JURNAL
KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ)
(Studi Kualitatif Komunikasi Terapeutik Tenaga Kesehatan
Terhadap ODGJ Dalam Masa Pandemi Covid-19
di Griya PMI Peduli Surakarta)
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret
Oleh:
Patricia Ferginia Tri Krisvenda
NIM. D0217067
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2021
KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ)
(Studi Kualitatif Komunikasi Terapeutik Tenaga Kesehatan
Terhadap ODGJ Dalam Masa Pandemi Covid-19
di Griya PMI Peduli Surakarta)
Patricia Ferginia Tri Krisvenda
Tanti Hermawati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRACT
This research is purposed to find out the implementation of therapeutic
communication by health workers to treat and cure ODGJ at Griya PMI Peduli
Surakarta during the Covid-19 pandemic and also the obstacles and solutions
applied. The theory used in this research is the symbolic interaction theory by
Mead which consists of the concept of mind, self and society.
This research uses qualitative methods with applies observation and in-
depth interviews to collect the data. The research informants were selected based
on purposive sampling technique. The data analysis technique uses the Miles and
Huberman method, while for the validity of the data using source triangulation
and method triangulation.
The results of this research are therapeutic communication that took place
at Griya PMI Peduli between the health workers and ODGJ consisting of pre-
interaction, orientation, work and termination phases during Covid 19 pandemic,
which all of them is applied with health protocols. The obstacles found during this
communication process are the presence of social distancing protocols, the use of
masks, psychological barriers and physical disability such as hearing disorders.
To accelerate the communication and overcome those problems, the health
workers use communication techniques in the form of treating patients as family
or friends, using language that is easy to understand, paying attention to tone of
voice, using action cues (touch, movements, body postures), paying attention to
eye contact, and providing humor.
Keywords: Therapeutic Communication, ODGJ, Covid-19 Pandemic
Pendahuluan
Komunikasi hadir dalam kehidupan pada berbagai bidang, salah
satunya dalam bidang kesehatan yang bertujuan untuk membantu penyembuhan
pasien yakni komunikasi terapeutik. Keberadaan komunikasi terapeutik ini
menunjukkan peranan dan seberapa pentingnya komunikasi dalam bidang
kesehatan. Menurut Bensing dan Verhaak (2004), komunikasi merupakan
instrumen utama dalam pertemuan medis tenaga kesehatan dan pasien
(Mulyana, 2016, p. 36). Komunikasi yang terjalin ini termasuk dalam
komunikasi interpersonal. Lewat komunikasi ini, tenaga kesehatan mampu
membantu pasien meraih kesembuhan melalui terciptanya hubungan baik
antara keduanya dengan berlandaskan keterpercayaan. Dalam dunia kesehatan
sendiri, komunikasi ini berlaku dalam segala bidang perawatan kesehatan
termasuk didalamnya dalam merawat pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ).
Penggunaan komunikasi terapeutik yang tepat dalam perawatan ODGJ
ini menjadi hal yang penting karena kesehatan jiwa masih menjadi persoalan
yang serius di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian
Kesehatan (Riskesdas Kemenkes) tahun 2018, Indonesia mempunyai prevalensi
gangguan jiwa sebesar 7% (Hasil Utama Riskesdas 2018). Artinya setiap 1.000
rumah tangga di Indonesia terdapat tujuh rumah tangga yang mempunyai
anggota keluarga penderita ODGJ, sehingga diperkirakan jumlah ODGJ di
Indonesia sekitar 450 ribu banyaknya. Angka tersebut naik dari hasil
Riskesdas tahun 2013, dimana hanya 1,7% saja angka prevalensi gangguan
jiwa di Indonesia. Salah satu provinsi Indonesia yang menduduki peringkat atas
prevalensi ini adalah Jawa Tengah dengan angka 8,7%.
Banyak dari ODGJ di Jawa Tengah seperti penderita skizofrenia yang
dibuang ke Kota Surakarta (Susanto, 2015). Mereka biasanya akan diangkut
oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Sosial (Dinsos) Kota
Surakarta dari jalan-jalan atau emperan toko lalu ditampung di Griya Palang
Merah Indonesia (PMI) Peduli Surakarta. Penampungan ini dilakukan di griya
tersebut karena saat ini Dinsos Kota Surakarta belum memiliki tempat atau
panti untuk merawat dan mengobati ODGJ dalam waktu yang lama. Selain itu
dikarenakan pula Griya PMI Peduli ini menerima berbagai kondisi dari ODGJ
dan merawat mereka secara gratis. ODGJ yang ada dalam griya ini juga berasal
dari titipan keluarga dan rekomendasi para pengurus. Adapun griya ini sendiri
merupakan milik PMI secara mandiri dan merupakan satu-satunya griya PMI di
Indonesia yang menampung ODGJ.
Sumber: Griya PMI Peduli Suakarta
Terlihat dari Grafik 1.1, pandemic Covid-19 saat ini tidak menghalangi
Griya PMI Peduli untuk tetap menerima dan merawat para ODGJ. Masih banyak
ODGJ yang masuk ke griya ini dari tahun 2020 – maret 2021. Walaupun begitu,
tetap tidak dapat dipungkiri kehadiran pandemic Covid-19 membawa perubahan
atau adaptasi dari banyak hal termasuk dalam perawatan yang biasa dilakukan
tenaga kesehatan. Hal ini dikuatkan dengan adanya urgensi penanganan
pandemic yang telah mampu mempengaruhi komunikasi keperawatan kesehatan
di tingkat klinis, kelembangaan, dan pemerintah (White, et al., 2020, p. 218).
Pandemi Covid-19 ini telah memaksa semua orang untuk berdaptasi dengan
kebiasaan baru yang taat protokol kesehatan seperti dengan pemakaian Alat
Pelindungi Diri (APD) misalnya masker.
Menurut Anderson (2020, p. 1), pemakaian APD seperti masker oleh para
tenaga kesehatan ini mampu mempengaruhi interaksi dengan kolega dan juga
pasien dan membuat komunikasi dengan pasien ini semakin sulit karena suara
yang keluar seperti teredam berada dibalik masker. Dari uraian paparan diatas,
161
118
47
89
47
137
100 90
37
10
121
75
31 56
34
79 54 53
27 5
40 43
16 33
13
58 46 37
10 5
0
50
100
150
200
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Maret2021
Total Laki-Laki Perempuan
Grafik 1.1 Jumlah ODGJ yang Masuk ke Griya PMI Peduli Surakarta Tahun 2012 – Maret 2021
peneliti tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana tenaga kesehatan Griya PMI
Peduli Surakarta menerapakan komunikasi terapeutik dalam merawat ODGJ di
masa pandemic Covid-19 yang mengharuskan adanya protocol kesehatan dan
apa aja hambatan yang didapatkan selama perawatan berlangsung beserta solusi
mengatasinya.
Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan
diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan komunikasi terapeutik tenaga kesehatan terhadap
ODGJ dalam masa pandemic Covid-19 di Griya PMI Peduli Surakarta?
2. Apa saja hambatan yang timbul serta bagaimana solusi penangannya
dalam penerapan komunikasi terapeutik oleh tenaga kesehatan Griya PMI
Peduli pada ODGJ selama pandemic Covid-19?
Landasan Teori
1. Teori Interaksi Simbolik
Teori utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori
interaksi simbolik atau symbolic interaction (SI). Teori ini dipelopori oleh
George Herbert Mead. Menurut Littlejohn, Foss, & Oetzel (2017, p. 76),
interaksi simbolik menjelaskan ketika orang berinteraksi dengan orang lain
dari waktu ke waktu, mereka akan berbagi makna dan tindakan tertentu.
Terdapat tiga konsep yang dibahas dalam teori ini yakni pikiran (Mind), diri
(self) dan masyarakat (society) yang didefinisikan melalui interaksi dengan
orang lain.
a. Pikiran
“Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dan Mead
percaya manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi orang
lain,” (Wahyuningsih, Dida, Suminar, & Setianti, 2019, p. 56). Ketika
individu berinteraksi dengan dirinya, proses tersebut dimanifestasikan
sebagai pikiran. Pikiran dalam teori ini bisa digambarkan sebagai cara diri
menginternalisasi masyarakat. Misalnya dengan berinteraksi dan
menggunakan bahasa.
b. Diri
Kemampuan untuk merefleksikan diri dari perspektif yang dimiliki
orang lain dianggap Mead sebagai diri (self). Dengan kata lain kita melihat
diri sendiri dari kaca mata orang lain atau yang bisa disebut sebagai looking
glas self atau cermin diri. Refleksi ini membantu seseorang untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar termasuk dalam penyesuaian
makna serta efek perilaku yang dilakukan. Dalam konsep ini, diri
dikembangkan lewat interaksi bersama orang lain.
c. Masyarakat
Definisi Mead terhadap masyarakat (society) adalah sebagai jejaring
hubungan sosial yang diciptakan masyarakat (Wahyuningsih, Dida,
Suminar, & Setianti, 2019, p. 57). Dari masyarakat inilah tempat
berbagai interaksi berlangsung. Masyarakat disini mampu mempengaruhi
menusia dalam berperilaku termasuk dalam menjalin komunikasi satu
sama lainnya.
2. Komunikasi
Menurut James A.F. Stoner, “Komunikasi adalah suatu rangkaian
peristiwa yang terkait dalam penyampaian pesan dari pengirim ke penerima.
Komunikasi adalah proses dimana seseorang berusaha memberikan pengertian
dengan cara pemindahan pesan,” (Mundakir, 2016, p. 17). Definisi dari Stoner
ini menekankan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses pemindahan atau
penyampaian pesan yang terjadi antara pengirim dan penerima. Sependapat
dengan definisi komunikasi dari Stoner dalam, Mundakir (2016, p. 17)
mengungkapkan bahwa komunikasi adalah “Proses pengiriman atau pertukaran
(stimulus, signal, symbol, informasi) baik dalam bentuk verbal maupun non
verbal dari pengirim ke penerima pesan dengan tujuan adanya perubahan (baik
dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor). Dari dua definisi di atas,
bisa disimpulkan bila komunikasi merupakan sebuah proses pengiriman pesan
yang bisa berupa pesan verbal dan non verbal yang terjadi diantara pengirim
pesan dan penerima pesan dengan tujuan penerima pesan mengetahui maksud
dari pengirim. Dalam komunikasi terdapat elemen-elemen berupa komunikator,
pesan, komunikan, umpan balik, media, dan efek.
3. Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik merupakan sebuah komunikasi intrapersonal
yang sangat memperhatikan kemampuan berbahasa. Hal ini dikarenakan
tujuan dari komunikasi tersebut untuk mencapai kesembuhan. Menurut
Pettergrew, “Komunikasi terapeutik adalah komunikasi verbal dan paraverbal
yang berlangsung antara penolong dan yang ditolong dengan menghasilkan
perasan psikologis (berfikir), emosi (perasaan), dan atau fisik (tindakan),”
(Wahyuningsih, Dida, Suminar, & Setianti, 2019, p. 117). Pengertian ini
selaras dengan pengertian komunikasi terapeutik yang dinyatakan Heri
Purwanto, “Komunikasi terapeutik ini adalah komunikasi yang direncakan
secara sadar dan bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan
pasien, dan merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuan
penyembuhan pasien,” (Mundakir, 2016, p. 148). Dari berbagai pengertian
dan penjelasan komunikasi terapeutik ini, bisa disimpulkan bahwa komunikasi
terapeutik merupakan komunikasi intrapersonal terencana yang dilakukan tim
kesehatan dengan tujuan mencapai kesembuhan pasien yang menghasilkan
perasaan psikologis, emosi dan atau fisik.
a. Fase Komunikasi Terapeutik
1. Fase Prainteraksi Fase ini adalah fase awal persiapan sebelum memulai interaksi dengan
klien. “Hal-hal yang dilakukan pada fase ini yaitu evaluasi diri, penetapan
tahapan hubungan dan rencana interaksi” (Sarfika, Maisa, & Freska, 2018, p.
44). Segala hal yang sekiranya dibutuhkan untuk komunikasi akan
dipersiapkan.
2. Fase Orientasi Fase ini merupakan fase awal dimana pertemuan dengan klien terjalin.
Menurut Anjaswarni (Anjaswarni, 2016, p. 34), tiga kegiatan utama dalam
fase ini adalah memberikan salam terapeutik, evaluasi dan memvalidasi
perasaan klien serta menentukan kontrak hubungan selanjutnya.
3. Fase Kerja Fase kerja yang merupakan fase inti hubungan dengan klien. Berbagai
kegiatan dalam fase ini menurut Sarfika, Maisa dan Freska (2018, p. 46) ini
adalah meningkatkan pengertian dan pengenalan klien akan diri; perilaku;
perasaan dan pikirannya, mengembangkan; mempertahakan dan
meningkatkan kemampuan klien secara mandiri dalam menyelesaikan
masalah, melaksanakan terapi, melaksanakan pendidikan kesehatan,
melaksanakan kolaborasi dan melaksanakan observasi serta monitoring.
4. Fase Terminasi Fase terakhir dalam komunikasi terapeutik adalah fase terminasi Fase
ini terdiri dari dua jenis yakni terminasi sementara dan terminasi akhir.
Berdasarkan Sarfika, Maisa dan Freska (2018, pp. 46-47), terminasi akhir
terjadi ketika klien pulang dari rumah sakit ataupun ketika perawat tidak
berdinas lagi pada rumah sakit tersebut, sementara untuk terminasi
sementara, akan bertemu lagi pada waktu yang ditentukan.
4. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
Menurut Tirtawati (2018, p. 18), “Gangguan jiwa adalah penyakit yang
dialami seseorang yang mempengaruhi emosi, pikiran dan tingkah laku mereka,
diluar kepercayaan budaya dan kepribadian mereka serta menimbulkan hendak
budaya bagi kehidupan mereka dan keluarga.” Gangguan jiwa bisa disebabkan
oleh banyak hal seperti peristiwa yang menahan emosi, latar belakang keluarga
yang tidak baik, penyakit otak, gangguan perhatian,
5. Covid-19
Coronaviruses (CoV) merupakan bagian dari keluarga virus yang
menyebabkan penyakit mulai dari flu hingga penyakit yang lebih berat seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) and Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Penyakit yang disebabkan virus corona,
atau dikenal dengan Covid-19, adalah jenis baru yang ditemukan pada tahun
2019 dan belum pernah diidentifikasi menyerang manusia sebelumnya (WHO,
2020). Virus yang menyerang sistem pernapasan manusia ini bisa menyebar
dengan mudah melalui percikan air dari mulut atau air dari hidung ketika
bersin dan berbicara
Metodologi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan desain kualiltatif. Metode
penelitian kualitatif ini mampu menjelaskan proses komunikasi terapeutik
yang terjalin antara tenaga kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta dan ODGJ
beserta hambatan dan solusi mengatasinya yang terjadi di masa pandemic
Covid-19. Menurut Soemantri (2015, p. 58), penelitian adalah penelitian yang
“Berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya. Sehingga,
penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan
otentitas.” Dalam penelitian ini peneliti mempergunakan teknik purposive
sampling untuk mengambil sampel yang sesuai dengan penelitian.
Pengambilan sampel untuk tenaga kesehatan berdasarkan atas dua
perimbangan khusus yakni tenaga kesehatan yang turut terlibat dalam merawat
ODGJ dan memiliki pengalaman lebih dari 1,5 tahun bekerja di Griya PMI
Peduli Surakarta. Sementara untuk ODGJ kriterianya adalah ODGJ yang
lancar dalam berkomunikasi, tidak kambuh dan berkondisi baik dalam satu
bulan, berkelakuan baik dan minimal sudah 1,5 tahun dirawat di griya. Metode
yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah observasi dan
wawancara mendalam. Adapun untuk teknis analisis datanya menggunakan
teknik analisis dari Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga tahap yakni
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk
uji validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber dan triangulasi
teknik.
Sajian dan Analisis Data
1. Unsur-Unsur Komunikasi Terapeutik
Berdasarkan hasil observasi di Griya PMI Peduli Surakarta, ditemukan
beberapa unsur komunikasi dasar dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik di
masa pandemic Covid-19. Unsur-unsur tersebut adalah komunikator, komunikan,
pesan, umpan balik dan efek.
2. Fase Komunikasi Terapeutik Di Masa Covid-19
Secara keseluruhan, tenaga kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta
menerapakan komunikasi dalam bentuk yang sama yang terdiri dari empat fase
komunikasi terapeutik yakni fase pra interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase
terminasi yang berlandaskan kepercayaan. Yang berbeda di masa pandemic Covid-
19 ini adalah terdapatnya penyesuaian dan protokol kesehatan ketat yang
diterapkan.
a) Fase Pra Interaksi (Persiapan dan Perencanaan)
Pada tahapan pra interaksi, tenaga kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta
akan mempersiapkan diri untuk berkomunikasi sekaligus merencanakan
komunikasi yang akan dijalankan bersama ODGJ di masa pandemic Covid-19.
Adapun hal-hal yang dilakukan dalam tahapan ini adalah memastikan diri
memenuhi protokol kesehatan dan pemeriksaan latar belakang atau riwayat
khusus ODGJ baru.
b) Fase Orientasi (Awal Interaksi)
Pada tahapan ini, tenaga kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta mayoritas
akan memulai komunikasi dengan memperkenalkan diri. Cara ini ditempuh untuk
membangun awal iklim kepercayaan dari ODGJ kepada tenaga kesehatan yang
menjadi poin penting keberhasilan komunikasi. Dalam keberjalannya, tidak semua
tenaga kesehatan akan memperkenalkan diri pada ODGJ. Hal ini dikarenakan
tergantung dari situasi dan kondisi serta keadaan dari ODGJ apakah bisa diajak
berkenalan dengan baik atau tidak. Dalam fase orientasi ini, tenaga kesehatan
mulai menggali atau mendekatkan diri dengan ODGJ agar terbentuk kepercayaan
sebagai landasan komunikasi terapeutik. Dalam menciptakan kenyamanan, tenaga
kesehatan disini menganggap ODGJ sebagai teman atau keluarga agar bisa lebih
dekat dan membuat nyaman mereka secara mudah. Tenaga kesehatan akan
mengobrol biasa selayaknya teman atau keluarga. Selain itu, tenaga kesehatan
akan sering-sering mempergunakan waktu untuk berinteraksi dengan ODGJ.
Beberapa tenaga kesehatan juga memilih untuk memberikan humor untuk
menciptakan rasa nyaman tersebut.
c) Fase Kerja
Pada fase kerja, kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk membantu
terjadinya perubahan perilaku dari ODGJ yang maladaptif menuju adaptif. Proses
kerja dari tenaga kesehatan di Griya PMI Peduli Surakarta banyak terjadi ketika
proses membagikan makan, pemberian obat, potong kuku, cukur rambut, olahraga
dan waktu senggang. Pada saat tersebut, tenaga kesehatan akan mulai meneruskan
membangun atau memperkuat komunikasi berlandaskan kepercayaan dengan para
ODGJ sekaligus berusaha lebih dekat dan menggali informasi yang lebih detail
dibanding dengan informasi dari tahap orientasi. Dalam fase kerja, terdapat hal-
hal yang akan dipantau dari ODGJ yakni berupa kondisi jiwa dan kesehatan
fisiknya.
Dalam fase kerja, kepedulian, penerimaan, sopan santun dan ketulusan
akan berusaha ditunjukan oleh tenaga kesehatan. Pendekatan masing-masing
tenaga kesehatan dengan ODGJ akan berbeda sesuai dengan kondisi ODGJ.
Tenaga kesehatan dalam fase ini juga berfokus pada penanganan setiap keluhan
yang diajukan ODGJ. Tenaga kesehatan di Griya PMI Peduli juga sering
memberikan motivasi kepada ODGJ karena penting untuk membuat ODGJ
semangat dan memiliki kondisi yang lebih baik. Sementara itu di masa pandemic
Covid-19, tugas dari tenaga kesehatan bertambah untuk mengawasi ODGJ agar
taat protokol kesehatan. Untuk perkembangan kondisi ODGJ yang sudah lebih
baik akan ditandai dengan kelancaran berkomunikasi dan tingkah lakunya yang
mampu mengontrol dirinya sendiri.
d) Fase Terminasi
Berdasarkan hasil observasi, dalam fase terminasi sementara para
tenaga kesehatan tidak melakukan penentuan waktu untuk kembali bertemu
dengan ODGJ. Terminasi sementara yang terjadi disini ketika tenaga kesehatan
hendak mengakhiri komunikasi yang terjalin dan melanjutkan komunikasi di
lain waktu. Tenaga kesehatan disini bertemu hampir setiap hari dengan ODGJ
sehingga tidak perlu melakukan penentuan waktu bertemu kembali. Sementara
itu untuk terminasi akhir, dilakukan ketika ODGJ akan dipulangkan ke rumah
setelah dirasa memenuhi standar untuk dipulangkan. Ketika tahap terminasi
akhir ini ODGJ akan diberikan pesan-pesan khusus kepada ODGJ dan juga
keluarga sesuai kondisi yang dimiliki.
3. Hambatan Komunikasi Terapeutik Di Masa Covid-19
Berbagai hambatan komunikasi terapeutik yang terjadi di masa pandemic
Covid-19 ini antara lain adalah protokol jaga jarak, penggunaan masker, hambatan
psikologis, dan hambatan fisik gangguan pendengaran.
4. Teknik Komunikasi Yang Digunakan Tenaga Kesehatan Di Masa Covid-19
Berdasarkan dari hasil wawancara dan observasi, berbagai teknik yang
dilakukan adalah menganggap pasien sebagai keluarga atau teman, menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti, memperhatikan nada bicara, menggunakan
isyarat tindakan, memperhatikan kontak mata dan memberikan humor
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pembahasan Unsur-Unsur Komunikasi Terapeutik
Pada keberjalanan komunikasi terapeutik tenaga kesehatan dengan ODGJ
di Griya PMI Peduli Surakarta dalam masa pandemic Covid-19, unsur pengirim
pesan (komunikator) juga berperan sebagai penerima pesan (komunikan). Artinya
tenaga kesehatan dan ODGJ merupakan komunikator dan juga komunikan.
Pertukaran peran keduanya ini berlangsung dalam waktu yang cepat. Sebagai
contoh, tenaga kesehatan akan berperan sebagai komunikator atau sumber
komunikasi ketika memberikan pesan. ODGJ disini menjadi komunikan. Ketika
ODGJ merespon atau menjawab tenaga kesehatan yang dalam hal ini memberikan
umpan balik, ODGJ akan menjadi komunikator dan tenaga kesehatan berperan
sebagai komunikan.
Komunikator dan komunikan dalam komunikasi terapeutik ini akan
menyampaikan pesan tertentu. Dalam penyampaian pesan ini menggunakan
media berupa panca indra manusia. Seperti yang disampaikan dalam Sarfika,
Maisa dan Freska (2018, p. 23) bahwa “Banyak ahli berpendapat bahwa
pancaindra pun merupakan media komunikasi sehingga komunikator dapat
bertindak sebagai sumber sekaligus media.” Pesan yang disampaikan ini bisa
berupa pesan verbal ataupun pesan nonverbal dengan bentuk penyajian yang
beragam. Setelah pesan atau maksud pengirim diterima, akan terdapat efek.
Sebagai contoh ketika tenaga kesehatan sebagai komunikator meminta ODGJ
sebagai komunikan untuk meminum obat. Efek yang terjadi adalah ODGJ yang
mau meminum obatnya .
2. Pembahasan Jalinan Komunikasi Terapeutik Di Masa Pandemi Covid-19
a) Fase Prainteraksi Tenaga Kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta
Pada fase prainteraksi, para tenaga kesehatan mempersiapkan diri terlebih
dahulu dan melakukan perencanaan komunikasi terapeutik. Persiapan diri yang
dilakukan di masa pandemic Covid-19 ini oleh tenaga kesehatan sebelum bertemu
dengan OGDJ adalah memenuhi protokol kesehatan yang sudah diterapkan yakni
menggunakan masker serta ada yang memberlakukan kebersihan ekstra. Dengan
adanya persiapan yang dilakukan ini sejalan dengan apa yang disampaikan
Anjaswarni (2016, p. 33) mengenai fase prainteraksi yang mengungkapkan bahwa
fase ini merupakan persiapan sebelum melakukan komunikasi dengan klien.
Dalam fase pra interaksi ini juga memuat perencaan untuk komunikasi
yang akan dijalankan dengan mencari mengetahui latar belakang atau riwayat
khusus dari ODGJ. Oleh karena itulah pada ODGJ baru, akan dilakukan
pemeriksaan latar belakang secara mendalam, sementara untuk ODGJ lama tidak
dilakukan karena tenaga kesehatan sudah mengenal para ODGJ tersebut dan
hampir setiap hari bertemu sehingga mengetahui kondisi atau latar belakang
mereka. Pemeriksaan latar belakang yang dilakukan tenaga kesehatan dalam fase
pra interaksi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Anjaswarni (2016, p. 33) bila
dalam fase ini didapatkan data klien.
b) Fase Orientasi Tenaga Kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta
Setelah tahapan pra interaksi sudah dilakukan, fase lanjutnya adalah fase
orientasi. Disini tenaga kesehatan akan berupaya untuk mengenal lebih dalam
ODGJ dan membangun kepercayaan yang efektif. Cara awal untuk bisa
membangun kepercayaan di masa orientasi ini adalah dengan saling mengenal satu
sama lainnya. Oleh karena itulah tenaga kesehatan mayoritas akan mulai untuk
memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namun perkenalan tidak selalu bisa
dilakukan karena terkait kondisi dan situasi dari ODGJ baru. Dalam orientasi ini
tenaga kesehatan dengan ODGJ akan mulai mengobrol selayaknya teman atau
keluarga untuk bisa mengenal lebih dalam membentuk kepercayaan lalu
kenyamanan. Dengan cara ini pun tenaga kesehatan bisa menunjukan perhatian
hingga penerimaan terhadap ODGJ secara maksimal.
Kegiatan pada fase orientasi yang dilakukan tenaga kesehatan Griya PMI
Peduli Surakarta ini yang membangun kepercayaan dan kenyamanan sejalan
dengan Anjaswarni (2016, pp. 33-34) yang menyatakan “Memulai hubungan dan
membina hubungan saling percaya. Kegiatan ini mengidentifikasi kesiapan
perawat untuk membantu klien.” Dengan memulai dengan mengetahui satu sama
lainnya terutama untuk tenaga kesehatan akan menjadi tanda kesiapan dalam
menjalankan komunikasi. Komunikasi yang berlandaskan kepercayaan akan
memudahkan dalam kelancaran serta mencapai tujuan seperti yang disampaikan
perawat Siti Sofiyan sebagai berikut:
“Kalau kita nyebutnya BHPS (Bina Hubungan Saling Percaya). Kalau ODGJ,
kalau diajak berbicara, dia gak nyaman dengan kamu, dia gak akan jawab.
Jadi harus nyaman dulu. ODGJ itu beda dengan penyakit lain karena ODGJ
itu special banget ya. Jadi ya yang pertama yang harus kita lakukan si harus
tau ada beberapa tipe ODGJ. Ada yang ringan, sedang ataupun berat. Itukan
berbeda-beda juga dalam melakukan komunikasi dengan mereka.
Penangannya juga beda.” (Hasil Wawancara Siti Sofiyan, Senin, 8 Juni 2021)
Pernyataan perawat Siti Sofiyan di atas memvalidasi pentingnya
kenyamanan dan kepercayaan yang bisa terbentuk mulai dari fase orientasi. Hal ini
sekaligus memvalidasi apa yang Anjaswani tulis dalam bukunya seperti yang
sudah disampaikan sebelumnya. Sebagai tambahan, Sarfika, Maisa, dan Freska
(2018, p. 45) dalam bukunya mengungkapkan bahwa menyediakan kepercayaan,
penerimaan dan komunikasi yang terbuka menajdi salah satu tugas utama dalam
fase ini seperti yang sudah dilakukan para tenaga kesehatan Griya PMI Peduli
Surakarta
c) Fase Kerja Tenaga Kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta
Awal fase ini terbentuk ketika ODGJ sudah masuk ke bangsal masing-
masing. Para ODGJ disini akan mendapatkan layanan pemberian obat rutin,
kontrol rutin ke dokter jiwa, olahraga dan permainan, pemenuhan kebutuhan
primer, pengembangan spiritual, pemantauan kesehatan sampai pencarian
keluarga dan pemulangan ODGJ. Tenaga kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta
dalam fase kerja komunikasi terapeutik dengan ODGJ ini juga berfokus pada
penanganan keluhan setiap ODGJ. Tenaga kesehatan akan berusaha untuk
mengatasi keluhan tersebut. Keluhan ini bersifat psikologis dan fisik.
Dalam fase kerja komunikasi terapeutik yang dilakukan di masa pandemic
Covid-19, tugas tenaga kerja bertambah dengan harus mengawasi dan memastikan
para ODGJ menerapkan protokol kesehatan. ODGJ. Untuk melihat keberhasilan
komunikasi terapeutik yang dijalankan bisa terlihat dari perkembangan kondisi
ODGJ. Perkembangan ini dilihat dari bagaimana ODGJ ketika berkomunikasi dan
tingkah lakunya. Mereka yang sudah baik akan mampu diajak berkomunikasi
lancar serta dikaryakan dan dimintai tolong untuk membantu operasional griya
sehari-hari karena tingkah lakunya yang tergolong stabil seperti membantu
memasak, menyapu, mencuci, mengepel, menghantarkan makanan ke ODGJ lain,
hingga membantu petugas dalam menjaga ODGJ lainnya.
Dalam tujuan akhir fase kerja yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap
ODGJ di Griya PMI peduli ini bisa diketahui ada dua jenis yakni komunikasi yang
lancar dan tingkah laku yang stabil. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Anjaswarni (2016, p. 34) mengenai fase ini yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan tetapi juga untuk memandirikan klien. Griya
berusaha untuk membuat ODGJ mandiri dengan mengajarkan atau mengkaryakan
mereka berbagai tugas sehari-hari sehingga ketika nantinya mereka kembali ke
rumah masing-masing akan mampu mudah diterima oleh masyarakat.
d) Fase Terminasi Tenaga Kesehatan Griya PMI peduli Surakarta
Dalam Fase terminasi sementara tenaga kesehatan dengan ODGJ di griya
ini bentuknya perpisahan sementara dan mereka akan bertemu lagi. Para tenaga
kesehatan tidak menentukan waktu akan bertemu lagi dengan ODGJ karena
memang mereka bertemu dengan ODGJ hampir setiap hari di jam-jam yang sama
sehingga tidak perlu kontrak waktu pertemuan yang ditentukan bersama.
Berdasarkan apa yang terjadi di lapangan dengan apa yang dijelaskan Sarfika,
Maisa, dan Freska (2018, p. 47) ini terdapat perbedaan. Menurut Sarfika pada
terminasi sementara terdapat waktu yang ditentukan untuk bertemu lagi
sedangkan pada kenyataan di Griya PMI Peduli Surakarta tidak ada janji temu
yang disepakati.
Sedangkan dalam fase terminasi akhir, para tenaga kesehatan telah
menyelesaikan seluruh proses keperawatannya dan telah mampu mencapai
kondisi ODGJ yang baik. Oleh karena itu ODGJ akan dipulangkan ke keluarga
masing-masing bagi yang memiliki keluarga dan mau menerimanya. ODGJ yang
dipulangkan akan diberikan pesan khusus sesuai dengan kondisi atau latar
belakangnya. Dalam fase terminasi akhir ini sesuai dengan apa yang disampaikan
Sarfika, Maisa, dan Freska (2018, p. 47) didalam bukunya yang menyebutkan
bahwa fase ini akan terjadi ketika klien akan pulang dari rumah sakit (tempat
perawatan).
3. Pembahasan Hambatan Dan Teknik Komunikasi Terapeutik Di Masa
Pandemi Covid-19
Hambatan yang dialami tenaga kesehatan di masa pandemic Covid-19 dalam
menjalankan komunikasi terapeutik ini berbeda-beda dan ada yang sama.
Hambatan tersebut adalah adanya protokol jaga jarak, hambatan psikologis,
hambatan fisik gangguan pendengaran yang membuat komunikasi terapeutik di
gray ini tidak berjalan lancaR. Tenaga kesehatan menerapkan teknik-teknik
khusus di masa pandemic Covid-19 untuk mencapai kelancaran komunikasi
terapeutik dan menanggulangi hambatan komunikasi yang muncul. Teknik yang
dipergunakan ini akan membawa efek baik yang menguntungkan. Berbagai
teknik tersebut adalah sebagai berikut:
No Teknik Efek
1. Menganggap Pasien
Sebagai Keluarga atau
Teman
- Membantu proses pendekatan dengan
menciptakan kenyamanan dari proses
komunikasi yang dilakukan
- Komunikasi tanpa membedakan
- Mampu menunjukan perhatian, penerimaan
dan empati
2. Menggunakan Bahasa
yang Mudah Dimengerti
- ODGJ menerima informasi dengan mudah
- Menciptakan two ways communication
- Mencegah kebingungan ODGJ akan maksud
kata atau kalimat
3. Memperhatikan Nada
Bicara
- ODGJ mengetahui maksud informasi dari
tenaga kesehatan dengan baik
4. Menggunakan Isyarat
Tindakan (gerakan,
sentuhan, sikap tubuh)
- ODGJ mudah paham akan informasi yang
diberikan tenaga kesehatan karena ada isyarat
tindakan
- ODGJ nyaman dalam berkomunikasi
5. Memperhatikan Kontak
Mata
- Menunjukan tenaga kesehatan seirus dan
memperhatikan ODGJ
- Menunjukan ekspresi seseorang
- Membantu membangun kepercayaan ODGJ
7. Memberikan Humor - Meningkatkan kedekatan
- Mengurangi tekanan stress Tabel 4..1 Teknik Komunikasi Terapeutik Tenaga Kesehatan Griya PMI Peduli Surakarta Dalam
Masa Pandemi Covid-19 Beserta Efeknya
Sumber: Hasil Wawancara dan Observasi
a) Penyelesaian Hambatan dengan Teknik Komunikasi Terapeutik
di Masa Pandemi Covid-19
Hambatan Dampak
Hambatan
Teknik Mengatasi
Hambatan
Efek Teknik
Protokol
jaga jarak
- Komunikas
i kurang
intensif
tidak bisa
sedekat
dulu seperti
sebelum
pandemic
- Sentuhan
jadi
dibatasi
- Menganggap Pasien
Sebagai Keluarga
atau Teman
- Menggunakan Basa
yang Mudah
Dimengerti
- Mmperhatikan
Nada Bicara
- Menggunakan
Isyarat Tindakan
(gerakan, sentuhan,
sikap tubuh)
- Memperhatikan
Kontak Mata
- Memberikan
Humor
- Membantu proses
pendekatan dan
kenyamanan dari proses
komunikasi yang
dilakukan
- Komunikasi tanpa
membedakan
- ODGJ menerima
informasi dengan
mudah
- Menciptakan two ways
communication
- Mencegah kebingungan
ODGJ akan maksud
kata atau kalimat
- ODGJ mengetahui
maksud informasi dari
tenaga kesehatan
dengan baik
- ODGJ mudah paham
akan informasi yang
Penggunaa
n Masker
- Menutup
ekspresi
muka
Hambatan
Psikologis
- Tidak
melakukan
instruksi
yang
diberikan
- Membantu proses
pendekatan dengan
menciptakan
kenyamanan dari proses
komunikasi yang
dilakukan
- Komunikasi tanpa
membedakan
- Mampu menunjukan
perhatian, penerimaan
dan empati ODGJ
menerima informasi
dengan mudah
- ODGJ menerima
informasi dengan
mudah
- Menciptakan two ways
communication
- Mencegah kebingungan
ODGJ akan maksud
kata atau kalimat
- ODGJ mengetahui
maksud informasi dari
tenaga kesehatan
dengan baik
- ODGJ mudah paham
akan informasi yang
diberikan tenaga
kesehatan karena ada
isyarat tindakan
- ODGJ nyaman dalam
berkomunikasi
- Meunjukan tenaga
kesehatan seirus dan
memperhatikan ODGJ
- Menunjukan ekspresi
- Membantu membangun
kepercayaan
- Meningkatkan
kedekatan
- Mengurangi tekanan
stress
- Menganggap
Pasien Sebagai
Keluarga atau
Teman
- Menggunakan
Basa yang
Mudah
Dimengerti
- Mmperhatikan
Nada Bicara
- Menggunakan
Isyarat Tindakan
(gerakan,
sentuhan, sikap
tubuh)
- Memperhatikan
Kontak Mata
- Memberikan
Humor
- Menganggap
Pasien Sebagai
Keluarga atau
Teman
- Menggunakan
Basa yang
Mudah
Dimengerti
- Mmperhatikan
Nada Bicara
- Menggunakan
Isyarat Tindakan
(gerakan,
sentuhan, sikap
tubuh)
- Memperhatikan
Kontak Mata
- Memberikan
Humor
Hambatan
Fisik
Gangguan
Pendengara
n
- Tidak
mendengar
informasi
yang
diberikan
dengan
baik
diberikan tenaga
kesehatan karena ada
isyarat tindakan
- ODGJ nyaman dalam
berkomunikasi
Tabel 4.3 Penyelesaiaambatan dengan Teknik Komunikasi Tenaga Kesehatan di masa Pandemi Covid-19
Sumber: Observasi dan Wawancara
Semua hambatan yang muncul dalam berkomunikasi terapeutik di
masa Covid-19 bisa diselesaikan dengan ketujuh teknik yang sudah dijelaskan..
Seperti yang terlihat di tabel, dampak hambatan yang timbul bisa diselesaikan
dengan teknik komunikasi yang menghasilkan efek baik.
4. Relevansi Komunikasi Terapeutik Dengan Teori Interaksi Simbolik
a) Pikiran (Mind)
Dalam proses komunikasi terapeutik tenaga kesehatan Griya PMI Peduli
Surakarta dengan ODGJ di masa pandemic Covid-19 ini melibatkan dua bahasa
yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai media untuk berkomunikasi.
Kedua bahasa tersebut memiliki symbol dan makna yang sama bagi ODGJ dan
tenaga kesehatan. Penggunaan bahasa yang dipahami ini menurut Mead sebagai
penggagas teori interaksi simbolik sebagai kemampuan individu dalam
menggunakan syimbol tertentu yang secara social memiliki makna yang sama.
Hal ini diperjelas dalam Prasanti (2017, p. 62), “Penggunaan bahasa atau isyarat
simbolik oleh manusia dalam interaksi social mereka pada gilirannya
memunculkan pikiran (mind) yang memungkinkan menginternalisasi
masyarakat.” Sementara itu para tenaga kesehatan juga menggunakan bentuk
komunikasi nonverbal yang terlihat dari kontak mata dan isyarat tindakan (sikap
tubuh, sentuhan dan gerakan). Konsep pikiran menurut Mead juga mengambil
peran dalam penggunaan komunikasi nonverbal. Pasalnya komunikasi
nonverbal seperti gerakan juga merupakan symbol.
b) Diri (Self)
Proses komunikasi terapeutik tenaga kesehatan Griya PMI Peduli
Surakarta dengan ODGJ di masa pandemic Covid-19 ini berkaitan dengan
konsep diri (self) yang dikemukan Mead. Tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk merefleksikan diri mereka sendiri dari perspektif atau sudut
pandang orang lain. Dalam tahapan ini, tenaga kesehatan atau saya (I) akan
berperan sebagai aku “Me” yang merupakan objek renungan. Dalam kata lain,
tenaga kesehatan menjadikan dirinya yang merupakan subjek (I) menjadi objek.
(Me). Objeknya disini adalah ODGJ. Jadi tenaga kesehatan memposisikan
dirinya sebagai ODG. Tenaga kesehatan sebagai subjek (I) akan
menginternalisasikan berbagai pengalaman yang ia miliki terkait objek
sosialnya (ODGJ) kedalam dirinya sendiri. Ia akan membuat interpretasi sendiri
dari perilaku yang ada disekitar objek (Me). Menurut Mead, melalui refeksi diri
menggunakan saya sebagai objek (me) dan saya sebagai subjek (I) inilah yang
membuat seseorang mampu menyesuaikan diri dalam makna, tindakan dan efek
yang dilakukan sesuai dimana mereka berada.
Apa yang dilakukan tenaga kesehatan dalam merefleksikan diri sesuai
dengan apa yang disampaiakan Mead. “Bagi Mead, diri berkembang dari
sebuah jenis pengambilan peran yang khusus, maksudnya membayangkan
bagaimana kita dilihat oleh orang lain,” (Wahyuningsih, Dida, Suminar, &
Setianti, 2019, p. 57). Kembali lagi ke konsep “I” dan “Me”, tenaga kesehatan
kembali merefleksikan dirinya sebagai keluarga atau teman. Hasil yang
didapatkan adalah hubungan komunikasi yang nyaman, hubungan dekat, akrab
dan tanpa membedakan. Disini hasil refleksi tersebut diterapkan ketika
berhadapan dengan ODGJ. Tenaga kesehatan yang menganggap ODGJ sebagai
teman dan keluarga akan memberlakukan mereka seperti dirinya yang
diberlakukan sebagai teman atua keluarga di lingkungannya.
c) Masyarakat (Society)
Dalam komunikasi terapeutik di Griya PMI Peduli Surakarta terhadap
ODGJ, ODGJ dipengaruhi oleh particular others (orang terdekat yang
berpengaruh terhadap individu). Dalam hal ini peran particular other diambil
oleh para tenaga kesehatan, rekan ODGJ lain dan keluarga. Keberadan
particular other dalam komunikasi terapeutik ini menjadi contoh konsep
masyarakat menurut Mead. Definisi Mead mengenai masyarakat adalah
“Interaksi mengambil tempat di dalam sebuah struktur social yang dinamis –
budaya, masyarakat, dan sebagainya. Mead mendefisinikan masyarakat sebagai
jejaring hubungan social yang diciptakan manusia,” (Wahyuningsih, Dida,
Suminar, & Setianti, 2019, p. 58). Dalam masyarakat ini terdiri dari individu
yang mengambil peran sendiri secara aktif dan sukarela. Individu lainnya ini
merujuk pada orang-orang yang memberikan dampak dalam diri yakni seperti
keluarga dan teman. .
Kesimpulan
komunikasi terapeutik yang terjalin ini melibatkan empat fase atau
tahapan yang seluruhnya menerapkan protokol kesehatan yakni fase pra interaksi,
fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Hambatan yang muncul selama
proses komunikasi terapeutik dilakukan di masa pandemic Covid-19 ini beragam
antara satu tenaga kesehatan dengan tenaga kesehatan lainnya. Beragam hambatan
yang bermunculan ini adalah protokol jaga jarak, penggunaan masker, hambatan
psikologis dan hambatan fisik gangguan pendengaran.Untuk mengatasi hambatan
yang tersebut dan memastikan komunikasi berjalan lancar, terdapat teknik
komunikasi yang diterapkan oleh tenaga kesehatan. Teknik yang dipergunakan ini
adalah menganggap pasien sebagai keluarga atau teman, menggunakan bahasa
yang mudah dimengerti, memperhatikan nada bicara, menggunakan isyarat
tindakan , memperhatikan kontak mata, dan memberikan humor.
Daftar Pustaka
Anderson, N. J. (2020). How COVID-19 Is Testing and Evolving Our
Communication Skills. Journal of Medical Imaging and radiation
Sciences 51, 1-3.
Bakken, T. L., & Sageng, H. (2016). Mental Health Nursing of Adults With
Intellectual Disabilities and Mental Illness: A Review of Empirical Studies
1994 - 2013. Archives of Psychiatric Nursing 30, 285-291.
Mulyana, D. (2016). Health and Therapeutic Communication: An Intercultural
Perspektive. Bandung: Rosda Interantional.
Putri, V. S., Mella, R., & Fitrianti, S. (2018). Pengaruh Strategi Pelaksanaan
Komunikasi Terapeutik Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan PAda Pasien
Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi. Jurna Akademika
Baitulrrahim Vol. 7 No 2, 138-147.
RI, B. P. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Kementerian Kesehatan RI.
Sherko, E., Sotiri, E., & Lika, E. (2013). Therapeutic Communication. JAHR,
Vol.4, No. 7, 457-466.
Suarabaru.id. (2020, 01 06). Pasien di Griya PMI Solo Terdata 130 Orang.
Retrieved from SuaraBaru.ID: http://suarabaru.id/2020/01/06/pasien-di-
griya-pmi-solo-terdata-130-orang/
Susanto, A. (2015, 08 31). Mereka yang Sukarela Merawat Penderita Skizofrenia.
Retrieved from Rappler: https://amp.rappler.com/indonesia/104025-
gangguan-jiwa-skizofrenia-dirawat-relawan-solo
White, S. J., Barello, S., Marci, E. C., Colombo, C., Eeckman, E., Gilligan, C., . . .
Krystallidou, D. (2020). Critical Observations on and Suggested Ways
Forward For Healthcare Communication During Covid-19: Peach Position
Paper. Patient Education and Counseling 104, 217-222.
Yildiz, E. (2019). What Do Nursing Students Tell Us About Their
Communication With People With Mental Illness? A Qualitative Study .
Journal of the American Psychiatric Nurses Association , 1-13.