DISKUSI BEBERAPA TEOLOG DENGAN TURGEN HABERMAS TENTANG AKAL BUD1 D& AGAMA DI JAMAN POSTMETAFISIKA
Abstract: Dialogue between theology and philosophy in Christianity has a long tradition. The fact that this dialogue stiU takes place and how it takes place in our time, in this post-metaphysical era, can be seen, among others, in a discussion that takes place betweenJoseph Ratzinger (now Pope Benedict XVI) and Magnus Smet-both are theologians-and Jiirgen Habermas, a philosopher. To critically accompany the development of a modern society and to show the relevance of faith for this society, philosophy and theology, modern thought and Christian religious tradition, must learn from one another. While philosophy and theology need to develop their own potentialities in a maximum way, they also need to be aware of their own limitations. Keywords: Iman, aka1 budi modern, kebebasan, metafisika, posrmetafisika
PENGANTARTulisan ini mengacu pada beberapa peristiwa dialog sejumlah teolog dan fdosof agama dengan Jiirgen Habermas yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Pertama, seminar yang diadakan oleh Akademi Katolik di Miinchen pada 19 Januari 2004. Dua pembicara utama dalam seminar tersebut adalab Jiirgen Habermas danJoseph Ratzinger yang waktu itu adalah Ketua Kongregasi Ajaran Iman Gereja Roma katolik. Makalah keduanya kemudian diterbitkan dalam buku dengan judul yang mencerminkan tema diskusi: Dialektika Sekularisasi. Tentang Akal budi dan Agama.' Kedua, sebuah seminar yang diadakan di Wina pada 4-6 Maret 2004 dalam rangka memperingati dua ratus tahun wafatnya salah seorang filosof hesar Jerman, Immanuel Kant. Jiirgen Habermas menjadi pembicara utama pada seminar tersebut. Ia menyampaikan makalah yang men-
*
A. Ssnarko, Program S t d i Ilnm Teologi, Sekolab Tinggi Fiirujot Dr+arkoro, Cetnpokn Putih Ijidob 100 A, Rawamn, Jakarta 10520. E-nroil: norko&@yaboo.de.
159
160
Dirkmi Beberapa Teoiog dengoti Jiirgen Habermor (A. Ssnarko)
jadi bahan diskusi hangat dan kemudian diterbitkan dengan judul: Die Grenxe xwischen Glauben and Wissen. Z n r Wirkungsgeschichte und aktuellen Bedeutnng von Kants Religionsphilosophie (Batas antara Iman dan Pengetah u m . Tentang pengaruh historis dan Makna aktual dari Filsafat Agama Kant).'Ketiga, ceramah Habermas tersebut mendapat tanggapan antusias dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada agama dan kedudukan serta perannya dalam masyarakat demokratis-sekular. Atas dasar itu kemudian diadakan sebuah seminar berikut gum membahas pandangan Habermas tentang agama. Seminar tersebut dmdakan lagi di Wina, Austria pada 23-24 September 2005. Dalam seminar itu Habermas tidak menjadi pembicara, melainkan diundang hadir untuk mendengarkan tiga belas pembicara lain yang menyarnpaikan pandangan mereka tentang pemikiran Habermas, khususnya berkaitan dengan problem agama dalarn masyarakat post-sekular. Dalam publikasi ketigabelas makalah tersebut disertakan pula tanggapan dari Jiirgen Habermas3 Dari ketigabelas pembicara tersebut, paling tidak ada empat orang yang berprofesi sebagai profesor teologi. Salah seorang di antaranya adalah Magnus Striet (professor untuk bidang teologi fundamental di Universitas Albert Ludwig, Freiburg,Jerman), seorang teolog muda yang banyak berdiskusi dengan filsafat kontemporer. Keeqat, diskusi Ratzinger dengan Habermas ternyata tidak berhenti pada pertemuan di Miinchen. Ceramah Benediktus XVI di Universitas Regensburg pada 12 September 2006 mendapat tanggapan dari Habermas dalam artikelnya yang berjudul ' E i n Bewusstsein von dem, wasjhlt Berkaitan dengan itu para pro(Kesadaran akan apa yang k~ran~hilang)."~ fesor di SekolahTinggi Filsafat para Jesuit di Miinchen (Norbert Brieskorn SJ, Michael Reder, Friedo Ricken SJ, dan Josef Schmidt SJ) mengundang Habermas untuk berdiskusi bersama pada Februari 2007.' Dalam tulisan berikut, saya akan menyampaikan kembali sejumlah pemikiran dari rangkaian diskusi dan seminar tersebut di atas, sejauh itu penting ,dm relevan, khususnya untuk teologi. Secara khusus saya akan memberi perhatian pada diskusi antara Joseph Ratzinger, Magnus Smet danliirgen Habermas.
1 . M~~NCHEN: HABERMAS DAN RATZINGERJiirgen Habermas berangkat dari pertanyaan termasyur yang dikemukakan Ernst Wolfgang Bockenforde pada pertengahan tahun 1960-an: "Does the free, secularized state exist on the basis of normative presuppositions that
DISKURSUS,Vd 7, No.2,
Qktoler 2008: 159-180
161
itself cannot guaranteeYb Atau kalau dipertajam lagi, pertanyaannya menjadi: Apakah sistem negara demokratis-sekular mampu dari kekuatannya sendiri terus memperbarui pengandaian-pengandaian normatif yang diperlukan untuk bertahan? Tidakkab untukitu ia tergantung pada kekayaan tradisi-tradisi kolektif eti~-reli~ius?~ Konsep negara demokratis-sekular yang dimaksud di sini mengacu pada bentuk khusus dari liberalisme, yaitu paham republikanisme kantian. Paham ini meletakkan dasar-dasar normatif bagi negara demokratis tidak dengan mengacu pada tradisi religius tertentu dan tidakpula berdasarkan paham metafisika tertentu. Justifikasi yang diberikan dilandasi pandangan filosofis yang bersifat post-metafisika. "This theory is in the tradition of a rational law that renounces the strong cosmological or salvation-historical assumptions of the classical and religious theories of the natural lawn8Peran sejarah teologi Kristiani Abad Pertengahan, khususnya skolastisme Spanyol, bagi lahirnya paham tentang hak asasi manusia tentu saja tidak disangkal. Tetapi basis sesungguhnya bagi legitimasi negara hukum demokratis modern diambil dari pernikiran f i b sofis (profan) dari abad ke-I7 dan ke-18. Pendasaran kogn~tif bagi legitimasi yang dimaksud itu paling tidak meliputi dua hal berikut. Pertama, proses demokratis bagi penentuan hukum harus bersifat "inclusive" dan "discursive."' Kalau demikian, dapat diandaikan bahwa hasilnya secara rasional akan dapat diterima. Kedua, proses demokratis itu sekaligus berjalan bersamaan dengan prinsip pengakuan atas hak asasi manusia. Artinya, dalam proses penentuan hukum secara demokratis itu dituntut, bahwa "the basic liberal and political rights"10 setiap orang sungguh terjamin. Kalau itu terlaksana, maka dapat diandaikan bahwa "the constitution of the liberal state can satisfy its own need for legitimacy in a self-sufficient manner .. .."" Persoalan menjadi sedikit berbeda kalau kita beralih dari tataran kognitif ke tataran motivasi. Yang dimaksudkan adalab bahwa ada sejumlah hal yang diperlukan bagi berfungsinya sebuah negara hukum-demokratis, tetapi tidak dapat dipaksakan oleh hukum. Memberikan suara dalam pemilihan umum serta solidaritas dengan satu sama lain adalah hal-hal yang perlu, tetapi tidak dapat dipaksakan oleh hukum. Kesediaan untuk menolong dan membela warga yang asing dan anonim, kesediaan untuk berkorban bagi kepentingan banyak orang adalah perlu, tetapi hanya dapat disarankan, dianjurkan, tidak dapat dipaksakan. "This is why politicalvirtues ... are essential if a democracy is to e~ist."'~
Tetapi untuk itupun-demikian Habermas-negara hukum-demokratis modern tidak perlu berpaling pada sumber lain. Icalau berjalan dengan baik dan ideal, praksis demokrasi dapat mengembangkan dinamika politisnya sendiri yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi masalah yang dihadapi jauh lebih serius. Modernisasi secara keseluruhan nampaknya berjalan salah arah. Dalam proses itu solidaritas yang diperlukan bagi berjalannya negara demokratis (tetapi tidak dapat &paksakan oleh hukum) nampak makin tipis, bahkan lenyap. Warga masyarakat berubah menjadi monade-monade yang terisolasi satu sama lain, yang bertindak hanya demi kepentingan sendiri. Hak masing-masing dipakai sebagai senjata untuk s a h g melawan satu sama lain.'3 Pada tataran yang lebih luas dan global hal itu nampak dalam tidak adanya kontrol politis atas dinamika ekonomi global. Habermas menunjuk khususnya pada kepentingan pasar bang belum mengalami demokratisasi sebagaimana halnya negara) dan karena itu mendominasi wdayah kehidupan lain. Proses demokrasi tidak berjalan. Dan kalau pun masih dapat berfungsi pada tingkat nasional, seringkali tidak berdaya berhadapan dengan korporasi yang bergerak internasional, supra-nasional. "The dwindling of any genuine hope that the global community would be a creative political force encourages the tendency to depolitize the citizen^."'^ Ditambah dengan makin akutnya problem ketidakaddan sosial, jelaslah bahwa proyek modernisasi sedang ada dalam bahaya, berjalan pada re1 yang keliru. Pemecahan yang ditawarkan teori-teori postmodern ditolak Habermas, karena kritik mereka terhadap paham aka1budi modem terlalu radikal. Mereka memandang masalah yang dihadapi sebagai "logical outcome of the program of a self-destructive intellectual and societal rati~nalization."'~ Juga ditolak Habermas munculnya kembali sikap skeptis radikal dari kalangan Kristiani atas akal budi modern yang menawarkan pemecahan mudah berbau fideistis, dengan mengatakan bahwa obat yang mujarab terletak pada orientasi religius pada yang transenden. Sebagaimana jelas juga dari berbagai tulisan lain, Habermas tetap yakin berpegang pada sikap untuk meneruskan proses modernisasi, tetapi tentu saja dengan koreksi. Kritiknya terhadap akal budi modern tidak total. Di sini kiranya Habermas melihat perlunya memberi perhatian pada agama; bukan semata-mata sebagai fakta yang secara sosial ternyata mash ada. "Philosophy must take this phenomenon ser~ously from within ... as a cognttive challenge."I6
DISKURSUJ, Vd 7, No 2, O&aktoler 2008: 159-180
163
Dalam IGtab Suci dan tradisi-tradisi religius yang sudah berabad-abad umurnya-demikian Habermas-kita temukan intuisi mengenai pengalaman dasariah manusia berkaitan dengan kegagalan dan penyelamatan. Lebih persis lagi: dalam kehidupan jemaat-jemaat religius konkret tetap terpelihara apa yang di tempat lain hilang: Adequately differentiated possibilities of expression and . .. sensitivities with regard to lives that have gone astray, with regard to societal pathologies, with regard to the failure of individual plans for their lives, and with regard to the deformation and disfigurement of the lives that people share with one another." Karena itu perlulah filsafat mengembangkan sikap mau belajar dari agama "not only for functional reasons, but also ... for substantial reason^."'^ Dan itu sebenarnya bukan hal yang baru. Sejarah panjang perjumpaan kekristenan dengan Filsafat Yunani, menurut Habermas, tidak hanya menghasilkan teologi dogmatik dan helenisasi kekristenan. Sebaliknya, perjumpaan itu juga menyebabkan bahwa gagasan-gagasan Kristiani diterima dalam sistem-sistem pemikiran filosofis. Hal itu tampak dalam konsep-konsep normatif seperti: tanggungjawab, otono'mi dan pembenaran, sejarah dan memoria, emansipasi dan pemenuhan, individualitas dan sosialitas, dll. Memiliki asal-usulnya dalam dunia religius, konsep-konsep itu ditransformasikan, tanpa mengosongkan maknanya sama sekali. One such translation that salvages the substance of a term is the translation of the concept of man in the image of God into that of the identical dignity of all men that deserves unconditional respect. This goes beyond the borders of one particular religious fellowship and makes the substance of biblical concepts accessible to a general public that also includes those who have other faiths and those who have none." Mengingat terancarnnya nilai solidaritas oleh karena dominasi kepentingan pasar, perlulah berdialog dengan segala macam sumber kultural yang memiliki pptensi untuk membangkitkan solidaritas. Seperti kemudian sering dikatakannya, Habermas menegaskan bahwa berkaitan dengan itu agama memiliki potensi semantik yang mash harus digali. 'Tradisi-tradisi religius adalah sumber, dari padanya akal budi.. . dapat menimba kekayaan, dan akal budi sekular memiliki kemampuan dan tugas untuk menerjemahkan isi dari tradisi religius ke dalam sistem bahasanya ~ e n d i r i . ' ' ~ ~
164
Dirkusi Bebempn T d o g detrgon Jiirgen Hnbermm (A. Smorko)
Baik dari pihak agama maupun dari pihak akal budi sekular dituntut sikap yang tepat. Di satu pihak, dari pihak agama dituntut untuk menepati normanorma proses demokratis serta memenuhi tuntutan refleksi akal b u d modern. Berhadapan dengan kenyataan perkembangan pengetahuan, posisi netral negara serta prinsip kebebasan beragama, agama dituntut melepaskan klaim sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup yang legitim. Ini tidak berarti, bahwa agama lpaksa dikurung dalam ruang privat saja. Kemungkinan untuk meinberi pengaruh bagi masyarakat tetap terbuka. Tetapi hal itu hanya dapat dilakukan dengan mengikuti proses yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. D i situ akal budi dapat memainkan peran yang penting.Di lain pihak, akal budi sekular perlu berefleksi dm untuk makin menyadari pula keterbatasan-keterbatasannya. Keyaktnan-keyakinan religius perlu diakui sebagai yang me& status epistemis yang sah dan tidak semata-mata dipandang sebagai yang irasional. 'When secularized citizens act in their role as citizens of the state, they must not deny in principle that religious images of the world have the potential to express truth."21 Kardinal (waktu itu) Joseph Ratzinger menegaskan di satu pihak bukan hanya tentang keterbatasan akal b u d dan pengetahuan, melainkan juga bahwa akal budi memiliki aspek yang bersifat patologis. Keterbatasan pengetahuan nampak misalnya kalau dhadapkan dengan problematik aktual yang dihadapi masyarakat kontemporer, di mana interaksi antara politik, ekonomi dan budaya menjadi sangat intens. Sementara itu kemampuan manusia untuk mencipta/ membuat sesuatu meningkat dengan sangat pesat; tetapi seiring dengan itu juga kemampuan untuk menghancurkan. Tidak terhindarkanlah pertanyaan etis tentang apa atau siapa yang dapat melakukan kontrol atas perkembangan dan penggunaan kemampuan manusia itu. Apalagi-demikian diagnosis Ratzinger-dalam kenyataannya evidensi dan kepastian etis dalam masyarakat stidah hancur. Pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apa itu baik, mengapa hams berbuat baik, juga kalau itu merugikan kita, tidak dapat dijawab. Dan memang menurut Ratzinger ilmu pengetahuan (science) tidak dapat memherikan jawahan atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. "It seems to me obvious that science as such cannot give birth to such an ethos."22 Celakanya, perkembangan pesat ilmu pengetahuan yang menghasilkan transformasi fundamental atas paham kita tentang dunia memainkan peran yang tidak kecil bagi hancurnya
kepastian sistem moral selama h i .Dalam hal ini Ratzinger menunjuk pada peran dan tangpmgjawab filsafat untuk mendampingi berbagai cabang disiplin keilmuan. "Philosophy must sift the non-scientific element out of the scientific results with which it is often entangled, thus keeping open our awareness of the totality and of the broader dimensions of the reality of human existence -for science can never show us more than partial aspects of this e ~ i s t e n c e . " ~ ~ Juga pada tataran sosial kemasyarakatan, sistem demokrasi modern memiliki keterbatasannya. Prinsip delegasi dan suara mayoritas tidak dapat menjamin tercapainya kebenaran serta keadilan, dan tidak dapat mencegah kemungkinan terjadmya diktatur mayoritas. "Majorities, too, can be blind or unjust, as history teaches us very plainly."24Kita kembali dihadapkan pada pertanyaan sangat fundamental akan apa yang seharusnya tidak pernah boleh menjadi hukum; serta juga akan apa yang harus menjadi hukum, mendahului dan mengatasi segala keputusan mayoritas. Deklarasi tentang hak asasi manusia mungkin dapat menjadi jawabnya. Tetapi itu pun tidak begitu saja eviden dan diterima oleh semua budaya di dunia. Islam, misalnya, memiliki katalognya sendiri tentang hak asasi r n a n u ~ i a . ~ ~ Tidak hanya menunjukkan keterbatasan aka1 budi, Ratzinger juga mengingatkan bahwa akal budi dapat menjadi patologis. Hasil penemuan ilmu pengetahuan berupa bom atom telah terbukti memiliki kekuatan yang sangat destruktif. Demikian pula ciri patologis perkembangan akal budi dan ilmu pengetahuan tampak dalam kemampuannya untuk bereksperimen dengan manusia, menjadikan manusia sebagai produknya sendiri. Tetapi, di lain pihak, agama juga dapat menjadi patologis. Berkaitan dengan ha1 itu Ratzinger menunjuk pada fakta terorisme. Selain berbagai faktor penyebab yanglain adalah memprihatinkan bahwa tindakan teror ternyata diberi legitimasi moral. "Bin Laden's messages portray terror as the response of the powerless and oppressed peoples to the arrogance of the mighty and as the righteous punishment for their arrogance."26Lebih dari itu, terorisme ternyata juga memiliki motif religius. Kalau demikian, Apakah agama itu sebuah kuasa yang menyembuhkan dan menyelamatkan? Atau lebih merupakan kuasa yang berasal dari jaman kuno dan berbahaya? Yang me& klaim yang keliru atas universalitas dan karena itu menyebabkan intoleransi dan teror? Tidakkah agama harus dituntun oleh akal budi dan dibatasi wewenangnya?Tetapi siapa dan bagaimana dapat melaku-
166
'
Dirkrri Bebernpo Teolq d e n p i jiirgen Haberrrtar (A. S~tnorko)
kannya? ...Tidakkah diatasinya agama secara bertahap hams dilihat sebagai langkah maju kemanusiaan yang perlu, agar ia sampai pada jdan kebebasan dan toleransi yang univers&7 Mengingat semua itu Ratzinger sependapat dengan Habermas, bahwa aka1 budi modern dan agama &istiani harus saling belajar satu sama lain. Masingmasing h a u s makin tahu akan batas-batasnya. Agama dan akal budi s m a sama "dipanggd untuk s h g memurnikan dan menolong satu sama lain. Keduanya s h g rnembut&kan."28 M e n d , bahwa Ratzinger mengmgatkan ten-
positif o k h Striet karena sepadan-meski dari arah yang berbeda-dengan spa yangia mengerti sebagai tugas teologi. Tugas itu terletak dalam menemukan, di sam pihak, cara berpikir filsafat) tertentu (aristotelianisme, nee-platonisme, thornisme, dan sebagainya) yang hidup d i peradaban tertentu, tetapi
.
kategori yang memadai untuk itu, Tetapi tidak boleh pula dilupakan bahwa harus tetap jelas ciri anugerah-gratis dari wahyudan iman yang mau direfleksikan oleh teologi.
DISKURSUS, Vol 7 , No. 2, 06iolcr 2008: 159-180
167
Demi menunjukkan aktualitas dan relevansi pesan iman, tingkat refleksi teologi tidak boleh berada di bawah tingkat yang telah dicapai refleksi rasio modern, khususnya berkaitan dengan kemungkinan dan baras-batas jangkauan akal b~di."~I