15
Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 1, December
2020
Inconsistency of Regulations Causes Small Parking Revenue
Inkonsistensi Peraturan Penyebab Kecilnya Pendapatan Parkir
Rahel Eunike Priskila a , Sholih Muadi
b , Wawan Sobari
a
[email protected] ,
b
[email protected] ,
c
[email protected]
Abstract Parking tax revenue in malang is small eventhough the
potential is large. According to the Major of Malang, Sutiaji, said
that parking tax revenues were far from their intended
target.
Many potential of Malang’s parking tax are incorrect. There is a
potential of more than IDR
100 billion, but the City Government only gets around IDR 7 billion
to IDR 10 billion.
Malang Corruptiob Watch also thinks that Malang City’s parking
revenue is not optimal and far from its potential. Parking revenue
that is less than this target was also explained by
the Head of Malang City’s Regional Tax Service Agency, Ade
Herawanto. Parking revenue
that is far from this target is also supported by a summary of the
2018 APBD in Malang for only IDR 10 billion. The purpose of this
study is to find informal factors that affect the small
parking revenue received by Malang. Matters about the size of the
tax revenue are usually
analyzed by policy theory or implementation, but the author has
discovered something new
from the informal factor through a new institutionalism approach,
namely the existence of unwritten rules of parking practices
whiches is an inconsistency of Transportationn
Departmenent regulations regarding parking practices. In this
study, the author used a
qualitative approach. Researchers use case studies as a research
method. Keywords: parking practice, new institusionalism,
inconsistency.
Abstrak Pendapatan parkir di Kota Malang kecil padahal potensinya
besar. Menurut Walikota Malang, Sutiaji, mengatakan adanya
penerimaan pajak parkir yang jauh dari target
seharusnya. Banyak potensi retribusi parkir Kota Malang yang tidak
tepat. Ada potensi Rp
100 miliar lebih, tapi Pemkot hanya mendapat sekitar Rp 7 miliar
sampai Rp 10 miliar. Malang Corruption Watch (MCW) juga menilai
bahwa pendapatan parkir Kota Malang
belum optimal dan jauh dari potensi yang seharusnya. Pendapatan
parkir yang kurang dari
target ini juga dijelaskan oleh Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah
(BP2D) Kota Malang Ade Herawanto. Pendapatan parkir yang jauh dari
target ini juga di dukung oleh data
ringkasan APBD tahun 2018 Kota Malang sebesar 10 miliar saja.
Tujuan penelitian ini
terima Kota Malang. Hal-hal tentang besar kecilnya pemasukan pajak
biasanya di analisa oleh teori kebijakan atau implementasi, namun
penulis telah menemukan hal baru dari faktor
informal melalui pendekatan institusionalisme baru yaitu adanya
aturan tidak tertulis dari
praktik parkir yang merupakan inkonsistensi peraturan Dinas
Perhubungan tentang praktik
parkir. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
kualitatif. Peneliti menggunakan studi kasus sebagai metode
penelitian.
Kata Kunci: praktik parkir, institusionalisme baru, inkonsistensi,
aktor, retribusi parkir.
PENDAHULUAN
Pendapatan parkir di Kota Malang kecil padahal potensinya besar.
Menurut
Walikota Malang, Sutiaji, mengatakan adanya penerimaan pajak parkir
yang jauh dari
target seharusnya. Banyak potensi retribusi parkir Kota Malang yang
tidak tepat. Ada
potensi Rp 100 miliar lebih, tapi Pemkot hanya mendapat sekitar Rp
7 miliar sampai Rp
10 miliar (Suryamalang.tribunnews.com, 2019). Malang Corruption
Watch (MCW)
juga menilai bahwa pendapatan parkir Kota Malang belum optimal dan
jauh dari
potensi yang seharusnya. MCW menilai bahwa pendapatan parkir Kota
Malang tiap
tahunnya bisa mencapai Rp 200 miliar per tahun. Namun target yang
dicapai hanya Rp
10 miliar saja (Malangmerdeka.com, 2019). Pendapatan parkir yang
kurang dari target
ini juga dijelaskan oleh Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D)
Kota Malang
Ade Herawanto. Ia mengatakan bahwa penerimaan yang berasal dari
Pajak Parkir
sampai pertengahan triwulan kedua 2018 sudah mencapai Rp 2,3
miliar. Pendapatan
parkir yang jauh dari target ini juga di dukung oleh data ringkasan
APBD tahun 2018
Kota Malang hanya mencapai 10 miliar saja (Jawapos.com,
2018).
Kecilnya pendapatan parkir Kota Malang dapat dilihat dari praktik
parkir yang
melibatkan si operator dan Dinas Perhubungan. Jika dua pihak yang
terlibat ini
menjalankan praktik parkir sesuai aturan, maka pendapatan parkir
tidak kecil. Tetapi
sebaliknya, jika pihak tersebut tidak melakukan sesuai aturan yang
ada, pendapatan
parkir yang diterima jauh lebih kecil dari target seharusnya.
Berdasarkan Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir
oleh
Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkatan Kota serta
Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat, dijelaskan tentang parkir diluar jalan yang
merupakan tempat yang
diperbolehkan adanya praktik parkir. Tempat-tempat tersebut adalah
Perusahaan,
Kantor Pemerintahan, Pertokoan, Sekolah/Perguruan Tinggi,
Kondominium,
Pemukiman tunggal, Gedung/Pelataran Khusus Parkir Umum. Dan penulis
memilih
objek di daerah pertokoan dan sekolah/perguruan tinggi. Yaitu
praktik parkir di area
Universitas Brawijaya dan sepanjang jalanan pertokoan Pecinan Pasar
Besar Kota
17
Malang. Dua tempat tersebut merupakan parkir pelataran yang berada
di luar jalan.
Universitas Brawijaya setiap tahunnya terus menjadi kampus dengan
penerimaan
mahasiswa terbanyak. Dan karena kebijakan kampus yang tidak
memperbolehkan
mahasiswa baru membawa kendaraan ke dalam kampus, maka muncullah
praktik parkir
di sekitar Universitas Brawijaya untuk menampungnya. Sedangkan
jalan pertokoan
Pecinan Pasar Besar Kota Malang merupakan tempat perdangan besar di
kota ini.
Dikaitkan dengan pendekatan institusionalisme baru, penulis mencari
adanya
faktor diluar lembaga formal yang yang menyebabkan kecilnya
pendapatan parkir Kota
Malang. Selama ini, besar kecilnya pendapatan daerah khususnya
parkir dilihat melalui
teori kebijakan. Namun, ada hal-hal diluar lembaga formal yang
mempengaruhi
kecilnya pendapatan. Hal tersebut antara lain aturan tertulis,
aturan tidak tertulis, motif
personal, nilai dan historis. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Apakah ada
faktor non formal di dalam praktik parkir?
Pendekatan institusionalisme baru merupakan salah satu paradigma
yang
berkembang dalam ilmu politik. Menurut fokus perhatian Pendekatan
institusionalisme
baru dibedakan dalam beberapa pendekatan turunan yakni Rational
Choice
Institutionalism, Sociological Institutionalism, dan Historical
Institutionalism. Rational
Choice Institutionalism membahas tentang actor (Hall dan Taylor,
1996), perilaku
individu (Coneybere, 1984), kesejahteraan ekonomi (Kenneth Arrouw,
1951), jabatan ,
keuntungan, prestise (William Niskanen, 1971) dan kepentingan
(Calvert, 1995).
Rational choice memiliki fokus bahwa maksimalisasi utilitas dapat
dan akan tetap
menjadi motivasi utama individu, tetapi individu tersebut mungkin
menyadari bahwa
tujuan mereka dapat dicapai paling efektif melalui tindakan
institutional, dan
menemukan bahwa perilaku mereka dibentuk oleh lembaga. Perilaku ini
juga untuk
mencapai hal-hal yang bersifat untung rugi seperti kesejahteraan
ekonomi, jabatan,
keuntungan, prestise dan kepentingan (Hall dan Taylor, 1996).
Sociological Institutionalism membahas tentang nilai dan identitas
(Campbel,
2004), penciptaan makna (Meyer dan Rowan, 1977), nilai-nilai budaya
(Lachmann,
1971), Karakteristik sosial, simbol (Durkheim, 1922) , Sistem nilai
(Philip Selznick,
1946), Perubahan, adaptasi (Eisenstadt, 1963), Nilai dan symbol
(March dan Olsen,
1989). Sociological Institutionalism berfokus pada penyediaan
nilai, identitas, makna
dan symbol pada sebuah institusi. Hal ini kemudian juga memberikan
dampak terhadap
perubahan adaptasi akibat faktor eksternal dan internal yang di
dapatkan.
Historical Institutionalism membahas tentang Path Dependency
(Krashner,
18
1984), Sejarah kebijakan (Peter Hall, 1986), Proses adaptif
(Pierson, 1966), Keadaan
Setimbang (Krasner, 1989). Gagasan dasar pendekatan ini sederhana,
yaitu bahwa
pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat ketika suatu lembaga sedang
dibentuk, atau ketika
suatu kebijakan dimulai, akan memiliki pengaruh yang berkelanjutan
dan sangat
menentukan atas kebijakan yang jatuh di masa depan (Skocpol, 1992;
King, 1995)
(dalam Hall dan Taylor, 1996).
Ada dua jurnal yang juga di jadikan acuan penulis. Yang pertama
adalah jurnal
milik Peter A. Hall dan Rosemary C. R. Taylor dengan judul
Political Science and the
Three New Institutionalism. Peter Hall dan Rosemary menjelaskan
tentang tiga
pendekatan institusionalisme baru yaitu pilihan rasional,
institusionalisme historis dan
institusionalisme sosiologis. Peter dan Rosemary menyebutkan bahwa
Pilihan rasional
terbagi dalam empat fitur yaitu karakteristik serangkaian asumsi
perilaku, citra
karakteristik politik, peran interaksi strategis, keuntungan dan
kerjasama.
Pada Institusionalisme Historis juga menjelaskan empat fitur yang
relative khas.
Pertama adalah kelembagaan historis cenderung untuk
mengkonseptualisasikan
hubungan antara lembaga dan perilaku individu dalam istilah yang
relatif luas. Kedua,
mereka menekankan asimetri kekuasaan yang terkait dengan operasi
dan pengembangan
lembaga. Ketiga, mereka cenderung memiliki pandangan kelembagaan
pembangunan
yang menekankan ketergantungan dan konsekuensi yang tidak
diinginkan. Keempat.
mereka sangat prihatin untuk mengintegrasikan analisis kelembagaan
dengan jenis
faktor kontribusi yang lain.
Dan institusionalisme sosiologis menurut Peter A. Hall dan Rosemary
memiliki
tiga ciri yaitu mendefinisikan lembaga dengan sistem simbolis,
kognitif dan moral serta
makna. Kedua adalah memahami hubungan antar lembaga dan individu
yang mengikuti
pendekatan budaya. Ketiga adalah tentang citra diri dan identitas
pelaku sosial.
Jurnal kedua adalah jurnal milik Richard C. Feiock (2007) yang
berjudul
Rational Choice and Regional Governance. Jurnal ini berisikan
tentang perspektif antar
lembaga dengan segala aspek seperti kebijakan, karakter masyarakat,
lembaga-lembaga
politik, dan stuktur jaringan formal dan informal dimana para aktor
lokal dilekatkan.
Dengan logika sebuah tindakan rasional akan menghasilkan keuntungan
maksimum
namun dengan biaya yang sedikit.
19
METODE
penelitian kualitatif adalah memahami situasi, peristiwa, peran,
kelompok atau interaksi
sosial tertentu (Locke, Spirduso, & Silverman, 1987 dalam
Creswel 2016). Penelitian
ini dapat diartikan sebagai proses investigasi yang didalamnya
peneliti secara perlahan-
lahan memaknai suatu fenomena sosial dengan membedakan,
membandingkan,
menggandakan, mengatalogkan, dan mengklasifikasikan objek
penelitian (Miles &
Huberman, 1984 dalam Creswel 2016). Marshall dan Rossman (1989)
dalam Creswel
2016, menyatakan bahwa penelitian ini melibatkan peneliti untuk
menyelami setting
peneliti. Peneliti memiliki dunia informan melalui interaksi
berkelanjutan, mencari
makna dan perspektif informan.
Peneliti menggunakan studi kasus sebagai metode penelitian. Sebagai
suatu
upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada
pengetahuan kita secara
unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik.
Studi kasus selama ini
telah menjadi strategi penelitian di berbagai bidang seperti
psikologi, sosiologi, ilmu
politik, perencanaan, dan ekonomi. Pada semua situasi, kebutuhan
akan studi kasus
melampaui keinginan untuk memahami fenomena sosial yang kompleks.
Singkatnya,
studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan
karakteristik holistik dan
bermakna dari peristiwa-periatiwa kehidupan nyata seperti siklus
kehidupan seseorang,
proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan
sosial, hubungan-
hubungan internasional, dan kematangan industri-industri. (Yin,
2018).
Pengumpulan data Dengan Studi lapangan yaitu penelitian langsung
pada
obyek yang diteliti dengan tujuan memperoleh data dan fakta
dilokasi penelitian dengan
cara (Sugiyono 2008:62): Wawancara. Secara sederhana wawancara
diartikan sebagai
alat pengumpulan data dengan mempergunakan tanya jawab antara
pencari informasi
dan sumber informasi. Observasi. Pengamatan langsung pada obyek
penelitian sehingga
dapat dilihat dari dekat keadaan yang sebenarnya dan memperoleh
gambaran dari
obyek yang diteliti secara nyata dan benar. Dalam Hal ini penulis
mengamati kinerja
Petugas dilapangan serta pegawai di Dinas Perhubungan Kota Malang.
Dokumentasi.
Merupakan data dari informasi yang dilakukan dengan mengambil
dokumen atau
catatan dalam bentuk apapun yang ada kaitannya dengan judul
penelitian antara lain
data kependudukan, data wilayah perparkiran, data petugas pemungut
retribusi parkir,
data kendaraan bermotor yang memakai jasa parkir serta data lainnya
yang berkaitan
dengan penelitian.
20
Sumber data, enam sumber data yang dapat dijadikan focus bagi
pengumpulan
data adalah: dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung,
observasi
pemeran serta, dan perangkat fisik. Namun peneliti hanya
menggunakan empat sumber
bukti yang disesuaikan dengan penelitian, yaitu dokumen, rekaman
arsip, wawancara
dan observasi langsung. (Yin, 2018:103). Dokumen yang digunakan
adalah artikel dan
berita yang muncul di media masa terkait kecilnya pendapatan parkir
Kota Malang.
Rekaman arsip yang penulis gunkan adalah APBD Kota Malang tahun
2018 tentang
pendpatan parkir. Wawancara ini dilakukan kepada narasumber yaitu
penyelenggara
praktik parkir. Observasi langsung dilakukan penulis di tempat
penyelenggaraan praktik
parkir.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,
dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan ke dalam
unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang
lain. (Moleong 1995:103)
HASIL DAN PEMBAHASAN
pertama yaitu ketua Karangtaruna setempat. praktik parkir muncul
karena pemuda
disana banyak yang tidak memiliki pekerjaan dan melihat bahwa ada
lahan yang bisa di
manfaatkan. Yang masuk sebagai anggota petugas parkir rata-rata
dari usia 18 hingga
34 tahun. Atau yang sudah lulus sekolah tapi belum bekerja juga
bisa jaga di tempat itu.
Dampak yang dihasilkan sebelum dan sesudah adanya lahan parkir
tersebut memang
sangat terlihat dari segi perekonomian. Setiap hari, motor yang di
parkirkan disana
sekitar 200 dengan tarif Rp4000 per motor. Uang yang di hasilkan
itu kemudian di bagi
rata ke anggota yang bertugas tiap shift nya. Tiap hari ada tiga
shift dengan jumlah 6-8
orang tiap harinya. Setiap yang bertugas di beri upah Rp. 150.000
per hari. Dan ada juga
alokasi untuk uang kas Karangtaruna, serta uang untuk program kerja
mereka.
Awal adanya pemanfaatan lahan parkir oleh Karangtaruna sendiri
berlangsung
sejak 2016 hingga sekarang.
di dalam terus taruh motor sembarangan. Banyak mbak
(kendaraan yang parkir disini), ini ada fisip, teknik,
peternakan. ada 100 sampai 200 motor dari sini sampai sana.
Satu motor dipatok empat ribu rupiah karena sampai
malam.” 1
Dan keberlangsungan itu hanya di semester ganjil saja. Karena
kebijakan
Perguruan Tinggi tentang larangan mahasiwa baru membawa kendaraan
pribadi terjadi
di semester ganjil saja. Respon masyarakat pada waktu awal
munculnya kurang
mendukung karena dianggap mereka adalah perkumpulan yang sering
mabuk-mabukan
dan kurang menyatu dengan norma masyarakat. Tapi kemudian di adakan
mediasi
antara Karangtaruna, lurah setempat dan perwakilan warga. Hingga
akhirnya
masyarakat menerima keberadaan mereka dengan pekerjaannya.
Dalam praktik parkir ini, Karangtaruna harus memberikan setoran
terhadap
dinas perhubungan sebesar Rp250.000 per bulan nya. Dan setiap
harinya, petugas dari
dinas perhubungan melakukan survey di setiap lahan parkir yang ada.
sebenarnya,
setoran ini sangat berbeda jauh dengan setoran yang harus di
bayarkan di daerah
Pertokoan Pecinan Pasar Besar.
Di Pecinan Pasar Besar, petugas parkir yang bekerja harus
menyetorkan
Rp20.000 tiap harinya ke petugas Dinas Perhubungan yang survey
setiap harinya. Jika
di kalikan dalam satu bulan, petugas parkir disini harus
menyetorkan sejumlah
Rp600.000. Itu sangat timpang dengan setoran yang harus di setorkan
oleh kelompok
Karangtaruna tersebut. Padahal, penentuan tarif setoran juga
berdasarkan ramai/sepinya
pengunjung yang datang memarkirkan kendraannya. Di daerah Pertokoan
Pecinan Pasar
Besar ini, tiap sektor wilayah memang memiliki setoran yang berbeda
berdasar tingkat
kepadatan pengunjung. Ada juga, di sektoral pasar besar yang harus
menyetorkan
100.000 sampai 200.000 perharinya. Namun pendapatan mereka
rata-rata 500.000
perhari. Tapi memang belum dibagi rata ke petugas yang jaga saat
itu. Untuk yang
harus setor 20.000 perhari, pendapatan mereka tiap harinya hanya
mencapai 70.000.
Pendapatan perhari dan uang setoran yang didapat sebenarnya tidak
bisa terus
mencukupi kebutuhan hidup mereka apalagi yang sudah berkeluarga dan
punya
beberapa anak.
Munculnya parkir di sini memang karena adanya ajakan dari rekan
atau saudara
yang sudah lebih dahulu menjdi petugas parkir disini. Namun tetap,
mereka harus
1 Wawancara dengan Ketua Karangtaruna, 28 Februari 2020
22
mengikuti prosedural yang sudah di tetapkan oleh dinas perhubungan.
Mereka harus
daftar, setor identitas dan melakukan praktik parkir dengan atribut
yang seharusnya
walaupun dalam kenyataannya, memang tidak diberikan karcis. Hal ini
terjadi karena
memang pengunjung tidak mau diberi karcis namun tarif yang
dibayarkan tetap sesuai
dengan peraturan.
Respon warga ternyata tidak selamanya baik. Ada juga warga yang
tidak mau
membayarkan tarif parkir. Dan respon petugas ternyata tidak pernah
ambil pusing.
Petugas membiarkan begitu saja masyarakat yang enggan membayar
tarif parkir. Dan
sudah pasti mengurangi pemasukan mereka. Namun mereka tetap memilih
untuk tidak
memaksa masyarakat tersebut.
Respon pemilik toko ternyata tidak pernah merasa terganggu dengan
adanya
petugas parkir. Karena tidak dipungkiri jika sebuah toko yang
memiliki petugas parkir
pasti masyarakat enggan masuk ke toko tersebut. Tapi disini tidak,
hal itu sudah
dianggap wajar karena dianggap balas jasa atas kendaraan yang
dijaga. Bahkan, antara
petugas dan pemilik toko menjalin hubungan yang sangat baik.
Namun ada satu fakta yang menarik ketika petugas parkir cerita
tentang agenda
tahunan Dinas Perhubungan. Beliau yang mulai beroperasi sejak tahun
1992 ini pun
mengaku bahwa setiap tahun selalu ada acara ramah tamah, pertemuan
semua petugas
parkir se Kota Malang. Dengan di beri uang saku, mereka datang dan
sangat menikmati
acara pertemuan tersebut. Mereka menyebutkan bahwa, jamuan yang
diberikan dinas
terkait itu sangat baik. Dan itu dilakukan setiap tahun. Jika ada
agenda besar yang
dilakukan tiap tahun, bagaimana bisa dinas mengalami kebocoran
pemasukan pajak
sebegitu besarnya. Harusnya, jika mengalami kebocoran pemasukan
pajak, acara besar
seperti itu baiknya bisa di pending atau dialihkan ke hal
lain.
Ada temuan menarik dari hasil wawancara dengan narasumber tersebut.
Adanya
inkonsistensi peraturan dari penyelenggara praktik parkir. Tarif
yang di patok oleh
penyelenggara praktik parkir di kawasan perguruan tinggi tidak
sesuai dengan peraturan
Dinas Perhubungan. Tarif yang harusnya Rp 2.000 per motor, namun
dipatok menjadi
Rp. 4000 per motor. Tarif ini naik menjadi dua kali lipat. Meskipun
dengan alasan
menjaga sampai malam, namun tetap saja tidak sesuai dengan
peraturan Dinas
Perhubungan tentang tarif parkir motor. Jika dihitung pendpatan
dalam satu hari di satu
tempat saja, dengan tariff Rp 4.000 dengan 200 hingga 300 motor per
hari, maka
pendapatan total dlam tiap harinya bisa mencapai Rp. 800.000 hingga
Rp. 1.200.000.
Jika di kurangi upah harian yang mencapai Rp.450.000 perhari,
mereka masih
23
mengantongi sejumlah Rp. 350.000 hingga Rp.850.000. Jika harus
dikurangi uang kas
sejumlah Rp.150.000, masih ada simpanan sebesar Rp. 300.000 hingga
Rp.700.000
perharinya. Dalam satu bulan, penghasilan bersih yang di dapat
sejumlah Rp. 9.000.000
hingga Rp.21.000.000. Bahkan bisa mencapai Rp. 36.000.000 hingga
Rp. 84.000.000
tiap semesternya. Dalam satu semester perkuliahan berjalan hingga
empat bulan saja.
Dengan jumlah yang sangat besar ini, tentu seharusnya bisa masuk ke
pendapatan
daerah untuk Dinas Perhubungan.
Adanya aktor yang mengelola berjalannya praktir parkir ini juga
menarik. Masih
terkait dengan inkonsistensi peraturan. Pengelola praktik parkir
tersebut memiliki
wewenang untuk memberikan aturan tertulis dan tidak tertulis
tentang penyelenggaraan
praktik parkir. Contohnya adalah penentuan tarif parkir yang
berbeda dengan perturan
seharusnya. Hal ini menarik ketika aktor merupakan faktor penentu
berubah tidaknya
peraturan.
Ini juga terkait dengan kesejhteraan ekoonomi para pelaku praktik
parkir.
Seorang aktor yang membuat aturan tidak tertulis tersebut mendasari
keputusannya
dengan alasan kesejahteraan ekonomi. Mereka menganggap, tidak
sebanding jika tarif
parkir tidak di imbangi dengan durasi. Karena mereka sering
menemukan mahasiswa
yang parkir hingga dini hari. Menurut mereka, tidak sebanding jika
harus di bayar
dengan tarif Rp. 2000 per motor. Maka mereka membuat aturan tidak
tertulis tentang
tarif parkir sebesar Rp. 4000 per motor.
Sebagai komunitas yang bertanggungjwab mengelola lahan parkir,
mereka juga
punya kuasa untuk mengatur siapa saja yang bisa dipekerjakan di
sana. Mereka akan
mementingan warga yang berdomisili di kelurahan tersebut. Jika ada
warga lain yang
ingin bekerja disana, secara otomatis tidak diperbolehkan.
Kepentingan warga dengan
domisili sama tetap mereka pertahankan.
Secara nilai dan identitas, komunitas tersebut masih menjunjung
tinggi norma
yang berlaku. Menepis pemikiran masyarakat sekitar tentang mereka
yang suka mabuk-
mabukan dan melakukan hal-hal yang tidak berfaedah yang tidak
bermoral. Hal ini juga
konsisten mereka lakukan agar tetap menjaga nilai komunitas ini
tetap baik.
Terdapat adaptasi atau perubahan dari proses inisiasi hingga
terselenggaranya
praktik parkir disini. Keadaan awal adalah ketika karangtaruna
melihat adanya lahan
kosong yang bis dimanfaatkan untuk menghasilkan uang. Dari situlah
mereka mulai
membuka lahan dengan izin pemilik lahan. Namun warga tidak langsung
menerima
kehadiran mereka. Banyaknya pemikiran negative tentng mereka masih
kental. Pada
24
akhirnya di adakan mediasi antara karangtaruna, perwakilan warga
dan kelurahan
setempat untuk mencari jalan tengah. Dengan adaptasi dari
lingkungan sekitar, proses
penyelenggaraan parkir tetap berjalan. Ada faktor eksternal yang
membuat
penyelemggaraan praktik parkir ini terus mengalami adaptasi atau
perubahan. Misalnya
saja karena durasi parkir yang terlalu lama bahkan sampai dini
hari, maka tarif parkir
dikenakan dua kali lipat dari seharusnya. Keadaan eksternal lainnya
adalah respon
warga terhadap munculnya praktik parkir pertama kali sehingga
membuat mereka
melakukan mediasi tiga pihak yaitu perwakilan warga, karangtaruna
dan pihak
kelurahan. Sehingga di dapatkan kesepakatan atau jalan tengah dan
praktik parkir tetap
berjalan.
Dari hasil temuan di atas, bisa kemudian di analisa menggunakan
tiga
pendekatan dari teori dan jurnal tentang pilihan rasional,
institusionalisme sosiologis
dan institusionalisme historis. Yang pertama adalah pilihan
rasional. Ada temuan yang
terkait dengan pilihan rasional yaitu muncul aktor yang menyebabkan
inkonsistensi
peraturan. Aktor yang adalah penyelenggara praktik parkir ini
membuat sebuah aturan
tentang tarif parkir yang naik dua kali lipat dan tidak sesui
dengan peraturan. Namun
alasan dilakukannya hal tersebut adalah untuk menyeimbangkan jam
kerja dan
pendapatan untuk kesejahteraan ekoonomi mereka. Menurut Guy Peter,
keadaan itu di
dukung oleh teori pilihan rasional yang bergantung pada kekuatan
analitiknya atas
keputusan untuk memaksimalkan utilitas individu. Meskipun secara
individualistik
mendasari pendekatan analitik mereka, institusionalisme pilihan
rasional telah
memahami dengan jelas bahwa sebagian besar kehidupan politik
terjadi di dalam
lembaga (Tsebelis 1990).
Fritz Scharpf (2018) juga telah menulis tentang pusat aktor
dan
institusionalisme. Dalam semua pendekatan teoritis ini, lembaga
yang
dikonseptualisasikan sebagai kumpulan aturan dan insetif yang
menetapkan kondisi
untuk rasionalitas terikat, dan karena itu mendirikan sebuah ruang
politik dimana
banyak politik saling bergantung pada aktor politik. Dengan
demikian, dalam model ini,
politisi individu diharapkan membuat manuver untuk memaksimalkan
utilitas pribadi.
Tetapi pilihannya secara inheren dibatasi karena mereka beroperasi
dalam aturan
lembaga. Jadi, tidak seperti beberapa aspek dari teori kelembagaan,
ada aktor yang
jelas, bukan hanya seperangkat aturan dan norma. Jadi aktor yang
membuat
inkonsistensi peraturan itu memang menjadi pusat untuk
memaksimalkan utilitas
individu.
25
mungkin percaya diri untuk terlibat (Weingast, 1996). Seperangkat
aturan dapat muncul
dalam organisasi yang menyusun perilaku dan menetapkan batas
penerimaan.
Selanjutnya, keberadaan tersebut akhirnya menguntungkan semua
peserta, dan mungkin
juga masyarakat secara keseluruhan. Lembaga yang mampu menghasilkan
beberapa
prediktabilitas dan keteraturan hasil yang menguntungkan semua
peserta di sebuah
lembaga, dan juga mengklarifikasi kemungkinan berbagai keputusan
yang tersedia
untuk aktor masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam proses
apapapun di
organisasi tertentu. Dengan demikian, bisnis dapat memperoleh
manfaat dari rezim
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan meskipun mereka mungkin
mengeluh
tentang beberapa kendala tertentu.
Terkait dengan alasan kesejahteraan ekonomi dan menikkan tariff
parkir
menjadi dua kali lipat, Kenneth Arrow (1951) juga mendukung adanya
hal ini. Ia
membahas pendekatan ini terkait dengan kesejahteraan ekonomi,
khususnya
pengamatan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan fungsi
kesejahteraan sosial
yang akan dijamin untuk menghasilkan keputusan yang memuaskan
preferensi semua
peserta dalam suatu masyarakat. Satu-satunya jalan di sekitar
masalah itu adalah
pengenaan keputusan oleh otoritas dari beberapa aktor dominan.
Dengan kata lain,
sebagian besar sistem pemungutan suara tidak menghasilkan keputusan
yang secara
sempurna sesuai dengan alternatif yang diinginkan dari peserta
dengan yang akan
memaksimalkan kesejahteraan kolektif mereka.
utilitas pribadi, biasanya melalui instrumen seperti anggaran yang
lebih besar dan
alokasi personil yang lebih besar. Alokasi ini diasumsikan untuk
menghasilkan
keuntungan pribadi seperti gaji yang lebih tinggi, prestise pribadi
yang lebih besar. Juga
bekerja dalam konteks birokrasi, Anthony Downs (1967) meneliti
strategi aktor rasional
yang dapat mengejar untuk meningkatkan utilitas pribadi serta untuk
meningkatkan
kinerja organisasi (dalam Niskanen, 1994).
Salah satu komentator tentang teori birokrasi Weber dan institusi
lain (dalam
Lachmann, 1971) berpendapat bahwa, berkaitan dengan perilaku di
mana nilai-nilai
budaya meresap dan membentuk organisasi formal, tidak peduli
tingkat perkembangan
sosial-ekonomi dan budaya di mana proses ini terjadi. Mirip dengan
institusionalis
26
berbasis nilai yang dibahas di atas, Weber mengemukakan hubungan
langsung antara
nilai-nilai budaya dan struktur formal dalam masyarakat, termasuk
lembaga formal.
Hampir sama dengan Guy Peters, Peter Hall juga membahas keadaan
tersebut
dengan menyebutkan bahwa pilihan rasional menekankan empat fitur
penting dari
pendekatan ini. Pertama, institutionalist pilihan rasional membahas
tentang karakteristik
serangkaian asumsi perilaku. Secara umum, mereka menempatkan bahwa
aktor yang
relevan memiliki seperangkat preferensi tetap atau selera (biasanya
sesuai dengan
kondisi yang lebih tepat seperti prinsip transitivitas),
berperilaku sepenuh
instrumentalnya sehingga memaksimalkan pencapaian preferensi ini
dan melakukannya
dengan cara yang sangat strategis yang berasumsi pada perhitungan
ekstensif.
Kedua, jika semua studi pemikiran cenderung untuk menyebarluaskan
citra
karakteristik politik, apakah sebagai 'perjuangan untuk kekuasaan',
sebuah 'proses
pembelajaran sosial' atau semacamnya, pilihan rasional juga
menyiapkan citra khas
politik. Mereka cenderung melihat politik sebagai serangkaian
dilema tindakan kolektif.
Yang terakhir dapat didefinisikan sebagai contoh ketika individu
yang bertindak untuk
memaksimalkan pencapaian preferensi mereka sendiri cenderung
menghasilkan hasil
yang secara kolektif kurang optimal (dalam arti bahwa hasil lain
dapat ditemukan yang
akan membuat setidaknya satu dari aktor yang lebih baik tanpa
membuat salah satu dari
yang lain lebih buruk). Biasanya, apa yang mencegah aktor dari
mengambil secara
kolektif tindakan yang lebih unggul adalah tidak adanya pengaturan
kelembagaan yang
akan menjamin perilaku pelengkap oleh orang lain.
Ketiga, salah satu kontribusi besar dari institutionalisme pilihan
rasional telah
menekankan peran interaksi strategis dalam penentuan hasil politik.
Itu adalah untuk
mengatakan, mereka postulate, pertama, bahwa perilaku aktor
kemungkinan akan
didorong bukan oleh kekuatan sejarah impersonal, tetapi dengan
kalkulus strategis, dan,
kedua, bahwa kalkulus ini akan sangat tercela oleh harapan aktor
tentang bagaimana
orang lain cenderung berperilaku juga. Interaksi struktur lembaga
tersebut rentang
mempengaruhi urutan agenda pilihan dan penegakan yang mekanismenya
mengurangi
ketidakpastian tentang perilaku yang sesuai dari orang lain dan
memungkinkan
“keuntungan dari pertukaran“, dengan demikian memimpin pelaku
terhadap kalkulus
tertentu dan berpotensi hasil sosial yang lebih baik. Kita dapat
melihat bahwa teori
pilihan rasional mengambil 'pendekatan kalkulus' klasik untuk
masalah menjelaskan
bagaimana lembaga mempengaruhi tindakan individu.
Institutionalisme pilihan rasional juga telah mengembangkan
pendekatan yang
27
yang menjalankan lembaga. Mereka kemudian menjelaskan keberadaan
lembaga
tersebut dengan mengacu pada nilai yang dimiliki fungsi tersebut
bagi pelaku yang
terkena dampak lembaga tersebut. Perumusan ini mengasumsikan bahwa
para pelaku
membuat institusi untuk mewujudkan nilai ini, yang paling sering
dikonseptualisasikan,
seperti yang disebutkan di atas, dalam hal keuntungan dari kerja
sama. Dengan
demikian, proses penciptaan kelembagaan biasanya berkisar pada
kesepakatan sukarela
oleh aktor yang relevan: dan, jika lembaga tersebut tunduk pada
proses seleksi
kompetitif, itu bertahan terutama karena memberikan manfaat lebih
kepada aktor yang
relevan daripada bentuk kelembagaan alternatif. Dengan demikian,
struktur organisasi
dijelaskan dengan mengacu pada cara meminimalkan transaksi,
produksi atau pengaruh
biaya.
Richard C. Feiock juga membahas pilihan rasional. Ia menyebutkan
bahwa
perspektif aksi kolektif institusional mempertimbangkan peluang
yang dimiliki dan
manfaat partisipasi dalam penyelesaian masalah bersama. Sebuah
kondisi dapat
ditemukan dengan melihat karakteristik masyarakat, jenis kebijakan,
lembaga-lembaga
politik, dan stuktur jaringan formal dan informal dimana para aktor
lokal dilekatkan.
Hal ini juga menghasilkan interaksi berulang di antara aktor,
struktur insentif, dan
keterkaitan di antara berbagai kebijakan dan masalah. Mancur Olson
(1965)
membangun logika tindakan kolektif di atas suatu anggapan bahwa
jenis masalah yang
berusaha dipecahkan individu mempengaruhi tanggapan mereka terhadap
masalah-
masalah ini.
Karakteristik ekonomi, sosial, dan politik dari populasi
masyarakat
membentuk preferensi untuk membantu menentukan potensi keuntungan.
Homogenitas
demografis menunjukkan bahwa tidak akan ada kekuatan politik dan
ekonomi yang
menguntungkan salah satu pihak dan menciptakan masalah untuk
menegosiasikan
pembagian manfaat yang adil. Salah satu faktor kontekstual yang
paling penting adalah
lokasi geografis.
tindakan kolektif institusional dapat memberikan wawasan baru
yang
menginformasikan teori dan praktik, tetapi langkah selanjutnya
adalah menguji secara
empiris pengaruh jenis layanan, karakteristik masyarakat, lembaga
politik, dan struktur
jaringan secara bersamaan.
Hal ini mendukung temuan tentang peluang aktor terlibat untuk
memanfaatkan
lahan yang sebelumnya tidak terpakai dan akhirnya digunakan untuk
praktik parkir
sekitar Perguruan Tinggi. Hal ini sebagai pemanfaatan dari masalah
terkait pemuda
yang masih belum mendapatkan pekerjaan agr bisa bekerja dan
berpenghasilan. Dengan
melihat karakteristik pemuda yang bisa di ajak bekerja dan
masyrakat yang pada
akhirnya menerima terselenggaranya praktik parkir disana.
Dilihat dari pendekatan kedua yaitu institusiionalisme sosiologi,
Guy Peters
dalam bukunya menyebut sosiolog Amerika, Talcott Parsons (1951,
1960) untuk
membahas terkait hasil temuan ini. Parsons mewakili cabang lain di
pohon evolusi
dalam analisis sosiologis lembaga. Parsons adalah salah satu
pendukung utama
fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, argumen dasar yang
menyatakan bahwa
masyarakat memiliki fungsi-fungsi yang diperlukan yang harus
dilakukan jika mereka
ingin bertahan hidup. Sebagai contoh, masyarakat (dikemukakan)
harus memenuhi
fungsi adaptif untuk mengekstraksi sumber daya yang cukup dari
lingkungan untuk
bertahan hidup. Kinerja fungsi-fungsi ini kemudian terkait dengan
keberadaan lembaga
(struktur), dengan analisis komparatif tentang masyarakat yang
dimungkinkan melalui
perilaku berbeda terkait struktur dan fungsi.
Sifat adaptif dari temuan ini muncul dari adanya penolakan ketika
awal
munculnya praktik parkir ini. Mereka menyesuaikan diri dengan
mengambil jalan
tengah yaitu melakukan mediasi. Hal ini untuk bisa menyelesaikan
masalah antar dua
pihak dan bisa mencari solusi terbaik. Dan pada akkhirnya, dengan
kesepakatan yang
ada, masyarakat menerima adanya penyelenggaraan parkir oleh
karangtaruna setempat.
Hal ini dimaksudkan agar mereka masih bisa bekerja disana.
Sikap perubahan ini juga di jelaskan oleh S. N. Eisenstadt (1963;
1965). Ia juga
berusaha menunjukkan bagaimana perubahan dapat dijelaskan dengan
menggunakan
teori yang secara luas dianggap statis dan konservatif. Dia
berpendapat bahwa lembaga
dan individu beradaptasi dengan perubahan di lingkungan mereka
melalui logika
fungsionalis sehingga pola perilaku yang berkembang akan kompatibel
dengan
kelangsungan hidup organisasi. Eisenstadt mengembangkan beberapa
konsepsinya
tentang lembaga yang berubah dalam konteks birokratisasi (1959,
1963). Ketika
birokrasi berkembang, mereka memperoleh seperangkat nilai yang
lebih kaya dan lebih
lengkap, serta pola interaksi yang lebih lengkap. Pekerjaan
Eisenstadt sangat menarik
karena ia tidak menganggap proses pelembagaan (atau birokratisasi)
tidak dapat
dibalikkan.
29
dalam struktur yang dilembagakan melibatkan penghapusan struktur
lama (atau sistem
nilai dan simbol) dan kemudian menggantikannya dengan yang baru.
Dalam pandangan
itu suatu lembaga akan mewakili sukses nilai-nilai, dengan beberapa
sisa dari masing-
masing bertahan.
untuk mempertahankan nilai dari anggotanya. Yaitu nilai seorang
pemuda yang
memiliki norma, bermoral dan baik di depan masyarakat sekitar. Hal
ini di dukung oleh
penjelasan Philip Selznick (1949) yang menunjukkan bahwa peran
kepemimpinan
organisasi (salah satu fokus utama Selznick) adalah untuk
menciptakan dan
mempertahankan sistem nilai yang di ciptakan dalam lembaga.
Penelitian Selznick
sendiri dilengkapi dengan penelitian para siswanya, salah satunya
yang fokus untuk
membahas kapasitas organisasi (dan institusi) untuk bertahan bahkan
setelah tujuan
mereka yang semula tercapai. Penelitian ini memperkuat poin bahwa
lembaga memiliki
kapasitas untuk mempertahankan nilai-nilai inti mereka (dan
terutama keberadaan
fundamental mereka).
Lembaga yang berusaha mempertahankan norma ini juga di jelaskan
oleh
March dan Olsen. Mereka cenderung menekankan dasar normatif
institusi sementara
banyak literatur sosiologis menekankan elemen kognitif dari teori
organisasi. Yaitu,
literatur sosiologis telah menjadi lebih peduli dengan bagaimana
anggota lembaga
memahami situasi dalam struktur mereka dan 'kerangka' yang mereka
bawa untuk
menanggung situasi-situasi tersebut untuk membuat keputusan tentang
mereka (Berger
dan Luckman, 1967). Pandangan kognitif lebih mendasar daripada
pandangan normatif,
mengingat bahwa hal itu menentukan bagaimana anggota lembaga
menginterpretasikan
data dari lingkungan, sementara 'semua' perspektif normatif memberi
tahu dia perilaku
apa yang sesuai dalam situasi apa pun. Kedua pendekatan mungkin
diperlukan untuk
penjelasan lengkap tentang perilaku organisasi / kelembagaan
(Scott, 1995b). Satu
pendekatan akan mempengaruhi anggota organisasi ketika mereka
menerima input
keputusan yang mereka ambil. Bagian lain dari proses sosiologis
mungkin lebih
signifikan dalam menjelaskan bagaimana keputusan dibuat.
Menurut Peter Hall tentang institusionalisme sosiologis, mereka
berpendapat
bahwa banyak dari bentuk dan prosedur ini harus dipandang sebagai
praktik
kebudayaan. Mirip dengan mitos dan upacara yang dirancang oleh
banyak masyarakat,
dan berasimilasi menjadi pengesahan organ. tidak perlu untuk
meningkatkan cara
30
formal mereka berakhir efisiensi, tetapi sebagai hasil dari jenis
proses yang terkait
dengan transmisi praktik budaya yang lebih umum. Sehingga. mereka
berpendapat.
bahkan yang paling tampaknya birokrasi praktek harus dijelaskan
dalam istilah budaya.
Peter Hall menyebutkan tiga ciri institusionalisme sosiologis.
Pertama,
institusional sosiologis cenderung mendefinisikan lembaga jauh
lebih luas daripada
ilmuwan politik lakukan untuk memasukkan, bukan hanya aturan
formal. prosedur atau
norma, tetapi sistem simbolis, skrip kognitif, dan template moral
yang menyediakan
'frame makna' membimbing tindakan manusia. Definisi tersebut
memecah konseptual
kesenjangan antara 'lembaga' dan 'budaya', dua naungan satu sama
lain. Ini memiliki
dua implikasi penting. Pertama, itu menantang perbedaan bahwa
banyak ilmuwan
politik seperti untuk menarik antara 'penjelasan kelembagaan'
didasarkan pada struktur
organisasi dan 'penjelasan budaya' didasarkan pada pemahaman budaya
sebagai berbagi
sikap atau nilai. Kedua, pendekatan ini cenderung untuk
mendefinisikan kembali
'budaya' itu sendiri sebagai 'lembaga'. Dalam hal ini, itu
mencerminkan sebuah 'giliran
kognitif' dalam sosiologi itu sendiri jauh dari formulasi yang
mengasosiasikan budaya
secara mendesak dengan sikap afektif atau nilai terhadap orang yang
melihat budaya
sebagai jaringan rutinitas. simbol atau skrip yang menyediakan
template untuk perilaku.
Kedua. kelembagaan baru dalam sosiologi juga memiliki pemahaman
yang
berbeda tentang hubungan antara lembaga dan tindakan individu, yang
mengikuti
'pendekatan budaya' yang dijelaskan di atas tetapi menampilkan
beberapa karakteristik
nuansa. Sebuah analisis sosiologis menyelesaikan masalah menentukan
hubungan
antara lembaga dan tindakan dengan mengasosiasikan lembaga dengan
'peran' yang
preskriptif 'norma perilaku' yang melekat. Dalam tampilan ini.
individu yang telah
disosialisasikan ke dalam peran kelembagaan tertentu
menginternalisasi norma yang
terkait dengan peran ini, dan dengan cara ini lembaga dikatakan
mempengaruhi
perilaku. Kita mungkin menganggap ini sebagai 'dimensi normatif'
dari dampak
kelembagaan. Meskipun beberapa terus mempekerjakan seperti
konsepsi, banyak
kelembagaan sosiologis menempatkan penekanan baru pada apa yang
kita mungkin
berpikir dari ' dimensi kognitif ' dari dampak institutional. Itu
adalah untuk menjelaskan.
mereka menekankan cara di mana lembaga mempengaruhi perilaku
dengan
menyediakan skrip kognitif, kategori dan model yang sangat
diperlukan untuk tindakan,
tidak sedikit karena tanpa mereka, perilaku orang lain tidak dapat
ditafsirkan. Lembaga
mempengaruhi perilaku tidak hanya dengan menentukan apa yang harus
dilakukan,
tetapi juga dengan menentukan apa yang bisa dibayangkan seseorang
lakukan dalam
31
memberikan istilah yang sangat berarti yang diberikan dalam
kehidupan sosial. Ini
mengikuti bahwa lembaga tidak hanya mempengaruhi perhitungan
strategis dari
individu-individu sebagai institutionalisme pilihan rasional,
tetapi preferensi mereka
juga yang paling dasar dan sangat beridentitas. Citra diri dan
identitas pelaku sosial
dikatakan dibentuk dari bentuk kelembagaan, gambar dan tanda yang
disediakan oleh
kehidupan sosial.
sangat interaktif dan saling konstitusif dari hubungan antara
lembaga dan tindakan
individu. Ketika mereka bertindak sebagai konvensi sosial
menentukan. individu secara
bersamaan membentuk diri mereka sebagai aktor sosial, dalam arti
terlibat dalam
tindakan yang bermakna sosial dan memperkuat konvensi yang melekat
pada mereka.
Pusat dari perspektif ini adalah gagasan bahwa tindakan terikat
erat dengan interpretasi.
Dengan demikian, institutionalisme sosiologis bersikeras bahwa,
ketika dihadapkan
dengan situasi. individu harus dengan cara untuk mengenalinya dan
juga untuk
menanggapi itu, dan script atau template secara implisit dalam
dunia kelembagaan
menyediakan sarana untuk menyelesaikan kedua tugas ini, sering
lebih atau kurang
secara bersamaan. Hubungan antara individu dan lembaga, kemudian,
dibangun di atas
semacam 'penalaran praktis' di mana individu bekerja dengan dan
disarikan template
kelembagaan yang tersedia untuk merancang suatu tindakan.
Tak satu pun dari ini menunjukkan bahwa individu tidak bertujuan.
berorientasi
pada tujuan atau rasional. Namun, kelembagaan sosiologis menekankan
bahwa apa
yang seorang individu akan melihat sebagai 'tindakan rasional' itu
sendiri secara sosial
dibentuk. dan konsep tujuan mereka ke arah mana seorang aktor
sedang berjuang dalam
istilah yang lebih luas daripada yang lain lakukan. Jika teori
pilihan rasional sering
menempatkan dunia individu atau organisasi yang ingin memaksimalkan
materi mereka
baik, sosiolog sering menempatkan dunia individu atau organisasi
yang ingin
mendefinisikan dan mengekspresikan identitas mereka dalam sosial
cara yang tepat.
Akhirnya, institutionalisme baru dalam sosiologi juga mengambil
pendekatan
yang khas untuk masalah yang menjelaskan bagaimana praktik
kelembagaan berasal
dan berubah. Seperti yang telah kita lihat, banyak
institutionalisme pilihan rasional
menjelaskan pengembangan lembaga dengan mengacu pada efisiensi
dengan yang
melayani ujung materi dari mereka yang menerimanya. Sebaliknya,
institusionalisme
32
bukan karena kemajuan berarti berakhir dengan efisien dari
organisasi tetapi karena
meningkatkan legitimasi sosial organisasi atau peserta. Dengan kata
lain, organisasi
merangkul bentuk kelembagaan atau praktek tertentu karena secara
luas dihargai dalam
lingkungan budaya yang lebih luas.
Pusat dari pendekatan ini, tentu saja, adalah pertanyaan tentang
apa yang
menganugerahkan 'legitimasi' atau 'kelayakan sosial' pada beberapa
pengaturan
kelembagaan tetapi tidak yang lain. Pada akhirnya, ini adalah
masalah tentang sumber
otoritas budaya. Beberapa kelembagaan sosiologis menekankan cara di
mana negara
modern memperluas lingkup peraturan memberlakukan banyak praktik
pada organisasi-
lembaga sosial dengan publik. Lain cara di mana tumbuh
profesionalisasi dari banyak
bidang usaha menciptakan komunitas profesional dengan otoritas
budaya untuk
menekan standar tertentu pada anggota mereka. Dalam kasus lain,
praktik kelembagaan
umum dikatakan muncul dari proses diskusi yang lebih interaktif di
antara para pelaku
dalam jaringan tertentu tentang masalah bersama, bagaimana
menafsirkan mereka, dan
bagaimana untuk memecahkan mereka terjadi dalam berbagai forum yang
berkisar dari
sekolah bisnis untuk konklai internasional. Dari persimpangan
tersebut, para aktor
dikatakan mengembangkan peta kognitif bersama, sering mewujudkan
rasa praktek
kelembagaan yang tepat, yang kemudian secara luas dikerahkan. dalam
kasus ini.
Dimensi interaktif dan kreatif dari proses dimana institusi yang
dibangun secara sosial
adalah yang paling jelas.
Dilihat dari pendekatan ketiga yaitu institusionalisme historis,
Peter Hall melihat
institusi sebagai lembaga kompleks yang mampu menyusun karakter dan
hasil dari
kelompok. Bagaimana institutionalisme historis mendefinisikan
lembaga? Pada
umumnya, mereka mendefinisikan mereka sebagai prosedur formal atau
informal,
rutinitas. norma dan keyakinan yang tertanam dalam struktur
organisasi dari
pemerintahan atau ekonomi politik. Mereka dapat berkisar dari
aturan perintah
konstitusional atau prosedur operasi standar birokrasi untuk
konvensi yang mengatur
perilaku serikat buruh atau hubungan perusahaan bank. Secara umum,
para
institusionalis historis mengaitkan lembaga dengan organisasi dan
aturan atau konvensi
yang diumumkan oleh organisasi formal. Hal ini menjelaskan
institusi sebagai yang
melahirkan kebijakan mampu membuat aktor untuk bertindak sesuatu
yaitu membuka
praktik parkir. Dan mereka hadir dengan memunculkan karakter,
rutinitas dan norma
dari kelompok tersebut.
kebijakan sebelumnya akan mempengaruhi kebijakan di masa
selanjutnya. Adanya
kebijakan tentang dilarangnya mahasiswa baru membawa kendaraan
sendiri, membuat
aktor berinisiatif untuk menyrlrnggarakan praktik parkir dengan
pedoman aturan
pemerintahan.namun, dengan kondisi praktik yang memiliki durasi
cukup lama, para
aktor ini kemudian mengganti kebijakan tarif parkir menjadi dua
kali lipat. Pengaruh
kebijakan sebelumnya ini di bahas oleh Guy Peters. Ia memiliki
gagasan dasar dari
pendekatan ini, yaitu bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat
ketika suatu lembaga
sedang dibentuk, atau ketika suatu kebijakan dimulai, akan memiliki
pengaruh yang
berkelanjutan dan sangat menentukan atas kebijakan yang jatuh di
masa depan
(Skocpol, 1992).
Salah satu cara untuk menggambarkan gagasan ini adalah dengan
„path
dependency (Krashner, 1984); ketika sebuah program pemerintah atau
organisasi
memulai jalan, ada kecenderungan yang lamban untuk pilihan
kebijakan awal bertahan.
Jalur itu mungkin di ubah, tetapi itu membutuhkan banyak tekanan
politik untuk
mengasilkan perubahan itu.
Salah satu pernyataan penelitian paling awal adalah Peter Hall
(1986), Hall
mengacu pada pentingnya lembaga dalam membentuk kebijakan dari
waktu ke masa.
Analisis tentang dampak lembaga tersebut mengandung semua komponen
dasar dari
pendekatan institusionalisme historis. Argumen dasar Hall adalah
bahwa untuk
memahami pilihan-pilihan kebijakan ekonomi yang dibuat di kedua
negara (atau orang
lain) itu perlu untuk memahami politik dan sejarah kebijakan
mereka. Hall membuat
pernyataan yang jelas bahwa kebijakan pada setiap waktu dipengaruhi
oleh pilihan
kebijakan yang dibuat sebelumnya.
Salah satu faktor yang muncul dengan sangat jelas, dan yang akan
menjadi
bagian utama dari Hall berikutnya (1989; 1992) adalah peran penting
yang bermain ide
dalam membentuk kebijakan. Peran independen untuk gagasan ini juga
menjadi bagian
utama dari pendekatan institutionalist historis yang terlihat lebih
umum.
Hal yang menarik dari institusionalisme adalah bahwa „path
dependency tidak
harus terlaksana dengan sangat sederhana. Sama seperti para siswa
organisasi
berpendapat bahwa satu aturan cenderung untuk mendapatkan aturan
lain untuk
mengimbangi kekurangan dari aturan pertama March and Simon, 1957;
Crozier, 1962),
begitu pula aturan kelembagaan dan struktur menghasilkan upaya
untuk memecahkan
masalah.
34
pengambilan keputusan di masa lalu. Krasner (1988) juga berpendapat
demikian. Proses
adaptif ini memberikan institusionalisme historis dengan konsepsi
kebijakan yang lebih
dinamis daripada yang diharapkan dari pendekatan awal formulasi.
Secara khusus, jika
pilihan awal yang dibut oleh formulator suatu kebijakan atau
lembaga tidak memadahi,
lembaga harus menemukan beberapa cara adaptasi atau bahkan berhenti
(Genschel
1997).
mendapatkan keadaan setimbang. Keadaan dimana semua aspek dalam
proses praktik
tersebut bisa memberikan jasa dan menerima imbalan yang sesuai.
Keadaan ini
dijelaskan juga oleh institusionalisme historis. Institusionalisme
historis telah
memperlakukan perubahan melalui konsep 'punctuated equilibria'
(Krasner, 1984).
Seperti ungkapan ini, ada harapan dalam pendekatan bahwa untuk
sebagian besar
keberadaannya suatu lembaga akan ada dalam keadaan setimbang,
berfungsi sesuai
dengan keputusan yang dibuat pada permulaannya, atau mungkin yang
dibuat pada titik
sebelumnya. Namun, keseimbangan kebijakan ini tidak selalu permanen
dan institusi
dianggap mampu berubah dalam konteks pendekatan.
Tentang perilaku individu yang di pengaruhi oleh lembaga, Peter
Hall
menjelaskan indtitusionlisme historis ke dalam empat fitur yang
relatif khas. Pertama,
kelembagaan historis cenderung untuk mengkonseptualisasikan
hubungan antara
lembaga dan perilaku individu dalam istilah yang relatif luas.
Kedua, mereka
menekankan asimetri kekuasaan yang terkait dengan operasi dan
pengembangan
lembaga. Ketiga, mereka cenderung memiliki pandangan kelembagaan
pembangunan
yang menekankan ketergantungan dan konsekuensi yang tidak
diinginkan. Keempat.
mereka sangat prihatin untuk mengintegrasikan analisis kelembagaan
dengan jenis
faktor kontribusi yang lain.
Bagaimana lembaga mempengaruhi perilaku individu? Melalui
tindakan
individu, lembaga memiliki dampak pada hasil politik. Dalam istilah
yang luas,
institutionalis baru memberikan dua jenis tanggapan terhadap
pertanyaan ini, yang
mungkin disebut "pendekatan kalkulus" dan “pendekatan budaya“
masing-masing.
Masing-masing memberikan jawaban yang sedikit berbeda untuk tiga
pertanyaan:
bagaimana aktor berperilaku, apa yang dilakukan lembaga, dan
mengapa lembaga
bertahan dari waktu ke masa?
Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan ini, mereka yang
mengadopsi
35
pendekatan kalkulus, fokus pada aspek perilaku manusia yang
instrumental dan
berdasarkan perhitungan strategis. Mereka berasumsi bahwa individu
berusaha untuk
memaksimalkan serangkaian tujuan pencapaian yang diberikan oleh
fungsi preferensi
tertentu dan, dengan berbuat demikian. berperilaku strategis, yang
mengatakan bahwa
mereka dapat semua kemungkinan pilihan untuk mereka pilih sebagai
pemberian
manfaat maksimum.
mempengaruhi perilaku terutama dengan menyediakan aktor dengan
tingkat yang lebih
besar atau lebih rendah dari kepastian tentang perilaku sekarang
dan masa depan aktor
lain. Lebih khusus lagi, lembaga memberikan informasi yang relevan
dengan perilaku
orang lain, mekanisme penegakan perjanjian, hukuman untuk
pembelotan, dan
sebagainya. Titik kuncinya adalah bahwa efek tindakan-tindakan
individu dengan
mengubah harapan seorang aktor memiliki tindakan yang orang lain
cenderung untuk
mengambil dalam menanggapi atau bersamaan dengan tindakan sendiri.
Interaksi
strategis jelas memainkan peran kunci dalam analisis
tersebut.
Hal ini kontras dengan 'pendekatan budaya' untuk masalah tersebut.
Yang
terakhir menekankan tingkat perilaku yang tidak sepenuhnya
strategis tetapi dibatasi
oleh pandangan individu. Artinya, tanpa menyangkal bahwa perilaku
manusia adalah
rasional atau purposive, hal ini menekankan sejauh mana individu
berpaling untuk
menetapkan rutinitas atau familiar patterns perilaku untuk mencapai
tujuan mereka. Ini
cenderung untuk melihat individu sebagai kesatuan yang sangat
memuaskan, dan untuk
menekankan sejauh mana pilihan tindakan tergantung pada situasi
interpretasi daripada
perhitungan instrumental murni.
Apa yang dilakukan institusi? Dari perspektif ini, lembaga
menyediakan moral
atau template kognitif untuk interpretasi dan tindakan. Individu
dipandang sebagai
entitas tertanam dalam dunia lembaga, terdiri dari simbol, skrip
dan rutinitas, yang
menyediakan filter untuk interpretasi. dari situasi dan diri
sendiri, dari mana suatu
tindakan dibangun. Tidak hanya lembaga menyediakan informasi
strategis dan berguna,
tapi mereka juga sangat mempengaruhi identitas, citra diri dan
preferensi para aktor.
Kedua pendekatan ini juga memberikan penjelasan yang berbeda
mengapa pola
perilaku yang diregularisasi yang kita kaitkan dengan institusi
menampilkan
kesinambungan seiring berjalannya waktu. "Pendekatan kalkulus
menunjukkan bahwa
institusi bertahan karena mereka mewujudkan sesuatu seperti
kesetimbangan. Artinya,
individu mematuhi pola perilaku ini karena penyimpangan akan
membuat individu lebih
36
buruk dari yang patuh." Ini mengikuti bahwa semakin banyak lembaga
memberikan
kontribusi untuk resolusi dilema tindakan kolektif atau semakin
banyak keuntungan dari
pertukaran itu memungkinkan akan semakin kuat. "Pendekatan budaya”
dilain pihak,
menjelaskan kegigihan lembaga dengan mencatat bahwa banyak konvensi
yang terkait
dengan lembaga sosial tidak dapat dengan mudah menjadi objek
eksplisit pilihan
individu. Sebaliknya, sebagai komponen elemen dari mana tindakan
kolektif dibangun,
beberapa lembaga begitu ' konvensional ' atau diambil begitu saja
bahwa mereka
melarikan diri dari pengawasan langsung dan sebagai konstruksi
kolektif, tidak dapat
mudah diubah oleh tindakan dari satu individu. Lembaga-lembaga
tahan terhadap
redesign akhirnya karena struktur pilihan mereka tentang reformasi
bahwa individu
cenderung membuat hal tersebut.
hubungan antara lembaga dan tindakan. Fitur penting kedua dari
institutionalisme
histori adalah peran penting yang kekuatan dan asimetris hubungan
kekuasaan bermain
dalam analisis tersebut. Semua studi institusional memiliki sikap
langsung pada
hubungan kekuasaan. Memang, mereka dapat dibaca sebagai upaya untuk
menjelaskan
'yang kedua' dan 'ketiga' dimensi kekuasaan diidentifikasi beberapa
tahun yang lalu
dalam perdebatan kekuatan masyarakat. Tapi institutionalisme
historis telah sangat
memperhatikan cara di mana lembaga mendistribusikan kekuasaan yang
tidak merata di
seluruh kelompok sosial. Mereka lebih mungkin untuk mengasumsikan
sebuah dunia di
mana lembaga memberikan beberapa akses kelompok atau kepentingan
yang tidak
proporsional ke proses pengambilan keputusan; dan, daripada
menekankan sejauh mana
hasil membuat semua orang lebih baik.
Institusional historis juga terkait erat dengan perspektif khas
tentang
perkembangan sejarah. Mereka telah pendukung kuat dari citra
sebab-akibat sosial yang
' jalan tergantung ' dalam arti bahwa ia menolak dalil tradisional
bahwa kekuatan
operasi yang sama akan menghasilkan hasil yang sama di mana-mana
dalam
mendukung pandangan bahwa kekuatan akan dimediasi oleh fitur
kontekstual dari
situasi tertentu sering diwarisi dari masa lalu, atau tentu saja,
yang paling signifikan dari
fitur ini dikatakan kelembagaan di alam. Lembaga dipandang sebagai
fitur yang relatif
gigih dari lanskap sejarah dan salah satu faktor utama mendorong
perkembangan
sejarah sepanjang satu set ' jalan '.
Dengan demikian, institutionalisme historis telah mengabdikan
banyak perhatian
terhadap masalah yang menjelaskan bagaimana lembaga menghasilkan
jalur tersebut,
37
yaitu bagaimana respon struktur bangsa mereka terhadap tantangan
baru. Analis awal
menekankan dampak dari ' kapasitas negara ' dan ' warisan kebijakan
' yang ada pada
pilihan kebijakan berikutnya.
kekuatan kausal dalam politik. Mereka biasanya berusaha untuk
menemukan institusi
dalam rantai kausal yang mengakomodasi peran faktor lainnya.
terutama pembangunan
sosial ekonomi dan difusi ide. Dalam hal ini. mereka menempatkan
dunia yang lebih
kompleks daripada keinginan dunia dan lembaga sering didalilkan
oleh institutionalisme
pilihan rasional. Institutionalisme historis telah sangat
memperhatikan hubungan antara
lembaga dan ide atau keyakinan.
KESIMPULAN
Kecilnya pemasukan pajak parkir Kota Malang karena inkonsistensi
aturan
dari aktor penyelenggara parkir. Dalam kaitannya dengan pendekatan
institusi baru,
ada hal menarik yang bisa di lihat. Yaitu adanya karangtaruna
sebagai komunitas
yang mengkoordinir adanya praktik parkir ini. Hal-hal yang biasanya
disebut sebagai
lembaga, namun, di bawah sebuah komunitas, praktik parkir pun bisa
terjadi.
Inkonsistensi yang terjadi adalah adanya kebijakan yang di ambil
oleh aktor tersebut
hingga mencapai dua kali lipat dari tarif normal. Keadaan tersebut
yang menjadi salah
satu faktor kecilnya pemasukan pajak parkir.
Terdapat dua saran yang bisa digunakan untuk pembaca. Pertama
adalah saran
praktik dan kedua adalah saran akademis. Saran praktik ini
digunakan sebagai saran
praktis dalam kehidupan parkir dan perhubungan. Kedua adalah saran
akademis.
Yaitu saran untuk peneliti yang akan melanjutkan penelitian di
bidang ini.
Pertama adalah saran praktik. Penelitian ini dapat menjadi sebuah
masukan
bagi Dinas Perhubungan untuk mengetahui penyebab dan penanggulangan
parkir liar.
Selanjutnya juga untuk lebih mengatur dan membatasi pekerja parkir
yang ingin
bekerja. Dan jumlah setoran yang wajib di serahkan para pekerja
parkir dapat diatur
ulang agar tidak terlalu besar dan terlalu kecil tiap
areanya.
Kedua adalah saran akademis. Penelitian ini dapat dijadikan
sebagai
sumbangsih pemikiran terkait dengan faktor penyebab bocornya
pendapatan pajak
parkir dan banyaknya respon petisi online parkir liar di Kota
Malang. Kedua, sebagai
bekal wawasan dalam mengembangkan pengetahuan berpikir dan belajar
menganalisis
38
permasalahan yang ada di dalam dunia parkir. Data-data yang tersaji
juga dapat
dijadikan pembanding bagi peneliti lain yang mengkaji tentang
praktik parkir.
Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan dan memberikan
sumbangan pemikiran
bagi peneliti selanjutnya yang memiliki fokus perhatian pada
praktik parkir di Kota
Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Arrow, K. J. (1951). An extension of the basic theorems of
classical welfare economics.
In Proceedings of the second Berkeley symposium on mathematical
statistics
and probability. The Regents of the University of California.
Creswell, J. W. (2016). Qualitative inquiry and research design:
Choosing among five
approaches. Sage publications.
Feiock, R. C. (2007). Rational choice and regional governance.
Journal of urban
affairs, 29(1), 47-63.
Hall, Peter and Taylor, Rosmary (1996). Political Science and the
Three New
Institutionalisms. Political Studies. XLIV
https://malang.merdeka.com/kabar-malang/pemkot-malang-bakal-lakukan-kajian-
2019
https://www.jawapos.com/jpg-today/31/05/2018/penerimaan-pajak-kota-malang-sudah-
rp-163-miliar/ Di akses 2 September 2019
Lachmann, L. M. (1971). The Legacy of Max Weber, Berkeley. Cal.:
Glendessary
Press.
Niskanen, W. A., & Klevorick, A. (1994). Explaining regulatory
policy. Brookings
Papers on Economic Activity. Microeconomics, 1994, 1-49.
Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir oleh
Direktorat Bina Sistem
Lalu Lintas dan Angkutan Kota serta Direktoral Jenderal Perhubungan
Darat
1998
Peters, Guy. (1999). Institutional Theory In Political Science The
New Institutionalism.
London: British Library.
Scharpf, F. W. (2018). Games real actors play: Actor-centered
institutionalism in policy
research. Routledge.
Behavioral Scientist, 35(4-5), 559-584.
Sugiono, A. (2008). Panduan Praktis Dasar Anlisa Laporan Keuangan.
Gramedia
Widiasarana.
Tsebelis, G. (1990). Nested games: Rational choice in comparative
politics (Vol. 18).
Univ of California Press.
Weingast, B. R. (1996). Political institutions: Rational choice
perspectives. A new
handbook of political science, 167, 168.
Yin, R. K. (2018). Case study research and applications.
40