1
MENILIK ASA SANG PAMONG DESA
(Studi Kasus Motivasi Kerja Perangkat Desa di Kabupaten Boyolali)
Diaz Haryokusumo (C2A007040)
Andriyani, SE., MM
ABSTRACT
Rural officer as a person who responsible for goverment task in village,
has an importent role to determine the success of society development, because
village become a focus object of national development in regional autonomy
system. However, in the middle of so many claims in this profession, there is so
many problems, especially problems about the prosperity and clarity of their
status.
The aim of this research is for identify the internal factors that influences
motivation of rural officer. The internal factors include working value, the
attitude, and the ability that the rural officer have.
This research uses qualitative method where the process of collecting data
is conducted with interview. The object in this research is the employee who work
in village goverment administration with status as a non-civil servant in some
district in Boyolali. The result of this research explain that work motivation of
rural officer influenced by work values, individual attitudes, and individual
ability.
Key words: Qualitative, Rural officer, Motivation, Value, Attitude, Ability.
2
1. PENDAHULUAN
Pemerintah sebagai penyelenggara roda pemerintahan diamanatkan oleh
UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta menciptakan
kesejahteraan bagi warga negaranya. Susunan pemerintahan dibagi menjadi
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang terdiri dari berbagai tingkat,
yaitu tingkat provinsi, kabupaten/kota. Undang-Undang No. 32/2004 membentuk
pemerintahan desa sebagai bagian terkecil Pemerintahan Daerah.
Bantuk eksistensi pemerintah desa dipertegas dalam Peraturan Pemerintah
No. 72/2005 yang khusus mengatur tentang desa. Implikasi dari peraturan ini
adalah bentuk pengakuan desa sebagai ujung tombak pemerintahan yang secara
hierarki merupakan bagian dari pemerintah terendah dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia, dan memiliki beban pertanggungjawaban yang sama atas apa
yang telah diamanahkan oleh UUD 1945.
Menurut catatan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) pada tahun
2008, terdapat 63.712 desa di Indonesia, atau lebih dari 78% rakyat Indonesia
berada dalam naungan pemerintah desa. Pemerintahan Desa diharapkan dapat
menjadi unit terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat, serta menjadi tonggak
strategis untuk keberhasilan semua program karena secara normatif, masyarakat
akar-rumput (grass root) seperti halnya masyarakat pedesaan sebenarnya bisa
menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan
pembangunan di tingkat Desa (Kumalasari, 2010).
Proposal Perspektif Perangkat Desa dalam Sistem Pemerintah Desa yang
disusun oleh Pengurus Pusat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Tahun
2010, menjelaskan bahwa sudah selayaknya pemerintah desa yang dijalankan oleh
perangkat desa ditunjang dengan perangkat sistem peraturan maupun peralatan
yang dapat mendukung tugas mereka. Tetapi apabila Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang Desa dicermati, banyak terdapat aturan-aturan yang
menghambat Perangkat Desa dalam mengemban tugasnya. Hambatan itu berupa
status kepegawaian perangkat desa yang tidak jelas karena bukan sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) serta tidak adanya standarisasi sistem penggajian sehingga
tingkat kesejahteraan perangkat desa menjadi minim.
3
Minimnya kesejahteraan perangkat desa dalam jangka waktu yang lama
berpengaruh langsung terhadap minimnya standar pelayanan maupun rendahnya
semangat melayani masyarakat terhadap tugas administratif sebagai wakil
pemerintahan yang diamanahkan. Pada umumnya mereka bekerja apa adanya
(taken for granted) sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya (Muflich, et
al, 2007).
Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow meletakkan kebutuhan
fisiologis di urutan pertama yang dibutuhkan seseorang dan mengasumsikan
bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan secara fisiologis terlebih
dahulu. Pemenuhan kebutuhan bersifat fisik ini sangat berkaitan erat dengan
pemberian kompensasi yang sesuai dan wajar kepada pekerja untuk dapat
memenuhi kesejahteraan hidup (Justicia, 2001). Terpenuhinya kesejahteraan
pekerja dengan baik dan kompensasi yang cukup akan memacu prestasi dan
kinerja pekerja tersebut (PortalHR.com, 27 Juli 2011).
Muflich (2007), menjelaskan para perangkat Desa juga tidak
memperoleh pendidikan dan latihan yang sistematis dan berkelanjutan
sebagaimana diberikan negara kepada PNS. Perangkat Desa memperoleh
pembekalan awal mengenai tupoksi dan tugas-tugas administrasi oleh pihak
Kecamatan yang dikoordinasi oleh Bupati atau Walikota setempat, tetapi setelah
itu tidak memperoleh diklat teknis. Terkadang sebagian Perangkat Desa
memperoleh diklat teknis (misalnya administrasi, perencanaan, pendataan,
keuangan) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang datangnya tidak menentu.
Disebabkan miskinnya pembinaan, maka kapasitas (pengetahuan, wawasan dan
keterampilan) perangkat Desa sangat terbatas. Padahal faktor pengetahuan dan
pemahaman akan job proccedure sangat mempengaruhi keberhasilan dari kinerja
(Kosasoh dan Budiani, 2007). Akibatnya tingkat kualitas pelayanan Pemerintah
Desa yang merupakan pelaksana langsung dan bersentuhan langsung dengan
masyarakat menjadi minim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah
memungkinkan dengan keberadaan sosial ekonominya yang tidak jelas diatur oleh
pemerintah, serta tingkat kesejahteraan yang tidak mendapatkan jaminan dapat
4
menjalankan tugas sesuai dengan harapan masyarakat maupun harapan
pemerintah itu sendiri?
Menurut Mulyana (2007), seseorang melakukan tindakan lebih karena
didasari oleh suatu motivasi, dimana motivasi tersebut diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Triatmanto dan Sunardi (2001) mendefinisikan motivasi sebagai
keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi
intrinsik menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang
(Prianto, 2006; Ratnawati, 2004). Menurut Ratnawati motivasi adalah suatu yang
intern. Motivasi kerja intrinsik secara positif melibatkan pengalaman berharga
yang dialami pekerja dari pekerjaannya.
Berkaitan dengan motivasi bekerja Perangkat Desa yang termasuk unsur
pelayanan publik, Francois (2002) menyatakan bahwa para pekerja di sektor
pelayanan publik mengesampingkan gaji atau pendapatan sebagai motivasi
mereka (not-profit oriented). Para pekerja sektor pelayanan publik melakukan
pekerjaan ini karena menganggap pekerjaan ini penting untuk dilakukan dan
berarti untuk mereka (Prendergast, 2008; Francois dan Vlassopoulos, 2007).
Motivasi intrinsik dalam melakukan pelayanan ini disebut dengan motivasi pro-
sosial (pro-social motivation). Pekerja dengan motivasi pro-sosial tidak akan
terpengaruh oleh kekuatan dari insentif (Francois dan Vlassopoulos, 2007). Hasil
penelitian Subyantoro (2009) menemukan korelasi yang positif dan signifikan
hubungan antara karakteristik pribadi seseorang yang terdiri dari kemampuan,
nilai, sikap, dan minat terhadap motivasi kerja seseorang.
Melihat kondisi ini, menarik kiranya untuk mengkaji lebih dalam
mengenai motivasi kerja perangkat desa dan faktor yang melatarbelakangi
motivasi tersebut. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian untuk mengetahui:
1) Motivasi kerja perangkat desa; 2) Nilai yang mendasari motivasi kerja; 3)
Sikap kerja perangkat desa; 4) Kondisi kemampuan perangkat desa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini berudul “Menilik
Asa Sang Pamong Desa (Studi Kasus Motivasi Kerja Perangkat Desa di
Kabupaten Boyolali)”.
5
2. TELAAH TEORI
2.1 Motivasi Kerja
Secara teknis, istilah motivasi berasal dari kata Latin movere, yang berarti
“bergerak”. Robbins (2001) mendefinisikan motivasi sebagai kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi, yang
dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan
individual. Definisi motivasi mengemukakan bahwa motivasi berhubungan
dengan: (1) arah perilaku; (2) kekuatan respons; (3) ketahanan perilaku, atau
berapa lama orang itu terus-menerus berperilaku menurut cara tertentu (Gibson, et
al, 1984). Terdapat tiga elemen kunci di dalam definisi motivasi yaitu: usaha
(effort); tujuan organisasi (organizational goals); dan kebutuhan (needs)
(Sofyandi dan Garniwa, 2007).
Gambar 2.1Proses Awal Motivasi
Sumber: Gibson, et al (1984)
Untuk memahami perilaku pribadi maupun organisasi, motif dasar motivasi
harus dikenal dan dipelajari dan berfungsi sebagai latar belakang dan dasar untuk
pendekatan motivasi kerja yang lebih relevan (Luthans, 2009). Lebih lanjut
Luthans menyimpulkan bahwa kunci untuk memahami proses motivasi
bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan
insentif. Menurut Tampubolon (2008) Kebutuhan berhubungan dengan
kekurangan yang dialami oleh seseorang pada waktu tertentu, kekurangan ini
mungkin dapat bersifat fisiologis, psikologis, atau kebutuhan sosiologi. Dengan
6
demikian dapat dikatakan, bahwa seseorang yang memiliki motivasi itu
sesungguhnya berada dalam keadaan tegang (in a state tension). Untuk
membebaskan ketegangan itu, diperlukan usaha. Semakin besar ketegangan yang
ada, semakin besar usaha yang dikeluarkan.
Terdapat berbagai macam teori motivasi yang dikemukakan oleh
berbagai ahli kajian motivasi. Salah satunya adalah Clayton Alderfer yang
mengungkapkan teori kebutuhan yang disebut Teori ERG. Alderfer
mengungkapkan ada tiga kelompok kebutuhan yaitu: keberadaan (existance);
keterikatan (relatedness); dan pertumbuhan (growth). David McClelland
mengemukakan teori bahwa motivasi erat hubungannya dengan konsep belajar.
Teori dari kebutuhan itu, antara lain sebagai berikut:1) Kebutuhan akan prestasi
(need for Achievement), adalah dorongan untuk melampaui, dalam mencapai
sesuatu, kaitannya dengan suatu standar tertentu; 2) Kebutuhan akan Afiliasi
(need for Affiliation), yaitu hasrat untuk bersahabat, dan memiliki hubungan yang
akrab dengan sesama; 3)Kebutuhan akan Kekuasaan (need for Power), merupakan
kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana akan
berperilaku seolah-olah tidak dipaksa.
Berkaitan dengan motivasi pekerja di sektor pelayanan publik, Francois
dan Vlassopoulos (2007), menyebutnya dengan istilah motivasi pro-sosial (pro-
social motivation). Baron (2006) menyatakan bahwa perilaku prososial dapat
dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki
keuntungan yang jelas bagi pelakunya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain.
Aspek-aspek dalam motivasi pro-sosial meliputi tindakan berbagi, menolong,
memberi, dan bekerjasama.
2.2 Nilai
Faktor internal yang dianggap mempengaruhi kinerja pegawai adalah
tentang nilai-nilai yang dianut oleh para pekerja itu sendiri (Prianto, 2006). Dari
penelitian yang dilakukan Prianto, terdapat pengaruh langsung antara nilai-nilai
yang dianut para pegawai dengan motivasi kerja mereka. Nilai-nilai yang dianut
para pegawai merupakan variabel utama yang menentukan kinerja.
7
Robbins (2001) memberikan pengertian nilai sebagai keyakinan dasar
bahwa suatu modus perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang khas lebih disukai
secara pribadi atau sosial dibandingkan modus perilaku atau keadaan akhir
eksistensi kebaikan atau lawannya dan dasar untuk memahami sikap dan motivasi.
Nilai dapat dibedakan menjadi: 1) Nilai ekonomi, yang berarti materi, atau
berdasarkan kebendaan; 2) Nilai personal, yang diarahkan kepada perkembangan
indibidu; 3) Nilai sosial, yaitu memberi makna akan kehadirannya dikomunitas
tertentu; 4) Nilai moral-spiritual, yang memandang pekerjaan sebagai ibadah
kepada Tuhan (Harefa, 2011). Nilai juga sangat dipengaruhi oleh budaya
disekitarnya (Rizkian, 2011). Budaya Jawa sebagai nilai budaya dan kearifan
lokal kaya akan nilai-nilai dapat mempengaruhi dan dijadikan sebagai pedoman
etika, pandangan hidup, serta falsafah hidup (Sartini, 2009). Beberapa nilai-nilai
dalam kebudayaan Jawa tersebut diantara lain adalah:
a. Hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamengku diartikan harus
berani bertanggung jawab terhadap kewajiban, hamnegku diartikan
harus bernai nggrengkuh (mengaku sebagai kewajibanny), dan
hamnegkoni berarti berani melindungi dalam berbagai situasi.
b. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Mempunyai arti dalam bekerja
harus bersungguh-sungguh dan ikhlas, tanpa memikirkan imbalan.
c. Weweh tanpa kelangan, sugih tanpa banda. Mempunyai arti memberi
tanpa harus kehilangan sesuatu, dan kaya tanpa harta.
d. Mulat sarira hangrasa wani. Selalu menginstropeksi diri atau mawas
diri.
2.3 Sikap
Menurut Gibson, et al (1995), sikap (attitude) adalah kesiap-siagaan
mental, yang dipelajari dan diorganisasi melalui pengalaman, dan mempunyai
pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek, dan
situasi yang berhubungan dengannya. Sikap merupakan bagian hakiki dari
kepribadian seseorang.
8
Moorman dan Blakelt (1998) mengemukakan kemauan saling membantu
terhadap sesama, kemauan untuk mengambil inisiatif, dan kecenderungan untuk
bersikap loyal dipengaruhi oleh nilai-nilai pada budaya yang dianut. Sikap hidup
yang ditulis oleh Sartini (2009) merupakan cara seseorang memberi makna
terhadap kehidupannya. Sikap hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri, atau
untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi seperti pimpinan, atasan, atau
orang tua.
Sikap hidup yang terdapat dalam masyarakat Jawa sangat memperhatikan
sikap-sikap hidup yang sederhana, penuh tanggung jawab, sangat menghargai
perasaan orang lain, berbudi bawa leksana serta selalu rendah hati. (Sartini, 2009).
Tipe sikap yang dikutip oleh Robbins (2001) mengkonsentrasikan pada tiga sikap,
yaitu kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen pada organisasi.
a. Kepuasan kerja
Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap
yang positif terhadap kerja itu, sedangkan seseorang yang tak puas dengan
pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif.
b. Keterlibatan kerja
Sampai tingkat mana seseorang memihak pada pekerjaannya,
berpartisipasi aktif didalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi harga
diri. Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat akan
memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis
pekerjaan itu.
c. Komitmen pada organisasi
Aspek ini didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan
memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat
memelihara keanggotaan dalam organisasi itu.
2.4 Kemampuan
Menurut Robbins (2001), kemampuan adalah kapasitas seorang individu
untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Perihal kemampuan
biasanya sangat berkaitan sekali dengan perbedaan karakteristik individu, atau
9
yang disebut skill dan ability. Kedua istilah tersebut dalam bahasa Indonesia
diartikan sama, yakni kemampuan (Tampubolon, 2008). Lebih lanjut,
Tampubolon memberikan pengertian untuk skill sebagai keterampilan seseorang
yang berkaitan dengan menyelesaikan tugas secara cepat dan tepat. Sedangkan
ability adalah kemampuan yang berkaitan dengan kinerja seseorang.
Robbins (2001) membagi kemampuan-kemampuan keseluruhan dari
seorang individu tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu kemampuan intelektual
dan kemampuan fisik.
a. Kemampuan Intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk
menjalankan kegiatan mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang
menyusun kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman
(comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran
deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan.
b. Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan
tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa.
Gambar 2.2Faktor Pembentuk Motivasi
Sumber: diadaptasi dari Subyantoro (2009) dan dikembangkan dalam penelitian ini.
10
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode
penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), disebut juga
sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak
digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya, dan disebut sebagai
metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat
kualitatif (Sugiyono, 2009).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena sifat
masalah penelitian itu sendiri yang mengharuskan menggunakan penelitian
kualitatif. Fenomena penelitian yang terkandung dalam penelitian seperti tentang
kehidupan, riwayat, perilaku sosial, dan gerakan sosial membutuhkan analisis
kualitatif dengan penjelasan yang mendalam. Selain itu metode penelitian
kualitatif diperlukan dalam penelitian ini untuk memahami apa yang tersembunyi
di balik fenomena yang seringkali menjadi sesuatu yang sulit untuk diketahui atau
dipahami. Melalui metode penelitian kualitatif, diharapkan dapat digunakan untuk
mencapai dan memperoleh suatu cerita, pandangan langsung dari objek yang
diteliti dan dari para narasumber mengenai segala sesuatu yang sudah maupun
yang dapat diketahui mengenai informasi tertentu.
3.1 Fokus Penelitian
Terlalu luasnya masalah yang diteliti pada penelitian kualitatif,
memerlukan pembatasan studi dan masalah yang diteliti. Pembatasan masalah ini
disebut fokus penelitian (Basrowi dan Suwandi, 2008).
Pembatasan dalam penelitian kualitatif lebih didasakan pada tingkat
kepentingan, urgensi dan fasibilitas masalah yang akan dipecahkan, selain juga
faktor keterbatasan tenaga, dana, dan waktu. Suatu masalah dikatakan penting
apabila masalah tersebut tidak dipecahkan melalui penelitian, maka akan semakin
menimbulkan masalah baru. Masalah dikatakan urgent (mendesak) apabila
masalah tersebut tidak segera dipecahkan melalui penelitian, maka akan semakin
kehilangan kesempatan untuk mengatasi. Masalah dikatakan feasible apabila
11
terdapat berbagai sumber daya untuk memecahkan masalah tersebut (Sugiyono,
2009).
Fokus penelitian pada penelitian ini adalah motivasi Perangkat Desa
berstatus non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di beberapa wilayah
Desa di Kabupaten Boyolali berikut faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
3.2 Subjek Penelitian
Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara
purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Purposive
sampling didasarkan pada pilihan penelitian tentang aspek apa dan siapa yang
dijadikan fokus pada saat situasi tertentu dan dilakukan secara terus-menerus
selama penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan responden, tetapi
disebut sebagai narasumber (Sugiyono, 2009).
Subjek dalam penelitian ini adalah para Perangkat Desa (baik Kepala
Urusan, Sekretaris Desa, mapun Kepala Dusun) yang berstatus pegawai non PNS
yang sekaligus menjadi bagian dari narasumber dalam penelitian ini. Sedangkan
sampel yang terpilih berjumlah 8 orang yang bertugas di Desa Selodoko, Desa
Candi, Desa Ngenden, dan Desa Kaligentong di wilayah Kabupaten Boyolali.
Kriteria subjek penelitian yakni Perangkat Desa yang mempunyai masa kerja
minimal 2 tahun dan berstatus non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Angka minimal 2
tahun masa kerja dipilih dengan alasan agar homogenitas latarbelakang
narasumber lebih terfokus.
3.3 Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007), sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan sumber data lainnya bisa
berupa sumber tertulis (sekunder), dan dokumentasi seperti foto.
Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, baik dalam bentuk observasi
maupun wawancara kepada informan. Sumber data primer dalam penelitian ini
melalui wawancara dengan Perangkat Desa yang berada dalam di lingkungan
wilayah Kabupaten Boyolali. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari
12
sumber-sumber sekunder, dalam hal ini adalah selain yang dilakukan secara
langsung. Data tambahan yang dimaksud meliputi dokumen atau arsip yang
didapatkan dari berbagai sumber, foto pendukung yang sudah ada, maupun foto
yang dihasilkan sendiri, serta data yang terkait dalam penelitian ini.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1) Wawancara,
adalah percakapan dengan maksud tertentu, antara 2 pihak yaitu pewawancara
sebagai pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai sebagai pemberi jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2007); 2) Observasi, yaitu cara-cara menganalisis dan
mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat
atau mengamati individu atau kelompokan secara langsung (Basrowi dan Suwandi,
2008); 3) Dokumentasi, adalah cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-
catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti (Basrowi dan
Suwandi, 2008).
3.5 Teknik Analisis Data
Langkah-langkah analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstraksian
dan pentrasformasian data kasar dari lapangan; 2) Penyajian data adalah
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk menarik
kesimpulan dan pengambilan tindakan; 3) Dalam penelitian ini, keabsahan data
dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong,
2007). setelah data lapangan diperoleh melalui observasi, wawancara, maupun
studi dokumentasi, dan responden telah mengisi data kuesioner yang dibutuhkan,
maka data yang ada tersebut diangkat dan dilakukan audit trail yaitu memeriksa
keabsahan data sesuai dengan sumber aslinya. Tujuan membercheck adalah untuk
mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan
oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data
berarti data tersebut valid, sehingga semakin kredibel atau dipercaya (Sugiyono,
2009).
13
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Gambaran Umum Desa Candi
Desa Candi yang terletak di sebelah Selatan Desa Urutsewu Kabupaten
Boyolali ini merupakan desa yang 60% klasifikasi masyarakatnya didominasi oleh
masyarakat jenis antara perkotaan dan pedesaan.Memiliki uraian topografi yang
terdiri dari 5 pedusunan dan 28 pedukuhan dengan jumlah penduduk pada tahun
2009 tercatat sebesar 7.327 jiwa.
Luas wilayah sebesar 399,6515 Ha, dengan porsi terbesar berbentuk lahan
perkebunan (tegalan) seluas 174 Ha dan sisanya berbentuk bangunan dan lain-
lain, masing-masing seluas 130 Ha dan 5 Ha. Luasnya lahan perkebunan membuat
Desa Candi mempunyai potensi strategis di bidang pertanian, namun
pengelolaannya yang masih tradisional menjadikannya kendala dalam
berkembang. Dari segi pertumbuhan ekonomi, tercatat ada perkembangan yang
positif dimana jumlah keluarga miskin pada tahun 2006 sebanyak 508 KK
sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 419 KK. Masih tingginya angka kemiskinan
ini menjadikan masalah penanggulangan kemiskinan menjadi puncak skala
prioritas upaya pembangunan perekonomian di wilayah Desa Candi.
Potensi ekonomi tercatat dari bidang peternakan menjadi pencatat angka
terbesar sebesar Rp 30.000.000,-/kg/tahun, disusul industri pengrajin rumahan,
dan pertanian sebesar Rp 9.000.000,-/kg/tahun. Jumlah penduduk menurut
pendidikan didominasi dengan tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) tercatat sebanyak 2.460 orang dengan jenis mata pencaharian
utama masyarakatnya sebagai petani dan peternak.
4.1.2 Gambaran Umum Desa Selodoko
Gambaran umum letak geografis Desa Selodo berbatasan dengan Desa
Ngenden di sebelah utara, Desa Sidomulyo di sebelah selatan, Desa Paguyuban di
sebelah timur dan Desa Candi di sebelah Barat. Kondisi dibagi menjadi 3 wilayah
kadus dan 16 dukuh yang secara keseluruhan wilayahnya termasuk dataran tinggi
dengan ketinggian kurang lebih 600 meter di atas permukaan laut. Desa Selodoko
digolongkan sebagai wilayah lembab dan mempunyai kondisi tanah yang pada
14
umumnya termasuk jenis tanah aluvial yang sangat cocok untuk jenis tanah
pertanian, tetapi cukup labil sehingga mengakibatkan banyak jalan di Desa
Selodoko yang cepat rusak.
Karakteristik lingkungan yang didominasi dengan dataran rendah yang
terdiri dari tanah basah dan kering mempunyai potensi potensi pengembangan
usaha pertanian dan pengembangan tanaman pangan lahan kering seperti palawija.
Luas wilayah Desa Selodoko peruntukannya didominasi sebagai tegalan atau
kebun seluas 105 Ha dan tanah sawah seluas 62 Ha serta bangunan seluas 89 Ha.
Pelayanan pemerintah desa dibidang kegiatan pengembangan ekonomi
mengacu pada prinsip pelaksanaan ekonomi kerakyatan mengingat masyarakat
Desa Selodoko yang mayoritas mata pencahariannya sebagai petani maka
pemerintah desa banyak berkonsentrasi pada sektor pertanian. Penduduk Desa
Selodoko pada tahun 2007 tercatat berjumlah 3.177 jiwa yang didominasi oleh
angka usia produktif berkisar antara 25-55 tahun dengan jumlah 1.887 jiwa. Jenis
mata pencaharian utama warganya adalah petani dengan jumlah petani pemilik
tanah sebesar 1.748 orang dan petani penggarap tanah sebanyak 846 orang.
Pola sosial yang berkembang di wilayah Desa Selodoko adalah kehidupan
masyarakat pedesaan. Dalam struktur ini, budaya dan nilai-nilai tradisi masih
terjaga. Masyarakat di wilayah Desa Selodoko mempunyai sifat untuk bergotong
royong dan kesetiakawanan yang tinggi. Aspek pemberdayaan masyarakat
menjadi prioritas utama dalam pengembangan sosial budaya masyarakat. Proses
pemberdayaan masyarakat yang utama adalah dengan cara mengembangkan dan
mempertahankan setiap partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan
fokus kepada masalah pengentasan kemiskinan yang menjadi prioritas utama
pembangunan masyarakat.
4.1.3 Gambaran Umum Desa Kaligentong
Desa Kaligentong merupakan salah satu bagian dari satuan kerja wilayah
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali yang berbatasan dengan Kabupaten
Semarang di sebelah Utara, Desa Urutsewu di sebelah Timur, Desa Gladagsari di
sebelah Selatan, dan Desa Kembang di sebelah Barat. Dengan luas wialayah
sebesar 350 Ha, kawasan Desa Kaligentong didominasi dengan tanah kering
15
berupa perkebunan (tegal) seluas 235 Ha dan bangunan seluas 111 Ha. Desa
Kaligentong dihuni oleh 5.667 jiwa penduduk yang tersebar di 4 pedusunan dan
32 pedukuhan.
Klasifikasi masyarakat Desa Kaligentong secara sosial budaya didominasi
oleh masyarakat pedesaan sebesar 40% dengan jenis mata pencaharian terbesar
warganya bekerja sebagai petani dan peternak. Hal ini dikarenakan potensi lahan
pertanian yang besar dan potensi kekayaan sumber daya air sebagai penyedia
utama air penunjang pertanian. Namun pemanfaatan potensi pertanian ini belum
dapat dimanfaatkan secara maksimal karena kendala pengelolaan lahan pertanian
yang masih menggunakan sistem tradisional. Selain dari segi pertanian dan
peternakan, potensi ekonomi lainnya yang terdapat di desa Kaligentong adalah
industri rumahan tempe dan makanan ringan
Fokus permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Desa Kaligentong
adalah masalah angka kemiskinan yang masih besar tercatat terdapat 338 keluarga
miskin pada tahun 2009 , rendahnya tingkat pendapatan desa untuk pembiayaan
penyelenggaraan dan pembangunan masyarakat, serta masih banyaknya warga
usia produktif yang belum bekerja. Untuk itu prioritas pembangunan oleh
Pemerintah Desa Kaligentong diarahkan pada penanggulangan kemiskinan,
peningkatan kesehatan masyarakat, pengembangan pendidikan, dan
pemberdayaan masyarakat.
4.1.4 Gambaran Umum Desa Ngenden
Desa Ngenden adalah salah satu bagian wilayah kerja dari Kecamatan
Ampel Kabupaten Boyolali. Wilayah Desa Ngenden berbatasan langsung dengan
Desa Badran di sebelah utara, Desa Selodoko di sebelah selatan, Desa Candi di
sebeblah barat, dan Desa Jetis di sebelah timur. Menurut penggunaannya, luas
wilayah Desa Ngenden mayoritas digunkan sebagai lahan pertanian sawah seluas
93 Ha serta 24 Ha berbentuk lahan tegalan dengan luas pemanfaatan untuk
bangunan sebesar 29.000 m2.
Desa Ngenden terletak di dataran tinggi dengan luas bentang lahan dataran
sebesar 182 Ha. Pencatatan terkahir jumlah penduduk Desa Ngenden tahun 2007
berjumlah 5.894 jiwa dan didominasi oleh kelompok usia produktif (14 – 49
16
tahun). Struktur mata pencaharian utama penduduk adalah subsektor pertanian
ladang, dan 257 orang sebagai buruh tani. Selain itu juga didominasi dengan
subsektor peternakan dengan jumlah pemilik ternak sebanyak 380 orang. Data
desa menunjukkan jumlah pemilih lahan pertanian dan ladang banyak, tetapi
struktur pemilikan tanah menunjukkan angka terbesar pemilik tanah mencatat
sebanyak 200 orang memiliki tanah kurang dari 0,1 Ha. Kualitas angkatan kerja
apabila dirinci menururt tingkat pendidikannya sebagian besar masyarakat Desa
Ngenden adalah tamatan Sekolah Dasar dan SLTP.
Data menunjukkan tingkat pendidikan warga masyarakat yang masih
minim berakibat pada timbulnya masalah kesejahteraan dan tingginya angka
kemiskinan. Hal ini membuat sektor kesejahteraan masyarakat dan program
pengentasan kemiskinan menjadi prioritas utama program pembangunan
Pemerintah Desa Ngenden.
4.1.5 Profil Narasumber
Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian teahadap motivasi kerja
perangkat desa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Alasan utama
peneliti dalam memilih narasumber yang ada dalam penelitian ini adalah status
kepegawaian narasumber. Narasumber yang dipilih adalah narasumber yang telah
bekerja sebagai perangkat desa, tetapi belum memiliki status kepegawaian yang
jelas. Narasumber dengan status kepegawaian yang tidak jelas ini harus
menghadapi berbagai masalah yang sangat berpotensi menghambat pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada narasumber, khususnya
masalah kesejahteraan.adapun nama-nama narasumber yang ada pada penelitian
ini adalah:
17
Tabel 4.1Data Narasumber
Kode Nama Nara Sumber Jabatan
R1 Yohanes Suryadi Kaur. Pemerintahan Desa Selodoko
R2 Marjuki Kaur. Kesra Desa Kaligentong
R3 Suroso Kaur. Pemerintahan Desa Candi
R4 Sutarno Kaur. Umum Desa Ngenden
R5 Badrus, S.Ag Sekretaris Desa Candi
R6 Sunarno Sekretaris Desa Selodoko
R7 Jino Kaur. Pemerintahan Desa Ngenden
R8 Sardi Waluyo Kepala Dusun Desa Kaligentong
Sumber: Data yang diolah
4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan
Teori motivasi yang diungkapkan oleh McClelland disebutkan bahwa
motivasi merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi
individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Nilai-
nilai yang dianut oleh para pekerja ini merupakan variabel utama yang
menentukan kinerja (Prianto, 2006). Nilai yang dianut dan dipercaya oleh
seseorang akan melandasi semua tingkah laku seorang individu untuk sebisa
mungkin dapat memenuhi harapan nilai tersebut. Yang dimaksud dengan nilai
adalah keyakinan dasar yang dianut oleh seseorang yang menjadi pedoman dalam
berperilaku. Nilai mencerminkan apa yang baik dan diinginkan (Mas’ud, 2010).
Pada penelitian ini, ditemukan beberapa nilai yang diyakini dan dianut
oleh para narasumber, yang menjadi dasar dalam bertindak. Hasil penelitian
menunjukkan kesamaan nilai yang mendasari kerja para narasumber, yaitu tidak
ada narasumber yang menempatkan nilai ekonomis sebagai prioritas utama nilai
kerja, walaupun tidak dipungkiri narasumber mengakui bahwa pekerjaan dilakukan
pasti memiliki unsur finansial atau ekonomi. Kesamaan kedua adalah nilai ibadah
serta nilai pengabdian dan tanggung jawab kepada masyarakat merupakan jenis
18
nilai yang paling sering disebut oleh narasumber. Hasil jawaban dari seluruh
narasumber menitikberatkan pada nilai melayani dan membantu orang lain, yang
disini berkaitan dengan warga masyarakat desa setempat yang dilayani sehari-hari
selama bertugas.Nilai-nilai yang dikemukakan narasumber didukung oleh prinsip
hidup mayoritas narasumber yaitu adanya keinginan untuk dapat memberikan
kontribusi kepada lingkungan disekitarnya.
Risiko imbal jasa yang tidak menjanjikan juga telah disadari penuh oleh
para pamong desa sebelum menggeluti pekerjaan ini. Para perangkat desa
mengetahui bahwa pengabdian menjadi unsur utama dalam pekerjaan melayani
masyarakat, bukan terus-menerus berfokus untuk mensejahterakan diri sendiri,
melainkan untuk mensejahterakan orang lain.
Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh nilai budaya Jawa dalam
kehidupan kerja narasumber, peneliti menanyakan kepada narasumber apakah
nilai budaya membawa dampak ataupun menjadi dasar pertimbangan bagi
narasumber untuk bertindak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Hasil wawancara menyatakan bahwa, para narasumber tidak menerapkan nilai-
nilai-nilai Jawa secara praktis dalam dunia kerja. Nilai dari budaya Jawa yang
mayoritas melekat pada diri narasumber dalam melaksanakan pekerjaan adalah
nilai dan norma dalam pergaulan sosial, kesantunan, unggah-ungguh di
masyarakat, karena pamong desa sendiri memiliki lingkungan kerja yang
mayoritas bersinggungan langsung dengan masyarakat. Hasil wawancara
penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaruh suku atau etnis khususnya nilai
budaya Jawa tidak menjadi faktor utama yang berpengaruh dalam nilai yang
melandasi kehidupan kerja narasumber, tetapi menjadi faktor penguat nilai
lainnya. Narasumber menempatlkan nilai budaya Jawa sebagai instrumen dalam
menjalani kehidupan kerja sehari-hari, pedoman bagaimana untuk bersikap, dan
rujukan bagaimana untuk berinteraksi sosial dalam masyarakat. Walaupun dari
pengakuan para narasumber tidak secara praktis menerapkan filosofi-filosofi jawa
didalam kehidupan kerjanya, tetapi dari hasil observasi peneliti menunjukkan hal
yang sebaliknya. Pengamatan peneliti menunjukkan bahwa secara spontan
maupun tidak sadar sebenarnya para narasumber telah menerapkan budaya jawa
19
khususnya unsur kolektivisme yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan
sosial. Nilai utama yang melandasi kehidupan kerja para narasumber adalah
keinginan untuk membantu orang lain, keinginan agar pribadinya bermanfaat
bagi warga masyarakat, dan nilai ibadah serta rasa syukur kepada Tuhan sebagai
nilai yang menyertainya.
Menurut Robbins (2001), sikap merupakan pernyataan evaluatif, baik yang
menguntungkan tidak menguntungkan, mengenai objek, orang, atau peristiwa.
Sikap seseorang terhadap pekerjaannya dapat dilihat dari kepuasan kerja yang
dirasakan, keterlibatan kerja, dan komitmen pada pekerjaan yang digeluti.
Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya.
Kepuasan yang dirasakan oleh seorang pekerja akan menimbulkan sikap positif
pekerja terhadap pekerjaannya. Peneliti juga memberi fokus pada keterlibatan
kerja para perangkat desa. Keterlibatan kerja melihat sejauh mana seseorang
berperan aktif dalam pekerjaannya dan melihat kepedulian seseorang dalam
pekerjaan yang mereka anggap penting bagi dirinya. Untuk mengetahui
keterlibatan kerja para perangkat desa, peneliti ingin mengtahui apakah
narasumber memiliki pekerjaan lain yang berpotensi mengganggu pekerjaan
sebagai perangkat desa, baik itu berpotensi mengurangi konsentrasi kerja,
mengurangi jam kerja, maupun menjadikan pekerjaan perangkat desa sebagai
alternatif pekerjaan saja.
Fokus kerja karyawan yang tidak berkonsentrasi penuh di satu jenis
pekerjaan berpotensi menurunkan produktivitas dan semangat kerja. Menurut
Nasution (2010), kesejahteraan karyawan akan sangat berpengaruh kepada
semangat kerja karyawan yang nantinya dapat mempengaruhi kualitas kinerja
karyawan. Hal yang sama dikemukakan oleh Armansyah (2002), yang
menyatakan pembayaran yang cukup akan mendorong besarnya komitmen
seseorang kepada orgaisasi, sehingga tidak memikirkan hal lain untuk memenuhi
kebutuhan hidup serta tidak memiliki keinginan-keinginan untuk melakukan
tindakan penyelewengan wewenang dan kekuasaan.
Berdasarkan teori serta fakta bahwa sebagian besar narasumber memiliki
pekerjaan sambilan, memberikan gambaran bahwa potensi rendahnya komitmen
20
perangkat desa terhadap pekerjaannya sangat mungkin terjadi. Peneliti menguji
komitmen narasumber sebagai perangkat desa dengan menanyakan apakah
narasumber memiliki keinginan untuk beralih profesi ke pekerjaan lainnnya yang
lebih baik secara finansial atau penghasilan. Sebagian besar narasumber
menyatakan tetap ingin melayani masyarakat dan setia dengan profesinya sebagai
perangkat desa.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa para narasumber memiliki
sikap kerja yang positif terhadap pekerjaannya. Hal ini ditunjukkan dengan
kepuasan kerja yang telah dirasakan oleh sebagian besar narasumber. Munculnya
ketidakpuasan juga lebih dikarenakan narasumber yang merasa masih kurang
maksimal dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya, dan imbalan jasa maupun
sudah penghasilan tidak menjadi fokus tolak ukur kepuasan bagi para narasumber,
melainkan kepuasan didapatkan ketika dapat melayani dan bekerja dengan warga
masyarakat menjadi aspek yang dominan dalam mengukur kepuasan. Narasumber
juga memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi, memiliki kepedulian terhadap
pekerjaannya, dan mempunyai usaha lebih dalam usaha menyelesaikan tugas serta
tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari tingkat loyalitasnya, komitmen yang
tinggi dibuktikan narasumber dengan tidak serta merta memiliki keinginan untuk
pindah ke pekerjaan yang memiliki penghasilan yang lebih besar. Kalaupun ada
keinginan untuk pindah, berbagai faktor menjadi pertimbangan sebelum
memutuskan untuk pindah, dan faktor utamanya adalah pekerjaan yang baru harus
tetap memiliki unsur pelayanan kepada masyarakat serta sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki.
Hasil observasi pada narasumber, keadaan dimana penghasilan yang jauh
dari nominal ideal yang diterima sebagai perangkat desa sudah identik dengan
profesi ini. Narasumber seakan sudah terbiasa dengan kondisi ini, dan sudah
mempertimbangkan risiko ekonomi yang harus dirasakan karena keterbatasan
penghasilan sebelum bekerja sebagai perangkat desa. Khusus perangkat desa di
Boyolali, kondisi kesejahteraan perangkat desa sudah mulai membaik pada tahun
2007 dengan keluarnya Peraturan Daerah (Perda) No.14 tahun 2006 tentang
kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa yang memuat bahwa
21
Pemerintah Kabupaten Boyolali memberikan gaji kepada perangkat desa sebesar
Upah Minimum Kabupaten (UMK) senilai Rp 805.000,- per bulan. Kondisi ini
dinilai sudah jauh membaik apabila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya
yang harus ditanggung perangkat desa yang hanya mengandalakan tanah bengkok
yang diberikan untuk dikelola dan dijadikan penghasilan.
Motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna
mencapai suatu tujuan (Triatmanto dan Sunardi, 2001). Motivasi ini akan
mengarahkan tindakan dan perilaku seseorang dalam usaha pencapaian tujuannya.
Sumber semangat yang lebih dari materi mutlak diperlukan apabila menilik dari
perbandingan beban tugas yang harus dipikul oleh para perangkat desa dengan
minimnya penghasilan yang didapat. Pergagkat desa dikenal dengan pekerjaan
yang mempunyai jam kerja selama 24 jam, karena tempat pelayanan yang tidak
dibatasi oleh tempat seperti kantor. Warga masyarakat dapat dengan leluasa
meminta pertolongan dari perangkat desa walaupun sang pamong sudah tidak pada
jam kerjanya dan tidak berada pada tempat kerjanya.
Hasil penelitian juga menunjukkan sikap kerja yang positif dari
narasumber terhadap pekerjaannya. Hal ini disimpulkan dari tingkat kepuasan
kerja yang telah dirasakan narasumber, melalui kebahagiaan dari kontribusi yang
bisa diberikan kepada masyarakat. Keterlibatan kerja memiliki nilai positif karena
narasumber memiliki fokus kerja pad tugas dan tanggung jawabnya. Narasumber
juga memiliki loyalitas yang tinggi kepada pekerjaan, karena dari hasil penelitian,
menunjukkan potensi tingkat turn over (perpindahan kerja) yang relatif sangat
kecil.
Miskinnya pembinaan serta pelatihan dan pengebanganmenyebabkan
pengetahuan, wawasan dan keterampilan perangkat desa sangat terbatas. Bagi
mereka yang tidak memiliki inisiatif untuk terus belajar secara mandiri, akan terus
mengalami ketertinggalan pengetahuan. Padahal faktor pengetahuan dan
pemahaman akan job proccedure sangat mempengaruhi keberhasilan dari kinerja
(Kosasoh dan Budiani, 2007). Hal ini menyebabkan pelayanan yang dapat
22
dilakukan oleh perangkat desa sebagai ujung tombak upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat menjadi sangat terbatas.
Melihat keadaan di lapangan, peneliti menilai bahwa kemampuan
perangkat desa yang ada masih belum mampu menunjang kinerja dan tugas
perangkat desa secara maksimal, karena keterbatasan tingkat pendidikan serta
tidak adanya peran aktif pemerintah untuk memberikan program pelatihan dan
pengembangan secara terprogram dan berkesinambungan. Perangkat desa masih
mengandalkan kemampuan pengelolaan administratif secara sederhana dan
mengedepankan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat dalam berbagai
forum pertemuan tanpa dukungan aktif inovasi dan kreativitas kerja.Upaya
peningkatan kemampuan mengandalkan niat dan keinginan serta upaya pribadi
dari para perangkat desa yang memiliki kesadaran akan pentingnya mendapatkan
perkembangan informasi dan pengetahuan. Seluruh narasumber sebenarnya
menyadari akan arti penting peran intelktualitas dalam kehidupan kerja mereka,
tetapi berbagai keadaan menghadang para perangkat desa untuk mendapatkan
jenjang pendidikan yang lebih baik. Pamong desa muda terkendala biaya,
sedangkan pamong desa lainnya terkendala usia. Sudah sepantasnya pemerintah
memberikan fokus khusus pada faktor pengembangan perangkat desa apabila
masyarakat desa sebagai bentuk mayoritas penduduk dapat terangkat
kesejahteraannya dan dapat dilayani dengan sebaik-baiknya.
Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan tingkat kemampuan yang
dimiliki narasumber masih rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan akhir
para perangkat desa mayoritas adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan minim
mengikuti program pelatihan dan pengembangan. Usaha peningkatan kemampuan
lebih diarahkan kepada pendidikan non-formal oleh pribadi narasumber, misalnya
dengan membaca, aktif di kegiatan organisasi sosial, maupun dengan mengikuti
berbagai pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan narasumber dengan masa kerja
diatas 10 tahun memiliki tingkat motivasi yang lebih rendah untuk meningkatkan
kemampuannya dibandingkan narasumber yang memiliki masa kerja dibawah 10
tahun.
23
Hasil pengamatan peneliti, motivasi dan tindakan narasumber yang secara
aktif melakukan usaha peningkatan kemampuan dilatarbelakangi oleh masa kerja
narasumber. Para narasumber dengan masa kerja kurang dari 10 tahun relatif
memiliki usaha yang lebih untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka.
Berbanding terbalik, narasumber dengan masa kerja lebih dari 10 tahun memiliki
kecenderungan untuk menerima apa adanya kemampuan yang telah dimiliki, dan
seperti telah berada di comfort zone dalam bekerja. Tidak ada kegairahan atau
semangat untuk secara aktif meningkatkan kemampuan karena merasa kemampuan
yang ada selama ini telah dapat menjalankan tugas dengan baik.
Pentingnya tercipta kesejahteraan ditengah masyarakat yang dirasakan
semua narasumber membuat para narasumber bertahan dengan kondisi yang ada
walaupun semua narasumber berpendapat sama tentang kondisi kerja saat ini yang
belum menunjang pekerjaan mereka untuk melayani warga masyarakat. Tetapi
semua kondisi kekurangan ini tidak menyurutkan semangat semua narasumber
karena mereka dapat menerima berbagai kekurangan yang ada.
Kesimpulan dari penelitian ini menempatkan motivasi prososial sebagai
motif utama yang melandasi semangat kerja para perangkat desa dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya. Motif prososial ini dalam kerangka
keinginan para narasumber untuk dapat berkontribusi dalam usaha pembangunan
masyarakat, pengabdian terhadap warganya, sikap rela berkorban yang
ditunjukkan, dan tidak menempatkan faktor finansial sebagai ukuran kepuasan dan
keberhasilan dalam kerja, walaupun tidak dipungkiri niat untuk mencari pekerjaan
dan mendapatkan penghasilan selalu ada dalam diri narasumber.ini, tetapi bukan
merupakan motif tunggal. Narasumber memiliki motivasi kerja yang tinggi
diindikasikan dari rasa senang, puas, dan ketulusan yang dirasakan dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab.
24
5. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis hasil yang dilakukan dalam penelitian ini, maka
didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai utama yang melandasi kehidupan kerja para narasumber adalah
keinginan untuk membantu orang lain, keinginan agar pribadinya
bermanfaat bagi warga masyarakat, dan nilai ibadah serta rasa syukur
kepada Tuhan sebagai nilai yang menyertainya. Motif sosial adalah motif
yang sangat kuat melandasi kehidupan kerja Perangkat Desa. Nilai sosial
berupa rela berkorban dan menerima dengan ikhlas keadaan yang serba
kekuarangan untuk dapat membantu orang lain. Nilai budaya Jawa
ditempatkan sebagai instrumen dalam menjalani kehidupan kerja sehari-
hari, pedoman bagaimana bersikap dan berinteraksi sosial dalam
masyarakat. Pengaruh suku atau etnis khususnya nilai budaya Jawa tidak
menjadi faktor utama yang berpengaruh dalam nilai yang melandasi
kehidupan kerja Perangkat Desa, tetapi menjadi faktor penguat nilai
lainnya.
2. Perangkat Desa memiliki sikap kerja yang positif terhadap pekerjaannya.
Hal ini ditunjukkan dengan kepuasan kerja yang telah dirasakan. Keadaan
ketika dapat melayani dan bekerja dengan warga masyarakat menjadi
aspek yang dominan dalam mengukur kepuasan. Imbalan jasa maupun
sudah penghasilan tidak menjadi fokus tolak ukur kepuasan. Perangkat
desa memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi, memiliki kepedulian
terhadap pekerjaannya, dan rasa loyalitas terhadap pekerjaan dibuktikan
dengan tidak serta merta memiliki keinginan untuk pindah ke pekerjaan
yang memiliki penghasilan yang lebih besar.
3. Kemampuan perangkat desa belum mampu menunjang kinerja,
dikarenakan keterbatasan tingkat pendidikan serta tidak adanya peran aktif
pemerintah untuk memberikan program pelatihan dan pengembangan
secara terprogram dan berkesinambungan. Hal ini mengakibatkan
terbatasnya kualitas kerja dan program pelayanan kepada masyarakat,
25
tetapi tidak serta merta berpengaruh secara langsung dalam menurunkan
semangat melayani dari perangkat desa.
4. Motivasi sosial menjadi motif yang paling kuat bagi perangkat desa dalam
menjalankan tugasnnya.
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh, maka
diajukan beberapa saran yang dapat berguna bagi pihak-pihak terkait:
1. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama pembangunan harus
mempunyai program terpadu usaha peningkatan kualitas, pelatihan dan
pengembangan perangkat desa yang dilakukan secara berkesinambungan,
mulai dari perekrutan, pengembangan soft skill dan hard skill, serta
ditunjang dengan fasilitas dan peralatan pembinaan masyarakat yang
memadai. Apabila diperlukan, pemerintah dapat memberlakukan sistem
jenjang karier pada perangkat desa dan pengawasan prestasi kerja secara
berkala guna bahan evasluasi.
2. Diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi
kepentingan dan kesejahteraan aparatur perangkat desa, karena selama ini
tidak ada peraturan khusus yang mengatur dan menerangkan kedudukan
perangkat desa dengan jelas.
3. Secara aktif melibatkan pihak ketiga dalam upaya peningkatan dan
pembangunan masyarakat desa dan perangkat desa.
26
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert. A. 2006. “Prosocial Behaviour”. http://smile.solent.ac.uk, diakses
tanggal 18 Agustus 2011.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta.
Francois. Patrick. 2002. “Not for Profit Provision of Public Services”, Paper at
Royal Economic Society Conference 2002, University of Warwick.
Diakses tanggal 24 Juli 2011, dari CMPO Working Paper Series.
Francois, Patrick dan Michael Vlassopoulos. 2007. “Pro-social Motivation and
the Delivery of Social Services”, Paper presented at CESifo Area
Conference on Employment and Social Protection (ESP). Diakses tanggal
23 Juli 2011 dari http://www.tru.ac.
Gibson, James. L. 1984. Organisasi dan Manajemen Edisi Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Harefa, Andrias. 2007. “Aku Bekerja, Maka Aku Ada”.
http://www.pembelajar.com, diakses tanggal 20 Juli 2011.
Hasibuan, Melayu SP. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Revisi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Justicia, Adhi Sas. 2001.”Faktor-Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Motivasi
Kerja Karyawan (Divisi Produksi PT. Kutai Timber Indonesia,
Probolinggo, Jawa Timur)”. Diakses tanggal 23 Juli 2011, dari
http://www.eprints.ipb.ac.id.
Kosasih, Natalia dan Sri Budiani. 2007. “Pegaruh Knowladge Management
Terhadap Kinerja Karyawan”, Jurnal Manajemen Perhotelan Vol. 3, No. 2
September . Diakses tanggal 22 Juli 20011, dari http://www.petra.ac.id.
Luthans, Fred. 2009. Perilaku Organisasi Edisi Bahasa Indonesia. Ed.1.
Yogyakarta:ANDI.
Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ed. Revisi. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
27
Muflich, Ayip. 2007.”Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa”.
Diakses tanggal Juli 2011, dari http://www.forumdesa/org/.
Pengurus Pusat Persatuan Perangkat Desa Indonesia. 2010. Perspektif Perangkat
Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa. Diakses tanggal 28 Juli 2011, dari
http://www.ppdi.org.id.
Prandergast, Canice. 2008. “Work Incentives, Motivation, and Identity”,
American Economic Review: Papers & Procedings, Vol. 98 No. 2.
Diakses tanggal 24 Juli 2011, dari http://www.aeroweb.org.
Prianto, Agus. 2008.”Berbagai Variabel Antesenden yang Mempengaruhi Kinerja
Pegawai”. Jurnal Eksekutif, Vol. 5, No. 2, Agustus.
Ratnawati, Intan. 2004.”Upaya Pemberdayaan Karyawan: Suatu Pendekatan
Untuk Menumbuhkan Motivasi Kerja Intrinsik”. Jurnal Studi Manajemen
dan Organisasi, Vol. 1, No. 1, Januari.
Rizkian. 2011.”Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Motivasi dan Perilaku”.
http://www.rizkian.blogspot.com, diakses tanggal 2 Agustus 2011.
Robbins, Stephen. P. 2001. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi
versi Bahasa Indonesia Ed.10. Jakarta: Prenhalindo
Sartini, Ni Wayan. 2009.” Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ungkapan”, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra LOGAT Vol. V, No. 1 April.
Sofyandi, Herman dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Subyantoro, Arief. 2009.”Karakteristik Individu, Karakteristik Pekerjaan,
Karakteristik Organisasi dan Kepuasan Kerja Pengurus yang Dimediasi
oleh Motivasi Kerja (Studi Pengurus KUD di Kabupaten Sleman)”. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 11, No. 1.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suhartapa. 2008.”Motivasi Psikologis dan Penerapannya Terhadap Peningkatan
Prestasi Kerja”. Jurnal Ekonomi Janavisi, Vol. 11, No. 1, April.
Susetio, Wasih. 2007. “Konsep Walfare State dalam Amandemen UUD 1045:
Implementasinya dalam Peraturan Perundang-Undangan (Beberapa
Tinjauan dari Putusan MKRI)”, Jurnal Lex Jurnalica Vol. 4 No. 2.