Date post: | 07-Dec-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | vithaatetaa |
View: | 13 times |
Download: | 3 times |
BAGIAN ILMU NEUROLOGI JOURNAL READING FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2014 UNIVERSITAS PATTIMURA
Diagnosis and pharmacologic management of neuropathic pain among patients with chronic low back pain
Ferdi Y, Umut G, Diagnois and pharmacologic management of neuropathic pain among patients with chronic low back pain. World Journal of Rheumatology. 2014; 12; 4(3) :54-
61 (online)
Disusun oleh:
Susanti Pelu (2008-83-013)
Pembimbing:
dr. Paringotan Yosi Silalahi, SpS
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
Diagnosa dan tata kelola farmakologis terhadap nyeri neuropatik pada
pasien dengan nyeri pinggang atau low bak pain (LBP) kronis
Abstrak
Nyeri pinggang atau low back pain (LBP) kronis terdiri atas mekanisme
nociceptive dan neuropatik dan dapat dikelompokkan sebagai sindrom nyeri
campuran. Komponen neuropatik dari nyeri pinggang kronis biasanya tidak
dihiraukan dan tidak ditangani oleh dokter. Penelitian-penelitian terbaru
menunjukkan bahwa sekitar 20%-50% pasien LBP menunjukkan gejala nyeri
neuropaik. Nyeri peripheral, spinal, dan supraspinal yang timbul karena sebuah
luka yang mempengaruhi sitem syaraf adalah penyebab utama nyeri pinggang
neuropatik. Evaluasi klinis masih menjadi standar utama untuk evaluasi dan
diagnosa nyeri pinggang neuropatik. Walaupun diagnosa sulit dibuat karena
kurangnya standar yang dapat dijadikan patokan untuk tes diagnosa nyeri
pinggang neuropatik, alat screening dapat membantu non-ahli, khususnya, untuk
mengindentifikasi pasien yang mungkin menderita nyeri pinggang neuropatik
yang membutuhkan evaluasi diagnosa dan tata kelola nyeri lebih lanjut. Beberapa
alat screening untuk nyeri neuropatik telah dikembangkan dan diuji pada populasi
pasien yang berbeda-beda. Diantara banyak alat-alat screening, Pain Detect
Questionnaire dan Standardized Evaluation of Pain tervalidasi pada pasien
dengan nyeri punggung atau low back pain (LBP). Standardized Evaluation of
Pain dapat lebih efektik dalam membedakan nyero neuorpatik dang nyeri
nociceptive pada pasien dengan LBP berdasarkan tingkat sensitivitas dan validitas
yang lebih tinggi pada pasien dengan LBP. Bagaimanapun juga, pendekatan yang
paling tepat adalah dengan menggabungkan temuan dalam pemeriksaan jasmani
dan neuorologis dan catatan pasien untuk membedakan nyeri neuropatik dengan
nyeri nociceptive. Pemeriksaan klinis yang mencakup tes sensorik bedside adalah
alat yang paling baik untuk mengevaluasi dan mendiagnosa nyeri neuropatik pada
pasien dengan LBP kronis. Karena LBP kronis terdiri atas dua mekanisme yang
disebut mekanisme nicoceptive dan neuropatik, pendekatan perawatan multi-
model baik untuk penanganan pasien dengan LBP kronis. Oleh karena itu,
kombinasi terapi termasuk penggunaan obat-obatan dengan mekanisme tindakan
yang berbeda sebaiknya diberikan pada pasien dengan LBP kronis.
Kata kunci: Low back pain; Neuropatik; Farmakoterapi; Screening; Kuesioner.
Informasi pokok: Komponen neuropatik dari nyeri pinggang kronis biasanya tidak
dihiraukan dan tidak ditangani oleh dokter. Penelitian-penelitian terbaru
menunjukkan bahwa sekitar 20%-50% pasien nyeri pinggang menujukkan gejala
nyeri neuropatik. Pemeriksaan klinis yang mencakup tes sensorik bedside adalah
alat yang paling baik untuk mengevaluasi dan mendiagnosa nyeri neuropatik pada
pasien dengan LBP kronis. Kombinasi terapi termasuk penggunaan obat-obatan
dengan mekanisme tindakan yang berbeda sebaiknya diberikan pada pasien
dengan LBP kronis.
PENDAHULUAN
Low back pain (LBP) kronis atau nyeri pinggang kronis didefinisikan sebagai
nyeri dan kecacatan atau kelumpuhan yang berlangsung lebih dari tiga bulan.
Pada orang dewasa, presentase kejadian LBP kronis diperkirakan sebesar 6%-
15%. Walaupun terdapat banyak penyebab LPB, sekitar 85% pasien LBP
menderita LBP non-spesifik. Jika penyebab LBP bukan karena patologi yang
spesifik seperti infeksi, tumor, osteoporosis, kelainan peradangan, disc
pathologies, maka kejasian ini disebut LBP non-spesifik. Sekitar 10%-15% pasien
LPB non-spesifik cenderung akan memasuki tahap LBP kronis dan LBP yang
melumpuhkan. Pembangkit nyeri paling umum dalam LBP kronis adalah sendi
facet (40%), piringan sendi interverbal (26%) dan sendi sacroiliac (2%), secara
berturut-turut 141.
LBP kronis terdiri atas mekanisme nociceptive dan neuropatik dan dapat
digolongkan sebagai sindrom nyeri gabungan[5,6]. Nyeri nociceptive non-spesifik
disebabkan oleh respon peradangan terhadapa luka jaringan dan biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang menusuk atau nyeri yang menyakitkan,
sedangkan nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan jaringan syaraf dan
biasanya digambarkan sebagai rasa terbakar atau rasa berat, atau mati rasa/kebas
sepanjang dermatom dari syaraf yang terserang[7,8]. Komponen neuropatik dari
LBP kronis biasanya tidak dihiraukan dan tidak ditangani oleh dokter. Maka,
penelitan-penelitian terbaru menunjukkan bahwa sekitar 20%-55% pasien LBP
kronis menunjukkan gejala neuropatik[6,9-11]. Adanya komponen nyeri
neuropatik dihubungkan dengan nyeri yang lebih parah[6], jumlah kormobiditas
yang lebih besar, menurunnya kualitas hidup[12] dan pengeluaran perawatan
kesehatan yang lebih besar[13].
Mekanisme patofisiologi mekanis dan kimiawi diperkirakan berkaitan dengan
LBP neuropatik. Pathomechanism mekanis terdiri atas pemampatan akar syaraf
karena adanya spinal stenosis atau intervertebral disc herniation dan luka tunas
nociceptive pada piringan sendi intervertebral yang terdegenerasi. Pada
pathomechanism kimiawi, chemokine dan sitokinin yang berasal dari piringan
sendi degeneratif telah diuraikan[5, 14-16]. Disamping itu, pemikiran teoritis
bahwa akar syaraf ialah satu-satunya penyebab dari nyeri neuropatik pada LBP
kronis adalah pemikiran yang tidak benar. Berkaitan dengan patogenensis dari
piringan sendi degeneratif dan nyeri, dilaporkan bahwa piringan sendi
intervertebral mempunyai syaraf yang tumbuh kedalam lapisan annulus fibrosis
bagian dalam; oleh karena itu, piringan sendi intervertebral dapat menjadi sumber
nyeri neuropatik pada pasien dengan LBP kronis[14]. Beberapa variasi
mekanisme perusakan syaraf terlihat dalam proses timbulnya komponen nyeri
neuropatik pada pasien dengan LBP kronis[5]. Nyeri peripheral, spinal, dan
supraspinal yang timbul karena sebuah luka yang mempengaruhi sistem syaraf
adalah penyebab utama nyeri pinggang neuropatik[17-20].
ALAT SCREENING UNTUK NYERI NEUROPATIK PADA PASIEN
DENGAN LBP KRONIS
LBP neuropatik membutuhkan penanganan spesifik, menyangkut penggunaan
obat-obatan dengan efektivitas yang telah terbukti dalam perawatan nyeri
neuropatik, seperti opioids, tricyclic antidepressant, dan anticonvulsants1211,
membedakan nyeri neuropatik dari nyeri nociceptive penting untuk dilakukan.
Diperkirakan bahwa perawatan yang ditujukan kepada penyebab yang spesifik
atau mekanisme nyeri tertentu akan menghasilkan hasil perawatan yang lebih baik
pada pasien. Oleh karena itu, dokter sebaiknya mempertimbangkan penanganan
LBP kronis tidak hanya dari komponen nociceptive tetapi juga dari komponen
neuropatik. Evaluasi klinis masih menjadi standar utama untuk evaluasi dan
diagnose LBP neuropatik. Diagnosa yang dilaksanakan harus mencakup evaluasi
neurologis dan psikososial. Walaupun diagnosa sulit dilakukan karena kurangnya
tes diagonsa standar untuk LBP neuropatik, alat-alat screening dapat membantu
mengidentifikasi komponen nyeri neuropatik pada pasien dengan LBP kronis[5].
Alat-alat screening yang ideal harus singkat, sederhana, valid, dan sensitive.
Beberapa alat-alat screening yang tersedia untuk nyeri neuropatik seperti Leeds
Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS)[10], Douleur
Neuropathique en 4 questions (DN4)[22], ID-Pain[23], Neuropathic Pain
Questionnaire (NPQ)[24], the Standardized Evaluation of Pain (StEP)[25], and
the painDETECT questionnaire (PD-Q)[11] telah dikembangkan dan diuji dengan
populasi pasien yang berbeda. Alat-alat ini mempunyai kelebihan dan kekurangan,
dan mereka tidak menunjukkan diagnosa maksimal terhadap nyeri neuropatik
pada 10%-20% pasien. Bagaimana pun juga, kemampuan menyediakan informasi
dan mudahnya penggunaan alat-alat tersebut bagi dokter dan pasien membuat
alat-alat screening ini menarik[26].
Diantara banyaknya alat-alat screening, PD-Q dan StEP telah tervalidasi pada
pasien dengan LBP[11,25]. PD-Q terdiri dari pelepasan nyeri, pola arah nyeri, dan
pemancaran nyeri. Subskala pelepasan nyeri terdiri atas tujuh pertanyaan, dan
pasien diminta untuk menjawab setiap pertanyaan dengan menggunakan skala 6-
poin. Nilai PD-Q dihitung dengan menambah setiap nilai dalam kuesioner, dengan
skor maksimal sebesar 38. Skor 19 atau lebih besar mengindikasikan bahwa,
kemungkinan besar, mekanisme neuropatik terlibat dalam timbulnya nyeri; skor
antara 13-18 mungkin terdapat komponen nyeri neuropatik, tetapi hal ini belum
bisa dipastikan; skor 12 adalah nyeri nociceptive. Kurang lebih 80% sensitivitas
dan ketepatan dapat ditemukan dalam PD-Q. StEP terdiri atas enam pertanyaan
wawancara dan sepulu tes fisik[25]. StEp mencapai sensitivitas lebih tinggi (92%)
dan ketepatan (97%) daripada PD-Q yang terdiri atas pertanyaan wawancara saja
dalam membedakan nyeri neuropatik dari nyeri nociceptive pada pasien dengan
tes Lasegue’s atau tes straight-leg-raising/mengangkat kaki lurus, penurunan
respon rasa dingin dan penurunan rasa tusukan jarum adalah indikator utama pada
StEP untuk menentukan nyeri neuropatik[27].
Walaupun alat-alat screening lain selain PD-Q dan StEP juga digunakan dalam
penelitian klinis untuk membedakan nyeri neuropatik dari nyeri nociceptive pada
pasien dengan LBP[10,28-31], tidak satu pun telah tervalidasi oleh pasien dengan
LBP. Skala LANSS[10] dan kuesioner DN4[22] adalah alat screening lainnya
yang terdiri atas tes fisik seperti pemeriksaan kemampuan merasakan sensasi dan
pertanyaan wawancara. LANSS terdiri atas skala nyeri dengan tujuh item,
mencakup pendeskripsian rasa dan pertanyaan untuk pemeriksaan kemampuan
sensorik, dengan skor maksimal sebesar 24. Skor yang lebih rendah dari 12
mengindikasikan bahwa mekanisme neuropatik tidak terlibat dalam timbulnya
nyeri dan skor 12 atau lebih mengindikasikan bahwa mekanisme neuropatik
terlibat dalam timbulnya nyeri. LANSS menunjukkan sensitivitas sebesar 83%
dan ketepatan sebesar 87% dalam membedakan nyeri neuropatik dari nyeri
nociceprive. Dalam alat screening DN4, tiga tes fisik digunakan untuk menetukan
kemampuan perasa sentuhan yang ringan, perasa tusukan jarum, dan respon rasa
sakit[25]. Skor minimal sebesar 4/10 pada alat screening ini mengindikasikan
nyeri neuropatik, dengan sensitivitas dan ketepatan tinggi (82,9% dan 89,9%,
berturut-turut).
ID-Pain[23] dan NPQ[24] hanya bergantung pada pertanyaan wawancara, dan
keduanya tidak mencakup pemeriksaan secara fisik. ID-Pain adalah alat screening
dengan enam pertanyaan, skor mulai dari 1 hingga 5, dengan skor yang lebih
tinggi mengidentifikasikan adanya nyeri yang mengandung komponen neuropatik.
NPQ terdiri atas kuesinoer dengan 12 pertanyaan, dan skalai ini menunjukkan
sensitivitas sebesar 66% dan ketepatan sebesar 74,4% dalam membedakan nyeri
neuropatik dari nyeri nociceptive.
Berdasarkan penelitian klinis yang disebutkan diatas, masuk akal jika StEP dapat
lebih efektif memberdakan anatara nyeri neuropatik dan nyeri nociceptive pada
pasien dengan LBP berdasarkan level sensitivitas dan validitas yang lebih tinggi
pada pasien dengan LBP. Bagaimanapun, pendekatan yang paling tepat adalah
dengan menggabungkan temuan dalam pemeriksaan fisik dan neurologis dana
laporan pasien dalam untuk membedakan nyeri neuropatik dari nyeri nociceptive.
UJI SENSORIK BEDSIDE
The Neuropathic Pain Special Interest Group of the In-ternational Association
dalam penelitian nyeri merekomendasikan pemeriksaan sensorik bedside yang
terdiri atas pemeriksaan sensasi atau perasa sentuhan, tusukan jarum, tekanan,
dingin, panas, dan getaran bagi pasien yang menunjukkan kemungkinan nyeri
neuropatik[32]. Untuk menujukkan abnormalitias sensorik pada pasien dengan
LBP kronis, gejala sensorik dan tanda-tanda harus diteliti dengan cermat pada
dermatom yang terpengaruhi. Sehingga, tes ini akan membantu dokter
menkonfirmasi atau menyangkal adanya nyeri neuropatik. Sedikit kapas dapat
digunakan dalam pemeriksaan kemampuan perasa sentuhan. Kemampuan perasa
suhu dapat dinilai dengan menggunakan benda yang hangat dan dingin. Perasa
getaran dapat dinilai dengan menggunakan garputala 128Hz[5,33]. Temuan-
temuan pada area yang nyeri harus dibandingkan dengan temuan-temuan pada
bagian yang tidak nyeri dalam bagian kontralateral. Respon pasien yang
dilaporkan dicatat dengan catatan sama, meningkat, atau menurun ketika
dibandingkan dengan area normal. Temporal summation, hypoalgesia terhadap
tusukan jarum, allodynia terhadap sentuhan dan dingin, dan hypoesthesia terhadap
sentuhan ringan adalah temuan diskriminan untuk nyeri neuropatik. Tes sensorik
bedside juga dikatakan lebih sensitive daripada uji sensorik kuantitatif[34,35].
Untuk menunjukkan luka pada sistem somatosensorik yang menyebabkan nyeri
neuropatik, pemeriksaan klinis yang teliti harus dilakukan. Bagaimanapun, tidak
ada temuan standar utama untuk menentukan nyeri yang spesifik dalam suatu area
abnormalitas sensorik sebagai nyeri neuropatik.
TATA KELOLA FARMAKOLOGIS TERHADAP NYERI NEUROPATIK
PADA PASIEN DENGAN LBP KRONIS
Dalam penangan nyeri neuropatik pada pasien dengan LBP kronis, terdapat
banyak perawaran yang terdiri atas penanganan non-farmakologis dan
farmakologis. Sehingga, sulit bagi dokter untuk menentukan metode perawatan
yang sesuai. Baru-baru ini, beberapa petunjuk perawatan yang mengusulkan
penggunaan pendekatan multi model untuk perawatan nyeri neuropatik telah
dikembangkan136-401. Dalam penelitian ini, kami hanya akan fokus pada
perawatan farmakologis untuk nyeri neurpatik pada pasien dengan LBP kronis.
Pengobatan awal yang direkomendasikan untuk nyeri neuropatik mencakup
tricyclic antidepressants, anticonvulsants, dan opioid analgesics.
Antidepressants
Tricyclic antidepressants (TCAs) menunjukan efek analgesiknya melalui beberapa
mekanisme pada sitem syaraf sentral dan peripheral, termasuk; terjadinya kembali
penghalangan dari neurotranmisi nor-adrenaline dan serotonin; tindakan terhadap
reseptor opioidi, adrenergic, serotonin, gamma-aminobutyric acid, dan N-methyl-
D-aspartate; dan aktivasi beberapa saluran ion[41]. Efek analgesiknya bersifat
tidak bergantung pada efek antidepresannya. TCA direkomendasikan dalam
petunuk NICE untuk pasien dengan LBP kronis yang menunjukkan kurangnya
respon perawatan terhadap obat-obatan lainnya[42]. TCA mempunyai beberapa
efek samping seperti sedasi, mulut kering, kaburnya pandangan, dan seringnya
buang air kecil. Semua efek samping ini sering terjadi karena sifat anticholinergis-
nya. Terlebih, efek ini lebih rentan terjadi pada pasien usia lanjut. Maka, TCA
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien lanjut usia[43]. Data tentang
efekstivitas antidepresan selain TCA seperti serotonin noradrenaline reuptake
inhibitors-duloxetine dan venlafaxine- dan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs) dalam LBP kronis masih dipertentangkan.
Dalam ulasan sistematis oleh Staiger dkk, diketahui bahwa TCA menghasilakan
penurunan nyeri sedang bagi pasien dengan LBP kronis sedangkan SSRI tidak
efektik dalam menurunkan nyeri pada pasien dengan LBP kronis. Selain itu, hasil
yang bertentangan ditemukan tentang penggunaan antridepresan apakah
antidepresan dapat memperbaiki keadaan fungsional pasien dengan LBP kronis.
Dalam ulasan Cochrane tentang sepuluh percobaan klinis placebo terkontrol
termasuk antidepresan, Penulis menyimpulkan bahwa “tidak ada bukti yang jelas
bahwa antidepresan lebih efektif daripada placebo dalam penanganan pasien
dengan LBP”[50]. Pada percobaan terkontrol placebo acak yang melibatkan
duloxetine, reduksi rata-rata nyeri mingguan yang diteliti dengan duloxetine
secara signifikan lebih tinggi dalam dosis yang lebih besar (120 mg) daripada
dengan placebo. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan antara duloxetine 20 mg
atau 60 mg dan placebo. Walaupun dulozetine 120 mg menunjukkan efek
signifikan dalam menurunkan level nyeri, efek merugikan juda ditemukan dan
lebih tinggi daripada placebo[44]. Berlawanan dengan penelitian ini, penelitian
klinis lebih lanjut menunjukkan bahwa duloxetine 60 mg menghasilkan reduksi
nyeri yang lebih besar daripada placebo pada pasien dengan LBP kronis[45,46].
Anticonvulsants
Agen Anticonvulsants seperti pregabalin dan gabapentin menunjukkan efek
analgesiknya dengan berikatan dengan sub-unit a2-y dari tipe-N saluran kalsium
voltage-gated yang dapat menyebabkan turunnya pelepasan neurotransmiter [51].
Gabapentin diinisiasikan pada dosis 300 mg/hari dan dititrasikan pada kenaikan
300-mg setiap 3-5 hari berdasarkan kemampuan toleransi atau tolerabilitas, dosis
target sebesar 1.800-3.600 mg/hari dalam tiga dosis yang sudah dibagi-bagi.
Pregabalin diinisiasikan pada dosis 150 mg/hari dalam dua dosis yang sudah
dibagi. Setelah tujuh hari, dosis dinaikkan menuju dosis target sebesar 300-600
mg/hari. Efek samping utama dari obat-obatan ini mencakup rasa kantuk, pusing,
dan edema peripheral, dan perlu diperhatikan penggunaan bagi pasien dengan
keadaan ginjal tidak baik[37].
Sampai hari ini, tidak ada penelitian sistematis terhadap anticonvulsants untuk
LBP kronis. Bagaimanapun, terdapat dua percobaan klinis terhadapa gabapentin
untuk LBP kronis[52,53]. Sebagai hasil dari penelitian-penelitian ini, gabapentin
menunjukkan sedikit perbaikan pada level nyeri dibandingkan dengan placebo.
Tidak ada perbedaan antara penggunaan gabapentin dan placebo berdasarkan
besarnya reaksi yang merugikan. Dalam perawatan LBP kronis, tidak ada bukti
yang mendukung penggunaan pregabalin. Dalam dua percobaan acak, tidak ada
perbedaan signifikan antara kelompok pregabalin dan placebo berdasarkan
reduksi nilai nyeri rata-rata setiap minggu. Disamping itu, ketika pasien dengan
perawatan nyeri neuropatik yang sulit diatasi, temasuk pasien dengan LBP kronis
yang telah menggunakan pregabalin sebagai satu-satunya terapi, pereda nyeri dan
perbaikan kualitas hidup para pasien secara signifikan dikatakan lebih rendah
daripada pasien dengan oxycodone controlled release (CR) saja atau dengan
kombinasi penggunaan oxycodone CR dan pregabalin[54,55].
Opioid analgesics
Obat-obatan ini menunjukkan efek analgesiknya dengan berikatan dengan
reseptor opioid pada sitem syaraf pusat, sehingga mereka dapat mengatur saluran
yang berkaitan dengan generasi, transmisi, dan modulasi rangsangan nyeri[56].
Dalam praktek klinis, faktor terpenting yang mendasari pembatasan penggunaan
opioid adalah masalah tolerabilitas obat dan reaksi yang merugikan. Reaksi
merugikan yang paling sering terjadi adalah mulut kering, mual-mual, konstipasi,
pusing, rasa kantuk, pruritis, dan muntah. Selain itu, pertimbangan lain dalam
penggunaan opioid pada tata kelola nyeri kronis yang berbahaya adalah
perkembangan toleransi analgesik dan ketergantungan pada pasien yang rentan.
Bagaimanapun, pemakaian opioid jangak pendek dianjutkan pada pasien dengan
nyeri nociceptive dan neuropatik yang tidak mengalami reaksi terhadap perawatan
awal dan pada pasien dengan nyeri sedang[58]. Dengan ketiadaan percobaan
berkualitas yang dipublikasi, hanya terdapat sedikit metanalisis dan penelitian
sistematis yang mengulas tentang opioids yang digunakan pada nyeri kronis.
Pada percobaan yang baik, pelepasan oxymorphone secara terus-menerus atau
pelepasan oxycodone secara terus menerus terbukti lebih besar daripada placebo
dalam penanganan LBP kronis[59]. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh
Schnitzer dkk, tramadol terbukti lebih efektif daripada placebo sebagai pereda
nyeri jangka pendek pada pasien dengan LBP kronis. Dua percobaan lain tentang
tramadol menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan terhadap manfaat
atau kerugian antara pelepasan tramadol secara terus-menerus dengan pelepasan
tramadol langsung terhadap LBP kronis[61,62]. Tidak ada percobaan yang
membandingkan tramadol dengan acetaminophen atau monoterapi opioid, atau
dengan NSAID yang lainnya. Penelitian multisenter acar menunjukkan bahwa
transdermal fentanyl dan pelepasan oral morphine secara terus-menerus
menghasilkan peredaan nyeri yang sama pada pasien dengan LBP kronis[63].
Meta-analisa yang meneliti penggunaan opioid pada nyeri kronis non-kanker,
termasuk LBP kronis, menunjukkan bahwa opioids lebih efektif daripada placebo
untuk menangani nyeri nociceptive dan nyeri neuropatik[64]. Kontroversi
berkembang tentang apakah opioids efektif untuk penanganan komponen
neuropatik dari LBP kronis.
Obat-obatan lainnya
Tapenadol adalah analgesik yang beraksi di pusat yang digunakan untuk merawat
nyeri sedang hingga nyeri parah dan akut. Obat ini menunjukkan efek
analgesiknya dengan beraksi sebagai agonis reseptor u-opioid dan menyediakan
inhibitor re-uptake nonadrenaline [65]. Pada studi fase 3, pasien dengan LBP
kronis menunjukkan hasil klinis yang baik untuk tapentadol prolonged release
(PR) [66,67]. Dalam studi ini, tapentadol PR menunjukkan kemanjuran analgesik
yang sama dibandingkan dengan oksikodon CR. Tolerabilitas gastrointestinal dan
kejadian penghentian obat lebih rendah pada pasien yang menggunakan
tapentadol PR dibandingkan dengan pasien yang menggunakan oxycodone CR
[68,69]. Dalam studi fase 3b lain, efektivitas dan keamanan tapentadol PR vs
kombinasi dari tapentadol PR dan pregabalin dibandingkan untuk tata kelola LBP
berat, kronis dengan komponen neuropatik. Para peneliti menemukan bahwa
tapentadol PR menunjukkan perbaikan yang sebanding dalam intensitas nyeri dan
ukuran kualitas-hidup untuk kombinasi dari tapentadol PR dan pregabalin, dengan
peningkatan tolerabilitas obat [69]. Asam askorbat (vitamin C) adalah
antioksidan. Ini berarti menurunkan jumlah radikal bebas yang dihasilkan dari
oksidasi, seperti spesies oksigen reaktif (ROS). ROS yang kritis terlibat dalam
pengembangan dan pemeliharaan nyeri neuropatik. Jadi, pemulung radikal bebas
seperti asam askorbat dapat berguna untuk pengobatan nyeri neuropatik [70].
Namun, tidak ada studi klinis yang menyelidiki tilidine dan asam askorbat dalam
tata kelola nyeri neuropatik di antara pasien dengan LBP kronis.
TERAPI KOMBINASI
Karena LBP kronis terdiri dari mekanisme nociceptive dan neuropatik, terapi
kombinasi seperti antidepresan dan / atau antikonvulsan ditambah opioid atau
NSAII mungkin cukup rasional dalam pengobatan LBP kronis [71]. Pedoman
pengobatan juga merekomendasikan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri
neuropatik akibat dari penyebab yang berbeda sebagai pilihan untuk pasien yang
tidak responsif terhadap monoterapi tersebut. Namun, terapi kombinasi dikaitkan
dengan beberapa keterbatasan yang terdiri dari efek samping dan interaksi obat
[39,72].
Dalam literatur, jumlah studi klinis yang menyelidiki efek terapi kombinasi untuk
komponen nyeri neuropatik pada penderita LBP kronis sangat sedikit. Meskipun
sebagian besar studi klinis yang tersedia telah menyelidiki kombinasi opioid yang
ditambah obat lain, hanya ada satu studi yang menyelidiki kemanjuran terapi
kombinasi obat celecoxib yang ditambah pregabalin dalam populasi pasien
campuran termasuk LBP kronis [71]. Dalam penelitian ini, penulis menunjukkan
bahwa terapi kombinasi menunjukkan penurunan signifikan lebih besar pada LBP,
dan frekuensi yang sama dari efek samping, dibandingkan dengan celecoxib atau
pregabalin saja. Dalam literatur, ada dua studi yang menyelidiki manfaat dari
opioid yang ditambah pregabalin. Dalam studi pertama, kombinasi oksikodon CR
ditambah pregabalin dibandingkan dengan oksikodon CR atau pregabalin saja
pada 409 pasien dengan nyeri neuropatik yang susah disembuhkan dengan
pengobatan (paling sering karena radiculopathy). Para peneliti menemukan bahwa
pengurangan LBP lebih cepat dan lebih besar pada pasien dengan terapi
kombinasi dibandingkan pada pasien dengan monoterapi pregabalin. Para pasien
dengan terapi kombinasi menunjukkan perbaikan signifikan yang lebih baik pada
kualitas hidup daripada pasien dengan penggunaan oxycodone CR atau
pregabalin. Terapi kombinasi juga menunjukkan profil keamanan yang unggul
dibanding kedua monoterapi [55]. Dalam studi kedua, para peneliti meneliti
manfaat kombinasi buprenorphine yang ditambah pregabalin pada pasien dengan
LBP kronis. Pengurangan nyeri ditemukan secara signifikan lebih besar pada
pasien dengan terapi kombinasi dibandingkan pada pasien dengan monoterapi
buprenorfin [73]. Ada juga 2 penelitian yang meneliti manfaat tramadol yang
ditambah parasetamol dalam terapi kombinasi untuk pasien dengan LBP kronis.
Dalam studi ini, perbaikan signifikan yang lebih baik pada tingkat keparahan LBP
ditentukan pada pasien dengan terapi kombinasi dibandingkan pada pasien dengan
plasebo. Efek samping yang ditemukan lebih umum dengan terapi kombinasi
dibandingkan dengan plasebo [74,75].
Singkatnya, terapi kombinasi pregabalin yang ditambah obat analgesik lainnya
seperti celecoxib, oxycodone CR dan buprenorfin nampaknya lebih efektif dalam
mengurangi komponen nyeri neuropatik sedangkan monoterapi pregabalin
tampaknya tidak efektif. Tramadol saja dan dalam kombinasi dengan parasetamol
juga tampak menjadi efektif.
KESIMPULAN
Saat ini, tidak ada tes standar terbaik yang tersedia untuk menentukan komponen
nyeri neuropatik pada LBP kronis. Alat pengujian dan screening neurofisiologis
memiliki beberapa keterbatasan dalam diferensiasi komponen neuropatik pada
pasien LBP kronis. Sehingga, di samping tes sensorik bedside masih merupakan
alat terbaik yang tersedia untuk penilaian dan diagnosis nyeri neuropatik di antara
pasien dengan LBP kronis. Karena kenyataan bahwa LBP kronis terdiri dari
mekanisme nociceptive dan neuropatik, pendekatan multimodal untuk pengobatan
mungkin lebih rasional dalam tata kelola pasien dengan LBP kronis. Oleh karena
itu, terapi kombinasi termasuk obat dengan mekanisme tindakan yang berbeda
harus diberikan kepada pasien dengan LBP kronis. Dalam literatur tidak ada bukti
jelas bahwa antidepresan dan opioid efektif dalam tata kelola nyeri neuropatik
diantara pasien dengan LBP kronis. Selain itu, tidak ada bukti yang mendukung
penggunaan obat anti-konvulsan. Dalam rangka meningkatkan tingkat bukti
dalam mendiagnosis dan mengobati LBP neuropatik, lebih jauhnya studi klinis
yang dirancang dengan baik yang menyelidiki tatakelola farmakologis pada nyeri
neuropatik diantara pasien dengan LBP kronis diperlukan.