JURNAL ILMIAH
PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PEKERJAAN JALAN
DI KABUPATEN LOMBOK UTARA
(AnalisisPutusanMahkamahAgung RI No 121/K/PDT.Sus-KPPU/2014)
Oleh:
ANDRI PRATAMA
D1A.012.039
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PEKERJAAN JALAN
DI KABUPATEN LOMBOK UTARA
(AnalisisPutusanMahkamahAgung RI No 121/K/PDT.Sus-KPPU/2014)
NAMA :ANDRI PRATAMANIM : D1A012039
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAC
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat (8) menjelaskan bahwa persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelakuusaha yang bersekongkol. Persekongkolan tersebut dapat mencangkup berbagai kegiatan baik yang dilakukan secara vertikal maupun horizontal, ataupun secara keduanya. Adapun permasalahan yang akan dibahas yaitu bentuk persekongkolan yang terjadi dalam tender Pekerjaan Peningkatan Jalan di Dinas Pekerjaan Umum Pertambangan dan Energi Kabupaten Lombok Utara serta sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan tender. Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian hukum normatif. dari hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi indikasi persaingan usaha tidak sehat yang dalam hal ini adalah persekongkolan tender. persekongkolan yang terjadi adalah persekongkolan yang bersifat vertikal dan horizontal.
Kata kunci :Persekongkolan, Tender, Pekerjaanjalan
TENDER SECRETS IN WALKING JOBIN NORTH LOMBOK REGENCY(Analysis of Supreme Court Decision No 121 / K / PDT.Sus-KPPU / 2014)
ABSTRACT
In Law Number 5 of 1999 Article 1 Paragraph (8) explains that conspiracy or business conspiracy is a form of cooperation carried out by business actors with other business actors with the intention to control the relevant market for the benefit of conspiring business actors. The conspiracy can cover a variety of activities both vertically and horizontally, or both. The problems that will be discussed are the form of conspiracy that occurred in the Road Improvement Job tender at the North Lombok District Mining and Energy Service and the sanctions that could be imposed on business people who were proven to have carried out tender conspiracies. The research method used is a normative legal research method. from the results of the study indicate that there have been indications of unfair business competition which in this case is a tender conspiracy. conspiracies that occur are conspiracies that are vertical and horizontal.
Keywords: Conspiracy, Tender, Road works
i
I. PENDAHULUAN
Untuk menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat di Indonesia,
maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang ini
mengatur mengenai beberapa kegiatan yang dilarang antara lain kegiatan
monopoli, monopsoni, penguasaan pangsa pasar dan persekongkolan.
Ditinjau dari ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat diketahui unsur-unsur persekongkolan tender adalah :1. Adanya dua atau lebih pelaku usaha;2. Adanya persekongkolan;3. Terdapat tujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender
(MMPT); dan4. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Dari 4 (empat) unsur persekongkolan tender tersebut, ada satu unsur yang
harus dielaborasi untuk menentukan suatu tindakan atau perbuatan melanggar
pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu mengatur dan/atau
menetapkan pemenang tender (MMPT). Dibutuhkan sebuah indikator MMPT,
karena tanpa adanya indikator yang dapat dijadikan landasan dasar maka KPPU
akan kesulitan dan kebingungan dalam menentukan adanya persekongkolan
tender.1
Dalam putusan KPPU Nomor 10/KPPU-L/2011 disebutkan bahwa Panitia
Pengadaan Barang/Jasa pada kegiatan lingkup dinas pekerjaan umum
pertambangan dan energi kabupatan lombok utara tahun anggaran 2010, PT Surya
Karya Sari, PT Cipta Sinar Utama, PT Idee Murni Pratama, dan PT Aneka Jasa
Pembangunan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-
1http://suprapyoachmad.blogspot.co.id/2013/01/analisis-putusan-kppu.html, diakses pada tanggal 18 november 2016 pukul 12:00
ii
undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. berdasarkan latar belakang diatas; maka dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut : (1). Bagaimana bentuk persekongkolan
tender yang terjadi dalam pekerjaan peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum
pertambangan dan energi di Kabupaten Lombok Utara ? (2). Bagaimana sanksi
hukum bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan persekongkolan tender
dalam putusan perkara No. 121/K/pdt.Sus-KPPU/2014? Tujuan penelitian ini
adalah : a. Untuk menganalisis bentuk persekongkolan tender yang terjadi dalam
pekerjaan peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum pertambangan dan energi
di Kabupaten Lombok Utara, dan b. Untuk menganalisis bentuk sanksi hukum
bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan persekongkolan tender dalam
putusan perkara No. 121/K/pdt.Sus-KPPU/2014. manfaat penelitian ini yaitu : a.
manfaat akademis, b. manfaat teoritis, c. manfaat praktis.
Jenis penelitian dalam penyusunan Skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji norma-
norma yang berlaku meliputi undang-undang yang mempunyai relevansi dengan
permasalahan sebagai bahan hukum sumbernya2. Penelitian hukum ini juga
memerlukan bahan hukum yang berupa tulisan dari para ahli atau pihak yang
berwenang serta sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan
permasalahan yang diteliti. Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan adalah
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penalitian ini, Bahan
2SoerjonoSoekantodan Sri Mamudji, PenelitianHukumNormatif: Suatutinjauansingkat, (Jakarta : PT Raja GrapindoPersada, 2001), hlm 14
iii
hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini, artikel-artikel,
dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media
elektronik, dan Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum3. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan
melalui teknik studi pustaka (library research) dan melalui bantuan media
elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh bahan hukum dari sumber ini
penulis memadukan, mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dan artikel-
artikel yang berhubungan dengan judul penelitian Persekongkolan Tender Dalam
Peningkatan Pekerjaan Jalan di Kabupaten Lombok Utara (Analisis Putusan
Mahkamah Agung RI No 121/k/Pdt.Sus-Kppu/2014).
Metode analisis yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu dengan cara mengumpulkan bahan hukum primer, skunder dan
tesier yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, kemudian mengolah
dan menginterpretasi bahan hukum guna mendapatkan pemahaman dan simpulan
dari permasalahan yang diteliti serta memaparkan simpulan yang dalam hal ini
adalah simpulan kualitatif, yaitu simplan yang lebih menekan pada aspek
pemahaman dan dituangkan dakam bentuk penyataan dan tulisan.
3Ibid., hal. 118
iv
II. PEMBAHASAN
Bentuk Persekongkolan Tender Dalam Pekerjaan peningkatan jalan di
Kabupaten Lombok Utara
Dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi "Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat" menjelaskan bahwa tender merupkan tawaran untuk mengajukan harga, untuk memborong satu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Kegiatan persekongkolan menentukan pemenang tender jelas merupakan perbuatan curang, karena padadasarnya tender dan pemenangnya tidak diatur dan bersifat rahasia4.
Tender ( to put out contract ) adalah memborongkan pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau memborong pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh kedua belahpihak sebelum pekerjaan pemborongan itu dilakukan5. Sedangkan dalam memori penjelasan Pasal 22 Undang-Uandang No. 8 Tahun 1999, tender adalah tawaran mengajukan sebuah harga untuk memborong suatu pekerjaan, maupun untuk pengadaan barang-barang atau untuk menyediakan jasa-jasa tertentu. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka cakupan tawaran pengajuan harga dalam tender meliputi : (1) memborong/melaksanakan suatupekerjaan tertentu, (2) mengadakan barang dan atau jasa, (3) membeli barang dan atau jasa, serta (4) menjual barang dan atau jasa.
Dalam pelaksanaan penawaran tender, tujuan utama yang ingin dicapai
adalah memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar, sehingga
menghasilkan harga yang paling murah dengan output/keluaran yang optimal dan
berhasil guna. Diakui, bahwa harga murah bukanlah semata-mata ukuran untuk
menentukan kemenangan dalam pengadaan barang dan/atau jasa. Melaluai
mekanisme penawaran tender sedapat mungkin dihindarkan kesempatan untuk
melakukan konspirasi diantara para pesaing, atau antara penawar degan panitia
penyelenggara lelang.
4Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed), Persaingan usaha dan hukum yang mengaturnya di Indonesaia, Proyek ELIPS, Jakarta, 2000, hal. 122.
5Christopher Pass, et.al,. Colins Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, 1997, Hal. 54
v
Dengan demikian persekongkolan dalam tender merupakan suatu bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh dua atau lebih pelaku usaha dalam rangka
memenangkan peserta tender tertentu. Kegiatan persekongkolan/konspirasi dalam
tender ini dapat dilakukan oleh satu atau lebih peserta yang menyetujui satu pesrta
dengan harga yang lebih rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan
harga diatas harga perusahaan yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan
semacam ini bertentangan dengan proses pelelangan yang wajar, karana
penawaran umum diarancang untuk menciptakan keadilan dan menjamin
dihasilkannya harga yang murah dan paling efisien6.
Persekongkolan tender secara khusus diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang berbunyi :”bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender, sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat”.
Oleh karena itu yang dilarang dalam Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun
1999 adalah persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak lain dalam
penentuan pemenang tender, yakni melalui pengajuan untuk menawarkan harga
dalam memborong suatu pekerjaan atau juga pengajukan penawaran harga untuk
mengadakan barang dan jasa-jasa tertentu.
Dalam Pasal 22 Undng-Undang No. 5 Tahun 1999 juga dicantumkan
adanya pihak lain selain pelaku usaha dalam persekongkolan, dimana dalam
ketentuan Pasal 22 tersebut persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur,
yakni unsur pelaku usaha, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan
menentukan pemenang tender, serta persaingan usha tidak sehat.
6L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha (Surabaya : Laros, 2008), hal.198
vi
Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu
melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini
meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horizontal maupun vertikal dalam
proses penawaran tender. Berdasarkan keterlibatan pihak lain tersebut, maka ada 3
bentuk persekongkolan, yaitu7 :
Bentuk pertama adalah persekongkolan horizontal, yakni tindakan
kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan
agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar
informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam
krjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjian akan mendapatkan sub
kontraktor dari pihak yang menang atau dengan mendapatkan sejumlah uang
sebagai fee sesuai kesepakatan diantara para penawar tender.
Bentuk kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa
kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender.
Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas
persyaratan-persyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan
penawaran tersebut.
Bentuk ketiga adalah persekongkolan horizontal dan vertikal, yakni
persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan
jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia
barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang
7Ibid., hal.201
vii
terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia,
pemderi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup.
Unsur yang lain adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang
tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat
dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan
pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender
tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan pemenang tender
tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan tknik,
keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan den penentuan
pemenang tender dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal, artinya baik
dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.
Unsur terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya
”persaingan usaha tidak sehat”. Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan
menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat
“...sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan
lembaga pengawas persaingan usaha (seperti KPPU di Indonesia) untuk
mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya
suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan
tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan mengganggu peroses
persaingan8.
8Ibid., hal. 203
viii
apabila mengacu pada ketentuan Pasal 5 huruf e Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 “Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa mematuhi etika sebagai berikut : menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa”, Pasal 11 ayat 4 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 “Penyedia barang/jasa yang keikutsertaannya menimbulkan pertentangan kepentingan dilarang menjadi penyedia barang/jasa”, Pasal 3 huruf d Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 “pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip terbuka dan bersaing, artinya pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan. Atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut sangat jelas bahwa salah satu prinsip dasar dalam pengadaan barang/jasa adalah persaingan sehat antar peserta yang setara.
Dalam hal terdapat dua atau lebih peserta tender yang saling terafiliasi dan
mengikuti paket tende yang sama, tentu akan mengakibatakna peserta tender
tersebut menjadi memiliki posisi tawar atau kemampuan bersaing lebih tinggi
dibandingkan peserta tender yang lain karena memiliki kesempatan untuk
mengajukan dua atau lebih penawaran pada satu paket tender yang sama, selain
itu hal ini tentu akan menimbulkan pertentangn kepentingan (conflict of interest)
yang bertujuan untuk menguntungkan peserta tender tertentu atau kelompoknya
sehingga dapat merugikan peserta tender yang lain.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa adanya dugaan telah terjadinya
persekongkolan yang terjad antara para pihak, yaitu : a. Peserta tender dengan
peserta tender yang lain, b. Peserta tender dan panitia tender.
Jadi kasus ini merupakan perseongkolan horizontal dan persekongkolan vertikal.
ix
Bentuk Sanksi Hukum Bagi Para Pelaku Usaha yang Melakukan Kegiatan Persekongkolan Tender.
Untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999 (UU Antimonopoli)
dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5
Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi,
tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini
kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama
Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
Dengan demikian, penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha
berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada
lembaga lain yang berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan
usaha.Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi
wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sudah diatur lebih lanjut dalam Pasal 47 (sanksi administrative), Pasal 48 (sanksi pidana), dan Pasal 49 (sanksi pidana tambahan).
Penerapan Sanksi AdministrasiSalah satu kewenangan yang dimiliki oleh KPPU untuk mengambil
tindakan terhadap pelaku usaha yang telah melanggar Undang-Undang persaingan adalah menjatuhkan sanksi tindakan admistrative penjatuhan sanksi berupa tindakan administrative tersebut diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu :1. Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
2. Tindakan administrative sebagaimana yang dimaksut dalam ayat (1) dapat berupa :a. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksut dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16, dan/atau
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagai sebagaimana dimaksut dalam Pasal 14 (penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa penghentian integrasi
x
vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagaian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya); dan/atau
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbutkti menimbulkan praktik monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat (penjelasan pasal ini menyebutka bahwa yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan); dan/atau
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk mneghentikan penyalahgunaan posisi dominan ; dan/atau
e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilan saham sebagaimana dimaksut dalam pasal 28; dan/atau
f. Penetapan pembayaran ganti rugi (penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan); dan/atau
g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah)
Penerapan Sanksi PidanaPenerapan sanksi pidana dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999
dibagi dalam dua macam ketentuan pidana, yaitu ketentuan sanksi pidana pokok dan ketentuan sanksi pidana tambahan. Kedua ketentuan saksi pidana tersebut tidak bisa diterapkan oleh KPPU dalam putusan ketika ada pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, karena apabila pelaku usaha yang terkena sanksi dari KPPU mau menerima dan menjalankan isi dari putusan tersebut, maka kewenangan KPPU dalam menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan Undang-Undang persaingan hanyalah sebatas pada sanksi administrasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 36 huruf 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
Sanksi pidana akan dikenakan pada pelaku usaha apabila pelaku usah tersebut tidak menjalankan hasil putusan yang telah dikeluarkan oleh KPPU, dimana KPPU akan menyerahkan putusan tersebut keapada penyidik untuk dilakukan penyidikan, dan keputusan KPPU tersebut dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Pada tahap ini kewenangan berada pada pihak kepolisian sebagai penyidik, dengan memakai ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diatur didalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang melanggar Undang-undang No.5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
xi
Pidana Pokok, Pasal 48
1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampaidengan Pasal 14, Pasal 16 sampaidengan Pasal 19, Pasal 25,Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000 (seratus milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan;
2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan;
3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan.
Pidana TambahanDengan menunjuk ketentuan Pasal 10 kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :1) Perubahan izin usaha, atau2) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap Undnag-Undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, atau
3) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Dalam putusan KPPU sanksi yang dijatuhkan kepada terlapor I,II,III,IV, dan
V pada kegiatan lingkup dinas pekerjaan umum pertambangan dan energi
kabupaten lombok utara tahun anggaran 2010 adalah sanksi administratif. Dimana
terlapor I, panitia pengadaan barang/jasa, terlapor II, PT Surya Karya Sari,
terlapior III, PT CiptaSinarUtama, terlapor IV, PT IdeeMurniPratama, dan
terlapor V, PT Aneka Jasa Pembangunan terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar pasal 22 Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. PT Surya Karya Sari dan PT
xii
Cipta Sinar Utama dijatuhkan denda sebesar Rp. 200.000.000,- PT Idee Murni
Pratama dijatuhkan denda sebesar Rp. 350.000.000,- PT Aneka Jasa
Pembangunan denda sebesar Rp. 100.000.000,-. dan MA Menolak permohonan
kasasi dari para pemohon kasasi PT Surya Karya Sari, PT Cipta Sinar Utama, PT
Idee Murni Pratama, dan PT Aneka Jasa Pembangunan, dan menghukum
pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 500.000.00
xiii
III. PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas,
maka penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Bentuk
persekongkolan tender dalam Pengadaan Barang/Jasa pada kegiatan lingkup dinas
pekerjaan umum pertambangan dan energi kabupatan lombok utara tahun
anggaran 2010 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu telah
terjadi kasus persekongkolan yang sifatnya horizontal dan vertikal, 2) bentuk
sanksi terhadap para pihak yang terbukti melakukan persekongkolan tender
Pengadaan Barang/Jasa pada kegiatan lingkup dinas pekerjaan umum
pertambangan dan energi kabupatan lombok utara tahun anggaran 2010 adalah
sanksi administratif.;
SARAN
Saran yang adapat penyusun berikan sehubungan dengan penyusunan
skripsi ini adalah: 1) Persaingan usaha seharusnya dilakukan dengan jujur dan
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku sehingga tidak merugikan pihak
lain dan Perlunya peran ekstra dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU) dalam eksistensinya mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dalam menanggulangipermainan persekongkolan dalam tender terutama
yang terjadi di proyek pemerintahan. 2) Sanksi yang diberikan kepada para pelaku
usaha yang terbukti melakukan persekongkolan tender seharusnya dihukum sesuai
xiv
dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No 5 Tahun 1999 sehingga
timbulnya efek jera terhadap pelaku usaha yang melawan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Makalah, dan Artikel
Kagramanto,L. Budi. Mengenal Hukum Persaingan Usaha. Surabaya : Laros, 2008.
Pass, Christopher. Coliins Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga 1997.
Prayoga, Ayudha D. Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia.Jakarta : proyek ELIPS, 2000.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan singkat. Jakarta : Grapindo Persada, 2001.
Peraturan-peraturan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75)
Indonesia, Undang-undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817)
Indonesia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958)
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU.
Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah (tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 4330)
Internet
http://suprapyoachmad.blogspot.co.id/2013/01/analisis-putusan-kppu.html, (diakses pada tanggal 18 november 2016 pukul 12:00)