6 Universitas Kristen Petra
2. TEORI PENUNJANG
2.1. Laporan Rugi Laba
Menurut Schmidgall, Hayes, dan Ninemeier (2002, p. 80), “Income
Statement also known as a profit and loss statement, this final output from the
accounting cycle reports on the restaurant’s profitability, includ ing details
regarding revenues earned and expenses incurred during a given period of time.”
Yang artinya, Income Statement juga dikenal sebagai laporan laba dan rugi, ini
merupakan hasil akhir dari alur laporan akuntansi pada perhitungan keuntungan
restoran, meliputi pendapatan dan biaya -biaya yang disajikan secara detail selama
periode waktu yang diberikan.
Sedangkan menurut Schmidgall (1997, p. 76), Laporan Rugi Laba
(Income Statement) merupakan suatu bentuk laporan keuangan yang dibuat dalam
suatu periode waktu dan mempunyai peranan yang sangat penting bagi
perkembangan suatu perusahaan. Selain Laporan Rugi Laba, laporan keuangan
lain yang digunakan manajemen adalah Neraca Keuangan (Balance Sheet), Harga
Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold), dan lain-la in. Laporan Rugi Laba meliputi
empat elemen utama yaitu : Pendapatan (Revenue), Biaya (Expense), Laba bersih
dan Rugi.
Laporan Rugi Laba merupakan laporan yang menggambarkan hasil-hasil
usaha yang dicapai dalam suatu periode waktu tertentu. Pada umumnya Laporan
Rugi Laba disusun setahun sekali (tahunan), namun tidak jarang dijumpai pula
perusahaan yang menyusun laporan keuangan tersebut tiap kuartal, bahkan tiap
bulan (Haryono, 1999, p. 20).
Berikut ini adalah salah satu contoh format Laporan Rugi Laba (Income
Statement) yang digunakan dalam suatu restoran :
Universitas Kristen Petra
7
Tabel 2.1 Format Income Statement
Amount Percentages (%)
SALES : Food XXX XX
Beverage XXX XX Total Sales XXX XX
COST OF SALES :
Food XXX XX Beverage XXX XX
Total Cost of Sales (XXX) XX Gross Profit XXX XX
OPERATING EXPENSES :
Salaries and Wages XXX XX Employee Benefit XXX XX Direct Operating Expenses XXX XX Entertainment XXX XX Marketing XXX XX Utility Service XXX XX General and Administrative Expenses XXX XX Repairs and Maintenance XXX XX Occupancy Cost XXX XX Depreciation XXX XX Other Income XXX XX
Total Operating Expenses (XXX) XX Operating Income XXX XX Interest (XXX) XX Income Before Income Taxes XXX XX Income Taxes (XXX) XX NET INCOME XXX XX
Sumber: Raymond S chmidgall, David K. Hayes, dan Jack D. Ninemeier, Restaurant Financial Basics, New Jersey, 2002, p.88
Universitas Kristen Petra
8
2.1.1. Pendapatan
Keberhasilan suatu perusahaan dapat diukur dengan membandingkan
antara pendapatan (revenue) biaya perusahaan dengan biaya (expense) yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Apabila pendapatan lebih
besar daripada biaya, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan memperoleh laba
dan apabila terjadi sebaliknya, pendapatan lebih kecil daripada biaya maka
perusahaan menderita rugi (Haryono, 1999, p. 23).
Definisi pendapatan (Revenue) menurut Schmidgall (1997, p. 76) adalah
peningkatan jumlah harta atau penurunan kewajiban suatu perusahaan yang terjadi
dari penyerahan barang atau jasa ataupun kegiatan usaha lainnya di dalam suatu
periode. Dalam perusahaan jasa, biasanya pendapatan meliputi food sales,
beverage sales, room sales, beban bunga.
Sedangkan pengertian pendapatan menurut Haryono (1999, p. 24) adalah
aliran penerimaan kas atau harta lain yang diterima dari konsumen sebagai hasil
penjualan atas produk atau pemberian jasa. Melalui penjelasan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa total pendapatan diperoleh atas penjualan suatu unit
produk dengan harga jual produk tersebut.
(2.1)
dimana :
TR = Total Pendapatan
P = Harga jual
Q = Unit terjual
2.1.2. Biaya
2.1.2.1. Definisi Biaya
Mulyadi (2005), menjelaskan bahwa, “Biaya merupakan pengorbanan
sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau yang
secara potensial akan terjadi untuk tujuan tertentu” (p. 8).
Menurut Jagels dan Coltman (2004), “Cost (expense) is the price paid to
purchase an asset or to pay for the purchase of goods and services” (p. 595),
TR = P x Q
Universitas Kristen Petra
9
yang artinya bahwa biaya adalah harga yang dibayar untuk membeli sebuah harta
ata u pembelian atas barang-barang dan jasa.
Sedangkan menurut Schmidgall, Hayes, dan Ninemeier (2002, p. 156),
“Cost is the reduction of an asset, generally for the ultimate purpose of increasing
revenue”. Yang artinya, biaya adalah pengurangan atas suatu ha rta yang
umumnya untuk suatu tujuan meningkatkan pendapatan.
2.1.2.2. Klasifikasi Biaya
Perhitungan dalam analisa break even ini bertitik tolak pada konsep
pemisahaan biaya (direct costing system) dimana biaya haruslah dengan jelas
ditetapkan atau dipisahkan, mana yang bersifat variabel (Variable Cost) dan yang
merupakan biaya tetap (Fixed Cost). Menurut Supriyanto (2001, p. 148) ada tiga
klasifikasi biaya yang berbeda dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan
output yaitu :
a. Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang secara total tidak berubah meskipun tingkat
kegiatan berubah dalam jangkauan kegiatan tertentu. Biaya tetap sering
disebut biaya kapasitas (capacity cost) karena perusahaan harus mengeluarkan
biaya ini untuk menyediakan kapasitas yang dibutuhkan untuk proses
produksi. Contoh : biaya gaji, biaya sewa, biaya asuransi, pajak bangunan,
biaya depresiasi, dan beban bunga.
b. Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang berubah karena berubahnya tingkat kegiatan.
Jumlah biaya variabel meningkat sebanding dengan perubahan pada volume
kegiatan. Sedangkan menurut Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 178) biaya
variabel terdiri dua jenis yaitu biaya pabrikasi (biaya produksi) dan biaya non
pabrikasi (biaya non produksi). Biaya produksi adalah biaya variabel yang
secara langsung terpengaruh oleh tingkat kegiatan, contohnya: food cost dan
beverage cost. Biaya non produksi adalah biaya variabel yang tidak secara
langsung terpengaruh oleh tingkat kegiatan, contohnya : loss and breakage
cost dan biaya perbaikan.
Universitas Kristen Petra
10
c. Biaya Semivariabel
Biaya semivariabel tidak termasuk sebagai biaya tetap maupun sebagai biaya
variabel, karena biaya semivariabel memiliki kedua sifat baik tetap maupun
variabel. Perubahan biaya semivariabel tidak proporsional dengan perubahan
output (p. 148). Contoh : utilities cost.
2.1.2.3. Metode Pemisahan Biaya
Schmidgall, Hayes, dan Ninemeier (2002, p. 160) menjelaskan bahwa
total biaya adalah jumlah biaya tetap ditambah dengan total biaya variabel.
(2.2)
Menurut Mulyadi (2005, p. 471) terdapat ada beberapa metode
pemisahan biaya yaitu :
a. High and Low Point Method
Untuk memperkirakan fungsi biaya, dalam metode ini suatu biaya pada
kegiatan yang paling tinggi dibandingkan dengan biaya tersebut pada tingkat
kegiatan terendah di masa yang lalu. Selisih biaya yang dihitung merupakan
elemen biaya variabel dalam biaya tersebut. Metode ini sederhana tetapi
memiliki kelemahan sampel yang diambil tidak menyeluruh sehingga kurang
memperhatikan unsur penentu biaya secara menyeluruh dan mengabaikan
fluktuasi musiman.
b. Standby Cost Method
Metode ini mencoba menghitung berapa biaya yang harus tetap dikeluarkan
andaikata perusahaan ditutup sementara, jadi produknya sama dengan nol.
Biaya ini disebut biaya berjaga, dan biaya berjaga ini merupakan bagian yang
tetap. Perbedaan antara biaya yang dikeluarkan selama produksi berjalan
dengan berjaga merupakan biaya variabel.
c. Least Square Method
Metode ini menganggap bahwa hubungan antara biaya dengan volume
kegiatan berbentuk hubungan garis lurus dengan persamaan garis regresi
y = a + bx, dimana y merupakan variabel tidak bebas (dependent variable)
Total biaya = Biaya tetap + Biaya variabel
= Biaya tetap + (Biaya variabel per unit x unit terjual)
Universitas Kristen Petra
11
yaitu variabel yang perubahannya ditentukan oleh perubahan pada variabel x
yang merupakan variabel bebas (independent variable). Variabel y
menunjukkan biaya sedangkan variabel x menunjukkan volume kegiatan.
Berikut ini adalah rumus perhitungannya :
(2.3)
(2.4)
Keterangan :
a = Biaya tetap
b = Biaya variabel
n = Jumlah data
Selain itu ada cara lain yang dapat digunakan untuk memisahkan biaya
tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) yang dikemukakan oleh Jagels
dan Coltman (2004, p. 305-313), yaitu :
a. High Low Method
Metode ini juga disebut sebagai metode maksimum-minimum. Metode ini
mempunyai tiga langkah untuk mengidentifikasi pada bulan manakah yang
menunjukkan penjualan atau biaya minimum ataupun maksimum pada tahun
tersebut. Untuk menggunakan metode ini, perubahan biaya dapat terjadi antara
bulan terendah maupun tertinggi yang tergantung pada perubahan volume
penjualan (unit terjual), berikut ini adalah langkah-langkahnya :
1. Tentukan nilai yang terendah dan tertinggi atas setiap masing-masing
biaya dan volume penjualan. Kemudian nilai yang tertinggi dikurangi
dengan nilai yang terendah.
2. Hasil dari selisih langkah pertama tersebut dibagi yang hasilnya adalah
untuk mendapatkan total biaya variabel.
n ? xy - ? x ? y b = n ? x2 - ( ? x )2
? y - b ? x a = n
Universitas Kristen Petra
12
(2.5)
3. Gunakan total biaya variabel pada hasil dari langkah kedua untuk
menghitung biaya tetap bulan terendah maupun tertinggi. Biaya tetap
dapat diketahui dengan cara total biaya dikurangi total biaya variabel (unit
terjual x biaya variabel per unit).
b. Multipoint Graph Method
Pada metode ini, untuk menggambarkan grafiknya adalah dengan menentukan
variabel-variabelnya yaitu variabel tidak bebas (dependent variable) dan
variabel bebas (independent variable), misalnya biaya sebagai variabel tidak
bebas dan volume penjualan sebagai variabel bebas. Setelah menentukan
variabelnya, lalu tentukan titik-titik pada grafik secara horizontal dimana titik-
titik tersebut menunjukkan nilai pada setiap bulannya.
c. Regression Analysis Method
Dengan menggunakan metode ini, dengan menghitung biaya tetap terlebih
dahulu dimana biaya variabel dapat diketahui setelah mengurangi total biaya
dengan biaya tetap.
( ? Y)( ? X 2) – ( ? X ) ( ? XY)
Biaya tetap = n (? X2 ) - ( ? X )2 (2.6)
Keterangan :
Y = Penjualan (dependent variable)
X = Unit terjual (independent variable)
n = Jumlah data maka :
(2.7)
Biaya variabel = Total biaya – Biaya tetap
Total biaya = Biaya variabel per unit
Unit terjual
Universitas Kristen Petra
13
2.2. Analisa Break Even (Break Even Analysis)
2.2.1. Definisi Analisa Break Even
Dalam pembahasan teori analisa break even , banyak penulis yang
memberikan pengertian yang berbeda, tetapi perbedaan itu bukan merupakan hal
yang prinsip karena masing-masing pendapat mempunyai dasar yang sama.
Pengertian analisa break even menurut Sigit (1993, p. 2) adalah suatu
cara atau suatu teknik yang digunakan oleh seorang petugas atau manajer
perusahaan untuk mengetahui pada volume (jumlah) penjualan dan volume
produksi berapakah perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan
tidak pula memperoleh laba.
Definisi analisa break even menurut Schmidgall, Hayes, dan Ninemeier
(2002) adalah, “Break even analysis is a management tool that can help
restaurant managers examine the relationship between various costs, revenues
and sales volume. It allows to determine revenue required at any desired profit
level that called Cost-Volume-Profit (CVP) analysis” (p. 169). Yang artinya,
analisa titik impas adalah suatu alat manajemen yang dapat membantu manajer
restoran untuk melihat hubungan antara bermacam-macam biaya, pendapatan dan
volume penjualan. Melalui analisa titik impas, manajer juga dapat menentukan
jumlah pendapatan yang diperlukan pada suatu tingkat pencapaian laba yang
diinginkan yang juga biasa disebut Analisis Biaya-Volume-Laba .
Analisa break even menurut Mulyadi (1993, p. 230) adalah suatu cara
untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu usaha tidak menderita
rugi, tetapi juga belum memperoleh laba yang dengan kata lain labanya sama
dengan nol.
Sedangkan menurut Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 202), Analisa
break even merupakan suatu analisa yang digunakan untuk menentukan tingkat
penjualan dan bauran produk yang diperlukan agar semua biaya yang terjadi
dalam periode tersebut dapat tertutupi, yang mana analisa tersebut dapat
menunjukkan suatu titik dimana perusahaan tidak memperoleh laba ataupun
menderita rugi.
Analisa Break Even Point atau yang disebut juga analisa titik impas juga
diutarakan oleh Rony (1990, p. 358) mengandung pengertian bahwa analisa titik
Universitas Kristen Petra
14
impas merupakan sarana bagi manajemen untuk mengetahui pada titik berapa
hasil penjualan sama dengan jumlah biaya sehingga perusahaan tidak memperoleh
keuntungan maupun kerugian.
Dari batasan-batasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan analisa Break Even Point adalah suatu alat yang sangat berguna
untuk menyatakan hubungan antara biaya, volume produksi, dan laba. Disamping
itu analisa break even juga merupakan cara atau teknik yang dipergunakan oleh
seorang manajer perusahaan untuk menetapkan kebijaksanaan yang diambil dalam
mengelola perusahaannya serta dapat dapat memberikan informasi kepada
pimpinan mengenai berbagai tingkat volume penjualan dan hubungannya dengan
kemungkinan memperoleh laba sesuai dengan tingkat penjualan yang
direncanakan.
2.2.2. Manfaat Analisa Break Even Point.
Menurut Rony (1990, p. 357) analisis titik impas atau analisis Break
Even Point sangat bermanfaat bagi manajemen dalam menjelaskan beberapa
keputusan operasional yang penting dalam tiga cara berbeda namun tetap
berkaitan yaitu:
a. Pertimbangan tentang produk baru dalam menentukan berapa tingkat
penjualan yang harus dicapai agar perusahaan memperoleh laba.
b. Sebagai kerangka dasar penelitian pengaruh ekspansi terhadap tingkat
operasional.
c. Membantu manajemen dalam menganalisis konsekuensi penggeseran biaya
variabel menjadi biaya tetap karena otomisasi mekanisme kerja dengan
peralatan yang canggih.
Matz, Usry dan Hammer (1991, p. 224) juga menjelaskan beberapa
manfaat analisa break even untuk manajemen, yaitu :
a. Membantu pengendalian melalui anggaran.
b. Meningkatkan dan menyeimbangkan penjualan.
c. Menganalisa dampak perubahan volume.
d. Menganalisa harga jual dan dampak perubahan biaya.
e. Merundingkan upah.
Universitas Kristen Petra
15
f. Manganalisa bauran produk.
g. Manerima keputusan kapitalisasi dan ekspansi lanjutan.
h. Menganalisa margin of safety.
Sedangkan menurut Sigit (1993, p. 1) analisa Break Even Point
mempunyai beberapa manfaat, diantaranya adalah :
a. Sebagai dasar merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba
tertentu.
b. Sebagai dasar atau landasan untuk mengendalikan aktivitas yang sedang
berjalan.
c. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga jual.
d. Sebagai bahan atau dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
2.2.3. Asumsi-Asumsi Dasar Analisa Break Even Point
Beberapa asumsi yang berpengaruh dalam analisa break even menurut
Mulyadi (1993, p. 259) adalah sebagai berikut :
a. Variabilitas biaya dianggap akan mendekati pola perilaku yang diramalkan.
b. Harga jual produk dianggap tidak berubah-ubah pada berbagai tingkat
kegiatan.
c. Kapasitas produksi pabrik dianggap secara relative konstan.
d. Harga faktor -faktor produksi dianggap tidak berubah.
e. Efisiensi produksi dianggap tidak berubah.
f. Perubahan jumlah persediaan awal dan akhir dianggap tidak signifikan.
g. Komposisi produk yang dijual dianggap tidak berubah.
h. Volume merupakan faktor satu-satunya yang mempengaruhi biaya
2.2.4. Dampak Perubahan dari Beberapa Faktor dalam Analisa Break Even Point
Menurut Mulyadi dalam buku Akuntansi Manajemen (1993, p. 259)
dijelaskan bahwa :
a. Suatu perubahan dalam biaya variabel akan mengakibatkan perubahan dalam
contribution margin dan impas.
b. Suatu perubahan dalam harga jual akan mengakibatkan perubahan pada
contribution margin dan impas.
Universitas Kristen Petra
16
c. Angka laba kontribusi hanya akan dipengaruhi oleh perubahan pada biaya
variabel dan harga jual.
d. Suatu perubahan dalam biaya tetap mengakibatkan perubahan pada impas tapi
tidak mempengaruhi laba kontribusi.
e. Suatu perubahan gabungan dalam biaya tetap dan biaya variabel pada arah
yang sama akan menyebabkan perubahan tajam terhadap impas.
2.3. Aplikasi Break Even Point
Schmidgall (1997, p. 299) menjelaskan bahwa untuk menunjukkan
hubungan cost-volume-profit, maka persamaannya adalah sebagai berikut :
(2.8)
Keterangan :
In = Laba bersih (Net Income)
S = Harga jual (Selling price)
X = Unit terjual (Unit sold)
V = Biaya variabel per unit (Variable Cost per unit)
FC = Total biaya tetap (Total Fixed Cost)
dimana : S.X = Total pendapatan (Total Revenue)
V.X = Total biaya variabel (Total Variabel Cost)
Sebagaimana rumus 2.8. diatas, pada posisi Break Even Point (BEP), Net
Income adalah nol. Sehingga persamaannya dapat ditunjukkan sebagai berikut
(Schmidgall, Hayes, dan Ninemeier, 2002, p. 171) :
0 = SX - VX - FC
Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menghitung beberapa
variabel-variabel sebagai berikut :
1. Unit terjual pada saat break even
(2.9)
In = SX - VX - FC
Total biaya tetap Unit terjual = Harga jual – Biaya variabel per unit
Universitas Kristen Petra
17
2. Biaya tetap pada saat break even
(2.10)
3. Harga jual pada saat break even
(2.11)
4. Biaya variabel per unit pada saat break even
(2.12)
Menurut Supriyanto (2001, p 251) volume penjualan dalam rupiah saat
Break Even Point (BEP) juga dapat dicari dengan rumus 2.13. berikut ini :
(2.13)
Sedangkan menurut Schmidgall (1997, p. 306) rumus BEP juga dapat
ditunjukkan dalam rumus 2.14. yaitu :
(2.14)
Keterangan :
BEP (Rp) = Volume penjualan pada posisi Break Even Point dalam rupiah
FC = Biaya tetap
CMR = Contribution Margin Ratio
Total biaya tetap = (Harga jual x unit terjual) -
(Biaya variabel per unit x Unit terjual)
Biaya Tetap BEP (Rp) =
Biaya Variabel 1 -
Total Penjualan
Total biaya tetap Harga jual = + Biaya variabel per unit
Jumlah unit terjual
Total biaya tetap Biaya variabel per unit = Harga jual - Jumlah unit terjual
FC BEP (Rp) = CMR
Universitas Kristen Petra
18
2.3.1. Contribution Margin
Menurut Schmidgall (1997, p. 301), “Contribution Margin is sales less
cost of sales for either an entire operating department or for a given a product, it
also represents the amount of sales revenue that is contributed toward fixed costs
and or profits.”. Yang artinya, Contribution Margin adalah penjualan dikurangi
biaya penjualan baik untuk seluruh departemen operasional atau untuk produk
yang telah diberikan, selain itu Contribution Margin juga mewakili sejumlah
pendapatan penjualan yang dikontribusikan ke biaya tetap dan atau laba.
Sedangkan menurut Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 181) laba
kontribusi (Contribution Margin) yang kadang-kadang disebut sebagai laba
marjinal (marginal income), adalah selisih di antara hasil penjualan dan biaya
variabel. Hal itu dihitung dengan mengurangkan semua biaya variabel, baik biaya
pabrikasi (produksi) maupun biaya non pabrikasi (non produksi) dengan hasil
penjualan.
Contribution Margin dapat diperlihatkan dalam bentuk angka yang
menunjukkan per unit, total angka, juga dinyatakan dalam bentuk prosentase,
yang kita kenal dengan sebutan Contribution Margin Ratio. Dapat juga dikatakan
bahwa besar kecilnya marjin kontribusi yang terjadi dapat dijadikan dasar untuk
mengetahui apakah perusahaan dalam keadaan rugi, laba ataupun impas dengan
jalan membandingkan antara laba kontribus i dengan biaya tetapnya. Jika laba
kontribusi lebih besar dari biaya tetap maka perusahaan tersebut laba
(Matz, Usry, dan Hammer, 1991, p. 182). Sebaliknya, jika laba kontribusi lebih
kecil dari biaya tetap maka perusahaan tersebut rugi. Laba kontribusi yang besar
belum tentu menjamin perusahaan mendapat laba. Hal ini disebabkan adanya
berbagai jenis perusahaan dalam kegiatannya dapat menyerap biaya tetap yang
tinggi dengan biaya variabel rendah, atau menyerap biaya tetap yang rendah
dengan biaya variabel yang tinggi.
Menurut Schmidgall (1997, p. 303) dalam menentukan Contribution
Margin (CM) dan Contribution Margin Ratio (CMR) pada saat Break Even Point
adalah :
(2.15) CM = Total pendapatan - Total biaya variabel
Universitas Kristen Petra
19
(2.16)
dimana :
CM = Contribution Margin
TR = Total pendapatan
TVC = Total biaya variabel
Selanjutnya untuk menghitung volume penjualan dalam rupiah yang akan
direncanakan, maka dapat dihitung dengan rumus 2.17. (Mulyadi, 1993, p. 238)
atau dengan rumus 2.18. (Schmidgall, 1997, p.303) di bawah ini:
(2.17)
(2.18)
dimana :
F = Biaya tetap
In = Laba yang diinginkan
CMR = Contribution Margin
2.3.2. Margin of Safety
Pengertian Margin of Safety menurut Kana (2001, p. 260) adalah batas
keamanan yang menyatakan sampai seberapa jauh volume penjualan yang
dianggarkan boleh turun agar perusahaan tidak menderita rugi atau dengan kata
lain, batas maksimum penurunan volume penjualan yang dianggarkan, yang tidak
mengakibatkan kerugian.
Sedangka n Margin of Safety menurut Alwi (1994, p. 278) adalah untuk
menentukan seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak
menderita kerugian. Atau dengan kata lain Margin of Safety memberikan
CM TR - TV CMR = = TR TR
Biaya Tetap + Target Laba Volume penjualan yang dianggarkan = CMR
FC + In Pendapatan yang diharapkan = CMR
Universitas Kristen Petra
20
informasi sampai seberapa jauh volume penjualan yang direncanakan tersebut
boleh turun agar supaya perusahaan tidak menderita rugi.
Mulyadi (1993, p. 252) juga menjelaskan bahwa apabila angka impas
dihubungkan dengan angka pendapatan penjualan yang dianggarkan atau
pendapatan penjualan tertentu, akan diperoleh informasi berapa volume penjualan
yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu boleh turun agar perusahaan
tidak menderita rugi. Selisih antara volume penjualan yang dianggarkan dengan
volume penjualan impas merupakan angka Margin of Safety.
Menurut Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 216) informasi yang
dikembangkan dari analisa titik impas dan analisa biaya-volume-laba
menyuguhkan data tambahan yang berguna seperti margin of safety , yang
menunjukkan berapa banyak penjualan boleh turun dari jumlah penjualan tertentu
sebelum perusahaan mengalami keadaan impas (BEP). Maka Margin of Safety
(M/S) dan Margin of Safety Ratio (M/S R) dapat diperoleh dengan rumus sebagai
berikut :
(2.19)
(2.20)
2.4. Pere ncanaan Laba
2.4.1. Definisi Perencanaan Laba
Definisi tentang perencanaan laba menurut Matz, Usry, dan Hammer
(1991, p. 3) adalah merupakan rencana kerja yang telah dipehitungkan dengan
cermat di mana implikasi keuangannya dinyatakan dalam bentuk proyeksi
perhitungan rugi-laba, neraca, kas dan modal kerja untuk jangka panjang dan
jangka pendek. Perencanaan laba ditujukan kepada sasaran akhir organisasi dan
bermanfaat sebagai pedoman untuk mempertahankan arah kegiatan yang pasti.
M/S = Volume penjualan yang dianggarkan – BEP (Rp)
Margin of Safety M/S R = x 100%
Volume penjualan yang dianggarkan
Universitas Kristen Petra
21
2.4.2. Sasaran Laba
Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 4) menjelaskan bahwa ada 3 (tiga)
prosedur yang berbeda yang dapat digunakan dalam menetapkan sasaran laba
yaitu :
a. Metode a priori, di mana sasaran laba yang diinginkan ditetapkan terlebih
dahulu sebelum proses perencanaan.
b. Metode a posteriori, di mana sasaran laba ditetapkan sesudah perencanaan dan
sasaran tersebut akan merupakan hasil perencanaan itu sendiri.
c. Metode pragmatis, di mana pihak manajemen menggunakan standart laba
tertentu yang telah teruji secara empiris dan didukung oleh pengalaman.
Selain itu, dalam menetapkan laba, pihak manajemen harus
mempertimbangkan faktor-faktor berikut :
a. Laba atau rugi yang dialami dari volume penjualan tertentu.
b. Volume penjualan yang harus dicapai untuk menutup seluruh biaya yang
terpaka i, untuk menghasilkan laba yang memadai agar dapat membayar
dividen bagi saham preferen dan saham biasa dan untuk menahan sisa laba
yang cukup guna memenuhi kebutuhan perusahaan di masa depan.
c. Titik impas (Break Even Point).
d. Volume penjualan yang dapat dihasilkan oleh kapasitas operasi pada saat ini.
e. Kapasitas operasi yang diperlukan untuk mencapai sasaran laba.
f. Hasil pengembalian (return) atas modal yang digunakan.
2.4.3. Dimensi Waktu
Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 4) membagi dimensi waktu
perencanaan laba menjadi dua yaitu :
a. Perencanaan Laba Jangka Panjang (Long-range Profit Planning )
Proses berkesinambungan untuk mengambil keputusan saat ini secara
sistematik dan disertai dengan perkiraan terbaik mengenai keadaan di masa
mendatang, mengorganisasikan kegiatan yang diperlukan secara sistematik
guna melaksanakan keputusan ini dan menilai serta membandingkan hasil
keputusan terhadap keputusan hasil yang diharapkan melalui umpan-balik
yang terorganisasi dan sistematik adalah definisi perencanaan jangka panjang.
Universitas Kristen Petra
22
Dalam perencanaan laba jangka panjang, manajemen berikhtiar untuk
menemukan kerangka kerja yang paling memungkinkan. Perencanaan jangka
panjang tidak akan menghilangkan resiko, karena kesediaan menanggung
resiko (risk-taking) merupakan suatu hal yang hakiki pada kegiatan ekonomi.
Hasil akhir dari perencanaan laba jangka panjang yang jitu adalah kemampuan
untuk memikul resiko yang lebih besar, yang merupakan landasan pokok
untuk mengembangkan kemampuan kewiraswastaan.
b. Perencanaan Laba Jangka Pendek (Short-range Profit Planning)
Rencana jangka panjang manajemen hanya akan tercapai jika sasaran laba
jangka panjang dapat dipenuhi secara memuaskan dan ini memerlukan
pertumbuhan dan tingkat laba yang cukup tinggi dan stabil. Akan tetapi,
rencana jangka panjang dengan segala laba dan pertumbuhan yang diharapkan
haruslah dipecah-pecah ke dalam rencana jangka pendek atau anggaran, agar
dapat direncanakan dan dikendalikan secara terarah. Meskipun satu tahun
merupakan jangka perencanaan yang lazim, namun anggaran jangka pendek
bisa saja hanya mencakup jangka waktu tiga, enam atau dua belas bulan,
tergantung pada sifat perusahaan. Demi efisiensi perencanaan, anggaran
tahunan sebaiknya diperpanjang menjadi delapan belas bulan, yaitu dengan
memperhitungkan tiga bulan awal dari tahun berikutnya.
2.4.4. Manfaat Perencanaan Laba
Perencanaan laba memberikan beberapa manfaat atau keuntungan seperti
yang diutarakan Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 6) sebagai berikut :
a. Memberikan pendekatan yang terarah dalam pe mecahan permasalahan.
b. Memaksa pihak manajemen untuk secara dini mengadakan penelaahan
terhadap masalah yang dihadapinya menanamkan kebiasaan pada organisasi
untuk mengadakan telah yang seksama sebelum mengambil suatu keputusan.
c. Menciptakan suasana organisasi yang mengarah pada pencapaian laba dan
mendorong timbulnya perilaku yang sadar akan penghematan biaya dan
pemanfaatan sumber daya secara maksimum.
Universitas Kristen Petra
23
d. Merangsang peran serta dan mengkoordinasi rencana operasi berbagai segmen
dari keseluruhan organisasi manajemen sehingga keputusan akhir dan rencana
yang saling terkait dapat menggambarkan keseluruhan organisasi dalam
bentuk rencana yang terpadu dan menyeluruh.
e. Menawarkan kesempatan untuk menilai secara sistematik setiap segi atau
aspek organisasi maupun untuk memeriksa serta memperbarui kebijakan dan
pedoman dasar secara berkala.
f. Mengkoordinasi serta mempertemukan semua upaya perusahaan ke dalam
suatu prosedur perencanaan anggaran yang terarah, karena inilah satu-satunya
cara yang paling cepat mengungkapkan kelemahan kegiatan manajemen.
g. Mengarahkan penggunaan modal dan daya upaya pada kegiatan yang paling
menguntungkan.
h. Mendorong standart prestasi yang tinggi dengan merangsang semangat untuk
bersaing, menanamkan hasrat untuk mencapai tujuan dan menumbuhkan
minat untuk melaksanakan kegiatan secara lebih efektif.
i. Berperan sebagai tolak ukur atau standar untuk mengukur hasil kegiatan dan
menilai kebijakan manajemen pada tingkat kemampuan dari setiap pelaksana.
2.4.5. Keterbatasan Perencanaan Laba
Selain itu Matz, Usry, dan Hammer (1991, p. 7) juga mengutarakan
tentang beberapa keterbatasan dan kekurangan perencanaan laba sebagai berikut :
a. Dalam setiap penyusunan anggaran akan terdapat sejumlah pertimbangan
tertentu. Perbaikan terhadap estimasi harus dilakukan apabila variasi dari
estimasi mengharuskan dilakukannya perubahan perencanaan.
b. Anggaran dapat mengikat perhatian manajer pada sasaran tertentu (seperti
produksi yang tinggi dan lain-lain) yang tidak selaras dengan tujuan organisasi
secara keseluruhan.
c. Kegagalan rencana laba sering kali diakibatkan oleh manajemen pelaksana
(eksekutif) yang lebih banyak bicara ketimbang bertindak. Oleh karena itu,
perencanaan laba memerlukan kerjasama dan peran serta dari seluruh anggota
manajemen. Dasar keberhasilan perencanaan adalah ketaatan dan kegairahan
pelaksana terhadap rencana laba.
Universitas Kristen Petra
24
d. Sistem penganggaran (budget system) justru akan menghambat apabila hal itu
memotivasi seseorang untuk mengambil tindakan yang tidak memberikan
hasil terbaik bagi organisasi.
e. Para pelaksana tidak boleh merasa dibatasi oleh anggaran. Sebaliknya, rencana
laba disusun guna memberikan informasi terinci yang memungkinkan pihak
pelaksana menjalankan kegiatannya dengan mengerahkan kemampuan dan
hasrat untuk mencapai sasaran organisasi.
f. Pelaksanaan rencana memerlukan waktu. Anggaran harus dipahami terlebih
dahulu oleh personel yang menanggungjawabinya yang selanjutnya harus
dibimbing, dilatih dan dididik agar mereka menghayati langkah-langkah
mendasar, metode dan tujuan sistem anggaran.
2.5. Perencanaan Penjualan
2.5.1. Definisi Perencanaan Penjualan
Menurut Supriyanto (2001, p. 66) pengertian dari perencanaan penjualan
(sales planning) merupakan keputusan manajemen yang didasarkan pada ramalan
penjualan setelah manajemen memasukkan berbagai pendapat yang berkenaan
dengan volume, harga, usaha-usaha penjualan, produksi dan keuangan.
2.5.2. Dimensi Waktu
Supriyanto (2001, p. 67) juga menjelaskan tentang klasifikasi
perencanaan penjualan berdasarkan periode atau dimensi waktu yaitu :
a. Rencana penjualan jangka panjang strategis (strategic long -range plan)
Rencana penjualan jangka panjang biasanya disusun untuk jangka waktu 5
tahun atau 10 tahun, bersifat tentatif, dan dalam jumlah tahunan.
b. Rencana penjualan jangka pendek taktis (tactical short-range sales)
Pendekatan umum yang digunakan untuk jangka pendek dalam perusahaan
adalah rencana penjualan jangka pendek yang meliputi empat triwulan
mendatang dan triwulan pertama dirinci ke dalam bulan.
Universitas Kristen Petra
25
2.5.3. Penyusunan Perencanaan Penjualan
Manajemen perlu menentukan langkah-langkah dalam penyusunan
rencana penjualan komprehensif, agar diperoleh rencana penjualan yang realistis
(Supriyanto, 2001, p. 68). Urutan langkah-langkah tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Menyusun pedoman rencana penjualan
Pada dasarnya pembuatan pedoman rencana penjualan memerlukan antisipasi
semua tingkatan manajemen karena pedoman tersebut digunakan untuk
mencapai koordinasi dan keseragaman dalam proses perencanaan penjualan.
Pedoman tersebut harus menekankan pada tujuan, sasaran dan strategi
penjualan.
b. Menyusun ramalan penjualan
Forecast (ramalan) penjualan terdiri dari ramalan penjualan taktis dan
strategis sesuai dengan dimensi waktu yang digunakan pada rencana laba
komprehensif. Secara umum, terdapat tiga klasifikasi metode yaitu metode
kuantitatif, metode teknologi dan metoda pendapat.
c. Menggabungkan data relevan
Semua informasi pada kedua langkah tersebut juga dapat dihubungkan dengan
kesempatan-kesempatan dan batasan-batasan utama yang dimiliki perusahaan
yang perlu dievaluasi seperti kapasitas produksi, orang-orang kunci atau
tenaga ahli, tersedianya modal dan lain-lain.
d. Menyusun rencana penjualan strategis dan taktis
Penyusunan rencana penjualan yang realistis sangat memerlukan partisipasi
manajemen untuk berbagai tujuan misalnya untuk kepentingan penjualan
keseluruhan, maupun daerah penjualan serta untuk kepentingan keputusan-
keputusan seperti ramalan penjualan.
e. Melaksanakan rencana penjualan untuk mencapai sasaran-sasaran rencana-
rencana dalam rencana penjualan komprehensif.
Universitas Kristen Petra
26
2.6. Hubungan antara Break Even Point, Perencanaan Laba dan Volume
Penjualan
Analisa Break Even Point (BEP) adalah suatu alat yang sangat berguna
untuk menyatakan hubungan antara biaya, volume produksi, dan laba. Jika dalam
analisis impas atau break even, titik berat analisis diletakkan pada penaksiran
tingkat penjualan minimum yang menghasilkan laba sama dengan nol. Maka,
dalam analisis biaya volume laba, titik berat analisis diletakkan sampai seberapa
besar perubahan-perubahan biaya, volume dan harga jual berdampak terhadap
laba suatu perusahaan.
Dalam menentukan laba harus ditetapkan target laba. Dengan
menggunakan rumus BEP dapat diketahui berapa volume penjualan, berapa
jumlah penjualan dalam rupiah yang harus dicapai sesuai laba yang ditargetkan.
Dengan demikian manajemen dapat membuat rencana kerja yang harus
diperhitungkan dengan cermat untuk mendukung tercapainya target laba tersebut
yaitu dengan perencanaan laba untuk untuk jangka panjang maupun jangka
pendek.
Disamping itu analisa break even juga merupakan cara atau teknik untuk
menetapkan kebijaksanaan yang diambil dalam suatu perusahaan yang juga dapat
memberikan informasi mengenai berbagai tingkat volume penjualan dan
hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba sesuai dengan tingkat
penjualan yang direncanakan. Melalui analisis tersebut dapat diketahui sampai
seberapa jauh volume penjualan yang direncanakan boleh turun, agar perusahaan
tidak menderita kerugian.
Apabila dari hasil perhitungan BEP diketahui bahwa realisasi penjualan
selama ini masih jauh dari target penjualan maka manajemen perlu melakukan
perencanaan penjualan jangka pendek maupun jangka panjang yang mana hal itu
merupakan keputusan manajemen yang didasarkan pada ramalan penjualan
setelah manajemen memasukkan berbagai pendapat yang berkenaan dengan
volume, harga, usaha-usaha penjualan, produksi dan keuangan.
Universitas Kristen Petra
27
2.7. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Sejak awal berdirinya pada Juni 2005, pihak manajemen V–Resto masih
berkonsentrasi pada sistem operasionalnya. V-Resto belum menerapkan sistem
keuangan yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi keuangan restoran
yang sebenarnya sehingga manajemen belum dapat mengambil strategi yang tepat
untuk memajukan restorannya. Suatu teknik analisa yang dapat digunakan untuk
membantu manajemen dalam mengambil keputusan untuk memajukan
restorannya adalah dengan cara mencari nilai BEP untuk periode bulan Juni –
Desember 2005. Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui keadaan
keuangan V-Resto pada periode bulan Juni – Desember 2005. Langkah
selanjutnya adalah mengaplikasikan perhitungan BEP untuk periode tahun 2006 -
2008, sehingga pihak manajemen dapat menentukan langkah-langkah
kebijaksanaan atas keputusan yang aka n diambil untuk merencanakan laba dan
volume penjualan untuk periode tahun 2006 - 2008.
V – Resto Yogyakarta
Break Even Point periode bulan Juni – Desember 2005
Aplikasi Break Even Point periode tahun 2006 - 2008
Perencanaan Laba dan Volume Penjualan
Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008