Date post: | 20-Oct-2015 |
Category: |
Documents |
Upload: | yudi-novianto |
View: | 175 times |
Download: | 6 times |
PERKEMBANGAN OOSIT INDUK IKAN NILEM (Osteochilus vittatus Val.1842) YANG DIBERI HORMON ESTRADIOL-17β DAN PAKAN BERPROTEIN
NABATI
Yudi Novianto, Dra. Siti Rukayah, M.Si., Dra. Gratiana E. Wijayanti, M.Rep.Sc., Ph.D.Fakultas Biologi Unversitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT
Hormones and food play crucial roles in fish reproduction. The objectives of this study were to
evaluate the effective dose of estradiol-17β and protein (mainly from soy bean sprout meal) contain in
feed to promote oocyte development of the post-spawn hard-lipped barb (Osteochilus vittatus Val. 1842).
This research was conducted experimentally applying factorial completely randomized design. The first
factor was feed protein content consisted of 22.5% (P4), 27.5% (P3), 32.5% (P2), and 37.5% (P1). The
second factor was dose of estradiol-17β consisted of 0µg/kg BW (D0), 1260µg/kg BW (D1) and 210µg/kg
BW (D2). Three replicates were provided for each treatment. Estradiol-17β was administered
intramuscularly on the 7th day post post-spawning. The fish were reared for 8 weeks under laboratory
condition and fed as much as 3% of biomass weight. Oocyte development was evaluated on 2nd, 4th, 6th
and 8th week. Oocyte samples were aspirated by canula, fixed in neutral buffered formalin and examined
under a light microscope to determine their morphological feature and measure their diameter. The
gonadosomatic index (GSI), fecundity and hepatosomatic index (HSI) were measured on 8 th week. The
data of oocyte development, GSI, fecundity and HSI were analyzed using two ways Anova. The results
showed that oocyte development and GSI were significantly improved by estradiol-17β in dose dependent
manner (p<0.05). The fish fed with 37.5% protein and injected with 210µg/kg BW estradiol-17β (P1D2)
produced highest proportion of post-vitellogenic stage oocyte on the 6th week. The proportion of post-
vitellogenic oocyte increased inline with the increased of estradiol-17β (r=0.599) and with the GSI
(r=0.037). Fecundity and HSI was not affected by the treatments (p>0.05).
Keywords: oocyte development, GSI, HSI, Osteochilus vittatus Val. 1842, soy bean sprouts protein.
PENDAHULUAN
Ikan nilem merupakan salah satu
komoditas utama perikanan di Kabupaten
Banyumas. Berdasarkan data Dinas Perikanan
dan Peternakan Banyumas pada tahun 2011
produksi ikan nilem di Kabupaten Banyumas
mencapai 699.689 kg atau naik 10,43% dari
tahun 2010. Akan tetapi, saat ini pembenihan
ikan tawar masih dilakukan secara konvensional
yaitu dengan mengandalkan lingkungan alami
dan pakan yang mutunya masih rendah. Kondisi
ini tidak menjamin peningkatan produksi ikan
yang signifikan. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya untuk meningkatkan produksi benih ikan
di Banyumas. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperbaiki performa reproduksi induk ikan
betina yaitu dengan memperpendek interval
pemijahan dan meningkatkan fekunditas induk.
Perbaikan performa reproduksi induk
betina dapat dilakukan dengan induksi hormonal
karena perkembangan oosit ikan diregulasi oleh
sistem endokrin. Salah satu hormon yang
berperan penting dalam perkembangan oosit
adalah estradiol-17 (E2). Keterlibatan hormon
E2 dalam vitellogenesis pada berbagai jenis
ikan telah banyak dipelajari (Olivereau dan
Olivereau, 1997; Davis et al., 2007; Singh et al.,
2007; Heidari et al., 2010). Menurut Kang et al.
(2002) dan Brion et al. (2004), pemaparan
1
DosisProtein
hormon E2 dapat meningkatkan produksi
vitelogenin.
Selain itu, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas
pakan terutama protein dapat mempengaruhi
performa reproduksi ikan (Cowey, 1975; El-
Naggar et al., 2000; Izquierdo et al., 2001;
Nofyan, 2005; Reidel et al., 2010; Velasco dan
Corredor, 2011; Pushparaj et al. 2012).
Pemberian pakan dengan kadar protein 32% dan
40% dapat mempercepat pertumbuhan dan
maturasi oosit pada ikan nila (Oreochromis
niloticus) (Gunasekera et al., 1995).
Kedelai dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembuat pellet ikan karena kedelai mengandung
protein yang tinggi yaitu 38,90-46,91% dan
memiliki asam amino esensial yang lengkap
(Sitompul, 2004). Menurut Hernawati (2007),
kedelai juga mengandung fitoestrogen berupa
isoflavon terutama genistein. Pemberian pakan
yang mengandung genistein dapat
meningkatkan biosintesis vitelogenin (Pollack
dan Ottinger, 2003). Kedelai juga mengandung
vitamin E berupa -tocopherol yang berperan
dalam peningkatan fekunditas (Mehrad et al.,
2012). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dosis hormon E2 dan kadar protein
nabati pakan yang dapat meningkatkan
perkembangan oosit ikan nilem.
MATERI DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan meliputi
induk betina ikan nilem sebanyak 72 ekor
dengan bobot 80–200 g, hormon estradiol
benzoat (17β-Oestradiol benzoate Batch No.
20090512, ARGENT Laboratories, Inc., Makati
City, Philippines), GnRH analog (merek
Ovaprim, Syndel Laboratories, Vancouver,
Cannada), Normal Buffer Formalin (NBF),
larutan NaCl 0,9%, pellet ikan dengan
komposisi bahan seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi bahan pellet ikan dengan presentase protein nabati yang berbeda per 1 kg berdasarkan perhitungan metode kuadrat
Bahan (%) P1 P2 P3 P4Tepung
kecambah kedelai
30,92 44,00 57,10 70,20
Tepung ikan 5,15 7,34 9,52 11,70Rebon 5,15 7,34 9,52 11,70
Ampas tahu 29,39 20,66 20,66 3,20Bekatul 29,39 20,66 20,66 3,20
Tabel 2. Hasil analisis proksimat pellet uji Bahan (%) P1 P2 P3 P4
Protein 36,74 32,36 26,37 22,56Air 2,87 5,77 12,21 2,53
Berat kering 97,13 94,23 87,79 97,47
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Struktur dan Perkembangan Hewan, Fakultas
Biologi, Unsoed. Rancangan dasar berupa
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial.
Faktor pertama yaitu dosis hormon estradiol-
17β (D) yang terdiri atas 3 taraf, yaitu 0 (D0),
126 (D1), dan 210 (D2) µg/kg berat tubuh ikan
(BB). Faktor kedua kadar protein nabati (P)
yang terdiri atas 4 taraf, yaitu 37,5% (P1),
32,5% (P2), 27,5% (P3), dan 22,5% (P4)
sehingga terdapat 12 perlakuan dan 3 ulangan.
Tabel 3. Kombinasi perlakuan antara kadar protein nabati dengan dosis hormon estradio-17
D0 D1 D2
P1 P1 D0 P1 D1 P1 D2
P2 P2 D0 P2 D1 P2 D2
P3 P3 D0 P3 D1 P3 D2
P4 P4 D0 P4 D1 P4 D2
Ikan uji dipelihara selama 8 minggu.
Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari dengan
proporsi 3 % dari bobot tubuh ikan pada pagi
hari jam 08.00-09.00 WIB dan sore hari jam
16.00-17.00 WIB. Sebelum pemeliharaan, fase
reproduksi ikan uji diseragamkan melalui
induksi pemijahan menggunakan 0,5 mL/kg BB
GnRH analog (Ovaprim). Penyuntikan hormon
E2 dilakukan secara intra muscular di daerah
2
250 m
V5
V3
V4
V5
V7
250 m
V5 250 m
dorsal pada hari ke tujuh pasca mijah.
Perkembangan oosit diamati berdasarkan
diameter >100 butir telur hasil kanulasi yang
diamati pada minggu ke 2, 4, 6 dan 8 pasca
mijah menggunakan mikroskop yang dilengkapi
dengan eye piece micrometer. Pada minggu ke 8
pasca mijah ikan dibedah guna mengamati
fekunditas, Indeks Gonadosomatik (IGS),
Indeks Hepatosomatik (IHS).
Variabel yang diamati:
PO (%) = x 100%
Ketrangan: Os = Jumlah oosit pada tahap tertentuOt = Jumlah oosit keseluruhanPO = Proporsi oosit pada tahapan tertentu
IGS (%) = x 100%
IHS (%) = x 100%
Fekunditas = x N
Keterangan: N = jumlah telur dalam sampel gonadWs = berat cuplikan gonad (g)
Wg = berat seluruh gonad (g)Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan ANOVA dua arah, jika hasil yang
diperoleh signifikat maka diuji lanjut dengan uji
Tuckey dan uji korelasi. Analisis data
keseluruhan menggunakan program komputer
SPSS versi 16 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan perkembangan oosit
ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan
berprotein nabati menunjukkan bahwa semua
tahapan perkembangan oosit ikan nilem
ditemukan kecuali tahapan perkembangan V1
dan V2 tidak teramati. Sebaran dan proporsi
tahapan perkembangan oosit pada ikan nilem
menurut Murua dan Rey (2003) dikategorikan
sebagai ikan dengan perkembangan oosit
asinkronus. Dikarenakan ikan nilem memjiah
beberapa kali dalam musim reproduksinya maka
Wijayanti et al. (2005) memasukan ikan nilem
sebagai ikan asinkronus batch spawner.
Gambar 1. Tahapan perkembangan oosit ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan berprotein nabati (Perbesaran 4x10)
3
OsOt
Bobot gonad (g)
Bobot tubuh (g)
Wg
Ws
PV
PV
Dg
Dg
250 m
V6
V6
Dg Dg
Dg
PV PV
Bobot hepar (g)
Bobot tubuh (g)
Keterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%50%
M2M
4M6M
8
P1D0 (protein 37,5%; E2 0 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4 V5
V6V7
PV Dg
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%50%
M2M
4M6M
8
P1D1 (protein 37,5%; E2 126 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6 V7
PVDg
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
M2M
4M6M
8
P1D2 (protein 37,5%; E2 210 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
M2M
4M6M
8
P2D0 (protein 32,5%; E2 0 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
10%
20%
30%
40%
M2M
4M6M
8
P2D1 (protein 32,5%; E2 126 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
M2M
4M6M
8
P2D2 (protein 32,5%; E2 210 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
M2M
4M6M
8
P3D0 (protein 27,5%; E2 0 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
M2M
4M6M
8
P3D1 (protein 27,5%; E2 126 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
Gambar 2. Proporsi oosit induk ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan berprotein nabati (P1D0-P3D1)
Keterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia; M2-M8 = Minggu ke 2-8 pasca mijah
4
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%50%
M2
M6
P3D2 (protein 27,5%; E2 210 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3 V4 V5 V6 V7 PV Dg
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%50%
M2
M6
P4D0 (protein 22,5%; E2 0 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
10%
20%
30%
M2M
4M6M
8
P4D1 (protein 22,5%; E2 126 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
V3V4
V5V6
V7PV
Dg
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
M2M
4M6M
8
P4D2 (protein 22,5%; E2 210 µg/kg)
Tahapan perkembangan oosit
Prop
orsi
oos
it
Wak
tu p
enga
mat
an
Gambar 3. Proporsi oosit induk ikan nilem yang diberi hormon E2 dan pakan berprotein nabati (P3D2-P4D2)
Keterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia; M2-M8 = Minggu ke 2-8 pasca mijah
Berdasarkan hasil pengamatan pada
minggu ke 2 hingga ke 8 pasca mijah (Gambar 2
dan 3), secara keseluruhan didapatkan informasi
sebagai berikut. Pada minggu ke 2 dan ke 4
proporsi oosit tahapan V3-V5 tinggi, sedangkan
tahapan PV rendah. Pada minggu ke 6 proprosi
oosit tahapan V3 dan V4 menurun dan tahapan
PV meningkat. Pada minggu ke 8 pasca mijah,
tahapan PV menurun, sedangkan tahapan V3-
V5 meningkat. Sementara itu tahapan V6 dan
V7 menurun seiring dengan bertambahnya
waktu. Persentase tahapan Dg menurun hingga
minggu ke 6 dan meningkat pada minggu ke 8.
Uji statistik menunjukkan bahwa kadar
protein nabati pakan berpengaruh nyata
terhadap proporsi oosit tahapan V3 dan PV
(P<0,05; Tabel 2). Rataan persentase V3
tertinggi diperoleh pada pakan berprotein nabati
27,5% sedangkan terendah pada protein nabati
32,5%. Sebaliknya proporsi tahapan
perkembangan PV menunjukkan kecenderungan
menurun seiring dengan peningkatan kadar
protein nabati. Akan tetapi, penurunan proporsi
oosit tahapan PV tersebut tidak berkorelasi
dengan kadar protein nabati dalam pakan
(Pearson Correlation (r)= -0,138; P= 0,098).
Tabel 4. Rataan persentase oosit tahapan V3 dan PV pada induk ikan nilem pasca mijah yang diberi pakan berprotein nabati dengan kadar yang berbeda
Persentase Protein
V3 (%) PV (%)
37,5% 32,7015,25a 15,2520,35ab
32,5% 29,2017,35b 17,3517,34ab
27,5% 37,4412,46ab 12,469,68a
22,5% 30,1523,80b 23,8011,91b
5
Keterangan: angka yang diikuti huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05).
37,5 32,5 27,5 22,5
0%
10%
20%
30%
40%
V3
PV
Persentase protein nabati dalam pakan (%)
Pro
po
rsi
oo
sit
Gambar 4. Pengaruh pemberian pakan berprotein nabati terhadap proporsi oosit tahapan V3 dan PV pada induk ikan nilem pasca mijah
Keterangan: V3 = Vitelogenik 3; PV= Post-Vitelogenik
Dosis hormon E2 berpengaruh nyata
terhadap proporsi oosit pada tahap V5, PV dan
Dg (P<0,05). Peningkatan dosis hormon E2
menghambat perkembangan oosit tahapan V5
(r=-0,355) dan Dg (r=-0,291) sehingga proporsi
oosit tahapan V5 dan Dg menurun, tetapi
memacu perkembangan oosit tahapan PV
(r=0.309) sehingga proporsi tahapan PV
meningkat (Tabel 5 dan Gambar 5).
Tabel 5. Rataan persentase oosit tahapan V5, PV dan Dg pada induk ikan nilem pasca mijah yang diberi hormon E2 dengan dosis yang berbeda
Dosis E2(g/kg BB)
V5 (%) PV (%) Dg (%)
0 20,757,33
a 10,4310,19a 1,979,27a
12617,566,79
b 17,0316,40 a 0,95 1,95b
21013,866,16
c 24,1822,21 b 1,23 2,30b
Keterangan: angka yang diikuti huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05).
0 126 210
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
V5
PV
D
Dosis E2 (µ/kg)
Pro
po
rsi
oo
sit
Gambar 5. Pengaruh induksi hormon E2 terhadap tahapan V5, PV dan Dg
Keterangan: V5 = Vitelogenik 5; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia
Interaksi antara perlakuan kadar protein
nabati pakan dan dosis hormon E2 berpengaruh
nyata terhadap proporsi oosit pada tahap V3 dan
PV (Gambar 6). Kombinasi terbaik antara
induksi hormon E2 dengan pakan berprotein
nabati adalah P4D2. Perlakuan ini
meningkatkan tahapan perkembangan PV tetapi
cenderung menghambat tahapan perkembangan
V3. Pada fase awal perkembangan gonad atau
pemulihan pasca mijah, persentase V3 lebih
tinggi dibandingkan dengan tahap
perkembangan yang lain sebaliknya persentase
PV cukup rendah. Akan tetapi, pada fase akhir
perkembangan gonad persentase V3 menurun
dan persentase PV akan meningkat.
P1D0
P1D1
P1D2
P2D0
P2D1
P2D2
P3D0
P3D1
P3D2
P4D0
P4D1
P4D2
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
V3
PV
Perlakuan
Per
sen
tase
oos
it
6
g
Gambar 6. Pengaruh induksi hormon E2 dan pemberian pakan berprotein nabati terhadap tahapan V3 dan PVKeterangan: V3 = Vitelogenik 3; PV = Post-Vitelogenik
V3 V4 V5 V6 V7 PV Dg0%
5%
10%15%
20%
25%30%
35%40%
Minggu ke 2 PM Minggu ke 4 PM
Minggu ke 6 PM Minggu ke 8 PM
Tahapan perkembangan oosit
Pro
pors
i oos
it
Gambar 7. Hubungan antara waktu pengambilan data terhadap proporsi tahapan perkembangan oositKeterangan: V3-V7 = Vitelogenik 3-7; PV = Post-Vitelogenik; Dg = Oosit atresia
Proporsi oosit tahapan V3 dipengaruhi
oleh kadar protein nabati dalam pakan, dosis E2
serta berbeda pada setiap minggu pasca mijah
(P<0,05). Waktu pengambilan data (kanulasi
oosit ikan) berpengaruh terhadap pekembangan
oosit ikan nilem. Proporsi oosit pada tahap V3,
V6, V7, PV dan Dg menunjukkan perbedaan
yang nyata jika dilihat dari waktu pengambilan
datanya (P<0,05; Gambar 7). Pada setiap
pengambilan data, proporsi tahapan
perkembangan V3 cenderung berfluktuasi dan
persentase terendah yaitu pada minggu ke 6
pasca mijah (27,84%). Persentase tahapan
perkembangan V6 dan V7 mengalami penurun
sampai minggu ke 8 pasca mijah . Sebaliknya,
tahapan perkembangan PV meningkat hingga
minggu ke 6 kemudian menurun pada minggu
ke 8 (r= 0,182; P<0,05). Pada setiap minggu
pengambilan data ditemukan oosit pada tahapan
Dg. Pada minggu ke 2 pasca mijah, persentase
tahapan Dg masih tinggi kemudian menurun
hingga minggu ke 6 dan meningkat kembali
pada minggu ke 8 pasca mijah. Persentase
tahapan PV tertinggi pada minggu ke 6 pasca
mijah ditemukan pada kombinasi perlakukan
dosis E2 210 µg/kg dan pemberian pakan
dengan kadar protein 37,5%. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis E2
dan protein nabati pakan maka proses
rematurasi semakin cepat.
P1D0P1D1
P1D2P2D0
P2D1P2D2
P3D0P3D1
P3D2P4D0
P4D1P4D2
0
2
4
6
8
10
12
14IGS
IHS
Perlakuan
Per
sen
tase
IG
S d
an
IH
S (
%)
Gambar 8. Hubungan antara perlakuan dengan IGS dan IHS induk betina ikan nilem
Nilai indeks gonadosomatik (IGS) ikan uji
berkisar antara 1,03-15,88%. Nilai rataan IGS
tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan
protein nabati 37,5% dan hormon E2 210 µg/kg
(P1D2), yaitu 12,81±4,31%. Nilai IGS
menunjukkan perbedaan nyata pada perlakuan
dosis hormon estradiol-17β (P<0,05) sedangkan
untuk perlakuan kadar protein nabati pakan dan
kombinasi perlakuan tidak berpengaruh nyata
(P>0,05). Nilai IGS yang diperoleh meningkat
seiring dengan peningkatan dosis hormon E2
yang diberikan (r=0.599). Analisis statistik
menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak
7
berpengaruh terhadap nilai IHS dan fekunditas
(P>0,05).
Tabel 6. Rataan IGS, IHS, dan fekunditas ikan nilem yang diinduksi hormon E2 dan diberi pakan berprotein nabati
Perlakuan IGS (%) IHS (%)Fekunditas
(Butir telur x 104)P1D0 6,174,28a 1,450,20a 13,360,64a
P1D1 8,111,25bc 1,450,36a 8,794,61a
P1D2 12,814,31c 1,950,48a 5,821,89a
P2D0 7,292,82 a 1,410,05a 8,255,97a
P2D1 7,811,58 bc 1,600,21a 8,043,77a
P2D2 8,440,73 1,240,28a 6,613,15a
P3D0 5,272,74 a 1,410,48a 11,945,57a
P3D1 10,432,20bc 1,380,40a 6,191,27a
P3D2 11,042,18c 2,621,21a 13,313,13a
P4D0 3,592,44 a 2,121,32a 8,396,52a
P4D1 7,742,70 bc 1,170,33a 6,722,00a
P4D2 8,640,88 c 1,460,19a 11,162,05a
Keterangan: angka yang diikuti huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)
Protein merupakan komponen
utama dalam reproduksi ikan.
Peningkatan kadar protein pakan
dapat meningkatkan ukuran oosit dan
berat gonad pada ikan Poecilia
reticulate (Dahlgren, 1980 dalam
Adewumi et al., 2005). Beberapa
penelitian mencoba untuk mengganti
protein hewani dengan protein yang
berasal dari tumbuhan (protein
nabati) (Kaushik et al., 1995;
Bobadilla et al., 2005; Hansen,
2007). Pada penelitian ini digunakan
protein yang berasal dari kecambah
kedelai (protein nabati). Sel-sel pada
kedelai ditutupi oleh dinding sel
sehingga sulit untuk dicerna (Hepher,
2009). Selain itu, kedelai
mengandung senyawa antri nutrisi
seperti tripsin inhibitor, hemaglutinin
dan anti vitamin (Tacon, 1993 dalam
Nguyen, 2008). Akan tetapi, zat anti
nutrisi pada kedelai dapat dikurang
dengan cara (Adewumi et al., 2005
dan Hepher, 2009). Dalam penelitian
ini kecambah kedelai dikeringkan
dalam oven terlebih dahulu sebelum
dihaluskan dan dibuat pellet sehingga
dapat mengurungi zat anti nutrisi
dalam kedelai.
Kedelai mengandung fitoestrogen dan
vitamin E yang berperan dalam perkembangan
gonad betina ikan nilem. Fitoestrogen pada
kedelai berupa isoflavon terutama genistein,
pada kecambah kedelai mengandung
fitoestrogen berupa daidzein 138 µg/g berat
basah, genistein 230 µg/g berat basah, dan
coumestrol 7 µg/g berat basah (Reinli dan
Block, 1996). Menurut Laila (2008) kandungan
vitamin E kedelai berkisar antara 6,39-6,68 mg.
Genistein kedelai (dosis 500, 1000 dan 3000
mg/kg pakan) dapat meningkatkan serum
vitelogenin (Vtg) pada ikan salmon tetapi tidak
berpengaruh terhadap kadar hormon reproduksi,
morfologi maupun histologi gonad, produksi
telur, fertilitas dan ukuran larva maupun daya
hidup larva (Hart et al., 2006).
Penelitian ini menunjukkan bahwa
pemberian pakan berprotein nabati hanya
berpengaruh pada tahapan perkembangan V3
dan PV. Kiparissis et al. (2003) menyatakan
bahwa pemberian equol (0,4 dan 0,8 µg/L) dan
genistein (1, 10, 100 dan 1000 µg/L) pada
Oryzias latipes mengakibatkan penundaan
8
maturasi oosit, atresia oosit, dan pembesaran
pada lumen ovarium, proliferasi stroma jaringan
somatik dan primordial germ cell. Pada
penelitian ini proporsi oosit Dg tidak berbeda
antar kelompok uji.
Pemberian pakan berbahan dasar kedelai
pada ikan Oncorhynchus mykiss tidak
berpengaruh terhadap kadar Vtg dalam plasma
(Kaushik et al., 1995). Pada penelitian ini tidak
diukur kadar Vtg. Guna mengetahui pengaruh
pakan berbahan utama kecambah kedelai
terhadap kadar Vtg pada ikan nilem diperlukan
penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, penelitian
ini menunjukkan bahwa pemberian pakan
berprotein nabati dapat meningkatkan
perkembangan oosit induk ikan nilem pasca
mijah dengan semakin meningkatnya tahapan
PV dan persentase tertinggi diperoleh pada
minggu ke 6 pasca mijah. Peningkatan
persentase oosit tahapan PV membutuhkan
banyak Vtg. Pada minggu ke 8 pasca mijah
persentase tahapan PV menurun. Hal ini
mungkin dikarenakan tahapan PV pada minggu
ke 6 sudah mengalami degradasi pada minggu
ke 8 pasca mijah. Dugaan tersebut didasarkan
pada data bahwa pada minggu ke 8 pasca mijah
ditemukan lebih banyak oosit yang terdegradasi
dibandingakan pada minggu ke 6 pasca mijah.
Menurut James dan Sampath (2004)
peningkatan protein nabati pakan (10%, 15%,
25%, 35%, dan 45%) dapat meningkatkan
reproduksi ikan Xiphophorus helleri. Pada
protein nabati 45% diperoleh hasil yang paling
baik karena perkembangan gonadnya lebih
cepat. Sebaliknya menurut Manissery et al.
(2001) pemberian pakan dengan bahan dasar
bekatul dan minyak kacang (1:1) dengan
kandungan protein 35% memberikan hasil
terbaik dalam meningkatkan performa
reproduksi ikan Cyprinus carpio.
Menurut Kaushik et al. (1995) penggantian
protein hewani dengan protein kedelai dapat
menurunkan kadar kolesterol dalam plasma
pada O. mykiss sehingga mengakibatkan
penurunan hormon steroid (termasuk E2). Akan
tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap kadar
Vtg. Berdasarkan penelitian Fernandes et al.
(2000) pemberian pakan dengan 100% kedelai
pada ikan nila menyebabkan kadar hormon E2
dan Vtg rendah karena pada kedelai
mengandung sedikit asam amino lisin dan
metionin/sistin. Sehingga dalam penelitian ini
selain diberi pakan berprotein nabati, induk ikan
nilem juga diinduksi dengan hormon E2.
Proporsi tahapan perkembangan oosit V3
berfluktuasi pada setiap minggu pengambilan
data. Sebaliknya proporsi tahapan V6 cenderung
menurun sejak minggu ke 2 sampai minggu ke 8
(r=-0,370). Hal yang sama juga terlihat pada
tahapan perkembangan V7 (r=-0,338).
Sebaliknya proporsi oosit tahapan PV terus
meningkat sejak minggu ke 2 hingga minggu ke
6 dan menurun kembali pada minggu ke 8
(r=0,182).
Hasil pengamatan proporsi oosit
selama penelitian menunjukkan bahwa
dinamika setiap tahapan perkembangan oosit
pada ikan nilem saling berhubungan. Penurunan
proporsi tahapan V3 diikuti juga penurunan
proporsi tahapan V4 dan V5. Akan tetapi,
penurunan tahapan V3,V4, dan V5
menyebabkan peningkatan proporsi tahapan V7
dan PV. Sebaliknya penurunan proporsi tahapan
V6 dan V7 menyebabkan peningkatan proporsi
tahapan PV. Berdasarkan data tersebut
perkembangan oosit dapat dikelompokan
menjadi perkembangan gonad awal/ pemulihan
pasca mijah (V3-V5), perkembangan gonad
tengah (V6-V7) dan perkembangan gonad akhir
(PV)
9
Kombinasi antara induksi hormon E2
dengan pemberian pakan berprotein nabati pada
induk ikan nilem meningkatkan proporsi
tahapan PV seiring dengan waktu. Hasil
penelitian Subagja et al. (2007) menunjukkan
bahwa pada minggu ke 6 tahapan V7 lebih
tinggi dibandingkan PV dan pada minggu ke 9
tahapan PV meningkat melebihi V7. Pada
penelitian ini, proporsi tahapan PV pada minggu
ke 6 meningkat kemudian pada minggu ke 8
menurun. Gambar 7 memperlihatkan bahwa
proporsi PV tertinggi dicapai pada minggu ke 6.
Berdasarkan uji korelasi, hubungan tahapan
perkembangan PV dengan waktu pengambilan
data menunjukkan korelasi positif (r=0,178).
Induksi hormon E2 dosis 210 µg/kg dan
pemberian pakan berprotein nabati 37,5%
(P1D2) menunjukkan proporsi tahapan PV
paling tinggi pada minggu ke 6 sebesar 57.43%.
Hasil serupa juga dilaporkan oleh Subagja et al.
(2007) yaitu pemberian pakan buatan dengan
protein 42%, menghasilkan 57% betina matang
gonad (TKG IV) (ikan siap dipijahkan) dan
rematurasi lebih singkat diperlukan waktu 3
bulan (84 hari).
Menurut Sinjal (2007) kombinasi
penambahan ascorbyl phosphate magnesium
1200 mg/kg pada pakan dan implantasi
estradiol-17β sebesar 250 µg/kg pada ikan lele
dapat mempercepat pematangan gonad. Induksi
hormon E2 pada induk ikan nilem
mengakibatkan peningkatan konsentrasi E2
dalam darah. Hal ini akan memacu hepar untuk
mensintesis Vtg dan choriogenin yang
selanjutnya akan mempercepat proses
pematangan gonad. Sintesis hormon E2 pada sel
granulosa dan deposisi Vtg ke dalam oosit
dikontrol oleh FSH (Jalabert, 2005). Kadar
estradiol-17β ikan meningkat selama tahapan
vitelogenesis dan akan menurun ketika
memasuki tahapan maturasi (Fard et al., 2013).
Menurut Singh et al. (2007), pemberian E2
dapat meningkatkan phospholipid plasma
sehingga juga meningkatkan jumlah oosit
tahapan vitelogenik. Hasil penelitian ini
menunjukkan korelasi positif antara hormon E2
dengan tahapan perkembangan PV. Hal ini
menunjukkan bahwa vitelogenesis berlangsung
cepat sehingga tahapan PV meningkat seiring
dengan bertambahnya waktu. Hal yang sama
juga diungkapkan oleh Kidd et al. (2007), yaitu
perkembangan oosit tahap kortikal alveoli dan
vitelogenesis berlangsung lebih awal pada
Pimephales promelas yang terpapar estrogen
sintetik (EE2) pada dosis 6,1±2,8 ng/L, 5,0±1,8
ng/L dan 4,8±1,0 ng/L.
Nilai IGS menunjukkan perbedaan nyata
pada perlakuan dosis hormon estradiol-17β
(P<0,05) sedangkan untuk perlakuan kadar
protein nabati pakan dan kombinasi perlakuan
tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Menurut
Turker dan Bozcaamutlu (2009) isoflavon
dalam kedelai mempunyai efek menghambat
perkembangan gonad pada dosis lebih 1.000
mg/kg walaupun kadar Vtg meningkat dan dosis
10.000 mg/kg menghasilkan kadar Vtg tertinggi.
Hal ini karena dosis tinggi isoflavon
menyebabkan umpan balik negatif pada
pelepasan gonadotropin dari hipofisis.
Penurunan gonadotropin menyebabkan
penurunan sekresi E2 sehingga menghambat
vitelogenesis pada hepar.
Kombinasi pakan berprotein nabati 22,5%
dan hormon E2 0 µg/kg memiliki nilai IGS
paling kecil yaitu 3,59%. Dosis hormon E2 yang
diberikan berpengaruh terhadap nilai IGS
(P<0,05), sedangkan kadar protein nabati
dengan atau tanpa E2 tidak berpengaruh
terhadap IGS (P>0,05). Hasil penelitian ini
10
berbeda dengan hasil penelitian Kithsiri et al.
(2010), Reidel et al. (2010), dan Pelissero et al.
(1991) yang menyatakan bahwa pemberian
pakan berprotein tinggi meningkatkan
perkembangan gonad.
Nilai IGS yang diperoleh meningkat
seiring dengan peningkatan dosis hormon E2
yang diberikan (r=0.599; Gambar 8). Menurut
Onuma et al. (2005), Kagawa et al. (1983) dan
Sabet et al. (2009) bahwa selama vitelogenesis
kadar hormon E2 berkorelasi dengan nilai IGS.
Peningkatan IGS disebabkan oleh
perkembangan oosit. Pada saat vitelogenesis
berlangsung, volume oosit bertambah karena
deposisi Vtg ke dalam sitoplasma. Proses
vitelogenesis sangat tergantung pada hormon E2
karena hormon E2 berfungsi menstimulasi
sintesis Vtg dan choriogenin di dalam hepar dan
sekresinya ke sistem sirkulasi (Yaron et al.,
2009). Hal ini telah dilaporkan oleh Celius dan
Walther (1998) yang menyatakan bawah
penyuntikan E2 berpengaruh pada proses
zonagenesis dan vitelogenesis. Hasil penelitian
Zairin (1996) menunjukkan bahwa penyuntikan
E2 dengan dosis 1 µ/kg bobot ikan mampu
meningkatkan Vtg dalam plasma darah ikan
balashark.
Nilai IHS dipengaruhi oleh ketersedian
pakan, daya simpan energi, kebiasaan makan,
dan kondisi fisiologi ikan (Svedäng dan
Wickström, 1997). Berdasarkan penelitian
Bobadilla et al. (2005) nilai IHS tidak berbeda
pada Sparus aurata yang diberi pakan dengan
perbandingan komposisi protein hewani dan
protein nabati (PN) yang berbeda (50% PN,
75% PN, dan 100% PN). Hal yang sama juga
diperlihatkan pada penelitian Hansen (2007)
yang menyatakan bahwa penggantian protein
hewani dengan protein nabati sebesar 75% PN
tidak berpengaruh terhadap IHS. Di lain pihak
menurut Mei dan Zhen (2005) nilai IHS tidak
dipengaruhi oleh pemaparan hormon estradiol-
17β dengan konsentrasi 10, 60, dan 150g/L
selama 7, 14, dan 21 hari.
EI-Naggar et al. (2000) melaporkan bahwa
tidak ada pengaruh induksi E2 dan pakan
terhadap jumlah telur yang dihasilkan oleh
betina pada Oreochromis niloticus. Tidak ada
korelasi antara fluktuasi hormon steroid dengan
fekunditas pada Rutilus frissi kutum (Kousha et
al., 2009). Akan tetapi, terdapat korelasi positif
antara bobot ikan dengan fekunditas (r=0,309).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Bhuiyan et al.
(2004) bahwa bobot Puntius gonionotus
berkorelasi positif dengan fekunditas.
KESIMPULAN
Perkembangan oosit dan GSI pada induk
ikan nilem pasca mijah meningkat dengan
pemberian estradiol-17 dan pakan berprotein
nabati. Kombinasi antara induksi hormon E2
dosis 210 g/kg dan pemberian pakan
berprotein nabati 37,5% (P1D2) adalah yang
terbaik karena mampu memberikan nilai rataan
tertinggi pada proporsi tahapan PV pada minggu
ke 6 dan GSI.
DAFTAR REFERENSI
Adewumi, A.A., V. F. Olaleye, and E.A. Adesulu. 2005. Egg and sperm quality of the African catfish, Clarias gariepinus (Burchell) broodstock fed differently heated soybean-based diets. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 1: 17-22.
Al-Hafedh, Y.S., A.Q. Siddiqui, and M.Y. Al-Salady. 1999. Effects of dietary protein levels on gonad maturation size and age at first maturity, fecundity and growth of nila tilapia. Aquacluture International, 7: 319-332.
Bhuiyan, A.S., K. Islam and T. Zaman. 2006. Fecundity and ovarian characteristics of
11
Puntius gonionotus (Bloch/Bleeker) (Cyprinidae: Cypriniformes).
Bobadillaa, A.S., S.P. Llopisa, P.G. Requeni, F. Médaleb, S. Kaushik, and J.P. Sáncheza. 2005. Effect of fish meal replacement by plant protein sources on non-specific defence mechanisms and oxidative stress in gilthead sea bream (Sparus aurata). Aquaculture, 249: 387-400.
Brion, F., C.R. Tyler, X. Palazzi, B. Lailet, J.M.J. Garric, and P. Flammarion. 2004. Impacts of 17β-estradiol including environmentally relevant concentrations, on reproduction after exposure during embryo-larvel-juvenile and adult-life stages in zebra fish (Danio rerio). Aquat Toxicol 68: 193-217.
Cowey, C.B. 1975. Aspects of protein utilization by fish. Proc. Nutr. Soc.34: 57-63.
Davis, L.K., N. Hiramatsu, K. Hiramatsu, B.J. Reading, T. Matsubara, A. Hara, C.V. Sullivan, A.L. Pierce, T. Hirano, and E.G. Grau. 2007. Induction of three vitellogenins by 17β-estradiol with concurrent inhibition of the growth hormone-insulin-like growth factor 1 axisina euryhaline teleost, the tilapia (Oreochromis mossambicus). Biology of Reproduction, 77: 614–625.
Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas. 2011. Statistik Dinas Perikanan dan Peternakan Banyumas 2011.
Effendie, M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Nusatama. Yogyakarta.
EI-Naggar, G.O., M.A. EI-Nady, M.G. Kamar, and A.I. Al-Kobaby. 2000. Effect of photoperiod, dietary protein and temperature on reproduction in nile tilapia (Oreochromis niloticus).
Fard, E.R., M.S. Kamarudin and S.A. Harmin. 2013. Endocrine control of oogenesis in teleosts. Asian Journal of Animal and Veterinary Advances, 8: 205-215.
Fernandes, A.F., M. Monteiro, A. Figueiredo, E. Gomes, J. Coimbra, and M.A.R. Henriques. 2000. Partial or total replacement of fish meal by plant protein affects gonadal development and plasma17β-estradiol levels in female Nile tilapia. Aquaculture International 8:299- 313.
Gunasekera, R.M., K.F. Shim and T.J. Lam. 1995. Effect of dietary protein level on puberty, oocyte growth and egg chemical composition in the tilapia, Oreochromis niloticus (L.). Aquaculture, 134: 169-183.
Halver, J.E. 1980. Protein and amino acids. FAO. Fisheries and Aquaculture Department. University of Woshington Seattle, Woshington.
Hansen, A.C., G. Rosenlund, Ø. Karlsen, W. Koppe, and G.I. Hemre. 2007. Total replacement of fish meal with plant proteins in diets for atlantic cod (Gadus morhua L.) — Effects on growth and Protein Retention. Aquaculture, 272: 599-611.
Hart, S.D., F.T. Barrows, K. Dabrowski, S. Dasgupta, D.L. Garling, R.W. Hardy, J.A. Malison, D.I. Skonberg, C. Weeks, and Paul B. Brown. 2006. Soybean antinutritional factors and their relative importance in limiting the use of soybean meal in salmonid diets.
Heidari, B., S. A. Roozati, and L. Yavari. 2010. Changes in plasma levels of steroid hormones during oocyte development of caspian Kutum (Rutilus frisii kutum, Kamensky, 1901). Animal Reproduction, 7: 373-380.
Hendrianto. 1999. Induksi ovulasi ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) dengan ekstrak kelenjar hipofisis ayam ras dan ekstrak urin wanita pasca menopause. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Unsoed. Purwokerto.
Hepher, B. 2009. Nutrition of Pond Fishes. Cambridge University Press, New York.
Hernawati. 2007. Perbaikan kinerja reproduksi akibat pemberian isoflavon dari tanaman kedelai. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Hoar, W.S. and D.J. Randall, 1970. Fish Physiology Volume IV: The Nervous System, Circulation, and Respiration. Academic Press, Inc., San Diego. Hal: 159-160.
Izquierdo, M.S., H. Fernandez-Palacios and A.G. J. Tacon. 2001. Effect of brood stock nutrition on reproductive
12
performance of fish. Elsevier Science. Aquaculture 197: 25-42.
Jalabert, B. 2005. Particularities of Reproduction and oogenesis in teleost fish compared to mammals. Reprod. Nutr. Dev. 45: 261–279.
James, R. and K. Sampath. 2004. Effect of animal and plant protein diets on growth and reproductive performance in an ornamental fish, Xiphophorus helleri. Indian J. Fish, 51: 75-86.
Kagawa, H., G.Young, and Y. Nagahama. 1993. Relationship between seasonal plasma estradiol-17β and testosterone in vitro production by ovarian follicles of amago salmon (Oncorhynchus rhodurus). Biology of Reproduction, 29: 301-309.
Kang, J., H. Yokota,Y. Oshima, Y. Tsuruda, T. Yamaguchi, M. Maeda, N. Imada, H.
Tadokoro, and T. Honjo. 2002. Effect of 17β-estradiol on the reproduction of japanese medaka (Oryzias latipes). Chemosphere, 47: 71–80
Kaushik, S.J., J.P. Cravedi, J.P. Lalles, J. Sumpter, B. Fauconneau, and M. Laroche. 1995. Partial or total replacement of fish meal by soybean protein on growth, protein utilization, potential estrogenic or antigenic effects, cholesterolemia and flesh quality in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Aquaculture, 133: 257–274.
Kidd, K.A., P.J. Blanchfield, K.H. Mills, V.P. Palace, R.E. Evans, J.M. Lazorchak, and R.W. Flick. 2007. Collapse of a fish population after exposure to a synthetic estrogen. PNAS, 104: 8897-8901.
Kiparissis, Y., G.C. Balch, T.L. Metcalfe, and C.D. Metcalfe. 2003. Effects of the isoflavones genistein and equol on the gonadal development of japanese medaka (Oryzias latipes). Environmental Health Perspectives, 111: 1158-1163.
Kithsiri, H.M.P., P. Sharma, S.G.S. Zaidin, A.K. Pal, and G. Venkateshwarlu. 2010. Growth and reproductive performance of female guppy, Poecilia reticulata (Peters) fed diets with different nutrient levels. Indian J.l Fish, 57: 65-71.
Kousha, A., F. Askarian., M.Y. Fian., H.V. Ghate, and V.S. Ghole. 2009. Annual fluctuation of steroid hormones in pre-
spawning female kutum (Rutilus frisis Kutum). World Journal of Fish and Marine Science, 1: 65-73.
Kuo, C. M., C. E. Nash, and Z.H. Shehadeh. 1974. A procedure to induced spawning in grey mullet (Mugil Chepalus). Aquaculture, 3: 1-14.
Laila, I.N. 2008. Pengaruh kultivar dan umur perkecambahan terhadap kandungan protein dan vitamin E pada kecambah kedelai (Glycine max (L.) Merrill). Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Manissery, J.K, D. Krishnamurthy, B. Gangadhara, and M.C. Nandeesha. Effect of varied levels of dietary protein on the breeding performance of common carp Cyprinus carpio. Asian Fisheries Science 14: 317-322.
Mehrad, B., H. Jafaryan, and M.M. Taati. 2012. Assessment of the effects of dietary vitamin E on growth performance and reproduction of zebrafish, Danio rerio (Pisces, Cyprinidae). Journal of Oceanography and Marine Science, 3: 1-7.
Mei, H.L. and Z.R. Wang. 2005. Effect of nonylphenol on plasma vitellogenin of male adult guppies (Poecilia reticulata). Environ. Toxico,l 20:53–59.
Murua, H. and R.S. Rey. 2003. Female reproductive strategies of marine fish species of the north atlantic. J. Northw. Atl. Fish. Sci., 33:23-31.
Nagahama, Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int. J. Dev. BioI, 38: 217-229.
Nguyen, T.N. 2008. The utilization of soybean products in tilapia feed – A review. 8th International Symposium on Tilapia in Aquaculture.12-14 October 2008. Cairo.
Ni’mah, R.J., 2009, Kadar genistein dan daidzein pada kedelai, ampas tahu dan oncom merah, Laporan Skripsi, Bogor: IPB
Nofyan, E. 2005. Pengaruh pemberian pakan dari sumber nabati dan hewani terhadap berbagai aspek fisiologi ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac.). Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 5: 19-23.
13
Olivereau, M. and J. Olivereau. 1997. Effect of estradiol-17β on the cytology of the liver, gonad and pituitary, and on plasma electrolytes in female freshwater ell. Cell and Tissue Research 199: 431-454.
Onuma, T., S. Sato, A. Jodo, N.D. Davis, H. Ando, M. Ban, M. Fukuwaka, and A. Urano. 2005. Changes in chum salmon plasma levels of steroid hormones during onset of the spawning migration in the Bering Sea. NPAFC Technical Report No. 6: 104-106.
Pollack, S.J. and M.A. Ottinger. 2003. The effects of the soy isoflavone genistein on the reproductive development of striped bass. North American Journal of Aquaculture 65: 226–234.
Pelissero, C., F.L. Menn and S. Kaushick. 1991. Estrogenic effect of dietary soyabean meal on vitellogenesis in cultured siberian sturgeon Acipenser baeri. General and Comparative Endocrinology, 83: 447-457.
Pushparaj, A., P. Ambika and U. Ramesh. 2012. Impact of dietary protein levels on the reproductive performance of Penaeus monodon. World Journal of Fish and Marine Sciences 4: 115-120.
Reidel, A., W. R. Boscolo, A. Feiden, and E. Romagos. 2010. The effect of diets with different levels of protein and energy on the process of final maturation of the gametes of Rhamdia quelen Stocked in Cages. Aquaculture, 298: 354–359.
Riberio, R.M.A., Bazzoli N., T.A. Maria, and G.B. Santoso. 2006. Ultrastructure changes in female hepatocytes during ovarian maturation of Steidachanerina insculpta. Braz. J. Biol., 66940: 957-962.
Reinli, K. and G. Block. 1996. Phytoestrogen content of food-A compendium of literature values. Nutr Cancer 26: 123-148.
Sabet, S.S., M.R. Imanpoor and B.A. Fatideh. 2009. Relation between gonadal hormones and sexual maturity of female Kutum (Rutilus frisii kutum) During Spawning Season. Journal of Cell and Molecular Research, 1: 97-105.
Singh, P.B., V. Singh, S. Srivastava, and S. Pandey. 2007. Effects of estradiol-17b and 17α, 20β-dihydroxy-4-pregnen-3-
one on different phospholipids metabolism and histological changes in ovary during reproductive growth in the catfish, Heteropneustes fossilis (Bloch). Journal of Enviromental Biology, 28: 771-778.
Sinjal. H.J. 2007. Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui penambahan ascorbyl magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi dengan estradiol-17. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Sitompul, S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian. 9: 33-37.
Subagja, J., R. Gustiano dan Winarlin. 2007. Teknologi reproduksi ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V): Pematangan gonad, penanganan telur dan penyediaan calon induk. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII
Sumantadinata, K. 1981. Perkembangbiakan Ikan–Ikan Peliharaan Indonesia. Fakultas Perikanan, Bogor
Svedäng, H. and H. Wickström. 1997. Low fat contents in female silver eels: indications of insufficient energetic stores for migration and gonadal development. Journal of Fish Biolog, 50, 475–486.
Swanson, P. 2002. Regulating of gametogenesis in fish by gonadotropins. National Marine Service, Northwest Fisheries Science Center, Washington, USA. 131-136.
Turker, H. and A. Bozcaarmutlu. 2009. Effect of total isoflavones found in soybean on vitellogenin production in common carp. Kafkas Univ Vet Fak Derg, 15: 561-568.
Velasco, Y. and W. Corredor. 2011. Nutritional requirements of freshwater ornamental fish: A Review. Rev.MVZ Cordoba, 16: 2458-2469.
Wijayanti, G.E., S.B.I. Simanjuntak, dan Sugiharto. 2005. Optimalisasi potensi reproduksi ikan nilem (Osteochilus hasselti C.V.) melalui kajian gametogenesis. Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, UNDIP. Semarang.
Yaron, Z., A. Bogomolnaya, S. Drori, I. Biton, J. Aizen, Z. Kulikovsky and B. Levavi-Sivan. 2009. Spawning induction in the
14
carp: past experience and future prospects-A Review. The Israeli Journal of Aquaculture – Bamidgeh 61: 5-26.
Zairin, M.J.R. 1996. Aktivitas proses vitellogenesis untuk pematangan gonad ikan balashark, (Balantiochelius melaopterus Bleeker) betina. Biosfera, 5: 39-47.
15