ABSTRACT
REGIONAL REGULATION IMPLEMENTATION OF KENDARI CITY
NO 15 YEAR 2003 CONCERNING SOCIETY PARTICIPATION IN
FORMULATING THE REGIONAL POLICY IN ARRANGING
REGIONAL BUDGET YEAR 2010
La Ode Muhammad Elwan
email: [email protected]
Kendari Government issues Regional Regulation 15/2003 concerning
Public Participation on Regional Policy Formulation. It is expected to be assured
the public participation on APBD Arranging of Kendari of 2010. The research
aims to determine the implementation of participation provision of Regional
Regulation 15/2003 on APBD arranging of Kendari of 2010 and explain the
content of policy of Regional Regulation and context of policy implementation
contribute to implementation Regional Regulation 15/2003.
The research is explorative research by using qualitative approach through
case study that observes the case of implementation of Regional Regulation
15/2003 on APBD arranging of Kendari, 2010. The data collecting method are
through directed interview toward key informant, documentation study, and
observation on research location.
The result showed that the implementation of participation provision of
Regional Regulation 15/2003 on APBD arranging of Kendari of 2010 have not yet
fully implemented by observing the lack of pursuance and implementer responses
(Municipal Government and DPRD) to implement the Regional Regulation
mandate and there was no activity and budget related to this implementation. The
participation provision of Regional Regulation 15/2003 was not clear when it
would be implemented and moved slowly for improvement. From the content of
Regional Regulation, the slowness of implementation was caused by spreading
decision making center, numerous total of implementer existed and resource need
being commitment.
The municipal government and DPRD of Kendari should immediately
evaluate the implementation of Regional Regulation 15/2003 that move slowly
and then implement the improvement such as: determining Perwali draft of 2010
is technically arrange the Musrenbang implementation as part of APBD arranging
process, forming Selection Team and determining the Kendari Participation
Commission Management. Furthermore, it is needed stakeholders support in order
to follow up together the mandate from Regional regulation 15/2003 in particular
APBD arranging of Kendari.
Key words: policy implementation, policy analysis, participation,
I. LATAR BELAKANG
Penelitian menganalisis implementasi Perda Kota Kendari Nomor
15/2003 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Daerah
khusunya dalam penyusunan APBD Kota Kendari Tahun 2010 sebagai bentuk
jaminan partisipasi masyarakat itu sendiri yang pada dasarnya didominasi oleh elit
kebijakan.
Masalah yang selalu muncul setiap tahun dalam proses perencanaan dan
penganggaran daerah adalah tidak adanya jaminan atas hasil musrenbang
diakomodasi dalam penganggaran, tidak ada jaminan pelibatan masyarakat dalam
proses penganggaran dan terbatasnya dana yang tersedia untuk membiayai
prioritas kegiatan yang telah disepakati. Untuk mengatasi hal tersebut, di Kota
Kendari dibuat legislasi dan regulasinya yaitu dengan merancang dan menetapkan
Peraturan Daerah tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan
Daerah (PERDA 15/2003) yang didalamnya memuat hak dan kewajiban
masyarakat, Peran serta masyarakat dan pembinaan peran serta masyarakat. Salah
satu hak masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Perda 15/2003, pasal 2 adalah
hak masyarakat dalam berpartisipasi dan dapat dilakukan dalam berbagai
kesempatan, tingkatan dan kedalaman sesuai dengan kepentingannya didalam
perumusan kebijakan daerah yaitu penyusunan program pembangunan tahunan
kota (Perda 15/2003, pasal 2 huruf c).
Satu hal yang menurut saya penelitian ini penting dilakukan, karena
disamping Perda 15/2003 tersebut sudah cukup lama, dan belum pernah dilakukan
evaluasi dari pemerintah daerah maupun masyarakat terhadap bagaimana
implementasi Perda tersebut sehingga dapat menjamin partisipasi masyarakat
dalam pembangunan dan sejauh ini, belum pernah dilakukan penelitian tentang
keberadaan dari perda 15/2003 tersebut.
Lebih lanjut, mengenai program pembangunan yang dapat memenuhi
kepentingan masyarakat di berbagai aspek juga belum sepenuhnya yang tertuang
dalam APBD Kota Kendari. Sesuai dengan data yang ditemukan oleh JARPUK
(Jaringan Perempuan Usaha Kecil-mikro) Kota Kendari:”APBD tahun 2008 Kota
Kendari, ditemukan anggaran pada sektor kesehatan untuk kasus gizi buruk :
Alokasi penanganan gizi buruk di Kota Kendari yang dianggarkan dalam APBD
2008 untuk 7 orang penderita selama 6 hari dengan alokasi dana Rp.
20.000/orang/ hari. Total anggaran 7 Orang x 6 hari x Rp. 20.000 = Rp. 840.000”,
padahal realisasi dilapangan ditemukan pada tahun 2008 penderita gizi buruk
berjumlah 264 penderita. Sehingga jika diporsi APBD dibagikan ke penderita
sebanyak 264 penderita, maka perorang hanya mendapat jatah Rp.
3.181/orang/tahun, dengan perhitungan Rp. 840.000/264 orang = Rp. 3.181/tahun
atau Rp.265/bulan untuk setiap penderita, hal ini sangat ironis bila dibandingkan
dengan biaya GENERAL CEK UP Walikota (Kesehatan) sebesar 25 juta pertahun.
Kondisi inilah yang menjadi kekhawatiran peneliti, sehingga tesis ini menjadi
penting untuk melakukan penelitian secara komprehensif dengan menganalisis
subtansi dan implementasi dari Perda Nomor 15 tahun 2003 Tentang Partisipasi
Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Daerah di Kota Kendari, dengan
harapan dapat berkontribusi pada pemenuhan hak-hak masyarakat dalam
penyusunan Anggaran APBD Kota Kendari Tahun 2010.
Melalui penelitian ini akan terjawab, apakah Perda 15/2003 tersebut perlu
dievaluasi, direvisi atau tidak? Karena untuk menjamin partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan daerah harus didukung oleh aturan hukum yang jelas,
selanjutnya diperlukan dukungan semua pihak untuk melaksanakan peraturan
daerah tersebut.
Terdapat sejumlah rujukan bagi daerah untuk menyusun perda untuk
mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam peraturan perundang-undangan, antara
lain Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU
No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD,
serta Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata
Tertib DPRD. Sayangnya aspek legal ini kurang menekankan kewajiban
pemerintah dalam memberikan akses dan memastikan keterlibatan masyarakat.
Pasal 53 UU 10/2004, misalnya, hanya menjamin hak masyarakat dalam
memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan, tanpa merinci lebih jauh apa
implikasinya bagi pemerintah, karena penjelasan Undang-Undang ini menyatakan
bahwa teknis penjaminan hak masyarakat diatur dalam Tata Tertib DPRD.
Demikian halnya metode-metode partisipasi yang digunakan dalam
pembuatan kebijakan di beberapa daerah di Indonesia juga memiliki prospek
menangkal kepentingan elit lokal. Perda ini juga bisa menjadi model atas
hubungan kekuasaan (power relation) antarmasyarakat juga hubungan masyarakat
dengan pemerintah daerah yang cukup seimbang. Subtansi perda sudah mengarah
pada partisipasi yang transformatif dan cukup mampu mengindari bahaya elit
capture, situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor
lainnya yang terlibat dalam program melakukan praktek-praktek yang jauh dari
prinsip partisipasi (Platteau, 2004 dalam Sobari, 2006).
Bila subtansi Partisipasi Perda Kota Kendari Nomor 15 tahun 2003
dianggap belum cukup baik, maka bagaimana implementasi Perda ini
dilapangan?.
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, pertanyaan penelitian
(research question) yang diteliti adalah: Bagaimana implementasi Peraturan
Daerah Kota Kendari Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Partisipasi Masyarakat
Dalam Perumusan Kebijakan Daerah di Kota Kendari ini ? Karena kompleksitas
dan luasnya cakupan permasalahan tersebut, maka dipandang perlu untuk
membatasi masalah yang diteliti. Pembatasan dilakukan dengan meninjau
implementasi ketentuan-ketentuan partisipasi dalam Perda 15/2003 dalam
menyusun sebuah kebijakan publik tertentu yang dinilai cukup komprehensif,
yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Kendari Tahun
2010. Sehubungan dengan hal itu, pertanyaan dalam penelitian ini diturunkan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi ketentuan partisipasi masyarakat dalam Perda
Kota Kendari Nomor 15/2003 khususnya dalam penyusunan APBD 2010 yang
didominasi oleh elit kebijakan di daerah?
2. Bagaimana faktor-faktor isi Perda (content of policy) dan konteks
implementasi kebijakan (context of policy implementation) berkontribusi pada
jalannya implementasi Perda Kota Kendari Nomor 15/2003 ini?
II. KERANGKA TEORI
2.1 Kebijakan Publik
Menurut Thomas R Dye (dalam Wayne Parsons, 2008: xi) “public policy
is whatever governments choose to do or not to do” kebijakan publik sebagai
“apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan.”
Dalam upaya mencapai tujuan negara, pemerintah perlu mengambil pilihan
tindakan yang dapat berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Keduanya, menurut definisi Dye, merupakan kebijakan publik karena merupakan
upaya mencapai tujuan tertentu dan keduanya memiliki dampak terhadap
masyarakat.
Lebih lanjut, bahwa tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan
menurut Dunn (Dunn W, 1994:24) adalah sebagai berikut:
1. Fase Penyusunan Agenda, dimana para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masalah pada agenda publik;
2. Fase Formulasi Kebijakan, para pejabat merumuskan alternatif kebijakan
untuk mengatasi masalah;
3. Fase Adopsi Kebijakan, alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan
mayoritas legislatif dan atau konsensus kelembagaan;
4. Fase Implementasi Kebijakan, kebijakan yang telah diambil dilaksanakan
oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan
manusia;
5. Fase Penilaian Kebijakan, disini unit-unit pemeriksaan dan akuntasi menilai
apakah lembaga pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan telah
memenuhi persyaratan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan
yang telah ditetapkan.
2.2 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan mudah dimengerti secara teoritik dan konseptual,
namun tidak senantiasa demikian dalam bentuknya yang kongkrit, karena
pelaksanaannya secara nyata bukanlah sesuatu yang mudah (Jones, 1991: 294).
Proses implementasi bukan proses mekanis dimana setiap aktor akan secara
otomatis melakukan apa saja yang seharusnya dilakukan sesuai skenario pembuat
kebijakan. Artinya bahwa, ia merupakan proses yang rumit, diwarnai perbenturan
kepentingan antaraktor yang terlibat, sehingga tujuan, target, dan strategi
implementasi dapat berkembang.
Sebagaimana dikatakan oleh Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno,
2007: 148) bahwa suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif
namun gagal memperoleh hasil subtansi karena kebijakan tersebut tidak disusun
dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan
program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang perlu namun tidak
cukup (necessary but not sufficient) bagi pencapaian hasil akhir secara positif.
Dengan demikian, implementasi kebijakan hanya merupakan salah satu
tahap saja dari sekian tahap kebijakan publik, dan karenanya hanya merupakan
salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu
kebijakan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.
2.2.1 Model Mirelee Grindle
Berikut ini akan dipaparkan pendekatan top-down menurut Mirelee S.
Grindle, yang menurut Dwidjowijoto (2003:177) tidak banyak berbeda dengan
model Mazmanian dan Sabatier, namun lebih sederhana. Grindle mendekati
implementasi kebijakan sebagai suatu proses tindakan-tindakan administratif
umum yang perlu diperiksa sampai level program yang spesifik. Keberhasilan
atau kegagalan dari suatu kebijakan dapat dilihat dari kapasitasnya untuk
menjalankan program sesuai dengan desain semula. (Grindle, 1980:7).
Pengukuran kesesuaian ini dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, yakni yang dapat diperiksa pada tingkat program
yang spesifik dan dana yang dialokasikan, serta
2. Dilihat dari hasil yang dicapai oleh implementasinya kebijakan tersebut.
Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:
1. Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok, dan
2. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran
terhadap perubahan yang terjadi.
Menurut argumen Grindle bahwa keberhasilan suatu implementasi
kebijakan publik amat ditentukan oleh derajat dapat tidaknya kebijakan itu
diterapkan atau implementabilitas (implementability) dari kebijakan tersebut.
Implementabilitas ini dapat dilihat dari aspek isi kebijakan (content of policy) dan
aspek konteks implementasi kebijakan (contexs of policy implementation)
(Grindle, 1980:5).
2.3 Analisis Kebijakan
Dunn (1994: 17) melukiskan proses analisis kebijakan sebagai suatu
proses pengkajian yang meliputi lima komponen informasi kebijakan (masalah
kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja
kebijakan) yang berturut-turut ditransformasikan dari satu kelainnya dengan
menggunakan lima prosedur analisis kebijakan meliputi: definisi, prediksi,
rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Lebih lanjut, dalam melakukan
pemantauan setidaknya memainkan empat fungsi dalam analisis kebijakan, yakni
eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan, dan kepatuhan (Dunn, 1994:510)
2.4 Partisipasi Masyarakat
Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan,
yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat, sebagaimana dikemukakan
oleh Franz Magnis Suseno ( 1987: 289-293 ), bahwa paham demokrasi atau
kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah
kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui dua sarana: secara langsung melalui
pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan
(publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat
berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau
terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja
mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan
merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama
seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang
dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan.
Karena itu menurut Sad Dian Utomo (2003: 267-272), partisipasi
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik sangat bermanfaat, termasuk
dalam penyusunan APBD antara lain :
1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik.
2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui
dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.
3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif.
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber
daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Salah satu klasifikasi yang klasik berikan oleh Arnstein (dalam Jamal
Bake, 2009: 188-190), dapat dilihat pada tipologi delapan tangga pastisipasi
masyarakat (Eight Rungs on The Ladder of Citizen Participation) yang
dikemukakan oleh Sherry Arnstein yang didasarkan pada kekuatan masyarakat
untuk menentukan suatu produk akhir. Kedelapan tingkatan itu mulai dari yang
paling bawah adalah manipulation, therapy, information, consultation, placation,
partnership, delegated power, dan citizen control.
Pada anak tangga ke 1 dan ke 2 (Gambar 1), bagian terbawah adalah tahap
manipulasi dan terapi, dikategorikan oleh Arnstein sebagai tahap Non
Participation. Sementara anak tangga 3, 4 dan 5 adalah tahap informasi. Ada
konsultasi dan plakasi namun dikategorikan sebagai tingkat partisipasi simbolik
(tokenisme) menggambarkan partisipasi sekedar memenuhi persyaratan untuk
bertindak guna pencapaian suatu tujuan. Pada tahap ini masyarakat didengarkan
pendapatnya, tetapi tidak ada jaminan pandangan mereka akan dipertimbangkan
oleh pemegang otoritas, atau pengambil kebijakan atau eksekutor. Partisipasi pada
tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan
perubahan dalam masyarakat.
Gambar 1. Skema Anak Tangga Partisipasi Warga (Arnstein, dan Burns; 1994,
157).
8
7
6
5
4
3
2
1
Citizen Control
Delegated Power
Partnership
Placation
Consultation
Informing
Therapy
Manipulation
Degress of
Citizen Power
Degress of
Tokenism
Degress of
Participation
Pada anak tangga 6, 7 dan 8, sudah terbangun kerjasama (partnership),
pendelegasian kekuasaan (delegated power), dan control warga Negara (citizen
control). Tahap ini dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat.
Masyarakat mempunyai kekuatan, dan mempunyai pengaruh dalam proses
pengambilan keputusan terkait dengan lingkungannya.
2.5 Kerangka Pemikiran
III. PEMBAHASAN
3.1 PERDA PARTISIPASI MASYARAKAT DI KOTA KENDARI
3.1.1 Proses Kelahiran Perda 15/2003
Proses kelahiran Perda 15/2003 Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam
Perumusan Kebijakan Daerah di Kota Kendari tidak dapat dilepaskan dari konteks
adanya program Initiative for Local Govenance Reform (ILGR) atau lebih dikenal
dengan program Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) yang
dilakukan di 22 kabupaten/kota di 9 provinsi di Indonesia termasuk Kota Kendari.
Yang tak kalah pentingnya adalah pada waktu itu lahir Forum Multi Stakeholder
(FMS), sebuah forum lintas pelaku dimana didalamnya terlibat beberapa tokoh
masyarakat dan wakil-wakil dari eksekutif maupun legislatif di Kota Kendari,
mereka yang menyebut diri Kelompok 9, baik secara perorangan maupun
mewakili lembaga.
Forum ini kemudian membentuk kelompok kerja (Pokja) Transparansi dan
Partisipasi yang kemudian lahir naskah akademik rancangan perda partisipasi
yang diajukan ke DPRD sampai akhirnya disahkan menjadi Perda pada tanggal 19
Agustus tahun 2003. Perda ini kemudian dikenal sebagai Perda Nomor 15 Tahun
2003 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Daerah di Kota
Kendari. Namun, dalam implementasinya Perda tersebut baru dilaksanakan secara
teknis dengan dikeluarkannya Peraturan Walikota (Perwali) Kendari Nomor 1023
Tahun 2007 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Kebijakan
Daerah. Yang menjadi pertanyaan, mengapa nanti berjalan 4 (empat) tahun Perda
Proses
Pembentukan Perda
15/2003
Konteks Kebijakan
Implementasi
Perda 15/2003
dalam penyusunan
APBD
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian
Tujuan Kebijakan
Perda 15/2003
Isi Perda 15/2003
15/2003 baru ditindaklanjuti (diimplementasikan) dengan Perwali 1023/2007 pada
tahun 2007 ?
Pada dasarnya, terdapat beberapa alasan mengapa Perwali 1023/2007
tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Kebijakan Daerah, ditetapkan
pada bulan Oktober tahun 2007 (terlambat 4 tahun) sebagai bagian dari
implementasi Perda 15/2003 :
1. Pada Tahun 2007, akhir periode ke dua Walikota Kendari Bapak Mansyur
Masie Abunawas berniat mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulawesi
Tenggara periode 2008 – 2013.
2. Pada tahun yang sama, beliau mendaftarkan diri menjadi calon Gubernur
Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 berpasangan dengan Bapak Ashari
(Rektor Universitas Sebelas November Kolaka) (Data KPU Privinsi Sulawesi
Tenggara, 2008).
3. Perwali 1023/2007 disyahkan pada tahun 2007, karena pada akhir tahun 2004
program Initiative for Local Govenance Reform (ILGR) atau lebih dikenal
dengan program Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) di
Kota yang di sponsori oleh UNDP telah berkahir. Akibatnya, interval waktu
(2004-2007) semangat Perda 15/2003 tersebut sudah memudar di benak
penguasa wilayah atau walikota dan DPRD Kota Kendari sehingga mereka
kurang peduli dengan amanat Perda tersebut untuk di implementasikan.
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa Perwali 1023/2007 tersebut,
merupakan langkah yang dilakukan Bapak Mansyur Masie Abunawas untuk
mendapatkan dukungan publik dari masyarakat Kota Kendari pada khususnya dan
masyarakat Sulawesi Tenggara pada umumnya. Artinya, ada indikasi bahwa
kebijakan Perda dan Perwali tersebut hanya merupakan alat/wadah untuk mencari
popularitas dan mendapatkan dukungan dari semua pihak. akibatnya pada saat
pemilihan Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara periode 2008-2013, beliau tidak
berhasil atau tidak terpilih.
3.1.2 Kandungan Perda 15/ 2003 dan Perwali 1023/2007
Secara garis besar, Perda 15/2003 berisi 4 (empat) komponen besar, yakni
ketentuan mengenai Partisipasi, hak dan kewajiban masyarakat, peran serta
masyarakat dan pembinaan peran serta masyarakat. Mengenai peran serta
masyarakat dalam penyusunan kebijakan daerah (Perwali 1023/2007) merupakan
payung hukum yang diharapkan dapat menjamin partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan di daerah. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Muatan Perda 15/2003 dan Perwali 1023/2007
No Komponen Besar Rincian
1 Peran serta masyarakat
(Perwali 1023/2007)
Ketentuan Umum
Penyusunan kebijakan daerah
Pelaksanaan kebijakan daerah
Pengendalian kebijakan daerah
Komisi Partisipasi
2 Partisipasi Masyarakat
(Perda 15/2003)
Ketentuan Umum
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Peran serta Masyarakat
Pembinaan
3 Komisi Partisipasi
(Perwali 1023/2007, pasal 12)
Kedudukan dan Keanggotaan
Persyaratan Anggota
Mekanisme seleksi dan penetapan
Tugas dan wewenang
Pembiayaan
Partisipasi masyarakat dalam Perda ini dimaknai bahwa setiap anggota
masyarakat berhak untuk terlibat dalam perencanaan, perumusan, implementasi,
pengawasan dan evaluasi kebijakan publik, meliputi: hak partisipasi masyarakat
dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan, tingkatan, dan kedalaman sesuai
dengan kepentingannya didalam perumusan kebijakan daerah (pasal 2, ayat 1) dan
masyarakat berhak untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, memberikan masukan langsung maupun
tidak langsung didalam perumusan kebijakan strategis maupun rencana yang
bersifat umum (pasal 3). Namun, lagi-lagi karena semangat pembentukan Perda
ini hanya merupakan euphoria semata dari elit kebijakan di daerah, sebagai bentuk
kebijakan untuk mencari popularitas sehingga dalam implementasinya belum
sesuai dengan amanah dari perda tersebut.
3.1.3 Kelembagaan (Komisi Partisipasi Kota Kendari)
Seperti digambarkan pada Tabel 1 diatas, salah satu amanah dari perda
15/2003 selanjutnya ditindaklanjuti dengan Perwali 1023/2007 yang tetapkan
pada tanggal 20 Juni 2007 adalah pembentukan lembaga independen yakni
Komisi Partisipasi yang salah satu fungsinya adalah mengawasi pelaksanaan
perda tersebut dan dijamin pembiayaannya dalam APBD Pada Perda 15/2003
(BAB V Pasal 12) dan Perwali 1023/2007 (BAB V Pasal 12). Namun, sampai hari
ini Komisi Partisipasi Kota Kendari belum juga dibentuk karena alasan pendanaan
(versi pemerintah).
Keadaan tersebut seharusnya tidak terjadi, karena amanat Perda 15/2003 dan
sangat jelas bahwa pembentukan Komisi Partisipasi Kota Kendari harus
dilaksanakan dan dijamin pembiayaannya dalam APBD. Artinya, tidak ada alasan
bagi pemerintah Kota Kendari dan DPRD yang menjabat sekarang ini untuk tidak
merealisasikan amanah Perda dan Perwali tersebut karena masih berlaku sampai
hari ini.
Keadaan ini, memang tetap dikembalikan pada political will para
pemimpin (penguasa wilayah) dan DPRD untuk dapat melaksanakan amanat
Perda 15/2003 dan Perwali 2007.
Keadaan tersebut menunjukan bahwa aspek personality tidak digabungkan dengan
aspek seseorang. Padahal kepemimpinan dalam birokrasi adalah bersifat multi-
dimensional. Seseorang dianggap memiliki kepemimpinan yang baik apabila yang
bersangkutan memiliki dua hal sekaligus: visi yang jelas untuk membawa
organisasi ke masa depan; dan nurani yang baik yang bisa memperhatikan
anggota organisasi yang sekaligus merupakan risorsis yang nantinya akan secara
sukarela menggerakan organisasi dalam menggapai tujuan. Pemimpin yang
bervisi adalah mereka yang berpikir jangka panjang dan sorot matanya ada di
horizon (his ayes on the horizon) dan „kepala ada di awan serta kakinya ada di
tanah (their head in the clouds and their feet on the ground)’. (Agus Pramusinto,
2006: 96).
3.1.4 Isi Kebijakan
Perda 15/2003 ini menghendaki perubahan yang luas atau bahkan
terbilang radikal. Perda ini mengharuskan aparat publik melihat pemerintahan
dengan cara yang berbeda. Dari segi kepentingan dan keuntungan yang
ditawarkan oleh perda ini, tampak bahwa cara pandang elit kebijakan di daerah
bahwa transparansi merugikan, dan partisipasi adalah pemborosan, praktis tidak
menyetujui Perda 15/2003 dan menghambat implementasi. Namun, tantangan
berikutnya datang dari aspek-aspek yang lebih teknis sebagai implikasi isi
kebijakan ini. Perda ini menuntut perubahan organisasi dan tata kerja, yang
menuntut dikeluarkannya panduan mengenai mekanisme-mekanisme baru, dalam
kasus penyusunan APBD, nampak bahwa pusat-pusat pengambilan keputusan
dalam implementasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD akan
berhadapan dengan pusat-pusat pengambilan keputusan yang tersebar diberbagai
tingkat: kelurahan, kecamatan, dan SKPD.
Keputusan disetiap unit tersebut akan menentukan berjalan tidaknya
kebijakan partisipasi tersebut. Tantangan berikutnya adalah pelaksanaan
dilapangan. Dengan cakupan ketentuan partisipasi ini, maka pelaksana akan
berada disemua badan publik. Dalam kasus penyusunan APBD, maka semua staf
kelurahan, kecamatan, dan pemerintah kota yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan musrenbang akan terkait dengan efektif tidaknya implementasi
ketentuan partisipasi. Yang terakhir, adalah mengenai sumberdaya yang
dikomitmenkan untuk implementasi. Bila sumberdaya yang dimaksud dibatasi
pada waktu, personil, dan biaya, maka proses partisipasi pasti terkait dengan
waktu yang harus dialokasikan untuk konsultasi publik, personil untuk
menanganinya, serta biaya yang diperlukan.
Dewi Kartika, anggota DPRD Kota Kendari mengatakan mahalnya untuk
biaya partisipasi ini dapat disiasati dengan proses konsultasi publik yang murah
biaya. Dewi menunjuk biaya-biaya pertemuan warga yang relatif tidak mahal
karena menu makan dan minum yang dihidangkan berasal dari hasil bumi
setempat dengan harga wajar (Wawancara, 18 April 2011).
3.2 KONTEKS DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERDA 15/2003
Bagaimana menjelaskan lebih jauh “kelambatan” dalam implementasi
dengan proses bergerak maju yang juga tampak dari implementasi ketentuan
partisipasi ini? Penjelasan kemudian akan dicari dari dimensi konteks kebijakan.
Ketiga sub dimensi yang semula akan dilihat adalah kekuasaan dan strategi aktor-
aktor yang terlibat, serta kepatuhan dan daya tanggap pelaksana. Karena dalam
kasus yang diperiksa ini kebijakan belum dilaksanakan, maka sub-dimensi yang
ketiga, yakni kepatuhan dan daya tanggap pelaksana penting untuk dianalisis
berdasarkan muatan Perda 15/2003 yang sudah dijelaskan sebelumnya.
3.2.1 Hak Masyarakat
Pasal 2 dan pasal 3 Perda 15/2003, dimaknai hak masyarakat dijamin
dalam perumusan kebijakan daerah khususnya dalam penyusunan APBD Kota
Kendari. Kongkritnya, hak masyarakat tersebut hanya dapat dilihat pada saat
dilaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dibeberapa
tingkatan. Di Kendari, hak masyarakat sangat terbatas dalam menyampaikan
pendapat/masukan berupa usulan kegiatan dalam pelaksanaan Musrenbang mulai
dari tingkat kelurahan, kecamatan dan forum SKPD di tingkat kabupaten/kota
karena secara teknis agenda acara yang dikeluarkan oleh pelaksana (Bappeda dan
PM Kota Kendari) sudah dibatasi oleh waktu yang ditetapkan tanpa menawarkan
terlebih dahulu kepada peserta Musrenbang. Sehingga yang terjadi adalah adanya
dominasi waktu yang digunakan oleh aparat kelurahan, aparat kecamatan, SKPD
dan DPRD, dan subtansi musyawarah tidak terpenuhi akibat dari kegiatan
musrenbang lebih banyak diisi dengan acara ceramah/sambutan dari birokrasi dan
DPRD itu sendiri. Pada sesi inilah masyarakat hanya bisa mendengar dan
mengikuti apa yang menjadi keinginan dari penyelenggara, sekalipun ada ruang
untuk memberikan masukan/pendapat pada sesi tertentu. Tetapi, masukan
masyarakat tersebut sudah di setting (diatur) oleh penyelenggara siapa-siapa saja
yang diberi waktu untuk bicara dan biasanya mereka itu adalah masyarakat yang
menurut penyelenggara dianggap sebagai elit (tokoh masyarakat) diwilayah
tersebut. Keadaan ini terus menerus diterapkan pada setiap tingkatan musrenbang,
sehingga menurut penulis bahwa jaminan Perda 15/2003 dalam implementasinya
tidak dapat menjamin dan tidak memenuhi hak masyarakat dalam perumusan
kebijakan di daerah khususnya dalam penyusunan APBD Kota Kendari.
Harapannya adalah, anggota DPRD Kota Kendari sebagai pemegang
amanat rakyat dapat mengakomodir hak masyarakat yang nantinya akan dibahas
dalam sidang paripurna DPRD terkait RAPBD Kota Kendari. Tentunya, dimulai
dengan melakukan reses untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi prioritas
program yang diinginkan masyarakat di wilayah konstituennya. Namun, pada
kenyataanya semua itu tidak terpenuhi dengan alasan bahwa dana reses tidak
mencukupi untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Hal ini menjadi
ironi menurut Ashri Salam, Sekretaris Gerakan Pemuda Pembaharuan (GEMPA
Sultra). “Entah apa yang ada dibenak anggota DPRD Kendari. Satu langkah tak logis
menaikkan dana reses dari Rp. 5 juta menjadi Rp. 10 juta. Padahal di metro
transportasi cukup terjangkau. Bandingkan dengan DPRD Sultra yang wilyah
tugasnya lebih luas dan kebanyakan sulit terjangkau transportasi, tapi dana
resesnya Cuma naik menjadi Rp. 10 juta.” (Kendari Pos, Selasa, 28 Desember
2010).
Lanjut, Asri membeberkan indikasi DPRD Kendari sejak awal memang
tidak punya niat untuk memperhatikan masyarakat. Indikasinya tergambar saat
pembahasan APBD 2011 dengan waktu yang singkat. Dengan waktu yang mepet
itu sudah pasti pembahasan anggaran untuk rakyat di nomor duakan. Sesuai
pernyataan Ketua DPRD Abdul Razak pada saat menerima dokumen RAPBD
2011 dari Walikota Kendari dalam suatu rapat paripurna, bahwa dokumen yang
ketebalannya mencapai 5 cm tersebut rencananya akan dibahas secara maraton
selama seminggu dari pagi hingga malam hari. (Kendari Ekspres, Selasa, 14
Desember 2010).
Hal ini menunjukan bahwa, tidak ada jaminan bagi masyarakat untuk
dipenuhi keinginannya oleh anggota dewan yang nota bene dipilih oleh
masyarakat sendiri (wilayah konstituennya) sekalipun sudah dimuat dalam RKPD
dan RAPBD sesuai hasil musrenbang di berbagai tingkatan.
3.2.2 Peran Serta Masyarakat
Pada bagian ini, titik krusial yang harus dijamin oleh Perda 15/2003 adalah
pasal 6 ayat 4, menyangkut bagaimana prosedur pengajuan keberatan dan
penyelesaian terhadap rancangan kebijakan termasuk APBD Kota Kendari,
sehingga apa yang menjadi tuntutan masyarakat dapat terpenuhi. Memang, Perda
ini ditindak lanjuti dengan Perwali 1023/2007. Namun, tidak ada
aturan/keputusan/surat edaran Walikota yang mengatur secara teknis jaminan
penyelesaian pengaduan atau tuntutan masyarakat. Contohnya, pada saat musim
hujan di Kota Kendari. Hujan yang hanya dalam waktu 3 sampai 5 jam, sudah
menimbulkan banjir di beberapa wilayah. Seperti, Kelurahan Kampung Salo
sampai menggenangi + 150 rumah warga dan terjadi depan Kantor Dinas PU Kota
Kendari yang setiap kali hujan mengguyur kota. Anehnya, kendati tepat didepan
“hidung” Dinas PU Kota, tidak ada juga yang dibenahi supaya pemandangan
semacam ini tidak terus menerus terjadi dan pengendara bisa mulus melintasi
jalan ini. Demikian halnya di Jl. H.E.A Mokodompit Kelurahan Kambu wilayah
Kampus Baru Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari, selain menggenangi
Perumahan Dosen Unhalu juga air hujan menutupi ruas jalan depan kampus
Unhalu dan Kantor Pertanahan Kota Kendari. Sistem pembungan air yang sangat
buruk, menjadi penyebab banjir. Masalahnya, hingga kini belum ada upaya
pemerintah untuk memperbaiki/membuat drainase yang sudah tertimbun tanah.
Artinya bahwa, Perda 15/2003 belum dapat diimplementasikan dengan
benar dan sungguh-sungguh oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam
menyelesaikan pengaduan/keberatan dari masyarakat. Intinya, kembali kepada
political wiil pemerintah daerah dan DPRD untuk mau atau tidak mau
mengimplementasikan Perda 15/2003 dan Perwali 1023/2007 tersebut. Harusnya,
dengan keadaan tersebut diminta atau tidak diminta, pemerintah kota dan DPRD
Kota Kendari dapat mengakomodasi/diusul dan dianggarkan dalam APBD Kota
Kendari pada tahun berikutnya untuk memperbaiki saluran drainase, jalan, dan
semacamnya agar keadaan banjir di wilayah tertentu yang terus menerus dialami
masyarakat pada saat musim hujan dapat teratasi.
3.2.3 Pembinaan Peran Serta Masyarakat
Subtansinya secara normatif menjelaskan bahwa masyarakat dapat
memperoleh informasi tentang kebijakan secara mudah dan cepat melalui media
cetak, media elektronik,atau forum pertemuan, melindungi hak masyarakat untuk
berperan dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, serta
memperhatikan dan menindak lanjuti saran, usul atau keberatan dari masyarakat.
(pasal 11, ayat 1 dan ayat 3 huruf d, dan huruf e).
Pada bagian ini, khususnya dalam pemberian informasi kepada masyarakat
tentang kebijakan daerah belum terpenuhi secara maksimal. Terutama
menyangkut informasi tentang penjabaran program dan kegiatan pembangunan
yang dimuat dalam APBD Kota Kendari. Karena selama ini, belum pernah
Pemerintah Kota Kendari mengumumkan item kegiatan dan program tersebut
utamanya pada dimedia media cetak nasional. Apalagi yang berhubungan dengan
tender proyek tertentu yang ditengarai terdapat persekongkolan antara penguasa/
pejabat birokrasi dan anggota DPRD dengan pengusaha atau kontraktor, sudah
pasti tidak bisa di umumkan di media publik apapun. Bisa saja tender proyek
tertentu di umumkan di media, tetapi tidak ada jaminan kemungkinan ada
permainan dari pihak panitia tender sehingga secara administrasi dapat terpenuhi.
Biasanya, yang berhubungan dengan program/kegiatan yang membutuhkan
partisipasi masyarakat untuk menerima layanan kesehatan,
pemukiman/perumahan, menempati pasar, dan sebagainya barulah pemerintah
daerah menginformasikan melalui media cetak dan media elektronik. Seperti,
Program Persaudaraan Madani, Program Badan Layanan Umum Pengkreditan
Rakyat, Program Kendari Sehat 2020, dan sebagainya.
3.3 Penyusunan Kebijakan Daerah
Subtansinya terdapat pada pasal 3 ayat 2, bahwa tata cara pemberian
masukan secara langsung, dilakukan melalui usulan
kebijaksanaan/program/kegiatan pembangunan dilakukan melalui Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Dalam konteks studi kasus yang menjadi fokus penelitian ini, kebijakan
jaminan partisipasi publik dilihat dari implementasinya pada penyusunan APBD
Kota Kendari tahun 2010. Penyusunan APBD diatur dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah (pada Tahun 2007 keluar Permendagri 15/2007
yang merevisinya namun subtansi untuk proses perencanaan relatif sama).
Secara singkat proses perencanaan merupakan proses yang dirancang sebagai
proses bottom up, dari bawah keatas, melalui rangkaian pertemuan dari tingkat
desa/kelurahan sampai tingkat kabupaten yang sebut Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang). Hasil dari rangkaian Musrenbang dan Forum Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) itu akan menjadi input bagi proses perencanaan
yang lebih teknis dan proses penganggaran di SKPD. Skema proses perencanaan
bottom up dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3. Proses Perencanaan Bottom Up
(Sumber: dikembangkan dari Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan SEB. No.
0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ
Tahapan-tahapan Musrenbang dan Forum SKPD, yang merupakan tahapan
perencanaan, memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat secara terlembaga.
Musrenbang merupakan wadah partisipasi berbasis teritorial, sementara aspirasi
untuk isu sektoral diwadahi oleh forum SKPD. Pada musrenbang dan forum
SKPD idealnya dibahas masukan dari wakil-wakil masyarakat mengenai kegiatan
yang mereka usulkan untuk dibiayai APBD pada tahun anggaran berikutnya.
Sesudah tahap perencanaan oleh eksekutif, partisipasi masyarakat tidak
lagi terlembaga. Masyarakat harus aktif mengakses informasi dan melakukan
advokasi pada tahap penganggaran dan penetapan perda APBD. Hal ini dilakukan dengan menjalin komunikasi dengan SKPD tertentu, membangun hubungan
Musrenbang Tingkat
Desa/Kelurahan
Musrenbang Tingkat
Kecamatan
Forum SKPD Musrenbang Tingkat
Kabupaten
Proses Perencanaan di
SKPD dan Penganggaran
dengan anggota DPRD tertentu, menyaksikan rapat terbuka DPRD untuk
melakukan pemantauan, atau bahkan membangun akses khusus dengan kepala
daerah/walikota.
Gabriel Lele (2006: 168) mengatakan bahwa salah satu prasyarat kunci
bagi bekerjanya kemitraan menuju pembentukan komunitas kebijakan adalah
adanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pemilikan sumberdaya, akses
informasi, dan sebagainya. Dominasi oleh salah satu pihak hanya akan berakibat
pada panarikan diri pihak lain. Adanya kerangka kerja yang jelas dan efektif akan
menjadi garansi tambahan akan terselesaikannya dilemma aksi kolektif dimana
naluri free rider menjadi salah satu kendalanya. Implementasi kemitraan yang
sungguh-sungguh akan memberikan sejumlah keuntungan, kemitraan yang
demikian dapat ,menjadi embrio komunitas kebijakan sehingga berbagai
kekusutan dalam proses dan dinamika kebijakan publik bisa menemukan solusi
subtansinya.
Proses perencanaan partisipatif yang selama ini dilakukan di Kota Kendari
masih menerima sejumlah kritik, khususnya terhadap jalannya rangkaian
musrenbang di berbagai level/tingkatan. Beberapa yang bisa dicatat adalah
mengenai keterwakilan, subtansi, dan hasil. Dalam hal keterwakilan, ada
kecenderungan bahwa prosedur yang ditetapkan pemerintah gagal memastikan
keterwakilan yang inklusif, utamanya bagi kelompok miskin dan perempuan. Dari
segi subtansi, kegiatan ini sering dijalankan secara kurang sungguh-sungguh dan
terkesan sekedar menjalankan formalitas rutin. Dari segi hasil, usulan kegiatan
pembangunan diterima kualitasnya relatif rendah, kurang strategis, dan terlalu
mikro. (resume coffee morning YPSHK, 28 Maret 2011).
3.3.1 Proses Perencanaan/ Musrenbang Kota Kendari Tahun 2009 dan 2010
Samodra Wibawa (2005: 33), jika para analis kebijaksanaan (teknokrat)
dan para policy maker-nya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib
bangsanya, mereka akan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang aspiratif.
Meskipun massa bersikap diam dan tidak secara vokal mendesakkan tuntutan-
tuntutannya kedalam proses konversi kebijaksanaan, elit menggali aspirasi mereka
melalui jalur birokrasi yang menembus hingga ke tingkat akar rumput. Masalah
kebijakan yang mereka rumuskan akan bersifat selektif, dalam arti secara rasional
dicari kondisi problematik mana yang paling relevan untuk dipecahkan atau
dikelolah. Ada skala prioritas kebutuhan yang jelas yang dapat diuji secara
rasional. Karena itu, maka program-program perubahan sosial yang dirancang
oleh sistem politik dengan model semacam ini dapat lebih konsisten, stabil dan
efisien.
Model dan Kondisi seperti diatas seharusnya terjadi di Kota Kendari
dalam proses perencanaan/penyusunan APBD. Namun, yang terjadi adalah
mekanisme Musrenbang sudah disusun sedemikian rupa oleh penyelenggara
(BAPPEDA), dari mulai agenda acara, penentuan pimpinan sidang, peserta sidang
dan pembagian kelompok dan penentuan prioritas kegiatan. Aturan main yang
paling menarik dibahas oleh peserta adalah mekanisme penentuan usulan kegiatan
yang akan menjadi prioritas.
3.3.1.1 Partisipasi Masyarakat Sebelum Musrenbang
Partisipasi masyarakat sebelum penyelenggaraan musrenbang belum
memenuhi unsur-unsur partisipasi masyarakat, terutama keterlibatan masyarakat
dalam mensosialisasikan rencana kegiatan dan mengidentifikasi permasalahan
sebelum mengikuti penyelenggaraan musrenbang. Adapun keterlibatan
masyarakat dalam mempelajari materi yang relevan dengan musrenbang juga
belum terpenuhi karena nanti pada saat penyelenggaraan musrenbang materi
tersebut diberikan kepada peserta musrenbang. Sebagaimana hasil wawancara
berikut ini. “Biasanya setelah kami saksikan saja di balai pertemuan kelurahan karena kami
secara kebetulan melihat banyak orang. Ternyata, ada acara musrenbang. Yah,
terpaksa kami juga menyampaikannya kepada beberapa warga masyarakat
lainnya pak, karena kami memang tidak di undang.”
(Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Kelurahan Baruga,
Bapak Hamsis, ST., pada tanggal 27 Februari 2011)
3.3.1.2 Partisipasi Masyarakat Saat Musrenbang
Menilai kesuksesan seluruh kegiatan penyelenggaraan musrenbang telah
belum maksimal melibatkan peran serta masyarakat. Hal ini karena masyarakat
yang menghadiri kegiatan penyelenggaraan musrenbang hanya dihadiri oleh
aparat kelurahan dan tokoh masyarakat yang diundang.
Kegiatan diskusi dalam penyelenggaraan musrenbang belum maksimal
melibatkan peran serta masyarakat. Hal ini karena masyarakat belum terlibat
secara aktif menyampaikan pendapat atau gagasan dalam kegiatan diskusi pada
penyelenggaraan musrenbang tersebut. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini. “ Saya lihat, waktu diskusi dan keterlibatan kami pada kegiatan diskusi dalam
musrenbang belum baik, setiap masyarakat yang akan berbicara dalam diskusi
diberikan kesempatan tapi terbatas oleh waktu pak, waktu lebih banyak digunakan
oleh aparat kecamatan dan kelurahan beserta wakil Bappeda Kota melalui
sambutan-sambutan pak…“
(Wawancara, Bapak Drs. La Mambo, pada tanggal 28 Februari 2011).
Proses pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan musrenbang belum
sepenuhnya melibatkan peran serta masyarakat. Hal ini karena sebagian besar
dalam proses pengambilan keputusan pada penyelenggaraan musrenbang lebih
dikendalikan oleh penyelenggara (aparat kecamatan, kelurahan dan wakil dari
Bappeda kota).
3.3.1.3 Partisipasi Masyarakat Setelah Musrenbang Dalam penelitian ini, sosialisasi hasil penyelenggaraan musrenbang belum
sepenuhnya melibatkan peran serta masyarakat. Hal ini karena tokoh masyarakat
yang telah mengikuti penyelenggaraan musrenbang belum ikut serta
menyampaikan hasil-hasil yang disepakati kepada anggota masyarakat lainnya
yang tidak mengikuti penyelenggaraan musrenbang tersebut. Sebagaimana hasil
wawancara berikut ini. “ Karena hasil musrenbang ini untuk masyarakat seluruhnya maka harusnya
kami disampaikan juga oleh tokoh masyarakat yang hadir pada saat musrenbang
atau dari aparat kelurahan. Misalkan saja pada saat kita bertemu dalam
berbagai kesempatan pak, apalagi kalau yang tidak datang menanyakan hasil
musrenbang pasti tidak akan mengetahuinya …”
(Wawancara dengan Masyarakat Kelurahan Korumba,
Bapak La Disi, SPd., pada tanggal 3 Maret 2011).
Demikian halnya dengan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan hasil-hasil
penyelenggaraan musrenbang perlu dilakukan perbaikan. Hal ini karena
masyarakat kurang dilibatkan dalam mengawasi hasil-hasil penyelenggaraan
musrenbang.
Lebih lanjut, keterlibatan masyarakat dalam upaya lanjutan untuk
merealisasikan hasil-hasil penyelenggaraan musrenbang perlu dilakukan
perbaikan. “ Saya lihat, umumnya masyarakat belum memiliki waktu yang banyak untuk
ikut dalam berbagai upaya memperjuangkan agar hasil-hasil musrenbang dapat
terealisasi dengan baik pak, biasanya yang terlibat hanya tim saja pak ..”
(Wawancara Bapak Endang A Mansur, S.Sos., pada tanggal 25 Februari 2011).
Keadaan di atas menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam mengawasi
dan upaya lanjutan guna mengawal dan merealisasikan hasil-hasil
penyelenggaraan musrenbang dalam RKPD (dan APBD) perlu dukungan
stakeholders lainnya. Partisipasi masyarakat setelah penyelenggaraan
musrenbang, dimana masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam sosialisasi,
pengawasan, dan upaya lanjutan dalam rangka merealisasikan hasil-hasil
penyelenggaraan musrenbang, merupakan salah satu bagian penting dalam
mewujudkan penyelenggaraan perencanaan pembangunan/ musrenbang yang
partisipatif.
Dengan gambaran tersebut, serta berdasarkan masukan dari pihak-pihak
yang peduli dengan partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran
didaerah, maka YPSHK bersama teman-teman LSM lainnya mengadakan coffee
morning dengan tema Evaluasi Musrenbang ini. Coffee morning adalah kegiatan
diskusi tematik yang diadakan berkala oleh pegiat LSM di Kota Kendari untuk
mengangkat isu tertentu yang terkait dengan kebijakan daerah. Seharusnya, peran
ini dilakoni oleh Komisi Partisipasi dan Komisi Informasi Kota Kendari sesuai
yang diamanatkan oleh Perda Kota Kendari Nomor 15/2003 jo. Perwali
No.1023/2007 dan Perda 14/2003. Dalam Evaluasi Hasil Musrenbang yang
digelar tersebut turut hadir Kepala BPM, Sekretaris Bappeda dan PM, DPRD,
Pers, Mahasiswa, dan wakil Perguruan Tinggi Negeri (UNHALU), dan
stakeholders lainnya. Dari kegiatan tersebut terdapat sejumlah catatan mengenai
jalannya musrenbang. Dilevel masyarakat, dapat dilihat kurangnya antusiasme
masyarakat dalam musrenbang, adanya perasaan antipasti, kurangnya
keterwakilan kelompok miskin dalam musrenbang. Sementara, dilevel
pemerintah, terdapat keluhan kurangnya sosialisasi oleh aparat tentang
penyelenggaraan musrenbang, adanya wilayah yang tidak menyelenggarakan
musrenbang, tidak adanya sanksi untuk aparat yang wilayahnya gagal
melaksanakan musrenbang, dan tidak adanya standar format hasil musrenbang.
Ada wilayah yang tidak melaksanakan musrenbang dan justru mendorong
“partisipasi” dengan jalan pengajuan proposal. Ada warga yang menganggap lebih
mudah mendekati anggota DPRD saja pada tahap penganggaran dipenyusunan
APBD. Disisi aparatur, musrenbang juga sering dimaknai sebagai seremonial saja,
dimana daftar hadir diedarkan namun musyawarah tidak dilangsungkan karena
dianggap draft yang ada sudah disepakati secara formal. Disamping kendala
diatas, diidentifikasi juga sulitnya pemilihan waktu musyawarah yang cocok
untuk semua kalangan wakil warga yang dibidik, waktu yang tidak dianggap
mengganggu waktu produktif warga, namun juga bukan waktu yang bisa
menyurutkan partisipasi masyarakat. (resume coffee morning, 28 Maret 2010)
Keadaan ini merupakan gambaran bahwa elit kebijakan di daerah yang
cenderung korup. Akibatnya adalah seringkali kebijaksanaan tidak rasional dan
tidak efisien. Pendekatan yang diterapkannya adalah pendekatan kekuasaan,
sebagai lawan dari problem oriented, tanpa berusaha mencari alternatif kebijakan
yang lebih sesuai untuk publik. Gejala dari pendekatan ini adalah dilakukannya
pembuatan kebijaksanaan dalam “kotak hitam” secara tertutup, dihimpunnya
sumberdaya untuk melaksanakan program kebijaksanaan secara tertutup pula, dan
kadang-kadang dilanggarnya konstitusi secara terang-terangan. (Samodra
Wibawa, 2005:34).
Berikut Kesepakatan dan Rekomendasi dari Evaluasi Musrenbang 2009
Kesepakatan
bersama
1. Sepakat untuk menitikberatkan kegiatan sosialisasi mengenai musrenbang
kepada masyarakat, dengan terlebih dahulu memberikan pemahaman dan
pengetahuan tentang pentingnya musrenbang bagi masyarakat, guna
membangun kesadaran partisipasi masayarakat terhadap musrenbang.
2. Masing-masing pemangku kepentingan mengambil peran dalam memberikan
pencerahan kepada masyarakat sebelum dilaksanakannya kegiatan
musrenbang (tingkat kelurahan maupun kecamatan), dengan membagi diri
berdasarkan wilayah kerja yang ditentukan/ disepakati bersama.
3. Perlu adanya panduan yang jelas (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis)
dari pemerintah daerah bagi pelaksanan kegiatan musrenbang, agar dapat
menjamin adanya standarisasi agenda kegiatan-kegiatan dalam
pelaksanaannya.
4. Penyusunan juklak dan juknis tersebut dilakukan dengan masukan dari
pemangku kepentingan di Kota Kendari yang dilakukan dengan kajian-kajian
yang cermat sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang tepat.
5. Perlu adanya penyebaran informasi terkait dokumen perencanaan, program
kerja pemerintah daerah dalam tahun berjalan agar usulan masyarakat dapat
lebih berkualitas dan beragam, tidak setuju pada satu sector pembangunan
saja.
6. Mendesak kepada pemerintah daerah dan DPRD untuk segera membentuk
tim seleksi dan menetapan ketua dan sekretaris Komisi Partisipasi dan Komisi
Informasi Kota Kendari, mengingat amanat Perda 15/2003 jo. Perwali
1023/2007 dan Perda 14/2003, karena lembaga tersebut memiliki peran dan
fungsi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara khusus dan pemerintah
daerah pada umumnya.
Rekomendasi
1. Meminta kepada pemerintah daerah dan DPRD untuk segera membentuk tim
seleksi dan menetapan ketua dan sekretaris Komisi Partisipasi dan Komisi
Informasi Kota Kendari beserta pengurus.
2. Meminta Pemerintah Kota Kendari untuk segera menjadulkan sosialisasi yang
dilakukan bersama-sama dengan lembaga non pemerintah pada waktu
sebelum pelaksanaan musrenbang disetiap tingkatan.
3. Meminta Pemerintah Kota Kendari agar memberikan pelatihan kepada
beberapa kader yang berasal dari masyarakat kelurahan yang akan
diberdayakan dalam mendampingi masyarakat dalam melaksanakan
musrenbang.
4. Meminta Pemerintah Kota Kendari agar mempublikasikan usulan-usulan
masyarakat melalui musrenbang, pada hal mana usulan tersebut dapat
diakomodir atau tertolak dengan alasan-alasan yang rasional.
5. Meminta Pemerintah daerah agar senantiasa melibatkan seluruh pemangku
kepentingan dalam upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan musrenbang di
semua tingkatan.
( Sumber: YPSHK Sulawesi Tenggara, 2011)
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa implementasi ketentuan partisipasi di
Kota Kendari belum dilakukan. Namun, melihat interaksi antara Perda 15/2003
dengan proses perencanan pada tahun 2009 untuk menyusun APBD 2010, tampak
bahwa “defisit implementasi” (Lane, 1995: 100) yang terjadi dilakukan sebagai
tahapan untuk meletakan landasan yang lebih kuat bagi pelaksanaan partisipasi.
Perda 15/2003 dianggap sebagai peraturan pelaksanaannya menuntut pentahapan,
dan ketentuan partisipasi adalah yang dilakukan sesudah tahapan implementasi
ketentuan transparansi.
3.3.2 Proses Penganggaran
Proses penganggaran merupakan tahapan lanjutan dari Musrenbang,
karena bukanlah bagian terpisah dari proses perencanaan. Bila merujuk kepada
payung hukum yang ada, yaitu UU 17/2003 dan Permendagri 13/2006, diawali
dengan pembahasan draft Dokumen Kebijakan Umum APBD.
Dari seluruh rangkaian pembahasan anggaran sampai pada dokumen
KUA-PPA ditetapkan dalam Nota Kesepakatan Walikota dan DPRD, maka TAPD
dan Panitia Anggaran DPRD (Pangar DPRD), melakukan pembahasan secara
marathon dengan melibatkan SKPD dan Komisi DPRD serta Pembahasan antara
Komisi DPRD dengan SKPD mitra kerjanya, dilakukan secara stimulant tersebut
diatas hampir absen dari keterlibatan masyarakat, karena secara normatif tidak ada
payung hukum yang memberikan jaminan pelibatan masyarakat dalam proses
penganggaran. Kalaupun ada pelibatan masyarakat, yaitu pada saat DPRD
memberikan ruang bagi warga untuk terlibat pada hearing di DPRD dengan
mengundang untuk member masukan dan sekaligus koreksi terhadap draft KUA
yang sedang dibahas dan pada saat sosialisasi draft RAPBD oleh pemerintah
daerah, sebelum diserahkan ke DPRD. Padahal peran warga dalam proses
penganggaran ini sangat penting untuk memastikan apakah hasil Musrenbang
dapat diakomodir dalam dokumen KUA-PPA. Dokumen inilah yang dijadikan
rujukan untuk menyusun pra RAPBD.
Realitas yang terjadi konsistensi antara hasil musrenbang dan dokumen
perencanaan dinas seringkali masih dikalahkan oleh loby-loby para elit, sebab
orientasi dari beberapa birokrasi masih berorientasi proyek belum berorientasi
pada pembangunan seutuhnya. Proses penyusunan Rencana Kerja dinas sektoral
(Renja SKPD) masih tertutup, demikian pula pembahasan RAPBD yang masih
terkesan tertutup. Hasil pantauan terhadap proses pembahasan RAPBD di DPRD
Kota Kendari menunjukan bahwa persepsi sebagian besar anggota DPRD tentang
anggaran yang berpihak pada masyarakat miskin dan perempuan masih sangat
rendah. Belum lagi persepsi para anggota legislatif masih menganggap bahwa
dokumen APBD adalah rahasia negara yang tidak boleh diketahui oleh publik,
sehingga untuk mendapatkan dokumen-dokumen tersebut tidak jarang LSM
ataupun masyarakat sipil lainnya harus “mencuri” atau melakukan loby personal
kepada para legislator. Disisi lain, sebagian anggota legislatif juga tidak
mempunyai kapasitas yang cukup baik untuk mengkaji anggaran yang betul-betul
berpihak pada masyarakat, ditambah lagi dokumen RAPBD yang akan dibahas
baru diterima pihak legislatif dari pihak eksekutif dengan waktu yang sangat kasif
(paling lambat dua minggu), makin memperburuk kualitas analisis dan keluaran
anggaran tersebut.
Keadaan ini menggambarkan bahwa, sekalipun dana pembangunan sudah
tersedia tetapi realisasinya dikembalikan pada mental pejabat birokrasi yang
berhati nurani untuk melaksanakannya. Apakah pelaksanaan program/kegiatan itu
sesuai dengan rencana semula atau tidak? Semua itu tergantung dari kepatuhan
pelaksana terhadap aturan hukum atau pedoman yang sudah ditetapkan.
Hasil kajian terhadap dokumen perencanaan dan anggaran di Kota Kendari
yakni Buku II Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2010
dikeluarkan oleh BAPPEDA dan PM Kota Kendari pada Bulan Juni 2009 yang
didalamnya memuat hasil-hasil Musrenbang Kelurahan, Musrenbang Kecamatan
dan Usulan SKPD dihubungkan dengan Perwali Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Penjabaran APBD Kota Kendari Tahun Anggaran 2010, Alokasi Anggaran
memang nampak, tetapi peruntukan dimana lokasi dari anggaran tersebut sesuai
hasil musrenbang di berbagai tingkatan menjadi kabur.
Skala prioritas untuk Kelurahan Abeli Dalam Kecamatan Puwatu yang
dimasukan dalam Musrenbang Kelurahan dan Musrenbang Kecamatan bersama
SKPD beserta Tim dari Bappeda Kota Kendari dan Anggota DPRD sampai saat
ini belum terpenuhi. Program tersebut adalah Pengerasan dan Pengaspalan Jalan
beserta Pemasukan Jaringan Listrik di Kelurahan Abeli Dalam Kecamatan
Puwatu. “Bagaimana bisa, kami mengakses sumberdaya lain yang ada di Kota Kendari
apabila kondisi jalan saja tidak dapat dilalui kendaraan roda dua apalagi roda
empat. Berjalan kaki saja susah, ditambah lagi bila datang musim hujan, jadi
semakin parah keadaannya. Demikian pula dengan jaringan listrik, bila tiba
waktu malam, maka gelap gulitalah kampung kami. Sekarang coba saja anda
bayangkan dengan keadaan seperti itu, apa bisa nyaman?.” (wawancara, Udin
warga Kel.Abeli Dalam, 14 Maret 2011).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Implementasi ketentuan partisipasi dalamPerda 15/2003 ternyata belum mulai
dilakukan di Kendari khususnya pada penyusunan APBD 2010, dengan
melihat belum nampaknya kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (pemerintah
dan DPRD) serta tidak ada kegiatan dan anggaran terkait dengan implementasi
Perda 15/2003. Kelambatan ketentuan partisipasi terjadi karena ketentuan
partisipasi diletakkan sebagai tahapan yang lebih tinggi dan dianggap baru
akan diterapkan setelah ketentuan lain dalam perda terpenuhi, yakni
pembentukan Komisi Partisipasi.
2. Pergerakan lambat dari Perda 15/2003 di Kota Kendari merupakan kombinasi
dari isi Perda yang belum komprehensif, olehnya itu replikasi harus dilakukan
tidak hanya subtansi isi Perda namun juga dukungan kelembagaan yang ada
serta strategi implementasinya. Karena itu, keberadaan komisi ini pada tingkat
implementasinya merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dan DPRD.
3. Falsafah gotong-royong yang tertanam dalam budaya masyarakat Kendari
merupakan modal bagi format koproduksi dalam penyediaan layanan publik
yang harus dimanfaatkan secara positif untuk mengatasi kekurangan
sumberdaya yang dihadapi pemerintah daerah. Karena itu, Perda 15/2003 ini
merupakan Perda yang tidak hanya menuntut inisiatif dari pemerintah namun
juga partisipasi dari warga dalam implementasinya.
Saran
1. Lebih kurang 8 (delapan) tahun usia Perda 15/2003, olehnya itu meminta
kepada Pemerintah Kota Kendari dan DPRD untuk segera mengevaluasi
implementasi PERDA 15/2003 yang bergerak lambat dan kemudian
melakukan perbaikan seperti sesegera mungkin menetapkan Draft Perwali
2010 guna menjamin partisipasi masyarakat dalam pembangunan di daerah.
2. Menegaskan kepada pemerintah daerah dan DPRD untuk segera membentuk
tim seleksi dan menetapan ketua dan sekretaris Komisi Partisipasi dan Komisi
Informasi Kota Kendari, sesuai amanat Perda 15/2003 jo. Perwali 1023/2007
dan Perda 14/2003, karena lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi yang
sangat bermanfaat bagi masyarakat secara khusus dan pemerintah daerah pada
umumnya.
3. Mendesak kepada pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi publik
khususnya dalam perencanaan pembangunan kepada masyarakat yang
memiliki kendala dalam mengakses informasi publik dalam upaya
meningkatkan kualitas pelaksanaan musrenbang di semua tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bake, J. 2009. Partisipasi, Transparansi, Akuntabilitas, Anggaran Negara,
Jakarta: FITRA
Dunn, W.N. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi kedua
(terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi,
Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Fanz Magnis-Suseno. 1987. Etika Politik Prinsipprinsi Moral dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta : PT Gramedia.
Lane, Jan-Erik. 1995. The Public Sector: Consepts, Models, and Approaches
(2nd.
edition.). London: SAGE Publications
Lele, G. 2006. Membangun Komunitas Kebijakan: Konsep, Urgensin dan
Implikasinya. Interaksi Jurnal Politik dan Manajemen Publik Volume I
Nomor 1, Maret 2006, halaman 168. Jurusan Ilmu Adm.Negara Fisipol
UGM, Yogyakarta.
Grindle, M.S. 1980. Policy Content and Context in Implementation, dalam
Mirelee Grindle (ed.), Politic and Policy Implementation in the Third
Word. New Jersey: Priceton.
Harian Kendari Pos Edisi, Edisi November 2010. Kota Kendari
Harian Kendari Ekspres, Edisi Selasa 12 Desember 2010.
JAPRUK. 2009. APBD Tidak Pro-Poor, Laporan Hasil evaluasi advokasi gender
budgeting yang dilakukan oleh Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk),
Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Transparansi Anggaran dan Asosiasi
Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPUK) dari 47 Kabupaten/ kota
yang tersebar diseluruh Indonesia.
Pramusinto, Agus. 2006. Kepemimpinan Birokrasi: Antara Visi dan Nurani.
Interaksi Jurnal Politik dan Manajemen Publik Volume I Nomor 1 Maret
2006, halaman 92-96. Jurusan Ilmu Adm.Negara Fisipol UGM,
Yogyakarta.
Parson, W. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis
Kebijakan. Jakarta: Prenada Media.
Sad Dian Utomo. 2003. “Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan”,
dalam Indra J. Piliang, Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi, Otonomi
Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : Penerbit Divisi Kajian Demokrasi
Lokal Yayasan Harkat Bangsa.
Sobari, W. 2006. Partisipasi Instrumental, Transformatif dan Elit Capture:
Analisis Structures and Meanings atas Argumen Kebijakan Partisipasi
Masyarakat dalam Pembangunan Daerah (Kasus Perda Partisipasi Kab.
Lebak). Dalam Justice for the Poor The Word Bank, Menggagas
Penyusunan dan Implementasi Perda yang Partisipatif, Transparan, dan
Akuntabel, hal. 149-165. Jakarta: Justice for the Poor The Word Bank,
Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah (YIPD), ADKASI.
Wibawa, Samodra. 2005. Reformasi Administrasi Negara “Bunga Rampai
Pemikiran Administrasi Negara/ Publik. Yogyakarta: Gaya Media
Winarno, B. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media
Pressido.
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang N0.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 tentang Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah.
Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 15 Tahun 2003 tentang Partisipasi
Masyarakat Dalam Perumusan Kebijakan Daerah di Kota Kendari.
Perwali Kota Kendari Nomor 1023 Tahun 2007 Tentang Partisipasi Masyarakat
Dalam Kebijakan Daerah.
Perwali Kota Kendari Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Penjabaran APBD 2010.
SEB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas No. 0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ.
Tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Website
www.kebebasaninformasi.org
www.pbet.org