+ All Categories
Home > Documents > EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2...

EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2...

Date post: 23-Aug-2021
Category:
Upload: others
View: 1 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
55
EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS (Rattus norvegicus) EFFECT OF SUBCHRONIC ADMINISTRATION OF ANTI TUBERCULOSIS FIXED DOSE COMBINATION ON RENAL HISTOPATHOLOGY CHANGE IN RATS (Rattus norvegicus) HERIYANTI N111 14 087 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
Transcript
Page 1: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP TERHADAP

PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS (Rattus norvegicus)

EFFECT OF SUBCHRONIC ADMINISTRATION OF ANTI TUBERCULOSIS FIXED DOSE COMBINATION ON RENAL

HISTOPATHOLOGY CHANGE IN RATS (Rattus norvegicus)

HERIYANTI

N111 14 087

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

Page 2: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI

GINJAL TIKUS (Rattus norvegicus)

EFFECT OF SUBCHRONIC ADMINISTRATION OF ANTI TUBERCULOSIS FIXED DOSE COMBINATION ON RENAL HISTOPATHOLOGY CHANGE

IN RATS (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

HERIYANTI

N111 14 087

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

Page 3: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN
Page 4: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN
Page 5: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN
Page 6: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil 'alamin, tiada kata yang lebih patut diucapkan

oleh seorang hamba yang beriman selain ucapan puji dan syukur ke hadirat

Allah Subhanahu wa ta'ala, Tuhan Yang Maha Mengetahui, pemilik segala

ilmu, karena atas petunjuk-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan.

Sungguh banyak kendala yang penulis hadapi dalam rangka

penyusunan skripsi ini, namun berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak,

akhirnya penulis dapat melewati kendala-kendala tersebut. Oleh karena itu.

Penulis dengan tulus menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada

1. Bapak Dekan, Wakil Dekan, dan bapak/ibu dosen Fakultas Farmasi

Universitas Hasanuddin, terima kasih atas ilmu, tenaga, dan setiap

nasehat serta pengalaman yang telah diberikan selama penulis menjalani

perkuliahan.

2. Ibu Yulia Yusrini Djabir, MBM.Sc., M.Si., Ph.D., Apt. selaku pembimbing

utama dan Bapak Usmar, S.Si, M.Si., Apt. selaku pembimbing pertama

skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan ilmunya dalam

memberikan pengarahan kepada penulis mulai dari awal rencana

penulisan skripsi sampai selesai.

3. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt., ibu Sumarheni, S.Si., M.Sc., Apt.

dan bapak Muhammad Nur Amir, S.Si., M.Si., Apt. selaku tim penguji

Page 7: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

vii

ujian skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan banyak

masukan yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Aisyah Fatmawaty, M.Si., Apt. selaku pembimbing akademik yang

telah meluangkan waktu, tenaga dan ilmunya sejak penulis menjejakkan

kaki di Fakultas Farmasi.

5. Seluruh staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin atas segala

fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh studi hingga menye-

lesaikan penelitian ini.

Terkhusus lagi kepada teman-teman penulis Irene Sonya Rupang,

Fatwa Al-Fia, Nurul Husna Najib, Syarifah Nurhikmah, Sri Muniarti, Tita

Fatmawati, Nur ainiah, Najiyah Safitri, Ade Nurul Amalia, Desya Faradila

Ismi, Azka Asfarinda, dan kepada teman-teman Hios14min (Farmasi Unhas

angkatan 2014) yang telah memberikan semangat, dukungan, doa, moril,

dan dorongan kepada penulis dalam penyusunan skripsi.

Akhirnya, semua ini tiada artinya tanpa dukungan dari kedua orang

tua tercinta ayahanda Arwiyanto dan ibunda Gasriwati yang selalu menjadi

tempat sandaran dan menjadi motivator terbesar dalam hidup penulis.

Kepada pihak yang tidak sempat disebut namanya, semoga Allah

Subhanahu wa ta'ala senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan.

Makassar, 9 Mei 2018

Heriyanti

Page 8: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

viii

ABSTRAK

HERIYANTI. Efek Pemberian Dosis Subkronik Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Terhadap Perubahan Histopatologi Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) (dibimbing oleh Yulia Yusrini Djabir dan Usmar).

Telah dilakukan penelitian mengenai efek pemberian subkronik obat antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) terhadap perubahan histopatologi ginjal tikus (Rattus norvegicus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian subkronik OAT-KDT terhadap perubahan histopatologi ginjal tikus. Sebanyak 15 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok I (n=3) kontrol sehat, kelompok II (n=6) diberikan suspensi natrium CMC 1%, dan kelompok III (n=6) diberi suspensi OAT-KDT 8,9%. Perlakuan dilakukan selama 30 hari secara peroral. Pada hari ke-30 ginjal tikus diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi dan diamati di bawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian OAT-KDT 8,9% secara peroral pada tikus putih selama 30 hari menunjukkan perubahan kondisi struktur ginjal yang paling intensif dibandingkan dengan kontrol sehat dan kontrol negatif (natrium CMC 1%). Tampak adanya vakuolisasi pada tubulus, akumulasi sel radang, edema pada glomerulus, dan nekrosis pada tubulus.

Kata kunci : Antituberkulosis, Fixed Dose Combination, Histopatologi ginjal

Page 9: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

ix

ABSTRACT

HERIYANTI. Effect of Subchronic Administration of Anti Tuberculosis Fixed Dose Combination in Renal Histopathology Change In Rats (Rattus norvegicus) (supervised by Yulia Yusrini Djabir and Usmar). The subchronic effect of administration antituberculosis fixed dose combination (AT-FDC) on renal histopathology change in rats (Rattus norve-gicus) has been studied.The aim of this study was to determine the efffect of subchronic (30 days) dose of AT-FDC therapy in renal rats histopathology. A total of 15 rats were divided into 3 groups: group I (n=3) healthy control, Group II (n=6) were given a 1% sodium CMC suspension, and group III (n=6) AT-FDC 8,9% for 30 days. On the 30th day, renal were harvested then made into histopathologic preparations and observed under a microscope. The result showed that an oral administration AT-FDC 8,9% for 30 days led changes in the condition of the affected renal structure compared with healthy control and negative control (sodium CMC 1%). Visible vacuolization of the tubules, accumulation of inflammation, edema of the glomerulus, and necrosis of the tubules.

Keywords: Antituberculosis, Fixed Dose Combination (FDC), Renal Histo-pathology

Page 10: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

x

DAFTAR ISI

halaman

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR . xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Rumusan Masalah 3

I.3 Tujuan Penelitian 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

II.1 Tuberkulosis 4

II.1.1 Pengertian 4

II.1.2 Etiologi 4

II.1.3 Patofisiologi 4

II.1.4 Penanganan Tuberkulosis 5

II.1.4.1 Rifampisin 7

II.1.4.2 Isoniazid 8

Page 11: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

xi

halaman

II.1.4.3 Pirazinamid 9

II.1.4.5 Etambutol 10

II.2 Ginjal 10

II.2.1 Anatomi 10

II.2.2 Fisiologi 13

II.3 Histopatologi 14

II.3.1 Pengertian 14

II.3.2 Histologi Ginjal 15

II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17

BAB III METODE PENELITIAN 18

III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 18

III.2 Metode Kerja 18

III.2.1 Penyiapan Hewan Coba 18

III.2.2 Penyiapan Sediaan Uji dan Dosis Pemerian 19

III.2.2.1 Pembuatan Suspensi Natrium CMC 1% 19

III.2.2.2 Perhitungan dan Konversi Dosis OAT-KDT Untuk Tikus 19

III.2.2.3 Pembuatan Suspensi OAT 8,9% 21

III.3 Prosedur Percobaan 21

III.3.1 Penanganan Spesimen 22

III.3.2 Pembuatan Preparat Histopatologi 22

III.3.3 Pengamatan Preparat Histopatologi 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Page 12: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

xii

halaman

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 31

V.1 Kesimpulan 31

V.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

Page 13: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Dosis paduan OAT-KDT 6

2. Konversi ekuivalen dosis manusia ke dosis hewan berdasarkan luar permukaan tubuh 20

3. Pengaturan waktu pada tahap processing dan embedding 23

4. Tahap pewarnaan Mayer’s Hematoksilin-eosin 24

5. Parameter histopatologi tingkat kerusakan ginjal 24

6. Perolehan skor masing-masing pada kelompok perlakuan 26

Page 14: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Anatomi ginjal 11

2. Nefron 12

3. Penampakan histologi ginjal 16

4. Perbedaan bentuk dan ukuran tubulus proksimal dan 16 tubulus distal

5. Profil pengamatan jaringan ginjal tikus pada kelompok I 27 (kontrol sehat)

6. Profil pengamtaan jaringan ginjal tikus pada kelompok II 27 (Natrium CMC 1%)

7. Profil pengamtaan jaringan ginjal tikus pada III (OAT-KDT 8,9%) 30

8. Kondisi tikus di dalam kandang 37

9. Penimbangan tikus 37

10. Proses pemberian 37

11. Pengambilan organ ginjal 37

12. Organ ginjal tikus 37

13. Embedding centre 38

14. Mikrotom 38

15. Floating bath 38

16. Preparat histopatologi 38

Page 15: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Skema kerja Umum 35

2. Skema kerja Pembuatan Histopatologi 36

3. Dokumentasi Penelitian 37

4. Rekomendasi Persetujuan Komisi Etik 39

Page 16: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

AT = Anti Tuberculosis

ATP = Adenosin Trifosfat

BB = Bobot Badan

DOTS = Directly Observed Treatment Short-course

HE = Hematoksilin eosin

INH = Isonikotinil Hidrazid

KDT = Kombinasi Dosis Tetap

NTA = Nekrosis Tubular Akut

TB = Tuberkulosis

OAT = Obat Anti Tuberkuloisis

Page 17: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB merupakan penyakit yang

diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis yang utamanya menye-

rang organ paru-paru (85%) (De Souza, 2013; Dorland, 2011). Tuberkulosis

merupakan penyebab kematian akibat infeksi yang utama di dunia (Harvey

dan Champe, 2009). Data laporan tahunan WHO (2017) menyebutkan

bahwa, pada tahun 2015 ditemukan sekitar 10,4 juta kasus TB baru di dunia

yang diantaranya terdiri dari 5,9 juta penderita laki-laki dan 3,5 juta

perempuan, 10% dari jumlah penderita merupakan anak-anak (World Health

Organization, 2017). Indonesia merupakan negara yang menduduki pering-

kat kedua jumlah penderita TB terbanyak di Asia setelah India (World Health

Organization, 2017).

Dalam rangka memenuhi target terapi bagi para penderita TB, saat ini

telah tersedia dua jenis obat antituberkulosis (OAT), yaitu OAT dalam bentuk

paket kombinasi dan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) (Aditama dkk, 2011).

Penggunaan OAT-KDT yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis OAT

(rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol) dalam satu tablet lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan (De Souza, 2013; Aditama dkk,2011).

Penggunaan OAT-KDT dapat mengurangi kesalahan dalam peresepan dan

Page 18: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

2

lebih meningkatkan kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat minimal

selama 6 bulan (Aditama dkk, 2011).

Meskipun jarang terjadi, diketahui bahwa rifampisin dapat mengakibat-

kan gangguan ginjal pada penderita TB dan tetap menjadi permasalahan

yang serius (Beebe dkk, 2015). Gangguan ginjal yang diakibatkan oleh

penggunaan rifampisin dapat berupa nekrosis tubular akut maupun nefritis

interstisial akut yang yang dapat mengakibatkan gagal ginjal akut (Harvey

dan Champe, 2009; Muthukumar dkk, 2002; Min dkk, 2013). Hal tersebut

didukung oleh hasil pengamatan histopatologi yang menunjukkan bahwa

pemberian tunggal rifampisin dengan dosis 100 mg/100 gBB sudah cukup

untuk menginduksi kerusakan ginjal pada tikus jantan (Amaliana dkk, 2014).

Selain itu, kombinasi isoniazid dan rifampisin dapat mengakibatkan kerusa-

kan ginjal dan gangguan pada fungsi glomerulus yang dapat dilihat dari

peningkatan kadar serum urea dan kreatinin (Mahmoud dkk, 2015).

Penggunaan etambutol juga dapat berpotensi sebagai penginduksi terjadinya

nefritis interstisial akut (Garcia-Martin dkk, 1991). Berdasarkan hal tersebut,

maka perlu dilakuakan pemeriksaan lebih lanjut mengenai resiko kerusakan

ginjal oleh penggunaan OAT-KDT4.

Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk melihat kondisi

ginjal yaitu pemeriksaan histopatologi. Histopatologi merupakan disiplin ilmu

yang memberikan informasi diagnostik secara visual tentang kondisi struktur

jaringan yang berkaitan dengan proses patologi suatu penyakit (Orchard dan

Nasution, 2011).

Page 19: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

3

I.2 Rumusan Masalah

Bagaimana efek pemberian OAT-KDT dosis terapi secara subkronik

(30 hari) memberikan efek terhadap histopatologi ginjal tikus (Rattus norve-

gicus) ?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian OAT-

KDT dosis terapi secara subkronik (30 hari) terhadap perubahan histopato-

logi ginjal tikus.

Page 20: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis

II.1.1 Pengertian

Secara etimologi, tuberkulosis berasal dari bahasa latin “tuber” (kata

kerja “tumesco”) yang artinya segala jenis pembengkakan atau tonjolan kecil

yang ditimbulkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar

tuberkulosis terjadi pada paru-paru (85%), meskipun tidak jarang terjadi pada

organ lainnya (De Souza, 2013; Dorland, 2011). Diperkirakan sepertiga dari

populasi dunia telah terinfeksi dan 2,5 juta orang meninggal setiap tahun

akibat penyakit ini (Mandal dkk, 2008).

II.1.2 Etiologi

Mycobacterium tuberculsis merupakan jenis bakteri yang berbentuk

batang dengan ukuran panjang 1 – 4 mm dan tebal 0,3 – 0,6 mm. Sebagian

besar komponen M. tuberculosis berupa lipid sehingga bakteri tersebut

mampu tahan terhadap asam serta zak kimia dan faktor fisik. Mikroorganis-

me ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kasus TB terjadi pada organ

paru-paru yang memiliki kandungan oksigen yang tertinggi dibandingkan

organ lainnya (Somantri, 2007).

II.1.3 Patofisiologi

Infeksi diawali oleh seseorang menghirup basil M. tuberculosis yang

menyebar melalui jalan napas menuju alveoli, berkembang biak, dan terlihat

Page 21: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

5

seperti bertumpuk. Organ tubuh lain dapat ikut terinfeksi apabila bakteri ini

ikut bersama aliran darah. Sistem kekebalan akan memberikan respon

inflamasi, neutrofil dan makrofag akan melakukan fagositosis sementara

limfosit spesifik-tuberkulosis akan melisiskan basil sehingga mengakibatkan

terakumulasinya eksudat dalam alveoli. Infeksi timbul dalam waktu 2 – 10

minggu setelah paparan bakteri. Interaksi antar M. tuberculosis dan sistem

kekebalan tubuh akan membentuk massa jaringan (granuloma) yang terdiri

dari gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag. Granulo-

ma akan berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa (tuberkel). Materi

yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang tampak seperti

keju (necrotizing caseosa) yang akhirnya membentuk jaringan kolagen dan

bakteri menjadi nonaktif (Somantri, 2007).

Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun menurun maka infeksi

ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali akan menjadi aktif

dan memperparah kondisi penyakit (Somantri, 2007).

II.1.4 Penanganan Tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan men-

cegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan TB terbagi menjadi dua tahapan yaitu, tahap awal (intensif) dan

tahap lanjutan. Pada tahap intensif (2 bulan) penderita akan mengkonsumsi

OAT setiap hari dan diawasi secara langsung untuk mencegah resistensi

obat. Pada tahap ini jika pengobatan dilakukan secara tepat, hanya dalam

Page 22: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

6

kurun waktu 2 minggu penderita bisa menjadi tidak menular. Tahap lanjutan

(4 bulan) dilakukan untuk mencegah kekambuhan, penderita akan meng-

konsumsi jenis OAT yang lebih sedikit dibandingkan pada tahap awal atau

tahap intensif (Aditama dkk, 2011).

WHO telah merekomendasikan Directly Observed Treatment Short-

course (DOTS) sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995.

DOTS merupakan strategi penanganan Untuk menjamin kepatuhan

penderita TB dalam menelan obat yang dilakukan dengan pengawasan

langsung (Harvey dan Champe, 2009; Aditama dkk, 2011). Untuk membantu

strategi DOTS tersebut, saat ini telah tersedia OAT dalam bentuk Kombinasi

Dosis Tetap (OAT-KDT) yang merupakan kombinasi 2 atau 4 jenis OAT

yaitu, rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z) dan etambutol (E) yang

dikemas dalam satu tablet dan merupakan lini pertama pada pengobatan

tuberkulosis (World Health Organization, 2017; Aditama dkk, 2011).

Tabel 1. Dosis paduan OAT-KDT

Berat Badan Tahap Intensif

Tiap hari selama 56 hari (RHZE)

Tahap lanjutan

3 kali seminggu selama 16

minggu (RH)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 Tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 Tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 Tablet 2KDT

>71 5 tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT

Sumber : Aditama, T.Y., Subuh, M., Mustikawati, D.E., Asik, S., Basri, C. dan Kamso, S. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI. 2011

Beberapa keuntungan dari penggunaan OAT-KDT yaitu, efektifitas

pengobatan lebih terjamin dan mengurangi resiko efek samping karena dosis

Page 23: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

7

obat disesuaikan dengan berat badan dapat dilihat pada tabel 1, mencegah

penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi

obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep, dan meningkatkan

kepatuhan penderia dalam mengkonsumsi obat karena jumlah tablet jauh

lebih sedikit dibandingkan OAT paket kombinasi (Aditama dkk, 2011).

II.1.4.1 Rifampisin

Rifampisin merupakan salah satu kompenen lini pertama pada peng-

obatan TB yang bersifat bakterisid. Aktivitas antimikroba rifampisin lebih luas

jika dibandingkan dengan isoniazid yang juga merupakan lini pertama pada

pengobatan TB. Rifampisin akan menekan inisiasi pembentukan rantai

sintesis RNA pada bakteri dengan mengikat RNA polimerase, sehingga

menghalangi transkripsi RNA. Rifampisin efektif dalam melawan berbagai

mikroorganisme baik gram positif maupun gram negatif dan biasanya

diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat lainnya. Absorbsi rifampisin

sangat baik jika diberikan dalam bentuk oral, terdistribusi pada seluruh cairan

tubuh dan organ, termetabolisme di hati dan dapat menginduksi kerja dari

enzim sitokrom P450 sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan bersama

obat-obatan yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450. Waktu paruh

rifampisin adalah 2-5 jam, dan 80% berikatan dengan protein plasma

(Sweetman, 2009). Sebanyak 60% diekskresi bersama feses dan 30%

bersama urin. Efek samping yang paling sering terjadi ketika penggunaan

obat ini yaitu, mual, muntah, ruam pada permukaan kulit, dan kadang-

kadang dapat mengakibatkan anemia akut dan gagal ginjal akut. Obat ini

Page 24: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

8

harus diberikan secara hati-hati pada penderita alkoholik, usia tua, dan

memiliki riwayat penyakit hati. Penggunaan rifampisin dapat mengakibatkan

urin, feses, dan hasil sekresi lainnya menjadi berwarna merah hingga jingga

(Harvey dan Champe, 2009; BPOM, 2014).

Beberapa studi menemukan bahwa penggunaan rifampisin dapat

mengakibatkan nefritis interstisial akut dan nekrosis tubular akut pada ginjal

dan jika digunakan secara berkelanjutan dapat mengakibatkan terjadinya

gagal ginjal akut (Harvey dan Champe, 2009; Min dkk, 2013; Muthukumar

dkk, 2002). Studi lain menemukana bahwa penggunaan rifampisin dengan

dosis 100 mg/100 gBB dapat digunakan sebagai penginduksi kerusakan

ginjal pada tikus jantan (Rattus norvegicus) yang dapat dilihat dari

penampakan histopatologi ginjal tikus tersebut (Amaliana dkk, 2014).

II.1.4.2 Isoniazid

Isonikotinil Hidrazid (INH) merupakan OAT yang paling umum

digunakan sejak ditemukan adanya aktivitas klinis pada tahun 1952. INH

merupakan OAT yang paling kuat tetapi tidak pernah diberikan sebagai agen

tunggal dalam pengobatan TB. Mekanisme kerja utama INH pada penderita

TB yaitu dengan menghambat sintesis asam mikolat yang merupakan salah

satu komponen punyusun dinding sel pada M. tuberculosis., isoniazid akan

bersifat bakteriostatik, akan tetapi untuk mikroorganisme yang membelah

secara cepat, isoniazid akan bersifat bakterisid. INH dapat terabsorbsi

dengan mudah jika diberikan secara peroral dengan waktu paruh 1-6 jam

dan terganggu jika diberikan bersama dengan makananan khusunya

Page 25: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

9

karbohidrat atau dengan antasida yang mengandung alumunium. INH

mengalami N-asetilasi dan hidrolisis sehingga menghasilkan produk-produk

inaktif. Sebagian besar dieksresikan melalui filtrasi glomerulus sehingga

penurunan fungsi ginjal yang berat dapat mengakibatkan terakumulasinya

obat didalam tubuh (Harvey dan Champe, 2009).

Studi menemukan bahwa kombinasi antara isoniazid dan rifampisin

dapat mengakibatkan peradangan, atrofi pada glomerulus, dan displastik

pada sel tubulus ginjal pada pengamatan histopatologi ginjal tikus yang

diberikan rifampisin dan INH (masing-masing 50 mg/kgBB) secara peroral

selama 45 hari. Selain itu, kerusakan ginjal dan gangguan pada fungsi

glomerulus juga dapat dilihat dari peningkatan kadar serum urea, kreatinin

dan asam urat (Mahmoud dkk, 2015).

II.1.4.3 Pirazinamid

Pirazinamid merupakan agen antituberkulosis yang bersifat bakterisid

terhadap mikroorganisme yang membelah secara aktif dan dikombinasi

bersama rifampisin, INH, dan etambutol. Pirazinamid merupakan turunan

nikotinamid yang bekerja dengan cara menembus basil tuberkulosis secara

pasif melalui sistem transportasi Adenosin trifosfat (ATP), akan tetapi

mekanisme target kerja secara spesifik dari pirazinamid dalam membunuh

M. tuberculosis belum dapat dijelaskan secara pasti (Harvey dan Champe,

2009; Scholar dan Pratt, 2000). Obat ini harus terlebih dahulu dihidrolisis

secara enzimatik menjadi bentuk aktif berupa asam pirazinoat dengan waktu

paruh 9-10 jam (Harvey dan Champe, 2009; Sweetman, 2009). Nyeri sendi

Page 26: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

10

merupakan efek samping yang umum terjadi ketika mengkonsumsi

pirazinamid (BPOM, 2014; Sweetman,2009).

II.1.4.4 Etambutol

Etambutol bersifat bakteriostatik dan spesifik untuk sebagian besar

galur M. tuberculosis dan M. Kansii. Etambutol bekerja dengan cara meng-

hambat arabynosyl transferase, enzim yang berperan penting dalam sintesis

dinding sel arabinogalaktan mikobakterium. Etambutol dapat digunakan

dalam kombinasi dengan pirazinamid, isoniazid, dan rifampisin untuk

pengobatan pada penyakit TB. Ketika diabsorbsi pada pemberian oral, etam-

butol didistribusikan secara baik menuju ke seluruh tubuh dengan waktu

paruh 3-4 jam dan dieksresikan melalui filtrasi glomerulus dan sekresi

tubulus (Sweetman, 2009). Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa

penurunan ketajaman pengelihatan dan kehilangan kemampuan untuk

membedakan warna merah dan hijau namun akan memulih setelah

penggunaan obat dihentikan (Harvey dan Champe, 2009).

II.2 Ginjal

II.2.1 Anatomi

Ginjal manusia berjumlah dua buah yang terletak di pinggang, sedikit

di bawah tulang rusuk belakang dengan panjang sekitar 12 cm, lebar 6 cm,

dan tebal 2,5 cm (Wibowo, 2008; Mescher, 2016). Posisi ginjal kanan lebih

rendah dibandingkan ginjal kiri karena adanya tekanan ke bawah oleh hepar.

Setiap ginjal dikelilingi dengan lemak perinefrik yang dapat melindungi ginjal

Page 27: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

11

dari trauma, organ sekitar membantu mempertahankan posisi ginjal

(Wibowo, 2008; Mescher, 2016).

Gambar 1. Anatomi Ginjal (Mescher, 2013).

Jika ginjal dibelah membujur, maka akan tampak terlihat korteks dan

medula. Bagian tengah ginjal terdapat medula yang terdiri dari 8 – 15

piramid. Sebagian besar nefron (unit fungsional ginjal) terdapat pada korteks.

Struktur nefron yang berkaitan dengan proses pembentukan urin adalah

korpus, tubulus renal, dan tubulus koligentes. Korpus ginjal terdiri atas

glomerulus dan kapsula bowman. Tubulus renal terdiri atas tubulus kontortus

proksimal, lekung henle, dan tubulus kontortus distal. Ginjal mendapat suplai

darah arteri dari aorta abdominal. Arteri renalis bercabang kemudian mem-

Ureter

Vena

Pelvis

Calyx mayor

Calyx minor

Arteri

Korteks

Medula

Kolom

Piramid

a

Kapsul

Papila

Lobus

Page 28: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

12

bentuk arteri lobaris yang memberi suplai darah pada setiap piramid. Arteri

lobaris tersebut kembali bercabang agar darah dapat bergerak dengan

efisien melalui setiap nefron (Mescher, 2016; Baradero dkk, 2008).

Gambar 2. Nefron ()

Gambar 2. Nefron (Mescher, 2013).

Tubulus proksimal

Tubulus distal

Makula densa

Korteks

Medula

Kapsula Bowman

Glomerulus

Penghubung antar tubulus

Lekung henle

Page 29: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

13

II.2.2 Fisiologi

Ginjal merupakan salah satu organ eksresi yang terpenting di dalam

tubuh, fungsi kerja ginjal sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Beberapa fungsi ginjal, yaitu mengatur volume dan osmolaritas cairan tubuh,

mengatur keseimbangan elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa,

mengekskresi sisa metabolik dan mensekresi hormon (Baradero dkk, 2008).

Ginjal mempertahankan keseimbangan fisiologis dan cairan tubuh

dengan cara mengatur kompoisisi cairan dan pelarut dalam darah melalui

proses filtrasi (kapsula bowman), reabsorbsi (tubulus), dan sekresi (duktus

koligentes). Mekanisme lainnya yaitu peranan hormon antidiuretik (ADH)

yang dihasilkan oleh hipotalamus, disimpan dan dikeluarkan oleh kelenjar

hipofis sebagai respons terhadap perubahan dalam osmolaritas plasma.

Osmolaritas adalah konsentrasi ion dalam suatu larutan (darah). ADH akan

mempegaruhi nefron bagian distal untuk memperlancar permeabilitas air

sehingga lebih banyak air yang direabsorbsi dan dikembalikan ke dalam

sirkulasi darah ketika asupan air berkurang di dalam tubuh (Mescher, 2016;

Baradero dkk, 2008).

Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula bowman akan

direabsorbsi dalam tubulus proksimal. Hormon aldosteron dan ADH merupa-

kan hormon yang mengatur reabsorbsi pada tubulus distal. Elektrolit ber-

gerak menyeberangi membran tubula melalui mekanisme aktif dan pasif.

Gerakan pasif akan terjadi apabila terdapat perbedaan konsentrasi molekul.

Molekul akan bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke area yang

Page 30: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

14

berkonsentrasi rendah. Lain halnya dengan gerakan aktif yang memerlukan

energi untuk dapat membuat molekul bergerak tanpa dipengaruhi tingkat

konsentrasi molekul untuk menjamin fungsi normal sel (Mescher, 2016;

Baradero dkk, 2008).

Dibutuhkan pH 7,35 untuk darah vena dan pH 7,45 utuk darah arteri

agar sel dapat berfungsi normal. Kesimbangan tersebut dapat dicapai

dengan cara mempertahankan rasio bikarbonat darah dan karbondioksida

pada 20:1. Paru-paru akan berusaha untuk menyesuaikan jumlah karbon

dioksida dalam darah sementara ginjal akan menyekresi atau menahan

bikarbonat dan ion hidrogen sebagai respons terhadap peningkatan maupun

penurunan pH darah (Mescher, 2016; Baradero dkk, 2008).

Ginjal merupakan organ utama yang berfungsi membuang produk sisa

metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Semua zat yang masuk

kedalam tubuh dan ikut bersama aliran darah akan melalui beberapa proses

didalam ginjal untuk dilakukan penyaringan maupun pengaturan keseim-

bangan seperti elektrolit dan osmolaritas tubuh. Begitu pula jika terdapat tok-

sin maupun zat-zat asing lainnya didalam tubuh, secara sederhana ginjal

normal akan mengeksresikan zat tersebut bersama urin. Salah satu fungsi

ginjal yaitu memproduksi enzim faktor eritropoietin yang akan mengaktifkan

eritropoietin, hormon yang dihasilkan di hepar. Hormon Eritropoietin

berfungsi untuk menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah

merah (Mescher, 2016).

Page 31: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

15

II.3 Histopatologi

II.3.1 Pengertian

Histopatologi merupakan disiplin ilmu yang memberikan informasi

diagnostik terhadap perubahan struktur jaringan yang berkaitan dengan

suatu penyakit. Sebagian besar pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk

melihat perubahan pada struktur suatu jaringan di dalam tubuh yang

diakibatkan Infeksi, inflamasi, maupun penyakit kanker (payudara, serviks,

atau kolorektal). Selain itu, pemeriksaan histopatologi juga dapat dilakukan

untuk membantu mengetahui penyebab kematian dan merupakan bagian

dari pemeriksaan post-mortem (Orchard dan Nasution, 2011).

Pada beberapaa kondisi, perubahan struktur jaringan dapat teridentifi-

kasi meskipun belum terlihat adanya tanda maupun gejala yang jelas dari

penyakit tersebut. Mikroskop cahaya merupakan peralatan utama yang

digunakan pada pemeriksaan histopatologi (Orchard dan Nasution, 2011).

Pewarna yang sering digunakan dalam pewarnaan histopatologi yaitu,

pewarna hematoxylin-pikrofusin, hematoxylin-eosin, dan Masson Gold-ner-

trichrome (Kuehnel, 2003).

II.3.2 Histologi Ginjal

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal

terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan

fungsi yang sama. Gambar 1 merupakan penampakan histologi ginjal yang

diwarnai dengan pewarna hematoksilin-eosin (Mescher, 2013). Pada gambar

tersebut terlihat beberapa bagian dari nefron, diantaranya kapsula bowman,

Page 32: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

16

ruang bowman, glomerulus, tubulus proksimal, makula densa, dan tubulus

distal. Gambar 2 merupakan gambar yang memperlihatkan perbedaan

penampakan histologi pada bagian tubulus proksimal dan tubulus distal

(Kuehnel, 2003).

Gambar 3. Penampakan histologi ginjal, keterangan : Kapsula Bowman (KB), Ruang Bowman (RB), Glomerulus (G), Tubulus Proksimal (TP), Makula Densa (MD), dan Tubulus Distal (TD). Pewarna Hematoksilin-Eosin. Perbesaran 300X (Mescher, 2013).

Gambar 4. Perbedaan bentuk dan ukuran tubulus proksimal (1) dan tubulus distal (2). Pewarna: azan. Perbesaran 800X (Kuehnel, 2003).

RB KB

TD

TP

G

MD

1

1

2

Page 33: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

17

II.4 Tikus putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat yang

paling sering digunakan sebagai hewan coba karena merupakan hewan

yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ,

metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan

ekskresi menyerupai manusia (Baker dkk, 2013). Tikus putih memiliki

beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di

antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar

dari mencit, dan mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak (Wolfenshon

dan Lloyd, 2013).

Klasifikasi tikus putih (Baker dkk, 2013):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Berat badan tikus jantan dewasa berkisar 450 – 520 g dengan jangka

hidup 3 – 4 tahun (Wolfenshon dan Lloyd, 2013). Menurut Nair dan Jacob

(2016), hewan yang berukuran lebih besar memiliki tingkat metabolisme

yang lebih rendah atau sebaliknya, semakin kecil ukuran hewan coba yang

digunakan maka semakin tinggi atau cepat meabolisme hewan tersebut.

Page 34: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

18

BAB III

METODE PENELITIAN

II.1 Penyiapan Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, embedding cass-

ete, embedding center (Sakura®), floating bath (Barnstead®), gelas beaker

(Pyrex®), gelas ukur (Pyrex®), gunting, jarum pentul, kamera (Nikon®),

kanula, pengaduk elektrik, spoit, tissue processor (Thermo Scientific®),

mikroskop cahaya, mikrotom (Sakura®), papan bedah, object glass dan tim-

bangan digital (Ohaus®).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, aquadest,

OAT (Rifastar® KDT4), Buffer Netral Formalin (BNF) 10%, eter, Natrium

Carboxymethyle Celullose (Natrium CMC), paraffin, hematoxylin eosin (HE),

serbuk gelatin, toluen, xylol, etanol 70% dan reagensia alkohol 100% v/v

(campuran etanol absolut 90% v/v, metanol 5% v/v dan isopropanol 5% v/v).

II.2 Metode Kerja

II.2.1 Penyiapan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih jantan (Rattus norve-

gicus) sebanyak 15 ekor dengan bobot 100 – 200 g dalam kondisi sehat.

Sebelum dilakukan perlakuan, hewan coba diadaptasikan selama 14 hari.

Hewan coba diberikan pakan dan air secukupnya setiap hari.

Page 35: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

19

II.2.2 Penyiapan Sediaan Uji dan Dosis Pemberian

II.2.2.1 Pembuatan Suspensi Natrium CMC 1%

Natrium CMC sebanyak 1 gram didispersikan dengan menambahkan

aquadest 50 mL yang bersuhu 70˚C kemudian diaduk menggunakan

pengaduk elektrik hingga terdispersi sempurna dan dicukupkan hingga

mencapai volume 100 mL.

II.2.2.2 Perhitungan dan Konversi Dosis OAT-KDT Untuk Tikus

OAT-KDT yang digunakan pada manusia adalah sediaan tablet

dengan komposisi sebagai berikut :

- Rifampisin 150 mg

- Isoniazid 75 mg

- Pirazinamid 400 mg

- Etambutol 275 mg

Dosis yang digunakan adalah 4 tablet untuk berat badan 60 kg.

Untuk konversi dosis ke tikus, dilakukan langkah-langkah perhitungan

sebagai berikut :

Artinya untuk dosis sekali, manusia dengan bobot 60 kg akan mengkonsumsi

tablet yang setara dengan 1.080 mg/tablet × 4 tablet/60 kgBB = 4.320 mg/

60 kgBB = 72 mg/kgBB.

Bobot rata−rata (tablet OAT−KDT) = Bobot total 20 tablet

20

Bobot rata−rata (tablet OAT−KDT) = 21600 mg

20= 1080 mg

Page 36: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

20

Tabel 2. Konversi ekuivalen dosis manusia ke dosis hewan berdasarkan luas permu-kaan tubuh

Spesies Bobot Badan

(kg)

Rentang Bobot

Badan(kg)

Luas Permukaan Tubuh (m2)

Faktor Km

Faktor Konversi

Manusia

Dewasa 60 – 1,6 37 1,00

Anak 20 – 0,8 25 1,48

Babon 12 7 – 13 0,6 20 1,85

Anjing 10 5 – 17 0,6 20 1,85

Monyet 3 1,4 – 4,9 0,24 12 3,08

Kelinci 1,8 0,9 – 3,0 0,15 12 3,08

Marmut 0,4 0,208 – 0,700 0,05 8 4,63

Tikus 0,15 0,080 – 0,270 0,025 6 6,17

Hamster 0,08 0,047 – 0,157 0,02 5 7,40

Mencit 0,02 0,011 – 0,034 0,007 3 12,33

Sumber : Shin, J.W., Seol, I.C., Son, C.G. Interpretation of Animal Dose and Human Equivalent Dose for Drug Development. The Journal of Korean Oriental Medicine. 2010.

Konversi dosis manusia ke tikus :

Dimana :

Faktor konversi dosis manusia ke tikus : 6,17 (lihat tabel 2)

Maka, konversi dosis manusia ke tikus adalah sebagai berikut :

Konversi Dosis = 72mg/kg×6,17= 444,24 mg/kg

Sehingga untuk tikus dengan bobot 200 g diberikan tablet sejumlah :

Konversi dosis = Dosis manusia (mg/kg) x Faktor Konversi

Bobot tablet yang diberikan = 89 mg tablet/200 gBB tikus

Bobot tablet yang diberikan =444,24 mg

1000 mg× 200 g

Page 37: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

21

Jadi dalam 89 mg bobot tablet yang ditimbang, mengandung :

- Rifampisin 12,36 mg

- Isoniazid 6,17 mg

- Pirazinamid 32,96 mg

- Etambutol 22,66 mg

II.2.2.3 Pembuatan Suspensi OAT 8,9%

Sebanyak 8,9 g tablet disuspensikan dalam 100 mL Natrium CMC

sehingga diperoleh suspensi OAT 8,9% yang mengandung 89 mg tablet OAT

dalam 1 mL suspensi. Untuk tikus dengan bobot m g bobot badan, Volume

(V) suspensi yang diberikan adalah sebagai berikut :

II.3 Prosedur Percobaan

Pemeliharaan hewan coba dilakukan di Laboratorium Biofarmasi Fa-

kultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Sebanyak 15 ekor tikus jantan putih

dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

1) Kelompok I (n=3) sebagai kontrol sehat, tidak ada perlakuan khusus.

2) Kelompok II (n=6) diberikan suspensi Natrium CMC 1% sebagai

pembawa, diberikan sehari sekali, volume pemberian disesuaikan

dengan bobot badan tikus.

3) Kelompok III (n=6) diberikan suspensi OAT-KDT 8,9%, diberikan sehari

sekali, volume pemberian disesuaikan dengan bobot badan tikus.

V = m gBB

200 gBB×1 mL

Page 38: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

22

Perlakuan dilakukan selama 30 hari berturut-turut. Pengambilan organ

ginjal dilakukan pada hari ke-30.

II.3.1 Penanganan Spesimen

Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi dimasukkan dalam pot

sampel yang berisi larutan BNF 10% dan disimpan terlebih dahulu selama 48

jam sebelum dilakukan pemotongan untuk dilanjutkan ke pengujian

histopatologi (Wahyuni dkk, 2012).

II.3.2 Pembuatan Preparat Histopatologi (Amaliana dkk, 2014)

Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Balai Besar Veteriner Maros.

1) Spesimen difiksasi dengan BNF 10% dengan volume 10 kali volume

sampel. Waktu yang diperlukan untuk terfiksasi sempurna adalah 48 jam.

2) Spesimen dipotong dengan ketebalan 0,5 – 1 cm. Sisa spesimen disim-

pan dalam botol bertutup rapat yang berisi BNF 10%.

3) Spesimen hasil pemotongan dimasukkan ke dalam embedding cassete

kemudian di proses pada tissue processor dengan pengaturan waktu

yang tercantum pada tabel 3. Embedding cassette dikeluarkan dari

tissue processor kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah ter-

sedia pada alat embedding center. Spesimen dikeluarkan dari keranjang

kemudian diletakkan di atas cetakan lalu diisi dengan paraffin. Setelah

paraffin mengeras, blok dipisahkan dari cetakan dan siap untuk dilaku-

kan pemotongan dengan menggunakan pisau mikrotom.

Page 39: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

23

Tabel 3. Pengaturan waktu pada tahap processing dan embedding

Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. 2012.

4) Blok jaringan diletakkan pada mikrotom kemudian dipotong mengguna-

kan pisau mikrotom dengan ketebalan 4 – 5 µm. Hasil potongan terbaik

kemudian direntangkan pada permukaan larutan gelatin (5 g gelatin di-

larutkan dalam 100 cc aquades) pada floating bath yang bersuhu 400C.

Hasil pemotongan diambil menggunakan object glass kemudian ditem-

patkan diatas pelat pemanas minimal 2 jam.

5) Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan pewarna Mayer’s Hema-

toxylin-Eosin. Tahapan pewarnaan beserta lama pengerjaan dapat dilihat

pada tabel 4. Xylen diteteskan 1-2 tetes pada tiap object glass, kemudian

tutup dengan deck glass. Preparat yang telah tertutup didiamkan sampai

mengering sempurna.

No. Proses Reagensia Waktu (jam)

1. Fiksasi Buffer netral formalin 10% 2

2. Fiksasi Buffer netral formalin 10% 2

3. Dehidrasi Alkohol 70% 1

4. Dehidrasi Alkohol 90% 1

5. Dehidrasi Alkohol 100% 1

6. Dehidrasi Alkohol 100% 2

7. Dehidrasi Alkohol 100% 2

8. Clearing Toluen 1

9. Clearing Toluen 1.5

10. Clearing Toluen 1,5

11. Impregnasi Paraffin 2

12. Impregnasi Paraffin 3

Total waktu 20 jam

Page 40: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

24

Tabel 4. Tahap pewarnaan mayers hematoxylin eosin

No. Reagensia Waktu

1. Xylol I 2 menit

2. Xylol II 2 menit

3. Alkohol 100% I 1 menit

4. Alkohol 100% II 1 menit

5. Alkohol 95% I 1 menit

6. Alkohol 95% II 1 menit

7. Mayer’s Hematoksilin 15 menit

8. Rendam dalam Tap Water 20 menit

9. Masukkan dalam Eosin 15 detik -2 menit

10. Alkohol 95 % III 2 menit

11. Alkohol 95 % IV 2 menit

12. Alkohol 100% III 2 menit

13. Alkohol 100% IV 2 menit

14. Akohol 100%V 2 menit

15. Xylol III 2 menit

16. Xylol IV 2 menit

17. Xylol V 2 menit

Sumber : Wahyuni, Enggar, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri, Yunus M. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. 2012.

II.3.3 Pengamatan Preparat Histopalogi

Pembacaan preparat histopatologi dilakukan di Klinik Hewan Pendidi-

kan Universutas Hasanuddin, Makassar.

Tabel 5. Parameter Histopatologi Tingkat Kerusakan Ginjal

Skor Glomerulus Tubulus

1 Normal Normal 2 Edema Degenerasi parenkim

3 Nekrosis dan radang di sekitar glomerulus

Degenerasi hidrofik

4 Atrofi dan ada protein di ruang bowman

Vakuolisasi sel tubulus , nekrosis, dan ada protein dalam lumen tubulus

Sumber : Nurlina, Estuningsih, S., Sugito, Masyitha, D. Stabilitas Mikrob Usus, Histologi Hati dan Ginjal Mencit Setelah Pemberian Ekstrak Pliek u Bumbu Masak Tradisional Aceh. 2014

Page 41: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

25

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan di bawah mikroskop cahaya

dengan perbesaran 100X dan 400X untuk melihat perubahan morfologis

jaringan dari spesimen yang diperiksa. Pemberian skor pada masing-masing

tingkat kerusakan dapat dilihat pada tabel 5.

Page 42: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

26

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian subkronik

OAT-KDT4 terhadap histopatologi ginjal tikus (Rattus norvegicus). Setelah

dilakukan perlakuan selama 30 hari, pada hari ke-30 dilakukan pembedahan

untuk mengambil organ ginjal tikus. Ginjal tersebut kemudian dibuat menjadi

preparat histopatologi, diamati di bawah mikroskop, dan diberikan skor

sesuai tingkat kerusakan yang terlihat pada masing-masing kelompok

perlakuan. Perolehan skor pada masing-masing kelompok perlakuan dapat

dlihat pada tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa skor

kerusakan tertinggi terlihat pada kelompok perlakuan III (OAT-KDT 8,9%).

Tabel 6. Perolehan skor pada masing-masing kelompok perlakuan

No. Perlakuan Pengamatan

Keterangan Glomerulus Tubulus

1. Kelompok I (Kontrol Sehat)

Terdapat hemoragi dan kongesti.

N 1 1 1

N 2 1 1

N 3 1 1

2. Kelompok II (Natrium CMC 1%)

Terdapat hemoragi, kongesti, degenerasi pada tubulus, dan udema pada glomerulus

N 1 2 4

N 2 2 4

N 3 2 3

N 4 2 3

N 5 2 3

N 6 2 3

3. Kelompok III (OAT-KDT 8.9%)

N 1 3 4 Terdapat hemoragi, kongesti, vakuolisasi dan nekrosa pada tubulus, adanya protein dalam lumen, dan akumulasi sel radang pada glomerulus

N 2 3 4

N 3 3 4

N 4 3 4

N 5 3 4

N 6 3 4

Keterangan : N = replikasi hewan coba

Page 43: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

27

Gambar 5. Profil pengamatan jaringan ginjal tikus pada kelompok kontrol sehat. Tidak nampak adanya perubahan signifikan.Tampak glomerulus (a), hemoragi (panah jingga) dan kongesti (panah hitam). Perbesaran A: 100X dan B: 400X. Pewarnaan HE.

Gambar 3 merupakan profil pengamatan jaringan ginjal yang mewakili

kelompok I (kontrol sehat). Hasil pengamatan menunjukkan adanya

hemoragi dan kongesti pada struktur jaringan ginjal hewan coba, namun

masih dianggap normal karena hemoragi dan kongesti juga terlihat pada

kedua kelompok lainnya. Hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh

penggunaan dietil eter ketika melakukan eutanasia pada tikus (Superfund

Health Risk Technical Support Center, 2009).

Gambar 6.Profil pengamatan jaringan ginjal tikus yang diberi perlakuan natrium CMC 1%. Tampak glomerulus (a), tubulus (b), vakuolisasi di tubulus (panah kuning) dan edema di glomerulus (panah merah). Perbesaran: A: 100X dan B: 400X. Pewarnaan HE.

A

a

a

a

a

b

B b

b

B A

a

a

a

Page 44: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

28

Profil pengamatan jaringan ginjal yang mewakili kelompok II pemberi-

an natrium CMC 1% dapat dilihat pada gambar 4. Pemberian natrium CMC

seharusnya tidak mempengaruhi kondisi struktur ginjal karena merupakan

kontrol negatif, namun hasil pengamatan menunjukkan adanya vakuolisasi

pada tubulus dan edema pada glomerulus. Vakuolisasi pada tubulus ditandai

dengan hilangnya struktur normal sel sedangkan edema pada glomerulus

ditandai dengan adanya rongga pada area luar glomerulus. Kemungkinan

perubahan kondisi struktur ginjal yang terjadi pada kelompok perlakuan II

diakibatkan oleh tidak adanya penggantian cairan setelah pengambilan

darah. Hal tersebut merupakan salah satu limitasi dari penelitian ini karena

pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan setelah pengambilan darah pada

tikus sebanyak 2 mL setiap minggu untuk pemeriksaan biokimia yaitu

pemeriksaan kadar serum kreatinin (Ardin, 2018). Total volume darah pada

tikus dewasa adalah 12,8 mL/200 gBB (McGuill dkk, 1989). Apabila volume

pengambilan darah melebihi 10% bobot badan tikus maka diperlukan larutan

ringer laktat sebagai cairan pengganti (Parasuraman dkk, 2010).

Jika dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya, perubahan

kondisi struktur jaringan terparah terlihat pada kelompok perlakuan III (OAT-

KDT 8,9%) yang dapat dilihat pada gambar 5. Hasil pemeriksaan

menunjukkan bahwa intensitas vakuolisasi tubulus yang terlihat lebih tinggi

dibandingkan denga kelompok II yaitu pemberian natrium CMC 1%.

Vakuolisasi merupakan tanda permulaan kerusakan sel yang diakibatkan

oleh zat toksik maupun kurangnya oksigen pada sel yang dapat

Page 45: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

29

mengganggu proses metabolisme (Adleend, 2015). Hal tersebut sesuai

dengan mekanisme nefrotoksisitas rifampisin. Sebanyak 80 % rifampisin

yang masuk kedalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma sehingga

menimbulkan reaksi pembentukan kompleks imun antara antibodi dan

antigen. Pembentukan kompleks tersebut berlangsung secara terus menerus

sehingga menimbulkan penumpukan kompleks imun. Penumpukan kompleks

imun pada pembuluh darah dapat mengakibatkan vasokonstriksi dan jika

berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan

kondisi iskemik (Muthukumar dkk, 2002). Selain itu, terlihat pula adanya

edema pada glomerulus, akumulasi sel radang di sekitar glomerulus, hingga

nekrosis pada tubulus.

Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan akibat dari kurangnya suplai

darah ke ginjal. Kondisi tersebut dapat diakibatkan oleh akumulasi sel-sel

mati dalam tubulus yang menyebabkan iskemia maupun akibat adanya agen

nefrotoksin seperti antibiotik (Henningsen dkk, 2014). Walaupun berat ginjal

hanya sekitar 0,5% dari total berat badan, tetapi ginjal menerima darah

sebesar 20%- 25% dari curah. Tingginya aliran darah yang menuju ginjal

inilah yang menyebabkan berbagai macam obat dan bahan kimia dalam

sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang besar. Zat-zat toksik ini

akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan (Hodgson, 2010).

Keempat komposisi dari OAT-KDT sebagian besar dieksresikan melalui

ginjal, Sehingga kemungkinan sisa metabolit keempat komposisi OAT-KDT

tersebut terakumulasi pada ginjal dan mengakibatkan gangguan fungsi

Page 46: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

30

hingga kerusakan pada ginjal ketika dikonsumsi dalam jangka waktu yang

lama.

Gambar 7. Profil pengamatan jaringan ginjal tikus setelah diberi OAT-KDT 8,9%. Pengamatan pada 5 area pandang mikroskop (A,B,C,D, dan E). Tampak glomerulus (a), tubulus (b), vakuolisasi di tubulus (panah kuning), nekrosis tubulus dengan adanya protein dalam lumen (panah biru), akumulasi radang sekitar glomerulus (panah hijau), edema pada glomerulus (panah merah). Perbesaran: 400x. Pewarnaan HE.

A

C

E

a

a

b

b

b

D

b

a

B

Page 47: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

31

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pembe-

rian OAT-KDT 8,9% secara peroral pada tikus putih (Rattus novergicus) se-

lama 30 hari menunjukkan perubahan kondisi struktur ginjal yang yang paling

intensif dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat dan kontrol negatif

(natrium CMC 1%). Tampak adanya vakuolisasi pada tubulus, akumulasi

radang, edema pada glomerulus, dan nekrosis pada tubulus.

V.2 Saran

Perlu adanya monitoring fungsi ginjal pada penderita TB yang

mengkonsumsi OAT-KDT ini dan sebaiknya dilakukan studi atau penelitian

lebih lanjut untuk menemukan terapi pendamping agar dapat mengurangi

efek samping dari penggunaan OAT-KDT ini.

Page 48: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

32

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., Subuh, M., Mustikawati, D.E., Asik, S., Basri, C. dan Kamso, S. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Available as PDF File E-Book.

Adleend. 2015. Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegi- cus) Setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik. Skripsi tidak diter- bitkan. Makassar. Fakultas Kedokteran Hewan Unhas. Amalina, H.A., Muhartono and Fiana, D.N. 2014. The Influence Effect Kid- ney Histopathology of Mangosteen Rind (Garcina mangostana L.) 40% Ethanol Extract on Rifampicin in Male Rat. Medical Journal Of Lampung University, 3(2): 91-99. Ardin, A. 2018. Efek Pemberian Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combina- tion Terhadap Peningkatan Kadar Kreatinin Tikus Putih (Rattus norvegicus). Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Farmasi Unhas. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2014. Pusat Informasi Obat Nasional Indonesia. (http://pionas.pom.go.id, diakses 21 Januari 2018). Baker, H.J., Lindsey, R., and Wesibroth, S.H. 2013. The Laboratory Rat. CRC Press. Available as PDF File E-Book. Baradero, M., Dayrit, M.W., dan Siswadi, Y. 2008. Klien Dengan Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC. Available as PDF File E-Book. Beebe, A., Seaworth, B. and Patil, N. 2015. Rifampicin-Induced Nephro- toxicity in a Tuberculosis Patient. Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases, 1: 13-15. De Souza, M.V.N. 2013. Tuberculosis Treatment: The Search For New Drugs. Bentham Science Publishers: Rio de Janeiro. Available as PDF File E-Book. Dorland, W.A.N. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Ed. 28. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Garcia-Martin, F., Mamposo, F., de Arriba, G., Hatter, F.M., Martin-Escobar, E. and Saiz, F. 1991. Acute Interstitial Nephritis Induced by Ethambutol. Nephron, 59: 679-680.

Page 49: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

33

Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar, Ed. 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Henningsen, C., Kunts, K., and Youngs, D. 2014. Clinical Guide to Sono- graphy 2nded. Elsevier. Available as PDF File E-Book. Hodgson, E. 2010.A Textbook Of Modern Toxicology 4th ed. New Jersey: Wiley. Available as PDF File E-Book. Kuehnel, W. 2003. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. Thieme. Available as PDF File E-Book. Mahmoud, A.M., Morsy, B.M., Abdel-Hady, D.S. and Samy, R.M. 2015. Prunus armeniaca Leaves Extract Protects against Isoniazid and Rifampicin Induced Nephrotoxicity through Modulation of Oxidative stress and Inflamation. International Journal of Food and Nutritional Science, 2(4): 1-6. Mandal, B.K., Wilkins, E.G.K., Dunbar, E.M., dan Mayon-White, R.T. 2008. Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga. Available as PDF File E-Book. McGuill, M.W. and Rowan, A.N. 1989. Biological E_ects of Blood Loss: Implications for Sampling Volumes and Techniques. ILAR Journal, 31 (4): 5–20. Mescher, A.L. 2013. Junqueira’s Basic Histology 13th Ed. United States: McGraw-Hill Education. Available as PDF File E-Book Mescher, L.A. 2016. Basic Histology. United States: McGraw-Hill Education. Available as PDF File E-Book. Min, H.K., Kim, E.O., Lee, S.J., Chang, Y.K., Suh, K.S., Yang, C.W., Kim, S.Y. and Hwang, H.S. 2013. Rifampin-Associated Tubulointersititial Nephritis and Fanconi Syndrome Presenting as Hypokalemic Paralysis. BMC Nephrology, 14(13): 1-5. Muthukumar, T., Jayakumar, M., Fernando, E.M. and Muthusethupathi, M.A. 2002. Acute Renal Failure Due to Rifampicin: A Study of 25 Patients. American Journal of Kidney Diseases, 40(4): 690-696. Nair, A.B. and Jacob, S. 2016. A Simple Guide for Dose Conversion Between Animals and Human. Journal of Basic Clin Pharm, 7(2): 27-31.

Page 50: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

34

Nurlina, Estuningsih, S., Sugito dan Masyitha, D. 2014. Stabilitas Mikrob Usus, Histologi Hati dan Ginjal Mencit Setelah Pemberian Ekstrak Pliek u Bumbu Masak Tradisional Aceh. Jurnal Veteriner, 15(3): 370-379. Orchard, G. and Nation, B. 2011. Histopathology. Institute of Biomedical Science: London. Available as PDF File E-Book. Parasuraman, S., Raveendran, R., and Kesavan, R. 2010. Blood Sample Collection in Small Laboratory Animals. J Pharmacol Pharmacother, 1(2): 87–93. Scholar, E.M., and Pratt, W.B. 2000.The Antimicrobial Drugs. New York: Oxford Unversity Press. Available as PDF File E-Book. Shin, J.W., Seol, I.C. and Son, C.G. 2010. Interpretation of Animal Dose and Human Equivalent Dose for Drug Development. The Journal of Korean Oriental Medicine, 31(3): 1-7. Somantri, S. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Available as PDF File E-Book. Superfund Health Risk Technical Support Center. 2009. Provisional Peer Reviewed Toxicity Values for Ethyl ether (Diethyl ether). U.S. Environmental Protection Agency Cincinnati. Available as PDF File E- Book. Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition. UK: Pharmaceutical Press. Available as PDF File E-Book. Wahyuni, Kumorowati, E., Pitriani, Suardi, Sukri dan Yunus, M. 2012. Buku Panduan Kerja Laboratorium Patologi. Balai Besar Veteriner Maros. Ed. 2. Hal 1-21. Wibowo, D.S. 2008. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Grasindo. Available as PDF File E-Book. Wolfenshon, S., And Lloyd, M. 2013. Handbook of Laboratory Animal and welfare 4th ed. West Sussex: Wiley-Blackwell. Available as PDF File E-Book. World Health Organization. 2017. Annual Report: Bending The Curve Ending TB. Regional Office Of South-East Asia. (http://apps.who. int/iris/handle/10665/254762, diakses 17 Oktober 2017).

Page 51: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

35

LAMPIRAN I

SKEMA KERJA UMUM

Tikus Jantan Putih

(n=15)

Adaptasi

14 hari

Kelompok 1

Kontrol Sehat

(n=3)

Kelompok 2

NaCMC 1% (p.o)

(n=6)

Kelompok 3 Suspensi OAT-KDT

8,9% (p.o) (n=6)

Pengambilan Organ Ginjal Tikus

Pembuatan Preparat Histopatologi

Pengamatan Preparat Histopatologi

[Perlakuan selama 30 hari]

Pembahasan

Kesimpulan

Page 52: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

36

LAMPIRAN II

SKEMA KERJA PEMBUATAN PREPARAT HISTOPATOLOGI

Fiksasi Spesimen

Pemotongan Awal

Processing dan Embedding

Pemotongan kedua

− Spesimen difiksasi dalam larutan BNF 10%

− Volume minimal 10 kali volume sampel.

− Dipotong spesimen dengan ketebalan 0,5⎯1 cm

− Disimpan sisa spesimendalam larutan BNF 10%

− Dimasukkan spesimen hasil pemotongan ke dalam embedding casette

− Diproses pada tissue processor selama 20 jam

− Dipindahkan ke embedding center kemudian diblok menggunakan paraffin

− Dipotong blok jaringan menggunakan mikrotom

dengan ketebalan 4⎯5 µm − Direntangkan di permukaan larutan gelatin pada

floating bath bersuhu 40ᴼC − Diambil hasil pemotongan menggunakan object

glass − Ditempatkan di atas pelat pemanas

Pewarnaan

Preparat Histopatologi

− Dilakukan pewarnaaan menggunakan pewarna Mayer’s Haematoxylin

− Diteteskan 1⎯2 tetes xylen, ditutup mengguna-kan deck glass

Page 53: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

37

LAMPIRAN III

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 12. Organ ginjal tikus

Gambar 8. Kondisi tikus di dalam kandang

Gambar 10. Proses pemberian Gambar 9. Penimbangan tikus

Gambar 11. Pengambilan organ ginjal

Page 54: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

38

Gambar 16. Preparat Histopatologi

Gambar 15. Floating bath

Gambar 14. Mikrotom Gambar 13. Embedding centre

Page 55: EFEK PEMBERIAN DOSIS SUBKRONIK OBAT ANTI …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/...II.3.2 Histologi Ginjal 15 II.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) 17 BAB III METODE PENELITIAN

39

LAMPIRAN IV

REKOMENDASI PERSETUJUAN KOMISI ETIK


Recommended