Date post: | 01-Mar-2018 |
Category: |
Documents |
Upload: | truonghuong |
View: | 212 times |
Download: | 0 times |
ANALISIS PERSEPSI AKUNTAN YAG BERBEDA TERHADAP KODE
ETIK DARI ASOSIASI AKUNTAN INDONESIA (STUDI
TERHADAP PENGALAMAN KERJA)
SKRIPSI
Oleh:
FADHILAH.
F 0399011
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2003
An Analysis of Accountants’ Different Perception on Ethic Code of The
Accountants Associates of Indonesia (a Study on Work Experience).
ABSTRACT
FADHILAH.
F 0399011
This research is conducted to find out how the perception of public accountants and accounting students about ethic code of the accountants associate of Indonesia based on their own work experience and to examine whether there is different perception between those two sample. In this research, public accountants represent experienced accountants and accounting students represent inexperienced accountants.
The populations of the research are accountants who work in Public Accountant Office (KAP) and accounting students in private and public university located in Central Java. The sample of the research are accountants who have worked at least two years or work as accountant staff and accounting students who have learnt Auditing I and who want to work on KAP. The research uses purposive sampling method to collect sample. Data are collected by survey using questionnaires. There are 64 accountants and 95 students who are willing to be participants and collect the questionnaires. From the questionnaires collected, there are 53 questionnaires from accountants and 71 questionnaires from students that are analyzed. Validity test uses product moment correlation, while reliability test uses cronbach alpha technique. The next step is normality assumption test using kolmogorov-smirnov technique. Homogenity test uses levene test for equality variance technique. Independent sample t-test is used to test hypothesis. Additional analysis uses proportion test.
The result of analysis using independent sample t-test and proportion test shows that both of public accountants as experienced accountants and accounting students as inexperienced accountants have similar perception on ethic code of the accountants associate of Indonesia. Independent sample t-test shows empiric evidence supports the hypothesis that states there is a significant difference between the perception of experience accountants and inexperienced accountants. The analysis shows significance at 0.000 that is under definite level of significance at 0.05.
By using ratio of mean value, it can be shown that experienced accountants have better perception on ethic code than inexperienced accountants. This statement can be seen from mean value of public accountants are bigger (74.2075) than mean value of accounting students (69.9577).Key word: work experience, perception, and ethic code of the accountants associate of Indonesia.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika profesi menjadi topik pembicaraan yang sangat penting dalam
masyarakat sekarang ini. Terjadinya krisis multidimensi di Indonesia
menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku etis karena selama ini
perilaku etis selalu diabaikan. Etika menjadi kebutuhan penting bagi semua
profesi yang ada agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari
hukum.
Sebagai anggota dari suatu profesi, akuntan juga mempunyai
tanggung jawab untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada
organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri
mereka sendiri. Akuntan mempunyai tanggung jawab untuk kompeten dan
menjaga integritas dan obyektifitas mereka. Kewajiban untuk menjaga standar
perilaku etis berhubungan dengan adanya tuntutan masyarakat terhadap peran
profesi akuntan, khususnya atas kinerja akuntan publik. Masyarakat yang
merupakan pengguna jasa profesi membutuhkan seorang akuntan yang
profesional. Label profesional disini mengisyaratkan suatu kebanggaan,
komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan yang
tulus membantu permasalahan yang dihadapi klien sehingga profesi tersebut
dapat menjadi kepercayaan masyarakat.
Di bawah naungan profesi, akuntan memposisikan diri sebagai penjual
jasa, oleh karena itu akuntan diwajibkan mempunyai kepedulian yang tinggi,
3
secara teknis menguasai dan mampu melaksanakan standar (kode etik, SAK
dan SPAP) yang dikeluarkan asosiasi profesi. Standar tersebut minimal harus
dipenuhi oleh setiap anggota profesi karena dengan standar tersebut akuntan
dapat menjaga kemampuan teknis dan profesional serta selalu menempatkan
aspek moralitas ditempat yang tertinggi.
Dalam menjual jasanya, seorang akuntan bukan hanya sekedar ahli
tetapi dia harus dapat melaksanakan pekerjaan profesinya dengan hati-hati
atau “due professional care” dan selalu menjunjung tinggi standar yang telah
ditetapkan. Due professional care ini tercermin dalam kode etik IAI (prinsip
pertama) tentang tanggung jawab profesi yaitu dalam melaksanakan tanggung
jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan
pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukan,
kode etik IAI (prinsip ketujuh) mengenai perilaku profesional yaitu setiap
anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik
dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi (Media akuntansi:
2001).
Untuk mendukung profesionalitas seorang akuntan, Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) mengeluarkan suatu standar profesi yang memuat
seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional
yaitu kode etik ikatan akuntan yang berisi tentang norma perilaku dan
mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan
sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Alasan yang mendasari
diperlukannya kode etik sebagai standar perilaku profesional tertinggi pada
4
profesi akuntan adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas
jasa yang diberikan profesi akuntan terlepas dari yang dilakukan perorangan.
Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa profesional akuntan akan
meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan memenuhi
semua kebutuhan.
Namun akhir-akhir ini kepercayaan masyarakat semakin berkurang
terhadap profesi akuntan publik. Krisis kepercayaan yang menimpa akuntan
semakin terlihat jelas. Akuntan dituduh sebagai penyebab terjadinya krisis
ekonomi (Media Akuntansi:1999). Akuntan dianggap telah bertindak
menyimpang dari peraturan yang ada dan tidak berperilaku etis. Hal ini
disebabkan karena semakin meningkatnya persaingan membuat para akuntan
publik bertindak menyimpang dari peraturan, undang-undang dan standar
profesi yang ada.
Walaupun IAI telah berupaya untuk melakukan penegakan etika
profesi bagi akuntan, sikap dan perilaku tidak etis dari para akuntan masih
tetap ada. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang terjadi yang
kesemuanya melibatkan akuntan publik. Sebagai contoh hasil penelitian
BPKP terhadap 82 KAP menunjukkan bahwa selama tahun 1994 sampai
dengan tahun 1997 terdapat 91.8% KAP tidak mematuhi standar profesional
akuntan publik (SPAP), sebesar 82.39% tidak menerapkan sistem
pengendalian mutu, sebesar 9.93% melakukan pelanggaran kode etik dan
selebihnya sebesar 5.26% melanggar peraturan dan perundang-undangan.
(Media akuntansi:1999). Lebih lengkapnya pelanggaran tersebut bisa dilihat
5
dalam tabel I.1, kasus 10 KAP yang dituding ICW melakukan pelanggaran
dalam melakukan audit 37 bank bermasalah untuk tahun buku 1995, 1996 dan
1997, sepuluh akuntan publik diketahui melanggar etika melalui rekayasa
data perusahaan dengan cara menyembunyikan fakta yang berkaitan dengan
informasi publik, kasus ditolaknya laporan keuangan PT Telkom yang diaudit
oleh KAP Eddy Pianto oleh badan otoritas pasar modal Amerika Serikat
(SEC) dan diancam di de-listing dari lantai bursa NYSE dan kasus-kasus yang
terjadi dalam bisnis Amerika Serikat seperti kasus kebangkrutan Enron,
Worldcom, Merck Co&Inc dan Xerox (tabel I.2).
Berdasarkan laporan dewan kehormatan dan pengurus pusat IAI
dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap kode etik dan sengketa secara
umum (Riyanti, 1999) sebagai berikut.
a. Kongres V (1982-1986)
meliputi : publikasi, pelanggaran obyektifitas dan komunikasi
b. Kongres VI (1986-1990)
meliputi : publikasi, pelanggaran obyektifitas dan komunikasi
c. Kongres VII ( 1990-1994)
meliputi : standar teknis, komunikasi dan publikasi
d. Kongres VIII (1994-1998)
meliputi : obyektifitas, komunikasi, standar teknis dan kerahasiaan
6
Tabel I.1
Pelanggaran Etika Kantor Akuntan Publik
NO URAIAN 1994(%) 1995(%) 1996(%) 1997(%) RATA-RATA
(%)1 Tidak mematuhi
Perundang-undangan 21.05 0.00 0.00 0.00 5.262 Tidak mematuhi kode
etik 21.05 12.00 6.67 0.00 9.933 Tidak menerapkan
sistem pengendalian mutu 78.95 88.00 93.33 73.91 91.81
4 Tidak mematuhi standar profesional akuntan publik 100.0 100.0 93.33 73.91 91.81
Sumber :BPKP (Media Akuntansi:1999)
Tabel I.2
Indikasi Pelanggaran Bisnis AS yang Melibatkan Akuntan Publik
NO PERUSAHAAN INDIKASI PELANGGARAN
1 Enron Corp Diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan
mencatatkan keuntungan 600 juta dollar AS padahal
perusahaan mengalami kerugian.
2 World Com Diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan tidak
mencantumkan pelarian dana sebesar US$3.8 milyar.
Perusahaan ini menyatakan membukukan laba tahun 2001
padahal perusahaan justru menderita kerugian yang cukup
besar
3 Merck Co & Inc Diketahui melakukan mark up pendapatan sebesar US$14.1
milyar selama 3 tahun terakhir.
4 Xerox Diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan mengaku
melakukan kesalahan dalam menerapkan standar akuntansi
sehingga dalam pembukuan perusahaan mencatatkan laba
US$1.4 milyar selama 5 tahun.
Sumber:Media Akuntansi:2002
Berbagai pelanggaran etika tersebut tidak akan terjadi apabila setiap
akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan menerapkan etika
7
secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo dan
Machfoedz, 1999). Pekerjaan seorang profesional harus dikerjakan dengan
sikap profesional pula dengan sepenuhnya melandaskan pada standar moral
dan etika tertentu. Dengan sikap profesionalnya, akuntan akan mampu
menghadapi berbagai tekanan yang dapat muncul dari dalam dirinya sendiri
atau pihak eksternal.
Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka
terhadap persoalan etika diantaranya dipengaruhi oleh pengalaman kerja
(Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999). Pengalaman kerja dipandang sebagai
suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik sehingga
pengalaman kerja dimasukkan sebagai salah satu persyaratan dalam
memperoleh ijin menjadi akuntan (SK Menkeu No.43/KMK.017/1997).
Menurut Longmann (1987:355 dalam Hartoko dkk, 1997), pengalaman
(experience) merupakan perolehan atau bertambahnya pengetahuan
(knowledge) atau keahlian (skill) yang berasal dari praktik dalam suatu
aktifitas atau melakukan sesuatu untuk jangka waktu yang panjang.
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengalaman
kerja telah dilakukan seperti dalam penelitian Butt (1998) yang
mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman membuat
judgement frekuensi relatif yang lebih baik dalam melakukan tugas-tugas
profesional dibanding akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman.
Libby dan Frederick (1990) menemukan bahwa akuntan pemeriksa
berpengalaman memperlihatkan pengetahuan yang lebih lengkap mengenai
8
kekeliruan-kekeliruan laporan keuangan dan menghasilkan jumlah yang
lebih banyak mengenai penjelasan hipotesis yang diteliti. Maryani dan
Ludigdo (2001) menemukan bahwa pengalaman termasuk kedalam faktor-
faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan. Begitu pula
penelitian yang dilakukan oleh Putri Noviyani (2002) terhadap auditor yang
bekerja di KAP se-Jawa menemukan adanya hubungan positif antara
pengalaman maupun pelatihan dengan pengetahuan auditor tentang
kekeliruan. Penelitian serupa tetapi menghasilkan temuan yang berbeda
adalah penelitian yag dilakukan oleh Sri Sularso dan Ainun Naim (1999)
yang mengungkapkan bahwa pengetahuan akuntan pemeriksa tidak berbeda
antara akuntan pemeriksa yang berpengalaman dengan yang tidak
berpengalaman.
Untuk menindaklanjuti penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti
mencoba untuk melakukan penelitian tentang persepsi akuntan terhadap
kode etik ikatan akuntan Indonesia berdasarkan perbedaan pengalaman
kerja yang mereka miliki. Penelitian tentang pengalaman kerja yang
dihubungkan dengan kode etik ikatan akuntan belum pernah dilakukan
sebelumnya, sehingga peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini untuk
mengetahui sejauh mana pemahaman seorang akuntan tentang kode etik
ikatan akuntan Indonesia didasarkan pada pengalaman kerjanya.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan observasi terhadap
persepsi mereka, observasi terhadap persepsi dilakukan dengan alasan
bahwa persepsi merupakan tanggapan langsung seseorang atas sesuatu atau
9
merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca
inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan observasi mengenai
persepsi terhadap kode etik dilakukan karena profesi akuntan merupakan
profesi yang dalam aktifitasnya tidak terpisahkan dengan aktifitas yang
berhubungan dengan etika sehingga seorang akuntan harus memahami
secara mendalam tentang kode etik yang menjadi standar profesinya.
B. Masalah Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana persepsi akuntan yang berpengalaman dan akuntan yang tidak
berpengalaman tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia ?
2. Apakah terdapat perbedaan persepsi antara akuntan yang berpengalaman
dan akuntan yang tidak berpengalaman terhadap kode etik ikatan akuntan
Indonesia ?
C. Batasan Masalah
Penelitian ini bukanlah ditujukan untuk menemukan tingkah laku yang
baik atau buruk, tetapi lebih diutamakan untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman akuntan tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia berdasarkan
pengalaman kerja yang mereka miliki.
Penelitian ini hanya membahas prinsip etika yang ada dalam kode
etik ikatan akuntan Indonesia yang meliputi : (1) prinsip tanggung jawab
profesi, (2) prinsip kepentingan publik, (3) prinsip integritas, (4) prinsip
10
obyektifitas, (5) prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional, (6) prinsip
kerahasiaan, (7) prinsip perilaku profesional, (8) prinsip standar teknis.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi akuntan yang berpengalaman dan
akuntan yang tidak berpengalaman tentang kode etik ikatan akuntan
Indonesia
2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi secara signifikan antara
akuntan yang berpengalaman dan akuntan yang tidak berpengalaman
tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pihak-pihak
berikut.
1. Bagi pimpinan kantor akuntan publik (KAP), sebagai referensi bagi
mereka untuk melakukan suatu usaha perbaikan kinerja profesi akuntan
yang bekerja di KAP-nya khususnya bagi akuntan yunior yang belum
memiliki banyak pengalaman kerja.
2. Bagi akuntan yang bekerja di KAP, untuk mengetahui seberapa jauh kode
etik ikatan akuntan yang diterapkan telah melembaga dalam diri mereka
sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perilakunya dapat
mencerminkan citra profesi yang baik.
11
3. Bagi pemakai jasa profesi, hasil penelitian ini dapat meningkatkan
kepercayaan mereka terhadap profesi akuntan sebagaimana layaknya yang
mereka harapkan.
4. Bagi mahasiswa akuntansi, untuk memahami lebih mendalam mengenai
kode etik ikatan akuntan Indonesia sebagai bekal jika kelak berprofesi
sebagai akuntan.
5. Dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti lain yang berminat dalam
masalah serupa.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mencakup segala konsep yang mendasari penelitian
mengenai definisi pengalaman, persepsi, faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi, etika profesional, akuntan dan organisasi
profesi dan kode etik ikatan akuntan Indonesia.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini memuat penjelasan tentang ruang lingkup penelitian,
populasi, sampel penelitian dan metode pengambilan sampel,
metode pengumpulan data, variabel penelitian dan pengukurannya,
12
instrumen penelitian, dan metode analisis yang digunakan dalam
penelitian.
BAB IV ANALISIS DATA
Baba ini menjelaskan tentang pengolahan data yang dilakukan dan
hasil analisis pengolahan data yang terdiri dari pengujian validitas
dan reliabilitas data, pengujian asumsi dan pengujian hipotesis.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data
penelitian, keterbatasan, dan saran-saran pengembangan bagi
penelitian selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengalaman
a. Pengertian Pengalaman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) pengalaman adalah
barang apa yang telah dirasai (diketahui, dikerjakan, dan sebagainya).
Sedangkan Longmann (1987 dalam Hartoko dkk, 1997) menjelaskan bahwa
pengalaman (experience) adalah perolehan atau bertambahnya pengetahuan
(knowledge) atau keahlian (skill) yang berasal dari praktik dalam suatu
aktifitas atau melakukan sesuatu untuk jangka panjang. Dapat juga dikatakan
bahwa pengalaman adalah sesuatu yang terjadi pada seseorang dan
mempunyai pengaruh pada pikiran dan perasaannya. Menurut Libby (1995
dalam Vera Munoz et al, 2001) pengalaman adalah informasi yang
didapatkan dari suatu bidang tertentu yang kemudian di simpan dalam
ingatan.
Menurut Meixner dan Walker (1988) pengalaman dibagi menjadi dua
yaitu pengalaman situasi (situational experience) yang didefinisikan sebagai
jumlah keseluruhan dari lamanya pengalaman audit yang dilakukan oleh
seorang akuntan, dan pengalaman organisasi (organizational experience)
yaitu lamanya pengalaman seorang staf akuntan dalam melakukan tugasnya
bersama staf-staf akuntan yang lain maupun dengan atasannya.
Menurut Vera Munoz et al (2001) pengalaman terdiri dari pengalaman di
bidang umum (broad domain experience) yaitu pengalaman yang didapat dari
masalah-masalah yang bersifat umum, sebagai contoh pengalaman dalam
bidang akuntansi dan pengalaman di bidang khusus (specialized domain
experience) yaitu pengalaman yang didapat dari area-area khusus, sebagai
contoh pengalaman dalam bidang akuntansi keuangan.
Pengalaman dapat membentuk 3 tipe pengetahuan yang berbeda.
1. Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) adalah pengetahuan
tentang fakta dan definisi, sebagai contoh kas adalah bagian dari aset
lancar, pengetahuan tentang kas ini penting dalam analisis rasio karena
aset lancar adalah elemen dari beberapa rasio yang ada (Bonner dan
Walker, 1994). Dalam auditing, pengetahuan deklaratif didapat melalui
pendidikan formal (Bonner dan Walker, 1994)
2. Struktur pengetahuan (knowledge structure) yang mengatur pengetahuan
faktual dasar dalam prinsip-prinsip dan kategori yang telah ditentukan.
Individu mendapatkan struktur pengetahuan melalui pengalamannya
dalam bidang umum (broad domain) (Vera Munoz et al, 2001)
3. Pengetahuan prosedur (procedural knowledge) terdiri dari aturan-aturan
atau langkah-langkah yang dibutuhkan dalam melakukan tugas-tugas
keahlian. Pengetahuan ini lebih ke proses (Rumelhart dan Norman dalam
Bonner dan Walker, 1994). Dalam auditing, pengetahuan prosedural
didapat sepanjang karir profesional seseorang (Waller dan Felix dalam
Boner dan Walker, 1994).
2. Persepsi
a. Pengertian persepsi
Persepsi menunjukkan bagaimana individu melihat atau menafsirkan
kejadian-kejadian atau obyek-obyek individu yang bertindak atas dasar
persepsi tanpa memperhatikan apakah persepsi tersebut mencerminkan
realitas sebenarnya.
Definisi persepsi menurut para ahli adalah sebagai berikut.
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1997), persepsi adalah tanggapan (penerimaan)
langsung dari sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui
beberapa hal yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap
informasi tentang lingkungan melalui panca indera.
2. Menurut Hollander dalam Wahjoeni (2000), persepsi adalah proses-
proses pemilihan, pengelompokan dan penginterpretasian.
3. Menurut Forgus dan Melamed dalam Wahjoeni (2000), persepsi adalah
proses ekstraksi informasi.
4. Menurut Walgito (1997), persepsi merupakan suatu proses yang didasari
oleh penginderaan yaitu merupakan proses berwujud diterimanya
stimulus oleh indvidu melalui alat reseptornya kemudian stimulus
tersebut diteruskan ke otak dan terjadilah proses psikologis sehingga
individu menyadari apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan sebagainya.
5. Menurut Rahmat dalam Abdurrahman (1999), persepsi adalah
pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Dengan kata lain persepsi adalah pemberian makna terhadap stimulan
indrawi.
6. Menurut Luthans dalam Abdurrahman (1999) menjelaskan persepsi
sebagai proses dalam diri seseorang untuk menyeleksi, mengorganisasi,
dan menginterpretasi input informasi untuk membuat gambaran tentang
dunia.
7. Menurut Gibson (2000), persepsi adalah proses yang dilakukan seseorang
untuk memberikan arti pada lingkungan. Proses ini meliputi
pengorganisasian dan penginterpretasian berbagai stimulan kedalam
pengalaman psikologis.
Proses persepsi menurut Gibson (2000) dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar II.1. The Perceptual Process
Sumber : Gibson, James, L, dkk.2000. Oganizations behavior, structure and process. International edition. New York. Irwin Mc Graw-Hill
Jadi persepsi dapat diartikan sebagai proses kognitif yang dialami oleh
setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya
melalui panca inderanya (melihat, mendengar, mencium, menyentuh dan
Reality in work OutcomesOrganization Response
Behavior
Attitudes f formed
Stimuli (e.g. the organization’s reward system, the style of persuasion, used by supervisor, the work flow)
Observation ofstimuli
Facrtors affecting perception :- Stereotyping- Selectivity- Self-concept- Situation- Needs- Emotion
Evaluation and interpretation of reality
merasakan). Agar individu dapat menyadari dan dapat membuat persepsi, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut.
1. Adanya obyek yang dipersepsikan (fisik).
2. Alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus (fisiologis)
3. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama dalam
mengadakan persepsi (psikologis). (Walgito, 1997).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Persepsi dalam gambar di atas dipengaruhi oleh enam faktor. Keenam
faktor tersebut merupakan hasil penelitian Rensis Likert dalam Gibson
(2000). Keenam faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1. Faktor stereotype
Stereotype merupakan sebuah penyamarataan, penyederhanaan diri dan
pengabdian keyakinan diri tentang karakteristik personal seseorang.
Stereotype merupakan pengabdian keyakinan diri karena seseorang
mencoba untuk memperhatikan segala sesuatu sesuai dengan stereotype
mereka dan tidak memperhatikan yang lain.
2. Faktor persepsi selektif (selective perception)
Faktor ini menjadi penting untuk mengetahui siapa orang yang paling
sering menerima informasi dan data dan mencoba untuk menyeleksi
informasi yang dapat mendukung pendapat mereka.
3. Faktor self-concept
Faktor ini menurut penelitian Likert dalam Gibson (2000) menunjukkan
bahwa :
a. pengetahuan mengenai seseorang atau sesuatu mempermudah kita
untuk melihat yang lain secara akurat,
b. karakteristik yang dimiliki seseorang atau sesuatu dan
pengidentifikasian karakteristik sesuatu yang lain dan,
c. seseorang yang bisa menerima dirinya sendiri lebih bisa melihat sisi
baik dari orang lain.
4. Faktor-faktor situasi (situasional factors)
Faktor situasi dapat dilihat dari dimensi waktu, sikap atasan dalam
bekerja, dan situasi bekerja.
5. Faktor kebutuhan (needs)
Persepsi ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan seseorang
terhadap sesuatu sehingga seseorang akan berusaha mencapai apa yang
ingin mereka capai.
6. Faktor emosi (emotion)
Sebuah emosi yang kuat yang ditunjukkan dengan ketidaksenangan
seseorang terhadap kebijakan organisasi akan membuat seseorang akan
menilai negatif terhadap semua kebijakan dan peraturan organisasi.
3. Etika Profesional
Etika adalah (I) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Ethics can be defined broadly as a set of moral principles or values
(Arrens & Loebbecke, 1997). Ethics deals with question about how people
act towards one another (Boynton dan Kell, 1995).
Etika profesional bagi akuntan publik menurut Wuryan Andayani (2002)
diartikan sebagai perilaku untuk bertanggung jawab terhadap profesinya, diri
sendiri, peraturan, undang-undang yang berlaku dan masyarakat termasuk
para pemakai laporan keuangan.
Menurut Payamta et al (1997) Etika profesional akuntan adalah bagian
dari etika profesi. Jadi etika profesi akuntan pada hakekatnya berkaitan
dengan kewajiban, sikap dan pola perilaku akuntan dengan klien, rekan
seprofesi dan pihak lainnya baik secara perorangan dan langsung maupun
secara bersama dan dalam bentuk kelembagaan.
Etika Profesi disusun karena kebutuhan akan profesi tersebut tentang
kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi,
terlepas dari anggota profesi yang menyerahkan jasa tersebut. Setiap profesi
yang menyerahkan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari
masyarakat yang dilayaninya.
4. Akuntan dan Organisasi Profesi
Profesi berasal dari bahasa Yunani professues yang berarti suatu kegiatan
atau pekerjaan yang dihubungkan dengan sumpah atau janji yang bersifat
religius, sehingga ada ikatan batin bagi seseorang yang memiliki profesi
tersebut untuk tidak melanggar dan memelihara kesucian profesinya.
Dalam perkembangannya, istilah profesi dikaitkan dengan suatu keahlian
tertentu, yaitu sebagai suatu sebutan bagi seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki keahlian khusus yang diperolehnya melalui pendidikan dan
pengalaman kerja yang khusus sehingga mereka dapat memberikan nasihat
atau saran dibidangnya kepada masyarakat umum.
Richard H.Hall dalam artikelnya “Professonalization and
Bureaucratization” yang dikutip dalam media akuntansi edisi September
2002 menyatakan bahwa profesi tersebut berciri sebagai berikut.
1. Pelayanannya bersifat untuk kepentingan publik (service to public).
2. Pengaturan kinerjanya ditentukan dan diawasi sendiri oleh profesi (self
regulation).
3. Menguasai suatu keahlian pada bidang tertentu (dedicated to one’s field).
4. Mandiri dalam pembiayaan pengembangan kinerja profesi (autonomy).
Secara umum, International Federation of Accountants (IFAC) dalam
Handbook 1998 menyatakan karakteristik profesi sebagai berikut.
1. Menguasai suatu keahlian tertentu yang diperolehnya melalui pendidikan
dan pelatihan.
2. Mempunyai kode etik dan standar keahlian/kinerja (professional).
3. Memperoleh pengakuan masyarakat dengan adanya penggunaan gelar
tertentu.
4. Mempunyai organisasi yang mewadahi dan memelihara seluruh
kepentingan profesi tersebut.
Selanjutnya, menurut Keraaf (1995:46-49) terdapat lima kriteria/ciri atau
sifat yang melekat pada profesi. Kelima kriteria tersebut adalah sebagai
berikut ini.
1. Adanya pengetahuan khusus.
Untuk menjalankan tugas dengan baik, seorang akuntan harus memiliki
pengetahuan dan ketrampilan khusus yang umumnya tidak dimiliki oleh
orang kebanyakan lainnya dengan tingkat dan kadar yang tinggi.
Keahlian dan ketrampilan ini dimiliki berkat pendidikan formal tingkat
Sarjana (S1) dan Pendidikan Profesi Lanjutan atau lebih dikenal dengan
Continuing Professional Eductaion (CPE). Pendidikan profesi lanjutan
dalam arti riil dapat dicapai melalui implementasi kode etik atau aturan-
aturan etika organisasi profesi.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang tinggi
Akuntan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada
kaidah dan standar moral yang tinggi. Hal ini dapat terlihat bahwa
akuntan dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada kaidah-kaidah
seperti SPAP dan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sedangkan standar
moral yang tinggi ditandai dengan adanya kode etik ikatan akuntan
sebagai pedoman akuntan dalam berperilaku. Kode etik ini jauh
melampaui tuntutan moralitas minimum bagi masyarakat luas pada
umumnya.
3. Pengabdian kepada masyarakat
Kriteria ini menyiratkan bahwa akuntan-akuntan yang mengemban suatu
profesi meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya.
Hal ini dapat dimaklumi bahwa hanya akuntan yang memiliki
pengetahuan dan keahlian khusus sehingga sudah selayaknya diabdikan
untuk kepentingan masyarakat. Dalam praktik bukan berarti bahwa
akuntan tidak perlu dibayar jasanya, tetapi hal ini terkait dengan sikap
akuntan dalam melakukan tugasnya harus senantiasa mengabdi untuk
kepentingan masyarakat.
4. Biasanya ada izin khusus untuk menjalankan praktik profesi
Untuk menjalankan praktik akuntan publik, akuntan tersebut harus
memperoleh izin dari Departemen Keuangan sesuai dengan SK MeKeu
No.43/KMK.017/1997 tertanggal 27 Januari 1997. Pasal 7 menyebutkan
bahwa untuk memperoleh izin sebagai akuntan publik adalah telah
memiliki pengalaman kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai
akuntan dengan reputasi baik dibidang audit, selain itu juga harus lulus
Ujian Sertifikasi Akuntan Publik.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi
Bagi akuntan di Indonesia, organisasi profesinya adalah IAI. Tujuan dari
organisasi ini terutama untuk menjaga keluhuran profesi akuntan. Tugas
pokoknya adalah menyusun dan mengawasi pelaksanaan standar profesi
termasuk SPAP, SAK dan kode etik ikatan akuntan.
Sementara itu, Greenwood dalam MR Mathews dan MHB Perera yang
dikutip oleh Payamta et al. (1997) mengemukakan bahwa terdapat empat
atribut yang dimiliki oleh setiap profesi, antara lain sebagai berikut ini.
1. Teori yang sistematis
Profesi akuntan mempunyai teori yang sistematis seperti teori akuntansi.
Fungsi teori adalah menjadi petunjuk dasar bekerjanya profesi. Oleh
karena itu profesi akuntan akan berkaitan dengan intelektual dan
pengalaman praktik.
2. Wewenang
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya mempunyai wewenang
yang dapat bersumber dari profesinya dan klien atau pemakai jasanya.
Selain itu, organisasi profesi akuntan (IAI) diberi wewenang untuk
menyusun SAK, SPAP dan kode etik.
3. Sanksi masyarakat
Masyarakat memberi kepercayaan penuh kepada akuntan dalam
menjalankan tugas profesionalnya.
4. Kode etik
Profesi akuntan mempunyai kode etik yang akan menjadi alat untuk
melindungi pemakai jasa profesi akuntan oleh perbuatan akuntan yang
tidak sesuai dengan etika dan moral. Kode etik juga akan menjadi
petunjuk kerja akuntan dalam batas-batas yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan oleh organisasi profesi akuntan.
5. Budaya profesional
Dalam berinteraksi, akuntan mempunyai nilai-nilai sosial dan norma-
norma perilaku. Hal tersebut akan menjadi budaya profesional profesi
akuntan. Tidak menerima pekerjaan yang akan merusak independensi,
integritas dan obyektifitas adalah contoh norma perilaku akuntan.
Untuk mewadahi profesi maka ada suatu organisasi yang menghimpun
seluruh anggota profesi tersebut. Organisasi profesi ini berfungsi melakukan
upaya-upaya untuk memelihara dan menjaga martabat profesi serta
mendorong peningkatan kualitas kinerja para anggota profesi.
Secara umum, fungsi organisasi profesi meliputi.
1. Mengadministrasikan status keanggotaan seluruh anggota profesi.
2. Menentukan standar keahlian dan kinerja bagi anggota profesi.
3. Menetapkan kode etik yang harus dipatuhi seluruh anggota profesi.
4. Memelihara kesinambungan keahlian seluruh anggota profesi, baik
melalui pendidikan (PPL) maupun pelatihan, seminar, diskusi, panel dan
lokakarya.
5. Menjaga martabat profesi dengan mendorong dipatuhinya berbagai
standar keahlian dan kode etik oleh seluruh anggota profesi.
Selanjutnya IFAC dalam paper yang diterbitkan pada bulan April 1998
tentang Guidance on the Formation and Organization of a Profesional
Accounting Body yang dikutip dalam media akuntansi edisi September 2002
menyatakan beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi profesi
akuntan sebagai berikut.
1. Mencari pengakuan masyarakat terhadap kinerja pelayanan akuntan.
2. Melindungi kepentingan masyarakat dengan melakukan upaya
pengawasan (peer review) terhadap kinerja pelayanan akuntan dan
penegakan kode etik profesinya.
3. Meningkatkan pengetahuan, kecakapan dan keahlian anggota profesi.
4. Membuat pengaturan terhadap kinerja praktik bagi akuntan publik.
5. Menjaga kepentingan organisasi dan anggota profesi
6. Melakukan upaya berkesinambungan untuk dapat menjaga independensi
anggota profesi dalam melaksanakan pelayanan profesionalnya.
7. Memajukan pengembangan teori dan praktik akuntansi dalam arti yang
seluas-luasnya.
8. Meyakinkan anggota profesi bahwa mereka akan mendapatkan dukungan
yang memadai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat luas atas jasa
keprofesian dan keahlian yang dimilikinya.
5. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
Kode etik ikatan akuntan merupakan suatu prinsip moral dan pelaksanaan
aturan yang memberi pedoman dalam berhubungan dengan klien, masyarakat,
sesama rekan akuntan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Bagi
akuntan publik sangatlah penting untuk meyakinkan kualitas jasa
profesionalnya baik kepada klien, masyarakat atau pemakai jasa profesi
lainnya. Agar masyarakat percaya bahwa pekerjaan akuntan publik
dikerjakan dengan baik maka profesi akuntan publik perlu meningkatkan
mutu pemeriksaannya dan melaksanakan tugasnya dengan cermat dan
seksama.
Kode etik ikatan akuntan ini diharapkan dapat membantu para akuntan
publik untuk mencapai mutu pemeriksaan pada tingkat yang diharapkan, kode
etik ini juga dapat dijadikan panduan dan aturan terhadap seluruh anggota
baik yang bekerja sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha,
bekerja di instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan
dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya.
Kode etik ikatan akuntan Indonesia pertama kali dirumuskan dan
disahkan pada kongres IAI tahun 1973. Dalam perkembangannya, kode etik
tersebut mengalami beberapa kali perubahan yaitu kongres IAI tahun 1981,
kongres IAI tahun 1986, kongres IAI tahun 1990, kongres IAI tahun 1994,
dan yang terakhir adalah kongres IAI tahun 1998. Kode etik IAI yang berlaku
saat ini adalah kode etik IAI yang disahkan dalam kongres IAI VIII tahun
1998 di Jakarta
Kode etik IAI saat ini terdiri atas tiga bagian seperti berikut ini. (SPAP,
2001).
1. Prinsip Etika
Prinsip etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika yang
mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip
etika disahkan oleh kongres dan berlaku bagi seluruh anggota yang terdiri
dari delapan prinsip berikut ini.
a. Prinsip tanggung jawab profesi.
b. Prinsip kepentingan publik.
c. Prinsip integritas.
d. Prinsip objektivitas.
e. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional.
f. Prinsip kerahasiaan.
g. Prinsip perilaku profesional.
h. Prinsip standar teknis.
2. Aturan Etika Kompartemen
Aturan etika yang mengatur etika pemberian jasa keprofesian pada
bidang kerja tertentu pada kompartemen masing-masing (akuntan publik,
akuntan pendidik dan akuntan manajemen). Aturan etika kompartemen
akuntan publik ada lima yaitu sebagai berikut ini.
a. Aturan Nomor 100 tentang independensi, integritas dan obyektifitas.
b. Aturan Nomor 200 tentang standar umum dan prinsip akuntansi.
c. Aturan Nomor 300 tentang tanggung jawab kepada klien.
d. Aturan Nomor 400 tentang tanggung jawab kepada rekan.
e. Aturan Nomor 500 tentang tanggung jawab dan praktik lain.
3. Interpretasi Aturan Etika
Interpretasi aturan etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh
badan yang dibentuk oleh kompartemen setelah memperhatikan
tanggapan dari anggota dan pihak berkepentingan lainnya sebagai
panduan dalam penerapan aturan etika tanpa dimaksudkan untuk
membatasi lingkup dan penerapannya. (Iskak dalam Widiastuti, 2002).
IAI-PUSAT
IAI-KAP
PENGURUS IAI-KAP
Gambar II.2. Rerangka Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (SPAP,2001)
Tanggung jawab profesiKepentingan umum IntegritasObyektifitasKompetensi dan kehati-hatian profesionalKerahasiaanPerilaku profesionalStandar teknis
PRINSIP ETIKA
ATURAN ETIKA
100Independensi,
Integritas,Obyektifitas
200Standar umum, Prinsip
akuntansi
300Tanggung
jawab kepada klien
400Tanggung
jawab kepada rekan
500Tanggung jawab dan praktik lain
INTERPRETASI ATURAN ETIKA
TANYA DANJAWAB
6. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang etika telah banyak dilakukan, baik di dalam maupun di
luar negeri dengan penekanan yang berbeda-beda. Beberapa hasil penelitian
yang telah dilaksanakan sebelumnya yaitu Desriani (1993), Ludigdo dan
Machfoedz (1999), Sihwahjoeni dan Gudono (2000), Dania (2001),
Wulandari (2002), Ward et al (1993), O’clock dan Okleshen (1993), Glen dan
Van Loo (1993), Douglas E dan Anusorn Singhapakdi (1994), Fisher dan
Rosenzweig (1995) dan Cynthia Jeffrey dan Nancy Weatherholt (1996).
Desriani (1993) meneliti persepsi akuntan publik terhadap kode etik
ikatan akuntan Indonesia. Populasi penelitian ini adalah akuntan publik yang
dikelompokkan ke dalam akuntan publik-pendidik dan akuntan publik-non
pendidik. Sampel yang diambil sebanyak 83 dari jumlah populasi sebesar
482. Responden diberi 35 pertanyaan yang dapat mencerminkan persepsi
mereka terhadap kode etik. Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan uji rerata dan uji F. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
akuntan publik secara signifikan tidak memiliki persepsi yang memadai
terhadap kode etik. Namun dari hasil pengujian item-item kode etik yang
terkait, sebagian item menunjukkan persepsi yang memadai. Terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan antara kelompok akuntan publik-pendidik
dengan kelompok akuntan publik-non pendidik.
Ludigdo dan Machfoedz (1999) menguji persepsi akuntan dan
mahasiswa terhadap etika bisnis. Penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu
tentang persepsi akuntan dan mahasiswa terhadap etika bisnis dan tentang
cakupan muatan etika dalam kurikulum pendidikan tinggi akuntansi.
Penelitian mengenai persepsi terhadap etika bisnis terutama dimaksudkan
untuk mengetahui perbedaan persepsi antara akuntan dan mahasiswa terhadap
etika bisnis. Penelitian tersebut juga diperluas untuk melihat perbedaan
persepsi antara dua kelompok mahasiswa (mahasiswa semester I dan
mahasiswa semester VII ke atas) dan perbedaan di antara tiga kelompok
profesi akuntan (akuntan pendidik, akuntan publik dan akuntan pendidik yang
sekaligus akuntan publik). Berdasarkan hasil analisis atas kecenderungan
mean persepsi etika di antara tiga kelompok akuntan, menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa akuntan pendidik mempunyai persepsi yang paling
rendah terhadap etika bisnis dibandingkan akuntan publik. Selanjutnya dari
hasil penelitian ini dapat pula dideteksi bahwa pendalaman teoritis tentang
etika tidak berpengaruh terhadap baiknya persepsi etika.
Sihwahjoeni dan Gudono (2000) melanjutkan penelitian Desriani (1993)
dengan memperluas obyek penelitian yang meliputi tujuh kelompok akuntan
(akuntan publik, akuntan pendidik, akuntan pendidik sekaligus akuntan
publik, akuntan manajemen, akuntan pendidik sekaligus akuntan manajemen,
akuntan pemerintah dan akuntan pendididik sekaligus akuntan pemerintah).
Hasil uji ANOVA (Analysis of Varians) pada tujuh kelompok akuntan
tersebut menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan di antara tujuh kelompok akuntan tersebut, kemudian melalui
analisis perbandingan mean teoritis dan mean optimis disimpulkan bahwa di
antara kelompok profesi akuntan tersebut memiliki persepsi yang sama
positifnya terhadap kode etik.
Dania (2001) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pendidikan etika profesi akuntan terhadap persepsi mahasiswa
akuntansi tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia. Berdasarkan hasil
pengujian hipotesis menunjukkan adanya perbedaan persepsi yang sangat
signifikan tentang kode etik akuntan antara mahasiswa akuntansi yang belum
pernah dengan yang sudah pernah memperoleh pendidikan etika profesi
akuntan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan etika profesi
akuntan yang tercakup dalam mata kuliah Auditing I berpengaruh terhadap
persepsi mahasiswa akuntansi tentang kode etik ikatan akuntan.
Wulandari (2002) menguji perbedaan persepsi akuntan pendidik dan
mahasiswa akuntansi terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia serta
mengungkap kecukupan muatan etika dalam kurikulum pendidikan tinggi
akuntansi. Hasil penelitian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
persepsi yang signifikan, akuntan pendidik memiliki persepsi yang lebih baik
dibandingkan dengan mahasiswa akuntansi. Hasil lainnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan
pendidik dan akuntan pendidik yang sekaligus praktisi dimana akuntan
pendidik cenderung memiliki persepsi yang lebih baik. Peneliti menemukan
bahwa kurikulum pendidikan akuntansi belum cukup mampu memberikan
bekal etika kepada mahasiswa untuk terjun dalam dunia kerja walaupun
beberapa mata kuliah yang diajarkan telah mencakup muatan etika.
Responden mengusulkan untuk memperluas cakupan muatan etika dalam
kurikulum akuntansi dengan mengintegrasikan ke mata kuliah-mata kuliah
tertentu (46,91%) dan mengintegrasikan ke semua mata kuliah yang diajarkan
(29,01%).
Ward et al. (1993) melakukan penelitian untuk menginvestigasikan
kemampuan Certified Public Accountants (CPAs) mengenali dan
mengevaluasi situasi etis dan tidak etis selain itu juga menguji sikap CPAs
berkaitan dengan pendidikan etika. Untuk studi ini, data dikumpulkan melalui
survei terhadap 733 CPAs yang berpraktek sebagai akuntan publik di
Amerika Serikat (yang dipilih secara random dari 1989 anggota AICPA).
Dari jumlah tersebut, 197 orang bersedia untuk berpartisipasi dengan
mengembalikan kuesionernya. Dari instrumen survai yang dibuat yang terdiri
dari enam vignettes, CPAs diminta mengevaluasi akseptabilitas etis dari
perilaku CPA sebagaimana yang digambarkan dalam vignettes tersebut
dengan menggunakan lima skala likert. Hasil analisis yang menggunakan
kolmogorov smirnov one sample test dan paired t-test cenderung
menunjukkan bahwa dalam derajat tertentu CPAs dapat membedakan
perilaku etis dan tidak etis.
O’Clock dan Okleshen (1993) mencoba menganalisis persepsi dan
perilaku etis mahasiswa bisnis dan teknik di tingkat sarjana dan pasca sarjana
dari tiga universitas di Midwestern. Penelitian mengungkapkan adanya
jebakan perceptual (perceptual trap) atau disparitas diri (self disparity) versus
yang lain (others) untuk seluruh sampel. Selain dalam hal “whistle bowling”
dimana mahasiswa teknik lebih sensitif dibandingkan dengan mahasiswa
bisnis. Kedua kelompok mahasiswa merasa diri mereka menjadi lebih etis
dibandingkan dengan kelompok lainnya dalam keyakinan tindakan.
Glenn dan Van Loo (1993) melakukan penelitian untuk membandingkan
keputusan dan sikap etis antara mahasiswa bisnis dengan praktisi, selain itu
juga menguji tentang sikap dan keputusan etis mahasiswa dan praktisi antar
waktu. Untuk yang pertama, responden meliputi lebih dari 1600 mahasiswa
dari 19 sekolah bisnis di berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Tingkat
respon dari penelitian ini 95% dimana jumlah tersebut terdiri dari 46%
mahasiswa public institute dan 56 % mahasiswa private institute baik di
tingkat under graduate maupun graduate. Instrumen yang digunakan adalah
instrumen yang dikembangkan oleh Baumhart, yang terdiri dari 13
pertanyaan yang berisi tentang informasi masalah dan sikap etis. Untuk
analisis beda antar waktu dilakukan dengan membandingkan berdasarkan
data yang dikumpulkan dan di publikasikan oleh Baumhart (1961), Fulmer
(1967), Brenner dan Molander (1976), dan data yang didapatkan sekarang
dimana kesemua penelitian tersebut menggunakan instrumen yang sama yang
dikembangkan oleh Baumhart.
Douglas E dan Anusorn Singhapakdi (1994) melakukan penelitian
tentang nilai profesional dan persepsi etis dari auditor internal. Penelitian ini
dilakukan dengan metode survei yang dikirimkan ke 1000 anggota Institute of
Internal Auditor (IIA) yang ada di Amerika Serikat untuk menguji seberapa
besar pengaruh kode etik ikatan auditor internal terhadap persepsi etis para
anggotanya. Respon yang diterima setelah dilakukan pengiriman kuesioner
yang kedua sebanyak 493 atau 49,3%. Hasil analisis yang dilakukan dengan
menggunakan teknik regresi menunjukkan: (1) kebanyakan anggota merasa
kode etik ikatan auditor internal membantu dalam memberikan solusi
terhadap permasalahan etis, (2) kode etik ikatan auditor internal secara positif
mempengaruhi persepsi etis anggotanya, (3) kode etik ikatan auditor internal
mempengaruhi persepsi etis responden lebih dari faktor-faktor lain seperti
filosofi etis individu atau lingkungan organisasi.
Fisher dan Rosenzweig (1995) menguji tentang sikap mahasiswa dan
praktisi berkaitan dengan akseptabilitas etis atas manajemen laba (earnings).
Survei dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi di tingkat graduate
(berjumlah 122 responden), mahasiswa MBA (133 responden) dan praktisi
akuntansi (265 responden). Kuesioner yang digunakan diadaptasi dari Bruns
dan Merchant (yang berisi 13 pertanyaan manajemen earnings) untuk
manajer umum, manajer finance, manajer control dan manajer audit, yang
menggambarkan berbagai situasi dalam mana seorang subordinate manager
terlibat dalam manajemen earnings. Hasil analisis yang menggunakan
ANOVA menunjukkan bahwa mahasiswa dan praktisi mempunyai beberapa
sensitivitas etis yang sama untuk praktik manajemen earnings yang
questionable, dengan tingkat sensitivitas yang tidak merata pada
permasalahan yang diajukan.
Cynthia Jeffrey dan Nancy Weatherholt (1996) melakukan penelitian
tentang pengembangan etis dan komitmen profesional terhadap akuntan yang
bekerja di perusahaan swasta dan pemerintah. Sebanyak 187 akuntan
berpartisipasi dalam penelitian ini. 102 akuntan berasal dari 4 kantor akuntan
Big 6 Midwest dan 85 akuntan yang bekerja di 500 perusahaan. Dengan
menggunakan uji Kruskal-Wallis Oneway ANOVA menunjukkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan dalam pengembangan etikal untuk akuntan yang
bekerja di perusahaan swasta maupun pemerintah.
7. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menindaklanjuti penelitian-
penelitian sebelumnya dimana variabel pengalaman kerja digunakan. Dalam
penelitian-penelitian sebelumnya pengalaman kerja dihubungkan dengan
pembuatan judgement frekuensi relatif dalam tugas-tugas profesionalnya
(Butt, 1998), pengalaman kerja dihubungkan dengan pengidentifikasian
kekeliruan, ketelitian, pengetahuan kekeliruan yang tidak lazim dan
penggunaan intuisi (Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999), pengalaman kerja
dihubungkan dengan pemahaman akuntan terhadap frekuensi relatif
peristiwa-peristiwa (Hayes-Roth, Hutchinson, Murphi dan Wright dalam Sri
Sularso dan Ainun Naim, 1999), pengalaman kerja dihubungkan dengan
struktur pengetahuan auditor tentang kekeliruan (Putri Noviyani, 2002), dan
pengalaman kerja dihubungkan dengan etika bisnis (Andy Rahman Yuliman,
2002).
Peneliti mencoba menganalisis apakah ada perbedaan persepsi antara
akuntan yang berpengalaman dan akuntan yang tidak berpengalaman
terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia. Dari dua kelompok sampel yang
telah ditetapkan yaitu mahasiswa akuntansi yang berminat bekerja di kantor
akuntan publik sebagai pengganti subyek akuntan yang tidak berpengalaman
(Davis et al dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999) dan akuntan publik
yang bekerja minimal 2 tahun atau bekerja sebagai staf akuntan sebagai
akuntan berpengalaman (Nelson dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999),
peneliti mengobservasi persepsi mereka tentang kode etik ikatan akuntan
Indonesia. kemudian hasilnya bisa diketahui apakah ada perbedaan persepsi
atau tidak antara akuntan dan mahasiswa dan lebih jauh lagi dapat dibuat
perbandingan persepsi diantara kedua sampel tersebut, apakah akuntan lebih
baik persepsinya dibanding mahasiswa atau sebaliknya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut
8. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang
akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Ho. Tidak ada perbedaan signifikan antara persepsi akuntan berpengalaman
dan akuntan yang tidak berpengalaman mengenai kode etik ikatan
akuntan Indonesia.
Pengalaman Kerja
Belum pernah bekerja
(Mahasiswa Akuntansi)
Bekerja/pernahbekerja
(Akuntan Publik)
Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia
Persepsi akuntan berpengalaman
(akuntan publik)
Persepsi akuntan tdk berpengalaman
(Mahasiswa)
Tidak ada perbedaan persepsi antara akuntan
berpengalaman dan akuntan tdk
berpengalaman
Ada perbedaan persepsiantara akuntan
berpengalaman dan akuntan tdk
berpengalaman
Persepsi akuntan
berpengalaman lebih baik dibanding
akuntan tdk berpengalaman
Persepsi akuntan tdk
berpengalaman lebih baikdibanding akuntan
berpengalaman
Ha. Ada perbedaan signifikan antara persepsi akuntan berpengalaman dan
akuntan yang tidak berpengalaman mengenai kode etik ikatan akuntan
Indonesia.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dikategorikan ke dalam tipe explanatory research
(penelitian penjelasan). Penelitian penjelasan menyoroti hubungan antar
variabel penelitian dan menguji hipotesis yang dirumuskan sebelumnya, oleh
karenanya dinamakan penelitian pengujian hipotesis. Metode yang digunakan
adalah metode penelitian survei. Penelitian survei menurut Singarimbun
(1995:3) adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok.
Unit analisa dalam penelitian survei adalah individu, maka dalam
penelitian ini yang menjadi unit analisa adalah akuntan publik dan mahasiswa
akuntansi secara individu.
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dimana penelitian
dilakukan terhadap keadaan suatu obyek pada satu waktu tertentu. Karena
peneliti tidak dapat mempengaruhi atau mengendalikan variabel yang diteliti,
maka jenis penelitian ini adalah ex post facto (Sekaran, 2000:166).
B. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Sekaran (2000:266) mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan
kelompok orang, kejadian atau hal-hal yang menjadi pusat perhatian yang
ingin diteliti peneliti. Penelitian ini menggunakan dua kelompok responden
yang dijadikan populasi.
1. Populasi akuntan publik yaitu akuntan yang bekerja di kantor akuntan
publik (KAP) di wilayah Jawa Tengah.
2. Populasi mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi negeri dan swasta di
Jawa Tengah.
Sampel adalah subset atau bagian dari populasi. Dengan mempelajari
sampel, peneliti diharapkan dapat mengambil kesimpulan yang dapat
digeneralisasikan kepada keseluruhan populasi yang menjadi pusat penelitian
(Sekaran, 2000). Karena metode pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode purposive (purposive sampling) yaitu metode
pengambilan sampel yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu
(Singarimbun,1995:155) maka peneliti menetapkan kriteria untuk sampel
yang diambil sebagai berikut.
1. Untuk kelompok akuntan publik, akuntan publik yang bekerja di kantor
akuntan publik (KAP) minimal 2 tahun atau bekerja sebagai staf akuntan.
2. Untuk kelompok mahasiswa akuntansi, mahasiswa yang telah mengambil
mata kuliah auditing 1 dan berminat bekerja di kantor akuntan publik.
Peneliti mengacu pada rekomendasi (rule of thumb) yang dikemukakan
oleh Roscoe dalam Sekaran (2000:296) untuk menentukan jumlah sampel
yang akan digunakan yaitu:
1. Jumlah sampel yang tepat atau sesuai untuk penelitian adalah 30<x< 500
2. Jika sampel dibagi kedalam beberapa sub sampel, maka jumlah sampel
minimum adalah 30 untuk setiap kelompok sub sampel.
Berdasarkan ketentuan di atas, dengan mengingat keterbatasan waktu
dan biaya, maka target sampel minimal yang diharapkan dalam analisis
adalah 30 responden untuk masing-masing kelompok responden.
Dalam penelitian ini peneliti tidak menentukan terlebih dahulu jumlah
sampel yang digunakan. Jumlah sampel yang diteliti di dapat dari kuesioner
yang kembali dan telah terseleksi kelengkapannya. Dari sejumlah populasi
yang ada, peneliti mengambil sampel semaksimal mungkin. Oleh karena itu
peneliti membagikan kuesioner sebanyak mungkin kepada responden, hal ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan tidak didapatnya jawaban
dari responden.
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional adalah penentuan construct sehingga menjadi
variabel yang mudah diukur (Indriantoro dan Supomo,1999). Dalam
penelitian ini, peneliti mengoperasionalkan variabel yang digunakan yaitu
pengalaman kerja sebagai variabel independen dan persepsi sebagai variabel
dependen dan bagaimana mengukur variabel tersebut. Berikut ini akan
dikemukakan definisi operasional masing-masing variabel dan teknik
pengukurannya.
1. Variabel Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja adalah perolehan atau bertambahnya pengetahuan
(knowledge) atau keahlian (skill) yang berasal dari praktik dalam suatu
aktifitas atau melakukan sesuatu untuk jangka panjang. Variabel pengalaman
kerja dapat diukur dengan beberapa indikator. Terdapat variasi pengukuran
terhadap variabel pengalaman yang digunakan oleh para peneliti.
Variabel pengalaman akuntan biasa diukur dengan jenjang jabatan,
tahun pengalaman dan gabungan jenjang jabatan dan tahun pengalaman.
Untuk mendapatkan jumlah subyek akuntan pemeriksa berpengalaman yang
cukup, dalam penelitian ini ukuran akuntan pemeriksa yang berpengalaman
diambilkan akuntan pemeriksa minimal yang berpengalaman mengaudit 2
tahun atau bekerja sebagai staf akuntan seperti yang digunakan dalam
penelitian Nelson (1993 dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999).
Sedangkan untuk ukuran akuntan yang tidak berpengalaman diambil
mahasiswa akuntansi yang telah mengambil auditing 1 dan berminat bekerja
di kantor akuntan publik seperti yang dilakukan dalam penelitian Tubbs
(1992 dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999) yang dilanjutkan oleh
penelitian Davis et al (1997 dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999).
Dalam penelitian ini untuk responden akuntan publik, pengalaman kerja dapat
diukur dari lama bekerja, jenjang jabatan dan pelatihan-pelatihan yang pernah
diikuti yang dapat dilihat dalam pertanyaan bagian umum.
2. Variabel Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari
sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal yang
dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang
lingkungan melalui panca indera.
Variabel persepsi diukur dengan mengetahui jawaban responden
terhadap pernyataan-pernyataan tentang kedelapan prinsip dalam kode etik
yang diberikan dalam kuesioner.
a. Prinsip tanggung jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap
akuntan harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan
profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Prinsip ini
dijabarkan dalam pernyataan no 1 dan 2.
b. Prinsip kepentingan publik
Setiap akuntan berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan
menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Prinsip ini dinyatakan
dalam pernyataan no.3
c. Prinsip Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap akuntan
harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas
setinggi mungkin. Prinsip ini dijabarkan dalam pernyataan no. 4 dan 5.
d. Prinsip obyektifitas
Setiap akuntan harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Prinsip ini
tercermin dalam pernyataan no. 6, 7 dan 8.
e. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional
Setiap akuntan harus menjalankan jasa profesionalnya dengan kehati-
hatian, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat
yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja
memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan
perkembangan publik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir. Prinsip
ini dijabarkan dalam pernyataan no 9 dan 10.
f. Prinsip kerahasiaan
Setiap akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada
hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
Prinsip ini dijabarkan dalam pernyataan no 11 dan 12
g. Prinsip perilaku profesional
Setiap akuntan harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi
yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
Prinsip ini tercermin dalam pernyataan no 13 dan 14.
h. Prinsip standar teknis
Setiap akuntan harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan
standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan
tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Prinsip ini
dijabarkan dalam pernyataan no 15, 16, 17, 18 dan 19.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang diadopsi
dari instrumen yang dikembangkan oleh Sihwahjoeni dan Gudono (2000) dan
instrumen dalam penelitian Desriani (2001) yang diambil dan dimodifikasi
dari Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk profesi akuntan secara
umum. Instrumen yang dikembangkan oleh ketiga peneliti sebelumnya telah
diuji validitasnya dan dinyatakan valid sehingga kuesioner hasil modifikasi
ini tidak memerlukan pre-test lagi.
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, kode etik ikatan
akuntan Indonesia (IAI) terdiri dari tiga bagian yaitu : (1) prinsip etika, (2)
aturan etika dan (3) interpretasi aturan etika. Dalam penelitian ini, peneliti
hanya memfokuskan pada prinsip etika yang mengatur profesi akuntan secara
umum dan hanya mengambil pernyataan yang bersifat kasuistik saja karena
peneliti merasa dengan memilih pernyataan-pernyataan itu dapat mengukur
sejauh mana kemampuan mereka dalam memahami kasus yang berhubungan
dengan kode etik sehingga dengan demikian dapat diketahui bagaimana
persepsi mereka.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner campuran yaitu kuesioner
tertutup dan kuesioner terbuka. Daftar kuesioner terbagi dua bagian berikut
ini.
1. Pernyataan Tentang Persepsi
Bagian ini berisi pernyataan-pernyataan mengenai kasus-kasus yang
berhubungan dengan masalah etika yang dimodifikasi dari kode etik ikatan
akuntan Indonesia. Jenis pernyataan yang digunakan adalah pernyataan
tertutup yang memungkinkan responden memilih salah satu jawaban yang
telah disediakan dalam format skala likert dengan skor sebagai berikut.
4 = sangat setuju,
3 = setuju,
2 = tidak setuju,
1 = sangat tidak setuju.
Peneliti menghilangkan alternatif pilihan netral untuk menghilangkan
keragu-raguan karena peneliti menghendaki alternatif pilihan yang pasti
(Sihwahjoeni dan Gudono, 2000).
2. Pertanyaan Umum
Bagian ini berisi pertanyaan-pertanyaan umum tentang identitas
responden yang berbentuk open ended questionaire. Dalam bagian ini
responden diberikan kesempatan mengisi identitasnya yang meliputi nama,
umur, lamanya mereka menjadi seorang akuntan dalam satuan tahun,
kemudian jabatan terakhir mereka dalam pelaksanaan tugas, pelatihan-
pelatihan yang telah diikuti seperti pelatihan dalam bidang auditing,
perpajakan, pendidikan profesi lanjutan dan lain-lain. Sementara untuk
mahasiswa ditanyakan juga tentang pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti
serta minat mereka untuk bekerja di kantor akuntan publik. Variabel minat
mahasiswa terhadap profesi akuntan publik dimasukkan dalam instrumen
penelitian ditujukan agar dapat dibuat perbandingan yang jelas dengan
akuntan yang telah bekerja di kantor akuntan publik.
E. Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil
data primer yang diambil secara langsung dari responden. Data primer ini
dikumpulkan melalui instrumen kuesioner yang dikirimkan kepada
mahasiswa akuntansi dan akuntan publik di wilayah Jawa Tengah. Dalam
proses pengumpulan data primer, peneliti menggunakan teknik berikut ini.
1. Responden akuntan publik
Peneliti mengirimkan kuesioner langsung kepada akuntan publik di
kantor-kantor akuntan publik (KAP) yang ada di Jawa tengah yaitu Solo,
Semarang dan Purwokerto. Dalam melakukan penyebaran kuesioner secara
langsung kepada akuntan publik, peneliti mendatangi responden sedikitnya
dua kali, kunjungan pertama untuk menyerahkan berkas kuesioner
sedangkan kunjungan kedua untuk mengambil kuesioner yang telah diisi
responden. Dalam pengambilan kuesioner, peneliti melakukan konfirmasi
terlebih dahulu melalui telepon untuk mengetahui apakah kuesioner telah
diisi atau belum. Peneliti memberi batasan waktu pengembalian kuesioner
satu minggu setelah pengiriman.
2. Responden Mahasiswa
Peneliti mendatangi secara langsung mahasiswa yang bersangkutan.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner secara
langsung untuk diisi dan pada saat itu juga kuesioner dikembalikan. Untuk
responden mahasiwa akuntansi ini, peneliti membagikan kuesioner kepada
mahasiswa yang ditemui dengan syarat mahasiswa tersebut telah
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
Untuk data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer yang
berupa studi pustaka, literatur ataupun review penelitian terdahulu yang
diterbitkan melalui jurnal yang berkaitan dengan pokok masalah yang
diteliti. Metode ini digunakan untuk mendapatkan konsep-konsep teoritis
dan landasan teori yang kuat sehingga dapat diperoleh gambaran yang
lebih jelas dalam melakukan pembahasan masalah.
F. Teknik Pengujian Data
Sebelum data diolah guna menguji hipotesis, dilakukan pengujian
validitas dan reliabilitas untuk melihat apakah data yang diperoleh dapat
menggambarkan secara tepat konsep yang diukur.
1. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui kesahihan alat ukur yang
digunakan. Hasil dari uji validitas ini berupa suatu nilai yang menunjukkan
sejauh mana suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang ingin diukur
(Singarimbun, 1995:122).
Validitas alat pengumpul data menurut beberapa ahli (Anastasi dan
Nunnally dalam Singarimbun, 1995) dapat digolongkan dalam beberapa
jenis yakni validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content
validity), validitas eksternal (external validity), validitas prediktif (predictive
validity), validitas budaya dan validitas rupa.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah validitas
konstruk (construct validity) karena pendekatan tersebut lebih obyektif dan
cukup sederhana. Validitas konstruk merupakan suatu cara yang paling
banyak digunakan. Validitas konstruk ini dilakukan dengan
mengkorelasikan antara skor yang diperoleh masing-masing pertanyaan
dengan skor totalnya. Skor total ini merupakan nilai yang diperoleh dari
hasil penjumlahan semua skor pertanyaan. Korelasi antara skor pertanyaan
tertentu dengan skor totalnya harus signifikan berdasarkan ukuran statistik
tertentu. Apabila masing-masing pertanyaan berkorelasi dengan skor
totalnya, maka dapat dikatakan bahwa alat pengukur tersebut memiliki
validitas.
Teknik korelasi yang digunakan adalah Pearson’s correlation product
moment untuk pengujian dua sisi. Hasil uji korelasi tersebut bisa dikatakan
valid jika angka korelasinya signifikan dalam level tertentu. Hal tersebut
bisa diketahui melalui tanda * yang berarti angka korelasi tersebut
signifikan pada level 0,05 dan tanda ** yang berarti angka korelasi tersebut
signifikan pada level 0,01. Bila pada angka korelasi tidak terdapat tanda *
atau ** berarti angka korelasi tersebut tidak signifikan (tidak valid).
2. Uji Reliabilitas
Setelah masing-masing alat ukur dapat ditentukan validitasnya
kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Uji ini hanya dapat
dilakukan pada pertanyaan yang dianggap sahih dan valid. Reliabilitas
adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat
dipercaya atau dapat diandalkan. Apabila suatu alat pengukur digunakan
dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang
diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut dinyatakan
reliabel atau dengan kata lain reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu
alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Singarimbun,
1995:140).
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan konsistensi internal.
Prosedurnya hanya perlu satu kali pengenaan sebelum tes kepada
kelompok individu sebagai subjek. Oleh karena itu pendekatan ini
mempunyai nilai praktis dan efisien yang tinggi.
Untuk mengukur reliabilitas konsistensi internal dapat menggunakan
koefisien cronbach’s alpha. Semakin tinggi koefisien alpha, berarti
semakin baik pengukuran instrumen (Sekaran, 2000:206).
Besarnya nilai alpha yang dihasilkan dibandingkan dengan indeks
dibawah ini (Suhaersini dalam Dania, 2001)
0,800-1,000 : Sangat tinggi
0,600-0,799 : Tinggi
0,400-0,599 : Cukup tinggi
0,200-0,399 : Rendah
< 0,200 : Sangat rendah
G. Analisis Data
1. Pengujian Asumsi
a. Uji Normalitas Sebaran Normal (Normal Distribution)
Uji normalitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa populasi yang
dibandingkan rata-ratanya mengikuti sebaran atau distribusi normal.
Setelah mengetahui normalitas sebaran suatu data maka dapat ditentukan
jenis pengujian statistik induktif yang harus digunakan, apakah
menggunakan statistik parametrik atau non parametrik. Apabila data
berdistribusi normal maka statistik induktif yang digunakan adalah statistik
parametrik namun apabila dari hasil pengujian didapatkan distribusi tidak
normal maka statistik induktif yang digunakan adalah statistik non
parametrik (Djarwanto, 1996).
Pengujian normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan program SPSS, sedangkan teknik yang digunakan adalah
teknik Kolmogorov Smirnov Test (k-s) untuk pengujian dua sisi. Uji k-s
bisa dipakai untuk uji keselarasan data yang berskala minimal ordinal
(Santoso,1999). Tujuan uji normalitas sebaran ini adalah untuk
membuktikan bahwa: (1) sampel telah diambil secara acak dari
populasinya dan (2) variabel yang diteliti memenuhi kriteria distribusi
normal. Hasil pengujian dibandingkan dengan taraf signifikansi (0.05).
Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi maka
distribusi data penelitian adalah normal. Sebaliknya, jika probabilitas lebih
kecil dari taraf signifikansi maka distribusi data tidak normal.
b. Uji Homogenitas Varian Antar Kelompok (Homogenity of Varians)
Pengujian homogenitas bertujuan untuk mengidentifikasi apakah
masing-masing kelompok sampel yang terambil berasal dari populasi yang
sama dan varian antar kelompok tersebut tidak berbeda secara
signifikan.Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Levene
(Levene’s Test for Equality of Variance). Angka yang dihasilkan
merupakan probabilitas dua sisi yang kemudian dibandingkan dengan
tingkat signifikansi sebesar 0.05.
Apabila nilai probabilitas lebih besar dari taraf signifikansi, maka
varian antar kelompok adalah homogen dan asumsi yang digunakan adalah
asumsi varian sama. Begitu juga sebaliknya, jika probabilitas yang
dihasilkan lebih kecil dari taraf signifikansi, maka varian antar kelompok
heterogen dan asumsi yang digunakan adalah asumsi varaian tidak sama
(berbeda).
2. Pengujian Hipotesis
Peneliti ingin membandingkan persepsi akuntan publik dengan
mahasiswa akuntansi sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji yang
membandingkan dua mean. Pengujian hipotesis pada penelitian ini
menggunakan pengujian independent sampel t-test atau uji beda dua mean
karena masing-masing kelompok sampel yang diuji saling independen.
Apabila hasil dari uji normalitas menunjukkan data mempunyai distribusi
normal, maka t-test dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang
signifikan antara dua mean untuk dua kelompok yang berbeda dalam
variabel yang diinginkan (Sekaran, 2000). Jika populasi ternyata tidak
berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan statistik non parametrik yaitu digunakan uji Mann Whitney.
Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan bantuan program
komputer SPSS release 10.00. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan
level of significance = 0.05. Hasil pengujian hipotesis dapat disimpulkan
berdasarkan pada besarnya p-value. Apabila p-value nilainya lebih besar
dari tingkat signifikansi (0.05) maka hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa hipotesis nol (Ho) diterima dan apabila p-value
kurang dari tingkat signifikansi (0.05) maka hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa hipotesis nol (Ho) yang diuji ditolak atau dengan kata
lain hipotesis altenatif diterima (Santoso, 2002).
3. Analisis Tambahan
Untuk mengetahui bagaimana persepsi akuntan tentang kode etik
maka dalam analisis tambahan ini digunakan uji proporsi. Uji proporsi ini
dilakukan dengan menghitung persentase jawaban dari pernyataan yang
diajukan dalam bagian pertama. Jawaban dikelompokkan dalam format
setuju dan tidak setuju untuk masing-masing responden. Selanjutnya
kesimpulan dapat dibuat dengan melihat persentase jawaban dari masing-
masing pertanyaan yang diajukan.
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Penelitian dan Hasil Pengumpulan Data
Penelitian diawali dengan perancangan kuesioner kemudian
dilanjutkan dengan mencari ijin penelitian yang merupakan syarat melakukan
penelitian di kantor akuntan publik dan perguruan tinggi yang telah terpilih.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang telah diuji validitas
dan reliabilitasnya oleh peneliti terdahulu sehingga tidak perlu dilakukan
pretest. Namun ada sedikit modifikasi dalam kuesioner karena peneliti
menggabungkan dua kuesioner peneliti terdahulu. Dalam bagian pernyataan
tentang persepsi, peneliti lebih memilih peryataan-pernyataan yang bersifat
kasuistik yang diambil dari penelitian Desriani (2001).
Setelah merancang kuesioner langkah selanjutnya adalah mencari ijin
penelitian yang merupakan syarat untuk melaksanakan penelitian. Peneliti
membawa surat ijin penelitian yang telah ditandatangani oleh dekan dan surat
permohonan untuk menjadi responden yang telah ditandatangani oleh dekan
dan dosen pembimbing dalam proses pengumpulan data.
Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu
akuntan publik dan mahasiswa akuntansi. Kuesioner yang disebar sebanyak
200 eksemplar.
Penyebaran kuesioner dilakukan secara langsung dengan mendatangi
kantor akuntan publik dan perguruan tinggi negeri dan swasta di wilayah
Jawa Tengah. Untuk perguruan tinggi negeri, peneliti mendistribusikan
kuesioner sebanyak 10 eksemplar, sedangkan untuk perguruan tinggi swasta
masing-masing 8 eksemplar. Untuk kantor akuntan publik, peneliti
mendistribusikan kuesioner masing-masing sebanyak 7 eksemplar. Distribusi
kuesioner yang dibagikan dan kuesioner yang kembali dapat dilihat dalam
tabel IV.1 dan tabel IV.2
TABEL IV.1
DISTRIBUSI ASAL PT RESPONDEN MAHASISWA AKUNTANSI
NO PERGURUAN TINGGI RESPONDEN
1 Universitas Sebelas Maret, Solo 10
2 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Solo 9
3 Universitas Islam Batik, Solo 8
4 Universitas Slamet Riyadi, Solo 8
5 Universitas Tunas Pembangunan, Solo 8
6 Universitas Diponegoro, Semarang 10
7 STIE Widya Manggala, Semarang 8
8 Dian Nuswantoro, Semarang 8
9 Universitas 17 Agustus, Semarang 8
10 Universitas Sultan Agung, Semarang 8
11 Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto 10
JUMLAH 95
Sumber : Data Primer
Untuk penyebaran kuesioner ke mahasiswa, peneliti tidak mengalami
kendala. Untuk akuntan publik, kendala yang dihadapi peneliti seperti KAP
yang menjadi target distribusi kuesioner tidak seluruhnya bersedia mengisi
kuesioner. Hal ini disebabkan oleh kendala waktu, dimana penyebaran
kuesioner dilakukan pada saat mereka sibuk. Disamping itu ada beberapa
KAP yang tutup (tidak beroperasi lagi) atau pindah tempat. Dari 5 KAP yang
ada di Solo, 4 KAP yang mengembalikan kuesioner, untuk KAP Semarang
yang berjumlah 9, 6 KAP yang bersedia mengembalikan kuesioner,
sedangkan untuk KAP Purwokerto tidak bersedia mengembalikan
kuesionernya.
TABEL IV.2
DISTRIBUSI ASAL KAP RESPONDEN AKUNTAN PUBLIK
KANTOR AKUNTAN PUBLIK KUESIONER
DIKIRIM
KUESIONER
KEMBALI
1 KAP. DRS. Muhammad Busroni, Solo 7 5
2 KAP. DRS. Rachmad Wahyudi, Solo 7 6
3 KAP. DRS. Payamta & Rekan, Solo 7 7
4 KAP. DRS. Soemantri, S, Solo 7 -
5 KAP. DRS.Henry Susanto, Solo 7 6
6 KAP. DRS. Ngurah Arya & Rekan, Smg 7 -
7 KAP. Benny Gunawan, Smg 7 -
8 KAP. Darsono & Budi Cahyo S, Smg 7 6
9 KAP. DRS. Gitoyo, Smg 7 7
10 KAP. DRA. Harjati, Smg 7 7
11 KAP. DRS. I. Soetikno, Smg 7 -
12 KAP. Leonard, Mulia & Richard, Smg 7 6
13 KAP. DRS. Tahrir Hidayat, SMg 7 7
14 KAP. DRS. Yulianti, Smg 7 7
15 KAP. Drs.Oetoet Wibowo, Purwokerto 7 -
JUMLAH 105 64
Sumber : Data Primer
Dari keseluruhan kuesioner yang kembali tidak semua digunakan
dalam analisis. Terdapat beberapa kuesioner dari mahasiswa dan akuntan
publik yang gugur karena tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan,
misalnya untuk mahasiswa ada yang tidak berminat bekerja di kantor akuntan
publik. Untuk akuntan publik , jawaban pada bagian pertanyaan umum tidak
lengkap. Peneliti menetapkan batas toleransi pertanyaan yang boleh tidak
dijawab sebanyak dua buah, jika lebih dari itu maka kuesioner tidak
diikutsertakan dalam analisis. Distribusi kuesioner, pengembalian kuesioner
dan kuesioner yang dipakai dalam analisis tercantum dalam tabel IV.3
TABEL IV.3
RINCIAN KUESIONER
No Kelompok
Responden
Kuesioner
dikirim
Kuesioner
kembali
Tingkat
pengembalian
Kuesioner
gugur
Kuesioner
terpakai
1 Akuntan
publik
105 64 60.95 % 11 53
2 Mahasiswa
Akuntansi
95 95 100 % 24 71
Sumber : Data Primer
B. Karakteristik Responden
1. Karakteristik Akuntan Publik
Berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi, dari 53 responden , 46
orang (86.8%) berpendidikan S1, 7 orang (13.2%) yang berpendidikan S2
dan tidak ada satu orang responden pun (0%) yang berpendidikan S3.
Berdasarkan jabatan/posisi dalam kantor akuntan publik, baik sebagai
partner, manajer, supervisor, akuntan senior, akuntan yunior atau staf
akuntan, ada 6 orang (11.3%) sebagai manajer, 10 orang (18.9%) sebagai
supervisor, 14 orang (26.4%) sebagai akuntan senior dan 23 orang (43.4%)
sebagai akuntan yunior atau staf akuntan.
Berdasarkan pelatihan yang pernah diikuti, pada umumnya akuntan
publik pernah melakukan pelatihan auditing, ini dapat dilihat dari jumlah
akuntan yang telah mengikuti pelatihan auditing sebanyak 44 orang (83%)
dan 9 orang (17%) pernah mengikuti pelatihan perpajakan.
2. Karakteristik Mahasiswa Akuntansi
Berdasarkan jenis kelaminnya, dari 71 mahasiswa yang mengisi
kuesioner dengan lengkap, diketahui bahwa 48 orang (67.6%) berjenis
kelamin laki-laki dan sisanya 23 orang (32.4%) berjenis kelamin
perempuan. Dan dari 71 orang tersebut, 61 orang (86%) menyatakan
mengetahui tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia dan 10 orang
(14%) menyatakan tidak mengetahui.
Kuesioner yang berjumlah 71 tersebut adalah kuesioner dari
responden yang menjawab berminat bekerja di kantor akuntan publik,
sehingga dapat diketahui bahwa responden yang berminat bekerja di
kantor akuntan publik sebesar 75.6%. Sedangkan sisanya tidak dapat
diikutsertakan dalam analisis data karena peneliti menetapkan kriteria
minat bekerja dikantor akuntan publik sebagai syarat menjadi sampel
penelitian.
C. Hasil Pengujian Kualitas Data
1. Uji Validitas
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan item analisis dengan cara
menguji korelasi antara skor item dengan skor total. Koefisen korelasi
diperoleh dengan menggunakan teknik Pearson’s Correlation Product
Moment. Hasil Uji validitas kedua kelompok responden adalah sebagai
berikut :
TABEL IV.4
HASIL UJI VALIDITAS
Persepsi :1. Tanggung jawab Profesi 4 4 02. Kepentingan Publik 1 1 03. Integritas 3 3 04. Obyektifitas 3 3 05. Kompetensi dan Kehati- hatian Profesional 3 3 06. Kerahasiaan 4 4 07. Perilaku Profesional 4 4 08. Standar Teknis 5 5 0
Sumber : Data Primer diolah
Hasil analisis menunjukkan bahwa semua butir pertanyaan berkorelasi
positif terhadap skor totalnya. Kesimpulannya semua item pernyataan
dalam instrumen yang digunakan untuk mengukur persepsi responden
adalah valid dengan tingkat signifikansi 0.01 dan 0.05. Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dipakai untuk mengetahui sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten jika dilakukan dua kali atau lebih pada
kelompok yang sama dengan alat ukur yang sama. Uji validitas ini hanya
dapat dilakukan pada pernyataan yang valid. Karena seluruh pernyataan
dari uji validitas dinyatakan valid, maka seluruh item dapat diiuktsertakan
Variabel Jumlah Jumlah Jumlah
Item item valid item gugur
dalam uji reliabilitas. Pengujian ini dilakukan dengan metode Cronbach
Alpha dan diperoleh nilai alpha sebesar 0.8289. Angka tersebut
menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan yang ada pada instrumen
memiliki tingkat reliabilitas yang sangat tinggi yaitu berada pada level
0.800-1.
D. Analisis Data
1. Pengujian Asumsi
a. Uji Asumsi Normalitas Data (Normal Distribution)
Uji normalitas dilakukan untuk meyakinkan apakah populasi yang
dibandingkan rata-ratanya mengikuti sebaran atau berdistribusi normal.
Teknik pengujian normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Kolmogorov Smirnov Test. Dari hasil uji normalitas diperoleh kesimpulan
bahwa sampel untuk kedua kelompok telah berdistribusi normal. Oleh
karena sampel berdistribusi normal maka alat uji statistik yang digunakan
adalah statistik parametrik. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
TABEL IV.5
TABEL PERHITUNGAN NORMALITAS DATA
Akuntan Publik 0.168 0.05 Normal
Mahasiswa 0.143 0.05 Normal
Sumber: Data primer diolah
Kelompok Asymp Sig (2-tailed) Status
b. Uji Homogenitas Varians Antar Kelompok (Homogenity of
Varians)
Angka yang dihasilkan dari pengujian ini merupakan probabilitas dua
sisi untuk kemudian dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang telah
ditetapkan yaitu 0.05. Oleh karena nilai probabilitas lebih besar dari
tingkat signifikansi yaitu 0.686, maka varian antar kelompok adalah
homogen dan asumsi yang dipakai adalah asumsi varian sama. Hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
2. Independent Sample T-Test
Hasil Independent sample t-test secara total menunjukkan nilai
probabilitas 0.00 dan nilai ini dibawah taraf signifikansi () sebesar 0.05.
Kesimpulannya kedua rata-rata persepsi akuntan publik dan mahasiswa
akuntansi terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia berbeda dalam arti
akuntan publik mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap kode etik
dibandingkan dengan mahasiswa akuntansi (Ha diterima), hal ini
dikarenakan akuntan publik memiliki pengalaman dalam bekerja yang
lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa akuntansi sehingga persepsi
akuntan publik terhadap kode etik lebih baik.
Hal ini juga ditunjukkan dari nilai mean akuntan publik yang lebih
besar daripada nilai mean mahasiswa akuntansi. Hasil uji Independent t-
test dan nilai mean dapat dilihat dalam tabel IV.6 dan IV.7
TABEL IV.6
INDEPENDENT SAMPLE T-TEST
Persepsi tentang kode etik
ikatan akuntan Indonesia 0.000
Sumber : Data Primer Diolah
TABEL IV.7
HASIL UJI INDEPENDENT T-TEST UNTUK NILAI MEAN
Persepsi Mahasiswa 69.9577
Persepsi Akuntan Publik 74.2075
Sumber : Data Primer diolah
3. Uji Proporsi
TABEL IV.8
PROPORSI JAWABAN RESPONDEN TERHADAP
BUTIR PERNYATAAN (Dalam Persen)
A TANGGUNG JAWAB PROFESI1.Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, seorang
akuntan harus selalu berpedoman kepada kode etik agar dapat bertugas secara bertanggung jawab dan obyektif.
2.Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, seorang akuntan perlu mengingat semua bab-bab dan pasal-pasal yang terkandung dalam kode etik.
3.Tommy selalu menjelaskan keterkaitan akuntan terhadap kode etik kepada para staf dan para ahli lain yang diminta untuk memberi saran bagi pelaksanaan pemerikasaan.
4.Tommy menganjurkan partner dan staf KAP Tommy & Rekan agar selalu meningkatkan kecakapan profesionalnya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan tugas profesionalnya.
92.5
73.6
92.5
94.3
94.4
57.7
94.4
90.1
7.5
26.4
7.5
5.7
5.6
42.3
5.6
9.9
NO Pernyataan Setuju Tidak Setuju
AP MA AP MA
Variabel Nilai Mean
Variabel Signifikansi
B KEPENTINGAN PUBLIK5.Akuntan berkewajiban untuk senantiasa bertindak
dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. 92.5 52.1 7.5 47.9
C INTEGRITAS6.Akuntan Ari yang merupakan partner KAP Tommy
melakukan audit atas bank X. Akuntan Ari juga memiliki sebagian saham bank tersebut.
7.Akuntan Tommy memberikan pernyataan pendapat akuntan karena menurut manajemen perusahaan hanya untuk kebutuhan intern perusahaan.
8.Akuntan Tommy memberikan pernyataan pendapat akuntan namun menegaskan kepada manajemen perusahaan tersebut bahwa ia tidak bekerja sebagai akuntan publik.
9.4
11.3
17.0
76.1
45.1
45.1
90.6
88.7
83.0
23.9
54.9
54.9
D OBYEKTIFITAS9. Seorang klien memberikan referensi tentang KAP
Tommy pada klien lain dan mengisyaratkan bahwa ia mengharapkan beberapa kompensasi dari akuntan Tommy atas jasa tersebut. Akuntan Tommy kemudian memberikan klien tersebut sejumlah uang, hadiah kecil, mengajaknya makan malam dan mengurangi jumlah fee terhadap klien tersebut.
10.Sebagai tambahan dari jasa audit yang diberikan kepada klien tertentu, KAP Tommy memberikan jasa lain yang mencakup pembuatan jurnal, buku besar, jurnal penyesuaian serta menyiapkan laporan keuangan perusahaan serta jasa konsultan manajemen.
11.Seorang klien akuntan Tommy memberi hadiah pada waktu ia melakukan pemeriksaan diperusahaan tersebut. Akuntan Tommy menerimanya dan menganggap hadiah itu sebagai tanda hubungan baik dengan klien tersebut.
9.4
9.4
5.7
7.0
33.8
21.1
90.6
90.6
94.3
93.0
66.2
78.9
E KOMPETENSI & KEHATI-AN PROFESIONAL12. Dalam melaksanakan tugas profesionalnya seorang
akuntan harus memberikan penjelasan yang cukup mengenai tujuan pembubuhan tandatangan untuk hal-hal yang telah diatur dalam norma pemeriksaan akuntan.
13.Akuntan menegaskan bahwa ia tidak menjamin terwujudnya ramalan/proyeksi jika melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan ramalan/proyeksi.
14.Akuntan Tommy selalu menolak setiap penugasan audit yang tidak dapat diselesaikannya.
92.5
96.2
96.2
25.4
29.6
40.8
7.5
3.8
3.8
74.6
70.4
59.2
F KERAHASIAAN15.Akuntan Tommy memperbolehkan akuntan Ersyad
untuk melihat arsip-arsip kertas kerja pemeriksaan, surat-surat pajak serta korespondensi kantornya tanpa sepengetahuan klien.
16.Akuntan Tommy memperbolehkan akuntan Ersyad untuk melihat arsip-arsip kertas kerja pemeriksaan, surat-surat pajak serta korespondensi kantornya dengan sepengetahuan kliennya.
17.Seorang klien KAP Tommy beralih ke KAP Ari. Klien tersebut meminta saran dan pandangan akuntan Ari yang menyangkut pemeriksaan KAP Tommy tahun lalu. Akuntan Ari memberikan saran dan pandangan sesuai dengan permintaan klien.
18.Akuntan Ari memberikan saran dan pandangan sesuai dengan permintaan klien setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan KAP Tommy.
1.9
71.1
9.4
69.8
98.1
42.3
46.5
66.2
5.6
28.3
90.6
30.2
94.4
57.7
53.5
33.8
G. PERILAKU PROFESIONAL19.Beberapa tindakan KAP Wawan dinilai tidak etis
oleh KAP Tommy. Akuntan Tommy menganggap hal tersebut bukan urusannya dan tidak mau mencampuri urusan akuntan Wawan.
20.Akuntan Tommy memberitahukan hal tersebut kepada akuntan Wawan dan mengingatkan bahwa akuntan Wawan telah melanggar kode etik tertentu.
21.KAP Tommy memperoleh klien baru yang tadinya klien KAP milik rekan Tommy. Sebagai auditor, saya berupaya memberikan gambaran kepada klien yang bersangkutan bahwa KAP Tommy dan rekan lebih baik dan bermutu dalam melayani permintaan klien.
22.Sebagai auditor saya memberikan tanggapan mengenai semua komentar klien yang positif maupun negatif yang menyangkut auditor sebelumnya.
56.6
49.1
20.8
84.9
66.2
49.3
45.1
56.3
43.4
50.9
79.2
15.1
33.8
50.7
54.9
43.7
H STANDAR TEKNIS23.Akuntan Wawan berpraktek di kota besar. Dia
mengetahui bahwa beberapa kota kecil dalam radius 150 km dari kotanya tidak memiliki KAP. Wawan kemudian mendaftarkan namanya dalam buku telepon untuk beberapa kota kecil tersebut
24.Akuntan Tommy membutuhkan beberapa staf akuntan baru sebagai akibat penambahan beberapa klien yang cukup besar. Dia memasang pemberitahuan di surat kabar sebagai berikut : “ Para auditor dan akuntan, dibuka kesempatan untuk peningktan karir anda sejalan dengan perluasan usaha kami saat ini “.
25.Akuntan Tommy selalu menekankan kepada partner untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar teknis dan profesional tang
96.2
100
95.8
69.0
3.8
-
4.2
31.0
relevan.26.Dalam melaksanakan tugas, dewan kehormatan
berhak mengenakan sanksi terhadap pelanggaran kode etik.
27.Kepatuhan para anggota dalam melaksanakan kode etik dipantau sebagai dasar penyempurnaan pelaksanaan dalam menjalankan tugas profesionalnya.
90.6
92.5
90.6
67.6
91.5
87.3
9.4
7.5
9.4
32.4
8.5
12.7
Sumber : Data primer
a. Analisis Pernyataan Prinsip I (Tanggung Jawab Profesi)
Berdasarkan persentase jawaban responden terhadap peryataan tentang
tanggung jawab profesi, secara umum responden menilai bahwa dalam
melaksanakan tugasnya, seorang akuntan harus memiliki tanggung jawab
profesional yaitu tanggung jawab untuk memenuhi standar profesinya (kode
etik ikatan akuntan Indonesia), tanggung jawab kepada klien,tanggung jawab
terhadap opininya, tanggung jawab untuk mengemukakan kecurangan dan
tanggung jawab untuk selalu berperilaku etis dalam rangka memelihara
kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada mereka.
b. Analisis Item Pernyataan Prinsip II (Kepentingan Publik)
Responden menilai bahwa tugas utama akuntan publik adalah berkaitan
dengan kepentingan publik, sehingga akuntan harus senantiasa bertindak
dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik
dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
c. Analisis Pernyataan Prinsip III (Integritas)
Secara umum responden menyatakan setuju apabila seorang akuntan harus
mempertahankan integritasnya dalam melaksanakan tugas pemeriksaan.
Dalam arti seorang akuntan harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of
interest), tidak memihak dan selalu menjaga profesionalisme dalam tugas.
d. Analisis Pernyataan Prinsip IV (Obyektifitas)
Dari kasus yang dikemukakan diatas, dapat diketahui dari jawaban
responden bahwa mereka menilai seorang akuntan harus dapat
mempertahankan sikap obyektif, harus senantiasa bekerja secara profesional,
tidak memiliki tujuan yang menyimpang dari prinsip kerjanya, dan selalu
menjaga agar tidak ada kepentingan lain yang tidak sesuai dengan standar
yang ada.
e. Analisis Pernyataan Prinsip V (Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional)
Seperti diketahui dalam kode etik tentang kompetensi dinyatakan bahwa
anggota harus melaksanakan pekerjaannya secara profesional melalui
pendidikan, pelatihan dan selalu melakukan pengembangan diri seiring
perkembangan profesi akuntan sedangkan kehati-hatian profesional
mengharuskan anggota untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-
baiknya sesuai dengan kemampuannya demi kepentingan pengguna jasa dan
konsisten dan tanggung jawab profesi kepada publik.
Dilihat dari persentase jawaban responden, akuntan publik memiliki
persepsi lebih baik dari mahasiswa akuntansi tentang kompetensi dan kehati-
hatian profesional. Kemungkinan hal ini dikarenakan akuntan publik lebih
mengetahui bagaimana pengaplikasian standar tersebut dalam tugasnya
sebagai seorang pemeriksa karena kompetensi dan kehati-hatian profesional
ini lebih bersifat teknis.
f. Analisis Pernyataan Prinsip VI (Kerahasiaan)
Dalam hal kerahasiaan, responden menilai bahwa dalam tugas-tugas yang
berhubungan dengan kepentingan klien, seorang akuntan harus senantiasa
mengutamakan keinginan klien sebatas keinginan tersebut tidak bertentangan
dengan standar profesi, dan informasi yang berhubungan dengan klien harus
selalu dijaga kerahasiaanya dengan baik untuk mendukung profesionalisme
dalam tugas.
g. Analisis Pernyataan Prinsip VII (Perilaku Profesional)
Secara umum Responden mempunyai penilaian yang baik tentang prinsip
ketujuh ini. Perilaku profesional harus selalu diutamakan dalam
melaksanakan tugas, dalam arti seorang akuntan harus selalu berperilaku
konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan berusaha untuk selalu
menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
h. Analisis Pernyataan Prinsip VIII (Standar Teknis)
Dari persentase jawaban yang ada, responden menilai bahwa setiap
akuntan harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis
dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan
berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan
dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip
integritas dan obyektifitas.
Analisis diatas adalah analisis parsial setiap item pernyataan prinsip.
Jika dilihat melalui analisis keseluruhan bisa disimpulkan bahwa baik akuntan
publik maupun mahasiswa akuntansi sama-sama memiliki persepsi positif
terhadap prinsip-prinsip etika profesi akuntan Indonesia.
Menurut analisis peneliti hal ini dikarenakan baik akuntan publik
maupun mahasiswa akuntansi telah memiliki pengetahuan dasar tentang
konsep etika profesi akuntan yang telah mereka peroleh di bangku kuliah
khususnya yang diajarkan dalam mata kuliah Auditing sehingga sedikitnya
mereka telah mengetahui tentang etika profesi akuntan tersebut.
Namun jika dilihat lebih jelas, persepsi akuntan publik lebih baik
dibandingkan persepsi mahasiswa akuntansi. Hal ini dikarenakan akuntan
publik memiliki pengalaman bekerja yang lebih banyak dibandingkan dengan
mahasiswa akuntansi sehingga dalam praktek kerjanya akuntan publik dituntut
untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam tentang kode etik ikatan
akuntan yang menjadi standar profesinya, sedangkan mahasiswa akuntansi
baru memahami tentang konsepnya saja sedangkan pemahaman mereka
terhadap kode etik belum mereka aplikasikan dalam dunia kerja. Hasil
penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Ludigdo dan Machfoedz (1999),
Retno Wulandari dan Sri Sularso (2002), namun berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh steven et al (1993) dan Sihwahjoeni dan
Gudono (2000).
BAB V
KESIMPULAN , KETERBATASAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
1. Hasil pengujian untuk menjawab permasalahan penelitian yang pertama
dengan menggunakan uji proporsi menunjukkan bahwa baik akuntan publik
maupun mahasiswa akuntansi sama-sama memiliki persepsi yang positif
terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia. Hal ini dikarenakan masing-
masing kelompok responden telah memiliki pengetahuan teoritis tentang kode
etik.
2. Hasil pengujian Independent sample t-test memberikan bukti empirik yang
mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara persepsi akuntan publik dengan mahasiswa akuntansi. Hasil
analisis ini menunjukkan signifikansi sebesar 0.000, nilai ini berada dibawah
nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0.05, dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara kedua
kelompok sampel tersebut terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia.
3. Dengan mendasarkan pada perbandingan nilai mean, bisa diketahui bahwa
akuntan publik mempunyai persepsi lebih baik terhadap kode etik ikatan
akuntan Indonesia dibanding mahasiswa akuntansi, hal ini bisa dilihat dari
nilai mean untuk persepsi akuntan publik lebih besar (74.2075) daripada nilai
mean untuk persepsi mahasiswa akuntansi (69.9577). Penyebab perbedaan
adalah pengalaman kerja yang lebih banyak dimiliki oleh akuntan publik
dibanding mahasiswa akuntansi sehingga pemahaman akuntan terhadap kode
etik juga lebih baik.
B. Keterbatasan
1. Kuesioner yang berjumlah 28 pernyataan mengenai kode etik ikatan
akuntan Indonesia untuk profesi akuntan secara umum, dirasa masih
kurang. Peneliti merasa kuesioner tersebut belum sepenuhnya dapat
dijadikan alat pengukur untuk mengetahui pengaruh pengalaman kerja
terhadap persepsi responden terhadap kode etik.
2. Penggunaan variabel pengalaman kerja sebagai satu-satunya ukuran
keahlian untuk memahami kode etik kurang tepat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bedard (1989) dan Bouwman serta Bradley (1997) yang dikutip
oleh Sri Sularso dan Ainun Naim (1999) bahwa keahlian adalah sebuah
konsep yang kompleks yang tidak lengkap jika diukur dengan satu macam
ukuran saja.
3. Pemilihan sampel hanya diambil dari KAP dan universitas-universitas di
Jawa Tengah. Shaub (1994) sebagaimana dikutip dalam Cohen et al
(1998) menyatakan bahwa lokasi geografis dan budaya dapat
mempengaruhi perspektif etis individual
4. Kemungkinan terdapat respon bias dari responden karena kemungkinan
responden tidak menjawab secara serius dan peneliti tidak mengetahui
apakah pengisi kuesioner adalah benar-benar responden yang
bersangkutan karena peneliti tidak mengetahui secara langsung proses
pengisian kuesioner.
5. Kemungkinan terjadinya selection bias dalam pengambilan sampel
mahasiswa sehingga pembandingannya dengan akuntan publik
berpengalaman tidak dapat mengendalikan pengaruh variabel lain selain
pengalaman misalnya perubahan atau perbedaan rencana mata kuliah
auditing antara yang dialami mahasiswa dengan yang dialami akuntan
publik ketika duduk sebagai mahasiswa dan sebagainya.
C. Implikasi
1. Penelitian selanjutnya hendaknya mempeluas area penelitian, sehingga
hasil yang didapatkan dapat disimpulkan secara umum
2. Penelitian yang akan datang hendaknya menggunakan sampel yang berasal
dari populasi yang lebih heterogen dari segi geografis, agar validitas
eksternalnya lebih kuat.
3. Perlunya dilakukan analisis persepsi masing-masing item agar dapat
diketahui dengan jelas perbedaan persepsi tentang masing-masing prinsip
etika tersebut.
4. Agar hasil penelitian dapat diinterpretasikan dan digeneralisasikan, sampel
dan desain kuesioner perlu diperhatikan. Pengambilan sampel hendaknya
menggunakan perhitungan statistik agar jumlah sampel yang diambil dapat
diketahui dengan jelas dan kuesioner dimodifikasi dalam bentuk soal-soal
eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
Arens, Alvin A. dan J.K. Loebbecke, 1995. Auditing. Adaptasi Amir Abadi Yusuf. Edisi kelima. Jakarta: Salemba Empat.
Abdolmohammadi, Mohammad dan Arnold Wright, 1987. “An Examination of The Effects of Experience and Task Complexity on Audit Judgements”. TheAccounting Review. Vol LXII, No 1.
Arikunto, Suharsimi, Edisi Revisi IV (1998). Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Andayani, Wuryan, 2002. Etika Profesi, Tanggung jawab Auditor dan Pencegahan Kecurangan dengan Teknologi Baru. Media Akuntansi, Edisi 23, Januari.
Bonner, Sarah dan Paul Walker, 1994. “ The Effects of Instruction and Experience on the Acquisition of Auditing Knowledge”. The AccountingReview. Vol.69, No.1, Januari:157-178
Butt, J. 1986. “ Frequency Judgement in an auditing-related task”. Journal ofAccounting Research. Vol 26 (Autumn): 315-330
Choo,Freddie dan Ken T.Troatman, 1991. “ The Relationship Between Knowledge Structure and Judgements for Experienced and Inexperienced Auditors”.The Accounting Review. Vol.66, No.3. Juli:464-485
Dania, Veby, 2001. “Pengaruh Pendidikan Etika Profesi Akuntan terhadapPersepsi Mahasiswa Akuntansi tentang Kode Etik Akuntan Indonesia”. Skripsi S-1. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Desriani, Rahmi, 1993.” Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia”. Thesis S-2. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Frederick, David M dan Robert Libby. 1986. “Expertise and Auditors’ Judgement of Conjunctive Event”. Journal of Accounting Research. Autumn:270-290
Ikatan Akuntan Indonesia, 2001. Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Iskak, Jamaluddin, 2000. Larangan Iklan Dalam Aturan Etika Profesi. Media Akuntansi. Edisi no.11 Juli.
Jeffrey Cynthia dan Nancy Weatherholt,1986. “Ethical Development, Profesional, Commitment and Rule Observance Attitudes: A Study of CPAs and Corporate Accountants”.Behavioral Research in Accounting. Vol.8.
Khomsiyah dan N. Indriantoro, 1997. “Pengaruh Orientasi Etika Terhadap Komitmen dan Sensitivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia vol. 1 Jan: 13-28.
Ludigdo, Unti dan M. Machfoedz, 1999. “Persepsi Akuntan dan Mahasiswa Terhadap Etika Bisnis”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia vol. 2 Jan:1-9.
Loeb, Stephen, 1971. “ A Survey of Ethical Behavior in the Accounting Profession”. Journal of Accounting Research. Autumn: 287-306
Maryani, Titik dan Unti Ludigdo, 2001. “Survei Atas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap dan Perilaku Etis Akuntan”. TEMA. Vol II, No.1, Maret: 49-62.
Meixner, Wilda F dan Robert B Welker. 1988. Judgement Consesnsus and Auditor Experience : An Examination of Organizational Relations. The Accounting Review. Vol LXIII, No 3.
Muhammad, Dyal. 2002. Akuntan Indonesia, “Back to Basic of Philosophy”. Media Akuntansi. Edisi 27. Juli-Agustus.
Reiss, Michelle C dan Kaushik Mitra. 1998. “The Effects of Individual Difference Factor in the Acceptability of Ethical and Unethical Workplace Behavior”. Journal Business of Ethics. Vol.17:1581-1593.
Sekaran, Uma, 2000. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sihwahjoeni dan M. Gudono, 2000. “Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.3 Juli: 168-184.
Santoso, Singgih, 2002. SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo
Santoso, Kanto, 2002. Dampak Kebangkrutan Enron terhadap Citra Profesi Akuntan Publik. Media Akuntansi, Edisi 25. April.
Singarimbun, Masri dan Effendi, 1989. Metodologi Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Sularso, Sri dan Ainun Naim, 1999. “Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dan Penggunaan Intuisi dalam mendeteksi Kekeliruan”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.2, No.2, Juli:154-172
Walgito, Bimo, 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Wulandari, Retno dan Sri Sularso, 2002. “Persepsi Akuntan Pendidik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia Studi Kasus di Surakarta”. Perspektif FE UNS. Vol. 7, No. 2, Des:71-89.
Vera Munoz, Sandra C, William R Kinney,Jr dan Sarah E Bonner. 2001. The Effects of Domain Experience and Task Presentation Format on Accountants Information Relevance Assurance. The Accounting Review. Vol. 76, No 3 : 405-429.
Ziengenfuss, Douglas dan Anusorn Singhapakdi, 1994. “Professional Values and the Ethical Perceptions of Internal Auditors”. Managerial Auditing Journal. Vol. 9, No.1:34-44