Date post: | 30-Jun-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | indra-adiguna |
View: | 2,118 times |
Download: | 6 times |
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting mengingat tidak semua
urusan pemerintahan dapat dilakukan secara sentralisasi. Hal ini juga terkait
dengan adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh
peemrintah daerah sejak lahirnya era reformasi. Untuk mengakomodir tuntutan
tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang
kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No. 25 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Diterbitkannya kedua undang-undang tersebut menjadi legalitas diberlakukannya
otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan
memajukan perekonomian daerah dengan menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah (Mardiasmo. 2002:59).
Kedua undang-undang tersebut berpengaruh terhadap sistem
pemerintahan pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan
mengatur sendiri semua urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun 2004, pen).
Selain itu, salah satu konsekuensi penting dari implementasi otonomi daerah
adalah tersedianya sumber-sumber keuangan yang memadai (Jazuli Juwaini.
2007: 14). Maka dari itu, pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk
mengatur sendiri keuangannya dalam rangka memenuhi anggaran rumah tangga
daerah tersebut dengan meningkatkan dan mendayagunakan Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Pemberian kewenangan kepada daerah ini juga dimaksudkan agar daerah
dapat menyelenggarakan pelayanan publik sesuai aspirasi dan tuntutan
masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunaan dana pemerintah
melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah. Pemerintah
2
Universitas Indonesia
daerah juga diharapkan agar dapat menggali potensi yang dimilikinya untuk
meningkatkan pendapatannya. Dengan begitu, daerah memiliki kemandirian
dalam membiayai belanja pemerintahan dan kegiatan pembangunan di daerah
tanpa tergantung pada pusat (Peni Chalid, 2005 : 6).
Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, salah satu sumber penerimaan
daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang termasuk dalam PAD yaitu
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
dan lain-lain PAD yang sah (Jazuli Juwaini. 2007 : 64). Dalam hal PAD,
pemerintah daerah, propinsi, kabupaten dan kota memiliki kewenangan penuh atas
potensi daerah yang dapat meningkatkan PAD, termasuk didalamnya membuat
peraturan-peraturan daerah yang bertujuan untuk mengoptimalkan pendapatan
bagi daerah. Namun demikian, peraturan-peraturan tersebut tetap mengacu kepada
kapasitas lokal dan penciptaan iklim yang kondusif terhadap pertumbuhan
ekonomi dan tidak menyebabkan biaya ekonomi tinggi (Peni Chalid, 2005 : 26).
Hingga saat ini, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih menjadi
andalan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka memaksimalkan PAD.
Pelaksanaan pajak daerah dan retribusi daerah diakomodasi dalam Undang-
undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 34 Tahun 2004
sebagaimana yang telah diganti dengan Nomor 28 Tahun 2009. Sehubungan
dengan peningkatan pendapatan daerah, pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah juga terkait dengan implemetasi kebijakan fiskal yang sampai batas-batas
tertentu telah didelegasikan kewenangannya kepada daerah melalui penerapan
desentralisasi fiskal. Kebijakan fiskal yang telah terdesentralisasi ini mencakup
proses identifikasi dan pendaftaran dari wajib pajak daerah dan wajib retribusi
daerah, perhitungan pajak daerah dan retribusi daerah, pemungutan pajak daerah
dan retribusi daerah, serta penegakan hukum atas pengenaan pajak daerah dan
retribusi daerah.
Pengoptimalan pendapatan daerah melalui pajak daerah dan retribusi
daerah dilakukan oleh seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali oleh Provinsi
DKI Jakarta. Sebagai Ibukota Republik Indonesia, Provinsi DKI Jakarta menjadi
3
Universitas Indonesia
pusat kegiatan pemerintahan, sekaligus pusat kegiatan ekonomi atau bisnis,
hiburan, sosial, kesehatan, juga pembangunan sehingga dengan posisi tersebut,
tentunya Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi pendapatan daerah yang besar.
Salah satunya yaitu dalam hal pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Dari tahun ke tahun, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
memiliki kontribusi yang besar dalam pemasukan kas Provinsi DKI Jakarta. Hal
ini dapat dilihat dari Laporan Arus Kas Pemerintah Tahun 2008 dan 2009 sebagai
berikut:
Tabel 1.1 Laporan Arus Kas Masuk Dari Aktivitas Operasi
Provinsi DKI Jakarta Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan31 Desember 2009 dan 2008
Uraian 2009 (Rp) 2008 (Rp)
Pajak Daerah 8.560.134.926.182,00 8.751.273.782.037,00
Retribusi Daerah 416.896.030.531,45 395.639.567.901,00
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan181.130.584.183,00 163.151.310.356,00
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 1.417.146.941.623,83 1.067.227.306.428,03
Dana Bagi Hasil Pajak 8.580.181.348.268,00 8.526.794.672.392,00
Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA) 70.654.581.504,00 176.018.721.255,00
Dana Alokasi Umum - -
Pendapatan Lainnya 10.787.700.000,00 63.378.946.200,00
Total 19.236.923.112.292,30 19.143.484.306.569,03Sumber : Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta. www.jakarta.go.id
Dari tabel diatas, dapat terlihat pemasukan kas terbesar diperoleh dari
Dana Bagi Hasil Pajak, yang kemudian disusul dengan Pajak Daerah dan Lain-
lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah. Hal ini menggambarkan bahwa
Provinsi DKI Jakarta masih bergantung pada pemasukan yang berasal dari pajak
daerah dan retribusi daerah. Obyek dari pajak daerah dan retribusi daerah di
Provinsi DKI Jakarta cukup banyak dan beragam, salah satunya yang terkait
dengan transportasi.
4
Universitas Indonesia
Sebagai kota dengan intensitas kegiatan di berbagai aspek yang tinggi,
kebutuhan akan transportasi di DKI Jakarta menjadi sangat besar. Hal ini
dikarenakan transportasi berperan dalam memobilisasi masyarakat dari satu
tempat ke tempat lainnya. Kondisi ini diperlihatkan dengan volume penggunaan
kendaraan pribadi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di Provinsi DKI
Jakarta, pertambahan jumlah kendaraan pribadi mencapai 1.127 per hari atau
sekitar 9% per tahun dengan pertambahan mobil sebanyak 236 dan motor
sebanyak 891. Data ini sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas
Perhubungan DKI Jakarta (Kompas, 2010). Pertambahan jumlah kendaraan di
Provinsi DKI Jakarta menjadi potensi bagi pendapatan Provinsi DKI Jakarta.
Berikut ini adalah tabel pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta yang terus
meningkat dari tahun 2004 hingga 2008 :
Tabel 1.2 Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Bermotor
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2004 s.d Tahun 2008
Jenis
Kendaraan
Bermotor
2004 2005 2006 2007 2008
Roda 2 1.270.855 1.295.035 1.297.715 1.329.397 1.385.381
Roda 4 1.672.495 1.864.605 2.045.389 2.193.386 2.394.807
Jumlah 2.943.350 3.159.640 3.343.104 3.522.783 3.780.188
Sumber : Data Dinas Pelayanan Pajak Propinsi DKI Jakarta dalam bahan seminar “Tarif Pajak
Progresif PKB” oleh H. Edi Sumantri, M.Si Tahun 2009
Dari tabel diatas, dapat terlihat bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan
bermotor rata-rata per tahun mengalami peningkatan sebesar 2,175% dimana
pertambahan paling banyak terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 55.984 unit.
Sementara itu, untuk kendaran roda empat rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya
mencapai 9,39% dimana pertambahan kendaraan roda empat paling banyak terjadi
pada tahun 2008 yaitu sebesar 201.421 unit.
5
Universitas Indonesia
Penggunaan kendaraan pribadi tentunya melekat dengan hal perparkiran
karena pengguna kendaraan akan membutuhkan lahan parkir untuk memarkirkan
kendaraannya saat tidak digunakan. Sehubungan dengan penggunaan kendaraan
pribadi yang kian meningkat, penyediaan sarana dan prasarana berupa lahan
parkir pun sangat dibutuhkan untuk menampung kendaraan yang ditinggal
pemiliknya saat melakukan kegiatan. Penyediaan lahan parkir ini dapat dilakukan
di tepi jalan umum (on street) maupun di gedung-gedung atau bangunan (off
street) yang khusus disediakan untuk parkir.
Untuk penyediaan lahan parkir on street, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dapat mengenakan retribusi kepada pemilik kendaraan yang menggunakan
layanan penyediaan lahan parkir tersebut. Retribusi tersebut dikenakan sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu (penggunaan lahan parkir) yang
diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan pemilik kendaraan. Pemilik
kendaraan mendapat kontraprestasi langsung dari pemerintah yaitu berupa izin
menggunakan lahan parkir dan pemerintah mendapatkan bayaran langsung
langsung bayaran atas pemberian izin tersebut.
Menurut Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 86 tahun 2006
tentang Tarif Parkir, titik parkir on street berjumlah 401 yang tersebar di 5
wilayah DKI Jakarta. Dari titik parkir tersebut, terdapat 12.280 satuan ruang
parkir (SRP). Di lingkungan, tercatat ada lima lokasi dengan 1.457 SRP yang
tersebar di Pasar Baru dan Pasar Mayestik. Titik parkir lainnya yaitu di pelataran
parkir terdapat 1.570 SRP yang tersebar di Lapangan Monas dan Boulevard Barat,
Kelapa Gading (http://bataviase.co.id/node/95710).
Jika melihat kondisi lalu lintas yang setiap hari mengalami kemacetan di
setiap ruas jalan di DKI Jakarta, parkir diharapkan dapat menjadi salah satu
instrumen dalam mengatasi kemacetan tersebut. Dengan begitu, sistem
perparkiran selain menjalankan fungsi budgetternya, juga dapat berperan
menjalankan fungsi regulerend nya sebagai penghambat atau pengendali
penggunaan kendaraan pribadi di DKI Jakarta.
Kemacetan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta sudah berada hampir
diambang batasnya. Kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan di DKI Jakarta
6
Universitas Indonesia
sudah tidak lagi dirasakan oleh sebagian orang saja, tetapi sudah menimbulkan
kerugian bagi semua pihak yang menjalankan aktivitasnya di Provinsi DKI
Jakarta. Menurut data yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya pada tahun 2009,
DKI Jakarta akan mengalami keadaan macet total pada tahun 2011 dimana jika
pertumbuhan rata-rata kendaraan bermotor tetap yakni 9% per tahun sedangkan
pertumbuhan rata-rata luas jalan juga tetap, yakni 0,01% per tahun (Kompas,
2010).
Kemacetan di Provinsi DKI Jakarta bukan hanya sebatas persoalan
transportasi, tetapi juga menyebabkan biaya tinggi akibat pemborosan energi,
waktu, dan polusi yang berpengaruh negatif terhadap perputaran perekonomian
nasional. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan yaitu berkurangnya
waktu bergerak dimana dari total waktu perjalanan hanya 40% yang digunakan
untuk bergerak. Selain itu, dari tahun 2007 hingga 2009, kecepatan kendaraan di
jalan turun 25% dari 26 km/jam menjadi 20 km/jam. Jika dilihat dampak
kemacetan pada lingkungan, udara bersih di Provinsi DKI Jakarta hanya 60 hari
dari 1 tahun. Hal ini karena kendaraan yang memenuhi persyaratan gas buang
hanya sedikit yaitu 43% kendaraan pribadi dan 18% kendaraan umum (Kompas,
2010).
Dalam hal ini, masyarakat tak urung menderita kerugian akibat kemacetan.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Kementerian Perhubungan, 63%
dari total penduduk Provinsi DKI Jakarta menghabiskan 20-30% pendapatannya
hanya untuk bertransportasi. Bukan hanya masyarakat yang terkena dampak
negatif dari kemacetan, bahkan negara pun ikut dirugikan. Wakil Menteri
Perhubungan, Bambang Susantono, mengatakan kepada harian Kompas pada hari
minggu 25 Juli 2010 sebagai berikut :
” Saat ini kerugian ekonomi akibat inefisiensi sistem transportasi Rp
5,5 triliun per tahun dan akibat kualitas udara buruk sebesar Rp2,8
triliun per tahun” (Harian Kompas, 26 Juli 2010)
Jika hal ini terus dibiarkan, tentunya kerugian yang diderita oleh
masyarakat maupun pemerintah akan semakin besar, mengingat peran Provinsi
7
Universitas Indonesia
DKI Jakarta menjadi pusat kegiatan perekonomian dan pemerintahan. Salah satu
upaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untukmengurai
kemacetan yaitu dengan menaikkan tarif parkir. Kenaikan tarif parkir ini
diharapkan dapat menghentikan niat pengguna kendaraan pribadi untuk
menggunakan kendaraannya. Dengan mengenakan tarif parkir yang tinggi,
pemerintah mengarahkan pola pikir masyarakat untuk tidak menggunakan
kendaraan pribadinya dan beralih menggunakan transportasi umum. Gubernur
Daerah DKI Jakarta, Fauzi Bowo, usai bertemu dengan Kapolda Metro Jaya Irjen
Pol Sutarman, Markas Polda Metro Jaya, Kamis 7 Oktober 2010, mengatakan
rencana kenaikan retribusi parkir dan tarif parkir bertujuan untuk mengurangi
kemacetan dan menertibkan lalu lintas.
"Kenaikan harus dilihat dari konteks penerbitan lalulintas, karena
kalau tidak begitu akan selalu menjadi kendala bagi kelancaran
lalulintas," (www.beritadaerah.com, 2010)
Kenaikan tarif yang akan diberlakukan yaitu tarif parkir yang berlaku
untuk parkir on street maupun parkir of street yang akan dikenakan berdasarkan
zonasi. Zonasi tersebut dibagi berdasarkan tingkat kepadatan aktivitas di daerah-
daerah di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik
untuk membahas tentang bagaimana formulasi kebijakan tarif parkir berzonasi
dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.
I.2 Pokok Permasalahan
Sama seperti daerah lainnya, Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat
pemerintahan masih mengandalkan pajak daerah dan retribusi daerah sebagai
sumber utama PAD nya. Salah satu jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang
dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu parkir. Melihat jumlah
penggunaan kendaraan pribadi yang sangat besar dan terus bertambah setiap
tahunnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi penerimaan dari parkir yang
besar. Namun pada kenyataannya, parkir belum dapat memberikan kontribusi
8
Universitas Indonesia
yang optimal. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya diduga terdapat
kebocoran penerimaan dari pajak maupun retribusi parkir.
Selain menjalankan fungsinya sebagai sumber pendapatan, parkir juga
diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai pengendali penggunaan
kendaraan pribadi untuk mengatasi kemacetan. Untuk mewujudkan hal tersebut,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan untuk menaikkan tarif parkir
dalam mendukung terlaksananya fungsi regulerend parkir.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana formulasi kebijakan tarif parkir berdasarkan zonasi dalam
retribusi parkir di provinsi DKI Jakarta?
2. Apa saja kelebihan dan kelemahan kebijakan tarif parkir berzonasi dalam
retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta?
I.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan diatas, adapun
tujuan penelitian ini adalah :
1. Menggambarkan dan menganalisis formulasi kebijakan tarif parkir
berdasarkan zonasi di provinsi DKI Jakarta.
2. Menggambarkan dan menganalisis kelebihan dan kelemahan kebijakan
tarif parkir berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta
I.4 Signifikansi Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh signifikansi penelitian yang
positif baik secara akademis maupun praktis, yaitu:
1. Signifikansi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
dan wawasan akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam
bidang perpajakan terutama yang berhubungan dengan kebijakan
penerapan sistem perparkiran di DKI Jakarta.
9
Universitas Indonesia
2. Signifikansi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan instansi yang terkait dalam
penerapan sistem perparkiran di DKI Jakarta.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi ke dalam enam bab. Enam Bab tersebut akan
digambarkan melalui sistematika berikut ini:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah
yang menjadi tema penelitian. Selain itu peneliti juga
menjelaskan pokok permasalahan yang akan dibahas,
tujuan penelitian, signifikasni penelitian serta sistematika
penulisan skripsi ini.
BAB 2 KERANGKA TEORI
Bab ini merupakan penjabarkan sejumlah hasil penelitian
sejenis yang menjadi rujukan bagi penelitian ini. Peneliti
juga membahas mengenai konsep-konsep yang digunakan
sebagai landasan pemikiran terkait dengan permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini memaparkan metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini yang terdiri dari pendekatan penelitian,
jenis penelitian, metode penelitian, proses penelitian, site
penelitian, batasan penelitian, serta keterbatasan yang
dialami oleh peneliti selama penelitian ini berlangsung.
10
Universitas Indonesia
BAB 4 GAMBARAN UMUM RETRIBUSI ATAS PARKIR DI
PROVINSI DKI JAKARTA
Pada bab ini berisi mengenai gambaran umum dari objek
penelitian. Gambaran umum yang dijelaskan yaitu terkait
dengan implementasi pajak parkir dan retribusi parkir di
Propinsi DKI Jakarta.
BAB 5 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN TARIF
PARKIR BERZONASI DALAM RETRIBUSI
PARKIR DI PROVINSI DKI JAKARTA
Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian yang telah
dilakukan peneliti melalui kegiatan observasi, wawancara
mendalam, dan studi dokumen atau kepustakaan. Bagian
ini adalah inti dari penelitian karena memuat paparan
analisis yang telah dilakukan peneliti untuk menjawab
permasalahan penelitian yang telah diajukan.
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini merupakan penutup skripsi yang berisikan
simpulan analisis dan jawaban permasalahan penelitian
serta rekomendasi yang dapat diberikan terkait
permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
11
Universitas Indonesia
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta bukanlah
suatu hal baru yang dijadikan tema penelitian. Oleh karena itu, peneliti
menjadikan beberapa penelitian terdahulu sebagai bahan referensi komparatif atau
tinjauan pustaka. Tinjauan kepustakaan yang pertama diambil dari penelitian yang
dilakukan oleh Dedyanto. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 ini berjudul
“Analisis Efektivitas Pendapatan Retribusi Parkir Propinsi DKI Jakarta”. Tujuan
dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui efektivitas administrasi
pendapatan penerimaan retribusi dan kontribusi parkir di DKI Jakarta
dibandingkan dengan kinerja administrasi pendapatan retribusi lainnya serta jika
dibandingkan dengan kinerja/efektivitas dan efisiensi pendapatan retribusi parkir
di Propinsi lain. Tujuan lainnya yaitu untuk mengetahui faktor-faktor apa yang
berpengaruh terhadap tingkat efektivitas pendapatan retribusi dan kontribusi
parkir di Propinsi DKI Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui seberapa jauh faktor-faktor diatas mempengaruhi pendapatan retribusi
dan kontribusi parkir di Propinsi DKI Jakarta.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
studi kepustakaan dan wawancara serta observasi. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa pendapatan retribusi parkir Propinsi DKI Jakarta secara
keseluruhan menunjukkan kinerja yang kurang efektif, dimana target yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta tidak pernah tercapai. Sementara
itu pengaruh premanisme terhadap efektivitas pendapatan retribusi parkir ternyata
sangat signifikan dan pola atau sistem pengendalian pemungutan retribusi parkir
mempunyai pengaruh terhadap efektivitas pendapatan retribusi parkir.
Penelitian selanjutnya yang peneliti jadikan sebagai tinjauan pustaka yaitu
tesis yang berjudul “Kajian Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta Melalui
12
Universitas Indonesia
Retribusi Parkir (Menuju Pelaksanaan Pajak Parkir)”. Penelitian ini dilakukan
oleh Sudiyono pada tahun 2003. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
menjelaskan kondisi aktual penyelenggaraan perparkiran di Propinsi DKI Jakarta
berkaitan dengan proses menuju pelaksanaan pemungutan pajak parkir dan untuk
memformulasikan upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI
Jakarta dalam rangka mengoptimalkan pendapatan daerah dari sektor perparkiran.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan jenis penelitian
eksplanatoris. Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mengumpulkan
data primer yaitu dengan metode observasi dan wawancara (studi lapangan)
sedangkan untuk data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen seperti
laporan, karya tulis orang lain, koran, majalah atau mendapatkan informasi dari
orang lain.
Dari penelitian yang dilakukan, peneliti mendapatkan hasil bahwa
problematika pengelolaan atau penyelenggaraan perparkiran di Propinsi DKI
Jakarta sebagai Kota Metropolitan merupakan persoalan yang kompleks yang
terkait dengan berbagai aspek, khususnya aspek Keuangan (Pendapatan) Daerah
(melalui Retribusi Parkir), Lalu Lintas, Sumberdaya Manusia, dan lain-lain,
sehingga dalam penataannya harus diselesaikan dengan sistem yang terintegrasi
(integrated system). Sementara itu dari aspek Pendapatan Daerah, yakni melalui
Retribusi Parkir sangat berpotensi untuk di masa mendatang. Upaya Optimalisasi
Pendapatan Daerah melalui Retribusi Parkir sangat terkait dengan aspek-aspek
penataan dan pengembangan kawasan perkotaan.
Selain melakukan tinjauan pustaka terhadap penelitian yang membahas
mengenai retribusi parkir, peneliti juga melakukan tinjauan pustaka terhadap
penelitian yang membahas tentang “Analisis Tarif Retribusi Kebersihan Di DKI
Jakarta”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Lenny Marlina pada tahun 2003 yang
bertujuan untuk mengetahui struktur tarif retribusi kebersihan di DKI Jakarta.
Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah tarif retribusi
kebersihan di DKI Jakarta sudah memenuhi prinsip cost recovery atau belum dan
untuk mengetahui peranan retribusi kebersihan terhadap biaya pengelolaan
kebersihan.
13
Universitas Indonesia
Metode penelitian tersebut adalah kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif analitis. Sementara itu, pengumpulan data dilakukan dengan studi
kepustakaan dan studi lapangan melalui observasi dan wawancara. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tarif retribusi kebersihan yang pada saat itu
berlaku di DKI Jakarta belum menggambarkan semua pengeluaran yang
diperlukan untuk biaya pengelolaan kebersihan. Hasil berikutnya menunjukkan
struktur tarif retribusi kebersihanyang terdapat pada Perda sudah cukup baik
dimana struktur tarif disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk
membayar. Selain itu, peranan retribusi sampah terhadap biaya pegelolaan
kebersihan masih rendah.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian yang
dilakukan oleh peneliti mengambil judul “Analisis Formulasi Kebijakan Tarif
Parkir Berzonasi dalam Retribusi Parkir di Provinsi DKI Jakarta”. Penelitian yang
dilakukan pada tahun 2011 ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
bagaimana formulasi kebijakan tarif parkir berzonasi dalam retribusi parkir di
Provinsi DKI Jakarta. Selain itu juga untuk menggambarkan dan menganalisis
kelebihan dan kelemahan dari tarif parkir berzonasi dalam retrusi parkir di
Provinsi DKI Jakarta. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu
pendekatan kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif. Adapun
teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan dengan
mempelajari karya tulis ilmiah, jurnal, paper, sumber elektronik, media cetak dan
lain-lain. Selain itu peneliti juga menggunakan studi lapangan dengan melakukan
wawancara mendalam kepada narasumber yang kompeten dalam bidangnya.
Perbandingan tinjauan pustaka yang telah disebutkan diatas dapat digambarkan
dalam tabel sebagai berikut :
14
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Matriks Perbandingan Tinjauan Pustaka
Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3 Penelitian Yang DilakukanPeneliti
Nama Dedyanto Susdiyono Lenny Marlina Dias Esantika Ningtias
Judul Analisis Efektivitas PendapatanRetribusi Parkir Propinsi DKIJakarta
Kajian Pendapatan DaerahPropinsi DKI Jakarta MelaluiRetribusi Parkir (MenujuPelaksanaan Pajak Parkir)
Analisis Tarif Retribusi KebersihanDi DKI Jakarta
Analisis Formulasi KebijakanTarif Parkir Berzonasi dalamRetribusi Parkir di Provinsi DKIJakarta
TujuanPenelitian
1. Untuk mengetahuiefektivitas administrasipendapatan penerimaanretribusi dan kontribusiparkir di DKI Jakartadibandingkan dengan kinerjaadministrasi pendapatanretribusi lainnya serta jikadibandingkan dengankinerja/efektivitas danefisiensi pendapatanretribusi parkir di Propinsilain.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang berpengaruhterhadap tingkat efektivitaspendapatan retribusi dankontribusi parkir di PropinsiDKI Jakarta.
1. Untuk menjelaskan kondisiaktual penyelenggaraanperparkiran di Propinsi DKIJakarta berkaitan denganproses menuju pelaksanaanpemungutan pajak parkir.
2. Untuk memformulasikanupaya yang dapat dilakukanoleh Pemerintah PropinsiDKI Jakarta dalam rangkamengoptimalkan pendapatandaerah dari sektorperparkiran.
1. Untuk mengetahui struktur tarifretribusi kebersihan di DKIJakarta.
2. Untuk mengetahui apakah tarifretribusi kebersihan di DKIJakarta sudah memenuhi prinsipcost recovery atau belum.
3. Untuk mengetahui perananretribusi kebersihan terhadapbiaya pengelolaan kebersihan.
1. Untuk menggambarkan danmenganalisis bagaimanaformulasi kebijakan tarifparkir berzonasi dalamretribusi parkir di ProvinsiDKI Jakarta.
2. Untuk menggambarkan danmenganalisis kelebihan dankelemahan dari tarif parkirberzonasi dalam retrusi parkirdi Provinsi DKI Jakarta.
15
Universitas Indonesia
Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3 Penelitian Yang DilakukanPeneliti
3. Untuk mengetahui seberapajauh faktor-faktor diatasmempengaruhi pendapatanretribusi dan kontribusiparkir di Propinsi DKIJakarta.
MetodePenelitian
Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
JenisPenelitian
Deskriptif Deskriptif Deskriptif Deskriptif
TeknikPengumpulanData
1. Studi kepustakaan2. Studi lapangan (observasi
dan wawancara)
1. Studi kepustakaa2. Studi lapangan (observasi
dan wawancara)
1. Studi kepustakaa2. Studi lapangan (observasi dan
wawancara)
1. Studi kepustakaan2. Studi lapangan (observasi dan
wawancara)
HasilPenelitian
1. Pendapatan retribusi parkirPropinsi DKI Jakarta secarakeseluruhan menunjukkankinerja yang kurang efektif,dimana target yang telahditetapkan oleh PemerintahPropinsi DKI Jakarta tidakpernah tercapai.
2. Pengaruh premanismeterhadap efektivitaspendapatan retribusi parkirternyata sangat signifika.
3. Pola atau sistempengendalian pemungutanretribusi parkir mempunyai
1. Problematika pengelolaanatau penyelenggaraanperparkiran di Propinsi DKIJakarta sebagai KotaMetropolitan merupakanpersoalan yang kompleksyang terkait dengan berbagaiaspek, khususnya aspekKeuangan (Pendapatan)Daerah (melalui RetribusiParkir), Lalu Lintas,Sumberdaya Manusia, danlain-lain, sehingga dalampenataannya harusdiselesaikan dengan sistem
1. Tarif retribusi kebersihan yangpada saat itu berlaku di DKIJakarta belum menggambarkansemua pengeluaran yangdiperlukan untuk biayapengelolaan kebersihan. Hasilberikutnya menunjukkan strukturtarif retribusi kebersihanyangterdapat pada Perda sudah cukupbaik dimana struktur tarifdisesuaikan dengan kemampuanmasyarakat untuk membayar.Selain itu, peranan retribusisampah terhadap biayapegelolaan kebersihan masih
16
Universitas Indonesia
Sumber : Hasil olahan peneliti
Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3 Penelitian Yang DilakukanPeneliti
pengaruh terhadapefektivitas pendapatanretribusi parkir.
yang terintegrasi (integratedsystem).
2. Dari aspek PendapatanDaerah, yakni melaluiRetribusi Parkir sangatberpotensi untuk di masamendatang.
3. Upaya OptimalisasiPendapatan Daerah melaluiRetribusi Parkir sangatterkait dengan aspek-aspekpenataan danpengembangan kawasanperkotaan.
rendah.
17
Universitas Indonesia
2.2 Konstruksi Model Teoritis
2.2.1 Kebijakan Publik
Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam
praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau
keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan
(goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design
(Jones, 1984 : 25). Sementara itu, Anderson menyatakan istilah kebijakan atau
policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor
dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita
gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa,
namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih
bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik (Anderson,
1969 : 4).
Definisi lainnya datang dari Eyestone, secara luas kebijakan publik dapat
didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya
(Eyestone, 1971 : 18). Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung
pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Sedangkan Dye merumuskan
kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk dilakukan dan
tidak dilakukan (Dye, 1975 : 1).
Proses penyusunan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena
itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses penyusunan kebijakan publik menjadi beberapa tahap. Tujuan
pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji
kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap
ini dengan urutan yang berbeda. Seperti misalnya, tahap penilaian kebijakan
seperti yang tercantum dalam bagan di bawah ini bukan merupakan tahap akhir
dari proses kebijakan publik, sebab masih ada satu tahap lagi, yaitu tahap
18
Universitas Indonesia
perubahan kebijakan dan terminas atau penghentian kebijakan. Menurut Dunn,
tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut (Dunn, 1999 : 5):
Gambar 2.1 Tahap-tahap Kebijakan Publik
Sumber : Dunn, Willian. 1999. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Press.Hal 33
Berdasarkan gambar di atas, kebijakan public dapat dibagi menjadi
beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu
PenyusunanAgenda
FormulasiKebijakan
AdopsiKebijakan
EvaluasiKebijakan
ImplementasiKebijakan
19
Universitas Indonesia
untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa
masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap
ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah
yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah
karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut
berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives /
policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah
untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan
kebijakan masing-masing aktor akan ‘bermain’ untuk mengusulkan
pemecahan masalah tersebut.
3. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan
tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan
program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan
masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan
administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan
yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana
(implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh
para pelaksana.
20
Universitas Indonesia
5. Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilain atau
dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu
memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal itu, memecahkan masalah
yang dihadapi masyarakat.Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran
atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan
publik telah meraih dampak yang diinginkan.
2.2.2 Kebijakan Fiskal
Salah satu contoh dari kebijakan public yaitu kebijakan fiskal. Definisi
kebijakan fiskal dapat dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari pengertian yang luas
dan pengertian yang sempit. Menurut Tanzi, kebijakan fiskal menurut pengertian
yang luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat,
kesempatan kerja dan inflasi, dengan mempergunakan instrument pemungutan
pajak dan pengeluaran belanja negara (Tanzi, 1991 : 9).
Kebijakan fiskal dalam pengertian luas bertujuan untuk mempengaruhi
jumlah total pengeluaran masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan jumlah seluruh
produksi masyarakat, banyaknya kesempatan kerja dan pengangguran, tingkat
harga umum dan inflasi. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, lazimnya
kebijakan fiskal disertai dengan kebijakan moneter (Mansury, 1999 :1). Menurut
Tanzi seperti yang dikutip oleh Mansury, kebijakan fiskal memiliki empat fungsi,
yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, fungsi stabilisasi dan fungsi untuk
mendorong pertumbuhan (Mansury, 1999 : 21).
Sementara itu, dalam pengertian sempit kebijakan fiskal disebut juga
kebijakan perpajakan. Definisi dari kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah
kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai
tax base, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-
apa yang a kan dijadikan sebagai objek pajak, apa-apa saja yang dikecualikan,
bagaimana menentukan besarnya pajak yang terhutang dan bagaimana
21
Universitas Indonesia
menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terutang (Rosdiana, 2005 :
93).
Menurut Michael P. Devereux yang dikutip oleh Rosdiana dalam bukunya,
isu-isu penting yang harus diperhatikan dalam kebijakan pajak adalah sebagai
berikut :
1. What should the tax base be : income, expenditure, or a hybrid?
2. What should the tax rate schedule be?
3. How sould international income plows be taxed?
4. How should environmental taxes be designed? (Rosdiana, 2005 : 94).
2.2.3 Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan fungsi
negara/pemerintah, baik dalam fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi
maupun kombinasi antara keempatnya. Pada hakikatnya fungsi pajak dibedakan
menjadi dua, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regurelend (Rosdiana, 2005 : 39).
1. Fungsi budgetair
Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas negara (to raise
government’s revenue). Fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi
penerimaan (revenue function). Oleh karena itu, suatu pemungutan pajak yang
baik sudah seharusnya memenhi asas revenue productivity (Rosdiana, 2005 : 39).
Kemudian Mansyuri menyatakan fungsi pajak pertama yaitu mengisi kas negara
(budgetair) yang merupakan fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi
kas negara untuk kegiatan pemerintahan, baik pembiayaan rutin maupun
pembiayaan pembangunan (Mansury, 1999 : 3).
Brotodihadjo juga merumuskan fungsi budgetair sebagai fungsi yang
letaknya di sektor public, dan pajak-pajak disini merupakan suatu alat (atau suatu
sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang
pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara
(Brotodihardho, 1995 : 205). Lebih lanjut Nurmantu menyatakan bahwa fungsi
budgetair disebut fungsi utama fiskal (fiscal function) yaitu suatu fungsi dalam
mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke
22
Universitas Indonesia
kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku (Nurmantu, 2003
: 30).
Yang dimaksud dengan memasukkan dana secara optimal ke kas negara
berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku adalah :
1) Jangan sampai ada Wajib Pajak/Subjek Pajak yang tidak memenuhi
sepenuhnya kewajiban perpajakannya.
2) Jangan sampai ada Objek Pajak yang tidak dilaporkan oleh Wajib
Pajak kepada fiskus.
3) Jangan sampai ada Objek Pajak yang terlepas dari pengamatan atau
penghitungan fiskus. (Nurmantu, 2003 : 30).
Dengan demikian maka optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tidak
hanya tergantung kepada fiskus saja atau kepada Wajib Pajak saja, akan tetapi
kepada kedua-keduanya berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku
(Nurmantu, 2003 : 30).
2. Fungsi Regurelend
Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan,
yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu (Mansury, 1996 : 36). Pajak dalam fungsi
regulerend dimaksudkan agar pajak dapat dijadikan sebagai alat pengatur atau
sebagai alat regulasi. Senada dengan Mansury, Rosdiana juga menyatakan bahwa
pajak digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Rosdiana, 2005 : 39). Untuk
mencapai tujuan tersebut maka pajak digunakan sebagai alat kebijaksanaan.
Brotodihardjo mengatakan bahwa dengan fungsi mengaturnya, pajak
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya
diluar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor
swasta (Brotodihardho, 1995 : 205). Dalam membuat peraturan tentang
perpajakan, pembuat undang-undang tidak hanya mementingkan unsur fungsi
budgetair, tetapi ada kalanya bahwa tujuan mengatur ini diutamakan sehingga
hasil pemungutan pajaknya tidak begitu lagi dianggap penting (Brotodihardho,
23
Universitas Indonesia
1995 : 206). Mardiasmo juga merumuskan fungsi mengatur dari pajak yaitu pajak
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi (Mardismo, 1997 : 2).
Dalam kaitannya dengan penelitian ini,peneliti membahas bagaimana tarif
pajak dan retribusi parkir dapat menjalankan fungsi mengaturnya dengan
dijadikan instrumen dalam mengendalikan jumlah pemakaian kendaraan
bermotor. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengurangi tingkat kemacetan yang
terjadi di Provinsi DKI Jakarta.
2.2.4 Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian
atau karena jasa yang diberikan daerah. Lapangan retribusi adalah seluruh
lapangan pungutan yang diadakan untuk keuangan daerah sebagai pengganti jasa
daerah (Samudra, 1995 : 273). Suparmoko merumuskan retribusi daerah
merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan pemerintah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan (Suparmoko, 2002 : 106).
Retribusi pada umumnya terkait dengan adanya prestasi kembali yang
didapat secara langsung. Pembayaran retribusi memang ditujukan semata-mata
untuk mendapatkan suatu prestasi tertentu dari pemerintah. Retribusi juga
berdasarkan pula atas peraturan-peraturan yang berlaku umum, untuk menaatinya
yang berkepentingan dapat pula dipaksa, yaitu : barang siapa yang ingin mendapat
suatu prestasi tertentu dari pemerintah, harus membayar (Brotodihardho, 1995 :
7).
Pendapat lainnya mengenai retribusi yaitu datang dari Fisher yang
menyatakan sebagai berikut :
“User charges is prices charged by governments for specific
services or privilege and used to pay for all of part the cost of
providing those services, which one function is to make consumers
face the true costs of consumption decisions, and creating an
incentive for efficient choice.” (Fisher, 1996 : 174)
24
Universitas Indonesia
Menurut Fisher, retribusi merupakan biaya yang langsung dilimpahkan
kepada konsumen yang menggunakan fasilitas atau mengkonsumsi barang dan
jasa serta menggunakan pelayanan yang disediakan pemerintah. Selain itu, senada
dengan Fisher, Davey memberikan pendapat mengenai retribusi, yakni
pembayaran langsung oleh mereka yang menikmati pelayanan yang disediakan
pemerintah dan dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya
pelayanannya (Davey, 1988 : 130).
Dari pengertian mengenai retribusi diatas, dapat diketahui pemungutan
retribusi berbeda dengan pemungutan pajak karena di dalam kebijakan
pemungutan retribusi pihak yang diwajibkan membayar adalah pengguna layanan
yang diberikan atau disediakan oleh pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh
Zorn mengenai retribusi sebagai berikut :
“User charges are defined as payments that can be avoided by not
using the services without regard to whether the service possesses
public good characteristics.” (Zorn, 1991 : 136)
Berdasarkan karakteristiknya, Zorn membagi retribusi ke dalam tiga jenis,
yaitu :
1. Utility charges
Yaitu biaya yang dibebankan kepada masyarakat yang menggunakan
barang-barang publik tertentu yang disediakan pemerintah, yang
bertujuan untuk membatasi penggunaan masyarakat akan konsumsi
barang public tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya
kelangkaan. Contohnya seperti pengenaan biaya untuk listrik, air
bersih dan sebagainya.
2. User Charges and fees
Yaitu biaya yang dibebankan kepada masyarakat yang menikmati
barang dan jasa yang disediakan pemerintah yang tidak sepenuhnya
dibebankan kepada pengguna, melainkan ada subsidi dari pemerintah.
25
Universitas Indonesia
Contohnya adalah biaya yang dikenakan pada saat berobat di
puskesmas, biaya kunjungan ke museum, dan sebagainya.
3. License and permit fees
Yaitu biaya yang dibebankan pemerintah menyangkut pemberian izin
tertentu yang diberikan kepada masyarakat, sehingga penerimaannya
digunakan untuk mengurangi dampak negative dari pemberian izin
tersebut. contohnya adalah pembebanan biaya pengujian kendaraan
bermotor, izin mendirikan bangunan dan sebagainya. (Zorn, 1991 :
138)
Berdasarkan berbagai konsep yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa retribusi merupakan pembayaran sukarela yang dibebankan
kepada konsumen yang mendapatkan pelayanan ataupun mengkonsumsi barang
dan jasa yang disediakan pemerintah dengan tujuan untuk menutupi seluruh
ataupun sebagian dari biaya pelayanan yang diberikan, dan konsumen menerima
kontraprestasi secara langsung dari pembayaran retribusi tersebut.
Menurut Davey, jenis pelayanan yang dapat dikenakan retribusi antara lain
sebagai berikut :
1. Pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang sehingga
tidak wajar untuk membebankan biaya tersebut kepada para wajib
pajak yang tidak mengkonsumsi barang dan jasa tersebut.
2. Barang dan jasa yang melibatkan sumber yang langka dan mahal
sehingga diperlukan disiplin masyarakat dalam mengkonsumsinya.
3. Barang dan jasa yang bervariasi/bermacam-macam dan bukan
termasuk jenis kebutuhan primer sehingga hanya dibutuhkan sewaktu-
waktu.
4. Jasa-jasa yang dapat digunakan untuk kegiatan mencari keuntungan di
samping untuk memuaskan kebutuhan individu.
5. Jasa yang menguji arah dan skala permintaan masyarakat, dimana
kebutuhan pokok dan standar penyediaan tidak dapat ditentukan
dengan tegas. (Davey, 1988 : 135-136)
26
Universitas Indonesia
Berdasarkan keterangan diatas, maka tidak semua jenis pelayanan dapat
dikenakan retribusi. Akan tetapi hanya jasa-jasa tertentu yang menurut
pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi
(Bratakusumah, 2001 : 283). Dengan demikian, retribusi daerah dapat
digolongkan ke dalam tiga jenis, antara lain :
1. Jasa umum, yaitu pelayanan yang disediakan pemerintah daerah
(pemda) untuk kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang
atau badan, dan tarif yang dikenakan harus memperhatikan
kemampuan masyarakat (aspek keadilan). Pembayaran retribusi dalam
jasa umum dapat dihindari dengan tidak mengkonsumsi barang dan
jasa yang disediakan pemda.
2. Jasa usaha, yaitu pelayanan pemda dengan menganut prinsip
komersial sehingga tarif yang dikenakan ditentukan berdasarkan tujuan
memperoleh keuntungan yang layak. Pembayaran retribusi jasa usaha
dapat dihindari dengan tidak mengkonsumsi barang dan jasa yang
disediakan pemda.
3. Perizinan tertentu, yaitu kegiatan pemda dalam rangka pemberian
izin kepada orang pribadi atau badan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan serta penggunaan fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Oleh karena itu, pembayarannya tidak dapat dihindari karena dengan
tidak membayar retribusi otomatis tidak mendapatkan izin pemda
untuk melakkan kegiatan.
Selanjutnya, menurut Zorn ada tiga sayarat utama yang harus dipenuhi
agar retribusi dapat membiayai pelayanan yang dilaksanakan. Adapun ketiga
syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Benefit separability
Identifikasi terhadap individu yang menggunakan pelayanan yang
secara langsung bermanfaat bagi individu bersangkutan atas konsumsi
suatu barang dan jasa. Hal ini dikarenakan biaya konsumsi atas barang
27
Universitas Indonesia
dan jasa tersebut ditanggung oleh indivisu/kelompok yang
menggunakannya, bukan ditanggung oleh masyarakat umum.
b. Chargeability
Syarat ini mengharuskan adanya kemungkinan untuk meniadakan
individu dari kegiatan mengkonsumsi barang atau jasa apabila mereka
tidak membayar.
c. Voluntarism
Individu-individu harus memilih dengan benar pelayanan maupun
barang atau jasa yang akan dikonsumsi. (Zorn, 1991 : 143)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, retribusi hanya dikenakan
kepada orang atau badan yang menggunakan pelayanan tertentu yang
diberikan/disediakan oleh pemerintah. Mengingat tidak semua pengguna
layanan/jasa dari pemerintah adalah orang/badan yang memiliki kapasitas
ekonomi yang tinggi, maka pemungutan retribusi pun harus memenuhi prinsip
keadilan. Prinsip keadilan dapat diterapkan dalam menentukan kebijakan
penetapan harga retribusi. Zorn berpendapat ada dua pendekatan kebijakan
penetapan harga dalam pengenaan retribusi, yaitu sebagai berikut :
1. Full Cost Pricing
Dalam full cost pricing, penetapan besarnya biaya retribusi yang
dibebankan pada konsumen menutupi semua biaya yang dikeluarkan
dalam pelaksanaan layanan. Artinya, semua biaya tersebut sepenuhnya
ditanggung oleh konsumen penerima layanan.
2. Marginal Cost Pricing
Marginal cost pricing lebih bersifat ekonomis karena biaya yang
dibebankan oleh konsumen penerima layanan tidak sepenuhnya
ditanggung oleh konsumen, melainkan mendapatkan subsidi dari
pemerintah. Biaya yang ditanggung oleh konsumen hanya biaya
operasional (variable cost)-nya saja, bahkan mungkin biaya
operasional tersebut tidak sepenuhnya dibayar oleh konsumen. (Zorn,
1991 : 147)
28
Universitas Indonesia
Penetapan harga dengan menggunakan kebijakan marginal cost pricing ini
menuai kontra atau kritik karena biaya yang ditanggung konsumen tidak penuh
dapat menyebabkan tidak meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun
kebijakan ini dianggap sudah memenuhi unsur keadilan karena konsumen yang
berpenghasila rendah bisa mendapatkan jenis pelayanan tertentu yang telah
disediakan pemerintah daearh tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Davey
memberikan pendapat bahwa ada empat alasan utama mengapa penetapan harga
melalui kebijakan marginal cost pricing ini dilakukan, yaitu :
a. Pelayanan tersebut didasarkan oleh karena jenis barang public yang
disediakan bukan karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi harus
dikenakan untuk mendisiplinkan konsumsi.
b. Pelayanan yang sebagian merupakan barang private dan sebagian lagi
merupakan barang public, dimana retribusi tidak hanya bertujuan
utnuk memberikan keuntungan bagi individu pemakai, tetapi
konsumsinya perlu didorong untuk kepentingan tabungan atau
keuntungan masyarakat.
c. Pelayanan yang seluruhnya merupakan barang private yang menjadi
kebutuhan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah tidak
membebankan masyarakat dengan full cost-nya.
d. Pelayanan yangmenyangkuyt barang-barang swasta yang mungkin
disubsidi karena dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan
kelompok-kelompok berpenghasilan rendah sehingga tidak mungkin
untuk menerapkan kebijakan harga full cost. (Davey, 1988 : 144-145)
2.2.5 Struktur Tata Ruang Kota
Pembagian kota menjadi beberapa zona atau wilayah pertama kali
dikemukakan oleh E.W. Burgess yang kemudian dikenal dengan Teori
Konsentris. Menurut Burgess seperti yang dikutip oleh Yunus, suatu kota akan
terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus
mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda. Keteraturan pola penggunaan
lahan merupakan hasil dari produk dan sekaligus proses interrelasi antar elemen-
29
Universitas Indonesia
elemen di kota tersebut (Yunus, 1999 : 5). Pembagian kota menjadi beberapa zona
dapat dilihat dari gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Model Zona Konsentris
Sumber : Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, hal 5.
Berdasarkan gambar diatas, kota dapat dibagi menjadi beberapa zona sebagai
berikut :
1. Daerah Pusat Kegiatan (Central Bussiness District/CBD)
Daerah ini merupakan pusat dari segala kegitana kota antara lain
politik, sosial, ekonomi dan teknologi.
2. Zona Peralihan (Transition Zone)
Zona ini merupakan zona yang berada satu tingkat di luar CBD yang
menjadi penghubung antara CBD dengan zona perumahan para
pekerja. Zona ini sering disebut sebagai zona transisi penduduk ke
CBD. Namun seiring perkembangan kota, zona peralihan ini
5
4
3
21
30
Universitas Indonesia
mengalami deteriorisasi lingkungan pemukiman yang diakibatkan
oleh interusi fungsi dari CBD.
3. Zona Perumahan Para Pekerja (Zone of Working Men’s Homes)
Zona yang menjadi tempat tinggal bagi penduduk yang menjadi
pekerja pabrik-industri (menengah ke bawah) yang menginginkan
tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya.
4. Zona Pemukiman yang Lebih Baik (Zone of Better Residences)
Zona ini dihuni oleh penduduk atau pekerja yang berstatus ekonomi
menengah ke atas. Biasanya terdiri dari pengusaha, profesional,
pegawai dan lain-lain.
5. Zona Para Penglaju (Zone of Commuters).
Zona yang terbentuk sebagai akibat dari interaksi dan interrelasi
elemen-elemen sistem kehidupan perkotaan.
Selanjutnya, pengembangan dari teori konsentris yang menggambarkan
mengenai penggunaan lahan terkait dengan teori nilai lahan yang dikemukaan
oleh Mather yang juga dikutip oleh Yunus. Teori ini menjelaskan bahwa nilai
lahan dan penggunaan lahan mempunyai kaitan yang sangat erat. Nilai lahan ini
ditentukan oleh lokasi yang banyak berkaitan dengan masalah aksesibilitas.
Dalam hal ini, lokasi tertentu memiliki nilai yang lebih tinggi daripada lokasi
yang lain. Derajat aksesibilitas lah yang menyebabkan tinggi rendahnya nilai
lahannya. Semakin tinggi aksesibilitas suatu lokasi semakin tinggi pula nilai
lahannya dan biasanya hal ini dikaitkan dengan beradanya konsumen akan barang
atau jasa. Tingkat aksesibilitas tersebut dipengaruhi oleh :
a) Potential Shoppers dalam jumlah yang besar;
b) Kemudahan untuk datang dan pergi atau ke dan dari lokasi tersebut.
(Yunus, 1999 : 88)
Oleh karena studi ini dilakukan di daerah perkotaan yang orientasi
penggunaan lahannya adalah non pertanian, maka penilaian atas lahan dilakukan
secara tidak langsung yaitu dengan mengukur produktivitas lahan yang
31
Universitas Indonesia
diakibatkan oleh keberadaan lokasi. Atas dasar inilah struktur penggunaan lahan
kota akan terseleksi menurut kemampuan fungsi-fungsi membayar lahan tersebut.
Memang faktor ekonomi bukan merupakan faktor satu-satunya penentu
penggunaan lahan karena faktor-faktor lain seperti faktor sosial dan politik juga
berperanan besar, namun kekuatan ekonomi nampaknya masih mendominasi dan
tidak dapat diabaikan begitu saja dalam setiap analisa penggunaan lahan di dalam
dan di sekitar kota (Yunus, 1999 : 89).
Aksessibilitas juga didukung oleh adanya transportasi sebagai sarana
perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya. Pada dasarnya, peranan
transportasi juga mempengaruhi struktur keruangan kota. Ide ini pertama kali
dikemukakan oleh Babcock yang disadur oleh Yunus sebagai ide penyempurna
teori konsentris yang kemudian dikenal dengan teori poros. Dalam teori
konsentris, terdapat asumsi bahwa mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk
mempunyai intensitas yang dalam konfigurasi relief yang seragam. Oleh karena
pada kenyataannya terdapat faktor utama yang mempengaruhi mobilitas ini, maka
dalam beberapa hal mesti akan terjadi distorsi model (Yunus, 1999 : 42).
Faktor utama yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi
yang menghubungkan Central Bussiness District (CBD) dengan daerah bagian
luarnya. Keberadaan poros transportasi menurut Babcock akan mengakibatkan
distorsi pola konsentrasi karena sepanjang rute transportasi tersebut berasosiasi
dengan mobilitas yang tinggi. Daerah yang dilalui transportasi mempunyai
perkembangan fisik yang berbeda dengan daerah yang berada di antara jalur-jalur
transportasi ini. Akibat kerugian yang timbul adalah suatu bentuk persebaran
keruangan yang disebut star-shapped/octopus like pattern. Dalam hal ini
aksesibilitas diartikan dalam perbandingan antara waktu dan biaya (time-cost
term) dalam hubungannya dengan sistem transportasi yang ada (Yunus, 1999 :
42).
Perkembangan zona-zona yang ada pada daerah sepanjang poros
transportasi akan terlihat lebih besar dengan daerah yang terletak di antaranya
(interstitial areas). Perkembangan di sepanjang poros “dibatasi” oleh persaingan
dengan daerah yang lebih dekat dengan CBD walau yang tersebut kedua ini tidak
32
Universitas Indonesia
dilayani dengan fasilitas transportasi yang cepat. Dengan kata lain daerah yang
tidak dilayani oleh fasilitas transportasi yang cepat ini dapat bersaing dengan
daerah yang terlayani fasilitas transportasi dalam time cost karena jarak ke pusat
lebih kecil.
Konsekuensi logis dari adanya fasilitas transportasi, pemerintah juga harus
menyediakan lahan parkir sebagai tempat untuk meletakkan atau menitipkan
sementara kendaraan yang tidak digunakan oleh pemiliknya karena melakukan
aktivitas lainnya. Menurut Direktorat Jenderal Cipta karya, luas tempat parkir ini
sangat tergantun dari perencanaan komplek itu sendir di samping jumlah
kepemilikan kendaraan. Meskipun demikian sebagai pegangan dapatlah dipakai
angka ±3% dari luas daerah yang dilayani. Di pusat-pusat aktivitas sebaiknya
disediakan tempat parkir umum yang lokasinya dapat dikelompokkan atau dapat
juga menyebar di setiap aktivitas tergantung dari perencanaan (Dirjen Cipta
Karya, 1983 : 19). Lokasi parkir ini harus memenuhi beberapa persyaratan :
a. Merupakan pelengkap dari pusat-pusat aktivitas;
b. Sedapat-dapatnya sedekat mungkin dengan pusat aktivitas yang
dilayaninya;
c. Harus mudah dicapai dari/ke pusat tanpa gangguan/bahaya lalu lintas;
d. Harus mudah dicapai dari jalan.
Sementara itu, luas tempat parkir tergantung dari beberapa variabel, yaitu
sebagai berikut :
Jumlah kepemilikan kendaraan;
Jenis aktivitas dari pusat aktivitas yang akan dilayani;
Sistem parkir baik dari segi perencanaan fisik maupun dama
manajemennya.
Dari beberapa teori diatas yang menjelaskan mengenai pembagian kota
dalam beberapa zona dimana setiap zona memiliki nilai lahan berbeda-beda yang
ditentukan oleh tingkat aksessibilitas terhadap transportasi, peneliti berusaha
untuk mengkaji tarif parkir berdasarkan zonasi.
33
Universitas Indonesia
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di Provinsi
DKI Jakarta. Seperti kebanyakan kota-kota besar lainnya, pengguna kendaraan
pribadi terus meningkat sehingga kebutuhan akan lahan parkir pun akan
meningkat, sementara itu tidak ada pertumbuhan ruas jalan. Hal ini menyebabkan
adanya keterbasan lahan parkir sekaligus menyebabkan kemacetan yang
menimbulkan banyak kerugian. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya yang
memberikan solusi atas kedua permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dengan menerapkan
kebijakan tarif parkir berzonasi dalam retribusi parkir.
Adapun alur berfikir atau kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat
dilihat berdasarkan gambar di bawah ini :
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran
Sumber : Hasil olahan peneliti
Kebutuhan AkanLahan Parkir
PenggunaKendaraan PribadiTerus Meningkat
Tidak AdaPertumbuhan
Ruas Jalan
KeterbatasanLahan Parkir
KemacetanMenimbulkan
Banyak Kerugian
Tarif ParkirBerzonasi
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penggunaan metode penelitian merupakan salah satu hal yang harus
dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Pemilihan metode penelitian
yang tepat dan sesuai akan menjadikan hasil penelitian menjadi akurat. Metode
penelitian menunjukkan bagaimana suatu penelitian dikerjakan, dengan apa, dan
bagaimana prosedurnya. Metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur,
alat serta desain penelitian yang digunakan (Nazir, 1988 : 51).
Metode penelitian dapat diartikan pula sebagai totalitas cara yang dipakai
peneliti untuk menemukan kebenaran ilmiah (Irawan, 2000 : 56). Hasan
menyatakan metode penelitian sebagai keseluruhan proses berpikir yang dimulai
dari menemukan permasalahan, kemudian peneliti menjabarkannya dalam suatu
kerangka tertentu, serta mengumpulkan data bagi pengujian empiris untuk
mendapatkan penjelasan dalam penarikan kesimpulan atas gejala sosial yang
diteliti (Hasan, 2002 : 21). Berikut ini adalah uraian mengenai metode penelitian
yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, kerangka teoritik tidak lagi dijadikan dasar
dalam melakukan penelitian. Namun, kerangka teoritik lebih berperan sebagai
titik berangkat dari landasan bagi peneliti untuk menganalisis dan memahami
realitas yang ditelitinya, secara alamiah (Irawan, 2000 : 50).
Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Moleong mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data dekriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong, 2000 : 4). Sementara itu, menurut Creswell, pengertian kualitatif yaitu:
“A qualitative study is designed to be consistent with the
assumption of a qualitative paradigm. This duty is defined
as an inquiry process of understanding a social or human
35
Universitas Indonesia
problem, based on building a complex, holistic picture,
formed with word, reporting detailed views of information,
and conducted in a natural setting” (Creswell, 2003 : 2)
Creswell menyatakan bahwa di dalam penelitian kualitatif permasalahan
penelitian dalam pendekatan kualitatif perlu dieksplorasi karena ketersediaan
informasi yang terbatas tentang topik yang diangkat di dalam suatu penelitian.
Menurutnya, sebagian besar variabelnya tidak diketahui dan peneliti ingin
memusatkan pada konteks yang dapat membentuk pemahaman dari fenomena
yang diteliti. Selain itu Creswell juga menambahkan bahwa salah satu
karakterikstik permasalahan penelitian kulitatif yaitu berusaha
menggambarkan/menjelaskan secara lebih mendalam suatu fenomena dan untuk
mengembangkan suatu teori.
Pendekatan kualitatif digunakan oleh peneliti karena melalui pendekatan
ini peneliti berusaha untuk memahami dan mengintrepretasikan gejala sosial yang
ada di masyarakat. Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk
mendeskripsikan permasalahan mengenai formulasi kebijakan tarif parkir
berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis-jenis penelitian hanya sebuah upaya untuk mengklasifikasikan
penelitian yang sudah ada yang bertujuan untuk memudahkan peneliti (Prasetyo,
2006 : 37). Dalam penelitian ini, peneliti akan membagi jenis penelitian sebagai
berikut:
a. Berdasarkan Tujuan Penelitian
Dilihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan gambaran
yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Penelitian ini bisa juga
dikatakan sebagai kelanjutan dari penelitian eksploratif yang telah menyediakan
gagasan dasar sehingga penelitian ini menggambarkan lebih detail (Prasetyo, 2006
: 42).
36
Universitas Indonesia
Penelitian deskriptif memungkinkan peneliti memilih satu objek penelitian
untuk dikaji secara mendalam dan bukan hanya membuat “peta umum” dari objek
penelitian tersebut (Irawan, 2000 : 60). Menurut Whitney yang dikutip oleh Nazir,
metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpetasi yang tepat. Penelitian
deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang
berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses yang
sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari setiap fenomena (Nazir, 1988 :
64). Sesuai dengan pokok permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini,
peneliti bertujuan untuk menggambarkan bagaimana formulasi kebijakan tarif
parkir berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.
b. Berdasarkan Manfaat Penelitian
Dilihat dari manfaatnya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian murni
karena peneliti bebas menentukan masalah dan subjek penelitian. Selain itu,
penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademis dan ditujukan kepada
pemenuhan kebutuhan peneliti sendiri yang hasilnya akan memberikan dasar
untuk pengetahuan dan pemahaman yang dapat dijadikan sumber metode, teori
dan gagasan yang dapat diaplikasikan pada penelitian selanjutnya (Prasetyo, 2006
: 38).
c. Berdasarkan Dimensi Waktu
Berdasarkan dimensi waktunya, penelitian ini termasuk ke dalam
klasifikasi penelitian cross sectional. Neuman memberikan gambaran mengenai
penelitian cross sectional seperti sebagai berikut :
“In cross-sectional research, researchers observe at one
point in time. Cross-sectional research is usually the
simplest and least costly alternative. Cross-sectional
research can be exploratory, descriptive, or explanatory
but it is most consistent with a descriptive approach to
research.” ( Neuman, 2003 : 31)
37
Universitas Indonesia
Oleh karena itu, penelitian ini dikategorikan penelitian cross sectional
karena penelitian hanya dilakukan pada satu waktu tertentu yakni pada saat
mengumpulkan data di lapangan yang dimulai dari bulan Desember 2010 hingga
bulan Juni 2011.
d. Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan dua teknik
pengumpulan data, yaitu sebagai berikut :
1. Studi Kepustakaan (Library Research)
Dalam penelitian ini studi kepustakaan dilakukan peneliti dengan
mengumpulkan data dan menelaah berbagai macam sumber informasi
mulai dari buku, jurnal, media massa, penelitian terdahulu, undang-
undang perpajakan, peraturan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
yang terkait dengan parkir dan sebagainya. Menelusuri literature yang
ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan
yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian (Nazir, 1988 :
111).
Studi kepustakaan merupakan hal yang sangat penting karena tidak
ada suatu penelitian ilmiah yang tidak melibatkan kajian kepustakaan
oleh penelitinya. Karena sumber utama data adalah kepustakaan, maka
kualitas penelitian kepustakaan ini juga sangat tergantung pada
kualitas dokumen-dokumen yang dikaji. Semakin otentik dokumen
semakin bagus data. Semakin up to date, semakin bagus hasil
penelitian dan seterusnya (Irawan, 2000 : 65). Hasil pengumpulan dan
penelaahan dari studi kepustakaan dijadikan sebagai data sekunder
dalam penelitian.
2. Studi Lapangan (Field Research)
Dalam studi lapangan, instrumen yang digunakan juga hanya berisi
tentang pedoman wawancara yang nantinya dapat berkembang sesuai
38
Universitas Indonesia
dengan kondisi yang ada di lapangan (Prasetyo, 2006 : 50).
Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk
mengonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang
yang diwawancarai (interviewee) (Bungin, 2007 : 155).
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti termasuk ke dalam jenis
wawancara mendalam yang bersifat terbuka. Wawancara mendalam
merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara
langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud
mendapatkan gambaran lengkap tentang topic yang diteliti.
Wawancara mendalam dilakukan secara intensif dan berulang-ulang
(Bungin, 2007 : 157). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan
pembuatan kebijakan tarif parkir berzonasi, baik dari sisi pemerintah
maupun dari akademisi dan aktivitis. Hasil wawancara mendalam akan
digunakan sebagai data primer penelitian.
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Paton yang dikutip oleh Moleong adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian dasar. Paton membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan
arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, danmencari
hubungan diantara dimensi-dimensi uraian (Moleong, 2000 : 280). Sementara itu,
Moleong juga mengutip pendefinisian analisis data oleh Bogdan dan Taylor yaitu
proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan
merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai
usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis kerja itu (Moleong,
2000 : 280). Dari dua definisi diatas, Moleong mendefinisikan analisis data
sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori,dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
39
Universitas Indonesia
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2000 :
280).
Teknis analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah analisis data
kualitatif. Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen seperti yang dikutip
oleh Irawan adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip
interview, catatan di lapangan, dan bahan-bahan lain yang didapatkan yang
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu fenomena (Irawan,
2000 : 100). Proses dari analisis data kualitatif digambarkan oleh Moleong seperi
yang dikutipnya dari Seiddel, sebagai berikut :
Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi
kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensitesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan
membuat temuan-temuan umum.
3.4 Narasumber/Informan
Data primer yang dikumpulkan oleh peneliti berasal dari wawancara
mendalam yang dilakukan oleh peneliti dengan narasumber atau informan. Dalam
pemilihan informan, peneliti melihat dari kompetensi dan korelasi kedudukan atau
latar belakang pendidikan informan dengan penelitian yang dilakukan. Menurut
Neuman, informan yang baik harus memenuhi empat karakteristik sebagai berikut
:
a. The informant is totally familiar with the culture and is in
position to witness significant events .
b. The individual is currently involved in the field.
c. The person can spend time with the researcher.
d. Nonanalytic individual make better informant ( Neuman, 2003 : 94)
40
Universitas Indonesia
Informan yang akan dijadikan sebagai narasumber oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bapak Iwan Setiawandi selaku Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi
DKI Jakarta
2. Bapak Benyamin Bukit selaku Kepala Unit Pelaksanaan Teknis
Perparkiran Provinsi DKI Jakarta
3. Bapak Azas Tigor Nainggolan selaku Ketua Dewan Transportasi Kota
Jakarta
4. Bapak Tubagus Haryo Karbyanto selaku Koordinator Penyusunan
Naskah Akademik Raperda Perparkiran Jakarta, Koalisi Warga untuk
TDM
5. Bapak Tjip Ismail selaku Akademisi
3.5 Penentuan Site Penelitian
Peneliti memilih Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi untuk melakukan
penelitian karena sebagai Ibukota Negara, Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat
aktivitas yang tinggi di berbagai aspek termasuk salah satunya di bidang
transportasi. Permasalahan yang terjadi yaitu tidak seimbangnya penggunaan
jumlah kendaraan pribadi dengan ruas jalan yang ada sehingga menimbulkan
kemacetan. Parkir dapat menjadi salah satu instrumen dalam mengendalikan
kemacetan di Provinsi DKI Jakarta salah satunya yaitu dengan kebijakan tarif
berzonasi. Pemilihan Provinsi DKI Jakarta juga mempertimbangkan kemudahan
peneliti dalam melakukan pengumpulan data.
3.5 Batasan Penelitian
Pembatasan penelitian ini dilakukan agar pengumpulan data dan
pembahasan atau analisis permasalahan dalam penelitian ini tidak keluar atau
melenceng jauh dari pokok permasalahan yang peneliti ajukan. Oleh karena itu,
penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai formulasi kebijakan tarif parkir
berzonasi dalam retribusi parkir di Provinsi DKI Jakarta.
i
Universitas Indonesia
Daftar Referensi
Buku
Anderson, James. 1969. Public Policy Making. New York : Holt, Renehart, and
Winston.
Bratakusumah, Dedy Supriyadi dan Dadang Solichin. 2001. Otonomi
Penyelenggaraan Pemda. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Brotodihardjo, R. Santoso, 1995. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT
Eresco.
Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada.
Chalid, Pheni. 2005. “Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi : Tantangandan Hambatan”. Jakarta : Kemitraan
Cresswell, John W. 2003. Research Design Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Jakarta : KIK Press
Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1983. Pedoman Perencanaan Lingkungan
Pemukiman Kota. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah
Bangunan.
Dye, Thomas R.1975. Undertanding Public Policy. Englewood Cliff, New Jersey
: Prentice-Hall.
Dunn, Willian. 1999. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Press.
Eyestone, Robert. 1971. The Threads of Policy : A Study in Policy Leadership.
Indianapolis : Bobs-Merril.
Fisher, Irwin A. 1996. State and Local Public Finance (Pricing of Government
Goods : User Charges). USA : Times Mirror Higher Group Inc.
Hasan, Iqbal. 2002Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Irawan, Prasetya. 2000. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta : STIA-LAN
Press.
Mansury, R. 1999. Kebijakan Fiskal. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4).
ii
Universitas Indonesia
Mansyuri, R. 1996. PPh Lanjutan. Jakarta : Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP 4).
Mardiasmo. 1997. Perpajakan. Yogyakarta : Andi Offset.
Mardiasmo,MBA,Ak. 2002. “Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah”. ANDIYogyakarta
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rosda.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nurmantu, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan. Jakarta : Granit.
Juwaini, Jazuli. 2007. “ Otonomi Sepenuh Hati”. Jakarta : Al-I’tishom CahayaUmat.
Jones, Charles O. 1984. An Introduction to The Study of Public Policy. Monterey :
Books / Cole Publishing Company.
Kenneth, J. Davey. 1983. Pembiayaan Pemerintah Daerah : Praktek-praktek
Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta : UI Press.
Prasetyo, Bambang dan LIna Miftahul Jannah. 2006. Metode Penelitian
Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. 2005. Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada.
Samudra, Azhari A.. 1995. Perpajakan Di Indonesia: Keuangan, Pajak dan
Retribusi Daerah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan
Daerah. Yogyakarta : Andi Offset.
Tanzi, Vito. 1991. Public Finance in Developing Countries Vermont. USA :
Edward Elgar Publishing Company.
W, Laurence Neuman. 2003. Social Research Methods : Qualitative and
Quantitative Approaches, (University of Winsconsin at Whitewater),Pearson
Education Inc.
Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
iii
Universitas Indonesia
Zorn, C. Kurt. 1991. User Charges and Fees. Kumpulan artikel John E. Petersen
dan Denise R Strachorn. “Local Government Finance : Concept and
Practices”. Illinois, Chicago : Government Finance Officers Association of
United State and Canada).
Karya Ilmiah
Dedyanto. 2003. Analisis Efektivitas Pendapatan Retribusi Parkir Propinsi DKI
Jakarta. Depok : Universitas Indonesia.
Marlina, Lenny. 2003. Analisis Tarif Retribusi Kebersihan Di DKI Jakarta. Depok :
Universitas Indonesia.
Sumantri, H Edi. 2009. Bahan seminar “Tarif Pajak Progresif PKB”.
Susdiyono. 2003. Kajian Pendapatan Daerah Propinsi DKI Jakarta Melalui Retribusi
Parkir (Menuju Pelaksanaan Pajak Parkir). Depok : Universitas Indonesia.
Media ElektronikAnonim. 2010. “Tata Ulang Parkir Sudah Mendesak”.
http://bataviase.co.id/node/95710. Diunduh 19 November 2010 Pukul15.00 WIB.
Fajar, Nur R. 2010. “Tarif Parkir dan KemacetanJakarta”. http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa&id=29882&sub=column&page=home. Diunduh tanggal 15 November2010, Pukul 22.00 WIB.
Suroso, GT. 2010. “Parkir, Meruwetkan Atau Menggiurkan”.http://bataviase.co.id/node/185412.
Winarno, Hery. 2010. “Target Penerimaan Pajak Parkir 2010 Tercapai Bila TarifNaik”.http://www.detiknews.com/read/2010/07/31/004619/1410632/10/target-penerimaan-pajak-parkir-2010-tercapai-bila-tarif-naik. Diunduh19 November 2010 Pukul 15.00 WIB.
www.jakarta.go.id
Kompas