11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pariwisata dan Ekowisata
Organisasi pariwisata sedunia, World Tourism Organization (WTO),
mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai "activities of person traveling to and
staying in places outside their usual environment for not more than one
consecutive year for leisure, business and other purposes".
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1 tentang
Kepariwisataan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah (pusat), dan pemerintah daerah. Sedangkan wisata
didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Pariwisata (tourism) sering diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan
seseorang atau kelompok orang (wisatawan/turis) ke suatu tempat untuk berlibur,
menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kerabat
dan tujuan lainnya (Ramly, 2007).
Pariwisata juga didefinisikan sebagai kegiatan rekreasi di luar domisili
untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai
aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar
masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang (Damanik
dan Weber, 2006).
Lebih lanjut Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa dari sisi
ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau
menjalin hubungan dalam suatu sistem, yaitu permintaan, penawaran, pasar dan
kebutuhan, serta pelaku atau aktor wisata. Unsur penting dalam permintaan dan
penawaran wisata yang harus dipertimbangkan adalah wisatawan, penduduk lokal,
dan sumber daya (produk dan jasa) wisata. Sedangkan pelaku (aktor) wisata
12
meliputi wisatawan, industri wisata, jasa pendukung wisata, pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal.
Sektor pariwisata juga mempunyai signifikansi dalam hal perbaikan
lingkungan dan pelestarian budaya suatu negara. Secara konseptual sektor
pariwisata mempunyai peran dalam perbaikan lingkungan dijabarkan dalam
konsep ekowisata yang dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan lingkungan) dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada
masyarakat setempat (Fandeli, 2000). Sementara ditinjau dari segi
pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan
wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah
yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang
mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat (Depdagri, 2000).
The International Ecotourism Society (2008) mendefinisikan ekowisata
sebagai suatu bentuk wisata yang terfokus pada daerah yang masih alami dengan
tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat.
Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pembangunan Daerah (2000) bahwa
Ekowisata adalah suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di
daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam
dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur
pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber
daya alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Ekowisata
merupakan kontrol pembangunan yang diperlukan berdasarkan daya dukung
untuk menjamin sumber daya alam agar tidak dimanfaatkan berlebihan oleh
pengunjung (Clark, 1996).
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) mendefinisikan
ekowisata sebagai wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam
terbuka yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan khusus untuk
mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan dengan tumbuhan serta
13
satwa liarnya (termasuk potensi kawasan ekosistem, keadaan iklim, fenomena
alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi
kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya) baik dari masa
lampau maupun masa kini di tempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk
melestasikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Konsep ekowisata bertujuan untuk mencapai keberlanjutan wisata, yang
dalam pelaksanaannya menggunakan pertimbangan dampak pada ekosistem,
sosial budaya dan ekonomi (Ecosystem, socio-cultural and Economic
Consideration), menggunakan pendekatan ekologik, termasuk keragaman hayati –
(Ecological and Bio-diversity Approach), melibatkan tanggung jawab seluruh
pemangku kepentingan pariwisata, bukan hanya pihak pemerintah dan swasta
penyedia jasa pariwisata semata, melainkan juga masyarakat setempat dan
wisatawan, atas alasan ini berbagai pihak menyebutnya sebagai “Responsible
Tourism”, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan alam dan sosial
budaya, seperti konflik yang acapkali terjadi serta memaksimalkan dampak positif
bagi kelestarian lingkungan alam, sosial budaya dan ekonomi, lokal, daerah dan
nasional sehingga menciptakan kehidupan pariwisata yang dapat bertahan dengan
langgeng (http ://caretuorism.wordpress.com.).
Low Choy dan Heillbronn (1996), merumuskan lima faktor batasan yang
mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :
1. Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum
tercemar.
2. Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada
masyarakat.
3. Pendidikan dan pengalaman; ekowisata harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman
yang dimiliki.
4. Berkelanjutan; ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi
keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
14
5. Manajemen; ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability
lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
sekarang maupun generasi mendatang.
Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan
konservasi yang mempunyai tujuan menjaga tetap berlangsungnya proses
ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, melindungi keanekaragaman
hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, serta
memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat (Yulianda, 2007).
2.2. Lanskap dan Kawasan Pesisir
Menurut Forman dan Godron (1986), lanskap dapat didefinisikan sebagai
area lahan heterogen yang tersusun dari suatu cluster ekosistem yang saling
berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Dinyatakan lebih lanjut
lanskap adalah suatu unit yang menonjol atau nyata, dapat diukur yang ditentukan
oleh cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang dapat dikenali dan secara
spasial berulang, secara geomorfologi dan sistem yang terganggu.
Berdasarkan Porteous (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam, yang
selanjutnya membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasinya.
Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan (mountains), alam
bebas (wilderness), pedesaan (the middle landscape/rural). Taman-taman
(gardens), dan lanskap perkotaan (townscape).
Menurut Von Humboldt dalam Farina (1998) lanskap adalah karakter total
suatu wilayah. Sedangkan (Naveh dalam Farina, 1998) mengemukakan bahwa
lanskap selalu berhubungan dengan totalitas keseluruhan secara fisik, ekologis,
dan geografi, pengintegrasian seluruh proses-proses dan pola-pola manusia dan
alam.
Suatu area dikatakan memiliki karakter lanskap alami apabila area tersebut
memiliki keharmonisan atau kesatuan diantara elemen-elemen alami seperti
bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan kehidupan satwa. Lanskap alami
memiliki karakter indah, unik, idealis, lembut, anggun, tenang, asli, megah, dan
tegas. Karakter lanskap alami dikategorikan dalam bentukan laut, bukit pasir,
15
sungai, danau, hutan, jurang, dataran, gurun pasir, rawa, bukit, lembah, aliran air,
padang rumput, dan gunung (Simon, 1983).
Kawasan pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diartikan
sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
Wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) adalah daerah pertemuan antara
darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang
surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Menurut
kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan
antara laut dan darat, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena
pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah
paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.1994).
Penentuan batas wilayah pesisir ini masih tergantung kepada isu
pengelolaan. Dalam rapat kerja nasional proyek MREP (Marine Resources
Evaluation and Planning / Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Kelautan) di
Manado Agustus 1994, telah ditetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah
pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan
Pantai Indonesia (PLPI) dengan skala 1: 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), sedangkan batas ke
arah darat adalah mencakup batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri et al.,
2008).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah kawasan
peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat, batas ke arah darat; dari
segi ekologis adalah merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan, seperti; pasang surut, intrusi air laut dan lain-lain, dari
segi administratif adalah merupakan batas terluar sebelah hulu dari desa pantai
atau jarak definitif secara arbiter (2 km, 20 km, dari garis pantai). Dan dari segi
16
perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi
fokus pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan batas ke arah laut; dilihat dari segi
ekologis adalah kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah
di darat seperti; (aliran air sungai, run off , aliran air tanah, dan lain-lain), atau
dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen dan lain-lain); atau
kawasan laut yang merupakan paparan benua (Continental shef), dari segi
administratif adalah sejauh 4 mil, atau 12 mil, dari garis pantai ke arah laut, dan
dari segi perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang
menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir (Dahuri et al, 2008). Struktur kawasan
pesisir terdiri dari: (a) kawasan estauria, (b) kawasan padang lamun, (c) kawasan
mangrove, (d) kawasan terumbu karang dan (e) kawasan laut (Bengen, 2000).
Dalam pengelolaan ekowisata pesisir dan bahari, maka cakupan atau
batasan pemberdayaan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang
komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994),
adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan
(5) berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat setempat atau biasa disebut
Community-Based Management (CBM). Pemanfaatan secara lestari hanya akan
dicapai jika sumber daya dikelola secara baik, proporsional dan transparan,
sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alam, buatan dan sosial
(Keraf, 2000).
Konsep ekowisata pesisir merupakan salah satu pendekatan pengelolaan
sumber daya alam, pemikiran ini sangat didukung oleh tujuan jangka panjang
pembangunan wilayah pesisir dan bahari di Indonesia antara lain: (a) peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan
usaha, (b) pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah
pesisir dan lautan, (c) peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai
dalam pelestarian lingkungan, (d) peningkatan pendidikan, latihan, riset dan
pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan sumber daya pesisir dan
bahari yang terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1)
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang
17
kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu
berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan
pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan
berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).
2.3.
Sumber daya pariwisata (tourism resources) atau sering disebut juga modal
dan potensi pariwisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi
wisata di suatu daerah atau tempat tertentu (Soekadijo, 2000). Lebih lanjut
Soekadijo (2000) menyatakan bahwa sumber daya pariwisata yang menarik
kedatangan wisatawan ada tiga, yaitu sumber daya alam, sumber daya
kebudayaan, dan sumber daya manusia.
Sumber Daya Wisata
Menurut Freeyer dalam Damanik dan Weber (2006), bahwa sumber daya
pariwisata menyangkut produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah semua
produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama
melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima
wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut yang
terangkum dalam aspek atraksi, transportasi, akomodasi, dan aspek hiburan.
Umumnya wisatawan mempunyai kriteria yang berbeda terhadap penilaian
produk dan jasa wisata, hal ini juga berkaitan dengan objek dan daya tarik wisata
yang ditawarkan.
Menurut Nurisjah et al. (2003), bahwa objek wisata merupakan perwujudan
dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau
keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.
Sedangkan atraksi wisata adalah semua perwujudan, sajian alam dan kebudayaan
yang dapat dinikmati keberadaannya oleh wisatawan, yang alami atau buatan
(man made) melalui suatu bentuk pertunjukan/peragaan atau kebiasaan (pasif,
aktif) yang khusus diselenggarakan untuk wisatawan di suatu kawasan. Dalam
menentukan keterpakaian objek dan atraksi untuk diakomodasi dalam
perencanaan kawasan wisata diperlukan penilaian potensi objek dan atraksi wisata
yang dimiliki kawasan tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa ada beberapa
potensi yang perlu diperhatikan dalam penilaian potensi objek dan atraksi wisata
18
yang meliputi aspek estetika, keunikan, fasilitas pendukung, transportasi dan
aksessibilitas, serta dukungan masyarakat.
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1, bahwa daya
tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia
yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian
lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air
terjun, pasir, dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kakayaan jenis-jenis
tumbuhan, burung, dan hewan-hewan lain. Keindahan dan keaslian lingkungan ini
menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana
pengembangan pariwisata, terutama bila di dekatnya dibangun penginapan/hotel,
toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau mengganggu
keutuhan dan keaslian lingkungan pesisir tersebut (Dahuri et al, 2008).
Lebih lanjut Dahuri et al ( 2008) menyatakan bahwa ekosistem pesisir yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata diantaranya adalah:
1. Hutan mangrove, merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan tumbuhan ini sangat
dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas
substrat. Hutan mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan
muara sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan
terlindung dari ombak. Arti penting hutan mangrove adalah sebagai sumber
makanan bagi berbagai macam hewan laut. Sistem perakaran yang kokoh akan
melindungi pantai dari erosi, gelombang angin, dan ombak. Hutan mangrove
juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning
ground) bagi udang, ikan dan kerang-kerangan.
2. Padang lamun, merupakan tumbuhan yang hidup terbenam di perairan
dangkal yang agak berpasir. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa
fungsi penting bagi daerah pesisir yaitu ; sumber utama produktivitas primer,
sumber makanan penting bagi organisme, dengan sistem perakaran yang rapat
menstabilkan dasar perairan yang lunak, tempat berlindung organisme, tempat
pembesaran bagi beberapa spesies, sebagai peredam arus gelombang dan
19
sebagai tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun sangat
dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur air laut, salinitas,
substrat dan kecepatan arus.
3. Terumbu karang (coral reef), merupakan ekosistem khas di daerah tropis.
Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium
carbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme
lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem terumbu karang
memiliki produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies
penghuninya seperti ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem
pesisir yang memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang
juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari tekanan
gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi
kecerahan perairan, temperatur, salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi dan
sedimentasi.
4. Estuaria, adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan
air laut bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur
yang kaya bahan organik dan menjadi cadangan makanan utama bagi
organisme estuaria. Karena merupakan kawasan pertemuan antara air laut dan
air tawar, maka organisme dan tumbuhan yang berkembang di estuaria relatif
sedikit.
5. Pantai pasir, terdiri dari kwarsa dan feldspar, yang merupakan sisa-sisa
pelapukan batuan di gunung yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir
lainnya terbentuk oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan
oleh ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil bahan
organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di pantai berpasir relatif
sedikit. Meskipun demikian pantai berpasir sering dijadikan beberapa biota
untuk tumbuh dan berkembang. Parameter utama dari pantai berpasir adalah
pola arus yang mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya dan
angin yang mengangkut pasir ke arah darat.
6. Pantai Berbatu (Rocky Beach), merupakan pantai dengan batu-batu
memanjang ke laut dan terbenam di air. Batuan yang terbenam ini
menciptakan zonasi kehidupan organisme yang menempel di batu karena
20
pengaruh pasang. Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah
pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya.
7. Pulau-Pulau Kecil (Small Island), merupakan pulau yang berukuran kecil
yang secara ekologis terpisah dengan pulau induknya. Pulau kecil ini akan
memiliki karakteristik ekologi yang bersifat insular karena terisolasi dengan
pulau induknya.
Atraksi wisata pesisir ialah daya tarik yang paling penting dalam wisata
pesisir didasarkan pada daya tarik sumber daya alam kelautan dan daya tarik
sumber daya alam daratan. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir
juga dapat merupakan bagian dari objek dan daya tarik wisata pesisir (Nurisjah et
al. 2003).
2.4. Ekowisata Berbasis Masyarakat
Masyarakat lokal terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan
wisata menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya
merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan
kualitas produk wisata. Selain itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai
tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumber daya periwisata yang tidak
dimiliki oleh pelaku pariwisata lainnya (Damanik dan Weber, 2006).
Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2009) bahwa adanya
pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan
menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu
dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan
di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas,
masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan
membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai
peran dan keahlian masing-masing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata
berbasis masyarakat adalah:
1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan
ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi
masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)
21
2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat
setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan prasarana
ekowisata, kawasan ekowisata, dan lain-lain (nilai partisipasi masyarakat)
3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata
(nilai ekonomi dan edukasi)
4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)
5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata menjadi tanggung
jawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan
(nilai ekonomi dan wisata).
Menurut Warta KEHATI (1998), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan ekowisata berbasiskan masyarakat diantaranya adalah :
1. Partisipasi; selayaknya ekowisata melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal
di kawasan wisata. Namun, seringkali partisipasi masyarakat terhambat oleh
masalah afiliasi politik, kepemilikan tanah, gender dan terkadang pendidikan;
2. Gender; kesetaraan pria-wanita sebaiknya diutamakan oleh pengelola proyek-
proyek ekowisata yang berbasiskan masyarakat, meski pada kenyataannya
sulit dicapai sepenuhnya;
3. Transparansi; adanya usaha ekowisata di suatu daerah mutlak menerapkan
transparansi khususnya di bidang keuangan, mengingat hal itu dapat memicu
perpecahan di antara kelompok-kelompok masyarakat dan menciptakan
kecemburuan serta kesenjangan sosial;
4. Pengambilan keputusan; walaupun untuk kebaikan seluruh masyarakat, tidak
seluruh anggota masyarakat bisa berperan aktif secara terus menerus sebagai
panitia pengelola dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
ekowisata;
5. Proses perencanaan; membangun sebuah ekowisata di sebuah kawasan tak
bisa lepas dari pentingnya memperhitungkan masalah partisipasi dan distribusi
keuntungan. Karena itu, sejak masa perencanaan, para pengelola sudah
menentukan siapa “masyarakat” yang dimaksud, siapa yang berpartisipasi,
siapa yang akan mengambil keputusan, bagaimana keuntungan akan
diperoleh, seberapa besar investasi uang yang diperlukan, dan dari mana dana
akan diperoleh.
22
6. Promosi; hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pengelola dalam
mempromosikan ekowisata yang dikelola kepada masyarakat luas.
Diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya setempat
sekaligus dapat menjadi suatu momentum untuk pemberitaan keunikan alam
suatu wilayah ekowisata.
Pengelolaan kawasan pesisir berbasis masyarakat hendaknya menjadi satu
kesatuan perencanaan pembangunan daerah yang sejalan dengan konsep
pengelolaan secara terpadu (integrated) dimana semua stakeholder di kawasan
pesisir, tidak hanya berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan pesisir, namun
juga turut aktif (bernegosiasi) dalam perumusan kebijakan dan konsep
pengelolaan kawasan tersebut, sesuai dengan kondisi lokal di masing-masing
kawasan (Dahuri et al., 2008).
2.5. Perencanaan Pariwisata
Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan
untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan
atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan.
Perencanaan memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk
mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Perencanaan
berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu
bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan
(Nurisjah, 2001).
Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan tidak terlepas dari adanya pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata
yang mengikutsertakan masyarakat lokal. Namun kegiatan wisata dapat
menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan
modal utama. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan wisata hendaknya
dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian
sumber daya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai dampak
terhadap lingkungan, hubungan sebab dan akibat dari berbagai macam tata guna
23
lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta
pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al., 2008).
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan dilakukan dengan
mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar di seluruh
wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan
pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan
pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008), perlu dilakukan penjelasan dengan
melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat.
Verseci dalam A.Yoeti (2008) perencanaan strategis pembangunan pariwisata
berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :
1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan
kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan
memperhatikan keempat faktor lainnya : future generation, equity,
partnership, dan carrying capacity.
3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu
memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang
berkesinambungan di waktu yang akan datang.
4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung
kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat
kunjungan wisatawan ini.
5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang
dengan generasi yang akan datang.
Lebih lanjut Yoeti (2008) menyatakan bahwa perencanaan kawasan
pariwisata pada dasarnya merupakan kegiatan membangun dan menggali potensi
pariwisata itu sendiri, untuk dapat digunakan sebagai kegiatan ekonomi yang
mengarah pada pengupayaan pemanfaatan objek dan atraksi wisata sehingga
dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat di sekitar
lokasi objek wisata tersebut. Perencanaan kawasan pariwisata berarti menyangkut
pula pada kegiatan melestarikan, menata dan memelihara objek dan atraksi wisata
yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Melalui
perencanaan kawasan pariwisata diharapkan dapat dihindari terjadinya
24
pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan wisata yang memiliki tingkat
perkembangan yang cepat.
Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan
oleh keseimbangan potensi sumber daya dan jasa wisata yang dimiliki
(supply) dan permintaan atau minat wisatawan (demand). Komponen supply
terdiri dari atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk kegiatan
wisata), transportasi, pelayanan, informasi dan promosi. Sedangkan Komponen
demand terdiri dari pasar wisata (keinginan atau tujuan wisatawan) dan
karakteristik wisatawan. Perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk
mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan
pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar
Secara garis besar perencanaan wisata digambarkan dengan pendekatan
pengembangan. Perencanaan ini bersifat spasial karena berbasis pada lahan dan
semua elemen pembentuknya.
Lebih lanjut Gunn (1994) mengutarakan bahwa perencanaan untuk wisata
harus dilakukan pada tiga skala. Pertama adalah skala tapak (site scale), yang telah
banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resor, hotel, taman
dan tapak wisata lainnya. Skala kedua adalah tujuan (destination : scale), dimana
atraksi-atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah
daerah, dan sektor swasta juga dilibatkan. Skala ketiga adalah wilayah, atau
bahkan suatu negara (regional scale), dimana pengembangan lebih terarah pada
kebijakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumber daya yang
harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial.
Pendekatan perencanaan diperlukan untuk menilai
dampak lingkungan dan sosial budaya akibat pembangunan sektor pariwisata
sampai pada tahap pemantauan dampak setelah pembangunan sektor pariwisata
tersebut. Hal ini dilakukan guna memastikan agar setiap dampak negatif yang
mungkin terjadi dapat diminimalkan dengan tindakan perbaikan dan yang positif
dapat diperkuat
Perencanaan lanskap yang baik menurut Simonds (1983) harus melindungi
badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral,
menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk
rekreasi dan suaka margasatwa, serta melindungi tapak yang memiliki nilai
(Inskeep, 1991).
25
keindahan dan ekologi. Proses perencanaan meliputi tahapan riset, analisis,
sintesis, serta pembangunan dan operasional hasil perencanaan. Riset terdiri dan
survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak,
meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan.
Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metode. Kegiatan
pembangunan dan operasional meliputi juga observasi pada hasil perencanaan.
Perencanaan dengan pendekatan unit lanskap yang dikemukakan Lyle
(1985) merupakan salah satu bentuk untuk pengembangan lanskap alami yang
dimulai dengan klasifikasi karakteristik fisik. Setelah dilakukan klasifikasi unit lanskap,
kemudian dilakukan analisis yang bertujuan untuk menentukan batasan dan potensi,
yang selanjutnya diperoleh kesesuaian bagi perencanaan dan pengembangan sumber
daya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan
sumber daya dan kebutuhan manusia adalah dengan menetapkan jenis dan besaran
aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya
(Bengen, 2005). Hal ini mempunyai makna bahwa setiap aktivitas pembangunan di
suatu wilayah harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan.
Dalam pengembangan pariwisata, istilah kebijakan (policy) dan
perencanaan (planning) berkaitan erat. Perencanaan berkenaan dengan strategi
sebagai implementasi dari kebijakan. Perencanaan merupakan prediksi dan oleh
karenanya memerlukan beberapa perkiraan persepsi akan masa depan. Walau
prediksi dapat diturunkan dari obeservasi dan penelitian, namun demikian juga
sangat tergantung pada nilai. Perencanaan seharusnya mengandung informasi
yang cukup untuk pengambilan keputusan. Perencanaan merupakan bagian dari
keseluruhan proses perencanaan pengambilan keputusan (Pitana et al, 2009).
Menurut Gunn (1994) dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan
dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi
geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumber daya yang paling
sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya hasil dari proses
penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk
membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Pembuat kebijakan dalam hal ini
pemerintah membuat suatu kebijakan dan peraturan yang menentukan mekanisasi
yang membantu terwujudnya kerjasama dan integrasi antara badan-badan yang
26
bergerak di dalam penentuannya yaitu masyarakat dan pihak swasta.
Khususnya di wilayah pesisir, kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat
menimbulkan masalah ekologis yang khusus mengingat bahwa keindahan dan
keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah pesisir dibangun untuk
rekreasi, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga berkembang pesat
(Dahuri et al, 2008). Secara strategik, pembangunan pariwisata yang berwawasan
lingkungan dapat dikembangkan dan diwaspadai dampaknya dengan memasukan
rencana manajemen lingkungan dan pemantauannya ke dalam satu rencana
terpadu (integrated) dan pelaksanaannya yang kemudian dimasukkan dalam tahap
perancangan pariwisata itu (Soeriaatmadja, 1997).
Budaya dan aspek fisik merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi yang
saling mendukung sebagai suatu kawasan wisata pesisir dan bahari. Gunn (1994)
mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil secara
optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1) mempertahankan kelestarian
lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut,
(3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4) meningkatkan keterpaduan dan unity
pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.
Agar pengelolaan wisata pesisir berhasil maka harus memenuhi komponen
yang terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang
mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya dan
keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisjah, 2001).
Pada sistem pengelolaan ekowisata pesisir, perlu dicermati pembatasan
tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
(sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan dimensi-
dimensi:
1. Environmental Sustainability: perlindungan untuk generasi mendatang
2. Economic Sustainability: setiap pengembangan variabel secara ekonomi
3. Socio-Cultural Sustainability: setiap inovasi harus harmoni antara
pengetahuan lokal sosial-budaya, praktek, pengetahuan, dan teknologi tepat
guna
27
4. Political Sustainability: link birokrasi (pemerintah) dan masyarakat. Para
pemimpin formal dan informal untuk suatu sektor tertentu dalam masyarakat
lokal.
2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG)
SIG merupakan komputer yang berbasis pada sistem informasi yang
digunakan untuk memberikan bentuk digital dan analisa terhadap permukaan
geografi bumi (Prahasta, 2005). Dengan melihat kata-kata penyusun nama SIG,
maka Prahasta (2005) menjabarkan nama SIG sebagai berikut :
1. Sistem
Istilah ini digunakan untuk mewakili pendekatan sistem yang digunakan dalam
SIG, dengan lingkungan yang kompleks dan komponen yang terpisah-pisah,
sistem digunakan untuk mempermudah pemahaman dan penanganan yang
terintegrasi. Teknologi komputer sangat dibutuhkan untuk pendekatan ini jadi
hampir semua sistem informasinya berdasarkan pada komputer.
2. Informasi
Informasi berasal dari pengolahan sejumlah data. Dalam SIG, informasi
memiliki volume terbesar. Setiap objek geografi memiliki setting data
tersendiri karena tidak sepenuhnya data yang ada dapat terwakili dalam peta.
Jadi, semua data harus diasosiasikan dengan objek spasial yang dapat membuat
peta menjadi intelligent. Ketika data tersebut diasosiasikan dengan permukaan
geografi yang representatif, data tersebut mampu memberikan informasi
dengan hanya mengklik mouse pada objek.
3. Geografis
Istilah ini digunakan karena SIG dibangun secara berdasarkan pada geografi
atau spasial. Objek ini mengarah pada spesifikasi lokasi dalam suatu space.
Objek bisa berupa fisik, budaya atau ekonomi alamiah. Penampakan tersebut
ditampilkan pada suatu peta untuk memberikan gambaran yang representatif
dari spasial suatu objek sesuai dengan kenyataannya di bumi. Simbol, warna
dan gaya garis digunakan untuk mewakili setiap spasial yang berbeda pada peta
dua dimensional. Saat ini, teknologi komputer telah mampu membantu proses
28
pemetaan melalui pengembangan dari automated cartography (pembuatan peta)
dan Computer Aided Design (CAD).
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan perkembangan terbaru
dalam teknologi gap analysis yang menggunakan komputer untuk
menggabungkan data yang melimpah mengenai lingkungan alami dengan
informasi mengenai distribusi spesies. Pada dasarnya pendekatan SIG meliputi
penyimpanan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya
beragam, seperti tipe-tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi,
dan distribusi spesies. Pendekatan ini dapat menunjukkan korelasi antara
elemen-elemen biotik dan abiotik dalam lanskap, serta dapat membantu
perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan dan
keanekaragaman hayati. Foto-foto udara dan citra satelit merupakan data
tambahan bagi SIG (Primack et al., 1998).
Aronoff (1991) mengutarakan bahwa definisi SIG adalah sisitem informasi
berbasis kemputer yang digunakan untuk memasukkan dan memanipulasi
informasi geografis.
Menurut Maiczewski (1999) definisi SIG berfokus pada dua aspek
sistem yaitu teknologi dan pemecahan masalah.
Empat komponen dasar SIG: 1) masukan data (data input),
komponen pengubah data yang ada (existing) menjadi data yang dapat digunakan
oleh SIG, kegiatan ini biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; 2) manajemen data
(data management); 3) manipulasi dan analisis (manipulation and analysis); dan 4)
keluaran (output), bentuk hasil dari SIG sangat beragam kualitas, kecepatan, dan
kemudahannya, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy. Sistem informasi
geografis adalah alat yang mampu menangani data spasial, pada SIG data berformat
digital, dalam jumlah besar data dapat dikelola dan diubah dengan cepat dan biaya
rendah per unitnya.
Sistem Informasi Geografis
(SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. SIG terdiri dari perangkat
keras dan
Sedangkan menurut Tkach dan Simonovic (1997) GIS merupakan
teknologi yang berkembang dengan cepat dalam hal keefisienan penyimpanan
perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan
memproses informasi berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan dan
menginterpretasi peta (Farina, 1998).
29
data, analisis dan manajemen informasi spasial. Hampir semua proses
manajemen pengambilan keputusan memerlukan analisis informasi spasial.
Dengan menggunakan teknologi SIG maka banyak informasi berguna yang
dapat dihasilkan dari data dasar. Ketelitian serta pengaturan kembali aliran
informasi dalam pelaksanaannya dapat semakin efektif dan secara nyata
memperbaiki kualitas kerja (Lin, 2000).
Bird, Peccol, Taylor, Brewer, dan Keech (1994) mengutarakan SIG adalah
mengganti pemakaian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file komputer yang
dapat ditampilkan di layar komputer. Peranan SIG adalah memfasilitasi kompilasi
data dan analisis bagi pekerjaan interprestasi. Pada penggunaan SIG hal penting
yang harus dipahami adalah dari mana data dikumpulkan, bagaimana
pendefinisian bentukan lanskap dan tipe data yang sesuai untuk dimasukkan dalam
kumpulan data. Hal tersebut berkaitan dengan hasil dari proses SIG karena
Inventarisasi dan pemetaan terhadap potensi sumber daya alam dapat
dilakukan dengan teknologi penginderaan jauh (inderajaya/remote sensing) dan
Sistem Informasi Geografis (GIS). Informasi kelautan yang dapat dikumpulkan
dengan teknologi penginderaan jauh antara lain: sedimen tersuspensi dalam kolam
air, topografi, batimetri, kondisi laut, warna air, identifikasi klorofil-a, suhu
permukaan perairan, sumber daya perikanan, tumpahan minyak, vegetasi seperti
mangrove dan padang lamun. Setelah data tersebut terkumpul, maka untuk
mengelolanya (memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan) menjadi informasi
yang berguna bagi proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam
pembangunan sumber daya alam (termasuk kelautan) digunakan SIG.
Pengembangan basis data SIG seperti yang dimaksud perlu ditunjang dengan data
geografi baik fisik maupun non fisik secara terperinci (Dahuri et.al, 2008).
apabila
ada ketidaksesuaian penggunaan data atau teknik analisis maka hasil akhir akan
terlihat meyakinkan padahal hasil tersebut salah.
Gunn (1994) telah menggunakan teknologi SIG dalam perencanaan wisata
berkelanjutan yang dilakukannya di Upcountry South Carolina. Proses
perencanaan pada kawasan tersebut meliputi empat tahapan yaitu tahap penentuan
sasaran dan tujuan, riset faktor-faktor dasar, sintesis dari hasil riset, dan tahapan
terakhir adalah identifikasi peluang baru pada daerah tujuan yang paling baik
30
untuk dikembangkan. Pada tahapan riset, selain informasi juga dibuat peta tematik
digital yang berdasarkan faktor-faktor dasar yang terdiri dari sumber daya alam
dan sumber daya budaya. Pemetaan dilakukan dengan perangkat lunak SIG (Arc
View). Selanjutnya peta yang telah didigitasi tersebut diberi peringkat dan bobot
kemudian di-overlay untuk melihat zona yang memiliki peluang terbaik untuk
dikembangkan.
2.7. Metode PRA
Untuk menciptakan ekowisata yang berbasis masyarakat (Community-
Based Ecotourism) perlu stimulasi agar peran masyarakat meningkat dalam
ekowisata ini, hal ini dapat dilakukan dengan metode pendekatan Participatory
Rural Appraisal (PRA) yang merupakan metode pendekatan partisipatif dengan
menekankan pada upaya-upaya peningkatan partisipatif masyarakat lokal
dalam mengkaji lingkungan sekitarnya untuk melakukan perencanaan lanskap
kawasan ekowisata di suatu daerah. Sehingga dengan metode tersebut
diharapkan hasil dari penelitian dilakukan nantinya berperan dalam pelaksanaan
pembangunan ekowisata di suatu wilayah.
Berdasarkan buku Panduan Pengambilan Data dengan Metode RRA/PRA
(2006),
Teknik penerapan metode PRA dapat dilakukan dengan metode kelompok
yang terdiri atas FGD dan Brainstorming; matrik terdiri atas ranking masalah,
ranking sosial ekonomi, analisis SWOT, visualisasi dan diagram hubungan yaitu
dengan pohon masalah dan diagram venn, metode tempo terdiri atas; kalender
musim, lintasan sejarah, aktivitas harian, transek dan trend, metode spasial/ ruang
seperti pemetaan partisipatif, teknik manta taw, transek plot, dan beberapa teknik
Perubahan sosial merupakan tujuan yang sangat mendasar dalam
penerapan metode PRA ini. Secara harfiah metode ini dapat diartikan sebagai
pengkajian pedesaan dan atau pesisir secara partisipatif. Menurut Robert
Chambers (yang mengembangkan metode ini) mengartikan sebagai sekumpulan
pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan dan atau pesisir
untuk turut serta meningkatkan dan mengkaji pengetahuan mereka mengenai
hidup dan keadaan mereka sendiri agar meraka dapat menyusun rencana dan
tindakan pelaksanaannya.
31
lainnya. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan metode
spasial/ruang dengan pemetaan partispatif untuk menilai kondisi kawasan
ekowisata secara partisipatif.
Metode pemetaan partisipatif bertujuan untuk memplot informasi yang ada
pada suatu daerah dalam suatu peta. Pemetaan ini dilakukan berdasarkan
partisipasi masyarakat. Dimana masyarakat yang mengetahui keberadaan
informasi tersebut memplot sendiri informasi yang ada pada peta dasar atau
langsung membuat peta sendiri dengan panduan peneliti. Peta yang dibuat ada dua
macam yaitu peta sket dan peta berdasarkan peta dasar. Informasi yang ada dalam
peta tersebut pada akhir pemetaan harus dicek kebenarannya langsung di
lapangan. Jadi, pemetaan partisipatif berupa metode untuk mengumpulkan dan
memetakan informasi yang ada serta yang terjadi dalam masyarakat serta kondisi
sekitar. Informasi tersebut dikumpulkan, dipetakan dan dianalisis untuk
membantu pengelola memahami kondisi yang lalu, kondisi saat ini serta
memperkirakan potensi atau kondisi akan datang bagi pengelolaan kawasan
pesisir. Juga untuk mengidentifikasi keterbatasan serta kesempatan pemanfaatan
sumber daya alam bagi pembangunan kawasan ekowisata pesisir yang berbasis
masyarakat (Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, 2006).