+ All Categories
Home > Documents > Buku Jurnal 7.4.pdf

Buku Jurnal 7.4.pdf

Date post: 31-Dec-2016
Category:
Upload: tranque
View: 270 times
Download: 12 times
Share this document with a friend
200
Transcript
Page 1: Buku Jurnal 7.4.pdf
Page 2: Buku Jurnal 7.4.pdf

Daftar Isi

Analisis Hasil dan Metode FundraisingWakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI) Analysis of Results and Fundraising Methods Cash Waqf of Indonesian Waqf Board (BWI) — 605Abdullah Ubaid

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdaldalam Regulasi PerwakafanQuestioning Professionalism Nazhir and Istibdal of Waqf Regulation — 633Ahmad Zainus Soleh

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004Tentang Pengaturan Wakaf ProduktifThe Effectiveness of Law No. 41 Year 2004 About Regulation of Productive Waqf — 663Muhammad Ishom

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia: Potensi dan TantanganDevelopment of Waqf Management in Indonesia: Potency and Challenge — 699Abas Sambas

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan MasyarakatActivating Money (Cash) Waqf as an Effortto Increase Community Welfare — 727Mohammad Mu’alim dan Abdurrahman

Page 3: Buku Jurnal 7.4.pdf

Jurnal Bimas Islam Vol.7 No.IV 2014

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’: Analisis Kapital Sosial Empowering Women of Majelis Taklim Darunnisa’: Analysis of Social Capital — 755Saifudin Asrori

Perkembangan Perwakafan di Kota BatamThe Development of Waqf in Batam City — 783Syukri Ilyas

Page 4: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _605

Analysis of Results and Fundraising Methods Cash Waqf of Indonesian Waqf Board (BWI)

Analisis Hasil dan Metode FundraisingWakaf Uang Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Abdullah UbaidSekolah Tinggi Agama Iislam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta.

email: [email protected]

Abstract: Fundraising cash waqf at BWI have ups and downs. Level of placement does not always

go up, sometimes down. It is influenced by the rhythm of teamwork in BWI. When it is

compared to other Nazhir, the rate of cash waqf at BWI remains low. Fundraising methods

used in BWI is still fairly conventional. Therefore, BWI should try to use other methods

in fund raising in order to maximize cash waqf. Among these methods of raising the fund

through membership, participation offers via direct mail, using volunteers services,

and take advantage of company funds. In addition, BWI also need to make fundraising

division specifically tasked to undertake the collection of cash waqf.

Abstraksi : Fundraising wakaf uang di BWI mengalami pasang surut. Tingkat perolehannya

tidak selalu naik, kadang juga turun. Ini dipengaruhi oleh ritme kerja tim di BWI.

Jika dibandingkan dengan nazhir lain, tingkat perolehan wakaf uang di BWI masih

terbilang rendah. Metode fundraising yang digunakan BWI masih tergolong masih

konvensional. Karena itu, BWI perlu mencoba menggunakan metode-metode lain

dalam fundraising wakaf uang supaya lebih maksimal. Di antaranya adalah metode

Page 5: Buku Jurnal 7.4.pdf

606_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

penggalangan melalui Keanggotaan, membership), penawaran partisipasi melalui

direct mail, menggunakan jasa relawan, dan memanfaatkan dana perusahaan. Di

samping itu, BWI juga perlu membuat divisi fundraising yang secara khusus bertugas

untuk melakukan penghimpunan wakaf uang.

Keywords: Cash Waqf, Fundraising, Nazhir, Indonesian Waqf Bank, Sharia Bank.

A. Pendahuluan

BWI dalam mengelola wakaf uang tidak dapat dilepaskan dengan bank syariah. Sejak tahun 2009, BWI telah bermitra dengan bank syariah, diantaranya: Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank Mega Syariah, dan Bank DKI Syariah. Kerjasama yang digalang BWI dengan bank syariah ini untuk mempermudah masyarakat dalam penyetoran wakaf uang dan juga memproduktifkan wakaf uang yang sudah terkumpul. Jadi, ada dua hal terkait dengan kemitraan ini. Pertama, kemitraan dalam penerimaan setoran wakaf uang. Kedua, kemitraan dalam pengelolaan wakaf uang.

Dalam penerimaan wakaf uang, tugas utama bank syariah adalah menerima setoran wakaf uang dan menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang, SWU). Bank syariah mengadministrasikan wakaf uang secara terpisah dari kekayaan bank. Dengan begitu, mutasi dari barang titipan dilaksanakan oleh bank syariah atas perintah BWI. Pada tataran teknis, wakif menyetorkan wakaf uang ke bank syariah atas nama rekening BWI. Karena itu, tanggung jawab terhadap wakaf uang sepenuhnya ada di tangan BWI. Sedangkan bank syariah harus menyampaikan laporan rekapitulasi dana wakaf uang dan Sertifikat Wakaf Uang kepada BWI setiap satu bulan sekali.

Tujuan utama kemitraan ini adalah untuk mempermudah masyarakat dalam penyetoran wakaf uang dan juga administrasi pencatatan wakaf uang. Jaringan bank syariah yang begitu luas yang dapat diakses kapan

Page 6: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _607

saja dan dimana saja dapat diamanfaatkan oleh wakif untuk menyetorkan wakaf uang. Jumlah wakaf uang yang telah terkumpul ini dipilah menjadi dua, wakaf uang abadi dan wakaf uang berjangka. Untuk wakaf uang yang abadi, BWI hanya dapat mengeluarkan 50% dari total dana wakaf yang terkumpul di bank syariah. Dengan begitu, minimal 50% dari dana wakaf yang terkumpul itu harus tersimpan di bank syariah. Sedangkan untuk wakaf uang berjangka, BWI tidak dapat mengambil atau menarik dari bank syariah selamanya. Jadi, selamanya dana wakaf tersebut tetap berada di rekening BWI yang ada di bank syariah ketika penyetoran sampai jatuh tempo.

B. Kendala Setoran Wakaf Uang

Itu adalah bagian dari butir kesepakatan dalam kemitraan yang dijalin antara BWI dengan bank syariah dalam penerimaan setoran wakaf uang. Model ini akan menguntungkan dua belah pihak, sehingga satu sama lain akan bahu-membahu dan bersinergi dalam program penghimpunan wakaf uang. Meski begitu, pada awal-awal beroperasinya bank syariah sebagai LKS PWU tahun 2009, ditemukan beberapa kendala dalam hal penyetoran wakaf uang.

Kendala pertama, soal kesiapan pihak bank syariah. Banyak masyarakat yang mengadu ke BWI karena tidak dapat melakukan penyetoran wakaf uang di beberapa bank syariah yang sudah kerjasama dengan BWI. Ini mayoritas terjadi terutama pada kantor-kantor cabang bank syariah yang ada di daerah. Bahkan, pada tahun 2010 problem ini juga terjadi di beberapa kantor cabang bank syariah di Jakarta. Perkara ini terjadi karena tidak adanya edukasi dari pihak bank syariah. Seharusnya, ketika suatu bank syariah telah ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang, ia harus melatih dan mensosialisasikan adanya produk baru yaitu wakaf uang dari tingkat pusat sampai ke kantor cabang pembantu yang tersebar di berbagai daerah.

Kekurangan ini diakui oleh pihak bank syariah. Kepala Divisi Treasury dan Perbankan Internasional BSM Tutuy Guntara mengatakan

Page 7: Buku Jurnal 7.4.pdf

608_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

bahwa pada tahun 2009 BSM belum dapat melatih seluruh kantor cabang utama dan cabang pembantu yang tersebar di berbagai daerah.1

BSM hanya melakukan di beberapa wilayah yang dianggap cukup strategis dalam pengumpulan wakaf uang. Layanan wakaf uang di BSM ditempatkan pada customer service. Ini juga berlaku di empat bank syariah yang lain: Bank Muamalat, BNI Syariah, Mega Syariah, dan DKI Syariah. Layanan wakaf uang ini bukan di bagian teller, karena penyetoran wakaf uang ini tidak dapat dilakukan dengan sebentar. Calon wakif harus mengisi beberapa formulir wakaf uang, yang kemudian data tersebut akan dimasukkan dalam pencatatan Sertifikat Wakaf Uang, SWU). Di antara hal penting yang harus tercatat dalam SWU adalah jumlah uang yang diwakafkan, peruntukan, dan juga penunjukan nazir.

Pada awal penerimaan wakaf uang tahun 2009, SWU ini kerap menjadi masalah di lapangan. Pernah ada nasabah bank BNI Syariah melaporkan pengaduan ke BWI karena tidak dapat mendapatkan SWU. Ketika dikonfirmasi oleh BWI, ternyata memang pihak BNI Syariah kantor cabang Pekan Baru, Kepulauan Riau, belum menyediakan SWU. Ia hanya mencatat transaksi di formulir wakaf uang saja. Hal serupa juga terjadi di Bank DKI Syariah. Berbekal slip setoran wakaf uang, seorang nasabah bank DKI Syariah datang ke kantor BWI untuk mendapatkan Sertifikat Wakaf Uang. Karyawan BWI pun bingung, karena penerbitan SWU adalah wewenang bank syariah penerima wakaf uang, bukan bagian dari tugas BWI. Akhirnya, nasabah tersebut balik lagi ke bank DKI Syariah, lalu berhasil mendapatkan SWU. Perlu diketahui, Sertifikat Wakaf Uang ini akan diberikan kepada wakif yang telah menyetorkan wakaf uang dengan minimal setoran Rp. 1.000.000, satu juta rupiah). Berbeda dengan yang lain, Bank Mega Syariah tampil sebagai LKS-PWU yang sejak awal 2010 menyediakan layanan penyetoran wakaf uang via ATM. Nasabah yang menyetorkan wakaf uang melalui ATM. Jika nasabah menginginkan SWU, ia harus membawa slip penyetoran uang dari ATM tersebut ke customer service.

Page 8: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _609

Kendala kedua, kurangnya promosi di kantor perbankan terkait dengan adanya produk baru, yaitu wakaf uang. Promosi produk wakaf uang di bank syariah penerima wakaf uang masih sangat minim. Wakaf uang saat itu tidak ditawarkan kepada nasabah, tapi nasabah benar-benar datang ke bank untuk menyetorkan wakaf.2 Tidak ada upaya yang dilakukan oleh customer service untuk menawarkan kepada nasabah yang sedang dilayaninya. Jadi, bank syariah cenderung pasif. Kalau ada yang berwakaf maka akan dilayani, jika tidak maka tak perlu bersusah payah untuk menawarkan kepada nasabah. Saat itu, pengumpulan wakaf uang masih bersifat menunggu bola, bukan menjemput bola. Ini dimaklumi karena wakaf uang masih menjadi produk baru, yang bagi pihak menajemen bank kurang dianggap sebagai instrument yang strategis. Bahkan, Tutuy Guntara mengatakan bahwa pada masa-masa permulaan produk wakaf uang, ia harus melakukan berbagai pendekatan dan berkali-kali presentasi di hadapan Direktur Utama Bank Syariah Mandiri. Ia meyakinkan kepada jajaran direksi bahwa wakaf uang ini juga produk yang menguntungkan bagi bank syariah. Hingga pada akhir tahun 2009, produk wakaf uang sudah dapat dipahami dengan baik dan menjadi bagian dari kebijakan strategis yang harus dikembangkan oleh Bank Syariah Mandiri.3

Meski begitu, bila dibandingkan dengan penggalangan dana infak di BSM, wakaf uang terbilang kalah gencar. Gejala ini di antaranya dapat dirasakan ketika menggunakan mesin ATM BSM. Begitu nasabah selesai betransaksi, muncul tawaran dari mesin ATM, mau infak atau tidak. Jika tidak, kartu ATM akan keluar. Seharusnya, mesin ATM tersebut juga menawarkan kepada nasabah untuk berpartisipasi dalam wakaf uang. Kondisi ini berbeda dengan ATM Bank Mega Syariah. Wakaf uang di ATM BMS masuk pada menu khusus. Jika ingin berwakaf, nasabah tinggal pencet tombol wakaf uang, tanpa harus memasukkan nomor rekening nazir yang dituju. Sementara itu, di BNI Syariah, DKI Syariah, dan Bank Muamalat kondisinya tak jauh berbeda dengan BSM, wakaf uang masih belum diberikan porsi yang besar dalam hal promosi dan

Page 9: Buku Jurnal 7.4.pdf

610_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

kemudahan bagi para nasabah dalam penyetoran. Semuanya dilakukan melalui cara setor yang manual melalui customer service atau transfer via ATM dengan cara menekan nomor rekening nazir terlebih dahulu.

Ini semua adalah bagian dari kendala awal dalam penerapan penyetoran wakaf uang melalui bank syariah. Bahkan, di Bank DKI Syariah pernah ada seorang nasabah yang hendak berwakaf melalui ATM DKI Syariah tapi tidak berhasil. Anehnya, ia tidak komplain ke Bank DKI tapi malah marah-marah ke BWI. Kejadian tersebut dapat terjadi karena memang pada tahun 2009 merupakan awal penerapan penyetoran wakaf uang di Indonesia, jadi sosialisasinya masih terbatas di bagian tertentu, belum sampai pada bagian sistem informasi dan teknologi. Promosi yang dilakukan oleh DKI Syariah waktu itu hanya melalui brosur kecil yang diletakkan di meja bagian customer service. Jika ada yang menanyakan, baru akan dijawab.

Kendala ketiga, pemahaman masyarakat yang minim tentang wakaf uang. Berbeda dengan wakaf tanah yang dari dulu sudah berjalan, wakaf uang pada tahun 2009 masih dipandang sebagai hal yang aneh. Masyarakat pun banyak yang menyangsikan, apa betul uang dapat diwakafkan. Intinya, banyak kalangan yang tidak mengerti dan tidak mengetahui jenis harta benda yang dapat diwakafkan selain tanah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BWI tahun 2010 melalui websitenya, www.bwi.or.id), menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mengetahui diperbolehkannya wakaf uang baru pada tahun 2010 ketika survei digelar. Hanya 13 persen yang menjawab bahwa ia telah mengetahui sejak tahun 2009, dan 9 persen yang menyatakan telah mengetahui wakaf uang sebelum tahun 2009. Jadi, sisanya 78 persen, ternyata baru mengerti pada tahun 2010. Kenyataan ini tentu menjadi tugas BWI dalam merancang strategi sosialisasi wakaf uang kepada masyarakat, agar mereka dapat memahami dan terketuk hatinya untuk berwakaf uang. Wakaf uang tidak hanya tidak dikenal oleh masyarakat, tapi juga dipertanyakan oleh beberapa ulama atau kiai-kiai di pesantren.

Page 10: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _611

Pada medio 2009, Ketua BWI Tholhah Hasan pernah diundang untuk menyampaikan materi pada acara Halaqah Pesantren di Jawa Timur, yang dihadiri oleh utusan dari berbagai pesantren se-Jawa. Ketika berceramah ia membawakan materi tentang urgensi pengelolaan harta benda wakaf secara produktif. Salah satu sub topik yang disinggung adalah soal wakaf uang. Ternyata, ceramah yang disampaikannya itu mendapat respon yang cukup banyak dari berbagai kalangan pesantren. Rata-rata mereka menyangsikan diperbolehkannya wakaf uang. Bahkan, sebagian ada yang tetap kukuh pada pendiriannya. Menurutnya, wakaf uang tidak diperbolehkan karena resiko hilang atau kerugian saat diinvestasikan jauh lebih besar dibanding harta benda wakaf yang tidak bergerak seperti tanah. Kenyataan tersebut menunjukkan, meski fatwa diperbolehkannya uang menjadi harta benda wakaf telah diterbitkan MUI sejak tahun 2002, ternyata hingga tahun 2009 wakaf uang masih belum mendapat tempat di hati sebagian masyarakat Indonesia.

Di tengah-tengah situasi dan kondisi seperti itu, pada tahun 2009 BWI telah mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 503.537.141. Waktu itu, BWI tidak terlalu muluk-muluk dalam menentukan target penghimpunan wakaf uang. Target yang dipatok adalah Rp. 500.000.000. Berarti, pada tahun 2009 target penghimpunan wakaf uang dapat terlampaui. Berikut ini adalah gambaran perolehan wakaf uang tahun 2009 yang dihimpun dari 5 bank syariah penerima wakaf uang.

Tabel Penghimpunan Wakaf Uang BWITahun 2009

No Bank Syariah Jumlah Wakaf Uang1 BNI syariah 40.313.0002 Bank Syariah Mandiri 441.766.1413 Muamalat 7.000.0004 DKI Syariah 5.350.0005 Bank Mega Syariah 9.108.000

Total 503.537.141

Sumber: Laporan Keuangan BWI Tahun 2009

Page 11: Buku Jurnal 7.4.pdf

612_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Dibandingkan dengan bank syariah yang lain, Bank Syariah Mandiri jauh lebih menonjol dalam perolehan wakaf uang. Tutuy Guntara menuturkan, saat itu BSM tidak menunggu perintah dari BWI, begitu nota kesepahaman ditandatangani BSM langsung bekerja untuk mencari calon wakif yang berasal dari nasabahnya.4 Meskipun menggunakan cara-cara yang tradisional, BSM dapat memberikan contoh yang baik kepada bank-bank syariah lain yang sama-sama ditunjuk Menteri Agama sebagai LKS PWU. Cara tradisional yang dimaksud adalah program penghimpunan wakaf uang tidak dilakukan secara sistematis, tapi secara sporadis di cabang-cabang tertentu yang dianggap potensial. Ia mengakui bahwa pada tahap awal ini, BSM lebih banyak menjelaskan atau sekedar sosialisasi kepada nasabah daripada menerima setoran wakaf uang. Jika dirata-rata, dari 15 orang yang bertanya, hanya 1 orang yang terketuk hatinya untuk berwakaf.5

Strategi yang diterapkan BSM pada tahun pertama ini berbeda jauh dengan tahun berikutnya, 2010. Pada tahun ini, BSM berusahan untuk memaksimalkan perolehan wakaf uang. Begitu juga dengan bank yang lain. Sebab, pada tahun 2010 ini BWI menargetkan pengumpulan wakaf uang harus naik 100% dari perolehan tahun sebelumnya di masing-masing bank.

C. Strategi BWI dalam Peningkatan Wakaf Uang

Untuk mencapai target yang telah dipatok, BWI bersinergi dengan bank-bank syariah penerima wakaf uang dalam hal sosialisasi dan pengumpulan wakaf uang. Di antara langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut.

Pertama, BWI bekerjasama dengan 5 bank syariah penerima wakaf uang untuk memasang iklan wakaf uang di harian Republika dan Lembaga Kantor Berita Nasioal, LKBN) Antara. Iklan ini berisi tentang informasi seputar kelembagaan BWI dan liputan kegiatan yang telah dilakukan. Pemasangan iklan ini ditempuh untuk promosi dan komunikasi ide

Page 12: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _613

antara BWI dengan masyarakat luas. Dalam konteks ini, berhasil tidaknya iklan yang dipasang tergantung dari media apa yang digunakan untuk mencapai sasaran. Karenanya, masalah pemilihan media iklan tidak hanya didasarkan pada perkiraan saja, melainkan harus diperhatikan sifat-sifat iklan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kegiatan iklan yang dilakukan.

Hal ini senada dengan pandangan Fandy Tjiptono.6 Menurutnya, ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih media iklan: dana yang digunakan, segmentasi pasar yang dibidik, jenis produk yang diiklankan, dan tahapan iklan. Begitu pula dengan keputusan Divisi Humas BWI dalam memilih Republika dan LKBN Antara. Republika dipilih karena mayoritas pembacanya adalah muslim kelas menengah ke atas. Tipe kesalehan pembacanya pun tidak sekadar Islam KTP tapi Islam yang taat. Makanya, sangat cocok jika iklan wakaf uang dipasang di koran harian yang didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, ICMI) ini. Di samping itu, harga iklan di Republika jauh lebih murah dibanding tarif iklan di Kompas, Media Indonesia, atau Seputar Indonesia. Ini disebabkan Republika memberikan diskon lebih dari 50% bagi lembaga sosial yang memasang iklan. Dari sisi tahapan iklan, juga dinilai sudah terpenuhi, karena tidak mungkin mempromosikan wakaf uang, yang bagi umat Islam saja banyak yang tidak mengetahui, di koran yang pembacanya lebih majemuk.

Sedangkan penggunaan LKBN Antara sebagai media sosialisasi wakaf disebabkan posisinya yang strategis sebagai kantor berita Nusantara. Jadi, banyak media-media nasional maupun lokal yang berlangganan berita ke LKBN Antara. Ini dalam rangka percepatan sosialisasi. Tanpa harus turun ke daerah-daerah, BWI dapat memanfaatkan media ini untuk penyebaran informasi perwakafan dan sosialisasi wakaf uang.Banyak berita dan informasi tentang wakaf uang di LKBN Antara yang dikutip oleh media-media daerah, seperti Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Lampung Post di Lampung, Jawa Pos di Jawa, Tribun Kalimantan, Radar Sulawesi, dan lain-lain. Untuk

Page 13: Buku Jurnal 7.4.pdf

614_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

mengetahui sejauhmana informasi tentang wakaf uang dapat tersebar di daerah, pihak LKBN Antara memberikan laporan dan bukti pemuatan informasi perwakafan di media-media lain yang berlangganan di LKBN Antara.

Kedua, peluncuran secara resmi Gerakan Nasional Wakaf Uang, GNWU). Untuk lebih menggalakkan wakaf uang, atas inisiatif BWI, pada tahun 2010 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan resmi mencanangkan GNWU yang ditandai dengan setoran wakaf uang dari SBY sebesar Rp. 100.000.000, seratus juta rupiah). Tujuan utama dari GNWU ini adalah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang adanya jenis harta benda bergerak yang dapat diwakafkan, yaitu uang.7 Langkah ini sangat penting, sebab selama ini masyarakat memandang bahwa benda yang dapat diwakafkan adalah tanah.

Dalam ranah praksis di lapangan, wakaf uang memang lebih mudah dibanding wakaf tanah. Penyetoran wakaf uang bisa dilakukan siapa saja, tanpa harus menunggu jadi tuan tanah yang kaya. Selain itu, jaringan atau konter penerimaan wakaf uang sangat luas. Karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja untuk menyetorkannya. Wakaf uang disetorkan melalui bank syariah penerima wakaf uang. Wakaf uang ini didukung secara adminstratif oleh instrumen yang dinamakan Sertifat Wakaf Uang, SWU). Orang yang melakukan wakaf uang, ia akan mendapat SWU. Ini merupakan inovasi baru dalam perbankan syariah di Indonesia. Di antara manfaat dari instrument SWU ini antara lain, pertama, untuk pembiayaan pengembangan wakaf tanah yang dinilai strategis untuk tujuan produktif dan bernilai ekonomis. Ini bisa dilakukan dengan cara menjual SWU untuk penggalangan dana proyek. Kedua, investasi strategis untuk menghapus kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ini sejalan dengan gagasan Mannan yang menjadikan wakaf uang sebagai modal investasi untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pelayanan social.8

Dengan SWU, seorang wakif telah memberikan kontribusi tidak hanya bagi pengembangan operasionalisasi social capital market, tapi juga

Page 14: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _615

di bidang investasi sosial permanen. Sebab, deposit wakaf uang hanya dilakukan sekali saja, maka nazir atau bank dapat menginvestasikannya dalam berbagai bentuk investasi, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Berbagai kegiatan investasi inilah yang nantinya akan menciptakan lahan kerja baru, dan berpeluang untuk memberikan kontribusi bagi penguatan ekonomi bangsa.9 Potensi wakaf uang yang besar ini tentu saja juga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dan memproduktifkan aset wakaf yang sudah ada, yaitu tanah wakaf.

Untuk mendukung suksesnya GNWU, BWI telah bekerjasama dengan 5 bank syariah sebagai penerima wakaf uang, yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank DKI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Mega Syariah. Bahkan kini, BWI juga tengah bekerjasama dengan beberapa bank syariah yang lain,di antaranya: BTN Syariah, Bukopin Syariah, BPD DIY Syariah, BPD Kalimantan Barat Syariah, BPD Riau Syariah, dan BPD Jawa Tengah Syariah.

Presiden RI menyambut dengan baik atas inisiatif gerakan ini. Ini merupakan terobosan baru sekaligus tafsir yang amat luas mengenai wakaf. Semula, wakaf hanya terpaku pada wakaf yang berupa tanah dan bangunan. Dengan digulirkannya wakaf dalam bentuk uang, akan semakin banyak umat Islam yang dapat menunaikan wakafnya. Menurut SBY, pencanangan ini merupakan perluasan pemahaman terhadap wakaf. Sifat dasar wakaf uang, tentu juga memiliki beberapa kelebihan. Wakaf uang dapat dijadikan sebagai salah satu andalan, dalam pengembangan ekonomi umat ke depan. SBY berharap, wakaf uang dapat dikelola dan dikembangkan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. “Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, juga harus dapat disinergikan dengan kekuatan zakat, infaq dan sadaqah, agar dampak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat betul-betul dirasakan,” pesannya.10 Dalam posisi itu, wakaf uang menjadi salah satu penopang penting dalam rangka mempercepat pertumbuhan perekonomian nasional.

Page 15: Buku Jurnal 7.4.pdf

616_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Untuk lebih meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf, pada kesempatan itu, Presiden SBY mengajak BWI untuk mendayagunakan wakaf uang secara produktif. “Lakukan pengelolaan melalui investasi produk-produk syariah, dan instrumen keuangan syariah, baik di sektor riil maupun finansial,” ujarnya. Presiden juga berpesan kepada seluruh nazir wakaf di Indonesia agar meningkatkan pengelolaan dan pemberdayaan aset wakaf yang dikuasainya. Pertama, melalukan sosialisasi wakaf uang, yang merupakan jenis harta benda wakaf, selain tanah. Kedua, memperkuat kelembagaan BWI, dengan penguatan yang komprehensif, baik aspek regulasi, maupun aspek teknis dan operasional. Selain itu juga harus menyempurnakan proses, sistem, dan mekanisme penghimpunan dan pendayagunaan wakaf, dengan cara yang lebih mudah, lebih cepat, dan lebih akurat. Ketiga, memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar memudahkan dalam pengelolaan dan pemberdayaan wakaf, dan juga membantu dalam pengadministrasian secara tertib dan akurat, serta optimalisasi pemanfaatan wakaf bagi peningkatan kesejahteraan umat. Keempat, melakukan kerjasama dan sinergi dengan berbagai lembaga pengelola wakaf, baik yang diselenggarakan oleh organisasi massa Islam, Dewan Keluarga Masjid, maupun yayasan-yayasan keagamaan, serta bahkan dengan Badan Wakaf Dunia. “Lakukan koordinasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait, agar Gerakan Nasional Wakaf Uang ini, dapat terus bergaung di seluruh tanah air,” pungkas SBY.11

Ketiga, peluncuran produk wakaf uang di bank syariah. Pencanangan GNWU oleh Presiden RI itu kemudian diikuti oleh bank syariah penerima wakaf uang dengan membuat program peluncuran produk wakaf uang. Peluncuran produk baru di bank syariah ini tidak dilakukan secara serempak, tetapi dilakukan di masing-masing bank syariah dengan penekanan pada kelebihan masing-masing produknya. Bank Syariah Mandiri memulai peluncuran dengan memberikan kemudahan kepada nasabah untuk berwakaf uang di seluruh kantor cabang dan cabang pembantu. Ini perlu dipromosikan, sebab pada tahun 2009 tidak semua

Page 16: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _617

kantor cabang BSM dapat melayani wakaf uang. Namun, pada tahun 2010 ini semua kantor cabang BSM sudah dapat menerima setoran wakaf uang. Di samping itu, BSM juga menyediakan call service dengan extention khusus konsultasi wakaf.12 Langkah yang diambil BSM ini pun berbuah manis, pengumpulan wakaf uang di BSM naik lebih dari seratus persen dari tahun sebelumnya, mencapai nominal sebesar Rp. 927.806.732.

Lain halnya dengan Bank Mega Syariah. Peluncuran produk wakaf uang di bank ini ditandai dengan simulasi wakaf uang oleh nasabah dengan menggunakan ATM Mega Syariah. Jadi, nasabah tidak perlu menekan angka nomor rekening BWI, sebab di ATM Mega Syariah sudah yar menu khusus untuk wakaf. Tinggal klik menu wakaf, lalu tulis besar nominal yang akan diwakafkan, maka wakaf uang langsung dapat diterima. Jika nasabah ingin mendapatkan sertifikat wakaf uang, ia tinggal ke bagian customer service untuk menukarkan tanda bukti setor di ATM dengan sertifikat wakaf uang. Cara ini terbukti efektif, sebagian besar setoran wakaf uang di Bank Mega Syariah diperoleh dari ATM.13 Tahun 2010, bank ini mampu menghimpun wakaf uang sebesar Rp. 173.496.865. Peningkatan yang cukup tajam dibanding dengan perolehan tahun 2009 yang hanya Rp. 9.108.000.

Sementara itu, di bank DKI Syariah wakaf uang disinergikan dengan Bank Pembangunan Daerah, BPD) di seluruh Indonesia. Ini dapat dilakukan karena Direktur Utama DKI Syariah juga merupakan pimpinan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asbanda). Bukan berarti semua BPD secara otomatis dapat berperan sebagai penerima wakaf uang, tetapi BPD dapat menerima setoran sementara wakaf uang untuk diteruskan disetorkan kepada Bank DKI Syariah.14 Jadi, sertifikat wakaf uangnya menggunakan sertifikat dari Bank DKI Syariah, BPD hanya berperan sebagai kepanjangan tangan dari Bank DKI Syariah. Upaya ini pun membuahkan hasil, jika pada tahun 2009 Bank DKI Syariah hanya mampu mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 5.350.000, tahun 2010 mampu menghimpun wakaf uang Rp. 185.154.300.

Page 17: Buku Jurnal 7.4.pdf

618_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Di BNI Syariah, peluncuran wakaf uang diintegrasikan dengan produk Hasanah Card. Nasabah BNI yang mempunyai Hasanah Card dapat menikmati kemudahan dalam penyetoran wakaf uang. Meski begitu, praktik penyetoran wakaf uang di BNI Syariah lebih didominasi penyetoran secara langsung, tidak melalui Hasanah Card.15 Dengan didukung berbagai program promosi bersama yang dilakukan dengan BWI, perolehan wakaf uang di bank ini juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, BNI Syariah berhasil mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 370.434.450. Kenaikan perolehan wakaf uang pada tahun 2010 ini terbilang berhasil dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya mampu mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 40.313.000. Kenaikan perolehan wakaf uang pada tahun 2010 ini merata di semua bank syariah penerima wakaf uang. Begitu juga dengan Bank Muamalat. Bank syariah pertama di Indonesia ini juga berhasil mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 96.100.621. Perolehan ini jauh lebih baik daripada tahun 2009 yang hanya Rp. 7.000.000. Secara keseluruhan, perolehan wakaf yang pada tahun 2010 ini dapat dilihat pada table berikut ini.

Penghimpunan Wakaf Uang BWITahun 2010

No Bank Syariah Jumlah Wakaf Uang1 BNI syariah 370.434.0002 Bank Syariah Mandiri 927.806.7323 Muamalat 96.100.6214 DKI Syariah 185.154.3005 Bank Mega Syariah 173.496.865

Total 1.752.992.968

Sumber: Laporan Keuangan BWI 2010

Penghimpunan wakaf uang yang dilakukan BWI pada tahun 2010 ini mengalami kenaikan dua ratus persen lebih dibanding tahun 2009. Dari sisi persentase memang termasuk keberhasilan yang patut diapresiasi. Namun, pada sisi lain, besaran nominal penghimpunan wakaf uang yang dilakukan BWI masih belum begitu besar. Perolehan ini tidak sebanding dengan potensi wakaf uang yang begitu besar, yang diperkirakan kurang

Page 18: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _619

lebih Rp. 3 Triliun per tahun.16 Meski begitu, tetap saja perkembangan wakaf uang pada tahun 2010 ini jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Tetapi, sayangnya antusiasme dan gairah penghimpunan wakaf uang ini tidak tampak pada tahun berikutnya, 2011.

Pada tahun 2011 perolehan wakaf uang di BWI terbilang lesu. Setidaknya hal ini terlihat pada data pengumpulan wakaf yang terdata pada tahun 2011. Total perolehan wakaf uangnya sebesar Rp. 1.037.567.866. Jika tahun 2010, pengumpulan wakaf uang berhasil naik 200% lebih, seharusnya tahun 2011 setidaknya menyamai, bukan malah turun. Berikut ini adalah tabel penghimpunan wakaf uang pada tahun 2011.

Penghimpunan Wakaf Uang BWI Tahun 2011

No Bank Syariah Jumlah Wakaf Uang1 BNI syariah 56.750.0002 Bank Syariah Mandiri 831.838.7573 Muamalat 93.422.4934 DKI Syariah 25.491.8915 Bank Mega Syariah 30.064.725

Total 1.037.567.866

Sumber: Laporan Keuangan BWI 2011

Menurunnya perolehan wakaf uang pada tahun 2011 ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, habisnya masa periode kepengurusan. Periode kepengurusan BWI yang pertama adalah 2007-2010. Karena itu, pengurus BWI tidak dapat melakukan tugas-tugas fungsional karena tidak adanya legitimasi Surat Keputusan, SK) Presiden RI yang baru, sebab SK yang lama sudah berakhir. Jadi, praktis pada tahun 2011 itu tidak ada kegiatan yang berkaitan dengan fundraising wakaf uang. SK Presiden RI baru turun pada semester kedua tahun 2011. Karena itu, banyak agenda kegiatan yang terpaksa ditangguhkan karena tidak adanya legitimasi kepengurusan. Inilah penyebab utama mandegnya penghimpunan wakaf uang di BWI tahun 2011.

Page 19: Buku Jurnal 7.4.pdf

620_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Kedua, tidak ada promosi di media massa. Kekosongan pengurus ini berakibat pada aktifitas yang lain, seperti pemasangan iklan di media massa. Praktis pada tahun 2011 BWI tidak melakukan promosi wakaf uang, khususnya di media massa baik cetak maupun elektronik. Kalaupun ada itu hanya melalui penyebaran pers rilis kegiatan BWI ke berbagai media. Sepanjang tahun 2011, promosi hanya dilakukan pada momentum bulan Ramadan. Bersama dengan bank syariah penerima wakaf uang, BWI melakukan promosi melalui pemasangan spanduk himbauan untuk berwakaf uang. Spanduk ini dipasang di 500 titik strategis di wilayah DKI Jakarta. Ini dilakukan karena antusiasme masyarakat untuk berderma di bulan Ramadan jauh lebih besar daripada bulan-bulan yang lain. Kondisi ini pun dirasakan oleh BSM. Meski tanpa adanya promosi khusus, pada bulan Ramadan 1432H, 2011 M) BSM mampu mengumpulkan wakaf uang sebesar Rp. 400.000.000.

Ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk berwakaf uang sudah mulai tumbuh. Tinggal bagaimana merancang strategi dan mengemas pola fundraising wakaf uang yang tepat. Berhasil atau tidaknya tergantung pada strategi yang telah disusun. Bukti tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk berwakaf uang ini juga dapat dilihat dari antusiasme masyarakat dalam berwakaf uang ke nazir lain di luar BWI. Selain BWI, ada beberapa nazir wakaf uang yang juga gencar melakukan pengumpulan wakaf uang. Hasil wakaf uang yang berhasil dihimpun pun tak kalah dengan BWI, bahkan ada yang melebihinya. Berikut ini adalah hasil perolehan wakaf uang yang berhasil dihimpun oleh Baitul Mal Muamalat, BMM), Pos Keadilan Peduli Umat, PKPU), dan Yayasan Wakaf Bangun Nurani Bangsa, YWBNB).

Page 20: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _621

Penghimpunan Wakaf Uang oleh Nazhir LainTahun 2008-2010

TAHUN BMM PKPU YWBNB2008 84,157,614 267,470,000 4,709,829,7752009 60,328,241 487,732,365 7,819,031,2302010 98,130,618 660,422,315 8,813,076,550Total 242,616,473 1,415,624,680 21,341,937,555

Sumber: Laporan Keuangan BMM, PKPU, YWBNB 2008-2010

Tabel penghimpunan wakaf uang di atas menunjukkan adanya keragaman rata-rata perolehan wakaf uang yang dilakukan oleh beberapa nazir selain BWI. Ada yang berhasil mencapai puluhan juta rupiah, ratusan juta rupiah, bahkan ada yang mampu menembus angka milyaran rupiah. Bila dibandingkan dengan BWI, nazir BMM dan PKPU perolehannya jauh lebih kecil. Tetapi, jika dibandingkan dengan YWBNB, perolehan wakaf uang yang berhasil dihimpun oleh BWI tertinggal jauh. Jumlah wakaf uang yang dihimpun oleh YWBNB tahun 2008 saja sudah mencapai 4,7 miliar rupiah. Jumlah angka ini belum pernah diraih oleh BWI.

Keberhasilan penghimpunan wakaf uang ini, menurut Ketua Umum YWBNB Gufron Sumariyono, disebabkan oleh adanya kontribusi alumni pelatihan Emotional Spiritual Quotient, ESQ).17 Usai mengikuti pelatihan ESQ, para alumni dihimbau agar menyisihkan sebagaian penghasilannya untuk diwakafkan ke YWBNB. Agar mereka tertarik dan bersedia berwakaf, YWBNB membentuk satu divisi khusus fundraising yang bertujuan untuk menjaring calon wakif yang berasal dari para alumni pelatihan ESQ. Inilah salah satu langkah jitu yang belum dimiliki dan dilakukan oleh BWI. Berdasarkan pengamatan peneliti tentang pola fundraising wakaf uang di BWI, 2009-2011), ternyata menunjukkan bahwa fundraising wakaf uang tidak ditangani oleh divisi secara khusus, tetapi dikerjakan oleh tim kecil lintas divisi yang diberikan tugas untuk mengumpulkan wakaf uang.

Page 21: Buku Jurnal 7.4.pdf

622_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Kelemahan dari model ini adalah anggota tim tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam pengumpulan wakaf uang, sebab dia juga disibukkan oleh urusan lain terkait dengan divisinya masing-masing. Di samping itu, rencana penghimpunan wakaf uang hanya disusun oleh BWI dengan tidak melibatkan pihak lain. Padahal, pada praktiknya, BWI seringkali dibantu oleh bank syariah penerima wakaf uang dalam promosi dan fundraising wakaf uang. Seharusnya, dalam merancang strategi fundraising, BWI perlu duduk bersama dengan pihak bank syariah selaku penerima setoran wakaf uang. Ini penting karena menyangkut kepentingan kedua institusi tersebut. Sinergi ini penting terutama untuk menutupi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan satu sama lain.

D. Alternatif Model Pengumpulan Wakaf Uang

Metode pengumpulan wakaf uang yang sudah dilakukan oleh BWI harus terus diperbaiki dengan beberapa catatan yang sudah dibahas di atas. Dengan begitu, efektifitas penghimpunan wakaf uang dapat lebih dioptimalkan. Di samping itu, juga sangat penting, perlu adanya inovasi model fundraising yang dapat dilakukan secara bersama-sama, baik pihak BWI maupun LKS PWU. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penggalangan melalui Keanggotaan, Membership)

Keanggotaan adalah upaya penggalangan wakaf uang dengan cara merekrut individu atau kelompok menjadi donatur tetap, anggota lembaga atau partisipan program.18 Bisanya, strategi penggalangan dana dengan sistem keanggotaan umumnya dilakukan oleh lembaga yang mempunyai basis anggota atau mengandalkan donor individual atau lembaga sebagai pendukung pendanaannya. Pada ranah ini, bank syariah jelas mempunyai nasabah yang sangat banyak. BWI dengan bank syariah dapat memanfaatkan nasabah tersebut sebagai donator tetap wakaf uang. Penyetoran wakaf uang akan lebih mudah, karena pihak bank syariah tinggal menggunakan system auto debet langsung dari rekening nasabah. Semakin banyak anggota yang

Page 22: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _623

bergabung, semakin banyak wakaf uang yang terhimpun. Dengan interval tertentu dan berkelanjutan lembaga dapat terbantu mengatur aliran dana masuk maupun keluar dengan menyesuaikan kebutuhan sesuai program yang telah dicanangkan.

Model ini akan dilengkapi dengan sesuatu yang dapat mengidentifikasi sekaligus menjadi kenang-kenangan dan penghargaan kepada anggota, member) seperti kartu anggota, merchandise, newsletter atau buletin sebagai media informasi dan jaringan pelayanan. Semuanya dapat dioptimalkan sehingga menghasilkan pemasukan, income) bagi lembaga. Hal ini bisa dilakukan dengan mengalokasikan sedikit ruang sebagai sarana promosi individu atau lembaga, perusahaan yang bersedia menjadi pendukung, sponsor) BWI. Mengamati kecenderungan marketing saat ini, model keanggotaan merupakan penerapan dari community marketing atau pemasaran berbasis komunitas. Hal ini juga merupakan upaya membangun dan memelihara hubungan serta pola komunikasi atau customer relationship management antara perusahaan dengan pelanggannya dalam rangka aktivitas komersial, pemerintah dengan masyarakat dalam aktivitas kenegaraan dan tentunya organisasi dengan konstituen dalam aktivitas sosial.

Lembaga yang berhasil menerapkan pengelolaan anggota atau berbasis keanggotaan kemudian mendapat sebutan sebagai lembaga berbasis keanggotaan, membership organization), konstituen atau komunitas antara lain: Forest Stewardship Council, FSC) dan Pan European Forest Council, PEFC) yang merupakan organisasi standard kehutanan di tingkat internasional. Sedangkan di dalam negeri lembaga yang menerapkan model ini antara lain Dompet Dhuafa dan Yayasan Darut Tauhid. Saat ini, Dompet Dhuafa memiliki lebih dari 30.000 anggota sebagai donator tetap, dan Yayasan Darut Tauhid mempunyai kurang lebih 25.000 donatur tetap.19 Mereka menjadi andalan dalam penopang pendapatan dana sosial bagi masing-masing lembaga.

Page 23: Buku Jurnal 7.4.pdf

624_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

2. Penawaran Partisipasi melalui Direct Mail.

Direct mail merupakan kegiatan penyampaian pesan dari BWI kepada calon donatur atau donator wakaf uang melalui surat yang langsung diterima secara personal, sehingga donatur akan bersedia mendonasikan dana atau sumber daya material lainnya kepada BWI. Model ini dirancang khusus dalam rangka mencapai daya pengaruh yang spesifik untuk mencapai tujuan yang diinginkan BWI. Sebagai salah satu alat komunikasi, direct mail juga bermanfaat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat terkait perkembangan institusi.20 Misalnya untuk menyampaikan informasi tentang program baru yang akan dilakukan oleh BWI.

Pada tahap implementasi, BWI perlu berkoordinasi dengan bank syariah untuk memberikan informasi data nasabah yang memungkinkan untuk diprospek melalui direct mail. Selain itu, data prospek juga dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: buku agenda, direktori, kartu nama, iklan di media, kartu nama, dan lain-lain. Model ini tidak hanya berfungsi untuk menambah donator, tetapi juga untuk memelihara donatur yang ada. Tidak ada gunanya lembaga setiap hari mencetak donatur baru, tetapi pada saat yang sama BWI juga kehilangan donatur lamanya.

Bahkan, lebih fatal lagi kalau jumlah donatur yang pergi lebih banyak daripada donatur baru yang datang. Kepergian donatur apalagi disertai kekecewaan akan menjadi bahan kampanye buruk yang akan mengganggu kinerja lembaga pada masa selanjutnya. Kondisi ini juga bisa menggerogoti perolehan donasi yang ada. Akan lebih baik mampu memelihara donatur lama dengan baik meskipun tanpa menambah donatur baru, daripada terus menambah donatur baru tetapi disertai kepergian donatur lama karena kekecewaan.

3. Menggunakan Jasa Relawan

Berbagai lembaga sosial lebih banyak melibatkan relawan sebagai tenaga teknis dalam even besar maupun kecil. Belum banyak institusi

Page 24: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _625

yang mencoba memaksimalkan relawan yang dimilikinya untuk membantu menggalang dana ataupun sumber daya lainnya. Beberapa lembaga yang memiliki divisi relawan juga mandeg atau terfokus pada upaya perekrutan, tanpa diikuti oleh pengembangan relawan, baik dalam bentuk pelatihan dan sebagainya. Juga, belum banyak ditemui lembaga yang memberikan pelatihan atau pembekalan mengenai teknik penggalangan dana kepada relawannya. Ini yang pelu dibenahi, jadi relawan sejatinya dapat pula diberdayakan dalam fungsi penggalangan dana.21

BWI dalam ini termasuk lembaga yang sudah memanfaatkan jasa relawan untuk kegiatan penggalangan dana wakaf. Ini sudah dijalankan pada program fundraising pada bulan Ramadhan 1432, 2011 M). Sayangnya, penempatan relawan tidak merata. Relawan hanya ditempatkan di Bank Syariah Mandiri. Memang terbukti efektif, dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, dan relawan hanya ditempatkan di dua kantor cabang BSM, mereka dapat mengumpulkan wakaf uang kurang lebih Rp. 300.000.0000. Jumlah ini akan bertambah secara signifikan jika BWI mempunyai relawan yang cukup banyak untuk ditempatkan di kantor-kantor bank syariah penerima wakaf uang.

Jelas, dalam hal penggalangan dana dan sumber daya, para relawan sebenarnya punya peran yang cukup besar. Dari pengalaman berbagai lembaga sosial yang berhasil menggalang dana dalam jumlah besar, terbukti bahwa donasi bisa terjaring berkat bantuan para relawan yang bekerja secara giat dan ulet. Sudah ada beberapa lembaga sosial yang berhasil menggalang dana dengan menggunakan cara ini. Dompet Sosial Umul Quro, DSUQ) Bandung misalnya, merekrut para mahasiswa, karyawan dan pimpinan perusahaan sebagai donatur sekaligus relawan. Mereka berperan mencari donatur baru dan mengkoordinir pengumpulan dana dari para donatur yang ada diperusahaan atau tempat tinggalnya. Mereka juga membantu pekerjaan operasional harian dan dilibatkan dalam berbagai

Page 25: Buku Jurnal 7.4.pdf

626_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

kegiatan sosial yayasan. DSUQ juga merekrut beberapa dokter untuk membantu mengelola klinik kesehatan murah bagi masyarakat.

Dengan bantuan mereka, upaya pengumpulan dana, operasional yayasan, serta berbagai kegiatan sosial bisa dilakukan secara efektif dan efisien. Pola yang sama juga dilakukan oleh Yayasan Darut Tauhid, Bandung), Yayasan Dana Sosiial Al Falah Surabaya, Mer-C jakarta, dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika Jakarta.

4. Memanfaatkan Dana Perusahaan

Sejak disahkannya Undang-undang PT, Perseroan Terbatas) Nomor 40 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 93/2010 tentang Pemotongan Pajak untuk Penyumbang, perusahaan terkesan berlomba-lomba dalam menggelontorkan dana sosialnya. Inilah peluang yang perlu ditangkap oleh BWI dalam menjaring wakaf uang. Undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan untuk mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk kepentingan masyarakat sekitar atau stakeholder. Undang-undang ini telah merubah paradigma CSR yang awalnya bersifat suka rela menjadi wajib, khususnya bagi perusahaan yang mengeksplorasi sumber daya alam. Mereka dituntut untuk menyisihkan keuntungannya untuk kegiatan-kegiatan sosial bagi masyarakat sekitarnya maupun masyarakat konstituennya.

Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan, bahwa CSR dan profitabilitas perusahaan mempunyai hubungan positif yang berarti bahwa pelaksanaan CSR secara singnifikan memberikan kontribusi positif terhadap profitabilitas perusahaan.22 Jadi, pelaksanaan CSR akan memberikan konstribusi positif dengan kinerja keuangan perusahaan, serta pelaksanaan CSR akan meningkatkan nilai perusahaan dilihat dari harga saham dan laba perusahaan, earning).

Dengan demikian, perusahaan merupakan salah satu sumber dana sosial yang potensial bagi lembaga nirlaba atau sosial. Sebelum terbitnya Undang-undang PT, potensinya juga cukup besar, apalagi

Page 26: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _627

sekarang. Berdasarkan data potensi derma perusahaan tahun 2004 menunjukkan, semakin tingginya kesadaran perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya, yang salah satunya melalui pemberian hibah atau donasi, in kind, produk, tempat, keterampilan, jaringan, dll.), serta bentuk-bentuk sumbangan lainnya. Saat itu tercatat bahwa 93% perusahaan memberikan sumbangan dalam 3 tahun terakhir, dengan jumlah rata-rata sumbangan Rp 236 juta/tahun, perusahaan multinasional) dan Rp 45 juta/tahun, perusahaan lokal).23 Sementara data yang dirilis oleh Menko Kesra menyatakan bahwa sumbangan perusahaan untuk program pemberdayaan dan sosial mencapai 20 triliun. Sebagian besar dana itu dialokasikan untuk program UMKM yang besarnya mencapai Rp 8,38 triliun.24

Momentum kegairahan perusahaan dalam melaksanakan CSR ini dapat dimanfaatkan oleh BWI untuk menggalang dukungan dan kemitraan dengan perusahaan. Lembaga nirlaba seperti BWI dapat membantu perusahaan dalam menjalankan program-program sosialnya. Mereka umumnya memiliki kapasitas terbatas dalam melaksanakan program dan mencari mitra yang tepat dalam melaksanakan program CSR. Pada titik inilah, langkah BWI dalam penggalangan wakaf uang di perusahaan menemukan ceruknya. BWI dalam hal ini dapat melakukan banyak hal yang bisa membantu pelaksanaan program perusahaan, mulai dari melakukan riset awal atau asestment, memfasilitasi pertemuan perusahaan dengan masyarakat dalam perencanaan program, membantu pelaksanaan program, sampai dengan membantu memonitor dan mengevaluasi efektivitas programnya.

E. Kesimpulan

Kemitraan BWI dengan bank syariah dalam penghimpunan wakaf uang masih belum efektif. Dalam penghimpunan wakaf uang, penilaian efektifitas ini dianalisis dari dua variabel: kemudahan wakif dalam penyetoran dan hasil penghimpunan wakaf uang. Dengan adanya

Page 27: Buku Jurnal 7.4.pdf

628_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

kemitraan ini, wakif dengan leluasa dapat menyetorkan wakaf uang dimanapun dia berada dan kapanpun dia hendak menyetorkan. Tanpa harus bermitra secara khusus dengan bank syariah, nazir juga dapat melakukan hal ini dengan cara membuka rekening penyetoran wakaf uang di bank syariah. Kelebihan kemitraan yang dijalin BWI dengan bank syariah ini adalah soal administrasi penerimaan wakaf uang dan juga penerbitan Sertifikat Wakaf Uang yang menjadi wewenang bank syariah. Soal perolehan wakaf uang, saldo akhir tahun di rekening BWI juga tidak menunjukkan adanya kenaikan tiap tahun.

Karena itu, untuk memaksimalkan perolehan dalam penghimpunan wakaf uang, BWI perlu menggunakan cara-cara lain seperti: metode penggalangan melalui Keanggotaan, membership), penawaran partisipasi melalui direct mail, menggunakan jasa relawan, dan memanfaatkan dana perusahaan. Di samping itu, BWI juga perlu membuat divisi fundraising yang secara khusus bertugas untuk melakukan penghimpunan wakaf uang.

Page 28: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _629

Daftar Pustaka

Arsyad, Lincoln, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: STIE YKPN, 1999.

Burnett, Ken, Relationship Fundraising: a Donor Based approach to the business of Raising money, San Francisco: The White Lion Press, 2002.

Fitri Ismiyanti dan Putu Anom Mahadwartha, Kaitan CSR dengan Peningkatan Kinerja Perusahaan, Yogyakarta: Madania Press, 2006.

Heri Setiawan, dkk.,Membership Fundrising, Jakarta: 2006.

Juwaini, Ahmad, Panduan Direct Mail untuk Fundraising, Depok: Piramedia, 2005.

Mustafa E. Nasution dalam Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, 2005.

Mustafa E. Nasution, dkk. Pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang, Jakarta: BWI, 2010.

Safitri, Nurani Galuh, Panduan Manajemen Kerelawanan, Jakarta: Piramedia, 2005.

Sargeant, Andrian, Building Donor Loyalty: The Fundraiser’s Guide to Increasing Lifetime Value, San Francisco: Jossey Bass, 2004.

Subhi, Ahmad Jazuli, MembangunCitra Perusahaan, Meningkatkan Kepedulian Sosial, Yogyakarta: Cendekia Pusataka, 2009.

Tjiptono, Fandy, Strategi Pemasaran, Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997.

Warwick, Mal, Revolution in the Mailbox: Your Guide to Successful Direct Mail Fundraising, San Francisco: Jossey Bass, 2004.

Wawancara dengan Tutuy Guntara, Ketua Forum LKS-PWU.

Page 29: Buku Jurnal 7.4.pdf

630_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Wawancara dengan Hatifuddin, Staf Divisi Pengembangan Bisnis Retail.

Wawancara dengan Ani Murdiyati, Direktur Bisnis Mega Syariah.

Wawancara dengan Ahmad Hasan, Staf Grup Komersial dan Korporasi.

Wawancara dengan Hatifuddin, Staf Divisi Pengembangan Bisnis Retail.

Page 30: Buku Jurnal 7.4.pdf

Analisis Hasil dan Metode Fundraising Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia _631

Endnotes

1. Hasil wawancara dengan Tutuy Guntara, Ketua Forum LKS-PWU, 28 Juni 2011.

2. Hasil wawancara dengan Hatifuddin, Staf Divisi Pengembangan Bisnis Retail, 21 November 2011.

3. Hasil wawancara dengan Tutuy Guntara, Ketua Forum LKS-PWU dan juga Kepala Divisi Treasury dan Perbankan Internasional BSM, 28 Juni 2011.

4. Hasil wawancara dengan Tutuy Guntara, Ketua Forum LKS-PWU dan juga Kepala Divisi Treasury dan Perbankan Internasional BSM, 28 Juni 2011.

5. Hasil wawancara dengan Tutuy Guntara, Ketua Forum LKS-PWU dan juga Kepala Divisi Treasury dan Perbankan Internasional BSM, 28 Juni 2011.

6. Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997, h. 240.

7. Mustafa E. Nasution, dkk., Pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang, h. 16-17.

8. M.A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai; Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, h. 47-48.

9. Lincoln Arsyad, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: STIE YKPN, 1999, h. 68.

10. Mustafa E. Nasution, dkk., Pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang, h. 6.

11. Mustafa E. Nasution, dkk., ibid, h. 8.

12. Hasil wawancara dengan Tutuy Guntara, Ketua Forum LKS-PWU dan juga Kepala Divisi Treasury dan Perbankan Internasional BSM, 28 Juni 2011.

13. Hasil wawancara dengan Ani Murdiyati, Direktur Bisnis Mega Syariah, 2 Maret 2011.

14. Hasil wawancara dengan Ahmad Hasan, Staf Grup Komersial dan Korporasi, 9 Juli 2011.

15. Hasil wawancara dengan Hatifuddin, Staf Divisi Pengembangan Bisnis Retail, 21 November 2011.

Page 31: Buku Jurnal 7.4.pdf

632_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

16. Lihat perhitungan Mustafa E. Nasution dalam Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, 2005, h. 43-44.

17. YWBNB adalah nama yayasan yang didirikan untuk mewadahi para alumni pelatihan ESQ. Hasil wawancara dengan Gufron Sumariyono, Ketua Umum YWBNB, 16 Maret 2012.

18. Ken Burnett, Relationship Fundraising: a Donor Based approach to the business of Raising money, San Francisco: The White Lion Press, 2002, h. 31. Lihat juga, Heri Setiawan, dkk.,Membership Fundrising, Jakarta: 2006,h. 2.

19. Ken Burnett, Relationship Fundraising: a Donor Based approach to the business of Raising money, h. 51. Lihat juga, Heri Setiawan, dkk.,Membership Fundrising: Panduan Praktis Menggalang Dana Lewat Skema Keanggotaan bagi Organisasi Nirlaba, h. 3 dan 31.

20. Mal Warwick, Revolution in the Mailbox: Your Guide to Successful Direct Mail Fundraising, San Francisco: Jossey Bass, 2004, h. 7. Lihat juga, Ahmad Juwaini, Panduan Direct Mail untuk Fundraising, Depok: Piramedia, 2005, h. 19.

21. Andrian Sargeant, Building Donor Loyalty: The Fundraiser’s Guide to Increasing Lifetime Value, San Francisco: Jossey Bass, 2004, h. 27. Lihat juga, Nurani Galuh Safitri, Panduan Manajemen Kerelawanan, Jakarta: Piramedia, 2005, h. 8.

22. Fitri Ismiyanti dan Putu Anom Mahadwartha, Kaitan CSR dengan Peningkatan Kinerja Perusahaan, Yogyakarta: Madania Press, 2006, h. 92.

23. Ahmad Jazuli Subhi, MembangunCitra Perusahaan, Meningkatkan Kepedulian Sosial, Yogyakarta: Cendekia Pusataka, 2009, h. 99.

24. Ahmad Jazuli Subhi, MembangunCitra Perusahaan, Meningkatkan Kepedulian Sosial, h. 112.

Page 32: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _633

Questioning Professionalism Nazhir and Istibdal of Waqf Regulation

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdaldalam Regulasi Perwakafan

Ahmad Zainus SolehRabithah Maahid Islamiyah PBNU

email: [email protected]

Abstract: Waqf management today has developed quite rapidly, in terms of revenues, waqf

property, management, allocation, to the distribution of results. All of it, the central of

the waqf management is Nazhir. Nazhir waqf is prototype within the past and present

too, should be, different. However, in reality there are many Nazhir that can not adapt

to the development. As a result, the waqf property can not be used optimally. Not

only that, Nazhir find obstacles, when regulations concerning waqf assets can not go

together with the spirit of productivity and effectiveness developed in the management

of productive waqf. It can be perceived as an example in the case of istibdal. It needs

improvement regulation role in managing the potential endowments Nazhir to be

productive.

Abstraksi: Manajeman perwakafan dewasa ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,

baik dari segi penerimaan, harta benda wakaf, pengelolaan, peruntukan, hingga

penyaluran hasil. Semua itu, sentral dari manajemen wakaf tersebut adalah nazhir.

Prototipe nazhir wakaf yang dahulu dengan sekarang juga, seharusnya, berbeda.

Tetapi, pada kenyataannya masih banyak nazhir yang belum dapat beradaptasi

dengan perkembangan. Akibatnya, harta benda wakaf yang dikelolanya tidak dapat

dimanfaatkan secara optimal. Bukan hanya itu, nazhir menemukan rintangan, bila

Page 33: Buku Jurnal 7.4.pdf

634_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

regulasi yang menyangkut aset wakaf tidak dapat berjalan beriringan dengan semangat

produktifitas dan efektifitas yang dikembangkan dalam pengelolaan wakaf produktif.

Hal ini sebagai contoh dapat dirasakan dalam perkara istibdal. Perlu terobosan regulasi

untuk meningkatkan peran nazhir dalam mengelola potensi wakaf menjadi produktif.

Keywords: nazhir, nazhir professional, istibdal, swaps, asset waqf/endowments, mauquf alaih.

A. Pendahuluan

Kata nazhir berasal dari bahasa Arab nazhara, yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Isim fail (pelaku) dari kata nazhara adalah nâzhir, yang artinya penjaga atau pengawas. Secara terminologi, nazhir wakaf adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf. Jadi, tidak hanya person yang terdiri dari satu orang saja.

Dari pengertian tersebut, nampak bahwa dalam perwakafan, nazhir memegang peranan yang sangat penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, jika mungkin dikembangkan. Penyerahan pengelolaan harta wakaf merupakan hak wakif, baik diserahkan kepada perorangan (minimal 3 orang), organisasi atau badan hukum. Dalam hal ini pemerintah berwenang untuk campur tangan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan tentang perwakafan sekaligus pengawasannya.

Lalu, siapakah yang berhak menjadi nazhir? Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah hak penunjukan atau pengangkatan Nazhir, secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa nazhir boleh dilakukan oleh wâqif (pemberi wakaf) sendiri, atau ia menunjuk orang lain sebagai nazhir.

Page 34: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _635

Kalau tidak demikian, maka pemerintah (hakim) yang akan menunjuk atau menetapkan Nazhirnya.1

Kedua, berdasarkan pendapat madzhab Syafi’iyah, ada tiga model dalam penunjukan dan pengangkatan Nazhir; dilakukan oleh pihak waqif, oleh pihak mauquf ‘alaih, dan oleh pemerintah.2 Ketiga, Madzhab Malikiyah berpendapat, bahwa waqif tidak boleh menunjuk atau mengangkat dirinya sendiri sebagai nazhir wakafnya, agar tidak memberikan kesan seakan-akan ia wakaf untuk dirinya sendiri, atau karena lamanya waktu ia dikhawatirkan akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari tujuan wakaf.

Keempat, madzhab Hanabilah mengatakan, bahwa yang boleh menjadi nazhir adalah mauqûf ‘alaih apabila ia merupakan seseorang tertentu, seperti: Ahmad atau Agus. Apabila mauquf ‘alaih itu terdiri dari beberapa orang tertentu, maka masing-masing mareka menjadi nazhir sesuai dengan bagian wakaf yang ditetapkan untuknya. Tetapi apabila wakaf tersebut untuk orang-orang yang tidak tertentu--seperti; orang-orang fakir, atau orang-orang miskin, atau para ulama, atau mujahidin atau wakaf untuk fasilitas umum, seperti; mesjid, madrasah, pondok pesantren--maka yang menjadi nazhir adalah pemerintah atau yang mewakilinya.3

Mayoritas ulama sunni menetapkan syarat-syarat nazhir sebagai berikut:

1. Islam (al-Islam), sebab nazhir merupakan suatu kekuasaan, dan tidak layak orang kafir memegang jabatan membawahi urusan orang muslim.

2. Berakal sehat (al-‘aql) sehingga tidak sah apabila orang gila menjadi nazhir.

3. Dewasa (al-bulugh), dan tidak sah mengangkat anak kecil (belum dewasa) menjadi nazhir.

4. Adil (al-‘adalah), dalam arti menjaga diri dari perbuatan dosa besar

Page 35: Buku Jurnal 7.4.pdf

636_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dan atau membiasakan perbuatan dosa kecil, seta amanah/ juju dan bertanggungjawab, sehingga tidak boleh mengangkat orang yang suka berbuat dosa dan tidak jujur menjadi nazhir .

5. Mampu (al-kafa’ah), dalam arti seorang nazhir harus dapat melakukan tugas-tugas kenazhirannya secara professional dan kompeten.4

Di lingkungan empat madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) terdapat perbedaan pendapat tentang “syarat adil” bagi nazhir. Menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah, menyatakan tidak perlu adanya syarat adil bagi nazhir, tapi cukup dengan syarat “amanah”.5 Tetapi madzhab Syafiiy mengharuskan adanya syarat adil bagi nazhir.6

Di Indonesia, berdasarkan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, tidak ada ketentuan bagi nazhir, apakah dia adalah wakif, mauquf alaih, atau orang lain di luar unsur tersebut. Berarti, di Indonesia siapapun boleh menjadi nazhir, termasuk wakif pun bisa berperan sebagai nazhir. Jika mereka berhak menjadi nazhir, pertanyaan terkahir adalah, apakah ia memenuhi persyarakatan sebagai nazhir?.

B. Nazhir dan Fungsinya Menurut UU

1. Perkembangan Tipologi Nazhir

Nazhir zaman sekarang berbeda dengan dahulu. Berdasarkan UU No. 41 Th. 2004, dijelaskan bahwa tipologi nazhir ada tiga macam: nazhir perorangan, nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum.

Nazhir perseorangan yang dikehendaki di sini adalah minimal terdiri dari tiga orang. Berarti, nazhir perseorangan bukanlah satu orang saja, tapi sekelompok orang yang minimal terdiri dari tiga orang, yang salah satunya diangkat sebagai ketua nazhir. Satu hal lagi, salah seorang nazhir perseorangan harus bertempat tinggal di kecamatan tempat benda wakaf berada. Dengan demikian, nazhir perseorangan tidak boleh menerima harta wakaf yang berada di luar wilayahnya.

Page 36: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _637

Menurut UU No. 41 tahun 2004, nazhir perseorangan itu harus memenuhi persyarakatan sebagai berikut: Warga Negara Indonesia (WNI), beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Jika sudah memenuhi persyaratan, seseorang dapat diangkat menjadi nazhir oleh Badan Wakaf Indonesia. Apabila dalam jangka waktu satu tahun setelah diangkat, nazhir tidak melaksanakan tugasnya, maka Kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul Wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian Nazhir.

Selain alasan di atas, nazhir dengan sendirinya juga dapat berhenti dari kedudukannya, apabila: meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh BWI.

Untuk nazhir organisasi dan badan hukum, keduanya tidak jauh berbeda. Baik nazhir organisasi maupun badan hukum wajib didaftarkan kepada BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, pendaftaran Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Kementerian Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/kabupaten/kota. Ketika mendaftar, keduanya harus memenuhi persyaratan berikut ini:

a. Organisasi atau badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam;

b. Pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan;

c. Salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada;

d. Memiliki:

1) salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar organisasi atau badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang;

Page 37: Buku Jurnal 7.4.pdf

638_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

2) daftar susunan pengurus;3) anggaran rumah tangga;4) program kerja dalam pengembangan wakaf;5) daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau

yang merupakan kekayaan organisasi atau badan hukum; dan6) surat pernyataan bersedia untuk diaudit.

Kehadiran nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangatlah penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan, organisasi, maupun badan hukum. Pengangkatan nazhir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.

Di Indonesia, nazhir wakaf (pengelola aset) belum banyak dilakoni secara profesional, karena kebanyakan Nazhir wakaf hanya kerja sampingan. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi, menunjukkan bahwa mayoritas nazhir di Indonesia tidak terfokus dalam mengelola, mereka menjadikannya sebagai pekerjaan sambilan dan tidak diberi upah (84 persen), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus amatlah minim (16 persen).7

Data ini memberikan arahan bahwa pengembangan wakaf harus dimulai dari meningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Nazhir, agar ia mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan tujuan wakaf dan memenuhi peruntukan wakaf. Nazhir profesional disyaratkan untuk memiliki pola pengelolaan yang amanah, bisa mempertanggungjawabkan secara administratif kepada publik dan dikelola oleh pemimpin yang mempunyai kemampuan human skill, human tehnical dan human relation. Human skill berkenaan dengan keahlian Nazhir dalam bidang tertentu yang berkenaan dengan amanah untu mengembangkan harta wakaf. Secara personal Nazhir haruslah orang-orang yang mempunyai

Page 38: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _639

reputasi dan kredibilitas moral yang baik, yaitu bersifat Jujur, adil dan amanah.

Pada tataran kompetensi keilmuan, seorang nazhir harus menguasai ilmu-ilmu fikih muamalah, khususnya yang berhubungan dengan wakaf. Selanjutnya, pemahaman terhadap ilmu ekonomi, seperti keuangan, manajeman, akutansi, dan ilmu ekonomi islam adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh Nazhir. Karena dengan pemahaman yang baik terhadap ilmu-ilmu tersebut, seorang Nazhir mampu merealisasikan maksud dan tujuan dari wakaf produktif.

Kecerdasan Nazhir dapat diberi standar, seperti standar pendidikan yang tinggi (terdidik), sehingga seluruh proses yang dilakukan dapat menghasilkan produk yang baik dan tidak merugikan orang lain. Nazhir juga harus memiliki ketrampilan lebih, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan memiliki kelebihan dibandingkan orang lain.

Nazhir juga dituntut memiliki kemampuan “human technical” berkenaan dengan kemampuan mengelola harta wakaf, yaitu pengelolaan dengan prinsip keterbukaan (transparansi). Nazhir harus membeberkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dibandingkan. Nazhir juga harus memegang prinsip akuntabilitas, yaitu menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap komponen organisasi agar selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi lembaga. Pada prinsip tanggung jawab (responsibility), seorang Nazhir harus memegang prinsip manajerial yang transaparan dan responsif.

Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya. Pada prinsip independensi, seorang Nazhir harus mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholders. Nazhir tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Ia harus bisa menghindari segala bentuk benturan kepentingan (conflict of interest).

Misalnya, dalam mengelola wakaf secara produktif, harta benda wakaf khususnya benda bergerak pasti mengandung risiko kerugian, bahkan

Page 39: Buku Jurnal 7.4.pdf

640_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

kegagalan. Investasi dana wakaf di instrumen-instrumen investasi Islami seperti obligasi syariah ataupun pada saham-saham perusahaan Islami yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index (JII), mengandung market-risk, yakni turunnya market-value dari investasi tersebut.

Penanaman modal langsung di sektor produksi, seperti agribisnis, real estate, perindustrian, perdagangan dan pertambangan, masing-masing memiliki karakteristik risiko yang berbeda, baik dari segi risiko usahanya maupun risiko yang terkait dengan proses bisnis dan produksinya. Namun, risiko bukan harus dihindari, justru harus dikelola agar potensi pengembangan dapat direalisasikan dengan memeperhitungkan dan mengendalikan risiko-risiko yang mungkin terjadi.

Dengan kata lain, nazhir berkewajiban menjalankan pengelolaan risiko (manajemen risiko) terhadap harta benda wakaf yang dipercayakan wakif kepadanya. Manajemen risiko merupakan pilar penting dalam tata kelola organisasi yang baik atau good corporate governance, yang mutlak harus diterapkan dalam pelaksanaan pengembangan wakaf benda bergerak.

Di samping itu, seorang nazhir juga harus memiliki “human relation” yang baik dalam membangun jaringan untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan wakaf. Pengembangan jaringan menjadi sesuatu yang asasi dalam mencapai tujuan produktif wakaf. Sebab, tanpa jejaring maka prinsip permintaan dan penyaluran (suply and demand) tidak dapat berjalan dengan stabil. Jaringan dapat dibangun melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama dapat juga diberbentuk kemitraan yang dibangun atas dasar saling menguntungkan, seperti investasi, membuka badan usaha, menggalang swadaya umat dan cara lainnya yang dapat membangun jaringan pengembangan wakaf.

Untuk lebih jelasnya, prasyarat nazhir wakaf profesional adalah sebagai berikut:

a. Syarat moral, meliputi:

1) Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan

Page 40: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _641

syari’ah maupun perundang-undangan negara RI.2) Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses

pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf.3) Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha.4) Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan.5) Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual.

b. Syarat manajemen, meliputi:

1) Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership.

2) Visioner.3) Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan

pemberdayaan.4) Profesional dalam bidang pengelolaan harta.5) Ada masa bhakti nazhir.6) Memiliki program kerja yang jelas.

c. Syarat bisnis, meliputi:

1) Mempunyai keinginan.2) Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan.3) Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya

entrepreneur.

Seorang nazhir profesional harus memenuhi syarat-syarat di atas, sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan maksimal dan optimal sesuai dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin secara umum. Dengan begitu, pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif seperti yang terjadi pada masa lalu tidak terulang lagi.

Untuk itu, dalam persoalan nazhir ini, ada beberapa istilah yang harus dirubah paradigmanya, yaitu dari pengelolaan yang bersifat konsumtif menuju pengelolaan yang bersifat produktif. Dari nazhir tradisional yang mendasarkan kepada kepercayaan semata menuju nazhir profesional

Page 41: Buku Jurnal 7.4.pdf

642_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing. Serta memberdayakan dari nazhir perseorangan menuju nazhir badan hukum agar mudah pertanggung jawabannya.

2. Nazhir dan Profesionalisme

Lebih luas lagi dijelaskan, bahwa dalam pelaksanaanya, agar nazhir dapat bekerja secara profesional dalam mengelola wakaf, maka nazhir harus memiliki beberapa kemampuan, antar lain:

a. Memahami hukum wakaf dan peraturan perundang-undangan yang terkait masalah perwakafan. Seorang nazhir sudah seharusnya memahami dengan baik hukum wakaf yang ada dalam syari’at Islam dan dalam perundang-undangan positif di Indonesia. Tanpa memahami hal-hal tersebut, dipastikan nazhir tidak akan mampu mengelola wakaf dengan baik dan benar.

b. Memahami ilmu pengetahuan mengenai ekonomi syari’ah dan instrumen keuangan syari’ah. Wakaf adalah salah satu lembaga ekonomi Islam yang sangat potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang nazhir, khususnya nazhir wakaf uang, dituntut memiliki dan memahami ekonomi syari’ah dan instrumen keuangan syari’ah.

c. Memahami praktik perwakafan di berbagai negara. Dengan demikian yang bersangkutan mampu melakukan inovasi dalam mengembangkan harta benda wakaf.

d. Mengakses ke calon wakif dan investor. Idealnya pengelola wakaf (nazhir) adalah lembaga yang ada kemampuan melakukan akses terhadap calon wakif dan investor, sehingga nazhir mampu mengumpulkan dan mengembangkan harta benda wakaf, serta mengajak kerjasama dengan para investor. Kondisi demikian jelas akan sangat membantu terkumpulnya dana wakaf yang cukup besar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat.

Page 42: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _643

e. Mengelola keuangan secara profesional dan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, seperti melakukan investasi dana wakaf. Investasi ini dapat berupa investasi jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

f. Melakukan administrasi rekening beneficiary. Persyaratan ini memerlukan teknologi tinggi dan sumberdaya manusia yang handal.

g. Melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf. Di samping mampu melakukan investasi, diharapkan nazhir juga mampu mendistribusikan hasil investasi dana wakaf kepada mauquf ‘alaih. Diharapkan pendistribusiannya tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi dapat memberdayakan mauquf ‘alaih.

h. Mengelola dana wakaf secara transparan dan akuntabel.8

Di antara beberapa persyaratan dan kualifikasi nazhir profesional yang telah disebut di atas, ada hal yang harus lebih ditekankan di sini adalah transparansi dalam pengelolaan dana wakaf. Karena dana wakaf bukan milik sebuah perusahaan, namun milik umat secara umum, maka harus ada keterbukaan dalam mengelolanya. Harus lebih terbuka dan lebih melibatkan segala unsur umat dibandingkan dengan perusahaan publik. Artinya, siapa saja mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk mengetahui secara detail tentang lalu lintas dana, pemasukan dan pengeluaran, serta jenis-jenis penggunaan sampai detail apa saja.

Tidak ada alasan untuk menolak anggota umat untuk mengetahuinya. Sudah barang tentu, tujuannya di samping menghindari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, juga untuk menghindari tidak efisien yang disebabkan oleh faktor non-KKN, seperti kurang tepatnya membuat skala prioritas, kurang adilnya pemanfaatan bantuan kepada umat yang membutuhkannya.

Pada dasarnya, bukan hanya transparansi itu saja, namun sekaligus juga ada “audit publik” yang memang pelakunya dapat dipertanggung jawabkan baik secara administratif maupun secara agama. Dengan

Page 43: Buku Jurnal 7.4.pdf

644_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

cara seperti ini, ungkapan “dana umat” bukan isapan jempol belaka, bukan pula untuk sekedar mengelabuhi masyarakat, terlebih lagi untuk mengelabuhi orang-orang yang telah berderma memberikan hartanya sebagai wakaf.

Melalui sistem manajemen profesional, di samping taat pada ketentuan kerjanya yang juga meliputi visi dan misinya juga perlu dengan transparansi pengalokasian dana untuk biaya administrasi atau manajemen, termasuk honorarium tenaga yang menjalankan administrasi atau manajemen secara profesional. Sudah barang tentu harus disadari bahwa bekerja dalam manajemen dana umat ini tidak identik dengan bekerja dalam perusahaan atau bisnis.

Itulah sebabnya, ungkapan mengelola harta wakaf dengan modal ikhlas, lillahi ta’ala dan semacamnya harus dikonstruksi ulang dan diperbaiki, baik dalam tampilan administratif maupun dalam pertanggung jawaban akhirat. Justru ungkapan tersebut memerlukan penanganan secara transparan dan profesional. Di sini perlu dipisahkan antara mereka yang bekerja dalam administrasi atau manajemennya dan mereka yang menjadi pengurus wakaf. Tidak campur aduk yang menyebabkan tidak adanya profesionalisme dalam pengelolaannya atau bahkan terjadi pengkaburan atau penyalahgunaan, seperti yang terjadi pada kebanyakan pengelolaan harta wakaf selama ini. Karena itu, perlu digarisbawahi bahwa tidak mudah menjadi nazhir, dan tidak semua orang idealnya dapat ditunjuk menjadi nazhir.

Sesuai dengan aturan yang berlaku (UU Nomor 41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006), semua nazhir tersebut (baik perseorangan, organisasi maupun badan hukum), wajib mendaftarkan diri pada Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Menteri Agama (Menag) RI melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Saat ini, berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI) per Desember 2011, sudah ada 66 nazhir tanah wakaf yang telah mendaftar secara resmi kepada BWI. Selebihnya, mereka hanya tercatat di Kantor Urusan Agama. Berikut ini adalah

Page 44: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _645

jumlah nazhir harta benda tidak bergerak berupa tanah (berdasarkan daerah) yang telah diterbitkan surat tanda bukti pendaftaran nazhir oleh BWI dari tahun 2008 sampai 2011 sejumlah 66 nazhir dengan rincian sbb.:

Data Nazhir Tanah Wakaf yang Terdaftar di BWI

No Daerah Jumlah1 Jakarta Barat 32 Jakarta Pusat 183 Jakarta Selatan 84 Jakarta Timur 95 Kabupaten Bekasi 36 Kota Tangerang 17 Tangerang Selatan 18 Kota Serang 19 Kota Sukabumi 310 Kabupaten Sukabumi 111 Kabupaten Karawang 312 Kabupaten Cirebon 113 Kota Cirebon 214 Kota Pekalongan 115 Kabupaten Kudus 116 Kabupaten Kendal 117 Kabupaten Magelang 118 Kabupaten Rembang 119 Kabupaten Jombang 220 Kota Pangkal Pinang 121 Kota Bukittinggi 322 Kota Pontianak 1

Sumber: Litbang BWI, 2012

Sedangkan untuk nazhir “wakaf uang” yang telah terdaftar di BWI (hingga Desember 2011) sebanyak tiga yaitu:

1. Yayasan Badan Wakaf Sultang Agung, Semarang. 2. Yayasan Haji Sepanjang Hayat, Jakarta.3. Lembaga Wakaf Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Page 45: Buku Jurnal 7.4.pdf

646_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Sebenarnya, daftar saja tidak cukup, agar harta benda wakaf dapat dikelola oleh nazhir yang tepat dan punya kualifikasi yang hebat, maka perlu adanya sertifikasi nazhir profesional. Ini bukan berarti menafikan pendaftaran nazhir. Sekali lagi, bukan. Ini adalah langkah untuk menciptakan nazhir yang mumpuni (qualified) dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Jadi, nazhir yang sudah terdaftar tersebut, harus dilatih dengan berbagai kemampuan terkait dengan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Setelah itu, mereka harus mengikuti ujian sertifikasi yang idealnya dilakukan oleh BWI. Konsepnya adalah penyelenggara pelatihan dari lembaga manapun, tapi ujian sertifikasi dan penerbitan sertifikatnya menjadi wewenang BWI. Dengan begitu diharapkan kualitas nazhir harta benda wakaf di Indonesia dapat mengalami peningkatan kualitas. Jika kualitas nazhir membaik, secara otomatis juga akan membawa kemajuan bagi perkembangan pengelolaan harta benda wakaf di Indonesia.

Bukti lulus sertifikasi ini tidak berlaku selamanya, tapi masanya selama ia berperan sebagai nazhir. Sesuai dengan pasal 14 PP Nomor 42 Tahun 2006, masa jabatan seorang Nazhir adalah selama lima tahun dan dapat diangkat kembali. Seorang nazhir dapat diganti apabila: habis masa jabatannya, meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia.9 Tugas penggantian nazhir ini di BWI diserahkan kepada Divisi Pembinaan Nazhir. Sejak tahun 2008 sampai 2011, tercatat sebanyak 60 keputusan persetujuan penggantian yang telah tetapkan oleh BWI.

3. Rasio Imbalan bagi Nazhir

Jika telah terdaftar, lalu dalam menjalankan tugasnya, apakah nazhir-nazhir tersebut secara fikih diperbolehkan untuk memperoleh imbalan? Para ulama fikih dari berbagai madzhab menyetujui pemberian imbalan kepada Nazhir yang mengelola harta benda wakaf. Meski begitu, ada perbedaan di antara mereka tentang jumlah imbalan yang diberikan, dan dari mana dana imbalan itu dikeluarkan. Rujukan dalil terkait masalah

Page 46: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _647

ini antara lain pernyataan Umar bin Khathab, “Tidak dilarang bagi orang yang mengurusinya (nazhir) untuk mengambil makan dari (hasil) harta wakaf dengan cara yang baik, atau untuk memberi jamuan kepada temannya, tanpa maksud mengambil kekayaan dari harta wakaf itu.10

Ulama fikih madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, maupun Hambali, sepakat tentang adanya imbalan yang sesuai (ujrah al-mitsl) bagi nazhir. Hanya saja ada perbedaan pendapat terkait dengan besarnya nominal atau persentase imbalandan juga sumber dana imbalan. Perbedaan besaran imbalan ini yang diperselisihkan adalah ditentukan sendiri atau dari pihak wakif, atau hakim. Sementara, untuk sumber dana imbalan, yang menjadi perselisihan adalah dana imbalan tersebut berasal dari baitul maal atau hasil bersih pengelolaan.11

Terlepas dari perdebatan tersebut, dalam UU No. 41 tahun 2004 ditetapkan bahwa imbalan nazhir wakaf adalah maksimal 10 persen dari hasil pengelolaan. Terkait dengan hal ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa ketentuan 10 persen dari hasil bersih pengelolaan dan pengembangan harta wakaf untuk imbalan Nazhir itu didasarkan atas anggapan bahwa imbalan 10 persen itu dianggap sebagai upah standard (ujrah al-mitsl) atau kebiasaan (al-‘urf) di daerah tersebut. Dalam prakteknya, misalnya di Mesir, ketentuan imbalan 10 persen itu sering dilanggar, sebab persentasenya tidak diambil dari hasil bersih, tapi dari hasil kotor sebelum dipotong pajak dan lain-lain, dan ditambah lagi dengan tunjangan ini dan itu, sehingga imbalan tersebut bias menjadi 15 persen atau lebih.12

Masalah yang timbul kemudian adalah bagaimana jika harta benda wakaf tersebut hasilnya sangat sedikit sekali atau malah tidak memberi hasil apa-apa, seperti harta benda wakaf berupa tanah musola atau tanah pemakaman di desa-desa maka dari mana imbalan tersebut diambil? Apakah Nazhir harus bekerja dengan sukarela (tabarru’) seperti yang umumnya terjadi seka-rang, atau Nazhir harus tetap dicarikan imbalan yang wajar dari kas lembaga lain, baik pemerintah

Page 47: Buku Jurnal 7.4.pdf

648_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

atau swasta (yayasan-yayasan)? Apa lagi untuk para Nazhir yang kondisi ekonominya sangat memerlukannya (muhtaj).

C. Jalan Panjang Tukar Guling

1. Dasar Hukum

Selain ditentukan oleh kualitas nazhir, maju mundurnya pengelolaan aset wakaf secara produktif juga dipengaruhi oleh lokasi tanah wakaf. Kalau memang tidak strategis untuk diproduktifkan, ya mau diapakan lagi? Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh adalah penukaran atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif, atau dalam bahasa fikih disebut istibdal.

Dari sisi kemaslahatan, istibdal wakaf sangat relevan dengan kebutuhan umat. Apalagi kalau melihat data yang ada, bahwa sebagian besar aset wakaf yang ada di Indonesia adalah berbentuk fix asset, khususnya tanah. Karena itu, ini adalah cara jitu yang mesti ditempuh.

Dalam soal ruislag, peran BWI, berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, adalah memberikan rekomendasi tentang penukaran harta benda wakaf. Tugas ini dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Divisi Kelembagaan yang selanjutnya hasil dari analisa baik berdasarkan data dokumen maupun lapangan dibawa ke sidang pleno pengurus BWI. Kemudian, hasilnya dilaporkan kepada Menteri Agama. Berikut ini adalah data (per Desember 2011) rekomendasi kasus penukaran harta benda wakaf (ruislag) yang telah selesai dilakukan oleh BWI dan disetujui dalam rapat pleno.

a. Ruislag Harta benda Wakaf di Kel. Kebon Melati Tanah Abang Jakpus (Disetujui pada rapat pleno tanggal 18 Desember 2007).

Page 48: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _649

b. Ruislag Harta benda Wakaf Yayasan Trikarya Jl. Pademangan Timur III gang X RT 001/07 Kel. Pademangan Jakut (Disetujui pada rapat pleno tanggal 18 Desember 2007).

c. Ruislag Harta benda Wakaf Yayasan Masjid Baitul Qadim Loloan Timur Jembrana Bali (Disetujui pada rapat pleno tanggal 29 Januari 2008).

d. Ruislag Harta benda Wakaf Masjid Nurul Hidayah Karawaci Tangerang. (Disetujui pada rapat pleno tanggal 26 Agustus 2008).

e. Ruislag Harta benda Wakaf di Blok Pajagan Ds. Benda Cicurug Sukabumi (Disetujui pada rapat pleno tanggal 24 Februari 2009).

f. Ruislag Harta benda Wakaf di Ds. Kute Lintang, Kec. Bukit Aceh Tengah NAD (Disetujui pada rapat pleno tanggal 24 Februari 2009).

g. Ruislag Harta benda Wakaf di Jl. Karet Pedurenan Masjid III RT 003/04, Kel. Karet Kuningan Setiabudi Jaksel (Disetujui pada rapat pleno tanggal 16 Juni 2009).

h. Ruislag Harta benda Wakaf di Jl. Ir. Soekarno Kel. Bendo Gerit Kota Blitar (Disetujui pada rapat pleno tanggal 14 Juli 2009).

i. Ruislag Harta benda Wakaf di Kampung Bugis Sesetan Sidakarya Denpasar Selatan Denpasar Bali (Disetujui pada rapat pleno tanggal 28 Juli 2009).

j. Ruislag Harta benda Wakaf di Karangsari, kel. Sumurejo kec. Gunungpati Semarang (Disetujui pada rapat pleno tanggal 15 September 2009).

k. Ruislag Harta benda Wakaf di Jl. KL. Yos Sudarso, Lingkungan XI Gg. Peringatan, kec. Silalas, Medan Barat Kota Medan (Disetujui pada rapat pleno tanggal 22 Desember 2009).

l. Ruislag tanah wakaf di di Desa Celukanbawang Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali (Disetujui pada rapat

Page 49: Buku Jurnal 7.4.pdf

650_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

pleno tanggal 23 Maret 2010).

m. Ruislag tanah wakaf di Blok Joengkoer Desa Kebon Dalem Kecamatan Purwakarta Kota Cilegon Banten (Disetujui pada rapat pleno tanggal 23 Maret 2010).

n. Ruislag tanah wakaf di Dukuh Salam, kec. Slawi, Tegal Jawa Tengah (Disetujui pada rapat pleno tanggal 18 Mei 2010).

o. Ruislag tanah wakaf Yayasan Pendidikan Al-Quran Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilingcing, Jakarta Utara. (Disetujui pada rapat pleno tanggal 5 April 2011).

p. Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyah Desa Dukuhwringin Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal Jawa Tengah. (Disetujui pada rapat pleno tanggal 23 Mei 2011).

q. Desa Malaya, Kecamatan Malaya, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. (Disetujui pada rapat pleno tanggal 2 Juli 2011).

r. Di Masjid Baiturrahman, Taman Kapita, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Ampenen, Kota Mataram. (Disetujui pada rapat pleno tanggal 2 juli 2011).

Meskipun sebagai langkah akhir, berdasarkan data di atas, ruislag atau tukar guling harta benda dalam kenyataan di lapangan memang sering terjadi. Terutama apabila: pertama, digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Kedua, harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf. Ketiga, tukar guling dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. Tukar guling ini pun dapat dilakukan atas izin menteri agama RI.13

Pada titik ini, tukar guling masih dapat diandalkan menjadi jalan keluar. Tapi, pada langkah selanjutnya, tukar guling bisa dibilang menuai masalah. Mengapa? Sebagai jalan keluar memang iya, tapi jalan keluar yang mesti ditempuh oleh para nazhir itu terlalu jauh dan berliku.

Page 50: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _651

Karena itu, banyak nazhir yang “kelelahan”. Bayangkan saja, berdasarkan peraturan yang ada, izin Menteri Agama itu dapat keluar setelah nazhir menempuh reli-reli panjang sebanyak 6 lap jalur birokasi.14

Pertama, nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada menteri agama melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan tukar menukar tersebut.

Kedua, Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten atau Kota.

Ketiga, Kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten atau kota setelah menerima permohonan tersebut, membentuk tim, dan selanjutnya Bupati atau Walikota setempat membuat Surat Keputusan.

Keempat, Kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten atau kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri Agama.

Kelima, sebelum Menteri Agama mengambil keputusan, memberikan izin atau tidak, Menteri Agama terlebih dahulu meminta persetujuan Badan Wakaf Indonesia (BWI).15

Keenam, setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Agama, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh nazhir ke kantor pertanahan untuk pendaftaran lebih lanjut.

Selain rute birokrasi yang harus dilalui seperti di atas, izin tukar guling harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika: (a) harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang -undangan; dan (b) nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang- kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.16

Kemudian, nilai dan manfaat harta benda penukar diukur dengan pertimbangan sebagai berikut. (a) harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta

Page 51: Buku Jurnal 7.4.pdf

652_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

benda wakaf; dan (b) harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan.17

Nah, siapa yang dapat mengukur nilai dan manfaat benda penukar? Tak semua pihak, hanya Bupati atau Walikota yang dapat menetapkan nilai dan manfaatnya. Tapi, ia tidak sendirian, ketetapan Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: pemerintah daerah, kantor pertanahan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), kantor Kementerian Agama, dan nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.18

Berdasarkan aturan di atas, jelas bahwa nazhir harus benar-benar memahami alur dan ketentuan ruislag, dibutuhkan konsentrasi tingkat tinggi agar tak salah pengertian. Inilah yang dihadapi nazhir di lapangan, berhadapan dengan ruwetnya birokrasi perizinan tukar guling. Perlu diketahui, paparan di atas hanyalah tahap-tahap yang mesti dilalui oleh nazhir jika menginginkan tukar guling aset yang dikelolanya. Jadi belum menggambarkan keriuhan di masing-masing birokrasi.

Jika disederhanakan, keruwetan birokrasi tukar guling ini dapat digambarkan menjadi dua bagian. Pertama, keruwetan birokrasi satu saat berhubungan dengan birokrasi lain. Ini menyangkut komunikasi antar birokrasi, yaitu dari KUA kecamatan ke Kantor Depag Kabupaten/Kota, lalu Bupati atau Walikota membuat SK, kemudian ke Kepala Kanwil Depag Propinsi, terakhir ke Menteri Agama. Ketika di tangan Menteri Agama, tentu saja belum final karena menteri harus meminta pertimbangan dulu ke Badan Wakaf Indonesia. Jadi, nazhir dapat mengantongi izin tukar guling setidaknya setelah ia melewati 6 jalur birokrasi.

Seperti kita sama-sama tahu, jangankan 6 jalur birokrasi, berurusan dengan satu birokrasi saja banyak yang mengeluh. Karena itu, perizinan tukar guling dengan jalan panjang dan berlika-liku seperti ini jelas tidak efektif. Akibatnya, menghambat upaya pengembangan tanah wakaf ke arah produktif.

Page 52: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _653

Kedua, dalam satu birokrasi melahirkan birokrasi baru. Di antara yang tampak jelas dalam PP No. 42 tahun 2006 adalah pelibatan tim yang bertugas untuk menaksir nilai dan manfaat harta benda penukar. Hasil kajian ini menjadi pertimbangan Bupati atau Walikota dalam membuat Surat Keputusan. Tim ini terdiri dari 5 unsur, yaitu pemda, kantor pertanahan, kantor depag, MUI, dan nazhir. Berapa lama tim ini akan mengkaji dan menaksir nilai dan manfaat harta penukar? Wallahu A’lam, tak ada batasan waktu yang tegas dalam peraturan. Tentu saja bisa cepat, bisa juga lambat. Tapi, dari pengalaman yang sudah terjadi, proses pengkajian di tim ini memakan waktu yang tak singkat.

Bagaimana bisa singkat, mengkoordinasikan orang-orang dari 5 lembaga untuk duduk satu meja itu tidak gampang, butuh waktu untuk menyamakan persepsi dan mengkomunikasikan perbedaan perspektif. Orang-orang dari 5 lembaga ini merupakan perwakilan dari institusinya masing-masing, tidak bertugas atas nama pribadi. Karena itu, apapun yang akan disuaran nanti dalam pertemuan tim, mereka harus berkoordinasi dulu dengan lembaga atau institusinya masing-masing. Pada level ini saja, setidaknya sudah tergambar bagaimana rumitnya proses pengambilan keputusan dalam birokrasi. Jelas, birokrasi yang ada pada Bupati atau Wali kota ini melahirkan 5 birokrasi lagi: pemda, kantor pertanahan, kantor depag, MUI, dan nazhir.

Ini juga terjadi lagi ketiga permohonan tukar guling ini sudah di meja Menteri Agama. Birokrasi Menteri Agama melahirkan birokrasi Badan Wakaf Indonesia. Sebab, Menteri Agama tidak dapat langsung membuat keputusan atau menerbitkan izin tukar gulang tanpa mempertimbangkan rekomendasi dari BWI.19

BWI dalam mengeluarkan rekomendasi juga tak sembarangan. Lembaga ini membuat mekanisme atau prosedur tahapan dalam mengeluarkan rekomendasi. Sebelum rekomendasi diteken, surat pengajuan atau permohonan tukar guling itu harus melewati empat meja terlebih dahulu: meja sekretariat, divisi kelembagaan, dewan pertimbangan, dan rapat pleno pengurus.20

Page 53: Buku Jurnal 7.4.pdf

654_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Dari meja yang satu ke meja berikutnya maksimal memakan waktu 23 hari, dengan perincian 2 hari di sekretariat, 15 divisi kelembagaan, 5 divisi pertimbangan, 1 hari rapat pleno. Berikut ini adalah juknis pelaksanaan yang harus dilakukan di masing-masing meja. Tugas sekretariat meliputi:

a. Menerima surat permohonan pertimbangan dari Direktorat Jendral Bimas Islam Kementerian Agama, yang telah dilengkapi dengan salinan dokumen-dokumen pendukung;

b. Melakukan registrasi permohonan pertimbangan dan melakukan pengarsipan;

c. Menyiapkan disposisi kepada ketua BWI untuk menindaklanjuti permohonan pertimbangan dari Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama;

d. Mendaftarkan Surat Disposisi dan beserta salinan dokumen-dokumen pendukung disampaikan kepada Divisi Kelembagaan untuk mendapatkan kajian secara hukum dan kepada Dewan Pertimbangan untuk mempertimbangkan secara fiqh;

e. Membuat tanda terima surat disposisi dari Bagian Kelembagaan dan Sekretariat Dewan Pertimbangan.

Sedangkan prosedur yang harus dilaksanakan oleh divisi kelembagaan adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pengecekan kelengkapan dokumen-dokumen

b. Melakukan pengecekan dokumen proses permohonan penukaran harta benda wakaf

c. Melakukan penilaian perubahan status, mencakup:

1) alasan perubahan status/tukar menukar harta benda wakaf;2) kondisi harta benda wakaf saat ini;3) pemanfaatan harta benda wakaf;4) luas harta benda wakaf;5) NJOP harta benda wakaf;

Page 54: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _655

6) nilai pasar harta benda wakaf;7) tujuan wakaf;8) penilaian produktif harta benda wakaf (termasuk lokasi

dan prospeknya, dapat dilakukan kunjungan lapangan jika diperlukan);

9) kondisi harta benda penukar;10) status kepemilikan harta benda penukar;11) luas harta benda penukar;12) NJOP harta benda penukar;13) nilai pasar harta benda penukar;14) penilaian produktif harta benda penukar (termasuk lokasi

dan prospeknya, dapat dilakukan kunjungan lapangan jika diperlukan).

d. Melakukan wawancara dengan Nazhir/masyarakat dan kunjungan lapangan. Hal ini dilakukan untuk menghimpun informasi mengenai:

1) latar belakang penukaran/perubahan status harta benda wakaf;

2) asal usul inisiatif penukaran/perubahan;3) latar belakang hubungan dengan pemilik harta benda

penukar;4) rencana kerja Nazhir;5) penilaian terhadap kemungkinan pemanfaatan produktif

harta benda wakaf dan harta benda penukar;6) penilaian terhadap kebutuhan-kebutuhan untuk

pemanfaatan produktif harta benda wakaf / harta benda penukar;

7) dokumentasi situasi lapangan dalam bentuk foto digital/video;

Hasil kajian yang telah dilakukan oleh divisi kelembagaan ini kemudian diserahkan ke Dewan Pertimbangan BWI untuk diteliti lebih dalam berdasarkan perspektif fikih. Lalu, dewan pertimbangan memberikan

Page 55: Buku Jurnal 7.4.pdf

656_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

hasil pertimbangannya ke sekretariat. Hasil pertimbangan oleh Dewan Pertimbangan atas permohonan tukar guling ini paling sedikit harus ditandatangani oleh tiga orang anggota Dewan Pertimbangan.21

Hasil kajian Divisi Kelembagaan dan hasil pertimbangan yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan ini kemudian dibahas pada rapat pleno pengurus BWI. Keputusan rapat pleno inilah yang akan menjadi keputusan rekomendasi BWI atas permohonan penukaran harta benda wakaf. Lalu, surat rekomendasi BWI ini diberikan ke Menteri Agama melalui Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama.

Begitu menerima rekomendasi dari BWI, Menteri Agama tentu saja tidak langsung mengeluarkan surat izin atau menolak permohonan tukar guling, tapi tentu saja meminta pertimbangan dari dalam kementerian terlebih dahulu. Rekomendasi dari BWI itu digodok dulu oleh Biro Hukum Kementerian Agama. Baru setelah itu, Menteri Agama meneken surat izin.

2. Penataan Regulasi Ruislag

Dapat diperkirakan, berapa waktu yang dibutuhkan untuk proses tukar guling tanah wakaf. Akibatnya, banyak nazhir wakaf yang tidak mengikuti prosedur dalam melaksanakan tukar guling. Dari beberapa surat permohonan tukar guling yang masuk di BWI, terdapat beberapa nazhir “nakal”, yaitu nazhir sudah melakukan tukar guling, tapi permohonan tukar gulingnya belakangan. Jadi, ketika permohonan itu di layangkan, proses tukar guling di lapangan sudah terjadi dan bahkan ada yang terjadinya sudah lama, tapi surat permohonannya baru diajukan.

Hal ini terjadi karena mereka para nazhir itu merasa “dipersulit” dalam proses perizinan tukar guling. Padahal, maksud mempersulit itu tidak sepenuhnya dapat dibenarnya. Perizinan yang panjang ini diterapkan dalam rangka “hati-hati” dan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses tukar guling. Berdasarkan aturan umum, harta benda wakaf itu tak dapat ditukarkan, kecuali dalam keadaan

Page 56: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _657

tertentu, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi, tukar guling sejatinya memang mekanisme pengecualian, atau tindakan yang tidak dapat dilakukan jika dalam kondisi normal. Karena itu, butuh tindakan ekstra hati-hati.

Tapi, yang jadi batu sandungan di sini adalah jika tindakan ekstra hati-hati itu malah menimbulkan tindakan yang kontraproduktif. Kehati-hatian dalam mengambil keputusan “tukar guling” yang diwujudkan dalam birokrasi yang panjang dan berliku-liku itu justeru menghawatirkan. Sebab, kejadian atas tukar guling tanpa izin Menteri (illegal) yang dilakukan oleh para nazhir itu bukan karena mereka tidak mengetahui, tapi mereka enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit.

Pertanyaannya kemudian, apa tidak ada cara lain dalam rangka mengambil keputusan tukar guling dengan hati-hati selain melalui birokrasi yang panjang tersebut? Hemat penulis, ada dua hal yang mesti dilakukan agar birokrasi perizinan tukar guling tidak terlalu panjang dengan tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian.

Pertama, tukar guling harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Jadi tidak semua urusan tukar guling, harus Menteri Agama yang mengeluarkan izin. Harus ada batasan-batasan yang mengatur khusus tentang ini. Misalnya, tukar guling tanah wakaf yang luasnya 10.000 hektar harus atas izin Menteri Agama. Bila di bawah 10.000 hektar, izin cukup dari Ketua Badan Wakaf Indonesia. Sementara untuk tanah wakaf yang luasnya sangat kecil, di bawah 1 hektar, maka izin tukar guling cukup dikeluarkan oleh ketua BWI perwakilan Propinsi. Jika tidak diatur demikian, bayangkan saja, tukar guling tanah wakaf yang luasnya hanya 100 meter persegi harus minta izin ke Menteri Agama dengan prosedur yang demikian panjang. Tentu memakan waktu panjang dan tidak efektif.

Kedua, dalam proses tukar guling memang ada tim taksir nilai dan manfaat harta penukar, tapi cukup ditangani oleh satu tim yang

Page 57: Buku Jurnal 7.4.pdf

658_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

melibatkan semua unsur. Sekarang ini yang terjadi adalah tim tukar guling itu berada di masing-masing level, mulai dari tingkat kabupaten atau kota madya, propinsi, hingga pusat (BWI dan Kementerian Agama). Semakin banyak tim yang dibentuk, efisiensi kerja dan percepatan administrasi jadi terhambat. Karena itu, perampingan birokrasi dengan membentuk tim gabungan adalah langkah bijak mempercepat proses tukar guling dengan tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian.

D. Penutup

Pengeloaan wakaf saat ini masih terkendala banyak hal, diantaranya profesionalisme nazhir dan regulasi yang belum kompatibel dengan realitas di lapangan. Profesiolisme nazhir menjadi sorotan, mengingat potensi wakaf yang begitu besar belum diiringi dengan hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini, penguatan profesionalisme nazhir perlu mendapatkan perhatian.

Pada saat yang bersamaan, masih terdapat regulasi wakaf yang belum sejalan dengan realitas di lapangan, salah satunya terkait ruislag tanh wakaf. Regulasi yang ada mengharuskan para nazhir melewati jalur birokrasi yang berbelit. Padahal, alur birokrasi yang cepat dan mudah sangat dibutuhkan guna menunjang inerja nazhir dalam pengelolaan wakaf.

Perlu terobosan baru untuk meningkatkan perwakafan sehingga benar-benar memberi manfaat bagi kesejahteraan umat. Dan terobosan tersebut adalah tanggung jawab bersama pemerintah, BWI dan masyarakat, sehingga regulasi perwakafan benar-benar mencerminkan profesionalisme.

Page 58: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _659

Daftar Pustaka

al-‘Ainaini, Badran Abu, Ahkam al-Wasi wa al-Awqaf, Iskandariyyah: Mu’assasat al-Salabi, tt.

Afrizal, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, Padang: Andalas University Press, 2006.

Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Bandung: Al-Ma’arif, 1987.

Al-Dusuqi, Hashiah al-Dusuqi ‘ala al-Sharh al-Kabir, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al- ‘Arabiyyah, tt.

Elsefy, Hossam, Islamic Finance A Comparative Jurisprudential Study, Malaysia: University Malaya Press, 2007.

al-Ansari, Ibn Manzur Jamaluddin Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-‘Arab, Dar al-Ma‘arif, tt.

al-Hisni, Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtisar, Semarang: Toha Putra, tt.

Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ibn Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Darul Fikr, 1994.

Jamil, Fathurrahman, Transformasi Nazhir, Jakarta: Jurnal al-Auqaf, 2011.

al-Jurjani, Ali ibn Muhammad, Kitab al-Ta‘rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.

al-Jurjawi Ali Ahmad, Hikmah al-Tashri‘ wa-Falsafatuh, Kairo: Dar al-Fikr, 1994.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Ahwal al-Shakhsiyyah, Beirut: Dar ‘Ilm al-Malayin, tt.

Page 59: Buku Jurnal 7.4.pdf

660_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Najib dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006.

al-Nawawi, Abi Zakariya Muhyiddin ibn Sharaf, Al-Majmu‘ Sharah al-Muhadhdhab, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

al-Ramli, Shamsuddin Muhammad, Nihayah al-Muhtaj, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halibi, 1938.

al-Sharbini, Muhammad, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Kutub, 1994.

Suhadi, Imam, Hukum Wakaf di Indonesia, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.

Zahra, Muhammad Abu, Muhadarat fi al-Waqf, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.

al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Peraturan peundang-undangan

Undang Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Peraturan Badan Wakaf Indonesia, No. 1 tahun 2008.

Page 60: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menyoal Profesionalisme Nazhir dan Istibdal dalam Regulasi Perwakafan _661

Endnotes

1. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, jil. 8, 231.

2. Al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, jilid I, bab wakaf.

3. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh……., ibid, jilid 8, h. 231.

4. Al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Jil. 6, h. 313.

5. Muhammad al-Sharbini, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Kutub, 1994, Jil. 2, h. 293.

6. Taqiyuddin al-Hisni, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtisar, Semarang: Toha Putra, tt, Jil. 1, h. 197.

7. Penelitian ini dilakukan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazir di 11 Propinsi. Lebih jelasnya, lihat Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006, h. 133.

8. Fathurrahman Jamil, “Transformasi Nazhir,” dalam Jurnal al-Auqaf, 2011.

9. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 5.

10. Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta‘rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000, h. 328. Lihat juga, Al-Nawawi, Sharah Shahih Muslim , Kairo: Sha‘b, VI, h. 21.

11. Shamsuddin Muhammad al-Ramli,. Nihayah al-Muhtaj, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halibi, 1938, h. 127.

12. Muhammad Abu Zahra, Muhadarat fi al-Waqf, Beirut: Dar al-Fikr, 1971, h. 343-344.

13. Undang Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf (pasal 41) dan Peraturan

Page 61: Buku Jurnal 7.4.pdf

662_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf (pasal 4).

14. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, pasal 6.

15. Undang-undang No. 41 Tahun 2004, pasal 41, ayat 2.

16. Perautran Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 49.

17. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 50.

18. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006, pasal 49, ayat 4.

19. Undang-undang No. 41 Tahun 2004, pasal 41, ayat 2.

20. Lihat, Peraturan Badan Wakaf Indonesia, No. 1 tahun 2008.

21. Peraturan Badan Wakaf Indonesia, No.1 tahun 2008, Pasal 10.

Page 62: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _663

The Effectiveness of Law No. 41 Year 2004 About Regulation of Productive Waqf

Efektivitas Undang-Undang No. 41 Tahun 2004Tentang Pengaturan Wakaf Produktif

Muhammad IshomIAIN Sunan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten

email: [email protected]

Abstract: This paper is a study of the effectiveness of productive waqf in legislation. It is the

Waqf Act. The approach was to apply the juridical, sociological and philosophical.

The results of this study show that the problem of productive waqf found in many

sociological aspects. I warn that sosial capital approach used to develop the productive

waqf in Indonesia.

Abstraksi: Tulisan ini mengkaji efektifivitas wakaf produktif ditinjau dari UU No. 41 Tahun 2004

tentang Wakaf. Pendekatannya menggunakantinjauan yuridis, sosiologis dan filosofis.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa masalah wakaf produktif banyak ditemukan pada

aspek sosiologis. Penulis menyarankan supaya dipakai pendekatan modal sosial agar

wakaf produktif berkembang di Indonesia.

Keywords: Productive Waqf, Cash Waqf, Empowerment.

Page 63: Buku Jurnal 7.4.pdf

664_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

A. Pendahuluan

Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di bidang agama ialah meningkatkan potensi wakaf di Indonesia. Kegunaan dan manfaat wakaf yang biasanya diperuntukkan untuk pengembangan sarana ibadah dan sosial perlu dikembangkan supaya memiliki nilai ekonomidi tengah masyarakat.

Atas dasar pertimbangan inilah pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Sebelum terbit UU Wakaf, perwakafan di Indonesia diatur dalam PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan sedikit ter-cover dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok agrarian.

Dalam salah satu konsideran UU Wakaf itu disebutkan, bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efesien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Sebagai negara yang memiliki penduduk mayoritasnya Muslim, UU Wakaf ini sering diklaim sebagai regulasi yang mengatur wakaf produktif di Indonesia. Di dalam Pasal 15 sampai Pasal 22 UU Wakaf diatur perluasan obyek wakaf yang tidak hanya berbentuk wakaf tidak bergerak seperti tanah tetapi juga berupa harta tidak bergerak, termasuk wakaf uang dan wakaf tunai lainnya.

Namun begitu UU ini tidak mengatur secara eksplisit nomenklatur maupun bentuk wakaf produktif. Di dalam UU Wakaf Pasal 43 ayat (2) hanya disebutkan: “Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.” Inilah satu-satunya penyebutan kata “produktif” pada pasal dan ayat di dalam UU Wakaf.

Bentuk wakaf produktif baru dapat diketahui dari penjelasan Pasa 43 ayat (2), yang menyatakan:

Page 64: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _665

“Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun kesehatan dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah. Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakaukan antara melalui skim asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.”

Tampaknya dalam UU No. 41 Tahun 2004 wakaf produktif bukan merupakan cluster tersendiri dari produk wakaf. Hal ini sangat dimungkinkan karena kata “produktif” bukan termasuk istilah hukum tetapi menjadi bagian istilah ekonomi.

Dalam ilmu ekonomi produksi menjadi salah satu entitas terpenting di samping pertukaran (exchange) dan konsumsi.1 Produksi sendiri ditentukan oleh banyak faktor, yaitu barang dan jasa, kombinasi sumberdaya dan teknik yang dipakai (orang, alat, finance, dll), dan kebutuhan orang yang dipenuhi.Sementara wakaf sendiri dalam mazhab hukum Islam digolongkan kedalam kelompok hukum muamalat atau hukum perikatan/perjanjian dalam keperdataan Barat.2

Dengan pendekatan ini wakaf produktif tidak dibuatkan nomenklatur ataupun cluster khusus dalam hukum wakaf di Indonesia yang diterbitkan melalui UU No.41/2004.Tetapi hanya disebut “Pengelolaan dan pengembangkan wakaf secara produktif”. Hal ini menunjukkan bahwa wakaf produktif tidak identik dengan “wakaf benda bergerak berupa uang”/wakaf tunai (cash waqf), melainkan wakaf produktif berlaku juga untuk obyek wakaf yang lainnya.

Jika demikian, bagaimana penjelasan pasal 43 ayat (2) UU Wakaf itu bisa berlaku efektif dalam mengatur pengelolaan dan pengembangan

Page 65: Buku Jurnal 7.4.pdf

666_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

harta benda wakaf secara produktif? Padahal untuk menentukan keefektifan berlakunya aturan hukum harus terpenuhi 3 (tiga) syarat.3

Pertama, berlakunya secara yuridis. Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya. Sementara W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”). Sedangkan J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.4

Kedua, berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori: (1) Teori Kekuasaan (”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat; (2) Teori Pengakuan (”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tertuju.5

Ketiga, berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (”Uberpositieven Wert”), misalnya, Pancasila, maqashid al-syari’ah (al-kulliyat al-khamsat), Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.6

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas hukum pengelolaan wakaf secara produktif di Indonesia. Penulis dalam tulisan ini menggunakan sumber data berupa peraturan perundang-undangan tentang wakaf dan referensi penunjang berupa buku dan makalah serta dokumentasi wakaf produktif. Sumber-sumber itu dianalisis untuk mengetahui efektifitas hukum wakaf produktif di Indonesia.

Page 66: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _667

B. Definisi Wakaf Produktif

Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar) ووو atau kata kerja (fi`il) ووو -ووو yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf. Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya; dengan kataal-habsu yakni menahan dari berbuat sesuatu, dan kataal-tasbilyang artinya membuat jalan/mengalirkan.

Namun wakaf lebih banyak dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang tertahan (al-mauquf).7 Wakaf juga dipersamakan dengan bentuk “shadaqah jariyah”, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Tirmidzi, dan aktivitas “yang baik” (al-birr) dalam QS. Ali Imran: 92.Sedangkan menurut terminologi, terdapat perbedaan konsep antara Syafi’iyah-Hanabilah, Hanafiyah, dan Malikiyah.

Pertama, menurut Jumhur (Syafi’i-Hanabilah) wakaf ialah menahan harta benda yang bisa dimanfaatkan dengan tidak terkurangi (tetap) bentuknya dan menjadi terpisah/terlepas dari kepemilikan pemilik asalnya untuk tujuan baik dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sumber hukumnya berupa Hadits yang menceritakan tentang Umar b. Khattab mewakafkan sebidang tanah di Khaibar. Akan tetapi penambahan fungsi wakaf untuk mendekatkan diri kepada Allah dipermasalahkan juga oleh Al-Munawi Al-Syafi’i. Menurutnya wakaf boleh untuk tujuan kedunian seperti pangkat, jabatan dan keturunan.

Kedua, pendapat Hanafiyah yang mendefinisikan wakaf ialah perbuatan berupa menahan harta benda dalam status kepemilikan yang mempunyai asalnya (Waqif) dan mensedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Harta wakaf dalam perspektif Hanafiyah menyerupai barang pinjaman (‘ariyah). Dasarnya: Sabda Rasulullah: Tidak boleh menahan (la habsa) dari ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan Allah (HR. Daruquthni). Kemudian diriwayatkan juga, bahwa telah datang

Page 67: Buku Jurnal 7.4.pdf

668_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Rasulullah SAW untuk menjual (berhala-berhala Kafir Quraisy) yang diwakafkan (disimpan di dalam Ka’bah).

Ketiga, menurut Malikiyah Waqaf adalah Menjadikan manfaat suatu harta milik termasuk dengan cara pemilik menyewakan harta tersebut untuk disedekahkan kepada orang lain dengan suatu ungkapan/akad dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini harta wakaf menyerupai barang yang dijadikan jaminan (Dhaman). Dasar Hukumnya ialah Sabda rasulullah SAW kepada Umar b. Khattab yang berkehendak mewakafkan sebidang tanah di Khaibar; “Jika kamu mau, tahanlah harta pokoknya dan bersedekahlah dengannya”. Sementara alasan ketidakbolehan mengalihkan harta wakaf kepada pihak lain berdasarkan pemahaman Umar yang menyatakan; “Sekiranya tidak kamu jual, tidak kamu hibahkan, dan tidak kamu wariskan.”

Sedangkan menurut UU No. 41 Tahun 2004,wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah

Adapun kata produktif secara bahasa merupakan kata sifat yang berasal dari kata product, production, productiveyaitu; “yang menghasilkan” atau “banyak mendatangkan hasil.”8 Jadi, secara sederhana wakaf produktif ialah wakaf yang banyak mendatangkan hasil.

Sedangkan secara istilah, menurut Mundzir Qahar, Wakaf produktif adalah harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf, sepertiwakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, Mata air untuk dijual airnya dan lain-lain.9

Sementara di dalam UU Wakaf tidak dijelaskan pengertian wakaf produktif, terkecuali terdapat satu klausul dalam Pasal 43 ayat (2) yang hanya menyebutkan: “Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.”

Page 68: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _669

Dalam penjelasannya, yang dimaksud pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif antara lain ialah dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun kesehatan dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah.

Pada prinsipnya wakaf produktif bukan merupakan cluster tersendiri dari produk wakaf yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004. Produktivitas wakaf hanyalah sebagai strategi dan cara pengelolaan dan pengembangan wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf.

Pada Pasal 4 UU Wakaf dijelaskan bahwa, “Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai fungsinya.” Sementara dalam Pasal 5 dinyatakan, “Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.” Pasal 22 UU Wakaf juga dinyatakan:

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:

1. Sarana dan kegiatan ibadah

2. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

3. Bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yaitu piatu, beasiswa;

4. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau;

5. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat dan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif perlu pula dikritisi kenapa Pasal 22 ini menggunakan kalimat “hanya dapat diperuntukkan”?Bukankah produktifitas dalam kaedah ekonomi muamalat yang menjadi batasan adalah keharaman? Sehingga semestinya kalau tidak menabrak ketentuan haram maka diperbolehkan berdasarkan

Page 69: Buku Jurnal 7.4.pdf

670_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

kaidah: “Ketentuan umum hukum muamalah adalah dibolehkan” (al-ashl fi al-mu’amalat al-ibahat).

Atas dasar itulah ada yang mendefinisikan wakaf produktif yaitu harta yang digunakan untuk kepentingan produksi baik dibidang pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih dari hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf.10

Tetapi kalau konsep ini yang dipakai dalam pengembangan wakaf produktif berarti akan muncul problem baru jasa keuangan syari’ah yang melekat pada produk wakaf. Hal ini antara lain, seperti terjadi dalam kasus “Patungan Usaha” Ustadz Yusuf Manshur yang diberhentikan operasinya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Oleh karena itu, penulis masih menganggap bahwa wakaf produktif adalah harta pokok wakaf yang dikembangkan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan sosialnya agar mendapatkan banyak kemanfaatan bagi kepentingan umat Islam. Wakaf produktif hanya merupakan sebuah skema pengelolaan donasi wakaf dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia, maupun benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.

C. Bentuk dan Jenis Wakaf Produktif

Pada dasarnya semua wakaf itu produktif,dalam arti wakaf harus menghasilkan manfaat atau nilai ekonomis sesuai tujuan dan manfaat peruntukan wakaf yang telah diijabkan oleh Wakif. Ironinya, di Indonesia banyak aset wakaf yang tidak berfungsi produktif karena terbentur pemahaman masyarakat yang mengasumsikan wakaf harus kekal dan tidak berubah.

Begitu pun banyak praktisi ekonomi Islam dengan alasan tidak

Page 70: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _671

ingin berbenturan dengan pemahaman masyarakat itu pada akhirnya menganggap wakaf produktif hanya berbentuk benda bergerak. Sedangkan wakaf benda tidak bergerak seperti tanah untuk mesjid, tanah untuk kuburan, dan sebagainya, bukan digolongkan sebagai wakaf produktif.

Dengan pendekatan teori ekonomi bahwa produksi atau produktif ditentukan oleh banyak variabel,11 maka bentuk dan jenis wakaf produktif dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu; (a) berdasarkan peruntukan wakaf; (b) berdasarkan jenis harta benda wakaf; (c) berdasarkan batas waktu wakaf; dan (d) berdasarkan penggunaan harta benda wakaf.

Pertama, Wakaf produktif berdasarkan peruntukanwakaf terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:

1. Wakaf ahli (wakaf Dzurri/wakaf ’ala al-awlad) yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat sendiri.

2. Wakaf Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).

Hanya saja dalam PP No. 42/2006 pasal 30 ayat (4), (5), dan (6) dinyatakan bahwa dengan sendirinya wakaf ahly beralih status menjadi Wakaf Khairi.

Kedua, Wakaf produktif berdasarkan jenis harta benda wakaf, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis yang diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU Wakaf, yaitu:

1. Benda tidak bergerak yang meliputi:a) Hak atas tanah : hak milik, strata title, HGB/HGU/HPb) Bangunan atau bagian bangunan atau satuan rumah susun c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanahd) Benda tidak bergerak lain

Untuk menunjang keterlaksanaan penggunaan dan pengembangan

Page 71: Buku Jurnal 7.4.pdf

672_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

wakaf produktif berupa benda tidak bergerak, seperti tanah, pemerintah telah membuat program pengelolaan wakaf tanah produktif, yaitu; (a) melalui pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Keberadaan BWI mempunyai posisi yang sangat strategis dalam memperdayakan wakaf tanah secara produktif. (2) Dengan mengembangkan lembaga-lembaga nazhir yang sudah ada agar lebih professional dan amanah. Dalam rangka upaya tersebut, BWI mendapat mandat untuk mengkoordinir dan membina lembaga Nazhir berupa kegiatan memberikan dukungan manajemen bagi pelaksanaan pengelolaan tanah-tanah produktif, seperti :

a. Dukungan sumber daya manusiab. Dukungan advokasic. Dukungan keuangan

d. Dukungan pengawasan

Hal ini mengingat jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat besar, mengalahkan Negara-negara Islam lain. Menurut Data dari Kementerian Agama tahun 2012 telah tercatat dan terdaftar asset wakaf berbentuk tanah mencapai 3,49 miliar meter persegi tanah, pada 420.003 titik di seluruh nusantara. Bila dirupiahkan, dengan asumsi harga tanah hanya Rp100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai Rp349 triliun. Tanah-tanah wakaf produktif yang sudah inventarisir meliputi seluruh Indonesia itu dapat diberdayakan secara maksimal dalam bentuk :

a. Asset wakaf yang menghasilkan produk barang atau jasa

b. Asset wakaf yang berbentuk investasi usaha

1. Benda bergerak selain uang, terdiri dari:

a) Benda dapat berpindah

b) Benda dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan

c) Air dan Bahan Bakar Minyak

d) Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan

e) Benda bergerak selain uang

f) Surat berharga berupa Saham, Surat Utang Negara, obligasi, dan

Page 72: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _673

surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang

g) Hak atas Kekayaan Intelektual terdiri dari: hak cipta, hak merk, hak paten, hak desain industri, hak rahasia dagang, hak sirkuit terpadu, hak perlindungan varietas tanaman, dan lain-lain

h) Hak atas benda bergerak lainnya yaitu berupa; hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak, atau perikatan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.

2. Benda bergerak berupa uang terdiri dari;

a) Wakaf tunai yang secara umum didefinisikan sebagai penyerahan asset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindah tangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun jumlah pokoknya. Di Indonesia wakaf uang tunai relatif baru dikenal semenjak diterbitkannya UU Wakaf.

b) Sertifikat wakaf tunai adalah salah satu instrument yang sangat potensial dan menjanjikan, yang dapat dipakai untuk menghimpun dana umat dalam jumlah besar. Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam dana abadi yang diberikan oleh individu maupun lembaga muslim yang mana keuntungan dari dana tersebut akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, Wakaf produktif berdasarkan batas waktu wakaf yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) yakni:

a) Muabbad/ta’bid yaitu wakaf yang diserahkan untuk selamanya

b) mu’aqqat/ta’qit, yaitu wakaf yang diserahkan dalam jangka waktu tertentu

Dalam UU Wakaf Pasal 6 huruf f juga dinyatakan: “Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:………..f. jangka waktu wakaf.”

Page 73: Buku Jurnal 7.4.pdf

674_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Keempat, Wakaf produktif berdasarkanpengelolaan dan pengembangan harta yang diwakafkan. Dalam hal ini juga dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk.

a) mubasyir/dzati; harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) .

b) mistitsmary, yaitu harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan pewakaf.

Wakaf produktif berdasarkan penggunaan dan pengembangan harta wakaf dijabarkan dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Wakaf, sebagaimana berikut:

“Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun kesehatan dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah. Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakaukan antara melalui skim asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.”

D. Pokok-Pokok Pengaturan UUWakaf Perihal Wakaf Produktif

1. Perkembangan RegulasiPerwakafan di Indonesia

UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan hasil perubahan mendasar dari seluruh peraturan perwakafan yang pernah berlaku di Indonesia, yang terdiri dari:

Page 74: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _675

a) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat jum’at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain.

b) Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang jum’at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.

c) Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A termuat dalam Bijblad No. 13390 tahun 1934 tentang Toezict de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini mempertegas SE sebelumnya. Di dalamnya antara lain disebutkan seandainya dalam mengadakan shalat jum’at terdapat sengketa dalam masyarakat Islam, Bupati boleh memimpin usaha mencari penyelesaian asalkan dimintakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

d) Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah

Page 75: Buku Jurnal 7.4.pdf

676_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk mewakafkan tetap harus diberitahukan kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk mendaftarkan wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat yang melanggar dalam pelaksanaan maksud itu.

e) PP. No. 33 Tahun 1949 jo. No. 8 Tahun 1950 disebutkan bahwa tugas pokok atau lapangan tugas pekerjaan Kementrian Agama RI adalah di antaranya: … k. menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf.

f) Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 tentang lapangan tugas, susunan, dan Pimpinan Kementrian Agama RI, disebutkan bahwa lapangan tugas kementrian Agama RI adalah: … 25. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Agraria dan Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.

g) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958 disebutkan bahwa lapangan tugas Jawatan Urusan Agama (JAURA) yaitu salah satu jawatan dalam Departemen Agama meliputi: … 18. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.

h) Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975 disebutkan bahwa di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang Direktorat Urusan Agama (DITURA) Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial (Zawaib). Di Tingkat Provinsi/tingkat wilayah termasuk tugas bidang Urusan Agama Islam seksi Zakat, Wakat, dan Ibadah Sosial. Di tingkat Kabupaten menjadi tugas wewenang Seksi Urusan Agama Islam dan akhirnya di tingkat Kecamatan menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama Kecamatan. Berdasarkan ketentuan

Page 76: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _677

terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk sebagai PPAIW mempunyai tugas dan wewenang untuk pengesahan nażir.

i) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Masalah wakaf dapat diketahui pada pasal 5, pasal 14 ayat (1), dan pasal 49 yang memuat rumusan-rumusan sebagai berikut:

Pertama, Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara … segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang berstandar pada hukum agama. Dalam rumusan pasal ini, jelaslah bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana-sini mengandung unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat khususnya lembaga wakaf.

Kedua, Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan Negara, untuk keperluan peribadatan, dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya. Dalam rumusan UUPA pasal 14 ini terkandung perintah kepada pemerintah Pusat dan Daerah untuk membuat skala prioritas penyediaan peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah Pusat maupun Daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya.

Ketiga, Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa (1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan

Page 77: Buku Jurnal 7.4.pdf

678_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Pasal-pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkut-paut dengan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan rumusan tersebut, Pemerintah RI telah mengeluarkan peraturan tentang perwakafan tanah hak milik yaitu PP. No. 28 Tahun 1977.

j) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan pendaftararan wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.

Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran, dan ketentuan peralihan.

Selanjutnya Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang tata cara perwakafan tanah milik, antara lain tentang ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihan tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.

Page 78: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _679

Maksud dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat diminimalisir. Namun demikian, masih dirasakan adanya hambatan dan atau permasalahan terkait dengan PP nomor 28 Tahun 1977 ini, antara lain:

Pertama, Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan sosial keagamaan dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai. Bagaimana wakaf tanah dengan hak guna bagunan atau guna usaha yang di dalam prakteknya dapat diperpanjang waktunya sesuai dengan tujuan pemanfaatan wakaf.

Kedua, Penerima wakaf (nażir) disyaratkan oleh peraturan mempunyai cabang atau perwakilan di kecamatan di mana tanah wakaf terletak. Dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan justru menimbulkan hambatan. Terkait dengan masalah tersebut, bagaimana jika nażir itu bersifat perorangan atau perkumpulan yang tidak memiliki cabang atau perwakilan.

Ketiga, PP Nomor 28 Tahun 1977 hanya membatasi wakaf benda-benda tetap khususnya tanah. Bagaimana wakaf yang objeknya benda-benda bergerak selain tanah atau bangunan.

Keempat, Hambatan-hambatan lain yang bersifat non-yuridis, antara lain kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran/sertifikasi wakaf serta peningkatan kesadaran para nażir akan tugas dan tanggung jawabnya.

k) Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan terdiri dari lima bab dan lima

Page 79: Buku Jurnal 7.4.pdf

680_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

belas pasal yang memuat ketentuan umum tentang wakaf, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nażir, tata cara perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian perselisihan benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan.

Pada akhirnya regulasi perwakafan yang pernah berlaku di Indonesia itu digantikan dengan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

2. Pokok-pokok Pengaturan Perwakafan dalam UU Wakaf

Pada prinsipnya UU No. 41 Tahun 2004 diterbitkan dengan membawa 5 (lima) pokok pengaturan hukum wakaf.

Pertama, pencatatan, pendaftaran dan pengumuman wakaf yang bertujuan untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf. UU Wakaf ini menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Ketentuan ini dapat disebut sebagai upaya pengetatan hukum yang telah diatur dalam ketentuan fiqh.

Para ulama mazhab fiqh sebelumnya telah bersepakat memasukkan shighat (ungkapan lafal) wakaf ke dalam 4 (empat) rukun wakaf; di samping Waqif, Mauquf dan Mauquf ‘alaih.Rukun wakaf yang disebut terakhir, yakni al-mauquf ‘alaih tidak termasuk kedalam rukun wakaf dalam UU Wakaf. Kedudukan al-mauquf ‘alaih hanya dijelaskan melalui Pasal 1 point (5) PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004, bahwa Mauquf Alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf. Namun dalam UU Wakaf, kedudukannya bukan termasuk rukun wakaf, sebaliknya Nazhir justru menjadi rukun wakaf. Masalah ini akan diulas tersendiri di pembahasan Nazhir.

Page 80: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _681

Kemudian, ungkapan wakaf dapat berbentuk pernyataan (ijab) dari Wakif jika penerima manfaat wakaf bersifat umum (Ghair Mu’ayyan).12 Tetapi jika penerima manfaat wakaf bersifat perorangan maka menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan sebagian ulama Hanabilah harus disertai Ijab-qabul.13Dari keempat mazhab hanya Syafi’iyah dan Hanafiyah yang mensyaratkan pernyataan ikrar wakaf harus jelas (sharih), sedangkan Malikiyah dan Hanabilah membolehkan dengan ungkapan yang tidak jelas, termasuk kinayah.14 Dengan kata lain, prinsip pencatatan, pendaftaran, dan pengumuman wakaf merupakan langkah antisipasi dan penguatan ketentuan hukum wakaf yang utamanya dipelopori oleh mazhab Syafi’iyah.

Pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 menyatakan: “PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari sejak akta ikrar wakaf ditandatangani”.Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah ialah Badan Pertanahan Nasional. Sementara instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya. Adapun instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar (unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia. Dijelaskan pula dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2006: “Harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam AIW sesuai dengan peruntukannya.”

Kedua,perluasan pengaturan obyek harta benda wakaf. Selama ini masyarakat menganggap wakaf terbatas pada harta tidak bergerak seperti tanah, bangunan mesjid, madrasah, pesantren dan lain-lain. Hal ini tidak bisa dipungkiri sebab pada umumnya ulama fiqh sepakat bahwa harta wakaf harus berupa harta benda yang berharga, kekal, tetap dan nyata serta sudah dimiliki secara tetap.15

Jika disejajarkan ulama mazhab yang paling ketat dalam membuat ketentuan harta benda wakaf adalah Hanafiyah yang mensyaratkan harta wakaf harus tatap dan kekal (tidak bergerak). Mereka hanya menerima

Page 81: Buku Jurnal 7.4.pdf

682_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

wakaf harta bergerakjika berhubungan langsung dengan wakaf harta tidak bergerak, seperti sah mewakafkan air sumur dengan catatan tanahnya juga menjadi benda wakaf. Pada prinsipnya, mayoritas ulama Hanafiyah tidak menerima wakaf harta bergerak yang berdiri sendiri tanpa menyertakan harta tidak bergerak sebagai harta pokoknya, kecuali ada dalilnya dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat.16 Dengan alasan kebiasaan (al-‘urf) ini pula, sebagian ulama Hanafiyah membolehkan wakaf dinar dan dirham.17

Disusul kemudian ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah serta sebagian kecil ulama Hanafiyyah seperti Abu Yusuf. Mereka menerima wakaf harta bergeraksama seperti harta tidak bergerak karena yang menjadi dasar dalam wakaf adalah asas keabadian.18

Adapun yang dianggap paling longgar menerapkan ketentuan harta benda wakaf ialah ulama Malikiyyah. Mereka membolehkan wakaf harta benda tidak bergerak, benda bergerak, bahkan wakaf manfaat atau hak guna sekalipun, dan termasuk harta yang belum dimiliki secara penuh.Menurut mereka harta wakaf tidak harus berupa benda yang kekal, abadi dan tidak dapat berubah.19 Oleh karena itu dibolehkan mewakafkan mata uang dinar, dirham, makanan, dan memberikan wakaf sebagai pinjaman bagi si penerimanya, serta boleh mewakafkan pakaian atau buku-buku menurut pendapat ulama Malikiyah yang paling kuat.20

Dalam konteks ini, perluasan obyek harta benda wakaf yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 lebih banyak merepresentasikan pandangan ulama Malikiyyah. Dalam UU Wakaf, harta benda wakaf tidak sebatas harta tidak bergerak tetapi boleh berbentuk harta bergerak berupa uang dan selain uang seperti logam mulia, suratberharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan lain-lain (Pasal 15 s/d 22 UU N0. 41 Tahun 2004).

Khusus wakaf berupa uang, dalam Pasal 28 UU Wakaf diatur bahwa untuk mempermudah perwakafan Wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah. Yaitu Badan hukum yang dibentuk sesuai

Page 82: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _683

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syariah seperti perbankan syariah.

Ketiga, peruntukan harta benda wakaf dimasukkan ke dalam rukun wakaf, termasuk pula pengaturan jangka waktu (Pasal 6 huruf e dan f UU Wakaf).Padahal ketentuan ini tidak diatur dalam fiqh empat mazhab, baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah; dan sebaliknya yang diatur ialah al-mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).21 Sementara pengaturan jangka waktu sebagai rukun wakaf juga tidak ditentukan dalam fiqh, kecuali ulama Malikiyyah yang “tidak mensyaratkan wakaf untuk selama-lamanya” (al-ta’bid). Mereka membolehkan wakaf berjangka waktu (ta’qit)22

Dalam Pasal 22 UU Wakaf, tujuan dan fungsiwakaf hanya dapat diperuntukkan bagi; (a) Sarana dan kegiatan peribadatan; (b) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; (c) Bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yaitu piatu, beasiswa; (d) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau; (e) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat dan peraturan perundang-undangan. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi secara luas, sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.

Apabila dicermati ketentuan peruntukan harta benda wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004, maka al-mauquf ‘alaih hanya terwakili unsur ghair mu’ayyan (umum). Dengan pengertian lain, tidak dimasukkannya al-mauquf aliah di dalam rukun wakaf versi UU Wakaf dan justru memasukkan peruntukan harta wakaf secara umum menunjukkan bahwa UU ini hanya mengakui wakaf khairy (wakaf umum).

Namun timbul pertanyaan, kenapa dalam penjelasan umum UU ini disebutkan bahwa UU ini tidak memisahkan antara wakaf ahly yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairy yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf ?

Page 83: Buku Jurnal 7.4.pdf

684_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Begitu pula apa maksud pengaturan dalam PP No. 42/2006 pasal 30 ayat (4), (5), dan (6) bahwa dengan sendirinya wakaf ahly beralih status menjadi Wakaf Khairi? Seharusnya ketentuan ini tidak perlu muncul sebab tujuan dan fungsi wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi kepentingan umum (ghair mu’ayyan)

Keempat, meningkatkan profesionalisme Nazhir. Dalam UU Wakaf Pasal 1 poin 4 dijelaskan;“Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.” Kedudukan Nazhir menjadi penerima harta wakaf dan dimasukkan ke dalam salah satu rukun wakaf, sesuai Pasal 6 UU Wakaf, merupakan hasil ijtihadiyah yangbelum diatur dalamkajian fiqh. Dalam kajian fiqh sendiri, lembaga Nazhir sebetulnya lahir dari konsep tauliyah (perwalian). Perwalian dalam masalah wakaf menurut mayoritas ulama mazhab merupakan hak yang dapat dimiliki oleh Wakif, Maukuf (harta wakaf), Maukuf Alaih, dan Negara.

Ada sedikit pengecualian yaitu dari perspektif Hanabilah dan Hanafiyah. Menurut ulama Hanabilah, pengangkatan Nazhir sebagai wali dapat dilakukan untuk tujuan “pengampuan” dari beberapa pihak yang diwakili, yaitu: (a) Nazhir sebagai pengampu yang merepresentasikan Maukuf ‘alaih berjenis perseorangan (Mu’ayyan); (b) Nazhir sebagai pengampu yang mewakili Negara, jika Maukuf ‘alaih berjenis kelompok orang seperti fakir-miskin; (c) Nazhir sebagai pengampu yang mewakili harta wakaf (Maukuf), jika tujuan dan manfaat wakaf untuk sarana umum seperti mesjid, madrasah, dan lain-lain.23 Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, eksistensi Nazhir merupakan representasi dari Wakif atau Negara.24

Dari deskripsi konsep Nazhir menurut ulama fiqh, pengaturan Nazhir dalam UU Wakaf merupakan hasil ijtihadiyah baru. Pertimbangannya ialah;

a) Adanya ketatapan baru berupa penetapan Nazhir sebagai salah satu rukun wakaf dan sebaliknya menghilangkan Maukuf ‘Alah dalam rukun wakaf menurut UU Wakaf.

Page 84: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _685

b) Wakaf untuk maukuf ‘alaih berjenis umum (ghair mu’ayyan), yang menjadi prinsip UU Wakaf, dalam pandangan ulama fiqhtidak membutuhkan qabul. Oleh sebab itu agar terpelihara harta wakaf harus ada penerima dalam kapasitas sebagai administrator (menurut UU Wakaf). Jadi Nazhir di sini bukan dihasilkan dari konsep perwalian dalam kajian fiqh, tetapi berdiri sendiri sebagai rukun wakaf karena alasan Sadd al-zhariah (menutup celah yang bisa membahayakan).

c) Wakaf yang sudah diikrarkan oleh Wakif dalam jangka waktu tertentu tidak lagi menjadi milik Wakif. Jadi dalam hal ini kedudukan Nazdir adalah sebagai pengelola dan pengembang, pengawas dan pelindung, serta pelapor pelaksanaan tugas sekaligus dari Wakif, harta wakaf, dan Maukuf ‘alaih (umum dan Negara).

Hasil ijtihadiyah ini lalu dituangkan dalam bentuk ketentuan mengenai tugas dan wewenang Nazhir. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU No. 41 Tahun 2004 dan Pasal 13 PP No. 42 Tahun 2006 tugas Nazhir meliputi sebagai admistrator, pengelola dan pengembang, pengawas dan pelindung, pelapor pelaksanaan tugas. Dalam menjalankan tugasnya Pasal 42 UU Wakaf menyatakan: “Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.”

Sementara pada Pasal 43 dinyatakan:

1) pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah

2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif

3) Dalam hal Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin maka digunakan lembaga penjamin syariah

Page 85: Buku Jurnal 7.4.pdf

686_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Untuk mendukung kinerja Nazhir,sesuaiPasal 45 ayat (2) UU Wakaf,Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syari’ah dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf untuk memajukan kesejahteraan umum.

Kelima, pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen untuk mengembangkan wakaf di Indonesia. Dalam kajian fiqh, pembentukan BWI dapat disepadankan dengan lembaga Nazdir yang mendapatkan kepercayaan dan pengangkatan dari Negara (Hakim).25Dalam arti kata kedudukan BWI dapat ditempatkan sebagai Nadzir di satu sisi dan di sisi lain menjadi operator pusat perwakafan yang membawahi lembaga Nadzir.

UU Wakaf juga mengatur pembentukan BWI dan perwakilannya di daerah seluruh Indonesia sesuai dengan kebutuhan. Dalam Pasal 49 UU Wakaf, BWI diberikan wewenang membina Nazhir, mengelola asset wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan ijin dan persetujuan perubahan status dan peruntukan wakaf, serta memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

3. Posisioning Wakaf Produktif dalam UU Wakaf

Sesudah dilakukan penganalisaan keberlakuan hukum wakaf di Indonesia, baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis,26 sebagaimana di atas, maka penulis melakukan kajian posisioning wakaf produktif dalam UU No. 41 Tahun 2004. Dengan menggunakan pendekatan 5 (lima) prinsip pengaturan perwakafan di Indonesia terdapat beberapa hal penting untuk digarisbawahi, yakni:

Pertama, UU Wakaf mengatur pencatatan wakafagardapat dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu. Harta wakaf pada prinsipnya harus produktif yaitu menghasilkan manfaat atau nilai ekonomis sesuai tujuan dan manfaat peruntukan wakaf yang telah diijabkan oleh Wakif. Oleh sebab itu asset wakaf beserta fungsi, manfaat, dan kegunaannya harus dilindungi dan diadministrasikan.

Page 86: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _687

Kedua, UU Wakaf terdapat perluasan obyek benda wakaf, dari mulanya berupa benda tidak bergerak seperti tanah, lalu dikembangkan meliputi pula benda bergerak –termasuk uang. Optimalisasi benda wakaf harus merujuk kepada peruntukan sebagaimana dalam AIW dan peraturan BWI. Khusus optimalisasi wakaf uang dilakukan melalui investasi dan menyertakan penjaminan (asuransi/reasuransi). Selain itu UU Wakaf juga melibatkan LKS (lembaga keuangan syariah) agar potensi wakaf lebih banyak tergali.

Ketiga, UU Wakaf hanya mengakui wakaf yang peruntukannya bagi Maukuf ‘alaih ghair mu’ayyan (peruntukan umum), namun bersifat muqayyad (dibatasi pemanfataannya). Oleh sebab itu di dalam UU Wakaf tidak atur Wakaf Ahly serta Mauquf ‘Alaih dihilangkan dari daftar rukun wakaf. Sebaliknya, UU Wakaf justru menetapkan Nazhir termasuk rukun wakaf.

Keempat, UU Wakaf menekankan profesionalisme Nazhir yang telah ditetapkan sebagai pilar (rukun) wakaf agar tujuan dan manfaat benda wakaf dapat dikembangkan dan dikelola sesuai peruntukannya yang bersifat umum. Di dalam Pengelolaan dan pengembangan wakaf untuk memajukan kesejahteraan umum, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syari’ah. Hal ini menyiratkan bahwa Nazhir harus mengupayakan peruntukan wakaf secara produktif.

Kelima, UU Wakaf menetapkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen untuk mengembangkan wakaf di Indonesia, dan bukan ditangani langsung oleh Negara dan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi wakaf di Indonesia bersifat tabarru’, sehingga kalaupun dilakukan pendayagunaan wakaf hasilnya harus kembali untuk kepentingan umum.

Berdasarkan garis merah ini, penulis memiliki pemikiran bahwa posisioning wakaf produktif menempati poros tengah sekaligus menjadi titik pusat (centre) di antara skema tata kelola wakaf. Bisa dikatakan pula wakaf produktif sebagai spirit UU Wakaf dan bukan sebagai entitas yang berdiri sendiri, seperti tergambar dalam gambar berikut ini:

Page 87: Buku Jurnal 7.4.pdf

688_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Keterangan: Wakaf produktif merupakan skema pengelolaan dan pengembangan wakaf yang ditopang dengan 5 (lima) pilar, masing-masing; (a) pencatatan wakaf; (b) multi obyek wakaf; (c) optimalisasi peruntukan wakaf; (d) profesionalisme Nazhir; (e) penguatan BWI termasuk LPS

Walaupun menjadi poros tengah dan titik sentral dalam skema pengelolaan wakaf produktif tidak serta merta berlaku efektif apabila tidak digerakkan oleh modal sosial. Pada prinsipnya ketentuan wakaf produktif sudah berlaku secara yuridis dan filosofis, tetapi khusus berlakunya wakaf produktif secara sosiologis masih menjadi pertanyaan besar.

Sebagai contoh, tidak semua wakaf dicatatkan, tidak semua LKS aktif mempromosikan produk wakaf tunai, masyarakat masih menganggap tabu terhadap upaya memproduktifkan wakaf, Nazhir lebih banyak berperan sebagai penjaga wakaf, dan BWI baru berdiri di tingkat Provinsi. Singkatnya, mengapa wakaf yang sudah ditentukan manfaat

Page 88: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _689

dan tujuannya tidak berkembang produktif, padahal landasan yuridis dan filosofisnya sudah kuat?

Dengan pendekatan sosiologis, jika benda wakaf di Indonesia begitu besar dan sumberdaya manusia (SDM) wakaf juga tidak sedikit jumlahnya, maka kemungkinan pengelolaan wakaf kurang menyertakan modal sosial. Ahli sosiologi modern, seperti Coleman, Cox, Cohen dan Prusak L.kurang lebih mendefinisikan modal sosial, yaitu; sebagai kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting, bukan hanya bagi kekuatan ekonomi tetapi juga pada setiap aspek eksistensi sosial yang lain.27

Modal sosial merupakan serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerja sama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas. Nilai atau norma itu meliputi suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding) dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.28

Modal sosial mempunyai fungsi yang sangat penting dalam hubungan antar manusia. Keberadaannya dapat dilihat sebagai ‘perekat’ yang menyatukan masyarakat –hubungan-hubungan antar manusia, orang melakukan apa yang dilakukannya terhadap sesamanya karena ada kewajiban sosial, timbal balik, solidaritas sosial dan komunitas. Secara singkat, modal sosial mengarahkan orang untuk berbagi kekuatan (power sharing) yang dilandasi oleh nilai-nilai dan norma-norma kehidupan.

Pemberdayaan modal sosialsebetulnya secara tidak langsung sudah dipraktikkan dalam praktik penghimpuan sedekah dan infak --termasuk wakaf, untuk mesjid, madrasah, dan pesantren. Masyarakat secara suka rela menyisihkan hartanya untuk kepentingan agama dan sosial tersebut karena ada kepercayaan, saling pengertian, dan kebersamaan, sehingga

Page 89: Buku Jurnal 7.4.pdf

690_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas, terutama di bidang keagamaan.

E. Peluang dan Tantangan Wakaf Produktif Di Indonesia

Pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif di Indonesia memiliki peluang yang besar setalah diterbitkannya UU No. 41 Tahun 2004. Peluang itu terbuka sebab UU Wakaf telah menetapkan 5 (lima) prinsip tata kelola perwakafan, yaitu; (a) pencatatan wakaf; (b) multi obyek wakaf; (c) optimalisasi peruntukan wakaf dengan penyertaan LKS-PWU; (d) profesionalisme Nazhir; (e) penguatan BWI.

Pertama, pencatatan wakaf. Dari sisi ini,menurut Data dari Kementerian Agama tahun 2012 telah tercatat dan terdaftar asset wakaf berbentuk tanah mencapai 3,49 miliar meter persegi tanah, pada 420.003 titik di seluruh nusantara. Bila dirupiahkan, dengan asumsi harga tanah hanya Rp100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai Rp349 triliun. Peluang lainnya ialah adanya Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu juga sudah tersedia formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf.

Kedua, multi obyek wakaf. Peluang yang didapat dari sudut ini, antara lain berupa tingginya minat masyarakat di Indonesia dalam menyisihkan hartanya untuk kepentingan agama dan sosial. Indikasi ini terlihat dari pesatnya pertumbuhan jumlah sarana peribadatan, pendidikan, dan sosial lainnya yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Di samping itu dlihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia.

Ketiga, optimalisasi peruntukan wakaf dengan penyertaan LPS-PWU. Peluang yang didapat dari sisi ini adalah pesatnya perkembangan jumlah perbankan syariah di Indonesia yakni ada 1 (satu) Bank Syariah (Bank Muamalah), 14 (empat belas) Bank Umum Syariah, 24 (dua puluh empat)

Page 90: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _691

Unit Usaha Syariah.Semenjak era reformasi semua lembaga perbankan syariah telah mempunyai cabang minimal sampai di daerah Kabupaten/Kota, bahkan sudah banyak berdiri di tingkat Kecamatan.

Di samping itu terdapat 34 (tiga puluh empat) lembaga layanan syariah (Office Channeling) yang memiliki jaringan dalam dan luar negeri.29 Keberadaan jaringan kantor LKS-PWU ini dapat membantu nazhir menghimpun wakaf uang sebab luas jaringan ini mampu menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Tingkat pertumbuhan jumlah kantor LKS-PWU 2,1 persen per bulan.

Keempat, profesionalisme Nazhir. Dari sisi ini peluang pengembangan wakaf produktif didukung dengan keberadaan lembaga Nazhir yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki variasi dari sisi usia, latar pendidikan dan provesi masing-masing. Nazhir biasanya diangkat dari kalangan tokoh masyarakat yang dihormati dan dipercayai oleh warga sekitarnya.

Kelima, penguatan BWI. Dalam kaitan ini secara nasional sudah terbentuk pengurus BWI, dan telah terbentuk perwakilan BWI tingkat Provinsi di seluruh Indonesia, bahkan sudah ada perwakilan BWI di tingkat Kabupaten/Kota.

Akan tetapi di balik peluang pengembangan wakaf produktif di Indonesia juga terdapat tantangan dan kendala yang juga terkait dengan 5 (lima) prinsip tata kelola perwakafan.

Pertama, dari sisi pencatatan wakaf baru dapat diperoleh data berupa wakaf tanah. Sedangkan data wakaf selain tanah hingga sekarang belum ada data pasti. Beberapa pakar baru menyampaikan data asumtif belaka, misalnya Mustafa Edwin Nasution. Ia pernah melakukan asumsi dengan jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa, akan terkumpul wakaf uang sebanyak Rp. 3 Triliyun/pertahun.30

Tantangan lainnya dalam pencatatan wakaf ialah anggaran biaya untuk pengurusan sertifikat tanah wakaf pada khususnya. PPAIW sering

Page 91: Buku Jurnal 7.4.pdf

692_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

mengeluhkan lambatnya proses penerbitan sertifikat tanah wakaf oleh instansi terkait karena alasan alokasi dana yang sangat minim.

Kedua,tantangan dalam implementasi perluasan obyek wakafdiantaranya, ialah; (a) masyarakat lebih menyukai memberikan wakaf berupa benda yang kekal dan tidak berobah. Sementara wakaf tunai karena tidak kekal dan dapat berubah-rubah nilainya maka tidak dilakukan, kecuali sebagai sedekah atau infaq semata. (b) Spirit produktivitas multi obyek benda wakaf justru akan terhambat dengan adanya ketentuan bahwa wakaf uang (mata uang asing) harus dikonversi terlebih dulu ke dalam Rupiah (Pasal 22 ayat (2) PP No. 42 Tahun 2006).

Ketiga, optimalisasi peruntukan wakaf dengan penyertaan LKS-PWU. Tidak bisa dipungkiri bahwa perwakafan di Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam lain, seperti Mesir, Aljazair, Arab Saudi, Kuwait, dan Turki. Begitu pula dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia dan Singapura, potensi tanah wakaf di Indonesia masih berada diurutan terbawah.

Malaysia memiliki Johor Corporation yang mengelola harta wakaf untuk diinvestasikan di berbagai sektor ekonomi. Negeri Singapura, yang Muslimnya minoritas, jika dikruskan aset wakafnya berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES).31

Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan wakaf produktif di Indonesia, antara lain, ialah: (a) pengelolaan wakaf lebih banyak dilakukan secara tradisonal; (b) Masyarakat belum terlalu paham tentang jenis dan bentuk wakaf produktif; (c) LKS-PWU kurang mempromosikan layanan Wakaf tunai kepada masyarakat; (d) Produktivitas wakaf tidak mutlak tetapi terbatas sebab pada Pasal 22 UU Wakaf dibunyikan “hanya dapat”; dan (e) Adanya celah hukum penggunaan wakaf diinvestasikan di luar bank syariah dan penyertaan penjaminan lembaga non-syariah seperti dalam penjelasan pasal 43 ayat (2) UU No. 41/2004 dan Pasal 48

Page 92: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _693

ayat (5)sehingga berpotensi dapat menyebabkan masyarakat kurang percaya terhadap wakaf produktif.

Keempat,peningkatan profesionalisme Nazhir masih mengalami banyak kendala, terutama; (a) Nazhir masih menganggap dirinya sebagai penjaga harta benda wakaf yang menyebabkan pengelolaan wakaf dilakukan secara tradisional. (b) tingkat kemampuan dan manajerial nazhir masih terbatas. Sekarang ini bahkan ada yang mempertanyakan alasan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Nazhir. Beberapa pejabat Kemenag Kota/Kabupaten justru banyak direpotkan dengan kegiatan-kegiatan keorganisasian Pokja Nazhir; dan (c) Nazhir belum banyak melakukan hubungan kemitraan dengan LKS-PWU.

Kelima, penguatan BWI juga masih menghadapi banyak kendala, diantaranya, ialah; (a) keterbatasan anggaran yang dialokasikan kepada BWI; (b) Perwakilan BWI secara nasional belum semuanya sampai di daerah Kabupaten/Kota; (c) Belum ada jaringan ECT maupun Data Best on-line yang menghubungkan BWI dengan perwakilannya di setiap daerah; dan (d) Belum ada skema jaringan antara BWI dengan OJK untuk pengawasan jasa keuangan syariah berbasis wakaf.

F. Penutup

Perwakafan sebagai instrumen ekonomi keuangan yang bersifat tabarru’ (kedermawanan) untuk tujuan ibadah dan kepentingan kesejahteraan telah diakui dalam UU Wakaf. Hanya saja untuk memberdayakan wakaf secara produktif di Indonesia masih menghadapi tantangan pengakuan sosiologis, sekalipun sudah dijadikan spirit pengaturan UU Wakaf.

Dengan pendekatan 5 (lima) prinsip pengaturan perwakafan menurut UU Wakaf, yaitu; (a) pencatatan wakaf; (b) multi obyek wakaf; (c) optimalisasi peruntukan wakaf dengan penyertaan LKS-PWU; (d) profesionalisme Nazhir; (e) penguatan BWI, dapat disimpulkan masing-masing memiliki peluang dan tantangan untuk mengembangkan wakaf secara produktif. Menurut penulis persoalan ini tidak cukup diselesaikan

Page 93: Buku Jurnal 7.4.pdf

694_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dengan pendekatan structural-fungsional, melalui kekuasan atau lembaga independen seperti BWI dan lembaga Nazdir. Akan tetapi agar lahir produktivitas asset dan finasial wakaf serta SDM wakaf yang profesional maka perlu revitalisasi modal sosial yang sudah berkembang di masyarakat. Modal sosial itu meliputi suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding) dan nilai-nilai bersama (shared value) untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas wakaf. Sebab wakaf pada prinsipnya bersifat produktif.

Page 94: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _695

Daftar Pustaka

Ahmed, Habib, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation,Jeddah: IRTI, 2004

Al-Dasuqi, Syams al-Din al-Syaikh Muhammad, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Alisy, Muhammad Ahmad, Syarh Minah al-Jalil ala Mukhtashar Khalil, Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah, Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz VIII Damaskus: Dar al-Fikr, 1985

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional Sampai Dengan Tahun 2008”, Jakarta, 22 April 2008.

Tim Penulis, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produkti Strategis Di Indonesia,Jakarta: Departemen Agama RI, 2007

Junaidi, Ahmad, Menuju Era Wakaf Produktif, PT Mumtaz Publishing, Jakarta, 2007

Kahaf, Munzir, Manajemen Wakaf Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Khlmifa, 2005

Manzur, Ibn, Lisan al-‘Arab, jil. 11. Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954

Mitchell (ed.), Sosial Networks in Urban Situation: Analysis of Personal

Page 95: Buku Jurnal 7.4.pdf

696_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Relationships in Central Africa Town, Manchester: University of Manchester Press, 1969

Muhammad, Abu Su’ud, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997

Nasution, Mustafa Edwin dan Uswatun Hasanah (Editor), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat Jakarta: PKTTI-UI, 2005

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1976

Qahaf, Mundzir, Manajemen wakaf produktif, PT Khalifa, Jakarta : 2005

Qudamah, Ibn, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 6. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972

Salvatore, Dominick dan Eugene A. Diulo, Prinsip-prinsip Ekonomi Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993

Wadjdy, Farid dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Page 96: Buku Jurnal 7.4.pdf

Efektivitas Undang-Undang NO. 41 Tahun 2004 Tentang Pengaturan Wakaf Produktif _697

Endnotes

1. Dominick Salvatore dan Eugene A. Diulo, Prinsip-prinsip Ekonomi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991, h. 1 - 3

2. Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari’at al-Islamiyyat (Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelola Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf), pentj. Ahrul Sani Fathurrahman, dkk, Jakarta: IIMan Press, 2004, h. 13-30

3. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h. 13-15

4. Ibid.

5. Ibid.

6. Ibid.

7. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, t.th., juz VII

8. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976, h. 769

9. Mundzir Qahar, Manajeman wakaf produktif, Jakarta: PT Khalifa: 2005, h. 5

10. Agustianto, wakaf produktif untuk kesejahteraan umat, http:/Agustianto. Niriah. Com 2008 /04 12. 39

11. Dominick Salvatore dan Eugene A. Diulo, ibid,,h. 1 - 3

12. Dalam fiqh al-mauquf ‘alaih dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni; Mu’ayyan (privat) baik perseorang atau kelompok, dan Ghair Mu’ayyan (umum), seperti fakir miskin, pendidikan, mesjid, madrasah, pesantren, dan lain-lain). Wahbah Zuhaili, ibid, juz. VII, h. 189

13. Ibid., juz VII, h. 200-201

14. Ibid., Juz VII,h. 200-204

Page 97: Buku Jurnal 7.4.pdf

698_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

15. Ibid., Juz VII h. 184

16. Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ibid, h. 262

17. Ibid.,h. 266-267

18. Ibid.,h. 274

19. Ibid.,h. 272

20. Ahmad Al-Dardiri, Al-Syarh al-Kabir, Bulaq: Al-Mashriyah, 1289 H., jilid IV, h. 77

21. Wahbah Zuhaili, Ibidh. 159

22. Ibid.,h. 204-205

23. Ibid., juz VII, 231

24. Ibid.

25. Ibid.

26. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, ibid, h. 13-15

27. Mitchell (ed.), Social Networks in Urban Situation: Analysis of Personal Relationships in Central Africa Town, Manchester: University of Manchester Press, 1969,h. 51-76.

28. Ibid.

29. Banksyariahcentre.blocspot.com/p/daftar-lengkap-bank-syariah-di-indonesia.html

30. Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah (Editor), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, 2005, h. 5

31. http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/wakaf-dan-upaya-memberdayakan-potensinya-secara-produktif-di-indonesia-3/

Page 98: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _699

Development of Waqf Management in Indonesia: Potency and Challenge

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia: Potensi dan Tantangan

Abas SambasRumah Moderasi Islam

email: [email protected]

Abstract: Waqf developments in Indonesia grew from simple concepts to concepts that are now

developing productive. Waqf already known with the growing population of Muslims.

Since waqf birth, it has been used as a source of economic empowerment and sup-

port efforts to develop education and propaganda. Since the birth of the reformation

era, many Muslim scholars gave birth the concepts of Islamic philanthropy and has

prompted the government to issue waqf regulations. Now, since the birth of waqf reg-

ulation, there are many products of waqf that managed productively.

Abstraksi: Perkembangan perwakafan di Indonesia tumbuh dari konsep yang sederhana

hingga konsep produktif yang kini berkembang. Wakaf sudah dikenal bersamaan

dengan berkembangnya populasi umat Islam. Wakaf sejak kelahirannya telah

difungsikan sebagai sumber pemberdayaan ekonomi dan mendukung usaha-usaha

pengembangan pendidikan dan dakwah. Sejak lahirnya reformasi, para sarjana

Page 99: Buku Jurnal 7.4.pdf

700_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

muslim banyak melahirkan konsep-konsep filantropi Islam dan telah mendorong

pemerintah untuk menerbitkan regulasi perwakafan. Kini, sejak lahirnua regulasi

perwakafan, ada banyak produk perwakafan yang dikelola secara produktif.

Keywords: Muslim scholars, regulation, productive waqf, welfare, Indonesia

A. Pendahuluan

Wakaf merupakan satu diantara ajaran Islam yang menitikberatkan nilai-nilai sosial, berbagi dan pemerataan kesejahteraan. Dalam litertur Islam, wakaf merupakan ajaran tidak hanya berdimensi ibadah, melainkan juga berdimensi sosial mengingat berdampak luas terhadap penguatan ketahanan eknomi. Di sinilah kita melihat bahwa wakaf memiliki dua dimensi yang sama-sama penting bagi manusia, yaitu dimensi spiritual dan sosial.

Pelaksanaan wakaf didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsân) dan persaudaraan (ukhuwah). Hal ini bermakna, bahwa ketika wakaf ditunaikan terjadilah pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT, sekakigus mendistribusikan manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).1

Perihal awal disyariatkannya wakaf, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa literatur. Dalam beberapa literatur disebutkan, bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw, yaitu berupa sebidang tanah untuk dibangun masjid, sebagaimana diceritakan dalam kitab Maghazi Al-Waqidi.2 Adapun pendapat lain menyebutkan, bahwa Umar bin Khatab yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf secara resmi. Pendapat ini berdasarkan hadits yang di riwayatkan

Page 100: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _701

Ibnu Umar ra, ia berkata: Dari Ibnu Umar ra, berkata: “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar r.a. menghadap Rasulullah saw., meminta petunjuk. Umar berkata: “Wahai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah saw., bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).3

Walau terjadi perbedaan waktu penetapannya, sejarah mencatat para sahabat telah melaksanakan perintah wakaf ini. Abu Bakar misalnya, pernah mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Begitu pula dengan Utsman bin ‘Affan menyedekahkan hartanya di Khaibar, Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur.4

Pada era dua dinasti Islam, yaitu Umayyah dan Abbasiyah, perintah wakaf masuk kedalam hukum konstitusi negara. Hal ini dapat dilihat dengan terlibatnya negara dalam manajerial pengelolaan wakaf. Pada dua dinasti tersebut, pengelolaan wakaf tidak hanya diperuntukkan bagi fakir dan miskin. Wakaf dikelola lebih luas untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Keterlibatan negara dalam pengembangan pengelolaan wakaf didorong oleh fakta yang menegaskan wakaf sebagai sektor pentng untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa

Page 101: Buku Jurnal 7.4.pdf

702_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.5

Model manajerial pengelolaan wakaf juga nampak dalam kebijakan Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia mewakafkan tanah-tanah milik negara kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fikih Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.6

Paparan di atas dengan berbagai perdebatan di dalamnya menegaskan satu hal, yaitu wakaf berperan dalam penguatan ketahanan ekonomi sehingga pengelolaannya terus menerus diperbaiki seiring dengan tuntutan zaman dan kepentingan. Wakaf telah memainkan perannya yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan, wakaf menjadi instrument penting dalam pengembangan ekonomi umat. Atas dasar itulah selayaknya umat Islam umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya merekonstruski ulang sistem manajemen pengelolaan wakaf, agar harta wakaf dapat digunakan

Page 102: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _703

sebagai salah satu instrument pendorong kegiatan ekonomi umat. Dalam situasi perekonomian Indonesia yang pulih seperti sekarang ini, wacana pemberdayaan dana wakaf dengan orientasi nilai ekonomis akan sangat membantu rakyat yang sedang kusilitan untuk mencari tambahan modal usaha. Maka amat tepatlah rasanya jika sekarang digulirkan pengelolaan wakaf secara modern melalui manajemen moderen karena selama ini umat Islam di Indonesia hanya mengenal pengelolaan wakaf secara konvensional.7

Di Indonesia, wakaf adalah bagian dari sejarah perjalanan umat Islam. Bersama zakat, wakaf dikenal dan dipraktekan mulai dalam konsep yang sederhana hingga modern dengan manajerial yang profesional. Dalam hal ini, perkembangan pengelolaan wakaf di Indonesia menegaskan bahwa wakaf merupakan tonggak penting bagi upaya peningkatan perekonomian umat.

Seiring dengan bergulirnya gerakan reformasi, pengelolaan wakaf menemukan momentumnya dengan melakukan beberapa perubahan kebijakan. Dalam hal ini, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar dalam pemberdayakan wakaf sebagai bagian dalam peningkatan kesejahteraan, bahwa wakaf adalah alternatif bagi pengembangan kesejahteraan umat. Di sinilah kita perlu memotret perkembangan pengelolaan wakaf dan model-modelnya serta dampaknya bagi penguatan kesejahteraan umat.

B. Sejarah Pengelolaan Wakaf di Indonesia.

1. Sejarah Pengelolaan Wakaf

Sejak Islam datang dan berkembang di seluruh nusantara, wakaf telah menjadi bagian dari praktek keberagamaan umat Islam. Institusi perwakafan di Indonesia berasal dari hukum Islam itu sendiri yang telah dikenal bersamaan dengan kehadiran agama Islam di Indonesia. Sesuai dengan hasil penelitian Koesoemah Atmaja (1922) sebagaimana yang

Page 103: Buku Jurnal 7.4.pdf

704_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dikutip oleh Imam Suhadi dalam bukunya: Wakaf untuk Kesejahteraan Umat (Yogyakarta: 2002), bahwa pada tahun 1922 telah terdapat wakaf di seluruh nusantara, yaitu mulai dari Aceh, Gayo, Tapanuli, Jambi, Palembang, Bengkulu, Minahasa, Gorontalo (Sulawesi), Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Nama dan benda yang diwakafkan berbeda-beda. Di Aceh disebut wakeuh, di Gayo disebut wokos, di Payakumbuh disebut ibah. Benda yang diwakafkan ini ada benda-benda tidak bergerak, seperti sawah, tanah kering, masjid, langgar, rumah, kebun karet, kebun kelapa dan ada benda yang bergerak seperti Al-Quran, sajadah, dan batu bata (Atmaja : 1922). Keberadaan hukum wakaf tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Rachmat Djatnika pada tahun 1977, bahwa wakaf tanah di Jawa Timur telah ada pada abad XV, seperti wakaf masjid Rahmat dengan pesantren di Ampel Denta di Surabaya.8

Pada mulanya wakaf dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang: Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.9

Fakta sejarah menunjukkan, walaupun agak sulit menentukan jumlah angka secara tepat, banyaknya praktik wakaf, khususnya wakaf tanah sejalan dengan penyebaran dakwah Islam dan pendidikan Islam. Wakaf sangat dibutuhkan sebagai sarana dakwah dan pendidikan Islam tersebut, seperti untuk kepentingan ibadah mahdhoh (murni) seperti masjid, musholla, langgar dan lain-lain, dan untuk ibadah ammah (umum) yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti di

Page 104: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _705

bidang pendidikan : madrasah, sekolah, majelis ta’lim dan lain-lain, di bidang ekonomi: pasar, tranportasi laut untuk dagang dan lain-lain, di bidang politik : sekretariat partai politik Islam dan lain-lain.10

Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, dijelaskan “wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkansebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangkawaktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah”.11

2. Potensi Wakaf

Minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, berkontribusi terhadap rendahnya perkembangan wakaf di Indonesia, bahkan dapat disebut stagnan. Barulah sejak tahun 2001 terjadi perubahan cukup berarti bagi pemberdayaan wakaf. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa praktisi ekonomi Islam yang mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf uang untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).12

Fatwa ini diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yang mana disebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang. UU ini juga mengatur pembentukan nadzir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk penerapan lebih lanjut, Undang-Undang ini didukung oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nadzir wakaf. Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 42/2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar

Page 105: Buku Jurnal 7.4.pdf

706_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.13

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini juga menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan.14

Perkembangan pengelolaan wakaf ini lambat laun menghasilkan data wakaf yang sangat besar. Sebagai suatu lembaga yang telah diatur oleh Islam, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Hal ini menjadikan potensi wakaf sangat besar. Hal ini misalnya diakui oleh Presiden Islamic Development Bank (IDB), Ahmed Mohamed Ali, yang menyatakan, bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI) berpotensi menjadi pusat gerakan wakaf di kawasan Asia Tenggara. IDB juga menyarankan agar BWI mendirikan Bank Wakaf khusus untuk negara-negara di wilayah ASEAN.15

Hal ini diperkuat data Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, jumlah lokasi tanah wakaf sampai tahun 2013 tercatat sebanyak 435.395 lokasi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas menca pai 4.142.646.287.906. Dari jumlah lokasi tersebut 288.429 (66%) lo ka si di antaranya sudah mempunyai sertifikat, sedangkan sisanya 146.966 (34%) lokasi belum bersertifikat dengan rincian sebagai berikut: dalam proses di BPN 3.2157 lokasi (22%), dalam proses KUA, 72.082 lokasi (49%), belum AIW 42.727 lokasi (29%).16

Dengan total luas tanah wakaf 4.142.646.287,906 m2, tahun 2013 ini Provinsi Banten memiliki luas tanah wakaf terluas sebesar 8.039.298.377,800 m2, Provinsi Riau seluas 11.429.968.288 m2. 10.80.551.544.34, dan Provinsi Aceh seluas 767869011.58 m2. Dari segi

Page 106: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _707

jumlah lokasi, provinsi Jawa Tengah tercatat merupakan provinsi yang mempunyai lokasi tanah wakaf terbanyak yaitu 103.294 lokasi, disusul Jawa Barat sebanyak 70.860 lokasi dan Jawa Timur 74.429 lokasi. 17

Dari aspek pemanfaatan, tanah wakaf dimanfaatkan dalam beragam kepentingan. Data Kementerian Agama menunjukkan, Dari luas seluruh tanah wakaf, dipergunakan untuk masjid sejumlah (76%) lokasi, sarana pendidikan sekolah sebanyak (10%), untuk makam sejumlah (7%) lokasi, Panti Asuhan sebanyak (2%) lokasi, sedangkan sisanya diperuntukkan pada Pertanian, Bisnis dan lain-lain.

T.IBADAH76%

SKLH/MDRSH10%

PONPES3%

USAHA1%

MAKAM7%

PANTI ASUHAN2%LAIN-LAIN

1%

Prosentase Peruntukan Tanah Wakaf18

Namun demikian, data mengenai jumlah seluruh asset wakaf yang sebenarnya di Indonesia belum diketahui secara akurat. Ini mengingat data-data tentang asset wakaf di Indonesia belum sepenuhnya terkoordinir dengan baik dan terpusat di institusi yang professional.19

3. Kebijakan Pengembangan Pengelolaan Wakaf

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa peran para sarjana dan pemikir muslim dalam pengembangan wakaf, juga mendorong lahirnya ide-ide progresif dalam pengembangan wakaf. Hal ini juga mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi dan juknis turunannya dalam rangka meningkatkan program pemberdayaan wakaf ini.

Page 107: Buku Jurnal 7.4.pdf

708_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Sebagai regulator, motivator dan fasilitator, pemerintah secara bertahap melahirkan berbagai kebijakan strategis, dari mulai penguatan lembaga perwakafan hingga penyediaan sarana dan insfrastruktur.

1. Penguatan Profesionalisme Nazhir

Keberhasilan pengelolaan wakaf juga ditentukan oleh sejauhmana profesionalisme nazhir. Pengertian “nazhir” dalam kontek wakaf adalah orang atau sekelompok orang yang bertanggungjawab untuk mengurusi, mengelola, menjaga dan mengembangkan barang wakaf. Nazhir dapat dilakukan oleh orang yang berwakaf (al-waqif) atau orang lain yang ditunjuk oleh waqif, atau mauquf ‘alaih (orang atau pihak yang menerima hasil wakaf, menurut salah satu pendapat madzhab), atau oleh hakim (pemerintah) apabila si waqif tidak menunjuknya. Apabila waqif menunjuk nazhir kepada beberapa orang secara berurutan, seperti: saya tunjuk si A menjadi nazhir wakaf saya, dan kalau dia meninggal supaya diganti si B, dan kalau dia meninggal supaya diganti si C. Maka, penunjukan waqif tersebut harus dipenuhi. Diriwayatkan, bahwa ‘Umar ibi Khothab, menjadi nazhir harta wakafnya sendiri, kemudian berpesan agar yang menggantikannya sebagai nazhir selanjutnya adalah Khafshaf (puterinya) selama masih hidup, dan seterusnya akan digantikan oleh orang-orang yang kompeten dari keluarganya .(HR. Abu Daud).20

Para ulama klasik telah menetapkan syarat-syarat pengangkatan nazhir, yaitu:

1. Islam (al-Islam), sebab nazhir merupakan suatu kekuasaan, dan tidak layak orang kafir memegang jabatan membawahi urusan orang muslim.

2. Berakal sehat (al-‘aql) sehingga tidak sah apabila orang gila menjadi nazhir.

3. Dewasa (al-bulugh), dan tidak sah mengangkat anak kecil (belum dewasa) menjadi nazhir.

Page 108: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _709

4. Adil (al-‘adalah), dalam arti menjaga diri dari perbuatan dosa besar dan atau membiasakan perbuatan dosa kecil, seta amanah/ juju dan bertanggungjawab, sehingga tidak boleh mengangkat orang yang suka berbuat dosa dan tidak jujur menjadi nazhir .

5. Mampu (al-kafa’ah), dalam arti seorang nazhir harus dapat melakukan tugas-tugas kenazhirannya secara professional dan kompeten.21

Upaya peningkatan profesionalisme nazhir dapat dilihat dari isi UU No 41 tahun 2014 tentang perwakafan. Dalam UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf, bahwa Nazhir ada tiga macam: nazhir perorangan, nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum. Nazhir perseorangan disyaratkan sebagai berikut: Warga Negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang melakukian perbuatan hukum. Adapun sayarat nazhir organisasi, yaitu: 1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana tersebut di muka, 2) organisasi yang bergerak di bidang social, pendidikan, kemasyarakatan dan/ atau keagamaan Islam. Sedangkan nazhir badan hukum, disyaratkan agar supaya: 1) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan seperti tersebut di muka, 2) badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 3) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam. 22

Profesionalisme nazhir menjadi fokus penting dalam peningkatan perwakafan. Merujuk pada peran dan fungsi nazhir wakaf menegaskan, bahwa seorang nazhir haruslah memiliki kompetensi yang baik sehingga mampu meningkatkan pemanfaatn wakaf. Dalam bahasa lain, nazhir haruslah memiliki kecakapan mental, wawasan yang luas serta berintegritas.

Page 109: Buku Jurnal 7.4.pdf

710_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

2. Pengamanan aset wakaf

Belum tertatanya administrasi aset tanah wakaf, berkontribusi terhadap pengembangan wakaf, terutama dalam pemanfaatannya. Tanah-tanah wakaf yang belum tersertifikasi secara benar misalnya, sangat riskan memunculkan konflik rebutan.

Berdasarkan data Direktorat Pemberdayaan Wakaf, jumlah lokasi tanah wakaf sampai tahun 2013 tercatat sebanyak 435.395 lokasi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas menca pai 4.142.646.287.906. Dari jumlah lokasi tersebut 288.429 (66%) lo ka si di antaranya sudah mempunyai sertifikat, sedangkan sisanya 146.966 (34%) lokasi belum bersertifikat dengan rincian sebagai berikut: dalam proses di BPN 3.2157 lokasi (22%), dalam proses KUA, 72.082 lokasi (49%), belum AIW 42.727 lokasi (29%). Status lokasi tanah wakaf tersebut digambarkan sebagai berikut :

Menilik potensi wakaf yang begitu besar dan masih adanya aset wakaf yang belum bersertifikat, Kementerian Agama telah mengambil tiga langkah strategis sebagai upaya pengamanan aset-asep tersebut sehingga tidak jatuh atau diambil oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hak.

Pertama, melakukan sertifikat tanah wakaf yang ada di seluruh pelosok tanah air. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam pelaksanaannya, sertifikasi tanah wakaf dilakukan oleh tiap-tiap Kantor Kemenag Provinsi dengan anggaran bersumber dari APBN. Dengan demikian, tanah-tanah wakaf tersebut memiliki status hukum yang jelas dan apabila ada pihak yang bermaksud mengambilnya dapat dituntut berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Kedua, melakukan advokasi terhadap aset-aset tanah wakaf yang tengah disengketakan atau bermasalah secara hukum. Dukungan advokasi ini melibatkan banyak pihak, seperti pihak Nazhir wakaf, pemerintah, ahli-ahli hukum yang peduli terhadap harta wakaf

Page 110: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _711

dan masyarakat banyak. Pemberian advokasi ini harus dilakukan secara terpadu agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Ketiga, pemanfaatan dan pemberdayaan tanah wakaf secara produktif. Di samping pengamanan di bidang hukum, pengamanan dalam bidang peruntukan dan pengembangannya harus juga dilakukan. Sehingga antara perlindungan hukum dengan aspek hakikat tanah wakaf yang memiliki tujuan sosial menemukan fungsinya. Pemanfaatan dan pemberdayaan tanah-tanah wakaf yang harus diprioritaskan adalah tanah-tanah wakaf yang memiliki potensi ekonomi yang besar, yaitu tanah-tanah yang berlokasi strategis secara ekonomis, seperti di pinggir jalan, pasar atau tempat keramaian lainnya.23

C. Program Bantuan Wakaf Produktif

Pemanfaatan benda wakaf masih berkisar pada hal-hal yang bersifat fisik, sehingga tidak memberikan dampak ekonomi secara signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Banyaknya harta benda wakaf yang ada di masyarakat Indonesia belum mampu mengatasi masalah kemiskinan.24

Pengelolaan wakaf uang secara produktif untuk kesejahteraan masyarakat menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari lagi. Apalagi di saat ini negri Indonesia mengalami krisis ekonomi yang memerlukan partisipasi banyak pihak. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.25

Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam memiliki peran sebagai fasilitator, dinamisator,

Page 111: Buku Jurnal 7.4.pdf

712_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

pembuat kebijakan dan mitra umat dalam menggalang potensi wakaf dan membangkitkan partisipasi umat untuk memberdayakan tanah wakaf. Dalam upaya membangkitkan partisipasi umat tersebut, telah memberikan bantuan stimulus kepada Nazhir (pengelola tanah wakaf) yang memiliki potensi ekonomi tinggi untuk memberdayakan, mengelola dan mengembangkan tanah wakaf dengan mendirikan jenis-jenis usaha produktif sebagai percontohan wakaf produktif. Sejak tahun 2005 hingga 2013, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah memberikan bantuan pemberdayaan wakaf produktif bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tersebar di 92 lokasi pada 25 provinsi dengan total Rp 56.900.000.000,- (lima puluh enam milyar sembilan ratus juta rupiah).26

NO Provinsi Nilai Bantuan Jumlah Lokasi

% Nilai Bantuan

% Lokasi

1 Aceh 500.000.000 1 0,88 1,09

2 Sumatera Utara

2.000.000.000 1 3,51 1,09

3 Sumatera Barat

300.000.000 1 0,53 1,09

4 Sumatera Selatan

550.000.000 2 0,97 2,17

5 Lampung 500.000.000 1 0,88 1,09

6 Bangka Belitung

400.000.000 1 0,70 1,09

7 DKI Jakarta 1.700.000.000 4 2,99 4,35

8 Jawa Barat 11.605.500.000 21 20,40 22,83

9 Jawa Tengah 15.572.000.000 17 27,37 18,48

10 DI Yogyakarta

1.156.000.000 3 2,03 3,26

Page 112: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _713

11 Jawa Timur 3.800.000.000 5 6,68 5,43

12 Banten 4.150.000.000 5 7,29 5,43

13 Bali 955.500.000 5 1,68 5,43

14Nusa Tenggara Barat

955.500.000 3 1,68 3,26

15Nusa Tenggara Timur

550.000.000 2 0,97 2,17

16 Kalimantan Barat

500.000.000 1 0,88 1,09

17 Kalimantan Tengah

550.000.000 2 0,97 2,17

8 Kalimantan Timur

500.000.000 1 0,88 1,09

19 Sulawesi Utara

400.000.000 1 0,70 1,09

20 Sulawesi Tengah

1.450.000.000 3 2,55 3,26

21 Sulawesi Selatan

6.755.500.000 8 11,87 8,70

22 Sulawesi Tenggara

1.000.000.000 1 1,76 1,09

23 Maluku 600.000.000 1 1,05 1,09

24 Maluku Utara 50.000.000 1 0,09 1,09

25 Papua Barat 400.000.000 1 0,70 1,09

56.900.000.000 92 100,00 100,00

Sebaran Bantuan Wakaf Produktif Berdasarkan ProvinsiTahun 2005 – 2013

Page 113: Buku Jurnal 7.4.pdf

714_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Dari segi pemanfaatannya, bantuan wakaf produktif telah digunakan dalam pengembangan 16 jenis usaha. Dari 16 jenis pemanfaatan, usaha Mini Market mendominasi dengan total bantuan terbanyak di 28 lokasi, yaitu sebesar Rp. 16.200.000.000,-. Penggunaan bantuan wakaf produktif dalam pengembangan usaha menunjukkan bahwa perkembangan nazhir sangat progresif dan profesionalisme nazhir juga meningkat. Nazhir kini memiliki berbagai latar belakang kompetensi. Bukan hanya itu, fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat merespon secara positif program wakaf produktif, dibuktikan dengan banyaknya nazhir dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang beragam.

No. Penggunaan Nilai Bantuan Jumlah Lokasi

1 Hotel dan Kamar Kos 3.300.000.000 5

2 Pertokoan 10.000.000.000 9

3 Mini Market 16.200.000.000 28

4 Gedung Pendidikan 2.700.000.000 2

5 Gedung Serba Guna 3.100.000.000 3

6 Bisnis Center 4.900.000.000 4

7 peternakan 7.300.000.000 15

8 Rumah Sakit 2.500.000.000 2

9 SPBU 2.000.000.000 1

10 Apotik 500.000.000 1

11 Percetakan 400.000.000 1

12 Meubelair 350.000.000 1

13 Home Industri 650.000.000 2

14 Perikanan 400.000.000 1

15 Koperasi 1.900.000.000 4

Page 114: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _715

16 Usaha Mikro 700.000.000 13

56.900.000.000 92

Sebaran bantuan wakaf produktif berdasarkan penggunaan di Seluruh Indonesia Tahun 2005 – 201327

Program bantuan wakaf produktif yang digulirkan Kementerian Agama walau masih terdapat beberapa catatan, namun program ini merupakan terobosan yang telah mendongkrak kepedulian masyarakat terhadap perwakafan. Bahwa program ini telah memotivasi para pegiat perwakafan untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan potensi wakaf, membangun perwakafan sebagai usnur penting pereokonomian umat.

D. Profil Wakaf Produktif: Yayasan Islahul Ummah

Eksistensi Yayasan Islahul Ummah sebagai nazhir wakaf berawal di tahun 2007, saat Ir. Rini Sestyawati, seorang mantan wartawati, melakukan kunjungan ke Dusun Gunung Manik Desa Nagrak Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung, berjarak tidak kurang sekitar 1,5 jam perjalanan dari pusat Kota Bandung. Di sekeliling desa terjadi berbagai kerusakan ekosistem seperti penggundulan pohon. Tak mengherankan jika warga desa enggan untuk memanfaatkan lahan tanaman, dan lebih memilih pergi ke kota untuk mencari pekerjaan demi meraup rupiah.

Dalam bidang pendidikan, warga Gunung Manik sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya sarana pendidikan dan ibadah, jarak sekolah terdekat lebih dari 2 Km. Walhasil, hampir dipastikan tak ada warga desa yang lulus SMA apalagi mendapatkan pendidikan agama. Namun demikian, kondisi ini pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perubahan melalui aktifitas pengembangan perekonomian. Melihat potensi alam di sekitar desa, ia pun memilih mengembangkan peternakan sapi di desa yang jauh dari kota ini. Memilih Gunung Manik yang jauh dari kata subur dan air yang melimpah, adalah sebuah

Page 115: Buku Jurnal 7.4.pdf

716_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

tantangan yang harus ditaklukannya. Menurutnya, jika mengembangkan peternakan di daerah subur mah sudah biasa. Tapi kalau di daerah gersang penuh dengan tantangan. Kalau di daerah gersang bisa sukses, maka akan lebih mudah mengembangkan di daerah subur.28

Tantangan berat langsung menjegal langkahnya. Paradigma warga desa dalam melihat kesuksesan menjadikannya sebagai obyek cibiran. Warga desa sangat pragmatis dan berfikiran pendek. Lagi-lagi, kemiskinan dan kebodohan menjadi satu diantara penyebab semua kondisi ini. Maka, pangkah pertama yang dilakukannya adalah dengan mengedepankan profesionalisme dan amanah.

Satu persatu ia mengajak warga desa untuk berternak sapi. Kepada warga desa yang dibinanya Teh Rini membagi ilmu bidang peternakan. Tak lupa, ia memegang teguh amanah sehingga perlahan tapi pasti ia dipercaya oleh warga desa sebagai pembimbing peternakan sapi di daerahnya. Menurutnya, saat mengawalinya di tahun 2008 dari nol, masyarakat diajak membangun dari nol ternak sapi, agar mereka punya rasa kepemilikan dan tanggung jawab. Ia tidak ingin mereka langsung dibantu dari nol karena akan sangat berbahaya sebelum semuanya profesional pengelolaannhya.29

Untuk mendukung usahanya, ia terus menggenjot wawasan para peternak tentang pentingnya profesionalisme dan integritas dalam mengelola peternakan, mengingat kduanya akan mendorong para investor untuk menanamkan investasinya. Untuk memperkuat usaha pembinaan para peternak, pada 12 Oktober 2010 ia mendidirikan Yayasan Wakaf Ishlahul Ummah. Yayasan ini dibentuk untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan ternak dan pengembangannya. Melalui Yayasan inilah para investor ditarik dan usaha peternakan dikembangkan.

Pada tanggal 16 Oktober 2012, Yayasan Islahul Ummah mendapat amanah berupa dana program bantuan pemanfaatan tanah wakaf dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan total bantuan sebesar Rp. 100.000.000,-. Dana ini merupakan program Bimas Islam yang

Page 116: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _717

diberikan kepada nazhir dengan prestasi dalam bidang usaha produktif. Dengan keberhasilan dalam mendorong warga Gunung Manik beternak sapi, Yayasan Islahul Ummah lolos sebagai penerima bantuan untuk wilayah Jawa Barat.

1. Penggemukan Sapi

Penggemukan Sapi merupakan program utama pemanfaatan program wakaf produktif. Penggemukan dilakukan selama 10 bulan, yang mana sapi pedaging dijual berdekatan dengan Idul Adha. Bibit sapi dibeli dari Tuban Jawa Timur.

Proses penggemukan diawali dengan melakukan pengosongan kandang selama 3 bulan, mulai dari Nopember 2013 s/d Januari 2014. Seluruh kandang yang berjumlah 7 dipersiapkan sebagai kandang eksplorasi. Lantai kandang diperbaiki dengan menghilangkan lantai bambu, menggantinya dengan lantai semen. Tempat pakan diturunkan tempatnya menjadi lebih rendah. Dari total Rp. 100.000.000,- bantuan wakaf produktif ditambah dengan sisa modal dari usaha sebelumnya, dibelikan sapi sebanyak 30 ekor dan disitribusikan kepada 7 orang peternak.

Para penerima bantuan wakaf produktif ini merupakan para peternak pilihan yang telah dibina melalui mekanisme pendidikan yang cukup lama. Dalam melahirkan para peternak handal, Yayasan Islahul Ummah melakukan beberapa kebijakan, diantaranya: pertama, seluruh bantuan bagi pengembangan usaha ternak harus melalui yayasan untuk menghindari kegagalan yang mungkin ditimbulkan karena tidak adanya penangung jawab jika diterima orang per orang. Kedua, para peternak diberikan penyuluhan dan training terkait berbagai hal tentang peternakan, ketiga, para peternak diwajibkan menyekolahkan anaknya.

Sebelum menerima mendapatkan bantuan wakaf produktif, Yayasan Islahul Ummah telah bergerak dalam pengembangan ternak sapi. Tidak mengherankan jika pengelolaan bantuan wakaf produktif tidak mengalami banyak kendala, mengingat para pengguna bantuan telah

Page 117: Buku Jurnal 7.4.pdf

718_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

memiliki kemampuan dalam bidang penggemukan ternak sapi.

2. Pemanfaatan Limbah Kotoran Sapi

Memasuki tahun 2014 ini, Yayasan Islahul Ummah mengembangkan usaha pengolahan limbah ternak menjadi beberapa produk pupuk organic, seperti pupuk bokasi, pupuk kascing, pupuk organic cair dan pestisida organik. Kotoran Hewan lebih familiar dengan Kohe, diolah untuk dijadikan produk pertanian dan mampu menghasilkan uang untuk dipergunakan dalam kebutuhan sehari-hari.

Masa panen daging membutuhkan waktu hingga 10 bulan. Artinya para peternak akan merasakan hasilnya setelah 10 bulan. Hal ini jelas mengganggu pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti untuk makan, sekolah dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Maka, dengan pemanfaatan kotorah hewan dan menghasilkan uang, maka kebutuhans ehari-hari terpenuhi dari pemanfaatan limbah kotoran ini.

Pengolahan limbah ternak, menurutnya, memberikan beberapa manfaat: pertama, menanggulangi masalah limbah peternakan dan pencemaran lingkungan, kedua, meningkatkan pendapatan para peternak anggota, terutama untuk memenuhi kebutuhan sembako rutinnya setiap bulan, ketiga, memberi tambahan penghasilan bagi nazhir Yayasan Wakaf Ishlahul Ummah Bandung, setiap pekannya, yang mana nazhir bertindak sebagai penyedia modal kerja dan memasarkan hasil-hasil produksinya, dan keempat, memberikan input produksi pertanian yang ramah lingkungan dan murah harganya.

Produk pengolahan sisa limbah peternakan diataranya adalah Pupuk kascing. Pupuk ini merupakan produk pengolahan limbah dari kotoran ternak cacing. Pupuk ini dibuat melalui kotak media yang terbuat dari papan, beralaskan bilah bambu. Berukuran 1m x 2m, dilapisi dengan waring plastic hijau, agar cacing-cacing bisa bernafas tetapi tidak hilang. Kotak tersebut kemudian diisi media kotoran padat dan 1 kg bibit cacing. Dalam tempo 2 – 4 pekan, akan terbentuklah pupuk kascing, yang berasal dari kotoran ternak cacing.

Page 118: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _719

C 20,20 % Zn 3,35 mg/100g

N 1,58 % Mg 21,80 mg/100g

P 70,30 mg/100g Fe 1,35 mg/100g

K 21,80 mg/100g Mn 66,15 mg/100g

Ca 34,99 mg/100g Bo 3,43 mg/100g

Hormon Pertumbuhan Tanaman : Guberelin, Sitokinin, Auksin

Tabel 1. Kandungan Zat Hara Pupuk Kascing (Lab. IPB, 2009)

Guna Cara Pemakaian Dosis

Pupuk Akar

1. Tanaman Sayuran/ HiasDibenamkan di sekitar/ bawah akar tanaman. Pemupukan selanjutnya 45 – 60 hari

2. Tanaman Tahunan/ PohonBenamkan di bawah tajuk tanamanPemupukan selanjutnya 3 bulan sekali

200 – 400 gr / tanaman

500 – 1.000 gr / pohon

Page 119: Buku Jurnal 7.4.pdf

720_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Pupuk Daun

Pupuk kascing direndam dalam air sehari semalam & sering diaduk. Bila akan dipakai saring dahulu dan semprotkan atau siramkan ke daun. Cocok untuk tanaman sayuran, cabe dan tanaman hias

1 kg kascing dalam 10 liter air

Perikanan

Setelah kolam dikeringkan 5 - 7 hari, genangi air 5 cm selama 3 hari. Dasar kolam dicangkul. Tebari kascing, biarkan 7 hari, baru diisi air. Kolam siap diisi ikan.

1 kg untuk 1 m2

Penggunaan Pupuk Kascing

Harga Penawaran :

1. Pupuk Bokasi harga Rp 1.500/kg, kemasan karung, 30 kg/karung. Kapasitas produksi diperkirakan sekitar 4 – 8 ton/bulan

2. Pupuk Kascing hargaRp 2.000/kg, kemasan karung, 25 kg/karung. Kapasitas produksi diperkirakan sekitar 2 – 4 ton/bulan

3. Pupuk Organik Cair Rp 10.000/500 ml, kemasan botol plastik, 500 – 1.000 ml/botol. Kapasitas produksi diperkirakan 200 liter/bulan.

Selain pupuk kascing, juga diproduksi pupuk bokasi dengan mikroba. Bokashi dipopulerkan pertamakali di Jepang sebagai pupuk organik yang bisa dibuat dengan cepat dan efektif. Terminologi bokashi diambil dari istilah bahasa Jepang yang artinya perubahan secara bertahap. Sedangkan EM4 merupakan jenis mikroorganisme dekomposer untuk membuat pupuk bokashi. EM4 dipopulerkan oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Jepang. Proses pembuatan pupuk bokashi relatif lebih cepat dari pengomposan konvensional. Bokashi sudah siap dijadikan pupuk dalam tempo 1-14 hari sejak dibuat, tergantung dari bahan baku dan metode yang digunakan. Membuat bokashi sangat mudah, bisa dilakukan dalam

Page 120: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _721

skala rumah tangga maupun skala pertanian yang lebih besar. Berikut ini kami jelaskan tahap-tahapnya.30

Proses pembuatannya, selain limbah padat dari ternak sapi, ditambahkan pula bahan-bahan lain seperti sekam, dedak halus, air kelapa, gula dan mikroba SOT dari PT HCS. Selanjutnya semua bahan-bahan diaduk rata dan ditutup dengan terpal selama 3 hari.

Pembuatan Pupuk Bokasi

Selain meningkatkan wawasan para peternak dalam pengolahan limbah kotoran sapi, Yayasan Islahul Ummah menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dalam pemasaran produk dari limbah ini. Hal ini sebagai strategi pengembangan model peternakan terpadu, sehingga peternakan tidak melulu menghaislkan daging, melainkan juga limbahnya dapat menghasilkan rupiah.

3. Menyelenggarakan Pendidikan Gratis

Sebagai bentuk responsibilitas, Yayasan Wakaf Ishlahul Ummah mengembangkan sayapnya dengan membangun Madrasah MIS Nurussa’adah Madrasah Diniyyah, dan SMP. Semuanya dikelola secara profesional dan tidak dipungut biaya. Hal ini diapresiasi oelh Kepala

Page 121: Buku Jurnal 7.4.pdf

722_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Desa Nagrak Suparman, Menurutnya, Yayasan Wakaf Ishlahul Ummah tidak hanya merubah perekonomian, tapi juga kesehatan, pendidikan dan wawasan masyarakat di sini. Khusus untuk pendidikan, Suparman menggarisbawahi bahwa sejak didirikan sekolah gratis, masyarakat lebih bersemangat menyekolahkan anaknya karena sangat dekat, berbeda dengan sebelum sekolah ini berdiri karena para murid harus menempuh jarak berkilo-kilo meter dari Gunung Manik.

Partisipasi warga juga meningkat. Guru-guru tidak diambil dari luar, melainkan dari warga desa sendiri yang memiliki latar belakang pendidikan. Irma misalnya, ia memilih menjadi tenaga pengajar di MIS Nurussa’adah. Bersama rekan-rekannya, ia menyampaikan pelajaran umum dan agama kepada anak-anak Gunung Manik yang sebelumnya harus menempuh jarak yang sangat jauh sebelumnya untuk bersekolah.

Tidak hanya mengembangkan usaha peternakan, Yayasan Islahul Ummah juga mendorong terbangunya keseimbangan ekosistem melalui usaha penghijauan. Sebagai langkah awal, setiap peternak wajib menyisihkan keuntungannya untuk menanam pohon jati. Falsafah yang dibangun adalah, bahwa pohon adalah investasi panjang untuk anak cucu. Baginya, jika orang kaya menabungnya di bank, maka kita yang miskin menabungnya di alam, untuk anak cucu kita. Kini, wilayah Gunung Manik mulai ditanami pohon jati bekerjasama dengan Kodim dan Pemerintah Kabupaten Bandung dan nampak terlihat menghijau, tidak lagi gersang.

E. Penutup

Pemanfaatan potensi wakaf di Indonesia terus mengalami perubahan. Sejak era reformasi, ada banyak sarjana muslim yang berkontribusi dalam pengembangan isu-isu filantropi Islam dna memberi pengaruh bagi lahirnya regulasi perwakafan. Hal ini pada akhirnya mendorong masyarakat bahwa wakaf memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan.

Page 122: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _723

Pemanfaatan wakaf dalam hal-hal produktif menjadi indikator bahwa pengembangan perwakafan di Indonesia sangat progresif. Wakaf kini tidak lagi identik dengan tanah dan bangunan, melainkan pemanfaatnnya secara produktif sehingga menghasilkan benefit yang dapat digunakan bagi pengembangan pendidikan, saran kesehatan dan dakwah secara luas.

Semua ini merupakan pertanda bahwa umat Islam dengan populasi terbesar di dunia, dapat memanfaatkan wakaf sebagai elemen penting bagi penguatan perekonomian dan kesejahteraan umat. Namun demikian, semua cita-cita dan usaha perlu didukung dengan regulasi yang mencerminkan potensi wakaf sebagai alternatif perekonomian umat.

Page 123: Buku Jurnal 7.4.pdf

724_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Daftar Pustaka

Ajarotni Nasution (ed.), Pengkajian Hukum Tentang Aspek Hukum Wakaf Uang, Jakarta: Kemenkum dan HAM, 2011

AL FITRI,, “Modernisasi Manajemen Wakaf di Indonesia”, M.H.Ihttp://badilag.net/data/ARTIKEL/Modernisasi%20Manajemen%20Wakaf%20di%20Indonesia.pdf

Fahmi Medias, “Wakaf Produktif Dalam Perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal La Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1 2010

A Al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, jilid I

Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013

Tholhah Hasan, “Diskurusus Nazhir Wakaf Produktif,” http://bwi.or.id/index.php/ar/artikel/828-diskursus-nazhir-wakaf-produktif

al-Zuhaili, Wahbah, al-Fikih al-Islami wa Adilatuhu, Damaskus: Dar al Fikr, 1985

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf

http://www.bwi.or.id/index.php/ar/component/content/category/16-sejarah-dan-perkembangan-wakaf (didownload tanggal 23 Juni 2014)

http://www.republika.co.id/berita/shortlink/43007 9 April 2009

http://alamtani.com/cara-membuat-pupuk-bokashi.html (diunduh 23 Juni 2014)

Tim Penulis, Bimas Islam Dalam Angka Tahun 2013, Jakarta: Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2013

Wawancara dengan Ir. Rini Sestyawati, 14 Agustus 2014

Page 124: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia _725

Endnotes

1. AL FITRI, S.Ag., S.H., “Modernisasi Manajemen Wakaf di Indonesia” M.H.Ihttp://badilag.net/data/ARTIKEL/Modernisasi%20Manajemen%20

Wakaf%20di%20Indonesia.pdf

2. Ajarotni Nasution, S.H., M.H. (ed.), Pengkajian Hukum Tentang Aspek Hukum Wakaf Uang, Jakarta: Kemenkum dan HAM, 2011, h. 9

3. Wahbah al-Zuhaili, al-Fikih al-Islami wa Adilatuhu, Damaskus: Dar al Fikr, 1985, h. 169

4. http://www.bwi.or.id/index.php/ar/component/content/category/16-sejarah-dan-perkembangan-wakaf (didownload tanggal 23 Juni 2014)

5. Ajarotni Nasution, S.H., M.H. (ed.), Pengkajian Hukum Tentang Aspek Hukum Wakaf Uang, Jakarta: Kemenkum dan HAM, 2011, h. 11

6. Ibid, h. 12

7. Al Fitri, S.Ag., S.H., “Modernisasi Manajemen Wakaf di Indonesia” M.H.Ihttp://badilag.net/data/ARTIKEL/Modernisasi%20Manajemen%20

Wakaf%20di%20Indonesia.pdf

8. Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013, h. 48

9. Ibid, h. 49

10. ibid, h. 56-57

11. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1.

12. Fahmi Medias, “Wakaf Produktif Dalam Perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal La Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1 2010, h. 74

13. Ibid 75

14. Ibid

15. http://www.republika.co.id/berita/shortlink/43007 9 April 2009

Page 125: Buku Jurnal 7.4.pdf

726_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

16. Tim Penulis, BImas Islam dalam Angka, Jakarta: Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2013

17. Ibid

18. Data DItjen Bimbingan Masyarakat Islam tahun 2013

19. Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf……., ibid, h. 68

20. Tholhah Hasan, “Diskurusus Nazhir Wakaf Produktif,” http://bwi.or.id/index.php/ar/artikel/828-diskursus-nazhir-wakaf-produktif

21. A Al-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, jilid I, h. 313.

22. UU No. 41 Th. 2004, pasal 9 – 10

23. Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan dan Perkembangan Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013, h. 72-73

24. Fahmi Medias, “Wakaf Produktif Dalam Perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal La Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1 2010, h. 69

25. Ibid, h. 70

26. Data Direktorat Pemberdayaan Wakaf Tahun 2014

27. Data Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam tahun 2013

28. Wawancara dengan Ir. Rini Sestyawati, 14 Agustus 2014

29. Wawancara dengan Ir. Rini Sestyawati, 14 Agustus 2014

30. http://alamtani.com/cara-membuat-pupuk-bokashi.html (diunduh 23 Juni 2014)

Page 126: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _727

Activating Money (Cash) Waqf as an Effort to Increase Community Welfare

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Mohammad Mu’alim dan AbdurrahmanInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) AMBON

email: [email protected]

Abstract: Cash waqf was born in response to the potency of waqf as a power for the development

of community welfare. Cash waqf asserts that it is no longer identical with the land

that is intended for education institutions, cemetery and mosques and etc, but cash

waqf can also be a source of new strength to move the potential economic empowerment

sectors. Thus, if its application is still experiencing a lot of challenges, but the cash

waqf needs to be developed to strengthen regulation, institutional and partnerships

with other agencies and institutions.

Abstraksi: Wakaf uang lahir sebagai respon atas potensi wakaf sebagai kekuatan bagi

pengembangan kesejahteraan umat. Wakaf uang menegaskan bahwa wakaf tidak lagi

identik dengan tanah yang diperuntukan bagi lembaga pendidikan, makam dan masjid

atau lainnya, akan tetapi wakaf uang juga dapat dijadikan sumber kekuatan baru

untuk menggerakkan sektor-sektor pemberdayaan ekonomi yang potensial. Dengan

Page 127: Buku Jurnal 7.4.pdf

728_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

demikian, meski penerapannya masih mengalami banyak kendala, namun wakaf uang

perlu terus dikembangkan dengan memperkuat regulasi, kelembagaan dan kemitraan

dengan lembaga dan institusi lain.

Keywords: Waqf, money, empowerment, welfare, community

A. Pendahuluan

Salah satu bentuk filantropi yang telah membudaya pada masyarakat Islam adalah wakaf. Kendati demikian, pada umumnya praktik wakaf pada zaman dahulu identik dengan fisik bangunan atau sebidang tanah, yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kelebihan harta. Adapun wakaf dengan uang (wakaf tunai) kurang mendapat sambutan dari masyarakat Islam klasik. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan fiqih kontemporer, munculah keinginan dari berbagai pihak untuk mengembangkan praktek wakaf dalam bentuk uang tunai. Hal itu disusul dengan lahirnya fatwa-fatwa dan ijtihad kontemporer yang lebih fokus pada pengelolaan wakaf tunai tersebut. Dengan demikian, praktik wakaf tidak lagi menjadi dominasi orang kaya saja, namun semua orang Islam yang ingin ikut berkontribusi dalam wakaf dapat melakukannya dalam bentuk uang tunai atau yang setara dengan itu, dan tidak harus dalam bentuk aset tetap yang bernilai besar.

Fatwa tentang anjuran wakaf berupa uang tunai, sudah pernah dilontarkan sejak abad kedua hijriyah. Dalam hal ini Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan; anjuran wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Selanjutnya, di Turki pada abad ke 15 praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat.

Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk mengimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang

Page 128: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _729

ekonomi. Hal itu ditandai dengan lahirnya berbagai lembaga keuangan Islam seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji, dll. Bahkan, pada saat ini lembaga-lembaga keuangan Islam tersebut sudah menjadi istilah yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam. Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang sebagai salah satu basis dalam membangun perekonomian umat.

Berbagai seminar yang dilakukan oleh masyarakat Islam, baik secara nasional maupun internasional, terbukti semakin mendorong gencarnya ide-ide wakaf uang ini untuk dijadikan sebagai basis peningkatan ekonomi masyarakat Islam. Bahkan beberapa Negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan juga Asia Tenggara telah memulai pengelolaannya dengan berabagai cara. Secara praktis, pengelolaan wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank, di mana uang wakaf tersebut pada umumnya diinvestasikan pada profitable business activities, dan keuntungannya digunakan untuk segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan. Lalu bagaimana dengan Negara kita; Indonesia, sudahkah hal itu menjadi perhatian bersama, khususnya oleh umat Islam sendiri?

B. Reformasi dan pengaruhnya Bagi Pemikiran Islam

Lahirnya regulasi zakat dan wakaf tidak bisa dilepaskan dari berbagai pemikiran tentang ekonomi syariah sebagai kekuatan besar untuk menggerakkan kesejahteraan umat. Gerakan reformasi tidak hanya berdampak pada gerakan perubahan sistem perpolitikan nasional, akan tetapi juga memberi motivasi bagi pengembangan pemikiran Islam, baik dalam politik, pendidikan dan termasuk dalam hal perekonomian. Tak mengherankan jika sejak reformasi ada banyak sarjana muslim yang melahirkan ide-ide brilian tentang ekonomi syariah, zakat dan wakaf.

Para sarjana muslim meyakini, bahwa kebenaran positivistik dan sekularistik yang ditawarkan oleh ilmu ekonomi konvensional ternyata banyak menimbulkan ketimpangan yang menyebabkan terjadinya

Page 129: Buku Jurnal 7.4.pdf

730_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

krisis kemanusiaan. ilmu yang diakui sebagai bebas nilai (value free) ini berpretensi untuk melanggengkan ketidakadilan yang diciptakan oleh para pemilik modal. Karena itulah, kebangkitan kembali ilmu ekonomi Islam merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan terhadap ilmu ekonomi yang lebih humanis. Dengan memuat nilai-nilai ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis), ilmu Ekonomi Islam diyakini akan mampu mensejahterakan umat manusia dengan lebih baik. Kaum mustadh’afîn yang selama ini termarjinalkan oleh ilmu ekonomi konvensional akan terangkat harkat dan derajatnya.1

Walau demikian, para sarjana muslim masih melihat bahwa perkembangan ilmu ekonomi Islam dipandang belum menemukan keseimbangan. Meskipun ditemukan beberapa penyimpangan dalam prakteknya perkembangan institusi ekonomi Islam sangat pesat. Sedangkan di sisi lain, penggalian teori-teori ekonomi Islam masih kurang dan membuat perkembangannya relatif lambat. Keadaan ini tentu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi eksistensi ilmu ekonomi Islam saat ini dan perkembangnnya di masa mendatang. Amartya Sen, Johan Galtung, Joseph Stiglitz, Muhammad Yunus dan sederet ekonom humanis lainnya sebagaimana diungkapkan oleh A. Riawan Amin, telah memperkenalkan prinsip-prinsip dan praktek ekonomi berbasiskan pada nilai-nilai social equity dan humanism, maka prinsip-prinsip perbankan dan ekonomi syariah sudah saatnya pula untuk menampilkan rekam jejak, sistem dan peluang kontribusinya bagi dunia perbankan, keuangan dan bisnis secara luas, akademis dan observable.2

Pun demikian, para sarjana muslim menemukan momentumnya untuk membangkitkan konsep filantropi Islam yang memang sudah dikenal luas di antara umat Islam. Sejak kedatangan Islam hingga kini, filantropi Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai kebangsaan. Zakat, infak dan shodaqoh adalah ajaran-ajaran yang begitu familiar di kalangan umat Islam. Begitupun dengan wakaf, telah dipraktekan secara sederhana hingga modern.

Page 130: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _731

Maka, ketika kran reformasi dibuka yang salah satu bentuknya adalah dibukanya kebebasan berfikir dan berpendapat, umat Islam menyambutnya dengan membangun kembali konsep filantropi Islam dalam bentuk yang modern.

Ali Romdhoni dalam penelitiannya menyebutkan beberapa indikator meningkatnya filantropi Islam di Indonesia pasca reformasi. Pertama, meningkatnya antusiasme umat Islam modern dalam berfilantropi. Indikator utamanya adalah lahirnya sejumlah organisasi filantropi—bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), kini aktivitas yang sejenis menjadi terorganisir dan mewujud dalam banyak lembaga yang dikelola secara modern, profesional dan transparan. Sekedar menyebut, misalnya, di sana ada Dompet Dhuafa (DD), Rumah Zakat Indonesia, Tabung Wakaf Indonesia (TWI),3 dan lain sebagainya.

Kedua, meningkatnya kualitas dan kapasitas lembaga-lembaga yang mengelola dana zakat, infak dan sadakah atau ZIS. Tidak menjadi rahasia lagi, akhir-akhir ini lembaga-lembaga sejenis ini merekrut tenaga muda profesional dan terdidik sebagai pengelola, selain juga mulai memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan kemampuan pelayanan (penggalangan maupun distribusi dana kepada mereka yang berhak).4

Di kalangan masyarakat muslim di Indonesia, aktifitas filantropi ini secara perlahan namun pasti mulai menemui momentumnya—bergerak menuju filantropi yang berorientasi kepada keadilan dan pembangunan sosial. Yang dimaksud dengan orientasi kepada keadilan sosial di sini adalah sebuah filantropi yang berupaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum lemah, melindungi nilai-nilai hak azasi manusia (HAM) universal, yang mencakup hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi dan sosial budaya, tanpa membeda-bedakan latar belakang agama, warna kulit, suku bangsa, jenis kelamin, dan status sosial.5

Lahirnya Undang-undang No. 41 tahun 2004merupakan bagian tak terpisahkan dari kebangkitan pemikiran Islam pasca gerakan reformasi.

Page 131: Buku Jurnal 7.4.pdf

732_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Wakaf yang sebelumnya belum terakomodasi secara baik dalam regulasi, atas dorongan para sarjana muslim dan kekuatan politik yang ada, pada akhirnya dapat diterbitkan. Ini menegaskan bahwa perkembangan pemikiran Islam dan momentum gerakan reformasi memberikan pengaruh besar bagi penguatan konsep pengelolaan wakaf dan filantropi Islam lainnya.

C. Gambaran Umum Wakaf

1. Definisi

Ditinjau dari segi bahasa, wakaf berasal dari kata al-waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u (mencegah) dan menahan al-habs (menahan).6 Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pendapat, di antaranya:

a. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah tindakan seseorang yang menahan hartanya agar dapat dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah SWT.

b. Menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, di mana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.

c. Menurut mazhab Hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hak milik Allah SWT, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.7

Namun pendapat yang dikeluarkan oleh imam Abu Hanifah berbeda dengan para muridnya (Hanafiyah) termasuk Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut beliau wakaf adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau

Page 132: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _733

menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.

Adapun pengertian wakaf menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004, pasal 1 (1): “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.8 Sedangkan wakaf uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud), sebagaimana dijelaskan dalam fatwa MUI tanggai 11 Mei 2002 adalah “wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai atau surat-surat berharga.

2. Dasar Hukum Wakaf Uang

Di antara dasar pelaksanaan wakaf (uang), secara umum dapat dipahami dari penjelasan beberapa ayat dan riwayat hadis di bawah ini:

1. Surat Al Imran ayat 92: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.“(QS. Ali Imron/3:92).

Pada makna ayat di atas, terdapat redaksi “harta yang kamu cintai”. Redaksi tersebut bermakna umum, tidak terbatas kepada harta tidak bergerak saja (seperti tanah dan bangunan), akan tetapi juga menyangkut harta bergerak seperti kendaraan dan juga uang.

2. QS. al-Baqarah ayat 261-262: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap

Page 133: Buku Jurnal 7.4.pdf

734_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Pada makna ayat tersebut, terdapat kalimat “orang yang menafkahkan hartanya”. Dalam hal ini, kata “hartanya” sama seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran di atas, yaitu bermakna luas, termasuk juga harta dalam bentuk “uang”.

3. Hadis Nabis s.a.w.: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r:a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (H.R. Muslim, alTirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).

Hadis di atas bersifat umum, karena di dalamnya tidak disebutkan jenis harta yang dimaksudkan sebagai shadaqah jariyah atau wakaf.

4. Hadis Nabi s.a.w.: ‘Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bin al-Khatthab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah.’ saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih haik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya? ” Nabi saw. menjawab: “Jika mau, kamu

Page 134: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _735

tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. ” Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada orang-orang fakir, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan juga untuk tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik”. (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al-Nasa’i).

Hadis di atas lebih bersifat kasuistik tentang keinginan Umar bin Khatthab ra untuk mewaqafkan hartanya yang berupa tanah. Dengan demikian, riwayat ini tidak dapat diberlakukan secara umum berkaitan dengan ketentuan bentuk harta yang diwakafkan, karena tanah hanyalah salah satu bentuk harta yang dapat diwakafkan dan bukan satu-satunya.

5. Jabir ra. berkata:

“Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf”.9

Beberapa ayat dan hadis di atas, secara umum dapat dijadikan dasar pelaksanaan wakaf, baik yang berupa harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, maupun harta bergerak seperti uang dan kendaraan. Demikian ini, karena beberapa landasan di atas menyebutkan bahwa sesuatu yang menjadi obyek wakaf adalah harta, “al-mâl”. Sedangkan makna al-mâl(harta) dalam istilah bahasa Arab adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk benda maupun manfaatnya. Dalam hal ini, ulama mazhab Hanafi mendefinisikan harta dengan “segala sesuatu kesayangan manusia dan dapat dihadirkan pada saat diperlukan” atau “segala sesuatu yang dapat

Page 135: Buku Jurnal 7.4.pdf

736_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan”. Sedangkan jumhur ulama berpendat bahwa harta ialah “segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak dan menghilangkannya (Abdul Azis Dahlan, dkk, 1996). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa uang termasuk dalam pengertian harta. Oleh karena itu uang boleh diinfakkan, disedekahkan ataupun diwakafkan seperti halnya tanah dan bangunan.

3. Pendapat Ulama Perihal Kebolehan Wakaf Uang

Wakaf uang atau wakaf tunai, kendati kurang mendapat sambutan pada masa lalu, namun terdapat beberapa fatwa ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan pelaksanaan bentuk wakaf tersebut. Di antaranya:

a. Imam al-Zuhri (w. 124H.) menjelaskan bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih.10

b. Para ulama mutaqaddimin (klasik) dari kalangan mazhab Hanafi, membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-’Urf, berdasarkan atsar dari Abdullah bin Mas’ud r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.11

c. Sebagian ulama mazhab al-Syafi’i: “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”.12

d. Ibn Abidin juga menegaskan bahwa mewakafkan uang adalah sah meskipun fisiknya tidak dapat dikekalkan dalam bentuk yang asal, akan tetapi pengekalan itu dapat dilakukan dalam bentuk yang lain, beliau berpendapat bahwa keabsahan wakaf terhenti

Page 136: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _737

pada urf masyarakat setempat (Ibn Abidin, 1966: 364).

e. Abdullah al-Anshari, seperti disampaikan oleh Ibn al-Humam (1316 H: 51) berdasarkan riwayat dari Muhammad bin Abdullah al-Anshari menjelaskan bahwa, uang boleh diwakafkan dengan cara menginvestasikannya, dan hasil yang diperoleh dari investasi tersebut disedekahkan.

Berdasarkan beberapa pendapat ulama di atas, semakin jelaslah bahwa tidak terdapat persoalan yang perlu diperdebatkan berkaitan dengan kebolehan wakaf uang/tunai, asalkan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan tata aturan yang terdapat dalam wakaf pada umumnya.

D. Perkembangan dan Kendala Pengelolaan Wakaf Uang

1. Potensi Wakaf Uang

Masuknya wakaf uang dalam regulasi perkawafan menegaskan bahwa wakaf uang adalah bagian dari potensi keuangan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Wakaf uang membuka peluang yang unik untuk menciptakan investasi guna memberikan pelayanan keagamaan, layanan pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan orang-orang kaya dapat dimanfaatkan dengan menukarkannya dengan Cash-Waqf Certificate. Hasil pengembangan wakaf yang diperoleh dari sertifikat tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang bermacam-macam seperti tujuan-tujuan wakaf itu sendiri. Kegunaan lain dari Cash Waqf Certificate adalah bahwa dia dapat mengubah kebiasaan lama di mana kesempatan wakaf seolah-olah hanya untuk orang-orang kaya saja.13 Secara konseptual, wakaf uang mempunyai peluang yang unik untuk menciptakan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan layanan sosial. Tabungan dari masyarakat yang mempunyai penghasilan menengah ke atas dapat dimanfaatkan melalui penukaran dengan Sertifikat Wakaf Uang (SWT), sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf uang dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk pemeliharaan dan pengelolaan tanah wakaf.14

Page 137: Buku Jurnal 7.4.pdf

738_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia No. 01 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak berupa Uang, sertifikat dapat diberikan kepada wakif yang telah mewakafkan uangnya paling sedikit Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) dengan menyertakan asal-usul uang dan identitas lengkap wakifnya.

Potensi dari wakaf uang sangat besar jika mampu dikelola secara baik. Terutama jika dana itu diserahkan kepada pengelola profesional dan diinvestasikan di sektor yang produktif sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif dalam rangka membantu kaum dhuafa dan kepentingan ummat. Dengan demikian jumlah wakaf uang tidak akan berkurang, akan tetapi bertambah dan terus. Jika dana wakaf uang ditipkan di Bank Syari’ah dan setiap tahun diberikan bagi hasil sebesar 9%, maka pada akhir tahun akan diperoleh dana hasil investasi sebesar Rp. 270.000.000.000.15

Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Mustafa Edwin Nasution, mengungkapkan, potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar, bisa mencapai Rp 20 triliun per tahunnya. Menurutnya, jika 10 juta umat Muslim di Indonesia mewakafkan uangnya mulai dari Rp 1.000 sampai Rp. 100 ribu per bulan, minimal dana wakaf uang yang akan terkumpul selama setahun bisa mencapai Rp 2,5 triliun. Bahkan, jika sekitar 20 juta umat Islam di Tanah Air mewakafkan hartanya sekitar Rp 1 juta per tahun, potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 20 triliun. Menurut Mustafa, potensi wakaf uang itu akan bisa dicapai jika semua elemen baik pemerintah maupun lembaga swasta bergandeng tangan mengkampanyekan gerakan wakaf uang.16

Menurut Cholil Nafis17, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Sedangkan jika 50 juta orang yang berwakaf,maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika sajaterdapat 1 juta umat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000 perbulan, maka akan diperoleh

Page 138: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _739

pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 miliarsetiap bulannya (Rp 1,2 triliun per tahun).18

Wakaf uang adalah potensi besar. Dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, maka wajar jika potensi wakaf uang di Indonesia juga besar. Angka-angka di atas tentu bukan ukuran mutlak. Dengan tingkat pertumbuhan eknomi yang terus membaik, angka potensi wakaf uang tetu akan semakin meningkat.

2. Wakaf Uang bagi Kesejahteraan Umat

Karakteristik utama dari ibadah wakaf tidak lain adalah terdistribusikannya manfaat (secara berkelanjutan) dari harta yang diwakafkan tanpa merusak atau mengurangi pokok harta wakaf tersebut. Hal itu tentunya tidak terbatas hanya pada benda-benda tidak bergerak saja, sebagaimana dipahami oleh mayoritas umat Islam selama ini. Akan tetapi segala bentuk harta yang kemanfaatannya dapat diambil dan didistribusikan secara berkelanjutan boleh untuk diwakafkan, termasuk uang maupun surat-surat berharga.

Adapun berkaitan dengan riwayat-riwayat yang menjelaskan pelaksanaan wakaf pada masa Rasulluh saw. dan para sahabat, yang pada umumnya berupa benda-benda tidak bergerak; terutama tanah dan kebun, tidak lain bersifat kasuistik. Yakni berawal dari keinginan para shahabat untuk mewakafkan sebagian hartanya dijalan Allah SWT, dan harta yang hendak mereka wakafkan pada saat itu berupa tanah maupun kebun. Namun demikian, kasus dalam riwayat tersebut tidak dapat digeneralisir, apalagi dijadikan alasan bahwa wakaf hanyalah berupa tanah dan kebun saja, karena tidak terdapat satupun riwayat berupa hadits qauli yang menyebutkan pembatasan bentuk harta wakaf yang ditunjuk oleh Rasulullah saw. Dengan demikian, kasus wakaf yang terjadi pada masa shahabat dapat dikembangkan pada bentuk-bentuk lain dari harta benda (termasuk uang), selama karakteristik utama dari ibadah wakaf tersebut tetap terjaga.

Page 139: Buku Jurnal 7.4.pdf

740_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Pada masa sekarang, uang merupakan nilai harta yang disepakati manusia diseluruh penjuru dunia, dan dapat diketahui kursnya setiap saat. Di samping itu, uang merupakan harta yang lebih mudah untuk dibawa kemana pun, sehingga dapat secara mudah untuk ditasharrufkan baik untuk kepentingan ibadah maupun kepentingan lainnya. Di sisi lain, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di setiap wilayah tentunya akan semakin mengurangi luasnya tanah yang dapat diwakafkan, karena sebagian besar dimanfatkan untuk pemukiman, perkantoran, maupun tempat usaha lainnya. Maka jika wakaf hanya dibatasi pada benda-benda tidak bergerak saja, terutama tanah, tentunya ibadah tersebut akan semakin sulit untuk dilaksanakan. Jika demikian, maka yang terjadi adalah terhambatnya upaya peningkatan kesejahteraan bagi kaum yang lemah, karena banyak orang-orang kaya yang tidak dapat mewakafkan hartanya, padahal para fakir miskin menunggu kepedulian yang berkelanjutan dari mareka.

Pelaksanaan wakaf uang juga akan dapat meningkatkan kepedulian antara sesama, karena siapapun dapat melakukannya, tidak perduli apakah dia orang kaya maupun miskin. Hal ini tentunya berbeda jika wakaf hanya dibatasi pada tanah dan kebun, maka tidak semua orang dapat melakukannya, karena untuk berwakaf mereka harus memiliki tanah ataupun menyiapkan sejumlah uang yang banyak untuk membeli tanah tersebut, dan hal itu tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Maka bagi mereka yang merasa tidak mungkin untuk melakukannya, hampir dapat dipastikan mereka tidak akan merencanakan ibadah wakaf.

Fakta lain yang sering terjadi pada saat ini adalah terbengkalainya sekian banyak harta wakaf yang berupa benda-benda tidak bergerak, baik tanah, kebun, gedung sekolah, rumah sakit dan lain-lain, karena tidak tercukupinya pembiayaan operasional benda-benda wakaf tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan wakaf uang yang dapat secara langsung dikelola secara produktif dengan diinfestasikan pada lembaga-lembaga pengembang yang profesional, misalkan bekerja sama dengan perbankan syariah agar menjadikannya sebagai modal usaha, maupun

Page 140: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _741

menjadi produk-produk lain pada perbankan dimaksud, kemudian keuntungannya disalurkan kepada orang-orang atau lembaga yang menjadi tujuan wakaf tersebut.

Dari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa potensi wakaf uang yang sangat besar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Ada beberapa catatan tentang pemanfaatan wakaf uang bagi penigkatan kesejahteraan umat.

Pertama, wakaf uang dapat digunakan untuk mengolah aset-aset wakaf berupa tanah-tanah kosong, untuk dikelola secara produktif melalui berbagai kegiatan ekonomi, atau dengan pembangunan gedung.

Kedua, wakaf uang dapat dijadikan alternatif pembiayaan bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah dan lainnya. Lembaga pendidikan Islam dapa lebih mandiri dengan adanya sumber pembiayaan dari wakaf uang ini, tidak lagi bergantung pada pendanaan pemerintah atau lainnya. Di samping itu, kemandirian sumber pendaaan juga akan memudahkan lembaga pendidikan dalam mengembangkan perannya dalam penguatan keilmuan Islam.

Ketiga, wakaf uang sangat potensial untuk membantu para pelaku usaha kecil. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, puluhan juta UKM itu saat ini mewakili lebih dari 90 persen bisnis di Indonesia dan memberikan kontribusi sebesar 57 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. UKM memiliki ketangguhan yang luar biasa dan tidak terpengaruh pada krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan krisis ekonomi 2008. UKM memiliki peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pemerintah berkomitmen untuk terus mendukung UKM.19 Posisi dan eksistensi UKM akan lebih kuat jika ditopang oleh pembiayaan yang bersumber dari wakaf uang.

3. Pelaksanaan Wakaf Uang di Indonesia

Pada awalnya, wakaf yang diberlakukan di Indonesia hanya berkaitan dengan benda tidak bergerak, khususnya tanah. Hal itu dapat dipahami

Page 141: Buku Jurnal 7.4.pdf

742_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dari pendefinisian wakaf yang tertuang dalam peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya, bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun karena banyaknya keinginan yang mendorong pelaksanaan wakaf tunai atau wakaf uang, akhirnya mendorong majelis ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan beberapa upaya dan kajian lebih lanjut berkaitan dengan ibadah wakaf tersebut.

Di antara upaya yang dilakukan oleh MUI adalah rapat komisi fatwa pada tanggal 23 Maret 2002 untuk melakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) terhadap definisi wakaf yang selama ini dipahami oleh mayoritas umat Islam. Usaha tersebut dilakukan dengan mengkaji kembali dasar-dasar tentang wakaf, baik ayat-ayat al-Quran maupun riwayat hadis, seperti hadis riwayat dari Ibnu Umar. Hal itu dilanjutkan dengan rapat komisi fatwa pada tanggal 11 Mei 2002, dan berhasil merumuskan pengembangan definisi wakaf sejalan dengan definisi yang disampaikan oleh Muhammad al-Syarbini al-Khatib, sebagai berikut:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.

Beberapa upaya di atas, selanjutnya disusul dengan penerbitan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 11 Mei 2002 yang memutuskan beberapa hal sebagai berikut:

a. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan

حبس مال ميكن اإلنتفاع به مع بقاء عينه أو أصله بقطع التصرف يف رقبته

.على مصرف مباح موجود

Page 142: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _743

hukum dalam bentuk uang tunai.

b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.

c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)

d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iah.

e. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.20

Setelah diterbitkannya fatwa MUI tersebut, wacana tentang wakaf uang di Indonesia semakin berkembang, bahkan disusul dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, yang di dalamnya juga memuat perihal aturan pelaksanaan wakaf uang/tunai. Misalkan pasal 16 (1), yang menjelaskan bahwa “Harta benda wakaf terdiri dari: benda tidak bergerak; dan benda bergerak”. Selanjunya, pada pasal 16 (3) disebutkan bahwa: “Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.21

Dalam ketentuan undang-undang di atas, wakaf uang dilaksanakan melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri (ps. 28). Adapun pernyataan wakif dalam pelaksanaan wakaf tersebut dilakukan secara tertulis, selanjutnya lembaga keuangan syariah dimaksud akan menerbitkan sertifikat wakaf uang dan disampaikan kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf (ps. 29). Kemudian lembaga keuangan syariah tersebut atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf (uang) kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang (ps. 30). Dengan demikian keberadaan wakaf uang di Indonesia sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena sudah diatur sedemikian rupa dalam UU. No 41 tahun 2004, bahkan untuk mengatur pelaksaannya pemerintah juga telah mengeluarkan PP. no. 42 tahun 2006.

Page 143: Buku Jurnal 7.4.pdf

744_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia, langkah selanjutnya yang tempuh oleh pemerintah adalah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dan untuk pertama kali, keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden RI, sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.22

Dalam hal ini, sesuai dengan UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1 disebutkan, BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.

c. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.

d. Memberhentikan dan mengganti nazhir.

e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Secara khusus berkaitan dengan wakaf uang, Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 8 Januari 2010. Dan untuk mengoptimalkan mobilisasi wakaf uang dari masyarakat, pemerintah Indonesia melalui BWI menggandeng perbankan syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) berdasarkan ketentuan yang ada dalam UU wakaf 2004. Dalam hal ini, bank syariah memang tidak mengelola wakaf secara langsung, namun ia bermitra dengan nazhir (BWI) dalam pengelolaan aset wakaf uang, yang

Page 144: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _745

mana salah satu caranya adalah dengan menginvestasikan wakaf uang tersebut dalam produk-produk perbankan syariah.23

Di Indonesia, ada beberapa bank syariah yang telah bekerja sama dengan BWI menjadi LKS-PWU, salah satunya adalah Bank Syariah Bukopin. Keberadaan bank syariah sebagai LKS-PWU ini merupakan bentuk fungsi sosial-ekonomi bank syariah sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.

Pada dasarnya, wakaf uang yang diberikan lewat bank syariah terbagi menjadi dua macam, yaitu wakaf abadi dan wakaf berjangka. Wakaf abadi yaitu harta berupa uang tunai yang diwakafkan untuk dimanfaatkan selamanya. Wakaf berjangka ialah harta benda yang diwakafkan berupa uang tunai untuk dimanfaatkan dengan jangka waktu minimal lima tahun. Wakif (orang yang berwakaf) akan memperoleh Sertifikat Wakaf Uang jika berwakaf mulai Rp. 1 juta. Pihak bank syariah, dalam hal ini hanya berfungsi sebagai penerima wakaf uang. Dengan kata lain, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nazhir (BWI), yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Dana yang diwakafkan, sedikitpun tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman dengan pengelolaan secara amanah, profesional, dan transparan. Di samping itu, banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya wakaf uang ini. Karena wakaf uang yang dimobilisasi melalui bank syariah nantinya dapat dikelola untuk kemaslahatan umat, seperti untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan bentuk-bentuk kemaslahatan sosial lainnya. Hadirnya bank syariah sebagai LKS-PWU tentunya akan memberikan kemudahan bagi pewakaf (wakif) dalam menyalurkan dana wakafnya, guna mendorong pengembangan wakaf uang di Indonesia.

Page 145: Buku Jurnal 7.4.pdf

746_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

4. Kendala Pengembangan Wakaf Uang

Walau demikian, pengelolaan wakaf uang hingga saat ini masih dihadapkan pada beberapa kendala. Muhyar Fanani24 dalam riset yang dilakukannya, menemukan beberapa catatan kendala dalam penerapan regulasi wakaf uang.

Pertama, sosialisasi UU Wakaf belum maksimal, khususnya tentang wakaf uang. Masih terdapat anggapan di masyarakat, bahwa wakaf itu identik tanah. Namun istilah wakaf uang belum begitu familiar di tengah masyarakat Indonesia, ini bisa dilihat dari pemahaman masyarakat Indonesia yang memandang wakaf hanya sebatas pada pemberian berbentuk barang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk tempat ibadah, kuburan, pondok pesantren, rumah yatim piatu dan pendidikan semata. Pemanfaatan benda wakaf masih berkisar pada hal-hal yang bersifat fisik, sehingga tidak memberikan dampak ekonomi secara signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Banyaknya harta benda wakaf yang ada di masyarakat Indonesia belum mampu mengatasi masalah kemiskinan.25

Padahal, telah banyak regulasi yang menjelaskan jenis-jenis wakaf, termasuk wakaf uang. Misalnya saja Fatwa MUI tahun 2002 tentang bolehnya wakaf 2002, lalu diikuti dengan terbitnya UU perwakafan tahun 2004 berikut Peraturan Pemerintah (PP). Mengherankan jika sebagian besar masyarakat belum memahami secara benar wakaf uang sebagai gerakan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kedua, profesionalisme nazhir masih belum optimal. Regulasi perwakafan, khususnya tentang wakaf uang, masih menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan nazhir wakaf. Hal ini nampak dalam kasus Tabung Wakaf Indonesia (TWI) misalnya, yang mana mereka menginvestasikan ke sektor riil dan tidak akan pernah menggunakan instrumen perbankan semisal deposito. Pada saat yang bersamaan, BMM dan PKPU memilih menginvestasikannya ke Deposito. Kedua lembaga ini belum memiliki kesatuan pandangan bagaimana mestinya investasi

Page 146: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _747

dana wakaf uang harus diarahkan. TWI meyakini bahwa investasi melalui instrumen perbankan tidak dibenarkan Syariah karena masih berbasis pada uang kertas yang secara subtantif hukumnya riba. Padahal kedua investasi di atas dibenarkan oleh UU perwakafan asalkan diikuti dengan langkah berikutnya, yakni melakukan penjaminan atas semua investasi yang dilakukan.26

Ketiga, sistem mobilisasi dana belum efektif menghimpun potensi wakaf uang. Masih menurut Muhyar Fanani, peraturan perundang-undangan masih dipandang belum memberikan pengaruh yang besar bagi upaya penghimpunan wakaf uang dan hanya mengatur teknis penerimaan (Pasal 2-9 Peraturan BWI no. 1/2009, Pasal 3-7, Peraturan BWI no. 2/2009). Akibatnya, lanjutnya, masing-masing lembaga nazhir memiliki strategi yang berbeda. TWI misalnya, melakukan pengimpunan dana wakaf uang melalui pendekatan kultural seperti pengajian disamping juga brosur dan leaflet. BMM menempuh strategi yang lebih beragam seperti sosialisasi pada nasabah Bank Muamalat, brosur, kerjasama dengan pihak lain, peluncuran program khusus, dan SMS broad cast. Sementara PKPU belum melakukan penggalangan, baru penyiapan sistem. Belum adanya sistem ini mengakibatkan langkah-langkah yang ditempuh serba ad hoc, belum sistemik, dan akhirnya memiliki daya jangkau yang terbatas.27

Keempat, komitmen pada sistem penjaminan risiko belum terbangun dengan baik. Dalam riset Muhyar Fanani, menemukan bahwa TWI, PKPU, dan BMM selaku nazhir wakaf uang sama-sama belum melibatkan lembaga penjamin (asuransi) Syariah dalam menjalankan kewajiban menjaga pokok harta dengan alasan yang beragam. TWI beralasan karena kewajiban nazhir hanya menjalankan usaha terbaik, PKPU beralasan masih mempercayai deposito, sementara BMM menganggap dananya masih terlalu kecil untuk dijaminkan. Ini menunjukkan bahwa ketiga lembaga nazhir itu belum menyiapkan manajemen risiko.28

Kelima, Belum terlindunginya purchasing power of money. Dengan ditetapkannya rupiah sebagai wakaf uang, maka keabadian dana wakif

Page 147: Buku Jurnal 7.4.pdf

748_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

menjadi sulit untuk dijamin. Sebagaimana diketahui rupiah memang sangat rentan inflasi. Optimisme yang ada tidak semestinya menjadikan para pemerhati wakaf uang di Indonesia kehilangan sikap kritisnya. Masih terdapat kelemahan dalam sistem yang dibangun. Salah satu kelemahan sistem wakaf uang kita adalah tak dilindunginya nilai wakaf dari gerusan inflasi.29

Keenam, pengemasan wakaf tunai saat ini masih kurang menarik calon pewakaf. Menurut Direktur Retail Banking Bank Mega Syariah (BMS), Ani Murdiati, kemasan wakaf perlu dibuat lebih atraktif sehingga menarik minat calon pewakaf menempatkan dananya. Ia mencotohkan, ada investasi tertentu untuk penempatan wakaf. Ani menuturkan pihaknya juga telah memberi masukan kepada BWI mengenai pengembangan wakaf uang tersebut. Dengan mengemas wakaf tersebut, lanjutnya, nasabah pun mengetahui penyaluran dan pengelolaan dana wakaf. Ani menyebutkan penghimpunan wakaf uang di BMS telah dimulai efektif pada Oktober 2009 dan kini dana yang terkumpul kurang dari Rp. 1 miliar.30

E. Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa wakaf berupa uang tunai tidaklah dilarang, bahkan sebagian ulama menganjurkannya, asalkan ia dikelola secara professional, amanah, dan transparan, serta memenuhi berbagai ketentuan pengelolaan terhadap harta wakaf. Namun demikian, sebagai benda bergerak, uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan benda tidak bergerak, karena sifatnya yang mudah ditasyarrufkan.

Pada umumnya, pengelolaan wakaf uang merujuk pada cash deposits pada lembaga-lembaga keuangan seperti bank, di mana uang wakaf tersebut pada umumnya diinvestasikan pada profitable business activities, dan keuntungannya digunakan untuk segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.

Page 148: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _749

Wakaf uang juga memiki beberapa keunggulan daripada wakaf dengan benda-benda tidak bergerak, karena wakaf uang dapat dilakukan oleh siapapun tidak perduli apakah dia orang kaya maupun miskin. Dengan demikian, semua umat Islam mempunyai kesempatan yang sama dalam melaksanakan ibadah wakaf tersebut, walaupun tentunya berbeda dalam besaran nominal uang yang mereka wakafkan.

Page 149: Buku Jurnal 7.4.pdf

750_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Daftar Pustaka

Ali Romdhoni, “Filantropi Islam Di Indonesia: Tantangan Dan Potensi,” dalam Jurnal Bimas Islam Vol. No. 2 tahun 2011

Cholil Nafis, “Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial”, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009

Fahmi Medias, “ Wakaf Produktif dalam perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 4 No 1 Juli 2010, h. 76

Hasani, “Membumikan Ekonomi Syariah: Peluang Dan Tantangan,” dalam Jurnal Bimas Islam,Vol. 2 no. 3, tahun 2009

al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, Al-‘Iqna fi Hall al-alfadz Abi Syuza, Dar al-Ihya al-Kutub, t.t.,

al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Juz. IX, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut: Dar al- Fikr,1994

Muhammad, Abu Su’ud, Risalah fi Jawaz Waqf al-Nuqud, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997

al-Syarbini, al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz. IITim Penulis, Pedoman Pengelolaan Wakaf Uang, Jakarta: Direktorat

Jendetal Bimbingan Masyarakat Islam, 2008, h. 72 al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr,

1985, Juz. VIIIUndang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf.http://www.tabungwakaf.com/index.php?option=com_content&view=a

rticle&id=13&Itemid=9 (diakses 5 Juli 2011).http://www.csrc.or.id/research/index.php?detail=20080626081935

(diakses 20 Mei Juli 2014).http://hbis.wordpress.com/2008/12/15/hukum-islam-tentang-

wakafinfaq-dan-haji/. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2013http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-

nusantara/12/07/22/m7jb3w-potensi-wakaf-uang-sungguh-luar-

Page 150: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _751

biasa (22 Juli 2012)http://bwi.or.id/index.php/in/profil/progil-bwi/49/1. download: Kamis,

12 September 2013.http://bwi.or.id/index.php/wakaf-uang-tentang-wakaf-57. download: 10

September 2013Muhyar Fanani, “Wakaf Uang Untuk Kesejahteraan Umat,” Studium

General “Wakaf Uang Untuk Kesejahteraan Umat”, Fak.Syariah, IAIN Surakarta, Kamis, 29 September 2011.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/05/27/117259-wakaf-tunai-perlu-dikemas-lebih-menarik (27 Mei 2010)

Page 151: Buku Jurnal 7.4.pdf

752_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Endnotes

1. Hasani, “Membumikan Ekonomi Syariah: Peluang Dan Tantangan,” dalam Jurnal Bimas Islam,Vol. 2 no. 3, tahun 2009, h. 55

2. Ibid

3. Dalam sejarahnya, pada tanggal 14 Juli 2005, Dompet Dhuafa mendirikan Tabung Wakaf Indonesia yang berperan dalam memberikan sosialisasi, edukasi, dan advokasi wakaf, serta mengelola harta wakaf dari masyarakat maupun institusi.Baca “Profil Tabung Wakaf” di http://www.tabungwakaf.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13&Itemid=9 (diakses 5 Juli 2011).

4. Lih. Ali Romdhoni, “Filantropi Islam Di Indonesia: Tantangan Dan Potensi,” dalam Jurnal Bimas Islam Vol. No. 2 tahun 2011

5. Hasil riset CSRC UIN Jakarta. 2008. “Filantropi untuk Keadilan Sosial dalam Masyarakat Islam Indonesia”. Dalam http://www.csrc.or.id/research/index.php?detail=20080626081935 (diakses 20 Mei Juli 2014).

6. Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-alfadz Abi Syuza, Dar al-Ihya al-Kutub, t.t., h. 319

7. http://hbis.wordpress.com/2008/12/15/hukum-islam-tentang-wakafinfaq-dan-haji/. Diunduh pada tanggal 19 Juni 2013

8. Lihat: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

9. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1985, Juz. VIII, h. 157. Lihat juga: al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz. II, h. 376.

10. Abu Su’ud Muhammad. Risalah fi Jawaz Waqf al-Nuqud, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997, h. 20-2 1

Page 152: Buku Jurnal 7.4.pdf

Menggiatkan Wakaf Uang (Tunai) sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat _753

11. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz VIII, h. 162

12. al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Juz. IX, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut: Dar al-Fikr,1994, h. 379

13. Fahmi Medias, “ Wakaf Produktif dalam perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 4 No 1 Juli 2010, h. 76

14. Ibid

15. Tim Penulis, Pedoman Pengelolaan Wakaf Uang, Jakarta: Direktorat Jendetal Bimbingan Masyarakat Islam, 2008, h. 72

16. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/22/m7jb3w-potensi-wakaf-uang-sungguh-luar-biasa (22 Juli 2012)

17. Intelektual Muda NU dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat

18. Cholil Nafis, “Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial”, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, Nomor 2,April 2009

19. http://nasional.inilah.com/read/detail/2026676/jumlah-ukm-di-indonesia-capai-552-juta

20. Lihat Keputusan Fatwa MUI yang dikeluarkan pada taggal 11 Mei 2002.

21. Lihat: Lihat: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

22. http://bwi.or.id/index.php/in/profil/progil-bwi/49/1. download: Kamis, 12 September 2013.

23. http://bwi.or.id/index.php/wakaf-uang-tentang-wakaf-57. download: 10 September 2013

24. Kepala Pusat Penjaminan Mutu Pendidikan IAIN Walisongo.

25. Fahmi Medias, “ Wakaf Produktif dalam perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 4 No 1 Juli 2010, h. 69

26. Muhyar Fanani, “Wakaf Uang Untuk Kesejahteraan Umat,” Studium General “Wakaf Uang Untuk Kesejahteraan Umat”, Fak.Syariah, IAIN

Page 153: Buku Jurnal 7.4.pdf

754_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Surakarta, Kamis, 29 September 2011.

27. Ibid

28. Ibid

29. Ibid

30. h t t p : / / w w w . r e p u b l i k a . c o . i d / b e r i t a / d u n i a - i s l a m / i s l a m -nusantara/10/05/27/117259-wakaf-tunai-perlu-dikemas-lebih-menarik (27 Mei 2010)

Page 154: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _755

Empowering Women of Majelis Taklim Darunnisa’: Analysis of Social Capital

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’: Analisis Kapital Sosial

Saifudin AsroriFISIP UIN Jakarta,

email: [email protected],

Abstract: This article identifies the forms of social capital in Majelis Taklim Darunnisa.

As the institution of religious and education, Darunnisa is enable to maintain,

grow and develop in the midst of changing era. This ability proves that the Da-

runnisa has various elements used in empowering the members and society sur-

round it. In early period to now, Darunnisa has committed to empowering the

elder and women to grow to be professional education institution. This develop-

ment has shown that the elements of social capital such as faith, norm, network

and agreements have contributed significantly in to Darunnisa’s activities.

Abstraksi: Artikel ini mengidentifikasi bentuk-bentuk kapital sosial yang melekat di Majelis

Taklim Darunnisa’. Sebagai lembaga keagamaan dan pendidikan, Darunnisa’ mampu

bertahan, tumbuh, dan berkembang di tengah perubahan zaman. Kemampuannya

tersebut, membuktikan bahwa Darunnisa’ mempunyai berbagai elemen yang dapat

dimanfaatkan dan digunakan dalam pemberdayaan anggota dan masyarakat sekitarnya.

Majelis Taklim Darunnisa’ sejak awal berkomitment untuk memberdayakan Lansia

dan Perempuan yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan profesional.

Perkembangan tersebut membuktikan bahwa elemen-elemen kapital sosial seperti

Page 155: Buku Jurnal 7.4.pdf

756_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

kepercayaan, norma, jaringan dan bentuk-bentuk kerjasama telah turut berkontribusi

secara signifikan dalam aktivitas yang mereka lakukan.

Keywords: Social Capital, Empowering, Women, Majelis Taklim Darunnisa’.

A. Pendahuluan

Majelis Taklim merupakan kelompok sosial keagamaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Keberadaannya memberikan kontribusi bagi terciptanya tradisi belajar sepanjang hayat dan masyarakat belajar (learning society). Secara umum Majelis Taklim berfungsi sebagai institusi pendidikan, dakwah, sosial dan sebagian ekonomi. Keberadaan Majeilis Taklim diperkuat dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa majelis Taklim merupakan bagian dari pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, berfungsi sebagai penganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat (Bab VI pasal 26 ayat 4). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang berbunyi Majelis Taklim merupakan bagian dari Pendidikan Diniyah Non formal.

Secara umum karakteristik Majelis Taklim sebagai institusi pendidikan keagamaan lebih fleksibel bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal. Fleksebilitas dapat dilihat dalam berbagai aspek seperti kurikulum, jadwal kegiatan, dan keanggotaan. Dalam aspek kurikulum, sebagian besar Majelis Taklim memberikan pengajaran tentang keagamaan dan cara-cara beribadah yang baik dan benar. Dalam aspek pertemuan (jadwal kegiatan) sebagian besar dilakukan di jam-jam yang memungkinkan kehadiran bagi anggotanya, seperti sore atau siang hari. Sedangkan dalam aspek keanggotaan, sebagian besar

Page 156: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _757

keikutsertaan anggota bersifat sukarela (voluntary) dan tidak mengikat. Sifat keanggotaan yang terbuka dan sukarela membuat majelis taklim berpotensi menjadi wahana diskursif (public discourse) di mana banyak permasalahan-permasalahan sosial dibicarakan secara bebas dan terbuka.

Dengan bentuk dan karakteristik tersebut, Majelis Taklim mampu bermetamorfosa menjadi institusi sosial yang dapat menyumbangkan bagi terciptanya masyarakat madani (civil society). Beberapa studi telah menunjukan sumbangan majelis taklim bagi masyarakat. Penelitian Mutiah (2005) mengambarkan bahwa majelis taklim al-Mujahidin, Kota Tangerang terbukti mampu meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran keagamaan remaja di sekitar lingkungan majelis taklim tersebut.1Nyayu Khodijah (2004) menyoroti fungsi majelis taklim dalam peningkatan pengetahuan keagamaan bagi masyarakat mu’allaf di Bali.2 Tita Kusuma (2001) membuktikan peran majelis taklim at-Taibin dalam pembinaan sosial keagamaan mantan Narapidana dan Tuna Karya.3Ahmad Istikhori (2008), Pendidikan Agama Islam dalam Majelis Taklim ibu RW 01 Tegal Parang Jakarta Selatan,4 Ginda, Karakteristik Majelis Taklim al-Muhajirin sebagai institusi pendidikan non formal di Menado Sulawesi Utara.5

Majelis taklim sebagai kelompok sosial yang tumbuh, berkembang dan tetap bertahan (survive) ditengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa pranata/institusi sosial tersebut memiliki kapital sosial yang handal, dapat dipergunakan dalam pemberdayaan anggota dan masyarakat di sekitarnya. Majelis taklim Darunnisa’ sejak awal berdiri berkomitmen dalam pemberdayaan Yatim Piatu, Lansia dan perempuan. Hal ini berdasarkan pemahaman para pendirinya bahwa pengalaman kemiskinan yang dirasakan perempuan jauh lebih menyengsarakan bila dibandingkan dengan laki-laki. Pandangan tersebut sejalan dengan konsepsi kemiskinan UNDP, “kemiskinan memiliki wajah perempuan”.6 Sebagaimana diungkapkan oleh Cagatay:

Page 157: Buku Jurnal 7.4.pdf

758_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

“perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda dan jauh lebih menekan daripada laki-laki. Lebih dari itu, perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan kronis karena ketidaksetaraan gender dalam distribusi pendapatan, akses terhadap input yang produktif seperti kredit dan kekuasaan untuk menghasilkan pendapatan, sebagaimana bias gender yang terjadi di pasar tenaga kerja”7

Untuk itu, Majelis Taklim Darunnisa’ dalam pelaksanaan kegiatannya tidak hanya berkonsentrasi pada pengajian agama semata, namun juga telah berkembang menjadi pusat pendidikan dan pemberdayaan. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan, jaringan dan norma baik individu maupun lembaga mampu meningkatkan kepercayaan eksternal. Mereka bekerjasama dalam memecahkan masalah yang ada di dalam masyarakat, dengan tujuan dan kepentingan bersama.

Tulisan ini menggabarkan bagaimana proses pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh majelis taklim Darunnisa’ dapat berkembang dengan memanfaatkan unsur-unsur kapital sosial yang mereka miliki. Unsur-unsur tersebut meliputi kepercayaan (trust), norma (norms) dan jaringan (networking) dan bentuk-bentuk kerjasama yang diberlangsung-serta-kerekatan hubungan yang dimiliki oleh anggota Darunnisa’. Terdapat indikasi bahwa kapital sosial berperan dalam keberlangsungan program pemberdayaan perempuan yang dilakukan serta keberlangsungan organisasi itu sendiri. Hubungan yang timbal balik (reciprocal) di antara anggota dapat meningkatkan serta memelihara aset sosial.8

B. KAPITAL SOSIAL

1. Pengertian Kapital Sosial

Konsep kapital sosial secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu capital berarti modal yang biasanya diasosiasikan dengan asset atau investasi dan social merujuk pada persahabatan (friendship), kerjasama

Page 158: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _759

(cooperation), solidaritas, dan hubungan timbal balik, serta keinginan bersama.9

Pirre Bourdieu, Sosiolog Prancis, membedakan tiga bentuk dari kapital, yaitu ekonomi, budaya dan sosial, serta menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu dengan yang lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Kapital ekonomi dengan mudah dikonversikan ke dalam bentuk uang dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak kepemilikan. Kapital budaya juga dapat dikonversikan menjadi kapital yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dilembagakan, seperti kualifikasi pendidikan. Demikian pula kapital sosial dalam kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam kapital ekonomi, seperti gelar kesarjanaan. Ketiganya membentuk jaringan timbal balik, sebagai “the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and recognition”10 (kumpulan sumber daya aktual atau potensial yang terkait dengan posisi kepemilikan jaringan yang tahan lama atau kurang lebih hubungan dilembagakan yang sudah diketahui dan diakui). Lebih lanjut, Bourdiu menyatakan, kapital social merupakan instrument/alat, “deliberate construction of sociability for the purpose of creating this resource.”11 (suatu kontruksi sosial yang disengaja untuk demi terciptanya sumber daya yang dibutuhkan)

2. Dimensi Kapital Sosial

Dimensi kapital sosial adalah gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Dimensi kapital sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.12

Menurut Hasbullah (2006), dimensi inti dari kapital sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama

Page 159: Buku Jurnal 7.4.pdf

760_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama.13 Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter-relasi imbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.

Lebih lanjut menurut Hasbullah, kapital sosial berintikan eleman-eleman pokok yang mencakup; 1) saling percaya yang meliputi adanya kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi dan kemurahan hati, 2) jaringan sosial yang meliputi adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama, dan keadilan, 3) pranata yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi dan aturan-aturan. Elemen-elemen pokok kapital sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme sosial budaya di dalam sebuah unit sosial seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, Negara dan sebagainya.14

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kapital sosial adalah suatu norma atau nilai yang telah dipahami bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antar sesama dalam rangka tercapainya tujuan bersama.

3. Bentuk-Bentuk Kapital Sosial

Demensi lain dalam kapital sosial berkaitan dengan tipologi kapital sosial yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya yang dapat dilihat dalam bentuk bonding/exclusive/

Page 160: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _761

terikat dan bridging/inclusive/terbuka. Menurut Putnam, bridging ditandai oleh hubungan sosial yang bersifat terbuka (inklusif), para anggotanya mempunyai latar belakang yang heterogen. Orientasi kelompok ini lebih ditekankan upaya-upaya bersama dalam mencari jawaban atas permasalahan bersama, serta mempunyai cara pandangan keluar ‘outward looking’. Sedangkan bonding yaitu kapital sosial bersifat eksklusif, keanggotannya biasanya didasarkan atas berbagai kesamaan, seperti kesamaan suku, etnis dan agama, hubungan antar individu bersifat tertutup, lebih mengutamakan solidaritas dan kepentingan kelompok.15

Bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri sacred society, yaitu masyarakat yang menyakini dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Pola interaksi sosial masyarakat tersebut, dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu. Mayarakat yang bonded/inward looking/sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kapital social yang kuat. Secara umum pola yang demikian ini akan lebih banyak membawa pengaruh negative dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial terkadang berkecenderungan untuk menjauhi, menghindar, bahkan pada situasi yang ekstrim mengidap kebencian terhadap masyarakat lain di luar kelompok, group, asosiasi dan sukunya.

Sedangkan bridging capital social mengikuti Hasbullah (2006) adalah bentuk modern dari suatu pengelompokkan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyandarkan pada bridging social capital biasanya hiterogen terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan suku.16 Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar. Bridging social capital membuka jalan untuk lebih cepat berkembang

Page 161: Buku Jurnal 7.4.pdf

762_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

dengan kemampuan menciptakan networking, menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.

Norman Uphoff dalam Understanding social capital; learning from the analysis and experience of participation. Melihat bahwa kapital social merupakan akumulasi dari bentuk hubungan sosial, psikologi, budaya, kognisi, institusional. Berfungsi sebagai tindakan kolektif yang memberi manfaat timbal balik. Uphoff membagi kapital sosial menjadi dua kategori, yaitu structural dan cognitive. Kategori pertama, struktural diasosiasikan dengan berbagai bentuk organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), prosedur (procedures) dan Jaringan (networks) yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama, serta terhadap tindakan kolektif yang memberi manfaat timbal-balik mutually beneficial collective action (MBCA). Sedangkan kategori kedua, kognitif berasal dari proses mental dan hasil gagasan-gagasan yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap perilaku (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama. Kedua kategori tersebut tidak bisa berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain. Kedua kategori tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1Complementary categories of social capital17

Structural CognitiveSources and manifestations

Domains Dynamic factors

Roles and rulesNetworks and other interpersonal relationshipProcedures and precedentsSocial organizationHorizontal linkagesVertical linkages

NormsValuesAttitudesBeliefsCivic cultureTrust, solidarity; cooperation, generosity

Page 162: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _763

Common elements

Expectations that lead to cooperative behavior, which produces mutual benefits

Dalam pandangan Uphoff kapital sosial dapat ditelusuri bentuknya dari yang paling minimimun, elementer, substansial, hingga maksimum. Hal ini karena karekteristik kapital sosial itu sendiri mengandung makna “some degree of mutuality, some degree of common identity some degree of cooperation for mutual, not just personal benefit.”18(seberapa besar derajat kerjasama, seberapa besar derajat kesamaan identitas yang menjadi landasan bagi kerjasama yang saling menguntungkan, bukan hanya menguntungkan pribadi) Dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Table 2 The Social Capital Continuum19

Minimum Elementary Substantial Maximum

Sangat mementingkan diri sendiri

ada kerjasama tapi hanya memberikan keuntungan diri sendiri

Kerjasama berdasarkan komitmen dan diharapkan bermanfaat bagi yang lain

Komit pada kesejahteraan bersama

Hanya menghargai diri sendiri

Efisiensi kerjasama

Efektivitas kerjasama

Altruism dipandang sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri

Otonomon Kerjasama taktis

Kerjasama strategis

Melampui kepentingan individual

C. Gambaran Kegiatan Majelis Taklim Darunnisa’

Setiap Minggu pagi di jalan Legoso Raya, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan satu persatu ibu-ibu berbusana muslimah dengan gamis putih dan kerudung senada tampak memasuki majelis taklim

Page 163: Buku Jurnal 7.4.pdf

764_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Darunnisa’. Suasana seperti ini rutin berlangsung setiap hari dimulai dari pukul 05.00 WIB. Para Ibu itu berkumpul dalam rangka menunaikan kewajiban menggali ilmu di Majelis Taklim.

Majelis Taklim ini didirikan pada awal tahun 1960-an. Adalah H. Sabuki, seorang Dosen dan juru dakwah dilingkungan Tangerang dan sekitarnya yang peduli terhadap ajaran Islam, menurutnya, “Harus ada tempat pendidikan dan peribadatan bagi ibu-ibu dan Lansia” kenang Hj. Sabuki. Keinginan tersebut kemudian terwujud menjadi majelis taklim Darunnisa’. Pendiriannya merupakan buah pengumpulan dana dari masyarakat sekitar yang peduli terhadap kelangsungan dakwah Islam.

Pada mula Majelis Taklim ini dibentuk, hanya beberapa orang yang bergabung, tanpa ada kepengurusan. “Itu juga kadang yang hadir tidak semuanya,” ungkap ketua Majelis Taklim, Hj. Sabuki. Forum pengajian kaum ibu dimulai secara rutin dengan mengambil tempat dirumah Hj. Rusyidah Sabuki. Sasarannya ditujukan untuk kalangan ibu, karena di tangan ibulah ujung pendidikan dalam tombak wadah keluarga di letakkan.

Seiring dengan bergulirnya waktu, forum pengajian tersebut makin bertambah partisipannya. Rumah yang semula dijadikan ‘base camp’, pada perkembangan berikutnya dirasakan kurang memadai. Dengan berswadaya dan berswadana sendiri, kaum ibu yang aktif dalam forum pengajian kemudian mencari tempat yang lebih luas. Forum pengajian yang awalnya lebih menitikberatkan pada penguasaan baca-tulis Al-Qur’an itu selanjutnya diberi nama Darunnisa’ yang berarti ‘rumah/tempat kaum wanita”.

Gagasan dan cita-cita pendirian Majelis Taklim Darunnisa’ hanya didasari oleh niat memajukan umat Islam, khususnya ibu-ibu dan mencari ridha Allah. Tempat untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pilihannya adalah majelis taklim, yaitu lembaga pendidikan non formal, sebagaimana model pendidikan Islam yang telah lama dikenal dalam budaya penyebaran Islam.

Page 164: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _765

Majelis taklim Darunnisa’ didirikan dengan maksud dan tujuan adalah ‘bersifat sosial dan bergerak di bidang: membantu pemerintah dalam usaha pemerataan pelayanan, pembinaan kesehatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan lainnya yang berguna termasuk keterampilan dan kursus-kursus”. Dilihat dari sudut ini, jelas tampak eksistensi peran dan fungsi Darunnisa yang semula ‘hanya’ bergerak di bidang dakwah secara kecil-kecilan malalui wadah majelis taklim lalu merambah ke wilayah dakwah secara luas.

Metode dakwah Darunnisa’ bukan hanya billisan (dengan ceramah) saja namun juga dakwah bilhal (dakwah lingkungan). Dakwah secara etimologis dan pengertian dakwah secara terminologis. Secara etimologis, kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’il-nya (pelaku) adalah da’i yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’i sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya.20 Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6), kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali dengan makna yang berbeda-beda setidaknya ada 10 macam yaitu: mengajak dan menyeru, berdo’a, Mendakwa (Menuduh), mengadu, memanggil, meminta, mengundang, malaikat Israfil, gelar, anak angkat.21

Bagi Darunnisa’ dakwa bilhal dipilih karena kondisi masyarakat di daerah sekitar Ciputat dipenuhi dengan praktek-praktek Takhayul, Bid’ah dan Khurafat (TBC) dan amat minus pengetahuan keagamaanya. Khurafat adalah berbagi cerita bohong, sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan Khurafat ialah berbagai kepercayaan yang khayal, bahwa di luar Allah ada berbagai kekuatan gaib yang dapat menyebabkan keselamatan seseorang dan dapat pula mendatangkan

Page 165: Buku Jurnal 7.4.pdf

766_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

mudarat terhadap seseorang. Khurafat adalah inheren dengan dua faham kumo, yaitu faham animisme dan faham dinamisme. Khurafat yang inheren dengan faham animisme dan faham terhadap adanya kekuatan gaib (supranatural) yang dipancarkan oleh berbagai macam roh, semisal adanya kepercayaan terhadap kekuatan yang memancar dari kubur seseorang yang dianggap keramat. Sedangkan yang inheren dengan faham dinamisme ialah kepercayaan bahwa pada setiap benda-benda tertentu terdapat kekuatan gaib. Khurafat dapat juga berbentuk sesaji kepada yang menunggu atau untuk yang membareksa di berbagai tempat, semisal yang dianggap sebagai penguasa laut, kekuatan gaib yang menunggu sungai-sungai dan tempat-tempat angker lainnya, termasuk juga dalam kategori Khurafat adanya berbagai kepercayaan hari naas, bulan naas dan sebagainya.

Sasaran dakwah Yayasan Darunnisa yang utamanya ditujukan untuk kalangan ibu rumah tangga, lansia dan anak-anak yatim piatu bukannya tanpa maksud sama sekali. Ibu adalah tonggak pendidikan di dalam keluarga, sementara lansia dan anak-anak yatim, dalam alam pikiran masyarakat kapitalis, dianggap sebagai elemen masyarakat yang tidak produktif. Melalui serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk menyantuni mereka itulah, Yayasan Darunnisa ingin menghidupkan semangat hidup mereka, terutama anak-anak yatim yang masih memiliki masa depan yang panjang.

Disamping itu, Yayasan Darunnisa juga mengagendakan kegiatan rutin seperti shalat shubuh secara berjamaah, dilanjutkan dengan tadarus Al-Qur’an. Sembari di sediakan hidangan makanan ala kadarnya, kemudian anggota Darunnisa menyelenggarakan musyawarah tentang berbagai hal menyangkut pengembangan lembaga Darunnisa itu sendiri. Keanggotaan di dalam Darunnisa terdiri dari para wanita dewasa dan ibu rumah tangga yang aktif mengikuti pengajian/majlis taklim serta keinginan-keinginan lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, Yayasan Darunnisa memberikan Kartu Tanda Anggota (KTA) bagi perempuan

Page 166: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _767

yang mengikuti pengajian di Darunnisa. Pengajian rutin dirumah yang diperuntukkan untuk “konsumsi dakwah” para tetangga.

Berbagai aktivitas dakwah berkembang menjadi usaha Yayasan Darunnisa dengan melaksanakan serangkaian usaha dan kegiatan sebagai berikut:

1. Mendirikan panti asuhan anak yatim piatu dan tempat santunan (non panti asuhan) untuk kalangan orang jompo (manula), anak asuh, majelis taklim serta Taman Pendidikan Al-Qur’an untuk anak-anak dan dewasa.

2. Mendirikan pusat-pusat kesehatan masyarakat termasuk poliklinik umum yang bersifat sosial kemasyarakatan.

3. Mendirikan tempat pendidikan termasuk sekolah-sekolah kursus dan bimbingan haji/manasik haji. Kursus yang diadakan secara rutin oleh Yayasan Darunnisa adalah kursus tafsir, kursus bahasa Arab dan baca Al-Qur’an.

D. Pemberdayaan Perempuan Darunnisa’; Analisis Kapital Sosial

1. Aktivitas Pemberdayaan

Peran majelis taklim sebagai organisasi sosial dan basis perjuangan pemberdayaan perempuan yang banyak berkembangan dilingkungan masyarakat belum banyak dilirik--apalagi pada tataran akademik—kegiatan majelis taklim selama ini tak lebih dipandang sebelah mata. Bahkan, tak jarang dimaknai hanya sebatas kumpulan ibu-ibu pengajian yang hanya membaca surat Yasin dan pengajian keagamaan sehingga kurang dianggap perannya dalam pemberdayaan perempuan. Padahal, menurut Hj. Sabuki potensi kaum ibu yang tergabung dalam majelis taklim ini sangat luar biasa. Hj. Sabuki menggatakan:

“pilihan Darunnisa’ dalam memberdayakan perempuan berdasarkan pemikiran bahwa peran dan tugas perempuan jauh

Page 167: Buku Jurnal 7.4.pdf

768_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

lebih berat dari pada laki-laki, antara lain peran sebagai ibu, istri dan bagian dalam masyarakat. Peran dan tugas perempuan dalam keluarga secara garis besar dibagi menjadi peran wanita sebagai ibu, ibu sebagai istri, dan anggota masyarakat.”

Pandangan Hj. Sabuki tersebut seringkali diungkapkan dalam ceramah-ceramah yang diberikan dihadapan ibu-ibu anggotanya, sebagai berikut: Perempuan paling tidak mempunyai bebarapa peran sekaligus. Antara lain, Pertama, Perempuan sebagai ibu. Peranan ibu di dalam mendidik anaknya dibedakan menjadi tiga tugas penting, yaitu ibu sebagai pemuas kebutuhan anak; ibu sebagai teladan atau “model” peniruan anak dan ibu sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak. “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Kedua, perempuan atau wanita sebagai pendamping suami dapat sebagai teman, pendorong dan penasehat yang bijaksana. Dan yang paling penting bahwa semua peran itu dapat dilakukan dengan baik apabila ada keterbukaan satu sama lain, kerjasama yang baik dan saling pengertian. Ketiga, perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Hj. Sabuki mempunyai harapan besar. Ia ingin majelis taklim yang dipimpinnya menjadi tempat bagi ibu-ibu mereguk berlimpah ilmu. Sehingga mereka kian memahami agamanya dan kemudian mengajarkannya kepada anak-anaknya. “Ibu adalah pendidik anak-anaknya,” ujarnya. Meskipun memiliki karier di luar rumah, para ibu tak boleh lupa menuntut ilmu agama agar bisa mengajari anak-anaknya cara hidup yang sesuai dengan Islam. Mereka, misalnya, mampu memberi contoh bagaimana caranya shalat, membaca al-quran, dan jenis ibadah lainnya. Ia mengaku sering terenyuh jika mendengar ibu-ibu memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam dengan pertimbangan utama karena mereka tak mengerti Islam. Padahal, seorang ibu memiliki kewajiban mendidik anaknya dengan ilmu agama. “Pendidikan agama jangan hanya diserahkan ke sekolah, tetapi juga harus diajarkan di rumah.” Apa pun profesi seorang ibu, baik dokter, pengusaha, maupun

Page 168: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _769

pengacara mereka harus menyempurnakannya dengan bekal ilmu agama. Bekal inilah yang berguna bagi si ibu agar mampu menyampaikan ajaran-ajaran agama sejak dini kepada anak-anaknya.

Darunnisa’ dengan berbasiskan kultur kepedulian dan semangat keagamaan mencoba menyalurkan sedikit energi sosial mereka untuk setidaknya meringankan beban kaum ibu pinggiran melalui kegiatan pemberdayaan. Di mulai pengajian agama, kegiatan santunan, hingga kini pendidikan, Darunnisa’ mencoba mewujudkan hakikat pemberdayaan dalam setiap kegiatannya. Kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi satu kesatuan dalam mewujudkan hakekat pemberdayaan perempuan. Di antara beragamnya kegiatan yang dimiliki kegiatan pendidikan bagi anak-anak yatim piatu dari madrasah Ibtida’iyah sampai Aliyah merupakan salah satu kegiatan primadona atau boleh dikatakan sebagai pintu masuk Darunnisa’ untuk meningkatkan kapasitas individu perempuan.

Peningkatan kapasitas perempuan atau dalam bahasa umum dikenal dengan istilah pemberdayaan perempuan pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perempuan untuk mampu meningkatkan kepercayaan diri, membuat pilihan dan menguasai sumber daya yang akan membantu dalam menghadapi dan mengurangi subordinasi.22Anggota majelis taklim Darunnisa’ mayoritas berasal dari kelas menengah bawah. Bagi Hj. Sabuki, keberadaan Darunnisa’ bagi mereka paling tidak ikut berpartisipasi memelihara norma-norma agama. Hj. Sabuki memaparkan:

“Untuk itu kegiatan yang diterapkan majelis taklim ini tidak terlepas dari nilai-nilai yang melekat pada masyarakat tersebut yang masih kuat dengan tradisi ke-Islamannya. Berbagai macam kegiatan seperti pengajian, pengajaran sholat yang benar dan mengaji al-Qur’an Kegiatan keagamaan ini nyata sekali sebagai upaya untuk memelihara ajaran Islam sebagai norma yang menjadi acuan hidup mereka.”

Page 169: Buku Jurnal 7.4.pdf

770_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Kuatnya kapital social sehingga memudahkan bagi penggurus Darunnisa’ untuk dapat merancang berbagai kegiatan. Contohnya, bekerjasama dengan Ketua RW dan berkoordinasi dengan Kantor Desa, mereka melakukan inisiasi untuk program pemberian susu gratis sehingga anak-anak di wilayah itu mendapatkan asupan gizi yang dibutuhkan untuk masa pertumbuhan anak.

Darunnisa’ juga melakukan program-program pemberantasan buta huruf atau memperjuangkan adanya beasiswa belajar di berbagai tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi kaum perempuan. Kondisi tersebut tidak dapat dinafikan menggingat kondisi masyarakat kehidupan masyarakat saat ini, masih ada sikap dan perilaku sebagian masyarakat yang kurang memuliakan harkat dan derajat kaum perempuan. Bahkan, hingga kini masih marak tindakan kekerasan, pendidikan perempuan yang masih rendah, serta derajat kesehatan perempuan yang juga masih memprihatinkan. Dari berbagai kegiatan langsung ke lapangan ini, para perempuan penggurus dan anggota Darunnisa’ sering menemui kenyataan memprihatinkan tentang kondisi kehidupan keluarga miskin.

Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa sebagai kapital sosial, organisasi majelis taklim tidak bisa lepas dari struktur sosial masyarakat setempat. Dalam bahasa Coleman, “kapital sosial itu tidak bisa berdiri sendiri, melainkan melekat (embedded) dalam struktur sosial”.23 Sementara yang dimaksud struktur sosial adalah istilah “yang menunjuk pada hubungan (relation), jaringan (networking), kewajiban, harapan (expectation), yang menghasilkan dan dihasilkan oleh kepercayaan (trust), dan sifat layak dipercaya (truthworthiness) yang berkembang diantara orang-orang yang berinteraksi itu.24

2. Kepercayaan dan Solidaritas

Kepercayaan (trust) yang dikembangkan oleh anggota majelis taklim adalah sebuah keyakinan bahwa majelis taklim adalah tempat untuk belajar ilmu agama. Mereka yang aktif di majelis taklim memiliki harapan bahwa dengan mempelajari ilmu agama mereka akan terdorong untuk

Page 170: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _771

beribadah, berbuat kebaikan, dan menjadi orang baik-baik. Harapan itu memiliki kaitan dengan tujuan akhir mereka sebagai orang Islam: selamat di dunia dan di akhirat. Jika prinsip ini benar, maka setiap orang yang aktif di majelis taklim akan memandang rekan-rekan sesama anggota nya sebagai orang yang baik. Disinilah kemudian muncul kepercayaan (trust) untuk saling membantu, tolong menolong, dan bekerja bergotong royong.

Dalam proses pembentukan kelompok, unsur kepercayaan memegang peran penting dan dapat dikatakan sebagai seleksi alamiah bagi para calon anggota yang berminat terhadap kegiatan simpan pinjam Darunnisa’. Pada dasarnya kegiatan simpan pinjam sendiri merupakan kegiatan yang rentan terhadap penyalahgunaan dana. Oleh karena itu, kredibilitas anggotanya diperlukan untuk mendukung berjalan efektifnya kegiatan ini. Rekomendasi dari anggota merupakan salah satu cara yang digunakan dalam proses perekrutan anggota. Seorang calon anggota baru dapat menjadi anggota, apabila telah diirekomendasikan oleh anggota lainnya dan memperoleh jaminan dari anggota yang merekomendasikannya bahwa ia dapat dipercaya. Disini dapat terlihat bahwa anggota kegiatan simpan pinjam setidaknya merupakan orang-orang yang telah dikenal dekat, dan berada dalam satu lingkungan.

Kondisi ini menciptakan suatu situasi dimana jika A melakukan sesuatu untuk B dan percaya bahwa B akan membalasnya dimasa depan, hal ini menciptakan ekspetasi di pihak A dan kewajiban di pihak B untuk memelihara kepercayaan tersebut. Dalam istilah Coleman (2008), proses perekrutan dalam kegiatan simpan pinjam menimbulkan kewajiban dan ekspetasi di antara anggotanya.

Oleh karena itu dalam kegiatan simpan pinjam, kelompok-kelompok yang terbentuk terdiri dari kaum perempuan yang telah melalui proses seleksi yang ketat, dan merupakan rekomendasi dari anggota yang tergabung didalamnya. Tanpa tingkat kredibilitas yang tinggi diantara para anggota kelompok tersebut, kegiatan simpan pinjam ini tidak akan

Page 171: Buku Jurnal 7.4.pdf

772_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

ada, karena orang yang menerima pembayaran uang pada awal urutan pertemuan dapat melarikan diri, membiarkan anggota lain rugi.

Untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan dana ataupun krisis kepercayaan diantara anggotanya, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, umumnya anggota yang direkrut berasal dari lingkungan yang sama. Dengan mengetahui latar belakang sosial ekonomi calon anggota, maka akan dapat terlihat seberapa kredibel dan layak seorang anggota memperoleh pinjaman. Selain itu pula, karena diantara anggota sudah saling mengenal, maka hubungan sosial yang terjalinpun bersifat kekeluargaan. Ini dapat terlihat dari eratnya hubungan diantara anggota kelompok serta para pengurus.

Karena diantara anggota kelompok sudah saling mengenal satu sama lain, maka hubungan sosial yang terjalin pun bersifat kondusif. Mengutip pernyataan Uphoff (1999) mengenai hubungan sosial, sebuah hubungan sosial akan tercipta dengan kondusif dan memberikan keuntungan apabila terjalin hubungan pertemanan dimana antara satu sama lain saling mengenal dan memercayai satu sama lain.25 Dengan adanya hubungan pertemanan dapat meningkatkan kepuasan dan menguntungkan satu sama lain. Dalam kaitannya dengan kegiatan simpan pinjam, hubungan yang terjalin berdampak positif terhadap lancarnya proses kegiatan simpan pinjam. Sistem tanggung renteng merupakan representasi dari hubungan kekeluargaan-ikatan solidaritas-yang terjalin. Ketika ada salah satu anggota yang mengalami musibah atau tidak mampu membayar angsuran, maka tanggung renteng tersebut berfungsi. Melalui tanggung renteng, setiap anggota menyumbangkan dana untuk menghadapi kondisi-kondisi yang tidak diinginkan.

Sikap empati dan solidaritas terhadap sesama ini kemudian berkembang pada ranah yang lebih luas, yaitu terhadap masyarakat. Ini dapat terlihat dari respon positif anggota kelompok serta inisiatif pengurus Darunnisa’ terhadap bencana banjir besar Jakarta beberapa waktu lalu serta kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan di lingkungannya.

Page 172: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _773

Penting untuk dicatat, bahwa ibu-ibu yang terlibat aktif dalam kegiatan Darunnisa’ ini bukanlah ibu-ibu yang berasal dari kalangan yang cukup lapang. Pendidikan merekapun rata-rata SMU, meski ada yang sampai tahap D-3, dengan segala keterbatasan pemikiran dan tindakan, mereka telah menemukan makna solidaritas. Itulah kesediaan mengurangi sedikit kesenanangan secara konsisten sedikit demi sedikit mengurangi beban penderitaan orang lain. Landasan bagi solidaritas adalah kesadaran akan adanya ketidakadilan. Ujian bagi konsistensi itu nyata, ketika tidak terjadi bencana, ibu-ibu tetap melakukan hal-hal yang mereka lakukan, dan kebanyakan orang lakukan, ketika terjadi bencana.26

Solidaritas dapat tercipta apabila diantara para anggota percaya bahwa apa yang mereka lakukan bukan untuk kepentingan pribadi semata melainkan pula untuk kepentingan bersama. Menurut Uphoff (1999) solidaritas bermakna sebagai suatu sikap di mana seseorang memiliki rasa kesetiakawanan, bersedia membantu dan bekerja sama dengan orang lain diluar lingkungannya, solidaritas tercipta dari adanya kesamaan identitas, kesamaan nilai, dna norma diantara kelompok.27 Solidaritas ini pun nyata terlihat dalam pertemuan bulanan anggota simpan pinjam Darunnisa’. Pertemuan bulanan menjadi sarana bagi ibu-ibu untuk mencurahkan isi hati mereka dan berdiskusi mengenai permasalahan yang dihadapi baik secara personal maupun kelompok. Idealism yang terpatri kuat di dalam para pengurus dan anggota Darunnisa’ inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi eksistensi dan keberlanjutan program Darunnisa’ itu sendiri.

Menurut Coleman (2008) hubungan yang terjalin di dalam Darunnisa’ melahirkan sebuah system kepercayaan bersama.28 Dalam beberapa hal system kepercayaan bersama tersebut merupakan generalisasi dari relasi kepercayaan bersama. System kepercayaan ini muncul ketika sejumlah pelaku (komunitas) terlibat kedalam aktivitas yang memberikan hasil yang menjadi kepentingan bersama. Dalam hal ini, kegiatan simpan pinjam merupakan aktivitas yang menjadi kepentingan bersama, dan

Page 173: Buku Jurnal 7.4.pdf

774_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

pengurus Darunnisa’ merupakan aktor-aktor yang berperan penting dalam berjalan efektifnya kegiatan ini.

Disamping itu, masing-masing berkepentingan untuk tidak mengorbankan kepentingan orang lain agar berpartisipasi dalam aktivitas demi kepentingan umum. Struktur sosial ini merupakan generalisasi system kepercayaan bersama dengan dua pelaku, namun melibatkan pelaku dalam jumlah yang lebih besar, struktur sosial ini merupakan contoh khusus karena aktivitas yang melibatkan masing-masing pelaku, yang memerlukan kepercayaan pada pihak orang lain, merupakan aktivitas yang sama.

Kapasitas individu yang dimiliki oleh para pengurus ini mendorong berkembangnya modal sosial dalam komunitas. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Coleman (2008) bahwa keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu mendukung terciptanya hubungan-hubungan sosial dan menciptakan kepercayaan didalam masyarakat.29 Dalam kaitannya dengan Darunnisa’, inisiatif, kemampuan, serta tanggung jawab pengurus menjadi dasar bagi terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap pengurus pada khususnya, dan Darunnisa’ pada umumnya. Sehingga dalam setiap pelaksaan kegitan penguatan kapasitas perempuan dapat berjalan secara maksimal. Inisiatif para pengurus sebuah nilai yang melekat pada setiap pribadi pengurus dan semakin mengakar kuat karena kultur kepedulian yang ditanamkan sejak Darunnisa’ didirikan. Sementara kemampuan dan tanggung jawab pengurus merupakan sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang dipupuk dan dilatih hingga menghasilkan pribadi-pribadi yang kapabel.

Sebagimana yang diungkapkan oleh Woodhall dalam Halsey 2001, bahwa manifestasi dalam modal manusia, tidak hanya memberikan manfaat kepada individu saja, melainkan pula kepada lingkungannya.30 Modal manusia memang akan secara otomatis meningkatkan kapasitas dan kemampuan individu yang berdampak pada peningkatan produktivitas kerja dan juga peningkatan penghasilan.

Page 174: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _775

3. Jaringan

Meluasnya pengaruh Darunnisa’ tidak terlepas dari peran seluruh elemen dalam organisasi ini untuk mengembangkan anggota dan kelompok. Jaringan sosial yang terjalin dalam kegiatan pendidikan, santunan dan simpan pinjam ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kepercayaan masyarakat terhadap Darunnisa’, inisiatif pengurus, serta kegigihan pengurus untuk menyosialisasikan program pemberdayaan perempuan.

Aspek-aspek tersebut menjadi basis bagi terbentuknya sebuah jaringan internal maupun eksternal yang dimiliki oleh Darunnisa’. Lawang (2004) mengungkapkan bahwa jaringan yang dibahas dalam kapital sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang lain atau kelompok lain yang memungkinkan pengatasan masalah dapat berjalan secara efisien dan efektif.31 Inti dari definisi ini pada dasarnya mengacu pada prinsip sosial: bekerja sama lebih mudah mengatasi masalah daripada bekerja sendiri.

Lawang (2004) mengungkapkan bahwa jaringan merupakan sumber pengetahuan yang menjadi dasar utama dalam pembentukan kepercayaan strategic. Media yang paling ampuh untuk membuka jaringan adalah pergaulan. Darunnisa’ sebagai organisasi tentunya membutukan jaringan eksternal untuk memperluas kerja sama yang nantinya berguna bagi keberlanjutan program-program yang dijalankan. Dengan menjalin kerja sama dengan organisasi lain yang bergerak di ranah yang sama, Darunnisa’ dapat menunjukkan eksistensinya di ranah publik. Pada awal kelahirannya, Darunnisa’mampu memanfaatkan media massa sebagai media komunikasi dan promosi kegiatan dan program-program Darunnisa’. Ini terbukti dengan banyaknya dukungan moral maupun dana terhadap setiap kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh organisasi ini.

Terkait dengan hal di atas, maka jaringan yang dimiliki oleh Darunnisa’ berfungsi informative, yaitu dimana jaringan informasi yang

Page 175: Buku Jurnal 7.4.pdf

776_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

memungkinkan setiap stakeholders dalam jaringan itu dapat mengetahui informasi yang berhubungan dengan masalah atau peluang atau apapun yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan Darunnisa’. Fungsi informasi ini menurut Anderson et.al (2003) disebut sebagai fungsi pelumas. Fungsi informative ini juga dapat berfungsi sebagai fungsi peluang (opportunity), karena dengan jaringan itu, setiap peluang dapat diperoleh, tanpa mengeluarkan biaya yang terlalu banyak. Dalam kaitannya dengan Darunnisa’, kerja sama yang terjalin dengan lembaga lain merupakan peluang dan akses yang diberikan oleh para tokoh organisasi ini, yang pada akhirnya berperan penting dalam menentukan keberlanjutan organisasi ini.

4. Norma-Norma

Norma-norma diciptakan secara sengaja dalam pengertian bahwa orang-orang yang memprakarsai atau ikut mempertahankan suatu norma merasa diuntungkan oleh kepatuhannya pada norma dan merugi karena melanggar norma.32

Majelis taklim harus diposisikan sebagai institusi sosial agar memudahkan untuk membaca fungsi norma pada institusi majelis taklim. Secara sosiologis, seperti yang sudah dijelaskan di atas, majelis taklim tidak terlepas dari struktur sosial masyarakat dan penting memposisikannya sebagai organisasi yang memiliki fungsi sendiri pada struktur sosial masyarakat tertentu.

Oleh sebab itu, keberadaan majelis taklim dilindungi oleh norma yang dikeluarkan pemerintah. Dalam norma yang dikeluarkan pemerintah, majelis taklim dikategorikan sebagai lembaga pendidikan diniyah non-formal. Norma yang mengatur kedudukan majelis taklim ini ada pada (1) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, (2) peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, (3) peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, (4) keputusan MA nomor 3 tahun 2006 tentang struktur Departemen

Page 176: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _777

Agama tahun 2006. Tidak hanya disitu, aturan tertulis yang memuat administrasi, manajemen, dan kurikulum khusus untuk majelis taklim telah dikeluarkan oleh Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta pada tahun 2000. Dengan buku yang dicetak dan diberi judul “Pedoman Majelis Taklim”, maka buku ini bisa menjadi pegangan tidak hanya majelis taklim di wilayah DKI Jakarta yang bisa memanfaatkannya, tapi juga majelis taklim di seluruh Indonesia. Sekali lagi, upaya pembuatan norma dan pedoman ini tidak lain adalah untuk melindungi ilmu (agama) sebagai sebuah nilai (value) yang mejadi kebutuhan pokok masyarakat.

E. Penutup

Darunnisa’ telah berkembang dari majelis taklim yang menitik beratkan pada pemberikan pemahaman dan pengajaran keagamaan yang benar, telah berkembang menjadi orgnasisi yang memfoskuskan pada pemberdayaan perempuan, Lansia dan Yatim Piatu. Di awali dari pengajian keagamaan yang dipimpin oleh Hj. Sabuki memberikan pengajaran keagamaan keagamaan berupa bentuk bagiaman cara sholat dan beribadah ang baik berkembang menjadi organisasi yang tidak hanya bergerak pada tataran wacana semata namun lebih implementatif dan aksiolan dalam menjawab kebutuhana anggota dan masyarakat sekitar.

Kemampuan Darunnisa’ untuk tetap eksis dan konsisten bergerak dalam kegiatan pemberdayaan di tengah pasang-surutnya pengelolaan dana organasasi menjadi kelebihan tersendiri. Terlebih sumber daya manusia yang mengelola orgnisasi ini hanya sekelompok ibu-ibu dari kalangan menengah yang hanya bermodalkan semanagat keagamaan. Dalam prosesnya, unsur-unsur jaringan dan kepercayaan ternyata memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perekembangan Darunnisa’ dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa fakta menarik seputar kegiatan pemberdayaan yang dikembangan oleh Darunnisa’.

Page 177: Buku Jurnal 7.4.pdf

778_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Daftar Pustaka

Bourdieu, Pierre. “The forms of capital.”Handbook of theory and research for the sociology of education 241, 1986: 258.

Çagatay, Nilüfer, Trade, gender and poverty, New York: UNDP, 2001.

Coleman, James S, Social capital in the creation of human capital, University of Chicago Press, 1989.

Dasgupta, Partha, and Ismail Serageldin, eds. Social capital: a multifaceted perspective. World Bank Publications, 2000.

Ginda, Karakteristik Majelis Taklim al-Muhajirin sebagai institusi pendidikan non formal di Menado Sulawesi Utara (Skripsi, UIN Jogjakarta)

Hasbullah, Jausairi, Social Capital: Menuju Keunggulan Indonesia, Jakarta: MR-Unite Press, 2006.

Istikhori, Ahmad, “Pendidikan Agama Islam dalam Majelis Taklim ibu RW 01 Tegal Parang Jakarta Selatan”, (Skirpsi, UIN Jakarta: 2008)

Khodijah, Nyayu, “Majelis Taklim dalam Peningkatan Pengetahuan Keagamaan Bagi Masyarakat Mu’allaf Di Bali”, (Skripsi, UIN Jakarta: 2004)

Kusuma, Tita, “Peran Majelis Taklim at-Taibin dalam Pembinaan Sosial Keagamaan Mantan Narapidana dan Tuna Karya” (Skripsi, UIN Jakarta: 2001)

Lawang, Robert MZ. Kapital sosial dalam perspektif sosiologik: suatu pengantar. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI) Press, 2004.

Lin, Nan, Karen S. Cook, and Ronald S. Burt, eds. Social capital: theory and research. Transaction Publishers, 2001.

Page 178: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _779

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyariq, 1986

Malhotra, Deepak, and J. Keith Murnighan.”The effects of contracts on interpersonal trust.”Administrative Science Quarterly 47, no. 3 (2002): 534-559

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah karangan. Jakarta: Pranada Media Group, 2009

Mutiah, Siti, “Peranan Majelis Taklim dalam Pembentukan Sikap Keagamaan Remaja di Kelurahan Blendung Batu Ceper Tangerang”, (Skripsi, UIN Jakarta: 2006)

Putnam, Robert D. Bowling a lone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon & Schuster Rockefeller Center, 2000.

UNDP, Human Development Report 1995, Oxford University Press: New York, 1996

Uphoff, Norman. “Understanding social capital: learning from the analysis and experience of participation.” Social capital: A multifaceted perspective , 2000

Page 179: Buku Jurnal 7.4.pdf

780_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Endnotes

1. Siti Mutiah, Peranan Majelis Taklim dalam Pembentukan Sikap Keagamaan

Remaja di Kelurahan Blendung Batu Ceper Tangerang (Skripsi, UIN Jakarta:

2006)

2. Nyayu khodijah, Majelis Taklim dalam Peningkatan Pengetahuan

Keagamaan Bagi Masyarakat Mu’allaf Di Bali (Skripsi, UIN Jakarta: 2004)

3. Tita Kusuma, Peran Majelis Taklim at-Taibin dalam Pembinaan Sosial

Keagamaan Mantan Narapidana dan Tuna Karya (Skripsi, UIN Jakarta:

2001)

4. Ahmad Istikhori, Pendidikan Agama Islam dalam Majelis Taklim ibu RW 01

Tegal Parang Jakarta Selatan (Skripsi, UIN Jakarta: 2008)

5. Ginda, Karakteristik Majelis Taklim al-Muhajirin sebagai institusi

pendidikan non formal di Menado Sulawesi Utara (Skripsi, UIN Jogjakarta)

6. UNDP, Human Development Report 1995. Oxford University Press: New York,

1996, h. 4

7. Çagatay, Nilüfer, Trade, gender and poverty, New York: UNDP, 2001, h. 6

8. Lin, Nan, Karen S. Cook, and Ronald S. Burt, eds. Social capital: theory and

research. Transaction Publishers, 2001, h. 32

9. Ibid., h. 47

10. Bourdieu, Pierre. “The forms of capital.”Handbook of theory and research for the

sociology of education 241 (1986): 258.

11. Ibid

12. Dasgupta, Partha, and Ismail Serageldin, eds. Social capital: a multifaceted

perspective, World Bank Publications, 2000, h, 192

Page 180: Buku Jurnal 7.4.pdf

Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’ _781

13. Hasbullah, Jausairi, Social Capital: Menuju Keunggulan Indonesia. Jakarta: MR-

Unite Press, 2006, h, 14

14. Ibid., h. 53

15. Putnam, Robert D. Bowling a lone: The Collapse and Revival of American

Community, New York: Simon & Schuster Rockefeller Center, 2000, h, 79

16. Hasbullah, Ibid, h, 13

17. Uphoff, Norman. “Understanding social capital: learning from the analysis

and experience of participation.” Social capital: A multifaceted perspective

(2000): 215-249.

18. Ibid

19. Ibid

20. Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyariq, 1986

21. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah karangan, Jakarta: Pranada Media Group, 2009,

h. 6

22. Malhotra, Deepak, and J. Keith Murnighan.”The effects of contracts on

interpersonal trust.”Administrative Science Quarterly 47, no. 3, 2002: 534-559,

h. 6

23. Coleman, James S. Social capital in the creation of human capital.University of

Chicago Press, 1989, h, 376

24. Lawang, Robert MZ. Kapital sosial dalam perspektif sosiologik: suatu pengantar.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI)

Press, 2004, h. 33

25. Uphoff, ibid, h. 222

26. Ratih dkk, ibid, h. 230

27. Uphoff, ibid

Page 181: Buku Jurnal 7.4.pdf

782_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

28. Coleman, Ibid, h. 227-228

29. Ibid, h. 373

30. Halsey, ibid, h. 220

31. Lawang, ibid, h. 69

32. Coleman, ibid, h. 296

Page 182: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _783

The Development of Waqf in Batam City

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam

Syukri IlyasPenyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kota Batam

email: [email protected]

Abstract: Waqf management development have progress since reformation era in 1998. Moreover,

some Islamic philanthropy thoughts such as zakat arise, waqf get more attention. This

is signed by the birth of progressive ideas about the importance of waqf empowerment.

Now, the development of waqf in the province has progressed quite rapidly.

Abstraksi: Perkembangan pengelolaan wakaf mengalami kemajuan sejak era reformasi 1998.

Selain munculnya beberapa pemikiran tentang filantropi Islam seperti zakat, wakaf

mendapat perhatian lebih. Hal ini ditandai dengan lahirnya pemikiran-pemikiran

progresif tentang pentingnya pemberdayaan wakaf. Kini, perkembangan wakaf di

daerah mengalami kemajuan yang cukup pesat.

Keywords: Waqf, empowerment, development, management, Islam

Page 183: Buku Jurnal 7.4.pdf

784_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

A. Pendahuluan

Filantropi Islam merupakan bagian tak terpisahkan dalam perjalanan umat Islam. Sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, Islam mengajarkan nilai-nilai kedermawanan, berbagi dan kepedulian sosial. Karena itulah dalam Islam dikenal filantopi seperti zakat, infak dan shodaqoh serta wakaf. Tak mengherankan jika filantropi Islam terus mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu.

Berdasarkan catatan sejarah, bahwa wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.1

Fakta lain menguatkan, bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun, perkembangan wakaf kemudian hari tak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar, madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.2

Sebagai nilai luhur ajaran Islam, wakaf memiliki makna falsafi yang memiliki dua dimensi, spiritual dan sosial. Wakaf adalah ajaran tentang semangat berbagi dengan sesama, mendistribusikan kebahagiaan dan kesejahteraan di antara umat. Hal ini tergambar dari definisi wakaf sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No, 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan, bahwa “wakaf merupakan perbuatan hukum

Page 184: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _785

Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.” Masih dalam UU yang sama, pasal 4, tujuan wakaf adalah memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya, sedangkan fungsi wakaf disebutkan untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.3

Para ulama klasik telah mendefinisikan wakaf secara komperehensif. Berikut beberapa definisi wakaf menurut ulama fiqih:

1. Menurut Imam Syafi’i, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang tersebut terlepas dari milik.4

2. Menurut Mahzab Hambali, wakaf adalah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya diperuntukkan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.5

3. Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia di benarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”.

4. Imam Maliki bependapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.

Page 185: Buku Jurnal 7.4.pdf

786_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Dari paparan di atas sangat jelas, bahwa ‘’wakaf adalah salah satu bentuk kegiatan ibadah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh segenap kaum muslim, bukan hanya golongan atas menengah dan di bawah, karena wakaf itu selalu mengalirkan pahala bagi para wâkif (orang yang berwakaf) walaupun yang bersangkutan sudah wafat. Tujuannya adalah untuk berkelanjutan amal ibadah selama ada wakaf berjalan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya, yaitu: membantu sanak keluarga/kaum kerabat, fakir miskin, kelangsungan pendidikan (Ibnu Sabil) tenaga pengajar, musibah bencana alam, pembangunan sarana ibadah seperti: mesjid, musholla dan tempat pengajian dan tanah perkuburan kaum muslimin dan muslimat.6

Sejak diterbitkannya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan, menjadi momentum bagi pengembangan wakaf di daerah. Sejak lama bangsa Indonesia mempraktekan wakaf dalam sistem sosial kemasyarakatan. Wakaf, seperti halnya zakat, infak dan shodaqoh, sangat dikenal oleh umat Islam dan menjadi satu sistem diantara sistem perekonomian umat. Dalam hal ini, umat Islam menyambut baik penerbitan UU wakaf ini.

Antusiasme umat Islam dalam menyambut wakaf tercermin dengan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI merupakan lembaga independen yang bertugas melakukan pengelolaan perwakafan, adapun pemerintah berposisi sebagai regulator, motivator dan fasilitator. BWI inilah yang memegang peran pengembangan insfrastruktur perwakafan, seperti pembentukan BWI di daerah, pembinaan nazhir dan penguatan sosialisasi perwakafan.

Tulisan ini akan menggambarkan perkembangan pengelolaan wakaf di wilayah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai daerah ekonomi esklusif, Kota Batam memiliki tantangan tersendiri untuk mengelola perwakafan sebagai sumber pengembangan kesejahteraan umat. Tak mengherankan jika kini Kota Batam masuk dalam jajaran daerah dengan pengelolaan perwakafan yang baik.

Page 186: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _787

B. Gambaran Umum Kota Batam

Batam merupakan salah satu pulau yang berada di antara perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Tidak ada literatur yang dapat menjadi rujukan dan mana nama Batam itu diambil, yang jelas Pulau Batam merupakan sebuah pulau besar dan 329 pulau yang ada di wilayah Kota Batam. Satu-satunya sumber yang dengan jelas menyebutkan nama Batam dan masih dapat dijumpai sampai saat mi adalah Traktat London (1824). Penduduk asli Kota Batam diperkirakan adalah orang-orang Melayu yang dikenal dengan sebutan Orang Selat atau Orang Laut. Penduduk ini paling tidak telah menempati wilayah itu sejak zaman kerajaan Tumasik (sekarang Singapura) dipenghujung tahun 1300 atau awal abad ke-14. Malahan dan catatan lainnya, kemungkinan Pulau Batam telah didiami oleh orang laut sejak tahun 231 M yang di zaman Singapura disebut Pulau Ujung.7

Luas Kota Batam 415 Km2 (41.500 Ha) = 67% Luas Singapura. Terletak 0°.25\’29\’\’ - 1°.15\’00\’\’ Lintang Utara, 103°.34\’35\’\’ - 104°.26\’04\’\’ Bujur Timur. Kota Batam berbatasan dengan : Sebelah Utara Selat Singapura, Sebelah Selatan Kecamatan Senayang, Sebelah Timur Kecamatan Bintan Utara, Sebelah Barat Kabupaten Karimun dan Moro.8

Kota Batam merupakan wilayah kepulauan. Pulau-pulau yang tersebar di sekitar Batam merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia/ pulau Singapore di bagian utara samapi dengan pulau-pulau Moro dan Kundur serta karimun di bagian selatan. Selain itu, Kota Batam memiliki permukaan tanah datar dengan variasi disana-sini berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 160 m diatas permukaan laut. Sungai-sungai kecil banyak mengalir dengan aliran pelan dan dikelilingi hutan-hutan serta semak belukar yang lebat.9

Sebagai daerah tujuan investasi dan bisnis, menjadikan Kota Batam sebagai kota dengan tipe masyarakat yang heterogen. Hingga tahun

Page 187: Buku Jurnal 7.4.pdf

788_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

2013, Kota Batam berpenduduk 1.116.175. Ada banyak suku seperti Melayu, Jawa, Batak, Minangkabau, dan Tionghoa. Keragaman ini terjada dengan baik, dikarenakan masyarakat Batam sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Batam menjadi kondusif dalam menggerakan kegiatan ekonomi, sosial politik serta budaya dalam masyarakat. Dari segi agama, Islam adalah agama mayoritas dengan jumlah penganut sebanyak 76,69% dari seluruh penduduk kota. Diikuti oleh penganut Kristen (17,02%), Budha (5,79%), dan Hindu (0,40%).10

C. Perwakafan di Kota Batam

Dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana pengembangan wakaf secara produktif di Kota Batam cukup intensif, baik yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kota Batam maupun pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama Kota Batam. Hal ini dapat dimaklumi karena prinsip dari ajaran wakaf itu sendiri berbasis pada upaya optimalisasi peran kelembagaan Islam (Nazhir) untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dialog antara Nabi SAW dan sahabat Umar r.a tentang pola pengelolaan sebidang tanah di Khaibar dapat mendeskripsikan filosofi dari ajaran wakaf tersebut. Sementara di sisi lain, banyak kekayaan wakaf, khususnya yang dimiliki oleh umat Islam Kota Batam kurang memberi manfaat sosial yang lebih konkrit.

Page 188: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _789

Harus diakui, berbagai upaya pengelolaan wakaf secara produktif telah dilakukan, baik dari organisasi masa Islam, Nazhir, maupun pemerintah sendiri. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya merupakan bukti bahwa pemerintah menggarap wakaf secara serius sebagai payung hukum untuk mengembangkan perwakafan di masa mendatang. Bahkan upaya pemerintah membuat regulasi peraturan terkait dengan masalah tersebut masih terus dilakukan dengan tujuan memberdayakan lembaga-lembaga keagamaan secara optimal untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Upaya pemerintah tersebut perlu didukung kerja sama, sinergi, dan keseriusan semua pihak yang terkait (stake holders) agar wakaf benar-benar berdampak positif bagi masyarakat.

Selain itu, potensi wakaf uang di Kota Batam juga sangat menjanjikan, karena wakaf dalam bentuk ini tidak terikat dengan kepemilikan kekayaan dalam jumlah besar. Meski uang memiliki sifat yang dapat berkurang nilainya setiap waktu, tetapi karena sifatnya yang fleksibel dan adanya dukungan payung hukum yang memadai, maka wakaf uang dapat dijadikan sebagai instrumen pengembangan wakaf di masa mendatang. Karena di beberapa negara Islam lain, wakaf uang telah diberdayakan secara lebih luas.

Oleh karena itu, upaya pengembangan wakaf harus dilakukan dengan pola yang integratif dan terencana dengan baik, sehingga wakaf dapat dikelola secara optimal dan memberi manfaat yang lebih luas bagi kepentingan sosial. Berbagai upaya tersebut, salah satunya harus dipelopori oleh para pejabat teknis yang ada di lingkungan Kementerian Agama.

1. Potensi Wakaf

Kondisi riil wakaf di Kota Batam saat ini masih pada fase sebagai ajaran Islam yang murni, di mana ajaran wakaf dimasukkan dalam kategori ibadadah mahdhah yaitu benda-benda wakaf kebanyakan untuk

Page 189: Buku Jurnal 7.4.pdf

790_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

pembangunan fisik saja seperti untuk masjid, mushalla, pesantren, tanah perkuburan dan sebagainya. Pada priode ini keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.

Fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat tidak dapat dipungkiri masih kurang dirasakan bahkan belum sama sekali. Selama ini distribusi asset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan-kegiatan mahdhah. Peruntukan yang lebih menjamin produktifitas dan kesejahteraan umat masih ketinggalan.

Di Kota Batam dari data yang dimiliki oleh Kantor Kementerian Agama Kota Batam yang terdata di simbi.kemenag.go.id/siwak saat ini sebagaimana grafik di bawah ini:

Luas tanah wakaf yang ada di Kota Batam yang tersebar pada beberapa Kecamatan, baik telah disertifikat, belum bersertifikat, telah ber-AIW sebagaimana dapat dilihat pada grafik di bawah ini :

Page 190: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _791

Luas tanah wakaf se Kota Batam

NO Kecamatan Luas Sudah Sertifikat

Belum Sertikat

Sudah AIW

Belum AIW

01 Sekupang 0 0 0 0 0

02 Batu Ampar 0 0 0 0 0

03 Bel.Padang 32.051,00 25.412,00 988 988 004 Nongsa 5.469,00 0 5.469,00 5.469,00 005 Lubuk Baja 0 0 0 0 006 Sei. Beduk 0 0 0 0 007 Galang 19.981,75 0 19.981,75 19.981,75 008 Bulang 25.779,00 16.279,00 9.500,00 9.500,00 009 Bengkong 0 0 0 0 0

10 Batam Kota 0 0 0 0 0

11 Sagulung 0 0 0 0 012 Batu Aji 0 0 0 0 0

Jumlah 83.280.75 41.691 35.938.75 3.593.75 0

Selain tanah, wakaf uang di Kota Batam juga mulai berkembang. Penerimaan wakaf uang sejak tahun 2012 telah menembus angka ratusan juta. Hal ini membuktikan bahwa sebagai daerah tujuan investasi dan bisnis, Kota Batam berhasil mensosialisasikan wakaf uang meski dalam tahap yang masih rendah. Dalam konteks ini, peran aktif BWI Kota Batam dan jajaran Kementerian Agama Kota Batam patut diapresiasi, mengingat ada banyak program sosialisasi yang telah dilakukan.

Penerimaan wakaf uang tahun 2012 ( Rp.103.400.000 )

Page 191: Buku Jurnal 7.4.pdf

792_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Penerimaan wakaf uang tahun 2013 ( Rp. 176.000.000 )

Dari data yang dikemukakan di atas penerimaan wakaf dari tahun ke tahun memang terdapat peningkatan yang cukup menggembirakan meskipun peningkatannnya belum sesuai rasional jumlah penduduk muslim yang ada di Kota Batam.

Dari sajian data tersebut di atas tanah wakaf di Kota Batam yang tersebar di beberapa Kecamatan tersebut di atas hampir seluruhnya untuk kemashlahatan umat yang tidak produktif seperti lahan pemakaman, masjid, mushalla/surau, sekolah. Selanjutnya sebagian besar tanah wakaf tersebut berada di daerah hinterland karena perwakafan benda tidak bergerak hanya bisa dilakukan di daerah hinterland, lain halnya di daerah perkotaan.

2. Pemanfaatan Potensi Wakaf

Membincangkan perwakafan di Kota Batam menghadapi persolan yang rumit, berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Di Kota Batam tanah dikuasai secara penuh oleh negara dan tidak bisa dimiliki sepenuhnya oleh individu ataupun personal. Kesulitan kemudian ditambah dengan terbitnya SK Kemenhut nomor 463 yang mana SK tersebut semakin

Page 192: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _793

memperluas area lahan hutan lindung sehingga merambah ke daerah hinterland di mana sebelum SK tersebut diterbitkan daerah–daerah hinterland tidak masuk area hutan lindung.

Menyikapi tidak maksimalnya pemanfaatan tanah wakaf untuk pengembangan ekonomi produktif, Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kota Batam memaksimalkan potensi wakaf uang. Sebagai strategi, BWI menggandeng perorangan, kelompok seperti jemaah masjid/mushalla, majelis ta’lim untuk pengembangan wakaf uang ini. Walhasil, berkat kerjasama yang baik BWI berhasil mewujudkan rencana besar bersama Nazhir Mitra Umat Kota Batam untuk membangun Rumah Potong Ayam Halal (RPAH).

Pembangunan RPAH Halal ini bertujuan memberikan kenyamanan bagi umat Islam dalam memperoleh makanan halal. Sebagaimana diketahui, masyarakat terbesar menkomsumsi ayam tersebut adalah masyarakat muslim. Di sisi lain hasil survey LPPOM menunjukkan bahwa penyembelihan ayam yang dilakukan di pasar-pasar yang ada di Kota Batam belum sesuai dengan syari’at Islam (belum Syar’i).

Pembangunan Rumah Potong Ayam Halal (RPAH) di Kota Batam telah dimulai sejak tahun 2012 di atas lahan yang disediakan oleh Badan Pengawasan Batam seluas 3000 M2 dengan luas bangunan 600 M2. Sumber dana untuk pembangunan RPAH tersebut berasal dari dana umat (wakaf) yang dukumpulkan dari berbagai sumber anatar lain dari wakaf paradonatur, kopon wakaf Rp. 10.000 yang disebarkan ke masyarakat, baik masjid, mushalla, majelis-majelis ta’lim, ormas Islam maupun di madrasah-madrasah di bawah lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Batam.

Memasuki tahun 2014, respon masyarakat terhadap keberadaan Rumah Potong Ayam Halal (RPAH) semakin menguat. Masyarakat secara berangsur-angsur telah memahami dan menyadari tentang urgensi keberadaan Rumah Potong Ayam Halal (RPAH) tersebut, disamping semakin gencarnya sosialisasi tentang Undang-Undang No.

Page 193: Buku Jurnal 7.4.pdf

794_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Kini masyarakat lebih memilih tempat-tempat penyembelihan yang telah bersertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI Provinsi Kepulauan Riau. Bahkan, kini permintaan makanan halal meningkat seiring dengan semakin tingginya permintaan sertifikat halal baik rumah makan, pengusaha-pengusaha kuliner, restoran bahkan perhotelan.

Pembangunan Rumah Potong Ayam Halal tersebut disamping merefleksikan pemahaaman wakaf secara produktif dan modern yang terlebih penting adalah menyelamatkaan masyarakat dan menjamin masyarakat dari makananan yang diragukan bahkan dari makaan yang haram.

3. Kendala Pengembangan Wakaf Uang di Kota Batam

Pengembangan perwakafan di Kota Batam bukan tidak mendapat kendala. Sebagai daerah ekonomi ekslusif, Kota Batam banyak memiliki peraturan khusus. Di samping itu, masyarakat Kota Batam juga belum sepenuhnya terlayani dengan dakwah. Hal ini tentu membawa dampak tersendiri, bahwa wakaf belum sepenuhnya dikenal.

Secara keseluruhan, lambannya peningkatan wakaf uang di Kota Batam disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

1. Lemahnya pemahaman masyarakat terhadapap masalah wakaf

2. Hukum wakaf itu sendiri (sunat) sehingga masyarakat kurang merasakan bahwa wakaf merupakan suatu yang penting dalam kehidupan.

3. Kuatnya paham lama umat Islam dalam pengelolaan wakaf, seperti adanya anggapan bahwa wakaf itu milik Allah semata yang tidak boleh diubah. Atas pemahaman itu, banyak tokoh masyarakat atau umat Islam tidak merekomendasikan wakaf dikelola secara produktif. Selain itu, belum utuhnya pemahaman bahwa wakaf memiliki fungsi sosial yang lebih luas dan tidak terbatas pada ibadah mahdhah.

Page 194: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _795

4. Kurangnya sosialisasi secara lebih luas terhadap paradigma baru untuk pengembangan wakaf secara produktif. Sosialisasi massif dengan memasukkan wakaf sebagai bagian yang sangat prinsip dalam kehidupan.

Faktor-faktor diatas tentunya menjadi perhatian secara khusus bagi Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kota Batam untuk lebih intensif dan massif lagi serta memberikan pemahaman tentang perwakafan dalam Islam kepada masyarakat baik pemahaman wakaf itu sendiri, pengelolaannya, manfaat berwakaf bagi diri dan masyarakat. Aparatur pemerintah dan praktisi dakwah harus merubah paradigma lama tentang memahami wakaf sehingga wakaf dapat dapat dikembangkan secara produktif dan hasilnya dapat dinikmati untuk kemashlahatan umat.

D. Penutup

Sebagai daerah ekonomi ekslusif, Kota Batam sangat potensial bagi pengembangan perwakafan. Selain didukung infrastruktur yang kuat, Kota Batam juga memiliki ketersediaan SDM yang cukup. Tak mengherankan jika perkembangan pengelolaan wakaf di Batam terus mengalami kemajuan.

Namun demikian, pengelolaan wakaf di Kota Batam masih terus membutuhkan perubahan dan pengembangan. Sebagai contoh, pemanfaatan potensi wakaf uang belum dikelola secara maksimal. Padahal, ada banyak sektor usaha yang dapat dikembangkan melalui dana wakaf ini. Inilah yang kini menjadi pekerjaan rumah para pengambil kebijakan dan pemerhati perwakafan di Kota Batam.

Page 195: Buku Jurnal 7.4.pdf

796_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kudus: Menara, 1974

Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf Dan Perwakafan Di Indonesia, Pasuruan: PT. Garuda Buana Indah, 2004

Fikri, Sayyid Ali, Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah, Mesir: Mustafa Al-babi Al-Halabi, 1938, Juz 11

Farih, Amin, Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, Semarang: Walisongo Press, 2008

Pasal 4 UU No, 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan

Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002

simbi.kemenag.go.id/siwak

http://candraboyseroza.blogspot.com/2009/02/wakaf-dalam-pandangan-ulama-fiqih

http://ad-dai.blogspot.com/dampak-makanan-haram.html

http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/wakaf-dan-upaya-memberdayakan-potensinya-secara-produktif-di-indonesia-3/ (diunduh 12 Juli 2014)

http://candraboyseroza.blogspot.com/2009/02/wakaf-dalam-pandangan-ulama-fiqih.

Profil Kota Batam dalam “http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=89 (diunduh tanggal 21 Mei 2014)

Page 196: Buku Jurnal 7.4.pdf

Perkembangan Perwakafan di Kota Batam _797

Endnotes

1. http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/wakaf-dan-upaya-memberdayakan-potensinya-secara-produktif-di-indonesia-3/ (diunduh 12 Juli 2014)

2. Ibid

3. Pasal 4 UU No, 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan

4. Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf Dan Perwakafan Di Indonesia, Pasuruan: PT. Garuda Buana Indah, 2004, h. 2

5. Sayyad Ali Fikri, Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah, Mesir: Mustafa Al-babi Al-Halabi, 1938, Juz 11, h .389

6. http://candraboyseroza.blogspot.com/2009/02/wakaf-dalam-pandangan-ulama-fiqih.

7. Profil Kota Batam dalam “http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=89 (diunduh tanggal 21 Mei 2014)

8. http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=312

9. Ibid

10. Profil Kota Batam dalam “http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=89 (diunduh tanggal 21 Mei 2014)

Page 197: Buku Jurnal 7.4.pdf

798_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413

Pedoman Transliterasi

Page 198: Buku Jurnal 7.4.pdf

Ketentuan Tulisan _799414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012

A. Ketentuan Tulisan

1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya.

2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak peng olah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah.

3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.

4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak

melebihi 18 kata.b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan

alamat e-mail dicetak di bawah judul.c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa

(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring.

d. Tulisan menggunakan endnotee. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama

pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang

pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit.

• Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota

Page 199: Buku Jurnal 7.4.pdf

800_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.IV 2014 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415

Penerbit: Penerbit. Halaman.• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama

Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman.

• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut.

5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik.

6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam ([email protected]).

Page 200: Buku Jurnal 7.4.pdf

Recommended