1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
“The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting”
----- Milan Kundera---,
(The Book of Laughter and Forgetting)
Krisis politik pasca Gestapu (Gerakan 30 September 1965)
yang belakangan peristiwa tersebut yang oleh Pemerintah Orde Baru
disebut dengan G30S/PKI.1 Penyebutan G30 S/PKI oleh orde baru
sebagai justifikasi bahwa tragedi politik 1965 yang mengakibatkan
terbunuhnya 6 jenderal di daerah Halim Perdanakusuma didalangi oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya peristiwa 30 September
1965 tersebut berimplikasinya terhadap lahirnya dua keputusan penting
yaitu :
Pertama; lahirnya Komando Pemilihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk setelah terjadinya peristiwa
G30S, tepatnya pada 10 Oktober 1965.2 Meskipun menurut Baskara,
1Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal
yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) :
Jakarta, 2011. Hal. 2.
2Wardana SJ, Baskara (Editor), Luka Bangsa Luka Kita; Pelanggaran Ham Masa
Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Yogyakarta : Galang Press. 2014. Hal 62.
2
status hukum Kopkamtib tidak jelas, namun kuat. Lembaga Kopkamtib
yang berdiri sejak 3 Oktober 1965 dan kemudian diresmikan melalui
deklarasi pada 10 Oktober 1965 dengan berbagai bentuk kegiatannya
yang seringkali mengabaikan hukum, hak asasi manusia.3
Kedua; pada tanggal 13 Maret 1966, dimana pemerintah
mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor :
XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara
Indonesia bagi PKI dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme.
Dua keputusan itu menurut Aswi Warman Adam, memunculkan
epilog gerakan 30 september serta serangkaian peristiwa (1) peristiwa
satu malam pada tanggal 30 September 1965, (2) penangkapan,
penahanan, perburuan, pembunuhan missal yang memakan korban
minimal setengah juta jiwa 1965/1966, (3) pencabutan paspor
mahasiswa Indonesia di luar negeri sehingga mereka menjadi orang
terbuang atau manusia eksil, (4) pembuangan paksa lebih dari 10.000
3Wardana, Ibid. Hal. 63.
3
orang ke Pulau Buru (1960-1979), (5) stigma dan diskriminasi terhadap
jutaan keluarga korban 1965.4
Sedangkan Baskoro T Wardaya5, melihat bahwa pasca peristiwa
30 September 1965, ditandai dengan dimunculkannya histeria anti-
komunis berupa penangkapan, penyiksaan, pembunuhan serta
pembuangan jutaan orang yang dituduh berideologi kiri.
Pendapat senada datang dari John Rosa, yang mensinyalir
Suharto dengan rezim “Orde Baru” menuduh Partai Komunis Indonesia
(PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana
pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu.6 Masih
menurut Rosa, dalam salah satu pertumpahan darah terburuk di abad
kedua puluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang
berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali,
dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966. Bahkan laporan dari jurnalis
asing yang melakukan liputan di Indonesia, menyebutkan beberapa angka
fantastik tentang pembantaian PKI7. Wartawan pertama yang melakukan
4Marwan Adam, Asvi, Melawan Lupa, Menepis Stigma setelah Prahara 1965,‟
PT. Kompas Media Nusantara, 2015. Hal viii. 5Wardaya T, Opcit. Hal 61.
6Rosa, John, Dalih Pembunuhan Massal, Kudeta 30 Septeember dan Kudeta
Suharto,Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. Hal. 5
7PKI adalah salah satu kekuatan politik massa beberapa yang pengaruhnya
tumbuh selama periode ini. Pada tahun 1965 partai diklaim memiliki tiga setengah juta
anggota, sehingga membuat Partai Komunis terbesar di negara non - komunis. PKI
menawarkan ideologi modernis baru dan berusaha untuk mengatasi kesenjangan dan
mendapatkan dukungan di antara orang-orang (masyarakat) yang sedang dalam kondisi
terpuruk. PKI menekan Soekarno untuk menerapkan sistem land reform, Setelah mengalami
4
penyelidikan, Gambaran serupa juga diungkapkan Cribb8, tentara
bersama-sama dengan beberapa organisasi Muslim dan lain-lain
meluncurkan pembantaian komunis dan pendukung organisasi massa
mereka, dengan perkiraan orang mati berkisar antara 300.000 dan 1 juta.
Masih menurut Cribb, dalam Asvi M Adam, bahwa Kopkamtib dalam
salah satu laporannya menyebut angka 1 juta jiwa (800.000 di Jawa
Tengah dan Jawa Timur serta masing-masing 100.000,- di Bali dan
Sumatera.9
Disisi lain Rezim baru itupun memulai dengan penangkapan 10
menteri dalam Kabinet Presidium Soekarno pada 12 Maret 1966 atas
perintah Soeharto. Kemudian penangkapan dan pencopotan sekitar 250
anggota DPRS yang disusul pula dengan pembubaran dan pelarangan
semua lembaga dan barisan pendukung politik Soekarno.10
Gerakan penahanan dan pembantaian terhadap orang-orang PKI
tahun 1965 tanpa proses pengadilan ataupun pembuktian bersalah
sebagaimana dijelaskan diatas, yang kemudian oleh peneliti dimaknai
sebagai extra judicial killings 1965. Extrajudicial killing adalah tindakan
penundaan. PKI juga menyerukan petani untuk mulai melaksanakan reformasi tanah mereka
sendiri. Di daerah-daerah seperti Jawa Timur dan bagian dari Bali reformasi tanah adalah
penyebab utama konflik. (Dr Katharine & Mc Gregor. The Indonesian Killings of 1965-1966.
Tahun 2009)
8Cribb,Robert & Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. (Seconds
Edition). (USA : Scarecrow Press Inc. 2004). Hal. Xxiv.
9Marwan Adam, Asvi. Op.Cit. Hal. 33.
10Wardaya. Loc.cit. Hal.. 61.
5
pembunuhan yang dilakukan diluar Pengadilan, artinya tidak ada proses
hukum terlebih dahulu yang memberikan justifikasi hukum bahwa orang-
orang PKI itu bersalah.
Apapun dalihnya tindakan extrajudicial killings terhadap
simpatisan, anggota serta pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI)
pasca peristiwa politik 30 September 1965, merupakan tindakan yang
bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia., sebagaimana
disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
Preambule UUD 1945 secara filosofis, memuat makna bagaimana negara
ini 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, Perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam konteks lain, penghukuman yang dilakukan tanpa proses
pengadilan merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
yang terkandung dalam Pasal 1 Ayat (3), Undang-Undang Dasar 1945.
Konsep negara hukum sebagaimana Plato (429-347 SM) kemukakan
terkait dengan “nomoi”, dimana dalam suatu Negara Hukum semua
orang harus tunduk kepada hukum termasuk penguasa atau raja.
6
Penguasa atau raja harus dicegah agar mereka tidak bertindak sewenang-
wenang.11
Apa yang dilakukan negara terhadap tindakan extrajudicial
killings adalah diluar apa yang Plato, Aristoteles serta Juergens
Habermas inginkan. Negara justru bertindak diluar hukum yang
disepakati bersama dengan masyarakat sebagaimana Habermas
kemukakan. Secara lebih jauh negara yang seharusnya hadir untuk
melindungan terhadap warga negaranya, justru negara lewat kekuasaan
yang telah diselewengkan menjadi bagian dari pelaku extrajudicial
killings itu sendiri.
Dalam Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social
and Cultural Rights, Maastricht, January 22-26, 1997, negara
berkewajiban melindungi hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, dengan memberlakukan tiga jenis kewajiban pada
Negara, yaitu: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi. Sehingga kegagalan untuk melakukan salah satu dari tiga
kewajiban tersebut merupakan pelanggaran hak yang dilakukan oleh
negara.
Maka terhadap pembantaian orang-orang PKI, itu terjadi karena
adanya tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran
11
Anwar, Yesmil dan Adang, Sistem Peradilan Pidana : Konsep, Komponen dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung : Widya Padjajaran. 2009.
Hal. 117.
7
dari Negara (act of ommission). Jika dilihat dalam perspektif Mastrich
Guidelines, pelanggaran terhadap kemanusiaan, yaitu :
a) Acts of Commission (tindakan untuk melakukan) oleh pihak
negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara.
b) Acts of ommission (tindakan pembiaran) oleh negara,
termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang tidak diproses secara hukum.12
Ada banyak peraturan perundang-undangan yang dilanggar
dalam hal Extra judicial killings terhadap orang-orang PKI.
Termasukjuga terjadi penyimpangan terhadap asas Presumption of
innocence (praduga tak bersalah), di mana seseorang dinyatakan tidak
bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah.
Apalagi menurut Cesare Beccaria(1764) “No man may be called
guilty before the judge has reached his verdict”13
. Kemudian Beccaria
dalam Marquis Beccaria14
, melanjutkan, bahwa :
“What right, then, but that of power, can authorise the
punishment of a citizen, so long as there remains any doubt of
his guilt”?The dilemma is frequent. Either he is guilty, or not
guilty. If guilty, he should only suffer the punishment ordained
by the laws, and torture becomes useless, as his confession is
12
Presiden Tanpa Prakarsa,‟ Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia, 2012 SETARA Institute,17 Desember2012. Hlm. 2-3
13Beccaria, Cesare,‟On Crimes and Punishments' and Other Writings,” Cambridge
Texts in the History of Political Thought. 1995. Hal. 39.
14Beccaria, Marquisand M. de Voltaire. An Essay on Crimes and Punishments.” A
New Edition Corrected. Albany: W.C. Little & Co., 1872. Hal. 33. (http://lf-
oll.s3.amazonaws.com/titles/2193/Beccaria_1476_EBk_v6.0.pdf) Diunduh, 06 Maret 2015.
8
unnecessary. If he be not guilty, you torture the innocent; for, in
the eye of the law, every man is innocent, whose crime has not
been proved”.
Oleh karena itu, sejalan dengan, Beccaria, bahwa penyiksaan
kejam dan biadab dan melanggar prinsip bahwa tidak ada yang harus
dihukum sampai terbukti bersalah di pengadilan; dengan kata lain itu
adalah hak penguasa, maka tidak boleh terjadi. Extrajudicial killings bisa
dikatakan tindakan yang melawan hukum itu sendiri.
Serentetan extrajudicial killings 1965 yang telah meruntuhkan
nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa lagi dikesampingkan atau dibiarkan
berhenti begitu saja. Apalagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak
mengenal daluarsa (non-statutory limiitation), sehingga tidak ada batas
waktu dalam penuntutannya.15
Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 26
Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 46 : “Untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai
kadaluarsa”.
Oleh karena itu atas peristiwa extrajudicial killings 1965 perlu
alternatif penyelesaian hukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan dimasa
lalu. Upaya penyelesaian terhadap extrajudicial killings 1965 itu sangat
penting untuk mengungkap tabir gelap tentang kebenaran sejarah, disamping
upaya mewujudkan rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban.
15
Sujatmoko. Op.Cit. Hal. 68
9
Dari alasandiatas, penulis mencoba mengajukan “Alternatif
Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui Mekanisme
Yudisial atau Non-yudisial. Pemilihan terhadap alternatif penyelesaian
jalur Penal (judicial proceedings), dilakukan melalui :
1) Pengadilan HAM Ad Hoc, dasar hukumnya adalah UU No.
26 Tahun 2000, (Hukum Nasional) tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, dimana Pasal 7, bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, meliputi : a) Kejahatan Genosida; b) Kejahatan terhadap
kemanusiaan”.Berdasarkan data-data diatas, maka extra judicial killings
1965 terhadap orang-orang PKI, menurut penulis termasuk kategori
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dijelaskan dalam UU No.
26 Tahun 2000, Pasal 9, mengenai Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Maka, tentu saja bagi siapapun yang melanggar Pasal 9, harus diperiksa
dan diputuskan dalam Pengadilan Ham sebagaimana UU No. 26 Tahun
2000, Bab VII Pengadilan Ad Hoc, Pasal 43, ayat (1) Pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
Undang ini, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc.
2) Hybrid Tribunal (Pengadilan campuran) atau
(internationalized domestic tribunal) yang mengacu pada perpaduan
hukum lokal (indonesia) dan hukum internasional, yang dilakukan
berdasarkan resolusi PBB.
10
Sebelumnya Hukum Internasional telah mengatur penyelesaian
kejahatanterhadap kemanusiaan, melalui jalur pengadilan. Dan itu dapat
dilihat dalam Pengadilan Pidana Internasional ad hoc, untuk kejahatan
Nazi (International Military Tribunal for Nurnberg/IMTN) dan kejahatan
perang Jepang (International Military Tribunal for Tokyo/IMTT),
kejahatan Genosida bisa dilihat dalam International Criminal Tribunal
for Yugoslavia/ICTY) di Yugoslavia dan International Criminal.
Kemudian dewasa ini telah ada mekanisme pengadilan campuran atau
“Hybrid Tribunal”, sebagai penyelesaian kasus hak asasi manusia, seperti
yang telah dilakukan dibeberapa negara; 1) Timor Leste (the serious
crimes panels of the district court of Dili)) melalui Resolusi PBB Nomor:
1272 tahun 1999, yang diawali dengan pembentukan The United Nations
Transitional Administration in East Timor (UNTAET), berdasarkan
Regulasi UNTAET 2000. 2) Kosovo (the Regulation 64 Panels in the
courts of Kosovo) tahun 1999, dengan Resolusi PBB Nomor : 1244, 3)
Sierra Leone (the special court for Sierra Leone) tahun 2000, melalui
Resolusi PBB Nomor : 1315 tentang pembentukan Pengadilan Campuran
(hybrid); 4) Kamboja (the extraordinary chambers in the Courts of
Cambodia), tahun 2003, yang dibentuk antara Pemerintah Kamboja dan
PBB, yang mana naskah perjanjian itu diadopsi menjadi Resolusi Majelis
11
Umum PBB A/RES/57/228 B, yang berisi tentang pembentukan
Extraordinary Chamber in the court of cambodia (ECCC)16
.
Hybrid Tribunal, dimaksudkan jika tidak dimungkinkan negara
dimana pelaku kejahatan kemanusiaan melakukan proses penyelesaian,
sehingga tidak ada upaya lain kecuali, dengan menggunakan Hybrid
Tribunal. Pengadilan campuran ini, dilaksanakan tetap menghormati
yuridiksi negara yang bersangkutan, karena pelaksanaannya berada di
negara tersebut.Menurut Tolib Efendi, ciri khas utama Hybrid tribunal
adalah adanya komposisi campuran antara elemen-elemen domistik dan
internasional.17
Contoh pendekatan yudisial yang hampir sama pernah dilakukan
pada kasus “Relokasi dan Internment Penduduk Sipil” warga AS
keturunan Jepang. Hampir 120.000 orang Jepang-Amerika diinternir
(dipaksa pindah dan dibatasi) oleh militer AS menyusul serangan Jepang
di Pearl Harbor 1941. Melalui the Civil Liberties Act, 10 Agustus 1988,
yang menyatakan permintaan AS atas pelanggaran HAM masa lalu
terhadap warga negara AS keturunan Jepang dan sekaligus mengakui hak
mereka untuk mengajukan gugatan.18
16
Effendi, Tolib, Hukum Pidana Internaasional, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2014.
Hal. 46.
17Effendi, Tolib, Ibid. Hal. 218.
18Slamet Kurnia, Titon, „Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran
Ham di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Hal. 273.
12
Bahwa the Civil Liberties Act, 1988, menunjukkan kebesaran
dari negara yang telah mengakui kesalahannya, kemudian meminta maaf
dan memberikan ganti rugi. Disitu juga ada tanggungjawab negara
terhadap persoalan HAM masa lalu.
Selanjutnya proses penyelesaian extra judicial killingadalah
melalui Jalur Non Penal atau diluar Pengadilan. Proses ini sesungguhnya
juga disebut dengan Proses (restorative justice) yang dilakukan melalui
kebijakan (diskresi) dan diversi, ---- pengalihan dari proses penal menuju
non penal------ Bagaimanapun pendekatan restorative justice lebih
memfokuskan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
maupun korban.
Adapun Penyelesaian melalui Non Penal atau diluar pengadilan
atau restorative justice adalah dengan menggunakan :
1) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi / KKR (Truth and Reconciliation
Commission). Dasar hukum Komisi kebenaran dan rekonsiliasi adalah
UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 47, ayat (1) dan (2), yang berbunyi :
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenanran dan
Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenanaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and
Reconciliation Commission) merupakan jalan yang sudah
13
ditempuh di beberapa negara dunia ketiga, yang intinya untuk
menggapai keadilan transisional. Disamping itu keberadaan Komisi
Kebenaran atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah sebuah
komisi yang ditugasi untuk menemukan dan mengungkapkan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh
suatu pemerintahan, dengan harapan menyelesaikan konflik yang
tertinggal dari masa lalu19
.
Konsep tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) juga sudah dilaksanakan dibeberapa negara
seperti Afrika Selatan, KKR dibentuk oleh Presiden Nelson
Mandela setelah berakhirnya apartheid. Di Afrika Selatan, KKR
dibentuk melalui 3 Komite, yaitu :
Komite Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia yang meneliti
pelanggaran HAM yang terjadi antara 1960 dan 1994.
Komite Ganti Rugi dan Rehabilitasi yang bertugas memulihkan
harga diri si korban dan merumuskan proposal untuk membantu
dengan rehabilitasi.
Komite Amnesti mempertimbangkan permohonan amnesti yang
diajukan sesuai dengan isi Undang-undang No. 35/1995.
19
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, Diakses, 9
September 2015.
14
Sedangkan di Argentina, upaya penyelesaian kejahatan
terhadap kemanusiaan dilakukan dengan pembentukan Comision
Nacional sobre de la Desaparicion de Personas(Komisi Nasional
untuk Penghilangan Paksa) pada tahun 1983, yang bertujuan
menyelidiki hilangnya 9.000 penduduk sipil, selama rezim militer
berkuasa pada 1976 hingga 1983. Di Peru dibentuk Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (Comisión de la Verdad y Reconciliación), pada
tanggal13 Juli 2001, yang bertujuan untuk menyelidiki kejahatan
terhadap kemanusian dengan 30.000 orang mati dan 6.000 orang
hilang, yang terjadi pada 3 rezim pemerintahan sebelumnya.
2) Komisi Islah dan Rehabilitasi
Komisi ini sesungguhnya merupakan upaya penyelesaian
kejahatan kemanusiaan dengan cara “cultural” atau disebut
penyelesaian ala indonesia. Sebagaimana digelarnya simposium
bertajuk "membedah tragedi 1965”, pada 18-19 April 2016. Acara
yang diprakarsai oleh Menko Polhukam dengan menghadirkan
sejumlah narasumber, baik tokoh TNI yang terlibat dalam
penumpasan PKI, keluarga PKI, akademisi, dan sejumlah aktivis
HAM. Acara yang diselenggarakan bertujuan mencari format
rekonsialiasi korban dan pelaku kekerasan yang terjadi 1965.
Gagasan Komisi “Islah” dan Rehabilitasi, menurut penulis
karena dari beberapa penyelesaian melalui pengadilan ad hoc, hybrid
15
tribunals serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang
banyak mendapatkan tentangan. Meskipun Komisi “Islah” dan
Rehabilitasi hampir sama dengan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi,
tetapi, “Islah” yang diambil dalam bahasa arab atau artinya
“Perdamaian”, menurut tradisi masyarakat islam indonesia lebih
ramah dan islami, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.
Sebagaimana “islah” digunakan untuk menyelesaikan konflik
“agama”, organisasi keagamaan, serta organisasi politik berbasis
islam. Begitu juuga dengan ruang lingkup islah yang cukup luas,
yaitu mencakup aspek-aspek segi kehidupan manusia baik pribadi
maupun sosial.Oleh karena itu Islah adalah proses mendamaikan
pihak-pihak yang bertikai dengan menghilangkan segala bentuk
pertikaian dan permusuhan atau dendam yang berkepanjangan yang
dapat merugikan semua pihak. Dalam konteks extra judicial killings
1965, setidaknya telah memunculkan pertikaian, permusuhan dan
dendam berkepanjangan, sehingga apapun model penyelesaiannya
tanpa dilandasi semangat islah justru akan menimbulkan permusuhan
baru.
Meskipun demikian, perlunya “komisi islah dan rehabilitasi”
merupakan upaya meminimalisir munculnya permusuhan baru dalam
proses penyelesaian extrajudicial killings 1965 dengan menggunakan
konsep restroactive justice.
16
Pada prinsipnya upaya penyelesaian extrajudicial killings 1965
baik menurut mekanisme yudisial maupun non yudisial, penulis
menekankan pada pentingnya tanggung jawab negara (state 0f liability)
terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Bagaimanapun tindakan
extrajudicial killings 1965 merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat, dimana sudah menjadi kewajiban semua negara yang harus
bertanggungjawab dan wajib melindungi warga negaranya yang
berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasarnya yaitu hak hidup, hak
kebebasan, hak untuk mendapat perlindungan, dll. Sebagaimana
pendapat Sujatmoko, secara hukum negara merupakan pihak yang
berkewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) dan
memenuhi (fulfil) Hak Asasi Manusia.20
Pelanggaran Hak Asasi Manusia telah dengan jelas mengatur
mengenai siapa yang harus bertanggungjawab. Negara disebut sebagai
state actor, karena. hak asasi manusia merupakan tanggungjawab negara.
Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik
dengan perbuatannya sendiri (acts of commision) maupun oleh karena
kelalaiannya sendiri (acts of ommission).21
Kewenangan negara untuk
bertanggungjawab tentu didasarkan pada negara sebagai subyek hukum
20
Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta : Rajawali
Pers. 2005.. Hal. 59.
21Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum
Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008. Hal. 69.
17
internasional sekaligus sebagai subyek hak asasi manusia. Negara
sebagai aktor atau pemangku kewajiban untuk bertangungjawab
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, bagi warga
negaranya, sebagaimana kontrak sosial dan politik negara dengan
rakyatnya.
Dalam hukum kebiasaan internasional sebuah negara dianggap
melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of
human rights) jika; 1) negara tidak berupaya melindungi atau justru
meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable
rights22
; atau 2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau
justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak kejahatan internasional
(international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu
22
Article 4 of the ICCPR sets out the following rights in the ICCPR from which
states can never derogate, even in times of public emergency that threatens the life of the
nation: Right to life (art 6); Prohibition of torture, cruel, inhuman and degrading treatment
(art 7); Prohibition of medical or scientific experimentation without consent (art 7);
Prohibition of slavery, slave trade and servitude (art 8); Prohibition of imprisonment because
of inability to fulfil contractual obligation (art 11); Principle of legality in criminal law i.e. the
requirement that criminal liability and punishment is limited to clear and precise provisions in
the law, that was in force at the time the act or omission took place, except in cases where a
later law imposes a lighter penalty (art 15); Recognition everywhere as a person before the
law (art 16); Freedom of thought, conscience and religion (art 18).
Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian dirumuskan dalam Perubahan UUD
1945 Pasal 28 I ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun”.
18
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang.23
Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian extrajudicial killings
1965, dengan model alternatif penyelesaian baik Mekanisme Yudisial
dan Non Yudisial, hal itu penulis maksudkan tidak terlepas dari
tanggungjawab negara. Peran tanggungjawab negara menjadi bagian tak
terpisahkan dari upaya alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa
lalu yaitu extra judicial killings 1965.
II. Rumusan Masalah
Agar peneliti ini dapat memperoleh kajian lengkap “Alternatif
Penyelesaian Extra Judicial Killings 1965, melalui Mekanis Yudisial dan
Non Yudisial”. maka peneliti mengajukan rumusan masalah, meliputi :
Pertama :Bagaimana penyelesaian terhadap extra judicial killings
1965 melalui Mekanisme Yudisial?
Kedua; Bagaimana Alternatif Penyelesaian extra Judicial Killings
1965, melalui Mekanisme Non Yudisial?
III. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian tesis ini, meliputi :
23
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi Ibid.
19
1. Untuk mengetahui konstruksi bagaimana penyelesaian extrajudicial
killings 1965 melalui mekanisme yudisial
2. Untuk mengetahui konstruksi bagaimana alternatif penyelesaian
extrajudicial killings 1965 melalui mekanisme non yudisial.
IV. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, akan dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Manfaat Teroritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum serta memberikan
alternatif penyelesaian pelanggaran terhadap kemanusiaan yang
terjadi dimasa lalu.
2. Manfaat Praktis.
Penelitian ini secara praktis diharapkan memberikan
masukan kepada :
a. Universitas atau dunia ilmiah sehingga penelitian ini mampu
memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan
terutama yang berkaitan langsung dengan penyelesaian hak
asasi manusia atau kajian ilmu hukum pidana Internasional.
b. Pemerintah Indonesia, sehingga penelitian ini memberikan
sumbangan pemikiran bagi pemerintah Indonesia untuk
20
mengkaji kembali beberapa persoalan yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap kemanusiaan dimasa lalu.
c. Organisasi yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia untuk
melakukan kajian bersama yang hasilnya dapat merumuskan
konsep-konsep perlindungan dan penegakan hukum.
V. Landasan Teori
a. Teori tentang Hak Asasi
Gagasan menegenai hak asasi, tentu tidak dari tokoh
sekaliber John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes.
Bahkan John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias
Politica Montesquieu. Ketiganya Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau,
John Locke termasuk tokoh yang mengembangkan teori perjanjian
masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah
kontrak sosial (contract social). Thomas Hobbes sendiri juga melihat
bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi
keadaan yang disebutnya “homo homini lupus, bellum omnium
contra omnes”. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya
bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut
„Leviathan‟.
Keadaaan seperti itu dalam pandangan Thomas Hobbes perlu
adanya kesepakatan bersama pemerintah dan yang diperintahm
21
sehingga mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat yang
intinya rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Tapi
pandangan Hobbes ini dianggap sebagai biangnya monarki absolute.
Beda Hobbes, beda pula John Locke, yang lebih mementingkan
adanya keseimbangan hak-hak individu masyarakat, sehingga hak-
hak individu masyarakat masyarakat tidak sepenuhnya dikuasai oleh
penguasa. Dan hanya hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian
negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada
masing-masing individu.
Lantas, John Locke24
dalam bukunya “The Second Treatise
of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”
mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu
dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan
kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabut atau dipreteli oleh negara.Locke kemudian mendefinisikan
kekuasaan politik sebagai sebagai hak untuk membuat undang-
undang untuk melindungi dan regulasi kepemilikan. Dalam
pandangannya, hukum-hukum ini hanya bekerja karena orang-orang
24
John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964
22
menerima mereka dan karena mereka adalah untuk kebaikan
publik25
.
“Defines political power as the right to make laws for the
protection and regulation of property. In his view, these laws
only work because the people accept them and because they
are for the public good”.
Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut
dalam dua macam, yang disebutnya sebagai “Second Treaties of
Civil Goverment”. The first treaty atau disebut “Pactum Unionis”
yang oleh John Locke sendiri dimaksudkan sebagai “Men by nature
are all free, equal, and independent, no one can be put out of this
estate, and subjected to the political power another, without his own
consent, which other men to join and unite into a community for
their comfortable, stafe and peaceable, living one amongs
another”26
. merupakan perjanjian diantara masyarakat sendiri, ini
kemudian membentuk masyarakat politik dan negara.
Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai
“Pactum Subjectionis”, Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap
persetujuan antarindividu (pactum unionis) terbentuk atas dasar
suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak
25
John Locke. (1634–1704), Two Treatises of Government.
http://www.sparknotes.com/philosophy/johnlocke/section2.rhtml
26https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090616003346AA3F06r
23
yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, maka adalah
logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada
masing-masing individu. Oleh karena itu Locke selalu beranggapan
bahwa kebebasan manusia secara alami untuk bebas dari kekuatan
superior di bumi, dan manusia tidak berada di bawah kehendak atau
kekuasaan legislatif, tetapi hanya memiliki hukum alam pada
kekuasaannya. Kebebasan manusia dalam masyarakat adalah untuk
berada di bawah kekuasaan legislatif lain tetapi yang ditetapkan oleh
persetujuan dalam persemakmuran, atau di bawah kekuasaan apapun
akan, atau menahan diri dari hukum, tapi apa yang akan
memberlakukan legislatif sesuai dengan menempatkan
kepercayaandi dalamnya.
The natural liberty of man is to be free from any superior
power on earth, and not to be under the will or legislative
authority of man, but to have only the law of Nature for his
rule. The liberty of man in society is to be under no other
legislative power but that established by consent in the
commonwealth, nor under the dominion of any will, or
restraint of any law, but what that legislative shall enact
according to the trust putin it.27
Bahkan secara lebih lanjut Locke mengatakan, The state of
nature is governed by a law that creates obligations for everyone.
27
John Locke, Two Treatises of Government A New Edition, Corrected. In Ten
Volumes. Vol. V. London: Printed for Thomas Tegg; W. Sharpe and Son; G. Offor; G. and J.
Robinson; J. Evans and Co.: Also R. Griffin and Co. Glasgow; and J. Gumming, Dublin.
1823.Hal 114.
24
And reason, which is that law, teaches anyone who takes the trouble
to consult it, that because we are all equal and independent, no-one
ought toharm anyone else in his life, health, liberty, or
possessions”.28
“Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian hari
dijadikan landasan bagi pengakuan HAM. Sebagaimana yang
kemudian terlihat dalam Declaration of Independence AS yang pada
4 Juli 1776 telah disetujui Congress yang mewakili 13 negara baru
yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence
tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke:
“We hold these truth to be self evident, that all men are
created equal, that they are endowed by their Creator with
certain unalienable rights, that among these are life, liberty,
and the persuit of happiness. That, to secure these rights,
government are instituted among men, deriving their just
powers from the concent of the governed”.29
Maka dari itu hak asasi manusia merupakan suatu konsep
etika dalam politik modern yang didalamnya berisi pokok
penghargaan dan penghormatan yang tinggi terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia 1948, Pasal 1, :
28
John, Locke.Ibid. Hal. 4
29Declaration of Independence IN CONGRESS, July 4,
1776.http://www.constitution.org/us_doi.pdf, Diunduh 24 Maret 2015.
25
“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat
dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati
nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan”30
.
Spesifikasi hak-hak yang berikut, terus dalam bentuk dan isi
tradisi diresmikan oleh para wakil rakyat dari Virginia yang dalam
deklarasi mereka 12 Juni 1776 menegaskan bahwa:
All men are by nature equally free and independent, and have
certain inherent rights, of which when they enter into a state
of society, they cannot by any compact deprive or divest their
posterity; namely, the enjoyment of life and liberty, with the
means of acquiring and possessing property, and pursuing
and obtaining happiness and safety.
Betapa agung dan pentingnya hak asasi manusia, sebagai
potret tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,
sehingga dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga disebutkan dalam
Pasal 28A, :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Hak sendiri sangat berimpitan dengan moralitas dan politk,
karena Moralitas politik memberikan prinsip-prinsip yang harus
mengatur aksi politik. Ketika itu termasuk prinsip hak-hak individu
itu pada dasarnya berkaitan dengan individu, diambil satu per satu,
30
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Diterima dan diumumkan oleh
Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).
26
bukan dengan masyarakat secara keseluruhan. ebagaimana
dijelaskan oleh Attracta Ingram31
, yaitu :
“What is distinctive about rights, on this approach, is that
they are explained in terms of a principle, or complex set of
principles, of autonomy. That gives rights a content which fits
them to play a leading role in the background morality of
liberal democratic politics. The democratic principle of
political equality can be specified by autonomy based rights
in a way that respects the heterogeneity of ends and ideals to
be found among the citizens of modern pluralist
democracies.”
Berangkat dari hal tersebut diatas pada dasarnya teori hak
adalah memberikan kesempatan pada setiap orang untuk
memperoleh kebebasan dan mengakses sumber-sumber ekonomi
yang berarti setiap orang berhak hidup layak berdasarkan sumber-
sumber ekonomi yang ada, politik serta hak untuk memperoleh
keadilan.
b. Teori Keadilan Hukum
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal
secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau
orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat
kepentingan yang besar32
. Keadilan” dalam bahasa Inggris adalah
31
Attracta Ingram, A Political Theory of Rights. New York : Published by Oxford
University Press Inc., New York. 1994. Hal. 9 32
http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, Diakses, 24 Maret 2015.
27
“justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice”
memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif
berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2)
sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan
yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang
berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke
pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).33
Keadilan menurut Friedmen, juga dipahami secara metafisis
keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super manusia,
yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya
ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar
pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan
tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau
keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.34
Adapun
konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan
paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls
menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas,
“bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak
untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya
33http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 24 Maret
2015.
34W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I,
diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta (PT RajaGrafindo Persada,
1993), Hal. 117.
28
memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan
memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi
mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.35
Pentingnya keadilan dalam peristiwa extra judicial killings
1965, karena ini menyangkut tentang perampasan hak hidup
manusia, dimana mereka dibunuh tanpa ada proses keadilan. Oleh
karena itu pentingnya keadilan transisional dalam peristiwa tersebut.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah
kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal.
Keadilan transisional dalam peristiwa extrajudicial killings 1965
sangat tepat, karena adanya perubahan sebuah rezim dari otoriter ke
demokrasi. Itu artinya perlu ada perubahan terhadap perikehidupan
dalam berbangsa dan bernegara. Keadilan transisional terhadap
kasus extrajudicial killings 1965 diharapkan menjadi jembatan
penanganan HAM masa lalu yang menimbulkan dendam
berkepanjangan terhadap rezim otoriter. Transisional justice
menurut Ruti G Teitel36
, menawarkan metode interpretatif, historis,
dan komparatif untuk menarik konklusi sistetik berkenaan dengan
apa yang dikedepankan oleh praktik-praktik ini tentang konsepsi
35
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Buku
Kompas, 2007), Hal 20.
36Ruti G Teitel, Keadilan Trasisional : Sebuah Tinjauan Komprehensif. Terj.
Jakarta : ELSAM. 2004. Hal. 437-438.
29
keadilan pada masa seperti itu. Masih menurut Ruti apa yang
mencuat adalah suatu penyeimbangan pragmatik tentang keadilan
ideal dengan realisme politik yang mencontohkan kedaulatan hukum
simbolis yang mampu mengkonstruksikan perubahan yang
liberalisasi. Transisi adalah perubahan normatif transisi itu sendiri,
praktik-praktik hukum menjembatani suatu perjuangan yang
persisten di antara dua titik : dukungan terhadap konvensi yang
mapan dan transformasional yang radikal. Utamanya, suatu posisi
yang dipengaruhi secara dialektis kemudian muncul. Dalam konteks
perubahan radikal politik, jurisprudensi transisional mendamaikan
konsepsi parsial dan non-ideal tentang keadilan : bentuk-bentuk
sementara dan terbatas dari konstitusi, sanksi, reparasi, pemurnian
(pemulihan nama baik), dan sejarah.37
VI. Sistematika
Secara teoritis penulisan tesis yang berjudul: “Alternatif
Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui
Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial”, ini dibagi menjadi beberapa
bab, yakni :
37
Ruti, Ibid, Hal.442.
30
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan
sistematika penulisan.
Bab II Metode Penelitian, berisi tentang Tipe Penelitian,
Pendekatan, Bahan Hukum, Prosedur pengumpulan bahan dan Analisa
bahan hukum.
Bab IIIPenyelesaian Extra Judicial Killings 1965 melalui
Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial:berisi tentang Penyelesaian
HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000, Penyelesaian melalui Hybrid
Tribunal (Pengadilan campuran), penyelesaian melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsisliasi serta melalui Komisi Islah dan Rehabilitasi.
Bab IV Penutup, berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang
dilakukanserta saran-saran terkait dengan permasalahan yang penulis
kaji.