1
HUKUMAN MATI
PERSPEKTIF RELATIVISME HAK ASASI MANUSIA1
Abdul Rokhim2
(Dipublikasikan dalam “Jurnal Transisi” Media Penguatan Demokrasi Lokal,
Edisi No. 10/2015, ISSN: 1978-4287, Penerbit Intrans Institute, Malang, h. 20-40)
Abstract
The application of the death penalty has opponents and supporters among the
criminal law experts and human rights observers, with each argument. For those who
oppose the death penalty, it is a form of murder is not run of the nature of cruelty.
Conversely, for those who support it, the death penalty is fair to be charged to those who
violate the rights of other people's lives, such as murder, terrorism, genocide, including
narcotics crime. The death penalty against the perpetrators of serious crimes that have
caused many casualties on the community is not contrary to human rights, as in the
context of human rights in Indonesia requires a balance between the rights and
obligations of human rights. The imposition of the death penalty for the perpetrators of
serious crimes is a form of implementation of human rights restrictions are relative in
accordance with the constitution and the laws in force in each country, because in doing
their evil actions had violated the right to life of others.
Keywords: Death Penalty; Relativism; Human Rights
Pendahuluan
Manusia sepanjang hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan hukum,
apabila manusia ingin hidup aman, tenteram, adil dan makmur. Karena hukum dalam
arti yang luas menerobos masuk ke dalam seluruh kehidupan manusia, baik dalam hal-
hal yang paling elementer, sederhana, maupun ke dalam hal-hal yang paling kompleks
dan rumit. Makna hukum yang demikian itu sejalan dengan watak (karakter) norma
hukum yang berbeda-beda, terkadang tampak lembut dan terkadang tampak keras,
bergantung pada aspek dan tujuan hukum yang hendak dicapai.
Kelembutan norma hukum tampak dalam aturan terkait dengan penyelesaian
perkara perdata, yang antara lain dirumuskan dengan istilah “berdasarkan musyawarah”,
“kesepakatan para pihak”, “dengan itikad baik”, dan lain-lain. Sebaliknya, watak hukum
tampak garang dan keras antara lain tampak pada norma hukum pidana, misalnya
“hukuman mati”, hukuman penjara seumur hidup, dan lain-lain. Namun demikian, yang
pasti bahwa dalam masyarakat atau negara yang bagaimanapun bentuknya, tidak akan
lepas dari hukum, karena hukum bertujuan untuk menertibkan dan mengatur sendi-sendi
kehidupan masyarakat tanpa kecuali, termasuk dengan ancaman hukuman mati, apabila
dipandang perlu.
1 Makalah telah dipresentasikan dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Intrans
Institute pada hari Senin, 23 Maret 2015, di Wisma Kalimetro Jl. Joyosuko Metro 42 Merjosari, Malang. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
2
Hukuman mati mempunyai sejarah yang lama dalam masyarakat manusia, dan
pernah berlaku di hampir semua masyarakat. Biasanya, hukuman mati itu dilaksanakan
demi menegakkan keadilan di dalam masyarakat. Sangat susah untuk mengetahui
dengan tepat kapan pertama kali hukuman mati dilakukan. Hukuman mati resmi diakui
bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya Undang-undang Raja
Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang
diancam dengan hukuman mati. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman
mati berubah-ubah. Misalnya saja di kerajaan Yunani di abad ke-7 SM hukuman mati
berlaku untuk semua tindak pidana. Pada masa-masa selanjutnya jenis tindak pidana
yang diancam pidana mati semakin terbatas.
Cara eksekusi hukuman mati dari waktu ke waktu semakin berubah. Pada
masyarakat komunal, hukuman mati diterapkan dengan cara amat keji seperti dikubur
hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dirajam atau dilempar
batu ramai-ramai. Pada periode ini hukuman mati sangat bervariasi di setiap tempat.
Pada umumnya eksekusi dilakukan untuk menjadi tontonan publik. Pada periode ini
pelaku kejahatan ringan seperti mencopet atau mencuri pun bisa dihukum mati.
Pada akhir abad ke-18 hukuman mati di depan publik dinilai tidak lagi manusiawi.
Saat itu para ahli hukum pidana mulai mencari cara eksekusi yang lebih "manusiawi".
Salah satu metode eksekusi yang digunakan saat Revolusi Prancis dengan alat bernama
guillotine, semacam pisau raksasa untuk memenggal leher terpidana. Pada saat yang
sama Inggris menerapkan hukuman gantung, yang dinilai lebih manusiawi dibanding
cara sebelumnya yang menggunakan kursi lontar, yakni dengan melontarkan terpidana
dari ketinggian. Amerika Serikat pada tahun 1800 juga mengembangkan cara eksekusi
yang lebih "manusiawi", yakni dengan kursi listrik, suntik mati, dan kamar gas, yang
sebelumnya dilakukan dengan hukum gantung atau hukum pancung ataupun melempari
terpidana dengan batu (rajam) hingga tewas.
Di Republik Rakyat China eksekusi tembak mati oleh regu tembak di depan publik
masih diterapkan, terutama untuk para koruptor. Eksekusi seperti ini dinilai masih
efektif untuk menimbulkan efek jera bagi orang lain. Mungkin itulah yang membuat
China hingga tahun 2006 tercatat sebagai negara yang paling banyak mengeksekusi
terpidana mati. Data resmi menyebutkan 1.100 terpidana mati dieksekusi tahun lalu. Di
belakang China, membuntuti Iran (177 eksekusi), Pakistan (82), Irak (65), Sudan (65),
serta Amerika Serikat (53 eksekusi).3
Betapapun "manusiawinya" cara eksekusi terpidana mati, hukuman ini oleh
sebagian kalangan tetap dinilai sebagai salah satu bentuk hukuman yang keji. Karena itu,
kini 90 negara di dunia menghapus hukuman mati sama sekali. Sebelas negara lainnya
menghapus hukuman mati kecuali untuk kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Selain itu, 32 negara tidak menghapus hukuman mati, namun tak pernah juga
menerapkan hukuman mati. Di negara-negara seperti ini para hakim menggunakan
diskresinya untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Sementara itu masih ada 64 negara,
termasuk Indonesia, yang hingga kini menerapkan hukuman mati.4
3 http://1biru.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukuman-mati.html. Akses 20 Maret 2015
4 Ibid.
3
Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama
dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas
tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah
pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang
bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan
pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat
dilihat dari beberapa pandangan.
Herbert L. Packer5 menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang
masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni
pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini
melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas
dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat
melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan
dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan
yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain
pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan
melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan
(forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Secara garis besar teori-teori tentang tujuan pemidanaan, menurut Muladi dibagi
menjadi 3 kelompok yakni: a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori
retributif teleologis. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa
sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk
memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan
bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori retributif-
teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan
antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini
5 Lihat, Roger B. Dworkin, "The Limits of the Criminal Sanction, by Herbert L. Packer," Indiana
Law Journal: Vol. 44: Iss. 3, Article 7, Indiana University, Bloomington, 1969, hlm. 494-495
4
bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan
dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan
karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu
reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Karena tujuannya bersifat
integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: a) pencegahan umum dan khusus;
b) perlindungan masyarakat; c) memelihara solidaritas masyarakat dan d) pengimbalan
atau pengimbangan.
Selanjutnya, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro di Semarang tahun 1990, Muladi menyatakan bahwa hukum
pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht),
sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan
pembalasan. Pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana di dalam
perundang-undangan. Hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan si
pelaku saja (daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan
berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang lebih luas,
yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak
pidana. Dengan demikian maka yang paling tepat secara integral hukum pidana harus
melindungi pelbagai kepentingan di atas, sehingga hukum pidana yang dianut harus
daad-daderstafrecht.
Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, gambaran tentang penerapan teori
integratif dalam pemidanaan nampak dari pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional
dalam merumuskan pidana mati dalam konsep KUHP baru. Masalahnya adalah hingga
saat ini para ahli hukum pidana dan hak asasi manusia masih terbelah menjadi dua
antara yang setuju dan menolak penerapan hukuman mati di Indonesia dengan berbagai
alasan dan argumentasinya. Bahkan, di kalangan masyarakat Indonesia hingga saat ini,
juga masih banyak yang setuju pandangan yang mempertahankan hukuman mati (kaum
retensionis) dan pandangan yang menolak hukuman mati atau setuju penghapusan
hukuman mati (kaum abolisionis).
Pro Kontra Hukuman Mati
Walaupun banyak negara menggunakan hukuman mati sebagai hukuman untuk
kejahatan berat (serious crime), dewasa in terdapat beberapa negara yang tidak
menerapkan hukuman mati, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat
Eropa. Mereka menganggap hukuman mati adalah tindakan yang melanggar hak
kemanusiaan.6 Penolakan terhadap hukuman mati di beberapa negara yang mayoritas
penduduknya beragama Kristen, sejalan dengan pesan Paus Fransiskus kepada anggota
Komisi Internasional Menentang Hukuman Mati yang menyatakan: “Hukuman mati adalah kejam, tidak manusiawi dan merupakan pelanggaran terhadap
martabat kehidupan manusia. Hukuman mati tidak dapat diterima, dan merupakan sebuah
kejahatan serius. Keadilan tidak pernah bisa dilakukan dengan membunuh manusia lain
6 http://ms.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati. Akses 20 Maret 2015
5
dan dia menekankan tidak ada cara manusiawi melaksanakan hukuman mati. Bagi orang
Kristen, semua kehidupan adalah suci karena setiap orang dari kita diciptakan oleh Allah,
yang tidak ingin menghukum satu pembunuhan dengan yang lain, melainkan ingin
melihat pertobat dari pembunuh”.7
Sebaliknya, ancaman pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan dikenal
dalam hukum Islam dengan nama Qishash, tetapi penerapannya tidak mutlak,
bergantung ada atau tidaknya permaafan dari ahli waris korban, sebagaimana tercantum
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178 sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan
hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada pihak yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang
telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa
yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih.”
Selanjutnya, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 179 Allah berfirman:
“Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa”.
Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan
terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus
dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang
terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyat.
Diyat adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang
ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari
hukuman Qishash.
Penerapan hukuman mati memiliki pendukung dan penentang di kalangan ahli
hukum pidana dan hak asasi manusia dengan argumentasinya masing-masing. Bagi
pihak penentang, hukuman mati adalah satu bentuk pembunuhan juga. Sebagai satu
bentuk pembunuhan, ia tidak lari dari sifat kekejaman. Lagi pula, hidup manusia
merupakan hak Tuhan, karena itu manusia tidak berhak mengambil nyawa manusia
karena mencabut hak hidup manusia bukanlah hak manusia. Sebaliknya, bagi mereka
yang mendukung hukuman mati, hukuman mati adalah adil untuk dikenakan kepada
mereka yang melanggar hak hidup orang lain, seperti pembunuhan berencana, terorisme,
pembunuhan massal terhadap etnis tertentu (genosida), termasuk kejahatan narkoba.
Berdasarkan prinsip pembalasan yang dikenal dalam sistem pemidanaan, mereka yang
membunuh atau yang tindakannya menyebabkan “matinya” (banyak) manusia harus
dikenakan hukuman mati berdasarkan putusan pengadilan.
Mengacu pada kedua pandangan tersebut maka dari segi analisis hierarki nilai,
mereka yang menyokong hukuman mati sebenarnya telah meletakkan nilai keadilan di
atas nilai "sayang kepada nyawa". Sedangkan, bagi mereka yang menentang hukuman
mati, mereka meletakkan nilai "sayang kepada nyawa" di atas nilai keadilan.
7 http://www.onvsoff.com/2015/03/paus-fransiskus-hukuman-mati-adalah-sebuah-kejahatan-serius.
Akses 20 Maret 2015
6
Hukuman Mati dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati sebagai salah satu jenis pidana
pokok sebagaimana diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang dapat dikategorikan
sebagai kejahatan berat, antara lain sebagai berikut:
1. Pasal 104: makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden;
2. Pasal 111 ayat (2): membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu dilakukan atau jadi perang;
3. Pasal 124 ayat (3): membantu musuh pada waktu perang;
4. Pasal 140 ayat (3): makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
direncanakan dan berakibat maut;
5. Pasal 340: pembunuhan berencana (moord; murder);
6. Pasal 365 ayat (4): pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati;
7. Pasal 368 ayat (2): pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati;
8. Pasal 444: pembajakan di laut, pesisir, dan sungai yang mengakibatkan kematian.
Selanjutnya, dalam beberapa peraturan di luar KUHP juga terdapat ketentuan
pidana yang memberikan ancaman pidana mati bagi pelanggarnya, antara lain:
1. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Prp Tahun 1959 tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
2. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Api,
Amunisi atau Bahan Peledak.
3. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan
terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
4. Pasal 114 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terkait
dengan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I.
5. Pasal 269 ayat (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa
orang lain dan mengakibatkan matinya orang.
Bahkan, dalam Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
1. Pasal 164 bagi barang siapa secara melawan hukum dimuka umum melakukan
perbuatan menentang ideologi negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945
dengan maksud mengubah bentuk negara atau susunan pemerintahan sehingga
berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat.
2. Pasal167 bagi barangsiapa yang melakukan makar untuk membunuh Presiden dan
Wakil Presiden.
3. Pasal186 bagi barangsiapa yang memberikan bantuan kepada musuh pada saat perang.
Menarik untuk dicatat dalam hal ini adalah dalam Rancangan KUHP 1991/1992
pidana mati dikeluarkan dari stelsel pidana pokok yang diatur dalam ketentuan umum
KUHP dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai
pidana eksepsional (perkecualian). Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana
pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan yang menolak
(retensionis) dan yang menerima (abolisionis) hukuman mati.
7
Hukuman Mati dalam Konteks HAM
Secara historis, HAM pada dasarnya terkait dengan dan memang terbatas pada
konsep-konsep kultural dan filosofis dari tradisi Oksidental, khususnya Eropa Barat dan
Amerika Utara. Hal ini sejalan dengan pandangan Huntington, yang mengatakan bahwa
dalam peta politik global, HAM -- sebagaimana demokrasi, liberalisme, dan sekularisme
politis – memang berasal dari dan dimiliki oleh peradaban Barat.8 Asumsi bahwa HAM
pada hakikatnya merupakan konsep Barat itu bisa menyebabkan akibat praktis yang
berbeda. Para penganut paham relatif kultural menolak HAM universal karena
merupakan wujud keangkuhan Eropasentris. Abul A’la al Mawdudi, seorang penulis
dari Pakistan, dengan sengit mengecam kecongkakan Barat dalam konteks HAM,
dengan mengemukakan “orang-orang Barat memiliki kebiasaan mengaku-aku bahwa
segala hal yang baik itu milik mereka sendiri. Mereka berusaha membuktikan bahwa
berkat merekalah dunia ini memperoleh anugerah”.9 Padahal sesungguhnya konsepsi
dan nilai-nilai HAM lebih dahulu dikenal dan bahkan dapat dikatakan berasal dari
ajaran-ajaran Agama, termasuk Islam, dan budaya non-Barat.
Sejak dunia mengenal dan dihadapkan pada berbagai komunitas kultural, yang
masing-masing memiliki watak berbeda, maka kita pun akan menjumpai standar sosial
dan kultural yang berbeda-beda. Keadaan yang demikian itu akan sangat menentukan
bagaimana HAM akan dijalankan di dunia. Perbedaan dalam standar yang disebabkan
oleh perbedaan habitat sosio-kultural tidak berarti bahwa HAM di sana sini akan ditolak
secara mutlak. Hal itu akan sangat tergantung pada kesabaran dunia dengan membiarkan
terjadinya pembauran-pembauran, saling memasuki dan saling mencerahkan antar
komunitas di dunia. Kultur bangsa-bangsa di dunia berubah sesuai dengan dinamika
perkembangan dunia dan itulah saatnya HAM menjadi “universal” secara alami. Untuk
mendekatkan perbedaan-perbedaan dalam penggunaan standar HAM, perlu terjadinya
suatu dialog lintas budaya (cross-cultural dialogue) dari berbagai bangsa di seluruh
dunia. Dengan demikian, dalam perspektif sosio-kultural, usaha untuk memajukan HAM
di dunia bukan dilakukan dengan cara mengangkatnya ke aras internasional, melainkan
justru sebaliknya dengan membumikan atau mengakarkannya ke dalam sekian banyak
masyarakat atau bangsa-bangsa di dunia.10
Mengacu pada latar belakang historis dalam perspektif sosio-kultural sebagaimana
tersebut di atas, secara teoritis pandangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
memunculkan dua teori, yaitu Teori Natural Right dan Teori Cultural Relativism.
Menurut teori Natural Right, hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh umat manusia
sepanjang masa dan di semua tempat dimana dia dilahirkan sebagai umat manusia.
Menurut Cultural Relativism HAM sangat tergantung pada manusia sebagai makhluk
yang selalu menghasilkan budaya, tradisi sosial, dan peradaban serta pandangan ideologi
8 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Simon &
Schuster, New York, 1996, hlm. 70 9 Heiner Bielefeldt, “Hak Asasi Manusia: Benturan antara Barat dan Islam?” dalam Jurnal Wacana
Hak Asasi Manusia antara Skenario Kemanusiaan dan Proyek Global, Edisi 8 Tahun II, Insist Press,
Yogyakarta, 2001, hlm. 13 10
Satjipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya”, dalam Muladi (Editor), Hak
Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung, 2005, hlm. 221-222
8
yang berbeda. Kedua teori ini kermudian melahirkan konsep HAM universal dan HAM
relatif.
Konsep HAM yang universal berpandangan bahwa HAM merupakan hak-hak
kodrati yang dimiliki manusia sejak lahir. Universalisme HAM kemudian melahirkan
keseragaman pandangan dan standar HAM. Pandangan ini melihat HAM sebagai nilai-
nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM internasional.
Dalam pandangan ini, profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa
tidak diperhitungkan. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi
negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif, karena menerapkan HAM
sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of judgement) menurut ukuran-
ukuran atau standar negara maju.
Sedangkan konsep HAM relatif berpandangan bahwa walaupun HAM dimiliki
oleh semua manusia di muka bumi, tetapi setiap masyarakat dan setiap negara
mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai HAM. Pandangan ini melihat
persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian perkecualian dan
pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap diakui
keberadaannya. Dengan perkataan lain, berlakunya dokumen-dokumen HAM
internasional harus diselaraskan dengan budaya masing-masing bangsa. Konsep HAM
relatif ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa terdapat dimensi
kontekstualitas dalam penegakan HAM ditinjau dari tempat berlakunya HAM tersebut.
Oleh karena itu, walaupun HAM itu bersifat universal, namun pelaksanaan HAM tidak
mungkin disamaratakan antara suatu negara satu dengan negara lainnya. Masing-masing
negara mempunyai perbedaan konteks sosial, kultural maupun hukumnya, termasuk
pengalaman sejarah dan perkembangan masyarakat yang sangat mempengaruhi
pengaturan dan penegakan HAM. Pandangan HAM relatif partikularistik, yang demikian
ini menurut Muladi cocok dianut oleh Indonesia.11
Persoalannya adalah konsepsi HAM di Indonesia sering “terjebak” ke dalam
pandangan yang ekstrim, yang disebut universalisme dan relativisme (partikularisme).
Dalam The Jakarta Message dan Deklarasi Kualalumpur (1993) telah diakui bahwa ada
perbedaan konsep HAM sebagaimana telah disebutkan di atas. Pengakuan tersebut tidak
berarti merupakan jurang pemisah antara negara-negara Barat dan negara-negara Timur,
khususnya negara-negara di kawasan Asia. Jurang pemisah ini tidak akan pernah ada
karena pergaulan internasional. Perbedaan cara pandang karena pertimbangan filosofis,
historis dan sosiologis terkait dengan konsep HAM membawa implikasi perbedaan
terhadap cara pandang bagaimana seharusnya perlindungan atas HAM tersebut
diimplementasikan di masing-masing negara.
Perlindungan HAM dalam konteks masyarakat Barat (Amerika Serikat) terutama
ditujukan kepada interrelasi antara penguasa dan warga masyarakat dengan asumsi tidak
adanya kesetaraan kedudukan (persamaan) antar keduanya, sehingga pola kriminalisasi
perbuatan pelanggaran HAM selalu ditujukan kepada penguasa (asumsi negatif).
Sedangkan, perlindungan HAM dalam konteks masyarakat Timur (Indonesia) terutama
ditujukan kepada interrelasi antar warga masyarakat dan penguasa dengan asumsi yang
bersifat normatif tradisional, yaitu pola interrelasi yang serasi, selaras dan seimbang
(asumsi positif). Dengan demikian, maka pola kriminalisasi perbuatan pelanggaran
11
Muladi, HAM dan Keterbukaan, ITB, Bandung, 1994, hlm. 5
9
HAM dalam konteks cara pandang masyarakat Indonesia tidak selalu dan harus
selamanya ditujukan terhadap penguasa semata-mata, akan tetapi juga terhadap
interrelasi antar warga masyarakat yang memiliki perbedaan asal usul etnis dan agama.12
Internalisasi nilai-nilai HAM merupakan wujud nyata dari pengakuan rakyat dan
penguasa (pemerintah) terhadap HAM yang selanjutnya diatur secara formal dalam
suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi keduanya.
Ketentuan hukum mengenai HAM pada intinya menjamin hak yang paling
mendasar dari semua hak yang dimiliki manusia, yaitu hak hidup, sebagaimana termuat
dalam Pasal 5 dan 8 Deklarasi HAM. Wujud penghormatan tertinggi atas hak hidup,
menurut G. Robertson Q.C., merupakan bagian terpenting terhadap HAM. Dengan
demikian, hak hidup manusia tidak gampang diambil atau dicabut.13
Hanya atas dasar
dan landasan hukum yang mengandung nilai responsif, konstitusional dan formal, HAM
dapat dikurangi atau dicabut. Itupun harus melalui proses hukum yang adil dan benar
(due process of law), pencabutan HAM baik untuk sementara maupun seterusnya, dapat
dibenarkan. Sebab, menurut Elaine Pagels sebagaimana dikutip oleh Masyhur Effendi:
“On essential element of a human rights policy will involve constructing its
philosophical and religious basis in terms that will speak to people of various
cultures”.14
Terkait dengan konsep HAM, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada
hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Adapun macam-macam HAM menurut Undang-Undang No. 39 tahun
1999, antara lain: hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan,
hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan dan hak turut
serta dalam pemerintahan.
HAM pada tahap pelaksanaannya masuk persoalan hukum, dan oleh karena itu
harus diatur dalam hukum konstitusi.15
Di Indonesia sejarah pengaturan mengenai HAM
dalam konstitusi (UUD 1945) menuai kontroversi. Pada saat itu terjadi perbedaan
pendapat antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Hatta dan Yamin di pihak
lain. Pihak pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang bersifat individual ke
dalam UUD, karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara
berdasarkan kekeluargaan dan persatuan atau yang disebut negara integralistik. Dengan
pandangan kenegaraan yang bersifat integralistik, menurut Soepomo, maka tidak
diperlukan adanya HAM yang bersumber dari nilai-nilai liberal dan individual.16
12
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2001, hlm. 128 & 130 13
A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 61 14
Ibid. 15
A. Masyhur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 127 16
Adnan Buyung Nasution, “Sejarah Perdebatan HAM di Indonesia”, dalam E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta,
2000, hlm. 21
10
Sedangkan pihak kedua menghendaki UUD memuat masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan
rapat untuk mengesahkan UUD Negara RI. Dengan demikian terwujudlah perangkat
hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar (asasi) serta kewajiban-kewajiban asasi
pula. Hal ini sejalan dengan latar belakang perjuangan HAM di Indonesia yang bersifat
kebangsaan, bukan atas dasar paham individualisme. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa konsep HAM di Indonesia lebih cenderung bertumpu pada asas kekeluargaan dan
kebangsaan (kolektivisme), tidak bersifat liberalisme-individualistik.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa konsep penegakan HAM di
Indonesia bersifat limitatif. Konsep penegakan HAM dibatasi dengan kewajiban-
kewajiban dasar manusia. Kewajiban dasar manusia, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah seperangkat kewajiban
yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia. Secara yuridis ketentuan mengenai kewajiban dasar manusia yang sekaligus
merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia telah diatur dalam pasal 28J UUD
1945, pasal 67, pasal 69 ayat (1) dan (2) dan pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
Pasal 28J UUD 1945 menyatakan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban dasar manusia diatur dalam
UU No. 39 Tahun 1999 sebagai berikut:
1) Setiap orang yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada
peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional hakasasi
manusia yang telah diterima oleh negara RI (pasal 67);
2) Setiap orang wajib menghormati hak asasi menusia orang lain, moral, etika, dan tata
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (pasal 69 ayat (1);
3) Setiap hak asasi manusi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab
untuk menghormati hak asasi manusia secara timbal balik menjadi tugas pemerintah
untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya (pasal 69 ayat (2);
4) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, kemanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (pasal 70).
Dengan demikian apabila ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah HAM di Indonesia, pengaturan pidana mati terhadap tindak pidana
tertentu yang termasuk kategori kejahatan paling serius (the most serious crime) dalam
undang-undang jelas bukan merupakan suatu pelanggaran HAM. Karena, baik UUD
1945 maupun Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
11
mengakui adanya pembatasan dalam pelaksanaan HAM. Dipidananya para pelaku
kejahatan serius, misalnya terorisme dan kejahatan narkoba, dengan pidana mati
merupakan bentuk implementasi dari pembatasan tersebut. Hak hidup mereka dibatasi
karena dalam melakukan aksi kejahatan mereka telah melanggar HAM orang lain,
khususnya melanggar hak hidup orang lain. Pembatasan itu dilakukan semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak-hak dan kebebasan orang lain.17
Berdasarkan hal tersebut di atas, kalangan yang berpendapat bahwa penerapan
hukuman mati terhadap tindak pidana tertentu merupakan suatu pelanggaran HAM dan
melanggar konstitusi jelas tidak mempunyai argumen yang kuat. Sebaliknya, penegakan
HAM tidak boleh mengabaikan hak-hak orang lain, melainkan harus menghormati dan
mengakui keberadaan hak-hak orang lain. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas,
gagasan yang menuntut dihapuskannya pidana mati merupakan bentuk pelaksanaan
HAM yang sepihak dan individul, karena hanya memperhatikan HAM pada sisi pelaku
(offender), dan mengabaikan perlindungan HAM terhadap pihak lain sebagai korban
(victim). Tentunya hal ini tidak adil dan tidak dibenarkan secara hukum.
Jika dengan alasan melanggar HAM, hak hidup seorang terpidana yang telah
terbukti melakukan tindak pidana yang termasuk kategori serius, hukuman mati
dipersoalkan, lantas bagaimana dengan hak hidup korban dan nasib keluarga korban
yang anggota keluarganya telah dirampas hak hidupnya, sementara si perampas hak
hidup (pelaku) justru dilindungi dari hukuman mati dengan alasan melanggar HAM,
khususnya hak hidup. Tampak, penolakan hukuman mati itu lebih untuk menyelamatkan
hak hidup pelaku, tetapi mengabaikan hak hidup korban. Di samping itu, pelaku
kejahatan serius juga berpotensi mengancam hak hidup anggota masyarakat lainnya.
Sehingga kalau dengan alasan pelangggaran HAM pidana mati ingin dihapuskan, hal
tersebut yang justru mengingkari Konstitusi dan Undang-undang HAM yang bertujuan
melindungi HAM bagi masyarakat secara keseluruhan.
Persoalannya, apakah kejahatan narkotika dan obat terlarang (narkoba), khususnya
bagi pelaku yang memproduksi dan terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba baik
nasional maupun trans-nasional termasuk kategori kejahatan serius dan oleh karena itu
pelakunya layak dikenakan pidana mati? Jawaban atas pertanyaan ini terpulang pada
kebijakan legislasi masing-masing negara dalam rangka mencegah dan memberantas
kejahatan narkoba. Karena, masing-masing negara memiliki kedaulatan hukum sendiri
untuk mengatur jenis-jenis tindak-tindak pidana dan ancaman hukumannya bagi
pelakunya. Setiap negara merdeka memiliki kedaulatan hukum untuk menentukan
tindak-tindak pidana apa saja yang termasuk kategori kejahatan serius atau kejahatan
berat, termasuk mengenai ancaman pidana maksimum berupa hukuman mati bagi
pelakunya. Indonesia, sebagai negara yang berdaulat juga memiliki kekuasaan untuk
menentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa kejahatan narkotika
dikategorikan sebagai salah satu kejahatan serius yang pelakunya dapat diancam
hukuman mati. Kategorisasi suatu kejahatan serius atau bukan tidak harus dinyatakan
secara eksplisit dala pasal undang-undang. Dengan pencantuman hukuman mati
17
Satya Arinanto, “Sejarah HAM dalam Perspektif Barat”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning
Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000,
hlm. 6
12
terhadap suatu tindak pidana tertentu dalam suatu undang-undang berarti secara implisit
tindak pidana tersebut termasuk kategori kejahatan serius.
Hukuman mati berupa qishas dalam konteks HAM menurut pandangan hukum
pidana Islam (jinayat) dilakukan dalam rangka melindungi hak hidup (jiwa) orang lain.
Karena kehidupan merupakan suatu hal yang sangat asasi dan tidak boleh dilanggar oleh
siapapun, maka barangsiapa yang secara sengaja melanggar kehidupan orang lain (dalam
arti membunuh tanpa hak), dia harus harus dihukum setimpal (dalam arti dijatuhi
hukuman mati) supaya orang itu tidak melakukan hal yang sama di tempat lain atau
kepada orang lain. Dalam kitab fiqh dikatakan, “barangsiapa membunuh, melenyapkan
satu jiwa, maka perbuatan itu sama nilainya dengan melenyapkan seluruh jiwa”.
Sebaliknya, barangsiapa menghidupi atau menjamin kehidupan satu jiwa, maka nilainya
sama dengan menjamin kehidupan seluruh jiwa atau seluruh umat manusia.18
Jadi, pada
awalnya, hukum (pidana) Islam mengatur hukuman mati dengan hukum qisas terhadap
pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Namun, dalam perkembangannya,
hukuman mati di negara-negara Islam juga diterapkan terhadap pelaku kejahatan
terhadap narkotika dan obat terlarang (narkoba) secara selektif dan terbatas, misalnya di
Arab Saudi dan Iran.
Berdasarkan Keputusan Majelis Ulama Arab Saudi Nomor 85 tertanggal 11
Dzulqa’dah 1401:
“Orang yang mengedarkan narkoba, baik dengan membuat sendiri atau impor dari
luar, baik dengan jual-beli, atau diberikan cuma-cuma, atau bentuk penyebaran
lainnya, maka untuk pelanggaran yang dilakukan pertama, dia dihukum ta’zir yang
keras, baik dipenjara, dihukum cambuk, atau disita hartanya, atau diberikan semua
hukuman tersebut, sesuai keputusan mahkamah. Kemudian jika dia mengedarkan
lagi, dia diberi hukuman yang bisa menghindarkan masyarakat dari kejahatannya,
meskipun harus dengan hukuman mati. Karena orang yang melakukan kejahatan
tersebut termasuk merusak di muka bumi.19
Terkait dengan kasus kejahatan narkoba, di Iran pada bulan Oktober 2012, seorang
pekerja toko bernama Saeed Sedeghi dihukum mati atas pelanggaran narkoba. Sedeghi
bersama dengan sembilan orang lainnya dihukum mati seminggu setelah pejabat
peradilan mengumumkan hukuman mati. Kematian mereka merupakan hanyalah bagian
lebih dari 360 orang telah dieksekusi mati karena masalah narkoba tahun ini saja.
Banyak negara retensionis (yang masih mempertahankan hukuman mati) berpendapat
bahwa kejahatan narkoba dapat dikategorikan sebagai "kejahatan yang paling serius"
(the most serious crime). Penerapan hukuman mati yang paling umum untuk kejahatan
narkoba adalah bagi pelaku perdagangan narkoba (drug trafficking), manufaktur dan
distribusinya. Di Iran, hukuman mati dapat dan telah dikenakan pada seseorang yang
telah beberapa kali terbukti memiliki narkoba.20
18
Masdar F. Mas’udi, “Hak Azasi Manusia dalam Islam”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning
Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000,
hlm. 66 19
http://www.konsultasisyariah.com/hukuman-mati-untuk-pengedar-narkoba-itulah-hukum-islam.
Akses 20 Maret 2015 20
http://www.pennsid.org/2012/11/the-most-serious-crime-seeking-international-consensus-on-
human-rights. Akses 20 Maret 2015
13
Pertanyaannya adalah meskipun hukuman mati adalah legal di Iran, dan pejabat
polisi memiliki hak untuk menyelidiki dan menuntut individu terkait dengan kejahatan
narkoba, apakah kejahatan Sedeghi dan kawan-kawan cukup serius untuk dijatuhi
hukuman mati di bawah standar hukum internasional?
Hukuman mati di bawah hukum internasional biasanya ditoleransi ketika suatu
kejahatan dapat dianggap sebagai "kejahatan yang paling serius". Komite Hak Asasi
Manusia PBB telah menetapkan bahwa "kejahatan yang paling serius" dibatasi untuk
tindakan yang secara langsung menyebabkan kematian. Laporan lain oleh ICCPR telah
menyatakan bahwa hukuman mati harus digunakan secara terbatas hanya dalam kasus-
kasus di mana kejahatan yang sangat mematikan (incredibly lethal), memiliki
konsekuensi yang sangat serius, dan tindakan kekerasan. Di bawah Statuta Roma 1998
tentang International Court of Justice, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan agresi, dinyatakan sebagai "kejahatan paling serius".
Fakta bahwa masyarakat internasional meninggalkan kejahatan narkoba dari
Statuta Roma merupakan indikasi dari komunitas internasional yang belum mencapai
konsensus tentang masalah ini. Namun, melalui interpretasi Pasal 62 ICCPR, the Special
Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions telah mengumumkan
bahwa kejahatan narkoba tidak memenuhi persyaratan sebagai "kejahatan paling serius".
Pada tahun 2009, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
penggunaan hukuman mati pada orang-orang yang dihukum karena pelanggaran yang
berhubungan narkoba memancing kekhawatiran tentang HAM. Atas dasar ini,
masyarakat internasional telah mendekati kesepakatan bahwa pelanggaran yang
dilakukan oleh Sedeghi bukanlah merupakan kejahatan serius untuk dijatuhkan hukuman
mati.
Namun demikian, pandangan masyarakat internasional menyangkut hukuman mati
khususnya terhadap kejahatan terorisme menyatakan tidak bertentangan dengan HAM,
karena terpidana mati juga mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila tidak
demikian, mana mungkin HAM dapat ditegakkan, karena dengan aksi brutalnya
tindakan pelaku terorisme itu justru telah melanggar HAM orang lain. Oleh karena itu,
pengaturan pidana mati terhadap tindak pidana terorisme dilihat dari aspek peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah HAM di Indonesia mempunyai dasar
legitimasi yang kuat. Legitimasi tersebut lebih diperkuat dengan salah satu instrumen
hukum dalam HAM internasional, yaitu International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) atau Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam
Pasal 6 ayat (2) ICCPR dinyatakan bahwa bagi negara yang belum menghapus ketentuan
hukuman mati, putusan tersebut berlaku hanya pada kejahatan yang termasuk kategori
kejahatan paling serius (the most serious crime) sesuai hukum yang berlaku saat itu dan
tidak bertentangan dengan kovenan ini.21
Jadi menurut kovenan ini jika suatu kejahatan
diasumsikan sebagai kejahatan berat atau kejahatan paling serius maka pidana mati
terhadapnya dapat dibenarkan. Penjatuhan hukuman mati ini merupakan kewenangan
21
Dalam The Second Optional Protocol ICCPR disebutkan: “. . . , countries were permitted to
make a reservation allowing for use of death penalty for the most serious crimes”. Pidana mati juga dapat
dijatuhkan terhadap kejahatan serius lainnya, seperti pembunuhan massal berdasarkan Convention on
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
14
dari lembaga yudisial (peradilan). Dalam konteks penjatuhan hukuman mati, hal tersebut
tidak bisa dikatakan bertentangan dengan HAM, sepanjang negara melalui lembaga
peradilan menjatuhkan hukuman mati berdasarkan prosedur hukum pidana yang sangat
rigit (ketat), obyektif, transparan (terbuka), dan berkeadilan.
Menyikapi pandangan di kalangan aktivis HAM yang menolak hukuman mati dan
meminta agar penegak hukum tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku
kejahatan serius seperti kejahatan terorisme dan narkotika dalam konteks hukum positif
Indonesia, meskipun ada dasar legalitas konstitusionalnya bagi penegak hukum (hakim)
untuk memutuskannya. Akibatnya, masyarakat direnggut haknya untuk mendapatkan
rasa aman dan bebas dari ancaman pembunuhan. Hukuman mati atas pelaku kejahatan
terorisme yang korbannya ratusan orang dan kejahatan narkotika dengan korban ribuan
atau jutaan orang dianggap kejam dan tidak manusiawi. Padahal bukankah penolakan
yang mengabaikan hak hidup korban dan hak keluarga korban serta mempertahankan
potensi ancaman atas nyawa orang banyak justru lebih kejam dan lebih tidak manusiawi.
Oleh karena itu, penghapusan pidana mati terhadap para pelaku kejahatan terorisme dan
narkotika tidak tepat, terutama jika dilihat dari perspektif HAM para korban (baik riil
atau potensial), termasuk keluarga korban dan masyarakat secara keseluruhan yang
senantiasa mendambahkan ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan sosial mereka.
Kesimpulan
Penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius, seperti kejahatan
terorisme dan narkoba, adalah sebagai upaya detterance yang bersifat publik untuk
menimbulkan rasa takut terhadap masyarakat luas sehingga dapat mencegah atau
meminimalisasi terjadinya kejahatan serupa.
Hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius yang telah menimbulkan banyak
korban jiwa terhadap masyarakat tidak bertentangan dengan HAM, karena dalam
konteks penegakan HAM di Indonesia menuntut adanya keseimbangan antara hak-hak
dan kewajiban-kewajiban asasi manusia. Dipidananya pelaku kejahatan serius dengan
hukuman mati merupakan bentuk implementasi dari pembatasan HAM. Hak hidup
mereka dibatasi oleh konstitusi dan undang-undang, karena dalam melakukan aksi
kejahatan mereka telah melanggar hak hidup orang lain.
Putusan lembaga peradilan yang menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku
kejahatan serius tidak melanggar HAM, karena di samping memiliki landasan
konstitusional dan undang-undang, putusan hukuman mati juga telah memperoleh
legitimasi dan landasan hukum dalam instrumen hukum penegakan HAM internasional,
yaitu International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Meski, dalam
perkembangannya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (2) ICCPR tidak menganggap bahwa
kejahatan narkoba sebagai kejahatan paling serius yang pelakunya dapat dijatuhi
hukuman mati. Namun, dengan menggunakan ketentuan yang sama negara tetap
memiliki kedaulatan hukum untuk menentukan bahwa kejahatan narkoba sebagai salah
satu kejahatan serius yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati. Dalam hal demikian,
negara-negara lain, termasuk PBB, harus menghormatinya, sepanjang penerapan
hukuman mati itu dilakukan secara ketat sesuai dengan hukum yang berlaku dalam
rangka untuk melindungi HAM orang lain melalui sistem peradilan yang obyektif,
terbuka (transparan), dan berkeadilan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, “Sejarah Perdebatan HAM di Indonesia”, dalam E. Shobirin
Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif
dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000
Dworkin, Roger B. "The Limits of the Criminal Sanction, by Herbert L. Packer,"
Indiana Law Journal: Vol. 44: Iss. 3, Article 7, Indiana University, Bloomington,
1969
Heiner Bielefeldt, “Hak Asasi Manusia: Benturan antara Barat dan Islam?” dalam Jurnal
Wacana Hak Asasi Manusia antara Skenario Kemanusiaan dan Proyek Global,
Edisi 8 Tahun II, Insist Press, Yogyakarta, 2001
Masdar F. Mas’udi, “Hak Azasi Manusia dalam Islam”, dalam E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi,
Cesda LP3ES, Jakarta, 2000
Masyhur Effendi, A., Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994
------, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta,
2005
Muladi, HAM dan Keterbukaan, ITB, Bandung, 1994
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,
Mandar Maju, Bandung, 2001
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,
Simon & Schuster, New York, 1996
Satjipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya”, dalam Muladi (Editor),
Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005
Satya Arinanto, “Sejarah HAM dalam Perspektif Barat”, dalam E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi,
Cesda LP3ES, Jakarta, 2000
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
16
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
http://1biru.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukuman-mati.html.
http://www.konsultasisyariah.com/hukuman-mati-untuk-pengedar-narkoba-itulah-
hukum-islam/
http://ms.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati
http://www.onvsoff.com/2015/03/paus-fransiskus-hukuman-mati-adalah-sebuah-
kejahatan-serius/
http://www.pennsid.org/2012/11/the-most-serious-crime-seeking-international-
consensus-on-human-rights/
17
18