Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
78 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
PENERAPAN SANKSI DISIPLIN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG
MELAKUKAN PERKAWINAN SIRI
Riza Chatias Pratama1
Dinard Fhathird2
1Lecturer at Law Faculty, University of Muhammadiyah Aceh
2 Student at Faculty of Law, University of Muhammadiyah Aceh
Corresponding author: [email protected].
Abstract
Siri marriage is a marriage between a man and woman, without permission and
without the prior wife's knowledge. In Indonesia, marriage itself is a crime because
it has been regulated in the law. Indonesian Criminal Code provides sentence to
perpetrators of marital threats threatening a maximum of 5 years in prison. In
practice, Siri marriages still occur, and are also carried out by members of the
National Police. This study uses empirical normative research methods that use
data in the form of primary legal materials and secondary legal materials. Data
collection is done by field research (field research and library research), then the
data is analyzed quantitatively. The results showed that the factors causing the
occurrence of marital marriages were psychological factors, disharmony in the
household, lack of legal awareness of regulations and the existence of conflicting
legal procedures or discipline / discipline. The application of disciplinary
sanctions is carried out after the District Court's verdict, then the Polri
Professional Code of Ethics session is held. Obstacles in its remedies are due to
interventions of the police independence in handling cases or human resource
development and lack of complaints of negative behavior.
Key words: Siri, Marriage, Police.
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita
menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing
masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik
sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung.
79 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan
perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka
berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut
UU Perkawinan).
Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu
dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam-macam
agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian
dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang
dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama. Pasangan suami-istri
yang telah melangsungkan perkawinan, pada umumnya ingin memiliki keturunan
dari perkawinan yang telah mereka lakukan, tetapi ada pula pasangan suami istri
yang hidup bersama tanpa keinginan untuk mendapatkan keturunan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974), seorang pria beragama islam di Indonesia dapat kawin sampai
dengan empat orang istri, yang berarti bahwa adanya perkawinan lebih dari 4
(empat) kali itu barulah akan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 279 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan bahwa :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu;
2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang
untuk itu”.
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
80 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
Akan tetapi sesudah keluarnya Undang-Undang Perkawinan, di Indonesia itu
tidak diperbolehkan lagi kawin lebih dari seorang bersama-sama, kecuali jika
perkawinan itu ada izin berupa keputusan Pengadilan Negeri setempat sesuai yang
tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang berbunyi :
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang
wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Perkawinan siri pada umumnya merupakan kejahatan terhadap norma-norma
hukum yang harus ditafsirkan atau patut diperhitungkan sebagai perbuatan yang
sangat merugikan bagi pihak korban (istri) yang dapat dianggap sebagai perbuatan
menelantarkan keluarga. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut tanpa adanya
suatu penyelesaian hukum atas tindak pidana tersebut. Oleh karenanya, setiap
tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun harus ditindak secara tegas tanpa
memandang status, walaupun pelakunya adalah aparat hukum sendiri seperti
anggota Polri.1
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat.
Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai
1 A. Kadarmanta, 2007, Membangun Kultur Kepolisian, Forum Media Utama, Jakarta, hlm. 23
81 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan
peraturan perundang-undangan.2
Akan tetapi karena anggota Polri sebagai suatu organisasi terikat pada hukum
disiplin, sehingga penegakan pelanggaran disiplin maupun tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota polri akan diproses melalui sidang disiplin terlebih dahulu.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang menjelaskan penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika
dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh
anggota kepolisian Republik Indonesia.3
Meskipun Undang-undang serta peraturan hukum disiplin dan kode etik
profesi yang berlaku dalam organisasi kepolisian telah melarang dan mengancam
dengan ancaman hukuman pidana bagi anggota Polri yang melakukan tindak
pidana, namun dalam kenyataannya di wilayah hukum Kepolisian Daerah Aceh
pelanggaran maupun tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri masih saja
terjadi bahkan dilakukan dalam perkawinan siri yang dianggap sebagai pelanggaran
menelantarkan keluarga.
Maraknya tindakan perkawinan siri yang dilakukan oleh anggota kepolisian
tersebut menjadikan masyarakat resah khususnya pihak keluarga anggota Polri itu
sendiri. Tindakan perkawinan siri telah merusak sendi kehidupan dalam keluarga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemerintah memandang, perlu adanya
2 Sadjijono, 2008, Hukum Kepolisian POLRI dan Good Governance. Laksbang Mediatama.
Surabaya, hlm. 52-53 3Ibid., hlm. 19
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
82 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu
menimbulkan efek jera.4
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode empiris, melalui pendekatan kuantitatif.
Data dalam penelitian menggunakan data primer (interview) dan data sekunder
(literature review).
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research)
dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara wawancara
(interview) dengan responden dan informan. Data yang didapat, diolah dan di
analisis dengan menggunakan metode deskriptif yaitu menjelaskan secara
penggambaran tentang permasalahan yang dibahas.
Dalam penelitian ini bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara
mendalam (indeep interview)yang dalam pelaksanaannya pewawancara sudah
membawa pedoman wawancara tentang apa-apa yang ditanyakan secara garis
besar.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
Research). Penelitian pustaka dilakukan dengan cara membaca dan
mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat
4 Ibid, hlm. 22
83 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
kabar serta pendapat para sarjana yang relevan dengan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini.
Dari keseluruhan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan
maupun penelitian lapangan di analisis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu dengan menganalisa yang menghasilkan data deskriptif dan
analisa dari apa yang ditanyakan kepada responden dan informan secara
tertulis dan lisan.
III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pengertian Perkawinan dan Unsur-unsurnya
1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan
dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang
sempurna. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz
nikah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang. Menurut Sajuti Thalib: perkawinan adalah suatu perjanjian
yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-
menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pengertian
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
84 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan
ibadah.5
Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan
laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Wantjik Saleh mendefinisikan perkawinan sebagai suatu perjanjian yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan. Tentu perjanjian yang
dimaksud bukan seperti perjanjian yang di atur dalam KUHPer (adanya pihak
kreditur dan debitur) namun lebih pada menjalin suatu komitmen untuk
berjanji hidup bersama dan menjalin rumah tangga yang harmonis. Rumah
tangga yang bahagia dan kekal tergantung pada seberapa kuat suami istri
menjaga janji serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seperti yang
di atur dalam Undang-Undang Perkawinan.6
Perkawinan yang dilakukan antara pasangan seorang pria dengan seorang
wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai mahluk
sosial guna melanjutkan keturunannya. Oleh karenanya dilihat dari aspek
fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasarkan pada
5 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 7
6 Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.3.
85 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
norma hukum yang dibuuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari
hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama.7
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah “Ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Yang Maha Esa”.
Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Buku I tentang Hukum
Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dirumuskan pengertian
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu:
“Akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk mentaati perinta
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sementara itu Pasal 3 juga
diatur bahwa tujuan perkawinan adalah “untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”.
2. Syarat Sahnya Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai
akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting sekali kaitannya dengan sah
tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu perkawinan
ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum Positif), yaitu berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan
7 Mahmuda Junus, 1989, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad: Sayfi‟I, Hanafi, Maliki
dan Hambali. Pustaka Mahmudiyah, Jakarta, hlm.110
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
86 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, bahwa: Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqoon
gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.8
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi:9
a) Syarat-syarat materiil.
a. Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut:
1) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai.
Arti persetujuan yaitu tidak seorangpun dapat memaksa calon
mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa
persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari
kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk
membina keluarga.
2) Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah
mencapai 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah
berumur 16 tahun.
3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
b. Syarat materiil secara khusus yaitu:
1) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yaitu:
a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau
ke atas.
b) Hubungan darah garis keturunan ke samping.
c) Hubungan semenda.
d) Hubungan susuan.
e) Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi.
f) Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang
berlaku dilarang kawin.
8 M. Ridwan Indra, 2004, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Haji Masagung, Jakarta, hlm. 1.
9 Al Hamdany, 2002, Risalah nikah, Pustaka Amani, Jakarta, hlm.44.
87 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
g) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaan tidak menetukan
lain.
2) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum
berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin kawin yaitu:
a) Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.
Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh
kedua orang tua calon mempelai. Jika orang tua laki-laki telah
meninggal dunia, pemberi izin perkawinan beralih kepada
orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang
tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan
perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum
Islam tidak boleh orang tua perempuan bertindak sebagai wali.
b) Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia tau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya disebabkan :
(1) Oleh karena misalnya berada di bawah kurutale.
(2) Berada dalam keadaan tidak waras.
(3) Tempat tinggalnya tidak diketahui.
c) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-
duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya
maka izin diperoleh dari:
(1) Wali yang memelihara calon mempelai.
(2) Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan
dapat menyatakan kehendaknya.
d) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) atau seseorang atau
lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya,
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin
perkawinan.
Pemberian izin dari Pengadilan diberikan:
(1) Atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.
(2) Setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang
disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 6 ayat (2).(3) dan (4).
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
88 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
b) Syarat-syarat Formil.
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatatan perkawinan.
2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.
3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan
masing-masing.
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.10
Rukun nikah di atur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
berbunyi :
1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan.
2. Wali bagi calon mempelai perempuan.
3. Saksi.
4. Ijab dan Kabul.
Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja, dan tidak
dicatatakan pada instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Catatan Sipil,
maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Untuk itu Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai
syarat sahnya suatu perkawinan.
B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Siri
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Kepala Polisi Daerah Aceh untuk
menekan atau mengarahkan anggotanya supaya tidak melakukan tindak pidana
yang mengarah kepada Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia
(PERKAP) Nomor 14 Tahun 2011 tentang kode etik kepolisian. Namun tetap
10
A. Zuhdi Muhdar, 1994, Memahami Hukum Perkawinan, AlBayan, Bandung, hlm. 24.
89 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
saja, upaya yang telah dilakukan Kepala Polisi Daerah Aceh belum mampu
menunjukkan hasil yang memuaskan.
Terhadap perilaku perkawinan siri yang dilakukan oleh anggota kepolisian
menjadikan masyarakat resah khususnya pihak keluarga anggota Polri itu
sendiri. Hal ini diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 2014
s/d tahun 2017 di wilayah hukum Kepolisian Daerah Aceh terdapat 10
(sepuluh) kasus tindakan perkawinan siri yang dilakukan oleh anggota Polri.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1
Tindakan Perkawinan Siri yang Dilakukan Oleh Anggota Polri di Wilayah
Hukum Kepolisian Daerah Aceh
dari Tahun 2014 s.d 2017
No. Tahun
Nama / Inisial
Pangkat
Kesatuan
Jenis
Pelanggaran
Pasal yang
Dilanggar
Putusan
Hukuman
1 2014 M. SRG
BRIGADIR
POLDA ACEH
DISIPLIN Pasal 3 huruf (g), Pasal
5 huruf j PP Nomor 2
Tahun 2003
Pembebasan dari
jabatan
2 2014 MDL
BRIPKA
POLDA ACEH
DISIPLIN Pasal 3 huruf (g), Pasal
5 huruf j PP Nomor 2
Tahun 2003
Penundaan
kenaikan pangkat
1 (satu) Tahun
3 2015 RA
AIPTU
POLRES ACEH
SINGKIL
DISIPLIN Pasal 3 huruf (g), Pasal
5 huruf j PP Nomor 2
Tahun 2003
Penundaan
kenaikan pangkat
1 (satu) Tahun
4 2016 UIS
BRIPDA
POLDA ACEH
DISIPLIN Pasal 3 huruf (g), Pasal
5 huruf j PP Nomor 2
Tahun 2003
Penempatan
dalam tempat
khusus 21 (dua
puluh) hari
5 2016 ARM
BRIGADIR
POLRES ACEH
TIMUR
DISIPLIN Pasal 3 huruf (g), Pasal
5 huruf j PP Nomor 2
Tahun 2003
Mutasi bersifat
demosi
6 2016 ZUL
BRIPTU
POLSEK
LUENG BATA
KKEP Pasal 7 ayat (1) huruf
(b) dan Pasal 11 huruf
(c) Perkap Nomor 14
Tahun 2011
Meminta maaf
secara lisan
dihadapan Sidang
KKEP dan pihak
yang dirugikan;
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
90 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
7 2016 AL
BRIPDA
POLDA ACEH
KKEP Pasal 14 ayat (1) huruf
(b) PP Nomor 1 Tahun
2003, dan
Pasal 7 ayat (1) huruf
(b) Perkap Nomor 14
Tahun 2011
Mengikuti
pembinaan mental
dan pengetahuan
profesi selama 1
(satu) Bulan
8 2016 SRH
AKP
POLRES ACEH
BARAT DAYA
KKEP Pasal 12 ayat (1) huruf
(a) dan Pasal 13 ayat
(1) PP Nomor 1 Tahun
2003, dan Pasal 21
ayat (3) dan Pasal 22
ayat (1) huruf (a)
Perkap Nomor 14
Tahun 2011
PTDH
(Pemberhentian
Tidak Dengan
Hormat)
9 2017 ES
BRIGADIR
POLSEK
BANDA SAKTI
KKEP Pasal 7 ayat (1) huruf
(b) Perkap Nomor. 14
Tahun 2011
Mengikuti
pembinaan mental
dan kejiwaan 1
(satu) Bulan
10 2017 SOF
BRIGADIR
POLDA ACEH
KKEP Pasal 7 ayat (1) huruf
(b) Perkap Nomor 14
Tahun 2011
Mutasi bersifat
demosi
Sumber: Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Aceh, Januari 2018
Dari beberapa kasus di atas, pada dasarnya terdapat beberapa faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya perkawaninan siri yang dilakukan anggota Polri
di wilayah hukum Kepolisan Daerah Aceh, yang mana faktor-faktor tersebut
muncul berbeda-beda setiap individunya dan berdasarkan pada kondisi yang
dialami oleh para anggota Polri itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, secara garis besar
terdapat 4 (empat) faktor penyebab terjadinya terjadinya perkawaninan siri
yang dilakukan oleh anggota Polri di wilayah hukum Kepolisian Daerah Aceh,
keempat faktor tersebut yaitu :
1). Faktor psikologis (mental pelaku);
Mental seseorang sangat mempengaruhi perilaku seseorang.
Seorang yang mempunyai mental yang kuat akan mampu menahan
keinginan untuk tidak melakukan tindakan yang menyalahi aturan.
91 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
Sebaliknya, jika seseorang mempunyai mental rendah tidak akan mampu
menghindari diri dari pengaruh-pengaruh lingkungan sekitar.
Berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan
siri dapat saja bermula dari seseorang yang telah menikah yang tidak
mampu mengontrol emosi dan pikirannya. Sehingga ketika terjadi masalah
dalam rumah tangganya, mereka akan merasa tertekan dan mengalami
neuritis depresi karena tidak mampu menerima keadaan orang lain
(pasangan). Sehingga tidak dapat dipungkiri mereka akan bertindak
sebelum berpikir dengan baik. 11
Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan keterangan dari hasil
pemeriksaan yang dilakukan terhadap Zul yang mengatakan bahwa
pelaku tidak dapat mengontrol emosi dalam dirinya ketika terjadi
perselisihan dalam rumah tangganya. Hal tersebut merupakan salah satu
hal yang sering terjadi sehingga menyebabkan ketidak harmonisan dalam
keluarga. 12
Menurut keterangan Nazaruddin “Seseorang dengan gangguan
kepribadian (anti sosial) ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap
orang lain. Selain itu yang bersangkutan (Zul) pada saat terjadinya
perkawinan siri yang dilakukannya, yang bersangkutan sedang
melaksanakan dinas di Polres Aceh Timur dengan alasan yang
bersangkutan tidak didampingi oleh Istrinya hingga perkawinan siri
11
Bram Razenda, Penyidik Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Aceh, Wawancara tanggal 20 Februari 2018
12 Zul, Pelaku Perkawinan Siri, Keterangan Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
tanggal 9 November 2017
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
92 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
tersebut terjadi. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak mampu untuk
berfungsi secara wajar dan efektif dalam pergaulan di rumah atau di
tempat kerja, gangguan lain sebagai penyerta berupa rasa cemas dan
depresi. Sehingga cenderung melakukan perselingkuhan dan berujung
pada perbuatan perkawinan siri.13
2). Faktor adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga;
Kondisi mental pelaku dalam rumah tangga yang labil dapat
menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Suami maupun
Istri yang sering mengeluarkan kata-kata kasar ketika sedang terjadi
perselisihan dalam rumah tangga, dan selingkuh juga merupakan faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan siri. 14
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ketidakharmonisan
dalam rumah tangga terdiri atas beragam hal. Faktor yang paling sering
menjadi penyebab adalah adanya pengaruh pihak ketiga (selingkuh),
sehingga sang istri merasa keberatan atas tingkah laku suaminya dan
berujung pada kekerasan yang dilakukan oleh suami karena tidak dapat
dibicarakan secara baik-baik.
Terkait faktor adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga,
Susi Farida mengatakan bahwa :
“Terkait ketidakharmonisan dalam rumah tangga berawal adanya
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap dirinya khususnya
dalam bentuk fisik, ada banyak faktor yang menjadi penyebab
terjadinya kekerasan tersebut.” Salah satu yang paling sering terjadi
adalah ketika sang suami ketahuan sedang sedang menjalin hubungan
13
Nazaruddin, Penyidik Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Aceh, Wawancara tanggal 20 Februari 2018
14 Rasimah, Korban Perkawinan Siri, Wawancara 28 Februari 2018
93 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
kedekatan dengan wanita lain (selingkuh), sehingga istri melarang
suaminya untuk tidak menghiraukan wanita tersebut, sehingga
perdebatan yang terjadi antara suami dan istri sering berujung pada
kekerasan fisik. 15
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi seorang suami
melakukan kekerasan terhadap istri dikarenakan sang istri terkadang tidak
mengindahkan larangan si suami. Dalam hal ini dukungan orang terdekat
(keluarga) sangat dibutuhkan untuk merubah kondisi psikologi pelaku
yang menyimpang. Sehingga nantinya perlahan-lahan diharapkan pelaku
dapat merubah perilakunya yang menyimpang dan menyadari bahwa
kebahagian keluarga itu jauh lebih penting.
3). Faktor kurangnya kesadaran hukum terhadap ikatan dinas/peraturan;
Faktor kesadaran hukum, maksudnya adalah kesadaran hukum
pada pelaku memang masih kurang tinggi, salah satunya yaitu
ketidakpatuhan untuk mendapatkan putusan Pengadilan berupa izin
perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan adanya hal tersebut,
tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, rendahnya pengetahuan,
dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal atau melakukan
perbuatan yang merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Menurut Nazaruddin, anggota Polri yang ingin menikah lagi harus
mendapat izin istri dan atasan langsung. Atasan dari anggota Polri yang
ingin menikah lebih dari satu tentu akan bertanya apa alasan untuk
15
Susi Farida, Korban Perkawinan Siri, Wawancara 27 Februari 2018
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
94 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
menikah lagi. "Atasan itu kan bijaksana. Dia pasti tanya alasan mengapa.
Harus ada izin istri juga. Bahkan calon mertua juga bisa ditanya".16
ad. 4). Faktor adanya benturan prosedur hukum atau tata tertib/disiplin;
Nikah Siri ialah akad nikah yang dilakukan secara sah dengan
memenuhi ketentuan hokum materiil perkawinan tetapi tidak memenuhi
ketetuan hokum formil sehingga tidak tercatat dan tidak punya akta nikah
karena dilakukan diluar pengawasan PPN. Pada umumnya nikah sirri
terjadi karena adanya perbenturan antara beberapa prosedur hokum atau
tata tertib/disiplin tertentu yang bertentangan dengan kepentingan pihak-
pihak yang ingin melakukan akad nikah secara sah.
Meskipun mereka yang melakukan perkawinan siri sebenarnya
tidak mengalami hambatan untuk memenuhi syarat hukum materiil
perkawinan tetapi karena adanya prosedur hukum atau tata tertib/disiplin
organisasi tertentu yang mengikat mereka sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk memenuhi ketentuan hukum formil yang berupa prosedur
perkawinan.17
C. Penerapan Sanksi Disiplin Terhadap Anggota Polri yang Melakukan
Perkawinan Siri
1) Tahap Peradilan Umum
Berdasarkan Berita Acara Penyidikan (BAP) dari Polda Aceh lalu di
limpahkan kejaksaan menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dan
pemeriksaan oleh hakim terhadap terdakwa anggota di lingkungan peradilan
16
Nazaruddin, Penyidik Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Aceh, Wawancara tanggal 20 Februari 2018
17 Nazaruddin, Penyidik Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Aceh, Wawancara
tanggal 20 Februari 2018
95 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tersangka atau terdakwa anggota mendapatkan bantuan hukum pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan Kepolisian Resort Kota Banda
Aceh menyediakan tenaga bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa
terkecuali anggota yang menunjuk pengacaranya sendiri.18
Terhadap kasus yang sudah diputus di pengadilan dan siap untuk
dilakukan sidang kode etik, rangkaian sidang kode etik diatur dan dilaksanakan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis
Institusional Peradilan Umum Anggota Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 14
Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian.
2) Tahap Peradilan Kode Etik
Etika polisi sesungguhnya merupakan nilai-nilai Tribrata yang
dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap
anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan,
selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Hal ini bertujuan guna menjadikan seluruh anggaota Polri yang
bermartabat didalam masyarakat serta bangsa dan negara.
3) PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat)
18
Mohammad Muslim Siregar, Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Aceh, Wawancara tanggal 22 Februari 2018
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
96 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
Anggota Polri yang terbukti melakukan tindak pidana dan telah
berkekuatan hukum tetap diberhentikan dengan tidak hormat dari
keanggotaannya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diwajibkan untuk
memegang semua rahasia dinas yang menurut sifatnya harus dirahasiakan serta
tidak menyalahgunakan perlengkapan perorangan dan fasilitas dinas sesuai
ketentuan yang berlaku (Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Pasal 21 dan PP
Nomor 1 Tahun 2003).
Sanksi administrasi disiplin anggota Polri yang diberikan didasarkan pada
peraturan di atas dimana dapat dijelaskan bahwa seseorang pada dasarnya
harus dipaksa dan dirubah perilakunya bahkan diberikan sanksi agar berhasil.
Dengan adanya sanksi administrasi tersebut diharapkan dapat merubah
perilaku pegawai yang melakukan tindakan indisipliner.19
D. Hambatan dalam Penanggulangan Terjadinya Perkawinan Siri
Berdasarkan hasil penelitian, adapun hambatan-hambatan dalam
penegakan hukum dalam penjatuhan sanksi terhadap perkawinan siri yang
dilakukan oleh anggota Polri di wilayah hukum Kepolisian Daerah Aceh
disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor tersebut
adalah :
19
Mohammad Muslim Siregar, Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah
Aceh, Wawancara tanggal 22 Februari 2018
97 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
1) Faktor intenal:
a) Masih ada di antara Pimpinan satuan selaku Ankum yang belum
sepenuhnya memberikan atensi atas pelaksanaan tugas penegakan
hukum disiplin anggota Polri termasuk kepada petugas Provost Polri;
b) Adanya intervensi terhadap indepedensi kepolisian dalam penanganan
kasus atau pembinaan SDM.
a) Tingkat disiplin, kesadaran dan kepatuhan Anggota Polri atas peraturan
disiplin yang mengikat dan berlaku baginya masih relatif rendah
sehingga pelanggaran disiplin tetap terjadi; dan
b) Penegakan hukum disiplin anggota Polri sering terkesan kurang
transparan.
2) Faktor eksternal:
a) Lambannya pemulihan ekonomi pemerintah berakibat kesejahteraan
anggota Polri belum dirasakan, memicu tumbuhnya tindakan hukum
melanggar hukum anggota Polri; dan
b) Kurangnya kepedulian masyarakat melakukan pengawasan dan
pengaduan terhadap perilaku negatif anggota Kepolisian.
IV. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan siri
yang dilakukan oleh anggota Polri yaitu disebabkan oleh faktor psikologis (mental
pelaku), faktor adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga, faktor kurangnya
kesadaran hukum terhadap ikatan dinas/peraturan dan faktor adanya benturan
prosedur hukum atau tata tertib/disiplin. Penerapan sanksi disiplin terhadap
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
98 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
anggota Polri yang melakukan perkawinan siri yaitu setelah proses pidana melalui
jalur peradilan umum, maka dilakukan proses sidang Kode Etik Profesi Polri
(KEPP) dilaksanakan oleh Propam Polri bidang Pertanggungjawaban Profesi,
adapun untuk penegakan KKEP (Komisi Kode Etik Polri) dilaksanakan melalui
Pemeriksaan pendahuluan, Sidang KKEP (Komisi Kode Etik Polri), Sidang Komisi
Banding, Penetapan administrasi penjatuhan hukuman, Pengawasan pelaksanaan
putusan, serta PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat). Adapun hambatan-
hambatan dalam penanggulangan perkawinan siri yaitu adanya intervensi terhadap
indepedensi kepolisian dalam penanganan kasus atau pembinaan SDM dan
penegakan hukum disiplin anggota Polri sering terkesan kurang transparan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Al Hamdany, 2002, Risalah nikah, Pustaka Amani, Jakarta
A. Kadarmanta, 2007, Membangun Kultur Kepolisian, Forum Media Utama,
Jakarta.
A. Zuhdi Muhdar, 1994, Memahami Hukum Perkawinan, AlBayan, Bandung
Mahmuda Junus, 1989, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad: Sayfi‟I,
Hanafi, Maliki dan Hambali. Pustaka Mahmudiyah, Jakarta.
M. Ridwan Indra, 2004, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Haji Masagung, Jakarta
Sadjijono, 2008, Hukum Kepolisian POLRI dan Good Governance. Laksbang
Mediatama. Surabaya.
Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
B. Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
99 Riza Chatias Pratama & Dinard Fhathird
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Vol. 5 No. 2 ISSN 2087-4758