i
TUGAS AKHIR – MO.091336
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE
FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN KELELAHAN
ANDRI KURNIAWAN WICAKSONO
NRP. 4306.100.025
Dosen Pembimbing
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc. Ph.D
Ir. Handayanu, M.Sc, Ph.D
JURUSAN TEKNIK KELAUTAN
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2010
ii
FINAL PROJECT – MO.091336
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE
BELANAK FPSO DUE TO FATIGUE
ANDRI KURNIAWAN WICAKSONO
NRP. 4306.100.025
Supervisors
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc. Ph.D
Ir. Handayanu, M.Sc, Ph.D
DEPARTMENT OF OCEAN ENGINEERING
Faculty of Marine Technology
Institut Technology of Sepuluh Nopember
Surabaya
2010
iii
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE
SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK
TERHADAP BEBAN KELELAHAN
LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
pada
Program Studi S-1 Jurusan Teknik Kelautan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh :
ANDRI KURNIAWAN WICAKSONO
NRP. 4306 100 025
SURABAYA, 2 AGUSTUS 2010
iv
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS
PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN KELELAHAN
Nama Mahasiswa : Andri Kurniawan Wicaksono
NRP : 4306 100 025
Jurusan : Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) dalam operasinya mendapatkan pengaruh signifikan dari beban lingkungan dan operasionalnya. Hal demikian juga akan mempengaruhi komponen-komponen struktur yang ada di atasnya, termasuk struktur module dan supportnya yang berfungsi sebagai fasilitas pemrosesan minyak dan gas. Konstruksi support module beserta scantlingnya yang tersambung ke geladak FPSO haruslah kuat menahan beban-beban yang terjadi, yang pada dasarnya bersifat siklis. Sehubungan dengan ini perancang harus dapat menentukan kekuatannya menahan beban siklis yang akan menimbulkan kelelahan pada scantling support module. Dalam penelitian ini kelelahan scantling support module telah dikaji dengan metode deterministik-spektral dan metode probabilistik atau keandalan. Pada pengkajian dengan metode deterministik-spektral penyelesaian dilakukan dengan mengaplikasikan persamaan kelelahan terangkai, sedangkan pengkajian keandalan menggunakan simulasi Monte Carlo. Analisis dimulai dengan penentuan beban dinamis lingkungan menggunakan perangkat lunak MOSES, serta penentuan tegangan lokal pada semua tingkat beban siklis menggunakan perangkat lunak ANSYS. Penelitian dilakukan pada scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak yang mempunyai massa 2361 ton. Beban siklis dari gelombang, angin dan operasional diakumulasi dari beban terendah sampai dengan tertinggi. Hasil analisis menunjukkan kontribusi beban terhadap umur kelelahan scantling support module FPSO Belanak berturut-turut dari yang terbesar adalah disebabkan oleh beban gelombang yakni sebesar 85.963% dengan beban maksimum 84.63MPa, beban operasional module sebesar 14.036% dengan beban maksimum 34.29MPa, dan beban angin sebesar 0.00047% dengan beban maksimum 0.5MPa. Umur kelelahan dari scantling support module FPSO Belanak adalah 116.3 tahun atau 3.88 kali umur operasinya. Keandalan terhadap beban kelelahan dari scantling support module FPSO Belanak berdasarkan perhitungan menggunakan simulasi Monte Carlo adalah 1.0, yakni baik terjadi pada struktur global maupun area kritis pada daerah sambungan antara support module dengan bracket. Nilai-nilai tersebut memperlihatkan bahwa scantling support module mempunyai keandalan yang tinggi dan akan aman dioperasikan sesuai dengan umur rancangannya.
Kata kunci: scantling support module, kelelahan, FPSO, keandalan
v
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE TO FATIGUE
Name : Andri Kurniawan Wicaksono
NRP : 4306 100 025
Department : Teknik Kelautan FTK – ITS
Supervisors : Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
ABSTRACT
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) in its operation is significantly affected by the environmental as well as operational loads. Similarly this would also affect the structural components onboard of the FPSO, including the module and its support structures which are preserved as the oil and gas processing. The module support structure together with the scantlings that extend to the FPSO deck should be sufficiently robust to endure the loads, which are fundamentally cyclic in nature. In this regards designers should be able to design the structure against cyclic loads which in turn would result in a fatigue failure on the scantling module support. In this investigation the fatigue performance of scantling module support has been evaluated through the implementation of spectral-deterministic and probablistic or reliability methods. In the spectral-deterministic method analysis is tackled by using the closed-form fatigue equation, whereas the reliability evaluation is accomplished by means of Monte Carlo simulation. Analysis was commenced by the determination of dynamic loads employing the MOSES software, followed by the determination of local stresses at any level of cyclic load utilizing software ANSYS. Investigation has been carried out on the scantling support structure system gas processing module attached to the Belanak FPSO with a total mass of 2361 tons.The cyclic loads due to wave, wind and operational are accumulated all together from the lowest up to the highest level. Result of the analysis shows the contribution of the loads on the fatigue life are, respectively, from the largest are due to wave in the range of 85.963% with maximum load of 84.63MPa, due to operational module of 14.036% with maximum load of 34.29MPa and due to wind is as low as 0.00047% with maximum load of 0.5MPa. The fatigue life of the scantling module support is finally found to be 116.3 years or 3.88 times of its designed lifetime. The Belanak FPSO scantling module support reliability against fatigue failure eventually is achieved as high as 1.0, both at the global as well as at the local critical structures. This fact indicates the scantling module support preserves a high reliability and would be immensely safe to be operated in accordance with its designed lifetime.
Keywords: scantling support module, fatigue, FPSO, reliability
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini
dengan baik. Tugas Akhir ini berjudul “Analisis Keandalan Scantling Support
Structure System Gas Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban
Kelelahan.”
Tugas Akhir ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi
Kesarjanaan (S-1) di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan (FTK),
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Tugas Akhir ini membahas
analisis keandalan scantling support structure system gas processing module pada FPSO
Belanak terhadap beban kelelahan.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan laporan
selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan
teknologi di bidang energi terbarukan dan rekayasa kelautan, bagi pembaca umumnya
dan penulis pada khususnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Surabaya, 2 Agustus 2010
Andri Kurniawan Wicaksono
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam pengerjaan Tugas Akhir ini penulis tidak terlepas dari bantuan serta dorongan
moral maupun material dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua dan adik-adik penulis untuk segala doa, kasih sayang, perhatian,
dukungan, kepercayaan, kesabaran, dan cinta yang telah diberikan selama masa kuliah.
Matur nuwun pak buk mbak mas, adik-adik tersayangku.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Eko Budi
Djatmiko dan Bapak Handayanu selaku dosen pembimbing atas ilmu dan bimbingannya
dalam pengerjaan Tugas Akhir ini. Kepada Bapak Murdjito dan Bapak M. Musta’in
selaku Kajur dan Sekjur Teknik Kelautan serta kepada semua Bapak dan Ibu dosen dan
staf Jurusan Teknik Kelautan atas semua bimbingan, bantuan dan ilmunya.
Tugas akhir ini tidak akan selesai tanpa dukungan dari LORD crews, mas Slamet terima
kasih banyak sudah merepotkan, teman-teman D’Admiral, kakak-kakak senior dan adik-
adik junior Jurusan Teknik Kelautan, teman-teman seperjuangan TA (Fahmy, Susi, Adit
Cah, Mas Augene, Mas Dani) dan yang selalu setia menemani hari-hariku, serta teman-
teman penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Surabaya, 2 Agustus 2010
Andri Kurniawan Wicaksono
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii
ABSTRAK ......................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xii
DAFTAR GRAFIK .......................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ......................................................................... 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH .................................................................................... 6
1.3 TUJUAN ................................................................................................................... 7
1.4 MANFAAT .............................................................................................................. 7
1.5 BATASAN MASALAH .......................................................................................... 7
1.6 SISTEMATIKA PENULISAN ................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ......................................... 11
2.1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 11
2.2 DASAR TEORI ...................................................................................................... 12
2.2.1 Floating Production Storage and Offloading (FPSO) .................................... 12
2.2.2 Scantling Support Structure System ................................................................ 14
2.2.3 Pembebanan .................................................................................................... 16
2.2.4 Beban Gelombang ........................................................................................... 17
2.2.5 Beban Angin ................................................................................................... 24
2.2.6 Beban Operasional Module ............................................................................. 28
2.2.7 Perhitungan Kelelahan .................................................................................... 31
2.2.8 Konsep Keandalan .......................................................................................... 38
2.2.9 Moda Kegagalan ............................................................................................. 39
2.2.10 Metode Simulasi Monte Carlo ........................................................................ 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 43
ix
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................................... 49
4.1. DATA ..................................................................................................................... 49
4.1.1. Data Struktur ................................................................................................... 49
4.1.2 Data Lingkungan ............................................................................................. 52
4.1.3 Data Gerakan FPSO ........................................................................................ 53
4.1.4 Data Material .................................................................................................. 53
4.2 PEMODELAN ....................................................................................................... 54
4.2.1 Pemodelan Dengan AutoCAD ........................................................................ 54
4.2.2 Pemodelan Dengan Maxsurf ........................................................................... 55
4.2.3 Pemodelan Dengan MOSES ........................................................................... 55
4.2.4 Pemodelan Dengan ANSYS ........................................................................... 56
4.3 PERHITUNGAN .................................................................................................... 59
4.3.1 Validasi Model FPSO ..................................................................................... 59
4.3.2 Perhitungan Motion FPSO .............................................................................. 59
4.3.3 Perhitungan Beban Gelombang ...................................................................... 64
4.3.4 Perhitungan Beban Angin ............................................................................... 70
4.3.5 Perhitungan Beban Operasional ...................................................................... 80
4.4 ANALISIS KELELAHAN ..................................................................................... 83
4.4.1 Analisis Kelelahan Akibat Beban Gelombang ............................................... 84
4.4.2 Analisis Kelelahan Akibat Beban Angin ........................................................ 85
4.4.3 Analisis Kelelahan Akibat Beban Operasional ............................................... 89
4.4.4 Analisis Akhir Umur Kelelahan ...................................................................... 91
4.4.5 Kontribusi Beban Terhadap Kelelahan ............................................................ 91
4.5 ANALISIS KEANDALAN .................................................................................... 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 97
5.1 KESIMPULAN ...................................................................................................... 97
5.2 SARAN .................................................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 99
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Data Spesifikasi FPSO Belanak ....................................................................... 14
Tabel 2. 2 Amplitudo dan Tinggi Gelombang .................................................................. 22
Tabel 2. 3 Effective shape coefficient Ce ........................................................................... 25
Tabel 2. 4 Tipe Sambungan .............................................................................................. 36
Tabel 2. 5 Design Fatigue Factor ..................................................................................... 38
Tabel 4. 1 Topside Module pada FPSO Belanak .............................................................. 50
Tabel 4. 2 Intensitas kejadian angin tahun 2006 dan 2007 ............................................... 52
Tabel 4. 3 Data gelombang Metocean .............................................................................. 52
Tabel 4. 4 Data percepatan gerakan FPSO pada kondisi badai ........................................ 53
Tabel 4. 5 Data Material Properties .................................................................................. 53
Tabel 4. 6 Mesh Sensivity.................................................................................................. 58
Tabel 4. 7 Validasi Data Conoco Phillips dengan Hasil Pemodelan ................................ 59
Tabel 4. 8 Output Maximum Single Amplitude Acceleration ........................................... 60
Tabel 4. 9 Perbandingan percepatan dengan data Conoco Phillips .................................. 61
Tabel 4. 10 Gaya inersia dan momen gaya FPSO Belanak .............................................. 66
Tabel 4. 11 Beban Pada Sturktur Penyangga .................................................................... 68
Tabel 4. 12 Data intensitas kejadian angin ....................................................................... 70
Tabel 4. 13 Konversi kecepatan angin pada elevasi 10m ................................................. 71
Tabel 4. 14 Kecepatan angin pada tiap elevasi peralatan ................................................. 72
Tabel 4. 15 Peralatan tertinggi pada gas processing module ............................................ 73
Tabel 4. 16 Reynold Number tiap-tiap peralatan .............................................................. 73
Tabel 4. 17 Gaya angin pada tiap-tiap peralatan ............................................................... 75
Tabel 4. 18 Momen angin ketiga peralatan pada gas processing module ........................ 77
Tabel 4. 19 Coefficient effective berdasarkan solidity ratio (ø)) ....................................... 79
Tabel 4. 20 Gaya angin dengan solidity effect pada module ............................................. 79
Tabel 4. 21 Jenis-jenis daya mesin beserta jumlah rotasinya ........................................... 80
Tabel 4. 22 Perhitungan kelelahan akibat beban gelombang ............................................ 85
Tabel 4. 23 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin .................................................... 86
Tabel 4. 24 Probabilitas kejadian angin wilayah Natuna tahun 2006 dan 2007 ............... 87
xi
Tabel 4. 25 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin selama umur operasi .................. 87
Tabel 4. 26 Perhitungan rasio kumulatif kerusakan akibat beban angin .......................... 89
Tabel 4. 27 Iterasi Perhitungan Parameter Bentuk ........................................................... 90
Tabel 4. 28 Kontribusi ketiga beban terhadap kelelahan .................................................. 92
Tabel 4. 29 Variabel Taktentu (beban gelombang) .......................................................... 93
Tabel 4. 30 Variabel Taktentu (beban angin) ................................................................... 93
Tabel 4. 31 Variabel Taktentu (beban operasional) .......................................................... 93
Tabel 4. 32 Perhitungan keandalan system scantling (global) .......................................... 94
Tabel 4. 33 Perhitungan keandalan sistem scantling (daerah kritis) ................................. 95
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Bagan Pertumbuhan Sistem Produksi Terapung ............................................ 1
Gambar 1. 2 FPSO Belanak dan module yang berada di atas lambung ............................. 2
Gambar 1. 3 Struktur Module Support ............................................................................... 3
Gambar 1. 4 Kegagalan struktur akibat kelelahan .............................................................. 4
Gambar 1. 5 Lokasi FPSO, West Natuna ............................................................................ 6
Gambar 2. 1 Diagram lokasi module pada FPSO Belanak ............................................... 15
Gambar 2. 2 Support structure gas processing module FPSO Belanak ........................... 15
Gambar 2. 3 Scatter diagram perairan Mediteranian ....................................................... 17
Gambar 2. 4 Six Degree of Freedom Pada FPSO ............................................................. 18
Gambar 2. 5 Velocity and coordinate system .................................................................... 20
Gambar 2. 6 Ilustrasi gerakan sway FPSO di laut ............................................................ 20
Gambar 2. 7 Vortex shedding frequency ........................................................................... 27
Gambar 2. 8 Sistem isolasi untuk mengurangi efek gaya pada support akibat vibrasi
mesin ............................................................................................................ 29
Gambar 2. 9 Grafik Kurva S-N ......................................................................................... 36
Gambar 2. 10 Fungsi kerapatan peluang (fkp) dari kapasitas X dan tuntutan Y .............. 39
Gambar 3. 1 Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir ........................................................ 44
Gambar 3. 2 Pemodelan Lines Plan pada AutoCAD ........................................................ 45
Gambar 3. 3 Pemodelan FPSO pada Maxsurf .................................................................. 46
Gambar 3. 4 Pemodelan FPSO pada MOSES .................................................................. 46
Gambar 3. 5 Pemodelan Support Structure pada ANSYS ................................................ 47
Gambar 4. 1 Diagram lokasi module FPSO Belanak dan gas processing module ........... 51
Gambar 4. 2 Support Structure pada Gas Processing Module .......................................... 51
Gambar 4. 3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD ........................... 54
Gambar 4. 4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf ................................................ 55
Gambar 4. 5 Pemodelan FPSO Belanak dengan MOSES 7.0 .......................................... 56
Gambar 4. 6 Model Scantling Support Structure System ................................................. 56
Gambar 4. 7 Input Karakteristik Model Pada ANSYS 11 ................................................ 57
xiii
Gambar 4. 8 Constraint dan visualisasi real constant ...................................................... 57
Gambar 4. 9 Module tampak atas ..................................................................................... 68
Gambar 4. 10 Beban Pada Sturktur Penyangga ................................................................ 69
Gambar 4. 11 Gas Processing Module Tampak Atas ....................................................... 78
Gambar 4. 12 Letak tegangan terbesar ............................................................................. 84
Gambar 4. 13 Diagram Kontribusi Beban Terhadap Kelelahan ....................................... 92
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4. 1 Mesh Sensivity ................................................................................................ 58
Grafik 4. 2 RAO motion surge FPSO Belanak ................................................................ 61
Grafik 4. 3 RAO motion sway FPSO Belanak .................................................................. 62
Grafik 4. 4 RAO motion heave FPSO Belanak................................................................. 62
Grafik 4. 5 RAO motion roll FPSO Belanak .................................................................... 63
Grafik 4. 6 RAO motion pitch FPSO Belanak .................................................................. 63
Grafik 4. 7 RAO motion yaw FPSO Belanak ................................................................... 64
Grafik 4. 8 Gaya Inersia pada gerakan translasional ........................................................ 67
Grafik 4. 9 Momen Gaya pada Gerakan Rotasional ......................................................... 67
Grafik 4. 10 Gaya Angin pada Peralatan .......................................................................... 76
Grafik 4. 11 Momen yang diakibatkan gaya angin pada peralatan ................................... 77
Grafik 4. 12 Frekuensi Vortex (cps) ................................................................................. 86
Grafik 4. 13 Frekuensi Vortex (30tahun) .......................................................................... 88
Grafik 4. 14 Keandalan Sistem Scantling ......................................................................... 94
Grafik 4. 15 Keandalan scantling pada daerah kritis ........................................................ 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Teknologi eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas semakin meningkat dengan seiring
meningkatnya kebutuhan minyak dan gas. Sehingga teknologi pengeboran pada laut
dangkal saat ini mulai bergeser pada pengeboran laut dalam, yakni dengan menggunakan
bangunan terapung (floating). FPSO (Floating Production Storage and Offloading)
merupakan salah satu bangunan terapung yang digunakan pada proses produksi minyak
dan gas, dimana fungsi dari FPSO itu sebagai tempat produksi, penyimpanan minyak dan
gas yang nanti ditransfer ke tanker untuk didistribusikan ke konsumen atau pasaran.
Kecenderungan penggunaan FPSO telah tumbuh dengan pesat semenjak awal tahun
1990an. Menurut ODS-Petrodata, hanya ada 10 FPSO yang beroperasi pada tahun 1990.
Seperti pada Gambar 1.1 di bawah, dari tahun 1999 hingga tahun 2009 saja peningkatan
jumlah FPSO sebesar 117% dan jumlah tersebut diperkirakan meningkat mencapai 200
pada tahun 2012. Hal ini menandakan bahwa kebutuhan terhadap FPSO semakin
meningkat.
Gambar 1. 1 Bagan Pertumbuhan Sistem Produksi Terapung (Woodgroup Bulletin, 2009)
2
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya adalah wahana apung
lambung tunggal berbentuk kapal atau tongkang yang difungsikan sebagai fasilitas untuk
mengakomodasi aktivitas produksi migas dan sekaligus menyimpannya di dalam tanki-
tanki di lambungnya sebelum produk tersebut ditransfer ke kapal-kapal tanki pengangkut
untuk didistribusikan ke pasaran. Banyak fasilitas produksi yang terdapat di atas geladak
FPSO. Fasilitas-fasilitas tersebut terdiri dari beberapa fasilitas pemrosesan dan
pendukung yang disusun dalam beberapa module, di antaranya adalah gas processing
module, utility module, compression module, living quarter module, dan power generator
module. Gambar 1.2 di bawah merupakan contoh fasilitas module di atas FPSO Belanak.
Gambar 1. 2 FPSO Belanak dan module yang berada di atas lambung (PT McDermott, 2004)
Fasilitas produksi pada module biasanya terletak pada production deck dan pada
umumnya diposisikan 2,5m di atas main deck (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk
meminimalisir efek dari green water dan untuk meminimalisir apabila terjadi ledakan
atau api yang mengenai module agar tidak banyak mempengaruhi lambung. Dalam suatu
module bisa terdapat beberapa peralatan yang meletak pada module tersebut, sehingga
ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung, maka
beban yang diterima module sangatlah besar, khususnya struktur penyangga module
3
(module support) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3. Terdapat beberapa
komponen pada struktur tersebut, di antaranya adalah plat, gading-gading, penegar,
bracket, dan lain-lain. Beberapa komponen tersebut disebut scantling, dimana fungsi dari
scantling adalah sebagai penguat dari suatu sistem module support tersebut dari gaya-
gaya yang bekerja pada module. Sehingga dengan adanya sistem tersebut, diharapkan
module support dapat kuat menahan beban-beban yang bekerja pada module FPSO.
Permasalahan yang selalu ada pada bangunan lepas pantai adalah kerusakan yang dapat
menyebabkan struktur tersebut gagal. Kerusakan bangunan laut terutama terjadi akibat
kelelahan (fatigue), baik pada komponen struktur utama maupun struktur sekunder dan
tersier (Djatmiko, 2003). Menurut Wirsching (1987), bangunan lepas pantai cenderung
mengalami kelelahan karena beban lingkungan yang bekerja didominasi oleh gelombang
yang bersifat siklis, sehingga kelelahan adalah penyebab utama kerusakan pada bangunan
lepas pantai, dimana struktur merespon secara dinamis gelombang acak serta beban
angin. Disamping itu faktor-faktor operasi lain pada tingkat tertentu juga dapat
menambah beban siklis ini, sehingga keadaan struktur bertambah kritis (Djatmiko, 2003).
Oleh sebab itu analisis kelelahan pada bangunan lepas pantai sangat perlu untuk
dilakukan.
Gambar 1. 3 Struktur Module Support
4
Metode Palmgren-Miner merupakan metode konvensional yang digunakan pada analisis
kelelahan. Dimana perhitungan kelelahan pada sambungan struktur didasarkan pada
hukum kegagalan kumulatif Palmgren-Miner. Seperti contoh kasus pada support module
pada FPSO, beban yang bekerja pada support terdiri dari beban gelombang, beban angin,
dan beban operasional. Sehingga kegagalan kumulatif pada support terdiri dari kegagalan
kumulatif akibat ketiga beban tersebut. Sesuai hukum Palmgren-Miner, kegagalan
sambungan akan terjadi jika indeks kerusakan D mencapai harga 1,0.
Untuk sebaran beban kelelahan akibat eksitasi beban gelombang acak dihitung
berdasarkan besarnya beban pada struktur bangunan laut yang diperoleh dari analisis
deterministik dan gelombang regular untuk memperoleh RAO (Response Amplitude
Operator) beban yang selanjutnya ditransformasi menjadi RAO tegangan pada detail
struktur yang ditinjau. Prosedur perhitungan tersebut dilanjutkan dengan analisis spektral
lengkap (full spectral analysis). Gambar 1.4 di bawah merupakan contoh kegagalan
struktur akibat kelelahan.
Gambar 1. 4 Kegagalan struktur akibat kelelahan (www.beritaiptek.com)
5
Dalam suatu sistem rekayasa, seperti perhitungan umur kelelahan ini sesungguhnya tidak
ada parameter perancangan dan kinerja operasi yang dapat diketahui dengan pasti. Hal ini
karena tidak seorang pun mampu memprediksi kepastian atau ketidakpastian suatu
kejadian tertentu seperti ketidakpastian akibat variabilitas fisik, ketidakpastian statistik
maupun ketidakpastian dalam pemodelan (Ang dan Tang, 1985). Oleh karena itu,
perancangan atau analisis suatu sistem rekayasa selalu mengandung ketidakpastian yang
pada gilirannya menyebabkan ketidakandalan dalam tingkat tertentu. Ketidakpastian-
ketidakpastian tersebut menyebabkan adanya peluang kegagalan (meskipun juga ada
peluang keberhasilan) sebuah sistem rekayasa.
Persoalan ketidakpastian telah diakomodasi melalui konsep angka keselamatan (safety
factor) yang secara prinsip biasanya hanya memperhatikan harga rata-rata besaran-
besaran desain. Pendekatan angka keamanan, walaupun sejauh ini cukup memadai, tidak
secara eksplisit memperhitungkan faktor ketidakpastian atau variabilitas pada besaran-
besaran desain. Pertimbangan peluang dalam rekayasa keandalan memberikan basis yang
lebih rasional untuk mengakomodasi ketidakpastian ini (Rosyid, D.M, 2007). Sehingga
berdasarkan analisis keandalan, perhitungan kelelahan struktur dapat dianalisis untuk
hasil penelitian yang lebih akurat.
Keandalan struktur scantling support structure system gas processing module secara
umum dapat dihitung dengan simulasi Monte Carlo. Keuntungan penggunaan simulasi
Monte Carlo ini antara lain :
1. Simulasi Monte Carlo dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang
mengandung perubah acak atau parameter random.
2. Simulasi dapat dilakukan tanpa harus melakukan penurunan parsial dan
menyelesaikan suatu sistem persamaan yang simultan seperti pada metode AFOSM
atau MFOSM
3. Simulasi untuk tiap-tiap variabel menggunakan distribusi peluangnya secara langsung
tidak seperti pada metode AFOSM atau MFOSM yang fungsi kerapatan peluangnya
tidak diperhitungkan secara langsung.
6
Gambar 1. 5 Lokasi FPSO, West Natuna (www.ict-silat.com)
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada tugas akhir ini akan dilakukan analisis
keandalan pada scantling support structure system gas processing module pada Floating
Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak yang dioperasikan oleh Conoco
Phillips di Blok Natuna seperti terlihat pada Gambar 1.5 di atas.
1.2 PERUMUSAN MASALAH Perumusan masalah dari tugas akhir ini adalah :
1. Seberapa besar beban-beban yang mempengaruhi FPSO sehingga dapat menyebabkan
kelelahan pada scantling support structure system gas processing module?
2. Berapakah umur kelelahan (fatigue life) dari scantling support structure system gas
processing module pada FPSO Belanak?
3. Berapakah keandalan scantling support structure system gas processing module pada
FPSO Belanak terhadap pengaruh beban kelelahan?
7
1.3 TUJUAN Tujuan dari tugas akhir ini adalah:
1. Untuk mengetahui seberapa besar beban yang mempengaruhi FPSO sehingga
menyebabkan kelelahan pada scantling support structure system gas processing
module.
2. Untuk mengetahui umur kelelahan pada scantling support structure system gas
processing module pada FPSO Belanak.
3. Untuk mengetahui besar nilai keandalan scantling support structure system gas
processing module pada FPSO Belanak berdasarkan umur kelelahannya.
1.4 MANFAAT 1. Memberikan pemahaman tentang prosedur perhitungan beban-beban siklis dan
selanjutnya perhitungan umur kelelahan scantling support structure system pada
FPSO.
2. Memberikan pemahaman tentang pengkajian keandalan scantling support structure
system pada FPSO berdasarkan pengaruh beban kelelahannya.
3. Dari hasil analisis kelelahan akan diperoleh data-data dan info yang diperlukan untuk
strategi perencanaan pemeriksaan berkala.
1.5 BATASAN MASALAH Batasan masalah dari tugas akhir ini adalah:
1. Struktur yang dianalisis pada FPSO adalah pada scantling support structure system
gas processing module sebagai module paling berat serta geladak yang menyangga.
2. Pemodelan lokal dilakukan sebatas scantling support structure system gas processing
module serta geladak yang menyangga.
3. Pada pemodelan FEM (Finite Element Method) jenis atau cara pengelasan pada
sambungan scantling dengan support module diabaikan dan diasumsikan tanpa ada
cacat.
4. Beban-beban yang ditinjau adalah beban gelombang, beban angin, dan beban
operasional pada module itu sendiri.
5. Tidak dilakukan analisis terhadap beban kecelakaan (accidental load).
8
6. Analisis global untuk memperoleh beban gelombang pada FPSO menggunakan
MOSES, sedangkan analisis lokal pada scantling module support structure system
gas processing module untuk mendapatkan respons struktur menggunakan ANSYS.
7. Pada analisis global dengan MOSES, berat topside module tidak dimasukkan sebagai
beban pada model FPSO.
8. Analisis keandalan struktur dilakukan dengan menggunakan simulasi Monte Carlo.
1.6 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian yang akan dilakukan, perumusan
masalah, tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tugas akhir ini, manfaat yang
diperoleh, batasan masalah untuk membatasi analisis yang dilakukan dalam tugas akhir
ini serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini berisi tinjauan pustaka, yakni apa saja yang menjadi acuan dari penelitian tugas
akhir ini. Dasar teori, persamaan-persamaan, dan codes yang digunakan dalam
mengerjakan tugas akhir ini diuraikan dalam bab ini.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian ini menjelaskan bagaimana langkah-langkah pengerjaan dalam
penyelesaian tugas akhir ini, serta metode-metode yang digunakan.
BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
Membahas pemodelan FPSO dan scantling support structure system dengan menerapkan
software AutoCAD, Maxsurf, dan MOSES untuk pemodelan dan analisis gerakan FPSO,
sedangkan software ANSYS untuk pemodelan pada scantling support structure system .
Selain itu membahas hasil dari analisis-analisis yang telah dilakukan pada penelitian,
meliputi analisis hasil serta pembahasan hasil.
9
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Menjelaskan tentang kesimpulan penting yang diperoleh dari hasil analisis umur
kelelahan dan keandalan pada scantling support structure system gas processing module
pada FPSO Belanak untuk menjawab permasalahan yang diajukan atau dirumuskan.
Selain itu saran juga diperlukan dalam bab ini, dengan tujuan sebagai masukan-masukan
pada penelitian-penelitian berikutnya.
10
(HALAMAN KOSONG)
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 TINJAUAN PUSTAKA Beban lingkungan yang besarnya bervariasi sejalan dengan perubahan waktu seperti
gelombang dan angin, akan mengakibatkan fluktuasi tegangan pada komponen struktur
bangunan lepas pantai, salah satunya adalah FPSO. Proses fluktuasi tegangan tersebut
dikenal sebagai kerusakan kelelahan struktur (fatigue damage). Perkiraan umur kelelahan
didasarkan pada beban fluktuasi yang akan diterima struktur selama masa operasi.
Sehingga, untuk mengetahui umur kelelahan struktur dapat dilakukan setelah
memperoleh informasi kondisi beban yang diterima struktur selama operasi yakni dengan
menggunakan persamaan Palmgren-Miner (Boonstra, et al 2002).
Beban lingkungan yang bersifat siklis seperti beban gelombang dan beban angin yang
mengenai Floating Production Storage and Offloading (FPSO) sangatlah dominan,
sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan akibat kelelahan (fatigue) sangat besar juga.
Disamping itu, faktor-faktor operasi lain pada tingkatan tertentu juga dapat menambah
beban siklis ini, sehingga keadaan struktur menjadi bertambah kritis (Djatmiko, 2003).
Menurut penelitian Barltrop dan Okan (2000), bahwa pada bagian haluan FPSO rentan
terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang yang curam. Penelitian tersebut
merujuk dari FPSO Schiehallion yang mengalami kerusakan akibat adanya gelombang
yang curam. Melihat hal tersebut struktur FPSO sangat rentan dengan adanya beban-
beban terutama beban yang siklis, karena berpengaruh pula pada struktur lain yang
berada pada FPSO, seperti: crane, flare boom, module support, dan lain-lain. Wahyudi
(2009) telah melakukan penelitian tentang analisis kelelahan crane pedestal pada FPSO
Belanak dan menghasilkan kesimpulan bahwa beban yang berpengaruh pada analisis
fatigue crane pedestal adalah beban gelombang, beban angin, dan beban operasi crane
dengan beban gelombang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap umur kelelahan
struktur crane pedestal.
12
Penelitian tentang analisis kelelahan pada peralatan FPSO sangatlah penting, karena
analisis tersebut diperlukan dalam strategi perencanaan pemeriksaan berkala (Djatmiko,
2003). Struktur pada FPSO Belanak yang akan diteliti pada tugas akhir ini adalah pada
scantling support structure system gas processing module. Dimana pada module FPSO
juga menerima beban yang dapat menyebabkan struktur tersebut mengalami kelelahan.
Sehingga diperlukan analisis keandalan scantling support structure system gas
processing module terhadap beban kelelahan.
2.2 DASAR TEORI Dalam dasar teori ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang akan menjadi acuan dari
tugas akhir ini. Semua teori, persamaan, dan codes yang digunakan dalam mengerjakan
tugas akhir ini diuraikan dalam bab ini.
2.2.1 Floating Production Storage and Offloading (FPSO) FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya adalah wahana apung
lambung tunggal berbentuk kapal atau tongkang yang difungsikan sebagai fasilitas untuk
mengakomodasi aktivitas produksi migas dan sekaligus menyimpannya di dalam tanki-
tanki di lambungnya sebelum produk tersebut ditransfer ke kapal-kapal tanki pengangkut
untuk didistribusikan ke pasaran. Konsep FPSO pada dasarnya diperkenalkan untuk
menggantikan sistem kombinasi anjungan produksi dengan fasilitas penyimpanan
terapung atau floating storage offloading (FSO). Jadi secara prinsip FPSO menggantikan
fungsi kombinasi anjungan produksi dengan FSO, baik dalam kasus perairan dalam
maupun perairan dangkal. Integrasi dua fungsi yang dapat diakomodasikan dalam satu
wahana tentunya dari beberapa aspek akan memberikan efisiensi segi teknis dan
ekonomisnya, baik pada tahap pembangunan maupun operasinya.
13
Berikut adalah sejumlah persyaratan fungsional yang harus dipenuhi FPSO dalam
melakukan operasinya yaitu:
1. Sistem harus tetap mampu berproduksi dan beroperasi normal pada kondisi operasional
1 tahunan.
2. Mampu menahan efek beban maksimum akibat badai 100 tahunan.
3. Harus mempunyai fleksibilitas untuk operasi pemuatan dan pengeluaran produk
migas, inspeksi dan perawatan dari tanki-tanki tanpa mengganggu proses produksi.
4. Setiap saat harus mampu menjaga kondisi mengapung rata (even keel) baik untuk
mode trim ataupun oleng, dengan toleransi tidak lebih dari ± 0,25°.
5. Gerakan roll dan pitch maksimum tidak lebih dari 1,75° untuk selama 99% periode
operasi.
6. Sistem penambatan harus mampu menjaga FPSO tetap di posisinya pada saat badai
100 tahunan dengan satu tali penambat putus dan perubahan posisi maksimum tidak
melebihi 20% kedalaman perairan.
Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah FPSO (Floating Production Storage
and Offloading) Belanak yang dioperasikan Conoco Phillips di Blok Natuna. FPSO
Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya
dibangun di galangan PT.McDermott Indonesia di Batam. Displasemen maksimum dari
FPSO tersebut yaitu 255.000 ton dengan panjang 285 m memiliki kapasitas penyimpanan
minyak sebesar 1,0 juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double
side, konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30 tahun
tanpa dry docking dan peralatan mekanik didesain berumur selama periode itu dengan
hanya dilakukan perawatan rutin. Berikut spesifikasi FPSO Belanak ditampilkan pada
Tabel 2.1 di bawah ini.
14
Tabel 2. 1 Data Spesifikasi FPSO Belanak (Conoco, 2002)
1 LOA 285m
2 Depth 26m
3 Beam 58m
4 Vessel Draft Full 16.2m
5 Vessel Draft Medium 14.6m
6 Vessel Draft Light 13.9m
7 Displacement 255,000ton
8 Service Life 30years
2.2.2 Scantling Support Structure System Fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya diposisikan
2,5m di atas main deck (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari
green water dan untuk meminimalisir apabila terjadi ledakan atau api yang mengenai
module agar tidak banyak memengaruhi lambung. Fasilitas produksi tersebut ditopang
dengan struktur pendukung yang berfungsi sebagai penyangga (module support) dari
module topside. Module support merupakan struktur yang berfungsi sebagai penahan
beban dari topside module dan tegangan yang diakibatkan oleh bending dari hull.
Terdapat beberapa komponen pada struktur tersebut, di antaranya adalah plat, gading-
gading, penegar, bracket, dan lain-lain. Beberapa komponen tersebut disebut scantling,
dimana fungsinya adalah sebagai penguat dari suatu sistem module support tersebut dari
gaya-gaya yang bekerja pada module. Sehingga dengan adanya sistem tersebut,
diharapkan module support dapat kuat menahan beban-beban yang bekerja pada module
FPSO.
15
Gambar 2. 1 Diagram lokasi module pada FPSO Belanak (PT McDermott, 2002)
Pada FPSO Belanak terdapat beberapa module di atas deck FPSO, di antaranya adalah
export compressors module, gas processing module, gas cooling module, utility module,
oil separation module, dan lain-lain. Namun pada tugas akhir ini module yang diteliti
adalah module yang paling berat yaitu gas processing module, S4 (2361 mt). Module
tersebut terletak pada starboard FPSO Belanak tepatnya pada FR30 hingga FR33 seperti
pada Gambar 2.1 di atas, dan memiliki delapan support yang identik seperti ditunjukkan
pada Gambar 2.2 di bawah.
Gambar 2. 2 Support structure gas processing module FPSO Belanak (Conoco, 2002)
16
2.2.3 Pembebanan Dalam proses perancangan struktur lepas pantai (offshore structure), penentuan
kemampuan kerja struktur dipengaruhi oleh beban yang bekerja pada struktur tersebut.
Perancang harus menentukan akurasi beban yang akan dipakai dalam perancangan
offshore structure terlebih dahulu. Beban-beban yang harus dipertimbangkan oleh
perancang dalam perancangan offshore structure adalah sebagai berikut:
a. Beban mati (dead load).
Beban mati adalah beban dari semua komponen kering serta peralatan, perlengkapan dan
permesinan yang tidak berubah dari mode operasi pada suatu struktur, meliputi: berat
struktur, berat peralatan dan berat permesinan yang digunakan dalam proses pengeboran
ketika sedang tidak dioperasikan. Pada gas processing module ini yang termasuk beban
mati adalah beban struktur module itu sendiri dan beban peralatan yang terdapat pada
module tersebut.
b. Beban hidup (live load).
Beban hidup adalah beban yang terjadi pada struktur selama dipakai dan berubah dari
mode operasi satu ke mode operasi yang lain. Contoh beban yang termasuk kedalam
beban hidup ini adalah beban yang diakibatkan oleh pengoperasian mesin atau peralatan
lainnya pada suatu struktur yang berhubungan dengan operasi struktur tersebut. Beban
hidup pada gas processing module yaitu beban perpipaan yang berubah setiap mode
operasi.
c. Beban akibat kecelakaan (accidental load).
Beban kecelakaan merupakan beban yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi
pada struktur, misalnya tabrakan dengan kapal pemandu operasi, putusnya tali tambat
(mooring) dan kebakaran. Pada gas processing module beban kecelakaan yang mungkin
terjadi adalah akibat kebakaran pada module dan kecelakaan akibat tertimpa benda
(misalnya crane atau struktur lain yang menimpa module). Akan tetapi pada tugas akhir,
analisis akibat beban kecelakaan tidak diperhitungkan.
17
d. Beban lingkungan (environmental load).
Beban lingkungan adalah beban yang terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dimana
suatu struktur lepas pantai dioperasikan atau bekerja. Beban lingkungan yang digunakan
dalam perancangan adalah beban angin, arus, dan gelombang.
Pada tugas akhir ini, pembebanan difokuskan pada beban yang mengenai module. Beban-
beban yang mengenai module di antaranya adalah beban inersia yang disebabkan
gelombang, beban angin dan beban operasional. Beban-beban itulah yang nantinya
digunakan dalam tugas akhir ini.
2.2.4 Beban Gelombang Dalam perhitungan beban gelombang, data gelombang yang digunakan adalah
gelombang yang terjadi selama umur operasi. Data gelombang biasanya diperoleh dengan
mempertimbangkan arah propagasi gelombang. Data gelombang kurun waktu panjang
umumnya disajikan dalam tabel yang dikenal sebagai diagram sebaran gelombang (wave
scatter diagram), seperti dicontohkan dalam Gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2. 3 Scatter diagram perairan Mediteranian (Djatmiko, 2003)
18
Data gelombang tersebut digunakan untuk menghasilkan gerakan FPSO yang diakibatkan
gaya gelombang, sehingga dari percepatan yang dihasilkan beban inersia akibat beban
gelombang dapat dihitung.
Akibat pengaruh gelombang, FPSO mengalami enam mode gerakan bebas yang terbagi
menjadi dua jenis, yaitu tiga mode gerakan translasional dan tiga mode gerakan
rotasional (Bhattacharyya, 1978). Berikut adalah keenam mode gerakan tersebut beserta
ilustrasi enam mode gerakan bebas pada Gambar 2.4:
1. Mode gerak translasional
- Surge, gerakan transversal arah sumbu x.
- Sway, gerakan transversal arah sumbu y.
- Heave, gerakan transversal arah sumbu z.
2. Mode gerak rotasional.
- Roll, gerakan rotasional arah sumbu x.
- Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y.
- Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z.
Gambar 2. 4 Six Degree of Freedom Pada FPSO (Wahyudi, 2009)
Heave
Sway
Yaw Pitch
Surge Roll
19
Enam mode gerakan bebas pada FPSO sangat berpengaruh pada beban yang diterima
FPSO. Oleh Battacharyya (1978) ditunjukkan bahwa gerakan translasional ada empat
gaya yang penting, yaitu gaya inersia, gaya damping, gaya restoring, gaya exciting.
Seperti contoh, untuk gerakan heave, persamaannya yaitu:
a. Gaya inersia
Fa = -a ................................................................................................................. (2.1)
dengan: a adalah massa kapal dan added mass, dan adalah percepatan vertikal.
b. Gaya damping
Fb = b ................................................................................................................... (2.2)
dengan: b adalah konstanta damping dan adalah kecepatan
c. Gaya restoring
Fc = cz .................................................................................................................... (2.3)
dengan : c adalah konstanta spring dan z adalah displasemen center of gravity kapal
d. Gaya exciting
dengan : Fo adalah amplitude of the encountering force, ωe adalah circular amplitude
of the encountering force, dan t adalah waktu.
Menurut Battacharyya (1978), gerakan rotasional ada empat momen penting yaitu
momen inersia, momen damping, momen restoring, momen exciting. Persamaan untuk
momen inersia yaitu:
I = mr2 ..................................... ………………………………………………………..(2.4)
dengan:
m = massa kapal (kg)
r = jari-jari girasi (m)
sedangkan untuk momen gaya persamaannya yaitu:
Momen gaya = Iα ....................................... ..................................................................(2.5)
dengan:
α = percepatan putar (rad/s2)
I = momen inersia (kg.m2)
20
Jari-jari girasi disini yaitu jarak antara titik berat kapal dengan titik berat module. Jadi
untuk gerakan roll, pitch, dan yaw yang membedakan hanya pada besarnya jari-jari
girasi.
Teori yang sama juga dihasilkan pada penelitian Martins (2007). Seperti pada Gambar
2.5 di bawah, ditunjukkan inertial coordinate system Oxoyozo sehingga mempermudah
untuk mengembangkan sistem persamaan pada perilaku floating unit.
Gambar 2. 5 Velocity and coordinate system (Martins, 2007)
Pada Gambar 2.5 di atas dapat diketahui velocities , , , , , dan acceleration
, , , , , telah mewakili kecepatan dan percepatan sistem pada tiap derajat
kebebasan dan hubungannya dengan sistem inersia.
Gambar 2. 6 Ilustrasi gerakan sway FPSO di laut
21
Seperti Gambar 2.6 di atas, external force yang bekerja pada suatu struktur dapat dihitung
dengan menggunakan hukum Newton II, yaitu:
F = m.a ....................................................................................................................... (2.6)
Maka inertial loads yang terjadi pada suatu struktur adalah
(2.7)
2.2.4.1 Teori Spektrum Gelombang JONSWAP Analisis spektrum gelombang dapat menggunakan beberapa teori spektrum gelombang
yang telah ada, antara lain model spektrum JONSWAP, model spektrum Pierson-
Moskowitz, model spektrum ISSC, dan lain-lain. Penggunaan masing-masing teori
spektrum gelombang tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satu
pertimbangan tersebut adalah lokasi spektrum gelombang yang akan dianalisis.
Persamaan spektra JONSWAP dikemukakan oleh Hasselman, et al (1973) berdasarkan
percobaan yang dilakukan di daerah North Sea. Persamaan spektrum JONSWAP
mewakili angin dengan batasan fetch. Formula atau persamaan untuk spektrum
JONSWAP dapat ditulis dengan modifikasi dari persamaan Pierson-Moskowitz
(Chakrabarti, 1987) yaitu : ( )
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡ −−
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
−−
222
2exp
452 25,1exp)(
o
o
ogS
ωτ
ωω
γωωωαω ......................................................... (2.8)
dengan :
γ = parameter puncak
τ = parameter bentuk
τa untuk ω ≤ ω0 = 0,07 dan τb untuk ω ≥ ω0 = 0,09
α = 0,0076 (X0)-0,22, untuk X0 tidak diketahui maka:
α = 0,0081
2 .
22
Sedangkan nilai dari parameter puncak (γ) dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut (Barltrop, 1991):
3,4843 1 0,1975 0,036 0,0056 .................................... (2.9)
dengan:
Tp = periode puncak spektra (s)
Hs = tinggi gelombang signifikan (m)
Persamaan Spektra JONSWAP di atas menggunakan input fetch dan kecepatan angin.
Berikut ini merupakan persamaan spektrum JONSWAP yang menggunakan input tinggi
gelombang signifikan dan periode. Persamaannya sebagai berikut (Djatmiko dan
Sujantoko, 1994) :
155 ................................................................................ (2.10)
Tabel 2. 2 Amplitudo dan Tinggi Gelombang (Bhattacharyya, 1978)
Profil Gelombang Amplitudo Tinggi
Gelombang rata-rata 1,25 2,5
Gelombang signifikan 2,00 4,00
Rata-rata 1/10 gelombang tertinggi 2,55 5,09
Rata-rata 1/1000 gelombang tertinggi 3,34 6,67
Persamaan pada Tabel (2.2) di atas lebih memudahkan untuk menghitung nilai dari profil
gelombang. Dimana faktor atau angka di depan akar mo diperoleh berdasar histogram
tinggi gelombang dengan pendekatan matematis dari distribusi Rayleigh (Battacharyya,
1978).
2.2.4.2 Response Amplitude Operators (RAO) Metode spektra merupakan cara untuk mengetahui suatu respon struktur akibat beban
gelombang reguler dalam tiap-tiap frekuensi. Response Amplitude Operator (RAO) atau
sering disebut sebagai Transfer Function adalah fungsi respon yang terjadi akibat
23
gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai struktur offshore. RAO dapat juga
didefinisikan sebagai hubungan antara amplitudo respon terhadap amplitude gelombang.
Dapat dinyatakan dengan bentuk matematis yaitu (ζrespon / ζgelombang). Amplitudo
respon bisa berupa gerakan, tegangan, maupun getaran. RAO juga disebut sebagai
Transfer Function karena RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar
(gelombang) dalam bentuk respon pada suatu struktur (Chakrabarty, 1987). Bentuk
umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi adalah sebagai berikut :
..................................................................................... (2.11)
dengan:
η = amplitude gelombang (m)
ω = frekuensi angular (rad/s)
2.2.4.3 Respon Spektrum Respon spektrum didefinisikan sebagai response energy density pada struktur akibat
gelombang, dalam hal ini berupa energy density spectrum. Pada sistem linier, fungsi dari
RAO merupakan fungsi kuadrat. Respon spektrum merupakan perkalian antara spektrum
gelombang dengan RAO kuadrat. Persamaan dari respon spektrum adalah (Chakrabarti,
1987) sebagai berikut :
........................................................................................... (2.12)
dengan :
SR = response spectrum (m2-sec)
S(ω) = spectra gelombang (m2-sec)
RAO = response amplitude operator
ω = frekuensi angular (rad/sec)
Response spectra dapat digunakan untuk mengetahui besar respon maksimum yang
mungkin terjadi dalam suatu rentang waktu tertentu. Respon extreme maksimum yang
terjadi dengan tingkat probabilitas dari suatu kejadian sebesar 62,3% dapat dicari dengan
persamaan (Chakrabarti, 1987) sebagai berikut :
24
2 ..................................................................................... (2.13)
Sedangkan respon extreme maksimum yang mungkin terjadi pada saat proses
perancangan dapat dicari berdasarkan persamaan di atas dengan mempertimbangkan
faktor peluang terlampauinya suatu kejadian α sebagai berikut :
2 ............................................................................ …… (2.14)
dengan:
T = lama kejadian badai (sec)
α = kemungkinan kejadian tidak terjadi pada saat perancangan (1% - 5%)
m0 merupakan luasan di bawah kurva spektrum amplitudo kepadatan energi gelombang
dimana luasannya sama dengan varian dari time history gelombang sedangkan m2
merupakan momen spektra kecepatan.
2.2.5 Beban Angin Untuk menghitung kecepatan angin pada elevasi di atas 10 m dari permukaan air,
digunakan hukum one-seventh power (Dawson, 1983) yang dapat digunakan hingga
kecepatan angin pada elevasi 600 ft (182,88 m). Persamaan tersebut adalah:
71
10 10⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=
yVV ......................................................................................................... (2.15)
dengan:
V = kecepatan angin pada elevasi y (m/s)
V10 = kecepatan angin pada elevasi 10 m (m/s)
y = elevasi yang akan dihitung kecepatan anginnya (m)
Untuk gaya angin yang mengenai struktur, dapat dicari dengan persamaan (DnV, 2007):
sin ............................................................................................................ (2.16)
dengan:
F = gaya angin (N)
C = koefisien bentuk
q = tekanan angin
S = luasan yang terkena gaya angin (m2)
25
α = arah datang angin
Sedangkan tekanan angin (q) dapat dicari dengan persamaan di bawah ini:
, ............................................................................................................... (2.17)
dengan:
q = tekanan angin (N/m2)
ρ = massa jenis udara (kg/m3)
= 1,226 kg/m3
UT,z = kecepatan angin (m/s)
Jika beberapa member terletak pada plane normal dari arah datangnya angin, seperti
contoh pada plane truss maupun beberapa kolom yang terletak berdekatan, maka solidity
ratio (ø) harus dihitung. Gaya angin dengan pengaruh solidity dihitung dengan
persamaan di bawah:
sin ................................................................................................... (2.18)
dengan:
Fsol = gaya angin dengan solidity effect (N)
Ce = koefisien efektif (lihat Tabel 2.3)
q = tekanan angin (N/m2)
S = luasan yang terkena gaya angin (m2)
ø = perbandingan antara area solid yang terkena beban angin dengan luasan frame
α = arah datang angin
Tabel 2. 3 Effective shape coefficient Ce (DnV RP-C205, 2007)
Solidity Effective shape coefficient Ce ratio Flat-side Circular sections ø members Re < 4.2 x 105 Re > 4.2 x 105
0.10 1.90 1.20 0.70 0.20 1.80 1.20 0.80 0.30 1.70 1.20 0.80 0.40 1.70 1.10 0.80 0.50 1.60 1.10 0.80 0.75 1.60 1.50 1.40 1.00 2.00 2.00 2.00
26
Spektra dari fluktuasi kecepatan angin yang tinggi kadang sangat diperlukan, karena
hembusan angin yang kencang dapat menyebabkan resonant oscillation pada struktur
bangunan laut, seperti contoh gerakan slow drift horizontal pada struktur yang ditambat
dapat disebabkan oleh hembusan angin yang kencang. Selain itu, angin juga dapat dengan
mudah menyebabkan vortex shedding bersamaan dengan terjadinya vibrasi (Faltinsen,
1990). Pada struktur bangunan laut seperti derrick dan flare booms dapat terjadi wind-
induced oscillation dengan amplitude dan tegangan yang besar. Ketika benda berbentuk
silinder menerima beban angin yang besar dengan disertai reynold number yang besar
juga, formasi vortex dapat menyebabkan gaya yang tegak lurus dengan arah angin secara
berulang-ulang dan periodik, sehingga dapat menghasilkan vibrasi pada struktur tersebut
(Hsu, 1984). Besarnya Reynold number dapat dicari dengan persamaan di bawah ini.
........................... …………………………………………………………(2.19)
dengan:
Rn = Reynold number
D = diameter struktur (m)
U = kecepatan angin yang mengenai struktur (m/s)
υ = kinematic viscosity, 1,45x10-5 m2/s pada 150C dan tekanan standar
Frekuensi dari vortex shedding (Persamaan 2.20) dengan frekuensi natural (Persamaan
2.21) struktur dihitung untuk mengetahui syarat keamanan struktur. Frekuensi dari vortex
shedding f dapat dicari dengan persamaan di bawah ini:
.......................... ……………………………………………………………(2.20)
dengan:
f = frekuensi vortex shedding (Hz)
V = kecepatan angin (m/s)
D = diameter struktur (m)
SN = Strouhal number
untuk struktur silinder SN = 0,2 jika Rn < 6x105 dan SN = 0,4 jika Rn > 6x105 (DnV,
2007)
27
Sedangkan frekuensi natural dari struktur dapat digunakan Persamaan 2.21 di bawah ini
(Mouselli, 1981):
.................................................................................................................. (2.21)
dengan:
fn = frekuensi natural struktur (Hz)
C = konstanta (untuk tumpuan sederhana bernilai 1.57)
L = panjang struktur (m)
E = modulus elastisitas (Mpa)
I = momen inersia batang struktur (m4)
M = massa struktur (kg)
Suatu struktur akan mengalami kegagalan jika tidak memenuhi syarat keamanan. Syarat
keamanan dari suatu struktur berbentuk silinder adalah sebagai berikut (Mouselli, 1981):
0.7 .................................................................................................................... (2.22)
Pada tugas akhir ini perhitungan gaya angin akibat vortex shedding hanya sampai pada
perhitungan frekuensi vortex yang dijadikan sebagai siklis pada perhitungan kelelahan.
Gambar 2. 7 Vortex shedding frequency (Hsu, 1984)
28
Selain itu frekuensi vortex shedding juga dapat dicari dengan menggunakan grafik seperti
pada Gambar 2.7 di atas. DnV (2007) menjelaskan bahwa untuk mengetahui jenis dari
vortex shedding digunakan suatu parameter yang dinamakan reduced velocity (Vr). Nilai
Vr dapat dicari dengan persamaan di bawah ini.
............................. ………………………………………………………(2.23)
dengan:
Vr = reduced velocity
u = kecepatan angin yang mengenai struktur (m/s)
f = frekuensi natural dari struktur (Hz)
D = diameter struktur (m)
Dari nilai Vr dapat diketahui jenis dari vortex shedding. Ada dua macam jenisnya, yakni:
a. In-line exitation ( 1,7 < Vr < 3,2)
b. Cross flow vibration (0,85 /SN < Vr < 1,6/ SN)
Sedangkan gaya angin termasuk akibat vortex shedding dapat dihitung dengan persamaan
berikut ini.
............................................................................................. (2.24)
dengan:
F = gaya angin (N)
ρ = massa jenis udara (1,226 kg/m3)
Cf = Fluctuating force coefficient
A = luas permukaan yang terkena gaya angin (m2)
V = kecepatan angin (m/s)
2.2.6 Beban Operasional Module Selain akibat beban gelombang, module support pada FPSO juga mendapat beban dari
beban operasional peralatan di atas module yakni getaran-getaran mesin peralatan yang
terjadi selama masa operasi, selain itu getaran mesin juga menimbulkan efek yang negatif
pada struktur module dimana peralatan atau mesin itu berada (James, et al., 1994).
29
M
Supporting Foundation
c k
Machine F0 F0 Machine
Supporting Foundation
FT
Menurut Dimarogonas (1992), peralatan seperti mesin biasanya dapat menimbulkan gaya
statis maupun dinamis melalui pedestal yang dipasang pada pondasi. Oleh sebab itu salah
satu perlunya dilakukan analisis dan evaluasi getaran pada kapal adalah karena getaran
pada kapal dapat menyebabkan kerusakan akibat kelelahan pada struktur yang penting
(Veritec, 1985). Beban operasional tersebut terjadi ketika peralatan dalam module sedang
bekerja, dimana getaran-getaran dari mesin peralatan secara terus-menerus menyebabkan
beban siklis pada module support.
James, et al. (1994) juga menjelaskan proses transfer gaya akibat getaran mesin ke
struktur pondasi. Secara umum persamaan gerak akibat getaran pada sistem single degree
of freedom berdasarkan hukum Newton II yaitu
................................................................................................ (2.25)
Jika diasumsikan sistem pondasi tidak mengalami pergerakan atau bisa dikatakan sistem
tersebut adalah tetap (fixed), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 di bawah, maka
besarnya transmissibility yang terjadi pada support adalah
............................................................................................................... (2.26)
Dengan x dan merupakan displasemen dan kecepatan dari mesin yang disebabkan oleh
gaya F0.
Gambar 2. 8 Sistem isolasi untuk mengurangi efek gaya pada support akibat vibrasi mesin (James, et. al., 1994)
30
Untuk menghitung amplitude yang diakibatkan gaya (FT) digunakan Persamaan 2.27 di
bawah ini.
| | 1 | | ............................................................................................. (2.27)
Sedangkan nilai | | didapat dari perhitungan sebagai berikut,
| | /
/ ξ / .................................................................................. (2.28)
Setelah perhitungan amplitude akibat gaya yang bekerja pada support, maka untuk
mengetahui rasio perbandingan (TR) gaya yang bekerja pada support (FT) dengan gaya
yang bekerja pada mesin (F0) digunakan persamaan sebagai berikut,
ξ /
/ ξ / ...................................................................... (2.29)
dengan
...................................................................................................................... (2.30)
2 ξ ................................................................................................................... (2.31)
Untuk sistem yang tak teredam nilai TR sebagai berikut,
/
........................................................................................................... (2.32)
dengan:
ω = frekuensi eksitasi dari mesin (rad/s)
ωn = frekuensi natural dari support module (rad/s)
c = koefisien damping (Ns/m)
k = koefisien kekakuan (N/m)
ζ = faktor redaman
m = massa struktur (kg)
Nilai TR digunakan untuk mengetahui besarnya kemampuan transfer gaya pada support.
Pada sistem seperti ini, terdapat faktor yang sifatnya melawan kemampuan transfer gaya
pada struktur support yang dinamakan faktor reduksi. Hubungan antara faktor reduksi
dengan kemampuan transfer gaya pada struktur support adalah sebagai berikut.
1 .................................................................................................................. (2.33)
31
Persamaan 2.33 di atas disubstitusikan ke dalam Persamaan 2.32 sehingga menghasilkan
persamaan baru seperti di bawah ini.
1/
....................................................................................................... (2.34)
Persamaan 2.34 di atas dapat digunakan untuk mencari kekakuan k pada sistem dengan
pondasi yang tetap (fixed) untuk memenuhi besarnya faktor R pada transfer exsitasi
dengan frekuensi yang terjadi pada struktur. Setelah besarnya faktor reduksi diketahui,
maka besar dari jumlah perputaran mesin yang menyebabkan beban siklis dapat dicari
dengan Persamaan 2.35 di bawah ini.
........................................................................................................... (2.35)
dengan:
k = kekakuan dari support (kN/mm)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
W = berat dari mesin atau struktur (kN)
R = faktor reduksi
N = jumlah perputaran mesin (cpm)
2.2.7 Perhitungan Kelelahan Komponen-komponen dasar dari analisis umur kelelahan (fatigue life) adalah:
a. Karakterisasi siklus beban yang terjadi baik untuk kurun waktu pendek maupun kurun
waktu panjang.
b. Perhitungan beban-beban siklis yang mengenai struktur.
c. Evaluasi siklus rentang tegangan pada suatu elemen yang ditinjau.
d. Perhitungan kerusakan pada elemen yang ditinjau akibat siklus rentang tegangan
yang terjadi.
e. Evaluasi kekuatan elemen yang ditinjau.
32
Untuk menghitung kerusakan yang ditimbulkan oleh kelelahan (fatigue damage),
(Wirsching, 1983) mengklasifikasikan beberapa metode dasar, yaitu:
a. Metode Deterministik
Metode ini biasa digunakan oleh Lloyd’s Register. Pada metode ini fatigue damage
dihitung dengan menggunakan wave exceedance diagram.
b. Metode Distribusi Gelombang
Metode ini mengasumsikan bahwa tegangan yang terjadi proporsional terhadap tinggi
gelombang dan gelombang dideskripsikan dengan distribusi lognormal, Weibull, dan
lain-lain.
c. Metode Distribusi Rentang Tegangan
Metode ini secara teoritis memodelkan rentang tegangan sebagai distribusi Weibull yang
biasanya diperoleh dari metode spektral, metode distribusi gelombang, dan lain-lain.
d. Metode Spektral
Metode ini biasa disebut dengan metode probabilistik. Pada metode ini fatigue damage
diperhitungkan dari tiap seastate dalam scatter diagram dan tegangan dianggap sebagai
suatu proses acak yang seimbang (stationary random process).
e. Metode Equivalent Weibull
Metode ini biasa digunakan oleh DnV, yang menggunakan analisis spektral untuk
kemudian mendapatkan distribusi rentang tegangan kurun waktu panjang yang ekuivalen
dengan distribusi Weibull.
2.2.7.1 Persamaan Kelelahan Terangkai Pada tahap perancangan awal, analisis kelelahan dapat dilakukan dengan menerapkan
pendekatan yang disederhanakan (simplified approach). Dengan pendekatan ini
perancang tidak perlu menyelesaikan analisis kelelahan dengan prosedur panjang seperti
dengan analisis spektral penuh. Faulkner (1991) dalam tugas akhir Satrio (2005) telah
mengkaji ketelitian metode sederhana ini, dan menganggap penerapannya dalam
33
perancangan awal cukup valid. Dalam pendekatan sederhana ini spektra lautan dan
seterusnya distribusi tegangan acak yang terjadi, serta akumulasi kerusakan telah
diformulasikan dalam suatu fungsi tunggal. (Almar-Naes, 1985)
Bila p(S) adalah merupakan fungsi kepadatan peluang tegangan yang dapat didefinisikan
sedemikian rupa, sehingga p(S1)dS adalah ekuivalen dengan jumlah osilasi komponen
tegangan dengan harga-harga puncak yang berada dalam interval dS dan mempunyai
harga rata-rata S1. Selanjutnya dengan mengambil f dan T masing-masing sebagai
frekuensi rata-rata dari tegangan yang bervariasi secara acak dan kurun waktu kerja,
maka pertambahan kerusakan yang dikibatkan oleh osilasi tegangan dengan amplitudo S1
yang terjadi dalam kurun waktu T adalah
.............................................................................................................. (2.36)
Dalam hal ini, N(S1) adalah merupakan jumlah siklus yang akan mengakibatkan
kerusakan (terbentuknya retak awal) pada level tegangan S1, yaitu yang dapat diperoleh
dari kurva S-N untuk bentuk komponen struktur serta material tertentu. Integrasi dari
Persamaan (2.36) tersebut akan memberikan besarnya kerusakan total yang diharapkan
(expected total damage) untuk terjadi dalam kurun waktu T oleh pengaruh keseluruhan
tegangan dalam proses sebesar:
.................................................................................................. (2.37)
atau dengan memasukkan jumlah siklus total sebenarnya, NL, yaitu perkalian dari
frekuensi dan waktu, serta menggantikan N(S) dengan A dan Sm maka persamaan (2.37)
akan menjadi:
............................................................................................ (2.38)
Dengan menggunakan suatu metode yang sederhana, hasil pengolahan data distribusi
gelombang dan respon struktur bangunan laut kurun waktu panjang diturunkan secara
bersamaan dalam jumlah besar. Kemudian dari data yang terkumpul tersebut diperoleh
∫∞
=0 )(
)()(SNdsSp
ANDE L
∫∞
=0
)()( dsSpSA
NDE mL
34
bahwa secara umum distribusi beban ataupun respon struktur dapat dipresentasikan
dengan distribusi Weibull dua parameter sebagai berikut:
........................................................................ (2.39)
dimana λ dan ξ masing-masing adalah parameter skala dan parameter bentuk distribusi,
yang besarnya tergantung dari respon struktur terhadap beban lingkungan. Bila diambil
Se sebagai tegangan ekstrem yang diharapkan akan terjadi sekali dalam siklus respon
keseluruhan sejumlah NL maka hubungan kedua parameter tersebut adalah:
................................................................................................... (2.40)
harga kerusakan yang diharapkan untuk terjadi adalah:
......................................................... (2.41)
Dengan melakukan manipulasi matematis, ekspresi integral ini dapat digantikan dengan
fungsi gamma Γ(x), sehingga persamaan (2.41) dapat dituliskan dalam persamaan
tunggal yang lebih sederhana (Almar-Naess, 1985) dan biasa dikenal dengan persamaan
kelelahan terangkai (closed form fatigue equation) yaitu:
........................................................................... (2.42)
Perkiraan umur kelelahan didasarkan pada beban fluktuasi yang akan diterima struktur
selama masa operasi. Sehingga, untuk mengetahui sisa umur kelelahan struktur dapat
dilakukan setelah memperoleh informasi kondisi beban yang diterima struktur selama
operasi. Sisa umur kelelahan struktur dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
Palmgren-Miner (Boonstra, et al 2002), yaitu:
.............................................................................................................. (2.43)
dengan:
D = Rasio kerusakan kumulatif.
m = Total (Σ) dari interval-interval rentang tegangan.
∑=
=m
i i
i
Nn
D1
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛=
− ξξ
λλλξ SSSp L exp)(
1
)/1()(ln / ξξ m
NS
AN
D mL
meL +Γ=
( ) ξλ /1ln −= LNSe
∫∞ −
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛=
0
1
exp)( dsSSSA
NDE mLξξ
λλλξ
35
ni = Jumlah cycle kolom interval rentang tegangan i dengan harga Si yang sebenarnya
terjadi, dari rentang distribusi tegangan jangka panjang akibat beban eksternal.
Ni = Jumlah cycle rentang tegangan dengan harga Si yang menyebabkan kegagalan.
Harga besaran ini dapat diperoleh dari kurva S-N.
Pada FPSO, beban yang bekerja adalah beban gelombang, beban angin, dan beban
operasional, maka total rasio kerusakan kumulatif merupakan penjumlahan dari rasio
kerusakan kumulatif ketiga beban tersebut.
∑D = Dwave/ + Dwind + Doperational ................................................................................. (2.44)
Untuk D akibat beban angin dan beban operasional, dilakukan terlebih dahulu
perhitungan gaya akibat kedua beban tersebut yang mengenai struktur dan peralatan pada
module tersebut. Tegangan akibat beban angin dan beban operasional dapat diperoleh
dengan memasukkan besarnya masing-masing gaya ke dalam software ANSYS. Maka
setelah didapat tegangan, nilai D akibat beban angin dan beban operasional dapat dicari.
Hubungan antara Ni dan Si dapat diambil dari fatigue curve (S-N Curve) seperti pada
Gambar 2.9 di bawah ini. Nilai dari Ni dapat diperoleh dari persamaan:
NSm = A atau
Log N = Log A – m Log S ....................................................................................... (2.45)
dengan:
A = intersepsi sumbu log
m = kemiringan kurva S-N
36
Gambar 2. 9 Grafik Kurva S-N (DnV Recommended Practice C203, 2008)
Nilai A dan m dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. Nilai A dan m berbeda untuk
tiap-tiap jenis tipe sambungan.
Tabel 2. 4 Tipe Sambungan
(DnV Recommended Practice C203, 2008)
S-N Curve log a Thickness exponent k for all cycles m= 3.0
B1 12.436 0 B2 12.262 0 C 12.115 0.15
C1 11.972 0.15 C2 11.824 0.15 D 11.687 0.20 E 11.533 0.20 F 11.378 0.25
F1 11.222 0.25 F3 11.068 0.25 G 10.921 0.25
W1 10.784 0.25 W2 10.630 0.25 W3 10.493 0.25 T 11.687 0.25 for SCF ≤ 10.0 0.30 for SCF > 10.0
37
Sedangkan formulasi umur kelelahan dari suatu struktur dapat dihitung dengan
persamaan:
Umur Kelelahan = 1/D ............................................................................................... (2.46)
Sesuai dengan hukum Palmgren-Miner, kegagalan sambungan akan terjadi jika indeks
kerusakan D mencapai harga 1,0.
Nilai Si yang digunakan dalam perhitungan adalah tegangan maksimum di posisi tertentu
pada sambungan (hotspot stress) yang diperoleh dari magnifikasi tegangan nominal,
Si(nom), dengan memperhitungkan faktor konsentrasi tegangan, SCF (stress concentration
factor). Sehingga tegangan maksimum dihitung dari persamaan berikut:
SCFnomlocal ×= σσ ........................................................................................................... (2.47)
dengan: σ local = Tegangan maksimum (MPa) σ nominal = Tegangan nominal (MPa)
SCF = Stress Concentration Factor
Tegangan nominal diperoleh dengan terlebih dulu melakukan analisis beban gelombang
reguler (analisis deterministik) untuk menghasilkan gaya-gaya atau momen pada
komponen-komponen struktur yang ditinjau. Namun SCF tidak perlu diperhitungkan jika
perangkat Finite Element Method yang digunakan dapat langsung menghasilkan tegangan
pada detail struktur, misalnya NASTRAN, ANSYS, ABACUS, dan lain-lain.
Kemudian untuk mencari rasio kerusakan kumulatif digunakan persamaan closed form
fatigue equation seperti pada Persamaan 2.42. Sedangkan, untuk mencari tagangan ijin
maksimum selama service life dari struktur tersebut, dapat menggunakan persamaan
berikut:
...................................................................................... (2.48)
dengan:
NL = siklus rentang tegangan total yang terjadi.
Γ(1+m/ξ) = fungsi gamma Γ(x).
Se = tegangan terbesar (MPa)
)/1()(ln /
ξ
ξ
mN
NADS
mL
L
me +Γ
×=
38
Untuk fungsi gamma dicari dengan persamaan:
26.10076.0)( )6.1( +≅Γ xex ..................................................................................... (2.49)
Untuk bangunan apung seperti FPSO memiliki safety factor pada analisis kelelahan. Pada
DnV RP-C206 (2006) telah dijelaskan design fatigue factor pada beberapa bagian kritis
bangunan apung dengan memperhatikan konsekuensi keselamatan dan ekonomi seperti
pada Tabel 2.5 di bawah ini:
Tabel 2. 5 Design Fatigue Factor (DnV RP-C206, 2006)
DFF Structural Element
2 Internal structure, accessible and not welded directly to the submerged part
2 External structure, accessible for regular inspection and repair in dry and clean condition.
3 Internal structure, accessible and welded directly to the submerged part
3 External structure, not accessible for regular inspection and repair in dry and clean condition.
10 Non-accessible areas, areas not planned tp be accessible for inspection and repair during operation.
Scantling Support Structure System Gas Processing Module pada tugas akhir ini
merupakan struktur dengan safety factor tiga, karena struktur tersebut tidak dapat di akses
untuk inspeksi pada saat FPSO sedang beroperasi.
2.2.8 Konsep Keandalan Analisis keandalan struktur bermanfaat untuk memberikan pijakan rasional dalam
pengambilan keputusan. Keandalan merupakan salah satu aspek yang harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan rekayasa seperti perencanaan produksi,
pemeliharaan fixed structure, perancangan anjungan lepas pantai, disamping aspek-aspek
yang lain (Rosyid, D.M, 2007).
Sistem dari keandalan pada dasarnya dapat ditunjukkan sebagai hubungan antara tuntutan
atau beban (demand) dan kapasitas atau kekuatan (capacity) yang secara tradisional
didasarkan pada angka keamanan yang diperkenankan. Angka keamananan dapat
39
didefinisikan sebagai perbandingan antara asumsi nilai nominal kapasitas, X*, dan beban,
Y*, persamaannya dapat ditampilkan sebagai berikut (Rosyid, D.M, 2007):
..................................................................................................................... (2.50)
Mengingat nilai nominal dari kapasitas, X* dan beban, Y* tidak dapat ditentukan dengan
pasti, fungsi-fungsi kapasitas dan beban perlu dinyatakan sebagai peluang. Dengan
demikian, angka keamanan dinyatakan dengan perbandingan Z=X/Y dari dua variable
acak X dan Y. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui diagram inteferensi di
bawah ini. Sedangkan ketidakmampuan suatu sistem untuk memenuhi tuntutan dan
tugasnya, yang diukur dengan peluang kegagalan, dapat dihubungkan dengan bagian dari
distribusi angka keamanan yang nilainya kurang dari satu, yaitu Z=X/Y ≤1 (Rosyid, D.M,
2007). Fungsi kerapatan peluang (fkp) dari kapasitas X dan tuntutan Y dapat dilihat pada
Gambar 2.11 di bawah.
Gambar 2. 10 Fungsi kerapatan peluang (fkp) dari kapasitas X dan tuntutan Y (Rosyid, 2007)
2.2.9 Moda Kegagalan Penentuan moda kegagalan merupakan unsur penting dalam melakukan analisis
keandalan suatu struktur. Pada analisis keandalan pada support module, moda kegagalan
yang akan ditinjau disebabkan karena total cumulative damage. Jadi support module
dikatakan gagal apabila total cumulative damage yang berlaku melebihi besarnya damage
limit. Persamaan umum dari moda kegagalan seperti di bawah ini:
M = R – L ..................................................................................................................... (2.51)
dengan :
R = faktor ketahanan
L = faktor beban
40
Dari persamaan umum di atas, disesuaikan dengan permasalahan yang digunakan dalam
moda kegagalan berbasis kelelahan. Persamaan yang digunakan yaitu:
∆ ........................................................................ (2.52)
........................................................... (2.53)
dengan :
Δ = damage limit, besarnya adalah 1
D = total cumulative damage
n = 1, untuk faktor gelombang
n = 2, untuk faktor angin
n = 3, untuk faktor operasional
2.2.10 Metode Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo merupakan salah satu metode untuk analisis keandalan pada
bidang rekayasa maupun ekonomi. Metode ini menggunakan pemodelan baik secara fisik
atau numerik. Pemodelan secara fisik dengan membuat prototipe dari kenyataan
kemudian dilakukan serangkaian percobaan dan asumsi-asumsi untuk mengetahui
responnya. Sedangkan pemodelan numerik dilakukan dengan bantuan komputer sehingga
cara ini menjadi lebih populer karena murah dan efisien bila dibandingkan dengan
permodelan fisik.
Unsur pokok yang diperlukan dalam simulasi Monte Carlo adalah random number
generator. Prinsip dasar metode ini adalah sampling numerik dengan bantuan random
number generator (RNG), dimana simulasi dilakukan dengan mengambil beberapa
sampel dari perubah acak berdasarkan distribusi peluang perubah acak tersebut. Sampel
yang diambil tersebut dipakai sebagai input dalam persamaan fungsi kinerja FK(X), dan
harga FK(X) kemudian dihitung. Jika nilai FK(X) < 0 dan jumlah sampel tersebut adalah
N maka sistem yang ditinjau dianggap gagal sejumlah n kali. Sehingga peluang
kegagalan sistem adalah rasio antara jumlah kejadian gagal dengan jumlah sampel,
Pf=n/N .......................................................................................................................... (2.54)
( )( )⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+Γ−Δ= ∑
=
3
1/ /1
ln)(
nnm
Ln
mnLn m
NSe
AN
xfn
ξξ
41
dengan:
n = jumlah kejadian yang gagal
N = jumlah sampel
Pf = peluang kegagalan
Maka keandalan dapat dicari dengan cara sebagai berikut:
1 ............................................................................................................ (2.55)
dengan:
K = keandalan
42
(HALAMAN KOSONG)
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam tugas akhir ini dalam bentuk diagram alir (flowchart) adalah sebagai berikut:
Mulai
Studi literatur dan pengumpulan data
Pemodelan geometri dengan software AutoCAD
Pemodelan FPSO pada software Maxsurf
Pemodelan FPSO pada software MOSES
Input data lingkungan pada MOSES
Validasi
Ya
Tidak
A B
44
Gambar 3. 1 Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir
Menghitung keandalan struktur
Selesai
Pemodelan scantling support structure system dengan software
ANSYS11
Analisis Kelelahan
Kesimpulan
Running MOSES untuk mendapatkan respon FPSO
akibat beban lingkungan
Validasi
Perhitungan gaya -gaya yang bekerja pada module support
A B
Tidak
Ya
45
Adapun langkah-langkah penelitian dalam diagram alir pada Gambar 3.1 dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Studi literatur dan pengumpulan data meliputi mencari serta mempelajari buku,
jurnal, ataupun laporan tugas akhir terdahulu yang membahas pokok permasalahan
yang sama atau mirip dengan tugas akhir ini. Literatur tersebut digunakan sebagai
acuan ataupun referensi tugas akhir ini. Selain itu, juga dilakukan pencarian
mengenai data-data FPSO Belanak sebagai obyek tugas akhir.
Pemodelan FPSO dengan AutoCAD berupa lines plan.
Gambar 3. 2 Pemodelan Lines Plan pada AutoCAD
Pemodelan FPSO dengan AutoCAD untuk mempermudah dalam penentuan
koordinat dan pengukuran dimensi. Selain itu pemodelan dalam AutoCAD juga
mempermudah dalam memahami bentuk dari struktur secara visual.
Pemodelan FPSO pada Maxsurf secara lebih detail dan spesifik, karena dalam
pemodelan Maxsurf bagian section, buttock, dan waterline juga dimodelkan.
Dimensi-dimensi utama yang didapat dari lines plan di-generate ke dalam Maxsurf.
46
Gambar 3. 3 Pemodelan FPSO pada Maxsurf
Koordinat-koordinat dari Maxsurf kemudian di-generate ke dalam MOSES (Multi
Operasional Structural Engineering Simulator). Untuk pemodelan dan perhitungan
hidrostatis dilakukan dengan MOSES 7.0, sedangkan untuk perhitungan
hidrodinamis untuk mendapatkan respon gerakan menggunakan MOSES 6.0.
Gambar 3. 4 Pemodelan FPSO pada MOSES
47
Validasi parameter hidrostatis pada MOSES 7.0 dan Maxsurf dengan data hidrostatis
Conoco Phillips. Data yang dihasilkan dari output meliputi displasemen, VCB, LCB,
LCF, KMT dan KML.
Running hidrodinamis pada MOSES 6.0 untuk mendapatkan RAO dan beban inersia
pada FPSO Belanak.
Setelah didapat respon gerakan FPSO maka selanjutnya dilakukan validasi hasil
running hidrodinamis dengan data penelitian sebelum ini. Data yang divalidasi
adalah data percepatan maksimum pada kondisi tinggi gelombang signifikan 5,51m.
Perhitungan gaya-gaya yang bekerja scantling support structure system gas
processing module akibat beban lingkungan dan beban operasional.
Memodelkan secara lokal scantling support structure system gas processing module
dengan ANSYS untuk mendapatkan respon pada scantling support structure system
akibat beban dinamis dengan menginputkan gaya-gaya yang telah dihitung.
Gambar 3. 5 Pemodelan Support Structure pada ANSYS
Setelah mendapatkan respon pada FPSO terutama bagian sambungan scantling
support structure system dengan lokal deck, maka dilakukan perhitungan analisis
kelelahan (fatigue analysis) untuk mendapatkan umur kelelahan.
Setelah didapat umur kelelahan, maka dilanjutkan analisis keandalan scantling
support structure system gas processing module terhadap beban kelelahan dengan
menggunakan simulasi Monte Carlo.
1
XY
Z
MODULE_SUPPORT
JUL 5 201018:41:08
ELEMENTS
48
(HALAMAN KOSONG)
49
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. DATA Data yang digunakan pada tugas akhir ini adalah data struktur FPSO Belanak, data
lingkungan wilayah Natuna yang meliputi data kecepatan angin serta data gelombang
metocean. Data lain yang digunakan adalah data percepatan gerakan FPSO Belanak
untuk enam arah derajad kebebasan dan data material yang digunakan pada FPSO
Belanak.
4.1.1. Data Struktur Pada pengerjaan tugas akhir ini data struktur FPSO Belanak meliputi data spesifikasi
FPSO Belanak dan data spesifikasi struktur module pada FPSO Belanak.
4.1.1.1. Struktur FPSO Struktur yang digunakan adalah FPSO (Floating Production Storage and Offloading)
Belanak yang dioperasikan Conoco Phillips di Blok Natuna. FPSO tersebut memiliki
displasemen maksimum 255.000ton dan memiliki kapasitas penyimpanan minyak sebesar
satu juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. FPSO ini
didesain 30 tahun tanpa dry docking. Sedangkan spesifikasi FPSO Belanak dapat dilihat
di Bab II.
50
4.1.1.2. Struktur Module Support Pada FPSO Belanak terdapat beberapa module yang terletak di atas deck FPSO. Pada
tugas akhir ini module yang akan dibahas adalah module yang paling berat, yaitu gas
processing module yang memiliki berat 2361 mt saat kondisi operasi. Tabel 4.1 di bawah
ini merupakan spesifikasi module pada FPSO Belanak.
Tabel 4. 1 Topside Module pada FPSO Belanak (PT McDermott, 2002)
Topside Module Weight (mt) P1 Chemical Injection 773 S1 Gas Injection & Metering 942 P2 Export Compressors Train "B" 1515 S2 Export Compressors Train "A" 1448 P3 Gas Cooling & Treating 1913 S3 Gas Regeneration 1671 P4 Gas Processing Train 'B' 2285 S4 Gas Processing Train 'A' 2361 P5 Oil Separation 1690 S5 Oil Import/Export 1686 S6 Utility & Sea Water Lift 1403 P7 Main Power Gen. Train 'A' 1340 S7 Main Power Gen. Train 'B' 1964 C1 Piperack 832 C2 Piperack 892 C3 Piperack 697 C09 Power Control Building 951 CFR Flare Boom 268 R1 FWD Riser Porch 181 C08 Workshop 340 R2 Mid-ship Riser Porch 241 T6 Temporary 447 Mis-Misc Item on Hull 964
51
Gambar 4. 1 Diagram lokasi module FPSO Belanak dan gas processing module (PT McDermott)
Gambar 4.1 di atas adalah gambar lokasi diagram module pada FPSO Belanak, dengan
module gas processing yang telah difabrikasi. Pada gas processing module terdapat
delapan buah support structure yang bentuknya identik seperti Gambar 4.2 di bawah.
Gambar 4. 2 Support Structure pada Gas Processing Module
1
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
JUL 4 201011:40:28
ELEMENTS
52
4.1.2 Data Lingkungan FPSO Belanak ditempatkan di Blok Natuna dengan kedalaman perairan sedalam 90m.
Adapun data lingkungan berupa data intensitas kejadian angin pada daerah Natuna
selama kurun waktu dua tahun, yaitu 2006 dan 2007 dan data gelombang Metocean dapat
dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 di bawah.
Tabel 4. 2 Intensitas kejadian angin tahun 2006 dan 2007 (Wahyudi, 2009)
ARAH KECEPATAN ANGIN (knot) (nominal) JumlahCALM 1 - 3 4 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 15 >16
406 0 0 0 0 0 0 406 N 0 0 8 30 37 20 5 100
NW 0 0 1 5 1 0 0 7 W 0 1 7 15 5 0 0 28
SW 0 3 2 13 7 2 0 27 S 0 0 7 26 19 3 1 56
SE 0 0 3 10 3 0 0 16 E 0 1 13 14 1 0 0 29
NE 0 0 20 31 6 4 0 61 730
Tabel 4. 3 Data gelombang Metocean (Wahyudi, 2009)
Wave Class H max Th max Surface
Current Mid-Depth
Current Near Bottom
Current Number of
Cycles (m) (s) (m/s) (m/s) (m/s) 1 0.50 5.25 0.5 0.3 0.3 93,350,538 2 1.00 6.25 0.5 0.3 0.3 71,519,354 3 1.50 7.37 0.5 0.3 0.3 31,774,805 4 2.00 8.64 0.5 0.3 0.3 13,717,908 5 2.50 9.57 0.6 0.4 0.4 6,707,238 6 3.00 10.18 0.6 0.4 0.4 3,461,658 7 4.00 10.79 0.6 0.4 0.4 2,802,540 8 5.00 11.31 0.6 0.4 0.4 772,997 9 6.00 11.69 0.7 0.5 0.5 197,245 10 7.00 11.97 0.7 0.5 0.5 45,165 11 8.00 12.23 0.7 0.5 0.5 9,160 12 9.00 12.47 0.7 0.5 0.5 1,643 13 10.25 12.67 0.8 0.6 0.6 281
53
4.1.3 Data Gerakan FPSO Data gerakan FPSO yang diketahui adalah data percepatan FPSO pada kondisi badai,
seperti pada Tabel 4.4 di bawah. Pada kondisi badai, FPSO akan mendapatkan pengaruh
beban yang paling besar (maximum). Periode gelombangnya adalah 31 s.d. 4detik dengan
interval 0,5detik.
Tabel 4. 4 Data percepatan gerakan FPSO pada kondisi badai (Conoco, 2002)
Derajad Kebebasan Percepatan Max. Surge Acc 0.656 m/s2 Max. Sway Acc 2.180 m/s2 Max. Heave Acc 1.054 m/s2
Roll Acc 3.023 rad/s2 Pitch Acc 0.679 rad/s2 Yaw Acc 0.193 rad/s2
4.1.4 Data Material Data material yang digunakan pada FPSO Belanak disajikan pada Tabel 4.5 di bawah ini:
Tabel 4. 5 Data Material Properties (Conoco, 2002)
Data di atas merupakan data yang digunakan pada pemodelan lokal menggunakan
ANSYS. Komponen utama yang dibutuhkan pada pemodelan lokal adalah modulus
young, poisson’s ratio, density dari baja dan minimum yield stress. Dari data tersebut
diketahui bahwa tegangan yang diijinkan pada struktur module ini sebesar 250 MPa.
Data Satuan SpesifikasiMaterial Type - 4Steel Grades - A36Thickness Range (mm) <51Minimum Yield Stress (N/mm2) 250Minimum UTS (N/mm2) 400Modulus Young (N/mm2) 210,000Shear Modulus (N/mm2) 80,000Poisson's Ratio - 0.3Density (kg/m3) 7,850Coef. Of Thermal Expansion (/C0) 12x10-6
54
4.2 PEMODELAN Pemodelan yang dilakukan adalah pemodelan struktur global FPSO Belanak untuk
mendapatkan respon gerakan dan pemodelan lokal untuk mendapatkan respon support
structure system gas rocessing module. Untuk pemodelan global menggunakan software
AutoCAD, Maxsurf, dan MOSES. Sedangkan pemodelan lokal menggunakan software
ANSYS 11.
4.2.1 Pemodelan Dengan AutoCAD Untuk mempermudah pemodelan pada Maxsurf dan MOSES, struktur FPSO dimodelkan
terlebih dahulu dengan menggunakan AutoCAD.
Gambar 4. 3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD
Gambar 4.3 di atas adalah gambar lines plan dari FPSO Belanak. Pemodelan pada
AutoCAD dilakukan untuk mempermudah dalam penentuan koordinat. Selain itu juga
mempermudah untuk memahami bentuk dari struktur secara visual.
55
4.2.2 Pemodelan Dengan Maxsurf Setelah melakukan pemodelan pada AutoCAD, struktur FPSO dimodelkan pada Maxsurf
dengan mengambil dimensi-dimensi dari AutoCAD. Hal ini dimaksud untuk
mempermudah penentuan koordinat pada Maxsurf. Pemodelan pada Maxsurf tidak hanya
dimodelkan hull dari FPSO saja, akan tetapi bagian yang lebih detail juga dimodelkan,
seperti section, buttock, serta waterline dari FPSO Belanak. Koordinat-koordinat pada
tiap section nantinya akan dikonversikan ke dalam MOSES. Gambar 4.4 di bawah ini
merupakan hasil pemodelan FPSO pada Maxsurf.
Gambar 4. 4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf
4.2.3 Pemodelan Dengan MOSES Pemodelan selanjutnya adalah pemodelan pada MOSES. Koordinat-koordinat pada
MOSES diambil dari koordinat pada Maxsurf. Untuk pemodelan FPSO dan perhitungan
hidrostatis dilakukan dengan menggunakan MOSES 7.0, sedangkan perhitungan
hidrodinamis untuk mendapatkan respon gerakan FPSO dilakukan dengan menggunakan
MOSES 6.0. Gambar 4.5 di bawah ini adalah hasil pemodelan menggunakan MOSES 7.0
56
4.2.4 Pemodelan Dengan ANSYS Pemodelan dengan menggunakan ANSYS 11 difokuskan pada daerah module support
dengan struktur geladak yang menyangga module beserta penegar-penegar di bawah
geladak. Jenis analisis yang dilakukan adalah analisis struktural.
1
X
YZ
MODULE SUPPORT
JUL 4 201011:50:26
AREAS
TYPE NUM
Gambar 4. 6 Model Scantling Support Structure System
1
X
Y
Z
MODULE SUPPORT
JUN 27 201019:37:37
ELEMENTS
Gambar 4. 5 Pemodelan FPSO Belanak dengan MOSES 7.0
57
Struktur dimodelkan dalam bentuk area (2D) seperti pada Gambar 4.6 di atas, sehingga
elemen yang digunakan adalah element shell93. Element shell93 memiliki 8 node dengan
4 macam ketebalan jika bervariasi dan input tebal pada real constant. Karakteristik
struktur yang diinput disesuaikan dengan data material seperti pada Tabel 4.5. Gambar
4.7 di bawah merupakan contoh input karakteristik model pada ANSYS 11.0.
Meshing dilakukan dengan manual, jadi pembagian jumlah elemen disesuaikan dengan
model geometrinya. Langkah terakhir adalah dengan memasukkan constraint pada bagian
struktur yang dianggap tetap (fix) atau tidak mengalami deformasi.Constraint yang
digunakan adalah pada semua degree of freedom (6DOF) baik translasional maupun
rotasional. Gambar 4.8 di bawah ini merupakan visualisasi constraint dan tebal plat pada
module support.
Gambar 4. 8 Constraint dan visualisasi real constant
Gambar 4. 7 Input Karakteristik Model Pada ANSYS 11
1
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
JUL 9 201016:53:59
ELEMENTS
UROTF
1
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45
45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45
45 45
45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45
45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45
45
45 45 45 45 45 45
45 45 45
45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75
75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75
75 75 75
75 75 75
75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
75 75
75 75
75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75
75 75
75 75
75 75 75
75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75 75
75 75 75 75
75 75 75
75 75 75
75 75 75 75 75
75
75 75 75 75
75 75 75
75 75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
75
75 75 75 75 75 75 75 75 75 75 75
45 45 45 45 45 45 45
45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45
45
45 45 45 45 45 45
45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35
35 35
35 35 35
35 35 35
35
35 35
35
35
35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
30 30 30
30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
30 30
30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30
30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30 30 30
30
30 30 30
30
30 30 30
30
30 30 30
30
30 30 30
30
30 30 30
30
30 30 30
30
30 30 30
30
35 35 35
35 35 35 35 35 35 35
35 35
35 35 35 35
35 35 35 35 35
35 35 35
35 35 35 35
35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35
35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35
35 35 35 35
35 35
35 35 35
35 35 35 35
35
35 35 35
35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35
35
35 35
35 35
35 35 35 35
35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35
35 35 35
35 35
35 35
35 35
35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35
35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35
35 35 35
35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35
35
35 35 35 35 35
35 35 35 35
35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35 35 35 35
35 35 35 35
35 35 35 35
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25
25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25 25
25 25
2525 25
25 25
25 25 25
25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25
25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25
25 25
25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
2525
25
25 25
25 25 25 25 25 25
25 25 225 25
25 25 25
25
2
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
225 25 25
25 2
25
25 25 25
25 25
25 25 25
25 25 25
25 25
25 25 25
25 25 25 25 25 25
25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 222525 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25
25
MODULE_SUPPORT
JUL 24 201008:02:03
ELEMENTS
REAL NUM
1
25
25 25 25 25
25
25 25
25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25
25 25 25
25
25 25
25 25 25
25
25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
2525
25 25 25 25
25
25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 2
2525 25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 2
25 25 25
25
25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25 25 25
25
25
25
25
25 25 25 25
25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25
25
25 25 25 25
22525
30
30 30
30 30
30 30 30 30 30 30 30
30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30 30 30 30 30
30
30 30
30
30
30 30
30
30 30
30
30
30
30 30
30 30
30
30
30 30
30 30
30
30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30
30
30 30 30 30
30 30 30
30 30
30
30 30 30 30 30
30 30 30
30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30
30 30
30 30 30
30 30
30
3303030
3030 30
30 30
30
30 30 30 30
30 30 30
30 30
30
30 30 30 30
30 30 30
30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30 30
30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30
30 30 30 30 30 30 30 30
30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30
30 30 3
330 30 30
30
30 30 30 30 30 30 30
30
30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30
30 30
30 30 30 30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30 30 30
30 30
30 30 30
30 30 30 30
30
30 30 30 30 30 30 30
30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30
30
30 30 30
30 30
30 30
30
30
30
30 30 30 30
30 30
30 30 30
30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30
30 30
30 30 30
30
30
30 30
30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30 30
30 30
30 30 30
30
30 30 30 30 30 30 30
30 30
30 30
30
30 30 30
30 30 30
30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30
30 30 30
30 30 30 30
30
30 30 30 30 30 30 30
30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30
30
30 30 30 30
30 30 30
30
30 30 30 30 30 30
30 30
30 30 30
30 30 30 30
30
30 30 30 30 30 30 30
30
30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30
30
30 30
330
30
30 30
30
30 30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30 30
30 30 30
30
30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30 30 30 30
30 30 30
30
30 30
30
30 30 30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30 30
30 30 30 30
30 30
30
30
30 30
30
30 30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30 30
30 30 30
30
30
30 30 30 30
30 30
30 30 30 30 30 30 30
30 30 30 30
30 30
30
30 30 30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30 30
30 30
30
30 30
30 30
30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30
30 30 30
30 30 30
30
30 30
30 30
30 30
30
30
25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25
25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25 25
25 25 25
25 25 25 25
25
25 25
25
25 25 25 25
25
25 25 25
25 25 25
25 25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25
25 25
25 25 25
25
25 25 25 25
25
25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25
25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25 25 25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25
25 25 25
25 25 25
25 25
25 25
25
25 25
25 25 25
25 25
25
25 25
25 25
25 25
25 25 25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25 25
25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25 25
25
25 25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25 25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25 25
25 25
25 25 25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25
25
25 25 25 25
25 25 25
25 25
25 25 25 25
25 25 25 25
X YZ
MODULE_SUPPORT
JUL 24 201008:08:27
ELEMENTS
REAL NUM
58
Sebelum dilakukan runing, terlebih dahulu dilakukan mesh sensivity, yaitu iterasi untuk
memperoleh tegangan dengan variasi ukuran meshing. Ketika tegangan yang didapat
telah mendekati konstan, maka model bisa digunakan dalam analisis selanjutnya. Hasil
mesh sensvity dengan lima macam ukuran meshing dan dengan pembebanan sama arah
vertikal sebesar 25973 kN disajikan pada Tabel 4.6 dan Grafik 4.1 di bawah ini.
Tabel 4. 6 Mesh Sensivity
Dari Grafik 4.1 di atas dapat diketahui, semakin kecil ukuran meshing atau semakin
banyak jumlah elemen, maka tegangan yang dihasilkan semakin besar juga. Hal ini
menandakan dengan banyaknya jumlah elemen, maka tingkat keakuratan pada daerah
yang dianalisis juga semakin baik. Pada tugas akhir ini model yang digunakan adalah
dengan jumlah node 30155, karena pada model tersebut tegangan yang dihasilkan sudah
mendekati konstan yaitu 77,10MPa.
No Σ Node Stress (Mpa)1 8067 76.982 12568 77.033 30155 77.104 74972 77.105 186396 77.11
76.900
77.000
77.100
77.200
0 3 6 9 12 15 18 21
Stress (M
Pa)
Jumlah Node x 10000
Mesh Sensivity
Grafik 4. 1 Mesh Sensivity
59
4.3 PERHITUNGAN Perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan motion dari FPSO, perhitungan beban
inersia akibat beban gelombang, beban angin, serta beban operasional. Setelah
perhitungan beban selesai dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah perhitungan umur
kelelahan yang nanti dilanjutkan dengan perhitungan keandalan scantling support
structure system gas processing module.
4.3.1 Validasi Model FPSO Validasi model FPSO Belanak yang digunakan adalah validasi pada data-data hidrostatik
data Conoco Phillips dengan model FPSO Belanak pada Maxsurf dan MOSES. Tabel 4.7
di bawah ini adalah perbandingan data hidrostatik FPSO Belanak Conoco Phillips dengan
data hasil pemodelan.
Tabel 4. 7 Validasi Data Conoco Phillips dengan Hasil Pemodelan
Dari Tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa nilai koreksi antara hasil pemodelan dengan
data Conoco Phillips tidak sampai 5%, maka model FPSO dapat dikatakan valid.
4.3.2 Perhitungan Motion FPSO Perhitungan motion FPSO dilakukan untuk mendapatkan single amplitude accelerations
dan Response Amplitude Operator (RAO) dari FPSO untuk lima arah heading
gelombang, yaitu arah 0o, 45o, 90o, 135o dan 180o dalam gerak surge, heave, sway, roll,
pitch dan yaw. Perhitungan dilakukan pada kondisi Vessel Draft Full yaitu dengan draft
16,2m dengan software MOSES 6.0, karena FPSO diasumsikan sedang beroperasi
dengan muatan penuh. Periode gelombangnya adalah 4 s.d. 31detik dengan interval
Parameter Maxsurf MOSES Maxsurf-Data MOSES-DataT (m) 16.2 16.2 0.000% 0.000%
KG (m) 12.96 12.96 0.000% 0.000%Displ. (ton) 246970.641 246247.39 0.012% 0.305%VCB (m) 8.193 8.22 0.098% 0.428%LCB (m) 142.585 142.57 0.060% 0.050%LCF (m) 142.542 142.52 0.008% 0.007%KMT (m) 25.543 25.63 0.149% 0.192%KML (m) 385.211 387.89 0.306% 0.387%
Validasi KoreksiConoco
16.2
25.581386.395
12.962470008.185
142.499142.53
60
0,5detik. Kondisi gelombang yang digunakan adalah kondisi gelombang selama masa
operasi yakni dengan Hs 0.27m hingga Hs 5.51m. Jika yang diketahui adalah Hmax maka
Hs dapat dicari dengan persamaan di bawah ini:
1.86 .......................................................................................................... (4.1)
Input data untuk perhitungan dengan MOSES 6.0. adalah:
- KG (keel to gravity)
- kedalaman perairan di lokasi FPSO beroperasi
- tipe spektrum gelombang yang digunakan, yaitu spektrum JONSWAP
- arah datang gelombang (heading)
- tinggi gelombang signifikan
- periode gelombang
- kecepatan arus
Hasil dari perhitungan maximum single amplitude accelerations dengan MOSES 6.0.
ditunjukkan pada Tabel 4.8 di bawah.
Tabel 4. 8 Output Maximum Single Amplitude Acceleration
Maximum Single Amplitude Acceleration
Hs surge sway heave roll pitch yaw m/s rad/s
0.27 0.005 0.029 0.022 0.025 0.006 0.006 0.54 0.013 0.062 0.050 0.054 0.021 0.012 0.81 0.024 0.124 0.058 0.075 0.028 0.016 1.08 0.036 0.206 0.117 0.176 0.060 0.027 1.34 0.050 0.286 0.197 0.321 0.110 0.044 1.61 0.065 0.363 0.277 0.473 0.167 0.062 2.15 0.093 0.504 0.413 0.754 0.270 0.094 2.69 0.118 0.638 0.547 1.060 0.376 0.126 3.23 0.139 0.757 0.674 1.349 0.473 0.155 3.76 0.159 0.863 0.795 1.610 0.560 0.183 4.30 0.177 0.961 0.918 1.861 0.645 0.211 4.84 0.194 1.049 1.041 2.093 0.726 0.238 5.51 0.351 1.698 1.191 2.365 0.822 0.271
61
Hasil percepatan yang didapat pada Tabel 4.8 di atas nantinya digunakan dalam
perhitungan beban inersia akibat beban gelombang. Percepatan yang dihasilkan semakin
besar pada tiap-tiap kenaikan Hs. Hasil perhitungan maximum single amplitude
accelerations dengan MOSES 6.0 dibandingkan dengan data milik Conoco Phillips.
Tabel 4.9 di bawah ini merupakan perbandingan hasil perhitungan dengan data Conoco
Phillips.
Tabel 4. 9 Perbandingan percepatan dengan data Conoco Phillips
Derajad Kebebasan
Percepatan Conoco Phillips Perhitungan (Hs = 5.51)
Max. Surge Acc 0.656 m/s2 0.351 m/s2 Max. Sway Acc 2.180 m/s2 1.698 m/s2 Max. Heave Acc 1.054 m/s2 1.191 m/s2
Roll Acc 3.023 rad/s2 2.365 rad/s2 Pitch Acc 0.679 rad/s2 0.822 rad/s2 Yaw Acc 0.193 rad/s2 0.271 rad/s2
Berikut adalah contoh Response Amplitude Operator (RAO) dengan Hs = 5.51 hasil dari
MOSES 6.0 untuk gerakan surge, heave, sway, roll, pitch dan yaw dapat dilihat pada
Grafik 4.2 s/d Grafik 4.7 di bawah ini:
Grafik 4. 2 RAO motion surge FPSO Belanak
Gerakan surge cenderung besar untuk heading arah head seas (μ = 0°) dan following seas
(μ = 180°). Sedangkan untuk arah quartering seas (μ = 45° dan 135°) gerakan surge lebih
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
S/ζ ω
ω (rad/s)
RAO Motion Surge
0 degree45 degree90 degree135 degree180 degree
62
kecil dari gerakan surge untuk heading arah head sea. Untuk gerakan beam seas (μ =
90°) hampir tidak terjadi sama sekali.
Grafik 4. 3 RAO motion sway FPSO Belanak
Gerakan sway sangat besar untuk heading arah beam seas. Sedangkan untuk arah
quartering seas gerakan sway juga terjadi namun tidak sebesar heading arah beam seas.
Untuk gerakan sway tidak terjadi untuk arah 0° dan 180°.
Grafik 4. 4 RAO motion heave FPSO Belanak
0.0
0.3
0.6
0.9
1.2
1.5
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
S/ζ ω
ω (rad/s)
RAO Motion Sway
heading 0heading 45heading 90heading 135heading 180
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
S/ζ ω
ω (rad/s)
RAO Motion Heave
heading 0heading 45headng 90heading 135heading 180
63
Untuk gerakan heave cenderung tinggi untuk semua arah heading. Gerakan paling besar
terjadi pada heading beam sea.
Grafik 4. 5 RAO motion roll FPSO Belanak
Gerakan roll cenderung besar untuk heading arah beam seas (μ = 90°). Sedangkan untuk
heading arah quartering seas (μ = 45° dan 135°) gerakan surge lebih kecil dari gerakan
surge untuk heading arah beam sea. Untuk gerakan following sea (μ = 180°) tidak terjadi
sama sekali.
Grafik 4. 6 RAO motion pitch FPSO Belanak
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
S/ζ ω
ω (rad/s)
RAO Motion Roll
heading 0heading 45heading 90heading 135heading 180
0.00.10.20.30.40.50.60.70.80.9
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
S/ζ ω
ω (rad/s)
RAO Motion Pitch
heading 0heading 45heading 90heading 135heading 180
64
Gerakan pitch cenderung besar untuk heading arah quartering seas (μ = 45° dan 135°).
Sedangkan untuk heading arah head sea dan following sea (μ = 0° dan 180°) gerakan
pitch lebih kecil dari gerakan pitch untuk heading arah qurtering seas. Untuk gerakan
beam sea (μ = 90°) tidak terjadi sama sekali.
Grafik 4. 7 RAO motion yaw FPSO Belanak
Gerakan yaw cenderung besar untuk heading arah quartering seas (μ = 45° dan 135°).
Sedangkan untuk heading arah arah yang lain hampir tidak terjadi.
4.3.3 Perhitungan Beban Gelombang Untuk gerakan FPSO terdapat enam derajad kebebasan yakni surge, sway, yaw, heave,
roll dan pitch. Percepatan dari enam gerakan tersebut telah didapat dari perhitungan
motion. Untuk gerakan FPSO tersebut berpengaruh pada module dengan menjadi gaya
inersia. Gaya inersia didapat dengan mengalikan percepatan module dengan massa
module. Massa dari gas processing module diperoleh dari data sesuai pada Tabel 4.1
yakni 2361 mt.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
S/ζ ω
ω (rad/s)
RAO Motion Yaw
heading 0heading 45heading 90heading 135heading 180
C
ad
a.
b
d
x
y
zi
r
r
Contoh perhit
dalah sebaga
. Gerakan t
• Fi unt
• Fi unt
• Fi unt
Sehin
25973
. Gerakan r
Untuk ger
engan :
i = 22.5 m
i = 16 m
i = 18.04 m
= jari-jari g2i zyr +=
tungan gaya
ai berikut:
translasional
tuk gerakan s
=
=
tuk gerakan S
=
=
tuk gerakan H
=
=
gga total ga
3.36 kN
rotasional
rakan roll, p
(jarak hor
(jarak hor
(jarak ver
girasi 2iz
a inersia dari
l
surge = m x
2361 x 0.35
507.165 kN
Sway = m x
2361 x 1.69
2738.76 kN
Heave = m x
2361 x 1.19
2811.95 kN
aya inersia p
pitch, dan yaw
rizontal sum
rizontal sum
rtikal antara
i masing-ma
x a
51
N
x a
98
N
x a
91
N
pada support
w akan menj
mbu x antara
mbu y antara
CG dengan
sing gerakan
t module ak
jadi momen
CG dengan
CG dengan
titik berat m
n dengan kon
kibat gerakan
inersia.
titik berat m
titik berat m
module)
ndisi Hs = 5
n heaving ad
module)
module)
65
5.51m
dalah
66
Contoh perhitungan untuk gerakan roll dengan Hs = 5.51m
Momen inersia untuk gerakan roll = m x r2
yi = 16 m
zi = 18.04 m
√16 18.04 = 24.113 m
Maka momen inersia adalah
I = 2361 x 24.1132 = 1372783.62 mt. m2
Sedangkan momen gaya = I x α
= 1372783.62 x 2.365
= 3246633.256 kN.m.rad
Berikut adalah hasil seluruh perhitungan baik gerakan translasi dan rotasional pada tiap-
tiap Hs yang ditunjukkan pada Tabel 4.10 di bawah ini.
Tabel 4. 10 Gaya inersia dan momen gaya FPSO Belanak
Gaya Inersia Momen Gaya
Hs surge sway heave roll pitch yaw kN kN kN kN.m.rad kN.m.rad kN.m.rad
0.27 11.805 68.469 23213.352 34319.590 11781.743 10798.034 0.54 30.693 146.382 23279.460 74130.315 41236.101 21596.067 0.81 56.664 292.764 23298.348 102958.771 54981.468 28794.756 1.08 84.996 486.366 23437.647 241609.917 117817.432 48591.151 1.34 118.050 675.246 23626.527 440663.541 215998.625 79185.579 1.61 153.465 857.043 23815.407 649326.651 327925.186 111579.6802.15 219.573 1189.944 24136.503 1035078.848 530178.444 169169.1922.69 278.598 1506.318 24452.877 1455150.635 738322.574 226758.7043.23 328.179 1787.277 24752.724 1851885.100 928794.089 278949.1993.76 375.399 2037.543 25038.405 2210181.624 1099629.366 329340.0224.30 417.897 2268.921 25328.808 2554750.312 1266537.395 379730.8454.84 458.034 2476.689 25619.211 2873236.112 1425590.928 428321.9965.51 507.615 2738.760 25973.361 3246633.256 1614098.819 487711.180
67
Grafik 4. 8 Gaya Inersia pada gerakan translasional
Grafik 4. 9 Momen Gaya pada Gerakan Rotasional
Grafik 4.8 dan Grafik 4.9 di atas merupakan hubungan gaya-gaya yang bekerja pada
module dengan tiap-tiap Hs. Pada gerakan translasional, besarnya gaya yang bekerja
linier dengan bertambah tingginya Hs. Gerakan heave menimbulkan gaya yang paling
besar terhadap struktur module, hal ini disebabkan gaya yang terjadi berupa gaya berat
module itu sendiri dengan gaya akibat gerakan FPSO. Berbeda dengan gerakan
rotasional, momen gaya yang terjadi tidak linier dengan bertambahnya Hs. Pada gerakan
rotasional, gerakan roll memiliki pengaruh paling besar terhadap module.
0.0E+00
5.0E+03
1.0E+04
1.5E+04
2.0E+04
2.5E+04
3.0E+04
0 1 2 3 4 5 6
Gaya Inersia (kN)
Hs (m)
Translasional
surge sway heave
0.0E+00
5.0E+05
1.0E+06
1.5E+06
2.0E+06
2.5E+06
3.0E+06
3.5E+06
0 1 2 3 4 5 6
Mom
en Gaya (kN.m
.rad
)
Hs (m)
Rotasional
roll pitch yaw
68
Gas processing module FPSO Belanak memiliki 8 buah struktur penyangga dengan
konfigurasi seperti pada Gambar 4.9 di bawah. Jarak stuktur penyangga paling dekat
dengan centre line FPSO adalah 5 m. Sedangkan ukuran dari gas processing module
sendiri adalah 22 x 30 m. Struktur penyangga terdapat pada frame 30 dan 33 dari FPSO.
Gambar 4. 9 Module tampak atas
Dengan jarak titik massa antara COG FPSO dengan titik massa tiap struktur penyangga
berbeda satu sama lain. Antara leg 1 sampai dengan leg 8 akan mempunyai reaksi yang
berbeda dalam menerima beban akibat gerakan FPSO itu sendiri. Oleh karena itu
dilakukan perhitungan respon beban pada tiap kaki untuk mengetahui sturktur penyangga
yang menerima beban paling kritis.
Tabel 4. 11 Beban Pada Sturktur Penyangga
Force Momen(kN) (kN.m)
Module 22526.37 37382.23Leg1 32318.16 54126.15Leg2 29590.22 48988.53Leg3 25442.53 41113.29Leg4 24300.18 38915.34Leg5 34394.70 57342.26Leg6 31758.76 52547.93Leg7 27805.70 45421.38Leg8 26736.63 43512.30
Struktur
P
4
p
d
ad
P
ro
d
g
p
m
id
D
d
te
b
erhitungan n
.11. Perhitu
ercepatan ya
ilakukan dap
dalah pada l
ada Gambar
otational mo
ari pada res
erakan roll
ada leg yan
mempunyai p
dentik.
Dikarenakan
iantara struk
erkritis terse
eban yang b
Force / Mom
ent
x 10
000
nilai beban
ungan digun
ang terjadi p
pat diketahu
eg 5 seperti
G
r 4.10 diketa
otion dari FP
spon gerakan
dan yaw dik
ng lainnya.
percepatan
struktur pe
ktur penyang
ebut. Dengan
ekerja, maka
0
1
2
3
4
5
6
1
Force (kN)
yang bekerj
nakan denga
pada tiap str
ui bahwa stru
pada Gamba
Gambar 4. 10 B
ahui nilai beb
PSO. Respon
n rotasional
karenakan m
Pada respo
yang sama,
enyangga pa
gga yang la
n asumsi ap
a struktur pe
2 3
Momen (k
a pada tiap
an bantuan
ruktur penya
uktur penyan
ar 4.10 di ba
Beban Pada S
ban yang bek
n akibat gera
l lainnya. Le
memiliki jara
on gerakan
sehingga r
ada leg 5 m
in maka ana
pabila strukt
enyangga lai
4
3
Module
kN.m)
struktur pen
software M
angga. Dari
ngga yang m
awah.
Sturktur Peny
kerja pada ti
akan roll me
eg 5 memili
ak dari centr
translasi pa
respon beba
mempunyai
alisa dilakuk
tur penyangg
innya diangg
5 6
3.44
5.73
e Leg
nyangga terd
MOSES untu
hasil perhitu
menerima be
angga
iap struktur p
emiliki penga
iki respon p
re line FPSO
ada tiap stru
an juga mem
respon beb
kan pada str
ga terkritis
gap aman dar
7 8
Hs=5.5
dapat pada T
uk mendapa
ungan yang
eban paling
penyangga a
aruh paling
paling besar
O lebih jauh
uktur penya
miliki nilai
ban paling
ruktur penya
sudah aman
ri beban.
8
51m
69
Tabel
atkan
telah
besar
akibat
besar
pada
h dari
angga
yang
kritis
angga
n dari
70
4.3.4 Perhitungan Beban Angin Gaya angin yang dihitung merupakan gaya angin yang diakibatkan beban dinamis yaitu
gaya angin akibat vortex. Pada perhitungan gaya angin ini, pengaruh vortex terjadi pada
peralatan tertinggi pada gas processing module, sehingga dari perhitungan gaya angin
akibat vortex jumlah siklis beban angin yang menyebabkan fatigue dapat diketahui.
Sebelum perhitungan gaya angin, terlebih dahulu dilakukan perhitungan kecepatan di
tiap-tiap elevasi karena tinggi masing-masing peralatan berbeda-beda, perhitungan
Reynold Number untuk menentukan nilai Cf, dan melakukan perhitungan luas area yang
terkena beban angin.
4.3.4.1 Kecepatan Angin Data kecepatan angin yang digunakan adalah data kecepatan angin awal (V0) pada elevasi
2m serta intensitas kecepatan angin selama dua tahun seperti pada Tabel 4.12 di bawah
ini:
Tabel 4. 12 Data intensitas kejadian angin
ARAH KECEPATAN ANGIN (m/s) (nominal) Jumlah
CALM 1 - 3 4 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 15 >16 406 0 0 0 0 0 0 406
N 0 0 8 30 37 20 5 100 NW 0 0 1 5 1 0 0 7 W 0 1 7 15 5 0 0 28
SW 0 3 2 13 7 2 0 27 S 0 0 7 26 19 3 1 56
SE 0 0 3 10 3 0 0 16 E 0 1 13 14 1 0 0 29
NE 0 0 20 31 6 4 0 61 730
71
71
10 10⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=
yVV
Dengan Persamaan 2.15 dapat diketahui kecepatan angin pada elevasi y.
Persamaan 2.15 yaitu:
...................................................................................................... (2.15)
Karena data kecepatan angin awal (V0) yang diketahui adalah kecepatan angin pada
elevasi 2m, maka dicari terlebih dahulu kecepatan angin pada elevasi 10m dengan
memodifikasi persamaan 2.15 menjadi sebagai berikut:
71
2
210
10⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
=y
VV
Berikut hasil perhitungan kecepatan angin pada elevasi 10m seperti ditunjukkan pada
Tabel 4.13 di bawah ini.
Tabel 4. 13 Konversi kecepatan angin pada elevasi 10m
Kecepatan angin (m/s) Elevasi 2m Elevasi 10m
0.00 0.00 1.54 1.94 3.08 3.88 4.63 5.82 6.17 7.76 7.71 9.70 9.25 11.64
Kecepatan angin yang akan dicari adalah kecepatan angin pada elevasi 28.8m, 34.8m,
36.3m. Ketiga elevasi tersebut merupakan elevasi titik tangkap gaya angin dari masing-
masing ketinggian peralatan yang berada pada gas processing module dari SWL pada
kondisi vessel draft full yaitu dengan draft 16.2 m. Sebelum menghitung terlebih dahulu
mengubah satuan kecepatan menjadi m/s, karena satuan yang digunakan pada data adalah
knot dan data yang digunakan adalah kecepatan angin yang maksimum dalam rentang
kecepatan angin.
72
Contoh perhitungan kecepatan angin pada elevasi 36.3 m dan pada kecepatan 11.64 m/s
pada kondisi operasi.
V 11.64 36.32
17
V 11.64 x 18.1517 14.0 m/s
Hasil yang didapat dari perhitungan kecepatan angin pada elevasi y disajikan pada Tabel
4.14 di bawah ini:
Tabel 4. 14 Kecepatan angin pada tiap elevasi peralatan
Kecepatan(m/s)
Kecepatan pada elevasi y (m/s) Elevasi (m)
28.8 34.8 36.3 0.00 0.00 0.00 0.00 1.94 2.26 2.32 2.33 3.88 4.51 4.64 4.67 5.82 6.77 6.96 7.00 7.76 9.03 9.28 9.33 9.70 11.29 11.60 11.67 11.64 13.54 13.91 14.00
Pada Tabel 4.14 di atas, kecepatan angin pada tiap-tiap elevasi akan bertambah besar
dengan seiring bertambahnya ketinggian elevasi, begitu juga dengan bertambah besarnya
kecepatan referensi yang digunakan dalam konversi kecepatan angin. Dengan demikian
kecepatan angin akan linier dengan bertambah tingginya elevasi yang akan ditinjau.
4.3.4.2 Gaya Angin pada Peralatan Tertinggi Setelah didapat kecepatan angin untuk semua ketinggian yang ditentukan, kemudian
dilakukan perhitungan gaya angin. Gaya angin yang ditinjau adalah gaya yang mengenai
peralatan paling tinggi dan struktur dari module, berikut peralatan pada gas processing
module seperti pada Tabel 4.15 di bawah ini.
73
Tabel 4. 15 Peralatan tertinggi pada gas processing module
Peralatan Tinggi (m) Diameter (m)
deethanizer column - train 1 38 7.5
depropanizer column - train 1 50 7.5
debutanizer column - train 1 53 7.5
Perhitungan gaya angin dilakukan dengan Persamaan 2.24 di bawah:
F = 1/2 ρ Cf A V2 ......................................................................................................... (2.24)
Nilai Cf didapat berdasarkan perhitungan Reynold Number. Berikut contoh perhitungan
Reynold Number pada peralatan debutanizer column - train 1 dengan kecepatan angin
14.0 m/s.
7.5 14.00.0000145 7.24 10
Hasil yang didapat dari perhitungan Reynold Number untuk ketiga peralatan disajikan
dalam Tabel 4.16 di bawah ini:
Tabel 4. 16 Reynold Number tiap-tiap peralatan
Kecepatan angin (m/s)
Reynold Number Peralatan dengan tinggi (m)
38 50 53 0.00 0.00E+00 0.00E+00 0.00E+00 1.94 1.17E+06 1.20E+06 1.21E+06 3.88 2.34E+06 2.40E+06 2.41E+06 5.82 3.50E+06 3.60E+06 3.62E+06 7.76 4.67E+06 4.80E+06 4.83E+06 9.70 5.84E+06 6.00E+06 6.03E+06 11.64 7.01E+06 7.20E+06 7.24E+06
Dari nilai Reynold Number yang diperoleh, dimana nilai yang dihasilkan ≥ 3 x 105 maka
nilai Cf yang digunakan adalah 0.2. Reynold number yang diperoleh semakin besar
dengan bertambah tingginya peralatan, hal ini disebabkan kecepatan angin pada elevasi
tertinggi sangat besar, jadi semakin tinggi struktur semakin besar pula reynold number
74
yang diperoleh. Selain faktor kecepatan, reynold number juga dipengaruhi diameter
struktur, karena peralatan pada module ini memiliki diameter yang sama, maka yang
membedakan ketiga peralatan tersebut adalah ketinggian elevasi peralatan.
Perhitungan luas bidang silinder yang terkena gaya angin adalah:
• Luas bidang debutanizer column – train 1 yang terkena gaya angin
OD = 7.5m
L = 53m
A = OD x L
= 7.5 x 53
= 397.5m2
• Luas bidang depropaniizer column – train 1 yang terkena gaya angin
OD = 7.5m
L = 50m
A = OD x L
= 7.5 x 50
= 375m2
OD
L
OD
L
75
• Luas bidang deethanizer column – train 1 yang terkena gaya angin
OD = 7.5m
L = 38m
A = OD x L
= 7.5 x 38
= 285m2
Setelah didapat luasan bidang silinder yang terkena gaya angin, dilakukan perhitungan
gaya angin. Contoh perhitungan gaya angin pada peralatan debutanizer column - train 1
dengan kecepatan 14.0 m/s.
F = ½ x ρ x Cf x A x V2
= ½ x 1.226 x 0.2 x 397.5 x 14.02
= 4841.4 N
Hasil yang didapat dari perhitungan gaya angin pada elevasi y disajikan pada Tabel 4.17
di bawah ini:
Tabel 4. 17 Gaya angin pada tiap-tiap peralatan
Kecepatan angin (m/s)
Gaya angin pada elevasi y (N) Peralatan dengan tinggi (m)
38 50 53 0.00 0.00 0.00 0.00 1.94 125.88 132.87 134.48 3.88 503.51 531.49 537.93 5.82 1132.90 1195.84 1210.35 7.76 2014.05 2125.94 2151.73 9.70 3146.95 3321.79 3362.08 11.64 4531.61 4783.37 4841.40
OD
L
76
Grafik 4. 10 Gaya Angin pada Peralatan
Pada Grafik 4.10 di atas dapat diketahui, semakin besar kecepatan angin maka semakin
besar pula gaya angin yang ditimbulkan. Pada grafik di atas, gaya angin terbesar terjadi
pada peralatan III, karena peralatan ini memiliki elevasi paling tinggi, sehingga gaya
angin yang terjadi semakin besar juga.
4.3.4.3 Momen Angin Setelah gaya angin diketahui, maka momen yang terjadi pada struktur support dengan
geladak akibat gaya angin dapat dicari. Momen dicari dengan cara mengalikan gaya
angin dengan panjang lengan. Panjang lengan adalah jarak antara titik tangkap peralatan
yang terkena gaya angin dengan titik pada struktur support yang dekat dengan geladak.
Panjang lengan yang digunakan adalah setengah ketinggian dari ketiga peralatan tersebut,
yakni 19m, 25m, dan 26.5m. Perhitungan momen angin untuk peralatan debutanizer
column - train 1 dengan kecepatan angin 14.0 m/s adalah
M = F x l
= 4841.4 x 26.5
= 140400.49 N.m
0.0E+00
1.0E+03
2.0E+03
3.0E+03
4.0E+03
5.0E+03
6.0E+03
0 2 4 6 8 10 12 14
Kec. Angin (m/s)
Gaya Angin (N)
Peralatan I Peralatan II Peralatan III
77
Maka hasil perhitungan momen angin dari ketiga peralatan tersebut ditampilkan pada
Tabel 4.18 berikut:
Tabel 4. 18 Momen angin ketiga peralatan pada gas processing module
Kecepatan angin (m/s)
Momen (N.m) Peralatan dengan tinggi y (m) 38 50 53
0.00 0.00 0.00 0.00 1.94 2391.68 3321.79 3900.01 3.88 9566.73 13287.15 15600.05 5.82 21525.14 29896.08 35100.12 7.76 38266.91 53148.59 62400.22 9.70 59792.04 83044.67 97500.34 11.64 86100.54 119584.32 140400.49
Grafik 4. 11 Momen yang diakibatkan gaya angin pada peralatan
Grafik 4.11 yang ditunjukkan di atas memiliki karakteristik yang sama dengan grafik
gaya angin pada Grafik 4.10. Momen terbesar terjadi pada peralatan III yang memiliki
elevasi paling tinggi di antara ketiga peralatan tersebut.
0.0E+00
2.0E+04
4.0E+04
6.0E+04
8.0E+04
1.0E+05
1.2E+05
1.4E+05
1.6E+05
0 2 4 6 8 10 12 14
Kec.Angin (m/s)
Momen Angin (Nm)
Peralatan I Peralatan II Peralatan III
78
4.3.4.4 Gaya Angin pada Module
Module pada FPSO juga mendapat pengaruh gaya angin selain peralatan tertinggi pada
gas processing module. Gambar 4.11 di bawah ini merupakan sket gas processing
module pada FPSO Belanak.
Gambar 4. 11 Gas Processing Module Tampak Atas
Seperti pada Gambar 4.11 di atas, gas processing module memiliki lebar 22m, panjang
30m, dan tinggi module 10m dari geladak. Kecepatan angin yang digunakan sama dengan
kecepatan angin yang digunakan pada perhitungan gaya angin pada peralatan.
Pada gas processing module terdapat beberapa peralatan yang terletak di dalam module
tersebut, sehingga pengaruh kerapatan peralatan dalam module juga harus
diperhitungkan. Sedangkan permukaan module diasumsikan sebagai flat-side.
• Perhitungan gaya angin akibat pengaruh kerapatan (solidity effect)
Persamaan gaya angin akibat solidity effect adalah: 12 ,
Asumsi nilai dari solidity ratio (Ø) adalah 0.75, karena pada module terdapat banyak
peralatan, sehingga efek kerapatan pada perhitungan gaya angin juga
dipertimbangkan. Coefficient effective dicari berdasarkan bentuk struktur yang
dianalisis dan berdasarkan nilai solidity ratio (Ø). Dengan nilai solidity ratio (Ø) dan
79
dengan bentuk flat-side, maka nilai Ce yang digunakan adalah 1.6. Nilai Ce dapat
dicari dengan Tabel 4.19 di bawah ini.
Tabel 4. 19 Coefficient effective berdasarkan solidity ratio (ø) (DnV, 2007)
Solidity Effective shape coefficient Ce ratio Flat-side Circular sections ø members Re < 4.2 x 105 Re > 4.2 x 105
0.10 1.90 1.20 0.70 0.20 1.80 1.20 0.80 0.30 1.70 1.20 0.80 0.40 1.70 1.10 0.80 0.50 1.60 1.10 0.80 0.75 1.60 1.50 1.40 1.00 2.00 2.00 2.00
Luas permukaan module yang terkena gaya angin adalah 220m2. Maka gaya angin
yang didapat pada tiap-tiap interval kecepatan angin adalah seperti pada Tabel 4.20
di bawah.
Tabel 4. 20 Gaya angin dengan solidity effect pada module
Kecepatan (m/s) Gaya angin (N) Momen (Nm) 0.00 0.000 0.000 1.54 460.112 3068.947 3.08 1840.448 12275.787 4.63 4141.008 27620.521 6.17 7361.791 49103.148 7.71 11502.799 76723.668 9.25 16564.030 110482.082
Pada Tabel 4.20 di atas, gaya angin semakin besar dengan bertambah besarnya kecepatan
angin, hal ini juga berlaku pada momen. Karena hubungan antara momen dengan gaya
angin bersifat linier. Hal ini disebabkan gaya angin yang dihasilkan dikalikan dengan
lengan momen, jadi besarnya momen juga tergantung dari lengan momen.
80
4.3.5 Perhitungan Beban Operasional
Beban operasional yang dianalisis adalah beban operasional module itu sendiri, dimana
getaran mesin pada gas processing module juga berpengaruh pada support. Mesin yang
ditinjau adalah mesin dengan daya yang paling besar pada gas processing module yaitu
GT Power Turbin (17000 Hp/500rpm). Jumlah perputaran mesin dapat disesuaikan
dengan data pada Tabel 4.21 di bawah ini.
Tabel 4. 21 Jenis-jenis daya mesin beserta jumlah rotasinya (Marine Engine (IMO Tier II 2009))
Power Equipment rpm Power 500 kW Hp
12 V51/60DF 11700 15689.96 14 V51/60DF 13650 18304.95 16 V51/60DF 15600 20919.94
18 V51/60DF 17550 23534.94
4.3.5.1 Beban Akibat Module Besar beban yang diterima struktur support adalah beban akibat module itu sendiri
dengan mengalikan massa struktur module dengan percepatan gravitasi.
Massa gas processing module = 2361 mt
Maka besar beban yang diterima support adalah = 2361 x 9.81
= 23161.41 kN
81
4.3.5.2 Perhitungan Frekuensi Eksitasi dan Frekuensi Natural Untuk mengitung jumlah putaran mesin, terlebih dahulu dilakukan perhitungan frekuensi
eksitasi dari mesin dan frekuensi natural dari struktur support untuk mendapatkan
frekuensi rasio (r).
• Frekuensi eksitasi dari mesin
Frekuensi eksitasi dari mesin tergantung dari jumlah rpm dari mesin tersebut. Dari
data diketahui bahwa daya total GT Power Turbin adalah sebesar 17000 Hp, jadi
jumlah rpm yang sesuai dengan Tabel 4.21 adalah 500 rpm.
Daya mesin = 17000 Hp
RPM = 500 rpm
Dengan putaran 500 rpm, didapat waktu selama satu putaran adalah 0.12 detik (T).
Jika telah diketahui waktu selama satu putaran, maka besarnya frekuensi putaran dari
mesin adalah:
f = 1/T
= 1/0.12 detik
= 8.3 Hz
Maka frekuensi eksitasi dari mesin adalah:
(ω) = 2 x π x 8.3 = 52.3 rad/s
Langkah selanjutnya adalah menghitung frekuensi natural dari support.
• Frekuensi natural dari support
Yang dibutuhkan dalam perhitungan frekuensi natural adalah kekakuan dari support
dan massa struktur tersebut.
Properties dari struktur support adalah sebagai berikut
T = 2.4m ρ = 7850 kg/m3
OD = 0.914m E = 2.1 x 1011 N/m2
ID = 0.824m wt = 0.045m
A = πr2
= π.((0.914/2)2-(0.824/2)2)
= 0.123 m2
82
Kekakuan (k) dari support adalah
2.1 10 0.1232.4 1.07 10 /
Setelah kekakuan dan massa struktur diketahui langkah selanjutnya adalah
perhitungan freuensi natural struktur support. Maka frekuensi natural dari support
adalah
1.07 10295125 190.802 /
Jadi frekuensi natural dari support module adalah 190.802 rad/s.
• Jumlah perputaran mesin
Untuk mengetahui besarnya siklis yang disebabkan beban opersaional, dalam hal ini
siklis disebabkan oleh getaran mesin, maka dilakukan perhitungan lebih lanjut. Dari
perhitungan sebelumnya, dicari perbandingan frekuensi eksitasi dengan frekuensi
natural (r).
Besar frekuensi rasio (r) adalah:
0.274
Langkah awal adalah menghitung transmissibility ratio (TR), yakni besarnya rasio
transfer gaya dari mesin ke struktur support. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
ξ /
/ ξ /
. , . ,, . , . ,
0.977
Setelah didapat transmissibility ratio, maka dilanjutkan dengan mencari faktor
reduksi (R). Faktor reduksi ini yang nantinya dimasukkan dalam perhitungan siklis
akibat beban operasional.
1 0.977 0.023
83
Setelah semua parameter diketahui, jumlah siklis akibat beban operasional dapat dihitung
dengan persamaan di bawah ini:
, . . , ., .
2534,21
Jumlah siklis yang didapat di atas merupakan jumlah siklis per menit. Karena siklis yang
dihitung selama umur operasi, maka jumlah siklis di atas dikalikan selama 30tahun. Jadi
jumlah perputaran mesin selama umur operasi (30tahun) adalah:
6,66 10 30
Dari perhitungan beban operasional di atas dapat disimpulkan bahwa mesin GT Power
Turbin dengan daya 17000Hp dapat menghasilkan jumlah siklis beban operasional
sebesar 2534,21cpm, sehingga jika analisis dilakukan selama umur operasi maka jumlah
siklisnya adalah 6,66x109.
4.4 ANALISIS KELELAHAN
Sebelum melakukan analisis kelelahan, terlebih dahulu mencari tegangan akibat beban-
beban yang bekerja pada module support dengan bantuan ANSYS 11. Tegangan yang
digunakan untuk analisis kelelahan merupakan tegangan tertinggi akibat masing-masing
beban yaitu beban inersia akibat beban gelombang, beban angin dan beban operasional
module.
Perhitungan kelelahan dilakukan dengan metode Palmgren-Miner yaitu dengan meninjau
rasio kerusakan komulatif (D) akibat beban yang diterima struktur. Jumlah siklus rentang
tegangan (Ni) dengan harga Si yang menyebabkan kegagalan sambungan dapat diperoleh
dengan menggunakan kurva S-N dengan jenis sambungan yang sesuai. Harga rentang
tegangan juga dapat dicari dengan Persamaan 2.46. Harga A dan m diperoleh dari kurva
S-N pada Tabel 2.4. Jenis sambungan antara kaki module dengan support module adalah
tipe sambungan B1, maka nilai log A adalah 12,436 dan nilai m adalah 3,0. Variabel A
merupakan intersepsi sumbu log sedangkan variabel m adalah kemiringan sumbu S-N.
84
4.4.1 Analisis Kelelahan Akibat Beban Gelombang Nilai rasio kerusakan kumulatif (Dgel) dapat dicari dengan menggunakan hukum
Palmgren-Miner, yaitu dengan Persamaan 2.43 di bawah ini:
............................................................................................................ (2.43)
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai A dan m disesuikan dengan jenis sambungan
struktur yang ditinjau. Karena sambungan yang ditinjau adalah tipe B1, maka nilai
A=2.73E+12 dan nilai m = 3.0. Nilai ni diambil dari jumlah total kejadian gelombang
tiap-tiap Hs. Sedangkan nilai Se diambil dari tegangan terbesar yang terjadi pada module
support akibat beban gelombang tiap Hs.
Tegangan terbesar yang dihasilkan adalah 87.7MPa. Letak dari tegangan tertinggi akibat
beban gelombang dapat ditunjukkan pada Gambar 4.12 di bawah ini.
Gambar 4. 12 Letak tegangan terbesar
∑=
=m
i i
i
NnD
1
85
Perhitungan kelelahan akibat beban gelombang ditampilkan pada Tabel 4.22 di bawah
ini:
Tabel 4. 22 Perhitungan kelelahan akibat beban gelombang
Hs (m) ni Si (MPa) Ni ni/Ni 0.27 93,350,538 66.17 9.42E+08 9.91E‐02 0.54 71,519,354 67.63 8.82E+08 8.11E‐02 0.81 31,774,805 68.21 8.60E+08 3.70E‐02 1.08 13,717,908 70.25 7.87E+08 1.74E‐02 1.34 6,707,238 71.09 7.60E+08 8.83E‐03 1.61 3,461,658 72.92 7.04E+08 4.92E‐03 2.15 2,802,540 73.17 6.97E+08 4.02E‐03 2.69 772,997 74.86 6.51E+08 1.19E‐03 3.23 197,245 76.54 6.09E+08 3.24E‐04 3.76 45,165 78.67 5.60E+08 8.06E‐05 4.30 9,160 81.25 5.09E+08 1.80E‐05
4.84 1,643 83.42 4.70E+08 3.50E‐06 5.51 281 84.63 4.50E+08 6.24E‐07
D 2.22E-01
Dari Tabel 4.22 di atas dapat diketahui rasio kerusakan kumulatif akibat beban
gelombang adalah sebesar 0,222. Dengan besar ni merupakan jumlah kejadian gelombang
tiap-tiap Hs telah diketahui pada data gelombang Metocean.
4.4.2 Analisis Kelelahan Akibat Beban Angin Untuk beban angin, jumlah siklis yang disebabkan akibat vortex dapat dihitung dengan
Persamaan 2.20, yaitu:
........................................................................................................................ (2.20)
Contoh perhitungan frekuensi vortex pada debutanizer column - train 1 dengan kecepatan
14.0 m/s adalah:
SN = 0,4 karena Rn > 6x105 yaitu 7.47E+06
D = 7.5m
Maka frekuensi vortex: 0.4 14.0
7.5 0.747
86
Berikut tabulasi perhitungn frekuensi vortex akibat angin pada ketiga peralatan pada gas
processing module seperti ditunjukkan pada Tabel 4.23 di bawah ini:
Tabel 4. 23 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin
Kecepatan angin (m/s)
Frekuensi Vortex Shedding (cps) Peralatan dengan tinggi (m)
38 50 53 0.00 0.000 0.000 0.000 1.94 0.120 0.124 0.124 3.88 0.241 0.247 0.249 5.82 0.361 0.371 0.373 7.76 0.482 0.495 0.498 9.70 0.602 0.618 0.622 11.64 0.722 0.742 0.747
Grafik 4. 12 Frekuensi Vortex (cps)
Frekuensi yang didapat pada Tabel 4.23 di atas merupakan frekuensi vortex tiap detik,
jadi seperti yang terlihat pada Grafik 4.12, garfik berbentuk linier, semakin tinggi
kecepatan angin maka semakin besar pula frekuensi vortex yang dihasilkan.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 2 4 6 8 10 12 14
Frekue
nsi V
ortex (cps)
Kec. Angin (m/s)Peralatan I Peralatan II Peralatan III
87
Tabel 4. 24 Probabilitas kejadian angin wilayah Natuna tahun 2006 dan 2007
ARAH Probabilitas kejadian angin
Jumlah CALM 1 - 3 4 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 15 >16
0.556 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.556 N 0.000 0.000 0.011 0.041 0.051 0.027 0.007 0.137
NW 0.000 0.000 0.001 0.007 0.001 0.000 0.000 0.010 W 0.000 0.001 0.010 0.021 0.007 0.000 0.000 0.038
SW 0.000 0.004 0.003 0.018 0.010 0.003 0.000 0.037 S 0.000 0.000 0.010 0.036 0.026 0.004 0.001 0.077
SE 0.000 0.000 0.004 0.014 0.004 0.000 0.000 0.022 E 0.000 0.001 0.018 0.019 0.001 0.000 0.000 0.040
NE 0.000 0.000 0.027 0.042 0.008 0.005 0.000 0.084 Probability 0.556 0.00685 0.08356 0.19726 0.10822 0.03973 0.00822 1.000
Jumlah siklis yang digunakan adalah jumlah frekuensi vortex akibat beban angin dengan
mengalikan probabilitas kejadian angin seperti pada Tabel 4.24 di atas untuk mengetahui
frekuensi vortex pada tiap-tiap interval kecepatan angin yang terjadi selama umur
operasi. Sedangkan hasil perhitungan frekuensi vortex akibat beban angin selama umur
operasi disajikan pada Tabel 4.25 dibawah ini.
Tabel 4. 25 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin selama umur operasi
Kecepatan angin (m/s)
Frekuensi Vortex Shedding (30th) Peralatan dengan tinggi (m)
38 50 53 0.00 0.00E+00 0.00E+00 0.00E+00 1.94 3.90E+05 4.01E+05 4.03E+05 3.88 9.52E+06 9.78E+06 9.84E+06 5.82 3.37E+07 3.46E+07 3.48E+07 7.76 2.47E+07 2.53E+07 2.55E+07 9.70 1.13E+07 1.16E+07 1.17E+07 11.64 2.81E+06 2.89E+06 2.90E+06
88
Grafik 4. 13 Frekuensi Vortex (30tahun)
Pada Grafik 4.13 dapat dilihat karakteristik dari frekuensi vortex akibat beban angin.
Berbeda dengan Grafik 4.12, Grafik 4.13 di atas merupakan frekuensi vortex selama
umur operasi. Sehingga bentuk grafik berbeda dengan frekuensi vortex selama per detik,
karena pada Grafik 4.13 frekuensi vortex per detik dikalikan dengan probabilitas kejadian
angin seperti pada Tabel 4.25. Jadi dari Grafik 4.13 di atas dapat dilihat bahwa frekuensi
vortex selama umur operasi paling besar terjadi pada interval kecepatan angin 6m/s.
Setelah frekuensi vortex akibat angin selama umur operasi telah diketahui, maka langkah
selanjutnya adalah perhitungan cumulative damage yang disebabkan oleh beban angin.
Perhitungan yang dilakukan dengan memperhitungkan damage pada tiap-tiap interval
kecepatan angin. Nilai ni merupakan jumlah siklis yang telah dihitung pada Tabel 4.26.
Cumulative damage yang diperoleh tiap-tiap interval kecepatan angin nantinya dijumlah
untuk mendapatkan total cumulative damage akibat beban angin.
Pada module tidak terjadi vortex, karena bentuk dari module relatif pejal. Maka gaya
angin yang terjadi pada module dimasukkan pada gaya angin pada peralatan saat input
beban angin pada ANSYS.
0.0E+00
5.0E+06
1.0E+07
1.5E+07
2.0E+07
2.5E+07
3.0E+07
3.5E+07
4.0E+07
0 2 4 6 8 10 12
Frekue
nsi V
ortex (30th)
Kec. Angin (m/s)Peralatan I Peralatan II Peralatan III
89
Tabel 4.26 di bawah ini menunjukkan perhitungan rasio kerusakan kumulatif akibat
beban angin yaitu:
Tabel 4. 26 Perhitungan rasio kumulatif kerusakan akibat beban angin
Peralatan Kecepatan (m/s) Si (MPa) ni Ni ni / Ni
(I) 38m
0.00 0.00000 0.00E+00 - - 1.94 0.01366 4.01E+05 1.07E+18 3.75E-13 3.88 0.05464 9.79E+06 1.67E+16 5.85E-10 5.82 0.12294 3.47E+07 1.47E+15 2.36E-08 7.76 0.21855 2.54E+07 2.61E+14 9.70E-08 9.70 0.34149 1.16E+07 6.85E+13 1.70E-07 11.64 0.49174 2.89E+06 2.30E+13 1.26E-07
(II) 50m
0.00 0.00000 0.00E+00 - - 1.94 0.01324 4.13E+05 1.18E+18 3.52E-13 3.88 0.05297 1.01E+07 1.84E+16 5.49E-10 5.82 0.11918 3.57E+07 1.61E+15 2.21E-08 7.76 0.21188 2.61E+07 2.87E+14 9.10E-08 9.70 0.33106 1.20E+07 7.52E+13 1.59E-07 11.64 0.47672 2.97E+06 2.52E+13 1.18E-07
(III) 53m
0.00 0.00000 0.00E+00 - - 1.94 0.01389 4.16E+05 1.02E+18 4.08E-13 3.88 0.05556 1.01E+07 1.59E+16 6.38E-10 5.82 0.12501 3.59E+07 1.40E+15 2.57E-08 7.76 0.22224 2.63E+07 2.49E+14 1.06E-07 9.70 0.34724 1.21E+07 6.52E+13 1.85E-07 11.64 0.50003 2.99E+06 2.18E+13 1.37E-07
Dangin = 1.26221E-06
Dari Tabel 4.26 di atas dapat diketahui jumlah rasio kerusakan kumulatif akibat beban
angin (Dangin) sebesar 0.00000126221.
4.4.3 Analisis Kelelahan Akibat Beban Operasional Untuk beban operasional, terlebih dahulu dilakukan perhitungan siklis dari putaran mesin
yang ada pada gas processing module. Dari perhitungan sebelumnya didapat jumlah
siklis sebesar 2534,21 cpm. Karena perhitungan dilakukan selama umur operasi
(30tahun) maka jumlah siklis yang digunakan adalah selama 30 tahun, yaitu sebesar
6,66x109 kali. Karena sambungan yang ditinjau adalah tipe B1, maka nilai A=2.73E+12
90
dan nilai m=3,0. Nilai NL diambil dari jumlah total siklis selama umur operasi. Tegangan
terbesar yang didapat akibat beban operasional sebesar 34,29 MPa.
Sedangkan nilai gamma dicari dengan menggunakan Persamaan 2.49, yaitu:
26.10076.0)( )6.1( +≅Γ xex .................................................................................... (2.49)
Nilai dari ξ diperoleh dengan cara iterasi, yakni dengan membandingkan hasil
perhitungan D dengan hukum Palmgren-Miner dengan cara Closed Form Fatigue
Equation, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.27 di bawah ini:
Tabel 4. 27 Iterasi Perhitungan Parameter Bentuk
Dengan mengambil nilai ξ sebesar 0.95, maka didapat nilai Г(1+m/ ξ) sebesar: 7.14864
Dengan demikian nilai rasio kerusakan kumulatif dapat dicari dengan menggunakan
closed form fatigue life equation, yaitu dengan Closed Form Fatigue Equation di bawah
ini:
Jadi rasio kerusakan akibat beban operasional adalah sebesar 0,0362.
ξ D pm Γ D cf Δ
0.9 3.62E-02 9.056900646 2.65E-02 9.67E-030.91 3.62E-02 8.613072426 2.83E-02 7.91E-030.92 3.62E-02 8.203349345 3.01E-02 6.07E-030.93 3.62E-02 7.824545607 3.21E-02 4.14E-030.94 3.62E-02 7.473820642 3.41E-02 2.12E-030.95 3.62E-02 7.148636915 3.62E-02 0.00E+000.96 3.62E-02 6.846723438 3.84E-02 -2.22E-030.97 3.62E-02 6.566044151 4.07E-02 -4.54E-030.98 3.62E-02 6.304770449 4.32E-02 -6.96E-030.99 3.62E-02 6.061257279 4.57E-02 -9.50E-03
1 3.62E-02 5.834022288 4.84E-02 -1.21E-02
)/1()(ln / ξξ m
NS
AND m
L
meL +Γ=
)/1()1066,6(ln
29,341073,21066,6
95.0/39
3
12
9
ξmxx
xD +Γ=
0362,0=D
14864,7)1066,6(ln
29,341073,21066,6
95.0/39
3
12
9
xxx
=
91
4.4.4 Analisis Akhir Umur Kelelahan Setelah didapat tiga rasio kerusakan (D) akibat beban gelombang, beban angin dan beban
opersional, maka tiga nilai rasio kerusakan tersebut dijumlahkan untuk mendapatkan nilai
rasio kerusakan kumulatif total seperti pada Persamaan 2.44.
Nilai dari Dtotal adalah:
∑ ..................................................................... (2.44)
∑ 0.222 0.00000126221 0.0362
∑ 0.258
Formulasi umur kelelahan dari suatu struktur dapat dihitung dengan membagi lama
rekaman data beban yang diterima FPSO Belanak, yaitu selama 30 tahun dengan nilai D.
Jadi umur kelelahan dari struktur tersebut adalah:
116,3
Service life dari FPSO Belanak adalah 30 tahun. Dengan umur kelelahan 116,3 tahun,
maka perhitungan nilai kelelahan (fatigue) ini memiliki nilai safety factor (SF) sebesar: 116,3
30 3,88
Jadi nilai safety factor (SF) dari struktur scantling support structure system gas
processing module FPSO Belanak adalah 3,88.
4.4.5 Kontribusi Beban Terhadap Kelelahan Dari hasil analisis, dapat diketahui besarnya pengaruh beban gelombang, beban angin dan
beban opersional terhadap umur kelelahan dari scantling support structure gas
processing module FPSO Belanak. Besarnya pengaruh beban-beban tersebut dapat dilihat
pada Tabel 4.28 berikut:
D
um
y
se
um
4P
d
f
Dari Gambar
mur kelelah
akni sebesar
ebesar 0.000
mur kelelaha
4.5 ANAerhitungan k
engan moda
−Δ=)(xf
Tabel
Gambar 4
r 4.13 di ata
han pada sca
r 85.963%.
047% dan b
an pada scan
ALISIS KEkeandalan d
a kegagalan s
BeGelom
AnOpera
To
Wind Loa0.00047%
⎜⎜⎝
⎛− ∑
=
3
1n
L
AN
n
4. 28 Kontrib
4. 13 Diagram
as, beban ge
antling suppo
Sedangkan
beban opersi
ntling suppo
EANDALAdilakukan de
seperti pada
ebanmbang 0ngin 0asional 0otal 0
ad%
OperasioLoad
14.036
( )ln mnL
mn
NSe
busi ketiga be
m Kontribusi B
elombang m
ort structure
pengaruh pa
ional memil
ort structure
AN engan meng
Persamaan 2
D0.221761930.000001220.036209360.25797252
onal d6%
( +Γ/ 1m nξ
eban terhadap
Beban Terhad
memiliki pen
e gas proces
aling kecil d
liki pengaruh
gas process
ggunakan me
2.53.
..
%85
0.014
1
Wave Load85.963%
Kontribu
)⎟⎟⎠
⎞/ nm ξ
p kelelahan
dap Kelelahan
ngaruh palin
ssing modul
disebabkan o
h sebesar 14
ing module F
etode simul
....................
%.9630047.036
100
usi Beba
n
ng besar terh
le FPSO Bel
oleh beban a
4.036% terh
FPSO Belan
asi Monte C
.................. (
an
92
hadap
lanak
angin
hadap
nak.
Carlo
(2.53)
93
Struktur akan gagal jika nilai MK ≤ 0, sebaliknya struktur dikatakan sukses apabila MK >
0. Nilai Δ merupakan damage limit yang besarnya adalah 1,0. Sedangkan nilai Dtotal
merupakan cumulative damage akibat ketiga beban yang mengenai struktur.
Tabel 4.29 s/d Tabel 4.31 di bawah ini adalah variabel-variabel tak tentu pada moda
kegagalan sistem di atas:
Tabel 4. 29 Variabel Taktentu (beban gelombang)
Tabel 4. 30 Variabel Taktentu (beban angin)
Tabel 4. 31 Variabel Taktentu (beban operasional)
Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka simulasi dilakukan sebanyak 10000 kali.
Untuk menentukan akurasi dari jumlah simulasi, maka dilakukan pencatatan nilai Pf pada
setiap jumlah tertentu sehingga didapatkan keandalan yang cenderung konstan.
Keandalan yang dihitung merupakan keandalan dari scantling support structure system
Variabel Mean Cov Dist. TypeN L 2.24E+08 0.05 lognormalA 2.73E+12 0.31 lognormalm 3 0.03 normalSe 84.63 0.02 lognormalξ 0.92 0.04 lognormal
Variabel Mean Cov Dist. TypeN L 2.52E+08 0.08 lognormalA 2.73E+12 0.31 lognormalm 3 0.03 normalSe 0.4895 0.024 lognormalξ 0.95 0.034 lognormal
Variabel Mean Cov Dist. TypeN L 7.18E+09 0.05 lognormalA 2.73E+12 0.31 lognormalm 3 0.03 normalSe 31.1 0.3 lognormalξ 0.982 0.035 lognormal
94
dan keandalan khusus pada daerah yang paling kritis. Hasil perhitungan dapat disajikan
pada Tabel 4.32 di bawah ini.
Tabel 4. 32 Perhitungan keandalan system scantling (global)
Σ iterasi Σ sukses Σ gagal Pf K 1000 1000 0 0 1 2000 2000 0 0 1 3000 3000 0 0 1 4000 4000 0 0 1 5000 5000 0 0 1 6000 6000 0 0 1 7000 7000 0 0 1 8000 8000 0 0 1 9000 9000 0 0 1 10000 10000 0 0 1
Grafik 4. 14 Keandalan Sistem Scantling
Pada Grafik 4.14 di atas, keandalan selalu bernilai konstan dari iterasi pertama hingga
iterasi terakhir. Hingga iterasi terakhir dengan jumlah iterasi sebanyak 10000 kali,
keandalan dari sistem scantling (struktur global) tersebut yaitu sebesar 1,0. Begitu juga
dengan keandalan pada daerah kritis seperti pada Tabel 4.33 di bawah.
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
Kean
dalan
Jumlah Iterasi
Keandalan Sistem
95
Tabel 4. 33 Perhitungan keandalan sistem scantling (daerah kritis)
Σ iterasi Σ sukses Σ gagal Pf K 1000 1000 0 0 1 2000 2000 0 0 1 3000 3000 0 0 1 4000 4000 0 0 1 5000 5000 0 0 1 6000 6000 0 0 1 7000 7000 0 0 1 8000 8000 0 0 1 9000 9000 0 0 1 10000 10000 0 0 1
Grafik 4. 15 Keandalan scantling pada daerah kritis
Pada Grafik 4.15 di atas, keandalan pada daerah paling kritis sistem scantling bernilai
konstan dari iterasi pertama hingga iterasi terakhir, yakni sebesar 1,0. Dengan keandalan
sebesar 1,0, maka struktur tersebut memiliki indeks keselamatan sebesar 4,5, sehingga
struktur tersebut bisa dikatakan aman dioperasikan selama umur perancangan.
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
Kean
dalan
Jumlah Iterasi
Keandalan Pada Daerah Kritis
96
(HALAMAN KOSONG)
97
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian pada scantling support structure system gas processing module
FPSO Belanak dengan total massa 2361 ton maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Beban yang berpengaruh pada analisis umur kelelahan scantling support structure
gas processing module FPSO Belanak adalah beban gelombang, beban angin, dan
beban operasional. Kontribusi beban terhadap umur kelelahan scantling support
structure gas processing module FPSO Belanak berturut-turut dari yang terbesar
adalah disebabkan oleh beban gelombang yakni sebesar 85.963% dengan beban
maksimum 84.63MPa, beban operasional module sebesar 14.036% dengan beban
maksimum 34.29MPa, dan beban angin sebesar 0.00047% dengan beban maksimum
0.5MPa
2. Umur kelelahan dari scantling support structures system gas processing module
FPSO Belanak adalah 116.3 tahun atau 3.88 kali umur operasinya dan telah
memenuhi kriteria safety factor yang disyaratkan DnV, yakni sebesar 3,0.
3. Keandalan terhadap beban kelelahan dari scantling support structures system gas
processing module FPSO Belanak berdasarkan perhitungan menggunakan simulasi
Monte Carlo adalah 1.0, yakni baik terjadi pada struktur global maupun area kritis
pada daerah sambungan antara support module dengan bracket. Nilai-nilai tersebut
memperlihatkan bahwa scantling support structures system gas processing module
FPSO Belanak mempunyai keandalan yang tinggi dan akan aman dioperasikan sesuai
dengan umur rancangannya.
98
5.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan pada hasil analisis tugas akhir ini adalah:
1. Daerah yang paling kritis adalah pada sambungan antara kaki module dengan
module support, sehingga pada daerah tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih
dan inspeksi lebih lanjut.
2. Melakukan analisis lebih detail dengan memodelkan struktur topside module secara
keseluruhan agar mendapatkan hasil yang yang lebih akurat.
99
DAFTAR PUSTAKA
Ang, H. S. dan Tang, W. H. 1985. “Probability Concepts in Engineering Planning and
Design.” New York: John Willey.
Barltrop, N.D.P., 1991, “Dynamics Of Fixed Marine Structures”, 3rd Edition.
Butterworth Heinemann.London, UK.
Barltrop, N., dan Okan, B., 2000, “FPSO Bow Damage in steep waves”, Rogue waves
2000 workshop, Brest.
Bhattacharyya, R. 1978. “Dynamic of Marine Vehicles”. John Wiley and Sons Inc., New
York.
Boonstra, H., Gelder, P., dan Shabakhty, N., 2002, “Reliability Analysis of Jack-Up
Platforms Based On Fatigue Degradation”, Proceedings of OMAE’02, Norway.
Chakrabarti, S.K., 1987, “Hydrodynamics of Offshore Structures”, Computational
Mechanics Publications Southampton, Boston, USA.
Dawson, Thomas H., 1983, “Offshore Structural Engineering”, Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Dimarogonas, Andrew D., 1992, “Vibration for Engineers.” Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Djatmiko, E. B., 2003, “Analisis Kelelahan Struktur Bangunan Laut”, Kursus Singkat
Offshore Structure Design And Modelling, Surabaya.
Djatmiko, E.B., dan Sujantoko, 1994, “Investigasi Gelombang Laut Perairan Indonesia
Untuk Kepentingan Strategis Nasional”, Surabaya
DnV Recommended Practice C203, 2008, “Fatigue Design of Offshore Steel Structures”,
Norway.
DnV Recommended Practice C205, 2007, “Environmental Condition and Environmental
Loads”, Norway.
DnV Recommended Practice C206, 2006, “Fatigue Methodology of Offshore Ship”,
Norway
Faltinsen, O. M., 1990, "Sea Loads On Ship and Offshore Structure". Cambridge,
UK:Cambridge University Press.
100
Hasselman, K. et al, 1973, “Measurement of Wind-Wave Growth and Swell Decay during
the Joint North Sea Wave Project (JONSWAP)”, Deutschen Hydrographischen
Zeitscbrift, Erganzunscheft, vol. 13.
Hsu, Teng H., 1984, “Applied Offshore Structural Engineering”, Houston.
James, M. L. et. al., 1993, “Vibration of Mechanical and Sructural System.” Harper
Collins College Publisher, New York.
Jati, Satrio, 2005, “Analisa Umur Kelelahan Struktur Jacket Monotower APN-A Dengan
Menggunakan Kurva S-N Berdasarkan Pendekatan Keandalan”, Tugas Akhir
Jurusan Teknik Kelautan, ITS, Surabaya.
Marine Engine, 2009,”IMO Tier II Programme 2009”. Germany.
Martins, Marcelo R., 2007, “Inertial and Hydrodynamic Inertia Loads on Floating Unit”,
Sao Paulo.
Mouselli, A.H, 1981, “Offshore Pipelines Design Analysis and Methods.” Oklahoma:
PenWell Books.
Naess, A., 1985, “Fatigue Handbook Offshore Steel Structure”, Trondheim.
PT. McDermott, 2010,”Presentasi Seminar OCEANO 2010”,Surabaya.
Rosyid, D.M., 2007, “Pengantar Rekayasa Keandalan”, Airlangga University Press,
Surabaya.
UKOOA, 2002, “FPSO Design Guidance Notes for UKCS Service”. Glasgow.
Veritec, 1985, "Vibration Control in Ship", Norway.
Wahyudi, Y., 2009, “Analisis Fatigue Pada Crane Pedestal Floating Production Storage
and Offloading (FPSO) Belanak”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Kelautan, ITS,
Surabaya.
Wirching, P. H., dan Chen, Y. N., 1988, “Considerations of Probability-Based Fatigue
Design for Marine Structures”, SNAME, One World Trade Center, Suite 1369,
New York.
Woodgroup Buletin, 2009, “Kaji Ulang yang Mendalam Terhadap Pengalaman Wood
Group dengan FPSO.” Woodnews.
www.ict-silat.com/indonesia_map1.JPG, 18 Januari 2010