+ All Categories
Home > Documents > Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Date post: 01-Oct-2021
Category:
Upload: others
View: 2 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
14
Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara Adi Sumardiman* In period of 50 years, until the event of Latv of the Sea Conference, the development of law of the sea. especially In territorial matters, met its stabilization level for there is no important changing. A very substantial changing happened after World War II regarding the rights and obligations of countries relating to sea resources. There are three points of conclusion from the development of the law concerning boundaries of countries. First, the legalization of arckipetagic states principles; second, baseline to determine territorial sea; and the third, boundaries relating to neighboring states which is side-by-side or face-to-face. Selama 50 tahun sampai lahimya Konvensi Hukum Laut1, perkembangan hokum mengenai kewilayahan negara dapat dikatakan cukup stabil karena tidak terdapat perobahan yang sangat menonjol. Perubahan spektakuler yang terjadi, terutaina setelah Perang Dunia ke-II adalah hak dan kewajiban negara yang berkaitan dengan sumber alam di laut. Uraian substantif mengenai masalah perbatasan negara masih seialu aktual, karena setiap waktu diperlukan kembali untuk semua peristiwa-peristiwa pidana yang terjadi di laut dan udara di atasnya. Selain itu maksud dan tujuan perjuangan Prof. Mochtar Kusuinaatmadja, S.H. yang telah meletakkan dasar-dasar hukum laut publik mengenai kewilayahan di Indonesia dapat dipahami dan diimplementasikan sesuai dengan kepentingan negara. * Penulis adalah pemerhati hukuin laut dengan latar belakang teknik geodesi (ITS, (1962) dan Hukum Internasional Publik (FHUI, 1976). Pumawirawan Perwira Tinggi TNI AL yang dilahirkan di Magelang 1934 ini kemudian dalam perjalanan karimya banyak mendalami mengenai hidrografi, oceanografi fisis. Beliau acapkali dipercayakan melakukan perundingan-perundingan penetapan perbatasan negara, dan menjadi tim ahli PBB dengan baselines (1996-1997) serta anggota perancangan peraturan perundang- undangan di bidang kelautan Departemen Kehakiman (1982-2000). 1 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Volume 1 Nomor 3 April 2094 50
Transcript
Page 1: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar TentangPerbatasan Negara

Adi Sumardiman*

In period of 50 years, until the event of Latv of the SeaConference, the development of law of the sea. especially Interritorial matters, met its stabilization level for there is noimportant changing. A very substantial changing happened afterWorld War II regarding the rights and obligations of countriesrelating to sea resources. There are three points of conclusionfrom the development of the law concerning boundaries ofcountries. First, the legalization of arckipetagic states principles;second, baseline to determine territorial sea; and the third,boundaries relating to neighboring states which is side-by-side orface-to-face.

Selama 50 tahun sampai lahimya Konvensi Hukum Laut1,perkembangan hokum mengenai kewilayahan negara dapatdikatakan cukup stabil karena tidak terdapat perobahan yang sangatmenonjol. Perubahan spektakuler yang terjadi, terutaina setelahPerang Dunia ke-II adalah hak dan kewajiban negara yang berkaitandengan sumber alam di laut.

Uraian substantif mengenai masalah perbatasan negara masihseialu aktual, karena setiap waktu diperlukan kembali untuk semuaperistiwa-peristiwa pidana yang terjadi di laut dan udara di atasnya.Selain itu maksud dan tujuan perjuangan Prof. MochtarKusuinaatmadja, S.H. yang telah meletakkan dasar-dasar hukumlaut publik mengenai kewilayahan di Indonesia dapat dipahami dandiimplementasikan sesuai dengan kepentingan negara.

* Penulis adalah pemerhati hukuin laut dengan latar belakang teknik geodesi (ITS,(1962) dan Hukum Internasional Publik (FHUI, 1976). Pumawirawan Perwira Tinggi TNIAL yang dilahirkan di Magelang 1934 ini kemudian dalam perjalanan karimya banyakmendalami mengenai hidrografi, oceanografi fisis. Beliau acapkali dipercayakanmelakukan perundingan-perundingan penetapan perbatasan negara, dan menjadi tim ahliPBB dengan baselines (1996-1997) serta anggota perancangan peraturan perundang-undangan di bidang kelautan Departemen Kehakiman (1982-2000).

1 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Volume 1 Nomor 3 April 2094 50

Page 2: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jurnal Hufatm Internasional

Unsur-unsur mengenai ketentuan garis pangkal untuknienetapkan lebar laut teritorial telah berkeinbang secara evolusif,bertahap, dan proporsional sejak Konferensi Kodifikasi HukumLaut di Den Haag tahun 1930. Gambaran umum tersebut dapatdisaksikan daiam perkembangan struktur serta substansi sejakKonferensi Kodifikasi Hukum Laut tersebut, kemudian putusanMahkamah Internasional tahun 1951, Konvensi Hukuin LautGeneva tahun 1958 dan terakhir Konvensi Hukum Laut tahun 1982.Hadirnya garis pangkal lurus kepulauan dalam Konvensi HukumLaut tahun 1982, merapakan pertumbuhan hukuni unsur-unsurgaris-garis pangkal lurus {straight baselines) yang lahir sebelum-nya. Perkembangan tersebut mernberikan rasa keadilan bagi negara-negara kepulauan di dunia yang memiliki unsur geografis yangberbeda. Yang utama dalam pertumbuhan hukum ini adalah bahwakonvensi harus mampu memberikan rasa keadilan yang universalbagi semua negara-negara di dunia dalarn cara menarik lebar lautteritorial, tidak terbatas apakah ia merupakan suatu "island State","continental State™ ataupun "archipelagic State™.

Setidaknya ada tiga hal yang kiranya perlu dicatat dalamperkembangan hukum mengenai rnasalah perbatasan negara. Yangpertama adalah proses legalisasi azas negara kepulauan, keduaadalah garis pangkal laut teritorial dan ketiga mengenai perbatasandengan negara lain yang berhadapan atau berdampingan.

Proses Legalisasi Azas Negara Kepulauan.

Perjalanan legalisasi azas negara kepulauan dalam foruminternasional perlu dicatat, agar kita dapat mengetahui rnengapakita sampai pada tata cara menetapkan batas-batas negarakepulauan, tidak seperti tata cara menurut Undang-Undang No. 4Prp. tahun 1960, tentang Perairan Indonesia. Untuk pertama kali,dalam sejarah perkembangan hukum intemasional, kaedah hukumnegara kepulauan dikodifikasikan dasar-dasarnya dalam KonvensiPerserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982 tentang Hukum Laut.Konvensi Hukum Laut memuat kaedah-kaedah hukum kebiasaan,praktek-praktek negara maupun ketentuan hukum laut yang baru.Hubungan hukurn tak tertufis dalam praktek kehidupan antaraberbagai kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh wilayahnusantara, yang secara sosiologis telah terwujud sebelum

5 02 Indonesian Journal for International Law

Page 3: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

kemerdekaan, secara konstitusional telah disatukan melaluipembentukan Negara Proklamasi. Keutuhan bentuk NegaraProklamasi tersebut serta kesatuan hak dan kewajiban internasional,kini telah terakomodir dalain Konvensi Hukum Laut.

Kedaulatan negara atas wilayah Negara Proklamasi tersebutjuga meliputi perairan pedalaman, yaitu perairan yang terkaitlangsung dengan kedaulatan negara atas daratan (teluk, muarasungai, pelabuhan). Kedaulatan negara atas wilayah daratan negaratermasuk perairan pedalaman (internal waters) tersebut bersifatniutlak (complete and exclusive) yaitu suatu kedaulatan yangniemberikan hak kepada negara untuk mengesampingkan hak-hakmasyarakat bangsa-bangsa. Dengan sendirinya status hukumperairan pedalaman ini turnbuh bersarnaan dengan pertumbuhanhukum atas hak-hak publik ataupun atas hak-hak perdata anggotamasyarakat di dalam negara tersebut seperti hahiya pada wilayahnegara selebihnya (daratan). Dalarn Konvensi Hukum Laut, statushukum yang eksklusif untuk bagian wilayah negara ini dirurnuskandengan : "sovereignty of a coastal state extends, beyond its landterritory and internal waters..". Status hukum daratan dan perairanpedalaman dalam konvensi ini dikecualikan terhadap laut teritorial(territorial sea) dan perairan kepulauan (archipelagic -waters). Haltersebut disebabkan karena selain kedaulatan atas "land territoryand internal waters" tersebut merupakan bagian wilayah negaradengan kedaulatan negara yang niutlak (complete and exclusive),sehingga bukan merupakan wilayah kewenangan hukum (rechtsgebied) pengaturan konvensi, juga bahwa Konvensi Hukurn Lauttersebut hanya akan mengatur perihal status perairan teritorial danzona tambahan (contiguous zone), serta perairan yang khusus, yaituperairan kepulauan. Berbeda dengan kedaulatan atas laut teritorialyang batas-batas kedaulatannya ditetapkan oleh pasal 2 ayat 3Konvensi Hukum Laut,3 batas-batas kedaulatan atas perairankepulauan ditetapkan oleh pasal 49 ayat 3 Konvensi Hukum Laut,4

2 Article 2 paragraph 1 of UNCLOS 19823 Article 2 paragraph 3 of UNCLOS 1982: "The soveregnty over the the territorial

sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international la\v."4 Article 49 paragraph 3 of UNCLOS 1982: "This soveregnty is exercised subject to

this Part."

Volume I Nomor 3 April 2004 503

Page 4: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jurnal Hubim Internasional

Konvensi Hukuni Laut tahun 1982, merupakan konvensipertama yang paling lengkap serta inenyeluruh yang berhubungandengan kedaulatan teritorial suatu negara serta hak-hak berdaulatatas peniakaian dan penggunaan sumber daya alarn lautan. Dalammeinperjuangkan kepentingan negara kepulauan, tentunya tidaksemua cita-cita yang diinginkan setiap bangsa dapat terpenuhi.Lebih dari 150 negara peserta melakukan perdebatan intensifselarna 9 tahun guna menyusun naskah hukum laut yang diharapkandapat menjadi dasar bagi ketertiban dunia di laut. Konvensi initerdiri dari 25 masalah, 320 artikel dan 9 aneks. Struktur,sistematika dan tatanan konvensi menggambarkan hubungan silangantara substansi konvensi yang tidak akan inudah dicerna, kecualibila dikaji terlebih dahulu dari laporan proses perjalanan sidang-sidang. Kesepakatan oleh mayoritas negara-negara yangberpartisipasi dalam konvensi tersebut sudah rnerupakan suatukonsensus niasyarakat internasional yang rnaksimal, yang dapatdisumbangkan oleh mereka bagi terciptanya perdarnaian duniamelalui ketertiban di laut. Konvensi Hukum Laut dapat dikatakantelah menaberikan keseimbangan antara kepentingan negaraberkembang dan negara maju.

Dalam perkembangannya, setelah konvensi itu ditandatanganidi Montego Bay Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, danIndonesia mengesahkannya melalui Undang-uadang No. 17 tahun1985, masih terlihat adanya penafsiran yang subjektif terhadapketentuan konvensi, terutama berkaitan dengan kewilayahan. Halini, tentunya akan dapat mengganggu kedudukan kita sebagainegara kepulauan. Hubungan hukuin atau hak dan kewajibanmasyarakat di daerah-daerah di perairan negara kepulauan yangmerupakan bagian dari hukum internasional, ternyata telahditafsirkan seolah-olah sama seperti hak dan kewajiban daerah-daerah di wilayah propinsi atau kabupaten, yang merupakanwilayah negara yang tidak menjadi objek hukum dari hukurn lautinternasional.

Hasil-hasil perjuangan sekian larna untuk memperolehpengakuan negara kepulauan dalam forum internasional telahditerapkan secara berbeda dalam kerangka otonomi daerah. Hal

504 Indonesian Journal for International Law

Page 5: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

tersebut dapat disaksikan dalam membentuk sisteniatika sertasubstansi pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah. Bagaimana seharusnya Pemerintah mewakilinegara dalam memberikan pertanggungjawaban terhadap pelak-sanaan Konvensi Hukum Laut dengan menibedakan persoalanintern (nasional) dan persoalan tnasyarakat internasional.

Dalam melaksanakan ketentuan konvensi, kita perlumemperhatikan perkembangan Deklarasi Pemerintah tahun 1957.Pada acara penandatangaaan Konvensi Hukurn Laut di MontegoBay, Prof. Mochtar Kusuniaatmadja sebagai Ketua DelegasiIndonesia menyampaikan antara lain:

"On the basis, the Indonesian Government has promulgated the concept ofthe arch/pelagic state in 1957, and to this effect enacted a law in I960. Weare gratified to see that this concept, with some modifications, has nowbeen incorporated in the Law of the Sea Convention, tkas obtaininguniversal recognition and acceptance in international law"

Saya ingin menggarisbawahi kata-kata "....with some modifications,..." Kiranya hat ini sangat penting untuk kita ketahui, agar tidakterjadi penyinipangan dalam melaksanakan ketentuan konvensi,terutama niengenai hak dan kewajiban negara di perairan nusantara.

Penyinipangan terhadap pelaksanaan Konvensi Hukum Lautsaat ini justru akan mencerai-beraikan kesatuan dan persatuannasional, berbeda dengan niat kita untuk menyusun negarakepulauan. Perjuangan bangsa Indonesia untuk rnendapatkanpengakuan internasional tersebut didasarkan pada azas kesatuanperairan Indonesia sebagainiana dimaksud dalam ketentuanKonvensi Hukum Laut dan bukan perairan yang terpisah-pisah olehhak dan kewajiban daerah-daerah yang beraneka ragani jenis sertabentuk hukumnya.

Modifikasi terhadap Deklarasi Pemerintah tahun 1957 danUndang-Undang No. 4 Prp. tahun 1960 mempunyai makna yangstrategis bagi perjalanan Deklarasi Pemerintah itu sendiri sebagaisuatu cita-cita hukum, karena kita harus rnemasuki pergaulan

Statement by Prof. Dr. Mocktar Kvsumaatmadja Minister For Foreign Affairs ofthe Republic of Indonesia at the final session of the third United Nations Conference onthe Law of the Sea; Montego Bay, Jamaica, 6 December 1982.

Volume I Nomor 3 April 2094 505

Page 6: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jurnal Hukum Internasionat

internasional. Kita harus terbuka, dalam memberikan pertang-gungjawaban tentang masaiah kedaulatan negara di perairan, agarmasalah ini tidak membawa kesulitan dalam penegakan hukurn dilaut. Kita perlu menyadari bahwa Deklarasi Peinerintah tahun 1957tersebut merupakan deklarasi unilateral. Suatu deklarasi unilateralyang bersifat sepihak akan dapat mengikat pihak lain tergantungdaripada isi dan tujuannya. Prinsip umuni yang berlaku di dalamsetiap perbuatan yang menimbulkan akibat hukum dalam pergaulaninternasional, tentunya adalah itikad baik dan tidak bertentangandengan kaedah hukum internasional. Sifat mengikat daripada suatudeklarasi unilateral adalah itikad baik (lihat putusan MahkamahInternasional dalam perkara "Nuclear Test" antara Australia danPerancis).6 Kiranya jelas bagi kita bahwa Deklarasi Pemerintahtahun 1957, dan pelaksanaannya oleh Undang-Undang No. 4 Prp.tahun 1960 didasarkan atas itikad baik, dan juga sesuai dengankaedah hukum internasional.

Deklarasi Pemerintah tahun 1957 dan peiaksanaannya denganUndang-Undang No. 4 Prp. tahun 1960 merupakan perwujudanyang reaiistis dari kesatuan hukum wilayah negara setelahproklamasi. Undang-Undang No. 4 Prp. tahun 1960 tentangPerairan Indonesia yang mengubah Pasal 1 ayat (1) butir 1 sampaidengan 4, Maritieme Kringen Ordonnansi 1939 dan rnemasukkanelernen perairan kepulauan melalui penarikan garis pangkal,memang merupakan nornia hukum yang baru daiammempersatukan wilayah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau(daratan). Prof Mochtar menyatakan:7

"Sebagaimana diketahui cara penarikan garis pangkal ini (penulis: yangdimaksudkan dengan "ini" adalah garis pangkal lurus berdasarkan UU No.4 Prp. tahun 1960) untuk pertarna kalinya mcmperoieh pengakuan dalamhukum internasional dalam putusan Mahkamah Internasional(International Court of Justice) daiam perkara sengketa perikanan Inggris-Nonvegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) di tahun 1951, dankemudian dikabulkan dalam Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang LautTeritorial dan Jalur Tambahan".

6 Ai&ed P. Rubin, AJIL, January 1977, Vol.71, P.2;7 Mochtar Kusumaatmadja, "Hukum Lout Internasional", (Bandung: Bina Cipta),

1978, ha!. 194.

Indonesian Journal for International Law

Page 7: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbafasan Negara

Hal inilah yang dimaksudkan bahwa Undang-Undang No. 4 Prp.tahun 1960 tidak bertentangan dengan hukum interaasional.

Akan tetapi karena status hukum jenis-jenis perairan tersebutserta tata cara penarikan garis pangkal dalam undang-undangtersebut belum sesuai benar dengan perkenibangan ketentuanhukum laut internasionaj, maka Sekjen PBB dengan suratnya No.LE139(l-2) tanggal 12 September 1960 teiah rnenolak "instrumentof ratification" pemerintah RI atas ke-3 Konvensi Geneva 1958,karena pemerintah RI telah melakukan reservasi atas pasal-pasalkonvensi tentang landas kontinen dan konvensi tentang perikanan,yang berkaitan dengan penggunaan Undang-undang No. 4 Prp.tahun 1960, sedangkan kedua konvensi tersebut secara tegasmelarang untuk melakukan reservasi.

Dengan dernikian, rnodjfikasi tersebut mernang perlu dilakukankarena substansi Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 mernangtelah berbeda dengan substansi Konvensi Hukum Laut. Lihat jugakonsideran rnenimbang huruf c Undang-undang No. 6 tahun 1996tentang Perairan Indonesia ("bahwa pengaturan hukum negarakepuiauan yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 4 Prp. tahun1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi denganperkembangan rezirn hukum negara kepuiauan sebagairnana dirnuatdalam Bab IV Konvensi8 tersebut"). Modifikasi tersebut dimaksud-kan agar kita rnelaksanakan persoalan kewiiayahan negara sesuaidengan isi dan rnaksud keteatuan Konvensi Hukum Laut 1982.Salah satu pengaruh daripada rnodifikasi di atas adalah kenyataanbahwa di satu pihak, terdapat perturabuhan hukum rnengenaipembentukan garis pangkal kepuiauan yang kita inginkan dalamupaya untuk melindungi negara kepuiauan, dan di Iain pihakKonvensi Hukum Laut 1982 juga menetapkan hak dan kewajibaninternasional bagi setiap negara (anggota konvensi) baik di dalammaupun di luar perairan yang dibatasi oleh garis pangkal tersebut.Status hukum garis pangkal dan status hukum perairan rnerupakandua hal yang saling terkait (menempel). Kedua-duanya tumbuhbersarnaan sebagai produk hukum internasional. Penetapan garispangkal akan senantiasa memberikan kedudukan hukum tertentu

8 Part IV o/UNCLOS 1982 (Archipetagic States)

Volume I Nomor 3 April 2004 507

Page 8: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jitrnal Hukum Internasional

pada perairan yang berada di dalam maupun di luar garis pangkaltersebut. Penetapan garis pangkal merupakan hal yang niendasarbagi setiap negara pantai untuk menetapkan status perairan di keduabagian dari garis pangkal tersebut atau berapa jauh ke laut ia dapatrnelaksanakan suatu yurisdiksi tertentu di laut, yang berhubungandengan kedaulatannya.

Garis Pangkal Laut Teritorial

Karena semua negara yang memiliki garis pantai berhak atassuatu jalur laut yang disebut sebagai laut teritorial, dimana negaratersebut mempunyai yurisdiksi tertentu atas keamanan negara,sumber alam, serta kepentingan komunikasinya, maka persoalanutania yang tinibul bagi masyarakat internasional adalahmenciptakan ketentuan hukum tentang nietode penarikan garispangkal untuk mengukur lebar laut teritorial bagi semua negara agarrnereka rneskipun memiliki bentuk alamiah yang berbeda-beda,dapat memperoleh jalur laut teritorial yang wajar dan memenuhikeadilan yang universal.

Undang-Undang No, 4 Prp. tahun 1960 tidak mengenal garispangkal normal, dan garis pangkal untuk menarik lebar lautteritorial dilakukan dari titik ke titik atau sering diberi istilah "pointto poinf\n status hukum perairan yang dibatasi olehgaris-garis pangkal tersebut inerupakan perairan dengan kedaulatanmutlak. Mernang kedaulatan seperti inilah yang terbaik bagiIndonesia, rneskipun konvensi tidak mengakomodirnya. Konvensimerupakan konsensus internasional, dan bagi kita, KonvensiHukum Laut tahun 1982 yang telah rneniuat azas negara kepulauan,yang secara jelas sangat menguntungkan bagi yurisdiksi negara,terutama bagi sumber alam di laut, sebaiknya diiaksanakan secarautuh. Unsur-unsur konvensi yang menggambarkan bahwa seolah-olah kita mengalami kerugian dengan persoalan perlintasan kapal-kapal asing, harus kita hadapi dengan bijaksana, karena hadirnyanegara kepulauan dalarn konvensi telah menjadi satu paket denganpersoalan perlintasan kapal-kapal asing tersebut.

Garis pangkal untuk menarik lebar laut teritorial diperuntukkanbagi dua bentuk objek hukum yang berbeda, yang pertama, objek

508 Indonesian Journal for International Law

Page 9: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

hukum berupa daratan (pantai) suatu negara dan kedua, objekhukum perairan dengan yurisdiksi tertentu. Sebeluin lahirnyaputusan Mahkamah Internasional mengenai kasus perikananNorwegia, hanya dikenai pembentukan garis pangkai laut teritorialuntuk objek hukum daratan suatu negara termasuk daratan suatupulau. Untuk garis pangkai laut teritorial yang diperuntukkan bagiobjek hukum daratan suatu negara dipergunakan kriteria objektif,atau kriteria alamiah, yaitu berupa garis air rendah, sedangkan garispangkai laut teritorial untuk objek hukum perairan, dipergunakankriteria subjektif, yaitu berupa garis artifisial. Kedua kriteria initidak dapat dipertukarkan fungsinya. Garis pangkai normal dibentukberdasarkan kriteria yang objektif atau alamiah, yaitu berupa garissepanjang pantai setiap negara, karena wujud alamiah seperti itumemang nyata-nyata ada di semua pantai, dapat dilihat dan dapatdihitung letaknya (representasi keadilan bagi semua negara).Sedangkan garis pangkai lurus yang dipakai untuk rnernbatasiperairan guna rnenetapkan lebar laut teritorial diluarnya, dibentukberdasarkan kriteria yang subjektif, yang bentuknya rnerupakangaris artifisial yang lurus (denkbeeldig rechte lijn) yang membatasiperairan tersebut karena garis alamiah untuk perbatasan air memangtidak ada dan tidak ada cara lain, selain dengan menetapkan suatugaris imagines Mengapa garis pangkai lurus bersifat subjektif,pertama karena memang tidak ada bentuk alamiah yang nil yangdapat diciptakan untuk aiengukur lebar laut teritorial pada perairantersebut dan kedua karena garis pangkai lurus tersebut panjangnyatergantung pada jarak pulau yang rnembatasinya. Garis pangkailurus tidak dimaksudkan untuk menggantikan iungsi garis pangkainormal, karena objek hukumnya dan fiingsinya masing-rnasingadalah berbeda.

Garis-garis lurus untuk menutup teluk atau muara sungai tidakmasuk dalam kategori sebagai garis pangkai atau "baseline", akantetapi masuk sebagai subsistem garis pangkai normal, dan bukansebagai sistern yang berdiri sendiri. Untuk hal ini Aaron L.Shalowitz, LL.M nienyatakan:9

9 Aaron L. Shalowitz, Shore ami sea boundaries, US Department of Commerce.Coast and Geodetic Survey. 1962.

Volume / Nomor 3 April 2094 5 Q9

Page 10: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jurnal Hukum Internasionat

"The term baseline has tended to become synonymous with straightbaseline, but this is erroneous. Even where a straight line is dra\vn acrossan indentation it does not fall -within the category of 'straight baseline', onthe other hand, constitute a system that is permissible only where theunique geography of a coast justifies a departure from the rule of the tidemark ".

Yang dimaksud dengan "unique geography disini adalah "bay",atau "river mouth". "Deep indentation" tidak masuk sebagai "bay",dan putusan Mahkamah Internasional menempatkan "deepindentation" sebagai bentuk perairan dan bukan sebagai bentukgeografis daratan atau pantai yang unik.

Garis pangkal lurus kepulauan merupakan pertumbuhan hukumgaris pangkal lurus. Kiranya hal ini adalah sejalan dengan pendapatProf. Mochtar dalam bukunya10, seperti yang telah dikutip di atas.Pembentukan hukum garis pangkal lurus kepulauan tidak dapatdipisahkan dari pembentukan hukum garis pangkal lurus. Ketentuanmengenai garis pangkal laut teritorial sebagainiana dimuat dalambab IV konvensi, tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi terkait denganbab II konvensi.11 Status hukum laut teritorial, sumber alamnyaserta dasar lautnya tidak terdapat dalam bab IV, dernikian jugatentang limit terluar laut teritorial, lebar laut teritorial, garis pangkalnormal serta pengaturan mengenai mulut sungai, teluk danpelabuhan juga tidak terdapat dalara bab IV konvensi. Konvensitelah menempatkan hubungan kedudukan tentang ketentuan garispangkal lurus dan ketentuan tentang garis pangkal lurus kepulauandalam sistematika sebagai ketentuan hukum umuni dalam bab II,dan ketentuan hukum khususnya dalam bab IV. Hal tersebut samaseperti ketentuan umurn mengenai zona ekonorni eksklusif dalambab V12 dan ketentuan khusus mengenai sumber alam di dasar lautdan tanah di bawah zona ekonorni eksklusif diletakkan dalam babVI13, yaitu tentang landas kontinen. Dalarn kaitannya mengenaipenggunaan garis pangkal, bab II konvensi merupakan ketentuanumum, sedangkan bab IV konvensi merupakan ketentuan yangkhusus. Dalam pelaksanaannya apabila suatu ketentuan tidakterdapat dalam ketentuan khusus, maka tentunya akan dipergunakan

10 Kusumaatniadja, Op., cit.1' Part II o/UNCLOS 1982 (Territorial Sea and Contiguous Zone)nPart ^o/UNCLOS 1982 (Exclusive Economic Zone)13 Part VI o/UNCLOS 1982 (Continental Shelf)

510 Indonesian Journal for International Law

Page 11: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

ketentuan dalam ketentuan umum, yaitu bab II. SistematikaKonvensi Hukum Laut 1982, masih menghidupkan sistematikayang terdapat dalam konvensi Geneva 1958 (demikian pula tentangtata cara nierumuskannya).

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa garis pangkal luruskepulauan merupakan pertumbuhan hukum garis pangkal lurus.Pertumbuhan hukum garis pangkal lurus kepulauan tersebutmerupakan suatu perluasan hukum daripada garis pangkal iurussebagaimana diatur dalam bab II pasal 7 Konvensi Hukum Laut.14

Konvensi tidak mengatur bahwa garis pangkal lurus tersebut hanyadiperuntukkan bagi suatu kasus negara kontinen atau "continentalstate" seperti halnya Norwegia, meskipun kasus lahirnya garispangkal lurus tersebut menyangkut situasi geografis di Norwegia.Siapapun atau negara manapun dapat rnempergunakan kaedahhukum internasional tersebut sebagai dasar hukurn untukmenetapkan batas laut teritorial negaranya, seperti halnya Prof.Mochtar Kusuniaatmadja menerapkan ketentuan tersebut dalamUndang-Undang No. 4 Prp. tahun 1960.

Akan tetapi ternyata kernudian putusan Mahkamah Inter-nasional yang berkaitan dengan penarikan garis pangkal lurusdilembagakan kedalam pasal 4 Konvensi Geneva 1958 5 tentanglaut teritorial sebagai suatu kaedah hukum umum, sehingga tidaklagi terkait secara khusus dengan suatu situasi geografis yangseperti Norwegia. Ketentuan Pasal 4 Konvensi Geneva tersebutkemudian dilembagakan juga kedalam Konvensi Hukum Laut tahun1982 menjadi suatu ketentuan yang berlaku urnum. Perluasanhukum tentang garis pangkal lurus ini yang kemudian narnanyaadalah garis pangkal lurus kepulauan, diletakkan pada bab IVsebagai ketentuan khusus, yaitu dalam hal terdapat suatu kondisikhusus suatu negara yang niemiliki situasi geografis tertentusebagaimana dimaksud dalam pasal 46 Konvensi Hukum Laut.16

Seluruh bentuk garis pangkal (garis pangkal normal, garis pangkallurus dan garis pangkal lurus kepulauan) tersebut merupakan suatukelengkapan perangkat hukum bagi setiap negara dalammenghadapi berbagai bentuk situasi geografis yang berlainan dalarn

14 Part II Article 7 of UNCLOS 1932 (straight baselines).15 Article 4 of GCLOS 1958 (Geneva Convention on the Law of the Sea).16 Article 46 of UNCLOS 1982 (Use of terms: archtpelagic states and archipelago).

Volume I Nomor 3 April 2094 5 J

Page 12: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jurnal Hukum Internasional

menetapkan lebar laut teritorial. Apabila tata cara penggunaangaris-garis pangkal lurus tersebut serta unsur-unsurnya tidakditemukan dalam konvensi, maka tentunya tata cara penggunaangaris pangkal lurus tersebut harus dicari kenibali dari sumberhukumnya, yaitu pada tata cara sewaktu pembentukan kaedahhukum garis pangkal lurus itu dalam proses di MahkamahInternasional.

Yang perlu diperhatikan adalah tata cara penarikan garispangkal lurus yang diatur oleh pasal 7 ayat (I)17 yang disebutkansebagai "joining appropriate points" yang dalam persidangan dibericontoh penarikan antara satu pulau dengan pulau lainnya danpenarikan garis pangkal lurus kepulauan yang diatur oleh pasal 47ayat (I)18 yang disebutkan sebagai "joining the outermost points ofthe outermost islands". Kedua cara penarikan garis pangkal tersebutpada dasarnya adalah sama, hanya panjang garis pangkal yangdibenarkan pada negara kepulauan yang berbeda. Begitu pula statushukum perairan pada bagian dalam garis pangkal lurus dan padabagian dalam garis pangkal lurus kepulauan merupakan perairandirnana berlaku lintas darnai.

Tata cara penarikan garis pangkal lurus yang raengakibatkanperolehan perairan yang luas, telah dibatasi oleh ketentuan pasal 7ayat (3)19 dengan rurnusan: "the drawing of straight baselines mustnot depart to any appreciable extent from the general direction ofthe coast" sedangkan pada penarikan garis pangkal lurus kepulauanyang mengakibatkan perolehan perairan yang luas, telah dibatasioleh ketentuan pasal 47 ayat (3)2 dengan rurnusan: "the drawing ofsuch baselines shall not depart to any appreciable extent from thegeneral configuration of the archipelago". Pada dasarnya keduaketentuan tersebut memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itukesulitan untuk melakukan interpretasi atas pasal yang "subjective"tersebut, seharusnya kita kenibali mencari pedoman hukum darisumber hukumnya.

17 Article 7 paragraph 1 of UNCLOS 1982: "..., the method of straight baselinesjoining appropriate points may be employed in drawing the baseline...".

18 Article 47 paragraph 1 of UNCLOS 198219 Article 7 paragraph 3 of UNCLOS 198220 Article 47 paragraph 3 of UNCLOS 1982

5 J 2 Indonesian Journal for International Law

Page 13: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Perbatasan dengao Negara Lain.

Perbatasan perairan dengan negara lain, dapat terjadi apabiladaratan, perairan internal atau laui teritorial kedua negara letaknyaberdampingan, seperti halnya perbatasan Indonesia-Malaysia dipantai Tg. Datuk atau pulau Sebatik, perbatasan antara Indonesia-Timor Leste di pantai utara dan selatan pulau timor, atau perbatasanantara Indonesia-Papua New Guinea di pantai utara dan selatanPapua. Perbatasan perairan laut teritorial dapat pula terjadi apabilapantai, perairan internal atau perairan kepulauan kedua negaratersebut letaknya berhadapan, seperti halnya perbatasan antaraIndonesia-Singapura di selat Singapura, ataupun perbatasan antaraIndonesia-Malaysia di selat Malaka.

*\

Pasal 15 Konvensi Hukurn Laut tahun 1982 telah mengatursecara garis besar tentang bagaimana melakukan pernbagianperairan teritorial tersebut, yang dalarn Konvensi Geneva 1958diletakkan dalarn pasal 12. Meskipun cara pernbagian tersebutmengarah kepada suatu pembagian secara equidistant^ akan tetapidalarn praktek belurn tentu dapat dilakukan secara demikian. Keduapihak akan mengalarni kesulitan dalarn kesepakatan mengenaibagairnana masing-masing negara menetapkan "baselines" untuklaut teritorialnya. Apalagi apabila salah satu negara yangberhadapan tersebut, merupakan suatu negara kepulauan yangberhak atas "baselines" yang relatif panjang yang dapat rnenutupsuatu perairan kepulauan yang luas, sedangkan negara yang lainbukan suatu bentuk negara kepulauan. Kesulitan tersebut telahterbukti pada tata cara penetapan perbatasan laut teritorial antaraIndonesia-Malaysia di selat Malaka bagian selatan, dan perbatasanlaut teritorial antara Indonesia-Singapura di selat Singapura.

Persoalan pembagian tersebut akan kembali kepada persoalankesepakatan kedua belah pihak mengenai tata cara penetapan"baselines1' laut teritorialnya rnasing-masing negara. Artinya satupihak akan ikut carnpur dalarn penetapan "baselines" laut teritorialpihak yang lain. Pada akhirnya pembagian perairan laut teritorialakan rnenuju pada suatu "equitable solution", seperti halnya

21 Article 15 of UNCLOS 1982: (delimitation of the territorial sea between stateswith opposite or adjacent coasts)

22 Article 12 of GCLOS 1958 (Geneva Convention on the Law of the Sea)

Volume I Nomor 3 April 2094 513

Page 14: Beberapa Dasar Tentang Perbatasan Negara

Jurnal Hukum Internasional

peinbagian wilayah perairan sumber alam yang dirumuskan olehpasal 7423 (ZEE), atau pasal S324 (landas kontinen). Terlebih lagi"equitable solution" pada pembagian wilayah sumber alamdipengaruhi adanya kriteria "special circumstances" dalani pasal 12Konvensi Geneva 1958 atau "all the relevant circumstances" dalampasal 59 Konvensi Hukum Laut tahun 1982.25

Bentuk ratifikasi yang dibuat untuk rnenainpung perjanjianperbatasan baik mengenai wilayah teritorial ataupun wilayahsumber alam antara dua negara, wajib dilakukan dengan undang-undang. Hal tersebut diatur oleh Undang-Undang No. 24 tahun2000, tentang Perjanjian Internasional, khususnya pasal 10 huruf c:"pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan kedaulatan atau hak berdaulatnegara". Bentuk produk hukum mengenai ratifikasi perjanjian batasnegara yang dilakukan dengan undang-undang ini, tidak perlumenimbulkan persoalan tentang bagaimana sebaiknya bentukproduk hukum mengenai perbatasan negara itu sendiri yang bukanmerupakan suatu perjanjian internasional.

Bentuk produk hukum batas-batas wilayah negara memilikikualifikasi undang-undang. Karena pelaksanaan penetapan batasmerupakan persoalan teknis undang-undang, apalagi perubahannyasangat dinamis (perubahan alam atau perubahan sebagai eksesadanya peristiwa pidana) rnaka undang-undang dapat memerin-tahkan agar pelaksanaannya dilakukan dengan peraturanpemerintah.

Dernikian kiranya ulasan secara garis besar, mengenai beberapadasar hukum yang terkait dengan penetapan perbatasan negara.

23 Article 74 of UNCLOS 1982: (delimitation of the exclusive economic zonebetween States with opposite OF adjacent coasts)

24 Article 33 of UNCLOS 19S2: (delimitation of the continental shelf between Stateswith opposite or adjacent coasts)

5 Article 59 of UNCLOS 1982: (basis for the resolution of conflicts regarding theattribution of rights and jurisdiction in the exclusive economic zone.

514 Indonesian Journal for International Law


Recommended