Date post: | 07-Mar-2016 |
Category: |
Documents |
Upload: | suryantiwardani |
View: | 34 times |
Download: | 1 times |
of 70
II
BOARD OF TRUSTEE
dr. Endang L. Achadi, MPH, Dr PH (Universitas Indonesia)
Fillah Fithra Dieny, S. Gz, M.Si (Universitas Diponegoro)
PIMPINAN UMUM
Rudianto Universitas Hasanuddin
SEKRETARIS
Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor
BENDAHARA
Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya
PIMPINAN REDAKSI
Fadilla Anjani Universitas Indonesia
TIM REDAKSI
Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia
Azwar Burhan Universitas Hasanuddin
Shabira Utami Institut Pertanian Bogor
Elok Sekarini Stikes Surabaya
Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya
Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin
Santi Jaelani Universitas Indonesia
TIM HUMAS
Mief Qurani S Universitas Brawijaya
Hoiriyah STIKES Surabaya
Alexandra Tatgyana S Universitas Indonesia
Damelya Patricia D Universitas Hasanuddin
Fortunella STIKES Surabaya
Adinda Rizki Pemb. Veteran
Mardhiati Universitas Hasanuddin
Sarinah Institut Pertanian Bogor
TIM LAYOUT
M. Firman Alamsyah Institut Pertanian Bogor
Anneke Wulansari Universitas Brawijaya
Karina Muthiah Santi Universitas Brawijaya
SUSUNAN PENGURUS
III
Susunan Pengurus............................................................................................................................. ...... ii
Daftar Isi............................................................................................................................................ .......... iii
Petunjuk Penulisan................................................................................................................................ iv
Sambutan Pimpinan Umum............................................................................................................... ix
PENELITIAN Uji Daya Terima Terhadap Olahan Produk Lawa Bale (Makanan Tradsional Sulawesi Selatan) Astri Ayu Novaria1
.................................................................................................................................................................................................................................. 1
Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Kefir Air Pada Berbagai Suhu dan Kerapatan Fermentasi Lina Lidia1 dan Neneng Sugiharti1
.................................................................................................................................................................................................................................. 9
Perbedaan Proporsi Sindrom Metabolik Pada Guru Sekolah Dasar Obes Sentral dan Non-Obes Sentral Berdasarkan Lingkar Perut Qonita Rachmah1
................................................................................................................................ .................................................................................................. 19
Biskuit Moringa Ria Sebagai Suatu Strategi Penanggulangan Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita Miskin Berbasis Masyarakat Rudianto,1 Ainum Jhariah Hidayah,2 Irma Ariany Syam3
.................................................................................................................................................................................................................................. 27
ADVERTORIAL Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut: Pengembangan Diversifikasi Pangan Guna Memanfaatkan Potensi Lokal Sulawesi Selatan Ainum Jhariah Hidayah,1 Irma Ariany Syam,2 Sri Rahayu Indah S3
.................................................................................................................................................................................................................................. 33
Efektivitas Kinerja Millenium Development Goals Dalam Rangka Penurunan Tingkat Kematian Anak di Indonesia Novi Luthfiana Putri1
................................................................................................................................................................................................................. ................. 41
Genetik, Obesitas, Dan Teori Relativitas Berat Badan Andi Imam Arundhana1, Asry Dwi Muqni2
............................................................................................................................................. ..................................................................................... 51
DAFTAR ISI ISSN : 2303-3932
IV
Pedoman Penulisan Artikel
Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI)
Indonesian Nutrition Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan
yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi,
mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI
menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar,
ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi
dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel
penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan
merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.
Kriteria Artikel
1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat,
dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang,
abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan
saran).
2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena
atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat
bagi pembaca.
3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.
Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi
ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan.
4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik
yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human
interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan
serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca.
5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan,
mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di
bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi.
Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi.
6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara
tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa
ilmu gizi).
7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau
kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan
metode studi pustaka.
PETUNJUK PENULISAN
V
Petunjuk Bagi Penulis
1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas,
serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak
satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman
mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm.
Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman.
3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word.
Naskah dikirim melalui email ke alamat [email protected] dengan menyertakan
identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika
sebagai berikut:
1. Judul karangan (Title)
2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)
3. Abstrak (Abstract)
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
- Pendahuluan (Introduction)
- Metode (Methods)
- Hasil (Results)
- Pembahasan (Discussion)
- Kesimpulan
- Saran
5. Daftar Rujukan (Reference)
5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti
sistematika sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama penulis dan lembaga pengarang
3. Abstrak
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
- Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
- Pembahasan
- Kesimpulan
- Saran
5. Daftar Rujukan (Reference)
6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah
yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan
kaki.
7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti
dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis.
Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.
8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak
melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.
VI
9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan
sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.
10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring
(italic).
11. Tabel
12. Gambar
13. Metode statistik
14. Ucapan terima kasih
15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan
dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat
1. Artikel dalam jurnal
i. Artikel standar
Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk
for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3.
atau
Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk
for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.
Penulis lebih dari enam orang
Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood
leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.
ii. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing.
Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.
iii. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.
iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere
frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2.
v. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung
cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82.
vi. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast
cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.
vii. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin
VII
dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6.
viii. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in
ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.
ix. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in
rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.
x. Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of
blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.
xi. Nomor halaman dalam angka Romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology.
Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.
2. Buku dan monograf lain
i. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany
(NY): Delmar Publishers; 1996.
ii. Editor, sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:
Churchill Livingstone; 1996.
iii. Organisasi dengan penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program.
Washington: The Institute; 1992.
iv. Bab dalam buku
Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors.
Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven
Press; 1995.p.465-78.
v. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology.
Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical
Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.
vi. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in
medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors.
MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.
VIII
vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis
1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor :
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during
skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and
Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.:
HHSIGOEI69200860.
2. Diterbitkan oleh unit pelaksana :
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work
force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995.
Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care
Policy and research.
viii. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization
[dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.
ix. Artikel dalam Koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions
annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5).
x. Materi audiovisual
HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year
book; 1995.
3. Materi elektronik
i. Artikel journal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial
online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL:
HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm
ii. Monograf dalam format elektronik
CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach
H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.
iii. Arsip computer
Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program].
Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.
IX
Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia
Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT. Akhirnya BIMGI kembali berinovasi
menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi
Indonesia. BIMGI yang merupakan bagian dari BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Indonesia) adalah wadah bagi mahasiswa gizi untuk mempublikasikan karya
ilmiahnya.
BIMGI merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di
Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota
ILMAGI. Salah-satu bukti dari eksistensi BIMGI adalah antusiasme mahasiswa gizi yang
mengirimkan artikelnya melebihi target yang telah ditentukan. BIMGI (Berkala Ilmiah
Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 edisi 1 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari
berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang
dilakukan oleh tim redaksi BIMGI.
Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam
menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami
berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu
terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.Untuk itu kami berharap bahwa edisi
BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi.
Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi
menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi.
Pimpinan Umum
Rudianto
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM
1 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
ABSTRAK Makanan tradisional di Sulawesi Selatan beraneka ragam salah satunya Lawa Bale yang dibuat dari ikan mentah dimasak dengan proses rendaman cuka atau blansir. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan teri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap tiga formula Lawa Bale makanan tradisional dari segi warna, tekstur, aroma dan rasa. Dari beberapa formula Lawa Bale yang terdapat di rumah makan, setelah dilakukan observasi, didapatkan tiga resep sebagai sampel yang akan diuji yaitu formula A menggunakan rendaman cuka 20 menit, penambahan kelapa sangrai, dan sedikit garam, formula B diberi perlakuan blansir dengan suhu 70
oC, perendaman
jeruk nipis 2 menit, penambahan kelapa sangrai dan pemberian garam sedikit, serta formula C diberi pula perlakuan blansir dengan suhu 70
oC, diberi air asam jawa, lalu penambahan jantung pisang,
kelapa sangrai dan pemberian sedikit garam. Pada penilaian uji daya terima, penilaian yang dilakukan berdasarkan skor dan selanjutnya diolah untuk melihat rata-rata nilai perbedaan antara ke tiga formula baik dari segi warna, aroma, tekstur, rasa serta nilai perbedaan yang diperoleh dari uji kruskal-wallis. Hasil yang didapatkan bahwa formula yang paling disukai adalah formula B walaupun dari segi harga yang lebih murah adalah formula C dibandingkan dengan formula A maupun B. Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk memilih formula B untuk segi rasa dan dari segi ekonomis untuk memilih formula C. Kata kunci: uji daya terima,Lawa Bale, makanan tradisional
ABSTRACT
Traditional foods in south sulawesi variegated one of them made Lawa Bale of raw fish cooked in vinegar or blansir, the process of marinade. The fish that is commonly used anchovy. The study is done to know the power of receipt of three formulation Lawa Bale traditional foods , in terms of color texture , the smell and taste . Of some formula Lawa Bale in a restaurant after the observation then obtained three recipes as a sample to be tested using the formula A vinegar marinade, adding 20 minutes to toast the coconut, and a little salt, formula B was given preferential treatment blansir with the temperature of 70
oC, soaking lemon 2 minutes, adding coconut toast and the granting of the salt a
bit, as well as a formula C was also blansir treatment with temperature 70oC tamarind water, are
given, then the addition of banana, toast the coconut and the granting a bit of salt, on the assessment of the power test is done on the basis of assessment received the score and then processed to see the average value of the difference between the three formulas both in terms of color, aroma, texture, flavor and value differences obtained from kruskal-wallis test. The result obtained was that formula most favored formula B although in terms of a lower price is formula C compared with formula A and B. So, the public is advised to choose the formula B for in terms of taste and in terms of economical to choose the formula C. Keywords : the resources received, Lawa Bale, tradisional foods
UJI DAYA TERIMA TERHADAP OLAHAN PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADSIONAL SULAWESI SELATAN) Astri Ayu Novaria
1
1Prodi lmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN
Preferensi terbentuk dari persepsi
terhadap suatu produk. Preferensi adalah derajat
kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih
disukai oleh konsumen.1
Preferensi juga dapat diartikan sebagai
tingkatan kesukaan. Tingkat kesukaan yang
dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila
dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap
sesuatu yang lain.2
Suatu makanan tidak akan disukai bila
belum pernah dicoba. Selain itu, suatu makanan
bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa
membosankan, terlalu biasa dikonsumsi,
menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis, dan
berhubungan dengan efek penyakit setelah
mengkonsmsinya. Sikap suka atau tidak suka
terhadap pangan hanyalah salah satu alasan
yang membentuk preferensi pangan. Preferensi
pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika
seseorang harus melakukan pilihan terhadap
pangan dengan menunjukkan reaksi penerimaan
hedonik atau rasa makanan yang data diukur
secara verbal, dengan skala atau dengan
ekspresi wajah.3
Penampilan makanan ketika disajikan
dapat mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor
yang menentukan penampilan makanan antara
lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa
makanan.4
Ikan merupakan sumber protein hewani
utama dalam menu diseluruh Indonesia,
terutama bagi penduduk yang kurang mampu.5
Indonesia merupakan salah satu negara maritim
terbesar di dunia dengan hasil laut yang
melimpah. Salah satu contoh hasil laut yang
tianyak dihasilkan di daerah pesisir pantai
lndonesia adalah ikan: diantaranya ikan teri.
lkan teri kebanyakan dikonsumsi oleh
kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Oleh karena itu, untuk menaikkan nilai di mata
masyarakat perlu adanya pemanfaatan ikan teri
sebagai produk olahan pangan yang memiliki
nilai tambah yang tinggi. Beberapa makanan
tradisional di Sulawesi selatan diolah
mengunakan teknik pengasaman, seperti lawa
teri yang hanya dimatangkan dengan air cuka
atau air jeruk tanpa proses pemasakan.6
Pembuatan Lawa Bale yang berbahan baku
ikan teri merupakan salah satu alternatif
diversifikasi pengolahan ikan teri sebagai
produk pangan.
Lawa Bale adalah makanan khas suku
bugis dan Makassar yang berbahan dasar dari
ikan teri yang masih segar (mentah). Proses
pembuatannya tidak sulit dan bahan-bahannya
mudah didapatkan. Adapun Lawa Bale yang
paling sering dikonsumsi masyarakat Sulawesi
Selatan terkhusus suku bugis adalah Lawa Bale
dengan kelapa sangrai, sedangkan Lawa Bale
jantung pisang adalah modifikasi dari Lawa Bale
dengan menambahkan jantung pisang. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk meneliti uji daya
terima dari Lawa Bale dengan menggunakan tiga
variasi sebagai alternatif makanan pokok yang
dapat dibuat sendiri di tingkat rumah tangga
khususnya bagi masyarakat yang menyukai
makanan tradisional.
2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kuliner Lanjut Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Alasan pemilihan laboratorium kuliner lanjut
adalah salah satunya dikarenakan proses
penilaian terhadap uji daya terima yang akan
dilakukan rus memenuhi persyaratan sebagai
berikut.6 Pengujian dilakukan dalam bilik
pencicip, suasana, dan peralatan serta sarana.
Bilik pencicip ditujukan untuk memberikan sekat
3 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan menghindari adanya komunikasi antara
setiap panelis. Suasana yang diharapkan dalam
pengujian daya terima sama yang dirasakan oleh
setiap panelis. Peralatan dan sarana pada
laboraorium kuliner lanjut telah memenuhi
standarisasi alat dan lengkap untuk mendukung
uji daya terima ini.
2.2 Desain dan Variabel Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian analitik dengan desain case control
design. Penelitian ini menggunakan metode
analitik dengan analisa laboratorium,
menggunakan tiga perlakuan masing-masing
formulasi dengan dua kali pengulangan (Duplo).
Penelitian dilakukan pada dua tahap yaitu
dilakukan pembuatan Lawa Bale berdasarkan
hasil observasi formula Lawa Bale di berbagai
Rumah Makan dan uji daya terima pada setiap
produk olahan Lawa Bale. Variabel dalam
penelitian ini adalah Lawa Bale sebagai variabel
dependen dan uji daya terima sebagai varibel
independen.
2.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah Lawa Bale yang ada di
Makassar. Pemilihan sampel ditarik berdasarkan
observasi yang sebelumnya telah dilakukan.
Pemilihan sampel ditentukan dengan
resep yang dapat diperoleh untuk diuji cobakan
dalam uji daya terima ini. Proses pengambilan
sampel dalam hal ini resep Lawa Bale dilakukan
dengan pendekatan personal agar resep asli dari
rumah makan yang telah diobservasi dapat
diberikan.
Proses penilaian uji daya terima
dilakukan oleh 20 panelis semi terlatih, yaitu
panelis yang sebelumnya dilatih untuk
mengetahui sifat-sifat tertentu.6
Panelis yang
akan menilai proses uji daya terima ini harus
memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi.\
2.4 Pengumpulan Data
Data awal dikumpulkan oleh petugas dari
proses wawancara untuk memenuhi syarat
kriteria inklusi dan kriteria ekslusi panelis yang
akan menilai dalam proses uji daya terima ini.
Kriteria inklusi yang harus dipenuhi adalah
panelis setidaknya pernah mengonsumsi Lawa
Bale, terdiri dari mahasiswa angkatan 2008 dan
2009 (telah melewati proses perkuliahan kuliner
dasar maupun lanjut), tidak memiliki alergi
terhadap ikan, masih mempunyai alat indera
pengecap yang baik, dan bersedia untuk
dijadikan panelis. Kriteria ekslusi yaitu panelis
tidak bersedia untuk melakukan penilaian
terhadap uji daya terima ini.
Data selanjutnya diperoleh dari
karakteristik panelis dan penilaian yang telah
dilakukan pada saat proses penilaian dengan
menilai empat faktor yang diujikan, yaitu warna,
tekstur, aroma dan rasa.
2.5 Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan
dimasukkan kedalam komputer menggunakan
software SPSS 16,0 dan microsoft excel. Data
yang dimasukkan ke dalam komputer adalah
skor penilaian yang dilakukan panelis. Skor yang
diberikan adalah 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 =
agak suka, 2 = kurang suka, dan 1 =tidak suka.
Data diolah untuk melihat rata-rata tingkat
kesukaan terhadap empat faktor yang dinilai
yaitu warna, tekstur, aroma, dan rasa, agar dapat
dilihat perbedaan untuk setiap formula dari segi
rata-rata skor yang diberikan. Selanjutnya data
hasil penilaian uji daya terima dikonversikan juga
ke uji kruskal-wallis untuk melihat perbedaan
yang signifikan antara tiga formula yang diujikan.
4
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Formula pertama menggunakan rendaman cuka
dan penambahan kelapa sangrai, jeruk nipis, dan
sedikit garam, formula dua diberi perlakuan
blansir setelah itu diberi rendaman jeruk nipis
dan penambahan kelapa sangrai dan sedikit
garam, serta formula tiga diberi juga perlakuan
blansir lalu direndam dengan air asam jawa
kemudian diberi tambahan jantung pisang,
kelapa sangrai dan sedikit garam. Penilaian
untuk melihat perbedaan dari tingkat kesukaan
untuk setiap produk formula Lawa Bale
diimbangi pula dengan dihitung unit cost harga
setiap formula per 100 gram.
3. HASIL
3.1 Karakteristik Panelis
Karakteristik panelis dapat dilihat pada
Tabel 1. Terlihat pada jumlah panelis yang
menilai pada uji daya terima ini sebanyak 20
orang yaitu 2008 terdiri dari 16 orang (80%) dan
2009 (20%) perbandingan jenis kelamin
perempuan berbanding laki-laki yaitu 17:3.
Tabel 1. Karasteristik Panelis Uji Daya
Terima Lawa Bale
Karakteristik Panelis
Jenis Kelamin N=20 %
Perempuan 17 85
Laki-laki 3 15
Angkatan
2008 16 80
2009 4 20
3.2 Rata-Rata Skoring Menurut Karakteristik
Uji Tingkat Kesukaan
Rata-rata skoring menurut karakteristik
uji tingkat kesukaan dapat dilihat pada Tabel 2.
Terlihat hasil tentang rata-rata pada keempat
kriteria pada uji tingkat kesukaan baik dari segi
warna, aroma, tekstur maupun rasa. Pada
keempat kriteria dari 3 formula Lawa Bale
tersebut yang paling disukai dari segi warna,
arasa, aroma, dan tekstur adalah formula B,
selanjutnya formula C dan terakhir yang disukai
adalah formula A.
Tabel 2. Rata-rata Skoring Menurut Kriteria Uji
Tingkat Kesukaan Pada ke-3 Formula Lawa
Bale
Karakteristik Uji Kesukaan
Rata-rata Skoring Formula Lawa
A B C
Warna 3,275 3,525 3,425
Tekstur 3,15 3,45 3,325
Aroma 3,125 3,525 3,25
Rasa 2,775 3,45 3
3.3 Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula
Lawa Bale
Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula
Lawa Bale dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat
rata-rata skoring untuk tiap kriteria uji tingkat
kesukaan diperoleh hasil bahwa pada formula B
lebih disukai para panelis dibandingkan dengan 2
formula lainnya setelah dilakukan pengulangan
percobaan 2 kali. Formula yang paling disukai
adalah formula yang diberi perlakuan blansir
kemudian direndam perasan jeruk nipis, setelah
ditiriskan selama 2 menit lalu dicampur dengan
kelapa sangrai dan garam.hal ini dikemukakann
oleh beberapa panelis, bahwa formula Lawa Bale
yang B dilihat dari warna, aroma, tekstur, dan
rasa lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Dan yang disukai diurutan kedua adalah formula
C yang diberi perlakuan blansir lalu ditambahkan
air asam jawa kemudia diberi penambahan
jantung pisang, dan kelapa sangrai serta
garam.diurutan ketiga adalah formula A yang
direndam larutan cuka dengan penambahan
kelapa sangrai.
Tabel 3. Rata-Rata Penilaian Tingkat
Kesukaan Pada 3 Formula Lawa Bale
Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada Ke-3 Formula Lawa
Penilaian A B C
Rata-rata 3,0125 3,4875 3,2
5 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
percobaan 1
Rata-rata percobaan 2
3,0875 3,4875 3,3
Total rata-rata 3,05 3,4875 3,25
3.4 Uji Kruskal-Wallis
Uji Kruskal-Wallis yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 4. Terlihat hasil bahwa setelah
di uji menggunakan pengujian kruskal-wallis
dalam SPSS 16,00 dengan =0,05 didapati nilai
yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara ke 3 formula dilihat dari segi
faktor yang mempengaruhi uji tingkat kesukaan
pada penelitian uji daya terima ini.
3.5 Analisi rincian biaya formula Lawa Bale/ 100 gr
Analisis harga untuk biaya pembuatan
formula Lawa Bale per 100 gram dapat dilihat
pada Tabel 5. Terlihat Pada perhitungan unit
cost, harga disetiap formula per 100 gram-nya
perbandingan harga yang cukup berbeda terlihat
jelas. Formula yang memakai biaya di setiap
pembuatan formula per 100 gram nya yaitu
formula C, dan paling banyak mengeluarkan
biaya di antara ketiga formula yang dibuat adalah
formula A.
4. PEMBAHASAN
Pada kali ini penelitian yang dilakukan
yaitu uji daya terima (uji tingkat kesukaan) dari 3
formula Lawa Bale. Formula Lawa Bale yang
diujikan yaitu pertama: Lawa dengan
menggunakan rendaman larutan cuka dan
tamabahan kelapa sangrai, kedua: Lawa yang
diberi perlakuan blansir, rendaman jeruk nipis,
dan penambahan kelapa sangrai, ketiga: Lawa
yang diberi perlakuan blansir, rendaman air asam
jawa, penambahan kelapa sangrai dan jantung
pisang. Formula Lawa Bale diteliti untuk
mengetahui tingkat kesukaan para panelis
terhadap 3 pilihan Lawa yang diberikan.
Pada penelitian kali ini, para panelis yang
ditunjuk dalam proses penilaian baik dari segi
warna, aroma, tekstur dan rasa adalah panelis
semi terlatih, yang dikriteriakan pernah
mengonsumsi Lawa sebelumnya, cukup terlatih
dalam menilai citarasa dalam hal ini dipilihlah
angkatan 2009 dan 2008 yang telah melakukan
proses pembelajaran kuliner, tidak memiliki alergi
terhadap ikan ataupun bahan yang terkandung
dalam formula Lawa yang akan dibuat, dan
bersedia dalam berkontribusi pada penelitian ini.
Panelis yang rata-rata terdiri dari suku Bugis ini
pernah mencoba setidaknya lebih dari 3 kali
mengonsumsi Lawa Bale, karena hal itu pula
panelis lulus dalam uji kriteria pernah merasakan
Lawa Bale sebelumnya. Panelis dalam mencicipi
setiap formula mempunyai tanggapan tersendiri
untuk tiap formula yang diujikan. Kecenderungan
panelis dalam penilaian tingkat kesukaan kali ini
rata-rata memilih formula B dibandingkan dengan
formula A maupun C. Kecenderungan panelis
dalam memilih formula B, lebih dikarenakan
formula A rasa cuka yang masih sangat terasa
akibat sisa dari perendaman yang dilakukan,
sedangkan pada formula C menurut persepsi
panelis rasa penambahan jantung pisang yang
tidak biasa mereka konsumsi sebelumnya inilah
yang menyebabkan Formula C rata-rata dipilih
menjadi peringkat yang kedua.
Dalam pengolahan data hasil dari
penelitian uji daya terima (uji tingkat kesukaan)
didapatkan rata-rata secara keseluruhan dari
ketiga formula Lawa Bale, rata-rata kriteria
pembentuk uji daya terima yaitu warna, tekstur,
aroma, dan rasa, serta penilaian dengan
menggunakan uji kruskal-wallis.
Pengolahan data dengan melihat rata-
rata secara keseluruhan digunakan untuk
menilai keseluruhan formula Lawa Bale yang
dilihat dari total rata-rata yaitu akumulasi rata-
6
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Tabel 4. Kruskal-Wallis Pada Uji Tingkat Kesukaan 3 Formula Lawa Bale
Kruskal-Wallis uji Kesukaan
Warna Tekstur Aroma Rasa
Chi-
Square
Df Asymp.
sign
Chi-
Square
Df Asymp.
sign
Chi-
Square
df Asymp.
sign
Chi-
Square
df Asymp.
sign
3,309 2 0,191 2,281 2 0,320 4,167 2 0,125 4,856 2 0,088
Tabel 5. Analisis Rincian Biaya Formula Lawa Bale/ 100 gram
Formula Bahan Standar Porsi Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
A
Ikan teri segar tanpa kepala
85 gr 30.000.-
(800 gr tanpa kepala)
3200.-
Cuka 15 ml 2.000.- (200ml)
150.-
Kelapa parut (disangrai)
15 gr 3.500.- (1 btr)
132.-
Jeruk nipis butir 500.-
(1 butir) 250.-
Garam 3 gr 500.-
(500 gr) 3.-
Total 3.735.-
B
Ikan teri segar tanpa 80 30.000.-
(800 gr tanpa kepala)
3.000.-
Kelapa parut (disangrai)
20 gr 3.500.-
(1 butir) 175.-
Jeruk nipis 1 butir 500.-
(1 butir) 500.-
Garam 3 gr 500.-
(500 gr) 3.-
Total 3.678.-
C
Ikan teri segar 60 gr 30.000.-
(800 gr tanpa kepala)
2.250.-
Kelapa Parut (disangrai)
15 gr 3.500.-
(1 butir) 132.-
Jantung Pisang 20 gr 3.000.-
(1,2 kg) 50.-
Asam Jawa 8 gr 500.- (20)
200.-
Garam 7,5 gr 500.-
(500 gr) 7,5.-
Total 2.639,5.-
rata pengujian awal ditambah rata-rata
pengujian akhir.
Penilaian kedua yaitu dilihat dari rata-rata
keempat kriteria yang diteliti, hal ini dilakukan
untuk tidak hanya membandingkan formula Lawa
secara keseluruhan tapi juga untuk melihat
perbedaan yang terlihat dari setiap kriteria
pembangun uji daya terima dalam hal ini tingkat
kesukaan.
Penilaian ketiga dilihat dari segi statistik
yaitu menggunakan uji kruskal-wallis, pengujian
dilakukan untuk melihat uji yang dilakukan
terdapat perbedaan atau diterima sesuai dengan
pernyataan Ho diterima jika < 0,05, dan Ho
ditolak jika >0,05.
Dari hasil pengolahan data yang
dilakukan, hasil yang didapatkan menunjukkan
formula yang paling disukai adalah formula yang
kedua. Formula kedua paling disukai dilahat dari
7 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
penilaian rata-rata secara keseluruhai segi warnn
formula yang diteliti dan rata-rata dari keempat
kriteria syarat uji daya terima. Dari segi warna,
formula yang paling disukai setelah dilakukan
percobaan dua kali adalah formula B, formula
yang diberi perlakuan blansir dengan suhu 70oC,
rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa
sangrai, sama halnya dilihat dari segi tekstur,
aroma dan rasa, formula yang paling disukai
adalah formula B.
Formula kedua paling disukai disebabkan
dilihat dari perbandingan setiap alasan
penerimaan para panelis. Pada formula pertama
rasa cuka yang di tampakkan sangat terasa
walau sudah dibersihkan beberapa kali,
sedangkan untuk formula ketiga dilihat dari nilai
tidak terlalu signifikan perbedaannya denga
formula yang kedua. Walaupun formula kedua
paling disukai menurut kedua penilaian tersebut,
tetapi pada uji statistik kruskal-wallis didapatkan
hasil bahwa tidak ada perbedaan antara ketiga
formula yang diteliti baik dari segi warna, tekstur,
aroma dan rasa dengan kata lain Ho diterima.
Pada ketiga formula Lawa Bale setelah
dilihat dari harga satuan yang dihitung, dapat
terlihat jelas perbedaan biaya yang digunakan
pada setiap formula Lawa Bale. Tujuan
menghitung unit cost harga setiap formula per
100 gram nya untuk mengetahui biaya yang
dikeluarkan dalam setiap formula per 100 gram,
sehingga terlihat perbedaan biaya yang dipakai,
dan yang pada akhirnya akan menjadi acuan
dalam mempromosikan makanan tradisional
Lawa Bale kepada masyarakat dilihat dari tingkat
ekonomis yaitu jangkauan daya beli masyarakat
terhadap pembelian suatu produk. Pada
perhitungan unit cost harga setiap formula,
formula yang paling sedikit mengeluarkan biaya
per 100 gram nya adalah formula C dibandingkan
dengan formula A maupun B. Formula yang
mengeluarkan biaya yang lebih banyak daripada
formula lainnya adalah formula A. Formula C
memakai biaya yang sedikit di antara lainnya
dihitung per 100 gram nya karena pada formula
ini pemakaian ikan teri segar lebih sedikit yaitu
hanya 65 gram dibandingkan dengan formula A
yang memakai 85 gram dan formula B yang
memakai 80 gram, walaupun pada bahan
pelengkap ditambahkan jantung pisang tetapi,
tidak sebanding dengan harga jantung pisang
yang cenderung lebih mahal. Jadi, walaupun
formula yang paling disukai adalah formula B
tetapi, dari segi harga per 100 gram setiap
formula dianjurkan memilih formula C.
5. SIMPULAN
Sesuai tujuan penelitian maka dari hasil
pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan,
yaitu; Formula Lawa Bale yang dibuat dan diteliti
adalah formula pertama menggunakan rendaman
larutan cuka dan penambahan kelapa sangrai,
formula kedua menggunakan perlakuan blansir,
rendaman jeruk nipis dan penambahan kelapa
sangrai, terakhir formula ketiga diberi perlakuan
blansir, rendaman air asam jawa, dan
penambahan kelapa sangrai serta jantung
pisang; formula yang paling disukai menurut
penilaian rata-rata secara keseluruhan dan rata-
rata menurut kriteria syarat uji daya terima
adalah formula dua, dan; formula yang paling
ekonomis dari segi harga per 100 gram tiap
formula adalah formula C.
6. SARAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh,
maka dapat ditarik saran yaitu; Berdasarkan
penelitian ini, Masyarakat disarankan mengolah
Lawa Bale mengonsumsi formula B dengan
menggunakan proses blansir terlebih dahulu
8
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
kemudian direndam jeruk nipis dan bahan
pelengkap berupa kelapa sangrai dilihat dari
tingkat kesukaan yang telah diteliti, sedangkan
dilihat dari unit cost harga yang dikeluarkan untuk
100 gram tiap formula disarankan untuk memilih
formula C karena harga yang lebih murah
dibandingkan dengan yang lain; dilakukan
penelitian mengenai inovasi untuk menambahkan
variasi dalam penambahan bahan-bahan yang
dapat meningkatkan jual beli Lawa ataupun
perubahan baik dari rasa, aroma, tektur maupun
warna dari produk olahan Lawa Bale yang telah
ada, dan; berdasarkan hasil temuan dalam
penelitian ini bahwa perbedaan bahan-bahan
untuk setiap formula Lawa Bale mempengaruhi
daya terima seseorang dalam mengonsumsi
suatu makanan, maka disarankan kepada para
ahli gizi, tata boga, dan kuliner agar melakukan
penelitian mengenai uji daya terima pada
makanan tradisional lainnya sehingga dapat
mempertahankan makanan tradisional sebagai
pangan lokal dan sebagai alternatif mengatasi
masalah ketahanan pangan dan gizi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Assael H. Consumer Behaviors and Marketing Action. Boston: 1992.
2. Martiani D. Kebiasaan Jajan dan Preferensi terhadap Makanan Jajanan pada Mahasiswa IPB di Wilayah Dramaga, Bogor. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian IPB; 2000.
3. Prasatya ER. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Buah pada Golongan Lanjut Usia di Lembaga Seni Pernafasan Satria Nuasantara Bogor. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor :Fakultas Pertanian, IPB; 1998.
4. Palacio JP, Theis M. Introduction to Foodservice. 11th Ed. Ohio: Pearson Education; 2009.
5. Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 1991.
6. Rahayu, W.P. Diktat Penuntun Praktikum Penilaian Organolepik. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor; 1998.
9 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
ABSTRAK
Biji kefir atau biasa disebut algae kristal merupakan starter dalam pembuatan kefir air yang terdiri dari berbagai jenis mikroba. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam algae kristal adalah konsentrasi gula. Pada penelitian ini diamati perubahan karakteristik kimiawi kefir air yang difermentasikan pada berbagai konsentrasi gula. Biji kefir difermentasikan pada media air dengan perlakuan konsentrasi gula (2%, 5%, 8%, dan 11%) selama 72 jam. Setiap 12 jam dilakukan pengamatan meliputi total padatan terlarut, kadar gula, total asam laktat, dan nilai pH. Konsentrasi larutan gula berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap total asam dan nilai pH. Selama 72 jam fermentasi, total padatan terlarut tidak mengalami perubahan, kadar gula dan nilai pH menurun, sedangkan total asam meningkat. Kefir air dengan konsentrasi gula 2% layak dikonsumsi hingga fermentasi 79 jam, sedangkan kefir air dengan konsentrasi gula 5%, 8%, dan 11% layak dikonsumsi berturut-turut hingga fermentasi 73 jam, 81 jam, dan 78 jam.
Kata kunci: kefir air, laktobasillus, fermentasi
ABSTRACT Kefir grain or cristal algae is starter of water kefir making which contains various
microorganisms. One of factors affecting the growth of microorganisms in kefir grain is sugar concentration. In this research, the chemical properties changes of water kefir were determined. Kefir grains were fermented in water containing various sugar concentration (2%, 5%, 8%, and 11%) for 72 hours. Every 12 hours, total soluble solid, total sugar, total lactic acid, and pH value were measured. Sugar concentration significantly affected on total soluble solid and total sugar, but did not affect significantly on total of lactic acid and pH value. During 72 hours of fermentation, total soluble solid did not change, total sugar and pH value decreased, and total lactic acid increased. Water kefir with 2% sugar can be consumed until 79 hours of fermentation, and water kefir with 5%; 8%; and 11% sugar can be consumed respectively until fermentation of 73 hours, 81 hours, and 78 hours.
keywords: water kafier, lactobacillus, fermentation
KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR AIR PADA BERBAGAI SUHU DAN KERAPATAN FERMENTASI Lina Lidia
1 dan Neneng Sugiharti
1
1University Djuanda Bogor campus faculty of Food Technology and Nutrition
10
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan pangan kesehatan bagi
masyarakat saat ini sudah semakin tinggi.
Pangan baik berupa makanan maupun
minuman saat ini selain dikonsumsi untuk
pemenuhan energi bagi kelangsungan hidup
manusia juga diharapkan memberikan efek
kesehatan maupun perbaikan kesehatan bagi
pengkonsumsinya. Jenis pangan yang
memberikan efek kesehatan semakin dicari
oleh masyarakat. Masyarakat mulai kembali ke
pangan tradisional, organik, herbal, maupun
jenis-jenis pangan baru yang memberikan efek
kesehatan, seperti kefir.
Kefir adalah minuman kesehatan yang
mampu memberikan efek kesehatan bagi
pengkonsumsinya. Di beberapa situs internet
dikatakan bahwa kefir mampu memberikan
efek yang sangat baik bagi tubuh seperti
meningkatkan stamina, mood, dan pernafasan
(Anonim, 2010a), di situs lain dikatakan bahwa
kefir atau kristal algae sebagai obat alternative
kanker kolorektal (Anonim, 2010b).
Biji kefir mempunyai dua wujud,
berwarna putih keruh dan yang bening. Algae
kristal disebut juga sebagai biji kefir (kefir
grain). Algae kristal yang berwarna putih keruh
digunakan pada fermentasi kefir susu
(Stepaniak, 2002), sedangkan algae kristal
yang bening adalah algae kristal yang
digunakan pada fermentasi air. Algae kristal
merupakan simbiosis kompleks antara bakteri
asam laktat dan khamir (Bottazzi et al, 1994;
Waldherr et al, 2010; Beccary, 2011).
Biji kefir merupakan koloni bakteri
yang bersimbiotik bersama-sama dengan
unsur lain membentuk jaringan padat. Kultur
bakteri biji kefir berusia lebih dari 5000
tahun, Kefir Grains mengandung lebih dari 35
probiotik bakteri yang sangat menguntungkan
dan bermanfaat bagi kesehatan. Kefir mulanya
hanya dikonsumsi oleh Masyarakat Caucasus
selama ratusan tahun, menurut sejarah biji
kefir diberikan oleh Nabi Muhammad kepada
Rakyat Caucasus dan menjadi semacam
pusaka yang diwariskan turun-temurun, dan
akhirnya kefir menjadi bagian dari kehidupan
mereka.
Setiap mikroorganisme memiliki suhu
minimum, optimum, dan maksimum untuk
pertumbuhannya (Sunatmo, 2009 dan Fardiaz,
1992), begitu juga algae kristal. Pada alga
kristal terdapat beberapa mikroorganisme yang
berbeda, seperti bakteri asam laktat, dan
khamir yang saling bersimbiosis. Sehingga
memungkinkan dapat tumbuh di kisaran suhu
yang luas. Di pegunungan Kaukasus, suhu
ruang yang digunakan untuk memfermentasi
kefir rata-rata 15oC (Anonim, 2011). Menurut
Robinson dan Tamime (1981), biji kefir
diinkubasi pada suhu sekitar 23oC, sedangkan
Itmawardi (1987) menginkubasi biji kefir pada
suhu 26-28oC. Suhu fermentasi pada
pembuatan kefir sederhana adalah suhu ruang
(20-25oC) (Deptan, 2007). Menurut Waldherr
et al (2010), kefir air adalah minuman yang
difermentasi berbahan dasar larutan sukrosa
dengan ekstrak buah. Kefir air yang ia
kembangkan menggunakan strain
Lactobacillus hilgardii yang mampu
memproduksi granula dekstran yang
menunjukkan aktivitas optimumnya pada suhu
40-45oC. Algae kristal mengandung berbagai
jenis mikroorganisme asam laktat maupun
khamir, sehingga memungkinkan dapat
tumbuh pada range suhu yang sangat luas.
Dengan pertumbuhan bakteri asam laktat dan
khamir yang berbeda-beda di setiap suhu
pertumbuhan sehingga mempengaruhi
karakteristik kimiawi produk yang dihasilkan.
11 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Pada penelitian ini akan diamati pengaruh
berbagai suhu fermentasi (5oC, 15
oC, dan
suhu ruang) terhadap karakteristik kimiawi kefir
air.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini diantaranya yaitu
memfermentasi algae kristal pada media air
dengan perlakuan berbagai suhu fermentasi
(4oC dan 25
oC) dan berbagai kerapatan
fermentasi (tertutup rapat dan tertutup
longgar). Keduanya dilakukan masing-masing
selama 5 hari, yang dimulai dari 0 hari. Setiap
satu perlakuan suhu fermentasi dilakukan 2
kali ulangan sehingga terdapat 12 sampel.
Formulasi pembuatan kefir air dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Formulasi pembuatan kefir air
Bahan Formulasi
A1 A2 B1 B2
Biji kefir 5% 5% 5% 5%
Gula 2% 2% 2% 2%
Kismis 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
Suhu 4oC 25
oC 4
oC 4
oC
Kerapatan Rapat Rapat Rapat Longgar
Sumber: Modifikasi Beccary (2011) dan Lidia (2012).
Gambar 1. Diagram alir pembuatan kefir air
2.1. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri
dari satu faktor, masing-masing yakni suhu
fermentasi (A), dengan dua taraf perlakuan
(4oC dan 25
oC), dan dua kali ulangan.
Kerapatan fermentasi (B), dengan dua taraf
perlakuan (rapat dan longgar), dan dua kali
ulangan.
A1 = fermentasi dengan suhu fermentasi 2%
A2 = fermentasi dengan suhu fermentasi 5%
B1 = fermentasi dengan tutup rapat
B2 = fermentasi dengan tutup longgar
Model matematika yang digunakan adalah:
Yij = + Ai + ij
Keterangan:
Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan
perlakuan konsentrasi larutan gula taraf ke-i
ulangan ke-j
: nilai tengah populasi (rata-rata
sesungguhnya)
Ai : pengaruh perlakuan taraf ke-i
eij : pengaruh galat
i : taraf perlakuan (1, 2)
j : ulangan (1, 2)
2.2. Analisis Produk
Analisis produk yang dilakukan pada
penelitian ini adalah uji kimia dan mikrobiologi
pada kefir air dengan suhu fermentasi 4oC dan
25 o
C, serta kerapatan fermentasi rapat dan
longgar, yang telah difermentasi selama 5 hari.
Uji kimia dan mikrobiologi pada kefir air
dilakukan per hari selama 5 hari untuk
mengetahui pengaruh berbagai suhu dan
kerapatan fermentasi terhadap parameter yang
diuji.
2.3. Prosedur Analisis
Kefir Air
Gula 2% dalam 200
ml air
Biji Kefir 5% Kismis 1 buah
Pencampuran
Fermentasi 5 hari
tertutup rapat suhu (A) :
A1= 4oC, A2= 25
oC
Fermentasi 5 hari tertutup Suhu 4
oC
Tertutup (B): B1=rapat, B2=longgar
Uji kimia dan mikrobiologi per hari: a. total padatan terlarut
b. total sebaran gula c. total asam
d. nilai pH e. total mikroba f. total khamir
12
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Prosedur analisis yang dilakukan yaitu
uji kimia yang meliputi uji total padatan terlarut
menggunakan refraktometer (Sutadi, dkk.,
1997), uji sebaran gula dengan metode UFLC
(Ultra Fast Liquid Chromatography) (AOAC,
1977), uji kadar asam dengan metode titrasi
asam basa (Apriyantono, dkk., 1985), dan uji
pH menggunakan pH meter (Apriyantono, dkk.,
1985). Sedangkan uji mikrobiologi terdiri dari
uji total mikroba dan total khamir.
2.4. Analisis Data
Data hasil penelitian ini dikumpulkan
dalam suatu tabel. Pengolahan data dilakukan
secara vertikal dan horizontal. Pengolahan
data secara vertikal dianalisis dalam bentuk
ANOVA (Analisys of Varians) untuk
mengetahui pengaruh suhu fermentasi,
sehingga diperoleh nilai p. Jika nilai p < 0.05
maka perlakuan berpengaruh nyata, dan
dilanjutkan dengan uji T untuk mengetahui
perlakuan tersebut berbeda nyata atau tidak.
Sedangkan secara horizontal, pengolahan
data dilakukan uji Regresi Linier untuk
mengetahui perubahan (penurunan atau
peningkatan) parameter yang diuji. Kemudian
dilakukan uji Korelasi untuk mengetahui kuat
tidaknya hubungan antara waktu fermentasi
terhadap parameter karakteristik kimiawi (total
padatan terlarut, total fruktosa, total glukosa,
total sukrosa, total asam, dan nilai pH).
3. PEMBAHASAN
3.1. Suhu fermentasi
Dari hasil analisis sidik ragam
(ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan suhu
fermentasi (A) tidak berpengaruh nyata
terhadap total padatan terlarut (p > 0.05).
Hal ini diduga karena mikroba yang aktif
selama fermentasi pada kedua suhu tersebut
tidak hanya memecah komponen-komponen
terlarut, tetapi juga memecah komponen yang
tidak larut (pati dan protein yang tidak larut)
menjadi komponen yang larut (gula sederhana
dan protein yang larut). Oleh sebab itu,
pemecahan protein menjadi asam amino,
pembentukan vitamin, pirin, pirimidin dan lain-
lain yang digunakan bakteri asam laktat untuk
pertumbuhannya (Jay, 1978) dapat terukur
oleh refraktometer, sehingga perlakuan suhu
fermentasi terhadap total padatan terlarut tidak
berbeda nyata.
Tabel 2. Nilai rata-rata total padatan terlarut
(oBrix) kefir air pada berbagai suhu fermentasi
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata pada = 0.05.
3.2. Perubahan total padatan terlarut
selama fermentasi
Gambar 2. Grafik total padatan terlarut kefir air
pada berbagai suhu fermentasi.
Dari Gambar 2, terlihat bahwa total
padatan terlarut dalam kefir air dengan
perlakuan suhu fermentasi 4oC dan 25
oC
mengalami perubahan selama fermentasi 5
hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi
Suhu Waktu fermentasi (hari)
0 1 2 3 4 5
A1
(4oC)
2,20a
2,20a 2,30
a 2,30
a 2,30
a 2,30
a
A2
(25oC)
2,20a 2,20
a 2,25
a 2,30
a 2,30
a 2,30
a
13 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
persamaan masing-masing y = 0.022x + 2.186
dan y = 0.024x + 2.173 yang menyatakan
bahwa total padatan terarut pada tiap
perlakuan mengalami kenaikan sebesar
0.022oBrix dan 0.024
oBrix per hari. Kenaikan
perlakuan A1 bernilai sedang, sesuai nilai r
(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni
0.685. Hal ini menunjukkan hubungan linier
yang sedang antara waktu fermentasi dengan
total padatan terlarut. Sedangkan perlakuan
A2 mempunyai nilai r = 0.854 yang
menunjukkan hubungan linier yang cukup kuat
antara waktu fermentasi dengan total padatan
terlarut. Hal ini diduga pada fermentasi suhu
25oC mikroba yang hidup lebih banyak
dibandingkan fermentasi suhu 4oC. Dari
mikroba yang hidup tersebut terdapat hasil
metabolisme yang terukur bersama sumber
nutrisinya, sehingga terlihat bahwa perlakuan
A2 (25oC) lebih kuat peningkatannya dibanding
A1 (suhu 4oC).
3.3. Pengaruh berbagai suhu fermentasi
terhadap sebaran gula
Bakteri asam laktat merupakan
kelompok spesies bakteri yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk asam laktat
dari metabolisme karbohidrat (Sudarmadji,
dkk., 1989). Khamir Saccharomices cereviceae
menghasilkan enzim zimase dan invertase.
Enzim zimase berfungsi merombak sukrosa
menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa),
dan enzim invertase akan mengubah glukosa
menjadi etanol (Judoamidjojo, et al., 1992).
Tabel 3. Pengaruh fermentasi dengan gula
X Y Waktu fermentasi (hari)
0 1 2 3 4 5
A A1 2,470
a 2,260
a 1,960
a 0,855
a 1,435
a 1,225
a
A2 2,605a
2,230a
1,610a
0,670a
0,215a
0,073a
B
A1 1,514a
1,410a
2,285a
1,110a
1,700a
1,475a
A2 1,497a
1,410a
2,285a
0,860a
1,500a
1,410a
C
A1 0,483a
0,540a
0,275a
0,130a
0,210a
0,393a
A2 0,516a
0,565a
0,480a
0,320a
0,760a
1,068a
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05.
X = Jenis Gula
Y = Suhu
A = sukrosa (Suhu A1 4oC, A2 25
oC)
B = Glukosa (Suhu A1 4oC, A2 25
oC)
C = Fruktosa (Suhu A1 4oC, A2 25
oC)
Gambar 3. Grafik sebaran gula kefir air pada
berbagai suhu fermentasi
Dari Gambar 3, kadar sukrosa kefir air
dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan
25oC mengalami perubahan selama 5 hari. Hal
ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan y = -
0.280x + 2.681 dan -0.561x + 3.198 yang
menyatakan bahwa kadar sukrosa pada kefir
air mengalami penurunan sebesar 0.280% dan
0.561% tiap hari dengan nilai r (koefisien
korelasi) yang dihasilkan masing-masing yakni
0.692 dan 0.964. Hal ini menunjukkan terdapat
hubungan korelasi yang sedang sampai kuat
antara waktu fermentasi dengan kadar
sukrosa. Hal ini diduga pada perlakuan A2
(25oC) mikroba lebih banyak hidup daripada
perlakuan A1 (4oC), sehingga gula yang
digunakan lebih banyak untuk
14
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
pertumbuhannya. Dengan bertambahnya
jumlah produk, maka sumber karbon yang
dibutuhkan semakin banyak, sehingga kadar
sukrosa yang terukur mengalami penurunan.
Dari Gambar 3, kadar glukosa kefir air
dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan
25oC mengalami perubahan selama 5 hari. Hal
ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
masing-masing yaitu y = -0.014x +1.632 dan -
0.045x + 1.652 yang menyatakan bahwa total
padatan terarut pada kefir air mengalami
penurunan sebesar 0.014% dan 0.045% tiap
hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang
dihasilkan masing-masing yakni 0.004 dan
0.034. Hal ini menunjukkan tidak terdapat
hubungan korelasi antara waktu fermentasi
dengan kadar glukosa. Hal ini diduga karena
pada kedua suhu tersebut mikroba yang
terdapat pada kefir air memecah sukrosa
menjadi glukosa dalam jumlah sedikit, sesuai
kebutuhannya. Menurut Gilliland dan Kim
(1984), bakteri asam laktat tidak akan
menggunakan karbohidrat sebagai sumber
energi lebih dari yang dibutuhkan untuk
pertumbuhannya.
3.4. Pengaruh berbagai suhu fermentasi
terhadap total asam tertitrasi
Menurut Frazier dan Westhoff (1987),
pengukuran total asam tertitrasi didasarkan
pada komponen asam yang terdapat di dalam
larutan, baik yang terdiasosiasi maupun yang
tidak terdiasosiasi. Asam laktat merupakan
salah satu metabolit primer yang dihasilkan
dalam proses fermentasi.
Tabel 4. Pengaruh fermentasi dengan asam
Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu
kolom menunjukkan berbeda
nyata pada = 0.05.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam,
suhu fermentasi (A) berpengaruh nyata
terhadap total asam tertitrasi (p < 0.05).
Kemudian dilanjutkan dengan uji T, maka
terlihat bahwa bertambahnya suhu, maka total
asam yang dihasilkan mengalami kenaikan.
Hal ini diduga karena kemampuan hidup
mikroorganisme khususnya bakteri asam laktat
menurun pada suhu 4oC. Sedangkan pada
kefir air yang difermentasi pada suhu 25oC
pertumbuhan mikroba lebih cepat dengan
menghasilkan asam laktat lebih banyak karena
suhu optimum pertumbuhan bakteri asam
laktat dan khamir mendekati suhu 25oC,
sehingga total asam terlihat signifikan. Menurut
Fardiaz (1992), di dalam makanan yang
didinginkan juga sering tumbuh beberapa
mikroorganisme psikrofilik yang dapat tumbuh
pada suhu pendinginan, tetapi mempunyai
suhu optimum di atas 20oC.
Gambar 4. Grafik total asam tertitrasi kefir air
pada berbagai suhu fermentasi
Dari Gambar 4, total asam tertitrasi
kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC
dan 25oC mengalami perubahan selama 5
hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi
persamaan masing-masing y = 0.002x + 0.000
dan y = 0.019x 0.022, yang menyatakan
bahwa rata-rata total asam laktat pada pada
tiap perlakuan mengalami kenaikan sebesar
15 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
0.002% dan 0.019% tiap hari, dengan nilai r
yang dihasilkan masing-masing yaitu 0.932
dan 0.922. Hal ini menunjukkan hubungan
korelasi yang cukup kuat antara waktu
fermentasi dengan total asam laktat. Hal ini
diduga adanya aktifitas mikroba yang dapat
mengubah karbohidrat (gula) menjadi asam-
asam organik, yakni terdapat bakteri
homofermentatif yang menghasilkan asam
laktat, sedangkan bakteri heterofermentatif
yang menghasilkan sedikit asam asetat. Pada
perlakuan A1 (4oC) nilai regresinya terlihat
lebih kuat dibanding A2 (25oC). Hal ini diduga
adanya khamir yang hidup lebih optimal pada
suhu fermentasi 25oC, sehingga dapat
mempengaruhi total asam karena OH yang
dihasilkannya tersebut, walaupun dalam
jumlah yang relatif sedikit.
Berdasarkan Gambar 4, menunjukkan
bahwa semakin lama fermentasi, maka dapat
meningkatkan jumlah asam laktat yang
terbentuk. Hal ini disebabkan karena dengan
semakin lama waktu fermentasi, maka proses
perombakan karbohidrat oleh bakteri asam
laktat dan khamir akan lebih lama dan optimal
sehingga asam laktat dan alkohol yang
dihasilkan akan semakin tinggi. Menurut
Pederson (1960), peningkatan total asam
tertitrasi disebabkan karena mikroba yang aktif
selama fermentasi memanfaatkan karbohidrat
yang dapat difermentasi dan menghasilkan
asam-asam organik.
3.5. Pengaruh suhu fermentasi terhadap
nilai pH
Menurut Priyantono (1987), salah satu
faktor pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh
pH, semakin tinggi nilai pH maka pertumbuhan
mikroba semakin meningkat pula dan
sebaliknya. Menurut Fardiaz (1989), umumnya
jasad renik dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6,
bakteri dapat tumbuh pada pH optimum sekitar
6,5-7,5. Khamir tumbuh pada kisaran pH 2,5-
8,5; optimumnya tumbuh pada pH 4-5.
Secara umum nilai pH menunjukkan derajat
keasaman atau kebasaan suatu produk.
Semakin rendah nilai pH produk menunjukkan
derajat keasaman produk tersebut semakin
tinggi.
Tabel 5. Pengaruh fermentasi dengan pH
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata pada = 0.005.
Dari hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan berbagai suhu
fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai pH (p < 0.05). Hal ini diduga karena pada
suhu fermentasi 25oC tidak hanya bakteri
asam laktat yang hidup, namun terdapat pula
khamir yang dapat mempengaruhi nilai pH
disebabkan gugus OH yang dihasilkannya,
walaupun pengaruhnya kecil. Oleh karena itu,
nilai pH yang terukur pada perlakuan suhu
fermentasi 25oC tidak terlihat signifikan
dibanding suhu 4oC. Berdasarkan Tabel 5,
diketahui bahwa semakin tinggi suhu
fermentasi tidak menyebabkan nilai pH
semakin menurun. Hal ini diduga beragamnya
mikroba yang hidup dalam kefir air termasuk
khamir mempengaruhi nilai pH yang dihasilkan
oleh bakteri asam laktat.
16
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 6. Grafik nilai pH kefir air pada berbagai
suhu fermentasi
Dari Gambar 6, kadar pH kefir air
dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan
25oC, mengalami perubahan selama 5 hari.
Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
masing-masing suhu yaitu y = -0065x + 6.590
dan y = -0.509x +7.16, yang menyatakan
bahwa kadar pH pada kefir air pada suhu
fermentasi 4oC dan 25
oC mengalami
penurunan sebesar 0.065 dan 0.509 tiap 12
hari dengan masing-masing nilai r (koefisien
korelasi) yang dihasilkan yakni 0.306 dan
0.835. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi
yang lemah sampai kuat antara waktu
fermentasi dengan nilai pH.
Korelasi yang lemah pada suhu
fermentasi 4oC diduga karena kondisi suhu
yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba, sehingga penurunan nilai pH terlihat
rendah atau lambat. Sedangkan pada suhu
fermentasi 25oC, mikroba yang hidup dapat
tumbuh lebih cepat, sehingga dapat
menghasilkan produk yakni asam laktat lebih
cepat pula, sehingga penurunannya terlihat
kuat atau tahan.
Yusmarini dan Efendi (2004), bahwa
semakin banyak sumber gula yang dapat
dimetabolisme, maka semakin banyak pula
asam-asam organik yang dihasilkan, sehingga
pH juga akan semakin rendah.
Fermentasi asam laktat dapat terhenti
dengan menurunnya nilai pH, namun khamir
masih dapat hidup dalam lingkungan pH
rendah untuk memfermentasikan gula menjadi
alkohol. Oleh karena itu, jika kefir air
difermentasi lebih lama, dapat memungkinkan
bertambahnya kadar alkohol dan juga dapat
memicu timbulnya kontaminasi mikroba lain
yang dapat menimbulkan toksik bagi yang
mengkonsumsinya.
3.6. Pengaruh suhu fermentasi terhadap
total mikroba
Tabel 6. Nilai rata-rata total mikroba kefir air
pada berbagai suhu fermentasi
Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu
kolom menunjukkan berbeda
nyata pada = 0.005.
Dari hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa pada perlakuan berbagai
suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap
total mikroba (p < 0.05). Kemudian dilanjutkan
dengan uji T, maka perlakuan A1 berbeda
nyata dengan A2. Hal ini diduga pada suhu
25oC lebih sesuai untuk pertumbuhan mikroba
yang terdapat pada kefir air, sehingga mikroba
terus berkembang biak dan jumlahnya
semakin banyak seiring dengan bertambahnya
hari, yang menyebabkan hasilnya terlihat
signifikan dibanding suhu fermentasi 4oC.
Menurut Buckle (1987), suhu dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
dengan cara apabila suhu mengalami
kenaikan sekitar suhu optimalnya, kecepatan
metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat
sedangkan bila suhu turun sekitar suhu
optimalnya, kecepatan metabolisme akan
menurun dan pertumbuhan juga diperlambat.
Menurut Winarno (2002), menyebutkan bahwa
17 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
setiap penurunan suhu 8C akan membuat
kecepatan reaksi berkurang menjadi
setengahnya.
Gambar 7. Grafik total mikroba kefir air pada
berbagai suhu fermentasi
Dari Gambar 7, total mikroba kefir air
dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan
25oC, mengalami perubahan selama 5 hari.
Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
masing-masing suhu yaitu y = 98910x + 17991
dan y = 3E+07x 5E+07, yang menyatakan
bahwa total mikroba pada kefir air pada suhu
fermentasi 4oC dan 25
oC mengalami kenaikan
sebesar 98,910 koloni/mL dan 3x107 koloni/mL
tiap hari dengan masing-masing nilai r
(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.05
dan 0.857. Hal ini menunjukkan hubungan
korelasi yang lemah sampai kuat antara waktu
fermentasi dengan total mikroba.
Selama fermentasi, rata-rata total
mikroba pada suhu 4oC dan 25
oC mengalami
kenaikan tiap hari. Namun pada suhu 25oC,
kenaikannya lebih kuat dibanding suhu 4oC.
Hal ini diduga pada suhu 25oC, mikroba yang
terdapat pada kefir air lebih cocok untuk
bertahan hidup, sehingga mikroba dapat terus
aktif dan terus berkembang biak lebih cepat
dibandingkan suhu 4oC yang diduga mikroba
di dalamnya cukup terhambat akibat suhu
yang dingin, yang menyebabkan pertumbuhan
dan jumlah produk yang dihasilkan kurang
optimal. Hal ini membuktikan bahwa jika waktu
fermentasi diperpanjang maka total mikroba
mengalami peningkatan. Menurut Fardiaz
(1992), kecepatan pertumbuhan
mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh suhu,
dimana kecepatannya akan semakin menurun
dengan menurunnya suhu.
3.7. Pengaruh suhu fermentasi terhadap
total khamir
Tabel 7. Nilai rata-rata total khamir kefir air pada
berbagai suhu fermentasi
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
kolom menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.005.
Dari hasil nalisis sidik ragam
menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu
fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai pH (p > 0.05). Hal ini diduga khamir dapat
hidup walaupun dibawah suhu optimumnya.
Pada dasarnya, jumlah khamir lebih banyak
pada suhu 25oC, namun hasilnya tidak
signifikan terhadap 4oC. Menurut Rahman
(1989), khamir mempunyai suhu pertumbuhan
optimum pada 20oC-30
oC.
Gambar 8. Grafik total khamir kefir air pada
berbagai suhu fermentasi
Dari Gambar 8, total khamir kefir air
dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan
25oC mengalami perubahan selama 5 hari. Hal
ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
masing-masing suhu yaitu y = 24619x - 41310
18
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan y = 2E+08x - 4E+08, yang menyatakan
bahwa total khamir pada kefir air pada suhu
fermentasi 4oC dan 25
oC mengalami kenaikan
sebesar 24,619 koloni/mL dan 2x108
koloni/mL
tiap hari dengan masing-masing nilai r
(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.694
dan 0.484. Hal ini menunjukkan hubungan
korelasi yang lemah sampai sedang antara
waktu fermentasi dengan total khamir. Hal ini
diduga pada suhu 25oC khamir lebih banyak
yang hidup, maka dengan bertambahnya masa
sel, khamir pun mengalami persaingan hidup,
sehingga kenaikannya lemah dibandingkan
pada suhu 4oC walaupun pengarunya kecil
namun terus mengalami kenaikan.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis,
karakteristik kimiawi kefir air dengan berbagai
konsentrasi larutan gula memberikan pengaruh
terhadap total padatan terlarut dan kadar gula,
namun tidak memberikan pengaruh terhadap
total asam tertitrasi dan nilai pH selama 72
jam. Oleh karena itu, untuk efisiensi bahan
dalam pembuatan kefir air, maka dapat
digunakan konsentrasi larutan gula 2%.
Namun untuk menambah rasa manis, dapat
dipilih konsentrasi larutan gula 5%; 8%; atau
11%.
Dari pengamatan waktu fermentasi,
diketahui bahwa dengan bertambah lamanya
waktu fermantasi, maka total padatan terlarut
mengalami penurunan dengan hubungan
linear yang lemah, kadar gula turun dengan
hubungan linear yang kuat, total asam
meningkat dengan hubungan linear kuat, dan
pH menurun dengan hubungan linear sangat
kuat. Dengan merujuk pada pH kefir yang
layak dikonsumsi yakni 4.6, maka kefir air
dengan konsentrasi larutan gula 2% layak
dikonsumsi tidak lebih dari 79 jam
fermentasi. Sedangkan kefir air dengan
konsentrasi larutan gula 5%; 8%; dan 11%
masing-masing layak dikonsumsi tidak lebih
dari 73 jam; 81 jam; dan 78 jam fermentasi.
5. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan
pada kefir air dengan menguji kadar alkohol
tiap 12 jam. Selain itu, dilakukan penggantian
sumber nutrisi seperti buah-buahan atau umbi-
umbian.
DAFTAR REFERENSI
[1] Angulo, et al. 1993. In: Abraham, A.G. and De Antoni, G.A. 1999. Characterization of Kefir Grains Grow in Cows Milk and Soya Milk. www.sciencedirect.com. Journal of Diary Reasearch 66 [2]:327-333 (Diakses tanggal 23 Mei 2011).
[2] Anonim. 2003. Pengetahuan Bahan Pangan, Amankan Pangan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. BPOM. Jakarta.
[3] Anonim. 2010. Algae Kristal Jepang Kaya Akan Manfaat. www.kompasiana.com/post/type/raport. (Diakses tanggal 11 Mei 2011).
[4] Anonim. 2011. Air Minum. www.wikipedia.org/wiki/air_minum. (Diakses tanggal 7 Juni 2011).
[5] Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1985. Analisis Pangan. IPB-Press, Bogor.
[6] Beccary. 2011. Crystal Algae. www.crystalgae/sobatonline.com. (Diakses tanggal 11 Mei 2011).
[7] Bottazi. 1983. Other Fermented Dairy Products. In: Biotechnology. Fifth volume. Rehm, H.J. and Reed, G. (ed.). Reed, G. (vol. ed.). Verlag Chemie. Florida, Basel.
19 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
ABSTRAK
Obesitas atau berat badan lebih merupakan salah satu masalah gizi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas dan obesitas sentral di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 19,1% dan 18,8%. Obesitas sentral sangat erat kaitannya dengan sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindrom metabolik pada populasi guru SD obes-sentral (lingkar perut laki-laki 90 cm; perempuan 80 cm). Penelitian dilakukan pada guru SD di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Status obesitas sentral diukur menggunakan lingkar perut sedangkan sindrom metabolik menggunakan pengambilan sampel darah responden (kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa), pengukuran lingkar pinggang, dan tekanan darah. Jumlah sampel penelitian sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 guru SD obes sentral dan 30 guru SD non obes-sentral. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindorm metabolic yaitu uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan 16 (26,7%) guru SD obesitas sentral mengalami sindrom metabolik dan hanya 1 (1,7%) guru SD non-obesitas sentral yang mengalami sindrom metabolik berdasarkan kriteria NCEP ATP III modifikasi asia pasifik. Secara statistik juga terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas sentral dengan sindrom metabolik (p=0.000; OR=33,14; CI 95%). Dapat disimpulkan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik pada guru. Kata kunci: lingkar perut, sindrom metabolik, guru SD ABSTRACT
Obesity is one of the nutrition issue in developing countries, including Indonesia. The
prevalence of obesity and central obesity in Indonesia is quite high at 19,1% and 18,8%. Central obesity is closely associated with metabolic syndrome. This study aims to determine the differences of metabolic syndrome proportion among central-obese (abdominal circumference of male 90 cm; women 80 cm) and non-central obese elementary school teachers. The study was conducted at school in District Cilandak, South Jakarta. Central-obese status was measured by using abdominal circumference, while metabolic syndrome was determined by using blood sample (HDL cholesterol, trygliceride, fasting glucose), waist circumference measurements, and blood pressure.Total sample are 60, each population represent by 30 respondents. Chi square test is used to determine the difference of metabolic syndrome proportion in both population. The result shows that 16 (26,7%) central-obese teachers were having metabolic syndrome and only 1 (1,7%) non-central obese elementary school teachers were having metabolic syndrome based on NCEP ATP III Asia- Pasific modification criteria. There was also a statistically significant correlation between central obesity with metabolic syndrome (p=0.000; OR=33.14; 95% CI). It can be concluded that central obesity is more associated with metabolic syndrome in teachers.
Keywords: abdominal circumference, metabolic syndrome, elementary school teacher
PERBEDAAN PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA GURU SEKOLAH DASAR OBES SENTRAL DAN NON-OBES SENTRAL BERDASARKAN LINGKAR PERUT Qonita Rachmah
1
1Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
20
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
2. PENDAHULUAN
Pola hidup masyarakat perkotaan saat
ini mulai mengalami modernisasi ke arah yang
lebih instan. Perubahan pola hidup tersebut
akan berdampak pada terjadinya masalah
kesehatan, seperti penyakit degeneratif yang
masih menjadi pembunuh nomor satu di
Indonesia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan
sekitar 60% mortalitas disebabkan oleh
penyakit degeneratif.
Penyebab utama terjadinya penyakit
degeneratif adalah munculnya sindrom
metabolik. Orang dengan sindrom metabolik
akan berisiko tiga kali lebih besar mengalami
serangan jantung/stroke dan dua kali lebih
berisiko untuk meninggal dibandingkan orang
tanpa sindrom metabolik.(1)
Sindrom metabolik didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana terjadi
kelainan metabolik yang meliputi minimal tiga
dari lima kondisi berikut; lingkar pinggang di
atas normal, kenaikan kadar glukosa plasma,
penurunan kadar kolesterol HDL, tekanan
darah yang tinggi (hipertensi), dan kenaikan
kadar trigliserida (NCEP-ATP III, 2001).
Prevalensi sindrom metabolik diberbagai
belahan dunia sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat, berdasarkan kriteria
NCEP-ATP III, prevalensi di seluruh dunia
berkisar antara 15-30%,(2)
pada populasi Asia
berkisar antara 10-15%.(3)
Sedangkan di
Indonesia, pada tahun 2004 prevalensinya
mencapai 24,4% (Himpunan Studi Obesitas
Indonesia) dan di DKI Jakarta pada tahun
2006 menunjukkan prevalensi sindrom
metabolik yang lebih besar yaitu sebesar
28,4%.(4)
Salah satu faktor utama munculnya
sindrom metabolik adalah kondisi obesitas
sentral. Obesitas sentral merupakan kondisi
terjadinya penimbunan lemak pada jaringan
adiposa yang berada di daerah abdominal.
Obesitas sentral dapat diukur menggunakan
lingkar perut dan lingkar pinggang. Namun,
lingkar perut prediktor yang lebih baik untuk
menentukan risiko sindrom metabolik
dibandingkan RLPP maupun IMT.(5)
Walaupun
sindrom metabolik sering ditemukan pada
individu dengan obesitas sentral, namun
sindrom metabolik juga dapat dialami oleh
individu normal atau non-obesitas sentral.
Profesi guru SD merupakan profesi
yang tidak menuntut aktivitas fisik terlalu berat
dengan jam kerja yang lebih sedikit
dibandingkan guru SMP/SMA dan juga
menjadi panutan bagi siswa sekolah dasar
dalam hal penanaman nilai-nilai positif
termasuk dalam hal kesehatan. Apabila guru
tidak memiliki perilaku maupun kondisi
kesehatan yang baik, maka dapat berdampak
pada produktivitas dan perilaku kesehatan
murid yang kurang baik. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prevalensi sindrom metabolik serta perbedaan
proporsinya pada guru SD obesitas sentral
dan non-obesitas sentral.
2. METODE
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan desain studi cross sectional
yang dilakukan pada guru sekolah dasar di
Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.
Populasi studi pada penelitian ini yaitu guru
sekolah dasar yang bekerja di sekolah dasar
yang tersebar di wilayah Lebak Bulus dan
Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta
Selatan. Sedangkan sampel penelitian yaitu
guru SD yang berusia di atas 20 tahun dan
bekerja di wilayah penelitian. Jumlah
responden yaitu 30 guru SD obesitas sentral
21 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan 30 guru SD non-obesitas sentral,
sehingga total responden yaitu 60 orang.
Data sekunder yang dikumpulkan
pada penelitian ini yaitu database guru SD di
wilayah penelitian, sedangkan data primer
meliputi karakteristik individu (jenis kelamin,
usia), lingkar perut, profil lipid darah (HDL dan
trigliserida), serta kadar gula darah puasa.
Pengambilan data dilakukan secara langsung
kepada responden dengan cara wawancara,
pengukuran antropometri, dan pemeriksaan
biokimia darah.
Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Maret-April 2013 oleh peneliti dan tiga
orang asisten yang merupakan mahasiswa
program studi gizi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.
Instrumen yang digunakan yaitu
kuesioner yang berisi informed consent serta
data karakteristik individu, pita ukur dengan
skala 0,1 cm merk seca untuk mengukur
lingkar perut, alat ukur tekanan darah air raksa
(sphygomamometer), dan alat ukur gula darah
dan profil lipid (kolesterol HDL dan trigliserida)
untuk mendeteksi sindrom metabolik.
Pengukuran lingkar perut dilakukan
pada daerah perut dengan melilitkan pita ukur
pada lokasi dua jari dibawah pusar, responden
diwajibkan membuka pakaian/ celana pada
bagian tersebut untuk menjaga akurasi
pengukuran. Hasil pengukuran lingkar perut
dalam sentimeter. Selain itu, responden juga
diminta untuk berpuasa selama 8-10 jam
sebelum pengambilan sampel darah.
Responden juga tidak dianjurkan meminum
obat kecuali atas anjuran dokter dan
diinformasikan kepada petugas serta tidak
merokok, dan berolahraga sebelum
pengambilan sampel darah. Sampel darah
diambil dari vena di daerah Fossa Cubiti.
Pengolahan data menggunakan
perangkat lunak khusus. Analisis deskriptif
yang disajikan meliputi karakteristik individu
serta sindrom metabolik pada guru SD
obesitas sentral dan non-obesitas sentral.
Perbedaan proporsi sindrom metabolik pada
kedua populasi dianalisis menggunakan uji chi
square.
Sebelum melakukan pengambilan
data, penelitian ini telah lulus sidang kaji etik
dan mendapatkan izin dari Komisi Etik
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia pada 25 April 2013.
3. HASIL
Responden dalam penelitian ini yaitu
guru SD di wilayah Kecamatan Cilandak,
Jakarta Selatan berusia di atas 20 tahun.
Responden perempuan (63%) lebih banyak
dibandingkan laki-laki (37%). Guru SD yang
mengalami obes sentral lebih banyak berjenis
kelamin perempuan (43,4%) dibandingkan
laki-laki (6,7%).
Rata-rata responden berusia 45 tahun
dengan modus 36 tahun, median 48 tahun,
dan SD +9,613. Guru SD yang mengalami
obesitas sentral lebih banyak berada pada
range usia 51-60 tahun (50,0%) dibandingkan
pada usia >51 tahun. Tabel 1 menggambarkan
karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis
kelamin.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Variabel
Guru SD Obes
Sentral (n=30)
Guru SD non-Obes
Sentral (n=30)
n % n %
Jenis Kelamin Perempuan 26 43,4 12 20,0 Laki-laki 4 6,7 18 30,0
Usia 20-30 th 0 0,0 6 10,0
22
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
31-40 th 2 3,3 8 13,3
41-50 th 9 31,7 11 18,3 51-60 th 19 50,0 5 8,3
Hasil analisis terhadap kriteria sindrom
metabolik yaitu lingkar pinggang, kadar
kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa,
dan tekanan darah ditunjukkan pada tabel 2.
Kriteria sindrom metabolik yang paling banyak
dialami yaitu kadar kolesterol HDL rendah
(45,0%), lalu diikuti oleh hipertensi (38,3%),
lingkar pinggang tinggi (35%), kadar
trigliserida tinggi (33,3%), dan terakhir yaitu
gula darah puasa tinggi (15%).
Rata-rata responden memiliki lingkar
pinggang 80 cm dengan modus 86,5 cm,
median 81,3 cm, dan SD +1,017. Semua
responden dengan lingkar pinggang tinggi
(35,0%) merupakan guru SD yang obes-
sentral. Untuk kadar kolesterol HDL, rata-
ratanya yaitu 49,9 mg/dl dengan modus 45,
median 48 mg/dl, dan SD +10,61. Kadar K-
HDL rendah lebih tinggi pada kelompok guru
SD obes-sentral (21,7%) dibandingkan pada
kelompok guru SD non-obes sentral (13,3%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kriteria Sindrom Metabolik*
Variabe