+ All Categories
Home > Documents > DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren...

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren...

Date post: 25-Dec-2019
Category:
Upload: others
View: 39 times
Download: 19 times
Share this document with a friend
286
Transcript
Page 1: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa
Page 2: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

PERENCANAANWILAYAH DAN KOTA II

Professional Human Resource Development IVPusbindiklatren-Bappenas

Program BeasiswaPusbindiklatren Bappenas

Editor:

Dr. Guspika, MBA., dkk.

Page 3: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perencanaan Wilayah dan Kota II ©2018 oleh Bappenas

EditorDr. Guspika,MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA.

Kontributor Amin Marzuki, Ardiyanto, Benadikta Widjayatnika, Cut Hashfi Fadhila, Dedi

Surachman, Diana Paramita, Ganjar Priadi, Iman Sadesmesli, Kurniawati Hapsari

Ekosafitri, Luthfian Riza Sanjaya, Muji Esti Wahyudi, Rusiani, Sabrina Sabila, Sam

Ilham Hartoko, Susilawati, Yuda Pringgo Bayusukmara, Yunita Pertiwi, Zulfikar

Mohamad Yamin Latuconsina

Cetakan I, Oktober 2018 ISBN: 978-602-53018-4-1

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan PerencanaBadan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

Page 4: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ii iii

DAFTAR ISIDAFTAR ISI — iii

KATA PENGANTAR — vii

ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH, KONVERSI LAHAN DAN RASIO TANAH TERDAFTAR SERTA ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN CIREBON Amin Marzuki — 1

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DAN ARAHAN RENCANA PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PALEMBANG Ardiyanto — 15

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PEMANFAATAN RU-ANG PERTANIAN DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA, PROVINSI KALIMAN-TAN TIMUR Benadikta Widjayatnika — 29

ARAHAN PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANDA ACEH Cut Hashfi Fadhila — 47

KAJIAN PERKEMBANGAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN INDEKS VEGETASI YANG PALING SESUAI DI WILAYAH PESISIR KOTA TARAKAN Dedi Surachman — 63

KAJIAN DAN ARAHAN SAMPAH BERDASARKAN DAYA PENGELOLAAN DUKUNG DAN KAPASITAS TAMPUNG KOTA DEPOK Diana Paramita — 79

PEMERATAAN SEBAGAI ARAHAN RENCANA DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN CIANJUR Ganjar Priadi — 89

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG BERBASIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMUR Iman Sadesmesli — 105

PERAN SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KELAUTAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN JEPARA Kurniawati Hapsari Ekosafitri — 121

Page 5: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

iv

HGU: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN? (KAJIAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR DAN PEMEKARANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH) Luthfian Riza Sanjaya — 137

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DI KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Muji Esti Wahyudi — 153

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA MELALUI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI RESORT WONOLELO TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU Rusiani — 169

KUALITAS PELAYANAN PADA KAWASAN WISATA BENTENG KUTO BESAK PALEM-BANG Sabrina Sabila — 183

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENYEMPURNAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU Sam Ilham Hartoko — 202

KINERJA PELAYANAN PENGELOLAAN SAMPAH BERDASARKAN PENDAPAT PEDA-GANG DAN PENGELOLA PASAR DI PASAR TALANG, KECAMATAN GUNUNG TALANG KABUPATEN SOLOK Susilawati — 219

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENJADI LAHAN TERBANGUN PAS-CA PERPINDAHAN IBUKOTA KABUPATEN SUKABUMI DI WILAYAH TELUK PALABU-HANRATU Yuda Pringgo Bayusukmara — 235

MODAL SOSIAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KECAMATAN PASEKAN–KABUPATEN INDRAMAYU Yunita Pertiwi — 251

MODEL PEMBANGUNAN KABUPATEN MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS SISTEM WILAYAH PENGEMBANGAN

Zulfikar Mohamad Yamin Latuconsina — 263

Page 6: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

v

KATA PENGANTAR

Professional Human Resource Development (PHRD-IV) merupakan Program beasiswa Bappenas bergelar S2 dan S3 maupun non-gelar (short-term Training Program, staff Enhancement Program, dan Program for Academic Staff) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia khususnya dari daerah. Program ini bertujuan untuk memberi kesempatan meningkatkan sumber/daya di Pemerintah Pusat dan daerah dengan tujuan mengurangi disparitas ekonomi antar-daerah.

Dalam pelaksanaannya diharapkan bagi para penerima beasiswa PHRD-IV dapat melakukan pendalaman pengetahuan dan penelitian terkait pembangunan bersifat konkret yang dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing. Di samping itu, para penerima beasiswa juga diharapkan dapat mengunjungi fasilitas-fasilitas publik dan pemangku kepentingan setempat yang terkait dengan bidang studinya sehingga dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh dan pemahaman lebih mendalam.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa PHRD-IV, Tema: Perencanaan Wilayah dan Kota II ini merupakan buku kelima dari sembilan buku yang akan diterbitkan pada tahun 2018, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karyasiswa penerima beasiswa PHRD-IV.

Agar hasil-hasil penelitian Tesis/Disertasi dalam Program PHRD-IV dapat tersebar luas, hasil-hasil penelitian tersebut dirangkum, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tujuan pertama setelah diterbitkan adalah agar dapat direplikasi atau diadopsi di tempat kerja karya siswa; kedua, sebagai benchmark pemanfaatannya di instansi pemerintah lain; dan ketiga, merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan kegiatan PHRD-IV, dalam bentuk terbitan ilmiah buku sehingga dapat disebutkan oleh karya siswa dalam resume masing-masing.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif Program PHRD-IV terhadap peningkatan kapasitas SDM sebagai participating agencies, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, dan dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Program PHRD-IV juga diharapkan dapat berkontribusi bagi pencapaian sasaran prioritas nasional dalam

Page 7: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

vi vii

meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang ditandai dengan berkurangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Jakarta, Oktober 2018

Pusbindiklatren Bappenas

Page 8: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

vii

Page 9: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

viii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Program Beasiswa PHRD-IV

Page 10: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH, KONVERSI LAHAN DAN RASIO TANAH TERDAFTAR SERTA ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN CIREBON

Nama : Amin Marzuki

Instansi : Badan Pertanahan Nasional

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 11: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

2 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Potensi wilayah Kabupaten Cirebon termasuk dalam tiga wilayah di Jawa Barat yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), selain Bandung Raya dan Bodebekapur. Konsep PKN Ciayumajakuning, Kabupaten Cirebon diharapkan menjadi pilar yang dapat memicu perkembangan wilayah sekitarnya.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat perkembangan wilayah, perkembangan ekonomi wilayah, dan pola transaksi tanah di Kabupaten Cirebon; (2) menganalisis perubahan penggunaan lahan sawah di Kabupaten Cirebon; (3) mengetahui tingkat efisiensi wilayah kecamatan di Kabupaten Cirebon; (4) melihat keterkaitan antara tingkat perkembangan wilayah, perkembangan ekonomi wilayah, transaksi tanah, konversi lahan sawah, serta rasio tanah terdaftar; (5) arahan pengembangan wilayah dan prioritas pendaftaran tanah di Kabupaten Cirebon. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis Entropi, Pertumbuhan Ekonomi, Interpolasi Natural Neighbor, Tumpang Susun, Regresi Berganda, GWR, DEA serta analisis deskriptif.

Hasil analisis entropi menunjukkan tingkat perkembangan wilayah kecamatan di Kabupaten Cirebon dengan nilai di atas rata-rata indeks (0,1407) hanya berjumlah 15 kecamatan dari 40 Kecamatan. Hal ini menunjukkan, secara umum perkembangan proporsi keragaman sektor perekonomiaan di Kabupaten Cirebon belum cukup baik. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Cirebon cenderung terpusat di beberapa wilayah barat Kabupaten Cirebon seperti Kecamatan Gunung Jati, Palimanan, Arjawinangun, dan sekitarnya. Pola sebaran transaksi tanah di Kabupaten Cirebon terkonsentrasi di wilayah berkembang dengan tingkat pertumbuhan ekonominya sedang dan tinggi.

Hasil analisis Data Envelopment Analysis menunjukkan efisiensi konversi lahan sawah dan penerimaan dana pemerintah terhadap capaian PDRB Kecamatan dan peningkatan kualitas keluarga di Kabupaten Cirebon hanya ada empat wilayah yang sudah efisien, yaitu Kecamatan Babakan, Greged, Palimanan, dan Sumber. Kemudian efisiensi lokasi program sertifikasi ada lima wilayah yang sudah efisien, yaitu Kecamatan Babakan, Ciwaringin, Plered Sumber, dan Waled.

Tingkat perkembangan wilayah dipengaruhi oleh rasio tanah terdaftar, jumlah keluarga sejahtera, dan kepadatan penduduk. Pertumbuhan ekonomi wilayah juga dipengaruhi oleh rasio tanah terdaftar, jumlah pekerja industri kecil rumah tangga serta kepadatan penduduk.

Arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Cirebon berdasarkan tingkat perkembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi, dan efisiensi wilayah diprioritaskan untuk wilayah yang belum berkembang, tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi dan

Page 12: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 3

efisien (Prioritas I) terdiri dari Kecamatan Ciwaringin, Greged, Waled, dan Babakan. Kemudian Prioritas II adalah Kecamatan Sumber, Pangenan, Susukan Lebak, Pabuaran, dan Karangwareng. Prioritas III yaitu Kecamatan Kapetakan, Suranenggala, Panguragan, Klangenan, Gunung Jati, Kedawung, Jamblang, Plered, Tengah Tani, Gempol, Palimanan, Dukupuntang, Mundu, Astanajapura, Lemahabang, Sedong, Karangsembung, dan Pasaleman. Prioritas IV adalah Kecamatan Kaliwedi, Arjawinangun, Plumbon, Weru, Depok, Talun, Beber, Losari, Pabedilan, dan Ciledug. Kemudian Prioritas V terdiri dari Kecamatan Gebang, Susukan, dan Gegesik.

Kata kunci: Cirebon, Perkembangan Wilayah, Rasio Hak Atas Tanah, Sertifikasi

Page 13: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

4 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH, KONVERSI LAHAN DAN RASIO TANAH TERDAFTAR SERTA ARAHAN

PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN CIREBON

A. Latar Belakang

Potensi wilayah Kabupaten Cirebon yang menjadi pintu masuk ke Provinsi Jawa Barat dari bagian timur ini cukup besar. Sesuai dengan Data BAPPEDA secara administratif, Kabupaten Cirebon memiliki wilayah seluas 107,323 hektar, luas kawasan hutan, yaitu 5,337,95 ha dan wilayah pesisir yang menjadi kewenangannya adalah 399,6 km2. Kabupaten yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon Electric Power ini terbagi menjadi 40 kecamatan, 412 desa, dan 12 kelurahan.

Dari sisi transportasi, kabupaten yang terkenal dengan nasi jamblangnya ini dilalui oleh jalan arteri primer dan jalan kolektor primer sebagai penghubung antara Jakarta dan kota-kota besar di wilayah Jawa. Lintasan ruas jalan bebas hambatan (jalan tol), yakni Cipali, Palikanci serta Pejagan pun menjadi daya tarik tersendiri terhadap wilayah ini. Wilayah Kabupaten Cirebon juga dilalui jalur kereta api, yakni jalur kereta api Cirebon-Jakarta, jalur kereta api Cirebon-Bandung, jalur kereta api lintas Utara Jawa (Cirebon-Semarang-Surabaya), dan jalur kereta api lintas Selatan Jawa (Cirebon- Yogyakarta-Surabaya). Hal ini merupakan potensi pengembangan Kabupaten Cirebon untuk menarik investor ke wilayah ini sehingga perlu didukung dengan indeks kemudahan dalam melakukan usaha (ease of doing business) yang baik. Iklim investasi dan kemudahan melakukan usaha didukung dengan berbagai indikator di antaranya perbaikan memulai berbisnis, akses mendapatkan listrik, pendaftaran aset lahan (registering property). Pendaftaran aset lahan sangat berhubungan dengan property right yang dalam banyak literatur disebut dengan mengacu pada land right (hak atas tanah). Indeks kemudahan berbisnis Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia tahun 2016, menempatkan Indonesia pada peringkat 109 dengan indeks pendaftaran tanah 131 dari 189 negara. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penghambat dalam kemudahan berbisnis di Indonesia saat ini adalah pendaftaran tanah.

Sesuai dengan data pertanahan digital di Kabupaten Cirebon hingga Agustus 2017, persentase tanah terdaftar dibandingkan dengan luas wilayahnya kurang dari 30% dengan luas rata-rata tanah terdaftar adalah 1034 meter. Itu artinya, masih ada sekitar 654 ribu bidang tanah di Kabupaten Cirebon belum mempunyai sertifikat hak atas tanah. Di samping itu, kita mengetahui bahwa hampir tidak ada kegiatan usaha yang tidak memerlukan tanah. Hal inilah yang menjadikan kepastian dan akses terhadap tanah menjadi penting dalam hal memberikan dampak terhadap investasi di suatu wilayah.

Page 14: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 5

Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, biasanya akan berkorelasi dengan alih fungsi lahan pertanian untuk tempat usaha. Dalam konsep pengembangan wilayah berkelanjutan selain pertumbuhan ekonomi dalam aspek ekonomi, aspek lingkungan, dan aspek sosial menjadi bagian penting. Alih fungsi lahan (pertanian menjadi nonpertanian), utamanya sawah perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Jumlah penduduk selalu mendorong konversi lahan sawah, baik untuk tempat tinggal, tempat usaha ataupun tempat melakukan aktivitas lain.

Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai angka 261 juta dengan 2,13 juta berada di Kabupaten Cirebon sesuai dengan Data BPS 2015. Jumlah ini sangat berpotensi mengalami kenaikan tiap tahunnya. Sementara itu, jumlah luas tanah relatif tetap. Kecenderungan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan luas tanah yang relatif konstan dapat menimbulkan masalah yang serius, di antaranya persaingan makin menyusutnya luas lahan sawah sebagai tempat penghasil makanan pokok penduduk.

Kondisi ini sangat memprihatinkan karena ekstensifikasi sawah irigasi di Kabupaten Cirebon sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Penyusutan lahan sawah, banyak terjadi akibat perubahan penggunaan tanah menjadi nonpertanian seperti hunian, industri, jasa, dan lainnya. Pertumbuhan penduduk yang semakin padat ditambah jumlah urbanisasi yang semakin besar membuat lahan pertanian semakin terdesak. Peningkatan populasi akan menyebabkan perkembangan ekonomi yang memerlukan alokasi lahan untuk industri, infrastruktur, dan jasa (Munibah et al., 2009) dan selalu diiringi meningkatnya kebutuhan ketersediaan fasilitas yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Sitorus et al., 2012).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan uraian di atas disusunlah perumusan masalah, yaitu belum semua wilayah kecamatan di Kabupaten Cirebon berkembang, laju konversi lahan pertanian sawah relatif tinggi, belum diketahui tingkat efisiensi wilayah, belum diketahui keterkaitan antara tingkat perkembangan wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah dengan transaksi tanah, konversi lahan, rasio tanah terdaftar serta belum adanya arahan pengembangan wilayah terhadap wilayah-wilayah yang akan diprioritaskan dalam pengembangan wilayah melalui strategi peningkatan rasio tanah terdaftar dan program pemerintah yang bisa menciptakan lapangan kerja di daerah sehingga meminimalisir migrasi penduduk (perempuan) untuk mendukung perkembangan wilayah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka disusunlah pertanyaan-pertanyaan penelitian, sebagai berikut:

Page 15: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

6 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah, perkembangan ekonomi wilayah dan pola transaksi tanah di Kabupaten Cirebon?

2. Bagaimana tingkat konversi lahan di Kabupaten Cirebon?

3. Bagaimana tingkat efisiensi wilayah kecamatan di Kabupaten Cirebon?

4. Apakah tingkat perkembangan wilayah berkaitan dengan transaksi tanah, konversi lahan, rasio tanah terdaftar?

5. Bagaimana arahan pengembangan wilayah di Kabupaten Cirebon?

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data hasil pengamatan lapangan pada lokasi perubahan penggunaan lahan yang sudah ditentukan dengan teknik purposive sampling. Perkembangan wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah, misalnya alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktivitas perekonomian di wilayah tersebut, semakin luasnya hubungan yang dapat dijalin antara subwilayah-subwilayah dalam sistem tersebut dan sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktivitas ini dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep

entrophy (Panuju dan Rustiadi, 2013).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Perkembangan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Cirebon

Indeks entropi kecamatan-kecamatan di Kabupaten Cirebon tahun 2015 dengan nilai di atas rata-rata nilai indeks (0,1407) hanya berjumlah 15 kecamatan dari 40 Kecamatan yang ada 37% dari jumlah kecamatan. Hal ini menunjukkan, secara umum perkembangan proporsi keragaman sektor perekonomian di Kabupaten Cirebon belum cukup baik.

Bentuk keseriusan dari rencana pemerintah di wilayah PKL Plumbon Palimanan ini terlihat dari berkembangnya industri, perdagangan, dan jasa di wilayah ini. Hal ini terlihat dari beberapa industri skala nasional seperti pabrik semen PT Indocement dan PT Samator Gas Industri berdiri di PKL ini. Di belakang pabrik Indocement Palimanan adalah Gunung Kromong (gunung kapur) yang akan menjadi bahan baku semen. Gunung kapur ini termasuk kawasan pabrik Indocement Palimanan, Cirebon. Bukan hanya industri, sektor pertambangan pun bergeliat tumbuh beriringan. Banyak warga yang menggantungkan hidupnya pada pabrik ini dan membantu tersedianya lapangan kerja. Bahkan wilayah ini pun memiliki fasilitas relatif lengkap seperti beberapa rumah sakit, hotel, restoran serta tempat perbelanjaan yang mendorong tersebarnya aktivitas perekonomian warga di sana.

Page 16: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 7

Wilayah dengan indeks diversifikasi entropi rendah pun hampir semua memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah rendah pula. KSK (Kawasan Strategis Kabupaten) Gunung Jati merupakan wilayah yang sudah ditetapkan menjadi KSK sosial budaya. Letaknya berbatasan langsung dengan Kota Cirebon dengan akses dan fasilitas yang relatif lengkap, mendorong wilayah ini tumbuh berkembang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Menariknya adalah Kecamatan Gegesik dengan indeks entropi berkembang moderat, justru menjadi wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah. Artinya, keragaman aktivitas ekonomi belum mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Dilihat dari aspek demografi wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk relatif rendah sehingga perlu dibuktikan apakah ini salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.

Sektor Industri pengolahan di Kabupaten Cirebon memiliki indeks entropi tertinggi 0,8952 pada tahun 2015. Namun, tahun 2010 sektor pertanianlah yang menjadi sektor dengan indeks entropi tertinggi, yaitu 0,9768. Hal ini terlihat bahwa terjadi pergeseran penyumbang perkembangan ekonomi wilayah dari sektor primer berubah menjadi sektor tersier dan sekunder. Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang tahun 2015 dan 2010 memiliki jumlah indeks entropi paling rendah, yaitu 0,0072 (2015) dan 0,0078 (2010). Berdasarkan analisis entropi perkembangan wilayah (Stot/Smaks) dapat diketahui bahwa nilai entropi Kabupaten Cirebon, memiliki tingkat perkembangan sebesar 0,863 atau 86% dari kemampuan maksimumnya. Hal ini sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu 0,851 atau 85% dari target maksimum yang tetap yaitu 6,522.

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Cirebon cenderung terpusat di beberapa wilayah. Bagian barat Kabupaten Cirebon yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi terdapat di Kecamatan Gunung Jati, Palimanan, dan Arjawinangun serta wilayah sekitarnya. Perlu diketahui bahwa wilayah Kecamatan Gunung Jati sebagai KSK sosial budaya, Palimanan sebagai PKL industry, dan wilayah Arjawinangun sebagai PKL kawasan ekonomi agro dengan fungsi utama kawasan pertanian tanaman pangan. Selain itu, wilayah dibagian barat Kabupaten Cirebon yang berbatasan dengan Kota Cirebon memiliki pertumbuhan ekonomi dan diversifikasi

entropi wilayah sangat tinggi.

2. Pola Sebaran Transaksi Tanah

Analisis pola sebaran transaksi tanah dilakukan untuk wilayah mana yang sering terjadi jual beli lahan dan berapa kisaran harganya. Kemudian apakah wilayah tersebut secara spasial berkaitan dengan perkembangan wilayah. Pusat aktivitas

Page 17: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

8 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ekonomi memiliki daya tarik kuat bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat keterkaitan baik ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage) (Rustiadi et al., 2009). Hal ini memungkinkan wilayah yang mempunyai perkembangan lebih baik akan mempunyai harga tanah lebih tinggi dibandingkan wilayah kurang berkembang.

Kecamatan Kedawung yang berbatasan dengan Gunung Jati dan Kota Cirebon memiliki rona pola transaksi berwarna merah (belum berkembang), sama seperti di Kecamatan Palimanan. Jika dilihat secara langsung wilayah ini merupakan kawasan perdagangan dan jasa. Beberapa hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan jasa keuangan berdiri di area tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat aktivitas perekonomian di wilayah itu sehingga memengaruhi nilai dan jumlah transaksi tanah. Selain itu, Kecamatan Kedawung juga memiliki populasi penduduk yang sangat padat sehingga mendorong perkembangan ekonomi wilayah. Senada dengan Dow, populasi yang lebih besar, di tempat yang lebih berkembang (Dow et al., 2017). Jika dilihat dari rasio tanah bersertifikat maka Kecamatan Kedawung memiliki rasio sertifikasi 95,3% terhadap luas wilayah nonkawasan hutan, dengan bahasa lain reformasi sertifikasi lahan meningkatkan kecenderungan bermigrasi untuk memperbaiki kondisi ekonomi, meningkatkan likuiditas lahan, dan mengurangi kendala keuangan (Chernina et al., 2013).

Berdirinya PLTU Cirebon tahun 2012 dengan kapasitas 660 MW menciptakan lapangan kerja baru baik dalam operasional dan maintenance. Pada tahun 2017 ekspansi PLTU Cirebon dengan kapasitas 1000 MW dilakukan, tentunya akan memerlukan lahan baik untuk lokasi PLTU baru maupun permukiman dan fasilitas sosial dan umum disekitarnya untuk pekerja. Hal ini yang dapat mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Selain faktor bio-fisik secara tidak langsung, sosial ekonomi menjadi faktor utama terjadinya perubahan penggunaan

lahan (Yudarwati et al., 2016).

3. Konversi Lahan Sawah

Penggunaan lahan di Kabupaten Cirebon selama rentang waktu 2010 sampai dengan tahun 2016 didominasi oleh sawah dan permukiman. Penggunaan lahan terluas adalah sawah seluas 55,354,40 ha (51,58%) tahun 2010 dan 54,896,72 ha (51,15%) tahun 2016. Sebaran sawah tersebut berada di seluruh kecamatan Kabupaten Cirebon. Perubahan sebesar 0,43% terhadap sawah di Kabupaten Cirebon merupakan tantangan besar dalam perwujudan swasembada pangan. Kabupaten Cirebon merupakan sentra produksi padi yang tidak saja mampu memenuhi kebutuhan produksi setempat, tetapi juga menjadi salah satu penyangga pangan di Provinsi Jawa Barat.

Page 18: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 9

Berbeda dengan penggunaan lahan sawah yang cenderung menurun, permukiman baik perkampungan maupun perumahan semakin bertambah dengan 16,924,65 ha (15,77%) tahun 2010 serta meningkat tahun 2016 menjadi 17,147,88 ha (15,98%). Selain sawah dan permukiman, penggunaan lahan yang mendominasi adalah kebun campuran atau penggunaan tanah perdesaan dengan luas 10,401,94 ha (9,69%) tahun 2010 dan 10,385,69 ha (9,68%) tahun 2016.

Ketiga penggunaan lahan tersebut mendominasi lebih dari 75% penggunaan lahan di Kabupaten Cirebon. Bahkan ketiganya mengalamai perubahan, sawah berkurang, kebun campuran berkurang sedangkan permukiman bertambah. Hal ini disebabkan dari meningkatnya aktivitas masyarakat dan meningkatnya urbanisasi sehingga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan tanah untuk permukiman dan kegiatan lain seperti tempat usaha.

Sawah berkurang 458 ha dari perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya, yaitu 55,354 ha. Hal yang menarik adalah permukiman, kawasan terbangun serta lahan terbuka mengalami peningkatan sebesar 428,5 ha. Lahan terbuka ini merupakan lahan yang biasanya akan dipersiapkan untuk dibangun. Kawasan hutan di Kabupaten Cirebon hampir tidak mengalami perubahan, yaitu masih tetap 6,28% dari luas wilayah Kabupaten Cirebon. Hal ini mengindikasikan bahwa pengendalian kawasan hutan di Kabupaten Cirebon dalam kurun waktu tersebut cukup optimal.

Luas lahan sawah terbesar ada di Kecamatan Gegesik dengan luas 5,650 ha, yaitu 87,83% dari luas wilayah Kecamatan Gegesik. Hal ini mengindikasikan bahwa pertanian menjadi roda penggerak utama di Kecamataan ini. Terlebih Kecamatan Gegesik berbatasan langsung dengan Kabupaten Indramayu dan Kecamatan Arjawinangun. Kecamatan Arjawinangun memiliki sawah lebih dari 65% dari luas wilayahnya. Kecamatan Arjawinangun adalah salah satu poros Ciayumajakuning. Hal ini terlihat dari pembangunan pasar induk Ciayumajakuning berada di wilayah ini.

Sebagai salah satu wilayah yang ditetapkan menjadi lumbung pangan di Provinsi Jawa Barat bahkan Nasional, penggunaan lahan sawah di Kabupaten Cirebon perlu mendapatkan perhatian serius. Peraturan Bupati Cirebon Nomor 32 tahun 2016 menetapkan 40,000 ha lahan sawah di Kabupaten Cirebon, sebagai lahan pertanian abadi atau dikenal dengan istilah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Lahan sawah LP2B tersebut tersebar di seluruh Kecamatan di Kabupaten Cirebon. Sebagian besar lahan sawah di Kabupaten Cirebon adalah sawah irigasi, sebagian kecil lainnya adalah sawah tadah hujan yang pengairannya mengandalkan air hujan.

Page 19: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

10 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perubahan penggunaan lahan yang menonjol di Kabupaten Cirebon selama tahun 2010-2016 adalah perubahan dari sawah menjadi permukiman dan kawasan terbangun lain. Sawah mengalami pengurangan sebesar 457,68 ha, sedangkan kawasan terbangun dan permukiman mengalami peningkatan sebesar 329,41 ha. Salah satu faktor yang turut berperan adalah peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan perkembangan ekonomi yang memerlukan alokasi lahan untuk industri, infrastruktur, dan jasa (Munibah et al. 2009) dan selalu diiringi meningkatnya peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Sitorus et al., 2012). Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan akan permukiman dan fasilitas

umum bagi warga Kabupaten Cirebon.

4. Efesiensi Wilayah

Dari 40 kecamatan hanya lima kecamatan yang sudah efisien dalam pengelolaan dana daerah serta pengendalian konversi lahan sawah. Kecamatan Palimanan, Sumber, Babakan, Plered, dan Greged yang sudah efisien dam masih memerlukan usaha untuk optimalisasi output. Analisis ini menggunakan orientasi output, yaitu dengan input yang tetap untuk meningkatkan output yang optimal. Asumsi yang dibangun dalam analisis DEA ini adalah Constant Return to Scale (CRS), yaitu wilayah yang dievaluasi menggunakan set input yang sama untuk menghasilkan set output yang sama pula. Efisiensi terendah terjadi pada Kecamatan Kaliwedi, yaitu 0,177. Penerimaan dana terbesar dan adanya konversi lahan terbesar ketiga, ternyata tidak diimbangi dengan capaian PDRB dan peningkatan kualitas keluarga menjadi sejahtera.

Besaran konversi lahan sawah ini masuk dalam parameter DEA dengan asumsi bahwa seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Cirebon memiliki lahan sawah. Oleh sebab itu, konversi lahan sangat mungkin terjadi di semua wilayah kecamatan tersebut, tidak terkecuali wilayah yang sekarang tidak terjadi konversi lahan sawah. Wilayah yang bisa mempertahankan atau meminimalisir konversi lahan sawah namun, tetap menghasilkan PDRB dan keluarga sejahtera lebih besar patut untuk diapresiasi. Begitu pula dengan wilayah yang mendapatkan dana lebih sedikit dengan capaian PDRB, tetapi keluarga sejahteranya tinggi. Sebaliknya, wilayah kecamatan yang telah mengkonversi lahan secara besar-besaran untuk pembangunan, tetapi output-nya tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan maka sepantasnya tidak diprioritaskan kembali. Konversi lahan sawah menjadi kawasan terbangun utamanya relatif besar di Kecamatan Kaliwedi, sedangkan sesuai data statistik daerah Kecamatan Kaliwedi mengalami penurunan kepadatan penduduk signifikan dari 2,057 tahun 2014 menjadi 1,458 tahun 2015 (BPS,

Page 20: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 11

2016). Hal ini mengindikasikan adanya migrasi keluar dari Kecamatan Kaliwedi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih laik sehingga kualitas keluarga juga

meningkat.

5. Analisis Keterkaitan Perkembangan Ekonomi Wilayah

Hasil analisis menjelaskan bahwa rasio hak atas tanah, jumlah pekerja UKM serta kepadatan penduduk memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah. Tidak hanya memengaruhi perkembangan wilayah hak atas tanah dan kepadatan penduduk juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangat dimungkinkan karena dengan sertifikat hak atas tanah, masyarakat bisa mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan dengan bunga rendah. Kesempatan ini tentu lebih baik dibandingkan dengan mereka yang memperoleh modal dari selain lembaga keuangan negara. Sependapat dengan Markussen et al. (2014), hak kepemilikan lahan akan memberikan kesamaan akses keuangan dan asuransi sehingga membantu meningkatkan investasi yang merangsang pertumbuhan ekonomi perdesaan.

Klasifikasi perkembangan ekonomi wilayah dengan hasil prediksi indeks entropi dengan GWR, sesuai dengan indeks entropi sebenarnya. Hanya dua kecamatan yang mengalami perbedaan, yaitu Kecamatan Plumbon dengan klasifikasi sangat berkembang menjadi berkembang, kemudian Kecamatan Kedawung dengan klasifikasi berkembang menjadi sangat berkembang.

Setelah melihat data tiap-tiap kecamatan, ternyata Kecamatan Kedawung memiliki kepadatan penduduk terbesar dibandingkan wilayah lain, yaitu 5541 ha. Melihat data rasio tanah yang terdaftar di Kecamatan Kedawung, yaitu 95,3% tanahnya sudah terdaftar. Berbeda dengan kecamatan lain di Kabupaten Cirebon yang mempunyai rasio rata-rata hanya 27,3%. Hal inilah yang mendorong kecamatan ini masuk dalam kategori sangat berkembang setelah melakukan regresi dengan metode Geographically Weighted Regression (GWR). Sedangkan, untuk Kecamatan Plumbon rasio tanah terdaftar lebih moderat, yaitu 53,4 dan kepadatan penduduk 3565 dengan angka rata-rata kepadatan penduduk perkecamatan di Kabupaten Cirebon, yaitu 2458 per km2.

Sesuai dengan hasil analisis maka terlihat bahwa wilayah yang tingkat perkembangan ekonomi wilayahnya tinggi secara spasial, memiliki jumlah sebaran Transaksi Tanah lebih banyak dibandingkan wilayah yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa Transaksi Tanah merepresentasikan aktivitas ekonomi masyarakat. Berdasarkan tingkat efisiensi wilayah hanya ada 5 kecamatan yang sudah efisien dalam pengelolaan dana daerah serta pengendalian perubahan

Page 21: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

12 Direktori Mini Tesis-Disertasi

penggunaan lahan sawah. Wilayah tersebut mampu meminimalkan perubahan penggunaan lahan sawah, menjadi kawasan terbangun dalam mendorong perkembangan ekonomi wilayah. Hal inilah yang menjadi poin penting dalam konsep pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan Salim (2000) bahwa melaksanakan program pembangunan sosial dan ekonomi untuk menunjang pola pembangunan berwawasan lingkungan.

Tingkat perkembangan ekonomi wilayah secara signifikan dipengaruhi oleh rasio tanah terdaftar, jumlah keluarga sejahtera, dan kepadatan penduduk. Semakin besar rasio tanah bersertifikat maka semakin memungkinkan wilayah tersebut berkembang secara ekonomi. Luas lahan sawah dan hutan juga memengaruhi meskipun tidak signifikan. Sesuai dengan hasil tersebut maka semestinya tidak hanya pemerintah pusat yang melakukan program sertifikasi lahan 5 juta bidang tahun 2017 dan 7 juta bidang tahun 2018, pemerintah daerah pun hendaknya

bersinergi dalam mewujudkan seluruh bidang tanah bersertifikat (terdaftar).

6. Arahan Pengembangan Wilayah

Wilayah yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah kurang berkembang, tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi dan efisien dalam hal efisiensi wilayahnya. Kategori yang paling diutamakan adalah prioritas I (pertama). Wilayah tersebut di antaranya Kecamatan Ciwaringin, Waled, Greged, dan Babakan dengan efisiensi wilayah sangat efisie, namun wilayah tersebut masih belum berkembang. Adapun wilayah yang berkembang, pertumbuhan ekonominya masih rendah dan sangat kurang efisien maka termasuk kategori prioritas V (lima). Kecamatan tersebut adalah Gebang, Gegesik, dan Kecamatan Susukan. Wilayah Kabupaten Cirebon bagian timur merupakan wilayah yang relatif tertinggal dibandingkan dengan bagian barat baik dari sisi pertumbuhan ekonomi maupun perkembangan wilayah. Prioritas pengembangan wilayah lebih banyak ditempatkan di wilayah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong aktivitas ekonomi dan perkembangan wilayah yang seimbang di wilayah timur. Sesuai dengan konsep kutub pertumbuhan bahwa pertumbuhan yang disebarkan dari kutub pertumbuhan ke wilayah disekitarnya dalam sistem ekonomi (Perroux dalam Parr, 1999).

D. Kesimpulan

1. Tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Cirebon berdasarkan indeks entropi wilayah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu sangat berkembang yang terdiri dari Kecamatan Palimanan, Depok, Weru, Plumbon, dan Plered dengan indeks entropi terbesar 0,2931, klasifikasi berkembang terdiri atas Kecamatan

Page 22: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 13

Arjawinangun, Susukan, Kapetakan, Gegesik, Panguragan, Gunung Jati, Tengah Tani, Kedawung, Sumber, Talun, Dukupuntang, Mundu, Astanajapura, Lemah Abang, Gebang, Ciledug serta klasifikasi kurang berkembang ada di kecamatan lain dengan indeks entropi paling rendah 0,0641 di Kecamatan Pasaleman. Pola sebaran transaksi tanah di Kabupaten Cirebon terkonsentrasi di wilayah yang sangat berkembang dan terdapat dua titik wilayah yang sangat tinggi jumlah serta nilai transaksinya, yaitu di Kecamatan Palimanan dan Perbatasan Kedawung yang diduga menjadi pusat aktivitas ekonomi.

2. Konversi (alih fungsi) lahan di Kabupaten Cirebon didominasi oleh alih fungsi sawah dengan luas 458 ha yang hampir seluruhnya dialihfungsikan untuk kawasan terbangun, utamanya kawasan permukiman dan Kecamatan Talun sebagai wilayah tertinggi yang mengalami konversi lahan sawah.

3. Efisiensi penerimaan dana pemerintah dan konversi lahan terhadap capaian PDRB Kecamatan dan peningkatan kualitas keluarga di Kabupaten Cirebon hanya ada empat wilayah yang sudah efisien, yaitu Kecamatan Babakan, Greged, Palimanan, dan Sumber. Sedangkan, efisiensi lokasi program sertifikasi dan penerimaan dana dari pemerintah terhadap jumlah usaha kecil rumah tangga, tenaga kerja, dan peningkatan kualitas keluarga ada lima wilayah yang sudah efisien, yaitu Kecamatan Babakan Ciwaringin, Plered, Sumber, dan Waled sedangkan wilayah lain belum efisien dan sangat belum efisien.

4. Tingkat perkembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi wilayah dipengaruhi oleh rasio tanah terdaftar dengan nilai koefisien 1,29 dan kepadatan penduduk 1,69. Jumlah keluarga sejahtera memengaruhi tingkat perkembangan wilayah serta jumlah pekerja pada sektor usaha kecil rumah tangga, memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

5. Pengembangan Wilayah diprioritaskan di wilayah Pengembangan I yang terdiri dari Kecamatan Ciwaringin, Greged, Babakan, Waled, dan wilayah Pengembangan II, yaitu Kecamatan Sumber, Susukan Lebak, Karangwareng, Pengenan, Pabuaran, dan wilayah Pengembangan III, IV, dan V pada tahap selanjutnya.

E. Rekomendasi Kebijakan

1. Wilayah yang belum berkembang dan pertumbuhan ekonominya rendah, memerlukan pemicu sehingga investasi dan aktivitas ekonomi bisa berkembang. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan program sertifikasi tanah gratis oleh pemerintah pusat dan daerah.

2. Konversi lahan sawah bisa diminimalkan melalui penetapan kawasan LP2B secara spasial serta menjadikan tanah desa (pemerintah daerah) menjadi LP2B dan mendaftarkan seluruh tanah tersebut.

Page 23: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

14 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Perlu dilakukan penyesuaian antara input dan capaian ekonomi (PDRB) maupun peningkatan kualitas keluarga sejahtera agar sumber daya yang dikeluarkan sebanding dengan hasil capaian yang diharapkan.

4. Program pengembangan ekonomi wilayah dapat dilakukan melalui program sertifikasi tanah oleh pemerintah, redistribusi tanah serta program pelatihan usaha kecil rumah tangga dengan penyaluran kredit usaha rakyat yang mempertimbangkan tahapan prioritasnya secara berkelanjutan.

5. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan cakupan wilayah lebih luas sehingga akan memperoleh hasil lebih komprehensif dengan harapan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bisa terwujud.

6. Penelitian terkait peningkatan rasio tanah terdaftar melalui berbagai program pemerintah perlu dikaji dalam cakupan rumah tangga untuk melengkapi penelitian ini yang bersifat regional.

Page 24: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DAN ARAHAN RENCANA PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PALEMBANG

Nama : Ardiyanto

Instansi : Pemprov Sumatera Selatan

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan

Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 25: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

16 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perencanaan pembangunan merupakan kegiatan dalam menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dengan berbagai metode dan alur kegiatan yang sistematis untuk mempertimbangkan kualitas sumber daya. Kota Palembang saat ini sedang tumbuh dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Konsekuensi dari pertumbuhan adalah masalah ketimpangan. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis tingkat ketimpangan pembangunan di Kota Palembang. Tujuan selanjutnya untuk (1) menganalisis tipologi wilayah di Kota Palembang; (2) mendekomposisikan tingkat ketimpangan pembangunan antara wilayah Hulu dan Hilir Kota Palembang; dan (3) menganalisis faktor-faktor penentu utama dalam permasalahan ketimpangan pembangunan wilayah di Kota Palembang.

Objek yang diteliti adalah 107 kelurahan dan 16 kecamatan yang ada di Kota Palembang. Tipologi wilayah dianalisis dengan metode K-Means Clustering Analysis dan Skalogram, data yang digunakan adalah data Potensi Desa 2005, 2008, 2011, dan 2014. Ketimpangan total dianalisis menggunakan metode perhitungan Indeks Williamson, dan untuk mendekomposisikan tingkat ketimpangan antara wilayah hulu dan hilir Kota Palembang digunakan perhitungan dengan metode indeks Theil. Variabel yang digunakan untuk menghitung tingkat ketimpangan pembangunan, yaitu Indeks Ekonomi wilayah yang diperoleh dari perhitungan Skalogram. Selanjutnya, untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pembangunan digunakan analisis data panel statis.

Perkembangan wilayah di Kota Palembang mengalami tren kenaikan dari 26,58 di tahun 2005 menjadi 50,47 di tahun 2014. Tren ketimpangan wilayah secara total juga menurun, tahun 2005 sebesar 0,13 indeks ketimpangan total naik di 2008 sebesar 0,15, kembali naik di tahun 2011 sebesar 0,20 namun di tahun 2014 nilai indeks ketimpangan total turun menjadi 0,11. Ketimpangan antara wilayah hulu dan hilir Kota Palembang juga mengalami tren kenaikan, tahun 2005 nilai indeks ketimpangan hulu-hilir 0,0024 naik menjadi 0,014 di tahun 2014. Faktor yang secara signifikan memengaruhi tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah di Kota Palembang adalah (+) indeks ekonomi dan (-) angka kriminalitas, dan faktor tofografi alam tanah rawa.

Kata kunci: Indeks Ekonomi, Hulu-Hilir, Kota Palembang

Page 26: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 17

ABSTRACT

Development planning is an activity in order to determine direction of the policy that in line with people needs through various methods and systematic activities by considering the quality of resources. Palembang city has been growing with fairly high economic growth. The consequence of growth was the problem of inequality. The main objective of this study was to analyze the level of development inequality in Palembang City, meanwhile the next objectives was to (1) Analyze the typology of the region in Palembang City; (2) Decompose the level of development inequality between upper and lower areas in Palembang City; and (3) Analyze the determinant factors that caused inequality of regional development in Palembang City. Objects of this study were 107 restricted in Villages in 16 each District in Palembang city.

This study analyze 107 urban villages (Kelurahan) and 16 subdistricts (Kecamatan) in Palembang City. Regional typology was analyzed by K-Means Clustering Analysis and Scalogram method uses Village Potential Data (PODES) year 2005, 2008, 2011, and 2014. Total inequality was analyzed using Williamson Index calculation method and Theil index method was employed to decompose the level of imbalance between upstream and downstream areas of Palembang City. Variable that was used to calculate the level of development inequality is Regional Economic Index that was obtained from Scalogram analysis. Furthermore, static panel data analysis was used in order to analyze the factors that caused development inequality.

Regional Development in Palembang City experienced an upward trend from 26.58 in 2005 to 50.47 in 2014. Beside that, total Inequality trends has declined from 0.13 in 2005 to 0.15 in 2008. This trend continued in 2011 by 0.20 but in 2014 value of total inequality index fell to 0.11. Inequality between upstream and downstream areas in Palembang City also experienced an upward trend. It was showed in 2005 when the value of upstream-downstream index of 0.0024 rose to 0.014 in 2014. Factors that significantly affect the level of development inequality between regions in Palembang were (+) Index Economic and (-) Crime rates, and natural swampland topography factors.

Keywords: Economic Index, Palembang City

Page 27: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

18 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN DAN ARAHAN RENCANA PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PALEMBANG

A. Latar Belakang

Kota Palembang adalah Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan kota tertua di Indonesia, berumur sekitar 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682, pada saat itu penguasa Sriwijaya mendirikan prasasti itu di daerah yang sekarang dikenal sebagai Kota Palembang. Tahun 2007 Kota Palembang menjadi 16 kecamatan dan 107 kelurahan, dan berdasarkan PP No. 23 tahun 1988 luas wilayah Kota Palembang, yaitu 400,61 km2 atau 40.061 ha. Empat kecamatan berada di wilayah bagian hulu Sungai Musi, yaitu Kecamatan Seberang Ulu I, Kecamatan Seberang Ulu II, Kecamatan Ketapati, dan Kecamatan Plaju, sedangkan 12 kecamatan berada di hilir Sungai Musi. Isu ketimpangan pembangunan antara wilayah hulu dan wilayah hilir Kota Palembang sudah sering terdengar dan secara kasat mata dapat dilihat langsung.

Penelitian ini menganalisis tingkat perkembangan wilayah kelurahan di tiap-tiap kecamatan di Kota Palembang, menghitung tingkat ketimpangan antarkelurahan yang berada di Kecamatan Hulu Kota Palembang dengan kelurahan yang ada di Kecamatan Hilir Kota Palembang. Luas wilayah Hulu Kota Palembang dengan empat kecamatan, yaitu Kecamatan Kertapati, Plaju, Seberang Ulu I, dan Seberang Ulu II adalah 21,4% dari keseluruhan luas Palembang. Artinya, tidak sampai seperempat luas kawasan keseluruhan dengan kepadatan penduduk mencapai 6,6%. Kecamatan Seberang Ulu I dan Seberang Ulu II merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk relatif tinggi, yaitu 10,0% dan 9,2%. Sementara Kecamatan Kertapati dan Plaju memiliki tingkat kepadatan yang rendah.

Indikator ketimpangan antara wilayah Hulu dan Hilir ini juga terlihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan, sebagai contoh fasilitas Sekolah Menengah Umum Negeri di Kota Palembang terdapat 21 hanya 6 sekolah yang terletak di kawasan Hulu Kota Palembang. Hal ini semakin diperkuat jika melihat ketersediaan Perguruan Tinggi. Untuk Perguruan Tinggi Negeri UNSRI dan IAIN keduanya terletak di daerah Hulu, sedangkan untuk Perguruan Tinggi Swasta berdasarkan data BPS Kota Palembang tahun 2015 terdapat 68 Perguruan Tinggi Swasta dan 4 perguruan tinggi yang terletak di kawasan Hulu Kota Palembang. Ketersediaan fasilitas kesehatan juga menunjukkan adanya ketimpangan, dari keseluruhan 27 rumah sakit hanya 4 rumah sakit yang ada di kawasan Hulu, Rumah sakit kelas A keseleruhan berada di kawasan Hilir Kota Palembang, terdapat satu rumah sakit kelas B di kawasan Hulu, yakni Rumah Sakit

Page 28: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 19

Umum Daerah Kota Palembang. Fasilitas pendukung kesehatan lainnya seperti Puskesmas dan Puskesmas pembantu relatif tersebar merata.

Berdasarkan data BPS Kota Palembang tahun 2015, data keluarga prasejahtera Kota Palembang adalah 24,3%, konsentrasinya berada di kawasan Hulu Kota Palembang sebesar 41,8% dengan luas wilayah dan jumlah penduduk kurang dari seperempat Kota Palembang. Angka tersebut sebenarnya sudah menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan jika dilihat dari faktor kesejahteran rumah tangga. Sektor industri juga menjadi indikator yang menunjukkan ketimpangan pembangunan di Kota Palembang. Dari data BPS Kota Palembang tahun 2015, yaitu industri logam, mesin, dan industri berat terdapat 123 unit industri yang terkonsentrasi di kawasan Hilir Kota Palembang, hanya terdapat 6 unit industri yang berada di kawasan Hulu, sedangkan untuk industri sedang dan rumah tangga masih tersebar merata.

Sektor pariwisata juga memberikan indikator yang signifikan terhadap ketimpangan pembangunan di Kota Palembang. Berdasarkan data jumlah fasilitas hotel berbintang sebanyak 47 unit (BPS 2015), semuanya terletak di kawasan Hilir Kota Palembang. Tidak ada satu pun hotel berbintang yang ada di kawasan Hulu. Sedangkan untuk fasilitas hotel tidak berbintang berdasarkan data BPS Kota Palembang tahun 2015 terdapat 87 hotel dan penginapan. Di kawasan Hulu hanya terdapat 9 hotel, yakni 6 di Kecamatan Seberang Ulu II dan 3 di kecamatan Seberang Ulu I, sedangkan di kecamatan Kertapati dan kecamatan Plaju tidak terdapat hotel dan penginapan sama sekali. Tidak adanya hotel dan penginapan di Kecamatan Kertapati dan Plaju terjadi karena isu keamanan dengan tingginya angka kriminalitas menjadi faktor penolak untuk pembangunan,

terutama fasilitas untuk sektor pariwisata.

B. Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Palembang. Kota Palembang adalah daerah Tingkat II yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah tertentu, berhak dan berwenang serta berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai UU No. 5 Tahun 1974. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 19 Tahun 2007 tentang pemekaran kelurahan dan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 20 Tahun 2007 tentang pemekaran kecamatan, wilayah administrasi Kota Palembang mengalami perubahan jumlah kecamatan dan kelurahan, dimana saat ini jumlah kecamatan di Kota Palembang menjadi 16 kecamatan dan 107.

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara (1) studi literatur dan data sekunder, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan Data Potensi

Page 29: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

20 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Desa 2005, 2008, 2011, 2014, data kecamatan tahun 2005-2016 RTRW Kota Palembang tahun 2012-2032, dan LKPJ Kota Palembang tahun 2012-2016; (2) wawancara terhadap responden sebagai data pelengkap, penunjang untuk arahan kebijakan pembangunan di Kota Palembang.

Metode analisis Skalogram dan K-Means Clustering anlysis digunakan untuk menggambarkan pengelompokan dan tipologi/ Hierarki wilayah. Indeks Williamson dan Indeks Theil digunakan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antarwilayah. Untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antarwilayah di Kota Palembang menggunakan analisis regresi data panel statis. Sementara itu, untuk menganalisis arahan dan strategi pengembangan wilayah

menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kondisi Umum Daerah Penelitian

Kota Palembang terletak antara 2o52’ sampai dengan 3o5’ Lintang Selatan dan

104o37’ sampai dengan 104o52’ Bujur Timur. Luas wilayah Kota Palembang adalah 358,55 km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Letak Palembang cukup strategis karena dilalui oleh jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan antardaerah di Pulau Sumatera. Selain itu, di Palembang terdapat Sungai Musi yang dilintasi Jembatan Ampera dan berfungsi sebagai sarana transportasi dan perdagangan antarwilayah.

Tahun 2007 Kota Palembang dibagi menjadi 16 kecamatan dan 107 kelurahan. Berdasarkan PP No. 23 tahun 1988 luas wilayah Kota Palembang adalah 400,61 km2 atau 40,061 ha yang secara administrasi terbagi atas 16 kecamatan dan 107 kelurahan. Kota Palembang adalah Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan dengan batas wilayah di sebelah utara, timur, dan barat dengan Kabupaten Banyu Asin, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim.

Penduduk Kota Palembang berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2016 sebanyak 1,602,071 jiwa yang terdiri atas 802.990 jiwa laki-laki dan 799.081 jiwa perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2015, penduduk Palembang mengalami pertumbuhan sebesar 1,36%. Sementara itu, besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2016 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 100,49% yang berarti jumlah penduduk laki-laki

lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan.

Page 30: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 21

2. Perkembangan Wilayah di Kota Palembang

Dalam penelitian ini tingkat perkembangan wilayah Kota Palembang ditunjukan oleh nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) dan hierarki tiap-tiap kelurahan dan kecamatan serta terhadap letak wilayah kecamatan yang berada di Hulu dan Hilir Kota Palembang. Untuk menentukan tingkat kemiripan suatu wilayah dilakukan pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan fasilitas dan pencapaian terhadap fasilitas tersebut dengan menggunakan K-Means Clustering Analysis, K-Means Clustering Analysis hanya mengelompokkan kemiripan suatu wilayah saja, namun tidak menentukan hierarki wilayah. K-Means didasarkan pada penentuan jumlah awal kelompok dengan mendefinisikan nilai centroid awalnya (Madhulatha, 2012). Data yang digunakan adalah data Potensi Desa (PODES) Kota Palembang tahun 2008, 2011, dan 2014.

Proses awal K-means ini dilakukan di tiap-tiap titik tahun penelitian dengan menggunakan software xlstat disimulasikan 10 pembagian cluster wilayah, selanjutnya akan diambil kelompok cluster terbaik hasil dari pemilihan dengan menggunakan metode elbow. Nilai selisih within-class variance yang terbesar menunjukkan bahwa pembagian kelompok cluster dengan tiga kelas merupakan cluster terbaik. Berdasarkan pengelompokkan hasil pengelompokan terhadap data jumlah fasilitas dan jarak menuju ke fasilitasnya diperoleh tiap-tiap central objects untuk tiap-tiap kelompok kelas cluster. Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil untuk central object cluster 1, Kelurahan Lebong Gajah Kecamatan Sematang Borang untuk central object cluster 2 dan Kelurahan Sukarami Kecamatan Sukarami untuk central object cluster 3.

Hasil dari pengelompokan 3 kelas cluster ini didapat sebaran wilayah yang masih terlihat menyebar, perbedaan dari tiap-tiap kelompok data juga tidak terlalu besar. Pada kelas pengelompokkan cluster 1 kelompok Kelurahan secara spasial letaknya random, beberapa terletak di tengah (pusat kota) beberapa terletak di batas lingkar luar Kota. Kelas pengelompokan cluster 2 dan cluster 3, letak kelurahan menjauhi pusat kota dan secara dominan berada di batas luar lingkar Kota Palembang. Sebagai pembeda tiap-tiap kelompok indikator jumlah penduduk, fasilitas, dan aksesibilitas terhadap variabel pendidikan dan kesehatan, namun yang signifikan dari tiap-tiap pembeda adalah variabel ekonomi. Hasil interpretasi data cluster 1 merupakan kelompok kelurahan yang relatif lebih memiliki kemudahan aksesibilitas dan memiliki jumlah fasilitas yang lebih banyak dari kelas cluster yang lain.

Nilai selisih within-class variace yang terbesar menunjukkan bahwa pembagian kelompok cluster dengan empat kelas adalah cluster terbaik. Berdasarkan

Page 31: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

22 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pengelompokkan hasil pengelompokkan terhadap data jumlah fasilitas dan jarak menuju ke fasilitasnya diperoleh tiap-tiap central objects untuk tiap-tiap kelompok kelas cluster. Kelurahan Talang Semut, Kecamatan Bukit Kecil untuk central object cluster 1, Kelurahan Bukit Sangkal Kecamatan Kalidoni untuk central object cluster 2, Kelurahan 9/10 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I untuk central object cluster 3, dan Kelurahan Sukarami, Kecamatan Sukarami untuk central object cluster 4.

Pada kelompok 4 kelas cluster. Cluster kelas 1 menunjukkan kelompok wilayah kelurahan yang tersebar di wilayah barat dan timur Kota Palembang dan beberapa berada di pusat kota, kelompok kelas cluster 2 dan 4 menunjukkan kelompok kelurahan yang cenderung menjauhi pusat kota dan dominan berada di batas lingkar luar kota. Sedangkan kelompok kelas cluster 3 menunjukan sebaran yang acak. Hasil interpretasi data kelompok kelas yang memiliki kemudahan aksesibilitas dan fasilitas yang sedikit lebih banyak adalah cluster kelas 2 dan 3.

Sebaran secara spasial tingkat perkembangan wilayah kelurahan di Kota Palembang. Tahun 2005 dan tahun 2008 tingkat perkembangan wilayah masih tergolong rendah bahkan secara hierarki mengalami penurunan tahun 2008. Perkembangan masih terkonsentrasi di SWK pusat kota yang berada di wilayah Hilir, sementara dominan perkembangan wilayah kelurahan dominan berada pada tingkat perkembangan Hierarki III. Penurunan jumlah fasilitas ekonomi tahun 2008 menyebabkan perkembangan wilayah menurun, hal ini karena pengaruh krisis global tahun 2008. Ditinjau dari wilayah Hulu-Hilir Kota Palembang, wilayah hulu dominan pada tingkat perkembangan Hierarki III. Perkembangan wilayah kelurahan mulai membaik tahun 2011, konsentrasi perkembangan mulai menyebar tidak hanya pada SWK pusat kota saja, perkembangan mulai berkembang ke stadium yang lebih luar. Tahun 2011 terdapat satu kelurahan di kawasan Hulu yang mencapai tingkat perkembangan Hierarki I, yaitu Kelurahan Komperta, Kecamatan Palju. Namun, secara garis besar perkembangan wilayah di kawasan Hulu masih didominasi oleh wilayah kelurahan yang berada pada tingkat perkembangan Hierarki III. Perkembangan wilayah kelurahan di Kota Palembang tahun 2014 mengalami perkembangan sangat baik. Sebaran perkembangan sudah mulai merata dan secara keseluruhan tingkat perkembangan wilayah kelurahan berada pada perkembangan Hierarki I dan II, hanya terdapat 9 kelurahan yang masih berada pada tingkat perkembangan Hierarki III, 3 kelurahan di wilayah Hulu dan 6 kelurahan di wilayah Hilir. Perkembangan wilayah di Kota Palembang belum sepenuhnya mewakili wilayah utara dan selatan saja yang berkembang. Perkembangan wilayah berpola terpusat pada SWK pusat kota dari tahun 2005, 2008, dan 2011 mulai tersebar secara merata tahun 2014.

Page 32: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 23

Penetapan wilayah pusat kota terpusat pada wilayah yang berdekatan dengan pusat Kota Palembang. Titik Nol Kota Palembang adalah Bundaran Air Mancur yang terletak di Kelurahan 16 Ilir Kecamatan Ilir Timur I. Perencanaan perkembangan wilayah pusat kota secara spasial terletak pada jantung Kota Palembang, tetapi SWK pusat Kota Palembang ini hanya terkonsentrasi di wilayah Hilir Kota Palembang saja. Tidak ada satu pun wilayah kelurahan yang berada di Hulu Kota Palembang yang direncanakan sebagai bagian dari SWK pusat Kota Palembang, hal ini tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan wilayah di Kawasan Hulu.

Kebijakan arahan perkembangan wilayah pada RTRW Kota Palembang tahun 2012-2032 untuk meningkatkan konsentrasi pengembangan wilayah, tidak hanya pada wilayah utara dan selatan Kota Palembang sudah sangat tepat untuk meningkatkan pemerataan pembangunan. Perkembangan wilayah selatan didorong dengan perkembangan wilayah Jakabaring sebagai sport city dan pusat pemerintahan menjadi katalisator perkembangan wilayah selatan (Hulu) Kota Palembang. Selain itu, pengembangan kawasan Terminal Karyajaya Kecamatan Kertapati juga menjadi faktor berkembangnya wilayah selatan barat kota dan merupakan batas lingkar luar Kota Palembang. Perkembangan wilayah utara dipengaruhi oleh jalur lintas timur Sumatera dan keberadaan terminal km. 12, sedangkan perkembangan wilayah timur dan barat Kota Palembang disebabkan karena pengembangan kawasan perumahan dan pemukiman sehingga mendorong keberadaan fasilitas-fasilitas pendukung suatu lingkungan baik itu fasilitas

pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun sosial.

3. Ketimpangan Pembangunan di Kota Palembang

Analisis terhadap tingkat ketimpangan pembangunan di suatu wilayah dilakukan dengan meneliti serta mengamati ada atau tidaknya ketimpangan di wilayah tersebut. Jika nilai indeks ketimpangan suatu wilayah semakin kecil maka pembangunan wilayah semakin merata. Metode yang sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan adalah dengan melakukan perhitungan Indeks Wiliamson dan Indeks Theil.

Dalam penelitian ini tingkat ketimpangan diukur dengan metode Indeks Willliamson dan Indeks Theil menggunakan nilai Indeks Ekonomi Wilayah (IEK) hasil analisis Skalogram tahun 2005, 2008, 2011, dan 2014 sebagai pengganti PDRB. Selanjutnya dilakukan pendekomposisian nilai Indeks Theil ke dalam ketimpangan antarwilayah (Hulu-Hilir) dan antarwilayah di dalam wilayah Pembangunan (Hulu-Hilir).

Page 33: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

24 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Ketimpangan total Kota Palembang mengalami tren penurunan. Pada awalnya nilai ketimpangan total sempat naik tahun 2008. Tahun 2008 perkembangan wilayah berdasarkan IPW rata-rata kelurahan mengalami penurunan seiring dengan krisis global, tetapi nilai maksimum IPW kelurahan meningkat sementara nilai minimum IPW kelurahan menurun. Hal ini menunjukkan sebaran perkembangan wilayah yang tidak merata, ada yang berkembang, namun secara garis besar mengalami penurunan. Kenaikan pada nilai ketimpangan total tertinggi terjadi tahun 2011, yaitu 0,20. Perkembangan wilayah kelurahan tahun 2011 berkembang dengan baik, baik IPW rata-rata, IPW maksimum dan IPW minimum mengalami peningkatan. Fenomena di tahun 2011 ini menunjukkan bahwa perkembangan wilayah yang meningkat di Kota Palembang, disertai dengan nilai ketimpangan yang meningkat pula. Nilai Indeks Ketimpangan turun signifikan tahun 2014 di angka 0,11. Tahun 2014 perkembangan wilayah sudah sangat baik dan mulai merata. Distribusi perkembangan wilayah yang tidak merata di tahun 2011 sudah mulai merata di tahun 2014. Nilai IPW kelurahan rata-rata meningkat, IPW maksimum meningkat, diikuti nilai minimum IPW juga meningkat. Distribusi perkembangan wilayah tahun 2014 sudah mulai merata sehingga tingkat ketimpangan total di Kota Palembang juga menurun.

Ketimpangan antara kawasan Hulu dan Hilir Kota tren ketimpangan meningkat dari nilai indeks 0,0024 tahun 2005 meningkat menjadi 0,0064 tahun 2008. Tren peningkatan nilai ketimpangan Hulu-Hilir tahun 2008, seiring dengan meningkatnya ketimpangan total dengan krisis global yang dialami. Nilai rata-rata IPW Kelurahan Hulu dan IPW Kelurahan Hilir menurun begitu juga dengan nilai minimum IPW, namun perkembangan IPW maksimum berbeda, nilai IPW maksimum Kelurahan Hilir semakin meningkat sementara nilai IPW maksimum Kelurahan Hulu semakin menurun. Hal ini menunjukkan sebaran perkembangan antara kawasan Hulu dan Hilir semakin tidak merata.

Nilai ketimpangan Hulu-Hilir tahun 2011 semakin meningkat menjadi 0,0158, perkembangan wilayah yang meningkat tahun 2011 belum diikuti dengan pemerataan Hulu-Hilir, IPW kelurahan rata-rata dan IPW kelurahan maksimum wilayah Hilir masih jauh di atas wilayah Hulu. Dari 10 kelurahan yang berada di tingkat perkembangan Hierarki I hanya ada satu kelurahan dari wilayah Hulu yang masuk, yaitu Kelurahan Komperta. Pada tahun 2014 nilai ketimpangan Hulu-Hilir sudah mulai menurun menjadi 0,0138, nilai maksimum, rata-rata dan nilai minimum IPW kelurahan meningkat. Perkembangan wilayah tahun 2014 menunjukkan sebaran yang hampir merata baik di Hulu maupun di Hilir sehingga nilai ketimpangan Hulu-Hilir juga menurun.

Page 34: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 25

Ketimpangan di kawasan Hulu menunjukkan tren penurunan dari tahun 2005 hingga tahun 2014. Tahun 2005 dan tahun 2008 ketimpangan dalam kawasan Hulu masih berada di atas nilai ketimpangan total, baru setelah tahun 2011 dan 2014 turun hingga di bawah nilai ketimpangan total. Sementara nilai ketimpangan dalam kawasan Hilir trennya menurun dan selalu bernilai negatif, artinya tidak terjadi ketimpangan dalam kawasan Hilir. Nilai negatif pada indeks ketimpangan dalam kawasan Hilir ini berpengaruh untuk mengurangi nilai ketimpangan secara total di Kota Palembang, semakin tinggi nilai negatifnya maka akan semakin berkurang nilai ketimpangan total.

4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Pembangunan di Kota Palembang

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah dapat ditunjukkan dari tingkat perkembangan wilayahnya, hal ini dijelaskan oleh Rustiadi et al. (2011) bahwa tingginya kapasitas dan hierarki wilayah tercermin dari besaran aktivitas sosial ekonomi, serta besaran jumlah dan jumlah jenis sarana pelayanan. Dalam penelitian ini estimasi faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan di Kota Palembang, dilakukan dengan menggunakan metode regresi data panel statis. Variabel dependen menggunakan IPK sebagai cerminan kapasitas wilayah hasil analisis Skalogram. Variabel independen yang digunakan adalah data produktivitas padi, kepadatan penduduk, jumlah keluarga miskin, dan persentase rumah keluarga pengguna listrik. Data yang digunakan adalah berasal dari data Podes 107 kelurahan di Kota Palembang pada periode tahun 2005, 2008, 2011, 2014, dan 2015.

Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antarwilayah di Kota Palembang, menunjukkan bahwa faktor indeks industri dan angka kriminalitas merupakan variabel yang berpengaruh signifikan secara positif. Artinya, kontribusi dalam meningkatkan tingkat ketimpangan pembangunan, sedangkan variabel indeks ekonomi signifikan positif terhadap ketimpangan pembangunan. Faktor lain yang memengaruhi terdapat dari RTRW Kota Palembang tahun 2012-2032 yang menjelaskan bahwa 25% wilayah Kota Palembang adalah kawasan rawa.

Sebaran wilayah rawa Kota Palembang secara keseluruhan berada pada kawasan lingkar batas luar Kota Palembang dan sebagian besar berada di kawasan Hulu Kota Palembang. Kondisi tofografi yang berawa ini sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas sumber daya buatan, baik infrastruktur dasar maupun infrastruktur fasilitas pendidikan, kesehatan, ekonomi, social, dan

Page 35: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

26 Direktori Mini Tesis-Disertasi

lainnya. Kedalaman kawasan rawa Kota Palembang ± 2 m tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan wilayah yang berawa, biaya pembangunan akan lebih besar jika dibandingkan dengan lahan tanah datar, selain itu tentu saja rawa memiliki fungsi penyangga lingkungan terhadap air untuk menanggulangi bahaya banjir.

Indeks industri berpengaruh positif terhadap ketimpangan pembangunan wilayah akan sangat baik jika peningkatan kegiatan industri semakin ditingkatkan secara merata di seluruh kawasan, baik industri kecil, menengah maupun Industri Besar. Kegiatan industri kecil dan menengah secara spasial sebaiknya dikembangkan secara merata di seluruh wilayah kelurahan di Kota Palembang. Sebagai tinjauan terhadap RTRW tahun 2012-2032, RDTK dan peraturan zonasi Kota Palembang sebaiknya dipertegas perletakan zonasi terhadap perletakan zona untuk kawasan industri besar. Pemilihan lokasi yang berada pada lingkar batas luar akan sangat baik sebagai stimulan bagi pengembangan pemukiman dan fasilitas penunjang seperti fasilitas pendidikan, ekonomi, kesehatan, fasilitas social, dan lainnya.

D. Kesimpulan

Perkembangan wilayah kecamatan dan kelurahan Kota Palembang menunjukkan tingkat perkembangan yang cenderung terus meningkat dan semakin merata dari tahun 2005 hingga tahun 2014. Tahun 2005 (26,58) hingga 2008 (20,18) perkembangan wilayah masih sangat rendah dan terkonsentrasi pada SWK pusat kota dan wilayah Hilir. Perkembangan wilayah mulai membaik tahun 2011 (37,07), perkembangan wilayah masih seputar SWK pusat kota dan kawasan Hilir, wilayah Hulu mulai berkembang. Tahun 2014 (50.48) perkembangan wilayah sudah sangat berkembang dan merata, perkembangan wilayah berada pada Hierarki I dan II merata secara spasial di seluruh wilayah kelurahan Kota Palembang.

Tingkat ketimpangan pembangunan di Kota Palembang secara total menunjukkan tren penurunan. Angka ketimpangan tahun 2005, yaitu 0,13 turun menjadi 0,11 tahun 2014. Tingkat ketimpangan antara Hulu dan Hilir menunjukkan tren kenaikan 0,0024 tahun 2005 menjadi 0,014 tahun 2014. Ketimpangan dalam kawasan Hulu menunjukkan tren penurunan dan berada di bawah nilai ketimpangan total tahun 2011 dan 2014. Sementara itu, nilai ketimpangan dalam kawasan Hilir selalu bernilai negatif (di bawah nol), artinya tidak terjadi ketimpangan dalam kawasan Hilir dan nilai negatif dari indeks ketimpangan dalam kawasan Hilir ini membantu mengurangi nilai ketimpangan total di Kota Palembang.

Page 36: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 27

Faktor yang berpengaruh signifikan positif terhadap ketimpangan pembangunan adalah angka kriminalitas, sedangkan faktor yang berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan adalah indeks ekonomi. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor tofografi yang dibelah oleh sungai besar dan permukaan tanah yang berawa. Tofografi yang berawa ini secara spasial terletak di kawasan batas lingkar luar Kota Palembang dan dominan berada di kawasan Hulu.

E. Rekomendasi Kebijakan

Perkembangan wilayah kelurahan Kota Palembang (ditinjau dari sumber daya fisik buatan) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, kesehatan, social, dan ekonomi. Ketersediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sosial hampir tersebar secara merata di tiap-tiap kelurahan di Kota Palembang. Namun, sebaran fasilitas ekonomi yang menunjukkan perbedaan yang signifikan pada tingkat perkembangan wilayah kelurahan. Penambahan fasilitas ekonomi seperti hotel, restoran, minimarket, warung kelontong, dan sejenisnya merupakan variabel yang dapat meningkatkan Indeks Perkembangan Kelurahan, namun pertumbuhan fasilitas ekonomi ini akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti infrastruktur jalan, nilai tukar masyarakat dan kondisi tofografi. Pemerintah Kota Palembang perlu memberikan perhatian khusus pada tiap-tiap kelurahan dengan akses pelayanan yang paling tertinggal, setidaknya terdapat 9 kelurahan.

Page 37: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

28 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 38: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PEMANFAATAN RUANG PERTANIAN DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA,PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Nama : Benadikta Widjayatnika

Instansi : Badan Pertanahan Nasional

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 39: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

30 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kabupaten Penajam Paser Utara yang berdiri tanggal 10 April 2002 merupakan salah satu kabupaten termuda di Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten ini sedang berupaya mengembangkan sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan. Hal tersebut didukung dengan ditetapkannya lahan seluas 12,534 ha, sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2011-2031. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2015, menempati urutan kedua setelah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 20,97%. Kabupaten Penajam Paser Utara mengalami peningkatan jumlah penduduk cukup signifikan dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 2015 sebesar 1,39%. Perkembangan wilayah di kabupaten ini turut dipengaruhi oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit dan letaknya yang berdekatan dengan Kota Balikpapan. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan wilayah maka kebutuhan akan sarana dan prasarana turut mengalami peningkatan, sementara luas lahan relatif tetap. Hal-hal tersebut menjadi faktor yang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya. Bagi sektor pertanian, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi dapat menurunkan produktivitas hasil. Oleh karena itu, diperlukan suatu arahan dalam pemanfaatan ruang untuk mendukung keberadaan sektor pertanian dan meningkatkan produktivitas pertanian di kabupaten ini.

Penelitian ini bertujuan untuk (a) menganalisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara dari tahun 2010 hingga 2016; (b) menganalisis tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara; (c) menganalisis kesesuaian lahan untuk pertanian di Kabupaten Penajam Paser Utara; dan (d) merumuskan arahan pemanfaatan ruang untuk pertanian di Kabupaten Penajam Paser Utara. Perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan metode tumpang susun dengan perangkat lunak Arc GIS 10.1 dan tingkat perkembangan wilayah dianalisis menggunakan Skalogram. Evaluasi kesesuaian lahan mengacu pada kerangka Food and Agricultural Organization (FAO) dengan metode matching menggunakan prinsip faktor pembatas minimum. Sintesis penelitian ini berupa arahan pemanfaatan ruang untuk pertanian disusun secara deskriptif.

Penggunaan lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2016 terdiri dari hutan (32,92%), perkebunan (25,51%), Hutan Tanaman Industri (HTI) (17,09%), semak (8,76%), dan penggunaan lainnya (15.72%). Hutan mengalami pengurangan luas terbesar seluas 4,528 ha (1,42%) sementara perkebunan adalah penggunaan lahan yang paling banyak mengalami penambahan luas seluas 11,924 ha (3.55%). Perubahan penggunaan lahan yang menonjol selama tahun 2010-2016 di Kabupaten Penajam

Page 40: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 31

Paser Utara adalah perubahan dari hutan menjadi semak dan perkebunan serta semak menjadi perkebunan. Pola perubahan penggunaan lahan mengarah pada penambahan luas perkebunan, sementara perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke kawasan terbangun belum terlihat nyata. Perkembangan wilayah di kabupaten ini ditandai dengan peningkatan nilai IPD rata-rata dari 21,72 (2011) menjadi 32,04 (2014). Sebagian besar desa/kelurahan, yaitu 33 desa/kelurahan (61,11%) di Kabupaten Penajam Paser Utara termasuk dalam hirarki III (kurang berkembang). Kesesuaian untuk tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering maupun tanaman perkebunan di kabupaten ini berada pada kelas S3-N2 (sesuai marjinal-tidak sesuai permanen) dengan faktor pembatas bahaya erosi (e), hambatan perakaran (r), retensi hara (f), dan hara tersedia (n). Luas wilayah yang tersedia untuk pertanian adalah 162,493 ha dengan rincian (a) seluas 113,796 ha diarahkan untuk perkebunan prioritas I; (b) seluas 24,258 ha untuk tanaman pangan lahan basah prioritas I; (c) seluas 15,101 ha untuk tanaman pangan lahan kering; dan (d) seluas 6,037 ha tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. Prioritas arahan pemanfaatan untuk pertanian berada pada wilayah hirarki II dan III karena cenderung tidak mengalami perubahan penggunaan lahan sehingga diharapkan dapat menjaga keberlanjutan lahan-lahan pertanian di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Kata kunci: Kesesuaian Lahan, Pertanian, Perubahan Penggunaan Lahan

Page 41: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

32 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PEMANFAATAN RUANG PERTANIAN DI KABUPATEN

PENAJAM PASER UTARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

A. Latar Belakang

Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan salah satu kabupaten yang menjadi sentra tanaman pangan di Provinsi Kalimantan Timur. Pengembangan sektor pertanian di kabupaten ini masih terkendala, terutama dari sisi produktivitas dan kualitas produk yang masih rendah, terbatasnya jaringan pemasaran dan besarnya lahan potensial yang kurang dimanfaatkan. Sementara itu, di sisi lain kabupaten ini terus mengalami perkembangan baik dari jumlah penduduk maupun kondisi wilayah dan perekonomian. Hal-hal tersebut tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan perubahan penggunaan lahan dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya. Pada sektor pertanian, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki berpotensi menurunkan produktivitas pertanian bahkan dalam jangka panjang menimbulkan kerusakan lingkungan. Perubahan penggunaan lahan merupakan konsekuensi logis dari adanya perkembangan di suatu wilayah demi mencukupi kebutuhan akan sarana prasarana penunjang. Selain itu berkembangnya sektor lain seperti pertambangan, perkebunan khususnya kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) turut berperan dalam proses alih fungsi lahan pertanian. Hal lain yang diduga turut berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan adalah rencana pembangunan jembatan penghubung antara Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara yang telah dimulai sejak tahun 2009 (Hendriyani, 2015).

Permasalahan selanjutnya yang timbul adalah keberadaan lahan pertanian khususnya tanaman pangan dikhawatirkan akan semakin berkurang akibat tergeser oleh penggunaan maupun komoditas lain yang memiliki land rent lebih tinggi. Penurunan luas lahan pertanian tanaman pangan dapat mengancam produksi dan ketahanan pangan di daerah ini. Selain itu, penggunaan dan pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan potensi yang dimiliki pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Demikian halnya bagi sektor pertanian, penggunaan lahan pertanian yang tidak sesuai dengan potensinya dapat menyebabkan penurunan produktivitas, penurunan kualitas tanah hingga degradasi lahan. Oleh karena itu, pengaturan dalam penggunaan dan pemanfaatan ruang menjadi penting mengingat keterbatasan sumber daya lahan yang perlu dipertahankan kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi manusia, tidak hanya saat ini tapi juga untuk masa depan. Berdasarkan uraian tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Page 42: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 33

1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara dari tahun 2010 hingga tahun 2016?

2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara?

3. Bagaimana kesesuaian lahan untuk pertanian secara umum di Kabupaten Penajam Paser Utara?

4. Bagaimana arahan pemanfaatan ruang untuk pertanian di Kabupaten Penajam

Paser Utara?

B. Metodologi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga September 2017 di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Letak geografis wilayah penelitian adalah 116o19’30”- 116o56’35” Bujur Timur dan 00o48’29”-01o36’37” Lintang Selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Balikpapan serta Selat Makassar.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data jenis penggunaan lahan tahun 2011 dan 2016, data jenis tanah, bentuk lahan, kemiringan lereng, karakteristik fisik tanah (tekstur, drainase, dan kedalaman efektif), karakteristik kimia tanah (kemasaman tanah (pH), C-organik, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Nitrogen total, P2O5 dan K2O), data curah hujan, data jumlah penduduk dan jumlah jenis fasilitas, aksesibilitas, data kawasan hutan dan data pemilikan serta penguasaan tanah. Alat yang digunakan terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Arc GIS 10.1, Microsoft Word, Microsoft Excel. Sejumlah peralatan digunakan dalam pengamatan lapang, yaitu Global Positioning System (GPS), bor tanah, meteran, dan kamera digital.

Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data primer berupa perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan pengecekan lapang terhadap wilayah-wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi. Pengecekan lapang juga dilakukan terhadap beberapa SPL pewakil dengan melakukan beberapa pengamatan sifat tanah di lapang. Data-data sekunder berupa data geofisik, karakteristik tanah, dan data statistik diperoleh melalui studi pustaka dan permohonan kepada instansi terkait di antaranya

BPN, BBSDLP, BMKG, BPS, KLHK, dan Bappeda Kabupaten Penajam Paser Utara.

Page 43: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

34 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Letak Geografis dan Kondisi Administratif

Kabupaten Penajam Paser Utara berada di bagian selatan Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten ini berjarak 117 km barat daya dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Jika dibandingkan dengan jarak ke ibu kota, kabupaten ini lebih dekat dengan Kota Balikpapan yang merupakan salah satu pusat perdagangan dan perekonomian di Kalimantan Timur.

Kabupaten Penajam Paser Utara mempunyai iklim tropis basah yang ditandai dengan adanya dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Tahun 2015 kabupaten ini mengalami anomali cuaca yang ditandai dengan pergeseran awal musim hujan hingga bulan Januari. Musim kemarau yang berkepanjangan ditandai oleh tidak turunnya hujan selama hampir 2 bulan berturut-turut (September-Oktober).

Berdasarkan peta geologi Lembar Sampanahan Kalimantan (Hidayat dan Umar, 1994) Kabupaten Penajam Paser Utara memiliki 6 formasi geologi dari umur paling muda hingga tua, yaitu Formasi Aluvial (Qa), Formasi Kampungbaru (Tpkb), Formasi Balikpapan (Tmbp), Formasi Pulaubalang (Tmpb), Formasi Bebulu (Tmbl) dan Formasi Pamaluan (Tomp). Formasi Tomp (formasi Pamaluan) yang terdiri dari perselingan batu lempung-batu pasir, napal, dan batu gamping merupakan formasi penyusun dominan dengan luas 90,198 ha (28.35%). Formasi ini merupakan formasi tua yang terbentuk pada zaman Oligosen hingga Miosen Pertengahan. Jenis batuan penyusun terdiri atas batuan vulkanik tua, batuan sedimen, batuan metamorf, tektonit, dan batuan terobosan. Meski tidak memiliki gunung berapi, namun keberadaan batuan vukanik tua pada formasi geologi wilayah penelitian menunjukkan adanya peninggalan kegiatan vulkanik ratusan juta tahun kemudian mengalami proses tektonik seperti pengangkatan dan pelipatan (Hidayat dan

Umar, 1994).

2. Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara

Penggunaan lahan mencerminkan bentuk fisik aktivitas manusia yang terkait dengan fungsi suatu lahan dan ditentukan oleh kondisi fisik maupun nonfisik serta menggambarkan sistem pengelolaannya pada waktu tertentu. Penggunaan lahan bersifat dinamis sehingga interpretasi jenis penggunaan lahan sangat bergantung pada waktu dan kondisi pengambilan data. Jenis penggunaan lahan didapatkan dari Peta Neraca Penatagunaan Tanah yang dikeluarkan oleh Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Timur tahun 2010 dan 2016. Penyusunan Peta Neraca Penatagunaan Tanah ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan tanah untuk berbagai

Page 44: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 35

kegiatan pembangunan termasuk untuk pertanian yang terus meningkat dan adakalanya belum terakomodasi dalam RT atau RW kabupaten/kota. Hal tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan permasalahan dalam implementasi di lapangan. Oleh karena itu, sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah maka dilakukan penyusunan dan pembaruan (updating) Neraca Penatagunaan Tanah Kabupaten Penajam Paser Utara, di mana metode dan penamaan jenis penggunaan lahan mengacu pada Tata Cara Kerja (TCK) yang diterbitkan oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan analisis terhadap peta Neraca Penatagunaan Tanah tahun 2016, didapatkan 25 jenis penggunaan lahan yang kemudian dikelaskan kembali

sehingga didapatkan 13 jenis penggunaan lahan.

3. Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Penggunaan lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara selama rentang waktu 2010 sampai dengan tahun 2016 didominasi oleh hutan, perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan semak. Penggunaan lahan terluas terjadi tahun 2016, yaitu hutan seluas 104,726 ha (32.92%) dengan sebaran di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara. Penutupan atau penggunaan lahan di Pulau Kalimantan khususnya Provinsi Kalimantan Timur masih didominasi oleh hutan meski luasannya telah banyak mengalami pengurangan (Rusdiana et al., 2017).

Penggunaan lahan yang menempati urutan terluas kedua adalah perkebunan. Berdasarkan status penguasaan dan pemilikan, perkebunan terbagi atas perkebunan besar milik swasta dan perkebunan rakyat. Pada wilayah penelitian tidak terdapat perkebunan milik pemerintah atau yang dikenal dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Komoditas utama yang dibudidayakan oleh perkebunan swasta didominasi oleh kelapa sawit dan sebagian kecil karet. Perkebunan rakyat memiliki komoditas yang beragam di antaranya kelapa sawit, karet, kelapa, dan lada.

Perkebunan kelapa sawit tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara dengan proporsi terluas di Kecamatan Babulu. Penggunaan lahan perkebunan tidak jarang dijumpai pada wilayah dengan kemiringan lereng >30% sebagaimana dijumpai di Kecamatan Sepaku.

Hutan Tanaman Industri (HTI) termasuk dalam kawasan hutan pada segmen Hutan Produksi, di mana di dalamnya terdapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Luasan HTI dominan berada di Kecamatan Sepaku (31,115 ha) tepatnya di Desa Bumi Harapan dengan pemegang konsesi terluas adalah PT ITCI Hutani Manunggal. Komoditas yang ditanam antara lain Accacia mangium

Page 45: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

36 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan Eucalyptus deglupta. Produk kayu yang dihasilkan kemudian akan lebih lanjut sebagai bahan baku bubur kayu (pulp) yang selanjutnya menjadi kertas.

Penggunaan lahan semak menempati urutan keempat terluas di kabupaten ini, yaitu 27,868 ha (8.76%). Penggunaan lahan mangrove memiliki luas 14,975 ha dengan sebaran terluas di Kecamatan Sepaku, yaitu 8,289 ha (55.36% dari jumlah luasan mangrove) yang tersebar di kawasan pesisir dan rawa-rawa sekitar muara sungai. Kawasan mangrove di kabupaten ini mulai dimanfaatkan sebagai objek pariwisata yang ditandai dengan diresmikannya Hutan Wisata Mangrove di Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Penajam. Sebagai salah satu wilayah yang ditetapkan menjadi lumbung pangan di Provinsi Kalimantan Timur, penggunaan lahan sawah di Kabupaten Penajam Paser Utara belum mendominasi, yaitu hanya 12,237 ha atau 3,85% dari luas wilayah. Sebagian besar sawah (70.28%) berada di Kecamatan Babulu seluas 8,601 ha. Hal ini sejalan dengan ditetapkannya Kecamatan Babulu sebagai wilayah food estate dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2011-2031.

Kawasan terbangun (built up area) terdiri atas perumahan, kampung, emplasemen, dan bangunan fasilitas umum seperti pelabuhan dan gedung pemerintahan. Luas kawasan terbangun di Kabupaten Penajam Paser Utara secara keseluruhan adalah 6,572 ha (2,07%), di mana luasan terbesar berada di Kecamatan Penajam seluas 2,609 ha. Pola sebaran perumahan di Kecamatan Penajam khususnya Kelurahan Penajam, Nipah-nipah, dan Girimukti umumnya mengelompok dan mengikuti jalan utama dengan kepadatan rendah sampai sedang. Sementara itu, permukiman di wilayah Kecamatan Babulu dan Waru memiliki kepadatan yang lebih rendah dengan lokasi yang terpencar satu sama lain. Ciri khas kondisi perkampungan di kabupaten ini adalah bentuk rumah panggung

yang berbahan baku kayu ulin atau meranti.

4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010-2016

Kajian mengenai perubahan penggunaan lahan memiliki arti penting karena perubahan tutupan maupun penggunaan lahan dapat berdampak baik terhadap aspek fisik, sosial maupun ekonomi pada suatu wilayah. Selain itu, perubahan penggunaan lahan yang terjadi juga tak lepas dari kondisi wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan yang menonjol di Kabupaten Penajam Paser Utara selama tahun 2010-2016 adalah perubahan dari hutan menjadi semak, hutan menjadi perkebunan dan semak menjadi perkebunan. Jenis penggunaan lahan yang paling banyak mengalami pengurangan luas adalah hutan, semak dan HTI. Hutan mengalami pengurangan luas terbesar seluas 4,528 ha (1,42%).

Page 46: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 37

Penggunaan lahan HTI yang berubah menjadi semak dan perkebunan salah satunya, disebabkan izin penguasaan yang telah berakhir sehingga areal tersebut dibiarkan tumbuh menjadi semak atau diusahakan oleh masyarakat untuk perkebunan. Hal tersebut terjadi di Desa Bukit Subur, Kecamatan Penajam di mana IUPHHK milik salah satu perusahaan telah berakhir sehingga lahannya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Penambahan luas perkebunan sebesar 11,924 ha sebagian besar berasal dari hutan, HTI maupun semak.

Luas sawah mengalami penambahan meski tidak signifikan sebesar ±216 ha atau 0.07% yang disebabkan adanya pencetakan sejumlah sawah baru di Kecamatan Babulu. Penambahan luas lahan sawah ini berasal dari semak yang terjadi di Kecamatan Babulu, yaitu Desa Gunung Intan, Desa Gunung Makmur, Desa Rintik, Desa Sri Raharja, dan Desa Sumber Sari. Kebun campuran mengalami perubahan menjadi semak, sementara penggunaan lahan tegalan banyak berubah menjadi kawasan terbangun dan perkebunan. Tegalan merupakan bentuk penggunaan lahan pertanian yang paling mudah berubah menjadi lahan perkebunan, permukiman maupun industri karena tegalan bersifat ‘sementara’ dan hanya menunggu waktu untuk berubah menjadi penggunaan lainnya (Hariyanto, 2010).

Lahan terbangun berupa permukiman atau fasilitas umum (sekolah, pelabuhan, dan gedung pemerintahan) relatif stabil karena sulit untuk terkonversi menjadi penggunaan lahan lainnya. Meskipun terdapat penambahan luas kawasan terbangun, namun luasannya tidak signifikan dibandingkan jenis perubahan lainnya, yaitusebesar 535 ha atau 0.17% yang berasal dari tegalan, semak, dan perkebunan. Angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan laju penambahan kawasan terbangun di sentra-sentra pangan di Provinsi Jawa Barat seperti Kabupaten Subang, Karawang (150 ha/tahun) dan Kabupaten Indramayu.

Perubahan penggunaan lahan dari pertanian baik lahan basah maupun lahan kering ke kawasan terbangun belum terlihat nyata. Desa Gunung Intan dan Sebakung Jaya di Kecamatan Babulu merupakan dua desa yang penggunaan lahan sawahnya mengalami perubahan menjadi kawasan terbangun. Meski demikian, perubahan ini hanya seluas 0,93 ha. Menurut Sitorus et al., (2012) beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke nonpertanian adalah keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat dipahami jika pola perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke nonpertanian di kabupaten ini belum terlalu mengkhawatirkan. Hal tersebut disebabkan Kabupaten Penajam Paser Utara masih memiliki lahan yang luas terutama dalam bentuk hutan

Page 47: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

38 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan semak sehingga perubahan penggunaan lahan cenderung terjadi pada kedua bentuk lahan ini. Meskipun pertumbuhan penduduk cukup tinggi, namun rasio manusia dengan lahan atau kepadatan penduduk di kabupaten ini masih tergolong rendah sebesar 46,27 jiwa/km2 (BPS Kabupaten Penajam Paser Utara 2016a). Selain itu, Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara sudah mulai melakukan pembatasan pemberian izin perubahan penggunaan terhadap lahan sawah.

Pada pengamatan lapang banyak dijumpai tanah terbuka yang telah direncanakan untuk perumahan maupun yang dijual dalam bentuk tanah kavling. Hal tersebut menunjukkan mulai adanya peningkatan kebutuhan akan permukiman bagi warga Kabupaten Penajam Paser Utara. Tubuh air yang mencakup sungai, danau, mata air, dan waduk juga merupakan penggunaan lahan yang stabil karena ada kecenderungan masyarakat untuk menjaga kelestarian tubuh air tersebut.

Hal yang perlu mendapat perhatian adalah perubahan penggunaan lahan ‘sesama’ lahan pertanian, terutama dipengaruhi oleh perkembangan perkebunan kelapa sawit selama beberapa tahun terakhir di wilayah penelitian. Pola perubahan penggunaan lahan di kabupaten ini mengarah pada penambahan luasan lahan perkebunan khususnya komoditas kelapa sawit. Jika hal ini dibiarkan maka dalam beberapa tahun ke depan lahan perkebunan kelapa sawit akan menggeser lahan pertanian terutama tanaman pangan. Hal tersebut sejalan dengan hasil analisis yang menunjukkan terjadi penambahan luas perkebunan selama tahun 2010-2016 sejumlah 11,924 ha (3,55%). Data ATR/BPN Kaltim (2016) menunjukkan terdapat 8 perusahaan swasta yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Kabupaten

Penajam Paser Utara dengan luasan total 60,283 ha.

5. Hirarki Perkembangan Wilayah

Hirarki perkembangan wilayah didapatkan melalui analisis Skalogram terhadap jumlah dan jenis fasilitas yang terdapat di 54 desa yang tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara. Nilai IPD dianalisis berdasarkan data jumlah jenis fasilitas dan jarak terhadap fasilitas tersebut. Rata-rata nilai IPD tahun 2011 adalah 21,72 dengan standar deviasi 7,58. Nilai ini meningkat tahun 2014 menjadi 32,04 dengan standar deviasi 8,12. Peningkatan nilai rata-rata IPD menunjukkan terjadinya perkembangan wilayah di Kabupaten Penajam Paser Utara (Ekosafitri et al., 2017). Peningkatan nilai IPD juga diikuti oleh peningkatan nilai standar deviasi yang menunjukkan sebaran data semakin menjauhi nilai rataan atau semakin tidak seragam.

Kelurahan Nipah-nipah memiliki nilai IPD tertinggi tahun 2011 dan 2014 dengan nilai 53.18 dan 60.60. Hal ini disebabkan Kelurahan Nipah-nipah yang

Page 48: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 39

berada di Kecamatan Penajam merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian di kabupaten ini sehingga memiliki jumlah dan jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan wilayah lainnya. Nilai IPD terendah tahun 2011 berada di Kelurahan Jenebora, yaitu sebesar 8.4. Tahun 2014, Kelurahan Pantai Lango memiliki nilai IPD paling rendah, yaitu 16.68. Kedua wilayah tersebut memiliki IPD paling rendah dikarenakan jaraknya yang cukup jauh dari pusat pelayanan di Kelurahan Penajam, yaitu ± 60-70 km.

Nilai IPD selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu hirarki I (berkembang), II (cukup berkembang) dan III (kurang berkembang). Berdasarkan analisis Skalogram terdapat 8 desa/kelurahan atau 14,81% dari jumlah keseluruhan desa yang termasuk dalam hirarki I. Wilayah yang merupakan hirarki I memiliki kelebihan dibandingkan wilayah dengan hirarki lebih rendah terutama dalam hal sebagai berikut:

a. Sarana pendidikan meliputi bangunan sekolah SD, SLTP, dan SLTA.

b. Sarana kesehatan meliputi fasilitas pengobatan (rumah sakit, poliklinik, praktik dokter, praktik bidan, dan puskesmas), fasilitas penyedia obat (apotek dan toko obat), serta tenaga medis (dokter, bidan, dan paramedis). Sementara itu, 13 desa/kelurahan atau 24.07% termasuk dalam wilayah dengan hirarki II dengan beberapa ciri sebagai berikut:

• Ketersediaan sarana dan prasarana di wilayah tersebut lebih sedikit dari hirarki I.

• Secara umum letaknya berada di pinggir wilayah berhirarki I dengan tingkat kehidupan yang relatif kurang maju, dibandingkan dengan wilayah di hirarki I.

Adapun desa/kelurahan di Kabupaten Penajam Paser Utara paling banyak berada pada tingkat hirarki III, yaitu sebanyak 33 desa/kelurahan atau 61.11 % dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Ketersediaan sarana dan prasarana di desa-desa tersebut relatif kurang.

b. Akses tiap-tiap desa ke pusat-pusat pelayanan maupun pusat-pusat aktivitas pemerintahan relatif lebih sulit.

Wilayah yang berkembang ditandai dengan adanya penambahan fasilitas atau perkembangan prasarana di wilayah tersebut (Nusantara, 2014), meskipun adakalanya penambahan jumlah dan jenis fasilitas yang ada tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Hal tersebut menjadi

Page 49: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

40 Direktori Mini Tesis-Disertasi

penyebab terjadinya peningkatan maupun penurunan hirarki perkembangan pada suatu wilayah.

Tahun 2011, seluruh desa atau kelurahan di Kecamatan Waru termasuk dalam hirarki III, kemudian tahun 2014 Desa Sesulu mengalami peningkatan menjadi hirarki II. Hal serupa terjadi di Kecamatan Babulu yang merupakan lokasi lumbung pangan di kabupaten ini.

Hal yang menarik dapat dilihat pada Kecamatan Sepaku dengan jarak paling jauh dari pusat pemerintahan, justru memiliki jumlah desa atau kelurahan hirarki I yang paling banyak, yaitu 4 desa atau kelurahan (Wonosari, Bukit Raya, Suko Mulyo, dan Semoi II). Hal ini dikarenakan pada Kecamatan Sepaku terdapat salah satu perusahaan HTI yang membangun berbagai fasilitas dan prasarana sehingga meski terletak jauh dari pusat perekonomian, kecamatan ini berkembang cukup baik. Selain itu, jumlah penduduk di wilayah ini lebih rendah dibandingkan dengan kecamatan lain sebesar 36,565 jiwa dan kepadatan penduduk 31.19 jiwa/km2. Angka ini masih berada di bawah rata-rata kepadatan penduduk kabupaten.

Jumlah desa atau kelurahan hirarki I cenderung tidak mengalami pengurangan, bahkan mendapat tambahan dari Desa Babulu Darat. Meski dua desa atau kelurahan mengalami peningkatan hirarki perkembangan wilayah, namun hasil analisis menunjukkan bahwa hirarki perkembangan wilayah juga turut mengalami penurunan terutama dari hirarki II menjadi hirarki III, bahkan dengan jumlah yang lebih besar (8 desa atau kelurahan). Desa atau kelurahan yang mengalami penurunan hirarki bukan berarti tidak mengalami penambahan jumlah jenis fasilitas, tetapi penambahan jumlah dan jenis fasilitas tesebut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata penambahan jumlah jenis fasilitas di wilayah lainnya. Wilayah yang mengalami penurunan hirarki salah satunya disebabkan karena peningkatan jumlah maupun jenis fasilitas tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk sehingga secara tidak langsung penambahan jumlah maupun jenis fasilitas yang tersedia belum cukup melayani semua kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat di Desa Labangka Barat dan Desa Gunung Makmur.

Pembangunan sebaiknya didasarkan pada hirarki perkembangan tiap-tiap desa untuk mendorong peningkatan ekonomi dan pengembangan wilayah (Marasabessy, 2016). Hal ini sejalan dengan Friedmann (1968) dalam Rustiadi et al. (2011) bahwa pembentukan hirarki wilayah dapat mempermudah pembangunan dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan. Hal ini disebabkan distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem hirarki wilayah. Hal yang tak kalah penting dalam upaya pengembangan wilayah dalam upaya mempercepat pembangunan dan mengurangi kesenjangan adalah dengan pembangunan sarana dan prasarana.

Page 50: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 41

Keberadaan sarana dan prasarana dapat mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam di suatu daerah sehingga pembangunan tidak terpusat pada satu wilayah saja. Apabila suatu wilayah telah berkembang maka diharapkan dapat

memberikan efek pada wilayah lainnya.

6. Keterkaitan Perubahan Luas Penggunaan Lahan dengan Perkembangan Wilayah

Beberapa faktor yang diduga mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan jumlah jenis fasilitas, di mana variabel tersebut tercermin dalam hirarki perkembangan wilayah (Sitorus et al., 2012). Hasil analisis menunjukkan perubahan penggunaan paling luas berada di Kecamatan Penajam, tepatnya di Kelurahan Riko, Sotek, dan Sepan yang termasuk hirarki II dan III. Jenis perubahan penggunaan lahan yang terjadi didominasi dari hutan atau semak menjadi perkebunan kelapa sawit milik rakyat. Meski demikian, perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada wilayah hirarki I seperti pada Desa Babulu Darat dan Desa Argomulyo.

Perubahan penggunaan lahan cenderung terjadi pada wilayah hirarki II dan I, meski demikian beberapa wilayah dengan hirarki III juga turut mengalami perubahan penggunaan lahan cukup intensif dikarenakan jaraknya yang dekat dengan wilayah inti (hirarki I) seperti pada Kelurahan Sotek dan Kelurahan Sepan. Kedua kelurahan tersebut terletak dekat dengan pusat perekonomian dan memiliki wilayah arable land yang luas sehingga perubahan cenderung terjadi dengan pola yang sama, yaitu dari hutan maupun semak menjadi perkebunan. Wilayah dengan hirarki III lainnya cenderung mengalami perubahan penggunaan lahan kurang intensif seperti halnya di Kelurahan Pejala, Kelurahan Saloloang, dan Kelurahan Tanjung Tengah. Ketiga wilayah ini bahkan tidak mengalami perubahan

penggunaan lahan selama kurun waktu lima tahun terakhir.

7. Arahan Pemanfaatan Ruang untuk Pertanian

Proses pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Penyusunan arahan pemanfaatan ruang secara deskriptif sangat dipengaruhi oleh decision rule yang digunakan, yaitu penggunaan lahan aktual, hirarki perkembangan wilayah dan kesesuaian lahan. Penyusunan arahan didahului dengan analisis lahan tersedia, yaitu lahan-lahan di luas kawasan hutan. Pemanfaatan ruang di kawasan hutan telah diatur oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berdasarkan peruntukan kawasan masing-masing.

Page 51: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

42 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penggunaan lahan aktual menjadi pertimbangan kedua dalam merumuskan arahan pemanfaatan untuk pertanian. Wilayah dengan penggunaan lahan aktual berupa kawasan terbangun (built up area) dan tubuh air tidak dimasukkan dalam arahan. Kawasan terbangun merupakan jenis penggunaan lahan yang bersifat stabil dan sulit untuk diubah, demikian halnya dengan tubuh air. Wilayah-wilayah dengan penggunaan lahan aktual berupa pertanian seperti sawah, tegalan dan perkebunan tetap dipertahankan apa pun kelas kesesuaian lahannya. Faktor biaya dan efisiensi menjadi pertimbangan jika harus melakukan perubahan terhadap penggunaan lahan aktual. Rekomendasi yang diberikan pada wilayah-wilayah ini adalah intensifikasi melalui sejumlah tindakan perbaikan.

Wilayah-wilayah yang dapat diarahkan untuk ekstensifikasi atau pengembangan pertanian adalah penggunaan lahan berupa semak, hutan, kebun campuran, dan tanah terbuka. Jenis penggunaan lahan tersebut berpotensi untuk pengembangan lahan-lahan baru untuk pertanian baik untuk tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering maupun perkebunan mengacu pada hasil evaluasi kesesuaian lahan. Apabila dalam suatu wilayah terdapat kelas kesesuaian lahan yang sama untuk beberapa komoditas maka arahan pengembangan komoditas dilihat berdasarkan kebijakan prioritas pengembangan komoditas daerah maupun nasional sebagaimana penelitian Rahman et al. (2015).

Perkembangan tanaman pangan lahan kering cukup menjanjikan di kabupaten ini dan termasuk dalam arahan pengembangan komoditas pertanian di kabupaten ini. Arahan pemanfaatan untuk tanaman pangan kering seluruhnya dimasukkan dalam prioritas I seluas 15,201 ha mengingat luasnya yang tidak sebesar komoditas lain. Hampir separuh dari luas arahan seluas 6,308 ha merupakan penggunaan lahan aktual berupa tegalan. Terdapat potensi pengembangan pertanian pangan lahan kering baru seluas 8,893 ha. Wilayah-wilayah tersebut antara lain berada di Kelurahan Gunung Steleng, Kelurahan Buluminung di Kecamatan Penajam dan Desa Api-api di Kecamatan Waru.

Arahan penggunaan lahan untuk perkebunan tersebar di seluruh kecamatan yang ada di kabupaten ini, dengan proporsi luasan terbesar berada di Kecamatan Penajam (39,707 ha), Kecamatan Sepaku (30,273 ha), Kecamatan Babulu (23,337 ha), dan Kecamatan Waru (20,399 ha). Kelurahan Petung di Kecamatan Penajam dan Kelurahan Waru di Kecamatan Waru merupakan dua wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi perkebunan prioritas I. Wilayah seluas 3,045 ha diarahkan untuk perkebunan prioritas II dengan sebaran terluas di Kecamatan Sepaku (1,190 ha) dan Kecamatan Penajam (1,044 ha). Desa Sukomulyo dan Desa Wonosari di Kecamatan Sepaku serta Kelurahan Nipah-nipah dan Kelurahan

Page 52: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 43

Penajam di Kecamatan Penajam merupakan wilayah-wilayah yang diarahkan untuk pengembangan perkebunan. Penggunaan lahan pada wilayah-wilayah ini berupa semak dan tanah terbuka serta sesuai untuk perkebunan. Meski demikian, wilayah-wilayah tersebut berada pada hirarki I berdasarkan analisis perkembangan wilayah tahun 2014.

Wilayah yang tidak tersedia untuk pertanian sebagian besar berada di Kecamatan Sepaku, yaitu seluas 100,616 ha. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah di Kecamatan Sepaku (94,995 ha) termasuk dalam kawasan hutan. Analisis tumpang susun antara evaluasi kesesuaian lahan dengan kawasan hutan menunjukkan bahwa dalam kawasan hutan terdapat wilayah seluas 83,544 ha yang sesuai untuk perkebunan. Wilayah-wilayah ini tidak diarahkan untuk pertanian meskipun penggunaan lahan aktualnya telah berupa pertanian (perkebunan) seperti di Desa Bumi Harapan dan Kelurahan Pemaluan.

Penempatan arahan pertanian pada wilayah-wilayah cukup berkembang dan kurang berkembang (hirarki II dan III) diharapkan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayah tersebut. Arahan pengembangan pada wilayah-wilayah kurang berkembang (hirarki III) menurut Supriadi et al. (2014) antara lain melalui pengembangan jumlah dan jenis usaha rumah tangga dan industri kecil atau mikro, pemberian modal usaha maupun pendampingan sehingga pembentukan koperasi menjadi hal yang sangat penting untuk diwujudkan. Peningkatan jumlah dan akses terhadap sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan dan ekonomi serta penataan lingkungan kumuh juga perlu dilakukan.

Adanya arahan pemanfaatan ruang menjadikan pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Penajam Paser Utara menjadi lebih terarah. Berdasarkan arahan yang disusun terlihat bahwa pertanian tanaman pangan dipusatkan di Kecamatan Babulu dan Waru, sementara untuk tanaman perkebunan diarahkan pada Kecamatan Penajam dan Sepaku. Adanya arahan ini memudahkan dalam pengelolaan dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas serta keuntungan di wilayah tersebut. Pada akhirnya perkembangan sektor pertanian diharapkan dapat mendorong multiplier effect atau efek berganda di suatu wilayah (Nashiha

et al., 2015).

8. Keselarasan Arahan Pemanfaatan Ruang untuk Pertanian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2011-2031

Perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang di suatu kota atau kabupaten telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten atau Kota

Page 53: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

44 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sebagai pedoman dalam melaksanakan penataan ruang di kabupaten atau kota. Meski demikian, proses penyusunan RTRW dapat dikaji lebih lanjut terutama mengenai aspek kesesuaian terhadap potensi fisik dan perkembangan wilayah. Oleh karena itu, arahan pemanfaatan yang dibuat berdasarkan analisis dan sintesis pada kajian ini kemudian disandingkan dengan RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara yang sudah disahkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2011-2031. Kedudukan dari arahan pemanfaatan yang dibuat adalah sebagai bahan masukan terhadap kebijakan penataan ruang yang telah ada. Keselarasan dilakukan antara rencana arahan dan pola ruang kawasan budi daya, yaitu kawasan perkebunan, kawasan tanaman pangan lahan basah, dan tanaman pangan lahan kering mengikuti matrik keselarasan. Pola ruang selain kawasan tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, dan perkebunan dimasukkan dalam pola ruang lainnya. Ketidakselarasan antara arahan pemanfaatan dan pola ruang lainnya seperti permukiman perdesaan, permukiman perkotaan dan kawasan industri tidak dianalisis lebih lanjut dan pemanfaatannya tetap akan mengacu pada (RTRW) Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2011-2031. Hal tersebut disebabkan pada kenyataanya manusia tetap membutuhkan ruang untuk tinggal dan melangsungkan aktivitas hidupnya sehingga keberadaan ruang terbangun dalam arahan RTRW tidak dapat diabaikan begitu saja.

Hasil analisis menunjukkan persentase keselarasan terbesar adalah pada arahan pemanfaatan perkebunan, yaitu 64.21% (74,971 ha) diikuti oleh arahan untuk tanaman pangan lahan basah sebesar 35.49% (8,692 ha). Hal tersebut menunjukkan arahan pemanfaatan untuk perkebunan telah selaras dengan pola ruang dalam RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara. Sementara itu, arahan untuk tanaman pangan lahan kering memiliki persentase terkecil keselarasan terhadap RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara, yaitu 19.55% (2,972 ha). Sebanyak 24.49% (3,723 ha) arahan untuk tanaman pangan lahan kering justru berada dalam pola ruang perkebunan seperti dijumpai di sebagian Kelurahan Buluminung, Sepan, Gersik, dan Jenebora. Kondisi pertanaman pangan lahan kering yang seringkali terpinggirkan, sebaiknya menjadi pertimbangan lebih lanjut dalam menetapkan pola ruang di dalam RTRW. Wilayah-wilayah dengan kondisi kemiringan lereng datar sebaiknya lebih diutamakan untuk pengembangan tanaman pangan dibandingkan tanaman perkebunan di dalam pola ruang RTRW. Arahan pemanfaatan pertanian seluas 27,771 ha tidak selaras dengan pola ruang pertanian dalam RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara sehingga perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap alokasi pola ruang agar sesuai dengan kelas kesesuaian lahannya. Ketidakselarasan terbesar antara arahan pemanfaatan ruang pertanian dengan pola ruang lainnya (nonpertaniann) berada pada alokasi tanaman pangan lahan kering sebesar 51.33%

Page 54: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 45

(7,802 ha). Meski demikian, bentuk ketidakselarasan ini tidak menjadi bahan kajian

dan pemanfaatannya tetap mengacu pada pola ruang RTRW.

D. Kesimpulan

1. Penggunaan lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2016 terdiri atas hutan (32.92%), perkebunan (25.51%), Hutan Tanaman Industri (HTI) (17.09%), semak (8.76%), dan penggunaan lainnya (15.72%). Hutan mengalami pengurangan luas terbesar seluas 4,528 ha (1.42%) yang diikuti penambahan luas perkebunan sebesar 11,924 ha (3.55%).

2. Pola perubahan penggunaan lahan yang menonjol selama tahun 2010-2016 mengarah pada penambahan luas perkebunan yang berasal dari hutan, HTI maupun semak, sedangkan perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke kawasan terbangun belum terlihat nyata.

3. Perkembangan wilayah di kabupaten ini terlihat dari peningkatan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) rata-rata dari 21.72 (2011) menjadi 32.04 (2014). Meski demikian, sebagian besar desa atau kelurahan, yaitu 33 desa atau kelurahan (61.11%) di Kabupaten Penajam Paser Utara masih termasuk dalam hierarki III (kurang berkembang).

4. Kesesuaian untuk tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering maupun tanaman perkebunan di kabupaten ini berada pada kelas S3-N2 (sesuai marjinal-tidak sesuai permanen) dengan faktor pembatas bahaya erosi (e), hambatan perakaran (r), retensi hara (f), dan hara tersedia (n).

5. Luas wilayah yang tersedia untuk pertanian adalah 162,493 ha dengan rincian (a) seluas 113,796 ha diarahkan untuk perkebunan prioritas I di Kecamatan Penajam dan Sepaku; (b) seluas 24,258 ha untuk tanaman pangan lahan basah prioritas I dipusatkan di Kecamatan Babulu; (c) seluas 15,101 ha untuk tanaman pangan lahan kering di Kecamatan Babulu dan Waru serta; dan (d) seluas 6,037 ha tidak sesuai untuk penggunaan pertanian.

6. Prioritas arahan pemanfaatan untuk pertanian diarahkan pada wilayah hierarki II dan III karena cenderung tidak mengalami perubahan penggunaan lahan sehingga diharapkan dapat menjaga keberlanjutan lahan pertanian di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Page 55: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

46 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 56: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ARAHAN PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANDA ACEH

Nama : Cut Hashfi Fadhila

Instansi : Kementerian Tenaga Kerja

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 57: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

48 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perkembangan kota dapat menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Sebuah kota yang semakin berkembang dan tidak mengakomodasi penyediaan lahan untuk RTH akan mengalami kesulitan dikemudian hari dengan semakin sempitnya lahan serta naiknya nilai lahan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah memberlakukan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan setiap daerah menyediakan RTH seluas 30% dari wilayahnya. Kementerian Pekerjaan Umum mengembangkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) untuk mendukung pelaksanaan mandat UU tersebut.

Gempa bumi di Kota Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004 yang diikuti tsunami dan menerjang sepanjang garis pantai Samudera Hindia, memakan banyak korban jiwa dan merusak infrastruktur termasuk RTH. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan luas dari RTH Banda Aceh pra dan pasca tsunami, kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, serta arahan pengembangannya. Metode yang digunakan adalah intepretasi penggunaan lahan melalui citra satelit, analisis kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007, analisis kebutuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk dengan standar kebutuhan RTH perkapita dalam PERMENPU No. 5/PRT/M/2008. Konsep Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) digunakan untuk menyusun arahan pengembangan RTH Kota Banda Aceh, dan diintegrasikan dengan rencana penggunaan lahan dalam RTRW Kota Banda Aceh.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum tsunami, RTH Banda Aceh masih jauh dari memenuhi standar UU Penataan Ruang (13,92% dari luas wilayah). Akibat tsunami RTH Banda Aceh hanya tersisa sekitar 9,31%. Tahun 2010 RTH Banda Aceh mengalami peningkatan menjadi 12,83%, dan tahun 2015 mengalami peningkatan menjadi 37,51% (24,30 % RTH privat atau 1.490,93 ha dan 13,21 % RTH publik atau 810,53 ha). Kebutuhan RTH Banda Aceh berdasarkan luas wilayah, yaitu 1.227,18 ha publik dan 613,59 ha privat, berdasarkan prediksi jumlah penduduk tahun 2029, yaitu 687,89 ha. Arahan pengembangan RTH Banda Aceh dengan membangun lahan hijau baru dengan perluasan melalui pembelian lahan atau mengakuisisi lahan privat untuk dijadikan RTH, mengembangkan jalur hijau dan peningkatan kualitas RTH. Arahan pengembangan RTH Banda Aceh ditekankan pada pemenuhan kekurangan 416,7 ha RTH publik. Pendistribusian RTH ditempatkan sesuai dengan ketersediaan lahan di tiap kecamatan dan diintegrasikan dengan RTRW Kota Banda Aceh tahun 2009-2029.

Page 58: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 49

ABSTRACT

The city development can drive the urban ecological environment and resulting degradation of its environmental quality. The development of city that does not accommodate the provision of land for green open space will experience difficulties of land availability an incremental of land rent in the future. To overcome this problem, the government has released Act No. 26/2007 concerning Spatial Planning, wherein every region needs to provide 30% of its territory as green open space. Ministry of Public Works has developed the Green City Development Program (P2KH) to assist the implementation of the mandate of the Act.

The earthquake in Banda Aceh city on December 26th 2004 that was followed by tsunami along the coastline of the Indian Ocean caused a huge number of casualties and infrastructure destruction including green open space. This study aims to analyze the change of Banda Aceh city green open space before and after tsunami, the need of green open space based on region extent and population, and the direction of development of Banda Aceh city green open space. The applied method was satellite image interpretation of landuse, analysis of green open space requirement based on region extent in accordance with Act No. 26/2007, analysis of green open space requirement based on population with standard green open space requirement per capita as stated in PERMENPU No. 5/PRT/M/2008. Green City Development Program (P2KH) concept was applied to arrange the development direction of Banda Aceh green open space, as well as integration with the land use plan in RTRW of Banda Aceh.

The extent of green open space showed that even before tsunami, Banda Aceh city green open space was far to fulfill the requirement of the Act of Spatial Planning (13,92 % of the city area). Right after tsunami, Banda Aceh green open space was remained only about 9,31 %. In 2010 the green open space rose up to 12,83 %, and by the year of 2015 Banda Aceh green open space increased to 37,51 % (24,30 % private green open space or 1.490,93 ha and 13,21 % public green open space or 810,53 ha). Based on region extent the requirement of Banda Aceh city green open space is 1.227,18 ha public green open space wherein 613,59 ha is private green open space, based on the prediction of the total population in 2029 is 687,89 ha. The development direction of Banda Aceh city green open space will be fulfilled by establishing new green land through land purchasing, developing greenbelt and improving the quality and function of existing green open space. The development direction of Banda Aceh city green open space is emphasized on maintaining the sustainability of existing green open space function such as agricultural land. Distribution of green open space is drived in accordance with the availability of land in each suddistricts and integrated with RTRW 2009-2029 of Banda Aceh.

Page 59: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

50 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ARAHAN PEMENUHAN RUANG TERBUKA HIJAUKOTA BANDA ACEH

A. Latar Belakang

Ruang terbuka hijau (RTH) berperan penting dalam pembangunan kota berkelanjutan dan memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan (Chiesura 2004; Zhou dan Wang, 2011 dalam Yuhong et al., 2014). Manfaat RTH antara lain vegetasi yang ada mampu berperan untuk membentuk iklim mikro bagi lingkungan sekitar dan mampu mengurangi efek panas. RTH mampu memberi ruang bagi manusia dalam mewadahi aktivitas atau kebutuhan sosial, baik untuk olahraga, bersosialisasi dengan manusia lainnya, maupun aktivitas sosial budaya lainnya. RTH juga berperan sebagai wadah bagi aktivitas ekonomi local atau pasar.

RTH merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota, hal ini sejalan dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 yang menyebutkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota minimal 30% dari luas wilayah kota. RTH terdiri atas RTH publik dan privat dimana proporsi RTH publik minimal sebesar 20% dan RTH privat 10% dari luas wilayah kota. Penyebaran RTH menurut Pasal 30 Undang-Undang Penataan Ruang disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hirarki struktur ruang kota.

Tragedi gempa bumi yang berpusat di Samudra Hindia tanggal 26 Desember 2004 merupakan gempa terbesar di dunia dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Ketinggian gelombang muka air laut saat tsunami mencapai daratan (run up height) terukur setinggi 20 meter, genangan (inundation) bisa menghempas daratan sejauh 8 kilometer dari pinggir pantai (Anshari et al., 2011 dalam Zaiyana dan Buchori, 2014). Gempa bumi tersebut diikuti oleh tsunami yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Di Aceh, khususnya di Kota Banda Aceh lebih dari separuh infrastruktur rusak akibat terkena gelombang tsunami termasuk ruang terbuka hijau kota. Tragedi tersebut seakan membuat dunia sadar akan bahaya dari bencana tsunami.

Selama hampir 13 tahun setelah kejadian gempa dan tsunami, Kota Banda Aceh telah pulih kembali untuk menjalankan perannya dalam tatanan aspek kehidupan masyarakat Aceh sebagai Ibu Kota Provinsi Aceh, bahkan pembangunan yang telah dilakukan relatif lebih maju jika dibandingkan dengan pembangunan sebelum masa tsunami. Pemerintah Kota Banda Aceh serius melakukan pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur jalan, fasilitas publik dan juga membuka ruang terbuka hijau. Sebelum bencana tsunami tahun 2004, Kota Banda Aceh melalui Qanun Nomor 3 Tahun 2003

Page 60: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 51

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2002-2010 telah mencantumkan pengaturan RTH Kota Banda Aceh termasuk kawasan-kawasan yang akan ditetapkan sebagai RTH. Namun, pada kenyataannya belum sempat rencana tersebut direalisasikan sepenuhnya, Kota Banda Aceh dilanda bencana sehingga diperkirakan RTH kota pada saat itu masih belum memenuhi standar minimal 30 % dari luas wilayah kota.

Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan dokumen perencanaan dan perancangan kota sebagai produk hukum yang kuat dan mengikat baik dalam wujud peraturan daerah atau peraturan wali kota, termasuk peraturan mengenai ruang terbuka hijau. Pemko Banda Aceh telah melahirkan Qanun Nomor 4 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 yang turut mengatur tentang ruang terbuka hijau Kota Banda Aceh. Dalam Qanun ini, ditetapkan bahwa pengembangan Ruang Terbuka Hijau meliputi taman kota, hutan kota, jalur hijau jalan, sabuk hijau, RTH pengaman sungai dan pantai atau RTH tepi air. Pengaturan Ruang Terbuka Hijau di Kota Banda Aceh disebar pada setiap desa atau gampong (90 gampong). Satu tahun setelah qanun tersebut ditetapkan, pembangunan RTH kota masih belum optimal dikarenakan fokus pembangunan sebelumnya, lebih dititikberatkan pada upaya rekonstruksi sarana dan prasarana yang rusak karena tsunami terutama jalan, jembatan, dan bangunan fasilitas umum lainnya.

Kota Banda Aceh hingga tahun 2015 atau 6 tahun setelah ditetapkannya Qanun Nomor 4 tahun 2009 baru mampu menyediakan 13,2% RTH dari target sebesar 20% RTH publiknya seperti yang tercantum dalam RTRW Kota Banda Aceh. Namun, permasalahan yang umum dijumpai adalah pembangunan bangunan fisik lain di Banda Aceh juga terus meningkat, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana kota. Semakin banyaknya bangunan-bangunan pertokoan, gedung, dan fasilitasi lain sebagai prasana masyarakat dalam aktivitasnya adalah hal yang tidak dapat dihindari pada sebuah kota yang sedang berkembang.

Pemerintah Kota Banda Aceh terus memacu penambahan luas RTH yang secara keseluruhan berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Kota Banda Aceh tahun 2015 luas total RTH publik hanya sebesar 13,2%, kurang dari angka 20% seperti yang telah dipersyaratkan dalam ketentuan. RTH publik eksisting yang dikelola oleh Pemerintah Kota Banda Aceh terdiri atas taman kota, hutan kota, sempadan sungai, dan sebagainya. Salah satu contoh RTH publik yang dikelola oleh Pemkot Banda Aceh adalah Museum Tsunami Aceh.

Page 61: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

52 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Saat ini luas RTH masih kurang jauh dari 30 % luas Kota Banda Aceh (20% RTH publik dan 10% RTH privat) maka pengembangan harus disiapkan sejak dini dengan terus berupaya menambah luas RTH agar terpenuhi proporsi terutama untuk 20% RTH publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Banda Aceh. Hal ini dikarenakan Kota Banda Aceh terus mengalami percepatan pembangunan fisik sehingga dikhawatirkan akan semakin mempersulit pengembangan RTH di masa mendatang. Berdasarakan permasalahan yang telah diuraikan maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi dan luas RTH Kota Banda Aceh pra dan pasca tsunami serta RTH Kota Banda Aceh saat ini?

2. Berapa kebutuhan RTH Kota Banda Aceh berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk?

3. Bagaimana arahan pengembangan RTH Kota Banda Aceh berdasarkan UU Penataan Ruang dan RTRW Kota Banda Aceh?

Penelitian dilaksanakan di Kota Banda Aceh-Provinsi Aceh yang secara geografis terletak pada 05°16’15”–05°36’16” Lintang Utara dan 95°16’15–95°22’35” Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil survei lapang dan data sekunder berasal dari pustaka dan instansi terkait.

Analisis dilakukan terhadap perubahan luas RTH Kota Banda Aceh sebelum dan pasca tsunami sehingga diketahui dampak dari bencana tsunami terhadap perubahan ruang terbuka hijau di Kota Banda Aceh antara tahun 2004, 2010 hingga 2015. Tahapan ini sekaligus juga tahap pengumpulan, pendataan, dan pemetaan RTH di Kota Banda Aceh saat ini. Dengan mengetahui RTH saat ini akan diketahui luasan RTH di Kota Banda Aceh untuk menjadi dasar analisis kecukupan serta arahan pengembangan RTH di Kota Banda Aceh.

Pertama dilakukan interpretasi citra SPOT 6 tahun 2015, lokasi penelitian dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10. Digitasi on screen dilakukan untuk mendapatkan klasifikasi penggunaan lahan. Selanjutnya dilakukan verifikasi lapang terhadap objek sampel pada beberapa titik lokasi. Output yang dihasilkan adalah peta penggunaan lahan (land use) dan sebaran RTH eksisting Kota Banda Aceh. Proses selanjutnya yang dilakukan adalah menumpangtindihkan peta penggunaan lahan tahun 2004, tsunami damage assessment map, peta penggunaan lahan tahun 2010 interpretasi citra SPOT 6 Kota Banda Aceh tahun 2015 dengan peta administrasi.

Page 62: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 53

Berdasarkan proses tersebut kemudian didapatkan luas dan sebaran RTH pra dan pasca tsunami serta RTH eksisting tiap-tiap kecamatan di wilayah Kota Banda Aceh

yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Letak geografis Kota Banda Aceh berada antara 05°30’–05°35’ LU dan 95°30’–99°16’ BT, terdiri dari 9 kecamatan, 17 kemukiman, dan 90 gampong (setingkat desa sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) dengan luas wilayah keseluruhan ± 61,36 km² (BPS 2016). Kota Banda Aceh berada di belahan bumi bagian utara atau tepatnya di ujung utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah paling barat dari Pulau Sumatera.

Tahun 2003 jumlah penduduk Kota Banda Aceh berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS, berjumlah 230.828 Jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk adalah sebesar 2,4% pertahun. Pasca terjadinya tsunami, jumlah penduduk Kota Banda Aceh berkurang secara drastic, yaitu sekitar 25,61%. Akibat bencana tsunami, jumlah penduduk Kota Banda Aceh tereduksi menjadi 177.881 jiwa, dengan jumlah kehilangan (meninggal dunia atau hilang) sebanyak 61.265 jiwa. Tahun 2015 menurut data dari BPS jumlah penduduk Kota Banda Aceh adalah sebanyak 250.303 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,3%.

Jumlah penduduk Kota Banda Aceh tahun 2003 sebanyak 230.828 jiwa, dimana jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Kuta Alam, yaitu 47.538 jiwa dan yang paling rendah jumlahnya terdapat di Kecamatan Lueng Bata dengan jumlah 16.708 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk Kota Banda Aceh sebelum bencana tsunami mencapai 38 jiwa/ha . Akibat bencana, kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh mengalami penurunan dari 38 jiwa/ha menjadi hanya 29 jiwa/ha tahun 2005.

2. Perubahan RTH Kota Banda Aceh Pra dan Pasca Tsunami

Luas kawasan terbangun Kota Banda Aceh jika dibandingkan dengan sebelum tsunami terus mengalami peningkatan. Kawasan terbangun terdiri dari permukiman, kawasan perdagangan dan jasa, perkantoran, fasilitas umum dan sosial, dan transportasi. Sedangkan RTH Kota berupa RTH publik seperti hutan kota, taman, lapangan, makam, dan jalur hijau maupun RTH privat seperti pertanian, dan pekarangan rumah atau kantor.

Page 63: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

54 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Berdasarkan peta penggunaan lahan Kota Banda Aceh tahun 2004, luas RTH secara keseluruhan, yaitu seluas 853,87 ha atau sekitar 13,92 % dari luas wilayah Kota Banda Aceh. Pasca tsunami 2004 luas RTH mengalami penurunan sebesar 282,91 ha atau sekitar 33,13 % dari luas sebelumnya. Pasca bencana tsunami RTH yang tersisa hanya seluas 570,09 ha atau 9,31 % dari luas wilayah Kota Banda Aceh. Bencana tsunami yang terjadi merusak dan berdampak terhadap lebih dari separuh wilayah Kota Banda Aceh. Kerusakan paling parah terjadi pada wilayah pesisir menghancurkan seluruh hutan bakau dan hampir setengah dari RTH yang ada, “memusnahkan” dua kecamatan serta menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah yang berada di wilayah pesisir meliputi Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Jaya Baru, dan Kecamatan Kuta Raja.

Sebelum tsunami tahun 2004 melanda, sebagian besar lahan pasang surut pantai Aceh sudah tak ditumbuhi bakau. Chen et.al (2005) melaporkan bahwa tahun 2004, bakau di Aceh Besar dan Banda Aceh hanya sekitar 0,5% saja dari areal pesisir, dan hutan pantai jauh lebih kecil lagi, hanya sekitar 0,2% saja. Sebagian besar hutan bakau telah dikonversi menjadi tambak. Hutan bakau dan hutan pantai yang tersisa itupun dalam kondisi terfragmentasi. Hal yang sama juga dilaporkan oleh BAPPENAS dan The International Donor Community (2005) untuk seluruh kawasan pesisir Aceh diinformasikan tahun 2000, hutan bakau yang bagus hanya 30.000 ha (8,8%) yang sebagian besar terdapat di Pulau Simeulue, 286.000 ha (83,9%) dalam kondisi rusak sedang dan 25.000 ha (7,3%) rusak berat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Aceh tanpa pelindung alami ketika tsunami melanda di akhir tahun 2004.

Rencana pembangunan kembali Aceh pasca bencana alam tsunami tahun 2004 diatur dalam Perpres No. 30 Tahun 2005 yang berisi Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD-Nias yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD dan Nias. Dalam Perpres tersebut, cakupan rehabilitasi dan rekonstruksi di antaranya aspek fisik, aspek hokum serta pengembalian hak sipil dan martabat masyarakat. Pembenahan dalam aspek fisik berupa perbaikan-perbaikan kembali fasilitas umum, rumah-rumah bantuan, sekolah, dan kantor pemerintahan. Fasilitas umum yang terkait sektor perhubungan seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara.

Berdasarkan Perpres, BRR memiliki tahapan-tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada tahap awal (2005 dan 2006) sumber dana dialokasikan untuk pemulihan kondisi darurat kebencanaan. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi

Page 64: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 55

yang dapat terselesaikan di antaranya untuk daerah Kota Banda Aceh, yaitu rumah baru, gedung sekolah, penambahan guru, penambahan fasilitas kesehatan, penambahan fasilitas ibadah, tersalurkannya kredit mikro untuk usaha kecil dan menengah (UKM), pembuatan kapal nelayan, rehabilitasi tambak yang rusak, pembuatan sawah dan kebun yang rusak, pembangunan jalan yang rusak, pembangunan jembatan, rehabilitasi pelabuhan laut, dan pembangunan bandara udara.

Kemudian untuk tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 berfokus pada upaya penyelesaian perumahan, pembangunan kembali sarana dan prasarana wilayah, pemulihan kondisi perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat korban bencana, serta penguatan kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat. Tahun 2007 penargetan selesainya pembangunan rumah dan pengungsi dapat dipindahkan ke rumah hunian sementara tidak di tenda lagi dan melanjutkan pembangunan infrastruktur fisik. Pada tahun 2008 terus dilanjutkan pembangunan infrastruktur fisik dan infrastuktur wilayah lainnya agar dapat mengembangkan sektor-sektor industri dan jasa, serta dimulai pembangunan dan revitalisasi kawasan potensi wisata, serta penataan kawasan bisnis dan komersial. Pada tahapan terakhir (2009), penyelesaian seluruh pembangunan kembali sarana dan prasarana fisik serta proses pemantapan pengembangan kapasitas (capacity building) dan proses transfer dalam rangka penyerahan kembali tugas dan fungsi pelaksanaan pembangunan pada pemerintah (succession strategy). Tanggal 17 April 2009, BRR Aceh-Nias resmi dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tahun 2010 pembangunan infrastrutur kota yang sebelumnya hancur masih terus dilaksanakan, tidak terkecuali pembangunan RTH. Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2010, luas RTH Kota Banda Aceh seluas 787,09 ha atau sekitar 12,83% dari total luas wilayah kota. Angka ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan luas RTH tahun 2004 sebelum bencana tsunami melanda. Akibat bencana gempa dan tsunami ini, Kota Banda Aceh mengalami perubahan penggunaan lahan, migrasi penduduk dari kawasan pesisir dan diikuti pula dengan terjadinya perubahan struktur pusat-pusat pelayanan yang bergeser semakin menjauh dari pantai. Dampaknya adalah terjadi pergeseran aktivitas pembangunan kota yang mengarah ke wilayah selatan yang merupakan wilayah pinggiran kota atau sub-urban.

Intensitas kegiatan pembangunan yang tinggi berkembang ke arah selatan kota, terutama di wilayah yang tidak terdampak tsunami seperti Kecamatan Lueng Bata. Terjadi peningkatan sangat signifikan bagi kawasan permukiman,

Page 65: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

56 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dimana perubahan ini lebih mengarah pada kegiatan rumah toko, rumah sewa, rumah kantor, dan jasa komersial lainnya. Bangunan-bangunan tersebut didirikan di antara kelompok bangunan yang sudah ada sebelumnya atau pada kawasan baru dimana salah satunya dengan mengubah RTH, khususnya lahan pertanian menjadi permukiman. Hal ini berbanding terbalik dengan Kecamatan Meuraxa yang mengalami kerusakan parah. Pasca tsunami wilayah terbangun di kecamatan ini justru mengalami penurunan bila dibandingkan sebelum tsunami. Kawasan yang tadinya merupakan permukiman ditinggalkan oleh masyarakat yang trauma akan tsunami dan dibiarkan menjadi lahan-lahan terbuka yang tidak berpenghuni.

Untuk mengendalikan daerah rawan bencana Pemerintah Kota Banda Aceh membuat kebijakan, yaitu dengan menurunkan tingkat pelayanan di wilayah pesisir hingga 3 km dari garis pantai. Sebelum tsunami kawasan ini merupakan subpusat pelayanan pemerintahan kota Banda Aceh yang berpusat di daerah Ulee Lheue di Kecamatan Meuraxa yang merupakan kawasan pelabuhan, wisata, dan pemukiman, pasca tsunami kawasan ini diturunkan menjadi kawasan biasa tidak direkomendasikan lagi untuk kegiatan pelayanan. Meskipun Desa Ulee Lheue dan sekitarnya merupakan kawasan rawan bencana, namun masyarakat setempat masih tetap bermukim di daerah ini. Untuk antisipasi terjadinya bencana pemerintah menyediakan jalur-jalur evakuasi dan escape building sehingga diperlukan persiapan jika terjadi bencana tsunami.

Tahun 2011 Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum mencetuskan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang diawali dengan melibatkan 60 Kota atau Kabupaten di seluruh Indonesia sebagai peserta dalam pelaksanaan Program P2KH dan Kota Banda Aceh sebagai salah satu Kota yang terlibat sejak tahun 2011 hingga 2015. Sejalan dengan pengembangan kota hijau yang diupayakan oleh pemerintah Kota Banda Aceh dengan visi menjadikan Kota Banda Aceh sebagai kota terhijau di Indonesia tahun 2034, dimana salah satu kebijakannya adalah penyediaan RTH publik sebesar 20,52 % pada tahun 2029 seperti yang termuat dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 dan Qanun Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.

Atas dasar Qanun RTRW Kota Banda Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh mulai mengembangkan secara bertahap konsep pembangunan berbasiskan green city, dan upaya-upaya kongkrit Pemerintah Kota Banda Aceh terus dilakukan dengan cara menata Taman Kota, Hutan Kota, Jalur Hijau Jalan, Penataan Jalur Hijau Sungai yang dikolaborasi dengan konsep Water Front City, menata jalur sepeda, serta yang tidak kalah penting yang diupayakan Pemerintah Kota meningkatkan kuantitas

Page 66: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 57

RTH Perkotaan dengan melakukan pembebasan lahan kawasan permukiman yang akan difungsikan sebagai Taman Kota dan Hutan Kota. Tidaklah mengherankan jika dibandingkan dengan tahun 2010, Banda Aceh saat ini dapat dikatakan lebih hijau dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan dibanding sebelum bencana tsunami melanda pada 24 Desember 2004. Berdasarkan hasil analisis citra SPOT 6 Kota Banda Aceh tahun 2015 dan data inventarisasi RTH publik Kota Banda Aceh tahun 2016 Dinas Kebersihan dan Keindahan, luas RTH adalah 2.301,47 ha atau sekitar 37,51 % dari total luas wilayah kota. Penyumbang RTH terbesar berasal dari RTH privat, yaitu 24,30 % dari wilayah Kota Banda Aceh, lebih besar dibanding standar minimal 10% yang ditetapkan. Lahan terbuka yang tadinya dibiarkan setelah beberapa tahun berselang pada akhirnya ditumbuhi vegetasi.

3. Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 secara khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat, baik diisi oleh tanaman yang tumbuh secara alamiah maupun segaja di tanam. Berdasarkan luas yang ditetapkan oleh Undang-undang tersebut maka wilayah kota Banda Aceh dengan luas wilayah 61,359 km² (6.135,9 ha), harus menyediakan RTH seluas 1840,77 ha yang terdiri atas RTH Publik 1.227,18 ha dan RTH Privat 613,59 ha.

Luas kebutuhan RTH yang paling besar berada di Kecamatan Syiah Kuala sebesar 427,32 ha (284,88 ha RTH publik dan 142,44 ha RTH privat) dan kebutuhan RTH yang paling kecil berada di kecamatan Jaya Baru sebesar 113,40 ha (75,60 ha RTH publik dan 37,80 ha RTH privat). Perbandingan kecukupan kebutuhan RTH publik berdasarkan luas wilayah dengan kondisi saat ini di Kota Banda Aceh memperlihatkan bahwa secara keseluruhan total RTH publik Kota Banda Aceh saat ini seluas 810,52 ha atau 13,2% dari 20% yang disyaratkan. Luas eksisting RTH Publik tersebut masih belum memenuhi luas minimum, yaitu 1.227,18 ha masih kurang 416,68 ha atau 7,8% sebagaimana yang ditetapkan oleh UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Kekurangan RTH Publik di Kota Banda Aceh disebabkan belum optimalnya program penghijauan, terutama penambahan taman kota, hutan kota, jalur-jalur hijau kota, disamping distribusinya yang tidak merata. Untuk memenuhi kebutuhan minimal RTH Publik dapat ditempuh dengan mempertahankan RTH yang sudah ada dan menambah luasan RTH Publik dengan menjadikan RTH Pertanian Kota atau Tambak menjadi Taman Kota dan Hutan Kota atau menetapkan kawasan

Page 67: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

58 Direktori Mini Tesis-Disertasi

khusus seperti daerah resapan air, hutan bakau menjadi Taman Wisata Alam atau

Hutan Lindung.

4. Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Faktor penting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia. Pertambahan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Ruang terbuka hijau semakin terdesak keberadaannya dan berubah menjadi bangunan untuk mencukupi kebutuhan fasilitas penduduk kota. Penyebaran jumlah penduduk yang tidak merata dalam suatu wilayah akan memberikan pengaruh negatif terhadap daya dukung lingkungan.

Pertumbuhan penduduk Kota Banda Aceh rata-rata 2,3% pertahun, dengan menggunakan persamaan model bunga berganda, yaitu Pt = Po (1+r)t, diproyeksikan pada tahun 2029 (masa RTRW Kota Banda Aceh) jumlah penduduk Kota Banda Aceh 343.944 jiwa. Berdasarkan standar tersebut maka kebutuhan jenis RTH Publik untuk tahun 2029 adalah seluas 687,89 ha.

Kebutuhan RTH Kota Banda Aceh berdasarkan jumlah penduduk hingga tahun 2029, jika dibandingkan dengan RTH eksisting saat ini sebenarnya secara keseluruhan telah tercukupi walaupun penyebarannya tidak merata. Kebutuhan RTH di beberapa kecamatan masih belum tercukupi, yaitu Kecamatan Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, dan Ulee Kareng. Beberapa kecamatan yang lain justru mengalami kelebihan RTH, yaitu Kecamatan Meuraxa,

Kuta Raja, dan Syiah Kuala.

5. Arahan Pengembangan RTH Kota Banda Aceh

Beberapa RTH yang telah lama ada menjadi bagian dari Kota Banda Aceh yang tidak terpisahkan. Lapangan Blang Padang misalnya merupakan ruang terbuka hijau yang luas, pusat kegiatan warga Kota Banda Aceh, seperti berolahraga setiap pagi dan sore hari. Lapangan ini juga sering digunakan untuk salat Idulfitri dan Iduladha, upacara memperingati hari besar nasional, pameran pembangunan, dan pertunjukan musik.

RTH Taman Mesjid Raya Baiturrahman yang merupakan bagian dari Mesjid Raya Baiturrahman selain berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan ritual keagamaan, taman ini juga sebagai tempat rekreasi warga kota di sore hari.

RTRW Kota Banda Aceh merupakan salah satu pedoman penataan ruang di Kota Banda Aceh yang telah ditetapkan melalui Qanun Nomor 4 tahun 2009.

Page 68: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 59

RTRW Kota Banda Aceh memuat rencana pemanfatan ruang termasuk rencana alokasi RTH sampai dengan tahun 2029.

Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 maka kondisi RTH Kota Banda Aceh saat ini secara umum telah memenuhi standar 30% dari luas wilayah. Hal ini dikarenakan luas RTH privat yang dimiliki Kota Banda Aceh lebih dari 10%, yaitu 22,75% dari luas wilayah. Akan tetapi untuk RTH publik sendiri masih belum memenuhi standar 20% dari luas wilayah, yaitu baru mencapai 13,20% atau masih kurang 6,8% dari standar peraturan. Matrik pengembangan RTH Kota Banda Aceh berdasarkan potensi dan RTRW.

Hasil perhitungan kebutuhan RTH Kota Banda Aceh berdasarkan luas wilayah lebih optimal dibanding berdasarkan jumlah penduduk. Untuk itu fokus pengembangan RTH publik mengacu pada kebutuhan berdasarkan luas wilayah. Dengan memenuhi kebutuhan berdasarkan luas wilayah maka hingga tahun 2029 RTH publik masih mampu mencukupi luas RTH berdasarkan jumlah penduduk yang ada. Kota Banda Aceh masih kekurangan khususnya RTH publik seluas 416,68 ha yang tersebar di Kecamatan Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Sedangkan kebutuhan RTH publik di Kecamatan Meuraxa dan Kuta Raja telah tercukupi.

Kota Banda Aceh sebagai salah satu Kabupaten atau Kota termasuk dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) maka pengembangan RTH Kota Banda Aceh sesuai dengan arahan Kementerian Pekerjaan Umum harus mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dan petunjuk teknis P2KH. Salah satu indikator keberhasilan P2KH adalah tercapainya luasan RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah.

Pengembangan RTH Kota Banda Aceh disesuaikan dengan karakteristik dan potensi kota serta tidak bertentangan dengan strategi pembangunan kota. Salah satu bentuk RTH yang paling umum dan memenuhi fungsi RTH baik dari segi ekologi maupun sosial adalah taman. Adapun pengembangan jalur-jalur hijau dapat membantu membentuk struktur ruang kota dan berperan sebagai infrastruktur hijau. Peluang pengembangan RTH Kota Banda Aceh adalah dengan menambah Taman Kota, Hutan Kota dan Jalur Hijau jalan. Menambah luasan Taman Kota dapat dilakukan dengan mengkonversi lahan-lahan terlantar masyarakat, sawah atau kebun yang tidak produktif lagi. Akan tetapi langkah ini membutuhkan dana yang besar dengan catatan harga lahan tidak mengalami kenaikan berarti atau lahan tidak dikonversikan menjadi kawasan perumahan atau perdagangan atau jasa. Peluang terbesar lainnya adalah dengan membangun Jalur Hijau Jalan pada jalan-jalan lama maupun jalan-jalan baru.

Page 69: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

60 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Arahan pengembangan RTH Kota Banda Aceh difokuskan untuk memenuhi kekurangan 416,7 ha dan dikembangkan di wilayah-wilayah yang dalam RTRW Banda Aceh 2009-2029 direncanakan sebagai RTH, disesuaikan dengan potensi tiap-tiap kecamatan dan ketersediaan lahan yang dapat dijadikan sebagai RTH, serta jenis RTH yang dikembangkan mengikuti jenis RTH yang telah ada sebelumnya.

D. Kesimpulan

1. Bencana tsunami yang terjadi akhir tahun 2004 berdampak terhadap rusaknya RTH yang semula 853,87 ha menjadi 570,96 ha. Angka ini mangalami kenaikan tahun 2010 walaupun tidak seluas RTH tahun 2004 dikarenakan beberapa RTH dikonversi menjadi lahan terbangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dalam rangka rekonstruksi pasca tsunami. RTH tahun 2010, yaitu seluas 787,09 ha, dan tahun 2015 luas RTH mengalami peningkatan sangat signifikan, yaitu 2.301,47 ha. RTH Kota Banda Aceh terdiri dari taman kota, hutan kota, jalur hijau jalan, sempadan pantai dan sungai, lapangan olahraga, pemakaman, RTH pekarangan rumah, RTH halaman perkantoran, gedung komersil, sekolah dan tempat ibadah, serta pertanian kota.

2. Kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, yaitu 1.840,77 ha (1.227,18 ha RTH publik dan 613,59 ha RTH privat) dan berdasarkan jumlah penduduk hingga tahun 2029, yaitu 687,89 ha. Secara umum kebutuhan RTH Kota Banda Aceh telah tercukupi dikarenakan luasnya RTH privat. Namun, untuk RTH publik belum memenuhi standar 20% dari luas wilayah atau kurang 416,7 ha.

3. Arahan pengembangan RTH Kota Banda Aceh dititikberatkan pada pemenuhan kekurangan 416,7 ha dengan melakukan penghijauan di seluruh wilayah kota, menata dan memperbanyak taman kota, mendorong masyarakat untuk menanam pohon di pekarangan mereka, gerakan penghijauan bekerja sama dengan berbagai pihak, menempatkan tempat sampah dan papan tanda larangan membuang sampah di taman-taman kota dan kawasan wisata, mempertahankan fungsi dan menata RTH yang telah ada, menata dan mengembangkan RTH pada kawasan perdagangan dan permukiman sehingga

dapat berfungsi lebih maksimal.

E. Rekomendasi Kebijakan

1. Pengelolaan dan pemeliharaan RTH perlu diperkuat melalui peraturan atau qanun, didukung oleh manajemen yang handal, peran serta dan kesadaran masyarakat, integrasi dengan berbagai tujuan pembangunan lain baik di sektor publik maupun swasta.

Page 70: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 61

2. Pemerintah perlu untuk bekerja sama dengan pihak lain seperti swasta dalam pengembangan dan pengelolaan RTH berupa operasional dan pemeliharaan, rancang dan bangun, atau privatisasi sementara, dan Coporate Social Responcibility (CSR).

3. Pemerintah perlu untuk mendorong dan membina masyarakat untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan, pemanfaatan, pengawasan, dan pemeliharaan RTH.

4. Sosialisasi hingga tingkat desa mengenai RTRW, Master Plan RTH, dan peraturan terkait kepada masyarakat dan pemilik gedung agar dapat memahami dan memudahkan dalam penerapan nantinya.

5. Perlu diberikan informasi dan pembelajaran bagi penduduk Kota Banda Aceh mengenai RTH mulai dari usia sekolah.

6. Monitoring dan evaluasi secara berkala dengan melibatkan masyarakat.

Page 71: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

62 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 72: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

KAJIAN PERKEMBANGAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN INDEKS VEGETASI YANG PALING SESUAIDI WILAYAH PESISIR KOTA TARAKAN

Nama : Dedi Surachman

Instansi : Pemkot Tarakan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah

dan Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 73: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

64 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Fungsi ekosistem mangrove sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk Kota Tarakan. Oleh karena itu, pemetaan dan monitoring hutan mangrove sangat penting untuk dilakukan. Dengan cakupannya yang luas dan multitemporal, teknik penginderaan jauh yang paling efektif untuk diaplikasikan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2000 dan Landsat 8 tahun 2016.

Sebaran dan luasan hutan mangrove dianalisis berdasarkan klasifikasi citra terbimbing menggunakan algoritma Maximum Likelihood. Kerapatan tajuk vegetasi dan stok karbon hutan mangrove dianalisis berdasarkan indeks vegetasi terbaik. Konservasi hutan mangrove dianalisis berdasarkan aspek kesesuaian lahannya dan kebijakan tata ruang. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan luasan hutan mangrove sebesar 14,93% terjadi tahun 2000 sampai dengan tahun 2016. Dalam kurun waktu tersebut area hutan mangrove yang terkonversi seluas 470.01 ha (41,63%) dan yang tidak terkonversi seluas 659,08 ha (58,37%). Untuk menilai kerapatan hutan mangrove di Kota Tarakan, IPVI dan NDVI merupakan indeks vegetasi terbaik yang mampu menjelaskan 81% variansi kerapatan hutan mangrove.

Dalam perkembangan hutan mangrove dari tahun 2000 ke tahun 2016, sebanyak 55,64% mengalami recovery, 28,92% terdegradasi, dan 15,45% lainnya tetap. Sedangkan stok karbon hutan mangrove Kota Tarakan tahun 2016 mencapai 561,88 ton/ha atau 729.101,11 ton untuk keseluruhan luasannya. Dalam upaya perlindungan hutan mangrove terdapat dua kebijakan utama yang dapat diterapkan, yaitu penambahan area hutan mangrove baru dan optimalisasi ruang hutan mangrove eksisting.

Kata Kunci: Indeks Vegetasi, Konservasi Mangrove, Mangrove, Stok Karbon.

Page 74: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 65

ABSTRACT

The function of mangrove ecosystem is vital to the sustainability of the inhabitants of Tarakan City. It is why the mapping and monitoring of mangrove forest was deemed very important. With its wide and multitemporal scope, remote sensing technique would be the most effective method to be applied using Landsat 7 ETM+ 2000 image and Landsat 8 2016 image.

The distribution and extent of mangrove forest were analyzed based on supervised classification refers to Maximum Likelihood algorithm. The density of vegetation canopy and mangrove forest carbon stock were analyzed based on the most appropriate vegetation indices. Mangrove forest conservation was assessed based on overlay between their land suitability and region spatial planning policy. Research reveals an increase of the mangrove forest expansion of 14.39% from 2000 until 2016. Within such periode, the converted mangrove forest area reached up to 470.01 ha (41.63%) and the unconverted mangrove forest area reached up to 659.08 ha (58.37%). To evaluate the mangrove forest density, IPVI and NDVI represents the best vegetation indices that are capable to elaborate the 81% variance of mangrove forest density.

During the development of mangrove forest from 2000 to 2016, 55.64% of the area experienced recovery, 28.92% experienced degradation and 15.45% other remained stable. Meanwhile the mangrove forest carbon stock of Tarakan City in 2016 reached up to 561.88 tonnes/ha or 729,101.11 tonnes in overall. In light of the mangrove forest conservation effort, there are 2 main policies that is eligible to be applied which is adding new mangrove forest area and optimalization of existing mangrove forest space.

Keywords: Carbon Stock, Mangrove, Mangrove Conservation, Vegetation Indices.

Page 75: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

66 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KAJIAN PERKEMBANGAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN INDEKS VEGETASI YANG PALING SESUAI

DI WILAYAH PESISIR KOTA TARAKAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove suatu ekosistem yang komplek dan khas perpaduan antara ekosistem daratan dan lautan. Selain itu, hutan mangrove berkembang pada lokasi-lokasi yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang merembes pada aliran sungai di sepanjang pesisir pantai. Dengan adanya perpaduan tersebut ekosistem mangrove sangat berperan dalam memelihara ekosistem daratan juga ekosistem lautan.

Di Indonesia luasan hutan mangrove mengalami tren menurun. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai sekitar 530.000 ha/tahun (Sari, 2011). Menurut Widigdo (2000, dalam Rochana, 2001) luas hutan mangrove di Indonesia berkurang dari 5,21 juta ha tahun 1982 menjadi 3,24 juta ha (1987). Disamping itu, berdasarkan data FAO luas hutan mangrove di Indonesia tahun 2005, yaitu 3.062.300 ha. Sedangkan data terbaru tahun 2009 yang dirilis oleh BAKOSURTANAL (Kordi, 2012) saat ini bernama Badan Informasi Geospasial menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 3,244 juta ha. Berdasarkan data awal dari Widigdo (2000, dalam Rochana, 2001) dan data terkahir dari Badan Informasi Geospasial, luasan hutan mangrove yang hilang dalam kurun waktu 27 tahun, yaitu seluas 1,98 juta ha atau hilang 73.333 ha pertahun. Jika hal ini tidak segera ditanggulangi maka dalam empat puluh lima tahun ke depan (2054) hutan mangrove di Indonesia berisiko hilang seluruhnya.

Kota Tarakan salah satu daerah yang hutan mangrovenya mengalami degradasi dari tahun 2001 hingga 2006. Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Padahal ekosistem mangrove mempunyai peran sangat penting bagi Kota Tarakan dimana Kota Tarakan sebagai kota pulau, tentu sangat rentan terhadap ancaman tsunami, abrasi pantai, angin besar, intrusi air laut, dan kenaikan muka air laut. Selain itu, Kota Tarakan sebagai kota yang didominasi ekosistem pesisir maka kehidupan ekonomi masyarakatnya, khususnya masyarakat pesisir sangat bergantung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dimana hutan mangrove mempunyai peran vital di dalamnya.

Berdasarkan beberapa penelitian telah membuktikan bahwa rusaknya atau hilangnya ekosistem mangrove dapat berdampak negatif bagi Kota Tarakan. Hilangnya

Page 76: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 67

ekosistem mangrove tersebut dapat menyebabkan erosi pantai sekitar 20 cm dalam kurun waktu delapan tahun (Saito, 2005 dalam Collins et al., 2008). Selain itu berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu pulau yang memiliki pantai, yaitu Tarakan sebagian sisi daratannya diprediksi bakal tenggelam pada tahun 2030. Hal tersebut didasarkan pada tren kenaikan muka air laut dan abrasi pada wilayah dengan ekosistem mangrove yang telah hilang atau rusak.

Penelitian Triwahyuni (2009) memperkuat dimana kemunduran garis pantai akibat abrasi cenderung terjadi pada bagian selatan Kota Tarakan. Menurut penelitiannya, dalam kurun waktu tahun 1991-2001 beberapa tempat mengalami sedimentasi, namun terdapat beberapa area yang mengalami kemunduran pantai sekitar 0,65 meter-12,93 meter terutama pada daerah yang hutan mangrovenya rusak atau hilang. Hal tersebut tentu saja akan semakin memperburuk ketersediaan lahan untuk menopang kehidupan masyarakat di Kota Tarakan yang sudah sangat terbatas.

Dalam perspektif perubahan iklim, ekosistem mangrove berperan penting dalam mencegah percepatan terjadinya perubahan iklim global. Setidaknya dengan rasio luasan hutan mangrove yang hanya 0,7% dibandingkan luas keseluruhan hutan, namun justru mampu menyimpan 10% dari semua emisi karbon (Purnobasuki, 2006). Menurut penelitian CIFOR (Center for International Forestry Research) hutan mangrove mampu menyimpan karbon 5 (lima) kali lebih besar dibandingkan hutan terrestrial (Aziz et al., 2015). Bahkan dari 11,5 milyar ton karbon biru yang mampu diserap oleh ekosistem pesisir sekitar 57% di antaranya (6,5 milyar ton) diserap oleh mangrove (Ahmed & Glaser, 2016). Setidaknya tiap hektar hutan mangrove mampu menyimpan 1023 ton karbon biru di dalam biomasa dan bawah tanahnya (Ahmed & Glaser, 2016). Meskipun begitu dalam periode 20 tahun terakhir, ruang penyimpanan karbon oleh hutan mangrove yang hilang mencapai 3,2 juta ton akibat adanya konversi hutan mangrove menjadi aquaculture (Aziz et al., 2015). Sedangkan Ahmed & Glaser (2016) memperkirakan bahwa konversi tiap hektar hutan mangrove menjadi budi daya tambak mampu menghilangkan potensi penyimpanan karbon biru sebanyak 661 hingga 1135 ton/ha.

Dari berbagai permasalahan yang ditimbulkan akibat rusak dan hilangnya ekosistem hutan mangrove, baik dalam lingkup lokal Kota Tarakan maupun lingkup global terkait perubahan iklim, sudah seharusnya mendapat perhatian khusus terhadap keberlanjutan ekosistem hutan mangrove yang terintegrasi dalam suatu kebijakan tata ruang yang ada. Oleh karena itu, monitoring dan manajemen hutan mangrove menjadi penting untuk dilakukan.

Page 77: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

68 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Metodologi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di wilayah pesisir Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Pengolahan citra satelit rencana dilakukan bulan September 2016 hingga November 2016. Survei lapangan dilakukan pada bulan November 2016 hingga Desember 2016. Pengumpulan data sekunder dilakukan survei instansional ke beberapa instansi yang relevan di Kota Tarakan seperti BPS, Bappeda, Dinas Kelautan Perikanan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Selain itu, pengumpulan data sekunder juga dilakukan dengan men-download data/informasi/literatur dari internet

dari sumber yang valid dan berkaitan dengan mangrove.

1. Perkembangan Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil klasifikasi lahan tahun 2000 dan 2016, luasan hutan mangrove tidak mengalami penurunan luasan dan justru terjadi perluasan hutan mangrove. Luas hutan mangrove tahun 2000 seluas 1.129,09 ha, meningkat menjadi 1.297,61 ha (2016) atau mengalami peningkatan sebesar 14,93%.

Jika dilihat dari distribusi spasialnya baik tahun 2000 maupun 2016, hutan mangrove di Kota Tarakan cenderung berlokasi di sisi bagian barat pulau. Hal tersebut disebabkan karena pesisir bagian barat Pulau Tarakan berdekatan dengan daratan Pulau Kalimantan besar sehingga lebih terlindungi dari gelombang besar. Berbeda dengan pesisir di bagian lainnya yang cenderung terbuka dan langsung bertemu dengan laut lepas sehingga mempunyai gelombang air laut lebih besar. Selain itu, jenis substrat tanah di bagian barat didominasi oleh lumpur dan lumpur berpasir yang cocok bagi habitat vegetasi mangrove, sedangkan di bagian lainnya lebih didominasi oleh pasir.

Sebaran hutan mangrove yang ada (2000) tersebar di 13 (tiga belas) kelurahan. Dari 13 kelurahan sebagian besar hutan mangrove tersebar di empat kelurahan, yaitu Kelurahan Juata Laut seluas 406,64 ha (36,01%), Kelurahan Mamburungan seluas 184,18 ha (16,31%), Kelurahan Karanganyar Pantai seluas 155,93 ha (13,81%), dan Kelurahan Juata Permai seluas 151,20 ha (13,39%). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa 79,53% luas hutan mangrove (2000) berada di keempat kelurahan tersebut.

Tahun 2016 hutan mangrove di Kota Tarakan tersebar di 15 kelurahan. Dari 15 kelurahan tersebut, 76,58% dari keseluruhan hutan mangrove tersebar di lima kelurahan, yaitu Kelurahan Juata Laut seluas 326,66 ha (25,17%), Kelurahan Mamburungan seluas 291,46 ha (22,46%), Kelurahan Juata Permai seluas 157,04 ha (12,10%), Kelurahan Karanganyar Pantai seluas 112,46 ha (8,67%), dan Kelurahan Karang Harapan seluas 106,12 ha (8,18%). Dari tahun 2000 ke tahun 2001 terjadi

Page 78: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 69

pengurangan luasan sebesar 29,08 ha atau hilang 2,57%. Sedangkan dari tahun 2001 ke tahun 2005 terjadi perluasan area hutan mangrove seluas 101 ha atau meningkat 9,18% dari luasan tahun 2005. Pengurangan luasan hutan mangrove yang paling signifikan terjadi dari tahun 2005 ke tahun 2006 dimana 435 ha hutan mangrove telah hilang sejak 2005 hingga 2006 atau berkurang 36,21% dibandingkan tahun 2005. Namun, dari kurun waktu (2006 ke 2016) justru terjadi

perluasan hutan mangrove sebesar 531,60 ha atau meningkat 69,40% (2008).

2. Bentuk Konversi Hutan Mangrove

Dilihat dari kelestarian hutan mangrove tiap-tiap kelurahan dari tahun 2000 sampai dengan 2016, hutan mangrove yang cukup terjaga kelestariannya (di atas 80%) terdapat di enam kelurahan, yaitu Mamburungan timur (97,70%), Gunung Lingkas (90,86%), Karang Rejo (86,12%), Lingkas ujung (83,42%), Mamburungan (81,53%), dan Kampung Empat (81,47%).

Jika dilihat dari luasan hutan mangrove tiap-tiap kelurahan, proporsi perubahan area hutan mangrove terbesar terjadi di Kelurahan Selumit Pantai dari 0,52 ha area hutan mangrove tahun 2000 telah terkonversi seluruhnya. Konversi hutan mangrove tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yang merusak habitat mangrove, yaitu adanya perkembangan permukiman ke arah laut dan adanya pengendapan atau pendangkalan di area mangrove tersebut (lihat lampiran 2 Tabel L.2.2). Meskipun area hutan mangrove yang ada di Selumit Pantai telah terkonversi seluruhnya (2016), bukan berarti Kelurahan Selumit Pantai tidak memiliki hutan mangrove (2016). Kelurahan Selumit Pantai mempunyai hutan mangrove seluas 0,27 ha tahun 2016, dimana area tersebut tahun 2000 adalah lahan terbuka atau terbangun kemudian berubah hingga menjadi hutan mangrove tahun 2016.

Dari 13 kelurahan yang memiliki hutan mangrove (2000), setidaknya hingga tahun 2016 terdapat lima kelurahan yang proporsi hutan mangrove di dalamnya telah terkonversi sekitar 50-an%, yaitu Kelurahan Juata Laut (47,35%), Kelurahan Karanganyar Pantai (52,54%), Kelurahan Juata Permai (59,46%), Kelurahan

Kampung Satu (50,33), dan Kelurahan Pantai Amal (55,11%).

3. Perkembangan Kondisi Hutan Mangrove dari Tahun 2000 Hingga Tahun 2016

Perkembangan kerapatan hutan mangrove dari tahun 2000 hingga tahun 2016 mempunyai tren sangat positif. Luasan hutan mangrove dengan kerapatan sangat tinggi mengalami perluasan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 86,41% dari luasan di tahun 2000. Meskipun tidak signifikan perluasan area juga ditunjukkan

Page 79: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

70 Direktori Mini Tesis-Disertasi

oleh hutan mangrove dengan kerapatan tinggi, yaitu sebesar 4,37%. Sedangkan, kelas kerapatan yang lain mengalami penurunan luasan seperti kerapatan sedang menurun 39,41%, kerapatan jarang menurun 63,19%, dan kerapatan sangat jarang menurun 90,63%.

Dinamika perkembangan kondisi hutan mangrove dari tahun 2000 hingga tahun 2016, terbagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu degradasi, tetap dan recovery yang terjadi pada area lahan seluas 1767,61 ha. Degradasi yang dimaksud ialah menurunya tingkat kerapatan hutan mangrove dan hilangnya area hutan mangrove. Tetap yang dimaksud, yaitu kesamaan tingkat kerapatan hutan mangrove dari tahun 2000 hingga tahun 2016, sedangkan recovery adalah meningkatnya tingkat kerapatan hutan mangrove dan tumbuhnya area-area baru (2016) yang tahun 2000 area

mangrove tersebut belum ada.

4. Stok Karbon Hutan Mangrove Kota Tarakan Berdasarkan NDVI

Hutan mangrove di Kota Tarakan mempunyai tingkat kerapatan sangat tinggi. Hal ini tentu saja sangat berpotensi untuk menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Dalam penelitian ini akan mengestimasi besaran penyimpanan karbon atas dan bawah permukaan hutan mangrove di Kota Tarakan, berdasarkan rumus Clough & Scott (1989) yang disusun untuk vegetasi mangrove, khususnya yang didominasi oleh jenis Rhizopora Apiculata. Untuk dapat mengetahui stok karbon secara menyeluruh maka digunakan indeks vegetasi untuk menilainya. Hasil korelasi antara nilai stok karbon dengan nilai beberapa indeks vegetasi menunjukkan bahwa NDVI dan IPVI masih konsisten dan lebih sesuai digunakan sebagai estimator dengan nilai korelasi 64,7% (lihat lampiran 6 Tabel L.6.2). Meskipun nilainya sebesar 64,7%, namun cukup untuk digunakan, mengingat NDVI mencerminkan kerapatan vegetasi mangrove bukan besaran biomasa vegetasi. Suatu area hutan mangrove dengan kerapatan tinggi di lapangan, tidak selalu mempunyai ruang penyimpanan karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan area hutan mangrove dengan kerapatan vegetasi yang lebih rendah. Area dengan jumlah vegetasi sedikit, tetapi mempunyai diameter batang yang besar akan mempunyai ruang penyimpanan karbon lebih besar ketimbang area dengan jumlah vegetasi yang banyak namun diameter batangnya kecil. Dengan demikian, NDVI tetap masih relevan untuk digunakan dalam mengestimasi biomasa.

Hasil kalkulasi menunjukkan bahwa stok karbon hutan mangrove di Kota Tarakan tahun 2000 yang terendah, yaitu 3,18 ton/ha dan tertinggi adalah 787,11 ton/ha dengan rata-rata stok karbon sebesar 461,48 ton/ha. SedaSSSngkan tahun 2016 stok karbon terendah sebesar 91,18 ton/ha dan tertinggi 775,06 ton/ha dengan nilai rata-rata sebesar 561,88 ton/ha. Jika dihitung dari keseluruhan luas

Page 80: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 71

hutan mangrove setiap tahun maka perkembangan stok karbon hutan mangrove di Kota Tarakan (2000-2016) meningkat sebesar 208.048 ton dimana tahun 2000 hanya sebesar 521.052,45 ton menjadi 729.101,11 ton karbon (2016).

Perkembangan hutan mangrove dari tahun 2000 hingga tahun 2016 tidak hanya meningkat secara kuantitas, namun juga meningkat secara kualitas dilihat dari tingkat kerapatan tajuknya. Oleh karena itu, wajar jika potensi penyimpanan karbon perhektar hutan mangrove juga mengalami peningkatan. Estimasi stok karbon tahun 2016 antara NDVI dan pengukuran sampel di lapangan, hasilnya tidak jauh berbeda, yaitu 561,88 ton/ha (NDVI) dan 512,57 ton/ha (pengkuran sampel di lapangan). Oleh karena itu, dalam penelitian ini estimator NDVI cukup relevan untuk digunakan dalam mengestimasi potensi stok karbon hutan mangrove di Kota Tarakan.

Tingginya potensi penyimpanan karbon oleh hutan mangrove sangat bermanfaat bagi lingkungan yang ada di Kota Tarakan dan lingkungan global, terutama dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. Seperti yang kita ketahui bahwa penyebab terjadinya perubahan iklim karena pemanasan global yang terjadi akibat adanya efek gas rumah kaca, terutama gas karbon baik dalam bentuk karbon monoksida (CO) maupun karbon dioksida (CO2). Oleh karena itu, semakin besarya ruang penyimpanan karbon oleh hutan mangrove maka semakin besar pula perannya dalam mengurangi terjadinya pemanasan global.

Cukup tingginya potensi ruang penyimpanan karbon oleh hutan mangrove di Kota Tarakan dan semakin meningkatnya pemanasan global telah membuka peluang bagi Kota Tarakan dalam perdagangan karbon dunia. Saat ini perdagangan karbon belum banyak dibahas dan masih relatif jarang, khususnya di negara tropis karena belum ada kebijakan baku terkait dengan perdagangan karbon. Padahal berdasarkan tren peningkatan emisi karbon sudah barang tentu dunia membutuhkan kantong-kantong penyimpanan karbon, terutama negara-negara yang memiliki hutan luas, seperti Indonesia. Diprediksi untuk masa yang akan datang, negara-negara maju yang memiliki emisi karbon cukup tinggi harus membayar kompensasi jasa kepada negara-negara pemilik kantong penyimpanan karbon. Inilah peluang bagi Indonesia, khususnya Kota Tarakan dalam mengekonomikan kelestarian

hutan (mangrove) dalam perdagangan karbon masa depan.

5. Tingkat Kesesuaian Lahan Konservasi Hutan Mangrove

Berdasarkan pengolahan variabel kesesuaian lahan konservasi hutan mangrove menggunakan ArcGIS menghasilkan 64,46% (836,44 ha) luas hutan mangrove di Kota Tarakan sangat sesuai untuk dijadikan lahan konservasi. Sebanyak 32,504%

Page 81: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

72 Direktori Mini Tesis-Disertasi

(421,78 ha) sesuai dijadikan lahan konservasi, sebanyak 3,035% (39,38 ha) sesuai untuk dijadikan lahan konservasi dengan syarat tertentu, dan sisanya 0,001% (0,01 ha) tidak sesuai untuk dijadikan lahan konservasi hutan mangrove.

Dilihat dari kesesuaian parameter lahannya, luasan hutan mangrove yang masuk dalam kategori sangat sesuai, sebagian besar terdapat di Kelurahan Mamburungan dengan luas 205,80 ha dan Kelurahan Juata Laut dengan luas 246,30. Sedangkan, luasan hutan mangrove yang masuk pada kategori sesuai sebagian besar, terdapat di Kelurahan Mamburungan, yaitu 75,45 ha, Kelurahan Juata Laut seluas 78,11 ha, dan Kelurahan Juata Permai, yaitu 90,68 ha. Oleh karena itu, ketiga kelurahan tersebut harusnya menjadi fokus kebijakan pengembangan dan perlindungan hutan mangrove selanjutnya.

Secara umum besarnya kesesuaian parameter lahan konservasi hutan mangrove di Kota Tarakan, menunjukkan bahwa secara alamiah kondisi lingkungan pesisir Kota Tarakan sangat mendukung untuk perkembangan alami vegetasi mangrove. Namun, kondisi lingkungan pesisir sebagai faktor yang pasif dapat mendukung perkembangan dan kelestarian hutan mangrove. Sedangkan, intervensi kebijakan dan aktivitas sosial ekonomi masyarakat menjadi faktor utama yang sangat menentukan keberlanjutan kelestarian hutan mangrove. Untuk itu

sangat diperlukan analisis kesesuaiannya dengan kebijakan tata ruang yang ada.

6. Kebijakan Utama Pengelolaan Hutan Mangrove

a. Penambahan Area Hutan Mangrove Baru

Penambahan area hutan mangrove baru dapat dilakukan melalui rehabilitasi dan penanaman vegetasi mangrove yang potensial dan sesuai dengan kriteria parameter lahan konservasi hutan mangrove. Jika merujuk pada kekurangan target luasan kawasan lindung hutan mangrove, setidaknya dibutuhkan penanaman vegetasi mangrove pada area baru seluas 276,63 ha. Oleh karena itu, target rata-rata penambahan area hutan mangrove baru hingga tahun 2032 seluas ± 18,5 ha/tahun. Dengan asumsi bahwa area hutan mangrove yang ada dan sesuai dengan kriteria parameter lahan konservasi maupun dengan RTRW seluas 842,67 ha tetap dijaga kelestariannya. Dalam melakukan perluasan area hutan mangrove, yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengindentifikasi aset lahan Pemerintah Kota Tarakan yang potensial untuk habitat mangrove. Hasil identifikasi ruang potensial tersebut kemudian dijadikan lahan reservasi hutan mangrove untuk dikonservasi. Setelah identifikasi terhadap aset lahan Pemerintah Kota Tarakan selesai dilakukan, kemudian dilakukan identifikasi

pada lahan sektor privat.

Page 82: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 73

b. Optimalisasi Ruang Hutan Mangrove Eksisting

Optimalisasi ruang hutan mangrove dilakukan dengan dua model, yaitu optimalisasi dengan konservasi penuh dan optimalisasi dengan modifikasi. Optimalisasi ruang dengan model konservasi penuh dilakukan pada area hutan mangrove yang mempunyai kesesuaian, baik terhadap kesesuaian lahan maupun rencana pola ruang dalam RTRW yang ada. Sedangkan optimalisasi dengan modifikasi dilakukan pada area hutan mangrove yang sesuai (sesuai dan sesuai bersyarat) dari aspek parameter lahan, namun tidak sesuai dengan rencana pola ruang dalam RTRW yang ada. Untuk itu optimalisasi ruang tersebut dilakukan melalui suatu strategi yang mampu menjembatani perbedaan antara peruntukan fungsi ruang yang direncanakan dan kondisi eksisting pemanfaatan ruang yang ada.

Untuk menentukan suatu strategi yang dapat menjembatani pertentangan fungsi ruang tersebut (kesesuaian parameter lahan konservasi dan rencana pola ruang RTRW) maka terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi area-area hutan mangrove yang potensial untuk dioptimalkan ruangnya.

Dari hasil identifikasi didapatkan bahwa sebagian besar ketidaksesuaian area konservasi hutan mangrove terhadap RTRW terjadi pada peruntukan ruang untuk rencana pertahanan dan keamanan seluas 131,92 ha, untuk rencana kawasan industri seluas 102,87 ha, untuk rencana kawasan permukinan kepadatan tinggi seluas 83,56 ha, dan untuk rencana kawasan permukiman kepadatan sedang seluas 64,20 ha. Berdasarkan perbedaan fungsi ruang dan kondisi eksisting pada keempat jenis peruntukan ruang tersebut maka area hutan mangrove yang memungkinkan untuk tetap dipertahankan ialah area hutan mangrove yang terdapat pada area peruntukan ruang rencana pertahanan dan keamanan. Sedangkan, hutan mangrove pada area yang diperuntukan sebagai rencana kawasan industri, rencana permukinan kepadatan tinggi, dan permukiman kepadatan sedang cenderung kurang efektif untuk dioptimalkan karena sifat peruntukan kawasan tersebut bertolak belakang (kontra produktif)

dengan kebutuhan habitat vegetasi mangrove untuk berkembang.

7. Kebijakan Pendukung Pengelolaan Hutan Mangrove

a. Penguatan Kebijakan Daerah dalam Pengelolaan Mangrove

Hingga saat ini kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tarakan dalam pengolahan hutan mangrove jumlahnya relatif sedikit. Kebijakan pengelolaan hutan yang ada lebih condong pada hutan terrestrial. Padahal fungsi fisik maupun sosial ekonomi hutan mangrove lebih besar dibandingkan

Page 83: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

74 Direktori Mini Tesis-Disertasi

hutan terrestrial. Oleh karena itu, sudah saatnya pengelolaan hutan mangrove diberikan porsi lebih besar atau minimal sama besarnya dengan sumber daya yang dikeluarkan untuk pengelolaan hutan terrestrial, baik yang bersifat material (anggaran) maupun non-material (perlindungan hutan).

Kebijakan pendukung yang bersifat material dapat berupa pemberian dukungan anggaran dalam APBD bagi perangkat daerah penanggung jawab (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi) dalam pengelolaan hutan mangrove. Dengan terpenuhinya kebutuhan anggaran tersebut diharapkan kinerja perangkat daerah penanggung jawab dalam manajemen hutan mangrove dapat meningkat.

Kota Tarakan sudah mempunyai Perda khusus dalam pengelolaan hutan mangrove, yaitu Perda No. 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Penebangan Hutan Mangrove di Kota Tarakan. Namun, Perda tersebut belum menyebutkan seberapa luas area mangrove yang dikonservasi dan dimana saja letaknya. Adapun Perda yang mengatur luasan dan letak hutan mangrove yang dilindungi hanya terdapat pada Perda Kota Tarakan No. 04 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Tarakan Tahun 2012-2032. Selain itu, di dalam Perda No. 04 tahun 2002 tersebut hanya menyebutkan bahwa seluruh hutan mangrove di Kota Tarakan dilindungi. Mengingat bahwa karakteristik Kota Tarakan adalah pesisir dimana masyarakatnya mendapatkan penghidupan dari sumber daya pesisir maka tidaklah mungkin hal tersebut dapat direalisasikan. Pasti akan selalu ada eksploitasi area hutan mangrove oleh masyarakat. Bahkan cenderung dapat menimbulkan konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah kota. Oleh karena itu, diperlukan penetapan kawasan dan jenis pemanfaatan hutan mangrove yang diperbolehkan, baik itu kawasan lindung hutan mangrove, kawasan lindung terbatas maupun kawasan budi daya yang disusun berdasarkan kesesuaian terhadap lahan konservasi hutan mangrove dan RTRW yang ada. Selain itu denda pelanggaran terhadap Perda relatif kecil, maksimal hanya sebesar Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) tentu saja kurang memberi efek jera. Diperlukan penyempurnaan Perda sehingga dapat memberikan kepastian

hukum yang jelas dalam perlindungan hutan mangrove.

b. Peningkatan Efektifitas dan Frekuensi Monitoring Hutan Mangrove

Monitoring hutan mangrove di Kota Tarakan belum optimal dilaksanakan, baik monitoring secara langsung di lapangan maupun monitoring dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh. Indikasi belum optimalnya monitoring yang dilakukan masih adanya perusakan hutan mangrove yang tidak termonitor di area yang ditetapkan sebagai hutan kota yang seharusnya dilindungi.

Page 84: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 75

Contoh, terdapat dua titik aktivitas penebangan hutan mangrove di area yang telah ditetapkan sebagai hutan kota di Kelurahan Mamburungan (Gambar 4.47). Padahal area penebangan tersebut hanya berjarak sekitar 50 meter dari plang yang bertuliskan bahwa area tersebut dilindungi dan dijadikan sebagai hutan kota. Hal ini mengindikasikan kurangnya pemantauan hutan mangrove atau bahkan adanya pembiaran oleh institusi yang seharusnya bertanggung jawab.

Selain itu, Kota Tarakan mempunyai keterbatasan terkait ketersediaan data spasial perkembangan hutan mangrove. Tidak terpetakannya perkembangan hutan mangrove secara spasial temporal, menyulitkan decision maker untuk menentukan kebijakan pengelolaan mangrove yang sesuai dan tepat sasaran. Oleh karena itu, peningkatan efektifitas dan frekuensi monitoring hutan mangrove perlu dilakukan untuk mendukung efektifitas kebijakan yang akan

diambil.

C. Kesimpulan

Luasan hutan mangrove dari tahun 2000 hingga tahun 2016 secara agregat tidak mengalami penurunan luasan dan justru terjadi perluasan. Luas hutan mangrove tahun 2000 seluas 1.129,09 ha dan meningkat 14,93% menjadi 1.297,61 ha pada tahun 2016. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hutan mangrove yang tidak mengalami perubahan atau konversi guna atau tutupan lahan dari tahun 2000 sampai dengan 2016 seluas 659,08 ha (58,37%) dan sisanya seluas 470,01 ha (41,63%) telah terkonversi menjadi guna atau tutupan lahan yang lain. Sebagian besar bentuk konversi hutan mangrove yang ada tahun 2000 ke tahun 2016 menjadi hutan atau kebun/lading, yaitu 209,63 ha (18,57%) dan menjadi laut (tidak diklasifikasikan) tahun 2016 seluas 87,03 ha (7,71%).

Guna atau tutupan lahan tambak atau budi daya perikanan yang ada tahun 2000 berperan besar pada pembentukan mangrove (2016) dimana hutan mangrove yang ada tahun 2016 sebagian besar terbentuk dari area hutan mangrove yang telah eksis tahun 2000 (50,79%) dan 39,92% lainnya terbentuk dari tambak atau budi daya perikanan yang ada tahun 2000 dan sisanya 9,29% terbentuk dari jenis guna atau tutupan lahan lainnya.

Untuk menganalisis kerapatan hutan mangrove di Kota Tarakan, NDVI dan IPVI merupakan indeks vegetasi yang paling sesuai dan mampu menjelaskan 81,00% variansi kerapatan hutan mangrove di Kota Tarakan. Hal ini dikarenakan formula NDVI dan IPVI diciptakan untuk menganalisis vegetasi pada sebagian besar kondisi kerapatan vegetasi. Sedangkan, indeks vegetasi lainnya seperti RDVI, SAVI, OSAVI, EVI lebih cocok

Page 85: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

76 Direktori Mini Tesis-Disertasi

untuk menganalisis vegetasi dengan kerapatan yang relatif kurang padat atau jarang dimana pengaruh background tanah melewati kanopi daun cukup besar. Adapun TDVI cenderung lebih cocok untuk menganalisis vegetasi pada lingkungan perkotaan.

Berdasarkan analisis NDVI, luasan hutan mangrove dengan kerapatan sangat tinggi mengalami perluasan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 86,41% dibandingkan dengan luasan tahun 2000. Meskipun tidak terlalu signifikan perluasan area juga ditunjukkan oleh hutan mangrove dengan kerapatan tinggi, yaitu sebesar 4,37%. Sedangkan kelas kerapatan yang lain mengalami penurunan luasan. Dengan demikian, secara keseluruhan dari tahun 2000 hingga tahun 2016 perkembangan hutan mangrove cenderung lebih bersifat recovery, yaitu sebanyak 55,64%. Sisanya 28,92% merupakan degradasi, dan 15,45% lainnya bersifat tetap.

Hutan mangrove di Kota Tarakan (2016) mampu menyimpan karbon hingga mencapai 561,88 ton/ha atau sebesar 729.101,11 ton karbon dari keseluruhan luas hutan mangrove di Kota Tarakan. Dengan kata lain hutan mangrove Kota Tarakan mempunyai nilai investasi dalam perdagangan karbon dunia sebesar Rp 74,73 juta/ha atau setara Rp96,97 milyar untuk keseluruhan hutan mangrove di Kota Tarakan tahun 2016.

Berdasarkan parameter kesesuaian lahannya, sebanyak 64,46% (836,44 ha) luas hutan mangrove di Kota Tarakan sangat sesuai untuk dijadikan lahan konservasi, sebanyak 32,504% (421,78 ha) sesuai dijadikan lahan konservasi, sebanyak 3,035% (39,38 ha) sesuai untuk dijadikan lahan konservasi. Namun, dengan syarat tertentu dan sisanya 0,001% (0,01 ha) tidak sesuai untuk dijadikan lahan konservasi hutan mangrove. Berdasarkan kesesuaiannya dengan kebijakan tata ruang, sebanyak 64,94% (842,67 ha) hutan mangrove tahun 2016 telah sesuai dengan RTRW untuk dijadikan area konservasi hutan mangrove dan sisanya 35,06% (454,94 ha) bertentangan dengan RTRW. Dari 35,06% luasan hutan mangrove yang bertentangan dengan RTRW sebanyak 39,56% (179,98 ha) di antaranya masih bisa dipertahankan melalui kebijakan optimalisasi ruang dengan modifikasi dan strategi yang dapat menjembatani perbedaan fungsi dan pemanfaatan ruang tersebut.

Kebijakan optimalisasi ruang dengan modifikasi dapat dilakukan pada tujuh jenis fungsi ruang dengan strateginya masing-masing. Pada kawasan bandara, kawasan perlindungan setempat dan kawasan pertahanan dan keamanan area hutan mangrove yang ada dapat dimanfaatkan sebagai fungsi sempadan sungai dan laut untuk melindungi dari ancaman banjir, tsunami, gelombang, badai, dan sebagainya. Pada kawasan pariwisata area hutan mangrove dapat dimanfaatkan dalam konsep wisata mangrove. Pada kawasan peternakan area hutan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai pagar hidup dan pakan ternak. Pada kawasan minapolitan area sekitar hutan mangrove yang

Page 86: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 77

ada dapat dijadikan sebagai kawasan perikanan tangkap. Pada kawasan sport center

area hutan mangrove yang ada dapat digunakan sebagai taman tempat beristirahat.

D. Rekomendasi

Luas area pengambilan sampel sebaiknya mengikuti resolusi spasial citra yang digunakan. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat dengan resolusi 30x30 meter sedangkan luas area tiap-tiap titik sampel seluas 10x10 meter. Oleh karena itu, akan lebih baik jika luas area tiap-tiap titik sampel adalah 30x30 meter.

Dasar konsep perhitungan kerapatan vegetasi riil di lapangan berdasarkan jumlah pohon mengrove dalam suatu area titik sampel. Sedangkan konsep kerapatan tajuk dalam penginderaan jauh, berdasarkan besaran nilai pantulan gelombang oleh daun. Perbedaan dasar kedua konsep tersebut dapat menimbulkan bias pada jenis vegetasi (mangrove) dengan karakteristik daun yang tidak lebat. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pengukuran kerapatan riil di lapangan menggunakan alat spectrometer atau setidaknya kamera fish-eye.

Dalam penelitian ini tidak semua zona komunitas mangrove di Kota Tarakan dapat diambil sampelnya, terutama pada sisi tengah hutan mangrove dan area dengan aksesibilitas yang sulit. Oleh karena itu, dapat digunakan teknologi drone yang bisa merekam koordinat dan gambar secara tegak lurus, serta dapat diatur level ketinggian perekamannya.

Analisis kerapatan vegetasi dalam penelitian ini menggunakan citra dengan nilai reflektan at sensor (Top of Atmosphere Reflectance). Namun, lebih baik jika menggunakan citra dengan nilai reflektan permukaan (Bottom of Atmosphere Reflectance) dimana akan lebih menggambarkan respon spektral vegetasi dipermukaan bumi yang sebenarnya.

Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai karakter NDVI pada range < 0 (nol) yang mewakili vegetasi dalam suatu kondisi tertentu. Selain itu, dengan diketahuinya NDVI dan IPVI sebagai indeks vegetasi yang paling sesuai dengan kerapatan mangrove di Kota Tarakan maka dapat dilakukan penelitian lajutan untuk merumuskan indeks vegetasi baru yang dimodifikasi (didasarkan) persamaan kedua jenis indeks tersebut dan dapat menghasilkan keakuratan lebih baik dibandingkan NDVI maupun IPVI itu sendiri.

Dengan adanya keterbatasan dan homogenitas data suatu parameter kesesuaian lahan konservasi maka dalam penelitian ini hanya digunakan enam parameter utama. Oleh karena itu, akan lebih baik jika digunakan pula parameter lainnya berdasarkan ketersediaan dan kualitas data.

Page 87: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

78 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Sebagian besar kondisi hutan mangrove masih dalam kondisi baik dengan trennya bersifat recovery. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tarakan harus lebih mengutamakan kebijakan dan program yang sifatnya konservatif ketimbang rehabilitatif. Luasan dan sebaran hutan mangrove dalam kondisi baik, sebagian besar tersebar di tiga) kelurahan, yaitu Juata Laut, Juata Permai, dan Mamburungan sehingga proritas dan arah program konservasi hutan mangrove Pemerintah Kota Tarakan secara umum sebaiknya menyasar pada ketiga kelurahan tersebut.

Pola sebaran hutan mangrove di Kota Tarakan sangat berasosiasi dengan lahan budi daya tambak masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tarakan perlu melakukan pengawasan dan pengendalian secara kontinyu terhadap aktivitas budi daya tambak yang berpotensi mengancam eksistensi hutan mangrove disekitarnya, khususnya yang masuk ke dalam kawasan lindung.

Kebijakan pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove yang disusun, sifatnya sangat terbatas berdasarkan dari pengamatan di lapangan, analisis hasil penelitian dan data sekunder, serta wawancara terbatas dengan beberapa orang saja. Sebaiknya kebijakan pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove dilakukan melalui instrumen tersendiri sehingga dapat dihasilkan strategi dari suatu analisis SWOT yang dapat mewakili semua stakeholder baik itu pemerintah, swasta, dan masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem hutan mangrove.

Meskipun kebijakan yang disusun mempunyai keterbatasan, namun sebagai langkah awal Pemerintah Kota Tarakan dapat mengimplementasikan tiap-tiap strategi yang diusulkan terhadap tujuh jenis fungsi ruang sebagaimana telah dijabarkan dalam penelitian ini.

Page 88: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

Kajian dan Arahan Sampah Berdasarkan Daya Pengelolaan Dukung dan Kapasitas Tampung Kota Depok

Nama : Diana Paramita

Instansi : Kementerian Pertanian

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 89: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

80 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Kajian dan Arahan Sampah Berdasarkan Daya Pengelolaan Dukung dan Kapasitas Tampung Kota Depok

A. Latar Belakang

Permasalahan sampah pada umumnya dihadapi di daerah perkotaan di negara Asia Tenggara, seiring meningkatnya jumlah penduduk, diikuti peningkatan pendapatan, perubahan pola konsumsi, pertumbuhan ekonomi, serta urbanisasi dan industrialisasi sehingga mengakibatkan meningkatnya potensi timbulan sampah perkapita dan beragamnya jenis sampah yang dihasilkan (Nguyen dan Schnitzer, 2009).

Negara Indonesia juga mengalami masalah persampahan, sebagaimana data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Dialog Penanganan Sampah Plastik pada rangkaian Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Jakarta, tanggal 10 Juni 2015 bahwa jumlah sampah yang dihasilkan sebanyak 175.000 ton/hari atau 64 juta ton/tahun. Dalam dialog ini juga disampaikan hasil studi tahun 2012 bahwa pola pengelolaan sampah di Indonesia, diangkut dan ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), dikompos dan didaurulang (7%), dibakar (5%), dan tidak dikelola (7%).

Lebih dari 90% kabupaten atau kota di Indonesia masih menggunakan sistem penanganan sampah secara open dumping atau dibakar (KemenLHK, 2016). Berdasarkan data Badan Pusat Statistika, persentase sampah yang dipilah mengalami penurunan, yaitu dari sebesar 23,69% tahun 2013, menjadi 18,84% tahun 2014 atau penurunan sebesar -4,85% (BPS, 2017). Data ini dapat memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia belum konsisten dalam melakukan pengolahan sampah pada umumnya, khususnya pemilahan sampah.

Hasil observasi Moeinaddini et al. (2013) dalam Othman et al. (2013) menunjukkan pengelolaan sampah yang efektif dengan sistem pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), daur ulang atau pemanfaatan energi dari sampah (recycle), dan insinerasi. Langkah akhir dalam sistem ini adalah melakukan sanitary landfill pada sisa sampah residu yang sudah tidak dapat diolah kembali.

Kota Depok sebagai salah satu kota baru di Pulau Jawa telah mengembangkan sistem persampahan perkotaannya. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok tahun 2016, jumlah sampah yang dikelola sebesar 57,2% dari 1.286 ton/hari melalui pemilahan sampah, pengomposan, dan membuang sisa sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung (Pemkot Depok, 2016). Atas dasar hal tersebut, perlu dilakukan penelitian penyelenggaraan pengelolaan sampah di Kota Depok dengan melakukan analisis daya dukung dan kapasitas tampung sarana dan

Page 90: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 81

prasarana persampahan serta TPA Cipayung Kota Depok. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis pengelolaan sampah, mengetahui daya dukung, dan kapasitas tampung UPS dan TPA Cipayung Kota Depok serta memberikan arahan pengelolaan

sampah di Kota Depok.

B. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Depok Provinsi Jawa Barat, terletak pada koordinat 6018’30”-6028’00” Lintang Selatan dan 1060 42’30”-106055’30” Bujur Timur, dengan luas 20.029 hektar, meliputi 11 kecamatan (Pemkot Depok, 2015). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2017.

Alat yang digunakan untuk mendukung penelitian ini terdiri atas seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Quantum GIS 14, Microsoft Word, Microsoft Excel, dan kamera. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer, yaitu adalah data kondisi TPA, penanganan sampah existing, data pengelolaan bank sampah, serta hasil wawancara dengan narasumber terpilih, dan data sekunder, yaitu Peta RTRW, Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2014, Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2012, data jumlah penduduk, data timbulan sampah, data kondisi TPA, data sarana dan prasarana TPA, data jumlah bank sampah, data sampah dapat dikelola, serta data lokasi

dan kapasitas UPS.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Penanganan Sampah Saat Ini

Analisis penanganan sampah saat ini dilakukan dengan menginput data lokasi dan kapasitas UPS serta data jumlah bank sampah yang terdapat pada setiap kecamatan dengan menggunakan software Quantum GIS. Langkah selanjutnya, membandingkan potensi timbulan sampah organik dengan kapasitas UPS dalam mengolah sampah organik dan potensi timbulan sampah anorganik yang dapat didaurulang dengan kemampuan bank sampah menangani sampah anorganik yang dapat didaurulang didukung data hasil wawancara yang dianalisis dengan

metode kualitatif model data.

2. Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Tampung UPS

Analisis daya dukung dan kapasitas tampung UPS dilakukan dengan menggunakan analisis kesesuaian supply dan demand antara potensi timbulan sampah organik yang dihasilkan oleh setiap kecamatan dengan lokasi dan kapasitas UPS

Page 91: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

82 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang terdapat pada setiap kecamatan di Kota Depok. Hal itu untuk mengetahui ketersediaan prasarana UPS dalam mengelola sampah organik yang dihasilkan oleh warga Kota Depok pada setiap kecamatan.

Tempat Pengolahan Sampah Sementara (TPS) dilakukan analisis perbandingan potensi sampah terolah dan potensi mesin pencacah dengan realisasi pemanfaatan potensi tersebut. Jika potensi yang dimiliki ≤ potensi yang termanfaatkan, dapat disimpulkan TPS memiliki daya dukung lingkungan yang tinggi. Sementara itu, jika potensi yang dimiliki > potensi yang termanfaatkan, dapat disimpulkan TPS memiliki daya dukung rendah. Total kapasitas pengelolaan dibandingkan dengan total jumlah timbulan sampah dengan menghitung selisihnya. Jika selisih antara total kapasitas pengelolaan dan total timbulan sampah ≥ 0 maka dapat diindikasikan bahwa daya dukung TPS belum terlampaui. Sebaliknya, jika selisih antara total kapasitas pengelolaan dan total timbulan sampah ≤ 0 maka dapat diindikasikan

bahwa daya dukung TPS telah terlampaui (Khairunisa, 2011).

3. Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Tampung TPA

Kriteria yang digunakan untuk mengetahui daya dukung dan kapasitas tampung TPA Cipayung adalah penilaian indeks risiko lingkungan TPA, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang menggunakan pendekatan risiko kesehatan, dampak lingkungan, dan kepedulian warga sekitar TPA yang dianalisis dengan menggunakan indeks. Indeks Risiko (Risk Index/RI) dapat digunakan untuk klasifikasi dari tempat penimbunan sampah untuk ditutup atau direhabilitasi. Nilai 0 mengindikasikan tidak atau kurang bahaya, nilai 1 mengindikasikan potensi bahaya

tertinggi (KemenPU, 2013).

4. Analisis Penanganan Sampah Saat Ini

Pengelolaan sampah di Kota Depok merupakan tanggung jawab pemerintah kota yang secara teknis dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) sebagai unsur pelaksana teknis di bawah Wali Kota Depok yang berfungsi sebagai pelaksana pelayanan kebersihan (operator) dan pengatur atau pengendali (regulator) kebersihan. Kepala DLKH menjalankan fungsi sebagai penanggung jawab pengelolaan sampah yang secara teknis beroperasi di bawah koordinasi Bidang Kebersihan, dibantu oleh Koordinator Kecamatan dan staf Bidang Kebersihan. Tingkat layanan pengelolaan sampah oleh DLHK tahun 2016 sebesar 56,22% dari jumlah timbulan sampah sebanyak 1.286 ton/hari. Timbulan sampah

Page 92: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 83

yang tidak dikelola oleh DLHK dikelola secara mandiri oleh masyarakat dan dipilah oleh pengepul atau lapak (Pemkot Depok, 2016).

Persentase komposisi sampah yang paling besar di Kota Depok adalah sampah organik sebanyak 55%, berpeluang untuk didaurulang menjadi kompos. Komposisi sampah lainnya adalah sampah anorganik yang dapat didaurulang sebesar 20%, kain dan tekstil sebesar 8%, karet dan kulit sebesar 2%, dan sampah selain kategori yang ada sebesar 15%. Kategori kain dan tekstil, karet dan kulit, serta sampah lain belum memiliki peluang untuk dikelola sehingga termasuk ke dalam residu yang penanganan akhirnya berupa penimbunan di TPA Cipayung (Pemkot Depok, 2016).

Sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah, diperkuat dengan Peraturan Wali Kota Depok Nomor 46 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan setiap orang untuk mengurangi dan menangani sampah, masyarakat Kota Depok di bawah koordinasi DLHK melakukan partisipasi pengurangan sampah meliputi pembatasan timbulan sampah, pendauranulang sampah, dan atau pemanfaatan kembali sampah. Gerakan memilah sampah disosialisasikan oleh DLHK Kota Depok pada tingkat kelurahan melalui kegiatan kemasyarakatan sehingga dapat dilakukan secara intensif. Sosialisasi kegiatan berupa penanganan sampah mulai dari tingkat rumah tangga, yaitu dengan mengategorikan sampah menjadi tiga jenis dan mewadahi setiap jenisnya pada wadah sampah berbeda.

Sampah organik dikumpulkan dalam wadah ember bertutup yang kemudian ditampung oleh petugas ke dalam ember besar untuk dibawa dan diolah UPS. Sampah anorganik dipilah berdasarkan jenisnya seperti kertas, plastik, logam, dan kaca untuk disetorkan ke bank sampah tingkat RT/RW yang selanjutnya dikirimkan ke Bank Sampah Induk (BSI) atau pengepul. Sampah residu dan B3 dimasukkan ke dalam wadah kantong plastik hitam yang dikumpulkan ke titik kumpul untuk selanjutnya diangkut menuju lokasi TPA.

Bank sampah mendukung program pemerintah dengan memasyarakatkan pemilahan sampah organik dan anorganik serta pemanfaatan barang daur ulang menjadi berbagai kreasi yang memiliki nilai jual sehingga dapat menambah penghasilan warga. Bank sampah diinisiasi oleh sekelompok warga yang memiliki kepedulian serta tanggung jawab untuk mengatasi sampah dan meningkatkan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, bank sampah merupakan kegiatan berbasis masyarakat yang menjadi salah satu solusi untuk mengurangi timbulan sampah yang keberadaannya dipengaruhi oleh penggerak, inisiator, dan kontributor yang bersedia menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjalankan kegiatan bank sampah.

Page 93: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

84 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Sosialisasi bank sampah dilakukan dengan memberikan edukasi pentingnya memilah sampah mulai dari tingkat rumah tangga kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan oleh bank sampah di Kota Depok antara lain menyediakan fasilitas tabungan sampah anorganik, membuat karya dan pelatihan daur ulang dari bahan sisa kemasan, menyelenggarakan pelatihan manajemen bank sampah, serta melakukan pelatihan pengolahan sampah organik dan anorganik untuk skala rumah tangga.

Jumlah bank sampah di Kota Depok sebanyak 484 unit memberikan kontribusi 20% terhadap pengurangan sampah anorganik. Mayoritas rumah tangga di Kota Depok belum melakukan pemilahan sampah. Kecamatan Sukmajaya merupakan kecamatan yang paling banyak memberikan kontribusi pada pengurangan sampah, yaitu sebesar 5% dengan jumlah bank sampah yang beroperasi sebanyak 117 unit, kemudian Cimanggis sebesar 3% dengan jumlah bank sampah sebanyak 67 unit, serta Beji dan Cipayung sebesar 2% dengan jumlah bank sampah sebanyak 60 unit untuk tiap-tiap kecamatan. Kecamatan Limo dan Sawangan merupakan kecamatan yang paling sedikit memberikan kontribusi terhadap pengurangan sampah di Kota Depok, yaitu sebesar 0,35% dengan jumlah bank sampah di kecamatan tersebut sebanyak 10 unit untuk setiap kecamatan.

5. Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Tampung UPS

Pemerintah Kota Depok mencanangkan Unit Pengolahan Sampah (UPS) sebagai program unggulan untuk mengatasi permasalahan sampah organik agar dapat menjadi potensi bagi masyarakat. Sampah merupakan sumber daya dalam bentuk lapangan kerja serta bahan mentah yang dapat diolah menjadi produk bermanfaat dan memiliki nilai jual.

Setiap unit UPS terdiri atas area kantor, gudang, dan tempat pengomposan dengan lahan seluas 700-1000 m2 serta hanggar berukuran sekitar 500 m2 untuk kapasitas pengolahan sampah organik sebanyak 1-3 ton setiap hari. UPS yang terdapat di Kota Depok tersebar secara tidak merata pada setiap kecamatan. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan lahan tempat dibangunnya UPS, bukan berdasarkan jumlah potensi timbulan sampah yang dihasilkan pada setiap kecamatan sehingga terlihat adanya ketimpangan antara ketersediaan UPS dengan potensi timbulan sampah yang dihasilkan pada setiap kecamatan. DLHK mengganggap hal ini bukan masalah karena UPS sebagai fasilitas milik pemerintah kota diharapkan mampu melayani kebutuhan setiap warga lintas kecamatan. Pada kenyataannya UPS yang terdapat pada setiap kecamatan belum mampu melayani kebutuhan pengolahan sampah organik warga setempat.

Page 94: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 85

Berdasarkan analisis kesesuaian antara potensi timbulan sampah organik dan ketersediaan prasarana UPS yang terdapat pada setiap kecamatan di Kota Depok, dapat disimpulkan bahwa daya dukung UPS di Kota Depok masih rendah dengan nilai indeks 0,26. Kemampuan UPS di Kota Depok secara umum telah terlampaui dengan selisih antara kapasitas pengelolaan dan jumlah timbulan sampah organik yang dihasilkan sebanyak -514,98 ton/hari.

Perbandingan antara jumlah potensi timbulan sampah yang dihasilkan warga dengan kapasitas UPS yang tersedia di Kota Depok sangat kecil. Hal ini menyebabkan persentase pengelolaan sampah organik di Kota Depok melalui UPS sangat rendah, yaitu sebesar 3,64% dari sampah organik yang ada. Walaupun demikian, Dewi (2008) menyatakan keberadaan UPS memberikan manfaat positif dalam pengelolaan sampah di Kota Depok, berupa perbaikan dalam pelayanan sampah dan kebersihan lingkungan serta sebagai salah satu sarana edukasi kepada masyarakat tentang manfaat pengolahan sampah. Pengelolaan sampah melalui UPS yang melakukan aktivitas pengolahan sampah secara ekonomis memberikan nilai tambah jika dilakukan perbandingan dengan pengelolaan

sampah konvensional.

6. Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Tampung TPA

Kota Depok memiliki satu unit Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang terletak di Kecamatan Cipayung dengan luas 11,2 ha dan telah beroperasi sekitar 30 tahun. Jumlah sampah yang masuk ke dalam TPA Cipayung sebanyak 600 ton/hari, sesuai kapasitas TPA sebagaimana perencanaan tahun 2008. Pada waktu itu dilakukan perbaikan kondisi TPA dengan dibuatnya tiga kolam penampungan sampah untuk dikelola menggunakan sistem sanitary landfill (Pemkot Depok, 2016).

Pada saat ini ketinggian tumpukan sampah telah melebihi target karena jumlah sampah yang masuk, tidak sebanding dengan luas lahan yang tersedia. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan sampah tidak efektif karena pembuangan sampah yang dilakukan hanya ditumpuk dan dipadatkan sehingga TPA Cipayung tidak layak untuk digunakan. Untuk memberikan rekomendasi kelanjutan kegiatan TPA Cipayung perlu dilakukan evaluasi kualitas lingkungan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2013 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga evaluasi kualitas lingkungan dilakukan dengan menggunakan penilaian indeks risiko lingkungan atau Integrated Risk Based Approach (IRBA).

Page 95: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

86 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Nilai hasil indeks risiko lingkungan TPA Cipayung Kota Depok termasuk dalam kategori 300-600, yaitu 536,975 dengan kriteria evaluasi tingkat bahaya sedang. Tindakan yang disarankan adalah TPA diteruskan dan direhabilitasi menjadi lahan urug terkendali secara bertahap. Dalam alur pilihan aktivitas rehabilitasi TPA berdasarkan nilai indeks risiko, bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah penambangan TPA yang sejalan dengan rencana pengembangan TPA Cipayung. Jika penggunaan TPA Regional Nambo Kabupaten Bogor sudah dapat dilaksanakan, beban TPA Cipayung berkurang sehingga kegiatan penambangan TPA dapat dilakukan. Rencana penambangan dengan menggunakan materi sampah yang masih dapat dimanfaatkan, yaitu materi sampah organik dijadikan kompos, sementara materi sampah anorganik akan dikembangkan menjadi Refuse

Derived Fuel (RDF).

7. Arahan dan Kebijakan Pengelolaan Sampah

Dalam menangani masalah persampahan, dibutuhkan sistem pengelolaan sampah yang menyeluruh dan terpadu, yaitu melibatkan peran seluruh pemangku kepentingan dan membentuk sistem mulai dari hulu (rumah tangga) hingga hilir, yaitu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan pola pikir (mindset) dan kesamaan visi antara pemerintah, swasta, dan warga Kota Depok untuk dapat mewujudkan hal ini. Di sisi lain, kondisi TPA Cipayung dengan kapasitas terbatas menyebabkannya kelebihan kapasitas menjadi peringatan bahwa pengelolaan sampah dengan pola angkut-kumpul-buang tidak relevan dilakukan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, langkah yang dapat dilakukan Pemkot Depok adalah mengoptimalkan program 3R (reuse, reduce, recycle) mulai dari rumah tangga sebagai sumber sampah terbesar agar jumlah sampah yang masuk ke TPA semakin berkurang sehingga diharapkan usia TPA dapat bertambah. Potensi pengurangan sampah dari sumber dapat mencapai 50% dari total sampah yang dihasilkan (Handono, 2010).

Rumah tangga sebagai sumber sampah merupakan komponen awal yang penting dalam pengelolaan sampah, berupa 3R (reduce, reuse, dan recycle). Daur ulang sampah yang dilakukan oleh rumah tangga diawali dengan proses memilah sampah ke dalam tiga kategori, yaitu sampah organik yang dibawa ke UPS untuk diolah menjadi kompos, sampah anorganik yang dapat didaurulang dikelola oleh masyarakat melalui bank sampah, dan residu dikumpulkan dititik kumpul untuk dibawa oleh petugas kebersihan ke TPA Cipayung. Pemilahan sampah merupakan langkah utama dan krusial yang perlu dilakukan oleh rumah tangga karena menentukan proses pengelolaan menjadi berbagai inovasi dan kreasi.

Page 96: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 87

Peran pemerintah sebagai regulator dan service provider dalam pengelolaan sampah memiliki hubungan atau keterkaitan. Hubungan tersebut adalah peran pemerintah sebagai service provider yang melaksanakan kegiatan sebagaimana diatur dalam regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai regulator. Program pemerintah dalam pengelolaan sampah salah satunya adalah memberikan pelayanan pengelolaan sampah. Pelayanan dalam pengelolaan sampah merupakan penjabaran dari kebijakan yang telah dirumuskan pemerintah dalam pengelolaan sampah (Jati, 2013).

Sebagian warga Kota Depok telah berpartisipasi dalam melakukan pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga dan tingkat komunal (lingkungan). Di sisi lain, luas lahan Kota Depok yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang besar, mengakibatkan pembangunan infrastruktur kebersihan perlu diperhatikan secara tepat. Hal ini menjadi indikasi bahwa pengelolaan sampah dapat berjalan efektif dan efisien dengan berbasis masyarakat. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat diaplikasikan dengan menggunakan tiga tingkat, yaitu tingkat rumah tangga, komunal, dan kota.

Pengelolaan sampah pada tingkat rumah tangga dalam bentuk pelaksanaan 3R dengan melakukan daur ulang berupa pemilahan sampah ke dalam tiga kategori. Setelah dilakukan pemilahan, berlanjut pada tahap pengelolaan di tingkat komunal yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana sesuai kategori sampah untuk dikelola berdasarkan sifatnya. Pengelolaan sampah anorganik yang dapat didaur ulang melalui bank sampah, sampah organik dikelola melalui UPS dan urban farming dengan membudidayakan maggot yang disediakan pada setiap kelurahan, residu dikelola menjadi energi dengan ketersediaan sarana prasarana pada tingkat komunal di setiap kelurahan. Pada tingkat kota, disediakan fasilitas UPS kapasitas kota serta TPA Cipayung yang dikelola dengan cara sanitary landfill sehingga kebersihan dan kesehatan lingkungan terjaga.

Pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat berlandaskan peraturan perundangan yang berlaku dengan memenuhi kebutuhan prasarana pendukung merupakan kunci keberhasilan pengelolaan sampah secara berkelanjutan di Kota Depok. Perencanaan ini baru dapat terlaksana apabila pemerintah Kota Depok selaku penanggung jawab sekaligus pelayan dan regulator dalam pengelolaan perkotaan memberikan perhatian khusus dan prioritas serta mengerahkan segala sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pengelolaan sampah perkotaan. Hal ini menunjukkan peran strategis pemerintah Kota Depok sebagai penentu keberhasilan pengelolaan sampah berwawasan

lingkungan.

Page 97: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

88 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

1. Pemerintah Kota Depok telah memberikan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dengan tingkat pelayanan sebesar 56,22% dari timbulan sampah sebanyak 1.286 ton/hari.

2. Pemerintah Kota Depok melakukan upaya pelibatan warga untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah dengan berkembangnya Bank Sampah sebanyak 484 unit yang dapat mengurangi 20% potensi timbulan sampah anorganik dan uji coba budi daya maggot.

3. Untuk mengelola sampah organik, pemerintah Kota Depok membangun Unit Pengelolaan Sampah (UPS) sebanyak 46unit yang tersebar di seluruh kecamatan. Kemampuan UPS dalam membantu mereduksi sampah organik sebesar 3,64%. Daya dukung UPS masih rendah dengan nilai indeks daya dukung sebesar 0,26 dan kapasitas pengelolaan terlampaui, dengan selisih antara kapasitas pengelolaan dan jumlah timbulan sampah sebanyak -514,98 ton/hari.

4. Pemerintah Kota Depok memiliki satu unit Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung dengan luas 11,2 ha dan telah beroperasi selama 30 tahun dengan kondisi kapasitas maksimal. Hasil penilaian evaluasi kualitas lingkungan melalui penilaian indeks risiko lingkungan atau Integrated Risk Based Approach (IRBA) sebesar 536,93 dengan kategori evaluasi bahaya sedang.

5. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat dalam bentuk 3R pada tiga tingkatan, yaitu di tingkat rumah tangga, komunal, dan kota perlu dilengkapi oleh kelengkapan prasarana dan didukung oleh regulasi persampahan dengan dibentuknya kelembagaan masyarakat di tingkat komunal.

Page 98: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PEMERATAAN SEBAGAI ARAHAN RENCANA DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN CIANJUR

Nama : Ganjar Priadi

Instansi : Pemkab Cianjur

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan

Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 99: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

90 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kabupaten Cianjur sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata provinsi (low growth). Pemerintah daerah bekerja keras memacu pertumbuhan ekonomi dengan pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar. Upaya tersebut membuahkan hasil yang ditandai dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi (LPE), bahkan di tahun 2015 dan 2016 mampu tumbuh di atas rata-rata provinsi.

Momentum membaiknya pertumbuhan ekonomi seharusnya dapat diarahkan untuk memperkecil atau menghilangkan ketimpangan yang ada, baik ketimpangan antargolongan pendapatan penduduk maupun ketimpangan antarwilayah. Kondisi yang terjadi justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Gini rasio ketimpangan antargolongan pendapatan penduduk semakin melebar, dan mengalami kenaikan signifikan antara tahun 2015 dan 2016, yakni dari 0.28 menjadi 0.36. Kondisi yang sama diduga akan terjadi pula pada ketimpangan antarwilayah. Padahal ketimpangan pembangunan antarwilayah merupakan isu yang terus berkembang sejak lama dan menjadi salah satu alasan dari wacana pembentukan daerah otonom baru Cianjur selatan. Kebijakan pemerataan pembangunan wilayah telah dibuat pemerintah daerah pada implementasinya terkesan stagnan dengan pencapaian hasil yang tidak terukur. Diperlukan penelitian bagaimana pemerataan sebagai indikator utama dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur untuk dijadikan bahan arahan rencana dan strategi dalam menyempurnakan kebijakan dan program pembangunan.

Penelitian ini bertujuan (a) Menganalisis tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur; (b) Menganalisis pemerataan pembangunan di Kabupaten Cianjur; (c) Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan di Kabupaten Cianjur; dan (d) Merumuskan arahan rencana dan strategi pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur. Tingkat perkembangan wilayah dianalisis menggunakan metode Skalogram dimodifikasi. Kondisi pemerataan pembangunan dianalisis menggunakan metode indeks Theil entropy. Metode regresi data panel statis digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan. Arahan rencana dan strategi pembangunan wilayah sebagai implikasi kebijakan disusun secara deskriptif.

Perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur ditandai dengan peningkatan nilai rataan IPK dari 41.8 (2003) menjadi 45.9 (2014) dan jumlah kecamatan yang memiliki hierarki I dari 4 kecamatan (2003) menjadi 5 kecamatan (2014). Sebagian besar kecamatan memiliki hierarki III dengan rata-rata sebanyak 61.67%. Sedangkan kecamatan dengan hierarki I memiliki jumlah paling sedikit rata-rata hanya 12.83%.

Page 100: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 91

Hingga kondisi tahun terkini (2014) masih terdapat 11 kecamatan yang difungsikan sebagai pusat pertumbuhan wilayah, tetapi masih memiliki hierarki III.

Kondisi pemerataan pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur menunjukkan penurunan. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah dari 0.0286 (2003) menjadi 0.0512 (2014). Sumber utama ketimpangan pada setiap titik tahun analisis adalah ketimpangan pembangunan antarkecamatan dalam wilayah pengembangan (WP). Rata-rata ketimpangan dalam WP menyumbang 80.07% terhadap jumlah keseluruhan ketimpangan. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan menunjukkan variabel persentase rumah tangga pengguna listrik memiliki nilai elastisitas terbesar, yakni 0.9498. Sementara itu, variabel kepadatan penduduk memiliki nilai elastisitas sebesar 0.2905, dan variabel jumlah keluarga miskin memiliki nilai elastisitas sebesar -0.3745. Arah kebijakan utama pembangunan wilayah difokuskan pada mewujudkan pemerataan pembangunan antarwilayah dengan strategi-strategi sebagai berikut (i) Pengembangan pusat pertumbuhan wilayah; (ii) Penurunan ketimpangan pembangunan antarwilayah; (iii) Peningkatan ketersediaan infrastruktur listrik; dan (iv) Percepatan pengentasan kemiskinan.

Kata kunci: Pemerataan, Perkembangan Wilayah, Pembangunan Wilayah

Page 101: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

92 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

Cianjur regency was one of the regencies in West Java Province has low economic growth category in provincial average. Local governments are working hard to spur economic growth with the development of sectors and economic activities that are able to absorb more workforce. These efforts are successful which is marked by increasing rate of economic growth, in 2015 and 2016 are able to grow in average province. Economic growth should eliminate disparities in population income and regional development. Situations that occur show different things. Gini ratio of inequality between population income is increasing, and has risen significantly between 2015 and 2016 from 0.28 to 0.36. Same condition is suspected to occur also inequality between regions. Problems of inequality of regional development is an issue that has been growing for a long time, and cause of the discourse of the formation of new autonomous regions of southern Cianjur. Policies of development equity that have been made by local governments in their implementation appear stagnant with the achievement of unmeasured results. Necessary to research how equity as the main indicator in regional development in Cianjur regency to be used as the direction of plans and strategies in improving development policies and programs.

This study was aimed to (a) analyze level of regional growth in Cianjur regency; (b) analyze equalization of development in Cianjur regency; (c) determine factors affecting development in Cianjur regency; and (d) formulate direction of regional development plans and strategies Cianjur regency. Level of regional development was analyzed using a modified scalogram method. Equity of development was analyzed using Theil entropy index method. Static data panel regression method is used to analyze factors that influence development. Direction of regional development plans and strategies as policy implications conducted by descriptive analysis.

Regional growth in Cianjur regency was marked by increasing average score of regional growth index from 41.8 (2003) to 45.9 (2014) and number of sub-districts having hierarchy I from 4 sub-districts (2003) to 5 sub-districts (2014). Majority of sub-districts have a low rate of development (hierarchy III) with an average of 61.67%. Only a few districts have a hierarchy I, with an average of 12.83%. Current condition (2014), there are 11 sub-districts as growth pole have a hierarchy III. Equity of regional development in Cianjur regency showed a decline. This is caused by increased inequality of regional development from 0.0286 (2003) to 0.0512 (2014). Main source of inequality in each years is inequality of development among sub-districts in the development areas, an average of 80.07% of total inequality. Result of estimation of factors influencing regional development in Cianjur regency shows percentage of household electrical users has biggest elasticity value that is 0.9498. Population density variable has a value of elasticity of 0.2905, and variable number of poor families has an elasticity of -0.3745. Main policy directions of regional

Page 102: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 93

development are focused on realizing equitable regional development with following strategies (i) developing growth pole strategy, (III) declining inequality of inter-regional development strategy, (iii) increasing availability of electricity infrastructure strategy, and (iv) acceleration of poverty alleviation strategy.

Keywords: Equity, Regional Growth, Regional Development

Page 103: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

94 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PEMERATAAN SEBAGAI ARAHAN RENCANA DAN STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN CIANJUR

A. Latar Belakang

Dalam upaya mengurangi ketimpangan intra dan antarnegara sesuai agenda sustainable development goals (SDGs), pendekatan pemerataan mendapat perhatian negara-negara di dunia sebagai prinsip penuntun pembangunan masa depan yang berkeadilan dan berkelanjutan (Herath, 2017). Pemerataan tidak menyiratkan pembangunan yang sama untuk semua daerah, melainkan pemanfaatan potensi tiap-tiap daerah sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi penduduk seluruh wilayah (Arsovska, 2017). Meskipun berasal dari perspektif berbeda, agenda pembangunan nasional memiliki konvergensi dengan agenda SDGs. Hal ini terlihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 yang menggariskan dimensi pemerataan dan kewilayahan sebagai salah satu strategi pembangunan nasional.

Pemerintah daerah telah memberikan perhatian terhadap pemerataan pembangunan sebagaimana tercantum dalam arah pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) tahun 2005-2025. Namun, pada implementasinya upaya pemerataan pembangunan seringkali terlewatkan dan terkesan stagnan dengan hasil pencapaian yang tidak terukur. Oleh karena itu, penelitian ini membahas bagaimana pemerataan sebagai indikator utama dalam kinerja pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur untuk dijadikan bahan arahan rencana dan strategi dalam menyempurnakan kebijakan dan program pembangunan.

Pengukuran kinerja pembangunan wilayah pada berbagai studi menggunakan istilah yang berbeda-beda, namun pada dasarnya memiliki tujuan sama, yaitu melihat perbedaan antarwilayah serta melakukan pemeringkatan antarwilayah untuk melihat kemajuan suatu wilayah relatif terhadap wilayah lainnya (BPS, 2010). Menurut Bappeda (2011) perbedaan perkembangan antarwilayah di Kabupaten Cianjur, justru menimbulkan permasalahan terutama masalah ketimpangan pembangunan antarwilayah. Wilayah pengembangan (WP) utara yang memiliki lokasi strategis yang berada pada lintasan antara-ibu kota negara dan ibu kota provinsi serta jalur pariwisata Puncak memberikan dampak positif terhadap kegiatan perekonomian masyarakat sehingga sebagian besar kecamatannya berkembang dengan baik. Kondisi berbeda dirasakan di wilayah tengah dan selatan, sebagian besar kecamatannya belum berkembang optimal. Wilayah tengah dan selatan merupakan daerah-daerah yang lebih banyak mengandalkan sektor berbasis sumber daya alam seperti pertanian dan perkebunan. Sektor lain seperti industri dan pariwisata belum begitu berkembang di daerah ini.

Page 104: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 95

Permasalahan lain timbul ketika kebijakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membuka lapangan kerja secara lebih besar, melalui pendirian industri di beberapa kecamatan dilakukan dengan kurang memperhatikan aspek pemerataan. Data BPS Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa lokasi industri dengan golongan besar dan sedang sebagian besar (77.8%) berada di wilayah utara. Kebijakan pembukaan industri dalam pertumbuhan ekonomi dengan tidak memperhatikan aspek pemerataan akan memperlebar ketimpangan yang ada karena antara proses industrialisasi dan ketimpangan saling berkaitan (Andersson and Klinthäll, 2015). Selain itu, pembangunan infrastruktur dan kelembagaan oleh pemerintah maupun swasta cenderung terkonsentrasi di daerah maju.

Sejalan dengan agenda pembangunan daerah baik jangka panjang maupun jangka menengah, perhatian utama kinerja pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur adalah analisis kinerja berdasarkan aspek pemerataan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana kondisi tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur, mengkaji bagaimana pemerataan pembangunan di Kabupaten Cianjur, sekaligus mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan di Kabupaten Cianjur. Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan rencana dan strategi

dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur.

B. Metodologi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat dengan letak geografis berada pada koordinat 106042’-107025’ Bujur Timur dan 602’-7025’ Lintang Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data jumlah dan jenis fasilitas umum (fasilitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial) serta aksesibilitasnya dalam Potensi Desa (Podes), data jumlah penduduk, data kepadatan penduduk, dan data persentase keluarga pengguna listrik bersumber dari BPS, data jumlah keluarga miskin dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), data produktivitas padi dari Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, serta Peta Administrasi Kabupaten Cianjur dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Cianjur.

Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data-data sekunder berupa data jumlah dan jenis fasilitas umum (fasilitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial) dan jarak menuju fasilitas umum, data jumlah penduduk, data kepadatan penduduk, data persentase keluarga pengguna listrik, data jumlah keluarga miskin, serta Peta Administrasi Kabupaten Cianjur diperoleh melalui studi pustaka dan permohonan kepada instansi terkait di antaranya BPS, TNP2K, Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Cianjur.

Page 105: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

96 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penelitian ini menggunakan metode Skalogram dimodifikasi untuk menggambarkan tingkat perkembangan wilayah, metode indeks Theil entropy untuk mengetahui pemerataan pembangunan, metode regresi data panel statis untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan dan metode deskriptif untuk menyusun

arahan rencana dan strategi pembangunan wilayah.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Tingkat Perkembangan Wilayah di Kabupaten Cianjur

Tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur dianalisis berdasarkan indikator sumber daya buatan atau sarana prasarana wilayah, yaitu jumlah dan jenis fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial serta aksesibilitasnya di tiap-tiap kecamatan dengan menggunakan metode Skalogram dimodifikasi. Perbandingan lima titik tahun analisis diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi sebelum dan sesudah terjadinya pemekaran wilayah di beberapa kecamatan hingga kondisi terkini.

Indikator tingkat perkembangan wilayah yang ada memperlihatkan beberapa indikasi. Perbedaan nilai IPK dan hierarki antarkecamatan mengindikasikan adanya keragaman tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur. Beberapa kecamatan memiliki jumlah fasilitas umum yang berkembang, namun masih banyak pula kecamatan yang belum berkembang.

Dalam kurun waktu tahun 2003 hingga 2014 nilai IPK dan hierarki wilayah pada tiap-tiap kecamatan juga mengalami fluktuasi. Kondisi ini mengindikasikan adanya perubahan jumlah dan jenis fasilitas wilayah yang dimiliki setiap kecamatan pada setiap tahunnya baik bertambah ataupun tidak bertambah. Sesuai dengan Rahman (2009) yang menyatakan kenaikan IPK disebabkan oleh penambahan jumlah dan jenis fasilitas sehingga indeks perkembangannya menjadi meningkat, dan pada tingkat yang tinggi dapat disertai dengan peningkatan hierarki. Sedangkan, penurunan IPK dan hierarki disebabkan oleh tidak terjadinya penambahan jumlah dan jenis fasilitas pada wilayah tersebut atau walaupun terjadi penambahan jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penambahan jumlah maupun jenis fasilitas di wilayah lain. Selain itu, penurunan IPK juga terjadi apabila jumlah fasilitas tidak bertambah sementara jumlah penduduk terus bertambah. Hal ini terjadi karena pada analisis Skalogram kapasitas pelayanan dihitung perseribu penduduk.

Terdapat perbedaan nilai signifikan antara nilai IPK tertinggi dan IPK terendah. Rata-rata pada setiap tahunnya nilai IPK tertinggi lebih besar 349.9% dari nilai IPK

Page 106: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 97

terendah. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan perkembangan wilayah antarkecamatan di Kabupaten Cianjur. Merujuk pada pergeseran perkembangan wilayah yang dikemukakan oleh Pravitasari (2009) dengan penyesuaian, tiap-tiap kecamatan dapat diklasifikasikan berdasarkan pergeseran tingkat perkembangannya antara kondisi awal dan kondisi terkini. Diketahui bahwa terdapat 14 kecamatan (43.8%) tidak mengalami pergeseran tingkat perkembangan wilayah dan tetap memiliki hierarki III. Sementara yang konsisten memiliki hierarki I (kategori 1) sebanyak 9.4%. Hanya terdapat 1 kecamatan (3.1%) yang mengalami kenaikan dari sedang mejadi baik, yaitu Kecamatan Campakamulya dan 1 kecamatan (3.1%) yang mengalami kenaikan dari rendah menjadi baik, yaitu Kecamatan Cijati.

Adanya pemekaran wilayah beberapa kecamatan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan wilayah, baik bagi kecamatan induk maupun kecamatan pemekaran. Dari jumlah keseluruhan 8 kecamatan induk dan 8 kecamatan pemekaran, sebanyak 8 kecamatan (50%) tidak mengalami pergeseran tingkat perkembangan wilayah, yakni tetap berhierarki III. Hanya terdapat 1 kecamatan yang mengalami pergeseran dari hierarki II menjadi hierarki I, yaitu Kecamatan Campakamulya dan 1 kecamatan yang mengalami pergeseran dari hierarki III menjadi hierarki I, yaitu Kecamatan Cijati. Hal ini mengindikasikan bahwa pemekaran kecamatan yang dilakukan di Kabupaten Cianjur hanya membagi wilayah secara administratif menjadi daerah otonom baru tanpa dikuti dengan pembangunan sarana prasarana wilayah pendukungnya yang signifikan. Strategi pemekaran wilayah belum efektif dalam upaya meningkatkan perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur. Sesuai dengan Harmantyo (2007) yang menyebutkan dari survei lembaga penelitian lebih dari 80% daerah pemekaran belum memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat, di sisi lain pemekaran daerah justru menimbulkan konflik keruangan seperti perebutan garis batas wilayah.

Dinamika perkembangan wilayah pada tiap-tiap kecamatan dapat mencerminkan tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Cianjur secara keseluruhan. Selama periode tahun 2003 hingga 2014 Kabupaten Cianjur dapat dikatakan mengalami peningkatan dalam perkembangan wilayah baik dari indikator nilai rataan IPK maupun jumlah hierarki I. Namun, dilihat dari besarnya perubahan, selama sebelas tahun Kabupaten Cianjur dapat dikatakan lambat dalam memajukan wilayahnya. Tidak ada penambahan signifikan baik dari nilai IPK maupun hierarki. Rataan IPK hanya naik sebesar 10%, sementara jumlah kecamatan berhierarki I hanya bertambah 1 kecamatan. Selain itu, di Kabupaten Cianjur masih didominasi oleh kecamatan dengan hierarki III (tingkat perkembangan rendah) dengan rata-rata sebanyak 61.67%. Sedangkan, kecamatan dengan tingkat perkembangan

Page 107: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

98 Direktori Mini Tesis-Disertasi

tinggi (hierarki I) memiliki jumlah paling sedikit rata-rata hanya 12.83%. Hal tersebut menjadi indikator lambatnya perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur dan termasuk dalam kategori daerah “tertinggal” apabila dibandingkan dengan kabupaten atau kota lainnya di Provinsi Jawa Barat.

Pada daerah yang masih berkembang perhatian pemerintah dalam pembangunan lebih dominan, sementara peran swasta belum begitu dominan. Faktor keuangan merupakan faktor utama sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan roda pemerintahan dan pembangunan daerah (Hertanto dan Srinaya, 2011). Arah belanja pemerintah daerah dapat memberikan gambaran alokasi anggaran untuk melaksanakan program atau kegiatan dan pembiayaan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta pembangunan diberbagai sektor termasuk mendanai penyelenggaraan layanan publik. Lambatnya perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur tentu tidak terlepas dari rasio pengeluaran belanja daerah yang sebagian besar dialokasikan untuk belanja rutin berupa belanja pegawai baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan, alokasi belanja pembangunan daerah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni belanja modal dan belanja barang dan jasa cukup rendah.

Dilihat dari jumlah belanja daerah Kabupaten Cianjur tahun 2014 sebesar 2.73 triliun rupiah, lebih dari setengahnya (1.39 triliun rupiah) dialokasikan untuk belanja pegawai baik langsung maupun tidak langsung. Sementara, alokasi untuk belanja modal hanya sebesar 499.89 miliar rupiah dan belanja barang dan jasa sebesar 520.21 miliar rupiah. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan alokasi belanja daerahnya dengan cara meningkatkan proporsi belanja modal karena belanja modal berperan penting dalam pembangunan infrastruktur

daerah (Nugraheni dan Priyarsono, 2012).

2. Pemerataan Pembangunan di Kabupaten Cianjur

Dalam penelitian ini, ketimpangan pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur diukur melalui indikator proporsi jumlah penduduk terhadap fasilitas umum dalam hal ini tercermin dari nilai IPK pada tiap-tiap kecamatan dengan lima titik tahun analisis, yaitu tahun 2003, 2006, 2008, 2011, dan 2014. Untuk mengukur tingkat ketimpangan serta mendekomposisikannya ke dalam ketimpangan antar WP dan antarkecamatan di dalam WP metode yang digunakan adalah indeks Theil entropy.

Nilai ketimpangan keseluruhan sebesar 0.0286 di tahun 2003 naik 79.02% menjadi 0.0512 di tahun 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi pembangunan fasilitas umum antarkecamatan yang belum merata atau hanya terkonsentrasi

Page 108: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 99

di beberapa kecamatan. Angka negatif (-) pada tabel hasil analisis menunjukkan suatu wilayah memiliki kontribusi terhadap pengurangan ketimpangan, sedangkan angka positif (+) menunjukkan suatu wilayah berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan. Perlu menjadi perhatian adalah selama tiga tahun terakhir Kecamatan Campakamulya memiliki kontribusi paling tinggi terhadap keseluruhan ketimpangan pembangunan di Kabupaten Cianjur. Sementara itu, Kecamatan Karang Tengah berkontribusi besar terhadap pengurangan ketimpangan pembangunan di Kabupaten Cianjur.

Ringkasan hasil dekomposisi indeks Theil entropy memperlihatkan bahwa sumber utama ketimpangan pada setiap titik tahun analisis adalah ketimpangan pembangunan antarkecamatan dalam WP. Selama kurun waktu 2003-2014 rata-rata ketimpangan dalam WP menyumbang 80.07% terhadap jumlah keseluruhan ketimpangan. Meskipun berfluktuasi persentase ketimpangan dalam WP cenderung menurun, yaitu dari 95.16% tahun 2003 menjadi 63.45% tahun 2014. Nilai tertinggi sumber utama ketimpangan pada tahun 2003 berasal dari WP Utara. Setelah itu, dari tahun 2006 hingga 2014 nilai tertinggi sumber utama ketimpangan selalu berasal dari WP Tengah. Hal ini juga mengindikasikan bahwa perkembangan wilayah yang cukup signifikan di WP Utara menyebabkan backwash effect yang lebih besar bagi wilayah lainnya dibandingkan dengan spread effect.

Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan dalam perbaikan pemerataan pembangunan. WP Utara memiliki tingkat ketimpangan dengan pola perkembangan yang terus menurun pada setiap tahunnya yaitu dari 0.0386 di tahun 2003 menjadi -0.0445 di tahun 2014. Hal ini bermakna semakin meratanya pembangunan antarkecamatan di WP Utara sehingga berkontribusi terhadap pengurangan ketimpangan wilayah di Kabupaten Cianjur. Kondisi berbeda terjadi pada WP Tengah dan WP Selatan yang memiliki pola perkembangan cenderung meningkat atau berkontribusi terhadap peningkatan ketimpangan wilayah di Kabupaten Cianjur. Pada WP Tengah jumlah ketimpangan sebesar -0.0048 tahun 2003 naik menjadi 0.0775 tahun 2014. Sementara di WP Selatan dari - 0.0052 tahun 2003 naik menjadi 0.0183 tahun 2014. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan di WP Tengah dan WP Selatan masih belum merata atau terkonsentrasi di beberapa kecamatan sehingga berkontribusi terhadap

peningkatan jumlah keseluruhan ketimpangan wilayah di Kabupaten Cianjur.

3. Arahan Rencana dan Strategi Pembangunan Wilayah

Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan berbagai hal yang berkaitan dengan implikasi kebijakan penting dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur. Dalam periode 2003-2014 tingkat perkembangan wilayah Kabupaten

Page 109: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

100 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Cianjur secara keseluruhan masih lambat dan didominasi oleh banyak kecamatan dengan hierarki III. Perbedaan tingkat perkembangan wilayah antarkecamatan dan antar-WP menunjukkan adanya ketimpangan dalam ketersediaan fasilitas umum di Kabupaten Cianjur. Difungsikannya beberapa kecamatan sebagai pusat pertumbuhan wilayah nyata belum memiliki cukup sarana prasarana wilayah yang merupakan ketentuan prasarana dan sarana minimum.

Kondisi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Kabupaten Cianjur cenderung semakin melebar. Sebagian besar kontribusi terhadap ketimpangan berasal dari ketimpangan antarkecamatan dalam WP terutama di WP Tengah. Selain itu, pembangunan di Kabupaten Cianjur secara signifikan dipengaruhi oleh faktor persentase rumah tangga pengguna listrik dan kepadatan penduduk dengan koefien positif, serta faktor jumlah keluarga miskin dengan koefisien negatif. Hal tersebut dapat menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan yang tepat dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan antarwilayah di Kabupaten Cianjur.

Mengacu pada misi RPJMN 2015-2019, mewujudkan pemerataan pembangunan dilakukan di antaranya dengan meningkatkan pembangunan daerah, mengurangi ketimpangan sosial secara menyeluruh dengan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah atau daerah yang masih lemah, menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis, menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi.

Pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah telah diamanatkan dalam Peraturan Daerah nomor 17 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2011-2031, yakni dalam melaksanakan kebijakan penataan ruang wilayah harus berorientasi meminimalisasi ketimpangan dengan pemantapan prasarana di wilayah utara dan pengembangan prasarana pada wilayah tengah dan selatan untuk mendorong perkembangan struktur ruang wilayah. Oleh karena itu, arah kebijakan utama pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur harus difokuskan pada mewujudkan pemerataan pembangunan antarwilayah dengan mempertimbangkan kondisi faktual. Untuk mewujudkan arah kebijakan pembangunan wilayah tersebut

ditempuh strategi-strategi sebagai berikut:

4. Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Wilayah

Mendorong percepatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan wilayah sebagai penggerak utama perkembangan wilayah, diharapkan mampu memotivasi dan membangkitkan pertumbuhan wilayah itu sendiri dan wilayah sekitarnya

Page 110: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 101

(hinterland). Adanya keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah daerah maka tidak semua wilayah dapat dikembangkan pada saat yang bersamaan. Perlu dipilih pusat-pusat pertumbuhan yang mempunyai komoditas prospektif (nilai tambah tinggi dan menciptakan kesempatan kerja tinggi), terutama yang berada di WP masing-masing.

Kecamatan yang difungsikan sebagai pusat pertumbuhan dan masih memiliki tingkat perkembangan rendah layak menjadi prioritas seperti Kecamatan Sindangbarang, Sukanagara, Warungkondang, Pagelaran, Cidaun, Cikalong Kulon, Bojongpicung, Takokak, Cibinong, Naringgul, dan Agrabinta. Untuk menjaga perkembangan wilayah yang sudah baik pada pusat-pusat pertumbuhan lainnya perlu dilakukan peningkatan peran dan fungsi sekaligus perbaikan manajemen

pembangunan yang sudah ada dengan skala yang lebih luas.

5. Strategi Penurunan Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah

Salah satu kelemahan dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur terlihat dari belum terselesaikannya persoalan ketimpangan baik antarkecamatan maupun antar-WP. Hal ini tercermin salah satunya dari ketimpangan indeks perkembangan kecamatan yang selama sebelas tahun (2003-2014) terus mengalami peningkatan. Untuk menghindari terjadinya ketimpangan yang semakin melebar baik antar-WP maupun antarkecamatan dalam WP, harus menetapkan sasaran pembangunan daerah yang tertinggal agar dapat terentaskan dengan target capaian yang terukur pada setiap tahunnya. Mengacu pada RPJMN 2015-2019, indikator kinerja daerah dalam RPJMD harus mencantumkan sasaran pembangunan kewilayahan dan antarwilayah dengan indikator pemerataan pembangunan antarwilayah. Strategi ini juga diharapkan dapat mengurangi urbanisasi yang berdampak terhadap konsentrasi atau kepadatan penduduk. Menurut Sudarya et al. (2013) penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang relatif terbaik untuk komunitasnya sehingga wilayah dengan fasilitas umum terlengkap memiliki kecenderungan lebih berkembang

daripada wilayah sekitarnya.

6. Strategi Peningkatan Ketersediaan Infrastruktur Listrik

Mengingat rasio elektrifikasi (RE) di Kabupaten Cianjur sampai dengan tahun 2015 baru mencapai 82.74%, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan penyediaan dan perluasan cakupan wilayah transmisi listrik. Penyediaan listrik untuk daerah-daerah terpencil dengan energi surya dan energi terbarukan lainnya, sebagaimana yang telah direncanakan dalam dokumen RTRW perlu segera direalisasikan.

Page 111: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

102 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kecamatan Cikadu, Pagelaran, Sindangbarang, Naringgul, dan Cidaun. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di Kecamatan Karangtengah, Bojongpicung, Campakamulya,

Takokak, Pagelaran, Cibinong, Cijati, Kadupandak, Leles, dan Cidaun.

7. Strategi Percepatan Pengentasan Kemiskinan

Efek negatif kemiskinan terhadap pembangunan perlu segera ditanggulangi. Strategi percepatan pengentasan kemiskinan diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten Cianjur. Upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten Cianjur harus dilakukan dengan optimal agar sesuai dengan target RPJMN 2015-2019. Sasaran pengurangan tingkat kemiskinan di Pulau Jawa dalam RPJMN 2015-2019 adalah 8.9%-6.3%, sedangkan pada tahun 2015 tingkat kemiskinan di Kabupaten Cianjur masih sebesar 11.91%. Diperlukan upaya konsisten untuk menurunkan tingkat kemiskinan untuk mengejar target nasional. Selama kurun waktu 2015-2019 Kabupaten Cianjur harus menurunkan persentase penduduk miskin minimal sebesar 3.01 poin persentase atau 0.6 poin persentase pertahun.

Adapun strategi pengurangan dan penanggulangan kemiskinan mencakup hal-hal berikut (i) Meningkatkan akses usaha mikro dan kecil untuk mengembangkan keterampilan, pendampingan, modal usaha, dan pengembangan teknologi; (ii) Meningkatkan penjangkauan pelayanan dasar bagi penduduk kurang mampu dan rentan; (iii) Penguatan kelembagaan dan koordinasi serta menciptakan kemitraan baru untuk pengentasan kemiskinan dengan memobilisasi perusahaan, kelompok social, dan individu secara penuh untuk berpartisipasi dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan (Liu et al. 2015). Merevitalisasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dapat mendukung upaya percepatan

pengentasan kemiskinan.

D. Kesimpulan

Perkembangan wilayah di Kabupaten Cianjur secara keseluruhan mengalami peningkatan, namun masih didominasi oleh kecamatan dengan hierarki III (tingkat perkembangan rendah). Sebagian besar kecamatan yang dialokasikan sebagai pusat pertumbuhan wilayah masih memiliki hierarki III. Tingkat perkembangan wilayah yang menunjukkan ke arah positif berada di WP Tengah. Pemekaran wilayah pada beberapa kecamatan tidak berpengaruh signifikan untuk meningkatkan perkembangan wilayah baik bagi kecamatan induk maupun kecamatan pemekaran.

Page 112: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 103

Kondisi pemerataan pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur cenderung menurun seiring semakin meningkatnya nilai ketimpangan. Sumber utama ketimpangan di Kabupaten Cianjur adalah ketimpangan pembangunan antarkecamatan dalam WP. Pembangunan di Kabupaten Cianjur secara signifikan dipengaruhi oleh faktor persentase rumah tangga pengguna listrik, kepadatan penduduk, dan jumlah keluarga miskin. Arah kebijakan utama pembangunan wilayah di Kabupaten Cianjur difokuskan pada mewujudkan pemerataan pembangunan antarwilayah dengan mempertimbangkan kondisi faktual melalui strategi percepatan pemenuhan standar pelayanan minimal, pengembangan pusat pertumbuhan wilayah, penurunan ketimpangan pembangunan antarwilayah, peningkatan ketersediaan infrastruktur listrik, dan percepatan pengentasan kemiskinan.

Page 113: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

104 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 114: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG BERBASIS DAYA DUKUNG LAHANDI KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMUR

Nama : Iman Sadesmesli

Instansi : Badan Informasi Geospasial

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 115: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

106 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Lahan sebagai bagian dari ruang memiliki daya dukung terbatas. Lahan harus diarahkan untuk dimanfaatkan sesuai dengan kemampuannya. Penggunaan lahan yang kurang tepat akan menyebabkan terjadinya degradasi (kerusakan) sehingga memerlukan biaya tinggi untuk memperbaikinya, atau bahkan terjadi degradasi yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi (irreversible). Oleh karena itu, pemanfaatan lahan perlu dijaga dan diarahkan sesuai daya dukung dan kemampuannya.

Kabupaten Blitar memiliki aktivitas perekonomian yang masih berbasis pada sektor primer. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang 35% nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Luas lahan pertanian Kabupaten Blitar mencakup 71.6% dari luas wilayah, namun peningkatan aktivitas perekonomian dan pertambahan jumlah penduduk telah memberikan tekanan yang tinggi terhadap lahan termasuk lahan pertanian. Lahan pertanian mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Konversi lahan yang terjadi harus diimbangi dengan pembukaan lahan pertanian baru untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan. Pembukaan lahan pertanian baru pada umumnya akan mengkonversi lahan suboptimal yang memiliki daya dukung rendah dan berisiko mengalami kerusakan. Perubahan penggunaan lahan pada lahan suboptimal ini akan melebihi potensinya sehingga lahan menjadi tidak sesuai dengan daya dukung, yang akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan. Oleh karena itu, perlu disusun arahan pemanfaatan ruang yang disesuaikan dengan daya dukung lahannya.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan memetakkan penggunaan lahan aktual di Kabupaten Blitar; (2) mengevaluasi kemampuan lahan; (3) mengevaluasi daya dukung lahan berdasarkan (a) kesesuaian penggunaan lahan aktual dan RTRW dengan kemampuan lahan; (b) konsistensi penggunaan lahan aktual dengan RTRW; dan (4) menyusun arahan pemanfaatan ruang berbasis daya dukung lahan. Penggunaan lahan aktual diidentifikasi dan dipetakan dengan menginterpretasi citra satelit. Kelas kemampuan lahan ditentukan dengan evaluasi kemampuan lahan menggunakan prinsip klasifikasi United States Department of Agriculture (USDA). Kesesuaian penggunaan lahan aktual dan RTRW terhadap kemampuan lahan serta konsistensi penggunaan lahan aktual terhadap RTRW dievaluasi dengan analisis deskriptif berdasarkan interpretasi atribut hasil overlay menggunakan sistem informasi geografis. Arahan pemanfaatan ruang berbasis daya dukung lahan disusun berdasarkan pola ruang RTRW dengan mempertimbangkan kondisi penggunaan lahan aktual, kemampuan lahan dan faktor pembatas pada setiap pola ruang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan aktual di Kabupaten Blitar terdiri atas sebelas kelas dengan penggunaan lahan terluas adalah permukiman 30,860 ha (19.4%), sawah 30,564 ha (19.2%), dan hutan 30,111 ha (19.0%), sedangkan

Page 116: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 107

kebun campur dan tegalan mencapai luasan 54,232 ha (34.1%). Kemampuan lahan terdiri atas enam kelas, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan kelas VIII yang dapat dibedakan menjadi 15 subkelas. Wilayah yang mampu mendukung aktivitas budi daya pertanian (kelas kemampuan II-IV) hanya sebanyak 61,940 ha (39.0% dari luas total), sedangkan wilayah yang sebaiknya tidak digunakan untuk aktivitas budi daya pertanian (kelas VI-VIII) sebanyak 96,939 ha (61.%). Kesesuaian antara penggunaan lahan aktual dengan kemampuan lahan yang mencerminkan daya dukung lahan secara aktual hanya sebesar 69,662 ha (43.8%), sedangkan kesesuaian pemanfaatan ruang yang direncanakan dalam RTRW dengan kemampuan lahan mencapai 79,498 ha atau 50.0%. Tingkat konsistensi penggunaan lahan aktual terhadap RTRW mencapai 92.2% atau seluas 146,448 ha. Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas kawasan lindung 51,387 ha (32.3%), kawasan hutan produksi 18,034 ha (11.4%), kawasan perkebunan 15,852 ha (10.0%), kawasan permukiman 33,633 ha (21.2%), kawasan pertanian lahan basah 33,291 ha (21.0%), dan kawasan pertanian lahan kering 5,153 ha (3.23%).

Kata kunci: Arahan Pemanfaatan Ruang, Evaluasi Kemampuan Lahan, Penggunaan Lahan

Page 117: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

108 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

Land as a part of space has limited carrying capacity. It should be directed to be utilized in accordance with its capability. Improper land use will lead to degradation (damage) resulting in high cost to fix it, or even irreversible degradation. Therefore, land use should be maintained and directed according to the carrying capacity and land capability.

Blitar Regency has an economic activity that is still based on primary sector. The agricultural, forestry and fishery sectors was accounted for 35% of Gross Regional Domestic Product (GRDP). The agricultural land in Blitar Regency covers 71.6% of the total area, but increasing of economic activities and population growth has put high pressure on land including agricultural land. Agricultural land was converted into built-up areas. Land conversion that occurs should be offset by establishing of new agricultural land to meet the food needs of the primary. The establisment of new agricultural land will generally convert suboptimal land which has low carrying capacity and risk damage. The land use change of suboptimal land will exceed its potential so that the land use becomes incompatible with its carrying capacity which will lead to land degradation. Therefore, it is necessary to arrange the spatial utilization directives in accordance with the land carrying capacity.

This study was aimed to (1) identify and mapping the actual land use of Blitar Regency; (2) evaluate land capability; (3) evaluate land carrying capacity based on (a) the conformity of the actual land use and spatial planning with land capability; (b) the consistency of the actual land use and spatial planning; and (4) formulate directives of spatial utilization based on land carrying capacity. The actual land use was identified and mapped by interpreting satellite imagery. The land capability classes was determined by land capability evaluation using the United States Department of Agriculture (USDA) classification principle. The conformity of the actual land use and spatial planning to land capability as well as actual land use consistency to spatial planning were evaluated by descriptive analysis based on overlay attibute interpretation using geographical information system. Directives of spatial utilization based on land carrying capacity was arranged based on spatial pattern of spatial planning by considering actual land use condition, land capability and limiting factors of each spatial pattern.

The result showed that the actual land use in Blitar Regency consists of eleven classes with the largest land use were settlement 30,860 ha (19.4%), paddy field 30,564 ha (19.2%) and forest 30,111 ha (19.0%), while mixture crops and fields reached 54,232 ha (34.1%). Land capability consists of six classes, namely class II, III, IV, VI, VII, and class VIII which can be divided into 15 subclasess. The area that are capable of supporting agricultural cultivation activities (class II to IV) were only 61,940 ha (39.0% of total area), while the areas that should not be used for agricultural cultivation activities (class VI to VIII) were 96,939 ha (61.%). The conformity between the actual land use and land capability as a reflection of actual

Page 118: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 109

land carrying capacity were only 69,662 ha (43.8%), whereas the conformity of spatial utilization in the spatial planning with land capability was reached 79,498 ha (50.0%). The consistency of the actual land use toward the spatial planning reached 92.2% or as much of 146,448 ha. The directives of spatial utilization consists of protected area 51,387 ha (32.3%), production forest area 18,034 ha (11.4%), plantation area 15,852 ha (10.0%), settlement area 33,633 ha (21.2%), lowland cultivation area 33,291 ha (21.0%) and upland cultivation area 5,153 ha (3.23%).

Keywords: Land Capability Evaluation

Page 119: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

110 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG BERBASIS DAYA DUKUNG LAHAN DI KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMUR

A. Latar Belakang

RTRW Provinsi Jawa Timur tahun 2011-2031, Kabupaten Blitar dengan luas wilayah 158,879 hektar ditetapkan berada dalam Wilayah Pengembangan Blitar yang diarahkan sebagai kawasan pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan, pendidikan, kesehatan, dan pariwisata. Perencanaan ini sejalan dengan aktivitas perekonomian wilayah Kabupaten Blitar yang 35% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2010-2015 bersumber dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Luas lahan pertanian di Kabupaten Blitar menurut data BPS (2016) mencakup 71.6% luas wilayah, dimana 41.1% masih berupa tegalan atau kebun dan ladang. Jenis pertanian ini memiliki ciri produktivitas rendah dengan nilai ekonomis lahan paling rendah yang mencerminkan kondisi penggunaan lahan di Kabupaten Blitar belum optimal dalam pemanfaatan ruangnya.

Pemanfaatan lahan yang belum optimal diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan aktivitas perekonomian wilayah. Data BPS tahun 2016 memperlihatkan jumlah penduduk mengalami peningkatan dari 1,116,639 jiwa pada tahun 2010 menjadi 1,145,396 jiwa tahun 2015, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0.51% atau meningkat 2.58%. Selama lima tahun terakhir, jumlah penduduk Kabupaten Blitar cenderung mengalami peningkatan dan akan terus mengalami penambahan mendekati 1,174,894 jiwa tahun 2020 (BPS, 2016). Perkembangan aktivitas perekonomian wilayah Kabupaten Blitar diindikasikan oleh laju pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 5.06% yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional (4.79%). Selama periode 2010-2015, PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010 mengalami penambahan nilai rata-rata sebesar 0.96 milyar rupiah pertahun atau sebesar 5.2% pertahun.

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas perekonomian wilayah membutuhkan ruang baru, terutama pada wilayah perkotaan. Kondisi ini mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan aktivitas pendukung lainnya. Peningkatan kebutuhan lahan berdampak pada perubahan penggunaan lahan yang dianggap bernilai kurang ekonomis seperti lahan pertanian, hutan, dan lahan basah menjadi lahan terbangun yang bernilai ekonomi tinggi seperti permukiman atau kawasan industri (Pontoh dan Sudrajat, 2005; Kumar, 2009; Johnson and Zuleta, 2013; Fahimuddin et al., 2016). Menurut BPS Kabupaten Blitar (2016), perubahan penggunaan lahan dalam bentuk konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun terus mengalami

Page 120: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 111

peningkatan setiap tahunnya. Hal ini harus diimbangi dengan pembukaan lahan pertanian baru untuk tetap memenuhi kebutuhan primer. Pembukaan lahan pertanian baru pada umumnya akan mengkonversi lahan pertanian suboptimal yang memiliki daya dukung rendah dan berisiko mengalami kerusakan. Perubahan penggunaan lahan pada lahan suboptimal ini akan melebihi potensinya sehingga lahan menjadi tidak sesuai dengan daya dukung, yang akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan (Goldshegler et al., 2010; Pramono, 2014). Oleh karena itu, sangat penting disiapkan arahan pemanfaatan ruang yang disesuaikan dengan daya dukung lahannya.

Kabupaten Blitar berada dalam Wilayah Pengembangan (WP) Blitar sebagai kawasan pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan, pendidikan, kesehatan, dan pariwisata. Secara topografis, wilayah Kabupaten Blitar meliputi kawasan pegunungan di bagian Utara, perbukitan kapur di Selatan, dan wilayah dataran di bagian Tengah termasuk wilayah Kota Blitar. Berdasarkan data BPS Kabupaten Blitar (2016), penggunaan lahan di Kabupaten Blitar belum seutuhnya optimal dalam pemanfaatan ruangnya. Kondisi ini tercermin dari masih luasnya penggunaan lahan pertanian berupa tegalan atau kebun dan ladang yang mencapai 29.4% dari luas wilayah.

Pada sisi lain, selama periode 2010-2015 terjadi pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan aktivitas perekonomian wilayah. Data BPS tahun 2016 memperlihatkan jumlah penduduk mengalami peningkatan dari 1,116,639 jiwa pada tahun 2010 menjadi 1,145,396 jiwa di tahun 2015, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0.51% atau meningkat 2.58%. Selama lima tahun terakhir, jumlah penduduk Kabupaten Blitar cenderung mengalami peningkatan dan akan terus mengalami penambahan mendekati 1,174,894 jiwa tahun 2020 (BPS, 2016). Perkembangan aktivitas perekonomian wilayah Kabupaten Blitar diindikasikan oleh laju pertumbuhan ekonomi selama periode 2010-2015 dengan penambahan nilai rata-rata PDRB atas dasar harga konstan 2010 mengalami sebesar 0.96 milyar rupiah pertahun atau sebesar 5.2% pertahun. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blitar tahun 2015 sebesar 5.06%, lebih tinggi pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 4.79%.

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas perekonomian wilayah membutuhkan ruang baru yang mendorong peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan aktivitas pendukung lainnya. Peningkatan kebutuhan lahan menyebabkan tekanan terhadap lahan sehingga memacu terjadinya konversi lahan. Lahan yang dianggap bernilai kurang ekonomis terutama lahan pertanian menjadi sasaran konversi untuk memenuhi kebutuhan lahan permukiman dan lahan terbangun lainnya. Hal ini harus diimbangi dengan pembukaan lahan pertanian baru untuk tetap memenuhi kebutuhan primer yang pada umumnya akan mengkonversi lahan suboptimal. Lahan suboptimal memiliki daya dukung rendah dan berisiko mengalami

Page 121: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

112 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kerusakan sehingga perubahan penggunaan pada lahan-lahan ini akan melampaui potensinya. Oleh karena itu, diperlukan arahan pemanfaatan ruang yang sesuai daya dukung sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dan menjaga keberlanjutan lahan di Kabupaten Blitar.

B. Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Blitar yang merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Timur. Wilayah penelitian mencakup 22 kecamatan, yaitu Bakung, Wonotirto, Panggungrejo, Wates, Binangun, Sutojayan, Kademangan, Selorejo, Kesamben, Doko, Selopuro, Wlingi, Talun, Gandusari, Kanigoro, Garum, Nglegok, Sanankulon, Srengat, Ponggok, Wonodadi, dan Udanawu. Pelaksanaan penelitian mulai bulan April 2016 hingga Januari 2017 yang terdiri dari proses perencanaan penelitian, pengumpulan data, pengolahan, dan analisis data serta penulisan tesis.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil pengecekan lapang untuk memverifikasi hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra SPOT-6 Tahun 2015. Data sekunder berupa data spasial, data statistik, dokumen perencanaan, dan peraturan perundang-undangan yang diperoleh dari inventarisasi dan penelusuran data pada buku, jurnal, penelitian terdahulu, website penyedia data serta dari beberapa instansi pemerintah daerah maupun instansi pusat, yaitu Bappeda Kabupaten Blitar, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Blitar, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura, Direktorat Inventarisasi, dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Analisis data dalam pelaksanaan penelitian meliputi (1) identifikasi dan analisis penggunaan lahan aktual; (2) evaluasi kemampuan lahan; (3) evaluasi daya dukung lahan meliputi: (a) kesesuaian penggunaan lahan aktual dan RTRW dengan kemampuan lahan; (b) konsistensi penggunaan lahan aktual dengan RTRW; dan (4) penyusunan

arahan pemanfaatan ruang berbasis daya dukung lahan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Blitar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang berada di bagian Selatan dengan luas wilayah 158,879 hektar. Secara goegrafis, Kabupaten Blitar berada pada koordinat 111° 40’–112° 10’ Buajur Timur dan 7° 58’ – 8° 9’ Lintang Selatan.

Page 122: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 113

Jumlah penduduk Kabupaten Blitar selama periode 2010-2015 selalu mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Blitar mencatat jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 1,116,639 jiwa, tahun 2011 sebesar 1,124,775 jiwa, tahun 2012 sejumlah 1,130,423 jiwa, tahun 2013 berjumlah 1,136,701 jiwa, tahun 2014 menjadi 1,140,793 jiwa dan tahun 2015 bertambah menjadi 1,145,396 jiwa.

Pola pemanfaatan ruang kawasan lindung meliputi kawasan hutan lindung, kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, kawasan sempadan mataair, kawasan sempadan pantai dan kawasan sempadan sungai. Pola pemanfaatan ruang kawasan budi daya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan perkebunan, kawasan pemukiman, kawasan pertanian lahan basah, dan kawasan pertanian lahan kering. Berdasarkan fungsi kawasan, RTRW Kabupaten Blitar sudah menetapkan proporsi kawasan lindung mencapai 32.5% sedangkan kawasan budi daya mencapai 67.5%.

Pada kawasan lindung terdapat dua pola ruang yang proporsinya cukup besar, yaitu kawasan hutan lindung (6.9%) dan kawasan rawan bencana (6.2%). Pola ruang kawasan perkebunan seluas 22,134 ha (87.3% dari luas kawasan perkebunan) ditetapkan menjadi bagian kawasan lindung. Pada kawasan budi daya, pola ruang yang paling besar proporsinya adalah kawasan pertanian lahan basah (33.3%). Pola ruang kawasan hutan produksi berdasarkan fungsi kawasan termasuk dalam kawasan budi daya.

Kawasan hutan di Kabupaten Blitar terdiri atas tiga fungsi kawasan, yaitu hutan lindung 11,686 ha (7.4%), hutan produksi 21,461 ha (13.5%), dan area penggunaan lain 125,732 ha (79.1%). Sebagian besar kawasan hutan masih berstatus penunjukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.395/Menhut-II/2011 tanggal 21 Juli 2011 tentang Kawasan Hutan Provinsi Jawa Timur, tetapi telah dilakukan pembaharuan data ke skala 1:50,000 untuk proses penetapan kawasan

hutannya.

2. Penggunaan Lahan Aktual

Keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Blitar terdiri atas sebelas kelas yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu (1) area tidak bervegetasi alami; (2) area tidak bervegetasi diusahakan/dibudidayakan; (3) area bervegetasi alami; dan (4) area bervegetasi dibudidayakan. Penggunaan lahan area tidak bervegetasi alami terdiri atas danau dan sungai, sedangkan penggunaan lahan di area tidak bervegetasi diusahakan atau dibudidayakan meliputi bendungan lahar, bendungan PLTA, dan permukiman. Penggunaan lahan area bervegetasi alami terdiri atas

Page 123: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

114 Direktori Mini Tesis-Disertasi

hutan dan semak belukar, sedangkan penggunaan lahan di area bervegetasi yang dibudidayakan berupa perkebunan, kebun campur, tegalan, dan sawah.

Penggunaan lahan terluas adalah permukiman dengan luas 30,860 hektar (19.4%), disusul penggunaan lahan sawah sebesar 30,565 ha (19.2%), dan hutan 30,111 ha (19.0%). Penggunaan lahan terkecil adalah danau yang memiliki luas hanya 4 ha. Penggunaan lahan kebun campur dan tegalan memiliki luas 54,232 ha (34.1%) melebihi luasan secara statistik 29.4%.

Sawah adalah penggunaan lahan terluas kedua, kondisi ini sejalan dengan peranan sektor pertanian yang cukup besar dalam perekonomian Kabupaten Blitar. Sektor tanaman pangan berkontribusi sebesar 8.9% dalam PDRB Kabupaten Blitar tahun 2015. Hasil interpretasi memperlihatkan sebagian besar kecamatan memiliki luas lahan sawah di atas 1,000 ha. Beberapa kecamatan dengan luas lahan sawah kurang dari 1,000 ha, yaitu Kecamatan Bakung, Binangun, Kademangan, Panggungrejo, Wates, dan Wonotirto.

Hutan di Kabupaten Blitar tersebar di bagian Utara dan Selatan. Hutan alam pegunungan mendominasi jenis hutan di bagian Utara, pada lahan-lahan bertopografi curam sekitar Gunung Kelud, Gunung Butak, dan Gunung Kawi. Sebagian besar hutan di bagian Utara merupakan kawasan hutan negara dengan status hutan lindung yang berada di Kecamatan Gandusari, Wlingi, Doko, Garum, dan Nglegok. Lahan hutan bagian selatan Kabupaten Blitar didominasi oleh kawasan hutan negara dengan status hutan produksi. Sebagian besar hutan ini merupakan hutan jati, mahoni, dan sengon yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Blitar.

Penggunaan lahan di dalam kawasan hutan pada beberapa lokasi sudah tidak sesuai dengan peruntukannya. Keberadaan permukiman 391 ha dan sawah 528 ha di dalam kawasan hutan menjadi cerminan ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap status kawasan hutan. Bentuk penggunaan lahan seperti perkebunan, kebun campur, tegalan dan semak belukar di dalam kawasan hutan, masih memungkinkan dan dapat terjadi pada pengelolaan kawasan hutan produksi secara tumpangsari, namun seharusnya jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman kehutanan.

Penggunaan lahan kebun campur merupakan lahan kering bervegetasi campuran baik dari sisi jenis dan umur tanaman (tahunan dan semusim). Jenis tanaman tahunan kebun campur berupa jenis kayu, buah-buahan, dan produk pertanian lainnya. Jenis tanaman semusim yang ditanam biasanya berupa singkong dan tanaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil interpretasi

Page 124: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 115

menujukkan luas kebun campur di Kabupaten Blitar adalah 25,874 ha atau 16.3% luas wilayah.

Penggunaan lahan semak belukar adalah lahan yang ditumbuhi oleh jenis tanaman perdu (semak) dengan ketinggian 0.5-2 m didominasi vegetasi berkayu dan diselingi pepohonan pendek. Kawasan ini didominasi oleh vegetasi rendah yang alami heterogen ataupun homogen. Luas semak belukar di Kabupaten Blitar seluas 87 ha. Penggunaan lahan sungai dan danau memiliki bentukan khas memanjang berkelok (sungai) dan membulat atau melebar (danau), warna biru gelap, dan tekstur yang halus. Beberapa sungai besar yang teridentifikasi antara lain Sungai Brantas dan anak sungainya ada di bagian Utara Kabupaten Blitar.

Penggunaan lahan bendungan lahar adalah penggunaan lahan terbuka yang ditujukkan sebagai daerah aliran dan kantong lahar atau lava gunungapi. Bendungan lahar di Kabupaten Blitar berfungsi menampung lahar dan lava yang mengalir ke Selatan Gunung Kelud. Lokasi bendungan lahar berada di Sumber Agung pada aliran Kali Putih, sedangkan bendungan lahar lainnya berada di aliran Kali Semut. Penggunaan lahan Bendungan PLTA adalah bangunan bedung yang membendung aliran Sungai Brantas sebagai sumber energi pembangkit listrik. Bendung ini lebih dikenal sebagai Bendung Jegu yang berlokasi di Desa Jabung Kecamatan Talun dan Desa Jegu Kecamatan Sutojayan. Bendungan ini berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Wlingi Raya, pengairan Daerah Irigasi

Lodagung (Ekorini et al., 2013) dan sumber air baku Perum Jasa Tirta.

3. Kemampuan Lahan

Kelas kemampuan lahan di Kabupaten Blitar terdiri atas enam kelas, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan kelas VIII yang terbagi menjadi lima belas subkelas kemampuan lahan. Kabupaten Blitar tidak memiliki lahan kelas kemampuan I yang sesuai untuk semua jenis penggunaan lahan tanpa memerlukan tindakan perbaikan tanah. Kelas lahan terbaik adalah lahan kelas kemampuan II.

Lahan kelas kemampuan II-IV yang mampu mendukung aktivitas budi daya pertanian hanya mencakup luasan 61,940 ha atau 39.0% wilayah Kabupaten Blitar, terdiri dari kelas II (budi daya pertanian intensif) sebanyak 33.2%, kelas III (budi daya pertanian sedang) 5.3%, dan kelas IV (budi daya pertanian terbatas) 0.5%. Lahan kelas VI dan VII adalah lahan yang memiliki pilihan penggunaan lahan sangat terbatas. Lahan kelas VI mampu mendukung penggembalaan sedang hingga terbatas sebanyak 36.3%, sedangkan lahan kelas VII (penggembalaan terbatas) sebanyak 5.9%. Lahan kelas VIII yang tidak diperbolehkan untuk aktivitas budi daya, hanya bisa dijadikan sebagai cagar alam dan hutan lindung sebesar 18.8%. Secara

Page 125: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

116 Direktori Mini Tesis-Disertasi

keseluruhan luas lahan yang kelas kemampuannya tidak memungkinkan untuk mendukung aktivitas budi daya pertanian (kelas VI-VIII) sebanyak 96,939 ha atau 61.0%. Berdasarkan kondisi ini, potensi lahan yang ada di Kabupaten Blitar terbatas

sehingga itu diperlukan rencana yang baik untuk mencapai kondisi optimum.

4. Kesesuaian Penggunaan Lahan Aktual dengan Kemampuan Lahan

Penggunaan lahan aktual hutan termasuk dalam kategori sesuai di seluruh subkelas kemampuan lahan. Penggunaan lahan aktual perkebunan sesuai di seluruh lahan subkelas II dan subkelas III-l2, namun sesuai bersyarat di lahan subkelas III-t4, l2, k1, III-k1 dan III-t4, d3 yang dipengaruhi faktor pembatas kedalaman tanah sedang dan drainase yang buruk. Penggunaan lahan aktual permukiman sesuai di seluruh lahan subkelas II dan III kecuali subkelas II-t1, l1, d2 yang memiliki drainase agak buruk. Pada subkelas IV-l3 dengan lereng permukaan miring termasuk kategori sesuai bersyarat jika dilakukan konstruksi yang sesuai, sedangkan pada subkelas VI-k3 masih tergolong kategori sesuai walaupun memiliki kedalaman tanah yang sangat dangkal.

Penggunaan lahan aktual sawah sesuai di seluruh lahan subkelas II dan subkelas III-k1, namun sesuai bersyarat di lahan subkelas III-t4, l2, k1, III-l2 dan III-t4, d3 yang dipengaruhi faktor pembatas lereng agak miring dan drainase yang buruk. Penggunaan lahan aktual semak belukar sesuai di subkelas II-VI, kecuali sesuai bersyarat di subkelas VI-l4 (lereng agak curam) dan tidak sesuai di subkelas VI-k3 (erosi berat). Penggunaan lahan aktual kebun campur sesuai di seluruh lahan subkelas II dan III, namun sesuai bersyarat di lahan subkelas IV-l3 dan VI-l4. Penggunaan lahan aktual tegalan sesuai di seluruh lahan subkelas II dan subkelas III-t4, d3 dan III-k1, namun sesuai bersyarat di lahan subkelas III-t4, l2, k1 dan III-l2 yang berlereng agak miring.

Hasil evaluasi kesesuaian antara penggunaan lahan aktual dengan kemampuan lahan memperlihatkan bahwa penggunaan lahan aktual di Kabupaten Blitar yang tergolong sesuai dengan kemampuan lahan sebanyak 69,662 ha (43.8%). Penggunaan lahan aktual yang tergolong sesuai bersyarat seluas 47,975

ha (30.2%), tidak sesuai 40,044 ha (25.2%) dan tidak dievaluasi seluas 1,197 ha (0.8).

5. Kesesuaian RTRW dengan Kemampuan Lahan

Hasil evaluasi kesesuaian antara alokasi lahan dalam pola ruang RTRW dan kemampuan lahan Kabupaten Blitar, memperlihatkan bahwa alokasi pola ruang RTRW yang tergolong sesuai dengan kemampuan lahan sebanyak 79,498 ha atau 50.0%. Pola ruang kategori sesuai bersyarat seluas 29,783 ha (18.8%), kategori

Page 126: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 117

tidak sesuai 48,784 ha (30.7%), dan pola ruang yang tidak dievaluasi sebanyak 814 ha (0.5%).

Alokasi pola ruang terluas pada kategori sesuai kemampuan lahan berada di kelas II sebanyak 37,645 ha (47.4%). Hal ini disebabkan lahan kelas II memiliki pilihan rencana pola pemanfaatan ruang paling banyak di antara kelas kemampuan yang ada di Kabupaten Blitar. Jenis pola ruang yang terdapat pada lahan kelas II antara lain kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, kawasan rawan bencana, kawasan sempadan mata air, kawasan sempadan sungai, kawasan perkebunan, dan kawasan pertanian lahan basah.

6. Konsistensi Penggunaan Lahan Aktual dengan RTRW

Penggunaan lahan aktual hutan sesuai pada pola ruang kawasan hutan lindung, kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, kawasan sempadan mataair, kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, dan kawasan hutan produksi. Penggunaan lahan aktual perkebunan hanya sesuai pada pola ruang kawasan perkebunan dan sesuai bersyarat di kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, kawasan sempadan mataair, kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, dan kawasan hutan produksi. Penggunaan lahan aktual permukiman hanya sesuai jika berada pada pola ruang kawasan permukiman.

Penggunaan lahan aktual sawah sesuai pada pola ruang kawasan pertanian lahan basah dan kawasan sempadan sungai, sedangkan penggunaan lahan aktual kebun campur dan tegalan hanya sesuai di pola ruang pertanian lahan kering. Penggunaan lahan aktual semak belukar sesuai pada kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, kawasan sempadan mataair, kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai, namun sesuai bersyarat pada kawasan hutan produksi, kawasan perkebunan, kawasan pemukiman, kawasan pertanian lahan basah, dan kawasan pertanian lahan kering.

Hasil evaluasi konsistensi penggunaan lahan aktual Kabupaten Blitar dengan RTRW memperlihatkan bahwa penggunaan lahan seluas 142,489 ha (89.7%) tergolong sudah konsisten. Penggunaan lahan yang tergolong tidak konsisten seluas 14,861 ha (9,3%) dan tidak dievaluasi seluas 1,529 ha (1.0%).

Penggunaan lahan yang konsisten terdiri atas kategori sesuai seluas 79,770 ha dan kategori sesuai bersyarat seluas 62,719 ha. Penggunaan lahan konsisten terluas berada di kawasan pertanian lahan basah, yaitu 46,520 ha atau 29.7% dari luas wilayah. Penggunaan lahan konsisten terluas lainnya terdapat di kawasan permukiman sebanyak 27,484 ha (17.3%), kawasan perkebunan 20,727 ha (13.0%),

Page 127: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

118 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan kawasan hutan produksi 20,622 ha (13.0%), sedangkan pada kawasan lainnya luas penggunaan lahan yang konsisten kurang dari 10%. Secara lebih detil, penggunaan lahan permukiman di pola ruang kawasan permukiman adalah penggunaan lahan yang paling konsisten terhadap pola ruang di Kabupaten Blitar. Luasan ini mencakup 21,295 ha (14.9%) dari seluruh penggunaan lahan yang konsisten.

Ketidak-konsistenan penggunaan lahan yang tinggi terjadi pada kawasan pertanian lahan basah dan kawasan resapan air. Pada kawasan pertanian lahan basah, luas lahan yang tidak konsisten penggunaannya sebesar 6,325 ha (4.0%) dari luas wilayah. Penggunaan lahan yang tidak konsisten di kawasan pertanian lahan basah terdiri atas permukiman (5,979 ha) dan perkebunan (346 ha). Permukiman dan perkebunan yang sudah ada ini tidak mungkin bisa dikembalikan menjadi areal pertanian lahan basah. Pada kawasan resapan air, penggunaan lahan yang tidak konsisten berupa kebun campur (1,050 ha), dan tegalan (1,369 ha) yang harus dikembalikan fungsinya sebagai kawasan resapan air serta penggunaan lahan permukiman (128 ha) dan sawah (83 ha) yang harus dikendalikan agar tidak meluas. Penggunaan lahan yang tidak konsisten di kawasan hutan lindung terdiri atas permukiman (8 ha) dan sawah (29 ha) yang harus dikendalikan agar tidak meluas, serta lahan berupa kebun campur, perkebunan, dan tegalan yang harus dikembalikan fungsinya sebagai hutan seluas 567 ha.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tingkat konsistensi yang tinggi menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang sudah sesuai dengan perencanaannya. Besarnya konsistensi penggunaan lahan aktual terhadap RTRW, diduga disebabkan karena penyusunan RTRW telah memperhatikan sebaran penggunaan lahan aktual.

7. Arahan Pemanfaatan Ruang berbasis Daya Dukung Lahan

Arahan pemanfaatan ruang kawasan lindung terdiri atas pola ruang kawasan lindung eksisting seluas 23,640 ha (14.9%) dan kawasan berfungsi lindung seluas 27,747 ha (17.5%). Secara total proporsi luas arahan pemanfaatan ruang kawasan lindung lebih kecil dari rencana pola ruang RTRW, namun jika ditelusuri lebih dalam proporsi luas kawasan lindung rencana pola ruang RTRW mencakup pola ruang kawasan perkebunan sebanyak 13,9%. Pada arahan pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana terdapat lahan eksisting dengan penggunaan berupa sawah seluas 5,010 ha dan perkebunan seluas 1,238 ha yang tetap dapat difungsikan sesuai kondisi aktualnya walaupun berstatus sebagai kawasan lindung.

Page 128: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 119

Arahan pemanfaatan ruang kawasan budi daya (hutan produksi, perkebunan, permukiman, pertanian lahan basah, dan pertanian lahan kering) terdiri atas lahan eksisting tiap-tiap kawasan dan hasil optimalisasi penggunaan berupa kebun campur, tegalan, dan semak belukar pada tiap-tiap pola ruang yang kemampuan lahannya selaras untuk diarahkan sebagai kawasan budi daya. Penggunaan lahan perkebunan eksisting di kawasan lindung seluas 3,610 ha menjadi bagian dari arahan pemanfaatan ruang kawasan perkebunan, namun komoditas yang diusahakan harus berupa tanaman tahunan atau kehutanan. Penggunaan lahan eksisting permukiman dan sawah di kawasan lindung dengan luas tiap-tiap 1,582 ha dan 1,244 ha menjadi bagian arahan pemanfaatan ruang kawasan permukiman dan pertanian lahan basah sebagai arahan pengendalian pemanfaatan agar tidak meluas.

Ketersediaan lahan untuk pengembangan permukiman, perkebunan, pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering serta pengembalian kawasan hutan produksi terlihat dari luasan tiap-tiap arahan pemanfaatan ruang. Lahan yang tersedia untuk pengembangan komoditas perkebunan dan persawahan baru tiap-tiap seluas 5,194 ha (3.3%) dan 7,908 ha (5.0%), sedangkan lahan yang tersedia untuk pertanian lahan kering sebanyak 5,153 ha (3.2%). Ketersedian lahan untuk pengembangan permukiman baru di Kabupaten Blitar hanya seluas 2,782 ha (1.8%). Lahan arahan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi seluas 3,548 ha (2.2%) harus dimanfaatkan untuk aktivitas budi daya yang memberikan jasa

lingkungan serta hasil hutan kayu dan bukan kayu.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Penggunaan lahan aktual di Kabupaten Blitar hasil interpretasi visual citra SPOT- 6 tahun 2015 terdiri atas sebelas kelas. Penggunaan lahan terluas adalah permukiman (30,860 ha atau 19.4%), diikuti sawah dan hutan tiap-tiap seluas 30,564 ha (19.2%) dan 30,111 ha (19.0%), sedangkan kebun campur dan tegalan mencapai luasan 54,232 ha (34.1%).

2. Kemampuan lahan di Kabupaten Blitar terdiri atas enam kelas, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII yang dapat dibedakan menjadi 15 subkelas. Lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya pertanian (kelas kemampuan lahan II-IV) hanya seluas 61,940 ha atau 39.0%, sedangkan lahan yang tidak dapat mendukung aktivitas budi daya pertanian (kelas VI-VIII) sebanyak 96,939 ha (61.0%). Kondisi ini menunjukkan potensi lahan yang ada di Kabupaten

Page 129: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

120 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Blitar terbatas sehingga itu diperlukan rencana pemanfaatan yang baik untuk mencapai kondisi optimum.

3. Kesesuaian antara penggunaan lahan aktual dengan kemampuan lahan yang mencerminkan daya dukung lahan secara aktual hanya sebesar 69,662 ha (43.8%), sedangkan kesesuaian pemanfaatan ruang yang direncanakan dalam RTRW dengan kemampuan lahan mencapai 79,498 ha atau 50.0%. Tingkat konsistensi penggunaan lahan aktual terhadap RTRW mencapai 92.2% atau seluas 146,448 ha. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemanfaatan ruang belum mempertimbangkan potensi lahan walaupun sudah sejalan dengan rencana pemanfaatan ruang.

4. Arahan pemanfaatan ruang yang optimum berdasarkan daya dukung lahan terdiri atas enam kawasan, yaitu kawasan lindung 51,387 ha (32.3%), kawasan hutan produksi 18,034 ha (11.4%), kawasan perkebunan 15,852 ha (10.0%), kawasan permukiman 33,633 ha (21.2%), kawasan pertanian lahan basah

33,291 ha (21.0%), dan kawasan pertanian lahan kering 5,153 ha (3.23%).

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil dan kesimpulan maka saran yang dapat disusun sebagai berikut:

1. Pemerintah Kabupaten Blitar perlu menata kembali lahan seluas 88,019 ha (55.4%) yang pemanfaatan ruang secara aktual melebihi kemampuan lahan dan berpotensi mengalami kerusakan.

2. Pemerintah Kabupaten Blitar perlu menata ulang alokasi pola ruang RTRW seluas 78,585 ha (49.5%) yang direncanakan pemanfaatan ruangnya melebihi kemampuan lahan sehingga berpotensi menyebabkan kerusakan.

3. Pemerintah Kabupaten Blitar perlu mempertimbangkan hasil analisis spasial arahan pemanfaatan ruang dalam merevisi RTRW Kabupaten Blitar tahun 2011-2031.

4. Pemerintah Kabupaten Blitar dapat mengoptimalkan lahan arahan pemanfaatan ruang di kawasan perkebunan dan pertanian lahan basah sebagai lahan pengembangan komoditas perkebunan dan persawahan baru.

Page 130: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PERAN SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KELAUTAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN JEPARA

Nama : Kurniawati Hapsari Ekosafitri

Instansi : Pemkab Jepara

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 131: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

122 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Sektor-sektor perikanan dan kelautan dalam perekonomian kawasan pesisir dapat berperan secara tidak langsung jika memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage) dengan sektor-sektor perekonomian utama di wilayah. Keterkaitan yang efektif dengan sektor-sektor utama ekonomi wilayah dapat membuat setiap pertumbuhan subsektor perikanan dan kelautan, mampu menciptakan efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah. Peran subsektor perikanan dan kelautan tidak hanya sebatas pada hasil produksi yang dapat dihitung, namun juga produksi yang sifatnya tak terukur (intangible) yang berasal dari keberadaan sumber daya alam di wilayah pesisir.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan prioritas pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Jepara berdasarkan potensi perikanan dan kelautan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan langkah untuk (1) mengidentifikasi peranan subsektor perikanan dalam ekonomi wilayah di Kabupaten Jepara; (2) menganalisis tingkat perkembangan wilayah berdasarkan sarana dan prasarana wilayah; (3) menganalisis cadangan sumber daya alam pesisir dan laut untuk menunjang perekonomian masyarakat pesisir di Kabupaten Jepara, dan (4) menggali persepsi stakeholders mengenai pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi peran subsektor perikanan dan kelautan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Jepara adalah analisis input-output. Tingkat perkembangan wilayah dianalisis menggunakan metode skalogram. Analisis valuasi sumber daya alam pesisir dan laut digunakan untuk menghitung cadangan sumber daya alam pesisir dan laut. Analytic Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menganalisis persepsi para stakeholders mengenai pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara. Arahan pengembangan kawasan pesisir didapat dari menyintesiskan hasil dari keempat tujuan penelitian.

Kegiatan usaha subsektor perikanan dan kelautan pada penelitian ini terbagi atas dua sector, yaitu sektor ikan laut dan hasil laut lainnya serta ikan darat dan hasil perairan darat. Sektor ikan laut dan hasil laut lainnya serta sektor ikan darat dan hasil perairan darat mempunyai indeks kaitan langsung ke belakang sebesar 0.66 dan 0.80. Sektor ikan laut dan hasil laut lainnya mempunyai nilai indeks keterkaitan langsung ke depan sebesar 0.09. Sektor ikan darat dan hasil perairan darat dengan nilai indeks keterkaitan langsung ke depan sebesar 0.12. Sektor ikan laut dan hasil laut lainnya mempunyai indeks derajat penyebaran (IDP) sebesar 0.99 dan indeks derajat kepekaan (IDK) sebesar 0.81, sedangkan nilai IDP dan IDK untuk sektor ikan darat (0.93) dan hasil perairan darat (0.80).

Page 132: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 123

Sektor ikan laut dan hasil laut lainnya mempunyai nilai multiplier output (1.04), multiplier NTB (0.89), dan multiplier pendapatan (0.84). Sektor ikan darat dan hasil perairan darat mempunyai multiplier output (1.03), multiplier NTB (0.85), dan multiplier pendapatan (0.80). Efek pengganda subsektor perikanan dan kelautan pada perekonomian wilayah Kabupaten Jepara perlu ditingkatkan dengan mendorong keterkaitan ke depan langsung maupun tidak langsung pada sektor-sektor perekonomian wilayah yang potensial untuk dikembangkan ke depannya melalui industri jasa maritim yakni pariwisata bahari.

Kecamatan yang mempunyai tingkat perkembangan wilayah paling tinggi (hirarki I) adalah Kecamatan Kedung, Kecamatan Jepara, Kecamatan Keling, dan Kecamatan Karimunjawa. Keempat kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang terletak di wilayah pesisir sehingga fokus pengembangan kawasan pesisir perlu dilakukan agar perekonomian wilayah mampu meningkat. Desa pesisir yang mempunyai tingkat perkembangan wilayah yang tinggi (hirarki I), yaitu Desa Jobokuto dan Desa Demaan (Kecamatan Jepara), Desa Jambu (Kecamatan Mlonggo) serta Desa Bulakbaru (Kecamatan Kedung). Desa-desa tersebut unggul berdasarkan sarana dan prasarana penunjang perikanan dibandingkan desa pesisir lainnya.

Hasil analisis cadangan sumber daya alam pesisir dan laut Kabupaten Jepara senilai Rp7.760.288.217.000 pertahun dihitung dari nilai manfaat ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang dan manfaat perikanan tangkap. Nilai produksi bruto subsektor perikanan berdasarkan PDRB Kabupaten Jepara tahun 2015 senilai Rp216.014.430.000 (ADHB). Bila dibandingkan produksi bruto sektor perikanan tahun 2015 dengan cadangan sumber daya alam pesisir dan laut Kabupaten Jepara pada tahun yang sama maka nilai ekonomi produksi hasil perikanan hanya sekitar tiga persen (3%) dari total perkiraan cadangan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Jepara.

Keterkaitan sektor kegiatan perikanan dengan sektor tersier melalui pariwisata bahari perlu ditunjang oleh kelengkapan sarana prasarana dan ketersediaan sumber daya alam pesisir di wilayah pesisir. Prioritas pengembangan kawasan pesisir sebagai arahan pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara berdasarkan persepsi stakeholder adalah Kawasan IV (Kecamatan Karimunjawa) melalui kegiatan pariwisata bahari.

Kata kunci: Efek Angka Pengganda, Kawasan Pesisir, Keterkaitan Ke Depan, Keterkaitan Ke Belakang

Page 133: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

124 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTARCT

The marine and fisheries sectors can contribute indirectly as they have forward linkage or backward linkage with the major economic sectors in the region. The effective linkages of marine and fisheries sub-sector with other main economic sector can create multiplier effect on the regional economic. The role of marine and fishery sub- sector is not only limited to the products that can be economically valued but also the production that are not measurable (intangible) derived from the existence of natural resources in coastal areas.

The main goal of this study is formulating a priority of development of The Jepara’s coastal areas based on the potential of marine and fisheries sub-sector. The main goal was accomplished by (1) identifying the role of fisheries subsector in the regional economic in Jepara Regency; (2) analyzing the level of development of the region based on the regional facilities and infrastructure; (3) analyzing the reserves of natural resources of coastal and marine to support the economy of coastal communities in the Jepara Regency, and (4) analyzing the stakeholders’ perception of Jepara’s coastal areas development. The input-output analysis was used for identifying the role of marine and fisheries sub-sector in the regional economic of Jepara. The level of regional development was analyzed by using scalogram. The analysis of the coastal and marine natural resources valuation was used to calculate the natural resources of coastal and marine’s stock. Analytic Hierarchy Process (AHP) was used to analyze the perception of stakeholders related to the development of the coastal area in Jepara Regency. The direction of coastal area development was obtained by synthesizing the results of the four research objectives.

The marine and fisheries sub-sector’s activities in this study were divided into two sectors consisting of marine fish and other marine product sector and freshwater fish and freshwater fisheries sector. The Index of direct backward linkage of marine fish and other marine product sector was 0.66 and it’s 0.80 for freshwater fish and freshwater fisheries sector. The index of direct forward linkage of marine fish and other marine product sector was 0.09 and 0.12 for freshwater fish and freshwater fisheries sector. The backward power of dispersion index of marine fish and other marine product sector was 0.99 and 0.81 on forward power of dispersion index. Freshwater fish and freshwater fisheries sector had 0.93 on backward power of dispersion index and 0.80 on forward power of dispersion index.

Marine fish and other marine product sector had output multiplier (1:04), GDP multiplier (0.89) and income multiplier (0.84). Freshwater fish and freshwater fisheries sector had output multiplier (1.03), GDP multiplier (0.85) and income multiplier (0.80). Multiplier effects of marine and fisheries sub-sector to the regional economic of Jepara should be increased by pushing direct and indirect forward linkage in the economic sectors through the development of maritime service industry namely nautical tourism.

Page 134: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 125

The sub-districts obtained the highest regional growth rate (hierarchy I) were Sub-district of Kedung, Jepara, Keling and Karimunjawa. These four sub-districts were located in the coastal area so that the focus of the development of those coastal areas should be promoted. Coastal villages, that have a high level of regional development (hierarchy I), were Jobokuto and Demaan (Jepara Sub-district), Jambu (Mlonggo Sub-district) and Bulakbaru (Kedung Sub-district). Those villages were considered superior due to the existence of facilities and infrastructure supporting the fisheries sector in the village compared to other coastal villages.

The result showed that the reserve of coastal and marine resource in Jepara Regency amounted to Rp7.760.288.217.000 per year which was calculated from the benefit value of mangrove ecosystem, coral reef ecosystem, and fish capture. Gross production value of fisheries sub-sector according to the GDP of Jepara Regency in 2015 was Rp216. 014.430.000 (ADHB). However, the economic value of fisheries production in Jepara Regency was only around three percent (3%) of the total estimated coastal and marine resource reserve in Jepara Regency if the gross production of the fisheries sector in 2015 is compared with the reserve of total coastal and marine resource in the same year.

Linkages between sector of fisheries activity and tertiary sector through maritime tourism should be supported by the range of facilities and the availability of natural resources in the coastal area. Area IV (Karimunjawa Sub-district) was selected as the priority for the development of the coastal area as the direction of coastal area development in Jepara Regency based on the perception of stakeholder through maritime tourism activity.

Keywords: Backward Linkage, Coastal Areas, Forward Linkage, Multiplier Effect

Page 135: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

126 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERAN SUBSEKTOR PERIKANAN DAN KELAUTAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN JEPARA

A. Latar Belakang

Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten pesisir di Provinsi Jawa Tengah, mempunyai garis pantai sepanjang 82,73 km. Kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Jepara menitikberatkan pembangunan di wilayah perdesaan terutama di wilayah pesisir. Pusat pertumbuhan pada kawasan perdesaan pesisir selanjutnya dapat ditransformasikan dari desa pesisir dengan kegiatan utama perikanan menjadi kota perikanan atau minapolitan.

Pengembangan kawasan pesisir ini harus berdasarkan pada keterkaitan antara perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, potensi sumber daya alam, serta ketersediaan sarana dan prasarana wilayah dalam mendukung aktivitas perekonomian di kawasan pesisir. Potensi sumber daya perikanan dan kelautan di wilayah pesisir Kabupaten Jepara terdiri atas luas lautan sebesar 1,845,6 km2 dengan potensi perikanan tangkap berdasarkan perkiraan MSY (Maximum Suistainable Yield ) untuk ikan karang 174,225,68 kg/tahun sedangkan untuk ikan pelagis sebesar 22,069,45 ton/tahun di wilayah perairan Karimunjawa (Irnawati et al., 2011). Potensi budi daya tambak 1,065,5 ha, budi daya laut 76 ha di perairan Jepara dan 919 ha di perairan Karimunjawa serta potensi perikanan budi daya kolam sebesar 12,8 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara, 2016).

Total produksi perikanan di Kabupaten Jepara tahun 2015 terdiri atas perikanan tangkap laut sebesar 9,142 ton dan penangkapan perairan umum 1,932,9 ton, produksi budi daya tambak 4,493.46 ton, produksi budi daya kolam sebesar 1,734,79 ton, serta produksi rumput laut jenis Eucheuma cottonii sebesar 22,764,42 ton (BPS Kabupaten Jepara, 2016a; Dinas Kelautan dan perikanan Kabupaten Jepara, 2016). Kontribusi subsektor perikanan terhadap PDRB (atas dasar harga konstan 2010) sebesar 0,98 persen atau senilai Rp216.014.430.000 tahun 2015 (atas dasar harga berlaku) dan 0,91 persen atau senilai Rp154.552.350.000 dari total PDRB Kabupaten Jepara tahun 2015 (atas dasar harga konstan 2010) (BPS Kabupaten Jepara, 2016b). Kontribusi subsektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB masih jauh tertinggal bila dibandingkan kontribusi subsektor industri furniture, sebagai andalan Kabupaten Jepara terhadap PDRB Kabupaten Jepara tahun 2015 sebesar 11,28 persen atau senilai Rp2.487.412.970.000 (atas dasar harga berlaku) dan 11,13 persen atau senilai Rp1.913.394.590.000 (atas dasar harga konstan tahun 2010).

Page 136: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 127

Besarnya potensi perikanan dan kelautan diharapkan mampu menjadi motor penggerak pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Jepara. Peran perikanan dan kelautan dalam perekonomian wilayah belum maksimal bila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu, peran subsektor perikanan dan kelautan perlu untuk ditingkatkan dengan meningkatkan keterkaitan dengan subsektor perikanan dan kelautan dengan sektor perekonomian lainnya, baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang. Pengembangan kawasan pesisir juga memerlukan perencanaan pengembangan wilayah yang tepat, sesuai prioritas pengembangan berdasarkan potensi perikanan dan kelautan yang dimilikinya untuk menuju pembangunan yang berkesinambungan.

Merujuk pada latar belakang, Kabupaten Jepara merupakan wilayah pesisir dengan panjang garis pantai 82,73 km mempunyai potensi sumber daya alam berupa sumber daya perikanan baik perikanan tangkap, perikanan budi daya air tawar, perikanan budi daya air payau (tambak), dan perikanan budi daya air laut. Pemanfaatan potensi sumber daya tersebut harus memperhatikan kelestarian agar prinsip keberlanjutan pembangunan dapat diwujudkan.

Potensi sumber daya perikanan yang begitu besar menjadikan pembangunan kawasan pesisir sangat penting. Namun, kontribusi subsektor perikananan dan kelautan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Jepara sangat kecil. Kontribusi subsektor perikanan hanya 0,98 persen dari total PDRB Kabupaten Jepara tahun 2015 (BPS Kabupaten Jepara, 2016).

Nilai kontribusi subsektor perikanan dan kelautan relatif kecil dalam perekonomian wilayah Kabupaten Jepara karena hanya mempertimbangkan nilai pasar produk komoditas primernya saja. Nilai tambah bruto yang hanya dihitung berdasarkan jumlah produksi perikanan, menjadi salah satu faktor penyebab kecilnya kontribusi subsektor perikanan dan kelautan terhadap PDRB. Penyebab rendahnya produksi perikanan disebabkan lemahnya pencatatan produksi yang diperparah oleh kebocoran wilayah dari produksi perikanan. Kebocoran produksi perikanan di Kabupaten Jepara diakibatkan oleh masih banyaknya nelayan yang tidak menjual hasil tangkapan ke tempat pelelangan ikan (TPI), namun dijual pengumpul yang langsung menjual produksi perikanan ke daerah lain.

Perkembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan antarsektor, kelengkapan infrastruktur dan prasarana sarana penunjang serta keberadaan kelembagaan atau organisasi di wilayah tersebut. Dukungan faktor–faktor tersebut pada pengembangan kawasan pesisir diharapkan dapat mengedepankan peran kawasan sebagai penentu keberhasilan pembangunan ekonomi di Kabupaten Jepara. Dukungan antarsektor dan ketersediaan infrastruktur wilayah bertujuan untuk

Page 137: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

128 Direktori Mini Tesis-Disertasi

meningkatkan perekonomian wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum serta secara khusus untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Jepara.

Pemanfaatan sumber daya perikanan di wilayah pesisir belum maksimal sebagai salah satu penyebab rendahnya kontribusi subsektor perikanan dan kelautan dalam PBRB Kabupaten Jepara. Pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut lebih terkonsentrasi pada wilayah pesisir Kabupaten Jepara yang terletak di Pulau Jawa dibandingkan dengan pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut di wilayah perairan Karimunjawa. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut Kabupaten Jepara guna meningkatkan kontribusi subsektor perikanan dan kelautan dalam perekonomian Kabupaten Jepara. Namun, pemanfaatan sumber daya alam juga perlu memperhatikan kelestarian ekosistem penunjang untuk menjaga stok sumber

daya perikanan dan kelautan.

B. Metodologi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Jepara yang terletak pada 5°43’20.67” sampai dengan 6°47’25.83” Lintang Selatan dan 110°9’48.02” sampai dengan 110°9’37.40” Bujur Timur. Batas wilayah Kabupaten Jepara di sebelah Barat dan Utara Laut Jawa, batas sebelah Timur Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati serta batas sebelah Selatan Kabupaten Demak. Penelitian dilakukan di 16 kecamatan untuk melihat gambaran tingkat perkembangan kecamatan. Penelitian tingkat perkembangan dilakukan di desa pesisir 34 desa pesisir, yang terletak di Kecamatan Kedung, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, dan Karimunjawa.

Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan pelaku utama kegiatan perikanan, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi antara lain Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jepara, Bappeda Kabupaten Jepara, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jepara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara.

Penelitian dilakukan menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari data input-output dari Tabel Input-Output Kabupaten Jepara, data luasan ekosistem pesisir, data produksi perikanan, dan data sarana prasarana yang dikumpulkan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jepara, Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara serta data lainnya yang terkait dengan penelitian pada instansi

terkait.

Page 138: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 129

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Jepara dibedakan menjadi lahan sawah dan lahan kering. Luas penggunaan lahan sawah 26,581,64 ha dan lahan kering seluas 73,831,55 ha. Penggunaan lahan untuk pertanian atau lahan sawah terluas adalah wilayah Kecamatan Bangsri, yaitu 2,738,35 ha. Sementara Kecamatan Karimunjawa merupakan kecamatan dengan penggunaan lahan sawah tersempit seluas hanya 32 ha, hal ini dikarenakan wilayah Kecamatan Karimunjawa berupa kepulauan dengan sumber air tawar yang terbatas sehingga tidak sesuai untuk lahan sawah. Lahan tanah kering paling luas di Kecamatan Keling seluas 10,061,46 ha. Lahan

tanah kering paling sempit berada di Kecamatan Kalinyamatan seluas 978,64 Ha.

2. Kondisi Kependudukan dan Sosial

Jumlah penduduk Kabupaten Jepara akhir tahun 2015 sejumlah 1.188.289 jiwa terdiri dari laki-laki 592.482 jiwa dan perempuan 595.807 jiwa (BPS Kabupaten Jepara, 2016a). Sebaran penduduk terbanyak di Kecamatan Tahunan sebesar 113.827 jiwa dan sebaran paling kecil di Kecamatan Karimunjawa sejumlah 9.242 jiwa. Kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Jepara, yaitu 3.560 jiwa/km² dan kepadatan penduduk terendah di Kecamatan Karimunjawa, yaitu 130 jiwa/km. Jumlah penduduk usia produktif menurut kelompok umur 15–64 tahun sejumlah 805.505 jiwa (67.79%). Kelompok usia nonproduktif terdiri dari usia di bawah 15 tahun berjumlah 209.142 jiwa (17,60%) dan di atas 65 tahun jiwa (6,37%). Jumlah angkatan kerja Kabupaten Jepara tahun 2015 untuk usia penduduk di atas 15 tahun sebesar 602.188 jiwa terdiri dari penduduk bekerja sejumlah 583.388 jiwa dan pengangguran terbuka sejumlah 18.800 jiwa (BPS Kabupaten Jepara, 2016a). IPM Kabupaten Jepara sebesar 70.01 tahun 2015 dengan angka harapan hidup penduduk Kabupaten Jepara sampai dengan 75.64 tahun (BPS Kabupaten Jepara, 2016a).

3. Kondisi Ekonomi

PDRB perkapita suatu wilayah merupakan nilai PDRB dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. PDRB perkapita Kabupaten Jepara tahun 2015 atas dasar harga berlaku mencapai 18.559.448 rupiah sedangkan PDRB perkapita atas dasar harga konstan sebesar 14.472.732 rupiah (BPS Kabupaten Jepara, 2016b).

Page 139: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

130 Direktori Mini Tesis-Disertasi

4. Potensi Subsektor Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jepara

Potensi perikanan Kabupaten Jepara mencakup perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan darat diusahakan melalui budi daya ikan air tawar di kolam dan budi daya air payau di tambak. Potensi perikanan darat terdapat hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Jepara kecuali di Kecamatan Karimunjawa dimana budi daya laut berkembang pesat. Potensi perikanan laut di Kabupaten Jepara didapat dari penangkapan ikan di laut dan budi daya laut dengan komoditas hasil utama rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan kerapu.

Jumlah produksi perikanan tangkap laut tahun 2015, yaitu 9,142 ton dan produksi perikanan tangkap di perairan umum sebesar 1,392,9 ton. Produksi ikan hasil tangkapan perairan laut yang dijual di TPI selama tahun 2015 sebesar 2,913,565 ton (DKP Kabupaten Jepara 2016). Potensi budi daya air tawar Kabupaten Jepara 14,82 ha. Luas kolam yang diusahakan untuk budi daya air tawar pada tahun 2015 sebesar 8,82 ha. Produksi yang dihasilkan sebesar 1,734,79 ton selama tahun 2015 dengan jenis ikan produksi utama berupa ikan lele dan ikan nila.

Jumlah unit pengolahan dan pemasaran hasil perikanan sebanyak 3,801 rumah tangga produksi (RTP) dengan nilai produksi yang dihasilkan beragam berkisar antara kurang dari satu juta rupiah sampai dengan lebih dari lima milyar rupiah. Produksi pengolahan hasil perikanan selama tahun 2015 sebesar 10,737,226 ton terdiri dari penggaraman 2,408,684 ton, pemindangan 2,001,836 ton, pengasapan

5,448,241 ton, fermentasi 23,165 ton serta pengolahan lain sebesar 855,300 ton.

5. Peranan Subsektor Perikanan dalam Perekonomian Wilayah Kabupaten Jepara

Subsektor perikanan termasuk dalam kategori lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan hanya berkontribusi 0,98 persen terhadap PDRB Kabupaten Jepara (ADHB) tahun 2015. Hal ini dirasa sangat kecil mengingat potensi subsektor perikanan dan kelautan Kabupaten Jepara yang begitu besar. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah banyaknya produksi perikanan yang tidak tercatat dengan baik dikarenakan masih banyak produksi perikanan di Kabupaten Jepara terutama produksi perikanan tangkap yang tidak dijual melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI), tetapi langsung ke luar wilayah kabupaten oleh para tengkulak serta produksi ikan hasil budi daya yang tidak tercatat secara keseluruhan. Penjualan ikan hasil tangkapan dan budi daya langsung keluar wilayah menyebabkan kebocoran wilayah dikarenakan hasil sumber daya ikan dinikmati oleh daerah lain.

Page 140: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 131

Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jepara mengalami percepatan di tahun 2015 sebesar 5,30 persen bila dibandingkan tahun 2014 sebesar 4,80 persen. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dicapai sektor Informasi dan Komunikasi sebesar 11,84 persen tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada sektor Pengadaan, Listrik dan Gas (D) sebesar 0,28 persen. Lima sektor yang mempunyai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu sektor Informasi dan Komunikasi (J) sebesar 11,84 persen, sektor Jasa Perusahaan (M,N) sebesar 9,38 persen, sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar 8,09 persen, sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 7,90 persen, dan sektor Real Estate sebesar 6,63 persen.

Laju pertumbuhan ekonomi subsektor perikanan tahun 2015 sebesar 4,55 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 0,11 persen. Namun, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2015 lebih kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi subsektor perikanan tahun 2014 sebesar 5,19 persen. Output dalam ruang lingkup penelitian ini merupakan total produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi yang tersedia di wilayah Kabupaten Jepara. Analisis struktur output dimaksudkan untuk memberikan gambaran sektor-sektor mana saja yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam perekonomian suatu wilayah (Dault et al., 2008). Total output yang dihasilkan Kabupaten Jepara Rp30.505.252.990.000 berdasarkan input-output tahun 2008 updating tahun 2015.

Hasil analisis output menunjukkan tiga sektor yang menghasilkan kontribusi output terbesar, yaitu di atas sepuluh persen dari total output, yaitu sektor industri barang kayu dan mebel (19,36 persen), perdagangan (14,44 persen), serta industri makanan dan rokok (14,07 persen). Sektor perikanan yang terdiri dari ikan laut dan hasil laut lainnya serta ikan darat dan hasil perairan darat memberikan kontribusi

terhadap total output sebesar 0,69 persen dan 0,37 persen.

6. Valuasi Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut

Secara keseluruhan cadangan sumber daya alam pesisir dan laut Kabupaten Jepara sekitar 7.76 trilyun rupiah setahun. Cadangan sumber daya alam tersebut terdiri atas sumber daya ekosistem mangrove sekitar 223 milyar rupiah setahun, sumber daya ekosistem terumbu karang sekitar 258 milyar rupiah setahun serta cadangan sumber daya ikan sekitar 7.3 trilyun rupiah setahun.

Nilai produksi bruto subsektor perikanan berdasarkan PDRB Kabupaten Jepara tahun 2015 senilai Rp216.014.430.000 (ADHB). Bila dibandingkan dengan produksi bruto subsektor perikanan tahun 2015 dengan cadangan sumber daya

Page 141: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

132 Direktori Mini Tesis-Disertasi

alam pesisir dan laut Kabupaten Jepara pada tahun yang sama maka nilai ekonomi produksi hasil perikanan hanya sekitar tiga persen (3%) dari total perkiraan cadangan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Jepara. Produksi bruto subsektor perikanan Kabupaten Jepara memiliki potensi untuk ditingkatkan melalui pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut baik secara langsung melalui kegiatan penangkapan dan secara tidak langsung melalui pemanfaatan jasa lingkungan pesisir untuk kegiatan wisata bahari.

Ekosistem pesisir dan laut Kabupaten Jepara sebagai penghasil stok produksi perikanan dan kelautan perlu dijaga kelestariannya agar perekonomian di wilayah pesisir dapat terus berjalan. Ekosistem pesisir dan laut yang terjaga akan menekan pengeluaran pemerintah daerah tiap tahun yang digunakan untuk membangun penahan abrasi pantai dan rehabilitasi kawasan pesisir sehingga dana dapat

dialokasikan pada kegiatan lainnya.

7. Sintesis

Peran subsektor perikanan dan kelautan secara langsung dapat dilakukan dengan perbaikan fasilitas pendaratan ikan dengan mengubah konsep menjadi wisata edukasi sehingga menarik wisatawan untuk berekreasi sambil belajar dan menyaksikan proses pendaratan dan pelelangan ikan. Selain itu, konsep budi daya perikanan dibuat lebih menarik untuk wisatawan dapat berkunjung untuk melihat, mempelajari dan menikmati hasil budi daya. Konsep sentra minapolitan yang selama ini hanya menitikberatkan pada produksi dan pasca panen harus dikembangkan dengan menambah unsur pariwisata didalamnya dengan menambah dan memperbaiki fasilitas penunjangnya seperti hotel dan restoran, akses jalan (transportasi) menuju ke sentra serta memperbaiki fasilitas di dalam areal budi daya.

Peran subsektor perikanan dan kelautan secara tidak langsung dengan industri pariwisata bahari dilakukan dengan menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang, ekosistem pantai, dan ekosistem mangrove sebagai pemberi manfaat jasa lingkungan bagi pengembangan pariwisata bahari. Ekosistem pesisir dan laut yang terjaga dapat menjaga stok (cadangan) sumber daya perikanan dan aset pariwisata bahari untuk menggerakkan perekonomian wilayah.

Kawasan pesisir mampu berkembang bila tercukupinya sarana dan prasana penunjang kawasan. Sarana dan prasarana (infrastruktur) dibangun di kawasan pesisir demi menarik investasi sehingga kegiatan perekonomian dapat berkembang. Fasilitas yang perlu ada dan tercukupi akan menarik investasi masuk dalam kawasan sehingga mampu menarik kegiatan lain untuk berkembang di kawasan

Page 142: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 133

pesisir tersebut. Pariwisata bahari merupakan kegiatan yang berpotensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir. Menurut Dahuri (2009) ada lima komponen utama dari sisi pengadaan untuk peningkatan kinerja pariwisata bahari, yaitu 1) objek pariwisata bahari; 2) transportasi; 3) pelayanan; 4) promosi; dan 5) informasi. Lima komponen tersebut harus dikembangkan secara terpadu dan dikemas agar menarik wisatawan atau minimal mempunyai standar yang sama dengan wilayah lain (diakses dari https://rokhmindahuri.wordpress.com/tag/pariwisata-bahari

tanggal 26 Februari 2017).

Berdasarkan lima komponen tersebut, komponen objek pariwisata bahari, transportasi, dan pelayanan mempunyai kaitan erat dengan ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan pesisir. Pendirian objek pariwisata bahari perlu ketersediaan sarana dan prasarana penunjang serta meningkatkan kualitas sarana prasarana penunjang pariwisata yang sudah ada (Fadhilah dan Suprihardjo, 2016). Pada umumnya, objek pariwisata pantai yang dikembangkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Jepara merupakan objek pariwisata pantai yang telah dikembangkan terlebih dahulu oleh kelompok masyarakat dan pemerintah desa sehingga fasilitas yang ada belum memenuhi standar. Peran pengembang dan pemerintah daerah dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas fasilitas di objek wisata. Sarana dan prasarana wisata yang perlu dikembangkan antara lain hotel dan restoran, sarana MCK dan fasilitas atraksi bahari seperti perahu wisata dan banana boat. Integrasi antara pariwisata bahari dan perikanan antara lain wisata belanja ikan segar, wisata memancing, dan wisata diving di ekosistem terumbu karang.

Sarana transportasi yang dikembangkan di kawasan pesisir untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari membangun jalur wisata dengan penyediaan sarana transportasi umum ke objek-objek pariwisata bahari serta peningkatan kualitas dan fungsi jalan. Kabupaten Jepara memiliki kecamatan dengan potensi pariwisata bahari yang cukup potensial, yaitu kecamatan Karimunjawa dan Pulau Panjang (masuk administrasi Kecamatan Jepara). Pengadaan moda transportasi laut menjadi penting sebagai akses menuju ke wilayah tersebut. Peningkatan kualitas pelayanan pelabuhan dan fasilitas kapal penyeberangan dibutuhkan untuk pengembangan pariwisata bahari. Pembangunan bandar udara perintis di Kecamatan Karimunjawa, bertujuan memberi kemudahan akses bagi wisatawan golongan menengah ke atas. Peningkatan fungsi pelabuhan oleh pemerintah daerah dilakukan untuk memperlancar alur keluar masuk kapal penyeberangan yang mengangkut wisatawan menuju dan keluar wilayah Karimunjawa.

Pengembangan kawasan pesisir bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di wilayah pesisir sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang diharapkan berimbas pada meningkatkannya kesejahteraan. Pengembangan

Page 143: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

134 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kawasan pesisir Kabupaten Jepara melalui kegiatan perikanan dan kelautan diarahkan untuk pengembangan Kecamatan Karimunjawa berdasarkan persepsi para stakeholder. Potensi perikanan dan kelautan di Kecamatan Karimunjawa terdiri dari perikanan tangkap (andalan utama berupa ikan-karang karang yang bernilai ekonomis tinggi), perikanan budi daya terutama budi daya laut dengan komoditas unggulan rumput laut jenis E. cottonii dan karamba apung untuk ikan kerapu. Kegiatan pengolahan hasil perikanan yang berkembang di wilayah ini adalah penggaraman ikan. Pariwisata bahari merupakan daya tarik utama di Kecamatan Karimunjawa.

Sarana dan prasarana pendukung di Kecamatan Karimun terdiri dari dua pelabuhan, yaitu Pelabuhan Karimunjawa di Desa Karimunjawa dan Pelabuhan Legon Bajak di Desa Kemojan serta Bandara Dewandaru. Fasilitas kegiatan perikanan berupa satu unit Pelabuhan Pendaratan Ikan di Desa Karimunjawa. Kendala utama pengembangan kawasan pesisir di Karimunjawa adalah pengelolaan perairan Karimunjawa menjadi wewenang dan pengaturan Balai Taman Nasional Karimunjawa. Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara mempunyai wewenang administratif di daratan sebagai fokus pengembangan wilayah.

Kawasan II (Kecamatan Jepara dan Kecamatan Mlonggo) merupakan wilayah dengan fasilitas pendukung kegiatan perikanan dan kelautan yang relatif lengkap. Kendala utama pengembangan adalah belum meratanya fasilitas penunjang perikanan dan kelautan di desa-desa pesisir karena adanya konsentrasi kegiatan di beberapa desa pesisir. Pengembangan kawasan akan membuat pemerataan di seluruh desa sehingga perekonomian desa-desa pesisir di kawasan ini akan mengalami peningkatan.

Kawasan III (Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kembang, Kecamatan Keling, dan Kecamatan Donorojo) dan Kawasan IV (Kecamatan Karimunjawa), pengembangan kawasan difokuskan dengan memperbaiki fasilitas penunjang kegitan perikanan dan kelautan antara lain perbaikan jalan produksi perikanan, perbaikan saluran tambak rakyat, peningkatan alur masuk kapal, dan peningkatan fungsi TPI. Fasilitas yang perlu ditambah pada kawasan III dan IV adalah peningkatan fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pendirian pabrik es guna menunjang kegiatan penangkapan ikan.

Berdasarkan analisis sumber daya sebagai modal pengembangan wilayah, yakni ketersediaan sarana dan prasarana wilayah serta keberadaan sumber daya alam pesisir dan laut, dan prioritas pengembangan kawasan pesisir oleh para ahli maka pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara diarahkan ke kawasan IV, yaitu Kecamatan Karimunjawa. Kecamatan Karimunjawa dipilih sebagai fokus

Page 144: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 135

pengembangan kawasan pesisir berdasarkan potensi subsektor perikanan dan kelautan melalui pariwisata bahari yang memanfaatkan jasa lingkungan pesisir dan laut.

Pengembangan pariwisata bahari di kawasan pesisir memerlukan pengembangan sarana dan prasarana penunjang pariwisata baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengembangan sarana dan prasarana pariwisata perlu mempertimbangkan aspek social, yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pemeliharaan untuk menunjang aktivitas pariwisata yang berkelanjutan, aspek ekonomi pengembangan sarana dan prasarana pariwisata akan menarik wisatawan untuk datang berkunjung sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir, aspek lingkungan berupa kesadaran dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tidak merusak lingkungan serta aspek kelembagaan (Fajriah dan Mussadun, 2014).

Pengembangan kawasan pesisir tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat dan kelembagaan yang kuat. Pemerintah daerah perlu melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir baik para pelaku utama (nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah hasil perikanan) dan pelaku usaha perikanan (bakul ikan baik skala kecil maupun skala besar) serta pelaku usaha pariwisata. Instrumen kebijakan pemerintah daerah perlu dalam mengurangi ketergantungan sosial pelaku utama (ijon, tengkulak) untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Pemerintah daerah juga perlu menciptakan model pembiayaan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan, pembudi daya ikan dan pelaku pariwisata) melalui penguatan kelembagaan dan pelatihan-pelatihan bisnis yang meningkatkan

kemampuan usaha masyarakat pesisir.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Peran subsektor perikanan dan kelautan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Jepara masih rendah sehingga belum mampu menjadi penggerak perekonomian domestik regional Kabupaten Jepara. Upaya untuk mendorong keterkaitan antarsubsektor kegiatan perikanan dengan sektor perekonomian wilayah diperlukan dengan pengembangan industri hilir yang memanfaatkan output kegiatan perikanan sebagai bahan baku produksinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan subsektor perikanan dan kelautan melalui keterkaitan langsung maupun tidak langsung pada sektor

Page 145: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

136 Direktori Mini Tesis-Disertasi

perekonomian yang mempunyai potensi pengembangan ke depannya, yaitu industri jasa kemaritiman melalui pariwisata bahari.

2. Hirarki tingkat perkembangan wilayah berdasarkan sarana dan prasarana wilayah menunjukkan kecamatan pesisir lebih maju perkembangan wilayahnya bila dibandingkan kecamatan pedalaman. Desa pesisir yang mempunyai tingkat perkembangan wilayah yang tinggi merupakan desa yang mempunyai sarana prasarana penunjang perikanan yang cukup lengkap. Ketersediaan sarana prasarana penunjang wilayah pesisir antara lain pelabuhan penyeberangan, tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Kualitas pelabuhan perikanan ditingkatkan dengan memperbaiki senderan kapal serta meningkatkan fungsi alur masuk kapal, SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan). Ketersediaan fasilitas pendukung perikanan budi daya melalui ketersediaan kios sarana produksi perikanan, jalan produksi perikanan dan saluran tambak. Pembangunan pabrik pengolahan pasca panen untuk hasil-hasil perikanan diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah hasil perikanan di kawasan pesisir yang dikembangkan. Keberadaan hotel dan restoran perlu untuk ditambah guna mendukung kegiatan pariwisata bahari yang dikembangkan. Pembangunan fasilitas sarana dan prasarana di kawasan pesisir sebagai salah satu sumber daya modal pembangunan, menjadi prioritas dalam pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara.

3. Potensi wilayah pesisir Kabupaten Jepara melalui hasil valuasi sumber daya alam pesisir dan laut sangat besar. Pengembangan subsektor perikanan dan kelautan melalui pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut perlu memperhatikan keberlanjutan ekosistem untuk menjaga stok sumber daya alam sebagai modal pembangunan wilayah.

4. Prioritas pengembangan kawasan pesisir berdasarkan persepsi stakeholder memandang ketersedian sarana prasarana penting dalam pengembangan kawasan pesisir ke depan. Kawasan IV (Kecamatan Karimun) menjadi prioritas pengembangan kawasan pesisir melalui kegiatan pariwisata bahari. Arahan pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Jepara adalah pengembangan Kecamatan Karimunjawa untuk kegiatan pariwisata bahari.

Page 146: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

HGU: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN? (KAJIAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR DAN PEMEKARANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH)

Nama : Luthfian Riza Sanjaya

Instansi : Kementerian Agraria dan Tata

Ruang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 147: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

138 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Ketimpangan pembangunan wilayah adalah masalah umum yang dihadapi oleh semua provinsi di Indonesia, tidak terkecuali Provinsi Kalimantan Tengah. Ketimpangan wilayah bersumber dari factor-faktor yang seharusnya bisa diminimalisir. Tujuan penelitian ini antara lain 1) menganalisis trend ketimpangan pembangunan regional di provinsi Kalteng dan faktor yang mempengaruhinya 2) menganalisis hirarki perkembangan wilayah di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan pemekarannya 3) menganalisis penguasaan HGU pada Kabupaten Kotawaringin Timur dan pemekarannya serta dampaknya bagi perkembangan wilayah, 4) menyusun rencana arahan dan kebijakan pengembangan wilayah. Metode yang digunakan yaitu Indeks Williamson, Regresi Berganda dengan Unbalanced Panel, Skalogram berbobot, GWR (Geographical Weighted Regression), CA Markov, overlay SIG, dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan di Provinsi Kalteng cenderung menurun dengan sumber-sumber ketimpangan yang signifikan berupa Rasio HGU (Hak Guna Usaha), Jumlah Penduduk Miskin, Indeks Perkembangan Kabupaten, Jumlah Penduduk, dan Indeks Pembangunan Manusia. Tingkat ketimpangan wilayah melalui perkembangan wilayah di level kecamatan menunjukkan adanya ketimpangan antara wilayah utara dan selatan di Kabupaten Kotim dan pemekarannya sehingga memunculkan gap hirarki yang cukup besar.

RHGU merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling dominan dibanding faktor lainnya, bahkan pada tahun 2014 tingkat pengaruhnya di seluruh wilayah penelitian menjadi semakin tinggi diikuti faktor IPSDM yang juga semakin tinggi di tahun 2014. Ketimpangan kepemilikan HGU juga memicu tersendatnya pemerataan ekonomi di wilayah penelitian. Ketimpangan rasio penguasaan tanah HGU antara personal company dan holding company di wilayah Kabupaten Kotim, Katingan dan Seruyan sudah sangat kritis terutama ketimpangan pemilik tanah ber hgu antara yang bersifat personal company dan holding company. Pemilik tanah HGU yang bersifat holding company menguasai hampir 80 persen tanah perkebunan yang berHGU. Kondisi ini jika dibiarkan begitu saja dapat memicu adanya konflik agraria dan dominasi kepentingan yang dapat mengganggu proses pembangunan wilayah itu sendiri serta akan menimbulkan dampak kesenjangan sosial.

Page 148: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 139

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, rencana pengembangan wilayah di Kabupaten Kotim, Seruyan dan Katingan diarahkan pada wilayah kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam kategori hirarki 3 atau wilayah yang relatif tertinggal melalui pembangunan atau pengembangan infrastruktur fasilitas umum sehingga diharapkan mampu menekan kebocoran dan ketimpangan wilayah. selain itu, perlu diimbangi dan dibarengi suatu tindakan politis teknis yang berupa kebijakan dalam rangka pengembangan wilayah, khususnya di Kabupaten Kotim, Seruyan dan Katingan antara lain, peningkatan indeks potensi sumberdaya manusianya melalui peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan konsumsi; pengendalian secara tegas atau bahkan moratorium terhadap penerbitan izin baru HGU terutama kepada perkebunan-perkebunan besar (Holding Company). Pelaksanaan amanat undang-undang perkebunan yang berupa pengalihan sebagain konsesi HGU atau alokasi 20 persen dari izin HGU untuk dimanfaatkan atau diserahkan masyarakat lokal atau koperasi rakyat.

Kata kunci: GWR, HGU, dan Ketimpangan

Page 149: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

140 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

Inequality of regional development is a common problem faced by all provinces in Indonesia, not least the Province of Central Kalimantan. Regional inequality stems from factors that should be minimized. The aims of this research were 1) to tanalyze the trend of regional development inequality in central kalimantan province and the factors that influence it; 2) to analyze the hierarchy of regional development in kotawaringin timur (kotim) regency and developing area; 3) to analyze the ratio concession of HGU (Hak Guna Usaha) also it‘s impact for regional development in Kotawaringin Timur regency and developing area; and 4) to prepare regional directives and policy development plans. The method used are williamson’s index, multiple regression with unbalanced panel, weighted skalogram, GWR, CA Markov, SIG overlay, and deep interview. The results of this study indicated that the level of inequality in central kalimantan province tends to decreased with significant sources of inequality in the form of HGU ratio, number of poor people, regency development indicators, population, and human development index. While the level of regional inequality through the development of the region at the sub-district level showed the imbalance between the northern and southern regions in kotim regency and fractional districts resulted in a huge hierarchy gap.

Ratio HGU was the factor that has the greatest influence compared to other factors, even in 2014 the level of influence in all research areas become higher followed by IPSDM factor which is also higher in 2014. HGU owners held a holding company account for almost 80 percent of plantation land. This condition could lead to agrarian conflicts and dominance of “interests” that could disrupt the process of regional development itself and would cause the social inequality.

Based on the results of the research, the regional development planning in Kotim, Seruyan and Katingan districts is directed to the sub-districts belonging to the category of hierarchy 3 or relatively lagging areas through the development or development of public facilities infrastructure so that it was expected to reduced leakage and regional imbalanced. In addition, it should be balanced and accompanied by a technical political action in the form of policies in the framework of regional development, especially in Kotim, Seruyan and Katingan districts for example improving the human resource potential index by improving the quality of education, health, employment and consumption; strict controlled or even a moratorium on the issuance of new HGU concession, primarily to large plantations (Holding Company). The implementation of the mandate of a plantation law in the form of giving out some concession of HGU or allocation of 20 percent from HGU concession to be

Page 150: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 141

used by local community or community cooperative. Thus, the urgency of agrarian reform in plantation areas and moratorium on HGU is important to be implemented immediately.

Keywords: GWR, HGU, Inequality

Page 151: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

142 Direktori Mini Tesis-Disertasi

HGU: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN?(KAJIAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH

KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR DAN PEMEKARANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH)

A. Latar Belakang

Saat ini Hak Guna Usaha (HGU) lebih banyak menimbulkan masalah baru daripada sebagai solusi karena keberadaan HGU, sedikit banyak telah menyita ruang hidup masyarakat disekitarnya. Belum lagi klaim tanah masyarakat secara sepihak sebagai bagian dari konsesi HGU, masalah adaptasi masyarakat terhadap lingkungan yang baru dan ancaman kerusakan lingkungan menjadikan HGU tersebut sebagai momok bagi masyarakat lokal. Bagaimana tidak, konsesi HGU telah mengubah sebagian besar mata pencaharian masyarakat dan cara hidup mereka menjadi pekerja kebun. Secara tidak langsung hadirnya perusahaan-perusahaan perkebunan HGU telah menciptakan suatu efek ketergantungan dengan masyarakat. Perusahaan membutuhkan tanah dan tenaga kerja sedangkan masyarakat membutuhkan upah. Ketergantungan ini bisa jadi tidak saling menguntungkan jika kepentingan perusahaan lebih mendominasi. Menurut data Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Tengah rasio (luas) Hak Guna Usaha (HGU) terbesar berada di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan sekitarnya. Kabupaten Seruyan dan Katingan sebagai kabupaten yang bersebelahan juga termasuk dalam area konsesi HGU. Distribusi HGU pada tiga kabupaten tersebut berupa komoditas perkebunan kelapa sawit dengan kepemilikan HGU, yakni pihak swasta.

Selanjutnya, kembali pada aspek historis wilayah penelitian. Menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2002, Kabupaten Kotim mengalami pemekaran wilayah yang semula satu kabupaten menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kotim sebagai kabupaten induk dan Kabupaten Seruyan dan Katingan sebagai kabupaten pemekarannya. Menurut Agusta (2014) ketimpangan wilayah provinsi secara umum hampir pasti lebih rendah daripada ketimpangan wilayah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, kajian ini juga akan menyentuh pada level kabupaten di tiga kabupaten, sekaligus sebagai evaluasi pembangunan di wilayah tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka analisis ketimpangan pembangunan wilayah regional di Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Kotim serta pemekarannya dinilai penting untuk ditindaklanjuti melalui penelitian lebih dalam sehingga dapat menjadi media pembelajaran peneliti khususnya dan bahan pertimbangan pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah umumnya dalam upaya untuk

mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Page 152: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 143

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Sejak tahun 2002, Kabupaten Seruyan dan Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah telah memisahkan diri dari Kabupaten Kotim sebagai induknya. Namun, sampai saat ini pembangunan wilayah pada Kabupaten Seruyan dan Katingan masih tertinggal dibandingkan pembangunan wilayah di Kabupaten Kotim. Kondisi ini tercermin dari besarnya PDRB perkabupaten sebagai indikator umum dalam pembangunan dan kontribusinya terhadap PDRB total Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, jika dilihat dari penguasaan tanah HGU, Kabupaten Kotim memiliki jumlah dan penguasaan HGU yang lebih banyak daripada kabupaten pemekaraanya sehingga terkesan konsentrasi perkembangan wilayah masih terpusat pada kabupaten induk. Sampai saat ini, belum terlihat adanya peningkatan kesejahteraan yang signifikan pada wilayah-wilayah pemekaran, bahkan dari beberapa penelitian dapat diketahui bahwa wilayah pemekaran baru lebih berupa kantong kemiskinan dan posisinya masih di bawah wilayah induk (Bappenas 2007 dalam Agusta, 2014). Bahkan, menurut data BPS (2017) menunjukkan Kabupaten Kotim merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di provinsi. Kondisi ini diduga disebabkan oleh distribusi penguasaan tanah yang tidak merata dimana para pemilik HGU menguasai tanah yang sangat luas, sementara masyarakat lokal sebagai pemilik tanah semakin terhimpit dan terbatas ruang hidupnya. Adanya ketimpangan kepemilikan lahan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya kesenjangan kesejahteraan, terutama bagi rakyat yang meggantungkan hidupnya dari penguasaan tanah (Sekretariat Presiden, 2017). Sebagian dari mereka harus beradaptasi dengan ekosistem alam yang baru seiring dengan tingginya laju konversi hutan menjadi perkebunan. Belum lagi menurut FWI (Forest Watch Indonesia) isu kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari proses konversi hutan tersebut dan potensi konflik di wilayah HGU. Masih menurut FWI di tahun 2015 ekspansi perkebunan sawit turut menyebabkan kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca dengan kerugian biaya ekonomi kesehatan lingkungan ditaksir mencapai 16,1 milyar dollar. Berangkat dari keprihatinan tersebut mendorong penulis untuk memasukan unsur penguasaan HGU dalam kajian analisis ini, terutama dalam pengaruhnya terhadap pembangunan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah.

Dengan demikian, pembangunan wilayah bukanlah hasil dari proses instan, melainkan hasil perubahan secara sengaja dan terencana melalui sinergitas berbagai aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan serta komunikasi yang baik antarlembaga pemerintahan demi terwujudnya cita-cita pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan hasil pembangunan dan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan factor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan wilayah. Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Page 153: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

144 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. Bagaimana kondisi ketimpangan antarkabupaten atau kota di Provinsi Kalimantan Tengah serta factor-faktor apa saja yang memengaruhinya?

2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah pada Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan?

3. Bagaimana kondisi penguasaan tanah HGU pada Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan serta pengaruhnya terhadap ketimpangan wilayah?

4. Bagaimana arahan dan kebijakan pembangunan wilayah pada tiga kabupaten tersebut?

Lokasi penelitian ini adalah Provinsi Kalimantan Tengah dan pembahasan lebih mendalam pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kotim, Katingan, dan Seruyan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2017. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pejabat di lingkungan BPN Kalimantan Tengah, sedangkan data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari beberapa instansi pemerintah. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berbeda untuk tujuan masing-masing. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah analisis overlay, analisis regresi data panel, analisis Geographically Weighted Regression (GWR), analisis skalogram, Indeks Williamson, Klassen Typologi, analisis CA Markov, dan analisis

deskriptif.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Deskripsi Wilayah

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu wilayah administratif yang terletak di Pulau Kalimantan, Indonesia. Provinsi ini memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu 153,564 km2 dan merupakan provinsi dengan wilayah terluas ke dua di Indonesia setelah Provinsi Papua. Penataan ruang Provinsi Kalimantan Tengah diatur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2015, mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah maka kawasan hutan Provinsi ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Kawasan Hutan Lindung (3,630,142 Ha) dan Kawasan Budi daya (12,120,330 Ha). Kawasan Budi daya terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 3,335,571 Ha, Hutan Produksi (HP) seluas 3,896,706 Ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 2,258,274 Ha, dan Area Penggunaan Lain (APL) seluas 2,629,779 Ha.

Berlakunya undang-undang otonomi daerah memberikan pula kesempatan kepada Provinsi Kalimantan Tengah untuk mengelola urusan pemerintahan yang bersifat otonom dan tata kelola pembangunan secara mandiri. Berdasarkan

Page 154: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 145

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 Provinsi Kalimantan Tengah yang semula terdiri atas 5 kabupaten dan 1 kota kemudian dimekarkan menjadi beberapa kabupaten sehingga menjadi 13 kabupaten dan 1 kota. Salah satu kabupaten yang mengalami pemekaran adalah Kabupaten Kotawaringin Timur sebagai kabupaten induk yang kemudian dipecah menjadi Kabupaten Katingan dan Seruyan sebagai kabupaten pemekarannya. Kabupaten-kabupaten tersebut merupakan bagian dari objek kajian dalam penelitian.

Berbeda dengan sebagian besar posisi ibu kota kabupaten lainnya yang terletak di tengah, Kabupaten Seruyan memiliki letak ibu kota yang unik, yaitu berada dibagian ujung atau bagian hilir Sungai Seruyan yang panjangnya mencapai 350 km. Dengan demikian, rata-rata jarak ibu kota ke kecamatan menjadi sangat tinggi, yaitu berkisar 281,4 km. Secara morfologi wilayah Kabupaten Seruyan memanjang mengikuti aliran Sungai Seruyan dari utara dengan topografi berbukit-bukit dan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat sampai ke selatan atau hilir yang memiliki kondisi topografi relatif rendah atau berupa hamparan dataran rendah yang berbatasan dengan Laut Jawa. Kabupatan ini secara astronomis terletak pada 0077‘ Lintang Selatan dan 3056‘ Lintang Selatan dan 111049‘ Bujur

Timur–112049‘.

2. Dinamika Ketimpangan Regional Kalimantan Tengah

Tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah dapat dilihat dari rata-rata kabupaten dengan tingkat ketimpangan tertingi, yaitu pada Kabupaten Kapuas, sedangkan ketimpangan terendah, yaitu Kota Palangkaraya. Faktor jumlah penduduk yang padat membuat Kabupaten Kapuas memiliki ketimpangan yang tinggi, sedangkan Kota Palangkaraya meski PDRB tidak terlalu tinggi, namun diikuti jumlah penduduk yang tergolong tidak padat sehingga ketimpangan wilayah juga rendah. Pada penelitian ini ditemukan sembilan kabupaten yang memiliki nilai IW lebih dari 1, yakni Kabupaten Barito Selatan, Kotawaringin Barat, Sukamara, Gunung Mas, Katingan, Barito Utara, Pulang Pisau, dan Kapuas. Hal ini menunjukkan tingkat ketimpangan yang sangat besar. Senada dengan hasil penelitian Pravitasari (2009) tentang disparitas regional di Pulau Jawa sebelum dan sesudah otonomi daerah yang menghasilkan nilai IW lebih dari 1. Kabupaten Katingan sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kotim termasuk kategori kabupaten dengan tingkat ketimpangan sangat besar.

Kabupaten Kotim termasuk pada kabupaten dengan tingkat ketimpangan terendah kedua dengan rata-rata nilai indeks 0,29, sementara daerah pemekaraanya, yaitu Kabupaten Seruyan dan Katingan memiliki ketimpangan

Page 155: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

146 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pembangunan yang tinggi dengan rata-rata indeks ketimpangan 0,6 dan 1,7. Dengan demikian, Kabupaten Katingan dan Seruyan sebagai kabupaten pemekaran masih belum menyamai pemerataan pembangunan di Kabupaten Kotim sebagai kabupaten induknya, meski dari nilai rata-rata ketimpangan wilayah periode tahun 2008 sampai dengan 2016 Kabupaten Seruyan berada tepat di bawah Kabupaten Kotim. Selain itu, peran Kabupaten Kotim terhadap provinsi ternyata juga sangat penting. Kabupaten ini merupakan penyumbang terbesar PDRB untuk provinsi selama 10 tahun terakhir dan sekaligus berkontribusi besar terhadap pemerataan pembangunan secara regional di Provinsi Kalimantan Tengah. Maksudnya, apabila kabupaten ini dikeluarkan dari analisis IW maka nilai IW untuk provinsi akan semakin naik 8-9 persen dari nilai IW sebelumnya atau ketimpangan wilayah semakin naik. Misalnya, tahun 2016 jika Kabupaten Kotim dikeluarkan dari analisis maka nilai IW akan naik dari 0,198 menjadi 0,217 atau naik 8,75 persen, kontribusi ini terbesar jika dibandingkan dengan kabupaten lain. Bahkan dengan Kota Palangkaraya sekalipun yang hanya berkontribusi ± 5 persen terhadap pemerataan pembangunan.

3. HGU Sebagai Faktor Dominan Penyebab Ketimpangan Regional

Dalam rangka mengidentifikasi sumber-sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Kalimatan Tengah maka digunakan analisis regresi data panel yang terdiri dari data cross section berupa 13 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Tengah serta data time series dari tahun 2008-2016. Tujuan digunakannya regresi data panel menurut Baltagi (1995) dalam Firdaus (2011) di antaranya dapat meneliti karakteristik individu yang mencerminkan dinamika antarwaktu dari tiap-tiap independent sehingga analisis lebih komprehensif dan mendekati kenyataan. Nilai ketimpangan antarkabupaten (IW) digunakan sebagai data dependent, sedangkan data independent yang digunakan berupa data RHGU (Rasio HGU perkabupaten), IPK (Indeks Perkembangan Kabupaten), IPM (Indeks Perkembangan Manusia), PDRBP (PDRB Per kapita), KP (Kepadatan Penduduk), PMIS (Penduduk Miskin), PAD (Pendapatan Asli Daerah), dan PEND (jumlah Penduduk). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari dari Uji Hausman pada taraf nyata 5 persen menyatakan model yang paling baik digunakan untuk menggambarkan ketimpangan pembangunan adalah model REM (Random Effect Model), hal ini dibuktikan dengan nilai uji hausman sebesar 0,5420 yang berarti lebih dari 0,05 (α = 5 persen). Hasil uji asumsi klasik berupa multikolineritas dan heteroskedasitas diperoleh bahwa model ini bebas dari masalah heteroskedasitas, namun masih terdapat masalah multikolineritas, yaitu pada faktor PEND dan PMIS. Untuk mengatasi permasalahan multikolineritas maka digunakanlah metode SUR (Seemingly Unrelated Regression) sehingga dihasilkan galat yang lebih kecil (Widyaningsih et al., 2014).

Page 156: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 147

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel di atas, menunjukkan variabel kemiskinan, yang diwakili oleh jumlah penduduk miskin (PMIS) berpengaruh negatif dan signifikan di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas 0,05 (α=5 persen). Dari hasil persamaan regresi panel dapat dijelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin 1 persen maka ketimpangan wilayah akan menurun sebesar 0,089 persen, ceteris paribus. Hasil ini berbeda dengan penelitian yusuf et al. (2014) yang menyatakan salah satu cara untuk mengurangi tingkat ketimpangan wilayah di Indonesia dengan mengurangi tingkat kemiskinan. Lebih lanjut lagi hasil penelitian oleh Ginting (2015) juga menyatakan hal yang sama, yaitu hubungan positif antara tingkat ketimpangan wilayah dan kemiskinan. Semakin tinggi tingkat ketimpangan pembangunan di suatu wilayah maka akan mendorong peningkatan kemiskinan di wilayah tersebut. Dengan demikian, korelasi negatif antara faktor kemiskinan dan tingkat ketimpangan wilayah yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan suatu fenomena yang unik karena berbeda dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. Kondisi langka ini bisa terjadi karena menurut BPS (2011) tingkat penduduk miskin didominasi oleh masyarakat perdesaan yang hidup pada sektor pertanaian, dimana sektor pertanian ini menjadi sektor unggulan di hampir semua wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah. Angka koefisien yang sangat kecil menunjukkan faktor ini tidak terlalu berpengaruh terhadap terjadinya ketimpangan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah.

Variabel lain yang secara signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan wilayah adalah variabel penduduk. Ini ditunjukkan dari hasil regresi dengan nilai probabilitas 0,007 atau di bawah 0,05 (α=5 persen). Hal ini menunjukkan setiap kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1 persen maka tingkat ketimpangan wilayah akan naik sebesar 0,0000123 persen, ceteris paribus. Angka koefisien ini sangatlah kecil, bahkan setara dengan nol dan lebih kecil daripada faktor kemiskinan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Barika (2012) yang menyatakan jumlah penduduk merupakan faktor yang signifikan terhadap ketimpangan wilayah. Lebih lanjut lagi Barika (2012) menambahkan bahwa korelasi yang dihasilkan adalah positif, yaitu semakin besar penambahan jumlah penduduk maka tingkat ketimpangan wilayah yang terjadi juga akan semakin besar.

Selanjutnya variabel IPM. Menurut hasil regresi data panel menunjukkan variabel tersebut berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah dengan nilai probabilitas 0,000 dan angka koefisien sebesar -0,1759. Nilai tersebut menandakan jika terjadi penurunan nilai IPM sebesar 1 persen maka tingkat ketimpangan wilayah akan mengalami kenaikan sebesar 0,1759 persen.

Page 157: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

148 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Syahrial et al. (2015) yang menyatakan tingkat ketimpangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat pada era otonomi daerah dipengaruhi oleh varibel IPM secara positif, artinya pertumbuhan IPM ternyata memicu terjadinya ketimpangan wilayah semakin lebar.

Secara umum hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah secara signifikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor RHGU (rasio penguasaan HGU), IPK (indeks perkembangan kabupaten), PMIS (Penduduk Miskin), PEND (Jumlah Penduduk), dan IPM (Indeks Perkembangan Manusia). Faktor-faktor lain seperti PDRBP, KP (kepadatan penduduk), dan PAD tidak signifikan memengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah. Faktor RHGU merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah, ini ditunjukan oleh nilai koefisien RHGU paling besar di antara nilai koefisien factor-faktor lain. Berdasarkan hasil regresi d iatas juga dapat diketahui apabila factor-faktor penyebab ketimpangan wilayah tersebut tidak mengalami perubahan atau stagnan maka indeks ketimpangan akan bernilai positif. Hal ini menandakan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah akan cenderung naik jika faktor-faktor penyebab ketimpangan wilayah pada kondisi yang konstan atau tidak terjadi perubahan.

4. Arahan Rencana dan Kebijakan Pengembangan Wilayah

Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan konsesi-konsesi HGU tersebut memang terbukti menurunkan tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di level provinsi. Faktor penguasaan HGU menjadi faktor yang paling dominan dan signifikan memengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah. Semakin tinggi konsesi HGU yang ada maka semakin besar menekan ketimpangan pembangunan wilayah yang ada. Dalam hal ini, Kabupaten Kotim menjadi kabupaten tertinggi kontribusinya untuk menekan ketimpangan wilayah. Sebaran konsesi HGU yang ada di sebagian besar wilayah Kotim telah menjadikan kabupaten ini pemilik konsesi HGU terluas se-Kalimantan Tengah. Ketimpangan pembangunan wilayah yang rendah di Provinsi Kalimantan Tengah pada kurun waktu delapan tahun terakhir mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kurun waktu tersebut cenderung merata. Namun demikian, yang perlu digaris bawahi bahwa euforia pertumbuhan ekonomi tersebut belum tentu mengindikasikan pemerataan ekonomi pada level di bawahnya (kecamatan).

Selanjutnya, hasil penelitian pada level kecamatan di Kabupaten Kotim, Katingan, dan Seruyan menunjukkan terjadinya penurunan hirarki wilayah pada periode waktu 2008 sampai dengan 2014. Tahun 2014, presentase wilayah

Page 158: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 149

kecamatan yang relatif tertinggal semakin besar. Gap ini menimbulkan ketimpangan wilayah antara utara dan selatan, dimana wilayah selatan yang notabene konsesi HGU-nya lebih sedikit relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah utara.

Analisis pada tingkat kecamatan juga memperlihatkan bahwa faktor penguasaan konsesi HGU masih menjadi faktor yang dominan, disamping faktor potensi sumber daya manusia. Pada level ini semakin terlihat peran konsesi HGU tersebut dalam menurunkan perkembangan wilayah kecamatan yang ada. Tahun 2014 peran konsesi HGU dalam menurunkan hirarki wilayah kecamatan semakin menjadi dibandingkan tahun 2008. Menurut hasil GWR peran konsesi HGU tersebut dalam menurunkan hirarki wilayah kecamatan meningkat hampir 4 kali dari tahun 2008 di semua lokasi wilayah penelitian.

Periode waktu tersebut memperlihatkan sejauh mana penguasaan konsesi HGU tersebut semakin luas di seluruh wilayah penelitian sehingga ketersediaan tanah (ruang) untuk mengembangkan sarana dan prasarana wilayahnya juga semakin terbatas, alhasil kondisi ini akan menyulitkan pemerintah daerah khususnya dalam mengembangkan wilayahnya. Kondisi ini menarik sehingga menjadi perhatian tersendiri bagi penulis.

Oleh karena itu, sebagai informasi tambahan penulis mencoba melakukan kajian peramalan (forecasting) terhadap perkembangan konsesi HGU di wilayah Kabupatan Kotim dan Katingan tahun 2024. Hasilnya, pada tiga kabupaten tersebut menunjukkan peningkatan konsesi HGU yang signifikan. Bahkan menurut hasil peramalan, konsesi HGU di Kabupaten Katingan akan meningkat hampir 80 persen di tahun 2024. Jika hal ini benar terjadi, merujuk pada hasil penelitian ini maka semakin banyak wilayah-wilayah kecamatan yang akan tertinggal, dan boleh jadi ketimpangan wilayah juga akan semakin besar pada level ini. Untuk mengatasinya kebijakan terkait tata ruang jelas dibutuhkan, yaitu membatasi alokasi ruangnya. Namun demikian, hal itu juga akan sulit terealisasi jika berpatokan pada alokasi ruang saat ini. Bagaimana tidak, menurut analisis ketersediaan ruang berdasarkan pada RTRW, pembangunan berbasis perkebunan yang mengarah pada konsesi HGU masih berpeluang besar.

Berdasarkan urain di atas dapat dirumuskan rencana arahan dan kebijakan pengembangan wilayah di Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan dalam upaya mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan wilayah diperlukan kebijakan seperti moratorium terhadap legalisasi penguasaan tanah melalui pemberian izin HGU di kawasan perkebunan dan urgensi pelaksanaan reforma agraria di kawasan perkebunan-perkebunan besar pemilik HGU sebagai upaya pemerataan ekonomi dan menekan ketimpangan (Soetarto 2004; Barus, 2017) di wilayah Kabupaten Kotim,

Page 159: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

150 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Seruyan, dan Katingan. Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam IDF (Indonesia Development Forum) tahun 2017 juga menegaskan kepemilikan aset dapat menjadi salah satu faktor penentu dalam mengurangi ketimpangan karena tanpa aset produktif yang memadai, masyarakat ekonomi terbawah tidak dapat keluar dari kemiskinan serta tidak dapat meningkatkan pendapatannya. Selain itu, menurut Suci (2017) dalam rangka memberikan pemerataan ekonomi kepada masyarakat dapat dilakukan pula dengan menghidupkan dan melestarikan kembali kegiatan ekonomi kreatif seperti koperasi dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).

Sasaran dan indikator pokok keberhasilan dari misi Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria menyatakan berkurangnya kesenjangan ekonomi dengan meredistribusi tanah menjadi kepemilikan rakyat; berkurangnya kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk dikelola masyarakat; pemerataan pembangunan dan pengurangan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru serta tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat, daerah, dan desa.

Peningkatan pembangunan infrastruktur fasilitas umum juga harus lebih intensif, terutama pada wilayah kecamatan berhirarki III pada tiap-tiap kabupaten untuk mencegah adanya kebocoran wilayah. Pembangunan pada hierarki-hierarki tersebut difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana umum seperti fasilitas perekonomian, pendidikan, kesehatan, hiburan, peribadatan, telekomunikasi, transportasi, akomodasi, dan industrialisasi. Industrialisasi di sini yang dimaksud adalah pembangunan pabrik-pabrik pengolahan sawit dan sektor ekonomi hilir lainnya sehingga mampu menyerap tenaga kerja dan menekan kebocoran wilayah (Rustiadi et al., 2011). Hal ini tentunya harus dibarengi dengan upaya intensif dalam rangka meningkatkan potensi sumber daya manusianya.

Kebijakan dalam rangka peningkatan potensi sumber daya manusianya ini secara eksplisit juga sudah menjadi program sasaran pokok pemerintah daerah, seperti yang sudah tercantum dalam RPJP Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan. Artinya, kebijakan ini telah menjadi bagian dari rencana pembangunan ke depan dan sejalan dengan visi pembangunan wilayah kabupaten-kabupaten tersebut.

Kebijakan lain terkait kritik terhadap instansi BPN dalam hal ini agar lebih meningkatkan pengawasan dan pengendalian dalam menerbitkan HGU, khususnya pertimbangan dalam hal alokasi ruang, kondisi ekonomi, dan sosial masyarakat serta aspek lingkungan. Namun, implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut

Page 160: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 151

seyogyanya perlu untuk ditingkatkan dan didukung penuh oleh pemerintah daerah dan seluruh stakeholder.

D. Kesimpulan

Tingkat ketimpangan pembangunan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah periode delapan tahun terakhir, yaitu tahun 2008 sampai dengan 2016 cenderung mengalami penurunan dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mulai merata dengan sumber-sumber ketimpangan yang signifikan berupa rasio luas penguasaan HGU, jumlah penduduk miskin, Indeks Perkembangan Kabupaten, Jumlah penduduk dan Indeks Pembangunan Manusia.

Perkembangan wilayah pada level kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Katingan periode 2008 sampai dengan 2014 menunjukkan adanya penurunan dan kenaikan perkembangan wilayah, namun sebagian besar cenderung tetap. Akan tetapi, jika dilakukan perbandingan berdasarkan nilai IPK-nya maka perkembangan wilayah pada tiga kabupaten tersebut masih relatif tertinggal yang ditandai dengan jumlah kelas hirarki III (wilayah relatif tertinggal) yang lebih dominan. Selain itu, ditemukan pula adanya pergeseran pola hirarki tinggi (wilayah maju) dari yang semula berpusat pada tiap-tiap ibu kota kabupaten berpindah ke bagian selatan pada tiap-tiap kabupaten tersebut sehingga memicu ketimpangan antarawilayah utara dan selatan, dimana wilayah selatan lebih maju dibandingkan dengan wilayah utara.

Pengaruh variabel yang digunakan dan korelasinya terhadap perkembangan wilayah hampir sama di seluruh wilayah Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan. Adapun factor-faktor yang paling berpengaruh terhadap ketimpangan wilayah di level kecamatan antara lain rasio luas penguasaan HGU dan Indeks Potensi Sumber Daya Manusia. Rasio luas penguasaan HGU menjadi faktor paling tinggi pengaruhnya dibandingkan dengan faktor lain. Bahkan, tahun 2014 tingkat pengaruhnya di seluruh wilayah penelitian menjadi semakin tinggi diikuti faktor indeks potensi sumber daya manusia dan Jumlah penduduk miskin. Sesuai dengan hasil GWR dimana setiap kenaikan 1 persen rasio luas penguasaan HGU mengakibatkan menurunnya tingkat perkembangan wilayah sebesar 3 persen tahun 2008 dan 12 persen tahun 2014, ceteris paribus. Oleh karena itu, faktor rasio luas penguasaan HGU menjadi penyebab utama menurunnya perkembangan wilayah di Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan. Apalagi hasil proyeksi perubahan luas konsesi HGU tahun 2024 ternyata masih menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat berdampak pada penurunan kondisi sosial dan lingkungan serta memicu konflik agraria yang lebih luas.

Ketimpangan rasio penguasaan tanah HGU antara personal company dan holding company di wilayah Kabupaten Kotim, Katingan, dan Seruyan sudah sangat kritis

Page 161: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

152 Direktori Mini Tesis-Disertasi

terutama ketimpangan pemilik tanah ber-HGU antara yang bersifat personal company dan holding company. Pemilik tanah HGU yang bersifat holding company menguasai hampir 80 persen tanah perkebunan yang ber-HGU. Kondisi ini jika dibiarkan begitu saja dapat memicu adanya konflik agraria dan dominasi kepentingan yang dapat mengganggu proses pembangunan wilayah itu sendiri serta akan menimbulkan dampak kesenjangan sosial.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, rencana pengembangan wilayah di Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan diarahkan pada wilayah kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam kategori hirarki 3 atau wilayah yang relatif tertinggal melalui pembangunan atau pengembangan infrastruktur fasilitas umum dan sentra produksi sehingga diharapkan mampu menekan kebocoran dan ketimpangan wilayah. Selain itu, perlu diimbangi dan dibarengi suatu tindakan politis teknis berupa kebijakan dalam rangka pengembangan wilayah, khususnya di Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan antara lain peningkatan indeks potensi sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan konsumsi; pengendalian secara tegas atau bahkan moratorium terhadap penerbitan izin baru HGU, utamanya pada perkebunan-perkebunan besar (Holding Company). Berdasarkan hasil penelitian ini semakin terlihat model pembangunan wilayah di wilayah penelitian, yakni lebih dominan berbasis pada economic growth sehingga kurang memperhatikan economic

equality.

E. Rekomendasi Kebijakan

Pelaksanaan amanat undang-undang perkebunan berupa pengalihan sebagian konsesi HGU atau alokasi 20 persen dari izin HGU untuk dimanfaatkan atau diserahkan masyarakat lokal atau koperasi rakyat. Perlu adanya upaya pemerataan ekonomi melalui urgensi pelaksanaan reforma agraria di kawasan perkebunan di wilayah Kabupaten Kotim, Seruyan, dan Katingan melalui redistribusi tanah, utamanya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar exHGU sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 dan penerapan politik pemberdayaan masyarakat serta pengintegrasian seluruh skema kebijakan pembangunan yang kewenangannya tersebar di instansi-instansi pemerintah sehingga asas keberlanjutan pembangunan dapat dicapai.

Page 162: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DI KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Nama : Muji Esti Wahyudi

Instansi : Bappeda/Pemkot Bontang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 163: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

154 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kota Bontang merupakan kota industri dan kota termuda di Provinsi Kalimantan Timur, namun laju pertumbuhan penduduknya adalah yang tertinggi. Tidak dapat dipungkiri aktivitas industri merupakan salah satu daya tarik utama dan berdampak terhadap perkembangan wilayah dan penggunaan lahan Kota Bontang. Secara administratif luas Kota Bontang adalah kota terkecil di Provinsi Kalimantan Timur dan di dalamnya terdapat kawasan kehutanan berupa Hutan Lindung Bontang dan Taman Nasional Kutai. Kawasan hutan lindung itu berfungsi menjaga ketersediaan air tanah sebagai air baku di Kota Bontang yang mencapai 30% dari luas wilayah.

PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim memiliki kawasan industri di Kota Bontang penguasaan lahan hingga ±3,588 ha atau sekitar 22% dari luas wilayah Kota Bontang sehingga praktis lahan yang tersedia untuk perkembangan kota hanya sekitar 50%. Rencana pembangunan Kilang Minyak Bontang diprediksi akan semakin meningkatkan daya tarik laju pertumbuhan penduduk Kota Bontang. Keterbatasan lahan untuk pengembangan di Kota Bontang menjadi salah satu alasan pentingnya dilakukan kajian terkait daya dukung lahan berbasis kesesuaian lahan untuk permukiman, agar peruntukan dan pemanfaatan ruangnya sesuai dengan potensi dan mencegah terjadinya degradasi lahan.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun arahan pengembangan kawasan permukiman di Kota Bontang, dengan tujuan sebagai berikut (a) mengidentifikasi penggunaan lahan di Kota Bontang tahun 2002, 2009, dan tahun 2016; (b) menganalisis perubahan dan prediksi penggunaan lahan tahun 2023; (c) menganalisis kesesuaian dan ketersediaan lahan permukiman; dan (d) menganalisis kebutuhan lahan permukiman di Kota Bontang. Identifikasi penggunaan atau penutupan lahan dilakukan melalui interpretasi visual dari citra resolusi tinggi (Quickbird dan Google Earth), perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan metode tumpang susun dengan perangkat lunak Arc GIS 10.1. Evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman dilakukan dengan menggunakan kriteria kawasan peruntukan permukiman berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya, mengacu pada kerangka Food and Agricultural Organization (FAO) dengan metode matching menggunakan prinsip faktor pembatas minimum. Sintesis penelitian ini berupa arahan pemanfaatan ruang untuk permukiman disusun secara deskriptif.

Hasil interpretasi menunjukkan penggunaan lahan Kota Bontang terdiri atas 26 kelas yang didominasi oleh enam jenis penggunaan, dengan urutan dari yang terluas pada tahun 2002 dan 2009 adalah penggunaan lahan hutan, semak, mangrove, permukiman, industri, dan ladang. Tahun 2016 dominasi penggunaan lahan masih tetap

Page 164: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 155

berada pada kelas penggunaan yang sama, tetapi terdapat perubahan urutan terluas menjadi penggunaan lahan semak, hutan, mangrove, permukiman, ladang, dan industri.

Pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bontang pada periode tahun 2002-2009 dan tahun 2009-2016 memiliki pola yang tidak jauh berbeda, dimana penggunaan lahan yang paling banyak mengalami perubahan adalah hutan dan semak, sedangkan penggunaan lahan yang paling banyak menjadi tujuan akhir dari perubahan adalah permukiman. Penggunaan lahan hutan mengalami penurunan yang sangat signifikan dari 5,498 ha menjadi 2,032 ha atau berkurang hingga 63%. Hal itu, disebabkan kebakaran hutan yang melanda Provinsi Kalimantan Timur termasuk Kota Bontang tahun 2015. Semak merupakan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan terbesar dari penggunaan lahan hutan yang berubah akibat kejadian kebakaran hutan. Ladang merupakan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan terbesar kedua setelah semak, di atas permukiman dengan urutan ketiga.

Perkiraan awal penelitian ini adalah permukiman akan menjadi penggunaan lahan paling besar yang mengalami peningkatan. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian, kondisi tersebut menunjukkan potensi perkembangan kota khususnya permukiman ke depan akan semakin besar. Mengingat semak dan ladang adalah penggunaan lahan paling mudah berubah menjadi penggunaan lahan lainnya seperti perkebunan, permukiman atau industri karena sifatnya yang ‘sementara’ dan hanya menunggu waktu untuk berubah menjadi penggunaan lainnya.

Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2023 menunjukkan permukiman akan bertambah 342 ha, merupakan yang tertinggi disusul penggunaan lahan pertanian bertambah 250 ha. Sedangkan penggunaan lahan yang diperkirakan mengalami penurunan terbesar hingga mencapai 538 ha adalah vegetasi lainnya. Sekitar 31% atau 4,864 ha wilayah Kota Bontang berada pada kelas sesuai untuk permukiman, dan 80% kawasan permukiman eksisting di Kota Bontang berada pada kelas sesuai. Ketersediaan lahan permukiman di Kota Bontang di luar kawasan permukiman eksisting mencapai 941 ha yang dapat memenuhi kebutuhan lahan permukiman bahkan hingga tahun 2050 dan bahkan lebih jika dikombinasikan dengan pembangunan rumah susun. Arahan pengembangan kawasan permukiman di Kota Bontang diprioritaskan pada wilayah selatan khususnya Kelurahan Bontang lestari, Gunung Telihan, Bontang Baru, Tanjung Laut, dan Kelurahan Tanjung Laut Indah yang memiliki ketersediaan lahan hingga 563 ha.

Kata kunci: Kebutuhan Lahan, Kesesuaian Lahan, Ketersediaan Lahan, Perumahan, Prediksi Penggunaan Lahan.

Page 165: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

156 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

Bontang was one of industrial city and became the youngest city in East Kalimantan Province with the highest growth rate of population. Industrial activity became pulling factor and was affected regional development and land use in Bontang city. Administrative area of Bontang city was the smallest in East Kalimantan Province. Bontang has forest zone largely 30% from total area consist of Protection Forest and Kutai National Park which have function to protect ground water supply in Bontang city.

PT Badak NGL and PT pupuk Kaltim where were located in industrial zone have 22% of land tenurial largely 3,588 Ha. Based on that facts, land availability in Bontang still remains 50% for city development. The plan of Bontang Oil Refineries was predicted will increase pulling factor of growth rate in Bontang. The lack of land in Bontang city was being a reason to do research about environmental carrying capacity based on land suitability for housing in order to arrange spatial land use suitable with its potency and minimize land degradation.

This research was aimed to (a) identify land use in Bontang city on 2002, 2009 and 2016 (b) analyze land use and prediction of land use in 2023 (c) analyze land suitability and land availability for settlement (d) analyze land needs for settlement, and (e) compile direction for settlement in Bontang. Land use/land cover was identified by visual interpretation from high resolution satellite imagery (Quickbird and Google Earth), land use change was analyzed using overlay method through Arc GIS 10.1. Land suitability for settlement was evaluated referred to regulation of the minister of public work No 41/PRT/M/2007 and FAO framework using matching method. The synthezis of this research conducted by descriptive analysis.

Interpretation result showed that land use in Bontang consist of 26 classes and was dominated by 6 classes from the largest to smallest area respectively forest, bush, mangrove, housing, industrial zone, and dry land (2002 and 2009). Land use in 2016 was still dominated by same classes but there was changing in order of area respectively bush, forest, mangrove, housing, dry land and industrial zone.

Land use change in Bontang city during 2002-2009 has same pattern with period 2009-2016 where forest and bush were changed very rapidly. In the other hand, housing became final result of land use changing process. Forest has been decreased significantly (63%) from 5,498 ha to 2,032 ha. It was caused by forest fire disaster in East Kalimantan on 2015 that also happened in Bontang city. Due to forest fire disaster, bush has been increased significantly followed by dry land and housing.

Early hypotesis of this research predicted that housing will be the largest kind of land use changing. Final result of this research showed different result but from that fact

Page 166: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 157

showed that potency of city development especially in housing will be more prospective in the future. This strenghtened by fact that bush and dry land were changed very rapidly became another land use like estate, housing or industrial zone. This two kinds of land use was just temporay land use and will change by time

Prediction result in 2023 showed that housing will increase 342 ha, followed by agriculture land use that increase 250 ha. While, land use that will decrease was another vegetation. Area of Bontang city was suitable for housing largely 31% or 4,864 ha. Most of existing housing in Bontang city was located in suitable class (80%). Land availability for housing in Bontang city beside existing housing area was 941 ha that can fulfill land needs housing until 2050 even more if combined with flats housing. Direction for housing development in Bontang city was prioritized in south area especially in Bontang Lestari, Gunung Telihan, Bontang Baru, TanjungLaut and Tanjung Laut Indah that have available land largely 563 ha.

Keywords: Housing, Land Availability, Land Requirement, Land Suitability, Land Use Prediction.

Page 167: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

158 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN

DI KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Wilayah perkotaan umumnya memiliki ciri dominasi lahan terbangun dan jumlah penduduk yang relatif tinggi. Luo et al. (2011) menyatakan lebih dari 50% jumlah penduduk di seluruh dunia berada pada wilayah perkotaan. Indonesia sebagai salah satu negara yang paling terurbanisasi di Asia, sejak tahun 2013 populasi perkotaannya telah melampaui populasi pedesaan. Data BPS menunjukkan tahun 2015, populasi perkotaan di Indonesia telah mencapai 135 juta jiwa atau sekitar 53% dari jumlah total populasi (BPS, 2015). Bank Dunia bahkan memperkirakan tahun 2025 jumlah populasi perkotaan di Indonesia akan mencapai 68% (Samad et al., 2016). Secara umum laju pertumbuhan penduduk perkotaan di kota-kota kecil lebih tinggi daripada di kota-kota besar (Fahmi et al., 2014).

Tingginya jumlah penduduk perkotaan baik yang diakibatkan pertumbuhan alami maupun migrasi berimplikasi pada makin besarnya tekanan penduduk terhadap lahan kota, khususnya untuk tempat tinggal dan lahan untuk fasilitas-fasilitas pendukung lainnya (Ruslisan et al., 2015; Sadyohutomo, 2016). Batudoka (2005) menyatakan dua pertiga bagian kota adalah perumahan dan permukiman karenanya arah perkembangan permukiman kota perlu dicermati (Nurhidayati et al., 2016).

Faktor pendorong utama perubahan penggunaan lahan perkotaan adalah pembangunan wilayah (Pribadi et al., 2006) dan tingkat pertumbuhan penduduk (Sitorus et al., 2012; Jat et al., 2017). Perubahan penggunaan lahan tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari adanya pertumbuhan dan perkembangan di suatu wilayah (Rustiadi et al., 2011; Harahap, 2013). Perubahan penggunaan lahan cenderung mengarah pada alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian atau dari lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun.

Kota Bontang adalah kota termuda di Provinsi Kalimantan Timur, awalnya hanya sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai yang mengalami perkembangan pesat karena keberadaan industri PT Badak NGL yang mengelola industri gas alam dan

Page 168: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 159

PT Pupuk Kaltim yang mengelola industri pupuk dan amoniak. Dengan keberadaan dua perusahaan itu akhirnya daerah kecamatan ini menjadi kota otonom tahun 1999. Memiliki laju pertumbuhan penduduk hingga 4.4%, tertinggi di Kalimantan Timur bahkan dibandingkan dengan kota utama seperti Balikpapan (3,8%) dan Samarinda (3,9%).

Luasan wilayah daratan Kota Bontang sekitar 15,837.5 ha, dimana di dalamnya terdapat kawasan kehutanan sekitar 5,294 ha dan lahan penguasaan skala besar untuk industri sekitar 3,588 ha, menunjukkan lahan efektif untuk pembangunan dan pengembangan kota cukup terbatas. Berdasarkan RPJMN dan Perpres Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di dalam negeri akan dibangun Kilang Minyak Bontang yang diyakini akan berdampak besar bagi perkembangan Kota Bontang baik secara fisik maupun sosial ekonomi.

Penggunaan dan pemanfaatan ruang di suatu daerah sebenarnya diatur dalam Rencana Tata Ruang, namun sering terjadi kondisi aktual implementasinya mengalami penyimpangan atau bahkan perencanaannya yang masih kurang tepat. Perencanaan penggunaan lahan bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang optimal dengan memilih penggunaan berdasarkan daya dukung atau kemampuan dan kesesuaian lahannya untuk mencegah terjadinya degradasi lahan (Susetyo et al., 2014; Widiatmaka et al., 2015; Sadesmesli et al., 2017). Permasalahan perkotaan dan permukiman yang sering terjadi adalah banjir dan munculnya kawasan kumuh (Harahap, 2013; Malau, 2013) yang salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung wilayah. Untuk itu, diperlukan perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan dan mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk memetakan dan menganalisis perkembangan kota serta menganalisis perubahan penutupan lahan (Pigawati et al., 2017). Kajian perubahan penggunaan lahan telah banyak dilakukan (Hidayat et al., 2015; Yudarwati et al., 2016; Septiono dan Mussadun,

2016; Prabowo et al., 2017) dan umumnya menggunakan citra resolusi rendah.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Kota Bontang merupakan kota industri dan kota termuda di Provinsi Kalimantan Timur, namun laju pertumbuhan penduduknya merupakan yang tertinggi. Tidak dapat dipungkiri aktivitas industri merupakan salah satu daya tarik utama dan berdampak terhadap perkembangan wilayah dan penggunaan lahan Kota Bontang.

Secara administratif, luas Kota Bontang merupakan yang terkecil di Provinsi Kalimantan Timur, dan didalamnya terdapat kawasan kehutanan berupa Hutan Lindung

Page 169: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

160 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Bontang dan Taman Nasional Kutai yang salah satu fungsi utamanya adalah menjaga ketersediaan air tanah sebagai air baku di Kota Bontang yang mencapai 30% dari luas wilayah. PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim yang memiliki kawasan industri di Kota Bontang juga memiliki penguasaan lahan hingga ±3,588 ha atau sekitar 22% dari luas wilayah Kota Bontang sehingga praktis lahan yang tersedia untuk perkembangan kota hanya sekitar 50%.

Rencana pembangunan Kilang Minyak Bontang diprediksi akan semakin meningkatkan daya tarik laju pertumbuhan penduduk Kota Bontang. Keterbatasan lahan untuk pengembangan di Kota Bontang menjadi salah satu alasan pentingnya dilakukan kajian terkait daya dukung lahan berbasis kesesuaian lahan untuk permukiman, agar peruntukan dan pemanfaatan ruangnya sesuai dengan potensi dan mencegah terjadinya degradasi lahan. Berdasarkan uraian di atas, disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja penggunaan lahan di Kota Bontang tahun 2002, 2009, dan tahun 2016?

2. Bagaimana perubahan penggunaan lahan dan prediksi penggunaan lahan di Kota Bontang tahun 2023?

3. Bagaimana potensi kesesuaian lahan permukiman di Kota Bontang?

4. Bagaimana ketersediaan dan kebutuhan lahan permukiman?

5. Bagaimana arahan pengembangan kawasan permukiman?

Penelitian dilaksanakan di wilayah daratan Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur dengan luas sekitar 15,837.5 ha. Letak Kota Bontang secara geografis adalah 0°1’ Lintang Utara-0°12 Lintang Utara dan 117°23’ Bujur Timu-117°38’ Bujur Timur. Waktu pelaksanaan penelitian dari bulan Juni hingga November 2017. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai instansi di antaranya peta tanah skala 1:50.000 yang bersumber dari Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), peta administrasi, peta SRTM resolusi 30 meter, peta RTRW serta citra satelit tahun 2002, 2009, 2014, dan 2016 yang bersumber dari Bappelitbang Kota Bontang, USGS, LAPAN dan Google Earth. Data kependudukan dan statistik lainnya yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Komunikasi dan Statistik Kota Bontang.

Alat yang digunakan terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1, GlobalMapper 12, Idrisi Selva, dan Microsoft Office. Selain itu juga menggunakan built in GPS pada perangkat smartphone berbasis android dengan aplikasi GPS essentials. Penelitian ini terdiri atas beberapa analisis, meliputi analisis perubahan

Page 170: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 161

penggunaan lahan, prediksi penggunaan lahan, analisis kesesuaian lahan permukiman

serta analisis kebutuhan dan ketersediaan lahan permukiman.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Bontang berdiri tanggal 12 Oktober 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. Terdiri atas tiga kecamatan dan 15 kelurahan, yaitu Kecamatan Bontang Selatan (Kelurahan Bontang Lestari, Satimpo, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Tanjung Laut, dan Tanjung Laut Indah), Kecamatan Bontang Utara (Kelurahan Bontang Kuala, Bontang Baru, Api-api, Gunung Elai, Lok Tuan, dan Guntung) dan Kecamatan Bontang Barat (Kelurahan Kanaan, Gunung Telihan, dan Belimbing).

Perekonomian Kota Bontang masih didominasi oleh lapangan usaha industri pengolahan. Tahun 2016, nilai tambah yang dihasilkan oleh lapangan usaha tersebut sekitar 45,29 triliun rupiah dan berkontribusi sebesar 83,96% didalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Kota Bontang. Nilai nominal Produk Domestik Regional Kota Bontang tahun 2016 tercatat sekitar 53,93 triliun rupiah.

Jumlah penduduk Kota Bontang tahun 2016 mencapai 166,868 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 4.22% (2000-2016), merupakan yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur. Jumlah penduduk tertinggi berada di Kelurahan Loktuan, yaitu 18.670 jiwa, sedangkan kelurahan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kelurahan Bontang Kuala sebanyak 4.278 jiwa.

Sebagian besar tanah di Kota Bontang adalah tanah negara. Artinya, tanah milik negara yang belum dilekati hak, baik yang sudah digunakan untuk kepentingan umum maupun masih berstatus tanah bebas mencapai sekitar 5,671,4 ha atau 35,81% dari total luas wilayah. Selain itu, sebanyak 17,49% tanah di kota ini adalah tanah milik perorangan maupun badan usaha yang telah dilekati hak. Tanah Hak UUPA adalah tanah-tanah yang telah dilekati hak di atasnya sebagaimana aturan dalam UUPA.

2. Identifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan

Penggunaan lahan Kota Bontang tahun 2002 dan 2009 secara umum didominasi oleh enam jenis penggunaan, dengan urutan dari yang terluas, yaitu penggunaan

Page 171: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

162 Direktori Mini Tesis-Disertasi

lahan hutan, semak, mangrove, permukiman, industri, dan ladang. Tahun 2016 dominasi penggunaan lahan masih tetap berada pada kelas penggunaan yang sama, tetapi terdapat perubahan urutan terluas menjadi penggunaan lahan semak, hutan, mangrove, permukiman, ladang, dan industri.

Secara umum 26 jenis penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan dan disederhanakan menjadi tujuh kelompok utama, yaitu lahan terbangun, lahan terbuka, pertanian, semak, hutan, mangrove, dan tubuh air yang menunjukkan lahan terbangun di Kota Bontang masih relatif rendah, namun secara konsisten mengalami pertumbuhan begitu pula penggunaan lahan pertanian.

3. Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi pada penggunaan lahan hutan, dimana tahun 2002 dan 2009 hutan merupakan penggunaan lahan terluas dengan persentase lebih dari 34% dan 31%, namun tahun 2016 turun menjadi sekitar 13%. Perubahan terbesar kedua adalah semak dari 4.588 ha (29%) tahun 2002, meningkat menjadi 6.534 ha (41%) tahun 2016. Perubahan terbesar ketiga adalah lading, meningkat hingga 4,9% dan permukiman yang bertambah 563 ha atau sekitar 3.5%.

Matriks transisi perubahan penggunaan lahan tahun 2002-2009, menunjukkan semak dan hutan merupakan penggunaan lahan paling banyak berubah menjadi penggunaan lahan lainnya, sedangkan permukiman dan semak adalah penggunaan lahan paling banyak mengalami perubahan akhir dari penggunaan lahan lainnya. Matriks tersebut terlihat munculnya penggunaan lahan baru (infrastruktur) seperti lapangan terbang layang, pelabuhan, dan TPA yang tahun 2002 belum tersedia.

Penggunaan lahan hutan merupakan yang terluas pada periode ini (Yusra et al., 2013). Perubahan penggunaan lahan terjadi relatif merata baik di wilayah utara maupun selatan. Secara keseluruhan luas hutan mengalami penurunan, khususnya di wilayah selatan tahun 2009 telah terbuka aksesnya dengan pusat Kota Bontang di wilayah utara. Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi semak terjadi khususnya di area sekitar jalan baru. Pada bagian utara khususnya di kawasan HGU PT Pupuk Kaltim luasan hutan bertambah. Lokasi tersebut merupakan taman penghijauan yang pada tahun 2002 pepohonannya masih belum tumbuh besar.

Pada periode 2009-2016 terjadi perubahan yang signifikan pada penggunaan lahan hutan, berkurang hingga 2.993 ha. Salah satu penyebab utamanya adalah kebakaran hutan melanda Provinsi Kalimantan Timur, termasuk Kota

Page 172: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 163

Bontang (2015). Matriks transisi perubahan penggunaan lahan tahun 2009-2016 menunjukkan 2.657 ha hutan berubah menjadi semak.

Secara umum pola perubahan penggunaan lahan tahun 2009-2016 tidak jauh berbeda dengan tahun 2002-2009, dimana penggunaan lahan semak dan hutan menjadi penggunaan lahan paling banyak berubah menjadi penggunaan lainnya, sedangkan permukiman dan semak merupakan penggunaan lahan yang paling banyak menjadi tujuan perubahan dari penggunaan lahan lainnya. Ladang merupakan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan paling besar, umumnya berasal dari hutan dan semak. Ladang adalah salah satu penggunaan lahan paling mudah berubah menjadi penggunaan lahan lainnya seperti perkebunan, permukiman maupun industri karena sifatnya yang ‘sementara’ dan hanya menunggu waktu untuk berubah menjadi penggunaan lainnya (Hariyanto, 2010). Pola perubahan penggunaan lahan di Kota Bontang secara umum pada tiga titik tahun 2002-2009-2016.

4. Prediksi Penggunaan Lahan

Tujuan utama prediksi penggunaan lahan adalah untuk memperkirakan perkembangan dan sebaran kawasan permukiman tahun 2023 berdasarkan tren perubahan yang telah terjadi. Sebelumnya dilakukan penyederhanaan kelas penggunaan lahan menjadi 14 kelas, yaitu fasum, industri, mangrove, penggalian sirtu, perkantoran, pertanian, pipeline, rumah umum, rumah pesisir, rumah industri umum, rumah industri khusus, sungai, tubuh air, dan vegetasi lainnya. Kelas hutan dan semak digabung menjadi vegetasi lainnya karena terjadinya kebakaran hutan (2015) yang membuat penggunaan hutan dan semak tahun 2016 berubah drastis dan mengakibatkan model tidak berjalan dengan baik.

Prediksi dilakukan dengan menjadikan peta penggunaan lahan tahun 2002 sebagai tahun dasar dalam analisis markov chain, kemudian tahun 2016 sebagai tahun dasar pada analisis cellular automata dengan jumlah iterasi sebanyak 7 kali. Analisis cellular automata menghasilkan peta prediksi penggunaan lahan tahun 2023. Jumlah iterasi mengasumsikan perubahan waktu/tahun.

Sebelum memprediksi penggunaan lahan tahun 2023, dilakukan prediksi penggunaan lahan tahun 2016 untuk melihat nilai akurasi modelnya. Model dibangun dengan transition probabillity matrix (TPM) Tahun 2002-2009, tahun awal prediksi (T0) 2009 dengan Iterasi 7. Hasil prediksi dengan menghasilkan nilai kappa 0.8574 atau 85% yang menunjukkan model tersebut baik untuk digunakan dalam memprediksi penggunaan lahan tahun 2023 (Dwinanto et al., 2016).

Page 173: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

164 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Hasil prediksi menunjukkan bahwa permukiman (perumahan umum, pesisir, industri umum, dan industri khusus) merupakan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan paling besar mencapai 342 ha, disusul penggunaan pertanian yang meningkat hingga 250 ha. Penggunaan lahan industri dan perkantoran bertambah 9 ha dan 3.6 ha untuk masing-masing. Sedangkan penggunaan yang mengalami penurunan luas terbesar adalah vegetasi lainnya mencapai 538 ha. Mangrove juga mengalami penurunan luas hingga 48 ha.

Berdasarkan sebarannya Kelurahan Belimbing diprediksi mengalami peningkatan luas permukiman paling besar mencapai 62 ha, tetapi secara rasio peningkatan terbesar terjadi di Kelurahan Guntung karena mengalami peningkatan hingga 129% jika dibandingkan dengan luas permukiman tahun 2016.

Centroid dari kawasan permukiman tahun 2023 mengarah ke timur-selatan. Terjadi perubahan pergeseran ke arah timur diperkirakan karena sisi barat sudah terbatasi dengan batas kota dan kawasan kehutanan (hutan lindung), tetapi pergesarannya tetap konsisten mengarah ke selatan menunjukkan arahnya sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kota Bontang yang memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah selatan.

5. Kesesuaian Lahan Permukiman

Evaluasi kesesuaian lahan memiliki arti penting sebagai dasar dalam pengambilan keputusan terkait pemilihan penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi dapat menurunkan produktivitas bahkan dapat menimbulkan degradasi lingkungan dalam jangka panjang. Kriteria yang menjadi faktor pembatas di antaranya lereng, jarak dengan sungai dan pantai, jarak dengan pipa gas, penggunaan lahan tertentu seperti mangrove dan tubuh air serta kawasan kehutanan.

Hasil evaluasi menunjukkan terdapat sekitar 4,864,1 ha lahan sesuai yang terdiri dari 1,971,7 ha lahan sangat sesuai (S1), 657,4 ha lahan cukup sesuai (S2), dan 2,235 ha lahan sesuai marginal (S3). Luas lahan sesuai hanya mencapai 30,71% dari luas total wilayah. Kelas tidak sesuai memiliki persentase yang jauh lebih besar, mencapai 10,973,3 ha atau 69,29%, separuhnya merupakan kawasan kehutanan mencapai 5,294 ha. Kelas tidak sesuai di luar kawasan kehutanan didominasi oleh kelas N1 dengan lereng sebagai faktor penghambatnya.

Kelas S1 dan S2 secara umum mengelompok di wilayah utara yang merupakan pusat kota eksisting dan di wilayah selatan adalah wilayah pengembangan baru khususnya di sekitar lokasi rencana bandara baru. Lahan kelas S3 dengan faktor

Page 174: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 165

pembatas jarak terhadap industri berada di wilayah utara khususnya sekitar kawasan industri PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim. Kelas N1 tersebar merata khususnya pada wilayah timur atau pesisir, yaitu hamparan mangrove dari utara hingga selatan. Kelas N2 berada di bagian barat termasuk pada lokasi akses jalan antara bontang kota dan bontang selatan.

6. Kesesuaian Lahan untuk Permukiman pada Permukiman Eksisting

Hasil overlay antara analisis kesesuaian permukiman dengan penggunaan lahan permukiman menunjukkan 80% penggunaan lahan permukiman berada di kelas sesuai. Hal tersebut menunjukkan hasil yang positif karena berarti sebagian besar lokasi permukiman eksisting berada pada lahan yang sesuai untuk permukiman. Walaupun prediksi penggunaan lahan tahun 2023, lahan permukiman yang berada pada kelas sesuai menurun menjadi 76%. Selain itu, ternyata masih ditemukan adanya permukiman yang berada di kawasan hutan (hutan lindung maupun taman nasional) walaupun tidak sampai 1%, namun berdasarkan hasil prediksi luasnya semakin bertambah, di antaranya di Kelurahan Bontang Baru, Bontang Kuala, Belimbing, dan Bontang Lestari. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah agar ke depan tidak semakin berkembang.

Hasil rincian kesesuaian lahan terhadap tiap-tiap jenis perumahan, didapatkan bahwa perumahan industri khusus adalah yang paling baik kesesuaiannya mencapai 87% berada pada lahan sesuai, kemudian perumahan umum dan perumahan industri umum dengan 80% berada pada lahan sesuai, sedangkan perumahan pesisir hanya 5% yang berada pada lahan sesuai. Hal tersebut dikarenakan perumahan pesisir adalah rumah-rumah panggung yang berada di atas laut sehingga secara umum masuk dalam kawasan tidak sesuai. Sedangkan berdasarkan hasil prediksi, kesesuaian perumahan industri khusus, dan perumahan industri umum tahun 2023 masih memiliki persentase yang sama dengan tahun 2016, yaitu 87% dan 80%, sedangkan perumahan umum mengalami penurunan menjadi 75%.

7. Ketersediaan Lahan Permukiman pada Lahan Sesuai

Ketersediaan lahan permukiman didapatkan berdasarkan kesesuaian lahan permukiman, kawasan kehutanan, pola ruang RTRW Kota Bontang, penggunaan lahan tahun 2016, dan penguasaan tanah skala besar sehingga didapatkan lahan tersedia yang berada pada lahan sesuai, di luar kawasan kehutanan, selaras dengan peruntukan pola ruang, berada pada wilayah nonterbangun dan di luar kawasan HGB/HP skala besar milik perusahaan/industri.

Page 175: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

166 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Analisis ketersediaan menunjukkan ketersediaan lahan di Kota Bontang hanya sekitar 1,475,7 ha. Bahkan ketersediaan lahan permukiman pada lahan sesuai hanya sekitar 951,5 ha atau kurang dari 6% dari luas wilayah. Lokasinya berada tersebar dari utara hingga selatan, tetapi wilayah selatan atau di Kelurahan Bontang Lestari lebih potensial karena berada pada satu hamparan yang luas dan berada dalam kelas S1. Lokasi pusat kota eksisting juga masih memiliki ketersediaan lahan yang cukup luas dan pada kelas S1. Pada wilayah utara khususnya dekat kawasan industri PKT juga terdapat ketersediaan yang cukup luas walaupun berada pada kelas S3 dan terdapat pula yang berada pada kelas N1 dengan faktor pembatas berupa kelerengan.

8. Kebutuhan Lahan Permukiman

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan persentase sarana prasarana dalam kawasan permukiman di Kota Bontang sebesar 40%, dan didapatkan luas kebutuhan lahan untuk permukiman tahun 2016 sebesar 715 ha dan 1,430 ha untuk asumsi tiap-tiap lahan kavling 100 m2 dan 200 m2. Sedangkan, kebutuhan lahan permukiman tahun 2023 adalah 795,6 ha dan 1,591.3 ha untuk tiap-tiap lahan kavling 100 m2 dan 200 m2.

Kebutuhan lahan permukiman hingga tahun 2050 dengan asumsi luas kavling lahan 200 m2 adalah sekitar 2,179,8 ha. Jika disandingkan luas lahan permukiman eksisting dengan ketersediaan lahan untuk permukiman pada lahan sesuai dan dikurangi dengan lahan perumahan industri khusus, mencapai sekitar 2,397,6 ha. Hal itu menunjukkan bahkan dengan asumsi lahan kavling rata-rata 200 m2 ketersediaan lahan di Kota Bontang masih mencukupi, terlebih bila lahannya lebih kecil atau dibangun perumahan vertikal seperti rumah susun.

Terdapat beberapa kelurahan yang angka kebutuhan lahan permukimannya akan melampaui ketersediaan lahannya seperti Kelurahan Loktuan, Kanaan, Gunung Telihan, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Tanjung Laut, dan Tanjung Laut Indah. Rumah susun memberikan efisiensi lahan dalam pemenuhan kebutuhan permukiman. Rumah susun sederhana 5 (lima) lantai idealnya membutuhkan lahan minimal seluas 1 ha, yang didalamnya terdiri dari 2 unit twin blok dengan kapasitas 80 satuan rumah susun untuk blok masing-masing. Berdasarkan asumsi tersebut satu rumah susun dapat menampung 320 KK atau 1,280 jiwa, jika dibangun 5 unit rumah susun maka dapat menampung 6,400 jiwa dan dapat memangkas kebutuhan lahan hingga 54 ha jika dibandingkan dengan hunian tapak atau horisontal.

Page 176: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 167

9. Arahan Pengembangan Kawasan Permukiman

Rekomendasi arahan pengembangan kawasan permukiman disusun dengan pondasi utama adalah ketersediaan lahan permukiman pada lahan sesuai yang sudah mempertimbangkan kawasan kehutanan, pola ruang RTRW Kota Bontang, penggunaan lahan dan penguasaan tanah skala besar yang disandingkan dengan hierarki pusat pelayanan berdasarkan struktur ruang RTRW Kota Bontang dan mempertimbangkan kebutuhan lahannya.

Lokasi lahan pengembangan prioritas 1 terluas terdapat pada Kelurahan Bontang Lestari dan Gunung Telihan dengan total luas sekitar 563 ha. Lahan prioritas 2 dan 3 tersebar di wilayah perkotaan dan utara Kota Bontang, sedangkan lahan yang diarahkan sebagai cadangan mencapai 491 ha. Lahan cadangan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman bila faktor pembatasnya dapat diperbaiki terlebih dahulu.

Permintaan kebutuhan lahan permukiman terbesar diprediksi tetap berada pada wilayah utara karena itu pembangunan rumah susun dapat menjadi salah satu alternatif demi efisiensi lahan di wilayah tersebut. Lokasi yang memungkinkan untuk pembangunan rumah susun di antaranya Kelurahan Tanjung Laut, Tanjung Laut Indah, Api-Api, Gunung Elai, Gunung Telihan, Satimpo, dan Kanaan untuk memenuhi kebutuhan permukiman di wilayah pusat perkotaan, sedangkan untuk wilayah utara dapat dibangun di Kelurahan Guntung, Loktuan dan Belimbing namun dengan memperhatikan kondisi tapaknya.

D. Simpulan

1. Kota Bontang memiliki 26 jenis penggunaan lahan yang didominasi secara berurutan oleh penggunaan lahan hutan, semak, mangrove, permukiman, industri, dan ladang tahun 2002 dan 2009, sedangkan tahun 2016 didominasi oleh penggunaan lahan semak, hutan, mangrove, permukiman, ladang, dan industri.

2. Pola perubahan penggunaan lahan pada periode tahun 2002-2009 dan tahun 2009-2016 masih memiliki kemiripan, penggunaan lahan yang paling banyak mengalami perubahan adalah hutan dan semak, sedangkan penggunaan lahan yang paling banyak menjadi tujuan akhir dari perubahan adalah permukiman.

3. Kesesuaian lahan menunjukkan 31% wilayah Kota Bontang berada pada kelas sesuai untuk permukiman, dan 80% kawasan permukiman eksisting di Kota Bontang berada pada kelas sesuai.

Page 177: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

168 Direktori Mini Tesis-Disertasi

4. Ketersediaan lahan permukiman di Kota Bontang di luar kawasan permukiman eksisting mencapai 941 ha yang dapat memenuhi kebutuhan hingga tahun 2050 bahkan lebih jika dikombinasikan dengan pembangunan rumah susun.

5. Arahan pengembangan kawasan permukiman di Kota Bontang diprioritaskan pada wilayah selatan khususnya Kelurahan Bontang lestari, Gunung Telihan, Bontang Baru, Tanjung Laut, dan Kelurahan Tanjung Laut Indah yang memiliki ketersediaan lahan hingga 563 ha, sedangkan untuk rumah susun diarahkan di wilayah utara yang memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi.

Page 178: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA MELALUI PENGEMBANGAN EKOWISATADI RESORT WONOLELO TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

Nama : Rusiani

Instansi : Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah

dan Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 179: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

170 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Resort Wonolelo sebagai salah satu unit pengelolaan TNGMb berfungsi sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya juga sebagai pelaksanaan fungsi konservasi, yaitu adanya tekanan penduduk di daerah penyangga berupa ketergantungan terhadap pemanfaatan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup akibat kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif terbatas. Di sisi lain, Resort Wonolelo memiliki potensi ekowisata yang dapat dikembangkan berupa bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting.

Salah satu upaya untuk melindungi wilayah Resort Wonolelo dari tekanan penduduk akan sumber daya alam di Taman Nasional Gunung Merbabu maka dapat dilakukan pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting. Sejauh ini strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata di Resort Wonolelo belum diketahui sehingga hal ini memunculkan pertanyaan penelitian, bagaimanakah strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata di Resort Wonolelo. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk strategi pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga, yaitu Dusun Sobleman dan Suwanting melalui pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting berdasarkan karakteristik masyarakat; persepsi, motivasi, serta preferensi masyarakat; bentuk-bentuk partisipasi masyarakat; kegiatan pengelolaan ekowisata yang telah, akan, serta belum dilakukan; bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat yang sudah dilakukan; serta aspek kelembagaan yang ada.

Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penentuan informan penelitian dilakukan secara purposive dengan metode snowballing sebanyak 19 orang. Analisis dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk memberikan deskripsi secara mendalam mengenai bentuk-bentuk strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata di Resort Wonolelo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tantangan utama dalam upaya pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting, yaitu berupa kurangnya perlindungan sumber daya alam, belum disahkannya legalitas jalur pendakian Suwanting, dan payung hukum pembagian hasil retribusi jasa wisata dalam masyarakat; kurangnya kapasitas masyarakat daerah penyangga dalam mengembangkan ekowisata; serta kurangnya koordinasi, peran, dan kemitraan antarinstansi Pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya.

Page 180: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 171

Adapun strategi pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan melalui pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting antara lain a) perlindungan sumber daya alam dan pengesahan payung hukum pengelolaan ekowisata melalui pemberlakuan kuota pengunjung dan zonning system, mengesahkan legalitas jalur pendakian Suwanting, serta menetapkan payung hukum berupa peraturan desa (Perdes) mengenai distribusi hasil penerimaan jasa pengelola wisata; b) penguatan kapasitas masyarakat daerah penyangga melalui pelatihan-pelatihan, pendampingan, studi banding, pemberian bantuan usaha, meningkatkan dukungan pemasaran, serta membentuk Pokdarwis; dan c) meningkatkan kemitraan antarinstansi pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya yang bertujuan untuk memudahkan penyediaan sarana dan prasarana wisata, memudahkan upaya peningkatan kapasitas masyarakat, dan memperluas pemasaran sehingga meningkatkan kunjungan wisatawan.

Kata kunci: Pemberdayaan Masyarakat, Daerah Penyangga, Ekowisata, Resort Wonolelo

Page 181: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

172 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKATDAERAH PENYANGGA MELALUI PENGEMBANGAN

EKOWISATA DI RESORT WONOLELO TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

A. Latar Belakang

Resort Wonolelo sebagai salah satu unit pengelolaan terkecil di TNGMb juga mengalami berbagai tekanan penduduk di daerah penyangga. Sebagai upaya untuk melindungi wilayah Resort Wonolelo dari tekanan penduduk di daerah penyangga maka diperlukan suatu upaya pemberdayaan masyarakat yang mampu memberikan alternatif pendapatan ekonomi bagi penduduk di daerah penyangga tanpa merusak kawasan TNGMb sehingga ketergantungan terhadap sumber daya alam TNGMb dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga dapat dilakukan melalui pengembangan potensi ekowisata yang ada sehingga dapat menjadi sebuah alternatif yang cukup sederhana dan berkelanjutan untuk mengatasi tekanan penduduk di wilayah Resort Wonolelo. Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang bersifat melestarikan lingkungan, mempertahankan kesejahteraan masyarakat lokal, serta melibatkan interpretasi dan pendidikan baik bagi wisatawan maupun pengelola.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekowisata dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata sehingga akan mendapatkan manfaat yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, diharapkan akan semakin menurunkan tingkat ketergantungannya terhadap sumber daya alam di kawasan TNGMb. Pengembangan ekowisata yang efektif di sebuah taman nasional harus mencakup aspek partisipasi masyarakat di dalamnya (Fandeli dan Nurdin, 2005). Kajian mengenai partisipasi masyarakat di daerah penyangga penting untuk dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekowisata karena merupakan alat untuk mengetahui kondisi, sikap, serta kebutuhan masyarakat setempat sehingga program pemberdayaan yang akan dilakukan dapat berjalan efektif karena masyarakat lebih percaya dan merasa dihargai dalam menentukan arah perkembangan di wilayahnya (Conyers, 1994).

Persepsi masyarakat di daerah penyangga terhadap suatu pengembangan ekowisata akan memengaruhi partisipasi mereka. Dalam arti sempit, persepsi adalah penglihatan atau bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam

Page 182: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 173

arti luas, persepsi adalah pandangan atau pengertian seseorang dalam mengartikan sesuatu (Leavitt, 1999). Jika masyarakat memiliki persepsi positif atau memandang adanya manfaat dalam pengembangan ekowisata maka mereka akan mendukung upaya pengembangan ekowisata tersebut dan berpartisipasi di dalamnya. Dan hal yang sebaliknya akan terjadi jika masyarakat memiliki persepsi yang negatif (Chandralal, 2010). Selain persepsi, motivasi juga menentukan partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Motivasi merupakan keinginan yang terdapat pada diri seseorang yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan (Terry dalam Hasibuan, 2000). Perbedaan motivasi ini akan memengaruhi perbedaan partisipasi masyarakat daerah penyangga dalam pengembangan ekowisata.

Dari uraian-uraian di atas maka upaya untuk mengatasi tekanan penduduk di daerah penyangga Resort Wonolelo, memerlukan adanya strategi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Sejauh ini strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga di Resort Wonolelo melalui pengembangan potensi ekowisata berbasis masyarakat belum diketahui dengan baik sehingga diperlukan penelitian yang bersifat mengeksplorasi atau mengkaji strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan potensi ekowisata yang ada, agar upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dapat berjalan secara efektif. Dari hasil penelitian ini nantinya dapat disusun rekomendasi mengenai bentuk-bentuk strategi pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga Resort Wonolelo melalui pengembangan ekowisata.

Sejauh ini, strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata di bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting belum diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting di Resort Wonolelo memiliki permasalahan belum diketahuinya strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga. Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimanakah strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting di Resort Wonolelo?”

B. Metodologi Penelitian

Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini lebih menekankan pada tujuan eksploratif mengenai strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting yang tentunya akan sulit jika dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif lebih tepat jika digunakan untuk meneliti permasalahan secara mendalam dan

Page 183: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

174 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bersifat menelaah suatu latar belakang perilaku masyarakat seperti persepsi, motivasi, serta preferensi (Moleong, 2012). Adapun pengertian penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna sejumlah individu atau sekelompok orang yang umumnya berupa masalah sosial atau kemanusiaan dan berusaha menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan yang didapatkan melalui cara pandang induktif dari tema khusus ke tema umum (Creswell, 2010).

Objek penelitian adalah hal yang menjadi fokus penelitian dapat berupa individu perorangan, kelompok organisasi, masyarakat, hasil karya manusia, instansi, dan sebagainya (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000). Objek dalam penelitian ini adalah strategi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalui pengembangan ekowisata yang dikaji dari karakteristik masyarakat; persepsi, motivasi, serta preferensi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata; bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekowisata; kegiatan pengelolaan dalam pengembangan ekowisata; bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan; serta aspek kelembagaan dalam pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting.

Adapun subjek dalam penelitian, yaitu pihak-pihak yang menjadi sumber informasi atau informan yang meliputi perangkat pemerintahan di tingkat dusun, desa, serta kecamatan setempat, pengurus kelompok tani dan paguyuban pengelola bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting, warga Dusun Sobleman dan Dusun Suwanting, serta instansi yang terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat Dusun Suwanting dan Dusun Sobleman melalui pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting seperti Balai TNGMb dan Dinas

Pariwisata Kabupaten Magelang.

1. Taman Nasional Gunung Merbabu

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) memiliki luas wilayah 5,820,49 Ha dan terletak di Provinsi Jawa Tengah, berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, serta Kabupaten Magelang. Resort Wonolelo merupakan salah satu unit pengelolaan terkecil TNGMb seluas ± 1.237,5 ha yang terletak di sisi selatan dan barat. Kondisi topografi Resort Wonolelo tidak berbeda dengan wilayah TNGMb lainnya, yaitu mulai dari bergelombang ringan sampai dengan bergunung (memiliki kemiringan mulai dari 8% sampai dengan lebih dari 40%), dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 2.000–3.000 mm dan suhu udara harian rata-rata berkisar antara 17°-30°C.

Potensi ekowisata di Resort Wonolelo berupa bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting. Bumi perkemahan Sobleman terletak dekat dengan

Page 184: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 175

Dusun Sobleman, sedangkan jalur pendakian Suwanting terletak di wilayah Resort Wonolelo dengan pintu masuknya melalui Dusun Suwanting, Desa Banyuroto. Keduanya mulai dikelola oleh masyarakat mulai tahun 2015 dengan kapasitas dan

kemampuan yang terbatas.

2. Karakteristik Masyarakat Daerah Penyangga

Mayoritas masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting memiliki mata pencaharian utama sebagai petani sayur-mayur. Ada juga yang bekerja sebagai buruh di ladang, buruh penambang pasir, pedagang sayur besar (pengepul), pedagang sayur keliling (eyek), serta memelihara sapi pedaging. Seiring berjalannya waktu dimana pertumbuhan jumlah penduduk akan terus terjadi dan luas lahan pertanian semakin terbatas maka nantinya akan terjadi kekurangan lapangan kerja dan pergeseran mata pencaharian dari pertanian menjadi nonpertanian. Berkembangnya ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting dapat menjadi suatu alternatif lapangan kerja baru bagi masyarakat di kedua dusun ini.

Masyarakat Dusun Sobleman dan Dusun Suwanting secara umum tidak pernah memiliki pengalaman kerja sebelumnya di sektor wisata sebelum bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting berkembang. Masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting belajar mengelola dan mengembangkan potensi ekowisata secara autodidak. Adanya sikap keterbukaan masyarakat di kedua dusun ini untuk menerima informasi dan mengikuti program-program pengembangan ekowisata seperti pelatihan-pelatihan turut mendukung berkembangnya bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting.

Masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting memiliki kesadaran untuk melestarikan lingkungan dan nilai-nilai sosial budaya yang ada, yang tecermin dari sikap dan peran aktif mereka dalam menjaga kelestarian kawasan TNGMb dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari sampah, tidak membakar hutan, berkurangnya para pencari kayu bakar, tidak menebang pohon, melakukan penghijauan, menjadi anggota Masyarakat Peduli Api (MPA) dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) yang membantu petugas menjaga kelestarian kawasan TNGMb. Banyaknya kesenian dan acara-acara adat tradisional yang berkembang di kedua dusun ini, serta nilai-nilai gotong-royong dan persaudaraan yang masih kental, juga menjadi cermin akan kesadaran masyarakat yang baik untuk menjaga kelestarian nilai-nilai sosial budaya di sekitarnya. Dari uraian-uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting memiliki karakteristik yang mendukung upaya pemberdayaan masyarakat melalui

pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting.

Page 185: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

176 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Presepsi, Motivasi, serta Preferensi Masyarakat Daerah Penyangga terhadap Pengembangan Ekowisata

Masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting dapat dikatakan memiliki persepsi yang positif atau memandang adanya manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting. Dari persepsi yang positif ini, masyarakat akan mendukung dan berpartisipasi dalam pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chandralal (2010) bahwa persepsi masyarakat yang positif akan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekowisata karena mereka merasa mendapat keuntungan atau manfaat dari kegiatan ekowisata ini.

Menurut persepsi masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting, manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting sebagai berikut:

a. Meningkatkan penghasilan masyarakat melalui terciptanya peluang usaha baru selain dari sektor pertanian, seperti menjadi penjual makanan (pemilik warung makan) dan warung kelontong, penyedia jasa parkir dan persewaan peralatan berkemah, jasa angkutan antarjemput dan ojek, jasa pengelola basecamp, porter; dan

b. Menambah kas dusun, kas desa, serta kas perkumpulan remaja.

Menurut persepsi masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting, pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting memberikan manfaat bagi lingkungan sebagai berikut:

a. Masyarakat yang pada mulanya tidak peduli akan kebersihan dan kerapian tempat tinggalnya, sekarang menjadi sadar dan mulai menjaga kebersihan dan kerapiannya.

b. Berkurangnya intensitas warga yang membakar dan menebang pohon karena adanya aktivitas ekowisata yang menyulitkan ruang gerak pelaku sehingga kerusakan hutan dapat ditekan.

c. Adanya jalur tracking di bumi perkemahan Sobleman dapat dimanfaatkan untuk membuat sekat bakar yang akan mencegah meluasnya kebakaran hutan jika terjadi kebakaran hutan.

d. Banyaknya kegiatan penghijauan baik yang dilakukan oleh wisatawan maupun masyarakat setempat akan semakin meningkatkan kualitas ekosistem di kawasan TNGMb.

Page 186: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 177

e. Mampu meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat lokal akan keanekaragaman hayati kawasan TNGMb.

Motivasi masyarakat Dusun Sobleman dan Dusun Suwanting dalam mengembangkan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting dapat dibagi menjadi motivasi eksternal dan motivasi internal. Adapun motivasi eksternal masyarakat dalam mengembangkan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting adalah sebagai berikut:

a. Adanya kesempatan lapangan kerja.

b. Adanya peluang penghasilan ekonomi dengan menyediakan barang dan jasa untuk keperluan wisatawan.

c. Adanya interaksi dengan masyarakat lain dan wisatawan untuk menambah ilmu, wawasan, pengalaman, serta membuka jaringan untuk mendapatkan pekerjaan bagi masyarakat.

d. Menjaga kelestarian lingkungan TNGMb melalui kegiatan penghijauan, tidak menebang pohon dan membakar hutan, serta menumbuhkan kesadaran wisatawan untuk menjaga lingkungan.

e. Motivasi internal masyarakat dalam mengembangkan bumi perkemahan

f. Adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

g. Adanya keinginan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan.

h. Adanya keinginan mengaplikasikan kemampuan atau pengalaman yang dimiliki seperti pengalaman menjadi porter dan guide.

Masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting memiliki preferensi terhadap program-program pengembangan ekowisata seperti perbaikan infrastruktur atau sarana prasarana, penambahan jumlah dan jenis atraksi, program-program untuk meningkatkan potensi lokal lainnya, pelatihan-pelatihan di bidang wisata, serta pemberian bantuan usaha. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad dan Saraswati bahwa melalui partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan wisata, mereka menginginkan adanya perbaikan di bidang infrastruktur, adanya penambahan jumlah dan jenis atraksi wisata sehingga menambah lapangan kerja dan penghasilan masyarakat, serta adanya program-program yang dapat mengangkat potensi lokal lainnya seperti produk buah dan sayuran lokal, serta adanya pelatihan-pelatihan di bidang wisata dan pemberian bantuan usaha.

Preferensi masyarakat di atas berkaitan dengan manfaat apa saja yang akan mereka peroleh dalam pengembangan ekowisata. Program-program pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan melalui pengembangan

Page 187: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

178 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting seyogyanya mempertimbangkan preferensi masyarakat setempat karena masyarakat memiliki hak untuk menentukan arah perkembangan di wilayahnya. Jika hal ini dikesampingkan maka upaya-upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan akan mengalami kegagalan karena tidak mendapatkan dukungan masyarakat dan program-progaram pemberdayaan yang dilakukan tidak akan berkelanjutan

(Hadiwijoyo, 2012).

4. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Daerah Penyangga dalam Pengembangan Ekowisata

Jenis-jenis partisipasi masyarakat yang sudah dilakukan meliputi pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, keahlian, uang, serta barang. Dari bentuk-bentuk partisipasi di atas, sesuai dengan pendapat Ericson dalam Slamet, 1994 dan Drake dalam Whelan, 1991, dapat diketahui bahwa masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting berpartisipasi dalam pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting pada tahap-tahap sebagai berikut:

a. Perencanaan pengembangan ekowisata (idea planning stage), dengan cara memberikan ide, masukan, serta saran dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan dan menyusun alternatif pemecahan masalah-masalah yang dihadapi.

b. Implementasi pengembangan ekowisata (implementationstage), dengan cara menjadi penyedia barang dan jasa wisata, memelihara kelestarian lingkungan ekowisata, dan membantu proses evakuasi pengunjung.

c. Pemanfaatan (utilitazionstage), dengan memelihara kelestarian lingkungan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting yang merupakan satu kesatuan dalam kawasan TNGMb.

d. Pembagian keuntungan (benefitsharing) secara langsung antara Balai TNGMb dan masyarakat, saat ini tidak ada yang berjalan hanya berupa pemberian kewenangan pada masyarakat untuk menarik tiket retribusi dari jasa pengelolaan basecamp dan parkir sehingga masyarakat mendapatkan hasil atau pemasukan.

5. Kelembagaan dalam Pengembangan Ekowisata

Adapun kelembagaan yang sudah dibentuk oleh masyarakat Dusun Suwanting untuk mengelola dan mengembangkan jalur pendakian Suwanting berupa paguyuban yang diberi nama “Suwanting Indah”. Anggota paguyuban ini mencapai

Page 188: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 179

±500 orang dimana seluruh kepala keluarga dan pemuda di Dusun Suwanting menjadi anggota dalam paguyuban tersebut.

Kegiatan pengelolaan bumi perkemahan Sobleman yang ada sekarang ini sifatnya masih temporal, dalam arti aktivitas-aktivitas pengelolaan yang ada akan tampak saat ada kunjungan wisatawan untuk berkemah dan biasanya saat musim liburan sekolah saja.

Selain sebagai penasehat, peran Pemerintah Desa dalam paguyuban juga sebagai pemberi motivasi dan menjadi penengah jika terjadi permasalahan-permasalahan dalam paguyuban. Peran Dinas Pariwisata lebih cenderung pada pembinaan Pokdarwis, sedangkan sementara ini Pokdarwis di Desa Banyuroto belum dibentuk sehingga peran Dinas Pariwisata secara langsung belum ada. Peran Pemerintah Kecamatan sejauh ini hanya sebatas mengarahkan penganggaran dalam APBDes, sedangkan penyusunan APBDes secara langsung dilakukan oleh Pemerintah Desa Bany uroto melalui musrendes yang didahului oleh musrendus di tingkat dusun.

Dilihat dari perkembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting yang ada sekarang ini, kelembagaan paguyuban “Suwanting Indah” dapat dikatakan lebih berhasil dalam mengelola ekowisata dibanding kelompok tani “Ponco Karyo”. Jalur pendakian Suwanting lebih berkembang dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan yang lebih banyak daripada bumi perkemahan Sobleman. Hal ini juga menunjukkan bahwa promosi yang dilakukan oleh paguyuban “Suwanting Indah” lebih baik dibanding kelompok tani “Ponco Karyo”.

Paguyuban “Suwanting Indah” lebih mampu memanfaatkan teknologi informasi yang berkembang sekarang ini seperti layanan media sosial sebagai sarana promosi. Paguyuban “Suwanting Indah” juga memiliki koordinasi dan kemitraan yang lebih luas dengan stakeholder dalam mengembangkan jalur pendakian Suwanting dibandingkan dengan kelompok tani “Ponco Karyo”. Banyak anggota paguyuban yang juga merintis paket-paket wisata secara mandiri meskipun secara umum belum dikelola secara terpadu dan profesional. Hal-hal tersebut sesuai dengan pernyataan Damanik dan Weber (2006), bahwa kemampuan atau kapasitas kelembagaan yang berhasil dalam suatu pengelolaan wisata dapat dilihat dari indikator-indikator seperti kemampuan organisasi untuk memimpin dan berkoordinasi, kemampuan melakukan kemitraan eksternal, serta kemampuan untuk mengembangkan produk-produk wisata dan melakukan promosi. Pengembangan ekowisata salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan organisasi atau kelembagaan. Meskipun kelembagaan yang sudah ada dianggap telah mampu mengelola bumi perkemahan Sobleman dan jalur

Page 189: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

180 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pendakian Suwanting, akan tetapi banyak pembenahan yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan kelembagaan tersebut dalam pengembangan ekowisata. Menurut Hadiwijoyo (2012), komponen kelembagaan atau institusional penting untuk mengatur dan mengembangkan pariwisata melalui program perencanaan, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, promosi dan pemasaran strategis, kebijakan investasi, program pengendalian pengaruh ekonomi, lingkungan dan sosial kultural. Selain itu, pembangunan kepariwisataan memerlukan keterpaduan

dalam perencanaan dan formulasi tujuannya (Joyosuharto dalam Fandeli, 2001).

C. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis sasaran, temuan studi, serta lesson learn yang diperoleh guna mencapai tujuan penelitian maka selanjutnya dapat ditarik kesimpulan penelitian ini sebagai berikut:

1. Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekowisata dalam lesson learn pendakian Kinabalu dan bumi perkemahan Mandalawangi berhasil karena adanya dukungan dan partisipasi aktif masyarakat di dalamnya, adanya perlindungan terhadap sumber daya alam, serta ditunjang oleh kemitraan antara masyarakat, pemerintah, dan stakeholder lainnya (Jaafar, dkk, 2015; Lesmana, dkk, 2014).

2. Upaya pemberdayaan masyarakat daerah penyangga melalu pengembangan ekowisata bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting masih mengalami beberapa kondisi atau tantangan yang bertolak belakang dengan lesson learn, sebagai berikut:

a. Kurangnya perlindungan sumber daya alam, belum disahkannya legalitas jalur pendakian Suwanting dan payung hukum pembagian hasil retribusi jasa wisata dalam masyarakat.

b. Kurangnya kapasitas masyarakat daerah penyangga sehingga menghambat partisipasi mereka dalam mengembangkan ekowisata, seperti kurangnya pengetahuan dan pengalaman, modal usaha, dan peran kaum perempuan.

c. Kurangnya koordinasi, peran, dan kemitraan antarinstansi pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan ekowisata seperti perizinan untuk membangun sarana prasarana wisata, pendanaan dan tenaga ahli, serta pemasaran ekowisata.

3. Adapun strategi pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan melalui pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting adalah sebagai berikut:

Page 190: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 181

a. Perlindungan sumber daya alam dan pengesahan payung hukum pengelolaan ekowisata, dengan cara memberlakukan aturan mengenai kuota pengunjung dan zonning system untuk melindungi sumber daya alam di kawasan TNGMb, mengesahkan legalitas jalur pendakian Suwanting, serta menetapkan payung hukum berupa peraturan desa (Perdes) mengenai distribusi hasil retribusi jasa pengelolaan wisata. Dengan demikian, akan tercipta suasana kondusif bagi keberlanjutan proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekowisata.

b. Penguatan kapasitas masyarakat daerah penyangga.

c. Peningkatan koordinasi, peran, dan kemitraan antarinstansi pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya sehingga dapat memudahkan penyediaan sarana prasarana wisata, memudahkan upaya peningkatan kapasitas masyarakat, serta memperluas jaringan pemasaran dan meningkatkan

kunjungan wisatawan.

D. Rekomendasi untuk masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting

Masyarakat Dusun Sobleman dan Suwanting harus selalu menjaga persepsi positif, meningkatkan kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dan nilai-nilai sosial budaya, meningkatkan kapasitasnya dalam mengembangkan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sehingga tujuan pemberdayaan

masyarakat melalui pengembangan ekowisata di Resort Wonolelo dapat terwujud.

E. Rekomendasi untuk Pemerintah Setempat, Balai TNGMb, Dinas Pariwisata, BPBD, dan Badan SAR

Pemerintah setempat, Balai TNGMb, Dinas Pariwisata, BPBD, dan Badan SAR harus meningkatkan koordinasi, partisipasi dan dukungannya dalam pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting baik melalui mekanisme pendanaan, pelatihan-pelatihan, penyediaan tenaga ahli pendamping, serta memberikan dukungan kebijakan yang diperlukan sehingga apa yang menjadi tujuan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekowisata di Resort Wonolelo akan terwujud. Peran atau partisipasi yang diperlukan adalah

1. Balai TNGMb mempermudah proses perizinan pembangunan sarana prasarana wisata;

Page 191: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

182 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. pemerintah desa dapat membangun sarana prasarana wisata menggunakan dana desa;

3. pemerintah kecamatan dapat mengarahkan pengaturan anggaran dalam dana desa untuk pengembangan ekowisata; dan

4. Dinas Pariwisata, Penyuluh Kecamatan, Perguruan Tinggi, swasta, dan LSM dapat memberikan pembinaan melalui pelatihan-pelatihan, pendampingan, dan bantuan modal usaha; dan

5. BPBD dan SAR dapat memberikan pembinaan melalui pelatihan penanganan

evakuasi pengunjung serta bencana.

F. Rekomendasi untuk Pihak Swasta dan Stakeholder Lainnya

Pihak swasta dan stakeholder lainnya dapat meningkatkan perannya dalam pengembangan bumi perkemahan Sobleman dan jalur pendakian Suwanting tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat lokal dan tetap mengedepankan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan. Peran tersebut dapat diwujudkan dengan menjalin kerja sama yang saling menguntungkan antara lain:

1. biro wisata, event organizer, dan sekolah-sekolah, dapat berperan dalam pemasaran wisata;

2. penyedia jasa angkutan berperan menyediakan jasa angkutan yang terjangkau bagi para pendaki; serta

3. Perguruan Tinggi, swasta, dan LSM dapat berperan dalam penguatan kapasitas masyarakat daerah penyangga dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan, pendampingan, dan bantuan modal usaha.

Page 192: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

KUALITAS PELAYANAN PADA KAWASAN WISATA BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG

Nama : Sabrina Sabila

Instansi : Pemprov Sulsel

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah

dan Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 193: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

184 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) merupakan salah satu kawasan wisata di Kota Palembang yang memiliki potensi berupa bangunan peninggalan bersejarah sebagai atraksi wisata. Kawasan BKB sebagai kawasan wisata dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang dapat memuaskan pengunjung, namun kondisi saat ini masih terdapat beberapa pelayanan yang belum memberikan kepuasan pengunjung sehingga Kawasan BKB dikhawatirkan tidak mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi pengunjung.

Dengan adanya permasalahan tersebut maka dapat disusun pertanyaan penelitian, yaitu bagaimanakah kualitas pelayanan pada kawasan wisata BKB Palembang dalam memberikan kualitas pelayanan yang optimal bagi pengunjung? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kualitas pelayanan pada kawasan wisata BKB Palembang berdasarkan persepsi pengunjung sehingga dapat diketahui prioritas pengembangan wisata kawasan dalam memberikan kualitas pelayanan yang optimal bagi pengunjung kawasan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan alat analisis, yaitu uji validitas dan reliabilitas, distribusi frekuensi, pembobotan skala likert, Importance-Performance Analysis (IPA), dan Customer Satisfaction Index (CSI). Metode pengumpulan data terdiri dari data primer berupa kuesioner, wawancara, dan observasi lapangan, dan data sekunder berupa dokumentasi dan survei instansional, serta triangulasi. Metode penarikan sampel dengan metode purposive sampling untuk pengambilan narasumber yang akan diwawancarai, sedangkan metode accidental sampling untuk pengambilan responden untuk kuesioner dari pengunjung wisata kawasan.

Output dari hasil penelitian ini adalah kualitas pelayanan pada kawasan wisata BKB secara keseluruhan sudah memuaskan pengunjung sebesar 0,6814 atau 68,14%, namun masih terdapat beberapa pelayanan yang belum memuaskan pengunjung. Beberapa pelayanan tersebut dapat ditunjukkan pada kuadran I matriks Importance Performance Analysis (IPA) bahwa terdapat 19 variabel dari 56 variabel pelayanan dengan dimensi Reliability, Assurance, Tangible, Empathy, dan Sustainability kecuali Responsiveness yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan kinerjanya sesuai harapan pengunjung. Selain itu, variabel pelayanan tersebut juga berkaitan dengan atraksi, aksesibilitas, fasilitas wisata, serta informasi dan promosi kawasan. Variabel-variabel atau atribut-atribut pelayanan tersebut menjadi fokus untuk ditingkatkan kinerjanya karena memiliki kinerja yang belum memuaskan bagi pengunjung atau kinerjanya rendah, namun memiliki harapan yang tinggi dari pengunjung. Prioritas pengembangan kawasan BKB dilihat dari pelayanan yang memiliki nilai gap tinggi

Page 194: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 185

bahwa tidak hanya perlu memperhatikan fasilitas wisata dan aksesibilitas kawasan saja, namun juga atraksi wisata sebagai daya tarik wisata kawasan sekaligus memberikan informasi dan promosi, serta melestarikan kawasan BKB untuk menjaga eksistensi dan identitasnya sebagai kawasan bersejarah.

Rekomendasi untuk pemerintah sebagai pengelola kawasan dan pemangku kebijakan terkait peningkatan kinerja pelayanan yang menjadi prioritas utama, yakni perlu adanya kebijakan atau regulasi, penataan, perbaikan atau pemeliharaan, pemberdayaan, penyediaan, kajian, pengelolaan, dan pendanaan atau pembiayaan dalam memberikan pelayanan yang optimal.

Kata kunci: Kualitas Pelayanan, Destinasi Wisata, Kawasan Bersejarah

Page 195: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

186 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

Benteng Kuto Besak (BKB) Area is one tourist area in Palembang city which has the potential of heritage buildings as a tourist attraction. BKB area as a tourist area is demanded to be able to provide services that can satisfy visitors, but the current condition there are still some services that have not provided visitor satisfaction so BKB area feared not able to provide optimal service for visitors.

With the existence of these problems, it can be compiled research question that is How Service Quality on Tourism Area of BKB Palembang in providing Optimal Service Quality for Visitors? The purpose of this study is to assess the service quality on Tourism Area of BKB Palembang based on visitor perception that it can be known priority of tourism development in providing optimal service quality for visitors of the area.

This study uses a quantitative approach supported by analytical tools, namely the validity and reliability, Importance Performance Analysis (IPA), and Customer Satisfaction Index (CSI). The data collection method consists of primary data in the form of questionnaires, interviews, and field observations, and secondary data in the form of documentation and institutional surveys, and triangulation. Sampling method with purposive sampling method to take the resource to be interviewed, while the accidental sampling method for respondent retrieval for questionnaires from the tourist area.

The output of this study is the service quality on BKB Tourism Area as a whole has been satisfying visitors of 0.6814 or 68.14%, but there are still some services that have not satisfied the visitors. Some of these services can be shown in first (I) quadrant of Importance Performance Analysis (IPA) Matrix that there are 19 variables from 56 service variables with the dimensions of Reliability, Assurance, Tangible, Empathy, and Sustainability, except Responsiveness which become the main priority to be improved performance according to the expectations of visitors. In addition, the service variables are also related to the attractions, accessibility, tourism facilities, as well as information and promotions. These service variables or attributes are the focus for improved performance because they have unsatisfactory performance for visitors or low performance, but have high expectations from visitors. The priority of BKB Area Development is seen from the services that have high gap value that not only need to pay attention to tourism facilities and the accessibility of the area only, but also the tourist attraction as the tourist attraction of the area while providing information and promotion, and preserving BKB Area to maintain its existence and identity as the historic area.

Recommendations for the government as area managers and stakeholders related to the improvement of service performance that becomes the main priority, namely the need

Page 196: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 187

for policies or regulations, structuring, repair or maintenance, empowerment, provision, study, management, and financing in providing optimal service.

Keywords: Service Quality, Tourism Destination, Heritage Area

Page 197: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

188 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KUALITAS PELAYANAN PADA KAWASAN WISATA BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG

A. Latar Belakang

Pariwisata di kawasan bersejarah menjadi tren wisata yang semakin banyak diminati oleh wisatawan di masa mendatang agar pengunjung dapat menikmati pengalaman nyata dengan budaya dan gaya hidup lain, serta mengandung unsur edukasi (Pedersen, 2002). Adanya potensi warisan atau sejarah dan budaya yang dikembangkan menjadi wisata dapat menciptakan peluang objek baru di industri pariwisata, seperti kegiatan rekreasi dan hiburan beserta infrastruktur pendukung wisata karena ketertarikan wisatawan akan pengalaman mengenal potensi tersebut (Ismagilova, Safiullin, dan Gafurov, 2015).

Kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) merupakan salah satu destinasi wisata sejarah budaya di pusat Kota Palembang yang menawarkan atraksi wisata berupa bangunan, prasarana fisik, dan benda-benda peninggalan bersejarah, serta pemandangan Jembatan Ampera dan Sungai Musi dengan didukung oleh plaza BKB sebagai sarana berkumpul aktivitas pengunjung dan tempat penyelenggaraan kegiatan. Dengan adanya potensi kawasan BKB tersebut maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kawasan BKB sebagai tempat wisata dan cagar budaya sejak tahun 2002 hingga saat ini. Upaya yang telah dilakukan tersebut, meliputi penataan area plaza BKB, perbaikan jalan, penataan taman, pemeliharaan bangunan bersejarah, pengaturan lalu lintas di area depan BKB yang bebas kendaraan, penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL), dan penyediaan maupun perbaikan sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam mewujudkan kawasan BKB sebagai tempat wisata sejarah budaya yang menarik, namun masih terkendala keterbatasan pendanaan pemerintah. Selain masalah pendanaan, juga terdapat permasalahan lainnya meliputi 1) masih terdapat bangunan bersejarah yang kurang terawat sebagai objek wisata utama kawasan dilihat dari adanya vandalisme, plafon rusak, dan cat bangunan yang sudah memudar; 2) kondisi jalur pejalan kaki yang kurang memadai dilihat dari jalur pejalan kaki yang sangat tinggi dari jalan pada lokasi transisi, rusak, jalur pejalan kaki digunakan untuk kegiatan perdagangan dan penghalang lainnya; 3) kurangnya pohon penenduh di kawasan; 4) lokasi parkir yang jauh; 5) pengamen yang mengganggu kenyamanan pengunjung; dan 6) terjadinya kemacetan karena kapasitas jalan yang belum mampu menampung volume lalu lintas kendaraan yang lewat sebagai dampak dari pengalihan arus lalu lintas kendaraan karena adanya penutupan akses kendaraan depan BKB.

Page 198: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 189

Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang mengenai jumlah kunjungan pada objek wisata kawasan BKB dari tahun 2010-2016 menunjukkan bahwa terjadi penurunan pengunjung dari tahun 2010 sebanyak 17.815 jiwa menjadi 15.824 jiwa (2011), kemudian meningkat tahun 2012 sebanyak 18.553 jiwa. Namun, jumlah kunjungan mengalami penurunan kembali tahun 2013 sebanyak 13.655 karena sedang ada pemeliharaan bangunan Monpera, selanjutnya terjadi peningkatan selama tiga tahun terakhir dari tahun 2014 hingga tahun 2016 dengan jumlah berturut-turut sebanyak 19.094 jiwa, 27.127 jiwa, dan 50.267 jiwa. Meskipun adanya penurunan jumah kunjungan dan peningkatan jumlah kunjungan, namun kondisi tersebut belum diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan yang optimal. Tidak hanya itu, pengunjung yang datang ke kawasan BKB hanya ramai pada saat diadakan acara tertentu dibandingkan dengan hari biasa atau libur atau pada saat tidak ada penyelenggaraan acara, serta pengunjung lebih banyak datang pada pagi dan malam hari dibandingkan dengan siang hari yang cenderung sepi dari aktivitas wisata.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka kawasan BKB sebagai kawasan wisata sejarah budaya, dikhawatirkan tidak mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi pengunjung karena pengunjung kurang nyaman berwisata di kawasan itu. Padahal, kawasan BKB sebagai tempat wisata sejarah budaya dituntut untuk dapat memberikan kualitas pelayanan yang optimal. Kondisi kualitas pelayanan yang optimal akan berdampak pada peningkatan kualitas fisik dan kualitas nonfisik. Penelitian dengan menilai kualitas pelayanan untuk menjamin kepuasan wisatawan dalam upaya menarik pengunjung ke suatu destinasi wisata telah dilakukan pada penelitian di kawasan ekowisata maka penelitian pada kawasan Benteng Kuto Besak dilakukan untuk mengisi gap pengukuran kualitas pelayanan pada destinasi wisata di kawasan bersejarah. Dengan demikian, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian (research question), yaitu “bagaimanakah kualitas pelayanan pada kawasan Wisata Benteng Kuto Besak Palembang dalam memberikan pelayanan yang optimal

bagi pengunjung?”

B. Metodologi Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan kuantitatif didukung dengan pendekatan positivistik. Penelitian kuantitatif ini menggunakan metode deskriptif kualitatif sebagai metode penunjang yang bertujuan untuk memberikan deskripsi atau penjelasan dan gambaran informasi kualitatif dari hasil keterangan kualitatif pada kuesioner oleh pengunjung dan wawancara kepada instansi pemerintah Kota Palembang baik Bappeda maupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan para ahli terkait lainnya, serta dari hasil observasi lapangan dan dokumentasi terhadap variabel-

Page 199: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

190 Direktori Mini Tesis-Disertasi

variabel kondisi eksisting atau karakteristik kawasan dan kualitas pelayanan yang telah dipilih.

Jenis metode deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif pada penelitian ini adalah metode survei, yakni melakukan pengumpulan data informasi mengenai variabel-variabel pelayanan pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak dari kuesioner yang diberikan kepada pengunjung wisata kawasan Benteng Kuto Besak sebagai responden yang menilai variabel-variabel pelayanan. Hasil data informasi yang diperoleh tersebut akan dianalisis untuk mengetahui tingkat kepentingan pelayanan yang diharapkan pengunjung dan tingkat kinerja pelayanan yang diterima pengunjung pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak yang hasil akhirnya akan diketahui kualitas pelayanan pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak sekaligus menjawab pertanyaan penelitian yakni “bagaimanakah kualitas pelayanan pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak

Palembang dalam memberikan pelayanan yang optimal bagi pengunjung”.

1. Kawasan Benteng Kuto Besak

Kawasan Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang yang merupakan kawasan cagar budaya dan wisata berada pada lahan seluas ± 28,5 ha. Secara administratif, kawasan BKB berada di Kelurahan 19 Ilir Kecamatan Bukit Kecil dan Kelurahan 18 Ilir Kecamatan Ilir Timur I dengan batas administrasi kawasan, yakni sebelah utara berbatasan dengan permukiman, Jalan May. Tjik Agus Kiemas, S.H. dan Jalan Faqih Jalaluddin, sebelah timur berbatasan dengan Jalan Jendral Sudirman, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak.

Kuto Besak merupakan keraton pusat pemerintahan atau pusat kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam yang berada di kawasan Benteng Kuto Besak saat ini. Sebelumnya keraton pertama bernama Kuto Gawang yang terletak di lokasi yang sekarang menjadi pabrik Pupuk Sriwijaya, namun karena adanya pembumihangusan keraton oleh penjajah Belanda maka dipindahkan ke lokasi yang saat ini dijadikan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, kemudian berpindah lagi ke lokasi yang dikenal dengan Kuto Besak. Makna KUTO berasal dari kata Sansekerta yang berarti kota, puri, benteng, kubu. Kawasan Benteng Kuto Besak dikelola oleh Pemerintah Kota Palembang dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dibantu oleh instansi pemerintah terkait sesuai dengan peranananya masing-masing, serta Yayasan Masjid Agung Palembang untuk objek wisata Masjid Agung Palembang.

Page 200: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 191

2. Analisis Tingkat Kinerja dan Tingkat Kepentingan Pelayanan pada Kawasan Wisata Benteng Kuto Besak Palembang Berdasarkan Persepsi Pengunjung

Pada analisis ini yang akan dibahas lebih difokuskan pada variabel-variabel pelayanan yang memiliki kinerja rendah atau belum dapat memuaskan pengunjung wisata kawasan wisata Benteng Kuto Besak, namun memiliki kepentingan yang tinggi sesuai harapan pengunjung. Hal ini dapat terlihat banyaknya pengunjung yang masih tidak puas, kurang puas, dan cukup puas dibanding dengan pengunjung yang puas dan sangat puas, serta banyaknya pengunjung yang sangat mengharapkan dan mengharapkan pelayanan. Berdasarkan perhitungan rata-rata secara keseluruhan variabel pelayanan dapat diketahui bahwa nilai kinerja dikatakan rendah apabila memiliki bobot nilai di bawah rata-rata sebesar 855 atau 68,43%, sedangkan nilai kepentingan dikatakan tinggi apabila memiliki bobot nilai di atas rata-rata sebesar 1.151 atau 92,04%. Selain itu, mayoritas frekuensi kunjungan pengunjung sebanyak 3 kali dalam setahun yang menjadi salah satu pertimbangan untuk meningkatkan kinerja pelayanan sesuai dengan harapannya.

Adapun analisis ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Reliability (Kehandalan)

Reliability merupakan kemampuan dari pihak pemberi jasa dalam memberikan apa yang dijanjikan kepada penerima jasa (pelanggan) secara akurat.

• Kelancaran Lalu Lintas (R1)

Berdasarkan jawaban para responden mengenai kelancaran lalu lintas pada kawasan wisata BKB memberikan kinerja pelayanan yang kurang memuaskan pengunjung, sebanyak 31,6% tidak puas, 48,4% kurang puas, dan 18,4% cukup puas, sedangkan hanya 1,6% responden menjawab puas. Apabila dibandingkan dengan harapan para pengunjung bahwa sebanyak 79,6% sangat mengharapkan dan sebanyak 20,4% mengharapkan kelancaran lalu lintas. Dilihat dari bobot nilai harapannya paling tinggi di atas rata-rata sebesar 1.199 atau 95,92%, namun kinerja rendah di bawah rata-rata sebesar 475 atau 38%. Dengan demikian, kelancaran lalu lintas yang memudahkan pencapaian pengunjung baik menuju atau ke luar kawasan dapat dijadikan sebagai salah satu prioritas dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan pada kawasan wisata BKB.

Page 201: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

192 Direktori Mini Tesis-Disertasi

• Tarif Parkir yang Murah (R3)

Berdasarkan jawaban para responden pada gambar di bawah mengenai tarif parkir murah di sekitar kawasan wisata BKB memberikan kinerja pelayanan yang kurang memuaskan pengunjung, sebanyak 51,2% tidak puas, 34% kurang puas, dan 13,2% cukup puas sedangkan hanya 1,6% responden menjawab puas. Apabila dibandingkan dengan harapan para pengunjung bahwa sebanyak 3,2% cukup diharapkan, 28,8% diharapkan dan 68% sangat diharapkan. Selain itu, bobot nilai kinerjanya rendah berada di bawah rata-rata sebesar 413 atau 33,04%, namun bobot nilai harapannya tinggi yang berada di atas rata-rata sebesar 1.162 atau 92,96%. Oleh karena itu, perlu adanya upaya perbaikan untuk meningkatkan pelayanan kepada pengunjung wisata melalui pengelolaan parkir yang baik, mengingat tarif parkir mahal yang dikeluhkan pengguna parkir dikarenakan tarif yang diterapkan tidak pasti meskipun diterapkan tarif flat, selain itu tidak adanya karcis resmi juga menjadi ketidakpuasan pengguna parkir, kecuali pada area parkir taman bawah Jembatan Ampera, depan RS dr. A.K. Gani, dan area Masjid Agung Palembang. Untuk itu, pelayanan tarif parkir yang murah sesuai harapan pengunjung dapat diprioritaskan untuk ditingkatkan kualitas

pelayanannya pada kawasan wisata BKB.

b. Assurance (Jaminan)

Assurance merupakan jaminan yang diberikan pemberi layanan berkaitan dengan pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan pekerja (pemberi layanan) untuk membangkitkan rasa percaya dan keyakinan pengunjung wisata di kawasan wisata Benteng Kuto Besak, beserta fasilitas keamanan dan ketertiban lingkungan.

Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) variabel pelayanan yang memiliki kinerja kurang memuaskan, namun pengunjung sangat mengharapkan pelayanan

tersebut.

• Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Wisata Benteng Kuto Besak (A1)

Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner mengenai kinerja pelayanan pada dimensi assurance di kawasan wisata Benteng Kuto Besak (BKB) dari persepsi pengunjung wisata bahwa atribut Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan wisata BKB (area BKB dan sekitarnya dan

Page 202: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 193

area Masjid Agung Palembang) mendapat kinerja yang tidak memuaskan pengunjung wisata.

• Keberadaan PKL di kawasan wisata BKB memiliki kinerja yang belum memuaskan

Pengunjung, yakni sebanyak 53% tidak puas, 26 % kurang puas, dan 20% cukup puas. Dilihat dari bobot nilai kinerjanya memiliki kinerja yang rendah atau di bawah rata-rata sebesar 424 atau 33,92%, sedangkan bobot nilai harapannya tinggi atau di atas rata-rata sebesar 1.178 atau sebesar 94,24%. Padahal PKL dapat menjadi potensi bagi pengembangan wisata sebagai wujud pengembangan ekonomi masyarakat melalui usaha mikro kecil dan menengah dan menjadi fasilitas penunjang aktivitas wisata sehingga menjadi prioritas utama untuk dilakukan upaya peningkatan pelayanan di Kawasan Wisata BKB.

• Keberadaan pengamen di Kawasan Wisata Benteng Kuto Besak (A2)

Keberadaan pengamen yang berada di kawasan wisata BKB tepatnya di area Benteng Kuto Besak dan sekitarnya terdapat pengamen baik yang berkelompok maupun sendiri dengan penampilan ada yang rapi dan ada yang tidak rapi, serta masih terdapat pengamen yang agak memaksa pengunjung untuk memberikan uang sehingga pengunjung merasa tidak nyaman berwisata di kawasan.

Variabel pelayanan lainnya pada dimensi Assurance, meliputi (1) pengunjung merasa aman dan nyaman di Kawasan Wisata BKB; (2) kondisi dan ketersediaan fasilitas keamanan di kawasan wisata BKB (area BKB dan sekitarnya, serta area Masjid Agung Palembang); (3) keramahan dan kesopanan pemandu wisata (guide tour) di Museum SMB II dan MONPERA; (4) keramahan dan kesopanan petugas informasi wisata di Kantor Informasi Wisata yang berada di area Museum SMB II; (5) keramahan dan kesopanan petugas keamanan di kawasan wisata BKB (area BKB dan sekitarnya, serta area Masjid Agung Palembang); (6) Pemandu wisata memiliki pengetahuan terkait atraksi dan informasi objek wisata; dan (7) Petugas Informasi Wisata memiliki pengetahuan terkait atraksi dan informasi objek wisata maka pelayanan tersebut harus dipertahankan kinerjanya melalui pengembangan inovasi teknologi informasi dalam memberikan kepuasan pengunjung wisata.

Page 203: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

194 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Empathy (Empati)

Keberadaan fasilitas wisata berada pada lokasi yang mudah dijangkau pengunjung, meliputi tempat duduk, tempat sampah, toilet, tempat ibadah, tempat makan, ATM Center, dan Air Siap Minum. Keberadaan fasilitas wisata tersebut tersebar merata di berbagai area sehingga dapat dijangkau bagi pengunjung yang ingin memanfaatkannya, seperti berada di area parkir, plaza, taman, jalur pedestrian, dan beberapa gedung baik pemerintahan maupun perdagangan jasa. Akan tetapi, masih terdapat fasilitas wisata yang masih sulit dijangkau, yakni toilet umum. Toilet umum yang ada berada pada area sebelah kanan atau timur BKB dan sekitarnya, sedangkan pada area sebelah kiri atau barat BKB belum tersedia toilet umum sehingga toilet

umum yang ada saat ini sulit dijangkau dari area Sekanak dan Rumah Bari.

d. Responsiveness (Ketanggapan)

Responsiveness merupakan pelayanan yang berkaitan dengan tanggung jawab dan keinginan untuk memberikan pelayanan yang prima, serta membantu penerima layanan apabila menghadapi masalah berkaitan dengan pelayanan yang diberikan oleh pemberi layanan.

Variabel-variabel pelayanan pada dimensi responsiveness sudah memberikan kepuasan kepada pengunjung yang ditunjukkan dari kinerja pelayanannya yang sebagian besar sudah merasa sangat puas sesuai dengan harapannya. Pada dimensi responsiveness, petugas kebersihan memiliki kinerja yang paling bagus lebih dari yang diharapkan pengunjung karena tanggap dalam membersihkan sampah yang berada di jalan, pedestrian, taman, dan fasilitas umum, seperti tempat sampah dan toilet, bahkan di saluran drainase. Begitu pula dengan kinerja dari petugas keamanan, pemandu wisata, dan petugas informasi yang sangat membantu dan ramah menanggapi pertanyaan pengunjung. Meskipun petugas informasi memiliki nilai kinerja yang lebih rendah dari variabel lainnya dalam dimensi ini, namun kinerjanya sudah memberikan kepuasan kepada pengunjung dengan memberikan brosur informasi wisata, meskipun brosur informasi wisata yang tersedia kurang lengkap sehingga ketersediaan brosur informasi wisata tersebut yang termasuk dalam rendahnya kinerja

pada kondisi dan ketersediaan pusat informasi wisata perlu ditingkatkan.

e. Sustainability (Keberlanjutan)

Sustainability merupakan pelayanan yang mempertimbangkan aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi baik untuk masa sekarang maupun

Page 204: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 195

yang akan datang. Variabel pelayanan pada dimensi ini berkaitan dengan atraksi wisata dan aspek lingkungan, yakni kondisi bangunan bersejarah masih mempertahankan arsitektur aslinya dan kondisi penambahan baru yang tetap menyesuaikan dengan arsitekur bersejarah, sedangkan variabel pelayanan yang berkaitan dengan atraksi wisata dan aspek ekonomi, yakni pemanfaatan bangunan peninggalan bersejarah untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah ekonomi.

Berdasarkan penelitian ini, kinerja pelayanan dianggap bernilai rendah, namun sangat diharapkan oleh pengunjung. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan kinerja pemanfaatan bangunan peninggalan bersejarah untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah ekonomi agar bangunan bersejarah tersebut berfungsi atau dimanfaatkan dan terawatt yang

nantinya pengunjung merasa puas terhadap pelayanan yang diterima.

3. Analisis Kualitas Pelayanan pada Kawasan Wisata Benteng Kuto Besak Palembang Berdasarkan Tingkat Kinerja dan Tingkat Kepentingan Pelayanan

Analisis kualitas pelayanan pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak berdasarkan tingkat kinerja dan tingkat kepentingan bertujuan untuk mengetahui kualitas pelayanan sehingga diperoleh kesenjangan antara tingkat kinerja dengan tingkat kepentingan, atribut-atribut atau variabel-variabel pelayanan yang memiliki nilai kinerja tinggi maupun rendah dan kepentingan tinggi maupun rendah, yang pada akhirnya dapat dirumuskan upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan kualitas pelayanan yang optimal bagi pengunjung kawasan wisata Benteng Kuto Besak dengan menggunakan Importance Performance Analysis (IPA).

Dalam Analisis Kinerja Kepentingan atau Importance Performance Analysis (IPA) kualitas pelayanan pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak dilakukan perhitungan rata-rata tingkat kinerja dan tingkat kepentingan untuk mengetahui kesenjangan (gap) antara kinerja dan kepentingan.

a. Variabel-Variabel Pelayanan Pada Kawasan Wisata BKB pada Kuadran I

Variabel-variabel pelayanan pada kawasan wisata BKB pada kuadran I memiliki kepentingan tinggi, namun kinerja masih di bawah nilai sumbu X atau kinerjanya kurang memuaskan sehingga perlu adanya peningkatan kinerja pada variabel-variabel tersebut agar kepuasan pengunjung dapat tercapai sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, variabel-variabel

Page 205: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

196 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pelayanan dengan kepentingan yang tinggi dan kinerjanya rendah menjadi

prioritas utama untuk ditingkatkan kinerja pelayanannya.

b. Variabel-Variabel Pelayanan pada Kawasan Wisata BKB pada Kuadran II

Variabel-variabel pelayanan pada kuadran II sebanyak 22 variabel termasuk variabel-variabel pelayanan pada kawasan wisata BKB pada kuadran II memiliki kepentingan tinggi dan kinerjanya di atas rata-rata sumbu X atau kinerja sudah memuaskan pengunjung sehingga variabel-variabel tersebut harus tetap dipertahankan kinerjanya yang sudah baik.

c. Variabel-Variabel Pelayanan Pada Kawasan Wisata BKB pada Kuadran III

Variabel-variabel pelayanan pada kawasan wisata BKB pada kuadran III memiliki tingkat kepentingan rendah dan nilai kinerja di bawah rata-rata sumbu X atau kinerjanya kurang memuaskan sehingga penyediaannya tidak menjadi prioritas utama atau prioritasnya rendah. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan apabila pada waktu yang akan datang variabel-variabel ini memiliki harapan yang tinggi dari pengunjung sehingga variabel-variabel ini tetap dipertimbangkan untuk ditingkatkan kinerjanya, namun tidak menjadi prioritas utama atau dapat diabaikan saat ini.

d. Variabel-Variabel Pelayanan pada Kawasan Wisata BKB pada Kuadran IV

Dalam analisis kualitas pelayanan pada kawasan wisata BKB juga perlu diketahui tingkat kepuasan pengunjung wisata pada kawasan wisata BKB secara keseluruhan dengan menggunakan perhitungan Customer Satisfaction Index (CSI) sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat kepuasan pengunjung secara keseluruhan di kawasan wisata Benteng Kuto Besak. Perhitungan CSI merupakan persentase nilai Weight Score (WS) terhadap nilai maksimum pembobotan skala likert, di mana sebelumnya harus diketahui nilai Mean Satisfaction Score (MSS), Mean Importance Score (MIS), dan Weight Factors (WF) yang akhirnya diketahui WS untuk mendapatkan nilai CSI.

Berdasarkan hasil analisis penelitian ini menggunakan CSI diketahui bahwa tingkat kepuasan pengunjung pada kawasan wisata BKB secara keseluruhan sebesar 0,6814 atau 68,14%. Dilihat dari tabel kriteria dan kepuasan pengunjung CSI, nilai CSI yang rendah atau belum memuaskan berada pada kisaran 0,00-0,65, nilai CSI yang dapat dikatakan puas berkisar antara 0,66-0,80, dan nilai tertinggi atau sangat puas berada dikisaran 0,81-1,00. Berdasarkan hal tersebut maka tingkat kepuasan pengunjung pada kawasan wisata BKB termasuk pada kriteria puas terhadap pelayanan yang

Page 206: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 197

diterima secara keseluruhan. Meskipun hasil menunjukkan pelayanan yang diterima pengunjung secara keseluruhan saat ini telah mampu membuat pengunjung merasa puas sebesar 68,14%, namun kinerja pelayanan tetap harus ditingkatkan terutama pelayanan yang memiliki nilai kepentingan tinggi atau yang paling diharapkan pengunjung, tapi kinerjanya rendah sehingga peningkatan pelayanan tersebut dapat mencapai tingkat kepuasan

pengunjung yang mendekati 100% bahkan mencapai angka sempurna 100%.

4. Prioritas Pengembangan Wisata Kawasan Benteng Kuto Besak

Dalam penelitian ini, variabel-variabel pelayanan pada kawasan wisata BKB yang diprioritaskan adalah variabel-variabel dengan nilai kepentingan tinggi, namun kinerjanya rendah. Pelayanan tersebut berada pada kuadran I yang termasuk dalam dimensi Reliability, Assurance, Tangible, Empathy, dan Sustainability. Urutan prioritas variabel-variabel pelayanan tersebut dilihat dari besaran nilai kesenjangan (gap) tinggi antara harapan pengunjung yang menjadi kepentingan penyedia layanan dengan kinerja pelayanan dari nilai -3,19 sampai dengan -1,59. Hal ini dikarenakan semakin besar kesenjangan, semakin tidak puas pengunjung yang berdampak pada semakin perlu pelayanan dijadikan prioritas. Adapun prioritas pengembangan wisata tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kondisi dan ketersediaan jaringan internet gratis (Wifi) (T22).

b. Keberadaan Pedagang Kaki Lima (A1).

c. Tarif parkir yang murah (R3).

d. Kondisi dan ketersediaan tempat penjualan souvenir (T15).

e. Kelancaran lalu lintas (R1).

f. Kondisi dan ketersediaan toilet umum (T19).

g. Kondisi dan Ketersediaan Pohon Peneduh (T8)

h. Kondisi dan ketersediaan halte bus (T6).

i. Kondisi dan ketersediaan tempat parkir (T5).

j. Penampilan petugas parkir yang rapi (T26).

k. Kondisi dan ketersediaan pedestrian (T4).

l. Kondisi bangunan bersejarah yang masih mempertahankan arsitektur aslinya (Jawa, Cina, dan Eropa) dan kondisi penambahan bangunan baru yang tetap menyesuaikan dengan arsitekur bersejarah kawasan (S2).

m. Kondisi dan ketersediaan pusat informasi wisata (T11).

n. Keberadaan pengamen (A2).

Page 207: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

198 Direktori Mini Tesis-Disertasi

o. Pemanfaatan bangunan peninggalan bersejarah untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah ekonomi (S3).

p. Kondisi dan ketersediaan penanda arah lokasi dan papan informasi wisata yang informatif (T10).

q. Kondisi bangunan dan peninggalan bersejarah (T2).

r. Penyelenggaraan acara atau kegiatan budaya, kesenian dan sejarah lokal (S1) Penyelenggaraan acara atau kegiatan budaya, kesenian, dan sejarah local (S2).

s. Keberadaan fasilitas wisata pada lokasi yang memudahkan pengunjung

memanfaatkan fasilitas (E1).

C. Kesimpulan

Kualitas pelayanan pada suatu destinasi pariwisata menjadi sesuatu yang penting dilakukan dalam mengevaluasi kinerja pelayanan yang diberikan kepada penerima layanan sesuai dengan harapannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas pelayanan pada kawasan wisata Benteng Kuto Besak (BKB) berdasarkan persepsi pengunjung sehingga dapat diketahui prioritas pengembangan wisata dalam memberikan pelayanan yang optimal bagi pengunjung kawasan.

Berdasarkan hasil temuan studi maka dapat disimpulan bahwa kualitas pelayanan pada kawasan wisata BKB secara keseluruhan sudah memuaskan pengunjung sebesar 0,6814 atau 68,14%, namun masih terdapat beberapa pelayanan yang belum memuaskan pengunjung. Beberapa pelayanan tersebut dapat ditunjukkan pada kuadran I matriks Importance Performance Analysis (IPA) bahwa terdapat 19 variabel dari 56 variabel pelayanan yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan kinerjanya sesuai dengan harapan pengunjung. Pelayanan pada kawasan BKB yang menjadi prioritas utama tersebut dapat diurutkan berdasarkan nilai kesenjangan (gap) sehingga dapat diketahui bahwa dalam pengembangan wisata kawasan ternyata bukan hanya memperhatikan fasilitas wisata dan aksesibilitas kawasan saja, namun juga atraksi wisata sebagai daya tarik wisata kawasan sekaligus memberikan informasi dan promosi, serta melestarikan kawasan BKB untuk menjaga eksistensi dan identitasnya sebagai kawasan bersejarah. Dengan adanya peningkatan pelayanan tersebut diharapkan pelayanan yang diberikan menjadi optimal, pengunjung merasakan kepuasan, pengunjung mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai budaya, kesenian, dan sejarah lokal di Kawasan BKB, serta pengalaman dan pengetahuan dalam memanfaatkan dan melestarikan bangunan bersejarah di kawasan bersejarah lainnya.

Page 208: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 199

Berdasarkan hasil temuan studi dapat diketahui pula beberapa pelayanan yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan pelayanannya bahwa pada dimensi Reliability terdapat 2 variabel yang berkaitan dengan fasilitas dan aksesibilitas, pada dimensi Assurance terdapat 2 variabel yang berkaitan dengan fasilitas dan atraksi wisata, pada dimensi Tangible terdapat 11 variabel yang berkaitan dengan fasilitas, aksesibilitas dan atraksi, pada dimensi Empathy terdapat 1 variabel yang berkaitan dengan fasilitas dan aksesibilitas, pada dimensi Responsiveness tidak terdapat variabel yang perlu ditingkatkan yang berkaitan dengan fasilitas karena kinerjanya tinggi atau sudah memuaskan pengunjung sesuai harapan, dan pada dimensi Sustainablity terdapat 3 variabel yang berkaitan dengan atraksi wisata dan informasi dan promosi atau keseluruhan pelayanannya belum memberikan kepuasan pengunjung sesuai harapan.

Dimensi Sustainability belum menjadi perhatian utama bagi pemerintah saat ini, meskipun sudah ada upaya penyediaan pelayanan pada dimensi ini, namun penyediaannya belum optimal. Sebaiknya dimensi Sustainability baik fisik maupun nonfisik menjadi perhatian utama bagi pemerintah, selain dimensi fisik lainnya. Hal ini dikarenakan kebijakan yang ada saat ini menunjukkan pemerintah masih fokus pada peningkatan kualitas fisik sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang, sedangkan kebijakan yang tertuang pada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi (RIPPARPROV) Sumatera Selatan sudah menunjukkan adanya perhatian pada bidang nonfisik terkait daya tarik wisata berupa atraksi wisata.

Dengan memperhatikan hasil temuan studi yang didukung dengan literatur mengenai kualitas pelayanan dalam konteks pariwisata maka penelitian ini membuktikan bahwa kondisi nonfisik juga penting untuk diperhatikan, tidak hanya kondisi fisik saja. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah memberikan perhatian yang seimbang tidak hanya pada kualitas fisik, tapi juga kualitas nonfisik. Perhatian pada bidang nonfisik tersebut dapat dituangkan dalam regulasi atau kebijakan terkait penyelenggaraan acara terkait budaya, kesenian, dan sejarah lokal, seperti peningkatan intensitas acara dan penyelenggaraan acara terkait lainnya yang diharapkan dapat berjalan secara kontinu atau berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut maka hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan prioritas pengembangan wisata di kawasan Benteng Kuto Besak.

Selain itu, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap penerapan teori kualitas pelayanan (service quality) dan pariwisata di kawasan bersejarah atau pariwisata pusaka atau sejarah budaya (heritage tourism). Kontribusi tersebut terletak pada penerapannya di destinasi wisata bersejarah, penambahan dimensi kualitas pelayanan, dan penggunaan variabel-variabel tiap dimensi.

Page 209: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

200 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penelitian mengenai kualitas pelayanan (service quality) selama ini dilakukan untuk mengetahui kinerja pelayanan yang perlu diperbaiki demi meningkatkan kepuasan pelanggan pada suatu perusahaan atau industri, seperti bank komersial di Filipina (Zalatar, 2012), maskapai penerbangan India (Archana dan Subha, 2012), klinik kesehatan di Malaysia (Yunus, Latiff, Din, dan Ma’on, 2013), dan sebagainya.

Pada perkembangannya, penelitian mengenai kualitas pelayanan dapat pula diterapkan pada suatu destinasi wisata, berupa situs bersejarah Candi Borobudur Indonesia (Canny, 2013) dan Pantai Rantau Abang Malaysia (Hau dan Omar, 2014), Kawasan Ekowisata Tasik Kenyir Malaysia (Yusof, Rahman, Fitri, dan Jamil, 2014), dan Pariwisata Thailand (Choovanichchannon, 2015), serta pada suatu industri pariwisata, seperti hotel di Taiwan (Hseih, Lin, dan Lin, 2008), restoran di Jordan (Al-tit, 2015), homestay di Malaysia (Ismail, Hanafiah, Aminuddin, dan Mustafa, 2016). Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi penelitian kualitas pelayanan pada kawasan bersejarah di kawasan wisata Benteng Kuto Besak Palembang. Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan pada kawasan ekowisata untuk menjamin kepuasan pengunjung dalam upaya menarik wisatawan, namun dalam konteks destinasi wisata yang berbeda.

Dimensi pengukuran kualitas pelayanan yang digunakan pada penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yang pada umumnya menggunakan dimensi SERVQUAL (Hseih, Lin, dan Lin, 2008; Canny, 2013; Al-tit, 2015; Ismail, Hanafiah, Aminuddin, dan Mustafa, 2016). Dimensi pengukuran dengan menambahkan dimensi SERVQUAL dan mempertimbangkan pendekatan Sustainable Tourism juga pernah digunakan pada penelitian sebelumnya di Kawasan Ekowisata Tasik Kenyir Malaysia (Yusof, Rahman, Fitri, dan Jamil, 2014) dengan menambahkan dimensi Tangible Sustainability dan Sustainable Practice, sedangkan pada penelitian ini dalam konteks kawasan bersejarah menambahkan dimensi Sustainability. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi Sustainability perlu ditambahkan karena berkaitan dengan daya tarik wisata atau atraksi wisata kawasan yang dilihat dari aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi. Dimensi tersebut selain sebagai atraksi wisata juga sekaligus memberikan informasi dan promosi, melestarikan kawasan untuk menjaga eksistensi dan identitasnya sebagai kawasan bersejarah. Dengan adanya dimensi Sustainability, pelayanan pada suatu destinasi wisata dapat menarik pengunjung untuk memaksimalkan kualitas pengalamannya melalui atraksi wisata yang ditawarkan.

Meskipun penelitian ini memiliki kesamaan dalam mempertimbangkan pendekatan Sustainable Tourism, namun terdapat perbedaan pada variabel pelayanan terpilih. Pada dimensi Tangible Sustainability berkaitan pada aspek sosial budaya dan lingkungan, meliputi atraksi wisata visual dan alam, tidak ramai dan masih alami, aktivitas berbasis alam, dan meminimalisir perubahan pada vegetasi dan bentukan lahan, sedangkan

Page 210: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 201

variabel pelayanan pada dimensi Sustainable Practice berkaitan pada aspek sosial budaya dan lingkungan, meliputi menggunakan sumber daya alam lokal untuk perlengkapan dan fasilitas, melakukan daur ulang dan penggunaan kembali produk, dan pembangunan yang terintegrasi dengan lingkungan atau budaya lokal. Hal yang perlu digarisbawahi pada penelitian tersebut adalah variabel pelayanan pada dimensi-dimensi tersebut hanya mencakup aspek sosial budaya dan lingkungan, sedangkan aspek ekonomi tidak diperhatikan. Oleh karena itu, pada penelitian ini aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dipertimbangkan dalam variabel pelayanan dimensi Sustainability, meliputi (a) penyelenggaraan acara atau kegiatan budaya, kesenian, dan sejarah lokal; (b) kondisi bangunan bersejarah dan penambahan bangunan baru; dan (c) pemanfaatan bangunan bersejarah dalam memberikan nilai tambah ekonomi. Tidak hanya itu, variabel-variabel yang digunakan pada penelitian sebelumnya dikembangkan pada lokasi dan negara yang berbeda atau dengan kata lain belum dikembangkan pada lokasi kawasan bersejarah dan Negara Indonesia.

Penelitian ini berkontribusi pula dalam penerapan konsep atau metode IPA. Metode IPA (Importance Performance Analysis) merupakan suatu metode untuk mengukur kualitas pelayanan antara tingkat kepuasan (satisfaction) atas kinerja (performance) yang dibandingan dengan harapan (expectation) dari pengguna (Martilla dan James, 1977). Selanjutnya variabel-variabel pelayanan tersebut akan dituangkan ke dalam matriks yang dapat menggambarkan dengan jelas prioritas pelayanan sehingga dapat diketahui pelayanan yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan kinerjanya. Penerapan metode IPA dalam pengukuran kualitas pelayanan perlu diawali dengan proses validasi-variabel penelitian. Proses validasi penelitian ini dilakukan dengan metode delphi. Hal ini bertujuan agar variabel terpilih menjadi valid atau sahih, tidak subjektif dan dapat diimplementasikan.

Variabel terpilih tersebut dihasilkan dari konsesus atau kesepakatan para ahli dengan melakukan pengumpulan pendapat atau informasi dari para ahli terpilih melalui serangkaian kuesioner. Dalam pengumpulan pendapat para ahli tersebut, terjadi proses pengulangan kembali hingga tercapai kesepakatan. Metode delphi yang dilakukan sebanyak 2 (dua) tahap atau putaran, tahap pertama variabel pelayanan dari hasil studi literatur ditanyakan kepada para ahli untuk mendapatkan masukan sekaligus validasi, kemudian pada tahap kedua, variabel-variabel tersebut dari hasil tahap pertama ditanyakan kembali untuk memperoleh konsesus atau kesepakatan variabel terpilih. Hasil validasi variabel penelitian tersebut kemudian dituangkan ke dalam kuesioner. Langkah selanjutnya, dilakukan pilot test questionnaire sebelum dilakukan penyebaran kuesioner sebenarnya agar kuesioner yang diisi dapat dipahami dan dimengerti oleh pengunjung, serta mendapatkan masukan terhadap perbaikan variabel atau atribut-atribut pertanyaan pada kuesioner.

Page 211: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

202 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penerapan validasi variabel penelitian inilah yang membedakan dari beberapa penelitian sebelumya dengan menggunakan metode IPA untuk mengevaluasi, menilai, dan meningkatkan kinerja pelayanan, seperti pelayanan e-government di Jepang (Wong, Hideki, dan George, 2011), destinasi paket liburan di Polandia (Johann, 2014), kebun binatang di Korea (Lee, 2015), dan wisata berbasis alam di Hongkong (Zhang dan Chan, 2016). Perbedaan tersebut juga terlihat dari penerapan pilot test questionnaire yang tidak dilakukan pada beberapa penelitian tersebut, kecuali hanya pada penelitian mengenai kebun binatang di Korea (Lee, 2015) yang melakukan pilot test questionnaire.

Page 212: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENYEMPURNAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

Nama : Sam Ilham Hartoko

Instansi : Kemen LH & HUT

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 213: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

204 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau adalah kabupaten yang memiliki perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat, sebagaimana pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang bertambah 10.774,96 ha/tahun (BPS Kabupaten Pelalawan, 2017) selama periode 2011-2014. Tersedianya data penggunaan lahan aktual di Kabupaten Pelalawan menjadi alat yang dapat membantu pemerintah untuk mengatur penggunaan lahan di lapangan maupun mengevaluasi penggunaan lahan eksisting terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui jenis dan sebaran penggunaan lahan; 2) mengetahui pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan selama 18 tahun terakhir; 3) memprediksi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan tahun 2026; 4) mengetahui keselarasan penggunaan lahan eksisting dengan pola ruang RTRWK; dan 5) menyusun arahan dalam penyempurnaan pola ruang RTRWK Kabupaten Pelalawan.

Metode yang digunakan untuk mengetahui jenis dan sebaran penggunaan lahan adalah dengan interpretasi citra satelit dan cek lapang. Metode untuk mengetahui pola perubahan adalah dengan tumpang susun penggunaan lahan tiga titik tahun, yaitu tahun 1998, 2007, dan 2016. Prediksi perubahan penggunaan lahan tahun 2026 menggunakan metode CA-Markov dengan membuat tiga skenario, yaitu 1) skenario Business As Usual adalah skenario perubahan penggunaan lahan tanpa ada aturan atau intervensi pemerintah; 2) skenario moderat adalah skenario menghentikan perubahan hutan yang berada di dalam kawasan hutan, dan hutan tanaman hanya boleh bertambah di dalam kawasan hutan produksi; dan 3)skenario optimis adalah skenario moderat ditambah dengan menghentikan perubahan lahan sawah, serta mengubah lahan terbuka dan belukar yang berada di dalam kawasan hutan menjadi tanaman hutan.

Analisis keselarasan penggunaan lahan eksisting dengan pola ruang RTRWK menggunakan metode tumpang susun. Arahan penyempurnaan pola ruang dibuat dengan mengevaluasi alokasi ruang pertanian dengan kesesuaian lahan untuk tanaman pangan dan alokasi ruang perkebunan besar dan perkebunan rakyat dengan kesesuaian lahan untuk tanaman perkebunan. Jenis tanaman pangan dan tanaman perkebunan yang digunakan dipilih dari komoditas unggulan yang ada di Kabupaten Pelalawan menggunakan analisis LQ dan DS. Evaluasi kesesuaian lahan menggunakan metode matching antara karakteristik lahan pada setiap SPT dan kriteria kesesuaian lahan berdasar petunjuk teknis evaluasi lahan untuk komoditas pertanian. Arahan diberikan menggunakan metode tumpang susun pada lokasi yang penggunaan lahan eksisting tidak selaras dengan pola ruang dengan hasil evaluasi kesesuaian lahan.

Page 214: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 205

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 13 jenis penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan, yaitu lahan terbangun, hutan, perkebunan, hutan tanaman, mangrove, kebun campuran, lahan terbuka, belukar, sawah, ladang, kawasan industri, tambak, dan badan air. Sebaran penggunaan lahan perkebunan, kebun campuran, dan lahan terbangun berada di seluruh kecamatan di Kabupaten Pelalawan, sedangkan hutan tersebar di 11 kecamatan dan hutan tanaman tersebar di 10 kecamatan. Tambak hanya ada di satu kecamatan, sedangkan sawah tersebar di tiga kecamatan. Belukar dan lahan terbuka tersebar di 10 kecamatan, sedangkan kawasan industri, mangrove dan ladang tersebar di dua kecamatan.

Kata kunci: Keselarasan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan, Pola Ruang, Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan.

Page 215: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

206 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENYEMPURNAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

A. Latar Belakang

Penggunaan lahan di wilayah Provinsi Riau mengalami perubahan yang signifikan, dari kawasan hutan berubah menjadi permukiman dengan pusat-pusat perkotaan yang sangat ramai seperti Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Bengkalis, Siak, Pelalawan, dan kota lain. Berdasar statistik Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2014, laju deforestasi di Provinsi Riau tahun 2012-2013 pada kawasan hutan adalah 4,399,3 hektar/tahun dan pada Areal Penggunaan Lain (APL) adalah 5,812,7 hektar/tahun.

Jenis penggunaan lahan di Provinsi Riau yang bertambah selain permukiman adalah perkebunan kelapa sawit. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2016, luas perkebunan sawit di Provinsi Riau tahun 2015 adalah yang terluas di Indonesia dengan 2,381,895 hektar (21,07%) dari luas total 11,300,370 hektar, dengan produksi sebanyak 7,333,610 ton. Perkebunan sawit di Provinsi Riau terdiri tas perkebunan rakyat 1,389,301 hektar, perkebunan negara 88,068 hektar dan perkebunan swasta 904,526 hektar.

Kabupaten Pelalawan sebagai bagian dari Provinsi Riau, mempunyai fenomena yang sama dalam penggunaan lahannya dari gambaran Provinsi Riau secara umum. Deforestasi juga terjadi di Kabupaten Pelalawan, tercatat tahun 2015, Kabupaten Pelalawan memiliki lahan kritis terluas di Provinsi Riau, yaitu 239,543,58 hektar (BPS Provinsi Riau, 2016). Perubahan penggunaan lahan yang terjadi antara lain pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, karet, dan kelapa. Tahun 2011 sampai dengan 2014 luas areal ketiga tanaman perkebunan ini bertambah 34,952,78 hektar (Bappeda Kabupaten Pelalawan, 2016). Rata-rata pertumbuhan areal tanaman perkebunan selama periode itu adalah 2,25% pertahun.

Kabupaten Pelalawan memiliki lima kawasan konservasi dua di antaranya, yaitu Suaka Margasatwa Kerumutan dan Taman Nasional Tesso Nilo. Taman Nasional Tesso Nilo yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan SK.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 28 Oktober 2014 sebagai kawasan hutan, namun terdapat pemukiman dan perkebunan masyarakat. Pertumbuhan dari pemukiman dan kebun yang ada sangatlah cepat, dan menjadi penekan terhadap keberadaan Taman Nasional Tesso Nilo sebagai kawasan konservasi. Begitu pula di Suaka Margasatwa Kerumutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat (9), secara fungsinya

Page 216: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 207

seharusnya kawasan konservasi dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem. Dalam Suaka Margasatwa Kerumutan banyak ditemukan perkebunan kelapa sawit. Batas alokasi ruang dengan fungsi lindung, dalam hal ini kawasan hutan konservasi, dan alokasi ruang untuk budi daya menjadi tidak jelas.

Pemerintah Kabupaten Pelalawan membuat Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) untuk mengatur pemanfaatan ruang sesuai peruntukannya. RTRWK Pelalawan yang sudah berupa peraturan daerah saat ini adalah RTRWK tahun 2001, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 23 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Pelalawan. Namun, dalam pelaksanaan administrasi perizinan lokasi pembangunan saat ini, Bapeda Kabupaten Pelalawan telah menggunakan RTRWK tahun 2011-2031 yang masih berupa Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). RTRWK tahun 2011-2031 belum bisa disahkan karena RTRW

Provinsi Riau yang menjadi acuan RTRW Kabupaten belum disahkan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Untuk mengendalikan dan mengatur penggunaan lahan agar sesuai daya dukung dan daya tampungnya, diperlukan suatu arahan berupa kebijakan penataan ruang yang bersifat mengikat (Syahadat dan Subarudi, 2012). Keselarasan penggunaan lahan dengan pola ruang adalah kunci awal menjaga sebuah lingkungan agar tetap lestari (Ruslisan et al., 2015), dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kabupaten Pelalawan telah menggunakan RTRWK tahun 2011-2031, namun belum ditetapkan dengan Perda. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian berupa analisis terhadap perubahan penggunaan lahan dan evaluasi kesesuaian lahan untuk arahan penyempurnaan penyusunan RTRWK sebelum disahkan.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja jenis dan sebaran penggunaan lahan eksisting?

2. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan selama 18 tahun terakhir (Tahun 1998 -2016)?

3. Bagaimana proyeksi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan tahun 2026?

4. Apakah penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Pelalawan sudah selaras dengan pola ruang RTRWK Pelalawan?

5. Apa yang harus dilakukan dalam penyempurnaan pola ruang RTRWK Pelalawan?

Page 217: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

208 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Kabupaten Pelalawan memiliki 12 kecamatan, yaitu Kecamatan Langgam, Pangkalan Kerinci, Bandar Sei Kijang, Pangkalan Kuras, Ukui, Pangkalan Lesung, Bunut, Pelalawan, Bandar Petalangan, Kuala Kampar, Kerumutan, dan Teluk Meranti. Penelitian dilakukan selama 10 bulan dari bulan Maret 2017 sampai dengan Desember 2017.

Data yang digunakan adalah citra satelit Landsat TM5 tahun 1998, Landsat TM5 tahun 2007, dan Landsat OLI 8 tahun 2016. Data lainnya yaitu pola ruang RTRWK Pelalawan tahun 2011-2031, drainase tanah, tekstur tanah, kedalaman tanah, pH tanah, KTK tanah, kejenuhan basa, kelerengan permukaan, kematangan gambut, jumlah curah hujan tahunan, jumlah bulan kering, temperatur, luas panen, indeks sebaran HGU di Kabupaten Pelalawan, areal pelepasan kawasan teknopolitan, dan fungsi kawasan hutan.

Alat yang digunakan adalah GPS, kamera digital dan komputer. Alat berupa software yang digunakan, yaitu Arc GIS 10.0, Envi 4.7, Idrisi Selva, Microsoft Excel, dan Microsoft Word. Data primer diperoleh dari hasil interpretasi, survei lapang atau cek lapang. Cek lapang menggunakan metode purposive sampling, dilakukan pada seluruh jenis pengggunaan lahan hasil interpretasi dengan mengambil minimal 3 lokasi sampel pada setiap jenis penggunaan lahan. Lokasi sampel yang dipilih mempertimbangkan kemudahan dalam aksesnya dan terjangkau dalam satu jalur survei. Kegiatan cek lapang untuk mendapatkan data penggunaan lahan aktual, dan informasi melalui wawancara terhadap masyarakat sekitar lokasi sampel. Informasi berupa penggunaan lahan saat wawancara dan penggunaan lahan tahun lampau, yaitu tahun 1998 dan tahun 2007 sesuai pengetahuan narasumber. Hal ini untuk memberikan pertimbangan terhadap hasil interpretasi tentang ada tidaknya perubahan penggunaan lahan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kondisi Umum Wilayah

Kabupaten Pelalawan adalah kabupaten pemekaran yang berdiri tahun 1999. Pembentukan Kabupaten Pelalawan berdasar Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singgingi, dan Kota Batam. Awal berdirinya Kabupaten Pelalawan memiliki empat kecamatan, dan tahun 2017 sudah bertambah menjadi 12 kecamatan. Jumlah penduduk di Kabupaten Pelalawan tahun 2016 adalah 417.498 jiwa. Jumlah penduduk tersebut tersebar di 12 kecamatan, terdiri dari laki-laki sebanyak 214.268 jiwa dan perempuan sebanyak 203.230 jiwa.

Page 218: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 209

Kepadatan penduduk di Kabupaten Pelalawan adalah 30 jiwa/km2. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Pangkalan Kerinci dengan 598 jiwa/km2. Kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Teluk Meranti dengan kepadatan 4 jiwa/ km2 (BPS Kabupaten Pelalawan, 2017).

Kabupaten Pelalawan memiliki pendapatan domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku sebesar 41.165.592,46 juta rupiah, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan sebesar 30.654.906,26 juta rupiah atau meningkat sebesar 880.604,69 juta rupiah dibanding dengan tahun 2015 (BPS Kabupaten Pelalawan, 2017). Laju pertumbuhan PDRB di Kabupaten Pelalawan dari tahun 2010 sampai

dengan 2016 sebesar 2,96 persen.

2. Jenis dan Sebaran Penggunaan Lahan Eksisting

Penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan tahun 1998 dan 2007 didapatkan dari hasil interpretasi citra landsat TM 5 path 125 row 60 dan path 126 row 60. Menggunakan saluran RGB (Red, Green, Blue) dengan kombinasi band 5 pada saluran R, band 4 pada saluran G, dan band 3 pada saluran B, diperoleh visual dengan kekontrasan yang baik, terutama untuk tanaman.

Penggunaan lahan tahun 2016 diperoleh dari hasil interpretasi citra landsat OLI 8 tahun 2016 path 125 row 60 dan path 126 row 60, yang dikoreksi dengan pengecekan lapang. Citra landsat OLI 8 kombinasi band yang digunakan adalah band 6 pada saluran R, band 5 pada saluran G, dan band 4 pada saluran B. Hasil citra komposit ini kemudian di fusi dengan menggunakan band pankromatik dari citra landsat OLI 8 yang berada pada band 8. Resolusi citra setelah di fusi menjadi 15 meter.

Klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau menggunakan klasifikasi penutupan lahan Standar Nasional Indonesia (Badan Standarisasi Nasional, 2010), menghasilkan 13 jenis penggunaan lahan, yaitu perkebunan, kebun campuran, sawah, ladang, lahan terbangun, kawasan industri, lahan terbuka, mangrove, hutan, hutan tanaman, tambak, belukar, dan tubuh air. Interpretasi dilakukan dengan mengamati karakteristik dasar setiap objek penggunaan lahan dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi.

Sebaran penggunaan lahan tahun 2016 eksisting, hutan menyebar di 11 kecamatan, dengan hutan terluas berada di Kecamatan Teluk Meranti. Kawasan hutan yang ada di Kecamatan Teluk Meranti adalah Suaka Margasatwa (SM) Kerumutan, SM Tasik Besar, SM Tasik Besar Serkap, SM Tasik Belat, dan hutan produksi. Mangrove hanya berada di Kecamatan Kuala Kampar dan Teluk Meranti.

Page 219: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

210 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Sawah terluas berada di Kecamatan Kuala Kampar yang terkenal sebagai lumbung padi Kabupaten Pelalawan (Bappeda Kabupaten Pelalawan, 2016). Sebagian kecil sawah berada di Kecamatan Pangkalan Kuras dan Kecamatan Teluk Meranti. Ladang tersebar hanya di dua kecamatan, dan ladang paling luas berada di Pulau Muda Kecamatan Teluk Meranti, dengan kondisi di lapangan ladang-ladang masyakarat Pulau Muda sudah banyak yang dibiarkan terbengkalai karena adanya larangan pembakaran pasca panen.

Hutan tanaman berada paling luas di Kecamatan Teluk Meranti, yaitu kecamatan yang memiliki kawasan hutan produksi terluas di Kabupaten Pelalawan berdasar keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor: SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12.2016 tanggal 7 Desember 2016. Lahan terbangun, perkebunan, dan kebun campuran memiliki persebaran di seluruh kecamatan di Kabupaten Pelalawan. Lahan terbangun terluas berada di Kecamatan Pangkalan Kuras, disusul oleh Pangkalan Kerinci yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Pelalawan sehingga selain permukiman terdapat juga komplek perkantoran pemerintahan.

Perkebunan di Kecamatan Langgam adalah yang terluas di Kabupaten Pelalawan dan terkecil adalah Kecamatan Pangkalan Kerinci. Tambak hanya terdapat di Kecamatan Kuala Kampar, sedangkan kawasan industri hanya berada di Kecamatan Pangkalan Kerinci. Belukar dan lahan terbuka tersebar di 10 kecamatan yang sama.

3. Pola Perubahan Penggunaan Lahan

Pola perubahan penggunaan lahan didapat dari adanya perubahan satu jenis penggunaan lahan ke penggunaan lain pada satu lokasi yang sama dari tahun 1998 ke tahun 2007 dan 2016. Pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari tahun 1998 ke tahun 2007 ke tahun 2016 sebanyak 209 pola. Pola perubahan yang terjadi dapat dibagi menjadi dua tipe sebagai berikut:

a. Pola perubahan penggunaan lahan bervegetasi menjadi penggunaan lahan bervegetasi. Pola perubahan pada tipe ini yang paling dominan berdasar luasnya adalah

• hutan →hutan→perkebunan (110,807 hektar);

• hutan→perkebunan→perkebunan (87,809 hektar);

• hutan → hutan tanaman→ hutan tanaman (64,104 hektar);

• hutan → hutan → hutan tanaman (45,742 hektar);

• kebun campuran →perkebunan→perkebunan (27,765 hektar);

Page 220: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 211

• hutan →kebun campuran →perkebunan (16,009 hektar);

• kebun campuran →kebun campuran →perkebunan (13,878 hektar);

• hutan tanaman → hutan tanaman→ kebun campuran (6,099 hektar);

• hutan tanaman → hutan tanaman→ perkebunan (3,358 hektar);

• kebun campuran → hutan tanaman → hutan tanaman (3.233 hektar).

b. Pola perubahan penggunaan lahan bervegetasi menjadi penggunaan lahan tidak bervegetasi. Pola perubahan pada tipe ini yang paling dominan berdasar luasnya adalah

• kebun campuran→lahan terbangun→lahan terbangun (2,389 hektar);

• hutan→hutan→lahan terbuka (1,722 hektar);

• kebun campuran→kebun campuran→lahan terbangun (1,083 hektar);

• perkebunan→perkebunan→lahan terbuka (844 hektar);

• perkebunan→lahan terbangun→lahan terbangun (819 hektar); dan

• perkebunan→perkebunan→lahan terbangun (557 hektar);

• hutan→lahan terbuka→lahan terbuka (474 hektar);

• kebun campuran→perkebunan→lahan terbangun (465 hektar);

• hutan →lahan terbangun→lahan terbangun (461 hektar); dan

• ladang→lahan terbangun→lahan terbangun (228 hektar).

4. Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2026

Prediksi tahun 2026 menggunakan metode CA-Markov, dengan data tahun awal (T0) adalah tahun 2016, dan Transition Probabillity Matrix (TPM) tahun 2007-2016. Sebelum memprediksi tahun 2026, dilakukan prediksi penggunaan lahan tahun 2016 dengan memilih model terbaik yang dianggap mampu untuk digunakan memprediksi penggunaan lahan tahun 2026. Model I adalah Transition Probabillity Matrix (TPM) tahun 1998-2007, tahun awal prediksi (T0) adalah tahun 2007 dengan Iterasi 10. Penggunaan lahan tambak yang tidak ada di tahun 1998, namun ada di tahun 2007 dalam tahapan prediksi digabungkan ke penggunaan lahan sekitarnya karena CA Markov tidak dapat memprediksi sebuah penggunaan lahan baru. Hasil prediksi tahun 2016 dengan model I dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2016 eksisting menghasilkan nilai Kappa 68%.

Model II adalah Transition Probabillity Matrix (TPM) tahun 2007-2016, tahun awal prediksi (T0) adalah tahun 2007 dengan Iterasi 10. Jumlah dan jenis penggunaan lahan pada tahun 2007 dan tahun 2016 sama, termasuk tambak. Hasil

Page 221: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

212 Direktori Mini Tesis-Disertasi

prediksi tahun 2016 dengan model II dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2016 eksisting menghasilkan nilai Kappa 87 %. Oleh karena itu, model II layak untuk digunakan memprediksi penggunaan lahan tahun 2026.

Hasil dari setiap skenario berbeda terhadap setiap penggunaan lahan. Kondisi ideal yang seharusnya tercapai, yaitu luas hutan sama dengan luas kawasan lindung dalam pola ruang adalah 24,1% ternyata tidak bisa terpenuhi dari semua skenario yang dibuat. Tren perubahan hutan yang menurun membuat skenario penghentian perubahan dan penambahan hutan dari belukar dan lahan terbuka pada skenario III, tetap tidak bisa meningkatkan luas hutan.

Kondisi luas perkebunan eksisting sudah lebih luas (470,740 hektar) dari alokasi ruang perkebunan besar (251,543 hektar) dan perkebunan rakyat (168,418 hektar). Hasil prediksi dengan semua skenario luas perkebunan selalu meningkat sehingga pemerintah Kabupaten Pelalawan perlu membuat kebijakan lain untuk mengendalikan laju pertumbuhan perkebunan karena daya dukung lingkungan harus tetap dijaga. Meskipun sektor perkebunan atau pertanian menjadi penyumbang terbesar kedua pada PDRB Kabupaten Pelalawan (BPS Kabupaten Pelalawan, 2017), perlu adanya kebijakan atau program lain untuk meningkatkan produksi, namun pertumbuhan areal perkebunan tetap dalam kondisi wajar.

Hutan tanaman dari semua prediksi meningkat, tetapi luasnya masih di bawah alokasi ruang hutan produksi pada RTRWK Pelalawan 2011-2031, yaitu 48%. Kondisi hutan tanaman pada skenario III dengan luas terbesar, yaitu 334.912 hektar (24,3 %) adalah hasil yang terbaik. Kondisi hasil prediksi yang jauh dari alokasi ruang membuat perlunya pemerintah meninjau ulang kebijakan-kebijakan perizinan dalam pembukaan hutan tanaman agar pemanfaatan alokasi ruang dapat maksimal.

Luas sawah hasil prediksi pada semua skenario juga belumlah mendekati alokasi ruang pertanian tanaman pangan pada RTRWK Pelalawan tahun 2011-2031. Luas sawah terbesar dihasilkan dengan skenario III, yaitu 6,982 hektar ternyata masih jauh di bawah alokasi ruang pertanian tanaman pangan seluas 39,055 hektar. Ladang hasil prediksi perubahannya berbanding terbalik dengan sawah, yaitu berkurang pada semua skenario. Alokasi ruang untuk ladang adalah pertanian tanaman pangan, sama dengan sawah, namun jika sawah dengan ladang ditambahkan arealnya tetap tidak sesuai dengan luas alokasi ruangnya. Pemerintah perlu membuat program dalam pembukaan lahan sawah baru atau memberikan insentif terhadap petani agar mereka mau mempertahankan lahan sawah yang ada dari konversi ke penggunaan lain dan berusaha menambah luasan sawahnya. Perlu juga dibuat program pemanfaatan kembali ladang-ladang yang terlantar.

Page 222: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 213

Prediksi perubahan tahun 2026 lahan terbangun pada semua skenario menghasilkan luasan bertambah. Areal lahan terbangun terluas adalah 28,125 hektar pada skenario II, hampir seluas alokasi ruang permukiman perkotaan ditambah dengan permukiman pedesaan, yaitu 31,149 hektar. Tren pertumbuhan lahan terbangun, yaitu setiap lahan terbangun eksisting memiliki peluang untuk bertambah luas, baik yang berada di wilayah kota maupun di desa. Kondisi ini menunjukkan bahwa setiap wilayah di Kabupaten Pelalawan memiliki peluang pertumbuhan, baik jumlah penduduk maupun perekonomian, dan mata pencaharian masyarakat Pelalawan mengarah ke masyarakat perkotaan. Hal ini sesuai dengan data dari BPS Kabupaten Pelalawan bahwa sektor sekunder menjadi penyumbang terbesar PDRB Kabupaten Pelalawan, yang menunjukkan mata pencaharian masyarakat sudah tidak bergantung pada sektor primer atau pertanian (tipe masyarakat pedesaan).

Kondisi penggunaan lahan yang diprediksi akan melebihi alokasi ruangnya dan mungkin menimbulkan inkonsistensi perlu tindakan dalam pemanfaatan ruang atau pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah juga perlu mendorong penggunaan lahan yang luasannya masih jauh dari luas alokasi ruangnya, serta berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan berpedoman terhadap RTRWK Pelalawan. Dalam penerapan di lapangan, skenario III adalah yang paling bisa memberikan luas penggunaan lahan paling mendekati alokasi ruang yang direncanakan sehingga tepat untuk diterapkan oleh pemerintah Kabupaten Pelalawan. Kondisi kawasan hutan dan sawah yang terjaga tentu menjadi keunggulan dari skenario III. Penerapan skenario III sangat tepat untuk mengatur laju perubahan penggunaan lahan, dengan syarat adanya komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menerapkan peraturan. Keinginan pemerintah daerah untuk menjaga kawasan hutan serta lahan pertanian perlu diwujudkan dalam bentuk dukungan personel, anggaran, dan pembinaan kepada aparat di

lapangan.

5. Analisis Keselarasan Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang RTRWK

Penggunaan lahan yang alokasi ruangnya selaras dengan pola ruang dengan fungsi budi daya adalah hutan tanaman, perkebunan, kebun campuran, lahan terbangun, sawah, dan tegalan. Penggunaan lahan tambak tidak ada alokasi ruang yang khusus untuk tambak pada RTRWK Pelalawan tahun 2011-2031 sehingga keselarasan dengan pola ruang disesuaikan dengan kondisi di lapangan, seperti tambak berada di tepi laut sehingga selaras dengan alokasi ruang kawasan pantai berhutan bakau.

Page 223: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

214 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Ketidakselarasan atau inkonsistensi terjadi pada penggunaan lahan yang tidak selaras dengan pola ruang yang sudah ditentukan. Pada fungsi budi daya, inkonsistensi terbesar terjadi pada penggunaan lahan ladang, persentase luas inkonsistensi 62,3%, namun dengan luas penggunaan yang kecil, yaitu 806 hektar. Kondisi ladang yang sudah tidak digarap membuat hanya sedikit ruang yang dialokasikan untuk pertanian tanaman pangan pada lokasi-lokasi bekas ladang. Pola ruang untuk pertanian tanaman pangan lebih diarahkan untuk sawah dengan persentase luas areal sawah yang sesuai dengan pola ruang, yaitu 81,8%.

Lahan terbangun inkonsisten dengan pola ruang karena banyak tumbuh pemukiman-pemukiman baru. Pemukiman ini tumbuh karena adanya pembukaan lahan baru. Luas areal lahan terbangun yang tidak selaras dengan pola ruang dimungkinkan karena masyarakat membangun permukiman tanpa ada perizinan atau tidak mengikuti aturan. Adanya akses jalan yang dibuat oleh perusahaan perkebunan atau perusahaan hutan tanaman industri membuat masyarakat bisa membuka kebun-kebun baru, kemudian membangun pemukiman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fahmi et al., (2016) bahwa aksesibilitas adalah faktor pendorong terjadinya inkonsistensi dengan pola ruang. Sama halnya dengan kawasan industri yang inkonsisten dengan pola ruang sebesar 44,9 %. Jarak waktu tujuh tahun telah membuat banyak perubahan di Kabupaten Pelalawan. Pola ruang yang dibuat tahun 2011 mungkin belum menyesuaikan dengan kondisi aktual di lapangan, atau tidak mengakomodir kondisi di lapangan karena mungkin saja penggunaan lahan sudah ada sebelum adanya peraturan.

Inkonsistensi dengan persentase yang besar juga terjadi pada kebun campuran. Lokasi kebun campuran yang masuk ke dalam areal hutan produksi, areal HGU perkebunan, menyebabkan terjadinya inkonsistensi. Lokasi kebun campuran banyak terdapat pada sisi-sisi luar areal tersebut karena kebun masyarakat banyak yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan atau areal HGU.

Penggunaan lahan yang selaras dengan pola ruang dengan fungsi lindung adalah hutan dan mangrove. Inkonsistensi penggunaan lahan hutan terjadi saat penggunaan lahan hutan berada pada pola ruang dengan fungsi budi daya, dengan persentase 19,8%. Hutan selaras pada pola ruang dengan fungsi budi daya hanya pada hutan produksi tetap, hutan produksi tetap penyangga dan hutan rakyat,

yang pada dasarnya tiga areal tersebut masih merupakan kawasan hutan.

6. Arahan Penyempurnaan Pola Ruang RTRWK Pelalawan

Berdasarkan hasil seluruh analisis, disusun arahan penyempurnaan pola ruang sebagai berikut:

Page 224: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 215

a. Lahan terbangun dan kawasan industri eksisting yang tidak selaras atau inkonsisten dengan pola ruang disarankan untuk diakomodir pada penyempurnaan pola ruang karena sifatnya yang permanen. Lahan terbangun dan kawasan industri yang diakomodir dalam penyempurnaan pola ruang, perlu mempertimbangkan lokasi lahan terbangun atau industri tersebut, apakah berada di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan. Sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kawasan perkotaan memiliki susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi sehingga lebih layak untuk alokasi permukiman atau industri. Sesuai Rencana Struktur Ruang RTRWK Pelalawan tahun 2011-2031, yang termasuk kawasan perkotaan adalah PKW Pangkalan Kerinci, PKLp Sorek, dan PKLp Ukui, serta 9 PPK, yaitu Sikijang, Pelalawan, Langgam, Pangkalan Lesung, Pangkalan Bunut, Lubuk Keranji, Kerumutan, Teluk Meranti, dan Teluk Dalam. Lokasi lahan terbangun dan kawasan industri juga seharusnya tidak berada di dalam kawasan hutan karena jika berada di dalam kawasan hutan diperlukan proses pelepasan kawasan hutan.

b. Lahan-lahan yang berpotensi untuk pertanian dan perkebunan hasil prediksi seyogianya dipertimbangkan dimasukkan ke dalam alokasi ruang pertanian dan perkebunan.

c. Tambak bertambah lebih luas berdasar prediksi tahun 2026 pada semua scenario sehingga perlu ada alokasi ruang yang bisa mengakomodir tambak agar tidak terjadi inkonsistensi atau ketidakselarasan di masa yang akan datang.

d. Lahan-lahan yang tidak sesuai potensinya untuk pertanian tanaman pangan, namun dialokasi ruangnya untuk pertanian, seyogianya bisa dipertimbangkan dialokasikan untuk penggunaan lain di luar tanaman pangan, termasuk perkebunan atau penggunaan nonpertanian lainnya yang sesuai. Lahan-lahan yang tidak sesuai potensinya untuk tanaman perkebunan, namun dialokasi ruangnya untuk perkebunan, seyogianya bisa dipertimbangkan dialokasikan untuk penggunaan nonpertanian lainnya

yang lebih sesuai.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dijabarkan sebelumnya dapat disusun simpulan sebagai berikut:

1. Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan sebanyak 13 jenis, yaitu lahan terbangun, hutan, perkebunan, hutan tanaman, mangrove, kebun campuran,

Page 225: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

216 Direktori Mini Tesis-Disertasi

lahan terbuka, belukar, sawah, ladang, kawasan industri, tambak, dan badan air. Sebaran penggunaan lahan perkebunan, kebun campuran, dan lahan terbangun berada di seluruh kecamatan di Kabupaten Pelalawan, sedangkan hutan, hutan tanaman, belukar dan lahan terbuka hampir tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Pelalawan. Tambak hanya ada di Kecamatan Kuala Kampar, sedangkan sawah tersebar di tiga kecamatan. Kawasan industri, mangrove dan ladang tersebar di dua kecamatan dari 12 kecamatan di Kabupaten Pelalawan.

2. Pola perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Pelalawan sejumlah 209 pola perubahan. Terdapat dua tipe pola perubahan, yaitu 1) pola perubahan dari penggunaan lahan bervegetasi ke penggunaan lahan bervegetasi; dan 2) pola perubahan dari penggunaan lahan bervegetasi ke penggunaan lahan tidak bervegetasi. Tipe pertama dengan pola yang paling dominan berdasarkan luas perubahan adalah 1) hutan → hutan → perkebunan; 2) hutan → perkebunan →perkebunan; 3) hutan → hutan tanaman → hutan tanaman; 4) hutan → hutan → hutan tanaman; 5) kebun campuran → perkebunan → perkebunan. Tipe kedua dengan pola perubahan yang paling dominan berdasar luas adalah: 1) kebun campuran → lahan terbangun → lahan terbangun; 2) hutan → hutan → lahan terbuka; 3) kebun campuran → kebun campuran→lahan terbangun; 4) perkebunan → perkebunan → lahan terbuka; 4) perkebunan→ lahan terbangun → lahan terbangun.

3. Hasil prediksi perubahan penggunaan lahan tahun 2026 pada seluruh skenario menunjukkan luas sawah, hutan tanaman, perkebunan, kawasan industri, tambak dan lahan terbangun mengalami penambahan, sedangkan hutan, mangrove, ladang, kebun campuran, belukar dan lahan terbuka mengalami pengurangan luas.

4. Analisis keselarasan penggunaan lahan eksisting dengan pola ruang, penggunaan lahan eksisting yang selaras dengan pola ruang sebesar 988,504 hektar (77,9%) dan tidak selaras sebesar 280,954 hektar (22,1%). Ketidakselarasan disebabkan karena adanya penggunaan lahan (permukiman) yang sudah ada sebelum adanya RTRWK, alokasi ruang yang kurang, perbedaan batas kawasan hutan, dan tumbuhnya permukiman karena mengikuti pembukaan kebun-kebun baru.

5. Arahan penyempurnaan pola ruang adalah lahan-lahan yang tidak selaras dengan pola ruang terutama pada alokasi ruang pertanian dan perkebunan, apabila berpotensi untuk pengembangan pertanian dan perkebunan diarahkan untuk dialokasikan untuk lahan pertanian dan perkebunan dalam pola ruang yang disempurnakan. Lahan yang tidak selaras dengan pola ruang, tetapi tidak berpotensi untuk pertanian dan perkebunan, diarahkan untuk alokasi ruang penggunaan nonpertanian yang lebih sesuai. Lahan terbangun dan kawasan

Page 226: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 217

industri yang sudah eksisting di lapangan seyogianya diakomodir dalam pola ruang yang disempurnakan dengan mempertimbangkan lokasinya berada di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan sesuai Rencana Struktur Ruang

Wilayah Kabupaten Pelalawan.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil dan kesimpulan maka disarankan untuk memperhatikan prediksi penggunaan lahan di masa depan dalam penyempurnaan RTRWK Pelalawan agar tercipta penggunaan lahan yang selaras dengan pola ruang. Terhadap penggunaan lahan yang tidak selaras dengan pola ruang perlu peningkatan dalam pengendalian pemanfaatan ruang agar ketidakselarasan dapat dikurangi atau bahkan dihindari sehingga tercipta tertib hukum pemanfaatan ruang.

Page 227: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

218 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 228: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

KINERJA PELAYANAN PENGELOLAAN SAMPAH BERDASARKAN PENDAPAT PEDAGANG DAN PENGELOLA PASAR DI PASAR TALANG, KECAMATAN GUNUNG TALANG KABUPATEN SOLOK

Nama : Susilawati

Instansi : Pemkab Solok

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah

dan Kota

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 229: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

220 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Sampah Pasar merupakan salah satu sumber penghasil sampah dari area komersial yang memengaruhi jumlah timbulan sampah kota. Dengan demikian, diperlukan pengelolaan secara efektif dan efisien agar berkelanjutan secara lingkungan, social, dan ekonomi. Pasar Talang salah satu pasar tradisional di Kabupaten Solok yang memiliki luas ± 3,30 ha, pasar terluas dan paling ramai aktivitas jual belinya. Pasar ini beroperasi setiap hari Rabu dengan jumlah pedagang 420 orang. Permasalahan yang ada, yaitu masih banyak sampah yang dibuang di tempat terbuka serta tidak semua sampah terangkut ke TPA. Selain itu, masih banyak dijumpai sampah yang berserakan di sudut-sudut kios maupun lorong pasar setelah pasar beroperasi.

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji kinerja dan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pelayanan pengelolaan sampah, berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola pasar di Pasar Talang, Kecamatan Gunung Talang Kabupaten Solok. Penelitian ini menggunakan metode statistik deskripstif dengan pendekatan kuantitatif. Teknik analisis dilakukan dengan skoring dan analisis faktor dengan variabel ketersediaan (tangible), keandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), perhatian (empathy), keuangan, social, dan lingkungan dengan jumlah responden sebanyak 208.

Hasil dari penelitian ini, yaitu kinerja pelayanan pengelolaan sampah berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola Pasar Talang memiliki kategori kurang baik. Beberapa faktor yang menyebabkan kinerja pelayanan tersebut berdasarkan hasil pengelompokkan analisis faktor, yaitu terdiri atas faktor teknis operasional sebagai faktor utama serta faktor lain yang cukup penting, yaitu faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan, faktor efektifitas pelayanan, faktor peran serta individu, faktor kualitas personil, faktor jaminan pelyanan, dan faktor minimasi sampah di sumber. Dengan demikian, agar kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang menjadi lebih baik maka perlu dilakukan optimalisasi serta perbaikan kinerja dengan prioritas utama, yaitu faktor teknis operasional, kemudian dilanjutkan secara berurutan faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan, faktor efektifitas pelayanan, faktor peran serta individu, faktor kualitas personil, faktor jaminan pelyanan dan faktor minimasi sampah di sumber.

Kata kunci: Sampah Pasar, Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah, Faktor-Faktor yang Berpengaruh.

Page 230: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 221

ABSTRACT

Market waste is one waste generation from commercial areas that influence the municipal waste generation. Thus it is necessary to manage effectively and efficiently in order to be sustainable in environmental, social and economical. Talang market is one of the traditional markets in Solok Regency which has an area of ± 3.30 Ha, is the largest and most crowded market in Solok Regency. This market operates every Wednesday with 420 merchants. The problem is there is still a lot of waste disposed in the open air, not all of them be transported to landfill. In addition, there is still a lot of waste scattered in the corners of kiosks and market hallway after the market operates.

The purpose of this study is to examine the performance and factors that influence the performance of waste management services based on the opinion of traders and market managers in Talang Market, Gunung Talang District, Solok Regency. This research uses descriptive statistical method with quantitative approach. Analyze technique is done by scoring and factor analysis with tangible variable, reliability, responsiveness, assurance, empathy, finance, social and environment with 208 respondents.

The result of this research is the performance of waste management service of Talang Market has bad category. Some factors that cause the service performance is based on the result of grouping factor analysis that consists of operational technical factor as the main factor and other important factors, namely financing actors and service quality factors, service effectiveness factors, individual role factors, personnel quality factors, guarantee factors pest and waste minimization factors at source. Thus, in order to improve the performance of waste management services of Talang Market becomes good, it is necessary to optimize and improve the performance with the main priority of operational technical factor, then continued in sequence of financing factor and service quality factor, service effectiveness factor, individual role factor, quality factor personnel, quality service guarantee factors and waste minimization factors at source.

Keywords: Market Waste, Waste Management Service Performance, Influencing Factors.

Page 231: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

222 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KINERJA PELAYANAN PENGELOLAAN SAMPAH BERDASARKAN PENDAPAT PEDAGANG DAN PENGELOLA

PASAR DI PASAR TALANG, KECAMATAN GUNUNG TALANG KABUPATEN SOLOK

A. Latar Belakang

Sampah pasar adalah salah satu sumber penghasil sampah dari area komersial yang berkontribusi terhadap timbulan sampah kota (Tchobanoglous, 1993, UU Nomor 18 Tahun 2008). Peningkatan aktivitas pasar tentu saja akan menghasilkan sampah baik oleh pedagang maupun pembeli. Dengan demikian, diperlukan pengelolaan secara efektif dan efisien agar berkelanjutan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi (Asomani R. & Boateng, 2016). Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk meminimalkan permasalahan terkait pelayanan sampah pasar maka diperlukan keterlibatan berbagai pihak antara lain pedagang, asosiasi pengelola pasar serta stakeholder lain yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah kota.

Permasalahan persampahan juga dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Solok terutama di daerah yang sudah mendapat akses pelayanan sampah melalui Dinas Lingkungan Hidup, salah satunya pasar. Kabupaten Solok sampai saat ini masih belum memiliki pasar kabupaten, namun hanya berupa pasar nagari. Salah satu pasar nagari yang terbesar dan berada dekat dengan Ibu Kota Kabupaten Solok, yaitu Pasar Talang. Pasar ini berada di posisi strategis jalan lintas Sumatera, tepatnya di Nagari Talang Kecamatan Gunung Talang. Sebagai calon pengembangan pasar Kabupaten Solok ke depannya maka selayaknya pasar ini dapat terlayani dengan baik oleh sistem pengelolaan sampah perkotaan. Untuk itu, persoalan sampah di area pasar menjadi sangat signifikan dan perlu mendapat perhatian lebih.

Pasar Talang adalah pasar tradisional dengan luas ± 3,30 ha dan merupakan pasar terluas dan paling ramai aktivitas jual belinya di Kabupaten Solok. Pasar Talang beroperasi sekali dalam seminggu, yaitu hari Rabu. Adapun total jumlah pedagang yang ada sampai saat ini sebanyak 420 pedagang. Dari jumlah tersebut 8 pedagang berjualan di kios, 300 pedagang berjualan di los dan selebihnya, yaitu 108 pedagang berjualan di lapak.

Pengelolaan sampah di Pasar Talang ini meliputi proses penyapuan dan pengumpulan sampah ke Tempat Penampungan Sementara (TPS), dilakukan oleh Badan Pengelola Pasar Talang. Sementara itu, untuk proses pengangkutan sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten

Page 232: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 223

Solok dengan periode pengangkutan 1 kali dalam seminggu, yaitu pada hari Selasa. Dengan dilakukannya pengelolaan sampah pasar ini, diharapkan sampah yang dihasilkan pedagang dan pembeli dapat terkelola dengan baik.

Untuk mengetahui seperti apa tingkat pelayanan pengelolaan sampah yang dirasakan oleh masyarakat, terutama pedagang di Pasar Talang maka diperlukan pengukuran kinerja pelayanan pengelolaan sampah berdasarkan pendapat masyarakat terutama pedagang dan pengelola pasar. Dengan latar belakang permasalahan tersebut, terdapat hal yang menarik untuk dilakukan penelitian, yaitu untuk mengkaji kinerja pelayanan pengelolan sampah berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola pasar serta mengetahui faktor-faktor penyebabnya, dengan lokasi Pasar Talang yang berada di Nagari Talang, Kecamatan Gunung Talang Kabupaten Solok.

Permasalahan pengelolaaan persampahan di Kabupaten Solok tidak jauh berbeda dengan kabupaten atau kota lainnya di Provinsi Sumatera Barat, yaitu keterbatasan sarana dan prasarana, keterbatasan anggaran serta masih rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat sehingga pelayanan pengelolaan sampah yang dirasakan oleh masyarakat dirasakan belum optimal.

Pengelolaan sampah pasar tradisional atau pasar nagari yang ada saat ini meliputi penyapuan dan pengumpulan sampah dilakukan oleh pengelola pasar masing-masing. Sementara itu, untuk proses pengangkutan ke TPA dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Solok sebagai institusi pengelola kebersihan di Kabupaten Solok. Sampai saat ini terdapat 8 (delapan) pasar yang sudah mendapat akses pelayanan sampah.

Sebagai pasar yang terluas dan yang paling ramai aktivitas jual beli di dalamnya, sekaligus memiliki posisi strategis, yaitu berada di dekat kawasan Ibu Kota Kabupaten Solok maka Pasar Talang seharusnya mendapatkan prioritas dalam pelayanan pengelolaan sampah. Berdasarkan uraian permasalahan yang terjadi di Pasar Talang, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok maka didapatkan rumusan pertanyaan penelitian ini, seperti apa kinerja pelayanan pengelolaan sampah berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola pasar di Pasar Talang serta faktor-faktor apa saja

yang memengaruhinya?

B. Metodologi Penelitian

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Menurut Sugiyono (2013), jika dilihat dari sumber datanya maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sesuai

Page 233: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

224 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pelayanan sampah, berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola Pasar Talang Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok maka data sekunder diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, Kantor Kecamatan Gunung Talang, Kantor Wali Nagari Talang serta Badan Pengelola Pasar Talang. Adapun data sekunder yang diperlukan antara lain gambaran umum wilayah penelitian, gambaran umum sistem pengelolaan persampahan serta gambaran umum pengelolaan sampah Pasar Talang. Sementara itu, untuk pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan kuesioner (angket) ke sejumlah sampel (responden), yaitu pedagang dan

pengelola pasar.

1. Kabupaten Solok

Secara administratif Kabupaten Solok terbagi dalam 14 kecamatan, 74 nagari, dan 414 jorong. Kecamatan yang memiliki nagari terbanyak adalah Kecamatan IX Koto Sungai Lasi dan Kecamatan X Koto Diatas dengan memiliki 9 nagari untuk setiap kecamatan. Kecamatan dengan jumlah nagari terkecil terdapat di Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan Danau Kembar, dan Kecamatan Junjung Sirih dengan memiliki 2 nagari untuk setiap kecamatan. Kecamatan yang memiliki jorong terbanyak, yaitu Kecamatan X Koto Diatas dengan jumlah 52 jorong dan kecamatan yang memiliki jorong paling sedikit adalah Kecamatan Payung Sekaki dan Kecamatan Junjung Sirih dengan memiliki 11 jorong untuk masing-masing. Untuk wilayah objek penelitian, yaitu Pasar Talang yang berada di wilayah administrasi Nagari Talang, Kecamatan Gunung Talang. Nagari Talang memiliki luas 31,05 km2 yang terdiri atas 6 (enam) jorong, yaitu Jorong Aro, Koto Gaek, Tabek Pala, Panarian, Koto Gadang, dan Anau Kadok.

Posisi Pasar Talang berdekatan dengan pusat Ibu Kota Kabupaten Solok. Pasar ini berlokasi di jalan lintas Sumatera, Jorong Aro, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Pasar Talang dibangun tahun 2003 dengan luas ± 3,30 ha. Pasar ini beroperasi sekali dalam satu minggu, yaitu setiap hari Rabu, mulai pukul 06.00-16.00 WIB. Pasar Nagari Talang ini dikelola oleh Badan Pengelola Pasar Talang Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.

Aktivitas pengumpulan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan pasar sebanyak 2 (dua) orang. Sampah yang sebelumnya yang ditempatkan pedagang di wadahnya serta yang masih berserakan di los-los, di lahan terbuka, kemudian dikumpulkan dahulu oleh petugas kebersihan dengan menggunakan 1 (satu) unit gerobak. Gerobak yang digunakan kondisinya kurang terawat dan tidak memadai jadi bisa menghambat. Aktivitas pengumpulan sampah ini dilakukan setelah pasar

Page 234: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 225

selesai beroperasi dan biasanya sampai jam 18.00 WIB. Kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya, pukul 07.00-12.00 WIB. Pengumpulan dilakukan terus sampai sehari sebelum diangkut oleh petugas ke TPA oleh Dinas Lingkungan Hidup

Kabupaten Solo.

2. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Variabel

Berdasarkan frekuensi jawaban responden terhadap indikator kondisi kebersihan lingkungan pasar tersebut, menunjukkan mayoritas responden menyatakan kondisi kebersihan pasar kurang baik, yaitu sebanyak 81 responden (38,9%) dan hanya 1 responden (0,5%) responden yang menyatakan kondisi pasar sangat baik. Sementara itu, sebanyak 83 responden (18,3%) menyatakan kondisi kebersihan pasar tidak baik.

Berdasarkan jawaban tersebut, bahwa sebagian besar dari responden berpendapat bahwa kondisi kebersihan lingkungan pasar saat ini kotor. Hal ini masih banyak sampah dibuang tidak pada tempatnya, berserakan di lantai los, kios serta lorong-lorong dalam pasar. Responden yang menyatakan kondisi kebersihan baik, berjumlah 37 responden (17,8%) dan 51 responden (24,5%) lebih memilih kondisi kebersihan lingkungan pasar cukup baik. Jawaban responden ini berarti sebagian kecil menyatakan kondisi kebersihan lingkungan pasar saat ini sudah cukup bersih.

Dengan melihat frekuensi jawaban responden terhadap kondisi kebersihan lingkungan pasar ini mayoritas kurang baik maka perlu dilakukan evaluasi terhadap jumlah prasarana serta ketersedian jumlah personil kebersihan yang ada sehingga lingkungan pasar selalu berada dalam kondisi bersih, baik itu ketika hari pasar maupun setelah selesainya pasar. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kondisi kebersihan

memiliki kategori kurang baik dengan jumlah skor 2,43.

3. Analisis Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Variabel Kehandalan (Reliability)

a. Efektifitas Waktu Pengumpulan

Dengan melihat frekuensi jawaban responden terhadap efektifitas jadwal pengumpulan sampah lebih banyak yang menyatakan kurang baik maka perlu menjadi perhatian untuk dilakukan evaluasi terhadap waktu pengumpulan sampah. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat

Page 235: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

226 Direktori Mini Tesis-Disertasi

responden tersebut, didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator efektifitas waktu pengumpulan memiliki kategori kurang baik dengan jumlah skor 2,36.

b. Efektifitas Waktu Pengangkutan

Dengan melihat frekuensi jawaban responden yang lebih banyak menyatakan jadwal waktu pengangkutan sampah saat ini kondisinya masih kurang baik maka indikator ini perlu dievaluasi lagi seperti dengan menambah ritasi pengangkutan sampah yang tentu saja sebanding dengan penambahan kontainer. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator efektifitas waktu pengangkutan memiliki kategori kurang baik dengan jumlah skor 2,38.

c. Kemampuan Petugas

Jika dilihat dari frekuensi jawaban pendapat responden terhadap indikator kemampuan petugas maka mayoritas responden menyatakan kurang baik. Hal ini dapat dijadikan evaluasi oleh pengelola pasar terkait peningkatan kualitas personil. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kemampuan petugas memiliki kategori kurang

baik dengan jumlah skor 2,50.

4. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Variabel Ketanggapan (Responsiveness)

a. Kecepatan Petugas

Dengan adanya frekuensi jawaban responden terhadap indikator kecepatan petugas mayoritas kurang baik maka aspek ini perlu diperhatikan lagi oleh pengelola pasar. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut, didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kecepatan petugas memiliki kategori kurang baik dengan jumlah skor 2,64.

b. Daya Tanggap Petugas

Sebanyak 22 responden (10,6%) menyatakan daya tanggap petugas tidak baik dan 55 responden (25,5%) menyatakan daya tanggap petugas masih kurang baik. Pendapat responden ini mengandung pengertian bahwa hanya sebahagian kecil dari mereka yang menganggap bahwa petugas kebersihan belum mampu

Page 236: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 227

merespons keluhan mereka dengan baik. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut, didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator daya tanggap petugas dalam menanggapi keluhan respoden terkait pembersihan pasar memiliki

kategori cukup baik dengan jumlah skor 3,02.

5. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Variabel Jaminan (Assurance)

a. Jaminan Pemeliharaan

Sebanyak 28 responden (13,5%) menyatakan jaminan pemeliharaan prasarana kebersihan tidak baik dan 45 responden (21,6%) lebih memilih menyatakan jaminan pemeliharaan terhadap sarana kebersihan pasar masih kurang baik. Dari jawaban responden ini dapat diartikan bahwa sebahagian kecil responden berpendapat bahwa pemeliharaan terhadap prasarana kebersihan dirasakan belum optimal. Dari hasil perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut, didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator jaminan pemeliharaan terhadap sarana kebersihan dalam menanggapi keluhan responden terkait pembersihan pasar memiliki kategori cukup baik dengan jumlah skor 2,87.

b. Jaminan Kepastian Pelayanan

Sebanyak 29 responden (13,9%) menyatakan jaminan kepastian pelayanan kebersihan tidak baik dan selebihnya 60 responden (28,8%) lebih memilih menyatakan jaminan kepastian pelayanan kebersihan kurang baik. Hal tersebut berarti hanya sebahagian kecil dari responden yang menyatakan adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut, didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator jaminan kepastian pelayanan kebersihan memiliki kategori cukup baik dengan jumlah

skor 2,79.

6. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Berdasarkan Variabel Perhatian (Empathy)

a. Kemudahan Menghubungi Petugas

Dua belas responden (12,0%) menyatakan tingkat kemudahan untuk menghubungi petugas kebersihan memiliki kategori tidak baik dan 59 responden (28,4%) menyatakan kemudahan menghubungi petugas kebersihan memiliki

Page 237: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

228 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kategori kurang baik. Jawaban dari pendapat responden ini dapat diartikan bahwa hanya sebahagian kecil dari mereka yang menyatakan sulit untuk menghubungi petugas kebersihan. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kemudahan menghubungi petugas kebersihan memiliki kategori cukup baik dengan jumlah skor 2,72.

b. Keramahan Petugas

Sebanyak 33 responden (15,9%) berpendapat bahwa tingkat keramahan petugas kebersihan memiliki kategori tidak baik dan sebanyak 46 responden (22,1%) berpendapat bahwa keramahan petugas kebersihan kurang baik. Dari jawaban ini dapat membuktikan bahwa sebahagian kecil responden kurang merasa mendapat keramahan dari petugas kebersihan. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator keramahan petugas kebersihan dalam melayani kebersihan pasar memiliki kategori cukup

baik dengan jumlah skor 2,94.

7. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Variabel Keuangan

a. Kepastian Biaya

Masih ada yang menyatakan kepastian besarnya biaya retribusi pelayanan kebersihan masih tidak baik, yaitu sebanyak 19 responden (9,1%) dan 44 responden (21,2%) juga memilih menyatakan kepastian biaya retribusi pelayanan kebersihan masih kurang baik. Hal ini membuktikan masih ada sebahagian kecil responden yang belum mengetahui adanya ketetapan retribusi sampah. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kepastian biaya retribusi pelayanan kebersihan memiliki kategori cukup baik dengan jumlah skor 2,91.

b. Keterjangkauan Biaya

Masih ada yang berpendapat tingkat keterjangkauan biaya retribusi pelayanan kebersihan masih tidak baik, yaitu sebanyak 40 responden (19,2%) dan yang menyatakan tingkat keterjangkauan biaya retribusi pelayanan kebersihan masih kurang baik, yaitu sebanyak 51 responden (24,5%). Dari jawaban ini dapat diartikan, bahwa hanya sebahagian kecil responden yang menyatakan biaya

Page 238: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 229

retribusi sampah belum terjangkau. Beberapa pedagang lapak dan los merasa keberatan dengan jumlah tarif sampah demikian karena sampah yang mereka hasilkan tidak sebanding dengan biaya retribusi. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator tingkat keterjangkauan biaya retribusi pelayanan kebersihan memiliki kategori cukup

baik dengan jumlah skor 2,75.

8. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Berdasarkan Variabel Sosial

a. Kepuasaan Pelayanan

Dengan melihat frekuensi jawaban responden yang mayoritas menyatakan tingkat kepuasaan pelayanan yang diterima masih kurang baik maka hal ini perlu menjadi perhatian dan diperlukan evaluasi terhadap aspek pelayanan. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kepuasaan pelayanan kebersihan memiliki kategori kurang baik dengan jumlah skor 2,36.

b. Tingkat Kesadaran Masyarakat

Dengan melihat frekuensi jawaban responden yang mayoritas memberikan pendapat kurang baik terhadap tingkat kesadaran pengelolaan sampah pasar maka hal ini perlu mendapat perhatian lebih dan evaluasi terhadap upaya-upaya peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah pasar. Berdasarkan perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator tingkat kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah memiliki kategori kurang baik dengan jumlah skor 2,40.

c. Tingkat Pemahaman Masyarakat

Tujuh responden (3,4%) berpendapat bahwa tingkat pemahamannya tentang pengelolaan sampah tidak baik dan 56 responden (26,9%) berpendapat bahwa tingkat pemahamannya tentang pengelolaan sampah masih kurang baik. Jawaban tersebut dapat diartikan bahwa hanya sebagian kecil dari responden yang tidak memahami tentang pengelolaan sampah. Berdasarkan hasil perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator tingkat pemahaman masyarakat tentang pengelolaan kebersihan memiliki kategori cukup baik dengan jumlah skor 3,19.

Page 239: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

230 Direktori Mini Tesis-Disertasi

d. Sosialisasi Pengelolaan Sampah

Dengan melihat frekuensi pendapat responden terkait bentuk sosialisasi pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini lebih banyak responden yang menyatakan kurang baik sehingga indikator ini perlu menjadi perhatian dan dievaluasi lagi tentang bentuk sosialisasi pengeloaan sampah yang sesuai. Berdasarkan hasil perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden tersebut maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator sosialisasi pengelolaan sampah memiliki kategori kurang

baik dengan jumlah skor 2,44,132

9. Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Berdasarkan Variabel Lingkungan

Berdasarkan hasil perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kondisi kegiatan pemilahan sampah memiliki kategori tidak baik dengan jumlah skor 1,94. Dengan melihat frekuensi pendapat masyarakat terhadap indikator kondisi kegiatan daur ulang sampah lebih banyak yang berpendapat kurang baik maka indikator ini perlu mendapat perhatian, yaitu melalui sosialisasi tentang upaya minimasi sampah di sumber. Berdasarkan hasil perhitungan skor kinerja dari frekuensi pendapat responden maka didapatkan kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang berdasarkan indikator kondisi kegiatan daur ulang sampah yang dilakukan di pasar memiliki kategori tidak baik dengan jumlah

skor 1,99.

10. Rumusan Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Pelayanan Pengelolaan Sampah Pasar Talang Berdasarkan Pendapat Pedagang dan Pengelola Pasar

Berdasarkan hasil analisis faktor dengan software SPSS 22 maka didapatkan faktor baru yang terbentuk, yaitu sebanyak 7 (tujuh) faktor dimana akan menjadi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pelayanan pengelolaan sampah berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola Pasar Talang Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Adapun faktor tersebut seperti yang dijelaskan pada Tabel IV.36 meliputi a) Faktor 1, yaitu faktor teknis operasional; b) Faktor 2, yaitu faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan; c) Faktor 3, yaitu faktor efektifitas pelayanan; d) Faktor 4, yaitu faktor peran serta masyarakat; e) Faktor 5, yaitu faktor kualitas personil; f) Faktor 6, yaitu faktor jaminan pelayanan; dan g) Faktor 7, yaitu faktor minimasi sampah di sumber.

Page 240: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 231

Berikut komponen yang memengaruhi kinerja pelayanan pengelolaan sampah berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola Pasar Talang Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.

a. Faktor 1 (faktor teknis operasional), berhubungan dengan sarana pengangkutan, kesesuaian lokasi TPS, kondisi sarana pengumpulan, kondisi TPS, kondisi sarana pewadahan, ketersediaan TPS, kondisi sarana pengangkutan, jumlah personil, ketersediaan sarana pengumpulan, kondisi kebersihan, dan ketersediaan sarana pewadahan. Faktor teknis operasional ini merupakan faktor utama yang memengaruhi kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar, yaitu mampu menjelaskan faktor sebesar 43,771% dengan eigenvalue sebesar 12,256.

b. Faktor 2 (faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan), berhubungan dengan kepastian biaya, keterjangkauan biaya, kemudahan menghubungi petugas dan keramahan petugas. Faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan merupakan faktor yang cukup penting diperhatikan untuk peningkatan kinerja pelayanan. Faktor ini mampu menjelaskan faktor sebesar 10,815% dengan eigenvalue sebesar 3,028.

c. Faktor 3 (faktor efektifitas pelayanan), berhubungan dengan efektifitas waktu pengangkutan, efektifitas waktu pengumpulan dan kemampuan petugas. Faktor efektifitas pelayanan cukup penting untuk diperhatikan, dimana faktor ini mampu menjelaskan faktor sebesar 8,034% dengan eigenvalue sebesar 2,250.

d. Faktor 4 (faktor peran serta individu), berhubungan dengan tingkat kesadaran masyarakat, sosialisasi pengelolaan sampah, tingkat pemahaman masyarakat, dan kepuasaan pelayanan. Faktor peran serta individu dalam persampahan termasuk faktor penting diperhatikan, dimana faktor ini mampu menjelaskan faktor sebesar 5,147% dengan eigenvalue sebesar 1,441.

e. Faktor 5 (faktor kualitas personil), berhubungan dengan kecepatan petugas dan daya tanggap petugas. Faktor kualitas personil cukup penting diperhatikan lagi dalam peningkatan pelayanan pengelolan sampah pasar. Faktor ini mampu menjelaskan faktor sebesar 4,348% dengan eigenvalue sebesar 1,218.

f. Faktor 6 (faktor jaminan pelayanan), berhubungan dengan jaminan pemeliharaan dan jaminan kepastian pelayanan. Faktor jaminan pelayanan ini menjadi faktor yang cukup penting untuk diperhatikan, dimana faktor ini mampu menjelaskan faktor sebesar 4,231% dengan eigenvalue sebesar 1,185.

Page 241: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

232 Direktori Mini Tesis-Disertasi

g. Faktor 7 (faktor minimasi sampah di sumber), meliputi kegiatan daur ulang sampah dan kegiatan pemilahan sampah. Faktor minimasi sampah di sumber menjadi faktor yang cukup penting untuk diperhatikan dalam peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar

Jika dilihat dengan keterkaitannya dengan kinerja pelayanan maka untuk faktor utama yang memengaruhi kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang menunjukkan tiap-tiap indikator memiliki kinerja kurang baik kecuali untuk jumlah personil memiliki kinerja cukup baik. Dengan demikian, indikator jumlah personil memiliki kinerja cukup baik, tetapi indikator ini tetap signifikan pengaruhnya sehingga menjadi pertimbangan utama untuk rekomendasi perbaikan kinerja.

Begitu juga dengan faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan yang berhubungan dengan kepastian biaya, keterjangkauan biaya, kemudahan menghubungi petugas, dan keramahan petugas. Jika dilihat dari kinerja pelayanan maka indikator tersebut menunjukan kinerja cukup baik. Faktor pembiayaan dan faktor kualitas pelayanan merupakan faktor cukup penting diperhatikan untuk peningkatan kinerja pelayanan sehingga perlu didorong perbaikan kinerjanya menjadi baik.

Begitu juga halnya dengan faktor terakhir yang menjadi prioritas rekomendasi perbaikan kinerja, yaitu faktor minimasi sampah di sumber yang berkaitan dengan kegiatan pemisahan sampah serta kegiatan daur ulang sampah. Jika dilihat dari kinerja pelayanan menunjukkan kinerja pelayanan tidak baik. Namun, kedua indikator ini bukan termasuk pada faktor utama yang memengaruhi pelayanan pengelolaan sampah. Dengan demikian, faktor ini menjadi faktor yang cukup

diperhatikan serta didorong perbaikan kinerjanya.

C. Simpulan

Kinerja pelayanan pengelolaan sampah berdasarkan pendapat pedagang dan pengelola Pasar Talang, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok memiliki kategori kinerja kurang baik. Hal ini menggambarkan bahwa secara umum pelayanan pengelolaan sampah yang diterima belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat terutama pedagang dan pengelola pasar. Kinerja pengelolaan sampah Pasar Talang ini dipengaruhi oleh faktor utama, yaitu faktor teknis operasional yang berkaitan dengan ketersediaan sarana dan prasarana dalam pengelolaan persampahan. Dilihat dari ketersediaan, kondisi serta efektifitasnya maka sarana dan prasarana yang ada saat ini seperti pewadahan, pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan masih belum optimal dan belum berfungsi sebagaimana mestinya. Faktor ini menjadi prioritas utama

Page 242: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 233

untuk dievaluasi serta dioptimalkan fungsinya untuk peningkatan kinerja pelayanan sampah pasar ke depan.

Jika dilihat dengan keterkaitannya dengan kinerja pelayanan maka untuk faktor utama yang memengaruhi kinerja pelayanan pengelolaan sampah Pasar Talang menunjukkan tiap-tiap indikator memiliki kinerja kurang baik kecuali untuk jumlah personil memiliki kinerja cukup baik. Walaupun demikian, meskipun indikator jumlah personil memiliki kinerja cukup baik, tetapi indikator ini tetap signifikan pengaruhnya sehingga menjadi pertimbangan utama untuk rekomendasi perbaikan kinerja.

Selanjutnya, selain faktor utama juga terdapat faktor penting lainnya untuk diperhatikan antara lain faktor pembiayaan dan kualitas pelayanan, faktor efektifitas pelayanan, faktor peran serta individu, faktor kualitas personil, faktor jaminan pelayanan dan faktor minimasi sampah di sumber. Faktor pembiayaan menjadi penting karena terkait dengan retribusi sampah atas pelayanan pengelolaan persampahan yang diterima. Peningkatan kualitas pelayanan pengelolaan sebaiknya diiringi dengan peningkatan tarif retribusi sehingga diharapkan dari retribusi yang ada dapat menutupi biaya operasi dan pemeliharaan pasar. Begitu juga dengan peran serta individu dalam pengelolaan sampah pasar juga dianggap penting karena dapat memengaruhi efektifitas pelayanan yang ada. Namun, peningkatan peran serta individu dalam pengelolaan sampah ini membutuhkan sosialisasi yang lebih intensif dari pihak-pihak terkait.

Faktor yang cukup penting diperhatikan, yaitu kualitas personil. Dengan adanya personil yang memiliki kemampuan yang cukup baik akan berdampak pada efektifitas pelayanan sehingga pelayanan yang diberikan akan lebih baik lagi. Begitu juga halnya dengan upaya minimasi sampah di sumber melalui kegiatan pemisahan sampah berdasarkan jenisnya serta upaya daur ulang sampah perlu untuk ditingkatkan dan diperlukan upaya lebih masif untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah yang ada saat ini.

D. Rekomendasi

Dalam rangka mengatasi permasalahan terkait dengan kinerja pelayanan pengelolan sampah Pasar Talang, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok terutama terhadap indikator yang memiliki kinerja kurang baik dan tidak baik maka dilakukan langkah-langkah sesuai dengan prioritas faktor utama yang memengaruhi kinerja tersebut, yaitu berkaitan dengan aspek teknis operasional yang mana perlu didorong kinerjanya dalam pengelolaan sampah sebagai berikut:

1. Untuk peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar jika dilihat dari ketersediaan sarana pengangkutan maka sesuai dengan penambahan TPS

Page 243: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

234 Direktori Mini Tesis-Disertasi

berupa 1 unit kontainer dan penambahan ritasi kendaraan. Dengan demikian, diperlukan koordinasi antara Badan Pengelola Pasar Talang dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Solok.

2. Untuk peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar jika dilihat dari kesesuaian lokasi TPS maka dibutuhkan relokasi kontainer lama ke lokasi yang lebih representatif serta tidak mengganggu kenyamanan pedagang dan pembeli serta mudah diakses oleh arm roll truck. Dengan demikian, diperlukan koordinasi antara Badan Pengelola Pasar Talang dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Solok.

3. Untuk peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar berdasarkan indikator ketersediaan sarana pengumpulan maka diperlukan pengadaan gerobak sampah kapasitas 1m3 sebanyak 1 unit dengan tujuan untuk tidak memfungsikan lagi gerobak sampah eksisting sehingga proses pengumpulan sampah menjadi lebih efektif dan pekerjaan pembersihan lokasi pasar akan lebih cepat.

4. Untuk peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar berdasarkan ketersediaan sarana TPS maka diperlukan penambahan kontainer kapasitas 6m3 sebanyak 1 unit dengan tujuan untuk menggantikan fungsi bak pasangan bata serta menampung sampah yang tidak terangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Sementara itu, bak pasangan bata difungsikan sebagai pewadahan komunal sebelum sampah dipindahkan oleh petugas kebersihan ke kontainer.

5. Untuk peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar dilihat dari jumlah serta kemampuan dan kecepatan personil maka diperlukan pembuatan pedoman kerja yang jelas dan tertulis sehingga sistem dan jam kerja personil kebersihan sampah Pasar Talang dapat berjalan dengan optimal.

6. Untuk peningkatan kinerja pelayanan berdasarkan indikator ketersediaan pewadahan sampah maka diperlukan penyediaan pewadahan sampah yang memenuhi persyaratan antara lain tidak mudah rusak dan kedap air, ekonomis dan mudah diperoleh atau dibuat oleh masyarakat, ringan dan mudah dikosongkan. Sementara untuk pengadaannya dapat diakomodir oleh pedagang dan pengelola pasar.

7. Untuk peningkatan kinerja pelayanan pengelolaan sampah pasar dilihat dari tingkat kesadaran serta ketersediaan sosialisasi maka diperlukan adanya kegiatan sosialisasi oleh instansi terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup terutama Badan Pengelola Pasar Talang dalam rangka peningkatan pemahaman serta mendorong upaya pengelolaan sampah melalui kegiatan pemisahan di sumber. Selain itu, upaya daur ulang sampah yang dilakukan oleh petugas kebersihan pasar serta melakukan monitoring dan evaluasi per 6 bulan sebagai follow up dari program sosialisasi telah dilakukan.

Page 244: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENJADI LAHAN TERBANGUN PASCA PERPINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN SUKABUMIDI WILAYAH TELUK PALABUHANRATU

Nama : Yuda Pringgo Bayusukmara

Instansi : Pemkab Sukabumi

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 245: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

236 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pada periode 2000-2006 Kecamatan Palabuhanratu mengalami peningkatan hirarki dari hirarki 2 ke hirarki 1. Hal ini menunjukkan Kecamatan Palabuhanratu berfungsi sebagai pusat pelayanan terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya sebagai hinterland. Penetapan Palabuhanratu sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2029, meningkatkan peran Palabuhanratu sebagai pusat koleksi dan distribusi skala nasional sehingga mempunyai potensi untuk mendorong pertumbuhan daerah di sekitarnya. RTRW Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2029 yang ditindaklanjuti oleh RTRW Kabupaten Sukabumi tahun 2012-2032, menetapkan kawasan strategis perkotaan Palabuhanratu sebagai kawasan pengembangan pusat kegiatan permukiman, bisnis kelautan, potensi perikanan, dan pariwisata. Ditetapkan juga kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu KSK Pesisir Sukabumi termasuk wilayah Teluk Palabuhanratu.

Berdasarkan beberapa fenomenta di atas, dengan adanya perpindahan ibu kota kabupaten dan orientasi kebijakan dengan sudut kepentingan yang berbeda, dapat berpotensi terjadinya perubahan penggunaan lahan pada wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan dengan fungsi lindung, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Tujuan penelitian ini antara lain 1) menganalisis perubahan penggunaan lahan periode praperpindahan dan pasca perpindahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi; 2) melakukan prediksi perubahan penggunaan lahan; 3) menentukan variabel-variabel kunci serta pengaruhnya terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun; dan 4) merumuskan arahan pengendalian pemanfaatan ruang lahan terbangun di wilayah Teluk Palabuhanratu.

Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode tumpang susun (overlay). Deteksi dan analisis spasial perubahan penggunaan lahan meliputi dua periode waktu, yaitu periode praperpindahan ibu kota kabupaten tahun 1988-2002 dan periode pasca perpindahan ibu kota kabupaten tahun 2002-2016. Prediksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan metode Markov Chain dan metode Cellular Automata (CA)-Markov Chain. Teknik Prospective Structural Analysis (PSA) digunakan untuk menggambarkan sistem yang mengidentifikasi hubungan pengaruh di antara unsur-unsur (variabel) yang menyusunnya melalui proses diskusi kelompok (brainstorming). Metode MICMAC (Matrice d’Impact Croises-Multiplication Appliquee a un Classement) digunakan untuk menentukan variabel-variabel kunci dari sebuah sistem berdasarkan pengaruh terbesarnya dalam dua periode waktu, yaitu kondisi sampai dengan saat ini dan kondisi yang akan datang. Analisis pengaruh variabel-variabel kunci hasil identifikasi terhadap

Page 246: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 237

perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun periode 2002-2016 dan tahun 2016-2030 dilakukan dengan metode tumpang susun antara variabel-variabel kunci yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun dengan peta perubahan penggunaan lahan di wilayah Teluk Palabuhanratu. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang disusun secara deskriptif dengan mempertimbangkan rangkaian analisis yang telah dilakukan sebelumnya.

Berdasarkan hasil analisis, pada periode pasca perpindahan ibu kota kabupaten, perubahan penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan kenaikan luasan dibanding dengan periode praperindahan ibu kota kabupaten, sementara pasir pantai mengalami penurunan. Hasil prediksi tahun 2030 menunjukkan penggunaan lahan pasir pantai dan tubuh air mengalami penurunan luasan terbesar dibanding luas lahan sebelumnya. Kenaikan luasan terbesar adalah lahan terbangun dan semak/belukar. Jarak terhadap pusat kota, kebijakan RTRW, dan kelerengan merupakan variabel-variabel kunci yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun pada periode 2002-2016. Sementara jarak terhadap pusat kota, kebijakan RTRW, dan proporsi luas sawah diprediksi akan menjadi variabel-variabel kunci yang berpengaruh pada periode tahun 2016-2030.

Peningkatan perubahan luasan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun periode tahun 2002-2016 dan 2016-2030 semakin tinggi seiring dengan kedekatannya dengan pusat kota dan cenderung mengarah ke wilayah dengan tingkat kelerengan 0-5%. Kebijakan RTRW berpengaruh terhadap keselarasan pola perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun periode tahun 2002-2016 dan tahun 2016-2030 sebesar 74% dan 100%. Proporsi luas lahan sawah yang semakin rendah diprediksi akan menyebabkan peningkatan perubahan luasan penggunaan lahan sawah ke lahan terbangun di wilayah Teluk Palabuhanratu.

Kebijakan disinsentif dan sanksi administratif diberlakukan terhadap lahan pasir pantai yang terkonversi menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang sempadan pantai. Pendirian bangunan di lahan pasir pantai yang dialokasikan untuk lahan terbangun dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai. Lahan terbangun dan lahan pertanian yang telah terkonversi menjadi lahan terbangun supaya dialokasikan pada kawasan peruntukkan lahan terbangun. Perlindungan terhadap lahan pertanian yang belum terkonversi menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang lahan pertanian dilakukan melalui program perlindungan pertanian pangan berkelanjutan.

Kata kunci: Perpindahan Ibu Kota, Perubahan Penggunaan Lahan, Prediksi Penggunaan Lahan, SIG, Prospective Structural Analysis

Page 247: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

238 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABTRACT

In the period of 2000-2006, there was a phenomenon of increasing the Palabuhanratu district hierarchy from hierarchy 2 to hierarchy 1. This showed that Palabuhanratu district was a service center for the surrounding areas as hinterland. The determination of Palabuhanratu as a Regional Activity Center, based on the Spatial Plan of West Java Province 2009-2029, increasing the role of Palabuhanratu as a collection and distribution national center, so it potentially and encourage the growth of the surounding areas.

The Regional Spatial Plan (RTRW) of West Java Province (2009-2029) which was followed up by RTRW Sukabumi Regency (2012-2032), determined the Palabuhanratu urban area as the development area of residential center, marine business, fishery, and tourism. While, on the other hand, the government also setted up Sukabumi Coastal Area as a District Strategic Area in terms of environment carrying capacity, including Palabuhanratu Bay area.

Based on the phenomenon, the relocation of capital regency and policy orientation with different of interest, could potentially occur the land use change in the area which was determinated as the area that had a protection function at the present and the future. The objectives of the research were: 1) to analyze land use change in pre-relocation and post-relocation period of Sukabumi Regency Capital; 2) to analyze predictions of land use change; 3) to determine the key variables and the influence on the land use change into built-up area; and 4) to arrange the guidances of controlling the utilization of built-up area in the Palabuhanratu Bay area.

The land use change analysis was conducted using Geographic Information System (GIS) with overlay method. Detection and spatial analysis of land use changes covering two periods, the pre-relocation of the district capital in 1988-2002 and the post-relocation of the regency capital in 2002-2016. The land use change prediction was conducted by Markov Chain method and Cellular Automata (CA)-Markov Chain method. The Prospective Structural Analysis (PSA) technique was used to described the system that identified the relationship of influence among the elements (variables) through a brainstorming process. The MICMAC (Matrice d’Impact Croises-Multiplication Appliquee a un Classement) method could determined the key variables of a system based on the highest influence of those variables in two periods, present condition and future conditions.

The next step was to analyze the influence of key variables of identification result to the previous analysis steps to land use change into built-up area in 2002-2016 and 2016-2030 by using overlay method between key variables that influenced to the land use change into built-up area with the land use change map in Palabuhanratu Bay area. The

Page 248: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 239

guidance of spatial utilization control arranged descriptively by considering the previous analysis result.

Based on the results of the analysis, it could be concluded that in the post-relocation of the regency capital, the surface area of land use change into built-up area had increased than in the pre-relocation period, while the beach sand had decreased. The prediction results of 2030 showed that the beach sand and water bodies had decreased. The land use with the highest increase were built-up area and shrubs.

The variables of distance to the city center, Regional Spatial Plan policy (RTRW), and slope were the key variables influencing the land use change into built-up area in the period of 2002-2016. While the distance to the city center, Regional Spatial Plan policy (RTRW), and the proportion of paddy field were predicted will be the key variables that influenced in the period of 2016-2030. The increasing of surface area of the land use change into built-up area in the period of 2002-2016 and 2016-2030 was higher along the nearness distance to the city center and tends lead to the region with a 0-5% of slope rate. Regional Spatial Plan policy had an influence againts the suitability of land use change pattern into built-up area for the period of 2002-2016 and 2016-2030 by 74% and 100%. The derivation proportion of paddy fields was predicted would increased the area of land use change of paddy field into built-up area in Palabuhanratu Bay area.

Disincentive policy and administrative sanctions was applied to the converted of beach sand to the built-up area in the coastal set-back lines. Establishment of buildings on beach sand were allocated for built-up area that only to support beach recreation activities. Built-up area and agricultural land that has been converted into built-up area should be allocated to built-up area designated. Protection of agricultural land that has not been converted into built-up area on land allocation of agricultural land is done through a program of sustainable agriculture protection.

Keywords: Capital Relocation, Land Use Change, Land Use Prediction, GIS, Prospective Structural Analysis.

Page 249: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

240 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN MENJADI LAHAN TERBANGUN PASCA PERPINDAHAN IBU

KOTA KABUPATEN SUKABUMI DI WILAYAH TELUK PALABUHANRATU

A. Latar Belakang

Perpindahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi berimplikasi terhadap orientasi kebijakan pengembangan wilayah yang tecermin dari kebijakan tata ruang wilayah khususnya di perkotaan Palabuhanratu dan kecamatan pesisir yang berbatasan langsung sehingga berdampak pada perubahan penggunaan lahan di kecamatan-kecamatan yang secara administrasi berbatasan dengan Teluk Palabuhanratu. Hal ini senada dengan pernyataan Yin et al., (2011) bahwa salah satu laju perkembangan fisik di wilayah perkotaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Adapun kecamatan pesisir yang secara administrasi berbatasan dengan Teluk Palabuhanratu terdiri atas empat kecamatan, yaitu Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, dan Simpenan (PKSPL-IPB, 2003a).

Perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh interaksi ruang dan waktu, yaitu antara faktor biofisik dan manusia di mana faktor manusia memberikan pengaruh yang lebih besar (Veldkamp dan Lambin, 2001). Berdasarkan data BPS periode tahun 2002-2016, jumlah penduduk di wilayah Teluk Palabuhanratu naik sebesar 47.592 jiwa dengan kenaikan kepadatan penduduk sebesar 149 Jiwa/km2. Hal ini tentunya berdampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman. Berdasarkan penelitian Muiz (2009) menggunakan analisis skalogram pada periode tahun 2000-2006 terjadi fenomena peningkatan hierarki Kecamatan Palabuhanratu dari hirarki 2 ke hirarki 1. Hal ini berarti bahwa Kecamatan Palabuhanratu berfungsi sebagai pusat pelayanan terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya sebagai hinterland. Penetapan Palabuhanratu sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2029, meningkatkan peran Palabuhanratu sebagai pusat koleksi dan distribusi skala nasional sehingga mempunyai potensi untuk mendorong pertumbuhan daerah di sekitarnya.

Kabupaten Sukabumi termasuk ke dalam arah pengembangan Selatan Jawa Barat. RTRW Provinsi Jawa Barat menetapkan Kawasan Strategis Provinsi di Kabupaten Sukabumi adalah Kawasan Stategis Provinsi (KSP) Sukabumi bagian Selatan. Lebih lanjut, berdasarkan RTRW Kabupaten Sukabumi tahun 2012-2032, Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi menetapkan kawasan perkotaan Palabuhanratu sebagai kawasan pengembangan pusat kegiatan permukiman, bisnis kelautan, potensi perikanan, dan pariwisata. Sementara di sisi lain,

Page 250: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 241

juga ditetapkan kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu KSK Pesisir Sukabumi termasuk wilayah Teluk Palabuhanratu. Ditetapkannya wilayah Teluk Palabuhanratu menjadi KSK yang mempunyai sudut kepentingan yang berbeda, berpotensi terjadi perubahan penggunaan lahan yang tinggi di kawasan dengan fungsi lindung, khususnya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun.

Berdasarkan beberapa fenomena di atas, dengan adanya perpindahan ibu kota kabupaten dan orientasi kebijakan dengan sudut kepentingan yang berbeda, dapat berpotensi terjadi perubahan penggunaan lahan pada wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan dengan fungsi lindung baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Perubahan penggunaan lahan yang berpotensi terjadi, terutama perubahan penggunaan lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun di wilayah Teluk Palabuhanratu. Dengan demikian, perlu adanya penelitian untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun di wilayah Teluk Palabuhanratu sehingga dapat dirumuskan arahan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Teluk Palabuhanratu agar dapat seiring dengan kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Perpindahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi ke Kota Kecamatan Palabuhanratu berimplikasi pada jumlah penduduk yang dapat memengaruhi peningkatan kebutuhan tempat tinggal dan fasilitas penunjangnya seperti rumah sakit, jalur transportasi, areal industri, dan lain-lain yang pada akhirnya akan memengaruhi pengurangan jumlah luas kategori penggunaan lahan lainnya. Perpindahan ibu kota kabupaten ke Kecamatan Palabuhanratu sangat nyata meningkatkan pembangunan sarana prasarana pelayanan maupun tingkat aksesibilitasnya (Muiz, 2009).

Perubahan orientasi pengembangan wilayah tecermin dari kebijakan tata ruang wilayah khususnya di perkotaan Palabuhanratu dengan ditetapkan sebagai kawasan pengembangan pusat kegiatan permukiman, bisnis kelautan sehubungan dengan keberadaan Pelabuhan Samudra dan potensi perikanan yang akan dikembangkan dengan skala pelayanan nasional dan internasional, dan pariwisata sebagai kawasan ekowisata “Palabuhanratu Bay”. Di sisi lain, kebijakan penetapan Kawasan Strategis Kabupaten juga ditetapkan di wilayah Teluk Palabuhanratu dari sudut kepentingan

fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

B. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat yang terdiri atas 4 kecamatan, yaitu Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, dan Simpenan (PKSPL-IPB 2003a) terdiri atas 39 desa dengan luas keseluruhan ±54,641,27 ha.

Page 251: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

242 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dari berbagai sumber data, meliputi Peta administrasi, peta kawasan hutan, peta sebaran sawah, dan peta kelerengan yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Sukabumi. Peta rupa bumi diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Citra satelit didapatkan dengan cara mengunduh melalui Landsat 4-5 TM untuk tahun 1988, Landsat 7 ETM+ SLC-on untuk tahun 2002, dan Landsat 8 OLI/TIRS untuk tahun 2016, kemudian melakukan verifikasi melalui aplikasi Google Earth dan ground check menggunakan GPS (Global Positioning System). Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Microsoft Excel dan Microsoft Word), MICMAC (Matrice d’Impact Croises-Multiplication Appliquee a un Classement), dan software pengolah peta (ArcGIS

10, Idrisi Selva, dan Google Earth).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Secara administrasi, wilayah Teluk Palabuhanratu termasuk ke dalam sembilan kecamatan yang merupakan kecamatan pesisir di Kabupaten Sukabumi, yaitu Kecamatan Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Ciemas, Ciracap, Surade, Cibitung, dan Tegalbuleud. Adapun kecamatan yang yang berada di sekitar Teluk Palabuhanratu terdiri atas empat kecamatan, yaitu Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, dan Simpenan terdiri atas 39 desa dan luas keseluruhan ±56,641,27 ha. Jumlah penduduk di wilayah Teluk Palabuharatu tahun 2002 mencapai 233.909 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 484 jiwa/km2. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Palabuhanratu dengan 88.882 Jiwa.

Pertumbuhan ekonomi di wilayah Teluk Palabuharatu mengalami perkembangan yang cukup positif selama 6 tahun terakhir tahun 2010 sampai dengan 2016. Tahun 2010 PDRB wilayah Teluk Palabuhanratu mencapai Rp2.985.759.749.348,- meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp4.390.077.597.173,- tahun 2016 (BPS

diolah, 2017).

2. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1988 dan 2002

Penggunaan lahan di wilayah Teluk Palabuhanratu tahun 1988 sampai dengan tahun 2002 merupakan rentang waktu sebelum adanya perpindahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi ke Kecamatan Palabuhanratu atau kondisi praperpindahan ibu kota kabupaten. Berdasarkan hasil interpretasi citra yang dilakukan, struktur jenis penggunaan lahan tahun 1988 didominasi penggunaan lahan hutan sebesar 21,442,62 ha atau sekitar 39,24% dari luas wilayah Teluk Palabuhanratu.

Page 252: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 243

Selanjutnya, berturut-turut penggunaan lahan semak/belukar 11,616,74 ha (21,26%), perkebunan 8,991,88 ha (16,46%), sawah 6,814,93 ha (12,47%), kebun campuran 3,085,74 ha (5,65%), lahan terbangun 1,651,46 ha (3,02%), ladang/tegalan 674,77 ha (1,23%), tubuh air 304,60 ha (0,56%), dan pasir pantai 58,53 ha (0,11%).

Jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan terbesar pada periode tahun 1988-2002, terjadi pada penggunaan lahan perkebunan sebesar 3,333,78 ha dengan laju perubahan penggunaan lahan 238,13 ha/tahun. Jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan terbesar kedua, yaitu semak/belukar 854,20 ha dengan laju perubahan penggunaan lahan 61,01 ha/tahun. Selanjutnya, jenis penggunaan lahan dengan penambahan luas terbesar berturut-turut, yaitu kebun campuran sebesar 577,34 ha (41,24 Ha/tahun), sawah 235,70 ha (16,84 Ha/tahun), ladang/tegalan 172,51 ha (12,32 ha/tahun), dan lahan terbangun 101,59 ha (7,26 ha/tahun).

Di sisi lain terjadi pengurangan luasan terbesar jenis penggunaan lahan hutan sebesar 5,242,81 ha dengan laju perubahan sebesar 374,49 ha/tahun. Jenis penggunaan lahan tubuh air mengalami pengurangan luasan terbesar kedua sebesar 18,04 ha dengan laju perubahan sebesar 1,29 ha/tahun, dan pasir pantai mengalami penurunan luasan sebesar 14,27 ha dengan laju perubahan sebesar

1,02 ha/tahun.

3. Pola Perubahan Penggunan Lahan Tahun 1988 dan 2002

Pola perubahan penggunaan lahan tahun 1988-2002 terutama terjadi pada penggunaan lahan hutan-semak/belukar, semak/belukar-perkebunan, dan hutan-perkebunan. Pengurangan terbesar penggunaan lahan hutan disebabkan oleh perubahan ke penggunaan lahan semak/belukar sebesar 3,291,58 ha. Pola perubahan penggunaan lahan hutan ke semak/belukar sebagian besar terjadi di Kecamatan Cisolok seluas 1,725,72 ha atau sekitar 52% dari jumlah pengurangan lahan hutan ke semak/belukar di wilayah Teluk Palabuhanratu.

Di sisi lain terjadi peningkatan lahan perkebunan yang diperoleh dari lahan semak/belukar (1.782,38 ha) dan hutan (1.675,61 ha). Perubahan semak belukar dan hutan ke perkebunan sebagian besar terjadi di Kecamatan Simpenan seluas 1.161,61 ha (65%) dan 940,02 ha (56%). Pola perubahan lahan semak/belukar dan hutan ke perkebunan di Kecamatan Simpenan diduga karena potensi lahannya yang diperuntukkan lahan perkebunan cengkeh bersama dengan Kecamatan Cisolok.

Pola perubahan penggunaan lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun pada periode praperpindahan ibu kota kabupaten sebesar 101,59 ha terutama

Page 253: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

244 Direktori Mini Tesis-Disertasi

diperoleh dari penggunaan lahan sawah dan kebun campuran berturut-turut sebesar 56,01 Ha dan 21,45 ha. Perubahan lahan sawah dan kebun campuran menjadi lahan terbangun terjadi sebagian besar di Kecamatan Palabuhanratu seluas 54,06 ha dan 12,82 ha. Perubahan lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun, sisanya diperoleh dari penggunaan lahan perkebunan (8,18 ha), semak/

belukar (7,23 ha), pasir pantai (5,08 ha), hutan (2,69 ha), dan tubuh air (0,96 ha).

4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2016

Penggunaan lahan di wilayah Teluk Palabuhanratu tahun 2002 sampai dengan 2016 merupakan rentang waktu setelah terjadi perpidahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi ke Kecamatan Palabuhanratu atau kondisi pasca perpindahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi. Hasil interpretasi citra satelit tahun 2016, menunjukkan jenis penggunaan lahan tahun tersebut masih didominasi oleh jenis penggunaan lahan hutan yang mengalami penurunan dibanding tahun 2002, sebesar 15,730,46 ha (28,79 %). Jenis penggunaan lahan lainnya, semak/belukar 12,470,94 ha (23,35%), perkebunan 12,458,28 ha (22,80%), sawah 7,011,66 ha (12,83%), kebun campuran 3,631,81 ha (6,65%), lahan terbangun 1,891,87 ha (3,46%), ladang/tegalan 903,10 ha (1,65%), tubuh air 278,07 ha (0,51%), dan pasir pantai 29,91 ha (0,05%).

Jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan terbesar terjadi pada penggunaan lahan semak/belukar sebesar 235,17 ha dengan laju perubahan 16,80 ha/tahun. Jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan terbesar kedua, yaitu lahan terbangun 138,82 ha dengan laju perubahan 9,92 ha/tahun. Selanjutnya, jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luasan terbesar berturut-turut adalah perkebunan 132,62 ha (9,47 ha/tahun) dan ladang/tegalan 55,82 ha (3,99 ha/tahun). Jenis penggunaan lahan hutan yang mengalami penurunan disebabkan beberapa faktor, di antaranya kegiatan pertambangan, pembangunan, dan perambahan hutan. Di sisi lain terjadi penambahan jenis penggunaan lahan perkebunan, semak/belukar, dan kebun campuran seiring dengan pengurangan luas penggunaan lahan hutan.

Berdasarkan fenomena perubahan penggunaan lahan di atas, pernyataan Rustiadi (2001) bahwa proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Dengan demikian, seiring pertumbuhan yang terus berkembang serta perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat dengan adanya perpindahan Ibu Kota Kabupaten Sukabumi ke wilayah Teluk Palabuhanratu dan perkembangan orientasi kebijakan

pengembangan wilayah dapat menjadi pemicu perubahan penggunaan lahan.

Page 254: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 245

5. Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2016

Pola perubahan jenis penggunaan lahan pada rentang waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2016 terutama terjadi pada penggunaan hutan-semak/belukar, nonterbangun-lahan terbangun, dan semak/belukar-perkebunan. Pengurangan luas jenis penggunaan lahan hutan ke penggunaan lahan semak/belukar sebesar 497,14 ha. Pola perubahan penggunaan lahan hutan ke semak/belukar sebagian besar terjadi di Kecamatan Simpenan seluas 273,57 ha atau sebesar 55% dari jumlah pengurangan lahan hutan ke semak/belukar di wilayah Teluk Palabuhanratu. Pola perubahan penggunaan lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun terutama diperoleh dari penggunaan lahan sawah dan kebun campuran seperti halnya yang terjadi pada periode sebelumnya.

Perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun tahun 2002-2016 didominasi oleh pola perubahan penggunaan sawah ke lahan terbangun dan kebun campuran ke lahan terbangun. Pola perubahan penggunaan sawah ke lahan terbangun seluas 55,89 ha terjadi di Kecamatan Palabuhanratu. Kontribusi terbesar lahan terbangun ini adalah adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) seluas ±50 ha yang sebelumnya merupakan lahan sawah di pesisir pantai. Penambahan luas penggunaan lahan terbangun di Kecamatan Palabuhanratu juga diperoleh dari perubahan kebun campuran ke lahan terbangun sebesar 47,06 ha.

Perubahan penggunaan lahan kebun campuran ke lahan terbangun terjadi karena pembangunan perumahan Aparatur Sipil Negara (ASN), prasarana perkantoran, kompleks olahraga, dan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah. Perubahan lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun sisanya diperoleh dari penggunaan lahan semak/belukar (6,33 ha), pasir pantai (4,82 ha), perkebunan

(3,20 ha), ladang/tegalan (2,37 ha), dan hutan (0,94 ha).

6. Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2030

Simulasi perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk memprediksi perubahan penggunaan lahan tahun 2030, berdasarkan kecenderungan perubahan penggunaan lahan tahun 2002-2016. Input yang dibutuhkan adalah peta penggunaan lahan tahun 2016 yang sudah diubah ke format raster dengan cell size 30 sesuai dengan resolusi data yang dibuat dari citra Landsat 30x30 meter, matriks transisi perubahan (transitional probability/area matrix) dan moving filter. Moving filter yang digunakan merupakan default dalam perangkat lunak Idrisi 17.0 The Selva Edition dengan ukuran 5x5, yakni satu grid penggunaan lahan akan ditentukan perubahannya oleh 24 grid penggunaan lahan tetangganya.

Page 255: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

246 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Matriks transisi perubahan terdiri atas dua tipe, yaitu perubahan dalam bentuk jumlah grid dari tiap-tiap tipe perubahan penggunaan lahan (area) dan matriks perubahan dalam bentuk proporsi (peluang) grid perubahan suatu tipe penggunaan dengan jumlah grid penggunaan lahan tersebut pada awal tahun 2002 dengan jumlah iterasi sebanyak 14.

Berdasarkan nilai probabilitas, kemungkinan penambahan luas penggunaan lahan sawah paling besar diperoleh dari pasir pantai sebesar 20,25%. Penggunaan lahan terbangun yang paling besar diperoleh dari pasir pantai sebesar 10,84%, sedangkan penggunaan lahan lainnya kemungkinan mengalami penurunan luasan.

Prediksi perubahan penggunaan lahan tahun 2030 belum mempertimbangkan faktor intervensi kebijakan di dalamnya (business as usual), artinya belum ada campur tangan pemerintah dalam upaya mengendalikan penggunaan lahan. Berdasarkan hasil prediksi penggunaan lahan untuk tahun 2030, diperoleh luasan penggunaan lahan terbesar masih didominasi oleh hutan sebesar 28,05%, meskipun setiap tahunnya mengalami penurunan. Penggunaan lahan lainnya secara berturut-turut, yaitu semak/belukar 23,79%, perkebunan 22,99%, sawah 12,75%, kebun campuran 6,54%, lahan terbangun 3,69%, ladang/tegalan 1,66%, tubuh air 0,49%, dan pasir pantai 0,04%

Jenis penggunaan lahan yang diprediksi mengalami kenaikan luasan cukup signifikan dibanding luasan lahan sebelumnya dari tahun 2016-2030 di wilayah Teluk Palabuhanratu, yaitu lahan terbangun sebesar 12,19%, semak/belukar 1,64%, dan ladang/tegalan 1,53%. Sementara itu, penggunaan lahan yang diprediksi mengalami penurunan terbesar pada tahun 2030 adalah pasir pantai sebesar 27,60%, tubuh air 9,23%, dan hutan 2,83%. Kenaikan luas lahan terbangun akan selalu diikuti oleh penurunan lahan sawah dan kebun campuran, sedangkan

kenaikan luas semak/belukar akan selalu diikuti oleh penurunan lahan hutan.

7. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Saat Ini

Pengendalian pemanfaatan ruang lahan terbangun saat ini dilakukan pada pola perubahan penggunaan lahan, menjadi lahan terbangun di daerah pada jarak radius 0-5 km terhadap pusat kota dengan kelerengan 0-5% dan 5-15% yang berada di luar alokasi rencana pola ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang saat ini perlu dilakukan pada pemanfaatan ruang lahan terbangun yang menempati alokasi ruang lahan nonterbangun pada radius 0-5 km terhadap pusat kota pada tingkat kelerengan 0-5% di wilayah Teluk Palabuhanratu sebesar 81,18 ha. Sebagian besar pemanfaatan ruang lahan

Page 256: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 247

terbangun menempati alokasi ruang lahan nonterbangun berupa lahan pertanian lahan basah dan sempadan pantai sebesar 27,11 ha dan 41,44 ha. Perubahan penggunaan lahan nonterbangun menjadi lahan terbangun didominasi oleh perubahan pasir pantai ke lahan terbangun yang menempati alokasi ruang lahan sempadan pantai sebesar 1,41 dan perubahan lahan sawah ke lahan terbangun menempati alokasi ruang lahan pertanian lahan basah dan sempadan pantai sebesar 1,82 ha dan 0,88 ha yang terjadi di Kecamatan Palabuhanratu.

Jenis pengendalian pemanfaatan ruang yang diterapkan dapat berupa kebijakan disintensif dan sanksi terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan alokasi ruang berdasarkan ketentuan RTRW Kabupaten Sukabumi tahun 2012-2032. Kebijakan disinsentif yang diberlakukan terhadap penggunaan lahan pasir pantai yang sudah terkonversi, menjadi lahan terbangun dapat berupa penyediaan infrastruktur secara terbatas pada lahan pasir yang berubah menjadi lahan terbangun, seperti tidak disediakannya prasarana air bersih dan jaringan listrik. Dengan demikian, diharapkan luasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun pada alokasi lahan pasir pantai tidak bertambah karena tidak tersedianya infrastruktur yang memadai.

Penggunaan lahan pasir pantai yang sudah terkonversi menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang sempadan pantai tanpa izin, dapat pula diberlakukan sanksi administratif berupa pemulihan fungsi ruang dengan melakukan pembongkaran bangunan dan direlokasi ke tempat yang dialokasikan untuk lahan terbangun di sekitarnya dengan tetap mengacu pada aturan sempadan pantai berdasarkan Perpres No. 51 Tahun 2016. Sementara untuk lahan pertanian yang telah terkonversi menjadi lahan terbangun dan lahan yang sudah terbangun dialokasikan sebagai kawasan peruntukkan lahan permukiman/terbangun di

dalam penyempurnaan RTRW selanjutnya.

8. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Tahun 2016-2030

Arahan pengendalian pemanfaatan ruang tahun 2016-2030 disusun mempertimbangkan tiga variabel kunci yang paling berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan terbangun di wilayah Teluk Palabuhanratu tahun 2016-2030. Berdasarkan hasil analisis, perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun terbesar berada pada radius 0-5 km terhadap pusat kota dan terjadi pada kecamatan dengan proporsi luas lahan sawah terendah dan terjadi daerah yang dialokasikan sesuai dengan rencana pola ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang tahun 2016-2030 dilakukan pada pola perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun di daerah yang berada

Page 257: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

248 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pada jarak radius 0-5 km dari pusat kota dengan proporsi luas lahan sawah terendah berada di luar alokasi rencana pola ruang. Proporsi luas lahan terendah yang menyebabkan peningkatan terbesar lahan terbangun berdasarkan hasil analisis sebelumnya berada di Kecamatan Palabuhanratu. Pengendalian pola perubahan penggunaan lahan perlu dilakukan pada perubahan penggunaan lahan nonterbangun yang diprediksi menjadi lahan terbangun pada radius 0-5 km dari pusat kota yang menempati lahan di luar alokasi rencana pola ruang sebesar 72,81 ha. Perubahan tersebut diprediksi terjadi sebagian besar berupa perubahan sawah ke lahan terbangun yang menempati alokasi ruang lahan pertanian lahan basah dan perkebunan seluas 22,01 ha dan 10,50 ha dan perubahan kebun campuran ke lahan terbangun yang menempati alokasi ruang pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah sebesar 13,01 ha dan 11,34 ha. Sementara itu, prediksi perubahan pasir pantai menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang lahan pasir pantai seluas 2,25 ha terjadi di Kecamatan Palabuhanratu.

Jenis pengendalian pemanfaatan ruang yang diterapkan dapat berupa tindakan pencegahan, melalui kebijakan insentif berupa perlindungan terhadap lahan pertanian yang diprediksi terkonversi menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang lahan pertanian basah maupun lahan pertanian kering melalui program

perlindungan pertanian pangan berkelanjutan berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009.

D. Simpulan

Pada periode pasca perpindahan ibu kota kabupaten, perubahan penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan luasan dibanding dengan periode praperpindahan ibu kota kabupaten, sementara pasir pantai mengalami penurunan luasan perubahan penggunaan lahan yang cenderung terus meningkat. Hasil prediksi tahun 2030 menunjukkan penggunaan lahan pasir pantai dan tubuh air mengalami penurunan luasan terbesar dibanding luas lahan sebelumnya. Kenaikan luasan terbesar adalah lahan terbangun dan semak/belukar.

Variabel jarak terhadap pusat kota, kebijakan RTRW, dan kelerengan merupakan variabel-variabel kunci yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun pada tahun 2002-2016. Sementara jarak terhadap pusat kota, kebijakan RTRW, dan proporsi luas sawah diprediksi akan menjadi variabel-variabel kunci yang berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan tahun 2016-2030.

Peningkatan perubahan luasan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun periode 2002-2016 dan 2016-2030 semakin tinggi seiring dengan kedekatannya dengan pusat kota dan cenderung mengarah ke wilayah dengan tingkat kelerengan

Page 258: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 249

yang lebih rendah. Kebijakan RTRW berpengaruh terhadap keselarasan pola perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun tahun 2002-2016 dan tahun 2016-2030 sebesar 74% dan 100%. Proporsi luas lahan sawah yang semakin rendah diprediksi akan menyebabkan peningkatan perubahan luasan penggunaan lahan sawah ke lahan terbangun di wilayah Teluk Palabuhanratu.

Kebijakan disinsentif dan sanksi administratif diberlakukan terhadap lahan pasir pantai yang terkonversi menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang sempadan pantai. Pendirian bangunan di lahan pasir pantai yang dialokasikan untuk lahan terbangun dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai. Lahan terbangun dan lahan pertanian yang telah terkonversi menjadi lahan terbangun supaya dialokasikan pada kawasan peruntukkan lahan terbangun. Perlindungan terhadap lahan pertanian yang belum terkonversi menjadi lahan terbangun pada alokasi ruang lahan pertanian dilakukan melalui program perlindungan pertanian pangan berkelanjutan.

Page 259: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

250 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 260: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

MODAL SOSIAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

Nama : Yunita Pertiwi

Instansi : Kementerian Kelautan dan

Perikanan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 261: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

252 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pengembangan wilayah umumnya dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang terdapat di wilayah tersebut dengan pendekatan yang bersifat komprehensif, mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial budaya, serta lingkungan hidup. Salah satu pendekatan pengembangan wilayah adalah pengembangan perdesaan dengan mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan berdasarkan potensi wilayah desa itu sendiri, dimana interaksi yang merugikan dengan perekonomian perkotaan harus diminimalkan. Agropolitan dan minapolitan dipandang sebagai konsep pengembangan kawasan perdesaan yang dapat mengatasi permasalahan disparitas wilayah perkotaan dan perdesaan karena mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, serta dapat menanggulangi dampak negatif pembangunan (seperti migrasi desa-kota yang tidak terkendali, polusi, kemacetan lalu-lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumber daya alam, dan pemiskinan desa).

Konsep pengembangan kawasan minapolitan di Indonesia umumnya disertai dengan pengembangan sumber daya alam, prasarana, dan sarana produksi maupun permukiman yang membutuhkan pengelolaan bersama (common property) yang mensyaratkan adanya modal sosial. Masih terbatasnya penelitian mengenai modal sosial di kawasan minapolitan, melatarbelakangi penelitian ini dengan mengkaji modal sosial kelompok pembudi daya ikan di kawasan minapolitan, studi kasus di Kabupaten Indramayu.

Modal sosial menunjuk pada norma, institusi, dan hubungan sosial yang membentuk kualitas interaksi sosial dalam masyarakat dan memungkinkan orang dapat bekerja sama. Pertumbuhan produksi melalui program minapolitan akan meningkatkan pendapatan pembudi daya ikan. Namun, permasalahan pembudi daya ikan bukan terletak pada kemampuan meningkatkan produksi semata, tetapi juga pada lemahnya posisi tawar mereka dalam struktur sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya yang disebabkan kuatnya pengaruh relasi sosial patron-klien antara pemilik modal dan pembudi daya ikan. Infrastruktur yang merupakan salah satu faktor pendukung dalam pengembangan kawasan minapolitan, dalam pemanfaatannya dibutuhkan kerja sama dan partisipasi aktif dari masyarakat. Permasalahan lainnya, saat ini pembudi daya ikan cenderung sendiri-sendiri dalam menebar dan memanen benih udang. Hal ini menunjukkan menurunnya kekompakan antarpembudi daya ikan yang sekaligus mencerminkan hilangnya kohesifitas sosial di perdesaan.

Tujuan dari penelitian ini antara lain (1) mengidentifikasi modal sosial kelompok pembudi daya ikan dalam mendukung pengembangan kawasan minapolitan di Kecamatan Pasekan; (2) mengukur tingkatan modal sosial kelompok pembudi daya ikan di Kecamatan Pasekan; dan (3) menganalisis hubungan antara modal sosial terhadap pengembangan kawasan minapolitan di Kecamatan Pasekan.

Page 262: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 253

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi dan wawancara responden dengan panduan daftar pertanyaan semi terstruktur (Social Capital Assessment Tool), sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan berfungsi sebagai pendukung dan pelengkap data primer. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif, analisis skoring indeks, serta analisis regresi logistik.

Hasil analisis metode deskriptif menggambarkan modal sosial kelompok pembudi daya ikan di Kecamatan Pasekan berdasarkan daftar pertanyaan Social Capital Assessment Tool (SCAT) (Krishna dan Shrader, 1999). Modal sosial norma tampak dalam setiap pengambilan keputusan dalam kelompok yang dilakukan secara demokratis dan musyawarah, serta adanya interaksi antarkelompok pembudi daya ikan. Hubungan sosial terlihat dalam pembelian dan pemasaran hasil produksi yang masih sangat bergantung kepada pemilik depot (patron) serta adanya kebutuhan yang tinggi untuk bergabung dengan kelompok. Kepercayaan pembudi daya ikan terhadap keluarga masih tinggi dalam menjaga tambak, sedangkan solidaritas dan kerja sama pembudi daya ikan terlihat ketika pada saat perbaikan sarana seperti jembatan atau saluran.

Hasil analisis metode skoring indeks dan didasarkan pada instrumen kontinuum modal sosial yang direkomendasikan oleh Uphoff (2000) dan adaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Lenggono (2004), menunjukkan tingkatan modal sosial kelompok pembudi daya ikan di Kecamatan Pasekan tergolong sedang. Komunitas dengan modal sosial sedang memiliki komitmen terhadap upaya bersama dan kerja sama terjadi bila memberi keuntungan kepada orang lain. Hal ini tampak pada pengelolaan irigasi tambak yang dilakukan secara partisipatif oleh pembudi daya ikan dan melibatkan peran serta pembudi daya ikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga monitoring evaluasi.

Hasil analisis metode regresi logistik menunjukkan modal sosial dan teknologi berpengaruh penting terhadap pendapatan para pembudi daya ikan. Hubungan sosial yang positif, ditandai oleh jejaring sosial yang luas akan memperkecil biaya transaksi dan mampu menciptakan pengelolaan sumber daya yang optimum sehingga meningkatkan produksi serta pendapatan pembudi daya. Penerapan teknologi semi intensif atau intensif berpeluang meningkatkan pendapatan pembudi daya. Untuk mendukung penerapan teknologi ini, pembudi daya dapat memanfaatkan kelompok sebagai tempat bertanya, berbagi ilmu, dan tempat utuk memperoleh informasi mengenai budi daya perikanan.

Pembudi daya tambak tidak dapat berbudi daya secara sendiri-sendiri atau parsial, keberadaan kelompok pembudi daya ikan menjadi sangat penting artinya bagi pengembangan kawasan minapolitan budi daya tambak karena kelompok menjadi tempat atau wadah untuk belajar dan bekerja sama.

Page 263: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

254 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABTRACT

Regional development is generally conducted by optimizing the utilization of resources which exist within the region through a comprehensive approach that covers physical, economic, sociocultural, and environmental aspects. One approach to regional development is the development of rural area by realizing rural development autonomy based on the potential owned by the village area, where the adverse interaction with urban economy should be minimized. Agropolitan and minapolitan are seen as rural development concept that can overcome disparity problems found in urban and rural areas as they rely on decentralization, the development of infrastructure equals urban infrastructure in rural areas, and may overcome the negative impact of development (including uncontrolled urban-rural migration, pollution, traffic jam, slum settlement, massive destruction of natural resources, and rural impoverishment).

The concept of minapolitan area development in Indonesia is generally accompanied by the development of natural resources, infrastructure and facility of production, as well as settlement which require common property management by condition of social capital. Limitation of research on social capital in minapolitan area becomes the background of this research by studying social capital of fish farmer group in minapolitan area, a case study in Indramayu Regency.

Social capital refers to norms, institutions, and social relationships which form social interaction quality in society and allow people to cooperate. Production growth through minapolitan program will increase the income of fish farmers. However, the problem of fish farmers is not in the ability to increase production only, but also in the weakness of their bargaining position in socioeconomic structure in the surrounding environment due to strong influence of patron-client social relationship between the capital owners and fish farmers. Infrastructure, which is one of the supporting factors in the development of minapolitan area, requires cooperation and active participation from the community in its utilization. Another problem occurs is that fish farmers at present tend to stock and harvest shrimp seeds individually which indicates decrease in togetherness between fish farmers that reflects the loss of social cohesiveness in rural area at the same time.

The objective of this study were: (1) To identify social capital of fish farmer group in supporting the development of minapolitan area in Pasekan Sub-district; (2) To measure the level of social capital of fish farmer group in Pasekan Sub-district; and (3) To analyze the relationship between the social capitals toward the development of minapolitan area in Pasekan Sub-district.

Page 264: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 255

The data used in this research consisted of two types of data, namely primary data and secondary data. Primary data were obtained through observation and interview on respondents equipped with instruction of semi-structured question list (Social Capital Assessment Tool), while secondary data were obtained from relevant agencies and functioned as supporting and supplementing primary data. Analysis was conducted using the method of descriptive analysis, index score analysis, and logistic regression analysis.

Result of descriptive method analysis illustrated social capital of fish farmer group in Pasekan Sub-district according to Social Capital Assessment Tool (SCAT) questionnaire (Krishna and Shrader 1999). Social capital norms were found in each decision-making in groups conducted democratically and by deliberation, as well as the interaction between fish farmer groups. Social relation was seen in activity of purchasing and marketing of products which still highly depended on the owner of depot (patron) and there was also great necessity to join the group. The reliance of fish farmers toward their family was still high in terms of keeping the ponds, while solidarity and cooperation of fish farmers were seen at the time of repairing facilities such as bridges or channels.

Based on the result of index score analysis and continuum social capital instrument recommended by Uphoff (2000) as well as adaptation from research conducted by Lenggono (2004), the level of social capital of fish farmer group in Pasekan Sub-district was classified as moderate. Community with moderate social capital has commitment to joint effort and cooperation which occurs when those activities also provide benefit to others. This situation was demonstrated by the management of pond irrigation conducted participatively by fish farmers which involved the role of fish farmers started from planning, implementation, monitoring, to monitoring of evaluation.

Result of logistic regression method analysis indicated that social capital and technology had significant effect on the income of fish farmer. Positive social relationship which was characterized by wide social networking will decrease transaction costs and establish optimum resource management, thus increasing production and income of farmers. Implementation of semi intensive or intensive technology has the opportunity to increase the income of farmer. To support the application of this technology, farmer can use the group as a place to ask questions, share knowledge, and as a place to obtain information on aquaculture.

The pond farmers cannot perform shrimp farming individually or partially in pond culture. The existence of fish farmer group is greatly important for the development of minapolitan area of pond culture since the group becomes a place or organization to learn and cooperate.

Page 265: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

256 Direktori Mini Tesis-Disertasi

MODAL SOSIAL DAN PENGARUHNYATERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN

DI KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

A. Latar Belakang

Minapolitan sebagai konsep pengembangan kawasan perdesaan di Indonesia umumnya disertai dengan pengembangan sumber daya alam, prasarana dan sarana produksi, maupun permukiman yang membutuhkan pengelolaan bersama (common property) dengan mensyaratkan adanya modal sosial. Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama, meliputi hubungan sosial, norma, kepercayaan, kerja sama, dan solidaritas. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan kawasan minapolitan adalah terciptanya kemitraan dan jaringan (networking) yang baik.

Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi di sektor kelautan dan perikanan, berbasis kawasan dengan fungsi utama ekonomi terdiri atas sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, atau kegiatan pendukung lainnya. Pembudi daya ikan di Indonesia masih didominasi oleh pembudi daya skala kecil dan teknologi yang digunakan masih sederhana (Bappenas, 2014). Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan, modal, dan akses terhadap teknologi. Kondisi ini menyebabkan usaha budi daya yang dilakukan kurang optimal. Pertumbuhan produksi melalui program minapolitan akan meningkatkan pendapatan pembudi daya ikan. Namun, permasalahan pembudi daya ikan bukan terletak pada kemampuan meningkatkan produksi, tetapi pada lemahnya posisi tawar mereka dalam struktur sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya yang disebabkan karena kuatnya pengaruh relasi sosial patron klien antara pemilik modal dengan pembudi daya ikan (Suryanegara dan Hikmah, 2012). Pemilik modal sangat besar pengaruhnya dalam menentukan harga pasar. Permasalahan lain pada budi daya ikan adalah kurangnya pengetahuan mengenai cara menangani penyakit sehingga menyebabkan tingkat mortalitas dan potensi risiko gagal panen menjadi tinggi.

Infrastruktur merupakan salah satu faktor yang mendukung pengembangan kawasan minapolitan. Infrastruktur tersebut meliputi sarana industri pengolahan hasil, sarana pemasaran, sarana dan prasarana jalan, jaringan listrik, sarana komunikasi, jaringan sumber daya air, serta sentra kegiatan perikanan. Jaringan jalan yang memadai berfungsi untuk menghubungkan pusat-pusat produksi dan pemasaran hasil sehingga mempermudah arus barang dan jasa dari satu daerah ke daerah lain serta bermanfaat bagi proses pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Dibutuhkan kerja

Page 266: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 257

sama dan partisipasi aktif dari masyarakat dalam memanfaatkan dan menjaga infrastruktur tersebut.

Kajian modal sosial dapat digunakan untuk melihat kemampuan yang dimiliki oleh kelompok pembudi daya ikan dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam bekerja sama demi tercapainya tujuan bersama. Modal sosial yang terbangun dengan baik dalam pengembangan kawasan minapolitan akan lebih mampu mendorong tercapainya tindakan kolektif sehingga pengembangannya akan lebih efisien dan berkelanjutan. Hal ini membuat kajian mengenai modal sosial dipandang sangat perlu sehingga dapat mengungkap dengan lebih jelas kekuatan modal sosial yang ada pada kelompok pembudi daya tambak di Kabupaten Indramayu. Kabupaten ini dipilih karena memiliki kondisi ekologis dan geografis yang potensial untuk pengembangan usaha perikanan dan kelautan menyeluruh meliputi perikanan tangkap, perikanan budi daya, pengolahan hasil perikanan, dan kelautan, serta produksi garam rakyat. Produksi ikan budi daya tambak di Kabupaten Indramayu tahun 2014 mencapai 180,821,05 ton menjadikan kabupaten ini sebagai penyumbang produksi perikanan dan kelautan terbesar di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar 58% (BPS Provisi Jawa Barat, 2016) dan ditetapkan sebagai lokasi kawasan minapolitan percontohan berbasis perikanan budi daya tahun 2012 di Desa Karang Anyar, Kecamatan Pasekan dengan komoditas

unggulan berupa udang dan bandeng.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Desa Karang Anyar di Kecamatan Pasekan yang ditetapkan sebagai lokasi kawasan minapolitan percontohan berbasis perikanan budi daya, membutuhkan pengelolaan bersama (common property) dalam penggunaan sumber daya alam, prasarana dan sarana produksi, maupun permukiman dengan mensyaratkan adanya modal sosial. Terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan kawasan minapolitan seperti masih kuatnya pengaruh relasi sosial patron klien antara pemilik modal dan pembudi daya ikan, adanya konflik penggunaan air antara pembudi daya ikan dan petani tanaman pangan, kerusakan hutan mangrove yang dapat menjadi ancaman dalam pengembangan kawasan minapolitan budi daya tambak, menurunnya kekompakan antarpembudi daya ikan pada saat menebar dan memanen benih udang sehingga udang mudah terserang hama pengganggu. Untuk mengatasi konflik tersebut, dibutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait, baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan pesisir.

Modal sosial yang dimiliki oleh suatu kelompok dapat digunakan untuk melihat kemampuan kelompok tersebut dalam mengatasi permasalahan yang timbul dan bekerja sama demi tercapainya tujuan bersama serta sangat berpengaruh dalam

Page 267: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

258 Direktori Mini Tesis-Disertasi

membangun sebuah institusi atau kelembagaan. Berangkat dari pemikiran tersebut, penelitian ini difokuskan pada modal sosial dalam kelompok pembudi daya tambak dengan studi kasus Kabupaten Indramayu. Pertanyaan penelitian yang disusun adalah sebagai berikut:

1. Modal sosial apa saja yang dimiliki oleh kelompok pembudi daya ikan dalam mendukung pengembangan kawasan minapolitan di Kecamatan Pasekan?

2. Bagaimana tingkatan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok pembudi daya ikan di Kecamatan Pasekan?

3. Bagaimana hubungan modal sosial terhadap pengembangan kawasan minapolitan di Kecamatan Pasekan?

Penelitian dilakukan di Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu yang memiliki luas 6,245.39 ha, dimana total tambak seluas 22,514.07 ha (KKP 2014). Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya serta pengumpulan data primer dilakukan langsung dari responden melalui observasi dan wawancara dengan panduan daftar pertanyaan semi terstruktur. Untuk mendapatkan data modal sosial pada pembudi daya ikan secara komprehensif, digunakan daftar pertanyaan Social Capital Assessment Tool (SCAT) (Krishna dan Shrader, 1999) yang telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Adapun data sekunder diperoleh dari pemerintah daerah setempat, instansi terkait (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, Bappeda Kabupaten Indramayu, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Tingkatan Modal Sosial Kelompok Pembudi Daya Ikan

Ketersediaan saluran irigasi tambak merupakan kebutuhan penting dalam menjamin ketersediaan air untuk kegiatan budi daya di tambak. Namun, kenyataan di lapangan, kondisi saluran irigasi tambak banyak mengalami kerusakan dan tidak dapat melayani secara optimal kebutuhan air di tambak-tambak pembudi daya. Salah satu faktor penyebabnya adalah keterbatasan alokasi anggaran pemerintah untuk merehabilitasi irigasi tambak dan belum terbentuknya kelembagaan pengelolaan jaringan irigasi tambak yang baik. Untuk mengatasi kondisi tersebut, Kementerian Kelautan Perikanan menginisiasi suatu kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan sistem pengelolaan irigasi tambak yang efisien dan efektif, melalui peran serta partisipasi pembudi daya tambak itu sendiri dalam menjamin ketersediaan air untuk kegiatan budi daya ikan. Pelibatan peran serta pembudi daya ikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan monitoring evaluasi.

Page 268: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 259

Pada kawasan minapolitan di Kecamatan Pasekan telah dilakukan rehabilitasi saluran tambak yang dilakukan oleh pembudi daya ikan. Sebagian besar pembudi daya (sebanyak 58%) banyak berkontribusi waktu dan tenaga ketika ada kegiatan bersama. Dengan adanya partisipasi dari pembudi daya ikan itu sendiri, diharapkan akan muncul rasa kebersamaan, rasa memiliki terhadap saluran irigasi tersebut, kemandirian, dan tanggung jawab yang lebih besar. Tindakan kolektif dalam kegiatan ini bagaimana kerja sama (penghimpunan sumber daya) bisa berhasil dan berkelanjutan di Kecamatan Pasekan berada pada tingkatan antara rendah, sedang, dan tinggi.

Modal sosial pembudi daya ikan di Desa Karanganyar untuk hubungan sosial berada pada tingkatan rendah, norma tergolong tinggi, sedangkan kepercayaan, solidaritas, dan kerja sama tergolong sedang. Modal sosial pembudi daya ikan di Desa Brondong untuk hubungan sosial dan solidaritas berada pada tingkatan sedang, norma, dan kepercayaan tergolong rendah, sedangkan kerja sama tergolong tinggi. Modal sosial pembudi daya ikan di Desa Pabean Ilir untuk hubungan sosial dan kepercayaan berada pada tingkatan rendah, sedangkan norma, solidaritas, dan kerja sama tergolong sedang. Modal sosial pembudi daya ikan di Desa Totoran untuk hubungan sosial, solidaritas, dan kerja sama berada pada tingkatan sedang, norma berada pada tingkatan tinggi,

sedangkan kepercayaan tergolong rendah.

2. Analisis Hubungan antara Modal Sosial dan Pengembangan Kawasan Minapolitan

Untuk melihat keterkaitan hubungan antara variabel modal sosial dan pendapatan akan dilakukan dengan analisis regresi logistik. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pendapatan kelompok pembudi daya ikan, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah variabel yang diduga menjadi faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan kelompok pembudi daya ikan.

Sebagian besar pembudi daya masih berpola tradisional, yaitu sebanyak 88% masih menerapkan pola budi daya secara tradisional, 9% menerapkan sistem budi daya secara intensif, dan sisanya (sebanyak 2%) menerapkan sistem budi daya secara semi intensif. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suryanegara dan Hikmah (2012), menyatakan budi daya udang dan bandeng di Kabupaten Indramayu mayoritas masih dijalankan secara tradisional karena pembudi daya masih kurang responsif terhadap teknologi. Kurangnya responsif diakibatkan adanya keterbatasan modal dan kurangnya pengetahuan tentang cara menangani penyakit sehingga menyebabkan tingkat mortalitas dan potensi risiko gagal panen menjadi tinggi. Dalam perkembangannya pola usaha pertambakan berkembang menjadi intensif yang ditandai dengan kebangkitan usaha budi daya udang vaname dimulai tahun 2007.

Page 269: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

260 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Untuk variabel X6: nilai Exp (X6) = 1.07 semakin baik hubungan sosial kelompok pembudi daya ikan maka peluang untuk meningkatnya pendapatan juga semakin besar, yaitu 1.07 kali. Seperti halnya dengan variabel dummy teknologi, variabel hubungan sosial ini mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf kepercayaan, yaitu 95%. Koefisien Uji Wald sebesar 8.00 dengan nilai p-value sebesar 0.00 dan koefisien Odds ratio sebesar 1.07 mengandung arti bahwa semakin baik/meningkat hubungan sosial kelompok pembudi daya ikan maka pembudi daya memiliki peluang untuk mengalami peningkatan pendapatan sebesar 1.07 kali dibandingkan bila hubungan sosial kelompok pembudi daya ikan kurang baik.

Hasbullah (2006) menyatakan pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan (dalam hal ini kelompok pembudi daya ikan) akan memiliki tingkat partisipasi anggota lebih baik dan memiliki rentang jaringan lebih luas sehingga lebih banyak menghasilkan dampak positif bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas. Keberadaan kelompok pembudi daya ikan sangat penting, artinya bagi pengembangan kawasan minapolitan karena kelompok menjadi tempat untuk belajar dan bekerja sama. Tingginya kebutuhan pembudi daya ikan untuk bergabung dengan kelompok dikarenakan kelompok menjadi tempat bertanya, berbagi ilmu, dan tempat utuk memperoleh informasi mengenai budi daya perikanan. Beugelsdijk et al., (2003) dalam penelitiannya mengenai modal sosial dan pertumbuhan ekonomi regional di Eropa menyatakan keberadaan kelompok berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi karena kelompok sebagai tempat bertukar ilmu, memperluas jaringan, mencegah adaya free rider, dan adanya rasa kebersamaan. Nasution (2015) juga menyebutkan modal sosial mendorong akses informasi yang lebih baik melalui kerja sama dan koordinasi untuk mencapai kesuksesan dalam ekonomi. Kriteria utama bagi adanya suatu komunitas adalah terdapat hubungan sosial (social relationship) anggota suatu kelompok.

D. Kesimpulan

Modal sosial norma pada kelompok pembudi daya ikan di Kecamatan Pasekan tampak saat pengambilan keputusan, dimana pengambilan keputusan dilaksanakan secara musyawarah. Hubungan sosial pada pembudi daya ikan terlihat dari masih tingginya kebutuhan untuk bergabung dengan kelompok karena kelompok menjadi tempat bertanya, berbagi ilmu, dan tempat untuk memperoleh informasi mengenai perikanan budi daya tambak. Pembelian sarana produksi dan pemasaran hasil perikanan masih sangat bergantung kepada patron (pemilik depot). Kepercayaan pembudi daya ikan kepada keluarga masih tinggi dalam menjaga tambaknya. Solidaritas dan kerja sama di antara kelompok pembudi daya ikan masih tinggi, terlihat pada saat gotong-royong memperbaiki jembatan atau saluran.

Page 270: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 261

Dari kelima komponen modal sosial yang diteliti, diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki oleh kelompok pembudi daya ikan di Kecamatan Pasekan dikategorikan memiliki tingkat modal sosial sedang. Komunitas yang memiliki modal sosial sedang, mempunyai komitmen terhadap upaya bersama dan kerja sama terjadi bila adanya keuntungan. Hal ini tampak pada perbaikan saluran irigasi dengan pelibatan peran serta pembudi daya, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan. Komitmen dan kerja sama sangat diperlukan dalam pengembangan kawasan minapolitan, mengingat bahwa dalam budi daya tambak, pembudi daya tidak dapat berbudi daya secara sendiri-sendiri atau parsial.

Modal sosial dan teknologi berpengaruh penting terhadap pendapatan para pembudi daya ikan. Hubungan sosial yang positif, ditandai oleh jejaring sosial yang luas akan memperkecil biaya transaksi, mampu menciptakan pengelolaan sumber daya yang optimum sehingga meningkatkan produksi dan pendapatan pembudi daya. Penerapan teknologi semi intensif atau intensif berpeluang meningkatkan pendapatan pembudi daya. Untuk mendukung penerapan teknologi ini, pembudi daya dapat memanfaatkan kelompok sebagai tempat bertanya, berbagi ilmu, dan tempat utuk memperoleh informasi mengenai budi daya perikanan sehingga terjadi distribusi pengetahuan dan keterampilan di dalam kelompok pembudi daya ikan itu sendiri.

E. Rekomendasi Kebijakan

Memperhatikan hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diajukan adalah meningkatkan peran dan fungsi kelompok. Mengingat bahwa dalam budi daya tambak, pembudi daya tidak dapat berbudi daya secara sendiri-sendiri atau parsial, keberadaan kelompok pembudi daya ikan menjadi sangat penting artinya bagi pengembangan kawasan minapolitan budi daya tambak karena kelompok menjadi tempat atau wadah untuk belajar dan bekerja sama.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peran dan fungsi kelompok adalah dengan meningkatkan frekuensi pertemuan antaranggota kelompok dan meningkatkan peran penyuluh. Dimana pertemuan ini bertujuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi pembudi daya atau bertukar ilmu mengenai budi daya tambak. Perlunya meningkatkan peran penyuluh karena pembudi daya masih kurang responsif terhadap teknologi yang diakibatkan adanya keterbatasan modal dan kurangnya pengetahuan tentang cara berbudi daya tambak terutama cara menangani penyakit ikan.

Seorang penyuluh, khususnya penyuluh perikanan budi daya mempunyai peran yang sangat penting, yaitu mendampingi pembudi daya ikan dalam berbudi daya ikan yang baik. Penyuluh diharapkan mempunyai sifat atau karakter solidarity

Page 271: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

262 Direktori Mini Tesis-Disertasi

maker (pembangun solidaritas), yang bisa menjadi contoh dan panutan bagi para pembudi daya ikan. Pembangun solidaritas diharapkan memiliki kemampuan dalam mengorganisasi pembudi daya, mampu mengumpulkan dukungan pembudi daya, serta berhasil memengaruhi mereka sehingga diharapkan pembudi daya responsif terhadap perkembangan teknologi berbudi daya tambak yang disarankan oleh penyuluh tersebut.

.

Page 272: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

MODEL PEMBANGUNAN KABUPATEN MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS SISTEM WILAYAH PENGEMBANGAN

Nama : Zulfikar Mohamad Yamin

Latuconsina

Instansi : Pemkab Malang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Perencanaan Wilayah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Pertanian Bogor

Page 273: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

264 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sistem pembangunan di Indonesia yang dilaksanakan melalui pendekatan perwilayahan. Pendekatan perwilayahan merupakan salah satu pendekatan untuk mengelola dan mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan karakteristik wilayah dimana wilayah dibagi kedalam Wilayah Pengembangan (WP). Konsep perwilayahan yang membagi wilayah menjadi bagian-bagian wilayah yang lebih kecil ini tidak boleh dipahami secara terpisah/isolatif, namun dipahami secara utuh (wholeness), yaitu melalui pendekatan sistem.

Tujuan utama penelitian adalah mengembangkan suatu alternatif model pembangunan Kabupaten Malang yang memadukan 3 komponen utama, yaitu sosial, ekonomi dan infrastruktur berbasis sistem wilayah pengembangan. Dengan tujuan utama adalah (1) menganalisis tipologi wilayah pengembangan; (2) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan berbasis tipologi sistem wilayah pengembangan; dan (3) mengembangkan model hubungan komponen pembangunan wilayah berbasis tipologi sistem wilayah pengembangan. Upaya pemodelan pembangunan wilayah melalui pendekatan sistem merupakan alternatif yang perlu dilakukan dalam rangka mencari solusi yang komprehensif.

Penelitian menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kutipan pustaka, hasil-hasil penelitian terdahulu, instansi terkait atau dari berbagai sumber lainnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode indeks diversitas entropi, skalogram, tingkat aksesibilitas, analisis gerombol/klaster, regresi panel data, dan pemodelan sistem dinamik.

Hasil analisis indeks diversitas entropi baik berdasarkan PDRB maupun penduduk bekerja persektor menunjukan hasil yang sama, yaitu WP I Lingkar Kota Malang dan WP II Kepanjen memiliki tingkat perkembangan tinggi, WP V Turen dan Dampit memiliki tingkat perkembangan sedang sedangkan WP IV Tumpang, WP III Ngantang, dan WP VI Sumbermanjing Wetan memiliki tingkat perkembangan rendah.

Hasil analisis skalogram dengan pendekatan jumlah penduduk menunjukkan WP II Kepanjen berada pada hierarki I (tinggi), WP III Ngantang dan WP VI Sumbermanjing Wetan berada pada hierarki II (sedang), sedangkan WP I Lingkar Kota Malang, WP IV Tumpang dan WP V Turen dan Dampit berada pada hierarki III (rendah). Hasil yang berbeda untuk analisis skalogram terlihat pada pendekatan luas wilayah dimana WP I Lingkar Kota Malang berada pada hierarki I (tinggi), WP II Kepanjen berada pada hierarki II (sedang), sedangkan 4 (empat) WP lainnya, yaitu WP V Turen dan Dampit, WP III Ngantang, WP IV Tumpang dan WP VI Sumbermanjing Wetan berada pada hierarki III (rendah).

Page 274: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 265

Hasil perhitungan tingkat aksesibilitas jaringan jalan diperoleh hasil indeks kerapatan jalan (indeks α) dan indeks konektivitas (indeks β) seluruh wilayah pengembangan (WP) di Kabupaten Malang berada pada tingkatan yang sama. Nilai indeks kerapatan jalan (indeks α) relatif rendah, yaitu berkisar antara 0,06-0,09 dan indeks konektivitas (indeks β) relatif sedang, berkisar antara 1,12-1,15. Wilayah Kabupaten Malang yang cukup luas serta kondisi topografi yang bervariasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masih rendahnya tingkat aksesibilitas jaringan jalan.

Analisis gerombol atau klaster yang dilakukan dengan menggunakan variabel yang lebih komprehensif dan proporsional menyesuaikan luas wilayah dan jumlah penduduk tiap WP mampu menggambarkan tipologi wilayah pengembangan Kabupaten Malang secara lebih baik serta dapat dijadikan sebagai bahan/acuan evaluasi Pemerintah Daerah. Wilayah pengembangan di Kabupaten Malang terbagi menjadi 3 tipologi, yaitu WP I Lingkar Kota Malang berada pada tipologi I (tinggi), WP II Kepanjen, WP IV Tumpang serta WP V Turen dan Dampit berada pada tipologi II (sedang) serta WP III Ngantang dan WP VI Sumbermanjing Wetan berada pada tipologi III (rendah).

Dari hasil analisis panel data terhadap tiap-tiap tipologi, diperoleh variabel yang berpengaruh nyata (signifikan) terhadap indeks pembangunan manusia pada tiap-tiap tipologi, yaitu tipologi I; jumlah sarana kesehatan, jumlah perawat-bidan dan kepadatan penduduk; tipologi II; rasio sekolah terhadap siswa SD dan kepadatan penduduk, dan tipologi III; jumlah perawat-bidan.

Dari hasil pengembangan model hubungan antara komponen pembangunan wilayah berupa komponen sosial, ekonomi dan infrastruktur pada tiap-tiap tipologi menunjukkan keterkaitan dan saling memengaruhi. Beberapa skenario ditetapkan untuk menggambarkan model pembangunan wilayah, yaitu optimis, moderat, dan pesimis.

Variabel sosial, ekonomi dan infrastruktur pada skenario optimis akan meningkat lebih besar disbanding dengan skenario lainnya. Aktivitas ekonomi (PDRB harga konstan tahun 2000) misalnya, pada tipologi I di tahun 2037 akan meningkat menjadi Rp27.23 triliun (optimis), Rp22.20 trilyun (moderat), dan Rp17.88 trilyun (pesimis) dari 3.97 triliun di tahun awal simulasi (2007). Pada tipologi II di tahun 2037 akan meningkat menjadi Rp39.45 triliun (optimis), Rp33.94 trilyun (moderat) dan Rp25.65 trilyun (pesimis) dari 6.62 triliun di tahun awal simulasi (2007). Pada tipologi III di tahun 2037 akan meningkat menjadi Rp9.50 triliun (optimis), Rp8.22 trilyun (moderat) dan Rp5.92 trilyun (pesimis) dari 1.73 triliun di tahun awal simulasi (2007).

Hasil penelitian menunjukkan simulasi model sangat berguna untuk menganalisis pembangunan wilayah di masa depan dan menetapkan alternatif kebijakan yang diperlukan pada tiap-tiap tipologi wilayah pengembangan Kabupaten Malang.

Page 275: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

266 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

The background of the research is the using of regionalization approach in the developmental system of Indonesia. Regionalization approach is a kind of approach to manage and to achieve the developmental goal in accordance with its characteristics that divided the area into smaller parts named development area (WP). This concept has to be concerned as wholeness not isolative through system approach.

The main objective of the research is to develop an alternative developmental model of Malang Regency which combines three main components, those are: social, economics and infrastructure based on development area system. The second objectives to achieve the main are: 1) Analyzing the typology of development area; 2) Analyzing the factors that influence the development based on the typology of development area system; and 3) Developing the model of connection among regional development components based on the typology of development area system. Therefore, the modelling effort of regional development through a system approach is an alternative that needs to be accomplished in order to find a comprehensive solution.

Furthermore, the research used secondary data obtained from the results of literature citations, the previous research, the relevant agencies and from other sources. In analyzing the data the researcher used some methods, they are; entropy diversity index, skalogram, the level of accessibility (road density index and connectivity index), cluster analyses, data panel regression and dynamic modeling system.

The result of entropy diversity index based on GDP and the population who worked per sector showed the same result where WP I Lingkar Kota Malang and WP II Kepanjen have high development level, WP V Turen and Dampit have medium development level while WP IV Tumpang, WP III Ngantang and WP VI Sumbermanjing Wetan have low development level.

The result of skalogram analysis in population approach showed that WP II Kepanjen is at hierarchy I (high level), WP III Ngantang and WP VI Sumbermanjing Wetan are at hierarchy II (medium level), while WP I Lingkar Kota Malang, WP IV Tumpang and WP V Turen and Dampit are at hierarchy III (low level). The different result of skalogram analysis with total area showed that WP I Lingkar Kota Malang is at hierarchy I (high level), WP II Kepanjen is at hierarchy II (medium level), while the four others WP: WP V Turen and Dampit, WP III Ngantang, WP IV Tumpang and WP VI Sumbermanjing Wetan are at hierarchy III (low level).

The result of assessment in the level of accessibility of road network showed the road density index (alpha index) and connectivity index (beta index) for all of development

Page 276: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 267

area of Malang Regency is at the same level. Meanwhile, road density index relatively low level between 0,06-0,09 and connectivity index relatively medium level between 1,12-1,15. It can be said that the large area of Malang Regency and its varied topography are the factors that led to the low level of accessibility of road network.

Moreover, the analysis cluster that performed using more proportional and comprehensive variable which suited to the spacious area and the number of population in each development area gave better description about the typology of development area in Malang Regency and can be used as an evaluation reference by the local government. The development area in Malang Regency are divided into three typologies, they are: WP I Lingkar Kota Malang in typology I (high level). WP II Kepanjen, WP IV Tumpang, WP V Turen and Dampit in typology II (medium level) while WP III Ngantang and WP VI Sumbermanjing Wetan in typology III (low level).

The result of the data panel regression analysis showed that the number of health facility, the number of nurse-midwife and the population density in typology I; the ratio of school per students at primary school and the population density in typology II; the number of nurse-midwife in typology III have a positive and significant influence of the people development index at typology of development areas of Malang Regency.

In conclusion, as the result of model development among the regional development components, such as; social, economics and infrastructures in each typology showed that there was interrelationship and interplay. There were several scenarios set to describe regional development, these are; optimistic, moderat, and pesimistic.

The variable of social, economics and infrastructure at the optimistic scenario will increase higher than others. The economics activity (The constant price of Gross Regional Domestic Product in 2000 ) for the example, in the typology I in 2037 will increase up to 27,23 trillion (optimistic), Rp. 22,20 trillion (moderat) and Rp. 17,88 trillion (pesimistic) from 3,97 trillion in the early year of simulation (2007). Meanwhile, in the typology II in 2037 will increase up to 39,45 trillion (optimistic), Rp. 33,94 trillion (moderat) and Rp. 25,65 trillion (pesimistic) from 6,62 trillion in the early year of simulation (2007). In the other hand, at the typology III in 2037 will increase up to 9,50 trillion (optimistic), Rp. 8,22 trillion (moderat) and Rp. 5,92 trillion (pesimistic) from 1,73 trillion in the early year of simulation (2007).

Finally, the result of the study showed that model simulation was useful to analyze the regional development in the future and to determine the alternative policy needed in each typology of development area of Malang Regency.

Page 277: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

268 Direktori Mini Tesis-Disertasi

MODEL PEMBANGUNAN KABUPATEN MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS SISTEM WILAYAH

PENGEMBANGAN

A. Latar Belakang

Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur dan kabupaten terluas kedua wilayahnya setelah Kabupaten Banyuwangi dari 38 Kabupaten atau kota yang ada di Jawa Timur. Kabupaten Malang di dalam perwilayahan Jawa Timur termasuk dalam WP Malang Raya dengan pusat di Kota Malang meliputi Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang.

Kebijakan sistem perwilayahan di Kabupaten Malang ditetapkan menjadi 6 (enam) WP tahun 2010 sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Malang. Pembagian WP ini disesuaikan dengan keadaan dan potensi tiap-tiap wilayah serta menjadi salah satu bahan pertimbangan agar pendekatan pembangunan di Kabupaten Malang menjadi lebih efektif. Makna dari pembangunan Kabupaten Malang berbasis sistem Wilayah Pengembangan (WP), yaitu mengoperasionalkan konsep WP sebagai sebuah sistem yang menjadi dasar pembangunan wilayah lebih luas dalam lingkup Kabupaten Malang.

Pengertian wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih subsistem selanjutnya setiap subsistem terbagi atas bagian-bagian lebih kecil (Rustiadi et al., 2011).

Konsep perwilayahan yang membagi wilayah menjadi bagian-bagian wilayah lebih kecil, tidak boleh dipahami secara terpisah/isolative, namun tetap dipahami secara menyeluruh melalui pendekatan sistem. Menurut Hartisari (2007) pendekatan sistem merupakan cara pandang bersifat menyeluruh (holistic) yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antarkomponen. Pendekatan tersebut dapat mengubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan menggunakan model penyederhanaan sebuah sistem.

Di dalam dokumen pembangunan di Kabupaten Malang, baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) ulasan mengenai karakteristik atau tipologi WP masih sangat terbatas. Upaya penggambaran karakteristik WP ke dalam

Page 278: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 269

tipologi dapat memudahkan Pemerintah Daerah dalam memetakan dan mengevaluasi kondisi dan permasalahan sekaligus merumuskan alternatif solusi pada setiap tipologi.

Setiap WP mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, namun secara umum dapat dikategorikan kedalam tiga tipologi, yaitu (1) wilayah dengan tingkat perkembangan maju; (2) wilayah dengan tingkat perkembangan sedang; dan (3) wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Penggambaran karakteristik pembangunan wilayah dapat dilihat melalui indikator-indikator pembangunan. Salah satu indikator pembangunan yang digunakan adalah indikator ekonomi yang biasanya ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan PDRB, PDRB perkapita, dan laju pertumbuhan ekonomi. Setiap wilayah pengembangan memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk berbeda-beda sehingga penggunaan indikator PDRB perkapita lebih sesuai untuk digunakan.

Indikator lain yang digunakan untuk melihat pembangunan wilayah adalah indikator fisik dalam hal ini indikator infrastruktur yang bisa diukur melalui ketersediaan sarana dan prasarana. Ditinjau dari olahan data Dinas Bina Marga Kabupaten Malang tahun 2015, diketahui bahwa rasio panjang jalan kabupaten terhadap luas wilayah di tiap wilayah pengembangan masih belum merata. Rasio panjang jalan kabupaten terhadap luas wilayah untuk total Kabupaten Malang tahun 2015 sebesar 0,56. Terdapat 3 WP yang memiliki nilai rasio di atas Kabupaten Malang, yaitu WP I Lingkar Kota Malang (0,98), WP V Turen dan Dampit (0,70), dan WP II Kepanjen (0,58) sedangkan 3 WP lainnya memiliki nilai rasio di bawah Kabupaten Malang, yaitu WP IV Tumpang (0,38), WP VI Sumbermanjing Wetan (0,33), dan WP III Ngantang (0,25).

Dilihat dari sisi indikator sosial, pembangunan wilayah ditunjukkan dengan seberapa besar peningkatan dan perhatian pada pengembangan sumber daya manusia yang tercermin melalui indeks pembangunan manusia (IPM). Ditinjau dari olahan data Bappeda dan BPS Kabupaten Malang tahun 2014 diketahui bahwa distribusi IPM tiap wilayah pengembangan belum merata. Rata-rata capaian nilai IPM Kabupaten Malang tahun 2013 sebesar 72,34. Hanya WP I Lingkar Kota Malang yang menunjukkan rata-rata nilai IPM di atas Kabupaten Malang, yaitu sebesar 74,40. WP lainnya menunjukkan rata-rata nilai IPM di bawah Kabupaten Malang, yaitu WP V Turen dan Dampit sebesar 70,84, WP IV Tumpang sebesar 70,49, WP II Kepanjen sebesar 70,25, WP III Ngantang sebesar 68,36, dan WP VI Sumbermanjing Wetan sebesar 67,56.

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Malang. Identifikasi terhadap faktor-faktor dominan yang memengaruhi pembangunan wilayah di tiap-tiap tipologi wilayah pengembangan Kabupaten Malang masih jarang dilakukan. Faktor apa saja yang dominan serta pengaruhnya pada pengembangan wilayah di tiap-tiap tipologi wilayah pengembangan sangat penting untuk diketahui

Page 279: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

270 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dalam perumusan solusi yang lebih efektif untuk pembangunan wilayah yang lebih luas dalam lingkup Kabupaten Malang.

Adanya keragaman potensi, masalah, fungsi, dan peran menyebabkan peluang tiap-tiap tipologi wilayah pengembangan untuk tumbuh dan berkembang juga berbeda-beda. Setiap tipologi memiliki dinamika internal sehingga dibutuhkan model kebijakan pembangunan yang berbeda-beda pula. Pengembangan model hubungan komponen pembangunan wilayah berbasis tipologi sistem wilayah pengembangan juga masih jarang dilakukan. Penelitian ini dibutuhkan untuk menyusun alternatif model pembangunan Kabupaten Malang berbasis sistem wilayah pengembangan.

Uraian masalah di atas kemudian disusun menjadi pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:

1. Bagaimana tipologi wilayah pengembangan Kabupaten Malang?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi pembangunan Kabupaten Malang berbasis tipologi sistem wilayah pengembangan?

3. Bagaimana mengembangkan model hubungan antara komponen pembangunan

wilayah berbasis tipologi sistem wilayah pengembangan?

B. Metode Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa data maupun informasi yang dikumpulkan melalui kutipan pustaka dari hasil-hasil penelitian terdahulu, instansi terkait atau dari berbagai sumber lainnya, seperti publikasi data-data statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, Kantor Penanaman Modal, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Bina Marga, Dinas Sosial, dan sumber lainnya yang memiliki relevansi dengan topik penelitian.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan software pengolah data Microsoft Office (Microsoft Word, Excel, Visio Drawing), ArcGis, EViews, Statistica, dan Stella. Jenis analisis yang dilakukan dalam penelitian meliputi analisis tipologi wilayah pengembangan Kabupaten Malang, analisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan Kabupaten Malang berbasis tipologi sistem wilayah pengembangan dan pengembangan model hubungan komponen pembangunan wilayah berbasis tipologi

sistem wilayah pengembangan.

Page 280: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 271

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Tipologi Wilayah Pengembangan Berdasarkan Analisis Keragaman Sektor Perekonomian

Hasil tipologi wilayah pengembangan berdasarkan analisis keragaman sektor perekonomian dengan menggunakan Indeks Diversitas Entropi (IDE) baik diukur dari komponen PDRB maupun penduduk bekerja menunjukkan angka yang relatif sama, yaitu 0,28-0,93 (PDRB) dan 0,28-0,89 (penduduk bekerja) dengan rata-rata nilai IDE Kabupaten Malang menunjukkan angka yang sama, yaitu 0,56. Jumlah penduduk dominan pada WP I Lingkar Kota Malang (35,32%) dan WP II Kepanjen (23,95%), menyebabkan terkonsentrasinya kegiatan-kegiatan ekonomi di dua WP tersebut. Hal ini menyebabkan dua WP ini menjadi orientasi pergerakan penduduk yang ada pada wilayah sekitarnya. Keberagaman (diversitas) aktivitas di dua WP ini sangat memengaruhi perkembangan wilayah Kabupaten Malang secara

keseluruhan.

2. Tipologi Wilayah Pengembangan Berdasarkan Analisis Tingkat Aksesibilitas

Hasil tipologi wilayah pengembangan berdasarkan analisis tingkat aksesibilitas jaringan jalan dengan menggunakan software ArcGis diperoleh hasil indeks kerapatan jalan (indeks α) dan indeks konektivitas (indeks β) seluruh wilayah pengembangan (WP) di Kabupaten Malang, berada pada tingkatan yang sama.

Nilai indeks kerapatan jalan (indeks α) seluruh WP di Kabupaten Malang secara umum relatif sama angkanya, yaitu pada level rendah berkisar 0,06-0,09. Wilayah Kabupaten Malang cukup luas serta kondisi topografi yang bervariasi, menjadi salah satu faktor penyebab masih rendahnya indeks kerapatan jalan.

Pengukuran indeks konektivitas (indeks β) yang dilakukan pada wilayah pengembangan juga menghasilkan angka relatif sama, yaitu pada level sedang berkisar antara 1,12-1,18. Secara umum, dapat dikatakan bahwa konektivitas wilayah meliputi pergerakan atau mobilitas manusia, barang, dan jasa di seluruh WP masih tergolong baik.

WP V Turen dan Dampit memiliki nilai teratas dengan nilai indeks α sebesar 0,09 dan indeks β sebesar 1,18 disusul WP II Kepanjen dengan nilai indeks α sebesar 0,08 dan indeks β sebesar 1,16. WP I Lingkar Kota Malang, WP III Ngantang dan WP VI Sumbermanjing Wetan memiliki nilai indeks α yang sama, yaitu sebesar

Page 281: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

272 Direktori Mini Tesis-Disertasi

0,07 dan nilai indeks β secara berurutan sebesar 1,13, 1,14, dan 1,15. WP IV Tumpang

memiliki nilai terbawah untuk indeks α sebesar 0,06 dan indeks β sebesar 1,12.

3. Tipologi Wilayah Pengembangan Berdasarkan Analisis Pengelompokan Karakteristik Wilayah

Penetapan jumlah kelompok optimum tiap-tiap gerombol/klaster dapat dilakukan dengan mengamati jarak terpanjang (linkage distance) dari satu pautan ke pautan lainnya. Pemotongan jumlah gerombol dilakukan pada jarak 4, yaitu setengah dari garis terpanjang (WP I Lingkar Kota Malang) yang muncul pada dendogram tersebut.

Penentuan nilai pemotongan ini bersifat subjektif sehingga penggerombolan WP menjadi bermakna atau mempunyai arti dalam interpretasinya. Berdasarkan hasil pemotongan yang dilakukan maka WP di Kabupaten Malang dapat dibagi kedalam 3 tipologi/klaster dimana WP I Lingkar Kota Malang sebagai tipologi/klaster tersendiri. 3 WP lain berada dalam 1 tipologi/klaster yang sama, yaitu WP II Kepanjen, WP IV Tumpang serta WP V Turen dan Dampit. Tipologi/klaster lainnya ditempati oleh WP III Ngantang dan WP VI Sumbermanjing Wetan.

Metode tidak berhierarki (K-means clustering) selain digunakan untuk analisis data dengan sampel yang relatif besar, juga bisa digunakan untuk menguji kekonsistenan hasil analisis gerombol/klaster dengan metode berhierarki (joining/tree clustering). Dari beberapa analisis yang telah dilakukan untuk menggambarkan tipologi wilayah pengembangan (WP) Kabupaten Malang, hasil analisis gerombol/klaster lebih mampu menggambarkan tipologi wilayah pengembangan Kabupaten Malang secara lebih baik serta dapat dijadikan sebagai bahan/acuan evaluasi Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan karena variabel yang digunakan dalam analisis gerombol/klaster lebih komprehensif (memadukan berbagai komponen) dan proporsional (menyesuaikan luas wilayah dan jumlah penduduk di tiap-tiap

wilayah pengembangan).

4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pembangunan Kabupaten Malang Berbasis Tipologi Sistem Wilayah Pengembangan

Di dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan Kabupaten Malang berbasis sistem wilayah pengembangan (disederhanakan kedalam tipologi WP) yang dijadikan sebagai ukuran pembangunan adalah indeks pembangunan manusia (IPM). IPM merupakan salah satu alat ukur yang mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Page 282: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 273

Beberapa tahapan yang dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi indeks pembangunan manusia pada 3 (tiga) tipologi sistem wilayah pengembangan meliputi hasil uji pemilihan model, hasil uji pelanggaran asumsi, dan hasil uji statistik dan interpretasi model.

Hasil penghitungan nilai koefisien korelasi menunjukkan korelasi antarvariabel bebas pada ketiga tipologi wilayah pengembangan cukup rendah, hal ini terlihat dari koefisien korelasinya yang tidak melebihi 0.80. Kesimpulan yang dapat diambil adalah tidak terjadi multikolinearitas sehingga kriteria bebas multikolinearitas terpenuhi dalam model estimasi ini. Penggunaan panel data sendiri dapat mengabaikan pelanggaran asumsi multikolinearitas. Hal ini karena penggabungan

data cross section dan time series dapat mengurangi kolinearitas.

5. Sintesis

Tipologi yang memiliki jumlah WP dan kecamatan terbanyak adalah tipologi II dengan 3 WP dan 18 kecamatan, disusul tipologi I dengan 1 WP dan 9 kecamatan. Adapun tipologi III memiliki jumlah WP dan kecamatan terkecil, yaitu 2 WP dan 6 kecamatan. Mengingat jumlah penduduk pada tipologi II sangat besar, yaitu 1.278.810 jiwa dibandingkan tipologi I (898.538 jiwa) dan tipologi III (366.967 jiwa) sehingga dari hasil simulasi skenario optimis sampai tahun 2037, perkembangan angkatan kerja untuk tipologi II sangat tinggi dibandingkan dengan tipologi I (sedang) dan tipologi III (rendah). Demikian pula dengan perkembangan lapangan kerja pada tipologi II yang relatif tinggi dibandingkan dengan tipologi I (sedang) dan tipologi III (rendah).

Permasalahan pada tipologi I adalah rasio penduduk bekerja yang relatif rendah sehingga menyebabkan tingkat pengangguran menjadi tinggi. Berdasarkan hasil simulasi skenario optimis sampai tahun 2037 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dan investasi pada tipologi I meningkat pesat sehingga tingkat pengangguran dapat teratasi. Rasio penduduk bekerja untuk tipologi II dan III relatif sedang, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan investasi sedang pula maka tipologi II mampu mengatasi pengangguran sedangkan tipologi III masih belum mampu mengatasi pengangguran.

Dari 9 Sektor PDRB hanya 1 sektor yang menyumbang PDRB terbesar pada tipologi I, yaitu sektor industri sedangkan 8 sektor lain masih berada di bawah tipologi II. Untuk semua sektor yang ada pada tipologi III termasuk kategori rendah dibandingkan tipologi I dan II sehingga perlu ditingkatkan. Sesuai dengan fungsi pengembangan pada tipologi II, yaitu sebagai pusat industri pengolahan dan pemasaran hasil pertanian serta home industry sedangkan di tipologi III,

Page 283: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

274 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yaitu sebagai pusat industri besar dan industri pengolahan maka peningkatan investasi pada tipologi II dan III haruslah menjadi prioritas utama khususnya dalam pembangunan industri yang sesuai dengan fungsi pengembangannya.

Berdasarkan hasil simulasi skenario optimis sampai tahun 2037 terlihat bahwa perkembangan sarana kesehatan pada tipologi I termasuk kategori sedang-tinggi, sedangkan tipologi III termasuk kategori rendah. Untuk meningkatkan IPM pada tipologi I dan III maka diperlukan peningkatan sarana kesehatan terutama rumah bersalin dan puskesmas untuk tipologi I serta rumah sakit dan poliklinik untuk tipologi III. Selain ketersediaan fasilitas kesehatan juga dibutuhkan penambahan tenaga kesehatan terutama jumlah perawat-bidan pada tipologi I dan tipologi III. Pada tipologi II perkembangan sarana pendidikan hasil simulasi skenario optimis sampai tahun 2037 termasuk kategori sedang-tinggi. Ketersediaan fasilitas pendidikan baik sarana maupun prasarana akan sangat menunjang dalam meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan IPM pada tipologi II maka diperlukan peningkatan

sarana pendidikan terutama untuk sekolah dasar/sederajat.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan serta memperhatikan tujuan penelitian maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Wilayah pengembangan di Kabupaten Malang terbagi menjadi 3 tipologi, yaitu

a. Tipologi I meliputi WP I Lingkar Kota Malang dengan tingkat perkembangan wilayah tinggi/maju yang memiliki tingkat diversifikasi ekonomi, kerapatan spasial sarana dan prasarana, rata-rata IPM serta rasio panjang jalan kabupaten terhadap luas wilayah tergolong tinggi. Hal ini menyebabkan tipologi I menjadi orientasi pergerakan penduduk yang ada pada wilayah sekitarnya yang tampak pada tingkat kepadatan penduduk dan kepadatan rumah tangga yang sangat tinggi. Efek negatif yang ditimbulkan adalah tingginya tingkat pengangguran yang terlihat dari angka rasio penduduk bekerja terhadap penduduk yang tergolong rendah.

b. Tipologi II meliputi WP II Kepanjen, WP IV Tumpang serta WP V Turen dan Dampit dengan tingkat perkembangan wilayah sedang yang memiliki tingkat diversifikasi ekonomi tergolong rendah-tinggi serta kerapatan spasial sarana dan prasarana tergolong rendah-sedang. Pada tipologi II tingkat kepadatan penduduk dan kepadatan rumah tangga, rata-rata IPM, rasio penduduk bekerja terhadap penduduk, rasio panjang jalan kabupaten terhadap luas wilayah tergolong sedang.

Page 284: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 275

c. Tipologi III meliputi WP III Ngantang dan WP VI Sumbermanjing Wetan dengan tingkat perkembangan wilayah rendah yang memiliki tingkat diversifikasi ekonomi, kerapatan spasial sarana dan prasarana, rata-rata IPM dan rasio panjang jalan kabupaten terhadap luas wilayah tergolong rendah sehingga menyebabkan tingkat kepadatan penduduk dan kepadatan rumah tangga juga rendah serta tingginya nilai rasio jumlah keluarga fakir miskin terhadap penduduk.

2. Tingkat aksesibilitas di tiap WP di Kabupaten Malang berdasarkan indikator kerapatan jalan (indeks α) tergolong rendah sedangkan berdasarkan indikator konektivitas jaringan jalan (indeks β) tergolong sedang. Wilayah Kabupaten Malang yang cukup luas serta kondisi topografi yang bervariasi menjadi faktor yang menyebabkan masih rendahnya indeks kerapatan jalan, walaupun demikian konektivitas wilayah meliputi pergerakan/mobilitas manusia, barang dan jasa di seluruh WP masih tergolong baik.

3. Dari hasil analisis panel data terhadap tiap-tiap tipologi, dapat diketahui bahwa aspek yang berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada tipologi I adalah aspek kependudukan dan kesehatan yang meliputi jumlah penduduk, sarana kesehatan dan tenaga kesehatan; tipologi II adalah aspek kependudukan dan pendidikan yang meliputi jumlah penduduk dan sarana pendidikan; serta tipologi III adalah aspek kesehatan yaitu jumlah tenaga kesehatan.

4. Dari hasil pengembangan model hubungan antara komponen pembangunan wilayah berupa komponen sosial, ekonomi dan infrastruktur pada tiap-tiap tipologi menunjukkan keterkaitan dan saling memengaruhi. Untuk menjaga hubungan antarkomponen secara optimal (skenario optimis) maka pembangunan infrastruktur prioritas pada tiap-tiap tipologi harus tercapai, yaitu tipologi I pembangunan jalan tol Pandaan-Malang; tipologi II pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) Jawa Timur dan jalan yang menunjang kawasan Agropolitan Poncokusumo termasuk kawasan wisata menuju Gunung Bromo dan kawasan Minapolitan Wajak; serta tipologi III pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) Jawa Timur dan jalan penghubung dengan Blitar dari Ngantang.

Page 285: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

276 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 286: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI - Pusbindiklatren Bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_5_Direktori_Mini... · Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa

Recommended