UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI MANAGEMENT
PENDISTRIBUSIAN LISTRIK DI INDONESIA
MENINGKATKAN
EFISIENSI MANAGEMENT PENDISTRIBUSIAN
merupakan pemenuhan kebutuhan yang nyata di masyarakat.
Penyediaan
kebutuhan listrik di Indonesia lebih merupakan upaya untuk
membangkitkan dan
mendistribusikan listrik sesuai dengan kapasitas yang ada ke
masyarakat. Hal ini
dikarenakan faktor keterbatasan dari kapasitas pembangkit listrik
yang ada di
Indonesia yang masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan listrik
di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, isu efisiensi dan optimalisasi dalam
management
pendistribusian listrik menjadi hal yang sangat
penting.
Isu lainnya yang juga menjadi perhatian penting adalah sebagian
besar dari
sumber daya energi yang digunakan oleh pembangkit listrik di
Indonesia masih
menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara. Permasalahan
terkait isu
tersebut adalah semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil
dan
meningkatnya dampak pemanasan global sebagai akibat buruk dari
penggunaan
bahan bakar fosil tersebut. Hal tersebut memicu penelitian
dan pengembangan
terhadap sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan
seperti energi
surya, mikrohidro, arus laut, angin, dan panas bumi.
Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional Tahun
2006-2025,
pengembangan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) menjadi salah
satu sasaran
dari kebijakan energi nasional. Sebagai konsekuensinya, keberadaan
pembangkit
berbasis EBT menimbulkan variabel-variabel baru dalam
jaringan pendistribusian
listrik. Oleh sebab itu, dibutuhkan pengembangan suatu sistem
pengelolaan cerdas
yang dapat memonitor dan mengendalikan secara simultan semua
variabel dari
sisi pembangkit listrik hingga ke sisi pengguna. Sistem pengelolaan
cerdas dengan
tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi
management pendistribusian
listrik tersebut dikenal dengan teknologi smart
grid .
Dalam konsep tradisional, listrik dihasilkan oleh sejumlah
pembangkit
listrik konvensional berskala besar, seperti PLTG. Listrik tersebut
ditransmisikan
pada sistem transmisi dengan tegangan yang sangat tinggi ke
wilayah-wilayah
yang dialiri listrik dan didistribusikan dengan tegangan rendah
kepada end user
melalui jaringan distribusi listrik. Jaringan distribusi
konvensional tersebut
dibangun dengan prinsip build and connect di mana
jaringan distribusi listrik
dibangun hanya sebatas untuk menghubungkan pembangkit listrik
kapasitas besar
ke wilayah-wilayah pengguna listrik.
mengalami perubahan paradigma. Paradigma yang saat ini berkembang
seiring
penggunaan pembangkit listrik mandiri seperti panel surya
yang mendorong
adanya desentralisasi pembangkit listrik di sisi pengguna telah
membuat jaringan
distribusi yang dibangun saat ini menggunakan prinsip build and
manage.
Jaringan distribusi tersebut tidak bisa lagi hanya sebatas sebagai
penghubung,
tetapi juga dapat dikelola secara aktif.
Pengembangan teknologi smart grid sebagai sistem
pengelolaan cerdas
yang mendukung prinsip build and manage akan membuat
pelanggan dapat
memonitor dan mengontrol penggunaan listrik berdasarkan integrasi
antara
pembangkit listrik konvensional skala besar dengan pembangkit
listrik mandiri
yang ada di sisi pengguna. Pada Gambar 1 menunjukkan mengenai
gambaran
teknologi smart grid yang menghubungkan antara sistem hulu
(pembangkit listrik
skala besar) dengan sistem hilir (sisi pengguna beserta pembangkit
listrik
mandiri).
energi listrik dengan menambahkan teknologi informasi dan
komunikasi sehingga
pada sistem jaringan distribusi tidak hanya terdapat aliran
listrik tetapi juga
terdapat aliran informasi. Sistem dapat memonitor, menjaga dan
secara otomatis
mengoptimalkan operasi antar komponen interkoneksinya, mulai dari
pusat
pembangkit listrik dan distribusi listrik melalui jaringan
transmisi tegangan tinggi
dan jaringan sistem distribusi, ke sisi industri dan sistem
pembangkit listrik
mandiri, ke instalasi penyimpanan energi, hingga ke konsumen
pemakai terakhir.
Pada Gambar 2 menunjukkan framework pada smart
grid.
Gambar 2. Framework pada Smart Grid [2]
National Institute of Standards and Technology (NIST)
memperkenalkan
konsep model untuk memberikan pemahaman dasar tentang smart
grid . Konsep
model ini terdiri dari beberapa domain. Setiap domain memuat
banyak
application dan actor yang terhubung satu sama
lain dan mempunyai interface
pada setiap ujungnya. Tabel 1 mendeskripsikan lebih jelas
tentang actors pada
domain smart grid .
Smart grid dikarakterisasikan dengan aliran dua arah
yaitu listrik dan
informasi untuk menciptakan sebuah jaringan penyebaran energi
listrik yang
terdistribusi secara luas dan terotomasi berdasarkan informasi dari
hasil
monitoring . Smart grid ini memasukkan keunggulan
sistem komunikasi dan
komputasi terdistribusi ke dalam grid. Hal ini akan menghadirkan
informasi real-
time dan memungkinkan keseimbangan antara pasokan dan
permintaan energi.
Tantangan terkait teknis untuk mencapai smart grid yang baik,
antara lain meliputi
[3]:
a.
Smart Equipment yaitu semua peralatan lapangan yang
berbasis komputer atau
berbasis mikroprosesor.
b. Communication systems yaitu mengacu pada media
dan protokol komunikasi
yang dikembangkan saat ini, namun harus cukup fleksibel untuk
menampung
media baru yang akan datang sambil menjaga sistem tetap aman
dalam
interoperabilitas.
menyimpan, dan menyediakan data untuk pengguna dan
aplikasi-aplikasi.
5
d. Information and Data privacy merupakan hal yang
perlu diperhatikan dalam
sistem smart grid yang saling berhubungan secara
luas. Pengaturan tertentu
harus dilakukan untuk memastikan bahwa akses terhadap informasi
akan
berbeda-beda disesuaikan dengan status pengakses tersebut
karena berbagai
pemilik kepentingan memiliki hak informasi yang
berbeda-beda.
e.
elektronik dan sistem komunikasi dan layanan.
f.
analisis data yang diperoleh dari hasil
monitoring sistem distribusi.
Dengan adanya penerapan smart grid pada sistem
distribusi listrik dapat
meningkatkan efisiensi dan optimalisasi dari
management pendistribusian listrik.
Hasil monitoring dari kebutuhan penggunaan listrik di
wilayah tersebut dapat
dijadikan sebagai acuan untuk mengatur dan mengendalikan kapasitas
yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik konvensional skala besar. Jika
terdapat
kelebihan pasokan listrik dari kapasitas pembangkit listrik
tersebut, maka
kelebihan tersebut dapat disimpan pada energy storage. Smart
grid dapat
diterapkan pada sistem distribusi listrik yang memiliki multi
pembangkit listrik
sehingga jika salah satu pembangkit listrik konvensional skala
besar mengalami
gangguan yang berakibat pada menurunnya kapasitas listrik yang
dihasilkan,
maka wilayah yang dikover oleh pembangkit listrik yang bermasalah
tersebut
masih dapat memperoleh pasokan listrik dari energy
storage maupun pembangkit
listrik lain yang mengalami kelebihan pasokan listrik.
Selain itu, seiring dengan berkembangnya penggunaan pembangkit
listrik
mandiri, maka smart grid juga dapat
mengintegrasikan pembangkit listrik mandiri
dengan pembangkit listrik konvensional skala besar. Sebagai contoh
jika pada
suatu rumah terpasang pembangkit listrik mandiri berupa panel surya
dan juga
masih mendapatkan pasokan listrik dari pembangkit listrik
konvensional skala
besar berupa PLTG, maka dengan memanfaatkan advanced
metering
terdapat kondisi di mana perusahaan listrik yang bertanggung jawab
untuk
menjamin pasokan listrik di suatu wilayah mengalami defisit, maka
pengguna
yang memiliki cadangan pasokan listrik ataupun kelebihan kapasitas
dari
pembangkit listrik mandiri tersebut dapat menjual listriknya
kepada perusahaan
listrik tersebut sesuai dengan regulasi yang memang berlaku di
wilayah atau
negara tersebut.
architecture (SOA) yang diterapkan untuk menyediakan sumber daya
teknologi
informasi sebagai sebuah jasa layanan. Cloud
computing memungkinkan layanan
secara cepat dan elastis baik dalam skala besar maupun skala kecil
serta
konsumen yang menggunakan layanan tersebut sesuai dengan kebutuhan
dan
yang dibayar juga sesuai dengan sumber daya yang digunakan dalam
infrastuktur
cloud tersebut. Pada Gambar 3 menunjukkan taksonomi
dari teknologi cloud
computing .
National Institute of Standard and Technology (NIST)
menetapkan
setidaknya lima kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah sistem
untuk dapat
dikategorikan dalam kriteria cloud computing , di antaranya,
yaitu [4]:
a. On-demand self-service
langsung memesan sumber daya yang dibutuhkan, seperti kecepatan
prosessor
dan kapasitas penyimpanan melalui control panel elektronis yang
disediakan.
Jadi tidak perlu berinteraksi dengan personil customer
service jika ingin
menambah atau mengurangi sumber daya cloud yang
diperlukan.
b. Broadband Network Access
c. Resource pooling
dengan mekanisme multi-tenant yang memungkinkan sejumlah
sumber daya
tersebut digunakan secara bersama-sama oleh sejumlah
user .
d. Rapid elasticity
Elastis dan cepat tersedia, baik itu dalam bentuk penambahan
ataupun
pengurangan kapasitas yang diperlukan, seolah-olah kapasitas
yang tersedia
tak terbatas besarnya, dan dapat digunakan kapan saja dengan jumlah
berapa
saja.
Sumber daya cloud yang tersedia harus dapat diatur dan
dioptimasi
penggunaannya, jumlah sumber daya yang digunakan dapat secara
transparan
diukur.
beberapa teknologi inti meliputi [4]:
a. Web applications and services.
Software as a Service (SaaS) dan Platform as a
Service (Paas) tidak
dapat berjalan tanpa adanya teknologi web application dan web
service. SaaS
menawarkan jenis implementasi dalam web application dimana
PaaS
menyediakan pengembangan dan lingkungan runtime untuk web
application.
Teknologi ini mempunyai teknik virtualisasi yang sangat berat
karena
PaaS dan SaaS biasanya dibangun pada bagian untuk mendukung
IaaS,
sementara untuk kepentingan virtualisasi PaaS dan SaaS juga
harus
dikembangkan model layanannya.
Cryptography merupakan mekanisme untuk menjaga keamanan dari
cloud computing sehingga orang yang tidak mempunyai hak akses tidak
dapat
menggunakan infrastruktur cloud tersebut. Banyak keamanan cloud
computing
yang hanya dapat dipecahkan dengan menggunakan teknik
cryptography.
Berdasarkan penjelasan tentang teknologi cloud
computing tersebut, maka
cloud computing dapat mengembangkan kemampuan
smart grid sebagai berikut
[3]:
a.
mikroprosesor, termasuk controller , Remote Terminal
Unit (RTU), Intelligent
Electronic Devices (IED). Hal ini akan makin
teroptimalisasi dengan
penggunaan komputasi tersentralisasi.
Updating juga dapat dilakukan dengan
mudah dan upgrading pada satu cloud akan lebih ekonomis
karena di sini
tidak membutuhkan banyak pembaruan infrastruktur karena
infrastruktur
tersebut berbasis virtual. Sistem cloud computing akan
memfasilitasi sistem
keamanan sentral dan mengakomodasi pembaruan media di masa
depan
dengan kemudahan upgrade sistem.
management yang dimudahkan dengan pemusatan data di
cloud . Teknik dan
model data seperti data-warehousing dan data
mining sering diterapkan untuk
menangani sejumlah besar sinkronisasi dan rekonsiliasi yang
diperlukan
diantara database yang telah ada dan database yang baru muncul.
Cloud
computing juga terspesialisasi untuk menangani data
dalam skala besar.
Sehingga hal tersebut sangat memudahkan dan membantu pengolahan
data
pada sistem smart grid yang tergolong big
data.
Availability).
d.
Pembedaan akses informasi dalam sistem smart
grid dapat dimonitor dalam
satu cloud sehingga mendukung sistem keamanan dan
integritas data.
e. Salah satu evolusi pengembangan perangkat lunak yang
paling menonjol
adalah pergeseran dari peer-to-peer integration environment
menuju Services
Oriented Architecture (SOA). SOA dibangun diatas analisis
robust, simulasi,
dan infrastruktur manajemen data yang mampu mencakup seluruh fungsi
pada
titik-titik kerja smart grid .
smart grid menghubungkan operasi antar elemen interkoneksi,
mulai dari pusat
pembangkit listrik dan distribusi listrik melalui jaringan
transmisi tegangan tinggi
dan jaringan sistem distribusi, ke sisi industri dan sistem
pembangkit listrik
mandiri, ke instalasi penyimpanan energi, dan ke konsumen pemakai
terakhir.
Aliran informasi yang ditangani oleh smart grid
tergolong big data dan
memerlukan komputasi berbasis cloud untuk dapat mengoptimalkan
resource
yang ada.
mengimplementasikan sistem cloud computing dapat
mengoptimalkan
pengelolaan data management pada smart grid
tersebut. Mekanisme ini dapat
disebut dengan smart grid cyber physical system di mana
smart grid secara fisik
merupakan bagian inti dari sistem distribusi listrik yang juga
ditunjang dengan
Information And Communication Technology (ICT) berbasis
cloud computing .
Pada Gambar 5 menunjukkan smart grid cyber physical
system.
Gambar 5. Smart Grid Cyber Physical System [6]
Mengimplementasikan cloud computing dalam smart
grid adalah dengan
menginterkoneksikan komponen-komponen smart grid
ke dalam satu jaringan
komputasi. Setiap komponen tersebut kemudian berinteraksi dengan
saling
memberikan informasi mengenai tiap-tiap titik pengamatan, baik itu
pengamatan
dalam sistem pembangkitan listrik, distribusi, transmisi maupun
pembebanan di
pelanggan.
dan aplikasi smart grid , berikut ulasan mengenai
flexibilitas cloud computing
terhadap smart grid [3]:
a. Wide Area Situational Awareness yaitu sistem
sentralisasi pada cloud
computing dapat mendukung pemanduan yang
tersinkronisasi atas seluruh
informasi dan aplikasi yang beredar dalam smart grid .
Pemetaan dan
perluasan titik, terutama pada jalur distribusi dan
transmisi, dapat dilakukan
secara remote hanya dengan mengakses satu cloud .
b. Demand Response yaitu cloud
computing akan memudahkan pengendalian
pasar dalam hal ini adalah para pengguna akhir energi
listrik. Cloud
computing dapat dengan mudah mengumpulkan dan
membandingkan
informasi dari setiap titik dan mengubahnya menjadi sebuah model
standard
yang menjadi acuan dalam kontrol distribusi listrik.
c. Electricity Storage yaitu
web-based yang dimiliki cloud computing
dapat
membantu interkoneksi antar media penyimpanan. Cloud
computing juga
mampu memberikan model informasi penyimpanan dan penggunaan
listrik
berkat penggunaan real time monitoring dalam satu
cloud .
d. Distribution Grid Management yaitu
pengembangan Common Information
Model (CIM) dapat dilakukan di cloud
computing . Hal ini akan membantu
pengembangan lebih lanjut mengenai vendor hosting .
Vendor disini dapat
membantu dari sisi interoperability testing . Di lain sisi,
penggunaan cloud
computing mempunyai keunggulan dalam pengembangan dan
perluasan cloud
karena memiliki kemampuan skalabilitas yang tinggi sehingga
memudahkan
perluasan resource dan pengendalian dampaknya tanpa
mengganggu sistem
yang sudah ada.
Berdasarkan pembahasan terkait latar belakang masalah pada
bagian
pendahuluan dapat diperoleh dua isu utama yaitu isu
pengembangan Energi Baru
dan Terbarukan (EBT) sebagai pengganti sumber energi fosil yang
saat ini masih
digunakan pembangkit listrik di Indonesia dan isu terkait efisiensi
dan
optimalisasi management pendistribusian listrik di
Indonesia.
Dengan kondisi Indonesia yang dilimpahi dengan banyaknya
sumber
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) seperti energi surya, gelombang
air laut, dan
panas bumi maka sudah menjadi keharusan untuk mulai
memanfaatkan energi
tersebut dan bukan memandangnya sebagai energi alternatif. Karena
dapat
dipastikan EBT tersebut akan menggantikan keberadaan energi fosil
yang sudah
semakin menipis. Oleh karena itu, pengembangan dan pembangunan
pembangkit
listrik berbasis EBT harus segera dilakukan. Sebagai
konsekuensinya, keberadaan
pembangkit berbasis EBT menimbulkan variabel baru dalam
distribusi listrik.
Implementasi cloud computing pada sistem smart
grid dapat dikedepankan
sebagai solusi untuk dapat memonitor dan mengendalikan secara
simultan semua
variabel dari sisi pembangkit listrik berbasis EBT hingga ke sisi
pengguna. Smart
grid dapat diterapkan pada sistem distribusi
listrik yang memiliki multi
pembangkit listrik dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi
management
distribusi listrik. Sebagai contoh jika salah satu pembangkit
listrik konvensional
skala besar mengalami gangguan yang berakibat pada menurunnya
kapasitas
listrik yang dihasilkan, maka wilayah yang dikover oleh pembangkit
listrik yang
bermasalah tersebut masih dapat memperoleh pasokan listrik
dari energy storage
maupun pembangkit listrik lain yang mengalami kelebihan pasokan
listrik. Selain
itu, seiring dengan berkembangnya penggunaan pembangkit listrik
mandiri, maka
smart grid juga dapat mengintegrasikan pembangkit
listrik mandiri, seperti panel
surya dengan pembangkit listrik konvensional skala besar, seperti
PLTPB.
Dengan adanya implementasi cloud computing pada
smart grid maka
pengelolaan data management dari smart
grid yang tergolong kategori big data
dapat mengoptimalkan resource yang ada di
cloud dengan tetap memiliki tingkat
skalabilitas yang tinggi.
13
Referensi
[1] Peter Fox, Penner. 2010. Smart Power : Climate Change, the
Smart Grid,
and the Future of Electric Utilities. London: IslandsPress.
[2] Bryson, John. 2012. NIST Framework and Roadmap for Smart
Grid
Interoperability Standards, Release 2.0. National Institute
of Standards
and Technology.
[3] T.D. Atmaja, D.R. Saleh. 2011. Cloud Computing untuk
Mendukung
Aplikasi Smart Grid . Konferensi Teknologi Informasi dan
Komunikasi
untuk Indonesia, Bandung.
[4] N. Antonopoulos, L. Gillam. 2010. Cloud Computing: Principles,
Systems
and Applications. Springer London Dordrecht, New York
Heidelberg.
[5] Fred Baker, 2009. Collision of the Internet Architecture and
the Smart
Grid . Cisco Systems, Inc. Presentation_ID.
[6] Y. Simmhan, S. Aman, A. Kumbhare, R. Liu, S. Stevens, Q. Zhou,
V.
Prasanna. 2013. Cloud-Based Software Platform For Data-Driven
Smart
Grid Management . University of Southern California, Los
Angeles.