ANALISIS PENGARUH FAKTOR FUNDAMENTAL PERUSAHAAN
TERHADAP RISIKO SISTEMATIS (BETA) SAHAM PERUSAHAAN
BUMN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
PERIODE 2014-2017
Nafi Kurnia Putri
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
JL. MT. Haryono 165 Malang 65145
Dosen Pembimbing: Putu Prima Wulandari, SE., MSA., Ak.,
ABSTRAKSI
This study aims to obtain empirical evidence about the influence of the firm's fundamental factors on the
systematic risk as reflected by the beta value of shares. The fundamental factors of the company have the proxy
of cyclicality, operating leverage, financial leverage, current ratio, and assets growth, with firm size as the
controlling variable. The population of this study is state-owned companies listed on the Indonesia Stock
Exchange (IDX) in the period from 2014 to 2017. The samples consisted of 13 companies with four years
of observation; thus the total samples are 52. Data analysis was performed with the classical assumptions
and hypothesis testing using linear regression. The results of this study indicated that only the variable of
operating leverage and the controlling variable of firm size affect the stock beta value. Meanwhile, the variables
of cyclicality, financial leverage, current ratio, and assets growth do not have a significant impact on the stock
beta value. The results of this study are expected to be a consideration for investors in making investment
decisions related to stock beta value measurement.
Key words: systematic risk, stock beta, cyclicality, operating leverage, financial
leverage, current ratio, liquidity, assets growth.
1. PENDAHULUAN
Berinvestasi pada instrumen pasar
modal menawarkan keuntungan yang sama
besar dengan tingkat kerugian yang mungkin
akan diperoleh. Tingkat kerugian ini
umumnya dinamakan risiko. Risiko
didefinisikan sebagai perbedaan antara hasil
yang diharapkan (expected return) dan
realisasinya (Zubir, 2011, p. 19). Hasil yang
diharapkan (expected return) di sini merupakan
tingkat pengembalian yang diharapkan akan
diperoleh oleh investor di masa mendatang
(Hartono, 2017, p. 283). Besar kecilnya risiko
antara saham satu dengan yang lainnya pasti
berbeda. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan karakteristik perusahaan dan
perbedaan tingkat respon harga pasar saham
suatu perusahaan terhadap harga pasar
saham secara keseluruhan di pasar modal.
Oleh karena itu, dalam memilih alternatif
investasi saham, unsur risiko merupakan
salah satu aspek penting untuk
dipertimbangkan oleh para investor. Tingkat
risiko yang terkandung pada suatu saham
akan memengaruhi tingkat pendapatan yang
diharapkan dari saham tersebut.
Risiko investasi terdiri dari 2 bagian
yaitu, risiko yang dapat didiversifikasi
atau unique risk dan risiko yang tidak dapat
didiversifikasi atau systematic risk
(Hartono, 2017, p. 356). Risiko yang tidak
dapat didiversifikasi (systematic risk) sering
disebut juga dengan risiko pasar. Risiko jenis
ini memiliki hubungan dengan kondisi pasar
secara umum dan akan memengaruhi semua
perusahaan, karenanya tidak dapat
dihilangkan dengan diversifikasi. Parameter
yang digunakan untuk mengukur risiko
sistematis ini adalah beta. Beta sekuritas
menunjukkan kepekaan tingkat keuntungan
suatu sekuritas terhadap perubahan-
perubahan pasar (Husnan, 2003, p. 163).
Meskipun risiko sistematis merupakan
risiko yang sangat dipengaruhi oleh
karakteristik pasar tetapi risiko ini sangat
sensitif terhadap faktor fundamental
perusahaan (Widyorini, 2003). Hal ini
disebabkan karena data fundamental
perusahaan menjadi acuan bagi investor
dalam mengetahui nilai dari perusahaan.
Data fundamental perusahaan merupakan
cerminan dari kondisi perusahaan, karena
dengan mengetahui aspek fundamental
perusahaan yang meliputi rasio-rasio yang
ada investor dapat menetapkan perusahaan
mana yang akan menjadi tempat berinvestasi.
Beberapa riset terdahulu menyimpulkan
bahwa variabel cyclicality, operating leverage,
financial leverage, pertumbuhan asset (asset
growth), dan likuiditas berpengaruh terhadap
risiko sistematis. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Fransiska dan Maulidia
(2013) yang meneliti variabel cyclicality
terhadap risiko sistematis pada perusahaan
manufaktur dengan hasil yang menunjukkan
bahwa variabel cyclicality berpengaruh positif
terhadap risiko sistematis. Namun penelitian
ini berlawanan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Widyorini
(2003) yang menyatakan tidak ada hubungan
antara variabel cyclicality dengan beta saham.
Penelitian lain yang dilakukan oleh
Gumilar (2016) menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang positif dari variabel
operating leverage dan firm size terhadap beta
saham, sedangkan untuk variabel lain yang
diteliti (cyclicality dan financial leverage) tidak
terdapat pengaruh terhadap beta saham. Hal
yang sama diungkapkan pada penelitian Aji
& Prasetiono (2015), yang juga
menyimpulkan pengaruh positif dari variabel
operating leverage terhadap beta saham. Namun
sedikit berbeda dengan Gumilar (2016), Aji
& Prasetiono (2015) menyatakan variabel
financial leverage berpengaruh positif terhadap
beta saham.
Kemudian penelitian lain yang
dilakukan oleh Dwiarti (2009) serta Aji &
Prasetiono (2015) menyimpulkan hubungan
yang positif antara asset growth dengan beta
saham. Lain halnya dengan penelitian
(Prakosa & Haryanto, 2012) yang
menyimpulkan variabel asset growth tidak
berpengaruh terhadap beta saham. Lalu
terdapat penelitian yang dilakukan oleh
Zhang (2013) yang menyatakan terdapat
hubungan yang negative antara current ratio
terhadap beta saham. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian Dwiarti (2009) yang
menyimpulkan terdapat pengaruh positif
antara current ratio terhadap beta saham.
Risiko sistematis memang tidak bisa
dihindari, namun besarnya dampak yang
dihasilkan pada tiap perusahaan akan
berbeda-beda. Risiko sistematis (beta) yang
menghubungkan perusahaan dengan pasar
modal merupakan sebuah isu yang menarik
untuk diteliti, terutama hubungan antara
faktor keuangan perusahaan dengan risiko
sistematis (beta). Dasar dari hubungan ini
adalah perubahan informasi keuangan
perusahaan yang dipublikasikan dalam
laporan keuangan yang juga akan
memengaruhi perubahan harga saham.
Sehingga penting untuk memeriksa faktor-
faktor penentu risiko sistematis karena
faktor-faktor ini akan memberikan informasi
mengenai risiko yang terkait dengan
investasi, dan memberikan wawasan
mengenai hubungan risiko dan tingkat
pengembalian (return) saham (Zhang, 2013).
Saham perusahaan BUMN dewasa ini
memiliki daya tarik tinggi di mata investor,
bukan hanya investor lokal tetapi juga
investor asing. Hal ini dikarenakan saham
BUMN memiliki performa yang baik.
Ditunjukkan dengan nilai kapitalisasi pasar
beberapa perusahaan BUMN dalam tiga
tahun terakhir yang cukup tinggi mencapai
Rp 1.644 triliun hingga Oktober 2017.
Dengan reputasinya yang terhitung baik
maka sejatinya perusahaan BUMN
diasumsikan memiliki tingkat risiko yang
rendah. Sehingga bisa dibilang berinvestasi di
saham-saham perusahaan BUMN memiliki
jaringan keamanan yang lebih tinggi
dibandingkan perusahaan biasa. Namun dari
total 20 perusahaan BUMN public, 6
perusahaan diantaranya mengalami
penurunan kapitalisasi pasar. Dimana
dengan menurunnya tingkat kapitalisasi
pasar ini juga akan meningkatkan risiko
investasi pada perusahaan BUMN publik.
Sehingga dengan asumsi tingkat risiko
yang rendah tidak begitu saja menjamin
perusahaan BUMN menjadi perusahaan
yang aman sebagai tujuan investasi. Terlihat
dari kapitalisasi pasar beberapa perusahaan
BUMN Publik pada gambar 1.1 yang
performanya tidak terlihat baik, maka
sejatinya tidak semua perusahaan BUMN
Publik memiliki risiko yang rendah. Tetap
akan ada risiko sistematis dari perusahaan
yang tidak bisa dihindari, sehingga penting
untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi risiko sistematis perusahaan
BUMN sebagai pertimbangan untuk
melakukan investasi.
Gambar 1.1
Kapitalisasi Pasar Perusahaan BUMN Publik
Sumber: www.idx.co.id
Berdasarkan fenomena yang terjadi,
peneliti ingin mengetahui pengaruh dari
variabel cyclicality, operating leverage, financial
leverage, pertumbuhan asset (asset growth), dan
likuiditas terhadap risiko sistematis (beta)
saham pada perusahaan BUMN Publik.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
lainnya ada pada variasi variabel yang
digunakan serta populasi perusahaan yang
diteliti, yaitu perusahaan BUMN Publik.
Oleh karena itu, penelitian ini berjudul:
“ANALISIS PENGARUH FAKTOR
FUNDAMENTAL PERUSAHAAN TERHADAP
RISIKO SISTEMATIS (BETA) SAHAM
PERUSAHAAN BUMN YANG TERDAFTAR DI
BEI PERIODE 2014-2017”
2. LANDASAN TEORI
Teori Sinyal (Signaling Theory)
Teori signaling menyatakan bahwa
perusahaan yang berkualitas baik dengan
sengaja akan memberikan sinyal pada pasar,
dengan demikian pasar diharapkan akan
dapat membedakan perusahaan yang
berkualitas baik dan dipersepsikan baik, serta
tidak mudah ditiru oleh perusahaan yang
berkualitas buruk (Suwardjono, 2015).
Teori signaling berkaitan dengan
pentingnya informasi yang disajikan
perusahaan kepada pihak eksternal
perusahaan. Salah satu jenis informasi yang
dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat
menjadi sinyal bagi pihak di luar perusahaan,
terutama bagi pihak investor adalah laporan
tahunan. Dalam laporan tahunan akan
terdapat informasi-informasi keuangan yang
bisa digunakan oleh investor untuk
mengukur risiko investasi serta faktor-faktor
yang mungkin memengaruhi risiko pada
perusahaan-perusahaan yang akan dijadikan
tempat investasi. Dengan mengetahui
informasi tertentu dalam laporan tahunan
yang sekiranya memengaruhi tingkat risiko
perusahaan, maka investor bisa menafsirkan
informasi tersebut sebagai sinyal baik (good
news) atau sinyal buruk (bad news) tergantung
dari perubahan tingkat risiko yang terjadi.
Sehingga dengan begitu investor bisa
mengambil keputusan investasi sebijak
mungkin.
-200000 -100000 0 100000 200000
TLKM
SMBR
KAEF
KRAS
PTBA
Perubahan Kapitalisasi Pasar 20 BUMN di Bursa Efek Indonesia (Rp miliar)*
Dalam hal ini, dengan mengetahui
faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
beta saham perusahaan BUMN, seorang
investor dapat menentukan risiko sistematik
yang terkandung pada saham perusahaan
BUMN berdasarkan perubahan faktor-
faktor yang memengaruhi perubahan beta
saham tersebut. Jika suatu faktor yang
berpengaruh bagi beta saham berubah
hingga menyebabkan beta saham bernilai
tinggi, maka saham tersebut bisa dinilai
sangat berisiko sehingga akan memberikan
sinyal buruk (bad news) bagi investor yang
berniat membeli saham tersebut.
Decision Usefulness Approach
Decision usefulness approach ini
memungkinkan kita untuk menghargai
konsep informasi, yang memungkinkan
pembuat keputusan untuk memperbarui
keyakinan subyektif mereka tentang imbalan
masa depan dari keputusan mereka. Dalam
teori ini, kebergunaan informasi bukan
dilihat dari kelengkapannya dalam
menyajikan informasi tentang perusahaan.
Informasi dianggap berguna jika ia mampu
membantu pengguna dalam mengambil
keputusan (Scott, 2015). Teori ini juga akan
membuat kita memahami konsep risiko
investasi, dan bagaimana risiko dapat
dikendalikan sebagian melalui strategi
diversifikasi portofolio.
Beta
Risiko sistematis tercermin pada nilai
koefsien beta. Beta merupakan suatu
pengukur volatilitas return sekuritas atau
return portfolio terhadap return pasar
(Hartono, 2017, p. 463). Beta saham
merupakan cerminan fundamental dari
perusahaan itu sendiri yang mana ditentukan
dan dipengaruhi oleh pergerakan harian dari
saham tersebut (Prakosa & Haryanto, 2012).
Beta suatu sekuritas dapat diukur
dengan analisis estimasi menggunakan data
historis. Data historis yang digunakan untuk
perhitungan beta saham diantaranya adalah
data pasar (return sekuritas dengan return
pasar), data akuntansi (laba perusahaan
dengan laba indeks pasar), dan data
fundamental (menggunakan variabel-
variabel fundamental). Beta saham dapat
dilihat dari koefisien beta yang diukur dari
slope yang diperoleh dari meregresikan
kelebihan keuntungan suatu saham dengan
kelebihan tingkat keuntungan portofolio
pasar.
Faktor - faktor yang Memengaruhi
Risiko (Beta) Saham
Dalam analisis sekuritas, untuk menilai
potensi keuntungan terdapat dua aliran, yaitu
analisis fundamental dan analisis teknikal.
Analisis fundamental memiliki asumsi bahwa
tiap investor adalah makhluk sosial. Oleh
karena itu, seorang fundamentalis akan
memelajari hubungan antara harga saham
dengan kondisi perusahaan. Argumentasi
dasarnya adalah bahwa nilai saham mewakili
perusahaan, tidak hanya nilai intrinsik tapi
juga harapan akan kemampuan perusahaan
dalam meningkatkan nilai dikemudian hari.
Menurut Sugiyanto (2002) dalam Aji &
Prasetiono (2015), analisis fundamental
menitikberatkan pada analisis rasio
keuangan.
Analisis rasio keuangan bermanfaat bagi
manajemen sebagai pertimbangan dalam hal
perencanaan serta pengevaluasian prestasi
atau kinerja perusahaan bila dibandingkan
dengan rata-rata industri. Bagi para kreditor,
analisis rasio digunakan untuk
memperkirkan potensi risiko yang akan
dihadapi untuk meyakinkan adanya jaminan
keberlangsungan pembayaran bunga dan
pengembalian pokok pinjaman. Analisis
rasio juga bermanfaat bagi para investor
untuk mengevaluasi nilai saham serta bentuk
jaminan atas keamanan dana yang akan
ditanamkan pada perusahaan (Munawir
(2002) dalam Aji & Prasetiono (2015)).
Dalam hubungannya dengan proses
pengambilan keputusan investasi maka
analisis rasio memiliki tujuan untuk menilai
efektivitas dari keputusan yang diambil
perusahaan dalam rangka menjalankan
aktivitas usahanya. Secara umum, penelitian
terdahulu yang telah dilakukan oleh
Parmono (2001), Widyorini (2003), Dwiarti
(2009), Maulidia (2013), Prakosa & Haryanto
(2012), Aji & Prasetiono (2015), dan Gumilar
(2016) menyebutkan faktor-faktor yang
memengaruhi beta saham perusahaan
diantaranya adalah cyclicality, operating leverage,
financial leverage, likuiditas, dan asset growth.
Pengembangan Hipotesis
Teori signaling berkaitan dengan
pentingnya informasi yang disajikan
perusahaan kepada pihak eksternal
perusahaan (calon investor potensial,
pemberi pinjaman, dan kreditur lainnya).
Informasi yang disajikan haruslah informasi
yang bermanfaat bagi pihak eksternal yang
berkepentingan sesuai dengan decision
usefulness approach, karena informasi tersebut
akan digunakan sebagai pertimbangan dalam
pengambilan keputusan dalam kapasitas
mereka sebagai penyedia modal.
Pengaruh Cyclicality terhadap Beta
Saham
Penelitian yang dilakukan oleh Lita
(2006) menyatakan bahwa variabel cyclicality
berpengaruh positif terhadap beta saham.
Hal ini mencerminkan dalam keadaaan
perekenomian tertentu (membaik atau
memburuk), kemampuan perusahaan dalam
meningkatkan penjualan cukup fluktuatif,
sehingga tingkat kepastian perolehan laba
juga menjadi tidak pasti yang menyebabkan
naiknya tingkat risiko yang tercermin pada
nilai beta. Hal ini akan dianggap sinyal yang
buruk (bad news) bagi jenis investor risk averse,
sehingga investor jenis ini akan cenderung
menghindari berinvestasi pada saham
perusahaan. Penelitian tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Maulidia
(2013) dan Fransiska (2012) yang juga
menyatakan bahwa variabel cyclicality
memiliki pengaruh positif pada beta saham.
Dari uraian di atas maka hipotesis pertama
dapat dirumuskan sebagai berikut:
H1: Cyclicality berpengaruh positif
terhadap beta saham perusahaan BUMN
publik yang tercatat di BEI.
Pengaruh Operating leverage terhadap
Beta Saham
Operating leverage mencerminkan
proporsi biaya perusahaan yang merupakan
biaya tetap. Perusahaan dengan biaya tetap
yang relatif tinggi dari biaya totalnya memiliki
tingkat operating leverage yang tinggi. Pada
tingkat DOL yang tinggi, EBIT atau operating
income akan lebih sensitif terhadap perubahan
penjualan. Tingginya sensitifitas operating
income terhadap penjualan akan mengarah
pada beta yang lebih tinggi. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Chiou & Su
(2007), variabel operating leverage berpengaruh
positif terhadap beta saham. Penelitian ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Maulidia (2013), Aji & Prasetiono
(2015), dan Gumilar (2016) yang juga
menyatakan hubungan yang positif antara
operating leverage dengan beta saham. Dari
uraian di atas maka hipotesis kedua dapat
dirumuskan sebagai berikut:
H2: Operating leverage berpengaruh
positif terhadap beta saham perusahaan
BUMN publik yang tercatat di BEI.
Pengaruh Financial leverage terhadap
Beta Saham
Rasio leverage merupakan ukuran yang
digunakan untuk mengukur sejauh apa aktiva
perusahaan dibiayai menggunakan hutang
(Kasmir, 2012). Semakin banyak hutang
perusahaan maka akan semakin besar pula
beban bunga serta angsuran pokok pinjaman
yang harus dibayarkan. Jika perusahaan
kemudian mendapatkan keuntungan yang
lebih rendah dibandingkan dengan biaya
tetapnya, maka akan berdampak pada
semakin kecilnya dividen yang akan diterima
oleh pemegang saham (Parmono, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad,
Ali, Arshad, & Shah (2011) dan Prakosa &
Haryanto (2012) menyatakan bahwa financial
leverage berpengaruh positif terhadap beta
saham sesuai dengan teori. Penelitian
tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Soeroso (2013), Zhang
(2013), Chen (2014), dan Aji & Prasetiono
(2015) yang juga menyatakan hubungan yang
positif antara financial leverage dan beta saham.
Dari uraian di atas maka hipotesis ketiga
dapat dirumuskan sebagai berikut:
H3: Financial leverage berpengaruh positif
terhadap beta saham perusahaan BUMN
publik yang tercatat di BEI.
Pengaruh Likuiditas terhadap Beta
Saham
Likuiditas dapat diartikan sebagai
kemampuan perusahaan untuk membayar
hutang yang segera harus dipenuhi dengan
aktiva lancar. Jadi, semakin mampu
perusahaan itu untuk membayar hutangnya
dengan segera, maka semakin kecil risikonya
untuk menghadapi kebangkrutan. Terkait
dengan pengertian bahwa beta saham
merupakan ukuran risiko, maka semakin
tinggi tingkat likuiditas perusahaan maka
semakin kecil risiko yang akan ditanggung
oleh investor. Berdasarkan uraian diatas,
Current ratio diprediksi akan memiliki
hubungan negatif dengan beta saham.
Dalam penelitiannya, Zhang (2013), Aji
& Prasetiono (2015), dan Sarumaha (2017)
menyatakan bahwa current ratio memiliki
hubungan yang negatif dengan beta saham.
Dari uraian di atas maka hipotesis keempat
dapat dirumuskan sebagai berikut:
H4: Current Ratio berpengaruh negatif
terhadap beta saham perusahaan BUMN
publik yang tercatat di BEI.
Pengaruh Asset Growth terhadap Beta
Saham
Variabel asset growth didefinisikan
sebagai perubahan atau tingkat perubahan
tahunan dari aktiva total. Tingkat
pertumbuhan aktiva dihitung dengan
proporsi perubahan aktiva dari suatu periode
tahunan ke periode tahunan berikutnya
(Beaver, Kettler, & Scholes, 1970). Menurut
Parmono (2001) tingkat pertumbuhan aset
yang cepat menunjukkan bahwa perusahaan
sedang melakukan ekspansi. Apabila
ekspansi ini mengalami kegagalan maka akan
meningkatkan beban perusahaan untuk
menutup pengembalian biaya ekspansi yang
pada akhirnya akan menyebabkan nilai
perusahaan itu menjadi kurang prospektif.
Apabila perusahaan terlihat kurang
prospektif maka para investor risk averse akan
menganggap hal ini sebagai sinyal yang buruk
(Bad signal) sehingga mereka akan
memutuskan untuk menjual sahamnya. Hal
ini menyebabkan perubahan return saham
yang besar yang berakibat pada beta saham
perusahaan yang besar. Asset Growth
diprediksi akan mempunyai hubungan yang
positif dengan beta saham.
Penelitian yang dilakukan oleh Dwiarti
(2009) dan Parmono (2001) menyatakan
hubungan yang positif antara asset growth
dengan beta saham. Penelitian tersebut
selaras dengan penelitian Chandra &
Herawati (2013) dan Chen (2014) yang juga
menyatakan hubungan positif antara asset
growth dengan beta saham. Dari uraian di atas
maka hipotesis kelima dapat dirumuskan
sebagai berikut:
H5: Asset growth berpengaruh positif
terhadap beta saham perusahaan BUMN
publik yang tercatat di BEI.
3. METODE PENELITIAN
Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder berupa laporan
tahunan perusahaan BUMN Publik yang
listing (terdaftar) di Bursa Efek Indonesia
(BEI), serta data historis saham perusahaan
BUMN Publik yang diperoleh dari situs
www.investing.com.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
perusahaan BUMN Publik yang terdaftar di
BEI pada tahun 2014 sampai 2017.
Penentuan sampel dilakukan secara
nonrandom (nonprobability sampling) dengan
menggunakan metode purposive sampling, yaitu
pemilihan sampel yang tidak acak yang
mempunyai kriteria-kriteria tertentu sesuai
yang dikehendaki peneliti (Sekaran, 2006, p.
136). Kriteria-kriteria yang ditetapkan untuk
memilih perusahaan adalah sebagai berikut:
1) Perusahaan BUMN Publik yang
mempublikasikan laporan tahunan (annual
report) dan/atau laporan keuangan auditan
secara konsisten di website BEI dari tahun
2014 sampai 2017. 2) Perusahaan menyajikan
seluruh informasi dengan data yang
diperlukan dalam pengukuran variabel yang
digunakan pada laporan tahunan. 3)
Perusahaan yang menggunakan mata uang
rupiah. 4) Perusahaan menerbitkan laporan
keuangan untuk periode yang berakhir pada
31 Desember.
Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh
sampel sebanyak 13 perusahaan selama
empat tahun, sehingga jumlah total sampel
dalam penelitian ini adalah 52 perusahaan.
Variabel Penelitian
Variabel Dependen
Variabel terikat yang digunakan dalam
penelitian ini, adalah beta saham. Beta saham
dihitung dengan menggunakan Model indeks
tunggal (Single Index Model) yang kemudian
dikoreksi dengan menggunakan metode
Fowler-Rorke. Perhitungan beta saham
dengan model indeks tunggal bisa dilakukan
dengan menggunakan persamaan regresi
yang digunakan untuk mendapatkan
koefisien regresi return saham terhadap
return pasar (Hartono, 2017). Rumus untuk
menghitung beta menggunakan pendekatan
model indeks tunggal adalah sebagai berikut:
𝑅𝑖 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖 ∙ 𝑅𝑚 + 𝑒𝑖
Keterangan:
𝑅𝑖: rate of return saham i
𝛼𝑖: rate of return saham i yang independen
terhadap return pasar
𝛽𝑖: beta, merupakan koefisien yang
mengukur perubahan 𝑅𝑖 akibat dari
perubahan 𝑅𝑚
𝑅𝑚: rate of return dari indeks pasar,
merupakan variabel acak
𝑒𝑖: kesalahan residu, merupakan variabel
acak dengan nilai ekspektasi sama dengan
nol atau E(𝑒𝑖)=0.
Setelah menghitung beta dengan model
indeks tunggal, maka perlu dilakukan koreksi
atas hasil perhitungan beta tersebut dengan
menggunakan metode Fowler-Rorke.
Koreksi penting untuk dilakukan mengingat
bentuk pasar modal di Indonesia merupakan
pasar modal berkembang, dimana masih
sering terjadi perdagangan yang tidak
sinkron. Langkah yang dilakukan untuk
koreksi beta menggunakan metode Fowler-
Rorke untuk satu peridoe mundur (lag) dan
satu periode maju (lead), adalah sebagai
berikut (Hartono, 2017, p. 518):
1. Operasikan persamaan regresi berganda
seperti yang dilakukan pada metode
Dimson sebagai berikut ini:
𝑅𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖−1 ∙ 𝑅𝑚𝑡−1 + 𝛽𝑖0 ∙ 𝑅𝑚𝑡
+ 𝛽𝑖+1 ∙ 𝑅𝑚𝑡+1 + 𝑒𝑖𝑡
2. Operasikan persamaan regresi untuk
mendapatkan korelasi serial return
indeks pasar dengan return indeks pasar
periode sebelumnya sebagai berikut:
𝑅𝑚𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝜌1 ∙ 𝑅𝑚𝑡−1 + 𝑒𝑡
3. Hitung bobot yang digunakan sebesar:
𝑊1 =1 − 𝜌1
1 + 2 ∙ 𝜌1
4. Hitung Beta koreksian sekuritas ke-i
yang merupakan penjumlahan koefisien
regresi berganda dengan bobot.
𝛽𝑖 = 𝑊1 ∙ 𝛽𝑖−1 + 𝛽𝑖0 + 𝑊1 ∙ 𝛽𝑖+1
Pada penelitian ini koreksi beta
dilakukan dengan metode Fowler-Rorke
dengan penambahan satu periode lag dan lead
untuk mendapatkan perhitungan dengan
hasil yang paling mendekati beta pasar, yaitu
beta = 1.
Variabel Independen
Variabel bebas yang digunakan dalam
penelitian ini, adalah cyclicality, operating
leverage, financial leverage, likuiditas, dan asset
growth. Cyclicality dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Husnan (1998) dalam
Widyorini (2003)):
𝐶𝑦𝑐𝑙𝑖𝑐𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 =𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐸𝐵𝐼𝑇 %
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝐺𝐷𝑃 %
Perhitungan operating leverage atau degree
of operating leverage (DOL) dapat dihitung
dengan rumus berikut (Horne &
Wachowicz, 2008):
𝐷𝑂𝐿 =𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐸𝐵𝐼𝑇 %
𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 %
Financial leverage diproksikan dengan
menggunakan debt to equity ratio (DER) yang
diukur menggunakan rumus (Ross,
Westerfield, & Jordan, 2009):
𝐷𝐸𝑅 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠
Likuiditas dihitung dengan
menggunakan rasio lancar (current ratio)
dengan rumus sebagai berikut (Ross,
Westerfield, & Jordan, 2009):
𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐻𝑢𝑡𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
Untuk pengukuran variabel asset
growth rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut:
𝐴𝐺 =𝐴𝑡 − 𝐴𝑡−1
𝐴𝑡−1 × 100%
Keterangan:
AG = Pertumbuhan Asset
𝐴𝑡 = total asset periode t
𝐴𝑡−1 = total asset periode t – 1
Variabel Kontrol
Variabel kontrol yang digunakan dalam
penelitian ini, adalah firm size. Ukuran
perusahaan (firm size) dproksikan dengan
total aktiva yang diubah dalam bentuk
logaritma natural (Ln).
4. HASIL & PEMBAHASAN
Statistik Deskriptif
Dari uji statistik deskriptif terhadap
semua variabel penelitian, diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif
Dari tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa
dari total 52 sampel beta perusahaan BUMN
Publik memiliki rata-rata beta sebesar
1,82757 menunjukkan bahwa perhitungan
beta koreksi kurang lebih sudah mendekati
beta pasar, yaitu beta = 1, sehingga bias yang
dihasilkan kurang lebih telah berkurang.
Namun, hasil ini berbeda dengan asumsi
bahwa perusahaan BUMN memiliki tingkat
risiko yang rendah. Tercermin dari nilai rata-
rata beta yang lebih dari 1 yang berarti bahwa
rata-rata saham perusahaan termasuk saham
yang agresif, artinya tingkat kepekaan saham
tersebut lebih besar dari tingkat risiko rata-
rata pasar (Hartono, 2017).
Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan pengujian regresi
berganda, dalam penelitian ini terlebih
dahulu dilakukan uji asumsi klasik yang
terdiri dari uji multikolonieritas, uji
heteroskedastisitas, uji normalitas, dan uji
autokorelasi.
Tabel 4.2
Uji Asumsi Klasik
Variabel Multikolinieritas
Heteroskedastisitas
Tolerance VIF
CYC 0,712 1,405 0,488
DOL 0,824 1,214 0,794
DER 0,555 1,803 0,418
CR 0,489 2,045 0,715
AG 0,61 1,639 0,78
LNTA 0,724 1,381 0,767
Uji Autokorelasi Durbin Watson 2,058
Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov Z
0,078
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,2
Dalam pengujian normalitas dengan
total sampel 52 perusahaan diperoleh hasil
data yang tidak normal sehingga dilakukan
penghilangan data outlier. Setelah dilakukan
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
BETA1LL 52 -1,106 15,055 1,82757 2,62783
CYC 52 -30,567 46,155 2,61056 9,93709
DOL 52 -77,31 119,811 1,26247 27,9774
DER 52 0,091 5,374 1,54836 1,22594
CR 52 0,494 12,995 1,88872 1,90163
AG 52 -0,099 1,417 0,25552 0,26628
LNTA 52 27,854 32,922 30,5034 1,2643
Valid N (listwise)
52
penghilangan data outlier diperoleh total
sampel sebesar 42 perusahaan. Tabel 4.2
diatas merupakan hasil uji asumsi klasik
dengan total sampel 42 perusahaan.
Uji Multikolonieritas
Multikolonieritas dapat dilihat dari nilai
tolerance dan variance inflation factor
(VIF). Jika tolerance ≤ 0,10 atau sama
dengan nilai VIF ≥ 10 maka terdapat
multikolonieritas yang tidak dapat di
toleransi dan variabel tersebut harus
dikeluarkan dari model regresi agar hasil
yang diperoleh tidak bias. Berdasarkan tabel
4.2 menunjukkan tidak ada variabel yang
memiliki nilai Tolerance kurang dari 0,10
begitu pula dengan VIF tidak ada yang
diatas 10. Jadi dapat disimpulkan variabel
independen dan variabel kontrol yang
digunkan dalam model regresi dalam
penelitian ini terbebas dari multikolinieritas.
Uji Heteroskesdastisitas
Pengujian heteroskesdastisitas
dilakukan dengan menggunakan Uji Glejser.
Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan
nilai mutlak residual dengan variabel
10 variabel bebasnya. Dasar pengambilan
keputusan jika variabel-variabel independen
memiliki nilai probabilitas atau signifikansi >
0,05. Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa
semua variabel independen maupun variabel
kontrol (CYC, DOL, DER, CR, AG, &
LNTA) memiliki tingkat kepercayaan diatas
5%. Dapat disimpulkan dalam model regresi
tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
Uji Autokorelasi
Pengujian autokorelasi dilakukan
dengan menggunakan Uji Durbin Watson.
Jika nilai Durbin Watson berada di atas nilai
tabel 4-dU atau lebih kecil dari dU
menunjukkan adanya gejala autokorelasi
dalam model regresi. Nilai sebesar 2,058
akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan
menggunakan derajat kepercayaan 5%,
jumlah sampel 42 dan jumlah variabel
independen dan variabel kontrol adalah 6.
Diketahui nilai batas bawah (du) sebesar
1,8451 dan nilai 4 – du adalah 2,1549. Maka
bila dimasukkan kedalam rumus akan
menjadi 1,8451 < 2,058 < 2,1549
dimana nilai du lebih kecil dari nilai dw, dan
nilai dw lebih kecil dari nilai 4 – du. Sehingga
berdasarkan uji Durbin Watson ini bisa
disimpulkan tidak ada autokorelasi positif
maupun negatif atau dapat disimpulkan tidak
terdapat autokorelasi.
Uji Normalitas
Uji normalitas data dapat ditentukan
dengan melihat distribusi residual dari model
regresi. Pengujian normalitas dilakukan
dengan uji Kolmogorov Smirnov. Data yang
normal diperoleh apabila nilai signifikasi
pengujian berada di atas 0,05. Dari tabel 4.2
besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah
0,078 dengan tingkat signifikansi diatas 0,05
yaitu 0,200. Dengan kata lain bahwa KS tidak
signifikan, berarti residual terdistribusi secara
normal, berarti uji KS konsisten dengan
grafik histogram dan grafik normal
probability plot.
Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis pada penelitian ini
menggunakan model regresi berganda
(multiple regressions).
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien Determinasi (R2) pada intinya
mengukur seberapa jauh kemampuan model
dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Berdasarkan tabel dibawah ini
bisa dilihat bahwa besarnya pengaruh
variabel independen terhadap variabel
dependen yang dapat diterangkan oleh
model persamaan ini adalah sebesar 0,260
atau 26% dan sisanya sebesar 74%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
tidak termasuk dalam model regresi dalam
penelitian ini.
Tabel 4.3
Hasil Pengujian Hipotesis
Variabel Koefisien Regresi Statistik t Sig.
Konstanta 28,334 3,293 0,002
CYC 0,013 0,236 0,814
DOL -0,127 -2,208 0,034
DER 0,021 0,073 0,942
CR -0,382 -0,623 0,538
AG 0,697 0,461 0,648
LNTA -0,856 -3,298 0,002
R 0,607
R2 0,368
Adjusted R2 0,26
F 3,404
Sig 0,009
Uji Signifikan Simultan (Uji Statistik F)
Penelitian ini menggunakan tabel
ANOVA atau F test, dari tabel 4.3 diperoleh
nilai F hitung sebesar 3,404 dengan
probabilitas 0,009. Oleh karena probabilitas
lebih kecil daripada 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa koefisien regresi untuk
variabel CYC, DOL, DER, CR, AG, &
LNTA tidak sama dengan nol, atau keenam
variabel independen secara simultan
berpengaruh terhadap beta saham
perusahaan BUMN Publik.
Uji Signifikan Parsial (Uji Statistik t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukan
seberapa jauh pengaruh satu variabel
penjelas atau independen secara individual
dalam menerangkan variasi variabel
dependen (Ghozali, 2011). Pengujian
dilakukan dengan menggunakan significance
level 0,05 (α = 5%). Hipotesis diterima
apabila nilai probabilitas lebih kecil dari 5%.
Berikut penjelasan atas hasil uji statistik t
dalam penelitian ini:
Dari Tabel 4.3 dapat ditulis persamaan
regresi linear sebagai berikut:
𝑌 = 28,334 − 0,127𝑋2 − 0,856𝑋6 + 𝑒
Keterangan:
Y = Beta saham BUMN Publik
X2 = Operating leverage (DOL)
X6 = Firm Size (LNTA)
Nilai konstanta dari persamaan regresi
ini adalah positif. Hal ini menunjukkan
bahwa variabel dependen Y bernilai konstan
jika variabel lainnya, Xi bernilai nol.
Sedangkan nilai konstanta sebesar 28,334,
menunjukkan bahwa apabila variabel
independen diabaikan atau tidak ada, maka
beta saham akan bernilai sebesar 28,334.
Pengaruh Cyclicality terhadap Beta
Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa
cyclicality berpengaruh positif terhadap beta
saham perusahaan BUMN Publik adalah
ditolak. Hasil penelitian ini tidak konsisten
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fransiska (2012) dan Maulidia (2013) yang
menunjukkan bahwa variabel cyclicality
menunjukkan hubungan positif terhadap
beta saham. Sedangkan penelitian ini
konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Widyorini (2003) dan Gumilar (2016)
yang menyatakan bahwa cyclicality tidak
berpengaruh terhadap nilai beta saham.
Tidak adanya hubungan antara variabel
cyclicality dengan beta saham perusahaan
BUMN Publik mengandung arti bahwa
kondisi perekonomian suatu negara tidak
terlalu berpengaruh pada tingkat penjualan
dari perusahaan. Mayoritas perusahaan
BUMN Publik tetap bisa menstabilkan
tingkat penjualan dan menghasilkan
keuntungan baik dalam kondisi
perekonomian yang membaik ataupun
menurun. Hal ini mencerminkan stabilitas
pada perusahaan yang kemudian bisa
menjadi sinyal baik (good news) bagi calon
investor, sehingga investor akan berminat
untuk berinvestasi pada perusahaan.
Pengaruh Operating Leverage terhadap
Beta Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa
operating leverage berpengaruh positif terhadap
beta saham perusahaan BUMN Publik
adalah ditolak. Hasil penelitian ini tidak
konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Gumilar (2016), Chiou & Su (2007), dan
Aji & Prasetiono (2015) yang menyatakan
bahwa operating leverage berpengaruh positif
terhadap nilai beta saham. Sedangkan
penelitian ini konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh Prakosa & Haryanto
(2012) yang menunjukkan bahwa variabel
operating leverage menunjukkan hubungan
negatif terhadap beta saham.
Dari hasil pengujian hipotesis
ditemukan hubungan yang negatif antara
DOL dengan beta saham. Dimana semakin
tinggi DOL justru menyebabkan semakin
kecil nilai beta saham yang dimiliki oleh
perusahaan BUMN Publik. Hal ini
menunjukkan bahwa pengelolaan
manajemen mayoritas perusahaan BUMN
Publik terhadap beban tetapnya telah cukup
baik, dimana tingginya nilai DOL pada
perusahaan BUMN Publik juga diikuti oleh
peningkatan EBIT, sehingga tingginya nilai
DOL tidak dianggap sinyal buruk (bad news)
bagi investor dan menurunkan risiko
sistematis dari perusahaan. Dengan naiknya
tingkat DOL disertai dengan EBIT
perusahaan, menjadikan investor tetap
berminat untuk berinvestasi pada
perusahaan BUMN Publik.
Pengaruh Financial Leverage terhadap
Beta Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa
financial leverage berpengaruh positif terhadap
beta saham perusahaan BUMN Publik
adalah ditolak. Hasil penelitian ini tidak
konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ahmad, Ali, Arshad, & Shah (2011),
Prakosa & Haryanto (2012) Soeroso (2013),
Zhang (2013), Chen (2014), dan Aji &
Prasetiono (2015) yang menyatakan bahwa
financial leverage berpengaruh positif terhadap
nilai beta saham. Sedangkan penelitian ini
konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Gumilar (2016) yang menunjukkan
bahwa variabel financial leverage tidak
berpengaruh terhadap beta saham.
Tidak adanya pengaruh variabel financial
leverage terhadap beta saham menunjukkan
bahwa besar kecilnya aktiva yang dibiayai
melalui hutang oleh perusahaan tidak
menghalangi investor untuk tetap
berinvestasi pada perusahaan BUMN Publik.
Kemungkinan investor melihat kenaikan
jumlah aktiva yang diiringi dengan hutang
mengisyaratkan peusahaan sedang
berkembang dan akan tetap beroperasi
dalam waktu yang lama sehingga investor
menganggapnya prospek yang baik (good
news). Proses bisnis akan terus berjalan
karena pemerintah akan terus menjalankan
pembangunan infrastruktur yang pastinya
akan melibatkan peusahaan BUMN.
Sehingga akan selalu ada pemasukan bagi
perusahaan BUMN untuk membayarkan
hutang atas aktiva yang dibiayainya.
Pengaruh Likuiditas terhadap Beta
Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa
likuiditas (current ratio) berpengaruh negatif
terhadap beta saham perusahaan BUMN
Publik adalah ditolak. Hasil penelitian ini
tidak konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Zhang (2013), Aji &
Prasetiono (2015), dan Sarumaha (2017)
yang menyatakan hubungan negatif antara
current ratio dengan beta saham. Sedangkan
penelitian ini konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh Yuliusman (2014) dan
Fransiska (2012) yang menunjukkan bahwa
variabel current ratio tidak berpengaruh
terhadap beta saham.
Tidak adanya pengaruh variabel current
ratio terhadap beta saham menunjukkan
bahwa seberapa cepat perusahaan
mencairkan assetnya tidak menjadi masalah
investor untuk tetap berinvestasi pada
perusahaan BUMN Publik. Hal ini bisa jadi
disebabkan oleh stigma yang dimiliki oleh
perusahaan BUMN itu sendiri dimana
kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa
perusahaan BUMN tidak akan bangkrut
karena memiliki penyokong yang kuat yaitu
pemerintah. Sehingga serendah apapun rasio
likuiditas perusahaan, kemungkinan
masyarakat tetap berasumsi bahwa akan
selalu ada pemasukan bagi perusahaan
BUMN untuk mendukung keberlangsungan
hidupnya dari proyek-proyek infrastruktur
yang dicanangkan oleh pemerintah.
Pengaruh Asset Growth terhadap Beta
Saham
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
hipotesis pertama yang menyatakan bahwa
asset growth berpengaruh positif terhadap beta
saham perusahaan BUMN Publik adalah
ditolak. Hasil penelitian ini tidak konsisten
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dwiarti (2009), Parmono (2001), Chandra &
Herawati (2013) dan Chen (2014) yang
menyatakan hubungan positif antara asset
growth dengan beta saham. Sedangkan
penelitian ini konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh Prakosa & Haryanto
(2012) yang menyatakan tidak ada pengaruh
antara asset growth dengan beta saham.
Tidak adanya hubungan antara Variabel
asset growth terhadap beta saham
mencerminkan bahwa tinggi rendahnya
presentase perubahan perkembangan aset
dari suatu periode ke periode berikutnya
tidak terlau dihiraukan oleh investor dalam
menentukan keputusan berinvestasi.
Sehingga kemungkinan bila terjadi
pertumbuhan asset yang naik pesat maka
akan dianggap sinyal yang baik (good news)
oleh investor sebagai jaminan bahwa
perusahaan masih akan beroperasi dalam
jangka waktu yang panjang. Sehingga
investor tidak ragu-ragu untuk berinvestasi.
Pengaruh Firm Size terhadap Beta
Saham
Variabel firm size merupakan variabel
yang cukup konsisten hasilnya. Berdasarkan
hasil analisis regresi firm size mempunya
pengaruh positif terhadap beta saham. Hasil
ini tidak konsisten dengan penelitian Prakosa
& Haryanto (2012) dan Andayani, Moeljadi,
& Susanto (2010) yang masing-masing
menyatakan firm size berpengaruh negative
dan tidak berpengaruh terhadap beta saham.
Sedangkan penelitian ini konsisten dengan
penelitian Al-Qaisi (2011) dengan hasil firm
size berpengaruh positif terhadap beta
saham.
Perusahaan besar pada umumnya
menjadi sorotan banyak pihak, baik dari
masyarakat secara umum maupun
pemerintah, perusahaan dengan ukuran
relative besar lebih diawasi oleh lembaga-
lembaga pemerintah, sehingga mereka
berupaya menjadi lebih baik untuk
meminimalisir tekanan-tekanan dari berbagai
pihak. Perusahaan yang lebih besar
cenderung memiliki sumber permodalan
yang lebih terdiversifikasi sehingga semakin
kecil kemungkinan untuk bangkrut dan lebih
mampu memenuhi kewajibannya, sehingga
perusahaan besar cenderung mempunyai
hutang yang lebih besar daripada perusahaan
kecil. Namun pada tingkatan tertentu,
hutang yang besar juga bisa jadi merupakan
sinyal yang buruk (bad news) bagi investor,
karena dianggap menaikkan risiko gagal
bayar. Terutama bila kenaikan hutang tidak
diimbangi dengan kenaikan tingkat
keuntungan perusahaan.
5. KESIMPULAN & SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang sudah
dilakukan dalam bab sebelumnya maka, hasil
yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1) Rata-rata beta saham pada perusahaan
sampel di Indonesia cukup tinggi yaitu
sebesar 1,82757, hal ini menunjukkan
bahwa perusahaan sampel dalam
penelitian ini memiliki tingkat risiko
sistematis yang cukup tinggi.
2) Terdapat dua variabel, yaitu DOL dan
LNTA yang berpengaruh terhadap
variabel dependen yaitu beta saham
perusahaan BUMN Publik dengan nilai
probabilitas masing-masing sebesar
0,034 dan 0,002. Sedangkan variabel
CYC, DER, CR, dan AG tidak memiliki
pengaruh terhadap beta saham
perusahaan BUMN publik. Hal ini
dibuktikan dengan tingkat signifikansi
untuk variabel independen lainnya yang
nilainya melebihi 0,05.
Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan hasil analisis yang sudah
dilakukan dalam bab sebelumnya maka,
keterbatasan yang dialami oleh peneliti
adalah sebagai berikut:
1) Jumlah sampel yang relative terbatas
yaitu total 52 sampel pada tahun 2014
hingga 2017 dari 20 perusahaan BUMN
Publik yang terdaftar di BEI, karena
terdapat beberapa kesulitan dalam
pengambilan data laporan tahunan yang
diterbitkan.
2) Nilai R2 yang cukup kecil (0.260), hal ini
berarti hanya 26% kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variabel
dependen. Untuk penelitian selanjutnya
disarankan untuk mengambil atau
menambah variabel lain untuk dapat
meningkatkan nilai R2.
Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah
dilakukan dan keterbatasan di atas maka
saran yang dapat disampaikan oleh peneliti
adalah:
1. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya
menambahkan variabel fundamental
maupun variabel makro yang lain seperti
variabel net profit margin dan
pengumuman kebijakan pemerintah
agar bisa menemukan variabel yang
berpengaruh terhadap risiko sistematis.
Sebaiknya peneliti selanjutnya juga
harus memperhatikan periode
penelitian yang dikhawatirkan dapat
memengaruhi hasil penelitian serta
situasi ekstrim seperti krisis ekonomi
yang melanda Indonesia.
2. Untuk peneliti selanjutnya pengambilan
sampel diharapkan dapat lebih banyak,
sehingga didapatkan hasil dimana semua
variabel yang terkait dapat perpengaruh
terhadap beta saham perusahaan.
Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa
menjadi pertimbangan bagi investor dalam
pengambilan keputusan investasinya terkait
pengukuran beta saham.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F., Ali, M., Arshad, M. U., & Shah, S. Z.
(2011). Corporate tax rate as a
determinant of systematic risk:
Evidence from Pakistani Cement
Sector. African Journal of Business
Management, 5(33), 12762-12767.
Aji, R. S., & Prasetiono. (2015). Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Risiko
Sistematis (Beta) Saham pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode
2009-2014. Diponegoro Journal of
Management, 1-15.
Al-Qaisi, K. M. (2011). The Economic
Determinants of Systematic Risk in the
Jordanian Capital Market. International
Journal of Business and Social Science, 85-95.
Andayani, N. S., Moeljadi, P. S., & Susanto, M.
H. (2010). Pengaruh Variabel Internal
dan Eksternal Perusahaan Terhadap
Risiko Sistematis Saham Pada Kondisi
Pasar yang Berbeda (Studi pada saham-
saham ILQ 45 di Bursa Efek Jakarta).
Wacana, 13(2), 244-259. doi:ISSN. 1411-
0199
Beaver, W., Kettler, P., & Scholes, M. (1970).
The Association between Market
Determined and Accounting
Determined Risk Measures. The
Accounting Review, 654-682.
Chandra, Y. A., & Herawati, J. (2013). Analisis
Variabel yang Mempengaruhi Beta
Saham (Studi Pada Perusahaan Yang
Terdaftar Di Jakarta Islamic Index
Bursa Efek Indonesia). Jurnal Ilmiah
Mahasiswa (JIM) FEB UB, 1(2).
Chen, M. (2014). ANALISIS PENGARUH
PEREKONOMIAN MAKRO DAN
MIKRO YANG BERPENGARUH
PADA RISIKO SISTEMATIS
SAHAM. Jurnal Nominal, 3(2), 75-100.
Chiou, C. C., & Su, R. K. (2007). On the relation
of systematic risk and accounting
variables. Managerial Finance, 33 (8), 517-
533. doi:
https://doi.org/10.1108/03074350710
760278
Dwiarti, R. (2009). Analisa Faktor-Faktor
Keuangan Terhadap Risiko Sistematis
Di Bursa Efek Jakarta. Ekobis, 10, 354-
364.
Fransiska, U. W. (2012). Analisis Pengaruh
Karakteristik Perusahaan Terhadap
Return dan Beta Saham Syariah (Studi
pada Perusahaan yang Terdaftar di
Jakarta Islamic Index Tahun 2006-
2010). Skripsi. Malang, Indonesia:
Universitas Brawijaya.
Gumilar, D. (2016). Beta: Tinjauan atas
Operating Leverage, Financial Leverage,
Firm Size, dan Cyclicality (Studi Kasus
pada Perusahaan yang Go Publik di
Bursa Efek Indonesia). Jurnal Indonesia
Membangun.
Hardiyan, Y. (2017, 10 23). 3 TAHUN JOKOWI-
JK: Kapitalisasi Pasar 20 BUMN
Meningkat Rp330 Triliun. Diambil
kembali dari Market:
http://market.bisnis.com/read/201710
23/192/702037/3-tahun-jokowi-jk-
kapitalisasi-pasar-20-bumn-meningkat-
rp330-triliun
Hartono, J. (2017). Teori Portofolio dan Analisis
Investasi (11 ed.). Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Horne, J. C., & Wachowicz, J. M. (2008).
Fundamentals of Financial Management (13
ed.). New York: Prentice Hall.
Husnan, S. (2001). Dasar-dasar Teori Portofolio &
Analisis Sekuritas. Yogyakarta: UPP
AMP YKPN.
Kasmir. (2012). Analisis Laporan Keuangan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lita, E. (2006). Pengaruh Leverage dan
Cyclicality Terhadap Beta Saham LQ-
45. Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.
Maulidia, A. S. (2013). Pengaruh Operating
Leverage, Financial Leverage, dan
Cyclicality Terhadap Beta Saham pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar
di BEI Tahun 2010 dan 2011. Skripsi.
Jakarta, Indonesia: Universitas Bina
Nusantara.
Parmono, A. (2001). Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Risiko Sistematis (Beta)
Saham Perusahaan Industri Manufaktur
Periode 1994-2000 di Bursa Efek
Jakarta. Thesis. Semarang, Indonesia:
Universitas Diponegoro.
Prakosa, A. B., & Haryanto, M. (2012). Analisis
Faktor-Faktor yang Berpengaruh
Terhadap Beta Saham Perusahaan
(Studi Empiris pada Perusahaan yang
Tercatat dalam Indeks Kompas100 di
Bursa Efek Indonesia 2007-2010).
Diponegoro Journal of Management.
Ross, S. A., Westerfield, R. W., & Jordan, B. D.
(2009). Pengantar Keuangan Perusahaan
(Corporate Finance Fundamentals). Jakarta:
SALEMBA EMPAT.
Sarumaha, A. (2017). Analisis Pengaruh Makro
Ekonomi dan Faktor Fundamental
Perusahaan terhadap Beta Saham pada
Industri Pertambangan yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Ilmiah
WIDYA Ekonomika, 1(2), 104-110.
Scott, W. R. (2015). Financial Accounting Theory (7
ed.). Toronto, Ontario, Canada: Pearson
Canada Inc.
Sekaran, U. (2006). Research Methods For Business;
Metodologi Penelitian untuk Bisnis (4 ed.,
Vol. 2). Jakarta: Salemba Empat.
Soeroso, A. (2013). Faktor Fundamental
(Current Ratio, Total Debt to Equity
Ratio, Total Asset Turnover, Return on
Investment) Terhadap Risiko Sistematis
Pada Industri Food and Beverage di
Bursa Efek Indonesia. Jurnal EMBA,
1(4), 1687-1696. doi:ISSN 2303-1174
Suwardjono. (2015). Teori Akuntansi: Perekayasaan
Pelaporan Keuangan (3 ed.). Yogyakarta:
BPFE.
Widyorini, S. (2003). Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Resiko Sistematik
Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan
Manufaktur Go Public di BEJ). Thesis.
Semarang, Indonesia: Universitas
Diponegoro.
Yuliusman. (2014). Pengaruh Tingkat Suku
Bunga dan rasio Likuiditas terhadap
Beta Saham (Survei terhadap Industri
Otomotif dan Komponennya yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Periode 2006-2010). Jurnal Cakrawala
Akuntansi, 6(2), 174-193. doi:ISSN
1979-4851
Zhang, M. (2013). The Relationship between
Financial Factors and Systematic Risk: