Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 3
Jurnal ARSI/Februari 2017 100
Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan
Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015
Governance Analysis on Patient Safety Goals Pathway in Sepsis Disease’s at Tebet
Hospital 2015
Rianayanti Asmira Rasam
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Dalam konteks pengobatan modern, kompleksitas sistem perumahsakitan dianggap sebagai faktor utama penyebab
insiden kesalahan medis. Dengan paradigma ”pelayanan berfokus pasien”, hak pasien mendapatkan pelayanan
kesehatan yang aman telah menjadi indikator dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 (SARS 2012) di
Indonesia, melalui penerapan 6 Sasaran Keselamatan Pasien (SKP). Adapun salah-satu jenis penyakit dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi adalah Sepsis. Pengunaan modifikasi klinis Internasional Classification of
Desease (ICD) berbasis revisi ke-9, telah menimbulkan kerancuan terminologi dan meningkatkan mortalitas
sepsis. Secara global, mortalitas sepsis mencapai 8 juta/tahun, dengan pertumbuhan di negara berkembang berkisar
8 – 13% per-tahun. Untuk memastikan efektifitas Keselamatan Pasien pada alur pelayanan penyakit sepsis,
dilakukan penelitian terhadap imlementasi Tatakelola 6 Sasaran Keselatanan Pasien. Melalui kerangka studi kasus,
dengan pendekatan kualitatif diskriptik-analitik, dilaksanakan penelitian di Rumah Sakit Tebet Jakarta pada bulan
April-Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan, efektifitas Tatakelola 6 SKP mencapai 96,283%, dengan tingkat
kesalahan dibawah 5%. Penelitian ini berhasil membuktikan implementasi Tatakelola 6 SKP pada alur pelayanan
penyakit sepsis. Disimpulkan bahwa Tatakelola 6 Sasaran Keselamatan Pasien sangat efektif mengurangi resiko
KP.
Kata kunci: akreditasi, rumah sakit, ICD, keselamatan pasien, sepsis.
ABSTRACT
In the context of modern medicine, complexity hospital’s management is regarded as the primary cause of medical
error (ME). The new healthcare paradigm of “Patient-Focused Care”, patient’s right to receive safe healthcare
treatment is considered as main indicator in Standar Akreditasi Rumah Sakit of 2012 (SARS 2012) in Indonesia,
through the implementation of 6 Patient Safety (KP) standards. In the category of emergency medical treatment,
Sepsis is considered as a disease with high mortality and morbidity rate. The use of The International
Classification of Diseases, based on Ninth Revision (ICD-9), have caused terminological confusion and contribute
to the increase of sepsis mortality rate. Globally, sepsis’ mortality rate reaches 8 million/year or 24.000/day, with
growth rate of 8-13% per-year. To ensure the effectiveness of KP standard implementation in sepsis medical
treatment, a research on the implementation of 6 Targets of KP in RS Tebet is conducted. Using case study,
qualitative and descriptive analysis, this research is performed in the course of April-May 2015. The research
shows that effectiveness 6 Targets of KP implementation reaches 96,283%, with 5% margin of error. This research
proves that implementation of 6 Targets of KP in healthcare treatment procedure for sepsis cases can reduce the
risk of ME.
Keywords: accreditation, hospital, ICD, patient safety, sepsis.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 101
PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 1999, melalui publikasi “To Err Is
Human: Building A Safer Health System” IOM
melaporkan 44.000 – 99.000/tahun pasien meninggal
akibat medical error (ME), dan lebih 1 juta pasien cidera
setiap tahun. Laporan IOM (1999) telah menempatkan
insiden ME sebagai 8 besar penyebab kematian di
Amerika Serikat (AS), melebihi kecelakaan lalu-lintas,
kanker payudara, dan penyakit AIDS.
Publikasi “To Err Is Human: Building A Safer Health
System” telah mendorong pengungkapan ME diberbagai
negara. Insiden terkait ME dilaporkan terjadi dimana-
mana (Weingert et al, 2000) secara konsisten (WHO
Eropa, 2010), bukan ciri khas AS (Aiken, 2001). ME
adalah fenomena gunung (Battles et al,1998) yang
dipandang sebagai epidemi oleh banyak peneliti
(Weingart et al, 2000; James, 2013), tidak sebatas kasus
tuntutan malpraktik tetapi epidemi malpraktis medis
(Baker, 2005 dalam Alsaadi, 2013).
Dengan maraknya pengungkapan insiden ME, WHO
(2005) kemudian membentuk World Alliance for Patient
Safety (WAPS) untuk mendorong KP menjadi prioritas
utama dalam pelayanan kesehatan. Meskipun tidak ada
pengobatan yang bebas risiko (Vincent, 2010), karena
risiko tidak dapat ditekan menjadi nol (Nolan, 2000),
namun KP harus dikenali sebagai dimensi yang pertama
dari mutu (WHO, 2005).
Hal tersebut tercermin dalam mukadimah Collaborating
Centre for Patient Safety Solutions (CCPSS) (WHO &
JCI, 2007), bahwa seluruh pasien ber-Hak mendapatkan
pelayanan kesehatan yang aman dan efektif pada setiap
waktu, sebagai pernyataan yang selaras dengan maksud
pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (UN,
1948) bahwa setiap orang ber-Hak atas pelayanan
kesehatan yang layak dan aman.
Kompleksitas sistem perumahsakitan ditengarai merupakan
penyebab utama ME. Sistem perumahsakitan yang
diterapkan dinilai telah gagal menyediakan standarisasi
KP yang tepat. Diperlukan penataan ulang yang lebih baik
(IOM, 1999) dengan meningkatkan KP di seluruh
tingkatan sistem dan regulasi pelayanan kesehatan
(Vincent, 2010). Keberhasilan suatu intervensi mutu
pelayanan dan KP tidak terlepas dari regulasi yang
responsif (Berwick, 2002, dalam Utarini, 2011).
Penguatan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam
pelayanan kesehatan perlu segera dikedepankan (IOM,
1999; Wachter, 2004; James, 2013).
Di Indonesia, isu KP mendapat perhatian melalui
kehadiran Komite Keselamatan Pasien RS (KKP-RS)
tahun 2005, diikuti pencanangan Gerakan Keselamatan
Pasien dan diterbitkannya Panduan Nasional Keselamatan
Pasien RS (Depkes, 2006, 2008). Pentingnya KP juga
termuat dalam Undang Undang Rumah Sakit No. 40
tahun 2009 (UURS 2009), disertai adanya Sistem
Pelaporan Sukarela Insiden KTD di RS melalui Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (PMK 1691/2011).
Namun, praktek KP masih berlangsung sporadis, dengan
protokol bervariasi (Utarini, 2011).
Menurut penelitian Utarini (2000) dalam Utarini (2011)
pada 15 RS dengan data 4.500 Rekam Medik, angka
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada kategori
diagnostic error berkisar 8,0% – 98,2 %, dan medication
error antara 4,1% – 91,6%. Sedangkan terhadap laporan
145 insiden KP yang disebutkan Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) (2007) dalam Mulyana
(2013) terdiri dari 46% KTD, 48% KNC dan 6% lain-
lain. Wilayah DKI Jakarta memiliki proporsi KTD
tertinggi.
Sementara itu, perkembangan rumah sakit di Indonesia
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun
2009 terdapat 1.523 RS, dengan 653 RS terakreditasi
(42,88%) (DIRJEN BUK, 2012). Untuk tahun 2014, per-
29 Januari 2015, data situs Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS online) Depkes RI mencatat 2.419 RS, dan 1.309
RS terakreditasi (54%). Sedangkan target RS terakreditasi
yang ditetapkan Depkes RI tahun 2014 adalah 90%
(KARS, TT).
Akreditasi adalah komponen penting dari KP (Wachter,
2004; Hinchcliff et.al, 2012), sebagai mekanisme eksternal
yang paling umum untuk mengukur peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan (Greenfield & Braithwaite, 2009). Permodelan pada sistem akreditasi RS sering diadopsi
berbagai organisasi kesehatan untuk tujuan perbaikan
layanan atau reformasi kesehatan (Shaw et.al 2013).
Demikian pula di Indonesia. Pada tahun 2012, Depkes RI
mengadopsi Internasional Patient Safety Goals (IPSGs)
dari lembaga akreditasi internasional Joint Commission
Internasional (JCI), yang diterjemahkan menjadi 6
Sasaran KP (SKP) dalam Standar Akreditasi RS versi
2012 (SARS 2012). Sebelum ditetapkannya SARS
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 102
2012, standar mutu pelayanan RS di Indonesia dapat
berbeda-beda, sesuai standar yang diakreditasi. Mulai
dari standar 5 pelayanan, 12 pelayanan, dan 16
pelayanan. Menurut DIRJEN BUK (2012), melalui
SARS 2012, Indonesia memasuki paradigma baru
”Patient-Focused Care” dengan menjadikan KP
sebagai indikator utama pelayanan kesehatan.
RS Tebet adalah RS swasta di wilayah Jakarta Selatan
yang saat ini sedang dalam proses persiapan mengikuti
SARS 2012. Adapun jenis penyakit dengan angka
kematian yang cukup banyak ditemui dalam
pelayananan kegawatdaruratan RS Tebet adalah Sepsis.
Pada saat ini penyakit sepsis merupakan salah-satu
penyebab utama mortalitas dan morbiditas dalam
pengobatan modern (Angus & van der Poll, 2013).
Sejak tahun 2000, Sepsis berkembang menjadi epidemi,
serupa Polytrauma, AMI dan Stroke (Dellinger et al,
2012). Perbandingan konsensus internasional penyakit,
populasi Sepsis 300 per-100.000, Stroke 223 per-
100.000, dan AMI 208 per-100.000 (Ricard, 2013).
Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan Sepsis
meningkat 2x lipat, menjadi 20 – 30 juta/tahun (WSD,
2014). Secara global, mortalitas Sepsis mencapai 8 juta
per-tahun (Reinhart et al, 2013). Di negara berkembang,
berkisar 8 – 13% per-tahun (Hall et al, 2011, dalam
Reinhart et al, 2013).
Tahun 2008, Sepsis ditetapkan WHO sebagai Global
Burden of Diseases (GBD), untuk wanita dan anak-
anak, hasil deklarasi bersama dengan PBB dalam World
Health Assembly 61.16 (WHA 61.16). Pada tahun 2012,
bersamaan dibentuknya Global Sepsis Alliance (GSA),
WHO menyetujui kampanye tahunan Word Sepsis Day
(WSD) setiap tanggal 13 September. WSD bertujuan
memperkuat aktifitas Surviving Sepsis Campaign (SSC)
dalam kampanye edukasi pengenalan penyakit sepsis dan
mengurangi mortalitas. Untuk mendukung SSC, WHO–
WAPS merekomendasikan penggunaan ICD-10 WHO.
Faktor utama mortalitas sepsis adalah kerancuan
terminologi (Angus & van der Poll, 2013, WSD, 2014),
akibat keterterbatasan pengetahuan awam dan
komunitas medis non-spesialis (Lever & Mackenzie,
2007), serta politisi tingkat nasional (WSD, 2014). Sepsis
dapat rancu dengan penyakit lain, dan seringkali
terlambat terdiagnosa (Reinhart et al, 2013). Peluang
kesalahan diagnosa Sepsis mencapai 85% (Poeze et al,
2004).
Sepsis dan Septikemia sering disamakan (Kemenkes RI,
2012), meskipun keduanya berbeda (Pinson, 2011).
Sepsis berbasis International Classification of Desease
(ICD) revisi ke-10 (ICD-10) namun sering dipertukarkan
dengan Septikemia yang berbasis ICD-9 (Every, 2009),
seperti modifikasi klinis ICD-9 (ICD-9-CM). Modifikasi
pengkodean septikemia terhadap Sepsis pada ICD-
9CM tidak akurat sesuai tabulasi ICD-10 (Weber,
Stefanie & Steven, 2009). Penggunaan ICD – 9 - CM
meningkatkan 2X mortalitas sepsis (Gaieski, et.al, 2013).
Dalam topik Why ICD-10 Matters, situs resmi American
Health Information Management Association (AHIMA),
menjelaskan terdapat perbedaan signifikan antara
prosedur ICD-10 dan ICD-9-CM. Sistem klasifikasi dan
terminologi penyakit ICD-9-CM tidak sesuai kemajuan
teknologi dan praktik medis terkini. ICD-9-CM yang
digunakan sejak tahun 1979 diyakini telah ketinggalan
jaman. Banyak kategori kedokteran modern tidak
terpenuhi. Situs resmi Centre for Disease Control and
Prevention (CDC) dan American Medical Assosiastion
(AMA) menjelaskan bahwa ICD-9-CM akan
digantikan ICD-10 mulai 1 Oktober 2015 di AS.
Di Indonesia terdapat 2 regulasi penggunaan ICD-10,
yaitu Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik No. HK.00.05.1.4.00744 Tentang
Penggunaan ICD-10 di RS, tertanggal 19 Februari 1996,
dan SK Menteri Kesehatan RI No. 50/ MENKES
/SK/I/1998 Tentang Pemberlakuan Klasifikasi Statistik
Internasional mengenai Penyakit Revisi Ke-10,
tertanggal 13 Januari 1998. Namun, selain itu, terdapat
regulasi penggunaan ICD-9-CM yaitu Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups
(INA-CBGs) (PMK 27/2014).
Regulasi PMK 27/2014 tersebut merupakan langkah
mundur yang berkontribusi pada praktik pelayanan
medis secara nasional, termasuk penyakit Sepsis. Hal
tersebut merupakan masalah yang perlu dikaji sesuai
dengan paradigma KP SARS 2012 sebagai dimensi
utama dalam pelayanan kesehatan RS di Indonesia.
Karenanya, dilakukan penelitian ilmiah berbasis bukti
(evident based practice) berdasarkan literatur terkini,
untuk memperoleh kepastian tindakan pada alur
pelayanan medis penyakit Sepsis dan hasil keluaran
(outcome) yang lebih baik, aman, serta mengedepankan
KP.
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 103
TINJAUAN PUSTAKA
“First Do No Harm” sebagai prinsip dasar praktik
medis (WHO Europe, 2010) telah mengisyaratkan
potensi “error” dalam pelayanan kesehatan yang dapat
merugikan pasien. Menurut Nightingale (1863) dalam
Vincent (2010), dalam melakukan tindakan terhadap
suatu penyakit yang diderita pasien, pelayanan RS
“semestinya” tidak merugikan pasien.
Namun demikian, selama ini sistem pelayanan kesehatan
lebih terfokus pada manajemen RS daripada masalah
KP (Dirjen BUK, 2012). Demikian pula fenomena
epidemi ME. Walaupun teori cukup banyak ditemukan
pada literatur medis, namun sedikit yang dipergunakan
untuk memperbaiki fenomena “error” (Michie &
Abraham, 2004, dalam Grol et al, 2007). Banyak hasil
penelitian sulit untuk digeneralisasikan pada komunitas
RS, akibat perbedaan metode (Weingart et al, 2000;
Runciman et.al, 2010). Sedangkan kompleksitas pada
sistem RS sangat disadari senantiasa menghadirkan
potensi error (Leape at al, 1998, Depkes RI 2006).
Salah-satu penyebab utama ME adalah Diagnostik
Error (DE) (Alsaadi, 2013). DE meliputi luput
terdiagnosa (missed), terlambat/penundaan diagnosa
(delayed), dan salah diagnosa (wrong) (Singh, 2013).
Dalam Singh (2013), DE sebagai salah-satu faktor
penting insiden ME disepakati bersama oleh Gandi et al
(2006), Singh et al (2011), Lorincz et al (2013), dan
Schiff et al (2013), sehingga perlu mendapat apresiasi
lebih luas dalam gerakan KP.
Menurut Runciman et al (2010), dari 48 naskah difinisi
KP yang dikaji Methods & Measures Working Group of
the World Health Organization World Alliance for
Patient Safety, KP telah didifinisikan sebagai
“pengurangan resiko kerugian yang tidak seharusnya
terjadi, terkait pelayanan kesehatan minimum yang
dapat diterima”. Sedangkan difinisi yang diajukan (IOM,
1999) “Freedom from injury” (or No Harm), atau bebas
cedera/merugikan pasien menjadi alternatif sederhana
difinisi KP. Dengan adanya kepastian difinisi KP, maka
hal ini sangat membantu dalam proses standarisasi
pelayanan kesehatan.
Pasca laporan IOM (1999) yang menjadi momentum
KP modern, standarisasi sistem yang aman dalam
regulasi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting,
termasuk akreditasi RS, mengingat para dokter
umumnya sangat individualistik dan resisten terhadap
standarisasi (Watcher, 2004). Standar pada dasarnya
dipahami sebagai harapan terhadap kinerja, struktur, dan
proses di RS dalam memberikan suatu pelayanan
kesehatan yang bermutu dan aman.
JCI adalah lembaga ekternal akreditasi RS yang menjadi
standar global (Shaw, 2013) dan mengedepankan KP
sebagai fokus utama dari kualitas pelayanan (JCI, 2014).
JCI adalah cabang internasional dari The Joint
Commision (TJC) yang merupakan lembaga akreditasi
di AS. Sejak tahun 2006, JCI menerapkan IPSG sebagai
konsep global standar akreditasi RS (ditampilkan pada tabel
1).
IPSGs yang diadopsi Indonesia menjadi 6 SKP dalam
SARS 2012 merupakan implementasi gagasan
pelayanan berfokus pasien (patient-focused care),
bertujuan mendorong peningkatan pelayanan pada area-
area berpotensi tinggi insiden KP di RS. SARS 2012
adalah regulasi akreditasi yang wajib diikuti (mandatory)
minimal 3 tahun sekali. Demikian halnya dengan RS
Tebet, sebagai RS swasta di DKI Jakarta. Setelah
terakreditasi 16 jenis pelayanan, saat ini RS Tebet sedang
dalam persiapan mengikuti SARS 2012. Dalam
pelayanan kesehatan RS Tebet tahun 2014, penyakit
Sepsis menempati posisi ke-3 dalam hal mortalitas
kegawatdaruratan.
Sepsis adalah salah-satu penyakit tertua yang paling sulit
dipahami dalam sindrom kedokteran (Angus & van der
Poll, 2013), namun sangat sedikit diketahui (Lever &
Mackenzie, 2007; Reinhart, 2013). Pada abad 20, Sepsis
merupakan penyebab mortalitas dalam pengobatan
modern penyakit kritis (Angus et.al, 2001, dalam
Pierrakos & Vincent, 2010), sehingga disebut “bencana
publik tersembunyi” (Angus et.al, 2010, dalam Reinhart
et al, 2013).
Pathophysiology penyakit Sepsis sangat kompleks,
ditandai jumlah penelitian biomarker yang mencapai
3.370 studi, melebihi penyakit lainnya (Pierrakos
&Vincent, 2010). Tidak terdapat faktor kunci sebagai
mediator penyebab Sepsis untuk menjadi acuan
perawatan (Rittirsch, Flierl, Ward, 2008). Karenanya,
tidak ada “golden standar” atau “golden rule” yang
dapat dikalibrasi dalam diagnosis sepsis (Levy et al,
2003; Pierrakos &Vincent, 2010). Namun demikian,
sejumlah penelitian terkini memperlihatkan bahwa
terapi awal pengenalan dini sejak 1 jam pertama, dalam
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 104
fase 3 – 6 jam pertama, dapat mengurangi mortalitas
pasien sepsis (Dellinger et. al, 2008, dalam Reinhart,
2013; Ferrer et al, 2014). Hal tersebut dibuktikan dalam
pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) (Nguyen &
Smith, 2007) maupun Intensive Care Unit (ICU)
(Vincent et al, 2006 dalam Vincent, 2009).
Pengenalan yang benar dan sedini mungkin terhadap
sepsis sangat penting karena sepsis merupakan jenis
penyakit bersifat rangkaian (part of a continuum)
(Dellinger et al, 2012), sesuai International Sepsis
Definitions Conference 2001, dengan difinisi (Levy et al,
2003);
Infeksi, yaitu proses patologis yang biasanya
disebabkan invasi jaringan steril atau cairan, atau
rongga tubuh, dengan patogen atau potensi
patogenik mikroorganisme.
Sepsis, yaitu sindrom klinis akibat infeksi dan
respon inflamasi sistemik (SIRS).
Severe sepsis, yaitu komplikasi pada sepsis akibat
disfungsi organ.
Septic shock, yaitu severe sepsis disertai kegagalan
respirasi akut, tidak jelas sebabnya.
Pasca International Sepsis Definitions Conference 2001,
dibentuk Surviving Sepsis Campaign (SSC) untuk
memperbaiki pengenalan dini Sepsis (Levy, 2003),
melalui panduan tatakelola sepsis (management guidline
budled) sebagai rekomendasi praktik terbaik
meningkatkan efisiensi dan efektifitas terapi medis
Sepsis (Dellinger et al, 2012). Konsep Early Goal Direct
Theraphy (EGDT) dari River at al (2001) (Nguyen &
Smith, 2007) kemudian diadopsi menjadi Sepsis
Screening Tools (SST) untuk membantu terapi dini
Sepsis (Daniels, 2010) (ditampilkan pada tabel 2).
Mortalitas sepsis meningkat akibat kerancuan terminologi.
Sepsis yang diklasifikasikan sebagai penyakit pada ICD-
10, sering dipertukarkan dengan Septikemia yang
berbasis ICD-9. Pada ICD-9-CM, Sepsis diklasifikasi
sebagai Syndrom (AHA, 2012), namun tidak terdapat
diskripsi kode diagnostik Sepsis (Gaieski, et.al, 2013).
Diagnosis Sepsis dalam ICD-9-CM adalah hasil
kombinasi kode beberapa penyakit, dan mengacu pada
Septikemia dengan kode numeric 038.9. Unspecified
septicemia. Sedangkan dalam ICD-10 (WHO, 2010,
2015), Sepsis adalah penyakit dengan pengkodean
alphabetik-numerik tersendiri sebagai primary or
principal or main diagnosis, yaitu A.41.9 Sepsis,
unspecified, yang dapat termasuk Septikemia.
Septikemia identik dengan istilah “keracunan darah”
yang dapat menyebabkan Sepsis (WSD, 2014). Istilah Septikemia telah dihindari dalam praktek medis modern,
karena kultur darah – meskipun dibutuhkan – bukan
kriteria diagnostik sepsis (Pinson, 2011). Berbagai
temuan laboratorium, bakteri dalam aliran darah lebih
positif pada septikemia (Every, 2009). Uji faktor nuklir
juga sulit membuktikan pengaruh septikemia pada
sepsis (Bernuth et.al, 2005).
ICD adalah panduan internasional proses diagnosis dan
prosedur tindakan dari klasifikasi penyakit, yang direvisi
secara periodik oleh WHO. Untuk mendukung data
statistik kesehatan, relasi permasalahan penyakit dan
kesehatan (Diseases and other related health problems)
mulai diklasifikasi dalam ICD-10 sebagai International
Family Classification (IFC) (data ditampilkan pada tabel
3).
ICD-9 dipublikasi WHO tahun 1978 (WHO, 2010).
Kemudian modifikasi klinis (Clinical Modification)
sistem pengkodean ICD-9 mulai diperkenalkan AS
pada tahun 1999, disebut ICD-9-CM, dengan
pengembangan prosedur pengkodean dan ekspansi
kode diagnosis (AHA, 2012), yang direvisi setiap tahun
untuk menyesuaikan dengan ICD-10. Namun demikan,
revisi periodik ICD-9-CM tidak memadai sebagai
landasan utama klasifikasi penyakit, akibat rendahnya
akurasi data kondisi medis pasien dan prosedur
perawatan pelayanan (Brook, Brook, TT, h.8), dan
menyebabkan AS kesulitan melakukan perbandingan data
internasional mortalitas penyakit yang telah berbasis
pada ICD-10 (CDC). ICD-10 memudahkan kepastian
diagnosis dan prosedur tindakan, dengan akurasi tinggi
dan fleksibel (Brook, TT, h.8). Perbedaan sistem
pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10 ditampilkan pada
tabel 3.
Clinical Patway (CP) atau alur klinis adalah konsep
perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap
langkah pelayanan medik, asuhan keperawatan, dan
pelayanan kesehatan lain berbasis bukti, dengan hasil
yang dapat diukur selama waktu tertentu di RS (Rosch et
al, 2005; Feyner et al, 2005; Gardner et al, 1997; dalam
Rivany, 2009). Namun menurut Currie & Harvey
(1997) dalam De Blesser et al. (2006), konsep global CP
di AS digunakan sebagai kerangka kerja menyeimbangkan
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 105
biaya dan kualitas (cost of quality), dan di Inggris sebagai
kesinambungan seluruh pengaturan perawatan. Dalam
penerapan CP, menurut Rivany (2009) penggunaan
ICD-10 tidak dapat “ditawar” terkait dengan klasifikasi
penyakit.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan
diskriptik-analitik kualitatif, memakai data primer dan data
sekunder, untuk mendapatkan gambaran penerapan 6
SKP pada alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet.
yang dilaksanakan bulan April sampai Mei 2015.
Data primer diperoleh dari kuisioner tertutup, sebagai
indikator utama penerapan 6 SKP di RS Tebet, dan hal-
hal yang dianggap belum terjawab atau sebagai
penjelasan tambahan dari data sekunder. Pengambilan
data kuisioner dari 18 jumlah informan berbentuk
purposive sampling. Mulai pimpinan manajemen
tingkat direksi, manajer, kepala unit, dokter, perawat, staf
pendaftaran, sehingga terdapat keseimbangan
representasi antara manajemen selaku penentu kebijakan
dan pelaksana klinis di lapangan. Masa kerja ditetapkan
minimal 2 tahun sebagai indikasi bahwa informan telah
berdaptasi secara baik dengan lingkungan kerja di RS
Tebet.
Untuk data sekunder, digunakan Rekam Medis (RM)
seluruh pasien Sepsis selama penelitian dilakukan.
Karenanya tidak dilakukan perhitungan sampel. Jenis-
jenis tindakan pelayanan dalam RM, dianalisa dan
disesuaikan dengan pengelompokan setiap variable 6
SKP. Selain itu, dilakukan observasi untuk mendapatkan
gambaran aktifitas pelayanan secara langsung.
Pada pengolahan data, pendapat-pendapat kuisioner
dikelompokkan dalam klasifikasi setiap variabel 6 SKP,
dan dilakukan koding berbentuk tabel frekuensi berupa
angka persentase (%);
1. Efektif (E), untuk jawaban Ya (Y)
2. Kurang Efektif (KE), untuk jawaban Netral atau
Ragu (N)
3. Tidak Efektif (TE), untuk jawaban Tidak (T)
4. Tidak Menjawab (TM), untuk tanpa jawaban atau
kolom jawaban tidak terisi.
Alat ukur yang digunakan adalah Skor Elemen Penilaian
(EP) Survei Akreditasi RS (KARS, 2014), sebagai
pendekatan jika hasilnya berubah-ubah akan tidak cukup
berarti,yaitu:
Tercapai Penuh (TP) = 10 ( 80% – 100% )
Tercapai Sebagian (TS) = 5 ( 20% – 79% )
Tidak Tercapai (TT) = 0 ( < 19% )
Tidak Dapat Diterapkan (TDD) (tidak digunakan,
dan ditiadakan dalam penelitian ini).
Prinsip Skor EP Survei Akreditasi RS (KARS, 2014)
yang diadopsi dari JCI, adalah konsisten dan relevansi
kondisi dengan pelayanan pasien, baik ditingkat
pimpinan manajemen maupun staf operasional.
Selanjutnya dilakukan uji hipotesis sederhana untuk
memastikan korelasi parsial antara persepsi informan
dan jumlah realisasi utilisasi 6 SKP. Derajat kesalahan
ditetapkan 5% atau tingkat kepercayaan 95%. Jika
diperoleh derajad signifikan lebih besar dari 95%, maka
dipastikan terdapat hubungan yang kuat antara hasil
kuisioner dengan jumlah utilisasi dari 6 SKP yang
diterapkan pada alur pelayanan penyakit Sepsis di RS
Tebet.
Untuk memenuhi etika penelitian, peneliti mengajukan
surat permohonan pengambilan data kepada Direktur
Utama RS. Tebet, dilengkapi dengan informed consent
untuk memberikan jaminan bahwa seluruh data
kuisioner tidak terkait dengan penilaian kerja, serta
disimpan secara rahasia dan hanya bisa diakses oleh
peneliti untuk kepentingan ilmiah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian ditampilkan pada tabel 5 sampai
dengan 7 serta gambar grafik 1 sampai dengan 3.
Berdasarkan data rekam medis pasien, LOS pelayanan
atau perawatan pasien Sepsis adalah 10 hari. Proses
diagnosis telah berbasis kode ICD-10, dengan diagnosis
klasifikasi Sepsis. Pemeriksaan MO kultur dilakukan
sebagai prosedur rutin penegakkan diagnosis sepsis.
Penegakan diagnosis Sepsis belum menggunakan
Screening Tool, sehingga kurang efisiensi dan efektifitas,
serta dapat meningkatkan potensi keterlambatan
diagnosis dan peluang insiden KP.
Dalam hal tingkat transformasi KP, hasil masih relatif
sangat rendah (1:1,5713). Kontribusi dari jumlah 38%
yang mengikuti pelatihan KP terhadap tingkat pemahaman
KP seluruh informan hanya mencapai 61.11%. Jika
dikonversi, maka pemahaman KP dari 3 orang diperoleh
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 106
atas usaha 2 orang lainnya. Rerata, efektifitas pemahaman
SKP adalah 69.015%, tidak signifikan mengubah hasil
total skor 6 SKP yaitu 5 (TS) dalam penelitian ini.
Nilai Skor 10 (TP) dicapai pada penerapan SKP 4 (Tepat
lokasi-prosedur-operasi) dan SKP 6 (Mengurangi resiko
pasien jatuh). Sedangkan SKP 1 (Ketepatan Identifikasi
Pasien), SKP 2 (Meningkatkan efektifitas komunikasi),
SKP 3 (Meningkatkan kewaspadaan obat yang perlu
diwaspadai), dan SKP 5 (Mengurangi risiko infeksi),
keempatnya memperoleh skor 5 (TS).
Penelitian ini berhasil mendapatkan derajat signifikan
96,283%, lebih tinggi dari tingkat kepercayaan 95%
yang ditetapkan, atau dengan tingkat kesalahan 5%,
terhadap korelasi perapanan 6 SKP dengan persepsi
kuisioner mengenai 6 SKP. Secara keseluruhan,
penerapan tatakelola dari ke-6 SKP memperoleh skor
5(TS). Total jumlah penerapanan utilisasi 6 SKP yang
dicapai adalah 307 aktifitas (66,45%) dari total utilisasi
tatakelola 6 SKP yang berjumlah 462 aktifitas (100%).
Jika standar minimal Skor EP Survey dikonversi, yaitu
370 aktifitas, maka selisih antara capaian 6 SKP dengan
EP Survey adalah 63 aktifitas (17,02%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam
persiapan mengikuti SARS 2012, RS Tebet belum
berdaptasi dengan konsep 6 SKP yang menjadi bagian
penilaian SARS 2012. Pola pelayanan masih lebih
berorientasi manajemen, dan cenderung bersifat atas-
bawah, sehingga mengurangi tingkat partisipasi aktif staf
operasional atau medis dalam penerapan SKP,
khususnya pada SKP 1, SKP 2, SKP 3, dan SKP 5.
Prosedur identifikasi pasien masih beragam, dan belum
menjadikan gelang identitas pasien sebagai standar
identifikasi. Konfirmasi instruksi lisan dan telephone dalam
kaitannya dengan perawatan medis, kurang optimal,
ditandai dengan minimnya tanda-tangan pemberi atau
penerima pesan/instruksi pada lembaran instruksi.
Tindakan pencegahan risiko infeksi lebih terfokus pada
mekanisme “cuci-tangan” tetapi tidak konsisten.
Penggunaan alat-alat disposal belum dimaksimalkan, dan
kebijakan pengendalian risiko infeksi tidak tersosialisasi
baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penelitian berhasil memastikan tatakelola SKP pada
alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet, dengan
derajat signifikan 96,283%, lebih tinggi dari tingkat
kepercayaan 95%.
2. Penelitian ini berhasil membuktikan 6 SKP sebagai
tatakelola pelayanan penyakit sepsis.
1) transformasi KP lebih praktis dan terukur
2) terapi medis penyakit Sepsis lebih efektif
3) utilisasi 6 SKP memiliki nilai investasi
3. Utilisasi 6 SKP dapat mendiskripsikan jumlah
aktifitas alur pelayanan penyakit sepsis.
4. Diagnosa dan prosedur tindakan penyakit sepsis
dengan ICD-10 lebih akurat dan aman.
5. Belum diterapkannya ST pada penyakit Sepsis,
menjadikan pelayanan kurang efektif dan efisien,
yang berpotensi menyebabkan keterlambatan terapi
dan meningkatkan risiko KP.
6. Pelayanan RS Tebet masih berfokus manajemen,
dan belum berorientasi pada SKP.
Saran
1. Kebijakan
1) Menjadikan 6 SKP sebagai tatakelola sepsis,
dan atau diterapkan pada penyakit lain.
2) RS Tebet perlu menerapkan SOP SKP di area-
area pelayanan yang berpotensi risiko tinggi
insiden KP, seperti IGD, IRNA, OK, ICU,
Farmasi, Laboratorium, Radiologi.
3) Penelitian ini dapat dijadikan dasar acuan
dalam pembuatan COT (Cost Of Treatment).
4) Nilai investasi SKP belum diperhitungkan
sebagai insentif pelayanan kesehatan.
2. Operasional
1) Mengoptimalisasikan fungsi-tugas KKP-RS
sebagai instrumen KP RS Tebet.
Membentuk keorganisasian KKP-RS yang
efektif, efisien, independen atau mandiri, yang
mengedepankan azas transparansi dan juga
akuntabilitas
Memperjelas kewenangan KKP-
RS menerima laporan insiden, menganalisa,
dan memberikan solusi sebagai kebijakan RS
berdasarkan konsep “Error Tolerance”.
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 107
Mempertegas kewenangan KKP-
RS untuk melakukan obversasi dan penilaian.
Menyelenggarakan pelatihan dan
workshop KP secara periodik
2) Dalam persiapan SARS 2012, RS Tebet perlu
melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan
penerapan 6 SKP
SKP1
Menjadikan GIP atau GPP sebagai standar
identifikasi pasien
SKP2
Meningkatkan akuntabilitas serta
transparansi atas komunikasi atau informasi
melalui sebuah protab konfirmasi instruksi
dan tanda-tangan sebagai prosedur atau
mekanisme kontrol
SKP 3
Integrasi dan pemberdayaan tatalaksana
obat High Alert NORUM atau LASA
pada unit-unit pelayanan strategis, seperti
IGD, ICU, IRN, OK, dengan turut
melibatkan peran aktif unit Farmasi
dalam pembuatan daftar dan pemberian
lebel High Alert pada obat-obat
NORUM/LASA. Tatalaksana obat High
Alert NORUM/LASA perlu untuk
dilengkapi fasilitas penyimpanan, disertai
kewenangan Hak Akses
SKP 4
Keterlibatan pasien dan keluarga pasien
perlu lebih ditingkatkan
SKP 5
Meningkatkan peran-aktif staf medis atau
operasional sebagai gugus depan kendali
bahaya infeksi
SKP 6
Mengedukasi para pasien serta keluarga
pasien sebagai solusi mengurangi
insiden resiko pasien jatuh.
3) Untuk hal-hal yang masih membutuhkan
waktu dan kajian manajemen, maka dapat
diterapkan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) yang bersifat sementara waktu.
DAFTAR PUSTAKA American Hospital Association, 2012, Coding Clinic Alphabetical Index,
Instructions for use of the Coding Clinic for ICD-9-CM, [diakses 10 Februari
2015]
A_ New,_Evidence_based_Estimate _of_Patient_Harms.2.pdf
http://www.ahacentraloffice.org/PDFS/2013PDFs/2012CodingClinicAlphaInde
x.pdf. Brook (TT), dalam ICD-10_Overview_Presentation, Center for Medicare and
Medicaid Services (CMS), [diakses 23 Maret 2015], https://www.
cms.gov/Medicare/Medicare-Contracting/ ContractorLearningResources/downloads/ICD-
10_Overview_Presentation.pdf.
Daniels R., 2010, Defining the Spectrum of Disease, dalam Daniels R, Nutbeam T (eds), ABC of Sepsis. Chichester: Wiley Blackwell.
De Bleser, et al, 2006, Difining Pathway, Journal of Nursing Management, 14:
553–563, Blackwell Publishing [diakses, 9 April, 2015] http://ppr. cs.dal.ca/sraza/files/CP-1.pdf
Depkes RI –PERSI, 2006, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Depkes RI –PERSI, 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien, Edisi 2. Grol, RTPM., et al, 2007, Planning and Studying Improvement in Patient Care:
The Use of Theoretical Perspectives, The Milbank Quarterly, Vol. 85, No.
1, pp. 93–138, [diakses, 9 April, 2015] James, 2013, A New Evidence-based Estimate of Patient Harms Associated with
Hospital Care, Journal Patient Safety, 9: 122-128, [diakses 10 Februari,
2015], http://pdfs.journals.lww.com/journal patientsafety/2013/09000/ Joint Commission International, 2011, Accreditation Standards For Hospitals, 4th
Edition, [diakses 3 Maret, 2015] http://www.mintie.com/pdf/edu cation
/JSI_4th_edition_standards.pdf. Joint Commission International, 2014, Transforming patient safety and quality of
care. [diakses 10 Februari, 2015], http://www.jointcommissioninternational
.org Juknis_Sistem_INA_CBGs_.pdf
Junadi, P. 2008, Aplikasi Studi Kasus Dalam Manajemen, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, [diakses 9 April, 2015] https://staff.
blog.ui.ac.id/purnawan/files/2008/06/studi-kasus.pdf
Kementrian Kesehatan RI, 2012, Standar Akreditasi Rumah Sakit, KARS, DITJEN BUK.
Kementerian Kesehatan RI, 2012, Modul Tatalaksana Standar Pneumonia,
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2014, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi
Rumah Sakit, Edisi 3.
Leape LL, et al, 1998, Promoting Patient Safety by Preventing Medical Error, Editorial, JAMA,Vol 280, No. 16 October 28, [diakses 29 Januari, 2015],
ftp://72.167.42.190/solutionleaders/pdf/
PromotingPatientSafetybyPreventingMedicalError_ JAMA102898.pdf Lever A & Mackenzie I, 2007, Sepsis: definition, epidemiology, and diagnosis,
British Medical Journal, Vol. 335 (879-8327), October, [diakses 23 Maret
2013] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC2043413/pdf/bmj-335-7625-cr-00879.pdf
Levy MM et al, 2003, 2001 SCCM/ESICM /ACCP/ATS/SIS International Sepsis
Definitions Conference, Critical Care Medicine, Vol. 31, No. 4, Lippincott Williams & Wilkins, [diakses 10 Februari 2015] http://www.
esicm.org/upload/ file4.pdf
Nolan TW, 2010, System changes to improve patient safety, BMJ, Vol. 320, 18
March, [diakses 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles
/PMC1117771/pdf/771.pdf
Pierrakos C., Vincent JL, 2010, Sepsis biomarkers: a review, Crit Care. 2010;14(1):R15, BioMed Central Ltd, [diakses 23 Maret 2015], http://
www.ccforum.com/content/pdf/cc8872.pdf
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups, [diakses 23 Maret 2015]
http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload /reg ulasi/PMK_No._27 _ttg_.
Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Reinhart, K, 2013, The burden of sepsis – a call to action in support of World Sepsis
Day 2013, [diakses 23 Maret 2013] http://www.jccjournal. org/article/S0883-9441%2813%2900121-4/pdf
Rivani R., 2009, Clinical Pathway & Cost of Treatment Dalam Mendukung
Indonesia Diagnosis Related Groups (INA-DRGs), Workshop, PERSI, Jakarta.
Shadily, H., Echols, JM., 2014, Kamus Inggris-Indonesia, Ed. 3, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Singh, H. et al, 2013, Types and Origins of Diagnostic Errors in Primary Care
Settings, JAMA INTERN MED, Vol 173, No. 6, March 2, [diakses, 9
April, 2015], http://www. ajustnhs.com/wp-content/uplo ads/2012/10/diag-errors-JAMA-2013.pdf
Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, [diakses 29
Januari 2015], http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downlo ads/2012/07/UU-No.-44-Th-2009-ttg-Rumah-Sakit.pdf.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 108
United Nation, 1948, General Assembly of the United Nation, The Universal
Declaration of Human Rights. Palais de Chaillot, Paris; Dec 10, [diakses 20 Februari, 2015] http://www.un.org/en/docu ments/udhr/ .
Utarini, A., 2011, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, [diakses 23 Maret, 2015] http://kebijakankesehatanindonesia.net.
Vincent JL, 2009, Definition of Sepsis and Non-infectious SIRS,[diakses 10
Februari 2015] http://www.wiley-vch.de/books/sample/3527319352_c01. pdf.
Vincent, C., 2010, Patient Safety, 2nd edition, John Wiley & Sons, Ltd, Chichester,
UK.. Wachter, 2004, The End Of The Beginning: Patient Safety Five Years After ‘To Err
Is Human’, Health Affair, W4.534. November 30 [diakses, 29 Januari,
2015] http://content.healthaffairs.org/content/early/2004/11/30/hlthaff.w4. 534.full.pdf
Weber, Stefanie & Steven, 2009, Sepsis on the death certificate – Is a change to
rule 3 necessary? [diakses 3 Maret, 2015] http://www.who.int/c lassifications/network/D030_MRG.pdf.
Weingart et.al, 2000, Epidemiology of medical error, British Medical Journal, 320,
March. [diakses, 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC1117772/pdf/774.pdf
WHO, 2005, World Alliance for Patient Safety, Final Brochure, forward
programme, [diakses 29 Januari, 2015] http://www.who.int/patientsafet y/en/brochure_final.pdf.
WHO, 2010, International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems ICD-10. Vol.2. [diakses 29 Januari 2015] http://www.who.int/classifications/icd/ICD10Volume
2_en_2010.pdf
WHO, 2015, ICD-10 Online Version:, [diakses 10 dan 20 Februari 2015] http://apps.who.int /classifi cations/icd10/browse/2015/en
WHO & JCI, 2007, Preamble and Patient Safety Solutions, Collaborating Centre
for Patient Safety Solution. [diakses 20 Februari 2015] http://www. jointcommissioninternational.org
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2690312/pdf/milq0085-0093.pdf
Wibowo, A, 2014, Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tabel 1. 6 SKP Berbasis IPSG
Sumber: SARS 2012 dan JCI (2011)
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 109
Tabel 2. Sepsis atau Severe Sepsis Screening Tool
Sumber: Diaopsi dari Daniel, 2010
Tabel 3. Tahun Revisi dan Pemakaian ICD Revisi Tahun Pemakaian
Ke-1 1900-09
Ke-2 1910-20
Ke-3 1921-29
Ke-4 1930-38
Ke-5 1939-48
Ke-6 1949-57
Ke-7 1958-67
Ke-8 1968-78
Ke-9 1979-98
Ke-10 1999-sekarang
Tabel 4. Perbedaan sistem pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10
Sumber: Centre for Desease Control and Prevention (CDC)
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 110
Tabel 5. Perbandingan Clinical Pathway dan Tatakelola 6 SKP
No
Aktifitas Pelayanan U
Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN
Identifikasi Pasien (SKP1)
a. Admission/Pendaftaran x
1. Pendaftaran pasien/data komputer x
1 Admission 2. Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Diagnosa kerja x
b. Pemasangan Gelang Pasien
1. Gelang indentitas (LK/P) x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1. Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
c. Pada saat pemberian obat x x
d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x
e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x
d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x
f. Sebelum memberikan tindakan x x x x
2 Diagnostic Komunikasi (SKP 2)
a. Lembar perintah lisan x x x x
b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x
c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau x x x x
rekam medis dari dokter jaga kepada konsulen
Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)
a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x
b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x
c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)
a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x
b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x
c. Pemberian label "High Alert" x x x x
Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)
3 Pra-Therapy a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x
b. Penggunaan alat sekali pakai
1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x
2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x
c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x
Tepat lokasi, tepat prosedur, tepat operasi (SKP 4)
a. Penandaan lokasi operasi pada tubuh pasien x
b. Verifikasi lokasi, prosedur, dan tepat pasien x
c. Pemeriksaan ulang kelengkapan dokumen & terpampang di R.Operasi x
d. Pemeriksaan ulang peralatan operasi x
f. Time-out sesaat sebelum operasi akan dimulai x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
c. Pada saat pemberian obat x x x x
d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x
e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x
d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x
f. Sebelum memberikan tindakan x x x x
Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)
4 Therapy a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x
b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x
c. Pemberian label "High Alert" x x x x
Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)
a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 111
No
Aktifitas Pelayanan U
Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN
b. Penggunaan alat sekali pakai
1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x
2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x
c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x
Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)
a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x
b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x
c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
c. Pada saat pemberian obat x x x x
d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x
e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x
d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x
f. Sebelum memberikan tindakan x x x x
Komunikasi (SKP 2)
a. Lembar perintah lisan x x x x
b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x
c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau RM (dokter jaga-konsulen) x x x x
5 Follow-up Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)
a. Kewaspadaan NORUM/LASA x
b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x
c. Pemberian label "High Alert" x
Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)
a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x
b. Penggunaan alat sekali pakai x x x x
1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x
2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x
c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x
Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)
a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x
b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x
c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x
Identifikasi Pasien (SKP 1) x x x x
6 Discharge a. Admission/Pendaftaran
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P)
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi)
Tabel 6. Hasil Kuisioner
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 112
Gambar 1. Grafik Hasil Nilai Efektif Hasil Kuisioner 6 SKP ( % )
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 113
Tabel 7. Total Utilisasi Tatakelola 6 SKP
Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Utilisasi 6 SKP dan Capaian RST
Gambar 3. Grafik Perbandingan Selisih Utilisasi Tatakelola 6 SKP