PREDIKTOR OUTCOME pada CEDERA KEPALA TRAUMATIK
(Glukosa, Laktat, SID, MDA, Cerebral Extraction Ratio for Oxygen/CERO2 )
PREDICTOR of OUTCOME in TRAUMATIC BRAIN INJURY
(Glucosa, Lactate, SID, MDA, Cerebral Extraction Ratio for Oxygen/CERO2 )
Agus Baratha Suyasa*, Sudadi
**, Sri Rahardjo
**, Bambang Suryono
**
*Departemen Anestesi dan Terapi Intensif , Kasih Ibu Hospital, Denpasar – BALI
**Departemen Anestesi dan Terapi Intensif, RS Dr. Sardjito, Yogyakarta
Abstract
Background: The tissue has a different requirement for glucose. The brain has the greatest need for glucose.
The brain is very susceptible to ischemia suggests that the brain has a high metabolic rate. Mechanism of
ischemic injury is the biochemical changes and physiological changes that occur due to circulatory
disturbances. Such changes as: (1) The loss of high energy phosphate, (2) acidosis due to anaerobic process that
produces lactic and (3) No Reflow because of brain edema. The use of lactate levels as an indicator of tissue
ischemia, has been widely applied in various studies. The results of these studies indicate that the levels of
lactate can be used as an early marker for predicting the risk of complications, postoperative mortality and the
incidence of MOF (Multiple Organ Failure). Lately a lot of talk about the relationship SID changes with poor
clinical outcome. They found that the SID / SIG is a strong predictor of patient outcome. Oxidative stress is one
of the mechanisms involved in neuronal damage due to ischemia and reperfusion, presumably due to the
formation of lipid peroxidation. MDA is used as a marker of lipid peroxidation, especially for processes associated with oxidative stress. CERO2 can be used as an indicator of cerebral ischemia.
Subjects and Method: Eleven patients with a traumatic head injury initial GCS 5-12 who underwent craniotomy
with evacuation operations, was observed on levels of glucose, lactate, SID, MDA, the CERO2 and the outcome
(the APS Score) from pre surgery to 3 days after surgery in the ICU. Blood samples taken from the jugular
internal vein and radial artery. Observations were analyzed to see the relationship between the variables with
the outcome observations.
Results: Found a strong relationship between the variable: levels of lactate, MDA and CERO2 on patient
outcomes in general. But there are variations between them according to the conditions when the analysis
carried out observations. Day 2 is the most ideal time to see the effect on outcome of lactate levels whereas to
see the relationship between the MDA and CERO2 to outcome, the observation idealy taken on day 3.
Conclusion: The variables, levels of lactate, MDA and CERO2 showed promising results as a predictor of outcome in patients with traumatic brain injury after craniotomy, although not yet to be concluded and is widely
used as a reference. Need a multicentre study with more number of samples and good research design to get the
results that can really make a reference in a broad range of predictor variables and the observations so as to
provide good information about the prognosis of outcome of patients with traumatic brain injury, who remain
based on the pathophysiology of brain injury and cell death cascade of secondary brain injury.
Keywords : Levels of Glucose; Lactate; SID; MDA; CERO2; Predictors of Outcome, Traumatic Brain Injury (TBI)
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Latar Belakang: Jaringan tubuh memiliki kebutuhan yang berbeda terhadap glukosa. Otak memiliki kebutuhan
yang paling besar terhadap glukosa. Otak sangat rentan terhadap iskemia yang menunjukkan bahwa otak
memiliki laju metabolik yang tinggi. Mekanisme injury iskemia adalah perubahan biokimia dan perubahan
fisiologis yang terjadi karena ganguan sirkulasi. Perubahan-perubahan tersebut seperti: (1) Hilangnya phospat
energi tinggi, (2) Asidosis karena proses anaerob yang menghasilkan laktat dan (3) No Reflow karena oedem
otak. Penggunaan kadar laktat sebagai indikator iskemia jaringan, telah banyak dilakukan dalam berbagai
penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar laktat dapat digunakan sebagai penanda
awal untuk memprediksi resiko komplikasi, mortalitas post operatif dan kejadian MOF (Multiple Organ
Failure). Belakangan banyak dibicarakan mengenai hubungan perubahan SID dengan outcome klinis yang
buruk. Mereka menemukan bahwa SID/SIG merupakan prediktor kuat terhadap outcome pasien. Stres oksidatif merupakan salah satu mekanisme yang terlibat dalam kerusakan saraf akibat iskemia dan reperfusi, diperkirakan
karena terbentuknya lipid peroksidase. MDA digunakan sebagai penanda dari peroksidasi lipid, terutama untuk
proses-proses yang berhubungan dengan stress oksidatif. Rasio ekstraksi oksigen serebral (CERO2) dapat
dipergunakan sebagai indikator adanya iskemia otak.
Subyek dan Metode: Sebelas pasien cedera kepala traumatik dengan GCS awal 5-12 yang menjalani operasi
kraniotomi evakuasi, dilakukan pengamatan terhadap kadar glukosa, laktat, SID, MDA, nilai CERO2 serta
outcome (nilai APS Score) dari pre operasi sampai 3 hari pasca operasi di ICU. Sample darah diambil dari vena
jugularis interna dan arteri radialis. Hasil pengamatan dianalisa untuk melihat hubungan antara variabel
pengamatan dengan outcome.
Hasil: Ditemukan hubungan yang kuat antara variable kadar laktat, MDA, CERO2 terhadap outcome pasien
secara umum. Namun terdapat variasi jika analisa dilakukan menurut kondisi waktu pengamatan. Hari ke-2 adalah waktu yang paling ideal untuk melihat pengaruh kadar laktat terhadap outcome sedangkan untuk melihat
hubungan MDA dan CERO2 terhadap outcome, waktu pengamatan paling ideal hari ke-3.
Simpulan: Variabel kadar laktat, MDA dan OER menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai prediktor
outcome pada pasien dengan cedera kepala traumatik pasca kraniotomi walaupun belum dapat di simpulkan dan
dijadikan acuan secara luas. Perlu suatu penelitian multicentre dengan jumlah sample yang lebih banyak serta
desain penelitian yang baik untuk mendapatkan hasil yang benar-benar dapat di jadikan acuan secara luas
mengenai variabel prediktor serta waktu pengamatan sehingga dapat memberikan informasi yang baik tentang
prognosis outcome pasien cedera kepala traumatik, yang tetap berdasar pada patofisiologi cedera kepala serta
kaskade kematian sel karena cedera otak sekunder.
Kata Kunci : Kadar Glukosa; Laktat; SID; MDA; CERO2; Prediktor Outcome, Cedera Kepala Traumatik (TBI)
JNI 2012;1(4):
I.Pendahuluan
Jaringan tubuh memiliki kebutuhan terhadap
glukosa. Tingkat kebutuhan glukosa masing-masing
jaringan berbeda. Otak memiliki kebutuhan yang
besar terhadap glukosa. Glikolisis merupakan
lintasan utama bagi pemakaian glukosa,
berlangsung di dalam sitosol semua sel. Glikolisis
merupakan suatu lintasan yang unik, karena dapat bekerja dalam kondisi tersedia cukup oksigen
(aerob) dan kondisi kekurangan oksigen (anaerob).
Dalam kondisi anaerob, glikogen akan menghilang
dan muncul laktat sebagai produk akhir utama.1
Otak sangat rentan terhadap keadaan iskemia. Ini
menunjukkan bahwa sel otak memiliki laju
metabolik yang tinggi. Sel saraf otak sangat
tergantung pada glukosa sebagai substrat energi,
sedangkan cadangan otak untuk glukosa ataupun
glikogen sangat terbatas. Penyebab utama semua
injury adalah iskemia serebral dan hipoksia.
Pengamatan terakhir tentang mekanisme injury iskemik adalah perubahan biokimia dan perubahan
fisiologis yang terjadi karena gangguan sirkulasi.
Perubahan-perubahan tersebut seperti (1)
Hilangnya phospat energi tinggi, (2) Asidosis
karena proses anaerobik yang menghasilkan laktat
dan (3) No Reflow karena oedem otak.2-5
Otak hampir secara total tergantung pada glukosa
eksogen untuk kebutuhan energi sel-nya. Selama
metabolisme aerob, glukosa dimetabolisme menjadi
piruvat. Jika terjadi iskemia, maka proses
metabolisme glukosa dilakukan secara anaerob
sehingga terbentuk laktat yang dikatalisa enzym
laktat dehidrogenase (LDH).4
Penggunaan kadar laktat sebagai indikator hipoksia
jaringan, telah banyak dilakukan dalam berbagai
penelitian. Gvozdenovic dkk., meneliti perubahan
kadar laktat sebagai nilai prognostik pada pasien
dengan multitrauma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi komplikasi dan mortalitas semakin
meningkat sesuai dengan peningkatan kadar laktat.
Sehingga disimpulkan bahwa kadar laktat dalam
darah dapat digunakan sebagai penanda awal untuk
memprediksi resiko komplikasi dan mortalitas post
operatif.6
Penelitian lain melihat korelasi kadar laktat darah
dengan laju mortalitas pada syok septic sebagai
bentuk lain syok sirkulasi. Ada juga yang meneliti
hubungan kadar laktat dengan kerusakan organ dan
mortalitas pada trauma berat. Hasil penelitian
tersebut menunjukkkan bahwa pemeriksaan kadar laktat secara serial dapat memprediksi kejadian
Multiple Organ Failure (MOF) dan kematian.
Namun hal yang penting adalah durasi kejadian
asidosis laktat.7
Gangguan asam-basa sering terjadi pada hipoksia
jaringan. Walaupun beberapa kasus biasanya ringan
dan dapat hilang dengan sendirinya, namun ada
kalanya gangguan asam basa menjadi berbahaya,
dapat menyebabkan disfungsi organ secara
langsung. Manifestasi klinis dapat berupa edema
serebral, kejang, penurunan kontraktilitas miokard, pulmonari vasokonstriksi dan vasodilatasi
sistemik. Konsentrasi H+ merupakan determinan
dalam gangguan asam-basa. Tiga variabel
independen (bebas) yang mempengruhi yaitu:
PCO2, Strong Ion Deferrences (SID), dan total
konsentrasi asam lemah (Atot). SID merupakan
perbedaan antara anion kuat dan kation kuat ( Na+,
K+, Ca++, Mg++ dan Cl- ). Ion lain seperti laktat,
terionisasi hampir sempurna pada kondisi
fisiologis sehinga disebut juga ion kuat (strong
ion).8 Belakangan banyak dibicarakan SID yang abnormal
berhubungan dengan luaran/outcome klinis yang
buruk. Penelitian yang melibatkan pemberian
gelatin dan tanpa gelatin menunjukkan korelasi
positif antara SID dan hospital mortality. Sebuah
penelitian melaporkan nilai SID preresusitasi dapat
memprediksi mortalitas pada pasien trauma.
Penelitian Dondorp tahun 2004, mendapatkan hasil
yang sama dimana SID preresusitasi merupakan
prediksi mortalitas yang kuat pada malaria berat,
sedangkan Kaplan mengamati korelasi outcome
pasien yang mengalami trauma pembuluh darah besar dengan pH, base deficit, laktat, anion gap,
SID dan Strong Ion Gap (SIG) sebagai faktor
prediksi. Mereka menemukan bahwa SID/ Strong
Ion Gap (SIG) merupakan prediktor kuat terhadap
outcome pasien.
Stres oksidatif merupakan salah satu mekanisme
yang terlibat dalam kerusakan saraf akibat iskemia
dan reperfusi, diperkirakan karena terbentuknya
lipid peroksidase. Struktur otak sangat banyak
tersusun dari lipid, karenanya sangat rentan terjadi
kerusakan akibat lipid peroksidase.
Malondialdehide (MDA) adalah derivat
peroksidasi lipid yang dihasilkan dari oksidasi asam lemak dengan tiga atau lebih rantai ganda seperti
asam arachidonat. MDA digunakan sebagai
penanda dari peroksidasi lipid, terutama untuk
proses-proses yang berhubungan dengan stress
oksidatif.9-12
II.Subjek dan Metode
1. Rancangan Pengamatan Rancangan pengamatan adalah serial kasus analitik
prospektif observasional, dimana tidak melakukan
intervensi terhadap kelompok populasi. Populasi tunggal diamati ke depan untuk melihat korelasi
antara variabel independen dan variabel dependen
serta melihat variabel independen manakah yang
paling berpengaruh terhadap variabel dependen
Gambaran Rancangan Pengamatan
Pengamatan
Variabel C
Pengamatan
Variabel D
O U
T C
O M
E
Pengamatan
Variabel B
TP KIE PT P
Pengamatan
Variabel A
Pengamatan
Variabel E
AP
S S
core
Keterangan :
TP : Target Populasi
KIE : Kriteria Inklusi Eksklusi
PT : Populasi Terpilih
P : Persetujuan
Variabel A : Perubahan kadar
glukosa
Variabel B : Perubahan kadar laktat
Variabel C : Nilai SID Variabel D : Kadar MDA
Variabel E : Nilai Rasio Ekstraksi
Oksigen Serebral(CERO2)
Outcome : Acute Physiologic Score
(APS) dalam Skor APACHE II
3. Subyek Pengamatan Subyek pengamatan adalah pasien cedera
kepala yang mengalami cedera kepala
traumatik (EDH, SDH, ICH) dan dilakukan
operasi kraniotomi di RS DR Sardjito, baik
elektif maupun emergensi. a. Kriteria Inklusi
1. Menanda tangani surat
persetujuan (bisa oleh keluarga)
2. Usia minimal 18 tahun
3. Status fisik ASA II dan III
4. Pasien dengan EDH, SDH
maupun ICH
5. Operasi kraniotomi elektif
maupun emergensi
6. Penderita pasca operatif dengan
normoventilasi
b. Kriteria Ekslusi
1. Penderita kelainan jantung
2. Penderita diabetes melitus
3. Penderita kelainan hepar
4. Penderita kelainan ginjal
5. Penderita kelainan otot
6. Penderita dengan diabetes
insipidus dan SIADH c. Kriteria Drop Out
- Penderita mengalami syok dari
jangka waktu pengamatan
- Gagal melakukan pemasangan
kateter vena jugularis interna
4. Variabel
a. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah perubahan
kadar glukosa, kadar Laktat, nilai
SID, kadar MDA dan nilai CERO2.
b. Variabel Tergantung Variabel tergantung adalah outcome
pasien dalam hal ini nilai Acute
Physiologic Score (APS) dalam
Skor APACHE II.
6. Tata Cara Kerja
Penelitian dilaksanakan di ICU RS DR
Sardjito, setelah mendapat persetujuan komite
etik. Tata cara pengamatan dilakukan sebagai
berikut
Pasien terpilih:
Pasien Cedera Kepala
(EDH, SDH, ICH)
GCS 5 – 12
Pemasangan IV Line no 18 dengan cairan kristaloid dan Pemasangan
Kateter Vena Jugularis dengan Venocath Abbott No 18
Pengambilan sample darah I untuk laboratorium: darah rutin, GDS,
Bun, Creatinin, Elektrolit Na, K, Cl, Ca, AGDa,v, Laktat , MDA
Operasi kraniotomi
Preemptive analgesia: fentanyl 1ug/KgBB i v
Induksi: Thiopental 5 mg/KgBB i v
Fasilitas Intubasi: Rokuronium 0,6 mg/KgBB i v
Pemeliharaan: O2, Isofluran, fentanyl intermittent 0,5 ug/KgBB
Pengambilan sample darah II (Post Op) untuk laboratorium: darah rutin, GDS, Bun,
Creatinin, Elektrolit Na, K, Cl, Ca, Laktat, AGDv,MDA dari vena jugularis,
AGDa dari sample darah arteri
Pengukuran TD, MAP, HR, SpO2, To,
RR, GCS
Pengamatan ( di ICU ) hari Ke-1,2,3:
Pengukuran darah rutin, GDS, Bun, Creatinin, Elektrolit Na, K, Cl, Ca,
Laktat, AGDv, MDA
Sampel darah dari vena jugularis, AGDa dari sample darah arteri
Pengukuran TD, MAP, HR, SpO2, To, RR, GCS
Penghitungan Skor APS
Syok saat periode pengamatan
DROP OUT
1. Semua populasi terpilih dalam
pengamatan, dimintakan persetujuan
untuk ikut serta dalam penelitian (bisa
oleh keluarga).
2. Paska operasi kraniotomi penderita
dibawa ke ruang ICU untuk observasi
serta pengamatan
3. TD, MAP, Nadi, SaO2. di monitor elektronik di ICU
4. Sampel darah di ambil dari vena jugularis
interna untuk pemeriksaan kadar glukosa,
elektrolit (Na, K, Cl, Ca), kadar laktat,
AGD vena (SjVO2) dan kadar MDA.
AGD arterial diambil dari sampel darah
arteri radialis. Pemeriksaan di lakukan
setiap hari pukul 09.00 sampai hari ke-3
5. Untuk pemeriksaan MDA darah dari vena
jugularis di sentrifuge 6000 rpm,
kemudian plasma diambil dan disimpan
dalam tabung ependorf. 6. Kadar malondialdehid (MDA) dalam
plasma ini diukur dengan
spektrofotofluorometer RF-510 Shimidzu,
di bagian Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. 250 μl plasma
ditambah 100 μl sodium duodesil (IDS)
8,1%, 100 μl, HCl 0,5 M, 750 μl,
Thiobarbituric acid (TBA) 20 M, dan 125
μl Aquabidest (DDW ), divortex. Lalu
dilakukan pemanasan selama 15 menit
pada suhu 90 °C. Kemudian dinginkan selama 10 menit. Tambahkan Aquabidest
(DDW) 500 μl dan 2,5 ml n Butanol pir,
divortex, lalu disentrifuge 300 g selama
15 menit. Supernatan dibaca pada excitasi
fluorometer 520 nm, emisi 550 nm, lalu
dilihat absorbansi atau penyerapan pada
warna tertentu.
7. Rasio ekstraksi oksigen serebral (CERO2)
dihitung dari selisih SaO2 – SjVO2.
8. Oksigenasi tanpa ventilasi mekanik
9. Acute Physiologic Score (APS) dihitung
setiap hari 10. Hasil-hasil pemeriksaan dan pengamatan,
dicatat pada lembar penelitian dan
kemudian di analisis.
7. Pengamatan Pengamatan dan pencatatan variabel dilakukan
pada saat pra dan pasca operasi kraniotomi,
serta pasien sudah berada di ruang ICU sampai
hari ketiga.
Data yang dicatat adalah :
Data umum : TD, N, MAP, SaO2. Data khusus : Kadar laktat, glukosa, SID,
MDA, CERO2 pada hari ke-0 sampai hari
ke-3.
8. Alat Pengamatan
a. Alat monitor TD, MAP, Nadi, SaO2
elektrik (Marquette Eagle 3000)
b. Venocath no 18 merk ABBOTT
c. Spuit 3 cc, 5 cc dan 10 cc merk terumo
d. Tabung EDTA 3cc dan Tabung Penampung
darah
e. Tabung ependorf f. Three-way discofix
g. Label selotip
h. I-Stat dan Chip CG 4+ pemeriksaan laktat
i. Kateter intravena G 18
9. Izin Subjek Penelitian
Semua penderita yang terpilih dalam penelitian,
dimintakan persetujuan untuk ikut dalam penelitian,
serta menandatangani surat persetujuan ikut sebagai
subjek pengamatan. Dalam hal ini, jika keadaan
penderita tidak memungkinkan untuk memberi
persetujuan (tidak sadar, operasi emergensi), maka persetujuan dimintakan kepada keluarga, setelah
mendapat penjelasan yang cukup mengenai
prosedur yang akan dikerjakan.
10. Analisa Data dan Uji Statistik
Data hasil pengamatan dicatat pada daftar isian
yang sudah tersedia, selanjutnya ditabulasi dan di
analisis. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak komputer SPSS 13
for Wndows.
12. Definisi Operasional
Kadar Laktat : Kadar laktat yang diukur
menggunakan alat
khusus dengan I-Stat,
dari sample darah Vena
Jugularis Interna.
Kadar Glukosa : Kadar glukosa yang diukur
menggunakan alat
khusus di laboratorium,
dari sample darah Vena
Jugularis Interna.
Nilai SID : Nilai yang didapat dengan mengukur nilai elektrolit
Na, K, Cl dimana : SID
= (Na+ + K+ ) – (Cl-)
Kadar MDA : Kadar MDA diukur dari serum
sampel darah vena
jugularis yang sudah di
sentrifuge 6000 rpm
kemudian diperiksa
dengan alat khusus di
laboratorium biokimia
FK Universitas Gadjah Mada.
Nilai CERO2 : Nilai yang didapat dari selisih
SaO2 – SjO2.
Outcome : Acute Physiologic Score
(APS) dalam Skor APACHE II
Normoventilasi : Pasien dengan nilai PaCO2 35-
45 mmHg baik bernafas
spontan, maupun dengan
alat bantu nafas
(ventilasi mekanik).
III. Hasil dan Pembahasan
Hasil
Telah dilakukan pengamatan pada sebelas
pasien yang mengalami cedera kepala traumatik
(EDH, SDH, ICH) dengan GCS awal berkisar
antara 5 – 12. Setelah diagnosis ditegakan, pasien
menerima tatalaksana dari bedah saraf dan anestesi
untuk persiapan operasi kraniotomi evakuasi
perdarahan, serta tatalaksana untuk pengamatan
variabel bebas (kadar glukosa, laktat, SID, MDA,
CERO2) terhadap outcome. Pengamatan dilakukan
mulai dari kondisi pra bedah, pasca bedah sampai hari ketiga perawatan di ICU, hasil pengamatan
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6 . Data pengamatan kadar glukosa, laktat,
SID, MDA, CERO2, APS dan GCS
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS GCS
I A1 92 37 1.65 5.58 10.6 14 10
B1 97 38 1.88 7.56 15.9 8 9
C1 111 32 1.48 6.57 21.4 6 10
D1 115 37 1.23 5.37 18.1 2 14
E1 148 44 0.87 4.27 35.3 0 15
II A2 122 39 1.36 4.16 26.8 9 12
B2 89 35 1.08 5.8 24.6 2 13
C2 111 34 0.67 7.12 29.2 0 15
D2 84 34 0.74 6.13 37.6 0 15
E2 86 26 0.86 6.68 32.9 0 15
III A3 87 34 1.88 7.01 24.6 5 12
B3 110 32 1.34 5.74 36.4 5 14
C3 112 34 0.74 4.82 42.7 1 15
D3 97 32 0.65 4.6 30.8 1 15
E3 116 27 0.86 4.6 36.4 0 15
IV A4 126 32 1.68 7.43 25.9 6 12
B4 114 28 1.32 5.37 24.7 11 13
C4 128 47 1.69 5.48 34.6 4 15
D4 115 36 0.99 7.08 35.8 2 15
E4 117 31 1.58 5.74 34.8 2 15
V A5 101 34 0.85 7.68 26.7 8 11
B5 132 35 0.67 6.81 32.7 8 11
C5 104 29 1.65 5.34 29.1 8 13
D5 92 27 1.08 8.55 43.8 5 15
E5 96 26 0.78 4.57 34.1 4 15
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS GCS
VI A6 135 24 1.8 7.43 16.2 8 10
B6 146 24 1.84 7.13 24.9 7 10
C6 130 27 1.68 6.8 19.5 5 12
D6 116 38 0.88 8.4 30 2 14
E6 102 43 0.87 5.2 35.1 0 15
VII A7 143 16 1.98 8.43 17.1 5 12
B7 134 24 1.87 8.2 19.6 5 12
C7 114 32 0.78 6.8 25.9 2 14
D7 98 43 0.64 5.31 37.6 0 15
E7 87 47 0.68 4.78 29.1 0 15
VIII A8 138 26.5 1.78 8.28 23.7 10 9
B8 145 19 1.62 9.56 9.9 8 9
C8 86 28 0.86 7.88 20 6 10
D8 77 39 2.08 5.2 23.8 12 7
E8 82 38 1.76 7.03 21 10 9
IX A9 168 22 1.84 8.68 50.6 9 8
B9 198 18 1.34 7.53 18.1 7 10
C9 168 19 1.09 6.2 24.1 3 13
D9 132 30 0.67 4.56 34.4 2 14
E9 111 40 0.56 4.81 34.9 0 15
X A10 136 28 1.15 5.2 24.4 7 8
B10 169 32 1.98 8.64 30.1 11 7
C10 157 39 1.64 6.8 26.9 5 10
D10 129 39 1.02 4.8 29.8 2 13
E10 112 39 0.84 4.56 36.1 0 15
XI A11 153 30 0.78 10.2 22 12 5
B11 134 32 0.78 11.6 24.8 12 5
C11 131 39 1 9.54 24.6 10 6
D11 137 38 0.84 7.88 23.8 8 8
E11 104 36 0.74 7.03 36.2 6 10
Keterangan : A = Pre operatif; B = Post operatif; C = Hari ke-1; D = Hari ke-2; E = Hari ke-3
Tabel 7. Hubungan GDR, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
I A1 92 37 1.65 5.58 10.6 14
B1 97 38 1.88 7.56 15.9 8
C1 111 32 1.48 6.57 21.4 6
D1 115 37 1.23 5.37 18.1 2
E1 148 44 0.87 4.27 35.3 0
II A2 122 39 1.36 4.16 26.8 9
B2 89 35 1.08 5.8 24.6 2
C2 111 34 0.67 7.12 29.2 0
D2 84 34 0.74 6.13 37.6 0
E2 86 26 0.86 6.68 32.9 0
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
III A3 87 34 1.88 7.01 24.6 5
B3 110 32 1.34 5.74 36.4 5
C3 112 34 0.74 4.82 42.7 1
D3 97 32 0.65 4.6 30.8 1
E3 116 27 0.86 4.6 36.4 0
IV A4 126 32 1.68 7.43 25.9 6
B4 114 28 1.32 5.37 24.7 11
C4 128 47 1.69 5.48 34.6 4
D4 115 36 0.99 7.08 35.8 2
E4 117 31 1.58 5.74 34.8 2
V A5 101 34 0.85 7.68 26.7 8
B5 132 35 0.67 6.81 2.7 8
C5 104 29 1.65 5.34 29.1 8
D5 92 27 1.08 8.55 43.8 5
E5 96 26 0.78 4.57 34.1 4
VI A6 135 24 1.8 7.43 16.2 8
B6 146 24 1.84 7.13 24.9 7
C6 130 27 1.68 6.8 19.5 5
D6 116 38 0.88 8.4 30 2
E6 102 43 0.87 5.2 35.1 0
VII A7 143 16 1.98 8.43 17.1 5
B7 134 24 1.87 8.2 19.6 5
C7 114 32 0.78 6.8 25.9 2
D7 98 43 0.64 5.31 37.6 0
E7 87 47 0.68 4.78 29.1 0
VIII A8 138 26.5 1.78 8.28 23.7 10
B8 145 19 1.62 9.56 9.9 8
C8 86 28 0.86 7.88 20 6
D8 77 39 2.08 5.2 23.8 12
E8 82 38 1.76 7.03 21 10
IX A9 168 22 1.84 8.68 50.6 9
B9 198 18 1.34 7.53 18.1 7
C9 168 19 1.09 6.2 24.1 3
D9 132 30 0.67 4.56 34.4 2
E9 111 40 0.56 4.81 34.9 0
X A10 136 28 1.15 5.2 24.4 7
B10 169 32 1.98 8.64 30.1 11
C10 157 39 1.64 6.8 26.9 5
D10 129 39 1.02 4.8 29.8 2
E10 112 39 0.84 4.56 36.1 0
XI A11 153 30 0.78 10.2 22 12
B11 134 32 0.78 11.6 24.8 12
C11 131 39 1 9.54 24.6 10
D11 137 38 0.84 7.88 23.8 8
E11 104 36 0.74 7.03 36.2 6
P (Anova) 0,053 0,099 0,005** 0,009** 0,001**
P (Korelasi) 0,087 0,104 0,000** 0,000** 0,000**
P (Regresi) 0,868 0,399 0,001** 0,001** 0,014*
Tabel 8. Hubungan GDR, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome pada
kondisi prabedah.
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
I A1 92 37 1.65 5.58 10.6 14
II A2 122 39 1.36 4.16 26.8 9
III A3 87 34 1.88 7.01 24.6 5
IV A4 126 32 1.68 7.43 25.9 6
V A5 101 34 0.85 7.68 26.7 8
VI A6 135 24 1.8 7.43 16.2 8
VII A7 143 16 1.98 8.43 17.1 5
VIII A8 138 26.5 1.78 8.28 23.7 10
IX A9 168 22 1.84 8.68 50.6 9
X A10 136 28 1.15 5.2 24.4 7
XI A11 153 30 0.78 10.2 22 12
P (Anova) 0,840 0,984 0,587 0,679 0,657
P (Korelasi) 0,950 0,292 0,321 0,957 0,626
P (Regresi) 0,242 0,181 0,807 0,535 0,331
Tabel 9. Hubungan GDR, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome pada kondisi
pascabedah hari ke-0
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
I B1 97 38 1.88 7.56 15.9 8
II B2 89 35 1.08 5.8 24.6 2
III B3 110 32 1.34 5.74 36.4 5
IV B4 114 28 1.32 5.37 24.7 11
V B5 132 35 0.67 6.81 2.7 8
VI B6 146 24 1.84 7.13 24.9 7
VII B7 134 24 1.87 8.2 19.6 5
VIII B8 145 19 1.62 9.56 9.9 8
IX B9 198 18 1.34 7.53 18.1 7
X B10 169 32 1.98 8.64 30.1 11
XI B11 134 32 0.78 11.6 24.8 12
P (Anova) 0,400 0,651 0,714 0,286 0,194
P (Korelasi) 0,323 0,962 0,905 0,112 0,910
P (Regresi) 0,440 0,486 0,946 0,335 0,925
Tabel 10. Hubungan GDR, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome pada kondisi
pascabedah hari ke-1
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
I C1 111 32 1.48 6.57 21.4 6
II C2 111 34 0.67 7.12 29.2 0
III C3 112 34 0.74 4.82 42.7 1
IV C4 128 47 1.69 5.48 34.6 4
V C5 104 29 1.65 5.34 29.1 8
VI C6 130 27 1.68 6.8 19.5 5
VII C7 114 32 0.78 6.8 25.9 2
VIII C8 86 28 0.86 7.88 20 6
IX C9 168 19 1.09 6.2 24.1 3
X C10 157 39 1.64 6.8 26.9 5
XI C11 131 39 1 9.54 24.6 10
P (Anova) 0,406 0,471 0,368 0,189 0,222
P (Korelasi) 0,899 0,804 0,153 0,139 0,172
P (Regresi) 0,090 0,079 0,011** 0,016** 0,076
Tabel 11. Hubungan GDR, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome pada kondisi pasca
bedah hari ke-2
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
I D1 115 37 1.23 5.37 18.1 2
II D2 84 34 0.74 6.13 37.6 0
III D3 97 32 0.65 4.6 30.8 1
IV D4 115 36 0.99 7.08 35.8 2
V D5 92 27 1.08 8.55 43.8 5
VI D6 116 38 0.88 8.4 30 2
VII D7 98 43 0.64 5.31 37.6 0
VIII D8 77 39 2.08 5.2 23.8 12
IX D9 132 30 0.67 4.56 34.4 2
X D10 129 39 1.02 4.8 29.8 2
XI D11 137 38 0.84 7.88 23.8 8
P (Anova) 0,013** 0,377 0,016** 0,453 0,255
P (Korelasi) 0,663 0,826 0,004** 0,566 0,229
P (Regresi) 0,667 0,745 0,064** 0,444 0,842
Tabel 12. Hubungan GDR, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome pada kondisi
pascabedah hari ke-3
Pasien Kode GDR SID Lactat MDA CERO2 APS
I E1 148 44 0.87 4.27 35.3 0
II E2 86 26 0.86 6.68 32.9 0
III E3 116 27 0.86 4.6 36.4 0
IV E4 117 31 1.58 5.74 34.8 2
V E5 96 26 0.78 4.57 34.1 4
VI E6 102 43 0.87 5.2 35.1 0
VII E7 87 47 0.68 4.78 29.1 0
VIII E8 82 38 1.76 7.03 21 10
IX E9 111 40 0.56 4.81 34.9 0
X E10 112 39 0.84 4.56 36.1 0
XI E11 104 36 0.74 7.03 36.2 6
P (Anova) 0,748 0,694 0,001** 0,121 0,022*
P (Korelasi) 0,204 0,710 0,050* 0,024* 0,032*
P (Regresi) 0,654 0,650 0,940 0,252 0,350
Berdasarkan hasil pengamatan secara umum (tabel) ditemukan hubungan yang bermakna serta korelasi
yang kuat antara variabel kadar laktat, MDA dan
CERO2 terhadap outcome (APS score) dimana
secara statistik ditemukan hubungan yang
signifikan dengan nilai p < 0,01. Namun untuk
variabel Glukosa dan SID belum ditemukan
hubungan yang bermakna secara statistik dengan
nilai p > 0,05.
Grafik 1. Hubungan Glukosa, Laktat, SID, MDA,
CERO2 terhadap Outcome
Grafik Hubungan Glukosa, Laktat, SID, MDA, OER terhadap Outcome
0
50
100
150
200
250
300
B1D1 A2
C2 E2 B3
D3 A4
C4 E4 B5
D5 A6
C6 E6 B7
D7 A8
C8 E8 B9
D9
A10C10 E10 B11
D11
Waktu Pengamatan
Ka
da
r
APS
OER
MDA
Lactat
SID
GDR
Grafik 2. Hubungan Glukosa terhadap Outcome
Grafik 3. Hubungan SID terhadap Outcome
Grafik 4. Hubungan Laktat terhadap Outcome
Grafik 5. Hubungan MDA terhadap Outcome
Grafik 6. Hubungan CERO2 terhadap Outcome
Pengamatan pada kondisi prabedah (tabel) tidak
ditemukan hubungan yang bermakna untuk semua
variabel pengamatan secara statistik, namun jika
diperhatikan SID dan laktat memiliki korelasi yang
cukup kuat terhadap outcome.
Pengamatan pada kondisi pascabedah hari ke-0
(tabel) juga tidak ditemukan hubungan yang
bermakna secara statistik untuk, semua variabel
pengamatan, namun MDA memiliki korelasi dan
0
20
40
60
80
100
120
140
160
A1 B1 C1 D1 E1
GDR
APS
0
5
10
15
20
25
30
35
A5 B5 C5 D5 E5
SID
APS
0
2
4
6
8
10
12
14
A1 B1 C1 D1 E1
Lactat
APS
0
2
4
6
8
10
12
14
A1 B1 C1 D1 E1
MDA
APS
0
10
20
30
40
A1 B1 C1 D1 E1
CERO2
APS
kekuatan hubungan yang paling baik diantara variabel pengamatan.
Pengamatan pada kondisi pascabedah hari ke-1
(tabel) ditemukan korelasi yang kuat dan bermakna
secara statistik antara kadar laktat dan MDA
terhadap outcome dengan nilai p < 0,05.
Pengamatan pada kondisi pascabedah hari ke-2
(tabel) ditemukan korelasi dan hubungan yang kuat
serta bermakna secara statistik antara kadar laktat
terhadap outcome dengan nilai p < 0,01.
Pengamatan pada kondisi pascabedah hari ke-3
(tabel) ditemukan korelasi dan hubungan yang kuat serta bermakna secara statistik antara kadar laktat,
MDA dan CERO2 terhadap outcome dengan nilai p
< 0,05.
IV. Pembahasan
Jika melihat patofisiologi trauma kepala dimana
hipoksia dan iskemia merupakan faktor determinan
utama terjadinya cedera sekunder yang
mengaktivasi berbagai jalur kerusakan sel, maka
berbagai variabel dapat menjadi indikator untuk melihat sejauh mana kerusakan sel yang telah
terjadi. Beberapa variabel tersebut diantaranya
kadar glukosa, laktat, SID, MDA serta CERO2,
yang dalam pengamatan ini ingin dilihat apakah
memiliki hubungan dan korelasi terhadap outcome
pasien cedera kepala traumatik pasca kraniotomi,
serta kapan waktu pengukuran yang paling ideal
untuk menentukan prognosis pasien cedera kepala
traumatik.
Dari hasil pengamatan sebelas pasien cedera kepala
traumatik pasca kraniotomi, belum ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik untuk
variabel Glukosa dan SID, ditemukan hubungan
yang bermakna serta korelasi yang kuat antara
variabel (kadar laktat, MDA, CERO2) terhadap
outcome pasien cedera kepala pasca kraniotomi,
namun sulit menentukan kapan waktu yaang terbaik
melakukan pengukuran variabel tersebut untuk
dapat memberi informasi tentang prognosis
outcome. Karena dari analisis berdasarkan kondisi
setiap pengamatan tidak ditemukan hubungan yang
bermakna antara kadar laktat, MDA dan CERO2
terhadap outcome dalam waktu pengamatan yang sama. Jika dilihat berdasarkan hasil pengamatan
semata, kadar laktat menunjukkan hubungan dan
korelasi yang bermakna pada pengamatan hari ke-2
pascabedah sedangkan untuk MDA dan CERO2
pada hari ke-3 pascabedah.
Terdapat perbedaan hasil dari pengamatan ini
dengan penelitian sebelumnya, dimana penelitian
Goodman tahun 1999, menyatakan otak hampir
secara eksklusif bergantung pada konsumsi aerobik
dari glukosa untuk produksi energi. Konsentrasi
glukosa otak merupakan refleksi keseimbangan antara suplai dan penggunaan glukosa oleh sel.
Hasil dari suatu model tikus iskemia mendukung
pernyataan bahwa glukosa merupakan petanda yang
penting pada iskemia berat. Namun pada
pengamatan ini gagal menemukan hubungan serta
korelasi yang kuat antara perubahan kadar glukosa
dengan outcome. Begitu juga dengan hubungan SID
terhadap outcome, dimana pada pengamatan ini
tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara
statistik, namun beberapa penelitian yang telah
dilakukan pada pasien kritis, trauma dan malaria menemukan SID/SIG berhubungan dengan
mortalitas.
Suatu penelitian mempublikasikan data
laboratorium yang mengukur Unmeasured Anions
pada darah manusia berkisar 0,3 0,6 meq/L. Namun berbeda halnya pada orang-orang dengan
sakit kritis. Dimana memiliki SIG yang lebih tinggi.
Sebuah laporan dari USA dan Belanda
menemukan, bahwa SIG mendekati 5 meq/L pada
pasien kritis, sementara di Inggris dan Australia
menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Suatu
penelitian dimana membandingkan penggunaan
gelatin pada resusitasi menemukan korelasi positif antara SIG dan mortalitas. Studi yang lain
menunjukkan SIG preresutitasi dapat memprediksi
mortalitas pada pasien trauma, lebih baik daripada
kadar laktat darah, pH dan skor trauma lainnya.
Suatu studi yang dilakukan oleh dr
Balasubramanyan dkk menunjukkan bahwa metode
Feucl-Stewart dapat mendeteksi adanya
Unmeasured Anions pada pasien-pasien sakit kritis,
meskipun nilai BaseExcess dan Anion Gap normal.
Selain itu, metode ini lebih kuat berhubungan
dengan mortalitas dibanding dengan BaseExcess,
Anion Gap ataupun kadar laktat darah. Penelitian-penelitian sebelumnya banyak
menemukan kadar laktat sebagai prediktor yang
kuat untuk outcome pasien seperti penelitian Yanai
S tahun 1997, Evosdenovic, tahun 1999; Glenn TC
tahun 2003, Kliegel tahun 2004, serta Arthru tahun
2004), sedangkan yang menemukan SID sebagai
prediktor outcome yang kuat adalah penelitian oleh
Kaplan LJ & Kellum JA tahun 2004 serta Dondorp
AM tahun 2004. Beberapa penelitian terbaru
menemukan MDA juga merupakan prediktor yang
kuat terhadap outcome pasien cedera kepala traumatik yaitu penelitian Beg M tahun 2005 dan
Kaneda K tahun 2010.
Peningkatan mortalitas pada pasien kritis sudah
diketahui dengan jelas. Pada penelitian yang
melibatkan 126 pasien kritis dengan metabolik
asidosis dimana kadar laktat 5 mmol /L , pH 7,35 atau base defisit > 6 mmol/L; Stacpoole dan
kawan – kawan menemukan konsentrasi laktat
yang lebih tinggi pada pasien-pasien yang tidak
mampu bertahan hidup non survivor (mean 12,2 ; SD 5,9 mmol/L) dibandingkan pada pasien yang
mampu bertahan hidup survivor (mean 9,2 ; SD 4,9
mmol/L) dengan P = 0,004.
Pada pasien kritis terdapat nilai (trend) perubahan
laktat sebagai assessmen respon terhadap
pengobatan dan prognosis. Vincent dan kawan-
kawan menggambarkan waktu perubahan kadar
laktat dalam darah pada dewasa yang berespon
terhadap resusitasi volume secara cepat setelah
syok sirkulasi. Pada semua kasus selama jam
pertama paling tidak terjadi penurunan kadar laktat sebesar 10 %. Hal ini bertolak belakang pada
pasien yang meninggal selama syok sirkulasi,
dimana konsentrasi laktat tidak berubah dengan
resusitasi. Pada suatu penelitian pada pasien dewasa
dengan sepsis, Tuchschindt dan kawan-kawan
mengamati walaupun terdapat kesamaan konsumsi
oksigen (VO2) setelah resusitasi antara survivor
dan non survivor, konsentrasi laktat menurun pada
pasien survivor namun tidak pada pasien yang
meninggal. Penelitian Glenn TC dan kawan -
kawan yang mencari hubungan antara abnormalitas
glukosa, laktat dan metabolisme oksigen sebagai nilai prediksi outcome neurologik paska trauma
kepala sedang dan berat, menyimpulkan bahwa
selama 6 hari paska trauma kepala sedang dan
berat, CMRO2, dan kadar laktat merupakan prediksi
neurologik outcome paling kuat.
Kaneda dkk dalam penelitianya menemukan marker
biokimia khususnya MDA menunjukkan hasil yang
menjanjikan sebagai prediktor outcome neurologik
pada praktek klinis. Beg M dkk menemukan
peningkatan kadar MDA pada stroke akut,
sedangkan Kirimi dkk menemukan kadar MDA serum yang lebih tinggi pada neonatus dengan HIE
dan berkorelasi dengan tingkat keparahan HIE.
Perbedaan hasil penelitian tersebut mungkin
disebabkan karena berbagai faktor, karena desain
penelitian, jumlah sampel serta perbedaan tempat
dan waktu penelitian juga dapat menjadi penyebab
perbedaan hasil penelitian tersebut. Diperlukan
suatu penelitian multicentre dengan jumlah sampel
yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang
dapat menunjukkan prediktor yang paling
berpengaruh terhadap outcome pasien cedera kepala
traumatik serta waktu pemeriksaan variabel yang paling ideal menunjukkan prognosis outcome
pasien cedera kepala traumatik.
V. Simpulan
Variabel kadar laktat, MDA dan CERO2
menunjukkan hasil yang menjanjikan sebagai
prediktor outcome pada pasien dengan cedera
kepala traumatik pasca kraniotomi walaupun belum
dapat di simpulkan dan dijadikan acuan secara luas.
Sebagian besar penelitian terdahulu tentang
prediktor outcome pasien dengan cedera kepala juga mendukung hasil ini, namun masih terjadi
perbedaan dengan beberapa penelitian lain yang
menunjukkan hasil yang berbeda. Perlu suatu
penelitian multicentre dengan jumlah sample yang
lebih banyak serta desain penelitian yang baik
untuk mendapatkan hasil yang benar-benar dapat di
jadikan acuan secara luas mengenai variabel
prediktor serta waktu pengamatan sehingga dapat
memberikan informasi yang baik tentang prognosis
outcome pasien cedera kepala traumatik, yang tetap
berdasar pada patofisiologi cedera kepala serta kaskade kematian sel karena cedera otak sekunder.
Daftar Pustaka
1. Meyes PA. Glikolisis dan Oksidasi Piruvat.
Dalam Murray RK, Gardner DK, dan Meyes
PA. eds. Biokimia Harper. Edisi 25. Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2000, 178 – 86.
2. Doyle PW and Gupta AK. Mechanism of
Injury and Cerebral Protection. Dalam: Matta
BF, eds. Textbook of Neuroanesthesia and
Critical Care. London: Greenwich Medical Media LTD.2000, 37 – 45.
3. Kelly BJ and Luce JM. Current Concepts in
Cerebral Protection. CHEST. April, 1993.
4. Darwin, M. The Pathophysiology of Ischemic
Injury. Bio Preservation, Inc. 1995
5. Bisri T, Wargahadibrata H dan Surahman E.
Neuroanestesi. Edisi ke-2. Bandung: Saga
Olahcitra. 1997.
6. Gvozdenovic LJ, Macvanin DJ, Veljkovic J,
Secen R, and Draskovic B. Prognostic Value
of Change in Lactate Level of Politraumatized Patients. Br J Anesth 1999 ; 82 : 185.
7. Nylen ES, and Alarifi AA. Humoral Markers
of Severity and Prognosis of Critical Illness.
BEST practice & research clinical
endocrinology and metabolism 2001; 15 (4):
553 – 73.
8. Kellum JA. Determinant of Plasma Acid –
Base Balance. Critical Care Clinic 2005; 21 :
329 – 46.
9. Rodriguez-Martinez MA, Alonso MJ,
Redondo J, Salaices M, Marin J. Role of
Lipid Peroxidation and The Glutatione-dependent Antioxidant System in The
Impairment of Endothelium-dependent
Relaxation with Age. British Journal of
Pharmacology 1998; 123: 113-21.
10. Kaneda K, Fujita M, Yamashita S, Kaneko T,
Kawamura Y, Izumi T, Tsuruta R, et al.
Prognostic value of biochemical markers of
brain damage and oxidative stress in post
surgical aneurysmal subarachnoid hemorrhage
patients. Brain Res Bull 2010; 81(1) : 173-7.
11. Beg M, Ahmad S, Gandhi S, Akhtar N, Ahmad Z. A Study of Serum Malondialdehyde Levels
in Patients of Cerebrovascular Accident.
Original Article. JIACM 2005; 6(3): 229-31.
12. Kirimi E, Peker E, Tuncer O, Yapicioglu H,
Narli N and Satar M. Increased Serum
Malondialdehyde Level in Neonates with
Hipoxic-Ischaemic Enchepalopathy: Prediction
of Disease Severity. The Journal of
International Medical Research 2010; 38:
220-6.
13. Abraham MJ, Menon DK, and Matta BF. Management of Acute Head Injury:
Patophysiology, Initial Resuscitation and
Transfer. Dalam: Matta BF, Menon DK, and
Tuner JM. eds. Textbook of Neuroanesthesia
and Critical Care. London: Greenwich Medical
Media LTD 2000; 285 – 95.
14. Kass IS and Cotrell JE. Pathophysiology of
Brain Injury. Dalam: Cotrell JE, and Smith D,
eds. Anesthesia and Neurosurgery. 4th edition.
USA: Mosby 2001; 69 – 79.
15. Schulz. Predictors of Brain Injury after
Experimental Hypothermic Circulatory Arrest. Chapter 2. Review Literature. 2000.
16. Duke T. Dysoxia and Lactate. Arch Dis Child.
1999; 81 :343 – 50.
17. Glenn TC, Kelly DF, Bescardin WJ, McArthur,
Vespa P, Oertel M, Huyda DA, et al. Energy
Dysfunction As a Predictor of Outcome After
Moderate or Severe Head Injury: Indices of
Oxygen, Glucose and Lactate Metabolism.
NCBI, Pub Med. 2003; 23 (10): 1239 -50.
18. Yunai S, Nisimaru N, Soeda T, and Yamada K.
Simultaneus Measurements of Lactate and Blood Flow during Hypoxia and Recovery
from Hypoxia in a Localized Region in The
brain of Anesthetized Rabbit. Neuroscience Ressearch. 1997; 27 (1): 75 – 84.
19. Putra S dan Mustafa I. Kendali glukosa darah
secara ketat pada pasien sakit kritis. Anestesia
& Critical Care.2004; 22: 68 – 77.
20. Mustafa I dan George Y. Keseimbangan Asam
Basa: Bagian I, Fisiologi (Paradigma Baru).
Anestesia & Critical Care.2003; 21: 42 – 9.
21. Mustafa I dan George Y. Keseimbangan Asam
Basa: Bagian II, Patofisiologi, Diagnosis dan
Terapi (Paradigma Baru). Anestesia & Critical
Care. 2003; 21 : 51 – 9. 22. Kellum JA. Determinant of Plasma Acid –
Base Balance. Critical Care Clinic. 2005; 21:
329 – 46.
23. Cuzocrea S, Esposito E. Role of nitroso
radicals as drug target in circulatory shock.
British Journal of Pharmacology 2009; 157:
494–508.
24. Bruch CG & Pierce JD. Oxydative stress in
Critically Ill Patients. AJCC 2002; 11(6): 543-
51.
25. Warner DS, Pearlstein RD, Enghild JJ, Sheng
H, Bowler RP. Oxydants, antioxidants and The Ischemic Brain. J Exp Biol. 2004; 207:
3221-31
26. Lee JM, Grabb MC, Zipfel GJ, Choi DW.
Brain Tissue Responses to Ischemia. J Clint
Invest.2000; 106 (6): 723-31.
27. Grotto D, Maria LS, Valentini J, Panis C,
Schmidt G, Garcia SC, et al. Importance of the
lipid peroxidation biomarkers and
methodological aspects for malondialdehyde
quantification. Quimica Nova. 2009; 32(1).
28. Dondorp AM. Unidentified Acids of Strong Prognostic Significance in Severe Malaria.
Critical Care Medicine 2004; 32 (8):
1683 – 87.
HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI DENGAN ACQUIRED PROTHROMBINE
COMPLEX DEFICIENCY (APCD) SYNDROME DI RS. HASAN SADIKIN DARI JULI
2010 SAMPAI FEBRUARI 2011
SUBDURAL HEMATOMA IN NEONATES WITH ACQUIRED PROTHROMBINE
COMPLEX DEFICIENCY (APCD) SYNDROME AT HASAN SADIKIN HOSPITAL
FROM JULY 2010 TILL FEBRUARY 2011
Fitri Septiani Sumardi, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS.Dr. Hasan Sadikin
Abstract Background and Objective: APCD syndrome is one of the most serious diseases affecting infants. It leads to a
high mortality rate and permanent neurological sequelae among the survivors when related with SDH. There
are reports about high prevalence of using herb-liquor extracts and diet restriction among mothers of infants
with the APCD syndrome. Vitamin K2MK4 levels in breast milk obtained from mothers who had used herb-
liquor extracts were lower than vitamin K2MK4 levels in breast milk obtained from mothers who had not used
herb-liquor extracts.
Subject and Method: Six infant cases which diagnosed with spontaneous SDH due to APCD syndrome, reviewed
from July 2010 to February 2011 at Hasan Sadikin Hospital Bandung. Data reviewed include history taking,
physical examination, CT-scan results, laboratory results, management and findings during operation
Result: All six infants showed evidence of having history, sign and symptoms, and bleeding disorder suggesting
SDH due to APCD. Management on all cases above included early CT-scan evaluation, the treatment of APCD
and immediate surgical intervention resulted on good outcome on post surgery result and hospital disposal Conclusions: Prolonged coagulation factors on all cases suggest higher risk for APCD on the infant.
Craniotomy evacuation surgery less than 3 days interval from onset immediately gave better outcome on
Children Coma Scale (CSS) score.
Key Words: acquired prothrombine time complex disorders, subdural hematoma, neurosurgery,
neuroanesthesia
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD) adalah salah satu penyakit
serius bayi, menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, dan gejala sisa neurologis permanen pada penderita dengan hematoma subdural (SDH). Beberapa penelitian menyatakan tentang hubungan APCD dengan tingginya
prevalensi menggunakan minuman ramuan tradisional disertai pembatasan asupan makanan pada ibu menyusui.
Kadar Vitamin K2MK4 pada air susu ibu (ASI) yang menggunakan minuman ramuan tradisional ditemukan
lebih rendah dari dibandingkan ASI dari ibu yang tidak menggunakan minuman ramuan tradisional.
Subyek dan Metode: Enam kasus bayi dengan diagnosis SDH spontan karena APCD, ditinjau dari Juli 2010
sampai Februari 2011 di RS Hasan Sadikin Bandung. Data diambil meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil
CT-scan, hasil laboratorium, manajemen dan temuan selama pembedahan serta setelah pembedahan.
Hasil: Semua enam bayi menunjukkan bukti memiliki riwayat, tanda dan gejala, dan gangguan perdarahan yang
menuju kearah SDH karena APCD. Manajemen pada seluruh kasus di atas termasuk evaluasi awal CT scan,
pengobatan intervensi APCD dan bedah menghasilkan hasil keluaran yang baik pada pasca pembedahan dan
pemulangan dari rumah sakit.
Simpulan: Faktor koagulasi berkepanjangan pada semua kasus menunjukkan risiko lebih tinggi untuk APCD pada bayi. Penatalaksanaan dini APCD prabedah dan pascabedah memberikan hasil yang baik. Tindakan
kraniotomi evakuasi kurang dari 3 hari dari interval onset memberikan hasil yang baik pada skor Children Coma
Scale (CCS).
Kata Kunci: Acquired Prothrombine Deficiency Syndrome, neuroanesthesia, hematoma subdural.
JNI 2012;1(4):
I.Pendahuluan Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) atau dikenal juga dengan kekurangan
vitamin K idiopatik pada masa bayi merupakan
gangguan perdarahan yang serius di masa awal
kehidupan bayi dan pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1966.1 Sejak tahun 1966, gangguan
perdarahan tersebut telah dilaporkan oleh berbagai
peneliti di berbagai belahan dunia termasuk
Amerika Utara, Eropa, Australia dan Asia.2
Mayoritas kasus terbanyak yang dilaporkan dalam
literatur adalah di Jepang dan Thailand.1,2,3 APCD dimasukkan pula dalam haemorrhagic
disease of newborn (HDN) klasik yang terjadi
antara 2-5 hari dari periode neonatal, dimana pada
keadaan dini perdarahan yang mengancam nyawa
jarang terjadi. Insidensi HDN adalah 4 hingga 25
kasus dalam 1.000.000 kelahiran di negara-negara
barat dan 25 hingga 80 kasus per 1.000.000
kelahiran di negara-negara timur.3
HDN adalah penyakit yang jarang terjadi dengan
angka kematian dan morbiditas yang tinggi. HDN
merupakan salah satu penyebab paling sering dari
perdarahan intrakranial pada tahun pertama kehidupan. Hampir 2/3 dari bayi-bayi dengan HDN
yang lambat muncul hadir dengan pendarahan
intrakranial yang serius sehingga menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. HDN yang
lambat muncul dapat terjadi setiap saat setelah usia
8 hari dan sebelum usia 12 bulan, dengan kejadian
paling sering pada usia antara 4 hingga 8 minggu.4
Beberapa pusat pendidikan menyatakan bahwa
diagnosis HDN yang lambat muncul didapat jika
perdarahan yang terjadi setelah usia 7 hari dengan
jumlah trombosit normal, prothrombin time (PT) dan partial prothrombin time (PTT) dikaitkan
dengan hentinya pendarahan dan normalnya
PT/PTT kembali setelah dilakukan pemberian
vitamin K.5
Risiko perdarahan intrakranial pada kasus HDN
pada beberapa penelitian dilaporkan mencapai 50
hingga 80% dari seluruh kasus HDN.1,3 Perdarahan
pada subdural adalah lokasi paling sering terjadinya
perdarahan, dan perdarahan subaraknoid adalah
jenis yang paling sering kedua. Hasil penelitian
menyatakan tingkat perdarahan subdural,
subaraknoid dan intraparenkimal sebesar 100%, 80% dan 30%.6 Dari hasil penelitian lain,
dilaporkan perdarahan subdural sebesar 57,2% dan
perdarahan subarachnoidal sebesar 46,4% dari
keseluruhan kasus HDN. HDN yang lambat sering
disertai gejala-gejala kejang, gelisah dan pucat.3
APCD adalah salah satu penyakit yang paling
serius yang mempengaruhi bayi. APCD
menyebabkan tingkat kematian yang tinggi dan
gejala sisa neurologis yang permanen.1,2,3,7
Tingginya insidensi APCD di Thailand yang
mencapai 35,5 kasus per 100.000 kelahiran hidup membuat gangguan ini menjadi masalah kesehatan
masyarakat.2
II. Subyek dan Metode
Dilakukan penelitian observasional pada bayi yang
mengalami APCD dan dirawat di RS Hasan Sadikin
Bandung dari mulai bulan Juli 2010 sampai
Pebruari 2011. Parameter yang diukur adalah
asupan vitamin K, nutrisi, berat badan, obat-obatan
herbal, batasan asupan ibu, transfusi, kelainan
kehamilan, riwayat perdarahan, tanda perdarahan, CCS, kelainan neurologis, hemoglobin, trombosit,
PT, PTT, faktor pembekuan, CT-scan, dan kondisi
pascabedah.
Anestesia dilakukan dengan anestesi umum,
menggunakan sevofluran titrasi 6 vol% hingga 2
vol% dan O2: udara 50%:50% untuk induksi, juga
diberikan fentanil 2μg/Kg dan vecuronium 0,15
mg/Kg sebelum dilakukan tindakan intubasi.
Setelah pasien diintubasi, pemeliharaan anestesi
dilanjutkan dengan isoflurane 1,5 vol% dan O2:
udara 50%:50%. Selama operasi, duramater
ditemukan berwarna kebiruan dan teraba tegang. Sepuluh hingga 15 cc gumpalan darah ditemukan di
bawah duramater tersebut. Perdarahan selama
pembedahan terhitung 100 sampai 120 cc. Seluruh
bayi dikirim ke unit terapi intensif anak segera
setelah tindakan pembedahan dan dilanjutkan
dengan tata laksana APCD dari bagian pediatrik.
III. Hasil
Enam bayi didiagnosis sebagai SDH karena APCD
dan menjalani tatalaksana multidisiplin dari bagian
bedah saraf dan anak. Enam bayi tersebut datang ke rumah sakit dengan kejang, muntah dan disertai
penurunan kesadaran tanpa riwayat penyakit
penyerta atau cedera sebelum timbul gejala. Tiga
bayi dirawat di rumah sakit dua hari setelah
timbulnya gejala dan tiga bayi dirawat satu hari
setelah timbulnya gejala.
Informasi mengenai keenam bayi dan ibu diperoleh
untuk menentukan faktor risiko dari gejala-gejala
ini. Keenam bayi hanya diberikan ASI tanpa
tambahan susu formula susu atau makanan
tambahan lain. Seluruh bayi tidak memiliki riwayat
pemberian vitamin K sejak lahir. Seluruh bayi memiliki status gizi baik, tidak memiliki riwayat
transfusi darah sebelumnya, tidak memiliki riwayat
pemberian obat-obatan sebelumnya. Lima dari
enam bayi memiliki riwayat ibu menggunakan
ramuan tradisional serta riwayat pembatasan asupan
makanan ibu saat hamil dan menyusui karena
alasan tradisi. Seluruh ibu bayi tidak memiliki
riwayat kelainan atau penyakit selama kehamilan,
dan juga tidak memiliki riwayat keluarga dengan
101
HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI DENGAN ACQUIRED
PROTHROMBINE COMPLEX DEFICIENCY SYNDROME PADA
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN DARI JULI 2010 HINGGA
FEBRUARI 2011
gangguan perdarahan. Seluruh bayi tidak mengalami kesulitan saat dilahirkan.
Gambaran klinis seluruh bayi pada saat datang ke
rumah sakit adalah kejang dan mengantuk, tampak
anemis tanpa tanda-tanda perdarahan, dan dua dari
enam bayi mengalami demam. Seluruh bayi tidak
memiliki tanda atau gejala perdarahan saluran
pencernaan atau perdarahan pada kulit maupun
rongga mulut. Seluruh bayi tidak memiliki cacat
neurologis seperti kelumpuhan sebelah anggota
tubuh, bentuk kepala yang terlalu kecil atau terlalu
besar, gangguan kejang sebelumnya, dan kekakuan anggota tubuh. Empat bayi ditemukan dengan
Children Coma Scale (CCS) 8, dan dua bayi
ditemukan dengan CCS 7.
Seluruh bayi menunjukkan adanya gangguan
perdarahan pada pemeriksaan laboratorium.
Seluruh bayi memiliki penurunan jumlah
hemoglobin, peningkatan PT dan PTT. Seluruh
bayi memiliki aktivitas yang rendah untuk faktor
pembekuan XII.
Tabel 1. Kondisi Bayi Saat Masuk Rumah Sakit
Parameter Bayi 1 Bayi 2 Bayi 3 Bayi 4 Bayi 5 Bayi 6
Kondisi
↓Kesadaran
Kejang
Muntah
↓Kesadaran
Kejang
Muntah
↓Kesadaran
Kejang
Muntah
↓Kesadaran
Kejang
Muntah
↓Kesadaran
Kejang
Muntah
↓Kesadaran
Kejang
Muntah
Asupan ASI ASI ASI ASI ASI ASI
Vit K Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Nutrisi Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Berat
Badan Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Transfusi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Obat-
obatan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Herbal Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Batasan
asupan ibu Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Kelainan
kehamilan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Riwayat
perdarahan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tanda
perdarahan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
CCS 7 8 7 7 7 8
Kelainan
neurologis Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Hemoglobin 7,4 6,8 9,1 8,4 8,7 7,9
Trombosit 497.000 567.000 469.000 577.000 514.000 488.000
PT 15,9” 17,5” 16,2” 19,0” 18,8” 17,9”
PTT 40” 49” 52” 56” 48” 49”
Faktor
pembekuan ↓faktor XII ↓faktor XII ↓faktor XII ↓faktor XII ↓faktor XII ↓faktor XII
CT Scan
SDH kanan
frontotemporo-
parietooccipital
SDH kiri
frontotemporo-
parietooccipital
SDH kiri
frontotemporo-
parietooccipital
SDH kiri
frontotemporo-
parietooccipital
SDH kanan
frontotemporo-
parietooccipital
SDH kiri
frontotemporo-
parietooccipital
Hasil pemeriksaan Computed Tomography (CT)
menunjukkan bahwa empat bayi memiliki
kepadatan massa di daerah temporoparietal sebelah
kiri, massa hiperdensitas dengan bentuk bulan sabit
pada frontotemporo parietooccipital kiri, girus,
sulkus, fisura silvian, dan peningkatan tekanan
sisterna ventrikel, juga ditemukan garis tengah
bergeser lebih dari 5 mm. Sementara dua bayi lainnya ditemukan hasil pemeriksaan CT yang
sama untuk sisi sebelah kanan.
Enam bayi didiagnosis dengan SDH pada
frontotemporo parietooccipital kiri karena APCD
dan dua bayi didiagnosis dengan SDH pada
parietooccipital frontotemporo kanan karena
APCD. Bagian bedah saraf dan pediatrik
merencanakan untuk melakukan pembedahan
darurat kraniotomi evakuasi untuk seluruh bayi
dengan tatalaksana APCD sebelum dilakukan
pembedahan.
Bagian pediatrik melakukan pengelolaan APCD
untuk seluruh bayi dengan pemberian terapi vitamin K, termasuk pemberian transfusi pack red
cell (PRC) dan fresh frozen plasma (FFP) sebelum
tindakan pembedahan.
Hasil penatalaksanaan untuk seluruh bayi berjalan lancar. CCS ditemukan meningkat dari CCS 7 dan
CCS 8 mencapai CCS 10 dan CCS 11 dalam tiga
hari setelah operasi, dan meningkat secara bertahap
hingga CCS 15 dalam 7-9 hari pascabedah. Seluruh bayi dipulangkan dari perawatan rumah sakit
setelah 12- 15 hari pascabedah.
Tabel 2. Kondisi Bayi Pascabedah
Kondisi Bayi 1 Bayi 2 Bayi 3 Bayi 4 Bayi 5 Bayi 6
Pascabedah CCS 8
PICU
CCS 9
PICU
CCS 8
PICU
CCS 8
PICU
CCS 9
PICU
CCS 9
PICU
24 Jam CCS 8 CCS 9 CCS 8 CCS 8 CCS 9 CCS 9
Hari 1 CCS 10 CCS 9 CCS 8 CCS 8 CCS 9 CCS 9
Hari 2 CCS 11
Ekstubasi
CCS 10 CCS 9 CCS 10 CCS 9 CCS 11
Ekstubasi
Hari 3 CCS 11 CCS 10
Ekstubasi
CCS 10
Ekstubasi
CCS 11
Ekstubasi
CCS 11
Ekstubasi
CCS 11
Hari 4 CCS 11
Bangsal
CCS 10
Bangsal
CCS 10
Bangsal
CCS 11
Bangsal
CCS 11
Bangsal
CCS 11
Bangsal
Hari 5 CCS 12 CCS 13 CCS 11 CCS 13 CCS 12 CCS 13
Hari 6 CCS 14 CCS 14 CCS 13 CCS 14 CCS 12 CCS 14
Hari 7 CCS 14 CCS 15 CCS 13 CCS 15 CCS 14 CCS 15
Hari 8 CCS 15 CCS 15 CCS 14 CCS 15 CCS 14 CCS 15
Hari 9 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15
Hari 10 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15
Hari 11 CCS 15
Koagulasi
normal
CCS 15 CCS 15 CCS 15
Koagulasi
normal
CCS 15
Koagulasi
normal
CCS 15
Koagulasi
normal
Hari 12 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15 CCS 15 Pulang
Hari 13 Pulang CCS 15
Koagulasi
normal
CCS 15
Koagulasi
normal
CCS 15 Pulang
Hari 14 CCS 15 CCS 15 Pulang
Hari 15 Pulang Pulang
IV. Pembahasan
HDN klasik yang terjadi antara 2-5 hari dari
periode neonatal, dimana pada keadaan dini
perdarahan yang mengancam nyawa jarang terjadi.8 HDN yang lambat muncul dapat dilihat pada masa
bayi, terutama pada minggu ke 4 hingga minggu ke
8. Insidensi HDN adalah 4 hingga 25 kasus dalam
1.000.000 kelahiran di negara-negara barat dan 25
hingga 80 kasus per 1.000.000 kelahiran di negara-
negara timur.3 Laporan kasus di atas menunjukkan
bahwa semua bayi memiliki HDN yang lambat
muncul. Hal ini sesuai dengan penelitian Hubard
dan Tobias dibandingkan dari kejadian HDN klasik.
Penggunaan minuman ramuan tradisional dan
pembatasan asupan makanan selama masa
kehamilan dan menyusui adalah praktek umum di Thailand dan Negara-negara Asia. Hal ini diyakini
bahwa minuman ramuan tradisional berguna untuk
kesehatan ibu selama masa kehamilan dan
menyusui. Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara penggunaan minuman ramuan
tradisional dan pembatasan asupan makanan selama
masa kehamilan dan menyusui dengan APCD di
Thailand.9,10 Kadar Vitamin K2MK4 dalam ASI
dari ibu dengan penggunaan minuman ramuan
tradisional lebih rendah dari kadar vitamin K2MK4
dalam ASI dari ibu yang tidak menggunakan
minuman ramuan tradisional. Dicumarol, salah satu
antikoagulan kumarin, telah ditemukan pada
minuman ramuan tradisional.10 Dengan demikian,
minuman ramuan tradisional mungkin memiliki peran dalam patogenesis penyakit APCD.
Coumarin atau zat lain dalam minuman ramuan
tradisional dapat mempengaruhi kadar vitamin
K2MK4 ASI.11 Pada kasus diatas, lima ibu
menggunakan minuman ramuan tradisional dan
melakukan pembatasan asupan makanan selama
masa kehamilan dan menyusui karena alasan
tradisi. Kawasan Asia Tenggara memiliki budaya
ibu serupa selama masa kehamilan dan menyusui.
Perilaku budaya pada ibu bayi mungkin dapat
menimbulkan penurunan kadar vitamin K2MK4
dalam ASI, dimana hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hubbard et al, Pansationkul dkk, dan
Mitrakul dkk.8,9,10
Informasi mengenai ibu dan bayi diperoleh untuk
mengidentifikasi faktor risiko dari sindrom APCD
pada populasi ini termasuk jenis makan (ASI saja,
ASI ditambah pemberian susu formula atau susu
formula saja), riwayat pemberian vitamin K, status
gizi bayi dan berat badan bayi, riwayat pemberian
transfusi darah, riwayat pemberian obat-obatan,
riwayat penggunaan minuman ramuan tradisional
oleh ibu, riwayat pembatasan asupan makanan ibu,
103
HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI DENGAN ACQUIRED
PROTHROMBINE COMPLEX DEFICIENCY SYNDROME PADA
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN DARI JULI 2010 HINGGA
FEBRUARI 2011
riwayat kelainan selama kehamilan dan riwayat kelainan pendarahan pada keluarga.12-15 Bagian
pediatric melakukan analisa riwayat-riwayat
tersebut diatas untuk mengidentifikasi faktor risiko
dari APCD pada semua bayi. Tindakan analisa
riwayat kesehatan lengkap akan mengesampingkan
70% kemungkinan penyebab lain selain
APCD.12,13,15
Gambaran klinis yang sering ditemukan pada kasus
APCD adalah kejang dan mengantuk (95%),
anemia (85%) dan demam (50%). Penelitian lain
menunjukkan sembilan belas kasus (95%) memiliki perdarahan intrakranial termasuk hematoma
subdural, perdarahan intraserebral, perdarahan
intraventrikular dan perdarahan subarachnoid.9 Dua
kasus (10%) memiliki perdarahan saluran
pencernaan. Hanya 10% dari kasus yang memiliki
perdarahan kulit dan rongga mulut. Cacat
neurologis permanen termasuk hemiparesis,
mikrosefali, gangguan kejang, spastisitas dan
hidrosefalus ditemukan pada 9 kasus (45%).16,17
Gambaran klinis pada saat penerimaan bayi
tersebut di atas memiliki kesamaan dengan hasil
penelitian Forbes dkk dan Lovric dkk, namun tanpa disertai perdarahan saluran pencernaan, perdarahan
kulit atau cacat neurologis permanen.16,17
Diagnosis APCD didasarkan oleh ditemukannya
gangguan perdarahan, waktu pembekuan vena lebih
dari 15 menit, PT dan PTT yang tidak normal,
thrombin time (TT) normal, aktivitas rendah dari
faktor pembekuan II, VII, IX, X dan hitung
trombosit dalam batas normal.11,18,19 HDN yang
muncul lambat adalah dengan ditemukannya
perdarahan pada bayi pada usia setelah 7 hari, tidak
ada trombositopenia, pemeriksaan preparat apus darah tepi normal, PT dan PTT berkepanjangan,
dan jika dilakukan koreksi cepat dari PTT atau
pemberian vitamin K akan menghentikan
pendarahan.20
Seluruh bayi menunjukkan bukti
memiliki gangguan perdarahan. Perbedaan hasil
pengamatan ini dengan hasil penelitian
Pansatiankul dkk. adalah tidak adanya hasil untuk
kegiatan rendah dari faktor II, VII, IX, X. Seluruh
bayi menunjukkan aktivitas rendah factor
pembekuan XII dan meningkatkan jumlah
trombosit. Hasil ini perlu dilakukan evaluasi lebih
lanjut untuk alasan perbedaan . SDH dan edema otak sering terletak di bagian
koveks dari otak, terutama pada bentuk
pembengkakan belahan ipsilateral. Tujuhpuluh lima
hingga 90% SDH adalah supratentorial dan 10%
adalah infratentorial. Lokasi berbahaya adalah di
fossa posterior, wilayah parieto-oksipital dan
interhemisper, wilayah yang dianggap darurat
neurologis. Lokasi utama dari SDH dalam adalah
wilayah parieto-temporal, fronto-parietal, wilayah
parietal posterior dan akhirnya fossa.21 Hasil
pemeriksaan CT seluruh bayi di atas mirip dengan hasil penelitian McLaurin dkk. 21
Tatalaksana dari SDH pada masa bayi tergantung
pada luasnya dan lokalisasi hematoma,
perkembangan gambaran klinis, dan hasil
pencitraan merupakan dasar untuk menentukan
pendekatan terapi SDH. Tatalaksana utama dari
SDH akut, adalah menekankan pentingnya untuk
sesegera mungkin menghilangkan hematoma. Pada
kasus potensial SDH karena koagulopati sangat
penting diberikannya pengobatan profilaksis, yang
melibatkan pemberian rutin 1 mg vitamin K setelah dilahirkan. Diagnosis cepat untuk pemeriksaan CT,
diikuti dengan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan hematoma adalah tatalaksana
terbaik untuk keluaran hasil terbaik.22,23 Manajemen
pada semua kasus di atas termasuk evaluasi awal
pemeriksaan CT, pengobatan intervensi bedah dan
APCD menghasilkan hasil keluaran yang baik pada
pasca pembedahan dan pemulangan dari rumah
sakit, memiliki hasil yang sama.22,24
Tatalaksana Neuroanestesia Pediatrik
Menurut Lane dan Hathaway dan Sutor dkk, perdarahan dalam 3 bulan pertama kehidupan
disebut sebagai HDN. Diagnosis dikaji dengan PT
berkepanjangan, peningkatan kadar protein yang
diproduksi, dan rendahnya kadar vitamin K.
Pemberian vitamin K secara subkutan atau
intravena meningkatkan faktor pembekuan dalam
waktu 2 jam, dengan koreksi yang lengkap dalam
waktu 24 jam. Pendarahan serius dapat diobati
dengan pemberian FFP (10 sampai 20 mL/Kg) atau
dengan faktor pembekuan IX yang dimurnikan.24
Bagian pediatrik dan anestesiologi setuju untuk melakukan perawatan APCD berlangsung sebelum
pembedahan untuk mencegah komplikasi
perdarahan lebih lanjut saat tindakan pembedahan.
Beberapa alasan teoritis mengapa penggunaan
sevoflurane lebih baik dibandingkan isofluran atau
halotan sebagai neuroanestetika adalah keuntungan
dari kurangnya efek terhadap peningkatan intra
cranial pressure (ICP) dari sevoflurane akibat
batuk, tahan napas, spasme laring, dan
hiperkapnia.24,25 Ketika kesadaran hilang, ventilasi
harus dikontrol oleh ahli anestesi, dengan segera
melakukan hiperventilasi. Konsentrasi end-tidal dari agen halogen tidak boleh lebih dari 1 minimal
alveolar concentration (MAC), untuk
meminimalkan risiko timbulnya hipertensi
intrakranial. Setelah akses intravena dilakukan
dengan baik, teknik anestesi dapat diubah lebih
konvensional ke propofol atau barbiturat-opioid-
relaksan neuroanestesi.24,25 Diputuskan untuk
menggunakan sevofluran titrasi 6 vol% hingga 2
vol% dan O2: udara 50%:50% untuk induksi.
Setelah pasien diintubasi, pemeliharaan anestesi
dilanjutkan dengan isoflurane 1,5 vol% dan O2: udara 50%:50%. Pemilihan sevofluran pada kasus
ini dikarenakan sevofluran tidak memiliki steal
effect – dimana vasodilator serebral akan
mengalihkan darah dari daerah iskemia yang
mengalami vasomotor paralisis seperti pada
isofluran.25
Agen blok neuromukular biasanya dikelola untuk
memfasilitasi laringoskopi dan intubasi
endotrakeal. Jika prosedur yang direncanakan
adalah cukup lama dan tidak ada kekhawatiran
aspirasi lambung, relaksan nondepol dapat diberikan. Karena pelepasan histamin akan
bertahap melebarkan pembuluh darah serebral dan
meningkatkan ICP, sekaligus menekan tekanan
arteri sistemik dan CPP, obat yang tidak
melepaskan histamin menjadi pilihan lebih baik.
Vecuronium atau pankuronium (0,08-0,15 mg/Kg)
dan rocuronium (0,8-1,5 mg/Kg) merupakan
relaksan otot nondepol yang tidak menyebabkan
pelepasan histamin. Relaksan otot nondepol yang
tidak melepaskan histamin lebih disukai untuk
tindakan pembedahan saraf.24 Pada kasus ini
digunakan vecuronium 0,15 mg/kg untuk semua prosedur anestesi bayi.
Efek dari anestetika halogenasi pada metabolisme
otak, aliran darah, dan ICP telah dibahas
sebelumnya. Anestetika inhalasi halogen akan
meningkatkan cerebral blood flow (CBF), cerebral
blood volume (CBV), dan ICP bergantung pada
dosis yang diberikan, efek yang mungkin dapat
ditumpulkan atau dihindari dengan pemberian
hiperventilasi pada pasien saat pemberian
berlangsung.24
Dalam hal ini, neuroanestesiologis sebagian besar akan memilih teknik anestesi pemberian propofol
atau menggunakan oksigen, barbiturat, opioid, dan
relaksan otot nondepol. Teknik “balanced” anestesi
dikaitkan dengan hasil luaran bangunnya pasien
yang lebih cepat setelah prosedur yang lama
dibandingkan pemberian anestesi halogenasi
konvensional, yang memungkinkan penilaian
neurologis sedini mungkinoleh bedah saraf.24 Ahli
anestesi memilih teknik anestesi seimbang untuk
semua manajemen anestesi bayi diatas, dan
menghasilkan emergens yang lebih cepat setelah
prosedur yang lama dan memungkinkan penilaian neurologis awal untuk semua bayi.
IV. Simpulan
Pemanjangan faktor koagulasi menunjukkan risiko
lebih tinggi untuk APCD pada bayi. Perilaku
menggunakan minuman ramuan tradisional dan
pembatasan asupan makanan selama periode
kehamilan dan menyusui ibu dapat menimbulkan
penurunan kadar vitamin K2MK4 dalam ASI pada
kasus APCD.
Manajemen pada semua kasus di atas termasuk evaluasi awal pemeriksaan CT, intervensi bedah
dan APCD menghasilkan hasil yang baik
pascabedah dan pemulangan dari rumah sakit.
Kraniotomi evakuasi kurang dari 3 hari interval dari
onset segera memberikan hasil yang lebih baik pada
skor CSS.
Teknik “balanced” anestesi untuk pediatric
neuroanestesia akan menghasilkan luaran yang
lebih baik setelah prosedur yang lama dan penilaian
keluaran neurologis lebih awal, yang akan
membantu ahli bedah saraf untuk melakukan evaluasi awal.
Daftar Pustaka
1. Bhanchet P, Bhamarapravati N, Bukkavesa S,
Tuchinda S. A new bleeding syndrome in Thai
infants. Acquired prothrombin complex
sufficiency. The XI Congress of the International Society of Haematology;
Sydney, Australia, August 1966:20.
2. Ungchusak K, Tishyadhigama S,
Choprapawon C, Sawadiwutipong W,
Varintarawat S. Incidence of idiopathic
vitamin K deficiency in infants: a national,
hospital based, survey in Thailand, 1983. J
Med Assoc Thai 1988; 71: 417-21.
3. Pooni PA, Singh D, Singh H, Jain BK.
Intracranial haemorrhage in late haemorrhagic disease of the newborn. Indian Paediatrics
2003; 40: 243-8.
4. Waseem M. Vitamin K and haemorrhagic
disease of newborns. South Med J 2006; 99:
1199.
5. Ijland MM, Pereira RR, Cornelissen EA.
Incidence of late vitamin K deficiency
bleeding in newborns in the Netherland since
2005: evaluation of the current guidelines. Eur J Paediatric 2008; 167: 165-9.
6. Zengin E, Sarper N, Türker G, Corapçiolu F.
Late haemorrhagic disease of the newborn.
Ann Trop Paediatric 2006; 26: 225-31.
7. Haemorrhagic Disease of Newborn presenting
as Subdural Hematoma. Col RG Holla
(Retd)*, Lt Col AN Prasad+. MJAFI 2010;
66: 86-87
8. Hubbard D, Tobias JD. Intracerebral
haemorrhage due to haemorrhagic disease of
105
HEMATOMA SUBDURAL PADA BAYI DENGAN ACQUIRED
PROTHROMBINE COMPLEX DEFICIENCY SYNDROME PADA
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN DARI JULI 2010 HINGGA
FEBRUARI 2011
the newborn and failure to administer vitamin K at birth. South Med J 2006; 99: 1216-20.
9. Pansationkul BJ, Ratnasiri B. Acquired
prothrombin complex deficiency syndrome:
10 years experience at Children’s hospital.
Bull Dept Med Serv 1992; 17: 485-92.
10. Mitrakul C, Tinakorn P, Rodpengsangkaha P.
Spontaneous subdural hemorrhage in infants
beyond the neonatal period. J Trop Pediatr
Environ Child Health 1977; 23: 226-35.
11. Pansatiankul BJ, Mekmanee R. Dicumarol
content in alcoholic herb elixirs: one of the
factors at risk induced IVKD-I. Southeast
Asian J Trop Med Public Health 1993; 24
Suppl 1: 201-3.
12. Shearer MJ, Rahim S, Barkhan P, Stimmler L.
Plasmavitamin K1 in mothers and their
newborn babies.Lancet 1982; 2: 460-3.
13. Greer FR, Marshall S, Cherry J, Suttie JW. VitaminK status of lactating mothers, human
milk, andbreast-feeding infants. Pediatrics
1991; 88: 751-6.
14. Vitamin K deficiency causing infantile
intracranial haemorrhage after the neonatal
period. Lancet 1983; 1: 1439-40.
15. Dremsek PA, Sacher M. Life-threatening
hemorrhage caused by vitamin K deficiency in
breast-fedinfants. Wien Klin Wochenschr 1987; 99: 314-6.
16. Forbes D. Delayed presentation of
haemorrhagic disease of the newborn. Med J
Aust 1983; 2: 136-8.
17. Lovric VA, Jones RF. The haemorrhagic
syndrome of early childhood. Australas Ann
Med 1967; 16: 173-5.
18. Pansatiankul BJ, Isranurug S, Ungchusak K,
Thanasophon Y, Sunakorn P. Incidence of acquired prothrombin complex deficiency and
the status of vitamin K administration in
infants in Thailand. Bull Dept Med Serv 1989;
14: 761-70.
19. Pansatiankul BJ, Ruengsuwan S, Lektrakul J.
Risk factors of bleeding diathesis secondary to
low prothrombin complex level in infants: a
preliminary report. Southeast Asian J Trop
Med Public Health 1993; 24 (Suppl 1): 121-6.
20. Majeed R., Memon Y., Majeed F. Clinical
Presentation of late Heamorrhagic Disease of
Newborn. J Med Sci January - March
2008;24(1): 52-55
21. MacLaurin RL. Subdural hematomas and
effusions in children. Dalam: Wilkins RH,
Rengachary SS, eds. Neurosurgery. New
York: McGraw-Hill; 1985, 2211-14.
22. Collins WF Jr. Subdural hematomas of
infancy. Clin Neurosurg 15:394-404, 1986.
23. Nagao T, Nobuhiko A, Mizutani H, Kitamura
K. Acute subdural hematoma with rapid
resolution in infancy – case report.
Neurosurgery 3:465-67, 1986.
24. Motoyama EK, Davis PJ. Smith's Anesthesia
for Infants and Children, 7th ed. Chapter 18 –
Anesthesia for Pediatric Neurosurgery. Mosby, 2006; 18:657-77
25. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung:
Saga Olahcitra, 2011; 8:35-38
PENGELOLAAN ANESTESI PADA PERDARAHAN INTRAKRANIAL AKIBAT
STROKE HEMORAGIK
ANESTHESIA MANAGEMENT IN INTRACRANIAL HAEMORRHAGIC BECAUSE
OF HAEMORRHAGIC STROKE
Diana Christine Lalenoh *), Tatang Bisri**)
*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, RS.Prof. R.D.
Kandou, Manado
**)Departemen Anaestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Hasan
Sadikin, Bandung
Abstract
Intra cerebral haemorrhage (ICH) burdens approximately 20 in 100,000 people every year. The typical
hemorrhagic stroke patient is ten years younger than the ischemic stroke patient. Most ICH bleeds are
subcortical and over 50% of spontaneous intracerebral hemorrhages occur in the basal ganglia. Populations at
greatest risk include men, the elderly and African American, and Asian. Stroke is one of among clinical
situations where protecting the central nervous system is a priority. Drugs such as barbiturates, etomidate,
propofol, isoflurane, methylprednisolone, tirilazad mesylate, nimodipine, nicardipine, and mannitol are used for
protecting the nervous tissue.
Here we report successful anesthetic management in male, 41 yrs old, 60 kgs body weight, diagnose was left
parietal Intra Cranial Haemorrhage (ICH) with oedema ec Haemorrhage stroke. Undergoing Craniotomy
procedure to evacuate blood clot in left median cerebral artery (Thalamo Striata artery). Blood pressure was 214 / 142 mmHg, HR 92 x / m, RR 28 x /m ,core temperature 360 C. GCS E1 V1 M4. After undergoing 3 hours
and 30 minutes anesthesia for craniotomy was ended, patient transfer to ICU. After 6 days patient was transfer
to ward.
Anesthesia managementi in Intracranial Bleeding ec Haemorrhagic Stroke is very important for basic brain
rescucitation perioperatively with pharmacological and non pharmacological strategies, besides principle
management of hypertensive emergencies.
Keywords : Intracerebral haemorrhagic, anesthesia, hypertension
JNI 2012;1(4):
Abstrak Perdarahan Intraserebral /Intra cerebral haemorrhage (ICH) terjadi pada sekitar 20 orang dalam 100.000
populasi per tahunnya. Tipikal pasien stroke hemoragik adalah sepuluh tahun lebih muda dari pasien stroke
iskemik. Mayoritas lokasi perdarahan ICH adalah subkortikal dan lebih 50% dari perdarahan intraserebral
spontan terjadi dalam ganglia basalis. Populasi yang beresiko tinggi adalah pria, usia lanjut, serta ras Afrika,
Amerika, dan Asia. Stroke merupakan satu diantara sekian banyak situasi klinik yang memerlukan proteksi
sistem saraf optimal. Obat-obatan seperti Barbiturat, Etomidat, Propofol, Isofluran, Metilprednisolon, Tirilazad
mesylat, Nimodipin, Nikardipin, dan Mannitol sering digunakan untuk proteksi jaringan saraf.
Pada laporan kasus ini dilaporkan keberhasilan penanganan anestesi pada penderita pria, 41 tahun, berat badan
60 kg, dengan diagnosis Perdarahan Intrakranial/ICH parietal kiri dengan edema ec stroke hemoragik. Pasien
menjalani tindakan kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah yang durante operasi ditemukan pada percabangan
arteri serebri media kiri (arteri Talamostriata). Tekanan darah awal saat masuk kamar operasi adalah 214/142
mmHg, laju nadi 92 kali/menit, laju napas 28 kali/menit, suhu 360C. Glasgow Coma Scale / GCS E1 V1 M4. Sesudah tiga setengah jam operasi selesai dan pasien ditransfer ke Intensive Care Unit / ICU. Sesudah enam hari
pasien dipindahkan ke ruangan.
Penanganan anestesi untuk perdarahan intrakranial karena stroke hemoragik adalah sangat penting untuk
menerapkan prinsip dasar neuroproteksi baik secara farmakologik maupun non farmakologik, di samping
penanganan untuk hipertensi emergensi.
Kata kunci : Perdarahan intraserebral, anestesia, hipertensi
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Intracerebral hemorrhagic (ICH) terjadi pada
sekitar 20 dari 100.000 penduduk setiap tahunnya.
Tipikal stroke hemoragik adalah sepuluh tahun
lebih muda dari pasien stroke iskemik. Kebanyakan
perdarahan pada ICH adalah subkortikal dan lebih
dari 50% dari perdarahan ICH spontan terjadi di ganglia basalis. Penderita dengan risiko tertinggi
terjadinya ICH adalah laki-laki, usia lanjut, ras
Afrika, Amerika, dan Asia.1 Hal ini berkaitan
dengan perubahan pembuluh darah serebral sesuai
dengan perubahan usia pada usia lanjut ras Afrika,
Amerika, dan Asia. Perubahan pembuluh darah
serebral seiring dengan bertambahnya usia
menyebabkan semakin lanjut usia semakin besar
risiko terjadinya perdarahan intraserebral.2
Keadaan ICH juga berkaitan dengan kerugian
ekonomi dengan perhitungan bahwa dana yang dihabiskan pada pasien ICH adalah sekitar $
125,000 per pasien ICH per tahunnya, hal ini
mengakibatkan pengeluaran sebesar 6 trilyun per
tahunnya di Amerika untuk membiayai pasien
ICH.3
Risiko stroke perioperatif meningkat delapan kali
libat (risiko absolut 21%) pada sepuluh element
faktor risiko stroke: usia lebih dari sama dengan 62
tahun, riwayat infark miokard dalam jangka waktu
6 bulan dari pembedahan, hipertensi, riwayat stroke
sebelumnya, riwayat Transient Ischemic Attack
(TIA), riwayat penyakit paru obstruktif kronik, penderita dengan dialisis, penderita gagal ginjal
akut / Acute Renal Failure (ARF), dan perokok
aktif. 4
Penelitian-penelitian secara genomik, proteomik,
dan metabolomik telah dilakukan untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi
terjadinya stroke dan cukup bermanfaat untuk
mendiagnosis adanya suatu stroke akut. Penelitian
yang meneliti kaitan dari genotip ke fenotip
tergantung pada jumlah sampel yang digunakan dan
terlihat bahwa faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti diabetes mellitus dan hipertensi, hanya
menjelaskan dua per tiga dari risiko stroke.
Mekanisme genetik dari stroke terlihat pada
beberapa sindroma stroke yang jarang seperti
arteriopati autosomal dominan dengan infark
subkortikal dan demensia, yang diketahui dengan
akronim CADASIL (cerebral autosomal dominant
arteriopathy with subcortical infarcts and
leukoencephalopathy), yang merupakan penyakit
stroke yang diturunkan, dan disebabkan oleh mutasi
gen notasi 3 pada kromosom 19, yang merupakan kelompok kelainan yang disebut Leukodystrophies
dengan manifestasi klinik nyeri kepala migraine
dan stroke serangan singkat/ transient ischemic
attacks yang biasanya terjadi pada kelompok usia
40-50 tahun; juga kelainan lain polimorfisme
genetik yang disebabkan hiperkoagulopati, faktor V
Leiden, meningkatkan risiko trombosis sinus, dan
trombosis vena dalam.4
CADASIL, polimorfisme genetik yang disebabkan
hiperkoagulopati, faktor V Leiden, meningkatkan
risiko trombosis sinus, dan trombosis vena dalam.4
Stroke merupakan satu di antara sekian banyak
situasi klinik yang mutlak memerlukan proteksi
sistem saraf pusat. Obat-obatan seperti barbiturat,
etomidat, propofol, isofluran, methylprednisolon,
tirilazad mesylate, nimodipine, nicardipine, dan
mannitol sering digunakan untuk proteksi jaringan
saraf.5
Iskemik fokal dapat terjadi pada stroke perdarahan subarahnoid / sub arachnoid haemorrhage (SAH)
dan trauma akibat adanya vasospasme. Dengan
sedikit pengecualian, penelitian pada hewan coba
menunjukkan efikasi terapeutik sangat menurun
bahkan bisa tidak bermakna bila terapi terlambat
dilakukan lebih dari 1 jam sesudah terjadi stroke.
Lebih cepat obat-obatan neuroprotektif diberikan,
lebih baik hasilnya. Dalam situasi klinis demikian
dibutuhkan lembar pernyataan persetujuan/
informed consent untuk pemberian regimen
neuroprotektan yang secara laboratorik masih
dalam penelitian untuk efikasi terapeutiknya.5,6
II. Kasus
Seorang pasien, pria 41 tahun, dengan berat badan
60kg. Pasien tersebut didiagnosis sebagai
perdarahan intrakranial/ Intracranial Haemorrhage
(ICH) parietal kiri dengan edema serebri ec
Haemorrhage stroke. Pasien dilakukan operasi
kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah pada
percabangan arteri serebri media kiri (arteri
Thalamostriata).
Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah saat masuk kamar operasi 224/124 mmHg, laju nadi 92 kali / menit, laju napas 28 kali /
menit, suhu badan 360 C, dan GCS E1V1M4.
Pemeriksaan Laboratorium
Hb 11,3 gr/dL, HMT 34,1,Na 130 mmol/L, K 3,2
mEq/L, AL 11000/ mm3, AT 258.000/mm3, AE
3.300.000/mm3, Cl 109 mEq/L, GDR 121 mg/dL,
Alb 3,0 mg/dL.
Pemeriksaan X Foto Thoraks
dalam batas normal
Pemeriksaan CT Scan Kepala:
Tampak adanya massa yang dicurigai sebagai
bekuan darah pada regio parietal sinistra.
Pengelolaan Anestesi
Pasien diinduksi dengan fentanyl 100 µg, propofol 100 mg, fasilitas intubasi dengan rocuronium 40
mg, lidokain 60 mg, dan pemeliharaan dengan
sevofluran dan oksigen serta propofol kontinyu,
dan penambahan fentanyl dan rokuronium
intermiten. Infus terpasang dua jalur, tangan kiri
(terpasang NaCl 0,9% dan Fimahes) serta kaki kiri I
(terpasang RL). Sesudah tiga setengah jam, operasi
berakhir dan pasien dipindahkan ke ICU.
Pengelolaan Pascabedah
Dengan terpasang pipa endotrakheal nomor 7,5,
napas kendali, oksigen 8 liter/menit. Pasien dirawat
selama enam hari di ICU, kemudian dipindahkan ke ruangan. Selama satu setengah bulan pasien dirawat
di ruangan bersama tim rehabilitasi medik dan
neurolog.
Pengelolaan pasien di ICU
Pasien dirawat selama 6 hari di ICU. Hari pertama
dengan terpasang ETT no.7,5 dan ventilasi mekanik
dengan setting S(C)MV12, TV 550 ml, RR 12x/m,
FiO2 100% turunkan bertahap. Hari kedua dimulai
penyapihan. Dan hari kedua pasien diekstubasi
setelah ventilasi adekuat dan hemodinamik stabil.
Pascaekstubasi tekanan darah berkisar 120-135/72-88 mmHg, laju nadi 72-90 x/menit, laju napas 12-
20x/menit, dan saturasi 99-100%.
Data laboratorium di ICU hari pertama:
Hb 10,8 gr/dL, HMT 33, Na 131 mmol/L, K 3,36
mEq/L, AL 12500/ mm3, AT 249.000/mm3, AE
3.200.000/mm3, Cl 108 mEq/L, GDR 110 mg/dL,
Alb 3,1 mg/dL, Tot.Prot. 6,0 mg/dL, Creat 1,1
Terapi sesuai instruksi bedah saraf diberikan
Ceftriaxon 3 x 1 gr IV dan profilaksis fenitoin 3 x
100 mg. Sepanjang hari kedua pasien stabil hemodinamik juga stabil normal.
Hari ketiga sampai keempat pasien menunjukkan
produksi sputum yang cukup produktif dan
mengalami kesulitan mengeluarkan dahak
sehubungan keadaan umum yang masih lemah dan
pasien takut untuk mengeluarkan dahak karena
kepala yang baru dioperasi. Dengan terapi
mukolitik dan fisioterapi, pasien yang juga
merupakan rawat bersama bedah saraf, neurologi,
dan rehabilitasi medik mulai mengalami kemajuan
dalam kemampuan mengeluarkan dahak. Sehingga
pada hari keenam dengan kondisi stabil, sadar penuh, sudah mampu mengeluarkan dahak secara
efektif, batuk membaik, tekanan darah 130-142/80-
88 mmHg, laju nadi 72-80x/menit, dan laju napas
12-18x/menit, suara pernapasan vesikuler tidak ada
rhonkhi maupun wheezing, pasien dipindahkan ke ruangan.
Di ruangan pasien mendapat perawatan bersama
dari bedah saraf, neurologi, dan rehabilitasi medik,
dan sehubungan sekuele yang ada pada pasien ini
berupa hemiparesa dekstra maka pasien
dipulangkan dari rumah sakit pada hari ke-31 pasca
operasi.
III. Pembahasan
Pada kasus ini pasien usia 41 tahun dengan stroke
hemorrhagik, tekanan darah awal 214/124 mmHg, kemungkinan adalah suatu hipertensi emergensi
dengan organ target berupa perdarahan intrakranial.
Pada pasien hipertensi, autoregulasi serebral
bergeser ke kanan. 1,2,3
Perdarahan intrakranial akibat suatu hipertensi
emergensi sampai saat ini masih belum dipahami
betul, namun diketahui disebabkan oleh berbagai
etiologi.7 Fenomena yang mudah dikenali adalah
peningkatan resistensi vaskular sistemik yang
terjadi sekunder akibat sirkulasi vasokonstriktor
humoral.4,7,8 Juga terdapat bukti bahwa tekanan
arterial kritis yang tercapai meliputi kemampuan organ target untuk mengkompensasi peningkatan
tekanan arterial, dan pembatasan aliran darah ke
organ target. 5,6,9
Stroke hemoragik terutama disebabkan oleh
penyakit hipertensif serebrovaskular, dan terjadi
kebanyakan pada regio otak subkortikal. ICH
kortikal sering terjadi akibat angiopati amiloid,
dimana peningkatan insidens terjadi seiring dengan
pertambahan usia. Morbiditas dan mortalitas akibat
stroke hemoragik sangat tinggi; hanya 30% dari
pasien-pasien yang dapat bertahan hidup secara mandiri dalam waktu 6 bulan sesudah suatu stroke
hemoragik.10 Efek masa dari hematoma post
ICH telah lama dipikirkan sebagai faktor utama
yang berperan dalam patofisiologi dari ICH. Data
penelitian pada percobaan hewan yang terbaru
menunjukkan bahwa sekalipun proses patologik
yang mungkin terlah terjadi diseksi hematoma
sepanjang jaringan yang diikuti dengan edema
serebral dan neurotoksisitas dari protein darah dan
produk pemecahannya. Pembesaran awal dari
hematoma terjadi pada sekitar 40% dari pasien
ICH dan secara signifikan memperburuk prognosis.10
Durante operasi pada pasien ini ditemukan
perdarahan pada A. Thalamo Striata (cabang A.
Cerebri Media). Perdarahan pada percabangan
arteri ini memang merupakan patognomonis pada
perdarahan serebral karena hipertensi karena A.
Thalamo Striata merupakan percabangan dari A.
Cerebri media sehingga tekanan yang relatif lebih
tinggi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan
arteri ini merupakan tempat predisposisi terjadi perdarahan pada kasus perdarahan intraserebral.
Penanganan stroke hemoragik perioperatif meliputi
penilaian secara cepat untuk mendeteksi kondisi
yang dapat diterapi yang mungkin menyerupai
stroke hemoragik; membebaskan jalan napas serta
suport ventilasi dan sirkulasi (ABC) merupakan
prioritas utama, kontrol kejang bila ada, persiapan
CT Scan kepala non kontras, serta memperbaiki
koagulopati iatrogenik dan spontan; perhatikan
kemungkinan pemberian faktor VII aktivasi
(rFVIIa), serta perawatan neurointensive care. 11
Pasien yang mengalami stroke hemoragik sering
datang dengan keluhan nyeri kepala, mual dan
muntah, bahkan dapat disertai kejang dan defisit
neurologik, seperti yang terdapat pada pasien ini,
yaitu penurunan kesadaran dengan riwayat nyeri
kepala sebelumnya. Semakin besar ukuran/volume
perdarahan, makin jelas pula gejala-gejala yang
berupa letargi, stupor, dan koma. Terapinya
meliputi penilaian yang cepat untuk mendeteksi
kondisi yang dapat diatasi yang kemungkinan
menyerupai suatu stroke hemoragik.10,11
Beberapa kondisi yang menyerupai stroke hemoragik dan karenanya harus diatasi sesuai
penyebabnya adalah: hipoglikemia, kelainan
metabolik, meningitis, ensefalitis, sepsis, SAH, dan
syok, dan keracunan. Toksin, termasuk
penyalahgunaan obat-obatan terlarang, etanol,
bahan di lingkungan dan tempat kerja, dan obat
yang diresepkan baik oleh dokter maupun pasien
sendiri; kebanyakan kondisi ini dapat dideteksi
dengan pengujian di bed pasien dan diterapi
dengan mudah. Pasien hipoglikemik diberikan
glukosa 25 g intravena, tiamin 100 mg intravena, dan nalokson 1 mg intravena, dapat diawali untuk
pasien yang diperkirakan menyalahgunakan etanol
ataupun opioid.10,11
Pada stroke hemoragik, terutama yang disebabkan
SAH, manajemen cairan merupakan prioritas,
sehingga pasien berada dalam status euvolemi
dengan pemberian cairan isotonik. Tidak
dianjurkan menggunakan cairan hipotonik karena
dapat mencetuskan atau memperberat edema
serebral yang terjadi, dan larutan yang mengandung
glukosa sebaiknya tidak diberikan kecuali pasien
berada dalam keadaan hipoglikemik.12
Koagulopati harus dikoreksi secepat mungkin.
Pemberian plasma beku segar/Fresh frozen plasma
(FFP), 15 mL/kg intravena, secara cepat dapat
mengoreksi koagulopati yang terjadi. Karena hal
tersebut membutuhkan infus satu liter atau lebih
FFP, maka status volume harus betul-betul
dimonitor. Koreksi koagulopati jangka panjang
dapat dicapai dengan pemberian vitamin K 5 mg intramuskular (IM) atau intravena setiap hari
selama 3 hari. Efek pemberian secara intravena
lebih cepat tercapai koreksinya namun dapat
menyebabkan anafilaksis. Pasien yang mengalami
ICH berkaitan dengan pemberian rTPA sebelumnya
dapat diterapi dengan pemberian FFP, sekalipun
tidak ada data mengenai efikasi untuk setiap terapi
spesifik.10,11
Kejang diterapi dengan lorazepam 2 mg intravena;
fenitoin dosis awal 15 mg/ kgBB intravena selama
20 menit diikuti dengan 5-7 mg/kgBB/hari, atau fosfenitoin, dosis awal fenitoin 15-20 mg/kgBB
intravena kemudian diikuti dengan 4-6
mg/kgBB/hari. American Heart Association (AHA)
merekomendasikan bahwa profilaksis kejang
dengan pemberian fenitoin selama 1 bulan untuk
semua pasien dalam waktu 1 bulan sesudah
mengalami ICH.10
Pada suatu penelitian yang terandomisasi,
percobaan klinis dengan kontrol plasebo terkontrol
menunjukkan bahwa pemberian rF faktor VIIa, 80
sampai 160 mcg/kg intravena dalam waktu 4 jam
sesudah onset gejala stroke hemoragik dibatasi sesuai dengan perluasan hematoma dan dikatakan
dapat mengurangi insidens kematian dan derajat
kecacadan dalam waktu tiga bulan. Kontraindikasi
pemberian rF faktor VIIa adalah penyakit trombotik
dan vasooklusif. Penelitian untuk menyaring dosis
dan indikasi untuk terapi tersebut masih terus
dilakukan. Keadaan normotermia dipertahankan.10
Penatalaksanaan hipertensi emergensi sesuai
panduan adalah dengan obat anti hipertensi yang
onsetnya cepat namun dititrasi sehingga dapat
dikendalikan dengan cermat.3,5,11,12 Namun penatalaksanaan peningkatan tekanan darah yang
tinggi dikatakan tidak bermakna untuk pasien yang
sudah mengalami ICH. Pada kasus ini penanganan
hipertensi yang diberikan sejak pasien diterima di
ruang gawat darurat memang dibatasi dan tidak
begitu agresif sejak ditegakkan diagnosa kecurigaan
suatu stroke hemoragik. Hal yang harus
diperhatikan kemungkinan eksaserbasi perdarahan
akibat pemberian obat antihipertensi yang dapat
mengurangi aliran darah serebral/Cerebral Blood
Flow (CBF) dan memperburuk iskemia yang
terjadi.10,13
Terapi peningkatan tekanan darah disebutkan tidak
menunjukkan suatu keadaan yang menguntungkan
pada pasien yang mengalami ICH. Perhatian
mengenai tercetusnya perdarahan harus
dipertimbangkan dalam perencanaan pemberian
obat antihipertensif karena kemungkinan obat
antihipertensi tersebut dapat mengurangi CBF dan
selanjutnya memperburuk iskemia yang terjadi.
Sebagaimana pada pasien sesudah mengalami stroke iskemik, kebanyakan pasien yang mengalami
stroke hemoragik mengalami perubahan
autoregulasi dari CBF dan membutuhkan tekanan
rerata arteri yang lebih tinggi untuk
mempertahankan CBF yang adekuat. Secara umum,
MAP 130 mmHg dipertimbangkan sebagai dasar
untuk memulai terapi hipertensif. Dapat juga
digunakan labetalol maupun enalapril untuk
mengurangi MAP sampai sekitar 10% sampai
15%.10
Sebagaimana pasien yang baru mengalami stroke iskemik, kebanyakan pasien yang baru mengalami
stroke perdarahan mengalami perubahan
autoregulasi CBF dan membutuhkan tekanan rerata
arteri yang lebih tinggi untuk mempertahankan
CBF yang adekuat. Secara umum, pada batas MAP
130 mmHg dipertimbangkan untuk pemberian
terapi hipertensi. Baik labetalol maupun enalapril
dapat digunakan untuk mengurangi MAP sampai
sekitar 10-15%.10,13
Tabel 1. Skor ICH. 4
Komponen Skor
ICH Nilai
Penjumlahan Nilai dari setiap
Komponen Scoring
Skor GCS 3-4 5-12 13-15
Volume ICH (cm3) >30 <30 IVH ya Tidak Lokasi ICH
infratentorial ya tidak Umur >80 <80
2 1 0
1 0
1 0
1 0
1 0
0 1 2
3 4 5
ICH: Intracerebral Hemorrhage; Skor GCS: saat
pertama kali diperiksa; Volume ICH: volume hematoma saat pertama kali di CT; IVH adanya intraventricular hemorrhage;
Dikutip dari: Rost N 4
Tabel 2. Hubungan Skor ICH dan Mortalitas 30 hari
Penjumlahan Nilai dari setiap Komponen Scoring
Mortalitas 30 hari (%)
0 1
0 13
2 3
4 5
26 72
97 100
Dikutip dari: Rost N 4
Regimen terapi dan suport ventilasi pada pasien ini
bertujuan untuk resusitasi otak perioperatif.
Pascaoperasi pasien ditransport ke ICU dengan
terpasang pipa endotrakhea no. dan support
ventilasi dengan ventilator selama 24 jam pertama,
selanjutnya pasien sudah disapih dan ventilasi
spontan adekuat, setelah itu diekstubasi.
Sequele pada pasien ini adalah afasia dan
hemiparesa kanan, sesuai dengan lokasi perdarahan yang telah terjadi. Pasien dirawat selanjutnya di
ruangan oleh neurologist dan rehabilitasi medis.
Sampai saat ini sudah 1,5 bulan pasien masih
dirawat di rumah sakit oleh neurologist dan
rehabilitasi medis untuk penanganan sequelae yang
terjadi. Komponen utama intrakranial normal adalah jaringan otak, darah intravaskular, dan
cairan serebrospinal yang semuanya itu terisi dalam
tulang tengkorak yang kaku. Selanjutnya setiap
peningkatan volume salah satu komponen oleh
karena massa abnormal harus dikompensasi oleh
pengurangan volume satu atau lebih komponen
lainnya, terutama LCS atau darah (otak sebagian besar tidak dapat ditekan). Kemampuan mekanisme
homeostatik untuk mengkompensasi tergantung
tidak hanya pada volume massa tapi juga pada
kecepatan pertambahan volume tersebut: untuk
massa yang sangat cepat pertambahannya, kurva
volume TIK akan lebih bergeser ke kiri.
Homeostasis awal namun terbatas disediakan oleh
pergeseran ekstrakranial atau darah intrakranial,
diikuti oleh pergeseran LCS dalam jumlah besar,
yang tidak efektif jika aliran LCS tersumbat. Sekali
mekanisme kompensasi ini kelelahan/ kehabisan
tenaga, maka TIK akan meningkat dengan cepat, diikuti oleh kegagalan sirkulasi serebral, dan
diakhiri dengan herniasi otak, umumnya subfalcine
(pergeseran midline) atau transtentorial, sebagai
tahap akhir dari kompensasi. Konsep ini dapat
diringkaskan sebagai berikut: Dasar dari
Neuroanestesia: Hubungan volume-Tekanan
Intrakranial. Tujuan utama neuroanestesia: Hindari
peningkatan volume kompartemen intrakranial,
khususnya untuk volume darah sereberal (dengan
pengaturan obat anestesi, mempertahankan
autoregulasi tekanan darah rerata, serta tekanan karbon dioksida).15
Perkembangan vasospasme juga dapat
mengeksaserbasi peningkatan TIK karena
pengurangan CBF menghasilkan vasokonstriksi
sejumlah besar konduktansi pembuluh darah yang
disertai vasodilatasi pada pembuluh darah distal, menyebabkan peningkatan volume darah
serebral/cerebral blood volume (CBV) dan
selanjutnya peningkatan TIK. Faktor lain yang
mungkin berkontribusi pada peningkatan TIK
adalah hematoma intraserebral (17%) atau
hematoma intraventrikular (17%). Pada kasus ini
peningkatan TIK yang terjadi kemungkinan karena
hematoma intraserebral yang tampak pada
pemeriksaan CT scan kepala. Bila terjadi
hidrosefalus, secara klinis akan disertai dengan
perburukan progresif dan pupil kecil non reaktif. Tampilan klinis hanya tampak pada sekitar 50%
kasus, dan diagnosis radiologik sangat penting.
Sekalipun demikian, hubungan kausal antara
hidrosefalus dengan iskemik serebral lambat masih
belum begitu jelas sampai saat ini.14
Sawar darah otak juga dipengaruhi oleh kondisi
patologik intrakranial. Normalnya, BBB tidak
permeabel terhadap molekul berukuran besar atau
yang polar, juga molekul dan beragam
permeabilitasnya terhadap ion-ion dan nonelektrolit
hidrofilik kecil. Jadi putusnya sambungan BBB
memungkinkan air, elektrolit, dan molekul-molekul besar yang hidrofilik memasuki jaringan otak
perivaskualr, menyebabkan terbentuknya edema
vasogenik. Pada kasus ini, edema yang terbentuk
kemungkinan karena adanya kebocoran BBB, yang
secara langsung berbanding lurus dengan tekanan
perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP).
Edema vasogenik memang harus dibedakan dari
edema osmotik (yang disebabkan oleh penurunan
osmolalitas serum) dan edema sitotoksik (sekunder
terhadap iskemia). Osmolalitas darah merupakan
penentu kritis adanya edema serebral karena pada 19 mmHg maka gradien tekanan yang melintasi
BBB dihasilkan untuk setiap miliosmol.
Sebaliknya, tekanan onkotik hanya sedikit
memegang peranan.15
Indikasi penempatan kateter monitoring tekanan
intrakranial secara intraventrikular untuk memantau
tekanan intrakranial dan terapi drainase LCS
termasuk perdarahan intraventrikular dan
hidrosefalus. Monitoring TIK juga dapat diindikasi
pada setiap pasien yang mengalami perburukan
atau dengan keadaan koma namun masih ada
kemungkinan dapat diselamatkan.10
Beberapa penelitian multipel pada pasien yang
berusia di atas 45 tahun telah gagal untuk
menunjukkan keuntungan dari kraniotomi dan
evakuasi hematoma intraserebral. Indikasi untuk
operasi secara konvensional telah diterima atau
dapat disimpulkan dari penelitian terbaru meliputi
hematoma serebelar lebih dari 3 cm2 atau disertai
dengan perburukan neurologik, hematoma kortikal
besar yang masih dapat diakses (kurang dari 1 cm dari permukaan kortikal), dan perburukan
neurologik. Pasien yang berusia lebih muda
kelihatannya lebih memiliki prognosis yang baik
dengan pembedahan dibanding yang berusia lebih
tua. 10
Beberapa penelitian dengan menggunakan teknik
minimal invasif dengan menggunakan evakuasi
hematom secara endoskopik masih belum dapat
disimpulkan, sekalipun hal tersebut bisa saja
disimpulkan bahwa dengan peralatan tersebut dan
teknik tertentu dapat dihasilkan perbaikan luaran. Pada perawatan pasien stroke hemoragik selama di
ICU, direkomendasikan penggunaan alat kompresif
pneumatik untuk profilaksis trombosis vena dalam
/Deep Vein Thrombosis (DVT). Di samping itu juga
perlu diperhatikan dukungan nutrisi dan
pencegahan ulkus peptikus dengan pemberian
antagonis H2 misalnya famotidin 20 mg inravena
setiap 12 jam, atau penghambat pompa proton,
seperti pantoprazol, 40 mg intravena per hari.16
Pada pasien ini diberikan ranitidin sebagai
profilaksis sejak sebelum diberikan induksi maupun
selama perawatan di ICU.
Obat induksi anestesi yang sering digunakan pada
operasi bedah saraf di antaranya barbiturat,
propofol, etomidat. Sebagian besar obat anestesi
intravena bersifat serebral vasokonstriktor (kecuali
ketamin) yang berefek mendepresi metabolisme
otak (CMR). Ketamin meningkatkan CBF pada
setiap pasien sehat tanpa menyebabkan perubahan
pada CMR. Pada dosis sub anestetik, ketamin
meningkatkan kecepatan metabolik glukosa
regional dan meningkatkan CBF. Obat anestesi
intravena lainnya mengurangi CBF, CBV, dan TIK tanpa mengganggu autoregulasi dan reaktivitas
pembuluh darah tetap PaCO2 tetap utuh.
Pengurangan CMR menggambarkan aktivitas otak
dan hal tersebut diperantarai melalui aktivitas
elektrik namun tidak pada aktivitas metabolik basal
neuron. Selanjutnya ada efek kompensasi tertinggi
untuk pengurangan CMR pada supresi gelombang
electro-encephalogram (EEG).15,17
Pemberian propofol setelah induksi sering
digunakan untuk pemeliharaan anestesi selama
operasi bedah saraf berlangsung dengan
menggunakan infus kontinyu intravena (syringe pump maupun dengan infus pump, bahkan dengan
pengaturan komputer). Pada kasus ini pemeliharaan
anestesi dilakukan dengan propofol kontinyu
(syringe pump) dan oksigen serta sevofluran kurang
dari 2,5 volume %. Berlawanan dengan anestetika
inhalasi, propofol menunjukkan kapasitas untuk
menekan efek serebrostimulasi dari nitrous oxide
(N2O). Obat induksi yang lain, etomidat telah
diketahui dapat menghambat sekresi kortisol adrenal dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah
pemberian injeksi tunggal, dan penggunaannya
dihubungkan dengan kejadian pergerakan
mioklonik (bukan epileptik).15 Anestesi akan
mengerahkan berbagai efek mayor terhadap
lingkungan intrakranial melalui pengaruh berbagai
obat maupun manuver tertentu. Efek tersebut
sensitif terhadap keadaan lingkungan intrakranial
dan ekstrakranial (misalnya komplains serebral, ada
atau tidaknya kondisi patoloik intrakranial, serta
keadaan volemik secara keseluruhan).17
Seluruh obat anestesi inhalasi bersifat vasodilator
serebral, namun khusus untuk isofluran, sevofluran,
dan desfluran juga mengurangi CMR. Suatu
gambaran EEG yang datar diperoleh dengan tiga
agent inhalasi tersebut di atas pada sekitar 2
konsentrasi alveolar minimal / minimum alveolar
concentrations (MAC), suatu konsentrasi dimana
dapat dicapai depresi metabolik maksimum.
Respon metabolisme serebral untuk meningkatkan
konsentrasi anestetika inhalasi adalah tidak linear.
Pengurangan CMR yang sangat curam dari 0 ke 0,5
MAC dan kemudian secara bertahap meningkat sampai 2 MAC. Efek anestetika inhalasi terhadap
CBF merupakan akibat dari sifat vasodilatasinya
dan perpaduan antara aliran dan metabolisme / flow
– metabolism coupling. Pada konsentrasi rendah (<
1 MAC), CBF lebih rendah daripada orang yang
bangun. Namun CBV tidak berubah dengan
isofluran dan berkurang dengan propofol pada
konsentrasi yang sebanding. Di antara sejmlah obat
anestesi inhalasi yang baru, sevofluran merupakan
vasodilator terakhir dan desfluran merupakan
vasodilator terkuat.13 Pada pasien ini kami memilih menggunakan anestesi inhalasi Sevofluran kurang
dari 2 MAC dengan kombinasi propofol kontinyu
intravena karena alasan tersebut.13
Pada otak yang normal, dengan anestesi inhalasi
pada konsentrasi kurang dari 1 MAC, maka
reaktivitas PaCO2 tetap utuh, kontrol vasodilatasi
melalui hipokapnia. Sekalipun demikian, adanya
kondisi otak yang patologik atau penggunaan
anestetik inhalasi dengan MAC yang tinggi dapat
menggagalkan atau menghilangkan sama sekali
reaktivitas PaCO2 dan autoregulasi.15
Nitrous oxide merupakan stimulator serebral, meningkatkan CBF, CMR, dan terkadang TIK.
Efektifitasnya terhadap otak tidak semuanya sama,
dan terbatas sesuai daerah otak yang terkena
(ganglia basalis, talamus, ataupun insula),
perubahan distribusi regional dari CBF. Pada
konsentrasi yang setara dengan obat anestesi
inhalasi lainnya, nitrous oxide meningkatakan CBF.
Pada otak yang normal, hasil vasodilatasi serebral
dapat dikendalikan oleh hipokapnia atau penambahan anestesi intravena. Sekalipun
demikian, obat anestesi inhalasi tidak memiliki efek
pengurangan; CMR dan CBF lebih tinggi selama
anestesi 1 MAC yang dihasilkan oleh kombinasi
nitrous oxide dan volatile anesthetic dibanding
yang dihasilkan hanya oleh anestesi inhalasi
sendiri. Efek tersebut lebih khusus lagi
perburukannya pada keadaan nyata atau potensial
terjadinya suatu iskemia otak.15 Dengan dasar
tersebut di atas, seharusnya pada kasus ini tidak
diberikan nitrous oxide. Namun karena keterbatasan ketersediaan sarana dan prasarana
yang ada (mesin anestesi di ruang operasi tanpa
fasilitas Air/udara ruangan, maka kami memberikan
nitrous oxide dalam konsentrasi yang rendah
(Oxygen: Nitrous oxide equivalent 75% : 25%).
Khusus untuk kraniotomi berulang (kedua atau
ketiga kalinya), potensial nitrous oxide, yang
kurang larut, untuk berdifusi ke dalam otak dan
selanjutnya memperbesar ruang rongga otak
selanjutnya harus diingat itu dapat menyebabkan
terbentuknya tension pneumocephalus pada pasien
dengan udara di intrakranial (operasi bedah saraf berulang atau cedera kepala).16,17
Opioid telah dihubungkan dengan peningkatan TIK
dalam jangka waktu pendek, khususnya
penggunaan sufentanil ataupun alfentanil. Refleks
vasodilatasi serebral sesudah terjadi pengurangan
MAP dan selanjutnya CPP adalah berdasarkan
mekanisme untuk peningkatan TIK transient,
sekalipun efek vasodilatasi langsung yang terjadi
hanya ringan. Efek tersebut menunjukkan
sensitivitas efek obat intraserebral terhadap
lingkungan intrakranial dan ekstrakranial serta pentingnya mempertahankan normovolemia untuk
stabilitas TIK. Pada umumnya, opioid sedikit
mengurangi CMR, dan tidak mempengaruhi flow-
metabolism coupling, autoregulasi, ataupun
sensitivitas karbon dioksida pada pembuluh darah
serebral.15 Pada pasien ini, kami menggunakan
opioid fentanil untuk analgetik selama
pembedahan. Remifentanil telah diteliti secara luas.
Efeknya terhadap serebral dibanding opioid yang
lain, serta penggunaannya dalam neuroanestesia
telah diuji dalam berbagai penelitian klinis.15
Obat antihipertensif vasodilator seperti nitrogliserin, nitroprusside, and nikardipin dapat
meningkatkan TIK dan dalam suatu kepustakaan
dikatakan harus dihindari.15 Pasien telah diberikan
obat antihipertensi nikardipin pertama di ruangan,
karena dicurigai sebagai suatu hipertensi emergensi
dengan organ target pada otak berupa perdarahan
otak. Namun pada periode perioperatif, kami
menghentikan nikardipin tappering off untuk
menghindari kemungkinan rebound. Vasodilatasi
serebral kemungkinan akibat dari respons autoregulasi normal ataupun akibat vasodilatasi
arterial langsung. Sebagai contoh, sodium
nitroprusside tidak merubah CBF. Sebaliknya,
verapamil mengurangi resistensi serebrovaskular
pada manusia melalui vasodilatasi serebral
langsung. Teofilin menyebabkan konstriksi
pembuluh darah serebral, namun meningkatkan
produksi LCS dan teofilin merupakan stimulan kuat
sistem saraf pusat (SSP), meningkatkan risiko
kejang. Kebanyakan penghambat β-adrenergik,
khususnya esmolol, tidak mempengaruhi aliran darah serebral maupun metabolisme serebral.15
Seorang ahli anestesi memiliki sejumlah instrumen
untuk mencapai pengurangan TIK dan relaksasi
otak, sehingga dapat menyediakan lapangan
pembedahan yang baik, mengurangi tekanan
retraktor yang diperlukan, sehingga memperbaiki
kualitas hasil suatu operasi bedah saraf. Efektivitas
instrumen ini tergantung juga pada mekanisme
homeostasis intraserebral. Strategi untuk mencegah
hipertensi intrakranial dan bengkak otak adalah
mempertahankan euvolemia, sedasi, analgesia,
ansiolisis, tidak ada rangsangan noksius diterapkan tanpa sedasi dan anestesi lokal, posisi kepala
ditinggikan, tidak boleh ada kompresi pada vena
jugularis, posisi kepala lurus, dan pemberian bahan
osmotik seperti manitol, larutan salin hipertonik,
penghambat β-adrenergik atau klonidin atau
lidokain, steroid, dan mempertahankan
hemodinamik adekuat: pertahankan tekanan darah
rerata, tekanan vena sentral, tekanan baji kapiler
paru, laju nadi, serta ventilasi adekuat dengan
mempertahankan PaO2 lebih dari 100 mmHg,
PaCO2 35 mmHg, dan tekanan intratorakal serendah mungkin, hiperventilasi hanya bila
dibutuhkan, sebelum induksi, dengan menggunakan
obat anestesi intravena untuk induksi dan
pemeliharaan pada keadaan otak yang bengkak.15,17
Pada kasus ini, kami tetap mempertahankan status
cairan euvolemia, monitoring urin, sedasi dan
analgesia adekuat dengan induksi dan pemeliharaan
Propofol intravena, sevoflurane kurang dari 2
MAC, opioid fentanil, serta hiperventilasi ringan.
Penanganan hipertensi intrakranial dan bengkak
otak dapat berupa drainase LCS jika terpasang
kateter ventrikular ataupun lumbar, pemberian bahan osmotik, hiperventilasi, titrasi obat anestesi
intravena seperti: propofol, tiopental, etomidat,
pelumpuh otot, serta drainase vena dengan kepala
ditinggikan, tidak boleh diberikan tekanan positif
akhir ekspirasi (end – expiratory pressure),
mengurangi waktu inspirasi, kontrol ringan
hipertensi jika masih ada autoregulasi.15 Kami
melakukan hal ini dengan induksi intravena dengan
propofol, pemeliharaan dengan propofol intravena kontinyu, inhalan sevofluran.
Hiperventilasi menyebabkan hipokapnia dan
selanjutnya terjadi vasokonstriksi serebral. Dalam
konteks autoregulasi yang masih utuh, CBF
berbanding linear dengan PaCO2 yaitu antara 20
dan 70 mmHg. Sekalipun demikian, reaktivitas
karbon dioksida pada pembuluh darah serebral
dapat gagal atau hilang pada keadaan cedera kepala
ataupun kondisi patologik intraserebral lainnya,
melalui konsentrasi anestesi inhalasi yang tinggi,
atau khususnya jika pembuluh itu sudah dilatasi, yaitu dengan pemberian nitrous oxide. CBF, CBV,
dan TIK mengurangi efek hipokapnia dari
hipokapnia akut dan kelihatannya menghilang
dalam waktu kurang dari 24 jam. Suatu nilai tipikal
untuk mencapai PaCO2 of 30 – 35 mmHg; analisis
gas darah dengan end-tidal CO2 (ETCO2) harus
digunakan sebagai variabel kontrol karena
kemungkinan gradien arterioalveolar besar pada
pasien bedah saraf. Efektivitas hiperventilasi
(PaCO2 berkisar 25 ± 2 mmHg) untuk mengontrol
bengkak otak dengan anestesi dengan isofluran dan
propofol telah terbukti.15
Komplikasi utama yang berhubungan dengan
hiperventilasi adalah pengurangan CBF, yang dapat
menyebabkan iskemik serebral. Jadi ahli anestesi
harus menyeimbangkan antara keuntungan dan
kerugian relaksasi otak dengan risiko terjadinya
hipoperfusi serebral. Efek samping lainnya adalah
pengurangan aliran darah arteri koroner,
pengurangan aliran balik vena jantung,
hipokalemia, serta potensiasi dengan respons otak
terhadap opioid.15
Diuretik osmotik seperti manitol dan salin hipertonik meningkatkan osmolalitas darah secara
akut, sehingga mengurangi kandungan air pada otak
(terutama pada jaringan otak sehat yang masih utuh
BBB nya). Respons ini memperbaiki deformabilitas
otak dan selanjutnya memfasilitasi lapangan
pembedahan. Efek meuntungkan lebih lanjut adalah
perbaikan rheologi darah akibat berkurangnya
edema endotel vaskular dan eritrosit (peningkatan
deformabilitas eritrosit) – yang merupakan dasar
efek klasik mannitol, efek “antisludge”. Regimen
khusus yang diberikan adalah 0.5 sampai 1 g/kg
mannitol (150 – 400 mL 20% Mannitol) intravena, dibagi atas dosis yang lebih cepat pre-kraniotomi,
dengan infus yang lebih lambat durante sampai
post-kraniotomi intravena, sampai diseksi serebral
lengkap. Efek terhadap TIK lebih menonjol, dapat
mengeluarkan air otak sampai sekitar 90 mL pada
efek puncak, setidaknya selama 2 hingga 3 jam.
Normalnya pemberian manitol bertujuan untuk
mempertahankan osmolalitas sekurang-kurangnya
320 mOsm/L. Masalah yang dihadapi dengan penggunaan diuretik osmotik meliputi
kemungkinan terjadinya hipernatremia,
hipokalemia, dan hipervolemia akut, yang dapat
memperburuk pasien dengan penyakit gagal
jantung. Tidak ada keuntungan lain dengan
menggunakan tambahan loop diuretic seperti
furosemid, yang dapat menyebabkan hipovolemia
dan tidak mengurangi kandungan air otak.
Sebaliknya, kadar natrium serum juga harus
dikoreksi seiring dengan kehilangan urin bila
terdapat defisit, untuk menghindari hipovolemia dan mempertahankan tekanan darah.13 Pada kasus
ini kami menggunakan mannitol 0,5 g/kgbb
terutama karena pada pasien ini telah terbentuk
edema serebri. Produksi urin dan keseimbangan
cairan tetap merupakan prioritas utama selama
pemberian mannitol.
IV. Simpulan Pada penanganan anestesi untuk perdarahan
intrakranial karena stroke hemoragik sangat
penting menerapkan neuroproteksi dan
neuroresusitasi baik secara farmakologik maupun non farmakologik.
Daftar Pustaka
1. Hartmann A, Henning M, Mohr JP, Koennecke
HC, Osipov A, Pile-Spellman, et al. Morbidity
of intracranial hemorrhage in patients with
cerebral arteriovenous malformation. American
Journal of the American Heart Assosciation;
1998. Available in stroke-ahajournals.org.
2. Jauch EC. Intracerebral Hemorrhage. Ferne.
Foundation for education and research in neurological emergencies 2001: 3-10.
3. Hsieh PC, Awad IA, Getch CC, Bendok BR,
Rosenblatt SS, Batjer HH. Current updates in
perioperative management of intracerebral
hemorrhage. Neurol Clin 2006; 24:745-64.
4. Mc. Donagh DL, Matthew JP. Perioperative
stroke. Where do we go from here? Editorial
views. The American Society of
Anesthesiologists, Inc. Lippincott Williams &
Wilkins. Anesthesiology 2011; XXX (V) : 1 –
3.
5. Sreedhar R, Gadhinglajkar SV. Pharmacological Neuroprotection. Indian J.
Anaesth. 2003; 47 (1) : 8 – 22. Bhojraj Award
– 2002 Winning Review Article. 2003. P 8
6. Gamboa C, Sloan EP. Intracerebral
hemorrhage. Ferne. Foundation for education
and research in neurological emergencies:
2010: 5 – 26.
7. Rincon F, Mayer SA. Clinical review: Critical
Care Management of Spontan Intracerebral
Hemorrhage. Review. Crit Care 2008; 12 : 237. Available online
http://ccforum.com/content/12/6/237.
8. Tong C, Konig MW, Roberts PR, et al.
Autonomic Dysfunction Secondary to
Intracerebral Hemorrhage. Case Report.
Anesth Analg 2000; 91 : 1450 – 1.
9. Elliott J, Smith M. The acute management of
Intracerebral Haemorrhage: A Clinical Review.
Anesth Analg 2010; 56 (1): 21 – 2.
10. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic Brain
Injury, Stroke, and Brain Death. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins Handbook: 432
– 439.
11. Broderick J, Connolly S, Fieldman E, et al.
Guidelines for the management of Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage in adults. AHA/
ASA guideline. Stroke. American Heart
Association, Inc 2007; 38 : 2001 – 23.
12. Bisri T. Panduan tata laksana terapi cairan
perioperatif. UNPAD : 2009.
13. The Canadian Stroke Strategy. Canadian best practice recommendation for stroke care, 2006.
14. Pong RP, Lam AM. Anesthetic Management of
Cerebral Aneurysm Surgery. Dalam: Cottrell
JE, Young WL,eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. USA: Mosby Elsevier; 2010:
218-41.
15. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
hemorrhage: Intensive Care Management.
Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229-35.
16. Godsiff LS, Matta BF. Intensive Care
Management of Intracranial Haemorrhage.
Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, eds.
Textbook of Neuroanaesthesia and Critical
Care. London: Greenwich Medical Ltd ;2000,
331-9. 17. Petrozza PH, Prough DS. Post operative and
Intensive Care. Dalam: Cottrell JE, Smith DS,
eds. Anesthesia and Neurosurgery. 4th ed. Mosby, Inc. A Harcourt Health Sciences
Company : 2001; 623-9; 655-6.
18. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care.
New York: Cambridge University
Press;2010;143-56.
19. Bisri DY, Bisri T. Pengelolaan perioperatif
stroke hemoragik. JNI 2012; 1 (1):59-66
TIVA PADA KRANIOTOMI PENGANGKATAN MENINGIOMA RESIDIF
TIVA FOR CRAINOTOMY RECIDIVE MENINGIOMA REMOVAL
Betty Roosiati *), Dyah Yarlitasari **), Sofyan Harahap ***), Sri Rahardjo ****)
*) RS Karya Media I Cibitung Bekasi
**) Eka Hospital Tangerang
***) RS Dr. Kariyadi, Universitas Diponegoro-Semarang
****) RS Sardjito, Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta
Abstract
Meningiomas are brain tumors that are very likely to bleed from the meninges and spinal cord tissue, brain
tissue does not grow out of. Meningiomas usually grow into that causes pressure on the brain and spinal cord,
but also grew out towards the skull, resulting in thickening of the skull. Meningioma not always require
immediate treatment. Signs and symptoms of meningioma is usually gradual but sometimes require emergency action. At the beginning of obscure symptoms, depending on the tumor location. Symptoms such as double vision
/ blurred, headache, hearing loss, loss of memory, seizures, weakness of the arms and legs. In these patients the
first surgery 2 years ago as an atypical meningioma (WHO grade II as meningiomas) where growth is slightly
more aggressive than grade I and a slightly higher risk of becoming residif. Now repeat surgery.
Case reports: A man aged 68 years, weight 67 kg who complained of dizziness and the same complaint two years
ago. On physical examination, GCS 15 (E4M6V5), blood pressure 110/80 mmHg, heart rate 80 times / minute,
respiratory rate 16 times / minute, temperature 36.80 C. On examination MSCT Angio circle of Willies /
Cerebral, an impression: the size of 49x42x47 mm left ditemporal perifokal accompanied by cerebral edema
with midline shift to the right about 12 mm.
Do the management of anesthesia with propofol TIVA, dexmedetomidine, fentanyl, ventilation controls with
vecuronium, lasts 10 hours on a meningioma tumor removal surgery a second. In this operation the tumor can
not be removed completely due to bleeding. Post-operative care in the ICU with the help of mechanical ventilation and the patient died after being treated for 7 days.
Key words: meningiomas, TIVA, brain protection, craniotomy.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Meningioma adalah tumor otak yang sangat mudah berdarah yang berasal dari jaringan meningen dan medulla
spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Meningioma umumnya tumbuh ke dalam yang menyebabkan tekanan
pada otak dan medulla spinalis, tetapi juga tumbuh keluar ke arah tulang tengkorak, sehingga terjadi penebalan
tulang tengkorak. Meningioma tidak selalu memerlukan pengobatan segera. Tanda dan gejala meningioma
biasanya secara bertahap, tetapi kadang-kadang memerlukan tindakan emergency. Pada permulaan tidak jelas
gejalanya, tergantung pada lokasi tumor. Gejala berupa penglihatan double/kabur, sakit kepala, pendengaran
berkurang, hilang memori, kejang, lemah pada lengan dan kaki. Pada pasien ini operasi pertama 2 tahun yang
lalu sebagai meningioma atipikal (menurut WHO sebagai meningioma derajat II) dimana pertumbuhannya
sedikit lebih agresif daripada derajat I dan sedikit lebih tinggi risiko menjadi residif. Sekarang dilakukan operasi
ulangan.
Laporan kasus: Seorang laki-laki usia 68 tahun, BB 67 kg yang mengeluh pusing dan sakit kepala, sama dengan
2 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik GCS 15 (E4M6V5), tekanan darah 110/80 mmHg, laju jantung 80
x/menit, laju nafas 16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pada pemeriksaan MSCT angio circle of Willies/Cerebral, kesan:
masa ditemporal kiri ukuran 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift ke kanan
sekitar 12 mm.
Dilakukan penatalaksanaan anestesi dengan TIVA menggunakan propofol, deksmedetomidin, fentanyl, ventilasi
kontrol dengan vekuronium, berlangsung 10 jam pada pengangkatan tumor meningioma operasi yang kedua.
Pada operasi ini tumor tidak bisa diangkat seluruhnya karena mengalami perdarahan. Post operasi perawatan di
ICU dengan bantuan ventilasi mekanik dan pasien meninggal setelah dirawat selama 7 hari.
Kata kunci: meningioma, TIVA, proteksi otak, kraniotomi.
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Teknik anestesi inhalasi telah diterima secara luas
pada tata laksana bedah saraf, namun hal ini dapat
menyebabkan penurunan resistensi vaskular
khususnya resistensi pembuluh darah otak,
sehingga menyebabkan meningkatnya aliran darah
otak dan tekanan intrakranial. Pada kasus dengan
kenaikan tekanan intrakranial, teknik anesthesi
inhalasi akan membuat tekanan intrakranial lebih
tinggi sehingga menurunkan tekanan perfusi
serebral, menaikkan risiko terjadinya iskemik
serebral yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak (brain damage).
Teknik Total intravenous anesthesia (TIVA)
menggunakan propofol/deksmedetomidin dan obat-
obat analgetik (remifentanil atau fentanyl), dapat
menurunkan aliran darah otak, penurunan tekanan
intrakranial, terpeliharanya tekanan perfusi otak
serta penurunan CMRO2 yang dikenal sebagai
“Coupling Flow Metabolism” sehingga dapat
melindungi jaringan otak dari kerusakan1.
II. Kasus
Laki-laki berusia 68 tahun dengan berat badan 77
kg. Anamnesis: pasien mengeluh pusing dan sakit kepala sama dengan operasi 2 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik: keadaan umum GCS 15
(E4M6V5), pre operasi tekanan intrakranial normal
atau sedikit naik, tidak ada tanda-tanda tekanan
intrakranial yang meningkat misalnya sakit kepala
(khas postural headache, pasien bangun pada
malam hari), mual, muntah, pandangan kabur,
somnolen, edema papil, sampai penurunan
kesadaran dan depresi nafas. Tekanan darah
110/80 mmHg, laju jantung 80 x/menit, laju nafas
16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pasien mendapat injeksi
deksametason 4x5mg/hari selama 5 hari.
A. Pemeriksaan penunjang:
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium
No Pemeriksaan Keterangan
1 Hb 15,2 g/dl
2 Ht 47 %
3 Leukosit 9.200 /mm3
4 Eritrosit 6,6 106 /UL
5 APTT(P) 38,3 detik
6 APTT(C) 33 detik
7 Tes fungsi ginjal
Ureum 28 mg/dl
Kreatinin 1,1 mg/dl
8 Tes fungsi hati
AST 26 µ/l
ALT 35 µ/l
Gamma GT 133 µ/l
9 GD puasa 94 mg/dl
10 GD 2 jam pp 141 mg/dl
11 Lemak Kolesterol 125 mg/dl
HDL kolesterol 42 mg/dl
TG 86 mg/dl
LDL kolesterol 66 mg/dl
12 Elektrolit
Na 141 mEq/l
K 3,6 mEq/l
Cl 109 mEq/l
Ca 7,9 mEq/l
(Keterangan : Pemeriksaan laboratorium jumlah eritrosit dan gamma GT sedikit lebih tinggi, elektrolit kalsium sedikit lebih rendah, GD 2 jam pp sedikit meninggi, HDL kolesterol rendah).
Foto torak : kardiomegali disertai kongestif
pulmonum.
Eko kardiografi : dilatasi atrium kiri, hipertrofi
ventrikel kiri, regurgitasi mitral
ringan, fungsi sistolik ventrikel
kiri dan ventrikel kanan baik.
MSCT : kesan: masa ditemporal kiri
49x42x47 mm disertai
perifokal edema serebri dengan
midline shift ke kanan 12 mm.
Gambar 1. MSCT angio circle of Willies/cerebral.
B. Penatalaksanaan anestesi
Koinduksi : midazolam 5 mg, intravena.
Induksi : fentanyl 50 mcg
: propofol 100 mg
Intubasi : ETT nomor 8 (non-kinking) difasilitasi vecuronium 8 mg
intravena.
Pemeliharaan anestesi
Ventilator : TV 8 ml/kg BB, RR 12 x/menit,
I:E=1:2, PCO2 + 32 mmHg; O2 : air
= 1 l/menit : 1 l/menit
Propofol : 2 – 3 mg/kg BB/jam
Vecuronium : 0,06 mg/kg BB/jam
Fentanyl : 1 mcg/kg BB/jam
Dexmedetomidine : 0,1 – 0,2 mcg/kg BB/jam
intravena
Dengan
syringe pump
Grafik Pantauan Hemodinamik
Grafik pantauan Hemodinamik: tekanan darah, laju
nadi, SpO2 dan MAP.
(Keterangan : Tekanan darah berkisar 110/60-180/100 mmHg. Laju nadi berkisar 50-70 x/menit). Pada awal awal setelah intubasi, tekanan darah meningkat kemungkinan karena dosis obat belum mencukupi.
Operasi berjalan selama 10 jam 20 menit, tumor
tidak diangkat seluruhnya karena mengalami
perdarahan.
Tabel 2. Jumlah Cairan Masuk dan Keluar
No Jumlah cairan yang masuk:
No Jumlah cairan yang keluar:
1 Kristaloid 5.000 ml 1 Perdarahan 5.100 ml 2 Koloid 7.000 ml 2 Urine 4.000 ml 3 Laktat hipertonik 250 ml 4 PC 535 ml 5 FFP 534 ml 6 Mannitol 300 ml
Jumlah total 13.619 ml Jumlah total 9.100 ml
(Keterangan : Cairan yang masuk berupa cairan isotonik, koloid, darah, FFP dan diuretik. Cairan yang keluar dari perdarahan dan urine).
C. Perawatan post operasi (di ICU dengan
ventilasi kontrol).
Hari 1 : Hemodinamik labil, tekanan darah 84/46 -
142/72 mmHg dengan dopamin,
norepinefrin. Hb post operasi 2 g%
kemudian diberi Transfusi WB 1000 ml,
FFP 356 ml. Hb post transfusi Hb 11g%.
MSCT Head Non Contrast. Kesan: ICH difrontal
kiri dan pneumosefalus disertai edema serebri berat.
DD: global hipoksik dengan midline shift ke kanan
sekitar 16 mm. IVH: disertai hidrosefalus obstruktif. SAH : mengisi fissura interhemisfer.
Defek post kraniotomi ditemporal kiri sekitar 7 – 8
cm disertai hematom ekstrakranial disekitarnya.
Hari 2 : Tekanan darah 124/78 – 142/78 mmHg,
dopamin, norepinefrin dihentikan, pupil
mulai dilatasi, refleks cahaya negatif ( - ).
Hari 3-7 : Pupil makin melebar dan pasien meninggal pada hari ke–7.
III. Pembahasan
Penatalaksanaan anestesi umum:
Pemeriksaan pre operasi: Menentukan strategi
anestesi untuk operasi bedah saraf, berdasar pada
pengetahuan secara menyeluruh dalam neurologi,
bedah saraf dan anestesi. Menilai status pisik pasien
keadaan umum pasien dan rencana anestesi
(mempersiapkan obat, alat dan teknik anestesi yang
akan dipergunakan pada kasus tersebut,
pencegahan dan penanganan terhadap risiko maupun komplikasi anestesi-pembedahan yang
mungkin terjadi, serta inform consent2 mengingat
pasien geriatrik dengan residif meningioma
beresiko besar terjadinya perdarahan perioperatif.
Status neurologi pasien: Pemeriksaan minimal
meliputi penilaian status mental dibandingkan
dengan kemampuan pasien untuk mengikuti
perintah, derajat orientasi ada tidaknya gangguan
bicara dan glasgow coma scale score. Medikasi
yang didapat pasien dan sudah diberikan berapa
lama ini penting, karena medikasi dapat
mempengaruhi elastisitas intrakranial, perfusi dan cadangan, akibat farmakokinetik dan farmadinamik
obat-obat anestesi. Dengan CT scan atau MRI
dapat diketahui ukuran dan lokasi dari tumor.
Kenaikan tekanan intrakranial dapat diketahui dari
gejala-gejala misalnya yaitu sakit kepala (khas
postural headache, pasien bangun pada malam
hari), mual, muntah, pandangan kabur, somnolen,
edema papil, sampai penurunan kesadaran dan
depresi nafas. Dengan CT scan dan MRI dapat
dilihat adanya midline shift lebih dari 5 mm,
obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (pembesaran dalam kasus
hidrosefalus) dan edema (adanya daerah
hipodensitas)2.
Tulang tengkorak merupakan bagian yang keras,
sedangkan rongganya berisi 3 komponen yaitu :
jaringan otak (80% /1400ml), darah (10% /150ml)
dan cairan serebrospinal (10% /150ml). Dalam
keadaan normal komponen komponen ini dalam
keseimbangan yang dinamis jika kenaikan volume
dari salah satu komponen maka akan dikompensasi
dengan penurunan volume komponen yang lain
supaya tidak terjadi kenaikan tekanan intrakranial (hipotesis Monro-Kellie) mekanisme kompensasi
berupa perpindahan cairan serebrospinalis kearah
rongga spinal, peningkatan reabsorbsi cairan
serebrospinal, dan kompresi sinusvenosus. Meka-
nisme ini akan menurunkan volume cairan
intrakranial2.
Gambar 2. Kurva hubungan tekanan intrakranial
dan volume.
Derajat 1-2 : fase kompensasi. Bila ada kenaikan
volume salah satu komponen maka volume kom-
ponen yang lain akan menurun sehingga tekanan
intrakranial tetap konstan. Derajat 3-4 : fase
dekompensasi. Ketika fase kompensasi terlampaui
dengan sedikit kenaikan volume komponen
intrakranial akan menyebabkan kenaikan yang tinggi dari tekanan intrakranial. Kemiringan kurva
tergantung pada komponen yang volumenya
meningkat. Peningkatan volume darah, cairan
serebrospinalis atau keduanya maka daya
kompresinya kurang bagus dan kemiringannya
lebih tajam. Peningkatan volume jaringan otak,
misal tumor, kemiringannya kurve lebih landai dan
lebih dapat dikompresi2. Kenaikan volume
intrakranial menyebabkan hipertensi intrakranial
kenaikan tekanan intrakranial dan edema otak.
Adanya hipertensi intrakranial perioperatif beresiko
terjadinya kenaikan tekanan intrakranial3. Pengobatan pre operasi untuk edema otak dengan
steroid, tujuannya mengurangi hipertensi intra-
kranial perioperatif dan menurunkan TIK. Pada
pasien ini GCS 15, pemeriksaan MSCT; masa
ditemporal kiri 49x42x47 mm disertai perifokal
edema serebri dengan midline shift 12 mm ke
kanan menunjukan adanya kenaikan TIK sesuai
kurva tersebut.
Gambar 3. Hubungan antara tekanan perfusi
serebral dan aliran darah otak.
Auto regulasi aliran darah otak: untuk tekanan perfusi serebral nilainya antara 50-150mmHg.
Aliran darah otak dipelihara pada 50ml/100g/menit
(MAP). Ada hubungan linear antara PaCO2 (20-
80mmHg), dan aliran darah otak (....PaCO2).
hipoksemia akan meningkatkan aliran darah otak
dan hiperoksia akan menurunkan aliran darah otak
(...PaO2). Jika tekanan arteri tetap konstan, aliran
darah otak akan menurun ketika tekanan
intrakranial meningkat (-.- ICP)3.
Keadaan umum pasien: Kardiovaskular dan
fungsi respirasi penting sebab perfusi otak dan oksigenasi tergantung fungsi kardio-respirasi yang
harus optimalkan pada pre operasi. Patologi intra-
kranial sendiri akan mengganggu fungsi kardio-
vaskular (misal efek dari kenaikan tekanan intra-
kranial pada konduksi jantung). Operasi pada
meningioma residif, metastasis, dapat menyebab-
kan perdarahan yang signifikan, pencetus hipo-
volemik, hipotensi, anemia akut yang menurunkan
CDO2 (Cerebral Delivery Oxygen).
Proteksi otak dilakukan dengan metode dasar
termasuk pengendalian jalan nafas, adekuat
oksigenasi, pencegahan hiperkarbia, pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial,
pemeliharaan tekanan perfusi otak, dan pengen-
dalian kejang, serta farmakologik dengan obat-obat
yang diperkirakan mempunyai efek proteksi otak
(propofol, Deksmedetomidin). Cara lain dengan
hipotermi, kombinasi farmakologik dan hipotermi
tidak dilakukan. Dilakukan hiperventilasi ringan
untuk mengontrol tekanan intrakranial, aliran darah
otak, volume darah otak, dan tekanan otak. Kepala
ditinggikan atau posisi duduk akan membantu
fungsi respirasi dan sistem kardiovaskular3.
Rencana Anestesi: Meningioma dapat tumbuh
besar tanpa gejala neurologik (silent area). Ukuran,
lokasi, tipe tumor menentukan dalam pemilihan
tehnik anestesi bedah saraf. Atipikal tumor meru-
pakan 10-20% dari meningioma, terdiri dari
proliferasi sel yang tumbuhnya lebih cepat dan
kemungkinan untuk tumbuh kembali sesudah
pengobatan bahkan sesudah reseksi yang komplit4.
Operasi pada meningioma residif, eksisi menye-
luruh beresiko terjadinya perdarahan signifikan dari
struktur sekitar dan meningiomanya sendiri karena
peningkatan vaskularisasi yang meningkatkan aliran darah otak serta menyulitkan pelaksanaan
operasi. Kenaikan TIK membutuhkan penurunan
maksimal untuk memudahkan operasi.3 Pemilihan
tehnik anestesi TIVA bertujuan menurunkan ADO,
menurunkan TIK, CMRO2 serta mengurangi
perdarahan akibat vasodilatasi.
Kenaikan masa/volume
Tekanan intrakranial
(mmHg)
Penentuan dan teknik anestesi:
Akses vaskular: dengan pertimbangan risiko
perdarahan dan emboli udara pada vena, diperlukan
untuk monitor hemodinamik dan metabolik, juga
infusi zat vasoaktif atau zat lainnya. Antisipasi
terhadap perdarahan: persiapan CVP, IV line 2-3
jalur, three way, arteri line, persiapan darah.
Resusitasi cairan: dengan tujuan normovolemia dan
normotensi hindari cairan hipoosmolar (misal
cairan ringer laktat), cairan yang berisi glukosa
untuk mencegah hiperglikemia yang akan
memperburuk iskemia serebri.
Ventilasi: Ventilasi kendali dengan tujuan
hipokapnia ringan, hiperoksia ringan, dan tekanan
intratorakal yang rendah (untuk memperbaiki
Cerebral venous return)3.
Persiapan pre operasi:
Premedikasi: Pada pasien tumor serebri tanpa
gejala kenaikan tekanan intrakranial (tidak ada
shift, dll) dapat diberikan dosis kecil dari
benzodiazepine dengan tujuan sedasi tanpa depresi
untuk mengurangi kecemasan. Sedasi diperlukan
untuk menghindari stres (kenaikan kecepatan
metabolisme otak, aliran darah otak), hipertensi (kenaikan aliran darah otak), edema vasogenik dan
autoregulasi yang memburuk. Sedasi dalam
berisiko terjadinya hiperkapnia, hipoksemia,
obstruksi parsial saluran nafas bagian atas,
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial.
Analgesi dan sedasi pasien geriatric (midazolam
0,5-2 mg dan atau fentanyl 50-100 mcg atau
sufentanil 5-20 mcg) diberikan dosis kecil, titrasi
dan pengawasan dokter anestesi membantu
menurunkan tingkat kecemasan dan bila diperlukan
bisa diberikan bantuan pernafasan3.
Steroid diberikan sampai pagi hari waktu operasi
(metylprednisolon atau deksametason). Pemberian
histamin (H2) blockers dan zat gastrik prokinetik
diperlukan untuk mengantisipasi penurunan pengo-
songan lambung dan sekresi asam yang meningkat
oleh karena kenaikan tekanan intrakranial dan
terapi steroid, terutama pada pasien dengan
kelumpuhan saraf (IX, X) yaitu “Gag Reflex’s”
yang menurun. Obat-obatan lain: antikonvulsan,
antihipertnesi, dan obat-obat jantung diteruskan
pemberiannya walau dapat terjadi interaksi dengan
fenytoin. Antikonvulsan terapi dengan fenytoin dosis 15 mg/kg BB diberikan lebih dari 30 menit,
ini membantu kontrol hemodinamik pada akhir
operasi3.
Mekanisme kortikosteroid pada edema serebri
yaitu: inhibisi fosfolipase A2 merupakan enzim dari
kaskade asam arakhidonat, stabilisasi membran
lisosom dan memperbaiki mikrosirkulasi peritumor. Efek kortikosteroid untuk menurunkan edema
serebri berlangsung cepat : penurunan pada
permeabel kapiler yang akan terlihat satu jam
sesudah dosis single kortikosteroid. Ukuran tumor
dapat menurun 15% sesudah pengobatan
kortikosteroid. Umumnya digunakan deksametason
dan 6 kali lebih kuat dibanding prednison (20 mg
deksametason sama dengan 130 mg prednison)5.
Monitoring:
Monitoring hemodinamik untuk menilai CDO2 dan
adanya iskemia serebral yang ketat merupakan dasar pada operasi bedah saraf dapat berupa
tekanan darah arteri, elektrokardiogram (EKG)
untuk mendiagnosis iskemia miokard dan aritmia.
Pulse oximetry untuk mendeteksi hipoksia sistemik,
ETCO2 untuk memonitor PaCO2 dan membantu
deteksi emboli udara pada vena. Monitoring tem-
peratur pada esofagus atau vesika urinaria. Pema-
sangan kateter urine untuk monitor pengeluaran
urine. Bila terjadi emboli udara deteksi paling baik
dengan precordial doppler utrasonography, bila
bersama dengan transesophageal echocar-
diography paling sensitif untuk monitor gelem-bung udara pada sirkulasi vena.
Glukosa darah dimonitor secara reguler karena
hiperglikemia akan memperburuk kerusakan saraf
selama iskemia. Monitoring elektrolit plasma
terutama kalium dan osmolalitas terutama jika
menggunakan mannitol. Monitoring hemoglobin
dan hematokrit pada perdarahan. Monitoring SjVO2
akan memberikan informasi global tentang
adekuasi perfusi serebral dan oksigenasi. Moni-
toring EEG memberikan informasi tentang
kecepatan metabolisme serebral, iskemia serebral dan dalamnya anestesia3.
Perubahan Fisiologi pada usia lanjut:
Kardiovaskular:
Pada pasien usia lanjut terjadi penurunan respon β
adrenergik dan gangguan konduksi berupa
bradiaritmi dan hipertensi. Infiltrasi fibrotik me-
nyebabkan lambatnya konduksi ektopik atrial dan
ventrikular. Curah jantung pada orang tua ter-
gantung mekanisme Frank-Starling. Oleh karena
itu, hati-hati pada pemberian cairan. Pada jantung
orang tua yang non compliant perubahan kecil
aliran balik akan menyebabkan perubahan besar pada pengisian ventrikel dan curah jantung.
Cardiomegali menggambarkan adanya keterbatasan
compliant kardial. Oleh karena adanya gangguan
fungsi diastolik dan penurunan compliance
vaskular, maka pada orang tua kompensasi terhadap
hipovolemik kurang baik. Sama pada transfusi
yang berlebihan toleransinya juga kurang baik6.
Ginjal:
Terjadi penurunan aliran darah ginjal dan masa
nefron pada geriatric yang meningkatkan risiko
gagal ginjal akut post operasi6. Tingkat serum
kreatinin tetap stabil disebabkan karena penurunan
jaringan otot meskipun terjadi penurunan aliran
darah ginjal dan masa nefron. Perburukan dalam
mengatur sodium, kemampuan mengonsentrasikan
dan kapasitas pengenceran merupakan predisposisi
terjadinya dehidrasi dan kelebihan cairan serta
terjadinya perubahan nilai plasma elektrolit.
Endokrin
Perubahan endokren dapat terjadi karena proses
geriatik serta oleh proses penyakit intrakranial.
(misalnya adenoma pituitari atau oleh karena obat-
obatan misalnya efek glukokortikoid pada hiper-
glikemia dan iskemi serebral). Pada traktus
gastrointestinal (misal efek pada mukosa karena
steroid, efek pada motilitas oleh karena tekanan
intrakranial)3.
Farmakologi:
Pada orang tua lebih sensitif terhadap zat-zat
anestesi dan umumnya membutuhkan dosis yang
lebih kecil untuk mendapatkan efek klinik yang sama dan durasi biasanya lebih lama6.
Tabel 3. Pengaruh Anestetika Intravena pada CBF,
CMRO2 dan ICP
Obat
anestesi
CBF CMRO2 ICP
Pentotal Menurun Menurun Menurun
Etomidat Menurun Menurun Menurun
Propofol Menurun Menurun Menurun
Fentanyl 0/ menurun 0/ menurun 0/ menurun
Alfentanil 0/ menurun/
meningkat
0/ menurun 0/ menurun/
meningkat
Sufentanil 0/ menurun/
meningkat
0/ menurun 0/ menurun/
meningkat Ketamin Meningkat 0/ meningkat meningkat
Midazolam Menurun menurun 0/ menurun Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan
critical care: Cedera otak traumatik, hal 90.
Definisi TIVA yaitu teknik anestesi umum baik
induksi maupun pemeliharaan, zat-zat anestesi hanya diberikan secara intravena. TIVA menjadi
lebih populer pada akhir-akhir ini karena
farmakokinetik dan farmakodinamik propofol dan
tersedianya opioid sintetik dengan lama kerja
pendek, dan juga konsep baru berdasarkan
farmakokinetik dan kemajuan teknologi komputer
sehingga kontrol anestesi secara intravena mudah
digunakan seperti teknik inhalasi7.
Keuntungan TIVA yaitu hemodinamik lebih stabil, dalamnya anestesia juga lebih stabil, lebih dapat
diprediksi dan pemulihannya cepat, nausea dan
vomitus post operasi menurun, tidak ada polusi di
kamar operasi. Tidak toksis terhadap organ, tidak
iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pada pasca
bedah8,9. Laju jantung lebih rendah, menurunkan
tingkat stres hormon, memelihara reaktifitas
serebro vaskular, melindungi tekanan pada telinga
tengah. Pada dosis rendah propofol dapat juga
digunakan sebagai sedasi pada pemeriksaan
radiologik atau pemeriksaan endoskopi10.
Propofol:
Mekanisme kerja propofol yaitu memfasilitasi
inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh GABA.
Propofol (2,6 diisopropilfenol) terdiri dari cincin
fenol dengan dua grup isopropil yang menempel.
Gambar 4. Rumus kimia.
Efek pada serebral:
Pada pasien dengan ICP normal, propofol akan
menurunkan CMR 36%, ICP 30% dan CPP 10%.
Reaktifitas serebral terhadap CO2 dan autoregulasi
dipelihara selama infusi propofol. Sesudah injeksi
bolus propofol dapat menurunkan tekanan darah
sehingga CPP menurun. Propofol sebagai proteksi
otak terbatas pada iskemik ringan. Untuk iskemik
sedang dan berat propofol tidak sebaik barbiturat dalam hal proteksi otak
1,11.
Propofol akan menurunkan CBF dan ICP. Pada
pasien dengan ICP yang meningkat, propofol dapat
menyebabkan penurunan CPP sampai kurang dari
50 mmHg jika tidak dibantu dengan perbaikan
MAP. Propofol dan tiopental mempunyai sifat yang
sama dalam hal proteksi otak selama iskemia fokal.
Propofol juga mempunyai sifat anti pruritus. Efek
antiemetik (konsentrasi propofol dalam darah 200
ng/ml), maka lebih disukai untuk pasien
ambulatori. Pada waktu induksi kadang-kadang
disertai dengan fenomena eksitasi misal twicing otot, pergerakan spontan, epistotonus, hikap oleh
karena antagonis glisin subkortikal. Walaupun
reaksi ini kadang-kadang menyerupai kejang tonik-
klonik, propofol lebih menonjol sebagai anti-
konvulsan, digunakan untuk terminasi status
epileptikus, aman diberikan pada pasien epilepsi. Propofol menurunkan tekanan intraokular11.
Deksmedetomidin:
Mekanisme kerja:
Deksmedetomidin adalah selektif 2 agonis, sedatif
lebih selektif terhadap reseptor 2 daripada klonidin. Pada dosis yang lebih tinggi akan hilang
selektifitasnya dan stimulasinya pada reseptor
adrenergik11,12.
Penggunaan klinik:
Tergantung dosis deksmedetomidin menyebabkan
sedasi ansiolisis dan analgesia dan kurangnya
respon simpatik terhadap pembedahan dan stres.
Yang utama adalah menurunkan kebutuhan opioid,
tidak menyebabkan depresi respirasi secara
signifikan, sedasi, tetapi dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas. Digunakan untuk waktu yang pendek (<24 jam) sedasi intravena pada pasien
dengan ventilasi mekanik. Pada penghentian
sesudah pemakaian lama, potensial menyebabkan
fenomena with drawal sama seperti klonidin,
manifestasinya dapat terjadi krisis hipertensi.
Deksmedetomidin juga digunakan sebagai sedasi
untuk tambahan pada anestesi umum11,12.
Efek samping:
Pada prinsipnya efek samping berupa bradikardi,
blok jantung dan hipotensi11.
Dosis:
Untuk dosis permulaan 1 µ/kg intravena diberikan
lebih dari 10 menit, kecepatan infus untuk
pemeliharaan 0,2 – 0,7 µ/kg/jam. Mula kerja cepat,
waktu paruh terminal 2 jam. Metabolisme di hepar,
metabolit akan dieliminasi lewat urine. Dosis
diturunkan pada gangguan fungsi ginjal atau
perburukan hepar11.
Interaksi obat:
Hati-hati pada pasien yang memakai vasodilator,
obat-obat depresi jantung dan yang menurunkan
laju jantung. Diperlukan penurunan obat-obat
hipnotik/zat anestesi untuk mencegah hipotensi berat11.
Narkotik:
Efek narkotik pada CBF sulit untuk digolongkan
secara akurat karena laporan penelitian eksperi-
mental yang bertentangan. Dosis kecil narkotik
mempunyai efek kecil pada CBF dan CMRO2,
sedangkan dosis besar secara progresif menurunkan
CBF dan CMRO2. Autoregulasi dan reaktivitas
terhadap CO2 tetap dipertahankan13.
Pada umumnya sedikit sekali efeknya pada CBF dan CMRO2, tetapi opioid sintetis termasuk
fentanyl, sufentanil dan alfentanil dapat menyebab-
kan kenaikkan ICP pada pasien tumor otak dan
cedera kepala13.
Pengaruh pada dinamika CSF terlihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4. Pengaruh narkotik pada Laju Pembentukan
CSF, Resistensi Reabsorpsi CSF, dan ICP
Narkotik Vf Ra Prediksi
efek pada
ICP
Fentanyl, alfentanil, dan
sufentanil (dosis rendah)
0 - -
Fentanyl (dosis tinggi) - 0,+* -,?*
Alfentanil (dosis tinggi) 0 0 0
Sufentanil (dosis tinggi) 0 +,0* +,0* Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan critical care: Cedera otak traumatik, hal 93.
Keterangan: Vf = kecepatan pembentukan CSF; Ra = resistensi terhadap absorpsi CSF;ICP = intracranial pressure/tekanan intrakranial 0= tidak ada perubahan, - = menurun, * = efek tergantung dari dosis, ?= tidak tentu.
Pada dosis kecil, fentanyl, alfentanil, dan sufentanil
menyebabkan tidak ada perubahan pada Vf dan ada
penurunan pada Ra dengan prediksi terjadi penurun-
an ICP. Pada dosis tinggi, fentanyl menurunkan Vf,
tidak ada perubahan atau ada peningkatan dari Ra
dengan prediksi akan menurunkan ICP atau efek-
nya pada ICP tidak menentu. Pada dosis besar,
alfentanil tidak menimbulkan perubahan pada Vf
dan Ra dengan efek pada ICP yang tidak dapat
diprediksi. Dosis besar sufentanil tidak menimbul-kan perubahan pada Vf dan tidak ada perubahan
atau peningkatan pada Ra, dan diprediksi pengaruh-
nya pada ICP tidak berubah atau meningkat13.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak menim-
bulkan perubahan atau sedikit menurunkan ICP.
Akan tetapi, pada keadaan tertentu narkotik dapat
meningkatkan ICP, misalnya pemberian bolus
sufentanil dapat menimbulkan peningkatan ICP
yang selintas tapi besar pada pasien dengan cedera
kepala berat. Demikian juga, pemberian bolus
sufentanil dan alfentanil meningkatkan tekanan CSF pada pasien dengan tumor supratentorial, hal
ini karena autoregulasi yang menimbulkan vaso-
dilatasi pembuluh darah serebral akibat penurunan
MAP. Jadi, bila narkotik diberikan pada pasien
bedah saraf, harus diberikan dengan syarat jangan
terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba13.
Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan
secara titrasi, mempunyai efek yang kecil pada
CBF dan ICP. Bila diberikan dengan dosis besar
untuk me-reserve efek narkotik, pemberian naloxon dapat menimbulkan hipertensi, aritmia jantung, dan
perdarahan intrakranial13.
Penderita usia 68 tahun maka dalam pembiusan
harus hati-hati, dimana dosis obat-obat yang
digunakan lebih kecil dari dosis normal.
Pre operasi:
Pasien geriatrik, foto torak kardiomegali, kongesti
paru. Ekokardiografi menunjukkan hipertrofi,
hipertropi eksentrik mengarah pada fungsi jantung
yang tidak baik. Adanya kongesti paru mempe-
ngaruhi fungsi ventilasi paru. Gangguan fungsi paru dan jantung ini tentunya akan mempengaruhi
luaran operasi. Inform consent pada keluarga,
menerangkan bahwa ini merupakan operasi
meningioma residif dengan resiko besar terjadinya
perdarahan. Dipasang IV line 3 jalur dengan jarum
no.18, three way untuk pemberian cairan secara
cepat. Darah tersedia PC 535 ml, FFP 534 ml. CVP
dan arteri line tidak dipersiapkan karena keterba-
tasan sarana.
Persiapan optimal yang sudah dilakukan: obat-obat
yang akan digunakan untuk TIVA yaitu propofol,
fentanyl, deksmedetomidin, vekuronium. Alat-alat: syring pump, serta pemasangan monitoring NIBP,
saturasi, stetoskop prekordial.
Durante operasi:
Selama operasai dipergunakan teknik TIVA pada
pasien ini yaitu dengan propofol, dexmedetomidine,
dan fentanyl, dimana sifat dari propofol yaitu
menurunkan aliran darah otak, tekanan intrakranial
dan kecepatan metabolisme otak, waktu paruhnya
sekitar 2-8 menit sehingga bangunnya cepat.
Sedangkan dexmedetomidine sifatnya yaitu sedatif,
analgesik dan menurunkan kebutuhan opioid. Fentanyl sifatnya menurunkan konsumsi oksigen
serebral, aliran darah serebral dan tekanan
intrakranial. Jadi bila diberikan secara bersamaan
akan menghasilkan anestesi yang adekuat dan
kondisi operasi yang optimal (misal rendahnya
aliran darah otak, laju metabolisme otak, tekanan
intrakranial, dan minimal brain bulk), proteksi
neurologis dan cepat bangun dari anestesia
sehingga dapat lebih cepat dalam pemeriksaan
neurologis. Hemodinamik stabil selama 10 jam
operasi, (MAP), diakir operasi relative terjadi
penurunan TDS, MAP serta peningkatanan laju nadi.
Komplikasi:
Beberapa saat setelah induksi tekanan darah
meningkat, kemungkinan karena dosis obat yang
belum mencukupi sehingga kemungkinan akan
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial, penurunan perfusi otak.
Selama operasi terjadi perdarahan dimulai kurang
lebih 5 jam dari awal operasi. Ketika perdarahan
mulai meningkat dosis obat-obatan ini diturunkan,
deksmedetomidin dihentikan, transfusi dimulai
ketika perdarahan lebih dari 500 ml. Persediaan
darah PC 535 ml, FFP 534 ml, dengan perkiraan
cukup untuk mengatasi perdarahan.
Perdarahan tidak terkontrol, diputuskan untuk
mengakiri operasi dengan menutup kembali medan
operasi. Pada jam-jam akir operasi menunjukkan gejala yang khas penurunan tekanan darah diikuti
dengan kenaikan laju jantung yang merupakan
karakteristik hipovolemia pencetus hipoksemia/
iskemia serebri.
Pada keadaan ini sebaiknya dipergunakan CVP,
periksa rasio Hb:Ht dan terpasang arteri line untuk
penilaian yang lebih akurat sebagai pedoman
resusitasi cairan mengingat keterbatasan fungsi
jantung dan paru. Pada kasus hipovolemia untuk
meningkatkan CDO2 perlu perbaikan volume
intravaskular terlebih dahulu sebelum memper-
gunakan inotropik.
Post operasi:
Hemodinamik yang tidak stabil dengan kenaikan
laju nadi, penurunan MAP dan tekanan darah
sistolik menunjukan keadaan hipovolemia yang
belum terkoreksi, support dopamine, norepinephrin
akan memberi perbaikan ketika status intravaskuler
tercukupi dan adanya masalah kontraktilitasnya
yang memadai. Nilai Hb post operasi 2 g%
(transfusi darah PC 535 ml, FFP 534 ml) dari 15.2
gr% menunjukan perdarahan yang hebat.
Pemberian Transfusi WB 1000 ml, FFP 356 ml (Hb post transfusi 11g%) post operasi hanya memper-
baiki intravascular volume, tidak langsung mem-
perbaiki CDO2 secara maksimal. (Hb transfusi
akan mengikat oksigen 24 jam post transfusi). Hal
ini yang mendukung dengan Hb 2gr% iskemia otak
telah terjadi selama durante operasi. Kejadian
iskemia otak durante operasi berlanjut post operasi
hari pertama yang ditandai dengan ketidakstabilan
hemodinamik serta terapi yang tidak berorientasi
dengan optimalisasi CDO2 = CBF x CaO2 .
Penyulit lain dalam memelihara CDO2 (Cerebral
delivery oxygen): tetap terjadinya perdarahan sampai akir operasi, pasien tua, keterbatasan fungsi
jantung dan paru, pengembalian tulang kepala-
penutupan operasi sebelum teratasinya sumber
perdarahan mempengaruhi komplient intracranial
pencetus edema serebri dan kenaikan tekanan
intracranial serta pengaturan ventilasi mekanik
yang tidak dilakukan dengan mengacu parameter
ventilasi (PaO2 , PaCO2 , pH, AaDO2), dan parameter perfusi (tekanan darah sistolik/diastolik,
laju nadi, MAP), kesemuanya tersebut akan mem-
perburuk keadaan. Ini terbukti dari pemeriksaan
MSCT post operasi; adanya edema berat, perdara-
han intraserebral kontralateral serta pneumosefalus,
obstruksi hidrosefalus, SAH, serta midline shift 16
mm.
Tidak teratasinya masalah perdarahan, keterbatasan
tatalaksana post operasi, keterbatasan sarana
monitoring di ICU mempunyai peran terjadinya
cedera sekunder mengikuti cedera primer yang terjadi menyebabkan resusitasi otak ataupun
proteksi otak dengan basic methode, farmakologi
tidak bermanfaat, iskemia otak selama akir operasi
berlanjut dengan ditandai adanya dilatasi pupil,
refleks cahaya negatif menunjukkan adanya
iskemia batang otak awal kematian batang otak
pada hari ke-2.
IV. Simpulan
Perubahan fisiologi pada pasien geriatrik umumnya
karena kemunduran fungsi organ. Adanya,
kardiomegali, kongesti paru pada pasien geriatric
tersebut berkaitan dengan keterbatasan ventilasi, perfusi serta CaDO2. yang meningkatkan resiko
Resiko perdarahan pada meningioma sering terjadi.
Operasi residif meningioma meningkatkan resiko
perdarahan dibanding operasi pertama. Antisipasi
terjadinya perdarahan dengan melakukan pema-
sangan : IV line 3 jalur, three way. Karena
keterbatasan monitoring perioperatif: AGD, CVP,
arteri line tidak dilakukan. Dilakukan teknik Total
Intra Venous Anestesi, selama operasi menunjukan
kestabilan hemodinamik terpeliharanya MAP 90 -
100 mmHg untuk memelihara CPP. Tidak terangkatnya masa tumor serta perdarahan yang
tidak terkontrol mendasari diakirinya operasi.
Penanganan post operasi dengan tetap terjadinya
perdarahan, brain proteksi resusitasi dalam
keterbatasan menyebabkan injury yang terjadi akir
operasi berlanjut post operasi dengan ditandainya
iskemia batang otak yang berakir dengan kematian.
Daftar Pustaka
1. Cole CD dkk. Total Intravenous Anesthesia:
Advantages For Intrakranial Surgery
Neurosurgery 2007;61:369-78.
2. Hill L, Gwinnutt C. Cerebral Blood Flow And
Interacticranial Preassure.
3. Bruder N, Ravussin PA.Supratentorial masses: Anesthetic considerations. Dalam: Cottrell and
Young’s NEUROANESTHESIA 5th ed;
Philadelphia: Mosby Ersevier, Inc: 2010,188-
96.
4. Colombaris S, Imhoff E, Donald. Meningioma.
NOMOS Radiation Oncology 2006.
5. Kaal ECA, Vecht CJ. The management of
brain edema in brain tumors. Current Opinion
in Oncology 2004;593-9.
6. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for
the elderly. Hippokratia 2007;11(4):175-177.
7. Mani V, Morton NS. Overview of Total
Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric
Anesthesia 2009;20:2011-22.
8. Joshi S, Yadau R, Malla G. Initial Experience
with Total Intravenous Anesthesia with
Proposal for Elective Craniotomy. Nepal
Journal of Neuroscience 2007;4:67-9.
9. Lerman J. TIVA, TCI and paediatrics-Where
are and where are we going? Pediatric
Anesthesia 2009;1-6.
10. McCormack JG. Total Intravenous Anaesthesia
in Children. Current Anaesthesia & Critical Care 2008;1-6.
11. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ.
Nonvolatile Anesthetic Agents. Dalam:
Clinical Anesthesiology. 4th ed; New York:
The Mc Grow Hill Companies: 2006,192-202.
12. Mani V, Morton NS. Overview of Total
Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric
Anesthesia 2009;1-11.
13. Bisri T. Anestesi Pada Pasien dengan Cedera
Kepala Akut. Dalam: Penanganan Neuroanes-
tesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Cetakan 1; Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran 2006,88-
94.
CEDERA MEDULLA SPINALIS AKIBAT FRAKTUR VERTEBRA CERVICAL 5 - 6
SPINAL CORD INJURY CAUSE BY VERTEBRA CERVICAL 5-6 FRACTURE
Syafruddin Gaus1, Tatang Bisri2 1. Departemen Anestesiologi, Terapi Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin-Makassar 2. Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-Bandung
Abstract
Acute spinal cord injury is common cause for weakness and morbidity. The primary cause of spinal cord injury
is trauma, high incidency at man 5 time higher than woman.
A man, 25 years old, body weight 50 kg, height 160 cm has been consulted to Department of Anesthesiology with paraplegia cause by vertebrae C5-6 fracture pro decompression and posterior stabilization. Vital sign: blood
pressure 120/60 mmHg, heart rate 78/minute, regular, adequate volume, respiratory rate 18/minute, abdominal,
temperature afebris, and VAS 1/10.
The management of spinal cord injury, started in early evaluation, with the primary priority is airway,
oxygenation, and adequate ventilation, and continuous with therapy for avoiding and treatment the
complication.
Key words: spinal cord, injury
JNI 2012;1(4):
Abstrak Cedera medulla spinalis akut merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan. Penyebab
utama cedera medulla spinalis adalah trauma, dimana insidensinya pada laki-laki 5 kali lebih besar daripada
perempuan.
Laki-laki, 25 tahun, Berat Badan 50 kg, Tinggi Badan 160 cm. Pasien dikonsulkan ke Bagian Anestesi dengan
paraplegia disebabkan karena fraktur vertebra C5-6 pro dekompressi dan stabilisasi posterior. Tanda vital:
Tekanan Darah 120/60 mmHg; laju nadi 78 x/menit, reguler, kuat angkat; laju napas 18 x/menit, tipe
abdominal; suhu afebris; dan VAS = 1/10.
Penanganan cedera medulla spinalis, dimulai pada saat evaluasi awal, dimana terjaminnya jalan nafas menjadi
prioritas utama, oksigenasi dan ventilasi yang adekuat, dan dilanjutkan dengan terapi untuk mencegah ataupun
mengatasi komplikasi yang terjadi.
Kata kunci: medulla spinalis, trauma
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Cedera medulla spinalis akut merupakan penyebab
yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan
setelah trauma, oleh karena alasan ini maka
evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang
belakang, medulla spinalis dan akar saraf memerlukan pendekatan yang terintegritas.
Diagnosa dini, preservasi fungsi medulla spinalis
dan pemeliharaan aligment serta stabilitas
merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaannya.
Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah
trauma oleh karena kecelakaan bermotor, jatuh,
trauma olahraga, luka tembus sekunder seperti luka
tusuk atau luka tembak. Kecelakaan merupakan
penyebab kematian ke empat, setelah penyakit
jantung, kanker dan stroke. Tercatat terjadi
peningkatan ± 50 kasus per 100.000 populasi tiap
tahun, dimana 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung pada medula spinalis, dan 2%
karena trauma ganda.
Insidensi trauma medulla spinalis pada laki-laki 5
kali lebih besar daripada perempuan. Ducker dan
Perrot melaporkan 40% cedera medulla spinalis
disebabkan kecelakaan lalulintas, 20% karena jatuh,
40% karena luka tembak, trauma olahraga, dan
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada vertebra C2
diikuti dengan C5 dan C6.
II. Kasus
Laki-laki, 25 tahun, BB: 50 kg, TB: 160 cm. Pasien
dikonsulkan ke Bagian Anestesi dengan paraplegia
disebabkan karena fraktur vertebra C5-6 pro
dekompressi dan stabilisasi posterior.
Anamnesis: Keluhan utama kelemahan pada keempat anggota gerak dialami sejak 2 hari sebelum masuk RS
akibat terjatuh dari ketinggian sekitar 4 m, dengan
leher membentur batu terlebih dahulu. Riwayat
pingsan (+), riwayat mual dan muntah (-), riwayat
kejang (-), riwayat penyakit DM (-), riwayat
hipertensi (-), riwayat asma (-), riwayat alergi obat
dan makanan (-), riwayat tidak bisa merasakan
BAK (+) sejak kejadian, BAB belum sejak 2 hari,
riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat terapi
dengan metilprednisolon 250 mg/6 jam/IV sejak 27
Juli 2011.
Pemeriksaan Fisik :
Tanda Vital :
TD : 120/60 mmHg
Nadi : 78 x/menit, reguler, kuat angkat
Napas : 18 x/menit, tipe abdominal
Suhu : Afebris
VAS : 1/10
Kepala : Anemis (-), sianosis (-), ikterus (-),
pupil isokor diameter 2,5 mm/2,5
mm, RC +/+, buka mulut 3 jari,
Mallampati II. Leher : MT (-), NT (-), deviasi trakea (-),
terpasang collar neck.
Thorax : BP: vesikuler, simetris kiri = kanan,
BT: Rh -/- dan Wh -/-
BJ I/II: murni, reguler, murmur (-)
Abdomen : MT (-), NT (-), peristaltik (+) kesan
N
Urogenitalia : Urin perketeter, kesan cukup ± 40
cc/jam
Ekstremitas : Fraktur (-) dan edema (-)
-Motorik: 3 3
0 0
-Sensorik : Hipostesi setinggi dermatom C4.
Pemeriksaan Laboratorium:
Darah Rutin:
- Hb : 15,0 g/dL GOT / GPT : 67 / 82 u / L
- HCT : 42,2 % Ur / Cr : 33 / 0,8 mg / dL
- WBC : 24.130/mm3 GDS : 210 mg / dL - PLT : 250.000/mm3
Elektrolit: Profil Koagulasi
- Na : 129 mmol/L CT / BT : 8 / 2 menit
- K : 3,9 mmol/L
- Cl : 103 mmol/L
Pemeriksaan Radiologi:
Foto Ro toraks: dalam batas normal.
CT-scan cervical:
- Fraktur corpus dan lamina corpus vertebra C5 - Avulsi fraktur anterior CV C5
- Listhesis ke posterior CV C5 terhadap C6
- Distorsi spinal canal
MRI cervical:
-Posterolisthesis CV C5 terhadap C6.
-Fraktur Kompressi CV C5 yang menyebabkan
ruptur parsial medulla spinalis disertai ekstra-
vasasi LCS disekitarnya.
-Hematoma medulla spinalis pada level C4-6 -Protrusio disc level CV C5-6 yang menekan thecal
sac sentralis dan nerve root.
Mielografi:
-Ruptur parsial medulla spinalis pada level CV C5.
Foto Ro cervical AP lateral:
-Fraktur CV C5
-Posterolisthesis CV C5 terhadap C6
Kesimpulan: pasien termasuk ASA PS kelas 3.
Rencana penatalaksanaan anestesi: GETA (anestesi
umum intubasi).
Pengelolaan Anestesi
Instruksi Pra-bedah:
- Premedikasi Alprazolam tab 0,5 mg (jam 22:00).
- Puasa 8 jam prabedah (jam 24:00).
- IVFD dengan NaCl 0,9% 28 tetes/menit.
- Antibiotik profilaksis 2 gr 1 jam prabedah (skin
test).
- Periksa gula darah pagi (jam 06:00).
- Siap darah lengkap (WB) 2 unit di Bank Darah
dan 2 unit di PMI.
Di Kamar Operasi (11 Agustus 2011):
KU: baik GCS: 15
TV: - TD = 110/60 mmHg - N = 89 x/menit
- P = 18 x/menit - S = afebris
- VAS = 1/10
Prosedur Anestesi Umum Intubasi:
1. Ganti defisit cairan karena puasa dengan NaCl
0,9% 300 cc.
2. Pre-emptive analgesia dengan ketorolac 3% 30
mg.
3. Premedikasi: ranitidin 50 mg, ondansetron 4
mg, dexamethasone 2 mg, midazolam 3 mg, dan fentanyl 100 mcg.
4. Induksi dengan propofol 100 mg lalu ditambah
30 mg.
5. Intubasi (in line posisition):
- Relaksasi dengan tracrium 30 mg, lidokain
1% 50 mg.
- Insersi ETT non-kinking ID 7,5 mm via orotracheal sedalam 20 cm. Auskultasi: BP:
vesikuler, simetris ki = ka, BT: Rh-/-, Wh-/,
fiksasi cuff dengan udara, lalu ETT
difiksasi disudut kanan bibir dan dipasang
pack.
- Rumatan anestesi: O2 4 ltr/mnt, isoflurane
1-2 vol%, fentanyl 80 mcg/jam via syringe
pump, dan tracrium intermitten 10-10-10 mg.
6. Ekstubasi dalam.
Gambaran Hemodinamik Selama Pembedahan:
III. Pembahasan
Menurut mekanisme terjadinya cedera, cedera
cervical dibagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi,
ekstensi rotasi, kompresi vertikal, fleksi lateral dan
mekanisme yang belum diketahui jelas.1
Frekuensi cedera medulla spinalis berdasarkan
tingkat cederanya: 2
Tingkat Cedera Frekuensi (%)
Servikal (terbanyak pada C5–6) 50-55
Thoracal 10-15
Thoracolumbar 15-20
Lumbosakral 10
Sakral <10
Multipel Cedera 20
Berhubungan dengan trauma kepala:
Ringan 40-50
Berat 2-3
Cedera medulla spinalis dapat terjadi beberapa
menit setelah trauma. Saat ini, secara histologis
medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48
jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson
dan neuron. Ini disebut cedera neural primer.
Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan
patologis progresif akibat cedera neural
sekunder.4,5
Mekanisme cedera sekunder terjadi karena :1,4,5
1. Radikal bebas
Radikal bebas ditimbun bila cedera, karena
terputusnya reaksi kimia. Terjadi kerusakan
mitokondria yang melepaskan oksigen (O2)
radikal bebas atau superoksid. Superoksid dismutase (SOD) dan katalase secara normal
menetralkan O2 radikal bebas. SOD mengubah
superoksid menjadi H2O2 dan katalase
menguraikan H2O2 menjadi O2 dan H2O.
Ditambahkan, otak dan medulla spinalis
mengandung anti oksidan dengan kadar yang
tinggi seperti asam askorbat, glutation dan
vitamin E yang mencari radikal bebas.
Akibatnya pada jaringan cedera, terjadi
peningkatan produksi radikal bebas, pelepasan
antioksidan endogen dan kerusakan SOD. Ini
akan merusak lipid/protein yang menghasilkan radikal bebas.
2. Influks Ca++ berlebihan dan eksitotoksisitas
Ca++ berada dalam cairan ekstraseluler. Bila
terjadi cedera, Ca++ akan masuk ke dalam
intrasel dan mengaktifkan enzim yang
memecah lipid dan protein seperti fosfolipase
dan protease. Glutamat (neurotransmitter
excitatory) merusak neuron pada tempat masuk
Ca++ dan Na+ di reseptor NMDA. Pada medulla spinalis yang cedera, glutamat dan asam amino
lain dilepaskan ke ekstraseluler. Oleh karena
itu penghambat reseptor glutamat merupakan
neuroprotektif pada model trauma. Data terbaru
menyarankan penggunaan opioid untuk
mengatur pelepasan glutamat ekstraseluler. Hal
ini menjadi alasan tentang penggunaan reseptor
opiat bloker untuk cedera medulla spinalis.
3. Eicosanoid dan sitokin
Pada sel yang cedera terjadi pemecahan
membran yang melepaskan free fatty acid (FFA) terutama asam arakidonat. Enzim
siklooksigenase (COX) dan lipoksigenase
mengubah arakidonat menjadi prostaglandin
dan leukotriene yang merupakan zat-zat
inflamasi yang lepas pada cedera medulla
spinalis. Juga merupakan faktor poten
terjadinya pembengkakan sel. Obat-obat anti
inflamasi seperti indometasin dan
glukokortikoid dapat mengurangi pelepasan
eucosanoid pada medulla spinalis yang cedera.
Jenis sitokin dan sel-sel imun apa yang masuk
pada medulla spinalis yang rusak belum diketahui. Beberapa sel berubah menjadi debris
seperti yang terjadi pada inflamasi. Sel
makrofag, monosit dan mikroglia melepaskan
zat-zat yang mengatur pemulihan cedera. Zat-
zat yang secara potensial menguntungkan
dilepas oleh sel-sel ini adalah sitokin, PGF-β
(Transforming Growth Factor Beta) dan GM-
CSF (Granulosid Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan beberapa growth factor
lain. Hasil sitokin seperti TNFα dan IL1α,
superoksid dan NO berperan pada kerusakan oksidatif. Tidak jelas apakah zat-zat ini
merugikan atau menguntungkan pada cedera
medulla spinalis.
4. Programmed cell death (apoptosis)
Neuron yang kehilangan neurotropik akan
mati selama berkembang sebelum mencapai
targetnya. Begitu juga kematian sel akibat K+
yang rendah, sitokin, dan hormon-hormon
tertentu. Oleh karena tipe sel yang mati
memerlukan sintesa protein baru, seringkali
disebut programme cell death. Sel-sel mati ini
mempunyai perbedaan patologis dengan manifestasi sel mengkerut dan kromatin
nuclear yang padat. Keadaan ini disebut
apoptosis. Apoptosis dianggap menyebabkan
masuknya Ca++ dan activated fosfatase
berlebihan. Fosfatase inhibitor seperti
siklosporin A mencegah apoptosis. Selain itu
glukostiloid juga dapat mencegah terjadinya
programmed cell death. Cedera juga dapat
memacu mekanisme apoptosis di dalam medulla spinalis.
Menurut skala ASIA (American Spinal Injury
Association), cedera medulla spinalis dibagi:1,2,3,4,5
A = Cedera komplit, bila tidak ada fungsi
motorik dan sensorik di bawah level cedera,
khususnya pada segmen S4-S5.
B = Cedera inkomplit, hanya fungsi sensorik
yang ada di bawah level neurologik
kadang di segmen S4-S5.
C = Cedera inkomplit, beberapa fungsi motorik
ada dibawah level cedera dan lebih dari setengah otot dibawah pada level ini
mempunyai kekuatan otot kurang dari 3.
D = Cedera inkomplit, fungsi motorik ada di
bawah level cedera dan kebanyakan otot
kekuatannya lebih sama dengan 3.
E = Fungsi motorik dan sensorik normal.
Pada masa akut dapat terjadi spinal shock. Spinal
shock ini ditandai dengan hilangnya somatic motor,
sensorik dan fungsi simpatetik otonom karena
cedera medulla spinalis. Makin berat cedera
medulla spinalis dan makin tinggi level cedera,
durasi spinal shock makin lama dan makin besar pula. Spinal shock ini timbul beberapa jam sampai
beberapa bulan setelah cedera medulla spinalis.
Pada lesi medulla spinalis setinggi servikal dan
torakal dapat terjadi vasodilatasi perifer akibat
terputusnya intermediolateral kolumna medulla
spinalis. Akibatnya terjadi hipotensi. Ini dapat
diatasi dengan pemberian agen-agen simpatomime-
tik, seperti dopamin atau dobutamin. Bradikardi
simptomatis dapat diberikan atropin.1,6
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis tidak terjadi
spinal shock pada pasien ini, hal ini dimungkinkan karena ruptur medulla spinallis yang terjadi parsial.
Untuk mencegah keraguan apakah gejala yang
ditemukan akibat spinal shock atau bukan,
direkomendasikan guideline sebagai berikut:1
1. Berasumsi bahwa somatik motor dan defisit
sensorik yang berhubungan dengan spinal
shock hanya terjadi kurang dari 1 jam setelah
cedera.
2. Berasumsi bahwa refleks dan komponen
otonom dari spinal shock dapat terjadi
beberapa hari sampai beberapa bulan,
tergantung beratnya cedera medulla spinalis 3. Menyimpulkan bahwa defisit motorik dan
sensorik yang menetap lebih dari 1 jam setelah
cedera disebabkan oleh perubahan patologis
jarang karena efek fisiologis dari spinal shock.
Pada pasien ini diagnosa ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat jatuh dari ketinggian sekitar 4 m dengan leher bagian
belakang yang terbentur lebih dahulu, kelemahan
anggota gerak, gangguan BAB dan BAK. Pada
status neurologis ditemukan adanya tetraparesis,
propioseptif ekstremitas bawah terganggu, dan
adanya retensi uri et alvi. Pemeriksaan foto Ro
cervical AP/Lateral memperlihatkan adanya fraktur
corpus vertebra (CV) C5 dan posterolisthesis CV
C5 terhadap CV C6. Pemeriksaan MRI cervical
menunjukkan adanya posterolisthesis CV C5
terhadap C6, fraktur kompressi CV C5 yang menyebabkan ruptur parsial medulla spinalis
disertai ekstravasasi LCS disekitarnya, hematoma
medulla spinalis pada level C4-6, protrusio disc
level CV C5-6 yang menekan thecal sac sentralis
dan nerve root; dengan myelografi adanya
gambaran ruptur parsial medulla spinalis pada level
CV C5. Gambaran CT-scan cervical
memperlihatkan adanya fraktur corpus dan lamina
CV C5, avulsi fraktur anterior CV C5, listhesis ke
posterior CV C5 terhadap C6 dan distorsi spinal
canal.
Berdasarkan modifikasi skala ASIA, pasien ini termasuk skala D, dimana terdapat gangguan
motorik, tetapi kekuatan ototnya 3.
Pemeriksaan radiologi diawali dengan foto polos
servikal, kemudian dapat dilakukan CT-scan atau
MRI. Di samping itu kemungkinan trauma ganda
harus dipikirkan. Bila diagnosa sudah ditegakkan,
segera berikan terapi. Kemudian diputuskan apakah
perlu dilakukan tindakan operatif. Bila cedera
terjadi sebelum 8 jam, metil prednisolon dosis
tinggi 30 mg/kgBB intravena perlahan selama 15
menit. Disusul 45 menit kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam. Tetapi jika terapinya
diberikan 3-8 jam setelah cedera, infus dianjurkan
berakhir sampai 48 jam. Trial klinik menunjukkan
kemaknaan statistik terhadap perbaikan neurologis
jangka panjang. Metilprednisolon bekerja
menghambat peroksidase dan sekunder akan
meningkatkan asam arakidonat. Untuk mengobati
edema medulla spinalis dapat diberikan mannitol
dengan dosis 0,25-1,0 gr/kgBB.7,8,9
Pada pasien ini diberikan terapi metilprednisolon
dosis tinggi yaitu 250 mg/6 jam/intravena selama
11 hari. Efek samping yang terjadi pada pasien ini yaitu terjadinya peningkatan kadar gula darah
hingga mencapai 210 mg/dL dimana riwayat
penyakit DM sebelumnya tidak ada.
Kortikosteroid menghambat penggunaan glukosa di
jaringan perifer dan menyebabkan glukoneogenesis
hepar. Akibatnya, kortikosteroid bisa menginduksi
terjadinya hiperglikemia.10
Pasien yang mendapat terapi steroid yang akan menjalani prosedur pembedahan beresiko terjadi
komplikasi karena:10,11
Efek supresi kelenjar adrenal akibat terapi
steroid. Ini merupakan resiko terbesar yang
bisa terjadi perioperatif.
Efek samping lain akibat penggunaan
kortikosteroid jangka panjang seperti:
o Hipertensi
o Diabetes Mellitus
o Fatty liver
o Kerentanan terhadap infeksi. o Osteoporosis.
o Avascular nekrosis tulang.
o Skin sepsis.
o Gangguan elektrolit: hipokalemia dan
alkalosis metabolik.
Pertimbangan Pra-bedah:
o Tingkat supresi adrenal tergantung pada
dosis dan durasi pengobatan steroid.
“Steroid cover” diberikan berdasarkan
jenis operasi (operasi ringan, sedang dan
berat).
o Dosis prednisolon < 5 mg/hari tidak memerlukan pemberian “steroid cover”.
o Dosis prednisolon 10 mg/hari umumnya
digunakan sebagai dosis ambang untuk
pemberian “steroid cover”.
o “Steroid cover” dibutuhkan bila terdapat
terapi steroid selama 3 bulan. Hal ini
karena supresi adrenal dapat terjadi setelah
pemberian steroid selama seminggu dan
mungkin memakan waktu selama tiga
bulan untuk pulih.
Pertimbangan Perioperatif:
o Sekresi kortisol normal adalah sekitar 30
mg/hari. Kelenjar adrenal mampu
mensekresi sekitar 300 mg / hari (setara
dengan sekitar 75 mg prednisolon) tetapi
output jarang melebihi 150 mg kortisol/
hari bahkan pada saat operasi besar.
Pertimbangan Pascabedah:
o Kenaikan normal pada sekresi kortisol
setelah operasi berlangsung dalam tiga
hari. Dalam beberapa tahun terakhir, dosis
yang digunakan untuk "steroid cover” telah berkurang karena dosis berlebihan
menyebabkan efek samping seperti infeksi
pasca operasi, perdarahan saluran cerna
dan penyembuhan luka yang lama.
Pasien yang menerima prednisolon dosis
reguler harian > 10 mg atau setara dalam 3
bulan terakhir.12
Operasi
ringan
25 mg hidrokortison saat induksi
Operasi
sedang
Dosis steroid pra-bedah:
+ 25 mg hidrokortison saat induksi
+100 mg hidrokortison/hari
Operasi
besar
Dosis steroid pre-bedah:
+ 25 mg hidrokortison saat induksi
+100 mg hidrokortison/hari selama
2-3 hari
Persamaan Dosis Obat-Obat
(British National Formulary, March 2003)12
Prednisolon
10 mg
setara dengan
Betametason 1,5 mg
Kortison asetat 50 mg
Deksametason 1,5 mg
Hidrokortison 40 mg
Deflazakort 12 mg
Metilprednisolon 8 mg
Pada pasien ini pemberian “steroid cover” dengan
menggunakan deksametason 2 mg. Efek supresi adrenal juga tidak terjadi. Hemodinamik intra-
operasi stabil.
Manifestasi Klinis
Cedera medulla spinalis (CMS) ditandai oleh
adanya tetraplegia atau paraplegia, parsial atau
komplit dan tingkatan atau level tergantung area
terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau
quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan
motorik di segmen cervical medulla spinalis.
Sedangkan paraplegia adalah gangguan fungsi
sensorik dan motorik di segmen thorakal lumbal
dan sakrum. Pada pasien ini terjadi tetraplegia karena lesi yang terjadi setinggi vertebra cervical 5-
6.
CMS diklasifikasikan sebagai komplit dan tidak
komplit. CMS komplit adalah kehilangan sensasi
dan fungsi mototrik volunter total sedangkan tidak
komplit adalah campuran kehilangan sensasi dan
fungsi motorik volunter. Definisi lainnya yaitu
CMS komplit ditandai tidak adanya fungsi sensorik
dan motorik yang keluar dari bawah level cedera
sedangkan CMS inkomplit masih ada fungsi
sensorik dan motorik di bawah level cedera.13
Pada pasien ini jenis CMSnya adalah inkomplit karena kekuatan motorik untuk ekstremitas atas
masih ada walaupun lemah yaitu 3 dan masih ada
hipoastesia setinggi dermatom cervival 4.
Gejala klinis CMS sangat ditentukan oleh letak atau
lokasi cedera sedangkan tingkat keparahannya
sangat ditentukan oleh kerusakan medulla spinalis
itu sendiri, apakah total/komplit atau parsial/
inkomplit.14
Level Gangguan motorik
Gangguan sensorik
Gangguan autonom
C1-C3
Quadriplegia, parese otot-otot leher, kekakuan, kelumpuhan otot pernafasan.
Sensoris sampai setinggi kepala, tepi rahang bagian bawah; sakit di belakang kepala, leher, dan bahu
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi seksual, sindrom horner
C4-C5
Quadriplegia, diagfragma dan pernafasan
Sensoris setinggi clavicula/bahu
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi seksual, sindrom horner
C6-C8
Quadriplegia, kekakuan, kelamahan lengan, diagfragma, pernafasan
Sensoris setinggi dinding dada/punggung bagian atas, termasuk lengan kecuali bahu
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi seksual, sindrom horner
T1-T5
Paraplegia, berkurangnya volume pernafasan
Sensoris dari permukaan lengan bagian bawah, dinding dada bagian atas, dan punggung bagian bawah
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi seksual
T5-T10
Paraplegia, kekakuan
Sensoris setinggi dinding dada dan sesuai dermatomnya
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi seksual
T11-L3
Paraplegia Sensoris setinggi perut, pangkal paha ke bawah dan sesuai dermatomnya
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi seksual.
L4-S2
Paraplegia di bagian distal
Sensoris setinggi lutut, punggung kaki kebawah, dan sesuai dermatomnya
Kemampuan berkemih, pencernaan dan fungsi ereksi pada laki-laki
Pada pasien ini, lesi terdapat pada C5-C6 sehingga
nampak gejala gangguan motorik dan sensorik
setinggi bahu sampai ke kaki yang disertai dengan
hilangnya respon autonom seperti kemampuan untuk berkemih dan terjadinya gangguan
pencernaan.
Pasien dengan trauma medulla spinalis merupakan
tantangan tersendiri bagi ahli anestesi. Penting
sekali untuk mengevaluasi pasien ini pra anestesi.
Sistem neurologis, kardiovaskular dan respirasi
dapat menjadi abnormal pada pasien ini.15
Pada trauma, medulla spinalisnya sendiri tidak
rusak terlalu parah; kerusakan bisa terjadi karena
kompressi oleh tulang, hematoma, edema atau
karena pengaruh iskemik. Pada keadaan ini yang terpenting adalah mempertahankan perfusi medulla
spinalis. Dasar-dasar dari proteksi medulla spinalis
sama dengan proteksi otak, yaitu:15
1. Pemulihan keseimbangan suplai metabolik dan
kebutuhan selama fase iskemik dengan
menggunakan obat-obatan yang menurunkan
CMR
2. Peranan hipotermi sebagai salah satu cara
untuk proteksi medulla spinalis.
3. Efek dari glukosa terhadap otak yang
mengalami iskemia.
4. Konsep glutamat eksitoksisitas/kaskade pelepasan glutamat.
Gagal nafas dan gangguan paru terutama terjadi
pada cedera medulla spinalis segment cervical dan
thoracal. Lesi di atas C3 akan menyebabkan
kelumpuhan otot pernafasan dan diagfragma secara
total. Dalam setiap lesi di atas C4, fungsi otot-otot
diafragma, otot-otot interkostal dan otot pernafasan
tambahan mungkin hilang. Lesi di atas C5 dapat
mempengaruhi fungsi diagfragma dan jelas hal ini mengharuskan untuk menggunakan ventilasi
mekanik/buatan. Lesi C4-C5 akan memberikan
gangguan diagfragma yang bervariasi. Lesi dari C6-
T12 biasanya ditandai dengan diagfragma utuh
yang dapat memberikan 90% dari volume
pengembangan diagfragma akan tetapi otot
interkostalis tidak dapat berfungsi dengan baik
untuk menstabilkan tulang rusuk.3,13
Pada pasien ini lesi yang terjadi setinggi C5-C6
sehingga patensi jalan napasnya masih terjaga
walaupun tipe pernapasannya lebih dominan abdominal.
Indikasi intubasi pada pasien dengan cedera spinal
adalah: 3,13
1. PaO2 < 10 kPa (75 mmHg)
2. PaCO2 > 6,5 kPa (50 mmHg)
3. Kapasitas vital < 20 ml/kgBB
4. Edema pulmonal
5. Aspirasi pulmonal
6. Trauma dada atau paru-paru
Gangguan eliminasi urin pada kasus CMS disebut neurogenic bladder yaitu gangguan fungsi kandung
kemih yang disebabkan oleh tidak berfungsinya
saraf yang mengendalikan fungsi berkemih. Lesi
pada suprasakral yaitu cedera pada daerah servical-
thoracal akan terjadi berkemih secara refleks tanpa
kontrol otak disebut sebagai kandung kemih hiper-
refleksia termasuk tipe spastik dimana kandung
kemih sangat reaktif sehingga terjadi kontraksi
spontan otot kandung kemih.
CMS di atas thorakal 10 ditandai dengan kandung
kemih yang bisa menampung urin, sensasi penuh tidak dirasakan, tidak ada koordinasi otot destruktor
dengan sfingter eksterna sehingga bisa terjadi
retensi atau inkontinensia. Pada pasien ini, terjadi
gangguan eliminasi urine berupa inkotinensia
sehingga diperlukan pemasangan kateter Foley.
Pada umumnya pengobatan trauma medulla spinalis
adalah konservatif dan simptomatik. Manajemen
mempunyai tujuan mempertahankan fungsi medulla
spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi
untuk penyembuhan jaringan medulla spinalis yang
mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkaskan sebagai berikut:
Segera imobilisasi dan diagnosis dini.
Stabilisasi daerah tulang yang mengalami
trauma.
Pencegahan progresivitas gangguan medulla
spinalis.
Rehabilitasi dini dan dekompressi bedah bila
ada indikasi.
Indikasi operasi pada cedera medulla spinalis
adalah :1,3
Perburukan progresif karena retropulsi tulang
diskus atau hematoma epidural.
Untuk restorasi dan realignment kolumna
vertebralis.
Dekompresi struktur saraf untuk penyembuhan
Vertebra yang tidak stabil.
Pada pasien ini tindakan operasi dilakukan untuk
mendekompressi saraf yang terjadi akibat adanya
fraktur kompressi CV C5 yang menyebabkan ruptur
parsial medulla spinalis dan adanya protrusio disc level CV C5-6 yang menekan thecal sac sentralis
dan nerve root dan untuk stabilitas vertebra.
Pada pasien ini dilakukan dekompressi dengan
pendekatan posterior dan dilakukan fusion posterior
dengan posisi prone. Anestesi dilakukan dengan
anestesi umum diintubasi.
Pasien dengan penyakit pada medulla spinalis
cervical insidensi kesulitan laringoskopiknya akan
meningkat sekitar 20%. “Sniffing position” menyebabkan fleksi dari leher bawah terhadap dada
dan ekstensi kepala terhadap leher atas. Gerakan
cervical pada pasien normal yang menjalani
laringoskopi langsung dengan menggunakan bilah
macintosh menyebabkan ekstensi pada artikulasio
occipitoatlantal dan atlantoaksial (C1-C2). Segmen
subaksial cervical (C2-C5) hanya mengalami
gerakan minimal.14
Pada pasien ini intubasi dilakukan dengan
menggunakan glidescope (laringoskop C-Mac)
dengan “Manual In-Line Immobilization” (MILI). Intubasi dilakukan dengan “sleep apnea”
menggunakan propofol untuk induksi, analgetik
dengan fentanyl dan tracrium untuk relaksasi
dengan pertimbangan tidak ada kesulitan ventilasi.
Penanganan jalan napas pada pasien dengan cedera
medulla spinalis biasanya dilakukan dengan “awake
intubation” atau dengan fiberoptik untuk
meminimalkan pergerakan pada daerah lesi pada
pasien yang kooperatif. Bila cara ini tidak berhasil,
maka dilakukan intubasi secara retrograde. Jalan
terakhir (bila semua cara gagal) ialah dengan
krikotiroidotomi atau trakeostomi. Pemakaian suksinilkolin dihindari karena pada otot yang
mengalami denervasi, reseptor-reseptor “motor end
plate” akan mengalami proliferasi dan suksinilkolin
memberikan respon pelepasan K+ dalam jumlah
besar ke dalam sirkulasi.3,4,14,15
Posisi pasien pada operasi tulang belakang biasanya
dengan supine, prone atau lateral dekubitus. Pada
pasien ini posisi operasinya adalah prone, dengan
melakukan traksi kepala sebelumnya untuk
immobilisai. Pada prinsipnya, posisi, kepala tidak
boleh hiperekstensi, hiperfleksi rotasi yang berlebihan pada daerah cervical.14
Manipulasi pembedahan bisa mencetuskan
terjadinya hiperefleksia otonom, hal ini bisa
ditekan/dikurangi dengan anestesi umum, spinal
atau epidural. Anestesi umum harus cukup dalam
untuk menekan refleks ini, tetapi jangan sampai
menimbulkan hipotensi.15
Prognosa
Fraktur atlas dapat sembuh dan memberikan
prognosis yang baik jika tidak disertai cedera
medulla spinalis. Prognosis untuk fraktur odontoid
tidak sebaik fraktur atlas, karena segmen fraktur dapat menyebaban pergeseran, yang menyebabkan
cedera medulla spinalis lebih dari 10%.
Kurang dari 5% pasien dengan cedera medulla
spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera,
kemungkinan pulih adalah 0%. Prognosis lebih baik
pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit.
Jika masih terdapat beberapa fungsi sensorik,
peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera
medulla spinalis dapat kembali ke rumah dan
mandiri.1,5,16
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom
dapat kembali dalam 1 minggu sampai 6 bulan
pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan
menurun setelah 6 bulan. Bila terjadi pergerakan
penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan
mempengaruhi medulla spinalis sehingga
memperberat kerusakan.1,5,16
Ditinjau dari cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi cedera yang
inkomplit.
IV. Simpulan
Penanganan cedera medulla spinalis, dimulai pada
saat evaluasi awal, dimana terjaminnya jalan nafas
menjadi prioritas utama, oksigenasi dan ventilasi
yang adekuat, dan dilanjutkan dengan terapi untuk
mencegah ataupun mengatasi komplikasi yang
terjadi. Tujuan penanganan medis pada cedera
medulla spinalis adalah keselamatan hidup serta
meminimalkan kerusakan neurologis akibat cedera maupun komplikasinya.
Daftar Pustaka
1. Khasama H. Diagnosis dan penatalaksanaan
trauma medulla spinalis [homepage on the
Internet]. [2005 oct. 24]. Diunduh dari:
http://neurologymultiply.com/journal/item/27/d
iagnosis_dan_penatalaksanaan_trauma_medull
a_spinalis.
2. Rohkamm R. Color atlas neurology. New
York: Thieme; 2004, 283.
3. Stevens RD. Spinal cord injury. Dalam: Bhardwaj A, Mirski MA, Ulatowski JA,
editors. Handbook of neurocritical care. New
Jersey: Humana Press; 2004, 167-69.
4. Adams JP, Timothy J, Mckinlay J. Cervical
spine injuries. Dalam: Adams JP, Bell D,
Mckinlay J, editors. Neurocritical care. A guide
to practical management. London; 2010, 51-7.
5. Spinal cord injury. [homepage on the Internet].
[2011 sept. 15]. Diunduh dari: http://www.
wikipedia.free
6. Dawodu ST. Spinal cord injury: definition,
epidemiologi, and pathophysiology [homepage on the Internet]. Diunduh dari: http://www.
emedicine.com.
7. Derwenskus J. Spinal cord injury and related
disease. Dalam: Suarez JI, editor. Critical care
neurology and neurosurgery. New Jersey: Humana Press; 2004, 429-31.
8. Macias MY, Maiman DJ. Spinal cord injury.
Dalam: Torbey MT, editor. Neurocritical care.
Wisconsin: Cambridge University Press; 2010,
283-84.
9. Hughes RAC. Neurological emergencies.
London: BMJ Books; 2003, 351.
10. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and
physiology in anesthetic practice. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006,467-68.
11. Rull G. Precautions for patients on steroids undergoing [homepage on the Internet].
Patient. Co. Uk. [2011 june 2]. Diunduh dari:
http//www.patient.co.uk/patientplus.asp.precau
tions-for-patients-on-steroids-undergoing
surgery
12. Loh N, Atherton M. Guidelines for
perioperative steroids [homepage on the
Internet]. World Federation of Societies of
Anaesthesiologists. 2003. Diunduh dari:
http://www.worldanaesthesiaissue16.com.
13. Hunt K, Laing R. Spinal cord injury. Dalam:
Gupta AK, Gelb AW, editors. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 211-6.
14. Stier GR, Gabriel CL, Cole DJ. Neurosurgical
diseases and trauma of the spine and spinal
cord: anesthetic considerations. Dalam: Cotrell
JE, Young WL, editors. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010,359-83.
15. Bisri T, Wargahadibrata H, Surahman E.
Anestesia untuk operasi pada medulla spinalis.
Dalam: Neuroanestesia. Bandung; 1997, 237-43.
16. Sie I, Waters RL. Outcomes following spinal
cord injury. Dalam: Lin VW, editor. Spinal
cord medicine principles and practice. New
York: Demos; 2003, 113.
1
KEHILANGAN PENGLIHATAN PASCABEDAH LAMINEKTOMI
DALAM POSISI PRONE
VISUAL LOSS AFTER PRONE LUMBAR SPINE SURGERY Fitri Sepviyanti, Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/
Rumah Sakit Hasan Sadikin - Bandung
Abstract
Visual loss after nonocular surgery is a rare but devastating postoperative complication. Sudden unilateral or
bilateral visual loss occurring after general anesthesia has been reported and attributed to various causes
including haemorrhagic shock, hypotension, hypothermia, coagulopathic disorders, direct trauma, embolism,
and prolonged compression of the eyes.
Case: a man, 60 years-old with diagnosis radiculopathy in level L4 e.c. protunded disc L4-5 and L5-S1 who required laminectomy in general anesthesia. An unusual complication of visual loss with total opthalmoplegy
was caused by central retina artery occlusion, acute ischemic orbital compartement syndrome, and pseudotumor
type myositis.
Keywords: visual loss, pseudotumor, laminectomy, prone position, general anesthesia.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Kehilangan penglihatan pascabedah nonocular sangatlah jarang, akan tetapi, harus dipertimbangkan sebagai
komplikasi pascabedah yang tidak diinginkan. Kehilangan penglihatan unilateral atau bilateral secara tiba-tiba
yang terjadi pascaanestesia umum telah dilaporkan dan dihubungkan dengan berbagai sebab diantaranya syok haemorhagik, hipotensi, hipotermia, kelainan koagulopathi, trauma langsung, emboli, dan penekanan pada bola
mata yang berlangsung lama.
Kasus: seorang laki-laki berusia 60 tahun dengan diagnosis radiculopathi setinggi L4 e.c protunded disc L4-5
dan L5-S1 yang menjalani laminektomi dalam anestesi umum. Terjadi komplikasi pascabedah berupa kehilangan
penglihatan yang disertai opthalmoplegi total akibat oklusi arteri retina sentralis, sindroma kompartemen orbita
akut, dan pseudotumor tipe miositis.
Kata kunci: kehilangan penglihatan, pseudotumor, laminektomi, posisi prone, anestesi umum.
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Kehilangan penglihatan pascabedah laminektomi
merupakan kasus yang jarang terjadi. Insidensinya
1 kasus dari 60,965 pada pembedahan di luar mata,
1 kasus 100 pembedahan laminektomi per tahun.
Akan tetapi, ada juga yang memperkirakan
insidensinya dari 0,01-1% tergantung dari jenis
operasinya.1, 2 Ada tiga dugaan yang menyebabkan
terjadinya kehilangan penglihatan pascabedah
laminektomi dalam posisi prone yaitu neuropathi
optik iskemik, thrombosis arteri retina sentral, dan
kebutaan kortical. Neuropathi optik iskemik dilaporkan merupakan penyebab paling sering
kehilangan penglihatan pascabedah pada penderita
yang laminektomi dilakukan dengan anestesi umum
dalam posisi prone. Neuropathi optik iskemik
pernah dilaporkan sebelumnya walaupun insidensi
dan faktor risiko ini tidak sepenuhnya menarik
perhatian dari dokter anestesi dan dokter bedah.
Faktor-faktor risiko preoperatif adalah riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, polycythaemia,
perokok, gagal ginjal, glaucoma, penyakit vascular
artherosclerosis dan kelainan kolagen. Sedangkan
faktor risiko intraoperatif adalah perdarahan dengan
jumlah besar yang mengakibatkan anemia,
hipotensi, dan kompresi di luar mata.
Idiopathic orbital inflammatory pseudotumor
adalah suatu proses inflamasi nongranulomatosus pada mata dengan penyebab lokal atau sistemik
yang tidak diketahui. Hal ini hanya dapat
didiagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
2
fisik, respon terapi terhadap steroid, pemeriksaan laboratorium, Magnetic Resonance Imaging (MRI),
dan pada sebagian kecil kasus dari hasil biopsi.
Pseudotumor di mata pada pemeriksaan radiologik
dikategorikan berdasarkan lokasinya menjadi
dacryoadenitis, myositis, dan sclerouveitis, dengan
atau tanpa infiltrasi. Infiltrat inflamasi yang
terkandung adalah leukosit polimorphonuklear,
limfosit, dan sel plasma yang tersebar di berbagai
jaringan fibrovaskular, mungkin bersifat difus atau
terlokalisasi.
II. Kasus
Seorang laki-laki berusia 60 tahun, yang menjalani
operasi laminektomi atas indikasi radikulopathi
setinggi L4 e.c. protunded disc vertebra L4-5 dan
L5-6.
Anamnesa:
Riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 5 tahun
yang lalu, dan baru mendapat terapi antihipertensi
amlodipine 1 x 5 mg selama 3 hari sebelum operasi.
Riwayat diabetes mellitus, hyperkolesterol,
penyakit jantung dan ginjal disangkal. Riwayat
gangguan penglihatan disangkal.
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran komposmentis, Tekanan darah:
140/90mmHg, Nadi: 88x/menit, Respirasi:
20x/menit, Suhu:36,5 0C.
Pemeriksaan laboratorium:
Hb: 12,2 gr/dL Ht: 36 %,
Leukosit: 6500/mm3
Thrombosit: 271.000/mm3
PT: 1,35 INR: 1,09
APTT: 29,8
Natrium: 144 mg/l
Kalium 4,0 mg/l SGOT: 16 U/L 370C
SGPT: 26 U/L 370C
GDS: 96 mg%
Ureum: 30 mg/Dl
Kreatinin: 1,00 mg/dL
Thorax foto: cor dan pulmo dalam batas normal
EKG: irama sinus, denyut nadi: 80x/menit
Simpulan: pasien dengan status fisik ASA II
Pengelolaan anestesi
Pada hari pembedahan penderita dibawa ke ruang
operasi tanpa diberikan premedikasi sebelumnya.
Keadaan penderita: kesadaran komposmentis, tekanan darah: 136/90 mmHg, frekuensi nadi:
82x/menit, respirasi 27x/menit, SpO2 99%.
Sebelum induksi, penderita diberi loading cairan
kristaloid sebanyak 500 cc sebagai cairan pengganti
puasa, serta dipasang peralatan monitoring berupa tekanan darah otomatis non invasif, EKG, pulse
oxymetri. Selanjutnya dilakukan induksi anestesi
dengan Fentanyl 50µg, Propofol 100 mg dan
Atracurium 25 mg, penderita diintubasi dengan
pipa endotracheal single lumen spiral no 7,5 balon,
kedalaman 20. Rumatan anestesi dengan O2/N2O
dan enfluran. Kemudian penderita diposisikan
dalam posisi prone dengan wajah yang diletakkan
pada bantal berbentuk donat, dan sebelumnya
kedua mata diberi salep mata, ditutup dengan
plester, dan dipastikan tidak ada bagian mata yang mengalami tekanan.
Obat-obatan lain yang dipakai adalah
dexamethason 8 mg, asam transenamik (R/: kalnex)
500 mg, dycinone 500 mg, vitamin K 8 mg,
ondancentron 4 mg. Analgetik pascabedah
ketorolac 30 mg + tramadol 100 mg.
Operasi berlangsung selama 5 jam. Data terlihat
pada tabel di bawah ini. Jumlah perdarahan 1000
cc, urine 400 cc/5 jam.
Tabel 1. Monitoring tekanan darah, frekuensi nadi,
SpO2, selang 15 menit dari induksi sampai selesai operasi
Waktu Nadi
(x/menit)
Tensi
(mmHg)
SpO2 Keterangan
07:30 78 125/84 99 Setelah intubasi
07:45 65 105/75 99 Kristaloid 500 cc
08:00 68 105/76 100 08:15 58 85/60 99 Koloid 500
cc 08:30 57 106/78 99 08:45 59 89/70 100 Kritaloid
500 cc 09:00 60 95/70 100 09:15 60 92/70 100 09:30 58 90/60 99 09:45 59 94/78 99
10:00 58 93/70 99 10:15 60 96/68 99 10:30 65 85/70 99 Koloid 500
cc 10:45 70 100/68 99 Kalnex 500
mg, Dycinone
500 mg, Vit K 8 mg
11:00 68 96/74 99 11:15 74 95/75 99 11:30 75 87/68 99 PRC 200 cc 11:45 75 96/75 99 Kristaloid
500 cc 12:00 70 96/78 100 12:15 68 102/82 99 12:30 69 101/78 99
12:45 70 100/74 99
3
13:00 70 105/83 99 13:15 69 98/78 99 PRC 200 cc 13:30 67 97/75 99 Akhir
anestesi (setelah
ekstubasi) 13:45 67 97/78 99 14:00 70 94/68 100
2.5 Keadaan pascabedah
2.5.1 Ruang Pemulihan
KU: komposmentis, Tekanan darah: 90/60 mmHg,
Nadi: 80 x/menit, Respirasi: 20x/menit, SpO2: 100
% dengan O2 nasal kanul 3 lt/menit.
Laboratorium pascabedah:
Hb: 10 gr/dL, Ht: 29 %, Leukosit: 21000/mm3,
Thrombosit: 207.000/mm3.
Selama di ruang pemulihan penderita tidak
mengeluhkan sesuatu apapun. Kemudian penderita
dipindahkan ke ruang perawatan inap.
2.5.2 Ruang rawat inap.
Setelah 3 jam di ruang perawatan inap, penderita
mengeluh bahwa mata sebelah kirinya tidak dapat
melihat. Pada pemeriksaan mata yang dilakukan
Bagian Mata didapatkan mata sebelah kiri:
exopthalmus, parese nervus III, IV, dan VI (otot-
otot bola mata tidak dapat digerakkan), pupil
midriasis dengan reflek cahaya (-), visus tidak
terhingga (∞), dan pada funduscopi didapatkan
papil oedem temporal dengan batas tegas, nasal
kabur, tidak terdapat perdarahan. Penderita
didiagnosa sementara Opthalmoplegi ocular sinistra/OS (pupil inkoherens) e.c. perdarahan
retrobulber DD/ aneurisma, posterior ischemia
optic neuropathy dan oklusi arteri retina sentralis,
disarankan untuk menjalani pemeriksaan MRI.
Pada pemeriksaan yang dilakukan Bagian Saraf
didapatkan parese nervus III, IV, VI dan Bagian
Saraf setuju untuk dilakukan pemeriksaan MRI.
Pada hari kedua pascabedah penderita menjalani
pemeriksaan MRI, dengan hasil: Pseudotumor tipe
miositis orbita kiri dengan exopthalmus OS. Orbita
kanan, nervus opticus kiri kanan sampai tractus
opticus kiri kanan, batang otak, cerebellum dan cerebrum tidak tampak kelainan. Tidak tampak
tanda-tanda Space Occupaying Lesion (SOL),
infark, atau perdarahan. Tidak tampak tanda-tanda
sinusitis atau mastoiditis. (Gambar 2.1)
Gambar 2.1 Axial magnetic resonance imaging
menunjukkan proptosis dan pembesaran otot
extraocular dari mata kiri
Pada hari ketujuh pascabedah, penderita dipindahkan ke ruang rawat inap Rumah Sakit Mata
Cicendo untuk menjalani perawatan selanjutnya.
Penderita didiagnosis sebagai sindroma
kompartemen orbita iskemik dengan DD/ oklusi
arteri retina sentralis dan neuropathi iskemia
posterior. Penderita mendapat terapi methyl-
prednisolon empat kali 250 mg intravena selama
tiga hari, ranitidine dua kali 150 mg per oral, dan
obat tetes mata timolol maleat 0,5 % dua kali satu
tetes pada mata kiri. O2 diberikan melalui nasal
canul 3 lt/menit.
Pada hasil follow-up neuro-opthalmologist, setelah
2 minggu kemudian, mata kiri penderita masih
mengalami gangguan penglihatan dan pergerakkan
bola mata masih terbatas (Gambar 2.2). Tekanan
intraocular masih dalam batas normal. Pemeriksaan
bola mata menunjukkan kornea bersih, sedikit
midriasis dan pupil nonreaktif. Funduscopy
menunjukkan nervus opticus pucat (Gambar 2.3).
Methyl-prednisolon 1 mg/kgBB/hari per oral dan
ranitidine dua kali 150 mg per oral diteruskan.
Gambar 2.2. Pemeriksaan setelah 2 minggu,
tampak mata kiri protoptosis dan pergerakkan bola
mata masih terbatas.
4
a.
b.
Gambar 2.3.Funduscopy pada follow up 2 minggu
kemudian: a). mata kanan, normal fundus;
b). mata kiri tampak nervus opticus pucat.
III. Diskusi
Kehilangan penglihatan pascabedah laminektomi
dalam posisi prone merupakan suatu komplikasi
yang jarang terjadi dan mungkin tidak menarik
perhatian sebagian besar dokter anestesi dan dokter
bedah. Survai pada kehilangan penglihatan
pascabedah laminektomi sangat mungkin
disebabkan keadaan selama operasi termasuk posisi
penderita, perdarahan, dan hipotensi. Tiga
penyebab utama terjadinya kehilangan penglihatan
pascabedah laminektomi dalam posisi prone adalah
neuropathi optik iskemik, oklusi arteri atau vena retina sentralis, dan iskemia serebral. The American
Society of Anesthesiologist (ASA) mengklaim
melalui laporan penelitiannya bahwa 81% dari
kasus kehilangan penglihatan pascabedah adalah
disebabkan oleh neuropathi optik iskemik dan
diakibatkan oleh thrombosis arteri retina. Enam
puluh tujuh persen dari semua kasus yang
dilaporkan adalah pascabedah laminektomi dalam
posisi prone.2
Pada kenyataannya dugaan tentang penyebab
terjadinya masalah ini adalah pada beberapa
penderita yang mempunyai faktor risiko. Faktor risiko itu diantaranya adalah hipertensi kronik,
diabetes mellitus, perokok, penyakit vaskuler, dan
kelainan-kelainan yang menyebabkan peningkatan
viskositas darah. Akan tetapi, belum ada hasil
penelitian pasti tentang faktor risiko untuk penentu
terjadinya kehilangan penglihatan pascabedah
laminektomi.
Posisi prone dapat menimbulkan perubahan
fisiologi pada organ tubuh dan mungkin dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan organ.
Perubahan fisiologi dapat terjadi pada sistem
kardiovaskuler, sistem pernafasan, bahkan kerusakan pada mata atau sistem saraf perifer.
Kerusakan pada mata sampai dapat menyebabkan
kebutaan. Kebutaan yang terjadi disebabkan karena
penekanan mata bagian luar oleh headrest atau
penekanan lain pada isi bola mata yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan bola
mata yang dapat menyebabkan ischemia retina dan
kebutaan. Posisi prone sendiripun sudah mampu
meningkatkan tekanan intraokuler, oleh karena itu,
setelah posisi prone maka antisipasi yang dapat
dilakukan adalah kepala pasien dalam keadaan head up sekitar 10 derajat untuk mengurangi
tekanan intraokuler. Pada pasien ini tidak dilakukan
head up. Keadaan-keadaan yang dapat
menimbulkan tekanan intraokuler adalah sebagai
berikut:
1. Peningkatan tekanan vena sentral: peningkatan
tekanan vena sentral diikuti dengan penurunan
aliran balik vena (venous return) pada posisi
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
kepala dan terjadinya obstruksi aliran vena bila
kepala mengarah pada satu sisi.
2. Tekanan vena sentral juga meningkat bila ada tekanan di bawah abdomen.
3. Penekanan secara langsung pada bola mata
oleh headrest.
a. Bila dilihat dari bawah (posisi yang benar)
b. Bila dilihat dari atas (posisi yang benar)
c. Bila dilihat dari atas (posisi yang salah)
Gambar 2.4. Penggunaan headrest yang benar dan
salah dilihat dari atas dan bawah
Iskhemia optik disebabkan karena iskhemia yang terjadi pada nervus opticus. Pemeriksaan
funduscopy pada penderita ini menunjukkan retina
pucat dengan karakteristik ‘cheery red spot‘, hal ini
5
mungkin menunjukkan terjadinya kehilangan penglihatan sekunder pascabedah karena penekanan
dari luar pada mata selama operasi. Hal ini
memberi arti juga bahwa neuropathi optik iskhemik
posterior bukan merupakan diagnosis pada
penderita ini karena biasanya tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan ophthalmology.
Berbagai faktor dapat memberikan kontribusi
kehilangan penglihatan pada penderita ini,
diantaranya posisi prone, dengan wajah yang
menekan pada alas yang keras, operasi yang lama,
perdarahan, anemia dan keadaan hipotensi yang berlangsung selama operasi. Hal-hal tersebut yang
menjadi faktor risiko terjadinya kehilangan
penglihatan pascabedah dimana terjadi peningkatan
tekanan bola mata selama posisi prone.
Oklusi arteri retina sentralis (central retinal artery
occlusion/CRAO) merupakan suatu kelainan yang
disebabkan trauma atau emboli, tromboemboli, atau
episode spasmodik pada anak-anak dan dewasa.
Bagaimanapun, postoperatif CRAO merupakan hal
yang sangat jarang dilaporkan sebagai konsekuensi
penekanan langsung pada mata selama operasi.
Slocum dkk.,3 adalah yang pertama melakukan observasi masalah ini pada seorang penderita yang
menjalani bedah saraf dalam posisi prone dengan
menggunakan Bailey headrest. Dia menyimpulkan
bahwa CRAO disebabkan karena penekanan
headrest pada bola mata dari luar, atau disebabkan
karena malposisi penutup mata selama anestesi
yang disertai hipotensi. Bradish dkk.,3 yang
pertama melaporkan CRAO pada posisi prone
pascabedah orthopedik. Mereka meyakinkan bahwa
CRAO merupakan suatu komplikasi kombinasi
antara tehnik hipotensi dan penekanan pada bola mata pada penderita dengan osteogensis imperfect.
Pada penderita ini selama operasi tidak dilakukan
tehnik hipotensi.
Mekanisme kehilangan penglihatan pascabedah
adalah ischemia retina sekunder pada penekanan
bola mata dari luar. Penyebab utama ischemia ini
adalah bendungan vena dan oklusi arteri.3
Hollenhorst dkk.,3 melakukan penelitian mengenai
kehilangan penglihatan dan opthalmoplegia ini
pada tujuh monyet dengan cara menekan mata
selama 60 menit dalam keadaan hipovolemia dan
hipotensi. Monyet-monyet diharapkan ini mengalami arteri dan vena mata yang kolaps secara
partial atau komplit, sehingga menghasilkan
bendungan pada bola mata. Ketika penekanan
dibuka, terjadi oedem mata, protoptosis, lumpuhnya
pergerakkan bola mata, dan edema massif pada
retina yang disebabkan karena dilatasi dari
pembuluh darah yang iskemik dan perpindahan
cairan dari membran permiabel ke jaringan. Halfon
dkk,3 melaporkan bahwa kembalinya
opthalmoplegia tergantung dari tingkat iskhemia yang terjadi pada otot-otot ekstraocular dan nervus
III, IV, dan VI. Pada penderita ini, pascabedah
menunjukkan edema dari mata yang menunjukkan
penekanan luar pada bola mata. Hasil MRI orbita
dan otak pada penderita ini menunjukkan tidak
adanya thrombosis dan perdarahan hanya sedikit
protoptosis dan pembesaran otot-otot bola mata
kiri. Hal ini menunjukkan bahwa kasus kami mirip
dengan apa yang dilaporkan Halfon dkk.3 Selain itu
pada CRAO biasanya terjadi unilateral, langsung,
tanpa nyeri, dan kehilangan penglihatan seluruhnya dengan ditandai pembengkakan periorbital
eksternal atau echimosis. Pada penderita ini
terdapat juga iskemia retina pucat, dengan
pathognomomic ‘cherry red spot’ pada makula dan
defek papillary afferent relative atau penurunan
reflek cahaya papillary, sehingga mungkin sekali
penderita ini mengalami CRAO.
CRAO dengan opthalmoplegia lebih jarang
dilaporkan. Hollenhorst dkk.,3 mencatat lima dari
delapan kasus terberat yang mengalami protoptosis,
ptosis dan paralisis pergerakkan bola mata, yang
tidak terjadi pemulihan penglihatan. Halfon dkk.,3 melaporkan dua kasus dengan oedem kelopak mata,
nyeri pada mata, dan opthalmoplegia total dimana
terjadi pemulihan pergerakkan mata tanpa
pemulihan penglihatan. Pada penderita ini terdapat
protoptosis, opthalmoplgia, pemulihan pergerakkan
bola mata tanpa disertai pemulihan penglihatan, hal
ini menunjukkan kasus kami mirip dengan dua
kasus yang dilaporkan Halfon dkk.3
Akut orbital kompartemen sindrom merupakan
suatu komplikasi emergensi yang jarang karena
peningkatan tekanan di sekitar bola mata. Patofisiologi terjadinya akut orbital kompartemen
sindrom belum diketahui secara pasti. Bola mata
dan retrobulbar dibangun oleh 7 tulang yang kaku,
kecuali bagian anterior. Bagian medial dan lateral
tendon melekat pada bola bola mata dan menjaga
mata tidak masuk ke dalam. Bola mata dapat
mengkompensasi sedikit kenaikan volume dengan
menarik bola mata dan prolaps dari lemak, diikuti
dengan peningkatan jaringan bola mata segera.
Bola mata walau bagaimanapun mempertahankan
tekanan volume dengan patofisiologi kompartemen
sindroma lain, dimana peningkatan tekanan pada suatu rongga terbatas dihubungkan dengan
penurunan perfusi. Ketika terjadi penekanan di luar
bola mata, tekanan ini menyebabkan sentral arteri
iskhemik. Sehingga tidak tertutup kemungkinan
diagnosis tersebut pada penderita ini.
Pseudotumor pada mata merupakan suatu kondisi
baik secara klinis dan patologis anatomi dari proses
inflamasi mata yang tidak diketahui (idiopathic
6
inflammation) dimana hal ini tidak berhubungan dengan infeksi, keganasan, atau penyakit sistemik.
Pseudotumor mata bukan dari kelainan tumor,
tetapi lesi ini murni tidak diketahui penyebabnya.
Insidensi pseudotumor mata 9 % dari seluruh massa
di mata yang pernah dilaporkan. Pseudotumor
biasanya mengenai bola mata dan sering kali
menjalar ke kelenjar air mata dan otot-otot bola
mata.
Gejala klinis suatu idiopatic pseudotumor
tergantung dari tingkat respon proses inflamasinya
(akut, subakut, atau kronis) dan lokasi jaringan inflamasi. Biasanya dihubungkan dengan
kehilangan penglihatan yang progresif, diplopia dan
ptosis. Pseudotumor yang akut lebih responsif
terhadap penggunaan prednisone daripada yang
kronis.
Secara patologis anatomi, pseudotumor mata
menunjukkan infiltrasi sel-sel inflamasi nonspesifik
yang mengandung limfosit, sel plasma, neutrofil
dan makrofag. Tingkat fibrosis tergantung dari
kronik atau tidaknya penyakit.
Pada pemeriksaan radiologi, pseudotumor mata
dikategorikan berdasarkan struktur mata yang terkena. Miositis (satu atau lebih otot extraocular),
dacryoadenitis (kelenjar air mata), periscleritis
termasuk Tenon’s space, trochleitis, perineuritis
(diluar duramater nervus opticus dan lapisan lemak)
dan formasi-formasi difus lain yang tersamarkan
berdasarkan lokasinya. Proses inflamasi dengan
lemak mata mungkin terlokalisir, dan proses ini
dapat menstimulasi tumor atau mungkin juga difus
dengan jaringan lemak. Terkadang mengenai
kelenjar air mata dan otot.
Penyebaran lesi dapat sampai sinus paranasalis, walaupun hal ini jarang sekali terjadi. Ayala dkk.,4
pernah melaporkan bahwa pseudotumor mata
kronik perlahan-lahan dapat mengenai fossa cranial
anterior yang melalui perjalanannya mengenai
foramen ethmoid anterior melalui arteri ethmoidal
anterior. Ketika pseudotumor mengenai sinus
cavernosus, proses ini biasanya harus
dipertimbangkan merupakan suatu bagian dari
Tolosa-Hunt syndrome.
MRI menunjukkan suatu lesi hypointese pada
pemetaan di T1 dan T2 (kemungkinan
menggambarkan perubahan fibrotic), dan menunjukkan suatu perubahan yang ditandai
dengan gadolinium. Tehnik supresi dari lemak
menjelaskan lesi dari nervus opticus dan inflamasi
intraorbital.
Differensial diagnosis pseudotumor adalah infeksi
(bakteri, tuberkulosis, jamur, virus), lipogranuloma,
displasia fibrosa, histiositosis fibrosa, fibromatosis,
fibrosarcoma, periosteal fasciitis, nodular fasciitis, amyloidosis, Wegener’s granulomatosis, lethal
midline granuloma, polyarteritis nodosa,
sarcoidosis, dan lymphoma.
Penatalaksanaan pseudotumor sangat bervariasi.
Terapi dengan kortikosteroid dosis tinggi, tetapi
tidak selalu berhasil. Indikasi pembedahan dengan
biopsi adalah bila tidak berespon terhadap regimen
steroid, diluar tumor dan untuk dekompresi.
Bagaimana pun, biasanya tidak menyembuhkan
lesinya. Radioterapi dilakukan jika tidak terjadi
jaringan fibrosis, tidak ada kemajuan dari terapi steroid, dan gejala klinis berlangsung progressif.
Beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya
kebutaan pada operasi laminektomi dengan posisi
telungkup diantaranya:
1. Gunakan headrest yang tepat dimana tidak
terjadinya penekanan secara langsung pada
bola mata. Headrest yang dianjurkan adalah
Mayfield tongs atau horseshoe.
2. Head up 10 derajat pada posisi telungkup
untuk mengurangi tekanan intraoculer.
3. Pada saat pemasangan headrest dokter bedah
harus memastikan bahwa mata bebas dari penekanan oleh headrest
4. Dokter anestesi secara kontinyu memeriksa
kedua mata selama operasi berlangsung, bahwa
mata pasien dalam keadaan bebas, terutama
setelah perubahan pasien.
5. Dokter anestesi harus memperhatikan
kemungkinan terjadinya bradiarytmia secara
tiba-tiba. Peningkatan dari tekanan intraokuler
dapat menimbulkan vagal stimulasi berupa
aritmia, dan harus dipastikan bahwa mata tidak
tertekan oleh headrest.
6. Hati-hati dalam menggunakan anestesi teknik
hipotensi. Pertimbangkan antara keuntungan
dan kerugiannya
7. Dokter bedah harus memberitahukan kepada
dokter anestesi jika terjadi perdarahan yang
hebat, karena bila memungkinkan dapat
dilakukan autotransfusi.
8. Pada saat visite preoperatif mencari
semaksimal mungkin faktor risiko terhadap
kebutaan pada posisi prone.
IV. Simpulan
Posisi prone pada bedah laminektomi yang berlangsung lama dan penekanan pada mata,
khususnya pada malposisi penderita, dapat
menyebabkan trauma mata dan komplikasi mata
7
yang serius. Meskipun kehilangan penglihatan pascabedah dapat terjadi tanpa ada penekanan pada
bola mata, menghindari trauma mekanik pada mata
merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan
oleh dokter bedah dan anestesi. Dokter bedah dan
anestesi harus memperhatikan dan berhati-hati pada
perubahan posisi tanpa pelindung mata yang
adekuat selama operasi berlangsung. Perhatian
khusus bila terjadi bradikardi atau aritmia lain
selama operasi, karena mungkin merupakan suatu
tanda stimulasi vagal yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan bola mata.
Kami meyakini hal ini merupakan laporan kasus
pertama seorang penderita yang mengalami
ischemia orbital kompartemen sindrome dengan
CRAO, opthalmoplegi, dan pseudotumor tipe
miositis pascabedah laminektomi dalam posisi
prone yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Jika pascabedah penderita mengeluh kehilangan
penglihatannya, dan pada pemeriksaan terdapat
oedem pada bola mata, protoptosis, dan paralisis
pergerakkan mata, kondisi ini harus dievaluasi dan
diterapi segera. Dokter mata pun harus mengetahui
komplikasi ini, dan memberi perhatian untuk menghindari komplikasi yang tidak diinginkan
lebih lanjut.
Daftar Pustaka
1. Roth S, Thisted RA, Erickson JP, Balick S,
Schreider BD. Eye injuries after nonocular
surgery: a study 60,965 anesthetics from 1998
to 1992. Anesthesiology 1996; 85: 1020-7
2. Kamming D, Clarke S. Postoperative visual loss following prone spinal surgery. Br J
Anesth 2005; 95: 257-60.
3. Chung MS, Son JH. Visual loss in one eye
after spinal surgery. Korean Journal of
Opthalmology 2006; 20 (2): 139-42.
4. Lee EJ, Jung SL, Kim BS, Ahn KJ, Kim YJ,
Jung AK, et al. MR imaging of orbital
inflammantory pseudotumor with extraorbital
extension. Korean J Radiol 2005; 6: 82-8.
5. Leibovitch I, Casson R, Laforest C, Selva D.
Ischemic orbital compartment syndrome as a complication of spinal surgery in the prone
position. Anesth Analg 2006; 113: 105-8.
6. Walick KS, Kragh JE, Ward JA, Crawford JJ.
Changes in intraocular pressure due to surgical
positioning. 2007[downloaded on August 12,
2010]; 32(23):2591-95. Available at
http://www.medscape.com/viewarticle/565580
sidebar1
7. Baig MN, Lubow M, Immesoete P, Bergese
SD, Hamdy EA, Mendel E. Vision loss after
spine surgery: review of the literature and
recommendations. Neurosurg Focus 2007; 23 (5): 15.
8. Kumar N, Jivan S. Blindness and rectus muscle
damage following spinal surgery. American
Journal of Opthalmology 2004; 138 (5): 889-
91.
9. The doctor’s doctor: Inflammatory
Pseudotumor, 2005: 1-11.
Mana kepustakaan no 5 sampai 9 ???
8
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA SHAKEN BABY SYNDROME
ANESTHESIA MANAGEMENT FOR SHAKEN BABY SYNDROME
Rose Mafiana*), Siti Chasnak Saleh**), Tatang Bisri***)
*) Bagian Anestesi & Terapi Intensif FK UNSRI/RSMH Palembang
**) Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK UNAIR/ RSUD dr Soetomo Surabaya
***) Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK UNPAD/RSHS Bandung
Abstract
Shaken Baby Syndrome is a condition of intracerebral hemorrhage or intraocular without or with only minimal
trauma to the head, neck or face. This case is often referred to cases of child-parent violence. This cases in the
U.S, approximately 50,000 cases per year. From all event, one third died and half of the cases that survive with severe neurological deficit. Generally, prognosis of patients is poor.
In Indonesia data on this subject does not exist. But it has a tendency to increase. Symptoms of a subdural
hematoma is often obtained, retinal hemorrhages and brain edema.This case often followed by multiple
fractures, cervical and other neck trauma tissues. Diffuse axonal injury researchers often reported for this case.
Generally neuroanestesi technique for pediatric equal with pediatric trauma neuroanesthesia. Anesthesi
challenges for this case was ICP, because increased ICP could influence for CBF, CMRO2 and cerebral
autoregulation. Avoid anesthesi drugs , technique and the calculation of fluid during surgery to damaged this
condition. Postoperative patients were treated and observed in the PICU.
Key words: Shaken Baby Syndrome, brain injury, subdural hematoma, retinal hemorrhage, oedema cerebri,
prognosis.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Shaken Baby Syndrom adalah suatu kondisi perdarahan intraserebral atau intraokuler tanpa atau dengan hanya
minimal trauma pada kepala, leher atau wajah. Kasus ini sering disebut kasus kekerasan anak- orang tua. Jumlah
kejadian ini cukup banyak terjadi di US, sekitar 50.000 kasus pertahun, sepertiganya meninggal dunia dan
setengah dari kasus yang bertahan hidup mengalami defisit neurologis yang berat. Umumnya prognosa penderita
buruk.
Di Indonesia sendiri data mengenai hal ini belum ada. Tapi mempunyai kecenderungan untuk meningkat.Gejala
yang sering didapat adalah hematom subdural, perdarahan retina dan edema otak. Sering diikuti juga dengan
multipel fraktur, trauma cervical dan jaringan leher lainnya. Peneliti lain melaporkan banyaknya kasus Diffuse
Axonal Injury (DAI) pada kasus ini.
Penanganan neuroanestesinya secara umum sama dengan neuroanestesi cedera otak traumatika pada pediatrik,
karena terjadi peningkatan ICP sehingga mempengaruhi CBF, CMRO2 dan autoregulasi otak. Obat, tehnik
anestesi yang digunakan dan perhitungan cairan selama operasi diusahakan tidak memperburuk keadaan . Pasca
operasi penderita dirawat dan diobservasi di PICU.
Kata kunci: Shaken Baby Syndrom, cedera otak traumatika, subdural hematom, perdarahan retina, edema otak,
prognosa.
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Shaken Baby syndrome adalah penyebab kerusakan
neurologis atau kematian yang terbesar akibat kasus
kekerasan orang tua-anak.1-5 Diagnosa ditegakkan
dengan ditemukannya perdarahan subdural dan
retina pada anak-anak tanpa riwayat trauma. 1-2,4-5
Beberapa pusat pelayanan kesehatan, pusat peneliti-
an dan pusat penyuluhan dan rehabilitasi dan
perlindungan anak dibeberapa negara menangani kasus ini secara serius, karena prognosa neurologis
yang buruk dan berdampak pada perkembangan
anak dimasa depan.1-2,5 Prognosa dari rata-rata
penderita SBS di USA, 1/3 meninggal dunia, 1/3
mengalami cacat berat dan 1/3 dapat sembuh
dengan kondisi yang baik. 1-4
Agak sulit menegakkan diagnosa awal adalah
Shaken Baby Syndrome. Biasanya diagnosa
ditegakkan kemudian, melalui alloanamnesa, peme-
riksaan fisik, penunjang dan pemeriksann psiko-
logis keluarga. Beberapa diferensial diagnosa
ditegakkan.1
Penanganan awal dan penatalaksanaan gawat
darurat serta tehnik anestesinya adalah penatalak-
sanaan pada cedera otak traumatika, dengan
mempertimbangkan ICP, CPP, CBF dan auto-
regulasi otak. 6-8 Pasca tindakan operasi penderita
dipantau ketat di PICU.
II. Kasus
Seorang anak laki-laki usia 4 bulan dikirim dari
UGD, terlihat lemas, terdapat penurunan kesadaran,
dari alloanemnesa orang tua menyangkal riwayat
trauma atau jatuh sebelumnya, tetapi sehari
sebelumnya diayun-ayun kuat dengan ayunan
pegas. Penderita mengalami kejang, rewel, muntah-
muntah sehingga berobat ke dukun, kemudian penderita dibawa ke RSUP dengan fasilitas
JamKesMas.
Riwayat keluarga: Ibu penderita perempuan berusia
18 tahun, pendidikan SD tidak tamat, ayahnya 20 tahun, pendidikan SMP tamat dengan pekerjaan
sekarang sebagai buruh lepas ( kuli pasir), penderita
adalah anak pertama, lahir dengan bidan, Berat
badan lahir 2800 gram, panjang 50 cm, cukup
bulan, riwayat kejang demam sebelumnya
disangkal.
Keadaan umum
BB=4,5 kg, TD= 78/40 mmHg, HR= 130x/menit, teratur, RR=24x/menit, T=370C, SaO2 =98-99%,
GCS= E2V3M4.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik Kepala= konjungtiva anemia (-),
sklera ikterik (-), pupil anisokor ki/ka = 2/3, refleks
cahaya = lambat/normal. Papiledema (+/-),
perdarahan retina (+).
Toraks= gerakan dinding dada simetris, bunyi
jantung I/II = normal, teratur, 130x/menit,mur-mur
(-). Bunyi nafas = vesikuler normal, ronchi (-),
wheezing (-).
Abdomen= sufel, hepar/lien= dbn, bunyi usus (+)
Ekstremitas= edema (-), tidak tampak tanda-tanda
fraktur, terutama di tulang panjang.
Pemeriksaan Laboratorium
Hb= 12,2 gr/dl, leukosit= 12.000 mm3, thrombosit=
221.00/mm3, CT= 2’, BT= 3’, Na= 136 mcg/l K=
3,7mcg/l
Foto thoraks = dalam batas normal, tidak terdapat
tanda-tanda fraktur kosta.
CT scan = kesan subdural hematoma dengan edema
serebri.
Rencana tindakan : dilakukan kraniektomi.
Pengelolaan Anestesi
Persiapan anestesi:
Penanganan anestesi kasus SBS meliputi ABCD
seperti pada trauma kepala pediatrik. Penilaian
airway, pernafasan dan sirkulasi terhadap penderita
ini dianggap baik dan layak untuk dilakukan
tindakan. Pasien didorong kekamar operasi dengan
kepala lebih tinggi 300 dan oksigenisasi dipasang
masker wajah (face mask) anak dengan flow 3-4 liter/ menit, infus dipasang NaCl 0,9%. Sebelumnya
pada meja operasi telah dipasang alas penghangat
untuk mencegah hipotermi. Pasien dipindahkan
kemeja operasi dengan hati-hati untuk mencegah
bertambah meningkatnya ICP dipasang monitor
NIBP, ECG, saturasi oksigen dan prekordial
stetoskop. Diberikan induksi dengan propofol 10
mg, fentanyl 5 ug dan rocuronium 5 mg, setelah
preoksigenisasi dilakukan pemasangan selang
nasogastrik lewat hidung dan intubasi peroral dengan ETT no 3,5 dengan cuff dihubungkan
dengan Jackson Ress kemudian dipasang kateter
urin. Pemeliharaan anestesi dengan oksigen, air dan
sevoflurane. Posisi pasien selama operasi adalah
supine.
Durante operasi:
Hemodinamik relatif stabil, HR terlihat pada
monitor ECG berkisar 120 – 130x/menit, NIBP sistolik antara 60-70 mmHg dan diastolik sekitar
40-45mmHg, monitor bunyi jantung dan nafas
melalui stetroskop prekordial tetap dipasang,
saturasi antara 98-100, perdarahan selama operasi
sekitar 30cc. Cairan yang diberikan NaCl 0,9%,
100 cc melalui mikrodrip yang terhubung ke buret
yang sudah berisi cairan infus dan selangnya
dihangatkan dengan alat penghangat cairan.
Operasi berlangsung lebih kurang 2 jam.
Pasca Operasi:
Penderita ditransport ke PICU masih menggunakan
ETT dengan bantuan ventilasi Jackson Reese.
III. Pembahasan
Sejarah
Shaken Baby Sydrom (SBS) adalah suatu kondisi
dimana terjadi perdarahan serius di intrakranial atau
intraokular tanpa atau hanya dengan minimal
trauma pada kepala, leher atau wajah.1-5,9
Istilah ini diperkenalkan oleh John Coffey, seorang
radiologis pediatri (1946), sering disebut sebagai
syndrom stres orang tua anak. Coffey menemukan
gejala yang hampir sama yaitu adanya perdarahan retina, perdarahan intrakranial dengan perdarahan
subdural atau subarachnoid.1-5,9 Beberapa kepus-
takaan menyebutnya sebagai abusing head
trauma.5,9
Tahun 1971, Dr Norman Gucthkelch, seorang ahli
bedah syaraf, menemukan beberapa kasus adanya
perdarahan subdural disebabkan oleh robekan vena
pada ruang subdural tanpa tanda-tanda trauma/
injuri eksterna. Guchtkelch menduga penyebabnya
adalah mekanisme akselerasi-deselerasi
(“wishplash injury”). Perkembangan Computed
Tomografi dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) tahun 1970 dan 1980 memperjelas
penemuan ini.1-2,5,9
Insiden
Kasus Shaken Baby Syndrom (SBS), sering disebut
kasus kekerasan orang tua-anak, umumnya
sindroma ini terjadi pada pada orang tua yang
belum matang (belum siap mempunyai anak), emosi masih labil, mempunyai masalah finansial
dan berpen-didikan rendah, dengan kondisi anak
yang kurang memenuhi standar kesehatan.4 Pada
kasus ini berat badan anak 4,5 kg, yang menurut
standar WHO didalam Kartu Menuju Sehat (KMN)
kurang dari standar normal berat badan normal
anak seusianya
Insiden SBS di US 50.000 kasus/ tahun, dengan
jumlah kematian 10-20%, dan 30-50% penderita
mengalami defisit neurologis.1,2 Di Indonesia
sendiri belum ada data dan istilah inipun belum
banyak dikenal masyarakat awam.
Epidemiologi
Epidemiologinya biasa terjadi pada kondisi
keluarga dengan sosial ekonomi yang kurang.
Kepribadian orang tua labil, mudah depresi dan
kontrol emosi yang lemah. Pendidikan orang tua
rendah. Bayi dengan berat badan lahir kurang. Usia
≤ 1 tahun dan rata-rata 3-8 bulan dengan insiden
tertinggi diusia ≤ 6 bulan. Walau peneliti lain
mengatakan insiden terjadi pada anak usia < 2
tahun dan masih mungkin terjadi pada anak usia ≥ 5
tahun. Lebih sering pada anak laki-laki.1,3
Beberapa analisis dari multisenter menyebutkan
SBS merupakan salah satu penyebab sudden infant
death syndrome (SIDS), hal ini dipertegas dengan
hasil autopsi korban.1 Di Jerman data menyebutkan > 90% kasus cedera otak pada anak-anak ber-
hubungan dengan perilaku kekerasan orang tua-
anak.5
Anatomi dan Fisiologi
Berat badan otak pada waktu lahir adalah 300-400
gram atau 10-15% berat badan total, dan akan
mencapai dua kalinya pada usia 6 bulan. Struktur otak akan sempurna pada usai sekitar 2 tahun dan
menyamai orang dewasa pada usia 12 tahun.6
Respon pembuluh darah cerebral, autoregulasi anak
pada usia kurang dari 3 bulan belum diketahui dengan pasti, terutama respon vasoaktif sekunder
terhadap perubahan PaO2, PaCO2. Pada anak yang
lebih besar aliran darah akan meningkat dengan
cepat bila PaO2 kurang dari 50 mmHg. Untuk
mengetahuinya dengan pasti, pengukuran tekanan
perfusi otak lebih bermakna dari pada aliran darah
otak. Tekanan perfusi sangat tergantung pada usia,
pada neonatus ± 25mmHg, pada anak lebih kecil
±40-50mmHg dan pada dewasa ±70-90mmHg.6
Patofisiologi
SBS adalah sindroma trauma pada kepala yang disebabkan karena guncangan yang hebat pada
kepala dan leher anak, biasanya terjadi pada kasus
kekerasan orang tua terhadap anak atau tindakan
kasar orang tua.4 Perbandingan kepala yang lebih
besar dari tubuh, ruangan ekstraserebral dan
arakhnoid yang lebih luas memudahkan terjadinya
cedera akibat guncangan,fenomena ini diperbesar
oleh karena rendahnya mielinisasi isi serebral.6
Selama guncangan (Shaken) terjadi gerakan
akselerasi-deselerasi yang dapat menyebabkan
jaringan otak membentur sisi tulang tengkorak bagian dalam, menyebabkan edema, memar dan
kerusakan nervus yang luas (difuse axonal injury).
Pembuluh darah serebral dapat robek sehingga
terjadi hematoma subdural.4
Gambar 1. Trauma akselerasi-deselarasi pada anak Dikutip dari: http://mediwive.sma.org/mans/default.aspx?p=content&a
rticleID=108010.10
Gambar 2. Gambaran histologi okuler yang menunjukkan perdarahan lapisan nervus optikus dan perdarahan retina. Dikutip dari: Dikutip dari Matschue J. 1
Mekanisme kerusakan terjadi karena proses
“shaking trauma” atau guncangan dan bukan
disebabkan karena jatuh atau trauma biasa, sehingga dikenal dengan Non-Accidental Head
Injury (NAHI).4 Mekanisme pada okular mata
menunjukkan adanya traksi pada vitreoretinal,
dimana goncangan pada vitreus menyebabkan
perdarahan pada retina.1,9
Teori bahwa selain terjadi mekanisme akselerasi-deselerasi juga terjadi gerakan rotasi, hal ini
didukung kondisi anatomi anak yang dengan
ukuran kepala yang besar (belum proporsional
dengan tubuhnya) dan otot leher sebagai penunjang
yang belum sempurna kekuatannya. Mekanisme ini
berakibat gerakan antara tulang tengkorak dura
disertai variasi gerakan dipermukaan serebral antara
white matter dan grey matter, yang menyebabkan
cedera otak yang berat. Terjadi subdural hematom
sampai diffuse axonal injury.1
Gambar 3: Beberapa mekanisme gerakan yang pada kepala leher saat terjadi guncangan. Dikutip dari: Bandak FA.9
Gerakan otak pada ruang subdural menyebabkan
stretching, tearing dan bridging pada vena yang
banyak terdapat dikorteks sampai ke sinus venosus
duramater. Perdarahan diruang subdural 2-15 cc
mungkin tidak terlalu berbahaya dan jarang
menimbulkan gejala klinis yang nyata. Kadang-
kadang juga terdapat gambaran perdarahan
subaraknoid tetapi karena perdarahannya sedikit
sehingga gejala klinisnya tidak bermakna.2 Walaupun pada beberapa kasus diduga gerakan
“simple shaking”, tetapi tetap harus diwaspadai
akibat dari energi impak deselerasi (shaken impact
syndrom) yang dapat menyebabkan cedera otak
yang berat, karena kerusakan akson pada neuron.1,9
Gambar 4 : Gerakan akselerasi-deselerasi pada SBS.
Dikutip dari: Blumental I, SBS. Postgrad med J, 2002. 4
Kerusakan neuron dapat menyebabkan hipoksia
sampai apnea. Ketidak seimbangan antara kebutuh-
an dan pasokan oksigen ke jaringan menyebabkan
iskemia pada otak, terjadi proses neurotoksisitas
dimana terjadi kekacauan pompa Natrium yang
menyebabkan natrium banyak masuk ke intrasel. Natrium masuk diikuti H2O sehingga terjadi edema
serebri dan meningkatkan tekanan intrakranial,
menurunkan tekanan perfusi serebri dan memper-
berat iskemia otak.6-8
Gejala klinis dan pemeriksaan
Beberapa kepustakaan menyebutkan SBS mem-
punyai 3 simptom, yaitu: hematom subdural,
perdarahan retina dan edema otak, dimana sebagian besar kasus tidak mempunyai gejala trauma
eksternal. Beberapa kasus disertai multiple fraktur,
trauma cervical dan trauma jaringan lunak, pada
pemeriksaan optikus sering didapat papiledema dan
hidrosefalus. Efek SBS yang paling sering adalah
DAI, pembengkakan otak, hipoksia otak yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
memicu terjadinya iskemia otak. Penelitian terbaru
menunjukkan perdarahan retinal terjadi pada 78%
kasus kekerasan pada anak dan hanya 5,3% pada
kasus yang bukan kekerasan.1-4 Gejala kerusakan otak umumnya fatal dan seringkali menyebabkan
kematian (15-25%). Bila penderita selamat, gejala
sisa tergantung kepada kerusakan otak yang
diderita, misalnya kerusakan visual, kerusakan
motorik (serebral palsi) dan gangguan kognitif. 1-3
Gejala klinis yang terlihat adalah: letargi, tonus otot
yang kurang, iritabel, tidak mempunyai nafsu
makan, muntah-muntah, atau tidak mampu
menelan, rigiditas (+), gangguan pernafasan,
kejang,tidak mampu mengangkat kepala, ketidak mampuan mata untuk fokus pada sesuatu.
1-3
Penilaian neurologi untuk trauma menurut Jennet
& Toasdale (1970) adalah memakai skala GCS,
penilaiannya sama seperti orang dewasa, tetapi
dimodifikasi sebagai Pediatric Glasgow Coma
Scale ( PGCS).4
Tabel 1. Pengukuran PGCS
Respon Membuka Mata
Spontan
Dengan perintah
Dengan rangsang nyeri
Tidak ada respon
Respon Verbal
Bisa diajak berbicara secara normal
Menangis gelisah
Menangis terhadap rangsang nyeri
4
3
2
1
5
4
3
Merintih terhadap rangsang nyeri
Tidak ada respon
Respon Motorik
Gerakan spontan normal
Menghindar terhadap sentuhan
Menghindar terhadap nyeri
Fleksi abnormal
Extensi abnormal
Tidak ada respon
2
1
6
5
4
3
2
1
15 Tabel 1: Dikutip dari BTF,2007, prehospital guidelines.11
Interpretasi: Nilai GCS dalam kondisi normal adalah 15. Interpretasi diatas adalah: Trauma ringan bila nilai GCS
13-15, Trauma sedang bila nilai GCS 9-12 dan Trauma berat bila nilai GCS ≤ 8.
Beberapa kriteria yang berhubungan dengan trauma
kepala adalah Loss of Conciousness (LOC),
Alternation of Conciousness/Mental state (AOC),
dan Post Traumatic Amnesia (PTA).
Tabel 2: Beberapa kriteria penilaian pada
cedera otak traumatika
Ringan Sedang Berat
Struktur normal pada MRI LOC = 0 – 30 menit AOC = < 24 jam PTA = 0-1 hari
Struktur N atau AN LOC>30 mnt & < 24 jam AOC > 24 jam dan tergantung kriteria yang lain PTA>1 dan < 7
hari
Struktur N pada MRI LOC > 24 jam PTA > 7
hari
Dikutip dari: Military heatlth system coding Guidelines.12
Interpretasi kriteria LOC, AOC dan PTA ini lebih
merujuk pada prediksi fungsional, rehabilitasi dan
outcome penderita.
Secara umum ICP yang tinggi berkorelasi dengan
buruknya outcome, tetapi pada anak karena fontanela yang belum menutup sempurna tindakan
penurunan ICP dan pemasangan monitoring ICP
pada trauma kepala berat berkurang keurgensian-
nya. Beberapa alasan pemasangan alat monitor ICP
adalah lesi masa traumatik dan pemeriksaan
neurologi serial dibawah sedasi dan blokade
pelumpuh otot.5
Postulat Monroe Kelly bahwa rongga kepala
merupakan komponen yang rigid, dimana
didalamnya terdapat otak (80%), darah (10%) dan
LCS 10%. Pada anak yang suturanya belum
menutup dapat dilihat dari peregangan fontanela atau pembesaran kepala. Perubahan volume yang
kronis umumnya masih dapat dikompensasi, tapi
tidak pada perubahan volume yang cepat.
Fontanella anterior menutup antara bulan 2-4,
fontanella posterior menutup pada bulan ke 7-19.7
Tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial pada anak adalah: iritable, muntah proyektil, gangguan
nafsu makan, kejang, penurunan kesadaran,
fontanela cembung, pola makan yang abnormal dan
kepala membesar. Pada CT scan didapat adanya
perdarahan inrakranial (perdarahan subdural,
ekstradural atau inraventrikel ) serta adanya edema
serebri.1-2,4-5
Diferensial diagnosa SBS
Keterangan Penjelasan Kejadian trauma kranio serebral
Jarang terjadi pada infant, sering disertai dengan SDH & fraktur, sangat jarang ditemukan perdarahan retina (PR).
Perinatal Kejadian SDH 8%, PR 34% yang biasanya terabsorpsi sendiri setelah minggu ke 4.
Aneurisma/ AVM
Jarang terjadi perdarahan pada infant, diagnosa ditegakkan dengan MRI, pengecualian bila ditemukan PR.
Kista arakhnoid/ hidrosefalus BSS
Jarang, kemungkinan diikuti dengan 3 tanda trauma, diagnose dengan MRI, kemungkinan hanya sesudah observasi sesaat.
Meningoensefalus
Kemungkinan post infeksi higroma, pengecualian bila ada PR, diagnosis dengan MRI, CSF dan test lab.
Koagulopati Kemungkinan SDH dan RH, diagnosis dengan test lab.
Sindroma Ferson
Sangat jarang pada infant, kebalikan pada orang dewasa.
Tipe 1 Glitarasidura
Pengecualian berhubungan dengan SDH dan PR, umumnya penyakit ini mempunyai gejala klinis yang berat. Biasanya sudah diketahui pada skreening neonatal.
Galaktosemia PR ditemukan pada kasus khusus, secara umum gambaran klinis adalah: hepatosplenomegali, ikterik, sepsis, katarak. Biasanya sudah diketahui pada pemeriksaan skreening neonatal.
Osteogenesis imperfekta tipe I/IV
Kemungkinan terjadi fraktu atipikal, secara umum gambaran klinis merupakan penyakit keluarga: sklera kebiruan, tulang wormian, diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan molekuler genetik.
Sindroma Menkes
Ada kemungkinan SDH, gambaran klinis mikrosefali dan trikopat8i tipikal (rambut aneh), diagnosa ditegakkan dengan test lab.
Peningkatan intrathorak/ intravasal
PR sangat jarang setelah RJP, sering setelah muntah dan batuk.
SDH= subdural hematoma, PR= perdarahan retina, AVM= arteriovenosus malformation, BESS= benign Enlargment of the Subarachnoid Space. RJP= Resusitasi Jantung Paru.
Tabel 1: Diagnosis diferensial SBS.
Dikutip dari Matschue J.1
Penatalaksanaa SBS: Observasi ketat tanda-tanda
vital, fungsi neurologis dan terapi tanda-tanda TIK.
Peningkatan TIK karena perdarahan adalah dengan
evakuasi hematom di intrakranial dan drainase LCS
pada hidrosefalus.4
Diskusi kasus
Secara epidemiologi kasus ini sesuai dengan
kriteria SBS, yaitu dialami sebuah keluarga dengan
ibu usia 18 tahun dan ayah 20 tahun yang mempu-
nyai pekerjaan sebagai buruh lepas dengan tingkat
pendidikan tidak memadai. Dari alloanamnesa
disangkal adanya trauma, orang tua penderita hanya
mengaku anaknya diayun-ayun keras dengan
ayunan pegas tetapi tetap menangis keras, dari pemeriksaan klinis tidak terdapat tanda-tanda
fraktur atau trauma jaringan lunak, tetapi dari
bagian neurologi dan mata didapat perdarahan
retina tetapi pemeriksaan tanda papil edema yang
tidak begitu jelas.
Simptom pada SBS adalah hematoma subdural,
perdarahan retina dan edema serebri, ketiga
simptom menurut John Coffey ini terdapat pada
penderita, gejala lain yang mungkin ada pada
penderita adalah multipel fraktur, cedera servikal
dan trauma jaringan lunak, tetapi pada penderita ini
tidak ditemukan. Secara klinis penderita menunjuk-
kan penurunan kesadaran (GCS 9), pupil anisokor,
dan adanya tanda-tanda peningkatan ICP seperti;
muntah, kejang. Pada CT Scan didapat gambaran
SDH dan edema serebri.3,4
Pada penderita ini PGCS dapat dinilai tetapi sulit
menilai LOC dan PTA secara pasti, kejang yang
terjadi 2 kali dalam interval 1 jam kami
pertimbangkan sebagai penunjuk kriteria moderate.
Pengelolaan Anestesi
Persiapan Preoperasi:
Airway: Evaluasi pertama kali dilakukan pada jalan
nafas. Jalan nafas tidak boleh terobstruksi, karena
akan menyebabkan retensi pada CO2 sehingga
terjadi hiperkarbi dan peningkatan CBF. Penurunan
PaO2 sampai dibawah 50mmHg, akan mening-
katkan CBF secara drastis dan memperburuk
kondisi penderita. Hiperventilasi hanya akan
diberikan bila terjadi herniasi atau terjadinya perburukan neurologis.6-8 Pada kasus ini GCS
penderita 9 dan airway baik, belum dibutuhkan
intubasi.
Breathing :
Pada kasus ini pernafasan masih baik, tidak ada bunyi nafas tambahan, obstruksi nafas, tanda-tanda
gagal nafas atau penggunaan otot-otot bantuan
pernafasan. Pascacedera otak traumatika, segera
asupan oksigen akan menurun 13%-27%, oleh
karena itu diberikan bantuan oksigen melalui
sungkup 3-4 l/jam, karena seringkali hipoksia
prehospital memperburuk kondisi pasien. Intubasi
dan pemberian bantuan nafas akan diberikan pada
GCS <8 ( trauma kepala berat) atau ada tanda-tanda
gagal nafas. Hipoksia harus dihindari, dipantau dan
dikoreksi dengan cepat. Pada beberapa penelitian EBM dikatakan bahwa pada pediatri keuntungan
antara pemberian ventilasi (endotrakeal intubasi
/ETI dengan Bag Valve Mask / BVM) tidak terlalu
berbeda bermakna. 4
Sirkulasi:
Pada penderita ini walaupun berat badan tidak
memenuhi standar WHO, tetapi evaluasi terhadap
cairan dan elektrolit melelui tekanan darah, denyut jantung, turgor dan jumlah urin cukup baik, tidak
ditemukan tanda dehidrasi. Pada pasien dengan
gangguan pola makan, intake yang kurang, muntah
yang sering dan penurunan kesadaran, maka
hipotensi atau dehidrasi harus segera dikoreksi.
Penelitian menunjukkan18% pasien tiba di UGD
dalam keadaan hipotensi, dengan tingkat mortalitas
61%, bila hipotensi disertai hipoksia, mortalitas
pada anak meningkat 85%. Diagnosa hipotensi
ditegakkan bila tekanan darah <5% dari tekanan
darah rata-rata usia tersebut. Pada usia > 2 tahun dapat menggunakan rumus: 70 mmHg + (2 x
usia/tahun).7
Pilihan cairan pada pasien ini adalah kristaloid
isotonik, NaCl 0,9%, dengan jarum infus no 22, yaitu yang paling besar yang bisa diinsersikan..
Newfield berpendapat cukup diberikan normal
saline (NaCl 0,9%) karena pada trauma sering
diikuti peningkatan gula darah yang meningkatkan
resiko kerusakan neuron.4 Beberapa ahli mengata-
kan diperbolehkan menggunakan dextrose 5%
dalam cairan yang mengandung elektrolit, misalnya
cairan yang mengandung glukosa 1-2,5%, sebanyak
2-5mg/kg/menit.7 Walaupun hipoglikemia jarang
terjadi pada anak dengan usia < 1 tahun, tapi harus
dipertimbangkan pada anak-anak dengan puasa
yang lama, ibu penderita dengan riwayat DM, BBLR, hipopituitarism, insufisiensi adrenal,
adenoma pankreas dan hepatoma. Pada perkiraan
perdarahan yang banyak, misalnya rekonstruksi
kraniofasial, tumor, disarankan untuk memasang 2
jalur intravena. 7-8
Pada penderita ini infus sudah terpasang dengan
baik. Bila infus belum terpasang maka dapat
dilakukan pemasang infus setelah penderita dianestesi, tetapi harus hati-hati pada pemberian
hiperventilasi inhalasi, karena berpengaruh
terhadap CBF dan peningkatan ICP.
Diuretik untuk kasus pediatri dapat digunakan bila ada indikasi: manitol diberikan dengan dosis 0,25 -
1 gram/kgBB dan kecepatan ≤ 0,5 gram/kgBB/20
menit. Furosemide 0,3-0,4 mg/kgBB dapat
ditambahkan pada manitol untuk menurunkan LCS
dan memperbaiki transport intrasel. Saline
hipertonik juga efektif untuk menurunkan ICP
dengan dosis efektif 0,1 – 1,0 ml/kgBB/jam secara
sliding, goal yang diharapkan adalah ICP < 20
mmHg.5 Pada kasus ini tidak diberikan manitol atau
furosemida, dengan pertimbangan tipe edema pada
trauma kepala penderita adalah edema sitotoksik, karena cedera otak dan diuretik bukan pilihan untuk
edema tersebut.
Sedasi juga tidak diberikan karena telah terjadi
penurunan kesadaran pada pasien. Sedasi bisa diberikan dengan pengawasan yang ketat yaitu
pada penderita dengan TIK masih normal untuk
mengontrol kegelisahan, menghindari hipertensi
dan ruptur pembuluh darah yang abnormal. 6-8
Temperatur:
Suhu penderita pada kasus ini 370C. Pada cedera
otak traumatika hindari peningkatan temperatur,
karena peningkatan temperatur akan meningkatkan CMRO2 dan menyebabkan kerusakan neuronal
yang luas.Walaupun hipotermi dapat menurunkan
CMRO2, tetapi pada pediatri masih harus diper-
timbangkan karena kurangnya data penelitian. 7
Monitoring:
Monitor standar yang dipasang pada pasien ini
adalah stetoskop prekordial, EKG, SaO2, EtCO2 dan non invasif BP, temperatur, kateter urin, TOF,
stetoskop esofageal. Pada kasus cedera kepala berat
dengan resiko perdarahan hebat dan resiko
perubahan hemodinamik dan defisit neurologis
yang cepat, maka dibutuhkan tambahan monitor
seperti BP invasif, CVP, ECG, ICP dan SjO2.5
Tehnik Anestesi:
Intubasi sadar sebaiknya dihindari karena berpenga-ruh terhadap stress hemodinamik akan peningkatan
ICP. Penatalaksanaan pencegahan aspirasi terutama
pada pasien emergensi dengan obat-obat
anitiemetik dan obat yang menurunkan keasaman
lambung serta pemasangan pipa nasogastrik untuk
mengosongkan isi lambung, dilakukan pada pasien
ini.
Obat anestesi dipilih yang mempunyai sifat proteksi otak. Pada induksi tujuan utama adalah
mengendalikan jalan nafas dan mengontrol ICP
dengan menggunakan Propofol 2-2,5 mg/kgBB,
Sulfas Atropin 0,02mg/kgBB, Fentanyl 1-2
ug/kgBB, rocuronium bromida sebagai fasilitas
relaksasi intubasi, lidocain 0,5 mg/kgBB dan
pemeliharaan anestesi dengan oksigen, air dan
sevoflurane. Walaupun Ketamin lazim diberikan
untuk induksi pada bayi dan anak tetapi induksi
dengan ketamin dapat meningkatkan tekanan intra
kranial karena itu tidak digunakan ketamin pada kasus ini.6-8 Penggunaann N2O dapat meningkatkan
eksitasi dan stimulasi metabolisme serebral pada
anak, karena itu dihindari terutama pada tight brain.
Sevoflurane mempunyai efek sirkulasi serebral
yang minimal, peningkatan ICP yang tidak
signifikan dibandingkan dengan isoflurane, tetapi
pengaruh terhadap efek tekanan perfusi lebih baik
dari pada isoflurane dan desflurane.
Durante operasi
Posisi operasi pada pasien ini supine, sehingga
tidak terlalu menyulitkan anestesi, tapi bila
dibutuhkan posisi telungkup (prone position), maka
dibutuhkan observasi yang ketat pada pernafasan,
karena peningkatan tekanan abdominal dan torakal
dapat meningkatkan ICP. Obstruksi pada ETT akan
meningkatkan resiko retensi CO2, juga posisi leher
yang tidak anatomis dapat mengganggu sirkulasi
serebral.7-8
Operasi berlangsung 1,5 jam, perdarahan selama
operasi sekitar 30cc, dan darah yang dievakuasi
dari serebral sebanyak 40cc. Diberikan tranfusi
PRC 60cc. Urin cukup 0,5-1cc/jam. Hemodinamik
selama operasi stabil. Tidak ada reaksi tranfusi dan
komplikasi lain.
Pasca operasi
Pertimbangan ekstubasi pada penderita pasca
operasi berdasarkan: 7
1. Prosedur operasi yang tidak kompleks,
2. Normotermi pada akhir operasi,
3. Perubahan hemodinamik selama operasi
minimal
4. Operasi < 6 jam
5. Normovolemi dan normotensi
6. Tidak ada kelainan koagulasi
7. Tidak ada trauma dan pembengkakan di muka, leher dan rongga mulut
8. Bukan operasi fosa posterior
9. Tidak ada edema serebri
10. Status kesadaran preoperatif adekuat
Pasca operasi pasien tidak segera diekstubasi karena pertimbangan kesadaran preoperasi (GCS 9)
dan adanya edema serebri. Penderita dikirim ke
PICU masih terintubasi dan terpasang oksigen
dengan perantara Jackson Rees dan terpasang
monitor saturasi. Hemodinamik sebelum transpor-
tasi stabil. Untuk sedasi post operasi diberikan
stesolid perektal dan analgetik dengan novalgin
melalui tetesan infus. 8 jam di PICU pasien sadar
penuh dan terlihat gelisah karena ETTnya, sehingga
terekstubasi. Diputuskan untuk observasi ketat, bila
ada tanda-tanda gangguan pernafasan dan airway, segera intubasi ulang. Penderita dipasang masker
ventilasi 3-4l/ menit. Observasi pada jam selanjut-
nya pasien terlihat stabil. Sehingga diputuskan
untuk meneruskan observasi.
Komplikasi:
Komplikasi yang mungkin timbul pada cedera otak
traumatika, terutama pada anak-anak adalah kejang,
perdarahan ulang dan hidrosefalus.2 Pada penderita ini diberikan terapi obat anti kejang sesegera
mungkin, karena tingginya frekwensi kejadian
kejang pada pediatrik, terutama pada kasus cedera
kepala. Phenytoin diberikan 10 mg/kgBB/pada
pemberian pertama. Dosis awal yang dianjurkan
adalah 5-20 mg/kg dan pemberian harus perlahan >
20 menit untuk menghindari efek vasodilatasi,
aritmia sampai henti jantung. Selanjutnya diberikan
dosis 5-7 mg/kgBB/hari.6
Pada kasus Shaken Baby Syndrom penanganan
neuroanestesi pediatrik digolongkan dalam trauma
otak, karena adanya peningkatan ICP akibat
perdarahan atau edema serebri. Pada pediatrik
perkembangan syaraf pusat belum lengkap sampai
usia satu tahun, akibatnya gangguan otak pada usia ini mempunyai prognose yang buruk. 1 Pada kasus
SBS seringkali penderita yang bertahan hidup
mempunyai gejala sisa, kebutaan total atau parsial,
tuli, kejang, pertumbuhan dan perkembangan
intelegensia yang lambat, mental retardasi dan
serebral palsi.4 Pada beberapa kasus penelitian
didapat adanya kelainan darah mungkin hal ini
dapat di evaluasi lebih lanjut untuk preventif dan
terapi pada pasien.4
Karena etiologi dan tingginya mortalitas dan
morbilitas pada SBS, sebaiknya pada penderita ini
orang tua mendapat edukasi dan pengarahan
tentang pengasuhan pada anak. Banyaknya kasus,
buruknya prognosis dan ancaman masa depan anak
menuntut penanganan holistik bukan saja pada
penderita tetapi juga pada lingkungannya.
IV.Simpulan
1. Shaken Baby Sydrome (SBS) adalah suatu kondisi dimana terjadi perdarahan serius di
intrakranial atau intraokular dengan simptom
hematoma subdural, perdarahan retinal dan
edema serebri tanpa atau hanya dengan
minimal trauma pada kepala, leher atau wajah.
2. SBS merupakan salah satu penyebab sudden
infant death syndrome (SIDS) akibat kekerasan
orang tua-anak secara teoritis proses akselerasi
dan deselerasi akibat guncangan berdampak
pada otak anak.
3. Pada kasus ini telah berhasil dikerjakan sebuah kasus penatalaksanaan anestesi pada SBS.
Penatalaksanaan anestesi SBS sama dengan
penatalaksanaan cedera otak traumatika pada
pediatri
4. Karena kasus SBS adalah kasus kekerasan
orang tua-anak, maka dibutuhkan pananganan
holistik pasca tindakan operasi meliputi
penyuluhan pendidikan atau cara pengasuhan
anak, lembaga perlindungan anak terhadap
kekerasan orang tua, penanganan terapi pasca
trauma mengingat usia hidup anak &
prognosisnya.
Daftar Pustaka
1. Matschue J, Herrman B, Sperhake J, Korber F,
Bajanowski T, Glatzel M. Shaken baby syndrome. Deutches Arzteblatt International
2009; 106 (13) 211-7.
2. Duhaime AC, Cristian CW, Ronke LB,
Zimmerman RA. Non accidental head injury in
infant, the “shaken baby syndrome”. N Engl J
Med 1998; 328 (25): 1822-9.
3. Guthkelch. Infantile subdural haematoma and
its relationship to wishplash injuries. British
Med Journ 1971; 2: 430-31.
4. Blumenthal I. Shaken Baby Syndrome.
Postgard Med J 2002; 78: 732-5. 5. Paiva WS, Scare MS, Amorim RLO.
Traumatic brain injury and shaken baby
syndrome. Acta Med Part 2011; 24: 805-8.
6. Bisri T. Pengelolaan perioperatif cedera kepala pada anak. Dalam: Penanganan neuroanestesi
dan critical care cedera otak traumatika , edisi
ke 3. Bandung: FK UNPAD; 2012: 125-41.
7. Newfield P, Hamid RKS. Anesthesia for
pediatric neurosurgery. Dalam: Cottrell JE,
Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery,
edisi ke-4. St Louis: Mosby; 2001.
8. Newfield P, Feld LH, Hamid RKS. Pediatric
Neuroanesthesia. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE eds. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke
5, Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins;2010: 256-77.
9. Gabaeff SC. Challenging the pathophysiologic
connection between subdural hematome,
retinal hemorrhage and shaken baby syndrome.
Western journ of emerg med, 2011; XII: 144-
58.
10. Bandak FA. Shaken baby syndrome:
biomechanics analysis of injury mechanisms.
Forensic science intern 2005; 151: 71-5.
11. Guidelines for prehospital management of TBI
2nd ed, BTF; 2007.
12. Shaken Baby Syndrome. Diunduh 19 Oktober, 2010.
http://mediwive.sma.org/mars/default.aspx?p=
content&articleID=108010.
13. Military health system coding Guidelines.
Department of defenses coding guidelines for
TBI fact sheet. Diunduh 5 september 2010.
http://www.dcoe.health.mil/ForHealthPros/Res
ources.aspx.
1
TATALAKSANA ANESTESI
PADA PENDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN / NON TRAUMA
ANESTHESIA MANAGEMENT
IN INTRA CEREBRAL HEMORRHAGE SPONTANEOUS / NON TRAUMATIC
Muhammad Dwi Satriyanto*), Siti Chasnak Saleh**) *)Departement Anestesi dan Terapi Intensif, Eka Hospital Pekanbaru Riau. **)Departement Anestesi dan Reanimasi, Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soetomo - Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya
Abstract Intracerebral hemorrhage (ICH) is the extravasations of blood into the brain parenchyma, which may
develop into ventricular and subarachnoid space, there was spontaneous and not caused by trauma (non-
traumatic), and one of the most common cause in patients treated in the neurological critical care unit. ICH
represents perhaps 10–15% of all strokes with the highest mortality rates of stroke subtypes and about 60% of
patients with ICH do not survive beyond one year
Case: Men 18 years, came with complaints of loss of consciousness after feeling weakness on the right limb
that occurs suddenly while driving a vehicle. On examination of consciousness obtained GCS E3M5V2
with hemodynamic was stable, there right hemiplegic. Patients treated in intensive care for 4 (four) days,
because of decreased consciousness GCS E2M4V2 then performed MSCt test, found the existence of ICH
(approximately 30cc) compared with the previous MSCt and the midline shift was more than 5mm. It was
decided to evacuate immediately craniotomy action with adequate investigation.
Discussion: Procedure of craniotomy evacuation in ICH patients be a challenge for an anesthesiologist, so knowledge of the pathophysiology, mortality ICH and anesthetic procedure that should be prepared and
done properly.
Keywords: Spontaneous / non traumatic Intracerebral Hemorrhage, Anesthesia Management.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Pendarahan Intraserebral (PIS) adalah ekstravasasi darah yang masuk kedalam parenkim otak, yang dapat
berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid, terjadi spontan dan bukan disebabkan oleh trauma (non
traumatis) dan salah satu penyebab tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan kritis saraf. Kejadian
PIS 10-15% dari semua stroke dengan angka kematian tertinggi tingkat dari subtipe stroke dan diperkirakan 60% tidak bertahan lebih dari satu tahun.
Kasus: Laki-laki 18 tahun, datang dengan keluhan penurunan kesadaran setelah sebelumnya merasakan lemas
pada anggota gerak kanan yang terjadi tiba-tiba saat mengendarai kendaraan. Pada pemeriksaan didapatkan
kesadaran GCS E3M5V2 dengan hemodinamik cukup stabil, dan terdapat hemiplegi dextra. Pasien dirawat di
perawatan intensif selama 4 hari, karena kesadaran menurun GCS E2M4V2 maka dilakukan MSCt ulangan,
ditemukan adanya PIS bertambah (kurang lebih 30cc) dibandingkan dengan MSCt sebelumnya dan midline shift
lebih dari 5mm. Diputuskan untuk dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi segera dengan pemeriksaan
penunjang yang cukup.
Diskusi : Tindakan kraniotomi evakuasi pada pasien PIS menjadi tantangan bagi seorang anestesi, sehingga
diperlukan pengetahuan akan patofisiologi, mortalitas PIS dan tindakan anestesi yang harus dipersiapkan dan
dikerjakan dengan tepat.
Kata Kunci : Perdarahan Intraserebral Spontan / non trauma, Tatalaksana Anestesi.
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Perdarahan intraserebral (PIS) spontan atau
nontraumatic adalah ekstravasasi darah yang
masuk kedalam parenkim otak dan dapat
berkembang ke ruang ventrikel dan subarahnoid,
yang terjadi spontan dan bukan disebabkan oleh
2
trauma (non traumatis). PIS adalah salah satu penyebab tersering pada pasien yang dirawat di unit
perawatan kritis saraf. Dari semua stroke, 10-30%
adalah PIS yang mempunyai angka kematian
tertinggi dari subtipe stroke. Diperkirakan sekitar
50-60% dari pasien dengan PIS tidak bertahan
lebih dari satu tahun dan dikatakan juga hanya
30% masih dapat hidup selama 6 bulan setelah
kejadian. 1-3
PIS secara umum diklasifikasikan menjadi primer
dan sekunder. PIS Primer, di definisikan sebagai
pendarahan spontan dari arteriol kecil klasik yang rusak karena hipertensi (HTN) kronis di regio
subkortikal otak atau amiloid angiopathy di regio
kortikal otak. Pada PIS primer ini
diperkirakan sekitar 80% dari semua kasus.
Sedangkan PIS Sekunder merupakan
perdarahan sebagai hasil dari beberapa patologi
vaskular yang mendasari atau penyebab lainnya,
yaitu arteriovenous malformasi (AVM),
neoplasma intrakranial, angioma kavernos,
angioma vena, trombosis vena serebral,
koagulopati (baik primer atau karena obat, seperti
pada pasien terapi warfarin kronis), vaskulitis, kokain atau penggunaan alkohol dan berubah
menjadi stroke hemoragik dari stroke iskemik. 3-8
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kejadian
PIS diperkirakan 10-20 kasus per 100.000
penduduk per tahun, yang tampaknya meningkat
dengan usia (diatas usia 45 tahun) dan lebih
umum pada laki-laki. Orang Afrika Amerika dan
orang Jepang di Jepang telah di identifikasi
memiliki insiden lebih tinggi secara signifikan
terhadap PIS. Berdasarkan teori bahwa
prevalensi PIS lebih tinggi pada HTN, yang merupakan faktor risiko yang diketahui untuk
terjadinya PIS, antara kedua populasi tersebut dan
dibandingkan dengan kulit putih maka dapat
dijelaskan bahwa kejadian PIS terjadi lebih tinggi.
Menariknya, ada beberapa data mengenai populasi
di Jepang bahwa kolesterol serum yang rendah
dapat menjadi faktor risiko yang relevan sebagai
predisposisi terjadinya PIS.1-2
Tanda klasik dari PIS adalah serangan sakit kepala
yang mendadak, penurunan kesadaran, adanya
defisit fokal neurologis yang makin memburuk.
mual muntah, dan peningkatan tekanan darah, dapat juga terjadi kejang. PIS yang luas dapat
menimbulkan lethargy, stupor dan koma.2,4,7
II. Kasus
Laki-laki 18 tahun dengan Intracerebral
Hemorrhage pada regio temporoparietal sinistra
telah dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi sito
pada tanggal 19 September 2011.
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan (alloanamnesa-
teman pasien) penurunan kesadaran. Keluhan
tambahan: Ketika sedang naik motor (dibonceng)
tiba-tiba pasien terjatuh sendiri, saat itu pasien
memakai helm, pingsan tidak ada, dari mulut
telinga hidung tidak ada keluar darah, terdapat luka
lecet sekitar wajah, setelah itu pasien mulai tidak
sadarkan diri. Muntah dan kejang disangkal. Tidak
ada riwayat diabetes mellitus dan hipertensi,
penggunaan obat-obatan disangkal. Sebelumnya
pasien sering mengeluh sakit kepala dan hilang bila minum obat warung.
Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sakit berat dengan kesadaran GCS
E3M5V2, pada pemeriksaan mata didapatkan pupil
kanan dan kiri bulat isokor dengan diameter 3mm,
reflek cahaya baik. Hemodinamik dengan tekanan
darah 130/65mmHg, nadi 68 kali/menit, suara
jantung murni, tidak ada murmur, suhu 37oC,
respirasi frekuensi 22 kali/menit spontan dengan
oksigen binasal kanul 3L/menit SpO2 100%,
pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan,
pada ekstermitas terdapat kesan hemiplegi dextra.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium, didapatkan Hb 16,2g%,
Lekosit 13,400/mm3, Hematokrit 44,7% Trombosit
303000μL, Natrium 140 mEq/L, Kalium 4.2
mEq/L, Chlorida 100 mEq/L, Gula darah sewaktu
132 mg/dL. Pemeriksaan analisa gas darah pH 7.42,
PaO2 103mmHg, PaCO2 43mmHg, TCO2
28.4mEq/L, HCO3 27.1mEq/L, BE 2.1 SpO2
97,9%. Pemeriksaan foto thorak jantung tidak ada
kardiomegali dengan Cardio Thoracic Ratio
(CTR) kurang dari 50% dan paru ditemukan infiltrate di parakardial kanan.
Pada pemeriksaan MSCt kepala awal didapatkan;
Pada jaringan tulang tidak terdapat garis fraktur.
Sulci, sistern dan system ventrikel dalam batas
normal, tidak melebar. Tampak lesi hiperdens pada
lobus frontal kiri disertai area hipodens
disekitarnya. Efek masa (+); deviasi struktur garis
tengah tidak ada. Diferensiasi substantia alba dan
greisea baik. Ventrikel lateral dekstra sinistra,
ventrikel III dan IV tidak melebar. Kesan: Intra
serebral hematoma pada lobus sinistra.
Diputuskan pasien dirawat di unit pelayanan intensif (High Care Unit / HCU) untuk di observasi
ketat. Selama perawatan keasadaran tidak berubah
dengan hemodinamik stabil. Pada hari ke 4
perawatan terjadi penurunan kesadaran GCS
E2M4V2 dan dilakukan MSCt kepala ulang dan
dibandingkan dengan MSCt sebelumnya ; Tampak
3
intraserebral hematoma pada ganglia basal kiri bertambah luas disertai perifokal edema yang
menimbulkan efek massa ke kanan lebih dari 5mm.
Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran yang
menurun, namun kondisi fisik sebelum tindakan
operasi masih sama seperti awal masuk, dengan
hemodinamik tetap stabil, kemudian diputuskan
untuk dilakukan diintubasi, dan dilakukan
kraniotomi evakuasi sito.
Gambar 1. Foto MSCt kepala pertama
Gambar 2. Foto MSCt kepala kedua
Prosedure Anestesi
Jam 20.40 wib, pasien dimasukan ke kamar operasi
lalu dipasang alat monitor standar, EtCO2, posisi
pasien supine dengan kepala slight head up, lalu
dilakukan oksigenasi 7 L/menit dengan sungkup.
Jam 20.50 wib. Dilakukan induksi dengan
memberikan fentanyl 150mcg intravena perlahan
selama 2 menit. propofol 150mg, untuk fasilitasi
intubasi diberikan vecuronium 7mg, lalu lidokain
90mg kemudian diberi propofol 50mg ulangan, setelah sekitar 90 detik dilakukan intubasi dengan
Endo Thrakeal Tube (ETT) Non kinking dengan
nomor 7,5 balon. Mata diberi salep dan ditutup
dengan plester kertas 3 lapis.
Rumatan isofluran 0,8 – 1 MAC, oksigen/udara
ruang 50%, Fentanyl 50mcg/30menit, ventilasi
kendali dengan vecuronium 2mg/30menit dengan
menggunakan syring pump, modus ventilator yaitu
volume control (VC) dengan tidal volum 540mL, frekuensi napas 14 kali/menit T.Inspirasi 11.7,
minute volume tercapai 6,5-7 L/menit.
Setelah dilakukan dreaping dan sebelum akan
dilakukan insisi kulit kepala ditambahkan Fentanyl
50mcg, ditambah Fentanyl 50mcg lagi sebelum
dilakukan bor pada tulang tengkorak untuk
evakuasi. Sebelum tulang tengkorak atau kranium
di buka telah diberikan manitol 20% dengan dosis
0,5gram/kgBB habis dalam 15menit. Setelah
kranium dibuka, tampak duramater tidak tegang,
dan ketika duramater dibuka tampak otak yang lunak /slack brain.
Gambar 3. monitoring tekanan darah, denyut
jantung, saturasi selama tindakan operasi
Selama operasi 2 jam 30 menit hemodinamik cukup
stabil, dengan perdarahan sekitar 500cc, total
diuresis selama operasi 1300cc, sedangkan input
cairan selama operasi adalah NaCl 0,9% 500cc dan
RL 500cc total 1000cc. 30 menit sebelum operasi
selesai diberikan ondansetron 8mg intra vena.
Setelah selesai operasi pasien dipindahkan langsung
ke ICU, dilakukan resusitasi otak dengan
pernapasan dikontrol dengan ventilator modus volume control ventilation (VCV), dengan
vecuronium 4mg/jam, propofol 20mg/jam selama
24 jam, analgetik tramadol 100mg/8jam.
Selama perawatan di ICU, hemodinamik dan
respirasi cukup stabil. Hari ke 2 pasien di ekstubasi
dengan GCS E4M5V4, sampai hari ke 4 pasien
dipindahkan ke HCU. Perawatan di HCU selama 3
hari, kondisi pasien semakin baik dengan
hemodinamik yang stabil dan pasien dipindahkan
ke ruang perawatan biasa dengan E4M5V5,
hemipalegi dextra dengan motorik kanan 2-2. Setelah 4 hari perawatan di ruangan pasien
diperbolehkan pulang.
III. Pembahasan
PIS merupakan bentuk stroke yang paling
destruktif. Secara klinik ditandai dengan cepatnya
perubahan atau penurunan neurologis akibat dari
peningkatan tekanan intra kranial. Diagnosa dapat
4
ditegakkan dengan mudah yaitu dengan menggunakan MSCt kepala atau dengan MRI
kepala.1-5
PIS didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi
secara spontan dan terjadi ekstravasasi darah
tersebut ke dalam parenkim otak. Bentuk PIS yang
non-traumatis ini terjadi 10% sampai 30% dari
semua kejadian stroke yang dirawat di rumah sakit,
yang menimbulkan tingkat kecacatan tinggi, serta
morbiditas dan mortalitas yang tinggi juga sekitar
30% sampai 50% dalam 30 hari setelah kejadian.
Kematian pada 1 tahun pertama bervariasi dimana: 51% terjadi pada PIS yang deep, 57% pada PIS
lobar, 42% pada PIS cerebellar dan 65% pada PIS
di batang otak.5
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan
terjadinya PIS yaitu hipertensi, kadar kolesterol
yang rendah, konsumsi minuman beralkohol yang
banyak, merokok. Semua hal ini merupakan faktor
resiko yang masih dapat di perbaiki atau diubah.
Sedangkan faktor resiko yang tidak dapat di ubah
seperti umur, jenis kelamin, etnik (orang jepang dan
afrika-amerika). Penelitian mengatakan bahwa
hipertensi meningkatkan resiko terjadinya PIS lebih dari dua kali lipat, terutama pada pasien kurang dari
55 tahun yang menghentikan pengobatan anti
hipertensinya. Hipertensi menyebabkan vaskulopati
pembuluh darah kecil yang kronik ditandai dengan
fragmentasi, degenerasi dan akhirnya ruptur, hal ini
ini terjadi pada pembuluh darah kecil yang
penetrasi ke dalam otak (lipohyalinosis). Seringkali
terjadi pada basal ganglia dan thalamus (50%),
region lobar (33%) dan pada batang otak serta
serebelum (17%).1-8
Gambar 4. Tempat yang paling sering dan sumber
dari PIS
Perdarahan intra serebral paling sering mencakup
lobus serebral, berasal dari penetrasi cabang kortikal dari arteri cerebri anterior, media dan
posterior (A); Basal ganglia, berasal dari lenticulo-
striata ascending cabang dari arteri cerebri media
(B); Thalamus, berasal dari thalmogeniculate
ascending cabang dari arteri cerebri posterior (C);
Pons, berasal dari paramedian cabang dari arteri basilaris (D); dan Cerebelum, berasal dari penetrasi
cabang dari arteri serebelar posterior inferior,
anterior inferior atau superior (E).
Kadar kolesterol yang rendah telah diimplikasikan
sebagai salah satu faktor terjadinya PIS primer. Hal
ini berdasarkan beberapa penelitaian secara case
control dan cohort study, namun pada penelitian
terbaru, pada pasien yag baru mengalami strok atau
transient ischemic attack, diberi artovastatin 80mg
perhari dapat menurunkan kejadian stroke dan
kejadian kardiovaskuler selama 5 tahun, namun hal ini masih menjadi kontroversi. 5-7
Intake alkohol berat telah melibatkannya sebagai
salah satu farktor terjadinya PIS, pada penelitian
case-control terbaru. Pada teori mengatakan bahwa
alkohol dapat mempengaruhi fungsi platelet,
fisiologi koagulasi darah dan perubahan fragilitas
pembuluh darah. Sedangkan merokok sebenarnya
tidak ada hubungan dengan peningkatan resiko
terjadinya PIS, Walaupun pada suatu penelitian
retrospektif menemukan bahwa perokok dengan
hipertensi meningkatkan resiko PIS, efeknya adalah
dengan dimediasinya hipertensi dan bukan karena tembakonya. Hal ini sama dengan PIS mungkin
sebagai suatu komplikasi dari insiden atau
penggunaan kokain yang kronik. 5-8
Cereberal amyloid angiopathy, merupakan faktor
resiko yang penting untuk terjadinya PIS pada
orang tua. Hal ini ditandai dengan depositnya amiloid protein pada pembuluh darah kecil dan
sedang di otak dan leptomeningens, yang akan
menjadi nekrosis fibrinoid. Ini menjadi penyakit
yang sporadic, dan berhubungan dengan penyakit
Alzheimer’s atau dengan sindrom familial
(Apolipoprotein 2 dan 4 allele).8
Penggunaan CT-scan kepala yang luas, secara
dramatis memberikan perubahan dalam pendekatan diagnostic pada penyakit ini, dan adanya CT-scan
menjadi pilihan dalam mengevaluasi PIS. Evaluasi
yang dilakukan adalah mengenai ukuran dan lokasi
dari hematoma, penyebarannya ke sistem ventrikel,
derajat edema dan kerusakan secara anatomis.
Volume hematoma dapat dengan mudah dihitung
dari hasil CT-scan dengan manggunakan metode
(ABC)/2, suatu turunan dari formula menghitung
volume bola.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat
sensitive untuk mengetahui adanya PIS. Pada
penelitian HEME dikatakan MRI dan CT mempunyai kemapuan yang sama dalam
mendeteksi PIS yang akut, namun pada PIS yang
kronik MRI lebih baik. 5 CT-Angiografi tidak rutin
digunakan pada beberapa center, tapi telah terbukti
5
mampu menolong memperkirakan perkembangan hematoma dan outcome. CT-Angiografi ini mutlak
dikerjakan pada pasien dengan PIS sekunder seperti
kemungkinan adanya aneurisma, malformasi arteri-
vena, trombus disinus duramater atau di vena
kortikal; SAB; sangat kuat disarankan juga pada
pasien PIS primer dengan IVH dan pasien muda
tanpa hipertensi dengan lobar PIS.5,8
Cepatnya perubahan neurologis dan hilangnya
kesadaran, sehingga dapat terjadi gangguan pada
reflex untuk tetap mempertahankan jalan napas.
Kegagalan dalam mempertahankan jalan napas ini mengakibatkan komplikasi seperti terjadinya
aspirasi, hipoksemia dan hiperkarbia. Sehingga
dibutuhkan segera tindakan untuk mempertahankan
jalan napas dengan melakukan pemasangan endo
trakheal tube, dengan menggunakan tehnik Rapid
Sequence Induction (RSI) dengan obat yang rapid
onset dan short duration seperti propofol, suksinil
kolin. Pada pasien dengan Tekanan Intra Kranial
(TIK) meningkat dipertimbangkan pemberian
premedikasi dengan menggunakan lidokain
intravena pada tindakan RSI.
Cairan resusitasi isotonik dan vasopresor di indikasikan pada pasien syok. Pemberian cairan
yang mengandung dekstrose harus dihindari, untuk
mencegah terjadinya hiperglikemi pada pasien
cedera kepala. Pemeriksaan yang diperlukan adalah
pemeriksaan hematologi, biokimia darah, profil
koagulasi, foto thorak, kalau perlu dilakukan
echokardiogram.1-3
Peningkatan tekanan darah yang ekstrem setelah
PIS harus diterapi dengan agresif tapi dengan hati-
hati untuk mengurangi resiko terjadi perluasan
hematoma tersebut, dengan tetap mempertahankan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion
pressure / CPP). Penurunan tekanan darah yang
terlalu agresif setelah PIS dapat menjadi
predisposisi terjadinya penurunan yang hebat
tekanan perfusi serebral dan terjadi iskemik yang
selanjutnya dapat meningkatkan ICP berlanjut
terjadi kerusakan saraf.1-8
Penyebaran hematoma dapat terjadi karena
perdarahan yang menetap atau perdarahan kembali
dari satu arteriole yang ruptur. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa perluasan hematoma berasal
dari perdarahan yang ada masuk ke daerah penumbra yang iskemik sekitar hematoma. Namun
penelitian oleh Brott dan kawan-kawan mengatakan
bahwa tidak ada hubungan yang memperlihatkan
antara perkembangan hematoma dan tingkat
tekanan darah, tetapi penggunaan obat
antihipertensi mungkin telah menutupi efek negativ
terhadap hubungan ini. Tingkat tekanan darah
mempunyai hubungan dengan peningkatan ICP dan
volume hematoma tetapi ini sulit utuk menjelaskannya, apakah hipertensi yang
menyebabkan perluasan hematoma atau ini hanya
respon terhadap peningkatan ICP yang terjadi dari
bertambahnya volume PIS guna mempertahankan
CPP. 1-5
Secara umum American Heart Association (AHA)
telah membuat Guidelines bahwa tekanan darah
sistolik lebih dari 180mmHg atau MAP lebih dari
130mmHg harus di terapi dengan infuse obat
antihipertensi terus menerus seperti labetalol,
esmolol, atau nicardipin. Sedangkan terapi oral dan sublingual sudah tidak dipilih lagi. Meskipun belum
ada penelitian kapan waktu yang tepat pemindahan
terapi antihipertensi intravena ke terapi peroral,
proses ini umumnya dimulai setelah 24 sampai 72
jam setelah kondisi pasien stabil.5
Pada pasien koma, direkomendasikan meng-
gunakan monitor ICP dan titrasi vasopresor untuk
mempertahankan CPP antara 70-90mmHg. Pada
umumya tidak masalah dengan tingginya tekanan
darah, tetapi MAP harus tidak boleh berkurang 15-
30% selama 24 jam pertama.5
Penelitian pada keadaan darurat terhadap pengontrolan ICP yang berhubungan dengan
pasien yang stupor dan koma atau adanya suatu
tanda-tanda yang menggambarkan adanya herniasi
batang otak (yaitu pupil anisokor atau motor
posturing), untuk itu dilakukan tindakan untuk
menurunkan segera ICP sebelum dilakukan
tindakan pembedahan, maka dilakukanlah suatu
tindakan; kepala di elevasi sampai 30 derajat,
pemberian manitol 20% (1–1,5mg/BB) dengan
tetesan yang cepat, Pasien di hiperventilasi agar
didapatkan PaCO2 26-30mmHg. Sebagai second line terapi atau pasien sedikit mengalami hipotensi
maka diberikan cairan saline 0,9% yang dapat
diberikan melalui kateter vena sentral (central
venous catheter / CVC). Pemberian kortikosteroid
merupakan kontra indikasi pada pasien ini
berdasarkan beberapa penelitan yang tidak
mendapatkan efikasi pada pasien PIS yang
diberikan kortikosteroid. 5
Penggunaan antikoagulan seperti warfarin,
meningkatkan resiko PIS sebesar 5 – 10 kali dan
sekitar 15% kasus PIS dihubungkan dengan
penggunaan obat ini, target yang dicapai adalah INR dibawah 1,4 dengan pemberian fresh frozen
plasma (FFP) sebagai reversalnya atau konsentrat
dari komplek protrombin dan vitamin K, setelah itu
di cek kembali koagulasi. Pemberian FFP harus
dengan pengawasan karena dapat menyebabkan
gangal jantung kongestif.5,8
6
Observasi pasien di ICU paling sedikit 24 jam pertama setelah kejadian merupakan suatu tindakan
yang sangat direkomendasi, karena resiko
penurunan neurologis sangat tinggi selama periode
ini dan karena mayoritas pasien dengan perdarahan
batang otak dan serebelar telah menekan tingkat
kesadaran dan memerlukan support ventilator.
Penilaian yang dilakukan di ICU untuk memantau
fungsi kardiovaskuler yang sudah optimal pada
pasien PIS termasuk invasif tekanan pembuluh
darah arteri, CVC dan monitor kateter arteri
pulmonal, Pemasangan drainase eksternal ventrikel dilakukan pada pasien dengan penurunan
kesadaran (GCS skor < 8), tanda akut hidrosephalus
atau efek masa intrakranial berdasarkan CT scan.
Dan untuk meminimalkan TIK serta mengurangi
resiko terjadinya ventilator associate pneumonia
(VAP) pada pasien yang menggunakan ventilator
maka kepala pasien ditinggikan 30o. 5
Kebutuhan cairan isotonik seperti NaCl 0,9%
sekitar 1ml/kg/jam, harus diberikan pada pasien PIS
sebagai standar cairan agar mendapatkan kondisi
yang euvolemik dan diuresis setiap jam harus lebih
dari 0,5cc/kgbb. Pemberian cairan NaCl 0,45% atau dextrose 5% dalam air dapat memperberat
edema serebral dan meningkatkan TIK karena
terjadi perbedaan osmolaritas, yang menyebabkan
cairan berpindah ke jaringan otak yang cedera.
Hipo-osmolaritas sistemik (< 280mOsm/L) harus
diterapi agresif dengan manitol atau hipertonik
saline 3%. Kondisi euvolemik harus tetap
dipertahankan dengan mengetahuinya dari CVP
yang terpasang (5-8 mmHg), penilaian ini harus
diperhatikan terutama pada pasien yang
menggunakan ventilator. 2-5
Tujuan pemberian hypertonic saline selain sebagai
resusitasi cairan juga mempertahankan osmolaritas
agar tetap hiperosmolar (300-320mOsms/L) dan
hipernatremi (150-155mEq/L) yang dapat
mengurangi bengkaknya sel dan ICP. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah overload cairan, edem
paru, hipokalemi, kardiak aritmia, asidosis
metabolik hiperkloremik dan delutional
koagulopati. Hipertonik saline harus secara
bertahap diturunkan pemberiaannya dan kadar
serum tidak boleh turun lebih dari 12mEq/L dalam
24jam, untuk menghindari rebound edem serebral dan peningkatan TIK. 5
Pencegahan kejang akut harus dilakukan dengan
pemberiaan fenitoin 17mg/kgBB sebagai loading
dose kemudian 100mg setiap 8 jam. AHA member
rekomendasi bahwa pemberiaan anti-epileptik
diberikan sampai 1 bulan setelah bebas dari kejang.
Penelitian mengatakan kejadian kejang setelah 30
hari PIS adalah 8% dan resiko terjadinya status epileptikus adalah 1% sampai 2%.5
Demam atau suhu > 38,3oC pada pasien PIS sering
ditemui, terutama pasien dengan Intra Ventricle
Haemoragic (IVH) dan hal ini harus diterapi secara
agresif. Demam yang tetap terjadi setelah PIS
memperlihatkan adanya hubungan dengan outcome
yang buruk. Hipertemi dapat memperburuk
iskemia otak yang telah mengalami cedera dengan
melepaskan neurotransmiter eksitotoksik,
proteolisis, radikal bebas dan produksi sitokin,
blood-brain barrier compromise dan apoptosis. Selain itu juga terjadi hiperemia, bertambahnya
edema otak dan meningkatkan ICP. Standar umum
untuk pasien dengan suhu lebih dari 38,3oC, di
terapi dengan acetaminophen dan cooling blankets.
5
Hiperglikemi adalah suatu prediktor yang poten
terhadap kematian dalam 30 hari, pada pasien
diabetik atau non-diabetik dengan PIS. Efek
merusak dari hiperglikemi telah dilakukan
penelitian pada sindrom vaskuler yang akut. Pada
pasien stoke iskemik kejadian hiperglikemi 20-40%
dari pasien dan ini dihubungkan dengan infark yang meluas, outcome fungsional yang jelek, tinggal di
rumah sakit menjadi lebih lama, tingginya biaya
perawatan dan meningkatnya resiko kematian. 5
Tatalaksana atau manajemen anestesi yaitu dengan
melakukan tindakan resusitasi akut pada pasien PIS
sesuai dengan aturan umum yaitu “ABC”, Airway
atau jalan napas, Blood pressure atau tekanan darah
dan Cerebral prefusion atau perfusi serebral. Jalan
napas harus selalu bebas, karena pada pasien
dengan GCS kurang atau sama dengan 8 atau tidak
dapat mempertahankan jalan napas harus dilakukan intubasi. Keadaan saturasi yang baik adalah tidak
cukup dan tidak mencerminkan tekanan parsial dari
karbon dioksida di arteri (PaCO2), jadi walaupun
saturasi normal, satu hal yang harus dipastikan
bahwa pasien ini tidak mengalami hiperkarbi
karena ini dapat memperburuk hipertensi
intrakranial.5
Sebaiknya dilakukan pemasangan CVC dan arteri
line, guna mengontrol tekanan darah yang baik dan
agresif, dimana hipertensi dan hipotensi harus
dihindari. CPP adalah perbedaan tekanan yang
bertanggung jawab terhadap cerebral blood flow (CBF) atau aliran darah serebral dan ini
menyebabkan terjadinya iskemi otak. CPP
didefinisikan sebagai Mean Arterial Pressure
(MAP) atau tekanan arteri rerata dikurang
Intracranial Pressure (ICP) atau tekanan intra
kranial (TIK) dengan persamaan CPP = MAP -
ICP.5,6
7
Definisi peningkatan tekanan intrakranial adalah jika TIK melebihi 20mmHg selama 5 menit. Tujuan
pengobatan adalah menurunkan TIK kurang dari
20mmHg dan CPP 60-70mmHg. Hipertensi
intrakranial dapat diterapi dengan membuat
drainase cairan cerebrospinal (shunt), menurunkan
volume otak atau cerebral blood volume (CBV)
atau dengan sedasi dan menurunkan metabolisme
otak 6, Serta mencegah semua hal yang dapat
meningkatkan TIK seperti melakukan induksi atau
laringoskop dengan smooth dan gentle sehingga
hemodinamik tidak bergejolak, mencegah pasien batuk, meninggikan kepala dan menempatkan
kepala pada posisi yang netral. 6,7
Pengobatan terhadap volume otak bertujuan untuk
menurunkan TIK dengan menggunakan tehnik
osmoterapi yaitu dengan pemberian manitol 0,25
sampai 0,5gram/kgBB setiap 4 jam dan furosemid
10mg setiap 2 sampai 8 jam. Osmolaritas serum
dan konsentrasi sodium harus dipantau ketat
dengan target osmolaritas kurang dari 310mOsm/L
dan normonatremia. Pemberian cairan berguna
untuk mempertahankan status euvolemia atau
sedikit “kering” untuk menghindari berkembangnya edema otak.6
Hipokarbi (PaCO2 25 - 35mmHg) menurunkan TIK
dengan tujuan vasokonstriksi cerebral dan ini
sangat efektif pada kasus kritis dengan cara
melakukan hiperventilai. Pada hiperventilasi yang
ekstrim atau berlebihan (PaCO2 < 20mmHg) dapat
menyebabkan iskemi dengan menurunkan aliran
darah ke otak, sehingga hiperventilasi tidak
digunakan untuk waktu yang lama, karena menjadi
tidak efektif terhadap penyesuaian metabolik pada
alkalosis respiratorik dan rawan terjadi rebound peningkatan TIK saat kembali pada normokapni.
Sedasi dan paralisis dengan pelumpuh otot dapat
mengurangi peningkatan TIK dan ini juga bekerja
mencegah agitasi dan mengejan serta menurunkan
metabolisme otak. Bila TIK masih tetap tinggi
dapat dilakukan barbiturate koma. 1,2,4,5
Outcome pasien PIS akan lebih baik, jika pasien
dirawat khusus di ICU. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa mortalitas setelah PIS
dihubungkan dengan rendahnya skor PIS. Skor PIS
merupakan prediktor yang tepat, berdasarkan hasil
yang dinilai adalah mortalitas dalam waktu 30 hari.6,7
Komponen Skor
GCS 3 -4 2
5 – 12 1
13 - 15 0
Volume PIS (cm3) > 30 1
< 30 0
IVH Ya 1 Tidak 0
Infratentorial PIS Ya 1
Tidak 0
Umur (tahun) > 80 1
< 80 0
Tabel 1. Penentuan Skor PIS 6,7
Rentang Skor PIS adalah 0 sampai 5 dan PIS
Skor dari kohort itu didistribusikan di
antara berbagai kategori. Tidak ada pasien dengan
Skor PIS 0 yang meninggal, sedangkan
semua pasien dengan skor PIS lebih dari 5 akan meninggal. Dalam Tiga puluh hari, tingkat
kematian bagi pasien PIS dengan Skor 1, 2, 3 dan
4 adalah 13%, 26%, 72%, dan 97%, masing-
masing. tidak ada pasien dalam kohort PIS
memiliki Skor PIS lebih dari 6 karena tidak
ada pasien dengan PIS infratentorial memiliki
volume hematoma lebih dari 30cm3. Mengingat
bahwa tidak ada pasien dengan PIS Skor 5 bertahan
hidup, sedangkan Skor PIS 6 berhubungan dengan
risiko kematian sangat tinggi. 6,7
Terapi pada pasien PIS dapat dilakukan secara
medis seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya dan dengan terapi pembedahan. Tindakan
pembedahan dapat berupa pemasangan ventrikel
drainase ataupun dengan pembedahan kraniotomi
evakuasi perdarahan. Namun tidak semua pasien
PIS dapat menjalin kraniotomi ini, adapun pasien
yang tidak perlu dilakukan tindakan kraniotomi
adalah pasien dengan perdarahan yang sedikit
(volume 10-20cc) atau defisit neurologis yang
minimal dan pasien dengan skor GCS < 4.8
Sedangkan pasien yang dapat dilakukan tindakan
pembedahan adalah 1).pasien dengan perdarahan serebelar dengan diameter > 3 cm (volume > 14cc)
dengan gangguan neurlogis yang buruk atau telah
ada penekanan di batang otak dan hidrosephalus
karena sumbatan di ventrikel, yang harus segera
menjalani evakuasi perdarahan sesegera mungkin.
2).PIS yang berhubungan dengan kelainan struktur
seperti aneurisma, AVM atau angioma kavernosa
dapat dioperasi jika pasien mempunyai outcome
yang bagus dan lesi dari struktur vascular tersebut
dapat dijangkau dengan pembedahan. 3).Pasien
muda dengan perdarahan lobar yang moderate atau
luas yang secara klinis memburuk.6
Tindakan kraniotomi merupakan tindakan
pembedahan pada pasien dengan PIS dan telah
banyak dilakukan penelitian untuk hal ini. Beberapa
penelitian memperlihatkan pada pasien dengan
perubahan kesadaran dengan pembedahan
mengurangi resiko kematian tanpa memperbaiki
8
fungsionalnya dan pada pada evakuasi yang sangat awal, mengalami perbaikan selama 3 bulan.6,8
IV. Simpulan
Stroke perdarahan merupakan penyakit berat
dengan sejumlah faktor yang mempengaruhi
terhadap outcome klinis dan gejala sisanya. Penting
sekali memahami secara teliti setiap aspek penyakit
ini dan kemungkinan komplikasi yang akan didapat
sehubungan tindakan anestesi yang akan dilakukan.
Tujuan umum adalah meminimalkan kerusakan
saraf, mencegah dan mengobati komplikasi sistemik yang terjadi, mempercepat pemulihan dan
mencegah atau memperlambat kekambuhan dan
komplikasi.
Daftar Pustaka
1. Feen ES, Lavery AW, Suarez JI. Management
of Nontraumatic Intracerebral Hemorrhage.
Dalam: Suarez JI, Tarsy D, eds. Critical Care
Neurology and Neurosurgery. New Jersey:
Humana Press; 2004, 353-64.
2. Manoach S, Charchaflieh JG. Traumatic Brain
Injury, Stroke and Brain Death. Dalam:
Newfield P, Cottrell J, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 432-
344.
3. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and Co-
Existing Disease, 4th edition, Philadelphia:
Churchill livingstone; 2002, 160-1
4. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, eds. Neurocritical Care.
New York: Cambridge University Press; 2010,
143-59.
5. Rincon F, Mayer SA. Review Clinical review: Critical care management of spontaneous
intracerebral hemorrhage. Critical Care. 2008;
12(6): 237-52.
6. Jabbour PM, Awad IA, Huddle D.
Hemorrhagic Cerebrovascular Disease. Dalam:
Layon AJ, Gabrielli A, Friedman WA, eds.
Textbook of Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders; 2004,155-78.
7. Hemphill JC, Bonovich DC, Besmertis L,
Manley GT, Johnston SC, Tuhrim S. The ICH
Score: A Simple, Reliable Grading Scale for
Intracerebral. Stroke. 2001; 32: 891-7.
8. Dubourg J, Messerer M. State of the art in
managing nontraumatic intracerebral
hemorrhage. Neurosurg Focus. 2011; 30(6): 1-7.
1
TATA KELOLA ANESTESI PADA BEDAH FOSSA POSTERIOR
ANESTHETIC MANAGEMENT IN POSTERIOR FOSSA SURGERY Bambang Harijono, Siti Chasnak Saleh
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
RSUD dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya
Abstract
Posterior fossa is a narrow space, which is occupying by cerebellum, brain stem and cranial nerves. The abnormalities that
can be happen in cerebellum including neoplasm, hemorrhage or ischemia. Anesthesia management in posterior fossa surgery must be done with caution and thorough, in preoperative, intraoperative and postoperative period. In addition, the
patient position is must be cleared and specified before.
In the postoperative period, the physician must be carefull in determine, which is extubated or keep in intubation conditions.
Monitoring on the anesthetic and the possibility to a complication is a very important condition too. Prevention on the
possibility for any complication must be taken. In postoperative period, hopefully the patient can awake as soon as possible,
so the neurological examination can be done. If the patient will extubated, this procedures have to very smooth and no
coughing and bucking for prevent the elevated ICP.
Keywords: anesthesia, perioperative, posterior fossa.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Fossa posterior merupakan daerah yang cukup sempit, dimana didalamnya terdapat otak kecil, batang otak serta saraf kranial.
Kelainan-kelainan yang dapat terjadi pada cerebellum adalah tumor, perdarahan maupun iskemia. Penatalaksanaan anestesi
pada fossa posterior harus sangat hati-hati dan teliti, baik pada periode prabedah, bedah maupun pascabedah. Selain itu juga
diperhatikan terkait masalah posisi pasien yang sangat spesifik.
Pada periode pascabedah harus hati-hati untuk menentukan apakah dilakukan ekstubasi atau tetap dalam kondisi terintubasi.
Monitoring terhadap jalannya anestesi serta kemungkinan terjadinya komplikasi adalah hal yang sangat penting. Pencegahan
terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi harus dilakukan. Setelah operasi selesai, diharapkan pasien dapat segera sadar
untuk dilakukan penilaian neurologis. Apabila akan diekstubasi, harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
kenaikan TIK akibat batuk dan bucking.
Kata kunci: anestesi, fossa posterior, perioperatif.
JNI 2012;1(4):
I. Pendahuluan
Secara keseluruhan, basis cranii terbagi menjadi 3 bagian;
fossa anterior, fossa tengah serta fossa posterior. Fossa
anterior merupakan bagian terdepan daripada tengkorak,
ruangannya terisi oleh bagian otak yang disebut lobus
frontalis. Bagian yang lebih dalam dari fossa anterior,
disebut fossa tengah, sedangkan pada bagian yang paling
belakang disebut fossa posterior.1
Fossa posterior dikelilingi oleh struktur berikut ini; tulang
clivus dan petrous (anterior), occipital squamosa (lateral
dan posterior), tentorium cerebelli (superior), foramen
magnum (inferior) dan sinus vena dural (transverse, sigmoid dan torcular herophili).2 Sebagian besar dari area
ini diisi oleh cerebellar hemisphere serta batang otak.
Saraf kranial ketiga hingga kedua belas dapat diakses
melalui fossa posterior. Semua pasokan darah pada
struktur saraf yang terdapat didalamnya, melalui sistem
vertebrobasilar, dan struktur ini kebanyakan berada pada
bagian anterior, sehingga untuk mengakses struktur ini
merupakan hal yang cukup sulit. Oleh karena itu, kondisi
patologis yang memberikan efek pada struktur neural ini
dapat memberikan efek yang sangat mematikan dan
biasanya ditangani dalam keadaan gawat darurat.1,2
Batas-batas yang terdapat pada struktur fossa posterior
serta banyaknya struktur saraf dan vaskuler yang malang
melintang memberikan tingkat kesulitan tersendiri untuk
para ahli anestesi.3 Dimana, mereka bertujuan untuk memfasilitasi akses bedah, meminimalisasi terjadinya
trauma pada jaringan saraf, mengelola sistem pernafasan
dan stabilitas kardiovaskuler.4 Sehingga, pengelolaan
2
anestesi untuk tindakan bedah fossa posterior berfokus
pada; evaluasi prabedah, persiapan dan premedikasi,
monitoring umum, pemilihan posisi untuk tindakan
bedah, risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi
yang dapat terjadi.1,4
II. Patofisiologi
Didalam fossa posterior terdapat cerebellum, midbrain,
pons, medulla dan beberapa saraf kranial. Sehingga,
apabila ada lesi pada area ini, berbagai gejala dan tanda
klinis muncul secara bersamaan.2 Peningkatan tekanan
intrakranial (selanjutnya disebut; TIK) dapat terjadi
sebagai hasil dari efek masa lokal atau juga karena
hidrosefalus akibat pembuntuan pada saluran cairan
serebrospinal (cerebrospinal fluid /CSF). Gejala dari
kenaikan TIK termasuk perasaan mengantuk, nyeri
kepala, mual, muntah, diplopia serta perubahan kondisi mental. Pasien dengan hidrosefalus juga mengalami
penurunan ketajaman visual akibat papill edema.1
Berbagai jenis penyakit dapat terjadi pada daerah fossa
posterior. Namun, penyakit yang paling umum dan sering
terjadi dan membutuhkan intervensi tindakan bedah pada
fossa posterior adalah tumor, baik tumor jinak maupun
tumor ganas.4 Distribusi jenis tumor dapat dikelompokkan
berdasar dua kategori, umur (tabel 1) dan lokasi tumor
(tabel 2).
Tabel 1. Distribusi Jenis Tumor Berdasarkan Kelompok
Umur
Jenis Tumor Total Persentase
(%)
Kelompok Umur 0-20 tahun 1. Astrocytoma
2. Medulloblastoma
3. Brainstem glioma
4. Ependyoma
20 20 10 5
Kelompok Umur 20-60 tahun 1. Metastases
2. Acoustic
3. Meningioma
5
3 1
Kelompok Umur > 60 tahun 1. Acoustic
2. Metastases
3. Meningioma
20 5 5
Dikutip dari: Cottrell JE. 1
Tumor fossa posterior lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa. Sekitar 54% hingga 70% tumor
yang terjadi pada anak-anak, berasal dari daerah fossa
posterior. Sedangkan tingkat kejadian tumor pada fossa
posterior untuk kelompok umur dewasa adalah sekitar
15% hingga 20%.1
Tabel 2. Distribusi Jenis Tumor Berdasarkan Lokasinya
Lokasi Tumor pada Fossa Posterior
Cerebellar Hemisphere 1. Hemangioblastoma
2. Astrocytoma/ Glioblastoma
3. Metastasis
Clivus 1. Meningioma 2. Chordoma
Cerebellopontine Angle 1. Neurilemoma
2. Meningioma
3. Epidermoid
4. Arachnoid cyst
Foramen Magnum 1. Meningioma 2. Neurilemoma
Fourth Ventricle 1. Medulloblastoma
2. Ependymoma
3. Choroid Plexus Papiloma
4. Meningioma
Pineal Region 1. Pineocytoma/Blastoma 2. Germ Cell Tumors
3. Gliomas 4. Tentorial Meningioma
Cerebellar Vermis 1. Astrocytoma
2. Dermoid
Brainstem 1. Glioma
Dikutip dari: Cottrell JE. 1
III. Evaluasi Prabedah
Status fisik pasien, khususnya berkaitan dengan stabilitas
paru-paru, stabilitas kardiovaskuler serta pengelolaan
jalan nafas, merupakan penentu dari posisi pasien untuk
menjalani tindakan bedah fossa posterior. Diagnosa dan
pengelolaan digunakan utamanya untuk mengetahui
hubungan anatomis pada lesi yang ada. Diagnosa yang
dilakukan meliputi; pemeriksaan laboratorium, imaging
pada kepala, serta pemeriksaan ECG.5
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi,
antara lain; pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
ginjal, hati, serta dilakukan pemeriksaan tumor markers. Pada beberapa pasien dengan hemangioblastoma, hasil
pemeriksaan darah menunjukkan adanya erythrositosis,
yang diperkirakan akibat erythropoietic factors yang
disekresi oleh tumor. Pemeriksaan lain yang dilakukan
adalah pemeriksaan terkait ginjal, seperti BUN, serum
creatinin, sedangkan untuk fungsi hati adalah SGOT dan
SGPT.2,6
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah, tumor
marker. Dimana meliputi pemeriksaan setiap substansi
(zat) yang memungkinkan untuk dilakukan diagnosa kualitatif terhadap neoplasma ataupun memungkinkan
untuk dilakukan perkiraan kuantitatif terhadap berat
(beban) tumor. Tiga contoh dari pemeriksaan tumor
marker meliputi; (1) carcinoembryonic antigen (CEA),
(2) α-fetoprotein (AFP), dan (3) placental proteins.6
3
Pemeriksaan yang tidak kalah pentingnya adalah imaging
pada bagian kepala. Pemeriksaan pertama adalah plain x-
ray skull (foto kepala). Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya tanda-tanda hipertensi intrakranial
kronis, adanya kalsifikasi (pengapuran), serta pada kasus
kista dermoid, akan terlihat cacat pada tulang kepala. Pemeriksaan selanjutnya adalah melakukan computed
tomography (CT) pada bagian kepala dan apabila
diperlukan dilakukan pemeriksaan magnetic resonance
imaging (MRI). Apabila, dari hasil CT dan MR
ditemukan adanya keterkaitan tumor dengan vaskuler
disekitarnya, maka pemeriksaan dilanjutkan ketingkat
yang lebih kompleks, yakni dilakukan CT Angiography
dan MR Angiography.2
Selain itu, beberapa ahli menyarankan untuk melakukan
pemeriksaan echocardiography yang dapat mendeteksi
adanya patent foramen ovale (PFO). Deteksi dari adanya PFO ini, berkaitan dengan pemilihan posisi pembedahan
pada pasien. Pasien yang didapati mengalami PFO akan
dilakukan posisi pembedahan yang dapat mengurangi
risiko terjadinya paradoxical air embolism (PAE). Teknik
lain yang dapat digunakan adalah transesophageal
echocardiography (TEE), yang dipasang setelah induksi
anestesi dilakukan.
IV. Pemilihan Posisi
Akses bedah pada daerah fossa posterior dapat diperoleh melalui beberapa posisi bedah yang diterapkan pada
pasien. Membuat posisi yang adekuat pada pasien
merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
memberikan akses yang memadai terhadap lesi
intrakranial. Disamping posisi yang benar, dibawah ini
merupakan beberapa tindakan pencegahan umum yang
harus dilakukan;
Memberikan perhatian khusus pada penggunaan
bantalan, untuk menghindari peregangan atau
kompresi dari saraf perifer dan pembuluh darah.
Mengamankan jalan nafas dan siap untuk perubahan
posisi kepala.
Semua jalur arteri dan intravena harus dibebaskan dan
jika dimungkinkan, dapat dengan mudah diakses
dengan segera.
Siap akan kemungkinan adanya emboli udara.1
Posisi-posisi yang dapat diterapkan pada pasien untuk
menjalani bedah fossa posterior adalah; posisi lateral,
posisi telungkup (prone), posisi semi-telungkup (park-
bench), posisi duduk (sitting) dan posisi telentang
(supine).1 Masing-masing posisi ini memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri dan diterapkan sesuai dengan
status kondisi klinis pasien saat akan menjalani tindakan
bedah.
4.1. Posisi Lateral
Posisi lateral sangat cocok untuk dapat melakukan
pendekatan pada daerah cerebellopontine angle. Selain
itu, dengan posisi ini operator bedah dapat mengakses
daerah-daerah yang mengalami lesi seperti cerebellar hemisphere, clivus, petrous ridge, serta foramen magnum.
Namun, kebanyakan posisi ini digunakan untuk prosedur
bedah saraf unilateral pada bagian atas dari fossa
posterior.1
Gambar 1 Posisi Lateral
Dikutip dari: Cottrell JE. 1
Kerugian dari penggunaan posisi ini meliputi adanya
permasalahan pada bahu pasien. Serta, jika bantalan yang
diberikan pada daerah fibula (pada kaki yang
menggantung) tidak memadai, maka akan muncul
masalah seperti kelumpuhan saraf popliteal. Pada semua
bentuk dari posisi ini, penempatan posisi axillary roll
harus baik dan benar agar dapat melindungi bahu bagian
bawah serta melindungi struktur saraf vaskuler pada bagian axillar seperti yang tampak pada gambar 1.1
4.2. Posisi Telungkup
Posisi telungkup secara khusus sangat berguna untuk
pasien dengan lesi pada/didekat midline termasuk wilayah
ventrikel keempat. Posisi ini biasanya digunakan pada
pasien anak-anak, dikarenakan kondisi fisik anak-anak
mudah untuk ditelungkupkan. Seperti yang tampak pada
gambar 2, kepala secara otomatis melengkung ke bawah
sehingga perlu difiksasi dengan alat skull-fixation. Insiden terjadinya emboli udara pada vena (VAE) pada posisi ini
cukup rendah. Namun, untuk mencegah perdarahan vena,
biasanya kepala diangkat sedikit diatas posisi jantung.
Sehingga, tetap menimbulkan risiko terjadinya VAE.1
4
Gambar 2 Posisi Telungkup Dikutip dari: Cottrell JE. 1
Masalah lain yang dapat muncul terkait dengan ventilasi.
Ketika telah terintubasi, dan berada dalam posisi
telungkup, kontrol terhadap pipa endotrakheal dan jalan
nafas pada periode bedah cukup sulit, sehingga perlu
diperhatikan fiksasi pada pipa endotrakheal. Selain itu, harus diperhatikan terkait dengan penempatan bahu yang
harus berada pada ujung meja operasi agar tidak timbul
tekanan sedikitpun pada bagian kepala dan wajah.
Dampak dari penggunaan posisi ini adalah terjadinya
edema, venous pooling pada bagian wajah, dan paling
buruk adalah menurunnya fungsi visual/kebutaan akibat
penggunaan dari bantalan kepala pada wajah.
4.3. Posisi Semi-Telungkup
Dibandingkan dengan posisi telungkup, posisi ini memungkinkan penataan posisi yang lebih cepat seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3. Posisi ini berguna pada
kondisi gawat darurat (contoh: hematom, infark) yang
membutuhkan akses cepat pada cerebellar hemisphere.
Dengan membalik tubuh pasien agak telungkup, bahu
bagian atas menjadi condong kedalam dan memberikan
akses yang lebih leluasa bagi operator bedah. Namun, ada
beberapa risiko dari penerapan posisi ini. Diantaranya;
risiko pembuntuan vena dan leher terpelintir.1
Gambar 3 Posisi Semi-Telungkup
Dikutip dari: Cottrell JE.1
4.4. Posisi Duduk
Posisi ini merupakan posisi yang memiliki keuntungan
paling banyak, namun juga memiliki risiko terjadinya
emboli udara pada vena (VAE) yang paling besar. Posisi
ini memudahkan operator bedah karena penempatan
kateter drainase CSF yang jauh dan karena adanya
gravity-assisted blood, sehingga tercipta lapangan
pandang yang cukup baik. Tak hanya itu saja, bagi para
ahli anestesi, posisi ini memberikan keuntungan tersendiri antara lain; tekanan pada jalan nafas lebih rendah,
kemudahan gerak diafragma, kemampuan untuk
hiperventilasi meningkat, akses pada pipa endotrakheal
yang lebih baik. Dalam posisi ini, kaki diberikan stoking
kompresi setinggi lutut yang dapat membatasi terjadinya
pooling darah. Siku diberikan bantalan untuk mencegah
kontak langsung dengan meja operasi. Untuk mencegah
terjadinya peregangan cervical cord dan pembuntuan
drainase vena, dilakukan pembatasan sebesar 1 inch pada
pertemuan antara dagu dan dada seperti yang ditunjukkan
pada gambar 4.1
Gambar 4 Posisi Duduk Dikutip dari: Cottrell JE.1
Kerugian dari penerapan posisi ini cukup
mengkhawatirkan. Diantaranya dapat terjadi
pneumocephalus, venous air embolism, hipovolemi, penurunan fungsi kardiovaskular serta terjadinya
5
quadriplegia pada pasien lanjut usia. Berbagai sumber
menyatakan bahwa risiko yang tak dapat dihindari dari
posisi ini adalah terjadinya emboli udara pada vena
(VAE). Namun, hal ini dapat dideteksi dengan alat yang
dinamakan Doppler Ultrasound.1
4.5. Posisi Telentang
Posisi ini memungkinkan distribusi berat badan pada area
operasi yang lebih luas. Meski demikian, perlu perhatian
khusus pada daerah siku, yaitu dengan memberikan
bantalan tambahan dibawah siku. Dalam posisi ini, kepala
mengalami rotasi lateral dengan maksimal dan meregang
seperti pada gambar 5 dibawah ini.
Gambar 5. Posisi Telentang Dikutip dari: Cottrell JE. 1
V. Pemantauan Periode Bedah
Tujuan dari tindakan pemantauan pada periode bedah
adalah untuk memastikan perfusi pada sistem saraf pusat
terjadi secara adekuat. Selain itu juga untuk mempertahankan stabilitas cardiorespiratory serta
mendeteksi dan menangani terjadinya emboli udara.5 Ada
beberapa jenis monitoring yang dilakukan selama masa
prainduksi, induksi dan pascainduksi. Dibawah ini daftar
monitoring yang dapat dilakukan, meski tak harus
semuanya diberikan pada pasien yang menjalani tindakan
bedah fossa posterior.
Tabel 3. Tindakan Monitoring Bedasarkan Periode Operatif
Monitoring Intraoperatif Bedah Fossa Posterior
Prainduksi dan
Induksi
5 lead ECG
Tekanan darah
Pulse oximetry
Stetoskop prekordial ETCO2
Elektrofisiologis*
Pascainduksi
Kateter vena sentral Pemeriksaan prekordial Doppler Ultrasound Esofageal stetoskop
Pemeriksaan temperatur esofageal/nasopharyngeal ETCO2 dan ETN2
Transesofageal*
* adalah jenis monitoring yang tidak rutin dilakukan Dikutip dari:Cottrell JE. 2
Untuk operasi pada bagian kepala dan leher, sebaiknya
dilakukan pemasangan kateter vena sentral setelah
dilakukan induksi anestesi. Hal-hal lain yang perlu
dipertimbangkan pada periode bedah adalah; reflek
kardiovaskuler, pemantauan terhadap batang otak, serta
penanganan terjadinya emboli udara pada vena (VAE).4
5.1. Reflek Kardiovaskuler
Tindakan operasi pada atau didekat batang otak dapat
menghasilkan respon kardiovaskuler secara tiba-tiba yang
menandakan adanya kerusakan serius pada batang otak.
Rangsangan dari dasar ventrikel ke empat atau saraf
trigeminal mengakibatkan terjadinya hipertensi, yang
biasanya berkaitan dengan bradikardia. Jika hal ini terjadi,
operator bedah harus diperingatkan agar menghindari
manipulasi yang dapat mengakibatkan respon tersebut.3,4,6
5.2. Monitoring Batang Otak
Cedera saraf kranial merupakan risiko yang signifikan
akibat tindakan bedah pada daerah cerebellopontine angle
dan dibawah batang otak. Monitoring yang dapat
dilakukan adalah somatosensory evoked potentials
(SSEPs), brain stem auditory evoked potentials (BAEPs)
dan spontaneous and evoked electromyogram (EMG).
Dilain pihak, monitoring ini sangat membutuhkan
perhatian oleh ahli anestesi dikarenakan hasil EMG dan
SSEPs dapat dipengaruhi oleh adanya pemberian relaksan otot, N2O serta obat anestesi inhalasi.2,5,6
VI. Pertimbangan Anestesi
Terdapat tiga hal terkait dengan isu pengelolaan anestesi
pada pasien yang menjalani tindakan bedah fossa
posterior. Pertama, pertanyaan terkait efek dari anestesi
secara inhalasi dan secara intravena terhadap kemampuan
paru-paru untuk mempertahankan udara yang masuk ke
sirkulasi vena. Serta, mencegah udara untuk
berpindah/masuk ke sirkulasi arteri. Obat anestesi
intravena seperti pentobarbital, fentanyl dan ketamine dapat menahan gelembung udara pada sirkulasi
pulmonary lebih baik daripada halothane.3
Kedua, pengelolaan CPP yang adekuat. Sebelum
dilakukan insisi bedah, pemberian obat anestesi intravena
akan memiliki efek yang lebih sedikit pada fungsi
kardiovaskular jika dibandingkan obat anestesi inhalasi
pada pasien dalam posisi duduk. Isu ketiga adalah,
keuntungan signifikan dari tindakan mempertahankan
responsifitas kardiovaskuler terhadap manipulasi bedah
pada struktur batang otak. Isu-isu tambahan yang terkait seperti, penggunaan N2O dapat meningkatkan risiko
terjadinya VAE. Perlu diketahui bahwa, tidak ada satupun
bukti yang menyatakan bahwa terdapat sebuah teknik atau
6
obat anestesi yang lebih unggul dari yang lainnya pada
tindakan bedah fossa posterior.3
6.1. Premedikasi
Pemberian premedikasi tergantung pada status fisik pasien, adanya peningkatan TIK dan tingkat kegelisahan
pada pasien. Premedikasi dengan narkotika dihindari pada
pasien dengan hidrosefalus akibat pembuntuan ventrikel
ke empat, karena hal ini dapat meningkatkan TIK.
Benzodiazepines oral diberikan 60-90 menit sebelum
pasien masuk ruang operasi untuk mengurangi
kegelisahan dan tidak mempunyai efek peningkatan TIK.3
6.2. Induksi Anestesi
Jalan nafas pada pasien perlu perhatian khusus,
dikarenakan posisi bedah pada pasien yang akan menjalani bedah fossa posterior. Posisi bedah pada pasien
melibatkan posisi kepala dan leher yang mungkin
mengalami rotasi. Sehingga dimungkinkan, ujung dari
pipa endotrakheal dapat terdorong ke arah percabangan
utama dari bronkhus atau dapat terbelit pada faring
posterior. Ahli anestesi harus dapat melakukan fiksasi
pipa endotrakheal sebelum penataan posisi bedah pada
pasien. Karena, pada posisi tertentu seperti posisi
telungkup, ahli anestesi susah untuk melakukan akses
langsung terhadap jalan nafas selama periode bedah.3
Monitoring terhadap tekanan darah harus dilakukan
sebelum induksi anestesi, sehingga memungkinkan
adanya kontrol penuh terhadap tekanan darah dan CPP
selama induksi dan intubasi, khususnya pada pasien yang
memiliki risiko mengalami kenaikan TIK. Teknik anestesi
dengan pemberian obat dosis rendah narkotika (4-6 µg/kg
fentanyl) dan relaksan otot dengan anestesi inhalasi yang
mudah menguap sebesar 0.5-1.0 MAC setelah induksi
intravena dengan thiopental atau propofol dapat
menghasilkan anestesia dan amnesia yang adekuat,
penjagaan aktifitas sistem saraf autonom dan penderita
cepat sadar setelah anestesi inhalasi dihentikan. Dengan harapan, penilaian neurologis pascabedah dapat segera
dilakukan.3
Penggunaan N2O dihentikan apabila terdapat tanda-tanda
terjadinya emboli udara. Selain itu, dapat diberikan
propofol 50-100 µg/kgBB/menit secara syringe pump.
Pada pasien dengan riwayat hipertensi kronis dapat
diberikan β-Adrenergic blocker serta vasodilator, jika
secara tiba-tiba terjadi peningkatan tekanan darah. Para
ahli juga menyarankan pemberian dosis kecil ephedrine
atau phenylephrine untuk melakukan koreksi terhadap penurunan tekanan darah.3
6.3. Pengelolaan Anestesi
Pada kebanyakan kasus, hiperventilasi ringan yang
terkontrol lebih disarankan untuk meningkatkan eksposur
bedah dan menurunkan tekanan pada otak. Selain itu,
ventilasi yang terkontrol dengan tekanan positif, memiliki
beberapa keuntungan, antara lain;
Pemberian level anestesi yang lebih ringan
Hiperventilasi, yang mana akan mengurangi nilai
PaCO2, sehingga terjadi penurunan stimulasi simpatik
dan penurunan tekanan darah pada semua tingkat
kedalaman dari anestesi.
Vasokonstriksi otak
Perdarahan lebih sedikit
Jika kedalaman anestesi diturunkan, maka penurunan
fungsi kardiovaskuler lebih sedikit.
Pergerakan pasien lebih sedikit.
MAC untuk desflurane dan obat anestesi lainnya tidak
berubah dengan penerapan posisi duduk pada pasien.
Menurunkan konsentrasi dari obat inhalasi secara
berlebihan sebagai langkah untuk menangani hipotensi
akan menyebabkan pasien menjadi sadar. Selain itu,
hipotermia harus dihindari dan dikoreksi apabila terjadi
pada periode bedah. Jika cairan dalam jumlah besar
diberikan pada periode bedah, maka profilaksis seperti
dosis kecil furosemide (5-10 mg) dapat diberikan agar
terjadi diuresis pascabedah.3,4,5,6
Telah diketahui bersama bahwa tujuan utama dilakukan
anestesi pada tindakan bedah fossa posterior adalah
untuk; (1) mencegah terjadinya kenaikan tekanan
intrakranial, (2) mencegah terjadinya iskemia otak, (3)
mengoptimalkan daerah lapangan operasi dengan
melakukan drainase CSF yang memadai dan mengatur
volume darah otak. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya kenaikan tekanan intrakranial antara
lain;3,4,5,6
Osmotik diuresis (dengan memberikan mannitol 0,6-1,5 mg/kg, furosemide 0,5-1,0 mg/kg)
Memberikan ventilasi yang adekuat (PaO2 > 100, PaCO2 = 30-35)
Mengoptimalkan hemodinamik untuk mempertahankan CPP
Normovolemi
Posisi kepala sedikit dinaikkan untuk meningkatkan
venous return
Induksi obat dengan thiopentone dan propofol serta dilakukan induksi hiperventilasi sehingga terjadi
vasokonstriksi otak
Mengontol suhu tubuh (hipotermia sedang)
Drainase CSF
6.4. Pascabedah
7
Perhatian para ahli anestesi dilanjutkan pada periode
pascabedah dimana terdapat beberapa hal penting yang
harus dijalankan;
Pasien harus dapat sadar dengan segera, agar tindakan penilaian neurologis dapat segera dilakukan
Ekstubasi dilakukan dengan sangat hati-hati, untuk
meminimalisasi batuk
Batuk dan bucking yang berlebihan dapat
menyebabkan sakit tenggorokan, hipertensi, takikardia
dan peningkatan tekanan intrakranial
VII. Komplikasi
Setelah dilakukan tindakan bedah fossa posterior, terdapat
kemungkinan terjadinya komplikasi. Komplikasi tersebut dapat berupa aritmia, permasalahan jalan nafas,
komplikasi neurologis serta adanya emboli udara dan
pneumocephalus.
7.1. Aritmia
Aritmia sering terjadi sebagai akibat dari tindakan
manipulasi pada daerah batang otak. Bradikardia dapat
terjadi ketika adanya stimulasi pada daerah
periventricular grey matter serta pada daerah reticular
formation. Kebanyakan kejadian aritmia terjadi ketika
operasi sedang berlangsung pada daerah dekat pons dan serabut saraf V, IX, dan X. Krisis hipertensi yang buruk
dapat terjadi akibat adanya stimulasi pada saraf
trigeminal.5,6
7.2. Permasalahan Jalan Nafas
Makroglosia dan pembengkakan jalan nafas atas dapat
terjadi karena lamanya tindakan bedah dalam posisi
telungkup. Hal ini disebabkan karena adanya pembuntuan
vena serta drainase limfa. Kerusakan saraf kranial juga
dapat menimbulkan masalah serius pada jalan nafas.5,6
7.3. Komplikasi Neurologis
Peregangan leher yang ekstrem dapat menyebabkan
midcervical quadriplegia. Didukung dengan adanya
hipotensi dan waktu operasi yang cukup lama. Tindakan
bedah didekat daerah serabut saraf VII-X akan
menyebabkan pasien kehilangan daya reflek jalan nafas,
disfagia (tidak mampu menelan) dan disfonia (tidak
mampu bicara). Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan
oleh kesalahan penerapan posisi bedah pada pasien. Brachial plexus, saraf ulnar dan saraf peroneal pada
umumnya merupakan daerah yang paling rentan
mengalami kerusakan.5,6
7.4. Pneumocephalus
Karena tindakan kraniotomi, terbentuk ruangan yang
terisi udara diantara dura dan arachnoid akibat kebocoran
cairan serebrospinal (CSF) selama operasi. Hal ini
menyebabkan, ukuran (besar dan volume) otak menjadi berkurang. Pada periode penyembuhan, ukuran otak
kembali meningkat karena terbentuknya edema otak,
peningkatan konsentrasi karbondioksida pada arteri dan
reakumulasi CSF. Udara yang terjebak berada dalam
kondisi tekanan yang meningkat. Pemberian N2O akan
memperburuk kondisi ini. Sehingga, untuk mencegah
terjadinya pneumocephalus, pemberian N2O sebaiknya
dihentikan 15 menit sebelum operasi selesai dan
membiarkan PaCO2 meningkat.5,6
7.5. Emboli Udara
Emboli udara pada vena merupakan keadaan dimana
saluran vena pada sistem vaskuler pasien mengalami
kebuntuan oleh udara yang masuk melalui berbagai
mekanisme pada saat tindakan bedah fossa posterior
dilakukan. Kebanyakan komplikasi ini terjadi pada
tindakan bedah yang mana pasien dalam posisi duduk.
Komplikasi VAE pada bedah saraf merupakan kejadian
terbesar dari semua kejadian yang sama pada prosedur
bedah lainnya. Dilaporkan pada tahun 1988, bahwa
tingkat kejadian VAE bervariasi. Dari 246 pasien yang
menjalani tindakan bedah fossa posterior dalam posisi horizontal, 30 diantaranya (±12%) mengalami VAE.
Sedangkan dari 333 pasien yang menjalani tindakan
bedah fossa posterior dalam posisi duduk, 150
diantaranya (±50%) diantaranya mengalami VAE. Dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi posisi kepala terhadap
jantung, semakin besar tingkat kejadian VAE.5,6
Tingkat mortalitas dan morbiditas berkaitan dengan
jumlah dan tingkat udara yang masuk. Dosis simpomatik
dari VAE pada manusia memang belum diketahui secara
pasti, namun hasil penelitian klinis menyebutkan bahwa >
50 mL didapatkan pada pasien dengan manifestasi klinis yang mengarah pada keberadaan VAE. Manifestasi
tersebut meliputi, penurunan tekanan darah, disritmia dan
perubahan ECG. Pada penelitian yang sama, disimpulkan
bahwa dosis yang mematikan pada manusia adalah jika
terdapat ≥ 300 mL udara.5,6
Terdapat beberapa tindakan monitoring terhadap kejadian
emboli udara pada vena (VAE) yang dapat dilakukan
pada periode intraoperatif, antara lain; Doppler
Ultrasound Transducer; Kateter PA, ETCO2, ETN2 serta
TEE. Masing-masing tindakan monitoring tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan seperti yang
ditunjukkan pada tabel dibawah ini;
8
Tabel 4. Jenis Monitoring pada Emboli Udara Vena
(VAE)
Monitoring Kelebihan Kekurangan
Doppler
Ultrasound
Monitoring noninvasif yang paling sensitif, Pendeteksi paling awal (sebelum
udara masuk ke sirkulasi paru-paru).
Tidak kuantitatif, Sulit untuk diaplikasikan pada pasien obesitas, pasien dengan
kelainan dada, atau pada pasien dalam posisi telungkup, mannitol intravena tampak seperti udara pada intravascular.
Kateter Arteri
Paru-paru
Bersifat kuantitatif,
Sedikit lebih sensitif daripada ETCO2, Tersedia lebih luas, Apabila telah berpengalaman mudah
digunakan.
Lumen kecil, udara yang tersedot lebih
sedikit daripada kateter atrium kanan, Penempatan untuk penyedotan udara yang optimal tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran tekanan
pada pulmonary capillary wedge, Tidak spesifik untuk udara.
ETCO2 Bersifat noninvasif, Sensitif, Kuantitatif,
Sudah tersedia luas.
Tidak spesifik untuk udara, Kurang sensitif dibandingkan
Doppler Ultrasound dan Kateter PA, Ketepatan dipengaruhi oleh takipnea, curah jantung yang rendah, penyakit pembuntuan kronis pada paru-paru.
ETN2 Khusus untuk mendeteksi udara, Dapat mendeteksi udara lebih cepat daripada ETCO2.
Mungkin tidak dapat mendeteksi emboli udara subklinis, Ketepatan dipengaruhi oleh hipotensi.
Trans
esophageal Echo
cardiography
Pendeteksi udara
paling sensitif daripada yang lainnya, Dapat mendeteksi udara pada jantung kiri, aorta.
Invasif, rumit,
mahal, Harus dilakukan observasi secara terus menerus, Tidak kuantitatif.
Dikutip dari: Cottrell JE.2
Apabila emboli udara ini terdeteksi oleh alat monitoring,
maka harus segera dikoreksi agar tidak memberikan
dampak negatif pada pasien. Tindakan yang dapat
dilakukan antara lain;
1. Area bedah harus disiram dengan larutan saline dan
luka secepatnya ditutup.
2. Penggunaan N2O harus segera dihentikan 3. Berikan 100% O2 dengan segera
4. Berikan infus intravascular
5. Berikan vasopressor untuk menekan kejadian
hipotensi
VIII. Simpulan
Fossa posterior merupakan sebuah ruangan yang cukup
sempit yang berisi cerebellum, batang otak serta saraf
kranial. Kelainan yang dapat terjadi berupa tumor atau
neoplasma, perdarahan maupun stroke iskemik.
Penatalaksaan posisi pembedahan memerlukan cara khusus dan membutuhkan perhatian tersendiri.
Penatalaksanaan anestesi dan monitoring sangat
memerlukan kecermatan. Monitoring pramedikasi,
induksi dan periode bedah sampai pascabedah sangatlah
diperlukan. Perlu perawatan pada Neuro Intensive Care
Unit (NICU) pada periode pascabedah.
9
Daftar Pustaka
1. Patel, SJ, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa:
Surgical consideration. Dalam: Cottrell JE, Smith
DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, edisi-4,
Missouri; Mosby, Inc; 2001, 319-33. 2. Smith DS, Osborn I. Posterior fossa: Anesthetic
considerations. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds.
Anesthesia and Neurosurgery, edisi-4, Missouri;
Mosby, Inc; 2001, 335-51.
3. Smith DS. Anesthetic management for posterior
fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds.
Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, edisi-5,
Philadelphia; Mosby, Inc; 2010, 203-17.
4. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for posterior fossa
surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds.
Handbook of Neuroanesthesia, edisi-4, Philadelphia;
Lippincot Williams & Wilkins; 2007, 133-42.
5. Menka MD. 2010. Anesthesia in posterior fossa
surgery. Tersedia dari http://www.docstoc.com/docs/43476246/Anaesthesi
a-in-posterior-fossa-surgery_Dr-Menka. Dikutip
tanggal 30 Juli 2012.
6. Goldsack C. Posterior fossa surgery. Dalam: Gupta
AK, Summors A, eds. Notes in Neuroanesthesia and
Critical Care, edisi-1, London; Greenwich Medical
Media, Ltd; 2001,57-60.
1
HIPOTERMIA UNTUK PROTEKSI OTAK
HYPOTHERMIA FOR BRAIN PROTECTION
Dewi Yulianti Bisri*), Bambang Oetoro**), Sofyan Harahap***), Siti Chasnak Saleh****)
*)Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Unpad/RS Hasan Sadikin-Bandung
**) Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif RS Mayapada, Tanggerang
***) Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Undip/RS Dr. Kariyadi-Semarang
****)Bagian Anestesiologi & Reanimasi FK Unair/RS Dr. Soetomo-Surabaya
Abstract
Cerebral protection is the preemptive use of theurapeutic intervention to avoid or decrease neurologic damage
cause by ischemia. Ischemia is defined as perfussion insufficient to the level will be cause irreversible brain
damage. Cerebral ischemia and or hypoxia as consequency of shock, stenosis or vascular occlusion, vasospasm,
neurotrauma, and cardiac arrest.
Hypothermia were divided into mild hypothermia (33-36OC), hypothermia was (28-32oC), hypothermia in the
(11-20oC), profound (6-10°C), and ultraprofound (<5oC). Hypothermia technique is classified into 3 phases
namely: an induction phase, maintenance phase and the phase of rewarming. The recommended technique of
hypothermia is mild to moderate hypothermia and its use soon after brain injury traumatika and not more than
72 hours. Hypothermia can affect the cardiovascular system, respiratory system, gastrointestinal tract infections and
function, renal system, acid-base and hematologic. Effect of hypothermia as brain protective are effect on
cerebral blood flow and metabolism, on excitotoxicity, oxidative stress and apoptosis, inflammation, blood-brain
barrier (BBB), permeability of blood vessels and form of edema, and the mechanisms of cell survival.
Mechanism of brain hypothermia protection as a whole is not clearly known mechanism, only in part be obvious
how mthe mechanism.
Rewarming is the core body temperature returns to normal core body temperature. Rewarming should be done
very slowly to reduce the incidence of complication as hyperthermia, hyperkalemia and cell damage.
Key words: hypothermia, brain protection, traumatic brain injury.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan sel-sel
otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemi. Iskemia adalah gangguan hemodinamik yang akan menyebabkan
penurunan aliran darah otak sampai suatu tingkat yang akan menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel.
Iskemi serebral dan atau hipoksia dapat terjadi sebagai konsekuensi dari syok, stenosis atau oklusi pembuluh
darah, vasospasme, neurotrauma, dan henti jantung.
Hipotermia dibagi menjadi hipotermia ringan (33-36OC), hipotermia sedang (28-32OC), hipotermia dalam (11-
20OC), profound (6-10OC), dan ultraprofound (<5OC).Teknik hipotermia di bagi kedalam 3 fase yaitu: fase
induksi, fase rumatan dan fase rewarming. Teknik hipotermia yang dianjurkan adalah hipotermia ringan hingga sedang dan penggunaannya segera setelah cedera otak traumatika dan tidak lebih dari 72 jam.
Hipotermia dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, infeksi dan fungsi saluran cerna, sistem
ginjal, asam basa dan hematologi. Efek hipotermia sebagai proteksi adalah efek terhadap metabolism dan aliran
darah otak, excitotoxicitas, oxidative stress dan apoptosis, inflamasi, blood-brain barrier (BBB), permeabilitas
pembuluh darah dan pembentukan edema, dan terhadap mekanisme ketahanan hidup sel. Mekanisme proteksi
otak dengan hipotermi belum sepenuhnya dimengerti dengan jelas, hanya sebagian saja diketahui bagaimana
mekanismenya.
Rewarming adalah proses pemulihan temperatur ini ke temperatur inti normal. Rewarming harus dilakukan
sangat pelahan untuk mengurangi kejadian komplikasi seperti hipertemia, hiperkalemia dan kerusakan sel.
Kata kunci: hipotermia, proteksi otak, cedera otak traumatik.
JNI 2012;1(4):
2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
I. Pendahuluan
Terapi untuk pasien cedera otak traumatik adalah
dengan cara melakukan resusitasi untuk otak yang
terkena trauma dan melakukan proteksi otak untuk
mencegah terjadi cedera otak sekunder pada bagian
otak yang masih baik. Metode resusitasi otak atau
proteksi otak dapat dilakukan dengan Metode Dasar
(Basic methods), Hipotermia-low normothermia,
dan farmakologik. Proteksi atau resusitasi otak
secara farmakologik dapat dilakukan dengan
anestetika intravena, anestetika inhalasi, lidokain,
mannitol, magnesium, progesteron, erythropoietin, alpha-2 agonists dexmedetomidine, dan Natrium
Laktat Hipertonik.1
Pada cedera otak traumatik dapat terjadi kenaikkan
tekanan intrakranial. Terapi peningkatan tekanan
intrakranial pada cedera otak traumatik berat dapat
dilakukan dengan First-tier terapi, dan second-tier
terapi. Second-tier therapy adalah dengan
melakukan 1) Hiperventilasi untuk men-capai
PaCO2 < 30 mmHg, akan tetapi untuk menurunkan
PaCO2 sampai level ini diperlukan pemantauan
SJO2, AVDO2 dan atau pemantauan aliran darah
otak karena rendahnya PaCO2 dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, 2) dosis tinggi barbiturat,
3) hipotermia, 4) terapi hipertensif, dan 5)
kraniotomi dekompresif. Kalau kita lihat panduan
dari Traumatic Brain Foundation Guidelines, terapi
hipotermi pada pengelolaan cedera otak traumatika
berat disebutkan dilakukan atau dipertimbangkan
terapi hipotermi.2,3
II. Hipotermia
Hipotermia menurunkan aktivitas metabolik dan
fungsional otak. Walaupun hipotermi menurunkan
CMRO2 7% setiap derajat C, mekanismenya tidak linier uniform. Koefisien temperatur (Q10) yang
digunakan untuk menguraikan hubungan antara
temperatur dan CMRO2, adalah rasio antara dua
nilai CMRO2 pada perbedaan 10OC. Untuk reaksi
biologik umumnya nilai Q10 adalah 2 (penurunan
CMRO2 sebesar 50% setiap penurunan 10OC). Jadi
kalau otak normotermi (37OC) dapat mentolerir
iskemi selama 5 menit, maka pada suhu 27OC dapat
mentolerir iskemi selama 10 menit. Pada
kenyataannya Q10 adalah 2,2-2,4 antara suhu 270C
dan 370C dan menghasilkan penurunan CMRO2
lebih besar dari 50% pada suhu 270C. Antara suhu 270C dan 170C, Q10 kira-kira 5,0. Hal ini
berkorelasi dengan hilangnya fungsi neuron secara
gradual yang ditunjukkan dengan EEG yang
isoelektrik (yang terjadi antara suhu 18-210C) dan
kemampuan otak untuk mentolerir iskemia lebih
lama daripada yang diprediksi berdasarkan model
yang linier. Dibawah 170C nilai Q10 kembali
menjadi 2,2-2,4.4,5,6
Hipotermia telah digunakan sebagai salah satu metode proteksi otak. Evidence base untuk
penggunaannya terbatas, keuntungan dan resikonya
tidak jelas. Mekanisme proteksi otak dari
hipotermia adalah dengan cara menurunkan meta-
bolisme otak, mengurangi eksitotoksisitas glutamat,
mengurangi pembentukan radikal bebas,
mengurangi pembentukan edema otak, untuk
stabilisasi membran, mempertahankan ATP,
menurunkan influks Calcium, merubah ekspresi
gen iskemik, merubah sinyal apoptotik,
menghambat inflamasi dan sitokin, mengurangi kerusakan sawar darah-otak, serta mempertahankan
autoregulasi otak.1,3,4
Induksi hipotermia didefinisikan sebagai pengon-
trolan penurunan suhu tubuh inti yang digunakan
sebagai terapi dan telah digunakan secara rutin di
dalam ruangan operasi sejak tahun 1950 pada
pasien yang menjalani operasi jantung. Sudah lebih
dari 20 tahun, penelitian laboratorium dari hewan
coba yang dibuat dengan berbagai model cedera
kepala traumatika kemudian dilakukan teknik
hipotermia menunjukan hasil positif yang
dibuktikan dengan hasil dari outcome tingkah laku dan pemeriksaan histologi yang signifikan. 7-9
Laporan secara klinik mengenai hipotermi pertama
kali disampaikan oleh Dr. Temple Fay pada tahun
1937. Penggunaan hipotermia awalnya dilakukan
pada pasien wanita yang menderita tumor ganas
dengan suhu tubuh 32OC selama 24 jam. Teknik
hipotermia ini mampu menghilangkan rasa nyeri
pada proses metastase tumor ganas, menghambat
pertumbuhan tumor ganas yang dideritanya dan
sebagai efek paliatif. Keuntungan dari hipotermia
pada pasien dengan cedera kepala telah dilaporkan dan diamati oleh Hipocrates. Teknik hipotermia ini
kemudian diterapkan lebih luas yaitu untuk bedah
saraf dan bedah jantung. Teknik hipotermia yang
digunakan adalah hipotermia dalam dengan suhu
15-22OC dengan mendapatkan hasil yang efektif
untuk proteksi otak. Pada tahun 1950 Bigelow
melaporkan adanya keberhasilan menyelamatkan
daerah iskemia pada anjing yang dilakukan
hipotermia 20OC selama 15 menit. Teknik
hipotermia mulai dilakukan pada manusia pada
tahun 1950-1960 yang dilakukan pada bedah
jantung kongenital dan bedah neurovaskuler.7,9,10
Pembagian dari teknik hipotermia ada yang
mengelompokkan menjadi 3 kelompok, 4
kelompok dan 5 kelompok. Teknik hipotermia yang
dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu hipotermia
ringan (34-35,9OC), hipotermia sedang (32-
33,9OC), hipotermia dalam (<30OC). Teknik
hipotermia yang dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu
hipotermia ringan (34-35,9OC), hipotermia sedang
3 Hipotermia Untuk Proteksi Otak
(32-33,9OC), hipotermia sedang–dalam (30-31,9OC) dan hipotermia dalam (<30OC) sedangkan yang
membagi ke dalam 5 kelompok adalah hipotermia
ringan (33-36OC), hipotermia sedang (28-32OC),
hipotermia dalam (11-20OC), profound (6-10OC),
dan ultraprofound (<5OC). Pembagian 5 kelompok
hipotermia ini masih merupakan suatu kontroversi.
Pengukuran suhu tubuh yang dilakukan adalah
pengukuran suhu tubuh inti yang dapat diambil
melalui rektal, timpani dan oesophagus. Peng-
ukuran suhu tubuh inti ini harus meng-gambarkan
suhu intrakranial dan dari beberapa data yang ada suhu tubuh yang memiliki korelasi dengan suhu
intrakranial adalah suhu tubuh inti yang diambil
melalui membran timpani. 11,12
Apabila akan dilakukan terapi hipotermia, yang
menjadi pertanyaan untuk terapi ini adalah:
1. Perubahan fisiologi apa yang terjadi?
2. Bagaimana mekanisme proteksi otak dengan
hipotermia?
3. Apa efek samping hipotermia?
4. Berapa besar penurunan suhu (derajat hipotermi)
yang diperlukan?
5. Kapan dilakukan hipotermia? 6. Berapa lama teknik hipotermi dilakukan?
7. Bagaimana caranya?
8. Bagaimana cara memulihkan suhu ke normal?
metode rewarming?
9. Bagaimana hasilnya?
III. Teknik Hipotermia dan Perubahan Fisiologi
Efek proteksi dari hipotermia telah didemonstra-
sikan oleh berbagai macam model hewan yang
mengalami cedera kepala traumatik. Dampak yang
terjadi setelah terjadinya cedera traumatika adalah cedera kepala sekunder yang terutama meng-
akibatkan hipoksia dan hipotensi, eksaserbasi
cedera saraf dan dapat menyebabkan memburuknya
outcome. Hipotermia sudah digunakan sebagai
metode proteksi otak secara klinis pada pasien
cedera kepala traumatik dalam beberapa tahun.
Hipotermia sudah terbukti efektif sebagai proteksi
otak selama lebih dari 60 tahun.13-15 Fase terapi
hipotermia dibagi kedalam 3 fase yaitu fase
induksi, rumatan, dan rewarming. Setiap fase
masing-masing memiliki masalah yang spesifik
yaitu :
3.1 Fase induksi:
Pada fase ini temperatur di bawah 34OC dan
diturunkan sesuai dengan target yang diinginkan
secepat mungkin. Pada fase induksi resiko seperti
hipovolemia, gangguan elektrolit dan hiperglikemia
merupakan resiko yang sering terjadi. Pada fase
induksi masalah pasien terbesar adalah pada pasien
yang mendapatkan ventilator, dosis sedasi, insulin, obat vasoaktif dan pemberian elektrolit dan cairan.
Resiko ini dapat diturunkan angka kejadiannya
dengan induksi hipotermia yang sangat cepat
sebagai contoh meminimalkan durasi dari fase
induksi menuju fase rumatan yang stabil secepat
mungkin.5 Untuk dapat mempercepat proses pen-
dinginan dapat menggunakan antipiretik, kipas
angin, bongkahan es yang disimpan di daerah
femoral yang memiliki pembuluh darah besar dan
lipatan lengan, paket es ini harus dipastikan terisi
air dan sering diganti agar suhu tetap dingin, cairan infus dingin dengan memberikan cairan kristaloid
30 cc/kgBB dengan suhu 4OC selama lebih dari 30
menit, selimut yang berisi air dingin atau kain yang
didinginkan, jalur intravena (sangat mahal namun
memiliki daya pengaturan suhu yang sangat baik
dan jalur femoral sudah tersedia). Pendinginan
melalui bypass hanya dilakukan oleh dokter bedah
jantung, sedangkan cooling cap, biasanya
digunakan pada neonatus atau anak-anak. 16
3.2 Fase rumatan:
Pada fase ini suhu tubuh dikontrol secara ketat
dengan peningkatan yang kecil atau tidak fluktuasi (maksimal 0,2-0,5OC). Fase rumatan dikategorikan
oleh peningkatan stabilitas pasien dengan
menurunkan respon menggigil dan kurang
bersikonya hipovolemia dan kehilangan elektrolit.
Pada fase ini yang menjadi perhatian adalah
pencegahan efek samping dari lamanya penggunaan
hipotermia yaitu infeksi nosokomial dan
dekubitus.11
3.3Fase rewarming:
Pada fase ini harus dilakukan dengan lambat dan
penghangat yang terkontrol dengan target rewarming rata-rata 0,2-0,5OC/jam pada pasien
henti jantung dan 0,1-0,2 OC untuk keadaan yang
lain seperti cedera kepala traumatik berat. Fase ini
akan dibahas secara tersendiri.11
Di kutip dari: Polderman KH.10
Cara yang dilakukan untuk teknik hipotermia
sedang dengan target suhu 32-33,9OC melalui tiga
4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
fase yang telah diterangkan sebelumnya. Pada
pasien cedera kepala traumatik dilakukan fase
induksi secepat mungkin. Sebaiknya kurang dari 8
jam setelah kejadian cedera kepala. Suhu tubuh inti
pasien diturunkan hingga 32OC dalam waktu 30-
120 menit. Bila keadaan pasien stabil maka dapat
dilakukan secara rumatan hingga 72 jam dan akan
dilakukan rewarming secara perlahan dengan
memperhatikan kemungkinan terjadinya demam.11
Penggunaan teknik hipotermia sebagai proteksi
otak pada pasien cedera kepala traumatik
merupakan terapi pertama yang dilakukan pada
cedera kepala traumatik yang menunjukan hasil
yang menjanjikan. Beberapa mekanisme hipotermi
untuk proteksi otak antara lain pencegahan
apoptosis, penurunan produksi radikal bebas,
pengurangi cedera reperfusi, menurunkan perme-
abilitas sawar otak dan dinding pembuluh darah
menurunkan bentuk edema, menurunkan
permeabilitas dari membrane sel, meningkatkan
homeostasis ion, menurunkan metabolisme,
menurunkan reaksi pro-inflamasi dan penekanan
dari sistem imun dan inflamasi.17
Teknik hipotermia ini bukan berarti tanpa efek
samping. Efek samping yang timbul akibat dari
teknik hipotermia harus dipertimbangan dengan
keuntungan yang akan dihasilkan sebagai outcome-
nya. Sebuah penelitian yang membandingkan
penggunaan teknik hipotermia antara 72 jam dan
lebih dari 72 jam tidak memiliki perbedaan yang
berbeda sebagai poteksi otak dengan menggunakan
hipotermia sedang. Hasil penelitian ini menun-
jukkan bahwa efek samping yang terjadi pada
hipotermia lebih 72 jam lebih besar dibandingkan
yang 72 jam. 18
IV. Mekanisme Proteksi Otak dengan
Hipotermia
Hipotermia mampu mengurangi kerusakan saraf di
semua tingkatan dari kaskade iskemik, terapi ini
menunjukkan bahwa hipotermi berpotensi baik
untuk mengurangi cedera otak iskemik. Hipotermia
tampaknya dapat melawan kerusakan otak iskemik
melalui beberapa mekanisme: menurunkan laju
metabolisme dan selanjutnya pengosongan energi;
mengurangi pelepasan neurotransmitter eksito-
toksik; mencegahan kerusakan sawar darah-otak
dan selanjutnya mengurangi pembentukan edema
serebral; mengurangi produksi radikal bebas
oksigen hasil dari gangguan fungsi mitokondria dan
aktivasi sel-sel inflamasi termasuk mikroglia, reaksi
anti-inflamasi lain; penekanan jalur kematian sel
tertentu atau upregulation mekanisme kelang-
sungan hidup sel.19
4.1 Efek Hipotermia terhadap Metabolisme dan
Aliran Darah Otak
Hipotermia memiliki efek mengurangi
metabolisme sel (CMRO2) dengan memperlambat
penggunaan energi dan memfasilitasi penggunaan
glukosa post-iskemia. Untuk setiap penurunan suhu
1°C, laju metabolisme serebral berkurang 5-7%.
Disebabkan karena metabolisme sel (CMRO2)
merupakan penentu utama aliran darah otak,
hipotermia dapat memberikan perbaikan relatif
dalam pasokan oksigen pada daerah otak yang
iskemik. Selama iskemia, metabolisme seluler di
daerah penumbra mengalami perubahan yang
signifikan. Bila neuron terus mengalami kerusakan,
ion kalium masuk ke dalam ruang ekstraselular, ion
kalsium masuk ke dalam neuron menyebabkan
degradasi sitoskeletal, dan konsentrasi ATP
berkurang sebagai bentuk kekosongan energi.
Hipotermia berefek mengurangi masuknya kalsium
dan kerusakan yang lebih lanjut pada struktur
intraseluler, memperbaiki homeostasis ion kalium,
dan membantu fungsi metabolik, seperti untuk
pulihnya aktivitas kalsium atau calmodulin-
dependent protein kinase. Namun, efek hipotermia
pada metabolisme otak tidak sepenuhnya dapat
menjelaskan efeknya untuk proteksi otak. Setelah
terjadinya iskemia cadangan metabolik akan habis
dalam beberapa menit, namun proteksi otak masih
terjadi meskipun hipotermia tertunda beberapa jam.
Dalam kondisi normal, aliran darah serebral (CBF)
ke otak adalah sekitar 50 ml/100g/menit. Dalam
sebuah penelitian pada kucing, hipotermia secara
proporsional menurun CBF dari 48 ml/100g / menit
pada hewan normothermia menjadi 21 ml dan 11
ml/100 g/menit pada 33°C dan 29°C. Hubungan
antara metabolisme dan CBF dan otak diper-
tahankan pada suhu yang berbeda. Namun, dalam
kondisi iskemia, hubungan antara suhu dan CBF
kurang jelas. Iskemia otak menyebabkan penurunan
CBF, tetapi setelah terjadinya reperfusi, hasil
pengamatan menunjukan adanya hiperemia, atau
peningkatan CBF diatas nilai normal. Hiperemia ini
biasanya diikuti juga dengan penurunan bertahap
CBF selama fase reperfusi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa hipotermia sebenarnya
meningkatkan CBF selama periode iskemia,
sedangkan laporan lainnya mencatat tidak ada
pengaruhnya terhadap CBF atau CBF berkurang.
Hipotermia ringan juga menumpulkan hiperemia
post-reperfusion dini dan mencegah penurunan
bertahap CBF selama reperfusi. 16,18,19
5 Hipotermia Untuk Proteksi Otak
4.2 Efek Hipotermia terhadap Excitotoxicitas
Asam amino glutamat bertindak sebagai
neurotransmitter. Iskemia yang berat menyebabkan
kerusakan otak akibat jumlah glutamat yang
banyak pada sinaps eksitatori, disebabkan
kegagalan pompa energi tergantung yang dalam
keadaan normal menghilangkan glutamat dari
sinaps ke sel glia. Tingginya kadar glutamat, pada
akhirnya menyebabkan aktivasi kuat dari reseptor
glutamat terutama tipe N-metil-D-aspartat
(NMDA). Gangguan energi juga menyebabkan
kehilangan depolarisasi dan voltage-dependent dari
magnesium, yang biasanya memblok reseptor ini.
Peningkatan jumlah besar kadar glutamat pada
sinap menyebabkan banyaknya kalsium yang
masuk ke dalam sel yang kemudian mengaktifkan
berbagai jalur kematian sel. Berbagai penelitian
pada hewan coba, telah menunjukkan bahwa
hipotermia memperbaiki homeostasis ion dan
menghambat atau memperlambat dari proses
kerusakan sel. Kunci proses kerusakan sel, seperti
masuknya kalsium, akumulasi glutamat, dan
pelepasan coagonist glutamat, glisin, semuanya
dihambat oleh hipotermia.
Hipotermia ringan mengubah pelepasan
neurotransmitter. Selama iskemia serebral fokal,
pelepasan neurotransmiter meningkat dalam 10-20
menit pada onset iskemia, puncak pelepasan
neurotransmitter terjadi dalam waktu 60 menit,
kemudian berkurang kadarnya pada 50-90 menit
dan kemudian kembali ke nilai awal atau berkurang
secara substansial dalam waktu 90-120 menit.
Hipotermia ringan intraiskemik mampu menumpul-
kan puncak kadar neurotransmitter dan pada
beberapa kasus, tetap terjadi walaupun terjadi
keterlambatan dalam waktu 20 menit. Hipotermia
antara 30 dan 33oC menghambat pelepasan
glutamat secara penuh. Dengan mengurangi
peningkatan glutamat, yang selanjutnya mengu-
rangi perpindahan kalsium dan pemakaian ATP,
hipotermia ringan kemungkinan dapat memperbaiki
edema sitotoksik. Meskipun hipotermia cukup
mengurangi pelepasan glutamat pre-sinaptik yang
merupakan mediator penting dari proteksi otak,
beberapa laporan yang tersedia tentang mekanisme
mengurangi iskemia yang diinduksi pengeluaran
neurotransmiter oleh hipotermia. Karena secara
umum diterima bahwa biosintesis dan pengambilan
neurotransmiter bergantung pada suhu, besarnya
peningkatan glutamat ditekan dan onset mobilisasi
kalsium secara signifikan diperlambat oleh
hipotermia.
Kaskade iskemia diawali oleh gangguan
homeostasis Ca2 + yang terus terjadi dalam
beberapa jam bahkan hari setelah iskemia.
Hipotermia ringan telah terbukti dapat menghambat
translokasi Ca2+/calmodulin-dependent kinase II
dan protein kinase C-alpha, beta, gamma isoforms
ke fraksi synaptosomal. Hipotermia juga
menghambat fodrin proteolisis yang disebabkan
oleh iskemia dengan reperfusi, dan inhibisi
berikutnya protease, calpain. Meskipun masuknya
Ca2+ masih terjadi dalam beberapa hari setelah
iskemia, menekan proses ini tidak didukung oleh
data hewan coba yang menunjukkan bahwa
theurapeutic window untuk hipotermia hanya
beberapa jam. Oleh karena itu, pemicuan kerusakan
ireversibel oleh Ca2+ tidak bisa dengan terapi
hipotermia. Namun, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa hipotermia ringan
postischemik masih efektif bahkan ketika diterap-
kan setelah glutamat dilepaskan. Dalam sebuah
penelitian, perlindungan yang lebih besar terjadi
pada suhu 30oC dari pada 33oC, meskipun dua
kondisi sama-sama mengurangi pengeluaran
neurotransmitter eksitotoksik. Oleh karena itu, efek
hipotermia pada pelepasan neurotransmiter iskemik
per se tidak dapat menjelaskan sepenuhnya efek
proteksi terhadap sel saraf. 16,18,19
4.3 Hipotermia, Oxidative Stress dan Apoptosis
Setelah iskemia, dan pada sebagian, iskemia
diiukuti dengan reperfusi. Reactive Oxygen Species
(ROS) dibentuk dari mitokhondria yang cedera bila
daerah iskemik dialiri darah yang teroksigenasi.
Reperfusi juga memicu terbentuknya ROS melalui
jalur enzim lain seperti jalur glutamate activated
xanthine oxidase dalam neuron dan sistem NADPH
oxidase dalam sel inflammatori. Beberapa pene-
litian menunjukkan bahwa hipotermi mengurangi
pembentukan radikal bebas dan berarti memberikan
proteksi otak. Pembentukan ROS membawa kearah
stres oksidatif yang selanjutnya kearah konsekuensi
kerusakan pada otak yang iskemik. ROS dapat
menyebabkan peroksidasi lipid, kerusakan DNA
secara langsung dan dapat memicu jalur kematian
sel yang lainnya seperti apoptosis. Hipotermi dapat
menghambat semua proses ini. 16,18,19
Apoptosis, atau programmed cell death, telah
diketahui terjadi pada otak yang iskemik. Secara
umum, ada dua jalur apoptotik, intrinsik atau jalur
mitokhondria, dan yang ekstrinsik, atau jalur
reseptor. Jalur intrinsik dipicu oleh pelepasan
cytochrom-c dari mitokhondria diikuti dengan
aktivasi apoptosome (pro-caspase-9 diikat pada
Apaf-1) menimbulkan prosesing caspase-9.
6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Caspase-9 yang telah diaktivasi kemudian meng-
aktipkan caspase-3, suatu caspase efektor yang
membawa kearah perpecahan internucleosomal
DNA. Pelepasan cytochrome c mitokhondria dapat
dimodulasi oleh pro- atau anti-apoptotic Bcl-2.
Beberapa aspek apoptosis telah ditunjukkan dapat
dihambat oleh hipotermia. Hipotermia mening-
katkan produksi anti-apoptotic protein Bcl2,
mengurangi fragmentasi DNA dan menghambat
pelepasan cytochrome c dan aktivasi caspase.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
hipotermia dapat menghambat aktivasi Fas dan
caspase-8. 16,18,19
4.4 Efek Hipotermia terhadap Inflamasi
Respons inflamasi yang dihubungkan dengan
iskemia otak berperanan pada evolusi jaringan yang
cedera. Jaringan nekrotik dan ROS stimulate innate
immune responses membawa kearah aktivasi
mikroglia, upregulation dari molekul adhesi
endotelial yang menyebabkan infiltrasi leukosit
perifer. Leukosit perifer dan mikroglia yang telah
diaktivasi dapat mengeluarkan faktor perusak
seperti nitric oxide, sitokin inflammatori,
chemokin, superoxide dan protease lain yang dapat
mengeksaserbasi cedera iskemik. 16,18,19
Hipotermi mempunyai edek antiinflamasi dengan
cara mengurangi jumlah netrofil jaringan dan
menekan aktivasi mikroglia. Hipotermi mengurangi
leukosit jaringan dengan mencegah pengikatannya
pada endotel vaskuler dan downregulating molecule
adhesion endothelial, intercellular adhesion
molecule (ICAM-1), jadi mencegah kemampuannya
untuk menginfiltrasi otak. Lebih jauh lagi,
hipotermi ringan juga mengurangi berbagai
mediator inflamasi seperti nitric oxide dan sitokin,
kemungkinannya dengan menghambat aktivasi dari
inflammatory transcription factor nuclear factor
kappa B (NFkB). Akan tetapi, disebabkan inflamasi
dipicu dengan adanya jaringan nekrotik, dapat
didebat bahwa disebabkan karena hipotermia
mengurangi luasnya cedera otak mekanisme
hipotermi mungkin disebabkan oleh faktor yang
lebih ke hulu dari nekrosis, dan menghasilkan
respon inflamasi yang proporsional dengan luasnya
kerusakan jaringan. Menariknya, efek antiinflamasi
hipotermi ini juga dapat dilihat pada model
inflamasi otak dimana tidak terjadi kematian sel
otak, dan mendukung bahwa hipotermia mem-
punyai efek langsung pada respon imun. Pada
manusia, hipotermi menekan produksi sitokin
proinflamasi pada monosit perifer dan kadar IL-6
serum setelah cedera otak. 16,18,19
4.5 Efek Hipotermia terhadap Blood-Brain
Barrier (BBB): Permeabilitas Pembuluh
Darah dan Pembentukan Edema
Sawar darah otak terdiri dari endotel kapiler,
lamina basalis, dan astrosit perivaskuler. Endotel
kapiler dengan hubungan yang rapat (tight junction)
mengatur transfer substrat. Iskemia serebral
mempengaruhi unit neurovaskuler secara keselu-
ruhan, dan merusak sawar darah-otak yang
menyebabkan konstituen darah masuk ke ruangan
interstitiel (edema vasogenik). Hipotermia
mengurangi kerusakan sawar darah-otak dan
permeabilitas vaskuler setelah cedera iskemik
reperfusi, dengan demikian terjadi penurunan
pembentukan edema. Induksi hipotermia juga
menurunkan ekstravasasi Hb setelah cedera otak
traumatik. Observasi ini mendukung konsep efek
stabilisasi membran dan sawar darah otak. Telah
diketahui pentingnya edema otak pada eksaserbasi
cedera neurologik pada pasien dengan cedera otak
traumatik, stroke, dan cedera anoksik setelah henti
jantung.
Hipotermi menekan kerusakan sawar darah-otak
dan menurunkan tekanan intrakranial. Penelitian
baru-baru ini difokuskan pada peranan matrix
metalloproteinase (MMPs) dan kerusakan sawar
darah-otak dan matriks extraseluler. MMPs adalah
keluarga serine protease yang bisa dideteksi pada
otak yang iskemik. Mereka diproduksi sebagai pro-
enzim bentuk aktip dari berbagai protease termasuk
tissue plasminogen activator (tPA). Aktivasi dari
MMP-9 dihubungkan dengan kerusakan sawar-
darah otak. MMP-9 daripada MMP-2 telah
diketahui memegang peranan penting pada cedera
iskemik. Penghambatan ekspresi dan aktivasi MMP
telah ditunjukkan pada model laboratorium untuk
mengurangi kejadian kerusakan sawar darah-otak,
edema, dan per-darahan, termasuk perdarahan
karena thrombolitik. Beberapa penelitian menun-
jukkan bahwa hipotermia ringan bukan hanya
mengurangi kerusakan sawar darah-otak, tapi juga
mengurangi pembentukan MMPs dan endogenous
fibrinolytics. Mekanisme penurunan tekanan
intrakranial adalah karena mengurangi pemben-
tukan edema dan penurunan volume darah
intrakranial akibat vasokonstriksi serebral. 16,18,19
Mekanisme hipotermi dan waktu yang diperlukan
untuk proteksi otak setelah terjadinya cedera otak
terlihat pada tabel 1.
7 Hipotermia Untuk Proteksi Otak
Tabel 1. Mekanisme hipotermi sebagai Protektor Otak
Mekanisme Penjelasan Waktu yang
diperlukan
setelah
cedera
Pencegahan apoptosis
Iskemia dapat menyebabkan apoptosis (kematian sel terprogram)
Hipotermia dapat mencegah apoptosis
Beberapa jam, beberapa hari, hingga beberapa
minggu
Penurunan produksi radikal bebas
Menurunkan radikal bebas seperti superoxide, peroxy nitrat, hydrogen peroxide dan radikal hydroxyl yang
merupakan tanda dari iskemia. Hipotermia sedang dapat menghambat keadaan ini
Beberapa jam- beberapa hari
Mengurangi cedera
reperfusi
---
Beberapa jam- beberapa
hari
Menurunkan permeabilitas sawar otak dan dinding pembuluh darah
Menurunkan pembentukan edema
Gangguan sawar otak akibat cedera atau iskemia dapat diatur oleh hipotermia. Efek yang sama terjadi melalui permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran kapiler.
Beberapa jam- beberapa hari
Menurunkan permeabilitas dari membrane sel
Menurunkan kebocoran dari membran sel dihubungkan dengan perbaikan fungsi sel
dan homeostasis sel, termasuk penurunan dari asidosis intraselluler.
Beberapa jam- beberapa hari
Meningkatkan homeostasis ion
Iskemia merangsang penumpukan dari neurotransmitter exitotoxisitas seperti
glutamat dan memperpanjang waktu masuknya ion Ca2+ ke dalam sel. Suatu keadaan yang dapat dirangsang “exitotoxic cascade” yang dapat
diturunkan dengan hipotermia
Beberapa menit hingga 72 jam
Menurunkan metabolisme
Mengurangi kebutuhan oksigen dan glukosa
Beberapa jam- beberapa hari
Menurunkan reaksi pro-inflamasi dan penekanan
dari sistem imun dan inflamasi
Proses kerusakan yang terus menerus dari reaksi inflamasi dan sekresi sitokin
yang diikuti oleh iskemia dapat dikurangi dan dihambat oleh hipotermia.
Jam pertama –hingga 5 hari
Menurunkan thermo pooling otak
Merupakan area di otak dimana suhunya lebih tinggi 2-3OC
dibandingkan suhu sekitarnya dengan pemeriksaan suhu tubuh inti, perbedaan ini meningkat secara dratis pada cedera otak. Hipertermia dapat meningkatkan
cedera pada sel. Keadaan ini dapat dikurangi dengan hipotermia
Beberapa menit sampai beberapa hari
Dikutip dari: Polderman KH. 17
3.6 Efek Hipotermia terhadap Mekanisme
Ketahanan Hidup Sel
Hipotermia dihubungkan dengan upregulation dari
protein anti-apoptotic, Bcl-2 dan meningkatkan
aktivitas Akt yang membawa kearah pencegahan
kematian sel secara apoptotik.10-12 Efek hipotermia
sebagai proteksi otak secara sempurna belum
diketahui dengan jelas mekanismenya. Mekanisme
yang pertama kali ditemukan adalah menurunkan metabolisme otak (CMRO2). Selain menurunkan
CMRO2 hipotermia memiliki efek lain yaitu
menekan pelepasan asam amino exitatori, sitokin,
radikal bebas dan mediator inflamasi.14
IV. Efek samping hipotermia
Hipotermia merupakan teknik proteksi otak yang
dapat dengan mudah dilakukan dan dari beberapa
penelitian dinyatakan efektif. Meskipun demikian,
teknik hipotermia ini bukan tidak memiliki efek samping. Efek samping yang terjadi secara
sistemik. Teknik hipotermia dapat mempengaruhi
sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, infeksi dan
fungsi saluran cerna, sistem ginjal, asam basa,
hematologi dan menggigil dan vasokontriksi kulit.
8 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Hipotermi dalam sudah sejak lama digunakan pada operasi jantung neonatus untuk memberikan
proteksi melawan cedera otak ireversibel bila
jantung berhenti, juga digunakan untuk operasi
aneurisma yang besar. Akan tetapi, sejumlah
komplikasi dari hipotermi dalam (270C atau
kurang) seperti terlihat pada tabel 1 membatasi
penggunaannya.
Tabel 2: Komplikasi hipotermi dalam (deep
hypothermia)
Komplikasi kardiovaskuler Depresi miokardium Disritmia termasuk
fibrilasi ventrikel Hipotensi Perfusi jaringan tidak
adekuat
Iskemia
Metabolisme Metabolisme obat
anestesi melambat Blokade
neuromuskuler memanjang Peningkatan
katabolisme protein Koagulasi Thrombositopenia Fibrinolisis Disfungsi platelet Perdarahan meningkat
Imunologis pneumonia, sepsis
Menggigil Peningkatan konsumsi oksigen Peningkatan produksi CO2 Peningkatan curah
jantung Desaturasi oksigen arteri Ketidak stabilan hemodinamik
Dikutip dari: Cottrell JE, Smith DS.6
4.1 Sistem kardiovaskuler dan hemodinamik
Efek yang ditimbulkan oleh hipotermia terhadap
sistem kardiovaskuler dapat menyebabkan
kenaikan katekolamin yang menyebabkan
peningkatan curah jantung dan kebutuhan oksigen.
Hipotermia dapat mengakibatkan penurunan denyut
jantung dan perlambatan metabolisme sehingga
mengurangi afterload jantung dan kebutuhan
oksigen. Oleh karena itu, hipotermia ringan dapat
menyebabkan penurunan curah jantung, akibat dari peningkatan resistensi pembuluh darah dan tekanan
vena sentral (central venous pressure /CVP).
Perubahan EKG dapat terjadi seperti peningkatan
interval gelombang PR, pelebaran gelombang QRS
kompleks, dan penampilan Osborne atau
gelombang J (lekukan pada gelombang kompleks
QRS). Aritmia jarang terjadi pada suhu > 30OC.
Suhu dibawah 30OC, risiko terjadinya atrial fibrilasi
(AF) yang disertai dengan ventrikular takikardia
(VT) merupakan resiko yang sangat sering terjadi
pada saat suhu menurun hingga < 28OC. Apabila akan dilakukan kardioversi suhu tubuh harus
dinaikan sampai suhu normal. Hipotermia memiliki
efek terhadap miokardium dan kontraktilitas
miokard tergantung dari status volume pasien.
Hipotermia sedang sering berhubungan dengan keadaan hipotensi disebabkan oleh karena
hipotermia memiliki efek menurunkan
kontraktilitas miokard dan diuresis yang meningkat
akibat dari suhu yang dingin. Kejadian hipotensi
sering terjadi pada fase induksi teknik hipotermia,
sebagai penanggulangan-nya dilakukan dengan
mempercepat fase induksi dan pemberian cairan
dengan target normovolemia. Pada suhu hipotermia
ringan menyebabkan vasodilatasi koroner dan
meningkatkan perfusi miokardial sehingga dapat
melindungi terjadinya iskemia miokard. 7,11,16,17
4.2 Sistem pernapasan
Hipotermia memiliki efek langsung terhadap sistem
respirasi. Penurunan metabolisme rata-rata 25-30%
pada suhu 33OC berarti menunjukan pengaturan
tidal volume ventilator perlu dikurangi untuk
mempertahankan PaCO2 dalam nilai normal.
Pneumonia memiliki angka kejadian yang tinggi
pada pasien yang mendapatkan terapi hipotermia.
Kejadian pneumonia jarang terjadi pada 12-24 jam
saat dilakukannya hipotermia. Kejadian pneumonia
nosokomial 45% pada pasien dewasa yang
menjalani terapi hipotermia lebih dari 7 hari,
sedangkan pada anak-anak, akibat pneumonia bisa
sampai terjadi septik syok pada pasien yang
mengalami terapi hipotermia lama.6,11,16
Gambar 1. Skematis mekanisme yang mendasari efek protektif pada hipotermia ringan sampai sedang. Dikutip dari Polderman KH. 11
4.3 Infeksi
Terapi hipotermia memiliki efek menghambat
respon pro-inflamasi melalui penghambatan
migrasi leukosit dan fagositosis serta menurunkan
sintesis sitokin pro-inflamasi. Penekanan
neuroinflamasi salah satu mekanismenya melalui
9 Hipotermia Untuk Proteksi Otak
hipotermia yang memiliki efek proteksi, di sisi lain efek hipotermia ini meningkatkan angka kejadian
resiko infeksi. Risiko infeksi diperberat oleh
kontrol gula darah yang tidak ketat. Penggunaan
terapi hipotermia selama perioperatif telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi saluran
pernapasan dan luka jaringan.
Strategi yang dilakukan untuk menangani
peningkatan angka kejadian resiko infeksi termasuk
mempertimbangkan pemberian antibiotik
profilaksis. Pasien harus dipantau secara seksama
terhadap adanya tanda-tanda infeksi selama terapi hipotermia disebabkan beberapa tanda-tanda
normal dari infeksi tidak ada atau ditekan selama
proses hipotermia berlangsung.
Protokol pengobatan di ICU meliputi pemeriksaan
darah rutin dan periksaan bakteri. Penggunaan
antibiotik harus sesuai dengan bakteri yang
ditemukan atau secara propilaksis sesuai dengan
data rumah sakit setempat. Resiko pada pasien
setelah perawatan hipotermia dapat terjadi infeksi,
demam harus segera ditangani untuk mencegah
terjadinya cedera pada sel saraf. Tanda awal yang
terjadi saat infeksi adalah menggigil dan peningkatan leukosit serta C-protein. Resiko infeksi
pada luka jaringan lebih meningkat pada hipotermia
yang disebabkan oleh vasokonstriksi permukaan
kulit. Resiko infeksi jaringan dapat berkembang
terhadap luka baring (dekubitus) yang lebih mudah
terjadi akibat pasien tidak bergerak dan penekanan
terhadap fungsi kekebalan tubuh. 11,16,17
4.4 Fungsi saluran cerna
Suatu efek samping yang terjadi pada hipotermia
dapat menurunkan sensitivitas insulin dan jumlah
sekresinya, dimana insulin disekresikan oleh pankreas. Infus insulin harus digunakan
mengendalikan konsentrasi gula darah. Kadar gula
darah yang tidak terkontrol memiliki resiko
terhadap terjadinya resiko infeksi yang merupakan
salah satu efek samping dari terapi hipotermia pada
cedera otak traumatika. Pencegahan dan atau cepat
melakukan koreksi hiperglikemia yang berat harus
dijadikan bagian dari strategi terapi selama terapi
hipotermia. Keadaan hipoglikemia dapat terjadi
dengan mudah dalam fase rewarming sebagai
sensitivitas insulin yang dipulihkan, terutama jika
pasien dilakukan rewarming terlalu cepat. Efek lain yang terjadi pada sitem pencernaan adalah
motilitas gastrointestinal yang menurun akan
memerlukan obat yang memiliki efek prokinetik
untuk menghindari keterlambatan dalam pemberian
makanan secara enteral. Serum amilase dan enzim
hati sering meningkat dan asidosis metabolik juga
terjadi sebagai hasil dari peningkatan konsentrasi
laktat dan peningkatan produksi asam lemak bebas, keton dan gliserol. 11,17
4.5 Sistem ginjal
Terapi kombinasi dengan hipotermia dapat
mengakibatkan perpindahan cairan intraseluler dan
disfungsi tubular memiliki dampak peningkatan
ekskresi elektrolit melalui ginjal sehingga dapat
menyebabkan berkurangnya kadar magnesium,
kalium, dan fosfat pada saat terapi hipotermia
dilakukan. Diuresis dan gangguan elektrolit adalah
dua masalah utama bila menggunakan induksi
hipotermia. Gangguan elektrolit ini dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya aritmia dan
komplikasi serius lainnya. Kadar magnesium
memiliki peran dalam mengurangi cedera otak
yang lebih lanjut. Hipophosphatemia dikaitkan
dengan masalah pernapasan dan meningkatkan
resiko infeksi. Dengan demikian, kadar elektrolit
harus berada di kisaran normal tinggi selama dan
setelah terapi hipotermia. Perhatian khusus harus
diambil selama rewarming karena kejadian
hiperkalemia dapat terjadi selama fase ini, akibat
pelepasan kalium ke intraseluler selama induksi
hipotermia. Hiperkalemia dapat dicegah dengan lambat dan terkendali proses rewarming, sehingga
memberikan kesempatan pada ginjal untuk
mengekskresikan kelebihan kalium. 11,17
4.6 Asam basa
Akibat suhu tubuh yang diturun, kelarutan gas
dalam darah menjadi meningkat. Hipotermia dapat
menimbulkan masalah dalam analisa gas darah
arteri (ABG), sebagai contoh pengambilan sampel
analisa gas darah pada saat suhu tubuh yang rendah
pada pasien-pasien memiliki gambaran alkalosis
respiratorik. Terdapat dua cara untuk menganalisa sampel gas darah arteri: tanpa koreksi (alfa-stat
manajemen) atau dengan penambahan CO2 untuk
menormalkan pH (pH-stat manajemen). Selama
induksi hipotermia sampel harus dikoreksi untuk
suhu yang tidak diketahui, walaupun, pada hewan
coba dengan iskemia serebral yang diterapi dengan
hipotermia, pH-stat manajemen terbukti lebih
menguntungkan. Namun, alfa-stat manajemen lebih
sering digunakan pada terapi hipotermia saat
operasi cardiopulmonary bypass.11,16
4.7 Hematologi.
Selama induksi hipotermia dapat terjadi waktu pendarahan yang memanjang sebagai akibat dari
penurunan jumlah dan fungsi trombosit.
Thrombosit mungkin diasingkan ke limpa dan hati,
dan kembali ke sirkulasi pada pemanasan ulang.
Kaskade koagulasi mungkin dapat terganggu,
meskipun tes secara langsung seperti prothrombin
time (PT) dan parsial tromboplastin teraktivasi
10 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
waktu (APTT) mungkin tidak mencerminkan perubahan ini, seperti yang terlihat pada suhu 37 OC. Oleh sebab itu, penggunaan hipotermia pada
pasien multitrauma merupakan suatu kontroversial
karena efek buruk lebih besar bila menggunakan
terapi hipotermia untuk proteksi otak. 11,16,17
4.8 Menggigil dan vasokonstriksi kulit
Pada pasien yang sadar, kejadian menggigil
memiliki efek yang kurang baik seperti
meningkatnya konsumsi oksigen, meningkatnya
laju metabolisme, kerja pernapasan meningkat, dan
meningkatkan denyut jantung dengan disertai meningkatnya konsumsi oksigen miokard. Sangat
penting untuk penanganan atau pencegahan
menggigil yang agresif secara signifikan
menurunkan kebutuhan oksigen dan metabolisme
rata-rata. Pemberian sedasi dan analgetik ini
menimbulkan vasodilatasi yang akan memfasilitasi
kehilangan panas saat teknik hipotermia. Pemberian
obat anti mengigil seperti fentanyl, alfentanyl,
meperidine, dexmedetomidine, propofol, clonidine
dan magnesium dapat berefek dengan cepat.
Penatalaksanaan menggigil yang digunakan adalah
pemberian dosis permulaan magnesium (30 mmol) dan fentanyl (50-100 ugr) pada saat awal proses
pendinginan, bersama-sama dengan infus kontinyu
propofol atau midazolam. Pemberian midazolam
atau propofol diberikan apabila keadaan
hemodinamik stabil. Jika terjadi mengigil dapat
diberikan tambahan fentanyl bolus (50-150 ugr)
dan pemberian magnesium ulangan bila kadar
magnesium dalam plasma < 2.0 mmol/L. Pada
beberapa pasien pemberian sedasi tambahan atau
peningkatan dosis sedasi dengan pemberian
midazolam bolus 5-10 mg, apabila mengigil tetap terjadi dapat diberikan clonidin, meperidine, dan
ketanserine.11
V. Berapa besar penurunan suhu (derajat
hipotermi)?
Pengertian terkini tentang patofisiologi cedera otak
akibat trauma ditekankan tidak hanya pada cedera
primer tapi juga pada proses sekunder yang terjadi
setelah cedera, yang akan membawa kearah
terjadinya hipoksia dan iskemia serebral.
Kerusakan otak sekunder dapat di definisikan
sebagai cedera sel yang tidak segera terlihat setelah
suatu insult tapi berkembang lambat setelah cedera primer yang sesungguhnya dapat dicegah dan
diobati. Kerusakan otak sekunder dapat terjadi
langsung disebabkan aktivasi sejumlah kaskade
biokimiawi dan inflamasi atau secara tidak
langsung akibat penurunan aliran darah otak,
distorsi vaskuler, penyempitan serebrovaskuler,
hipoksemia atau keadaan peningkatan metabolisme
otak. Beberapa penelitian klinis mempunyai
kontribusi untuk membuktikan bahwa cedera sekunder sering terjadi pada cedera kepala berat
dan menunjukkan pengaruhnya yang besar pada
outcome.2
Efek neuroproteksi dari hipotermia telah lama
diingat pada penelitian laboratorium dan juga juga
pada penelitian klinis. Dalam kenyataannya
implementasi hipotermi sedang telah mengrevolusi
operasi jantung pada tahun 50-an, akan tetapi,
untuk aplikasi diluar operasi jantung, neuroproteksi
dengan hipotermi telah lama ditinggalkan karena
berbagai efek samping seperti menggigil, aritmia, peningkatan viskositas darah, dan perdarahan
setelah rewarming. Meskipun demikian, hipotermi
telah dipertimbangkan lagi sejak penelitian cedera
kepala trauma menunjukkan bahwa penurunan
temperatur dibawah 30OC yang dihubungkan
dengan adanya berbagai efek samping yang
merugikan, secara histopatologi tidak diperlukan.5
Satu penelitian dengan cara mengirim kuisioner
pada 274 anggota Perhimpunan spesialis anestesi di
Inggris dan Ireland, dan dikembalikan 75%,
menunjukkan bahwa 58% dari merekan
menggunakan teknik hipotermi selama operasi aneurisma serebral dan 41% pada pasien cedera
kepala.20
Penelitian lain tentang penggunaan teknik
hipotermi ringan di Amerika Serikat dan di luar
Amerika Serikat selama kliping aneurisma dengan
membagi dua kelompok pasien. Kelompok pertama
dengan target temperatur 33-350C dan kelompok
lain 35-370C. Di Amerika 65% memakai suhu 33-
350C dan diluar Amerika menggunakan suhu 33-
350C sebanyak 35%. Tidak ada perbedaan yang
nyata pada good outcome (65,9 vs 62,7%) dan mortalitas (28 vs 32%), akan tetapi komplikasi
bakteriemia lebih banyak pada kelompok
hipotermia (5 vs 2,5%).21
Suhu makin rendah, efek neuroproteksi makin
tinggi, tapi komplikasi makin besar. Suhu makin
tinggi efek neuroproteksi makin tidak ada, tapi
komplikasi juga kecil. Maka dicari rentang suhu
yang mempunyai efek proteksi otak, akan tetapi,
komplikasinya minimal, yaitu pada suhu antara 34-
350C.21
VI. Kapan dilakukan hipotermia?
Hipotermia harus dilakukan sesegera mungkin untuk mendapatkan efek optimal pada pasien
dengan stroke iskemik, akan tetapi, harus
diwaspadai karena mengeksaserbasi terjadinya
perdarahan pada stroke hemoragik. Hipotermia
akan efektif bila dilakukan segera setelah atau
sebelum iskemia otak. Untuk menggunakan
hipotermia sebagai proteksi otak dalam mencegah
11 Hipotermia Untuk Proteksi Otak
kerusakan iskemik, diperlukan untuk melakukannya sesegera mungkin setelah suatu insult dan
mempertahankan dalam batas bawah yang aman.22
Lama hipotermia optimal: satu penelitian
memberikan hipotermia selama 2 jam dan
menunjukkan proteksi pada hewan coba dengan
reperfusi setelah iskemia selintas. Akan tetapi,
mungkin diperlukan waktu yang lebih lama. Pada
penelitian hewan primata dengan model stroke
dilakukan pendinginan sangat cepat secara
intravaskuler dengan hasil target temperatur otak
320C dicapai dalam waktu 47,7 menit. Hewan coba tidak mengalami infeksi, koagulopati, atau edema
serebral yang umumnya terjadi dengan surface
cooling pada manusia yang kena stroke.23
Pencapaian hipotermi ringan melalui teknik surface
cooling onsetnya lambat disebabkan karena
vasokonstriksi perifer dan gagal menurunkan
temperatur otak ke temperatur inti. Kecepatan
pendinginan dengan teknik surface cooling lebih
lambat daripada metode endovascular. MgSO4
mempunyai efek anti menggigil, vasodilator,
proteksi otak, dan efek neuroproteksi hipotermia
dapat meningkat bila digabung dengan kombinasi farmakologik termasuk pemberian MgSO4.
Terbukti bahwa MgSO4 meningkatkan laju
hipotermia dengan teknik surface cooling serta
meningkatkan kenyamanan pasien. Caranya adalah
dengan memberikan Mg SO4 bolus 4-6 g selama
15-45 menit dilanjutkan dengan dosis 1-3 g per
jam.1
VII. Berapa lama teknik hipotermi dilakukan?
Pendinginan harus dimulai sesegera mungkin
dengan temperatur ekstracorporeal 300 C dan
mempertahankan temperatur otak pada 320C untuk 48 jam dan kemudian dilakukan rewarming secara
gradual selama 24 jam. Akan tetapi satu penelitian
yang dilakukan pada 8 pasien dengan GCS 4-5
hasilnya adalah 5 pasien meninggal karena
abnormalitas intrakranial (n=4) atau karena syok
septik setelah pneumonia (n=1). Hipotermi sedang
(320C) dapat membatasi kerusakan neuron
pascaiskemik dan penggunaannya meningkat pada
cedera kepala dan stroke. Untuk tujuan hipotermia
sebagai neuroproteksi dalam mencegah kerusakan
iskemia, diperlukan untuk melakukannya sesegera
mungkin setelah adanya cedera dan mempertahankan pada batas aman. Pendinginan
dengan extracorporeal heat exchanger dapat
menghindari induksi hipotermi yang lambat seperti
halnya dengan surface cooling. Piepgras,
menggunakan sirkulasi extracorporeal venovenous
melalui kanula double lumen melalui vena
femoralis pada 8 pasien cedera kepala berat dengan
GCS 4-5, untuk mencapai temperatur otak 320C
dan dipertahankan selama 48 jam dan kemudian dilakukan rewarming secara gradual selama 24 jam.
Temperatur otak 320C dicapai dalam waktu 1 jam
53 menit +/- 1 jam 21 menit setelah induksi cooling
dengan kecepatan 3,5 derajat C per jam.
Kesimpulan penelitian Piepgras bahwa penggunaan
extracorporeal heat exchanger untuk active core
cooling adalah memuaskan dalam hal kecepatan
dan keakuratan induksi, pemeliharaan, dan
memulihkan hipotermi. Akan tetapi, penelitiannya
menunjukkan tidak ada keuntungan hipotermi
terapi terhadap outcome.22 Penelitian penurunan suhu tubuh sampai 330C, yang dimulai 6 jam
setelah cedera dan dipertahankan selama 48 jam
dengan surface cooling, terbukti tidak efektif.24
VIII. Bagaimana caranya?
Teknik hipotermia dapat dilakukan dengan cara
Surface cooling, Endovascular cooling, dan
Selective head cooling. Surface Cooling dilakukan
dengan cara mendinginkan memakai selimut dingin
dan es. Teknik ini mudah dilakukan dan murah.
Selama melakukan teknik ini diperlukan intubasi
dan pelumpuh otot untuk melawan efek
vasokonstriksi dan menggigil. Prosesnya memerlukan waktu lama berkisar 3 jam.
Pendinginan dengan es dan infus NaCl dingin untuk
pendinginan pasien oleh personil emergensi dapat
digunakan diluar rumah sakit pada pasien yang
mengalami henti jantung.
Endovascular Cooling membutuhkan waktu yang
lebih singkat, lebih tepat pengendalian suhunya,
tidak diperlukan pelumpuh otot dan intubasi serta
pengendalian menggigil.
Head Cooling dengan pendinginan dilakukan
didaerah kepala dengan topi dingin setelah ensepalopati neonatal.
IX. Bagaimana cara memulihkan suhu ke
normal? Bagaimana metode rewarming?
Rewarming merupakan suatu proses
menghangatkan kembali suhu tubuh pasien yang
telah menjalani terapi hipotermia. Rewarming
dilakukan dengan cara bertahap dan dilakukan
selambat mungkin. Proses rewarming yaitu dengan
peningkatan suhu 0,2-0,5OC setiap 30-60 menit dan
dapat ditingkatkan kembali suhunya apabila tidak
terjadinya gangguan hemodinamika. Komplikasi
yang mungkin dapat terjadi saat dilakukannya rewarming adalah hipertermia, gangguan elektrolit
berupa hiperkalemia, peningkatan aliran darah otak,
edema otak, dan cedera sel saraf.10,14
Pasien dengan hipertensi intrakranial mempunyai
refleks meningkatkan tekanan intrakranial selama
12 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
rewarming. Rewarming dilakukan selama periode 12 jam pada kecepatan 0,10C/jam.
X. Bagaimana hasilnya?
Limabelas presen perbaikan outcome pada 6 bulan
pada 46 pasien yang temperatur tubuhnya
didinginkan sampai 320C selama 48 jam yang
dimulai 6 jam setelah cedera.24 Terapi dengan
hipotermi sedang 32-330C selama 24 jam pada
pasien dengan cedera otak traumatika berat dengan
GCS 5-7 pada saat masuk ke rumahsakit,
mempercepat pemulihan neurologik dan
memperbaiki outcome.25
Berlawanan dengan pernyataan sebelumnya,
penelitian yang dilakukan lebih baru menyatakan
bahwa hipotermi untuk cedera otak traumatika,
hanya merupakan ide yang baik, akan tetapi tidak
efektif dan dinyatakan bahwa efek hipotermi tidak
ada setelah cedera otak traumatika.24,26
Penelitian klinis multisenter dari hipotermia pada
pasien dengan cedera kepala berat telah dilaporkan
oleh Clifton dkk, walaupun mengecewakan,
menggambarkan hasil yang penting. Penelitian
Clifton dimulai tahun 1994 dengan harapan ada
bukti definitif keuntungan hipotermi pada pasien cedera kepala. Akan tetapi, pada bulan Mei 1998,
penelitian tersebut dihentikan oleh board keamanan
dan pemantauan pasien setelah dilakukan pada 392
pasien dari 500 pasien yang direncanakan, karena
ternyata terapi hipotermi tidak efektif. Pendinginan
pasien dengan target suhu kandung kencing 330C
dalam 8 jam setelah cedera dan dipertahankan
hipotermi selama 48 jam tidak efektif dalam
memperbaiki outcome klinik pada 6 bulan
kemudian.24
Penelitian pada 225 pasien pediatri tentang terapi hipotermi setetak cedera otak traumatika
menunjukkan bahwa pendinginan mencapai suhu
33.01+1.2OC lebih memperburuk outcome 6 bulan,
meningkatkan angka kematian, dan lebih banyak
masalah hipotensi dan pemberian vasopresor
dibandingkan dengan bila suhu dipertahankan
normotermi (33.01+1.2OC).
XI. Simpulan
1. Dengan pengecualian untuk klipping
aneurisma, hipotermi sedang untuk terapi
cedera otak traumatika tidak ada keuntungannya
2. Terapi hipotermi pada cedera otak traumatika
masih kontroversi, akan tetapi, dalam situasi
klinis pertahankan temperatur inti pasien 350C
(normotermi rendah). Untuk mencapai
temperatur 350C cukup dilakukan pendinginan melalui suhu ruangan atau infus dingin.
3. Hipotermia telah berhasil mengalihkan dari
penelitian laboratorium ke penggunaan klinis
dan telah digunakan pada pasien dengan
operasi jantung dan neurologik dengan resiko
tinggi. Pembuktian pertama efek proteksi otak
di klinis adalah memperbaiki outcome setelah
henti jantung dan menjadi standar dalam
pengelolaan henti jantung. Penelitian
pendahuluan penggunaan hipotermia ringan
dan sedang pada stroke iskemik akut masih berlangsung.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran; 2012.
2. Bullock MR, Povlishock JT. Guideline for
management severe traumatic brain injury.
Journal of Neurotrauma 2007; vol 24, supp 1.
3. Bendo AA. Perioperative management of adult
patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and
Young’s neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2011, 317-25.
4. Morales MI, Pittman J, Cottrell JE. Cerebral
protection and resuscitation. Dalam: Newfield
P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkin;2007, 55-72.
5. Shapira Y, Lam AM. Experimental head injury
and new horizons. Dalam: Lam AM, ed.
Anesthetic Management of Acute Head Injury. New York:McGraw Hill; 1995: 285-315.
6. Kass IS, Cottrell JE. Pathophysiology of brain
injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds.
Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed. St
Louis:Mosby ;2001: 69-79.
7. Bernard SA, Buist M. Induced hypothermia in
critical care medicine: a review. Crit Care Med
2003;31:2041-51.
8. Dietrich WD, Bramlett HM. The Evidence for
hypothermia as neuroprotectant in traumatic
brain injury. Neurotherapeutics 2010; 7: 1-13.
9. Harris OA, Colford JM. Good MC. Matz PG. The role of hypothermia in the management of
severe brain injury. Arch Neurol 2002;59:
1077-83.
13 Hipotermia Untuk Proteksi Otak
10. Seppelt I. Hypothermia does not improve outcome from traumatic brain injury. Critical
Care and Resuscitation 2005;7:233-37.
11. Polderman KH. Mechanisms of action,
physiological effect, and complication of
hypothermia. Crit Care Med 2009;37:s186-
202.
12. Tisherman SA. Hypothermia and injury.
Current opinion in Critical Care 2004;10:512-
19.
13. Zygun DA, Doig JC, Auer RN, Laupland KB,
Sutherland GR. Progress in clinical neurosciences: Therapeutic hypothermia in
severe traumatic brain injury. Can J neurol. Sci
2003;30:307-13.
14. Gupta AK, al Rawi PG, Hutchinson PJ,
Kirkpatrick PJ. Effect of hypothermia on brain
tissue oxygenation in patients with severe head
injury. Br J Anaesth 2002;88:188-92.
15. Fukuda S, Warner DS. Cerebral Protection. Br
J Anaesth 2007;99:10-17.
16. Luscombe M, Andrzejowski JC. Clinical
application of induced hypothermia.
Continuing Education in Anesthesia, Critical care & Pain 2006;6: 23-7.
17. Polderman KH. Induced hypothermia to treat
post-ischemic and post-traumatic injury. Scan J
Trauma Resusc Emerg Med 2004; 12: 5-20.
18. McIntyre LA, Fergusson DA, Hebert PC,
Moher D, Hutchinson JS. Prolong therapeutic
hypothermia after traumatic brain injury in
adults. JAMA 2003; 289: 2992-99.
19. Liu L, Yenari MA. Therapeutic hypothermia:
neuroprotective mechanisms. Frontiers in
Bioscience 2007; 12: 816-25.
20. Pemberton PL, Dinsmore J. The use of hypothermia as a method of neuroprotection
during neurosurgical procedures and after
traumatic brain injury: A survey of clinical
practice in Great Britain and Ireland.
Anesthesia 2003;58:37-73.
21. Fritz HG, Bauer R. Secondary injuries in brain
trauma: effect of hypothermia. J Neurosurg
Anesthesiol 2004; 16(1):43-52.
22. Piepgras A, Roth H, Shurer L, et al. Rapid
active internal core cooling for induction of
moderate hypothermia in head injury by use of an extracorporporeal heat exchanger.
Neurosurgery 1998;42(2):311-7.
23. Mack WJ, Huang J, Winfree C, et al. Ultra
rapid, convection-enhanced intravascular
hypothermia a feasibility study in nonhuman
primate stroke. Stroke 2003;34:1994-99.
24. Clifton GL, Miller ER, Choi SC. Lack effect of
induction of hypothermia after acute brain
injury. N Engl J Med 2001;344(8):556-63.
25. Marion DW, Penrod LE, Kelsey SF. Treatment
of traumatic brain injury with moderate
hypothermia. N Engl J Med 1997;336 (8):540-45.
26. Narayan RK. Hypothermia for traumatic brain
injury- a good idea proved ineffective. N Engl
J Med 2001;344(8):602-3.
METABOLISME ENERGI PADA CEDERA OTAK TRAUMATIK
ENERGY METABOLISM IN TRAUMATIC BRAIN INJURY
I Putu Pramana Suarjaya*, Tatang Bisri**), Himendra Wargahadibrata**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUP Sanglah/ Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUP dr. Hasan Sadikin / Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung
Abstract
During Traumatic brain injury, secondary insults will led to physiological and biochemical cascade that
disturbing cerebral energy metabolism. After traumatic brain injury, sustained changes in cellular energy
metabolism have been described as accelerated glycolysis or mitochondrial dysfunction.Traumatic brain injury
is associated with increasing energy needs to restore cerebral ionic hemostasis, distubance in glutaminergic
process and tissue repairing.
Combination of ATP release from pre-terminal synaps, mitochondrial dysfunction, decrease brain oxygen
delivery and increasing energy metabolic needs results in cerebral energy imbalances.
Key words: Traumatic brain injury, cerebral energy metabolism
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Cedera otak traumatik mengakibatkan terjadinya kaskade gangguan fisiologi dan biokimia yang berpengaruh
pada metabolisme dan produksi energi serebral. Setelah cedera otak traumatik, terjadi perubahan berkelanjutan
pada metabolisme energi serebral yang ditandai oleh terjadinya disfungsi mitokondria dan meningkatnya
glikolisis. Cedera otak traumatik juga mengakibatkan adanya peningkatan kebutuhan energi karena terjadinya
gangguan hemostasis ion, gangguan hantaran glutaminergik dan proses perbaikan jaringan yang membutuhkan
energi.
Kombinasi dari dari pelepasan ATP dari sinap preterminal, disfungsi mitokondria, penurunan aliran darah otak setelah cedera dan peningkatan kebutuhan energi otak pada saat cedera akan menimbulkan ketidak seimbangan
antara penyediaan dan kebutuhan energi pada cedera otak traumatik.
Kata kunci : Cedera otak traumatik, metabolisme energi serebral
JNI 2012;1(4):
I.Pendahuluan
Cedera otak traumatik terdiri dari cedera primer dan
cedera sekunder. Gaya mekanik yang terjadi pada
saat cedera otak merusak pembuluh darah, akson,
neuron dan glia, akan memicu proses selanjutnya berupa perubahan kompleks yang terdiri dari
perubahan seluler, inflamasi, neurokimiawi dan
metabolik.
Cedera otak traumatik mengakibatkan terjadinya
kaskade gangguan fisiologi dan biokimia yang
berpengaruh pada metabolisme dan produksi energi
serebral. Cedera otak traumatik mengakibatkan terjadinya pelepasan glutamat dan gangguan
hemostasis ion, dan terjadi peningkatan kebutuhan
metabolik yang tampak dari peningkatan segera dan
transien tingkat metabolisme glukosa serebral,
menurunnya metabolisme oksidatif dan
meningkatnya glikolisis anaerobik.1-3
Cedera otak traumatik juga mengakibatkan
disfungsi mitokondria, meningkatkan produksi
radikal bebas dan stres oksidatif, mengakibatkan
pelepasan dan akumulasi Zn dan mengaktivasi
poli(ADP-ribose) polimerase (PARP), yang
semuanya memiliki pengaruh yang berkaitan dan
menghambat berbagai komponen jalur metabolik
sehingga mengakibatkan sel otak tidak mampu
menghasilkan energi untuk memenuhi kebutuhan
metabolik pada cedera otak traumatik.3, 4
ATP, GTP dan konsentrasi koenzim nikotinik
(NAD dan NADP) menunjukkan penurunan yang
bermakna hanya beberapa jam setelah terjadinya
85
METABOLISME ENERGI PADA CEDERA OTAK TRAUMATIK
cedera otak traumatik. Penurunan maksimal konsentrasi ATP dan GTP didapatkan terjadi pada 6
jam pasca cedera, sedangkan konsentrasi NAD dan
NADP terendah didapatkan pada jam ke 15 pasca
cedera.3
Cedera otak traumatik juga mengakibatkan adanya
peningkatan kebutuhan energi karena terjadinya
gangguan hemostasis ion, gangguan hantaran
glutaminergik dan proses perbaikan jaringan yang membutuhkan energi. Kombinasi dari dari
pelepasan ATP dari sinap preterminal, disfungsi
mitokondria, penurunan aliran darah otak setelah
cedera dan peningkatan kebutuhan energi otak
pada saat cedera akan menimbulkan
ketidakseimbangan antara penyediaan dan
kebutuhan energi pada cedera otak traumatik.2, 5
II.Tranport Oksigen Serebral
Dalam kondisi normal, otak memiliki ambang
batas CBF dan tekanan oksigen (PO2). Apabila
CBF menurun, akan berpengaruh terhadap fungsi dan integritas sel saraf. CBF normal berkisar sekitar
50 ml/100 g jaringan otak/menit. Apabila CBF
menurun sampai 25 ml/ 100 g jaringan otak/ menit,
terjadi perlambatan gambaran elektro-ensefalogarfi
(EEG) dan pada CBF 20 ml/100 g jaringan
otak/menit terjadi kehilangan kesadaran tetapi
masih dapat ditoleransi tanpa mengakibatkan
konsekuensi neurologis jangka panjang. Di bawah
18 ml/100 g jaringan otak/menit, hemostasis ion
akan terganggu dan sel saraf akan melakukan
metabolisme anaerobik. Pada CBF 10 ml/100 g jaringan otak/menit, integritas membran sel akan
rusak dan kerusakan otak yang ireversibel tidak
akan terhindarkan. Infark jaringan otak ini
berkaitan dengan CBF dan berapa lama penurunan
CBF ini terjadi.
Gambar 1. CBF, durasi iskemia dan infark
Dikutip dari: Verwiej BH, Amelink GJ,
Muizelaar JP 6
Darah arterial mengandung O2 13 (volume) % sedangkan darah vena jugularis mengandung O2 6,7
%, sehingga terdapat perbedaan kandungan oksigen
arteri-vena (AVDO2) sebesar (13-6,7) = 6,3 % (ml
O2/ 100 ml darah). Dengan mengetahui jumlah
darah yang mengalir ke otak (sekitar 50 ml/100 g
jaringan otak/menit) dan jumlah oksigen yang
diambil oleh jaringan otak dari darah arterial
(AVDO2) kita dapat mengkalkulasi cerebral
metabolic rate of oxygen (CMRO2) yakni: CMRO2
= CBF x AVDO2, yang berkisar 3,2 ml (O2/100 g
jaringan otak/menit).6
III.Reaktifitas Serebrovaskuler
Terdapat dua keadaan dimana otak bisa mengatur
aliran darahnya. Pertama CBF berubah secara
proporsional sesuai perubahan CMRO2- yang
disebut sebagai autoregulasi metabolik. Kedua,
CBF tetap konstan walaupun adanya perubahan tekanan darah ataupun intracranial pressure (ICP),
dimana CPP = MABP-ICP yang disebut sebagai
autoregulasi tekanan-auto regulasi viskositas.
Autoregulasi metabolik, tekanan dan viskositas
darah menjaga AVDO2 tetap konstan (dalam
kondisi fisiologis) dimana CMRO2 = CBF x
AVDO2.
Faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah reaktifitas pembuluh darah terhadap CO2,
dimana pada keadaan hiperventilasi (terjadi
penurunan PCO2) terjadi vasokonstriksi serebral
yang akan mengakibatkan penurunan CBF dan
meningkatnya AVDO2, sedangkan pada keadaan
hipoventilasi (terjadi peningkatan PCO2) akan
terjadi hal yang sebaliknya.
Autoregulasi serebral, secara fundamental berbeda
dengan reaktifitas pembuluh darah serebral
terhadap CO2, dimana pada autoregulasi metabolik
maupun autoregulasi tekanan darah, perubahan
diameter pembuluh darah adalah mekanisme
kompensasi untuk menjaga agar AVDO2 tetap
konstan, sedangkan pada reaktifitas pembuluh
darah terhadap CO2, perubahan primernya adalah
perubahan diameter pembuluh darah serebral,
sedangkan CBF dan AVDO2 mengikuti secara
pasif. Sehingga reaktifitas pembuluh darah terhadap
CO2 berbeda dengan autoregulasi, dimana pada reaktifitas terhadap CO2 terjadi perubahan
AVDO2.6
IV.Tekanan Parsial Oksigen pada Jaringan
Otak Pada kondisi fisiologis, terdapat hubungan linier antara tekanan arterial O2 (PaO2) dengan tekanan
O2 jaringan otak; dimana pada PaO2 90 mmHg,
tekanan O2 cerebrovenous 35 mmHg. Karena oksigen dikonsumsi secara berkelanjutan pada
jaringan, tekanan O2 jaringan otak lebih baik
dideskripsikan antara 90 mmHg pada jaringan otak
yang berdekatan dengan kapiler sampai 34 mmHg
pada daerah distal.
Penurunan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2)
pada CBF yang normal akan mengakibatkan
terjadinya penurunan fungsional jaringan saraf. Penurunan PaO2 menjadi 65 mmHg menyebabkan
pasien tidak mampu melakukan tugas berfikir
kompleks. Pada PaO2 55 mmHg akan terjadi
gangguan memori jangka pendek. Pada PaO2 30
mmHg akan menyebabkan pasien kehilangan
kesadaran. Pada hewan coba, penurunan PaO2
menjadi 36 mmHg menyebabkan terjadinya
asidosis intrasel, penurunan kadar fosfokreatinin
dan ATP, serta peningkatan kadar laktat intrasel.
Jaringan otak manusia memiliki PO2 kritis antara
15-20 mmHg, bila PaO2 lebih rendah lagi akan mengakibatkan terjadinya infark yang beratnya juga
tergantung durasi terjadinya penurunan PaO2
tersebut.
Mitokondria sel saraf memerlukan PO2 intrasel
minimal 1,5 mmHg untuk menjaga terjadinya
metabolisme aerobik. Apabila PO2 seluler rendah,
gaya yang mendorong O2 ke mitokondria akan
menurun secara dramatis. Kadar minimal PO2 jaringan yang mampu menjaga ketercukupan PO2
sel belum diketahui. Sebagai tambahan,
diperkirakan jarak difusi oksigen dari sistem
mikrovaskuler akan melebar pasca cedera otak
traumatik karena adanya pembengkakan astrosit,
pembengkakan jaringan otak secara menyeluruh,
maupun kerusakan jaringan. Pada keadaan ini,
jaringan otak memerlukan tekanan oksigen yang
lebih tinggi untuk mempertahankan tingkat
oksigenasi jaringan.4, 5
V.Metabolisme Energi Otak
Pada kondisi fisiologis, otak memerlukan sejumlah
besar energi. Walaupun berat jaringan otak hanya
2-3 % dari total berat tubuh, otak menggunakan
sekitar 20 % dari total energi yang diperlukan
tubuh. 50 % dari energi yang diperlukan otak
digunakan untuk aktifitas sinaps, 25 % digunakan
untuk menjaga gradien ion antar membran sel dan
sisanya digunakan untuk menjaga integritas
membran dan aktivitas lainnya.
Apabila sintesis ATP tidak mencukupi, mekanisme
hemostasis akan terganggu, terjadi peningkatan
konsentrasi ion kalsium intrasel dan kematian sel
tidak dapat dihindarkan. Sebagian besar energi ini
digunakan oleh neuron. Walaupun sel glia
merupakan bagian terbesar dari volume jaringan otak, glia memiliki tingkat metabolisme yang lebih
rendah dan menggunakan kira-kira hanya 10 % dari
total konsumsi energi otak.
Pada kondisi normal, hampir semua energi di tubuh
kita diproduksi secara metabolisme aerobik. Krebs
menjelaskan tiga tahap pembentukan energi ini :
1. Molekul besar dari makanan dipecah menjadi
unit yang lebih kecil dan sederhana. Protein dipecah menjadi asam amino, karbohidrat dipecah
menjadi gula sederhana seperti glukosa serta lemak
dipecah menjadi gliserol dan asam lemak.
2. Molekul ini kemudian dipecah menjadi unit yang
lebih sederhana yang memainkan peranan penting
dalam metabolisme. Sebagian besar akan
dikonversi menjadi unit asetil dari asetik ko-enzim
A (asetil ko-A). Tahapan proses ini menghasilkan
sebagian kecil ATP.
3. Asetil ko-A memberikan unit asetil ke dalam
siklus asam sitrat, dimana asetil koA akan dioksidasi sempurna menjadi CO2. Empat pasang
elektron diberikan ke NAD+ dan flavin adenine
dinucleotide (FAD) untuk setiap kelompok asetil
yang teroksidasi. ATP kemudian terbentuk saat
elektron mengalir dari proses reduksi pembawa O2
selama proses oksidasi fosforilasi. Sebagian besar
ATP terbentuk pada tahap ini.
Pola metabolisme otak sangat berbeda dari organ lain dalam menggunakan sumber energi untuk
memenuhi kebutuhan energinya. Otak tidak
memiliki cadangan substrat sehingga memerlukan
penyediaan glukosa yang kontinyu, yang dapat
masuk secara bebas setiap saat. Otak
mengkonsumsi glukosa 120 g/hari, yang akan
menghasilkan asupan energi 420 kcal. Otak
menggunakan sekitar 60 % dari kebutuhan glukosa
tubuh pada keadaan istirahat. Dalam keadaan
kelaparan, badan keton (asetoasetat dan 3-hidroksi
butirat) secara parsial dapat digunakan oleh otak menggantikan glukosa sebagai sumber energi.
Asam lemak tidak digunakan sebagai sumber
energi otak karena terikat pada albumin plasma,
sehingga tidak dapat melewati blood brain barrier
(BBB).6
Glikolisis
Metabolisme glukosa serebral memiliki regulasi
yang ketat dan bertujuan untuk menghasilkan ATP dan menyediakan karbon untuk reaksi biosintesis
yang berkaitan dengan aktifitas fungsional jaringan
saraf. Aktifitas sensorik, motorik dan kognitif
semuanya memerlukan ATP. Jalur glikolisis dan
siklus TCA juga terjadi pada jaringan otak,
sehingga untuk mendapatkan ATP, semua sel otak
memetabolisme glukosa melalui jalur glikolisis dan
87
METABOLISME ENERGI PADA CEDERA OTAK TRAUMATIK
siklus TCA. Kontrol proses glikolisis dilakukan oleh enzim utama heksokinase, fosfofruktokinase,
dan piruvat kinase.
Jalur metabolik lain untuk oksidasi glukosa adalah
pentose-phospate pathway (PPP). Pada sel-sel
pasca mitotik seperti neuron, sebagian besar
NADPH yang berasal dari PPP terutama digunakan
sebagai ko-faktor untuk jalur pembentukan
antioksidan glutation (GSH). Peranan PPP sebagai antioksidan juga didapatkan pada neuron dan
astrosit. Sekarang diketahui nitrit-oksida memiliki
fungsi sebagai fine control dari metabolisme energi
neuron dengan melakukan pengaturan yang teliti
dari keseimbangan konsumsi glukosa- 6- fosfat
antara glikolisis dan PPP.
Glukosa dapat disimpan dalam bentuk glikogen. Hampir semua glikogen otak tersimpan di astrosit.
Glikogen adalah cadangan utama energi otak.
Walaupun cadangan glikogen ini hanya dapat
menjaga tingkat metabolisme otak selama 1-2
menit. Jadi fungsi cadangan ini tampaknya tidak
pada saat terjadi hipoglikemia. Metabolisme
glukosa otak sangat berkaitan dengan aktifitas
neuron. Metode autoradiografi deoxyglucose
(DOG), magnetic resonance imaging (MRI) dan
positron emission tomografi (PET) menunjukkan
bahwa peningkatan konsumsi glukosa terjadi pada
saat adanya peningkatan aktifitas fungsional neuron.7
Glucose Transporter-1 (GLUT-1) akan
mengangkut glukosa melewati BBB. GLUT-1 juga
memperantarai ambilan glukosa pada astrosit,
sedangkan GLUT-3 memperantarai ambilan
glukosa oleh neuron. Ekspresi transporter GLUT
akan meningkat pada model eksperimental hipoksia, yang akan meningkatkan asupan glukosa
untuk meningkatkan produksi energi.
Apabila mitokondria tidak berfungsi, walaupun bila
aliran darah otak sudah kembali normal, sebagian
ATP dapat mulai diproduksi oleh glikolisis karena
proses ini tidak memerlukan oksigen. Pada proses
ini hanya dihasilkan sebagian dari total energi yang
seharusnya bisa dihasilkan oleh glukosa.
Siklus Asam Sitrat
Siklus asam sitrat terjadi di mitokondria. Pada
kondisi aerobik, proses selanjutnya dari
pembentukan energi oleh glukosa adalah
dekarboksilasi oksidatif dari piruvat untuk
menghasilkan asetil koA. Unit asetil yang
teraktivasi ini akan dioksidasi sempurna oleh siklus
asam sitrat, serangkaian reaksi yang dikenal sebagai
siklus tricarboxylic acid (TCA) atau siklus Krebs.
Siklus TCA adalah siklus akhir dari jalur umum oksidasi substrat energi.
Fosforilasi Oksidatif NADH dan FADH2 yang terbentuk pada saat
glikolisis, oksidasi asam lemak dan siklus asam
sitrat adalah molekul yang kaya energi karena
setiap molekulnya memiliki sepasang elektron
dengan potensial transfer yang tinggi. Elektron ini
sebagian akan diberikan kepada molekul oksigen,
yang akan menghasilkan sejumlah besar energi
bebas, yang digunakan untuk membentuk ATP. Fosforilasi oksidatif adalah proses dimana ATP
dibentuk pada saat elektron dipindahkan dari
NADH atau FADH2 ke O2 oleh pembawa elektron
(electron carrier). Proses ini merupakan sumber
utama ATP pada organisme aerobik.6
Selama bertahun- tahun glukosa dianggap
merupakan sumber energi tunggal sel-sel otak.
Sejak 15 tahun terakhir pandangan ini mulai berubah. Sekarang sedang dipelajari peranan
monokarboksilat sebagai sumber energi yang
mendukung aktifitas serebral. Adanya Astrocyte-
Neuron Lactate Shuttle Hypothesis (ANSLH)
memberikan cara pandang baru proses
bioenergetik otak. ANSLH menyatakan bahwa
pada keadaan istirahat neuron mengkonsumsi
glukosa, sedangkan pada saat aktivitas sinaps
neuron lebih memilih laktat sebagai sumber
energi.7, 8
Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi utama
pada sistem saraf pusat. Untuk menjamin transmisi
sinaps yang adekuat dan mencegah terjadinya
eksotoksisitas, sangat penting untuk menjaga
konsentrasi glutamat tetap rendah pada ruang
ekstraseluler. Karenanya, glutamat yang dilepaskan
dari terminal presinaps harus dipindahkan dari
celah sinaps. Pada otak yang sehat, konsentrasi
toksik glutamat dapat dicegah oleh adanya transporter asam amino eksitasi yang mengambil
glutamat. Pada astrosit glutamat dikonversi menjadi
glutamin oleh glutamin sintetase.1
Glutamin dilepaskan ke ruang ekstraseluler dan
diambil oleh neuron yang berdekatan dan
digunakan untuk mensintesis glutamat dengan
bantuan enzim glutaminase. Adapula sebagian
glutamin digunakan sebagai substrat energi, dioksidasi dan didegradasi secara sempurna. Proses
daur ulang glutamat ini dikenal sebagai siklus
glutamat-glutamin dan siklus ini mengakibatkan
perubahan metabolisme neuronal antara periode
aktifitas dan istirahat dan hubungan energetik
antara astrosit dan neuron.8
Dibawah pengaruh aktifitas sinap glutaminergik, glukosa dalam darah diambil oleh astrosit dan
dioksidasi terutama menjadi laktat. Didapatkan
bahwa ambilan glutamat oleh astrosit menstimulasi
tranportasi glukosa yang diperantarai oleh GLUT-1,
glikolisis dan diikuti oleh pelepasan laktat. 7
Didapatkan bahwa glutamat mampu menstimulasi
produksi laktat dari ambilan glukosa dan
disesuaikan dengan aktifitas neuron melalui aktivasi reseptor -amino-3-hydroxy-5-
methylisoxazole- 4-propionate yang terdapat di
serebelum. Aktivasi metabolik astrosit merupakan
langkah kunci dalam penyesuaian metabolik
(metabolic coupling) diantara sel-sel otak.8
Kebutuhan energi astrosit juga distimulasi oleh
ambilan glutamat dan peningkatan kadar ekstraseluler K+, serta ambilan glutamat sendiri
akan menstimulasi aktifitas Na+,K+- ATPase.
Dengan cara yang sama peningkatan kadar K+
ekstraseluler akan mengaktivasi Na+,K+- ATPase
dan menurunkan kadar ATP pada astrosit, bukan
pada neuron. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler
akan menstimulasi fosforolasi DOG , pembentukan
laktat dan pelepasan pada kultur astrosit. Laktat
yang dilepaskan oleh glia akan diambil oleh
neuron, dimana rangka karbon-nya didegradasi
menjadi CO2 dan air.7
Aliran laktat dari astrosit ke neuron memungkinkan
karena adanya ekspresi berbagai isoform MCT dan
isoenzim LDH pada neuron dan astrosit. Demikian
pula aliran laktat antara neuron dan glia dapat
dijelaskan karena astrosit memiliki ekspresi
pembawa (carrier) aspartat/glutamat yang rendah.
Karena pembawa aspartat/glutamat diperlukan
untuk malat/aspartat shuttle (dan untuk reoksidasi NADH sitosolik), sangat memungkinkan astrosit
terutama mengkatalisa konversi glikolisis glukosa
menjadi laktat. Walaupun masih terdapat ahli yang
berpendapat bahwa glukosa adalah substrat yang
utama untuk sel neuron.9, 10
Pada saat terjadi peningkatan aktifitas neuron,
kalium dan glutamat akan dilepaskan ke ruang
ekstrasel dan diambil oleh astrosit yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan proses
glikolisis pada astrosit. Pada cedera otak traumatik,
metabolisme aerobik akan menurun karena adanya
penurunan tekanan oksigen seluler ataupun adanya
disfungsi mitokondria yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi laktat.6
Metabolisme Energi pada Cedera Otak
Traumatik
Pada hewan coba maupun manusia, cedera otak
traumatik mengakibatkan peningkatan produksi
laktat pada jaringan otak, yang secara berangsur-
angsur kembali normal beberapa hari kemudian
pada pasien yang selamat. Penelitian mikrodialisis
menunjukkan kadar glukosa cairan ekstraseluler
akan menurun sangat rendah, pada saat terjadinya
peningkatan kadar laktat tersebut.
Apabila terjadi kegagalan metabolisme aerobik,
metabolisme anaerobik akan tetap bertahan,
mengakibatkan terjadinya hiperglikolisis dan
produksi laktat. Peralihan ke metabolisme
anaerobik akan berlangsung bila terjadi iskemia.
Apabila tekanan oksigen otak turun di bawah 20
mm Hg metabolisme aerobik akan terhenti.
Demikian pula bila terjadi disfungsi mitokondria,
metabolisme aerobik akan bergeser menjadi
metabolisme anaerobik.2
Pada penelitian hewan coba cedera otak traumatik
didapatkan juga terjadi metabolisme serebral secara
anaerobik yang menghasilkan laktat, bahkan pada
saat belum ada gangguan aliran darah otak. Juga
didapatkan dengan mengukur oksigenasi otak,
pembentukan CO2, pH dan suhu bersamaan dengan
pengukuran kadar laktat dan glukosa dengan
mikrodialisis bahwa produksi laktat meningkat sampai 65 %, walaupun dalam kondisi CBF dan
tekanan oksigen otak yang adekuat. Terjadinya
disfungsi mitokondria merupakan penyebab
meningkatnya produksi laktat pada cedera otak
traumatik ini.3
Mitokondria memainkan peranan penting pada daya
tahan hidup (survival) sel dan berkembangnya jaringan karena fungsinya yang sangat vital pada
metabolisme energi dan peranannya pada proses
apoptosis. Cadangan energi jaringan saraf dan
proses glikolisis anaerobik hanya mampu
menyediakan ATP untuk menjaga fungsi sel otak
selama 1-2 menit, sehingga pembentukan ATP
secara kontinyu oleh mitokondria menjadi sangat
penting. Mitokondria sel saraf memiliki kapasitas
menyimpan ion kalsium dalam jumlah besar,
sehingga dapat melindungi neuron dari peningkatan
sesaat konsentrasi kalsium selama terjadinya
hiperaktivitas neuron.3-5
Pada periode yang lalu, penelitian pada cedera otak
traumatik terutama difokuskan pada
mengoptimalkan asupan oksigen dan glukosa pada
jaringan otak yang cedera dalam upaya menjaga
asupan ATP serebral dan mencegah kerusakan dan
kematian neuron. Tetapi sekarang menjadi jelas
89
METABOLISME ENERGI PADA CEDERA OTAK TRAUMATIK
bahwa faktor pembatas pada pembentukan energi pada cedera otak traumatik tidak hanya asupan
oksigen dan glukosa yang tidak adekuat, tetapi juga
adanya disfungsi mitokondria.2
Cedera otak traumatik dengan ataupun tanpa
hipoksia dan iskemia akan mengakibatkan sejumlah
perubahan biokimia seperti adanya efluks asam
amino dan produksi radikal bebas. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya pergeseran ion secara masif dan peningkatan kadar kalsium pada
kompartemen intraseluler. Cedera otak traumatik
akan mengakibatkan terjadinya gangguan
hemostasis kalsium dengan adanya kalsium yang
berlebih pada sitosol dan absorpsi kalsium yang
berlebihan oleh membran mitokondria. Hal ini akan
menghambat fungsi mitokondria, walaupun
terdapat jumlah yang oksigen dan substrat energi
yang memadai. Pada tikus, disfungsi mitokondria
ini terjadi mulai 1 jam pasca cedera otak traumatik
dan berlangsung paling singkat selama 14 hari, dengan derajat disfungsi maksimal terjadi pada 12-
72 jam pasca cedera.4, 5
Mitokondria juga berperanan pada proses kematian
sel. Peningkatan Ca2+ pada sitosol dan adanya stres
oksidatif keduanya memberikan kontribusi pada
membukanya permeability transition pore (PTP)
dari mitokondria, yang akan mendepolarisasi
mitokondria dan mengakibatkan terjadinya pembengkakan mitokondria dan pelepasan
sitokrom c dan ruang intermembran mitokondria.
Sitokrom c normalnya berfungsi sebagai bagian
rantai respirasi, tetapi bila dilepaskan ke sitosol
(sebagai akibat terbukanya PTP) akan berperan
sebagai komponen kritis dari eksekusi proses
apoptosis, dan akan mengaktivasi kaspase (cysteine
aspartate protease) dan apabila tersedia ATP akan
mengakibatkan terjadinya kematian sel lewat jalur
apoptosis.4
Gambar 2. (a) Skema Glikolisis dan siklus Krebs,
(b) Skema elektron transport mitokondria, (c)
Skema coupled metabolism astrosit-neuron
Dikutip dari: Verwiej BH, Amelink GJ,
Muizelaar JP 6
V.Simpulan
Cedera otak traumatik mengakibatkan terjadinya
kaskade gangguan fisiologi dan biokimia yang
berpengaruh pada metabolisme dan produksi energi serebral. Cedera otak traumatik mengakibatkan
terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik yang
tampak dari peningkatan segera dan transien tingkat
metabolisme glukosa serebral, menurunnya
metabolisme oksidatif dan meningkatnya glikolisis
anaerobik. Cedera otak traumatik juga
mengakibatkan adanya peningkatan kebutuhan
energi karena terjadinya gangguan hemostasis ion,
gangguan hantaran glutaminergik dan proses
perbaikan jaringan yang membutuhkan energi.
Kombinasi ini akan menimbulkan
ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan energi pada cedera otak traumatik.
Daftar Pustaka
1.Casey PA, Mckenna MC, Fiskum G, Saraswati
M, Robertson Cl. Early and sustained alterations in
cerebral metabolism after traumatic brain injury in
immature rats. J Neurotrauma. 2008;25:603-14.
2.Marklund N, Salci K, Ronquist G, Hillered L. Energy metabolic changes in the early post-injury
period following traumatic brain injury in rats.
Neurochem Res. 2006;31:1085–93.
3.Vagnozzi R, Marmarou A, Tavazzi B, Signoretti
S, Pierro DD, Bolgia FD, et al. Changes of cerebral
energy metabolism and lipid peroxidation in rats
leading to mitochondrial dysfunction after diffuse
brain injury. J Neurotrauma. 1999;16(10):903-13.
4.Galluzzi L, Blomgren K, Kroemer G. Mitochondrial membrane permeabilization in
neuronal injury. Neuroscience. 2009;10:481-94.
5.Xiong Y, Shie F-S, Zhang J, Lee C-P, Ho Y-S.
Prevention of mitochondrial dysfunction in post-
traumatic mouse brain by superoxide dismutase. J
Neurochem. 2005;95:732–44.
6.Verwiej BH, Amelink GJ, Muizelaar JP. Current
concepts of cerebral oxygen transport and energy
metabolism after severe traumatic brain injury.
Brain Res. 2007;161:111-24.
7.Pellerin L. Lactate as a pivotal element in
neuron–glia metabolic cooperation. Neurochem
Intern. 2003;43 331-8.
8.Castro MA, Beltran FA, Brauchi S, Concha II. A
metabolic switch in brain; glucose and lactate
metabolism modulation by ascorbic acid. J
Neurochem. 2009;110:423-40.
9.Chiry O, Fishbein WN, Merezhinskaya N, Clarke S, Galuske R, Magistretti PJ, et al. Distribution of
the monocarboxylate transporter MCT2 in human
cerebral cortex: An immunohistochemical study.
Brain Res. 2008;1226:61-9.
10.Chiry O, Pellerin L, Monnet-Tschudi F,
Fishbein WN, Merezhinskaya N, Magistretti PJ, et
al. Expression of the monocarboxylate transporter
MCT1 in the adult human brain cortex. Brain Res.
2006;1070:65-70.
1
ANESTESI PADA OPERASI RESEKSI AVM OTAK
ANESTHESIA FOR BRAIN AVM RESECTION
Kuncoro Wibowo*), Siti Chasnak Saleh**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Awalbros Bekasi
**)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Abstract
Management of anesthesia in arteriovenous malformation (AVM) presents a great challenge due to the
complexity of understanding and pathophysiology that has not been clearly understood. Progress diagnostic
tools such as CT scan or MRI will increase the incidence of AVM discovery in our society. Although the
technology is more advanced surgery but morbidity and mortality in patients with AVM remains high.
Management therapy of AVM patients is highly dependent on the size of the diameter of the AVM and its
location. Anesthetic management includes preoperative preparation, smooth induction, cardiovascular stability, choosing of drugs and fluids intraoperative and postoperative care. Management of anesthesia for the AVM to
be undergoing stereotactic surgery and diagnostic radiosurgey have different consequences in anesthetic
management. Understanding postoperative management during the ICU is also a challenge.
Keywords: arteriovenous malformation (AVM), anesthesia management
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Manajemen anestesi pada arteriovenous malformation ( AVM ) menghadirkan tantangan yang besar karena
pemahaman dan kompleksitas patofiologi yang belum di pahami dengan jelas. Kemajuan alat alat diagnostic
seperti CT scan atau MRI akan meningkatkan insiden penemuan AVM dalam masyarakat kita. Walaupun
tehnologi pembedahan sudah semakin maju tetapi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien AVM tetap
tinggi.Terapi pada pasien AVM sangat tergantung pada ukuran diameter AVM dan lokasinya. Manajemen anestesi mencakup persiapan preoperative yang baik, induksi yang tidak menimbulkan gejolak kardiovaskular,
pemilihan obat obatan dan cairan intraoperasi maupun perawatan pasca operasi. Manajemen anestesi untuk
AVM yang akan menjalani operasi stereotactic radiosurgey maupun diagnostic mempunyai konsekuensi
penanganan anestesi yang berbeda. Post operasi pemahaman penanganan pasien selama di ICU juga merupakan
tantangan tersendiri .
Kata Kunci: arteriovenous malformation (AVM ), manajemen anestesi
JNI 2012;1(4):
I.Pendahuluan
Arteriovenous malformation (AVM) otak merupakan bagian dari kelainan pembuluh darah
yang terdapat di susunan saraf pusat. Kelompok ini
meliputi telengiektasi kapiler, malformasi vena,
angioma cavernosa, intracranial AVM dan fistula.
Sampai kurang lebih 30 tahun yang lalu sebagian
besar pasien dengan AVM sangat sedikit dilakukan
intervensi pembedahan. Hal ini di sebabkan karena
resiko yang diakibatkan oleh lesi AVM tersebut.
Setelah era perkembangan bedah mikro tahun
1960-70 an maka terdapat perkembangan yang
pesat dalam intervensi pembedahan terhadap AVM.
Sejak tahun 1980 an maka sudah bisa dilakukan operasi reseksi yang cukup aman pada pasien yang
sebelumnya diperkirakan tidak mungkin dilakukan
operasi.1
Seiring perkembangan ilmu kedokteran maka terapi
AVM tidak hanya terbatas pada reseksi AVM tetapi
sudah meliputi embolisasi endovascular maupun
stereotactic radiosurgery.
Berbagai jenis terapi terhadap AVM mengharuskan
seorang dokter anestesi memahami cara kerja dan
apa yang harus dilakukan dalam prosedur tindakan
2
tersebut. Penggunaan heparin ataupun glue dalam prosedur intervensi embolisasi endovascular
memberikan tantangan sendiri bagi ahli anestesi.
Kapan kita harus melakukan hipotensi tehnik dan
kapan kita harus melakukan hipertensi tehnik
sehingga peran kita dapat membantu dalam
kelancaran tindakan–tindakan tersebut di atas.
Faktor penyulit seperti perdarahan intraoperatif
yang mungkin selama tindakan reseksi AVM yang
besar juga memerlukan perhatian khusus bagi
dokter ahli anestesi.
Kasus ini jarang kita temukan dikerjakan di Indonesia baik karena keterbatasan peralatan
maupun kemampuan ahli bedah dan fasilitas
radiologi intervensi yang kita punya.
II.Epidemiologi
Di USA, terdeteksi pada populasi umum
berdasarkan data prospektif dari studi adalah sekitar
1,34 per 100.000 orang-tahun. Prevalensi AVM
serebral di Amerika Serikat tidak diketahui. Angka
kejadian dilaporkan berkisar antara 0,89 dan 1,24
per 100.000 orang pertahun menurut laporan dari
Australia, Swedia, dan Skotlandia. Prevalensi AVM
serebral di Skotlandia telah diperkirakan 18 per 100.000 orang-tahun. Mengingat ketersediaan
peralatan yang kurang untuk neuroimaging MRI,
banyak pasien yang tidak terdiagnosa sebelum
mereka mengalami pendarahan otak. Meskipun
300.000 orang di Amerika Serikat mungkin
menderita AVM namun hanya 12% dari AVM
diperkirakan menunjukkan gejala. Kematian terjadi
pada 10-15% pasien yang mengalami perdarahan,
dan morbiditas dari berbagai tingkat terjadi pada
sekitar 30-50%.
Ruptur AVM otak menyumbang 2% dari semua stroke hemoragik. Sebuah pemahaman yang jelas
tentang cara diagnostik dan pengobatan yang
berhubungan dengan manajemen AVM sangat
penting, karena AVM otak sering menjadi
penyebab perdarahan pada orang dewasa muda.
Usia: Meskipun diperkirakan AVM adalah kelainan
kongenital, presentasi klinis yang paling sering
terjadi pada orang dewasa.
Ras:Tidak ada perbedaan ras.
Jenis Kelamin:Tidak ditemukan perbedaan.
III.Patofisiologi AVM adalah suatu lesi kongenital yang terdiri dari jalinan kompleks arteri dan vena dimana
dihubungkan oleh satu atau lebih
fistula. Konglomerasi jaringan vaskular disebut
nidus. Nidus tidak memiliki capilary bed, dan
pembuluh darah pemasok (feeder) langsung
mengalir ke vena. Drainage vein sering melebar karena kecepatan aliran darah yang melalui fistula.
AVM mengakibatkan disfungsi neurologis melalui
beberapa mekanisme:
1. Pertama, perdarahan yang terjadi dalam ruang
subarachnoid, ruang intraventricular dan
paling sering di parenkim otak.
2. Kedua, tanpa adanya perdarahan, kejang dapat
terjadi sebagai akibat dari AVM, sekitar 15-
40% dari pasien datang dengan gangguan
kejang.
3. Ketiga, defisit neurologis progresif dapat terjadi pada 6-12% dari pasien selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun, defisit
neurologis progresif lambat ini diperkirakan
berhubungan dengan pengalihan aliran darah
dari jaringan otak yang berdekatan (stealing
phenomena), sebuah konsep yang masih di
perdebatkan.
4. Defisit neurologis dapat juga dijelaskan
sebagai akibat oleh efek massa dari AVM.
Gambar 1. Gambaran skema AVM Dikutip dari: Friedlander RM. 2
Gambar 2. Skema aliran darah pada AVM otak Dikutip dari: Hashimoto T.1
IV.Terapi AVM
Terapi AVM terbagi menjadi beberapa;
1. Konservatif
3
Tidak semua AVM otak dilakukan tindakan operatif maupun invasif. AVM sering
ditemukan secara tidak sengaja pada waktu
skrining CT scan oleh karena kelainan yang
lain. Jika tidak pernah ditemukan gejala
ataupun jika diperkirakan tindakan operatif dan
invasif akan membahayakan kondisi pasien
tersebut maka terapi konservatif adalah pilihan
utama.
2. Operasi reseksi AVM
Tujuan dari reseksi AVM adalah obliterasi
total sehingga pasca tindakan pasien harus dievaluasi ulang dengan angiografi untuk
melihat apakah masih ada lesi yang tersisa.
Jika masih di dapatkan lesi sisa maka hal ini
harus segera diatasi baik dengan reseksi ulang
atau dilakukan tindakan stereotactic
radiosurgery agar tidak terjadi perdarahan
ulang.
Operasi reseksi AVM dilakukan pada AVM
yang letaknya superficial dan tidak di lakukan
pada AVM yang letaknya sangat dalam. Pada
AVM yang akan di lakukan operasi reseksi
harus dilakukan pemeriksaan angiografi untuk menentukan letak ukuran dan feeder arteri dari
AVM tersebut.
Rekomendasi untuk operasi untuk AVM
umumnya harus elektif tetapi terkadang di
butuhkan operasi emergensi untuk evakuasi
hematoma atau jika ada tanda-tanda yang
mengancam nyawa sebagai akibat bekuan
darah di otak dan juga jika diindikasikan untuk
pemasangan eksternal drainase untuk
mencegah terjadinya hidrosefalus pada pasien.
Pada operasi elektif AVM reseksi dilakukan dengan bedah mikro. Feeder arteri adalah
tujuan pertama yang harus diklip/ikat setelah
itu baru dilanjutkan dengan reseksi dari nidus
AVM diikuti dengan klip/pengikatan dari
drainase vena.3
3. Embolisasi endovascular
Terapi embolisasi endovaskuler dipilih pada
AVM otak yang ukuran sangat besar ataupun
AVM letaknya sangat dalam sehingga resiko
reseksi sangat besar. Embolisasi AVM
menggunakan bahan bahan tertentu yang harus
kita pikirkan juga efek terhadap pasien seperti misalnya adanya riwayat alergi terhadap zat
kontras yang dipergunakan selama tindakan
tersebut.
Penggunaaan heparin selama tindakan juga
memerlukan perhatian karena di mungkinkan
adanya suatu perdarahan yang hebat sehingga
obat-obatan reversalnya seperti protamin juga
kita persiapkan.
Komplikasi perdarahan juga akan
menimbulkan efek vasospasme terhadap otak,
sehingga perlu dipikirkan untuk menyiapkan obat vasopresor selama tindakan jika
dibutuhkan untuk meningkatkan tekanan darah
pada pasien.
Salah satu efek samping yang menakutkan
adalah lepasnya glue ke pembuluh darah arteri
otak di luar AVM sehingga terjadi sumbatan
pada area otak yang lain.
Tabel 1. Komplikasi embolisasi endovaskuler
Komplikasi SSP
Perdarahan Perforasi aneurisma Cedera pembuluh darah intrakranial, diseksi.
Oklusi Komplikasi tromboemboli Coil masuk ke parent vessel,
pecahnya coil Vasospasme
Komplikasi bukan SSP
Reaksi kontras Nepropati kontras Perdarahan pada tempat tusukan, groin hematoma, hematoma retropertonel
Dikutip dari: Christopher S. 4
4. Strereotactic radiosurgery
Perkembangan ilmu kedokteran memberikan
alternatif terapi yang lebih komprehensif
terutama untuk AVM otak ukuran besar dan
letaknya sangat dalam. Prosedur ini
memungkinkan dilakukan tindakan
mengecilkan ukuran AVM otak sehingga dapat
dilakukan terapi berikutnya menggunakan
embolisasi endovaskuler ataupun reseksi otak
karena ukuran yang sudah mengecil di banding
ukuran sebelumnya.
Dengan menggunakan penilaian Spetzler-Martin
sistem maka dapat diperkirakan risiko operasi
untuk pasien AVM.
- Untuk pasien grade I hasil yang sangat baik
92% sampai 100%
- Untuk pasien grade II, hasil yang sangat baik
95%
- Untuk pasien grade III hasil yang sangat baik
68,2% dalam jangka pendek dan 88,6% setelah
di follow up.
- Untuk pasien grade IV, hasil yang sangat baik
turun menjadi 73% .
- Pada pasien grade V dilaporkan baik / sangat
baik tingkat adalah 57,1%, dengan hasil yang
sangat jelek adalah 14,3% dengan tingkat
kematian 4,8% dalam jangka panjang.1,5
4
Tabel 2. Spetzler–Martin Grading Scale untuk
AVM
Ukuran Skore
Diameter maksimal < 3 cm 3-6 cm >6 cm
1
2
3
Lokasi Non eloquen Eloquen
0 1
Drainase vena Superfisial Dalam
0 1
Dikutip dari: Sinha PK.5
Manajemen Anestesi
Prinsip pengelolaan anestesi untuk operasi bedah
saraf atau operasi lain tetapi pasien mempunyai
kelainan otak adalah:
1. Jalan nafas harus bebas sepanjang waktu
(airway).
2. Ventilasi kendali, PaCO2 normokapnia pada cedera kepala, sedikit hipokapnia pada operasi
tumor otak, PaO2 100-200 mmHg (breathing).
3. Target normotensi (hindari lonjakan tekanan
darah), cairan isoosmoler, normovolemia,
normoglikemia, tidak terganggu drainase vena
cerebral (circulation).
4. Hindari obat-obatan atau tehnik yang
meningkatkan tekanan intrakranial, berikan
obat-obatan yang mempunyai efek
brainproteksi (drugs).
5. Pertahankan suhu mild hipotermia, suhu kamar
operasi 350C, dan di ICU 350C (environtment).6
Brain relaxation
Proses yang harus dilakukan untuk menghasilkan
slack brain dimulai dengan pengaturan posisi
pasien, head up 30o, menghindari hambatan
drainase vena jugularis. Penggunaan manitol dan
furosemide. Hiperventilasi ringan dengan target PaCO2 antara 30-35 mmHg. Bahkan jika diperlukan
dapat dipasang CSF drain pada reseksi AVM otak
yang besar.
Brain proteksi
Proteksi otak adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan untuk mencegah dan mengurangi
kerusakan sel otak yang di akibatkan oleh keadaan
iskemia. Berbagai tehnik dan obat dapat dilakukan
dan diberikan dalam rangka proteksi otak. Secara
garis besar proteksi otak dibagi atas basic method
yaitu pengendalian jalan nafas, oksigenasi yang adekuat, pencegahan hiperkarbi, pengendalian
tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial,
pemeliharaan tekanan perfusi otak dan
pengendalian kejang. Proteksi otak juga dapat di
lakukan dengan pemberian obat-obatan yang
mempunyai efek proteksi otak. Cara lain dengan
menerapkan hipotermi dan kombinasi hipotermi
dan farmakologik.
Tehnik hipotensi
Beberapa ahli bedah saraf menghendaki dilakukan
tehnik hipotensi selama reseksi AVM ini dilakukan untuk mengurangi perdarahan selama operasi dan
menurunkan resiko hiperemia post operasi. Tehnik
hipotensi juga sangat berguna pada AVM yang
feeder arteri letaknya sangat dalam sehingga dapat
membantu visualisasi ahli bedah sarafnya.
Penggunaan tehnik ini di lain sisi juga harus
mempertimbangkan adanya resiko iskemi/
hipoperfusi pada otak dan meningkatnya resiko
thrombosis vena.
Pada tindakan embolisasi endovascular, dokter
anestesi akan diminta untuk menurunkan tekanan
darah pasien pada saat akan dilakukan embolisasi, tekanan darah dipertahankan hipotensi dalam
beberapa saat agar glue yang disuntikkan tidak
lepas karena tekanan aliran darah yang sangat
besar pada AVM.
Monitoring
Selain monitor rutin seperti EKG, pulse oksimeter,
end-tidal CO2 dan temperatur pada reseksi AVM
yang besar harus dipasang pemantauan tekanan
darah intra arterial, hal ini sangat dibutuhkan jika
terjadi ruptur AVM otak intraoperatif sehingga
pengawasan terhadap perubahan tekana darah lebih mudah dilakukan. Pada kasus seperti ini diperlukan
CVP untuk akses yang cukup besar jika dibutuhkan
penggantian cairan secara cepat karena perdarahan.
Manajemen anestesi
A. Anestesi pada embolisasi endovaskuler
Anestesi pada prosedur ini bisa menggunakan
monitoring anesthesia care (MAC), pasien
dilakukan sedasi oleh dokter anestesi. Kesulitan
yang di hadapi dengan tehnik ini adalah pada
pasien anak-anak ataupun orang dewasa yang tidak
kooperatif. Anestesi umum diperlukan terutama
pada pasien yang tidak kooperatif, pasien yang harus dilakukan kontrol ventilasi dengan alasan
kontrol ventilasi akan menghasilkan gambar yang
lebih baik saat fluoroskopi karena pergerakan
pernafasan yang lebih sedikit dan teratur. Pada
pasien yang didapatkan peningkatan ICP juga
dianjurkan untuk dilakukan dengan anestesi umum.
5
Persiapan preoperatif
Selain persiapan preoperatif secara umum, ada hal-
hal yang harus menjadi perhatian dokter anestesi:
- Status neurologi pasien
- Riwayat alergi protamine
- Riwayat alergi zat kontras
- Riwayat pemakaian obat antikoagulan
- Riwayat gangguan pembekuan darah
- Riwayat adanya transient ischemic attack (TIA)
- Jika dilakukan dengan sedasi MAC maka pasien
harus diberi tahu bahwa selama tindakan akan
dalam posisi terlentang dan mungkin akan memakan waktu yang lama
- Jika pasien adalah wanita maka harus diketahui
dalam keadaan hamil atau tidak.3
Tehnik anestesi
Pemilihan obat maupun tehnik anestesi harus
mengacu pada prinsip dasar neuroanestesi, selain
itu pilihan obat yang mempunyai efek proteksi
otak, juga harus mempertimbangkan obat yang
cepat waktu pulih sadarnya setelah tindakan.
Pada sedasi MAC kita dapat menggunakan obat
seperti midazolam, fentanyl, droperidol atau obat
yang terbaru seperti dexmedetomidine yang sering di gunakan pada awake cranitomy.
Pada anestesi umum, target utama yang harus
dilakukan adalah induksi dan intubasi yang yang
tidak menimbulkan gejolak hemodinamik. Intubasi
dilakukan pada saat kedalaman anestesi yang cukup
dalam, untuk mengurangi gejolak kardiovaskuler
pada saat laringoscopi dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kgbb intravena beberapa saat sebelumnya atau
di tambahkan ½ dosis induksi propofol sebelum
laringoscopi dilakukan.
Aneurisma otak di temukan kurang lebih 7-17% pada pasien AVM sehingga gejolak hemodinamik
pada saat laringoskopi harus dihindari untuk
mencegah terjadinya ruptur aneurisma.
Rumatan anestesi dapat menggunakan tehnik
inhalasi ataupun TIVA. Prinsip dari rumatan ini
adalah penggunaan obat-obat yang mempunyai efek
proteksi otak.
Pengawasan selama prosedur embolisasi
endovaskuler
Selama tindakan kita harus memperhatikan
kemungkinan komplikasi yang mungkin terjadi.
Jika terjadi komplikasi perdarahan maka akan ditandai dengan kenaikan tekanan darah secara
tiba-tiba. Pada saat diagnosa bahwa komplikasi
perdarahan terjadi maka kita harus melakukan
reversal terhadap heparin menggunakan protamin
dengan dosis 1 mg untuk tiap 100 unit heparin intravena. Tekanan darah harus diturunkan dan
terapi untuk edema otak sudah harus disiapkan jika
terjadi.
Jika perdarahan tidak bisa diatasi maka
kemungkinan untuk dilakukan operasi kraniotomi
untuk clipping, evakuasi perdarahan ataupun
pemasangan ventrikel drainase harus sudah
dipikirkan.
Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah sumbatan
arteri karena glue yang lepas menyumbat arteri otak
di tempat lain ataupun adanya vasospasme karena efek perdarahan. Jika kasus ini ditemukan maka
sebagai dokter anestesi kita harus menaikkan
tekanan darah agar aliran darah otak/ perfusi otak
tetap terjaga melalui kolateralnya.
Hipotensi tehnik
Tekanan darah selama tindakan embolisasi harus
benar benar terkontrol. Pada saat dokter radiologi
intervensi menginjeksikan glue di daerah AVM
maka tekanan darah harus diturunkan. Tujuan
tindakan ini adalah menurunkan aliran darah di
daerah AVM sehingga glue yang diinjeksikan dapat
menempel dengan baik pada tempat yang dikehendaki.
Perawatan pasca tindakan embolisasi
endovaskuler
Pasien harus dirawat di ruang ICU/HCU untuk
pengawasan efek samping tindakan ataupun
komplikasi yang mungkin terjadi. Gejala mual
muntah harus diwaspadai sebagai kemungkinan
gejala peningkatan ICP.
Tekanan darah di kontrol dengan target 15-20%
lebih rendah dari baseline untuk mengurangi resiko
perdarahan. Pada pasien yang mengalami komplikasi sumbatan otak selama tindakan, tekanan
darah dinaikkan 20-30% dari normal untuk
menjaga perfusi otak.
Pasca embolisasi pasien akan tetap diberikan
heparinisasi dengan tujuan untuk mencegah
terbentuknya trombus di pembuluh darah otak yang
diterapi. Pemberian obat ini memberikan
kosekuensi untuk pengawasan status pembekuan
darah pasien tersebut.3
B. Anestesi pada reseksi AVM
Preoperatif
Pemeriksaan sebelum dilakukan reseksi AVM meliputi pemeriksaan rutin, status neurologi, status
hidrasi pasien dan pemeriksaan laboratorium darah,
CT scan ataupun CT angiogram. Hal yang sangat
membedakan antara tindakan reseksi AVM dengan
6
embolisasi adalah kemungkinan ruptur AVM intraoperatif sehingga pasien bisa jatuh dalam
keadaan shock hemoraghik dan manipulasi jaringan
otak selama tindakan yang akan meningkatkan
resiko pembengkakan otak pasca operasi.
Pemasangan CVP harus dipasang dengan
pertimbangan operasi akan lama dan kemungkinan
terjadinya perdarahan intraoperatif cukup besar.
Persiapan darah sebelum operasi harus dilakukan
sehingga jika diperlukan tranfusi darah sewaktu
waktu dapat langsung di berikan.
Tehnik anestesi
Induksi pada operasi ini harus hati-hati dengan
memperhatikan tekanan darah pasien, hal ini untuk
mencegah bertambahnya area hipoperfusi pada otak
karena penurunan tekanan darah selama induksi
akibat vasodilatasi ataupun karena status hidrasi
yang kurang. Thiopental dan propofol adalah obat
anestesi yang popular untuk induksi pada operasi
AVM. Dosis obat berbeda-beda melihat dan
mempertimbangkan kasus demi kasus dengan
memperhatikan kondisi umum tiap pasien.
Intubasi dilakukan pada saat kedalaman anestesi
yang cukup, untuk mengurangi gejolak kardiovaskuler pada saat laringoskopi dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kgbb intravena beberapa
saat sebelumnya atau di tambahkan ½ dosis induksi
propofol sebelum laringoscopi dilakukan.
Aneurisma otak ditemukan kurang lebih 7-17%
pada pasien AVM sehingga gejolak hemodinamik
pada saat laringoskopi harus dihindari untuk
mencegah terjadinya ruptur aneurisma.
Pemeliharaan anestesi
Anestesi umum dengan inhalasi, balance anestesi
ataupun TIVA bisa digunakan untuk pemeliharaan pada operasi reseksi AVM otak. Hal-hal yg perlu
dipertimbangkan adalah kebutuhan untuk operasi
seperti misalnya lama waktu operasi, status fisik
dan neurologi pasien, kebutuhan evaluasi sehingga
pasien harus sadar dengan cepat setelah operasi.
Pada operasi reseksi AVM otak dengan ukuran
kecil pada daerah eloquen maka kraniotomi dan
reseksi terbaik menggunakan MAC tehnik sehingga
dapat dengan mudah dilakukan evaluasi neurologi
pada pasien. Pada beberapa kasus dilakukan
intraoperatif neurofisiologi monitoring. Hal ini
diperlukan untuk menghindari rusaknya jaringan otak normal karena manipulasi operasi.
Pada tindakan reseksi faktor nyeri sangat berperan,
hal ini sangat berbeda dengan tindakan embolisasi
AVM. Sehingga kita harus menjaga jangan sampai
terjadi gejolak hemodinamik intraoperatif yang
disebabkan oleh rangsang nyeri pada pasien selama tindakan reseksi AVM otak.5
Post operasi
Keputusan ekstubasi pasien didasarkan kepada
berbagai pertimbangan termasuk kondisi neurologi
sebelum operasi, jalannya operasi, lamanya operasi,
ada tidaknya hipotermi.
Perawatan post operasi pada pasien yang menjalani
reseksi AVM harus difokuskan pada pengendalian
tekanan darah pasien. Penggunaan obat anti
hipertensi seperti labetalol intravena diperlukan
untuk mengontrol tekanan darah secara cepat. Jika terjadi peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba
akan ditakutkan terjadi perdarahan di sekitar daerah
reseksi AVM tersebut.
Penggunaan obat anti nyeri pada pasien ini harus
mempertimbangkan apakah obat-obat tersebut
berpengaruh terhadap profil pembekuan pasien.
Setiap perubahan tingkat kesadaran ataupun gejala
seperti mual muntah sakit kepala harus diwaspadai
sebagai komplikasi dari tindakan ini dan harus
disikapi denagan mencari penyebab dengan
melakukan CT scan segera.5,7
Komplikasi
Sindroma Normal Perfusion Pressure
Breakthrough (NPPB) atau cerebral hyperperfusion
adalah suatu fenomena dimana pada pasien yang
menjalani operasi reseksi AVM terjadi perdarahan
otak multifokal disertai dengan edema otak yang
hebat, hal ini sering di jumpai pasca operasi reseksi
AVM tetapi juga bisa diketemukan intraoperatif
yaitu setelah kliping nidus AVM.
Didalilkan bahwa NPPB terjadi karena adanya
pembuluh darah otak di sekitar AVM yang selama
ini mengalami hipoperfusi sudah berubah ataupun tidak mempunyai kemampuan autoregulasi,
sehingga pasca pengangkatan AMV yang besar,
terjadi peningkatan aliran darah otak ke daerah
yang selama ini hipoperfusi. Karena autoregulasi
sudah hilang maka terjadi pembengkakan otak yang
hebat dan perdarahan multifokal pada daerah otak
sekitar AVM yang di operasi.
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa
pembengkakan dan perdarahan multifokal di otak
disebabkan oleh;
1. Penyumbatan sistem drainase vena di sekitar
AVM yang di operasi mengakibatkan hiperemia pasif dan penghambatan aliran vena.
2. Hambatan aliran darah pada feeding arteri
AVM akan mengakibatkan hipoperfusi,
iskemik dan pembengkakan.
Angka kejadian morbiditas NPPB pasca operasi
sekitar 1,4-18%. Dalam dekade terakhir angka
7
kejadian komplikasi ini semakin menurun kemungkinan karena kemajuan tehnik endovasculer
dikombinasikan dengan operasi reseksi AVM. 1,5,8
Setelah operasi AVM, pasien berisiko untuk
terjadinya komplikasi yang sama seperti yang
ditemukan setelah operasi aneurisma yaitu
vasospasme, hidrosefalus, dan kejang. Sebagai
tambahannya, pasien pasca operasi AVM berisiko
terjadinya komplikasi hiperemik. Sindroma NPPB
adalah keadaan hiperemik yang khas dengan
edema serebral, pembengkakan dan atau
perdarahan yang terjadi setelah reseksi AVM. Keadaan ini adalah akibat dari restorasi aliran darah
otak ke daerah hipoperfusi kronis atau dari
obstruksi outflow vena setelah ablasio AVM.
Pembengkakkan dan perdarahan otak yang
berikutnya menyebabkan disfungsi neurologik dan
merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
mortalitas pascabedah. Terapi dari hiperemia
serebral adalah hiperventilasi mekanis, osmotik
diuretik, dan barbiturat koma. 9
V. Simpulan
Penanganan AVM berkembang dariwaktu ke
waktu, baik terapi menggunakan embolisasi endovaskuler sampai menggunakan stereotactic
radiosurgery. Setiap tindakan mengharuskan dokter
anestesi untuk mengerti prosedur tindakan, tehnik
anestesi yang akan diterapkan dan komplikasi yang
mungkin dihadapi intraoperatif maupun
pascaoperatif.
Daftar Pustaka
1. Hashimoto T. Anesthesia-Related
Considerations for Cerebral Arteriovenous
Malformations. American Association of
Neurological Surgeons. Neurosurg Focus. 2001:11
2. Friedlander RM. Arteriovenous malformations
of the brain. N Engl J Med 2007;356:2704-12.
3. Barbara A. Interventional neuroradiology and
the anesthetic management of patient with
arteriovenous malformation. Dalam:
Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed , 2001
4. Ogilvy CS, et al. Recommendations for the
management of intracranial arteriovenous
malformations: A statement for healthcare
professionals from a special writing group of
the Stroke Council, American Stroke Association. Stroke 2001; 32:1458-71.
5. Sinha PK, Neema PK, Rathod RCl. Anesthesia
and intracranial arteriovenous malformation.
Neurology India 2004, 52:163-70.
6. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung:
Saga Olahcitra; 2011.
7. Patil V. Anesthesia for Intracranial Vascular Lesions. Dalam: Essential of Neuroanesthesia
and Neurointensive Care. Saunders;2008.
8. Kumar S, Kato Y, Sano H, Imizu S, Nagahisa
S, Kanno T. Normal perfusion pressure
breakthrough in arteriovenous malformation
surgey: the concept revisited with a case report.
Neurology India 2004;52:111-15.
9. Charchaflieh JG, Worah SH. Complication in
the post anesthesia care unit. Dalam: Newfiled
P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia,
4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2007,327-44.