11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a. Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School
Based Management (SBM) merupakan strategi untuk
mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif
(Mulyasa, 2009: 33).
Menurut Prabhakar (2011:108):
School Based Management (SBM) is one such experiment in the area of education sector. Many countries - developed as well as developing, have been benefitting from such management oriented reforms in education sector ensuring fast develop-ment.
Menurut The World Bank (2008:2):SBM is
the decentralization of authority from the central government to the school level. School-based management can be viewed conceptually as a formal alteration of governance structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision-making authority as the primary means through which improvement might be stimulated and sustained.
Sedangkan menurut Brian (2005:2):
School-based management is the systematic decentralization to the school level of authority and responsibility to make decisions on significant matters related to school operations within a
12
centrally determined framework of goals, policies, curriculum, standards, and accountability.
Abdul Hafid (2011: 191) menyatakan,
istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari
tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah.
Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian
sumber daya melalui sejumlah input manajemen ,
untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Sumber daya terbagi menjadi
sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya
(peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang);
input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program,
limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-
ketentuan. Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau
"berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi
terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal
kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar
ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro,
meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk
sumber daya manusia; spesifikasi untuk
barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu model
pengelolaan yang memberikan otonomi atau
kemandirian kepada sekolah atau madrasah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
13
melibatkan secara langsung semua warga sekolah atau
madrasah sesuai dengan standar pelayanan mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat, Provinsi Kabupaten
dan Kota (Depag, 2002: 2).
Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) merupakan
paradigma baru pendidikan yang memberikan luas
pada tingkat sekolah (pelibatan , masyarakat) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi
diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya
atau sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai
dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap
terhadap kebutuhan setempat. Penglibatan
masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih
memahami, membantu dan mengontrol pengelolaan
pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang
menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan
oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara
mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan
prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-
sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah
(Mulyasa, 2009: 24).
Rohiat (2010: 57) menyatakan bahwa Manajemen
Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu
dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya.
Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam
14
menerapkan MBS, sejumlah karakteristik MBS perlu
dimiliki. Karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan
dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS
rnerupakan wadah/kerangka, sekolah efektif
merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS
memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif
yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing
kategori yaitu:
1. Input Pendidikan yang meliputi: (a) Memiliki
kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas,
(b) Sumberdaya tersedia dan siap, (c) Staf yang
kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) Memiliki
harapan prestasi yang tinggi, (e) Fokus pada
pelanggan (khususnya siswa), dan (f) input
manajemen;
2. Proses meliputi: (a) Proses belajar mengajar
dengan efektivitas yang tinggi, (b) Kepemimpinan
sekolah yang kuat, (c) Lingkungan sekolah yang
aman dan tertib, (d) Pengelolaan tenaga
kependidikan yang efektif, (e) Sekolah memiliki
budaya mutu, (f) Sekolah memiliki teamwork
yang kompak, cerdas dan dinamis, (g) Sekolah
memiliki kewenangan (kemandirian), (h)
Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan
masyarakat, (i) Sekolah memiliki katerbukaan
15
(transparansi) manajemen, (j) Sekolah memiliki
kemauan untuk berubah (Psikologi dan fisik), (k)
Sekolah melakukan Evaluasi dan perbaikan
secara berkelanjutan, (1) Sekolah responsif dan
antisipatif terhadap kebutuhan, (m) Memiliki
komunikasi yang baik, (n) Sekolah memiliki
akuntabilitas, (o) Manajemen lingkungan hidup
sekolah baik, (p) Sekolah memiliki kemampuan
menjadi sustainabel;
3. Output yang diharapkan. Sekolah memiliki output
yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan melalui proses
pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada
umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu output berupa prestasi akademik
(academic achievement) misalnya, UAS, lomba
(Bahasa Inggris, siswa teladan, pidato, olimpiade
sains nasional dll), cara berpikir (kritis, kreatif
divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan
ilmiah), dan output berupa prestasi non
akademik (nonacademic achievement) misalnya,
akhlak/budi pekerti, dan perilaku sosial yang
baik, seperti: kejujuran, kerjasama yang
baik,rasa kasih sayang yang tinggi terhadap
sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi,
16
kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga,
kesenian, dan kepramukaan.
Usman (2008, 574) menyebutkan prinsip-prinsip
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBS
yaitu K8, antara lain sebagai berikut:
(1) Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus
mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya
menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS, (2)
Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental
untuk ber-MBS, (3) Keterlibatan, pendidikan yang efektif
melibat-kan semua pihak dalam mendidik anak, (4)
Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit ter-
penting bagi pendidikan yang efektif. (5) Keputusan, segala
keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar
mengerti tentang pendidikan, (6) Kesadaran, guru-guru
harus memiliki kesadar-an untuk membantu dalam
pembuatan keputsan program pendidikan dan kurikulum,
(7) Kemandi-rian, sekolah harus diberi otonomi sehingga
memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
pengalokasian dana, dan (8) Ketahanan, perubahan akan
bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholder
sekolah.
Manajemen sekolah akan melihat bagaimana
manajemen substansi-substansi pendidikan di suatu
sekolah atau manajemen berbasis sekolah (School
Based Management) agar dapat berjalan dengan tertib,
lancar dan benar-benar terintegrasi dalam suatu sistem
kerja sama untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Hal yang paling penting dalam implementasi
manajemen berbasis sekolah adalah manajemen
terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri.
Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang
harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS,
(Mulyasa, 2009: 39-40) antara lain:
a. Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran;
17
b. Manajemen Tenaga Kependidikan;
c. Manajemen Kesiswaan;
d. Manajemen Keuangan dan Pernbiayaan;
e. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan;
f. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat.
Mulyasa (2009: 25) menyatakan bahwa MBS
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan
pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara
lain, diperoleh melalui keleiuasaan mengelola
sumberdaya partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan
mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi
orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan
sekolah dan pembelajaran, peningkatan
profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya
sistem insentif serta disinsentif. Sedangkan
peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui
peningkatan partisipasi masyarakat yang
memungkinkan pemerintah lebih berkon-sentrasi pada
kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada
sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang
tinggi terhadap sekolah.
Menurut Eman Suparman dalarn Mulyono (2008:
245-246), terdapat beberapa manfaat MBS yang bisa
diraih, yaitu:
a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi
dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lain;
18
b. Dengan demikian, sekolah dapat mengoptimalkan
sumber daya yang tersedia untuk memajukan
lembaganya;
c. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya
dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta
didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik;
d. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu
pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang
tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya
sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin
untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu
pendidikan yang telah direncanakan;
e. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan
sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan
melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang
tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah
setempat.
Dalam manajemen berbasis sekolah komponen
pendidikan yang meliputi kepala sekolah, guru, dan
komite sekolah masing-masing memiliki peranan yang
harus dijalankan secara proporsional dan profesional
sehingga program sekolah dapat berjalan sesuai yang
direncanakan.
2.1.1 Kepala Sekolah
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar
dalam pelaksanaan MBS. Menurut Mulyasa (2007: 98),
terdapat beberapa peran kepala sekolah antara lain
19
sebagai evaluator, motivator, superior, leader, innovator,
manager, dan administrator. Menurut Mulyasa
(2007:98) kepala sekolah berfungsi sebagai edukator,
manajer, administrator, supervisor, leader, innovator,
dan motivator (EMASLIM).
Fungsi kepala sekolah di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Kepala sekolah sebagai Educator (Pendidik)
Kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk
meningkatkan profesional guru, menciptakan iklim
sekolah yang konduksif, memberikan dorongan kepada
tenaga pendidik untuk melaksanakan model
pembelajaran yang menarik untuk anak didik; b. Kepala sekolah sebagai Manajer
Kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk
memberdayakan tenaga pendidik melalui kerjasama
untuk menunjang program sekolah; c. Kepala sekolah sebagai Administrator
Kepala sekolah sebagai administrator berkait-an dengan pencatatan, penyusunan dan pen-dokumenan seluruh
program sekolah. Kepala sekolah juga harus mampu
mengelola kuri-kulum, administrasi siswa, mengelola
sarana prasarana, mengelola administrasi kearsipan,
dan mengelola administrasi keuangan untuk menunjang
produktivitas sekolah; d. Kepala sekolah sebagai Supervisor
Kepala sekolah harus mampu mensupervisi kegiatan
pembelajaran sehingga seluruh aktivitas organisasi
sekolah dapat rnencapai tujuan; e, Kepala sekolah sebagai Leader
Kepala sekolah sebagai leader harus mampu
memberikan pengarahan, pengawasan, pendelegasian
tugas, pengambilan keputusan, kemampuan
berkomunikasi dan membuka komunikasi dua arah; f. Kepala sekolah sebagai Innovator
Kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk
menjalin hubungan dengan lingkungan, mencari gagasan baru, menjadi teladan kepada seluruh tenaga
pendidikan di sekolah; g. Kepala sekolah sebagai Motivator
20
Kepala sekolah sebagai motivator harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi bagi para tenaga
pendidik dalam men-jalankan tugas dan fungsinya.
Anwar dan Amir dalam Mulyasa (2001: 30)
mengungkapkan bahwa: Kepala sekolah sebagai
pengelola mempunyai tugas mengembangkan kinerja
personel, terutama meningkatkan kompetensi
profesional guru. Mulyasa (2002: 126) mengungkapkan
bahwa kepala sekolah merupakan motor penggerak,
penentu arah kebijakan sekolah, yang akan
menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan
pendidikan pada umumnya direalisasikan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kepala sekolah adalah seorang
guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin
suatu sekolah untuk mencapai tujuan bersama. Peran
kepala sekolah sebagai pemimpin pada umumnya
berkaitan dengan bagaimana kepala sekolah
bertanggungjawab atas sekolahnya dalam
melaksanakan berbagai kegiatan, seperti mengelola
berbagai masalah menyangkut pelaksanaan
administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan
yang ada di sekolah, pendayagunaan sarana dan
prasarana pedidikan.
21
2.1.2 Peran Guru
Guru sangat berperan dalam mengarahkan dan
membimbing siswa dalam mewujudkan tujuan
hidupnya. Sagala (2007: 99) berpendapat bahwasannya
dalam proses pendidikan guru memiliki peranan sangat
penting dan strategis dalarn proses membimbing
peserta didik ke arah kedewasaan, kematangan dan
kemandirian, sehingga guru sering dikatakan sebagai
ujung tombak pendidikan. Dalam melaksanakan
tugasnya seorang guru tidak hanya mengua-sai bahan
ajar dan memiliki kemampuan teknis edukatif, tetapi
harus memiliki kepribadian dan integritas pribadi yang
dapat diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi
peserta didik, keluarga maupun masyarakat. Peranan
guru semakin bermakna strategis dalam
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
dalam menghadapi era globalisasi.
Natawidjaja (1994: 6-7) dalam Uzer (1995:9-13)
berpendapat bahwa peran guru dalam membatu
perkembangan peserta didik meliputi:
a. Peran guru dalam proses belajar mengajar.
1) Guru sebagai demonstrator, guru berperan sebagai
demonstrator, guru dituntut untuk menguasai materi
pelajaran yang akan diajarkan sehingga hasil belajar siswa
akan terus meningkat; 2) Guru sebagai pengelola kelas, guru berperan dalam
pengelolaan kelas dengan baik sehingga siswa dapat belajar
dengan menyenangkan dengan memaksimalkan fasilitas
yang ada di sekolah untuk kegiatan belajar;
3) Guru sebagai mediator dan fasilitator, peran guru sebagai
perantara hubungan antar manusia sehingga guru harus
22
trampil menggunakan pengetahuannya untuk berkomunikasi dengan orang lain sehingga tercipta
lingkungan pendidikan yang interaktif;
4} Guru sebagai evaluator, peran guru sebagai evaluator guru
harus selalu mengetahui ketercapaian tujuan belajar
dengan mengikuti hasil belajar siswa dengan memberikan penilaian dan tindak lanjut untuk tolak ukur perbaikan
pembelajaran berikutnya.
b. Peran guru dalam administrasi
1) Pengambilan inisiatif,pengarahan dan penilaian kegiatan-
kegiatan pendidikan, guru senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan pihak sekolah;
2) Wakil masyarakat, sebagai anggota dalam masyarakat guru
harus mencerminkan masyarakat yang baik;
3) Orang yang ahli dalam mata pelajaran,guru wajib
menularkan ilmunya kepada anak didiknya; 4) Penegak disiplin, guru harus menjaga kedisiplinan;
5) Pelaksana administrasi pendidikan, guru harus
melaksanakan administrasi sekolah dengan penuh
tanggung jawab;
6) Pemimpin generasi muda, guru berperan dalam
mempersiapkan generasi muda dalam mempersiapkan diri menjadi anggota masyarakat dewasa
7) Penerjemah kepada masyarakat, guru mampu
menyampaikan kepada masyarakat tentang masalah-
masalah pendidikan.
c. Peran guru sebagai pribadi
1) Petugas sosial, guru mampu berpartisipasi dalam kegiatan dimasyarakat
2) Pelajar dan Ilmuan, guru harus terus menerus
mengembangkan pengetahuannya mengikuti perkembangan
ilrnu pengetahuan;
3) Orang tua, guru sebagai pengganti orang tua di sekolah bagi anak didiknya;
4) Pencari teladan; guru menjadi contoh tauladan bagi peserta
didik karena sebagai panutan di sekolah.
5) Pencari keamanan, guru bisa memberi rasa aman bagi
peserta didik, karena guru sebagai tempat berlindung bagi
peserta didik.
d. Peran guru secara psikologis
1) Ahli psikologis pendidikan, melaksanakan tugasnya dengan
dasar prinsip-prinsip psikologis;
23
2) Seniman dalam hubungan antar manusia, mampu membuat hubungan antar manusia untuk tujuan pendidikan;
3) Pembent.uk kelompok sebagai jalan atau alat dalam
pendidikan; 4) Catalytic agent, berpengaruh dalam pembaharuan dalam
pembelajaran;
5)Petugas kesehatan mental, bertanggung-jawab terhadap pembinaan mental siswa-siswinya.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa peran guru apabila dijalankan dengan baik dan
penuh tanggung jawab maka akan meningkatkan
kualitas guru, khususnya kualitas pendidikan.
2.1.3 Peran Komite sekolah
Komite sekolah merupakan suatu badan atau
lembaga non politis dan non profit, dibentuk berda-
sarkan musyawarah yang demokratis oleh para
stakeholder pendidikan di tingkat sekolah sebagai
representasi dari berbagai unsur yang
bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas
proses dan hasil pendidikan (Permadi dan Arifin,
2007:30).
Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat
mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan
satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah
lainnya. Posisi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah,
satuan pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing
24
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pembentukan
Komite Sekolah ditetapkan dalam Keprnendiknas
Nomor 044/U/2002 dan merupakan amanat dari UU
Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) tahun 2000-2004. Sasaran yang
dicapai dalam program pembinaan pendidikan dasar
dan menengah di antaranya adalah terwujudnya
manajemen pendidikan berbasis sekolah atau masya-
rakat (school community based management) dengan
mengenalkan konsep dan merintis pembentukan
Dewan Sekolah (Pendidikan) di setiap kabupaten/kota,
dan pemberdayaan Komite Sekolah di setiap sekolah.
Pembentukan komite sekolah bertujuan: (a)
mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan program
pendidikan di kabupaten/kota (untuk Dewan
Pendidikan) dan di satuan pendidikan (untuk Komite
Sekolah); (b) meningkatkan tanggung jawab dan peran
serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan; (c) menciptakan suasana
partisipatif, transparan, akuntabel, dan demokratis
dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan
bermutu di daerah kabupaten/kota dan satuan pen-
didikan.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 56
membahas tentang Dewan Pendidikan dan Komite
25
Sekolah. Partisipasi masyarakat dalam peningkatan
mutu pendidikan tertuang pada pasal 56 (1) yang
menyebutkan: "masyarakat berperan dalam peningkat-
an mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah".
Kinerja Komite Sekolah sangat dipengaruhi oleh
kemampuan Komite Sekolah dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan tanggung jawab dan peran yang
dilakukannya yakni sebagai badan pertimbangan
(advisory agency), pendukung (supporting agency),
pengawasan (controlling agency) dan mediator. Sebuah
organisasi publik, maka Komite Sekolah memiliki peran
penting dalam pendidikan, oleh karena itu Komite
Sekolah harus senantiasa tanggap dalam menghadapi
seluruh persoalan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Peran Komite Sekolah mutlak diperlukan seiring
dengan tuntutan masyarakat yang ingin berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran dan fungsi
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat
dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di
tingkat sekolah. Menurut Uno (2008: 55) beberapa
aspek manajemen yang secara langsung dapat dise-
rahkan pada tingkat sekolah adalah:
1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah;
26
2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang
ada, jumlah guru, dan tenaga administratif yang dimiliki;
3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler
yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah;
4. Pengadaan sarana prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dengan memperhatikan / standar dan
ketentuan yang ada;
5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri
oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan
oleh pemerintah provinsi dan kabupaten;
6. Proses pengajaran dan pembelajaran.
Sejak bergulirnya demokrasi dan partisipasi,
akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada
pemerintah tetapi juga oleh masyarakat sebagai
stakeholder pendidikan termasuk Komite Sekolah.
Komite Sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan
para orang tua murid akan rendahnya prestasi yang
dicapai oleh sekolah. Komite sekolah tidak perlu
melakukan studi atau penilaian pendidikan, tetapi
cukup dengan menggunakan data pengaduan, laporan
dari masyarakat yang ada untuk menyampaikan
kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap
pendidikan.
Dalam rangka memenuhi harapan besar terha-
dap peran Komite Sekolah dalam meningkatkan mutu
pendidikan diperlukan adanya kerjasama yang sinergis
antara sekolah, orang tua dan masyarakat. Komite
Sekolah memerlukan acuan tentang bagaimana
membuat rencana kerja, melaksanakan program kerja,
memonitor dan mengevaluasi, serta
27
mempertanggungjawabkan kepada stakeholder
pendidikan.
Komite Sekolah merupakan mitra dari
pemerintah dan sekolah agar dapat melaksanakan
peran secara konsisten. Komite Sekolah menjadi
penyalur aspirasi masyarakat dan harus rnemiliki
AD/ART, serta program kerja yang rasional. Komite
Sekolah sebagai mediasi bagi masyarakat dalam arti
bahwa sekolah adalah milik bersama masyarakat dan
pemerintah. Tinggi rendahnya mutu pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat
dan pemerintah.
Suyatno dalam Pantjastuti (2008:15) menyebutkan
bahwa kualitas pendidikan di masa yang akan datang
bergantung pada komitmen daerah, termasuk
komitmen dari orang tua dan masyarakat yang terga-
bung dalam Komite Sekolah. Oleh karena itu, upaya
peningkatan mutu pendidikan merupakan keberhasilan
bersama secara sinergis antara sekolah, orang tua dan
masyarakat.
Dari berbagai pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah
merupakan penerapan hasil berpikir rasional di sekolah
tersebut untuk mengorganisasikan kegiatan yang
menunjang kegiatan belajar dan pembelajaran guna
yang melibatkan unsur-unsur di sekolah tersebut yaitu
28
kepala sekolah, guru dan komite sekolah mencapai
tujuan yang telah disepakati bersama.
2.2 Model Evaluasi Program CIPP Evaluasi berasal dari kata bahasa Inggris
“evaluation” yang diserap dalam perbendaharaan
istilah bahasa Indonesia dengan tujuan
mempertahankan kata aslinya dengan sedikit
penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi” yang
dapat diartikan memberikan penilaian dengan
membandingakan sesuatu hal dengan satuan tertentu
sehingga besifat kuantitatif. Kegiatan evaluasi harus
dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab,
menggunakan strategi dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kegiatan evaluasi harus
dilakukan secara hati-hati, bertanggung jawab,
menggunakan strategi dan dapat
dipertanggungjawabkan ( Suharsimi dan Jabar,
2008:1 )
Suchman dalam Suharsimi ( 2008:1 )
memandang evaluasi sebagai sebuah proses
menentukan hasil yang telah dicapai beberapa
kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
tercapainya tujuan. Sedangkan menurut Stufflebeam
dalam Suharsimi ( 2008:2 ) evaluasi merupakan suatu
proses penggambaran, pencarian, dan pemberian
informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil
29
keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
Anderson ( dalam Suharsimi dan Jabar, 2008:1)
memandang evaluasi sebagai sebuah proses
menentukan hasil yang telah dicapai beberapa
kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
tercapainya tujuan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan atau tindakan
menilai, menaksir sesuatu secara sistematik dan
terencana untuk menentukan pilihan yang tepat
dalam mengambil keputusan menuju sesuatu yang
lebaih baik dari keadaan sebelumnya.
Program dapat diartikan menjadi dua istilah yaitu
program dalam arti khusus dan program dalam arti
umum. Pengertian secara umum dapat diartikan
bahwa program adalah sebuah bentuk rencana yang
akan dilakukan. Apabila “program” ini dikaitkan
langsung dengan evaluasi program maka program
didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan
yang merupakan realisasi atau implementasi dari
kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi
yang melibatkan sekelompok orang.
Menurut Suharsimi dan jabar ( 2008:4 ) Program
adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang
merupakan realisasi atau implementasi dari suatu
30
kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu
organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Sebuah
program bukan hanya kegiatan tunggal yang dapat
diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi merupakan
kegiatan yang berkesinambungan karena
melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu,
sebuah program dapat berlangsung dalam kurun
waktu relatif lama. Di dalam program terdapat
beberapa aspek, yaitu : (1) tujuan kegiatan yang
hendak dicapai; (2) kegiatan yang diambil dalam
mencapai tujuan; (3) aturan yang harus dipegang dan
prosedur yang harus dilalui; (4) perkiraan anggaran
yang dibutuhkan; dan (5) strategi pelaksanaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa program adalah suatu kegiatan
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang saling
berkesinambungan dalam melaksanakan kebijakan
dan memerlukan waktu yang relatif lama.
Depdikbud ( 2002:2 ) memberikan pengertian
Evaluasi program adalah proses pengumpulan dan
penelaahan data secara berencana, sistematis dan
dengan menggunakan metode dan alat tertentu untuk
mengukur tingkat keberhasilan atau pencapaian
tujuan program dengan menggunakan tolok ukur yang
telah ditentukan. Evaluasi program adalah proses
31
penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan,
efektifitas atau kecocokan sesuatu dengan kriteria dan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses
penetapan keputusan itu didasarkan atas
perbandingan secara hati-hati terhadap data yang
diobservasi dengan menggunakan standard tertentu
yang telah dibakukan.
Evaluasi program menurut Mugiadi dalam Djudju
Sudjana ( 2006:21 ) adalah upaya pengumpulan
informasi mengenai suatu program, kegiatan, atau
kegiatan proyek. Informasi tersebut berguna bagi
pengambil keputusan, antara lain untuk memperbaiki
program, menyempurnakan kegiatan program
lanjutan, menghentikan suatau kegiatan, atau
menyebarluaskan gagasan yang mendasari suatu
program atau kegiatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa evaluasi program adalah suatu kegiatan yang
sistematis dan terstruktur dalam rangka
mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan
menyajikan infotmasi sebagai masukan yang pada
akhirnya digunakan untuk mengambil keputusan.
Tujuan evaluasi menurut Suharsimi ( 2008 : 18 )
adalah : (1) memberi masukan pada perencanaan
program atau kegiatan, (2) sebagai bahan
pertimbangan untuk pengambilan keputusan, (3)
32
memberi masukan untuk memodifikasi program, (4)
mendapat informasi tentang pendukung dan
penghambat program, (5) sebagai upaya untuk
melakukan tindakan perbaikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan evaluasi program adalah : (1) memberi
masukan;(2) menilai hasil yang dicapai dari sebuah
program; (3) membuat kebijakan dan keputusan;(4)
memonitor pengeluaran dana;(5) memperbaiki kinerja
dan materi dari keadaan sebelumnya.
Suharsimi dan Jabar (2008:22) menjelaskan
manfaat evaluasi program adalah: (1) menghentikan
program karena dipandang bahwa program tersebut
tidak ada manfaatnya;(2) merevisi program karena ada
bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan;(3)
melanjutkan program karena pelaksanaan program
menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan
sesuai dengan harapan dan memberi hasil yang
bermanfaat;(4) menyebarluaskan program karena
program tersebut berhasil dengan baik maka sangat
baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang
lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa manfaat evaluasi program adalah untuk
mengetahui sejauh mana program itu terlaksana.
Informasi atau data hasil evaluasi kemudian
33
dikumpulkan, dideskripsikan, kemudian digunakan
untuk rnengambil keputusan dalam rangka
memperbaiki, menghentikan, merevisi program, atau
menyebarluaskan program.
Demikian juga dengan pendapat Hikmat, dkk
(2005:17) yang memberikan batasan tentang
pentingnya evaluasi program/kegiatan antara lain:
memperlihatkan keberhasilan atau kegagalan
program/kegiatan, menunjukan dimana dan
bagaimana perlu diadakan perubahan-perubahan,
memperlihatkan bagaimana kekuatan atau potensi
ditingkatkan, memberikan informasi untuk membuat
perencanaan dan pengambilan keputusan dan
membantu untuk dapat melihat konteks dengan lebih
luas serta implikasinya terhadap kinerja
program/kegiatan.
Mustopadijaja (2002: 45) menegaskan bahwa
evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada tahap
pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Sedangkan tahapan yang harus dilakukan dalam
kegiatan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan
menurut Widodo (2007: 125) yaitu :
a.Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan
kebijakan, program dan kegiatan
b. Penjabaran tujuan kegiatan, program, dan kegiatan
kedalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan
34
c. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan
program
d. Berdasarkan indikator pencapaian tujuan
kebijakan program tadi, dicairkan datanya
dilapangan
e. Hasil data yang diperoleh dari lapangan kemudian
dilakukan pengolahan, dan komparasi dengan
kriteria pencapaian tujuan kebijakan, program dan
kegiatan yang dapat dicapai, jika tidak sesuai maka
implementasi kebijakan, program dan kegiatan
dapat dikatakan gagal. Berdasarkan tingkat
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu
kebijakan, kemudian dapat disusun
saran/rekomendasi kebijakan berkaitan dengan
nasib atau masa depan kebijakan publik yang
sedang dievaluasi tadi.
Model evaluasi adalah model desain evaluasi yang
dibuat oleh ahli-ahli atau pakar-pakar evaluasi, yang
biasanya model evaluasi itu dinamakan sama dengan
pembuatnya. Model-model evaluasi ini dianggap model
standar. Oleh karena itu, dapat digunakan evaluator
sesuai dengan tujuan evaluasinya.
Proses pengimplementasian suatu program, tentu
mempunyai perbedaan dalam evaluasi. Perbedaan
tersebut terjadi karena adanya perbedaan maksud dan
tujuan dari suatu program. Oleh karena adanya
perbedaan tersebut, muncul beberapa teknik evaluasi
dalam pengimplementasian suatu program. Isaac
35
(dalam Suharsimi dan Jabar, 2008:40) membedakan
adanya empat hal yang digunakan untuk membedakan
ragam model evaluasi yaitu (1) berorientasi pada tujuan
program - goal oriented , (2) beroreintasi pada
keputusan - decision oriented, (3) berorientasi pada
kegiatan dan orang-orang yang menanganinya -
transactional oriented, (4) berorientasi pada pengaruh
dan dampak program - research oriented.
Model evaluasi CIPP ini merupakan salah satu
dari beberapa teknik evaluasi suatu program yang ada.
Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam dan
kawan-kawan (1967) di Ohio State University. Model ini
berlandaskan pada keempat dhnensi yaitu dimensi
context,dimensi input, dimensi process, dan dimensi
product. CIPP merupakan sebuah singkatan dari huruf
awal empat buah kata, yaitu Context evaluation :
evaluasiterhadap konteks, Input evaluation :evaluasi
terhadap masukan, Process evaluation: evaluasi
terhadap proses, dan Product evaluation: evaluasi
terhadap hasil. Keempat kata yang disebutkan dalam
singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi,
yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah
program/ kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP
adalah model evaluasi yang rnemandang program yang
dievaluasi sebagai sebuah sistem.
36
Maksud dan tujuan Stufflebeam (Suharsimi dan
Jabar 2008: 45) pada model evaluasi CIPP ini adalah
bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai
dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu,
untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment
mengenai kekuatan dan kelemahan program yang
dievaluasi, dan tujuan evaluasinya adalah sebagai :
a. Penetapan dan penyediaan informasi yang
bermanfaat untuk menilai keputusan
alternatif;
b. Membantu audience untuk menilai dan
mengembangkan manfaatprogram pendidikan
atau obyek;
c. Membantu pengembangan kebijakan dan
program.
Tabel 2.1
Model evaluasi CIPP
Aspek evaluasi Tipe keputusan Jenis pertanyaan
Context
evaluation
Keputusan yang
terencana
Apa yang
harus dilakukan?
Input evaluation Keputusan
terstruktur
Bagaimana kita
melakukannya?
Process
evaluation
Keputusan
implementasi
Apakah yang
dilakukan sesuai
rencana?
Product
evaluation
Keputusan yang
telah disusun ulang
Apakah berhasil?
37
Sumber : The CIPP approach to evaluation
(Robinson, 2002)
Penjelasan masing-masing dimensi dapat
dijabarkan lebih jelas lagi seperti di bawah ini.
a. Context Evaluation Context Evaluation (evaluasi konteks)
diartikan sebagai situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis
tujuan dan strategi yang dilakukan dalam suatu program yang bersangkutan. Penilaian dari dimensi
konteks evaluasi ini seperti kebijakan atau unit kerja terkait, sasaran yang
ingin dicapai unit kerja dalam waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja terkait dan
sebagainya.Stufflebeam dalam Hamid Hasan menyebutkan, tujuan dari
evaluasi konteks yang utama ialah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki evaluan, sehingga dapat
diberikan arahan perbaikan yang dibutuhkan.Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan,
menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan
tujuan program. Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang
tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
b. Input Evaluation Input Evaluation pada dasarnya
mempunyai tujuan untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, dan proses
dengan hasil program. Evaluasi ini juga
38
untuk menentukan kesesuaian lingkungan dalam membantu pencapaian tujuan dan objektif program. Menurut
Eko Putro Widyoko, 2009 evaluasi masukan (Input Evaluation) ini ialah
untuk membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apadiambil, apa rencana dan
strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk
mencapainya. Evaluasi ini menolong mengatur
keputusan, menentukan sumber-sumber
yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, bagaimana
prosedur kerja untuk mencapainya. Menurut Stufflebeam pertanyaan
yang berkenaan dengan masukan mengarah pada "pemecahan masalah" yang mendorong diselenggarakannya
program yang bersangkutan.
c. Process Evaluation
Process evaluation ini ialah merupakan model CIPP yang diarahkan untuk
mengetahui seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan, apakah program
terlaksana sesuai dengan rencana atau tidak. Evaluasi proses juga digunakan untuk mendeteksi atau memprediksi
rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahapimplementasi,
menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagairekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi.
Oleh Stufflebeam (dalam Suharsimi , 2004), mengusulkan pertanyaan untuk proses antara lain sebagai berikut:
39
- Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal.
- Apakah yang terlibat dalam pelaksanaan
program akan sanggup menangani kegiatan
selama program berlangsung ?
- Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal?
- Hambatan-hambatan apa saja yang
dijumpai selama pelaksanaan program?
d. Product Evaluation Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa evaluasi produk
ialah untuk melayani daur ulang suatu keputusan dalam program. Dari evaluasi
produk diharapkan dapat membantu pimpinan proyek dalam mengambil suatu keputusan terkait program yang sedang
terlaksana, apakah program tersebut dilanjutkan, berakhir, ataukah ada
keputusan lainnya. Keputusan ini juga dapat membantu untuk membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai
hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.
2.5 Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Yoga Noviantoro
(2013) dengan judul "Implementasi Kebijakan
Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar
Ngargosari" dapat disimpulkan bahwa bahwa: (1)
implernentasi kebijakan MBS di SD Negeri Ngargosari
dilihat dari proses sosialisasi, perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan monitoring dan
evaluasinya belum berjalan dengan maksimal. Hal ini
40
ditunjukkan dengan masih banyaknya program kerja
sekolah yang belum bisa terpenuhi
Penelitian yang dilakukan oleh Amirudin (2013)
dengan judul "Implementasi MBS oleh kepala sekclah di
SD Negeri 12 Delta Pawan Kabupaten Ketapang"
dengan hasil: bahwa Implementansi MBS oleh kepala
sekolah di SD Negeri Delta Pawan Kabupaten Ketapang
telah berjalan cukup efektif dan sesuai dengan
kebijakan dan perencanaan sekolah, yang meliputi
prosedur, kontribusi kepala sekolah sebagai manajer,
dan faktor pendukung dan penghambat serta upaya
kepala sekolah dalam mengatasi hambatan
implernentasi MBS.
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa MBS dapat berjalan sesuai rencana apabila
sesuai dengan kebijakan dan perencanaan sekolah,
yang meliputi prosedur, kontribusi kepala sekolah
sebagai manajer, faktor pendukung dan penghambat
serta upaya kepala sekolah dalam mengatasi ham-
batan implementasi MBS.
2.6 Kerangka Pikir
Sekolah sebagai sarana memperoleh ilmu guna
mencetak generasi yang berprestasi, idealnya selalu
meningkatkan mutu dan kualitasnya. Keberhasilan
sebuah sekolah tidak dapat dipisahkan dari
pengelolaan atau manajemen sekolah yang baik dan
41
peran kepala sekolah dalam memimpin. Manajemen
yang tidak tertata akan menimbulkan banyak masalah
terhadap berlangsungnya proses pembelajaran di
sekolah tersebut. Jika proses pembelajaran terhambat
maka tujuan pendidikan dalam meningkatkan mutu
sekolah tidak akan tercapai. Begitu pula peran kepala
sekolah yang pasif dan kurang sosialisasi, maka
kondisi kinerja sekolah tidak akan berjalan efektif.
Sejauh ini, pengelolaan atau manajemen sekolah di
sekolah dasar masih belum terarah dan mengalami
berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut
ditimbulkan oleh banyak faktor baik internal dalam
sekolah, maupun dari luar atau faktor ekternal.
Mengetahui kesemrawutan tersebut, pemerintah turun
tangan dengan mencanangkan program desentralisasi.
Desentralisasi yang diprogramkan pemerintah tersebut
dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Manajemen berbasis sekolah diimplementasikan
dengan tujuan meningkatkan mutu sekolah. Dalam
manajerial sekolah dibutuhkan kerjasama yang baik
antara warga sekolah, stakeholder, guru, dan kepala
sekolah untuk menciptakan sekolah yang berprestasi
sesuai dengan tujuan sekolah. Di sisi lain, penerapan
manajemen berbasis sekolah di sekolah tidak selalu
mendapatkan dukungan yang positif. Faktor
penghambat tersebut dapat mempengaruhi hasil yang
42
akan dicapai selama pelaksanaan manajemen berbasis
sekolah.
Sebagai program sekolah, manajemen berbasis
sekolah memiliki kelebihan dan kekurangan yang
harus disadari oleh pihak sekolah. Dalam hal ini
kepemimpinan kepala sekolah diandalkan untuk
memberikan solusi. Kelebihan dari penerapan
manajemen berbasis sekolah adalah dapat
memungkinkan individu-individu yang kompeten di
sekolah untuk membuat keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran, memberikan seluruh
suara komunitas sekolah dalam keputusan-keputusan
penting, fokus akuntabilitas pengambilan keputusan,
mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam
perancangan program sumber daya untuk mendukung
tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah,
mengakibatkan penganggaran realistis sebagai
orangtua dan guru menjadi lebih sadar akan status
keuangan sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya
dari program, meningkatkan semangat guru dan
memelihara kepemimpinan baru di semua tingkatan,
memberdayakan sumber daya manusianya seoptimal
mungkin, memfasilitasi warga sekolahnya untuk
belajar terus dan belajar kembali, mendorong
kemandirian (otonomi) setiap warganya, memberikan
tanggung jawab kepada warganya, mendorong setiap
43
warganya untuk “mempertanggung-gugatkan”
(accountability) terhadap hasil kerjanya, mengajak
warganya untuk komitmen terhadap “keunggulan
kualitas”, mengajak warganya untuk melakukan
perbaikan secara terus-menerus, melibatkan warganya
secara total dalam penyelenggaraan sekolah,
mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas,
dan shared value bagi setiap warganya.
Dengan beberapa keunggulan tersebut, sekolah
yang menerapkan manajemen berbasis sekolah akan
selalu menjadi sekolah yang unggul dalam prestasi dan
mutu. Namun beberapa kekurangan dapat
berpengaruh terhadap berlangsungnya program
manajemen berbasis sekolah antara lain: terdapatnya
beberapa pihak yang tidak berminat untuk terlibat,
anggapan bahwa manajemen berbasis sekolah tidak
efisien, timbulnya kelompok-kelompok dalam sebuah
pekerjaan, membutuhkan anggaran untuk pelatihan,
bingung dalam peran dan tanggung jawab baru, dan
kurangnya koordinasi. Oleh sebab itu, penerapan
manajemen berbasis sekolah dalam sekolah
membutuhkan evaluasi untuk mengetahui
keberhasilan atau kegagalan suatu program. Penelitian
evaluasi bertujuan untuk membantu perencanaan
program, membantu penentuan keputusan, penentuan
berlanjut atau berhentinya suatu program, menemukan
44
fakta dukungan atau penolakan, serta memberikan
sumbangan dalam pemahaman proses psikologis.
Komponen-komponen yang akan dievaluasi dalam
penelitian ini meliputi konteks, masukan (input),
proses, dan hasil dari penerapan manajemen berbasis
sekolah di sekolah dasar. Lebih jelas kerangka berpikir
dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Rekomendasi
Kebijakan
Konteks ProdukProsesInput
MBS
Program
dilanjutkan
Program
direvisi
Program
dihentikan
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian