+ All Categories
Home > Documents > Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Date post: 30-Nov-2015
Category:
Upload: mega
View: 189 times
Download: 5 times
Share this document with a friend
Description:
Allopurinol Hipersensitivity Syndrome (AHS) adalah idiosyncratic cell-mediated hypersensitivity pada alopurinol yang ditandai dengan ruam morbilliform difus (yang dapat berkembang menjadi dermatitis eksfoliatif), eosinofilia, memburuknya fungsi ginjal, dan demam. Faktor risiko historis untuk AHS termasuk insufisiensi ginjal dan penggunaan diuretik, dan karena sindrom dapat berakibat fatal, dokter perlu mengelola alopurinol resep hyperuricemia dengan sangat hati-hati, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal.
Popular Tags:
63
REFERAT ALLOPURINOL HIPERSENSITIVITY SYNDROME Disusun oleh: Mega Nur Purbo Sejati, S.Ked 072011101066 Pembimbing: dr. Arief Suseno Sp.PD Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNEJ - RSD dr.Soebandi Jember
Transcript
Page 1: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

REFERAT

ALLOPURINOL HIPERSENSITIVITY SYNDROME

Disusun oleh:

Mega Nur Purbo Sejati, S.Ked

072011101066

Pembimbing:

dr. Arief Suseno Sp.PD

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNEJ - RSD dr.Soebandi Jember

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2013

Page 2: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul................................................................................................ i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL........................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 2

2.1 Definisi AHS........................................................................................... 2

2.2 Insiden AHS........................................................................................... 2

2.3 Manifestasi Klinis AHS......................................................................... 3

2.4 Patogenesis AHS.................................................................................... 5

2.5 Alopurinol.............................................................................................. 6

2.5.1 Sejarah............................................................................................ 6

2.5.2 Kimia dan Sifat Farmakologi......................................................... 7

2.5.3 Farmakokinetika dan Metabolisme................................................ 8

2.5.4 Interaksi Obat................................................................................. 9

2.5.5 Penggunaan Terapeutik.................................................................. 10

2.5.6 Efek Toksik.................................................................................... 11

2.6 Gout........................................................................................................ 13

2.6.1 Metabolisme Purin dan Hyperuricemia.......................................... 14

2.6.2 Faktor Risiko dan Komorbiditas Penyakit Gout............................ 15

2.6.3 Pengobatan Gout: Gaya Hidup dan Faktor Kesehatan................... 16

2.6.4 Pengobatan Gout: Farmakoterapi................................................... 18

2.6.5 Rekomendasi Penanganan.............................................................. 23

2.7 Faktor Risiko AHS................................................................................ 25

2.8 Kriteria Diagnosis AHS........................................................................ 26

2.9 Pencegahan AHS................................................................................... 27

2.10 Manajemen AHS................................................................................... 29

2.10.1 Metode Penurun Asam Urat yang Lain........................................ 30

ii

Page 3: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

2.10.2 Desensitisasi Alopurinol.............................................................. 31

BAB III. PENUTUP........................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 34

iii

Page 4: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Pengobatan Gout Kronik: Mutiara Klinis............................................... 24

2.2 Faktor Risiko untuk Sindrom Hipersensitivitas Alopurinol.................... 26

2.3 Indikasi Pemakaian Alopurinol............................................................... 28

2.4 Penyesuaian Dosis Alopurinol pada Insufisiensi Renal.......................... 29

iv

Page 5: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Manifestasi Klinis AHS.......................................................................... 3

2.2 Rumus Struktur Alupurinol..................................................................... 7

2.3 Skema Sederhana tentang Penanganan Asam Urat................................. 14

2.4 Algoritma Penanganan Gout Akut.......................................................... 19

v

Page 6: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

BAB I. PENDAHULUAN

Alopurinol adalah obat penurun asam urat yang paling sering digunakan

pada pasien dengan gout dan hiperurisemia kondisi lainnya. Telah diperkirakan

bahwa sekitar 2% dari pasien yang diobati dengan alopurinol terdapat reaksi

minor merugikan yang sering menghilang setelah menghentikan obat. Efek

samping serius dan mengancam kehidupan seperti Allopurinol Hypersensitivity

Syndrome (AHS) jarang terjadi. Meskipun reaksi efek samping yang paling

mungkin untuk alopurinol hasil dari individual idiosyncrasies, Hande et al

mengatakan terdapat hubungan langsung antara toksisitas alopurinol yang parah

dengan penurunan clearance kreatinin dan mengusulkan untuk menyesuaikan

dosis alopurinol sesuai dengan tingkat clearance kreatinin untuk mengurangi

risiko toksisitas yang parah. Sejak saat itu telah menjadi suatu praktek umum

untuk mengikuti rekomendasi ini dalam mengobati pasien dengan hiperuricemia

atau gout dengan penurunan tingkat clearance kreatinin (Mellado et al, 2001).

1

Page 7: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi AHS

Allopurinol Hipersensitivity Syndrome (AHS) adalah idiosyncratic cell-

mediated hypersensitivity pada alopurinol yang ditandai dengan ruam

morbilliform difus (yang dapat berkembang menjadi dermatitis eksfoliatif),

eosinofilia, memburuknya fungsi ginjal, dan demam. Faktor risiko historis untuk

AHS termasuk insufisiensi ginjal dan penggunaan diuretik, dan karena sindrom

dapat berakibat fatal, dokter perlu mengelola alopurinol resep hyperuricemia

dengan sangat hati-hati, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal (Abeles,

2012).

2.2 Insiden AHS

Insiden AHS telah dilaporkan berkisar antara 0,1% sampai 0,4% dari

pasien yang diobati (1-4 per seribu pasien). Oleh karena itu, AHS jarang terjadi

tetapi tidak langka karena akan dicurigai dalam praktek klinis. AHS mungkin

terbatas pada reaksi kulit yang parah, seperti nekrolisis epidermal toksik atau

Stevens-Johnson Syndrome, atau mungkin memiliki kombinasi variabel

eosinofilia, leukositosis, demam, hepatitis, dan keterlibatan ginjal. Kematian telah

diperkirakan hingga hampir seperempat dari kasus AHS, dengan penyakit sistem

multiorgan termasuk perubahan hepatoseluler dan gagal ginjal perlu menjadi

perhatian serius (Chao & Terkeltaub, 2009).

Dalam kasus lain yang dilaporkan, gejala terjadi empat sampai enam

minggu setelah memulai alopurinol 200-400 mg setiap hari, dan dalam satu kasus

setelah hanya tujuh hari. Lebih dari sepertiga pasien meninggal akibat gagal

ginjal, infeksi, dan perdarahan gastrointestinal. Jika segera diobati maka

kebanyakan pasien sembuh, meskipun pengobatan steroid berkepanjangan

mungkin diperlukan. Bahaya alopurinol harus dipertimbangkan, terutama sebelum

membuat resep untuk hiperurikemia sekunder tanpa gout klinis, baik tiazid dan

gangguan ginjal tampaknya bisa menjadi faktor predisposisi (Mckendrick &

Geddes, 1979).

2

Page 8: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

2.3 Manifestasi Klinis AHS

Sindrom hipersensitivitas alopurinol terdiri dari ruam makulopapular,

nefritis, hepatitis, demam, dan eosinofilia. Meskipun mungkin dimediasi oleh

kompleks imun, mekanisme yang jelas tidak dipahami. Alopurinol memiliki

waktu paruh serum 1,25 jam tapi metabolit aktif oxypurinol yang memiliki waktu

paruh 18-30 jam. Oxypurinol ditangani dengan cara yang mirip dengan asam urat,

yang dipertahankan pada pasien yang memakai diuretik thiazide dan dengan

gangguan ginjal, sehingga kepekaan terhadap metabolit ini atau mungkin

ribonucleotide alopurinol, yang nasibnya tidak diketahui, mungkin menjadi

penyebabnya. Atau, reaksi imunologis yang persisten, kadang-kadang kondisi

yang mengharuskan pengobatan steroid berkepanjangan, mungkin mencerminkan

cross-reaction dengan purin normal, ribonukleotida, atau asam nukleat

(Mckendrick & Geddes, 1979). Manifetasi klinis AHS dapat dilihat pada Gambar

2.1 (Tausche et al, 2008)

Gambar 2.1 Manifestasi Klinis AHS: exfoliative dermatitis (A), onycholysis (B), alopecia (C).(Sumber: Tausche et al. 2008. The Janus Faces of Allopurinol—Allopurinol Hypersensitivity Syndrome. The American Journal of Medicine, Vol 121, No 3, March 2008).

Ruam, biasanya makulopapular dan terkait dengan pruritus, terdapat pada

sekitar 2% dari pasien yang diobati dengan alopurinol, dan sekitar 20% dari

pasien yang diobati dengan alopurinol dan ampisilin atau amoksisilin. Alopurinol

menginduksi ruam kulit atau pruritus tanpa adanya ampisilin atau amoksisilin

segera diperingati untuk menghentikan pengobatan alopurinol. Desensitisasi oral

alopurinol mulai tingkat mikrogram rendah harian alopurinol, yang hanya berhasil

pada sekitar 50% dari subyek, merupakan kontraindikasi pada severe allopurinol

cutaneous reactions dalam skenario klinis di mana pengobatan uricosuric

3

Page 9: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

merupakan kontraindikasi. Selain itu, proses peracikan rumit dan waktu untuk

pembangunan kembali dosis alopurinol yang efektif umumnya panjang. Pada

beberapa pasien dengan minor cutaneous reaction dalam merespon dosis

alopurinol yang lebih tinggi dari 300 mg / hari, hal ini dapat diterima untuk

mencoba tantangan sederhana serta singkat dan hati-hati, dipantau dengan dosis

alopurinol yang lebih rendah, seperti 100 mg / hari, di mana pengobatan

uricosuric merupakan kontraindikasi. Namun, strategi ini, serta desensitisasi oral

alopurinol, tidak akan tetap menjadi praktek terbaik ketika terdapat pilihan lain

yang dapat diterima yang dapat menurunkan kadar asam urat serum tersedia

(Chao & Terkeltaub, 2009).

Gambaran klinis dari sindrom hipersensitivitas alopurinol telah dijelaskan

dengan baik. Ini biasanya terjadi dalam waktu 3-6 minggu setelah memulai obat

dan ruam kulit, sering demam, merupakan kelainan umum yang pertama dicatat.

Manifestasi kulit yang bervariasi dan termasuk ruam makulopapular, dermatitis

eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik. Disfungsi

hati dan ginjal ditemukan pada 50% pasien yang terkena. Hal ini sering hidup

berdampingan, tetapi dapat terjadi secara terpisah. Jaundice jarang, dan

peninggian aktivitas enzim hati adalah kelainan abnormal yang biasa terjadi.

Keterlibatan ginjal lebih sering terjadi pada pasien dengan adanya penyakit ginjal

atau jika alopurinol digunakan dengan diuretik thiazide. Gagal ginjal kadang-

kadang mungkin memerlukan dialisis, namun baik hati dan lesi ginjal tampaknya

reversibel jika pasien bertahan dari episode akut. Fibrosis paru-paru belum

digambarkan sebagai fitur dari sindrom hipersensitivitas alopurinol namun telah

dicatat sebagai reaksi yang merugikan dari melphalan. Bidang radioterapi

memberikan kepada pasien yakni thoracic spine, membuat hal ini penyebab

kemungkinan fibrosis. Eosinofilia telah menjadi fitur penting dari beberapa

laporan tapi Lang dalam sebuah studi dari 20 kasus ditemukan bahwa itu

merupakan temuan yang tidak konsisten (Stein, 1985).

Sindrom hipersensitivitas alopurinol memiliki kekhasan klinis yang

membedakannya dari sindrom hipersensitivitas yang disebabkan oleh obat lain:

limfadenopati umumnya hadir dan keterlibatan ginjal yang lebih umum. Diagnosis

4

Page 10: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

sindrom hipersensitivitas obat dibuat secara klinis. Sebuah indeks kecurigaan

yang tinggi diperlukan pada pasien dengan riwayat paparan berpotensi memicu

obat dan gambaran klinis yang kompatibel (box). Kematian dari sindrom

hipersensitivitas alopurinol dapat mencapai 25%. Penyebab utama kematian

adalah hati atau gagal ginjal, sepsis, perdarahan gastrointestinal, dan pengelupasan

kulit. Pengobatan meliputi penghentian perawatan obat dan perawatan suportif.

Penggunaan steroid masih kontroversial (Macías et al, 2005).

2.4 Patogenesis AHS

Mekanisme yang tepat di belakang AHS tidak jelas, namun, tiga

mekanisme telah diusulkan (Chan et al, 2006):

1. Faktor Imunologi

Sindrom hipersensitivitas alopurinol telah dilaporkan berhubungan dengan

vaskulitis generalisata, disebabkan oleh reaksi tipe III. Pembentukan kompleks

imun dan presipitasi dalam endotelium vaskular menyebabkan aktivasi dari

protein komplemen dan memicu reaksi inflamasi di dalam dan sekitar dinding

arteriolar. Hipotesis ini didukung oleh konsumsi complement, kehadiran imun

kompleks sirkulasi dan pengendapan antibodi pada organ yang berbeda. Namun,

kasus level complement normal tanpa kompleks imun juga telah dilaporkan dan

diperkirakan bahwa tipe reaksi serum sickness dengan peningkatan level IgE

mungkin menjadi mekanisme yang mendasari dalam kasus ini (Chan et al, 2006).

Cell-mediated atau reaksi tipe IV juga telah disarankan sebagai

patogenesis AHS. Braden et al, menunjukkan T lymphocytes infiltrasi pada biopsi

hati dan peningkatan pada pengaktifan CD8 limfosit di darah perifer, Keduanya

menunjukkan T lymphocyte-mediated hypersensitivity (Chan et al, 2006)

2. Predisposisi Genetik

Keterkaitan yang rentan terhadap Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

dengan human leukocyte antigen-B12 telah disarankan. Hal itu juga telah

mendalilkan bahwa alopurinol dapat menghambat fungsi T-limfosit dan satu studi

menggambarkan pasien dengan AHS dan T-sel limfopenia (Chan et al, 2006).

5

Page 11: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

3. Akumulasi Alopurinol

Di dalam tubuh, alopurinol dengan cepat dimetabolisme menjadi

oxypurinol, senyawa yang bertanggung jawab untuk sebagian besar tindakan

farmakologis obat. Akumulasi dari alopurinol dan oxypurinol dianggap salah satu

faktor risiko AHS. Oxypurinol adalah renally-cleared dan waktu paruhnya sekitar

24 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Namun, pada pasien dengan

insufisiensi ginjal, penghapusan waktu paruh dapat meningkat hingga 125 jam.

Sebagian melaporkan kasus AHS memiliki peningkatan oxypurinol plasma di luar

rentang terapeutik. Namun, ada satu kasus dilaporkan dari AHS pada pasien

dengan tingkat oxypurinol dalam kisaran terapi, dan masih belum jelas mengapa

AHS berkembang pada pasien dengan konsentrasi obat yang tidak tinggi (Chan et

al, 2006).

2.5 Alopurinol

Alopurinol efektif untuk penanganan hiperurikemia pirai primer dan pirai

yang disebabkan gangguan hematologis atau terapi antineoplastik. Berbeda

dengan obat urikosurik yang meningkatkan ekskresi urat melalui ginjal, alopurinol

menghambat tahap akhir biosintesis asam urat. Karena pembentukan asam urat

yang berlebihan merupakan faktor yang ikut andil pada sebagian besar pasien

pirai dan karakteristik kebanyakan tipe hiperurikemia sekunder, alopurinol

merupakan pendekatan terapi yang rasional (Roberts & Morrow, 2008).

2.5.1 Sejarah

Diperkenalkannya alopurinol oleh Hitchings, Elion, dan rekan-rekannya

merupakan suatu contoh yang bagus tentang pengembangan suatu obat dengan

dasar biokimia yang rasional. Awalnya disintesis sebagai calon obat

antineoplastik, alopurinol ternyata tidak mempunyai aktivitas antimetabolik, tetapi

terbukti merupakan suatu substrat dan suatu inhibitor xantin oksidase. Alopurinol

memperlambat inaktivasi merkaptopurin oleh xantin oksidase dan menurunkan

konsentrasi asam urat dalam plasma serta ekskresinya melalui ginjal. Studi klinis

6

Page 12: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

selanjutnya untuk penanganan pirai oleh Rundles dan kerabat kerjanya berhasil

dan dengan cepat dibuktikan (Roberts & Morrow, 2008) .

2.5.2 Kimia dan Sifat Farmakologi

Alopurinol, suatu analog hipoxantin, mempunyai rumus struktur sebagai berikut

Gambar 2.2 :

Gambar 2.2 Rumus Struktur Alopurinol. (Sumber: Roberts II, L. J. & Morrow, J. D. 2008. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Ed. 10, Vol. 1. Jakarta. EGC).

Baik alopurinol maupun metabolit utamanya, yaitu oksipurinol

(aloxantin), merupakan inhibitor xantin oksidase. Penghambatan enzim inilah

yang menghasilkan efek farmakologis utama alopurinol (Roberts & Morrow,

2008).

Pada manusia, asam urat terutama dibentuk melalui oksidasi hipoxantin

dan xantin yang dikatalisis xantin oksidase. Pada konsentrasi rendah, alopurinol

merupakan substrat dan inhibitor kompetitif enzim tersebut; pada konsentrasi

tinggi, senyawa ini merupakan inhibitor nonkompetitif. Oksipurinol, metabolit

alopurinol, yang terbentuk oleh kerja xantin oksidase merupakan suatu inhibitor

enzim nonkompetitif; pembentukan oksipurinol, serta menetapnya senyawa

tersebut di jaringan dalam waktu lama, bertanggung jawab atas banyak aktivitas

farmakologis alopurinol. Penghambatan biosintesis asam urat menurunkan

konsentrasinya dalam plasma dan ekskresinya dalam urin serta meningkatkan

konsentrasi plasma dan ekskresi renal prekursor oksipurin yang lebih larut

(Roberts & Morrow, 2008).

Jika tidak ada alopurinol, kandungan purin dalam urin hampir seluruhnya

berupa asam urat. Selama penanganan dengan alopurinol, purin dalam urin terdiri

7

Page 13: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

atas hipoxantin, xantin, dan asam urat. Karena masing-masing mempunyai

kelarutan yang tidak saling mempengaruhi, konsentrasi asam urat dalam plasma

menurun tanpa memajan saluran urin terhadap muatan asam urat yang berlebihan

dan tanpa memajan kemungkinan pembentukan kalkulus (batu). Dengan

menurunkan konsentrasi asam urat dalam plasma di bawah batas kelarutannya,

alopurinol mempermudah pelarutan tofi dan mencegah terjadinya atau

berkembangnya artritis pirai kronis. Pembentukan batu asam urat hampir hilang

dengan terapi, dan ini mencegah berkembangnya nefropati. Meskipun tampak

bahwa nefropati pirai dapat dipulihkan dengan alopurinol jika diberikan sebelum

fungsi ginjal rusak parah, hanya ada sedikit bukti adanya pembaikan pada

penyakit ginjal yang telah lanjut. Kejadian serangan artritis pirai akut dapat

meningkat selama bulan-bulan awal terapi sebagai akibat mobilisasi simpanan

asam urat dalam jaringan pemberian bersamaan dengan kolkisin membantu

menekan serangan akut tersebut. Setelah kelebihan simpanan asam urat dalam

jaringan berkurang, kejadian serangan akut menurun (Roberts & Morrow, 2008).

Pengendapan xantin dan hipoxantin dalam jaringan biasanya tidak terjadi

selama terapi alopurinol karena bersihan oksipurin dalam ginjal berlangsung

cepat; konsentrasinya dalam plasma hanya sedikit meningkat dan tidak melebihi

kelarutannya. Meskipun kandungan xantin sekitar 50% oksipurin total yang

diekskresi dalam urin dan relatif tidak larut, pembentukan batu xantin selama

terapi alopurinol hanya terjadi kadang-kadang pada pasien dengan pembentukan

asam urat yang sangat tinggi sebelum penanganan. Risiko ini dapat diminimalkan

dengan pembasaan urin dan dengan meningkatkan asupan cairan harian selama

pemberian alopurinol. Pada beberapa pasien, peningkatan ekskresi oksipurin yang

diinduksi alopurinol lebih sedikit daripada pengurangan ekskresi asam urat;

perbedaan ini terutama akibat penggunaan ulang oksipurin dan penghambatan

umpan balik biosintesis purin de novo (Roberts & Morrow, 2008).

2.5.3 Farmakokinetika dan Metabolisme

Alopurinol diabsorpsi relatif cepat setelah ingesti oral, dan konsentrasi

puncak dalam plasma tercapai dalam 60 sampai 90 menit. Sekitar 20% diekskresi

8

Page 14: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

dalam feses dalam 48 sampai 72 jam, kemungkinan sebagai obat yang tidak

terabsorpsi. Alopurinol cepat hilang dari plasma dengan waktu paruh 1 sampai 2

jam, terutama melalui konversi menjadi oksipurinol. Kurang dari 10% dosis

tunggal atau sekitar 30% obat yang diminum selama pengobatan jangka lama

diekskresi dalam bentuk tidak berubah dalam urin. Oksipurinol diekskresi lambat

dalam urin melalui keseimbangan akhir (net balance) filtrasi glomerulus dan

reabsorpsi tubulus yang peka probenesid. Waktu paruh oksipurinol dalam plasma

adalah 18 sampai 30 jam pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal dan

meningkat sebanding dengan penurunan filtrasi glomerulus pada pasien gangguan

ginjal (Roberts & Morrow, 2008).

Alopurinol dan metabolit aktifnya yaitu oksipurinol terdistribusi dalam

keseluruhan air jaringan, kecuali pada otak, yang konsentrasinya sekitar sepertiga

konsentrasi di jaringan lain. Kedua senyawa ini tidak terikat pada protein plasma.

Konsentrasi kedua senyawa tersebut dalam plasma tidak terkorelasi baik dengan

efek terapeutik atau efek toksik (Roberts & Morrow, 2008).

2.5.4 Interaksi Obat

Alopurinol meningkatkan waktu paruh probenesid dan meningkatkan efek

urikosuriknya, sedangkan probenesid meningkatkan bersihan oksipurinol, dengan

demikian meningkatkan kebutuhan dosis alopurinol. Alopurinol menurunkan

metabolisme dan bersihan merkaptopurin (dan azatioprin turunannya); dengan

demikian, dosis merkaptopurin dan azatioprin harus dikurangi jika diberikan

bersama dengan alopurinol. Alopurinol juga dapat mengganggu inaktivasi obat

lain di hati, termasuk obat antikoagulan oral. Meskipun efeknya beragam dan

berdampak klinis hanya pada beberapa pasien, dianjurkan untuk meningkatkan

pemantauan aktivitas protrombin pada pasien yang menerima kedua obat tersebut

(Roberts & Morrow, 2008).

Belum diketahui apakah peningkatan terjadinya ruam kulit pada pasien

yang menerima pengobatan bersamaan alopurinol-ampisilin, dibandingkan

dengan yang teramati jika kedua obat ini diberikan terpisah, dapat dikaitkan

dengan alopurinol atau dengan hiperurikemia. Reaksi hipersensitivitas telah

9

Page 15: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

dilaporkan pada pasien dengan fungsi ginjal yang rusak, terutama yang sedang

menggunakan kombinasi alopurinol dan diuretik tiazid. Pemberian bersamaan

alopurinol dan teofilin menyebabkan peningkatan akumulasi suatu metabolit aktif

teofilin, yaitu 1-metilxantin; konsentrasi teofilin dalam plasma juga dapat

meningkat (Roberts & Morrow, 2008).

2.5.5 Penggunaan Terapeutik

Alopurinol (Zyloprim, Aloprim, dan lain lain) tersedia untuk penggunaan

oral dan memberikan terapi yang efektif untuk hiperurikemia pirai primer dan

pirai yang disebabkan oleh polisitemia vera, metaplasia mieloid, atau diskrasia

darah lainnya (Roberts & Morrow, 2008).

Alopurinol dikontraindikasikan untuk pasien yang pernah menunjukkan

efek merugikan yang parah atau ruam kulit hipersensitivitas akibat pengobatan ini,

ibu menyusui, dan anak-anak, kecuali penderita penyakit ganas atau gangguan

bawaan tertentu yang berkaitan dengan metabolisme purin (Roberts & Morrow,

2008).

Pada pirai, alopurinol umumnya digunakan untuk bentuk kronis parah

yang ditandai dengan satu atau lebih keadaan berikut: nefropati pirai,

pengendapan tofi, batu urat di ginjal, gangguan fungsi ginjal, atau hiperurikemia

yang tidak mudah dikendalikan dengan obat-obat urikosurik (Roberts & Morrow,

2008).

Tujuan terapi ini adalah untuk menurunkan konsentrasi asam urat dalam

plasma di bawah 6 mg/dl (setara dengan 360 μM). Pengobatan tidak boleh dimulai

selama serangan akut artritis pirai. Terapi dimulai dengan dosis rendah untuk

meminimalkan risiko memicu serangan tersebut. Pemberian bersamaan dengan

kolkisin sebagai profilaksis juga dianjurkan selama bulan-bulan pertama terapi

dan kadang-kadang lebih lama lagi. Asupan cairan harus cukup untuk memelihara

volume urin harian di atas 2 liter; lebih baik jika urin sedikit basa. Dosis awal 100

mg sehari dinaikkan dengan penambahan 100 mg pada interval satu minggu

sampai maksimum 800 mg per hari. Dosis lazim pemeliharaan untuk orang

dewasa 200 sampai 300 mg sehari untuk pasien dengan pirai ringan dan 400

10

Page 16: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

sampai 600 mg untuk pasien dengan pirai tofi yang parah sedang. Dosis sehari

yang melebihi 300 mg harus diberikan dalam takaran terbagi. Dosis harus

dikurangi pada pasien yang mengalami gangguan ginjal sebanding dengan

penurunan filtrasi glomerulus (Hande et al, 1984 ).

Alopurinol juga diberikan sebagai profilaksis untuk mengurangi

hiperurikemia dan mencegah pengendapan urat atau batu ginjal pada pasien

leukimia, limfoma, atau tumor ganas lain, terutama saat dimulai terapi

antineoplastik atau radiasi. Dosis 600 sampai 800 mg sehari selama 2 sampai 3

hari dianjurkanl, disertai asupan cairan yang banyak. Pada anak-anak yang

menderita hiperurikemia sekunder yang disebabkan tumor ganas, dosis lazim

adalah 150 sampai 300 mg sehari, tergantung pada usia (Roberts & Morrow,

2008).

Alopurinol menghambat inaktivasi enzimatik merkaptopurin dan

turunannya, azatioprin, oleh xantin oksidase. Jadi, jika alopurinol diberikan

bersama dengan merkaptopurin atau azatioprin oral, dosis obat antineoplastik

tersebut harus dikurangi menjadi seperempat sampai sepertiga dosis lazim. Risiko

supresi sumsum tulang juga meningkat jika alopurinol diberikan bersamaan

dengan obat sitotoksik yang tidak dimetabolisme oleh xantin oksidase, terutama

siklofosfamid (Roberts & Morrow, 2008).

Hiperurikemia iatrogenik yang kadang-kadang diinduksi oleh tiazid dan

obat lain dapat dicegah atau dipulihkan dengan pemberian bersama alopurinol,

walaupun hal ini jarang diperlukan. Alopurinol juga digunakan dalam

menurunkan konsentrasi asam urat yang tinggi dalam plasma pada pasien sindrom

Lesch-Nyhan, dengan demikian mencegah komplikasi yang disebabkan

hiperurikemia; tidak ada bukti bahwa zat ini mempengaruhi ketidaknormalan

perkembangan neurologis dan perilaku yang khas pada penyakit ini (Roberts &

Morrow, 2008).

2.5.6 Efek Toksik

Alopurinol ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien. Efek

merugikan yang paling umum adalah reaksi hipersensitivitas, yang bahkan dapat

11

Page 17: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

terjadi setelah pengobatan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Efek ini biasanya

menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Berbagai reaksi

yang serius telah menghalangi penggunaan lebih lanjut obat ini (Roberts &

Morrow, 2008).

Serangan pirai akut dapat terjadi lebih sering selama bulan-bulan awal

pengobatan dengan alopurinol dan mungkin pada saat yang sama diperlukan

terapi profilaksis dengan kolkisin (Roberts & Morrow, 2008).

Reaksi pada kulit akibat alopurinol yang menonjol adalah erupsi pruritik,

eritema atau makulopapular, tetapi kadang-kadang lesi tersebut berupa urtikaria

atau purpura. Pada sedikit pasien, terjadi nekrolisis epidermal toksik atau sindrom

Stevens-Johnson, yang dapat fatal. Risiko untuk terjadi sindrom Stevens-Johnson

ini terutama terbatas sampai 2 bulan pertama penanganan (Roujeau et al., 1995).

Dapat juga terjadi demam, malaise, dan nyeri otot. Efek tersebut teramati pada

sekitar 3% pasien dengan fungsi ginjal normal tetapi lebih sering pada pasien

yang mengalami gangguan ginjal. Karena onset terjadinya ruam kulit dapat diikuti

dengan reaksi hipersensitivitas parah, alopurinol harus dihentikan pada pasien

yang mengalami ruam tersebut (Roberts & Morrow, 2008).

Leukopenia atau leukositosis sesaat dan eosinofilia merupakan reaksi yang

jarang tetapi mungkin memerlukan penghentian terapi. Dapat juga terjadi

hepatomegali dan peningkatan tingkat aktivitas aminotransferase dalam plasma

dan berkembangnya insufisiensi ginjal (Roberts & Morrow, 2008).

Alopurinol merupakan inhibitor xanthine oxidase, yang mencegah

produksi asam urat. Obat ini umumnya digunakan dalam pengobatan asam urat

dan mencegah sindrom lisis tumor. Waktu paruh allopurinol dan metabolit

utamanya, oxypurinol, tergantung pada fungsi ginjal. Pengurangan dosis

dianjurkan, berkaitan dengan laju filtrasi glomerulus. Alopurinol memiliki efek

samping yang jelas, mulai dari ruam terisolasi sampai ancaman nekrolisis

epidermal toksik. Lesi ginjal yang khas adalah nefritis interstisial akut. Alopurinol

harus segera dihentikan jika pasien mendapatkan ruam setelah obat telah dimulai.

Namun, sindrom hipersensitivitas alopurinol juga dapat terjadi setelah bertahun-

tahun terapi dilakukan. Alopurinol harus dipertimbangkan sebagai obat yang

12

Page 18: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

berpotensi nefrotoksik dan dihentikan jika penyebab gagal ginjal akut atau akut-

kronis masih belum jelas (Bennet et al, 2009).

2.6 Gout

Gout adalah masalah umum, yang mempengaruhi setidaknya 1% dari laki-

laki di negara-negara Barat (Lee et al, 2008). Gambaran klinis gout kembali ke

zaman kuno, dan bukti dari penyakit ini telah ditemukan pada awal prasejarah.

Dokter sejak zaman Hippocrates telah berusaha untuk memahami asal-usul gout

dan meringankan penderitaan mereka. Obat modern telah menyebabkan

pemahaman yang lebih jelas dari jalur biokimia metabolisme nukleotida purin,

yang mengarah pada pembentukan monosodium urat (MSU) kristal dan

patogenesis klinis gout. Akibatnya, kemajuan dalam terapi telah membuat salah

satu dari gout yang rematik penyakit yang paling mudah dikelola. Meskipun

review lengkap dari metabolisme purin, penanganan asam urat, dan mekanisme

patogenik gout klinis adalah di luar lingkup artikel ini, gambaran singkat dari

masing-masing diperlukan untuk lebih memahami strategi terapi saat ini untuk

gout. Gambar 2.3 menggambarkan skema sederhana dari penanganan urat dan

faktor-faktor yang dapat memiliki dampak positif maupun negatif dalam konteks

manajemen gout (Cannella & Mikuls, 2005).

13

Page 19: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Gambar 2.3 Skema Sederhana tentang Penanganan Asam Urat. (Sumber: Cannella & Mikuls. 2005. Understanding Treatments for Gout. Am J Manag Care. 2005;11:S451-S458).

2.6.1 Metabolisme Purin dan Hyperuricemia

Purin sangat penting untuk berbagai fungsi fisiologis normal. Mereka

adalah blok bangunan penting untuk asam nukleat (deoxyribonucleic acid dan

ribonukleat), utusan ekstra-dan intraseluler (adenosin trifosfat dan G-protein

coupled reaksi), regulator metabolik (adenosin monofosfat siklik), koenzim,

antioksidan, dan neurotransmiter. Pada manusia, asam urat adalah produk akhir

dari degradasi purin. Hal itu muncul sebagai ion urat pada pH fisiologis dan

memiliki kemungkinan kecil untuk larut. Enzim oksidase xanthine diperlukan

untuk konversi xanthine menjadi urat. Manusia tidak memiliki enzim oksidase

urat (uricase), yang mengubah urat pada spesies lain menjadi senyawa yang

sangat larut yakni allantoin. Hal ini mungkin berkaitan dengan manfaat

kelangsungan hidup karena fungsi asam urat sebagai antioksidan. Oksidase urat

14

Page 20: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

hadir dalam sebagian besar ikan, amfibi, dan mamalia nonprimate (Cannella &

Mikuls, 2005).

Sekitar sepertiga dari beban urat harian berasal dari sumber makanan,

dengan sisanya dihasilkan secara endogen. Setelah urat telah dibentuk, dapat

dihilangkan dengan saluran pencernaan atau ginjal, atau disimpan dalam jaringan.

Ekskresi enterik bertanggung jawab untuk menangani sepertiga dari beban urat

harian. Sisanya ditangani terutama oleh ginjal. Sekitar 95% dari urat disaring oleh

glomerulus dan kemudian bergerak ke dalam bidirectional Proximal Convouted

Tubule (PCT) dengan reabsorpsi presecretory (99%), sekresi (50%), dan

reabsorpsi postsecretory (40% -50%). Gerakan urat tercapai melalui beberapa

saluran anion transmembran yang baru dijelaskan. Keseimbangan antara sekresi

PCT dan kegiatan reabsorpsi memberikan pengaruh besar pada ekskresi asam urat

melalui ginjal. Meskipun kapasitas yang keluar dari ginjal dapat meningkat

dengan hyperuricemia, kompensasi seringkali tidak cukup. Oleh karena itu,

mayoritas (90%) dari pasien dengan gout primer, hasil hyperuricemia dari

underexcretion ginjal relatif, sedangkan pada 10% dari pasien ada kelebihan asam

urat endogen (Cannella & Mikuls, 2005).

2.6.2 Faktor Risiko dan Komorbiditas Penyakit Gout

Transisi dari hyperuricemia untuk pembentukan kristal asam urat dan

peradangan berikutnya tergantung pada beberapa faktor dalam lingkungan mikro

lokal, termasuk pH dan suhu. Setelah kristal terbentuk, respon inflamasi yang

intens dipicu. Ada interaksi awal dengan sel mononuklear, yang menghasilkan

pelepasan sitokin inflamasi dan kemokin, mengakibatkan rekrutmen neutrofil dan

aktivasi. Setelah neutrofil bermigrasi ke tempat peradangan, ada fagositosis

agresif dari kristal asam urat, apoptosis fagositik tertunda, dan, akhirnya, kematian

neutrofil dengan enzim besar dan pelepasan mediator, yang mengarah ke serangan

gout akut secara klinis (Cannella & Mikuls, 2005).

Meskipun jelas bahwa hyperuricemia adalah pertanda gout, baik faktor

genetik dan lingkungan diakui sebagai kontributor untuk pengembangan

hyperuricemia. Hipertensi, penggunaan diuretik seperti thiazide atau loop,

15

Page 21: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

obesitas, asupan alkohol yang tinggi, dan faktor makanan tertentu (misalnya,

konsumsi daging tinggi) semua berkontribusi secara aditif untuk risiko

pengembangan hyperuricemia dan asam urat. Ini adalah faktor risiko yang dapat

dimodifikasi, dan penargetan perilaku gaya hidup dan kesehatan sangat penting

tidak hanya untuk pencegahan sekunder dan pengobatan asam urat, tetapi juga

untuk kesehatan keseluruhan dari pasien (Cannella & Mikuls, 2005).

Misalnya, ada korelasi yang kuat antara obesitas, hiperurisemia asam urat,

dan. Selanjutnya, hiperinsulinemia dan sindrom resistensi insulin (sindrom

metabolik) telah diperkirakan terjadi pada 95% dan 76% dari penderita asam urat,

pada kasus tertentu. Hiperinsulinemia merangsang tubulus ginjal natrium

hidrogen-exchanger untuk menyerap kembali natrium dan asam urat, hipertensi

dan mengakibatkan hyperuricemia, pada kasus tertentu. Selain obesitas

sentripetal, hipertensi, dan hyperuricemia, insulin resistance syndrome sering

dikaitkan dengan hipertrigliseridemia, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung

koroner. Memang, banyak penelitian telah menunjukkan sebuah asosiasi

hyperuricemia dengan morbiditas maupun mortalitas kardiovaskular. Dengan

demikian, bahkan tanpa adanya gout klinis, hyperuricemia dapat berfungsi sebagai

marker pengganti yang penting dari resistensi insulin dan warrant screening dan

pengobatan untuk penyakit penyerta (komorbiditas) tersebut (Cannella & Mikuls,

2005).

2.6.3 Pengobatan Gout: Gaya Hidup dan Faktor Kesehatan

Faktor diet. Konsumsi daging dan kerang tinggi purin telah dikaitkan

dengan peningkatan risiko gout, namun konsumsi sayuran yang kaya purin,

seperti bayam, belum (Cannella & Mikuls, 2005).

Diet rendah purin yang tradisional, dahulu adalah andalan manajemen gout

, sulit bagi pasien untuk mematuhi dan sekarang kurang penting karena terapi

penurun urat yang ampuh dan efektif telah tersedia. Intervensi diet telah mendapat

perhatian baru-baru ini, bagaimanapun, karena asosiasi hyperuricemia dengan

resistensi insulin. Dalam sebuah studi pilot laki-laki dengan gout, kadar serum

asam urat dan tingkat serangan rematik akut secara signifikan menurun sebesar

16

Page 22: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

17,5% dan 71%, secara berturut-turut, dengan diet cukup dibatasi kalori dan

karbohidrat dan meningkatkan asupan protein proporsional dan lemak tak jenuh.

Selain itu, berat badan dan trigliserida menurun secara signifikan. Efek

menguntungkan dari diet ini kemungkinan besar dimediasi melalui peningkatan

sensitivitas insulin, mengurangi kadar insulin plasma, dan peningkatan ekskresi

urat melalui ginjal dengan penurunan seiring tingkat serum asam urat (Cannella &

Mikuls, 2005).

Intake Alkohol. Konsumsi alkohol juga erat dikaitkan dengan gout, dan

diperkirakan bahwa lebih dari setengah dari penderita asam urat minum

berlebihan. Beberapa faktor berkontribusi terhadap hubungan ini: transient laktic

acidemia dari kelebihan alkohol akut mengurangi ekskresi urat melalui ginjal,

konsumsi alkohol jangka panjang merangsang produksi purin, alkohol (terutama

bir) mengandung purin, dan minuman terkontaminasi timbal (yaitu, moonshine)

mengurangi ekskresi urat ginjal . Pada pasien dengan hyperuricemia, riwayat

alkohol harus dicari, dengan rekomendasi yang kuat untuk mengurangi atau

menghentikan minum (Cannella & Mikuls, 2005).

Hipertensi dan Pengobatan. Hipertensi mengurangi ekskresi urat melalui

ginjal menyebabkan hyperuricemia. Tiazid dan loop diuretik, sering digunakan

dalam pengobatan hipertensi, secara lanjut dapat meningkatkan kadar serum asam

urat dengan mengganggu transpor ion tubular ginjal dan menyebabkan penurunan

volume efektif, yang menyebabkan reabsorpsi urat PCT. Siklosporin,

immunosuppressant yang biasa digunakan untuk mencegah penolakan graft pada

pasien yang menjalani transplantasi organ padat, secara substansial mengurangi

clearance ginjal serum urat, menyebabkan hyperuricemia baik dan peningkatan

risiko gout. Obat yang umum digunakan lainnya yang mempengaruhi penanganan

ginjal terhadap asam urat adalah aspirin dan estrogen. Aspirin dosis rendah

(hingga 1-2 g / hari) menurunkan ekskresi urat melalui ginjal, terutama dalam

pengaturan albumin yang rendah. Paradoksnya, aspirin dosis tinggi sebenarnya

memiliki efek uricosuric, menyebabkan peningkatan ekskresi asam urat. Estrogen

juga memberikan sebuah efek uricosuric. Ada kemungkinan bahwa penggunaan

penurunan pengganti estrogen pascamenopause dapat menyebabkan peningkatan

17

Page 23: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

asam urat pascamenopause dan onset usia dini. Seperti dibahas di bawah, 2 obat

kardiovaskular, losartan dan fenofibrate, juga memiliki efek uricosuric (Cannella

& Mikuls, 2005).

2.6.4 Pengobatan Gout: Farmakoterapi

Meskipun terapi non obat tentu saja memainkan peran penting dalam

manajemen gout, terapi farmakologis tetap menjadi andalan. Kebanyakan orang

dengan hyperuricemia asimtomatik tidak menunjukan gejala klinis gout, sehingga,

dalam banyak kasus, pengobatan tidak diperlukan. Namun, hyperuricemia harus

dianggap sebagai penanda untuk penyakit penyerta terkait, seperti diuraikan di

atas, dan komorbiditas ini harus diskrining dan dirawat. Meskipun agak

kontroversial, pengecualian pengobatan yang mungkin meliputi kadar asam urat >

13 mg / dL (733 μmol / L) pada pria dan > 10 mg / dL (595 μmol / L) pada wanita

karena mungkin memiliki risiko nefrotoksik; ekskresi asam urat kemih > 1100 mg

/ hari (6,5 mmol / hari), yang meningkatkan risiko nefrolitiasis. Selain itu, terapi

penurun urat diindikasikan pada pasien beresiko untuk sindrom lisis tumor karena

pergantian sel yang tinggi, seperti yang menjalani pengobatan untuk leukemia

(Cannella & Mikuls, 2005).

Pengobatan Gout akut. Tujuan terapi adalah resolusi cepat nyeri dan

peradangan terlihat pada Gambar 2.4. Obat anti inflamasi non steroid (NSAID)

adalah pengobatan pilihan pada kebanyakan pasien dengan gout akut yang sehat.

Sejumlah penelitian head-to-head telah menunjukkan sebagian besar NSAID

hampir setara; dengan demikian, pilihan NSAID adalah tidak sepenting memulai

terapi awal serangan. Lebih dari 90% pasien akan mengalami resolusi lengkap

dari serangan dalam waktu 5 sampai 8 hari. Dosis lebih tinggi mungkin

diperlukan dalam 24 sampai 48 jam pertama dan harus menurun sesuai gejala.

Sayangnya, penggunaan NSAID dibatasi oleh efek samping, dan mereka harus

digunakan dengan hati-hati atau tidak sama sekali pada pasien dengan salah satu

dari berikut: gangguan ginjal yang signifikan, gagal jantung kongestif kurang

terkontrol, riwayat atau penyakit ulkus peptikum aktif, terapi antikoagulasi , atau

disfungsi hati (Cannella & Mikuls, 2005).

18

Page 24: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Gambar 2.4 Algoritma Penanganan Gout Akut. (Sumber: Cannella & Mikuls. 2005. Understanding Treatments for Gout. Am J Manag Care. 2005;11:S451-S458).

Colchicine berasal dari crocus musim gugur dan telah digunakan secara

luas sejak tahun 1800-an, 40 pertama sebagai ekstrak tumbuhan dan kemudian

dalam bentuk pil. Mekanisme tindakan adalah karena gangguan dari tubulin

dimers dan fungsi leukosit berikutnya, termasuk diapedesis, degranulasi

lisosomal, dan kemotaksis. Colchicine adalah yang paling efektif selama 12

sampai 24 jam pertama serangan. Hal ini dapat diberikan secara oral atau

intravena, namun memiliki rasio benefit-to-toxicity terkecil dari semua obat yang

digunakan dalam pengelolaan gout dan karenanya harus digunakan dengan hati-

hati (Cannella & Mikuls, 2005).

Colchicine oral tidak boleh digunakan pada pasien yang mual, muntah,

diare, dan sakit perut. Toksisitas nongastrointestinal utama colchicine adalah

neuromyopathy, yang lebih sering terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal

dan mereka mengkonsumsi siklosporin atau statin secara bersamaan. Colchicine

tidak boleh digunakan pada pasien dengan leukopenia atau gangguan ginjal atau

hati yang signifikan. Colchicine intravena (IV) harus digunakan hanya di rumah

sakit oleh dokter berpengalaman dengan penggunaannya, dan pasien seharusnya

tidak menerima colchicine oral untuk setidaknya 7 hari sebelum pemberian IV.

Dosis total colchicine IV tidak boleh melebihi 3 sampai 4 mg. Tidak tersedia

19

Page 25: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

untuk digunakan di banyak negara, colchicine IV dapat menyebabkan nekrosis

jaringan dengan ekstravasasi vena dan anafilaksis. Kematian telah dilaporkan

karena penyalahgunaan colchicine IV, dan penggunaan rutin tidak dianjurkan

(Cannella & Mikuls, 2005).

Kortikosteroid dapat digunakan untuk pasien dengan respon suboptimal

atau kontraindikasi baik colchicine atau NSAID, dan dapat diberikan secara oral,

intravena, intramuskuler, atau tidak langsung melalui kortikotropin (ACTH).

Kortikosteroid adalah terapi yang efektif karena efek anti inflamasi mereka. Intra-

artikular kortikosteroid sangat bermanfaat jika hanya 1 atau 2 sendi yang terlibat.

Prednison oral dapat diberikan dengan dosis 30 sampai 60 mg setiap hari selama 1

sampai 3 hari kemudian menurun selama 1 sampai 2 minggu. Steroid parenteral

berguna jika pasien tidak dapat minum obat oral, tetapi tidak memiliki keuntungan

terapi jika dosis oral berlebih. Kebanyakan pasien akan mendapatkan peningkatan

dalam 12 sampai 24 jam pertama, dengan resolusi gejala dalam 7 sampai 10 hari

berikutnya (Cannella & Mikuls, 2005).

ACTH disekresi dari kelenjar hipofisis dan merangsang korteks adrenal

untuk memproduksi kortisol, kortikosteron, dan androgen lainnya. Mekanisme

yang jelas tentang tindakan manjur dalam mengatasi gout tidak diketahui, tetapi

mungkin akibat pelepasan hormon anti-inflamasi atau modulasi leukosit melalui

reseptor ACTH. ACTH telah terbukti bekerja lebih cepat daripada indometasin,

tetapi waktu untuk resolusi mirip dengan steroid sistemik. ACTH dapat digunakan

pada pasien dengan beberapa masalah medis, termasuk gagal jantung kongestif,

insufisiensi ginjal kronis, dan penyakit ulkus peptikum, namun penggunaannya

tergantung kenyamanan pasien (melalui suntikan intramuskular), biaya, dan

ketersediaan (Cannella & Mikuls, 2005).

Pengobatan Gout Kronik. Meskipun ada sedikit argumen bahwa gout akut

harus dirawat untuk mencoba meminimalkan ketidaknyamanan pasien, ada

perdebatan tentang kapan untuk memulai terapi penurun urat. Terapi penurun urat

memiliki biaya efektif bagi pasien yang mengalami 2 atau lebih serangan gout per

tahun. Beberapa dokter menganjurkan mengobati gout pada pasien yang

mengalami lebih dari 4 serangan per tahun karena berbagai macam sifat periode

20

Page 26: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

intercritical. Tujuan umum dari terapi antihyperuricemic adalah untuk

menurunkan konsentrasi serum asam urat untuk setidaknya 5 sampai 6 mg / dL

(297-357 μmol / L), satu level di bawah, di mana MSU jenuh dalam cairan

ekstraselular (Cannella & Mikuls, 2005).

Terlepas dari terapi penurun urat yang dipilih, penting untuk

mempertimbangkan kebutuhan untuk anti-inflamasi profilaksis (lihat

"Rekomendasi Perawatan" di bawah), karena rebound gout flares mungkin

merupakan efek samping yang paling umum memperumit pengelolaan gout

kronis. Selain itu, beberapa pasien akan memiliki flare akut artritis gout saat

menerima terapi pemeliharaan penurun urat (misalnya, selama penyakit akut),

dan, dalam banyak kasus, terapi penurun urat harus dilanjutkan dan flare gout akut

diobati dengan tepat (Cannella & Mikuls, 2005).

Kelas yang paling umum digunakan dalam obat penurun asam urat adalah

agen uricostatic, yang menghambat xanthine oxidase dan menyebabkan

penurunan produksi asam urat. Alopurinol dan oxypurinol metabolit aktifnya

(belum tersedia secara komersial di Amerika Serikat) mengurangi kadar asam urat

serum dan urin. Alopurinol diberikan dalam dosis sekali sehari tetapi harus

disesuaikan dengan fungsi ginjal. Efek samping termasuk ruam, gatal-gatal,

cytopenias, diare, dan demam. Desensitisasi dapat dicoba jika reaksi

hipersensitivitas ringan, seperti ruam, terjadi tetapi gejala bisa kambuh. Sindrom

hipersensitivitas alopurinol tergantung dosis ada yang mencakup demam,

eosinofilia, ruam, hati dan disfungsi ginjal, dan vasculitis, dengan tingkat

kematian sekitar 20%. Pasien dengan insufisiensi ginjal yang mendapat terapi

diuretik memiliki risiko terbesar. Alopurinol memiliki 2 interaksi obat bahwa

memberikan perhatian: satu adalah potensiasi efek imunosupresif dan cytolytic

dari azathioprine. Penggunaan gabungan harus dihindari jika mungkin, atau dosis

azathioprine harus nyata dikurangi. Kedua, penggunaan bersamaan dengan

ampisilin menyebabkan ruam makulopapular (Cannella & Mikuls, 2005).

Kelas kedua obat penurun asam urat adalah agen uricosuric, probenesid

dan sulfinpyrazone, yang bertindak atas jalur transportasi asam urat anion ginjal

untuk meningkatkan ekskresi asam urat dalam urin. Agen-agen ini harus

21

Page 27: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

digunakan hanya pada pasien yang hyperuricemia hasil dari underexcretion asam

urat (800 mg/24 jam). Ketika terapi dimulai, uricosuria intens dapat menyebabkan

pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal dan batu kemih. Untuk

meminimalkan risiko ini, agen ini harus dimulai pada dosis rendah dan secara

bertahap meningkat. Volume urin yang tinggi juga harus dipelihara dan

alkalinisasi urin dipertimbangkan. Agen uricosuric harus dihindari pada pasien

dengan riwayat nefrolitiasis dan tidak efektif apabila diberikan pada pasien

dengan insufisiensi ginjal. Efek samping utama termasuk ruam, intoleransi

gastrointestinal, dan pembentukan batu asam urat. Salah satu keterbatasan obat

uricosuric adalah bahwa dosis rendah aspirin dapat memblokir efek uricosuric

mereka (Cannella & Mikuls, 2005).

Losartan adalah antagonis reseptor angiotensin II dengan efek uricosuric.

Losartan juga meningkatkan pH urin, yang mencegah pembentukan batu.

Fenofibrate micronized merupakan turunan asam fibric digunakan untuk

menurunkan lipid serum. Fenofibrate juga mengurangi reabsorpsi asam urat

tubulus ginjal dan meningkatkan ekskresinya. Dengan kedua agen, efek uricosuric

adalah independen yakni antagonisme angiotensin dan penurun efek lipid, secara

berturut turut. Agen-agen ini mungkin sangat berguna pada pasien dengan gout

yang bersamaan dengan hipertensi atau hiperlipidemia (Cannella & Mikuls,

2005).

Beberapa agen yang terpercara sedang diteliti untuk pengobatan gout

kronis. Febuxostat adalah novel oral nonpurine selektif inhibitor xanthine oxidase.

Dosis oral harian secara signifikan mengurangi asam urat serum, dan ditoleransi

dengan baik. Febuxostat dimetabolisme oleh hati dan tampaknya relatif ditoleransi

dengan baik pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Sampai ke beberapa efek tak

diinginkan dari alopurinol terkait dengan senyawa purin analog dan tidak

menghambat xanthine oxidase, febuxostat mungkin menjadi pilihan yang baik

pada pasien intoleran terhadap alopurinol. Selain itu, febuxostat tampaknya

memiliki efek penurun urat secara signifikan lebih kuat daripada alopurinol dalam

dosis standar, hal ini menunjukkan bahwa agen ini mungkin sangat membantu

dalam kesulitan menerapi pasien (Cannella & Mikuls, 2005).

22

Page 28: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Sebuah agen yang diteliti kedua adalah oksidase urat (uricase), yang

menengahi konversi asam urat menjadi alantoin, molekul lebih mudah larut.

Persiapan meliputi oksidase urat rekombinan dan nonrecombinant dari jamur,

termasuk rasburicase dari Aspergillus flavus. Rasburicase telah efektif dalam

pencegahan sindrom lisis tumor akut, tetapi ketika diberikan secara parenteral

dapat sangat imunogenik, memicu anafilaksis. Modifikasi dengan lampiran

kovalen dari polyethylene glycol (PEG) tampaknya mengurangi imunogenisitas

dan memperpanjang beredar paruh enzim, membuat penggunaan PEG-uricase

pengobatan berpotensi layak untuk gout. Studi meneliti efikasi dan tolerabilitas

PEG-uricase parenteral dalam pengobatan asam urat saat ini sedang berlangsung

(Cannella & Mikuls, 2005).

2.6.5 Rekomendasi Penanganan

Meskipun gout ini mudah diobati, terdapat kesalahan pengobatan yang

umum. Tujuan dari pengobatan flare gout akut adalah untuk cepat mengendalikan

peradangan dan mengurangi rasa sakit dan penderitaan. Ketika memulai

pengobatan, kondisi komorbiditas mendikte pemilihan obat. Pada pasien yang

sehat, terapi awal dengan colchicine NSAID atau oral dapat diterima. Pada pasien

dengan insufisiensi ginjal (serum kreatinin 2 mg / dL atau bersihan kreatinin 50

mL / menit), prednison 30 sampai 60 mg / hari mungkin cocok. Terapi

kortikosteroid intraartikular harus dipertimbangkan ketika satu sendi yang

dipengaruhi. Pengobatan dengan obat oral biasanya ditapering dengan perbaikan

gejala dan dapat dihentikan dalam waktu 2 minggu dalam kebanyakan kasus. Obat

penurun urat tidak boleh dimulai sampai setelah serangan akut benar-benar

diselesaikan (Cannella & Mikuls, 2005).

Sebagian besar reumatologis akan setuju bahwa terapi penurun asam urat

harus dimulai pada pasien dengan setidaknya 2 flare rheumatoid gout akut per

tahun dan pada mereka dengan deposito tophaceous atau erosi gout pada

radiografi. Tabel 2.1 menguraikan mutiara klinis untuk pengobatan gout kronis.

Pemilihan terapi jangka panjang sekali lagi harus dipandu oleh kondisi

komorbiditas. Dalam kebanyakan kasus tanpa kontraindikasi, terapi profilaksis

23

Page 29: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

dengan colchicine (0,6 mg setiap hari dua kali sehari), NSAID, atau kortikosteroid

oral dimulai bersamaan untuk menghindari rebound flare selama fluktuasi kadar

asam urat. Setidaknya 1 studi baru-baru ini menunjukkan bahwa terapi profilaksis

harus diperpanjang selama minimal 3 sampai 6 bulan selama inisiasi terapi

penurun asam urat. Meskipun dosis rendah colchicine dan / atau NSAID dapat

digunakan jangka panjang untuk mencegah serangan gout tanpa adanya terapi

penurun urat, penting untuk memahami bahwa penggunaan obat ini sendiri saja

tidak mencegah deposisi urat pada jaringan atau kerusakan jaringan yang terjadi

sebagai hasilnya (Cannella & Mikuls, 2005).

Tabel 2.1 Pengobatan Gout Kronik: Mutiara Klinis• Pertimbangkan inisiasi terapi penurun urat pada pasien dengan lebih dari 2 serangan per tahun.• Jangan memulai obat penurun urat selama serangan akut. Jika seorang pasien dengan obat penurun urat mengalami flare akut, jangan menghentikan pengobatan penurun urat.• Dua puluh empat jam ekskresi asam urat urin tidak secara rutin diukur, meskipun harus dipertimbangkan sebelum memulai uricosuric .• Alopurinol biasanya merupakan obat pilihan untuk terapi awal, tetapi uricosurics dapat digunakan pada pasien alergi alopurinol dengan fungsi ginjal normal, underexcretion asam urat, dan tidak ada riwayat nefrolitiasis.• Gunakan profilaksis bersamaan dengan colchicine oral atau NSAID (jika tidak ada kontra-indikasi) saat memulai terapi penurun urat.• Secara rutin mengukur kadar asam urat serum (setiap 3-6 bulan) dan menyesuaikan obat sampai target asam urat < 6 mg / dL dicapai.• Pertimbangkan dan mengobati komorbiditas terkait seperti obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, dan penyakit jantung koroner.

Sumber: Cannella & Mikuls. 2005. Understanding Treatments for Gout. Am J Manag Care. 2005;11:S451-S458)

Dalam memilih terapi penurun urat, alopurinol biasanya merupakan obat

pilihan dan harus dimulai dengan dosis rendah (50 mg / hari) pada pasien dengan

riwayat gagal ginjal (yaitu, mereka yang berisiko terbesar untuk sindrom

hipersensitivitas alopurinol). Agen uricosuric (yaitu, probenesid dan

sulfinpyrazone) tidak boleh digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang

signifikan atau riwayat nefrolitiasis. Setelah urat-terapi penurun telah dimulai,

serum pengukuran asam urat harus diperiksa secara teratur (setiap 3-6 bulan) dan

24

Page 30: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

dosis obat disesuaikan untuk mencapai tingkat asam urat <6 mg / dL (Cannella &

Mikuls, 2005).

Modifikasi perilaku, seperti penurunan berat badan dan penghentian

konsumsi alkohol, juga harus dianjurkan. Selanjutnya, pasien tanpa kontraindikasi

perlu didorong untuk tetap pada terapi penurun urat, karena kepatuhan sulit untuk

dipertahankan. Pentingnya intervensi seumur hidup telah ditunjukkan dalam

beberapa studi yang meneliti efek dari penarikan alopurinol pada pasien yang

stabil dengan gout (Cannella & Mikuls, 2005).

2.7 Faktor Risiko AHS

Baru-baru ini, keberadaan HLA-B58 (dan, khususnya, HLA-5801 alel

pada subyek keturunan Cina Han) telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama

untuk reaksi alopurinol kulit yang parah di kedua pihak Cina Han dan kohort

Eropa. Pemahaman faktor risiko AHS saat ini diringkas dalam Tabel 2.2 dan telah

ditinjau secara rinci di tempat lain. Yang terpenting, hubungan antara konsentrasi

oxypurinol dan AHS tetap tidak terbukti, seperti halnya dengan beberapa reaksi

kulit ringan. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa dosis pengurangan

sistematis pada penyakit ginjal melemahkan resiko AHS. Dalam konteks ini,

banyak pasien dengan CKD dan AHS telah dilaporkan untuk mengelola AHS

pada fungsi ginjal yang disesuaikan dengan dosis alopurinol. Hung et al.

mengamati tidak ada perbedaan yang signifikan pada dosis antara pasien dengan

allopurinol-induced severe cutaneous reactions dibandingkan dengan pasien

toleran alopurinol. Vazquez-Mellado et al. melakukan studi retrospektif pasien

gout dengan alopurinol lebih dari 1 bulan, dan pada semua pasien dosis inisial

yang telah disesuaikan dengan CrCl. Dalam kelompok-kelompok yang memiliki

dosis maintenance yang disesuaikan atau di mana dosis meningkat melampaui

fungsi ginjal berbasis pedoman, hanya satu pasien yang mengalami AHS, dan

individu ini memiliki fungsi ginjal normal dan menerima 300 mg / hari alopurinol

(Chao & Terkeltaub, 2009).

25

Page 31: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Tabel 2.2 Faktor Risiko untuk Sindrom Hipersensitivitas Alopurinol

Pasti

Onset terapi alopurinol baru-baru ini (beberapa bulan)

HLA-B58 alel pada subyek keturunan Han Cina dan Eropa

Penyakit ginjal kronis

Disarankan oleh beberapa data pada saat ini

Terapi thiazide diuretik yang diberikan bersamaan

Alopurinol dosis tinggi relatif terhadap fungsi ginjal

Alopurinol digunakan pada pasien dengan hyperuricemia asimtomatik

Sumber: Chao, J., & Terkeltaub, R. 2009. A Critical Reappraisal of Allopurinol Dosing, Safety, and Efficacy for Hyperuricemia in Gout.

Faktor risiko lebih lanjut tampaknya pengobatan bersama dengan diuretik

thiazide. Analisis baru-baru ini mengungkapkan bahwa alopurinol sering

diresepkan dalam dosis hingga 300 mg sehari-kadang pada pasien dengan

hyperuricemia tanpa gejala. Untuk menghindari sindrom hipersensitivitas

allopurinol dengan konsekuensi yang berpotensi mematikan, adaptasi dosis untuk

fungsi ginjal adalah wajib (Tausche et al, 2008).

2.8 Kriteria Diagnosis AHS

Pada tahun 1986, Singer dan Wallace mengembangkan kriteria diagnostik

untuk sindrom hipersensitivitas alopurinol setelah secara retrospektif memeriksa

catatan dari 14 pasien yang telah didiagnosis dengan sindrom (Buna, 2000):

1. sejarah yang jelas dengan paparan alopurinol

2. gambaran klinis yang terdiri dari A atau B, sebagai berikut:

A. setidaknya 2 dari kriteria utama berikut:

(i) memburuknya fungsi ginjal

(ii) cedera akut hepatoseluler

(iii) ruam, termasuk baik nekrolisis epidermal toksik, eritema

multiforme, atau makulopapular difus atau dermatitis eksfoliatif

B. salah satu kriteria utama di atas ditambah setidaknya satu dari kriteria

minor berikut:

26

Page 32: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

(i) demam

(ii) eosinofilia

(iii) leukositosis

3. kurangnya paparan obat lain yang dapat menyebabkan gambaran klinis yang

serupa.

Pada tahun 1993, Arellano dan Sacristan memodifikasi kriteria ini setelah

memeriksa 101 kasus yang telah dilaporkan sampai saat itu. Karena ruam telah

berkembang pada semua kecuali satu kasus, mereka merasa bahwa penampilan

ruam harus menjadi kriteria tertentu. Mereka juga menghilangkan demam dan

leukositosis, karena mereka merasa bahwa ini tidak cukup spesifik untuk

digunakan sebagai kriteria tertentu. Oleh karena itu, mereka memodifikasi kriteria

2 untuk menyatakan bahwa gambaran klinis harus mencakup ruam dan setidaknya

salah satu dari kriteria berikut (Buna, 2000):

(i) memburuknya fungsi ginjal

(ii) cedera akut hepatoseluler

(iii) ditandai eosinofilia

2.9 Pencegahan AHS

Pencegahan AHS, selain menjadi pendorong utama dari pedoman oleh

Hande et al, tetap menjadi perhatian utama kalangan dokter. Sindrom

hipersensitivitas Alopurinol bisa dicegah dengan menghindari terapi alopurinol

kecuali benar-benar diindikasikan (Tabel 2.3). Alopurinol tidak diindikasikan

pada hyperuricemia asimtomatik (termasuk thiazide-induced hyperuricemia),

uncomplicated gout, serangan gout akut, atau simtomatologi yang jelas dianggap

gout. Banyak ulasan telah melaporkan bahwa banyak pasien yang mengalami

sindrom hipersensitifitas saat menerima alopurinol pada hyperuricemia tanpa

gejala, indikasi yang tidak dianggap membawa rasio benefit-risk yang

menguntungkan (Buna, 2000).

27

Page 33: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Tabel 2.3 Indikasi Pemakaian Alopurinol Tophaceous gout Mayor overproduksi asam urat (ekskresi urin > 900 mg asam urat setiap 24

jam saat diet purin dengan pembatasan yang kaku) Sering serangan gout tidak responsif terhadap colchicine profilaksis dan

ketika agen uricosuric tidak dapat digunakan karena intoleransi, kurangnya efektivitas, insufisiensi ginjal, atau kurangnya kepatuhan pasien

Recurrent uric acid renal calculi Recurrent calcium oxalate renal calculi dalam hubungannya dengan

hyperuricosuria Untuk pencegahan nefropati urat akut pada pasien yang menerima terapi

sitotoksik untuk penyakit ganasSumber: Buna, D. 2000. Allopurinol Hypersensitivity Syndrome: A Case Report and Review. C

JHP – Vol. 53, No. 1 – February 2000.

Dosis penyesuaian dalam insufisiensi ginjal sangat penting dalam

menghindari sindrom hipersensitivitas alopurinol (Tabel 2.4). Kebanyakan pasien

dengan sindrom yang menunjukkan insufisiensi ginjal dan menerima dosis 300

mg / hari atau lebih, yang melebihi rekomendasi. Dosis alopurinol berkorelasi

dengan konsentrasi oxipurinol, namun tidak ada korelasi antara plasma urat dan

konsentrasi oxipurinol. Kisaran optimal oxipurinol untuk mengontrol

hyperuricemia adalah 30 sampai 100 μmol / L, tampaknya ada tidak ada

keuntungan untuk meningkatkan konsentrasi oxipurinol melebihi kisaran tersebut

dalam hal menurunkan urat plasma atau mengontrol gejala gout. Pengukuran

konsentrasi oxipurinol, bukan plasma urat, telah diusulkan sebagai penilaian yang

lebih akurat tentang efektivitas dan toksisitas potensi alopurinol. Namun,

pengukuran oxipurinol tidak tersedia di sebagian besar laboratorium. Penggunaan

bersamaan diuretik thiazide mungkin diharapkan untuk menyebabkan akumulasi

lebih lanjut dari oxipurinol, mengingat bahwa ginjal menghilangkan asam urat

oxipurinol dan dengan cara yang sama. Alternatif diuretik harus dipertimbangkan

pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan kecenderungan untuk asam urat, karena

potensi untuk akumulasi hyperuricemia dan oxipurinol ketika alopurinol dan

diuretik thiazide dikonsumsi secara bersama-sama (Buna, 2000).

Tabel 2.4 Penyesuaian Dosis Alopurinol pada Insufisiensi Renal *

28

Page 34: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Clearance Kreatinin (mL / menit) Dosis Maintenance Alopurinol (mg)0 10 20 30 40 60 80

100 setiap 3 hari100 setiap 2 hari100 per hari150 per hari200 per hari250 per hari300 per hari

* Diadaptasi dari American Journal of Medicine, volume 76, Hande KR, Noone RM, Batu WJ, "Toksisitas Alopurinol yang Parah: deskripsi dan pedoman untuk pencegahan pada pasien dengan insufisiensi ginjal", halaman 47-56, hak cipta 1984, dengan izin dari Medica Excerpta inc

Saat ini, bagaimanapun, dokter dapat mengurangi risiko AHS dengan

memulai dosis alopurinol sesuai dengan clearance kreatinin pada pasien yang

sesuai untuk menerima terapi. Memang, jika dosis yang tepat, berdasarkan

clearance kreatinin, digunakan, maka AHS jarang terlihat. Selain itu, meskipun

hipersensitivitas sering dinyatakan sebagai alasan untuk menghentikan

allopurinol, 95% dari pasien mampu mentolerir obat (Perry & Madhok, 2010).

2.10 Manajemen AHS

Manajemen toksisitas terdiri dari kesadaran dan pengenal sindrom awal,

penarikan obat, dan terapi suportif yang tepat. Pasien yang memulai terapi

alopurinol, terutama mereka dengan insufisiensi ginjal, harus dididik tentang

tanda-tanda awal sindrom hipersensitifitas alopurinol. Pada pasien yang

mendekati fungsi ginjal normal, obat uricosuric seperti probenesid dapat

meningkatkan pembersihan oxipurinol ginjal. Pada gangguan ginjal berat, sebuah

hemodialisis 4-jam dapat mengurangi konsentrasi serum oxipurinol sebesar 39%.

Penggunaan steroid yang kontroversial dan belum terbukti untuk meningkatkan

hasil (Buna, 2000).

Dalam hal ini pasien, gagal untuk menyesuaikan dosis alopurinol dengan

menurunnya fungsi ginjal mungkin menyebabkan akumulasi oxipurinol dan

pengembangan sindrom hipersensitivitas alopurinol. Dosis penyesuaian mungkin

telah mengurangi terjadinya atau keparahan ruam. Penghentian alopurinol tidak

29

Page 35: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

mencapai tujuan akhir dari perawatan paliatif, yang membuat pasien senyaman

mungkin (Buna, 2000).

Menurut Lee et al (2008), terapi allopurinol bukan tanpa risiko, dan

pertimbangan risiko dan manfaat yang terlibat sangat penting sehingga alopurinol

harus dimulai dengan indikasi yang jelas. Keputusan untuk memulai allopurinol

pada populasi pasien berikut: lansia, ras Cina, pasien dengan underlying penyakit

ginjal, tidak boleh dianggap enteng. Dosis alopurinol harus dikoreksi sesuai

dengan clearance kreatinin. Setelah inisiasi allopurinol, pasien harus dipantau

selama dua bulan pertama untuk hipersensitivitas obat yang mungkin terjadi.

Pasien dan dokter harus dididik tentang pengenalan awal hipersensitivitas obat

dan pentingnya penghentian cepat dari obat dalam peristiwa semacam itu. Dengan

begitu, diharapkan bahwa morbiditas dan mortalitas berat terkait dengan sindrom

hipersensitivitas alopurinol dapat dicegah.

2.10.1 Metode Penurun Asam Urat yang Lain

Pada pasien dengan hipersensitivitas alopurinol, kita harus mencoba

metode lain yang tersedia mulai dari menurunkan tingkat asam urat serum

sebelumnya sampai desensitisasi. Memodifikasi diet dan asupan alkohol dapat

mengurangi kadar asam urat sederhana (Monev, 2001).

Membatasi penggunaan aspirin dosis rendah, diuretik, dan obat lain yang

meningkatkan kadar asam urat juga mungkin efektif. Untuk pasien yang

hipertensi, losartan blocker receptor angiotensin memiliki efek ringan

menurunkan asam urat dan dapat dipilih diuretik (Monev, 2001).

Obat uricosuric seperti probenesid dan sulfinpyrazone dapat digunakan

pada pasien dengan bersihan kreatinin lebih besar dari 30 sampai 40 mL / menit.

Oxypurinol tersedia dari produsen yang menggunakan belas kasih, tapi keamanan

pada pasien hipersensitif terhadap alopurinol tidak mapan. Secara klinis, cross

reactivity antara oxypurinol dan alopurinol telah dijelaskan dalam hingga 40%

dari kasus. Sebuah studi multicenter label terbuka oxypurinol diharapkan dapat

memberikan informasi lebih lanjut (Monev, 2001).

30

Page 36: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

2.10.2 Desensitisasi Alopurinol

Ketika pengobatan alopurinol dianggap perlu, desensitisasi harus

dipertimbangkan. Desensitisasi umumnya aman dan sebagian besar pasien dapat

mentolerir itu. Namun, pasien dan keluarga harus diberitahu tentang risikonya

(Monev, 2001).

Hal ini bijaksana untuk menghindari desensitisasi pada pasien dengan

riwayat manifestasi hipersensitivitas alopurinol yang parah seperti nekrolisis

epidermal toksik, hepatitis, nefritis interstisial akut atau, atas dasar dari seri

terbesar yang diterbitkan. Ada lebih banyak pengalaman dengan protokol oral,

yang telah berhasil digunakan dalam pengaturan rawat jalan (Monev, 2001).

Suspensi alopurinol disiapkan oleh farmasi dari tablet alopurinol

dilarutkan dalam larutan metilselulosa 1%. Dosis bertahap meningkat setiap 3 hari

dari 50 μg sampai 100 μg, 200 μg, 500 μg, 1 mg, 5 mg, 10 mg, 25 mg, 50 mg, dan

100 mg (Monev, 2001).

Sebuah protokol lambat digunakan dalam pasien berisiko tinggi: orang tua

dan mereka dengan beberapa kondisi medis bersamaan, ruam lebih parah, atau

eosinofilia. Bagi pasien, dosis dimulai dengan 10 μg dan 25 μg, dan dosis

meningkat setiap 5 sampai 10 hari (Monev, 2001).

Protokol intravena digunakan pada satu pasien di antaranya desensitisasi

lisan sebelumnya gagal. Ini adalah cepat dan memungkinkan untuk menghentikan

pengiriman obat segera setelah reaksi terjadi, tetapi prosedurnya harus dilakukan

dalam pengaturan pemantauan terus menerus, seperti unit telemetri (Monev,

2001).

Dalam seri yang lebih besar, 28 dari 32 pasien menyelesaikan protokol,

mencapai dosis 50 sampai 100 mg / hari, dan 25 (78%) tetap pada pengobatan

alopurinol jangka panjang (Monev, 2001).

Reaksi kulit ringan memerlukan penghentian dan desensitisasi berulang,

mengambil waktu yang lebih lama untuk setiap langkah. Prednison atau

antihistamin atau keduanya mungkin bermanfaat untuk menekan reaksi awal yang

kecil sambil terus dilakukan desensitisasi alopurinol. Jangan mencoba

desensitisasi jika pasien memiliki hipersensitivitas yang parah (Monev, 2001).

31

Page 37: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

Tindak lanjut diperlukan setelah desensitisasi, karena reaksi akhir telah

dijelaskan. Dosis akhir alopurinol setelah desensitisasi sukses harus disesuaikan

dengan fungsi ginjal untuk menghindari akumulasi tingkat oxypurinol yang

meningkat. Kepatuhan akan asupan harian alopurinol diperlukan. Jika dosis yang

tidak terjawab, hilangnya toleransi terhadap alopurinol mungkin terjadi dan

protokol desensitisasi mungkin perlu diulang dari awal (Monev, 2001).

Angka kematian terkait dengan AHS telah dilaporkan sebesar 27%. Tidak

ada obat untuk AHS, dan pemeriksaan awal serta penghentian obat secepatnya

sangatlah penting. Manajemen AHS terdiri dari perawatan suportif, dan

pemakaian kortikosteroid sementara telah digunakan, peran kortikosteroid masih

kontroversial. Apakah ekskresi peningkatan oxypurinol melalui obat uricosuric

[seperti probenesid] atau hemodialisis memiliki peran dalam pengelolaan AHS,

hal ini tidak diketahui. Desensitisasi telah berhasil digunakan untuk pasien dengan

ringan reaksi hipersensitivitas kulit, tetapi kontraindikasi untuk pasien dengan

mengancam nyawa AHS (Dalbeth & Stamp, 2007).

32

Page 38: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

BAB III. PENUTUP

Kesimpulan & Saran

Kesimpulan dan Saran dari referat ini adalah dalam pengobatan gout

dengan alopurinol:

1. Saat memulai terapi perlu melihat adanya indikasi yang jelas untuk terapi

alopurinol.

2. Mulai terapi alopurinol dalam dosis sesuai dengan tingkat clearance

kreatinin.

3. Periksa penyakit penyerta atau pengobatan yang berhubungan dengan efek

samping yang serius pada pasien yang membutuhkan dosis yang lebih

tinggi dari alopurinol.

4. Pada pasien yang tidak ada pilihan obat penurun urat lain yang tersedia,

dosis alopurinol harus ditingkatkan dengan hati-hati.

33

Page 39: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

DAFTAR PUSTAKA

1. Abeles, A. M. 2012. Febuxostat Hypersensitivity. J Rheumatol 2012;39;659. http://211.144.68.84:9998/91keshi/Public/File/5/39-3/pdf/659.full.pdf

2. Bennett, S., Mitsides, N., Dhaygude, A., Woywodt, A. 2009. A Pilot in Distress. NDT Plus (2010) 3: 84–88. http://ckj.oxfordjournals.org-/content/3/1/84.full.pdf+html

3. Buna, D. 2000. Allopurinol Hypersensitivity Syndrome: A Case Report and Review. C JHP – Vol. 53, No. 1 – February 2000. http://www.cjhp-online.ca/index.php/cjhp/article/view/693/820

4. Cannella, A. C & Mikuls, T. R. 2005. Understanding Treatments for Gout. Am J Manag Care. 2005;11:S451-S458. https://secure.pharmacytimes-.com/lessons/pdf/200511-02c.pdf

5. Chan, V., Ali, J., Owen, D. A., Chung, C., & Yoshida, E. M. 2006. A Mundane Situation Punctuated by Sudden Rash and Liver Failure: Unexpected, Unintended Clinical Consequences. University of Toronto Medical Journal volume 83, number 3, May 2006.

6. Chao, J., & Terkeltaub, R. 2009. A Critical Reappraisal of Allopurinol Dosing, Safety, and Efficacy for Hyperuricemia in Gout. http://www.journals.pcommed.com/GOUT_AlloDose.pdf

7. Dalbeth, N. & Stamp, L. 2007. Allopurinol Dosing in Renal Impairment: Walking the Tightrope Between Adequate Urate Lowering and Adverse Events. Seminars in Dialysis—Vol 20, No 5 (September–October) 2007 pp. 391–395. http://xa.yimg.com/kq/groups/20824009/1890523337/-name/Harm+Allopurinol.pdf

8. Hande, K. R., Noone, R. M., & Stone, W. J. 1984. Severe Allopurinol Toxicity. Description and Guidelines for Prevention in Patients with Renal Insufficiency. Am. J. Med., 1984, 76: 47-56.

9. Lee H Y, Ariyasinghe J T N, & Thirumoorthy T. 2008. Allopurinol Hypersensitivity Syndrome: A Preventable Severe Cutaneous Adverse Reaction? Singapore Med J 2008; 49(5) : 384. http://smj.sma.org.sg/4905/4905a3.pdf

34

Page 40: Allopurinol Hipersensitivity Syndrome

10. Macías, A. G., Palacios, E. L., Odriozola, P. M., & Villa, F. M. 2005. Fatal Allopurinol Hypersensitivity Syndrome after Treatment of Asymptomatic Hyperuricaemia. BMJ 2005;331:623–4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov-/pmc/articles/PMC1215560/pdf/bmj33100623.pdf

11. Mckendrick, M. W., & Geddes. A. M. 1979. Allopurinol Hypersensitivity. British Medical Journal. http://www.ncbi.nlm.nih.gov-/pmc/articles/PMC1598652/-pdf/brmedj00068-0022.pdf

12. Mellado, J. V., Morales, E. M., Tena, C. P., & Vargas, R. B. 2001. Relation Between Adverse Events Associated with Allopurinol and Renal Function in Patients with Gout. Ann Rheum Dis 2001;60:981–983. http://ard.bmj.com/content/60/10/981.full.pdf+html

13. Monev, S. D. 2001. How Should Hyperuricemia Be Treated In A Patient With Allopurinol Hypersensitivity? Cleveland Clinic Journal Of Medicine Volume 68 Number 7 July 2001. http://www.ccjm.org/content-/68/7/597.full.pdf

14. Perry, M. E., & Madhok, R. 2010. Treatment Failure Gout: Failure to Treat? Follow Guidelines and Improve Their Dissemination. Rheumatology 2010;49:2233–2234. http://rheumatology.oxfordjournals-.org/content/49/12/2233.full.pdf

15. Roberts II, L. J. & Morrow, J. D. 2008. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Ed. 10, Vol. 1. Jakarta. EGC.

16. Stein, C. M. 1985. Allopurinol Hypersensitivity. Samj Volume 67 8 June 1985. http://archive.samj.org.za/1985%20VOL%20LXVII%20Jan-Jun/Articles/06%20June/2.10%20ALLOPURINOL%20HYPERSENSITIVITY.%20A%20CASE%20REPORT.%20C.M.%20Stein.pdf

17. Tausche, A. K., Aringer, M., Schroeder, H. E., Bornstein, S. R., Wunderlich, C., & Wozel, G. 2008. The Janus Faces of Allopurinol—Allopurinol Hypersensitivity Syndrome. The American Journal of Medicine, Vol 121, No 3, March 2008. http://download.journals.-elsevierhealth.com-/pdfs/journals/0002-9343/PIIS0002934307011059.pdf

35


Recommended