+ All Categories
Home > Documents > alternatif penggunaan endotrakealtube

alternatif penggunaan endotrakealtube

Date post: 08-Mar-2016
Category:
Upload: yessy
View: 225 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
Description:
anastesi

of 21

Transcript

TUGAS JOURNAL READINGCOMPLICATIONS OF ENDOTRACHEAL INTUBATION ANDOTHER AIRWAY MANAGEMENT PROCEDURES

Tutor :dr. Hermin Prihartini, Sp. An-KIC

Oleh :

1. Yessy Dwi OktaviaG4A0140531. Annisaa AuliyaaG4A0140541. Lilis Indri AstutiG4A014055

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERANPURWOKERTO

2014PENDAHULUANManajemen airway merupakan aspek penting dalam tindakan anestesi dan keadaan emergensi. Intubasi endotrakeal adalah salah satu teknik non bedah yang cepat, simpel, dan aman untuk berbagai tindakan menjaga patensi jalan nafas, melindungi paru dari aspirasi dan sebagai ventilasi selama ventilasi mekanik dilakukan, dan merupakan suatu gold standar untuk manajemen airway. Beberapa alternatif untuk intubasi endotrakeal dapat digunakan sebagai manajemen airway elektif untuk tindakan emergensi apabila intubasi endotrakeal sulit atau gagal dilakukan. Alternatif tersebut termasuk LMA atau laringeal mask airway dan atau kombinasi. Kedua intubasi endotrakeal atau penggunaan alat lainnya berkaitan dengan komplikasi selama manajemen airway, beberapa diantaranya membutuhkan perawatan. Hal ini penting bagi anestesiologis untuk memahami komplikasi yang mungkin terjadi dan membuat strategi efektif untuk pencegahan dan menangani komplikasi tersebut jika terjadi. Sejumlah komplikasi telah banyak dilaporkan. Hal ini akan disinggung dalam artikel ini, apa saja komplikasi potensial dan bagaimana pula penanganannya.Komplikasi berkaitan dengan berbagai predisposing faktor selama penggunaan intubasi endotrakeal, termasuk:Faktor pasien,1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa , karena kelompok ini relatif memiliki laring dan trakea yang kecil dan lebih sering terjadi edema saluran nafas. 2. Pasien dengan saluran nafas yang sulit atau rentan terjadi perlukaan saat hipoksia. 3. Pasien dengan variasi kongenital misal dengan penyakit kronis bawaan mungkin dapat mencetuskan intubasi yang sulit atau dapat mengalami trauma baik fisik maupun psikologis selama intubasi. 4. Komplikasi sering terjadi selama tindakan emergensi.Faktor yang berhubungan dengan tindakan anestesi,Faktor anestesiologis,1. Pengetahuan, kemampuan teknik, dan kemampuan manajemen kritis dari seorang anestesiologis berperan penting dalam manajemen komplikasi dan outcome selama manajemen airway.2. Saat Intubasi, tanpa evaluasi yang adekuat dari saluran nafas pasien dan alat atau instrumen yang digunakan maka mungkin dapat mengakibatkan kerusakan.Faktor instrumentasi,1. Bentuk dari intubasi endotrakeal standar akan menghasilkan tekanan maksimal pada aspek eksterior laring.2. Dasar dari kerusakan pada area ini tergantung pada ukuran tube dan durasi tindakan intubasi.3. Penggunaan stylet dan bougies dapat memicu timbulnya trauma.4. Adanya penambahan bahan plastik dapat memprovokasi iritasi jaringan. Sterilisasi pada tube plastik dengan etilen dioksida mungkin akan memproduksi glikol etilen toksik jika selama prseso sterilisasi inadekuat.5. Cuff berkaitan dengan kemungkinan trauma yang terjadi dengan penggunaan cuff tekanan tinggi atau penggunaan yang tidak tepat dari cuff tekanan rendah.Komplikasi yang mungkin berhubungan dengan intubasi endotrakeal dapat dilihat pada tabel 1. Flemming mengelompokkan bebagai resiko penggunaan intubasi endotrakeal termasuk pengenalan dan bagaimana manajemennya, termasuk kemungkinan erosi jaringan dan penyembuhannya, serta termasuk trauma minor meskipun tidak terlalu signifikan.I. Deteksi dan Manajemen KomplikasiGagal intubasi Jalan napas yang sulit dan kegagalan intubasi termasuk kesulitan ventilasi masker, laringoskopi, intubasi yang sulit dan atau gagal. Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat membuat ventilasi dan tidak dapat melakukan intubasi (CVCI) dimana pasien dalam keadaan apneu saat pembiusan.3,4 Keadaan seperti ni merupakan kedaruratan otak dan mengancam kehidupan, yang terjadi sekitar 1 dari 10.000 tindakan anestesi. Kegagalan mencapai oksigenasi akan mengakibatkan kematian atau kerusakan otak akibat hipoksia. Percobaan melakukan intubasi berulang kali akan mengakibatkan morbiditas yang lebih tinggi, dan usaha tersebut harus dibatasi maksimal tiga kali.5 Dalam sebuah analisis dari 1.541 kasus,6 sebanyak 522 (34%) dilaporkan mengakibatkan gangguan pernapasan. Kematian atau kerusakan otak terjadi pada 85% dari kasus ini. Masalah utama adalah ventilasi yang tidak memadai (38%), perawatan standar (90%), intubasi esofagus (18%) dan kegagalan untuk mengidentifikasi masalah (48%). Pendekatan untuk deteksi dan manajemen jalan napas yang sulit serta kegagalan intubasi dapat menggunakan pedoman algoritma ASA.3,4 Namun hal ini tidak dibahas secara rinci dalam artikel ini. Metode ventilasi darurat pada keadaan CVCI termasuk penggunaan laryngeal mask, atau ventilasi jet atau combitube transtrakeal. Krikotirotomi (bukan trakeostomi) adalah suatu metode yang disukai untuk akses jalan napas dalam keadaan darurat seperti pada masalah CVCI. Komplikasi yang terkait dengan laryngeal mask dan combitube akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Masalah utama dengan ventilasi jet adalah risiko barotrauma karena tekanan oksigen dari jet tersebut.7,8 Risiko akan meningkat jika napas terhambat. Tingkat ventilasi harus terbatas pada kebutuhan minimum yang untuk mencegah hipoksia yang mengancam hidup (4-6/min) dan krikotirotomi atau trakeostomi dilakukan segera. Cannula 20G yang kedua dapat dimasukkan untuk mengeluarkan sisa gas dalam saluran nafas.Tabel 1. Komplikasi ETSaat intubasi Ketika penempatan ETT

Gagal intubasiTrauma kolumna vertebra dan medulla spinalisOklusi arteri sentralis retina dan kebutaanAbrasi korneaTrauma bibir, gigi, lidah dan hidungReflek otonom berbahayaHipertensi, takikardi, bradikardi, dan aritmiaPeningkatan tekanan intraocular dan intracranialLaringospasmeBronkospasmeTrauma laringAvulsi, fraktur, dan dislokasi dari arytenoidsPerforasi jalan nafasTrauma hidung, retrofaring, faring, uvula, laring, trakea, esophageal, dan bronkialIntubasi esophagealIntubasi bronchialTension pneumothorakAspirasi pulmoObstruksi jalan nafasDiskoneksi dan disposisiKerusakan pipa trakealKebocoran Lilitan ETT

Selama ekstubasiSetelah intubasi

Ekstubasi sulitMasalah terkait cuffETT menembus trakea atau bronkusEdem laringAspirasi komponen gasterNyeri tenggorokEdem laringSuara serakTrauma nervusUlkus laryngeal superfisialGranuloma laryngotrakealGranulasi jaringan glottis dan subglotisSinekia laryngealParalisis plika vokalis dan aspirasiMembrane laringotrakeoStenosis trakealTrakeomalasia Fistula trakeo-esofagealFistula trakeo-inuminata

Intubasi esofagealaPemeriksaan fisik selama intubasi esofagus sangat penting untuk mencegah hipoksia pada pasien apneu. Mungkin dapat ditemukan adanya suara gemericik di epigastrium atas pada auskultasi, distensi abdomen dan adanya napas suara di dada. Namun semua uji klinis yang ada, tidak mengandalkan tanda-tanda klinis kecacatan otak atau klinis yang penting lainnya selama intubasi esofagus. Metode tertentu harus dapat menempatkan ETT dengan benar, dapat memvisualisasikan bagian saluran nafas, termasuk pita suara, namun sayangnya hal ini tidak mungkin pada intubasi yang sulit, yang merupakan situasi umum yang terjadi pada intubasi esofagus. Pemantauan volume tidal akhir dari CO2 sangat penting untuk mengkonfirmasi penempatan ETT pada trakea. Patensi jalan nafas dengan bronkoskop fibreoptik melalui ETT dan visualisasi cincin trakea dan karina juga dapat dilakukan untuk membatu penempatan instrument dengan benar dalam trakea, namun sayangnya hal ini masih sulit dilakukan. Hipoksemia dapat terjadi segera setelah ETI karena tidak terdeteksi saat intubasi esofagus. Setiap upaya harus dilakukan untuk mengkonfirmasi penempatan yang benar. Kadang sulit dalam menentukan apakah tabung sudah benar ditempatkan, jika ada keraguan, tabung harus ditarik dan dimasukkan kembali dengan hati-hati. Pepatah kuno mengatakan "bila ragu, keluarkan " mungkin berlaku dalam kondisi ini.Intubasi bronchialIntubasi endobronkial terjadi jika tabung terlalu lama digunakan dan dimasukkan ke salah satu bronkus. Intubasi endobronkial yang paling umum terjadi adalah ketika ujung tabung ditempatkan tepat di atas carina namun bagian yang terletak di bawah pita suara sangat minimal, seperti intubasi pada anak-anak kecil. Rumus standar untuk panjang yang benar dari tabung ET yang dimasukkan dapat berfungsi sebagai pedoman. Paru yang tidak terintubasi tidak akan mengakibatkan pertukaran gas, dan sejumlah volume darah mengalir melalui paru dalam jumlah besar akibat shunt kiri dan akan mengakibatkan hipoksia. Selain itu, paru yang diintubasi mengalami hiperinflasi, serta menerima seluruh volume tidal, dan dapat mengakibatkan overdistensi dan barotrauma. Tanda-tanda pasien dengan hipoksemia arteri, termasuk sianosis dan sesak napas. Selain itu, penyerapan agen anestesi inhalasi mungkin terganggu, mengakibatkan keluarnya agen anestesi secara tiba-tiba. Ketika ditemukan intubasi endobronkial, ETT harus ditarik beberapa sentimeter dan volume paru akan meningkat untuk memperluas daerah atelektasis. Bronkoskopi fiberoptik adalah alat diagnostik optimal. Klinisi harus sangat berhati-hati dalam menempatkan tabung dalam posisi dimana terjadi kesulitan jalan nafas. Perhatikan juga bahwa tabung ditempatkan dengan benar, serta kemungkinan perubahan posisi instrument selama gerakan kepala atau reposisi pasien.Trauma medulla spinalis dan kolumna vertebraEkstensi cervical spine selama laringoskopi dapat menyebabkan trauma pada medulla spinalis yang mengakibatkan quadriplegia. Hal ini lebih mungkin terjadi pada pasien dengan fraktur atau malformasi, tumor atau osteoporosis pada tulang belakang cervikal. Pada pasien yang dicurigai dengan vertebra cervical yang tidak stabil, kepala harus dipertahankan dalam posisi netral selama laringoskopi dan intubasi setiap saat; hiperekstensi ketat dihindari. Kepala dapat distabilisasi dengan bantuan asisten. Teknik alternatif pengelolaan jalan napas yang tidak melibatkan manipulasi leher, seperti intubasi fibreoptik dapat dipertimbangkan.Reflek otonom yang berbahaya.Hipertensi, takikardia, aritmia, hipertensi intrakranial dan intraokular. Laringoskopi dan ETI akan mengakibatkan stimulasi refleks simpatik dan berhubungan dengan peningkatan kadar katekolamin plasma, hipertensi, takikardia, iskemia miokard, depresi kontraktilitas miokard, ventrikel aritmia dan hipertensi intrakranial.10 Hipoksia intrakranial dan hiperkarbia akan memperburuk respon otonom. Besarnya respon pressor terkait dengan durasi laringoskopi, dan bisa berat pada tindakan intubasi yang sulit, laringoskopi dan intubasi yang lama. Respon ini mungkin akan mengakibatkan kerusakan berat pada pasien dengan hipertensi, IHD, disfungsi miokard dan meningkatkan tekanan intraokular dan intrakranial. Pada pasien dengan keterbatasan cadangan koroner atau miokard, iskemia atau gagal jantung atau dapat mengikuti munculnya respon ini. Pasien dengan keterbatasan kemampuan intrakranial atau anomali vaskular intrakranial mungkin mengalami hipertensi atau perdarahan intrakranial yang serius. Respon yang juga dapat terjadi selama ekstubasi dan suction trakea, dapat diminimalkan dengan cepat dengan menggunakan ETI yang lembut, anestesi topikal adekuat, analgesia, sedasi dan mungkin dengan menggunakan relaksan otot untuk mencegah batuk dan bucking selama tindakan tersebut. Obat yang dapat memblokir respon terhadap jalan napas akibat instrumentasi ini dapat digunakan untuk mengurangi refleks otonom yang berbahaya ini. Obat tersebut termasuk fentanil 3-4 mg.kg-1, alfentanil, lignocaine 1,5 mg.kg-1 iv, beta antagonis dosis kecil, nifedipin sublingual atau nitrogliserin intravenaBronkospasmeAdanya ETT di trakea mengkibatkan terjadinya bronkokonstriksi.11 Refleks bronkospasme mungkin akan parah pada pasien yang dibius ringan dengan saluran udara yang reaktif. Bronkospasme dapat terselubungi dengan pemberian antikolinergik, steroid, inhalasi b2-agonis, lignokain (topikal, blok saraf, intravena), dan narkotika sebelumnya. Setelah intubasi, memperdalam anestesi dengan pemberian inhalasi atau intravena b-agonis dapat membantu. Hal ini penting untuk memastikan bahwa mengi terdengar bukan karena obstruksi mekanik dari tabung atau penyebab lainnya, misalnya karena tension pneumothorax, atau gagal jantung.Kekeringan mukosa dan dampak pada fungsi mukosiliarEndotrakeal tube bypasses dapat berperan sebagai pelembab (humidifikasi) di hidung dan trakea bagian atas. Humidifikasi inadekuat akan mengakibatkan pengeringan dari sekresi, depresi motilitas silia dan gangguan bersihan lendir. Pemasangan ETT juga menyediakan akses untuk organisme patogen dari saluran pencernaan dan orofaring untuk masuk ke dalam saluran pernapasan.LaringospasmeHal ini mungkin terjadi akibat tindakan percobaan intubasi trakea bawah dengan anestesi ringan. Hal ini dapat mengakibatkan hipoventilasi, kegagalan ventilasi paru dan hipoksia, dan harus segera diperbaiki dengan memperdalam anestesi atau dengan memberikan relaksan otot.Komplikasi traumatik akutTrauma pada bibir, gigi, lidah, hidung, faring, laring, trakea dan bronkus dapat terjadi selama laringoskopi dan intubasi. Komplikasi trauma telah secara ekstensif dijelaskan dalam dua reviews sebelumnya.13,14 Kebanyakan komplikasi traumatis tidak mengakibatkan morbiditas atau kematian yang besar. Namun, beberapa membutuhkan manajemen untuk komplikasi traumatis tersebut. Dalam sebuah review tertutup dengan 4,460 klaim,15 cedera saluran napas dilaporkan terjadi sebanyak 6%. Lokasi yang paling sering mengalami cedera diantaranya adalah laring (33%), faring (19%), dan esofagus (18%). Trakea dan esofagus lebih sering mengalami cedera dengan intubasi yang sulit. Kesulitan intubasi, usia lebih dari 60 tahun dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan perforasi faringoesofagus.Perforasi esophageal, trakeal, dan bronkialPerforasi esofagus dapat terjadi selama tindakan intubasi, terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit dilakukan intubasi. Emfisema subkutan mungkin segera tampak setelah intubasi. Selanjutnya, nyeri leher, kesulitan dalam menelan, eritema leher, dan edema dapat terjadi. Mediastinitis dapat menyebabkan sepsis dan dapat menyebabkan kematian atau morbiditas yang serius. Penempatan pipa nasogastrik juga dapat dikaitkan dengan kejadian perforasi esofagus. Laserasi trakea dapat terjadi karena overinflasi cuff ETT, beberapa upaya intubasi, penggunaan stylets, malposisi ujung tabung, reposisi tabung tanpa deflasi cuff, ukuran tabung yang tidak memadai, batuk hebat, dan adanya nitrous oxide dalam cuff. Risiko ini juga lebih besar pada pasien dengan distorsi trakea yang disebabkan oleh neoplasma atau kelenjar getah bening yang membesar, kelemahan pada selaput trakea (terlihat pada wanita atau orang tua), penyakit paru obstruktif kronis, dan terapi kortikosteroid. Cedera endobronkial dapat terjadi dengan instrumentasi bronkus. Penggunaan ETT atau penggantian tabung telah dikaitkan dengan terjadinya ruptur endobronkial. Penempatan ETTs double-lumen juga berkaitan dengan rupturnya trakeobronkial.Perforasi jalan nafas dapat terjadi di mana saja, baik dari hidung ke trakea. Hal ini dapat mengakibatkan udara masuk ke lokasi perforasi, dan bermanifestasi sebagai emfisema subkutan, pneumomediastinum serta pneumotoraks. Ketika hal ini terjadi, harus segera dilakukan eksplorasi pada perforasi tersebut, termasuk dengan menggunakan bronkoskopi. Pemberian nitrous oxide harus dihentikan ketika dicurigai terjadinya pneumothorax atau pneumomediastinum. Pada pasien yang sadar (terbangun), batuk, hemoptisis dan sianosis dapat terjadi pada kondisi tersebut.Tension pneumotorakHal ini dapat menyebabkan hipoksia berat dan hipotensi, dan dapat terjadi setelah perforasi saluran napas selama intubasi atau karena barotrauma selama IPPV. Kejadian ini harus dicurigai baik ketika ditemukan hipoksia dan atau hipotensi, atau ketika terjadi dengan salah satu tanda-tanda perforasi jalan napas. Tekanan saluran udara yang meningkat, kesulitan ventilasi paru, suara napas yang menghilang pada sisi yang terkena dengan pergeseran mediastinum ke sisi yang berlawanan, ditemukan hipersonor pada perkusi, dan suara napas yang berkurang atau tidak ada. Pemeriksaan foto thorak yang menunjukkan adanya desakan paru dapat membantu diagnosis, pneumotoraks harus segera didekompresi dengan memasukkan kanula besar di SIC 2 pada sisi yang terkena.Diskoneksi dan dislodgement (disposisi)Disposisi pemasangan ETT selama anestesi merupakan komplikasi yang dapat mematikan. Ekstensi leher mungkin mengakibatkan pergerakan pipa ETT kearah cranial. Fiksasi yang lemah dari pipa, dapat mengakibatkan pipa bergerak di daerah kepala selama tindakan pembedahan, akses inadekuat pada pipa selama bedah kepala dan leher atau pada tindakan bedah saraf misal pada pemasangan shunting pada hidrosefalus obstruktif, pipa ETT dapat mengalami malposisi. Hal ini dapat dideteksi dengan cepat jika tekanan udara dan capnografi dilakukan monitoring secara kontinu. Di ICU, semakin lama pipa di pasang in-situ, maka semakin besar kemungkinan terjadinya kinking (terpuntir), blokade dan ekstubasi yang tidak diinginkan, yang akan mengakibatkan hipoventilasi dan hipoksia. Ekstubasi yang tidak terencana dilaporkan dengan insidensi antara 0,3-30%. Sedasi inadekuat, agitasi, perawatan inadekuat, dan fiksasi inadekuat dari ETT dapat memicu dilakukannya ekstubasi tidak terencana di ICU.Kegagalan atau cuff inadekuatCuff yang inadekuat merupakan masalah yang umum ditemukan, yang mengakibatkan hipoventilasi selama Ventilasi mekanik (MV) dan dapat menyebabkan aspirasi isi lambung. Penyebab umum dari kebocoran selama MV dan solusi yang dilakukan diuraikan pada Tabel-2. Penyebab yang lebih serius termasuk trakeomalasia dan fistula trakeoesofageal (TEF). Inflasi cuff mengakibatkan tulang rawan trakea melemah serta terjadi pelebaran trakea. Semakin bertambahnya volume udara, maka diperlukan tekanan yang cukup untuk mempertahankan cuff.Tabel 2. Masalah yang sering dijumpai selama ventilasi mekanikMasalah Solusi

Inflasi cuff eksentrik Periksa cuff sebelum insersi

Posisi cuff salah, cuff terpasang pada plika vocalisPeriksa dan posisikan ETT, usahakan masuk ke tengah trakea

Ukuran ETT terlalu kecilGanti ETT, masukan ETT yang lebih besar

Katub inflasi bocorPasang 3-way dan jaga agar tetap tertutup

Balon bocorPotong hubungan pipa distal dengan bagian yang bocor dan masukkan jarum 22G dengan 3-way ke dalam pipa

Cuff bocor, biasanya rusak karena gigi pasien, tulang nasal atau karena forcepsGanti ETT

Obstruksi pada pipa (tube)Beberapa alasan tentang kemungkinan terjadinya obstruksi,1. Intubasi ET menancap (biting)2. Lilitan intubasi ET (kinking)3. Obstruksi oleh material intralumen, termasuk sekret, bekuan darah, cairan dari hidung, adenoid atau masa lainnya.4. Perlekatan spiral dengan pipa. Selama pembuatan, gelembung udara dapat terbentuk diantara lapisan. Lepuhan terjadi ketika uap disterilkan dengan vakum. difusi NO ke lepuhan menyebabkan diseksi dinding dengan kompresi lumen. 5. Impaksi dari ujung pipa ke dinding trakea dapat mengakibatkan obstruksi pernafasan, karena trakea memiliki struktr anatomi yang menikung seperti thoracic inlet. Murphys eye yang dimasukkan ke dalam banyak tabung memungkinkan aliran udara dapat menempati ruang.6. Herniasi dari cuff dapat terjadi jika cuff tidak layak pakai, hal ini juga dapat menimbulkan obstruksi respirasi. 7. Kompresi lumen pipa oleh cuff dapat disebabkan karena over inflasi dari cuff atau karena difusi NO ke dalam cuff selama anastesi. Masalah ini lebih sering terjadi saat pemakaian pipa karet silikon.

Obstruksi ETT dapat bermanifestasi sebagai peningkatan resistensi terhadap ventilasi, tekanan jalan nafas tinggi dan wheezing. Pipa yang terhambat merupakan penyebab utama bronkospasme intraoperative dan harus dicegah sebelum terapi bronkodilator diberikan. Obstruksi ETT dapat dicegah dengan pemilihan jenis ETT yang baik, inspeksi, pemeriksaan ETT dan cuff sebelum digunakan, dan dengan humidifikasi gas terinspirasi. Ketika ETT obstruksi terdiagnosis, dilakukan inspeksi visual, memasukan suction kateter (lebih baik dengan bronkoskopi fiberoptic) bersamaan dengan deflasi cuff dan rotasi pipa 90 derajat. Jika hal ini masih berlanjut ETT harus diambil dan diganti.Aspirasi isi lambung Aspirasi dari benda asing tidak akan terjadi karena cuff melindungi paru. Aspirasi dapat terjadi apabila muncul ventilasi spontan, akumulasi cairan di atas cuff, posisi kepala head up dan penggunaan pipa tanpa cuff atau kebocoran cuff. Kebakaran selama operasi laserKebakaran adalah bahaya yang berhubungan dengan peningkatan pemakaian laser untuk pembedahan di daerah mulut dan jalan nafas. Langkah-langkah berikut dapat menurunkan resiko bahaya yang muncul, yaitu: 1.Menggunakan tabung laser khusus, yang terbuat dari gabungan logam dan plastik (tanpa radiopak strip), atau pipa karet merah polos.2 membungkus bagian-bagian pipa yang terpapar dengan alumunium tape.3 Inflasi cuff ETT dengan salin. 4. Memasukan tampon basah dintara ETT dan laring dan menutup bagian luar ETT dengan kain basah.5. Menggunaan campuran helium-oksigen yang akan mengurangi resiko combusio dibandingkan dengan penggunaan oksigen saja atau campuran oksigen dan nitrit oxide.

Apabila jalan nafas terbakar, aliran oksigen harus segera dihentikan. Salin dituangkan ke ETT dan trakea di esktubasi. Pembedahan dihentikan, trakea direintubasi kembali, pasien diberikan oksigen untuk melembabkan. Jalan nafas harus diperiksa untuk mengetahui keparahan luka bakar dan mencari fragmen ETT yang hilang atau tidak. Kesulitan ekstubasi 1. cuff gagal untuk mengempis. Hal ini dapat diatasi dengan ditusukannya jarum ke membran cricotiroid.2. penyebab yang lebih serius dan tidak biasa terjadi pada kesulitan ekstubasi termasuk fiksasi ETT atau pipa pilot oleh Kirshner (K) wire yang biasanya terjadi pada pembedahan di kepala dan leher atau jaitan yang berasal dari arteri pulmonalis melalui trakea ke dalam ETT. Prosedur harus selalu diingat saat pipa tidak keluar setelah cuff mengempis sehingga dapat menghindari trauma dari ekstubasi. Pemeriksaan langsung atau dengan fiber optik mungkin diperlukan.Komplikasi extubationObstruksi jalan napas, spasme laring, dan aspirasi dapat terjadi. Setelah intubasi berlangsung 8 jam atau lebih, perlindungan jalan napas dapat terganggu selama 4-8 jam. Sakit tenggorokan adalah komplikasi anestesi pada faring, laring, dan / atau trakea dan dapat terjadi walaupun intubasi sudah tidak dilakukan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi insidensi nyeri tenggorokan termasuk daerah trakea yang kontak dengan cuff, penggunaan salep dan ukuran ETT, dan penggunaan suksinilkolin. Insiden nyeri tenggorokan juga dapat berhubungan dengan tekanan intracuff. Mekanisme nyeri tenggorokan akibat suksinilkolin berhubungan dengan mialgia karena adanya fasikulasi otot-otot perifaringeal. Sakit tenggorokan adalah efek samping ringan yang dapat diatasi dalam waktu 72 jam, hal tersebut bukan merupakan faktor yang menuntukan apakah ETI diperlukan atau tidak. Suara serak adalah efek samping lain yang berhubungan dengan ukuran ETT.Oedema laring Edema subglotis khususnya lebih sering terjadi pada anak-anak, karena kartilago krikoid yang tidak mengembang adalah bagian tersempit pada jalan nafas anak-anak. Edema juga dapat terjadi di uvula, supraglottic, retroarytenoid, atau dibawah plica vocalis, dan bermanifestasi sebagai stridor inspirasi. Hilangnya stridor dapat mewakili sumbatan jalan napas total dan pergerakan udara harus dikonfirmasi secara berulang. Faktor yang berkontribusi pada terjadinya edema laring termasuk terlalu besar pipa, trauma dari laringoskopi dan / atau intubasi, manipulasi leher berlebihan selama intubasi dan pembedahan, batuk berlebihan dan infeksi saluran pernapasan atas. Penggunaan steroid sebagai profilaksi sebelum ekstubasi untuk mengurangi edema belum dapat dibuktikan namun terapi ini sering dipakai apabila dicurigai terjadi stridor post ekstubasi. Pengobatan meliputi penghangatan, nebulasi epinefrin rasemat (0,25-1 ml), dan I.V. deksametason (0,5 mgkg-1 hingga 10 mg). Jika obstruksi memberat dan menetap , reintubation harus dipertimbangkan. Komplikasi trauma akut yang kurang bermaknaDental injuryInsidensi cedera gigi berkisar dari 1:150 hingga 1:1000, dan yang paling sedikit adalah 1: 9.000.Gigi seri atas biasanya paling sering terkena. Faktor risiko yang mempengaruhi termasuk kondisi gigi yang jelek sebelumnya dan kesulitan saat laringoskopi dan intubasi. Ketika trauma gigi terjadi, gigi yang hampir lepas harus diperbaiki agar tidak terjadi aspirasi. Gigi yang hampir lepas harus diberikan larutan saline dan segera dikonsultasikan ke dokter gigi untuk di reimplantasi. Fraktur gigi sebagian atau lengkap harus dievaluasi oleh ahli bedah mulut pasca operasi. Rincian mengenai cedera harus didokumentasikan dalam catatan anestesi dan rekam medis pasien.

Nasal injuryIntubasi nasotrakeal sering digunakan pembedahan kepala dan leher. Pasien dengan fraktur basis cranii atau trauma wajah yang parah seharusnya tidak boleh diberikan pipa nasal. Epistaksis adalah masalah umum, yang sering terjadi disebabkan oleh ujung ETT melukai mukosa hidung dan faring. Hal ini lebih sering terjadi dan berbahaya pada pasien dengan koagulopati atau pasien yang menerima obat koagulan. Intubasi nasal merupakan kontraindikasi relatif pada pasien tersebut. Memasukan pipa nasotrakeal dapat menyebabkan kerusakan di submukosa yang berlanjut hingga menimbulkan abses retroparingeal. concha, adenoid, dan tonsil juga dapat terkena trauma. Intubasi nasal berkepanjangan dapat menyebabkan nekrosis dari lubang hidung dan septum. Abses septum hidung, abses retrofaring dan sinusitis paranasal dapat terjadi setelah intubasi. sinusitis paranasal dapat terjadi karena cedera pada ostium sinus diikuti dengan edema, obstruksi dan infeksi. Hal ini dapat ditandai dengan demam atau discharge purulen yang tidak sembuh setelah diberikan antibiotik dan dapat menyebabkan infeksi intrakranial atau septicaemia.

Pharyngeal traumaNekrosis dan perforasi faring dapat muncul segera setelah post operasi yang ditandai dengan krepitasi sub kutan, demam, takikardi, dan odinofagi..Kebanyakan laserasi orofaring dapat diobati secara konservatif. Hematoma harus ditangani dengan antibiotik, tetapi jika ukurannya besar harus , pertimbangan untuk drainase. Pasien harus menghindari makanan lewat mulut setidaknya 48 jam dan harus dberikan antibiotik spektrum luas iv . Perforasi yang lebih besar mungkin perlu pembedahan.Temporomandibular joint injuryCedera ini sering terjadi pada pasien wanita berusia dibawah 60 tahun. Beberapa pasien memiliki penyakit temporo mandibular sebelumnya. Dislokasi biasanya terdeteksi pada saat prosedur operasi dan apabila rahang pada posisi terbuka dan tidak bisa menutup. Reduksi segera dari dislokasi TMJ harus segera dilakukan. Pasien dengan gejala yang terus-menerus harus dikonsultasikan ke spesialis bedah mulut. Tongue injury Makroglosia terjadi karena kompresi berkepanjangan oleh ETT atau jalan napas melalui mulut, yang menyebabkan iskemia dan kongesti vena. Obstruksi saluran submandibula oleh ETT dapat menyebabkan pembebakakan lidah yang masif. Cedera kompresi pada saraf lidah selama intubasi dapat memicu hilangnya sensasi pada lidah. Laryngeal injuryVocal cord paralysisPada laring subglotis, cabang anterior nervus laringeus recuren masuk diantara cartilago krikoid dan kartilago tiroid, menginervasi muskulus didalam laring. Cuff yang meningkat hingga daerah tersebut dapat menekan nervus diantara cuff dan kartilago diatasnya dan dapat menyebabkan cedera. Cedera Bilateral yang terjadi sering memerlukan reintubation segera atau trakeostomi. Cedera unilateral pada n.laringeus recuren mencegah abduksi dari plica vocalis ipsilateral sehingga tetap pada posisi adduksi. Hal ini berhubungan dengan suara serak, yang biasanya terjadi pasca operasi. Cedera n.laringes recuren dapat dicegah dengan menghindari overinflation dari cuff ETT, dan mencegah perpindahan pipa yang berlebihan selama anestesi. Kelumpuhan pita suara dapat sembuh spontan beberapa hari sampai beberapa bulanArytenoid injuryDislokasi arytenoid merupakan contoh lain cedera lain setelah inubasi II. Komplikasi yang berhubungan dengan erosi dan penyembuhan jaringanCedera laring : Terjadi akibat iskemik yang dihasilkan dari tekanan tinggi yang dihasilkan hingga 400 mmHg] ketika ETT menekan pentagonal dari laring, terutama prosesus vokalis dari cincin aritenoid krikoid. Ulserasi atau erosi laring: Ulserasi atau erosi sering terjadi bahkan sesudah intubasi yang singkat. Kejadian ini sering ditemukan pada bagian posterior laring dan bagian anterior serta lateral bagian trakea, hal ini sesuai dengan posisi ETT yang cembung, dan cuff. Ulkus superfisial dapat sembuh dengan cepat. Ulkus yang lebih dalam dapat menimbulkan erosi dan perdarahan. Granuloma pita suara: Dapat berkembang dari ulcus saat jaringan granulasi terbentuk dan membentuk lesi. Insidensi hal ini bervariasi dari 1: 800 sampai 1: 20.000. Pasien mungkin memiliki gejala asimtomatik, atau memiliki suara serak, nyeri dan ketidaknyamanan pada tenggorokan, batuk kronis dan hemoptisis. Gejala yang menetap setelah intubasi memerlukan konsultasi spesialis THT. Granuloma biasanya sembuh secara spontan. pembedahan diperlukan hanya jika lesi pedunkulata atau pasien mengalami obstruksi pernafasan. Membran Laryngotracheal: Jarang terjadi namun dapat berakibat fatal karena obstruksi pernafasan. Gejala-gejala obstruksi pernafasan terjadi 24-72 jam setelah ekstubasi. Diagnosis ditegakkan dengan laringoskopi atau bronkoskopi. Pengobatan dilakukan dengan cara suction. Delayed tracheal injury: Hampir selalu berhubungan dengan cuff dan dapat diminimalisir jika cuff bertekanan rendah. Insiden komplikasi laryngotracheal dapat diturunkan dengan penggunaan ETTs berukuran tepat yang terbuat dari plastik non toxic. Hindari menggrakan ETT secara berlebihan, hal ini dapat dikurangi dengan penggunaan swived connector. Sepsis lokal dan sistemik harus segera ditangani dan kortikosteroid segera digunakan jika terdapat indikasi.Trakea stenosis: tekanan Intracuff ditransmisikan ke arah lateral melawan dinding trakea. iskemia dan nekrosis terjadi ketika dinding trakea lateralis melebihi tekanan perfusi kapiler sekitar 25 mmHg. Nekrosis mukosa trakea menyebabkan pengelupasan dan ulserasi membran mukosa, memperlihatkan cartilago trakea. iskemia yang berkelanjutan dapat diikuti oleh kerusakan sebagian atau keseluruhan cincin cartilago trakea dan hilangnya integritas struktur segmen trakea yang terkena dan memicu dilatasi trakea. penyembuhan segmen trakea yang terluka dapat menimbulkan striktur (trakea stenosis).hal Ini dapat dicegah dengan pengaturan tekanan cuff . Cuff yang digunakan hanya cuff yang bervolume tinggi dan bertekanan rendah dan cuff yang menaikan tekanan tidak lebih dari 25 mmHg atau 30 cm H2O. Overinflation dari cuff menyebabkan fungsinya sama dengan cuff yang bertekanan tinggi. Oleh karena itu penting untuk mengembangkan hanya sebanyak udara yang diperlukan dan menutup kebocoran udara seama IPPV (minimal Teknik inflasi), dan untuk memeriksa tekanan intracuff dengan manometer tekanan cuff.

Komplikasi trakeostomi Terdapat dua jenis trakeostomi (TR) - Trakeostomi terbuka atau bedah, dan percutaneous trakeostomi. Komplikasi dari trakeostomi dirangkum pada Tabel 3 Beberapa di antaranya adalah: Tabel 3 Komplikasi trakeostomi

A.Komplikasi selama operasi

Perdarahan

Pneumothorax dan pneumomediastinum

Cardiorespiratory arrest

Cedera nervus laringeus berulang

B. Komplikasi pasca operasi segera

Perdarahan

Emfisema Subkutan

Obstruksi dari pipa

Masalah dalam menelan

C. Komplikasi akhir

Stenosis trakea

Tracheomalacia

Tracheo-oesophageal fistula

Tracheo-innominate fistula


Recommended