Pengaruh Temperatur Karbonisasi Dan Konsentrasi Zink Klorida (ZnCl2) Terhadap Luas Permukaan
Karbon Aktif Eceng Gondok
Abu Akhmad B1, Diah Susanti
2, Hariyati Purwaningsih
2
1Mahasiswa jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS
2Dosen jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS
Abstrak Eceng gondok merupakan tumbuhan air yang dikenal sebagai limbah dan dapat menimbulkan berbagai
masalah. Untuk memanfaatkan eceng gondok, maka dalam penelitian ini, eceng gondok diolah menjadi karbon
aktif. Eceng gondok dikarbonisasi di furnace kedap udara pada temperature (300, 500, dan 700) oC selama 2 jam.
Selanjutnya, dilakukan aktifasi kimia dengan ZnCl2 pada konsentrasi 5% dan 30% selama 4 jam setelah sampel
dihaluskan lolos 120 mesh, kemudian diikiuti aktifasi fisika dengan steam pada temperature 700oC selama 2 jam di
furnace kedap udara. Setelah itu, dilakukan pengujian terhadap sampel hasil penelitian yang meliputi; uji SEM; uji
XRD dan uji bilangan Iodine. Dari hasil pengujian terlihat, luas permukaan karbon aktif paling tinggi sebesar
352.22 g/kg terdapat pada T=700oC dengan konsentrasi ZnCl2 30% dan bentuk morfologi tipis,rapuh berpori dan
kecil.
Kata kunci: karbon aktif; eceng gondok; karbonisasi; luas permukaan karbon aktif
1. PENDAHULUAN
Eceng gondok merupakan tumbuhan rawa atau
air, yang mengapung di atas permukaan air. Di
ekosistem air, enceng gondok ini merupakan
tanaman pengganggu atau gulma yang dapat
tumbuh dengan cepat (3% per hari). Pesatnya
pertumbuhan enceng gondok ini mengakibatkan
berbagai kesulitan seperti terganggunya
transportasi, penyempitan sungai, dan masalah lain
karena penyebarannya yang menutupi permukaan
sungai atau perairan.
Eceng gondok sangat sulit dikendalikan
populasinya karena pertumbuhannya sangat cepat
dan daya tahan hidupnya tinggi. Pertumbuhan
eceng gondok yang sangat cepat memerlukan
penanganan yang serius. Pemberantasan secara
mekanik, kimia, dan biologi di beberapa negara
tidak pernah memberikan hasil yang optimal.
Bahkan karena hal ini akan berdampak negatif (O
Sullivan C, dkk: 2010). Banyak dari perairan di
Indonesia yang ditumbuhi eceng gondok sebagai
gulma, terutama di Jawa, Kalimantan, dan
Sumatera. Bahkan Danau Sentani di Irian Jaya
sebagian permukaannya telah tertutup eceng
gondok (Tjondronegoro dan Pantjawarni, 1999).
Akibatnya, volume tampung sungai akan
berkurang dan dapat mengakibatkan banjir.
Untuk mengurangi permasalahan tersebut,
maka perlu dilakukan pembersihan sungai/saluran-
saluran air. Supaya enceng gondok ini tidak
menumpuk dan menjadi limbah biomassa, maka
dapat dilakukan suatu pemanfaatan alternatif
terhadap enceng gondok ini dengan
menjadikannya karbon aktif. Karbon aktif ini
memiliki banyak manfaat, seperti sebagai adsorben
cairan beracun,gas beracun, penyerap bau busuk,
penjernih air dan sebagainya (Ismadji,2000).
Disamping itu, karbon aktif banyak digunakan
sebagai katalis, kapasitor elektrokimia, baterai dan
sebagainya (Ismadji ,2000). Penggunaan karbon
aktif dalam industri telah menyebar luas, mulai
dari yang bersifat umum sampai untuk
penghilangan larutan berwarna maupun untuk
pemurnian gula.
Konsumsi karbon aktif dunia semakin
meningkat setiap tahunnya, misalkan pada tahun
2007 mencapai 300.000 ton/tahun. Sedangkan
negara besar seperti Amerika kebutuhan
perkapitanya mencapai 0,4 kg per tahun dan
Jepang berkisar 0,2 kg per tahun (Chand dkk,
2005). Hal ini berdampak pada harga karbon aktif
yang semakin kompetitif. Di pasaran dalam negeri
harga karbon aktif antara Rp 6.500/kg sampai Rp
15.000/kg tergantung pada kualitasnya (Pari,
2002). Bahkan di pasaran internasional karbon
aktif dengan bilangan iodine lebih besar 1.000
m2/gram dapat mencapai 20 dolar Amerika per
kilonya (Suzuki, 2007).
Metoda aktifasi yang umum digunakan
dalam pembuatan arang aktif adalah:
a. Aktifasi Kimia: proses pemutusan rantai
karbon dari senyawa organik dengan pemakian
bahan-bahan kimia
b. Aktifasi Fisika: proses pemutusan rantai
karbon dari senyawa organik dengan bantuan
panas, uap dan CO2
Untuk aktifasi kimia, aktifator yang
digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti:
hidroksida ligam alkali garam-garam karbonat,
klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan
khususnya ZnCl2 , asam-asam anorganik seperti
H2SO4 dan H3PO4 .
Untuk aktifasi fisika, biasanya arang
dipanaskan didalam furnace pada temperatur 800-
900°C. Oksidasi dengan udara pada temperatur
rendah, merupakan reaksi eksoterm sehingga sulit
untuk mengontrolnya. Sedangkan pemanasan
dengan uap atau CO2 pada temperatur tinggi
merupakan reaksi endoterm, sehingga lebih mudah
dikontrol dan paling umum digunakan.
Beberapa bahan baku lebih mudah untuk
diaktifasi jika diklorinasi terlebih dahulu.
Selanjutnya dikarbonisasi untuk menghilangkan
hidrokarbon yang terklorinasi dan akhimya
diaktifasi dengan uap. Juga memungkinkan untuk
memperlakukan arang kayu dengan uap belerang
pada temperatur 500°C dan kemudian desulfurisasi
dengan H2 untuk mendapatkan arang dengan
aktifitas tinggi.
Dalam beberapa bahan barang yang diaktifasi
dengan percampuran bahan kimia, diberikan
aktifasi kedua dengan uap untuk memberikan sifat
fisika tertentu barang tidak dikembangkan oleh
aktifasi kimia.
Cheremisinoff dan AC. Moressi,
mengemukakan bahwa proses pembuatan arang
aktif terdiri dari tiga tahap yaitu:
a. Dehidrasi: proses penghilangan air.
Bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170 °C.
b. Karbonisasi: pemecahan bahan-bahan
organik menjadi karbon. Temperatur
diatas 170 °c akan menghasilkan CO, CO2 dan
asam asetat. Pada temperature 275 °C,
dekomposisi menghasilkan tar, metanol dan hasil
sampingan lainnya. Pembentukan karbon terjadi
pada temperatur 400 – 600 0C
c. Aktifasi: dekomposisi tar dan perluasan pori-
pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2
sebagai aktifator.
Woodroof, berpendapat bahwa bila
tempurung kelapa dipanaskan pada temperatur
yang cukup tinggi tanpa berhubungan dengan
udara, akan terjadi rangkaian penguraian dari
senyawa-senyawa kompleks yang merupakan
komponen utama tempurung. Dan dihasilkan tiga
bentuk zat, yaitu: padatan, cair, gas.
Samaniego dan A.I de Leon, telah
mencoba membuat arang aktif dari beberapa
macam bahan buangan, seperti: sekam, dedak,
tempurung kalapa dan lain-lain. Bahan baku yang
telah dihancurkan dan dikeringkan, didestilasi
dalam electric muflle furnace. Destilasi
berlangsung sampai tidak ada destilat yang
mengalir dari alat pendingin. Arang yang
dihasilkan, selanjutnya diaktifasi dengan
menggunakan bahan kimia yang berbeda, antara
lain: HCl, HNO3, H2SO4, H3PO4, NaOH, NaCI,
KCI, ZnCl2 dan CaCl2. Selanjutnya campuran
arang dan aktifator dipanaskan pada temperatur
dan waktu tertentu. Hasil yang diperoleh, diuji
daya serapnya terhadap larutan odine. Dari
percobaan yang dilakukan, ternyata daya serap
arang aktif ditentukan oleh jenis bahan dasar dan
aktifaktor yang digunakan.
Widjaja, AP dan D. Somaatmadja telah
melakukan percobaan arang aktif dari tempurung
kelapa dengan menggunakan alat destilasi kering
yang khusus dirancang untuk arang aktif.
Berdasarkan hasil percobaan dinyatakan bahwa
peratur dan lama destilasi mempunyai pengaruh
terhadap jumlah arang, jumlah destilat serta daya
serap arang yang dihasilkan. Dengan bertambah
lamanya destilasi serta bertambah tingginya
temperatur destilasi, mengakibatkan jumlah arang
yang dihasilkan semakin kecil, sedangkan destilasi
dan daya serap makin besar. Untuk mendapatkan
arang aktif dan destilasi kering, dianjurkan pada
temperatur 600°C selama 3 jam. Dalam percobaan
tersebut tidak digunakan aktifator baik yang
berupa bahan kimia ataupun uap.
Pohan, H. G; dkk, telah mencoba untuk
membuat arang aktif dengan cara destilasi kering
arang tempurung kelapa. Arang didestilasi pada
temperature 600°C selama 3 jam dan dilanjutkan
dengan aktifasi dengan mengalirkan uap pada
temperatur 125°C selama 2 jam. Dari hasil yang
diperoleh, ternyata pengaruh perlakuan yaitu
destilasi pada temperatur 600°C selama 3 jam dan
pengaliran uap pada temperatur 125 0C selama 2
jam terhadap daya serap arang aktif adalah nyata.
Pengaruh perlakuan memberikan kenaikan daya
serap arang.
Oleh karena itu, maka penelitian ini
dilakukan guna memanfaatkan limbah eceng
gondok menjadi karbon aktif yang diharapkan
akan lebih berdaya guna dan data-data dari
penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan
referensi dalam penelitian lain yang relevan.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Preparasi spesimen disini adalah pengeringan
spesimen dibawah sinar matahari langsung..
Kemudian spesimen dipotong dengan ukuran 1-3
mm, lalu di haluskan dengan blender sampai
ukuran 0.5-1 mm. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan dalam pengerjaan selanjutnya, dalam
hal ini adalah proses dalam furnace.
Selanjutnya, spesimen dikeringkan kembali
sebelum di uji proximate. Pengeringan kembali
dilakukan pada temperature 110oC dan holding
time selama 24 jam. Setelah proses dehidrasi dan
perlakuan terhadap spesimen sama, maka
dilakukan uji proximate. Tujuan dari pengujian ini
untuk mengetahui kandungan fixed carbon,
volatile matter, ash content serta moisture content
dari sampel sebelum diaktifasi.
Preparasi
spesimen
Proses karbonisasi pada
T=(300,500,700)oC, t=2 jam pada
furnace kedap udara
start
Pencucian karbon aktif dengan
aquades, dilanjutkan dengan
pengeringan sampel pada T=100oC
t= 4 jam
Aktifasi kimia menggunakan ZnCl2
pada T=80oC selama 4 jam dengan
variabel 5% dan 30% ZnCl2
pemanasan
spesimen pada
T=110oC selama
24 jam
Aktifasi fisika dengan
steam pada
T=300,500,700oC, t= 2
jam
Uji XRD
Uji
proximate
Uji Iodine
NumberUji SEM
Analisa data dan
pembahasan
hasil
end
. Gambar 1 Diagram alir penelitian
Kemudian dilakukan pengarangan atau
proses karbonisasi didalam furnace kedap udara
pada temperatur 300oC, 500
oC, dan 700
oC dengan
waktu tahan selama 2 jam. Dengan bertambah
lamanya karbonisasi atau holding time serta
bertambah tingginya temperatur karbonisasi maka
akan mengakibatkan jumlah arang yang dihasilkan
semakin kecil. Selama proses ini, furnace dalam
keadaan kedap udara, agar arang aktif terbentuk
maksimal.
Langkah selanjutnya, spesimen
didinginkan didalam furnace hingga mencapai
temperatur kamar lalu dihaluskan sampai lolos 120
mesh dan kemudian dilakukan aktifasi kimia
menggunakan aktifier ZnCl2. Hal ini dilakukan
berdasarkan penelitian Sembiring (2003),
pembuatan karbon aktif dari ragi roti paling baik
hasilnya bila menggunakan aktifier kimia seng
klorida. Berdasarkan hal itu, maka dipilihlah ZnCl2
sebagai aktifier dengan perbandingan 1:10
(arang:ZnCl2 dalam bentuk cair) dengan 5% dan
30% berat ZnCl2. Pada proses aktifasi kimia, arang
direndam di stirrer magnetik selama 4 jam pada
temperatur 100oC lalu ditiriskan (Tan I.W, dkk,
2007).
Hal selanjutnya yang dilakukan setelah
proses aktifasi kimia adalah pencucian karbon aktif
dari pengotor pada proses aktifasi. Hal ini
dilakukan karena proses aktifasi kimia biasanya
juga dihasilkan pengotor berupa sisa-sisa oksida
yang tidak larut dalam air dan pengotor yang larut
dalam air waktu penyucian.
Untuk itu, biasa dipakai aquades sebagai
pencuci. Setelah spesimen terpisahkan dari
pengotor nya, maka dilakukan aktifasi secara
fisika. Hal ini dilakukan karena aktifasi kimia
kemudian dilanjutkan dengan aktifasi fisika
cenderung menghasilkan luas permukaan yang
besar tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal
(Meilita, Tuti 2003). Dalam proses ini, spesimen
hasil aktifasi kimia di steam pada temperature
700oC. Aktifasi ini untuk memperbesar luas
permukaan karbon. Pada temperature tersebut,
dilakukan holding selama 2 jam (Tan I.W, dkk,
2007).
Setelah itu dilakukan pendinginan didalam
furnace hingga mencapai temperature kamar.
Kemudian akan dihasilkan sampel dari proses ini.
Sampel ini yang nantinya akan diamati.
Setelah semua proses selesai, dilakukan
pengujian-pengujian pada sampel. Sampel yang
telah kering, kemudian di uji dengan X-ray
difraction (XRD) untuk mengetahui senyawa dan
atau unsur yang terkandung dalam sampel;
Scanning Electron Microscope (SEM) untuk
menganalisis morfologi dan ukuran partikelnya;
Analisa Iodine untuk mengetahui luas permukaan
aktifnya berdasarkan daya serapnya terhadap
iodine dalam likuid.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum proses karbonisasi dan aktivasi,
eceng gondok kering yang sudah dihaluskan
dengan mixer hingga ukuran 1-3 mm dikeringkan
kembali dalam furnace kedap udara pada
temperatur 110oC selama 24 jam dan ditunggu
hingga temperatur kamar sebelum dikeluarkan.
3.1 Uji Proximate
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui
kandungan dari eceng gondok yang digunakan
sebagai bahan utama dalm proses pembuatan
karbon aktif. Pengujian proximate ini
menggunakan standar ASTM E 870-82. Sampel
yang digunakan dalam pengujian ini adalah eceng
gondok kering yang dikeringkan kembali dalam
furnace kedap udara pada temperatur 110oC
selama 24 jam dan ditunggu hingga temperatur
kamar sebelum dikeluarkan.
Tabel 1 Hasil Uji Proximate
Parameter Satuan Hasil
analisa Methode
Moisture
Content
% 8.78 Gravimetri
Volatile
matter
% 6.48 Gravimetri
Ash Content % 12.72 Gravimetri
Fixed
karbon
% 72.02 Calculation
Dari hasil tersebut terlihat bahwa fixed
karbon dari eceng gondok sangat tinggi, dengan
demikian eceng gondok sangat berpotensi untuk
dijadikan karbon aktif dalam masa yang akan
datang. Fixed karbon dari eceng gondok melebihi
dari tempurung kelapa yang sekitar 18.60% (dalam
keadaan sebelum difurnace dan sampel bukan
serbuk). Jika sampel dalam keadaan serbuk, maka
ash content menurun dan fix karbon meningkat
jika sudah difurnace.
3.2 Proses Karbonisasi
Setelah dilakukan proses pengeringan
kembali dan dilakukan pengujian proximate,
sampel eceng gondok selanjutnya dikarbonisasi.
Karbonisasi adalah proses pemanasan dengan
keadaan oksigen sangat terbatas sehingga akan
terbentuk karbon. Dari proses ini sebenarnya sudah
dihasilkan karbon aktif tetapi luas permukaannya
kecil sehingga daya serapnya kecil juga.
Proses karbonisasi dilakukan didalam
furnace. Serbuk eceng gondok yang telah
dikeringkan kembali di wadahi beaker glass
kemudian beaker glass tersebut ditutup dengan
aluminium foil dan ditutup cawan petri supaya
kedap udara. Selanjutnya beaker glass dimasukkan
kedalam furnace dengan variasi temperatur 300oC,
500oC, dan 700
oC dengan waktu tahan 2 jam pada
masing-masing variasi temperatur. Proses
annealing dilakukan pada spesimen setelah selesai
waktu holdingnya. Dari proses ini akan didapatkan
sampel seperti gambar dibawah ini.
Dari Gambar 2, terlihat perbedaan
perlakuan temperatur mempengaruhi bentuk dan
warna karbon aktif yang dihasilkan. Pada
temperatur 300oC, karbon yang dihasilkan
memiliki warna yang lebih terang dari pada karbon
aktif yang dihasilkan pada temperatur 500oC. Dari
gambar juga terlihat bahwa temperatur 700oC
menghasilkan warna karbon yang paling hitam
atau gelap dan karbon aktif akan semakin rapuh,
kecil dan hancur ketika temperature dinaikkan.
Gambar 2 Hasil proses karbonisasi
Dari percobaan diatas, didapatkan tiga
sampel dengan data-data dibawah ini. Dari data-
data tersebut didapatkan hubungan bahwa semakin
tinggi temperatur karbonisasi, maka karbon aktif
yang dihasilkan semakin sedikit. Akan
tetapi,secara visual terlihat bahwa semakin tinggi
temperatur karbonisasi, karbon aktif yang
dihasilkan semakin hitam pekat.
Dari gambar 2 dan Gambar 3 terlihat
bahwa semakin kecil karbon aktif yang dihasilkan
maka warna karbon cenderung lebih hitam pekat.
Hal tersebut memiliki arti bahwa karbon aktif
tersebut memiliki kemampuan menyerap semakin
besar seiring bertambahnya temperatur
karbonisasi. Daya serap akan semakin besar karena
jika temperatur semakin tinggi maka air, tar dan
volatile yang terkandung dalam karbon aktif akan
semakin berkurang, hal tersebut dibuktikan dengan
semakin sedikitnya karbon aktif yang dihasilkan.
Karbon aktif pada temperatur 300oC memiliki
volatile dan tar lebih banyak daripada pada
temperatur 700oC. Akan tetapi, tar dan volatile
biasanya masih ada setelah dilakukan proses
karbonisasi, akan tetapi jumlahnya berkurang
T=700oC
T=300oC
T=500oC
daripada sebelum dikarbonisasi. Sehingga
dilakukan proses aktivasi kimia untuk mengurangi
dan atau menghilangkan tar dan volatile sisa
proses kabonisasi supaya karbon aktif memiliki
daya serap yang optimal
Gambar 3 Grafik hubungan persentase karbon aktif
dengan temperature karbonisasi.
3.3 Aktifasi Kimia
Hasil dari proses karbonisasi biasanya
masih memiliki luas permukaan aktif yang kecil
karena masih banyak volatil dan tar yang
terperangkap dalam karbon sehingga menutupi
karbon aktif dan membatasi daya adsorb dari
karbon tersebut karena karbon masih berikatan
dengan volatil dan atau tar.
Sehingga dilakukan proses aktivasi kimia
dengan tujuan untuk menghilangkan volatil dan tar
yang tersisa sehingga karbon benar-benar bebas
dan luas permukaannya pun semakin besar.
Sampel hasil karbonisasi tersebut
selanjutnya dihaluskan hingga lolos 120 mesh
sebelum dilakukan aktivasi kimia. Pada aktivasi
kimia, aktifier yang digunakan adalah zink klorida
(ZnCl2). Pada aktivasi kimia, dilakukan dua variasi
yakni 5% ZnCl2 dan 30% ZnCl2. Dalam proses
ini,digunakan perbandingan 1:10 antara karbon
aktif dan air. Pada proses ini, alat yang digunakan
adalah hot plat magnetic stirrer dengan putaran
200 rpm dan temperatur 80oC serta waktu tahan 4
jam.
Setelah aktivasi selesai, dilakukan proses
netralisasi pada hasil aktivasi kimia tersebut.
Proses ini bertujuan untuk menghilangkan
pengotor hasil aktivasi kimia. Proses penetralan
dilakukan dengan pencucian sampel secara
berulang-ulang menggunakan aquades sampai
aquades jernih atau mendekati pH normal. Setelah
penetralan selesai, dilakukan pengeringan sampel
pada T=100oC selama 4 jam hingga sampel kering.
Proses pengeringan sampel dilakukan di hot plate.
Gambar 4 Hasil Aktivasi Kimia
Hal yang harus diperhatikan dalam proses
aktivasi kimia adalah saat pencucian atau
penetralan. Jika pencucian kurang bersih,maka
karbon akan berikatan dengan aktifier dan akan
menjadikan luas permukaan karbon aktif menjadi
berkurang atau menjadikan volume karbon aktif
yang dihasilkan dari proses ini akan menjadi
berkurang.
Hal yang mengindetifikasi bahwa sampel
sudah netral adalah dengan pH meter. Namun
dalam penelitian ini, parameter penetralan adalah
kejernihan dari aquades sebagai pencuci. Jika
aquades jernih seperti aquades awal, maka sampel
dianggap netral.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa semakin
tinggi temperatur karbonisasi maka karbon yang
dihasilkan semakin halus dan proses pencucian
akan semakin cepat. Disisi lain, secara visual
terlihat bahwa penambahan persen aktifier akan
meningkatkan kepekatan warna dari karbon aktif
tersebut, hal ini berarti volatile dan tar yang tersisa
85.2
51.4
28.2
0
20
40
60
80
100
0 300 600 900
PER
SEN
KA
RB
ON
(%
)
TEMPERATURE (oC)
T=700oC, 5% T=700
oC, 30%
T=300oC, 5% T=300
oC, 30%
T=500oC, 5% T=500
oC, 30%
dari proses karbonisasi akan lebih mudah berikatan
dengan aktifier. Akan tetapi ada batas maksimal
dalam hal penentuan persen aktifier. Dimana jika
persen aktifier melebihi jumlah tar dan volatile
yang terkandung dalam karbon, maka aktifier
justru akan menjadi pengotor dipermukaan karbon
dan akan mengakibatkan luas permukaan karbon
aktif berkurang.
3.4 Aktifasi Fisika Tujuan dari aktivasi fisika adalah untuk
mengusir tar dan volatile yang masih melekat pada
sampel hasil aktivasi kimia. Hal ini dilakukan
karena sampel hasil aktivasi kimia biasanya masih
meninggalkan volatile dan tar walaupun jumlahnya
lebih kecil daripada saat proses karbonisasi.
Selanjutnya, sampel kering hasil aktivasi
kimia di aktivasi fisika dengan cara steam. Steam
adalah proses pembesaran luas permukaan karbon
aktif dengan cara penguapan. Autoclave digunakan
sebagai alat dalam proses ini. Sampel kering hasil
aktivasi kimia dimasukkan kedalam crussibel
kemudian crussibel tersebut dimasukkan kedalam
autoclave. Didalam autoclave terdapat 2 bagian
yakni bagian atas tempat crussibel dan bagian
bawah tempat air. Kedua bagian tersebut
dipisahkan oleh saringan yang terbuat dari
tembaga. Selanjutnya, autoclave ditutup
sedemikian rupa hingga autoclave tersebut kedap
udara. Tujuan pengkedapan ini adalah untuk
meminimalisir oksigen sehingga proses penguapan
yang terjadi diiringi dengan oksigen yang terbatas
sehingga karbon aktif yang dihasilkan optimal.
Proses aktivasi fisika dilakukan didalam
furnace pada temperatur 700oC selama 2 jam.
Selanjutnya dilakukan annealing pada proses
tersebut.
Dari Gambar 4.5 terlihat bahwa semakin
tinggi temperatur karbonisasi maka karbon aktif
hasil proses aktivasi fisika juga semakin hitam
pekat dan powder karbon aktif akan semakin halus.
Ini menandakan bahwa luas permukaan kontak
karbon akan semakin besar karena lebih kecil
ukurannya dan semakin tipis.
Dalam proses ini, penting memperhatikan
kekedapan autoclave karena jika terlalu kaya
oksigen, maka kemungkinan senyawa baru akan
terbentuk karena volatile dan atau tar akan
berikatan dengan oksigen atau hydrogen atau
nitrogen. Hal tersebut akan berpengaruh juga
terhadap luas permukaan kontak karbon aktif yang
dihasilkan.
Gambar 5 Hasil proses aktivasi fisika.
3.5 Hasil SEM
Gambar 6 Hasil uji SEM konsentrasi aktifier 30%,
A) 700; B) 500; C) 300 perbesaran 2.500X
Gambar 7 Hasil uji SEM konsentrasi aktifier 30%,
A) 700; B) 500; C) 300 perbesaran 1000X
Gambar 8 Hasil uji SEM konsentrasi aktifier 5%,
A) 700; B) 500; C) 300 perbesaran 1000X
700oC, 30%
500oC, 30% 300oC, 30%
A B C
C B A
A C B
Gambar 9 Hasil uji SEM konsentrasi aktifier 5%,
A) 700; B) 500; C) 300 perbesaran 2.500X
Dari gambar hasil uji SEM diatas, secara
umum terlihat bahwa T=300oC memiliki luas
permukaan yang paling besar dan tebal, kemudian
T=500oC memiliki luas permukaan yang lebih
besar daripada T=700oC. Dari hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa pada karbonaktif eceng
gondok, luas permukaan terbesar terjadi saat
temperatur 300oC dan temperatur terkecil terjadi
saat 700oC. Temperatur transisi pada karbon aktif
eceng gondok terjadi pada temperatur diatas
700oC. Temperatur transisi erat kaitannya dengan
luas permukaan karbon aktif dan jumlah karbon
aktif yang dihasilkan.
Karbon aktif yang dihasilkan paling
sedikit saat T=700oC tetapi memiliki luas
permukaan aktif yang semakin besar karena
buntuknya semakin rapuh, tipis dan berpori juga
semakin kecil sehingga daya kontak karbon akan
semakin besar. Dari gambar juga terlihat bahwa
penambahan konsentrasi pada aktifier yang sama
membuat sampel karbon aktif menjadi lebih
transparan atau tipis sehingga daya kontak karbon
akan semakin besar. Hal ini menandakan bahwa
volatile dan tar semakin terlepas dari karbon
karena adanya aktifier tadi. Hal tersebut akan
berakibat pada semakin besarnya luas permukaan
aktif dari eceng gondok tersebut. Penambahan
konsentrasi dari 5%-30% memiliki hubungan lurus
dengan luas permukaan aktif eceng gondok
tersebut.
3.6 Hasil Uji XRD
Dari gambar data analisa uji XRD
didapatkan bahwa, senyawa yang terbentuk pada
puncak tertinggi adalah ZnO. Dari semua data
hasil uji XRD didapatkan bahwa karbon (C) tidak
memiliki puncak tertinggi. Senyawa lain yang
terbentuk adalah selulosa atau lignin yang berupa
C2H12N6O8S2Zn dan C6H12N2S8 serta selulosa
yang troksidasi yang berupa C10H16N6O19.
Dalam penelitian ini, karbon murni yang
terbentuk sedikit sehingga mengakibatkan volume
karbon yang dihasilkan akan sedikit pula.
Terbentuknya karbon yang sedikit diakibatkan
karena terbentuknya senyawa karbon dan bahkan
terbentuk senyawa yang tidak diinginkan seperti
ZnO dan lain-lain.
Kurang maksimalnya karbon murni yang
terbentuk diakibatkan kurang maksimalnya dalam
proses pencucian. Dalam aktivasi kimia, aktifier
yang digunakan adalah Zink Klorida. Seperti
dijelaskan dalam proses aktivasi kimia, hal yang
paling penting dalam proses tersebut selain
konsentrasi aktifier adalah proses pencucian atau
penetralan. Jika proses pencucian tidak maksimal,
maka kemungkinan akan ada aktifier sisa
aktivasi,tar dan atau volatile sisa aktivasi kimia.
Melihat senyawa-senyawa yang terbentuk, maka
dapat disimpulkan bahwa pencucian kurang bersih
sehingga sisa aktifier masih ada dalam karbon.
Jadi, harus menggunakan pH meter atau alat
pengukur penetralan agar hal tersebut tidak tidak
terjadi.
Dalam penelitian ini, alat pengukur
kenetralan aquades menggunakan kesamaan visual
dari aquades sebelum dan sesudah digunakan
sebagai pencuci.
Karena terdapatnya aktifier sisa aktivasi
dalam proses kimia, maka hal tersebut juga
berpengaruh terhadap proses aktivasi fisika.
Senyawa ZnO terbentuk akibat adanya unsure Zink
Klorida pada karbon hasil aktivasi kimia dan
selanjutnya senyawa tersebut bereaksi dengan
oksigen yang terbatas yang terdapat dalam
autoclave sehingga terbentuk ZnO dan gas Cl2
yang menguap. Adanya ketidaksempurnaan dalam
proses aktivasi kimia juga akan berpengaruh
terhadap proses selanjutnya dan hasil karbon aktif
yang dihasilkan.
Senyawa ZnO dan senyawa C akan
menjadi volatile dan tar pada permukaan karbon
sehingga menghalangi karbon untuk mengikat
unsure atau senyawa yang ada disekitarnya. Hal
tersebut mengakibatkan luas permukaan aktif
karbon akan berkurang karena adanya ZnO dan
senyawa C. Senyawa karbon yang terbentuk
merupakan dampak tidak optimalnya proses
karbonisasi.
Seperti dijelaskan diatas, tujuan proses
karbonisasi antara lain untuk menguraikan
senyawa hidrokarbon seperti selulosa dan
hemiselulosa agar menjadi karbon murni. Hal
tersebut terjadi karena pada saat proses
karbonisasi, jumlah oksigen masih banyak
sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap proses
pemotongan hidrokarbon. Dibutuhkan tekanan dan
kalor yang tinggi untuk memutuskan rantai
hidrokarbon sehingga semakin banyaknya oksigen
yang masuk maka tekanan akan semakin menurun
dan hidrokarbon tidak terputus secara optimal.
Dampak dari hal itu akan berpengaruh
terhadap jumlah volatile dan tar yang terbentuk.
Tar dan volatile akan cenderung menurun jika
pemutusan tidak optimal.
A B C
Keterangan: =C2H12N6O8S2Zn
=ZnO
=C
=C10H16N6019
=C6H12N2S4
20 40 60 80
inte
nsita
s r
ela
tif
2theta
700; 5%
500; 5%
300; 5%
20 40 60 80
inte
nsita
s r
ela
tif
2theta
700;30%
500;30%
300;30%
20 40 60 80
inte
nsitas r
ela
tif
2theta
300; 5%
300, 30%
20 40 60 80
inte
nsi
tas
rela
tif
2theta
500; 5%
500; 30%
20 40 60 80
inte
nsita
s r
ela
tif
2theta
700; 5%
700; 30%
Gambar 4.13 Hasil uji XRD karbon aktif dengan temperatur karbonisasi 500oC dan konsentrasi aktifier 5% dan 30%
Gambar 4.11 Hasil uji XRD untuk temperature (700,500,300)oC dengan
konsentrasi ZnCl2 30%
Gambar 4.10 Hasil uji XRD untuk temperature (700,500,300)oC dengan
konsentrasi ZnCl2 5%
Gambar 4.12 Hasil uji XRD karbon aktif dengan temperatur
karbonisasi 300oC dan konsentrasi aktifier 5% dan 30%
Gambar 4.14 Hasil uji XRD karbon aktif dengan temperatur
karbonisasi 700oC dan konsentrasi aktifier 5% dan 30%
3.7 Hasil Iodine Number Pengujian bilangan iodine dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan karbon aktif dalam menyerap iodine.
Dari pengujian ini, didapatkan data-data tentang
luas permukaan aktif eceng gondok. Data-data
tentang luas permukaan aktif eceng gondok dapat
dilihat dalam table 2 dibawah ini.
Dari table 2 dapat diplot beberapa grafik yang
menyatakan keterkaitan antara temperatur
karbonisasi, konsentrasi aktifier zink klorida dan
bilangan iodine.
Tabel 2 Hubungan iodine number; temperatur
karbonisasi dan konsentrasi aktifier Zink Klorida
Dari gambar diatas secara umum dapat
dijelaskan bahwa pada konsentrasi aktifier ZnCl2
yang sama, semakin tinggi temperatur karbonisasi
maka bilangan iodine nya akan semakin besar.
Secara umum, kenaikan konsentrasi aktifier ZnCl2
akan mengakibatkan kenaikan bilangan iodine
pada temperature yang sama.
Akan tetapi, penambahan konsentrasi
pada setiap temperature memiliki batas transisi
juga, sama halnya dengan temperature
karrbonisasi.
Terlihat bahwa bilangan iodine tertinggi
dicapai pada temperatur 700oC dengan konsentrasi
aktifier zink klorida sebesar 30%, yakni sebesar
352.22 gr/kg dan pada temperatur 300oC dengan
konsentrasi aktifier 30% memiliki bilangan iodine
yang terkecil. Hal tersebut menandakan luas
permukaan aktif paling besar terjadi saat
temperatur karbonisasi 700oC dan konsentrasi
aktifier 30% sedangkan luas permukaan aktif
paling kecil terjadi saat temperatur 300oC dengan
konsentrasi aktifier 30%.
Menurut SII No.0258 -79, karbon pada
penelitian ini dapat dikatakan karbon aktif karena
sudah mencapai standard batas minimal karbon
aktif tetapi luas permukaan aktifnya masih tidak
terlalu besar. Applikasi jenis karbon aktif pada
penelitian ini lebih cocok untuk adsorben larutan
dan untuk aplikasi lain seperti penjernih air dll.
Bahkan berdasarkan standar bilangan iodine untuk
karbon aktif (200 mg/g), maka semua hasil
penelitian ini dapat dikatakan karbon aktif.
Gambar 4.15 Grafik Hubungan iodine number;
temperatur karbonisasi dan konsentrasi aktifier
Zink Klorida
Hal tersebut dikarenakan semakin besar
konsentrasi aktifier maka larutan akan semakin
pekat sehingga larutan aktifier akan lebih mudah
untuk mengikat tar dan volatile hasil proses
karbonisasi. Akibatnya karbon aktif akan semakin
kekurangan tar dan volatile yang ikut terbuang saat
pencucian dilakukan, sehingga karbon aktif akan
semakin bebas dan memiliki luas permukaan aktif
yang semakin besar.
Semakin tingginya temperatur karbonisasi
akan mengakibatkan tekanan dalam wadah
semakin tinggi, sehingga akan memudahkan
pemutusan rantai karbon. Pemutusan rantai karbon
akan berakibat pada semakin banyaknya volatile
dan tar yang terbentuk. Peristiwa tersebut juga
akan diikuti dengan semakin banyak karbon aktif
yang terbentuk. Hal tersebut menjadi berakibat
pada bertambah besarnya luas permukaan aktif
karbon pada konsentrasi aktifier yang sama.
285.14 329.23 338.6
279.86
329.34 352.22
300 500 700
bila
nga
n io
din
e r
ela
tif
Temperatur (oC)
bilangan iodine ZnCl2 30% (gr/kg)
bilangan iodine ZnCl2 5% (gr/kg)
KODE
Konsentrasi
Aktifier
(%)
Temperatur
(oC)
Iodine
Number
(gr/kg)
ZnCl2
300;5% 5 300 285.14
ZnCl2
300;30% 30 300 279.86
ZnCl2
500;5% 5 500 329.23
ZnCl2
500;30% 30 500 329.34
ZnCl2
700;5% 5 700 338.60
ZnCl2
700;30% 30 700 352.22
4. KESIMPULAN
1. Semakin tinggi temperature karbonisasi
maka luas permukaan karbon aktif eceng
gondok yang dihasilkan relatif semakin
besar tetapi jumlah karbon aktif yang
dihasilkan semakin sedikit.
2. Semakin besar konsentrasi zink klorida
(ZnCl2) maka luas permukaan karbon aktif
eceng gondok akan relatif semakin besar.
3. Luas permukaan karbon aktif terbesar
adalah 352.22 g/kg dan dicapai saat
temperature 700oC dengan konsentrasi
aktifier ZnCl2 30%
DAFTAR PUSTAKA
1) Salamah, S. 2001. Pembuatan Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa dengan
Perlakuan Karbonat; Prosiding Seminar
Nasional “Kejuangan” Teknik Kimia,
Yogyakarta; Yogyakarta.
2) Sariawan,N.R dan Wahyu, Arief.M. 2005.
Pembuatan Arang Aktif dari Jerami Padi
Sebagai Adsorbent; Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknologi Industri,
UPN’Veteran” Yogyakarta; Yogyakarta
3) Sembiring, Sinaga, 2003, Arang Aktif
(Pengenalan dan Proses Pembuatannya);
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara; Sumatera
Utara.
4) Tan,I.,A.W., Ahmad,A.L., Hamed,B.I.,
2007, Optimization of Preparation
Condition for activatied Carbon from
Coconut Husk; Chemical Enginering
Journal, P. 1 -32, USM Malasyia.
5) Allport, H. Burnham. 1977. Activated Carbon, Encyclopedia of Science and
Technology, Mc Graw Hill Book
Company, v 1:69; New York
6) Anonymous .1979, Mutu dan Cara Uji
Arang Aktif, Standar lndustri Indonesia,
No. 0258-79, Departemen Perindustrian
RI : 1-2; Jakarta.
7) Anonymous. 1982. Prototipe Alat Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair
Tempurung; Badan Penelitian dan
Pengembangan lndustri, Dept.Perindusutrian RI : 1-7; Jakarta.
8) Azan, Dahlius; Rudyanto, J. S. 1983.
Pembuatan Karbon Akin dari Tempurung
Inti Sawit; Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri, Medan: 7-15;
Medan.
9) Cheremisinoff; Morresi. 1978. Carbon
Adsorption Applications, Carbon Adsorption Handbook; Ann Arbor Science
Publishers, Inc, Michigan; 7-8; Michigan.
10) Field, Joseph. H. 1977. Charcoal,
Encyclopedia of Science and Technology;
Mc Graw-Hill Book Company, V3 :15;
New York.
11) Pohan, H.g; dkk. 1984/1985. Pengembang
Pembuatan Arang Aktif Tahap II dari
Tempurung Kelapa; Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Industri
Hasil Pertanian; Bogor. 12) Samaniego, R; A. I de Leon. 1940.
Activated Carbon From Some
Agricultural Waste Products; The
Philippine Agriculturist; Filipina.
13) Widjaja A.P; Darjo, S. 1980, Pembuatan
Arang Aktif dengan cara destilasi Kering
Tempurung II; Komunikasi Balai
Penelitian Kimia Bogor, no. 190:2-22;
Bogor.
14) O’Sullivan C, Rounsefell B, Grinham A,
William C, Udy J.2010. Anaerobic digestion harvested aquatic weeds: water
hyacinth (Eichhornia crassipes), cabomba (Cabomba Caroliniana) and savinia
(Salvinia molesta). Ecol Eng; Inggris.
15) Su H, Cheng J, Zhou J, Song W, Cen K.
2010. Hydrogen production from water
hyacinth through dark- and photo-
fermentation n.Int J Hydrogen Energy;
Inggris.
16) Tjondronegoro dan Pantjawarni, 1999,
Dampak Eceng gondok di Indonesia;
Jakarta.
17) Ismadji, 2000, Proses pembuatan dan manfaat karbon aktif; Universitas Katolik
Widya Mandala; Surabaya.
18) Joedodibroto. 1983. Kandungan kimia
limbah tumbuhan air; Jakarta.
19) Wei Li dkk. 2008. Sintesis and characterization of activated carbon.
Taiwan.
20) Widowati. 2003. Pengaruh proses
pembuatan karbon aktif terhadap
komposisi kimia karbon aktif. Semarang.
21) Hasani. 1996. Pembuatan arang aktif
konvensional. Jakarta.
22) Melita dan Tuti. 2003. Pengenalan dan proses pembuatan arang aktif; Universitas
Sumatera Utara; Sumatera Utara.