+ All Categories
Home > Documents > Inconsistency of Regulations Causes Small Parking Revenue ...

Inconsistency of Regulations Causes Small Parking Revenue ...

Date post: 29-Mar-2022
Category:
Upload: others
View: 3 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
26
15 Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 1, December 2020 Inconsistency of Regulations Causes Small Parking Revenue Inkonsistensi Peraturan Penyebab Kecilnya Pendapatan Parkir Rahel Eunike Priskila a , Sholih Muadi b , Wawan Sobari c abc Universitas Brawijaya Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia a [email protected] , b [email protected] , c [email protected] Abstract Parking tax revenue in malang is small eventhough the potential is large. According to the Major of Malang, Sutiaji, said that parking tax revenues were far from their intended target. Many potential of Malang’s parking tax are incorrect. There is a potential of more than IDR 100 billion, but the City Government only gets around IDR 7 billion to IDR 10 billion. Malang Corruptiob Watch also thinks that Malang City’s parking revenue is not optimal and far from its potential. Parking revenue that is less than this target was also explained by the Head of Malang City’s Regional Tax Service Agency, Ade Herawanto. Parking revenue that is far from this target is also supported by a summary of the 2018 APBD in Malang for only IDR 10 billion. The purpose of this study is to find informal factors that affect the small parking revenue received by Malang. Matters about the size of the tax revenue are usually analyzed by policy theory or implementation, but the author has discovered something new from the informal factor through a new institutionalism approach, namely the existence of unwritten rules of parking practices whiches is an inconsistency of Transportationn Departmenent regulations regarding parking practices. In this study, the author used a qualitative approach. Researchers use case studies as a research method. Keywords: parking practice, new institusionalism, inconsistency. Abstrak Pendapatan parkir di Kota Malang kecil padahal potensinya besar. Menurut Walikota Malang, Sutiaji, mengatakan adanya penerimaan pajak parkir yang jauh dari target seharusnya. Banyak potensi retribusi parkir Kota Malang yang tidak tepat. Ada potensi Rp 100 miliar lebih, tapi Pemkot hanya mendapat sekitar Rp 7 miliar sampai Rp 10 miliar. Malang Corruption Watch (MCW) juga menilai bahwa pendapatan parkir Kota Malang belum optimal dan jauh dari potensi yang seharusnya. Pendapatan parkir yang kurang dari target ini juga dijelaskan oleh Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang Ade Herawanto. Pendapatan parkir yang jauh dari target ini juga di dukung oleh data ringkasan APBD tahun 2018 Kota Malang sebesar 10 miliar saja. Tujuan penelitian ini
Transcript
15
Journal of Politics and Policy Volume 3, Number 1, December 2020
Inconsistency of Regulations Causes Small Parking Revenue
Inkonsistensi Peraturan Penyebab Kecilnya Pendapatan Parkir
Rahel Eunike Priskila a , Sholih Muadi
b , Wawan Sobari
a [email protected] ,
b [email protected] ,
c [email protected]
Abstract Parking tax revenue in malang is small eventhough the potential is large. According to the Major of Malang, Sutiaji, said that parking tax revenues were far from their intended target.
Many potential of Malang’s parking tax are incorrect. There is a potential of more than IDR
100 billion, but the City Government only gets around IDR 7 billion to IDR 10 billion.
Malang Corruptiob Watch also thinks that Malang City’s parking revenue is not optimal and far from its potential. Parking revenue that is less than this target was also explained by
the Head of Malang City’s Regional Tax Service Agency, Ade Herawanto. Parking revenue
that is far from this target is also supported by a summary of the 2018 APBD in Malang for only IDR 10 billion. The purpose of this study is to find informal factors that affect the small
parking revenue received by Malang. Matters about the size of the tax revenue are usually
analyzed by policy theory or implementation, but the author has discovered something new
from the informal factor through a new institutionalism approach, namely the existence of unwritten rules of parking practices whiches is an inconsistency of Transportationn
Departmenent regulations regarding parking practices. In this study, the author used a
qualitative approach. Researchers use case studies as a research method. Keywords: parking practice, new institusionalism, inconsistency.
Abstrak Pendapatan parkir di Kota Malang kecil padahal potensinya besar. Menurut Walikota Malang, Sutiaji, mengatakan adanya penerimaan pajak parkir yang jauh dari target
seharusnya. Banyak potensi retribusi parkir Kota Malang yang tidak tepat. Ada potensi Rp
100 miliar lebih, tapi Pemkot hanya mendapat sekitar Rp 7 miliar sampai Rp 10 miliar. Malang Corruption Watch (MCW) juga menilai bahwa pendapatan parkir Kota Malang
belum optimal dan jauh dari potensi yang seharusnya. Pendapatan parkir yang kurang dari
target ini juga dijelaskan oleh Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang Ade Herawanto. Pendapatan parkir yang jauh dari target ini juga di dukung oleh data
ringkasan APBD tahun 2018 Kota Malang sebesar 10 miliar saja. Tujuan penelitian ini
terima Kota Malang. Hal-hal tentang besar kecilnya pemasukan pajak biasanya di analisa oleh teori kebijakan atau implementasi, namun penulis telah menemukan hal baru dari faktor
informal melalui pendekatan institusionalisme baru yaitu adanya aturan tidak tertulis dari
praktik parkir yang merupakan inkonsistensi peraturan Dinas Perhubungan tentang praktik
parkir. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan studi kasus sebagai metode penelitian.
Kata Kunci: praktik parkir, institusionalisme baru, inkonsistensi, aktor, retribusi parkir.
PENDAHULUAN
Pendapatan parkir di Kota Malang kecil padahal potensinya besar. Menurut
Walikota Malang, Sutiaji, mengatakan adanya penerimaan pajak parkir yang jauh dari
target seharusnya. Banyak potensi retribusi parkir Kota Malang yang tidak tepat. Ada
potensi Rp 100 miliar lebih, tapi Pemkot hanya mendapat sekitar Rp 7 miliar sampai Rp
10 miliar (Suryamalang.tribunnews.com, 2019). Malang Corruption Watch (MCW)
juga menilai bahwa pendapatan parkir Kota Malang belum optimal dan jauh dari
potensi yang seharusnya. MCW menilai bahwa pendapatan parkir Kota Malang tiap
tahunnya bisa mencapai Rp 200 miliar per tahun. Namun target yang dicapai hanya Rp
10 miliar saja (Malangmerdeka.com, 2019). Pendapatan parkir yang kurang dari target
ini juga dijelaskan oleh Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang
Ade Herawanto. Ia mengatakan bahwa penerimaan yang berasal dari Pajak Parkir
sampai pertengahan triwulan kedua 2018 sudah mencapai Rp 2,3 miliar. Pendapatan
parkir yang jauh dari target ini juga di dukung oleh data ringkasan APBD tahun 2018
Kota Malang hanya mencapai 10 miliar saja (Jawapos.com, 2018).
Kecilnya pendapatan parkir Kota Malang dapat dilihat dari praktik parkir yang
melibatkan si operator dan Dinas Perhubungan. Jika dua pihak yang terlibat ini
menjalankan praktik parkir sesuai aturan, maka pendapatan parkir tidak kecil. Tetapi
sebaliknya, jika pihak tersebut tidak melakukan sesuai aturan yang ada, pendapatan
parkir yang diterima jauh lebih kecil dari target seharusnya.
Berdasarkan Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir oleh
Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan Angkatan Kota serta Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat, dijelaskan tentang parkir diluar jalan yang merupakan tempat yang
diperbolehkan adanya praktik parkir. Tempat-tempat tersebut adalah Perusahaan,
Kantor Pemerintahan, Pertokoan, Sekolah/Perguruan Tinggi, Kondominium,
Pemukiman tunggal, Gedung/Pelataran Khusus Parkir Umum. Dan penulis memilih
objek di daerah pertokoan dan sekolah/perguruan tinggi. Yaitu praktik parkir di area
Universitas Brawijaya dan sepanjang jalanan pertokoan Pecinan Pasar Besar Kota
17
Malang. Dua tempat tersebut merupakan parkir pelataran yang berada di luar jalan.
Universitas Brawijaya setiap tahunnya terus menjadi kampus dengan penerimaan
mahasiswa terbanyak. Dan karena kebijakan kampus yang tidak memperbolehkan
mahasiswa baru membawa kendaraan ke dalam kampus, maka muncullah praktik parkir
di sekitar Universitas Brawijaya untuk menampungnya. Sedangkan jalan pertokoan
Pecinan Pasar Besar Kota Malang merupakan tempat perdangan besar di kota ini.
Dikaitkan dengan pendekatan institusionalisme baru, penulis mencari adanya
faktor diluar lembaga formal yang yang menyebabkan kecilnya pendapatan parkir Kota
Malang. Selama ini, besar kecilnya pendapatan daerah khususnya parkir dilihat melalui
teori kebijakan. Namun, ada hal-hal diluar lembaga formal yang mempengaruhi
kecilnya pendapatan. Hal tersebut antara lain aturan tertulis, aturan tidak tertulis, motif
personal, nilai dan historis. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada
faktor non formal di dalam praktik parkir?
Pendekatan institusionalisme baru merupakan salah satu paradigma yang
berkembang dalam ilmu politik. Menurut fokus perhatian Pendekatan institusionalisme
baru dibedakan dalam beberapa pendekatan turunan yakni Rational Choice
Institutionalism, Sociological Institutionalism, dan Historical Institutionalism. Rational
Choice Institutionalism membahas tentang actor (Hall dan Taylor, 1996), perilaku
individu (Coneybere, 1984), kesejahteraan ekonomi (Kenneth Arrouw, 1951), jabatan ,
keuntungan, prestise (William Niskanen, 1971) dan kepentingan (Calvert, 1995).
Rational choice memiliki fokus bahwa maksimalisasi utilitas dapat dan akan tetap
menjadi motivasi utama individu, tetapi individu tersebut mungkin menyadari bahwa
tujuan mereka dapat dicapai paling efektif melalui tindakan institutional, dan
menemukan bahwa perilaku mereka dibentuk oleh lembaga. Perilaku ini juga untuk
mencapai hal-hal yang bersifat untung rugi seperti kesejahteraan ekonomi, jabatan,
keuntungan, prestise dan kepentingan (Hall dan Taylor, 1996).
Sociological Institutionalism membahas tentang nilai dan identitas (Campbel,
2004), penciptaan makna (Meyer dan Rowan, 1977), nilai-nilai budaya (Lachmann,
1971), Karakteristik sosial, simbol (Durkheim, 1922) , Sistem nilai (Philip Selznick,
1946), Perubahan, adaptasi (Eisenstadt, 1963), Nilai dan symbol (March dan Olsen,
1989). Sociological Institutionalism berfokus pada penyediaan nilai, identitas, makna
dan symbol pada sebuah institusi. Hal ini kemudian juga memberikan dampak terhadap
perubahan adaptasi akibat faktor eksternal dan internal yang di dapatkan.
Historical Institutionalism membahas tentang Path Dependency (Krashner,
18
1984), Sejarah kebijakan (Peter Hall, 1986), Proses adaptif (Pierson, 1966), Keadaan
Setimbang (Krasner, 1989). Gagasan dasar pendekatan ini sederhana, yaitu bahwa
pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat ketika suatu lembaga sedang dibentuk, atau ketika
suatu kebijakan dimulai, akan memiliki pengaruh yang berkelanjutan dan sangat
menentukan atas kebijakan yang jatuh di masa depan (Skocpol, 1992; King, 1995)
(dalam Hall dan Taylor, 1996).
Ada dua jurnal yang juga di jadikan acuan penulis. Yang pertama adalah jurnal
milik Peter A. Hall dan Rosemary C. R. Taylor dengan judul Political Science and the
Three New Institutionalism. Peter Hall dan Rosemary menjelaskan tentang tiga
pendekatan institusionalisme baru yaitu pilihan rasional, institusionalisme historis dan
institusionalisme sosiologis. Peter dan Rosemary menyebutkan bahwa Pilihan rasional
terbagi dalam empat fitur yaitu karakteristik serangkaian asumsi perilaku, citra
karakteristik politik, peran interaksi strategis, keuntungan dan kerjasama.
Pada Institusionalisme Historis juga menjelaskan empat fitur yang relative khas.
Pertama adalah kelembagaan historis cenderung untuk mengkonseptualisasikan
hubungan antara lembaga dan perilaku individu dalam istilah yang relatif luas. Kedua,
mereka menekankan asimetri kekuasaan yang terkait dengan operasi dan pengembangan
lembaga. Ketiga, mereka cenderung memiliki pandangan kelembagaan pembangunan
yang menekankan ketergantungan dan konsekuensi yang tidak diinginkan. Keempat.
mereka sangat prihatin untuk mengintegrasikan analisis kelembagaan dengan jenis
faktor kontribusi yang lain.
Dan institusionalisme sosiologis menurut Peter A. Hall dan Rosemary memiliki
tiga ciri yaitu mendefinisikan lembaga dengan sistem simbolis, kognitif dan moral serta
makna. Kedua adalah memahami hubungan antar lembaga dan individu yang mengikuti
pendekatan budaya. Ketiga adalah tentang citra diri dan identitas pelaku sosial.
Jurnal kedua adalah jurnal milik Richard C. Feiock (2007) yang berjudul
Rational Choice and Regional Governance. Jurnal ini berisikan tentang perspektif antar
lembaga dengan segala aspek seperti kebijakan, karakter masyarakat, lembaga-lembaga
politik, dan stuktur jaringan formal dan informal dimana para aktor lokal dilekatkan.
Dengan logika sebuah tindakan rasional akan menghasilkan keuntungan maksimum
namun dengan biaya yang sedikit.
19
METODE
penelitian kualitatif adalah memahami situasi, peristiwa, peran, kelompok atau interaksi
sosial tertentu (Locke, Spirduso, & Silverman, 1987 dalam Creswel 2016). Penelitian
ini dapat diartikan sebagai proses investigasi yang didalamnya peneliti secara perlahan-
lahan memaknai suatu fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan,
menggandakan, mengatalogkan, dan mengklasifikasikan objek penelitian (Miles &
Huberman, 1984 dalam Creswel 2016). Marshall dan Rossman (1989) dalam Creswel
2016, menyatakan bahwa penelitian ini melibatkan peneliti untuk menyelami setting
peneliti. Peneliti memiliki dunia informan melalui interaksi berkelanjutan, mencari
makna dan perspektif informan.
Peneliti menggunakan studi kasus sebagai metode penelitian. Sebagai suatu
upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan kita secara
unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik. Studi kasus selama ini
telah menjadi strategi penelitian di berbagai bidang seperti psikologi, sosiologi, ilmu
politik, perencanaan, dan ekonomi. Pada semua situasi, kebutuhan akan studi kasus
melampaui keinginan untuk memahami fenomena sosial yang kompleks. Singkatnya,
studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan
bermakna dari peristiwa-periatiwa kehidupan nyata seperti siklus kehidupan seseorang,
proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial, hubungan-
hubungan internasional, dan kematangan industri-industri. (Yin, 2018).
Pengumpulan data Dengan Studi lapangan yaitu penelitian langsung pada
obyek yang diteliti dengan tujuan memperoleh data dan fakta dilokasi penelitian dengan
cara (Sugiyono 2008:62): Wawancara. Secara sederhana wawancara diartikan sebagai
alat pengumpulan data dengan mempergunakan tanya jawab antara pencari informasi
dan sumber informasi. Observasi. Pengamatan langsung pada obyek penelitian sehingga
dapat dilihat dari dekat keadaan yang sebenarnya dan memperoleh gambaran dari
obyek yang diteliti secara nyata dan benar. Dalam Hal ini penulis mengamati kinerja
Petugas dilapangan serta pegawai di Dinas Perhubungan Kota Malang. Dokumentasi.
Merupakan data dari informasi yang dilakukan dengan mengambil dokumen atau
catatan dalam bentuk apapun yang ada kaitannya dengan judul penelitian antara lain
data kependudukan, data wilayah perparkiran, data petugas pemungut retribusi parkir,
data kendaraan bermotor yang memakai jasa parkir serta data lainnya yang berkaitan
dengan penelitian.
20
Sumber data, enam sumber data yang dapat dijadikan focus bagi pengumpulan
data adalah: dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi
pemeran serta, dan perangkat fisik. Namun peneliti hanya menggunakan empat sumber
bukti yang disesuaikan dengan penelitian, yaitu dokumen, rekaman arsip, wawancara
dan observasi langsung. (Yin, 2018:103). Dokumen yang digunakan adalah artikel dan
berita yang muncul di media masa terkait kecilnya pendapatan parkir Kota Malang.
Rekaman arsip yang penulis gunkan adalah APBD Kota Malang tahun 2018 tentang
pendpatan parkir. Wawancara ini dilakukan kepada narasumber yaitu penyelenggara
praktik parkir. Observasi langsung dilakukan penulis di tempat penyelenggaraan praktik
parkir.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain. (Moleong 1995:103)
HASIL DAN PEMBAHASAN
pertama yaitu ketua Karangtaruna setempat. praktik parkir muncul karena pemuda
disana banyak yang tidak memiliki pekerjaan dan melihat bahwa ada lahan yang bisa di
manfaatkan. Yang masuk sebagai anggota petugas parkir rata-rata dari usia 18 hingga
34 tahun. Atau yang sudah lulus sekolah tapi belum bekerja juga bisa jaga di tempat itu.
Dampak yang dihasilkan sebelum dan sesudah adanya lahan parkir tersebut memang
sangat terlihat dari segi perekonomian. Setiap hari, motor yang di parkirkan disana
sekitar 200 dengan tarif Rp4000 per motor. Uang yang di hasilkan itu kemudian di bagi
rata ke anggota yang bertugas tiap shift nya. Tiap hari ada tiga shift dengan jumlah 6-8
orang tiap harinya. Setiap yang bertugas di beri upah Rp. 150.000 per hari. Dan ada juga
alokasi untuk uang kas Karangtaruna, serta uang untuk program kerja mereka.
Awal adanya pemanfaatan lahan parkir oleh Karangtaruna sendiri berlangsung
sejak 2016 hingga sekarang.
di dalam terus taruh motor sembarangan. Banyak mbak
(kendaraan yang parkir disini), ini ada fisip, teknik,
peternakan. ada 100 sampai 200 motor dari sini sampai sana.
Satu motor dipatok empat ribu rupiah karena sampai
malam.” 1
Dan keberlangsungan itu hanya di semester ganjil saja. Karena kebijakan
Perguruan Tinggi tentang larangan mahasiwa baru membawa kendaraan pribadi terjadi
di semester ganjil saja. Respon masyarakat pada waktu awal munculnya kurang
mendukung karena dianggap mereka adalah perkumpulan yang sering mabuk-mabukan
dan kurang menyatu dengan norma masyarakat. Tapi kemudian di adakan mediasi
antara Karangtaruna, lurah setempat dan perwakilan warga. Hingga akhirnya
masyarakat menerima keberadaan mereka dengan pekerjaannya.
Dalam praktik parkir ini, Karangtaruna harus memberikan setoran terhadap
dinas perhubungan sebesar Rp250.000 per bulan nya. Dan setiap harinya, petugas dari
dinas perhubungan melakukan survey di setiap lahan parkir yang ada. sebenarnya,
setoran ini sangat berbeda jauh dengan setoran yang harus di bayarkan di daerah
Pertokoan Pecinan Pasar Besar.
Di Pecinan Pasar Besar, petugas parkir yang bekerja harus menyetorkan
Rp20.000 tiap harinya ke petugas Dinas Perhubungan yang survey setiap harinya. Jika
di kalikan dalam satu bulan, petugas parkir disini harus menyetorkan sejumlah
Rp600.000. Itu sangat timpang dengan setoran yang harus di setorkan oleh kelompok
Karangtaruna tersebut. Padahal, penentuan tarif setoran juga berdasarkan ramai/sepinya
pengunjung yang datang memarkirkan kendraannya. Di daerah Pertokoan Pecinan Pasar
Besar ini, tiap sektor wilayah memang memiliki setoran yang berbeda berdasar tingkat
kepadatan pengunjung. Ada juga, di sektoral pasar besar yang harus menyetorkan
100.000 sampai 200.000 perharinya. Namun pendapatan mereka rata-rata 500.000
perhari. Tapi memang belum dibagi rata ke petugas yang jaga saat itu. Untuk yang
harus setor 20.000 perhari, pendapatan mereka tiap harinya hanya mencapai 70.000.
Pendapatan perhari dan uang setoran yang didapat sebenarnya tidak bisa terus
mencukupi kebutuhan hidup mereka apalagi yang sudah berkeluarga dan punya
beberapa anak.
Munculnya parkir di sini memang karena adanya ajakan dari rekan atau saudara
yang sudah lebih dahulu menjdi petugas parkir disini. Namun tetap, mereka harus
1 Wawancara dengan Ketua Karangtaruna, 28 Februari 2020
22
mengikuti prosedural yang sudah di tetapkan oleh dinas perhubungan. Mereka harus
daftar, setor identitas dan melakukan praktik parkir dengan atribut yang seharusnya
walaupun dalam kenyataannya, memang tidak diberikan karcis. Hal ini terjadi karena
memang pengunjung tidak mau diberi karcis namun tarif yang dibayarkan tetap sesuai
dengan peraturan.
Respon warga ternyata tidak selamanya baik. Ada juga warga yang tidak mau
membayarkan tarif parkir. Dan respon petugas ternyata tidak pernah ambil pusing.
Petugas membiarkan begitu saja masyarakat yang enggan membayar tarif parkir. Dan
sudah pasti mengurangi pemasukan mereka. Namun mereka tetap memilih untuk tidak
memaksa masyarakat tersebut.
Respon pemilik toko ternyata tidak pernah merasa terganggu dengan adanya
petugas parkir. Karena tidak dipungkiri jika sebuah toko yang memiliki petugas parkir
pasti masyarakat enggan masuk ke toko tersebut. Tapi disini tidak, hal itu sudah
dianggap wajar karena dianggap balas jasa atas kendaraan yang dijaga. Bahkan, antara
petugas dan pemilik toko menjalin hubungan yang sangat baik.
Namun ada satu fakta yang menarik ketika petugas parkir cerita tentang agenda
tahunan Dinas Perhubungan. Beliau yang mulai beroperasi sejak tahun 1992 ini pun
mengaku bahwa setiap tahun selalu ada acara ramah tamah, pertemuan semua petugas
parkir se Kota Malang. Dengan di beri uang saku, mereka datang dan sangat menikmati
acara pertemuan tersebut. Mereka menyebutkan bahwa, jamuan yang diberikan dinas
terkait itu sangat baik. Dan itu dilakukan setiap tahun. Jika ada agenda besar yang
dilakukan tiap tahun, bagaimana bisa dinas mengalami kebocoran pemasukan pajak
sebegitu besarnya. Harusnya, jika mengalami kebocoran pemasukan pajak, acara besar
seperti itu baiknya bisa di pending atau dialihkan ke hal lain.
Ada temuan menarik dari hasil wawancara dengan narasumber tersebut. Adanya
inkonsistensi peraturan dari penyelenggara praktik parkir. Tarif yang di patok oleh
penyelenggara praktik parkir di kawasan perguruan tinggi tidak sesuai dengan peraturan
Dinas Perhubungan. Tarif yang harusnya Rp 2.000 per motor, namun dipatok menjadi
Rp. 4000 per motor. Tarif ini naik menjadi dua kali lipat. Meskipun dengan alasan
menjaga sampai malam, namun tetap saja tidak sesuai dengan peraturan Dinas
Perhubungan tentang tarif parkir motor. Jika dihitung pendpatan dalam satu hari di satu
tempat saja, dengan tariff Rp 4.000 dengan 200 hingga 300 motor per hari, maka
pendapatan total dlam tiap harinya bisa mencapai Rp. 800.000 hingga Rp. 1.200.000.
Jika di kurangi upah harian yang mencapai Rp.450.000 perhari, mereka masih
23
mengantongi sejumlah Rp. 350.000 hingga Rp.850.000. Jika harus dikurangi uang kas
sejumlah Rp.150.000, masih ada simpanan sebesar Rp. 300.000 hingga Rp.700.000
perharinya. Dalam satu bulan, penghasilan bersih yang di dapat sejumlah Rp. 9.000.000
hingga Rp.21.000.000. Bahkan bisa mencapai Rp. 36.000.000 hingga Rp. 84.000.000
tiap semesternya. Dalam satu semester perkuliahan berjalan hingga empat bulan saja.
Dengan jumlah yang sangat besar ini, tentu seharusnya bisa masuk ke pendapatan
daerah untuk Dinas Perhubungan.
Adanya aktor yang mengelola berjalannya praktir parkir ini juga menarik. Masih
terkait dengan inkonsistensi peraturan. Pengelola praktik parkir tersebut memiliki
wewenang untuk memberikan aturan tertulis dan tidak tertulis tentang penyelenggaraan
praktik parkir. Contohnya adalah penentuan tarif parkir yang berbeda dengan perturan
seharusnya. Hal ini menarik ketika aktor merupakan faktor penentu berubah tidaknya
peraturan.
Ini juga terkait dengan kesejhteraan ekoonomi para pelaku praktik parkir.
Seorang aktor yang membuat aturan tidak tertulis tersebut mendasari keputusannya
dengan alasan kesejahteraan ekonomi. Mereka menganggap, tidak sebanding jika tarif
parkir tidak di imbangi dengan durasi. Karena mereka sering menemukan mahasiswa
yang parkir hingga dini hari. Menurut mereka, tidak sebanding jika harus di bayar
dengan tarif Rp. 2000 per motor. Maka mereka membuat aturan tidak tertulis tentang
tarif parkir sebesar Rp. 4000 per motor.
Sebagai komunitas yang bertanggungjwab mengelola lahan parkir, mereka juga
punya kuasa untuk mengatur siapa saja yang bisa dipekerjakan di sana. Mereka akan
mementingan warga yang berdomisili di kelurahan tersebut. Jika ada warga lain yang
ingin bekerja disana, secara otomatis tidak diperbolehkan. Kepentingan warga dengan
domisili sama tetap mereka pertahankan.
Secara nilai dan identitas, komunitas tersebut masih menjunjung tinggi norma
yang berlaku. Menepis pemikiran masyarakat sekitar tentang mereka yang suka mabuk-
mabukan dan melakukan hal-hal yang tidak berfaedah yang tidak bermoral. Hal ini juga
konsisten mereka lakukan agar tetap menjaga nilai komunitas ini tetap baik.
Terdapat adaptasi atau perubahan dari proses inisiasi hingga terselenggaranya
praktik parkir disini. Keadaan awal adalah ketika karangtaruna melihat adanya lahan
kosong yang bis dimanfaatkan untuk menghasilkan uang. Dari situlah mereka mulai
membuka lahan dengan izin pemilik lahan. Namun warga tidak langsung menerima
kehadiran mereka. Banyaknya pemikiran negative tentng mereka masih kental. Pada
24
akhirnya di adakan mediasi antara karangtaruna, perwakilan warga dan kelurahan
setempat untuk mencari jalan tengah. Dengan adaptasi dari lingkungan sekitar, proses
penyelenggaraan parkir tetap berjalan. Ada faktor eksternal yang membuat
penyelemggaraan praktik parkir ini terus mengalami adaptasi atau perubahan. Misalnya
saja karena durasi parkir yang terlalu lama bahkan sampai dini hari, maka tarif parkir
dikenakan dua kali lipat dari seharusnya. Keadaan eksternal lainnya adalah respon
warga terhadap munculnya praktik parkir pertama kali sehingga membuat mereka
melakukan mediasi tiga pihak yaitu perwakilan warga, karangtaruna dan pihak
kelurahan. Sehingga di dapatkan kesepakatan atau jalan tengah dan praktik parkir tetap
berjalan.
Dari hasil temuan di atas, bisa kemudian di analisa menggunakan tiga
pendekatan dari teori dan jurnal tentang pilihan rasional, institusionalisme sosiologis
dan institusionalisme historis. Yang pertama adalah pilihan rasional. Ada temuan yang
terkait dengan pilihan rasional yaitu muncul aktor yang menyebabkan inkonsistensi
peraturan. Aktor yang adalah penyelenggara praktik parkir ini membuat sebuah aturan
tentang tarif parkir yang naik dua kali lipat dan tidak sesui dengan peraturan. Namun
alasan dilakukannya hal tersebut adalah untuk menyeimbangkan jam kerja dan
pendapatan untuk kesejahteraan ekoonomi mereka. Menurut Guy Peter, keadaan itu di
dukung oleh teori pilihan rasional yang bergantung pada kekuatan analitiknya atas
keputusan untuk memaksimalkan utilitas individu. Meskipun secara individualistik
mendasari pendekatan analitik mereka, institusionalisme pilihan rasional telah
memahami dengan jelas bahwa sebagian besar kehidupan politik terjadi di dalam
lembaga (Tsebelis 1990).
Fritz Scharpf (2018) juga telah menulis tentang pusat aktor dan
institusionalisme. Dalam semua pendekatan teoritis ini, lembaga yang
dikonseptualisasikan sebagai kumpulan aturan dan insetif yang menetapkan kondisi
untuk rasionalitas terikat, dan karena itu mendirikan sebuah ruang politik dimana
banyak politik saling bergantung pada aktor politik. Dengan demikian, dalam model ini,
politisi individu diharapkan membuat manuver untuk memaksimalkan utilitas pribadi.
Tetapi pilihannya secara inheren dibatasi karena mereka beroperasi dalam aturan
lembaga. Jadi, tidak seperti beberapa aspek dari teori kelembagaan, ada aktor yang
jelas, bukan hanya seperangkat aturan dan norma. Jadi aktor yang membuat
inkonsistensi peraturan itu memang menjadi pusat untuk memaksimalkan utilitas
individu.
25
mungkin percaya diri untuk terlibat (Weingast, 1996). Seperangkat aturan dapat muncul
dalam organisasi yang menyusun perilaku dan menetapkan batas penerimaan.
Selanjutnya, keberadaan tersebut akhirnya menguntungkan semua peserta, dan mungkin
juga masyarakat secara keseluruhan. Lembaga yang mampu menghasilkan beberapa
prediktabilitas dan keteraturan hasil yang menguntungkan semua peserta di sebuah
lembaga, dan juga mengklarifikasi kemungkinan berbagai keputusan yang tersedia
untuk aktor masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam proses apapapun di
organisasi tertentu. Dengan demikian, bisnis dapat memperoleh manfaat dari rezim
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan meskipun mereka mungkin mengeluh
tentang beberapa kendala tertentu.
Terkait dengan alasan kesejahteraan ekonomi dan menikkan tariff parkir
menjadi dua kali lipat, Kenneth Arrow (1951) juga mendukung adanya hal ini. Ia
membahas pendekatan ini terkait dengan kesejahteraan ekonomi, khususnya
pengamatan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan fungsi kesejahteraan sosial
yang akan dijamin untuk menghasilkan keputusan yang memuaskan preferensi semua
peserta dalam suatu masyarakat. Satu-satunya jalan di sekitar masalah itu adalah
pengenaan keputusan oleh otoritas dari beberapa aktor dominan. Dengan kata lain,
sebagian besar sistem pemungutan suara tidak menghasilkan keputusan yang secara
sempurna sesuai dengan alternatif yang diinginkan dari peserta dengan yang akan
memaksimalkan kesejahteraan kolektif mereka.
utilitas pribadi, biasanya melalui instrumen seperti anggaran yang lebih besar dan
alokasi personil yang lebih besar. Alokasi ini diasumsikan untuk menghasilkan
keuntungan pribadi seperti gaji yang lebih tinggi, prestise pribadi yang lebih besar. Juga
bekerja dalam konteks birokrasi, Anthony Downs (1967) meneliti strategi aktor rasional
yang dapat mengejar untuk meningkatkan utilitas pribadi serta untuk meningkatkan
kinerja organisasi (dalam Niskanen, 1994).
Salah satu komentator tentang teori birokrasi Weber dan institusi lain (dalam
Lachmann, 1971) berpendapat bahwa, berkaitan dengan perilaku di mana nilai-nilai
budaya meresap dan membentuk organisasi formal, tidak peduli tingkat perkembangan
sosial-ekonomi dan budaya di mana proses ini terjadi. Mirip dengan institusionalis
26
berbasis nilai yang dibahas di atas, Weber mengemukakan hubungan langsung antara
nilai-nilai budaya dan struktur formal dalam masyarakat, termasuk lembaga formal.
Hampir sama dengan Guy Peters, Peter Hall juga membahas keadaan tersebut
dengan menyebutkan bahwa pilihan rasional menekankan empat fitur penting dari
pendekatan ini. Pertama, institutionalist pilihan rasional membahas tentang karakteristik
serangkaian asumsi perilaku. Secara umum, mereka menempatkan bahwa aktor yang
relevan memiliki seperangkat preferensi tetap atau selera (biasanya sesuai dengan
kondisi yang lebih tepat seperti prinsip transitivitas), berperilaku sepenuh
instrumentalnya sehingga memaksimalkan pencapaian preferensi ini dan melakukannya
dengan cara yang sangat strategis yang berasumsi pada perhitungan ekstensif.
Kedua, jika semua studi pemikiran cenderung untuk menyebarluaskan citra
karakteristik politik, apakah sebagai 'perjuangan untuk kekuasaan', sebuah 'proses
pembelajaran sosial' atau semacamnya, pilihan rasional juga menyiapkan citra khas
politik. Mereka cenderung melihat politik sebagai serangkaian dilema tindakan kolektif.
Yang terakhir dapat didefinisikan sebagai contoh ketika individu yang bertindak untuk
memaksimalkan pencapaian preferensi mereka sendiri cenderung menghasilkan hasil
yang secara kolektif kurang optimal (dalam arti bahwa hasil lain dapat ditemukan yang
akan membuat setidaknya satu dari aktor yang lebih baik tanpa membuat salah satu dari
yang lain lebih buruk). Biasanya, apa yang mencegah aktor dari mengambil secara
kolektif tindakan yang lebih unggul adalah tidak adanya pengaturan kelembagaan yang
akan menjamin perilaku pelengkap oleh orang lain.
Ketiga, salah satu kontribusi besar dari institutionalisme pilihan rasional telah
menekankan peran interaksi strategis dalam penentuan hasil politik. Itu adalah untuk
mengatakan, mereka postulate, pertama, bahwa perilaku aktor kemungkinan akan
didorong bukan oleh kekuatan sejarah impersonal, tetapi dengan kalkulus strategis, dan,
kedua, bahwa kalkulus ini akan sangat tercela oleh harapan aktor tentang bagaimana
orang lain cenderung berperilaku juga. Interaksi struktur lembaga tersebut rentang
mempengaruhi urutan agenda pilihan dan penegakan yang mekanismenya mengurangi
ketidakpastian tentang perilaku yang sesuai dari orang lain dan memungkinkan
“keuntungan dari pertukaran“, dengan demikian memimpin pelaku terhadap kalkulus
tertentu dan berpotensi hasil sosial yang lebih baik. Kita dapat melihat bahwa teori
pilihan rasional mengambil 'pendekatan kalkulus' klasik untuk masalah menjelaskan
bagaimana lembaga mempengaruhi tindakan individu.
Institutionalisme pilihan rasional juga telah mengembangkan pendekatan yang
27
yang menjalankan lembaga. Mereka kemudian menjelaskan keberadaan lembaga
tersebut dengan mengacu pada nilai yang dimiliki fungsi tersebut bagi pelaku yang
terkena dampak lembaga tersebut. Perumusan ini mengasumsikan bahwa para pelaku
membuat institusi untuk mewujudkan nilai ini, yang paling sering dikonseptualisasikan,
seperti yang disebutkan di atas, dalam hal keuntungan dari kerja sama. Dengan
demikian, proses penciptaan kelembagaan biasanya berkisar pada kesepakatan sukarela
oleh aktor yang relevan: dan, jika lembaga tersebut tunduk pada proses seleksi
kompetitif, itu bertahan terutama karena memberikan manfaat lebih kepada aktor yang
relevan daripada bentuk kelembagaan alternatif. Dengan demikian, struktur organisasi
dijelaskan dengan mengacu pada cara meminimalkan transaksi, produksi atau pengaruh
biaya.
Richard C. Feiock juga membahas pilihan rasional. Ia menyebutkan bahwa
perspektif aksi kolektif institusional mempertimbangkan peluang yang dimiliki dan
manfaat partisipasi dalam penyelesaian masalah bersama. Sebuah kondisi dapat
ditemukan dengan melihat karakteristik masyarakat, jenis kebijakan, lembaga-lembaga
politik, dan stuktur jaringan formal dan informal dimana para aktor lokal dilekatkan.
Hal ini juga menghasilkan interaksi berulang di antara aktor, struktur insentif, dan
keterkaitan di antara berbagai kebijakan dan masalah. Mancur Olson (1965)
membangun logika tindakan kolektif di atas suatu anggapan bahwa jenis masalah yang
berusaha dipecahkan individu mempengaruhi tanggapan mereka terhadap masalah-
masalah ini.
Karakteristik ekonomi, sosial, dan politik dari populasi masyarakat
membentuk preferensi untuk membantu menentukan potensi keuntungan. Homogenitas
demografis menunjukkan bahwa tidak akan ada kekuatan politik dan ekonomi yang
menguntungkan salah satu pihak dan menciptakan masalah untuk menegosiasikan
pembagian manfaat yang adil. Salah satu faktor kontekstual yang paling penting adalah
lokasi geografis.
tindakan kolektif institusional dapat memberikan wawasan baru yang
menginformasikan teori dan praktik, tetapi langkah selanjutnya adalah menguji secara
empiris pengaruh jenis layanan, karakteristik masyarakat, lembaga politik, dan struktur
jaringan secara bersamaan.
Hal ini mendukung temuan tentang peluang aktor terlibat untuk memanfaatkan
lahan yang sebelumnya tidak terpakai dan akhirnya digunakan untuk praktik parkir
sekitar Perguruan Tinggi. Hal ini sebagai pemanfaatan dari masalah terkait pemuda
yang masih belum mendapatkan pekerjaan agr bisa bekerja dan berpenghasilan. Dengan
melihat karakteristik pemuda yang bisa di ajak bekerja dan masyrakat yang pada
akhirnya menerima terselenggaranya praktik parkir disana.
Dilihat dari pendekatan kedua yaitu institusiionalisme sosiologi, Guy Peters
dalam bukunya menyebut sosiolog Amerika, Talcott Parsons (1951, 1960) untuk
membahas terkait hasil temuan ini. Parsons mewakili cabang lain di pohon evolusi
dalam analisis sosiologis lembaga. Parsons adalah salah satu pendukung utama
fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, argumen dasar yang menyatakan bahwa
masyarakat memiliki fungsi-fungsi yang diperlukan yang harus dilakukan jika mereka
ingin bertahan hidup. Sebagai contoh, masyarakat (dikemukakan) harus memenuhi
fungsi adaptif untuk mengekstraksi sumber daya yang cukup dari lingkungan untuk
bertahan hidup. Kinerja fungsi-fungsi ini kemudian terkait dengan keberadaan lembaga
(struktur), dengan analisis komparatif tentang masyarakat yang dimungkinkan melalui
perilaku berbeda terkait struktur dan fungsi.
Sifat adaptif dari temuan ini muncul dari adanya penolakan ketika awal
munculnya praktik parkir ini. Mereka menyesuaikan diri dengan mengambil jalan
tengah yaitu melakukan mediasi. Hal ini untuk bisa menyelesaikan masalah antar dua
pihak dan bisa mencari solusi terbaik. Dan pada akkhirnya, dengan kesepakatan yang
ada, masyarakat menerima adanya penyelenggaraan parkir oleh karangtaruna setempat.
Hal ini dimaksudkan agar mereka masih bisa bekerja disana.
Sikap perubahan ini juga di jelaskan oleh S. N. Eisenstadt (1963; 1965). Ia juga
berusaha menunjukkan bagaimana perubahan dapat dijelaskan dengan menggunakan
teori yang secara luas dianggap statis dan konservatif. Dia berpendapat bahwa lembaga
dan individu beradaptasi dengan perubahan di lingkungan mereka melalui logika
fungsionalis sehingga pola perilaku yang berkembang akan kompatibel dengan
kelangsungan hidup organisasi. Eisenstadt mengembangkan beberapa konsepsinya
tentang lembaga yang berubah dalam konteks birokratisasi (1959, 1963). Ketika
birokrasi berkembang, mereka memperoleh seperangkat nilai yang lebih kaya dan lebih
lengkap, serta pola interaksi yang lebih lengkap. Pekerjaan Eisenstadt sangat menarik
karena ia tidak menganggap proses pelembagaan (atau birokratisasi) tidak dapat
dibalikkan.
29
dalam struktur yang dilembagakan melibatkan penghapusan struktur lama (atau sistem
nilai dan simbol) dan kemudian menggantikannya dengan yang baru. Dalam pandangan
itu suatu lembaga akan mewakili sukses nilai-nilai, dengan beberapa sisa dari masing-
masing bertahan.
untuk mempertahankan nilai dari anggotanya. Yaitu nilai seorang pemuda yang
memiliki norma, bermoral dan baik di depan masyarakat sekitar. Hal ini di dukung oleh
penjelasan Philip Selznick (1949) yang menunjukkan bahwa peran kepemimpinan
organisasi (salah satu fokus utama Selznick) adalah untuk menciptakan dan
mempertahankan sistem nilai yang di ciptakan dalam lembaga. Penelitian Selznick
sendiri dilengkapi dengan penelitian para siswanya, salah satunya yang fokus untuk
membahas kapasitas organisasi (dan institusi) untuk bertahan bahkan setelah tujuan
mereka yang semula tercapai. Penelitian ini memperkuat poin bahwa lembaga memiliki
kapasitas untuk mempertahankan nilai-nilai inti mereka (dan terutama keberadaan
fundamental mereka).
Lembaga yang berusaha mempertahankan norma ini juga di jelaskan oleh
March dan Olsen. Mereka cenderung menekankan dasar normatif institusi sementara
banyak literatur sosiologis menekankan elemen kognitif dari teori organisasi. Yaitu,
literatur sosiologis telah menjadi lebih peduli dengan bagaimana anggota lembaga
memahami situasi dalam struktur mereka dan 'kerangka' yang mereka bawa untuk
menanggung situasi-situasi tersebut untuk membuat keputusan tentang mereka (Berger
dan Luckman, 1967). Pandangan kognitif lebih mendasar daripada pandangan normatif,
mengingat bahwa hal itu menentukan bagaimana anggota lembaga menginterpretasikan
data dari lingkungan, sementara 'semua' perspektif normatif memberi tahu dia perilaku
apa yang sesuai dalam situasi apa pun. Kedua pendekatan mungkin diperlukan untuk
penjelasan lengkap tentang perilaku organisasi / kelembagaan (Scott, 1995b). Satu
pendekatan akan mempengaruhi anggota organisasi ketika mereka menerima input
keputusan yang mereka ambil. Bagian lain dari proses sosiologis mungkin lebih
signifikan dalam menjelaskan bagaimana keputusan dibuat.
Menurut Peter Hall tentang institusionalisme sosiologis, mereka berpendapat
bahwa banyak dari bentuk dan prosedur ini harus dipandang sebagai praktik
kebudayaan. Mirip dengan mitos dan upacara yang dirancang oleh banyak masyarakat,
dan berasimilasi menjadi pengesahan organ. tidak perlu untuk meningkatkan cara
30
formal mereka berakhir efisiensi, tetapi sebagai hasil dari jenis proses yang terkait
dengan transmisi praktik budaya yang lebih umum. Sehingga. mereka berpendapat.
bahkan yang paling tampaknya birokrasi praktek harus dijelaskan dalam istilah budaya.
Peter Hall menyebutkan tiga ciri institusionalisme sosiologis. Pertama,
institusional sosiologis cenderung mendefinisikan lembaga jauh lebih luas daripada
ilmuwan politik lakukan untuk memasukkan, bukan hanya aturan formal. prosedur atau
norma, tetapi sistem simbolis, skrip kognitif, dan template moral yang menyediakan
'frame makna' membimbing tindakan manusia. Definisi tersebut memecah konseptual
kesenjangan antara 'lembaga' dan 'budaya', dua naungan satu sama lain. Ini memiliki
dua implikasi penting. Pertama, itu menantang perbedaan bahwa banyak ilmuwan
politik seperti untuk menarik antara 'penjelasan kelembagaan' didasarkan pada struktur
organisasi dan 'penjelasan budaya' didasarkan pada pemahaman budaya sebagai berbagi
sikap atau nilai. Kedua, pendekatan ini cenderung untuk mendefinisikan kembali
'budaya' itu sendiri sebagai 'lembaga'. Dalam hal ini, itu mencerminkan sebuah 'giliran
kognitif' dalam sosiologi itu sendiri jauh dari formulasi yang mengasosiasikan budaya
secara mendesak dengan sikap afektif atau nilai terhadap orang yang melihat budaya
sebagai jaringan rutinitas. simbol atau skrip yang menyediakan template untuk perilaku.
Kedua. kelembagaan baru dalam sosiologi juga memiliki pemahaman yang
berbeda tentang hubungan antara lembaga dan tindakan individu, yang mengikuti
'pendekatan budaya' yang dijelaskan di atas tetapi menampilkan beberapa karakteristik
nuansa. Sebuah analisis sosiologis menyelesaikan masalah menentukan hubungan
antara lembaga dan tindakan dengan mengasosiasikan lembaga dengan 'peran' yang
preskriptif 'norma perilaku' yang melekat. Dalam tampilan ini. individu yang telah
disosialisasikan ke dalam peran kelembagaan tertentu menginternalisasi norma yang
terkait dengan peran ini, dan dengan cara ini lembaga dikatakan mempengaruhi
perilaku. Kita mungkin menganggap ini sebagai 'dimensi normatif' dari dampak
kelembagaan. Meskipun beberapa terus mempekerjakan seperti konsepsi, banyak
kelembagaan sosiologis menempatkan penekanan baru pada apa yang kita mungkin
berpikir dari ' dimensi kognitif ' dari dampak institutional. Itu adalah untuk menjelaskan.
mereka menekankan cara di mana lembaga mempengaruhi perilaku dengan
menyediakan skrip kognitif, kategori dan model yang sangat diperlukan untuk tindakan,
tidak sedikit karena tanpa mereka, perilaku orang lain tidak dapat ditafsirkan. Lembaga
mempengaruhi perilaku tidak hanya dengan menentukan apa yang harus dilakukan,
tetapi juga dengan menentukan apa yang bisa dibayangkan seseorang lakukan dalam
31
memberikan istilah yang sangat berarti yang diberikan dalam kehidupan sosial. Ini
mengikuti bahwa lembaga tidak hanya mempengaruhi perhitungan strategis dari
individu-individu sebagai institutionalisme pilihan rasional, tetapi preferensi mereka
juga yang paling dasar dan sangat beridentitas. Citra diri dan identitas pelaku sosial
dikatakan dibentuk dari bentuk kelembagaan, gambar dan tanda yang disediakan oleh
kehidupan sosial.
sangat interaktif dan saling konstitusif dari hubungan antara lembaga dan tindakan
individu. Ketika mereka bertindak sebagai konvensi sosial menentukan. individu secara
bersamaan membentuk diri mereka sebagai aktor sosial, dalam arti terlibat dalam
tindakan yang bermakna sosial dan memperkuat konvensi yang melekat pada mereka.
Pusat dari perspektif ini adalah gagasan bahwa tindakan terikat erat dengan interpretasi.
Dengan demikian, institutionalisme sosiologis bersikeras bahwa, ketika dihadapkan
dengan situasi. individu harus dengan cara untuk mengenalinya dan juga untuk
menanggapi itu, dan script atau template secara implisit dalam dunia kelembagaan
menyediakan sarana untuk menyelesaikan kedua tugas ini, sering lebih atau kurang
secara bersamaan. Hubungan antara individu dan lembaga, kemudian, dibangun di atas
semacam 'penalaran praktis' di mana individu bekerja dengan dan disarikan template
kelembagaan yang tersedia untuk merancang suatu tindakan.
Tak satu pun dari ini menunjukkan bahwa individu tidak bertujuan. berorientasi
pada tujuan atau rasional. Namun, kelembagaan sosiologis menekankan bahwa apa
yang seorang individu akan melihat sebagai 'tindakan rasional' itu sendiri secara sosial
dibentuk. dan konsep tujuan mereka ke arah mana seorang aktor sedang berjuang dalam
istilah yang lebih luas daripada yang lain lakukan. Jika teori pilihan rasional sering
menempatkan dunia individu atau organisasi yang ingin memaksimalkan materi mereka
baik, sosiolog sering menempatkan dunia individu atau organisasi yang ingin
mendefinisikan dan mengekspresikan identitas mereka dalam sosial cara yang tepat.
Akhirnya, institutionalisme baru dalam sosiologi juga mengambil pendekatan
yang khas untuk masalah yang menjelaskan bagaimana praktik kelembagaan berasal
dan berubah. Seperti yang telah kita lihat, banyak institutionalisme pilihan rasional
menjelaskan pengembangan lembaga dengan mengacu pada efisiensi dengan yang
melayani ujung materi dari mereka yang menerimanya. Sebaliknya, institusionalisme
32
bukan karena kemajuan berarti berakhir dengan efisien dari organisasi tetapi karena
meningkatkan legitimasi sosial organisasi atau peserta. Dengan kata lain, organisasi
merangkul bentuk kelembagaan atau praktek tertentu karena secara luas dihargai dalam
lingkungan budaya yang lebih luas.
Pusat dari pendekatan ini, tentu saja, adalah pertanyaan tentang apa yang
menganugerahkan 'legitimasi' atau 'kelayakan sosial' pada beberapa pengaturan
kelembagaan tetapi tidak yang lain. Pada akhirnya, ini adalah masalah tentang sumber
otoritas budaya. Beberapa kelembagaan sosiologis menekankan cara di mana negara
modern memperluas lingkup peraturan memberlakukan banyak praktik pada organisasi-
lembaga sosial dengan publik. Lain cara di mana tumbuh profesionalisasi dari banyak
bidang usaha menciptakan komunitas profesional dengan otoritas budaya untuk
menekan standar tertentu pada anggota mereka. Dalam kasus lain, praktik kelembagaan
umum dikatakan muncul dari proses diskusi yang lebih interaktif di antara para pelaku
dalam jaringan tertentu tentang masalah bersama, bagaimana menafsirkan mereka, dan
bagaimana untuk memecahkan mereka terjadi dalam berbagai forum yang berkisar dari
sekolah bisnis untuk konklai internasional. Dari persimpangan tersebut, para aktor
dikatakan mengembangkan peta kognitif bersama, sering mewujudkan rasa praktek
kelembagaan yang tepat, yang kemudian secara luas dikerahkan. dalam kasus ini.
Dimensi interaktif dan kreatif dari proses dimana institusi yang dibangun secara sosial
adalah yang paling jelas.
Dilihat dari pendekatan ketiga yaitu institusionalisme historis, Peter Hall melihat
institusi sebagai lembaga kompleks yang mampu menyusun karakter dan hasil dari
kelompok. Bagaimana institutionalisme historis mendefinisikan lembaga? Pada
umumnya, mereka mendefinisikan mereka sebagai prosedur formal atau informal,
rutinitas. norma dan keyakinan yang tertanam dalam struktur organisasi dari
pemerintahan atau ekonomi politik. Mereka dapat berkisar dari aturan perintah
konstitusional atau prosedur operasi standar birokrasi untuk konvensi yang mengatur
perilaku serikat buruh atau hubungan perusahaan bank. Secara umum, para
institusionalis historis mengaitkan lembaga dengan organisasi dan aturan atau konvensi
yang diumumkan oleh organisasi formal. Hal ini menjelaskan institusi sebagai yang
melahirkan kebijakan mampu membuat aktor untuk bertindak sesuatu yaitu membuka
praktik parkir. Dan mereka hadir dengan memunculkan karakter, rutinitas dan norma
dari kelompok tersebut.
kebijakan sebelumnya akan mempengaruhi kebijakan di masa selanjutnya. Adanya
kebijakan tentang dilarangnya mahasiswa baru membawa kendaraan sendiri, membuat
aktor berinisiatif untuk menyrlrnggarakan praktik parkir dengan pedoman aturan
pemerintahan.namun, dengan kondisi praktik yang memiliki durasi cukup lama, para
aktor ini kemudian mengganti kebijakan tarif parkir menjadi dua kali lipat. Pengaruh
kebijakan sebelumnya ini di bahas oleh Guy Peters. Ia memiliki gagasan dasar dari
pendekatan ini, yaitu bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat ketika suatu lembaga
sedang dibentuk, atau ketika suatu kebijakan dimulai, akan memiliki pengaruh yang
berkelanjutan dan sangat menentukan atas kebijakan yang jatuh di masa depan
(Skocpol, 1992).
Salah satu cara untuk menggambarkan gagasan ini adalah dengan „path
dependency (Krashner, 1984); ketika sebuah program pemerintah atau organisasi
memulai jalan, ada kecenderungan yang lamban untuk pilihan kebijakan awal bertahan.
Jalur itu mungkin di ubah, tetapi itu membutuhkan banyak tekanan politik untuk
mengasilkan perubahan itu.
Salah satu pernyataan penelitian paling awal adalah Peter Hall (1986), Hall
mengacu pada pentingnya lembaga dalam membentuk kebijakan dari waktu ke masa.
Analisis tentang dampak lembaga tersebut mengandung semua komponen dasar dari
pendekatan institusionalisme historis. Argumen dasar Hall adalah bahwa untuk
memahami pilihan-pilihan kebijakan ekonomi yang dibuat di kedua negara (atau orang
lain) itu perlu untuk memahami politik dan sejarah kebijakan mereka. Hall membuat
pernyataan yang jelas bahwa kebijakan pada setiap waktu dipengaruhi oleh pilihan
kebijakan yang dibuat sebelumnya.
Salah satu faktor yang muncul dengan sangat jelas, dan yang akan menjadi
bagian utama dari Hall berikutnya (1989; 1992) adalah peran penting yang bermain ide
dalam membentuk kebijakan. Peran independen untuk gagasan ini juga menjadi bagian
utama dari pendekatan institutionalist historis yang terlihat lebih umum.
Hal yang menarik dari institusionalisme adalah bahwa „path dependency tidak
harus terlaksana dengan sangat sederhana. Sama seperti para siswa organisasi
berpendapat bahwa satu aturan cenderung untuk mendapatkan aturan lain untuk
mengimbangi kekurangan dari aturan pertama March and Simon, 1957; Crozier, 1962),
begitu pula aturan kelembagaan dan struktur menghasilkan upaya untuk memecahkan
masalah.
34
pengambilan keputusan di masa lalu. Krasner (1988) juga berpendapat demikian. Proses
adaptif ini memberikan institusionalisme historis dengan konsepsi kebijakan yang lebih
dinamis daripada yang diharapkan dari pendekatan awal formulasi. Secara khusus, jika
pilihan awal yang dibut oleh formulator suatu kebijakan atau lembaga tidak memadahi,
lembaga harus menemukan beberapa cara adaptasi atau bahkan berhenti (Genschel
1997).
mendapatkan keadaan setimbang. Keadaan dimana semua aspek dalam proses praktik
tersebut bisa memberikan jasa dan menerima imbalan yang sesuai. Keadaan ini
dijelaskan juga oleh institusionalisme historis. Institusionalisme historis telah
memperlakukan perubahan melalui konsep 'punctuated equilibria' (Krasner, 1984).
Seperti ungkapan ini, ada harapan dalam pendekatan bahwa untuk sebagian besar
keberadaannya suatu lembaga akan ada dalam keadaan setimbang, berfungsi sesuai
dengan keputusan yang dibuat pada permulaannya, atau mungkin yang dibuat pada titik
sebelumnya. Namun, keseimbangan kebijakan ini tidak selalu permanen dan institusi
dianggap mampu berubah dalam konteks pendekatan.
Tentang perilaku individu yang di pengaruhi oleh lembaga, Peter Hall
menjelaskan indtitusionlisme historis ke dalam empat fitur yang relatif khas. Pertama,
kelembagaan historis cenderung untuk mengkonseptualisasikan hubungan antara
lembaga dan perilaku individu dalam istilah yang relatif luas. Kedua, mereka
menekankan asimetri kekuasaan yang terkait dengan operasi dan pengembangan
lembaga. Ketiga, mereka cenderung memiliki pandangan kelembagaan pembangunan
yang menekankan ketergantungan dan konsekuensi yang tidak diinginkan. Keempat.
mereka sangat prihatin untuk mengintegrasikan analisis kelembagaan dengan jenis
faktor kontribusi yang lain.
Bagaimana lembaga mempengaruhi perilaku individu? Melalui tindakan
individu, lembaga memiliki dampak pada hasil politik. Dalam istilah yang luas,
institutionalis baru memberikan dua jenis tanggapan terhadap pertanyaan ini, yang
mungkin disebut "pendekatan kalkulus" dan “pendekatan budaya“ masing-masing.
Masing-masing memberikan jawaban yang sedikit berbeda untuk tiga pertanyaan:
bagaimana aktor berperilaku, apa yang dilakukan lembaga, dan mengapa lembaga
bertahan dari waktu ke masa?
Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan ini, mereka yang mengadopsi
35
pendekatan kalkulus, fokus pada aspek perilaku manusia yang instrumental dan
berdasarkan perhitungan strategis. Mereka berasumsi bahwa individu berusaha untuk
memaksimalkan serangkaian tujuan pencapaian yang diberikan oleh fungsi preferensi
tertentu dan, dengan berbuat demikian. berperilaku strategis, yang mengatakan bahwa
mereka dapat semua kemungkinan pilihan untuk mereka pilih sebagai pemberian
manfaat maksimum.
mempengaruhi perilaku terutama dengan menyediakan aktor dengan tingkat yang lebih
besar atau lebih rendah dari kepastian tentang perilaku sekarang dan masa depan aktor
lain. Lebih khusus lagi, lembaga memberikan informasi yang relevan dengan perilaku
orang lain, mekanisme penegakan perjanjian, hukuman untuk pembelotan, dan
sebagainya. Titik kuncinya adalah bahwa efek tindakan-tindakan individu dengan
mengubah harapan seorang aktor memiliki tindakan yang orang lain cenderung untuk
mengambil dalam menanggapi atau bersamaan dengan tindakan sendiri. Interaksi
strategis jelas memainkan peran kunci dalam analisis tersebut.
Hal ini kontras dengan 'pendekatan budaya' untuk masalah tersebut. Yang
terakhir menekankan tingkat perilaku yang tidak sepenuhnya strategis tetapi dibatasi
oleh pandangan individu. Artinya, tanpa menyangkal bahwa perilaku manusia adalah
rasional atau purposive, hal ini menekankan sejauh mana individu berpaling untuk
menetapkan rutinitas atau familiar patterns perilaku untuk mencapai tujuan mereka. Ini
cenderung untuk melihat individu sebagai kesatuan yang sangat memuaskan, dan untuk
menekankan sejauh mana pilihan tindakan tergantung pada situasi interpretasi daripada
perhitungan instrumental murni.
Apa yang dilakukan institusi? Dari perspektif ini, lembaga menyediakan moral
atau template kognitif untuk interpretasi dan tindakan. Individu dipandang sebagai
entitas tertanam dalam dunia lembaga, terdiri dari simbol, skrip dan rutinitas, yang
menyediakan filter untuk interpretasi. dari situasi dan diri sendiri, dari mana suatu
tindakan dibangun. Tidak hanya lembaga menyediakan informasi strategis dan berguna,
tapi mereka juga sangat mempengaruhi identitas, citra diri dan preferensi para aktor.
Kedua pendekatan ini juga memberikan penjelasan yang berbeda mengapa pola
perilaku yang diregularisasi yang kita kaitkan dengan institusi menampilkan
kesinambungan seiring berjalannya waktu. "Pendekatan kalkulus menunjukkan bahwa
institusi bertahan karena mereka mewujudkan sesuatu seperti kesetimbangan. Artinya,
individu mematuhi pola perilaku ini karena penyimpangan akan membuat individu lebih
36
buruk dari yang patuh." Ini mengikuti bahwa semakin banyak lembaga memberikan
kontribusi untuk resolusi dilema tindakan kolektif atau semakin banyak keuntungan dari
pertukaran itu memungkinkan akan semakin kuat. "Pendekatan budaya” dilain pihak,
menjelaskan kegigihan lembaga dengan mencatat bahwa banyak konvensi yang terkait
dengan lembaga sosial tidak dapat dengan mudah menjadi objek eksplisit pilihan
individu. Sebaliknya, sebagai komponen elemen dari mana tindakan kolektif dibangun,
beberapa lembaga begitu ' konvensional ' atau diambil begitu saja bahwa mereka
melarikan diri dari pengawasan langsung dan sebagai konstruksi kolektif, tidak dapat
mudah diubah oleh tindakan dari satu individu. Lembaga-lembaga tahan terhadap
redesign akhirnya karena struktur pilihan mereka tentang reformasi bahwa individu
cenderung membuat hal tersebut.
hubungan antara lembaga dan tindakan. Fitur penting kedua dari institutionalisme
histori adalah peran penting yang kekuatan dan asimetris hubungan kekuasaan bermain
dalam analisis tersebut. Semua studi institusional memiliki sikap langsung pada
hubungan kekuasaan. Memang, mereka dapat dibaca sebagai upaya untuk menjelaskan
'yang kedua' dan 'ketiga' dimensi kekuasaan diidentifikasi beberapa tahun yang lalu
dalam perdebatan kekuatan masyarakat. Tapi institutionalisme historis telah sangat
memperhatikan cara di mana lembaga mendistribusikan kekuasaan yang tidak merata di
seluruh kelompok sosial. Mereka lebih mungkin untuk mengasumsikan sebuah dunia di
mana lembaga memberikan beberapa akses kelompok atau kepentingan yang tidak
proporsional ke proses pengambilan keputusan; dan, daripada menekankan sejauh mana
hasil membuat semua orang lebih baik.
Institusional historis juga terkait erat dengan perspektif khas tentang
perkembangan sejarah. Mereka telah pendukung kuat dari citra sebab-akibat sosial yang
' jalan tergantung ' dalam arti bahwa ia menolak dalil tradisional bahwa kekuatan
operasi yang sama akan menghasilkan hasil yang sama di mana-mana dalam
mendukung pandangan bahwa kekuatan akan dimediasi oleh fitur kontekstual dari
situasi tertentu sering diwarisi dari masa lalu, atau tentu saja, yang paling signifikan dari
fitur ini dikatakan kelembagaan di alam. Lembaga dipandang sebagai fitur yang relatif
gigih dari lanskap sejarah dan salah satu faktor utama mendorong perkembangan
sejarah sepanjang satu set ' jalan '.
Dengan demikian, institutionalisme historis telah mengabdikan banyak perhatian
terhadap masalah yang menjelaskan bagaimana lembaga menghasilkan jalur tersebut,
37
yaitu bagaimana respon struktur bangsa mereka terhadap tantangan baru. Analis awal
menekankan dampak dari ' kapasitas negara ' dan ' warisan kebijakan ' yang ada pada
pilihan kebijakan berikutnya.
kekuatan kausal dalam politik. Mereka biasanya berusaha untuk menemukan institusi
dalam rantai kausal yang mengakomodasi peran faktor lainnya. terutama pembangunan
sosial ekonomi dan difusi ide. Dalam hal ini. mereka menempatkan dunia yang lebih
kompleks daripada keinginan dunia dan lembaga sering didalilkan oleh institutionalisme
pilihan rasional. Institutionalisme historis telah sangat memperhatikan hubungan antara
lembaga dan ide atau keyakinan.
KESIMPULAN
Kecilnya pemasukan pajak parkir Kota Malang karena inkonsistensi aturan
dari aktor penyelenggara parkir. Dalam kaitannya dengan pendekatan institusi baru,
ada hal menarik yang bisa di lihat. Yaitu adanya karangtaruna sebagai komunitas
yang mengkoordinir adanya praktik parkir ini. Hal-hal yang biasanya disebut sebagai
lembaga, namun, di bawah sebuah komunitas, praktik parkir pun bisa terjadi.
Inkonsistensi yang terjadi adalah adanya kebijakan yang di ambil oleh aktor tersebut
hingga mencapai dua kali lipat dari tarif normal. Keadaan tersebut yang menjadi salah
satu faktor kecilnya pemasukan pajak parkir.
Terdapat dua saran yang bisa digunakan untuk pembaca. Pertama adalah saran
praktik dan kedua adalah saran akademis. Saran praktik ini digunakan sebagai saran
praktis dalam kehidupan parkir dan perhubungan. Kedua adalah saran akademis.
Yaitu saran untuk peneliti yang akan melanjutkan penelitian di bidang ini.
Pertama adalah saran praktik. Penelitian ini dapat menjadi sebuah masukan
bagi Dinas Perhubungan untuk mengetahui penyebab dan penanggulangan parkir liar.
Selanjutnya juga untuk lebih mengatur dan membatasi pekerja parkir yang ingin
bekerja. Dan jumlah setoran yang wajib di serahkan para pekerja parkir dapat diatur
ulang agar tidak terlalu besar dan terlalu kecil tiap areanya.
Kedua adalah saran akademis. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai
sumbangsih pemikiran terkait dengan faktor penyebab bocornya pendapatan pajak
parkir dan banyaknya respon petisi online parkir liar di Kota Malang. Kedua, sebagai
bekal wawasan dalam mengembangkan pengetahuan berpikir dan belajar menganalisis
38
permasalahan yang ada di dalam dunia parkir. Data-data yang tersaji juga dapat
dijadikan pembanding bagi peneliti lain yang mengkaji tentang praktik parkir.
Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan dan memberikan sumbangan pemikiran
bagi peneliti selanjutnya yang memiliki fokus perhatian pada praktik parkir di Kota
Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Arrow, K. J. (1951). An extension of the basic theorems of classical welfare economics.
In Proceedings of the second Berkeley symposium on mathematical statistics
and probability. The Regents of the University of California.
Creswell, J. W. (2016). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
approaches. Sage publications.
Feiock, R. C. (2007). Rational choice and regional governance. Journal of urban
affairs, 29(1), 47-63.
Hall, Peter and Taylor, Rosmary (1996). Political Science and the Three New
Institutionalisms. Political Studies. XLIV
https://malang.merdeka.com/kabar-malang/pemkot-malang-bakal-lakukan-kajian-
2019
https://www.jawapos.com/jpg-today/31/05/2018/penerimaan-pajak-kota-malang-sudah-
rp-163-miliar/ Di akses 2 September 2019
Lachmann, L. M. (1971). The Legacy of Max Weber, Berkeley. Cal.: Glendessary
Press.
Niskanen, W. A., & Klevorick, A. (1994). Explaining regulatory policy. Brookings
Papers on Economic Activity. Microeconomics, 1994, 1-49.
Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir oleh Direktorat Bina Sistem
Lalu Lintas dan Angkutan Kota serta Direktoral Jenderal Perhubungan Darat
1998
Peters, Guy. (1999). Institutional Theory In Political Science The New Institutionalism.
London: British Library.
Scharpf, F. W. (2018). Games real actors play: Actor-centered institutionalism in policy
research. Routledge.
Behavioral Scientist, 35(4-5), 559-584.
Sugiono, A. (2008). Panduan Praktis Dasar Anlisa Laporan Keuangan. Gramedia
Widiasarana.
Tsebelis, G. (1990). Nested games: Rational choice in comparative politics (Vol. 18).
Univ of California Press.
Weingast, B. R. (1996). Political institutions: Rational choice perspectives. A new
handbook of political science, 167, 168.
Yin, R. K. (2018). Case study research and applications.
40

Recommended