+ All Categories
Home > Documents > HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN POTENSI DAN … Reseaarch.pdf · 2018-07-16 · hubungan antara...

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN POTENSI DAN … Reseaarch.pdf · 2018-07-16 · hubungan antara...

Date post: 10-Mar-2019
Category:
Upload: trantu
View: 221 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
65
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN POTENSI DAN KECERDASAN PERFORMA STUDI EKSPLANATIF DALAM PERSPEKTIF TEORI MULTIPLE INTELLIGENCE DENGAN PENDEKATAN DERMATOGLYPHICS DAN BUDAYA Oleh: Efnie Indrianie Audifax 2012 SMART Center for Human Research and Psychological Development
Transcript

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN POTENSI DAN KECERDASAN PERFORMA

STUDI EKSPLANATIF DALAM PERSPEKTIF TEORI MULTIPLE INTELLIGENCE DENGAN PENDEKATAN DERMATOGLYPHICS DAN BUDAYA

Oleh:

Efnie Indrianie Audifax

2012

SMART Center for Human Research and Psychological Development

Abstrak

Kecerdasan Potensi merupakan salah satu faktor penting setiap individu. Kecerdasan Potensi dapat menjadi modal bagi berkembangnya Kecerdasan Performa jika mendapat dukungan dari lingkungan. Fingerprint analysis adalah salah satu metode mengenali Kecerdasan Potensi. Metode ini mendasarkan pada pola dan jumlah guratan sidik jari yang diasumsikan simetri dengan jumlah saraf di area-area otak, di mana area-area ini memiliki fungsi berbeda satu sama lain. Fungsi-fungsi otak ini kemudian ditranspose ke dalam komponen-komponen kecerdasan menurut teori Multiple Intelligences. Penelitian ini menguji keterkaitan komponen-komponen Kecerdasan Potensi dan komponen-komponen Kecerdasan Performanya. Hasil uji statistik menggunakan korelasi Pearson, menunjukkan bahwa lima komponen Kecerdasan Potensi memiliki keterkaitan dengan Kecerdasan Performa. Lima komponen tersebut adalah: Logika-Matematika, Logika-Bahasa, Musik, Kinestetik dan Intrapersonal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor budaya memiliki peran besar membentuk kecerdasan.

Kata kunci:

Kecerdasan Potensi, Kecerdasan Performa, Multiple Intelligences, Fingerprint, Lingkungan, Otak

B A B I P E NDA H U L UA N

A. LATAR

Potensi, adalah kata yang sering menjadi pembicaraan meski sangat abstrak dan bersifat laten. Ketika

seseorang ditanya potensi dirinya, maka banyak kemungkinan jawaban muncul karena ada sejumlah

sudut pandang untuk memahami potensi. Pengertian ‘Potensi’ makin kompleks ketika dikaitkan

dengan ‘kecerdasan’. Terutama, ketika kecerdasan diasumsikan bersifat bawaan dan bentukan serta

memiliki sejumlah komponen berbeda yang saling berkaitan. Di sini muncul sejumlah konsep dan

bentuk pengukuran untuk mengidentifikasi potensi dan bagaimana potensi itu terbentuk melalui

interaksi dengan lingkungan. Alasan ini membuat sebuah penelitian menjadi penting agar orang tak

terjebak dalam penjelasan-penjelasan spekulatif atas apa yang tak dipahaminya dengan benar.

Penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan memberikan eksplanasi ilmiah atas fenomena

Kecerdasan Potensi dan Kecerdasan Performa. Istilah Kecerdasan Potensi merujuk pada kecerdasan

yang bersifat bawaan (nature) sedangkan Kecerdasan Performa adalah kecerdasan yang tumbuh dari

hasil belajar dan interaksi dengan lingkungan (nurture). Persoalan nature-nurture, pada dekade awal

abad 21 mengemuka seiring meningkatnya penelitian mengenai otak dan sejumlah teori kecerdasan

yang muncul di dekade akhir abad 20, salah satunya adalah teori Multiple Intelligences, yang

dikemukakan oleh Howard Gardner, seorang profesor psikologi dari Harvard University.

Belakangan, teori Multiple Intelligences menjadi bagian dari salah satu fenomena nature-nurture

yaitu ketika muncul penggunaan fingerprint sebagai identifikasi konfigurasi saraf di bagian-bagian

otak. Seperti telah banyak diketahui, bahwa masing-masing bagian otak memiliki fungsi. Saraf di

bagian otak, menentukan pula kekuatan fungsional dari bagian otak tersebut. Konfigurasi saraf di

bagian-bagian otak ini, diasumsikan memiliki kesimetrian dengan bentuk dan jumlah guratan sidik

jari, sehingga dengan mengenali pola dan jumlah guratan sidik jari, dapat teridentifikasi pola

kekuatan fungsional yang ada di otak seseorang berdasarkan pertumbuhan saraf di bagian otak

tersebut. Pola berdasar pertumbuhan saraf di bagian otak ini yang kemudian fungsionalnya

ditranspose ke teori Multiple Intelligences.

Penelitian ini penting ketika banyak orang salah-kaprah memahami, terutama ketika

mengaitkan teori Multiple Intelligences dengan berkembangnya fingerprint sebagai metode

pengukuran. Multiple Intelligences dan metode pengukuran Fingerprint, adalah teori dan metode yang

–sama dengan teori serta metode lain—digunakan sebagai sarana pembantu dalam menjelaskan

sebuah fenomena. Dalam ilmu pengetahuan, sebuah teori diuji dalam keterkaitannya dengan konteks,

sedangkan metode diukur dari tingkat akurasinya. Apa itu konteks dan akurasi? Konteks adalah

seberapa suatu penjelasan dapat diletakkan sebagai dasar suatu masalah faktual tertentu, sedangkan

akurasi adalah kedekatan pola temuan dengan masalah faktual yang tengah dijelaskan.

Kesalahkaprahan memahami terjadi pada mereka yang pro maupun yang kontra, baik terhadap

teori Multiple Intelligences, maupun penggunaannya dalam metode pengukuran melalui fingerprints.

Beberapa cara berpikir yang salah antara lain: keyakinan berlebihan terhadap IQ atau General factors,

pemahaman yang campur-aduk antara fingerprints dan palmistry, pemahaman yang salah bahwa

masing-masing kecerdasan dalam Multiple Intelligences berdiri sendiri, dan sejumlah cara pandang

lain yang lebih dilandasi kekurangan dalam menguasai informasi dan pengetahuan. Kondisi ini

semakin menegaskan dibutuhkannya sebuah penelitian yang menjelaskan keterkaitan kecerdasan

potensi dan kecerdasan performa, dalam konteks teori Multiple Intelligences dan fingerprints sebagai

alat ukur.

Penulis memulai dengan kenyataan bahwa bagaimanapun, setiap orang lahir dengan potensi,

dan potensi tersebut jika dikelola dengan benar akan menjadi modalnya untuk survive dan

berkembang di kehidupannya. Permasalahannya, bagaimana mengidentifikasi potensi? Jika potensi

teridentifikasi, lantas bagaimana mencermati keterkaitannya terhadap perkembangan potensi

tersebut secara aktual? Itulah inti persoalan yang hendak didekati melalui teori Multiple Intelligences

dan metode Fingerprint Analysis. Penelitian ini bertujuan meletakkan teori Multiple Intelligences pada

konteks persoalan yang hendak dijelaskan. Melalui uji statistik, akan diketahui keterkaitan

Kecerdasan Potensi yang diidentifikasi melalui Fingerprint Test dan Kecerdasan Performa yang

diidentifikasi melalui inventory test. Keterkaitan yang nampak, akan menjawab banyak hal.

Hal paling mendasar yang menjadi asumsi dalam memahami Kecerdasan Potensi adalah: Tiap

manusia memiliki konfigurasi kemampuan otak berbeda. Kemampuan ini bersifat bawaan atau

herediter. Atas asumsi ini, seseorang menjadi lebih mudah menangkap dan mengolah ketika stimulus

hadir sesuai kekuatan pada konfigurasi kemampuan otaknya. Stimuli bisa berbentuk verbal, visual,

ritme, gerak atau lainnya. Potensi kecerdasan adalah modal bagi berkembangnya performa

kecerdasan, yang memengaruhi bagaimana individu survive di kehidupannya. Tak pelak, pengenalan

potensi kecerdasan menjadi aspek penting untuk mengenali hal yang bisa dikembangkan dari diri.

Pengenalan potensi kecerdasan adalah hal menarik dalam studi kognisi dan otak. Di Indonesia,

wacana ini mengemuka terutama setelah masuknya Fingerprint Analysis (FPA), sebuah metode

pengukuran Kecerdasan Potensi berbasis sidik jari, atau disebut juga Dermatoglyphics. Metode ini

bertujuan mengenali konfigurasi saraf di bagian-bagian otak, terutama yang berkaitan dengan fungsi-

fungsi pengolahan stimulus tertentu. Di Indonesia, sejumlah lembaga menyediakan jasa ini, antara

lain: Spectrum Sinergy Biometric, DPI Consulting, Primagama dan beberapa lagi.

Dalam metode fingerprint, terdapat asumsi bahwa pertumbuhan guratan sidik jari: jumlah dan

bentuknya, memiliki kesimetrian dengan sepuluh area otak berikut fungsinya. Metode fingerprint

yang beredar, umumnya menjelaskan fungsi-fungsi otak dengan cara men-transpose ke teori Multiple

Intelligence dari Howard Gardner. Mereka mencoba mentransformasi sepuluh fungsi otak ke dalam

penjelasan delapan kecerdasan teori Multiple Intelligence: Logika-Bahasa, Logika-Matematika,

Spasial-Visual, Musik, Kinestetik, Intrapersonal, Interpersonal dan Naturalistik. Hanya Kecerdasan

Eksistensial dalam teori Multiple Intelligence yang tidak bisa dideteksi sebagai Kecerdasan Potensi.

Secara asumsi ontologis, keputusan mentransformasikan konfigurasi otak ke dalam Multiple

Intelligence bisa dipahami. Gardner sendiri pernah menjelaskan kecerdasan yang bersifat bawaan,

yang diistilahkannya raw intelligence1. Artinya, setiap manusia memang memiliki semacam ‘bentuk

mentah’ kecerdasan, atau kecerdasan yang masih bersifat natur dan belum menjadi kultur. Bentuk

natur ini akan menjadi semacam modal bagi berkembangnya kapabilitas kecerdasan seseorang ketika

berinteraksi dengan kultur yang memberinya tempat berkembang. Jika mendapat dukungan secara

tepat, maka apa yang sifatnya natur tersebut akan menjadi modal berharga bagi individu untuk

survive di kehidupannya.

Penulis menyebut apa yang bersifat Natur tersebut sebagai Kecerdasan Potensi, yaitu semacam

modal dasar atau bawaan, yang kelak bisa tumbuh menjadi Kecerdasan Performa, atau kecerdasan

yang memang secara aktual berkembang dalam diri individu dan digunakan untuk survive di

kehidupannya. Pertanyaannya di sini, sejauh mana bisa dibuktikan bahwa Kecerdasan Potensi

memang menjadi modal utama bagi Kecerdasan Performa? Dan apakah fingerprint analysis, bisa

digunakan untuk mengidentifikasi Kecerdasan Potensi? Dua hal itulah sebenarnya yang menjadi

1 Howard Gardner; (1983); Frames of Mind – The Theory of Multiple Intelligences; New York: BasicBooks; hal. 302

perdebatan panjang dan memerlukan penelitian untuk menjawabnya, baik bagi mereka yang pro

maupun yang kontra.

Penggunaan Fingerprint sebagai sarana untuk mengidentifikasi kecerdasan potensi, menuai

kontroversi. Kritik terutama ditujukan pada dua hal: Pertama, soal kesahihan sebagai alat ukur.

Kedua, kalangan yang kurang setuju dengan konsep kecerdasan plural yang digagas Howard Gardner,

terutama kalangan pendukung teori General Factors untuk kemampuan mental. Namun, bagi penulis,

kritik tersebut merupakan jalan untuk menjelaskan lebih jauh mengenai Kecerdasan Potensi,

Kecerdasan Performa dan penggunaan fingerprint sebagai alat untuk mengidentifikasi Kecerdasan

Potensi dan keterkaitannya dengan Kecerdasan Performa.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian pada pengenalan Kecerdasan Potensi

menggunakan metode Fingerprint Analysis (FPA) dan Kecerdasan Performa menggunakan metode

kuesioner. Metode analisis yang penulis gunakan adalah pengujian statistik keterkaitan antara

Kecerdasan Potensi yang teridentifikasi melalui FPA dan Kecerdasan Performa yang teridentifikasi

melalui inventory test. Penelitian akan dilakukan pada populasi remaja SMA di salah satu sekolah

negeri di Bandung. Sebanyak 324 siswa kelas satu telah menjalani dua tes, yaitu tes kecerdasan

potensi menggunakan FPA dan tes kecerdasan performa menggunakan inventori tes. Sample populasi

kelas satu sengaja dipilih karena mereka telah cukup dewasa sehingga potensinya telah mengalami

interaksi dengan lingkungan dan berkembang menjadi performa. Selain itu, untuk siswa kelas satu

SMA belum memperoleh intervensi yang banyak dari sekolah seperti layaknya siswa kelas dua dan

kelas tiga. Sejumlah intervensi yang diberikan oleh pihak sekolah menengah atas biasanya bersifat

sangat spesifik dan cenderung mengembangkan ekstrakurikuler yang memang sudah menjadi tradisi

di sekolah untuk dikembangkan.

A.1. POSISI STUDI INI DI ANTARA STUDI LAIN

Peran penelitian ini adalah memberikan sebuah penjelasan ilmiah dalam rantai kausalitas. Hasil dari

FPA seringkali menjadi asumsi bagi modalitas kecerdasan yang dimiliki anak. Asumsinya, seorang

anak yang memiliki potensi kecerdasan tertentu, kecerdasan potensi musik misalnya, akan

berkembang kecerdasan performa musiknya jika mendapat stimulasi dari lingkungan. Dalam asumsi

semacam ini, ada kausalitas yang diandaikan ada. Kausalitas inilah yang perlu dibuktikan, apakah

memang Kecerdasan Potensi Musik memiliki hubungan kausal dengan Kecerdasan Performa Musik.

Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah menjawab sebuah ruang kosong dalam rantai

kausalitas keilmiahan FPA sebagai alat ukur kecerdasan yang sifatnya modalitas.

Ilmu pengetahuan, pada dasarnya bergerak dalam rantai kausalitas: A menyebabkan B, B

menyebabkan C, C menyebabkan D, dst. Begitu pula dalam pengenalan Kecerdasan Potensi. Di situ

terdapat rantai kausalitas. Kurang lebih, seperti inilah rantai kausalitas tersebut.

Dalam FPA hal yang belum terjawab adalah dua, yaitu Panah 1 dan Panah 3. Pada Panah 1, memang

ada beberapa studi penting, seperti studi mengenai bentuk-bentuk Fingerprint yang dilakukan

Francis Galton, juga temuan Roger Wolcoot Sperry mengenai hubungan antara belahan otak dengan

tangan, serta temuan Stanley Cohen dan Rita Levi mengenai hubungan antara NGF dan EGF. Namun,

ketiga penemuan tersebut belum bisa ditemukan keterkaitannya secara solid.

Sedangkan pada Panah 3, sejauh studi-studi yang telah kami pelajari, belum kami temukan studi

pada Kecerdasan Potensi hasil identifikasi FPA sebagai modalitas, dan buktinya bahwa modalitas

tersebut memang menjadi modal bagi perkembangan Kecerdasan Performa. Terutama, studi yang

dilakukan di Indonesia.

Di sinilah kemudian, Penulis memutuskan untuk meneliti hubungan pada Panah 3.

Pertimbangannya adalah, jika pada Panah 3 terbukti Kecerdasan Potensi bahwa hasil FPA memang

menjadi modal bagi perkembangan Kecerdasan Performa, maka persoalan pada Panah 1 bukan tidak

ada bukti atau penjelasan ilmiahnya, melainkan belum ditemukan bukti atau penjelasan ilmiahnya.

Selanjutnya adalah proporsi para ilmuwan dari neurologi untuk mencoba menjelaskan

keterkaitannya dari aspek neurosains.

Terdapat konfigurasi fungsi otak berdasarkan pertumbuhan saraf yang bisa diidentifikasi sebagai Kecerdasan Bawaan (Potensi)

Konfigurasi fungsi otak berdasarkan pertumbuhan saraf simetri dengan jumlah guratan dan bentuk sidik jari pada masing-

masing jari

Melalui FPA dapat diidentifikasi semacam Kecerdasan Potensi yang dapat menjadi modal bagi perkembangan Kecerdasan

Performa

Kecerdasan Potensi akan menjadi modal bagi perkembangan Kecerdasan Performa jika mendapat dukungan dari lingkungan,

1 2 3

A.2. STUDI-STUDI TERDAHULU

M Cesarik, dkk dari Department of Neurology, General District Hospital Croatia melakukan penelitian

berjudul Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence (1996). Temuan

penelitian ini menunjukkan bahwa ada faktor herediter yang teridentifikasi melalui fingerprint pada

orang-orang yang memiliki IQ superior. Mereka meneliti 35 laki-laki dan 35 perempuan dengan rata-

rata IQ 200. Dengan asumsi dermatoglyphic, bahwa pertumbuhan saraf di otak simetri dengan jumlah

guratan dan pola sidik jari, penelitian ini memberi gambaran bahwa orang-orang tertentu secara

herediter memang dilahirkan dengan potensi IQ yang sangat tinggi2.

Zhai Guijun dari Beijing Oriental KeAo Human Intelligence Potential Research Institute,

melakukan penelitian yang berjudul Report On Study Of Multivariate Intelligence Measurement

Through Dermatoglyphic Identification. Penelitian ini dipublikasikan 15 April 2006. Studi ini

membuktikan bahwa kecerdasan nampak sebagai suatu eksistensi fisiologis, yang ditentukan oleh

gen. Kecerdasan berarti kepintaran individu, kapabilitas potensi untuk belajar, serta kapabilitas

potensi bagi seseorang untuk mengenal, beradaptasi pada sesuatu dan mengubah lingkungan

eksternal objektif. Proses ini terdiri dari faktor kecerdasan seperti: kekuatan berpikir, memori,

persepsi, reaktivitas, dan kreativitas. Warisan genetik adalah penyebab internal untuk kecerdasan,

yang merupakan faktor penentu. Lingkungan yang mendukung pertumbuhan adalah penyebab

eksternal, yang dalam hal ini merupakan kondisi yang penting bagi pengembangan potensi

kecerdasan. Faktor-faktor ini berinteraksi satu sama lain dan sama pentingnya. Namun, warisan

genetik jelas menjadi dasar dan prakondisi yang memengaruhi perkembangan kecerdasan individu.

Penelitian ini membuat secara terlepas dimungkinkan untuk membuat pengukuran fisiologis pada 7

kemampuan mental primer, yang ditentukan oleh Thurstone dan 8 bentuk kecerdasan berbeda dari

teori kecerdasan yang ditemukan oleh Gardner. Kita sekarang dapat secara akurat mengukur

kemampuan semacam: pengolahan citra bahasa, pemikiran matematika abstrak, olahraga, musik,

seni, reaktivitas (kecepatan persepsi), introspeksi, dan kreativitas, serta banyak lagi3.

Ratih Ibrahim, Ayu Sadewo, Harez Posma Sinaga, dan Aenea Marella pada 2010 melakukan

penelitian berjudul ‘Analisa Sidik Jari dan Psikologi’. Pada penelitian tersebut ditemukan data

2 M. Cesarik, dkk; (1996); Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence; dalam Coll. Antropol 20; hal. 413-418

3 Zhai Guijun; (2006); Report On Study Of Multivariate Intelligence Measurement Through Dermatoglyphic Identification; retrieved 30 Mei 2011 pukul 13.46 WIB; online documents: http://www.zdzw.com/html/yulw.htm

deskriptif bahwa dari 610 sampel pengguna jasa fingerprint test, sebanyak 598 sampel menilai bahwa

fingerprint test dapat mengukur secara baik aspek-aspek Multiple Intelligence. Penelitian ini mencoba

mengeksplorasi lebih jauh validitas dan reliabilitas FPA dengan mengaitkan antara ridge count pada

masing-masing jari dengan Total Ridge Count. Korelasi dilakukan menggunakan Pearson Correlation.

Penelitian ini nampak menggunakan teknik uji-item klasik dan menemukan signifikansi yang tinggi

pada semua item (yang dalam hal ini adalah ridge count pada masing-masing jari)4.

Semua penelitian tersebut memiliki perannya masing-masing dalam menjelaskan fingerprint

sebagai bentuk pengukuran. Penelitian-penelitian tersebut juga memberikan sejumlah jawaban.

Beberapa hal yang terjawab melalui penelitian-penelitian tersebut adalah:

Penelitian M.Cesarik, dkk memberi penegasan bahwa pola sidik jari memiliki hubungan dengan kecerdasan, yang dalam hal ini adalah IQ.

Penelitian Zhai Guijun merupakan asumsi atas pengembangan alat ukur semacam FPT. Zhai

menemukan fungsi-fungsi otak, yang sangat mungkin ditransformasi ke dalam teori kecerdasan majemuk semacam yang dikembangkan oleh Howard Gardner, atau teori 7 kemampuan mental primer dari Thurstone.

Penelitian Ratih Ibrahim, dkk menjawab persoalan bahwa guratan pada kesepuluh jari

memiliki validitas konstruk. Artinya, pola guratan pada masing-masing jari memiliki keselarasan dan ‘mengukur’ sesuatu yang sama, yang dalam hal ini diasumsikan adalah fungsi-fungsi otak yang dikonstruksi dalam teori Multiple Intelligence.

Selain sejumlah hal yang telah terjawab tersebut, masih ada hal yang belum terjawab. Peneliti melihat

bahwa masih tersisa pertanyaan:

Apakah Kecerdasan Potensi merupakan modal bagi individu? Bagaimana peran lingkungan, khususnya orangtua sebagai pengasuh anak, dalam

mengembangkan Kecerdasan Potensi menjadi Kecerdasan Performa?

Data pada penelitian Ratih Ibrahim, dkk, bahwa 598 dari 610 sampel mengindikasikan adanya sebuah

hubungan antara komponen kecerdasan potensi dan aktualisasinya. Hanya saja, masih diperlukan

pengujian lebih lanjut karena data tersebut hanya merupakan respon dan bukan merupakan

pengujian. Namun, data tersebut merupakan sebuah awal bagi sebuah kemungkinan dalam

pengembangan pemahaman akan kecerdasan, khususnya Multiple Intelligences. Di sinilah penulis

merasa dapat mengambil peran dengan melakukan penelitian lanjutan yang menguji kesesuaian

4 Ratih Ibrahim, dkk; (2010); Analisa Sidik Jari dan Psikologi; makalah yang dipresentasikan pada Workshop Pra Konferensi Nasional 2 Ikatan Psikologi Klinis 4 Februari 2010 di Yogyakarta

antara komponen kecerdasan pada kecerdasan potensi dan hubungannya dengan komponen

kecerdasan pada kecerdasan performa.

Hasil penelitian ini akan menjadi sebuah pembuka bagi penelitian-penelitian lain yang bisa

dikembangkan di ranah Kecerdasan Potensi dan perkembangannya menjadi Kecerdasan Performa.

B. RUMUSAN MASALAH

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan:

Apakah komponen-komponen Kecerdasan Potensi memiliki hubungan dengan komponen-

komponen Kecerdasan Performanya?

Bagaimana peran lingkungan, dalam mengembangkan Kecerdasan Potensi menjadi

Kecerdasan Performa?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan

Memberikan jawaban atas perdebatan keterkaitan antara kecerdasan potensi yang

teridentifikasi melalui fingerprint analysis dan teori Multiple Intelligence, dengan kecerdasan

performanya

Memberikan penjelasan mengenai fingerprint test sebagai alat untuk mengenali kecerdasan

potensi, dan mendudukkan letaknya secara proporsional sebagai sebuah alat.

D. BATASAN MASALAH

Penelitian ini melihat keterkaitan antara Kecerdasan Potensi yang teridentifikasi melalui jumlah

guratan pola sidik jari dengan Kecerdasan Performa yang teridentifikasi melalui tes inventori.

Pembahasan teoritis mengenai kecerdasan yang digunakan adalah teori Multiple Intelligence dari

Howard Gardner, karena teori itulah yang banyak dijadikan dasar untuk pengukuran fingerprint

analysis.

E. MANFAAT PENELITIAN

E.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini memperkaya khazanah pemahaman dalam ranah kecerdasan. Hasil

penelitian ini akan menjadi dasar bagi munculnya teorema dalam memahami kecerdasan, utamanya

kecerdasan yang bersifat potensi dan berkaitan dengan otak, serta peran lingkungan serta budaya

dalam membentuknya.

E.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini akan menjadi dasar yang bisa dipertanggunjawabkan secara ontologis, epistemologis

dan aksiologis bagi fenomena fingeprint dan penerapan Multiple Intelligences. Melalui penelitian ini,

orang dapat memahami apa itu kecerdasan potensi, keterkaitannya dengan kecerdasan performa,

sehingga tidak salah-kaprah dalam memahami dan membuat treatment.

B A B I I K A JI A N T EO RI TI S

Salah satu tools penting dalam penelitian ini adalah Fingerprint Analysis (FPA). Memahami FPA

sebagai salah satu tools, berarti memahami di mana letak tools tersebut dalam dunia pengukuran.

Secara aksiologi, FPA termasuk jenis pengukuran biometri. Sedangkan secara ontologi termasuk

neurosains dan secara epistemologi termasuk ranah keilmuan dermatoglyphic. Secara umum bisa

digambarkan sebagai berikut:

Ontologi Epistemologi Aksiologi/Metodologi

Fingerprint Analysis

Neurosains dan Kecerdasan Dermatoglyphic Biometri Apa yang diukur sebenarnya adalah konfigurasi neuron di otak yang menjadi modal bagi berkembangnya kecerdasan

Perkembangan konfigurasi saraf di otak yang menjadi modal bagi berkembangnya kecerdasan, diindikasikan simetri dengan pola guratan pada sidik jari.

Pengukuran yang dilakukan adalah jenis pengukuran berbasis trait biologis

Penjelasan di atas menjadi titik pijak penelitian ini. Hal ini penting dipahami di awal, karena sering

terjadi pertanyaan salah-kaprah semacam: “Kalau orangnya tidak punya sidik jari, berarti tidak punya

kecerdasan?”. Tentu saja pertanyaan semacam itu mengesankan ketidakpahaman pengetahuan dan

logika yang sangat mendasar, karena sidik jari dan kecerdasan bukan hubungan sebab-akibat. Dalam

tabel di atas bisa dilihat, bahwa ontologinya adalah konfigurasi neuron di otak yang menjadi modal

bagi perkembangan kecerdasan, bukan sidik jarinya. Posisi sidik jari adalah penjelasan epistemologik

seiring temuan kesimetrian antara pertumbuhan saraf di bagian-bagian otak dengan guratan dan

jumlah sidik jari. Dalam ilmu pengetahuan, pengukuran semacam ini termasuk dalam ranah biometri.

A. NEUROSAINS DAN KECERDASAN

Neuroscience dan kecerdasan, adalah bidang yang menekankan pada studi mengenai berbagai faktor

neurologis yang mungkin bertanggung jawab untuk variasi kecerdasan dalam suatu spesies atau

antara spesies yang berbeda. Studi di bidang ini banyak berkaitan dengan variasi dalam kecerdasan

manusia, tetapi spesies lain yang cerdas seperti primata non-manusia dan Cetacea juga menjadi studi

yang menarik. Mekanisme yang mendasari kerja mereka adalah kenyataan bahwa masih kurangnya

pemahaman mengenai bagaimana otak menghasilkan fenomena kompleks seperti kesadaran dan

kecerdasan5.

Orang boleh saja mengatakan bahwa IQ atau Intelligences Quotient telah menjadi standar

pengukuran bertahun-tahun, namun itu tak membuat kenyataan bahwa kerja otak masih menyimpan

banyak hal yang tak terjelaskan. Dalam ilmu pengetahuan, lamanya sebuah pemikiran tidak secara

langsung mengatakan kesahihan pemikiran tersebut. Apalagi dalam ranah yang masih terbuka

kemungkinannya seperti kerja otak. Kemungkinan-kemungkinan penemuan baru masih terbuka

untuk ditemukan, terutama untuk menjawab hal-hal yang seringkali secara kurang akurat ditangkap

oleh IQ.

Kekurangakuratan IQ, terutama dalam mengukur kapasitas otak, dipersoalkan oleh Ian J. Deary

dari Edinburgh University, bersama koleganya Peter G. Caryl, dan Elizabeth J. Austin dari

Biomathematics and Statistics Scotland, menuliskan dalam Testing versus Understanding Human

Intelligence (2000), bahwa kapasitas psikometri sebagai alat ukur kecerdasan, yang diterjemahkan

dalam tes IQ pada dasarnya kurang memuaskan untuk mengukur kemampuan otak berdasarkan

fungsi-fungsinya6.

Mengingat kompleksitas dan kurang terpahaminya rantai peristiwa antara sebab (peristiwa di

otak) dan efek (respon terhadap item psikometri), maka perlu untuk dicari bukti bahwa proses

pengukuran yang dilakukan adalah bermakna. Seashore (1902) menekankan kebutuhan untuk

menemukan tes mental yang menjelaskan model fungsi mental dan pada saat yang sama

mempertahankan pengukuran psikometri sebagai pengukuran yang valid7.

Pada tahun 2009, sebuah penemuan semakin mengukuhkan apa yang dikatakan oleh Deary, dkk.

Ralph Adolphs, Professor Psikologi dan Neurosains serta professor biologi di Institut Teknologi

California (Caltech), serta Jan Gläscher, telah melakukan pemetaan otak yang paling komprehensif

saat ini, dan dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang diukur dengan Wechsler Adult Intelligence

5 Ian J. Deary, dkk; (2000); Testing Versus Understanding Human Intelligence; retrieved 20 Agustus 2011; online documents: http://homepages.ed.ac.uk/ijdeary/papers/PsychPubPol.pdf

6 Ian J. Deary, dkk; (2000); Testing Versus Understanding Human Intelligence; hal. 1-2; retrieved 20 Agustus 2011; online documents: http://homepages.ed.ac.uk/ijdeary/papers/PsychPubPol.pdf

7 Ian J. Deary, dkk; (2000); Testing Versus Understanding Human Intelligence; hal. 3; retrieved 20 Agustus 2011; online documents: http://homepages.ed.ac.uk/ijdeary/papers/PsychPubPol.pdf

Scale (WAIS), tes kecerdasan yang paling banyak digunakan di dunia. Hasilnya, menawarkan

wawasan baru. Wawasan ini merevisi pemikiran mengenai berbagai faktor yang menjadi ukuran skor

"kecerdasan quotient" (IQ), temuan Adoph, dkk menunjukkan bahwa kecerdasan bergantung pada

daerah-daerah tertentu dari otak8.

Penjelasannya demikian, Tes IQ adalah sebuah tes yang disusun berdasarkan konsep G Factor

dari Charles Spearman. Menurut Spearman, manusia memiliki dua kecerdasan, yaitu Specific

Intelligence dan General Intelligence. Specific Intelligence merujuk pada bagaimana seseorang mampu

menunjukkan kemampuan lebih ketika melaksanakan tugas tertentu. Sedangkan General Intelligence

merujuk pada sebuah rerata atau performa umum yang menjadi standar dari banyak orang.

G Factor mengasumsikan otak sebagai satu kemampuan, yang

meliputi penguasaan berbagai bidang tugas. Seperti diilustrasikan

Spearman dalam gambar lingkaran merah ini. Ada berbagai sub-

tes yang mengukur berbagai kemampuan, yaitu: visual, verbal,

abstract-reasoning problems, aritmetika, spatial imagery, reading,

vocabulary, memori atau general knowledge. Semua itu

diasumsikan mengukur sebuah kemampuan general yang terpisah

dari apa yang sifatnya fungsi spesifik dari otak. Artinya, kecerdasan

umum adalah kecerdasan yang berkaitan dengan keseluruhan fungsi otak dan menjadi ukuran level

kecerdasan seseorang.

Adolphs mengatakan bahwa jika asumsi selama ini adalah kecerdasan secara umum (g

intelligence) tidak tergantung hanya pada area otak tertentu, tapi dengan studinya pada keseluruhan

fungsi otak, justru bukan itu yang Adolph temukan. Faktanya, daerah tertentu dan koneksi yang

ditemukan, sejalan dengan teori kecerdasan yang disebut ‘parieto-frontal integration theory’. General

Intelligence tergantung pada kemampuan otak untuk mengintegrasi –menarik secara bersama –

berbagai hal terkait saat proses berlangsung, yang mirip dengan memanggil kembali apa yang sudah

ada dalam memori9.

Adolph melakukan percobaan pada 241 pasien neurologi yang direkrut dari University of Iowa.

Mereka adalah pasien yang mengalami luka pada bagian otak tertentu. Hasil penelitian menunjukkan

8 Anonim; Neuroscientists find brain system behind general intelligence; Retrieved 20 Agustus 2011; Online document: http://www.physorg.com/news186071954.html

9 Anonim; Neuroscientists find brain system behind general intelligence; Retrieved 20 Agustus 2011; Online document: http://www.physorg.com/news186071954.html

bahwa luka di korteks frontal kiri dikaitkan dengan nilai lebih rendah pada indeks pemahaman

verbal, luka di korteks frontal dan parietal kiri (terletak di belakang lobus frontalis) dikaitkan dengan

nilai lebih rendah pada indeks memori kerja, dan luka di korteks parietalis kanan dikaitkan dengan

nilai lebih rendah pada indeks persepsi organisasi.

Gambar di atas menunjukkan korelasi bagian otak dengan major domains dalam tes WAIS (verbal

comprehension (blue), perceptual organization (red), working memory (green), dan processing speed

(yellow). Penemuan ini menunjukkan bahwa bagian otak tertentu memiliki fungsi tertentu yang

memengaruhi performa kecerdasan. Rincian tentang struktur intelijensi yang diberikan oleh

penelitian ini dapat berguna untuk revisi masa depan tes WAIS sehingga berbagai subyek dapat

dikelompokkan berdasarkan kesamaan neuroanatomical bukan pada kesamaan perilaku, seperti

yang terjadi sekarang10.

Seperti dikatakan Adolph, bahwa penelitiannya mengonfirmasi lebih jauh teori parieto-frontal

integration (parieto-frontal integration theory) yang kerap disingkat P-FIT. Teori ini dibangun oleh

Rex E. Jung, dari Departments of Neurology and Psychology, University of New Mexico, dan The MIND

Research Network bersama Richard J. Haier dari University of California. Kedua peneliti ini

melakukan review pada 37 imaging study pada otak yang berkaitan dengan kecerdasan.

Gambar di atas adalah pemetaan berbagai studi dan hubungannya dengan bagian otak11.

Haier mengatakan bahwa studi neurosains terakhir mengarahkan pada pemahaman bahwa

kecerdasan berkaitan dengan bagaimana informasi secara baik dihantar ke bagian-bagian otak.

Review pada imaging study mengidentifikasi stasiun-stasiun yang menjadi rute informasi pada proses

kecerdasan yang sedang berlangsung. Jika kita tahu di mana letak stasiun-stasiun tersebut, kita bisa

melakukan studi bagaimana tempat-tempat itu berhubungan dengan kecerdasan12.

Haier dan Jung mengidentifikasi area-area yang diduga penting:

10 Retrieved 20 Agustus 2011 pukul 8.07 WIB; ;Online documents: http://www.sciencedaily.com/releases/2009/03/090311124020.htm

11 Rex E. Jung dan Richard J. Haier; (2007); The Parieto-Frontal Integration Theory (P-FIT) of intelligence: Converging neuroimaging evidence; dalam Behavioral and Brain Sciences (2007) 30, 135–187

12 Online documents: http://www.sciencedaily.com/releases/2007/09/070911092117.htm

Data yang ditemukan Haier dan Jung menunjukkan bahwa beberapa area otak berhubungan dengan

kecerdasan adalah juga area yang berhubungan dengan atensi dan memori serta fungsi yang lebih

kompleks seperti bahasa. Haier dan Jung mengatakan bahwa sangat mungkin ada integrasi fungsi

kognitif yang mengarahkan pada pemahaman bahwa level kecerdasan mungkin berbasis pada

seberapa efisien frontal-parietal memproses informasi.

Peer atau rekan seprofesi dari Haier dan Jung, yaitu Earl Hunt, psikolog dari University of

Washington menulis: “P-FIT model dari Jung dan Haier menunjukkan sebagai jauh progres untuk

memahami basis biologis dari kecerdasan. Dua puluh lima tahun lalu peneliti-peneliti di ranah ini

terlibat dalam diskusi mengenai relasi antara ukuran tengkorak dan skor tes intelejensi. Dengan

kemajuan dalam pengukuran otak dibanding abad lalu (Jung dan Haier) bisa melangkah lebih jauh

dan mengagumkan dalam meletakkan cara melihat perbedaan individual dalam kecerdasan mereka,

yang bergantung pada bagaimana individu memiliki perbedaan pada area tertentu di otak dan

koneksi antar area tersebut.” 13

Penelitian Haier, dkk serta Adolph, dkk, menunjukkan area tertentu otak memiliki keterkaitan

dengan fungsi tertentu, dan ketika fungsi tersebut bekerja, maka proses kerja tersebut akan terkait

dengan fungsi-fungsi lain sebagai pendukung dan memengaruhi bagaimana hasilnya. Tentu saja

sebagai suatu kesatuan organ, bagian-bagian otak tidak bekerja terpisah, namun penelitian ini

13 Brain Network Related To Intelligence Identified; Retrieved 25 Agustus 2011 pukul 11.07 WIB; Online documents: http://www.sciencedaily.com/releases/2007/09/070911092117.htm

menunjukkan pula bahwa bagian tertentu otak memiliki peran tertentu dalam penguasaan suatu

tugas.

Penelitian Adolph, dkk maupaun Haier dan Jung, membuka pemahaman baru bahwa otak

memiliki sejumlah fungsi yang berkaitan dengan area otak. Fungsi-fungsi ini memiliki kontribusi

berbeda sekaligus berhubungan satu sama lain, untuk membangun kecerdasan individu. Setiap

individu, memiliki konfigurasi berbeda, dan di situlah individu memiliki keunikan dalam

kecerdasannya. Artinya, selain ukuran yang bersifat umum, terdapat kekhasan di situ. Di situlah yang

menjadi dasar untuk memperhitungkan kesamaan neuroanatomikal, alih-alih kesamaan perilaku

sebagai ukuran kecerdasan.

Adanya peranan dari otak dalam menentukan kecerdasan memang tampak jelas dalam

penjelasan yang dikemukakan oleh Loveleena Rajeev dalam artikelnya “brain lobes and their

function”. Ia mengemukakan bahwa bahwa frontal lobe merupakan bagian yang mengatur dalam

proses berpikir dan hasil kerja dari bagian ini sangat berkaitan erat dengan kepribadian.

Kematangan fungsi bagian ini tercapai pada saat mencapai usia 25 tahun. Untuk parietal lobe

memiliki fungsi sebagai bagian yang mengintegrasikan berbagai informasi dari bagian tubuh dan

erat kaitan dengan fungsi kinestetik pada manusia. Hal ini tentunya menjadi dasar dalam

pelaksanaan atau eksekusi sesuatu. Bagian occipital lobe mengandalikan fungsi-fungsi yang

mengatur tentang fungsi visual pada manusia. Hal ini berkaitan erat dengan proses pengenalan

berbagai objek yang ada di lingkungan. Selanjutnya temporal lobe merupakan bagian dari otak yang

berfungsi untuk mengendalikan fungsi auditorik. Peranan dan kekuatan dari lobes tersebut

tentunya akan menghasilkan fungsi-fungsi yang spesifik pada kecerdasan manusia. Itulah yang

mendjadi dasar mengapa berkaitan dengan kecerdasan potensi itu sangat spesifik pada setiap

individu (www.buzzle.com/articles/lobes-of-the-brain-and-their-function.html)

Penelitian-penelitian ini yang penulis gunakan untuk mendasari konsep Kecerdasan Potensi dan

Kecerdasan Performa dalam penelitian ini. Studi-studi di atas menunjukkan bahwa otak dengan

bagian-bagian dan fungsinya adalah sebuah potensi. Layaknya potensi maka sifatnya laten.

Kemunculan potensi tersebut dalam kehidupan individu adalah sebuah performa atau aktualisasi dari

potensi. Tidak selalu sebuah potensi dapat teraktualkan, atau tak selalu sebuah potensi teraktualkan

dalam suatu cara yang sama. Bentukan lingkungan atau faktor nurture memiliki pengaruh bagi

aktualisasi potensi.

A.1. KECERDASAN POTENSI

Kecerdasan Potensi adalah kecerdasan yang sifatnya herediter atau dipengaruhi oleh genetik. Dengan

demikian, sifatnya adalah bawaan atau natur. Studi mengenai heritabilitas IQ, misalnya, merupakan

upaya menyingkap pentingnya genetik dan lingkungan bagi varian IQ di suatu populasi. Dalam

konteks ini ‘heritabilitas’ merujuk pada kontribusi genetik pada varian dalam suatu populasi dan

suatu lingkungan tertentu. Artinya, jika seseorang dianggap memiliki ‘kecerdasan bawaan’ yang

berhubungan dengan matematika misalnya, maka hal tersebut akan nampak sebagai salah satu

varian ekstrem pada suatu populasi atau lingkungan tertentu, meski mungkin sifatnya laten.

A.2. KECERDASAN PERFORMA

Kecerdasan Performa adalah bagaimana apa yang menjadi potensi berinteraksi dengan lingkungan

dan teraktualisasi atau berkembang menjadi performa individu. Secara neurologis, penjelasan akan

hal ini adalah asumsi bahwa saat bayi, koneksi neuron belum sepenuhnya terdiferensiasi. Neuron-

neuron membuat koneksi dengan neuron lain yang berdekatan, dan hal ini menjadi makin kompleks

dan makin idiosinkretik seiring anak tumbuh. Sampai, usia 16 ahun proses ini kemudian berhenti.

Inilah yang kemudian menjadi time frame bagi studi psikometrik mengenai G Factor atau general

factor dan kecerdasan. Faktor G inilah yang diukur oleh tes IQ. Asumsinya, IQ individu bergerak relatif

stabil setelah ia mencapai kematangan usia. Maka dari itu, pengembangan kemampuan intelektual

tertentu dari individu memerlukan dukungan stimulus lingkungan yang sesuai selama masa anak-

anak, sebelum memasuki fase akhir dalam adaptasi koneksi neuron.

A.3. FINGERPRINT ANALYSIS DAN FINGERPRINT TEST

Dalam pengembangan di Indonesia, terdapat dua jenis pengembangan fingerprint sebagai alat ukur.

Sejauh penulis mengalami, ada jenis Fingerprint Analysis (FPA) dan Fingerprint Test (FPT).

Perbedaannya terletak pada asumsi yang diletakkan atas hasil pengidentifikasian pertumbuhan saraf.

Pada FPT, terdapat asumsi ‘wadah’ di mana semakin banyak jumlah saraf di suatu area kecerdasan,

maka di situ akan semakin besar wadah untuk menyerap info atau stimulasi berkaitan dengan

kecerdasan tersebut, sehingga ukuran besar ‘wadah’ dijadikan ukuran superioritas suatu komponen

kecerdasan.

Pada FPA, justru diasumsikan terbalik. Semakin sebuah area memiliki saraf banyak dan mampu

menyerap banyak informasi, maka akan semakin lambat dan kompleks cara berpikirnya. Ini

memengaruhi kecepatan berpikir yang berkaitan dengan suatu komponen kecerdasan. Individu

menjadi memiliki banyak pertimbangan dan tak berpikir ‘lepas’ atau cepat. Ini membuat semakin

sedikit pertumbuhan saraf di suatu area, akan diasumsikan semakin kuat kecerdasan individu di area

tersebut.

Sejauh pengalaman penulis dalam menggunakan fingerprint analysis, provider yang

mengembangkan FPT adalah DPI Consulting dengan brand V-Genius, sedangkan provider yang

mengembangkan FPA adalah Psychometric Data Solutions dengan brand Talent Spectrums.

B. DERMATOGLYPHIC

Dermatoglyphics (berasal dari bahasa Yunani derma = kulit, glyph = guratan) adalah studi saintifik

yang membahas mengenai fingerprint. Istilah ini pertama digunakan oleh Dr. Harold Cummins, bapak

analisis fingerprint di Amerika. Identifikasi menggunakan fingerprint dalam berbagai bentuk dan

tujuan, telah digunakan selama ratusan tahun. Semua primata memiliki gurat-gurat alur pada

kulitnya, ini juga bisa ditemukan pada cakar sejumlah mamalia dan pada ekor sejumlah spesies

monyet. Pada manusia dan binatang para dermatoglyph menghadirkan jari, telapak, kuku dan telapak

kaki, sebagai sebuah cara pandang untuk memahami masa kritis pertumbuhan embrio ketika berusia

antara 4 – 5 bulan, yang seiring berkembangnya bentuk bangunan utama sistem organ tubuh.

Studi mengenai fingerprint sendiri memiliki sejarah panjang. Sebagian yang bisa penulis

hadirkan adalah:

Tahun Perkembangan 1684 Dr. Nehemiah Grew (1641 – 1712) mempresentasikan Finger Prints, Palms and Soles An

Introduction To Dermatoglyphics di hadapan Royal Society. 1685 Dr.Bidloo mempublikasikan sebuah peta anatomi, Anatomia Humani Corporis, dengan

ilustrasi-ilustrasi yang menunjukkan figur manusia baik dalam sikap hidup maupun sebagai membedah mayat.

1686 Dr.Marcello Malphigi (1628-1694) mencatat pada risalahnya; bentuk ridge, spirals dan loops pada fingerprint

1788 J.C.Mayer menjadi orang pertama yang menuliskan prinsip dasar analisis fingerprint dan menteorikan bahwa fingerprint adalah unik.

1823 Joannes Evangelista Purkinji, seorang fisikawan dan ahli biologi dari Republik Ceko, mulai mempelajari garis menonjol dan jelas pada kulit telapak manusia dan berusaha untuk mensistematisasi serta mencari hubungan antara apa yang tercetak di telapak tangan dan jenis manusia. Dr Jan Purkinje mengklasifikasikan garis papiler pada ujung jari ke dalam sembilan jenis, yaitu: arch, tented arch, ulna loop, radial loop, peacock’s eye/compound, spiral whorl, elliptical whorl, circular whorl, dan double loop/composite

1880 The Nature Journal memuat dua artikel yang ditulis oleh Profesor Henry Faulds dan Profesor WJ Herschel yang isinya merekomendasikan penggunaan sidik jari / Dermatoglyphics sebagai cara yang unik untuk mengidentifikasi dan menemukan perbedaan khas di antara umat manusia

Tahun Perkembangan 1892 Sir Francis Galton seorang antropolog Inggris dan sepupu Charles Darwin,

mempublikasikan bukunya yang berjudul “Fingerprints”, isinya membangun individualitas dan permanensi dari sidik jari. Buku ini termasuk sistem klasifikasi pertama untuk sidik jari.

1920 Elizabeth Wilson, profesor dari Columbia University membawa pada level penelitian ilmiah dan penerapan metode statistic

1926 Harold Cummins, M.D. yang juga dikenal sebagai Father of Dermatoglyphics, dan C.Midlo, MD memelajari semua aspek analisis sidik jari, dari antropologi sampai genetika dan perspektif embriologi.

1936 Dr. Harold Cummins & Dr Charles Midlo juga meneliti embrio-genesis pada pola ridge di kulit dan menetapkan bahwa pola sidik jari benar-benar berkembang saat individu berada dalam rahim dan sepenuhnya dibentuk ketika janin berada di bulan keempat.

1943 Terbitlah buku Finger Prints, Palms and Soles, sebuah kitab suci di bidang dermatoglyphics. Sejak saat itu, Dermatoglyphics resmi menjadi daerah penelitian profesional pengetahuan.

1944 Dr Julius Spier Psycho-Analytic Chirologist menerbitkan buku “The Hands of Children”. Ia membuat beberapa penemuan penting khususnya di bidang perkembangan psiko-seksual dan diagnosis ketidakseimbangan serta permasalah di area psiko-seksual berdasarkan pola di tangan.

1950 Di dunia operasi otak di Kanada, seorang profesor Banfill (Penfeild) menerbitkan “Body of all parts of the brain associated with the cross-section map“ yang menunjukkan dermatoglyphics – sidik jari memiliki kedekatan hubungan dengan otak.

1968 Sarah Holt, menerbitkan hasil kerjanya 'The Genetika Ridges Dermal', ia meringkas penelitiannya yang berkaitan dengan pola dermatoglyphics pada kedua jari-jari dan telapak di berbagai bangsa, baik normal dan sejak lahir menderita kelainan.

1969 John J. Mulvihill, MD dan David W. Smith, MD mempublikasikan The Genesis of Dermatoglyphics yang menunjukkan versi terbaru tentang bagaimana sidik jari terbentuk.

1970 Uni Soviet, menggunakan Dermatoglyphics dalam memilih kontestan untuk Olimpiade 1980 Cina melaksanakan pekerjaan meneliti potensi manusia, kecerdasan dan bakat dalam

perspektif dermatoglyphics dan human genome 1981 Profesor Roger W. Sperry dan mitra penelitiannya dianugerahi hadiah Nobel untuk

Biologi untuk kontribusi mereka terhadap penemuan fungsi otak kanan dan otak kiri serta teori dua sisi otak (dual brain theory). Penelitian yang berkaitan dengan otak memasuki puncaknya pada tahap ini. Sejak saat itu, bahkan hingga sekarang penemuan ini banyak digunakan oleh para ilmuwan dari berbagai bidang lain

1985 Dr Chen Yi Mou phd. dari Havard University melakukan penelitian Dermatoglyphics berdasarkan teori Multiple Intelligence dari Dr Howard Gardner. Ini penerapan pertama Dermatoglyphics untuk bidang pendidikan dan fisiologi otak

1986 Stanley Cohen dan Rita Levi-Montalcini menemukan keterkaitan antara Nerve Growth Factor (NGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF). Penemuan ini menjadi dasar kuat untuk keterkaitan antara pertumbuhan saraf di otak dan guratan sidik jari.

2000 Dr Stowens, Kepala Patologi di rumah sakit St Luke di New York, mengklaim dapat mendiagnosis schizophrenia dan leukemia dengan akurasi hingga 90%. Di Jerman, dalam laporannya, Dr Alexander Rodewald menunjukkan bahwa dia dapat menentukan banyak kelainan bawaan dengan akurasi 90%.

2004 IBMBS-Internasional Perilaku & Pengobatan Biometrics Masyarakat. Lebih dari 7000 laporan dan tesis dipublikasikan. Saat ini Amerika Serikat, Jepang atau Cina, Taiwan

Tahun Perkembangan menerapkan dermatoglyphics untuk bidang pendidikan, dengan harapan untuk meningkatkan kualitas mengajar dan meningkatkan efisiensi belajar dengan mengetahui gaya belajar yang beragam.

Studi mengenai fingerprint telah dimulai lebih dari 300 tahun dan terus berlangsung dengan temuan-

temuan yang progresif. Banyak penelitian dikembangkan, terutama sejak Stanley-Cohen dan Rita

Levi-Montalcini menemukan bahwa di antara sekian banyak Growth-Factor14

terdapat keterkaitan

antara Nerve Growth Factor dan Epidermal Growt Factor, atau keterkaitan antara pertumbuhan sel

saraf di otak dan pertumbuhan sel di kulit.

Temuan Cohen dan Levi-Montalcini ini yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan lebih

jauh argumen dalam fingerprint test sebagai alat ukur untuk mengenali pertumbuhan pola saraf di

otak individu. Proposisi lain yang digunakan memperkuat adalah temuan Roger Sperry mengenai

hubunga otak kanan dengan tangan kiri dan otak kiri dengan tangan kanan. Di sinilah kemudian

dibangun sebuah spekulasi yang menghasilkan alat ukur fingerprint. Masih ada rantai yang terputus

dalam penjelasan secara neurosains, namun temuan ini menunjukkan indikasi adanya hubungan

antara guratan di masing-masing jari dengan pertumbuhan saraf di bagian-bagian otak, serta

kontribusinya pada kapabilitas seseorang.

C. BIOMETRI

Biometri atau Biometrics (Yunani kuno: Bios, kehidupan dan Metros, pengukuran) adalah jenis

pengukuran statistik berbasis biologis. Pada perkembangannya, biometri meliputi studi mengenai

metode untuk mengenali keunikan manusia berdasar ciri fisik intrinsik atau ciri perilaku (behavioral

traits). Pengukuran berdasarkan fingerprint termasuk jenis pengukuran berbasis biometri. Dengan

14 Growth Factor adalah zat yang terjadi secara alami dan mampu menstimulasi pertumbuhan sel, melakukan proliferasi dan diferensiasi sel. Biasanya, merupakan suatu protein atau hormon steroid. Growth Factor penting untuk mengatur berbagai proses seluler. Contoh Growth Factor antara lain: Bone morphogenetic proteins (BMPs), Brain-derived neurotrophic factor (BDNF), Epidermal growth factor (EGF), Erythropoietin (EPO), Fibroblast growth factor (FGF), Glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF), Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), Granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Growth differentiation factor-9 (GDF9), Hepatocyte growth factor (HGF), Hepatoma-derived growth factor (HDGF), Insulin-like growth factor (IGF), Migration-stimulating factor, Myostatin (GDF-8), Nerve growth factor (NGF) dan bentuk neurotrophins lain, Platelet-derived growth factor (PDGF), Thrombopoietin (TPO), Transforming growth factor alpha(TGF-α), Transforming growth factor beta(TGF-β), Tumor_necrosis_factor-alpha(TNF-α), Vascular endothelial growth factor (VEGF), Wnt Signaling Pathway, placental growth factor (PlGF), dan masih banyak lagi.

demikian, fingerprint berbeda dengan jenis pengukuran psikologi pada umumnya yang termasuk

dalam psikometri atau psychophysical method.

Dalam buku Biometrika (1901) yang ditulis oleh W.F.R. Weldon dan Karl Pearson, di tahun 1901,

dengan Galton sebagai editor konsultan, dijelaskan bahwa biometri adalah studi statistik problem

biologis. Galton, dalam pengantar menambahkan bahwa objek primer biometri adalah untuk

membuat suatu perhitungan sehingga suatu materi menjadi cukup eksak untuk menyingkap

perubahan yang baru mulai dalam evolusi yang akan nampak terlalu kecil bagi bentuk tampilan lain.

Lebih jauh kita bisa melihat di mana letak fingerprints dalam klasifikasi biometrik. Secara umum

biometrik bisa dipilah menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:

Klasifikasi Pertama, Biometrik yang secara fisiologis berhubungan dengan bentuk tubuh. Dalam klasifikasi ini, trait yang paling lama digunakan, lebih dari 100 tahun, adalah fingerprints. Trait lain adalah rekognisi wajah, garis tangan dan rekognisi selaput mata (iris).

Perkembangan terakhir, ada trend baru dalam mengombinasikan persepsi ke dalam database komputer, yaitu mesin pengenalan wajah. Pendekatan ini merujuk pada biometrik yang bersifat kognisi. Biometrik kognisi memiliki kemiripan dengan psychophysical method karena berdasar pada respon otak terhadap stimuli yang menjadi penggerak pencarian database di komputer.

Klasifikasi Kedua, biometrik yang berkaitan dengan perilaku individu. Karakteristik yang paling lama digunakan, dan masih secara luas digunakan hingga hari ini, adalah tanda tangan. Sedangkan pendekatan lain yang mulai bermunculan di klasifikasi ini, di antaranya: suara.

Suara dikategorikan trait fisiologis karena tiap orang memiliki perbedaan titinada. Rekognisi suara terutama didasarkan pada studi bagaimana cara orang berbicara, yang secara umum diklasifikasikan sebagai behavioral. Strategi biometrik lain, baik yang ada pada klasifikasi pertama maupun kedua, antara lain, retina, pembuluh di tangan, kanal telinga, facial thermogram, DNA, bau dan rajah tangan

Melalui penjelasan di atas, maka bisa dibangun pemahaman bahwa fingerprint test termasuk ranah

biometri klasifikasi pertama, dan bukan psikofisik. Beberapa orang, kerap salah memahami hal

mendasar ini dan menganggap bahwa fingerprint test termasuk ranah psikofisik.

C.1. PERBANDINGAN ANTAR JENIS PENGUKURAN DALAM BIOMETRI

Dengan banyaknya hal yang bisa diukur melalui biometri, lalu, bagaimana perbandingannya satu

dengan yang lain? A.K. Jain, Arun Ross dan Salil Prabhakar, mengungkapkan ada sejumlah parameter

yang bisa kita gunakan untuk memahami perbandingan antara satu bentuk pengukuran biometri

dengan bentuk pengukuran biometri yang lain. Parameter tersebut adalah:

Universalitas : Setiap orang semestinya memiliki sebagai karakteristiknya

Keunikan : Seberapa baik membedakan antara satu orang dengan orang lain.

Permanensi : Seberapa baik memiliki ketahanan terhadap perubahan

Collectability : Kemudahan diambil datanya untuk diukur.

Performance : Akurasi, kecepatan, dan seberapa meyakinkan teknologi yang digunakan

Acceptability : Derajat kesepakatan masyarakat terhadap teknologi yang digunakan.

Circumvention : Seberapa mudah dicari substitusinya.

A.K. Jain, dkk merangking masing-masing bentuk pengukuran biometric ke dalam kategori yang

ditandai dengan Low (L), Medium (M) dan High (H). Ranking Low mengindikasikan performa buruk

dalam kriteria parameter tersebut, sedangkan ranking High menunjukkan performa yang baik.

Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan sejumlah sistem biometrik berikut parameternya.

Comparison of various biometric technologies,

modified from Jain et al., 2004

(H=High, M=Medium, L=Low)

Biometrics:

Universality

Uniqueness

Permanence

Collectability

Performance

Acceptability

Circumvention*

DNA H H H L H L L Retinal scan H H M L H L H Iris H H H M H L H Face H L M H L H L Odor H H H L L M L Facial thermograph H H L H M H H Signature L L L H L H L Keystrokes L L L M L M M Fingerprint M H H M H M H Gait M L L H L H M Voice M L L M L H L Hand geometry M M M H M M M Ear Canal M M H M M H M

Comparison of various biometric technologies,

modified from Jain et al., 2004

(H=High, M=Medium, L=Low)

Biometrics:

Universality

Uniqueness

Permanence

Collectability

Performance

Acceptability

Circumvention*

Hand veins M M M M M M H

* pada circumventability, rangking ‘high’ justru menunjukkan bahwa biometric tersebut sulit dicari substitusinya.

Melalui tabel tersebut, kita bisa memahami posisi fingerprint dibanding bentuk pengukuran biometri

lain, serta apa yang menjadi kekuatan dari fingerprint berdasarkan lima parameter yang

dikemukanan A.K. Jain, dkk. Terlihat bahwa fingerprint tidak memiliki ranking ‘Low’ sama sekali,

namun ‘Medium’ pada Universality dan Collectability.

D. MULTIPLE INTELLIGENCE

Dalam fenomena fingerprint, teori Multiple Intelligences adalah teori yang cukup populer digunakan.

Perlu dipahami bahwa peran teori di sini adalah menjelaskan fungsi-fungsi otak yang teridentifikasi

melalui fingerprint test. Pembuat fingerprint test mentranspose fungsi-fungsi otak (yang

teridentifikasi dari 10 area yang simetri dengan sepuluh jari di kedua tangan) ke delapan komponen

teori Multiple Intelligences. Umumnya, kecerdasan kesembilan yaitu Kecerdasan Eksistensial

dinyatakan tidak tertangkap. Namun, ada provider luar negeri, yang memasukkan Kecerdasan

Eksistensial ke dalam tes fingerprint. Provider lain juga ada yang memilih teori selain MI, seperti

salah satu provider yang memilih mentranspose ke teori DISC. Beberapa, ada juga yang mentranspose

ke teori kepribadian. Itu semua adalah pilihan teoritis untuk membahas sebuah penemuan.

Multiple Intelligences adalah sebuah konsep kecerdasan yang dikemukakan oleh Howard

Gardner. Seperti dikemukakannya dalam buku Frames of Mind bahwa Multiple Intelligences berangkat

dari kenyataan bahwa semestinya ada sebuah kecerdasan yang lebih dari sekedar memprediksi

sukses akademis, dan seharusnya ada cara yang lebih baik dalam mengidentifikasi kapabilitas

individual15. Di sinilah Gardner, kemudian mengidentifikasi ada setidaknya sembilan kecerdasan yang

cukup menonjol yang dimiliki manusia. Kesembilan kecerdasan tersebut adalah:

Kecerdasan

Deskripsi

Logika Matematika

Abstrak

Berpikir, menghitung, mengorganisasikan; cenderung merujuk pada struktur logika

Logika Bahasa

Sensitif pada bahasa, pemaknaan, dan hal yang

berkaitan dengan kata.

Spasial

Observer, mampu berpikir tiga dimensi, suka

menggunakan metafor

Kinestetik

Bagus dalam mengendalikan tubuhnya dan

memiliki ketrampilan motorik yang baik. Sering bergerak atau menggerakkan tubuhnya, bisa

hanya bagian tertentu. Aktif.

Musik

Sensitif pada ritme, pitch, intonasi. Dengan mudah mampu mengingat tune serta ritme.

Interpersonal

Sensitif dengan mood, perasaan dan motivasi orang lain; interaktif dan mudah diajak terlibat

15 Howard Gardner; (1983); Frames of Minds – The Theory of Multiple Intelligences; Tenth-anniversary edition; New York: Basic Books; hal. 4

Kecerdasan

Deskripsi

Intrapersonal

Memiliki kepekaan akan diri, mampu untuk

memahami dan mengakses perasaan yang ada dalam dirinya

Naturalistik

Sensitif pada alam dan lingkungan; cepat

memahami nama batu-batuan, bunga-bunga, burung. Menyukai kegiatan outdoor

Eksistensial

ketertarikan pada konteks dari mana asal mula manusia di dalam gambaran besar tentang

eksistensi hidup; dalam pencetusan pertanyaan-pertanyaan filosofis, seperti: mengapa manusia

berada di bumi, apa peran manusia di dunia dan sebagainya; juga dalam menghargai diri sendiri

sebagai entitas yang sangat bermartabat.

Multiple Intelligences, umumnya dipilih menjadi teori yang menjelaskan hasil fingerprint analysis

karena keluasan pembahasan mengenai kapabilitas dan caranya dalam melihat kecerdasan yang tak

semata Logika-Matematika dan Logika-Bahasa seperti dalam tes IQ. Komponen-komponen

kecerdasan dalam Multiple Intelligences juga memiliki banyak kemiripan dengan fungsi-fungsi pada

sejumlah area otak. Ketika muncul penemuan bahwa guratan di kesepuluh jari memiliki kesimetrian

dengan pertumbuhan syaraf di sepuluh area otak, maka di situlah MI dipakai untuk pendekatan

teoritis. Tujuannya lebih ke pengenalan bakat atau kapasitas inborn individu. Ketika kapasitas ini

dikenali di usia yang dini, maka akan bisa diperhitungkan bagaimana mengembangkannya sehingga

kemudian menjadi modal bagi individu bersangkutan untuk survive di kehidupannya.

Barbara K. Given, dalam buku ‘Brain Based Teaching’, Menjelaskan bahwa Multiple Intelligences

dan beberapa pendekatan gaya belajar berada di bawah payung sistem pembelajaran alamiah otak.

Given menjelaskan dalam tabel berikut:16

Tabel. Sistem Pembelajaran Alamiah Otak, Multiple Intelligences dan Wilayah Belajar.

16 Barbara K. Given; (2007); Brain-Based Teaching; saduran Lala Herawati Dharma; Bandung: Kaifa; hal. 71

Tiga Teori Fungsi Kognitif

Perbandingan Antara Sistem Otak, Multiple Intelligences dan Gaya Belajar

Sistem Pembelajaran Alamiah

Otak

Multiple Intelligences (Gardner) Wilayah Belajar (Dunn & Dunn)

Emosional Intrapersonal Emosional

Sosial Interpersonal Sosial

Kognitif Linguistik Psikologis

Matematika

Musik

Spasial-Visual Fisik

Fisik Kinestetik

Reflektif Natural Lingkungan

Lihat: Howard Gardner; (1983); Frames of Minds, New York, Basic Books

Dunn & Dunn, (1993); Teaching Secondary Students through Their Individual Learning Styles; Boston:

Allyn and Bacon

Multiple Intelligences dan beragam gaya belajar merupakan cara pandang relatif baru terhadap

kerumitan faktor mental yang memengaruhi pembelajaran. Namun, pandangan ini merupakan salah

satu bentuk cermatan bahwa kecerdasan tak dapat diletakkan dalam pandangan sebuah perspektif

tunggal atau general semacam IQ. Sebelumnya, J.P. Guilford (1967) mengidentifikasi 120 ciri atau

mode pemikiran sehingga ia juga mengelompokkannya menjadi operasi (operations), isi (content) dan

produk (product). Operasi mencakup kognisi, memori, evaluasi, produk konvergen, dan produk

divergen; faktor isi mencakup perilaku, visual-figural, auditori-figural, simbolik dan semantik; dan ciri

produk mencakup apa yang oleh Guilford disebut unit, kelas, hubungan, sistem, perubahan, dan

implikasi17

.

Multiple Intelligences dari Gardner sebenarnya memiliki banyak kemiripan dengan apa yang

telah dieksplorasi oleh Guilford sebelumnya. Kesamaan lain, baik pemikiran Gardner dan Guilford

mendapat tentangan keras dari penganut G-Factor. Kesamaan antara Gardner dan Guilford ini pada

dasarnya memiliki keterkaitan dengan aspek neurologis pada otak yang membedakan individu satu

dengan lain, seperti diungkapkan oleh Perkins (1995):

17 Barbara K. Given; (2007); Brain-Based Teaching; saduran Lala Herawati Dharma; Bandung: Kaifa Given; hal. 74

Gardner…percaya bahwa kecerdasan majemuk yang diusulkannya sebagian mencerminkan faktor-faktor neurologis yang mendasarinya. Kedua, beberapa kecerdasan Gardner tidak begitu berbeda dengan dimensi isi kecerdasan Guilford. Khususnya, kecerdasan figural Guilford (piktorial dan spasial) serupa dengan kecerdasan spasial Gardner; kecerdasan simbolik Guilford (angka dan notasi) adalah kecerdasan logika-matematik Gardner; dan kecerdasan semantik Guilford (kata-kata dan gagasan) adalah kecerdasan linguistik Gardner.

Selain persamaan, ada pula perbedaan. Kalau Guilford mendasarkan ciri kecerdasannya pada analisis

faktor statistik, Gardner (1985) menyatakan bahwa “kecerdasan kandidat” dalam modelnya “lebih

menyerupai pertimbangan artistik ketimbang penaksiran ilmiah”. Dengan demikian, kecerdasan

tambahan sebanyak apapun bisa dimasukkan ke dalam model Gardner. Apa yang mendasari

pemikiran Gardner adalah kenyataan bahwa tidak ada dan tak akan pernah ada, daftar kecerdasan

manusia yang tak terbantahkan dan diterima secara universal18

.

Poin pentingnya di sini adalah munculnya pemahaman psikologi yang tidak memaksakan

menerapkan sebuah standar tunggal untuk kecerdasan untuk menilai kapabilitas individu. Cara

pandang inilah yang membuat Multiple-Intelligences kemudian banyak diterima dan diterapkan di

pendidikan. Dalam konteks fingerprint test, konsep Multiple Intelligences memudahkan untuk

memahami area-area potensi individu yang mendukung kapabilitasnya untuk survive di

kehidupannya. Pengidentifikasian area-area potensi ini, diharapkan mempermudah untuk mengenali

apa yang dapat dikembangkan lebih jauh pada diri seseorang.

18 Barbara K. Given; (2007); Brain-Based Teaching; saduran Lala Herawati Dharma; Bandung: Kaifa Given; hal. 74

E. DESAIN PENELITIAN

Berdasarkan atas asumsi teoritis mengenai fingerprints test dan teori Multiple Intelligences, maka

penulis merancang penelitian yang bisa digambarkan secara ringkas dalam gambar berikut:

Desain penelitian ini penulis rancang untuk melihat korelasi atau hubungan antara Kecerdasan

Potensi yang diidentifikasi melalui fingerprint dan Kecerdasan Performa yang diidentifikasi melalui

tes inventory. Penelitian yang meneliti hubungan keduanya dianggap perlu karena masih menjadi

ruang kosong yang belum ada pada penelitian-penelitian sebelumnya. Terisinya ruang kosong ini,

dapat menjadi kelanjutan studi, baik mengenai fingerprint sebagai alat pengukuran maupun teori

Multiple Intelligences.

F. HUBUNGAN ANTAR VARIABEL

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam proses perkembangan, lingkungan memiliki

pengaruh. Sementara penelitian lain menunjukkan bahwa faktor herediter memengaruhi

perkembangan individu. Penelitian-penelitian tersebut dapat penulis jadikan dasar untuk menguji

hubungan antara Kecerdasan Potensi dan Kecerdasan Performa. Artinya, Kecerdasan Potensi sangat

mungkin berkembang menjadi Kecerdasan Performa.

Penelitian yang dilakukan Junita Anna, dkk pada tahun 2003 menunjukkan bahwa bentuk relasi

orangtua – anak mendukung berkembangnya Kecerdasan Emosional. Dengan teknik statistik analisis

faktor, dihasilkan empat jenis relasi orangtua-anak, yaitu: Equal Relationship, Supportive Parent,

Dominant Parent, Distant Relationship. Lalu, keempat pola relasi tersebut diukur pengaruhnya

terhadap perkembangan Kecerdasan Emosional.

Hasilnya, anak yang memiliki pola hubungan interpersonal Equal Relationship cenderung

memiliki kecerdasan emosional yang paling tinggi. Anak dengan pola hubungan interpersonal.

Supportive Parent cenderung memiliki kecerdasan emosional rata-rata. Anak dengan pola hubungan

interpersonal Dominant Parent cenderung memiliki kecerdasan emosional rata-rata (lebih rendah

Apakah tumbuh menjadi… Kecerdasan

Performa

Kecerdasan Potensi

sedikit dibanding Supportive Parent). Sedangkan anak dengan pola hubungan interpersonal Distant

Relationship cenderung memiliki kecerdasan emosional paling rendah.19

Penelitian Junita dkk, menunjukkan bahwa sebuah kecerdasan performa, dalam hal ini

Kecerdasan Emosional (yang dalam konsep Gardner simetri dengan Kecerdasan Intrapersonal dan

Interpersonal) pembentukannya dipengaruhi relasi anak terhadap orang tuanya. Penelitian ini

memberikan sebuah asumsi penting berkaitan dengan peran pengasuhan terhadap perkembangan

kecerdasan anak. Lingkungan yang dekat dengan anak, memengaruhi perkembangan kecerdasannya.

Penelitian lain menunjukkan keterkaitan antara faktor herediter serta bagaimana peran

lingkungan. Trillby Hillenbrand, dalam makalah berjudul The Relationships between IQ Phenotypic

Variance and IQ Herritability as a Function of Environment (2008), menjelaskan bahwa aspek

phenotype dari IQ mungkin semakin dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti penurunan kualitas

lingkungan. Dapat dlihat bahwa varians fenotipik individu yang mengalami lingkungan kualitas

rendah selama perkembangannya, akan sangat memengaruhi perkembangan IQ nya20.

Kajian lebih tajam dilakukan Craig T. Ramey, dkk, dalam Intelligence and Experience (2001), yang

menjelaskan bahwa perbandingan peran nature dan nurture dalam perkembangan kecerdasan tidak

bisa ditimbang secara kuantitatif karena baik faktor genetik maupun lingkungan cenderung dinamis,

berkaitan secara kualitatif sehingga tak bisa direduksi ke dalam sebuah perata-rataan yang

sederhana. Baik nature maupun nurture keduanya krusial. Pengetahuan terbaru mengenai fungsi

otak, pada dasarnya mengakhiri perdebatan mengenai mana yang lebih penting antara nature dan

nurture. Lebih jauh Ramey dkk melihat bahwa pengalaman-pengalaman di awal usia perkembangan

memiliki kontribusi besar bagi tumbuhnya kecerdasan setelah dewasa. Mekanisme psikososial

memiliki keterkaitan dengan perubahan neuro-developmental pada anak dan remaja, terutama yang

berkaitan dengan area kognitif, linguistik, sosial dan akibat dari emosi. 21

Lebih jauh bahkan dijelaskan bahwa kapasitas kognitif memiliki varian perubahan, seperti

dihipotesakan pada grafik berikut ini:

19 Junita Anna Tanudjaja, Rosabella Febricia dan Yanita Fariana; (2003); Pengaruh Relasi Ortu-Anak terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional; makalah pada Social Research Competition II; tidak diterbitkan.

20 Trillby Hillenbrand; (2008); The Relationships between IQ Phenotypic Variance and IQ Herritability as a Function of Environment’; Retrieved 20 Agustus 2011 pukul 14.45 WIB; Online documents: http://writing.rochester.edu/celebrating/07_winners/hillenbrand_colloquium_essay.pdf

21 Craig T. Ramey, dkk; (2001); Intelligence and Experience; dalam Environmental Effects on Cognitive Ability, editor Robert Sternberg dan Elena Grigorenko; London: Lawrence Erlbaum Associates; hal. 83

Pada grafik di atas ditunjukkan adanya area kemungkinan perkembangan yang dipengaruhi oleh

lingkungan. Namun, juga grafik tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik juga memengaruhi

perkembangan kognitif dan sosial individu.

Semua pemikiran tersebut merupakan dasar yang bisa penulis gunakan untuk melakukan

penelitian hubungan antara kecerdasan potensi, yang sifatnya herediter, dan kecerdasan performa

yang sifatnya dipengaruhi bentukan lingkungan.

G. HIPOTESA

Dengan penjelasan teoritis yang telah penulis kemukakan, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah: “Ada hubungan antara kecerdasan Potensi dan Kecerdasan Performa”

B A B I I I M E TOD E P EN ELI T I A N

A. DEFINISI KONSEPTUAL VARIABEL PENELITIAN

Independen Variabel:

IV – 1: Kecerdasan Potensi: adalah kecerdasan yang diasumsikan teridentifikasi melalui analisis

dermatoglyphic. Kecerdasan Potensi di sini ditempatkan sebagai modalitas yang memengaruhi

perkembangan Kecerdasan Performa.

Dependen Variabel:

DV: Kecerdasan Performa: adalah kecerdasan yang terukur melalui tes inventori Multiple Intelligence.

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Kecerdasan Potensi adalah komponen-komponen kecerdasan berdasarkan teori Multiple

Intelligences, yang teridentifikasi melalui fingerprint test. Semakin tinggi skala pada suatu

kecerdasan, menunjukkan semakin simple konfigurasi saraf di bagian tersebut.

Kecerdasan Performa adalah perkembangan komponen kecerdasan berdasarkan teori Multiple

Intelligences , yang teridentifikasi melalui tes inventori. Semakin tinggi skala pada suatu kecerdasan,

menunjukkan semakin teraktualsasi kecerdasan tersebut.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan scanner untuk merekam fingerprint dan

melakukan komputasi sehingga diperoleh konfigurasi Kecerdasan Potensi, serta menggunakan

kuesioner untuk memeroleh data komponen Kecerdasan Performa.

D. POPULASI DAN TEKNIK SAMPLING

Sampel Populasi penelitan adalah remaja kelas satu pada SMU ‘X’ di Bandung. Jumlah sampel yang

diambil adalah 324 anak. Teknik sampling yang digunakan adalah total populasi dari murid kelas

satu.

Pertimbangan menggunakan anak kelas 1 SMA adalah mereka berada di fase pertengahan dari masa

remaja. Diasumsikan, mereka telah mulai membentuk identitas serta skill yang mereka miliki, juga

sudah mulai mengenali minat mereka ke suatu bidang. Dengan demikian, peran lingkungan akan

dapat termasuk pula di dalam pengembangan suatu bentuk kecerdasan, serta apakah kecerdasan

yang berkembang tersebut selaras dengan kecerdasan potensinya.

E. METODE PENGUKURAN

Penelitian ini menggunakan dua alat ukur yang menghasilkan sebuah besaran. Pada fingerprint akan

menghasilkan kategori berdasarkan jumlah guratan fingerprint dan bentuk fingerprint. Sedangkan

melalui tes inventori akan muncul hasil tes yang mengukur kapasitas pada delapan kecerdasan. Baik

hasil fingerprint maupun tes inventori keduanya ditranspose ke dalam skala Likert. Skala bergerak

antara 4 digit, yaitu: Sangat tinggi, tinggi, rendah, sangat rendah.

Pada tes fingerprint, semakin tinggi menunjukkan bahwa jumlah guratan saraf pada area fungsi

otak tertentu makin sedikit. Sedangkan pada tes inventori, semakin tinggi akan menunjukkan tingkat

penguasaan pada komponen kecerdasan terkait.

F. TEKNIK ANALISIS DATA

Teknik analisis data menggunakan korelasi Pearson (Product Moment) pada perangkat statistik IBM

SPSS for Windows versi 20. Teknik analisis statistik Korelasi Pearson atau Product Moment bertujuan

mengukur hubungan (keterkaitan linear) antara dua variabel X dan Y, yang akan menghasilkan angka

koefisien korelasi antara +1 dan -1 secara inklusif. Dalam teknik statistik ini, hubungan hanya diukur

antara dua variabel tanpa memerhitungkan variabel lain yang mungkin secara bersamaan

memengaruhi.

Penulis memertimbangkan menggunakan teknik ini karena penelitian ini diharapkan menjadi

langkah awal yang akan berkembang menjadi penelitian lain. Pada langkah awal, premis yang harus

terpenuhi adalah menguji hubungan antara komponen kecerdasan yang bersifat inborn atau

kecerdasan potensi dalam hubungannya dengan komponen kecerdasan bentukan lingkungan atau

kecerdasan performa.

B A B I V H A S I L PE NE LI TI A N

A. ORIENTASI KANCAH

Penelitian ini dilakukan pada sampe populasi siswa kelas 1 pada SMA X di Bandung. Jumlah

responden yang berpartisipasi adalah 324 siswa.

B. UJI VALIDITAS TES INVENTORI

Hasil uji item pada delapan komponen kecerdasan menunjukkan bahwa hampir semua item memiliki

validitas yang tinggi dan memang mengukur kapasitas kecerdasan yang dimaksudkan. Hanya

ditemukan satu item yang tidak valid pada tes yang menguji komponen kecerdasan Spasial-Visual.

Perhitungan lengkap dari uji validitas dapat dilihat pada Lampiran 1.

C. UJI STATISTIK HUBUNGAN KECERDASAN POTENSI DAN

KECERDASAN PERFORMA

Setelah dilakukan pengujian secara statistik, diperoleh hasil sebagai berikut:

Correlations

LogM

at_

pf

LogB

hs_pf

SpaV

isual

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

LogMat_pt Pearson Correlation

-.086 -.008 .027 -.026 .177** .029 .009 .033

Sig. (2-tailed)

.121 .883 .626 .643 .001 .601 .866 .557

N 324 324 324 324 324 324 324 324

LogBhs_pt Pearson Correlation

.025 .131* .105 .055 .030 .077 -.035 .028

Sig. (2-tailed)

.659 .018 .058 .328 .585 .166 .534 .620

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Lo

gM

at_

pf

Lo

gB

hs_

pf

Sp

aV

isu

al

_pf

Mu

sic

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_

pf

Inte

r_p

f

Na

tur_

pf

SpaVisual_pt Pearson Correlation

.069 -.018 .019 -.121* .042 .138

* .037 .075

Sig. (2-tailed)

.215 .745 .731 .030 .450 .013 .505 .177

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Music_pt Pearson Correlation

.071 -.032 -.066 .105 -.017 .036 .010 -.092

Sig. (2-tailed)

.200 .563 .233 .060 .764 .521 .863 .097

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Kinestetik_pt Pearson Correlation

.042 -.050 -.003 -.021 -.065 -.092 .024 -.020

Sig. (2-tailed)

.456 .366 .955 .712 .247 .097 .666 .715

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Intra_pt Pearson Correlation

.005 -.021 -.012 -.056 -.022 -.098 -.024 -.043

Sig. (2-tailed)

.931 .706 .828 .311 .699 .080 .664 .443

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Inter_pt Pearson Correlation

-.030 .009 -.030 -.041 -.034 -.098 -.034 -.103

Sig. (2-tailed)

.590 .867 .594 .467 .539 .079 .536 .063

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Natur_pt Pearson Correlation

.031 .087 .002 .067 .035 .005 .016 .007

Sig. (2-tailed)

.578 .117 .970 .230 .525 .922 .769 .898

N 324 324 324 324 324 324 324 324

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Hasil pada tabel di atas menunjukkan bahwa:

1. Hubungan antara Kecerdasan Logika-Matematika

Nampak ada hubungan antara kecerdasan Potensi dan Performanya, terlihat dari angka signifikansi

yang meski tidak mencapai level p< 0.005, namun angka 0.121 jauh meninggalkan angka signifikansi

6 kecerdasan yang lain.

Hubungan pada level sangat signifikan (p< 0.01) justru terjadi antara Kecerdasan Potensi Logika-

Matematika dan Kecerdasan Performa Kinestetik.

Angka korelasi Kecerdasan Potensi Logika-Matematika dengan Kecerdasan Performa Logika-

Matematika adalah negatif (-0.86), menunjukkan korelasi berbanding terbalik, menunjukkan semakin

kompleks potensi Logika-Matematika maka semakin tinggi performa Logika-Matematika.

Angka korelasi Kecerdasan Potensi Logika-Matematika dengan Kecerdasan Performa Kinestetik

adalah positif (0.177) , menunjukkan korelasi berbanding lurus. Artinya, semakin simple potensi

Logika-Matematika maka semakin tinggi performa Kinestetik.

2. Hubungan antara kecerdasan Logika-Bahasa.

Terdapat hubungan di level signifikan (p < 0.05) antara kecerdasan potensi Logika-Bahasa dan

kecerdasan performa Logika-Bahasa, dengan angka signifikansi 0.018. Koefisien korelasi Pearson

positif (0.131) menunjukkan semakin simple potensi Logika-Bahasa maka semakin tinggi performa

Logika-Bahasa.

3. Hubungan antara kecerdasan Spasial-Visual.

Tidak terdapat korelasi antara kecerdasan potensi Spasial-Visual dengan kecerdasan performa

Spasial-Visual.

Terdapat korelasi signifikan antara kecerdasan potensi Spasial-Visual dengan kecerdasan performa

Intrapersonal. Angka signifikansi 0.013. Koefisien korelasi Pearson positif (0.138), artinya semakin

simple potensi Spasial-Visual maka akan semakin tinggi performa Intrapersonal.

Terdapat korelasi signifikan antara kecerdasan potensi Spasial-Visual dengan kecerdasan performa

Musik. Angka signifikansi 0.030. Koefesien korelasi Pearson negatif (-0.121) mengindikasikan

semakin kompleks potensi Spasial-Visual maka semakin tinggi performa Musik.

4. Hubungan antara kecerdasan Musik.

Terdapat hubungan (mendekati signifikan) antara kecerdasan potensi Musik dan kecerdasan

performa Musik. Koefisien korelasi positif (0.105) menunjukkan bahwa semakin simple potensi

kecerdasan Musik maka akan semakin tinggi performa kecerdasan Musik.

5. Hubungan antara kecerdasan Kinestetik.

Meski tidak signifikan, namun angka signifikansi Kinestetik nampak jauh lebih mendekati dibanding

angka pada enam kecerdasan lain (0.247). Koefisien korelasi negatif (-0.065) menunjukkan semakin

kompleks potensi kecerdasan Kinestetik maka akan semakin tinggi performa Kecerdasan Kinestetik.

Angka signifikansi yang paling tinggi cenderung ada antara kecerdasan Kinestetik dan Intrapersonal.

Koefisien korelasi negatif (-0.092) menunjukkan semakin kompleks potensi kecerdasan Kinestetik

maka akan semakin tinggi performa kecerdasan Intrapersonal.

6. Hubungan antara Kecerdasan Intrapersonal.

Meski tidak pada taraf signifikan (p < 0.05) namun angka signifikansi antara kecerdasan potensi

Intrapersonal dan kecerdasan performa Intrapersonal nampak paling tinggi (0.080). Koefisien

korelasi Pearson negatif (-0.098), menunjukkan semakin kompleks potensi Intrapersonal, maka

semakin tinggi performa Intrapersonal.

7. Hubungan antara Kecerdasan Interpersonal.

Tidak ada korelasi antara kecerdasan potensi Interpersonal dan kecerdasan performa Interpersonal.

Meski tidak sampai taraf signifikansi p < 0.05, namun nampak terdapat korelasi antara kecerdasan

potensi Interpersonal dengan kecerdasan performa Naturalistik (p = 0.063) dengan koefisien korelasi

Pearson negatif (-0.103) menunjukkan semakin kompleks potensi kecerdasan Interpersonal, maka

semakin meningkat kecerdasan performa Naturalistik.

Meski tidak sampai taraf signifikansi p < 0.05, namun nampak terdapat korelasi antara kecerdasan

potensi Interpersonal dengan kecerdasan performa Intrapersonal (p = 0.079) dengan koefisien

korelasi Pearson negatif (-0.098) menunjukkan semakin kompleks potensi kecerdasan Interpersonal,

maka semakin meningkat kecerdasan performa Intrapersonal.

8. Hubungan antara Kecerdasan Naturalistik.

Tidak ada hubungan antara kecerdasan potensi Naturalistik dan kecerdasan performa Naturalistik.

Indikasi hubungan justru nampak antara kecerdasan potensi Naturalistik dan kecerdasan performa

bahasa (p=0.117) dengan koefisien korelasi Pearson positif (0.87), menunjukkan semakin simple

kecerdasan potensi Naturalistik maka semakin tinggi kecerdasan performa Bahasa.

B A B V A NA LI S A DA N DI S K US I

A. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN LOGIKA-MATEMATIKA

Temuan pada kecerdasan Logika-Matematika adalah:

LogM

at_

pf

LogB

hs_

pf

SpaV

isu

al

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_

pf

Inte

r_p

f

Natu

r_p

f

LogMat_pt Pearson Correlation

-.086 -.008 .027 -.026 .177** .029 .009 .033

Sig. (2-tailed)

.121 .883 .626 .643 .001 .601 .866 .557

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Tabel di atas bisa dibaca:

Potensi Logika-Matematika memiliki korelasi sangat signifikan dengan perkembangan

performa Kinestetik. Koefisien korelasinya menunjukkan angka 0.177. Angkanya positif,

menunjukkan bahwa meningkatnya simplisitas kecerdasan potensi Logika-Matematika

berbanding lurus dengan meningkatnya kecerdasan kinestetik.

Dibanding potensi kecerdasan lain, Potensi Logika-Matematika memiliki korelasi tertinggi

bagi perkembangan kecerdasan performa Logika-matematika. Ini menunjukkan bahwa

kecerdasan potensi Logika-Matematika memang memiliki hubungan dengan kecerdasan

performa Logika-Matematika. Koefisien korelasi menunjukkan angka -0,86. Angkanya

negatif, menunjukkan bahwa meningkatnya kompleksitas kecerdasan potensi Logika-

Matematika berbanding lurus dengan meningkatnya kecerdasan performa Logika-

Matematika.

Pada dua temuan di ranah Kecerdasan Potensi Logika Matematika di atas, satu hal menarik yang

perlu dicermati adalah koefisien korelasi berbeda antara Performa Kinestetik dan Logika-

Matematika. Korelasi Potensi Kecerdasan Matematika dengan Performa Kinestetik mengarah ke

positif, sedangkan korelasi potensi kecerdasan matematika dengan performa Logika-Matematika

mengarah ke negatif.

Angka koefisien korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin kompleks potensi kecerdasan

Logika-Matematika akan berkaitan dengan pengembangan performa kecerdasan Logika-Matematika.

Kompleks di sini berarti semakin banyak pertumbuhan saraf di area otak yang berhubungan dengan

kecerdasan potensi Logika-Matematika maka akan semakin mungkin seseorang mengembangkan

kecerdasan performa Logika-Matematikanya.

Angka koefisien korelasi positif menunjukkan bahwa semakin simple potensi kecerdasan logika-

matematika akan berkaitan dengan pengembangan performa kecerdasan kinestetik. Temuan ini

menjadi spekulasi untuk menjelaskan beberapa fenomena:

kebanyakan siswa yang menjadi bintang olahraga di sekolah, mereka tidak diiringi

kemajuan di bidang akademik. Performa kinestetik membutuhkan kecepatan yang

mendekati refleks22, dengan demikian pola potensi Logika-Matematika yang simple akan

mendukung. Konsekuensinya, ‘otak’ mereka kurang responsif terhadap kompleksitas

perhitungan yang menjadi basis dari akademis pada umumnya. Selama ini, terbangun

stereotipe bahwa mereka yang berpredikat atlet, umumnya kurang maju dalam akademis

karena persoalan konsentrasi mereka terhadap latihan. Penelitian ini memberi gambaran

lain, bahwa sebelum persoalan jam latihan mereka, ada kondisi yang mendahului, yaitu

konfigurasi potensi otak mereka memang simple dalam hal Logika-Matematika sehingga

mereka tidak menyukai kerumitan berpikir, mereka adalah atlet yang hidup dalam pola

berpikir lepas, intuitif, dan refleks.

Lemahnya budaya literasi dan kuatnya budaya praktis. Artinya, ini berhubungan pula

dengan budaya literasi yang memang rendah. Ini persoalan yang oleh Menteri Pendidikan

M. Nuh pada 2012 dicoba dijawab dengan persyaratan menulis jurnal sebagai syarat

kelulusan, karena menteri melihat perbandingan jumlah tulisan di jurnal yang masih kalah

dari negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Temuan ini menunjukkan bahwa akarnya ada

pada kultur yang membentuk kapasitas berpikir akademik, yang salah satu komponen

pentingnya adalah Logika-Matematika. Kultur kita membentuk potensi Logika-Matematika

ke arah budaya praktis bukan budaya literasi, maka itulah penyebab lebih mungkin untuk

rendahnya jumlah tulisan akademisi Indonesia di jurnal ilmiah.

Peranan dari Frontal lobe dan kemampuan Logika matematika. Korelasi yang bertolak

belakang pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin kompleks sistem kerja frontal

lobe biasanya menunjukkan respon yang lambat dalam performansinya. Hal ini akan

terlihat jelas ketika seorang siswa membutuhkan waktu yang lama ketika harus

menyelesaikan soal-soal matematika yang sifatnya sederhana dan membutuhkan

kecepatan. Namun, menjadi lebih mampu dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang

22 Ini juga didukung oleh temuan lain yang menunjukkan kecenderungan potensi Intrapersonal yang simple sebagai pendukung performa kinestetik. Ini artinya, dibutuhkan kemampuan untuk ‘lepas’ dalam memutuskan.

justru membutuhkan tingkat analisa yang tinggi. Semakin kompleks kerja frontal lobe

makan proses analisis yang terjadi akan semakin kompleks dan tentunya diiringi oleh

melambatkan performa.

Angka signifikansi antara Kecerdasan Potensi Logika-Matematika dan Kecerdasan Performa

Kinestetik yang mencapai level sangat signifikan (p < 0.001) yaitu 0.001, jauh dibanding korelasi

dengan performa kecerdasan lain (termasuk dengan performa Logika-Matematika) juga

menunjukkan indikasi kuat bahwa gambaran budaya dalam akademisi di Indonesia lebih mengarah

pada budaya praktis sehingga kecerdasan praktikal yang berhubungan dengan gerak nyata tubuh

yang lebih berkembang.

Ideologi Pendidikan yang berorientasi kerja. Sekolah diyakini sebagai jembatan untuk

mendapat pekerjaan yang menghasilkan uang. Ini yang kemudian membuat orang

menjalani pendidikan dengan pikiran praktis. Akibat sampingannya, rentetan kecurangan

dalam pendidikan terus berlangsung, karena penekanan pada hasil dan bukan proses

belajar. Menghafal dan memilih sesuai hafalan adalah bentuk praktis-kinestetis. Itulah yang

dibentuk melalui soal multiple-choice dalam ujian nasional dan bentuk ujian lain. Siswa

tidak pernah bisa mengajukan argumentasinya atau melakukan telaah lebih dalam atas

kemungkinan lain dari suatu jawaban. Guru atau pembuat soal pun, ‘terlindungi’ dari

tanggungjawab memberikan argumentasi atau kemungkinan didebat.

Pola ini membentuk sebuah struktur yang menempatkan sebuah kebenaran tunggal yang

berujung pada praktikalitas atau tindakan keseharian. Ini bisa menjadi spekulasi lebih jauh

untuk menjelaskan mengapa orang Indonesia mudah digerakkan ke arah sesuatu hanya

dengan retorika. Ini karena potensi kecerdasan Logika-Matematikanya tidak terbentuk ke

arah nalar, melainkan ke arah gerak. Dengan demikian maka terjadi sebab-akibat antara

rendahnya nalar dan mudahnya digerakkan dengan retorika. Menggunakan simbol

‘kebenaran tunggal’ atau ‘kebenaran mutlak’, baik itu dalam agama, maupun gelar-gelar

akademis, seseorang begitu saja dipercayai dan dijadikan acuan untuk bertindak tanpa

menelaah lebih jauh kedalaman dari apa yang orang-orang tersebut katakan.

Kebijakan mendiknas yang mempunyai program dalam dunia pendidikan, yaitu jumlah

untuk SMK sebanyak 70% dan 30% untuk SMU pada 2015. Perubahan jumlah sekolahan ini

terpicu data yang diperoleh di lapangan bahwa pengangguran produktif kebanyakan adalah

lulusan SMU. Asumsinya, pendidikan SMK akan lebih membekali ketrampilan teknis yang

bisa digunakan lulusannya langsung mencari kerja. Ini adalah bentuk bagaimana kapasitas

potensi Logika-Matematika lebih diarahkan ke arah praktis. Jika sejak bangku sekolah

Mendiknas sendiri membentuk kecerdasan Logika-Matematika ke arah praktis ketimbang

budaya literasi, terasa sangat kontradiktif ketika Mendiknas mensyaratkan mahasiswa

menulis di jurnal sebagai syarat kelulusan. Rendahnya tulisan di jurnal, adalah juga akibat

budaya literasi yang lebih diarahkan ke hal-hal praktis-kinestetis.

Di kalangan mereka yang ‘bukan segmen SMK’ pun cara berpikirnya nyaris serupa.

Persaingan ketat di dunia kerja, ditambah bayang-bayang pasar bebas AFTA, membuat para

orang tua mulai berinvestasi bagi pendidikan putra-putrinya. Misi mereka sederhana, agar

kelak masa depan anak-anak mereka lebih cerah: mudah mendapatkan pekerjaan dan

memiliki kesejahtraan yang baik. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mereka

mendaftarkan ke sekolah-sekolah plus. Sekolah jenis ini, walaupun biayanya bisa sepuluh

kali lipat atau lebih dari sekolah-sekolah negri tidak pernah sepi pendaftar. Bahkan jauh

sebelum tahun ajaran baru dimulai, jumlah siswanya telah mencukupi. Ini karena para

orang tua berpikir mengenai ‘kepraktisan’ anaknya kelak ketika lulus SMA, yaitu mudah

mendapat pekerjaan.

Fenomena lain yang menjadi penjelas bahwa memang cara berpikir yang seharusnya

berkembang secara nalar justru berkembang praktis, adalah kegagalan proyek RSBI

(Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang sudah dirintis sejak 2005. Faktanya, proyek

besar bernilai miliaran yang dimulai tahun 2005 tesebut, hingga kini (2012) bisa dikatakan

gagal. RSBI di seluruh Indonesia berjumlah 1.305 sekolah yang terdiri dari SD, SMP,

SMA/SMK diharapkan bisa menjadi SBI. Tenyata tidak ada satu pun yang lolos dalam

penilaian.

Ideologi Disiplin Tubuh. Jika kita melihat masa sekolah, mulai jenjang SD, SMP, SMA,

hingga perguruan tinggi. Sejauh perempuan memiliki proporsi cukup banyak, maka hampir

bisa dikatakan mereka selalu ada di kalangan anak-anak terpandai atau dengan nilai tinggi.

Pada beberapa amatan, mungkin malah bisa dikatakan perempuan mendominasi kalangan

anak pandai secara akademis. Namun menariknya, dalam dunia praktis, para perempuan

pandai secara akademis ini tiba-tiba menyusut, atau kalau tak mau dikatakan hampir

menghilang sama sekali. Proporsi mereka yang tetap eksis dengan kepandaiannya, bisa

dikatakan tak sebanding dengan begitu banyaknya perempuan pandai di bangku sekolah.

Kemana mereka? Sebagian besar jawabannya adalah mereka memusatkan diri pada ranah

domestik praktis di keluarga masing-masing setelah menikah. Ini adalah sebuah ideologi

tubuh yang juga mengarahkan (atau mengebiri) kapasitas kecerdasan Logika-Matematika

ke ranah praktis kinestetis. Kecerdasan Logika-Matematika para perempuan ini, kemudian

terkanalkan pada hal praktis semacam: mengurus suami, memasak, mengurus anak dan

segala pernak-pernik praktikal lain.

B. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN LOGIKA-BAHASA

LogM

at_

pf

LogB

hs_pf

SpaV

isua

l

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

LogBhs_pt Pearson Correlation

.025 .131* .105 .055 .030 .077 -.035 .028

Sig. (2-tailed)

.659 .018 .058 .328 .585 .166 .534 .620

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Hasil pada tabel di atas bisa dibaca:

Hubungan antara Kecerdasan Potensi Bahasa dan Kecerdasan Performa Bahasa mencapai

level signifikan di bawah 0.05. Korelasinya positif, menunjukkan semakin simple potensi

akan semakin tinggi performa. Artinya, indikasi ‘simple’ di sini merujuk pada spontanitas

atau bahasa tutur/lisan.

Hasil tersebut memiliki kemungkinan dipengaruhi oleh

Keterkaitan Bahasa Verbal dan Gaya Hidup. Hasil tes menunjukkan semakin simple

potensi kecerdasan Logika-Bahasa, memberi kontribusi langsung pada tumbuhnya

kecerdasan performa bahasa. Artinya, pertumbuhan bahasa di sini bukan merujuk pada

pertumbuhan bahasa kompleks semacam budaya literasi (seperti di Barat), melainkan

bahasa spontan verbal. Analisis ini bisa dikaitkan dengan kenyataan bahwa gaya hidup

anak-anak muda ini memiliki keterkaitan erat dengan bahasa, terutama verbal. Jadi,

lingkungan memang mendukung individu untuk piawai bermain dengan bahasa spontan

dan verbal. Hal ini nampak pada fenomena di mana Kita hampir selalu menemukan kata

atau kalimat yang menjadi trend, seperti: ‘Kacian dech loe’, ‘So what gitu loh’, ‘Sesuatu

banget ya’, dst.

Bahasa Sederhana dan Lemahnya Budaya Literasi. Hasil yang menunjukkan bahwa

semakin simple kecerdasan potensi bahasa menjadi indikator bagi perkembangan

kecerdasan performa bahasa pada remaja, kembali menguatkan temuan pada Logika-

Matematika, bahwa memang apa yang tumbuh dalam kecerdasan berbahasa, adalah bentuk

bahasa simple dan spontan seperti dalam trend gaya hidup yang kita saksikan, dan bukan

bahasa kompleks seperti dalam budaya literasi.

Spekuasi tersebut bisa dikaitkan dengan data laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan

studi IEA ( International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia

Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di

bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong

(skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan

juga rendah, hanya 30 persen. Ini menunjukkan kapasitas nalar serta budaya literasi

(ilmiah) yang sangat rendah.

C. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN SPASIAL-VISUAL

Lo

gM

at_

pf

Lo

gB

hs_

pf

Sp

aV

isu

al

_pf

Mu

sic

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_

pf

Inte

r_p

f

Na

tur_

pf

SpaVisual_pt Pearson Correlation

.069 -.018 .019 -.121* .042 .138

* .037 .075

Sig. (2-tailed)

.215 .745 .731 .030 .450 .013 .505 .177

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Hasil pada tabel di atas bisa dibaca sebagai tidak adanya korelasi langsung antara kecerdasan

Kecerdasan Potensi Spasial-Visual, justru berhubungan dengan perkembangan Intrapersonal. Ini

memantik spekulasi mengenai kapasitas imagining yang mengarah ke self-building23. Ini bisa terkait

dengan budaya populer di mana citra mengambil peran sentral dalam masyarakat. Kondisi ini

membuat perkembangan potensi Spasial-Visual mengarah justru pada persoalan membangun

kepercayaan diri dan menyelaraskan diri dalam ritme budaya yang melingkungi.

Kecerdasan Imaji mengarah pada adaptasi terhadap cara membangun identitas diri.

Mengapa potensi kecerdasan spasial-visual berkaitan dengan intrapersonal? Nampaknya ini

berkaitan dengan stimulasi yang muncul dari lingkungan. Budaya populer menghujani anak

dengan stimulasi citra diri yang membuat anak kemudian mengoptimalkan potensi spasial-

visualnya pada upaya membangun citra diri.

Kecerdasan Imaji mengarah pada adaptasi terhadap ritme atau percepatan.

Keterkaitan antara Spasial-Visual dan Musikal, nampaknya menunjukkan keterkaitan

antara pencitraan dan ritme. Budaya populer adalah budaya yang memaksa individu masuk

ke dalam sebuah ritme kehidupan yang berpadu dengan proses pencitraan.

Perkembangan teknologi informasi misalnya, merupakan pertemuan antara kanal hasrat

akan citra dan kanal hasrat akan kecepatan. Perangkat seluler yang dimiliki individu, di satu

sisi membentuk citra akan individu yang bersangkutan: gengsinya, penerimaan orang

terhadapnya, kelasnya, dan sekaligus akses untuk mengelola pencitraan diri melalui

fasilitas tambahan semacam camera serta akses ke sosial media. Di sisi lain, perangkat

seluler juga mengadaptasikan individu pada kecepatan. Sebuah gerak yang meringkas

ruang dan waktu sedemikian rupa. Kalau dulu, hendak membuka internet harus di depan

PC, kini tidak, cukup melalui seluler. Pada saat yang bersamaan, orang yang memegang

Blackberry misalnya, akan bisa diakses melalui: BBM, SMS, telpon langsung, e-mail, chat,

23 Data ini diperkuat oleh temuan bahwa Kecerdasan Interpersonal, berkaitan dengan Intrapersonal dan Naturalistik. Menunjukkan bahwa pola relasi dan membangun eksistensi diri orang Indonesia yang cenderung pada kelas dan pencitraan, dan ‘Me Generation’ (Generasi ‘Gue Banget’)

Facebook, Twitter dan beberapa akses lain. Ini adalah sebuah adaptasi kecepatan, atau

dalam hal ini gerak.

Musik berhubungan dengan membangun citra diri. Bagi sebagian besar remaja dewasa

ini, grup musik atau musisi tertentu, sering menjadi bagian dari citra diri mereka. Para

groupies atau fans ini membuat berbagai asesoris, mulai kaos, ikat kepala, pin hingga

spanduk, yang kemudian mereka bawa ketika musisi kesayangan mereka tampil di suatu

event. Di situ satu kelompok membedakan diri dari kelompok lain melalui identitas yang

berhubungan dengan musisi kesayangan mereka.

Seperti ditulis oleh Kimberly Sena Moore, pada sebuah artikel di Psychology Today, bahwa

Musik memainkan peran besar dari waktu ke waktu, terutama ketika seseorang berada di

masa remaja dan mengdentifikasi dirinya dengan penyanyi atau jenis musik tertentu yang

juga merupakan citra dari generasi mereka saat itu24. Di Indonesia, hal ini fenomena ini

sangat jelas nampak. Remaja, begitu banyak yang memiliki idola musisi kesayangan,

mengidentifikasi dengan musisi tersebut, mulai potongan rambut, cara berpakaian,

asesoris, gaya, dan banyak lagi.

D. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN POTENSI MUSIK

LogM

at_

pf

LogB

hs_pf

SpaV

isual

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

Music_pt Pearson Correlation

.071 -.032 -.066 .105 -.017 .036 .010 -.092

Sig. (2-tailed)

.200 .563 .233 .060 .764 .521 .863 .097

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Kecerdasan Potensi Musik memiliki kemiripan dengan temuan pada Kecerdasan Potensi Bahasa,

yaitu menjadi satu-satunya kecerdasan potensi yang hanya berkorelasi dengan komponen

kecerdasan performa yang sama. Meski tidak masuk kategori signifikan, namun angka signifikansinya

mendekati signifikan dan nampak bahwa kecerdasan Potensi Musik berhubungan langsung dengan

24 Kimberly Sena Moore; (2011); Your Musical Self; retrieved 10 April 2012 pukul 10.58 WIB ;Online documents: http://www.psychologytoday.com/blog/your-musical-self/201110/teens-and-music-noise-or-necessary

Kecerdasan Performa Musik. Ini membuat mesti memahami musik bukan semata persoalan lagu,

melainkan juga ritme, suara yang berpola, dan bentuk alunan kehidupan yang melibatkan auditori

serta perasaan.

Musik adalah bagian dari perkembangan kehidupan individu, terutama yang berada di

masyarakat modern di kota besar. Lagu juga banyak diajarkan sejak masih anak. Musik

memegang porsi besar dalam ranah tontonan, baik melalui televisi maupun panggung-

panggung hiburan di masyarakat.

Budaya manusia bisa dikatakan selalu melibatkan musik, entah berupa nyanyian, instrumen

perkusi, vokal atau bentuk-bentuk lain. Musik adalah salah satu dari konstanta universal

hampir beberapa masyarakat. Di negara-negara industri, musik adalah pengalaman sehari-

hari: di jingle komersial atau di lift, bermain di radio dan iPod, peradaban hampir

seluruhnya dikelilingi oleh musik. Itu bisa dilihat pula di Indonesia, maka tak heran jika

budaya memberikan dukungan terhadap berkembangnya kecerdasan musik, sehingga

individu yang memang memiliki kecerdasan potensi musikal, dapat terdukung

perkembangan menjadi kecerdasan performa musikal.

E. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN KINESTETIK

LogM

at_

pf

LogB

hs_pf

SpaV

isual

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

Kinestetik_pt Pearson Correlation

.042 -.050 -.003 -.021 -.065 -.092 .024 -.020

Sig. (2-tailed)

.456 .366 .955 .712 .247 .097 .666 .715

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Kecerdasan Potensi Kinestetik menunjukkan kecenderungan hubungan dengan dua aspek

kecerdasan performa, yaitu Kinestetik dan Intrapersonal. Pola ini menunjukkan indikasi bahwa

Kemampuan mengolah gerak tubuh membangun kapasitas kepercayaan diri.

Kinestetik di sini bisa berarti luas, tak hanya mengarah ke olahraga atau penguasaan gerak

semacam tari, namun juga gerak-gerak praktis keseharian, seperti bagaimana membawakan

diri, membuat gerakan tertentu menjadi ciri khas yang mungkin muncul ketika bicara, atau

ketika tampil di depan banyak orang.

Individu berkembang dalam masyarakat yang orientasinya lebih pada hal-hal praktis

yang dipercayai akan membangun eksistensi dirinya. Artinya, Orang lebih mau

bergerak, ketika sudah pasti mendapat hasil, dan di sini ada kecenderungan besar

mengabaikan proses. Ini bisa menjadi spekulasi mengapa bentuk-bentuk penawaran yang

sifatnya hasil seperti dilakukan oleh para motivator, undian berhadiah, mimpi kesuksesan

atau pencapaian yang ditawarkan cerita sinetron, cerita-cerita sukses, dan sejenisnya,

adalah hal yang digemari. Itu semua menunjukkan intrapersonal dan kinestetik yang

bertautan. Hasil pada kecerdasan potensi kinestetik ini, bisa jadi sangat berkaitan dengan

hasil pada kecerdasan potensi logika-matematika yang menunjukkan hasil selaras.

Pola pembinaan yang berorientasi hasil, mengabaikan proses. Banyak bentuk

pembinaan di Indonesia, bersifat mem-by pass proses sehingga langsung menuju hasil.

Sebuah contoh populer adalah sepakbola. Sistem pembinaan sepakbola, cenderung

memotong jalur untuk cepat sampai pada hasil, misalnya menaturalisasi atau mengikutkan

kompetisi di luar negeri. Artinya, tidak dibenahi sistem yang memungkinkan seorang

pemain berproses dari yunior sampai senior, namun memotong dengan cara: naturalisasi,

menyekolahkan ke negara yang sepakbolanya maju, dst.

Pendidikan di sekolah pun, diarahkan lebih ke output yang bersifat praktis. Seseorang

akan dihargai jika setelah sekolah bisa mudah mendapatkan kerja.

F. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN INTRAPERSONAL

Potensi Kecerdasan Intrapersonal menunjukkan indikasi hubungan kuat dengan Performa

Kecerdasan Intrapersonal. Korelasinya negatif, artinya semakin kompleks kecerdasan potensi

Intrapersonal, maka akan semakin tinggi kecerdasan performa Intrapersonal.

LogM

at_

pf

Log

Bhs_pf

Spa

Vis

ual

_pf

Mu

sic

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

Intra_pt Pearson Correlation

.005 -.021 -.012 -.056 -.022 -.098 -.024 -.043

Sig. (2-tailed)

.931 .706 .828 .311 .699 .080 .664 .443

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Hasil di atas menunjukkan bahwa Kecerdasan Potensi Intrapersonal berkaitan langsung dengan

Kecerdasan Performa Intrapersonal. Meski tidak masuk dalam taraf signifikansi p < 0.05, namun

angka 0.08 bisa dikatakan mendekati, dan nampak hanya satu-satunya dibanding komponen

kecerdasan lain. Korelasi yang muncul negatif, artinya semakin kompleks potensi kecerdasan

Intrapersonal maka akan semakin tinggi performa kecerdasan Intrapersonal.

Hasil di atas memunculkan spekulasi:

Kebudayaan yang mengarah untuk membangun kecerdasan Intrapersonal. Ini

mengonfirmasi kenyataan bahwa sebenarnya manusia Indonesia memiliki kekuatan pada

kapasitas individual dan cenderung bekerja individual. Banyak fenomena bisa dirujuk untuk

hal ini. Olahraga misalnya, di berbagai cabang yang sifatnya individual, Indonesia bisa

dikatakan mampu menempatkan atlitnya hingga level dunia, sebut saja: badminton, catur,

angkat berat, panahan, tenis lapangan, tenis meja, bridge, dst. Jauh lebih bagus daripada

cabang-cabang yang mensyaratkan kerjasama tim sangat tinggi semacam sepakbola, basket,

voli, dst. Fenomena perebutan kekuasaan atau materi, yang seringkali terjadi sangat

mungkin juga karena orang Indonesia.

Budaya membandingkan individu. Sejak anak-anak, orang tua sering membiasakan

membandingkan anak dengan anak lain, dan orang tua menempatkan kebanggaan di

perbedaan positif yang dimiliki anaknya. Ini membuat sebuah ‘kompetisi’ yang mengarah

pada pemupukan keunggulan individu, namun melupakan sisi ‘kooperatif’. Sistem ranking

yang sudah berjalan berpuluh tahun juga memberi kontribusi, meski sekarang sudah

banyak dihilangkan, namun secara bawah sadar belief mengenai kompetisi berdasar

perolehan angka individual itu masih ada dan diterapkan orang tua pada anak-anak mereka.

G. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN INTERPERSONAL

LogM

at_

pf

LogB

hs_pf

SpaV

isual

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

Inter_pt Pearson Correlation

-.030 .009 -.030 -.041 -.034 -.098 -.034 -.103

Sig. (2-tailed)

.590 .867 .594 .467 .539 .079 .536 .063

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Hasil di atas menunjukkan bahwa

Kapasitas Potensi Interpersonal tidak menunjukkan hubungan dengan

perkembangan Kapasitas Performa Interpersonal.

Konfirmasi bahwa Indonesia kuat sebagai individu tetapi lemah sebagai sebuah

kesatuan. Kapasitas Intrapersonal berkembang namun Kapasitas Interpersonal tidak

berkembang sebagaimana mestinya, namun justru mengarah pada kapasitas naturalistik

yang berkaitan dengan intrapersonal.

‘Me Generation’, yang selalu menjadi isyu di setiap generasi. Potensi Kecerdasan

Interpersonal menunjukkan hubungan dengan Intrapersonal dan Naturalistik. Seperti

sudah dijelaskan, kecerdasan naturalistik berkaitan dengan: Good at categorizing and

cataloging information easily. Ketika hal tersebut berhubungan dengan Kecerdasan Potensi

Interpersonal, sekaligus berkaitan dengan Kecerdasan Performa Intrapersonal, maka ada

indikasi kapasitas mengategorikan itu tumbuh dalam pola interaksi sosial yang berbasis

pemusatan diri dan pembedaan kelas. Di satu sisi mereka menunjukkan sesuatu yang

membuat dirinya berbeda, sesuatu yang ‘gue banget’, tapi di sisi lain mereka juga merujuk

pada kesamaan yang membuat mereka teridentifikasi pada kelas atau cluster tertentu yang

membedakan dari cluster lain.

H. ANALISA DAN DISKUSI KECERDASAN NATURALISTIK

LogM

at_

pf

LogB

hs_pf

SpaV

isual

_pf

Music

_pf

Kin

este

tik_

pf

Intr

a_pf

Inte

r_pf

Natu

r_pf

Natur_pt Pearson Correlation

.031 .087 .002 .067 .035 .005 .016 .007

Sig. (2-tailed)

.578 .117 .970 .230 .525 .922 .769 .898

N 324 324 324 324 324 324 324 324

Kecerdasan Potensi Naturalistik justru nampak paling berhubungan, (meski tidak signifikan) ke arah

Kecerdasan Performa Logika-Bahasa

Diferensiasi dan Konsep Diri. Semakin orang mampu membedakan dirinya, semakin ia

mampu menarasikan dirinya. Kapasitas untuk berinteraksi, mengategori, dst, menjadi lebih

terbentuk ke arah aktivitas bahasa semacam simbolisasi, pemahaman tanda, dst. Orang

membedakan dirinya, melalui bagaimana dia membahasakan dirinya

Anak, dalam dunia modern memang makin terpisah dari alam natur. Dunia anak, lebih

ke mall, video game, dst. Interaksi dengan alam lebih sedikit. Interaksi dengan ‘bahasa’

meningkat. Terutama interaksi antar ‘dunia’. Dalam hal semacam video games misalnya,

interaksi antara dunia pikiran anak dan dunia dalam games, terbangun melalui kecerdasan

berbahasa. Video game, meski tidak selalu menggunakan teks bahasa Indonesia, namun

cenderung akan bisa dipahami karena otak anak bekerja ke arah upaya memahami tanda-

tanda dalam video game.

B A B VI K E S I M P ULA N DA N R EK O M ENDA S I

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1. berkaitan dengan Fingerprint Analysis:

Lima komponen Kecerdasan Potensi, yaitu: Logika-Matematika, Logika-Bahasa, Musik,

Kinestetik dan Intrapersonal menunjukkan hubungan dengan komponen Kecerdasan

Performanya.

Satu komponen Kecerdasan Potensi, yaitu Kecerdasan Interpersonal, tidak berhubungan

dengan komponen Kecerdasan Interpersonal pada Kecerdasan Performa, melainkan pada

komponen performa Kecerdasan Intrapersonal dan Naturalistik. Hasil ini mengindikasikan

hubungan dengan pola interpersonal yang kontekstual dengan kebudayaan Indonesia.

Dua komponen Kecerdasan Potensi, yaitu Kecerdasan Spasial-Visual dan Naturalistik, tidak

berhubungan langsung dengan komponen Kecerdasan Performanya, namun berhubungan

dengan komponen Kecerdasan Performa lain.

Secara umum, hasil ini menunjukkan bahwa:

Ada korelasi antara Kecerdasan Potensi dan Kecerdasan Performa

Fingerprint Analysis memang mampu mengidentifikasi faktor innate atau bawaan yang dalam teori Multiple Intelligences didefinisikan sebagai komponen-komponen kecerdasan.

2. Berkaitan dengan Cara Pembacaan

Pengidentifikasian berdasarkan asumsi jumlah saraf di otak yang teridentifikasi melalui pola sidik

jari, tidak bisa dibaca sebagai tinggi-rendah kecerdasan, melainkan simple dan complex. Baik simple

maupun complex, keduanya menyiratkan kekuatan sekaligus kelemahan.

Berikut ini adalah contoh bentuk cara pembacaan yang relevan dengan apa yang menjadi

temuan dan analisis pada penelitian ini. Semakin mengarah ke simple menunjukkan semakin sedikit

saraf yang teridentifikasi tumbuh di area otak yang berkaitan dengan suatu komponen kecerdasan.

Sebaliknya, semakin mengarah ke kompleks ketika hasil identifikasi menunjukkan semakin banyak

saraf yang tumbuh di area otak yang berkaitan dengan kecerdasan tertentu.

Komponen Kecerdasan Simple Balance Kompleks Logika-Matematika Logika-Bahasa Spasial-Visual Musik Kinestetik Intrapersonal Interpersonal Naturalistik

Cara pembacaan ini mengoreksi cara pembacaan yang menempatkan dalam konteks superior –

inferior atau Tinggi – Rendah pada konfigurasi komponen kecerdasan yang teridentifikasi.

3. Berkaitan dengan lingkungan yang membentuk Kecerdasan Performa

Pemetaan potensi jelas penting dan bisa dilakukan melalui fingerprint analysis. Namun, pembentukan

potensi menjadi performa, tidak sesederhana stimulasi di lingkungan mikro, melainkan harus

disadari bahwa individu juga menjadi bagian dari lingkungan makro. Faktor kebudayaan, baik di

lingkup daerah maupun bangsa, turut memengaruhi.

Pembentukan kecerdasan, bukan sebuah kerja individual, melainkan melibatkan banyak pihak.

Apalagi di era di mana teknologi informasi begitu mudah, hal ini membuat kontribusi orang tua

terhadap kecerdasan anak pun menjadi berkurang. Anak, akan seringkali dihadapkan pada sebuah

stimulasi atau informasi di mana mereka harus belajar sendiri dalam pengelolaannya.

REKOMENDASI

Penelitian yang penulis lakukan adalah satu mata rantai yang dapat membuka pada penelitian-

penelitian lain, semacam: Budaya di Indonesia, khususnya budaya pendidikan dan pengaruhnya

terhadap pembentukan kecerdasan individu. Bagaimana pun, penelitian ini sudah menunjukkan

indikasi suatu hubungan, penelitian lanjutan yang bisa dikembangkan antara lain:

Melakukan penelitian di kota lain, melihat perbandingannya dengan apa yang ada di

penelitian ini.

Melakukan uji pengaruh kecerdasan potensi terhadap kecerdasan performa, dengan

memerhitungkan aspek-aspek lain yang mungkin menjadi variabel pendamping atau

interverning variabel.

Melakukan penelitian longitudinal, mengingat pentingnya pemahaman lebih jauh mengenai

Kecerdasan Potensi dan kaitannya dengan perkembangan Kecerdasan Performa.

Melakukan rekonseptualisasi pembacaan hasil fingerprint test dengan menghilangkan

persoalan tinggi rendah pada masing-masing komponen kecerdasan dan menggantinya

dengan simple-kompleks, karena pada dasarnya acuan pertumbuhan saraf di bagian otak

tidak selalu mengatakan soal tinggi-rendah kapasitas mengolah informasi, namun simple-

kompleks dalam mengolah informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim; Retrieved 12 april 2012 pukl 3.55 WIB; Online documents:

http://www.brainwonders.in/brain-&-finger-how-it-connects.html

Anonim; Brain Network Related To Intelligence Identified; Retrieved 25 Agustus 2011 pukul 11.07

WIB; Online documents:

http://www.sciencedaily.com/releases/2007/09/070911092117.htm

Anonim; Neuroscientists find brain system behind general intelligence; Retrieved 20 Agustus 2011;

Online document: http://www.physorg.com/news186071954.html

Anonim; Retrieved 20 Agustus 2011 pukul 8.07 WIB; ;Online documents:

http://www.sciencedaily.com/releases/2009/03/090311124020.htm

Cesarik, M dkk; (1996); Quantitative Dermatoglyphic Analysis in Persons with Superior Intelligence;

dalam Coll. Antropol 20

Given, Barbara K.; (2007); Brain-Based Teaching; saduran Lala Herawati Dharma; Bandung: Kaifa

Guijun, Zhai; (2006); Report On Study Of Multivariate Intelligence Measurement Through

Dermatoglyphic Identification; retrieved 30 Mei 2011 pukul 13.46 WIB; online documents:

http://www.zdzw.com/html/yulw.htm

Hillenbrand, Trillby; (2008); The Relationships between IQ Phenotypic Variance and IQ Herritability

as a Function of Environment; Retrieved 20 Agustus 2011 pukul 14.45 WIB; Online

documents:

http://writing.rochester.edu/celebrating/07_winners/hillenbrand_colloquium_essay.pdf

Howard Gardner; (1983); Frames of Mind – The Theory of Multiple Intelligences; New York:

BasicBooks

Ian J. Deary, dkk; (2000); Testing Versus Understanding Human Intelligence; retrieved 20 Agustus

2011; online documents: http://homepages.ed.ac.uk/ijdeary/papers/PsychPubPol.pdf

Jung ,Rex E. dan Haier, Richard J.; (2007); The Parieto-Frontal Integration Theory (P-FIT) of

intelligence: Converging neuroimaging evidence; dalam Behavioral and Brain Sciences

(2007) 30

Junita Anna Tanudjaja, dkk; (2003); Pengaruh Relasi Ortu-Anak terhadap Perkembangan

Kecerdasan Emosional; makalah pada Social Research Competition II; tidak diterbitkan.

Moore, Kimberly Sena; (2011); Your Musical Self; retrieved 10 April 2012 pukul 10.58 WIB ;Online

documents: http://www.psychologytoday.com/blog/your-musical-self/201110/teens-and-

music-noise-or-necessary

Ramey, Craig T., dkk; (2001); Intelligence and Experience; dalam Environmental Effects on Cognitive

Ability, editor Robert Sternberg dan Elena Grigorenko; London: Lawrence Erlbaum

Associate

Ratih Ibrahim, dkk; (2010); Analisa Sidik Jari dan Psikologi; makalah yang dipresentasikan pada

Workshop Pra Konferensi Nasional 2 Ikatan Psikologi Klinis 4 Februari 2010 di Yogyakarta

LAMPIRAN 1: UJI VALIDITAS TES KECERDASAN PERFORMA

Logika-Matematika

Correlations

Logmath

VAR00001 Pearson Correlation .384**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00002 Pearson Correlation .302**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00003 Pearson Correlation .255**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00004 Pearson Correlation .562**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00005 Pearson Correlation .377**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00006 Pearson Correlation .396**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00007 Pearson Correlation .491**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00008 Pearson Correlation .369**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00009 Pearson Correlation .300**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

VAR00079 Pearson Correlation .428**

Sig. (2-tailed) .000

N 321

Logmath Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 321

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Logika-Bahasa

Correlations

LogBhs

VAR00001 Pearson Correlation .426**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00002 Pearson Correlation .361**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00003 Pearson Correlation .352**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00004 Pearson Correlation .387**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00005 Pearson Correlation .325**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00006 Pearson Correlation .358**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00007 Pearson Correlation .284**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00008 Pearson Correlation .402**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00009 Pearson Correlation .210**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

VAR00010 Pearson Correlation .217**

Sig. (2-tailed) .000

N 322

LogBhs Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 322

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Spasial – Visual

Correlations

SpasVis

VAR00001 Pearson Correlation .345**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00002 Pearson Correlation .462**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00003 Pearson Correlation .544**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00004 Pearson Correlation .472

**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00005 Pearson Correlation .070

Sig. (2-tailed) .212

N 323

VAR00006 Pearson Correlation .461**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00007 Pearson Correlation .378**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00008 Pearson Correlation .322**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00009 Pearson Correlation .491

**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00010 Pearson Correlation .488**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

SpasVis Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 323

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Musik

Correlations

Musik

VAR00001 Pearson Correlation .496**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00002 Pearson Correlation .557**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00003 Pearson Correlation .548**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00004 Pearson Correlation .269**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00005 Pearson Correlation .262**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00006 Pearson Correlation .495**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00007 Pearson Correlation .578**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00008 Pearson Correlation .558**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00009 Pearson Correlation .668**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

VAR00010 Pearson Correlation .442**

Sig. (2-tailed) .000

N 323

Musik Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 323

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Kinestetik

Correlations

Kinestetik

VAR00001 Pearson Correlation .389**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00002 Pearson Correlation .548**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00003 Pearson Correlation .392**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00004 Pearson Correlation .317**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00005 Pearson Correlation .209**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00006 Pearson Correlation .467**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00007 Pearson Correlation .470**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00008 Pearson Correlation .331**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00009 Pearson Correlation .500**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00010 Pearson Correlation .402**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

Kinestetik Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 324

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Intrapersonal

Correlations

Intrapersonal

VAR00001 Pearson Correlation .388**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00002 Pearson Correlation .293**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00003 Pearson Correlation .457**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00004 Pearson Correlation .354**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00005 Pearson Correlation .511**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00006 Pearson Correlation .507**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00007 Pearson Correlation .498**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00008 Pearson Correlation .351**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00009 Pearson Correlation .554**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00010 Pearson Correlation .222**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

Intrapersonal Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 324

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Interpersonal

Correlations

Interpersonal

VAR00001 Pearson Correlation .379**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00002 Pearson Correlation .300**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00003 Pearson Correlation .397**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00004 Pearson Correlation .371**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00005 Pearson Correlation .390**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00006 Pearson Correlation .399**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00007 Pearson Correlation .358**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00008 Pearson Correlation .187**

Sig. (2-tailed) .001

N 324

VAR00009 Pearson Correlation .312**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00010 Pearson Correlation .321**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

Interpersonal Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 324

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Naturalistik

Correlations

Naturalistik

VAR00001 Pearson Correlation .300**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00002 Pearson Correlation .346**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00003 Pearson Correlation .438**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00004 Pearson Correlation .209**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00005 Pearson Correlation .376**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00006 Pearson Correlation .363**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00007 Pearson Correlation .469**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00008 Pearson Correlation .417**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00009 Pearson Correlation .462**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

VAR00010 Pearson Correlation .351**

Sig. (2-tailed) .000

N 324

Naturalistik Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed)

N 324

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


Recommended