+ All Categories
Home > Documents > repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1....

repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1....

Date post: 27-Feb-2020
Category:
Upload: others
View: 4 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
29
43 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. Malaria menyebar dari manusia ke manusia melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles sebagai vektor. Nyamuk Anopheles betina akan terinfeksi dengan gametocyte (bentuk sexual plasmodium) saat menggigit seorang penderita malaria. Gametocyte akan berkembang dalam tubuh nyamuk menjadi sporozoite lebih kurang 6-12 hari, yang selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain melalui gigitannya. Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite yang masuk ke dalam aliran darah, dalam waktu 30-60 menit akan segera menginfeksi sel hati. Dalam kurun waktu 5-7 hari, proses pembentukan merozoite pada sel hati selesai dan selanjutnya dikeluarkan dari sel hati (fase pre-eritrositer). Merozoite tersebut segera menginfeksi eritrosit dan Universitas Sumatera Utara
Transcript
Page 1: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.

Malaria menyebar dari manusia ke manusia melalui perantara gigitan

nyamuk Anopheles sebagai vektor. Nyamuk Anopheles betina akan terinfeksi

dengan gametocyte (bentuk sexual plasmodium) saat menggigit seorang penderita

malaria. Gametocyte akan berkembang dalam tubuh nyamuk menjadi sporozoite

lebih kurang 6-12 hari, yang selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain

melalui gigitannya.

Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006)

Sporozoite yang masuk ke dalam aliran darah, dalam waktu 30-60 menit

akan segera menginfeksi sel hati. Dalam kurun waktu 5-7 hari, proses

pembentukan merozoite pada sel hati selesai dan selanjutnya dikeluarkan dari sel

hati (fase pre-eritrositer). Merozoite tersebut segera menginfeksi eritrosit dan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

44

akan berkembang dalam beberapa stadium di dalam eritrosit membentuk

trophozoite, schizont dan merozoite baru (fase eritrositer). Merozoite yang telah

terbentuk akan keluar bersamaan dengan pecahnya eritrosit dan selanjutnya akan

segera menginfeksi eritrosit lainnya. Fase eritrositer pada Plasmodium falciparum

adalah 48 jam. Perkembangan tiap stadium inilah yang mempengaruhi organ

tubuh dan eritrosit penderita sehingga menimbulkan gejala dan tanda malaria

(CDC, 2006; Greenwood et al., 2005; Beaver et al., 1984).

2.2. Malaria dan Masalahnya

Malaria adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

darah yang bersifat obligate intracellular. Dalam klasifikasinya, protozoa ini

dimasukkan dalam genus plasmodium. Species yang terbanyak menginfeksi

manusia adalah Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium

malariae dan Plasmodium ovale. Malaria berat sering disebabkan oleh

Plasmodium falciparum, terutama bila tidak ditangani dengan benar (Beaver et

al., 1984).

Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama yang

beriklim tropis dan subtropis. Sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk

dunia berisiko menderita malaria. Setiap tahun kasusnya berjumlah 300-500 juta

kasus dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian (Depkes, 2005; Prabowo, 2004).

Penyakit ini juga sering disebut demam roma, demam rawa, demam tropic,

demam pantai, demam charges, demam kura, dan paludisme (Prabowo, 2004). Di

Indonesia malaria dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800

meter di atas permukaan laut (Prabowo, 2004; Rampengan, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

45

Gejala dan tanda klinis pada penyakit malaria tidaklah khas, terlebih lagi

pada penderita di daerah endemis. Umumnya ditandai dengan demam dan

menggigil, namun dapat juga menimbulkan gejala pusing dan gangguan saluran

pencernaan (Siahaan, 2007a; Siahaan, 2007b; WHO, 2006)

Penyakit malaria tidak terdistribusi merata, baik antar daerah, desa,

keluarga, dan individu. Malaria bisa merupakan penyakit endemis di suatu daerah

dan desa tertentu tetapi tidak di daerah dan desa lain meskipun saling berdekatan.

Malaria juga bisa terjadi berulang-ulang dalam suatu keluarga dan individu

tertentu tetapi tidak pada keluarga dan orang lain meskipun bertetangga.

Penduduk yang paling berisiko terinfeksi malaria adalah anak balita, wanita hamil

dan penduduk non imun yang mengunjungi daerah endemis malaria, seperti

pengungsi, transmigran, dan wisatawan (Prabowo, 2004; Gunawan, 2000).

Diagnosis malaria pada layanan kesehatan primer umumnya menggunakan

RDT dan pemeriksaan mikroskopik. Semua alat diagnosis tentunya memiliki

keterbatasan, terutama pada kejadian mis-opportunity problem, seperti yang

umumnya terjadi pada keadaan asymptomatic malaria.

Asymptomatic malaria merupakan suatu keadaan dimana penderita tidak

menunjukkan gejala klinis padahal di dalam tubuhnya terdapat plasmodium

penyebab malaria. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya anti disease immunity,

yang menekan inflamatory agent, sehingga dapat menyebabkan seorang penderita

malaria tidak merasakan gejala klinis yang mengganggu (tidak merasa dirinya

‖sakit‖), sehingga tidak perlu memeriksakan diri kepada petugas kesehatan,

padahal di dalam tubuhnya dapat dijumpai adanya plasmodium. Fenomena lain

yang dapat terjadi pada penderita malaria di daerah endemis adalah munculnya

Universitas Sumatera Utara

Page 4: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

46

anti parasite immunity, yang dapat menekan jumlah plasmodium sampai dengan

jumlah tertentu, bahkan pada jumlah yang belum terdeteksi pada pemeriksaan

mikroskopik, namun si penderita tetap mengalami gejala klinis yang mengganggu.

Kondisi ini sering disebut dengan submicroscopic malaria.

Proses terbentuknya gametocyte tetap berlangsung pada penderita

asymptomatic malaria dan submicroscopic malaria. Sehingga apabila kedua

kondisi tersebut tidak segera diberikan pengobatan yang tepat maka dapat

memperbesar peluang terbentuknya gametocyte carriers dan menjadi sumber

transmisi baru untuk terjadinya penyakit malaria. Jika kondisi tersebut terus

berlangsung, tentunya program pengendalian dan eliminasi malaria tidak akan

pernah terwujud (Turki et al., 2012).

Pada awalnya diduga kasus asymptomatic malaria hanya ada pada daerah

holoendemis dan hyperendemis saja. Namun sudah banyak penelitian yang

menunjukkan bahwa kasus ini juga ditemukan pada daerah hypoendemis (Branch

et al., 2005). Tantangan yang dihadapi pada kondisi tersebut adalah tidak

dijumpainya plasmodium pada pemeriksaan mikroskopik darah rutin diakibatkan

oleh kepadatan parasit yang rendah dan pasien yang tidak datang memeriksakan

dirinya karena tidak merasakan adanya gejala klinis yang mengganggunya (Suárez

et.al, 2007; Coura et.al, 2006; Alves et. al, 2002).

Penelitian deteksi asymptomatic malaria telah pernah dilakukan. Namun

kebanyakan penelitian tersebut bersifat cross sectional study dengan

menggunakan PCR dan serologi. Ada juga penelitian dengan design longitudinal

study namun hanya bersifat menunggu pasien sampai mengunjungi rumah sakit

tanpa mengamati secara khusus dan intensif waktu demi waktu (Dennis et.al,

Universitas Sumatera Utara

Page 5: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

47

2004). Diagnosis malaria dengan menggunakan PCR dan serologi sampai saat ini

masih digunakan sebatas kegiatan surveilance, bukan sebagai standar diagnosis

malaria (Satoguina et al., 2009). Penelitian Dennis et al. (2004) juga menyatakan

bahwa dalam waktu 30 hari, pasien dengan asymptomatic malaria akan

menunjukkan gejala klinis malaria lebih banyak dibandingkan dengan yang bukan

asymptomatic malaria.

Proporsi asymptomatic malaria pada populasi penderita malaria belum

banyak yang dilaporkan. Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan pada

daerah dengan endemisitas yang berbeda-beda mendapatkan hasil yang berbeda

pula. Fontes (2001) dalam penelitiannya menemukan ada sekitar 41,8% penderita

asymptomatic malaria dari penderita malaria yang ditelitinya. Bahkan Alves et al.

(2002) menyatakan bahwa penderita asymptomatic malaria 4-5 kali lebih banyak

dibandingkan dengan symptomatic malaria. Sementara itu Coura et al. (2006)

dalam tulisannya menyatakan, apabila 25% saja penderita asymptomatic malaria

dari penderita malaria di suatu wilayah tidak ditangani dengan baik, maka

program kontrol malaria tidak akan pernah berhasil.

Diagnosis dini asymptomatic malaria merupakan salah satu cara menekan

terjadinya transmisi penyakit malaria. Indikator keberhasilan program eliminasi

malaria yang sering dipakai seperti PCR dan serologi, relatif lebih mahal dan sulit

dilakukan pada layanan kesehatan primer jika dibandingkan dengan diagnosis

malaria dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT. Diagnosis malaria secara dini

dan akurat dapat dijadikan informasi tentang keberhasilan program eliminasi

malaria, sebaliknya bila dijumpai prevalensi asymptomatic malaria yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

48

significant dapat menjadi pertanda program eliminasi malaria masih belum

berhasil (Oduro et al., 2011).

2.3. Diagnosis Malaria

Salah satu tatalaksana malaria yang cukup penting adalah diagnosis.

Diagnosis malaria secara dini dan akurat merupakan bagian utama dalam upaya

mengontrol malaria yang pada akhirnya akan mengurangi angka kesakitan dan

kematian akibat malaria. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk

mendapatkan alat diagnosis yang memiliki sensitivitas tinggi, namun sedikit yang

mengoptimalkan alat diagnosis yang ada pada layanan kesehatan primer.

Volume darah yang diperiksa dan kepadatan parasit dalam darah

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan untuk

mendeteksi infeksi malaria, sekalipun pada pemeriksaan PCR. Semakin banyak

volume darah yang diperiksa akan memperbesar peluang untuk menunjukkan

kondisi yang sebenarnya terutama pada kondisi kepadatan parasit yang rendah

(low parasite density). Hal yang sama terjadi pada kepadatan parasit, semakin

tinggi kepadatan parasit dalam darah, semakin mudah di deteksi. Secara umum

PCR dapat mendeteksi parasit sampai dengan kepadatan parasit 10 parasit/µl,

sementara pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi parasit mulai dari

kepadatan parasit 10 parasit/µl (Okell et al., 2012).

Okell et al. (2012) mendapatkan bahwa spesifisitas pemeriksaan

mikroskopik dibandingkan dengan PCR sangat tinggi, yaitu rata-rata 94%. Hal ini

menunjukkan bahwa data Slide Positive Rate dapat menggambarkan hasil

pemeriksaan PCR. Sementara itu, pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi

sekitar 54% hasil positif pada pemeriksaan PCR. Pada analisis multivariate

Universitas Sumatera Utara

Page 7: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

49

didapatkan hubungan yang sangat kuat pada pemeriksaan PCR dan pemeriksaan

mikroskopik. Hasil yang didapatkan akan semakin baik bila data dikelompokkan

berdasarkan umur, dimana kelompok umur < 16 tahun terlihat lebih baik jika

dibandingkan dengan umur diatasnya.

Pada penelitian yang sama, Okell et al. (2012) juga mendapatkan suatu

model prediksi yang menyatakan hubungan data submicroscopic parasite density

dengan total penderita malaria di wilayah tersebut, berdasarkan hasil perhitungan

perubahan intensitas transmisi malaria. Diperkirakan adanya penurunan intensitas

transmisi malaria sekitar 70-80% pada daerah hypoendemis dan 20% pada daerah

hyperendemis. Penelitian ini juga merekomendasikan penggunaan model tersebut

untuk memprediksi submicroscopic carriage dengan menggunakan hasil slide

positive rate.

Pemeriksaan mikroskopik masih merupakan gold standar dalam diagnosis

malaria. Alat uji diagnosis lain yang sering digunakan adalah gejala klinis, RDT,

dan PCR. Sementara itu Profil Hematologi (perubahan nilai trombosit, lekosit dan

eritrosit), Status gizi, Kecacingan (Infeksi Soil Transmitted Helminths) dan

golongan darah ABO juga dapat dijadikan sebagai faktor yang dapat

mempengaruhi kejadian malaria.

2.3.1. Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi spesies parasit dan kepadatan

parasit antara 10-100 parasit/µl darah. Pemeriksaan yang akurat dan tepat akan

memberikan nilai diagnosis yang tinggi. Untuk hasil yang maksimal diperlukan

ketelitian dan penyiapan sediaan darah yang tepat pula. Volume darah yang

digunakan untuk sediaan darah tipis adalah 1-1,5 µl sedangkan untuk sediaan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

50

darah tebal adalah 3-4 µl. Tentunya pemeriksaan dengan volume darah yang lebih

banyak memperbesar peluang ditemukannya parasit di dalam penderita, terutama

pada kepadatan parasit yang rendah (Purwaningsih, 1999).

Pada penelitian di daerah hypoendemis, didapati hasil mikroskopik positif

sebanyak 61% dengan tingkat kepadatan parasit < 100 parasit/µl (Harris et al.,

2010). Penelitian lain yang dilakukan pada anak sekolah diperoleh hasil 12,8%

asymptomatic malaria dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sederhana

(Mohana et al., 2007). Pada kepadatan parasit yang rendah, diperkirakan bahwa

untuk melihat 1 parasit diperlukan 100-300 lapangan pandang kecil pada apusan

darah tebal. Hal ini menunjukkan perlunya melihat lebih banyak lapangan

pandang untuk mendiagnosis malaria pada pasien yang tidak menunjukkan gejala

(asymptomatic malaria) atau pada kondisi kepadatan parasit yang rendah

(submicroscopic malaria) (Harris et.al., 2010).

Sampai saat ini gold standard diagnosis malaria adalah pemeriksaan

mikroskopik, yaitu dengan menemukan adanya plasmodium di dalam sediaan

darah yang diperiksa. Satu kali pemeriksaan mikroskopik yang memberikan hasil

negatif tidaklah langsung menyingkirkan kemungkinan diagnosis malaria,

terutama pada penderita yang menunjukkan gejala dan tanda umum malaria di

daerah endemis malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan mikroskopik serial

dengan interval waktu pemeriksaan. Interval waktu pemeriksaan juga bisa saja

beragam, sesuai dengan masa inkubasi dari masing-masing spesies.

Menge et al. (2008) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang hampir

sama dengan banyak penelitian yang membandingkan pemeriksaan mikroskopik

dan PCR. Penelitan tersebut mendapatkan hasil sensitivitas pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

51

mikroskopik terhadap PCR mendekati 60% dan spesivisitas 93%. Hal ini

menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan mikroskopik mempunyai peluang

untuk ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan mikroskopik serial.

Peningkatan sensitivitas tersebut juga dapat semakin ditingkatkan dengan

melakukan kombinasi diagnosis malaria, yaitu pemeriksaan mikroskopik serial,

RDT dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria.

2.3.2. Pemeriksaan RDT

Prinsip diagnosis RDT adalah berdasarkan deteksi antigen plasmodium

dengan menggunakan metoda imunokromatografi dalam bentuk dipstick. Prinsip

uji imunokromatografi adalah cairan yang akan bermigrasi pada permukaan

membrane nitroselulosa. Uji RDT berdasarkan pengikatan antigen di darah perifer

oleh antibodi monoklonal yang dikonjugasikan dengan zat pewarna atau gold

particles pada fase mobile. Antibodi monoklonal kedua / ketiga diaplikasikan

pada strip nitroselulosa sebagai fase immobile. Bila darah penderita mengandung

antigen tertentu, maka kompleks antigen antibodi akan bermigrasi pada fase

mobile sepanjang strip nitroselulosa dan akan diikat dengan antibodi monoklonal

pada fase immobile sehingga terlihat sebagai garis yang berwarna. Secara umum

ada dua antigen yang dideteksi yaitu Histidine Rich Protein 2 (HRP2) untuk

mendeteksi Plasmodium falciparum dan enzim parasite lactate dehydrogenase (p-

LDH) dan aldolase untuk mendeteksi hampir semua plasmodium. Kerusakan RDT

umumnya disebabkan kesalahan dalam penyimpanan, terpapar sinar matahari.

Sensitivitas RDT masih lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan

mikroskopik dan PCR, yaitu hanya mampu mendeteksi kepadatan parasit > 100

parasit/µl. Pemeriksaan ini juga tidak dapat memberikan informasi spesies dan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

52

kepadatan parasit, serta tidak bisa dipakai untuk follow up penderita

(Purwaningsih, 1999). Sensitivitas dan spesifisitas RDT terhadap pemeriksaan

mikroskopik sangat bervariasi, namun sejauh ini, masih dianggap baik. Meenaa et

al. (2009) dalam penelitiannya mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas RDT

dibandingkan dengan mikroskopik berturut-turut adalah 92,9% dan 94,8%.

2.3.3. Pemeriksaan PCR

Prinsip pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah

menggandakan segmen Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) spesifik dari antigen

plasmodium ada 3 tahap dalam reaksi teknik PCR yaitu tahap denaturasi,

annealing dan polimerisasi. Tahap denaturasi adalah tahap pemisahan DNA untai

ganda menjadi segmen DNA tunggal. Annealing yaitu menyatukan DNA untai

tunggal dari sampel dengan primer yang adalah segmen DNA spesifik dari spesies

plasmodium target. Terakhir adalah ekstinsi atau polimerisasi yang berfungsi

memperbanyak DNA untai ganda yang terbentuk pada tahap annealing menjadi

ribuan kali lebih banyak dengan katalisator enzim polymerase (Purwaningsih,

1999).

Secara teoritis teknik ini mampu mendeteksi 1 copi gen plasmodium,

tetapi pada pelaksanaannya kemampuan deteksi terendahnya (low limit of

detection) adalah 10-100 copi gen spesifik. Kelemahan teknik ini adalah

ketidakmampuan mencari korelasi dengan tingkat kepadatan parasit. Hal lain

adalah biaya yang mahal serta fisibilitasnya sebagai alat diagnosis malaria pada

layanan primer sangatlah sulit. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)

jauh lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT. Hal

itulah yang menjadi dasar penggunaan PCR pada kegiatan surveillance.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

53

Harris et al. (2010) melakukan penelitian yang membandingkan PCR

dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT pada daerah hypoendemis dengan

kepadatan parasit < 100 parasit/µl. Sama halnya dengan penelitian lain yang

menunjukkan superioritas PCR dibandingkan dengan kedua uji diagnosis lainnya.

Penelitian Harris et al. (2010) mendapatkan hasil bahwa sensitivitas PCR 3,3 kali

dibandingkan mikroskopik. Namun PCR juga gagal mendiagnosis 33 dari 256

mikroskopik yang positif. Sementara itu Michon et al. (2007) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa dari 110 orang penderita malaria, yang disebabkan oleh

Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, dapat dideteksi sebanyak 85

kasus (77,3%) dengan pemeriksaan mikroskopik.

2.3.4. Gejala klinis (keluhan utama)

Manusia merupakan sumber utama dari penyebaran plasmodium.

Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, tergantung dari spesies

plasmodium, umur, ras, imunitas, riwayat penyakit sebelumnya, status gizi, jenis

kelamin serta obat kemoprofilaksis atau kemoterapi yang telah digunakan.

Gambaran karakteristik dari malaria adalah demam periodik, anemia,

trombocytopenia, dan splenomegali (Broek et al., 2005).

Pada penderita malaria dapat ditemukan satu atau lebih gejala-gejala klinis

seperti demam tinggi, sakit kepala, menggigil, nyeri di seluruh tubuh. Pada

beberapa kasus dapat disertai gejala lainnya berupa mual, muntah dan diare.

Diagnosis malaria pada orang yang pernah terkena sebelumnya tidaklah mudah.

Hal ini disebabkan karena anti disease immnunity, dimana pasien telah terinfeksi

namun sistem imun tubuhnya mampu menekan munculnya gejala klinis.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

54

Gambaran klinis malaria berbeda pada daerah hypoendemis dan

hyperendemis, sehingga diagnosis malaria dengan menggunakan gejala klinis

tidak akurat pada daerah hypoendemis (Chandramohan et al., 2001). Namun pada

penelitian lain, terutama di daerah endemis malaria yang telah berubah menjadi

hypoendemis, gejala klinis dapat digunakan untuk terus melakukan terapi malaria

pada penderita malaria dengan keluhan demam, walaupun belum dikonfirmasi

dengan pemeriksaan mikroskopik (Hub et al., 2001). Hal yang sama juga

dinyatakan oleh NurAmani et al. (2009) dalam penelitiannya yang menyimpulkan

bahwa gejala klinis malaria dapat dijadikan sebagai uji skrining. Demam periodik,

mual, nyeri persendian dapat dijadikan sebagai uji diagnosis malaria klinis.

Dengan demikian penderita dapat segera diberikan pengobatan dan tidak menjadi

sumber penularan dan menekan terjadinya transmisi malaria.

Pengenalan gejala klinis yang khas di daerah endemis malaria merupakan

salah satu cara untuk penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat dan

rasional. Seleksi awal penderita yang disangkakan sebagai penderita malaria

klinis, merupakan suatu hal yang perlu dimiliki oleh petugas pada layanan

kesehatan primer, sebelum akhirnya dikonfirmasikan dengan pemeriksaan

mikroskopik yang masih merupakan standar diagnosis malaria. Oleh karena itu,

pengamatan lebih lanjut untuk menemukan gejala dan tanda klinis yang khas pada

tiap daerah endemis perlu dilakukan, sambil terus membenahi laboratorium

diagnosis malaria di daerah endemis malaria (Siahaan, 2008).

Demam sebagai salah satu gejala klasik malaria, tidak selalu harus

ditemukan pada penderita malaria, terutama di daerah endemis malaria. Selain

demam, keluhan badan pegal, pusing, gangguan pencernaan dan lemas, juga harus

Universitas Sumatera Utara

Page 13: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

55

diperhatikan sebagai gejala klinis malaria, terutama di daerah endemis malaria.

Hal ini dapat terlihat bahwa umumnya penderita malaria yang datang tidak

dengan gejala klinis demam, akan datang dengan gejala klinis tersebut. Gejala

klinis malaria yang bervariasi juga diperoleh pada berbagai penelitian yang

dilakukan di berbagai tempat.

Penelitian yang dilakukan pada anak penderita malaria di Gambia pada

tahun 2000, diperoleh hasil bahwa 58,3% penderita malaria tersebut menderita

demam, 86% mengalami pusing dan 60,7% mengalami gangguan pencernaan.

Sementara itu, penelitian di Thailand melaporkan bahwa gejala klinis penderita

malaria umumnya adalah demam (42,3%), pusing (98,3%), badan pegal (96,6%),

menggigil (88,4%) dan gangguan pencernaan (29,3%). Penelitian lain yang

dilakukan di Nigeria pada tahun 2005 juga mendapatkan hasil 100% penderita

malaria yang diteliti mengalami demam, 69,6% mengalami pusing dan 50,4%

mengalami gangguan pencernaan (Pitmang et al., 2005).

2.3.5. Profil hematologi

Perubahan profil hematologi yang berhubungan dengan infeksi malaria

telah lama diketahui, namun perubahan tersebut sangat bergantung oleh banyak

faktor (Erhart et al., 2004).

Anemia merupakan suatu gejala klinis yang banyak ditemukan pada

penderita malaria di berbagai tempat dengan tingkat endemisitas yang berbeda-

beda. Dalam keadaan normal eritrosit yang bersirkulasi dipertahankan dalam

keseimbangan antara produksi dan destruksi pada reticulo endothelial system.

Anemia terjadi bila ada kelainan produksi eritrosit atau peningkatan destruksi

eritrosit. Perubahan gambaran morfologi seperti polikromasi, anisositosis,

Universitas Sumatera Utara

Page 14: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

56

poikilositosis dan sel target juga dapat terlihat pada pemeriksaan sediaan darah

(Tambajong, 1999).

Trombocytopenia sering ditemukan pada penderita malaria. Kondisi ini

juga dapat berubah mengikuti kepadatan parasit di dalam tubuh penderita.

Mekanisme imun diduga berperan dalam destruksi platelet. Hal ini terlihat pada

pengamatan kadar platelet associated IgG yang meningkat bersamaan dengan

proses perjalanan penyakit malaria, yaitu dengan bertambahnya kepadatan parasit

di dalam tubuh penderita. Platelet associated IgG dapat berasal dari kompleks

imun sirkulasi yang ada dalam sirlukasi penderita malaria atau berupa

autoantibody yang diarahkan pada antigen permukaan platelet. Platelet associated

IgG cenderung menimbulkan pembersihkan cepat dari platelet sirkulasi oleh

reticulo endothelial system. Kadar platelet associated IgG dan jumlah platelet

kembali normal mengikuti penurunan kepadatan parasit di dalam darah penderita

(Tambajong, 1999). Gudo et al. (2013) menemukan adanya hubungan yang

bermakna antara anemia dan trombocytopenia dengan kasus asymptomatic

malaria pada anak-anak usia sekolah di daerah hyperendemis malaria.

Secara umum diketahui bahwa lekosit selama perjalanan penyakit malaria

mengalami perubahan jumlah. Pada awal infeksi malaria umumnya lekosit akan

bermigrasi dari sirkulasi menuju spleen atau reticulo endothelial system lainnya,

sehingga jumlahnya menjadi sedikit di sirkulasi (leucopenia). Banyak penelitian

menunjukkan bahwa infeksi Plasmodium falciparum lebih sering menyebabkan

terjadinya leucopenia dibandingkan dengan Plasmodium vivax (Mckenzie, 2005).

Chandra & Chandra (2013) menyatakan bahwa leucopenia dan trombocytopenia

dapat dijadikan indikator terjadinya malaria di daerah endemis.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

57

Penelitian Ladhani et al. (2002) menunjukkan adanya leucocytosis pada

penderita malaria. Kondisi leucocytosis ini juga berhubungan dengan tingkat

keparahan penyakit (morbiditas dan mortalitas). Bahkan penelitian tersebut

mendapatkan hasil bahwa peningkatan jumlah lekosit itu menyebabkan tujuh kali

lebih banyak kematian pada penderita malaria. Penelitian ini juga

membandingkan proporsi lymphocyte dan monocyte pada penderita malaria,

walaupun belum memberikan makna yang signifikan. Hal ini diduga karena

adanya infeksi sekunder lain atau karena kondisi penderita yang semakin

memburuk. Sementara itu Taylor et al. (2008) menyatakan bahwa perubahan

kadar lekosit ini juga dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, status imunitas

dan endemisitas daerah.

Hänscheid et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan adanya

hubungan kejadian malaria berat dengan pigmen hemozoin pada lekosit (pigment-

containing leukocytes - PCL). Penelitian tersebut juga mencoba menghubungkan

prognosis penyakit malaria dengan membandingkan kadar pigment-containing

monocytes (PCM) dan pigment-containing granulocytes (PCN).

Perbedaan hasil penelitian profil hematologi pada penderita malaria

dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga profil hematologi tetap saja dapat

dijadikan informasi yang memperbesar peluang dalam mendeteksi penyakit

malaria, namun tidaklah dapat dijadikan sebagai alat diagnosis standar (Haroon et

al., 2013).

2.3.6. Golongan darah ABO

Faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria

dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respon immunologi

Universitas Sumatera Utara

Page 16: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

58

atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor. Beberapa faktor genetik yang

bersifat protektif terhadap malaria adalah golongan darah Duffy negatif,

hemoglobin S, defisiensi G6PD dan golongan darah ABO (Gunawan, 2000 ).

Penelitian yang banyak dilakukan adalah membandingkan terjadinya

malaria berat pada kelompok penderita malaria dengan golongan darah ABO yang

berbeda. Virulensi malaria selalu dihubungkan dengan kemampuan adhesi

eritrosit yang mengandung plasmodium dengan eritrosit normal serta

perlekatannya di endotel pembuluh darah (rosseting). Beberapa penelitian telah

dilakukan untuk melihat perbedaan sifat rosseting antara golongan darah ABO

yang berbeda. Golongan darah yang memiliki antigen A dan B memiliki afinitas

yang tinggi untuk mengalami peristiwa rosseting tersebut. Hal ini sejalan dengan

fakta yang ditemukan bahwa penderita dengan golongan darah O (tanpa antigen A

dan B) memiliki prognosis yang lebih baik (Deepa et al., 2011; Panda et al., 2011;

Tekeste et al., 2010). Namun sejauh ini belum ada penelitian yang secara

langsung melihat perbedaan terjadinya kejadian malaria pada golongan darah

ABO.

2.3.7. Status gizi

Penelitian mengenai status gizi dan malaria masih belum mampu

menerangkan secara jelas hubungan keduanya. Ada penelitian yang menemukan

bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria

cerebral dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa malaria berat jarang ditemukan pada anak-anak dengan

marasmus atau kwashiorkor (Langi et al., 2000). Namun lebih banyak penelitian

yang menemukan bahwa anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat

Universitas Sumatera Utara

Page 17: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

59

dengan lebih cepat dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk (Gunawan,

2000). Defisiensi zat besi dan riboflavin juga dilaporkan mempunyai efek

protektif terhadap malaria berat. Sementara itu diet rendah PABA (para amino

benzoic acid) seperti yang terdapat dalam air susu ibu melindungi anak dari

malaria berat (Langi et al., 2000).

2.3.8. Kecacingan (STH)

Penelitian yang mengamati coinfection malaria dan kecacingan oleh

karena soil transmitted helminthes (STH) telah lama dilakukan. Penelitian-

penelitian tersebut memberikan hasil yang beragam. Sebagian menyatakan bahwa

keberadaan infeksi STH mengurangi susceptibilitas terhadap infeksi malaria,

namun sebagian besar penelitian lain menyatakan hal yang sebaliknya, yakni

bahwa infeksi STH menyebabkan lebih besar peluang terjadinya infeksi malaria.

Infeksi STH kronik secara umum akan meningkatkan respon imun dengan

karakteristik meningkatnya produksi T helper tipe 2 dan Immunoglobulin E serta

menurunnya respon imun seluler (T helper 1). Hipotesis inilah yang menjadi dasar

fakta bahwa infeksi STH akan menyebabkan semakin memperbesar peluang

terjadinya infeksi malaria. Hipotesis ini juga yang dapat menerangkan bahwa

kondisi infeksi kronis STH dapat memberikan prognosis yang lebih baik bagi

penderita malaria (Ojurongbe et al., 2011; Brooker et al., 2007).

2.3.9. Model diagnosis malaria

Penelitian model / algoritma diagnosis malaria yang sering dilakukan

adalah menggunakan gejala dan tanda klinis penderita malaria. Hasil yang

ditemukan sangat bervariasi. Chandramohan et al. (2001) mendapatkan hasil yang

Universitas Sumatera Utara

Page 18: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

60

berbeda berdasarkan kelompok umur, dimana sensitivitas dan spesifisitas gejala

dan tanda klinis malaria dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik berturut-

turut adalah 60% dan 61.2% pada anak-anak dan 54.6% dan 57.5% pada orang

dewasa. Sementara itu Bojang et al. (2000) mendapatkan hasil sensitivitas 70%

dan spesifisitas 77%. Secara umum hasil tersebut belumlah memuaskan.

Maina et al. (2010) menyatakan bahwa membuat model / algoritma

diagnosis berdasarkan kombinasi pemeriksaan mikroskopik dan profil hematologi

dapat memperbaiki kualitas diagnosis malaria terutama di daerah hyperendemis.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian model deteksi malaria dengan

menggabungkan penggunaan alat diagnosis malaria pada layanan kesehatan

primer dan faktor risiko yang berperan dalam kejadian malaria.

2.4. Faktor Perilaku

Penyebaran penyakit malaria juga berkaitan dengan perilaku yaitu

pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice) dari

masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal menetap di daerah endemis

(Notoatmojo, 2005).

Perilaku merupakan salah satu komponen yang memiliki kontribusi cukup

besar dalam mempengaruhi status kesehatan seseorang. Perilaku manusia itu

sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Penelitian yang

dilakukan Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku

baru, maka di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:

(Notoadmodjo, 2005)

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

Universitas Sumatera Utara

Page 19: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

61

2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap

subyek sudah mulai timbul.

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial (mencoba), dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5. Adoption (mengadopsi), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Perubahan perilaku tersebut dapat diimplikasikan dalam perilaku

pencegahan malaria, perilaku mencari bantuan kesehatan dalam penanganan kasus

malaria serta perilaku tenaga kesehatan dalam penanggulangan malaria. Perilaku

pencegahan malaria dapat terlihat dari penggunaan repellent, anti nyamuk atau

kelambu berinsektisida serta perilaku pengendalian tempat perindukan nyamuk.

Sementara itu, perilaku mencari bantuan dalam penanganan kasus malaria terlihat

dari tindakan apa yang akan dilakukan pada saat muncul gejala dan tanda penyakit

malaria pada dirinya atau anggota keluarganya. Begitu pula dengan perilaku

tenaga kesehatan yang terlihat dari kualitas pelayanan serta tersedianya alat

diagnosis dan obat malaria.

Intervensi terhadap perilaku sangat penting guna menyadarkan masyarakat

tentang pentingnya penerapan pola hidup bersih dan sehat. Misalnya kesadaran

untuk melakukan kegiatan peduli lingkungan (penimbunan, pengeringan dan

pembersihan genangan air) untuk membatasi breeding places vektor penyebab

malaria (Notoadmodjo, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

62

2.5. Faktor Lingkungan

Penyakit malaria memiliki hubungan yang erat, baik yang berelasi dengan

kehadiran vektor, iklim, kegiatan kemanusiaan dan lingkungan setempat. Adanya

kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan

luas tempat perindukan. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas vektor di

dalam menularkan plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu orang ke orang

lain melalui gigitan nyamuk Anopheles. Oleh karena itu malaria dianggap sebagai

penyakit ekologis (WHO, 2001).

Malaria terdistribusi berdasarkan ketersediaan tempat perindukan nyamuk

dan produktivitas nyamuk dalam menginfeksi manusia. Ketersediaan tempat

perindukan nyamuk berhubungan dengan adanya genangan air misalnya akibat

hujan sedangkan produktivitas nyamuk tergantung pada kemampuan parasit

(plasmodium) dalam tubuh nyamuk untuk menjadi dewasa dan kesiapan untuk

menginfeksi manusia (Mondzozo et al., 2011; Gubler et al, 2000).

Rata-rata lama hidup nyamuk yang mengandung parasit malaria adalah 21

hari. Pada temperatur 220C parasit malaria dalam tubuh nyamuk membutuhkan

waktu 19 hari untuk menjadi dewasa sedangkan pada temperatur 300C hanya

membutuhkan waktu 8 hari. Sebagian dari dataran Afrika dan wilayah terjauh

bagian selatan dan utara Afrika memiliki rata-rata temperatur benua di atas 250C.

Sehingga proyeksi peningkatan temperatur antara 1,4 - 5,80C di bawah perubahan

iklim akan menyebabkan percepatan perkembangan parasit dan berpotensi untuk

terjadinya peningkatan kasus malaria. Pada beberapa penelitian, faktor seperti

temperatur dan tingkat penguapan yang tinggi memainkan peran yang penting

dalam peningkatan kasus malaria (Mondzozo et al., 2011; Gubler et al, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

63

Intervensi lingkungan yang dapat dilakukan dalam menanggulangi

penyakit malaria yakni melalui upaya pengendalian vektor meliputi: (WHO,

2011)

1. Pembasmian jentik dilakukan larviciding (tindakan pengendalian larva

Anopheles sp. secara kimiawi menggunakan insektisida)

2. Biological control

a. Predator pemakan jentik (Clarviyorous fish) yaitu gambusia, guppy, ikan

nila dan ikan kepala timah

b. Patogen misalnya dengan virus yang bersifat cytoplasmic polyhedrosis

c. Bakteri seperti Bacillus thuringiensis sub sp

d. Protozoa seperti Nosema vavraia

e. Fungi seperti Coelomomyces

3. Manajemen lingkungan dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa

dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS /

Indoors Residual Spraying)

4. Penggunaan kelambu berinsektisida.

Pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective,

efisien, suntainable, affective dan affordable). Hal ini dilakukan dengan

pertimbangan kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang

beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi

sangat penting. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders

dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam pengendalian vektor malaria.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

64

2.6. Vektor Pembawa Penyakit

Malaria merupakan penyakit menular yang diperantarai oleh vektor

(vector-borne diseases). Selain melalui vektor, penularan penyakit malaria juga

dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dari seorang penderita malaria yang

mendonorkan darahnya ataupun secara intrauterine kepada janin yang dikandung

oleh ibu yang menderita malaria (Takken, 2002).

Vektor malaria adalah anthropoda yang secara aktif memindahkan

mikroorganisma (Plasmodium sp.) penyebab penyakit malaria dari penderita

kepada orang lain yang sehat. Arthropoda adalah metazoa yang mempunyai tubuh

bersegmen-segmen, termasuk Class Insecta, Ordo Diphtera, Family Culicidae,

Genus Anopheles. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendages) yang

berpasangan seperti antena, kaki dan sayap sehingga tubuhnya simetris (CDC,

2006). Vektor utama malaria adalah nyamuk betina.

Genus Anopheles terdiri dari 430 species dan hanya 70 yang dikenal

sebagai vektor, namun 40 di antaranya dianggap sangat penting di dalam

menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara

umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, dan tidak terdapat di daerah Pasifik

Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas 2500 meter biasanya

tidak ditemukan nyamuk Anopheles (Service & Townson, 2002). Jenis Anopheles

tersebut meliputi Anopheles aconitus, Anopheles sundaicus, Anopheles

balabasensis, Anopheles minimus, Anopheles barbirostris, Anopheles punctulatus,

Anopheles maculatus dan Anopheles karwari, sedangkan jenis Anopheles yang

dominan adalah jenis Anopheles aconitus, Anopheles farauti, dan Anopheles

sundaicus (Lindsay & Bayoh, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 23: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

65

Perilaku nyamuk Anopheles dalam kehidupannya memerlukan tempat

perindukan vektor (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah

(feeding places) dan tempat untuk beristirahat (reesting places). Nyamuk

Anopheles betina yang telah kawin, akan beristirahat 1-2 hari kemudian baru

mencari makan kembali (Lindsay & Bayoh, 2004).

Nyamuk Anopheles untuk mencari makan dengan cara menggigit manusia.

Dikarenakan sebagian besar nyamuk Anopheles bersifat crepuscular (aktif pada

senja atau fajar) atau nocturnal (aktif pada malam hari), maka kegiatan menggigit

nyamuk selalu aktif sepanjang malam, dimulai pukul 18.00 sampai dengan 06.00

dan mencapai puncaknya pada pukul 24.00 - 01.00, tetapi terdapat juga nyamuk

Anopheles yang aktif di tengah malam sampai menjelang pagi hari (CDC, 2006;

Depkes, 2003).

Kerentanan terhadap infeksi malaria pada spesies nyamuk tertentu,

tergantung pada faktor intrinsik berbagai proses fisiologis dan biokimia yang

belum banyak dipahami. Namun faktor-faktor ekologis seperti frekuensi

menggigit orang, panjang umur nyamuk (longevity) betina dewasa, kepadatan

vektor dan penduduk merupakan determinan yang penting dalam menentukan

potensinya di dalam menyebarkan malaria (Service & Townson, 2002).

Takken (2002) menyatakan bahwa ada empat faktor utama yang

menentukan kompetensi spesies Anopheles sebagai vektor malaria, yaitu:

a. Lama hidup (longevity): apabila umur nyamuk cukup panjang akan lebih

banyak memberi kesempatan parasit malaria untuk menyelesaikan masa

inkubasi intrinsik dari gametocyte sampai menjadi sporozoite.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

66

b. Kepadatan vektor apabila cukup tinggi akan menyebabkan jumlah atau

frekuensi kontak antara nyamuk dengan manusia cukup tinggi sehingga

memperbesar risiko penularan.

c. Pilihan inang atau kesukaan menggigit: nyamuk yang lebih suka menggigit

manusia (antropophylic) akan menyebabkan peluang yang lebih besar

terjadinya penularan parasit malaria antar manusia.

d. Kerentanan vektor terhadap infeksi parasit malaria: adanya kecocokan fisiologi

antara nyamuk sebagai inang dan parasit yang menumpanginya.

Dalam konsep epidemiologi, terdapat tiga faktor yang berpengaruh

terhadap kejadian penyakit malaria, yaitu host (penjamu), agent (penyebab

penyakit) dan environment (lingkungan). Penyebaran penyakit malaria terjadi

sebagai akibat interaksi dari ketiga komponen tersebut dan peran serta nyamuk

sebagai vektor pembawa penyakit (agent). Dengan mengenal hubungan faktor

yang berperan dalam penyebaran penyakit malaria, maka usaha pemutusan mata

rantai penularannya dapat direncanakan dan ditentukan dengan lebih terarah.

Pemutusan mata rantai penularan terbaik adalah: (Depkes, 2003)

1. Menyembuhkan orang yang sakit malaria, sehingga tidak terjadi penularan,

walaupun terdapat vektor (nyamuk) penular penyakit tersebut

2. Menghilangkan / membunuh vektor nyamuk penular malaria, sehingga tidak

mungkin terjadi penularan, walaupun terdapat orang yang sakit malaria

3. Menghilangkan tempat-tempat perindukan, sehingga vektor tidak bisa

berkembang biak dan berkurang kepadatannya

Universitas Sumatera Utara

Page 25: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

67

2.7. Hubungan Host-Agent-Environment Dan Malaria

Infeksi malaria dipengaruhi oleh faktor manusia (Host), plasmodium

(Agent), nyamuk (Vector) dan perindukan nyamuk (Environment). Masing-masing

faktor saling mempengaruhi pada proses terjadinya penyakit malaria

(Gambar 2.2).

Secara umum, semua manusia dapat menderita penyakit malaria. Namun

banyak faktor yang berpengaruh, seperti sistem imun tubuh, status gizi, tempat

tinggal yang dekat dengan perindukan vektor dan faktor genetika yang bisa

bersifat protektif terhadap penyakit malaria serta faktor perilaku manusia.

Manifestasi perilaku dapat dilihat dari tindakan mencari bantuan kesehatan,

tindakan pencegahan penyakit dan kualitas pelayanan kesehatan. Semua faktor

tersebut saling berpengaruh terhadap terjadinya penyakit malaria

(Gunawan, 2000).

Karakteristik plasmodium sp. berbeda satu dengan yang lainnya.

Perbedaan karakteristik tersebut ditambah dengan faktor lainnya seperti kepadatan

parasit di dalam darah, akan menghasilkan manifestasi klinis yang berbeda pula.

Kemampuan adaptasi untuk bertahan hidup, juga berbeda antar spesies yang

berakibat pada terjadinya resistensi antimalaria (Gunawan, 2000).

Malaria pada manusia umumnya ditularkan oleh nyamuk betina anopheles

yang memiliki lebih dari 400 spesies dan tersebar di banyak tempat dengan letak

ketinggian tempat perindukan yang berbeda-beda. Efektivitas nyamuk sebagai

vektor pembawa penyakit malaria dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain

kepadatan vektor, kesukaan menghisap darah manusia (antropofilia) dan

temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan berpengaruh pada proses

Universitas Sumatera Utara

Page 26: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

68

pembentukan sporozoite dan lamanya hidup nyamuk yang terinfeksi oleh

gametocyte (Gunawan, 2000).

Lingkungan sebagai tempat tinggal manusia, vektor dan plasmodium juga

berpengaruh pada interaksi ketiganya. Faktor-faktor seperti letak ketinggian,

temperatur, angin, hujan, kelembaban udara, sinar matahari dan lingkungan sosial

budaya juga berpengaruh dalam interaksi manusia, vektor dan plasmodium.

Sebagai salah satu manifestasi perilaku manusia, kualitas pelayanan kesehatan dan

tatalaksana penyakit, juga berpengaruh pada virulensi parasit (Gunawan,2000).

Intervensi pada masing-masing faktor (manusia, vektor, plasmodium dan

lingkungan) merupakan upaya yang tidak bisa dilakukan secara terpisah.

Kompleksitas setiap faktor saling mempengaruhi satu sama lainnya (Gambar 2.2.)

sehingga memerlukan strategi yang komprehensip untuk melakukan intervensi

yang tepat.

Manifestasi klinis penderita malaria sangat dipengaruhi oleh faktor

virulensi, kepadatan parasit, sistem imun tubuh dan faktor genetis. Faktor ekternal

lain adalah deteksi dini dan tatalaksana malaria yang tepat sasaran. Manifestasi

klinis penderita malaria dapat berupa demam (symptomatic malaria) ataupun

tanpa demam (asymptomatic malaria).

Universitas Sumatera Utara

Page 27: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

69

Gambar 2.2. Hubungan Host-Agent-Environment dan Malaria

2.8. Kerangka Teori

Manifestasi klinis penderita malaria dipengaruhi oleh banyak faktor.

Tetapi secara umum ada dua faktor yang berpengaruh besar, yaitu sistem imunitas

dan kepadatan parasit. Sistem imunitas dipengaruhi oleh sistem anti-parasite

immunity dan anti-disease immunity. Kondisi asymptomatic malaria terjadi

karena anti-disease immunity menekan inflamatory agent dan mengurangi

manifestasi klinis demam. Sementara itu, aktivitas anti-parasite immunity

menyebabkan berkurangnya kepadatan parasit dalam darah dan berpengaruh pada

manifestasi klinis. Sifat virulensi parasit akan berinteraksi dengan sistem imunitas

penderita dan berpengaruh pada kepadatan parasit di dalam darah. Kepadatan

parasit dan sistem imunitas secara simultan akan berpengaruh pada profil

hematologi dan manifestasi klinis penderita malaria. Status gizi dan infeksi lain

berhubungan dengan sistem imunitas dan berpengaruh pada manifestasi klinis.

Sementara itu, perilaku manusia, seperti pencegahan penyakit, mencari bantuan

Environment (Lingkungan) Penggunaan Lahan

Endemisitas Indikator Meteorologi Rekayasa Lingkungan

Kualitas Pelayanan Kesehatan Tatalaksana Penyakit

(Diagnosis dan Pengunaan antimalaria)

Agents (Plasmodium) Infeksi Campuran

Resistensi Antimalaria Spesies plasmodium Kepadatan parasit

Host (Manusia) Perilaku Pencegahan Penyakit

(Pemakaian Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu, Kondisi Tempat Tinggal)

Genetik (Sistem Imun, Profil Hematologi-Hb,Basofil,Eosinofil,Netrofil,Limfosit,Monosit-

Golongan Darah ABO) Status Gizi

Infeksi lain (Kecacingan)

Vector (Nyamuk) Spesies

Gigitan Serangga Kapasitas Vektorial Kepadatan Parasit

Asymptomatic Malaria

Symptomatic Malaria

Universitas Sumatera Utara

Page 28: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

70

kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan, berpengaruh pada kuantitas parasit

yang masuk ke dalam tubuh penderita (Gambar 2.3.).

Akurasi diagnosis malaria berkorelasi dengan jumlah darah yang diperiksa

dan kepadatan parasit di dalam darah. Sehingga penggunaan alat diagnosis

malaria yang memeriksa jumlah darah lebih banyak serta menunggu waktu

perbanyakan parasit di dalam darah (pemeriksaan serial) akan semakin

meningkatkan akurasi diagnosis alat diagnosis tersebut. Distribusi alat diagnosis

dan tenaga laboratorium juga berpengaruh pada kualitas deteksi parasit

(Gambar 2.3.).

Gambar 2.3. Kerangka Teori

2.9. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan gabungan Karakteristik Sampel (Umur, Jenis Kelamin dan

Tempat Tinggal) dan Faktor Risiko Malaria (Ketersediaan Alat Diagnosis

Malaria, Ketersediaan Obat Malaria, Kualitas Tenaga Kesehatan,

Pengetahuan,Sikap dan Tindakan tentang Malaria, Akses ke Tenaga Kesehatan,

Pemakaian Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu, Pemakaian Antinyamuk

Manifestasi Klinis Sistem Imunitas

(Anti-parasite dan Anti-disease) Virulensi Parasit

(Kepadatan Parasit dan Spesies Parasit) Genetik

(Profil Hematologi-Hb, Basofil, Eosinofil, Netrofil, Limfosit, Monosit- Golongan Darah

ABO) Penggunaan antimalaria

Status Gizi Infeksi lain Kecacingan

Kualitas Pelayanan Kesehatan (Ketersedian Alat Diagnosis & Obat, Kualitas

Tenaga Kesehatan) Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan

(Pengetahuan, Sikap, Tindakan dan Akses ) Perilaku Pencegahan Penyakit

(Pemakaian Kelambu, Kualitas Pakai Kelambu, Kondisi Tempat Tinggal)

Asymptomatic Malaria

Diagnosis Akurasi Alat Diagnosis

Volume Darah yang diperiksa Pemeriksaan Serial

Universitas Sumatera Utara

Page 29: repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006) Sporozoite

71

Bakar, Pemakaian Antinyamuk Oles (repellent) dan Kondisi Tempat Tinggal)

dengan terjadinya asymptomatic malaria.

2. Ada hubungan gabungan Karakteristik Sampel, Faktor Risiko Malaria,

Pemeriksaan Fisik (Status Gizi) dan Pemeriksaan Laboratorium (Kecacingan,

Golongan Darah ABO dan Profil Hematologi : Hb, Basofil, Eosinofil, Netrofil,

Limfosit dan Monosit) dengan deteksi asymptomatic malaria.

2.10. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka Konsep

Karakteristik Sampel (Umur, Jenis Kelamin, Tempat Tinggal Kualitas Pelayanan Kesehatan (Ketersediaan Alat Diagnosis, Ketersediaan Obat Malaria dan Kualitas Tenaga Kesehatan) Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan, Akses ke Tenaga Kesehatan) Perilaku Pencegahan Penyakit (Pemakaian

Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu, Kondisi Tempat Tinggal) Status Gizi (Normal, Abnormal) Kecacingan (Positif, Negatif) Golongan Darah (A,B,O,AB) Profil Hematologi (Hb,Basofil,Eosinofil,Netrofil,Limfosit,Monosit) Kepadatan Parasit

Asymptomatic Malaria

Universitas Sumatera Utara


Recommended