1
IMPLIKASI PELAYANAN PUBLIK DALAM PENERTIBAN
PENDUDUK PENDATANG DI KOTA DENPASAR
I Nengah Merta
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stispol) Wira Bhakti Denpasar
Abstract
Keywords: Implications, public
services, identity, migrants
Not yet vanished in shared memory that the Bali Bombing of October
12, 2002 killed hundreds of lives. The event had a big impact for the
people of Bali. Uncontrolled migrant population is considered as one
of the causes of the Bali bombing tragedy. The incident then made
local governments more aware to exercise control over the presence of
migrants (tamiu). The government is strict in controlling the
immigrant population living in Denpasar by issuing a KIPP policy.
KIPP as one of the public service practices required by the government
of Denpasar City.What are the implications of public services in
controlling immigrants? The purpose of this study is to understand
the implications of public services in controlling the population of
migrants. The research method uses descriptive qualitative research by
involving government, media crew, migrant community leaders and
academics as respondents. The findings of this study indicate that in
practice KIPP services open opportunities for corruption, collusion,
and nepotism. high cost public services. population data from the
village, sub-district, district and city levels even to the provincial level
are out of sync, social pathology is increasing. This paper will be very
useful for structuring public service bureaucracy.
Abstrak
Kata kunci:
implikasi,
pelayanan,
public, identitas,
pendatang
Belum sirna dalam ingatan bersama bahwa tragedi Bom Bali 12
Oktober 2002 telah membunuh ratusan jiwa. Peristiwa itu
membawa dampak perubahan besar bagi masyarakat Bali.
Penduduk pendatang yang tidak terkontrol dianggap sebagai
salah satu penyebab terjadinya tragedi bom Bali tersebut.
Peristiwa itu kemudian semakin menyadarkan pemerintah
daerah untuk melakukan kontrol terhadap kehadiran
penduduk pendatang (tamiu). Pemerintah tegas melakukan
penertiban penduduk pendatang yang tinggal di Denpasar
dengan mengeluarkan kebijakan KIPP. KIPP sebagai salah
satu praktik pelayanan publik yang diwajibkan oleh
pemerintah Kota Denpasar. Bagaimanakah Implikasi
2
pelayanan publik dalam penertiban penduduk pendatang?
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami Implikasi
pelayanan publik dalam penertiban penduduk pendatang.
Metoda penelitian menggunakan penelitian desktiptif
kaulitatif dengan melibatkan pemerintah, awak media, tokoh
masyarakat warga pendatang dan akademisi sebagai
responden. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam
praktiknya pelayanan KIPP terbuka peluang korupsi, kolusi,
dan nepotisme. pelayanan publik biaya tinggi. data jumlah
penduduk dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan kota
bahkan sampai pada tingkat provinsi tidak sinkron, patologi
sosial meningkat. Tulisan ini akan sangat bermanfaat bagi
penataan birokrasi pelayanan publik.
Metode
Penelitian ini sangat terkait dengan teks, dan wacana yang merupakan
pokok konseptual sehingga hasil penelitian dapat memberikan keberpihakan
pada kelompok yang terhegemoni. Instrumen utama pada penelitian ini adalah
peneliti sendiri dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara,
didukung dengan alat tulis, tape recorder, dan kamera. Informan dalam penelitian
ini diambil dari lima komponen utama yaitu pemerintah, tokoh masyarakat adat,
akademisi, media sosial, dan penduduk pendatang, yang dilakukan dengan
teknik bola salju (snow ball), sampai jumlah tertentu pada tingkat kejenuhan dan
kesahihan data yang digali.
Seluruh data yang berhasil dikumpulkan dianalisis secara deskriptif-
kualitatif dan interpretatif. Selanjutnya dilakukan reduksi data, penyajian data
dan menarik simpulan. Seluruh hasil analisis data pada penelitian ini dirangkum
dan disusun sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Data disajikan
dalam bentuk narasi, deskripsi kata-kata, ungkapan, disajikan dalam bentuk
tabel, gambar, foto, dan angka-angka yang diintegrasikan ke dalam satu
rangkaian yang tidak terpisahkan.
Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian
Berkembangnya Praktik Korupsi dalam Pelayanan Publik
Berdasarkan struktur alur pelayanan birokrasi menganut pola sinergisitas
antara desa dinas dan desa adat/pakraman. Harapah terbnetuknya sinergisitas ini
3
kemudian justeru melahirkan dualisme kepemimpinan. Inilah yang membuka
peluang berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam praktik pelayanan
publik. Dalam praktiknya, aparat desa pakraman berkewajiban melakukan
pendataan penduduk pendatang dan sekaligus mempunyai kewenangan
menerbitkan KIPP dengan sejumlah biaya yang dikenakan. Di pihak lain, desa
dinas di bawah kepemimpinan perbekel juga mempunyai tugas melakukan
penertiban penduduk pendatang, tetapi tidak ada ketentuan pemungutan biaya
sepeser pun atau gratis. Bapak Wayan Sunarta S.Sos, Kepala Desa Tegal Harum,
menyampaikan pernyataannya sebagai berikut.
“Untuk mendapatkan surat tanda lapor diri, penduduk luar daerah yang tinggal lebih dari tiga puluh hari wajib melaporkan diri kepada kelihan
desa pakraman bisa juga kaling atau kadus. Pada saat lapor itu harus
membawa surat keterangan bepergian dari daerah asal dan syarat lainnya.
Untuk melapor itu tidak dipungut biaya di kantor desa. Kalau yang
melakukan pungutan itu desa adat, bukan dinas.
Terkait dengan kecurigaan beberapa pihak tentang terbukanya praktik
korupsi dalam pelayanan KIPP, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali,
Kombes Pol. Mahendra Jaya, dalam berita media Jawa Pos, mengatakan bahwa
jajaran kepolisian Daerah Bali akan membersihkan pemungutan uang kartu
identitas penduduk sementara. Pihaknya siap memberangus pungutan uang
kartu identitas penduduk sementara (KIPP). Karena termasuk pungutan liar
(pungli), polisi akan menindak tegas orang yang melakukan pungutan atau
pembayaran kipem yang selama ini dilakukan sejumlah oknum dengan
mengatasnamakan pararem. Padahal sumber dana desa pun jelas dan telah diatur
undang-undang, apalagi dengan berlakunya e-KTP. Penarikan kipem
menurutnya juga terkesan pemerasan terhadap warga pendatang., sembari
menuturkan sebagai berikut.
“Engga benar itu, narik memaksa. Apalagi narik berdasarkan pararem itu
tidak benar. Faktanya di lapangan yang tidak punya KTP Bali masih
ditarikin juga. Jumlahnya kisaran seratus ribuan malah bisa lebih. Di salah
satu desa adat, penarikan kipem itu dilakukannya terorganisir melalui
pemilik kos. Dengan dalih jika pengurusan dilakukan sendiri, biayanya
akan lebih mahal sekitar Rp150.000,00 per tiga bulan. Sementara berkenan
diuruskan hanya Rp100.000,00 per tiga bulan. Kipem sendiri ditarik
berdasarkan perorangan. Kejelasan aluran pungutan juga tidak
transparan. Sementara pemungutan terus dilakukan sehingga jelas
4
kesannya bukan lagi menertibkan, justru melakukan pungli (Jawa Pos
Group, Selasa, 5 Desember 2017).
Kontroversi pemaknaan ini menjadi lebih mendalam ketika disikapi lebih serius
melalui adanya aturan pidana bagi yang melakukan pungutan pengurusan dan
penerbitan dokumen kependudukan. Hal ini diatur secara khusus dalam pasal 95
B yang menyatakan sebagai berikut.
“Setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT
instansi pelaksana, dan instansi pelaksana yang memerintahkan dan/atau
memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada penduduk
dalam pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79A dipidana dengan pidana penjara paling lama
enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,00”
Kendatipun tindakan tersebut dianggap korupsi, namun pihak desa adat
melalui consensus yang disebut pararem menganggap tindakan tersebut legal.
Punggutan berupa uang keamanan, uang kebersihan, uang perpanjangan KIPP,
uang suka duka, dan pungutan lainnya yang marak terjadi di setiap Banjar di Bali
atas nama awig-awig ataupun pararem desa adat di Bali bukan sesuatu yang baru.
Hal ini telah biasa dialami oleh penduduk pendatang secara berkepanjangan.
Warga pendatang tidak kuasa untuk menolak dan dianggap sebuah kewajiban
secara masif di setiap lingkungan banjar, di tempat mereka bertempat tinggal
sementara.
Biaya Kartu Identitas Penduduk Pendatang Tinggi
Berhadapan dengan mekanisme pelayanan publik sering diibaratkan
memasuki hutan belantara yang penuh dengan ketidakpastian. Waktu dan biaya
pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna pelayanan. Penduduk
pendatang merasakan prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban
penyelenggara pelayanan. Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga
ketika berhadapan dengan unit pelayanan. Fenomena tersebut telah menjadikan
warga pendatang berposisi sebagai kelompok minoritas yang dikuasai. Atas
nama modal ekonomi, atas nama modal politik, (menghegemoni penduduk
pendatang).
Syarifudin Abdullah selaku warga pendatang asal Bima, wawancara pada
Minggu, 18 Mei 2014 menyampaikan.
5
“Apakah biaya pembuatan kartu identitas penduduk pendatang ada
batasan nominalnya? Berapa nominal terbesarnya? Kalau seperti itu
berarti terserah mau tentukan harganya berapa saja dong? Dengan
ketentuan tidak boleh melebihi biaya terbesar yang ditetapkan. Sejujurnya
kami merasa dipersulit dan keberatan dengan biaya yang dibebankan.
Katanya kalau urus sendiri mahal, ya mau tidak mau kita bayar saja sama
petugas supaya cepat dapatnya”
Onny, seorang pendatang asal Bandung yang mengaku baru satu tahun
tinggal di Bali, menyampaikan pendapatnya pada Minggu, 5 Juli 2015 sebagai
berikut.
“Saat ini saya tinggal di daerah Monang Maning dan ditarik biaya kartu
identitas penduduk pendatang sebesar Rp100.000,00, per kepala bagi saya
itu berat ya Pak, sama suami saya jadi harus bayar dua ratus ribu. Belum
lagi harus perpanjang tiap tiga bulan, tambah lagi administrasinya seratus ribu. Jadinya, y a nggak ada bedanya antara buat baru sama perpanjang.
Sudah kena biaya untuk buat kartunya, biaya perpanjang, ditambah lagi
ada iuran lagi dipungut sama petugas banjar.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Fajar, selaku pendatang baru
yang berasal dari Kota Ngawi, Jawa Timur, dalam wawancara Kamis, 11 Juni
2015 menyampaikan sebagai berikut.
“Di tempat tinggal saya kalau untuk buat KIPEM, yang punya KTP dari
luar Bali kenanya seratus sepuluh ribu sama materai juga enam ribu. Kalau yang ada KTP Bali, kenanya dua puluh lima ribu sama materai
enam ribu juga. Kalau kita telat aja ngurus perpanjangnya misalnya
kurang dari tiga bulan, kita kena denda lagi lima puluh ribu, nah kalau
lebih dari tiga bulan, wah dua kali lipat kenanya Pak, dendanya seratus persen. Jadinya, dua ratus dua puluh ribu. Tinggi sekali biayanya Pak.”
Implikasi praktik penerbitan KIPP, dirasakan menyimpang dari aturan
pemerintah pusat. Pelayanan tidak lagi berdasarkan peraturan resmi baik dari
pemerintah pusat maupun peraturan daerah, melainkan didasari hasil keputusan
atau hasil perarem desa adat masing-masing. Publik tetap harus tunduk kepada
awig-awig yang telah disepakati atau diputuskan oleh desa pakraman, berapa pun
besar biaya yang telah disepakati.
Publik memberikan analisisnya sendiri dengan sebuah kalimat ajakan
yang sangat logis untuk dipertimbangkan agar pelayanan publik dapat dijangkau
oleh masyarakat tanpa kecuali.
“Kalau bisa gratis, kenapa harus bayar; kalau bisa murah, kenapa mahal;
kalau bisa cepat, kenapa diperlambat salah satu kalimat yang dimuat dalam sebuah harian” (Antara Megapolitan Sabtu, 27 Juni 2015 05:46 WIB
oleh seorang Pewarta: Ahmadi).
6
Keluhan pelayanan publik biaya tinggi, menurut informan, mencuat pada
permasalahan apakah benar biaya pembuatan dan perpanjangan KIPP sebesar
itu. Apakah memang harus membayar, sedangkan imbauan petugas di kantor
desa Dinas menurut mereka tidak ada pemungutan biaya alias gratis. Bagaimana
jika penghasilan pendatang kecil? Kemudian diharuskan membuat surat tanda
lapor diri setiap tiga bulan dengan biaya Rp100.000,00. Perpanjangan kartu juga
dibebani biaya administrasi dan ditambah lagi dengan penarikan iuran lain setiap
bulannya .
Tidak Sinkronnya Data Jumlah Penduduk
Selama ini ada tiga sumber utama data kependudukan, yaitu sensus
penduduk, survei sampel di bidang kependudukan, dan registrasi penduduk.
Ketiga model pendataan penduduk tersebut tentu memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Faktanya di lapangan, tiga sumber data
kependudukan tersebut menunjukkan ketidaksinkronan data jumlah penduduk.
Undang-Undang No. 24, Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan yang telah disahkan oleh DPR RI pada 24 November 2013
merupakan perubahan substansi yang mendasar di bidang penataan administrasi
kependudukan dalam rangka menjamin akurasi data kependudukan melalui
ketunggalan NIK dan ketunggalan dokumen kependudukan. Harapannya
pendataan jumlah penduduk dari tingkat yang paling rendah, yaitu dusun,
desa/lurah sampai ke pusat dapat memberikan informasi data kependudukan
yang sesuai dengan jumlah yang seharusnya dan akhirnya dapat sebagai sumber
data yang valid.
Namun dalam kenyataannya, sampai saat ini sangat sulit didapat data
jumlah penduduk yang sinkron antara sumber data yang satu dan sumber data
yang lainnya dalam kurun waktu yang sama. Sebagai ilustrasi diperoleh data
dalam empat tahun terakhir, seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1
Jumlah Penduduk Diperinci Menurut Kecamatan di Kota Denpasar
Proyeksi Tahun 2013--2016
No Kecamatan 2013 2014 2015 2016
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa) (Jiwa)
7
1 Denpasar Selatan 266.420 273.090 279.640 286.060 2 Denpasar Timur 146.510 148.890 151.200 153.480
3 Denpasar Barat 245.580 250.440 255.160 259.790
4 Denpasar Utara 180.510 191.180 194.600 197.970
Total Penduduk Kota Denpassar 839.020 863.600 880.600 897.300
Sumber : BPS Provinsi Bali Proyeksi Tahun 2016: data diolah
Berdasarkan perincian mengenai jumlah penduduk menurut data dari
empat wilayah kecamatan, sebagaimana tabel 1 dapat diketahui bahwa pada
tahun 2013 jumlah penduduk Kota Denpasar, tercatat sebanyak 839.020 jiwa.
Pada tahun 2014 naik menjadi 863.600 jiwa atau naik sebesar 28,46%. Tahun 2015
jumlah penduduk Kota Denpasar bertambah lagi menjadi 880.600 jiwa atau
mengalami kenaikan sebesar 1,93%. Tahun 2016 jumlah penduduk Kota
Denpasar meningkat kembali menjadi 897.300 jiwa atau mengalami kenaikan
sebesar 1,86%.
Kemudian ada versi lainnya, tentang jumlah penduduk juga diperoleh
dari data resmi hasil pencatatan yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik Kota
Denpasar, dari Tahun 2001 --2015. Data tersebut menunjukkan jumlah dan laju
pertumbuhan penduduk Kota Denpasar sebagaimana tampak dalam Tabel 2.
Tabel 2.
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Denpasar Periode Tahun 2001--
2015
No Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan
(jiwa) (%)
1 2001 532.921 36,57 2 2002 555.174 3,20
3 2003 578.201 4,15
4 2004 602.018 4,12
5 2005 626.641 4,09
6 2006 652.110 4,06
7 2007 678.193 4,00
8 2008 705.115 3,97
9 2009 732.897 3,94
10 2010 788.589 7,60
11 2011 810.900 2,83
12 2012 828.900 2,22
13 2013 846.200 2,09
14 2014 863.600 2,06
8
15 2015 880.600 1,97
Sumber : BPS Kota Denpasar
Dari dua sumber data yang ada, yaitu tabel 1. dan tabel 2, ditemukan data
jumlah penduduk yang tidak sinkron, yakni jumlah penduduk Kota Denpasar
pada tahun 2013. Data berdasarkan Badan Statistik Kota Denpasar jumlah
penduduk Kota Denpasar tahun 2013 adalah sebanyak 846.200 orang, sedangkan
data BPS Provinsi Bali pada tahun yang sama menunjukkan jumlah penduduk
Kota Denpasar tahun 2013 sebanyak 839.020 orang. Artinya, berdasarkan kedua
sumber data tersebut, terdapat perbedaan angka jumlah penduduk yang cukup
sebesar, yakni 7.170 jiwa penduduk.
Demikian pula ketidaksinkronan yang terjadi antara data BPS Kota
Denpasar Tahun 2015, sebagaimana Tabel 2, menunjukkan angka yang besar,
yakni sejumlah 880.600 jiwa, sedangkan hasil pendataan Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Denpasar sesuai dengan jumlah pemegang KTP dan KIPP
hanya terdapat 655.615 jiwa atau setara dengan 167.622 KK.
Temuan data jumlah penduduk sebagainama fakta di atas, menunjukkan
adanya ratusan ribu penduduk pendatang yang belum terdata dengan baik.
Bapak I Nyoman Artayasa selaku Kepala Bidang Mobilitas Kependudukan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar menyampaikan pendapatnya
mengenai hal ini. Disampaikan dalam wawancara pada Rabu, 17 Juni 2015
sebagai berikut.
“Data penduduk yang tidak sinkron ini lebih diakibatkan karena
dinamika penduduk pendatang tidak bisa dikontrol. Jumlah penduduk
pendatang hingga saat ini juga belum dapat didata secara pasti. Data hasil
penertiban kependudukan pada masing-masing desa/kelurahan baru
beberapa saja yang memberikan laporan. Perbedaan angka ini menunjukkan ada ratusan ribu penduduk pendatang yang tidak terdata
dan tidak terjaring oleh pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B). Sekarang bisa sama-sama kita lihat, ternyata selama
ini masih banyak penduduk pendatang yang belum terdata.”
Fakta lain terungkap bahwa data jumlah penduduk Desa Tegal Harum
salah satu desa di kecamatan Denpasar Barat pada tahun 2015 menunjukkan
keadaan yang bervariasi menurut versi beberapa sumber seperti yang tertera
pada Tabel 3.
9
Pada Tabel 3 tertera data kependudukan dari empat sumber yang ada
juga menunjukkan kondisi data kependudukan yang tidak konsisten. Jika
diamati dari sumber BPS Provinsi Bali tahun 2015, tertera jumlah penduduk Desa
Tegal Harum sebanyak 16.683 jiwa. Jika dibandingkan dengan data menurut
Kecamatan Denpasar Barat Dalam Angka 2016, jumlah penduduk Desa Tegal
Harum tertulis sebanyak16.684 jiwa. Data tersebut juga tidak sinkron denngan
data yang dimiliki Badan Pusat Statistik Kota Denpasar yang diperinci menurut
agama. Data keadaan akhir tahun 2015, tercatat jumlah penduduk Desa Tegal
Harum sebanyak 16.837 jiwa. Berbeda pula jika dilihat berdasarkan Profil Desa
Tegal Harum, yaitu data per April 2015 tertera jumlah penduduk Desa Tegal
Harum berjumlah 10.597 jiwa.
Tabel 3.
Jumlah Penduduk Desa Tegal Harum Tahun 2015 Menurut Berbagai Sumber
Data
No Sumber Data Total
(Jiwa)
1 BPS Provinsi Bali data diolah tahun 2015 16.683 2 Kecamatan Denpasar Barat Dalam Angka 2016 16.684
3 Badan Pusat Statistik Kota Denpasar Diperinci
Menurut Agama Keadaan Akhir Tahun 2015 16.837
4 Profil Desa Tegal Harum Data per April 2015 10.597
Sumber : Data diolah dari BPS Provinsi Bali Tahun 2015, Kecamatan Denpasar Barat Dalam Angka 2016, dan Profil Desa Tegal Harum Tahun 2015
Meningkatnya Patologi Sosial
Implikasi meningkatnya patologi social dan potensi konflik diamati dari
Perebutan sumber daya ekonomi tidak lepas dari mengalirnya jumlah penduduk
pendatang. Sebagaimana diuraikan informan I Nyoman Arya Sudarsana, selaku
warga Banjar Sanga Agung Denpasar Barat. Dalam wawancara yang dilakukan
pada Senin, 29 Juni 2015, ia menyampaikan sebagai berikut.
“Keberadaan penduduk pendatang sudah sangat mengkhawatirkan, perlu
segera diambil langkah-langkah yang tepat, perlu tindakan seleksi yang
ketat terhadap kedatangan kaum migran, budaya Bali akan luntur, bisa
dilihat pada kehidupan sehari-hari, misal di jalan raya, dulu pengemudi
di Bali terkenal dengan sifat santai dan tenang dalam mengemudi,
kemudian mulai berdatangan pengemudi dari luar Bali, dan paling
banyak dari Pulau Jawa, dengan gaya dan budaya mereka dalam
mengemudi yang seenaknya dan tanpa peduli dengan orang lain,
10
penduduk asli akan terkontaminasi dengan budaya tersebut dan akan ikut
bergaya seperti itu karena merasa jalan raya itu juga milik mereka. Itu
hanya contoh sederhana, bagaimana cara mengatasi ini, sama saja kita
dijajah oleh bangsa sendiri, jangan sampai Bali menjadi Betawi ke-2. Saya
sangat sedih dengan keadaan ini, PSK bertebaran, kaki lima berserakan,
lingkungan kumuh. Perlu segera diambil tindakan”.
Perebutan Sumber Daya Ekonomi
Dibukanya pasar tradisional oleh desa adat selalu dimanfaatkan dengan cepat
oleh para pendatang untuk membuka pasar malam seribu tenda, usaha kuliner di
malam hari yang buak 24 jam. Di sisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa
bisnis kuliner tersebut belum memberikan manfaat optimal bagi masyarakat Bali
di sekitar, bahkan cenderung memarginalkan masyarakat setempat. Salah satu
penyebabnya adalah 80% aset kuliner tersebut dimiliki oleh pendatang dari luar
Bali.
Kondisi demikian tidak menutup kemungkinan konflik internal sebagai akibat
adanya perebutan sumber-sumber pendapatan antara desa pakraman dan
pendatang yang berbisnis kuliner menjadi sangat sulit dihindarkan. Ibarat
pepatah “ada gula ada semut”, tak mengherankan jika pengembangan aneka
kegiatan penjaja makanan yang laris manis mengundang orang-orang nonBali
bermigrasi ke daerah Denpasar Barat, khususnya wilayah Desa Tegal Harum
untuk mencari nafkah. Salah seorang penduduk asli dari Banjar Buana Kubu, I
Ketut Warta, dalam wawancara pada Selasa, 15 Maret 2016, menyampaikan
sebagai berikut.
“Kehadiran warga pendatang, terutama pendatang luar Bali tidak saja
merampas ruang untuk hunian dan kegiatan usaha, tetapi sudah
merampas periuk nasi bagi penduduk asli Bali. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari banyaknya pendatang yang mencari nafkah dan
bertempat tinggal di sini. Mereka memasuki ranah nafkah yang
diusahakan oleh orang Bali. Akibatnya, peluang nafkah orang Bali
menjadi mengecil, bahkan bisa pula terpinggirkan. Belum terhitung lagi
adanya kenyataan bahwa para pendatang kebanyakan orang-orang yang
bermental kepeloporan, ulet, pekerja keras, atau memiliki semangat
kewirausahaan yang tinggi sehingga mereka sangat siap bersaing dengan
orang-orang Bali”.
Gesekan Akibat Perbedaan Agama
11
Kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar
jurang permusuhan antarbangsa. Perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat
untuk menimbulkan perpecahan antarkelompok dalam masyarakat , hal itu
sudah sangat sering terjadi. Salah satu faktor penyebab tumbuhnya sikap
eksklusivistik seperti ini adalah pemaknaan mereka terhadap agama pihak lain
berbeda, sebagaimana pemaknaan orang Bali terhadap peningkatan status
musala menjadi mesjid di Monang-Maning. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan dalam wawancara yang dilakukan dengan Kadek Jaya selaku
penduduk setempat, pada Selasa, 12 Juni 2014 seperti di bawah ini.
“Orang Bali memaknai rumah ibadah sebagai ancaman terhadap identitas
ke bali-an mereka. Akibatnya, konflik yang terkait dengan pendirian
tempat ibadah, selalu bisa terjadi. Hal ini dapat dilihat misalnya pada
kasus musala di Perumahan Monang -Maning. Pada saat ada tanda-tanda orang Islam mendirikan mesjid, maka orang Hindu mengingatkan bahwa
musala tidak boleh dimesjidkan .
Pernahkah terjadi gesekan karena perbedaan agama di Desa Tegal Harum,
Kecamatan Denpasar Barat? Seorang penduduk asal Jawa Timur yang
merupakan pedagang kue pukis, Bapak Tumin, dalam wawancara pada Selasa,
15 Maret 2016 menuturkan sebagai berikut,
“Saya pernah itu Pak, diperlakukan tidak enak. Sebagai muslim saya
sering mendapatkan diskriminasi, saat saya berada di lingkungan
masyarakat Hindu. Kekerasan itu biasanya paling banyak dalam bentuk
kata-kata yang tidak menyenangkan. Beberapa saudara Hindu bahkan
yang beragama lain pun ketika tahu kalau saya adalah muslim, mereka
menyebut saya orang Jawa .
Roni, selaku pendatang muslim dari Manado yang diwawancarai pada Selasa,
15 Maret 2016, terkait dengan diskriminasi yang diterima dari beberapa
orang,
menyatakan sebagai berikut.
“Bom Bali dulu itu menimbulkan pemikiran negatif masyarakat Bali
terhadap muslim, contohnya saja seperti penjagaan yang ketat di Bali, Gilimanuk, Padang Bai. Dulu, kan tidak terlalu ketat diperiksanya Pak,
sekarang ada pemeriksaan barang terus pemeriksaan diri. Malahan Pak, kalau ketahuan muslim malah lebih khusus lagi pemeriksaannya.”
Sikap yang demikian tampak dalam kehidupan warga di Kecamatan
Denpasar Barat, khususnya penduduk muwed (asli) dan para pendatang (tamiu)
12
yang berada atau bertempat tinggal yang cukup pada memunculkan prasangka
etnis, yaitu masih ada jarak pemisahan antara penduduk asli dan pendatang.
Artinya, dalam kehidupan muwed (asli) dan kelompok pendatang (tamui) terjadi
prasangka antaretnik, yakni antipati yang didasarkan pada suatu generalisasi
yang salah dan kaku.
Gesekan Akibat Perbedaan Budaya
Fenomena perubahan sosial budaya sebagai akibat dari modernisasi dan
globalisasi yang melanda masyarakat Bali akhir -akhir ini menimbulkan
keprihatinan berbagai elemen masyarakat di Bali. Berbagai elemen tersebut
menilai bahwa Bali tengah dihadapkan pada berbagai tantangan, bahkan
“ancaman”.
Hal yang paling meresahkan adalah adanya ketakutan akan terancamnya
eksistensi ideologi tri hita karana berikut agama Hindu dan kebudayaan Bali.
Globalisasi yang berintikan pada kapitalisme dan perdagangan bebas, diikuti
oleh masuknya modal asing, telah membawa Bali terseret pada mekanisme
jejaring ideologi pasar. Bali yang menurut istilah Nordholt (2005: xxix) adalah
”benteng terbuka”, tidak kuasa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi,
bahkan jerat ideologi pasar ini membawa Bali pada sebutan “McDonalds-isasi of
Bali” atau “Coca-Colanisasi of Bali” (Inside Indonesia, Desember 1994; Atmadja,
2010).
Perbedaan identitas budaya terkadang dapat menimbulkan
munculnya suatu gesekan yang berujung pada konflik. Hal tersebut
berdasarkan pengalaman para pendatang ketika berbaur di lingkungan tempat
tinggal yang dihuni oleh para pendatang yang mengusung budaya dan adat
istiadat masing-masing.
Pembahasan
Berkembangnya Praktik Korupsi dalam Pelayanan Publik
Implikasi buruknya pelayanan publik membuat celah -celah korupsi
terbuka lebar. Karena pelayanan publik bersentuhan langsung dengan
masyarakat, terlebih lagi jika fenomena sosial itu terjadi di akar rumput,
akibatnya lebih buruk lagi. Terbukanya peluang korupsi dapat mereduksi dan
mengikis semangat masyarakat untuk pemberantasan korupsi itu sendiri.
13
Bahkan, dapat berdampak pada tumbuhnya sikap permisif sebagian masyakarat
terhadap tindakan korupsi.
Secara struktur tertib administrasi kependudukan utamanya pendataan
penduduk pendatang, menganut pola sinergisitas antara desa dinas d an desa
adat/pakraman. Namun, kedua struktur yang ada tersebut mempunyai alurnya
sendiri-sendiri. Hal ini sekaligus sewbagai sebuah momentum terbukanya celah
korupsi, kolusi dan nipotisme dalam pelayanan publik..
Sebagai bagian dari sistem informasi kependudukan, KIPP diterbitkan
sebagai identitas kewarganegaraan yang secara legal tidak dikenakan biaya.
Akan tetapi, penerbitan KIPP oleh pemerintah melalui lembaga yang berwenang,
yakni desa pakraman, berpedoman pada keputusan (pararem) ternyata seara
terbuka melakukan pungutan (biaya). Hal itu diakui sah berdasarkan awig-awig
yang ada. Tumpang tindih aturan mengenai pungutan terkait dengan pelayanan
publik ini membuka peluang terjadinya korupsi .
Kontroversi pemaknaan ini menjadi lebih tajam ketika disikapi dari sisi
aturan pidana bagi yang melakukan pelanggaran dalam arti masih melakukan
pungutan terhadap pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan. Hal ini
diatur secara khusus dalam pasal 95 B yang menyatakan sebagai berikut.
“Setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan, kecamatan, UPT
instansi pelaksana, dan instansi pelaksana yang memerintahkan dan/atau
memfasilitasi dan/atau melakukan pungutan biaya kepada penduduk dalam
pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 24, Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan
(Pasal 79A) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 75.000.000,00”
Dalam konteks ini Piliang (2003) lebih menyoroti korupsi dari sisi mental
dan budaya birokrasi pelaku pelayanan publik yang cenderung mementingkan
gaya hidup. Bahwa gaya hidup konsumerisme dan hedonisme yang melanda
masyarakat, khususnya para penguasa dan aparatnya, merupakan mata air dari
mental korupsi, kolusi, dan nepotisme., secara mental kita belum siap memasuki
gaya hidup tersebut sebagaimana di negara maju. Mesin hasrat kapitalisme di
samping menanamkan hasrat positif kemajuan, menumbuhkan pula di dalam
diri setiap orang negative narcism desire, hasrat untuk diakui, dipuja, dan
14
disanjung oleh orang lain lewat gaya dan penampilan (mobil, rumah, lapangan
golf), bukan lewat sifat jujur, sederhana, dan bertanggung jawab (Piliang,
2003:222).
Biaya Kartu Identitas Penduduk Pendatang Tinggi
Pelayanan publik biaya tinggi, didorong oleh kepentingan politik dan
ekonomi para aktor pelaku kebijakan . Warga pendatang sebagai kelompok
subordinat menerima ide-ide dan kepentingan politik, dan bahkan kepentingan
ekonomi kelompok berkuasa. Hal ini kemudian diterjemahkan menjadi suatu
kemampuan yang terlihat alami dan berkembang dalam lingkungan sosial yang
terbentuk dari habitus dan ranah yang melibatkan modal (habitus x modal) +
ranah melahirkan produk berupa hasil keterampilan yang menjadi tindakan
praktis dan legal.. Legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang
karena ideologi, kultur, nilai -nilai, norma, dan politiknya yang sudah
diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat (Sugiono,
2007:37). Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan
peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,
melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-
masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa
pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada
mereka (pendatang)
Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa
memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar
Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat
biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.
Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan peraturan resmi
baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah, melainkan menggunakan
hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-masing. Publik tetap harus
tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa pakraman, berapa pun besar
biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada mereka (pendatang)
Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa
memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar
15
Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat
biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.
Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan
peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,
melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-
masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa
pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada
mereka (pendatang). Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu
saja bisa memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang
dari luar Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat.
Akibat biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.
Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan
peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,
melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-
masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa
pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada
mereka (pendatang)
Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa
memunculkan gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar
Bali karena dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat
biaya penerbitan KIPP sangat tinggi.
Dalam konteks ini biaya penerbitan KIPP, tidak lagi berdasarkan
peraturan resmi baik dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah,
melainkan menggunakan hasil keputusan atau hasil perarem desa adat masing-
masing. Publik tetap harus tunduk kepada awig-awig atau diputuskan oleh desa
pakraman, berapa pun besar biaya yang telah disepakati untuk dikenakan kepada
mereka (pendatang)
Kondisi itu jelas membebani penduduk pendatang, tentu saja bisa memunculkan
gejolak bagi penduduk pendatang, khususnya pendatang dari luar Bali karena
dalam waktu yang panjang hal ini akan terasa lebih berat. Akibat biaya
penerbitan KIPP sangat tinggi.
16
Tidak Sinkronnya Data Jumlah Penduduk
Tidak sinkronnya data jumlah penduduk sebagainama fakta hasil
penelitian, menunjukkan adanya ratusan ribu penduduk pendatang yang belum
terdata dengan baik. Kendala utama yang dihadapi pelayanan penerbitan KIPP
dalam rangka mendukung sinkronisasi data kependudukan selama ini adalah
sifat penduduk pendatang yang masih cenderung nomaden, Artinya selalu
berpindah-pindah dari tempat ketempat yang lain atau banjar yang satu ke banjar
yang lain. Bahkan, tidak jarang mereka pindah dari wilayah desa pakraman yang
satu ke wilayah desa pakraman yang lainnya. Hal ini tentu akan mempersulit
petugas untuk memantau keberadaan mereka dan besar kemungkinan tidak
terdata dengan baik.
Berdasarkan fakta empiris tersebut, membuktikan bahwa belum
maksimalnya pelayanan publik dalam pengendalian penduduk pendatang
melalui penerbitan KIPP masih menjadi masalah yang serius. Kondisi itu dapat
diduga berawal dari institusi yang ada di bawahnya, yakni di tingkat dusun, desa
atau kelurahan sampai pada tingkat Kabupatn dan Provinsi. Ketidaksinkronan
data kependudukan ini membutuhkan perhatian yang saksama agar tidak
berdampak serius terhadap kebijakan pembangunan.
Meningkatnya Patologi Sosial
Sejarah mencatat tentang masyarakat modern yang serba kompleks
sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi,
dan lain-lain. Hal ini di samping mampu memberikan berbagai alternatif
kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan kesulitan
mengadakan adaptasi, berbagai alternatif kemudahan bagi kehidupan manusia
juga dapat menimbulkan kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment,
menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat
internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya
sehingga manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang
menyimpang dari pola yang umum dan banyak melakukan sesuatu apa pun
demi kepentingannya sendiri, bahkan mayarakat cenderung merugikan orang
17
lain. Hal ini sebagai pertautan tali yang melahirkan apa yang dinamakan dengan
patologi sosial” (Kartono, 2005 :v).
Pengaruh globalisasi membuat Bali semakin dilematis dalam menghadapi
problema urban. Di satu sisi harus memelihara pertumbuhan ekonomi dengan
ambisi menjaga kelestarian budaya. Akan tetapi, di sisi yang lain, setiap
peningkatan ratio pertumbuhan ekonomi, justru menambah kencangnya lonjakan
marginalisasi ataupun peminggiran terhadap penduduk lokal. Selain itu, pada
saat yang bersamaan percepatan laju pertumbuhan urban pun tidak dapat
dihindari. Semakin padatnya penduduk pendatang, dari berbagai daerah yang
berbekal bermacam-macam kebudayaan kadang kala dapat berlangsung lancar
dan lembut. Akan tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui
konflik-konflik hebat.
Situasi sosial seperti ini dapat memunculkan tingkah laku
patologis/sosiopatik yang menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah
kelompok-kelompok masyarakat yang terpecah-pecah, masing-masing menaati
norma-norma dan peraturannya sendiri dan bertingkah semau sendiri. Dengan
demikian muncul banyak masalah sosial, tingkah laku sosiopatik, deviasi sosial,
disorganisasi sosial, disintegrasi sosial, dan diferensiasi sosial. Hal ini dapat
memicu terjadi konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi sosial dan
kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan sehingga rakyat banyak,
yang semuanya tidak dapat dicernakan dan diintegrasikan oleh individu.
Perebutan Sumber Daya Ekonomi
Dibukanya pasar tradisional oleh desa adat menciptakan peluang yang
besar dibukanya pasar malam yang menghadirkan persaingan kesempatan
berusaha. Banyak orang berpendapat bahwa bisnis kuliner di pasar malam belum
memberikan manfaat optimal bagi masyarakat di sekitar, bahkan cenderung
memarginalkan masyarakat setempat. Salah satu penyebabnya adalah 80% aset
kuliner tersebut dimiliki oleh pendatang dari luar Bali.
Kedatangan tamiu (pendatang) disertai motivasi ekonomi yang kuat,
tanpa disadari telah mengakibatkan sejumlah sumber daya alam dan manusia
telah dikuasai oleh penduduk pendatang. Kondisi itu menciptakan terbentuknya
pola hubungan yang tidak seimbang antara kelompok pendatang dan kelompok
18
penduduk asli. Hal ini menyebabkan masyarakat atau penduduk asli
termarginalkan di tanahnya sendiri.
Gesekan Akibat Perbedaan Agama
Terjadinya gesekan karena perbedaan agama justru lebih dipicu oleh
bervariasinya agama warga pendatang. Masuknya aliran-aliran keagamaan baru
yang pelaksanaannya lebih praktis dan tidak menyita banyak waktu menjadi
alternatif bagi krama yang tidak mampu mengikuti padatnya aktivitas panca
yadnya di Bali, utamanya di desa pakraman. Rasionalisasi awig-awig dipandang
setaraf dengan sumber hukum positif menjadikan desa pakraman menerapkan
aturan yang kaku kepada krama, bahkan untuk hal-hal yang semestinya dapat
diselesaikan dengan musyawarah.
Salah satu faktor penyebab tumbuhnya sikap eksklusivistik seperti ini
adalah pemaknaan mereka terhadap agama pihak lain berbeda. Sikap yang
demikian nampak dalam kehidupan warga di Kecamatan Denpasar Barat,
khususnya penduduk muwed dan para pendatang atau warga tamiu yang berada
atau bertempat tinggal di wilayah yang cukup padat. Hal tersebut memunculkan
prasangka etnis, yaitu masih ada jarak pemisahan antara penduduk asli dan
pendatang. Artinya, dalam kehidupan muwed dan kelompok pendatang terjadi
prasangka antaretnik, yakni antipati yang didasarkan pada suatu generalisasi
yang salah dan kaku.
Ekspresi sikap ini misalnya terlihat pada sikap yang memalingkan muka
ketika berpapasan di jalan, mencibir, dan sebagainya. Atau bisa juga terlihat pada
sikap penduduk muwed yang memandang para pemulung yang notabene
umumnya adalah pendatang. Dalam hal ini muwed selalu mengaitkan mereka
dengan kejahatan, misalnya pencurian atau paling tidak sebagai mata-mata
pencuri. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Sudagung (2001:30) bahwa prasangka
adalah permusuhan terhadap seseorang yang menjadi anggota suatu kelompok,
semata-mata karena ia menjadi anggota kelompok itu dan diduga mempunyai
kualitas yang tercela atau tidak disukai.
Fanatisme terhadap desa pakraman yang berlebihan mudah memicu selisih
paham dengan desa pakraman dan pendatang yang sesama agama pun
memungkinkan terjadi gesekan internal. Wiana (2011), mengemukakan ada dua
19
cara pemahaman mengenai agama yang keliru, Pertama, cara pemahaman yang
bersifat eksklusif negatif, yaitu suatu sikap yang mengagungkan agama yang
dianutnya melebihi agama lain dengan menganggap agama lain yang tidak
dianutnya adalah agama yang lebih rendah. Kedua, sikap beragama yang munafik
juga merupakan bentuk yang memicu gesekan karena perbedaan agama.
Gesekan Akibat Perbedaan Budaya
Kebudayaan menjadi faktor utama dalam kebiasaan yang tanpa disadari
dilakukan seseorang dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Perbedaan
identitas budaya terkadang dapat menimbulkan munculnya suatu gesekan yang
berujung pada konflik. Hal tersebut berdasarkan pengalaman para pendatang
ketika berbaur di lingkungan tempat tinggal yang dihuni oleh para pendatang
yang mengusung budaya dan adat istiadat masing-masing.
Pendatang sebagaimana disebutkan Degung Santikarma (Bali Post, 2004)
sering ditempatkan sebagai sumber masalah (trouble makers), yang tidak saja
mengancam sumber nafkah mereka, tetapi juga ditempatkan sebagai ancaman
terhadap identitas budaya. Pendatang dianologikan sebagai perusak identitas
karena datang dengan latar belakang adat, budaya, dan keyakinan yang berbeda;
sedangkan penduduk asli (etnik Bali) merupakan penjaga tradisi dan kemurnian
identitas. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa ancaman terhadap identitas
etnik Bali juga berasal dari etnik-etnik lain yang bermigrasi ke Bali. Berbagai
persoalan di atas dikhawatirkan dapat berdampak pada perubahan pola perilaku,
sikap, nilai-nilai, tradisi, dan budaya masyarakat Bali. Karakter budaya lokal
luntur, dikalahkan budaya luar yang dibawa oleh pendatang yang berkunjung ke
Bali.
Kesimpulan
Implikasi Pelayanan Publik Dalam Penertiban penduduk Pendatang Di
Kota Denpasar adalah, berkembangnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Biaya pelayanan publik yang tinggi. Tidak sinkronnya data jumlah penduduk
dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan kota bahkan sampai pada tingkat
provinsi. Meningkatnya patologi sosial berupa gesekan secara ekonomi, berupa
perebutan sumber-sumber ekonomi dalam masyarakat, kesempatan berusaha
dagang maupun lapangan kerja informal semakin sempit, persaingan semakin
20
ketat. Bidang agama dan budaya terjadi fraksi-fraksi ditengah masyarakat
dilakangan bawah yang terpecah-pecah, akibat adanya desakan peraturan atau
pararem desa adat untuk melestarikan budaya Bali yang bernapaskan agama
Hindu, dengan aturan atau praktik budaya lain yang bernapaskan agama yang
dianutnya, yang berkeinginan juga menaati norma-norma budayanya sendiri.
Adanya kecenderungan perilaku pembiaran dari pemerintah terkait, berlarut-
larutnya ketidak sinkrunan data jumlah penduduk. Tidak ada tindakan tegas dari
pemerintah menyebabkan tidak disiplinnya petugas pelayanan dan warga
masyarakat untuk tunduk kepada aturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Aryana, I Nyoman. 2005. ”Implementasi Surat Keputusan Wali Kota Denpasar
Nomor 610, Tahun 2002 sebagai Dasar Penertiban Penduduk di Kota
Denpasar (Perspektif Budaya)”. (tesis). Denpasar : Universitas Udayana.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 2016.
Degung, Santikarma. 2004. Ajeg Bali: Sebuah Cita-Cita. Denpasar: Bali Post Press.
Dwiyanto, Agus. 2006. Mewujudkan Good Geovernance Melalui
Pelayanan Public. Yogyakarta: UGM Press.
Fashri, Fauzi. 2007. Penyikapan Kuasa Simbol: Apropisasi Reflektif
PemikiranPierre Bourdieu. Jakarta: Juxtapose
Febrinada, Lis. 2009. “Rekonstruksi Regulasi Pelayanan Kependudukan dan
Catatan Sipil oleh Birokrasi Pemerintah dalam Perspektif Hukum
Administrasi Negara”. (Disertasi). Semarang: Universitas Diponogoro.
Foucault, Michel. 1995. Discipline And Punish, The Birth of The Prison. Random
House, Inc : New York
Jawa Pos Group. 2017. “Polda Bali Akan Brangus Pungutan untuk Kipem”.
Diunduh dari
https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/05/31484/polda-bali-
akan-brangus-pungutan-untuk-kipem pada 5 Desember 2017.
Juniartha, IW. 2005. “Bom Bali Jimbaran Kuta Melawan Mereka yang Tak Takut
Mati” Kompas, Kamis 20 Oktober 2005. Kecamatan Denpasar Barat Dalam
Angka Tahun 2017.
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 050/Kep/Psm-1/MDP
Bali/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung I MDP Bali.
Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar Nomor 14/12-
SK/MMDP/VII/2014 tentang Penataan Penduduk Pendatang Di Desa Pakraman.
Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 610, Tahun 2002 tentang Penertiban
Penduduk Pendatang di Kota Denpasar.
21
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Wali Kota se-Bali Nomor
153, Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan
di Provinsi Bali.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13, Tahun
2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan
Partisipasi Masyarakat.
Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 12, Tahun 2013 tentang Penghentian
Pungutan Restribusi Kota Denpasar.
Perda Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3, Tahun 2001 tentang Desa Pakramani.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studie Atas Matinya
Makna. Yogyakarta : Jalasutra.
______. 2006. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Bandung :
Jalasutra.Profil Desa Tegal Harum Tahun 2014. Sugiono, Muhadi. 2007. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pandangan Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suprawoto. 2007. “Layanan Publik
Melalui E-Government tentang Pelayanan KTP Online oleh Pemerintah
Kota Surabaya”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Surat Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 610, Tahun 2002 tentang Perubahan
Surat Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 593, Tahun 2000 tentang
Penertiban Penduduk Pendatang.
Undang-Undang Nomor 24, Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23, Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 23, Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Wiana, I Ketut. 2011. “Weda Wakya III: Tuntunan Menyelenggarakan
Hidup”.Surabaya : Paramita
Yesaya, Buinei. 2012. “Analisis Kualitas Pelayanan Publik terhadap Kinerja
Pembangunan Ekonomi di Provinsi Papua (Studi Kasus Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura)”. (tesis). Universitas Brawijaya.