AKUNTABILITAS PADA INSTITUSI WAKAF: STUDI KASUS PADA
WAKAF DAARUT TAUHIID
Hidayatul Ihsan 1)
, Eliyanora 2)
,Yossi Septriani 3)
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Padang
Kampus Limau Manis, Padang
e-mail: [email protected])
Abstract
There is a growing awareness in the revitalisation of waqf institution in the last few years, with Muslim
communities around the world putting it as an important agenda. Along with this awareness, there is a call
for greater accountability of the trustee in managing waqf. Although nobody disputes the importance of
accountability, as far as waqf study is concerned, there is a lack of empirical evidence regarding how
accountability operates within waqf context. Few attempts actually have been made to address accountability
issue in waqf. However, most of previous studies only focused on accounting. In fact, accountability is
broader than that. This study, therefore, seeks to investigate the accountability practice in waqf institution in
more comprehensive manner. In so doing, an interpretive case study was conducted in one Indonesian waqf
institution, i.e. Daarut Tauhiid. Data was generated through in-depth interviews, observations and document
reviews. Moreover, thematic analysis was employed as analytical tool. The way trustee discharged
accountability was examined within the non-profit and non-governmental organisations accountability
frameworks. The framework encompasses mechanisms of accountability and holistic accountability. This
study found that trustee perceived accountability more than reporting and accounting. Therefore, trustee
used various mechanisms to show accountability to different group of stakeholders.
Keywords: waqf, accountability, mechanisms of accountability, holistic accountability
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Penelitian
Isu tentang revitalisasi institusi wakaf (jamak: awkaf) telah menjadi agenda bersama di banyak negara
Muslim dalam satu dekade terakhir. Ide untuk memberdayakan kembali wakaf mendapatkan respon positif
dari banyak pihak. Adalah Islamic Research and Training Institute - Islamic Development Bank (IRTI-IDB)
yang berada pada garda terdepan dalam usaha mempromosikan revitalisasi institusi wakaf melalui berbagai
seminar dan konferensi wakaf internasional. Di samping itu, studi-studi terkait dengan wakaf juga
mengalami peningkatan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (Rashid, 2008). Di Indonesia, pemerintah
menyikapi agenda revitalisasi itu dengan mengesahkan Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf.
Seiring dengan usaha untuk memberdayakan kembali institusi wakaf, permasalahan akuntabilitas
menjadi hal yang paling disorot selama ini (Cajee, 2008). Sebagai institusi yang bersentuhan dengan
kepentingan publik, pengelola wakaf dituntut untuk mampu menunjukkan akuntabilitasnya kepada segala
lapisan stakeholder. Undang-undang wakaf di Indonesia juga memberikan penekanan terhadap pentingnya
menciptakan institusi wakaf yang akuntabel.
Akuntabilitas adalah sebuah keniscayaan dalam pengelolaan organisasi (Sinclair,1995). Tanpa
akuntabilitas, maka sebuah institusi akan berujung pada kegagalan (Frink and Klimoski, 2004).
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana memahami dan mengimplementasikan akuntabilitas tersebut.
Faktanya, terminologi akuntabilitas (accountability) itu diinterpretasikan dan dipahami dengan berbagai cara,
tergantung kepada ideologi, motif dan juga tentunya bahasa yang mengikutinya (Sinclair,1995). Demikian
juga halnya dalam konteks wakaf. Meskipun banyak penggiat wakaf yang menekannya pentingkan
akuntabilitas (Cajee, 2008; Rashid, 2008), tapi tidak ada konsensus diantara mereka seperti apa sebenarnya
bentuk akuntabilitas tersebut. Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah mencoba melihat sisi
akuntabilitas pada lembaga wakaf (Sulaiman, et al., 2009; Nahar dan Yacoob, 2011 dan Ihsan dan Shahul
2011a). Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut lebih menfokuskan kajiannya pada akuntansi dan
177
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
pelaporan. Dalam kenyataannya, akuntansi dan pelaporan hanyalah salah satu bagian akuntabilitas (Ebrahim,
2003). Bagaimana sebenarnya konsep akuntabilitas yang lebih komprehensif di lembaga wakaf masih belum
tersentuh sejauh ini. Hal inilah yang kemudian memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang
akuntabilitas pada institusi wakaf dalam perpektif yang lebih luas. Secara lebih spesifik, penelitian ini
bertujuan untuk memahami mekanisme akuntabilitas pada lembaga wakaf.
1.2. Kontribusi Penelitian
Meskipun menjadi akuntabel bagi lembaga wakaf adalah suatu hal yang tidak terbantahkan lagi, namun
kenyataanya tidak sedikit kasus yang menunjukkan kalau asset wakaf selama ini disalahgunakan atau juga
salah urus (Ihsan dan Shahul, 2011a). Fenomena ini tidak terlepas dari ketidakadaan suatu mekanisme
yang jelas tentang akuntabilitas di lembaga wakaf. Pada dasarnya undang-undang wakaf di Indonesia
memuat poin tentang keharusan nazhir menunjukkan akuntabiltitas publiknya. Akan tetapi, tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria yang harus dipenuhi nazhir untuk menjadi akuntabel. Karena itu,
penelitian ini menjadi hal yang urgen untuk dilakukan dengan harapan dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan akuntabilitas lembaga wakaf selama ini.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Pengertian dan urgensi akuntabilitas
Literatur-literatur yang ada menunjukkan ada dua ide dasar yang membangun konsep akuntabilitas. Pertama,
akuntabilitas sangat berkaitan erat dengan responsibilitas atau tanggung jawab. Banyak peneliti yang
kemudian setuju bahwa akuntabilitas lahir karena adanya keinginan untuk menerima dan menunjukkan
tanggung jawab (Velayutham dan Perera, 2004). Konsep yang kedua adalah, akuntabilitas akan melibatkan
setidaknya dua pihak, pihak yang memberikan responsibilitas dan satunya lagi pihak yang menerima
responsibilitas itu dengan kesanggupan untuk melaporkan, memperhitungkan atau memberikan penjelasan
atasnya (Frink dan Klimoski, 2004). Pihak yang pertama biasanya dikenal sebagai akunti (accountee),
sedangkan pihak yang kedua disebut akuntor (accountor) (Gray dan Jenkins, 1993). Berdasarkan dua konsep
dasar di atas, maka dapat ditarik benang merah konsep akuntabilitas dalam sebuah definisi yang lebih
universal. Akuntabilitas adalah kesanggupan untuk menunjukkan tanggung jawab oleh pihak yang
menerimanya dengan kewajiban untuk melaporkan, memperhitungkan dan memberikan penjelasan atas
tanggung jawab yang diserahkan padanya.
Akuntabilitas telah menjadi fenomena yang luas yang bisa ditemui dalam hampir setiap aspek
kehidupan manusia, mulai dari kehidupan pribadi, sosial, dunia kerja dan juga dalam ajaran agama. Willmott
(1996) mengungkapkan, sebagai manusia, seseorang akan terus bersentuhan dengan akuntabilitas karena
setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Tanpa akuntabilitas, maka seseorang bisa dicap sebagai
anggota masyarakat yang tidak becus. Dari perspektif agama, Iqbal dan Lewis (2009) menggarisbawahi
bahwa konsep akuntabilitas adalah tema sentral dalam ajaran Islam, karena akuntabilitas kepada Allah dan
juga komunitas Muslim merupakan bentuk nyata keimanan seseorang. Bukan hanya dalam ajaran Islam,
dalam ajaran Kristen Lehman (2004) yakin bahwa akuntabilitas juga merupakan bagian dari agama tersebut.
2.2. Mekanisme akuntabilitas
Diskusi tentang mekanisme akuntabilitas banyak mendapat perhatian di dalam literatur organisasi nirlaba,
sektor publik dan NGO. Ini dikarenakan akuntabilitas menjadi isu yang paling disoroti pada organisasi-
organisasi tersebut dalam beberapa tahun terakhir (Ebrahim, 2003). Tentunya, ini sangat relevan dengan
institusi wakaf yang menjadi topik penelitian ini. Wakaf memiliki kesamaan dengan organisasi nirlaba,
sektor publik dan NGO. Sebagaimana dinyatakan oleh Kahf (2007), disamping mempunyai tujuan yang tidak
mengejar profit, wakaf adalah institusi publik yang bersifat non pemerintahan. Diskusi tentang mekanisme
akuntabilitas pada bagian ini akan menggunakan kerangka mekanisme yang diusulkan oleh Ebrahim (2003)
sebagai acuan utama. Alasan pemilihan framework Ebrahim karena dari literatur akuntabilitas yang ada,
kerangka inilah yang paling komprehensif membahas mekanisme akuntabilitas dibandingkan dengan yang
lain. Mekanisme akuntabilitas tersebut bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
178
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
a. Pelaporan dan pengungkapan
Pelaporan dan pengungkapan tidak harus selalu berarti dalam bentuk laporan keuangan saja. Meskipun
sebagian akademisi akuntansi menganggap akuntabilitas lebih terkait dengan akuntansi (Hopwood,
1985), Ebrahim (2003) berpendapat bahwa laporan keuangan hanya bagian dari pelaporan dan
pengungkapan.
b. Pengukuran kinerja dan evaluasi
Menurut Drucker (1990), diskursus mengenai akuntabilitas pada organisasi nirlaba tidak hanya berkaitan
dengan memberikan laporan, tetapi juga berhubungan pengukuran kinerja. Ebrahim (2003) sependapat
dengan ide ini, dimana dia kemudian meletakkan pengukuran kinerja sebagai salah satu komponen
mekanisme akuntabilitas setelah pelaporan dan pengungkapan.
c. Partisipasi
Partisipasi merupakan mekanisme yang sedikit berbeda dengan dua mekanisme akuntabilitas
sebelumnya. Jika pelaporan dan pengukuran kinerja dikelompokkan sebagai alat (tool), maka partisipasi
adalah proses. Menurut Ebrahim (2003), ada empat level partisipasi. Pada level pertama, partisipasi bisa
dalam bentuk usaha yang dilakukan oleh organisasi untuk mempublikasikan rencana program yang akan
mereka jalankan. Pada level selanjutnya, partisipasi berupa penglibatan publik dalam implementasi
program. Isu tentang kesetaraan gender termasuk dalam kategori ini. Berikutnya, pada level ketiga,
partisipasi meliputi kemampuan anggota masyarakat untuk melakukan tawar menawar dalam
menentukan keputusan organisasi. Selanjutnya, pada level keempat, partisipasi berupa kebebasan yang
dimiliki oleh masyarakat untuk berinisiatif atas program yang tengah dilakukan oleh organisasi.
d. Self-regulation
Ebrahim (2003, p.819), mendefinisikan self-regulation sebagai “[e]fforts by NGO or non-profit networks
to develop standards or codes of behavior and performance”. Ide dasar self-regulation adalah, tidak
semua hal yang berkaitan dengan organisasi nirlaba dan NGO bisa diatur oleh pemerintah. Karenanya,
setiap organisasi atau semacam paguyuban organisasi mengembangkan aturan yang diyakini bisa
meningkatkan kinerja mereka.
e. Audit sosial
Audit sosial didefinisikan sebagai “proses verifikasi eksternal yang regular untuk memahami, mengukur,
melaporkan dan meningkatkan kinerja organisasi melalui dialog dengan stakeholder” (Gonella, et al,
1998). Meskipun sepintas audit sosial terlihat tumpang tindih dengan mekanisme partisipasi, Ebrahim
(2003) berpendapat bahwa proses audit sosial lebih komprehensif dibandingkan partisipasi. Audit sosial
melibatkan semua mekanisme yang telah didiskusikan sebelumnya.
2.3. Wakaf dan akuntabilitas
Sebelum mereview studi-studi yang terkait dengan akuntabilitas pada institusi wakaf, definisi wakaf secara
umum akan disajikan pada bagian ini. Secara harfiah, wakaf berarti berhenti, menahan, tetap berdiri.
Sedangkan menurut istilah, terminologi wakaf dapat artikan sebagai “menahan harta tertentu dan menjaganya
demi tujuan filantropi serta mencegahnya dari penggunaan selain dari tujuan yang telah ditentukan” (Kahf,
2007). Meskipun istilah wakaf itu sendiri tidak dijumpai di dalam Al Qur’an, praktik memberikan harta demi
kemaslahatan orang banyak telah dicontoh oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sehingga bisa
dikatakan bahwa wakaf merupakan bagian dari kehidupan umat Islam di masa lampau.
Seperti telah didiskusikan sebelumnya, sebagai institusi yang berhubungan dengan kepentingan orang
banyak, masalah akuntabilitas adalah suatu keniscayaan dalam pengelolaan wakaf. Dalam kaitannya dengan
kajian akademis, bisa dikatakan bahwa belum ada studi terdahulu yang mengkaji akuntabilitas secara
komprehensif pada institusi wakaf. Beberapa peneliti menekankan akan pentingnya isu akuntabilitas pada
pengelolaan wakaf (Cajee, 2008; Rashid;2008), tetapi masih sebatas konsepsual. Beberapa peneliti lainnya
juga setuju dengan pentingnya akuntabilitas pengelolaan wakaf serta mencoba merespon isu tersebut melalui
studi kasus (Misalnya Sulaiman, et al, 2009; Nahar dan Yacoob, 2011; Ihsan dan Shahul, 2011a). Akan
179
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
tetapi, isu akuntabilitas yang dibahas pada penelitian tersebut masih terbatas pada akuntansi dan pelaporan
wakaf. Meskipun demikian, penelitian-penelitian ini tersebut setuju bahwa akuntabilitas tidak hanya sekedar
pelaporan, tapi menyangkut aspek lain seperti pengukuran kinerja (Ihsan dan Shahul, 2011b).
Ada dua isu terkait akuntansi dan akuntabilitas wakaf yang mengemuka dalam penelitian-penelitian
terdahulu. Pertama, penelitian-penelitian terdahulu menemukan fenomena ketidakseragaman praktik
akuntansi pada institusi-institusi wakaf. Hal mana yang menyebabkan nazhir1 (pengelola wakaf) tidak punya
acuan dalam menyiapkan laporan untuk menunjukkan akuntabilitasnya. Permasalahan ini disoroti dalam
penelitian Sulaiman, et al (2009) Nahar dan Yacoob (2011) dan Ihsan dan Shahul (2011a). Isu kedua adalah,
karena sejauh ini belum ada standar akuntansi dan akuntabilitas untuk wakaf, maka pengembangan konsep
dan standar akuntansi wakaf diyakini bisa meningkatkan akuntabilitas nazhir. Pengembangan standar
akuntansi dan akuntabilitas itu bisa didahului dengan mempelajari dan mengadopsi beberapa standar
pelaporan yang relevan seperti standar pelaporan di organisasi charity. Pendapat ini diusung oleh Adnan, et
al, (2007) dan Ihsan dan Shahul (2011a).
Tidak adanya referensi yang mengkaji akuntabilitas pada institusi wakaf secara komprehensif serta
belum adanya bentuk yang konkret dari akuntabilitas pada institusi wakaf memberikan ruang pada penelitian
ini untuk mengeksplorasi isu akuntabilitas secara integral.
3. Metode Penelitian
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan studi kasus (case study) sebagai desain
penelitiannya. Secara kategori, studi kasus dalam penelitian ini tergolong kepada interpretive. Peneliti
memilih Wakaf Daarut Tauhiid di Bandung sebagai kasus penelitian. Pada dasarnya, justifikasi pemilihan
kasus ini bukanlah merupakan sampel dari populasi yang ada. Dalam penelitian kualitatif pemilihan kasus
lebih berdasarkan kepada aspek teoritikal, bukan metode sampling statistik (Eriksson and Kovalainen, 2008).
Disamping itu, peneliti juga mempertimbangkan faktor lain, yakni bisa tidaknya sebuah institusi diakses
(accessibility).
Adapun kerangka konseptual yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah mekanisme
akuntabilitas pada organisasi non-profit yang diusulkan oleh Ebrahim (2003). Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian dua, mekanisme akuntabilitas meliputi pelaporan, pengukuran kinerja, partisipasi,
self-regulation dan audit sosial. Meskipun peneliti menggunakan framework Ebrahim (2003) sebagai acuan,
ini tidak berari bahwa temuan penelitian nantinya akan terpola secara kaku pada kerangka ini. Dalam
penelitian kualitatif, kerangka konseptual digunakan hanya sebatas panduan bagi peneliti agar lebih fokus
dalam proses pengumpulan data (Miles dan Hubberman, 1994).
3.2. Pengumpulan data
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data. Metode
pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam adalah melalui wawancara mendalam (in-depth interviews),
observasi dan review dokumen. Sumber data yang bervariasi ini akan memungkinkan peneliti untuk
mentriangulasi data sehingga bisa memahami secara lebih dalam isu akutabilitas.
Wawancara dilakukan secara semi-structured dan open-ended questions. Metode wawancara seperti
ini memberi peluang bagi peneliti untuk mengeksplorasi akuntanbilitas secara komprehensif. Wawancara
semi-structured juga memberikan keluasaan bagi pihak yang diwawancarai untuk mengekspresikan ide
mereka mengenai isu yang tengah diteliti (Horton, Macve and Sruyven, 2004). Wawancara dilakukan
dengan orang-orang yang bersentuhan langsung dengan isu akuntabilitas wakaf, seperti manajemen, auditor
internal, dan akuntan internal.
Guna mendukung hasil temuan penelitian, maka peneliti juga melakukan observasi. Observasi pada
dasarnya memberikan kesempatan bagi peneliti memahami untuk isu dalam secara lebih tepat dalam konteks
aktivitas organisasi (Yin, 1994). Peneliti berkesempatan mengunjungi berbagai asset wakaf yang dikelola
oleh nazhir serta mengamati aktivitas yang berlangsung pada asset wakaf tersebut.
1 Istilah lain untuk pengelola wakaf adalah mutawalli. Adapun dalam laporan ini, istilah nazhir dan
pengelola wakaf digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama.
180
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
Sumber data lainnya adalah dokumen. Menurut Yin (1994, p.80) dokumen memiliki beberapa
kelebihan sebagai sumber data yaitu stabil (bisa direview berkali-kali), jelas (memuat nama, kejadian secara
detail dan cakupannya luas) dan bisa tahan lama. Karena ada kemungkinan bias dalam dokumen dan
pelaporan, peneliti hanya menggunakan dokumen untuk mendukung hasil temuan dari wawancara dan
observasi. Dokumen yang direview antara lain: laporan keuangan, newsletter, brosur dan dokumen internal
lainnya yang relevan.
3.3. Analisis data
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode thematic network. Thematic network adalah teknik
analisis data kualitatif berdasarkan hubungan jaring tema yang terbentuk dari temuan penelitian (Attride-
Striling, 2001). Hasil temuan akan dikelompokkan ke dalam tiga tema yaitu: basic theme, organizing theme
dan global theme. Basic theme adalah ide dasar yang muncul dari data yang sudah dikonversi ke dalam
bentuk teks. Konstruksi dari basic theme yang memiliki kesamaan pola akan membentuk organizing theme.
Sedangkan global theme merupakan kesimpulan akhir yang dibentuk dari beberapa organizing theme.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Profil Wakaf Daarut Tauhiid
Sejarah Wakaf Daarut Tauhid tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pengajian yang diasuh oleh Kiyai Haji
Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym) di awal tahun 90an. Berawal dari infaq dan sadaqah yang diberikan oleh
beberapa anggota pengajian, yang pada umumnya mahasiswa, Aa’ Gym kemudian berinisiatif untuk
mengelola donasi-donasi yang diterima untuk pengembangan dakwah Islam. Donasi tersebutlah yang
dimanfaatkan untuk membangun Masjid yang kemudian menjadi cikal bakal Pesantren Daarut Tauhiid yang
hari ini beralamat di Jalan Gegerkalong Girang, Bandung.
Dalam satu kesempatan kunjungan ke Surabaya, Aa’ Gym terinspirasi dengan kesuksesan Yayasan
Dana Sosial Al Falah dalam mengelola dana Zakat Infaq dan Sadaqah. Hal mana yang kemudian melahirkan
Dompet Peduli Umat (DPU) sebagai salah satu bagian Yayasan Daarut Tauhiid untuk menangani
pengelolaan Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf secara lebih professional dan modern. Dalam perjalanannya,
DPU kemudian ditetapkan sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Agama
no 41 tahun 2004.
Setelah diundangkannya Undang-undang wakaf no 41 tahun 2004, pengelolaan wakaf dipisahkan dari
manajemen DPU. Hal ini dikarenakan oleh Aa’ Gym dan jajaran pengurus Yayasan Daarut Tauhiid
menganggap bahwa wakaf butuh perhatian ekstra serius. Manajemen yang terpisah dari pengelolaan zakat,
infaq dan sadaqah di DPU diharapkan bisa membawa perubahan pada perkembangan wakaf di Daarut
Tauhiid. Maka Pusat Pengembangan Wakaf Daarut Tauhiid kemudian berdiri sebagai salah satu divisi di
bawah Yayasan Daarut Tauhiid.
Pemisahan manajemen tersebut membawa angin segar bagi pengelolaan wakaf di Daarut Tauhiid.
Bukan saja dalam hal peningkatan asset wakaf, dari tahun ke tahun, pemanfaatan asset wakaf juga semakin
optimal. Hal ini terbukti dengan keberadaan berbagai asset wakaf produktif yang dikelola oleh Wakaf Daarut
Tauhiid hari ini yang meliputi swalayan, klinik, cottage, kantin, Stasiun TV, Pemancar Radio, gedung
perkantoran, gedung untuk sarana pendidikan dan masih banyak lagi yang lainnya. Saat ini, terdapat
sebanyak 22 aset wakaf berupa bangunan yang dikelola oleh Wakaf Daarut Tauhiid, tersebar di berbagai
lokasi, dengan nilai lebih dari 57 milyar rupiah.
4.2 Persepsi Nazhir tentang akuntabilitas
Sebagai institusi yang kental dengan nilai keislamannya, Wakaf Daarut Tauhiid dibesarkan dengan
keyakinan dan prinsip bahwa nazhir tidak hanya betanggung jawab kepada manusia, tetapi juga kepada
Allah. Jika bentuk akuntabilitas kepada Allah adalah sesuatu yang holistik, maka akuntabilitas kepada
manusia diwujudkan salah satunya dalam bentuk laporan. Hal ini merupakan pertanggungjawaban bahwa
harta yang diwakafkan telah digunakan sesuai dengan amanah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh auditor
internal berikut:
Ya untuk menjaga amanah. Umat sudah percaya, maka nazhir harus akuntabel. Untuk bisa
menunjukkan bahwa wakaf yang diberikan telah digunakan sebagaimana yang diamanahkan,
nah laporan keuangan sebagai alat buktinya. Itulah sebagai wujud amanah kita kepada publik.
181
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
Kalau pada Allah mah, Allah udah tahu. Nggak bikin laporan Allah juga tau itu dana dipakai
buat apa.
Terkait dengan wujud akuntabilitas nazhir dalam pengelolaan wakaf, sejauh ini ada dua pihak dari
kelompok stakeholder yang menjadi target, yaitu wakif dan pemerintah. Menurut wakil direktur Wakaf
Daarut Tauhiid, selama ini wakif lebih menjadi prioritas utama. Sedangkan akuntabilitas kepada pemerintah,
dalam hal ini diwakili oleh Badan Wakaf Indonesia, baru ditujukkan dalam beberapa waktu terakhir.
Yang paling utama adalah wakif, karena mereka berwakaf ke kita. Itu kadang kita per minggu
kirim informasi ke mereka…Kalau dulu, sebelum ada BWI, mereka [pemerintah] tidak secara
intens memberikan informasi bahwa kita harus memberikan laporan. Ya.. kita jalan dengan sistem
kita, karena kita tidak tahu kemana [laporan harus disampaikan]. Tapi sekarang setelah ada BWI
[Badan Wakaf Indonesia] kita laporan ada yang enam bulan sekali, ada yang per tahunnya juga.
Lebih lanjut, ada dua alasan di balik akuntabilitas yang ditunjukkan oleh nazhir, yaitu alasan
profesionalisme dan alasan spiritual. Adanya data base wakif serta pelaporan yang rutin dilakukan oleh
nazhir bukan saja menjadi upaya perwujudan akuntabilitas dalam pengelolaan wakaf, tetapi juga secara tidak
langsung membantu kinerja manajemen. Hal ini terungkap dari kutipan wawancara dengan wakil direktur
wakaf berikut:
Pada awalnya kita, waktu masih belajar, ide membentuk data base wakif itu gunanya untuk bisa
berkomunikasi dengan donatur kapanpun. Sederhana cara berfikirnya. Tapi ketika dipelajari lebih
lanjut,kita jadi tahu kalau ini sebagai bentuk akuntabilitas juga. Dari situ kita belajar, ya udah
kita bangun sistem. Disamping untuk mengamankan data yang ada juga untuk
pertanggungjawaban.
Selain itu, suntikan moral dan dorongan spiritual yang selalu diberikan oleh Aa’ Gym kepada setiap santrinya
menjadi penyokong utama terbentuknya akuntabilitas nazhir dalam mengelola wakaf.
Kalau ada kontrol moral dan spiritual, itu menjadi kekuatan awal sejak berdiri. Karena Aa’
pernah bilang “Aa’ tidak mau ada sejengkal tanahpun di Daarut Tauhiid yang tidak produktif”.
Keras bagi kita itu. Jadi keberadaan database bukan karena masalah sistem moral dan spriritual
saja, tapi secara manajemen kita juga terbantu (Wawancara dengan Wakil direktur wakaf)
Meskipun pada dasarnya semua pihak yang ada di DT betanggung jawab terhadap pengelolaan
wakaf, secara legal formal, pengurus wakaf adalah pihak yang dianggap sebagai nazhir resmi.
Secara formil pasti nazhir. Nazhir secara formal itu pengurus yayasan. Kan nantinya Nazhir itu
yang kita daftarkan namanya ke BWI. Nah itulah nanti yang akan diminta pertanggungjawaban.
Tapi secara informal semualnya. Tapi kalau ada apa-apa yang formal yang bertanggung jawab.
Yaitu yang ada di dalam badan hukum. Kalau ada masalah, ya pengurus yayasan yang dipanggil
polisi. Tapi di akhirat semuanya bertanggung jawab. Hablum minallahu itu semua. Karena itu
yang beratnya kita, sehingga kita betul-betul menjalankan amanah ini. (Wawancara dengan
internal auditor)
4.3 Mekanisme akuntabilitas
Meskipun nazhir mengungkapkan bahwa dalam menunjukkan akuntabilitas pengelolaan wakaf mereka
menggunakan laporan keuangan, dari wawancara terungkap bahwa ada mekanisme akuntabilitas lainnya
yang dipraktikkan oleh nazhir. Mekanisme-mekanisme tersebut akan didiskusikan lebih lanjut dalam
bagian berikut ini.
4.3.1. Pelaporan dan pengungkapan
Dalam menunjukkan akuntabilitasnya kepada publik, mekanisme utama yang digunakan oleh nazhir adalah
melalui laporan. Laporan tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan keuangan,
tetapi juga melingkupi informasi tentang program dan juga pencapaian yang sudah dilakukan oleh nazhir
dalam mengelola wakaf. Laporan tersebut disampaikan secara rutin setiap hari Jum’at dengan
182
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
menggunakan berbagai media. Hal tersebut diungkapkan oleh wakil direktur Wakaf Daarut Tauhiid sebagai
berikut:
Mulai dari informasi program, progressnya sampai dana yang terkumpul. Seminggu sekali, setiap
hari Jumat, dalam bentuk SMS dan dalam bentuk email…Macam-macamlah media
komunikasinya. Ada di spanduknya, di radionya, di koran dan lain-lainnya kita lakukan.
Sejauh ini, laporan keuangan yang disiapkan berdasarkan Pernyataaan Standar Akuntansi Keuangan
untuk organisasi nirlaba (PSAK 45). Menurut wakil direktur wakaf, dalam banyak hal, penyiapan laporan
keuangan wakaf lebih mengandalkan arahan yang diberikan oleh konsultan yang dimiliki oleh yayasan.
Lebih lanjut, laporan keuangan yang disiapkan akan diperiksa terlebih dahulu oleh auditor internal Yayasan
Daarut Tauhiid, sebelum kemudian diserahkan kepada auditor eksternal untuk pemeriksaan. Sedangkan
untuk pelaporan kepada BWI akan disiapkan berdasarkan format yang telah disediakan. Hanya saja,
dikarenakan oleh status Wakaf Daarut Tauhiid yang baru terdaftar di BWI, sejauh ini nazhir belum
menyampaikan laporan rutin tersebut kepada BWI.
Kalau laporan formal ke wakaf sudah ada panduannya. Per enam bulan. Kan gini, ketika wakaf
tunai sudah dapat legalisasi, itu kan otomatis kita harus laporan per enam bulan dan
[menyiapkan] laporan tahunan. Itu formatnya dari mereka Pak, dari BWI. Tapi itu belum mulai,
karena baru [terdaftar di BWI]
4.3.2. Pengukuran kinerja dan evaluasi
Yayasan Daarut Tauhiid secara rutin melakukan evaluasi terhadap pencapaian program yang direncanakan.
Pada dasarnya, evaluasi pada tingkat yayasan dilakukan satu bulan sekali. Akan tetapi, jika dibutuhkan,
pengurus bisa melakukan evaluasi di luar jadwal yang sudah ditetapkan tersebut. Adapun evaluasi pada
tingkat yayasan melingkupi semua divisi, termasuk wakaf di dalamnya. Pada tingkat divisi juga secara
berkala dilakukan evaluasi dan penilaian terhadap pencapaian yang sudah diperoleh.
Kebijakan itu bukan hanya di yayasan. Kebijakan-kebijakan strategis itu memang ada di yayasan.
Misalnya Aa’, Pembina, harus kumpul. Itu yang diputuskan biasanya hal-hal yang strategis
(Wawancara wakil direktur wakaf).
Agar bisa melakukan evaluasi yang terukur dan handal, setiap divisi yang ada di lingkungan Yayasan
Daarut Tauhiid memiliki ukuran kinerja masing-masing yang tertuang dalam Key Performance Indicators
(KPI). KPI tersebut dirancang sejalan dengan visi dan misis divisi yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada
divisi wakaf salah satu yang menjadi KPI dalam pengelolaan keuangan wakaf adalah meningkatkan jumlah
penerima wakaf.
4.3.3. Partisipasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini Daarut Tauhiid identik dengan jamaah pengajian di bawah pimpinan
Aa’ Gym. Keberadaan jamaah tersebut, ditambah dengan santri-santri yang sedang menuntut ilmu di pondok
pesantren Daarut Tauhiid menjadi sebuah nilai tambah bagi pengembangan wakaf di Daarut Tauhiid. Selama
ini, pihak yang banyak berkontribusi sebagai wakif pada pengembangan wakaf di Daarut Tauhiid berasal dari
jamaah tersebut. Hal mana yang diungkapkan oleh wakil direktur wakaf sebagai berikut:
Cederung selama ini yang berwakaf adalah yang di dalam komunitas kita. Memang untuk
sekarang kita prioritaskan bagi komunitas kita dulu. Kalau untuk yang di luar komunitas, kita
biasanya meggunakan beberapa media [untuk mensosialisasikan wakaf]. Ada yang melalui
spanduk, ada yang kita pakai banner di media-media online seperti detik.com,eramuslim dan
sebagainya. Macam-macamlah kita gunakan untuk yang non komunitas. Seminar-seminar,
pengajian-pengajian, ke majlis-majlis taklim, di luar DT ya. Nah, biasanya itu kita sekalian
sampaikan edukasi tentang wakafnya.
Meskipun demikian, dalam hal penerima manfaat asset wakaf tidak ada pembatasan pada kelompok
tertentu. Menurut nazhir, setiap orang pada dasarnya berhak atas pemafaatan asset wakaf yang datang.
Bahkan untuk asset wakaf seperti klinik, non-Muslim juga bisa memanfaatkan jasa layanan kesehatan yang
183
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
ada. Meskipun nazhir kemudian mengakui, sejauh ini tidak banyak kalangan non-Muslim yang datang untuk
berobat pada klinik yang dikelola oleh wakaf Daarut Tauhiid.
4.3.4. Self-regulation
Sejauh ini, nazhir lebih mengandalkan petunjuk yang diberikan oleh Dewan Lajnah yayasan Daarut Tauhiid
terkait dengan isu permasalahaan syariah dalam pengelolaan wakaf. Dewan Lajnah adalah dewan syariah
yang memberikan arahan bagi setiap aktivitas yang ada di bawah Yayasan Daarut Tauhiid. Ada dua bentuk
kosultasi yang dilakukan oleh nazhir kepada Dewan Lajnah, yaitu rutin dan situasional. Konsultasi rutin
biasanya bersifat umum dan dilakukan dalam forum evaluasi kerja yayasan.Sedangkan kosultasi yang
bersifat situasional dilakukan dalam kasus-kasus tertentu, ketika nazhir dihadapkan pada hal-hal yang
memerlukan pertimbangan dan masukan Dewan Lajnah.
Kalau untuk permasalahan-permasahalan wakaf yang tidak ada petunjuk yang jelas, di kita itu
ada Dewan Lajnah. Dewan Syariah. Di situ ada para asatidz yang memang berkompeten di
bidangnya. Bukan hanya satu orang, tapi sekitar lima-enam orang yang masing-masing ada
keahlian di bidangnya. Itu menjadi rujukan fatwa bagi Daarut Tauhiid secara kelembagaan.
Dalam hal wakaf, selain rujukan ke BWI kita juga rujukannya ke Dewan Lajnah itu. Dewan
Lajnah juga punya kewajiban untuk memastikan bahwa produk-produk yang keluar di setiap divisi
di DT ini sesuai dengan prinsip syariah. Biasanya kita meminta saran dan pendapat dari Dewan
Lajnah ada yang bersifat rutin dan ada yang situasional (Wawancara dengan wakil direktur
wakaf).
Disamping berkonsultasi dengan Dewan Lajnah, saat ini nazhir juga berusaha memanfaatkan
komunitas cinta wakaf yang bertujuan untuk mendapatkan feedback dan sarana pembelajaran dalam
pengelolaan wakaf. Keberadaan komunitas ini diharapkan bisa memotivasi lembaga penglola wakaf untuk
melakukan sharing informasi satu sama lain, sebagaimana disampaikan oleh wakil direktur wakaf:
Kalau antar lembaga pengelola wakaf belum tercipta jaringan yang bisa saling sharing gitu.
Kalau ada tentu lebih baik. Makanya kita mulai dengan diri kita sendiri dengan membuka
komunitas cinta wakaf. Tapi belum massif sih. Kita belum serius menggarap komunitas ini. Jadi
kita akan worshopkan bagaimana komunitas ini sebaiknya. Kita akan cari formatnya gimana
bagusnya. Jangan sampai komunitas ini malah didominasi oleh kita sendiri.
4.3.5. Audit sosial
Meskipun secara rutin menyampaikan laporan kepada wakif, nazhir percaya bahwa menghadirkan para wakif
pada lokasi di mana asset wakaf berada tetap merupakan suatu keharusan. Hal ini dilakukan untuk
memberikan kesempatan kepada wakif meninjau langsung dan mengevaluasi perkembangan wakaf yang
dipercayakan kepada Daarut Tauhiid untuk dikelola. Untuk itu, kegiatan ini juga biasanya juga beriringan
dengan permintaan saran dan masukan dari wakif untuk kemajuan manajemen wakaf, seperti yang
diungkapkan oleh wakil direktur wakaf:
Kita pernah ada acara. Kalau tahun ini kita ada acara namanya muwakif akbar. Jadi kira
mengundang, menghadirkan para wakif. Itu kita seting acaranya, mulai dari melihat langsung
lokasi, perkembangannya, kita keliling. Wisata rohani kali ya. Kadang-kadang kita juga minta
masukannya, apa yang perlu diperbaiki tentang wakaf.
Hal lain yang juga secara rutin dilakukan oleh nazhir dalam meminta feedback stakeholder adalah
melalui kuisioner yang didistribusikan sekali dalam tiga bulan. Disamping itu, media lain seperti call center
dan SMS juga menjadi sarana bagi stakeholder dalam memberikan pertanyaan, masukan maupun umpan
balik terhadap pengelolaan wakaf. Wakil direktur wakaf mengatakan:
Kita juga mendistribusikan kuisioner tiga bulan sekali. Ke wakif, ke jamaah juga. Mulai dari
kuisiner pelayanan, sampai ke penggunaan gedung. Kita juga menyediakan online call center
wakaf. Saya bisa bilang itu 24 jam. Bahkan kita pernah sampai hang karena begitu banyaknya
SMS yang masuk dari wakif. Udah mau tidur masih balas SMS wakif.
184
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
4.4. Diskusi dan Pembahasan
4.4.1. Persepsi nazhir terhadap akuntabilitas
Secara umum, nazhir pada Wakaf Daarut Tauhiid setuju akan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan
wakaf. Keyakinan akan pentingnya akuntabilitas ini tidak terlepas dari nilai-nilai Islam yang dominan dalam
keseharian institusi pengelola wakaf tersebut. Pada dasarnya, menurut Al-Safi (1992), setiap ajaran hidup
seorang Muslim harus dilandasi oleh prinsip tauhid, yaitu percaya pada keesaan Allah. Salah satu implikasi
prinsip ini adalah pada keyakinan bahwa setiap manusia diutus di muka bumi ini sebagai khalifah. Oleh
karena itu, setiap orang mesti bertanggung jawab terhadap apa yang dipercayakan kepadanya, baik di dunia,
maupun di akhirat (Zein et al., 2008). Dalam konteks inilah persepsi nazhir akan pentingnya akuntabilitas
harus dijelaskan.
Lebih lanjut, Shahul (2000) menggunakan istilah dual accountability untuk menjelaskan tanggung
jawab seorang Muslim. Model dual accountability ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Al-Safi di
atas, bahwa setiap Muslim bertanggung jawab kepada sesama manusia dan juga kepada Allah. Jika tanggung
jawab kepada manusia bisa ditunjukkan secara visible dalam bentuk laporan dan berbagai mekanisme, maka
tanggung jawab kepada Allah bersifat holistik atau virtual, dimana wujudnya harus diimplementasikan dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa bertanggung jawab kepada
Allah, maka dalam tindakannya mesti tercermin sikap bahwa dia selalu diawasi dan dipantau. Hal ini yang
dalam banyak literatur keagamaan disebut sebagai prinsip taqwa.
4.4.2. Mekanisme Akuntabilitas
Dalam menunjukkan akuntabilitas pengelolaan wakafnya kepada publik, nazhir pada Wakaf Daarut Tauhiid
menggunakan berbagai mekanisme. Dalam beberapa hal, nazhir pada Wakaf Daarut Tauhiid terlihat lebih
concern dengan profesionalisme. Ini terbukti dari upaya nazhir keluar dari pengaruh Aa’ Gym sebagai figur
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhiid. Dalam beberapa tahun terakhir, Aa’ Gym lebih
memilih peran sebagai orang di belakang layar. Meskipun memiliki popularitas yang tinggi, nazhir lebih
percaya pada profesionalitas, dibandingkan figur personal.
Salah bentuk profesionalisme yang ditunjukkan oleh nazhir pada Wakaf Daarut Tauhiid adalah
penyusunan laporan keuangan secara berkala serta adanya audit internal dan eksternal terhadap laporan
tersebut. Bukan hanya penyiapan laporan, nazhir juga mendiseminasikan laporan tersebut dengan
menggunakan berbagai media. Di samping itu, nazhir juga memiliki ukuran kinerja yang jelas yang tertuang
dalam KPI. Dengan keberadaan KPI tersebut, nazhir secara terus menerus bisa mengukur sejauh mana
pencapaian yang diperoleh dalam pengelolaan wakaf. Disamping itu, nazhir wakaf Daarut Tauhiid rutin
melakukan kunjungan kepada wakif dan secara berkala meminta feedback stakeholder lainnya dalam hal
pengelolaan wakaf.
Menurut Roberts (1991), kategori akuntabilitas bisa dilihat dalam dua hal, yaitu proaktif dan reaktif.
Akuntabilitas proaktif ditunjukkan oleh seseorang tanpa adanya tekanan maupun perintah. Sedangkan,
akuntabilitas reaktif cenderung ditunjukkan apabila seseorang menerima tekanan dan dibawah kontrol pihak
lain. Dalam hal ini, nazhir wakaf Daarut Tauhiid memiliki kecenderungan untuk menunjukkan akuntabilitas
proaktif. Meskipun baru terdaftar pada BWI, penyiapan laporan keuangan sudah dilakukan sejak lama.
5. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk memahami model mekanisme akuntabilitas pada institusi wakaf. Untuk itu,
case study pada lembaga pengelola wakaf, yaitu Wakaf Daarut Tauhiid dilakukan. Dalam penelitian ini,
mekanisme akuntabilitas yang diajukan oleh Ebrahim (2003) menjadi kerangka konseptualnya. Mekanisme
tersebut meliputi pelaporan, pengukuran kinerja, partisipasi, self-regulation dan audit sosial.
Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa nazhir pada Wakaf Daarut Tauhiid setuju dengan
esensi akuntabilitas karena keyakinan bahwa setiap Muslim betanggung jawab terhadap semua yang
diamanahkan kepadanya, baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu, penelitian ini juga
mengindikasikan bahwa pada Wakaf Daarut Tauhiid, berbagai mekanisme digunakan oleh nazhir dalam
menunjukkan akuntabilitasnya kepada stakeholder. Hal ini tidak terlepas dari budaya dan nilai-nilai yang
melatarbelakangi dan membangun institusi tersebut selama ini.
Daftar Pustaka
Adnan, M.A., Sulaiman, M. & Nor, P.N.S. (2007). Some thoughts about accounting conceptual framework and standards
for awqaf institutions. Indonesian Management & Accounting Research, Vol. 6, No.1, pp. 43-56.
185
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
Al-Safi, Sheikh Osman Abdulkader. (1992). Accountability: A comparative study of human responsibility between Islam
and man-made doctrines. Kuala Lumpur: Darulfikir.
Attride-Striling, J. (2001). Thematic networks: An analytic tool for qualitative research. Qualitative Research. Vol.1, No.3, pp. 385-405.
Cajee, Z.A. (2008). The revival of waqf in Muslim communities: Implementation of the recommendations of the
international waqf conference South Africa, Cape Town, 2007. Conference proceedings, International conference
on waqf and Islamic civilization, Isfahan, Iran, pp.243-278.
Cajee, Z.A. (2011). Revitalising the institution of awqaf in developing the community.). In Kahf,M, and Siti-Mashitoh
(Eds). Essential reading in contemporary waqf issues (pp. 323-349). Kuala Lumpur: Cert Publications.
Creswell, J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design. Choosing among five traditions. Thousand Oaks: Sage
publications.
Drucker, P.F. (1990). Managing the non-profit organization. New York : Harper Collins Publishers.
Ebrahim, A. (2003). Accountability in practice: Mechanisms for NGOs. World development. Vol.31, No.5, pp. 813-829.
Eriksson, P. & Kovalainen, A. (2008). Qualitative methods in business research. Los Angeles: Sage publications.
Fauzia, Amelia (2013). Faith and the state. A history of Islamic philanthropy in Indonesia. Leiden: Brill.
Frink, D.D. & Klimoski, R.J. (2004). Advancing accountability theory and practice: Introduction to the human resource
management review special edition. Human resource management review. Vol.14, p.p. 1-17.
Gonella,C., Pilling,A., & Zadek,S. (1998). Making values count: contemporary experience in social and ethical
accounting, auditing and reporting. ACCA Research Report No. 57. available at http://www.accaglobal.com/general/activities/research/reports/sustainable_and_transparent/rr57. Diakses pada 30
Mei 2013.
Gray,A. & Jenkins, B. (1993). Codes of accountability in the new public sector. Accounting, Auditing & Accountability
Journal. Vol.6. No.3, pp.52-67.
Hasanah, Uswatun. (2003). Potret filantropi Islam di Indonesia. In Thaha, I. (ed.), Berderma untuk semua : Wacana dan
praktik filantropi Islam (pp. 203 – 246). Jakarta : Teraju.
Hopwood, A. (1985). Accounting and the pursuit of efficiency, in Hopwood,A and Tomkins,C (eds.) Issues in public
sectors accounting, pp. 167-187. New Delhi: Heritage Publisher.
Horton,J., Macve, R. & Sruyven, G. (2004). Qualitative research: Experiences in using semi-structured interviews. in
Humphrey and Lee (Eds.), The Real life guide to accounting research. A behind-the scenes view of using
qualitative research methods, pp.339-357. Amsterdam: Elsevier.
Hyndman, N.S. & Anderson, R. (1995). The use of performance information in external reporting : an empirical study of UK executive agencies. Financial accountability and management. Vol.11, No.1, pp. 1-17.
Ihsan, Hidayatul & Shahul, H.M.I. (2011a). Waqf accounting and management in Indonesian waqf institutions: the cases
of two waqf foundations. Humanomics, Vol.27, No.4,pp.252-269.
Ihsan, Hidayatul & Shahul H.M.I. (2011b). Waqf accounting and possible use of SORP 2005 to develop waqf accounting standards. In Kahf and Siti Mashitoh (Eds.). Essential readings in contemporary waqf issues. Cert publication,
Kuala Lumpur.
Iqbal, Z. & Lewis, M.K. (2009). An Islamic perspective on governance. Cheltenham: New horizon in money and finance.
Kahf, M. (2007). The role of waqf in improving the ummah welfare. Paper presented at the Singapore international waqf conference 2007, Singapore.
Kloot,L. (1999). Performance measurement and accountability in Victorian local government. The international journal
of public sector management. Vol. 12, No.7, pp. 565-583.
Lehman, G. (2004). Accounting, accountability and religion: Charles Taylor’s catholic modernity and the malaise of a disenchanted world. Paper presented at the fourth Asia Pacific interdisciplinary research in accounting
conference, Singapore.
Lloyd, R. & de Las Casas, L. (2005). NGO self-regulation: enforcing and balancing accountability. Allience magazine.
Available at http://www.alliancemagazine.org/node/2025. Diakses pada 27 Mei 2013.
Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1994). Qualitative data analysis. Thousand Oaks: Sage publications.
Nahar, H.S. & Yaacob, H. (2011). Accountability in the sacred context: the case of management, accounting and
reporting of a Malaysian cash awqaf institution. Journal of Islamic accounting and business research. Vol.2,
Issue 2, pp.87-113.
186
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x
Natale,S.M. & Ford,J.W. (1994). The social audit and ethics. Managerial auditing journal. Vol. 9, No. 1. pp.29-33.
Rashid, S.K. (2008). Reason for decline of awqaf and how to bring about their revival. Conference proceedings,
International conference on waqf and Islamic civilization, Isfahan, Iran, pp.135-168.
Roberts, J. (1991). The possibilities of accountability. Accounting, organizations and society. Vol. 16, No.4, pp.355-368.
Scapens, R.W. (2004). Doing case study research. in Humphrey and Lee (Eds.), The Real life guide to accounting
research. A behind-the scenes view of using qualitative research methods (pp.257-279). Amsterdam: Elsevier.
Shahul Hameed Mohamed Ibrahim. (2000). The need for Islamic accounting: Perception of Malaysian Muslims accountants and academicians on the objectives and characteristics of Islamic accounting. Unpublished PhD
thesis. University of Dundee, UK.
Sinclair, A. (1995). The chameleon of accountability. Accounting, Organizations and society, Vol.20, No.2&3, pp.219-
37.
Soledad, F.I. (2004). Promoting transparency and accountability in the Philippine NGO sector. International journal of
civil society law. Vol.2, No. 4, pp.92-95.
Stewart, J.D. (1985). The role of information in public accountability, in Hopwood,A and Tomkins,C (eds.) Issues in
public sectors accounting, pp. 13-34. New Delhi: Heritage Publisher.
Sulaiman, M, Adnan, M.A, & Nor, P.N.S. (2009) Trust Me! A Case study of the International Islamic University
Malaysia’s Waqf Fund. Review of Islamic Economics, Vol. 13, No. 1.
Velayutham,S. & Perera, M.H.B. (2004). The influence of emotions and culture on accountability and governance.
Corporate governance. Vol.4, No.1, pp.52-64.
Willmott, H. (1996). Thinking accountability: accounting for the disciplined production of self, in Munro R. and
Mouritsen, J. (Eds.), Accountability: Power, ethos and the technologies of managing, pp. 23-39. London :
International Thomson business press.
Yin, R.K. (1994). Case study research. Design and methods. Thousand Oaks: Sage publications.
Zein, Ibrahim, M, Al-ahsan, Abdullah and Zakaullah, Muhammad Arif. (2008). Qur’anic guidance on good governance
in Al-ahsan. A and Young, S.B (Ed.). Guidance for good governance. Exploration in Qur’anic, scientific and
cross-cultural approaches. Pp 9-37. Kuala Lumpur: International Islamic University Malaysia-Caux Round
Table.
187
National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x