+ All Categories
Home > Documents > BIMGI Volume 2 Edisi 1

BIMGI Volume 2 Edisi 1

Date post: 07-Mar-2016
Category:
Upload: suryantiwardani
View: 34 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
Description:
BIMGI Volume 2 Edisi 1

of 70

Transcript
  • II

    BOARD OF TRUSTEE

    dr. Endang L. Achadi, MPH, Dr PH (Universitas Indonesia)

    Fillah Fithra Dieny, S. Gz, M.Si (Universitas Diponegoro)

    PIMPINAN UMUM

    Rudianto Universitas Hasanuddin

    SEKRETARIS

    Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor

    BENDAHARA

    Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya

    PIMPINAN REDAKSI

    Fadilla Anjani Universitas Indonesia

    TIM REDAKSI

    Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia

    Azwar Burhan Universitas Hasanuddin

    Shabira Utami Institut Pertanian Bogor

    Elok Sekarini Stikes Surabaya

    Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya

    Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin

    Santi Jaelani Universitas Indonesia

    TIM HUMAS

    Mief Qurani S Universitas Brawijaya

    Hoiriyah STIKES Surabaya

    Alexandra Tatgyana S Universitas Indonesia

    Damelya Patricia D Universitas Hasanuddin

    Fortunella STIKES Surabaya

    Adinda Rizki Pemb. Veteran

    Mardhiati Universitas Hasanuddin

    Sarinah Institut Pertanian Bogor

    TIM LAYOUT

    M. Firman Alamsyah Institut Pertanian Bogor

    Anneke Wulansari Universitas Brawijaya

    Karina Muthiah Santi Universitas Brawijaya

    SUSUNAN PENGURUS

  • III

    Susunan Pengurus............................................................................................................................. ...... ii

    Daftar Isi............................................................................................................................................ .......... iii

    Petunjuk Penulisan................................................................................................................................ iv

    Sambutan Pimpinan Umum............................................................................................................... ix

    PENELITIAN Uji Daya Terima Terhadap Olahan Produk Lawa Bale (Makanan Tradsional Sulawesi Selatan) Astri Ayu Novaria1

    .................................................................................................................................................................................................................................. 1

    Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Kefir Air Pada Berbagai Suhu dan Kerapatan Fermentasi Lina Lidia1 dan Neneng Sugiharti1

    .................................................................................................................................................................................................................................. 9

    Perbedaan Proporsi Sindrom Metabolik Pada Guru Sekolah Dasar Obes Sentral dan Non-Obes Sentral Berdasarkan Lingkar Perut Qonita Rachmah1

    ................................................................................................................................ .................................................................................................. 19

    Biskuit Moringa Ria Sebagai Suatu Strategi Penanggulangan Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita Miskin Berbasis Masyarakat Rudianto,1 Ainum Jhariah Hidayah,2 Irma Ariany Syam3

    .................................................................................................................................................................................................................................. 27

    ADVERTORIAL Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut: Pengembangan Diversifikasi Pangan Guna Memanfaatkan Potensi Lokal Sulawesi Selatan Ainum Jhariah Hidayah,1 Irma Ariany Syam,2 Sri Rahayu Indah S3

    .................................................................................................................................................................................................................................. 33

    Efektivitas Kinerja Millenium Development Goals Dalam Rangka Penurunan Tingkat Kematian Anak di Indonesia Novi Luthfiana Putri1

    ................................................................................................................................................................................................................. ................. 41

    Genetik, Obesitas, Dan Teori Relativitas Berat Badan Andi Imam Arundhana1, Asry Dwi Muqni2

    ............................................................................................................................................. ..................................................................................... 51

    DAFTAR ISI ISSN : 2303-3932

  • IV

    Pedoman Penulisan Artikel

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI)

    Indonesian Nutrition Student Journal

    Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan

    yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi,

    mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI

    menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar,

    ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi

    dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel

    penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan

    merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.

    Kriteria Artikel

    1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat,

    dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang,

    abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan

    saran).

    2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena

    atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat

    bagi pembaca.

    3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca.

    Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi

    ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan.

    4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik

    yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human

    interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan

    serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca.

    5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan,

    mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di

    bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi.

    Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi.

    6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara

    tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa

    ilmu gizi).

    7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau

    kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan

    metode studi pustaka.

    PETUNJUK PENULISAN

  • V

    Petunjuk Bagi Penulis

    1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.

    2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas,

    serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak

    satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman

    mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm.

    Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman.

    3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word.

    Naskah dikirim melalui email ke alamat [email protected] dengan menyertakan

    identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

    4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika

    sebagai berikut:

    1. Judul karangan (Title)

    2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

    3. Abstrak (Abstract)

    4. Naskah (Text), yang terdiri atas:

    - Pendahuluan (Introduction)

    - Metode (Methods)

    - Hasil (Results)

    - Pembahasan (Discussion)

    - Kesimpulan

    - Saran

    5. Daftar Rujukan (Reference)

    5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti

    sistematika sebagai berikut:

    1. Judul

    2. Nama penulis dan lembaga pengarang

    3. Abstrak

    4. Naskah (Text), yang terdiri atas:

    - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

    - Pembahasan

    - Kesimpulan

    - Saran

    5. Daftar Rujukan (Reference)

    6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah

    yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan

    kaki.

    7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti

    dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis.

    Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

    8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak

    melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.

  • VI

    9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa

    Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan

    sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.

    10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring

    (italic).

    11. Tabel

    12. Gambar

    13. Metode statistik

    14. Ucapan terima kasih

    15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan

    dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat

    1. Artikel dalam jurnal

    i. Artikel standar

    Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk

    for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3.

    atau

    Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk

    for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.

    Penulis lebih dari enam orang

    Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood

    leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.

    ii. Suatu organisasi sebagai penulis

    The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing.

    Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.

    iii. Tanpa nama penulis

    Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.

    iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris

    Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere

    frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2.

    v. Volum dengan suplemen

    Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung

    cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82.

    vi. Edisi dengan suplemen

    Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast

    cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.

    vii. Volum dengan bagian

    Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin

  • VII

    dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6.

    viii. Edisi dengan bagian

    Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in

    ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.

    ix. Edisi tanpa volum

    Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in

    rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.

    x. Tanpa edisi atau volum

    Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of

    blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.

    xi. Nomor halaman dalam angka Romawi

    Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology.

    Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.

    2. Buku dan monograf lain

    i. Penulis perseorangan

    Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany

    (NY): Delmar Publishers; 1996.

    ii. Editor, sebagai penulis

    Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:

    Churchill Livingstone; 1996.

    iii. Organisasi dengan penulis

    Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program.

    Washington: The Institute; 1992.

    iv. Bab dalam buku

    Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors.

    Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven

    Press; 1995.p.465-78.

    v. Prosiding konferensi

    Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology.

    Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical

    Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.

    vi. Makalah dalam konferensi

    Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in

    medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors.

    MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992

    Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.

  • VIII

    vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis

    1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor :

    Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during

    skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and

    Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.:

    HHSIGOEI69200860.

    2. Diterbitkan oleh unit pelaksana :

    Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work

    force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995.

    Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care

    Policy and research.

    viii. Disertasi

    Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization

    [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.

    ix. Artikel dalam Koran

    Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions

    annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5).

    x. Materi audiovisual

    HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year

    book; 1995.

    3. Materi elektronik

    i. Artikel journal dalam format elektronik

    Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial

    online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL:

    HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm

    ii. Monograf dalam format elektronik

    CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach

    H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

    iii. Arsip computer

    Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program].

    Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

  • IX

    Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia

    Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT. Akhirnya BIMGI kembali berinovasi

    menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi

    Indonesia. BIMGI yang merupakan bagian dari BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa

    Kesehatan Indonesia) adalah wadah bagi mahasiswa gizi untuk mempublikasikan karya

    ilmiahnya.

    BIMGI merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di

    Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota

    ILMAGI. Salah-satu bukti dari eksistensi BIMGI adalah antusiasme mahasiswa gizi yang

    mengirimkan artikelnya melebihi target yang telah ditentukan. BIMGI (Berkala Ilmiah

    Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 edisi 1 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari

    berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang

    dilakukan oleh tim redaksi BIMGI.

    Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam

    menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami

    berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu

    terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.Untuk itu kami berharap bahwa edisi

    BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi.

    Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan

    berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

    membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi

    menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi.

    Pimpinan Umum

    Rudianto

    SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

  • 1 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Penelitian

    ABSTRAK Makanan tradisional di Sulawesi Selatan beraneka ragam salah satunya Lawa Bale yang dibuat dari ikan mentah dimasak dengan proses rendaman cuka atau blansir. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan teri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap tiga formula Lawa Bale makanan tradisional dari segi warna, tekstur, aroma dan rasa. Dari beberapa formula Lawa Bale yang terdapat di rumah makan, setelah dilakukan observasi, didapatkan tiga resep sebagai sampel yang akan diuji yaitu formula A menggunakan rendaman cuka 20 menit, penambahan kelapa sangrai, dan sedikit garam, formula B diberi perlakuan blansir dengan suhu 70

    oC, perendaman

    jeruk nipis 2 menit, penambahan kelapa sangrai dan pemberian garam sedikit, serta formula C diberi pula perlakuan blansir dengan suhu 70

    oC, diberi air asam jawa, lalu penambahan jantung pisang,

    kelapa sangrai dan pemberian sedikit garam. Pada penilaian uji daya terima, penilaian yang dilakukan berdasarkan skor dan selanjutnya diolah untuk melihat rata-rata nilai perbedaan antara ke tiga formula baik dari segi warna, aroma, tekstur, rasa serta nilai perbedaan yang diperoleh dari uji kruskal-wallis. Hasil yang didapatkan bahwa formula yang paling disukai adalah formula B walaupun dari segi harga yang lebih murah adalah formula C dibandingkan dengan formula A maupun B. Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk memilih formula B untuk segi rasa dan dari segi ekonomis untuk memilih formula C. Kata kunci: uji daya terima,Lawa Bale, makanan tradisional

    ABSTRACT

    Traditional foods in south sulawesi variegated one of them made Lawa Bale of raw fish cooked in vinegar or blansir, the process of marinade. The fish that is commonly used anchovy. The study is done to know the power of receipt of three formulation Lawa Bale traditional foods , in terms of color texture , the smell and taste . Of some formula Lawa Bale in a restaurant after the observation then obtained three recipes as a sample to be tested using the formula A vinegar marinade, adding 20 minutes to toast the coconut, and a little salt, formula B was given preferential treatment blansir with the temperature of 70

    oC, soaking lemon 2 minutes, adding coconut toast and the granting of the salt a

    bit, as well as a formula C was also blansir treatment with temperature 70oC tamarind water, are

    given, then the addition of banana, toast the coconut and the granting a bit of salt, on the assessment of the power test is done on the basis of assessment received the score and then processed to see the average value of the difference between the three formulas both in terms of color, aroma, texture, flavor and value differences obtained from kruskal-wallis test. The result obtained was that formula most favored formula B although in terms of a lower price is formula C compared with formula A and B. So, the public is advised to choose the formula B for in terms of taste and in terms of economical to choose the formula C. Keywords : the resources received, Lawa Bale, tradisional foods

    UJI DAYA TERIMA TERHADAP OLAHAN PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADSIONAL SULAWESI SELATAN) Astri Ayu Novaria

    1

    1Prodi lmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

  • 2

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    1. PENDAHULUAN

    Preferensi terbentuk dari persepsi

    terhadap suatu produk. Preferensi adalah derajat

    kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih

    disukai oleh konsumen.1

    Preferensi juga dapat diartikan sebagai

    tingkatan kesukaan. Tingkat kesukaan yang

    dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila

    dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap

    sesuatu yang lain.2

    Suatu makanan tidak akan disukai bila

    belum pernah dicoba. Selain itu, suatu makanan

    bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa

    membosankan, terlalu biasa dikonsumsi,

    menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis, dan

    berhubungan dengan efek penyakit setelah

    mengkonsmsinya. Sikap suka atau tidak suka

    terhadap pangan hanyalah salah satu alasan

    yang membentuk preferensi pangan. Preferensi

    pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika

    seseorang harus melakukan pilihan terhadap

    pangan dengan menunjukkan reaksi penerimaan

    hedonik atau rasa makanan yang data diukur

    secara verbal, dengan skala atau dengan

    ekspresi wajah.3

    Penampilan makanan ketika disajikan

    dapat mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor

    yang menentukan penampilan makanan antara

    lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa

    makanan.4

    Ikan merupakan sumber protein hewani

    utama dalam menu diseluruh Indonesia,

    terutama bagi penduduk yang kurang mampu.5

    Indonesia merupakan salah satu negara maritim

    terbesar di dunia dengan hasil laut yang

    melimpah. Salah satu contoh hasil laut yang

    tianyak dihasilkan di daerah pesisir pantai

    lndonesia adalah ikan: diantaranya ikan teri.

    lkan teri kebanyakan dikonsumsi oleh

    kalangan masyarakat menengah ke bawah.

    Oleh karena itu, untuk menaikkan nilai di mata

    masyarakat perlu adanya pemanfaatan ikan teri

    sebagai produk olahan pangan yang memiliki

    nilai tambah yang tinggi. Beberapa makanan

    tradisional di Sulawesi selatan diolah

    mengunakan teknik pengasaman, seperti lawa

    teri yang hanya dimatangkan dengan air cuka

    atau air jeruk tanpa proses pemasakan.6

    Pembuatan Lawa Bale yang berbahan baku

    ikan teri merupakan salah satu alternatif

    diversifikasi pengolahan ikan teri sebagai

    produk pangan.

    Lawa Bale adalah makanan khas suku

    bugis dan Makassar yang berbahan dasar dari

    ikan teri yang masih segar (mentah). Proses

    pembuatannya tidak sulit dan bahan-bahannya

    mudah didapatkan. Adapun Lawa Bale yang

    paling sering dikonsumsi masyarakat Sulawesi

    Selatan terkhusus suku bugis adalah Lawa Bale

    dengan kelapa sangrai, sedangkan Lawa Bale

    jantung pisang adalah modifikasi dari Lawa Bale

    dengan menambahkan jantung pisang. Oleh

    karena itu, penulis tertarik untuk meneliti uji daya

    terima dari Lawa Bale dengan menggunakan tiga

    variasi sebagai alternatif makanan pokok yang

    dapat dibuat sendiri di tingkat rumah tangga

    khususnya bagi masyarakat yang menyukai

    makanan tradisional.

    2. METODE

    2.1 Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

    Kuliner Lanjut Fakultas Kesehatan Masyarakat.

    Alasan pemilihan laboratorium kuliner lanjut

    adalah salah satunya dikarenakan proses

    penilaian terhadap uji daya terima yang akan

    dilakukan rus memenuhi persyaratan sebagai

    berikut.6 Pengujian dilakukan dalam bilik

    pencicip, suasana, dan peralatan serta sarana.

    Bilik pencicip ditujukan untuk memberikan sekat

  • 3 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    dan menghindari adanya komunikasi antara

    setiap panelis. Suasana yang diharapkan dalam

    pengujian daya terima sama yang dirasakan oleh

    setiap panelis. Peralatan dan sarana pada

    laboraorium kuliner lanjut telah memenuhi

    standarisasi alat dan lengkap untuk mendukung

    uji daya terima ini.

    2.2 Desain dan Variabel Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan adalah

    penelitian analitik dengan desain case control

    design. Penelitian ini menggunakan metode

    analitik dengan analisa laboratorium,

    menggunakan tiga perlakuan masing-masing

    formulasi dengan dua kali pengulangan (Duplo).

    Penelitian dilakukan pada dua tahap yaitu

    dilakukan pembuatan Lawa Bale berdasarkan

    hasil observasi formula Lawa Bale di berbagai

    Rumah Makan dan uji daya terima pada setiap

    produk olahan Lawa Bale. Variabel dalam

    penelitian ini adalah Lawa Bale sebagai variabel

    dependen dan uji daya terima sebagai varibel

    independen.

    2.3 Populasi dan Sampel Penelitian

    Populasi adalah Lawa Bale yang ada di

    Makassar. Pemilihan sampel ditarik berdasarkan

    observasi yang sebelumnya telah dilakukan.

    Pemilihan sampel ditentukan dengan

    resep yang dapat diperoleh untuk diuji cobakan

    dalam uji daya terima ini. Proses pengambilan

    sampel dalam hal ini resep Lawa Bale dilakukan

    dengan pendekatan personal agar resep asli dari

    rumah makan yang telah diobservasi dapat

    diberikan.

    Proses penilaian uji daya terima

    dilakukan oleh 20 panelis semi terlatih, yaitu

    panelis yang sebelumnya dilatih untuk

    mengetahui sifat-sifat tertentu.6

    Panelis yang

    akan menilai proses uji daya terima ini harus

    memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi.\

    2.4 Pengumpulan Data

    Data awal dikumpulkan oleh petugas dari

    proses wawancara untuk memenuhi syarat

    kriteria inklusi dan kriteria ekslusi panelis yang

    akan menilai dalam proses uji daya terima ini.

    Kriteria inklusi yang harus dipenuhi adalah

    panelis setidaknya pernah mengonsumsi Lawa

    Bale, terdiri dari mahasiswa angkatan 2008 dan

    2009 (telah melewati proses perkuliahan kuliner

    dasar maupun lanjut), tidak memiliki alergi

    terhadap ikan, masih mempunyai alat indera

    pengecap yang baik, dan bersedia untuk

    dijadikan panelis. Kriteria ekslusi yaitu panelis

    tidak bersedia untuk melakukan penilaian

    terhadap uji daya terima ini.

    Data selanjutnya diperoleh dari

    karakteristik panelis dan penilaian yang telah

    dilakukan pada saat proses penilaian dengan

    menilai empat faktor yang diujikan, yaitu warna,

    tekstur, aroma dan rasa.

    2.5 Analisis Data

    Data yang telah dikumpulkan

    dimasukkan kedalam komputer menggunakan

    software SPSS 16,0 dan microsoft excel. Data

    yang dimasukkan ke dalam komputer adalah

    skor penilaian yang dilakukan panelis. Skor yang

    diberikan adalah 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 =

    agak suka, 2 = kurang suka, dan 1 =tidak suka.

    Data diolah untuk melihat rata-rata tingkat

    kesukaan terhadap empat faktor yang dinilai

    yaitu warna, tekstur, aroma, dan rasa, agar dapat

    dilihat perbedaan untuk setiap formula dari segi

    rata-rata skor yang diberikan. Selanjutnya data

    hasil penilaian uji daya terima dikonversikan juga

    ke uji kruskal-wallis untuk melihat perbedaan

    yang signifikan antara tiga formula yang diujikan.

  • 4

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Formula pertama menggunakan rendaman cuka

    dan penambahan kelapa sangrai, jeruk nipis, dan

    sedikit garam, formula dua diberi perlakuan

    blansir setelah itu diberi rendaman jeruk nipis

    dan penambahan kelapa sangrai dan sedikit

    garam, serta formula tiga diberi juga perlakuan

    blansir lalu direndam dengan air asam jawa

    kemudian diberi tambahan jantung pisang,

    kelapa sangrai dan sedikit garam. Penilaian

    untuk melihat perbedaan dari tingkat kesukaan

    untuk setiap produk formula Lawa Bale

    diimbangi pula dengan dihitung unit cost harga

    setiap formula per 100 gram.

    3. HASIL

    3.1 Karakteristik Panelis

    Karakteristik panelis dapat dilihat pada

    Tabel 1. Terlihat pada jumlah panelis yang

    menilai pada uji daya terima ini sebanyak 20

    orang yaitu 2008 terdiri dari 16 orang (80%) dan

    2009 (20%) perbandingan jenis kelamin

    perempuan berbanding laki-laki yaitu 17:3.

    Tabel 1. Karasteristik Panelis Uji Daya

    Terima Lawa Bale

    Karakteristik Panelis

    Jenis Kelamin N=20 %

    Perempuan 17 85

    Laki-laki 3 15

    Angkatan

    2008 16 80

    2009 4 20

    3.2 Rata-Rata Skoring Menurut Karakteristik

    Uji Tingkat Kesukaan

    Rata-rata skoring menurut karakteristik

    uji tingkat kesukaan dapat dilihat pada Tabel 2.

    Terlihat hasil tentang rata-rata pada keempat

    kriteria pada uji tingkat kesukaan baik dari segi

    warna, aroma, tekstur maupun rasa. Pada

    keempat kriteria dari 3 formula Lawa Bale

    tersebut yang paling disukai dari segi warna,

    arasa, aroma, dan tekstur adalah formula B,

    selanjutnya formula C dan terakhir yang disukai

    adalah formula A.

    Tabel 2. Rata-rata Skoring Menurut Kriteria Uji

    Tingkat Kesukaan Pada ke-3 Formula Lawa

    Bale

    Karakteristik Uji Kesukaan

    Rata-rata Skoring Formula Lawa

    A B C

    Warna 3,275 3,525 3,425

    Tekstur 3,15 3,45 3,325

    Aroma 3,125 3,525 3,25

    Rasa 2,775 3,45 3

    3.3 Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula

    Lawa Bale

    Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula

    Lawa Bale dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat

    rata-rata skoring untuk tiap kriteria uji tingkat

    kesukaan diperoleh hasil bahwa pada formula B

    lebih disukai para panelis dibandingkan dengan 2

    formula lainnya setelah dilakukan pengulangan

    percobaan 2 kali. Formula yang paling disukai

    adalah formula yang diberi perlakuan blansir

    kemudian direndam perasan jeruk nipis, setelah

    ditiriskan selama 2 menit lalu dicampur dengan

    kelapa sangrai dan garam.hal ini dikemukakann

    oleh beberapa panelis, bahwa formula Lawa Bale

    yang B dilihat dari warna, aroma, tekstur, dan

    rasa lebih baik dibandingkan dengan yang lain.

    Dan yang disukai diurutan kedua adalah formula

    C yang diberi perlakuan blansir lalu ditambahkan

    air asam jawa kemudia diberi penambahan

    jantung pisang, dan kelapa sangrai serta

    garam.diurutan ketiga adalah formula A yang

    direndam larutan cuka dengan penambahan

    kelapa sangrai.

    Tabel 3. Rata-Rata Penilaian Tingkat

    Kesukaan Pada 3 Formula Lawa Bale

    Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada Ke-3 Formula Lawa

    Penilaian A B C

    Rata-rata 3,0125 3,4875 3,2

  • 5 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    percobaan 1

    Rata-rata percobaan 2

    3,0875 3,4875 3,3

    Total rata-rata 3,05 3,4875 3,25

    3.4 Uji Kruskal-Wallis

    Uji Kruskal-Wallis yang diperoleh dapat

    dilihat pada Tabel 4. Terlihat hasil bahwa setelah

    di uji menggunakan pengujian kruskal-wallis

    dalam SPSS 16,00 dengan =0,05 didapati nilai

    yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang

    signifikan antara ke 3 formula dilihat dari segi

    faktor yang mempengaruhi uji tingkat kesukaan

    pada penelitian uji daya terima ini.

    3.5 Analisi rincian biaya formula Lawa Bale/ 100 gr

    Analisis harga untuk biaya pembuatan

    formula Lawa Bale per 100 gram dapat dilihat

    pada Tabel 5. Terlihat Pada perhitungan unit

    cost, harga disetiap formula per 100 gram-nya

    perbandingan harga yang cukup berbeda terlihat

    jelas. Formula yang memakai biaya di setiap

    pembuatan formula per 100 gram nya yaitu

    formula C, dan paling banyak mengeluarkan

    biaya di antara ketiga formula yang dibuat adalah

    formula A.

    4. PEMBAHASAN

    Pada kali ini penelitian yang dilakukan

    yaitu uji daya terima (uji tingkat kesukaan) dari 3

    formula Lawa Bale. Formula Lawa Bale yang

    diujikan yaitu pertama: Lawa dengan

    menggunakan rendaman larutan cuka dan

    tamabahan kelapa sangrai, kedua: Lawa yang

    diberi perlakuan blansir, rendaman jeruk nipis,

    dan penambahan kelapa sangrai, ketiga: Lawa

    yang diberi perlakuan blansir, rendaman air asam

    jawa, penambahan kelapa sangrai dan jantung

    pisang. Formula Lawa Bale diteliti untuk

    mengetahui tingkat kesukaan para panelis

    terhadap 3 pilihan Lawa yang diberikan.

    Pada penelitian kali ini, para panelis yang

    ditunjuk dalam proses penilaian baik dari segi

    warna, aroma, tekstur dan rasa adalah panelis

    semi terlatih, yang dikriteriakan pernah

    mengonsumsi Lawa sebelumnya, cukup terlatih

    dalam menilai citarasa dalam hal ini dipilihlah

    angkatan 2009 dan 2008 yang telah melakukan

    proses pembelajaran kuliner, tidak memiliki alergi

    terhadap ikan ataupun bahan yang terkandung

    dalam formula Lawa yang akan dibuat, dan

    bersedia dalam berkontribusi pada penelitian ini.

    Panelis yang rata-rata terdiri dari suku Bugis ini

    pernah mencoba setidaknya lebih dari 3 kali

    mengonsumsi Lawa Bale, karena hal itu pula

    panelis lulus dalam uji kriteria pernah merasakan

    Lawa Bale sebelumnya. Panelis dalam mencicipi

    setiap formula mempunyai tanggapan tersendiri

    untuk tiap formula yang diujikan. Kecenderungan

    panelis dalam penilaian tingkat kesukaan kali ini

    rata-rata memilih formula B dibandingkan dengan

    formula A maupun C. Kecenderungan panelis

    dalam memilih formula B, lebih dikarenakan

    formula A rasa cuka yang masih sangat terasa

    akibat sisa dari perendaman yang dilakukan,

    sedangkan pada formula C menurut persepsi

    panelis rasa penambahan jantung pisang yang

    tidak biasa mereka konsumsi sebelumnya inilah

    yang menyebabkan Formula C rata-rata dipilih

    menjadi peringkat yang kedua.

    Dalam pengolahan data hasil dari

    penelitian uji daya terima (uji tingkat kesukaan)

    didapatkan rata-rata secara keseluruhan dari

    ketiga formula Lawa Bale, rata-rata kriteria

    pembentuk uji daya terima yaitu warna, tekstur,

    aroma, dan rasa, serta penilaian dengan

    menggunakan uji kruskal-wallis.

    Pengolahan data dengan melihat rata-

    rata secara keseluruhan digunakan untuk

    menilai keseluruhan formula Lawa Bale yang

    dilihat dari total rata-rata yaitu akumulasi rata-

  • 6

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Tabel 4. Kruskal-Wallis Pada Uji Tingkat Kesukaan 3 Formula Lawa Bale

    Kruskal-Wallis uji Kesukaan

    Warna Tekstur Aroma Rasa

    Chi-

    Square

    Df Asymp.

    sign

    Chi-

    Square

    Df Asymp.

    sign

    Chi-

    Square

    df Asymp.

    sign

    Chi-

    Square

    df Asymp.

    sign

    3,309 2 0,191 2,281 2 0,320 4,167 2 0,125 4,856 2 0,088

    Tabel 5. Analisis Rincian Biaya Formula Lawa Bale/ 100 gram

    Formula Bahan Standar Porsi Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

    A

    Ikan teri segar tanpa kepala

    85 gr 30.000.-

    (800 gr tanpa kepala)

    3200.-

    Cuka 15 ml 2.000.- (200ml)

    150.-

    Kelapa parut (disangrai)

    15 gr 3.500.- (1 btr)

    132.-

    Jeruk nipis butir 500.-

    (1 butir) 250.-

    Garam 3 gr 500.-

    (500 gr) 3.-

    Total 3.735.-

    B

    Ikan teri segar tanpa 80 30.000.-

    (800 gr tanpa kepala)

    3.000.-

    Kelapa parut (disangrai)

    20 gr 3.500.-

    (1 butir) 175.-

    Jeruk nipis 1 butir 500.-

    (1 butir) 500.-

    Garam 3 gr 500.-

    (500 gr) 3.-

    Total 3.678.-

    C

    Ikan teri segar 60 gr 30.000.-

    (800 gr tanpa kepala)

    2.250.-

    Kelapa Parut (disangrai)

    15 gr 3.500.-

    (1 butir) 132.-

    Jantung Pisang 20 gr 3.000.-

    (1,2 kg) 50.-

    Asam Jawa 8 gr 500.- (20)

    200.-

    Garam 7,5 gr 500.-

    (500 gr) 7,5.-

    Total 2.639,5.-

    rata pengujian awal ditambah rata-rata

    pengujian akhir.

    Penilaian kedua yaitu dilihat dari rata-rata

    keempat kriteria yang diteliti, hal ini dilakukan

    untuk tidak hanya membandingkan formula Lawa

    secara keseluruhan tapi juga untuk melihat

    perbedaan yang terlihat dari setiap kriteria

    pembangun uji daya terima dalam hal ini tingkat

    kesukaan.

    Penilaian ketiga dilihat dari segi statistik

    yaitu menggunakan uji kruskal-wallis, pengujian

    dilakukan untuk melihat uji yang dilakukan

    terdapat perbedaan atau diterima sesuai dengan

    pernyataan Ho diterima jika < 0,05, dan Ho

    ditolak jika >0,05.

    Dari hasil pengolahan data yang

    dilakukan, hasil yang didapatkan menunjukkan

    formula yang paling disukai adalah formula yang

    kedua. Formula kedua paling disukai dilahat dari

  • 7 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    penilaian rata-rata secara keseluruhai segi warnn

    formula yang diteliti dan rata-rata dari keempat

    kriteria syarat uji daya terima. Dari segi warna,

    formula yang paling disukai setelah dilakukan

    percobaan dua kali adalah formula B, formula

    yang diberi perlakuan blansir dengan suhu 70oC,

    rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa

    sangrai, sama halnya dilihat dari segi tekstur,

    aroma dan rasa, formula yang paling disukai

    adalah formula B.

    Formula kedua paling disukai disebabkan

    dilihat dari perbandingan setiap alasan

    penerimaan para panelis. Pada formula pertama

    rasa cuka yang di tampakkan sangat terasa

    walau sudah dibersihkan beberapa kali,

    sedangkan untuk formula ketiga dilihat dari nilai

    tidak terlalu signifikan perbedaannya denga

    formula yang kedua. Walaupun formula kedua

    paling disukai menurut kedua penilaian tersebut,

    tetapi pada uji statistik kruskal-wallis didapatkan

    hasil bahwa tidak ada perbedaan antara ketiga

    formula yang diteliti baik dari segi warna, tekstur,

    aroma dan rasa dengan kata lain Ho diterima.

    Pada ketiga formula Lawa Bale setelah

    dilihat dari harga satuan yang dihitung, dapat

    terlihat jelas perbedaan biaya yang digunakan

    pada setiap formula Lawa Bale. Tujuan

    menghitung unit cost harga setiap formula per

    100 gram nya untuk mengetahui biaya yang

    dikeluarkan dalam setiap formula per 100 gram,

    sehingga terlihat perbedaan biaya yang dipakai,

    dan yang pada akhirnya akan menjadi acuan

    dalam mempromosikan makanan tradisional

    Lawa Bale kepada masyarakat dilihat dari tingkat

    ekonomis yaitu jangkauan daya beli masyarakat

    terhadap pembelian suatu produk. Pada

    perhitungan unit cost harga setiap formula,

    formula yang paling sedikit mengeluarkan biaya

    per 100 gram nya adalah formula C dibandingkan

    dengan formula A maupun B. Formula yang

    mengeluarkan biaya yang lebih banyak daripada

    formula lainnya adalah formula A. Formula C

    memakai biaya yang sedikit di antara lainnya

    dihitung per 100 gram nya karena pada formula

    ini pemakaian ikan teri segar lebih sedikit yaitu

    hanya 65 gram dibandingkan dengan formula A

    yang memakai 85 gram dan formula B yang

    memakai 80 gram, walaupun pada bahan

    pelengkap ditambahkan jantung pisang tetapi,

    tidak sebanding dengan harga jantung pisang

    yang cenderung lebih mahal. Jadi, walaupun

    formula yang paling disukai adalah formula B

    tetapi, dari segi harga per 100 gram setiap

    formula dianjurkan memilih formula C.

    5. SIMPULAN

    Sesuai tujuan penelitian maka dari hasil

    pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan,

    yaitu; Formula Lawa Bale yang dibuat dan diteliti

    adalah formula pertama menggunakan rendaman

    larutan cuka dan penambahan kelapa sangrai,

    formula kedua menggunakan perlakuan blansir,

    rendaman jeruk nipis dan penambahan kelapa

    sangrai, terakhir formula ketiga diberi perlakuan

    blansir, rendaman air asam jawa, dan

    penambahan kelapa sangrai serta jantung

    pisang; formula yang paling disukai menurut

    penilaian rata-rata secara keseluruhan dan rata-

    rata menurut kriteria syarat uji daya terima

    adalah formula dua, dan; formula yang paling

    ekonomis dari segi harga per 100 gram tiap

    formula adalah formula C.

    6. SARAN

    Dari hasil penelitian yang diperoleh,

    maka dapat ditarik saran yaitu; Berdasarkan

    penelitian ini, Masyarakat disarankan mengolah

    Lawa Bale mengonsumsi formula B dengan

    menggunakan proses blansir terlebih dahulu

  • 8

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    kemudian direndam jeruk nipis dan bahan

    pelengkap berupa kelapa sangrai dilihat dari

    tingkat kesukaan yang telah diteliti, sedangkan

    dilihat dari unit cost harga yang dikeluarkan untuk

    100 gram tiap formula disarankan untuk memilih

    formula C karena harga yang lebih murah

    dibandingkan dengan yang lain; dilakukan

    penelitian mengenai inovasi untuk menambahkan

    variasi dalam penambahan bahan-bahan yang

    dapat meningkatkan jual beli Lawa ataupun

    perubahan baik dari rasa, aroma, tektur maupun

    warna dari produk olahan Lawa Bale yang telah

    ada, dan; berdasarkan hasil temuan dalam

    penelitian ini bahwa perbedaan bahan-bahan

    untuk setiap formula Lawa Bale mempengaruhi

    daya terima seseorang dalam mengonsumsi

    suatu makanan, maka disarankan kepada para

    ahli gizi, tata boga, dan kuliner agar melakukan

    penelitian mengenai uji daya terima pada

    makanan tradisional lainnya sehingga dapat

    mempertahankan makanan tradisional sebagai

    pangan lokal dan sebagai alternatif mengatasi

    masalah ketahanan pangan dan gizi.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Assael H. Consumer Behaviors and Marketing Action. Boston: 1992.

    2. Martiani D. Kebiasaan Jajan dan Preferensi terhadap Makanan Jajanan pada Mahasiswa IPB di Wilayah Dramaga, Bogor. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian IPB; 2000.

    3. Prasatya ER. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Buah pada Golongan Lanjut Usia di Lembaga Seni Pernafasan Satria Nuasantara Bogor. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor :Fakultas Pertanian, IPB; 1998.

    4. Palacio JP, Theis M. Introduction to Foodservice. 11th Ed. Ohio: Pearson Education; 2009.

    5. Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 1991.

    6. Rahayu, W.P. Diktat Penuntun Praktikum Penilaian Organolepik. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor; 1998.

  • 9 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Penelitian

    ABSTRAK

    Biji kefir atau biasa disebut algae kristal merupakan starter dalam pembuatan kefir air yang terdiri dari berbagai jenis mikroba. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam algae kristal adalah konsentrasi gula. Pada penelitian ini diamati perubahan karakteristik kimiawi kefir air yang difermentasikan pada berbagai konsentrasi gula. Biji kefir difermentasikan pada media air dengan perlakuan konsentrasi gula (2%, 5%, 8%, dan 11%) selama 72 jam. Setiap 12 jam dilakukan pengamatan meliputi total padatan terlarut, kadar gula, total asam laktat, dan nilai pH. Konsentrasi larutan gula berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap total asam dan nilai pH. Selama 72 jam fermentasi, total padatan terlarut tidak mengalami perubahan, kadar gula dan nilai pH menurun, sedangkan total asam meningkat. Kefir air dengan konsentrasi gula 2% layak dikonsumsi hingga fermentasi 79 jam, sedangkan kefir air dengan konsentrasi gula 5%, 8%, dan 11% layak dikonsumsi berturut-turut hingga fermentasi 73 jam, 81 jam, dan 78 jam.

    Kata kunci: kefir air, laktobasillus, fermentasi

    ABSTRACT Kefir grain or cristal algae is starter of water kefir making which contains various

    microorganisms. One of factors affecting the growth of microorganisms in kefir grain is sugar concentration. In this research, the chemical properties changes of water kefir were determined. Kefir grains were fermented in water containing various sugar concentration (2%, 5%, 8%, and 11%) for 72 hours. Every 12 hours, total soluble solid, total sugar, total lactic acid, and pH value were measured. Sugar concentration significantly affected on total soluble solid and total sugar, but did not affect significantly on total of lactic acid and pH value. During 72 hours of fermentation, total soluble solid did not change, total sugar and pH value decreased, and total lactic acid increased. Water kefir with 2% sugar can be consumed until 79 hours of fermentation, and water kefir with 5%; 8%; and 11% sugar can be consumed respectively until fermentation of 73 hours, 81 hours, and 78 hours.

    keywords: water kafier, lactobacillus, fermentation

    KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR AIR PADA BERBAGAI SUHU DAN KERAPATAN FERMENTASI Lina Lidia

    1 dan Neneng Sugiharti

    1

    1University Djuanda Bogor campus faculty of Food Technology and Nutrition

  • 10

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    1. PENDAHULUAN

    Kebutuhan pangan kesehatan bagi

    masyarakat saat ini sudah semakin tinggi.

    Pangan baik berupa makanan maupun

    minuman saat ini selain dikonsumsi untuk

    pemenuhan energi bagi kelangsungan hidup

    manusia juga diharapkan memberikan efek

    kesehatan maupun perbaikan kesehatan bagi

    pengkonsumsinya. Jenis pangan yang

    memberikan efek kesehatan semakin dicari

    oleh masyarakat. Masyarakat mulai kembali ke

    pangan tradisional, organik, herbal, maupun

    jenis-jenis pangan baru yang memberikan efek

    kesehatan, seperti kefir.

    Kefir adalah minuman kesehatan yang

    mampu memberikan efek kesehatan bagi

    pengkonsumsinya. Di beberapa situs internet

    dikatakan bahwa kefir mampu memberikan

    efek yang sangat baik bagi tubuh seperti

    meningkatkan stamina, mood, dan pernafasan

    (Anonim, 2010a), di situs lain dikatakan bahwa

    kefir atau kristal algae sebagai obat alternative

    kanker kolorektal (Anonim, 2010b).

    Biji kefir mempunyai dua wujud,

    berwarna putih keruh dan yang bening. Algae

    kristal disebut juga sebagai biji kefir (kefir

    grain). Algae kristal yang berwarna putih keruh

    digunakan pada fermentasi kefir susu

    (Stepaniak, 2002), sedangkan algae kristal

    yang bening adalah algae kristal yang

    digunakan pada fermentasi air. Algae kristal

    merupakan simbiosis kompleks antara bakteri

    asam laktat dan khamir (Bottazzi et al, 1994;

    Waldherr et al, 2010; Beccary, 2011).

    Biji kefir merupakan koloni bakteri

    yang bersimbiotik bersama-sama dengan

    unsur lain membentuk jaringan padat. Kultur

    bakteri biji kefir berusia lebih dari 5000

    tahun, Kefir Grains mengandung lebih dari 35

    probiotik bakteri yang sangat menguntungkan

    dan bermanfaat bagi kesehatan. Kefir mulanya

    hanya dikonsumsi oleh Masyarakat Caucasus

    selama ratusan tahun, menurut sejarah biji

    kefir diberikan oleh Nabi Muhammad kepada

    Rakyat Caucasus dan menjadi semacam

    pusaka yang diwariskan turun-temurun, dan

    akhirnya kefir menjadi bagian dari kehidupan

    mereka.

    Setiap mikroorganisme memiliki suhu

    minimum, optimum, dan maksimum untuk

    pertumbuhannya (Sunatmo, 2009 dan Fardiaz,

    1992), begitu juga algae kristal. Pada alga

    kristal terdapat beberapa mikroorganisme yang

    berbeda, seperti bakteri asam laktat, dan

    khamir yang saling bersimbiosis. Sehingga

    memungkinkan dapat tumbuh di kisaran suhu

    yang luas. Di pegunungan Kaukasus, suhu

    ruang yang digunakan untuk memfermentasi

    kefir rata-rata 15oC (Anonim, 2011). Menurut

    Robinson dan Tamime (1981), biji kefir

    diinkubasi pada suhu sekitar 23oC, sedangkan

    Itmawardi (1987) menginkubasi biji kefir pada

    suhu 26-28oC. Suhu fermentasi pada

    pembuatan kefir sederhana adalah suhu ruang

    (20-25oC) (Deptan, 2007). Menurut Waldherr

    et al (2010), kefir air adalah minuman yang

    difermentasi berbahan dasar larutan sukrosa

    dengan ekstrak buah. Kefir air yang ia

    kembangkan menggunakan strain

    Lactobacillus hilgardii yang mampu

    memproduksi granula dekstran yang

    menunjukkan aktivitas optimumnya pada suhu

    40-45oC. Algae kristal mengandung berbagai

    jenis mikroorganisme asam laktat maupun

    khamir, sehingga memungkinkan dapat

    tumbuh pada range suhu yang sangat luas.

    Dengan pertumbuhan bakteri asam laktat dan

    khamir yang berbeda-beda di setiap suhu

    pertumbuhan sehingga mempengaruhi

    karakteristik kimiawi produk yang dihasilkan.

  • 11 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Pada penelitian ini akan diamati pengaruh

    berbagai suhu fermentasi (5oC, 15

    oC, dan

    suhu ruang) terhadap karakteristik kimiawi kefir

    air.

    2. METODE PENELITIAN

    Penelitian ini diantaranya yaitu

    memfermentasi algae kristal pada media air

    dengan perlakuan berbagai suhu fermentasi

    (4oC dan 25

    oC) dan berbagai kerapatan

    fermentasi (tertutup rapat dan tertutup

    longgar). Keduanya dilakukan masing-masing

    selama 5 hari, yang dimulai dari 0 hari. Setiap

    satu perlakuan suhu fermentasi dilakukan 2

    kali ulangan sehingga terdapat 12 sampel.

    Formulasi pembuatan kefir air dapat dilihat

    pada tabel 1.

    Tabel 1. Formulasi pembuatan kefir air

    Bahan Formulasi

    A1 A2 B1 B2

    Biji kefir 5% 5% 5% 5%

    Gula 2% 2% 2% 2%

    Kismis 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah

    Suhu 4oC 25

    oC 4

    oC 4

    oC

    Kerapatan Rapat Rapat Rapat Longgar

    Sumber: Modifikasi Beccary (2011) dan Lidia (2012).

    Gambar 1. Diagram alir pembuatan kefir air

    2.1. Rancangan Percobaan

    Rancangan percobaan yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah

    Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri

    dari satu faktor, masing-masing yakni suhu

    fermentasi (A), dengan dua taraf perlakuan

    (4oC dan 25

    oC), dan dua kali ulangan.

    Kerapatan fermentasi (B), dengan dua taraf

    perlakuan (rapat dan longgar), dan dua kali

    ulangan.

    A1 = fermentasi dengan suhu fermentasi 2%

    A2 = fermentasi dengan suhu fermentasi 5%

    B1 = fermentasi dengan tutup rapat

    B2 = fermentasi dengan tutup longgar

    Model matematika yang digunakan adalah:

    Yij = + Ai + ij

    Keterangan:

    Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan

    perlakuan konsentrasi larutan gula taraf ke-i

    ulangan ke-j

    : nilai tengah populasi (rata-rata

    sesungguhnya)

    Ai : pengaruh perlakuan taraf ke-i

    eij : pengaruh galat

    i : taraf perlakuan (1, 2)

    j : ulangan (1, 2)

    2.2. Analisis Produk

    Analisis produk yang dilakukan pada

    penelitian ini adalah uji kimia dan mikrobiologi

    pada kefir air dengan suhu fermentasi 4oC dan

    25 o

    C, serta kerapatan fermentasi rapat dan

    longgar, yang telah difermentasi selama 5 hari.

    Uji kimia dan mikrobiologi pada kefir air

    dilakukan per hari selama 5 hari untuk

    mengetahui pengaruh berbagai suhu dan

    kerapatan fermentasi terhadap parameter yang

    diuji.

    2.3. Prosedur Analisis

    Kefir Air

    Gula 2% dalam 200

    ml air

    Biji Kefir 5% Kismis 1 buah

    Pencampuran

    Fermentasi 5 hari

    tertutup rapat suhu (A) :

    A1= 4oC, A2= 25

    oC

    Fermentasi 5 hari tertutup Suhu 4

    oC

    Tertutup (B): B1=rapat, B2=longgar

    Uji kimia dan mikrobiologi per hari: a. total padatan terlarut

    b. total sebaran gula c. total asam

    d. nilai pH e. total mikroba f. total khamir

  • 12

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Prosedur analisis yang dilakukan yaitu

    uji kimia yang meliputi uji total padatan terlarut

    menggunakan refraktometer (Sutadi, dkk.,

    1997), uji sebaran gula dengan metode UFLC

    (Ultra Fast Liquid Chromatography) (AOAC,

    1977), uji kadar asam dengan metode titrasi

    asam basa (Apriyantono, dkk., 1985), dan uji

    pH menggunakan pH meter (Apriyantono, dkk.,

    1985). Sedangkan uji mikrobiologi terdiri dari

    uji total mikroba dan total khamir.

    2.4. Analisis Data

    Data hasil penelitian ini dikumpulkan

    dalam suatu tabel. Pengolahan data dilakukan

    secara vertikal dan horizontal. Pengolahan

    data secara vertikal dianalisis dalam bentuk

    ANOVA (Analisys of Varians) untuk

    mengetahui pengaruh suhu fermentasi,

    sehingga diperoleh nilai p. Jika nilai p < 0.05

    maka perlakuan berpengaruh nyata, dan

    dilanjutkan dengan uji T untuk mengetahui

    perlakuan tersebut berbeda nyata atau tidak.

    Sedangkan secara horizontal, pengolahan

    data dilakukan uji Regresi Linier untuk

    mengetahui perubahan (penurunan atau

    peningkatan) parameter yang diuji. Kemudian

    dilakukan uji Korelasi untuk mengetahui kuat

    tidaknya hubungan antara waktu fermentasi

    terhadap parameter karakteristik kimiawi (total

    padatan terlarut, total fruktosa, total glukosa,

    total sukrosa, total asam, dan nilai pH).

    3. PEMBAHASAN

    3.1. Suhu fermentasi

    Dari hasil analisis sidik ragam

    (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan suhu

    fermentasi (A) tidak berpengaruh nyata

    terhadap total padatan terlarut (p > 0.05).

    Hal ini diduga karena mikroba yang aktif

    selama fermentasi pada kedua suhu tersebut

    tidak hanya memecah komponen-komponen

    terlarut, tetapi juga memecah komponen yang

    tidak larut (pati dan protein yang tidak larut)

    menjadi komponen yang larut (gula sederhana

    dan protein yang larut). Oleh sebab itu,

    pemecahan protein menjadi asam amino,

    pembentukan vitamin, pirin, pirimidin dan lain-

    lain yang digunakan bakteri asam laktat untuk

    pertumbuhannya (Jay, 1978) dapat terukur

    oleh refraktometer, sehingga perlakuan suhu

    fermentasi terhadap total padatan terlarut tidak

    berbeda nyata.

    Tabel 2. Nilai rata-rata total padatan terlarut

    (oBrix) kefir air pada berbagai suhu fermentasi

    Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

    kolom menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada = 0.05.

    3.2. Perubahan total padatan terlarut

    selama fermentasi

    Gambar 2. Grafik total padatan terlarut kefir air

    pada berbagai suhu fermentasi.

    Dari Gambar 2, terlihat bahwa total

    padatan terlarut dalam kefir air dengan

    perlakuan suhu fermentasi 4oC dan 25

    oC

    mengalami perubahan selama fermentasi 5

    hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi

    Suhu Waktu fermentasi (hari)

    0 1 2 3 4 5

    A1

    (4oC)

    2,20a

    2,20a 2,30

    a 2,30

    a 2,30

    a 2,30

    a

    A2

    (25oC)

    2,20a 2,20

    a 2,25

    a 2,30

    a 2,30

    a 2,30

    a

  • 13 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    persamaan masing-masing y = 0.022x + 2.186

    dan y = 0.024x + 2.173 yang menyatakan

    bahwa total padatan terarut pada tiap

    perlakuan mengalami kenaikan sebesar

    0.022oBrix dan 0.024

    oBrix per hari. Kenaikan

    perlakuan A1 bernilai sedang, sesuai nilai r

    (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni

    0.685. Hal ini menunjukkan hubungan linier

    yang sedang antara waktu fermentasi dengan

    total padatan terlarut. Sedangkan perlakuan

    A2 mempunyai nilai r = 0.854 yang

    menunjukkan hubungan linier yang cukup kuat

    antara waktu fermentasi dengan total padatan

    terlarut. Hal ini diduga pada fermentasi suhu

    25oC mikroba yang hidup lebih banyak

    dibandingkan fermentasi suhu 4oC. Dari

    mikroba yang hidup tersebut terdapat hasil

    metabolisme yang terukur bersama sumber

    nutrisinya, sehingga terlihat bahwa perlakuan

    A2 (25oC) lebih kuat peningkatannya dibanding

    A1 (suhu 4oC).

    3.3. Pengaruh berbagai suhu fermentasi

    terhadap sebaran gula

    Bakteri asam laktat merupakan

    kelompok spesies bakteri yang mempunyai

    kemampuan untuk membentuk asam laktat

    dari metabolisme karbohidrat (Sudarmadji,

    dkk., 1989). Khamir Saccharomices cereviceae

    menghasilkan enzim zimase dan invertase.

    Enzim zimase berfungsi merombak sukrosa

    menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa),

    dan enzim invertase akan mengubah glukosa

    menjadi etanol (Judoamidjojo, et al., 1992).

    Tabel 3. Pengaruh fermentasi dengan gula

    X Y Waktu fermentasi (hari)

    0 1 2 3 4 5

    A A1 2,470

    a 2,260

    a 1,960

    a 0,855

    a 1,435

    a 1,225

    a

    A2 2,605a

    2,230a

    1,610a

    0,670a

    0,215a

    0,073a

    B

    A1 1,514a

    1,410a

    2,285a

    1,110a

    1,700a

    1,475a

    A2 1,497a

    1,410a

    2,285a

    0,860a

    1,500a

    1,410a

    C

    A1 0,483a

    0,540a

    0,275a

    0,130a

    0,210a

    0,393a

    A2 0,516a

    0,565a

    0,480a

    0,320a

    0,760a

    1,068a

    Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

    kolom menunjukkan tidak berbeda

    nyata pada = 0.05.

    X = Jenis Gula

    Y = Suhu

    A = sukrosa (Suhu A1 4oC, A2 25

    oC)

    B = Glukosa (Suhu A1 4oC, A2 25

    oC)

    C = Fruktosa (Suhu A1 4oC, A2 25

    oC)

    Gambar 3. Grafik sebaran gula kefir air pada

    berbagai suhu fermentasi

    Dari Gambar 3, kadar sukrosa kefir air

    dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan

    25oC mengalami perubahan selama 5 hari. Hal

    ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan y = -

    0.280x + 2.681 dan -0.561x + 3.198 yang

    menyatakan bahwa kadar sukrosa pada kefir

    air mengalami penurunan sebesar 0.280% dan

    0.561% tiap hari dengan nilai r (koefisien

    korelasi) yang dihasilkan masing-masing yakni

    0.692 dan 0.964. Hal ini menunjukkan terdapat

    hubungan korelasi yang sedang sampai kuat

    antara waktu fermentasi dengan kadar

    sukrosa. Hal ini diduga pada perlakuan A2

    (25oC) mikroba lebih banyak hidup daripada

    perlakuan A1 (4oC), sehingga gula yang

    digunakan lebih banyak untuk

  • 14

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    pertumbuhannya. Dengan bertambahnya

    jumlah produk, maka sumber karbon yang

    dibutuhkan semakin banyak, sehingga kadar

    sukrosa yang terukur mengalami penurunan.

    Dari Gambar 3, kadar glukosa kefir air

    dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan

    25oC mengalami perubahan selama 5 hari. Hal

    ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

    masing-masing yaitu y = -0.014x +1.632 dan -

    0.045x + 1.652 yang menyatakan bahwa total

    padatan terarut pada kefir air mengalami

    penurunan sebesar 0.014% dan 0.045% tiap

    hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang

    dihasilkan masing-masing yakni 0.004 dan

    0.034. Hal ini menunjukkan tidak terdapat

    hubungan korelasi antara waktu fermentasi

    dengan kadar glukosa. Hal ini diduga karena

    pada kedua suhu tersebut mikroba yang

    terdapat pada kefir air memecah sukrosa

    menjadi glukosa dalam jumlah sedikit, sesuai

    kebutuhannya. Menurut Gilliland dan Kim

    (1984), bakteri asam laktat tidak akan

    menggunakan karbohidrat sebagai sumber

    energi lebih dari yang dibutuhkan untuk

    pertumbuhannya.

    3.4. Pengaruh berbagai suhu fermentasi

    terhadap total asam tertitrasi

    Menurut Frazier dan Westhoff (1987),

    pengukuran total asam tertitrasi didasarkan

    pada komponen asam yang terdapat di dalam

    larutan, baik yang terdiasosiasi maupun yang

    tidak terdiasosiasi. Asam laktat merupakan

    salah satu metabolit primer yang dihasilkan

    dalam proses fermentasi.

    Tabel 4. Pengaruh fermentasi dengan asam

    Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu

    kolom menunjukkan berbeda

    nyata pada = 0.05.

    Berdasarkan hasil analisis sidik ragam,

    suhu fermentasi (A) berpengaruh nyata

    terhadap total asam tertitrasi (p < 0.05).

    Kemudian dilanjutkan dengan uji T, maka

    terlihat bahwa bertambahnya suhu, maka total

    asam yang dihasilkan mengalami kenaikan.

    Hal ini diduga karena kemampuan hidup

    mikroorganisme khususnya bakteri asam laktat

    menurun pada suhu 4oC. Sedangkan pada

    kefir air yang difermentasi pada suhu 25oC

    pertumbuhan mikroba lebih cepat dengan

    menghasilkan asam laktat lebih banyak karena

    suhu optimum pertumbuhan bakteri asam

    laktat dan khamir mendekati suhu 25oC,

    sehingga total asam terlihat signifikan. Menurut

    Fardiaz (1992), di dalam makanan yang

    didinginkan juga sering tumbuh beberapa

    mikroorganisme psikrofilik yang dapat tumbuh

    pada suhu pendinginan, tetapi mempunyai

    suhu optimum di atas 20oC.

    Gambar 4. Grafik total asam tertitrasi kefir air

    pada berbagai suhu fermentasi

    Dari Gambar 4, total asam tertitrasi

    kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC

    dan 25oC mengalami perubahan selama 5

    hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi

    persamaan masing-masing y = 0.002x + 0.000

    dan y = 0.019x 0.022, yang menyatakan

    bahwa rata-rata total asam laktat pada pada

    tiap perlakuan mengalami kenaikan sebesar

  • 15 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    0.002% dan 0.019% tiap hari, dengan nilai r

    yang dihasilkan masing-masing yaitu 0.932

    dan 0.922. Hal ini menunjukkan hubungan

    korelasi yang cukup kuat antara waktu

    fermentasi dengan total asam laktat. Hal ini

    diduga adanya aktifitas mikroba yang dapat

    mengubah karbohidrat (gula) menjadi asam-

    asam organik, yakni terdapat bakteri

    homofermentatif yang menghasilkan asam

    laktat, sedangkan bakteri heterofermentatif

    yang menghasilkan sedikit asam asetat. Pada

    perlakuan A1 (4oC) nilai regresinya terlihat

    lebih kuat dibanding A2 (25oC). Hal ini diduga

    adanya khamir yang hidup lebih optimal pada

    suhu fermentasi 25oC, sehingga dapat

    mempengaruhi total asam karena OH yang

    dihasilkannya tersebut, walaupun dalam

    jumlah yang relatif sedikit.

    Berdasarkan Gambar 4, menunjukkan

    bahwa semakin lama fermentasi, maka dapat

    meningkatkan jumlah asam laktat yang

    terbentuk. Hal ini disebabkan karena dengan

    semakin lama waktu fermentasi, maka proses

    perombakan karbohidrat oleh bakteri asam

    laktat dan khamir akan lebih lama dan optimal

    sehingga asam laktat dan alkohol yang

    dihasilkan akan semakin tinggi. Menurut

    Pederson (1960), peningkatan total asam

    tertitrasi disebabkan karena mikroba yang aktif

    selama fermentasi memanfaatkan karbohidrat

    yang dapat difermentasi dan menghasilkan

    asam-asam organik.

    3.5. Pengaruh suhu fermentasi terhadap

    nilai pH

    Menurut Priyantono (1987), salah satu

    faktor pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh

    pH, semakin tinggi nilai pH maka pertumbuhan

    mikroba semakin meningkat pula dan

    sebaliknya. Menurut Fardiaz (1989), umumnya

    jasad renik dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6,

    bakteri dapat tumbuh pada pH optimum sekitar

    6,5-7,5. Khamir tumbuh pada kisaran pH 2,5-

    8,5; optimumnya tumbuh pada pH 4-5.

    Secara umum nilai pH menunjukkan derajat

    keasaman atau kebasaan suatu produk.

    Semakin rendah nilai pH produk menunjukkan

    derajat keasaman produk tersebut semakin

    tinggi.

    Tabel 5. Pengaruh fermentasi dengan pH

    Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

    kolom menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada = 0.005.

    Dari hasil analisis sidik ragam

    menunjukkan bahwa perlakuan berbagai suhu

    fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap

    nilai pH (p < 0.05). Hal ini diduga karena pada

    suhu fermentasi 25oC tidak hanya bakteri

    asam laktat yang hidup, namun terdapat pula

    khamir yang dapat mempengaruhi nilai pH

    disebabkan gugus OH yang dihasilkannya,

    walaupun pengaruhnya kecil. Oleh karena itu,

    nilai pH yang terukur pada perlakuan suhu

    fermentasi 25oC tidak terlihat signifikan

    dibanding suhu 4oC. Berdasarkan Tabel 5,

    diketahui bahwa semakin tinggi suhu

    fermentasi tidak menyebabkan nilai pH

    semakin menurun. Hal ini diduga beragamnya

    mikroba yang hidup dalam kefir air termasuk

    khamir mempengaruhi nilai pH yang dihasilkan

    oleh bakteri asam laktat.

  • 16

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Gambar 6. Grafik nilai pH kefir air pada berbagai

    suhu fermentasi

    Dari Gambar 6, kadar pH kefir air

    dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan

    25oC, mengalami perubahan selama 5 hari.

    Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

    masing-masing suhu yaitu y = -0065x + 6.590

    dan y = -0.509x +7.16, yang menyatakan

    bahwa kadar pH pada kefir air pada suhu

    fermentasi 4oC dan 25

    oC mengalami

    penurunan sebesar 0.065 dan 0.509 tiap 12

    hari dengan masing-masing nilai r (koefisien

    korelasi) yang dihasilkan yakni 0.306 dan

    0.835. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi

    yang lemah sampai kuat antara waktu

    fermentasi dengan nilai pH.

    Korelasi yang lemah pada suhu

    fermentasi 4oC diduga karena kondisi suhu

    yang dapat menghambat pertumbuhan

    mikroba, sehingga penurunan nilai pH terlihat

    rendah atau lambat. Sedangkan pada suhu

    fermentasi 25oC, mikroba yang hidup dapat

    tumbuh lebih cepat, sehingga dapat

    menghasilkan produk yakni asam laktat lebih

    cepat pula, sehingga penurunannya terlihat

    kuat atau tahan.

    Yusmarini dan Efendi (2004), bahwa

    semakin banyak sumber gula yang dapat

    dimetabolisme, maka semakin banyak pula

    asam-asam organik yang dihasilkan, sehingga

    pH juga akan semakin rendah.

    Fermentasi asam laktat dapat terhenti

    dengan menurunnya nilai pH, namun khamir

    masih dapat hidup dalam lingkungan pH

    rendah untuk memfermentasikan gula menjadi

    alkohol. Oleh karena itu, jika kefir air

    difermentasi lebih lama, dapat memungkinkan

    bertambahnya kadar alkohol dan juga dapat

    memicu timbulnya kontaminasi mikroba lain

    yang dapat menimbulkan toksik bagi yang

    mengkonsumsinya.

    3.6. Pengaruh suhu fermentasi terhadap

    total mikroba

    Tabel 6. Nilai rata-rata total mikroba kefir air

    pada berbagai suhu fermentasi

    Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu

    kolom menunjukkan berbeda

    nyata pada = 0.005.

    Dari hasil analisis sidik ragam

    menunjukkan bahwa pada perlakuan berbagai

    suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap

    total mikroba (p < 0.05). Kemudian dilanjutkan

    dengan uji T, maka perlakuan A1 berbeda

    nyata dengan A2. Hal ini diduga pada suhu

    25oC lebih sesuai untuk pertumbuhan mikroba

    yang terdapat pada kefir air, sehingga mikroba

    terus berkembang biak dan jumlahnya

    semakin banyak seiring dengan bertambahnya

    hari, yang menyebabkan hasilnya terlihat

    signifikan dibanding suhu fermentasi 4oC.

    Menurut Buckle (1987), suhu dapat

    mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme

    dengan cara apabila suhu mengalami

    kenaikan sekitar suhu optimalnya, kecepatan

    metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat

    sedangkan bila suhu turun sekitar suhu

    optimalnya, kecepatan metabolisme akan

    menurun dan pertumbuhan juga diperlambat.

    Menurut Winarno (2002), menyebutkan bahwa

  • 17 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    setiap penurunan suhu 8C akan membuat

    kecepatan reaksi berkurang menjadi

    setengahnya.

    Gambar 7. Grafik total mikroba kefir air pada

    berbagai suhu fermentasi

    Dari Gambar 7, total mikroba kefir air

    dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan

    25oC, mengalami perubahan selama 5 hari.

    Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

    masing-masing suhu yaitu y = 98910x + 17991

    dan y = 3E+07x 5E+07, yang menyatakan

    bahwa total mikroba pada kefir air pada suhu

    fermentasi 4oC dan 25

    oC mengalami kenaikan

    sebesar 98,910 koloni/mL dan 3x107 koloni/mL

    tiap hari dengan masing-masing nilai r

    (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.05

    dan 0.857. Hal ini menunjukkan hubungan

    korelasi yang lemah sampai kuat antara waktu

    fermentasi dengan total mikroba.

    Selama fermentasi, rata-rata total

    mikroba pada suhu 4oC dan 25

    oC mengalami

    kenaikan tiap hari. Namun pada suhu 25oC,

    kenaikannya lebih kuat dibanding suhu 4oC.

    Hal ini diduga pada suhu 25oC, mikroba yang

    terdapat pada kefir air lebih cocok untuk

    bertahan hidup, sehingga mikroba dapat terus

    aktif dan terus berkembang biak lebih cepat

    dibandingkan suhu 4oC yang diduga mikroba

    di dalamnya cukup terhambat akibat suhu

    yang dingin, yang menyebabkan pertumbuhan

    dan jumlah produk yang dihasilkan kurang

    optimal. Hal ini membuktikan bahwa jika waktu

    fermentasi diperpanjang maka total mikroba

    mengalami peningkatan. Menurut Fardiaz

    (1992), kecepatan pertumbuhan

    mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh suhu,

    dimana kecepatannya akan semakin menurun

    dengan menurunnya suhu.

    3.7. Pengaruh suhu fermentasi terhadap

    total khamir

    Tabel 7. Nilai rata-rata total khamir kefir air pada

    berbagai suhu fermentasi

    Keterangan: Huruf yang sama dalam satu

    kolom menunjukkan tidak berbeda

    nyata pada = 0.005.

    Dari hasil nalisis sidik ragam

    menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu

    fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap

    nilai pH (p > 0.05). Hal ini diduga khamir dapat

    hidup walaupun dibawah suhu optimumnya.

    Pada dasarnya, jumlah khamir lebih banyak

    pada suhu 25oC, namun hasilnya tidak

    signifikan terhadap 4oC. Menurut Rahman

    (1989), khamir mempunyai suhu pertumbuhan

    optimum pada 20oC-30

    oC.

    Gambar 8. Grafik total khamir kefir air pada

    berbagai suhu fermentasi

    Dari Gambar 8, total khamir kefir air

    dengan perlakuan suhu fermentasi 4oC dan

    25oC mengalami perubahan selama 5 hari. Hal

    ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan

    masing-masing suhu yaitu y = 24619x - 41310

  • 18

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    dan y = 2E+08x - 4E+08, yang menyatakan

    bahwa total khamir pada kefir air pada suhu

    fermentasi 4oC dan 25

    oC mengalami kenaikan

    sebesar 24,619 koloni/mL dan 2x108

    koloni/mL

    tiap hari dengan masing-masing nilai r

    (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.694

    dan 0.484. Hal ini menunjukkan hubungan

    korelasi yang lemah sampai sedang antara

    waktu fermentasi dengan total khamir. Hal ini

    diduga pada suhu 25oC khamir lebih banyak

    yang hidup, maka dengan bertambahnya masa

    sel, khamir pun mengalami persaingan hidup,

    sehingga kenaikannya lemah dibandingkan

    pada suhu 4oC walaupun pengarunya kecil

    namun terus mengalami kenaikan.

    4. KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil analisis,

    karakteristik kimiawi kefir air dengan berbagai

    konsentrasi larutan gula memberikan pengaruh

    terhadap total padatan terlarut dan kadar gula,

    namun tidak memberikan pengaruh terhadap

    total asam tertitrasi dan nilai pH selama 72

    jam. Oleh karena itu, untuk efisiensi bahan

    dalam pembuatan kefir air, maka dapat

    digunakan konsentrasi larutan gula 2%.

    Namun untuk menambah rasa manis, dapat

    dipilih konsentrasi larutan gula 5%; 8%; atau

    11%.

    Dari pengamatan waktu fermentasi,

    diketahui bahwa dengan bertambah lamanya

    waktu fermantasi, maka total padatan terlarut

    mengalami penurunan dengan hubungan

    linear yang lemah, kadar gula turun dengan

    hubungan linear yang kuat, total asam

    meningkat dengan hubungan linear kuat, dan

    pH menurun dengan hubungan linear sangat

    kuat. Dengan merujuk pada pH kefir yang

    layak dikonsumsi yakni 4.6, maka kefir air

    dengan konsentrasi larutan gula 2% layak

    dikonsumsi tidak lebih dari 79 jam

    fermentasi. Sedangkan kefir air dengan

    konsentrasi larutan gula 5%; 8%; dan 11%

    masing-masing layak dikonsumsi tidak lebih

    dari 73 jam; 81 jam; dan 78 jam fermentasi.

    5. SARAN

    Perlu dilakukan penelitian lanjutan

    pada kefir air dengan menguji kadar alkohol

    tiap 12 jam. Selain itu, dilakukan penggantian

    sumber nutrisi seperti buah-buahan atau umbi-

    umbian.

    DAFTAR REFERENSI

    [1] Angulo, et al. 1993. In: Abraham, A.G. and De Antoni, G.A. 1999. Characterization of Kefir Grains Grow in Cows Milk and Soya Milk. www.sciencedirect.com. Journal of Diary Reasearch 66 [2]:327-333 (Diakses tanggal 23 Mei 2011).

    [2] Anonim. 2003. Pengetahuan Bahan Pangan, Amankan Pangan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. BPOM. Jakarta.

    [3] Anonim. 2010. Algae Kristal Jepang Kaya Akan Manfaat. www.kompasiana.com/post/type/raport. (Diakses tanggal 11 Mei 2011).

    [4] Anonim. 2011. Air Minum. www.wikipedia.org/wiki/air_minum. (Diakses tanggal 7 Juni 2011).

    [5] Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1985. Analisis Pangan. IPB-Press, Bogor.

    [6] Beccary. 2011. Crystal Algae. www.crystalgae/sobatonline.com. (Diakses tanggal 11 Mei 2011).

    [7] Bottazi. 1983. Other Fermented Dairy Products. In: Biotechnology. Fifth volume. Rehm, H.J. and Reed, G. (ed.). Reed, G. (vol. ed.). Verlag Chemie. Florida, Basel.

  • 19 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    Penelitian

    ABSTRAK

    Obesitas atau berat badan lebih merupakan salah satu masalah gizi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas dan obesitas sentral di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 19,1% dan 18,8%. Obesitas sentral sangat erat kaitannya dengan sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindrom metabolik pada populasi guru SD obes-sentral (lingkar perut laki-laki 90 cm; perempuan 80 cm). Penelitian dilakukan pada guru SD di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Status obesitas sentral diukur menggunakan lingkar perut sedangkan sindrom metabolik menggunakan pengambilan sampel darah responden (kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa), pengukuran lingkar pinggang, dan tekanan darah. Jumlah sampel penelitian sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 guru SD obes sentral dan 30 guru SD non obes-sentral. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindorm metabolic yaitu uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan 16 (26,7%) guru SD obesitas sentral mengalami sindrom metabolik dan hanya 1 (1,7%) guru SD non-obesitas sentral yang mengalami sindrom metabolik berdasarkan kriteria NCEP ATP III modifikasi asia pasifik. Secara statistik juga terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas sentral dengan sindrom metabolik (p=0.000; OR=33,14; CI 95%). Dapat disimpulkan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik pada guru. Kata kunci: lingkar perut, sindrom metabolik, guru SD ABSTRACT

    Obesity is one of the nutrition issue in developing countries, including Indonesia. The

    prevalence of obesity and central obesity in Indonesia is quite high at 19,1% and 18,8%. Central obesity is closely associated with metabolic syndrome. This study aims to determine the differences of metabolic syndrome proportion among central-obese (abdominal circumference of male 90 cm; women 80 cm) and non-central obese elementary school teachers. The study was conducted at school in District Cilandak, South Jakarta. Central-obese status was measured by using abdominal circumference, while metabolic syndrome was determined by using blood sample (HDL cholesterol, trygliceride, fasting glucose), waist circumference measurements, and blood pressure.Total sample are 60, each population represent by 30 respondents. Chi square test is used to determine the difference of metabolic syndrome proportion in both population. The result shows that 16 (26,7%) central-obese teachers were having metabolic syndrome and only 1 (1,7%) non-central obese elementary school teachers were having metabolic syndrome based on NCEP ATP III Asia- Pasific modification criteria. There was also a statistically significant correlation between central obesity with metabolic syndrome (p=0.000; OR=33.14; 95% CI). It can be concluded that central obesity is more associated with metabolic syndrome in teachers.

    Keywords: abdominal circumference, metabolic syndrome, elementary school teacher

    PERBEDAAN PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA GURU SEKOLAH DASAR OBES SENTRAL DAN NON-OBES SENTRAL BERDASARKAN LINGKAR PERUT Qonita Rachmah

    1

    1Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

  • 20

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    2. PENDAHULUAN

    Pola hidup masyarakat perkotaan saat

    ini mulai mengalami modernisasi ke arah yang

    lebih instan. Perubahan pola hidup tersebut

    akan berdampak pada terjadinya masalah

    kesehatan, seperti penyakit degeneratif yang

    masih menjadi pembunuh nomor satu di

    Indonesia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan

    sekitar 60% mortalitas disebabkan oleh

    penyakit degeneratif.

    Penyebab utama terjadinya penyakit

    degeneratif adalah munculnya sindrom

    metabolik. Orang dengan sindrom metabolik

    akan berisiko tiga kali lebih besar mengalami

    serangan jantung/stroke dan dua kali lebih

    berisiko untuk meninggal dibandingkan orang

    tanpa sindrom metabolik.(1)

    Sindrom metabolik didefinisikan

    sebagai suatu keadaan dimana terjadi

    kelainan metabolik yang meliputi minimal tiga

    dari lima kondisi berikut; lingkar pinggang di

    atas normal, kenaikan kadar glukosa plasma,

    penurunan kadar kolesterol HDL, tekanan

    darah yang tinggi (hipertensi), dan kenaikan

    kadar trigliserida (NCEP-ATP III, 2001).

    Prevalensi sindrom metabolik diberbagai

    belahan dunia sudah menjadi masalah

    kesehatan masyarakat, berdasarkan kriteria

    NCEP-ATP III, prevalensi di seluruh dunia

    berkisar antara 15-30%,(2)

    pada populasi Asia

    berkisar antara 10-15%.(3)

    Sedangkan di

    Indonesia, pada tahun 2004 prevalensinya

    mencapai 24,4% (Himpunan Studi Obesitas

    Indonesia) dan di DKI Jakarta pada tahun

    2006 menunjukkan prevalensi sindrom

    metabolik yang lebih besar yaitu sebesar

    28,4%.(4)

    Salah satu faktor utama munculnya

    sindrom metabolik adalah kondisi obesitas

    sentral. Obesitas sentral merupakan kondisi

    terjadinya penimbunan lemak pada jaringan

    adiposa yang berada di daerah abdominal.

    Obesitas sentral dapat diukur menggunakan

    lingkar perut dan lingkar pinggang. Namun,

    lingkar perut prediktor yang lebih baik untuk

    menentukan risiko sindrom metabolik

    dibandingkan RLPP maupun IMT.(5)

    Walaupun

    sindrom metabolik sering ditemukan pada

    individu dengan obesitas sentral, namun

    sindrom metabolik juga dapat dialami oleh

    individu normal atau non-obesitas sentral.

    Profesi guru SD merupakan profesi

    yang tidak menuntut aktivitas fisik terlalu berat

    dengan jam kerja yang lebih sedikit

    dibandingkan guru SMP/SMA dan juga

    menjadi panutan bagi siswa sekolah dasar

    dalam hal penanaman nilai-nilai positif

    termasuk dalam hal kesehatan. Apabila guru

    tidak memiliki perilaku maupun kondisi

    kesehatan yang baik, maka dapat berdampak

    pada produktivitas dan perilaku kesehatan

    murid yang kurang baik. Oleh karena itu,

    penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

    prevalensi sindrom metabolik serta perbedaan

    proporsinya pada guru SD obesitas sentral

    dan non-obesitas sentral.

    2. METODE

    Penelitian ini dilakukan dengan

    menggunakan desain studi cross sectional

    yang dilakukan pada guru sekolah dasar di

    Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.

    Populasi studi pada penelitian ini yaitu guru

    sekolah dasar yang bekerja di sekolah dasar

    yang tersebar di wilayah Lebak Bulus dan

    Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta

    Selatan. Sedangkan sampel penelitian yaitu

    guru SD yang berusia di atas 20 tahun dan

    bekerja di wilayah penelitian. Jumlah

    responden yaitu 30 guru SD obesitas sentral

  • 21 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    dan 30 guru SD non-obesitas sentral,

    sehingga total responden yaitu 60 orang.

    Data sekunder yang dikumpulkan

    pada penelitian ini yaitu database guru SD di

    wilayah penelitian, sedangkan data primer

    meliputi karakteristik individu (jenis kelamin,

    usia), lingkar perut, profil lipid darah (HDL dan

    trigliserida), serta kadar gula darah puasa.

    Pengambilan data dilakukan secara langsung

    kepada responden dengan cara wawancara,

    pengukuran antropometri, dan pemeriksaan

    biokimia darah.

    Pengumpulan data dilakukan pada

    bulan Maret-April 2013 oleh peneliti dan tiga

    orang asisten yang merupakan mahasiswa

    program studi gizi, Fakultas Kesehatan

    Masyarakat, Universitas Indonesia.

    Instrumen yang digunakan yaitu

    kuesioner yang berisi informed consent serta

    data karakteristik individu, pita ukur dengan

    skala 0,1 cm merk seca untuk mengukur

    lingkar perut, alat ukur tekanan darah air raksa

    (sphygomamometer), dan alat ukur gula darah

    dan profil lipid (kolesterol HDL dan trigliserida)

    untuk mendeteksi sindrom metabolik.

    Pengukuran lingkar perut dilakukan

    pada daerah perut dengan melilitkan pita ukur

    pada lokasi dua jari dibawah pusar, responden

    diwajibkan membuka pakaian/ celana pada

    bagian tersebut untuk menjaga akurasi

    pengukuran. Hasil pengukuran lingkar perut

    dalam sentimeter. Selain itu, responden juga

    diminta untuk berpuasa selama 8-10 jam

    sebelum pengambilan sampel darah.

    Responden juga tidak dianjurkan meminum

    obat kecuali atas anjuran dokter dan

    diinformasikan kepada petugas serta tidak

    merokok, dan berolahraga sebelum

    pengambilan sampel darah. Sampel darah

    diambil dari vena di daerah Fossa Cubiti.

    Pengolahan data menggunakan

    perangkat lunak khusus. Analisis deskriptif

    yang disajikan meliputi karakteristik individu

    serta sindrom metabolik pada guru SD

    obesitas sentral dan non-obesitas sentral.

    Perbedaan proporsi sindrom metabolik pada

    kedua populasi dianalisis menggunakan uji chi

    square.

    Sebelum melakukan pengambilan

    data, penelitian ini telah lulus sidang kaji etik

    dan mendapatkan izin dari Komisi Etik

    Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

    Indonesia pada 25 April 2013.

    3. HASIL

    Responden dalam penelitian ini yaitu

    guru SD di wilayah Kecamatan Cilandak,

    Jakarta Selatan berusia di atas 20 tahun.

    Responden perempuan (63%) lebih banyak

    dibandingkan laki-laki (37%). Guru SD yang

    mengalami obes sentral lebih banyak berjenis

    kelamin perempuan (43,4%) dibandingkan

    laki-laki (6,7%).

    Rata-rata responden berusia 45 tahun

    dengan modus 36 tahun, median 48 tahun,

    dan SD +9,613. Guru SD yang mengalami

    obesitas sentral lebih banyak berada pada

    range usia 51-60 tahun (50,0%) dibandingkan

    pada usia >51 tahun. Tabel 1 menggambarkan

    karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis

    kelamin.

    Tabel 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

    Variabel

    Guru SD Obes

    Sentral (n=30)

    Guru SD non-Obes

    Sentral (n=30)

    n % n %

    Jenis Kelamin Perempuan 26 43,4 12 20,0 Laki-laki 4 6,7 18 30,0

    Usia 20-30 th 0 0,0 6 10,0

  • 22

    B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013

    31-40 th 2 3,3 8 13,3

    41-50 th 9 31,7 11 18,3 51-60 th 19 50,0 5 8,3

    Hasil analisis terhadap kriteria sindrom

    metabolik yaitu lingkar pinggang, kadar

    kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa,

    dan tekanan darah ditunjukkan pada tabel 2.

    Kriteria sindrom metabolik yang paling banyak

    dialami yaitu kadar kolesterol HDL rendah

    (45,0%), lalu diikuti oleh hipertensi (38,3%),

    lingkar pinggang tinggi (35%), kadar

    trigliserida tinggi (33,3%), dan terakhir yaitu

    gula darah puasa tinggi (15%).

    Rata-rata responden memiliki lingkar

    pinggang 80 cm dengan modus 86,5 cm,

    median 81,3 cm, dan SD +1,017. Semua

    responden dengan lingkar pinggang tinggi

    (35,0%) merupakan guru SD yang obes-

    sentral. Untuk kadar kolesterol HDL, rata-

    ratanya yaitu 49,9 mg/dl dengan modus 45,

    median 48 mg/dl, dan SD +10,61. Kadar K-

    HDL rendah lebih tinggi pada kelompok guru

    SD obes-sentral (21,7%) dibandingkan pada

    kelompok guru SD non-obes sentral (13,3%).

    Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kriteria Sindrom Metabolik*

    Variabe


Recommended