+ All Categories
Home > Documents > ANALISA YURIDIS PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM …

ANALISA YURIDIS PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM …

Date post: 26-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 10 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
25
42 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.3 ANALISA YURIDIS PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM PADA KONFLIK LAHAN DI PROVINSI JAWA TIMUR Teddy Minahasa Putra Kepolisian Republik Indonesia, Staff Ahli Manajemen Kapolri Email: [email protected] Abstract This paper examines the deviations of law enforcement in land conflicts in East Java based on the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.38/Pra.Pe /2015.PN.Sby (case of Notary Nora Maria Lidwina, SH). This empirical or socio legal research uses a case study approach. The results show that irregularities in law enforcement in land conflicts by public service providers and law enforcement officials are generally based on corrupt behavior and violations of ethical codes, such as abuse of power, maladministration, case brokers, accepting bribes from certain parties, violence, intervening in cases, and other human rights violations. Mitigation efforts are improving the law enforcement officers isntitutions; improving the judicial administration and justice management systems; imposing strict sanctions; conducting supervision; conducting a transparent service and treatment; socializing anti-corruption movement; and creating an anti-corruption culture and excellent public services. Key words: Law Enforcement Irregularities, Land Conflict, East Java Province. Abstrak Tulisan ini mengkaji penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan di Provinsi Jawa Timur berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.38/Pra.Per/2015.PN.Sby (kasus Notaris Nora Maria Lidwina, SH). Penelitian empiris atau sosio legal ini menggunakan pendekatan studi kasus. Hasil kajian menunjukkan bahwa penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan oleh pegawai pemberi layanan publik maupun aparat penegak hukum umumnya didasari oleh perilaku korupsi dan pelanggaran kode etik, seperti penyalahgunaan kekuasaan, maladministrasi, makelar kasus, menerima suap dari pihak tertentu, kekerasan, mengintervensi kasus, serta pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Upaya penanggulangannya adalah memperbaiki institusi aparat penegak hukum; memperbaiki sistem administrasi yudisial dan manajemen peradilan; memberikan sanksi tegas; melakukan pengawasan; pelayanan dan penanganan yang transparan; sosialisasi gerakan anti korupsi; serta menciptakan budaya anti korupsi dan pelayanan publik yang prima. Kata Kunci: Penyimpangan Penegakan Hukum, Konflik Lahan, Provinsi Jawa Timur.
Transcript

42 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.3

ANALISA YURIDIS PENYIMPANGAN PENEGAKAN HUKUM PADA KONFLIK LAHAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

Teddy Minahasa Putra

Kepolisian Republik Indonesia, Staff Ahli Manajemen KapolriEmail: [email protected]

Abstract

This paper examines the deviations of law enforcement in land conflicts in East Java based on the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No.38/Pra.Pe /2015.PN.Sby (case of Notary Nora Maria Lidwina, SH). This empirical or socio legal research uses a case study approach. The results show that irregularities in law enforcement in land conflicts by public service providers and law enforcement officials are generally based on corrupt behavior and violations of ethical codes, such as abuse of power, maladministration, case brokers, accepting bribes from certain parties, violence, intervening in cases, and other human rights violations. Mitigation efforts are improving the law enforcement officers isntitutions; improving the judicial administration and justice management systems; imposing strict sanctions; conducting supervision; conducting a transparent service and treatment; socializing anti-corruption movement; and creating an anti-corruption culture and excellent public services.Key words: Law Enforcement Irregularities, Land Conflict, East Java Province.

Abstrak

Tulisan ini mengkaji penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan di Provinsi Jawa Timur berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.38/Pra.Per/2015.PN.Sby (kasus Notaris Nora Maria Lidwina, SH). Penelitian empiris atau sosio legal ini menggunakan pendekatan studi kasus. Hasil kajian menunjukkan bahwa penyimpangan penegakan hukum pada konflik lahan oleh pegawai pemberi layanan publik maupun aparat penegak hukum umumnya didasari oleh perilaku korupsi dan pelanggaran kode etik, seperti penyalahgunaan kekuasaan, maladministrasi, makelar kasus, menerima suap dari pihak tertentu, kekerasan, mengintervensi kasus, serta pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Upaya penanggulangannya adalah memperbaiki institusi aparat penegak hukum; memperbaiki sistem administrasi yudisial dan manajemen peradilan; memberikan sanksi tegas; melakukan pengawasan; pelayanan dan penanganan yang transparan; sosialisasi gerakan anti korupsi; serta menciptakan budaya anti korupsi dan pelayanan publik yang prima.Kata Kunci: Penyimpangan Penegakan Hukum, Konflik Lahan, Provinsi Jawa Timur.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 43

Latar Belakang

Perkembangan masyarakat tempat

hukum diberlakukan akan mempengaruhi

pola penegakan hukum. Semakin modern

dan semakin tinggi tingkat spesialisasi

masyarakatnya maka sistem penegakan

hukumnya juga akan semakin kompleks dan

birokratis. Secara teoritis, penegakan hukum

dan keadilan dinyatakan efektif apabila

5 (lima) pilar utama hukum berjalan dan

berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu yang

meliputi instrumen hukum, aparat penegak

hukum, warga masyarakat yang terkena

lingkup peraturan hukum, kebudayaan (legal

culture), serta sarana dan fasilitas yang dapat

mendukung pelaksanaan hukum.

Kelima pilar tersebut harus harmonis dalam

penerapannya pada setiap aspek kehidupan

masyarakat, termasuk dalam hal ini pada

kasus maupun konflik di bidang pertanahan.

Permasalahan pertanahan merupakan isu

yang selalu aktual dari masa ke masa. Hal ini

terbentuk seiring dengan bertambahnya jumlah

penduduk, berkembangnya Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi (IPTEK), meluasnya program

pembangunan, serta meningkatnya kebutuhan

masyarakat akan lahan sebagai tempat hidup

maupun berinvestasi.

Tingginya kebutuhan terhadap lahan

pada kenyataannya tidak berbanding lurus

dengan ketersediaan jumlah lahan yang

cenderung bersifat statis. Inilah yang

memicu maraknya terjadi sengketa lahan.

Penyebab terjadinya konflik atau sengketa

lahan umumnya didominasi oleh rendahnya

kesadaran masyarakat akan pentingnya

kepastian hukum di bidang pertanahan. Masih

banyak masyarakat yang belum melakukan

pendaftaran dan membuat sertifikat sah atas

lahan-lahan yang dimilikinya kepada institusi

yang berwenang, yakni Badan Pertanahan

Nasional (BPN).

Menyikapi hal ini Presiden Joko Widodo

menerapkan Reforma Agraria melalui

Program Nawa Cita Nomor 5 (lima) sebagai

bentuk komitmen kuat pemerintah untuk

mewujudkan masyarakat yang adil dan

makmur sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945.1

Wiradi2 mengungkapkan bahwa istilah

reformasi agraria berasal dari bahasa Spanyol

yang kemudian dalam bahasa Inggris dikenal

sebagai agrarian reform yang berarti menata

kembali struktur kepemilikan, penguasaan,

dan penggunaan lahan untuk kepentingan

rakyat banyak. Program Nawa Cita Presiden

Jokowi menjadi bentuk komitmen yang

kuat dari pemerintah untuk mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1 CNN Indonesia, “BPN Target Terbitkan 11 Juta Sertifikat Tanah Gratis di 2019”, https://www. cnnindonesia.com/nasional/20190321134316-20-379420/bpn-target-terbitkan-11-juta-sertifikat-tanah-gratis-di-2019, diakses 25 Februari 2020.

2 Almira Gusti Iqma, “Community Plantation Forests: As Implementation of Agrarian Reform in Forestry Sector Village Lubuk Seberuk, Lempuing OKI, South Sumatera”, Interaktif Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 12, No. 2, (2020): 1.

44 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

tahun 1945, sekaligus menjadi salah satu rute

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

(welfare state).3

Guna mendukung tercapainya tujuan

presiden sekaligus menjamin adanya

kepastian hukum atas kepemilikan lahan,

sebagai landasan operasional pemerintah

menggunakan Undang-Undang Nomor 5

tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA) sebagai payung hukum

(umbrella act) dari peraturan-peraturan lain di

bidang pertanahan.

Namun perjalanan waktu dan perubahan

menuju era industrialisasi semakin membuka

peluang pergesekan terhadap UUPA tersebut.

Banyak peraturan-peraturan baru yang dibuat

untuk kepentingan industri dan pembangunan

yang justru bertolak belakang dan mengalami

pergesekan dengan UUPA. Berbagai peraturan

ini sering menyebabkan terjadinya kasus-

kasus lahan yang pada akhirnya menimbulkan

konflik sosial, baik secara vertikal maupun

horizontal.

Misalnya saja Undang-Undang Nomor 5

tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan

yang diperbarui dengan Undang-Undang

Nomor 41 tahun 1999 (UUK). UUK

memasukkan UUPA sebagai dasar yuridis

tetapi batang tubuhnya tidak mengacu pada

pasal-pasal di dalam UUPA. Jika di dalam

UUPA negara mengakui keberadaan tanah

negara, tanah ulayat masyarakat adat, dan

tanah hak maka UUK hanya mengakui

keberadaan hutan negara dan hutan hak. UUK

tidak mengakui keberadaan hutan adat padahal

hutan adat merupakan bagian dari hak ulayat

masyarakat yang hingga kini masih dilindungi

oleh negara sebagaimana yang tercantum di

dalam UUPA. Dalam praktiknya di lapangan,

hal ini sering memicu permasalahan sebagai

akibat dari tidak adanya sinkronisasi dan

kordinasi antara Badan Pertanahan Nasional

(BPN) dengan Kementerian Kehutanan.

Demikian juga dengan Undang-undang

Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya

Air (UUSDA). Selain tidak menjadikan

UUPA sebagai landasan yuridisnya, UUSDA

juga memiliki persoalan di tataran pemberian

Hak Guna Air (HGA), Hak Guna Usaha Air

(HGUA), dan Hak Guna Pakai Air (HGPA).

Istilah “hak” yang digunakan menjadi kurang

tepat karena dalam praktiknya hanya sebatas

pemberian izin. Berbeda dengan pasal 47

UUPA ayat (1) yang menyatakan bahwa hak

guna air ialah hak memperoleh air untuk

keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air

itu di atas tanah orang lain. Setelah UUSDA

tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi

melalui Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013

maka Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974

tentang Pengairan diberlakukan kembali. Pada

implementasinya hal tersebut menimbulkan

persoalan regulasi hingga saat ini.

Permasalahan legislasi lainnya terdapat

pada Undang-Undang Nomor 4 tahun

2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara (UU Minerba). UU Minerba tidak

menjadikan UUPA sebagai sumber hukum

3 CNN Indonesia, Loc., Cit.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 45

dan orientasinya lebih condong ke arah

produksi dan bukan konservasi. Selain dinilai

menguntungkan pihak swasta dan berpotensi

merugikan negara, UU Minerba juga tidak

mengatur secara tegas mengenai ganti rugi

bagi pemegang hak atas tanah yang diambil

untuk kegiatan pertambangan.4

UUPA yang nasionalis, populis, dan

mendasarkan pada hukum adat Indonesia

tidaklah seperti tujuan pembentukannya

semula. Berbagai penyimpangan UUPA

mendorong munculnya Ketetapan MPR

Nomor IX tahun 2001 tentang Reformasi

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam (SDA), yang merupakan landasan

peraturan perundang-undangan di bidang

pembaharuan agraria dan pengelolaan

sumber daya alam. Undang-undang sektoral

menjadi degradasi terhadap UUPA. Jika pada

awalnya dimaksudkan sebagai lex generalis

bagi pengaturan Sumber Daya Alam (SDA),

ternyata menjadi sederajat dengan undang-

undang sektoral lainnya dan dengan demikian

menjadikan UUPA sebagai lex specialis

yang hanya mengatur bidang pertanahan.

Ditinggalkannya semangat dan prinsip-

prinsip yang mendasari UUPA oleh undang-

undang sektoral ditengarai adanya perbedaan

antara UUPA dengan undang-undang sektoral

dalam hal: (1) Orientasi; (2) Keberpihakan;

(3) Pengelolaan dan implementasinya; (4)

Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM);

(5) Pengaturan tentang good governance; (6)

Hubungan antara orang dengan SDA; serta (7)

hubungan antara negara dengan SDA.5

Kasus lahan yang terjadi di Indonesia

hingga kini masih cukup tinggi. Kasus-kasus

tersebut cukup beragam, mulai dari konflik

perebutan lahan antar perorangan, sengketa

perorangan dengan perusahaan, dualisme

sertifikat (sertifikat ganda), hingga kasus yang

disebabkan oleh perilaku maladministrasi

para aparat pemberi layanan publik.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan

Agraria (KPA) 2020, konflik lahan di Indonesia

sepanjang tahun 2020 mencapai 241 (dua

ratus empat puluh satu) konflik dengan luasan

wilayah konflik mencapai 624.272,711 (enam

ratus dua puluh empat ribu dua ratus tujuh

puluh dua koma tujuh ratus sebelas) hektar.

Jumlah masyarakat yang terdampak konflik

mencapai 135.332 (seratus tiga puluh lima ribu

tiga ratus tiga puluh dua) kepala keluarga yang

tersebar di 420 (empat ratus dua puluh) desa di

34 (tiga puluh empat) provinsi. Konflik yang

paling banyak berasal dari sektor perkebunan

sebanyak 122 (seratus dua puluh dua) kasus,

sektor kehutanan sebanyak 41 (empat puluh

satu) kasus, sektor infrastruktur sebanyak 30

(tiga puluh) kasus, sektor properti sebanyak

20 (dua puluh) kasus, sektor pertambangan

sebanyak 12 (dua belas) kasus, sektor fasilitas

4 Wasis Susetio, “Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Agraria”, Lex Jurnalica Vol. 10, No. 3, (Desember 2013): 135-136.

5 Okky Chahyo Nugroho, “Konflik Agraria di Maluku Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia (Agrarian Conflict in Maluku Viewed from The Perspective of Human Rights)”, Jurnal HAM, Volume 9, Nomor 1, (Juli 2018): 88.

46 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

militer sebanyak 11 (sebelas) kasus, sektor

pesisir kelautan sebanyak 3 (tiga) kasus, dan

sektor agribisnis sebanyak 2 (dua) kasus.6

Sepanjang tahun 2020 sebaran wilayah

konflik yang menjadi 5 (lima) besar adalah

Provinsi Riau sebanyak 29 (dua puluh

sembilan) letusan konflik, Provinsi Jambi

sebanyak 21 (dua puluh satu) letusan

konflik, Provinsi Sumatera Utara sebanyak

18 (delapan belas) letusan konflik, Provinsi

Sumatera Selatan sebanyak 17 (tujuh belas)

letusan konflik, dan Provinsi Nusa Tenggara

Timur sebanyak 16 (enam belas) letusan

konflik. Di Provinsi Jawa Timur sepanjang

tahun 2020 terjadi sebanyak 12 (dua belas)

letusan konflik dengan luasan wilayah konflik

mencapai 14.659,798 (empat belas ribu enam

ratus lima puluh sembilan koma tujuh ratus

sembilan puluh delapan) hektar.7

Meskipun tahun 2020 Provinsi Jawa Timur

tidak masuk dalam 5 (lima) besar provinsi

dengan konflik lahan tertinggi, tetapi konflik

lahan di Provinsi Jawa Timur dapat dikatakan

masih cukup tinggi dan butuh penanganan

yang serius. Pada tahun 2019 Provinsi Jawa

Timur bahkan berada di urutan ke-4 (keempat)

wilayah dengan konflik lahan tertinggi, yaitu

dengan 21 (dua puluh satu) konflik.8

Salah satu contoh kasus lahan di Provinsi

Jawa Timur yang sempat mencuat adalah

kasus lahan antara warga dengan Kepala

Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempe,

Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pada awal

Februari 2018, Kepala Desa Pandanwangi

dan jajarannya beserta aparat keamanan dari

kepolisian dan Babinsa melakukan pematokan

di atas lahan pertanian warga berukuran sekitar

200 (dua ratus) hektar secara sepihak dengan

dalih “Reforma Agraria” untuk merampas

kembali tanah-tanah re-claiming. Hal tersebut

memicu terjadinya eskalasi konflik antara

petani dengan massa bayaran oleh kepala desa.

Berbagai upaya advokasi telah dilakukan oleh

warga terkait adanya dugaan maladministrasi

yang dilakukan oleh pihak Kepala Desa

Pandanwangi, tetapi hingga saat ini belum ada

tindak lanjut.

Contoh lain penyimpangan penanganan

kasus lahan di Provinsi Jawa Timur terlihat

pada upaya mempidanakan Notaris Nora

Maria Lidwina, SH di Surabaya dalam proses

pembuatan Akta Jual Beli (AJB) atas objek

tanah. Notaris Nora dituduh telah memberikan

keterangan palsu di dalam AJB dan ditetapkan

sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian

selama 9 (sembilan) tahun tanpa adanya

kejelasan akan tindak lanjut penyelesaian

perkaranya. Pada tahun 2019 Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Surabaya mencabut

status tersangka Notaris Nora karena menilai

6 Bayu Galih, “KPA Catat 241 Kasus Konflik Agraria Sepanjang 2020 di Tengah Pandemi”, https://nasional.kompas.com/read/2021/01/06/13013151/kpa-catat-241-kasus-konflik-agraria-sepanjang-2020-anomali-di-tengah-pandemi?page=all, diakses 10 Maret 2021.

7 KPA/or/id, “Catatan Akhir Tahun 2020: Konsorsium Pembaruan Agraria”, http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4db26-catatan-akhir-tahun-kpa_peluncuran-1_laporan-konflik-agraria-2020.pdf, diakses 10 Maret 2021.

8 Ibid.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 47

penetapan status tersangka pada dirinya telah

melanggar beberapa ketentuan, yakni pasal

50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP); serta Peraturan Bersama

Ketua Mahkamah Agung RI (MahkumJakpol)

Nomor 299/2010 dan M.HH-35/2010 serta

Kep-059/2010 Standar Operasional Prosedur

(SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana

Umum. Berdasarkan peraturan tersebut,

tidak seharusnya penetapan status tersangka

dibiarkan sampai 9 (sembilan) tahun tanpa

ditindaklanjuti. Selain itu Jaksa Penuntut

Umum (JPU) juga telah mengembalikan

berkas perkara kepada penyidik kepolisian

hingga 13 (tiga belas) kali, jauh melebihi batas

maksimal yang diperbolehkan, yaitu hanya 3

(tiga) kali.

Penyimpangan penegakan hukum yang

terjadi dalam proses penanganan kasus lahan

selama ini sering kali dibiarkan berlarut-larut

tanpa adanya pembenahan, evaluasi, dan

penanganan yang tepat dan sigap. Pembiaran

terhadap kondisi ini tentunya akan membawa

dampak buruk dan kerugian bagi Negara

Kesatuan Republik Indonesia karena hal ini

jelas akan berpotensi menimbulkan berbagai

permasalahan baru, yakni terjadinya konflik

sosial yang bersifat horizontal dan vertikal

yang pada akhirnya akan mengarah pada

kondisi instabilitas keamanan dan ketertiban

masyarakat yang membahayakan keutuhan

bangsa dan negara. Hal ini juga dikhawatirkan

akan menciptakan citra negatif dan rasa

ketidakpercayaan (distrust) dari masyarakat

terhadap aparat, lembaga, dan bahkan sistem

pemerintahan yang kemungkinan akan

meningkatkan praktik-praktik tindakan main

hakim sendiri (vigilante).

Oleh sebab itu perlunya penanggulangan

secara signifikan dan komprehensif terhadap

penyimpangan penegakan hukum pada konflik

lahan menjadi motif utama penulis untuk

melakukan penelitian lebih lanjut.

Tulisan ini akan menganalisis secara

yuridis penyimpangan penegakan hukum

pada konflik lahan untuk menemukan alasan

terjadinya penyimpangan tersebut serta

menawarkan solusi guna penanggulangan

penyimpangan penegakan hukum pada

konflik lahan di Provinsi Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian hukum normatif dan analisis

deskriptif eksplanatoris9 dengan pendekatan

studi kasus (case approach).10 Sumber data

menggunakan data sekunder dari arsip-

arsip, dokumentasi, data resmi instansi

pemerintahan terkait, undang-undang, dan

makalah penelitian terkait.11

9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 158-160.

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hlm. 133-136.11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015), hlm. 12-15.

48 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

Hasil Pembahasan

A. Penyimpangan Penegakan Hukum Pada Konflik Lahan Kasus Notaris Nora Maria Lidwina Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.38/Pra.Per/ 2015/ PN.Sby

Kasus bermula saat Notaris Nora Maria

Lidwina, SH di Surabaya dituduh membuat/

memasukkan keterangan palsu di dalam

akta otentik berbentuk Akta Jual Beli (AJB)

tanah bersama dengan Wardojo dan 2 (dua)

staf Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota

Surabaya. Wardojo menjual sebidang tanah

miliknya yang berlokasi di Jalan Sumatera,

Surabaya kepada Eddy. Proses penjualan

tersebut dibuat di hadapan Notaris Nora yang

kemudian menerbitkan AJB antara Drs. Ec

Wardojo, mantan Kepala Badan Pertanahan

(BPN) Provinsi Jawa Timur selaku penjual

dengan Eddy Hiunadi selaku pembeli pada

November 2007. Wardojo (yang kemudian

meninggal dunia pada Oktober 2010) tidak

pernah mengungkapkan kepada Notaris

Nora Maria Lidwina bahwa tanah tersebut

masih berstatus sengketa dengan Tan Aditya

Tandiokusumo.

Notaris Nora kemudian dituduh secara

bersama-sama dengan Wardojo telah

memasukkan keterangan palsu ke dalam AJB.

Notaris Nora dan Wardojo kemudian ditetapkan

sebagai tersangka oleh Unit Harda Sat Reskrim

Polrestabes Surabaya berdasarkan Laporan

Polisi No.LPB/530/IV/2009/SPK tanggal

29 April 2009 dan Laporan Polisi No.Pol.K/

LP/0001/XI/2010/Satres-krim tanggal 04

November 2010 di Polrestabes Surabaya atas

laporan Tan Aditya Tandiokusuma. Dalam

laporannya, Tan Aditya mengaku memiliki

Surat Izin Penempatan (SIP) rumah di lokasi

tanah tersebut. Sementara di lokasi tanah

tersebut tidak ada lagi bangunan karena telah

dirobohkan oleh Wardojo yang memenangkan

kasus sengketa dengan Tan Aditya. Faktanya

SIP yang dimiliki oleh Tan Aditya tersebut

sudah dicabut oleh Pemkot Surabaya jauh

sebelum eksekusi dilakukan.

Namun demikian, Unit Harda Sat Reskrim

Polrestabes Surabaya tetap saja menetapkan

Notaris Nora sebagai tersangka atas dugaan

melakukan tindak pidana pemalsuan surat

akta otentik dan/atau turut serta melakukan,

turut membantu memberikan keterangan

palsu dalam akta otentik, dan menggunakan

akta yang tidak benar sebagaimana dimaksud

dalam pasal 264 ayat (1) ke-1 huruf a KUHP

dan/atau pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) jo

pasal 55 ayat (1) angka 1 dan jo pasal 56

ayat (1) dan (2) KUHP. Di tengah-tengah

proses penyidikan, Wardojo yang merupakan

tersangka utama meninggal dunia dan sejak

saat itu penyidik Polrestabes Surabaya

mengalihkan sasaran kepada Notaris Nora.

Selama 9 (sembilan) tahun kasus tersebut

dibiarkan saja tanpa ada tindak lanjut. Hal

ini tentu saja sudah melanggar hak asasi

manusia sebagaimana ketentuan dalam pasal

50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 49

Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 50 ayat (1) dan (2) KUHAP

menyatakan:(1) Tersangka berhak segera mendapat

pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;

(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.

Ketentuan dalam pasal ini seharusnya telah memberikan jaminan perlindungan hak-hak tersangka dan menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara dalam proses pemeriksaan. Tidak seharusnya kasus Notaris Nora dibiarkan berlarut-larut hingga 9 (sembilan) tahun tanpa adanya kejelasan dan tindak lanjut.

Begitu juga dengan pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan:(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan,

dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.

(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.

(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan pasal tersebut diatas,

tidak seharusnya Notaris Nora ditahan

karena tidak terdapat cukup bukti yang

menunjukkan bahwa Notaris Nora dengan

sengaja memasukkan keterangan palsu di

dalam AJB yang diterbitkannya. Sementara

jika Notaris Nora melakukannya secara tidak

sengaja, seharusnya kasus tersebut diserahkan

kepada majelis maupun penanggung jawab

kode etik dan diselesaikan di badan internal

kenotariatan, bukan alih-alih memaksakannya

masuk ke ranah pidana. Melalui surat

keterangan yang dikeluarkan oleh Ketua

Majelis Pengawas Daerah Kota Surabaya,

Miftachul Machsum, juga disebutkan bahwa

seluruh prosedur dalam pembuatan akta jual

beli yang dilakukan oleh Notaris Nora telah

sesuai dengan perundang-undangan.

Selain itu berdasarkan Peraturan Bersama

Ketua Mahkamah Agung RI (MahkumJakpol)

Nomor 299/2010 dan M.HH-35/2010 serta

Kep-059/2010 tentang Standar Operasional

Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak

Pidana Umum, telah ditentukan bahwa apabila

berkas perkara sudah 3 (tiga) kali diajukan

oleh penyidik dan dikembalikan oleh Jaksa

Penuntut Umum (JPU) maka perkara tersebut

50 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

dinyatakan tidak layak atau tidak dapat dilanjutkan lagi.

Sedangkan dalam perkara ini berkas perkara sudah 13 (tiga belas) kali dikembalikan oleh JPU. Berkas perkara selalu dikembalikan karena JPU menilai bahwa penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk dari JPU dan penyidik tidak bisa menunjukkan di mana letak keterangan palsu dalam akta jual beli yang diterbitkan oleh Notaris Nora seperti yang dituduhkan kepadanya.

Berdasarkan ketentuan ini seharusnya kasus Notaris Nora tidak dapat dilanjutkan. Statusnya sebagai tersangka juga tidak boleh digantung selama 9 (sembilan) tahun dan secepatnya harus mendapatkan suatu kepastian. Kepastian ini diatur dalam Peraturan Bersama No.099/KMA/ SKB/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan HAM yang Berkeadilan yang dikeluarkan oleh ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri.

Pada tahun 2019 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya akhirnya mencabut status tersangka Notaris Nora karena menilai penetapan status tersangka pada dirinya telah melanggar pasal 50 KUHAP, serta Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI (MahkumJakpol) Nomor 299/2010 dan M.HH-35/2010 dan Kep-059/2010 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP)

Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Selain dibebaskan, status Notaris Nora sebagai pejabat publik juga dipulihkan.

Apabila dikategorikan, konflik lahan yang akhirnya menjerat Notaris Nora tersebut di atas termasuk permasalahan yang bersifat manifest conflict.

Sebagaimana diungkapkan oleh Ron Fisher, konflik adalah ketidakcocokan tujuan atau nilai antara 2 (dua) atau lebih pihak dalam suatu hubungan yang dikombinasikan dengan upaya untuk mengontrol satu sama lain dan perasaan antagonis terhadap satu sama lain.12 Adapun menurut Hocker dan Wilmot, konflik adalah ekspresi perjuangan antara minimal 2 (dua) pihak yang saling ketergantungan dan merasa adanya ketidaksesuaian dalam tujuan, kelangkaan sumber daya, dan adanya campur tangan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.13

Dalam suatu organisasi atau lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta, proses konflik dapat dipahami dengan menggunakan model Pondy tentang episode konflik yang ditunjukkan melalui serangkaian tahapan berikut:14

1) Latent conflict, tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab awal mula terjadinya konflik di dalam organisasi.

2) Perceived conflict, tahap dimana salah satu pihak memandang bahwa pihak lain akan menghambat atau mengancam pencapaian tujuannya.

12 Ron Fisher, “Sources of Conflict and Methods of Conflict Resolution”, http://www. communicationcache.com/uploads/1/0/8/8/10887248/sources_of_conflict_and_ methods_of_resolution. pdf , accessed 15 April 2020.

13 Myra Warren Isenhart and Michael Spangle, Collaborative Approaches to Resolving Conflict, (New Delhi: Sage Publications Inc, 2000), p. 342.

14 Umar Nimran, Perilaku Organisasi, (Bandung: Citra Media, 1997), hlm. 11.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 51

3) Felt conflict, tahap dimana konflik tidak

hanya sekadar dipandang atau dianggap

ada tetapi sudah benar-benar dirasakan

dan dikenali keberadaannya.

4) Manifest conflict, tahap dimana perilaku

tertentu sudah mulai ditunjukkan sebagai

pertanda adanya konflik, misalnya

sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, dan

rendahnya kinerja.

5) Conflict resolution, konflik yang ada

diselesaikan atau ditekan dengan berbagai

macam cara dan pendekatan, mulai dari

menghindar hingga menghadapi konflik

tersebut dalam upaya mencari jalan

keluar sehingga pihak-pihak yang terlibat

dapat mencapai tujuannya.

6) Conflict aftermath, tahap ini mewakili

kondisi yang dihasilkan oleh proses

sebelumnya. Apabila konflik terselesaikan

maka terjadi peningkatan dalam

hubungan dan jika tidak terselesaikan

maka akan memicu konflik baru.

Setiadi dan Kolip dalam suatu kesempatan

membagi penyebab konflik atas 2 (dua)

kondisi, yakni:15

1) Kemajemukan horizontal, yaitu struktur

masyarakat yang majemuk secara kultural

seperti suku bangsa, agama, dan ras; serta

struktur masyarakat yang majemuk secara

sosial dalam arti terdapat perbedaan

pekerjaan dan profesi seperti petani,

buruh, pedagang, pengusaha, pegawai

negeri, militer, wartawan, alim ulama,

sopir, dan cendekiawan. Kemajemukan

horizontal-kultural menimbulkan konflik

yang masing-masing unsur kultural

tersebut mempunyai karakteristik sendiri

dan masing-masing penghayat budaya

ingin mempertahankan karakteristik

budayanya tersebut. Dalam masyarakat

yang strukturnya seperti ini, jika belum

ada konsensus nilai yang menjadi

pegangan bersama maka konflik yang

terjadi dapat menimbulkan perang

saudara.

2) Kemajemukan vertikal, yaitu struktur

masyarakat yang terpolarisasi

berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan

kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat

menimbulkan konflik sosial karena

ada sekelompok kecil masyarakat yang

memiliki kekayaan, pendidikan yang

mapan, kekuasaan dan kewenangan

yang besar, sementara sebagian besar

tidak atau kurang memiliki kekayaan,

pendidikan rendah, dan tidak memiliki

kekuasaan dan kewenangan. Pembagian

masyarakat seperti ini merupakan benih

subur akan timbulnya konflik sosial.

Pada level akar rumput, aparat kepolisian

dapat dikatakan menjadi momok yang

menakutkan bagi masyarakat di wilayah-

wilayah konflik agraria. Pasalnya, penyandang

korp bhayangkara ini menjadi aktor utama

di balik tindak kekerasan dan penangkapan

yang dialami oleh rakyat. Dari seluruh jumlah

konflik yang terjadi, polisi merupakan aktor

utama yang sering kali melakukan tindakan

15 Ibid.

52 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

represif kekerasan maupun penangkapan

tanpa prosedural terhadap masyarakat yang

mencoba bertahan di tanah mereka. Herannya,

TNI juga terlihat bertindak sama. Lembaga

yang ditujukan sebagai penegak kedaulatan

dan penjaga keutuhan wilayah republik ini

tidak jarang juga tercatat melakukan tindak

kekerasan kepada masyarakat saat terjadi

konflik agraria di lapangan.16

Begitu juga dengan oknum-oknum preman

yang terkadang dilibatkan oleh para pelaku

perampasan tanah. Tercatat para oknum

ini sering kali tampil sebagai organisasi-

organisasi sipil yang hadir untuk mengusik

dan mengusir warga dengan cara-cara

intimidasi dalam peristiwa perampasan tanah

dan konflik. Selain itu cara-cara kekerasan

seperti penggunaan senjata ternyata begitu

ampuh dan terus dilakukan oleh pemerintah

dalam upaya penangan konflik. Terlebih lagi

aparat negara seperti tentara dan kepolisian

cenderung tidak netral dalam menangani

konflik atau sengketa yang terjadi. Hal ini

terlihat dari aparat kepolisian yang selalu

memakai prosedural pendekatan hukum

positif tetapi faktanya yang terjadi justru

adanya praktik kriminalisasi terhadap warga

yang sedang mempertahankan haknya.17

Tindakan ini ditempuh dengan

menggunakan berbagai pasal-pasal karet

yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan, antara lain pasal 55 dan pasal

107 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014

tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor

2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah; pasal

12, pasal 82 ayat (1) huruf a, pasal 17, dan pasal

92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Hutan; serta pasal 160, pasal 170, pasal 187,

dan pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).

Selain itu terdapat juga pasal-pasal tidak

lazim yang terlihat digunakan oleh aparat untuk

melemahkan perjuangan warga masyarakat

dan petani di wilayah-wilayah konflik dan

penggusuran. Seperti yang dialami oleh Budi

Pego, warga penolak tambang Tumpang

Pitu asal Banyuwangi yang dikriminalisasi

dengan pasal 107 huruf (a) Undang-Undang

Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap

Keamanan Negara. Pasal ini dikenakan

terhadap dirinya karena ia dituduh membawa

simbol (bendera) yang identik dengan partai

komunis ketika melakukan aksi demonstrasi

menolak tambang.18

Berdasarkan penjabaran di atas dapat

dikatakan bahwa penyimpangan dalam

penanganan kasus lahan masih marak terjadi di

Indonesia. Penyimpangan yang kerap terjadi

umumnya didasari oleh tindakan korupsi dan

16 Ibid.17 Ibid.18 Kompas.com, “Kisah Budi Pego, Aktivis dengan Tuduhan Komunis: Tetap Tolak Tambang Emas Usai Dibui

(Bagian I)”, https://nasional. kompas.com/read/2019/12/16/07255421/kisah-budi-pego-aktivis-dengan-tuduhan-komunis-tetap- tolak-tambang-emas-usai, diakses 18 April 2020.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 53

pelanggaran kode etik. Contohnya seperti

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),

maladministrasi, makelar kasus, melakukan

kekerasan, menerima suap dari pihak tertentu

untuk menekan pihak lainnya, mengintervensi

kasus, serta pelanggaran hak asasi manusia

lainnya. Perilaku penyimpangan tersebut

dilakukan oleh pegawai pemberi layanan

publik seperti pegawai Badan Pertanahan

Nasional (BPN) maupun pegawai terkait

lainnya; serta aparat penegak hukum seperti

polisi/tentara, Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT), dan bahkan jaksa maupun hakim.19

Dalam kasus yang menimpa Notaris

Nora, tampak jelas bahwa penyidik kepolisian

Surabaya telah melakukan penyimpangan

penegakan hukum dalam kasus lahan.

Mengingat kurangnya bukti dan proses

pengembalian berkas perkara yang telah

melebihi batas maksimum, tampak bahwa

kasus tersebut terkesan dipaksakan. Kasus

tersebut tidak seharusnya dibawa ke ranah

pidana. Penyimpangan penegakan hukum

yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam

hal ini terlihat dilandasi oleh perilaku

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)

yang mungkin saja diprakarsai oleh tindakan

korupsi.

Penyimpangan-penyimpangan yang

demikian ini jugalah yang sering kali

menimbulkan dan memperparah suatu

konflik lahan. Hal ini disebabkan karena

terdapat ketidakserasian antara nilai, kaidah,

dan pola perilaku dalam penegakan hukum

di Indonesia. Menurut Soejono Soekanto,

ketidakserasian penegakan hukum tersebut

disebabkan oleh faktor-faktor berikut:20

1) Faktor hukumnya itu sendiri, yaitu

bermula dari adanya undang-undang

yang bermasalah. Hal ini disebabkan

oleh: (a) Tidak diikutinya asas-asas

keberlakuannya; (b) Belum ada peraturan

pelaksanaan dalam penerapan undang-

undang; (c) Ketidakjelasan (multitafsir)

dari kata-kata yang terdapat dalam

undang-undang.

2) Faktor penegak hukumnya, yaitu pihak-

pihak yang langsung maupun tidak

langsung terlibat dalam penegakan

hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim,

penasihat hukum (advokat), hingga

petugas sipir pemasyarakatan. Pada

praktiknya penegakan hukum belum

berjalan di koridor yang tepat sehingga

penegakan hukum mengalami kendala

dalam tingkatan teknis operasional di

masing-masing penegak hukum. Hal

ini disebabkan oleh: (a) Rendahnya

kualitas aparat penegak hukum; (b)

Tidak diindahkannya prinsip the right

man in the right place; (c) Rendahnya

komitmen mereka terhadap penegakan

hukum; (d) Tidak adanya mekanisme

penegakan hukum yang terintegrasi,

19 Ahkam Jayadi, “Problematika Penegakan Hukum dan Solusinya”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum Vol. 15, No. 2, (Juli, 2015): 12.

20 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 35.

54 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

baik, dan modern; (e) Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama di badan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman; (f) Tingginya korupsi dan kejahatan terorganisir (organized crime) antar anggota penegak hukum dengan tuduhan mafia peradilan.

3) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya. Tanpa dukungan sarana dan fasilitas yang memadai maka penegakan hukum tidak dapat dilakukan secara optimal.

4) Faktor masyarakat. Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk dengan berbagai golongan etnik dan ragam kebudayaan. Oleh sebab itu penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan beserta tatanan status/kedudukan dan peranan yang ada untuk memudahkan penegak hukum untuk mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan tersebut sehingga penegakan hukum dapat diterapkan.

5) Faktor kebudayaan. Pada prinsipnya, kebudayaan pasti mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai

apa saja yang dianggap baik (sehingga

dianut/dilakukan) dan apa yang dianggap

buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai

tersebut lazimnya terdiri dari nilai-

nilai konservatisme dan nilai-nilai

inovatisme yang mencerminkan 2 (dua)

keadaan ekstrim yang harus diserasikan/

diselaraskan.

Dalam penegakan hukum, kelima faktor

tersebut di atas akan saling berkaitan erat

antara satu dengan lainnya. Faktor satu

sama lain akan saling mempengaruhi dalam

upaya penegakannya. Kelemahan yang

satu akan berdampak kepada yang lainnya

karena keseluruhannya menjadi hal pokok

dalam penegakan hukum serta dalam rangka

memperoleh tolok ukur dari efektivitas

penegakan hukumnya.

B. Penanggulangan Penyimpangan Penegakan Hukum Pada Konflik Lahan di Provinsi Jawa Timur

Dalam Bahasa Yunani tanah disebut

dengan “pedon” dan dalam Bahasa Latin

disebut“ solum” yang berarti bagian kerak

bumi yang tersusun dari mineral dan bahan

organik. Tanah berasal dari hasil pelapukan

batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan

organik dan organisme (vegetasi atau hewan)

yang hidup di atasnya atau di dalamnya.21

Peruntukannya dapat digunakan sebagai

sumber pencaharian perekonomian maupun

menjadi alas pembangunan rumah yang akan

digunakan sebagai tempat hunian. Dengan

21 Mahfud Arifin, Novarina Dermawan Putri, dkk, “Pengaruh Posisi Lereng Terhadap Sifat Fisika dan Kimia Tanah pada Inceptisols di Jatinangor”, Soilrens Vol. 16, No. 2, (Juli-Desember 2018): 37.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 55

demikian tanah dapat didefinisikan sebagai lapisan kerak bumi yang berada di lapisan paling atas yang juga merupakan penyangga seluruh kehidupan yang ada di muka bumi.

Banyaknya manfaat dari tanah berdasarkan kegunaan dan jenisnya membuat negara dalam hal ini pemerintah merasa perlu untuk mengatur dan menata pemanfaatan tanah yang akan dikelola sesuai dengan peruntukannya.

Chapin menggolongkan tanah dalam 3 (tiga) golongan, yaitu yang memiliki:22

1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas.

2. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan bermasyarakat.

3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolahraga, dan sebagainya.

Menurut Rachmadi Usman, baik kata “conflict” maupun “dispute” sama-sama mengandung pengertian tentang adanya

perbedaan kepentingan di antara 2 (dua) belah pihak atau lebih. Namun kedua istilah tersebut dapat dibedakan dari segi kosa kata. “Conflict” sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “konflik” sedangkan “dispute” dapat diterjemahkan sebagai sengketa.23

Lebih lanjut ditegaskan bahwa konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Suatu konflik akan berkembang menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan ketidakpuasannya.24

Menurut Richard L. Abel (1973), William L. F. Felstiner (1974, 1975), dan Paul Wehr (1979) sebagaimana dikutip oleh Steven Vago,25 pengertian konflik adalah sesuatu yang terjadi dalam kehidupan yang dapat dikelola dan diatur alih-alih diselesaikan. Intervensi dari pihak ketiga hanya mewakili penyelesaian komponen publik dan bukan mengurangi kekuatan yang mendasari ketegangan yang diciptakan oleh konflik tersebut.

Pemetaan tipologi konflik dilakukan dengan cara mengelompokkannya ke dalam ruang-ruang konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik tersebut menurut Fuad dan Maskanah dalam Rachmad Safa’at dan Indah Dwi Qurbani26 terbagi ke dalam 5 (lima) ruang

konflik, yaitu:

22 Johara T. Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah, (Bandung: Penerbit ITB, 1999), hlm. 28.

23 Rachmadi Usman dalam Sarjita, Teknik dan Strategi Mengelola Sengketa dan Konflik Pertanahan (Memadukan Antara Teori dan Studi Empirik), Tanpa penerbit, 2004, hlm. 7.

24 Ibid., hlm 8.25 Steven Vago, Law and Society, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1991), p. 174.26 Rachmad Safa’at dan Indah Dwi Qurbani, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertambangan (Studi di Kabupaten

Lumajang Provinsi Jawa Timur)”, Jurnal Konstitusi Vol. 14, No. 1, (Maret 2017): 157-158.

56 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

1. Konflik data, terjadi ketika seseorang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.

2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan sumber daya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah), atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat).

3. Konflik hubungan antar manusia, merupakan tipologi konflik yang paling dominan. Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menimbulkan konflik yang tidak realistis atau yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, baik yang hanya dirasakan maupun memang nyata. Nilai adalah kepercayaan yang digunakan manusia untuk memberi arti pada hidupnya sehingga konflik nilai

terjadi ketika seseorang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada orang lain atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan. Penegakan regulasi merupakan sumber konflik yang paling dominan.

5. Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum biasanya memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.

Berdasarkan penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan hal yang tidak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat. Perkembangan kehidupan manusia akan menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan termasuk struktur kehidupan sosial dan perubahan kultur/budaya yang pada akhirnya mengarah pada perubahan sistem hukum. Perubahan-perubahan tersebut sering kali membuat masyarakat kesulitan untuk menyesuaikan diri sehingga muncul perbedaan pendapat dan disharmoni antara satu sama lain yang mengakibatkan munculnya konflik, baik konflik yang bersifat horizontal maupun vertikal.

Menurut James A. F. Stoner dan Charles Wankel dalam Wirawan,27 konflik pada umumnya dapat diketahui atas 5 (lima) jenis

klasifikasi, yakni:

27 Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian, (Jakarta: Salemba Empat, 2010), hlm. 22.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 57

1. Konflik intrapersonal atau konflik

seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik

ini terjadi apabila pada waktu yang sama

seseorang memiliki 2 (dua) keinginan

yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.

2. Konflik interpersonal atau konflik

pertentangan antar seseorang dengan

orang lain yang terjadi karena adanya

pertentangan kepentingan atau keinginan.

Hal ini sering terjadi antara 2 (dua) orang

yang berbeda status, jabatan, bidang

kerja, dan lain-lain.

3. Konflik antar individu-individu dan

kelompok-kelompok. Konflik ini sering

kali berhubungan dengan cara individu

menghadapi tekanan-tekanan untuk

mencapai konformitas yang ditekankan

kepada mereka oleh kelompok kerja

mereka.

4. Konflik antara kelompok dalam organisasi

yang sama. Konflik ini merupakan tipe

konflik yang banyak terjadi di dalam

organisasi-organisasi. Konflik antar lini

dan staf seperti antara pekerja dengan

pekerja serta pekerja dengan manajemen

merupakan 2 (dua) macam bidang konflik

antar kelompok.

5. Konflik antara organisasi. Contohnya

seperti di bidang ekonomi dimana

Amerika Serikat dan negara-negara lain

dianggap sebagai bentuk konflik dan

konflik ini biasanya disebut dengan

persaingan. Konflik ini menyebabkan

timbulnya pengembangan produk-

produk baru, teknologi baru, servis baru,

dan pemanfaatan sumber daya secara

lebih efisien.

Terlepas dari itu konflik atau sengketa

sering kali digunakan secara bergantian

dengan makna yang sebenarnya kurang lebih

sama. Hal tersebut bisa dimengerti karena

istilah konflik atau sengketa dipahami sebagai

representasi dari suatu perselisihan. Namun

begitu, konflik atau sengketa sebenarnya

dapat dibedakan berdasarkan kategori tertentu

seperti dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Perbedaan Istilah Konflik dan SengketaAspek Konflik Sengketa

Lingkup Konflik lebih luas dari sengketa karena konflik mencakup perselisihan-perselisihan yang bersifat laten (tersembunyi) dan manifes (terbuka).

Sengketa lebih sempit dari konflik karena sengketa mencakup perselisihan-perselisihan yang besifat terbuka.

Pihak Pihak-pihak dalam konflik mencakup pihak yang sudah teridentifikasi dengan jelas maupun tidak.

Pihak-pihak dalam sengketa sudah teridentifikasi dengan jelas.

Kepustakaan Istilah konflik lebih sering ditemukan dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dan politik dari pada dalam kepustakaan ilmu hukum.

Istilah sengketa lebih sering ditemukan dalam kepustakaan ilmu hukum.

Forum Penyelesaian Konflik tidak cukup memiliki infrastruktur kelembagaan penyelesaian.

Sengketa memiliki infrastruktur kelembagaan penyelesaian yang lebih lengkap dan formal, seperti lembaga peradilan.

Sumber: Data diolah

58 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

Sementara jika dilihat dari peraturan

perundang-undangan, defi nisi konfl ik atau

sengketa dapat diketahui sebagai berikut:

Tabel 2. Defi nisi Konfl ik atau Sengketa menurut Peraturan Perundang-UndanganSumber Defi nisi Konfl ik atau Sengketa

Peraturan Menteri ATR/ Ka.BPN No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan

Sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Konfl ik tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.

Peraturan Menteri LHK No. 84 tahun 2015 tentang Penanganan Konfl ik Tenurial Kehutanan

Konfl ik tenurial hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.

UU No. 7 tahun 2012 tentang Penyelesaian Konfl ik Sosial

Konfl ik sosial, yang selanjutnya disebut konfl ik adalah perseteruan dan/atau benturan fi sik dengan kekerasan antara 2 (dua) kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara 2 (dua) pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.

Sumber: Diolah dari berbagai peraturan perundang-undangan.

Berbagai konfl ik atau sengketa ini dalam

penanganannya sangat tergantung pada sikap

pihak-pihak terkait. Sayangnya sikap dalam

menghadapi konfl ik sangat dipengaruhi

oleh perspektif para pihak tentang konfl ik.

Perspektif tiap-tiap pihak terhadap konfl ik

akan mempengaruhi gaya para pihak dalam

menghadapinya. Untuk dapat memahami tiap

perspektif yang umumnya muncul, instrumen

Kenneth W. Thomas dan Ralph H. Kilmann

dapat diuraikan sebagai berikut:

Gambar 1. Thomas Kilman Confl ict Instument

Sumber: Diolah dari CPP. Inc, Thomas-Kilmann Confl ict Mode Instrument: Profi le and

Interpretative Report, 2010

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 59

Berdasarkan gambar di atas, perspektif

atas konflik yang umumnya dapat dilihat dari

pihak-pihak yang berkonflik adalah berupa:

menghindar (avoiding), mengakomodasi

(accommodating), berkompromi

(compromising), bersaing (competiting), dan

bekerja sama (collaborating). Kelima sikap

yang diekspresikan oleh para pihak yang

berkonflik merupakan kunci untuk memetakan

gaya berkonflik yang lebih lanjut diuraikan

sebagai berikut:

1. Menghindar (avoiding), terjadi ketika

salah satu pihak menolak untuk mengakui

adanya sengketa/menyangkal adanya

sengketa atau mengubah topik penyebab

sengketa ke topik lainnya yang bukan

penyebab sengketa. Menghindari diskusi

tentang sengketa, seperti berperilaku

tidak jelas (non-committal) atau tidak

ingin membangun komitmen terhadap

upaya penyelesaian sengketa.

2. Upaya untuk mengakomodasi

(accomodating), terjadi ketika salah

satu pihak mengorbankan sebagian

kepentingan diri/kelompoknya guna

memenuhi (sebagian) kepentingan pihak

lain.

3. Kompromi (compromosing), terjadi

ketika masing-masing pihak bertindak

bersama-sama mengambil jalan tengah,

misalnya dengan saling memberi dan

dalam tindakan tersebut tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah.

4. Bersaing (competiting), yaitu suatu gaya sengketa yang dicirikan oleh tindakan-tindakan agresif, mementingkan pihak sendiri, menekan pihak lain, dan berperilaku tidak kooperatif.

5. Bekerja sama (collaborating), dicirikan dengan adanya saling menyimak secara aktif kepentingan pihak lainnya, kepedulian yang terfokus, komunikasi yang berempati, dan saling memuaskan.

Berdasarkan uraian di atas, konflik yang terjadi pada kasus lahan umumnya dapat dikatakan merupakan konflik antara individu atau kelompok tani atau masyarakat terhadap entitas perusahaan swasta maupun negara. Sedangkan gaya penyelesaiannya tidak jarang dapat diselesaikan dengan cara menghindar (non-committal) dan bersaing (competiting). Catatan dari KPA dapat kembali dirujuk untuk menjelaskan hal ini, dimana perusahaan swasta atau negara tersebut tidak jarang justru didukung dengan putusan “ngawur” dan turut diperparah dengan melibatkan kekerasan yang datang dari kekuatan aparat maupun preman.28

Beberapa tantangan utama dalam penyelesaian konflik agraria, antara lain:29

1. Belum adanya mekanisme dan kelembagaan penyelesaian sengketa pertanahan yang sifatnya lintas sektor

dan eksekutorial.

28 Konsorsium Pembaruan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2017: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi: Gaung Besar di Pinggir Jalan, (Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2018), hlm. 15-16.

29 Kertas Posisi KOMNAS HAM 2017-2018, “Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dalam Kerangka Reforma Agraria dengan Berbasis HAM”, https://www.komnasham. go.id/files/20181126-kertas-posisi-penyelesaian-konflik-$AINDB.pdf, diakses 27 Maret 2021.

60 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

2. Belum adanya legislasi dan regulasi

khusus untuk penyelesaian sengketa

pertanahan secara menyeluruh, baik

melalui peradilan khusus maupun

non-peradilan.

3. Belum optimalnya pelaksanaan tugas

dan fungsi kelembagaan penyelesaian

sengketa pertanahan (sektoral) yang

berada di bawah kementerian atau

lembaga yang ada.

4. Kekeliruan kebijakan yang menyebabkan

dan melahirkan sengketa pertanahan

di berbagai sektor belum diralat atau

dibenahi.

5. Pendekatan keamanan (security

approach) masih sering digunakan

padahal hal tersebut justru memperumit

konflik, memicu kriminalisasi, dan

menjatuhkan korban dari pihak rakyat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa

Indonesia adalah negara hukum. Adapun

salah satu prinsip negara hukum adalah

adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan

penegakan hukum yang merdeka dan bebas

dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk

menyelenggarakan keadilan guna menegakkan

hukum dan keadilan. Dalam hal ini penegak

hukum bebas memutuskan segala putusan

tanpa ada intervensi atau campur tangan dari

pihak lain sehingga sifatnya netral dan tidak

memihak dalam menjalankan tugas memutus

suatu perkara di peradilan. Kebebasan penegak

hukum merupakan kewenangan penting

yang melekat pada individu penegak hukum,

dimana penegak hukum berfungsi sebagai

pihak yang menerapkan teks undang-undang

ke dalam peristiwa yang konkrit. Tidak sebatas

substantif tetapi penegak hukum juga harus

mampu memberikan penafsiran yang tepat

mengenai hukum dalam rangka meluruskan

peristiwa hukum secara konkrit.30

Namun kenyataannya penegak hukum

masih kerap memandang suatu kasus hanya

berdasarkan penerapan perundang-undangan

yang notabene sebagian besarnya masih

merupakan warisan Belanda. Pola pikir

penegak hukum yang terbelenggu legalitas

formal akan menghasilkan penegakan hukum

yang tidak adil.31 Hukum bukan sekadar

instrumen kekuasaan tetapi sebagai instrumen

kepentingan rakyat. Untuk itu penegak

hukum idealnya haruslah seorang yang ahli

dan mampu menerjemahkan hukum sehingga

dapat menciptakan penemuan hukum

(rechtsvinding) atau bahkan menciptakan

hukum baru (rechtheeping) melalui keputusan-

keputusannya (judge made law) dengan

pertimbangan relevansi pada perkembangan

zaman.

Konflik-konflik pertanahan yang terus

bergulir membuktikan bahwa permasalahan

agraria adalah masalah yang sangat rawan

dan membutuhkan perhatian khusus dari

pemerintah. Oleh sebab itu dibutuhkan strategi

yang komprehensif guna mengantisipasi

30 Herlina Ratna Sambawa Ningrum, “Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa Atas Tanah Berbasis Keadilan”, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol. I, No.2, (Mei-Agustus 2014): 225.

31 Ibid.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 61

dan menekan angka sengketa pertanahan di

Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan beberapa

upaya maupun strategi penyelesaian sengketa

dengan berbasis keadilan, antara lain:32

1. Strategi administratif negara, yang

membutuhkan profesionalisme secara

komprehensif/holistik (multidisiplin)

yang tidak bisa diserahkan kepada

profesional berorientasi produk.

Perubahan struktur organisasi sektoral

bukan berdasarkan produk (komoditas)

tetapi berdasarkan proses.

2. Strategi yudikatif, dengan menyelesaikan

tumpang tindih perundangan maupun

regulasi. Rekomendasi perumusan

payung regulasi pertanahan negara

dapat dibentuk melalui Analisis Hukum

Sistem Penyelesaian Sengketa Atas

Tanah Berbasis Keadilan “KPN” Komisi

Pertanahan Negara yang merupakan

bentuk implementasi regulasi kekuasaan

negara terhadap tanah negara yang kini

diemban oleh kekuasaan pemerintah dan

sektoral.

3. Strategi legislatif, dimana DPR bersama-

sama dengan presiden berkewajiban

untuk mengatur semua kebijakan terkait

dengan kekuasaan negara dan membentuk

lembaga tersendiri yang bertugas untuk

menyelesaikan kasus-kasus di bidang

pertanahan.

Berdasarkan penjabaran di atas

penulis berpendapat bahwa dalam upaya

penyelesaian sengketa pertanahan, berarti

terdapat suatu upaya penyelesaian sengketa

pertanahan dengan mengedepankan nilai-

nilai kemanusiaan sesuai dengan hukum dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada kaitannya dengan penyimpangan

dalam penanganan kasus lahan yang masih

marak terjadi, dapat diketahui bahwa akar

permasalahan yang harus segera ditangani dan

diubah adalah pola penanganan aparat penegak

hukum maupun petugas pemerintahan yang

memberikan pelayanan publik. Upaya yang

harus dilakukan untuk menanggulangi atau

setidaknya dapat meminimalisasi potensi

penyimpangan tersebut adalah dengan cara:

1. Perbaikan institusi aparat penegak hukum

dalam hal sistem rekrutmen (seleksi),

membuat persyaratan dan tes yang baik

untuk menjadi aparat penegak hukum,

mengadakan program pelatihan atau

program Continuing Legal Education

(CLE) secara konsisten, dan memberikan

pembekalan etika profesi hukum secara

bertahap dan terus-menerus sehingga

tercipta aparat penegak hukum yang

profesional. Selain itu dengan adanya

kerja sama dan koordinasi yang solid

dan terpadu antara para aparat penegak

hukum diharapkan dapat menciptakan

penegak hukum yang berwibawa.33

2. Memperbaiki sistem administrasi

yudisial (administration of justice)

dan manajemen peradilan dengan cara

32 Ibid., hlm 226.33 Ahkam Jayadi, Op., Cit, hlm. 6.

62 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

merekrut orang-orang dari disiplin ilmu lain yang memiliki keahlian di bidang manajemen, bidang komputer, bidang data processing, bidang psikologi, dan sebagainya yang dapat membenahi sistem administrasi dan manajemen.34

3. Memberikan sanksi tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran dan tidak bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku.

4. Diperlukan suatu lembaga pengawasan peradilan yang independen, imparsial, dan jujur (independent, impartial, and honest judiciary) yang dapat mengawasi terus-menerus setiap tindakan-tindakan koruptif maupun pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.35

5. Menciptakan sistem pelayanan dan penanganan kasus yang transparan dan terbuka terhadap partisipasi dan respons pengawasan masyarakat.36

6. Diseminasi program Gerakan Nasional Anti Korupsi secara terus-menerus yang disosialisasikan sejak dini kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu dan mewaspadai bahaya korupsi dan dengan berani melawan atau melaporkan praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum, serta

menolak atau tidak terlibat dalam aktivitas suap, pungli, dan sebagainya.37

7. Menciptakan budaya anti korupsi dan pelayanan publik yang prima yang tercermin dari: (a) Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat di akses oleh semua pihak yang membutuhkan, serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti; (b) Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (c) Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; (d) Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; (e) Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain; serta (f) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan

publik.38

34 Ibid.35 Maryanto, “Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum”, Jurnal Ilmiah CIVIS Vol. 2, No.2,

(Juli 2012): 5.36 Ibid.37 Ridwan, “Upaya Pembentukan Perilaku Penegak Hukum yang Anti Korupsi Melalui Rekam Sidang Tipikor”,

MMH Jilid 43, No.3, (Juli 2014): 406.38 Robi Cahyadi Kurniawan, “Inovasi Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah”, Fiat Justisia Vol.10,

Issue.03, (Juli-September 2016): 573-574.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 63

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Masih terdapat konflik lahan yang

diwarnai dengan penyimpangan dalam

proses penanganannya. Penyimpangan

yang kerap terjadi didasari oleh tindakan

korupsi dan pelanggaran kode etik seperti

penyalahgunaan kekuasaan (abuse

of power), maladministrasi, makelar

kasus, melakukan kekerasan, menerima

suap dari pihak tertentu untuk menekan

pihak lainnya, mengintervensi kasus,

serta pelanggaran hak asasi manusia

lainnya. Perilaku penyimpangan tersebut

dilakukan oleh pegawai pemberi layanan

publik seperti pegawai Badan Pertanahan

Nasional (BPN) maupun pegawai terkait

lainnya; serta aparat penegak hukum

seperti polisi/tentara, Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT), dan bahkan jaksa

maupun hakim.

b. Upaya yang harus dilakukan untuk

menanggulangi atau setidaknya

meminimalisasi potensi terjadinya

penyimpangan tersebut adalah dengan:

(1) Memperbaiki institusi aparat

penegak hukum; (2) Memperbaiki sistem

administrasi yudisial (administration

of justice) dan manajemen peradilan;

(3) Memberikan sanksi tegas terhadap

oknum-oknum yang melakukan

pelanggaran; (4) Melakukan pengawasan

ketat terhadap pola kerja aparat penegak

hukum maupun pegawai pemberi

layanan publik; (5) Menciptakan sistem

pelayanan dan penanganan kasus yang

transparan dan terbuka; (6) Diseminasi

program Gerakan Nasional Anti

Korupsi kepada masyarakat; serta (7)

Menciptakan budaya anti korupsi dan

pelayanan publik yang prima.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian:

Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta, 2006.

Isenhart, Myra Warren and Michael Spangle.

Collaborative Approaches to Resolving

Conflict. New Delhi: Sage Publications

Inc, 2000.

Jayadinata, Johara T. Tata Guna Tanah Dalam

Perencanaan Pedesaan, Perkotaan,

dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB,

1999.

Konsorsium Pembaruan Agraria. Catatan

Akhir Tahun 2017: Reforma Agraria

di Bawah Bayangan Investasi: Gaung

Besar di Pinggir Jalan. Jakarta:

Konsorsium Pembaruan Agraria, 2018.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.

Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2014.

64 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

Nimran, Umar. Perilaku Organisasi. Bandung:

Citra Media, 1997.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Jakarta: Rajawali Press, 1983.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian

Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 2015.\

Usman, Rachmadi dalam Sarjita. Teknik

dan Strategi Mengelola Sengketa dan

Konflik Pertanahan (Memadukan

Antara Teori dan Studi Empirik). Tanpa

penerbit, 2004.

Vago, Steven. Law and Society, Third Edition.

New Jersey: Prentice Hall, 1991.

Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik:

Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta:

Salemba Empat, 2010.

Jurnal

Arifin, Mahfud, Novarina Dermawan Putri,

dkk. “Pengaruh Posisi Lereng Terhadap

Sifat Fisika dan Kimia Tanah Pada

Inceptisols di Jatinangor”. Soilrens Vol.

16, No.2, (Juli-Desember 2018): 37.

Iqma, Almira Gusti. “Community Plantation

Forests: As Implementation of Agrarian

Reform in Forestry Sector Village

Lubuk Seberuk, Lempuing OKI, South

Sumatera”. Interaktif Jurnal Ilmu-Ilmu

Sosial Vol. 12, No. 2, (2020): 1.

Jayadi, Ahkam. “Problematika Hukum dan

Solusinya”. Jurnal Ilmu Syariah dan

Hukum Vol. 15, No. 2, (Juli, 2015): 12.

Kurniawan, Robi Cahyadi. “Inovasi Kualitas

Pelayanan Publik Pemerintah Daerah”.

Fiat Justisia Vol. 10, Issue. 03, (Juli-

September 2016): 573-574.

Maryanto. “Pemberantasan Korupsi Sebagai

Upaya Penegakan Hukum”. Jurnal

Ilmiah CIVIS Vol. 2, No.2, (Juli 2012):

5.

Nugroho, Okky Chahyo. “Konflik Agraria di

Maluku Ditinjau dari Perspektif Hak

Asasi Manusia (Agrarian Conflict in

Maluku Viewed from The Perspective

of Human Rights)”. Jurnal HAM Vol. 9,

No. 1, (Juli 2018): 88.

Ningrum, Herlina Ratna Sambawa. “Analisis

Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa

Atas Tanah Berbasis Keadilan”. Jurnal

Pembaharuan Hukum Vol. I, No. 2,

(Mei-Agustus 2014): 225.

Ridwan. “Upaya Pembentukan Perilaku

Penegak Hukum yang Anti Korupsi

Melalui Rekam Sidang Tipikor”. MMH

Jilid. 43, No.3, (Juli 2014): 406.

Safa’at, Rachmad dan Indah Dwi Qurbani.

“Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pertambangan (Studi di Kabupaten

Lumajang Provinsi Jawa Timur)”.

Jurnal Konstitusi Vol. 14, No. 1, (Maret

2017): 157-158.

Susetio, Wasis. “Disharmoni Peraturan

Perundang-Undangan di Bidang

Agraria”. Lex Jurnalica Vol. 10, No. 3,

(Desember 2013): 135-136.

Putra, Analisa Yuridis Penyimpangan Penegakan Hukum pada Konflik Lahan... 65

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Kehutanan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Pertambangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

27 tahun 1999 tentang Perubahan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (HAM).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

7 tahun 2012 tentang Penyelesaian

Konflik Sosial.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Hutan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Nomor 84 tahun 2015

tentang Penanganan Konflik Tenurial

Kehutanan.

Peraturan Menteri ATR/Ka.BPN Nomor 11

tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan.

Internet

Bayu Galih. “KPA Catat 241 Kasus Konflik

Agraria Sepanjang 2020 di Tengah

Pandemi”. https://nasional.kompas.

com/read/2021/01/06/13013151/

kpa-catat-241-kasus-konflik-agraria-

sepanjang-2020-anomali-di-tengah-

pandemi?page=all. Diakses 10 Maret

2021.

CNN Indonesia. “BPN Target Terbitkan 11

Juta Sertifikat Tanah Gratis di 2019”.

https://www. cnnindonesia.com/

nasional/20190321134316-20-379420/

bpn-target-terbitkan-11-juta-sertifikat-

tanah-gratis-di-2019. Diakses 25

Februari 2020.

Fisher, Ron. “Sources of Conflict and

Methods of Conflict Resolution”.

http://www.communicationcache. com/

uploads/1/0/8/8/10887248/sources_of_

conflict_and_methods_of_ resolution.

pdf. Diakses 15 April 2020.

Kertas Posisi KOMNAS HAM 2017-

2018. “Percepatan Penyelesaian

Konflik Agraria dalam Kerangka

Reforma Agraria dengan Berbasis

HAM”. https://www.komnasham.

66 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halama 42-66

go.id/files/20181126-kertas-posisi-

penyelesaian-konflik-$AINDB.pdf.

Diakses 27 Maret 2021.

Kompas.com. “Kisah Budi Pego, Aktivis

dengan Tuduhan Komunis: Tetap Tolak

Tambang Emas Usai Dibui (Bagian

I)”. https://nasional.kompas. com/

read/2019/12/16/07255421/kisah-budi-

pego-aktivis-dengan-tuduhan-komunis-

te tap- to lak- tambang-emas-usa i .

Diakses 18 April 2020.

KPA/or/id. “Catatan Akhir Tahun 2020:

Konsorsium Pembaruan Agraria”.

http://kpa.or.id/assets/uploads/files/

pub l ikas i /4db26-ca ta t an -akh i r-

tahun-kpa_peluncuran-1_laporan-

konflik-agraria-2020.pdf. Diakses 10

Maret 2021.


Recommended