+ All Categories
Home > Documents > cdk_149_kesehatan_jiwa

cdk_149_kesehatan_jiwa

Date post: 12-Jun-2015
Category:
Upload: revliee
View: 2,015 times
Download: 4 times
Share this document with a friend
Popular Tags:
68
http://www.kalbefarma.com/cdk International Standard Serial Number: 0125 – 913X Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Kesehatan Jiwa (Mental Health) di Kehidupan Modern Kusumanto Setyonegoro 8. Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke Nurmiati Amir 14. Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya LS.Chandra 19. Antidepresan Pemicu Disfungsi Seksual Myrna Yustina 21. Penanganan Psikologik pada Obesitas Sylvia D. Elvira 24. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger Theresia Kaunang 32. Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas Yusuf Alam Romadhon 38. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU Raharni, Max J. Herman 44. Pengaruh Pendedahan Morfin terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster Dewi Peti Virgianti,Hana Apsari Pawestri 49. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya Sunanti Z. Soejoeti 53. Respon Terapi Tamoxifen pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan Reseptor Estrogen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif Azamris 57. L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing akibat Keracunan E- tanol pada Hepatosit Nelson Simanungkalit Pospos 60. Beberapa Temuan yang tak lazim (aneh) selama Bekerja Meneliti Susunan Kimia Batu Ginjal Oen Liang Hie 62. Produk Baru 63. Kegiatan Ilmiah 65. Abstrak 66. Indeks Karangan tahun 2005 68. RPPIK 149. Kesehatan Jiwa Faces of emotion. http. www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125 –913X 149 Kesehatan Jiwa 2005 2005 Keterangan gambar : Faces of emotion. www.altavista.com
Transcript
Page 1: cdk_149_kesehatan_jiwa

http://www.kalbefarma.com/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar isi :

2. Editorial 4. English Summary

Artikel

5. Kesehatan Jiwa (Mental Health) di Kehidupan Modern – Kusumanto Setyonegoro

8. Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke – Nurmiati Amir 14. Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya –

LS.Chandra 19. Antidepresan Pemicu Disfungsi Seksual – Myrna Yustina 21. Penanganan Psikologik pada Obesitas – Sylvia D. Elvira 24. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger – Theresia Kaunang 32. Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan

Perhatian / Hiperaktivitas – Yusuf Alam Romadhon 38. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA

(Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU – Raharni, Max J. Herman

44. Pengaruh Pendedahan Morfin terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster – Dewi Peti Virgianti,Hana Apsari Pawestri

49. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya – Sunanti Z. Soejoeti

53. Respon Terapi Tamoxifen pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan

Reseptor Estrogen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif – Azamris 57. L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing akibat Keracunan E-

tanol pada Hepatosit – Nelson Simanungkalit Pospos 60. Beberapa Temuan yang tak lazim (aneh) selama Bekerja Meneliti Susunan Kimia Batu Ginjal – Oen Liang Hie

62. Produk Baru 63. Kegiatan Ilmiah 65. Abstrak 66. Indeks Karangan tahun 2005 68. RPPIK

149.Kesehatan Jiwa

Faces of emotion.

http. www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125 –913X

149Kesehatan Jiwa

2005

2005

Keterangan gambar : Faces of emotion. www.altavista.com

Page 2: cdk_149_kesehatan_jiwa

EEDDIITTOORRIIAALL

Dalam kehidupan modern ini makin banyak masalah yang me-

merlukan adaptasi, yang mekanismenya mungkin masih sama dengan mekanisme adaptasi manusia di zaman purbakala berupa fight or flight mechanism; yang tidak lagi selalu cocok dengan situasi masyarakat saat ini. Hal tersebut akan menambah stres dan menimbulkan berbagai reaksi tubuh/fisik.

Selain itu perkembangan farmakoterapi psikiatrik telah jauh ber-kembang, meninggalkan bentuk terapi fisik seperti ECT, sesuai dengan perkembangan teori biologik/neurotransmiter; di lain pihak peng-gunaan zat tertentu justru menyebabkan gangguan psikiatrik.

Hal-hal tersebut akan dibahas dalam terbitan Cermin Dunia Kedokteran edisi ini, sehingga dapat menambah wawasan bahwa kelainan psikiatrik/psikologik tidaklah semata-mata gangguan psikotik/ skizofrenik saja.

Akhirnya, di edisi terakhir tahun 2005 ini redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2006, semoga tahun mendatang kurang menyebabkan stres bagi sejawat sekalian.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 2

Page 3: cdk_149_kesehatan_jiwa

2005 International Standard Serial Number: 0125 - 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN

PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta

- Prof. Dr. R Budhi Darmojo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

PELAKSANA - Sriwidodo WS.

-

-

TATA USAHA - Dodi Sumarna - E. Nurtirtayasa

Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbefarma.com/cdk

- DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

-

-

PENCETAK PT. Temprint

Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

http://www.kalbefarma.com/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik jika disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Jika tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter-tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:

William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio-logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 4: cdk_149_kesehatan_jiwa

English Summary

MENTAL HEALTH IN MODERN LIFE Kusumanto Setyonegoro Professor in Psychiatry, Darmawangsa Hospital, Jakarta, Indonesia Modern living may generate many frustrations felt as intense individual stress. It may be caused by - among others: 1. Personal failure or inferiority

feeling 2. Personal losses : human life as

well as material losses 3. Unfavorable personal compa-

risons 4. Personal limitations : physical,

intellectual or intelligence 5. Personal feelings of guilt These conflicts of modern life can be severe and the individual may need advice and help from professionals. Trained mental health profession-als can render such help through: 1. Consultations(eg- in outpatient

service of mental health faci-lities )

2. Hospitalization for short term intensive treatment.

3. Medications with modern psy-chopharmaceuticals

Cermin Dunia Kedokt.2005;149 : 5 -7

kso

FACTORS RELATED TO DRUG ABUSE AMONG PUBLIC HIGH SCHOOL STUDENTS IN BEKASI, WEST JAVA, INDONESIA Raharni, Max J. Herman

Pharmacies Research and Deve-lopment Center, Department of Health, Jakarta, Indonesia

This study was done to obtain information on factors related to drugs (narcotics, psychotropics and addictive subtances) abuse among public high school (SMU Negeri) students in Bekasi.

The study population of this cross-section study was 386 high school students in Bekasi, chosen through multistage sampling pro-cedure. Chi Square test for biva-riate analysis and prediction mo-del of multiple logistic regression for multivariate analysis was used.

The prevalence of drug abuse was 16,8%. Variables found to be significantly associated with drug abuse in bivariate analysis were personal characteristics (gender, age, knowledge, attitude), envi-ronmental factors (mother occu-pation, family harmony, smoking habit in the family, peer, leisure activities). Gender was the most predominant variable. Prevention program among high school students need to be immediately applied in collabo-ration with parents (in extracur-ricullar activities), Ministry of Health, Police and Ministry of Justice.It was also recommended to conduct further researches, to support drug abuse prevention program.

Cermin Dunia Kedokt.2005; 149; 38 - 43 rhi, mjh

EFFECTS OF MORPHINE EXPOSURE ON BEHAVIOR AMONG SWISS-WEBSTER MICE Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri* Biologist, Faculty of Mathe-matics and Physical Sciences, Padjadjaran University, Bandung Indonesia *Disease Eradication Research and Development Center, De-partment of Health, Jakarta, Indonesia

This research on pregnant Swiss-Webster mice was done to study the effects of morphine exposure on behaviour in pre-weaning period and bodyweight of the offsprings.

Morphine at dose of 9,8 mg/kgbw/day;5,6 mg/kg bw/day; 2,8 mg/kg bw/day; and aquabi-dest as control was injected subcutaneously on seventh until twelfth day of pregnancy. The behavior of the offsprings was tested using the Neurobehavioral Battery Test.

There is difference (p<0,05) in reflex test and motor reflex test at 9,8 mg/kg bw/day and 5,6 mg/kg bw/day dose. Weight gain is also significantly different (p<0,05) at 9,8 mg/kg bw/day and 5,6 mg/kg bw/day morphine dose.

Morphine exposure caused behavioral disparity among mice in preweaning period.

Cermin Dunia Kedokt. 2005 ;149: 44 - 8 dvp, hap

( Bersambung Ke Hal 56 )

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 4

Page 5: cdk_149_kesehatan_jiwa

Artikel

OPINI

Kesehatan Jiwa(Mental Health) di

Kehidupan Modern

Kusumanto Setyonegoro

Ketua Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa Guru Besar Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN

Dengan kemajuan zaman, problem-problem pribadi dan sosial dalam kehidupan manusia bukannya berkurang, tetapi sebaliknya, bahkan bertambah sehingga mengganggunya untuk mencapai kebahagiaan hidup yang diidam-idamkan. Perang (dalam maupun luar negeri), pergolakan ekonomi (inflasi, dan sebagainya) perilaku anti sosial (perampokan, penganiayaan, perkosaan, dan sebagainya), ketidak-serasian penerapan hukum dan peraturan, hidup berkeluarga yang bermasalah (percekcokan, perceraian, kekerasan dalam keluarga, hidup bersama tanpa nikah, dan sejenisnya) semuanya menambah disilusi (kekecewaan yang mendalam), kesulitan atau ketidakmampuan untuk menegakkan nilai-nilai sosial kultural dan melaksanakan program yang berorientasi filsafat sosial, semuanya secara bertumpuk-tumpuk memicu konflik dan stres ( ketegangan yang tidak pernah reda secara spontan). Situasi seperti itu mengakibatkan kondisi maladjustment (keadaan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan), yang dinyatakan secara jasmaniah (seperti kondisi sakit atau kurang sehat hingga terpaksa tidak masuk bekerja atau bekerja tidak efektif ) atau melahirkan perilaku menyimpang; kepribadian yang “agak aneh” hingga kurang diterima oleh lingkungan karena dinilai “kurang wajar”.

Dapat disaksikan orang-orang yang “pusing”,”bingung” dan “bengong” menghadapi situasi yang menegangkan. Banyak di antara mereka jelas menyatakan dirinya tidak berbahagia, terpaksa hidup terus walaupun tidak melihat masa depan yang cerah; mereka kehilangan kekuatan mental emosionalnya untuk hidup tenteram, damai dan sejahtera cukup banyak orang yang mengalami dan memperlihatkan penyesuaian diri secara pribadi maupun sosial yang “kurang pantas” dan “kurang berkenan” terhadap orang lain. Mereka yang tergolong berkelakuan tidak efisien atau “kurang wajar” tersebut,

mungkin tidak perlu dirawat, tetapi jelas memerlukan bim-bingan mental sehingga dapat dikembalikan ke garis kehidupan yang “lebih normal” dalam waktu yang sesingkat -singkatnya. MASALAH-MASALAH YANG MENGHAMBAT PE-NYESUAIAN DIRI

Perilaku tidak hanya tergantung pada dorongan motivasi diri, banyak hambatan dan halangan di sekitar kita baik yang eksternal (luar diri kita) maupun internal (dalam diri kita). Jika suatu dorongan atau keinginan manusia dihambat atau dihalangi, akan timbul stres. Stres dapat dianggap sebagai suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, yang dibebankan pada individu. Keadaan, yang merupakan kekuatan atau keharusan untuk menyesuaikan diri, dianggap sebagai stressor yang dapat bersifat internal atau eksternal; biasanya tidak hanya satu stressor saja yang membebani individu tetapi beberapa stressor sekaligus. JENIS – JENIS STRESSOR

Ada dua jenis stressor yang diketahui, yaitu stressor biologik dan stressor psikologik, tetapi kebanyakan bersifat psiko-biologik. Infeksi dapat dianggap stressor biologik yang mengharuskan sistem pertahanan jasmani orang itu me-nangkalnya. Sama halnya dengan rasa berdosa atau rasa bersalah, yang merupakan stressor psikologik; stressor demikian meng-haruskan sistem “Diri-Aku” ( Ego system ) melakukan per-tahanan (defense) agar dapat berfungsi seimbang (normal) lagi. Jika tidak berhasil, maka individu itu akan mengalami kegoncangan mental. Stres dapat berpengaruh baik pada indi-vidu secara tersendiri, maupun pada sejumlah individu secara kelompok, umpamanya stres ekonomi atau stres bencana alam (tsunami, gunung meletus, banjir dan sebagainya) membebani baik individu maupun kelompok secara cukup berat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 5

Page 6: cdk_149_kesehatan_jiwa

SUMBER-SUMBER STRESSOR 1. Frustrasi Eksternal (Frustrasi = kekecewaan yang mendalam).

Hal ini terjadi bila alam bergolak sangat berat: badai, kebakaran, gempa bumi, tsunami, kecelakaan beruntun, ter-utama sekali bila disertai kematian mereka yang sangat dicintai dan dekat dengan yang bersangkutan. Halangan atau stres eksternal yang hebat di antaranya perang (atau perang saudara), depresi ekonomi (inflasi, dan sebagainya) per-saingan yang terlalu tajam atau ketat, perubahan zaman (umpama dari situasi rural ke urban) yang terlalu cepat, ketidakstabilan hukum dan keamanan, semuanya meng-akibatkan frustrasi.

Juga dapat berupa perlakuan hukum tertentu karena dianggap melanggar UU atau Peraturan Negara. Penyimpang-an seperti pencurian, korupsi, agresi terhadap orang lain, dan sebagainya, semuanya dapat rnengakibatkan hukuman (yang lebih lanjut mengakibatkan kehilangan status sosial, kehilang-an pekerjaan, masuk penjara, dan sebagainya), yang semuanya mencetuskan frustrasi yang sangat mendalam. Juga ketidak berhasilan memenuhi tugas pekerjaan, pendidikan dan lain-lain dapat mengakibatkan frustrasi. 2. Frustrasi Internal

Berbagai keterbatasan pribadi juga menimbulkan frustrasi: kendala fisik (physical handicaps), kurangnya inteligensi dan konsentrasi, persaingan daya tarik, dan sebagainya dapat mengurangi keberhasilan dan mengakibatkan frustrasi. Sejumlah frustrasi berasal dari hambatan psikologik karena pertimbangan etika (atau susila kepantasan) dan realitas, misalnya masalah perkawinan. Bila halangan atau pertimbangan etika dikesampingkan, mungkin timbul rasa dosa dan rasa salah diri yang berkepanjangan. Sering kali manusia melakukan hal-hal yang ia sendiri mungkin tidak mem-benarkan, sehingga menimbulkan rasa tidak senang dan frustrasi. POLA STRES SELALU MERUPAKAN MASALAH PRIBADI

Tiap individu mempunyai pola tertentu penyesuaian diri yang sangat unik (khas). Usia, jenis kelamin, kedudukan atau jabatan, status ekonomi dan hal-hal lain yang terikat pada pribadinya, semuanya turut menentukan. Seorang anak akan menghadapi suatu stres dengan pola yang berlainan dari seorang dewasa. Seorang pejabat memiliki pola penang-gulangan stres yang berlainan dengan seorang tukang batu. Ditambah pula, pola penyesuaian itu dapat berubah selama perjalanan waktu. Peristiwa dalam kehidupan seperti kerugian finansiil, kecelakaan besar, kematian dalam keluarga dekat, semuanya mampu mengubah pola stres ditambah dengan faktor usia, tujuan-tujuan jangka panjang manusia dapat turut mengubah pola tersebut.

Tetapi, yang paling penting ialah bagaimana manusia itu sendiri menilai pola stresnya dan evaluasinya. Perlu diper-timbangkan, bahwa situasi eksternal yang dialami dan dianggap penting oleh seseorang bagi yang lain mungkin tidak ada pengaruhnya sama sekali.

BERAT STRES

Sama halnya dengan beban yang diletakkan di sebuah jembatan, begitu pula dengan beban stres pada seseorang; makin lama stres berlangsung, makin berat stres tersebut dirasakan. Jumlah stres yang berurutan yang dialami seseorang, juga menentukan beratnya stres. Bila seseorang sekaligus mengalami peristiwa kehilangan pekerjaan, serangan jantung, dan ditinggal istri, maka jelas stres yang dialaminya lebih berat, dibandingkan dengan jika peristiwa-peristiwa itu tidak terjadi bersamaan. Efek kumulatif stres dapat menyebabkan seseorang sekonyong-konyong dapat "meledak pecah" sesudah terjadinya suatu stres yang (secara sepintas) mungkin ringan saja. Harus difahami bahwa individu dalam memandang suatu situasi tidak hanya mengenai faktanya saja, tetapi juga bagaimana dia menilai situasi vang baru itu berdasarkan kemampuan diri untuk mengatasinva. Hal-hal tersebut sangat penting untuk memahami kondisi sakit jiwa (mental illness). REAKSI HOLISTIK (=MENYELURUH) MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN JIWA

Pada dasarnya, reaksi manusia terhadap stres pada dasar-nya bersifat menyerang (attack), menarik diri (withdrawal) atau kesepakatan berdamai (compromise). Masing-masing reaksi itu dapat terjadi secara terbuka (overt) atau tersamar (covert). Individu dapat menurunkan taraf aspirasinya (hasrat atau cita-cita) saat menghadapi kegagalan, atau meningkatkan upayanya untuk mencapai tujuan. Segala reaksi tersebut adalah upaya untuk mengimbangi problem se-demikian rupa sehingga dapat mencapai atau memper-tahankan suatu keseimbangan psikobiososial untuk me-menuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya . REAKSI PENYESUAIAN DIRI (ADAPTIF) SECARA LANGSUNG

Sikap menyerang (attack), menarik diri (withdrawal) dan sepakat berdamai (compromise) merupakan tindakan-tindakan yang dapat dianggap langsung (direct) untuk menghadapi stres, dengan berbuat sesuatu sehingga situasi aslinya dapat di “lunak”kan (modify) atau di “ubah” (change). Reaksi menyerang (attack), reaksi agresi (mendobrak atau menyerang) atau reaksi bermusuhan (hostile) dimaksud untuk menghapus atau mengatasi halangan mencapai kepuasan. Banyak organisme bertindak agresif saat menjumpai halangan; yang paling sering ialah tindakan memperkuat emosi yang menjelma menjadi sikap permusuhan. Tetapi. hanya sejumlah kecil situasi stres saja yang dapat diatasi dengan cara demikian. Jika serangan langsung tidak berhasil, dan frustrasi tetap berlangsung, maka frustrasi, rasa tidak senang dan rasa sakit hati dapat dihubungkan dengan berbagai pribadi atau objek tertentu. Mereka itu kemudian dapat dijadikan sasaran dan sebab dari frustrasi dan blokade yang dialaminya.

Dengan demikian, maka reaksi agresif (yang semula hanya bersifat aktivitas yang bertambah dan serangan langsung) kemudian diperkuat menjadi rasa benci. Sikap yang semula hanya berupa keinginan menyerang dapat ditambah dengan kecenderungan merusak (destroy). Jika individu merasa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 6

Page 7: cdk_149_kesehatan_jiwa

diperlakukan tidak adil, tidak disukai, atau tidak diberi kesempatan maju seperti orang lain (yang dianggap sama dengan dia), maka ia dapat menaikkan tegangan permusuhan, yang kemudian menjadi perilaku delinquent (melawan hukum). Pencurian, perampokan, perusakan, pembakaran, perilaku seksual yang melawan hukum, dan penyerangan fisik terhadap orang-orang tertentu seringkali merupakan pola perilaku pembangkang (defiant behavior). REAKSI PENYESUAIAN DIRI SECARA TIDAK LANGSUNG

Jika individu tidak melakukan reaksi penyesuaian secara langsung, maka ia akan menempuh jalan tidak langsung. Ia dapat melarikan diri (flight) atau menarik diri (withdrawal) atau mengurung diri dalam kondisi ketakutan (fear atau anxiety). Dalam kondisi itu, individu akan berkurang efektivitas dan efisiensi hidupnya, banyak upaya dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, seolah-olah sia-sia belaka. Individu tersebut makin lama makin hidup dalam dunia fantasinya dan jika tidak ditangani secara profesional dapat terjerumus dalam keadaan sakit jiwa (mental illness).

Pada umumnya individu yang terganggu kesehatan jiwanya terbagi dalam : 1. Pasien-pasien dengan jiwa yang relatif sehat (dapat

bekerja dan berusaha seperti biasa) tetapi mengalami berbagai problem hidup yang kadang-kadang memerlukan orang lain (suami, isteri atau orang tua/saudara) untuk mencapai penyelesaian (solusi) yang sebaik-baiknya. Mereka dapat meminta nasihat (counseling) pada seorang profesional: psikiater, psychologist, educator, social worker, certified nurse dan profesional lain. Dianjurkan tidak menghubungi ahli nujum, dukun magician, dan sejenis karena penge-tahuannya tidak didasarkan atas asas-asas ilmiah modern.

2. Pasien neurosis khronis, psikosomatis khronis dan pasien neuropsikiatrik perlu diobati oleh psikiater atau dokter nonpsikiater yang berpengalaman.

3. Pasien dengan kondisi mendesak, atau tak terkendali. Sering mengeluh konsentrasi menurun, fokus pikiran kabur, mendengar bisikan suara (halusinasi) dan pikiran-pikiran curiga dan bersifat mengejek atau menganggap dirinya "jahat" (paranoid) dianjurkan segera berkonsultasi dengan psikiater.

BAGAIMANA SEBAIKNYA MENGHADAPI PASIEN DENGAN

KELUHAN KESEHATAN JIWA YANG TERGANGGU ( baik anak,remaja,dewasa,usia lanjut / lansia )

STR

ESS

REL

ATI

F R

ING

AN

Pasien (dengan kesehatan jiwa yang relatif sehat),

dapat bekerja dan berusaha seperti biasa, tetapi mengalami problem hidup dan penghidupan (problems of life and living). Mereka dapat menyelesaikan problem itu sendiri atau dengan orang lain yang dekat dengannya untuk mencapai solusi. Mereka dapat meminta nasihat counsellor.

STR

ESS

SED

AN

G

PSIK

OSO

MA

TIK

- N

EUR

OSI

S

Pasien-pasien dengan problem hidup dan kehidupan mendesak, memerlukan segera konseling pada ahli yang terlatih secara ilmiah: clinical psychologist, professional mental health nurse,social worker, dan ahli sosial lain. Sering mereka langsung minta bantuan atau pertolongan psikiater (swasta atau pemerintah) sesuai dengan keinginannya sendiri, • counsellor non-psikiater tidak pernah memberi obat • counsellor psikiater dapat meresepkan obat

STR

ESS

BER

AT

(Psi

kosi

s)

Pasien dengan kondisi mendesak, atau “tak terkendali” sering mengeluh konsentrasi menurun , fokus pikiran kabur, mendengar bisikan (halusinasi) dan pikiran-pikiran kecurigaan atau menganggap dirinya “jahat” (paranoid). Sering mereka sedang atau sudah berobat ke dokter atau rumah sakit lain. Mereka ini dianjurkan segera berkonsultasi dengan psikiater dan dirawat.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 7

Page 8: cdk_149_kesehatan_jiwa

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke

Nurmiati Amir

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK

Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang

manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi.

Gejala depresi terdiri dari penurunan mud (mood), gangguan kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor. Ada beberapa bentuk depresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar), gangguan mud spesifik lainnya, gangguan depresi akibat kondisi medik umum atau akibat zat, dan gangguan penyesuaian dengan mud depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti gangguan depresi belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berkrontribusi yaitu faktor stresor psikososial, genetik, kepribadian, dan biologik.

Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi, sedangkan pasien stroke yang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi.

Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi; medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan medikasi. Mengingat ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan.

PENDAHULUAN

Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi. Jika manifestasi depresi muncul dalam bentuk keluhan yang ber-kaitan dengan mud (mood) (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dapat dengan mudah ditegakkan; tetapi jika gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus-menerus, adanya depresi yang melatar-belakanginya sering tidak terdiagnosis. Ada masalah-masalah lain yang juga dapat menutupi diagnosis depresi misalnya pasien menyalahgunakan alkohol atau obat untuk mengatasi depresi, atau muncul dalam bentuk gangguan perilaku(1).

Gangguan depresi sering ditemui. Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri

lebih sering pada laki-laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua. Penyebab depresi secara pasti, belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan yaitu peristiwa-peritiwa kehidupan yang bersifat stresor (problem keuangan, perkawinan, pe-kerjaan, penyakit, dan lain-lain), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti gangguan hormon, keseimbangan neurotransmiter biogenik amin, dan imunologik(2).

Pada stroke, depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi.(3) Ganggu-an depresi dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Ia dapat pula mecetuskan, memperlambat penyembuhan atau memperberat penyakit fisik. Selain itu, depresi dapat pula meningkatkan beban ekonomi.

Depresi perlu diidentifikasi secara dini makin dini penata-laksanaan makin baik prognosisnya. Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi psikofarmaka, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan psikofarmaka. Mengingat ada

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 8

Page 9: cdk_149_kesehatan_jiwa

beberapa faktor penyebab depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan. GEJALA DEPRESI Gambaran emosi - Mud depresi, sedih atau murung - Iritabilitas, anksietas - Ikatan emosi berkurang - Menarik diri dari hubungan interpersonal - Preokupasi dengan kematian - Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri Gambaran kognitif - Mengeritik diri sendiri, perasaan tak berharga, rasa ber-

salah - Pesimis, tak ada harapan, putus asa - Bingung, konsentrasi buruk - Tak pasti dan ragu-ragau - Berbagai obsesi - Keluhan somatik - Gangguan memori - Ide-ide mirip waham Gambaran Vegetatif - Lesu dan tak ada tenaga - Tak bisa tidur atau banyak tidur - Tak mau makan atau banyak makan - Penurunan berat badan atau penambahan berat badan - Libido terganggu - Variasi diurnal Psikomotor - Retardasi psikomotor - Agitasi psikomotor TANDA-TANDA DEPRESI - Tidak atau lambat bergerak - Wajah sedih dan selalu berlinang air mata - Kulit dan mulut kering - Konstipasi KlASIFIKASI DEPRESI MENURUT DSM-IV 1. Gangguan depresi mayor – unipolar dan bipolar. 2. Gangguan mood spesifik lainnya

- Gangguan distimik – depresi minor. - Gangguan siklotimik – depresi dan hipomanik saat ini atau

baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun). - Ganguan depresi atipik - Depresi postpartum - Depresi menurut musim

3. Gangguan depresi akibat kondisi medik umum dan gangguan depresi akibat zat

4. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi; depresi disebabkan oleh stresor psikososial.

DEPRESI PASCASTROKE (DPS)

Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan stroke. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan yang sedang

dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi baik mayor ataupun minor(6).

Fenomenologi simptom depresi fungsional hampir sama dengan simptom DPS. Sekitar 50% pasien yang memenuhi kriteria diagnostik untuk DPS melaporkan adanya kesedihan, kecemasan, ketegangan, kehilangan minat, terbangun dini hari, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan, sulit konsentrasi dan berpikir,serta pikiran-pikiran tentang kematian.

Meskipun penyebab pasti DPS belum diketahui, sejumlah peneliti menyatakan bahwa lokasi lesi di otak memegang peranan penting. Penelitian terhadap penderita stroke dengan lesi hemisfer kiri, mendapatkan hubungan terbalik antara beratnya depresi dengan jarak antara batas anterior lesi dengan kutub frontal(8). PREVALENSI

Sekitar 26% pasien pascastroke menderita depresi mayor dan 20% depresi tipe distimik. Sekitar 40%-50% pasien dapat menderita depresi dalam beberapa bulan pertama setelah stroke(9). Studi prospektif (dua tahun) yang dilakukan terhadap pasien stroke mendapatkan 26% pasien mengalami depresi mayor dan 20% depresi minor ketika dievaluasi di rumah sakit. Pasien yang mengalami depresi mayor ketika di dalam rumah sakit, setelah satu atau dua tahun sembuh sempurna; sedangkan prognosis pasien dengan depresi minor kurang baik, hanya 30% yang sembuh setelah dua tahun pasca stroke. Sekitar 30% yang tidak mengalami depresi selama perawatan di rumah sakit menjadi depresi setelah dua tahun pasca stroke. Durasi depresi mayor secara alamiah berlangsung sekitar satu tahun sedang-kan durasi depresi minor lebih lama; pada beberapa kasus berlangsung lebih dari dua tahun sehingga memenuhi kriteria gangguan distimik(10). Dua faktor yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi perjalanan alamiah DPS yaitu: 1. Terapi dengan antidepresan 2. Lokasi lesi

Berdasarkan lokasi, frekuensi kesembuhan depresi pada pasien dengan lesi subkorteks dan serebelum lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang lesinya di korteks. Impairment dalam aktivitas kehidupan sehari-hari juga berbeda bermakna. Depresi bukanlah penyakit yang sifatnya sementara tetapi berlangsung lama. Durasi untuk depresi mayor adalah satu tahun sedangkan untuk depresi minor sekitar dua tahun. LESI KORTEKS DAN SUBKORTEKS

Dari penelitian terhadap pasien pascastroke didapatkan bahwa sekitar 44% pasien dengan lesi di korteks kiri mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi di subkorteks kiri 39%. Depresi pada lesi di korteks kanan 11% dan di subkorteks kanan 14%. Tidak terdapat perbedaan kejadi-an depresi yang bermakna antara lesi di korteks dengan subkorteks.Tetapi prevalensi depresi lebih tinggi secara bermakna pada lesi di hemisfer kiri dibandingkan dengan lesi di hemisfer kanan(11).

Bila dilihat lebih jauh, pasien dengan lesi korteks frontal kiri anterior lebih sering mengalami depresi jika dibandingkan dengan pasien dengan lesi korteks frontal kiri posterior.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 9

Page 10: cdk_149_kesehatan_jiwa

Dengan perkataan lain, depresi akan lebih berat jika lesi lebih dekat ke kutub frontal. Depresi lebih sering pada pasien dengan lesi di hemisfer anterior kiri daripada lesi hemisfer anterior kanan. Lesi di korteks frontal dorsolateral dan lesi ganglia basal kiri menimbulkan depresi mayor yang lebih sering dan lebih berat dibandingkan dengan lesi di tempat lain. LESI SIRKULASI SEREBRI MEDIA DAN POSTERIOR

Suatu penelitian dilakukan terhadap 37 pasien dengan lesi sirkulasi serebri posterior dibandingkan dengan 42 pasien dengan lesi sirkulasi serebri media. Lesi sirkulasi serebri posterior dibagi lagi menjadi hemisfer temporo-oksipital dan lesi batang otak/serebelum. Depresi mayor/minor terjadi pada 48% pasien dengan lesi sirkulasi serebri media dan pada 35% pasien dengan lesi batang otak/serebelum. Setelah enam bulan, frekuensi depresi 82% pada pasien dengan lesi sirkulasi serebri media dan 20% pada sirkulasi serebri posterior; setelah 1-2 tahun, frekuensi depresi adalah 68% dan 0%. Perjalanan depresi di regio batang otak/serebelum lebih pendek. Penemuan ini menunjukkan bahwa mekanisme depresi akibat lesi di arteri serebri media berbeda dengan lesi di batang otak/serebelum. Hal ini karena lesi di batang otak biasanya kecil dan tidak begitu merusak jaras biogenik amin yang berperan penting dalam memodulasi emosi. LESI HEMISFER KANAN

Suatu penelitian terhadap 54 pasien stroke (diagnosis dengan CT-scan) melaporkan bahwa 66% pasien dengan depresi mayor dan 63% dengan depresi minor mempunyai lesi di massa putih (white matter) lobus parietal. Riwayat psikiatrik dalam keluarga pasien dengan lesi hemisfer kanan yang menderita depresi, lebih tinggi secara bermakna bila dibanding-kan dengan pasien dengan lesi di hemisfer kanan yang tidak depresi(12). FAKTOR RISIKO PREMORBID DAN DEPRESI

Meskipun lesi anterior kiri dan posterior kanan ber-hubungan dengan depresi pascastroke, tidak semua pasien dengan lesi ini menjadi depresi. Pasien depresi lebih sering mempunyai riwayat keluarga atau pribadi menderita depresi dibandingkan dengan pasien nondepresi; lokasi bukanlah faktor tunggal dalam terjadinya depresi pascastroke. Adanya atrofi subkorteks, riwayat keluarga dan pribadi menderita depresi sebelum stroke merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya depresi pascastroke(13).

Pasien dengan lesi hemisfer kanan yang berkembang menjadi depresi mayor setelah stroke mempunyai riwayat keluarga menderita gangguan psikiatrik lebih tinggi dibanding-kan dengan yang tidak depresi. Ini menunjukkan bahwa faktor genetik juga ikut berperan dalam terjadinya depresi pascastroke(12). HUBUNGAN DENGAN HENDAYA (IMPAIRMENT) FISIK

Penelitian yang menggunakan instrumen ADL untuk menilai hendaya fungsi sehari-hari penderita pascastroke melaporkan adanya hubungan antara depresi dengan hendaya fisik atau hendaya fungsi sehari-hari. Hendaya fungsi dapat

menimbulkan depresi dan depresi dapat mempengaruhi berat-nya hendaya fungsi sehari-hari. Pasien stroke yang tidak depresi tidak menunjukkan perubahan fungsi sehari-hari bahkan dengan berjalannya waktu fungsi kehidupan sedikit lebih meningkat. Depresi berpengaruh terhadap penyembuhan yaitu memperlambat penyembuhan fisik(1). DEPRESI DAN HENDAYA KOGNITIF

Pasien stroke dengan depresi mengalami defisit intelektual dengan mengobati depresi, defisit intelektualnya membaik. Hendaya kognitif (penurunan skor Mini Mental State Examination - MMSE), lebih berat pada pasien dengan lesi hemisfer kiri yang mengalami depresi mayor daripada pasien dengan lesi yang sama tetapi tidak mengalami depresi sedangkan pada pasien dengan lesi hemisfer kanan tidak terlihat adanya perbedaan penurunan fungsi kognitif antara kelompok yang depresi dengan nondepresi. Dengan perkataan lain, depresi mayor yang dikaitkan dengan stroke hemisfer kiri terlihat menimbulkan hendaya kognitif yang bermakna. DEPRESI DAN AFASIA

Sekitar 53% pasien afasia mengalami depresi. Penemuan ini hampir sama dengan frekuensi depresi mayor atau minor di antara pasien stroke nonafasia. Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik daripada afasia global (71%:44%) Peneliti lain juga melaporkan bahwa depresi pada pasien afasia motorik lebih tinggi daripada global (63%:16%)(14). Tingginya frekuensi depresi pada pasien afasia motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran mereka akan hendaya mereka. Selain itu, lesi yang menimbulkan afasia motorik juga menimbulkan depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan defisit pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan perilaku yang dapat diobservasi seperti kurang tidur, menolak makan, gelisah, agitasi, atau retardasi, dan adanya pemeriksaan DST positif.(15) MEKANISME TERJADINYA DPS

Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoni-nergik dan noradrenergik terletak di batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis(16). Respons biokimia terhadap lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebab-kan penurunan biogenik amin tanpa adanya kompensasi pe-ninggian regulasi serotonin akibatnya, gejala depresi dapat muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan pe-ninggian regulasi serotonin (karena mekanisme kompensasi) yang bersifat protektif terhadap depresi. TEORI PSIKOBIOLOGIK Teori psikoanalitik

Menurut Freud pasien depresi menderita kehilangan nyata atau imajiner atas obyek cinta yang bersifat ambivalen. Pasien bereaksi dengan kemarahan yang kemudian diarahkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 10

Page 11: cdk_149_kesehatan_jiwa

kepada diri sendiri, dan ini menyebabkan penurunan harga diri dan terjadi depresi. Teori kognitif menyebutkan suatu “tritunggal kognitif” tentang distorsi persepsi yaitu : a. Interpretasi negatif seseorang tentang pengalaman

hidupnya. b. Menyebabkan devaluasi dirinya, c. Yang akhirnya menyebabkan depresi.

Teori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-HT) serta dopamin (D). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar NE otak dan dopamin. Walaupun demikian, pada beberapa pasien kadar MHPG (metabolit utama NE) tetap rendah. Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya 5-HT otak (atau metabolit utama, 5-HIAA) dapat menyebabkan depresi. Mekanisme kerja antidepresan yang diketahui, men-dukung teori ini trisiklik memblok ambilan NE dan 5-HT dan menghambat oksidasi NE oleh monoamin oksidase inhibitor. Depresi juga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neuro-hormonal. Teori neurofisiologik penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme di lobus frontal atau menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas funda-mental ritmik sirkadian pada pasien depresi. PEMERIKSAAN BIOLOGIK DEPRESI

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan prognosis depresi. - Dexamethasone suppression test (DST) hasil tes positif bila

tidak terjadi penekanan plasma kortisol 6-24 jam setelah pemberian deksametason oral.

- Peningkatan kortisol serum (30% pasien depresi mengalami hipertrofi adrenal)

- Penurunan kadar MHPG (3-methoxy-4 - hydroxyphenylene – glycol) urin, suatu hasil katabolit metanorepinefrin dan 5-HIAA cairan serebrospinal (CSS) yaitu suatu metabolit serotonin pada penderita depresi.

- Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada respons TSH dan GH terhadap TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar).

- Rekaman tidur - terdapat gangguan pola tidur : Latensi REM memendek waktu antara masuk tidur dengan mulai tidur REM (indikator paling baik) sering terbangun, terbangun dini hari, penurunan tidur NREM peningkatan densitas REM (frekuensi gerakan bola mata cepat pada tidur REM). Semua ini mungkin ciri-ciri orang yang rentan untuk depresi.

- Uji tantangan stimulansia beberapa pasien depresi mem-baik sementara bila diberi 10 mg amfetamin.

Penggunaan klinik rutin uji-uji ini sangat sedikit; yang

paling baik dilihat adalah : a. Pola tidur abnormal b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal c. Bila setelah pengobatan DST positif, merupakan indikator

hasil terapi yang buruk. Semua uji-uji ini sensitivitas dan spesifikasinya tidak

cukup baik (terlalu banyak positif palsu dan negatif palsu).

Bagaimanapun, keadaan ini dapat menunjukkan bahwa faktor biologi memegang peranan pada beberapa pasien depresi selain lingkungan yang juga berperan penting, karena 25% pasien dengan kondisi medik serius dan yang menderita stres psiko-sosial berat akan menderita depresi mayor (1).

Penelitian dengan PET dan fMRI untuk mengetahui lokasi gangguan ini di SSP memberi harapan. Depresi mayor diduga berkaitan dengan penurunan aktivitas korteks prefrontal lateralis terutama sisi kiri, kaudatus, putamen, dan mungkin juga amigdala(1,8). PENATALAKSANAAN DEPRESI

Perlu pemeriksaan medik dan psikiatrik untuk menyisih-kan depresi sekunder. Tanyakan tentang gambaran-gambaran vegetatif dan evaluasi potensi untuk bunuh diri. Apakah pasien : a. Mengalami ketidakmampuan akibat gangguan ini. b. Mempunyai lingkungan rumah yang destruktif atau

dukungan lingkungan yang terbatas. c. Mempunyai ide-ide bunuh diri. d. Mempunyai penyakit medik terkait yang memerlukan

pengobatan atau perawatan. Semua pasien depresi mesti mendapatkan psikoterapi,

beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Jenis terapi ber-gantung dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respons terhadap terapi sebelumnya. PSIKOTERAPI Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilang-kan keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi ini dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan pasien. Psikoterapi untuk DPS dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Beberapa pasien dan klinisi sangat meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter atau pasiennya.

Terapi kognitif (TK) Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang

“belajar menjadi tak berdaya”. Depresi diterapi dengan mem-berikan pasien latihan ketrampilan dan memberikan pe-ngalaman-pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah. Kemudian ia harus belajar cara merespons cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Cara ini dipraktekkan di luar sesi terapi dan menjadi modal utama dalam mengubah gejala.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 11

Page 12: cdk_149_kesehatan_jiwa

Terapi ini berlangsung lebih kurang 12-16 sesi dengan tiga fase yaitu: 1. Fase awal (sesi 1-4) membentuk hubungan terapeutik

dengan pasien. Mengajarkan pasien tentang bentuk kognitif yang salah dan pengaruhnya terhadap emosi dan fisik. Menentukan tujuan dan goal terapi. Mengajarkan pasien untuk mengevaluasi pikiran-pikirannya yang otomatis.

2. Fase pertengahan (sesi 5-12) mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah. Membantu pasien mengenal akar kepercayaan diri. Pasien diminta mem-praktekkan ketrampilan berespons terhadap hal-hal yang depresogenik dan memodifikasinya.

3. Fase akhir (sesi 13-16) menyiapkan pasien untuk terminasi dan memprediksi situasi berisiko tinggi yang relevan untuk kekambuhan dan mengkonsolidasikan pembelajaran me-lalui tugas-tugas terapi sendiri.

Terapi perilaku

Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari lingkungan sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama terapi kognitif. Tujuannya adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan.

Fase awal pasien diminta memantau aktivitasnya, menilai derajat kesulitan aktivitasnya, kepuasannya terhadap aktivitas-nya. Pasien diminta melakukan sejumlah aktivitas yang me-nyenangkan. Latihan ketrampilan sosial, asertif, dapat me-ningkatkan hubungan interpersonal dan dapat menurunkan interaksi submisif.

Fase akhir fokus berpindah ke latihan mengontrol diri dan pemecahan masalah. Diharapkan ilmu yang didapat dalam terapi dapat digeneralisasi dan dipertahankan dalam lingkungan pasien sendiri. Psikoterapi suportif

Psikoterapi ini hampir selalu diindikasikan. Memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Bantu pasien mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal (misalnya masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali per minggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui kemarahan, hostilitas, tuntutan yang tak masuk akal, dan lain-lain). Psikoterapi psikodinamik Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik yaitu kerentanan psikologik terjadi akibat konflik perkembangan yang tak selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah defisit psikologik yang menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misal-nya, problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah

diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, peng-aturan emosi yang buruk, defisit interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan dengan keluarga. Psikoterapi dinamik singkat (brief dynamic psychotherapy)

Sesinya lebih pendek. Tujuannya menciptakan lingkungan yang aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi konfliknya dan dapat mengekspresikannya. Terapi kelompok Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesifik. Ada beberapa keuntungan terapi kelompok. 1. Biaya lebih murah 2. Ada destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan

problem yang sama 3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan

mempraktekkan ketrampilan perilaku interpersonal yang baru

4. Membantu pasien mengaplikasikan ketrampilan baru Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek

pasien rawat jalan juga lebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi lebih berat terapi individu lebih efektif. Terapi perkawinan Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai depresi dan dapat mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubungan perkawinan merupakan hal penting dalam terapi ini. Psikoterapi berorientasi tilikan (insight)

Jangka terapi cukup lama, dapat berguna pada pasien depresi minor kronik tertentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai konflik(17). Deprivasi tidur parsial

Bangun mulai di pertengahan malam dan tetap jaga sampai malam berikutnya, dapat membantu mengurangi gejala-gejala depresi mayor buat sementara(1). TERAPI BIOLOGIK Antidepresan

Sebagian besar penderita depresi membutuhkan anti-depresan (70%-80% pasien berespons terhadap antidepresan), walaupun yang mempresipitasi terjadinya depresi jelas terlihat atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu antidepresan terbaru. Jika tak berhasil, pertimbangkan anti-depresan trisiklik, atau MAOI (terutama pada depresi “atipikal”) atau kombinasi beberapa obat jika obat pertama tak berhasil. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa antidepresan “dapat” mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar (10% dengan TCA, dengan SSRI lebih rendah, tetapi semua konsep tentang “presipitasi manik” masih diperdebatkan).

Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan jangka

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 12

Page 13: cdk_149_kesehatan_jiwa

panjang(1,18). Anti depresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi.

Lithium Bermanfaat untuk depresi bipolar akut dan beberapa

depresi unipolar. Ia cukup efektif pada bipolar serta untuk mempertahankan remisi dan begitu pula pada beberapa pasien unipolar.

Antikonvulsan Juga sama baiknya dengan lithium untuk mengobati

kondisi akut, meskipun kurang efektif untuk pemeliharaan(1,11). Antidepresan dan lithium dapat dimulai bersama-sama dan lithium diteruskan setelah remisi.

Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan antipsikotik, tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan, lithium antipsikotik atipik juga terlihat efektif.

Terapi Kejang Listrik (TKL) Mungkin merupakan terapi pilihan bila :

a. Obat tak berhasil b. Kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh

diri yang akut). c. Pada beberapa depresi psikotik. d. Pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya

pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90% pasien memberikan respons.

Latihan fisik

Lari dan renang dapat memperbaiki depresi, dengan mekanisme biologis yang belum dimengerti dengan baik(1). KESIMPULAN

Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan diagnosis depresi.

Gejala depresi terdiri dari penurunan mood, gangguan kognitif, vegetatif, retardasi psikomotor. Ada beberapa bentuk depresi yaitu gangguan depresi mayor (unipolar, bipolar), gangguan mood spesifik lainnya,gangguan depresi akibat kondisi medik umum atau akibat zat, dan gangguan penyesuai-an dengan mood depresi. Sampai saat ini, penyebab pasti gangguan depresi belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berkrontribusi yaitu faktor stresor psikososial, genetik, ke-pribadian, dan biologik.

Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi. sedangkan pasien stroke yang sedang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% men-derita depresi.

Ada beberapa jenis penatalaksanaan depresi medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi Kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau gabungan terapi cahaya dan medikasi. Mengingat ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya depresi, penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan.

KEPUSTAKAAN

1. Akiskin HS. Mood disorder; introduction and overview. Dalam: Sadock

BJ, Sadock VA (eds.) Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed, Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins, 1999, 1284-98

2. Blazer DG, Kessler RC, McGonagle KA. The prevalence and distribution of major depression in a national community sample: the National Comorbidity Survey. Am J Psychiatr. 1994;151:979-86.

3. Fricchione G, el-Chemali Z, Weilburg JB, Murray GB. Neurology and Microsurgery. Dalam: Wise MG, Rundell JR, (eds). Textbook of Consultation-Liaison Psychiatry, Psychiatry in the Medically Ill. American Psychiatric Publ., Inc, Washington DC, London, England, 2nd ed., 2002; hal. 679-700.

4. Nierenberg AA, Alpert JE, Pava J. Course and treatment of atypical depression. J Clin Psychiatr. 1998;59(suppl 18);5-9.

5. Lewy AJ, Bauer VK, Cutler NL. Morning vs evening light treatment of patients with winter depression. Arch Gen Psychiatr. 1998;55:890-96.

6. Robinson RG, Starkstein SE. Neuropsychiatric Aspect of Cerebrovascular Disease. Dalam: Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed, Sadock BJ, Sadock VA, (eds.), Philadelphia, Lippincott, Williams & Wilkins, 1999, 242-50

7. Lipsey JR, Spencer WC, Rabin PV. Phenomenological comparison of postsroke depression and functional depression. Am J Psychiatr. 1986; 143:527-29.

8. Kennedy SH, Javanmard M, Vaccarino FJ. A review of functional neuroimaging in mood disorders: positron emission tomography and depression. Can J Psychiatr. 1997;42:467-75.

9. Robinson RG, Starr LB, Kubos KL. A two-year longitudinal study poststroke mood disorder: findings during the initial evaluation. Stroke 1983;14:736-41.

10. Robinson RG, Bolduc PL, Price TR. Two-year longitudinal study of poststroke mood disorder: diagnosis at one and two years. Stroke 1987;18:837-43.

11. Robinson RG, Price TR. Comparison of cortical and subcortical lesions in the production of poststroke mood disorder. Brain, 1987; 110;1045-59.

12. Soares JC, Mann JJ. The anatomy of mood disorders—review of structural neuroimaging studies. Biol Psychiatr. 1997;41:86-106.

13. Starkstein SE, Robinson RG, Price TR. Comparison of patients with and without post-stroke major depression matched for size and location of lesion. Arch Gen Psychiatr 1988,45: 247-55.

14. Signer S, Cummings JL, Benson DF. Delusion and mood disorders in patients with chronic aphasia. J Neuropsychiatr Clin. Neurosciences, 1989;1:40-5.

15. Ross ED, Gordon WA, Hibbart M. The dexamethasone suppression test, post-stroke depression, and the validity of DSM-II-based diagnostic criteria. Am J Psychiatr. 1986;38;1344-30

16. Robinson RG, Strarr LB, Kubos KL. Mood disorders in stroke patients: importance of lesion location. Brain 1989;107: 81-93.

17. Jorgensen MB, Dam H, Bolwig TG. The efficacy of psychotherapy in non-bipolar depression: a review. Acta Psychiatr Scand 1998;98:1-13.

18. DeRubies RJ, Gelfand LA, Tang TZ. Medications versus cognitive behavior therapy of severely depressed outpatients: meta-analysis of four randomized comparisons. Am J Psychiatr. 1999;156:1007-13.

A friend’s eye is a good looking-glass

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 13

Page 14: cdk_149_kesehatan_jiwa

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Gangguan Fungsi atau Perilaku

Seksual dan Penanggulangannya

LS. Chandra

Sanatorium Dharmawangsa Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN

Membicarakan hal ikhwal seksual sering menimbulkan asosiasi pikiran tertentu yang merupakan dampak atau konsekuensi/aspek psikososial perilaku seksual (penyeleweng-an ekstramarital, seks premarital, seks sebelum waktunya dan sebagainya ).

Di antara pelbagai jenis disfungsi seksual pada pria dan wanita, yang paling umum adalah kesulitan ereksi (erectile dysfunction), yaitu pria tidak dapat berereksi (mengalami ereksi penis) atau bisa ereksi tapi lemah sehingga tidak dapat melaku-kan coitus secara memadai dan mengakibatkan keluhan pada wanita mitra seksnya. Usaha menyembuhkan gangguan/ disfungsi ini dapat mengatasi sebagian besar (tidak seluruh) masalah yang dihadapi pasangan seks (suami isteri). Salah satu alasan menggunakan zat atau bahan/obat untuk fungsi seksual adalah anggapan bahwa kemampuan/potensi seksual dapat ditingkatkan dengan meminum obat/zat tersebut. Apa yang dibahas dalam makalah ini mencakup hal ikhwal seks yang berlaku segala umur tetapi terutama ditujukan untuk kelompok individu yang mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi seksual. BATASAN • Perilaku seksual adalah manifestasi aktivitas seksual

yang mencakup baik hubungan seks (intercourse; coitus; cohabitatio) maupun masturbasi.

• Dorongan/Nafsu seksual adalah minat/niat seseorang untuk memulai atau mengadakan hubungan intim (sexual relationship).

• Kegairahan Seksual (Sexual Excitement) adalah respons tubuh terhadap rangsangan seksual. Ada dua respons yang mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi) dan vasocongestion (pengisian pembuluh darah dengan cairan) terutama pada alat kelamin (Belliveau Richter, 1970).

• Disfungsi (psiko) seksual adalah gangguan respons fungsi seksual. Pada pria : kegagalan yang menetap atau ber-ulang, sebagian atau keseluruhan, untuk memperoleh dan

atau mempertahankan ereksi sampai terselesaikannya aktivitas seksual. Pada wanita: kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respons lubrikasi vasokongesti sampai berakhirnya aktivitas seksual.

Ada 6 jenis kelainan fungsi seksual (sexual dysfunction): 1. Sexual desire disorder

- Hypoactive sexual desire - Sexual aversion disorder - Hyperactive sexual desire

2. Sexual arousal disorder - Erectile disorder (impotence) - Frigidity, lack of vaginal lubrication

3. Orgasm disorder - Premature,delayed or lack of ejaculation (pria) - Anorgasmia (orgasmic dysfunction) (wanita)

4. Sexual pain disorder - Vaginismus (wanita) - Dispareunia (pria dan wanita)

5. Unspecified Sexual Dysfunction - Orgasmic anhedonia - Mastubatory pain - Autoerotic asphyxiation

6. Lain-lain - Postcoital dysphoria - Nymphomania Sekitar 70% disfungsi seksual (tak termasuk erectile

dysfunction disorder) disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan (psikologis), terapi terutama berupa psikoterapi dan latihan behavioral.Obat-obat hanya berperan fasilitatif atau adjunctive, hanya digunakan pada kasus tertentu.

Organ seks manusia yang terlibat dalam hubungan intim bukan hanya alat kelamin kedua jenis manusia (penis dan vagina); penghayatan erotis melibatkan juga bagian atau organ tubuh lain, bahkan yang fungsinya sangat berlainan sekalipun (anus).

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 14

Page 15: cdk_149_kesehatan_jiwa

Rangkaian respons seksual ( Sexual Response Cycle – SRC) Hal-hal yang terjadi saat seseorang mengalami bangkitan /

rangsang seksual (bergairah secara seksual) dan berperilaku seksual secara umum melibatkan tahap-tahap sebagai berikut (berlaku untuk segala umur) (Masters & Johnson, 1996): • tahap istirahat (tidak terangsang) • tahap rangsangan (excitement) melibatkan stimuli sensoris • tahap plateau (pendataran) • tahap orgasme: melibatkan ejakulasi, kontraksi otot • tahap resolusi (mencakup pasca orgasme)

Dalam keadaan tidak terangsang, penis dalam keadaan flaksid/ kendur, vagina dalam keadaan kering dan kendur juga. Pada saat minat seksual timbul, karena stimuli/rangsangan psikologis atau fisik, mulailah tahap rangsangan /excitement. Pada pria maupun wanita ditandai dengan vasokongesti (ber-tambahnya aliran darah ke genitalia-rongga panggul) dan myotonia (meningkatnya ketegangan/tonus otot, terutama juga di daerah genitalia). Vasokongesti dan myotonia merupakan isyarat utama tahap excitement dan menyebabkan ereksi penis pada pria serta basahnya vagina (vaginal sweating) dan ereksi clitoris pada wanita (tidak selalu). Proses-proses ini biasanya tidak berada di bawah kontrol kesadaran atau kemauan.

Memikirkan seks tidak selalu menimbulkan ereksi atau basahnya vagina, begitu juga sebaliknya. Tidak selalu jelas apa yang menyebabkan seseorang menjadi terangsang (bernafsu) secara seksual. Kadang-kadang mudah diketahui seperti melihat orang yang seksi/cantik/menggairahkan, melakukan petting tetapi bisa juga tidak jelas. Apapun yang memulai, kegairahan seksual hanya berlanjut jika stimuli psikologis dan fisik menetap. Jika kegairahan meningkat, orang akan masuk tahap plateau vasokongesti dan myotonia mendatar tetapi minat seks tetap tinggi. Fase plateau dapat singkat atau lama tergantung rangsangan dan dorongan seks individu, latihan sosial dan konstitusi/tubuh orang itu. Sebagian orang meng-inginkan orgasme secepatnya, yang lain dapat mengendalikan-nya, yang lain lagi menginginkan plateau yang lama sekali.

Tahap orgasme relatif singkat saja. Ketegangan psikologis dan otot dengan cepat meningkat, begitu juga aktivitas tubuh, jantung dan pernapasan. Kemudian tiba-tiba terjadi pelepasan /release ketegangan seks, disebut klimaks/orgasme. Orgasme dapat dicetuskan secara psikologis (dengan fantasi) dan secara somatik dengan stimulasi bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi tiap orang, (biasanya penis, scrotum, testes pada pria dan clitoris, vagina, uterus pada wanita). Tiap bagian tubuh manusia dapat merupakan organ sexy. Daerah manapun yang dirangsang, tempat utama kenikmatan adalah di otak, tempat utama pelepasan adalah panggul. Pada pria orgasme biasanya mencakup ejakulasi juga. Pada wanita dan remaja prapuber tidak ada ejakulasi. Sesudah orgasme, pria biasanya segera memasuki fase resolusi menjadi pasif dan tidak responsif, penis mengalami detumescence, sering pria tertidur dalam fase ini. Sebagian wanita juga mengalami seperti ini, tetapi sebagian besar umumnya masih responsif secara seksual, bergairah dan masuk ke dalam fase plateau lagi, orgasme lagi sehingga terjadi orgasme multipel. Sesudah orgasme, baik pria maupun wanita kembali (mengalami resolusi) ke fase istirahat. Keduanya mengalami relaksasi mental dan fisik, merasa

sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan kepuasan psikologis atau relaksasi tanpa mencapai orgasme yang lain merasa kecewa bila tanpa orgasme. Ada banyak variasi perilaku pria dan wanita selama orgasme. Tidak ada yang lebih baik dari yang lainnya. PENGARUH OBAT TERHADAP FUNGSI / PERILAKU SEKSUAL

Sudah berabad lamanya orang mencari obat/makanan yang dapat meningkatkan/menambah/memperbaiki kemampuan atau kenikmatan seksualnya (“obat kuat"). Beberapa zat/obat/ makanan telah disebut-sebut memiliki khasiat aphrodisiac disebut sex enhancers tetapi perlu diketahui bahwa penggunaan saat tertentu dapat justru mengakibatkan berkurangnya ke-mampuan bahkan juga kenikmatan seksual, selain efek samping lain. Penelitian-penelitian sampai hari ini belum dapat menemukan obat yang dapat meningkatkan kemampuan seksual seseorang, tanpa batas, bekerja pada siapa saja. Penggunaan obat/zat untuk maksud ini tidak hanya pada orang-orang dewasa saja tetapi sejalan dengan meluasnya gangguan penggunaan zat, makin banyak dijumpai orang-orang muda, remaja yang terlibat dalam eksperimen menggunakan obat-obat untuk menunjang perilaku seksualnya, suatu hal yang sebetulnya tidak wajar atau tidak diperlukan.

Penggunaan obat dalam kaitannya dengan perilaku seksual manusia dapat terjadi dalam beberapa keadaan. Dalam keadaan normal dapat dijumpai pada pria yang mulai lanjut usia, yang fungsi dan kemampuan seksnya telah mulai berkurang/mundur, misalnya minum kopi beberapa saat sebelum melakukan aktivitas seksual dapat membantu meningkatkan kemampuan seksualnya. Demikian juga beberapa zat/bahan lain yang mengandung kafein (coklat, kakao). Mereka yang sering gugup bila berhadapan dengan 1awan jenisnya dapat dibantu dengan obat penenang dalam dosis tertentu, tetapi jika dosis ini dilampaui maka yang terjadi justru kemunduran kemampuan.

Mereka yang kurang yakin mengenai kemampuan seksual-nya, merasa rendah diri atau malu, kadang-kadang juga menggunakan obat atau minuman beralkohol. Seorang wanita yang menyadari perbuatannya adalah terlarang, tetapi tak berdaya menolaknya, dapat meminum sejenis pi1 tidur untuk membius dirinya sesaat sebelum berkencan, agar tidak merasakan penderitaan (merasa tertekan karena malu) ketika melakukan hubungan yang terlarang itu. Remaja yang menga1ami hambatan atau penyimpangan dalam per-kembangan psikoseksualnya dapat bereksperimentasi dengan obat-obatan untuk mendapatkan perasaan mantap dalam hal seksual. Seseorang yang dorongan seksnya terlalu besar sehingga sulit dikendalikan kadang-kadang meminta per-tolongan dokter untuk mendapatkan obat penekan nafsu seks. Demikian juga isteri atau suami yang kewalahan melayani permintaan teman hidupnya dalam hal seks, mungkin secara diam-diam meminta pertolongan dokter atau dukun agar diberi obat pelemah seks untuk partnernya itu. Obat-obat yang digunakan bukan hanya yang tergolong dapat merangsang atau menekan seks saja, melainkan juga obat yang sebetulnya untuk penyakit jantung misalnya vasodi1atansia atau obat untuk infeksi alat kemaluan, atau salep pelicin. Bahaya yang dapat

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 15

Page 16: cdk_149_kesehatan_jiwa

timbul selain penyalahgunaan dan atau ketergantungan zat/ obat, dapat berupa efek samping obat yang dipakai (insomnia, gastritis, impotensi, tekanan darah rendah, reaksi psikotik, radang saluran kemih dan sebagainya).

Ada sejumlah besar obat, baik yang harus diresepkan maupun yang dapat dibeli bebas, mempunyai pengaruh terhadap fungsi seksual manusia. Penelitian mengenai hal ini masih amat terbatas sehingga tidak banyak diketahui tentang peranan sesungguhnya obat-obat tersebut dalam pengaturan fungsi seksual manusia.

Berikut daftar obat-obat nonpsikotropik atau nonpsiko-aktif, yang dapat mempengaruhi fungsi seksual manusia. A. Obat-obat Antihipertensi Dapat menurunkan libido dan fungsi seks 1. Diuretika

- thiazide - ethacrynic acid - furosemide - spironolactone

2. Non-diuretika - alpha-methy1dopa - guanethidine - hydralasine - reserpine - propranolol. - nimodipin - penghambat ganglion: pentolinium,mecamy1amine

B. Hormon

- androgen : testosteron - anti androgen: estrogen - cyprosterone acetate - medroxyprogesterone acetate/MPA - kortikosteroid - prednison, - prednisolon

C. Psikotropika ( bahan psikoaktif) 1. Sedatif dan hipnotik - Meprobamate : Medicar® - Benzodiazepin: Chlordiazepoxide (Librium®); Diaze -

pam (Valiurn®); Alprazolam; Clobazam dan sebagainya)

- Barbiturat (Luminal®, Pentothal®, Nembutal® dan sebagainya)

- Methaqualone 2. Antipsikotika - Phenothiazine (Largacti1®,Melleril®,Stelazine®) - Haloperidol (Haldol®, Serenace®) - Monoamine-Oxidase Inhibitor (MAO-I): (Aurorix®) - Tricyclic Antidepressants (TCAs) - Lithium Carbonate (Priadel®; Theralite®) - Anticholinergics (Cimetidine; Clofibrate; L-Dopa) 3. Alkohol/minuman beralkohol 4. Nikotin (tembakau, sigaret)

5. Marijuana (gelek, ganja, hasish, cimeng)

6. Opioid (heroin) 7. Amfetamin (MDMA, Ecstasy) 8. Kokain 9. Halusinogen (LSD/acid, mushroom)

SEKS DAN ALKOHOL

Alkohol dosis rendah dapat meningkatkan fungsi dan perilaku seksual, tetapi dalam dosis tinggi dan lama akan menimbulkan disfungsi seksual, bahkan kemandulan. Faktor kepribadian atau kondisi mental mereka yang sedang dalam suasana jiwa gembira, dengan minum alkohol akan bertambah gembira, tetapi jika dalam suasana murung, malah akan makin murung, fungsi seksnyapun akan makin buruk. SEKS DAN NIKOTIN

Pada mereka yang tidak terbiasa merokok, mengisap rokok sebelum coitus mungkin akan memperburuk fungsi/perilaku seksualnya akibat intoksikasi nikotin. Banyak perokok meng-isap rokok dulu sebelum melakukan hubungan intim karena sudah terbiasa dan karena nikotin memberikan sedikit rangsangan , sedikit menyegarkan (nikotin mempunyai sifat sti- mulan). SEKS DAN MARIJUANA

Pemakaian sekali-sekali mungkin dapat meningkatkan fungsi seks dan fantasinya; dan seperti alkohol, bersifat melancarkan (to facilitate). Penggunaan kronis, sama seperti heroin/opioida akan menurunkan fungsi seks atau menyebab-kan kemandulan karena menurunkan kadar hormon testosteron dalam darah. Sebagian pemakai menceritakan kenikmatan seks yang meninggi jika sebelum coitus mereka mengisap ganja. Sebagian lagi tidak merasakan efek tersebut. SEKS DAN OPIAT/OPIOIDA

Dosis rendah dan sekali-sekali dapat memperlambat ejakulasi, dosis tinggi dan kronis akan menyebabkan kemandul-an dan penurunan fungsi seks karena menyebabkan penurunan testosteron serum. Wanita pecandu banyak yang menggunakan seks untuk mendapatkan uang pembeli heroin atau dimanfaat-kan secara seksual oleh pria pengedar atau pacarnya yang ketergantungan heroin. SEKS DAN OBAT ANTIDEPRESAN

Obat-obat antidepresan dapat menyebabkan kesulitan orgasme pada wanita dan kesulitan ejakulasi pada pria; yang merupakan efek samping utama. Ini terjadi misalnya pada antidepresan trisiklik seperti clomipramine, imipramine, amitriptyline, dan lebih jarang oleh desipramine, amoxapine dan nortriptyline. Untuk golongan MAO-I, tersering oleh phenelzine. Pargyline, isocarboxazid dan tranylcypromine kurang menyebabkan disfungsi seksual .

Untuk golongan antidepresan atipikal: trazodone me-nyebabkan anorgasmia/inhibisi ejakulasi sertraline menyebab-kan kelambatan ejakulasi, dan fluoxetine menyebabkan kesulit-an orgasme atau orgasme spontan. Cyproheptadine dapat memulihkan disfungsi ejakulasi/orgasme akibat antidepresan. Antidepresan diperlukan dan efektif untuk disfungsi seksual yang merupakan gejala depresi. Vilaxazine dan trazodone

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 16

Page 17: cdk_149_kesehatan_jiwa

dilaporkan lebih efektif daripada yang lainnya untuk mem-perbaiki ereksi dan minat seksual pada pasien depresi.

Antidepresan juga efektif untuk sexual phobia dan premature ejaculation. (yang terakhir ini memanfaatkan efek samping antikholinergik) untuk ini yang tersering dipakai adalah imipramine, walaupun yang lain juga bisa termasuk MAO-Is. Clomipramine terkenal karena mempunyai efek paradoksal : menginduksi atau menghambat orgasme wanita. SEKS DAN LITHIUM

Laporan hanya sedikit terutama menurunkan dorongan seks dan menyebabkan disfungsi ereksi. SEKS DAN ANTIPSIKOTIKA

Efek antipsikotika terhadap fungsi seks sulit dipastikan, karena beberapa faktor harus dipertimbangkan. Terhapuskan-nya gejala psikotik dapat memperbaiki fungsi seks secara keseluruhan. Pada pasien skizofrenia memang sudah terdapat penurunan fungsi seksual sebelum onset psikosis. Efek sedatif (dan berkurangnya mobilitas/pergerakan sebagai efek samping ekstrapiramidal) cenderung mengurangi aktivitas /perilaku seksual.

Kesulitan seksual yang paling sering ditimbulkan oleh obat antipikotika adalah hambatan ejakuIasi yang paling parah oleh Thioridazine (Melleril®) dan Chlorpromazine/CPZ (Largacti1®, Promactil®). Chlorprothixene (Taractane®) dan Trif1uoperazine (Stelazine®) kurang menyebabkan hambatan ejakulasi. CPZ dapat menghapuskan kesulitan ejakulasi akibat thioridazine. Begitu juga chlorprothixene dapat mengeliminir kesulitan ejakulasi/orgasme akibat chlorpromazine. Trif1uoperazine malah dapat menimbulkan ejakulasi spontan pada satu kasus.

Keterlambatan ejakulasi terjadi pada dosis rendah. Hambatan ejakulasi total terlihat pada dosis thioridazine 25-600 mg sehari.Tampaknya ada kesamaan di antara pria dan wanita dalam hal efek samping fungsi seksual akibat medikasi antipsikotika. Pada kebanyakan kasus, disfungsi seksual di-alami satu sampai dua minggu sesudah medikasi antipsikotika pada semua kasus, fungsi seksual kembali normal dalam ± 3 hari penghentian medikasi. SEKS DAN STIMULANSIA DAN KOKAIN

Perlu dipertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut : 1. Pada pecandu amfetamin dapat dijumpai insidens yang

lebih tinggi kasus kepribadian antisosial, skizoid dan paranoid (Ellinwood, 1967) juga cenderung terdapat insidens problem identitas seksual yang lebih tinggi (Mott,1972)

2. Perubahan-perubahan nafsu seks akibat penggunaan amfetamin tampaknya berhubungan erat dengan penye-suaian seksual (sexual adjustment) yang sudah ada :

a. Mereka yang sexually inhibited menga1ami pengurangan inhibisi

b. Mereka yang terlibat praktek seksual atipikal mengalami peningkatan perilaku (misal sadomasochisme dan incest yang ekstrim). Efek samping seksual stimulansia sangat bervariasi,

kadang-kadang agak saling bertentangan. Dapat terjadi peningkatan dan penurunan nafsu seks, ereksi spontan dan

impotensi. Baik dosis dan lamanya pemakaian, cara pemakaian (mode of use), riwayat kehidupan seks individu, setting sosial dan bahkan harapan si pemakai merupakan faktor-faktor yang menentukan. (Piemme,1976). Dosis rendah akan memper-lancar, dosis tinggi akan menghambat perilaku seksual. Berkurangnya inhibisi akibat pemakaian stimulansia dapat meningkatkan dorongan seks dan kenikmatan. Euphoria dan perasaan mengambang/melayang (floating sensation) akibat pemakaian stimulansia dapat meningkatkan atau mengimitasi pengalaman orgasme (Siegel, 1982a, Hollister , 1975). Baik pemakai pria maupun wanita ternyata menunjukkan partisipasi yang lebih sering dalam praktek-praktek seksual atipikal (exhibitionisme, promiscuity, sado-masochism dan incest).

Efek samping seksual tersering : keter1ambatan atau inhibisi ejakulasi. Tampaknya ada perbedaan mencolok dalam sikap pria dan wanita pemakai stimulansia: para pemakai pria berpandangan positif terhadap seks, sedangkan para pemakai wanita lebih banyak berpandangan negatif dan tidak puas (Ellinwood & Rockwell, 1975; Gossop, Stern, Connel 1974; Greaves, 1972, Knapp, 1972). SEKS DAN BUSPIRON (Buspar®)

Buspiron mernpengaruhi sistem neurotransimter seroto-nergik, dopaminergik dan noradrenergik (McEvoy, 1990). Pasien disfungsi seksual yang memperoleh buspiron maksi-mum 60 mg/hari sampai 4 minggu menunjukkan perbaikan fungsi seksual. SEKS DAN FENFLURAMIN

Obat ini bersifat anti obesitas, anorektik dan mendepresi SSP, meningkatkan pelepasan serotonin dan menghambat ambilan kembali serotonin (McEvoy,1990). Dapat menurunkan dorongan/nafsu seks pada dosis 120 mg/hari (Hughes, 1971) dan 240 mg/hari (Sroule, 1971), mungkin karena efek samping-nya (disforia, perut kembung, kramp perut, konstipasi dan anxietas (O'Keane & Dinan, 1991). Impotensi dilaporkan oleh Hollingsworth & Amatruda (1969). Stevenson & Solyom (1990) melaporkan dua kasus dorongan seks meninggi (dosis 60 mg/hari) pada dosis 120 mg/hari pasien mengalami preokupasi seks terus menerus, yang berkurang dan 1enyap sesudah 7 hari penghentian obat ketika obat diberikan lagi, libido meningkat lagi dalam 4 hari. SEKS DAN LSD. (halusinogenik, serotonin agonist dan antagonist, norepinephrine blocking, dopamine agonist.)

Pada pasien dengan kelainan psikoseksual, LSD 25-100 mcg. seminggu selama 2 bulan dapat meningkatkan fungsi seksual (MacCal1um, 1968). SEKS DAN ANKSIOLITIK

Bensodiazepin dapat bermanfaat untuk mendatangkan keadaan relaks yang diperlukan untuk aktivitas seksual tetapi juga dapat mengganggu respons seksual karena itu harus diberikan secara hati-hati, dimulai dengan dosis rendah, disesuaikan dengan kebutuhan dan dihentikan segera setelah cara lain sudah dikuasai oleh pasien. Jika disfungsi seksual rnerupakan bagian dari gangguan cemas, pemberian anti anksietas harus menuruti prinsip pengobatan neurosis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 17

Page 18: cdk_149_kesehatan_jiwa

Alprazolam yang dikenal bermanfaat untuk serangan panik ternyata lebih efektif dibandingkan antianksietas lain untuk mengurangi sexual phobia atau anticipatory anxiety selama coitus. SEKS DAN BARBITURAT

Barbiturat kadang-kadang digunakan o1eh sex therapist untuk hipnosis agar mengatasi hambatan psikologis pasien dalam hal seks. Harus ada informed consent dan hati-hati agar terhindar dari tuntutan hukum. Kadang-kadang digunakan juga pada kasus vaginismus untuk mendatangkan tidur sehingga dapat dilakukan dilatasi vagina, tetapi jarang efektif dan dapat menimbulkan trauma psikologis lebih lanjut. PENUTUP Walaupun telah ratusan tahun lamanya mencari dan meng-gunakan obat atau bahan untuk meningkatkan potensi/ kemampuan seksual, masih sedikit data hasi1 penelitian yang terkontrol baik dan objektif. Menggunakan obat-obatan untuk maksud tersebut tanpa panduan dokter dapat mendatangkan bahaya. Penanggulangan gangguan fungsi ereksi diharapkan dapat membantu pasangan seks untuk melakukan coitus secara memadai.

KEPUSTAKAAN 1. Diamond M, Karlens A. Sexual Decisions. Boston: Little,Brown & Co.

1980. 2. Kelodny RC. et al. Textbook of Sexual Medicine; Boston: Little Brown

& Co,1979. 3. Williams G.MS. Management of Impotence. Medicine Digest 1991; 9 (6)

4. Meston CM, Gorzalka BE. Psychoactive Drugs and Human Sexual Behavior: the role of serotonergic activity. J. Psychoactive Drugs 1992 ; 24(1).

5. Ng ML.Treatment of Functional Sexual Disorder, the role of drugs. Med.Progr. 1994; 21(8)

LAMPIRAN: BEBERAPA MEDIKASI UNTUK DISFUNGSI SEKSUAL 1. Untuk sexual desire disorders - Hyperactive desire : Thioridazine; CPZ; Cyprosterone

acetate; Medroxyprogesterone acetate (im) - Hypoactive desire: 5 Testosterone (hanya untuk pria),

Ephedrine; Bromocriptine, Levodopa. - Sex phobia : Alprazolam (Xanax®) 2. Untuk sexual arousal disorders - Erectile disorder: Viloxasin, Trazodone, Yohimbine;

Gonadotropin releasing hormone (inhaler), Prostaglandin E (intracaversona1 )

- Vaginal dryness: estrogen pada menopause/ oophorectorny 3. Orgasmic disorders - Premature ejaculation : imipramine, thioridazine, phenoxy-

benzamine - Retarded ejaculation (anejaculation): ephedrine - Anorgasmia/orgasmic dysfunction: diazepam 4. Sexual pain disorder - Vaginismus/dyspareunia : diazepam 5. Lain-lain - nymphomania/sex offenders : medroxyprogesterone

acetate im, cyproterone acetate

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 18

Page 19: cdk_149_kesehatan_jiwa

IKHTISAR

Antidepresan Pemicu Disfungsi

Seksual

Myrna Justina

Dokter Umum Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi, Jawa Barat

PENDAHULUAN Pengobatan psikiatri saat ini telah memberikan sumbang-sih yang luar biasa dalam penatalaksanaan depresi mayor selama 2 dekade terakhir ini. Sejak pertengahan tahun 1980an, telah beredar 9 obat baru yang mewakili 4 kelas obat untuk pengobatan depresi mayor di Amerika Serikat, yang meliputi penghambat selektif ambilan serotonin (selective serotonin reuptake inhibitors / SSRIs - fluoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram), penghambat ambilan serotonin-norepinefrin (serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors / SNRIs-venlafaxine, mirtazapine), penghambat serotonin2A dan penghambat lemah ambilan serotonin (nefazodone) dan penghambat ambilan dopamin dan norepinefrin (bupropion). Perbedaan khasiat klinis antara antidepresan baru dengan yang lama seperti antidepresan trisiklik dan penghambat monoamin-oksidase telah terbukti di dalam meta-analisis be-berapa uji klinis(1). Meskipun demikian pola efek sampingnya telah diketahui secara luas dan menjadi topik pembahasan beberapa literatur(2-5). Salah satu hal yang sangat meng-khawatirkan akibat pemakaian bahan antidepresan yang umum adalah disfungsi seksual(3, 4, 6). DISFUNGSI SEKSUAL SEBAGAI PENGARUH NEGATIF ANTIDEPRESAN The Diagnostic and Statistical Manual, Edisi keempat (DSM-IV)(7) menjabarkan disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat dan kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada 1 atau lebih dari 4 fase siklus tanggapan yaitu hasrat (libido), bangkitan, orgasme/pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga pasien disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh (penggunaan)obat, beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi seksual(3, 4, 6).

Neurofisiologi fungsi seksual tidaklah sederhana dan melibatkan beberapa jalur berganda dan neurotransmiter. Antidepresan dapat mempengaruhi fungsi seksual manusia melalui beraneka mekanisme. Beberapa studi dan literatur me-

nunjukkan bahwa antidepresan dapat memicu disfungsi orgasme melalui penghambatan adrenergik alfa,antikolinergik atau pengaruh serotonergik(8). Tipe disfungsi seksual yang dilaporkan meliputi impotensi, penurunan libido, kelainan ejakulasi pada laki-laki, dan kelainan orgasme pada wanita(9).

Tabel 1(9) memerinci insidens disfungsi seksual yang dilaporkan dari informasi peresepan setiap antidepresan baru yang beredar sejak tahun 1986. Laporan berbagai literatur(10-12). mengarahkan dugaan insidensi disfungsi seksual yang dipicu oleh beberapa antidepresan lebih besar di dalam praktek klinik daripada yang diperoleh dari informasi peresepan. Tabel 1. Laju disfungsi seksual yang disesuaikan dengan plasebo dari

informasi peresepan antidepresan baru yang dipasarkan di Amerika Serikat

Bahan Impotensi (%)

Penu - runan libido (%)

Kelainan orgasme pria (%)

Kelainan orgasme wanita

(%)

Lain-lain (%)

Fluoxetine 2 3 Sertraline 6 14 Paroxetine 3 13 2 10 Citalopram 3 2 6 Venlafaxine 6 2 12 3 Bupropion <1 <1 <1 Nefazodone 1 Mirtazapine

Keterangan: Diambil dari berbagai hasil uji klinis yang representatif. Data ini tidak

dapat dibandingkan antar uji klinis karena perbedaan kategori dan definisi disfungsi seksual, serta metodologi pengumpulan data yang tidak seragam. Perhatian utama mengenai antidepresan sebagai pemicu disfungsi seksual tertuju pada kelas SSRIs. Hal ini karena kelas ini memegang peranan utama pengobatan depresi di Amerika Serikat. Tiga uji klinis acak(12-14) telah secara sistematik menilai disfungsi seksual yang dipicu oleh SSRIs. Uji klinis acak yang pertama(12) membandingkan khasiat sertraline (dosis rerata 82 mg perhari) dengan citalopram (dosis rerata 34 mg perhari) pada 400 pasien depresi. Di dalam uji

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 19

Page 20: cdk_149_kesehatan_jiwa

klinis ini, kehilangan hasrat seksual dilaporkan sebesar 3,5% pasien yang mendapatkan sertraline dan 6,5% pasien yang mendapatkan citalopram, disfungsi ejakulasi 10,5% untuk sertraline dan 14,4% untuk citalopram, dan disfungsi orgasme wanita 5% untuk sertraline dan 7% untuk citalopram. Uji klinis acak yang kedua(13) membandingkan khasiat sertraline (dosis rerata 145 mg perhari), amitriptiline (dosis rerata 104 mg perhari) dan plasebo pada 448 pasien depresi rawat jalan. Pasien ditanyai pada interval yang teratur untuk menilai pengaruh negatif termasuk disfungsi seksual. Khasiat pengobatan adalah setara pada kedua kelompok pengobatan aktif dan keduanya lebih unggul daripada plasebo. Insiden disfungsi seksual pria yang berupa keterlambatan orgasme primer atau anorgasmia adalah 21% untuk sertraline, 7,7% untuk amitriptilin, dan 1,4% untuk plasebo. Uji klinis acak yang lebih kecil(14) membandingkan fluvoxamine (dosis rerata 102 mg perhari) dan paroxetine (dosis rerata 36 mg perhari) dalam pengobatan 60 pasien depresi rawat jalan. Meskipun khasiat pengobatan dilaporkan setara, kelainan ejakulasi pria dilaporkan 21% untuk paroxetine dan 7% untuk fluvoxamine, penurunan libido 17% untuk paroxetine dan 13% untuk fluvoxamine. Karena jumlah sampelnya kecil, perbedaan yang didapatkan tidak bermakna. PILIHAN PENGOBATAN DEPRESI PADA PASIEN SEKSUAL AKTIF Kecenderungan disfungsi seksual akibat penggunaan SSRIs dan SNRI mengakibatkan banyak klinisi mencari pilihan pengobatan lain untuk pasien depresi yang masih aktif seksual. Tiga antidepresan yang beredar sejak tahun 1986 tampaknya mempunyai laju pengaruh negatif seksual yang lebih rendah dari SSRIs dan SNRI, yaitu bupropion, nefazodone dan mirtazapine. Beberapa uji klinis acak telah membuktikan kesamaan khasiat dengan SSRIs dan keuntungan dalam hal disfungsi ereksi pada bupropion dan nefazodone, sedangkan pengalihan pengobatan ke mirtazapine menunjukkan perbaikan disfungsi seksual pada uji klinis yang tidak acak. Dalam menghadapi antidepresan pemicu disfungsi seksual, para klinisi mempunyai beberapa pilihan. Pendekatan pertama adalah menunggu untuk menentukan apakah gejala mereda dengan berjalannya waktu atau mengubah dosis bahan yang digunakan. Pendekatan kedua adalah menyesuaikan dosis naik atau turun untuk mendapatkan dosis efektif dengan pengaruh negatif yang minimal. Pendekatan ketiga adalah menjadualkan interupsi obat, menambahkan bahan lain yang melawan disfungsi seksual dan mengganti antidepresan lain yang mempunyai pengaruh negatif yang lebih kecil. Dari ketiga pendekatan tersebut, pendekatan pertama hanya bermanfaat pada sekelompok kecil pasien(15). Beberapa peneliti(16) melaporkan pemulihan gejala disfungsi seksual sesaat ketika dosis antidepresan dititrasi turun untuk mencapai kadar minimum efektif. Keberhasilan penjadualan libur obat untuk memulihkan fungsi seksual juga masih terbatas. Penambahan obat yang melawan disfungsi seksual juga masih belum terbukti manfaatnya dari uji klinis acak terkontrol. Oleh karena itu, pengalihan obat tampaknya merupakan pilihan umum. Kelompok ahli melaporkan aktifitas pengalihan obat sebesar 25% dari SSRIs ke bahan lain karena alasan disfungsi seksual,

meskipun kadang-kadang khasiat pengobatannya belum seefektif SSRIs/SNRIs untuk penyakit tertentu yang ber-sangkutan. PENUTUP Dari berbagai studi terkontrol telah diketahui antidepresan dapat memicu disfungsi seksual terutama pada kelompok yang umum digunakan. Meskipun belum diteliti secara rinci, peningkatan laju putus obat dan penurunan kepatuhan berobat jelas akan meningkatkan kegagalan pengobatan pada pasien-pasien yang aktif seksual. Selain itu pengaruh negatif ini jelas mempunyai dampak pada biaya pengobatan, karena pilihan yang lain lebih mahal, selain juga memerlukan bahan untuk melawan disfungsi seksual ini. Kelompok tertentu ini jelas memerlukan perhatian yang lebih besar, oleh karena itu perlu formula farmasi dan organisasi perawatan untuk menentukan bahan lini pertama dengan pengaruh negatif yang paling kecil, mudah tersedia, dan setara dengan bahan yang lain.

KEPUSTAKAAN 1. Anderson IM. Selective serotonin reuptake inhibitors versus tricyclic

antidepressants: a meta-analysis of efficacy and tolerability. J Affect Disord 2000; 58: 19-36.

2. Preskorn SH. Comparison of the tolerability of bupropion, fluoxetine, imipramide, nefazodone, paroxetine, sertraline and venlafaxine. J. Clin. Psychiatr. 1995; 56(Suppl 6): 12-21.

3. Rosen RC, Lane RM, Menza M. Effects of SSRIs on sexual function: a critical review. J. Clin Psychopharmacol 1999; 19: 67-85.

4. Dewan MJ, Anand VS. Evaluating the tolerability of the newer antidepressants. J Nerv Ment Dis 1999; 187: 96-101.

5. Goldstein BJ, Goodnick PJ. Selective serotonin reuptake inhibitors in the treatment of affective disorders-III. Tolerability, safety, and pharmacoeconomics. J Psychopharmacol 1998; 12(Suppl): S55-87.

6. Piazza LA, Markowitz JC, Kocsis JH. et al. Sexual functioning in chronically depressed patients treated with SSRI antidepressants: a pilot study. Am J Psychiatr. 1997; 154: 1757-9.

7. Diagnostic and Statistical Manual for Psychiatric Disorders. Edisi keempat. Washington, DC: American Psychiatric Association, 1994.

8. Zajecka J, Fawcett J, Schaff M, Jeffries H, Guy C. The role of serotonin in sexual dysfunction: fluoxetine-associated orgasm dysfunction. J Clin Psychiatr. 1991; 52: 66-8.

9. Physicians’ Desk Reference. Edisi ke-55. Mortvale, NJ: Medical Economics Co., Inc., 2001.

10. Patterson WM. Fluoxetine-induced sexual dysfunction (letter). J Clin Psychiatr.1993; 54: 71.

11. Herman JB, Brosman AW, Follack MH, Falk WE, Biederman J, Rosenbaum JF. Fluoxetine-induced sexual dysfunction. J Clin Psychiatr. 1990; 51: 25-7.

12. Ekselius L, von Knorring LEG. A double-blind study comparing sertraline and citalopram in patients with major depression treated in general practice (Abstract). Eur Neuropsychopharmacol 1997; 7(Suppl): S147.

13. Reimherr FW, Chouinard G, Cohn CK, et al. Antidepressant efficacy of sertraline: a double-blind, placebo- and amitriptyline-controlled, multicenter comparison study in outpatients with major depression. J Clin Psychiatr. 1990; 51(Suppl B): 18-27.

14. Kiev A, Feiger A. A double-blind comparison of fluvoxamine and paroxetine in the treatment of depressed outpatients. J Clin Psychiatr. 1998; 58: 146-52

15. Montejo-Gonzales AL, Llorca G, Izquierdo JA, et al. SSRI-induced sexual dysfunction: fluoxetine, paroxetine, sertraline, and fluvoxamine in a prospective, multicenter, and descriptive clinical study of 344 patients. J Sex Marital Ther 1887; 23: 176-94.

16. Harvey KV, Balon R. Clinical implications of antidepressant drug effects on sexual function. Ann Clin Psychiatry 1995; 7: 189-201.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 20

Page 21: cdk_149_kesehatan_jiwa

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penanganan Psikologik pada Obesitas

Sylvia D. Elvira

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta,Indonesia

PENDAHULUAN

Obesitas merupakan suatu kondisi yang dahulu dianggap sebagai lambang kesejahteraan dan tidak berkaitan dengan penyakit. Insidens dan prevalensinya meningkat, baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang, sejalan dengan perkembangan teknologi yang memberikan ke-mudahan dan perubahan gaya hidup. Namun, berkaitan dengan risiko kesehatan dan dampaknya terhadap kualitas hidup, kini obesitas merupakan problem atau penyakit(1,3).

Obesitas merupakan masalah yang diperhatikan karena berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit, antara lain hipertensi, gangguan kardiovaskuler, diabetes, gangguan endokrin lainnya, pe-nyakit kandung empedu, problem paru dan pernafasan, artritis, gangguan tidur, ketidakmampuan untuk berpartisipasi pada aktivitas-aktivitas rekreasi dan olahraga, rendahnya harga diri dan problem citra-tubuh(1,4).

Akhir-akhir ini obesitas dinyatakan sebagai penyakit kronik dengan penyebab multifaktorial. Dari penelitian-penelitian didapatkan bahwa obesitas tidak disebabkan oleh penyebab tunggal melainkan oleh hubungan yang kom-pleks antara faktor genetik, fisiologik, metabolik, psikologik, sosioekonomik, gaya hidup dan faktor budaya. Bila ditinjau dan aspek psikologik, obesitas dapat me-rupakan suatu kondisi tersendiri yang antara lain merupakan gejala dari gangguan makan (misalnya bulimia nervosa), atau merupakan kondisi yang berkaitan dengan citra-diri dan harga-diri, yang mempunyai dasar psiko-dinamika tertentu. Pada makalah ini hanya akan dibahas mengenai obesitas sebagai gejala dari gangguan makan, disertai penanganannya secara garis besar.

OBESITAS

Kata obesitas berasal dari bahasa Latin: obesus, obedere, yang artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas atau gemuk merupakan suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan

penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Pendapat lain mengatakan bahwa obesitas merupakan gangguan medik kronik yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat diobati(4,5).

Sebagian orang menggolongkan obesitas sebagai suatu kelainan akibat kurangnya pengendalian diri dan hal tersebut bisa jadi telah menjadi anggapan umum(3). Pengendalian diri yang dimaksud di sini tentunya pengendalian terhadap ke-inginan untuk makan Bila kita melihat seseorang dengan obesitas, yang terbayang adalah bahwa orang itu telah makan sedemikian banyak sehingga bentuk tubuhnya menjadi seperti yang kita lihat. Mengapa ia makan sedemikian banyak? Tidak merasa kenyangkah ia hingga tidak berhenti makan saat ia sudah merasa kenyang? Atau, apakah porsi makannya memang sedemikian besar dan hal itu telah menjadi kebiasaannya sejak lama, atau bahkan sejak kecil? Mengapa ia tidak dapat me-ngendalikan keinginan makannya? TERJADINYA OBESITAS

Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak(2). Etiologinya multifaktorial, baik faktor individual (biologik dan psikologik) maupun lingkungan. Bila faktor yang dapat merupakan etiologi yang berasal dari individu seperti gangguan endokrin, serta faktor organik lainnya ternyata tidak ditemukan, kondisi ini dapat merupakan konsekuensi dari suatu keadaan yang dialami seseorang, yang tidak dapat mengendalikan keinginan-nya untuk makan, bagi orang tersebut makan dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan untuk mengganti energi yang telah digunakan dan dikeluarkan pada aktivitas fisik atau psikologik tertentu, melainkan karena memang ingin makan dan makan, yang tidak mampu dikendalikan olehnya.

Kondisi ingin makan dan makan itu termasuk dalam kelom-pok gangguan makan dalam PPDGJ-III (Pedoman Penggolong-an dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) maupun dalam DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorders).Gangguan makan tersebut, yang kondisi pasien-Dibacakan pada Simposium Penanganan Gangguan Obesitas dan

Metabolisme Androgen pada Masa Reproduksi, Jakarta 31 Agustus 2002

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 21

Page 22: cdk_149_kesehatan_jiwa

nya biasanya tampak gemuk atau mengalami obesitas, terdiri atas binge-eating disorder dan bulimia nervosa(6,7).

Pada binge-eating disorder gejala yang ditemui yaitu seseorang makan pada suatu periode tertentu, dengan jumlah yang lebih banyak dan lebih cepat daripada kebanyakan orang, hingga ia merasa benar-benar sangat kenyang (uncomfortably full). Biasanya makan dilakukan tidak pada saat lapar, seorang diri karena malu makan dalam jumlah besar. Biasanya orang tersebut mengalami depresi atau merasa bersalah setelah makan(6,9,10).

Bulimia adalah kecenderungan atau dorongan untuk makan banyak, berlebihan, mungkin disertai nafsu makan besar mungkin pula tidak(11).Gejalanya serupa dengan binge-eating disorder disertai perilaku mengeluarkan kembali makanan tersebut, baik dengan cara memuntahkan atau dengan menggunakan pencahar(6,9,10). PSIKODINAMIK OBESITAS

Obesitas terjadi karena makan berlebih (over-eating). Pada awal kehidupan, seorang bayi mempersepsikan makanan sebagai pengekspresian rasa cinta, dan persepsi tersebut sering masih tersisa. Pada saat pemberian makan, seorang ibu dapat memindahkan perasaan cemas atau ansietas yang dialaminya kepada anaknya. Makan dapat menjadi cara untuk mengatasi kecemasan, yang terjadi karena frustrasi yang dialami, karena adanya persepsi bahwa cinta dan perhatian setara dengan makanan. Kelebihan makan mungkin merupakan indikasi adanya ansietas dini tersebut(12).

Menurut Hamburger, makan berlebih merupakan respons terhadap ketegangan emosional yang tidak spesifik, atau merupakan substitusi dari gratifikasi yang tidak dapat di-toleransi pada situasi-situasi tertentu dalam kehidupan, atau merupakan gejala dari gangguan emosional yang mendasarinya, terutama depresi(12).

Bulimia nervosa maupun binge-eating disorder dapat dialami seseorang mungkin karena ketidakmampuannya untuk mengatasi masalah-masalah hidup secara praktis. Ketidakmampuan tersebut biasanya dalam pengendalian emosi, pemrosesannya, serta mengatasinya. Ini terjadi mungkin karena adanya depresi yang mendasarinya. Depresi tersebut dapat terjadi karena terhambatnya proses per-kembangan mental seseorang sehingga ia lebih nyaman menggunakan mekanisme adaptasi (atau defensi) yang biasa digunakannya pada fase perkembangan yang lebih dini, yaitu fase oral (fase di saat seseorang mengatasi problem hidupnya terutama dengan mulut, biasanya pada usia antara 0-18 bulan). Mekanisme defensi yang digunakan adalah intro-yeksi, yaitu memasukkan suatu objek ke dalam struktur psikis individu(11) objek ini semula bersifat kongkrit (karena ke-mampuan berpikir yang masih terbatas dan didominansi oleh proses pikir primer) berupa makanan, tetapi kemudian secara bertahap dapat berkembang menjadi lebih abstrak (misalnya ibu atau orang lain yang dicintai atau dianggap dekat dan nantinya dapat berupa lain ide, harga diri, prestasi, dan sebagainya)(l).

Depresi dapat pula terjadi secara sekunder karena obesitasnya individu mengalami obesitas namun mempunyai

keinginan atau bayangan mengenai bentuk tubuh yang 'ideal' sehingga mengalami depresi karena bayangan bentuk tubuh tersebut tidak dapat dicapainya. Kemungkinan lain, depresi terjadi karena gangguan citra-tubuh (sering berupa distorsi, yaitu bila melihat di depan cermin, seseorang tidak melihat tubuhnya seperti apa adanya dalam realitas) seseorang yang obes, jarang menyadari seberapa gemuk dirinya(14). Mengenai kedua hal ini tidak akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan terhadap obesitas merupakan pen-dekatan holistik dan komprehensif, termasuk meneliti latar belakang terjadinya obesitas pada seseorang, apakah murni karena gangguan metabolik atau gangguan organik lainnya, ataukah berperan pula faktor psikologik tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya(610). Biasanya penatalaksanaannya meliputi pemberian farmakoterapi, pengaturan diet, latihan fisik, pengubahan gaya hidup.

PENANGANAN PSIKOLOGIK

Pada pasien dengan obesitas yang dasarnya adalah ganggu-an makan yang didasari oleh depresi, maka penanganannya sesuai dengan penatalaksanaan terhadap gangguan depresi, yaitu pemberian psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka yang diberikan berupa antidepresi golongan apa saja, antara lain: Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) (sertraline 1 x 50 mg per hari, atau fluoxetine 1 x 20 mg per hari, atau fluvoxamine Ix 50 mg per hari), reversible monoamine oxidase inhibitor (RIMA) (moclobemide 2 x 150 mg per hari), maupun trisiklik dan tetrasiklik (imipramin, maprotilin), disesuaikan dengan kondisi pasien (umur, pekerjaan dan kegiatan sehari-harinya serta sosio-ekonomi).

Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikoterapi dengan pendekatan dinamik, atau non-dinamik, seperti terapi kognitif-perilaku, atau modifikasi perilaku. Pemilihan jenis psikoterapi disesuaikan dengan kondisi dan kepribadian pasien. Pada psiko-terapi dinamik, tujuan utama adalah pencapaian tilikan (insight),yaitu mengajak pasien untuk lebih memahami diri dan kehidupannya (termasuk konflik dan pelbagai problem yang pernah dihadapi dan cara mengatasinya), baik pasien maupun dokter berperan aktif dalam proses. Pada setiap pertemuan, topik yang dibahas disesuaikan dengan yang ingin dikemuka-kan oleh pasien topik mengenai hal-ihwal yang berkaitan dengan depresi atau gangguan makan atau obesitas yang dialami dapat dibahas sesuai dengan kebutuhan. Biasanya dilakukan dalam jangka panjang, minimal 3-12 bulan.

Pada terapi kognitif-perilaku, pasien diajak untuk menilai cara berpikirnya selama ini yang lebih cenderung ke arah irasional (sering berpikir negatif secara otomatis tentang diri dan kondisi yang dialaminya), pasien diajak untuk mengubah cara berpikirnya ke arah yang lebih rasional pasien juga diajak untuk dapat menggunakan cara lain untuk meng-hadapi stres dan perasaan-perasaan negatif lainnya yang mengarah pada perilaku 'bingeing' dan makan berlebihan.(14)

Pada terapi perilaku (behavior modification), tujuan terapi adalah membantu pasien memodifikasi kebiasaan

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 22

Page 23: cdk_149_kesehatan_jiwa

makannya, meningkatkan aktivitas fisik, meningkatkan ke-sadaran akan kedua hal tersebut (pengubahan kebiasaan makan dan latihan fisik). Pasien diminta mengidentifikasi dan mencatat saat, suasana dan tempat sewaktu keinginan makan timbul serta frekuensi makannya pasien kemudian diarahkan untuk dapat mengontrol stimulus agar dapat memutuskan rantai antara peristiwa yang membangkitkan keinginan makan dengan perilaku makannya (contohnya antara lain dengan membatasi tempat-tempat makannya, atau dengan mengambil segelas air putih di antara setiap gigitan makanan, mengunyah dengan frekuensi tertentu). Kemu-dian pasien diajak untuk memodifikasi konsekuensi dari perilaku makannya untuk self-reward (termasuk mengem-bangkan kemampuan assertive, belajar menyatakan 'tidak' serta mengembangakn self-talk yang positif)(6,14-16). KESIMPULAN

Obesitas merupakan gangguan yang disebabkan oleh pelbagai macam faktor, yang merupakan hubungan yang kompleks antara faktor genetik, fisiologik, metabolik, psikologik, sosioekonomik, gaya hidup dan faktor budaya. Faktor psikologik juga berperan dalam terjadinya obesitas, antara lain berupa terdapatnya gangguan makan yaitu bulimia nervosa atau binge-eating disorder, yang didasari oleh adanya depresi yang dialami seseorang.

Penanganan psikologik terhadap obesitas adalah sesuai dengan yang dilakukan terhadap depresi, yaitu pemberian psikofarrnaka berupa anti depresi, serta psikoterapi, baik dengan pendekatan dinamik, atau terapi kognitif-perilaku, atau modifikasi perilaku yang disesuaikan dengan kondisi dan kepribadian pasien.

KEPUSTAKAAN

1. Waspadji S. Kegemukan: pendekatan klinis dan pemilihan obatnya,

dalam Prosiding Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Imu Penyakit Dalam FKUI2002: 69-71.

2. Sjarif DR. Evaluasi dan tatalaksana obesitas pada anak, dalam Prosiding Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2002:

3. Soegondo S. Obesitas dan permasalahannya, dalam Prosiding Temu Ilmiah Akbar 2002. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Imu Penyakit Dalam FKUI 2002: 64.

4. Obesity, is it an eating disorder? Anorexia Nervosa & Related Eating Disorders, Inc. ANRED, 2002.

5. Myers MD. Comprehensive obesity treatment. www.weight.com. 2000 6. Brownell KD, Wadden TA. Obesity dalam Comprehensive Textbook of

Psychiatry, ed. VII, Kaplan , Sadock. (eds.) 2000: 1787, 1789, 1792. 7. Direktorat Kesehatan Jiwa, Ditjen Pelayanan Medik, Departemen

Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi III (PPDGJ-III) -1995.

8. Schwartz M. Binge eating disorder: a new eating disorder category.webmaster@ct. addictionprofessionals. com 1998.

9. Fairburn. Risk factors for binge eating disorder. Arch. Gen. Psychiatr. 1998,55: 425

10. Grinker RR, Robbins FP. Obesity, dalam Psychosomatic case book, NewYork Toronto: The Blakiston Co. Inc. 1954: 191-2

11. Lubis DB. Pengantar psikiatri klinik. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1989: 91.

12. Psychological causes of obesity 13. Eating disorder and obesity.www.austinpsych.com/services.eating dis. html. 14. Palmer MP. Complexity of obesity. www.innerself.com. 15. Autres Traitements. Psychotherapy for obesity. www.obesity-diet.com 16. Bray GA. Behavior modification in the treatment of obesity. Lousiana State

University Jan 2001. 17. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical

Manual for Mental Disorders -fourth edition (DSM-IV), 1994.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 23

Page 24: cdk_149_kesehatan_jiwa

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger

Theresia Kaunang

Sub Bagian Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Gangguan Asperger merupakan salah satu jenis gangguan dari kelompok gangguan perkembangan pervasif(1-3). Dalam DSM IV kategori ini meliputi gangguan autistik, gangguan Rett, gangguan disintegrasi pada anak, gangguan Asperger dan gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan (pervasive developmental disorder not otherwise specified)(4-6). Tulisan asli tentang gangguan Asperger pertama kali dipublikasikan di Jerman oleh Hans Asperger (1942)(7-9). Asperger menggambarkan 4 anak yang mengalami kesulitan integrasi sosial dalam kelompoknya. Ia menyebutkan kondisi ini sebagai “autistic psychopathy”, yang menunjukkan suatu gangguan kepribadian dengan ditandai oleh isolasi sosial(10-13). Dengan meningkatnya jumlah kasus autisme dalam tahun-tahun terakhir ini, terlihat meningkat pula angka kejadian gangguan Asperger, karena gangguan ini termasuk dalam spektrum autistik. Pada awalnya, di Indonesia sangat jarang klinikus mendiagnosis gangguan Asperger, bahkan hampir tidak ada. Akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mulai ada beberapa kasus gangguan Asperger yang terdiagnosis, demikian juga seperti yang terlihat dalam media massa dan website. Namun demikian belum ada data di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sangatlah penting mengetahui dan menyegarkan kembali ingatan tentang gangguan Asperger agar memudahkan klinikus mendiagnosis gangguan ini. Tulisan ini berusaha membahas gangguan Asperger secara singkat. DEFINISI Gangguan Asperger ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial dan terhambatnya perhatian serta perilaku seperti yang terlihat pada autisme, tetapi tidak ada kelambatan dalam berbicara dan berbahasa reseptif, perkembangan kognitif, ketrampilan menolong diri sendiri, atau keingintahuan terhadap lingkungan(1). EPIDEMIOLOGI Menurut Volkmar, prevalensi gangguan Asperger adalah 1 di antara 10.000(1). Kepustakaan lain menyebutkan 20-25 setiap 10.000 orang anak(5). Angka kejadian gangguan Asperger

dengan kriteria diagnosis Gillberg & Gillberg (1989) atau de-ngan kriteria ICD-10 terlihat meningkat. Gillberg & Gillberg memperkirakan 0,26%(14).

Pada tahun 1991 suatu penelitian menyebutkan prevalensi gangguan Asperger 2,6-3 setiap 1000 anak(11). Menurut penelitian suatu populasi 3,6-7,1 dalam 1000 anak dengan rentang usia 7-16 tahun (Ehler & Gillberg, 1993)(3,8,15). Di RS Broadmoor, sebuah rumah sakit khusus, prevalensi gangguan Asperger mencapai 1,5%(15). Wolf dkk (1991) menemukan 3-5% kasus skizoid mirip dengan gangguan Asperger(8).

Wing (1978) mengatakan bahwa gangguan Asperger me-nunjukkan rasio laki-laki : perempuan 15:4, sedangkan menurut Wolff & Barlow(1979) rasio laki-laki : perempuan adalah 9:1(9). Kepustakaan lain (1981) mengatakan 10-15:1. Ehler dan Gillberg (1993) menyebutkan 4:1(8). Prevalensi gangguan Asperger pada anak usia 7-16 tahun adalah 0,71 % ; laki-laki 0,97% dan perempuan 0,44%(15). ETIOLOGI Etiologi gangguan Asperger masih menjadi perdebatan(16). Gangguan Asperger merupakan kondisi yang termasuk dalam spektrum autisme, sehingga kepustakaan menyebutkan bahwa etiologinya sama(10). Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa etiologinya terkait dengan genetik dan kerusakan otak(17-20). Sedangkan Ciaranello dan Ciaranello (1995) membagi etiologi gangguan Asperger ke dalam dua tipe yaitu genetik dan non genetik(3). Tipe genetik.

Etiologi genetik berhubungan dengan kontrol gen pada perkembangan otak(3). Hubungan genetik antara autisme dan gangguan Asperger dapat digambarkan sebagai berikut: anak yang menderita gangguan Asperger seringkali ayahnya me-miliki kesulitan dalam interaksi sosial(1). Terdapat beberapa laporan adanya transmisi keluarga pada gangguan Asperger. Gillberg mengatakan terdapat patologi “Asperger Syndrome-like” pada anggota keluarga terdekat dari penderita gangguan Asperger(8). De Long & Dwyer menemukan gangguan Asperger

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 24

Page 25: cdk_149_kesehatan_jiwa

pada keluarga dari anak yang menderita gangguan autistik high functioning(11). Faktor genetik menunjukkan adanya hubungan antara autisme dengan gangguan Asperger(21). Sejumlah 9% anak penderita autisme mempunyai ayah sindrom Asperger atau ciri-ciri Asperger(22).

Secara genetik peranan kromosom fragile-X untuk ter-jadinya gangguan Asperger sangat bermakna(11,22,23). Studi kembar dua memberi dukungan adanya dasar genetik gangguan ini(3), akan tetapi pada studi kembar tiga tidak. Jikapun dasar etiologinya genetik, faktor lain perlu dipertimbangkan misalnya keadaan prenatal, perinatal dan postnatal(23). Non genetik

Ciaranello (1995)mengatakan etiologi nongenetik meliputi infeksi prenatal. Menurut Chess (1997) ada peningkatan insidens setelah pandemi rubella. Infeksi varisela dan toxo-plasmosis prenatal berhubungan dengan terjadinya gangguan ini. Juga berhubungan dengan riwayat ibu, riwayat kehamilan dan persalinan. Hipotiroid pada ibu selama kehamilan berkaitan dengan terjadinya gangguan ini(3).

Beberapa penelitian melaporkan hubungan antara gejala gastrointestinal dengan gangguan autistik. D’eufemia dkk, mengatakan bahwa terdapat peningkatan permeabilitas usus pada pasien gangguan spektrum autistik. Ini memberi kesan bahwa disfungsi gastrointestinal berhubungan dengan ganggu-an perkembangan pervasif (19,24).

Pemeriksaan beberapa penderita Asperger menunjukkan adanya abnormalitas makroskopis asam amino dengan pe-ningkatan arginin, ornitin, histidin, treonin dan serin. Jadi memperlihatkan adanya aminoasiduria(25). Davis, Fennoy (1992) menyebutkan bahwa penyalahgunaan zat berperan untuk terjadinya gejala spektrum autistik pada anak yang di-lahirkan. Penelitian menemukan bahwa penyalahgunaan kokain dan zat lain dapat berhubungan dengan gangguan ini(3). Adanya hubungan temporal antara vaksinasi MMR dan gangguan spek-trum autistik masih diperdebatkan(16). Faktor imunitas nampak-nya berperan untuk terjadinya gangguan Asperger. Beberapa penderita menunjukkan disfungsi atau abnormalitas sejumlah sel T(20). Proses penyakitnya adalah akibat langsung dari gangguan di susunan saraf pusat(16). Terjadi hipometabolisme glukosa di cingulata anterior dan posterior pada penderita gangguan spektrum autistik. Juga terlihat adanya penyusutan volume girus cingulata anterior kanan, khususnya area Brodmann’s 24(21).

Wing mengatakan ada riwayat trauma serebral pada pra, peri dan post-natal(23). Gambaran pencitraan otak, memper-lihatkan adanya lesi di substansia alba girus temporal medial kanan. Beberapa penelitian menggambarkan adanya disfungsi hemisfer kanan pada gangguan Asperger(8,26). Juga memper-lihatkan adanya abnormalitas fasikulus longitudinal inferior, suatu serabut ipsilateral yang menghubungkan lobus oksipitalis dan temporalis serta pola aktivitas abnormal di daerah kortikal temporal ventral(27). Girus temporal medial dan sulkus temporal superior yang berbatasan, berperan pada ekspresi wajah dan kontak mata langsung(10). Disfungsi lobus frontalis memper-lihatkan adanya defisit fungsi eksekutif.(8). Pada gangguan Asperger ditemukan adanya ganglioside yang meningkat ber-makna pada cairan serebrospinal(8). Semua abnormalitas yang

terjadi, berhubungan dengan gejala klinis dan neuropsiko-logi(9,28). Bukti neuropatologi yang bervariasi menyebabkan perdebatan tentang lokasi kerusakan(12). Laporan terakhir me-nyebutkan etiologi penyakit spektrum autistik berhubungan dengan kondisi biomedis(19). GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis penderita gangguan Asperger dalam beberapa hal sebagai berikut: Interaksi sosial

Penderita gangguan Asperger mengalami isolasi sosial, tetapi tidak selalu menarik diri di antara orang lain. Walaupun demikian pendekatan mereka terhadap orang lain adalah inappropriate atau dengan cara eksentrik. Mereka menunjuk-kan perhatian untuk bersahabat bila bertemu orang lain, tapi selalu terhambat oleh pendekatan yang kaku dan tidak sensitif terhadap perasaan orang lain. Mereka juga tidak sensitif atas komunikasi samar-samar dari orang lain, misalnya tidak mema-hami tanda kebosanan, pergi karena terburu-buru dan keadaan yang memerlukan privacy(1).

Hal ini menyebabkan kesulitan membina hubungan per-sahabatan. Mereka tidak mengerti petunjuk yang halus/samar, gaya bicara metafora, dan seringkali dianggap konkrit(14). mengerti pertanyaan, tetapi tidak dapat menggunakan pe-ngetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah(23).

Penderita gangguan Asperger tidak dapat mengomentari tujuan aktivitas sosial, perasaan dan elemen sosial lainnya dari suatu cerita(10). Penderita gangguan ini mampu menjelaskan dengan benar (kognitif dan cara yang formal) tentang emosi, maksud yang diharapkan dan aturan sosial. Namun demikian tidak dapat menerapkan pengetahuan ini secara intuitif dan spontan, sehingga kehilangan waktu untuk berinteraksi(1).

Terhadap orang lain, mereka sangat kaku, bereaksi tidak sesuai dan gagal berinterpretasi, serta kurang mempunyai eks-presi wajah(1,3,11). Mereka kurang peka terhadap lingkungan, tidak peduli dengan ekspresi emosi orang lain(1,3), dan kurang empati dengan perasaan orang lain(2,8,9,11), sehingga Gillberg mengklasifikasikannya ke dalam kelompok gangguan empati(29).

Saat sedang berbicara, penderita tidak menatap sehingga memperlihatkan kurang atensi dan kurang berrespons dengan isyarat sosial(8). Dengan demikian menunjukkan komunikasi yang kurang mendalam(3). Gangguan Asperger menyebabkan hambatan untuk mengenal wajah orang lain. Keadaan ini merupakan inti dari disabilitas sosial(8,27).

Penderita gangguan ini menyenangi lingkungan yang penuh rutinitas dan terstruktur. Mereka suka dipuji, suka memperoleh kemenangan, dan mampu menjadi juara, akan tetapi sering mendapatkan kegagalan, ketidaksempurnaan dan kritik(14). Motorik

Anak dengan gangguan Asperger mempunyai riwayat kemahiran motorik yang tertunda(1,29), seperti mengayuh sepeda, menangkap bola (tidak ada koordinasi antara kedua tangan)(30,31). membuka botol dan panjat-memanjat(1,10). Mereka sulit mengikat dasi atau tali sepatu. Mereka tampak kurang

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 25

Page 26: cdk_149_kesehatan_jiwa

koordinasi serta menunjukkan pola jalan yang resmi(1,10). aneh dan sulit untuk berbaris(31). Terdapat motoric clumsiness(10,29,30). Menunjukkan kesulitan menulis dengan tangan, sehingga menjadi malu atau marah karena ketidakmampuan menulis rapi. Mereka mempunyai kemampuan menggunakan komputer dan keyboard sehingga lebih memilih komputer daripada menulis tangan(22). Tampak jelas terdapat gangguan ketrampilan motorik-visual dan visuospatial(11,17,31,32). Mereka mengalami kesulitan menggunting bentuk dari kertas(30). Dalam hal psiko-motor mereka menunjukkan gerakan stereotipik(9,10,31,32). Kognitif

Kemampuan intelektual penderita menetap(10). Tidak ada defisit kognitif(3,8), namun beberapa penelitian menggambarkan adanya defisit daya ingat dalam beberapa aspek(33,34). Ke-pustakaan lain mengatakan bahwa kemampuan daya ingat cukup baik dan mereka mengingat tanpa berpikir. Penderita Asperger dapat mengingat dengan seksama fakta, bentuk, data, waktu dan lain-lain. Mereka tertarik pada topik luar biasa yang mendominasi pembicaraan mereka(1). Mereka mengum-pulkan banyak informasi tentang fakta di dunia(3). Sejumlah besar topik dikumpulkan dengan semangat. Mereka mem-pelajari topik seperti ular, nama binatang, pemandu televisi, musim, data pribadi anggota kongres, jadwal kereta api dan astronomi, tanpa pengertian luas dari fenomena yang ter-libat(1,23). Mereka unggul dalam bidang matematika dan ilmu pengetahuan. Mereka dapat mengingat banyak frasa tapi tidak dapat menggunakannya dalam konteks yang benar(14).

Pada umumnya IQ mereka normal sampai superior. Verbal IQ lebih tinggi dibandingkan dengan performance IQ(29,35,36) Akan tetapi terdapat gangguan dalam konsep belajar(1).

Suatu penelitian melalui story-telling memperlihatkan adanya gangguan imajinasi(37). Penelitian lain juga mendapat-kan gangguan kreativitas dan imajinasi(38).

Bahasa Secara kasar perkembangan bahasa penderita gangguan

Asperger nampak normal, tidak ada kesulitan menempatkan bahasa. Pasien berbicara agak formal dengan tata bahasa yang tinggi, sehingga pada awal perkembangan tidak dapat di-diagnosis. Asperger menyebutkannya little professor. Ada tiga aspek pola komunikasi yang menarik secara klinik pada gangguan Asperger yaitu :(1) 1. Pembicaraan ditandai dengan kurangnya prosodi, pola

intonasi terbatas, walaupun nada suara dan intonasi tidak sekaku dan semonoton gangguan autistik(1,3,9). Bicaranya terlalu cepat, tersentak-sentak, dengan volume yang kurang modulasi: misalnya suara keras walaupun lawan bicara berada dalam jarak dekat. Kurang pertimbangan untuk situasi sosial tertentu, misalnya di perpustakaan atau pada keadaan gaduh(1,39).

2. Pembicaraan tangensial dan sirkumstansial, sehingga memberi kesan suatu asosiasi longgar dan inkoheren(1,3). Sebagian pasien memberi kesan gangguan proses pikir. Gaya bicara egosentris dengan menggunakan kata-kata harfiah(1,3,11). seperti monolog tentang nama, kode, atribut di televisi dari berbagai negara. Gagal memberi alasan atau komentar tentang suatu pembicaraan dan secara jelas

membatasi topik(1). 3. Gaya bicara bertele-tele tentang subyek favorit dan tidak

peduli apakah pendengar tertarik,menolak atau mencoba menyelipkan kata-kata untuk mengganti subyek. Mereka tidak pernah sampai pada satu titik kesimpulan. Lawan bicara seringkali gagal mencoba menguraikan masalah atau logika, ataupun mengalihkan topik(1).

KRITERIA DIAGNOSTIK Dahulu para peneliti membuat kriteria diagnosis gangguan Asperger sendiri yaitu: kriteria diagnostik Wing (1981), Gillberg and Gillberg (1989), Szatmari dkk (1989), kriteria diagnostik ICD 10 (1990), kriteria diagnostik DSM IV(13,40). Sekarang ICD 10 dan DSM IV digunakan sebagai kriteria diagnosis. Kriteria diagnosis Gangguan Asperger menurut DSM IV: 1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, seperti yang

ditunjukkan oleh sekurangnya dua dari berikut : - Ditandai gangguan dalam penggunaan perilaku

nonverbal multipel seperti tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak-gerik untuk mengatur interaksi sosial.

- Gagal mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangan.

- Gangguan untuk secara spontan membagi kesenangan, perhatian atau prestasi dengan orang lain (seperti kurang memperlihatkan, membawa atau menunjukkan obyek yang menjadi perhatian orang lain).

- Tidak adanya timbal balik sosial dan emosional. 2. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang

dan stereotipik, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang -kurangnya satu dari berikut : - Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang

stereotipik, dan terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya.

- Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional.

- Manerisme motorik stereotipik dan berulang (men-jentik dan mengepak-ngepak tangan atau jari, atau gerakan kompleks seluruh tubuh).

- Preokupasi persisten dengan bagian-bagian obyek. 3. Gangguan ini menyebabkan gangguan yang bermakna

secara klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

4. Tidak terdapat keterlambatan menyeluruh yang bermakna secara klinis dalam bahasa (misalnya, menggunakan kata tunggal pada usia 2 tahun, frasa komunikatif digunakan pada usia 3 tahun).

5. Tidak terdapat keterlambatan bermakna secara klinis dalam perkembangan kognitif atau dalam perkembangan ketrampilan menolong diri sendiri dan perilaku adaptif yang sesuai dengan usia (selain dalam interaksi sosial), dan keingintahuan tentang lingkungan pada masa kanak-kanak.

6. Tidak memenuhi kriteria untuk gangguan pervasif spesifik atau skizofrenia(6).

Klasifikasi gangguan perkembangan pervasif yang ada

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 26

Page 27: cdk_149_kesehatan_jiwa

sekarang ini kurang memuaskan orang tua yang mempunyai anak dengan gangguan ini, klinikus dan peneliti akademik. Karena reliabilitas dan validitas dari data empirik gangguan ini, dianjurkan pendekatan baru untuk klasifikasinya(40).

DIAGNOSIS BANDING 1. Autisme infantil

Gangguan Asperger berbeda dengan autisme infantil dalam onset usia onset autisme infantil lebih awal(2,41), juga berbeda dalam keparahan penyakit yaitu autisme infantil lebih parah dibandingkan gangguan Asperger(2,42). Pasien autisme infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif(2,17).Oral vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada autisme(17). Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental. Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambar-an IQ yang lebih baik daripada autisme infantil(2), kecuali autisme infantil high functioning(41). Batas antara gangguan Asperger dan high functioning autism untuk gangguan ber-bahasa dan gangguan belajar sangat kabur(8). Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang normal sedang-kan autisme infantil mempunyai verbal intelligence yang kurang(2). Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya mengalami kesulitan berempati(2,11).

2. Gangguan perkembangan pervasif yang tidak di- tentukan

Gangguan Asperger lebih berat dalam disfungsi sosial(1,10).

3. Gangguan kepribadian skizoid Gangguan kepribadian skizoid tidak memperlihatkan

keparahan dalam gangguan sosial, juga tidak ada kelainan pada pola perkembangan awal seperti yang tampak pada gangguan Asperger(1,43). Gillberg memberi gambaran anak dengan gangguan Asperger memenuhi kriteria gangguan kepribadian skizoid untuk orang dewasa(44) Wolf dan Cull (1986) mengata-kan bahwa gangguan Asperger merupakan varian dari ganggu-an kepribadian skizoid(45) dan identik dengan gangguan kepribadian skizoid pada orang dewasa(14). Sementara Tantam (1988,1991) mengatakan bahwa jelas berbeda antara gangguan Asperger dan gangguan kepribadian skizoid(46).

4. Skizofrenia Gangguan Asperger didiagnosis banding dengan

skizofrenia onset masa kanak-kanak(8). Kombinasi dari bicara bertele-tele, bicara sendiri, pola pembicaraan inkoheren, gagal mengganti topik pembicaraan dan gagal memberi latar be-lakang suatu cerita, menyebabkan kekeliruan mendiagnosis Skizofrenia. Gangguan Asperger lebih menunjukkan disfungsi komunikasi daripada gangguan proses pikir(1,10). Ekspresi wajah yang abnormal terdapat pada kedua gangguan ini(18).

5. Gangguan Kepribadian Obsesi Kompulsi. Beberapa gejala gangguan Asperger bertumpang tindih

dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi seperti fungsi sosial yang terbatas. Keadaan ini menyebabkan gangguan Asperger didiagnosis banding dengan gangguan Kepribadian Obsesi Kompulsi(8,9).

Tabel 1. Differential diagnostic features of autism and nonautistic

pervasive developmental disorders(1)

Feature Autistic disorder

Asperger’s disorder

Pervasive developmental disorder NOS

Age at recognition (month) 0-36 Usually > 36 Variable

Sex ratio M>F M>F M>F

Loss of skills Variable Usually not Usually not

Social skills Very poor Poor Variable

Communication skills Usually poor Fair Fair to good

Circumscribed -interests

Variable (mechanical)

Variable Marked (facts)

Variable Unknown

Family history of similar problems

Sometimes Frequent Frequent

Seizure disorder Common Uncommon Uncommon

Head growth - deceleration No No No

I.Q. range Severe MR

to normal Mild MR to

normal Severe MR to

normal

Outcome Poor to fair Fair to good Fair to good

PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT Perbedaan klinik antara gangguan autisme dan gangguan Asperger mempunyai nilai prognosis(21). Gangguan Asperger mempunyai prognosis yang lebih baik(12,22,29). Terdapat per-bedaan rentang keparahan dari gangguan Asperger, sehingga beberapa kasus tidak terdiagnosis karena penderitanya hanya tampak aneh dan eksentrik(14). Perempuan mempunyai prog-nosis yang lebih baik(47). Perjalanan penyakit dan akibatnya sangat bervariasi(1) karena IQ dan ketrampilan berbahasanya relatif baik(41). Beberapa anak dapat mengikuti pendidikan secara teratur dengan mendapat dukungan sedangkan yang lain membutuhkan pendidikan khusus. Keadaan ini disebabkan karena gangguan dalam perilaku dan interaksi sosial, bukan karena defisit akademik(1). Prediksi masa depan anak Asperger positif. Beberapa pasien menggunakan talenta khususnya untuk memperoleh pekerjaan yang dapat menunjang kehidupannya sendiri(1). Perilaku buruk seringkali didasari ketidakmampuan meng-komunikasikan frustrasi dan kecemasan(14). Pada saat remaja, mereka tidak menyadari kalau berbeda dengan yang lain dan sering disingkirkan dalam hubungan interpersonal. Pada saat dewasa mereka beradaptasi sangat superfisial, egosentris dan terisolasi(3). Gangguan bipolar dan gangguan cemas dapat menjadi komorbiditas untuk gangguan Asperger(5,11,48). Frustrasi kronis akibat kegagalan berulang apabila berbicara dengan orang lain dan saat menjalin persahabatan menye- babkan penderita dengan gangguan Asperger dapat menderita juga

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 27

Page 28: cdk_149_kesehatan_jiwa

gangguan mood(1). Beberapa penderita dapat mempunyai gambaran kata-tonik(8) gangguan obsesi kompulsi(3,5,49) ide bunuh diri, temper dan gangguan menentang(49). Penderita gangguan Asperger mengalami penurunan berat badan dan gangguan makan(50). Pada beberapa populasi penelitian ditemukan adanya komor-biditas gangguan ini dengan gangguan tik(2,5,40) dan sindrom Tourette(3,8,22) Volkmar & Klin,1997 mengatakan adanya komorbiditas antara gangguan Asperger dengan Attention Deficit Hiperactivity Disorder(3). Menurut Tantam (1980), penderita Asperger memper-lihatkan perilaku antisosial pada saat dewasa(45). Gangguan Asperger akan berkembang pada kecenderungan paranoid(22). Mawson dan kawan-kawan (1985), menunjukkan adanya hubungan antara gangguan Asperger dengan perilaku kekeras-an dan agresif serta membakar rumah(15). Beberapa gangguan medis spesifik yang dapat bersamaan dengan gangguan Asper-ger yaitu tuberous sclerosis,(17,26,39) Marfan-like syndrome, Kleine-Levin syndrome, fragile X syndrome dan sindrom kromosom lain termasuk translokasi kromosom 17-19(8). PENATALAKSANAAN Pada dasarnya adalah suportif dan simtomatis; meliputi beberapa aspek antara lain ketrampilan sosial dan komunikasi, orangtua, pendidikan, pekerjaan dan terapi yang lain.1 Ketrampilan sosial dan komunikasi Penderita Asperger mempunyai kecenderungan menggan-tungkan diri pada aturan yang kaku dan rutinitas. Keadaan ini dapat digunakan untuk mengembangkan kebiasaan yang positif dan meningkatkan kualitas hidup. Strategi menyelesaikan masalah diajarkan untuk menangani keadaan yang sering terjadi, situasi sulit seperti terlibat dengan hal baru, kebutuhan sosial dan frustrasi. Dibutuhkan latihan untuk mengenal situasi sulit dan memilih strategi yang pernah dipelajari untuk situasi seperti itu(1). Program Behavioral Modification dilakukan untuk melatih anak agar bersikap lebih layak dan dapat diterima secara sosial. Dalam program ini yang diintervensi adalah(51). • Rutinitas harian. • Pengendalian temper tantrum • Komunikasi • Aspek emosi Ketrampilan sosial dan komunikasi sebaiknya diajarkan oleh ahli komunikasi untuk berbicara pragmatis. Keadaan ini dapat dilakukan dalam terapi dua orang atau terapi kelompok kecil. Terapi komunikasi meliputi:(1) 1. perilaku nonverbal yang sesuai (cara memandang untuk

interaksi sosial, memonitor dan mencontoh perubahan suara).

2. membaca kode verbal dari perilaku nonverbal orang lain 3. social awareness. 4. perspective taking skill 5. interpretasi yang benar untuk komunikasi yang berarti

ganda. Kelompok self support dapat membantu penderita Asperger. Pengalaman kecil pada kelompok self-support memberi kesan

bahwa individu dengan gangguan Asperger menikmati kesem-patan tertentu dengan orang lain. Ia dapat mengembangkan hubungan di sekitar aktivitasnya dengan orang lain untuk membagi perhatian. Perhatian khusus dibuat untuk mencipta-kan kesempatan sosial melalui kelompok minat. Mereka membutuhkan kasih sayang, kelembutan hati, kepedulian, kesabaran dan pengertian. Jika mereka mendapat kannya, sedikitnya dapat lebih terlibat dalam masyarakat(14). Orang tua Orang tua berperan sangat besar dalam penatalaksanaan gangguan Asperger. Beberapa strategi yang menolong orangtua untuk menghadapi anaknya : - Buatlah pembicaraan yang sederhana sesuai dengan tingkat pengertian mereka - Buatlah instruksi yang sederhana untuk pekerjaan yang rumit dengan menggunakan daftar atau gambar. - Mencoba mengkonfirmasi apakah mereka mengerti apa yang dibicarakan atau ditanyakan. Jangan membuat pertanyaan yang cukup dijawabYes/No. - Jelaskan bahwa mereka harus menatap saat berbicara dengan orang lain, beri semangat, pujian untuk prestasi, khususnya pada saat mereka menggunakan ketrampilan sosial tanpa disuruh. - Untuk anak kecil yang tampaknya tidak mau mendengar, berbicara dengan dinyanyikan akan lebih bermanfaat. - Berilah pilihan yang dibatasi dua atau tiga pilihan(14). Pendidikan

Sangat bermanfaat jika anak dimasukkan ke sekolah yang memahami kesulitan anak dan orangtuanya. Guru harus me-nyadari bahwa muridnya mempunyai gangguan perkembangan dan berbeda dari murid lain(5,14). Ketrampilan, konsep, prosedur yang teratur, strategi kognitif dan norma-norma perilaku dapat diajarkan dengan efektif(1). Beberapa prinsip umum sekolah agar dapat diaplikasikan pada anak dengan gangguan Asperger :(5) - Rutinitas kelas harus konsisten, terstruktur, dan sebisa mungkin dapat diramalkan. Mereka harus dipersiapkan terlebih dahulu. Termasuk jadual istirahat, hari libur dan sebagainya. - Aturan diterapkan dengan seksama. Beberapa anak kaku dengan aturan. Pedoman dan aturan diterangkan dengan jelas, akan menolong jika melalui tulisan. - Guru mengambil kesempatan pada bidang yang menjadi perhatian anak saat mengajar. Anak akan belajar dengan baik dan memperlihatkan motivasi dan perhatian yang besar bila sesuai dengan yang dijadualkan. - Banyak anak gangguan Asperger berespons baik secara visual dengan alat seperti : jadual, chart, list, gambar dsb. - Secara umum mengajar dengan konkrit. Hindari gaya bahasa yang sulit dimengerti seperti sarkasme, idiom dan sebagainya. - Strategi mengajar didaktik dan eksplisit dapat membantu anak memperoleh kecakapannya pada bidang fungsi eksekutif. - Pastikan bahwa staf lain seperti guru olahraga, sopir bus, petugas perpustakaan dan kafetaria mengetahui keadaan anak. Lakukanlah pendekatan terhadap mereka.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 28

Page 29: cdk_149_kesehatan_jiwa

Pekerjaan

Dalam pekerjaan, manfaatkan kemampuan mereka untuk dapat mandiri. Kemandirian dalam berbagai bidang menjadi prioritas(1). Penderita gangguan Asperger dilatih dan ditempat-kan pada pekerjaan yang mendapat dukungan dan perlindungan dengan demikian mereka tidak akan mengalami gangguan psikologik. Sebaiknya pekerjaan mereka tidak melibatkan tuntutan sosial yang intensif, tekanan waktu atau membutuhkan perubahan cepat. Jangan ditempatkan pada situasi baru yang membutuhkan pemecahan masalah(1). Terapi lain Diberikan psikoterapi dan terapi okupasi. Psikoterapi suportif dapat menolong penderita agar dapat beradaptasi dengan perasaan sedih, frustrasi dan ansietas. Keadaan yang langsung terfokus pada pemecahan masalah lebih berguna daripada pendekatan ber-orientasi tilikan (insight)(32). Terapi okupasi sangat dibutuhkan, diberikan oleh seorang terapis yang berpengalaman, untuk melatih koordinasi gerakan(32). Intervensi farmakologi tak kalah penting untuk menghilangkan gejala dan psikopatologi lain(32). Diutamakan jika ada gejala agresivitas dan self injuries. Golongan antagonis serotonin dopamin seperti risperidone, olanzapine, quetiapine(52,53) dan serotonin selective reuptake inhibitor seperti fluoxetin menurut kepustakaan sangat baik untuk gangguan Asperger. Clomipramine efektif untuk terapi gejala obsesi kompulsi pada gangguan ini. Terapi stimulan bermanfaat untuk mengatasi gangguan atensi(8). Nutrisi dapat menolong anak dengan gangguan Asperger. Makanan bebas gluten dan kasein sangat dianjurkan. Hal ini berdasarkan pada hipotesis opioid pada autisme. Mega dosis vitamin dan mineral dianjurkan pada penatalaksanaan ganggu-an spektrum autisme. Diet bebas fenol dan salisilat, gula, zat aditif, jamur/fermentasi dianjurkan dengan menggunakan rotasi diet(54,55). Integrasi sensorik dilakukan pada anak gangguan spektrum autisme dengan tujuan untuk memperbaiki sistem registrasi dan modulasi dari berbagai input sensorik, memfasili-tasi fungsi regulasi, memfasilitasi proses dari berbagai input sensorik, dan membantu perkembangan praksis dan ketrampil-an untuk memecahkan masalah(56). ILUSTRASI KASUS

B, laki-laki, 7 tahun, datang dengan keluhan suka me-mukul dan berteriak jika keinginan tidak atau lama dipenuhi. Pasien lebih suka main sendiri dan sulit berteman, juga di sekolah. Pasien kelihatan aneh dan tidak bisa bergaul. Pasien suka bermain permainan aneh yang diciptakan sendiri. Ia tidak bisa mengerti dan peduli dengan perasaan orang lain. Ia sering melempar, menonjok tanpa mempedulikan orang lain, tapi tidak boleh ditegur. Pasien juga suka membangkang.

Nilai pelajaran cukup bagus dengan rata-rata 7-9 untuk matematika dan pelajaran hafalan. Pasien kurang abstraksi, sulit mengerti bahasa. Pasien anak tunggal, kedua orang tua bekerja, riwayat prenatal tidak ada keluhan, proses persalinan dengan risiko ketuban pecah dini, berat badan lahir 3,5 kg, panjang badan 49 cm.

Pasien mengikuti aktivitas seperti taekwondo, piano dan komputer. Pasien bercita-cita ingin menjadi pilot karena ia

ingin naik pesawat yang ada baling-balingnya di hidung dan mesinnya jet. Pasien masuk TK pada usia 5 tahun, bisa mem-baca dan berhitung pada usia 4 tahun, tidak ada keterlambatan bicara dan berbahasa. Usia 6 tahun masuk SD. Di kelas II cawu II pasien pindah sekolah, karena murid di SD sebelumnya terlalu banyak.

Pada pemeriksaan pasien tampak bersikap kaku, berbicara dengan bahasa yang baku dan sangat formal tanpa memandang lawan bicaranya (menghindari kontak mata). Pasien bicara keras dan tidak bisa pelan. Pasien memperlihatkan gangguan interaksi sosial dalam kontak mata yang kurang adekuat. Memperlihatkan respons yang tertunda waktu disapa.

Pembicaraannya kurang modulasi dan nampak monoton. Ia tidak menunjukkan rasa sedih atau kecewa saat menceritakan tidak bisa makan McDonald, padahal ia menyukainya. Ia tidak berespons dengan ekspresi wajah dan sikap orang lain. Ia tidak membalas jika orang lain tersenyum kepadanya. Pasien me-nyebutkan tanda waktu secara detil misalnya waktu ditanyakan jam berapa pulang sekolah, ia menjawab jam dua belas lewat tiga puluh enam menit, sepuluh detik, demikian juga untuk pertanyaan lain mengenai waktu. Pada saat ditanya, pertanyaan harus diulang baru pasien menjawab. Terkadang jawaban tidak sesuai.

Saat ditegur karena melakukan kesalahan, pasien berkata: ”mengapa marah-marah, saya tidak salah”, dengan wajah tak bersalah. Ia tidak bisa menulis rapi dan sering marah-marah dan berteriak-teriak karena tidak bisa menulis rapi. Ia sering menghindari pekerjaan menulis. Pada saat menjiplak pasien tidak dapat melakukannya dengan rapi dan teratur, ia me-lakukannya berulang-ulang sampai bosan dan istirahat.

Demikian juga saat menggunting gambar di kertas terlihat sangat kaku dan hasilnya tidak rapi. Apabila pasien melakukan sesuatu yang sulit, kemudian gagal maka ia akan frustrasi dan berteriak-teriak. Setiap kali kunjungan pasien melakukan hal yang rutin yaitu menggambar, padahal tidak disuruh. Untuk mengubah kebiasaan pasien ke hal-hal yang baru harus melalui proses dan tidak boleh langsung karena pasien akan ngambek.

Di rumah pasien suka main playstation. Interaksi pasien dengan orangtuanya: pasien dapat ditinggal orang tuanya tanpa protes, tetap bisa bermain dengan baik (asyik sendiri). Orientasi dan persepsi baik, Mood/afek inappropriate, empati sulit dirabarasakan, proses pikir terhambat. DISKUSI Memahami gambaran klinis dan kriteria diagnostik adalah modal untuk mendiagnosis gangguan Asperger. Gambaran klinis yang mirip atau tampaknya bertumpang tindih dengan gangguan dalam spektrum autistik, dapat menyulitkan diag-nosis.

Deteksi dini gangguan Asperger dapat dilakukan jika mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan teliti untuk menegakkan diagnosis. Etiologi gangguan Asperger masih dalam perdebatan, sehingga sampai saat ini penata-laksanaan pada dasarnya adalah suportif dan simtomatis.

Terapi non farmakologis dan farmakologis diberikan sesuai kebutuhan pasien. Pendekatan multidisiplin bermanfaat untuk memberikan terapi yang holistik dan komprehensif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 29

Page 30: cdk_149_kesehatan_jiwa

PUISI KARANGAN SEORANG ANAK GANGGUAN ASPERGER

Ironing Out the Wrinkles

Life was once a tangled mess.

Like missing pieces, in a game of chess. Like only half a pattern for a dress. Like saying no, but meaning yes.

Like wanting more, and getting less. But I’m slowly straightening it out.

Life was once a tangled vine.

Like saying yours, and meaning mine. Like feeling sick, but saying fine.

Like ordering milk, but saying wine. Like seeing a tree, and saying vine. But I’m slowly straightening it out.

Life is now a lot more clear. The tangles are unraveling,

And hope is near. Sure there are bumps ahead.

But no more do I look on with dread.

After fourteen years the tangles have straightened.

(Vanessa Regal)30

Gambar 1 : Dari seorang anak penderita gangguan Asperger

KEPUSTAKAAN

1. Volkmar FR, Klin A. Pervasive developmental disorder. Dalam : Kaplan HI, Sadock BJ. Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7th ed, Baltimore, William & Wilkins;1999:2674-7.

2. Bowman EP. Asperger’s syndrome and autism: the case for a connection. Br J Psychiatr. 1988; 152 : 377-82.

3. Rosen BS. Asperger’s syndrome, high functioning autism, and disorder of autistic continuum. http://www.asperggersyndrome.com. Diakses 4 April

2001. 4. Levin K. Pervasive developmental disorder: PDD-NOS, Asperger

disorder and autism parent information booklet. http://www.children hospital.org/ici/publications. Diakses 4 April 2001.

5. Bauer S. Asperger syndrome. http://www.asperger.org/articles. Diakses 4 April 2001.

6. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th ed. American Psychiatric Association.Washington, DC:75-7.

7. Volkmar FR, Klin A, Siegel B, et al. Field trial for autistic disorder in DSM-IV. Am J Psychiatr. 1994;151:1361-7.

8. Gillberg C. Asperger syndrome and high functioning autism, Br J Psychiatr. 1998;172:200-9

9. Kerbeshian J, Burd L. Asperger’s syndrome and Tourette syndrome: the case of the Pinball Wizard. Br J Psychiatr. 1986;148:731-6.

10. Volkmar FR, Klin A, Schultz RT et al. Clinical case conference : Asperger’s disorder. Am J Psychiatr. 2000;157:262-7.

11. Cox AD. Is Asperger’s syndrome a useful diagnosis ?. Arch. Dis. Childhood 1991;66: 259-62.

12. Kerbeshian J, Burd L, Fisher W. Asperger’s syndrome: to be or not to be?. Br J Psychiatr. 1990;156:721-5.

13. Ehlers S, Gillberg C. The epidemiology of Asperger syndrome : A total population study. Cambridge University Press, 1993.

14. Lord R. Asperger syndrome. http: www.asperger.orgarticle. Diakses 4 April 2001.

15. Scragg P, Shah A. Prevalence of Asperger’s syndrome in a secure hospital. Br J Psychiatr. 1994;165:679-82

16. Editorial. By one name. J Pediatr. 2000;136:576-7. 17. Szatmari P et al. Two year outcome of preschool children with autism or

Asperger’s syndrome and high functioning autism. Br J Psychiatr. 1998;172:200-9.

18. Tantam D. Lifelong eccentricity and social isolation II: Asperger’s syndrome or schizoid personality disorder?. Br J Psychiatr.1988;153: 783-91.

19. Editorial. Zebras in the livingroom : The changing faces of autism. J Pediatr.1999;135:533-5.

20. Connolly AM et al. Serum autoantibodies to brain in Landau-Kleffner variant, autism, and other neurologic disorder. J Pediatr. 1999;134:607-13.

21. Volkmar FR et al. Nosology and genetic aspect of Asperger syndrome. J Autism Dev Disord.1998;28(5):457-63.

22. Gillberg CL. Autism and autistic-like conditions : subclasses among disorder or empathy. Cambridge University Press. 1992.

23. Burguine E, Wing L. Identical triplets with Asperger’s syndrome. Br J Psychiatr. 1983; 143:261-5.

24. Horvath K et al. Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J. Pediatr. 1999;135:559-63.

25. Milles, Capelle. Asperger’s syndrome and aminoaciduric : a case sample. Br J Psychiatr.1987;150:397-400.

26. Rinehart NJ et al. Atypical interference of local detail on global processing in high -functioning autism and Asperger’s disorder.J Child Psychol Psychiatr. 2000; 41 (6) :769-78.

27. Schultz RT, Gaulthier I et al. Abnormal ventral temporal cortical activity during face discrimination among individuals with autism and Asperger syndrome. Arch Gen Psychiatr. 2000;57:331-40.

28. Jones PB, Kerwin RW. Left temporal lobe damage in Asperger’s syndrome. Br J Psychiatr.1987; 150:397-400.

29. Klin A, Volkmar FR et al. Validity and neuropsychological characterization of Asperger syndrome: convergence with nonverbal learning disability syndrome. Cambridge University Press.1995.

30. Attwood T. Motor Clumsiness. http://www.Asperger.org/articles. Diakses 4 April 2001.

31. Ringman JM, Jankovic J. Occurrence of tics in Asperger’s syndrome and autistic disorder. J Child Neurol. 2000;156:394-400.

32. Grossman JB, Klin A, Carter AS, Volkmar FR. Verbal bias in recognition of facial emotion in children with Aspreger syndrome. J Child Psychol Psychiatr. 2000;41(3):369-79.

33. Bowler DM, Gardiner JM, Grice S et al. Memory illusions: false recall and recognition in adults with Asperger’s syndrome. Abnorm Psychol. 2000;109(4): 663-72.

34. Bowler DM, Gardiner JM, Grice SJ. Episodic memory and remembering in adults with Asperger syndrome. J Autism Dev Disord.2000; 30(4):295-304.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 30

Page 31: cdk_149_kesehatan_jiwa

35. Miller JN, Ozonoff S. The external validity of Asperger disorder: lack of evidence from the domain of neuropsychiatry. J Abnorm Psychol. 2000;109(2):227-38.

36. Bolton PF et al. Association of tuberous sclerosis of temporal lobes with autism and atypical autism. Lancet.1997;349:392-5.

37. Craig J, Baron-Cohen S. Story-telling ability in children with autism or Asperger syndrome: a window into the imagination. Isr J Psychiatry Relat Sci. 2000;37(1): 64-70.

38. Craig J, Baron-Cohen S. Creativity and imagination in autism and Asperger syndrome. J Autism Dev. Disord.1999;29(4):319-26.

39. Littlejohns CS, Clarke DJ, Corbett JA. Tourette-Like Disorder in Asperger syndrome.Br J Psychiatr.1990;156:430-3.

40. Szatmari P. The classification of autism, Asperger syndrome and pervasive developmental disorder. Can J Psychiatr. 2000;45(8):731-8.

41. Charman T, Skuze DH. Autism. Psychiatr. Medicine Internat. 2000; 3: 54-6.

42. Baron-Cohen S. Is Asperger syndrome/high-functioning autism necessarily a disability?.Dev Psychopathol.2000;12(3):489-500.

43. Prior M, Eisenmajer R, Leeham et al. Are there subgroup within the autistic spectrum?. A cluster analysis of groups of children with autistic spectrum disorder. J Child Psychol Psychiatr. 1998;39(6):893-902.

44. Wolff S. “Schizoid” personality in childhood and adulthood life. III : the childhood picture. Br J Psychiatr.1991;159:629-35.

45. Everall IA, Lecounter A. Firesetting in an adolescent boy with Asperger syndrome.Br J Psychiatr. 1990;157:284-7.

46. Walker A. Separate realities; a plain narrative of a-posteriori cognition:

analogue for comparisons with and between Asperger’s syndrome and other autistic spectrum condition. http://www.shifth.mistral.co.uk/autism. Diakses 4 April 2001.

47. Attmood T. Asperger syndrome: Some common question.: http://www.asperger.org/article. Diakses 4 April 2001.

48. Ghaziuddin M et al. Comorbidity of Asperger syndrome : a preliminary report. J Intellect Disabil Res. 1998;42:279-83.

49. Green J et al. Social and psychiatry functioning in adolescent with Asperger syndrome compared with conduct disorder. J Autism Dev Disord.2000;30(4) :27993.

50. Sobanski E. Further evidence for a low body weight in male children and adolescent with Asperger’s disorder. Eur Child Adolesc Psy.1999; 8(4):312-4.

51. Grossman R. Behavioral Modification Programme for PDD Children. Child Neurology and Developmental Centre. www.child brain.com. Diakses 8 April 2003

52. Sadock BJ, Kaplan HI, Pervasive Develompental Disorder. Synopsis of Pychiatry, 9th ed, 2002 :1208-22.

53. Zepf B. Risperidone for aggressive behavior in autistic children. Am. Family Physician 2003:Feb.

54. Mehl-Madrona L.Effective Therapies for Autism and other Developmental Disorder. Autism/Asperger’s Digest Magazine, 2000. 55. Susilo RPP. Pengalaman menjalankan diet pada anak Autistic Spectrum

Disorder. Konferensi Nasional Autisme I, Jakarta, 2003 :182-9. 56. Utama DK. Terapi sensori integrasi untuk anak-anak dengan gangguan

spektrum autisme. Konferensi Nasional Autisme I, Jakarta, 2003 : 73-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 31

Page 32: cdk_149_kesehatan_jiwa

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan

Perhatian / Hiperaktivitas

Yusuf Alam Romadhon

Dokter PTT di Puskesmas Kartasura II Kab Sukoharjo, Jawa Tengah

ABSTRAK

Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) merupakan suatu sindrom neuro-psikiatrik yang sering dijumpai dengan onset pada masa anak di tahun-tahun awal sekolah. Menurut DSM-IV, GPP/H dibagi atas tiga subtipe: (1) subtipe inatensi, (2) subtipe hiperaktif-kompulsif, (3) kombinasi. Terdapat penurunan gejala sebesar 50% setiap 5 tahun antara usia 10 hingga 25 tahun, tetapi adanya kondisi psikiatri yang terjadi bersamaan dengan GPP/H seperti gangguan mood, gangguan perilaku menentang (ODD [oppositional defiant disorder]), gangguan bipoler dan sindrom Tourrette, dalam suatu penelitian prospektif akan meningkatkan 11 kali menetapnya gejala, 9 kali terjadinya gangguan kepribadian antisosial dan 4 kali lebih tinggi kejadian gangguan penyalahgunaan obat; prediktor terkuat menetapnya psikopatologi adalah komorbiditas psikiatrik dan riwayat GPP/H keluarga.

Dalam farmakoterapi GPP/H, psikostimulansia mempunyai tempat yang unik dan utama; sejauh ini methylphenidate merupakan psikostimulansia yang paling banyak diteliti dan digunakan karena menunjukkan hasil yang lebih efektif dan efek samping yang minimal dibandingkan obat jenis yang lain seperti antidepresan dan neuroleptik.

Kata kunci : Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktif, aspek klinik, farmakoterapi.

PENDAHULUAN

Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik yang sering dijumpai dengan onset usia kanak-kanak, sebagian besar menjadi nyata (dan menjadi perhatian medik) di tahun-tahun pertama kelas sekolah(1). Kondisi ini merupakan suatu gangguan heterogen dengan etiologi yang tidak diketahui(1,2). Di Amerika merupa-kan satu dari problem klinik dan kesehatan masyarakat utama karena berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas anak-anak, remaja dan dewasa. Pengaruhnya pada masyarakat adalah dalam hal finansial, stres pada keluarga, pengaruh negatif pada kegiatan akademik, pekerjaan dan juga ke-percayaan diri(2). Data dari penelitian cross-sectional, retrospektif dan follow-up menunjukkan bahwa anak-anak

dengan GPP/H berisiko menderita gangguan psikiatrik lain baik di masa kanak-kanak, remaja dan dewasa yang meliputi perilaku antisosial, penyalahgunaan zat serta gangguan mood dan kecemasan(1,2). Keterkaitannya dengan gangguan tersebut membuatnya menjadi suatu kelompok gangguan yang lebih kompleks(3). Pengenalan, penilaian (assessment) dan penata-laksanaan dini dari kondisi-kondisi ini dapat mengarahkan kembali perkembangan edukasional dan psikososial pada sebagian besar anak dengan GPP/H(4).

Nama dan nosologi GPP/H telah menjalani sejumlah perubahan dalam beberapa dekade terakhir. Di tahun 1960-an dalam DSM-II gejala-gejala motorik yang ditekankan serta gangguan diberi nama reaksi hiperkinetik dari anak-anak. Di tahun 1980-an, DSM-III menamai kembali sebagai gangguan

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 32

Page 33: cdk_149_kesehatan_jiwa

pemusatan perhatian dan menekankan inatensi sebagai gambaran inti. Di tahun 1987 dalam DSM-III-R dinamai kembali dengan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (attention deficit/hyperactivitydisorder[ADHD]). Baik inatensi maupun hiperaktivitas ditekankan sama pentingnya sebagai gambaran inti. Dalam DSM-IV dikenal tiga subtipe tergantung pada gejala yang dominan; subtipe dominan inatensi, subtipe dominan hiperaktivitas-impulsivitas dan subtipe campuran(2). PREVALENSI

Penelitian GPP/H di masyarakat memperlihatkan pre-valensi antara 1,7%-16%, tergantung pada populasi dan metodologi diagnostik yang dipergunakan (tabel 1)(1).

Dengan menggunakan kriteria DSM IV, bila dibandingkan dengan versi sebelumnya, maka lebih banyak perempuan yang didiagnosis subtipe inatensi. Angka prevalensi juga sangat bervariasi tergantung sampel yang diteliti, pada sampel sekolah 6,9% (5,5%-8,5%) dibandingkan sampel komunitas 10,3% (8,2%-12,7%)(4).

Pada uji lapangan DSM IV didapatkan kecenderungan perbedaan usia untuk masing-masing subtipe. Anak dengan GPP/H subtipe hiperaktif-impulsif rata-rata usianya 5,7 tahun, subtipe kombinasi rata-rata usianya 8,5 tahun dan subtipe inatensi rata-rata usianya 9,8 tahun. Penderita GPP/H subtipe kombinasi dan hiperaktif-impulsif paling bermasalah dengan perilaku mereka di rumah, sedangkan penderita dengan subtipe inatensi cenderung lebih bermasalah di bidang akademik dan secara bermakna lebih sering menggunakan fasilitas-fasilitas pelayanan di sekolah. Penderita subtipe inatensi menunjukkan taraf yang lebih rendah dalam hal atensi, kenakalan, agresifitas dan gejala-gejala gangguan perilaku, tetapi tidak berbeda dengan subtipe lain dalam hal masalah-masalah sosial, psikosomatik atau gejala-gejala kecemasan dan depresi(2). Tabel 1. Penelitian mengenai prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian/

Hiperaktivitas(1).

Tempat Sumber, tahun Kriteria # Prevalensi Selandia Baru Anderson dkk., 1987 DSM III 6,7 New York, NY Cohen, 1988 DSM III 3-6 Ontario Szatmarl dkk., 1989 DSM III 6,3 Puerto Rico Bird dkk., 1988 DSM III 9,5-16,1 Pusat kota AS Newcorn dkk., 1989 DSM III† 12,9 Pittsburg, PA Costelo dkk., 1988 DSM III-R 2,6 Iowa Lindgren dkk., 1990 DSM III‡ 2,8 Jerman Baumgnertel dkk, 1995 DSM III§ 9,6 London, Inggris Esser dkk., 1990 DSM III-R 1,7 Mannheim, Jerman Esser dkk., 1990 DSM III-R 4,2 AS Pelham dkk., 1992 DSM III-R 2,5-4,0 Tennessee Wolraich dkk., 1996 DSM III-R 7,3 װ AS Shaffer dkk., 1996 DSM III-R 4,1 # DSM III: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 7hird Ed

DSM III-R: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Third Ed. yang direvisi; DSM IV: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Ed.

† Prevalensi 18,9% menggunakan DSM III-R ‡ Prevalensi 6,1% menggunakan DSM III-R § Prevalensi 9,0% subtipe inatensi, 3,9 % subtipe hiperaktif-impulsif, 4,8%

subtipe campuran total 17,8% menggunakan DSM IV; 10,9% menggunakan DSM III-R

Prevalensi 5,4% subtipe inatensi, 2,4% subtipe hiperaktif-impulsif, 3,6% װsubtipe campuran menggunakan DSM IV

DIAGNOSIS GPP/H Menegakkan diagnosis GPP/H pada anak harus ber-

dasarkan ciri-ciri yang memenuhi kriteria diagnosis (tabel 2). Sedangkan langkah untuk menegakkan diagnosis dan evaluasi-nya dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 2. Kriteria Diagnosis Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif*

A. Baik : (1) atau (2) (1). Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi)

Sekurang-kurangnya ada 6 dari gejala gangguan pemusatan perhatian ini yang muncul dalam 6 bulan terakhir.

- Tidak mampu memberikan perhatian terhadap hal-hal yang kecil, sering membuat kesalahan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi saat mengerjakan tugas di sekolah.

- Tidak mampu memusatkan perhatian secara terus-menerus pada saat menyelesaikan tugas atau bermain.

- Sering tampak seperti tidak memperhatikan. - Sering tidak dapat mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan

tugas sekolah atau tugas lainnya. - Sering mengalami kesulitan mengatur tugas atau aktivitas lainnya. - Sering menolak atau tidak menyukai tugas yang memerlukan

perhatian terus-menerus. - Sering kehilangan barang-barang atau alat yang diperlukan. - Perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar. - Sering lupa menyelesaikan tugas/kegiatan rutin sehari-hari.

(2). Hiperaktivitas dan Impulsivitas

Sekurang-kurangnya ada 6 dari gejala gangguan hiperaktivitas dan impulsivitas ini yang muncul dalam 6 bulan terakhir • Hiperaktivitas

- Sering tangan dan kaki tidak bisa diam atau banyak bergerak di tempat duduk.

- Sering meninggalkan tempat duduk saat mengikuti kegiatan di kelas atau kegiatan lain yang mengharuskannya tetap duduk.

- Sering berlari-lari atau memanjat-manjat secara berlebihan. - Tidak dapat mengikuti aktivitas atau bermain dengan tenang dan

santai. - Selalu bergerak terus seperti digerakkan oleh mesin. - Sering banyak berbicara.

• Impulsivitas - Terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai

didengar. - Sulit menunggu giliran. - Sering melakukan interupsi atau mengganggu orang lain.

B. Gejala-gejala tersebut terjadi sebelum usia 7 tahun. C. Gejala-gejala tersebut terjadi pada lebih dari satu situasi. D. Gejala-gejala tersebut secara klinis nyata menimbulkan hendaya

dalam kegiatan sosial, akademis dan tugas-tugas lainnya. E. Gejala-gejala tersebut tidak diakibatkan oleh gangguan perkembangan

pervasif, schizophrenia dan gangguan jiwa yang lain. (misal, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau gangguan kepribadian).

* Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Ed. Kode berdasarkan tipenya; 314.01 GPP/H, Tipe Kombinasi: bila terdapat baik kriteria A(1) maupun A(2) dalam 6 bulan terakhir; 314.00 GPP/H, Tipe Inatensi: bila terdapat kriteria A(1), tetapi tidak terdapat kriteria A(2) dalam 6 bulan terakhir; 314.01 GPP/H, Tipe Hiperaktif-Impulsif bila terdapat kriteria A(2) tetapi tidak terdapat kriteria A(1) dalam 6 bulan terakhir. Catatan pengkodean: Untuk individu (terutama remaja dan dewasa) yang saat ini mempunyai gejala-gejala, yang tidak lagi memenuhi kriteria secara utuh, sebaiknya dimasukkan “Dalam Remisi Parsial”. (dari referensi 1)

Ada tiga subtipe GPP/H (DSM IV) berdasarkan dominasi gejalanya, yaitu: 1. GPP/H subtipe inatensi (GPP/H-i) memenuhi sedikitnya 6

dari 9 kriteria perilaku inatensi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 33

Page 34: cdk_149_kesehatan_jiwa

2. GPP/H subtipe hiperaktif-impulsif (GPP/H-hi) memenuhi sedikitnya 6 dari 9 kriteria perilaku hiperaktif-impulsif.

3. GPP/H subtipe kombinasi (GPP/H-k) memenuhi sedikit-nya 6 dari 9 perilaku baik dari daftar inatensi maupun dari hiperaktif impulsif. Anak yang memenuhi kriteria diagnostik untuk gejala-

gejala perilaku GPP/H tetapi tidak menunjukkan hendaya fungsional tidak dapat didiagnosis GPP/H. Gejala-gejala GPP/ H harus ada di dua atau lebih situasi (seperti di rumah dan di sekolah), dan perilaku harus berpengaruh buruk secara fungsional baik di sekolah maupun di lingkungan sosial. Diagnosis tersusun dari sintesis informasi orang tua, laporan sekolah, juga perawat kesehatan jiwa jika mereka dilibatkan serta dari wawancara/pemeriksaan anak. Dalam DSM IV diperlukan bukti adanya gejala yang ada sebelum usia 7 tahun, pada beberapa kasus, gejala-gejala GPP/H tidak dikenali oleh orang tua atau guru sampai anak berusia lebih dari 7 tahun, pada saat lebih sering berhadapan dengan tugas-tugas sekolah. Usia onset dan lamanya gejala dapat diperoleh dari orang tua melalui anamnesis secara komprehensif(4). PERJALANAN PENYAKIT DAN KOMORBIDITAS GPP/H

Penelitian follow-up jangka panjang anak dengan GPP/H hingga remaja dan dewasa awal menunjukkan bahwa GPP/H seringkali menetap dan berhubungan dengan disfungsi dan psikopatologi yang bermakna dalam kehidupannya di ke-mudian hari. Remaja dan dewasa muda GPP/H berrisiko untuk gagal sekolah, kesulitan emosional, hubungan buruk dengan teman sekolah dan sering bermasalah dengan hukum.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah agresi dan perilaku di masa kanak-kanak merupakan prediksi menetapnya GPP/H di kehidupan remaja dan dewasa muda, namun demikian masih relatif sedikit yang diketahui mengenai faktor- faktor risiko yang menentukan perkembangan GPP /H(2). Secara rata-rata, gejala menurun sekitar 50% setiap 5 tahun antara usia 10 hingga 25 tahun. Hiperaktivitas sendiri menurun lebih cepat ketimbang impulsivitas dan inatensi(1). Sejumlah kondisi psikiatri dapat terjadi bersamaan dengan GPP/H. Antara 10% hingga 20% anak dengan GPP/H baik dari sampel komunitas dan klinis menderita gangguan mood, 20% menderita gangguan perilaku dan lebih dari 40% mungkin mendenta ODD (gangguan perilaku menentang).

Hanya sekitar 7% pasien GPP/H menderita sindrom tik atau Tourrette, tetapi 60% dari pasien sindrom Tourrette menderita GPP/H, yang memunculkan kemungkinan adanya etiologi bersama. Gangguan belajar (terutama gangguan mem-baca) dan intelegensia subnormal juga meningkat dalam populasi total GPP/H atau sebaliknya. Secara keseluruhan mungkin 65% anak-anak GPP/H akan memiliki 1 atau lebih kondisi komorbid, yang mungkin tidak akan dikenali tanpa melakukan evaluasi dan anamnesis yang memadai.Suatu penelitian prospektif penderita GPP/H dibandingkan dengan kelompok kontrol selama rata-rata 16 tahun mendapatkan peningkatan 11 kali menetapnya gejala GPP/H (11% lawan 1%), peningkatan 9 kali terjadinya gangguan kepribadian antisosial (18% lawaan 2%) dan angka gangguan pe-

nyalahgunaan obat 4 kali lebih tinggi (16% lawan 4%). Prediktor terkuat menetapnya psikopatologi adalah

komorbiditas psikiatrik dan adanya riwayat keluarga GPP/H(1). FARMAKOTERAPI PADA GPP/H

Psikostimulansia mempunyai tempat yang unik dalam psikofarmakologi pediatrik(5). Walaupun terdapat lebih dari 150 penelitian terkontrol mengenai stimulansia dengan subyek lebih dari 5000 anak-anak, remaja dan dewasa, sebagian besar penelitian terbatas pada anak laki-laki kulit putih, usia laten dan tidak lebih lama dari 2 bulan. Penelitian-penelitian ini mencatat efektifitas dan keamanan stimulansia pada semua kelompok usia terutama pada anak usia laten, tetapi secara konsisten juga melaporkan bahwa rata-rata 30% anak-anak dengan GPP/H tidak memberikan respons terhadap obat-obat (stimulan) ini. Sejauh ini methylphenidate merupakan sti-mulansia yang paling banyak diteliti, meskipun demikian beberapa pasien mungkin lebih menunjukkan respons terhadap satu stimulansia daripada dengan stimulansia yang lain(2).

Macam-macam stimulansia yang umumnya diresepkan untuk terapi GPP/H pada anak serta sediaan yang tersedia dan strategi penentuan dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada Tabel 3. Di Indonesia stimulansia yang beredar saat ini adalah methylphenidate (Ritalin®), penggunaan untuk anak usia sekolah dianjurkan dimulai dengan dosis 5 mg bid diberikan sebelum sarapan pagi dan makan siang karena methyl-phenidate umumnya efektif untuk 3 sampai 4 jam. Bila perlu, dosis ditingkatkan secara bertahap 5-10 mg/minggu. Pasien usia sekolah umumnya sudah berrespons pada dosis 0,3-0,8 mg/kgbb. Dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan efek buruk pada konsentrasi dan belajar(1).

Saat ini tersedia preparat methylphenidate sustained release untuk mempermudah dan meningkatkan ketaatan pasien dalam minum obat, tetapi pemberian obat di siang hari oleh guru di sekolah dapat membuat anak menjadi malu sehingga menyulitkan keteraturan berobat pasien(1).

Biederman dan kawan-kawan telah melakukan penelitian terkontrol, acak menggunakan methylphenidate 0,1 mg/kg/ hari pada dewasa dengan GPP/H DSM III-R onset anak-anak penilaian menggunakan instrumen baku terpisah atas GPP/H saja, GPP/H dengan depresi dan GPP/H dengan anxietas didapatkan respons terapi yang nyata dibandingkan plasebo (78% banding 4%) respons terhadap methylphenidate tidak tergan-tung pada jenis kelamin, komorbiditas psikiatri atau riwayat gangguan psikiatri lainnya(2).

Walaupun stimulansia mengakibatkan anoreksia dan penurunan berat badan, pengaruhnya pada pertambahan tinggi badan kurang pasti. Laporan terdahulu menunjukkan penurun-an pertumbuhan tinggi badan yang menetap yang berhubungan dengan stimulansia, tetapi laporan lainnya tidak dapat mem-buktikannya. Tinggi akhir anak tampaknya tidak terpengaruh, tetapi tidak ada yang meneliti pengaruh stimulansia pada pertumbuhan anak yang diterapi jangka panjang secara terus-menerus dari anak-anak sampai dewasa muda. Lebih lanjut, defisit pertumbuhan dapat merupakan cermin keterlambatan pematangan yang berkaitan dengan GPP/H itu sendiri (yakni dismaturitas) ketimbang terapi stimulansia(2,6).

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 34

Page 35: cdk_149_kesehatan_jiwa

A

Diagnosis dan Evaluasi Anak dengan Gangguan PemusatanPerhatian/Hiperaktivitas(4)

Algoritma Klinik

1

Anak usia 6-12 th datang dengan orang tua atau guru yang memprihatinkan prestasi akademik yang rendah dan/atau perilaku khusus ATAU klinisi menilai kondisi-kondisi ini selama skrining kesehatan

Ya Ke Box 8

3

Memenuhi kriteria GPP/H DSM IV harus meliputi apakah gejala berpengaruh secara fungsional dan pd performa dalam 2 situasi /lebih dalam 6 bl terakhir

Penilaian di Sekolah: • Penilaian elemen khusus o inatensi ; hiperaktivitas dan impulsivitas

• Gunakan checklist (btk singkat) perilaku GPP/H • Ax dari guru meliputi o perilaku dalam kelas o pola belajar o intervensi dalam kelas o derajat hendaya fungsional

• Bukti pekerjaan di sekolah o kartu laporan o sampel pekerjaan sekolah

Penilaian di keluarga: • Pencatatan elemen khusus dgn wawancara atau gunakan cbecklist GPP/H: • Pencatatan harus meliputi o inatensi; hiperaktivitas dan impulsivitas dalam

2 situasi/lebih o usia onset o lamanya gejala o derajat hendaya fungsional

Apakah anak memenuhi kriteria GPP/H DSM IV?

2

Penilaian anak oleh klinisi di pelayanan primer meliputi: • Ax dan Pmx baku • Pmx neurologik • Penilaian di keluarga • Penilaian di sekolah

Klinisi di pelayanan primer: pertimbangkan GPP/H pd anak yg datang dg keluhan sbb: • Tak dapat duduk tenang/hiperaktif • Kurang atensi/konsentrasi yg buruk

/tampak spt tdk mendengarkan/melamun • Bertindak tanpa berfikir/impulsif • Problem perilaku

Tidak

Tidak

Nilai ulang pasien/ keprihatinan orang tua

Nilai dan terapiApakah tdp bukti variasi atau masalah perkembangan ata u

kondisi lain

Ya

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 35

Page 36: cdk_149_kesehatan_jiwa

B

n

8 Lanjutan dari box 4 Kondisi yg

berhubungan/menyer-tai) dpt meliputi: • Ggn belajar/bahasa • ODD • Ggn perilaku • Anxietas • Depresi • Kondisi lain

9 12 Nilai kondisi yg

menyertai Apakah terdapat kondisi yg berkaita Ya

Tidak 13 15 10

Kondisi yg menyertai dpt dikonfirmasi?

Dx GPP/H & kondisi yg menyertai

Diagnosis GPP/H Ya

11 Tidak 16 14 Edukasi orang tua/ pasien dan terapi Edukasi orang tua/

pasien dan terapi Kembali ke box 10

Tabel 3. Psikostimulansia yang umumnya diresepkan untuk terapi GPP/H pada pasien pediatri; sediaan yang tersedia dan strategi penentuan dosis yang dianjurkan*

Obat Sediaan tablet (mg)

Dosis awal

Interval antar dosis

Kecepatan titrasi (mg/mgg)

Dosis terapetik umumnya a

Methylphenidate 5, 10, 20 5mg bid 3-4 5-10 0,3-0,8 mg/kg/dosisb

Dextroamphetamine 5, 10, 15 5 mg qd atau bid 4-6 5 0,2-0.5

mg/kg/dosisc

Adderall d 10, 20 5 mg qd atau bid 4-6 5 0,15-0,4

mg/kg/dosis

Pemoline 18,75; 37,5; 75

37,5 mg qam 18,75 1-2 mg/kg/harif

* Diambil dari referensi 1; di Indonesia yang tersedia adalah methylphenidate (Ritalin® ) a Remaja dapat memerlukan dosis mg/kg lebih rendah daripada pasien usia sekolah. b Total dosis harian lebih dari 60 mg tidak dianjurkan. c Hanya kasus jarang yang memerlukan lebih dari 40 mg/hari d Terdiri dari bagian yang sama amfetamin aspartat, amfetamin sulfat, dextroamfetamin sacharat dan dextroamfetamin sulfat e Pemoline tersedia dalam bentuk tablet kunyah f Dosis harian maksimum 112,5 mg/hari

ZAT LAIN

Zat nonstimulansia yang telah diteliti secara luas untuk pengobatan GPP/H meliputi antidepresan (Tabel 4), α agonis dan neuroleptik Antidepressan

Tricyclic antidepressant (TCA) terutama imipramin dan

desipramin, merupakan komponen farmakoterapi kedua ter-banyak untuk GPP/H. Dua puluh sembilan penelitian (18 terkontrol, 11 terbuka) telah mengevaluasi penggunaan TCA pada 1016 orang anak dan remaja dan 63 orang dewasa GPP/H. Hampir semua (93%) melaporkan sedikitnya per-baikan sedang. Meskipun demikian sebagian besar penelitian TCA untuk terapi GPP/H relatif singkat, mulai dari beberapa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 36

Page 37: cdk_149_kesehatan_jiwa

minggu hingga beberapa bulan, sedikit yang hingga lebih dari 2 tahun. Hasil penelitian baik jangka panjang maupun jangka pendek sama positifnya(2,6). Untuk desipramin, ada laporan kematian mendadak (sudden death) pada anak-anak yang menggunakan obat ini( 2,5,6).

Antidepresan baru bupropion hydrochloride yang mem-blok reuptake norepinefrin dan dopamin, secara konsisten dapat menurunkan gejala-gejala GPP/H pada pasien muda dalam uji klinik terkontrol. Sedangkan fluoxetin, serotonin specific reuptake inhibitor (SSRI) masih dipertanyakan efek-tivitasnya sebagai monoterapi pada GPP/H(1,2,5,6). Tabel 4. Antidepressan dengan berpotensi bermanfaat bagi penderita

pediatri dengan GPP/H(5). Tricyclic antidepressant Amitriptilin Desipramin Imipramin Nortriptilin a Monoamine Oxidase Inhibitor Bupropion Fluoxetin a Venlafaxine a a Penelitian terkontrol belum pernah dilakukan αAgonis

Klonidin mempunyai sifat agonis α adrenergik terutama digunakan untuk terapi hipertensi bermanfaat untuk terapi anak dengan GPP/H. Manfaat tersebut telah dilaporkan pada 4 penelitian, 1 penelitian terbuka, 1 tinjauan retrospektif dan 2 penelitian terkontrol dengan total 122 pasien. Dosis harian yang digunakan 4 sampai 5 µg/kgbb. (dosis rata-rata 0,2 mg/hari). Semua penelitian melaporkan respons perilaku positif, 50%-70% subyek sedikitnya menunjukkan perilaku sedang. Akan tetapi efek pada kognisi masih kurang jelas(2). Neuroleptik

Neuroleptik potensi rendah seperti thioridazine dan chlorpromazine, juga potensi tinggi seperti haloperidol mampu menurunkan perilaku disruptif (mengganggu) dalam penelitian terkontrol. Akan tetapi karena efek sampingnya dan kenyataan bahwa stimulansia lebih efektif ketimbang antipsikotik, neuro-leptik tidak dianjurkan pada GPP/H tanpa komplikasi(5).

Rapley dan kawan-kawan melakukan penelitian deskriptif mengenai pola diagnosis dan terapi pada 223 anak GPP/H berusia 1-3 tahun dari data klaim Medicaid Michigan. Lebih dari separuhnya menerima pengobatan psikotropik (57%), hanya sedikit yang mendapat layanan psikologis (27%). Dua puluh dua obat psikotropik yang berbeda telah digunakan, 46% menggunakan lebih dari 1 obat psikotropik, 30% dengan kombinasi yang digunakan secara bersamaan dan 44% kombi-nasi yang digunakan secara berurutan. Obat-obat psikotropik yang digunakan dapat dilihat pada tabel 5.

Walaupun maksud penelitian ini adalah untuk menekan-kan perlunya batasan kriteria diagnosis yang lebih baik dan terapi yang efektif pada anak-anak yang sangat muda dengan GPP/H, namun tidak ada salahnya digunakan sebagai bahan perbandingan untuk penatalaksanaan GPP/H. Tabel 5. Obat-obat psikotropik yang digunakan pada anak usia 1-3

tahun dengan GPP/H berdasarkan frekuensi penggunaannya(7).

Nama Generik Obat

Jumlah anak yang diterapi (N = 223)

Methylphenidate hydrochloride Clonidine hydrochloride Dextroamphetamine sulfate Imipramine hydrochloride Thioridazine hydrochloride Pemoline Guanfacine hydrochloride Trazodone hydrochloride Fluoxetine hydrochloride Nortriptyline hydrochloride Venlafaxine hydrochloride Sertraline hydrochloride Amitriptyline hydrochloride Buspiron hydrochloride Bupropion hydrochloride Desipramine hydrochloride Doxepin hydrochloride Haloperidol Lithium carbonate Nefazodone hydrochloride Risperidone Temazepam

73 48 31 24 18 15 9 9 7 6 5 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

KEPUSTAKAAN 1. Goldman LS et al. Diagnosis and Treatment of Attention

Deficit/Hyperactivity Disorder in Children and Adolescent. Council Report. JAMA 1998; 279: 14

2. Biederman J. Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder: A Life Span Perspective. J. Clin. Psychiatr. 1998; 59 (Suppl 7) : 4-12

3. Inu Wicaksono. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaanya dalam: Seminar Kesulitan Belajar Bukan Halangan untuk Berprestasi pada Kasus Anak dengan GPP/H. PPPTKA dan Kandepdiknas Jogjakarta, Februari, 2000.

4. American Academy of Pediatrics Clinical Practice Guideline. Diagnosis and Evaluation of the Child with Attention Deficit/Hyperactivity Disorder. Pediatrics 2000; 105 (5).

5. Findling RL, Dogin JW. Psychopharmacology of ADHD. Children and Adolescents. J. Clin. Psychiatr. 1998 ; 59 (Suppl 7) : 42-8.

6. Biederman J. Psychopharmacology. in: Wiener JM (ed.). Textbook of Child &Adolescent Psychiatry. American Psychiatric Press, 1991.

7. Rappley MD et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity Disorder and Use of Psychotropic Medication in Very Young Children. Arch Pediatr Adolesc Med. 1999; 153.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 37

Page 38: cdk_149_kesehatan_jiwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

38

HASIL PENELITIAN

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA

(Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU

Raharni, Max J. Herman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Masalah penyalahgunaan napza telah mengkhawatirkan, yang jika tidak segera ditanggulangi merupakan ancaman bagi kesejahteraan generasi yang akan datang. Penanggulangan secara preventif harus dimasyarakatkan dengan berbagai upaya.

Penyalahgunaan napza (narkotika, psikotropika & zat adiktif) adalah pemakaian obat secara terus-menerus atau sekali-sekali secara berlebihan, serta tidak menurut petunjuk dokter. Penyalahgunaan obat tersebut dapat menimbulkan gangguan baik badan maupun jiwa seseorang, diikuti dengan akibat sosial yang tidak diinginkan(1).

Korban penyalahgunaan napza di Indonesia akhir-akhir ini cenderung makin meningkat dan tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat mampu tetapi telah merambah ke kalangan masyarakat kurang mampu baik di perkotaan maupun pedesaan dan melibatkan tidak hanya pelajar SMU dan mahasiswa tetapi juga pelajar SD(2).

Narkotika adalah bahan yang diperoleh dari opium mentah (getah yang membeku) dari buah tanaman Papaver somniverum L dan telah mengalami proses pengolahan tertentu (morfin, candu, heroin) selain itu petidin, kokain, ganja juga tergolong bahan narkotika (1). Psikotropika adalah beberapa obat atau zat tertentu yang dapat disalahgunakan dan dalam keadaan tertentu bisa menimbulkan ketergantungan (adiktif) misalnya fenobarbital, diazepam, benzodiazepin, amfetamin (1). Zat adiktif lain adalah nikotin dalam rokok, etanol dalam minuman beralkohol dan pelarut lain yang mudah menguap seperti bensin dan lain-lain.

Penyalahgunaan napza merupakan penyakit endemik masyarakat modern, penyakit kronik yang berulangkali kambuh dan merupakan gangguan mental adiktif. Semua zat yang termasuk napza menimbulkan adiksi (ketagihan) yang pada gilirannya berakibat ketergantungan.

Berdasarkan data Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, dalam kurun waktu 4 tahun (1997-2000)

kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat inap korban napza cenderung meningkat. Baik pasien rawat jalan maupun rawat inap sebagian besar berpendidikan SLTA (38% untuk rawat jalan dan 42,5% untuk rawat inap). Sebagian besar (78,1%) berusia 15–24 tahun. Jenis napza yang digunakan sangat ber-variasi, di antaranya opiat, ganja, amfetamin, sedatif hipnotik, inhalansia, alkohol, kokain, atau multipel(3).

Dari hasil penelitian terhadap siswa SMU di Jakarta Timur diketahui pengetahuan siswa terhadap narkoba, sikap, peng-awasan orang tua, hubungan dengan orang tua responden berpengaruh terhadap risiko penyalahgunaan napza (4).

Sekolah merupakan lingkungan formal kedua yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, setiap sekolah mempunyai kebudayaan sendiri yang unik berupa aturan, tata tertib, dan kebiasaan yang mempengaruhi proses dan cara belajar anak. Dengan demikian kurikulum dan peraturan sekolah mempengaruhi kepribadian anak(5). Di sekolah yang tidak baik dan terutama muatan pendidikan agama dan budi pekertinya minimal, jumlah murid yang terlibat tawuran dan penyalahgunaan obat lebih banyak dibandingkan dengan di sekolah yang kondusif(6).

Dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan napza perlu dilakukan melalui pola pre-emptif, preventif, represif, treatment dan rehabilitasi serta pola peningkatan partisipasi masyarakat melalui Siskamtibmas Swakarsa(7). Faktor -faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan zat pada remaja

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menyalah-gunakan napza meliputi faktor individu (personal) dan faktor lingkungan. Penerimaan masyarakat, keadaan lingkungan yang miskin atau serba kurang dan patologi individual dapat me-nambah kemungkinan penyalahgunaan zat(1). Faktor kepri-badian, teman sebaya dan pengaruh orang tua berpengaruh kuat

Page 39: cdk_149_kesehatan_jiwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 39

salah satu faktor saja sudah cukup untuk menyebabkan penyalahgunaan napza(8).

Berdasarkan pengertian di atas, penelitian penyalahgunaan napza pada remaja dirasa sangat penting, khususnya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyalahgunaan napza pada remaja khususnya di kalangan siswa SMU yang merupakan kelompok yang rawan terhadap penyalahgunaan napza. Penelitian dilaksanakan di SMU Negeri kota Bekasi, yang masyarakatnya sangat heterogen serta letaknya yang berdekatan dengan ibukota Jakarta. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pe-

nyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU Negeri di Kota Bekasi.

Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran penyalahgunaan napza di kalangan

siswa SMU di kota Bekasi. 2. Mengetahui hubungan antara faktor individu yang meliputi

karakteristik remaja (umur, jenis kelamin), pengetahuan dan sikap dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di Kota Bekasi

3. Mengetahui hubungan antara faktor lingkungan yang meliputi lingkungan dalam keluarga (demografi ayah/ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial eko-nomi, kebiasaan merokok) dan lingkungan luar keluarga (kelompok teman sebaya, penggunaan waktu luang) dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di kota Bekasi.

4. Mengetahui secara bersama -sama hubungan antara faktor individu yang meliputi karakteristik remaja, pengetahuan, sikap dan faktor lingkungan yang meliputi demografi ayah /ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan merokok, kelompok teman sebaya, penggunaan waktu luang dengan terjadinya penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di Kota Bekasi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian potong lintang dilakukan di SMU Negeri di Kota Bekasi. Penelitian ini terbatas pada masalah penyalah-gunaan napza dan faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor individu (umur, jenis kelamin, pengetahuan, sikap) dan faktor lingkungan yaitu lingkungan dalam keluarga (demografi ayah/ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan merokok), dan lingkungan luar keluarga (kelompok teman sebaya dan penggunaan waktu luang). Batasan Variabel 1) Pengetahuan responden : Kemampuan responden untuk menjawab 10 pertanyaan tentang hal-hal mendasar mengenai penyalahgunaan napza, jenis obat yang sering disalahgunakan, termasuk napza, akibat yang ditimbulkan. 2) Sikap responden : Suatu bentuk reaksi atau respon ter-hadap penyalahgunaan obat, yang meliputi pemikiran, pe-rasaan; diukur melalui 15 pertanyaan .

3) Tingkat pendidikan ayah/ibu: Pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh ayah/ibu responden 4) Pekerjaan ayah/ibu: Usaha yang dikerjakan ayah/ibu responden untuk membiayai keluarganya 5) Keharmonisan keluarga: Hubungan sehari-hari responden (adanya pertengkaran, perbedaan paham, perbedaan pendapat) dengan anggota keluarga lain. Diukur secara tidak langsung berdasar pendapat responden tentang frekuensi pertengkaran antar orangtua . 6) Komunikasi keluarga: Hubungan sehari-hari yaitu adanya kebiasaan makan bersama, kebiasaan membicarakan masalah dan kebiasaan berkumpul keluarga seperti menonton TV, olah raga di dalam keluarga responden, dengan orangtua, kakak, adik atau anggota keluarga yang lain. 7) Tingkat sosial ekonomi merupakan gambaran umum ekonomi keluarga responden, yang diukur berdasarkan kepe-milikan beberapa kelengkapan rumah tangga yang lazim. 8) Kebiasaan merokok : Ada tidaknya anggota keluarga yaitu ayah, ibu atau saudara serumah yang merokok setiap hari. 9) Kelompok sebaya : Keeratan responden dengan teman pe-nyalahguna obat diukur dengan menanyakan frekuensi per-temuannya. 10) Penggunaan waktu luang: Kegiatan responden di luar waktu sekolah; yang termasuk kegiatan positif adalah ekstra-kurikuler, les, olahraga dan yang termasuk kegiatan negatif adalah ngobrol, nongkrong. 11) Penyalahgunaan obat: kondisi responden masih mengguna-kan napza minimal 1 bulan terakhir saat menjawab kuesioner Populasi

Populasi penelitian adalah siswa SMU Negeri di Wilayah Kotamadya Dati II Bekasi. Populasi target diambil secara purposif berdasar kondisi SMU baik dari segi sosial ekonomi, maupun letak geografi dan sesuai arahan atau kategori SMU menurut Dinas Pendidikan kota Bekasi yaitu kategori baik, katagori cukup, dan kategori kurang. Sampel

Sampel diambil dari populasi yang dipilih dengan karakteristik berjenis kelamin pria dan wanita, duduk di kelas satu sampai dengan kelas tiga SMU negeri, tinggal di wilayah kodya Bekasi. Besar sampel

{Z 1-a/2 vPo(1-Po)+Z 1-ß vPa(1-Pa)} N = -------------------------------------------------

(Pa-Po) Keterangan : N = besar sampel minimal a = 5%; Z 1-a = 1,96 ß = 20%; Z 1-ß = 0,84 Po = 0,10 Pa-Po = 0,05 a = Probabilitas kesalahan menolak Ho, seharusnya Ho tidak ditolak. ß = Probabilitas kesalahan tidak menolak Ho, seharusnya Ho ditolak

Dengan menggunakan rumus di atas, didapat jumlah sampel minimal 385. Pengambilan sampel secara simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survai, dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner.

Page 40: cdk_149_kesehatan_jiwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

40

Analisis Data Dilakukan secara bertahap yaitu univariat, bivariat dan

multivariat.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Gambaran penyalahgunaan napza berdasarkan kategori SMU

Menyalahgunakan napza Kategori SMU

Ya Tidak % pengguna

SMU baik 12 77 13,48 SMU cukup 9 135 6,25 SMUkurang 44 109 28,00 Jumlah 65 321 16,84

Analisis Bivariat Hubungan beberapa variabel dengan penyalahgunaan

napza terlihat pada tabel 2 .

Tabel 2. Hubungan faktor individu (jenis kelamin, umur, pengetahuan, sikap) dan faktor lingkungan dengan penyalahgunaan napza

Menyalahgunakan napza

Ya Tidak Faktor individu Jumlah % Jumlah %

P OR 95% CI

Jenis kelamin *Laki-laki *Perempuan

60 5

28,8 2,8

148 173

71,2 97,2

0,000

14,03

5,488- 35,849

Umur * > 17 tahun * < 17 tahun

59 6

19,7 6,9

240 81

80,3 93,1

0,008

3,42

1,381-7,976

Pengetahuan * Buruk * Baik

38 27

22,5 12,4

131 190

77,5 87,6

0,013

2,04

1,188-3,507 Sikap *Negatif *Positif

21 44

11,9 21,1

156 165

88,1 78,9

0,023

0,51

0,287-0,887

Faktor Lingkungan

Pendidikan ayah *Rendah *Tinggi

7 58

20,6 16,5

7 294

79,4 83,5

0,710

0,761

,316-1,830

Pendidikan ibu *Rendah *Tinggi

10 55

8,4 20,6

109 212

91,6 79,4

0,269

1,48

0,806-2,715

Pekerjaan ayah *Tidak Bekerja *Bekerja

5 50

41,7 16,0

17 314

58,3 84,0

0,052

0,27

0,082-0,871 Pekerjaan ibu *Tidak Bekerja *Bekerja

38 27

13,5 26,0

244 77

86,5 74

0,006

2,52

1,291-3,925 Keharmonisan *Tidak harmonis *Harmonis

62 3

20,7 3,4

237 84

79,3 96,6

0,000

7,33

2,239-23,959 Komunikasi *Buruk *Baik

11 54

28,2 15,6

28 293

71,8 84,4

0,076

2.13

0,101-4,537

Sosial ekonomi *Tinggi *Rendah

63 2

18,1 5,3

285 36

81,9 94,7

0,075

3,98

0,934 -16,959

Kebiasaan rokok *Ya *Tidak

52 13

21,8 8,8

187 134

78,2 91,2

0,002

2,87

1,501-5,474

Teman sebaya *Bergaul *Tidak gaul

48 17

30,2 7,5

111 210

69,8 92,5

0,000

5,34

2.930-9,720 Waktu luang *Kegiatan negatif *Kegiatan positif

56 9

37,6 3,8

93 228

62,4 96,2

0,000

15,26

7,240-32,100

Tabel 2 adalah model akhir tanpa menyertakan variabel

interaksi yaitu faktor-faktor yang dianggap cukup berpengaruh

terhadap penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di antaranya adalah: Jenis kelamin, umur, pengetahuan, komuni-kasi, teman sebaya, penggunaan waktu luang.

Analisis Multivariat Analisis menggunakan analisis multipel regresi logistik

pada tingkat kepercayaan 95%. Variabel independen yang masuk sebagai kandidat dalam model adalah yang mempunyai hubungan bermakna dengan variabel dependen (penyalahguna-an napza, p< 0,25), yaitu jenis kelamin, umur, pengetahuan, sikap, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, keharmonisan keluarga, komunikasi keluarga, kebiasaan merokok, sosial ekonomi, teman sebaya, waktu luang. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 3. Kemudian dilakukan penentuan model faktor penentu penyalahgunaan napza dengan cara semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama (tabel 4). Model terbaik mempertimbangkan 2 penilaian yaitu nilai rasio log-likelihood (p< 0,05) dan nilai signifikansi p wald (p< 0,05) Variabel yang mempunyai p wald > 0,05 dikeluarkan dari model, pengeluaran variabel secara bertahap satu persatu dimulai variabel yang p nya tertinggi. Pemilihan variabel yang berhubungan dengan penyalah-gunaan napza Tabel 3. Model standar regresi logistik multivariat tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU

Variabel OR SE B P 95% CI

Jns kelamin Umur Pengetahuan Sikap Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Keharmonisan kel Komunikasi kel Sosial ekonomi Kebiasaan rokok Teman sebaya Waktu luang

17,83 11,87 4,87 0,52 2,48 0,59 4,26 4,85 6,78 ,79 4,31 25,06

,6120 ,6276 ,4684 ,4529 ,7909 ,4610 ,7424 ,6424 1,169 ,5408 ,5308 ,5189

2,88 2,47 1,58 -,65 ,91 -,52 1,45 1,58 1,91 -,23 1,46 3,22

0,0000 0,0001 0,0007-0,15 20 0,2513 0,2565 0,0508 0,0139 0,1016 0,6718 0,0059 0,0000

5,372 59,167 3,471 40,633 1,943 12,187 ,215 1,269 ,526 11,674 ,240 1,463 ,995 18,271 1,378 17,093 0,685 67,078 ,275 2,295 1,522 12,196 9,782 67,079

-2 log likelihood = 155,431 G = 194,540 p-value = 0,000

Tabel 4. Model akhir regresi logistik multivariat tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU tanpa menyertakan variabel interaksi (rencana model)

Variabel OR SE B P 95% CI Jenis kelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang

29,77 9,89 4,52 5,15 5,55 26,62

,5783 ,5755 ,4329 ,5971 ,4682 ,4940

3,39 2,29 1,51 1,64 1,70 3,28

,0000 ,0001 ,0005 ,0061 ,0003 ,0000

9.586 92,482 3,203 30,572 1,934 10,552 1,596 16,583 2,197 13,775 10,107 70,089

-2 log likelihood = 167,266 G = 182,705 p-value = 0,000

Pengujian interaksi Dengan mengacu pada Tabel 4 maka langkah selanjutnya

adalah mencari interaksi dari setiap variabel independen tersebut, sehingga diperoleh variabel yang berinteraksi dengan ketentuan p < 0,05. (Tabel 5).

Hasil analisis interaksi tahap pertama antara rencana model dengan variabel interaksi teman sebaya*jenis kelamin terhadap penyalahgunaan napza terlihat pada Tabel 6.

Page 41: cdk_149_kesehatan_jiwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 41

Tabel 5. Variabel independen yang berinteraksi menggunakan metode determinan

Variabel independen Interaksi Teman sebaya Teman sebaya *jenis kelamin

Teman sebaya *pengetahuan Teman sebaya *waktu luang

Tabel 6. Hasil analisis regresi logistik antara va riabel jenis kelamin,

umur, pengetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya*jenis kelamin (full model tahap pertama)

Variabel OR SE B P 95% CI Jenis kelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang Tmnsby/jnskel

35871,518,93 4,38 5,29 9512,86 27,89 0,0004

20,503 ,569 ,428 ,631 20,509 ,493 20,514

10,488 2,189 1,478 1,666 9,160 3,328 -7,909

,6090 ,0001 ,0005 ,0083 ,6551 ,0000 ,6998

,000 1,023E+22 2,922 27,278 1,896 10,139 1,536 18,231 ,000 2,728E+21

10,617 73,2 84 ,000 1,063E+14

-2 Loglikelihood = 160,909 G = 6,356 p-value = 0,117

Setelah dimasukkan variabel interaksi teman sebaya,jenis kelamin ke dalam model, nilai p variabel teman sebaya,jenis kelamin > 0,05, berarti tidak berbeda signifikan. Selain itu terjadi kelainan nilai OR dan CI pada variabel jenis kelamin dan teman sebaya. Nilai OR jenis kelamin menjadi 35871,51 dan 95%CI menjadi tidak terhingga. Dengan demikian variabel interaksi ini tidak masuk dalam model akhir multivariat.

Hasil interaksi tahap kedua antara variabel yang masuk dalam rencana model dengan variabel interaksi teman sebaya, pengetahuan terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin,

umur, pengetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya, pengetahuan (full model tahap kedua)

Variabel OR SE B P 95% CI Jenis kelamin Umur Pengetahuan Teman sebaya Waktu luang Tmnsby/penget

29,77 9,89 4,52 5,14 5,50 26,61

,5783 ,5755 ,4329 ,5971 ,4682 ,4940

3,39 2,29 1,51 1,64 1,71 3,28

,0000 ,0001 ,0005 ,0061 ,0003 ,0000

9,586 92,428 3,203 30,572 1,934 10,553 1,596 16,583 2,198 13,775 10,107 70,089

-2 Loglikelihood = 153,945 G = 3,320 pvalue = 0,0684

Terlihat bahwa nilai p variabel interaksi teman sebaya*pengetahuan > 0,05, tidak signifikan. Sehingga variabel interaksi ini tidak masuk dalam model akhir multivariat. Tabel 8. Hasil analisis regresi logistik antara variabel jenis kelamin,

umur, pengetahuan, waktu luang, dengan teman sebaya,waktu luang (full model tahap ketiga)

Variabel OR SE B P 95% CI

Jenis kelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang Tmnsby/luang

30,40 9,71 4,36 5,13 9,90 46,29 ,44

,5766 ,5697 ,4338 ,6135 ,8848 ,8727 1,0061

3,41 2,27 1,47 1,63 2,29 3,84 -,82

,0000 ,0001 ,0007 ,0077 ,0096 ,0000 ,4130

9,821 94,125 3,178 29,651 1,861 10,193 1,540 17,064 1,748 56,088 8,369 256,061 ,061 3,153

- 2 Loglikelihood = 183,412 G = 0,707 p-value = 0,4005

Hasil interaksi tahap ke tiga antara variabel interaksi dengan variabel yang masuk dalam rencana model terlihat pada Tabel 8. p variabel interaksi teman sebaya/waktu luang >

0,05,berarti tidak berbeda signifikan. Dengan demikian variabel interaksi ini tidak masuk dalam model akhir multivariat.

Analisis interaksi mulai dari tahap pertama sampai tahap ke tiga seperti diuraikan di atas, ternyata menunjukkan tidak ada interaksi. Adapun model akhir dari seluruh rangkaian dan tahapan analisis multivariat adalah kembali pada rencana model tanpa ada interaksi (Tabel 9). Tabel 9. Model akhir analisis regresi logistik antara variabel jenis

kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, waktu luang, dengan penyalahgunaan napza

Variabel OR SE B P 95% CI

Jnskelamin Umur Pengetahuan Komunikasi Teman sebaya Waktu luang

29,77 9,89 4,52 5,15 5,55 26,62

,5783 ,5755 ,4329 ,5971 ,4682 ,4940

3,39 2,29 1,51 1,64 1,70 3,28

,0000 ,0001 ,0005 ,0061 ,0003 ,0000

9.586 92,482 3,203 30,572 1,934 10,552 1,596 16,583 2,197 13,775 10,107 70,089

-2 log likelihood = 167,266 G = 182,705 p-value = 0,000

Tabel 9 merupakan model akhir bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza di kalangan siswa SMU di antaranya adalah : Jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, teman sebaya, penggunaan waktu luang.

PEMBAHASAN Keterbatasan penelitian 1) Penelitian potong lintang (cross sectional) mengukur variabel independen dan variabel dependen pada saat ber-samaan, sehingga hasilnya tidak dapat diartikan sebagai hubungan sebab akibat. 2) Banyak faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza, tetapi hanya beberapa variabel yaitu karakteristik remaja, pengetahuan, sikap, pendidikan ayah-ibu, pekerjaan ayah-ibu, keharmonisan keluarga, komu nikasi keluarga, sosial ekonomi, kebiasaan merokok dalam keluarga, teman sebaya, dan penggunaan waktu luang yang diukur. 3) Kemungkinan bias pada penelitian ini adalah bias seleksi yaitu distorsi efek berkaitan dengan cara pemilihan subyek atas dasar sukarela, kemungkinan subyek terpilih kebanyakan dari siswa yang menyalahgunakan napza, sehingga terjadi over estimate.

Selain itu bias ketidakjelasan waktu (temporal ambiguity) yaitu hubungan positif antara penggunaan waktu luang dengan penyalahgunaan napza, mu ngkin merefleksikan munculnya penggunaan waktu luang setelah subyek menyalahgunakan napza. Instrumen atau alat ukur yang belum terstandarisasi, sehingga hasilnya mungkin kurang sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya bisa menyebabkan under estimate maupun over estimate.

Faktor individu yang berhubungan dengan penyalahguna-an napza Karakteristik (Jenis Kelamin dan Umur)

Responden dalam penelitian ini berjumlah 386 orang siswa SMU di kota Bekasi laki-laki 53,9% dan perempuan 46,1%, sebagian besar berumur 17 tahun (44,6%). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan bermakna (p<0,05) antara jenis kelamin dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR 29,77 artinya

Page 42: cdk_149_kesehatan_jiwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005

42

siswa laki-laki berpeluang 29,77 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibanding siswa perempuan.

Hasil analisis dari kelompok umur menunjukkan hubungan bermakna (p<0,05) antara umur dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR 9,89 artinya siswa yang berumur 17 tahun ke atas berpeluang 9,89 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang berumur kurang dari 17 tahun.

Perbedaan jenis kelamin dalam perilaku kenakalan remaja menunjukkan bahwa remaja pria cenderung lebih nakal dibandingkan dengan remaja perempuan (Simon, 1996). Pengetahuan tentang napza

Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang ber-makna antara pengetahuan tentang napza dengan terjadinya penyalahgunaan napza (p< 0,05).

Nilai OR 4,52 artinya ada kecenderungan siswa yang berpengetahuan buruk tentang napza berpeluang sebesar 4,52 kali untuk menyalahgunakan napza dibanding dengan siswa yang pengetahuannya baik tentang napza .

Hasil ini berbeda dengan Tarigan (2000) 61,6% kelompok penyalahguna napza mempunyai pengetahuan baik dan 38,4% mempunyai pengetahuan buruk serta 72,2% kelompok penyalahguna menggunakan napza pada awalnya hanya karena ingin tahu. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena metode penelitiannya lain yaitu kasus kontrol, dan cara pengambilan sampelnya berdasar kriteria kasus dan kontrol, sedangkan pada penelitian ini pengambilan sampel secara acak dan menggunakan metode potong lintang. Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Penyalah-gunaan Napza

Komunikasi keluarga Sebagian besar responden berada dalam keluarga yang

komunikasinya buruk (89,9%). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan bermakna antara komunikasi keluarga dengan penyalahgunaan napza (p<0,05). Nilai OR 5,15 artinya siswa yang komunikasi keluarganya buruk berpeluang 5,15 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibandingkan dengan siswa yang komunikasi keluarganya baik

Komunikasi dalam keluarga sangat penting untuk kesejah-teraan dan keharmonisan keluarga. Komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan oleh remaja untuk menyelesaikan tahap perkembangannya, sehingga pengertian, perhatian, dan pe-nerimaan lingkungan terhadap keberadaannya juga sangat dibutuhkan. Keluarga merupakan fundamen yang pertama dan utama bagi pembentukan jiwa anak (Darwis, 2000) Pergaulan dengan teman sebaya yang menggunakan napza

Sebanyak 49,0% responden mempunyai teman yang menggunakan napza, sedangkan 58,8% responden tidak pernah bergaul dengan penyalahguna napza; 22 % tiap hari bergaul dengan pengguna napza .

Ada hubungan bermakna antara pergaulan teman sebaya dengan penyalahgunaan napza (p < 0,05).Nilai OR 5,55 artinya siswa yang bergaul dengan teman sebaya pengguna napza berpeluang 5,55 kali menyalahgunakan napza dibanding siswa yang tidak pernah bergaul dengan teman sebaya pengguna

napza. Para remaja mulai belajar mencari identitas diri dan

biasanya mereka mencoba melonggarkan ikatan dengan orang tua, sehingga ada dorongan untuk bergaul dengan teman sebayanya kadang mereka mencoba napza agar bisa diterima sebagai anggota kelompok sebaya. Penerimaan oleh kelompok sebaya memberi rasa bangga dan meningkatkan harga diri. Penggunaan waktu luang

Responden yang menggunakan waktu luang untuk les sebanyak 33,9%,21,2% untuk kegiatan ekstrakurikuler dan 20,5% digunakan untuk nongkrong. Hasil analiisis menunjuk-kan hubungan bermakna antara penggunaan waktu luang dengan penyalahgunaan napza (p<0.05).

Nilai OR 26,62 artinya siswa yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan negatif berpeluang 26,62 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibanding siswa yang meng-gunakan waktu luang untuk kegiatan positif. Kegiatan negatif menambah risiko penyalahgunaan napza. Pembahasan hasil analisis multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model terbaik dalam menentukan determinan penyalahgunaan napza. Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat diikutsertakan dalam model secara bersama-sama. Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara semua variabel yang telah lolos sensor dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang nilai p nya tidak signifikan dikeluarkan dari model secara bertahap dimulai dari nilai p yang terbesar.

Setelah melalui seluruh tahapan analisis dengan memper-hitungkan adanya variabel interaksi, maka variabel yang masih tetap bertahan sampai model akhir multivariat adalah jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi, pergaulan teman sebaya, penggunaan waktu luang, karena semuanya memiliki p<0,05, berarti ke enam variabel tersebut berhubungan secara signifikan dengan penyalahgunaan napza. Nilai OR masing masing adalah OR jenis kelamin = 29,77; OR umur = 9,89; OR pengetahuan = 4,52; OR komunikasi keluarga = 5,15; OR pergaulan teman sebaya = 5,55; dan OR penggunaan waktu luang 26,62.

Dari keenam variabel signifikan di atas, jenis kelamin merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan penyalahgunaan napza, berikutnya adalah penggunan waktu luang, umur, pergaulan teman sebaya, komunikasi keluarga, dan pengetahuan.

Tidak ditemukannya beberapa variabel yang diduga ber-hubungan dengan penyalahgunaan napza,mungkin karena kesalahan pengisian kuesioner,keterbatasan penelitian,atau responden tidak jujur dalam mengisi kuesioner. KESIMPULAN 1) Faktor jenis kelamin OR 29,77 artinya siswa SMU laki-laki 29,77 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibandingkan dengan siswa SMU perempuan setelah variabel umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, pergaulan teman sebaya, penggunaan waktu luang, dikendalikan. Jenis kelamin merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan penyalahgunaan napza.

Page 43: cdk_149_kesehatan_jiwa

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 43

2) Faktor umur OR 9,89 artinya siswa SMU berumur 17 tahun ke atas 9,89 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibandingkan siswa SMU berumur kurang dari 17 tahun, setelah variabel jenis kelamin, pengetahuan, komunikasi keluarga, pergaulan teman sebaya, dan penggunaan waktu luang dikendalikan. 3) Faktor pengetahuan OR 4,52 artinya siswa SMU yang berpengetahuan buruk tentang napza 4,52 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibandingkan siswa SMU yang berpengetahuan baik tentang napza, setelah variabel jenis kelamin, umur, komunikasi keluarga, pergaulan teman sebaya dan penggunaan waktu luang dikendalikan. 4) Faktor komunikasi keluarga OR 5,15 artinya siswa SMU yang komunikasi keluarganya buruk 5,15 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang komuni-kasi keluarganya baik, setelah variabel jenis kelamin, umur, pengetahuan, pergaulan teman sebaya, dan penggunaan waktu luang dikendalikan. 5) Faktor pergaulan teman sebaya OR 5,50 artinya siswa SMU yang bergaul dengan teman sebaya pengguna napza 5,50 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang tidak pernah bergaul dengan teman sebaya peng-guna napza setelah variabel jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi keluarga, dan penggunaan waktu luang, di-kendalikan. 6) Penggunaan waktu luang OR 26,62 artinya siswa SMU yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan negatif 26,62 kali lebih mungkin menyalahgunakan napza dibanding siswa SMU yang menggunakan waktu luang untuk kegiatan positif setelah variabel jenis kelamin, umur, pengetahuan, komunikasi keluarga dan pergaulan teman sebaya dikendalikan.

SARAN 1. Bagi Dinas Dikbud, perlu meningkatkan program inter-vensi penanggulangan masalah penyalahgunaan napza dalam bentuk penyuluhan kepada siswa SMU melalui pendekatan lintas sektoral melibatkan Departemen Kesehatan, Kehakiman dan Kepolisian. 2. Perlu dilakukan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, meng-undang orang tua murid untuk mencari cara mencegah penyalahgunaan napza.

3. Perlu lebih meningkatkan pengawasan orang tua terhadap anak, terutama pada kegiatan waktu luang. 4. Disarankan untuk suatu penelitian kualitatif lebih lanjut, sehingga paduan kedua penelitian akan sangat bermanfaat sebagai masukan ke institusi SMU, melalui dinas Dikbud.

KEPUSTAKAAN

1. Depkes RI. Pemuda dan Narkoba. Jakarta, 1991. 2. Depkes RI. Laporan Tahunan Kunjungan Pasien Rawat Jalan dan Rawat

Inap Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Jakarta, 2000. 3. Depkes RI. Pedoman Penyebarluasan Informasi Tentang Pencegahan

Penyalahgunaa Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif lainnya, Buku Pegangan Bagi Pendidik, 1999/2000

4. Tarigan B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyalahgunaan Narkoba di kalangan murid SMU di Jakarta Timur, 2000.

5. Yatim DI. Kepribadian, Keluarga dan Narkotika, Tinjauan Sosial Psikologis. Jakarta: Arcan, 1990,

6. Hawari D. Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotik, Alkohol dan Zat Adiktif (NAZA), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.

7. Wresnowiro M dkk. Masalah Narkotika & Obat Berbahaya. Yayasan Mitra Bintibmas, Jakarta, 2000,

8. Brook, dikutip oleh Wetner IB. Child and Adolescent Psychopathology. Ch. 13: Alcohol and Drug Abuse. New York:Jhon Wiley & Sons Inc. 1982.

9. Depkes RI. Pedoman Penyebarluasan Informasi Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat Adiktif lainnya, Buku Pegangan Bagi Tokoh Masyarakat Orang Tua, Organisasi kemasyarakat-an/LSM, Jakarta, 1999/2000.

10. Syahrudin D dkk. Mari bersatu memberantas bahaya penyalahgunaan narkoba (NAZA). BP, 1999.

11. Berk EL. Development through the Lifespan. Allyn & Bacon, A Viacom Company USA, 1998.

12. Ariawan I. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 1998,

13. Hawkins D et al. Childhood predictors and the prevention of adolescent substance abuse. dalam Jones CL dkk. Research Monograph Series 56. Research Analysis and Utilization System Etiology of Drug Abuse Implication for Prevention, National Institute On Drug Abuse, 1985.

14. Kaplan HI, Sadock, BJ. Personality Disorder of Drug Dependence, Modern Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry-III. Baltimore, London: Williams and Wilkins, 1982,

UCAPAN TERIMAKASIH

Disampaikan kepada Prof. DR. Nuning M Kiptiyah dan Dra. Evie Martha,Mkes atas segala bimbingannya. Juga kepada pimpinan kepala sekolah SMU Negeri di Kota Bekasi atas bantuan dan partisipasinya sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik.

All truth is not to be told at all times

Page 44: cdk_149_kesehatan_jiwa

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Pendedahan Morfin

Terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster

Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri*

Sarjana Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung *Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Morfin diperoleh dari opium yang merupakan getah buah Papaver somniferum muda yang dikeringkan. Opium tersebut mengandung lebih dari 20 alkaloid, terutama morfin. Pohon P. somniferum ditanam di seluruh dunia termasuk Eropa yaitu di bekas negara Yugoslavia Asia yaitu di Iran, Myanmar, Indo-China, India dan Pakistan serta di Amerika yaitu di Amerika Latin sampai Meksiko(1). Pada awalnya pohon ini dibudi-dayakan di negeri Arab untuk menghasilkan opium yang digunakan untuk obat disentri. Pada pertengahan abad ke-17 opium mulai masuk ke Eropa, dan pada abad ke-18 mulai populer digunakan sebagai rokok di Asia (2).

Morfin pertama kali diisolasi pada tahun 1803 oleh seorang farmakolog Jerman Friedrich Serturner untuk ke-pentingan pengobatan sebagai obat penghilang nyeri (narcotic analgesic) di dunia kedokteran dan sampai sekarang merupa-kan sumber analgesik utama yang belum bisa ditandingi. Setelah penemuan jarum dan syringe penggunaan morfin makin mudah, sehingga banyak terjadi penyalahgunaan fungsi morfin sampai menyebabkan kecanduan(3).

National Household Survey on Drug Abuse (NHSA) di Amerika menemukan bahwa antara tahun 2000 - 2001 jumlah pecandu narkotik termasuk morfin di kalangan anak muda meningkat 1,1 % pada usia 12-17 tahun dan 2,7 % pada usia 18-25 tahun tetapi tidak ada perubahan yang signifikan pada usia di atas 26 tahun. Dilaporkan juga banyak di antaranya yang kemudian menderita sakit mental serius terutama pada perempuan(4).

Penggunaan narkotik termasuk morfin di kalangan perempuan berisiko sangat tinggi, apalagi pada masa ke-hamilan. Penggunaan rokok, alkohol, atau obat terlarang pada masa kehamilan berpengaruh negatif pada anak yang di-lahirkan(5).

Morfin beraksi terutama di susunan saraf pusat sebagai

depresan dan stimulan. Morfin dapat melewati sawar plasenta (placenta barrier) sehingga dapat menyebabkan depresi per-nafasan, miosis (kontraksi pupil) dan sindrom penghentian (withdrawal syndrome) pada bayi baru lahir(2).

Oleh karena itu, sangatlah menarik untuk meneliti peng-aruh morfin terhadap perkembangan otak anak yang dilahirkan dari ibu yang kecanduan, karena perkembangan otak anak sebelum lahir serta pada awal kehidupannya sangat rentan terhadap pengaruh beberapa zat asing. Zat asing (terutama zat toksik) tersebut dapat mempengaruhi perkembangan saraf di antaranya perubahan struktur sel, fungsi, migrasi, dan di-ferensiasinya, dan atau mempengaruhi proses pertumbuhan akson dan dendrit, mekanisme neurokimia, formasi sinap, dan mielinisasi(6). Zat-zat toksik tersebut dapat menyebabkan kerusakan permanen pada perkembangan dan fungsi otak, yang mempengaruhi perilaku dan kemampuan belajar di kemudian hari. Hal tersebut dapat diuji dengan metode neurobehavioral test salah satunya adalah behavioral test battery (metode perilaku berurut), yang terdiri dari uji kemampuan refleks, sensorik, dan motorik pada bayi baru lahir sebelum masa sapih.

Penelitian pengaruh pendedahan morfin terhadap per-kembangan perilaku telah dilakukan. Morfin dengan tiga dosis berbeda , yaitu dosis rendah (10 mg/kgbb.), dosis sedang (35 mg/kgbb.), dan dosis tinggi (70 mg/kgbb.) disuntikkan pada tikus Sprague Dawley secara intraperitoneal (i.p) mulai umur kebuntingan 5-20 hari. Hasilnya menunjukkan keterlambatan pertumbuhan pada grup dengan dosis sedang walaupun untuk semua dosis pengaruhnya tidak dapat diamati secara visual(7).

Penelitian lain(8) mendedahkan morfin i.p pada tikus dengan dosis 20 mg/kgbb. yang kemudian ditingkatkan bertahap hingga 56 mg/kgbb. mulai 5 hari sebelum perkawinan sampai umur kebuntingan 16 hari. Hasilnya semua anakan memperlihatkan sindrom penghentian (withdrawal syndrome). Saat lahir, kondisi anakan rata-rata memiliki kemampuan

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 44

Page 45: cdk_149_kesehatan_jiwa

bernafas yang kurang baik, keterlambatan waktu terbukanya mata, dan kematangan seks yang terlalu awal pada betina. BAHAN DAN METODA PENELITIAN

Rancangan penelitian dan analisis data Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental di

laboratorium pada mencit Swiss-Webster menggunakan Ran-cangan Acak Lengkap (completely randomized design). Terdapat empat kelompok perlakuan yang terdiri dari tiga kelompok dosis perlakuan dan satu kelompok kontrol. Perkembangan perilaku anak mencit diamati mulai umur 5 hari (Post Natal Day-5) sampai 21 hari (PND-21) dengan metode Test Perilaku Berurut (Behavioral Test Battery) dengan 6 kali pengulangan (berdasarkan rumus Federer) untuk setiap kelom-pok perlakuan sehingga jumlah total mencit betina (dara) yang digunakan adalah 24 ekor.

Parameter yang diamati adalah persentase keberhasilan kemampuan refleks, kemampuan motorik, kemampuan sen-sorik, dan berat badan. Data keberhasilan anak mencit pada refleks membalikkan badan dan berat badan dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA, jika hasilnya berbeda nyata dengan kontrol dilanjutkan dengan uji t-Dunnet. Data keberhasilan refleks menghindari jurang dan geotaksis negatif, serta ke-mampuan motorik (berenang) dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis, jika hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison. Data persentase keberhasilan ke-mampuan motorik anak mencit (mengangkat badan dan anggota belakang) dan kemampuan sensorik (penglihatan, pendengaran, dan penciuman) masing-masing dianalisis secara deskriptif.

Bahan dan alat

Morfin yang digunakan dalam percobaan ini adalah morfin HCl injeksi, sedangkan mencit yang digunakan adalah mencit betina (dara) berumur 2-3 bulan dengan berat badan 25-35 gram. Mencit-mencit tersebut kemudian dipelihara dalam kandang dan diberi makan secara ad-libitum. Selanjutnya mencit betina yang telah diketahui dalam keadaan estrus disatukan dengan mencit jantan dewasa. Bila pada vulva mencit betina sudah terlihat sumbat vagina, maka hari tersebut dinyatakan sebagai hari ke-1 kebuntingan. Dari masing-masing mencit yang berfungsi sebagai inang, diambil 3 ekor anak untuk diuji.

Perlakuan Hewan Coba

Penentuan dosis disesuaikan dengan berat badan rata-rata mencit tiap kelompok. Dosis morfin yang digunakan yaitu 9,8 mg/kgbb./hari 5,6 mg/kgbb./hari; 2,8 mg/kg bb./hari dan satu kelompok kontrol. Pada umur kebuntingan 7-12 hari, terhitung dari mulai tampak sumbat vagina, induk mencit Swiss-Webster diberi suntikan secara s.c menggunakan alat suntik steril sekali pakai. Setelah melahirkan, berat badan anak-anak mencit ditimbang satu minggu sekali dan disiapkan untuk pengujian mulai umur 5 hari (PND-5) sampai 21 hari (PND-21)(9). Dari tiap anakan dipilih perwakilannya sebanyak 3 ekor.

PENGUMPULAN DATA A. Uji Kemampuan Refleks 1. Refleks Membalikkan Badan (Surface Righting

Reflex)(9) Uji ini dilakukan pada anak mencit berumur 5 hari. Anak

mencit yang akan diuji diletakkan terlentang di tempat datar. Waktu yang diperlukan oleh anak-anak mencit untuk meng-ubah posisi dari posisi terlentang ke posisi telungkup dicatat dengan stopwatch. 2. Refleks Menghindari Jurang (Cliff Avoidance)(10)

Pengamatan dilakukan pada anak mencit berumur 6 hari. Anak mencit yang akan diuji diletakkan di atas meja datar tangan dan hidung diletakkan sejajar di tepi meja tempat anak mencit itu berada. Kemudian diamati reaksi anak mencit dan dicocokkan dengan skor : - Skor 0 : anak mencit bergerak maju dan menjatuhkan

dirinya ke jurang - Skor 1 : anak mencit diam saja di posisinya - Skor 2 : anak mencit berhasil menghindari jurang dengan

memutar posisi tubuhnya. Laju keberhasilan dihitung dengan cara mengamati berapa

persen anak mencit yang mampu menghindari jurang. 3. Refleks Geotaksis Negatif (Negative Geotaxis Reflex)(10)

Pengamatan dilakukan pada anak mencit 7 hari. Anak mencit yang akan diuji diletakkan pada suatu tempat miring dengan sudut kemiringan 25°, kemudian diamati reaksinya dan dicocokkan dengan skor : - Skor 0 : anak mencit tidak dapat menahan berat tubuhnya

dan menukik turun ke bagian dasar tempat miring - Skor 1 : anak mencit diam saja di posisinya - Skor 2 : anak mencit berhasil menahan berat tubuhnya dan

memutar posisi tubuhnya. Laju keberhasilan dihitung dengan cara menghitung berapa

persen yang berhasil menahan berat tubuhnya dan memutar posisi tubuhnya. B. Uji Kemampuan Motorik 1. Perkembangan Kemampuan Berenang

Pengujian dilakukan terhadap anak mencit berumur 8, 10, 12 hari. Anak mencit tersebut dijatuhkan ke dalam bejana berisi air hangat (27-300C), kemudian diamati gerakannya; hasil pengamatan dicocokkan dengan skor :

Posisi sudut kepala: Skor 0 : menyelam Skor 1 : hidung di atas permukaan air Skor 2 : hidung dan kepala bagian atas berada di permukaan/

di atas permukaan air Skor 3 : seperti pada skor 2, mata telah berada di atas

permukaan air, daun telinga ¼-nya berada pada permukaan air.

Skor 4 : seperti pada skor 3, seluruh bagian daun telinga telah berada di atas permukaan air

Arah berenang : Skor 1 : mengapung Skor 2 : berenang melingkar Skor 3 : berenang lurus atau mendekati lurus Skor 4 : tenggelam

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 45

Page 46: cdk_149_kesehatan_jiwa

Penggunaan anggota badan: Skor 1 : mengayuh dengan ke-4 anggota badan Skor 2: mengayuh hanya dengan anggota belakang, anggota

depan dalam posisi diam Skor 3 : tanpa mengayuh 2. Perkembangan Kemampuan Mengangkat Badan dan

Anggota Belakang Pengujian dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari

sampai seluruh anak mencit yang diamati mampu mengangkat badan dan anggota belakangnya sehingga tidak terjatuh. Anak mencit yang akan diuji, tangannya diletakkan pada kawat dengan diameter 2 mm, panjang 20 cm yang direntangkan di antara 2 tiang kayu setinggi 30 cm. Kemudian diamati berapa persen anak mencit yang dapat menggenggam (grasping) dan mengangkat badan serta kakinya, sehingga tidak terjatuh. C. Uji Kemampuan Sensorik 1. Perkembangan Kemampuan Penciuman

Pengamatan dilakukan terhadap anak mencit umur 21 hari. Anak mencit digenggam supaya diam, lalu hidungnya didekat-kan ke batang kapas (cotton bud) yang telah dicelupkan ke dalam cologne. Hasil positif bila anak mencit menghindar dan negatif bila diam saja.

2. Perkembangan Kemampuan Penglihatan

Pengamatan dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari sampai seluruh anak mencit yang diuji memberikan tanggapan positif terhadap uji ini. Anak mencit dipegang ujung ekornya dan didekatkan pada tongkat horizontal dan dijaga misainya tidak menyentuh tongkat. Hasil pengujian dinilai positif bila anak mencit yang diuji mampu meraih tongkat.

3. Perkembangan Kemampuan Pendengaran

Pengamatan dilakukan pada anak mencit mulai umur 7 hari sampai seluruh anak mencit yang diuji memberikan tanggapan positif terhadap uji ini. Tanggapan dinilai positif bila anak mencit tersentak pada saat kedua batang logam dipukul-kan secara diam-diam di atasnya. Anak mencit yang belum mendapat giliran, harus dijauhkan dari tempat peng-amatan agar tidak terbiasa (terhabituasi) dengan rangsangan bunyi yang akan diberikan. Hasil dan Pembahasan

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat kelainan pada perilaku yang disebabkan oleh kerusakan otak dan tulang belakang. Selengkapnya data yang diperoleh adalah sebagai berikut : A. Uji Kemampuan Refleks

Uji statistik (Tabel 1) menunjukkan bahwa kemampuan refleks anak mencit dalam uji membalikkan badan, meng-hindari jurang, dan geotaksis negatif berbeda nyata dengan kontrol pada dosis 5,6 mg/kgbb./hari dan 9,8 mg/kg bb./hari. Rata-rata refleks membalikkan badan anak mencit pada dosis tersebut jauh lebih cepat dibandingkan kontrol. Hal tersebut terjadi karena morfin yang didedahkan mempengaruhi sistem

motorik spinalis yang merupakan pengendali tonus otot skelet. Morfin ditemukan di terminal akson aferen primer substansia gelatinosa tulang belakang, dan juga di nukleus spinal nervus trigeminus(11). Thompson (2002) juga menemukan bahwa letak reseptor-reseptor opiat adalah di prosesus aksonal, yaitu di terminal saraf presinap. Keberadaan morfin tersebut me-ningkatkan pelepasan asetilkolin bebas yang menyebabkan peningkatan aktivitas spontan motorik(2). Tabel 1. Kemampuan Refleks Anak Mencit Umur 5,6,7 hari (n=18)

Dosis (mg/kg bb./hari) Jenis Uji 0 (kontrol) 2,8 5,6 9,8

Refleks membalikkan badan (PND-5) Waktu (detik)

8,25±0,73

6,08±0,73

5,42±0,88*

3,47±0,52* Reflek Menghindari Jurang (PND-6) Keberhasilan

100 %

100 %

67 %*

56 %* Reflek Geotaksis Negatif (PND-7) Keberhasilan

100 %

100 %

67 %*

50 %*

Keterangan : (*)= berbeda nyata dengan kontrol, PND=post natal day, rataan ± sd

Pada uji menghindari jurang ketidakberhasilan anak mencit ditunjukkan dengan sikap diam atau menjatuhkan diri ke jurang (meloncat). Hal tersebut karena morfin meningkatkan sintesis dopamin pada neuron-neuron dopaminergik yang tersebar di sistem limbik sehingga mempengaruhi kelabilan emosi dan menyebabkan depresi(2). Selain itu, morfin juga meningkatkan produksi serotonin (5-HT) di nukleus rafe batang otak yang menyebabkan tingkah laku bunuh diri(13). Kerusakan sistem penerimaan nyeri sejak masa kandungan dan pasca lahir akan menimbulkan sikap perusakan diri karena ingin merasakan nyeri, dengan cara meloncat, membakar diri, atau menabrakkan diri(14). Sedangkan dalam uji geotaksis negatif ketidakberhasilan anak mencit ditunjukkan dengan sikap diam atau tidak bisa menahan berat tubuh sehingga anak mencit terus turun dengan posisi menukik menuju bawah bidang miring. Hal tersebut terjadi karena morfin menghambat motoneuron spinal, menyebabkan anggota gerak belakang ter-ganggu(15).

Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian morfin pada masa kebuntingan tidak berpengaruh pada sudut kepala dan peng-gunaan anggota gerak pada saat anak mencit berenang, tetapi berpengaruh terhadap arah berenang. Melingkarnya arah berenang anak mencit karena morfin mempengaruhi dan me-rusak sistem ekstrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal [korteks serebrum basal ganglia yang terdiri dari nucleus caudatus, nucleus lentiformis dan globus pallidus merupakan pusat gerakan bawah sadar. Fungsinya antara lain memelihara posisi tubuh normal dan mengatur tonus otot(16). Morfin juga dapat menghambat dan mengeksitasi sel Purkinye di otak kecil. Otak kecil merupakan pusat pemelihara keseimbanganan serta peng-atur gerakan sehingga arah berenang menjadi melingkar.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 46

Page 47: cdk_149_kesehatan_jiwa

B. Uji Kemampuan Motorik 1. Perkembangan Kemampuan Berenang

Tabel 2. Perkembangan Kemampuan Berenang Anak Mencit (PND-8,10,12)

Dosis (mg/kg BB/hari)

0 (Kontrol 2,8 5,6 9,8 Skor Skor Skor Skor

Jenis Uji

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 PND-8 -Sudut -Arah

-Penggunaan anggota badan

18

12

6

18

18

16

2

18

18

16

2

18

18

13

5

18

PND-10 -Sudut -arah

-Penggunaan anggota badan

18

3

15

18

18

4

14

18

18

6

12

18

18

10

8

18

PND-12 -Sudut -arah

-Penggunaan anggota badan

18

18

18

18

1

18

18

5*

13*

18

18

6*

12*

18

Keterangan : (*) = berbeda nyata dengan kontrol, PND=post natal day

2. Perkembangan Kemampuan Mengangkat badan dan Anggota Belakang Tabel 3. Persentase keberhasilan anak mencit dalam uji kemampuan mengangkat badan pada tiap dosis (%)

Tabel 3 menunjukkan peningkatan persentase kemampuan

mengangkat badan dari hari ke hari pada semua perlakuan, keberhasilan mengangkat badan terjadi lebih awal pada anak mencit yang diberi morfin di antaranya memanjat(2). C. Uji Kemampuan Sensorik Tabel 4. Perkembangan Kemampuan Sensorik Anak Mencit (n=72)

Dosis (mg/kg bb./hari) Jenis Uji 0

(Kontrol) 2,8 5,6 9,8

Uji Penglihatan - PND-14 - PND-15

61 % 100 %

50 % 100 %

50 % 100 %

44 % 100 %

Uji Pendengaran - PND-13 - PND-14 - PND-15

56 % 89 %

100 %

56 % 94 %

100 %

61 % 89 %

100 %

56 % 89 %

100 %

Uji Penciuman - PND-21 100 % 100 % 100 % 100 %

Pengamatan deskriptif memperlihatkan tidak satupun yang berbeda dengan kontrol. Hal tersebut terjadi karena morfin tidak merusak korteks sensorik serebrum karena di daerah itu tidak terdapat reseptor opiat. Selain itu, pemberian morfin dilakukan pada saat neurulasi, saat organ belum terbentuk sehingga morfin tidak mengganggu pembentukan organ-organ sensorik.

Hari Dosis 7 8 9 10 11 12 13 14

Kontrol 0 0 0 11 44 50 83 100 2,8 mg/kg bb/hari

0 5.6 11 22 44 89 100 100

5,6 mg/kg bb/hari

0 17 28 50 61 100 100 100

9,8 mg/kg bb/hari

0 22 39 56 72 100 100 100

Tabel 5. Rata-rata perkembangan berat badan anak mencit PND-4,7,14,21

Berat badan (g) Dosis PND-1 PND-4 PND-7 PND-14 PND-21

Kontrol 1.46 2.94 4.50 6.84 10.37 2,8 mg/kgbb./hari 1.51 3.01 4.53 6.61 10.02 5,6 mg/kgbb./hari 1.32 2.61 4.03 5.93 9.31 9,8 mg/kgbb./hari 1.24 2.46 3.83 5.67 8.91

Uji statistik data tabel 5 menunjukkan berat badan anak

mencit berbeda nyata dengan kontrol pada dosis 5,6 mg/kgbb./hari dan 9,8 mg/kgbb./hari. Ini berarti morfin dapat lebih menurunkan berat badan dibandingkan dengan kontrol. Morfin berpengaruh langsung menghambat pertumbuhan fetus, selain itu zat asing selain morfin dapat menyebabkan malnutrisi karena mengganggu aliran darah yang menuju fetus sehingga menghambat pertumbuhan dan berat badan fetus(17).

KESIMPULAN 1. Pemberian morfin dosis subletal pada masa kebuntingan

menyebabkan penyimpangan perilaku masa prasapih dan penurunan berat badan anak mencit Swiss-Webster. Penyimpangan yang berbeda nyata dengan kontrol ditemukan pada uji refleks (membalikkan tubuh, menghindari jurang, dan geotaksis negatif) dan pada uji motorik (kemampuan berenang dan mengangkat anggota

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 47

Page 48: cdk_149_kesehatan_jiwa

badan), sedangkan pada uji sensorik tidak berbeda nyata. 2. Penyimpangan perilaku yang ditimbulkan tergantung besar

dosis. Pada penelitian ini yang berbeda nyata dengan kontrol adalah pada dosis 9,8 mg/kgbb./hari dan 5,6 mg/kg bb./hari; pada dosis 2,8 mg/kgbb./hari tidak berbeda nyata.

SARAN

Perlu dilakukan pengamatan lanjutan terhadap kemampuan belajar dan memori serta analisis jaringan bagian otak yang diduga rusak pada mencit dewasa (PND-60).

KEPUSTAKAAN 1. Razak AMD. Kumpulan Dadah Narkotik. Article. (http://www.

prn.usm.my) . 1995 2. Pradhan S, Dutta S. Drug Abuse. Clinical and Basic Aspect. CV. Mosby

Co. St Louis. 1997 3. Hamilton GR, Baskett TF. In the Arms of Morpheus: the Development

of Morphine for Postoperative Pain Relief. Anasthesiol..2000; (April) 47 (4) : 367

4. Young L. Use of Marijuana, Cocaine, Pain Relievers and Tranquilizers Increased According to National Household Survey on Drug Abuse. Report Article. (http://www.samsha.gov). 2002

5. Ahluwalia I. Multiple Lifestyle and Psychological Risk and Delivery of Small for Gestational Age Infant. Obstetr. Gynecol. 2001;97(5).

6. Association of Canada. Resolution : The Need for Federally Mandate Developmental Neurotoxicity Testing to Protect Human Health: Central Nervous System Development. (http://www.Idac-taac.ca).1994

7. Fujinaga M. Teratogenic and Postnatal Developmental Studies of Morphine in Sprague Dawley Rats. Teratology 1998; 38 (5): 401-410

8. Lapointe G, Nasal G. Morphine treatment During Rat Pregnancy: Neonatal & Preweaning consequences. Biology Neonate J. 1982;42 (1-2): 22-30

9. Turner AR. Screening Methods in Pharmacology. Academic Press. New York.1965

10. Grabow ST, Dougherty MP..Cervicomedullary Intrathecal Injection of Morphine Produces Antinociception in The Orafacial Formalin Test in The Rats. Anaesthesiol. .2001; 95: 1427-1434

11. Anonim.Cerebrum and Cerebellum-The Secret of The Central Nerve. http://www.okmedi.net.2001.

12. Thompson TG. Recovery Month/ The National Household Survey on Drug Abuse. (http://www. ncbi. nml. nih. gov)2002

13. Dalpiaz A. et al. Thermodynamics of Serotonin Receptor Interaction. John Wiley & Sons. Ltd. Italy. 2001

14. Anand KJ, Scalzo FM.. Can Adverse Neonatal Experiences Alter Brain Development and Subsequent Behaviour?. Biology of Neonate J. 2000;77 (2): 69-82

15. Kakinohana M. et al. Intrathecal Administration of Morphine, but not Small dose, Induced Spastic Paraparesis After a Noninjurious Interval of Aortic Occlusion in Rat. Anaesthes. Analges. 2003; 96

16. Mustcher E. Dinamika Obat. Ed. 5. Terj: MB. Widiarto & AS Ranti. Penerbit ITB. Bandung.1991

17. Wierrother H et. al. Intrauterine Blood Flow and Long-Term Intellectual, Neurologic, and Social Development. Obstetr. Gynecol. .2001.60 : 108-114

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 48

Page 49: cdk_149_kesehatan_jiwa

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit

dalam Konteks Sosial Budaya

Sunanti Z. Soejoeti

Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan kesehatan yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari.

Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedok-teran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradap-tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya(1).

UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.

Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit(2). MASALAH SEHAT DAN SAKIT Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial

budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4 faktor(3) yaitu: 1. Environment atau lingkungan. 2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological balance. 3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi,

distribusi penduduk, dan sebagainya. 4. Health care service berupa program kesehatan yang

bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku

merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat.

Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien. Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelas-kan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia.

Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang. Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat(4). Paradigma sehat adalah cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan per-lindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 49

Page 50: cdk_149_kesehatan_jiwa

penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan daripada mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural(5). Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit.

Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman(1).

Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedang-kan pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh.

Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang membahas pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai. KONSEP SEHAT SAKIT MENURUT BUDAYA MASYARAKAT

Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah seseder-hana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek(6). Definisi WHO (1981): Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO men-definisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya?

Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di-pandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar . Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat

menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep

penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Pe-nyebab bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), ke-biasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat(7). Sedang-kan konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).

Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer), merupa-kan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masya-rakat tersebut(8).

Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai - nilai budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan pe-nyakit kusta (Kaddala,Bgs.) di masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelang-garan melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi seorang fanatik Islam dirasa-kan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat berat(8). Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta.

Pada penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-batuk, mual, diare. Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 50

Page 51: cdk_149_kesehatan_jiwa

Barat menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah-muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak.

Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda-tanda di badannya, tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan(9).

Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menim-bulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau “kantong kering“ (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu : 1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap

tubuh manusia 2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas

dan dingin. 3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).

Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit. Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai berikut : a. Sakit demam dan panas.

Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin. Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas. b. Sakit mencret (diare). Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain-lain. Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campuran-

nya tidak tepat. c. Sakit kejang-kejang

Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring. d. Sakit tampek (campak)

Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut kepercayaan dapat mengisap penyakit. KEJADIAN PENYAKIT

Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam-macam penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya. Ditinjau dari segi biologis penyakit merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasya-rakatan keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh atau lingkung-an manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional dan psikososial individu bersangkutan. Faktor emosional dan psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan adat kebiasaan manusia atau kebudayaan(11).

Konsep kejadian penyakit menurut ilmu kesehatan ber-gantung jenis penyakit. Secara umum konsepsi ini ditentukan oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingkungannya.

Para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alam-nya, tingkah laku penyakitnya dan cara-cara tingkah laku penyakitnya mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978)(12).

Penyakit dapat dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sickle-cell) di kalangan penduduk Afrika Barat, suatu perubahan evo-lusi yang adaptif, yang memberikan imunitas relatif terhadap malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan ancaman, bahkan merupakan karakteristik yang diinginkan karena memberikan proteksi yang tinggi terhadap gigitan nyamuk Anopheles.

Bagi masyarakat Dani di Papua, penyakit dapat merupakan simbol sosial positif, yang diberi nilai-nilai tertentu. Etiologi penyakit dapat dijelaskan melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa. Simbol sosial juga dapat merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan antara simbol-simbol sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas, misalnya remaja merokok.

Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 51

Page 52: cdk_149_kesehatan_jiwa

dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi Salan (1994)(13) berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya sebagai berikut: Seorang perempuan yang sudah cukup umur reumatiknya diobati hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh. Menurut pasien penyakitnya disebabkan karena “darah kotor” oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah dengan makan makanan yang bersih , yaitu ‘mutih’ (ditambah vitamin seperlunya agar tidak kekurangan vitamin) sampai darahnya menjadi bersih kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang ada dalam masyarakat. PERILAKU SEHAT DAN PERILAKU SAKIT Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog seperti perilaku sehat ( health behavior ), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit (explanatory model ), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter- perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan(13).

Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar mem-peroleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi(14). Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kreteria medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi fisik individu. PERSEPSI MASYARAKAT

Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masya-rakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.

Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi,

menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh.

Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria. PENUTUP

Cara dan gaya hidup manusia, adat istiadat, kebudayaan, kepercayaan bahkan seluruh peradaban manusia dan ling-kungannya berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis dan biologis tubuh manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

Manusia mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering membawa serta penyakit baru yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan penyakit yang sudah ada.

Kajian mengenai konsekuensi kesehatan perlu memper-hatikan konteks budaya dan sosial masyarakat .

KEPUSTAKAAN 1. Kliemen, 1978 2. Biro Pusat Statistik. Profil Statistik Wanita, Ibu dan Anak di Indonesia.

Jakarta, 1994. 3. Blum HL. Planning for Health; Development Application of Social

Change Theory. , New York: Human Science Press, 1972. p.3. 4. Paradigma Sehat, Pola Hidup Sehat, dan Kaidah Sehat. Pusat Penyuluhan

Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI, 1998. 5. Capra, 1982 6. Arie Walukow. Dari Pendidikan Kesehatan ke Promosi Kesehatan.

Interaksi 2004; VI (XVII):4 7. Profil Pengobat Tradisional di Indonesia. Dir. Bina Peran Serta Masy.,

DirJen. Pembinaan Kes.Mas.. Departemen Kesehatan RI. 1997. hal. 4 8. Ngatimin, HM.Rusli. Dari Nilai Budaya Bugis di Sulawesi Selatan.

Apakah kusta ditakuti atau dibenci?. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. 1992.

9. Nizar Zainal Abidin. Laporan Penelitian Pengobatan Tradisional Daerah Bandung. Disajikan pada Lokakarya II tentang Penelitian Pengobatan Tradisional. Ciawi, 22-24 Februari 1993.

10. Sudarti, 1987 11. Loedin AA. Dalam:Lumenta B.Penyakit, Citra Alam dan Budaya.

Tinjauan Fenomena Sosial. Cet.pertama Penerbit Kanisius, 1989. hal.7-8. 12. Priyanti Pakan, MF.Hatta Swasono. Antropologi Kesehatan. Jakarta:

Percetakan Universitas Indonesia, 1986. 13. Rudi Salan. Interface Psikiatri Antropologi. Suatu kajian hubungan antara

psikiatri dan antropologi dalam konteks perubahan sosial. Disampaikan dalam Seminar Perilaku dan Penyakit dalam Konteks Perubahan Sosial. Kerjasama Program Antropologi Kesehatan Jurusan Antropologi Fisip UI dengan Ford Foundation , Jakarta 24 Agustus 1994. hal 13.

14. Solita Sarwono. Sosiologi Kesehatan: beberapa konsep beserta aplikasinya. Gajah Mada University Press. Cet. pertama, 1993. hal. 31-36.

15. WHO. The Otta wa Charter for Health Promotion,1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 52

Page 53: cdk_149_kesehatan_jiwa

HASIL PENELITIAN

Respon Terapi Tamoxifien pada Kanker Payudara Lanjut Lokal

dengan Reseptor Estrogen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif

Azamris

Divisi Onkologi, Lab/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ Rumah Sakit Umum Daerah Dr M Djamil Padang, Sumatra Barat

ABSTRAK

Kanker payudara stadium lanjut lokal (III B) menduduki tempat teratas di Indonesia yang

penanganan primernya dengan radiasi dan penanganan sekunder secara hormonal sistemik. Pengobatan hormonal reseptor estrogen dan reseptor progesteron belum memberikan hasil maksimal, untuk itu diupayakan parameter lain yang dikenal dengan Mr 29.000.

Telah dilakukan penelitian secara uji klinik acak terkontrol, dengan pemeriksaan Estrogen reseptor positif, Progesteron reseptor positif dan Mr 29.000 positif, pada penderita kanker payudara lanjut lokal stadium III B, yang mendapat terapi Tamoxifen. Kemudian dinilai hasil terapi setelah 3 bulan, apakan responnya lebih baik atau tidak.

Penelitian ini melibatkan 42 kasus kanker payudara lanjut lokal. Jumlah penderita premenopause sama dengan penderita postmenopause, ER(+) ditemukan 11kasus, dan ER (–) 31 kasus. Dan Mr 29.000 (+) 7 kasus dari 11 kasus ER (+). Hanya 5 kasus yang memenuhi syarat untuk penelitian, karena itu penelitian ini hanya deskriptif saja, penelitian perlu dilanjutkan dengan kriteria yang lebih terarah dengan umur penderita 50 tahun atau lebih, sampel diperbesar lebih dari 30 kasus dan waktu penelitian minimal tiga tahun. Kesimpulan pada penelitian ini belum dapat diambil oleh karena jumlah kasus yang sedikit. Kata kunci : kanker payudara lanjut lokal, reseptor estrogen, reseptor progesteron, Mr 29.000.

PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan penyakit keganasan wanita

yang paling sering dijumpai di Indonesia setelah kanker mulut rahim 15,85 %(1) di RS Dr M Djamil 65%-70% penderita kanker payudara datang dalam stadium lanjut, sedangkan stadium lanjut lokal (III B) 43,40 %(2). Terapi primer berupa radiasi memberikan kontrol 70%-72%, sedangkan terapi hormonal tamoxifen merupakan terapi sekunder(2-5). Terapi yang di dasarkan pada pemeriksaan estrogen reseptor dan progesteron reseptor pada kanker payudara belum dikembang-kan di RS Dr M Djamil secara umum(6). Terapi hormonal bersifat sistemik spesifik, jadi efektif untuk kasus-kasus lanjut lokal, regional dan metastasis jauh(2) pada dasarnya tujuan terapi hormonal Tamoxifen ini untuk meniadakan atau mengurangi pengaruh estrogen terhadap jaringan kanker

payudara, yaitu mencegah uptake estrogen pada jaringan kanker yang mengandung reseptor estrogen, yang dapat memacu pertumbuhan kanker payudara(6).

Kodamark dan kawan-kawan menduga terapi dengan anti estrogen Tamoxifen pada kanker payudara, bekerja menekan pada tingkat sel induk, tidak membasmi sel kanker(7). Responsifitas kanker payudara terhadap terapi hormonal kurang lebih 50%, didasarkan pada reseptor estrogen positif(8). Reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada kanker payudara merupakan petanda bahwa tumor sensitif terhadap terapi Tamoxifen 70%-85%(9,10). Kegagalan terapi hormonal berdasarkan status reseptor estrogen dan reseptor progesteron menuntut penggunaan parameter lain untuk meningkatkan keberhasilan terapi hormonal ini. Pertengahan tahun 1980 ditemukan antibodi yang reaktif terhadap satu protein yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 53

Page 54: cdk_149_kesehatan_jiwa

diduga berkaitan erat dengan molekul reseptor estrogen, protein ini berupa fosfoprotein dikenal dengan protein Mr 29.000(11,12). Keberadaan Mr 29.000 ini berkorelasi dengan reseptor estrogen kanker payudara namun maknanya belum jelas(13).

Bila sel eukariotik terpapar suhu tinggi dan berbagai stres, sel-sel ini akan bereaksi dengan menghasilkan sejumlah kecil protein yang disebut Heat Shock Protein(14,15). Hormon juga dapat mempengaruhi eksperesi HSP 27. Bermacam-macam protein dihasilkan pada keadaan di atas antara lain: Mr 29.000 (HSP 27), Mr 90.000 (HSP90) serta HSP 70. Mr 29.000 atau estrogen related protein merupakan suatu fosfoprotein yang berhubungan dengan ER(+), yang terlibat dalam sebagian besar kanker payudara(16).

Antigen Mr 29.000 ini telah dapat dideteksi dengan antibodi monoklonal D5 yang timbul pada reaksi dengan reseptor estradiol manusia yang telah dimurnikan(16) MR 29.000 hanya ditemukan pada jaringan yang mengandung ER (+)(11,17).

Tidak satupun tumor dengan Mr 29.000 (-) dapat dikendalikan dengan pengobatan hormonal. 20% reseptor estradiol positif mempunyai Mr 29.000 fosfolipid rendah tumor ini buruk responnya terhadap pengobatan hormonal(17).

Pada kanker payudara terdapat hubungan sangat bermakna dengan jumlah reseptor estrogen sitoplasma, antibodi spesifik D5 bereaksi dengan Mr 29.000 sitosol ER (+) dan tidak bereaksi dengan ER (-)(17) Cano dan kawan-kawan pada penelitiannya mendapatkan penderita yang Mr 29.000 (+) 50% memberikan respon lengkap atau sebagian terhadap terapi hormonal, sedangkan 12% gagal mendapatkan perbaikan(17). Persentase penderita kanker payudara lanjut lokal yang ER (+)

26%. TUJUAN PENELITIAN Apakah keberadaan Mr 29.000 yang menyertai reseptor

estrogen dan reseptor progesteron memberikan makna dalam responsivitas terapi Tamoxifen. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik terkontrol yang dilakukan di Bagian Bedah Onkologi/HNB RS Dr M Djamil Padang. Penelitian dilakukan mulai 1 Januari 2003 sampai dengan 31 Desember 2003. Responden adalah penderita kanker payudara stadium lanjut lokal (stadium III B). Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana.

Kriteria bagi responden yang diikutkan pada penelitian ini adalah : 1. Wanita penderita kanker payudara. 2. Kanker Payudara Stadium III B - T4 N0-2 M0 dan setiap T

N3 M0(UICC 1992). 3. Belum pernah mendapat terapi kanker.

Setiap responden menjalani biopsi insisional dan hasilnya diperiksa secara microwave untuk menentukan reseptor Estrogen dan Progesteron serta pemeriksaan non microwave pada protein Mr 29000. HASIL

Jumlah kasus kanker payudara lanjut lokal dari bulan Januari 2003 sampai Desember 2003 terkumpul sebanyak 42 kasus. Dengan rentangan umur termuda 28 tahun dan tertua 78 tahun.

Tabel 1. Distribusi umur penderita kanker payudara lanjut lokal (n = 42)

Umur Jumlah Kasus %

20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 70 – 79 Total

2 5 13 11 9 2 42

5 12 31 26 21 5

100 Tabel 2. Distribusi status menopause penderita kanker payudara lanjut

lokal (n = 42)

Menopause Jumlah Kasus %

Pre menopause Post menopause Total

21 21 42

50 50 100

Tabel 3. Distribusi status ER penderita kanker payudara lanjut lokal (n = 42)

Umur ER (+) ER (-)

20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 70 – 79 Total

0 2 1 3 4 1 11

2 3 12 8 5 1 31

Tabel 4. Distribusi ER (+) berdasarkan status menopause pada penderita kanker payudara lanjut lokal (n=11)

Menopause ER (+) %

Pre menopause Post menopause Total

3 8 11

27 73

100

Taberl 5. Distribusi Mr 29.000 berdasarkan ER (+) pada penderita kanker

payudara lanjut lokal (n = 11)

Tipe Jumlah Kasus %

Mr 29.000 (+) Mr 29.000 (-) Total

7 4 11

64 36

100

Tabel. 6. Respon terapi tamoxifen pada penderita kanker payudara lanjut

lokal ER (+) PR(-), Mr 29.000 (+).

Respon Terapi Jumlah Kasus %

Respon Komplit Respon Parsial Tidak respon Total

1 1 2 4

25 25 50

100

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 54

Page 55: cdk_149_kesehatan_jiwa

Tabel 7. Respon terapi tamoxifen pada penderita kanker payudara lanjut lokal ER (+) PR(+).

Tipe Respon positif Tidak respon

Mr 29.000 (+) Mr 29.000 (-) Total

2 1 3

1 1 2

DISKUSI

Kanker payudara lanjut lokal 31% ditemui pada usia 40-49 tahun, dan 50% penderita yang diamati masih haid teratur. Tidak ada perbedaan penemuan penelitian ini dengan laporan dari RSCM dan Jepang(18,19). Reseptor estrogen positif terlihat makin meningkat pada usia ≥ 50 tahun, sedangkan reseptor estrogen negatif tinggi pada usia ≤ 60 tahun. Ditinjau dari status menopause, reseptor estrogen positif ditemukan sebanyak 8 dari 11 kasus post menopause (73%), dan 3 dari 11 kasus premenopause (27%).

Kurang lebih 50% tumor primer mengandung reseptor estrogen (positif) dan reseptor estrogen ini meningkat dengan bertambahnya usia(3) penderita premenopause lebih sedikit yang estrogen reseptor positif-ER (+) (30%) dibandingkan dengan penderita post menopause (60%)(11). Pada penelitian ini terlihat status reseptor estrogen positif makin meningkat pada usia lanjut (tabel 5) tidak berbeda dengan kepustakaan(3). Marsigliante dkk melaporkan bahwa 178 (65%) tumor P29 positif dan sisanya 95 (35%) P29 negatif. P29 berhubungan sangat bermakna dengan ekspresi ER (+) (p<0,001). Penemuan Mr. 29.000 (+) pada penderita kanker payudara lanjut lokal ini sama seperti yang ditemukan oleh Marsigliante S(20).

Adanya korelasi kuat antara ER (+) dengan Mr 29.000 (+) ini bisa digunakan untuk menilai respon terapi tamoxifen(21). Pada 31 penderita kanker payudara lanjut lokal dengan ER(-) PR(-) ternyata 1 kasus memberikan respon komplit, yang sampai sekarang masih kontrol. Kepustakaan menyatakan 5% - 10% penderita kanker payudara ER(-) PR(-) memberi respon dengan terapi hormonal(20,22). Pada penderita kanker payudara lanjut lokal ER(+), PR(-), Mr 29.000 (+) satu kasus respon komplit, dua kasus tidak memberikan respon. Dari 2 penderita ER (+) PR (–) Mr 29.000 (-), 1 kasus respon parsial, 1 kasus tidak respon.

Terapi tamoxifen berrespon pada dua penderita kanker payudara lanjut lokal dengan ER(+) PR(+) Mr 29.000 (+) Sedangkan pada penderita kanker payudara lanjut lokal ER(+) PR(+) Mr 29.000(-) satu kasus memberi respon (tabel 7). Jensen dkk. (1971)(23) mendapatkan 35%-40% penderita kanker payudara ER(+) tidak memberi respon terhadap terapi hormonal, mungkin karena estrogen komplek yang terbentuk tak sanggup berimigrasi ke dalam inti sel kanker.

Beberapa laporan mengatakan 60% penderita kanker payudara yang mempunyai reseptor estrogen positif mem-berikan respon terapi hormonal bila ER (+) PR (+) respon terapi mencapai 70-80%(3,8,23,24). Bahkan ada penelitian yang mencapai respon terapi hormonal 85%(9). Bila reseptor estrogen (+) dan reseptor progesteron (-) respon terapi 30%(3,8,23,25). Cano A dan kawan-kawan(11,16) melaporkan bahwa penderita kanker payudara yang ER (+) Mr 29.000 (+) memberikan respon terapi

hormonal yang tinggi (50%). Pada penelitian ini respon terapi hormonal Tamoxifen pada

penderita kanker payudara ER (+) PR (+) Mr 29.000 (+) diharapkan mendekati 100%. Dari jumlah sampel yang didapat, tidak bisa dilakukan analisis statistik tetapi secara klinis pada lima kasus yang memenuhi kriteria untuk penelitian ini terlihat respon terapi cukup baik pada kasus Mr 29.000 (+) jika dibandingkan dengan yang Mr 29.000 (-). SARAN 1. Penelitian respon terapi Tamoxifen pada penderita kanker

payudara lanjut lokal dengan ER (+) PR (+) Mr 29.000 (+) perlu dilanjutkan dengan kriteria yang lebih terarah yaitu umur penderita di atas 50 tahun atau sudah menopause untuk mendapatkan reseptor estrogen tinggi sehingga Mr 29.000 (+) yang didapat juga lebih tinggi.

2. Diperlukan waktu minimal tiga tahun untuk mendapatkan sampel yang besar.

3. Diperlukan waktu follow up minimal enam bulan untuk menilai respon terapi.

4. Untuk menentukan strategi pengobatan berdasarkan reseptor hormonal, sudah waktunya diusulkan pemeriksaan tersebut yang selama ini belum dilaksanakan secara umum di RS Dr M Djamil Padang.

KEPUSTAKAAN 1. Ramli M, Tjindarbumi D, Simanjuntak DC, Poetiray E, Albar ZA, Darwis

I, Breast Cancer in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital: Management and problematics. In: Advanced Postgraduate Course: Oncology, Medical Faculty, University of Indonesia and Dharmais Cancer Hospital, National Cancer Center,under the auspices of the Dutch Foundation Postgraduate Medical Courses . Jakarta 8-10 November 1993. pp. 92-100.

2. Ramli M, Tjindarbumi D : Penatalaksanaan kanker payudara lanjut. Dipresentasikan pada : Seminar Nasional II Kanker Payudara dan Simposium Diagnosa Dini Tumor Ganas. Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia, Manado 11 -13 Febuari 1988.

3. Harris JR, Morrow M, Bonadonna G. Cancer of the Breast. In: Principles and Practice of Oncology, 4 th.ed. Philadelphia. 1993, pp. 1264-1332.

4. Ramli M. Kanker payudara, deteksi dini dan diagnosa kanker payudara. Dipresentasikan pada Kursus Singkat pencegahan, diagnosa dini dan pengobatan penyakit kanker FKUI-RSCM.

5. Sheldon T, Hayes DF. Primary radiation therapy for locally advanced breast cancer. Cancer 1988; 60: 1219-1225.

6. Ramli M. Penatalaksanaan mutakhir kanker payudara. Dipresentasikan pada Simposium dalam rangka HUT YKI wilayah Sumsel. Palembang 1995.

7. Kodama F, Green GL. Relation of estrogen expression to clonal growth and antiestrogen effect on human breast cancer cell. Cancer Res. 1985; 45; 2720-24.

8. Forest PM. Tamoxifen as adjuvant therapy. Breast cancer controversy in management; 1994; 377 – 91.

9. Fields SM, Koeller JM. Hormonal therpy in clinical oncology. 1993; 1165-76.

10. Jensen EV. Hormone Dependency of the Breast Cancer. Cancer 1987;47:1165-76.

11. Coffer AI, Lewis KM et al . Monoclonal antibodies against component related to soluble estrogen reseptor. Cancer Res. 1985; 45: 3684-94.

12. Ciocca DR, Luque EM. Immunological evidence for the identity between the HSP 27 estrogen related heat shock protein and the P29 estrogen reseptor associated protein in breast and endometrial cancer. Breast Can Res Treat 1991; 20:33-42.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 55

Page 56: cdk_149_kesehatan_jiwa

13. Hulka BS, Liu et al. Steroid hormones and risk of breast cancer 1994; 74;1111-24.

14. Petco L, Linguist S. HSP 26 is not required for growth and high temperature, nor for thermotolerance, spare development, or germination. Cell 1986; 45: 885 – 94.

15. Carper SW, Duffy JJ, Gerner EW. Heat shock protein in thermotolerance and other cellular process. Cancer Res 1987; 47: 5249 – 86.

16. Cano A, Coffer A et al. Histochemical studies with an estrogen receptor related protein in human breast tumor. Cancer Res. 1986 ; 46 : 6475 – 80.

17. Coffer AI, Spiller GH et al. Immunoradiometric studies with monoclonal antibody against a component related to human estrogen reseptor. Cancer Res 1985 ; 45 : 3694 – 98.

18. Tjindarbumi D, Ramli M, Watanabe S . Clinopathological Aspects of Breast Cancer, A joint study between Indonesia and Japan. Med. J. Indon. 1995; 4(3): 148 – 153.

19. Nomura Y, Miura S et al. Relative effect of steroid hormone receptor on

prognostic of patient with operable breast cancer. Cancer 1992; 69:153 – 64.

20. Marsigliante S, Greco S, Biscozzo L. Transciptionally active non ligand binding estrogen reseptor in breast cancer. Cancer lett 1992; 66:183 – 91.

21. Hayward JL, Rubben RD. Assessment of response therpy in advanced breast cancer. Br.J.Cancer 1977;35:292 - 8

22. Fracchia AA, Evans JF, Einenberg BL. Stage III carcinoma of the breast : Ann. Surg. 1980 ; 192 (6): 705-9.

23. Hubay CA, Arafah B, Gordon NH, Guyton SP, Cowe JP. Hormone receptor . Surg. Clin. N.Am. 1984; 64 (6):1155 – 72.

24. Oster M W. Endocrine therapy and chemotherapy for breast carcinoma. In: Disease of the Breast 3rd.ed. Philadelphia: Haagensen CD. 1993 . pp. 991 – 1011.

25. King RJ, Coffer AI. Histochemical studies with a monoclonal antibody raise against a partially purified soluble estradiol receptor preparation from human myometrium. Cancer Res. 1985; 45: 5728 – 85.

( Sambungan Halaman 4 )

English Summary

L-ORNITHIN-L-ASPARTATE (LOLA) PREVENTS BLEBBING IN HEPATOCYTES CAUSED BY ETHANOL EXPOSURE Nelson Simanungkalit Pospos Board of Technologial Research and Application, Jakarta, Indonesia Freshly isolated hepatocytesexposed to ethanol 0,65 mol/l,produced blebs on cell surfaces.Blebs formation can be totallyprevented by 30 min aminoacidLOLA preincubation. Cermin Dunia Kedokt. 2005 ; 149 : 57 - 59

nsp

SOME UNUSUAL FINDINGS DURING KIDNEY STONES ANALYSIS Oen Liang Hie Professor emeritus, Department of Biochemistry, Faculty of Medi-cine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Some experiences during urinary stone analysis are presented. Among them are :1. A stone removed from the back part of the nose of a young man of about 20 year-old. No pain was reported, only a feeling of some obstruction of his airway.

Our analysis revealed that the stone was formed around a rubber eraser usually attached at the top of a pencil. The patient could not recall when he used that kind of pencil during childhood. 2. A bladder stone the size of a tennis ball. Analysis revealed that the stone was formed around a roll of gauze, left behind by a surgeon who operated on the patient years ago for prostate hypertrophy.

Cermin Dunia Kedokt. 2005 ; 149 : 60 -61 olh

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 56

Page 57: cdk_149_kesehatan_jiwa

HASIL PENELITIAN

L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing akibat

Keracunan Etanol pada Hepatosit

Nelson Simanungkalit Pospos

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Indonesia

ABSTRAK

Isolat sel hati tikus segar bila dipapari etanol dengan konsentrasi 0,65 mol/l akan menimbul-kan terbentuknya blebs di permukaan sel. Bila asam amino LOLA diinkubasikan lebih dulu selama 30 menit baru setelah itu dipapari etanol, pembentukan blebs dapat dihindari.

PENDAHULUAN Peranan asam amino di dalam tubuh tidak terbatas hanya

sebagai bahan bangunan untuk protein, ensim atau hormon saja, namun juga sebagai molekul intermedier yang penting dalam reaksi biokimia. Akhir-akhir ini peranan asam amino sebagai obat juga makin dikenal, terutama dalam terapi penyakit hati, baik sendiri sendiri ataupun sebagai campuran 2 asam amino atau lebih(1). ( Tabel 1).

Tabel 1. Nama Obat

Kandungan Asam Amino Penggunaan

Sulfolitruw L-Serin, Methionin Hepatokholesistopati kronis. Hepa-Merz LOLA Gangguan penyakit hati akut dan

kronis dengan hiperammonemi. Leberam Arginin Gangguan fungsi hati dgn atau

tanpa hiperammonemi. Rochmalat Arginin Hiperammonemi.

Hepasteril Arginin Hepatitis kronis.

Polilevo Arginin-HCl

Cendrangolo (1962) melaporkan efek terapi Asam glutamat dalam berbagai penyakit hati terutama pada koma, karena kemampuannya mengikat gugus NH3, dan dalam reaksi tersebut terbentuk Glutamin yang tidak toksik(2). Somatostatin memperlihatkan efek proteksi terhadap keracunan Phalloidin, Etanol dan DMSO4

(3). Beberapa peneliti tertarik menguji efek proteksi garam L-Ornithin-L-Aspartat (LOLA). Salvatore et al. (1958) melaporkan efek proteksi campuran Ornithin dan Asam aspartat terhadap keracunan CCl4

(4). Kerusakan hati akibat Diphenylbutazon dapat dihindari dengan pemberian LOLA, juga bila Diphenylbutazon diberikan dalam dosis tinggi pemberian i.p. lebih efektif dari i.v(5). Pemberian Ornithin, Citrullin, Arginin, Asam aspartat dan LOLA, yang merupakan komponen dari siklus sitrat pada tikus dalam keadaan hiperamonemi endogen menurunkan kadar amoniak secara signifikan(6).

Pemberian lebih dulu LOLA dapat menghindari kerusakan hati yang signifikan akibat hipokalemi(7).

Sementara itu dilaporkan pula, bahwa LOLA dapat

menghindari terjadinya coma hepaticum akibat Amoniak, dimana terjadi peningkatan ekskresi Urea yang signifikan(8). Pemberian lebih dulu LOLA pada tikus percobaan meningkat-kan metabolisme, terlihat dari bertambahnya stamina berenang tikus tikus tsb(9,10 ).

Penelitian ini bertujuan menguji efek proteksi LOLA terhadap keracunan etanol pada isolat sel hati tikus BAHAN DAN CARA

Tikus yang dipergunakan adalah jenis Sprague-Dawley jantan dengan berat rata rata 220 g. Collagenase D, Hepes dari Serva, Heidelberg; EGTA dari Sigma, Deisenhofen; Nembutal dari Eva, Paris Liquemin N 25000 dari Hoffman-La-Roche, Basel Percoll dari Pharmacia-Freiburg dan Ham’s F-12 dari Seromed-Berlin. Bahan kimia lainnya dari Merck, Darmstadt. Isolasi sel hati dilakukan dengan metoda Eckel et al,1979 terhadap yang telah dimodifikasi(11). Untuk menguji keracunan etanol pada sel hati, suspensi sel hati (1,0-1,5 juta/ml) diinkubasikan dengan 0,65 mol etanol/liter, dimana kira-kira ± 85% Blebs terbentuk. Medium yang dipergunakan adalah Ham’s F-12 volume akhir berjumlah 1 ml. Setelah masa inkubasi (30 menit) berakhir, isolat sel hati disimpan pada suhu 4oC untuk selanjutnya diamati dengan mikroskop. Vitalitas sel dilakukan menggunakan pewarna trypan blue (0,5%) dalam

O C C C C C N C C C CC O

H H H H H H

OHH

H

H H

Rumus LOLA

NH3+ NH3

+OO

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 57

Page 58: cdk_149_kesehatan_jiwa

cairan NaCl-fisiologis. Vitalitas sel berkisar antara 85-95% untuk semua percobaan.

Di samping vitalitas sel, perubahan permukaan sel merupakan hal yang penting dalam mendeteksi pengaruh asam asam amino, hal ini dapat dilihat dengan menggunakan mikros-kop biasa (light microscope). Agar lebih jelas, dilakukan pemotretan dengan menggunakan scanning electron micro-scope, untuk itu 1,0 sampai 1,5 juta sel difiksasi menggunakan larutan 1% Glutaraldehyd dalam 0,1 mol buffer Cacodylat. Setelah 2 kali dibilas masing-masing selama 15 menit dengan buffer yang sama, difiksasi lagi selama 1 jam dengan 0,5% Os(VIII)-oxid. Dibilas lagi 2 kali 15 menit dengan buffer yang sama, setelah itu dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol, 50%, 70% dan 100%, masing masing 5 menit. Setelah itu dikeringkan di atas Leit-Tabs, kemudian diasapi dengan gold-phallidium (sputter coater). Sediaan kemudian dapat diamati menggunakan Rasterelektronen-mikroskop JSM U3, Jeol. HASIL

Pemberian etanol pada isolat sel hati yang masih segar, akan menimbulkan blebs di permukaan sel yang bentuknya spesifik (Gb. 1). Permukaan tersebut berbeda dibanding per-mukaan isolat sel hati segar tanpa perlakuan (Gb.2)(12). Blebs yang terbentuk akan kembali menyusut (reversibel) dalam waktu kira-kira 30 menit, karenanya penghitungan blebs harus dilakukan dengan cermat. ( Gb.1 ) ( Gb.2 ) Gambar 3. Proteksi efek L-Ornithin-L-Aspartat . Hepatosit terlebih

dahulu diinkubasi dengan berbagai konsentrasi LOLA selama 30 menit,baru setelah itu diberi 0,65 mol etanol/l selama 30 menit pada suhu 25oC. Data yang disajikan adalah nilai rata rata ± SD (n=3)

Gambar 3 dapat terlihat bahwa konsentrasi sekitar 200 mmol LOLA/l telah memperlihatkan proteksi yang sempurna, menyerupai kontrol. Di bawah mikroskop, blebs di permukaan sel tidak kelihatan lagi, sehingga tidak ada perbedaan dengan kontrol. DISKUSI

Munculnya blebs (protrusionen, blister) di permukaan sel, marupakan indikasi dini hipoksia atau toksikasi sel(13). Beberapa senyawa yang telah diketahui menyebabkan timbul-nya blebs, seperti: Phalloidin(14), Brombenzol (Thor dan Orrenius, 1980), DSMO4 dan etanol(3), Cystamin(15), Para-cetamol(16), THA(17). Setiap senyawa menimbulkan bentuk blebs yang berbeda dapat reversibel dan irreversibel. Blebs yang dibentuk etanol tergolong reversibel. Beberapa peneliti sepakat, bahwa terbentuknya blebs disebabkan oleh gangguan pada sitoskelet(3,13,18). Karena keberadaan sitoskelet dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ATP(19), ion H+(20), Thiol(21), dan ion Ca2+ (22), maka perubahan yang terjadi terhadap faktor tersebut mempengaruhi pula eksistensi sitoskelet.

Kerusakan sel karena etanol disebabkan interaksinya dengan membran. Interaksi itu mempengaruhi membran baik secara kimiawi maupum fisikawi dan selanjutnya dapat mengganggu penyampaian signal dari sel ke sel(23,24). Diduga terjadinya kerusakan sel oleh etanol disebabkan terbentuknya acetaldehid serta turunnya ratio NAD+/NADH(25,26).

Meningkatnya konsentrasi ion Ca2+ di dalam sitosol dianggap penyebab terbentuknya blebs(13,27). Konsentrasi ATP intrasel memperlihatkan penurunan signifikan akibat keracunan Etanol(12). Asam amino di samping sebagai unsur utama pembentukan protein, ensim dan hormon, juga banyak berperan kunci dalam proses biokimia, seperti dalam Siklus-TCA dan Siklus-Urea, yang saling berhubungan. Amoniak - produk akhir metabolisme protein/asam amino yang dikenal sangat toksik, melalui.Siklus-Urea, dimana asam amino Ornithin dan Arginin ikut langsung berperan oleh tubuh diubah menjadi Urea yang kurang toksik dan pemberian Ornithin menstimulasi pem-bentukan Urea. Proses ini berlangsung dalam hati dan mem-butuhkan 3 molekul ATP(28), empat asam amino yaitu Arginin, Ornithin, Asam glutamat dan Asam aspartat merupakan katali-sator dari Siklus-Urea(2).

Gambar 1. Scanning electron micrograph (SEM) isolat sel hatitikus yang dipapari etanol (Perbesaran 3000X).

Gambar 2. Scanning electron micrograph (SEM) isolat sel hati tikusyang baru diisolasi etanol (Perbesaran 3000X).

Asam aspartat berperan bukan saja sebagai donatur NH3 kepada Siklus Urea, tetapi juga setelah mengalami desaminasi berubah menjadi Oxalasetat yang merupakan substrat dari Siklus TCA. Mekanisme kerja proteksi efek LOLA diduga karena menstimulasi kedua siklus tersebut, sehingga produksi ATP meningkat dan kadar amoniak menurun.

KEPUSTAKAAN

1. Rote Liste. Hrsg. Bundesverband der Pharmazeutischen Industrie e.V., Frankfurt. 1992.

2. Cedrangolo F. Ornitina ed acido aspartico: Catalizatori dell’ureogenesi. Recentissimo impiego in terapia epatoprotettiva. La Riforma Medica 1962; 76, 1453-1456.

3. Rao, GS., Lemoch, H., Usadel, KH...Behandlung mit Somatostatin schuetzt die Rattenleber gegen Laesion durch Phalloidin, Aethanol, und Dimethylsulfoid. Freiburger Kolloqium Attempto Verlag Tuebingen GmbH. 1982

0 20 40 60 80

100 120

I

Pro

teks

i %

I

I I

400200 300 100 LOLA, mmol / l

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 58

Page 59: cdk_149_kesehatan_jiwa

4. Salvatore F, Cozzolino D, Scoppa P. Bio. Appl. 1958. 5, 237 & Boll.Soc.

It. Biol. Sperim. 34, 620 5. Zicha K, Zicha M. Die Leberschutzwirkung von L-Ornithin-L-aspartat

bei Arzneimittelschaeden an Ratten. Gastroenterologie, 1968. Karl Demeter Verlag, p. 423-429.

6. Hermann G. Beeinflussung der an der Ratte experimentell erzeugten endogenen Hyperammoniaemie durch Aminosaeren. Arzneimittel-Forschung, 1970; 20: 377-379.

7. Raab W. Experimenteller Nachweis einer Leberschutwirkung des L-Ornithin-L-Aspartats am odell der Schaedigung durch Hypokaliaemie. Wiener klinische Wochenschrift Springer Verlag Wien-New York, 1972. p. 348-349.

8. Katsunuma N, Nishii Y. Study on the effect of L-Aspartic acid, L-Ornithine, LOLA on urea synthesis by means of rat liver slice., Study on the effect of L-Aspartic acid, L-Ornithine, LOLA on urea synthesis by means of rat liver slice. Merz Co. GmbH & Co. Chemische Fabrik, Frankfurt

9. Cutinelli L. Arzneim. Forsch 1970; 20, 10. Ogawa S, IkawaY, Komatsu F. Anti-fatigue effect and influence of L-

Ornithine-L-Aspartat on stamina. 11. Rao G.S, Lemoch H, Kessler H.. Prevention of phalloidin-induced lesion

on isolated rat hepatocytes by novel synthetic analogues of somatostatin. Klin.Wochenschr. 1986; 64, 79-86.

12. Simanungkalit N. Effects of Ethanol on Isolated Hepatocytes: Alteration in Cell Surface and Intracellular ATP. Med J Univ. of Indon. 1994; 3(4):.208-212.

13. Jewell SA, Bellomo G, Thor., Orrenius S, Smith T. Blebs formation in hepatocytes during drug metabolism is caused by disturbances in thiol and calcium ion homeostasis. Science 1982; 217: 1257-1259.

14. Weiss,E, Sterz I, Frimmer,M, Kroker R. Electron microscopy of isolated rat hepatocytes before and after treatment with palloidin. Beitr., Path. 150, 345-3561973

15. Nicotera P, Hartzell P, Baldi, Svenson, S, Bellomo G, Orrenius S. Cystamine induced toxicity in hepatocytes through the elevation of cystolic and the stimulation of a nonlysosomal proteolityc system. J. Biol.Chem. 1986; 261:14628-14635

16. Chenery R.J. Metabolism and toxicity of drugs in mammalian hepatocyte culture. In: In vitro methods in toxicology. Ed. AtterwillCK. Cambridge Univ.Press, Cambridge, 1987. 211-233.

17. Simanungkalit N. THA (1,2,3,4-Tetrahydro-9-Aminoacridin), Obat

Alzheimer Terbukti Merusak Isolat Sel Hati. Medika 1999 (V):7. 18. Hasky DL, Hay ED. Freeze-fracture studies of the developing cell

surface. J. Cell Biol. 1978;; 78: 756-768 19. Clarke M, Spudich JA. Non muscle contractile proteins: The role of actin

and myosin in cell mortality and shape determination. Ann.Rev.Biochem 1977; 46: 797-822

20. Condeelis J., Vahey M. A calcium- and pH-regulated protein from Dyctiostellum discoideum that cross-links actin filaments. J. Cell.Biol. 1982; 94: 466-471

21. Tait J, Frieden. Chemical modification of actin. Biochemistry 1982; 24: 6046-6053.

22. Schliwa M. Protein associated with cytoplasmic actin. Cell 1981;.25: 587-590.

23. Chin JH, Goldstein DB. Drug tolerance in biomembranes: a spin label study of the effects of ethanol. Science 1977; 196: 684-685

24. Seeman P. The membrane actions of anasthesics and tranquilizers. Pharmacol. Rev. 1972; 24: 583-655.

25. Lieber C. Metabolic effects produced by alcohol in the liver and other tissue. Adv. Intern. Med. 1986; 14: 151-155. Filippini,

26. Filippini L.. Leberschaden durch Alkohol. Hrsg. Wilhelm Goldmann Verlag, Muenchen 1971

27. Lemaster JJ, Stemkowski J, Ji S, Thurman RGJ. Cell surface changes and enzyme release during hypoxia and reoxygenation in the isolated. Perfudsed rat kiver. Cell Biol. 1983; 97:778-786.

28. Krebs HA.et al. Hoppe-Seyler s Zeitschrift f. physiol. Hemie, 1932; 210: 33.

29. Du Ruisseau JP, Greenstein J.P, Winitz, Birnbaum S.Arch. Bioch.Biophys. 1956; 64: 355.

30. Eckel J, Rao GS, Rao .L, Breuer H.. Uptake of L-tri-iodothyronine by isolated rat liver cells. Biochem.J. 1979; 182: 473-491.

31. Hennery RJ. Metabolism and toxicity of drugs in mammalian hepatocytes culture. In: vitro methods in toxicology. Ed.Atterwill,CK. Cambridge University Press, Cambridge, 1987. 211-233.

32. Lemaster JJ, Di Giuseppi, J, Nieminen A, Hermann B. Blebbing, free a.. and mitochondrial membrane potential preceding cell death in hepatocytes. Nature 1978; 325:78-81

33. Sioya A, Kuraishi K, Kakimoto, TamamaY, Tobita K, Nezu Y, Isono H, Shimizu T, Furukawa T. Pharmacological study on L-Ornithine-L-Aspartate. Chugai Pharmaceutical Central Laboratory.

Cermin Dunia Kedokteran 2006 Topik Mendatang

- Masalah Kandungan / Kehamilan - Gizi dan Makanan - Masalah Paru - Masalah Interna / Penyakit Dalam

Redaksi tetap mengharapkan sumbangan naskah dari para sejawat, tidak terbatas pada rencana topik di atas. Terimakasih atas kerjasama yang baik selama ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 59

Page 60: cdk_149_kesehatan_jiwa

PENGALAMAN

Beberapa Temuan yang tak lazim (aneh) selama Bekerja

Meneliti Susunan Kimia Batu Ginjal

Dr. Oen Liang Hie

Profesor Emeritus Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

PENDAHULUAN

Beberapa waktu yang lampau, ketika masih aktif di bagian Biokimia FKUI Jakarta, kami telah melakukan analisis kimia komponen penyusun batu di sistem traktus urinarius. Batu yang telah diteliti berasal dari yang keluar secara spontan maupun yang dikeluarkan melalui tindakan pembedahan ( MKI 38, 155 -158, 1988 ).

Batu tersebut selain datang dari RSCM-FKUI juga datang dari rumah sakit lain dan juga atas permintaan perseorangan. Analisis kimiawi komponen batu ginjal dilakukan dengan tujuan agar diketahui susunannya, seperti urat, oksalat atau fosfat. Dengan pengetahuan ini dokter atau pasien dapat mengambil langkah-langkah, misalnya dengan mengubah diet, sehingga mengurangi kemungkinan terulang kembali pembentukan batu (rekurensi).

Selama kegiatan tersebut pernah diterima permintaan analisis batu bukan hanya berasal dari traktus urinarius, tetapi juga berasal dari organ lain seperti kandung empedu. Juga pernah terjadi permintaan analisis sebuah batu dari seorang "penderita" yang berhasil dikeluarkan dari tubuh oleh seorang "pintar", akan tetapi terbukti bahwa batu tersebut hanya sebuah batu kali biasa. ILUSTRASI KASUS

Berikut akan diuraikan beberapa temuan yang tidak lazim atau aneh selama analisis rutin di atas: A. Pada suatu hari seorang dokter bagian Telinga Hidung

Tenggorakan (THT) RSCM-FKUI mengirim surat dengan permintaan analisis susunan batu yang berhasil dikeluarkan dari bagian dalam hidung pasien laki-laki berumur kurang lebih 20 tahun. Pada surat tersebut juga diberi keterangan bahwa penderita hanya mengeluh tentang rasa tersumbat pada salah satu saluran pernapasannya tanpa disertai rasa nyeri. Tak dapat diingat olehnya hal-hal yang dapat menerangkan kehadiran benda tersebut di dalam hidungnya.

Analisis

Benda yang berhasil dikeluarkan oleh dokter THT tersebut keras seperti batu berbentuk agak bulat, berdiameter kurang lebih 1 cm, berwarna hitam, dan tidak berbau busuk. Jelas ter -

lihat bahwa benda tersebut bukan berasal dari seekor serangga. Setelah dicuci bersih maka warna menjadi kurang hitam, akan tetapi tidak dapat ditemukan tanda-tanda pengenal asalnya. Oleh karena kerasnya bagian luar,maka kami berusaha membelah benda tersebut agar dapat melihat bagian tengahnya dan memperoleh bahan agar dapat dianalisis susunan kimianya. Bagian luar yang keras dan berperan sebagai pembungkus memang tersusun dari garam kalsium (Ca) hingga pantas disebut batu. Batu tersebut dicoba dibelah dengan gergaji kecil dan tipis yang lazim dipakai untuk membuat huruf atau gambar dari kayu triplek. Sewaktu gergaji mendekati bagian tengah, dirasakan sulit bergerak leluasa terasa gergaji tersebut terjepit. Hal seperti ini tak pernah kami alami sebelumnya. Dengan susah payah pemotongan dengan gergaji diteruskan sehingga benda terbelah dua. Terlihat bagian tengah "batu" bersifat kenyal seperti karet. Dengan mengambil sedikit bahan bagian tengah dan membakarnya maka tercium bau sangit yang mengingatkan seperti karet dibakar; berarti terdapat elemen sulfur atau belerang. Apa mungkin benda ini berasal dari karet? Kemudian saya teringat akan salah satu cara yang kami pergunakan sewaktu masih kecil yaitu bila hendak membuat sebuah bola bekel yang telah mengeras menjadi lunak kembali, yaitu dengan merendam-nya dalam minyak tanah.

Catatan: Karet yang dipakai dalam pembuatan bola bekel adalah karet yang telah mengalami vulkanisasi yang berarti karet telah direaksikan dengan sulfur untuk memperoleh elastisitas (daya pantul) karet yang diinginkan. Hasil rendaman potongan benda tersebut dalam minyak tanah selama satu malam, membuat benda menjadi besar dan juga menjadi lebih kenyal seperti karet. Kesimpulan Inti dari batu hidung yang diteliti memang berasal dari karet. Bagaimana menerangkan ini? Hasil pemikiran kami adalah karet di bagian tengah batu berasal dari karet penghapus yang terdapat di ujung pensil (gb. 1). Memang dapat diingat oleh penderita bahwa pada masa kecilnya, ia menggunakan pensil dengan karet penghapus di ujungnya. Diperkirakan sewaktu memasukkan ujung pensil ke dalam liang hidung, ujung

Cermin Dunia Kedokteran No. 149 60

Page 61: cdk_149_kesehatan_jiwa

karet tersebut terlepas. Usaha untuk mengeluarkannya membuat benda tersebut makin terdorong ke dalam dan potongan karet tersebut menyangkut di saluran belakang hidungnya. Oleh karena tak ada rasa nyeri maka peristiwa tersebut diabaikan. Pasien tidak ingat lagi kapan peristiwa itu terjadi.

Gambar 1. Contoh bentuk karet penghapus pensil Penjelasan

Sebagai mekanisme pertahanan, tubuh akan membungkus atau melapisi benda tersebut dengan menggunakan lapisan atau endapan berunsur kalsium sehingga akhirnya terbentuk batu. B. Pada suatu hari datang sebuah bungkusan kain kasa putih

yang berisi sebuah batu sebesar bola tenis disertai keterangan bahwa benda ini hasil tindakan pembedahan, dikeluarkan dari buli-buli (kandung kemih) seorang penderita laki-laki berusia lanjut yang telah mengalami pembedahan prostat empat tahun yang lalu (catatan: operasi prostat pada masa itu dilakukan dengan membuka dinding perut dan buli-buli di daerah supra pubis!)

Gambar 2. Batu seukuran bola tenis

Bola tersebut seperti batu berwarna kuning kotor. Untuk meneliti susunan kimianya, batu tersebut perlu dibelah agar memperoleh bagian tengahnya untuk analisis kimiawi. Sewaktu digergaji dengan gergaji biasa terjadi hal sebagai berikut: pada kurang lebih pertengahan bola, gigi gergaji terasa melewati suatu bagian yang jauh lebih lunak dari bagian permukaan batu. Setelah terbelah dua, pada bagian tengah batu dapat terlihat ujung-ujung benang yang ternyata berasal dari kain kasa ( Gb. 2 dan 3 ).

Gambar 3. Tampak benang kasa pada bagian tengah batu ( pembesaran lOOx )

Disimpulkan batu ini terbentuk dari inti kain kasa yang tertinggal dalam buli-buli sewaktu tindakan operasi sekian tahun yang lalu (catatan: tertinggalnya gulungan kain kasa tersebut tidak disadari oleh ahli bedahnya). Setelah melewati masa bertahun-tahun, tubuh berhasil menutupi/membungkus dengan endapan/ lapisan garam kalsium dan akhirnya terbentuklah batu yang diuraikan di atas. KESIMPULAN

Kedua uraian tersebut mengingatkan kita akan berita yang dimuat dalam surat kabar tentang ditemukannya sebuah mumi yang tertinggal selama 26 tahun di dalam perut seorang wanita. Dalam kalangan ahli kebidanan, hal ini disebut lithopaedion.

Sebagai seorang yang menggeluti ilmu biokimia, perlu disampaikan kepada pembaca bahwa elemen kalsium di dalam tubuh yang sudah memiliki berbagai fungsi, masih juga dapat bekerja sebagai pelapis benda asing di dalam tubuh. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Benny Handojo R untuk segala bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149 61

Page 62: cdk_149_kesehatan_jiwa

Produk Baru

Lodopin – Antipsikotik Atipik Zotepine

Terapi Terbaru untuk Kasus Skizofrenia

Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang

berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan antara individu dengan lingkungannya. Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang termasuk dalam golongan psikosis dan merupakan penyakit psikotik yang paling sering dan paling banyak diketahui, hal ini tidak berarti skizofrenia sinonim dengan psikosis. Insidensi skizofrenia di Indonesia sendiri belum jelas.

Penyebab pasti penyakit ini sampai saat ini masih belum jelas diketahui; dari autopsi ditemukan kelainan di area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, dan ganglia basalis, misalnya pelebaran sulkus, fisura, serta ventrikel, perubahan asimetri hemisfer serebri, dan gangguan densitas otak, namun tidak ada satupun yang khas atau selalu ditemukan pada penderita skizofrenia. Petunjuk adanya peran genetik pertama kali didapat dari penelitian keluarga. Jumlah penderita dalam keluarga lebih banyak dibandingkan dengan penderita pada populasi umum. Satu dari 100 orang dalam populasi umum pernah menderita skizofrenia dalam periode hidupnya, sementara dari 100 saudara kandung penderita dijumpai 13 orang juga skizofrenia. Dari penelitian "epidemiologi keluarga" terlihat bahwa risiko untuk keponakan adalah 3 persen, masih lebih tinggi dari populasi normal yang hanya 1 persen. Dengan demikian, kemungkinan anak tumbuh sehat adalah 97 persen. Makin dekat hubungan keluarga biologis, makin tinggi risiko terkena skizofrenia. Etiologi lain yang mendukung adalah bahwa aktivitas neurotransmiter dopamin berlebihan pada jalur dopamin di susunan saraf pusat yaitu jalur mesolimbik dapat mencetuskan gejala positif skizofrenia, selain itu penurunan aktivitas neurotransmiter dopamin pada jalur dopamin juga mengakibatkan munculnya gejala negatif serta fungsi kognitif, selain itu juga dihubungkan adanya gejala ekstrapiramidal yang sering muncul pada pasien skizofrenia.

Saat ini PT. Kalbe Farma Tbk telah memiliki 2 obat antipsikotik; setelah Zofredal® yang mengandung risperidone telah dijual di pasaran, bulan Agustus lalu telah diluncurkan produk baru anti-skizofrenia dengan nama dagang Lodopin® yang mengandung zat aktif zotepine; produk yang dijual di Indonesia ini mempunyai nama dagang yang sama dengan di Jepang, jadi Lodopine merupakan produk original. Zotepine adalah suatu antipsikotik atipik golongan dibenzothiepine yang dapat mengurangi fungsi dopamin di 4 jalur dopamin yang terdapat di susunan saraf pusat. Zotepine bekerja menghambat 2 reseptor dopamin (D1 dan D2 like receptors) selain itu

zotepine dapat berikatan dengan 4 subtipe reseptor serotonin (5HT2a, 5HT2c 5HT6 dan 5HT7). Zotepine juga dapat berikatan dengan reseptor adrenergik 1 (α1) dan reseptor histamin 1 (H1); selain itu zotepine mempunyai keunikan yaitu mampu menghambat re-uptake noradrenalin, yang dapat mengimbangi sebagian efek antagonisme reseptor α 1- adrenergik dari zotepine. Profil farmakokinetik obat ini dengan mula kerja yang cukup cepat yaitu 2-3 jam dapat memberikan manfaat yang segera terhadap penderita skizofrenia, lagipula tidak dipengaruhi oleh makanan.. Penelitian di beberapa negara di Eropa dan Jepang, memperoleh hasil bahwa zotepine secara bermakna dapat memperbaiki gejala positif, negatif serta perbaikan pasien skizofrenia secara klinis yang dinilai dengan beberapa cara skoring antara lain Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), Clinical Global Impressions (CGI), Scale for the Assessment of Negative Symptoms (SANS) serta Positive and Negative Signs Scoring System. Kelebihan zotepine yang lain selain efektivitasnya, juga ditunjukkan dari hasil beberapa penelitian yaitu dapat mengurangi efek samping ekstrapiramidal, dalam hal ini membandingkan zotepine dengan antipsikotik konvensional yaitu haloperidol dan chlorpromazine; serta pernah juga dibandingkan dengan antipsikotik antipik lain yaitu clozapine - hasilnya bahwa pemakaian zotepine secara bermakna dapat memperbaiki fungsi kognitif pasien skizofrenia meskipun efektivitas-nya dalam memperbaiki gejala positif dan negatif sebanding. Zotepine juga efektif menekan angka kekambuhan, terbukti dalam penelitian atas pasien skizofrenia kambuhan.

KEPUSTAKAAN

1. A Comparison of an Atypical and Typical Antipsychotic: Zotepine versus

Haloperidol in Patients with Acute Exacerbation of Schizophrenia: A Parallel Group Double Blind Trial. Psychopharmacol. Bull. 1996; 32:81-87.

2. Summary of Product Characteristics. Printed for Certificate of Pharmaceutical Product Number PP048518. Knoll Ltd, England.

3. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Departemen Kesehatan RI 1993.

4. Faktor Genetika pada Skizofrenia, http://www.kompas.com/ kompascetak/0311/17/inspirasi/692476.htm

5. Standard Commodity Classification no. 871179 of Japan Fujisawa Pharmaceutical Co.,Ltd. Agent for shizophrenia Lodopin.

6. Zotepine in the prevention of recurrence: a randomised, double blind placebo-controlled study for chronic schizophrenia. Psychopharmacology 2000:150;237-43.

7. Improvement of cognitive function in schizophrenic patients receiving Clozapine or Zotepine: Result from a double blind study. Pharmacopsychiatry 1997; 30(2): 35-42 .

8. A Placebo controlled comparison of zotepine versus chlorpromazine in patients with acute exacerbation of schizophrenia. Acta Psychiatr.Scand. 2000;101: 218-25 .

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 62

Page 63: cdk_149_kesehatan_jiwa

Kegiatan Ilmiah

Innogene Kalbiotech, anak perusahaan PT Kalbe Farma untuk menembus pasar dunia, Jakarta 29 Juli 2005

Tidak hanya unggul dalam negeri saja (saat ini "KLBF" adalah perusahaan farmasi terbesar di Bursa Efek), PT Kalbe Farma bercita-cita menembus pasar dunia. Caranya adalah menciptakan produk-produk baru (paten internasional). Jadi bangsa Indonesia bisa bangga bahwa nantinya akan lahir obat-obatan farmasi original yang diproduksi oleh PT Kalbe Farma. Melalui Innogene Kalbiotech, Kalbe Farma akan menjadi drug development company dengan fokus pada clinical development. Demikian hasil Press Conference di Kantor Marketing PT Kalbe Farma, Jumat 29 Juli 2005, yang diikuti dengan acara penandatanganan kerjasama dengan perusahaan Recombio pada Senin 1 Agustus 2005 (tampak dalam foto: Peserta dari acara penandatanganan co-developement agreement Innogene Kalbiotech dengan Recombio untuk produk vaksin kanker dengan kode 1E10). Kalbe Farma Dinner Symposium, Solo 23 Juli 2005

Kontroversi cairan Koloid versus Kristaloid sudah berlalu beberapa dekade yang lalu. Saat ini menurut penuturan Dr. Sun Sunatrio, para ahli sudah menyadari bahwa kedua cairan ini bisa saling melengkapi. Hal ini diungkapkan dokter dari FKUI/RSCM dihadapan sekitar 200-an dokter peserta acara Dinner Symposium Kalbe Farma yang mengambil tema: Acid Base Balance in Colloid Therapy (Fluid Therapy). Kalbe Farma Lunch Symposium, Solo 23 Juli 2005

Pada keadaan sepsis, terapi antimikroba harus segera dimulai setelah sampel darah untuk pemeriksaan biakan diambil. Resume diskusi mengenai antibiotik pada Simposium Makan Siang kali ini, menjelaskan bahwa Levofloksasin (Cravit®) diketahui mempunyai efek yang cepat dengan penetrasi sel yang tinggi. Begitu pula, obat untuk gram negatif ini, mempunyai kadar intraseluler yang tinggi dalam sel fagosit sehingga bermanfaat untuk terapi sepsis karena bakteri.

Seminar BTXA, Jakarta 10 Agustus 2005

Menurut dr Juan P Sanchez ahli bedah plastik dan rekonstruksi dari Makati Medical Center Filipina, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan produk kecantikan antara lain: sudah terdaftar pada badan otoritas suatu negara dan kredibilitasnya. Selama kurang lebih 4 jam, dokter ahli bedah plastik dan penulis

buku “Bagaimana Komunikasi Efektif dengan Pasien“, menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan BTXA® (toksin clostridium botulinum tipe A), produk bioteknologi PT Kalbe Farma. Moto yang digunakan adalah Goodbye Wrinkles. Presentasi Buku Terbitan Baru UI: Komunikasi Dokter dengan Pasien, Jakarta 2 Juni 2005

Acara Peluncuran Buku "Kupersembahkan Buku Untukmu Indonesia" merupakan acara penutup dari rangkaian acara Dies Natalis UI ke 55 tahun 2005 untuk bagian FKUI. Ketua Umum Dies tahun ini adalah Dr. Tjandra Yoga Aditama. Pada acara tersebut dr.Sjamsurijal Djauzi mempresentasikan bukunya yang merupakan salah satu dari 51 buku terbaru terbitan UI tahun 2004.

Simposium Ilmiah Elektrofisiologi sebagai penatalaksanaan terkini Aritmia, RS. Mitra Keluarga Kelapa Gading, 18 Juni 2005

Atrial fibrillation (AF) adalah kelainan irama jantung yang paling banyak didapat. Begitu banyaknya kejadian sehingga AF sudah menjadi penyakit epidemik global. Saat ini, menurut Dr Yoga Yuniadi SpJP, penatalaksanaan AF dapat dilakukan dengan tindakan invasif, yaitu pemasangan alat pacu jantung atau yang lebih dikenal dengan tindakan ablasi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 63

Page 64: cdk_149_kesehatan_jiwa

Penanganan & Pencegahan virus Hepatitis pada penyakit Ginjal Kronis, Jakarta 18 Juni 2005

IKCC kembali mendampingi, memberi informasi dan menjadi wadah bagi rekan-rekan pasien ginjal kronis maupun rekan-rekan yang peduli terhadap ginjal, tempat seluruh partisipan dapat berbagi pengalaman dan tips. Sabtu 18 Juni 2005, bertempat di Conference Room PT. Bintang Toedjoe Pulomas, IKCC mengadakan seminar mengenai Hepatitis dengan tema “Penanganan & Pencegahan Virus Hepatitis pada Ginjal Kronis” bersama dr. J. Boas Saragih, SpPD, DTM & H dari RS PGI Cikini. Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular IV, Jakarta 1-3 Juli 2005

Gagal jantung merupakan sindrom yang timbul akibat ketidak-mampuan jantung memompakan darah ke dalam sirkulasi jaringan tubuh walaupun tekanan pengisian ke dalam jantung cukup tinggi (kegagalan pengisian ke dalam ventrikel kiri). Simposium yang berlangsung selama 3 hari ini diselenggarakan oleh CME Ilmu Penyakit Dalam bekerjasama dengan Ikatan Keseminatan Kardio-serebrovaskular Indonesia (IKKI) , diikuti oleh sekitar 1.000 peserta. Simposium Forum Onkologi Bandung (FOB) ke-2, Bandung 7-8 Juli 2005

Kemoterapi ajuvan maupun neoajuvan sangat berperan me-ningkatkan lamanya revisi dan harapan hidup pasien kanker payudara stadium dini. Simposium yang berlangsung 2 hari ini diikuti oleh sekitar 50 dokter Bedah Onkologi dan Hematologi Onkologi. KONAS PETRI XI, PERPARI VII, PKWI VIII, PIT II PAPDI cabang Surakarta, Solo 22 – 24 Juli 2005

Para dokter sebaiknya memberlakukan preparat herbal sebagai obat ajuvan yang berarti tidak seharusnya diberikan terus menerus. Manfaat fitofarmaka memang sangat baik jika diberikan pada mereka yang mengalami kekurangan zat tersebut. Namun pemberian terus menerus adalah berlebihan dan jangka panjang bisa mengakibatkan efek yang tidak diinginkan. Demikian pembahasan yang disampaikan Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr, SpPD-KPTI dihadapan sekitar 800 peserta acara yang berlangsung di Hotel Quality Solo, pada sesi "Peran Respon Imun pada Usia Lanjut". Hidup Fit Bebas Anemia, Jakarta 23 Juli 2005

IKCC kembali mengadakan pertemuan rutin bulanan bagi penderita ginjal dan rekan-rekan yang peduli terhadap ginjal, Sabtu, 23 Juli 2005, bertempat di RS Pertamina Pusat Jakarta Selatan, dengan mengangkat tema Hidup fit, bebas anemia bagi penderita ginjal dan gagal ginjal. Bersama dr. Hariadi Wirotomo, DSPD. Pelatihan VI PERMAPKIN: Pengenalan Proses Sertifikasi ISO 9001:2000 di RS, Jakarta 25-27 Juli 2005

Bagi pelanggan (baik perorangan maupun perusahaan), MUTU biasanya diartikan dengan (1) permintaan/persyaratan yang sudah dinyata-kan sebelumnya, (2) kecocokan dalam penggunaan dan (3) barang/ tempat/waktu/harga yang tepat/sesuai. Demikian Pengenalan Proses Sertifikasi ISO 9001:2000 yang disampaikan oleh Ibu Dwi Indah Prastyastuti kepada sekitar 40 manager perumahsakitan dari seluruh Indonesia di Jakarta. 12th International Symposium on Shock and Critical Care, Bali, 12 – 14 Agustus 2005

Acara ini diselenggarakan di Discovery Kartika Plaza Hotel, Kuta Bali, merupakan satu rangkaian yang terdiri dari simposium utama, tracheostomy workshop, dan dilanjutkan Basic Course hingga 16 Agustus 2005. Simposium utama dibuka dengan pemukulan gong

secara bergantian oleh dr. Tri Wahyu selaku ketua panitia, dr. Ernest Benjamin selaku penasehat dan dr.Joseph Varon selaku ketua seksi ilmiah. Acara bertaraf internasional ini dihadiri oleh sekitar 500 peserta dan puluhan pembicara mancanegara, seperti Australia, Canada, Perancis, Jerman, Hong Kong, India, Malaysia, Meksiko, New Zealand, Arab, Singapura, Inggris, dan Amerika. Seminar II Revolution on Anti Aging Medicine, Jakarta 13 Agustus 2005

Hormon Testosteron digunakan sebagai first line therapy di negeri Tirai Bambu (Cina) untuk pria yang mengalami depresi. Demikian penjelasan dr Erwin Peetosutan, SpP, pakar Anti Aging Indonesia, saat memberikan ceramah kepada sekitar 250 peserta yang mengikuti Series of Seminar & Workshop dari Perkumpulan Awet Sehat Indonesia (PASTI). Seri seminar berikutnya akan di selenggarakan di tempat yang sama pada Sabtu, 26 November 2005. Seminar Air Hexagonal dan Kesehatan, Jakarta 14 Agustus 2005

Fungsi air dalam tubuh tidak hanya menghilangkan haus, tetapi juga metabolisme hidup, kesehatan dan proses penuaan. Stres yang menyerang hampir setiap orang juga dapat mengeringkan persediaan air dalam tubuh, sebaliknya kekurangan air juga dapat menyebabkan stres. Anda perlu minum air berkualitas baik untuk mencegah penyakit, kata Walter Kim, PhD, CEO of Keosan Co.Ltd. Seminar tentang air hexagonal dan kesehatan yang berlangsung di Jakarta, 14 Agustus 2005 ini dihadiri oleh sekitar 150 undangan dari kalangan dokter. First International Meeting on Hospital Role in Occupational Medicine, Jakarta 19 - 20 Agustus 2005

Pencegahan merupakan pendekatan yang relatif murah di-bandingkan mengobati. Apalagi jika kita turut memperhitungkan juga waktu kerja yang terbuang selama pengobatan. Hal ini diutarakan Sr. Specialist on Occupational Safety and Health ILO Subregional Office for South Asia, Ingrid Christensen, pada saat memberikan Plenary Lecture, hari pertama Simposium Internasional Pertama yang mengambil topik Hospital Role in Occupational Medicine di Hotel Borobudur Jakarta, Indonesia. Simposium dihadiri oleh sekitar 200 peserta pelaku/pengamat Kesehatan Kerja (dokter dan non dokter). The 5th Annual Scientific Meeting on Pharmacology, Jakarta 26-27 Agustus 2005

The 5th Annual Scientific Meeting on Pharmacology and Therapy yang berlangsung 2 hari mengambil tema Recent Pharmacotherapy. Acara dibuka dengan kata sambutan dari ketua panitia Dr. Suharti K Suherman SpFK(K) dilanjutkan dengan kata sambutan oleh wakil Dekan II FK UI, dr Prijo Siditomo Sp. Rad. The 4th Annual Scientific Meeting Raffles Hospital Singapore 27 Agustus 2005

Ada beberapa hal baru pada acara tahunan ke-4 dari Raffles Hospital Singapore. Misalnya, menurut Ketua Panitianya, dr Tan Yew Ghee, tempat pelaksanaannya yang tidak lagi dilakukan di rumah sakit, melainkan di Sheraton Towers Hotel dengan fasilitas konferensi dan audiovisual yang baik. Hal kedua dalam simposium bertema "Gynaecology and Paediatrics - The GP's Perspective" adalah diundangnya dokter-dokter luar negeri seperti dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Myanmar dan Sri Lanka.

Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas, bisa diakses

pada http://www.kalbefarma.com/seminar.

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 64

Page 65: cdk_149_kesehatan_jiwa

ABSTRAK MEROKOK DAN FUNGSI PARU Fungsi paru membaik jika sese-orang berhenti merokok, tetapi man-faatnya berkurang akibat kenaikan berat badan yang menyertainya, teru-tama di kalangan pria. Sejumlah 6654 orang dari 27 kilinik/rumahsakit diukur fungsi paru-nya di tahun 1991-93 saat mereka ber-usia 20-44 tahun, kemudian diulang pada tahun 1998-2002. Dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok, penurunan FEV1 lebih rendah pada mereka yang berhenti merokok (beda rata-rata 5.4 ml/tahun 95%CI: 1.7 sd. 9.1) dan di kalangan mereka yang berhenti merokok dalam masa survai (2.5 ml; -1.9 sd. 7.0) dan paling nyata di kalangan perokok (-4.8 ml; -7.9 sd. –1.6). Di kalangan perempuan, masing-masing 1.3 ml/tahun (-1.5 sd. 4.1); 2.8 ml (-0.8 sd. 6.3) dan –5.1 ml (-7.5 sd. –2.8). Perbedaan ini tidak bermakna. Selain itu FEV1 menurun –11.5 ml (-13.3 sd. –9.6) per kg. kenaikan berat badan di kalangan pria dan –3.7 ml (-5.0 sd. –2.5) per kg. kenaikan berat badan di kalangan perempuan; hal ini menghilangkan manfaat berhenti merokok pada 38% pria dan 17% perempuan.

Lancet 2005;365:1629-35 brw

ALFAFETOPROTEIN SERUM DAN RISIKO SIDS

Selama ini diketahui bahwa pe-ningkatan kadar alfa fetoprotein serum saat kehamilan trimester ke dua meru-pakan pertanda disfungsi plasenta dan dapat meramalkan risiko lahir mati.

Para peneliti di Inggris menyelidiki kaitannya dengan risiko SIDS (sudden infant death syndrome).

Di antara 214 532 wanita dengan kelahiran tunggal di Skotlandia, terca-

tat 114 kasus SIDS (2.7 per 1000 kelahiran di antara mereka dengan quintile tertinggi).

Dengan nilai quintile terendah sebagai patokan, odd ratio kejadian SIDS untuk empat quintile berikut ialah 1.7 (95%CI: 0.8-3.5), (0.9-3.7), 2.5 (1.3-4.8) dan (1.4-5.4) p for trend = 0.001.

Risiko SIDS berbanding terbalik dengan berat badan lahir dan usia kehamilan; jika faktor-faktor di atas dikoreksi, maka odd ratio SIDS menjadi berturut-turut: 1.7 (0.8-3.5); 1.7 (0.8-3.5); 2.2 (1.1-4.4), 2.2 (1.1-4.3), p for trend = 0.01.

Mereka menyimpulkan adanya hubungan langsung antara kadar AFP serum ibu pada trimester ke dua dengan risiko SIDS, mungkin karena risiko pertumbuhan janin terhambat dan kelahiran prematur.

N.Engl.J.Med.2004;351:978-86

Betametason sering digunakan ibu hamil untuk mencegah sindrom gangguan pernapasan bayinya. brw

BERHENTI MEROKOK MENG-GUNAKAN KOYO (PATCH) NI-KOTIN Sejumlah 34 090 perokok yang menghubungi hotline untuk berhenti merokok dikirimi koyo nikotin untuk penggunaan 6 minggu – dengan dosis 21 mg., 14 mg. dan 7 mg./hari masing-masing untuk 2 minggu. Setelah 6 bulan diambil secara acak 1305 orang dari kelompok tersebut untuk diban-dingkan dengan kontrol yang diambil dari kelompok yang sebenarnya akan diikutkan dalam percobaan ini, tetapi karena kesalahan teknis, tidak. Ternyata lebih banyak pengguna koyo yang tetap tidak merokok setelah 6 bulan (33% vs. 6%, p<0.0001); perbedaan ini tetap bermakna setelah penyesuaian faktor demografik dan jumlah rokok yang diisap (OD 8.8, 95%CI 4.4 -17.8).

Persentase berhenti merokok lebih tinggi di kalangan yang lahir di luar AS (87 - 39%), usia > 65 tahun (40 – 47%) dan merokok kurang dari 20 batang/hari (116 – 35%). Mereka yang mendapat konseling lebih banyak yang berhenti merokok (246 – 38% vs. 189 – 27%, p=0.001). Dengan asumsi kelompok kontrol tetap merokok, stop rate di kalangan pene-rima NRT 20%; sedikitnya 6038 berhenti merokok karena program ini dan biayanya $464 tiap orang yang berhenti merokok.

Lancet 2005;365:1849-54 brw

RISIKO PENGGUNAAN BETA-METASON ANTENATAL

Para peneliti mengamati risiko efek samping pengobatan tersebut dengan cara memeriksa 534 anak yang dilahirkan setelah berusia 30 tahun. Di akhir penelitian, 253 anak kelompok betametason dibandingkan dengan 281 anak plasebo. Ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal berat badan, lipid darah, tekanan darah, kadar kortisol plasma, prevalensi diabetes atau riwayat gangguan kardiovaskuler. Pada tes toleransi glukosa menggunakan 75 g. glukosa, kelompok betametason mempunyai kadar insulin plasma 30 menit yang lebih tinggi (60.5 vs. 52.0 mIU/L; ratio of geometric means 1.16 [95%CI 1.03-1.31], p=0.02) dan kadar glukosa 120 menit lebih rendah (4.8 vs. 5.1 mmol/L; diff. –0.26 mmol/L [-0.53 – 0.00], p=0.05) dibandingkan dengan kelompok plasebo. Mereka menyimpulkan bahwa peng-gunaan betametason cukup aman.

Lancet 2005;365:1856-62 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 149, 2005 65

Page 66: cdk_149_kesehatan_jiwa

Indeks Karangan Cermin Dunia Kedokteran

Tahun 2005

CDK 146. Ginekologi 2 English Summary Najoan Nan Warouw, Sugiarto Wiriadinata - Hubungan Serum Feritin Ibu Hamil Trimester ke Tiga dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah Dewi Parwati, Dyah W. Isbagio, Sarwo Handayani, Farida Siburian - Status Imun Tetanus Wanita Usia Subur di Daerah Endemis Malaria Eddy Suparman - Malaria pada Kehamilan Ferry Armanza, Made Kornia Karkata - Kadar Asam Urat sebagai Prediktor Luaran Pengelolaan Preeklampsia Berat Preterm Zulkhairi, Salli R Nasution - Sindroma Nefrotik pada Kehamilan Sahadewa DP, Suwardewa TGA, Jaya MS - USG Transvaginal Dibandingkan dengan D&C PA untuk Diagnostik Perdarahan Uterus Abnormal Supriatmaja IPG, Suwardewa TGA - Pengaruh Senam Hamil Terhadap Persalinan Kala Satu dan Kala Dua Suharto - Penatalaksanaan Fisioterapi pada Nyeri Pinggang Bawah Aspesifik akibat Joint Block Thoracal dan Lumbal

Olwin Nainggolan, Jenry Walles Simanjuntak - Pengaruh Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) terhadap Perilaku Seksual Mencit Putih

Informatika Kedokteran : Pengembangan Kurikulum Informatika Kesehatan Berbasis Kompetensi pada Program Pendidikan Dokter dan Ilmu Keperawatan Kegiatan Ilmiah Kapsul : FDA-Approved Antiretroviral Agents Abstrak : Manfaat rtPA Lancet 2004;363:768 –74 Manfaat simvastatin Lancet 2004;363:757 – 67 Variasi pendidikan kedokteran BMJ 2004 ; 328:207-9 di Australia Kortikosteroid untuk croup N.Engl.J.Med.2004;351:1306 – 13 Terapi tumor payudara dini N.Engl.J.Med.2004;351:963 – 70 Eritromosin oral dan risiko N.Engl.J.Med.2004;351:1089 – 96 komplikasi jantung Lumpektomi untuk tumor N.Engl.J.Med.2004;351:1306 – 13 payudara Partus pasca operasi caesar BMJ 2004;328:311 - 4 Risiko stroke berulang BMJ 2004; 328:326 – 8 CDK 147.Kardiologi English Summary Santoso M. Setiawan T. - Penyakit Jantung Koroner William Sanjaya, Abdul Hakim Alkatiri - Current Trends of Treatment in Hypertension Sunarya Soerianata, William Sanjaya - Peranan Penghambat Reseptor Angiotensin II dalam Hipertrofi Ventrikel Kiri Vaskuler Idris Idham, William Sanjaya - Angiotensin-II dan Remodelling Selvinna - Disfungsi Endotel dan Obat Antihipertensi Jansen Silalahi - Gas Nitrogen Oksida - Polutan atau Vital bagi Kehidupan? Yanto Sandy Tjang, Gero Tenderich, Lech Hornik, Michiel Morshuis, Kazutomo Minami, Richardus Budiman, Reiner Korfer - Pengalaman Klinis Transplantasi Jantung Santosa, Soenarto, Suyanto Hadi - Pengenalan Miopati Mitokondria Olwin Nainggolan, Cornelis Adimunca - Diet Sehat dengan Serat Sulistyowati T, Cornelis Adimunca, Raflizar - Efek Teh Hitam [(Camellia sinensis O.K. Var. Assamica (Mast)] terhadap Plak Aterosklerosis pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) strain New

Zealand White

4 5 – 15

16 – 18

19 – 28 29 – 38

39 – 43 44 – 47

48 – 51

52 – 54

55 – 57

58

59 – 60 61

62 62 62

62 62 63

63

63 63

4 5 – 9

10 – 12

13 – 15

16 – 19 20 – 25 26 – 30

31 – 34

35 – 42

43 – 46 47 – 50

Tjandra Yoga Aditama - Rokok di Sinetron Rully MA Roesli, Enday Sukandar, Rubin Gondodiputro, Rachmat Permana - Kenaikan Kadar Hemoglobin setelah Pemberian Epoeitin Alfa (HEMAPO®) selama 12 Minggu pada Penderita Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis Produk Baru: Kalferon Informatika Kedokteran : Website Kalbe Farma hadir dengan tampilan baru Kegiatan Ilmiah Kapsul : Medication for chronic musculoskeletal pain Abstrak Asma atopik dan - N.Engl.J.Med.2004;351:1068-80 lingkungan rumah Risiko stroke berulang BMJ 2004; 328:326-8 Efektivitas kontrol DM dengan Lancet 2004;363:423-28 hanya diet Deteksi dini kelainan colon Lancet 2005;365:305-11 CDK 148.Imunisasi English Summary Enny Muchlastriningsih - Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia Dyah Widyaningroem Isbagio - Masa Depan Pengembangan Vaksin Baru Ainur Rofiq, Agus Suwandono, Eko Rahardjo, Rudi Hendro P - Serosurvei Influenza pada Pekerja, Penjual dan Penjamah Produk Ayam di 8 Propinsi Kejadian Luar Biasa Flu Burung yang Menyerang Ayam Mardi Santoso, Herman Salim, Hasanudin Alim - Avian Influenza (Flu Burung) Sarjaini Jamal - Apakah SARS akan Berjangkit Kembali ? Sarwo Handayani - Infeksi Campak Karakteristik dan Respon Imunitas yang Ditimbulkan Enny Muchlastriningsih - Kecenderungan Kasus Campak Selama Empat Tahun (1997 – 2000) di Indonesia Bambang Heriyanto, Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Siti Hutauruk - Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia – tahun 2001-2003 Rudi Hendro P, Eko Rahardjo, Masri Sembiring Maha, John Master Saragih - Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Desa Harja Mekar dan Pabayuran Kabupaten Bekasi tahun 2003 Gendrowahyuhono - Status Antibodi Anak Balita Pasca Pekan Imunisasi Nasional (PIN) IV di Makassar Gendrowahyuhono - Status Antibodi Anak Sekolah Dasar Sebelum dan Sesudah Program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di Yogyakarta Eko Rahardjo - Pemeriksaan Spesimen Serum Darah terhadap Zat Anti Legionella Sarwo Handayani - Deteksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Human Metapneumovirus (HMPV) dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT- PCR) Eulis A. Datau, Candra Wibowo - Introduction to Anti-Aging Medicine Produk Baru: Terapi Osteoporosis Betafit,Kombinasi Betaine – Vitamin E Informatika Kedokteran : Daftar Simposium/seminar di Website Kalbe Farma Kegiatan Ilmiah Kapsul : Medication for chronic musculoskeletal pain

51 – 53 54 – 57

58 59

60 – 61

62

63

63 63

63

4

5 – 11

12 – 16

17 – 20

21 – 24

25 – 29 30 – 34

35 – 36

37 – 39

40 – 42

43 – 45

46 – 48

49 – 50

51 - 54

55 -59

60

61

62 63

66 Cermin Dunia Kedokteran No. 149

Page 67: cdk_149_kesehatan_jiwa

CDK 149. Kesehatan Jiwa English Summary Kusumanto Setyonegoro – Kesehatan Jiwa (Mental Health) di Kehidupan Modern Nurmiati Amir - Diagnosis dan Penatalaksanaan Depresi Pascastroke LS. Chandra – Gangguan Fungsi atau Perilaku Seksual dan Penanggulangannya Myrna Yustina – Antidepresan dan Fungsi Seksual Sylvia D. Elvira - Penanganan Psikologik pada Obesitas Theresia Kaunang - Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Asperger Yusuf Alam Romadhon - Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas Raharni, Max J. Herman - Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika & Zat Adiktif) di Kalangan Siswa SMU

4 5

8-13

14-18

19-20 21-23 24-31

32-37

38-43

Dewi Peti Virgianti, Hana Apsari Pawestri - Pengaruh Pendedahan Morfin terhadap Perilaku Masa Prasapih Mencit (Mus musculus) Swiss-Webster Sunanti Z. Soejoeti - Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya Azamris - Respon Terapi Tamoxifien pada Kanker Payudara Lanjut Lokal dengan Reseptor Estrogen, Reseptor Progesteron dan Mr 29.000 Positif Nelson Simanungkalit Pospos - L-Ornitin-L-Aspartat (LOLA) Menghindari Blebbing pada Hepatosit akibat Keracunan Etanol Oen Liang Hie – Beberapa Temuan yang Taklazim (aneh) Selama Bekerja Meneliti Susunan Kimia Batu Ginjal Produk Baru: Lodopin Kegiatan Ilmiah Abstrak Indeks Karangan Tahun 2005

44-48

49-52

53-56

57-59

60-61

62 63 65

66-67

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE BULAN OKTOBER – DESEMBER 2005

BULAN TANGGAL KEGIATAN DAN TEMPAT ACARA SEKRETARIAT PANITIA

29/9 – 01/10

17th Weekend Course on Cardiology (17th WECOC) : Acute Cardiovascular Care

Hotel Borobudur

Department Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia/RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jl. Letjen S. Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta Barat Tlp.: 62-21-5684085 ; Fax. : 62-21-5686203 E-mail : [email protected] Website : http://www.kardiologi-ui.com Oktober

01 – 02

Kongres Nasional II Perhimpunan Patobiologi Indonesia ‘The Management of Sepsis-SIRS Based on Epigenetic & Genetic Mechanism - The bridging of basic science to clinical application’

Hotel Hyatt Regency

Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran (GRAMIK) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo No. 47 Surabaya Tlp. : 031-5020569, Fax. : 031-5013749 E-mail : [email protected]

13 – 16 Temu Ilmiah dan Kongres XIII PERSAGI : Gizi Baik Investasi Pembangunan

Inna Grand Bali Beach, Sanur - Bali

DPP Persagi, Direktorat Gizi Masyarakat Jl. HR Rasuna Said Jakarta 12950 Tlp. : 021-527 7382 ; Fax. : 021-521 0176 E-mail : [email protected]

24 – 27

Konas IX & Annual Meeting PERNEFRI Bali 2005 : The 9th National Congress & Annual Meeting of Nephrology 2005

Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta - Bali

Division of Nephrology, Department of Internal Medicine University of Udayana / Sanglah Hospital Denpasar, Jl. Kesehatan Sanglah Denpasar Bali Tlp. : 0361-245733 ; Fax. : 0361-229799 E-mail : pernefri@[email protected]

25 – 26 4th Jakarta Digestive Week : Update in Gastrointestinal Malignancy

Jakarta Convention Center

Sub Bagian Bedah Digestif FKUI / RSUPNCM Jl. Diponegoro 71. Jakarta Tlp. : 021-39100938, 3148705 ; Fax. : 021-3148705 E-mail : [email protected]

26 Revolution on Anti Aging Medicine Hotel Menara Peninsula, Jakarta

PASTI, Jl. Sawo 15, Menteng Jakarta 10350 Tlp. : 021-391 6241 ; Fax. : 021-314 1850

November

29 – 02

International Conference on Occupational Health in The Informal Sector (ICOHIS): Millenium Goals - Serving the Underserved Working Population

Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta

Ministry of Health, Republic of Indonesia Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-5 No. 4-9 Jakarta 12950 Tlp. : 62-21-5275256, 5214875 Fax. : 62-21-5275256

02 – 04 The Seventh International Meeting on Respiratory Care Indonesia (RESPINA - 2005)

Hotel Borobudur, Jakarta

Persahabatan Hospital, Asthma Building, 2nd Floor Persahabatan Raya, Jakarta 13230 Tlp. : 62-21-4786 4646 ; Fex: 62-21-4786 6543 E-mail : [email protected] ; www.respina.org

03 – 04

Jakarta Diabetes Meeting ‘Practical Insight on Preventing and Treating : Diabetes Obesity and Cardio Metabolic Disease’

Hotel Novotel Mangga Dua, Jakarta

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Tlp. : 021-3100075 / 3907703 ; Fax. : 021-39111740 E-mail : [email protected]

Desember

08 – 09 8th Asia Pacific Symposium On Cardiac Pacing & Electrophysiology

Hotel Westin Nusa Dua, Bali

Departemen Kardiologi FKUI/Pusat Jantung Nasional RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jl. Letjend. S. Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta Barat Tlp. : 021-5608239 Fax. : 021-5608239 E-mail : [email protected]

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbefarma.com/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 149 67

Page 68: cdk_149_kesehatan_jiwa

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Pola penyesuaian diri terhadap stres meliputi hal berikut, kecuali: a) Melawan b) Menarik diri c) Mengubah situasi d) Kompromi e) Membenci

2. Depresi pasca stroke dikaitkan dengan lesi di : a) Frontal b) Temporal kiri c) Temporal kanan d) Parietal e) Oksipital

3. Yang bukan merupakan uji biologik depresi : a) Dexamethasone suppresion test b) Kadar kortikosteroid cairan otak c) Kadar kortisol serum d) Kadar MHPG serum e) Uji stimulasi TSH

4. Antidepresan yang dianjurkan saat awal terapi : a) Trisiklik b) MAO inhibitor c) SSRI d) Litium e) Psikoterapi

5. Anksiolitik yang dikenal lebih efektif untuk mengatasi sexual phobia/anticipatory anxiety :

a) Diazepam b) Buspiron c) Klobazam d) Alprazolam e) Trazodon

6. Perbedaan gangguan Asperger dengan autisme ialah dalam hal :

a) Teori vaksinasi b) Perkembangan kognitif c) Kemungkinan penyebab genetis d) Mula timbul masa kanak-kanak e) Menarik diri

7. Anjuran diet pada gangguan Asperger berupa diet : a) Bebas lemak dan kolesterol b) Tinggi protein c) Rendah gula/karbohidrat d) Bebas gluten dan kasein e) Rendah garam

8. Terapi utama Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktif : a) Psikoterapi b) Metilfenidat c) Haloperidol d) Imipramin e) Bupropion

9. Zat berikut merupakan derivat opiat kecuali : a) Morfin b) Petidin c) Kodein d) Heroin e) Kokain

JAWABAN RPPIK :

1. B 2. A 3. B 4. C 5. D 6. A 7. D 8. B 9. E

Cermin Dunia Kedokteran No. 149 68