+ All Categories
Home > Documents > Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Date post: 20-Oct-2015
Category:
Upload: yudi-novianto
View: 175 times
Download: 6 times
Share this document with a friend
Description:
pengaruh hormon estradiol dan pakan berprotein nabati terhadap perkembangan oosit ikan nilem
Popular Tags:
24
PERKEMBANGAN OOSIT INDUK IKAN NILEM (Osteochilus vittatus Val.1842) YANG DIBERI HORMON ESTRADIOL-17β DAN PAKAN BERPROTEIN NABATI Yudi Novianto, Dra. Siti Rukayah, M.Si., Dra. Gratiana E. Wijayanti, M.Rep.Sc., Ph.D. Fakultas Biologi Unversitas Jenderal Soedirman ABSTRACT Hormones and food play crucial roles in fish reproduction. The objectives of this study were to evaluate the effective dose of estradiol-17β and protein (mainly from soy bean sprout meal) contain in feed to promote oocyte development of the post-spawn hard-lipped barb (Osteochilus vittatus Val. 1842). This research was conducted experimentally applying factorial completely randomized design. The first factor was feed protein content consisted of 22.5% (P4), 27.5% (P3), 32.5% (P2), and 37.5% (P1). The second factor was dose of estradiol-17β consisted of 0µg/kg BW (D0), 1260µg/kg BW (D1) and 210µg/kg BW (D2). Three replicates were provided for each treatment. Estradiol-17β was administered intramuscularly on the 7 th day post post-spawning. The fish were reared for 8 weeks under laboratory condition and fed as much as 3% of biomass weight. Oocyte development was evaluated on 2 nd , 4 th , 6 th and 8 th week. Oocyte samples were aspirated by canula, fixed in neutral buffered formalin and examined under a light microscope to determine their morphological feature and measure their diameter. The gonadosomatic index (GSI), fecundity and hepatosomatic index (HSI) were measured on 8 th week. The data of oocyte development, GSI, fecundity and HSI were analyzed using two ways Anova. The results showed that oocyte development and GSI were significantly improved by estradiol-17β in dose dependent manner (p<0.05). The fish fed with 37.5% protein and injected with 210µg/kg BW estradiol-17β (P1D2) produced highest proportion of post-vitellogenic stage oocyte on the 6th week. The proportion of post-vitellogenic oocyte increased inline with the increased of estradiol-17β (r=0.599) and with the GSI (r=0.037). Fecundity and HSI was not affected by the treatments (p>0.05). Keywords: oocyte development, GSI, HSI, Osteochilus vittatus Val. 1842, soy bean sprouts protein. PENDAHULUAN Ikan nilem merupakan salah satu komoditas utama perikanan di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas pada tahun 2011 produksi ikan nilem di Kabupaten Banyumas mencapai 1
Transcript
Page 1: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

PERKEMBANGAN OOSIT INDUK IKAN NILEM (Osteochilus vittatus Val.1842) YANG DIBERI HORMON ESTRADIOL-17β DAN PAKAN BERPROTEIN

NABATI

Yudi Novianto, Dra. Siti Rukayah, M.Si., Dra. Gratiana E. Wijayanti, M.Rep.Sc., Ph.D.Fakultas Biologi Unversitas Jenderal Soedirman

ABSTRACT

Hormones and food play crucial roles in fish reproduction. The objectives of this study were to

evaluate the effective dose of estradiol-17β and protein (mainly from soy bean sprout meal) contain in

feed to promote oocyte development of the post-spawn hard-lipped barb (Osteochilus vittatus Val. 1842).

This research was conducted experimentally applying factorial completely randomized design. The first

factor was feed protein content consisted of 22.5% (P4), 27.5% (P3), 32.5% (P2), and 37.5% (P1). The

second factor was dose of estradiol-17β consisted of 0µg/kg BW (D0), 1260µg/kg BW (D1) and 210µg/kg

BW (D2). Three replicates were provided for each treatment. Estradiol-17β was administered

intramuscularly on the 7th day post post-spawning. The fish were reared for 8 weeks under laboratory

condition and fed as much as 3% of biomass weight. Oocyte development was evaluated on 2nd, 4th, 6th

and 8th week. Oocyte samples were aspirated by canula, fixed in neutral buffered formalin and examined

under a light microscope to determine their morphological feature and measure their diameter. The

gonadosomatic index (GSI), fecundity and hepatosomatic index (HSI) were measured on 8 th week. The

data of oocyte development, GSI, fecundity and HSI were analyzed using two ways Anova. The results

showed that oocyte development and GSI were significantly improved by estradiol-17β in dose dependent

manner (p<0.05). The fish fed with 37.5% protein and injected with 210µg/kg BW estradiol-17β (P1D2)

produced highest proportion of post-vitellogenic stage oocyte on the 6th week. The proportion of post-

vitellogenic oocyte increased inline with the increased of estradiol-17β (r=0.599) and with the GSI

(r=0.037). Fecundity and HSI was not affected by the treatments (p>0.05).

Keywords: oocyte development, GSI, HSI, Osteochilus vittatus Val. 1842, soy bean sprouts protein.

PENDAHULUAN

Ikan nilem merupakan salah satu

komoditas utama perikanan di Kabupaten

Banyumas. Berdasarkan data Dinas Perikanan

dan Peternakan Banyumas pada tahun 2011

produksi ikan nilem di Kabupaten Banyumas

mencapai 699.689 kg atau naik 10,43% dari

tahun 2010. Akan tetapi, saat ini pembenihan

ikan tawar masih dilakukan secara konvensional

yaitu dengan mengandalkan lingkungan alami

dan pakan yang mutunya masih rendah. Kondisi

ini tidak menjamin peningkatan produksi ikan

yang signifikan. Oleh karena itu, perlu adanya

upaya untuk meningkatkan produksi benih ikan

di Banyumas. Hal ini dapat dilakukan dengan

memperbaiki performa reproduksi induk ikan

betina yaitu dengan memperpendek interval

pemijahan dan meningkatkan fekunditas induk.

Perbaikan performa reproduksi induk

betina dapat dilakukan dengan induksi hormonal

karena perkembangan oosit ikan diregulasi oleh

sistem endokrin. Salah satu hormon yang

berperan penting dalam perkembangan oosit

adalah estradiol-17 (E2). Keterlibatan hormon

E2 dalam vitellogenesis pada berbagai jenis

ikan telah banyak dipelajari (Olivereau dan

Olivereau, 1997; Davis et al., 2007; Singh et al.,

2007; Heidari et al., 2010). Menurut Kang et al.

(2002) dan Brion et al. (2004), pemaparan

1

Page 2: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

DosisProtein

hormon E2 dapat meningkatkan produksi

vitelogenin.

Selain itu, berbagai penelitian

menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas

pakan terutama protein dapat mempengaruhi

performa reproduksi ikan (Cowey, 1975; El-

Naggar et al., 2000; Izquierdo et al., 2001;

Nofyan, 2005; Reidel et al., 2010; Velasco dan

Corredor, 2011; Pushparaj et al. 2012).

Pemberian pakan dengan kadar protein 32% dan

40% dapat mempercepat pertumbuhan dan

maturasi oosit pada ikan nila (Oreochromis

niloticus) (Gunasekera et al., 1995).

Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pembuat pellet ikan karena kedelai mengandung

protein yang tinggi yaitu 38,90-46,91% dan

memiliki asam amino esensial yang lengkap

(Sitompul, 2004). Menurut Hernawati (2007),

kedelai juga mengandung fitoestrogen berupa

isoflavon terutama genistein. Pemberian pakan

yang mengandung genistein dapat

meningkatkan biosintesis vitelogenin (Pollack

dan Ottinger, 2003). Kedelai juga mengandung

vitamin E berupa -tocopherol yang berperan

dalam peningkatan fekunditas (Mehrad et al.,

2012). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dosis hormon E2 dan kadar protein

nabati pakan yang dapat meningkatkan

perkembangan oosit ikan nilem.

MATERI DAN METODE

Bahan-bahan yang digunakan meliputi

induk betina ikan nilem sebanyak 72 ekor

dengan bobot 80–200 g, hormon estradiol

benzoat (17β-Oestradiol benzoate Batch No.

20090512, ARGENT Laboratories, Inc., Makati

City, Philippines), GnRH analog (merek

Ovaprim, Syndel Laboratories, Vancouver,

Cannada), Normal Buffer Formalin (NBF),

larutan NaCl 0,9%, pellet ikan dengan

komposisi bahan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi bahan pellet ikan dengan presentase protein nabati yang berbeda per 1 kg berdasarkan perhitungan metode kuadrat

Bahan (%) P1 P2 P3 P4Tepung

kecambah kedelai

30,92 44,00 57,10 70,20

Tepung ikan 5,15 7,34 9,52 11,70Rebon 5,15 7,34 9,52 11,70

Ampas tahu 29,39 20,66 20,66 3,20Bekatul 29,39 20,66 20,66 3,20

Tabel 2. Hasil analisis proksimat pellet uji Bahan (%) P1 P2 P3 P4

Protein 36,74 32,36 26,37 22,56Air 2,87 5,77 12,21 2,53

Berat kering 97,13 94,23 87,79 97,47

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Struktur dan Perkembangan Hewan, Fakultas

Biologi, Unsoed. Rancangan dasar berupa

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial.

Faktor pertama yaitu dosis hormon estradiol-

17β (D) yang terdiri atas 3 taraf, yaitu 0 (D0),

126 (D1), dan 210 (D2) µg/kg berat tubuh ikan

(BB). Faktor kedua kadar protein nabati (P)

yang terdiri atas 4 taraf, yaitu 37,5% (P1),

32,5% (P2), 27,5% (P3), dan 22,5% (P4)

sehingga terdapat 12 perlakuan dan 3 ulangan.

Tabel 3. Kombinasi perlakuan antara kadar protein nabati dengan dosis hormon estradio-17

D0 D1 D2

P1 P1 D0 P1 D1 P1 D2

P2 P2 D0 P2 D1 P2 D2

P3 P3 D0 P3 D1 P3 D2

P4 P4 D0 P4 D1 P4 D2

Ikan uji dipelihara selama 8 minggu.

Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari dengan

proporsi 3 % dari bobot tubuh ikan pada pagi

hari jam 08.00-09.00 WIB dan sore hari jam

16.00-17.00 WIB. Sebelum pemeliharaan, fase

reproduksi ikan uji diseragamkan melalui

induksi pemijahan menggunakan 0,5 mL/kg BB

GnRH analog (Ovaprim). Penyuntikan hormon

E2 dilakukan secara intra muscular di daerah

2

Page 3: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

250 m

V5

V3

V4

V5

V7

250 m

V5 250 m

dorsal pada hari ke tujuh pasca mijah.

Perkembangan oosit diamati berdasarkan

diameter >100 butir telur hasil kanulasi yang

diamati pada minggu ke 2, 4, 6 dan 8 pasca

mijah menggunakan mikroskop yang dilengkapi

dengan eye piece micrometer. Pada minggu ke 8

pasca mijah ikan dibedah guna mengamati

fekunditas, Indeks Gonadosomatik (IGS),

Indeks Hepatosomatik (IHS).

Variabel yang diamati:

PO (%) = x 100%

Ketrangan: Os = Jumlah oosit pada tahap tertentuOt = Jumlah oosit keseluruhanPO = Proporsi oosit pada tahapan tertentu

IGS (%) = x 100%

IHS (%) = x 100%

Fekunditas = x N

Keterangan: N = jumlah telur dalam sampel gonadWs = berat cuplikan gonad (g)

Wg = berat seluruh gonad (g)Data yang diperoleh dianalisis

menggunakan ANOVA dua arah, jika hasil yang

diperoleh signifikat maka diuji lanjut dengan uji

Tuckey dan uji korelasi. Analisis data

keseluruhan menggunakan program komputer

SPSS versi 16 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan perkembangan oosit

ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan

berprotein nabati menunjukkan bahwa semua

tahapan perkembangan oosit ikan nilem

ditemukan kecuali tahapan perkembangan V1

dan V2 tidak teramati. Sebaran dan proporsi

tahapan perkembangan oosit pada ikan nilem

menurut Murua dan Rey (2003) dikategorikan

sebagai ikan dengan perkembangan oosit

asinkronus. Dikarenakan ikan nilem memjiah

beberapa kali dalam musim reproduksinya maka

Wijayanti et al. (2005) memasukan ikan nilem

sebagai ikan asinkronus batch spawner.

Gambar 1. Tahapan perkembangan oosit ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan berprotein nabati (Perbesaran 4x10)

3

OsOt

Bobot gonad (g)

Bobot tubuh (g)

Wg

Ws

PV

PV

Dg

Dg

250 m

V6

V6

Dg Dg

Dg

PV PV

Bobot hepar (g)

Bobot tubuh (g)

Page 4: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Keterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%5%

10%15%20%25%30%35%40%45%50%

M2M

4M6M

8

P1D0 (protein 37,5%; E2 0 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4 V5

V6V7

PV Dg

0%5%

10%15%20%25%30%35%40%45%50%

M2M

4M6M

8

P1D1 (protein 37,5%; E2 126 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6 V7

PVDg

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

M2M

4M6M

8

P1D2 (protein 37,5%; E2 210 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

M2M

4M6M

8

P2D0 (protein 32,5%; E2 0 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

10%

20%

30%

40%

M2M

4M6M

8

P2D1 (protein 32,5%; E2 126 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

M2M

4M6M

8

P2D2 (protein 32,5%; E2 210 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

M2M

4M6M

8

P3D0 (protein 27,5%; E2 0 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

M2M

4M6M

8

P3D1 (protein 27,5%; E2 126 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

Gambar 2. Proporsi oosit induk ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan berprotein nabati (P1D0-P3D1)

Keterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia; M2-M8 = Minggu ke 2-8 pasca mijah

4

Page 5: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%5%

10%15%20%25%30%35%40%45%50%

M2

M6

P3D2 (protein 27,5%; E2 210 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3 V4 V5 V6 V7 PV Dg

0%5%

10%15%20%25%30%35%40%45%50%

M2

M6

P4D0 (protein 22,5%; E2 0 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

10%

20%

30%

M2M

4M6M

8

P4D1 (protein 22,5%; E2 126 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

V3V4

V5V6

V7PV

Dg

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

M2M

4M6M

8

P4D2 (protein 22,5%; E2 210 µg/kg)

Tahapan perkembangan oosit

Prop

orsi

oos

it

Wak

tu p

enga

mat

an

Gambar 3. Proporsi oosit induk ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan berprotein nabati (P3D2-P4D2)

Keterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia; M2-M8 = Minggu ke 2-8 pasca mijah

Berdasarkan hasil pengamatan pada

minggu ke 2 hingga ke 8 pasca mijah (Gambar 2

dan 3), secara keseluruhan didapatkan informasi

sebagai berikut. Pada minggu ke 2 dan ke 4

proporsi oosit tahapan V3-V5 tinggi, sedangkan

tahapan PV rendah. Pada minggu ke 6 proprosi

oosit tahapan V3 dan V4 menurun dan tahapan

PV meningkat. Pada minggu ke 8 pasca mijah,

tahapan PV menurun, sedangkan tahapan V3-

V5 meningkat. Sementara itu tahapan V6 dan

V7 menurun seiring dengan bertambahnya

waktu. Persentase tahapan Dg menurun hingga

minggu ke 6 dan meningkat pada minggu ke 8.

Uji statistik menunjukkan bahwa kadar

protein nabati pakan berpengaruh nyata

terhadap proporsi oosit tahapan V3 dan PV

(P<0,05; Tabel 2). Rataan persentase V3

tertinggi diperoleh pada pakan berprotein nabati

27,5% sedangkan terendah pada protein nabati

32,5%. Sebaliknya proporsi tahapan

perkembangan PV menunjukkan kecenderungan

menurun seiring dengan peningkatan kadar

protein nabati. Akan tetapi, penurunan proporsi

oosit tahapan PV tersebut tidak berkorelasi

dengan kadar protein nabati dalam pakan

(Pearson Correlation (r)= -0,138; P= 0,098).

Tabel 4. Rataan persentase oosit tahapan V3 dan PV pada induk ikan nilem pasca mijah yang diberi pakan berprotein nabati dengan kadar yang berbeda

Persentase Protein

V3 (%) PV (%)

37,5% 32,7015,25a 15,2520,35ab

32,5% 29,2017,35b 17,3517,34ab

27,5% 37,4412,46ab 12,469,68a

22,5% 30,1523,80b 23,8011,91b

5

Page 6: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Keterangan: angka yang diikuti huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05).

37,5 32,5 27,5 22,5

0%

10%

20%

30%

40%

V3

PV

Persentase protein nabati dalam pakan (%)

Pro

po

rsi

oo

sit

Gambar 4. Pengaruh pemberian pakan berprotein nabati terhadap proporsi oosit tahapan V3 dan PV pada induk ikan nilem pasca mijah

Keterangan: V3 = Vitelogenik 3; PV= Post-Vitelogenik

Dosis hormon E2 berpengaruh nyata

terhadap proporsi oosit pada tahap V5, PV dan

Dg (P<0,05). Peningkatan dosis hormon E2

menghambat perkembangan oosit tahapan V5

(r=-0,355) dan Dg (r=-0,291) sehingga proporsi

oosit tahapan V5 dan Dg menurun, tetapi

memacu perkembangan oosit tahapan PV

(r=0.309) sehingga proporsi tahapan PV

meningkat (Tabel 5 dan Gambar 5).

Tabel 5. Rataan persentase oosit tahapan V5, PV dan Dg pada induk ikan nilem pasca mijah yang diberi hormon E2 dengan dosis yang berbeda

Dosis E2(g/kg BB)

V5 (%) PV (%) Dg (%)

0 20,757,33

a 10,4310,19a 1,979,27a

12617,566,79

b 17,0316,40 a 0,95 1,95b

21013,866,16

c 24,1822,21 b 1,23 2,30b

Keterangan: angka yang diikuti huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05).

0 126 210

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

V5

PV

D

Dosis E2 (µ/kg)

Pro

po

rsi

oo

sit

Gambar 5. Pengaruh induksi hormon E2 terhadap tahapan V5, PV dan Dg

Keterangan: V5 = Vitelogenik 5; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia

Interaksi antara perlakuan kadar protein

nabati pakan dan dosis hormon E2 berpengaruh

nyata terhadap proporsi oosit pada tahap V3 dan

PV (Gambar 6). Kombinasi terbaik antara

induksi hormon E2 dengan pakan berprotein

nabati adalah P4D2. Perlakuan ini

meningkatkan tahapan perkembangan PV tetapi

cenderung menghambat tahapan perkembangan

V3. Pada fase awal perkembangan gonad atau

pemulihan pasca mijah, persentase V3 lebih

tinggi dibandingkan dengan tahap

perkembangan yang lain sebaliknya persentase

PV cukup rendah. Akan tetapi, pada fase akhir

perkembangan gonad persentase V3 menurun

dan persentase PV akan meningkat.

P1D0

P1D1

P1D2

P2D0

P2D1

P2D2

P3D0

P3D1

P3D2

P4D0

P4D1

P4D2

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

V3

PV

Perlakuan

Per

sen

tase

oos

it

6

g

Page 7: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Gambar 6. Pengaruh induksi hormon E2 dan pemberian pakan berprotein nabati terhadap tahapan V3 dan PVKeterangan: V3 = Vitelogenik 3; PV = Post-Vitelogenik

V3 V4 V5 V6 V7 PV Dg0%

5%

10%15%

20%

25%30%

35%40%

Minggu ke 2 PM Minggu ke 4 PM

Minggu ke 6 PM Minggu ke 8 PM

Tahapan perkembangan oosit

Pro

pors

i oos

it

Gambar 7. Hubungan antara waktu pengambilan data terhadap proporsi tahapan perkembangan oositKeterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia

Proporsi oosit tahapan V3 dipengaruhi

oleh kadar protein nabati dalam pakan, dosis E2

serta berbeda pada setiap minggu pasca mijah

(P<0,05). Waktu pengambilan data (kanulasi

oosit ikan) berpengaruh terhadap pekembangan

oosit ikan nilem. Proporsi oosit pada tahap V3,

V6, V7, PV dan Dg menunjukkan perbedaan

yang nyata jika dilihat dari waktu pengambilan

datanya (P<0,05; Gambar 7). Pada setiap

pengambilan data, proporsi tahapan

perkembangan V3 cenderung berfluktuasi dan

persentase terendah yaitu pada minggu ke 6

pasca mijah (27,84%). Persentase tahapan

perkembangan V6 dan V7 mengalami penurun

sampai minggu ke 8 pasca mijah . Sebaliknya,

tahapan perkembangan PV meningkat hingga

minggu ke 6 kemudian menurun pada minggu

ke 8 (r= 0,182; P<0,05). Pada setiap minggu

pengambilan data ditemukan oosit pada tahapan

Dg. Pada minggu ke 2 pasca mijah, persentase

tahapan Dg masih tinggi kemudian menurun

hingga minggu ke 6 dan meningkat kembali

pada minggu ke 8 pasca mijah. Persentase

tahapan PV tertinggi pada minggu ke 6 pasca

mijah ditemukan pada kombinasi perlakukan

dosis E2 210 µg/kg dan pemberian pakan

dengan kadar protein 37,5%. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis E2

dan protein nabati pakan maka proses

rematurasi semakin cepat.

P1D0P1D1

P1D2P2D0

P2D1P2D2

P3D0P3D1

P3D2P4D0

P4D1P4D2

0

2

4

6

8

10

12

14IGS

IHS

Perlakuan

Per

sen

tase

IG

S d

an

IH

S (

%)

Gambar 8. Hubungan antara perlakuan dengan IGS dan IHS induk betina ikan nilem

Nilai indeks gonadosomatik (IGS) ikan uji

berkisar antara 1,03-15,88%. Nilai rataan IGS

tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan

protein nabati 37,5% dan hormon E2 210 µg/kg

(P1D2), yaitu 12,81±4,31%. Nilai IGS

menunjukkan perbedaan nyata pada perlakuan

dosis hormon estradiol-17β (P<0,05) sedangkan

untuk perlakuan kadar protein nabati pakan dan

kombinasi perlakuan tidak berpengaruh nyata

(P>0,05). Nilai IGS yang diperoleh meningkat

seiring dengan peningkatan dosis hormon E2

yang diberikan (r=0.599). Analisis statistik

menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak

7

Page 8: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

berpengaruh terhadap nilai IHS dan fekunditas

(P>0,05).

Tabel 6. Rataan IGS, IHS, dan fekunditas ikan nilem yang diinduksi hormon E2 dan diberi pakan berprotein nabati

Perlakuan IGS (%) IHS (%)Fekunditas

(Butir telur x 104)P1D0 6,174,28a 1,450,20a 13,360,64a

P1D1 8,111,25bc 1,450,36a 8,794,61a

P1D2 12,814,31c 1,950,48a 5,821,89a

P2D0 7,292,82 a 1,410,05a 8,255,97a

P2D1 7,811,58 bc 1,600,21a 8,043,77a

P2D2 8,440,73 1,240,28a 6,613,15a

P3D0 5,272,74 a 1,410,48a 11,945,57a

P3D1 10,432,20bc 1,380,40a 6,191,27a

P3D2 11,042,18c 2,621,21a 13,313,13a

P4D0 3,592,44 a 2,121,32a 8,396,52a

P4D1 7,742,70 bc 1,170,33a 6,722,00a

P4D2 8,640,88 c 1,460,19a 11,162,05a

Keterangan: angka yang diikuti huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)

Protein merupakan komponen

utama dalam reproduksi ikan.

Peningkatan kadar protein pakan

dapat meningkatkan ukuran oosit dan

berat gonad pada ikan Poecilia

reticulate (Dahlgren, 1980 dalam

Adewumi et al., 2005). Beberapa

penelitian mencoba untuk mengganti

protein hewani dengan protein yang

berasal dari tumbuhan (protein

nabati) (Kaushik et al., 1995;

Bobadilla et al., 2005; Hansen,

2007). Pada penelitian ini digunakan

protein yang berasal dari kecambah

kedelai (protein nabati). Sel-sel pada

kedelai ditutupi oleh dinding sel

sehingga sulit untuk dicerna (Hepher,

2009). Selain itu, kedelai

mengandung senyawa antri nutrisi

seperti tripsin inhibitor, hemaglutinin

dan anti vitamin (Tacon, 1993 dalam

Nguyen, 2008). Akan tetapi, zat anti

nutrisi pada kedelai dapat dikurang

dengan cara (Adewumi et al., 2005

dan Hepher, 2009). Dalam penelitian

ini kecambah kedelai dikeringkan

dalam oven terlebih dahulu sebelum

dihaluskan dan dibuat pellet sehingga

dapat mengurungi zat anti nutrisi

dalam kedelai.

Kedelai mengandung fitoestrogen dan

vitamin E yang berperan dalam perkembangan

gonad betina ikan nilem. Fitoestrogen pada

kedelai berupa isoflavon terutama genistein,

pada kecambah kedelai mengandung

fitoestrogen berupa daidzein 138 µg/g berat

basah, genistein 230 µg/g berat basah, dan

coumestrol 7 µg/g berat basah (Reinli dan

Block, 1996). Menurut Laila (2008) kandungan

vitamin E kedelai berkisar antara 6,39-6,68 mg.

Genistein kedelai (dosis 500, 1000 dan 3000

mg/kg pakan) dapat meningkatkan serum

vitelogenin (Vtg) pada ikan salmon tetapi tidak

berpengaruh terhadap kadar hormon reproduksi,

morfologi maupun histologi gonad, produksi

telur, fertilitas dan ukuran larva maupun daya

hidup larva (Hart et al., 2006).

Penelitian ini menunjukkan bahwa

pemberian pakan berprotein nabati hanya

berpengaruh pada tahapan perkembangan V3

dan PV. Kiparissis et al. (2003) menyatakan

bahwa pemberian equol (0,4 dan 0,8 µg/L) dan

genistein (1, 10, 100 dan 1000 µg/L) pada

Oryzias latipes mengakibatkan penundaan

8

Page 9: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

maturasi oosit, atresia oosit, dan pembesaran

pada lumen ovarium, proliferasi stroma jaringan

somatik dan primordial germ cell. Pada

penelitian ini proporsi oosit Dg tidak berbeda

antar kelompok uji.

Pemberian pakan berbahan dasar kedelai

pada ikan Oncorhynchus mykiss tidak

berpengaruh terhadap kadar Vtg dalam plasma

(Kaushik et al., 1995). Pada penelitian ini tidak

diukur kadar Vtg. Guna mengetahui pengaruh

pakan berbahan utama kecambah kedelai

terhadap kadar Vtg pada ikan nilem diperlukan

penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, penelitian

ini menunjukkan bahwa pemberian pakan

berprotein nabati dapat meningkatkan

perkembangan oosit induk ikan nilem pasca

mijah dengan semakin meningkatnya tahapan

PV dan persentase tertinggi diperoleh pada

minggu ke 6 pasca mijah. Peningkatan

persentase oosit tahapan PV membutuhkan

banyak Vtg. Pada minggu ke 8 pasca mijah

persentase tahapan PV menurun. Hal ini

mungkin dikarenakan tahapan PV pada minggu

ke 6 sudah mengalami degradasi pada minggu

ke 8 pasca mijah. Dugaan tersebut didasarkan

pada data bahwa pada minggu ke 8 pasca mijah

ditemukan lebih banyak oosit yang terdegradasi

dibandingakan pada minggu ke 6 pasca mijah.

Menurut James dan Sampath (2004)

peningkatan protein nabati pakan (10%, 15%,

25%, 35%, dan 45%) dapat meningkatkan

reproduksi ikan Xiphophorus helleri. Pada

protein nabati 45% diperoleh hasil yang paling

baik karena perkembangan gonadnya lebih

cepat. Sebaliknya menurut Manissery et al.

(2001) pemberian pakan dengan bahan dasar

bekatul dan minyak kacang (1:1) dengan

kandungan protein 35% memberikan hasil

terbaik dalam meningkatkan performa

reproduksi ikan Cyprinus carpio.

Menurut Kaushik et al. (1995) penggantian

protein hewani dengan protein kedelai dapat

menurunkan kadar kolesterol dalam plasma

pada O. mykiss sehingga mengakibatkan

penurunan hormon steroid (termasuk E2). Akan

tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap kadar

Vtg. Berdasarkan penelitian Fernandes et al.

(2000) pemberian pakan dengan 100% kedelai

pada ikan nila menyebabkan kadar hormon E2

dan Vtg rendah karena pada kedelai

mengandung sedikit asam amino lisin dan

metionin/sistin. Sehingga dalam penelitian ini

selain diberi pakan berprotein nabati, induk ikan

nilem juga diinduksi dengan hormon E2.

Proporsi tahapan perkembangan oosit V3

berfluktuasi pada setiap minggu pengambilan

data. Sebaliknya proporsi tahapan V6 cenderung

menurun sejak minggu ke 2 sampai minggu ke 8

(r=-0,370). Hal yang sama juga terlihat pada

tahapan perkembangan V7 (r=-0,338).

Sebaliknya proporsi oosit tahapan PV terus

meningkat sejak minggu ke 2 hingga minggu ke

6 dan menurun kembali pada minggu ke 8

(r=0,182).

Hasil pengamatan proporsi oosit

selama penelitian menunjukkan bahwa

dinamika setiap tahapan perkembangan oosit

pada ikan nilem saling berhubungan. Penurunan

proporsi tahapan V3 diikuti juga penurunan

proporsi tahapan V4 dan V5. Akan tetapi,

penurunan tahapan V3,V4, dan V5

menyebabkan peningkatan proporsi tahapan V7

dan PV. Sebaliknya penurunan proporsi tahapan

V6 dan V7 menyebabkan peningkatan proporsi

tahapan PV. Berdasarkan data tersebut

perkembangan oosit dapat dikelompokan

menjadi perkembangan gonad awal/ pemulihan

pasca mijah (V3-V5), perkembangan gonad

tengah (V6-V7) dan perkembangan gonad akhir

(PV)

9

Page 10: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Kombinasi antara induksi hormon E2

dengan pemberian pakan berprotein nabati pada

induk ikan nilem meningkatkan proporsi

tahapan PV seiring dengan waktu. Hasil

penelitian Subagja et al. (2007) menunjukkan

bahwa pada minggu ke 6 tahapan V7 lebih

tinggi dibandingkan PV dan pada minggu ke 9

tahapan PV meningkat melebihi V7. Pada

penelitian ini, proporsi tahapan PV pada minggu

ke 6 meningkat kemudian pada minggu ke 8

menurun. Gambar 7 memperlihatkan bahwa

proporsi PV tertinggi dicapai pada minggu ke 6.

Berdasarkan uji korelasi, hubungan tahapan

perkembangan PV dengan waktu pengambilan

data menunjukkan korelasi positif (r=0,178).

Induksi hormon E2 dosis 210 µg/kg dan

pemberian pakan berprotein nabati 37,5%

(P1D2) menunjukkan proporsi tahapan PV

paling tinggi pada minggu ke 6 sebesar 57.43%.

Hasil serupa juga dilaporkan oleh Subagja et al.

(2007) yaitu pemberian pakan buatan dengan

protein 42%, menghasilkan 57% betina matang

gonad (TKG IV) (ikan siap dipijahkan) dan

rematurasi lebih singkat diperlukan waktu 3

bulan (84 hari).

Menurut Sinjal (2007) kombinasi

penambahan ascorbyl phosphate magnesium

1200 mg/kg pada pakan dan implantasi

estradiol-17β sebesar 250 µg/kg pada ikan lele

dapat mempercepat pematangan gonad. Induksi

hormon E2 pada induk ikan nilem

mengakibatkan peningkatan konsentrasi E2

dalam darah. Hal ini akan memacu hepar untuk

mensintesis Vtg dan choriogenin yang

selanjutnya akan mempercepat proses

pematangan gonad. Sintesis hormon E2 pada sel

granulosa dan deposisi Vtg ke dalam oosit

dikontrol oleh FSH (Jalabert, 2005). Kadar

estradiol-17β ikan meningkat selama tahapan

vitelogenesis dan akan menurun ketika

memasuki tahapan maturasi (Fard et al., 2013).

Menurut Singh et al. (2007), pemberian E2

dapat meningkatkan phospholipid plasma

sehingga juga meningkatkan jumlah oosit

tahapan vitelogenik. Hasil penelitian ini

menunjukkan korelasi positif antara hormon E2

dengan tahapan perkembangan PV. Hal ini

menunjukkan bahwa vitelogenesis berlangsung

cepat sehingga tahapan PV meningkat seiring

dengan bertambahnya waktu. Hal yang sama

juga diungkapkan oleh Kidd et al. (2007), yaitu

perkembangan oosit tahap kortikal alveoli dan

vitelogenesis berlangsung lebih awal pada

Pimephales promelas yang terpapar estrogen

sintetik (EE2) pada dosis 6,1±2,8 ng/L, 5,0±1,8

ng/L dan 4,8±1,0 ng/L.

Nilai IGS menunjukkan perbedaan nyata

pada perlakuan dosis hormon estradiol-17β

(P<0,05) sedangkan untuk perlakuan kadar

protein nabati pakan dan kombinasi perlakuan

tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Menurut

Turker dan Bozcaamutlu (2009) isoflavon

dalam kedelai mempunyai efek menghambat

perkembangan gonad pada dosis lebih 1.000

mg/kg walaupun kadar Vtg meningkat dan dosis

10.000 mg/kg menghasilkan kadar Vtg tertinggi.

Hal ini karena dosis tinggi isoflavon

menyebabkan umpan balik negatif pada

pelepasan gonadotropin dari hipofisis.

Penurunan gonadotropin menyebabkan

penurunan sekresi E2 sehingga menghambat

vitelogenesis pada hepar.

Kombinasi pakan berprotein nabati 22,5%

dan hormon E2 0 µg/kg memiliki nilai IGS

paling kecil yaitu 3,59%. Dosis hormon E2 yang

diberikan berpengaruh terhadap nilai IGS

(P<0,05), sedangkan kadar protein nabati

dengan atau tanpa E2 tidak berpengaruh

terhadap IGS (P>0,05). Hasil penelitian ini

10

Page 11: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

berbeda dengan hasil penelitian Kithsiri et al.

(2010), Reidel et al. (2010), dan Pelissero et al.

(1991) yang menyatakan bahwa pemberian

pakan berprotein tinggi meningkatkan

perkembangan gonad.

Nilai IGS yang diperoleh meningkat

seiring dengan peningkatan dosis hormon E2

yang diberikan (r=0.599; Gambar 8). Menurut

Onuma et al. (2005), Kagawa et al. (1983) dan

Sabet et al. (2009) bahwa selama vitelogenesis

kadar hormon E2 berkorelasi dengan nilai IGS.

Peningkatan IGS disebabkan oleh

perkembangan oosit. Pada saat vitelogenesis

berlangsung, volume oosit bertambah karena

deposisi Vtg ke dalam sitoplasma. Proses

vitelogenesis sangat tergantung pada hormon E2

karena hormon E2 berfungsi menstimulasi

sintesis Vtg dan choriogenin di dalam hepar dan

sekresinya ke sistem sirkulasi (Yaron et al.,

2009). Hal ini telah dilaporkan oleh Celius dan

Walther (1998) yang menyatakan bawah

penyuntikan E2 berpengaruh pada proses

zonagenesis dan vitelogenesis. Hasil penelitian

Zairin (1996) menunjukkan bahwa penyuntikan

E2 dengan dosis 1 µ/kg bobot ikan mampu

meningkatkan Vtg dalam plasma darah ikan

balashark.

Nilai IHS dipengaruhi oleh ketersedian

pakan, daya simpan energi, kebiasaan makan,

dan kondisi fisiologi ikan (Svedäng dan

Wickström, 1997). Berdasarkan penelitian

Bobadilla et al. (2005) nilai IHS tidak berbeda

pada Sparus aurata yang diberi pakan dengan

perbandingan komposisi protein hewani dan

protein nabati (PN) yang berbeda (50% PN,

75% PN, dan 100% PN). Hal yang sama juga

diperlihatkan pada penelitian Hansen (2007)

yang menyatakan bahwa penggantian protein

hewani dengan protein nabati sebesar 75% PN

tidak berpengaruh terhadap IHS. Di lain pihak

menurut Mei dan Zhen (2005) nilai IHS tidak

dipengaruhi oleh pemaparan hormon estradiol-

17β dengan konsentrasi 10, 60, dan 150g/L

selama 7, 14, dan 21 hari.

EI-Naggar et al. (2000) melaporkan bahwa

tidak ada pengaruh induksi E2 dan pakan

terhadap jumlah telur yang dihasilkan oleh

betina pada Oreochromis niloticus. Tidak ada

korelasi antara fluktuasi hormon steroid dengan

fekunditas pada Rutilus frissi kutum (Kousha et

al., 2009). Akan tetapi, terdapat korelasi positif

antara bobot ikan dengan fekunditas (r=0,309).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Bhuiyan et al.

(2004) bahwa bobot Puntius gonionotus

berkorelasi positif dengan fekunditas.

KESIMPULAN

Perkembangan oosit dan GSI pada induk

ikan nilem pasca mijah meningkat dengan

pemberian estradiol-17 dan pakan berprotein

nabati. Kombinasi antara induksi hormon E2

dosis 210 g/kg dan pemberian pakan

berprotein nabati 37,5% (P1D2) adalah yang

terbaik karena mampu memberikan nilai rataan

tertinggi pada proporsi tahapan PV pada minggu

ke 6 dan GSI.

DAFTAR REFERENSI

Adewumi, A.A., V. F. Olaleye, and E.A. Adesulu. 2005. Egg and sperm quality of the African catfish, Clarias gariepinus (Burchell) broodstock fed differently heated soybean-based diets. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 1: 17-22.

Al-Hafedh, Y.S., A.Q. Siddiqui, and M.Y. Al-Salady. 1999. Effects of dietary protein levels on gonad maturation size and age at first maturity, fecundity and growth of nila tilapia. Aquacluture International, 7: 319-332.

Bhuiyan, A.S., K. Islam and T. Zaman. 2006. Fecundity and ovarian characteristics of

11

Page 12: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Puntius gonionotus (Bloch/Bleeker) (Cyprinidae: Cypriniformes).

Bobadillaa, A.S., S.P. Llopisa, P.G. Requeni, F. Médaleb, S. Kaushik, and J.P. Sáncheza. 2005. Effect of fish meal replacement by plant protein sources on non-specific defence mechanisms and oxidative stress in gilthead sea bream (Sparus aurata). Aquaculture, 249: 387-400.

Brion, F., C.R. Tyler, X. Palazzi, B. Lailet, J.M.J. Garric, and P. Flammarion. 2004. Impacts of 17β-estradiol including environmentally relevant concentrations, on reproduction after exposure during embryo-larvel-juvenile and adult-life stages in zebra fish (Danio rerio). Aquat Toxicol 68: 193-217.

Cowey, C.B. 1975. Aspects of protein utilization by fish. Proc. Nutr. Soc.34: 57-63.

Davis, L.K., N. Hiramatsu, K. Hiramatsu, B.J. Reading, T. Matsubara, A. Hara, C.V. Sullivan, A.L. Pierce, T. Hirano, and E.G. Grau. 2007. Induction of three vitellogenins by 17β-estradiol with concurrent inhibition of the growth hormone-insulin-like growth factor 1 axisina euryhaline teleost, the tilapia (Oreochromis mossambicus). Biology of Reproduction, 77: 614–625.

Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas. 2011. Statistik Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas 2011.

Effendie, M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Nusatama. Yogyakarta.

EI-Naggar, G.O., M.A. EI-Nady, M.G. Kamar, and A.I. Al-Kobaby. 2000. Effect of photoperiod, dietary protein and temperature on reproduction in nile tilapia (Oreochromis niloticus).

Fard, E.R., M.S. Kamarudin and S.A. Harmin. 2013. Endocrine control of oogenesis in teleosts. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances, 8: 205-215.

Fernandes, A.F., M. Monteiro, A. Figueiredo, E. Gomes, J. Coimbra, and M.A.R. Henriques. 2000. Partial or total replacement of fish meal by plant protein affects gonadal development and plasma17β-estradiol levels in female Nile tilapia. Aquaculture International 8:299- 313.

Gunasekera, R.M., K.F. Shim and T.J. Lam. 1995. Effect of dietary protein level on puberty, oocyte growth and egg chemical composition in the tilapia, Oreochromis niloticus (L.). Aquaculture, 134: 169-183.

Halver, J.E. 1980. Protein and amino acids. FAO. Fisheries and Aquaculture Department. University of Woshington Seattle, Woshington.

Hansen, A.C., G. Rosenlund, Ø. Karlsen, W. Koppe, and G.I. Hemre. 2007. Total replacement of fish meal with plant proteins in diets for atlantic cod (Gadus morhua L.) — Effects on growth and Protein Retention. Aquaculture, 272: 599-611.

Hart, S.D., F.T. Barrows, K. Dabrowski, S. Dasgupta, D.L. Garling, R.W. Hardy, J.A. Malison, D.I. Skonberg, C. Weeks, and Paul B. Brown. 2006. Soybean antinutritional factors and their relative importance in limiting the use of soybean meal in salmonid diets.

Heidari, B., S. A. Roozati, and L. Yavari. 2010. Changes in plasma levels of steroid hormones during oocyte development of caspian Kutum (Rutilus frisii kutum, Kamensky, 1901). Animal Reproduction, 7: 373-380.

Hendrianto. 1999. Induksi ovulasi ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) dengan ekstrak kelenjar hipofisis ayam ras dan ekstrak urin wanita pasca menopause. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Unsoed. Purwokerto.

Hepher, B. 2009. Nutrition of Pond Fishes. Cambridge University Press, New York.

Hernawati. 2007. Perbaikan kinerja reproduksi akibat pemberian isoflavon dari tanaman kedelai. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Hoar, W.S. and D.J. Randall, 1970. Fish Physiology Volume IV: The Nervous System, Circulation, and Respiration. Academic Press, Inc., San Diego. Hal: 159-160.

Izquierdo, M.S., H. Fernandez-Palacios and A.G. J. Tacon. 2001. Effect of brood stock nutrition on reproductive

12

Page 13: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

performance of fish. Elsevier Science. Aquaculture 197: 25-42.

Jalabert, B. 2005. Particularities of Reproduction and oogenesis in teleost fish compared to mammals. Reprod. Nutr. Dev. 45: 261–279.

James, R. and K. Sampath. 2004. Effect of animal and plant protein diets on growth and reproductive performance in an ornamental fish, Xiphophorus helleri. Indian J. Fish, 51: 75-86.

Kagawa, H., G.Young, and Y. Nagahama. 1993. Relationship between seasonal plasma estradiol-17β and testosterone in vitro production by ovarian follicles of amago salmon (Oncorhynchus rhodurus). Biology of Reproduction, 29: 301-309.

Kang, J., H. Yokota,Y. Oshima, Y. Tsuruda, T. Yamaguchi, M. Maeda, N. Imada, H.

Tadokoro, and T. Honjo. 2002. Effect of 17β-estradiol on the reproduction of japanese medaka (Oryzias latipes). Chemosphere, 47: 71–80

Kaushik, S.J., J.P. Cravedi, J.P. Lalles, J. Sumpter, B. Fauconneau, and M. Laroche. 1995. Partial or total replacement of fish meal by soybean protein on growth, protein utilization, potential estrogenic or antigenic effects, cholesterolemia and flesh quality in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 133: 257–274.

Kidd, K.A., P.J. Blanchfield, K.H. Mills, V.P. Palace, R.E. Evans, J.M. Lazorchak, and R.W. Flick. 2007. Collapse of a fish population after exposure to a synthetic estrogen. PNAS, 104: 8897-8901.

Kiparissis, Y., G.C. Balch, T.L. Metcalfe, and C.D. Metcalfe. 2003. Effects of the isoflavones genistein and equol on the gonadal development of japanese medaka (Oryzias latipes). Environmental Health Perspectives, 111: 1158-1163.

Kithsiri, H.M.P., P. Sharma, S.G.S. Zaidin, A.K. Pal, and G. Venkateshwarlu. 2010. Growth and reproductive performance of female guppy, Poecilia reticulata (Peters) fed diets with different nutrient levels. Indian J.l Fish, 57: 65-71.

Kousha, A., F. Askarian., M.Y. Fian., H.V. Ghate, and V.S. Ghole. 2009. Annual fluctuation of steroid hormones in pre-

spawning female kutum (Rutilus frisis Kutum). World Journal of Fish and Marine Science, 1: 65-73.

Kuo, C. M., C. E. Nash, and Z.H. Shehadeh. 1974. A procedure to induced spawning in grey mullet (Mugil Chepalus). Aquaculture, 3: 1-14.

Laila, I.N. 2008. Pengaruh kultivar dan umur perkecambahan terhadap kandungan protein dan vitamin E pada kecambah kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang. Malang.

Manissery, J.K, D. Krishnamurthy, B. Gangadhara, and M.C. Nandeesha. Effect of varied levels of dietary protein on the breeding performance of common carp Cyprinus carpio. Asian Fisheries Science 14: 317-322.

Mehrad, B., H. Jafaryan, and M.M. Taati. 2012. Assessment of the effects of dietary vitamin E on growth performance and reproduction of zebrafish, Danio rerio (Pisces, Cyprinidae). Journal of Oceanography and Marine Science, 3: 1-7.

Mei, H.L. and Z.R. Wang. 2005. Effect of nonylphenol on plasma vitellogenin of male adult guppies (Poecilia reticulata). Environ. Toxico,l 20:53–59.

Murua, H. and R.S. Rey. 2003. Female reproductive strategies of marine fish species of the north atlantic. J. Northw. Atl. Fish. Sci., 33:23-31.

Nagahama, Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int. J. Dev. BioI, 38: 217-229.

Nguyen, T.N. 2008. The utilization of soybean products in tilapia feed – A review. 8th International Symposium on Tilapia in Aquaculture.12-14 October 2008. Cairo.

Ni’mah, R.J., 2009, Kadar genistein dan daidzein pada kedelai, ampas tahu dan oncom merah, Laporan Skripsi, Bogor: IPB

Nofyan, E. 2005. Pengaruh pemberian pakan dari sumber nabati dan hewani terhadap berbagai aspek fisiologi ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac.). Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 5: 19-23.

13

Page 14: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

Olivereau, M. and J. Olivereau. 1997. Effect of estradiol-17β on the cytology of the liver, gonad and pituitary, and on plasma electrolytes in female freshwater ell. Cell and Tissue Research 199: 431-454.

Onuma, T., S. Sato, A. Jodo, N.D. Davis, H. Ando, M. Ban, M. Fukuwaka, and A. Urano. 2005. Changes in chum salmon plasma levels of steroid hormones during onset of the spawning migration in the Bering Sea. NPAFC Technical Report No. 6: 104-106.

Pollack, S.J. and M.A. Ottinger. 2003. The effects of the soy isoflavone genistein on the reproductive development of striped bass. North American Journal of Aquaculture 65: 226–234.

Pelissero, C., F.L. Menn and S. Kaushick. 1991. Estrogenic effect of dietary soyabean meal on vitellogenesis in cultured siberian sturgeon Acipenser baeri. General and Comparative Endocrinology, 83: 447-457.

Pushparaj, A., P. Ambika and U. Ramesh. 2012. Impact of dietary protein levels on the reproductive performance of Penaeus monodon. World Journal of Fish and Marine Sciences 4: 115-120.

Reidel, A., W. R. Boscolo, A. Feiden, and E. Romagos. 2010. The effect of diets with different levels of protein and energy on the process of final maturation of the gametes of Rhamdia quelen Stocked in Cages. Aquaculture, 298: 354–359.

Riberio, R.M.A., Bazzoli N., T.A. Maria, and G.B. Santoso. 2006. Ultrastructure changes in female hepatocytes during ovarian maturation of Steidachanerina insculpta. Braz. J. Biol., 66940: 957-962.

Reinli, K. and G. Block. 1996. Phytoestrogen content of food-A compendium of literature values. Nutr Cancer 26: 123-148.

Sabet, S.S., M.R. Imanpoor and B.A. Fatideh. 2009. Relation between gonadal hormones and sexual maturity of female Kutum (Rutilus frisii kutum) During Spawning Season. Journal of Cell and Molecular Research, 1: 97-105.

Singh, P.B., V. Singh, S. Srivastava, and S. Pandey. 2007. Effects of estradiol-17b and 17α, 20β-dihydroxy-4-pregnen-3-

one on different phospholipids metabolism and histological changes in ovary during reproductive growth in the catfish, Heteropneustes fossilis (Bloch). Journal of Enviromental Biology, 28: 771-778.

Sinjal. H.J. 2007. Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui penambahan ascorbyl magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi dengan estradiol-17. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Sitompul, S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian. 9: 33-37.

Subagja, J., R. Gustiano dan Winarlin. 2007. Teknologi reproduksi ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V): Pematangan gonad, penanganan telur dan penyediaan calon induk. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII

Sumantadinata, K. 1981. Perkembangbiakan Ikan–Ikan Peliharaan Indonesia. Fakultas Perikanan, Bogor

Svedäng, H. and H. Wickström. 1997. Low fat contents in female silver eels: indications of insufficient energetic stores for migration and gonadal development. Journal of Fish Biolog, 50, 475–486.

Swanson, P. 2002. Regulating of gametogenesis in fish by gonadotropins. National Marine Service, Northwest Fisheries Science Center, Washington, USA. 131-136.

Turker, H. and A. Bozcaarmutlu. 2009. Effect of total isoflavones found in soybean on vitellogenin production in common carp. Kafkas Univ Vet Fak Derg, 15: 561-568.

Velasco, Y. and W. Corredor. 2011. Nutritional requirements of freshwater ornamental fish: A Review. Rev.MVZ Cordoba, 16: 2458-2469.

Wijayanti, G.E., S.B.I. Simanjuntak, dan Sugiharto. 2005. Optimalisasi potensi reproduksi ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) melalui kajian gametogenesis. Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, UNDIP. Semarang.

Yaron, Z., A. Bogomolnaya, S. Drori, I. Biton, J. Aizen, Z. Kulikovsky and B. Levavi-Sivan. 2009. Spawning induction in the

14

Page 15: Jurnal Semnaskan UGM 2013 (Yudi)

carp: past experience and future prospects-A Review. The Israeli Journal of Aquaculture – Bamidgeh 61: 5-26.

Zairin, M.J.R. 1996. Aktivitas proses vitellogenesis untuk pematangan gonad ikan balashark, (Balantiochelius melaopterus Bleeker) betina. Biosfera, 5: 39-47.

15


Recommended