hedman. RSC Working Papers 24. University of Oxford. Hofman, B., K.K. Kadjatmiko, and B.S. Suharnoko. 2006. “Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia.” World Bank Policy Working Paper WPS 3911.
Indonesia Relief. 2005. “Three Authorities Raise Indonesian Death Toll.” Indonesia Relief, 10/2/2005. www.indonesia-relief.org/
InterNasional Crisis Group. 2001. “Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace.” ICG Asia Report 17. Jakarta/Brussels.
151
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
InterNasional Labour Organization. 2005. “Towards Decent Employment in NAD and Nias.” November.
Jakarta Post. 2002. “Ribus Demonstrate for Riau Island Provinsi.” 1 May.
Kell, T. 1995. “The Roots of the Acehnese Rebellion, 1989–1992.” Cornell Modern Indonesia Project 74. Cornell University, Ithaca.
Lewis, B., and J. Chakeri. 2004. “Development Spending in the Regions.” World Bank Jakarta.
Pemerintah Daerah Papua and World Bank. 2005. “Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s Most Remote Region.”
Pemerintah Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan No. 523 tahun 2000 tentang Tata Cara Penganggaran, Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
_____. 2000. Keputusan Menteri Keuangan No. 556 tahun 2000 tentang Tatacara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Alokasi Khusus.
_____. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 107 tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
_____. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
_____. 2001. Keputusan Menteri Keuangan No. 344 tahun 2001 tentang Penyaluran Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam.
_____. 2001. Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
_____. 2001. Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2001 tentang Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
_____.. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi.
_____.. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
_____.. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
_____. 2002. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2002.
_____. 2002. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanjan Daerah.
_____. 2002. Keputusan Menteri Keuangan No. 214 tahun 2002 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam, Pertambangan Umum serta Perikanan tahun anggaran 2002.
_____. 2003. Keputusan Menteri Keuangan No. 237 tahun 2003 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam tahun anggaran 2003.
_____. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
152
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
_____. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
_____. 2004. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
_____. 2004. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
_____. 2004. Keputusan Menteri Keuangan No. 275 tahun 2004 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam tahun anggaran 2004.
_____. 2005. Keputusan Menteri Keuangan No. 42 tahun 2005 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam tahun anggaran 2005.
_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2002. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 4 tahun 2002 tentang Dana Perimbangan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Plummer, J. 2005. Anti-Corruption Eff orts in the Post-tsunami Reconstruction of Water and Sanitation Infrastructure and Services in Aceh, Indonesia, paper presented at the World Water Week in Stockholm, April 2005, www.siwi.org/downloads/downswswww.html
Reid, A. 1988. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680, Vol. One: The Lands below the Winds. New Haven: Yale University Press.
_____. 1993 Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680, Vol. Two: Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press.
Republika. 2006. Wapres Tagih Nama 3000 Anggota GAM. 6 Feb. www_republika_co_id.htm
Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia Since 1200. 3d ed. Basingstoke: Palgrave.
Ross, M.L. 2003. “ReSumber and Rebellion in Aceh, Indonesia.” Economics of Political Violence. A Yale World Bank Report.
Schulze, K.E. 2004. “(GAM): Anatomy of a Separatist Organization.” East-West Center, Washington, DC.
Serambi Indonesia. 2004. “500 Sekolah Terbakar di NAD Selesai tahun 2005.” 29 Nov.
_____. 2004. “Di Dayah Blang Keudah: Murid Masih Belajar di Ruang Darurat.” 3 Desember.
_____. 2006. “Tujuh Kabupaten Belum Tuntaskan APBD: Diduga akan Rawan KKN.” 5 Jun.
Sherlock, S. 2003. “Confl ict in Aceh: A Military Solution?” Current Issues Brief, Information, Analysis and Advice for the Parliament, Canberra, Australia. www.aph.gov.au/library/pubs/CIB/2002-03/03cib32.pdf.
153
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Sidik, M. 2002. “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.” Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta 2002.
Sukma, R. 2004. “Security Operation in Aceh: Goals, Consequences and Lessons.” Policy Studies 3. East-West Center Washington DC.
UNESCO. 2003. “Education Indicators.” Institute for Statistics. Paris.
U.S. Committee for Refugees. 2001. “Shadow Plays: The Crisis of Refugees and Internally Displaced Peoples in Indonesia.”
World Bank. 2002. “Decentralizing Indonesia.” World Bank Regional Public Expenditure Review Overview Report. World Bank East Asia and Pacifi c Region (EAP), Poverty Reduction and Economic Management (PREM) Unit.
World Bank. 2004. Indonesia: Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action.
154
ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN