ISSN: 2252-5254
Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Vol. 12, No. 1, Juni 2018
Editor In Chief Siti Ikramatoun, M.Si Managing Editor Firdaus Mirza Nusuary, MA Editorial Board Bukhari, MHSc. (UNSYIAH), Khairulyadi, MHSc. (UNSYIAH), Prof. Bahrein T. Sugihen. (UNSYIAH), Dr. Nirzalin, M.Si. (UNIMAL), Dr. Mahmudin. (UIN AR-RANIRY), T. Syarifuddin, M.Si. (UNIDA), Drs. Zulfan, M.Si. (UNSYIAH), Suci Fajarni, MA (UIN AR-RANIRY) Layouter Khairul Amin Alamat Redaksi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala Jln. Tgk. Tanoh Abee, Darussalam Banda Aceh Telp. (0651) 7555267, Fax (0651) 7555270 E-mail: Sosiologiusk@gmailcom
Jurnal Sosiologi USK: Media Pemikiran & Aplikasi adalah Jurnal Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala yang memuat berbagai pendekatan yang berlandaskan pada isu sosial kemasyarakatan secara lokal, nasional maupun internasional melalui karya tulis ilmiah. Redaksi juga menerima tulisan seputar dinamika sosial masyarakat baik yang bersifat teoritis, kritis, reflektif, opini dan berbagai ide-ide yang menyangkut dinamika sosial kemasyarakatan. Tulisan minimal 15 halaman A4 Spasi 1, dilengkapi dengan abstrak (bahasa inggris), catatan kaki dan daftar pustaka. Penulis juga harus menyertakan nama lengkap serta asal universitas. Tulisan dikirim ke email:[email protected].
ISSN: 2252-5254
Jurnal Sosiologi
Media Pemikiran Dan Aplikasi Universitas Syiah Kuala
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
Paradigma Postmodernisme; Solusi Untuk Kehidupan
Sosial? (Sebuah Pandangan Teoritis Dan Analitis Terhadap
Paradigma Postmodernisme)
Iromi Ilham ........................................................................................ 1
Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak pada Generasi Millenial
dan Post-Millenial
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi, M. Nur ........................................... 24
Inovasi Pendidikan pada Kaum Marginal
Fathayatul Husna .............................................................................. 38
Agama di Ruang Publik: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Furshet,
Casanova, dan Sherkat
Hanifa Maulidia ................................................................................ 55
Dari Pohon Hidup ke Kayu Mati :Perubahan Pencarian Keselamatan
Orang Dayak Dalam Kehidupan Desa Di Kalimantan Barat
Ade Ikhsan Kamil ............................................................................... 70
Konstelasi Politik Aceh Pasca Mou Helsinki (2006-2015)
Siti Ikramatoun & Khairul Amin ...................................................... 89
JURNAL
SOSIOLOGI USK
Media Pemikiran & Aplikasi
Iromi Ilham| 1 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
PARADIGMA POSTMODERNISME; SOLUSI UNTUK KEHIDUPAN SOSIAL?
Sebuah Pandangan Teoritis Dan Analitis Terhadap Paradigma Postmodernisme
Iromi Ilham Dosen Program Studi Antropologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]
Abstract
Most social scientists see that the presence of postmodernism is as anti-modernism, but according to the author there is no clear boundary between the "modern world" and "postmodern world". In this paper, I try to examine important aspects related to the postmodern paradigm in the context and its development as a paradigm. I also analyzed whether the presence of postmodern thought could be the answer to the social crisis that had been accused of modernism as the cause. In completing this article, I conducted a literature study and descriptive analysis related to this topic.
Keywords: Modernism, Post-Modernism, Paradigm, Social Crisis
Abstrak
Kebanyakan para ahli ilmu sosial melihat bahwa kehadiran pemikiran postmodernisme adalah sebagai anti dari modernisme, namun menurut penulis belum ada batasan yang jelas antara “dunia modern” dan “dunia postmodern”. Dalam paper ini, saya berusaha mengkaji aspek-aspek penting yang berkaitan dengan paradigma postmodernisme dalam konteks dan perkembangannya sebagai sebuah paradigma. Saya juga menganalisis apakah kehadiran pemikiran postmodernisme ini bisa menjadi jawaban atas krisis sosial yang selama ini dituduhkan kepada kaum modernism sebagai penyebabnya. Dalam menyelesaikan tulisan ini, saya melakukan studi kepustakaan dan analisis deskriptif yang berkaitan dengan topik ini.
Kata Kunci: Modernisme, Postmodernisme, Paradigma, Krisis Sosial
* * *
2 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
A. Pendahuluan
Meskipun sudah muncul puluhan tahun silam, definisi
mengenai istilah “postmodernisme” tetap saja masih belum jelas dan
masih kontroversial. Hal ini ditandai dengan munculnya beragam
definisi dan masih adanya perdebatan di kalangan para ahli ilmu
sosial-budaya yang bisa didapat dalam berbagai literatur.
Featherstone (2008: 2) menganggap aliran ini sebagai sebuah refleksi
perubahan sosial yang bersifat reaksioner dan mekanik. Bahkan
menurutnya, para akademisi dan intelektual adalah orang yang
paling bertanggung jawab akan kondisi ini karena telah menciptakan
istilah “postmodernisme” sebagai bagian dari permainan mereka.
Banyak ilmuan yang masih ragu dalam pemisahan antara
“modernism” dan “postmodernisme”. Misalnya kegalauan ini
dirasakan oleh Smart, Ia mengatakan istilah “modernism” dan
“postmodernisme” tidak hanya tak memiliki ketegasan, bahkan
istilah-istilah tersebut terkadang nampak memiliki konotasi yang
sangat berbeda bagi kritikus benua Eropa dan Amerika” (Smart, 2008:
37). Dalam pandangan Butler (dalam Ryadi, 2004), postmodernisme
menunjuk pada kritik-kritik filosofis terhadap fenomena yang ada di
dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sementara
“postmodernitas” menunjuk pada situasi dan tata sosial produk
teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup,
konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana
publik, usangnya negara bangsa dan membangun kembali dimensi
historis melalui mencari kembali inspirasi-inspirasi tradisi lama yang
sudah terkubur (Ryadi, 2004: 91).
Iromi Ilham| 3 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
Kebingungan ini juga seringkali dihubungkan dengan masa
sebelum postmodernisme hadir, yaitu masa modernisme. Namun,
terkait dengan awalan “post”, Ryadi mengajukan pertanyaan
bagaimana pemaknaan “post” dalam pandangan para ahli, apakah
“post” itu berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala
pola modern sebagaimana pemikiran Lyotard? Atau hanya sebatas
koreksi dalam permasalahan-permasalahan tertentu dari modern
sebagaimana yang dimaksud David Griffin? Atau apakah
postmodernisme itu merupakan bentuk radikal dari modern itu
sendiri, yang akhirnya bunuh diri, sebagaimana diungkap Derrida?
Atau sebagaimana yang dilontarkan Giddens bahwa postmodernisme
adalah wajah baru dari modern yang terkesan lebih “dewasa” dan
sadar diri? atau ini merupakan proyek modernisme yang belum
selesai sebagaimana disampaiakan Habermas? (Ryadi, 2004: 91).
Secara etimologi, pendapat yang mengatakan bahwa
postmodernisme hadir setelah modernisme ada, bukanlah sesuatu
yang mustahil, di mana “postmodernisme” terdiri dari dua suku kata,
“post” dan “modernism”. “Post” berarti suatu keadaan yang sudah
lewat, lepas, terpisah, atau terputus. Serta kata “modern” yang jika
dirujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna “terbaru
atau mutakhir”. Jadi, menjadi logis ketika ada yang mengatakan
bahwa postmodernisme lahir setelah modernisme ada. Lantas, timbul
pertanyaan “Kapan sebenarnya gerbang pemisah antara masa
modernisme dan masa postmodernisme tercipta”?. Tentu tidaklah
mudah untuk menjawab pertanyaan ini, Turner sendiri mengakui
kesulitan dalam menentukan periodesasi yang tepat mengenai dua
aliran pemikiran ini, modernisme dan postmodernisme.
4 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Terlepas dari jejak “kelabu” postmodernisme yang memang
masih terbuka lebar wacana diskusi dan perdebatan, dalam paper
penulis berusaha mengkaji aspek-aspek penting yang berkaitan
dengan paradigma postmodernisme dalam konteks dan
perkembangannya sebagai sebuah paradigma yang dianggap bisa
menjadi solusi dalam beragam permasalahan manusia abad ke 21 hari
ini. Secara umum, pertanyaan besar yang diajukan adalah “Benarkah
paradigma postmodernisme mampu menjawab dan menjadi solusi
dalam setiap tantangan permasalahan sosial saat ini?” Dalam
menyelesaikan paper ini, penulis melakukan studi kepustakaan dan
analisis deskriptif yang berkaitan dengan topik ini.
B. Posmodernisme: Konseptualisasi dan Perkembangannya
Postmodernisme adalah sebuah pandangan, kerangka
pemikiran, atau aliran filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara
berpikir yang muncul di abad dua puluh dari para pemikir dunia
yang tentu saja keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan
dan kebudayaan manusia. Penerapan postmodernisme pun telah
dilakukan dalam berbagai bidang, seperti: seni, arsitektur, musik,
film, dan teater. Kehadiran aliran ini memiliki tujuan untuk
menjawab dan mengkritisi pandangan-pandangan yang telah ada
sebelumnya dalam hal mencari solusi atas beragam permasalahan
yang dihadapi manusia hari ini serta krisis sosial dan kultural yang
tak kunjung usai. Sebagian para ahli sepakat bahwa postmodernisme
bisa mengatasi krisis-krisis sosial yang terjadi, sehingga pemikiran ini
pun telah mempengaruhi hampir sebagian besar sisi kehidupan
manusia, namun sebagian yang lain tidak jarang yang meragukan
kemampuan pendekatan postmodernisme ini, sebagaimana yang
Iromi Ilham| 5 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
ditulis Jenks dalam bukunya Studi Kebudayaan, yaitu:
Postmodernisme tidak menawarkan cara-cara alternatif untuk
mengetahui (memperoleh pengetahuan) darimana kita bisa
menghadapi dan menghargai sesuatu yang ‟baru‟ secara layak, tetapi
menyindir wacana dengan terus-menerus membabat epistimologi-
epistimologi yang ada dan menghadirkan penurunan dan pelemahan
pengaruh penjelasan-penjelasan yang didasarkan atas kualitas
wacana yang sama sekali tidak istimewa (Jenks, 2013: 202).
Secara konseptual, Jenks (dalam Pawitro, 2010: 41-42)
memberikan beberapa pandangan terkait postmodernisme, yaitu:
Pertama, postmodernisme diartikan sebagai sebuah aliran atau
pemikiran filsafat yang berkembang pada penghujung abad 20, yang
merupakan sebuah aliran pemikiran yang radikal dan bersifat kritis
terhadap filsafat Barat yang cenderung pada aspek rasionalisme
sebagai landasan utama dalam bidang sains/ilmupengetahuan,
sementara kehadiran postmodernisme menghancurkan universalisme
tendensi-tendensi dalam filsafat. Kedua, postmodernisme merupakan
sebuah aliran pemikiran yang berhubungan dengan sikap,
kebudayaan umum, atau yang berkaitan dengan kritik teoritikal, yang
berhubungan dengan penekanan pada relativitas, anti-universalitas,
nihilistik, kritik terhadap rasionalisme, dan kritik terhadap
fundametalisme atau sains. Ketiga, postmodernisme didefinisikan
dalam kaitannya dengan sosiologi, yaitu sebagai aliran pemikiran
atau gerakan yang timbul dari adanya akibat atau hasil perubahan
ekonomi, kebudayaan dan demografis. Misalnya: meningkatnya
pelayanan ekonomi, pentingnya media-massa, meningkatnya
ketergantungan ekonomi dunia, serta pola konsumsi masyarakat. Di
6 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
samping itu, postmodernisme dalam sosiologi juga berkaitan dengan
hadirnya dunia yang disesaki informasi dalam balutan globalisasi
sehingga dunia ini dianggap sebagai sebuah kampung global (global
village) yang tidak lagi dipermasalahkan oleh batas-batas geografis.
Keempat, postmodernisme dilihat sebagai aliran atau pemikiran yang
berkaitan dengan reaksi-reaksi atas “kegagalan” yang terjadi dalam
aliran arsitektur modern, yang timbul dalam bentuk kebosanan-
kebosanan dalam tampilan bentuk, hilangnya identitas dari tempat
atau lokasi, pengaruh yang mengungkung dari efisiensi dan
efektivitas produksi massal serta pengaruh yang sangat kuat dari
adanya industrialisasi dalam desain bangunan.
a) Postmodernisme: Menapaki Jalan Perkembangan
Rokhman (2013) dalam artikelnya yang berjudul Pasca
Modernisme Dalam Sastra telah merangkum perkembangan teori
postmodernisme hingga mencapai puncaknya di tahun 1980-an yang
dibagi dalam enam periode masa sebagai berikut:
Pertama, tahun 1917, dimana seorang filsuf Jerman yang
bernama Rudolf Pannwitz mendeskripsikan „nihilisme‟ budaya Barat
abad 20 yang merupakan sebuah tema pemikiran dari Nietzsche.
Kedua, tahun 1926, hadirnya Bernard Iddings Bell yang meyakini
adanya nilai-nilai yang melebihi dua ciri nilai era modern di Barat,
yaitu: liberalisme dan totalitarianisme. Kepercayaan pikiran terhadap
dua ideologi sekuler ini tidak memberi pengaruh yang signifikan
pada peningkatan kehidupan manusia, akan tetapi sebaliknya yang
terjadi, yaitu membawa pada kesengsaraan. Oleh karena itu, manusia
perlu kembali pada agama. Semua ini dituangkan dalam tulisannya
Postmodernism and Other Essays.
Iromi Ilham| 7 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
Ketiga, pada tahun 1934, hadirnya Federico de Onis yang
menulis masalah postmodernisme dalam Antologia de la Poesia
Espanola e Hispanoamericana (1882-1932). Buku ini bercerita tentang
makna pasca-modern dalam pengertian gerakan sastra dan periode
historis yang berkaitan dengan puisi Spanyol dan Amerika Latin.
Keempat, pada tahun 1945, hadirnya Joseph Hudnut yang menulis
tentang „rumah pasca modern‟ dalam Architectural Record.
Menurutnya, postmodernisme berarti sebuah lembaran sejarah baru
yang mengacu pada era atomis dan komputer serta idealisme estetis
yang memicu kemajuan teknologi dan ilmu sehingga dapat
menyalurkan pengalaman-pengalaman manusia yang tak
terjembatani. Idealisme modern yang dikritiknya dianggap telah
menciptakan standardisasi dan mekanisasi.
Kelima, pada tahun 1954 muncul Arnold Toynbee yang
menggunakan pengertian postmodernisme sebagai tanda
perpindahan atau periode masuknya abad ke-dua puluh, sebagaiman
dijelaskan dalam bukunya A Study of History. Keenam, pada tahun
1980, istilah postmodernisme digunakan untuk menunjuk filsafat
pasca strukturalis Perancis dan juga sebagai reaksi umum terhadap
rasionalisme modern, utopianisme, dan apa yang kemudian disebut
sebagai “fondasionalisme”, yakni usaha untuk membangun fondasi
dari pengetahuan dan penilaian yang merupakan perhatian dari para
filosof sejak jaman Rene Descartes pada abad 17.
b) Postmodernisme: Sebuah Paradigma
Hidup di dunia sangat tidak terlepas dari beragam
permasalahan dan rintangan. Kondisi ini yang akan membuat
manusia menggunakan akal budi yang dimilikinya untuk mencari
8 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
solusi dengan membangun sebuah kerangka berpikir sehingga bisa
tetap bertahan hidup (survive). Setiap manusia memiliki cara dan
metode yang berbeda-beda dalam membangun kerangka berpikir
yang disebabkan oleh perbedaan tingkat daya berpikir, lingkungan
sekitar, masalah yang dihadapi, background pendidikan, dan lain-
lain. Dalam sejarah perjalanannya, beragam pendekatan (approach)
atau kerangka berpikir (paradigma) yang lahir, yang tentunya juga
memiliki tujuan yang sama, yaitu menjawab segala permasalahan
yang muncul dalam kehidupan dan memahami gejala-gejala sosial,
baik yang bersifat individual, maupun komunal (K. Garna, 1999:59).
Fenomena keilmuan lainnya juga menjadi penting diperhatikan, di
mana antara satu paradigma dengan lainnya saling mengkritisi guna
mencapai derajat “kesempurnaan” yang kesemuanya itu tetap dengan
satu tujuan untuk mencapai kehidupan yang baik dalam tatanan
hidup manusia.
Para ilmuan sosial-budaya juga kerap menyamakan arti antara
paradigma, perspektif (perspective), sudut pandang (point of view),
kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran
(frame of thinking), kerangka analitis (analytical framework), aliran
pemikiran (school of thought), dan pendekatan (approach) (Ahimsa-
Putra, 2009: 1). Menurut Ahimsa-Putra, paradigma diartikan sebagai
“seperangkat konsep yang saling berhubungan satu sama lain secara
logis dan membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi
untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan atau
masalah yang dihadapi” (Ahimsa-Putra, 2009: 2). Nah, jika kita juga
sepakat dengan pengertian “paradigma” sebagaimana yang
disampaikan Ahimsa-Putra, maka “paradigma postmodernisme” bisa
Iromi Ilham| 9 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
juga didefinisikan sebagai sebuah konsep yang membentuk kerangka
berpikir yang bertujuan untuk memahami, menafsirkan, mengkaji,
memberi solusi dan menjelaskan kenyataan yang berkaitan dengan
fenomena sosial-budaya atau gejala-gejala sosial-budaya yang ada
dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai sebuah paradigma yang diakui dalam kajian ilmu
sosial-budaya, maka postmodernisme memiliki unsur-unsur yang
mendukungnya sebagai sebuah paradigma. Menurut Ahimsa, ada 9
unsur-unsur paradigma, yaitu: asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai
(values), masalah yang ingin diteliti, model, konsep-konsep, metode
penelitian, metode analisis, hasil analisis, dan etnografi atau
representasi (Ahimsa-Putra, 2009: 4). Namun dalam sub-bab ini, saya
hanya melihat beberapa unsur saja dalam paradigma postmodern.
1) Asumsi-asumsi dan Nilai
Dalam bahasa yang sederhana, asumsi dasar bisa didefinisikan
sebagai pandangan-pandangan mengenai suatu hal yang sudah
diterima kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2009: 4). Dalam paradigma
postmodernisme, kita bisa merujuk pada pandangan yang telah
disepakati oleh para ahli postmodernisme sebagai pijakan awal dalam
melihat realitas kehidupan sosial-budaya. Dengan demikian, kita bisa
melihat asumsi-asumsi dasar yang terdapat dalam paradigma ini
adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai kebenaran yang bersifat relative. Artinya, dalam
paradigma ini, setiap individu berhak menginterpretasi
mengenai segala sesuatu atau fenomena sosial yang dilihat dan
dirasa sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya, sehingga
kebenaran disini sangat bersifat relative karena setiap individu
10 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap sebuah
fenomena.
2. Pemikiran-pemikiran yang disuguhkan oleh pemikir-pemikir
terdahulu dalam sebuah “narasi besar” dianggap tidak bisa
menjawab tantangan krisis sosial-kultural. Dengan demikian,
paradigm postmodernisme ini tidak percaya pada narasi-narasi
besar yang telah lalu, semisal pemikiran Hegel. Marx, dll
karena alih-alih bisa membuat dunia semakin baik, malah
keadaan dunia semakin kacau balau.
Mendrofa, (2012) juga mengatakan “Tidak ada yang benar-
benar “fakta” tentang dunia ini”. hal ini dikarenakan yang dilakukan
oleh manusia hanyalah memahami fenomena sosial melalui
interpretasi-interpretasi atau menginterpretasikan interpretasi tentang
realitas.
2) Ciri dan Pemikiran Postmodernisme
Sebagai sebuah paradigm, postmodernisme tentu memiliki ciri-
ciri tertentu yang membedakannya dengan paradigma-paradigma
lain dalam kajian ilmu sosial-budaya. Mengingat bahwa definisi
tentang paradigma postmodernisme juga masih banyak perdebatan di
kalangan para ahli, maka alangkah bijaksana ketika kita
mengidentifikasi aliran ini dengan menelusuri dan menelaah beragam
ciri yang dimiliki atau bisa juga disebut dengan varian pemikiran
yang dikenal dalam paradigma ini sebagaimana yang telah
dipaparkan oleh para ahli ilmu sosial-budaya.
Pertama, pemikiran Rosenau (1992) (dalam Ritzer) mengatakan
secara nyata bahwa postmodernisme hadir sebagai kritik terhadap
Iromi Ilham| 11 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
aliran modernisme yang gagal dalam memenuhi janji-janji kehidupan
sosial yang lebih baik. Rosenau mengatakan:
...akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam “jalur cepat”. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern: seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal, dan rasionalitas (Ritzer, 2010: 19).
Kedua, pemikiran postmodernisme memiliki ciri bahwa ia
cenderung menolak meta-narasi, totalitas, dan pandangan-pandangan
besar dunia. Artinya, postmodernisme lebih menerima penjelasan
yang sangat terbatas (lokal naratif) untuk mengisi kehidupan (Ritzer,
2010: 19). Lyotard berpandangan bahwa narasi besar atau cerita
agung tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh
Marxis dan ahli lain yang melihat pencerahan adalah hal yang harus
diabaikan dalam dunia postmodernisme, majemuk dan polivokal ini.
Lyotard sendiri lebih cendrung menyukai “cerita kecil” tentang
masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level
kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal. Dalam bahasa
yang lain, Agger menyebutnya dengan istilah “lokalitas” (Agger,
2003).
Ketiga, Rosenau juga mengatakan bahwa pemikiran
postmodernisme cenderung melihat pada fenomena-fenomena
emosional pra-modern, semisal emosi, perasaan, intuisi, refleksi,
spekulasi, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen
keagamaan, dan pengalaman mistik. Ritzer juga melihat pemikiran ini
sama dengan apa yang digagas oleh Jean Baudrillard mengenai teori
“pertukaran simbolis” (symbolic exchange) (Ritzer, 2010: 19).
12 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Keempat, Nuyen (1992), (dalam Ritzer, 2010: 20), menjelaskan bahwa
banyak pemikir postmodernis yang menolak gaya diskursus
akademis modern yang teliti dan bernalar. Hal ini disebabkan oleh
tujuan dari pengarang yang menganut aliran postmodernisme adalah
mengejutkan dan mengagetkan pembaca dengan logika-logika
argumentatif.
Dalam kesempatan yang lain, Agger (2003: 72-75) dalam
bukunya Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya,
menjelaskan bahwa ciri-ciri atau tanda-tanda dari gejala sosial yang
menganut pemikiran postmodernisme adalah sebagai berikut:
1. Lahirnya era globalisasi. Dalam globalisasi, hubungan antar
negara atau antar wilayah menjadi semakin “dekat”, sehingga
kebudayaan-kebudayaan menjadi kabur atau dalam bahasa
yang lain terjadinya deteritorialisasi sosial. Batas-batas geografis
bukan lagi suatu permasalahan yang problematis dalam
menghubungkan dua negara atau dua wilayah.
2. “Kematian” Individu atau dalam bahasa Foucault disebut
dengan “the death of the subject”, di mana konsep borjuis tentang
subjektivitas tunggal dan tetap yang secara jelas dibedakan dari
dunia luar tidak lagi masuk akal dalam kacamata
postmodernisme. Kini, diri atau subjek telah menjadi lahan
pertarungan tanpa batas antara dirinya dan dunia luar.
3. Munculnya dunia Informasi yang luar biasa, “mode produksi”
dalam terminologi Marxis tidak lagi relevan dibandingkan
dengan mode informasi –meminjam istilah Max Poster-, di mana
masyarakat postmodernisme mengorganisir dan menyebar
informasi dan hiburan secara bebas dan terbuka.
Iromi Ilham| 13 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
4. Baudrilard (1983) menyebutnya dengan istilah Simulasi, artinya:
realitas tidak lagi stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep
saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Akan tetapi
masyarakat semakin “tersimulasi”, tertipu dalam citra dan
wacana. Misalnya, bagaimana iklan tentang suatu produk bisa
mengubah cara pandang seseorang dalam menerjemahkan
hidup.
5. Perbedaan dan penundaan dalam Bahasa. Menurut Derrida,
dalam postmodernisme, bahasa tidak lagi berada pada
hubungan representatif pasif atas “kenyataan” sehingga kata
dapat secara jelas dan jernih menjabarkan realitas dunia. Dalam
hal ini, pembacaan teks dengan konsep dekonstruksi adalah
aktivitas kreatif untuk mendapatkan makna yang ambigu atau
yang hilang dari realitas.
6. Polivokalitas. Segala hal dapat dikatakan secara berbeda, dalam
berbagai cara yang secara inheren tidak superior ataupun
inferior satu sama lain. Sehingga, sains menjadi satu dari
sejumlah “narasi” yang melengkapi, menyaingi dan
mengkontraskan dan tidak memiliki status epistemologis yang
istimewa (misal, status superior teori pengetahuan).
7. Postmodernisme juga ditandai dengan munculnya gerakan
sosial baru. Terdapat berbagai gerakan akar rumput bagi
perubahan sosial progressif, seperti gerakan anti diskriminasi
warna kulit, pembela lingkungan hidup, feminisme, gay, serta
lesbian. Negara maju semisal Belanda, bahkan telah melegalkan
hubungan gay dan lesbian dan para pelakunya juga dilindungi
secara hukum.
14 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
C. Postmodernisme dan “Cerita” yang Belum Selesai: Sebuah
Analisis Kritis
Postmodernisme tetap menjadi trending wacana yang banyak
diperbincangkan oleh para ilmuan sosial-budaya saat ini. Saya
menganggap bahwa aliran pemikiran (paradigma) postmodernisme
ini sebagai sebuah “cerita” yang belum selesai karena; pertama, aliran
pemikiran ini masih dalam perdebatan dan diskusi yang luar biasa di
kalangan para cendikiawan sosial-budaya. Meclenna (dalam
McRobbie, 2011: 4) mengatakan bahwa “Dunia akan makin rusak oleh
penindasan, kebodohan dan kurang gizi…karena intelektual-
intelektual penting mengganti keseriusan dengan jalinan permainan
bahasa yang berkelap-kelip”. Ini adalah salah satu bentuk sindiran
yang dilontarkannya dalam menanggapi wacana postmodernisme,
dan ini menunjukkan bahwa pemikiran ini masih dalam perdebatan.
Kedua, dalam sub-bab ini, saya juga berusaha melihat
postmodernisme dari dua sisi yang berlawanan, dalam pengertian di
samping menyajikan pemikiran postmodernisme secara teoritis, saya
juga akan melihatnya dalam kaca mata kritis terhadap teori-teori dan
aplikasi yang terdapat dalam pemikiran ini. Sebagaimana tujuan
utama dari tulisan ini untuk menganalisa dan memunculkan
pemikiran kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam
paradigma postmodernisme ini.
a) Dunia Ekonomi dan Postmodernisme
Menurut Nugroho, dalam sejarah disiplin ilmu ekonomi, aliran
neo-klasik termasuk dalam aliran ortodoks yang juga dipandang
sebagai aliran modernisme, sementara postmodernisme dalam dunia
ekonomi disamakan dengan aliran ekonomi heterodoks. Ada
Iromi Ilham| 15 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
beberapa aliran yang digolongkan dalam aliran heterodoks
(postmodernisme) dalam dunia ekonomi, yaitu: Aliran Kelembagaan
(Institusional), Aliran Sejarah (historis), Aliran Empirimentalis.
Kehadiran postmodernisme sebagai kritik terhadap grand theory
dalam kaitannya dengan dunia ekonomi, semisal Kapitalisme,
sebenarnya juga tidak menjadi solusi cerdas dalam masalah ekonomi.
Ada beberapa kritik yang dilontarkan oleh Rosenau (dalam Nugroho,
2006: 181) terhadap paradigma postmodernisme terkait dengan dunia
ekonomi, yaitu;
1. Postmodernisme yang hadir sebagai resisten terhadap
pemikiran modernisme sebenarnya tidak menawarkan jalan
keluar yang lebih cerdas. Bahkan menurut Rosenau, aliran
pemikiran sosialisme atau marxisme lebih menawarkan jalan
keluar nyata terhadap masalah sosial-ekonomi yang dihadapi
oleh masyarakat.
2. Postmodernisme sangat sulit saat dijadikan pertimbangan
untuk membuat sebuah kebijakan. Sebagaimana dijelaskan
bahwa salah satu ciri pemikiran postmodernisme adalah
menolak adanya generalisasi, padahal untuk menciptakan
sebuah kebijakan diperlukan suatu generalisasi, dalam artian
mustahil sang pembuat kebijakan mampu memenuhi
keinginan setiap individu yang terlibat dalam kebijakan itu
nantinya.
3. Postmodernisme melayangkan kritik terhadap modernism
dengan mengatakan bahwa konsep modernisme sesuatu yang
irrasional. Padahal postmodernisme seringkali menawarkan
16 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
solusi yang sebenarnya juga irrasional, seperti dalam kasus
pengambilan kebijakan di atas.
b) Kebenaran Absolut dan Dunia Agama: Sebuah Paradoks
Ciri pemikiran postmodernisme yang lain adalah menganggap
nilai kebenaran itu relative, dalam pengertian tidak ada kebenaran
mutlak atau tidak ada kebenaran absolut. Dalam hal ini, hal yang
perlu kita lihat secara kritis adalah ketika teori “tidak ada kebenaran
absolute” digeneralkan dan berlaku dalam semua aspek sosial,
termasuk aspek agama. Pada masa modern, manusia mengingkari
agama karena pengaruh rasionalitas karena dianggap telah gagal
melanjutkan proyek pencerahannya, sementara pada masa
postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas.
Saat ini, dimana pemikiran postmodernisme diagung-
agungkan, di saat yang bersamaan pula, banyak muncul aliran-aliran
(isme) yang bisa juga dianggap sebagai “agama” baru yang
merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme. Bagaimana dengan
kebenaran yang disampaikan agama, jika memang semua agama itu
benar atau semua agama itu salah, lantas kenapa harus ada banyak
agama di dunia? Dan jika tidak ada kebenaran absolute, lantas
bagaimana mungkin kaum postmodernis ini mengkritik pemikiran
lainnya sementara tidak ada tolak ukur yang pasti yang menjadi
landasan berpikir? Ini merupakan sebuah paradoks, dan jika terlalu
dipaksakan, malah yang muncul kemudian adalah paham
“nihilisme”. Menurut penulis, jika memang tidak berlaku kebenaran
absolut, maka manusia bisa menjelma menggantikan “Tuhan” yang
bisa menentukan kebenaran. Dan bukankah ketika penganut
Iromi Ilham| 17 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
postmodernisme ini mengatakan “tidak ada kebenaran absolute” juga
merupakan sebuah kebenaran absolut?
c) Konsumerisme, Gaya Hidup dan Sosial-Budaya
Salah satu hal yang paling menonjol dari pemikiran
postmodernisme adalah menolak meta-narasi. Salah satu konsep
metanarasi adalah materialisme. Namun menjadi paradoks disini
ketika masyarakat mengeluarkan kritik tajam terhadap materialisme,
tetapi di saat yang sama pula, pola hidup konsumerisme semakin
menguat dan mengakar. Katakanlah, pola konsumtif ini bagian
daripada ciptaan kapitalis demi keuntungan ekonomi yang berlipat,
namun timbul pertanyaan selanjutnya, bagaimana pihak kapitalis
mengkampanyekan atau menggiring masyarakat untuk pola hidup
konsumtif? Jawabannya salah satunya, media sangat berperan disini.
Lantas, hadirnya media massa secara massif bukanlah indikator dari
bangkitnya dunia informasi? Dan sebagaimana yang telah dijelaskan
di awal, salah satu ciri postmodernisme ditandai dengan terbukanya
dunia informasi secara luas.
Ketika keberadaan media massa begitu berkuasa, secara tidak
sadar masyarakat terjerumus ke dalam pola dan gaya hidup yang
ditawarkan media. Gaya hidup sangat berkaitan erat dengan
pembentukan identitas (cultural identity) dan perbedaan (cultural
difference) karena gaya hidup dibangun sebagai cara untuk
memperlihatkan identitas dan sebagai pembeda (Piliang, 2011: 237).
Dalam hal ini, masing-masing komunitas masyarakat menjalankan
gaya hidup yang berbeda dengan tujuan agar terlihat berbeda dengan
komunitas yang lain dan menjadi pertanda akan eksistensi
komunitasnya. Dalam memenuhi hasrat inilah, terkadang masyarakat
18 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
tidak sadar terjerumus ke dalam pola hidup konsumtif yang luar
biasa.
Salah satu ciri penting lain dari pemikiran postmodrnisme
adalah kritik terhadap nalar modern yang menjunjung tinggi
kesatuan atau homologi, sementara postmodernisme lebih kepada
menampilkan heterologi. Sejauh yang saya pahami, dalam hal ini
kaum postmodernisme menganggap tidak penting hal-hal yang
besifat penyatuan dan integrasi, namun lebih kepada merayakan
setiap perbedaan dan biarlah setiap perbedaan tu mengalir dengan
sendirinya tanpa harus disatukan. Disatu sisi, saya setuju dengan
merayakan perbedaan, tanpa perlu dipaksa untuk “menyatu” dalam
sebuah kesatuan, namun disisi lain, jika kita terlalu bebas dalam
merayakan perbedaan, maka dikhawatirkan secara tidak sadar
kebebasan yang kita agungkan akan bertabrakan dengan kebebasan
yang dimiliki orang lain.
d) Dunia Etika, Estetika dan Seni Arsitektur
Jika ditilik dari segi moralitas (etika), postmodernisme tidak
lagi melihatnya secara “general”. Maksudnya, jika sebelumnya
persepsi mengenai etika selalu dihubungkan dengan konsep
komunal, dalam artian sesuatu dianggap “etis”, ketika mayoritas
masyarakat juga memiliki persepsi yang sama terhadap sesuatu itu
(menganggapnya etis), baik berupa seni, tindakan, maupun benda.
Sementara saat masa postmodernisme muncul, etika tidak lagi dinilai
dalam sesuatu penilaian yang “baku”, karena pemikiran
postmodernisme berpendapat bahwa perihal etika adalah masalah
individual yang sifatnya pribadi dan tidak terkait dengan orang lain.
Nah, disini yang juga perlu dikaji dan dikritisi kembali. Kita sadar
Iromi Ilham| 19 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
bahwa manusia itu adalah makhluk komunal yang tidak mungkin
bisa hidup sendiri. Kebebasan yang keblablasan sangat mungkin untuk
bersinggungan dengan hak yang dimiliki oleh orang lain. Ketika
perihal moralitas dikembalikan ke masing-masing individu, sama
artinya dengan mengatakan bahwa “hukum” tidak lagi dibutuhkan di
dunia ini karena masing-masing individu bisa mengatur dirinya
sendiri. Padahal, ketika hukum tidak ada, maka dunia akan menjadi
lebih bermasalah, karena itu moralitas bukanlah perihal individu,
namun juga kewajiban bersama untuk saling mengingatkan.
Aliran pemikiran postmodernisme dalam dunia arsitektur
hadir sebagai upaya penolakan terhadap gaya arsitektur pada zaman
modern. Bahkan, aliran ini dikenal luas sebagai aliran „Arsitektur
Post-modern‟ yang awalnya dikonseosikan oleh Charles Jenks pada
tahun 1958 melalui bukunya yang terkenal The Failure of Modern
Architecture. Sebagaimana dijelaskan Jenks (dalam Pawitro) mengapa
gerakan arsitekstur postmodernisme hadir yaitu karena merasa bosan
dengan tampilan-tampilan bangunan bergaya modern yang cendrung
sederhana dan seragam, merasa bosan dengan tampilan bentuk
bangunan yang terkungkung oleh prinsip efisiensi dan efektivitas,
menghilangnya identitas tempat atau lokasi karena penekanan
bangunan yang harus berbentuk kubisme dan geometric dan juga
akibat penetapan/pemilihan bentuk-bentuk yang rasional-goemetris
tanpa melihat pada aspek sejarah atau lokalitas. Kemudian prinsip-
prinsip ini mulai digugat oleh aliran arsitektur postmodernisme
(Pawitro, 2010).
Jika merujuk pada dunia arsitektur postmodernisme,
sepertinya tepat jika bangunan bergaya arsitektur postmodernisme
20 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
diterapkan untuk bangunan-bangunan di kota besar, dimana
penduduk yang semakin hari, semakin bertambah (baik angka
kelahiran, maupun urbanisasi) yang dengan sendirinya persediaan
lahan semakin terbatas untuk mendirikan rumah maupun bangunan
lainnya. Dengan menggunakan konsep bangunan postmodernisme,
maka keberadaan bangunan tidak lagi dalam sebuah aturan yang
“kaku” (harus berbentuk geometric atau kubisme), tapi bisa
mengikuti bentuk dan luas lahan yang tersedia. Disamping itu,
Charles Moore (dalam Lash), seorang arsitektur postmodernis pernah
mengatakan terkait dengan bentuk bangunan bahwa:
“Ruang fisik dan bentuk bangunan seharusnya membantu memori umat manusia dalam membangunkembali hubungan dengan waktudan tempat…sehingga kita yang dalam kerumitan hidup ini terpisah dari wilayah tunggal dimana kita bisa menemukan penyebabnya, dapat memiliki…melalui memori kita, melalui bentuk bangunan, sesuatu sebagaimana yang disimpan oleh sumber-sumber tersebut” (Lash, 2008: 109).
Argument yang disampaikan Moore di atas sesuai dengan ciri
postmodernisme yang ditulis Lash, dimana ia mengatakan bahwa
postmodernisme mencoba membangun kembali dimensi historis.
Dengan mendirikan bangunan yang bercirikan postmodernisme,
artinya sama dengan “mengajarkan” sejarah kepada generasi sesudah
kita sehingga mereka bisa mengetahui beragam kebudayaan dan
menikmati sejarah. Akan tetapi, Lash sendiri juga menyangsikan
terhadap arsitektur postmodernisme karena membuat manusia
semakin individualistic dan kota menjadi sesuatu yang terisolasi
(Lash, 2008: 119).
Iromi Ilham| 21 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
D. Penutup
Sebuah disiplin ilmu akan “mati” dan tidak berkembang jika
seluruh aktor intelektual dan pemikirnya berhenti pada sebuah kata
“sepakat”. Artinya, pro dan kontra, mengkritik dan dikritik adalah
sebuah “pola wajib” bagi dinamika ilmu pengetahuan. Kemudian,
setelah menelaah dan mengkaji perihal paradigma postmodernisme
ini muncul pertanyaan, apakah paradigma ini layak atau pantas
dianggap sebagai solusi atas segala fenomena sosial dewasa ini?. Kita
bisa menjawab “iya” dan bisa menjawab “tidak”. Postmodernitas bisa
dilihat sebagai sesuatu yang menggembirakan, namun juga bisa
dilihat sebagai sesuatu yang membawa malapetaka.
Dalam beberapa kasus, sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, kita bisa melihat bahwa kehadiran postmodernisme bisa
membawa angin segar dan menjadi jawaban untuk beberapa
permasalahan. Contohnya; hadirnya konstruksi bangunan yang
dibangun dengan gaya arsitektur postmodern bisa mengatasi masalah
di perkotaan yang memang memiliki keterbatasan dalam akses lahan.
Namun, keberadaan postmodernisme sebagai hasil „kontemplasi‟
pemikiran yang lahir dari manusia, di mana manusia memiliki
keterbatasan-keterbatasan, tentu saja memiliki nilai minus dan perlu
dkritisi dan dikaji ulang dalam wacana keilmuan.
Oleh karena itu, saya melihat paradigma postmodernisme ini
sebagai “cerita yang belum selesai”, dalam arti masih perlu dikaji dan
dikritisi sehingga benar-benar bisa mewakili pemikiran kontemporer
yang bisa memecahkan segala permasalahan dalam fenomena sosial-
budaya–minimal bisa menjawab sebagian besar tantangan dan krisis
sosio-kultural. Menurut hemat penulis, awal “musibah”
22 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
postmodernisme ini adalah ketika terjadi generalisasi. Sebagaimana
pendapat yang disampaikan Lyotard yang mengatakan bahwa narasi-
narasi besar sudah runtuh, ada banyak narasi besar, namun ia
cenderung mengeneralkan semuanya.
E. Referensi
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritik: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta; Kreasi Wacana.
Ahimsa-Putra, HS. 2009. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya; Sebuah Pandangan. Makalah dalam Kuliah Umum Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan: Sejarah seksualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Garna, Judistira K. 1999. Pendekatan Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
Jenks, Chris. 2013. Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lash, Scott. 2008. “Posmodernisme Sebagai Humanisme?; Wilayah Urban dan Teori Sosial”. Dalam Teori-Teori Sosiologi; Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
McRobbie, Angela. 2011. Posmodernisme dan Budaya Pop. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mendrofa, Brian. B. 2012. “Postmodernisme”. (Online) diakses pada tanggal 23 Januari 2014 dari http://brian-b-m-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-47377-Umum-Postmodernisme.html,.
Pawitro, Udjianto. 2010. Fenomena Postmodernisme dalam Arsitektur Abad ke-21. Jurnal Rekayasa 1(14). Institut Teknologi Nasional.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Iromi Ilham| 23 Paradigma Post-Modernisme; Solusi Untuk Kehidupan Sosial?
Ritzer, George. 2010. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ryadi, Agustinus. 2004. Postmodernisme Versus Modernisme. Jurnal Studia Philosophica et Theologica 4(2):90-100.
SBM, Nugroho. 2006. Modernisme, Postmodernisme, Serta Kritik Terhadap Postmodernisme Dalam Ilmu Ekonomi. Jurnal Dinamika Pembangunan 3(2):174-183.
Smart, Barry. 2008. “Modernitas, Posmodernitas dan Masa Kini”. Dalam Teori-Teori Sosiologi; Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Turner, Bryan. 2008. Periodesasi dan Politik Dalam Posmodernisme. Dalam Teori-Teori Sosiologi; Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
24 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
PERGESERAN POLA PEMBERIAN NAMA ANAK PADA GENERASI MILLENIAL DAN POST-MILLENIAL
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi, M. Nur Program Studi Magister Sosiologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]
Abstract
For the Acehnese, "self-name" refers to the self-image of the Acehnese as Muslims. Then the naming of Acehnese is generally inspired by islamic word, or Arabic word. This study tried to describe the change of naming a baby in Acehnese, especially in network society era, where Generation X as the main actor, while Millennial (Generation Y) and Post-Millennial Generation as the object. The research conducted at Faculty of Social and Political Science University of Malikussaleh through documentary studies and unstructured interviews. The results of this study showed that the change of naming a baby in Acehnese occurred through a fairly long process, across time and generation, within the circle of externalization, objectification, and internalization, that ultimately forced a generation to follow the current naming trend.
Keywords : Reconstruction, Generation, Knowledge, Aceh
Abstrak
Bagi masyarakat Aceh, “nama diri” tidak dapat dilepaskan dari citra diri orang Aceh sebagai pemeluk agama Islam. Maka pemberian nama anak pada masyarakat Aceh pada umumnya terinspirasi dari Al-Qur‟an, bahasa Arab, atau nama diri orang Arab. Penelitian ini mencoba menunjukkan adanya pergeseran dalam pola pemberian nama anak pada masyarakat Aceh, terutama pada era masyarakat jaringan dimana generasi X sebagai aktor utamanya serta generasi Millenial (Gen-Y) dan Post-Millenial sebagai objeknya. Penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh melalui studi dokumentasi dan wawancara tidak terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran pola pemberian nama anak pada masyarakat Aceh terjadi melalui proses yang cukup panjang, lintas waktu dan lintas generasi, yang pada akhirnya “memaksa” suatu generasi untuk mengikuti trend penamaan anak masa kini.
Kata Kunci : Rekonstruksi, Generasi, Pengetahuan, Aceh
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 25 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
A. Pendahuluan
Nama merupakan atribut pribadi yang memiliki fungsi sebagai
sarana untuk mengidentifikasi seseorang, dan selalu digunakan untuk
beragam kepentingan, sejak ia lahir hingga nama tertulis di batu nisan
(Rahmawati, 2013: 4). Dalam banyak konteks, nama dibubuhkan pada
berkas-berkas administrasi, nama juga muncul saat seseorang berhasil
menelurkan sebuah mahakarya. Bahkan di akherat kelak, orang Islam
percaya bahwa Tuhan akan mengadili seseorang dengan memanggil
nama diri yang disandangnya ketika hidup di dunia.
Bagi kebanyak orang, terutama mereka yang beragama islam,
nama mengandung unsur yang sangat prinsipil, yaitu berkaitan
dengan doa, harapan, cita-cita, dan pada umumnya properti yang
berupa nama tersebut merupakan buah karya yang diberikan oleh
orang tua, keluarga besar, atau bahkan lingkungan sekitarnya
(Kosasih, 2010: 1). Dalam lintas ruang, nama juga dapat menampilkan
ciri khas identitas seseorang. Nama Takeshi misalnya, sangat melekat
dengan identitas sebagai orang Jepang. Begitu pula dengan nama
lainnya, melekat pada wilayah atau ruang tertentu, sebut saja
Francisco (Italia), Hernandez (Spanyol atau Amerika Latin), Ivanov
(Rusia), Chen Hong (Cina), Ittiphat (Thailand), atau Prakash (India).
Di Indonesia, dikenal nama-nama berciri khas nasional seperti Budi,
Iwan, Indah, atau Herman. Di samping itu, terdapat juga nama-nama
yang bisa dihubungkan dengan identitas lokal seperti Ketut (Bali),
Tigor (Batak), Bengi (Gayo), atau Cut dan Teuku (Aceh).
Pada masyarakat Aceh, tradisi memberi nama atau dalam
bahasa Aceh disebut dengan kata “bohnan” pada umumnya
26 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
didominasi oleh tuntunan Islam tentang etika pemberian nama
kepada anak. Ibrahim Alfian (dalam Samad, 2015: 111) menyatakan
bahwa pengaruh Islam terhadap adat-istiadat masyarakat Aceh
cukup kuat dan mengakar, termasuk dalam adat pembubuhan nama
anak. Maka tidak mengherankan bila orang Aceh umumnya memiliki
nama-nama islami seperti Muhammad, Hasan, Jalaluddin, Said,
Umar, Idris, atau Ridwan. Namun perkembangan yang terjadi
dewasa ini, fenomena perubahan pola pemberian nama telah menjadi
suatu hal yang lumrah. Teknologi informasi dan komunikasi
disinyalir sebagai faktor pendorong utama perubahan ini. Hidayat
(2015: 14) menegaskan bahwa penggunaan teknologi informasi yang
begitu massif memiliki andil yang besar terhadap perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, teknologi juga turut menentukan “wajah
masyarakat”, dimana masyarakat menjadi lebih adaptif terhadap
perubahan yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bertujuan untuk
mendiskusikan tentang pergeseran pola pemberian nama anak pada
masyarakat Aceh, terutama pada era masyarakat jaringan dimana
generasi X sebagai aktor utamanya serta generasi Millenial (Gen-Y)
dan Post-Millenial sebagai objeknya. Penelitian dilakukan di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, sumber data
dalam tulisan berasal dari studi dokumentasi serta wawancara tidak
terstruktur.
B. Persepektif Teoritis
Era yang tengah ditapaki oleh umat manusia pada saat ini oleh
Manuel Castells (dalam Tendi, 2016: 136) disebut sebagai “era
jaringan”. Istilah ini merupakan hasil pengembangan pemikiran
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 27 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
Daniel Bell yang mengkaji perubahan pada aspek pengelolaan dan
peran informasi pada tahun 1970-an, di mana pada tahun-tahun
tersebut sedang terjadi restrukturasi fundamental dalam sistem
kapitalis. Masyarakat mulai mengenal komputer dan menghadapi era
industri 3.0, perubahan luar biasa itu memunculkan istilah baru yang
disebut dengan “masyarakat informasi”. Castells kemudian
mendalami istilah tersebut dengan melihat perkembangan kehidupan
sosial manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Konsepsi
itu akhirnya disintesakan dan dipopulerkan dengan istilah network
society atau masyarakat jaringan.
Masyarakat jaringan atau network society tersebut dalam
konteks perkembangan masyarakat merupakan sebuah generasi yang
memiliki tifikasi dan kecenderungan yang berbeda dengan generasi-
generasi pendahulunya atau generasi pasca era network society. Dalam
konteks generasi, Manheim (dalam Putra, 2016: 124-125) menyatakan
bahwa generasi adalah suatu konstruksi sosial dimana di dalamnya
terdapat sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan
pengalaman historis yang sama. Artinya setiap generasi yang lahir
dalam masyarakat selalu terikat konteks sosio historisnya.
Terkait dengan generasi, terdapat beberapa pandangan tentang
perbedaan generasi. Beberapa ahli yang berhasil mempopulerkan
teori ini diantaranya Tapscott (1998), Howe dan Strauss (2000),
Zemke, dkk (2000), Lancaster dan Stillman (2002), Martin dan Tulgan
(2002), serta Oblinger (2005). Generasi oleh mereka dibagi
berdasarkan kesamaan dalam rentang waktu kelahiran dan kesamaan
kejadian-kejadian historis yang dialami.. Beberapa pendapat tentang
istilah perbedaan generasi disajikan pada tabel berikut :
28 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Tabel 1 Pengelompokan Generasi
Tapscott (1998)
- Baby Boom Generation (1946-1964)
Generation X (1965-1975)
Digital Generation (1976-2000)
-
Howe & Strauss (2000)
Silent Generation (1925-1943)
Boom Generation (1943-1960)
13thGeneration (1961-1981)
Millenial Generation (1982-2000)
-
Zemke, et.al. (2000)
Veterans (1922-1943)
Baby Boomers
(1943-1960)
Gen-Xers (1960-1980)
Nexters (1980-1999)
-
Lancaster & Stillman
(2002)
Traditionalist (1900-1945)
Baby Boomers
(1946-1964)
Generation Xers (1965-
1980)
Generation Y (1981-
1999)
-
Martin & Tulgan (2002)
Silent Generation (1925-1945)
Baby Boomers
(1946-1964)
Generation X (1965-1977)
Millenials (1978-2000)
-
Oblinger & Oblinger
(2005)
Matures (<1946)
Baby Boomers
(1947-1964)
Generation Xers (1965-
1980)
Gen Y/NetGen (1981-1995)
Post-Millenials
(1995-present)
Sumber : Yanuar Surya Putra (2016 : 125)
Berkaitan dengan tabel di atas, di dalam perkembangan
masayarakat, terdapat perbedaan dalam hal pemberian nama anak
pada masing-masing generasi. Pada Generasi Post-Millenial,
perubahan itu bahkan terjadi secara signifikan. Satu hal yang paling
mencolok berkaitan dengan perubahan pada era ini adalah
bermunculan nama anak yang lebih rumit dan panjang.
Menurut Widodo (2013: 82), nama diri di dalam lingkungan
masyarakat tidak hanya berhubungan dengan agen penyandang atau
keluarganya, tetapi berkaitan erat pula dengan aspek yang lain,
misalnya waktu, tempat, suasana atau peristiwa, status sosial, sejarah,
dan tradisi. Singkatnya, nama merupakan produk masyarakat yang
mampu menjelaskan berbagai hal tentang masyarakat itu. Selain itu
praktek pemberian nama (naming) juga merupakan manifestasi
kondisi psikologis masyarakatnya pada tataran makro, yakni
bagaimana mencitrakan dirinya (inner world) dan bagaimana
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 29 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
memunculkan citranya ke dunia luar, yang selanjutnya merefleksikan
struktur berpikir dari warganya. Pola pikir seperti ini pada akhirnya
akan turut menentukan struktur sosial budaya masyarakat dan juga
dapat menjadi salah satu indikator ideologis suatu kelompok
masyarakat, yang mencakup antara lain nilai-nilai yang dianut berupa
kepatutan, baik-buruk, pantas-tidak pantas (Kosasih, 2010: 1).
C. Nama Anak pada Masyarakat Aceh
Pada tataran makro, masyarakat Aceh mencitrakan dirinya
sebagai masyarakat yang islami. Islam adalah jalan meniti kehidupan
yang mengkristal dalam budaya dan adat Aceh. Hal ini cukup
menonjol terwujud dalam sistem pranata dan struktur sosial, artinya
Islam juga dijadikan sebagai pandangan hidup orang Aceh (Samad,
2015: 112). Julukan Aceh sebagai Serambi Mekah tidak hanya menjadi
simbol kebanggaan bagi orang Aceh, namun juga menginspirasi
mereka untuk mewujudkan masyarakat yang islami, baik melalui
nilai, norma, tata hukum, kebiasaan, bahkan dalam pola pemberian
nama sebagai identitas diri.
Masyarakat Aceh mencitrakan dirinya sebagai masyarakat
yang islami, secara sosial berdampak pada kecenderungan mereka
dalam melakukan pemberian nama kepada anak-anak mereka yang
juga merepresentasikan citra islam. Tetapi dalam cermatan penulis,
pola pemberian nama yang terjadi pada masyarakat aceh juga
mengalami pergeseran antar generasi. Pada generasi Baby Boomers
(1947-1964) dan Gen-X (1965-1980) (bila mengacu kategorisasi
Oblinger dan Oblinger (2005), orang Aceh cenderung memiliki atribut
nama yang umum disandang oleh orang Islam di wilayah Timur
Tengah, seperti Nirzalin, Zakaria, Jamaluddin, Rasyidin, Fakhriah,
30 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Rukaiyah, dan Mukhlis. Bentuk nama-nama tersebut pun sederhana,
terdiri atas satu kata. Untuk beberapa kasus, walaupun tidak
dominan, terdapat dua kata yang dibubuhkan sebagai nama
seseorang, seperti Muhammad Nazaruddin, Muhammad Akmal,
Muhammad Fazil, dan sebagainya. Tidak jarang sumber inspirasi
dalam pemberian nama tersebut diperoleh dari interaksi orang tua
dengan Teungku Dayah setempat. Prosesi pemberian nama (bohnan)
mengikuti adat dan kebiasaan masyarakat Aceh pada saat itu.
Dalam perkembangannya, Gen-X menikah dan memiliki
keturunan. Adapun keturunan Gen-X ini ialah Gen-Y (Generasi
Millenials, 1981-1995) dan Generasi Post-Millenials (kelahiran 1995 ke
atas). Sebagaimana generasi pendahulunya (Baby Boomers), Gen-X ini
pun membubuhkan nama-nama yang indah pada anak-anak mereka.
Gen-X merupakan generasi yang sebagian besar masa hidupnya
bersentuhan langsung dengan dunia digital. Pada masa muda, Gen-X
sudah dapat menikmati tayangan televisi dan memperoleh banyak
inspirasi darinya. Pada usia dewasa, mereka mulai memanfaatkan
teknologi komputer, smartphone, dan internet dalam mencari
informasi dan referensi sehingga memperkaya khazanah
pengetahuan mereka keluar dari konteks lingkungan hidup sehari-
hari. Maka tidak heran, referensi dalam memberi nama anak-anak
mereka pun begitu melimpah dan mudah diakses, sehingga nama
anak saat ini lebih variatif, baik struktur, arti, maupun maknanya.
Temuan menarik dihasilkan dari pengamatan di lapangan dan
beberapa dokumen, para orang tua Gen-X di Aceh ternyata memberi
nama yang lebih panjang, rumit, dan kompleks pada anak-anak
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 31 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
mereka, walaupun tetap mempertahankan kiblatnya pada corak nama
Timur Tengah.
Secara umum, terdapat beberapa pola pemberian nama anak
pada masyarakat Aceh yang mengacu pada konteks global, nasional,
dan lokal. Pada referensi tingkat global, para orang tua cenderung
terobsesi memberikan nama anak mereka dengan nama-nama yang
biasa digunakan oleh masyarakat Timur Tengah, tempat lahirnya
agama Islam. Para orang tua menganggap pemberian nama anak
dengan inspirasi nama-nama orang Arab adalah nama yang islami,
apalagi kalau kata yang digunakan dikutip langsung dari Kitab Suci
Al-Qur‟an. Pengetahuan ini sudah terbentuk dan terakumulasi lama
dalam proses pergaulan di dalam masyarakat Aceh. Nama-nama anak
“Aceh Baru” dengan referensi tingkat global pada umumnya dikutip
dari bahasa Arab, cenderung lebih panjang dari pada si pemberi
nama, terdiri atas 2 sampai 4 kata, dan pengucapannya pun tergolong
lebih rumit untuk ukuran lidah orang Aceh sendiri. Berikut ini tabel
tentang perbedaan nama pada dua generasi yang berbeda dengan
referensi global atau timur tengah:
Tabel 2
Perbandingan Nama Diri Dua Generasi
No. Nama Orang Tua
(Gen-X)
Nama Anak
(Generasi Post-Millenial)
Tahun
Kelahiran
Anak
1 Zakaria Tasyaul Azqya Zakaria 2003
2 Mulfiza Ahmad Mikhail Sakha 2014
3 Purnama Sari Muhammad Fareeq Akbar 2013
4 Syafrizal Ghaizan Rissya Al Rasyid 2013
5 Mursyidin Shakira Aurellia Asywa Al-Asyi 2005
6 Saifullah Faiz Eydil Ghifvari 2008
7 M. Nazaruddin Putroe Khansa Bilqis Shafiya 2006
8 Suadi Sajjad Siraja Fata 2005
32 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
9 Nirzalin Nirza Amirul Adli Zalda 2008
Sumber : Subbagian Administrasi Umum dan Keuangan FISIP Universitas Malikussaleh
Sedangkan untuk referensi tingkat nasional dan tingkat lokal
berdasarkan data di lapangan, ditemukan bahwa terdapat
percampuran antara unsur lokal dan nasional juga unsur global
dalam pemberian nama anak. Berikut ini ditampilkan beberapa
contoh pemberian nama anak pada masyarakat Aceh dengan berbagai
inspirasi nama, mulai dari Timur Tengah (nama yang dominan),
nasional, dan paduan unsur lokal keacehan :
Tabel 3
Pola Pemberian Nama Anak Generasi Millenials dan Post-Millenials
No. Kiblat Timur Tengah Kiblat Nasional Paduan Unsur Lokal
1 Mishkatul Ameerah Hendri Ariansyah Cut Putri Nahrisya
2 Muhd Wafi Al-Atshii Irma Julia Teuku Muhammad
Sulthan Samy
3 Faiz Eydil Ghifvari Ita Maulida Putroe Khansa Bilqis
Shafiya
4 Muhammad Fareeq
Akbar
Chania Febrianti Teuku Omar Zahid
Fasya
5 Musheeratul Hayyah Anggie Roma Rizki Cut Geby Alya Marsya
6 Ghaizan Rissya Al
Rasyid
Cahaya Shabriena Nyak Aisyah Sania
Adiba
7 Siti Farisha Shaqeela Kumala Zain
Mangkudilaga
Teuku Abidzar
AlGhifary Fasya
8 Muhammad Fawaaz Widya Dian Kinanti Cut Almira Varisha
Sumber : Subbagian Administrasi Umum dan Keuangan FISIP Universitas Malikussaleh
D. Rekonstruksi Pola Pemberian Nama Anak pada Masyarakat Aceh
Seiring perubahan zaman, pola pemberian nama anak pada
masyarakat Aceh telah mengalami proses rekonstruksi. Nama anak
“Aceh Baru” yang bersifat kekinian mengikuti semacam trend
tertentu, yang dianggap lumrah pada zamannya, walaupun tetap
mempertahankan corak kearabannya. Nama-nama anak pada
Generasi Post-Millenial pada umumnya telah mengalami pergeseran
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 33 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
dari kecenderungan pola pemberian nama anak pada tiga puluh
tahun yang lalu. Durkheim (dalam Ritzer et.al., 2011: 81) menyebut
trend semacam ini sebagai fakta sosial, suatu hal yang terdiri atas
struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan
memaksa aktor. Sementara Berger dan Luckmann menyebutnya
sebagai realitas objektif.
Hal ini cukup dapat dirasakan pada saat ini, dimana akan
terasa “aneh” bila ada orang tua yang menamai anak-anak mereka
dengan nama Ibrahim, Ismail, atau Yusuf. Meckipun citra islam masih
melekat kuat pada masyarakat aceh, namun dalam pergaulan “anak
zaman now”, anak dengan nama-nama Ibrahim, Ismail, atau Yusuf
berpotensi dilabel “jadul”, walaupun sesungguhnya sumber
inspirasinya adalah nama-nama para Nabi, Rasul, atau sahabat.
Bahkan dalam kenyataannya, nama-nama tersebut telah diplesetkan;
brahim menjadi “Brahem”, Ismail menjadi “Mail”atau Ma‟e, dan
Yusuf menjadi “Ucup”. Plesetan tersebut lebih kental beraroma
“kampungan” dari pada islam, dan tidak jarang ditemukan anak-
anak dengan yang sederhana itu melakukan protes kepada orang tua
mereka, mengapa mereka diberi nama-nama “jadul” yang berakibat
lahirnya ledekan dari peer group mereka.
Tindakan memberi nama anak dengan mengikuti trend
kekinian tidak terlepas dari cara berpikir para orang tua masa kini.
Ada kemungkinan sebagian orang tua dengan nama yang melekat
pada dirinya telah mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan
dalam interaksi sosialnya di masa lalu. Ditambah dengan
perkembangan teknologi informasi yang turut memberi andil besar
dalam menentukan pemikiran para orang tua masa kini. Para orang
34 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
tua secara langsung ataupun tidak langsung telah melakukan
objektivasi, semacam proses memilah mana yang dianggap “jadul”,
mana yang dianggap “cool”, termasuk dalam proses pemberian nama
pada anak-anak mereka. Kemudian terjadilah dialektika yang
berkesinambungan sehingga rekonstruksi pola pemberian nama anak
menjadi sebuah kenyataan hidup sehari-hari, dimana menurut Berger
dan Luckmann (1990: 33), menghadirkan diri kepada seseorang
sebagai suatu dunia intersubjektif, suatu dunia yang dihuni oleh
seseorang bersama orang lain. Masih menurut Berger dan Luckmann
(1990: 28-29), kehidupan sehari-hari ini ditafsirkan oleh manusia dan
mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia koheren.
Dunia kehidupan sehari-hari tidak hanya diterima begitu saja sebagai
kenyataan oleh anggota masyarakat. Kenyataan sehari-hari
merupakan satu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan mereka dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh
pikiran dan tindakan itu. Demikian pula dengan “nama diri” pada
masa kini yang merupakan sebuah kenyataan yang berasal dari
pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan masyarakat dan terus
dipelihara serta dikembangkan sebagai sebuah kenyataan dalam
lingkaran pengetahuan masyarakat.
Perkembangan trend nama anak masa kini di Aceh secara
langsung ataupun tidak langsung mengalami proses internalisasi
dalam alam bawah sadar individu-individu di dalam suatu
masyarakat. Para orang tua kini seolah berlomba dalam memberikan
nama terbaik dan terindah bagi anak-anak mereka, dengan doa serta
harapan yang senantiasa melekat padanya. Bermunculan nama-nama
bayi yang lebih panjang dan lebih rumit dari era sebelumnya
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 35 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
merupakan hasil dari proses dialektika ini. Trend pemberian nama
anak masa kini pada akhirnya menjadi pengetahuan akal sehat yang
hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Kecenderungan
memberi nama anak kekinian seperti Gina Rauzatil Jannah, Sulha
Siratul Khaira, atau Syifa Salsabila adalah karena si pemberi nama
tahu makna dibalik nama tersebut. Sebaliknya, orang tua akan
menghindari pembubuhan nama-nama masa lalu kepada anaknya,
karena ditakutkan akan memberikan dampak buruk pada anaknya
secara sosial.
E. Penutup
Pada umumnya, apa yang dipikirkan oleh seseorang
merupakan representasi dari kelompoknya. Masyarakat Aceh adalah
representasi Islam di Indonesia, sehingga pembubuhan nama anak-
anak orang Aceh bercorak Islam. Pola pemberian nama anak pada
masa lalu cenderung sangat simpel, terdiri dari satu kata dan merujuk
pada nama-nama islam yang berkiblat pada timur tengah. Sedangkan
pada saat ini, pemberian nama anak masyarakat Aceh mengacu pada
konteks global yakni timur tengah, serta percampuran antar unsur
islam, lokal dan nasional. Referensi tingkat global atau timur tengah
pada umumnya dikutip dari bahasa Arab, cenderung lebih panjang
dari pada si pemberi nama, terdiri atas 2 sampai 4 kata, dan
pengucapannya pun tergolong lebih rumit. Untuk referensi tingkat
nasional dan tingkat lokal terdapat percampuran antar unsur (lokal,
nasional dan global). Pencampuran antar unsur ini merupakan trend
kekinian yang juga terjadi di beberapa daerah lain diluar Aceh,
perbedaannya terletak pada unsur lokal sesuai dengan daerahnya.
36 | Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Tindakan memberi nama anak dengan mengikuti trend
kekinian pada masyarakat Aceh tidak terlepas dari cara berpikir para
orang tua di Aceh masa kini. Ada kemungkinan sebagian orang tua
dengan nama yang melekat pada dirinya telah mengalami masa-masa
yang tidak menyenangkan dalam interaksi sosialnya di masa lalu.
Dalam konteks ini, para orang tua secara langsung ataupun tidak
langsung telah melakukan objektivasi, semacam proses memilah
mana yang dianggap “jadul”, mana yang dianggap “cool”, termasuk
dalam proses pemberian nama pada anak-anak mereka.
F. Daftar Pustaka
Berger & Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta : LP3ES
Hidayat, Zinggara. 2015. Dampak Teknologi Digital terhadap Perubahan Kebiasaan Penggunaan Media Masyarakat. Laporan Penelitian Internal Dosen. Universitas Esa Unggul.
Kosasih, Dede. 2010. “Kosmologi Sistem Nama Diri (Antroponim) Masyarakat Sunda dalam Konstelasi Perubahan Struktur Sosial Budaya”. Makalah Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai Kekayaan Budaya Nasional” di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010
Putra, Yanuar Surya. 2016. Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi”. Jurnal Among Makarti 9(18):123-134
Rahmawati, Dian. 2013. Pemaknaan Orang Tua terhadap Pemberian Nama Anak (Studi Deskriptif pada Masyarakat Jawa Muslim di Desa Gambiran Kecamatan Mojoagung Kabupaten Jombang. Jurnal Media Komunitas 2(2):1-15
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul : Kreasi Wacana,
Rosana, Ellya. 2011. Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs 7(12):31-47
Indra Setia Bakti, Emir Hamdi & M. Nur | 37 Pergeseran Pola Pemberian Nama Anak Pada Generasi Millenial Dan Post-Millenial
Samad, Sri Astuti A. 2015. Pengaruh Agama dalam Tradisi Mendidik Anak di Aceh: Telaah terhadap Masa Sebelum dan Pasca Kelahiran. Jurnal Gender Equality 1(1):111-123
Suyanto & M. Khusna Amal (ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang : Aditya Media Publishing
Tendi. 2016. Sosiologi Digital : Suatu Paradigma Baru dalam Kajian Ilmu Sosial. Jurnal Sosio Didaktika 3(2):135-146
Widodo, Sahid Teguh. 2013. Konstruksi Nama Orang Jawa : Studi Kasus Nama-Nama Modern di Surakarta. Jurnal Humaniora 25(1):82-91
38 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
INOVASI PENDIDIKAN PADA KAUM MARGINAL
Fathayatul Husna
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies
Konsentrasi Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam Email: [email protected]
Abstract
Children should not given loads for seeking more income as beggar, singing beggar and scavenger, especially children who under age. This happened in residence of Gajah Wong river that parents mayority work as scavenger and singing beggar. Uniqely, based on Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH) sympaty together with Ledhok Timoho community developed education innovation for children who stayed in marginal area especially residence of Gajah Wong river which is named as Gajah Wong School. This research used qualitative method and to collect data researcher used interview way, documentation, and literature study. Researcher used diffusion and innovation theory to analysis data. The purpose of this research as an example that quality of education not always spending high price till education looks not balance. Whereas, children who stayed in residence of Gajah Wong river also need good quality of education. The result of this research is Gajah Wong School as one of examplesfor spreading creative and innovative education as sympaty action to children who stayed in marginal arean and balancing education
Keywords: Gajah Wong School, marginal education, diffusion, innovation
Abstrak Tidak seharusnya anak-anak diberikan beban untuk mencari nafkah di jalanan sebagai pemulung, pengemis dan pengamen, terlebih anak yang masih di bawah umur. Hal ini terjadi di pemukiman warga bantaran Sungai Gajah Wong yang mayoritas para orang tua bekerja sebagai pemulung dan pengamen jalanan. Uniknya, atas dasar kepedulian Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH) bekerjasama dengan komunitas Ledhok Timoho berdirilah inovasi pendidikan yang diperuntukkan untuk penduduk kawasan marginal bertempat di pemukiman warga bantaran Sungai Gajah Wong yang diberi nama Sekolah Gajah Wong. dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dan mengumpulkan data lewat wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Peneliti menggunakan teori difusi
Fathayatul Husna | 39
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
inovasi untuk menganalisa data yang telah peneliti peroleh. Tujuan dari penelitian ini sebagai bentuk contoh bahwa tidak selamanya pendidikan harus diimbangin dengan biaya yang tinggi, sehingga pendidikan terkesan tidak merata. Padahal anak-anak di kawasan marginal sangat penting untuk menerima asupan pendidikan yang baik. Hasil dari penelitian ini adalah Sekolah Gajah Wong sebagai salah satu contoh bahwa untuk menyampaikan pendidikan perlu adanya bentuk inovasi dan kreatifitas sebagai wujud peduli pada anak-anak di kawasan marginal dan pemerataan pendidikan.
Kata kunci: Sekolah Gajah Wong, pendidikan marginal, difusi, inovasi
* * *
A. Pendahuluan
Sebagai salah satu provinsi peraih predikat istimewa di
Indonesia, Yogyakarta, masih menyimpan akar luka sosial pada
pemukiman marginal. Melalui kacamata sosial, potret keluarga-
keluarga kecil yang tinggal di bawah jembatan, di bantaran sungai,
pemulung dan pengemis jalanan serta kumuhnya area pemukiman.
Kondisi ekonomi yang memprihatinkan “memaksa” warga di
kawasan sungai Gajah Wong berprofesi sebagai pedagang barang
bekas, pemulung dan pengamen untuk melangsungkan kehidupan
mereka (Ropingi, 2004: 6). Profesi ini ini tidak hanya dilakukan oleh
kalangan orang tua, akan tetapi mereka menyertakan anak-anak ikut
mengamen dan memulung sampah-sampah di jalan. Anak-anak
dipaksa untuk dewasa secara dini dan menghasilkan uang setiap
harinya. Mirisnya, para orang tua di kawasan bantaran Sungai Gajah
Wong akan sangat bangga bila anak-anak mereka mendapatkan uang
dari hasil mengamen dan memulung. Bahkan tak jarang ketika
sesama orang tua berkumpul membicarakan perihal jumlah nominal
rupiah yang dihasilkan oleh sang anak. Akibatnya muncul pula
40 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
konflik muncul di antara masing-masing keluarga hanya karena
perbedaan jumlah nominal rupiah yang didapatkan oleh anak mereka
setiap harinya.
Anak-anak diperkerjakan demi mendapat tambahan dana
kelangsunan hidup keluarga, anak-anak kehilangan ruang untuk
mengenal dunia mereka sebagai status anak, yang ada hanyalah
pembentukan karakter dewasa di usia dini. Padahal orang dewasa
seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik untuk
mendukung perkembangan kepribadian anak (Jumiati, 2015: 7).
Imbas dari permasalahan ekonomi kebanyakan menyinggung
pendidikan anak-anak, sehingga tidak sedikit keluarga yang tinggal
pada pemukiman marginal merasa tidak mampu untuk
menyekolahkan anak-anak (Putro, 2007: 12). Kondisi terpuruknya
perihal pendidikan anak menjadi perhatian utama. Untuk itu
pendidikan informal menjadi salah satu opsi membangkitkan kembali
semangat mereka mengenyam pendidikan (Nugroho, 2017). Di
tengah-tengah kondisi warga dan anak-anak sungai Gajah Wong
yang demikian, hadir satu wadah yang menampung anak-anak untuk
menuntut ilmu. Wadah tersebut muncul didasari atas kekhawatiran
sekelompok anak muda terkait terenggutnya dunia anak-anak,
sehingga berdirilah satu wadah yang disebut dengan Sekolah Gajah
Wong. Sekolah ini terbentuk untuk memfasilitasi anak-anak warga
bantaran sungai Gajah Wong yang menjadi anggota keluarga bekerja
sebagai pengemis dan pemulung serta dari kalangan tidak mampu.
Pengurus sekolah Gajah Wong juga menyebutkan bahwa kehadiran
sekolah Gajah Wong akan memulihkan generasi mereka ke masa
yang akan datang. Sehingga, pembentukan sekolah ini dilaksanakan
Fathayatul Husna | 41
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
dengan sangat fokus untuk membawa perubahan yang lebih positif di
tengah masyarakat. Kepedulian pendidikan seperti ini dilakukan atas
dasar untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang sering
timbul di masyarakat (Asril, 2014: 124).
Beberapa hasil penelitian yang menyinggung bentuk inovasi
pendidikan salah satunya ditulis oleh Jamaluddin (2015), Ia
memaparkan bahwa pesantren merupakan salah satu bentuk inovasi
pendidikan yang sangat berbasis pada masyarakat di Indonesia. Hal
ini ternyata direspon positif oleh masyarakat Indonesia lewat
program-program yang ditujukan untuk membangun karakter pada
anak dan bentuk konntribusi dalam social development. Bentuk inovasi
pendidikan lainnya tertuang dalam tulisan Asril (2014) berjudul
Sekolah Cerdas untuk Pendidikan Anak Marjinal. Dalam tulisannya
Asril memaparkan bahwa kehadiran Sekolah Cerdas di Pekanbaru
sebagai wujud inovasi pendidikan bagi anak-anak yang tinggal di
kawasan marjinal. Sekolah ini telah dibangun seak tahun 2007.
Sekolah ini mampu menjadi jembatan untuk mengakomodasikan
kebutuhan pendidikan bagi kaum marjinal.
Berdasarkan kedua hasil penelitian terkait bentuk pendidikan
terbaru atau inovasi pendidikan, tulisan ini mencoba untuk
melakukan hal yang senada, yaitu terkait inovasi pendidikan yang
terbentuk pada kawasan marjinal bantaran sungai Gajah Wong
dengan persepektif Sosiologi Komunikasi. Hal menarik yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah terkait bagaimana cara membentuk
inovasi modern di dunia pendidikan sebagai wujud kepedulian
sekelompok anak muda dalam membangun pendidikan pada kaum
marginal, serta bagaimana konsep-konsep inovasi pendidikan sebagai
42 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
wujud peduli pada pendidikan kaum marginal. Dalam menyelesaikan
tulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, di
mana proses pengumpulan data dilakukan melalui wawancara,
observasi dan studi pustaka, dan untuk menganalisa proses inovasi
tersebut peneliti menggunakan teori difusi dan inovasi.
B. Teori Difusi Inovasi
Secara mendasar, teori difusi dan inovasi menggambarkan
tentang cara penyampaian pengetahun atau hasil temuan baru di
tengah masyaraka (Bungin, 2010: 150). Difusi dan inovasi adalah dua
kata dengan makna yang berbeda. Difusi merupakan istilah untuk
menyebutkan maksud penyebaran. Dalam konteks sosial yaitu
menyebarkan gagasan baru di tengah masyarakat, sedangkan inovasi
merupakan bentuk gagasan atau penemuan terbaru oleh suatu
kelompok masyarakat. Dalam prakteknya, inovasi menjadi penyebab
terjadinya perubahan pada sistem sosial (Soekanto, 2006: 276).
Berkembangnya zaman mendorong individu untuk menemukan
penemuan baru yang ditujukan untuk kepentingan bersama. Untuk
saat ini, inovasi dimaknai memiliki kaitan yang sangat erat bukan
hanya pada bentuk atau wujud teknologi (benda), akan tetapi juga
dilihat melalui bentuk komunikasi yang terbentuk (Op.Cit: 150).
Secara garis besar teori difusi dan inovasi dapat dimengerti
sebagai teori yang memperjelas keadaan atau perubahan dengan
adanya penemuan baru serta memiliki nilai manfaat untuk digunakan
oleh masyarakat secara luas. Menurut Rogers ( dalam Bungin, 2010)
terdapat empat elemen yang mendasari pokok dari difusi dan inovasi
yaitu:
Fathayatul Husna | 43
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
1. Inovasi, sangat erat kaitannya dengan penemuan sesuatu hal
yang baru di masyarakat. Biasanya bentuk penemuan terbaru
tersebut berupa teknologi komunikasi dan bentuk komunikasi
yang berlangsung.
2. Saluran komunikasi, umumnya berwujud benda keras sebagai
alat atau perantara yang digunakan untuk menyebarkan
informasi terkait kondisi dan tujuan tertentu yang berasal dari
sumber informasi kepada penerima informasi.
3. Rantang waktu, bukan hanya menyangkut kesiapan penerima
pesan (masyarakat dalam menerima konsep penemuan
terbaru, namun bentuk inovasi yang terus berlanjut melewati
jenjang waktu yang lama di masing-masing generasinya
4. Sistem sosial, adanya kumpulan masyarakat di suatu wilayah
mulai membuka diri untuk menerima ide-ide baru dan mulai
berkembang wawasan, sikap hingga masuk pada tahap
perubahan perilaku.
Masih menurut Rogers, berkenaan dengan perubahan sosial untuk
menuju difusi inovasi, ada beberapa tahap proses keputusan inovasi,
yaitu:
1. Pengenalan (Knowledge), pada proses ini bentuk pengenalan
akan banyak menyinggung bentuk ekonomi, kepribadian dan
bentuk komunikasi. Individu degan karakteristik ekonomi
yang cukup baik akan mudah untuk mengetahui objek-objek
inovasi. Di samping umumnya setelah mengenal objek inovasi
akan mudah untuk masuk pada tahap persuasi.
44 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
2. Persuasi, proses ini tergantung pada bentuk inovasi tersebut
terhadap pribadi seseorang, sehingga secara pribadi dapat
mengetahui keuntungan atau bentuk hal lainnya yang
didapatkan dari suatu penemuan inovatif. Tahap ini akan
menentukan seseorang untuk mengadopsi atau menolak
bentuk inovasi tersebut.
3. Keputusan, pada tahap ini kembali merujuk pada yang
dirasakan oleh seseorang saat menggunakan penemuan inovasi
tertentu. Bentuk adopsi atau menolak dibahas pada tahap ini.
Bila seseorang berkemungkinan memilih untuk menolak, maka
ia tidak akan menggunakan bentuk inovasi tersebut. Dan bila
diterima maka masuk pada tahap selanjutnya yaitu
pelaksanaan.
4. Pelaksanaan, bentuk pelaksanaan bukan hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang menerima inovasi baru, akan
tetapi juga berlaku bagi mereka yang menolak, yaitu dengan
dua cara: tetap kokoh untuk menolak inovasi dan menjadi
pengguna akhir inovasi.
5. Konfirmasi, muncul beberapa pendapat mengenai
pengadopsian informasi. Bagi mereka yang menerima inovasi
akan memberi alasan-alasan terkait pengadopsian inovasi.
Begitu juga dengan pihak yang menolak inovasi, mereka akan
mengkonfirmasikan hal-hal yang membuat mereka tidak
memilih, meskipun pada akhirnya tidak sedikit dari mereka
menjadi pemain akhir inovasi.
Fathayatul Husna | 45
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
C. Pembahasan
Kekhawatiran akan terenggutnya masa kecil anak-anak di
pemukiman bantaran sungai Gajah Wong menggerakkan semangat
anak muda dari advokat TAABAH dan komunitas Ledok Timoho
untuk mendirikan Sekolah Gajah Wong. Awal berdirinya sekolah ini
dimulai dari terbentuknya kelompok bermain. Inisiatif ini dibangun
untuk sekadar memberi ruang pada anak-anak pemukiman bantaran
sungai Gajah Wong untuk menghabiskan keseharian mereka sebagai
anak-anak di kelompok bermain. Bentuk inisiatif ini dinilai sebagai
sebuah temuan baru untuk kawasan marginal dan pemukiman
kumuh di bantaran sungai Gajah Wong. Hal ini dikarenakan
masyarakat di pemukiman bantaran sungai Gajah Wong merasa
bahwa mereka tidak sanggup untuk menyekolahkan anak-anak
mereka, sehingga di usia mereka yang masih sangat dini tidak ada
pilihan lain selain diikutsertakan untuk mencari nafkah di jalanan.
Bersinggungan dengan bentuk inovasi, dalam ranah Sosiologi
Komunikasi Rogers (dalam Bungin, 2010: 150) menyebutkan bahwa
temuan baru pada kalangan tertentu berkaitan erat dengan difusi dan
inovasi. Empat elemen yang terkandung dalam teori ini terdiri dari
inovasi, saluran komunikasi, jenjang waktu, dan sistem sosial. Khusus
pada elemen jangka waktu sangat berkaitan dengan tahap keputusan
seseorang untuk menerima dan menolak sebuah inovasi.
1) Inovasi
Awalnya Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH) hanya fokus
pada mereka yang berprofesi sebagai pengamen, pemulung dan
pengemis, mereka mengkoordinasikai dan menampung warga yang
berprofesi di jalanan untuk diangkat suaranya terkait pemenuhan
46 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
kehidupan yang lebih baik. Selain itu, mereka melihat bahwa
kebanyakan orang tua yang berprofesi sebagai pemulung, maka
anaknya ikut menjadi pemulung, sama halnya dengan pengamen.
Apabila orang tua berprofesi sebagai pengamen, makan anaknya ikut
menjadi pengamen. Jika hal ini terus menerus dilakukan, maka anak-
anak akan tersita waktunya hanya untuk bekerja tanpa peduli
pentingnya pendidikan bagi mereka.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, TAABAH mencoba
untuk memberikan arah perubahan pada konsep masyarakat dengan
mensasar anak usia dini. Ide ini direalisasikan dengan membentuk
sekolah yang didirikan atas hasil patungan bersama dan membangun
satu ruang belajar melalui gotong royong. Pada mulanya kelas yang
terbentuk haya mampu menampung anak sekitar 22 orang. Saat itu
hanya mampu dibuka khusus untuk kelompok bermain anak yang
dibatasi hanyak pada usia 3-7 tahun. Pengajar yang hadir juga berasal
dari mahasiswa yang sifatnya volunteer.
Kelompok bermain ini dicetus untuk memberikan pengenalan
pada anak-anak bahwa seharusya mereka belajar, bukan
diikutsertakan mencai nafkah di jalanan. Para orang tua sadar akan
pentingnya pendidikan pada anak, oleh karena itu mereka tidak
menolak saat anak dititipkan pada kelompok bermain. Akan tetapi,
karena alasan tidak cukupnya biaya hidup para orang tua
mengikutsertakan mereka untuk mencari naffkah di jalanan.
Kelompok bermain bertahan hingga 3 tahun lamanya. Awal
dicetus berdirinya kelompok bermain Sekolah Gajah Wong pada
tahun 2011, hingga tahun 2014 mulai berkembang sebagai Sekolah
Gajah Wong dan mulai ada penataan kurikulum pengajaran dan
Fathayatul Husna | 47
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
mulai merekrut guru untuk menjadi pengajar di Sekolah Gajah Wong.
Kelas telah dibagi menjadi 2 kelas, satu kelas untuk anak-anak berusia
3-5 tahu, sedangkan kelas lainnya untk usia 6-7 tahun. Hal unik
lainnya adalah saat pertama sekali dibangunnya kelompok bermain
pada tahun 2011, pembayaran biaya sekolah dibebankan kepada
orang tua anak-anak didik hanya dengan membawa sampah. Sampah
yang diperoleh dari orang tua anak-anak didik akan diolah dan dana
yang terkumpul akan digunakan untuk kepentingan sekolah. Namun,
saat ini orang tua tidak dibebankan lagi untuk mengumpulkan
sampah sebagi ganti pembayaran biaya sekolah, akan tetapi
kesepakatan untuk bertugas piket membersihkan ruang kelas Sekolah
Gajah Wong. Hal ini dilakukan secara bergiliran sesuai dengan waktu
yang telah tersedia. Sehingga bentuk kontribusi ini dinilai sebagai
ganti pembayaran biaya sekolah anak-anak mereka. Selain itu,
Sekolah Gajah Wong juga secara kreatif mengandalkan pada usaha
mandiri seperti menjual marchandise, hasil peternakan, dan menerima
donatur untuk melangsungkan hidup pendidikan di Sekolah Gajah
Wong (Putro, 2017: 4).
2) Saluran Komunikasi
Proses penyebaran informasi terkait berdirinya Sekolah Gajah
Wong saat ini dinilai sudah menjangkau lingkup yang luas. Ada
beberapa saluran komunikasi yang digunakan, seperti laman blog
dan kerja sama dengan pihak institusi untuk memantu
melangsungkan hidup Sekolah Gajah Wong. Laman
ledhoktimoho.wordpress.com dikelola oleh Komunitas Ledhok Timoho
dengan tagline “di bantaran kali, di balik gedung tinggi, di tengah
48 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
kota”. Laman blog ini ini ingin menunjukkan bahwa ada pemukiman
yang dihuni oleh masyarakat marginal hidup di bantaran sungai
Gajah Wong, berada terjepit diantara gedung-gedung tinggi dan
perumahan elit, serta berada di pusat kota Yogyakarta.
Beberapa postingannya menginformasikan terkait Sekolah
Gajah Wong ingin menunjukkan bahwa bawah Sekolah Gajah Wong
sangat memerlukan respon masyarakat yang tergabung di dunia
maya untuk menyadari bahwa sekolah ini didirikan atas bentuk
kepedulian pada anak-anak di kawasan marginal. Beberapa judul ikut
dipublikaiskan melalui blog ini menunjukkan bahwa eksistensi
Sekolah Gajah Wong bukan hanya sebagai kepedulian pada anak-
anak kawasan marginal, akan
sebagi wujud inovasi baru
dalam memberdayakan anak-
anak usia dini yang erat
kaitannya dengan kehidupan
jalan. Salah satu contohnya
adalah dibutuhkan volunteer
yang bertugas untuk
menemani anak-anak didik
dan peserta selama kegiatan
outbond berlangsung.
Di samping itu, tak jarang Sekolah Gajah Wong menerima
pihak dari berbagai institusi untuk dijadikan objek penelitian, baik itu
terkait sosial, pendidikan, geografis, dan dari berbagi konsentrasi
keilmuan. Pihak Sekolah Gajah Wong sangat terbuka kepada mereka
yang ingin menjadikan sekolah ini sebagai objek penelitian karena
Gambar 1 Informasi terkait Call For Volunteer (Sumber:
ledhoktimoho.wordpress.com)
Fathayatul Husna | 49
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
dengan bantuan seperti ini Sekolah Gajah Wong akan semakin
dikenal di berbagai lingkup, baik secara akademik ataupun sosial
masyarakat. Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu pihak
pengurus Sekolah Gajah Wong menawarkan sebuah perjanjian
dengan pihak peneliti, yaitu bersedia untuk menyumbangkan alat-
alat kerajinan tangan untuk membantu perkembangan proses beajar
dan mengajar di Sekolah Gajah Wong. Jika peneliti telah menyetujui,
maka penelitian dapat dilakukan sesuai dengan topik yang akan
dibahas. Hal seperti tentunya bukan hanya sebatas inovasi dalam
mengembangkan pemberdayaan peduli pendidikan pada anak
kawasan marginal, tapi juga merupakan sebuah bentuk difusi untuk
menyebarkan kegiatan sosial pada masyarakat bahwa pendidikan
tidak harus selalu dengan cakupan biaya yang tinggi.
3) Jenjang Waktu
Proses akan dicanangkannya pembentukan Sekolah Gajah
Wong hingga adaptasinya dengan masyarakat tidak memakan waktu
yang sedikit. Butuh waktu untuk bermusyawarah dengan warga
bantaran sungai Gajah Wong untuk mendiskusikan perihal akan
dibangunnya sekolah ini. Layaknya masyarakat pada umumnya,
warga di bantaran sungai Gajah Wong sadar bahwa pendidikan
untuk anak sangat penting. Akan tetapi stigma yang tertanam pada
benak mereka bahwa pendidikan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Didukung dengan melemahnya kondisi ekonomi menjadikan
mereka selaku orang tua mengikutsertakan anak-anak untuk ikut
terlibat mencari nafkah sebagai anak jalanan.
50 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Proses berlangsungnya musyawarah umumnya seseorang
akan menolak atau menerima konsep yang tengah dibicarakan.
Rogers (Ibid, 2010) menjelaskan bahwa ada beberapa tahap seseorang
memutuskan untuk menolak atau menerima sebuah inovasi, yaitu
1)pengenalan, 2)persuasi, 3)keputusan, 4)pelaksanaan, 5)konfirmasi.
Pengenalan, biasanya dilakukan untuk memperkenalkan suatu
hal baru yang belum diketahui oleh masyarakat untuk memperoleh
tujuan tertentu. Dalam hal ini, Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH)
bekerjasama dengan komunitas Ledhok Timoho mengajak warga
bantaran sungai Gajah Wong untuk bermusyawarah mengenai
inisiatif untuk membentuk Sekoloah Gajah Wong. Pada tahap ini
tidak hanya sekadar memaparkan konsep/ide pembentukan sekolah,
akan tetapi juga menyinggung pentingnya pendidikan pada anak usia
dini dan ikut memperkenalkan proses pembelajaran yang akan
ditempuh.
Persuasi, selain memperkenalkan program Sekolah Gajah
Wong, tahap selanjutnya yakni membujuk warga bantara sungai
Gajah Wong untuk membawa anaknya masuk dan belajar di sekolah
Gajah Wong. Proses pembujukan dilakukan untuk menyadarkan para
orang tua bahwa anak usia dini belum pantas untuk diajak mencari
nafkah, apalagi kontak langsung dengan area jalanan. Proses
penyadaran secara terus menerus disampaikan agar anak-anak
kawasan bantaran sungan Gajah Wong memperoleh pondasi dasar
bagi dirinya untuk terbiasa dengan dunia pendidikan. Anggota Tim
Advokasi Arus Bawah (TAABAH) bekerjasama dengan komunitas
Ledhok Timoho mencoba memberikan contoh nyata menyinggung
kebiasaan hidup para masyarakat yang didominasi sebagai pemulung
Fathayatul Husna | 51
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
dan pengamen. Contoh ini disampaikan sebagai ilustrasi untuk
menggambarkan kehidupan masa depan anak-anak apabila tidak
disentuh dengan pendidikan. Jika hal ini terjadi, maka perubahan
tidak akan pernah terjadi dan kelayakan hidup akan sama seperti saat
ini.
Keputusan, proses persuasi dengan cara membujuk warga
bantaran sungai Gajah Wong terkait pentingnya pendidikan bagi
anak-anak usia dini menggiring warga untuk berfikir konsekuensi
lewat putusan menerima atau menolak berdirinya sekolah Gajah
Wong. Menurut data yang diperoleh warga setuju akan dibangunnya
sekolah Gajah Wong. Mereka sadar bahwa sekolah Gajah Wong
merupakan wujud kepedulian untuk membangkitkan semangat
belajar pada anak usia dini tanpa perlu mengkhawatirkan biaya yang
akan dikeluarkan oleh para oeang tua untuk membiayai sekolah.
Pelaksanaan, keputusan persetujuan dari pihak warga
bantaran sungai Gajah Wong menjadi pegangan kuat untuk
membangun sekolah Gajah Wong. Kesepakatan ini mengajak para
warga untuk saling bergotong royong membangun sekolah Gajah
Wong, mulai dari pengumpulan dana bersama, mencari tanah dan
batu di sungai, mencetak batako secara pribadi dan menatanya
menjadi bangunan 1 petak tanah untuk kelompok bermain anak. Aksi
dan kekompakan yang terjadi menciptakan satu perubahan baru pada
tatanan sosial warga bantaran sungai Gajah Wong.
Konfirmasi, persetujuan dari pihak warga bantaran sungai
Gajah Wong belum terlalu konsisten. Hal ini dikarenakan terkadang
mereka masih membiarkan anak-anak untuk ikut berkeliaran di
jalanan untuk sekdar mengamen. Akan tetapi, lewat pantauan
52 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
TAABAH, para orang tua berhasil dikumpulkan dan diberikan
masukan terkait aturan yang telah disepakati bersama dan kembali
mengingatkan pentingnya pendidikan pada anak usia dini. Lambat
laun orang tua semakin mengerti dan anak-anak tetap diikutsertakan
untuk bermain bersama teman seusianya di Sekolah Gajah Wong.
4) Sistem Sosial
Hadirnya Sekolah Gajah Wong di tengah kehidupan warga
marginal memberikan dampak baru pada tatanan lingkup sosial,
yaitu warga mulai terbiasa dengan kebiasaan untuk mengantarkan
anak ke Sekolah Gajah Wong. Bukan hanya warga bantaran sungai
Gajah Wong, beberapa anak-anak usia dini di luar kawasan
pemukiman ini ikut diantarkan ke sekolah Gajah Wong karena
menilai bahwa sekolah ini mengusung konsep pembelajaran yang
bagus tanpa harus mengeluarkan biaya pendidikan yang cukup
tinggi. Selain itu, ada beberapa pihak atau institusi yang datang untuk
memberikan santunan dan ketersediaan alat yang akan digunakan
untuk mendukung berlangsungnya kegiatan belajar dan mengajar di
Sekolah Gajah Wong.
D. Penutup
Pendidikan merupakan dasar atau pondasi anak usia dini
untuk berangkat ke arah yang lebih maju. Perkembangan zaman ikut
menawarkan pendidikan yang lebih bermutu dan diolah dengan
balutan biaya yang kian melambung. Hal seperti sangat
mengkhawatirkan posisi masyarakat yang tinggal di kawasan
marginal dan anak-anak yang terbiasa hidup di jalanan. Salah satunya
adalah daerah pemukiman di bantara Sungai Gajah Wong di mana
Fathayatul Husna | 53
Inovasi Pendidikan Pada Kaum Marginal
mayoritas anak-anak diikutsertakan untuk mencari nafkah sebagai
pemulung, pengemis dan pengamen. Kondisi memprihatinkan seperti
ini terjadi salah satunya dikarenakan biaya pendidikan yang tinggi
dan keterbatasan warga untuk memenuhi kebutuhan sesehari.
Potret mengharukan ini menggerakan perhatian Tim Advokasi
Arus Bawah (TAABAH) bekerjasama dengan komunitas Ledhok
Timoho untuk membangun dan membentuk kegiatan bertajuk peduli
pendidikan pada anak-anak di kawasan marginal. Kegiatan ini
dicanangkan untuk membangun Sekolah Gajah Wong yang diawali
dengan akan dibangunnya kelompok bermain pada anak-anak usia 3
hingga 7 tahun atau sepantaran dengan usia anak-anak sebelum
memasuki bangku sekolah dasar. Bentuk inovasi dalam sistem
pendidikan Sekolah Gajah Wong adalah tidak memungut biaya dari
para orang tua, para tua murid hanya dimintan untuk membersihkan
ruang kelas, bergiliran menyediakan makanan sehat untuk murid-
murid Sekolah Gajah Wong, bahkan pernah diberlakukan
pembayaran biaya sekolah hanya dengan kumpulan sampah.
Kemudia, sampah yang telah terkumpul akan dikelola untuk
keberlangsungan pendidikan di Sekolah Gajah Wong.
E. Daftar Pustaka
Asril. 2014. Sekolah Cerdas untuk Pendidikan Anak Marjinal. Jurnal PARALLE, 1(2)
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Jamaluddin. 2015. “Model Pendidikan Berbasis Masyarakat”. Al-Fikrah: Jurnal Kependidikan Berbasis Masyarakat. Jambi: IAIN Jambi
Jumiati. 2015. “Penggunaan Metode Becerita sebagai Sarana Penanaman Nilai Moral pada Anak Usia Dini di PAUD
54 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Gajahwong, Timoho, Yogyakarta”. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah. Universitas Negeri Yogyakarta
Nugroho, Adityo. 2017. Komunitas Muda Urban Mengelola Sampah: Kajian Partisipatoris Gerakan Peduli Sampah Nasional di Kota Yogyakarta. Jurnal Pemikiran Sosiologi 4(1)
Putro, Heri Cahyo. Peranan Sekolah Gajah Wong Dalam Pemerataan Pendidikan Bagi Anak Miskin. Skripsi: Universitas PGRI Yogyakarta
Ropingi. 2004. Perilaku Sosial Masyarakat Lembah Sungai Gajah Wong Yogyakarta. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 1(4)
Soekanto, Sorjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Hanifa Maulidia| 55 Agama Di Ruang Publik
AGAMA DI RUANG PUBLIK Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Furshet, Casanova, dan
Sherkat
Hanifa Maulidia
Dosen Prodi Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Religion has always been an interesting talk of sociologists, both in public and private spaces. This paper discusses the study of religion in the public space are written by Furshet, et al., Casanova, and Sherkat. First, Furseth et al. which explains religion in the five forms of discussion, namely the legal religion in a country, civil religion, religious nationalism, public religion and religious legitimacy, and political power that all take place in the political arena. Secondly, Casanova invites us to be more critical and able to distinguish three meanings of secularization with different connotations, namely secularization as a process of declining beliefs and religious practices in modern society, secularization as a form of privatization of religion, and secularisation as a distinction between the secular space of the state, and knowledge. Third, Sherkat describes religious socialization as an interactive process in which social agents can influence an individual's religious beliefs and religious understanding. These three writings look at religion in the public sphere from a different point of view, which makes us more critical in seeing and understanding a religion.
Keywords: Religion, Secular, Public Space
Abstrak Agama selalu menjadi pembicaraan menarik para sosiolog, baik di ruang publik maupun privat. Tulisan ini membahas tentang kajian agama di ruang publik yang dikemukakan oleh Furshet, dkk., Casanova, dan Sherkat. Pertama, Furseth dkk. yang menjelaskan agama dalam lima bentuk bahasan, yaitu agama legal dalam sebuah negara, civil religion, religious nationalism, agama publik dan legitimasi agama, dan political power yang semuanya berlangsung dalam arena politik. Kedua, Casanova yang mengajak kita untuk lebih kritis dan mampu membedakan tiga makna sekulerisasi dengan konotasi yang berbeda, yaitu sekulerisasi sebagai proses kemunduran keyakinan dan praktek agama dalam masyarakat modern,
56 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
sekulerisasi sebagai bentuk privatisasi agama, dan sekulerisasi sebagai pembedaan antara ruang sekuler yaitu negara, ekonomi, dan pengetahuan. Ketiga, Sherkat menjelaskan tentang sosialisasi agama yaitu proses interaktif di mana para agen sosial dapat mempengaruhi keyakinan beragama seorang individu dan pemahaman agamanya. Ketiga tulisan tersebut melihat agama di ruang publik dari sudut pandang yang berbeda, yang membuat kita lebih kritis dalam melihat dan memandang sebuah agama.
Kata Kunci: Agama, Sekuler, Ruang Publik
* * *
A. Pendahuluan
Secara etimologis, agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
“a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”, sehingga
agama berarti “tidak kacau”. Arti ini dapat dipahami karena agama
memang bertujuan agar penganutnya memiliki pandangan hidup dan
memiliki jalan hidup yang lurus, teratur, dan tidak kacau. Namun
secara sosiologis, agama adalah fenomena sosial, sehingga dalam
memahaminya, agama harus dipandang terikat dan ditempatkan
pada suatu kontesk sosial. Selain itu, pendefinisian agama juga harus
berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan atau ditemukan
dalam fenomena sosial dalam konteks sosiologis, yang di dalamnya
terdapat kehidupan sosial (das Sein) dan tidak didasarkan pada ajaran
Tuhan, wahyu, atau yang seharusnya terjadi (das Sollen) (Agus, 2010:
28-31).
Dewasa ini dikotomi telah terjadi banyak pemakanaan terkait
dengan agama, terutama kaitannya dengan sekularisasi. Dalam
kacamata sosial, terutama sosiologi, beberapa teori klasik atau
sosiologi klasik dinyatakan bahwa sekulerisasi adalah hasil dari
proses antara industrialisasi dan modernisasi. Meski keduanya memiliki
Hanifa Maulidia| 57 Agama Di Ruang Publik
arti dan makna berbeda, namun industrialisasi berjalan bersamaan
dengan modernisasi dan saling berkaitan. Pada tahun 1970 dan 1980
misalnya, pernah terjadi ledakan agama yang masuk ke ruang publik.
Tidak hanya di Eropa, tetapi juga Amerika Latin, Asia, bahkan hingga
Timur Tengah. Sehingga sosiologi mengakui bahwa agama
memegang peran penting dalam masyarakat tradisional, bukan pada
masyarakat modern. Beberapa tokoh yang mengungkapkan hal
tersebut adalah Max Weber, Peter L. Berger (di awal kemunculannya),
Jurgen Habermas, dan Steve Bruce. Inti pernyataannya adalah bahwa
dengan meluasnya modernisasi, institusi agama tradisional akan terus
menurun bahkan tidak muncul dan agama akan menjadi private bagi
individu.
Pembedaan public dan private ini dibedakan secara tradisional
dari relasi fakta dari pemisahan antara lingkup domestik, yaitu
individu, keluarga, dan waktu. Sedangkan lingkup institusi dominan,
seperti ekonomi, hukum, dan institusi politik. Ketika berbicara
tentang public sphere, fokus utamanya secara langsung pada ruang
politik, di mana terdapat kolektivitas untuk menjalankan aktivitas di
berbagai level, seperti bangsa, negara, dan civil society. Dalam
pembahasan agama di ruang publik Furseth dkk. menjelaskannya
dengan 5 bentuk bahasan, yaitu agama legal (sah) dalam sebuah
negara, civil religion, religious nationalism, agama publik dan legitimasi
agama, dan political power (Furseth dkk., 2006: 98).
“We have seen that many many sociological classics took it for granted that processes of industrialization and modernization would eventually lead to secularization…there has been a widespread agreement in sociology that religion played an important role in traditional societies…the notion of the “public” and the ”private”,
58 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
spheres refer here to the traditional dichotomous model of social relations that posits a separation between the domestic sphere of the individual, the family, and the leisure, and that dominant institutions, such a economic, legal, and political institutions. When this chapter is discussing religion in the public sphere, focus is primarily directed on the political sphere, including collectives that operate at different levels, such as the nation, the state, and civil society…
Pertama adalah agama yang sah yang telah diakui oleh negara.
Bahwa setiap negara memiliki agama-agama legal yang telah diakui
dan dizinkan oleh negara untuk tetap berkembang, memiliki
penganut, melakukan ritual ibadah keagamaan, dan dilindungi oleh
negara. Kedua adalah masyarakat beragama, yaitu para penganut
dari setiap agama sah tersebut. Ketiga adalah nasionalisme
keagamaan. Bahwa setiap agama pasti memiliki rasa kesadaran dan
nasionalisme yang tinggi akan agama yang dianutnya. Keempat
adalah agama publik, yaitu agama yang tersebar dan diakui publik,
dan kelima adalah kekuasaan politik. Bahwa kekuasaan politik sangat
berpengaruh bagi keberadaan agama dan pengakuan agama di ruang
publik. Jika para aktor politik mendukung agama tersebut, maka
peluang agama akan bisa diakui dan bebas beraktivitas di ruang
publik akan lebih besar, begitu juga kebalikannya. Selain itu, agama
juga bisa dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk
mempertahankan kekuasaannya, bahkan menaikkan posisi, status,
dan wewenangnya. Kelima bahasan tersebut adalah penjelasan
Furseth mengenai agama di ruang publik.
B. Sekularisasi
Casanova (2006) mengajak kita untuk lebih kritis dan mampu
membedakan tiga makna sekulerisasi dengan konotasi yang berbeda,
Hanifa Maulidia| 59 Agama Di Ruang Publik
pertama adalah sekulerisasi sebagai proses kemunduran keyakinan
dan praktek agama dalam masyarakat modern. Kedua adalah
sekulerisasi sebagai bentuk privatisasi agama, yang dalam sejarah
masyarakat modern disebut kondisi sebelum semakin modernnya
demokrasi politik liberal. Ketiga adalah sekulerisasi sebagai
pembedaan antara ruang sekuler yaitu negara, ekonomi, dan
pengetahuan, yang biasa dipahami sebagai emansipasi dari institusi
agama dan norma-norma sebelumnya.
“I Suggested that in order to speak meaningfully….” (Casanova, 2006: 7)
Dalam menjelaskan kembali sekulerisasi dan kaitannya dengan
globalisasi kita harus mengenali lebih jauh tentang perbedaan pola
sejarah antara berbagai negara dan peleburan berbagai macam
institusi yang ada di dalamnya, yaitu hubungan gereja dan negara,
negara dan ekonomi, ekonomi dan pengetahuan. Dari hubungan
tersebut akan terlihat proses sekulerisasi yang terjadi di negara
tersebut. Sebenarnya, istilah sekuler dan modern memiliki makna
yang berbeda. Misalnya saja di dalam sejarah perkembangan Eropa,
bahwa agama dan sekuler tidak dimungkinkan berjalan bersama dan
tidak saling mengkondisikan satu sama lainnya. Misalnya saja Asad
dalam Casanova (2006) mendebat apakah penggunaan kata sekuler
tepat, karena telah gagal merumuskan bahwa sekuler tidak berjalan
beriringan dengan transformasi internal yang terjadi pada masyarakat
Kristen Eropa. Di sisi lain adalah dengan adanya perluasan
penjajahan oleh negara Eropa, proses globalisasi menjadi semakin
luas dan dirasakan di hampir semua negara di dunia.
60 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
(But most importantly, one needs to historicize and contextualize all categories….But Asad’s own genealogy of the seculer….) (Casanova, 2006: 10).
Setiap negara mempunyai tahapan sejarah yang berbeda, dari
perbedaan sejarah tersebut mereka mempunyai proses perkembangan
agama yang berbeda, dengan adanya modernisasi, ada negara yang
menjadi semakin religius, ada pula negara yang semakin sekuler.
Bahwa proses sekulerisasi bermacam-macam, yang berdampak pada
beragamnya bentuk modernisasi di berbagai negara. Hal ini juga
berkaitan dengan dasar sejarah yang berbeda antara Katolik,
Protestan, dan Byzantine Christianity, dan juga antara Lutheran dan
Calvinist Protestanism. Misalnya saja yang diungkap oleh David
Martin, bahwa Katholik dalam budaya Latin juga terjadi perluasan
dari Kontinental Eropa, bahwa ada benturan antara agama dan
pembedaan ruang sekuler. Yaitu antara Kristen Katolik dan
pengetahuan modern, kapitalisme modern, dan negara modern.
Luasnya gaungan sekulerisasi adalah turunan dari modernisasi
sebagai kejayaan dari emansipasi, kebebasan dari paksaan agama
yang disebut progresif. Hal itu ternyata hanya terjadi di Eropa, tidak
meluas hingga ke Prancis.
Begitu pula negara Amerika, bahwa gerakan sosial Amerika
menarik diri dari nilai-nilai yang sekuler, tetapi lebih ke arah nilai-
nilai religius. Dengan adanya sekulerisasi di Eropa, lalu Eropa barat
melakukan kolonisasi terhadap banyak negara di dunia, hingga
meluasnya proses globalisasi. Lalu dengan globalisasi tersebut
terjadilah Western secular modernity, yaitu proses bagaimana tradisi
agama diinterpretasikan kembali sebagai respon dari tantangan
Hanifa Maulidia| 61 Agama Di Ruang Publik
global yang ada. Hal ini bisa dilihat dengan kemunculan Confucianism
dan Taoism (Casanova, 2006: 11-13).
C. Transformasi Agama
Transformasi agama tidak bisa dilepaskan dalam proses
globalisasi. Bauman dalam Ritzer dan Goodman (2010) melihat
globalisasi sebagai “perang ruang angkasa”. Menurutnya globalisasi
adalah mobilitas pada masyarakat yang menjadi faktor stratifikasi
paling kuat dan paling didambakan di dunia saat ini. Bahwa para
pemenang dalam arus globalisasi dikatakan telah berhasil hidup di
dalam “waktu” dan ruang (jarak) bukan lagi menjadi masalah bagi
mereka. Agama juga menjadi bagian globalisasi dan juga dipengaruhi
oleh proses globalisasi. Masyarakat yang menjadi sekuler disebabkan
dan dipengaruhi oleh proses globalisasi.
Grace Davie dalam Casanova (2006) menyebutkan bahwa
situasi agama di Eropa adalah “believing without belonging”, yaitu
mempercayai tanpa merasa memiliki. Sedangkan Daniele Hervieu-
Leger dalam Casanova (2006) mengkarakteristikkan agama di Eropa
“belonging without believing,” karena mereka memiliki agama, tetapi
tidak boleh mengekspresikannya ke ruang publik, hanya di ruang
privat saja. Adanya batasan tersebut membuat mereka seakan tidak
memiliki agama tersebut, terdapat kecendrungan untuk
menghubungkan proses sekulerisasi ke arah proses modernisasi
dibandingkan ke pola penyebaran dan pembubaran agama, politik,
dan komunitas masyarakat dalam konteks gereja, negara, dan bangsa
adalah akar kebuntuan dari debat tentang sekulerisasi. Berikutnya
adalah perkembangan agama Amerika lebih unik dan terjadi
pengecualian. Bahwa Amerika semakin lebih religius dan tidak
62 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
mengikuti arus global, sehingga proses globalisasi di setiap negara
bisa terjadi dalam bentuk yang berbeda, seperti di Amerika ini.
(When it comes to religion, there is no global rule…) (Casanova, 2006: 14-17).
1) Privatisasi Agama
Adanya pembatasan masyarakat dalam melakukan aktivitas
keagamaan juga akan mengarah kepada pembatasan masyarakat sipil
akan hak politik dan kewarganegaraan agama. Hal ini pada dasarnya
melanggar pentingnya demokratis dalam masyarakat sipil.
Masyarakat tidak bebas melakukan aktivitas dan ritual keagamaanya
di ruang publik karena agama adalah sesuatu yang hanya bisa
dilakukan di ruang privat. Selanjutnya dengan adanya aturan untuk
memproteksi dari kekejaman agama mayoritas juga akan menjadi
aturan demokratis untuk membela diri dari sistem demokrasi
mayoritas.
Menurut Jurdi (2010) jika para elit Islam yang sedang berkuasa
baik di lingkungan legislatif, eksekutif, dan yudikatif mampu
membuat kebijakan dan dapat menjalankan kehidupan yang religius
sesuai dengan makna subtantifnya maka upaya untuk membentuk
suatu sistem sosial, sistem politik, dan sistem budaya yang kuat
secara teologis dan sosiologis, tentunya akan mendorong negara
menerapkan suatu kebijakan yang berwajah sosial kemanusiaan yang
juga dapat membantu masyarakat yang berasal dari kalangan tidak
mampu. Jadi privatisasi agama dibentuk dan dikontruksi oleh para
penguasa yang sedang berkuasa saat itu.
Hanifa Maulidia| 63 Agama Di Ruang Publik
2) Ekspresi Agama di Ruang Publik
Agama adalah salah satu bentuk identitas yang dimiliki oleh
individu dan kelompok. Jenkins (2004) melihat sebuah identitas yaitu
tentang bagaimana kita mengetahui dan memahami diri kita dan
bagaimana orang lain mengidentifikasi diri kita. Konsep identitas
tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu persamaan (similarity) dan
perbedaan (difference). Sesuatu yang menjadi persamaan seorang
individu dan individu lain dalam kelompoknya dan sesuatu yang
menjadi perbedaan seorang individu dan individu lain dalam
kelompok yang berbeda. Persamaan dan perbedaan tersebut
mempengaruhi relasi sosial antara individu dan kelompok sosialnya
(Jenkins, 2004: 3-5). Menurut Castells (2010) setiap individu dapat
mengkonstruksi identitasnya dengan cara menunjukkan atribut
budaya, agama, dan kelompok yang mereka jalani. Karena setiap
individu dapat menginternalisasi identitas yang ia miliki dalam
kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Agama dapat diekspresikan oleh
seorang individu dan kelompok di ruang publik setelah individu
tersebut mampu menginternalisasikan agamanya dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut Furseth,dkk. (2006) terdapat lima bentuk ekspresi
agama di ruang publik. Pertama adalah interaksi antara Negara dan
terbangunnya organisasi agama mayoritas yang didiskusikan dalam
konteks relasi church-state. Kedua adalah masyarakat beragama (civil
religion). Konsep ini muncul di abad 18 oleh Jean Jacques Rousseau
(1981/1762). Bellah adalah yang pertama mengembangkan konsep
agama masyarakat sipil dalam kajian sosiologi. Bahwa proses
modernisasi secara tidak langsung menjadikan sektor sosial dan
64 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
kultural tidak selamanya didominasi oleh agama tradisional, dan civil
religion ini muncul sebagai cara alternatif masyarakat modern dalam
menyediakan makna dan identitas.
Ketiga adalah religious nationalism. Territory (wilayah) adalah
satu hal yang paling penting dalam hal nasionalisme. Dengan
mengidentifikasi we dan them dengan beragam etnik, bahasa, dan
kelompok agama yang berbeda. Ada ide tentang identitas kolektif,
solidaritas sosial, dan legitimasi politik yang memproduksi
pemahamanan nasional individu dan pengakuan kewarganegaraan.
Keempat adalah agama publik yang terlihat sebagai from-the-buttom-
up. Perilaku publiknya dilakukan oleh individu, komunitas, persatuan
sukarela, dan agensi pemerintah. Kelima adalah agama dan kekuatan
politik. Yaitu ketika kekuatan agama untuk melegitimasi ruang
politik yang secara tidak langsung melalui beragam bentuk diskusi
yang disediakan pemerintah, bahwa dengan dibangunnya institusi
agama menyediakan legitimasi yang jelas oleh kekuasaan aparat
politik.
3) Peran Agama di Ruang Publik
Marx dan tradisi liberalnya, menyetujui bahwa dengan
meluasnya modernisasi, agama akan berpindah dari ruang publik,
dan pengalaman Western dengan cepat ditiru oleh Negara-negara lain
di dunia. Berikutnya adalah Weber dalam Economy and Society yang
mendiskusikan relasi agama dan politik dengan meningkatnya
masalah legitimasi negara. Ia menawarkan tiga legitimasi dominasi,
yaitu tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Ia mengungkapkan
bahwa konsekuensi dari rasionalisasi dan sekulerisasi dalam negara
modern melepaskan metafisik atau legitimasi agama. Tokoh lain yang
Hanifa Maulidia| 65 Agama Di Ruang Publik
mengungkapkan hal ini adalah Peter L. Berger dalam buku Sacred
Canopy (1967) yang mengungkapkan bahwa sejarah agama telah
meluas dan menjadi instrumen efektif dalam legitimasi, dengan
adanya de-institutionalization. Jurgen Habermas dengan munculnya
komunikasi yang baik adalah dapat memenuhi pencerahan yang
dicita-citakan. Salah satunya dengan diskursus tentang kebenaran
dan sempurnanya agama. Terakhir adalah Steve Bruce yang
berpendapat bahwa agama selanjutnya akan menjadi kekuatan
otonomi pada politik kontemporer. Bruce meyakini bahwa dari
agama konvensional tidak cocok dengan demokrasi liberal (Furseth
dkk., 2006: 98-99)
Dalam peran agama dalam ruang berikutnya ada dua tokoh
yaitu Robert N. Bellah dan Jose Casanova yang bertentangan dengan
pendapat-pendapat sebelumnya. Mereka berdua berpendapat bahwa
agama akan terus mempunyai peran dalam ruang publik dan
masyarakat modern. Bellah mendiskusikan hubungan antara agama
dan politik dalam masalah legitimasi. Berikunya adalah Casanova
dalam buku Public Religions in the Modern World yang memulai kritik
terhadap teori sekulerisasi yang diungkapkan oleh Weber dan Berger.
Bahwa dengan adanya proses sejarah diferensiasi agama yang tidak
diubah di Barat, lalu muncul pertanyaan tentang bagaimana
differensiasi institusional yang membutuhkan hasil dalam
marginalisasi dan privatisasi agama (Ibid.,)
4) Sosialisasi Agama
Nilai-nilai agama dapat berkembang dan menyebar di
masyarakat melalui proses sosialisasi. Sherkat (2003) dalam artikelnya
yang berjudul “Religious Socialization : Sources of Influence and Influences
66 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
of Agency” dalam buku “Handbook of The Sociology of Religion”, banyak
menjelaskan tentang beberapa sumber dan peran yang
mensosialisasikan agama (agency) dan bagaimana peran manusia
dalam hal ini adalah individu dan masyarakat dalam memilih agen
agama manakah yang akan dipilih sebagai sumber pengetahuan
agamanya. Sherkat memberikan konsep Religious socialization yaitu
proses interaktif di mana agen sosial mempengaruhi keyakinan
beragama seorang individu dan pemahaman agamanya. Agensi
agama dalam masyarakat banyak dan beragam. Tetapi hanya agen
yang trusted (dipercaya) oleh individu tersebut, valued connected yaitu
nilai-nilai yang terinternalisasi dan masuk dengan baik dalam hati
dan akal individu tersebut, dan experienced yaitu memiliki
pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan ritual spiritual
yang dapat dipilih oleh individu tersebut. Ketiga hal itu menjadi
dasar pokok dalam pemilihan agensi agama ini. Selanjutnya
keteraturan yang bersifat sementara, orang tua, satu agama yang
dimiliki oleh seorang individu juga sangat berpengaruh dalam
sosialisasi agama. Karena keluarga adalah agen sosialisasi primer dan
paling utama dalam pembentukan kepribadian seseorang.
“…Agents of socialization influence individuals only if the source is a trusted, and valued connected, and experiences….”( Sherkat, 2003; 151)
Sherkat (2003) juga menyebutkan bahwa sebuah gerakan
agama (religious movement) juga memiliki karakter tersendiri dan
peran penting, karena memberikan penjelasan supranatural,
pengganti nilai yang dihasilkan dengan beragam pemaknaan,tujuan,
dan kebenaran hidup. Ternyata dalam pemilihan beragam agensi ini
Hanifa Maulidia| 67 Agama Di Ruang Publik
juga terdapat pengaruh sosial yang mempengaruhi sosialisasi agama
dalam diri seorang individu, yaitu simpati dan antipati seseorang,
kedua adalah example setting,yaitu latar atau tempat yang dijadikan
contoh dan ketiga adalah hukuman yang diberikan atau didapat oleh
seseorang. Adapun agen pertama yang mempengaruhi agama adalah
orang tua dan keluarga. Di dalamnya terdapat orang tua dan
anaknya, suami, istri, pengamatan keluarga dan sosialisasi keluarga.
Kedua adalah denominasi (agama yang kita anut). Bahwa agama
yang dianut juga bisa menjadi agen dalam proses sosialisasi agama.
Ketiga adalah pendidiakan. Bahwa pendidikan yang ditempuh oleh
seorang individu juga mempengaruhi agama yang dia akan pilih dan
dianutnya.
D. Agama di Ruang Publik: Sebuah Catatan Kritis
Dari Furseth, dkk (2006) dan Sherkat (2003) saya memberikan
beberapa catatan kritis. Pertama adalah tulisan Furseth dkk. (2006),
pertanyaan saya adalah apakah perkembangan agama di era yang
semakin modern di Negara-negara Barat bisa disamakan dengan di
Negara-negara Timur, misalnya di Negara Indonesia di mana banyak
masyarakat muslim yang banyak memakai jilbab di ruang publik,
apakah bisa dijelaskan dengan relasi industrialisasi dan modernisasi
yang menggerus agama seseorang di ruang publik, atau justru
dengan kasus di Indonesia tersebut semakin menjadi seorang yang
agamis dan fundamentalis? Apa yang menyebabkan hal tersebut?.
Mari kita pikirkan bersama-sama.
Selanjutnya, tulisan Sherkat yang menjelaskan berbagai agensi
(institusi) yang mempengaruhi sosialisasi agama dalam masyarakat.
Namun belum dijelaskan dengan jelas tentang konteks sosial budaya
68 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
masyarakatnya, apakah dalam konteks masyarakat primitif atau
masyarakat tradisional, atau masyarakat modern. Masyarakat yang
memiliki ekonomi lemah atau kuat. Juga apakah semua teori dan
gagasannya berlaku di semua negara di ddunia atau hanya di negara
Barat saja. Ditambah lagi dengan kebudayaan yang berbeda di setiap
Negara belum tentu cocok apabila diaplikasikan dalam realitas sosial
di Negara Asia, seperti Indonesia. Karena keadaan geografi, sosial,
dan budaya juga mempengaruhi perilaku, sosialisasi, dan nilai norma
masyarakatnya.
Kemudian, catatan kritis untuk tulisan Casanova (2016) adalah
apakah dari sejarah yang berbeda antara Eropa dan Amerika di mana
Eropa semakin sekuler dan Amerika semakin religius apakah
dimungkinkan bagi mereka mengalami titik temu?. Di mana Eropa
mengalami desekulerisasi dan menjadi religius dan Amerika semakin
sekuler?. Jika iya, bagaimana proses terjadinya?. Mari kita pikirkan
dan telaah bersama.
E. Penutup
Kajian tentang agama di ruang publik ini dibahas melalui tiga
tulisan, yaitu Furseth, dkk., Casanova, dan Sherkat. Dalam
menjelaskan agama di ruang publik tidak bisa lepas dari konsep
privat. Pertama, Furseth dkk. menjelaskannya dalam 5 bentuk
bahasan, yaitu agama legal dalam sebuah negara, civil religion,
religious nationalism, agama publik dan legitimasi agama, dan political
power yang semuanya berlangsung dalam arena politik. Kedua,
Casanova mengajak kita untuk lebih kritis dan mampu membedakan
tiga makna sekulerisasi dengan konotasi yang berbeda, yaitu
sekulerisasi sebagai proses kemunduran keyakinan dan praktek
Hanifa Maulidia| 69 Agama Di Ruang Publik
agama dalam masyarakat modern, sekulerisasi sebagai bentuk
privatisasi agama, dan sekulerisasi sebagai pembedaan antara ruang
sekuler yaitu negara, ekonomi, dan pengetahuan. Ketiga, Sherkat
menjelaskan tentang religious socialization di mana agen sosial
mempengaruhi keyakinan beragama seorang individu dan
pemahaman agamanya. Ketiga tulisan tersebut melihat agama di
ruang publik dari sudut pandang yang berbeda dan membuat kita
lebih kritis untuk melihat fenomena sosial yang berkaitan dengan isu
agama di ruang publik.
F. Referensi
Agus, Bustanuddin. 2010. Agama dan Fenomena Sosial: Buku Ajar Sosiologi Agama. Jakarta: UI Press.
Casanova, Jose. 2006. “Rethinking Secularization: A Global Comparative Perspective“ dalam Hedgehog Review. Critical Reflexion on Contemporary Culture After Secularization. Charlottesville, USA: Institute for Advance Studies in Culture.
Castells, Manuel. 2010. The Power of Identity: Second Edition With A New Preface. UK: Blackwell Publishing.
Darren E. Sherkat, 2003. “Religious Socialization : Sources of Influence and Influences of Agency” dari buku “Handbook of The Sociology of Religion” edited by Michele Dillon. Cambridge University Press.
Furseth, Inger, dan Repstad. 2006. An Introduction To The Sociology of Religion. England: Asgathe Publishing Limited.
Jenkins, Richard. 2004. Social Identity: Second Edition. London and New York: Routledge
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, dan Aksi Sosial. Jakarta: Kencana
Ritzer, George dan Doudlas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
70 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
DARI POHON HIDUP KE KAYU MATI Perubahan Pencarian Keselamatan Orang Dayak Dalam
Kehidupan Desa Di Kalimantan Barat
Ade Ikhsan Kamil Dosen program Studi Antropologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Email: [email protected]
Abstract
The study attempted to show why rituals in Nek Lhan's community life were slowly getting lost. The presence of a new religion which is considered paradoxical in faith to Duwata I see as an act of domination by an agency that acts as an intellectual actor. The same thing with new commodities in the economic system Nek Lhan farmers is considered to be contrary to the old economy, namely Ladang and rubber. By using the ethnographic method, I want to show the negotiations made in resolving the contradictions that exist in the religious and economic life of the Nek Lhan community. I concluded that one of the negotiations carried out with the new moral economic was because of the change in the search for safety from the Tree of Life into the form of dead wood, the cross.
Keywords: Faith, Agency, Nek Lhan, Economic
Abstrak Studi ini berusaha untuk memperlihatkan mengapa ritual dalam kehidupan masyarakat di Nek Lhan perlahan mulai hilang. Kehadiran agama baru yang dianggap paradoks dengan kepercayaan terhadap Duwata saya lihat sebagai tindakan dominasi oleh agensi yang berperan sebagai aktor intelektual. Hal yang sama dengan komoditas baru dalam sistem ekonomi petani Nek Lhan dianggap bertentangan dengan ekonomi lama yaitu ladang dan karet. Dengan menggunakan metode etnografi saya ingin menunjukkan negosiasi yang dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan yang ada dalam kehidupan keagamaan dan ekonomi masyarakat Nek Lhan. Saya berkesimpulan bahwa salah satu negosiasi yang dilakukan dengan aproriasi moral ekonomi baru karena perubahan pencarian keselamatan dari Pohon hidup (tree of life) ke dalam wujud kayu „mati‟ yaitu salib.
Kata Kunci: Kepercayaan, Agensi, Nek Lhan, Ekonomi
Ade Ikhsan Kamil | 71 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
A. Pendahuluan
Suatu hari saya mengunjungi Papan Tiga1 melihat prosesi
pengobatan di rumah Pak Pian. Saya dipersilahkan masuk dan
menuju ke teras belakang. Saya melihat Pak Pian mempersiapkan nasi
pulut yang berbentuk segitiga, ayam bakar, daging, dedaunan, beras
pulut dan padi dalam sebuah wadah bulat terbuat dari anyaman
rotan. Persiapan tersebut untuk ritus pengobatan adik kandung Pak
Pian yang sakit selama 9 bulan. Adik Kandungnya menderita sakit
yang tidak diketahui, berat badannya turun 40 kg, fisik semakin
lemah, sehingga tidak bisa mencari nafkah. Segala pengobatan sudah
dicoba, dari rumah sakit sampai ramuan kampung.
Semua sesaji diletakkan di depan Nek Ayoh saat ritus
pengobatan berlansung. Nek Ayoh bukanlah dukun, namun dia
adalah tumenggung2 dari Lubuk Piling, sebelah dusun yang
bersebelahan dengan Pampang Dua. Nek Ayoh yang rambutnya telah
memutih, mulutnya terus berkomat-kamit, seperti orang sedang
bercerita. Nek Ayoh memang sedang bercerita tentang kisah
perjalanan hidup si sakit dari lahir hingga sakit sampai hari
pengobatan. Proses bercerita tersebut dalam istilah Dayak Desa
disebut sebagai engkata3. Berjam-jam lamanya dia duduk, kadang
menatap sekeliling orang yang berada di sekitarnya bahkan
1 Papan Tiga merupakan sebuah nama dusun di Pedalaman Kalimantan barat. Nama
lokasi penelitian beserta dengan informan telah disamarkan dengan tujuan etika penelitian. 2 Tumenggung merupakan istilah dayak untuk menyebut ketua adat. 3 Engkata merupakan kegiatan bermantra yang dilakukan oleh pemimpin adat atau
orang yang melakukan prosesi pengobatan. Pada Dayak Kancing‟k, prosesi engkata dilakukan pada acara gawai sebagai inti dari ritual. Isi dari engkata pada ritual gawai di dayak Kancing‟k menceritakan folktale yang berkaitan dengan penanaman padi. Seperti Demamang Arau, Demamang Boyok, Demamang Kejadi, dan lain sebagainya. Lihat Dahniar, Edlin. 2013. Ibarat Pisang, Kami Masih Satu Tandan ; Relasi Sosial Kelompok Melayu dan Dayak Kancing’k. Tesis Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan. Hal 55.
72 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
mengobrol di sela istirahat. Sepanjang bercerita Nek Ayoh sering
menatap si sakit yang terkulai lemah di depannya. Begitulah Nek
Ayoh melakukan kegiatan beudew.4
Begitu juga dengan beberapa foto yang ditunjukkan oleh
Sellato (2002) ketika merekam prosesi ritual Pengosang pada Dayak
Aoheng. Pada ritual Pengosang, pemimpin adat memercikkan air
menggunakan dedaunan dari hutan (sacred plant), mengorbankan babi
di dekat pohon kehidupan (tree of life) dan memberkahi anak-anak
dengan memegang tongkat yang dibuat dari pohon kehidupan dalam
kaleng penuh beras untuk kesehatan dan kesejahteraan.5 Dalam
kehidupan Dayak Kantu, Dove (1988), Sather (1977), juga mencatat
demikian, bahwa ritual tidak saja erat dengan persoalan ketundukan
kepada Duwata (dewa), namun juga untuk kegiatan perladangan.
Hasil panen yang banyak mendatangkan kegembiraan, dan ucapan
syukur dilakukan dengan mempersembahkan ayam, babi, tuak dan
arak kepada roh leluhur dan para dewa yang telah menjaga ladang,
rumah dan kampung.
Adapun pengobatan orang sakit, dan ritual lain seperti
kelahiran, pernikahan, kematian, panen padi, merupakan ritual yang
seringkali ditemui di seluruh pelosok Kalimantan, begitu juga dahulu
kala di daerah Dayak Desa yang merupakan sub suku Dayak
Klemantan.6 Namun, ketika saya datang bulan Agustus 2014 ke
dusun Nek Lhan di Kalimantan Barat, saya mendengar orang Nek
4 Yaitu ritual menghadirkan dewa yang dilakukan untuk mengobati orang sakit serta
kegiatan keagamaan lainnya. 5 Lihat foto No. 29,30,31 dalam Sellato, Bernard. 2002. Innermost Borneo ; Studies in
Dayak Cultures. Singapore University Press. Singapore 6 Klasifikasi yang dilakukan oleh Tjilik Riwut. Llihat buku Tjilik Riwut. Kalimantan
Membangun.
Ade Ikhsan Kamil | 73 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
Lhan tidak lagi mempraktikkan kegiatan ritual. Sekarang yang ada
hanyalah kegiatan keagamaan baik Katolik, Protestan dan Islam.
Ritual yang sangat erat dengan kehidupan, kini telah menghilang.
Bahkan ruang pelaksanaan ritual atau “ruang sakral” seperti Pohon
hidup dan altar yang tersusun dari batu-batu pun kian tidak terurus.
Ruang sakral “sacred space” merupakan ruang simbolis yang
dimaknai sebagai ruang para dewa dan roh leluhur berada. Ruang
sakral seperti diceritakan Chidester and Linenthal (1995) merupakan
wilayah agama yang dibuat dan berkaitan dengan prosesi ritual.
Ritual merupakan bagian penting dari proses ruang sakral tertentu
(Baird,2009). Dalam konteks orang Dayak, Seperti yang dicatat oleh
Dove (1988) ruang sakral orang „Dayak Kantu‟ sangat berhubungan
dengan kegiatan ekonomi, seperti ladang, rumah panjang, kampung,
dan hutan.
Dalam studi antropologi, studi tentang agama dan ekonomi
sebagai dua unsur kebudayaan menjadi perhatian akhir-akhir ini
(Tsing, 2015). Studi tersebut telah dimulai dengan baik oleh Weber
(1930) dan beberapa studi turunannya. Selain memfokuskan
penjelasannya dalam relasi yang evolusionistik, beberapa diskursus
lain mulai berfokus pada relasi yang asimetris antara agama dan
dinamika ekonomi seperti yang diperlihatkan oleh (Soehadha;
Bahruddin, 2010).
Selain itu, Secara geografis, pembahasan tentang ritual dan
dinamika ekonomi telah menjadi fokus dari beberapa peneliti
(Miles,1965; Metcalf,1981) yang membahas perubahan material dan
makna dari penguburan kedua (secondary burial) pada masyarakat
Dayak. Studi tersebut merupakan studi tentang pertemuan antara dua
74 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
agama dalam satu praktik keagamaan (ritual) dimana Metcalf (1981)
mengkhususkan analisisnya dengan melihat keberlanjutan dan variasi
ritus dari segi ketersediaan sumber daya ekonomi. Miles (1965) pada
studinya agak sedikit berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh
Metcalf (1981), Miles (1965) berusaha untuk melihat faktor ekonomi
dari ritual yang dilakukan oleh para penganutnya, artinya Miles
(1965) mendudukkan perubahan material dan ekonomi menjadi
faktor yang determinan.
B. Nek Lhan: Deskripsi Lokasi Penelitian
Warga dusun Nek Lhan mengidentifikasi dirinya sebagai
Dayak Desa atau sering juga disebut Cupank Desa.7 Aturan atau
hukum adat yang berlaku di Cupank Desa merupakan pranata yang
berfungsi mengintegrasikan masyarakat dalam satu kesatuan
organisasi. Hukum adat tidak hanya mengatur perilaku sehari-hari,
juga mengatur seluruh tahap kehidupan sejak lahir, kawin dan mati.
Dahulu ritual pasca kelahiran disebut dengan lepas juru’ dan ritual
pasca panen disebut dengan nyapat tahun, maka saat ini istilah yang
dipakai adalah ucap syukur. Adat Dayak Desa mulai disesuaikan
berdasarkan kemajuan kehidupan. Penyesuaian tersebut dapat berarti
penghilangan dan juga penggantian. Barang cabuh8, cempale dan male’9,
kebunan, dan beberapa prosesi/tahapan pada gawai kelahiran, panen
padi, perkawinan dan kematian secara perlahan mulai menghilang.
7 Saya menggunakan kata Dayak tidak dalam arti yang digunakan oleh beberapa
misionaris awal yang mengidentifikasi warga asli Borneo yang mendiami the Hearts of Borneo dengan Sebutan Dayak atau Daya‟.
8 Makanan-makanan yang tidak boleh dibakar seperti kepiting, terasi dan lainnya. 9 Tata krama dalam pergaulan sehari-hari, seperti menghargai ajakan seseorang dalam
makan. kadangkala cempale‟ dan male‟ memiliki arti yang sama, Cuma konteks penggunaannya yang berbeda.
Ade Ikhsan Kamil | 75 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
Saat ini, Nek Lhan mulai meninggalkan ritual, bahkan ritual itu
sendiri disebut sebagai tradisi yang dipraktekkan dahulu kala.
Kehadiran zending Amerika yang membawa misi ke tanah
Cupank Desa menjadi salah satu sumbu perubahan secara historis.
Dahulu, pencarian keselamatan dan kesembuhan serta perlindungan
kampung masih erat dengan religi lama melalui kayu hidup. Kayu
hidup (tree of life) menjadi perwujudan tempat bersemayamnya roh
nenek moyang yang mereka kenal dengan nama Nek Juwata10,
namun saat ini praktek seperti itu sudah tidak terlihat lagi. Bahkan
ketika acara ucap syukur atau nyapat tahun yang bertujuan untuk
meluapkan rasa kegembiraan setelah mendapatkan keberkahan dari
panen padi tidak lagi terlihat ritual atau upacara sesajian atau yang
biasa disebut dengan umpan pedagi11. Sekarang ini, dari 277 KK yang
mendiami Nek Lhan, hanya ada beberapa keluarga saja yang
beragama islam. Selain itu, Agama Protestan menjadi agama yang
dominan di dusun Nek Lhan. Gereja Bethel Indonesia Nek Lhan
bahkan menjadi pionir dari Gereja GBI di kawasan Kalimantan Barat.
Selain GBI, masih ada dua organisasi protestan lainnya yang ada di
Nek Lhan yaitu Gereja GAPPIN dan Gereja Pantekosta. Praktis,
kehidupan beragama di dusun Nek Lhan menjadi suatu
pemandangan yang biasa penulis lihat. Hari minggu pagi, minggu
sore, dan kamis sore merupakan hari dimana masyarakat Nek Lhan
10 Eksistensi roh-roh nenek moyang dikenal dengan nama Nek Juwata. Pernah juga
penulis mendengar di daerah dayak kancingk yang mendiami wilayah Dayak Desa yaitu di desa Pampang Dua yang menyebutnya dengan nama Nek Duwata.
11 Umpan pedagi merupakan satu istilah untuk ritual pelepasan niat atau hajat yang telah pernah diucapkan dan akan dilaksanakan ketika niat atau hajat tersebut terkabulkan. Dahulu umpan pedagi akan dilepaskan di kayu-kayu besar baik pohon kayu peulaye maupun di kayu belian yang ditempatkan di tengah desa.
76 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
melakukan ibadah atau sembahyang baik di gereja maupun ibadah
kebaktian rumah tangga.
C. Sejarah Misi Gereja Dan Peran Agen Keagamaan
Saya memanggilnya Pak Karel, namun ada juga yang
memanggilnya dengan sebutan Opa Karel serta seng tua pendeta,
begitulah saya mendengar dari warga kampung saat bertanya tentang
pendeta yang melegenda di kampung Nek Lhan. Pengabdian selama
60 tahun di Kampung Nek Lhan sudah menunjukkan komitmen dan
konsistensinya terhadap misi kristenisasi. Tidak hanya sebagai
pemimpin gereja, Pak Karel juga seorang guru dan Kepala Kampung
yang dikenal dengan istilah „kebayan’12. Menurut penuturannya, Itu
tahun 1956. Saya itu dulu tahun 1955-1956 kepala gereja yang merangkap
guru sekolah. Murid saya pertama kelas lima waktu itu adalah bapak dia
(Pak Karel menunjuk bang yoce). Almarhum, meres namanya”.
Pak Karel datang ke Nek Lhan diutus oleh Zending yang
berasal dari Amerika.13 Dia ditugaskan untuk meneruskan misi
Kekristenan yang telah dirintis oleh pihak Zending. Melalui institusi
pendidikan, Pak Karel memulai misinya tersebut. “Karena ini dari
zending, swasta ya swasta, tapi dari zending luar negeri dari Amerika.
Mampu ndak mampu ya jadi kelapa sekolah...haaaa(lalu dia tertawa), dan
guru istimewa. Enam kelas saya ngajar. Kelas 1,2,3 pagi, 4,5,6 itu siang saya
ngajar. Tak ada rotan akar pun berguna..begitu ya bahasa pepatah”.
12 Kebayan merupakan bahasa Dayak Desa yang berarti Kepala Kampung. 13 Zending merupakan perkumpulan sementara yang diinisiasi oleh para missionaris
dalam menjalankan misi kekristenan. Misionaris pertama yang datang ke Meliau yakni seorang Protestan dari misi Go Ye Fellowship dan New Tribes Mission, Robert 'Borneo Bob' Williams, seorang Amerika Serikat. Lihat Rudi Gunawan. Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Kuwalan di Hulu Sungai Buayan. Laporan TPL Meliau 2010. Jurusan Antropologi Budaya. Hal 7
Ade Ikhsan Kamil | 77 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
Begitulah strategi Pak Karel dalam mensukseskan misi kekristenan
melalui institusi pendidikan.
Pak Karel bernaung dalam Gereja Bethel Indonesia (GBI)
Anthiokia. Sebelumnya, institusi gereja yang diketuai oleh Pak Karel
hanyalah institusi gereja protestan yang tidak diidentifikasi dengan
organisasi Protestan manapun. Pada pertengahan tahun 1980 Pak
Karel melaksanakan upaya pelembagaan Agama „Baru‟. Pelembagaan
institusi gereja yang berdenominasi Calvinist14 itu bertujuan untuk
masuk dalam skema pengaturan yang diakui negara, supaya institusi
pendidikan yang sekarang dikenal dengan STTB Meliau dapat
berdiri. Pendirian sekolah pemuridan yang konsen terhadap
kaderisasi para pendeta muda menunjukkan misi kekristenan yang
dilanjutkan Pak Karel makin mengakar di Nek Lhan.
Sebagai „Kebayan‟, Pak Karel memainkan peran yang signifikan
terhadap tanggungjawab yang dibebankan padanya. Seperti
mengubah relasi antara Agama „baru‟ dan hukum adat menjadi relasi
yang asimetris dengan cara menjaga martabat pemimpin Agama.
Karena religi „lama‟ sangat dekat dengan institusi keluarga orang
Dayak Desa, maka perhatian utama Pak Karel adalah rumah tangga
sebagai unit sosial terkecil untuk mensukseskan misi kekristenan. Hal
tersebut ditunjukkan oleh intensitas ibadah yang dilakukan setiap
minggunya. Selain Ibadah setiap minggu pagi yang dilaksanakan di
gereja, GBI Nek Lhan juga melaksanakan ibadah kebaktian rumah
tangga dua kali dalam seminggu yang dikhususkan bagi perempuan.
14 Calvinisme diartikan oleh weber sebagai suatu iman yang telah mengalami
perubahan yang besar karena perjuangan-perjuangan dalam bidang politik dan budaya. Perubahan paling mendasar adalah perubahan pandangan terhadap predestinasi sebagai sebuah dogma.
78 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Upaya persuasif yang dilaksanakan oleh pihak gereja di Nek Lhan
tersebut didasarkan atas observasi Pak Karel yang melihat rumah
tangga sebagai penopang institusi keagamaan.
Selain upaya persuasif yang dilakukan oleh agensi gereja,
upaya frontal kadang diperlihatkan oleh pihak gereja ketika
berhadapan dengan ritual dan representasi kepercayaan religi „lama‟.
Pak Karel menceritakan suatu peristiwa yang sudah lama sekali
terjadi. Saat itu dia sedang mengunjungi salah satu keluarganya yang
juga masih bermukim di daerah Dayak Desa yaitu Kampung Kunyil.
Saat Pak Karel melihat rancak yang tergantung di dahan pepohonan,
parang pun dikeluarkan dari sarung dan lansung diayunkan ke
rancak tersebut.
Tindakan penghancuran rancak yang dilakukan oleh Pak Karel
merupakan permulaan tindakan perebutan representasi ruang religi
„lama‟ di tanah Dayak Desa. Hal tersebut menunjukkan fase baru
peran-peran frontal yang dimainkan oleh agensi gereja ketika
berhadapan dengan ritus dan penganut religi „lama‟. Tekanan
terhadap religi „lama‟ yang dilakukan pihak gereja memperoleh
momentum dengan adanya himbauan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Religi „lama‟ yang hubungannya erat dengan pengaturan
moral yang dimanifestasikan melalui hukum adat dikontruksi
kembali. Dengan menggunakan logika pasar, yaitu penghematan,
hukum adat dengan berbagai ritual dan syarat-syarat pelaksanaannya
mulai dinegosiasikan.
D. Moral Ekonomi Baru : More efficient, More Accumulate
Pada suatu pagi, bersama Pak Aden, saya duduk bersantai
dengannya sambil minum kopi. Saat itu hari sedang hujan, dan Pak
Ade Ikhsan Kamil | 79 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
Aden tidak pergi menoreh. Sambil menemani Pak Aden mengisi
waktu luangnya, saya pun bertanya padanya tentang rencana masa
depan yang dibayangkan olehnya. “Bapak de, rencananya ini mau buka
kapling sawit lagi setelah Elvi selesai sekolah”. Pak Aden menjawab
dengan spontan. Elvi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara
dan saat ini Elvi sedang bersekolah di Meliau pada salah satu Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Menurut penuturan Pak Aden, biaya
untuk Elvi perbulannya bisa mencapai satu juta rupiah. Oleh karena
itu, dalam perhitungan Pak Aden, jika Elvi sudah selesai sekolah,
maka Pak Aden mulai bisa memikirkan untuk menambah kapling
sawitnya. Terlebih lagi Pak Aden masih memiliki 5 bidang kebun
karet selain yang telah dijual kepada Pak Adit.
Berkaca pada cara kerja perusahaan dan cara kerja para tokeh
sawit di Dusun Pampang Dua, Pak Aden ingin menerapkan cara kerja
perusahaan dengan memasukkan tenaga kerja sebagai salah satu
variabel dalam bisnis sawit yang ingin dia geluti. Pak Aden berkata:
“Nanti, bapak akan membuka dan mengelola sawit seperti cara perusahaan de, dengan mengupah anak buah dengan upah harian, dan akan bapak bayarkan satu bulan sekali.
Peristiwa kedua yang saya alami yaitu saat saya dan beberapa
orang lainnya seperti Bang Yoce, Pak Aden, Gugun dan Inul sedang
menikmati makan pada suatu siang. Saat itu Pak Aden baru saja
membayar menjual kebun karet miliknya kepada Pak Adit untuk
membayar kapling sawit adik iparnya yang sering saya panggil
dengan nama Ongah Bulu. Setelah proses jual beli tersebut, praktis
Pak Aden memiliki dua kapling. Lalu pak aden berkelakar, “sudah ada
lah dua kapling de...tinggal mencari satu kapling lagi..untuk pas bagi mereka
bertiga”. Mendengar candaan seperti itu, anak Pak Aden yang
80 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
berumur dua belas tahun pun ikut dalam obrolan kami, tiba-tiba dia
lansung menyahut. “Opak, saya nanti dikasih kapling Ongah Bulu, kan
tanjung15”.
Peristiwa yang telah saya jelaskan diatas menunjukkan bahwa
bagaimana proses memilih dari beberapa pilihan yang tersedia yang
menjurus pada ide-ide tentang efisiensi dan akumulasi. Seperti Pak
Aden yang telah merencanakan untuk mulai memikirkan menambah
kapling sawit setelah Elvi selesai sekolah dengan pertimbangan
bahwa biaya yang selama ini Pak Aden keluarkan untuk sekolah Elvi
dapat dialihkan pada pembukaan lahan sawit dengan cara swakelola.
Dengan belajar dari cara kerja perusahaan DSP (Duta Surya Pratama)
dan beberapa tokeh yang telah sukses di Pampang Dua dan Nek
Lhan, Pak Aden berpikir bahwa dengan menambahkan tenaga kerja
yang diupah dalam rencana masa depannya maka hal itu sangat
mungkin untuk terwujud. Begitu juga dengan pilihan Inul terhadap
kapling sawit yang mudah untuk dipanen dan optimal ketika masa
pemupukan, serta pilihan dari anak-anak seperti Lila dan Bujang
Lexy ketika lebih memilih uang ketimbang memilih mainan.
Walaupun pilihan-pilihan lain tersedia, namun bagi mereka memilih
yang dapat ditukarkan dengan kondisi yang sedang mereka alami
saat ini merupakan pilihan yang logis dan benar.
Begitu juga dengan komentar yang diucapkan oleh Pak Agung
saat saya berada di hamparan sawitnya seluas 5 kapling (10 Ha), saat
sedang berdiri di samping kolam ikan miliknya yang berjumlah 9
15 Tanjung merupakan istilah kampung untuk menyebut salah satu klasifikasi
topografi dalam Dayak Desa. Tanjung berarti datar, dan untuk kapling sawit, kondisi tanah yang tanjung akan sangat digemari oleh petani sawit, karena lebih mudah untuk dipanen dan pemupukan lebih sempurna diserap oleh setiap pohon sawit.
Ade Ikhsan Kamil | 81 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
kolam, Pak Agung berkata ; “Kita kekurangan modal bah disini de, kalau
ada modal, mudah bah bisnis disini, kita bisa sukses”. Begitulah komentar
Pak Agung yang masih merasa kekurangan modal saat dia berdiri di
atas hamparan sawit, kolam ikan dan peternakan miliknya. Baginya
modal berarti uang yang dapat diputarkan kembali dengan
mempekerjakan anak buah sepeti Bang Nepi dan Bang Arten.
Sehingga memiliki modal akan mendapatkan kesempatan untuk
mendapatkan nilai lebih (surplus) dengan cara mengakumulasi dalam
bahasa Marx (2004). Rumus umum kapital yang diperkenalkan oleh
Marx kiranya dapat memperlihatkan bagaimana warga Nek Lhan
seperti Pak Aden dan Pak Agung mempersepsikan basis material
tentang akumulasi dengan menggunakan uang dan tenaga kerja
seperti di bawah ini :
Ket : U = Uang K1 = Komoditi TK = Tenaga Kerja SP = Sarana Produksi P = Proses Produksi K2 = Komoditi hasil produksi U+AU = Uang yang mengandung nilai lebih
Sumber : Disadur ulang dari Dede Mulyanto (2013: 25)
Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa modal yang
dimaksud oleh Pak Agung merupakan merupakan uang yang masuk
dalam sirkulasi kapital yang dapat menghasilkan nilai lebih atau
U K1
TK
SP
P K2 U+AU
82 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
valorisasi. Asumsi tersebut akan berjalan karena Pak Agung memiliki
tenaga kerja yang siap kapan saja untuk bekerja untuknya dalam
relasi kerja-upah. Oleh karena itu, tidak mengherankan walau Pak
Agung telah memiliki banyak aset, namun dia merasa belum
memiliki modal yang cukup untuk diputarkan kembali. Begitu juga
dengan asumsi yang dikatakan oleh Pak Aden bahwa dengan adanya
sumberdaya kapling sawit, pak Aden tinggal menambahkan tenaga
kerja dengan relasi kerja-upah sebagai salah satu unsur untuk
memperkuat bisnis yang akan dia kembangkan di kemudian hari.
Apa yang dibayangkan oleh Pak Aden dan Pak Agung yang
menganggap bahwa modal dapat berkembang dalam peredaran
dimana ada tenaga kerja dan produk yang dihasilkan merupakan cara
kerja kapital yang telah dikatakan oleh Marx (2004). Menurut Marx,
kapital hanya lahir dalam lingkungan peredaran serta dapat
memvalorisasi nilai, artinya dia memiliki asal usul apa dari kerja atau
berada dalam sebuah sirkulasi.
Melalui basis material, akumulasi sangat mungkin terjadi
seperti yang dibayangkan oleh Pak Agung dan Pak Aden. Oleh
karenanya, jika kita melihat apa yang telah disimpulkan oleh Weber
(1957) dalam spirit kapitalisme, bahwa ransangan atau impuls yang
sangat cocok dengan tindakan akumulasi ditemukan olehnya dalam
etika protestan seperti ide terhadap uang. Weber (1957) mengatakan
bahwa :
“Ingatlah, uang mempunyai sifat dapat berkembang dengan sangat cepat. Uang dapat beranak uang dan anak-anaknya menghasilkan anak dan seterusnya. Lima shilling diputarkan menjadi 6, kemudian menjadi 7 dan 3 pence dan selanjutnya menjadi 100 pound. Semakin banyak uangnya semakin banyak yang dihasilkan pada setiap putaran
Ade Ikhsan Kamil | 83 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
sehingga keuntungannya akan terus meningkat lebih cepat dan cepat”.
Selain logika terhadap uang, sebelumnya Weber (1957) telah
mengatakan tentang efisiensi waktu, penggunaan waktu luang,
menikmati hasil kerja bukan dalam definisi yang hedonistis,
kejujuran, serta kredit sebagai upaya yang baik untuk dilakukan.
Menurut saya walau apa yang disampaikan oleh Marx (2004) dan
Weber (1957) dalam tataran yang berbeda, namun keduanya telah
menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara ideologi dan uang
serta cara kerja berbasis material. Kesamaan lainnya diantara Marx
dan Weber yaitu bentuk ideal masyarakat yang diramalkan oleh
keduanya dalam perspektif yang evolusionistik.
Selain akumulasi, efisiensi juga sebagai ide baru dalam
aktivitas ekonomi petani sawit di Nek Lhan. Efisiensi dan efektivitas
bukanlah sesuatu yang belum dikenal dalam kehidupan orang Dayak.
Seperti yang dicatat oleh Dove (1988: 53) ketika menganalisis luas
ladang yang dibuka oleh setiap kepala keluarga dan distribusi tenaga
kerja yang dibutuhkan. Contohnya semakin luas ladang maka
semakin efisien penggarapan dan semakin efisien pula penyelesaian
terhadap serangan hama tanaman. Juga masalah pemagaran dan
kesuburan ladang karena curah hujan dan sinar matahari yang
menyinari ladang. Namun efisiensi yang diperkenalkan oleh gereja
berbeda dengan ide terdahulu. Efisiensi yang diperkenalkan oleh
gereja lebih bertendensi terhadap upaya penghematan pada kegiatan
produksi, distribusi dan konsumsi. Namun, menurut Weber (1957:34)
efisiensi yang demikian merupakan musuh utama kapitalisme, Weber
(1957) menyebutnya dengan istilah tradisionalisme. Istilah
84 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
tradisionalisme yang dipahami oleh Weber (1957) yaitu dengan
menggunakan contoh bahwa keinginan bekerja hanya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari saja (subsistensi), dan tidak
memikirkan efisiensi dari jam kerja dan hasil kerja yang akan
didapatkan dari suatu kerja borongan, artinya jika dapat dikerjakan
dalam sehari semua pekerjaan dan mendapatkan upah lebih banyak,
maka tidak harus menunggu untuk esok hari.
Dalam konteks Nek Lhan dimotori oleh hadirnya institusi
gereja, kata-kata pendeta diterima sebagai etika baru dalam aktivitas
produksi. Saya melihat hal itu dalam aktivitas produksi masyarakat
Nek Lhan. Dalam suatu kesempatan royong sawit dan beberapa
kegiatan ekonomi lainnya termasuk berladang, „Doa‟ untuk
mendapatkan keberkahan pekerjaan dan hasil yang lebih baik telah
menggantikan ritual dalam aktivitas produksi masyarakat Nek Lhan.
hal itu sejalan dengan himbauan lisan yang pernah diceritakan oleh
pendeta pada saya. „Penghematan merupakan jalan yang lebih baik untuk
dilakukan, apalagi saat ini, orang sudah tidak mampu untuk menggenapi
adat. Pak Aden juga berkata demikian, dalam dalil adat Dayak Desa,
dia mengatakan bahwa “yang berat diringankan, yang ringan
dihilangkan”, begitulah penyesuaian dalil adat terhadap
perkembangan ide-ide yang menjurus terhadap efisiensi dalam
aktivitas produksi dan kehidupan sehari-hari. Mengganti „doa‟
dengan sesajian telah menunjukkan bahwa kegiatan ritual merupakan
pemborosan dan kegiatan sia-sia yang harus segera ditinggalkan,
khususnya dalam aktivitas produksi.
Ade Ikhsan Kamil | 85 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
E. Kesimpulan ; Refleksi Terhadap Perubahan Agama Dan Sistem Ekonomi Di Nek Lhan
Di acara manusia dalam pekerjaan tuhan, itulah musuh aku. Jadi kutarik parang, kusembat, lalu jatuh am”
Kristen Protestan di Nek Lhan merupakan agama baru jika
ditelisik secara historis. Pak Karel tiba di Nek Lhan dalam rangka
meneruskan tugas zending di Nek Lhan. Berbagai gagasan baru
diperkenalkannya seperti gagasan tentang Tuhan yang memberi
keselamatan, pendidikan, hidup hemat, serta rasional sehingga secara
gradual kepercayaan dan praktik religi lama dengan segala ritualnya
mulai dianggap tidak logis lagi untuk dilaksanakan.
Dominasi gereja terlihat dari rutinitas praktik ibadah yang
semakin intens dilaksanakan, 3 kali dalam seminggu masyarakat Nek
Lhan akan berkumpul untuk ibadah di geraja dan ibadah kebaktian
rumah tangga. Selain praktik keagamaan mingguan, para pendeta
yang menjadi agensi gereja berperan dalam berbagai kegiatan sosial
dan „tradisi‟ yang dulunya merupakan praktik religi lama. Pendeta
berperan dalam ritual daur hidup mulai dari kelahiran, pernikahan
dan kematian. Bahkan penguburan kedua (secondary burial) yang
seringkali menjadi perhatian dari ritus religi Dayak bergeser menjadi
pemugaran kubur sahaja.
Tekanan terhadap religi lama terlihat saat religi lama dianggap
sebagai tradisi. Saat berhadapan dengan praktik agama baru, ritual
religi lama dianggap sebagai sebuah paradoks. Sesajian, rancak dan
kegiatan berdewa yang seyogyanya dilakukan oleh keluarga batih
terlihat sebagai praktik ritual yang individualis, hal yang sangat
86 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
berlawanan saat praktik ibadah di gereja yang dilaksanakan secara
kolektif dan beban untuk pelaksanaan ibadah tidak memerlukan
biaya yang banyak. Oleh karena itu, saat ini praktik ritual religi lama
merupakan hal yang lucu bahkan menjadi hal yang sia-sia untuk
dilaksanakan lagi. Sehingga tidak mengherankan saat terjadi
penghancuran rancak.
Pertentangan tersebut menemukan momentum saat aspek-
aspek religi lama dalam ritual seperti sesaji, rancak dan pohon yang
digunakan untuk melepaskan sesajian tidak lagi terlihat di Nek Lhan.
Praktik ritual yang menjadi inti dari kehidupan masyarakat Dayak
benar-benar telah hilang. Namun sumbu praktik ritual yakni praktik
ekonomi lama yang menjadi tumpuan secara timbal balik masih
dipraktikkan sampai saat ini. Paradoks tersebut terjadi karena gereja
memperkenalkan masa depan yang „lebih baik‟ seperti pendidikan
formal, hidup hemat, dan rasional dan itu hanya cocok dengan
ekonomi berbasis komoditas seperti kelapa sawit yang membawa
semangat akumulatif. Akumulasi menjadi jalan satu-satunya untuk
mengejar keselamatan masa depan. Sehingga setiap orang dapat
merasakan pendidikan, dapat menabung, dan tidak perlu lagi untuk
takut dan was-was terhadap aturan-aturan religi lama seperti barang
cabuh, kemponan dan Male’.
F. Referensi
Bahruddin. 2010 “Pergeseran Institusi Kesejahteraan di Masyarakat Kesukuan ; Studi Jaminan Sosial Tradisional di Masyarakat Suku Sentani Papua”. Tesis Pascasarjana Ilmu Antropologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Ade Ikhsan Kamil | 87 Dari Pohon Hidup Ke Kayu Mati
Baird, Ian G. 2009. Identities and Space. The Geographies of Religious Change amongst the Brao in Northeastern Cambodia. pp. 457-468. Accessed from http://www.jstor.org/stable/40467185.
Chidester, David. And Linenthal, Edward T. (ed). 1995. American Sacred Space, Introduction. Indianapolis: Indiana University Press
Dahniar, Edlin. 2013. Ibarat Pisang, Kami Masih Satu Tandan ; Relasi Sosial Kelompok Melayu dan Dayak Kancing’k. Tesis Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.
Fridolin Ukur, dkk. 1994. Kebudayaan Dayak ; Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: PT. Grasindo
Jimmy Kasie. Sejarah Singkat STTB Meliau ; Program Sekolah Penginjilan (STPB). Diakses dari http://sttbethelmeliau.blogspot.com/2012/11/sejarah-singkat-sttb-meliau.html
Marx, Karl. Kapital I ; Seri Kritik Ekonomi Politik. Terj. Hasta Mitra. Yogyakarta.
Metcalf, Peter, 1981, “Meaning and Materialism: The Ritual Economy of Death,” Man, New Series 16(4):563-578.
Michael R. Dove (1988), Sistem Perladangan Indonesia; Suatu Studi Kasus Di Kalimantan Barat. Yogyakarta: UGM Press
Miles, Douglas, 1965, Socio-Economic Aspects of Secondary Burial. Oceania 35(3):161-174.
Mulyanto, Dede. 2013. Pelajaran dari Rumus Umum Kapital. Disampaikan pada Diskusi Ngaji Kapital di Masjid Jenderal Sudirman Komplek Kolombo Yogyakarta.
Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun – Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rudi Gunawan. Gereja dan Transformasi Sosial dalam Masyarakat Dayak Kuwalan di Hulu Sungai Buayan. Laporan TPL Meliau 2010. Jurusan Antropologi Budaya.
Sather, Clifford. 1977. Nanchang Padi ; Symbolism of Saribas Iban First Rites Harvest. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 50(2):150-170
88 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Sellato, Bernard. 2002. Innermost Borneo ; Studies in Dayak Cultures. Singapore: Singapore University Press.
Soehadha, Moehammad. “Aruh Menjaga Beras Kami ; Religi, Subsistensi, dan Kapitalisme Negara dalam Pengembangan Produksi Pangan di Loksado.”Disertasi Pascasarjana Ilmu Humaniora. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Tsing, Anna Lowenhaupt. Friction : An Ethnography Of Global Connection. New Jersey. Princeton University Press.
Twikromo, Argo. (2011). Memahami Realitas Kehidupan: Berbagi Pengalaman Dalam Penelitian Etnografi. Dalam Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi. Aspikom. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo
Wadley and Carol. 2002. Sacred Forest, Hunting and Conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology 32(3): 313-338. Accessed from Jstor.org.
Weber, Max. 1957. Terj. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Jakarta: Pustaka Pelajar
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 89 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
KONSTELASI POLITIK ACEH PASCA MoU HELSINKI
(2006-2015)
Siti Ikramatoun Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Email: [email protected]
Khairul Amin Program Studi Magister Sosiologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Aceh Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The tsunami disaster in December 2004 was the momentum of Aceh peace which resulted in the Helsinki MoU on August 15, 2005. After that, the political constellation and contestation in Aceh were not dominated by national parties but was influenced by the local dimension, namely the local party and former members of the movement who are involved in practical politics. Political stages as a new means of struggle to realize the ideals of post-peace produce satisfying results, former combatants and local parties succeed in winning Aceh political contestation. its means that the people of Aceh have high expectations to local parties to build Aceh. Thus, the decline of the national party since the 2009 election shows that public trust for the national party is very low. The victory of local parties in political contestation in Aceh would certainly be a signal for national parties to make changes to accommodate local interests and movement's actors in a composition of the party in Aceh.
Keywords: Political Constellation, Local Party, Aceh
Abstrak Peristiwa Tsunami pada bulan Desember 2004 merupakan pintu masuk penyelesaian konflik Aceh yang kemudian membuahkan hasil dengan ditandatanganinya MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca itu, konstelasi dan kontestasi politik di Aceh sudah tidak lagi didomiasi oleh pusat, tetapi sudah diwarnai oleh dimensi lokal, yakni partai lokal dan mantan-mantan anggota pergerakan yang terjun ke politik praktis. Panggung politik sebagai alat perjuangan baru mantan anggota GAM dalam mewujudkan cita-cita perjuangan
90 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
pasca perdamaian membuahkan hasil yang cukup memuaskan, mantan kombatan dan partai lokal berhasil memangkan kontestasi politik pasca perdamaian. Kemenangan tersebut menunjukkan bahwa pasca damai, masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap partai lokal sebagai wadah baru dalam membangun Aceh dan tidak terlalu terikat kepada pusat. Selain itu, kekalahan partai-partai nasional sejak pemilu tahun 2009 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai-partai nasional yang masih “berpusat” di Jakarta sangat rendah. Kemenangan partai lokal dalam setiap kontestasi politik di Aceh tentunya menjadi sinyal bagi partai nasional untuk melakukan perubahan, yaitu mengakomodir kepentingan lokal sekaligus aktor pergerakan dalam komposisi partai agar partai nasional dapat kembali ikut memanangi kontestasi politik di Aceh.
Kata Kunci: Konstelasi Politik, Partai Lokal, Aceh, MoU
A. Pendahuluan
Kondisi sosial masyarakat Aceh masih belum stabil meski
MoU Helsinki telah ditandatangani pada tangga 15 Agusutus 2005.
Berbagai ketimpangan yang diakibatkan oleh konflik panjang selama
30 tahun masih meninggalkan bekas mendalam, masih ada
kecurigaan antar masyarakat Aceh, dan konflik-konflik kecil yang
diakibatkan oleh kecemburuan sosial juga masih terjadi (Imparsial,
2006: 1-3). Keterbukaan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan
pemerintah Indonesia untuk melangsungkan perdamaian mendapat
apresiasi dari berbagai kalangan, terutama masyarakat Aceh yang
mengharapkan konflik segera berakhir. MoU Helsinki juga menjadi
kepuasan sendiri bagi masyarakat Aceh, selain menjadi “kontrak”
perdamaian, MoU Helsinki juga diharapkan menjadi pintu untuk
membangun Aceh.
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 91 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
Pasca Mou Helsinki, sebagaimana yang telah disepakati oleh
tim juru runding GAM dan pemerintah Republik Indonesia,
implementasi butir-butir MoU Helsinki akan diserahkan kepada
badan legislatif, yaitu DPR-RI. Dalam proses ini, perdebatan di
perlemen terjadi cukup alot, perumusan UUPA ternyata juga menuai
protes di kalangan masyarakat. Isu pemekaran wilayah Aceh
kembali menguat pada masa ini setelah sebelumnya sempat
muncul pada tahun 2001. Pemekaran wilayah basis Aceh Tengah dan
pesisir selatan kembali muncul dengan alasan penolakan terhadap
UUPA (imparsial, 2006: 12-13). Namun penolakan tersebut tidak
menghambat pembahasan rancangan undang-undang kekhususan
Aceh tersebut yang menurut MoU Helsinki, harus diimplementasikan
mulai Maret 2006. Akhirnya setelah semua pihak menemukan
kesepakatan, undang-undang tentang penyelenggaraan
pemerintahan Aceh disahkan oleh DPR-RI dan ditanda tangani oleh
presiden SBY tanggal 1 agustus 2006 dan berlaku mulai saat itu
juga. Namun, pasca pengesahan UUPA tersebut ternyata polemik
masih berlanjut. Pro kontra kembali terjadi terkait limplementasi
UUPA, terutama terkait dengan butir-butir MoU yang tertuang dalam
UUPA.
Secara sosiologis, MoU Helsinki dan UUPA telah merubah
sendi-sendi sosial politik dan ekonomi masyarakat Aceh. Kontestasi
politik Aceh berubah setelah MoU dan UUPA memberikan
kekhususan kepada Aceh, terutama bagi mereka mantan pelaku
konflik untuk terjun ke politik praktis. Mantan anggota Gerakan
Aceh Merdeka diberikan hak untuk membentuk partai politik yang
berbasis etnis atau regional dan ikut dalam pemilu lokal. Hal itu
92 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai imbalan untuk
menghentikan perjuangan bersenjata dan menuntut kemerdekaan
(Hillman, 2012). Hal ini tentu berdampak pada konstelasi politik di
Aceh yang menjadi “arena pertaruangan” baru pasca konflik, dan
proses tersebut secara otomatis memberikan dampak yang signifikan
pada dinamika kehidupan masyarakat Aceh. Untuk itu, artikel ini
bermaksud mengkaji tentang bagaimana konstelasi politik Aceh pasca
MoU Helsinki dalam rentang waktu 2006-2015. Dalam menyelesaikan
tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan model
studi kasus, dan data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
wawancara, observasi serta penelusuran dokumen-dokumen yang
terkait dengan tema tulisan ini.
B. Tsunami dan Momentum Perdamaian Aceh
Desember 2004 merupakan momen yang tidak terlupakan bagi
masyarakat Aceh, ketika gempa dan Tsunami meluluh lantakkan
daratan Aceh dan membungkam konflik berkepanjangan di Aceh.
Kawilarang (2010) dan Murizal Hamzah (Tornquist, 2010),
menyebutkan bahwa Tsunami menjadi pintu bagi penyelesaian
konflik Aceh melalui perdamaian, terutama setelah pemerintah
mengumumkan bahwa rehabilitasi dapat dilaksanakan jika keamanan
di Aceh terjamin. GAM dan pemerintah Republik Indonesia
kemudian sepakat untuk mengadakan pertemuan dan membahas
tentang perdamaian Aceh.
Beberapa pertemuan dilangsungkan, terakhir pertemuan
difasilitasi oleh Crisis Management Inisiative (CMI) yang dipimpin oleh
Marti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia. Tim perundingan GAM
terdiri dari perdana menteri GAM Malik Mahmud, menteri luar
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 93 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
negeri GAM Zaini Abdullah, beberapa elit GAM seperti Nur Djuli,
Bakhtiar Abdullah, Nurdin AR, Irwandi Yusuf, Munawar Liza dan
beberapa anggota lainnya. Tim perundingan GAM dibantu oleh
penasehat politik Dr. Damien Kingsbury (Kingsbury, 2006: 165).
Pemerintah Republik Indonesia mendelegasikan tim perundingan
yang terdiri dari Hamid Awaluddin, Jendral Widodo AS, Sofyan
Djalil, Farid Husein, dan beberapa anggota pemerintahan lainnya
(Kingsbury, 2006: 23). Dalam konteks perundingan itu, tidak bisa
dipungkiri bahwa Jusuf Kalla yang baru terpilih sebagai wakil
presiden saat itu memiliki peran penting dalam proses perdamaian
ini. SBY dan Kalla memainkan soft power sebagai pendekatan dalam
menyelesaikan konflik Indonesia saat itu, terutama konflik Ambon,
Poso, dan Aceh.
Prasetyo dan Aditjondro (lihat selengkapnya dalam Tornquist,
2010: 229-276), mengatakan bahwa Kalla memainkan peran yang lebih
gesit dalam proses perdamaian dibandingkan SBY. Sebagai pebisnis
ulung, Kalla lebih menonnjolkan prinsip-prinsip bisnis dalam
menyelesaikan konflik melalui perdamaian. Namun, strategi
„perdamaian berorientasi laba‟, dalam bahasa Prasetyo dan
Aditjondro, hanya berhasil dijalankan Kalla di Ambon dan Poso.
Strategi tersebut tidak dapat dijalankan di Aceh karena keterlibatan
dunia internasional dalam kegiatan bantuan kemanusiaan dan
rekonstruksi pasca Tsunami. Strategi yang dimainkan Kalla di Ambon
dan Poso juga ditolak oleh GAM. Hal itu mungkin karena GAM
sudah memiliki orientasi sendiri terhadap perdamaian Aceh. Jika
dikaitkan dengan perjanjian Jenewa dan kata-kata Hasan Tiro bahwa
seluruh dunia akan datang membantu Aceh, itu artinya GAM punya
94 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
posisi tawar yang cukup kuat dalam hal ini, komponen masyarakat
dunia menjadi “backing” GAM untuk melaksanakan perdamaian
dengan mengakomodasi semua kepentingan GAM. Dalam persiapan
untuk melaksanakan perdamaian,tim perundingan GAM kemudian
merumuskan beberapa poin “permintaan” terhadap pemerintah
Indonesia. Mereka menyiapkan plan A dan plan B sebagai opsi dalam
proses negosiasi. Poin penekanan permintaan GAM adalah tentang
self-governing Aceh, sekilas, Aceh seperti negara bagian dari
Indonesia. Salah satu poinnya adalah nama provinsi Aceh akan
diganti menjadi pemerintahan wilayah Aceh (self-governing wilayah of
Aceh). Terkait hal ini, tim perundingan pemerintah republik Indonesia
merasa keberatan dengan self-governing yang diajukan GAM karena
dianggap terlalu sensitif. Persoalan ini hampir membuat jalan
perdamaian buntu, namun akhirnya kedua belah pihak sepakat
dengan penggunaan kata “governing Aceh” bagi pemerintahan Aceh
(Kingsbury, 2006).
Kesepakatan itu pada akhirnya mencapai titik temunya dengan
penandatanganan draft MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.
Kontrak sosial politik antara GAM dan pemerintah republik
Indonesia ini secara umum mengatur tentang proses rekonsiliasi dan
reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat Aceh, disamping juga
mengatur tentang kekhususan bagi Aceh. Butir pertama dalam MoU
menegaskan pembentukan Undang-undang baru tentang
pemerintahan Aceh. Melalui undang-undang ini, Aceh mendapatkan
kewenangan yang luas dalam sektor publik, meskipun terbatas pada
bidang tertentu (dokumen MoU Helsinki, 15 Agustus 2005).
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 95 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
C. Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
Pasca perdamaian menggema di Aceh, Undang-undang
Pemerintah Aceh (UUPA) disahkan, pihak Aceh Monitoring Mission
( AMM)1 yang bertugas mengawasi implementasi MoU mengambil
beberapa langkah untuk proses rekonsiliasi dan reintegrasi,
dibentuklah badan khusus untuk menaungi proses reintegrasi mantan
anggota GAM, yaitu Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Dengan undang-
undang yang telah dibentuk tentang kekhususan Aceh dalam
penyelenggaraan pemerintahan, proses rekonsiliasi dan rehabilitasi
selanjutnya tidak hanya meleburkan mantan anggota GAM ke dalam
kehidupan masyarakat Aceh, namun juga mentransformasi gerakan
perjuangan dan mengantar GAM ke dalam panggung politik.
1) Rekonsiliasi dan Transformasi Politik
Sebagai langkah awal proses rekonsiliasi pasca MoU, Aceh
Monitoring Mission ( AMM) meminta GAM untuk membubarkan
struktur keorganisasiannya agar menghilangkan kesan „separatisme‟
dari mantan anggota GAM. GAM kemudian membubarkan struktur
organisasinya, dan mengubahnya menjadi Komite Peralihan Aceh
(KPA). KPA pada awalnya dibentuk untuk menjaga kendali dan
sebagai sumber atau data informasi tentang mantan simpatisan
GAM. Namun dalam perkembangannya, organisasi ini justru
menjadi organisasi yang eksklusif dan elitis, tertutup bagi kelompok
di luar mantan simpatisan GAM. Akibatnya dalam proses
rekonsiliasi, KPA tidak hanya mengalihkan GAM dari gerakan
bersenjata menjadi gerakan sipil, namun dengan berbagai
1 Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan delegasi dari Uni Eropa untuk
memantau perdamaian Aceh.
96 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
kekhususan yang tercantum dalam MoU, KPA ini juga seolah-olah
berubah menjadi gerakan politik. (Basyar, 2008: 36-37, 91). Dan
secara struktual, tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam
susunan kepengurusan GAM dan KPA. Langkah ini dianggap
praktis dan taktis untuk memudahkan konsolidasi dalam proses
reintegrasi. Tugas KPA dimulai dari pemberdayaan ekonomi dan
reintegrasi mantan pejuang hingga berfungsi pula sebagai basis bagi
organisasi dan diskusi politik. Para pemimpin GAM juga lega karena
tetap menduduki posisi seperti semula, misalnya seperti panglima
GAM yang beroperasi di tingkat lokal, dalam struktur KPA, ia
menjabat sebagai kepala kantor KPA wilayah (Tornquist, 2010: 244).
Ketika UUPA dibentuk, qanun tentang partai politik lokal
disahkan, peluang bagi GAM untuk bertransformasi menjadi partai
politik lokal terbuka lebar. Akhirnya GAM dengan wadah KPA
membentuk Partai Aceh (PA) dan bersamaan dengan partai politik
lokal yang dibentuk GAM tersebut, muncul sejumlah partai politik
lokal lain dalam kontestasi panggung demokrasi Aceh. Kantor
wilayah Departemen Hukum dan HAM, dan KIP (Komisi
Independen Pemilihan) melakukan verifikasi terhadap sejumlah
partai lokal dan menyatakan hanya 6 (enam) partai lokal yang
memenuhi syarat, yaitu Partai Aceh yang digawangi oleh elit GAM,
Partai Aceh Aman Sejahtera yang dibentuk oleh tokoh politik senior
Ghazali Abas Adan, kemudian Partai Bersatu Aceh yang dipimpin
oleh Ahmad Farhan Hamid, Partai Daulat Aceh yang diinisiasi oleh
kelompok ulama, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen
Rakyat Aceh (SIRA). Dua partai terakhir dibentuk oleh mahasiswa
yang aktif dalam gerakan 98 dan referendum. Keenam partai politik
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 97 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
lokal tersebut memiliki konstituen masing-masing yang menjadi basis
sosial di masyarakat. Mereka mendapatkan kesempatan bertarung
dalam pemilihan legislatif tahun 2009 (Gade, 2012: 60-63;
Kawilarang, 2010: 183-205).
Bagi GAM, partai lokal menjadi wadah perjuangan yang baru,
dengan sedikit mengubah haluan dari perjuangan bersenjata menjadi
perjuangan politik. GAM mendirikan Partai Aceh sebagai wadah
partisipasi politik. Partai Aceh pada awalnya bernama partai GAM
dengan lambang yang persis dengan bendera Aceh Merdeka. Nama
GAM beserta lambangnya mendapat penolakan dari Jakarta karena
berlawanan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa nama dan
lambang partai politik tidak boleh mengandung unsur-unsur yang
berkaitan dengan separatisme. Hal ini mengecewakan GAM pada
mulanya, namun akhirnya mereka mengubah nama dan lambang
benderanya menjadi Partai Aceh. Partai ini secara otomatis didukung
oleh sebagian besar mantan pejuang gerakan Aceh merdeka,
terutama yang berada di tiga wilayah pesisir utara Aceh yang
menjadi basis GAM semasa konflik. GAM menyadari bahwa sebagian
besar masyarakat Aceh masih memperhitungkan ulama dan mereka
menyadari persaingan dengan PDA yang didirikan oleh kelompok
ulama dengan basis HUDA, wadah organisasi ulama tradisional
Aceh. Oleh karena itu, GAM membentuk MUNA (Majelis Ulama
Nanggroe Aceh) sebagai basis dukungan ulama (Kawilarang, 2010:
200-202).
Pada akhir tahun 2011, sebagian mantan anggota Partai Aceh
mendeklarasikan Partai Nasional Aceh (PNA) yang digawangi oleh
Irwandi Yusuf dan beberapa “pentolan” GAM lainnya seperti Sofyan
98 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Dawood, Muharram Idris, dan lainnya. Sementara angkatan tua GAM
memilih tetap berada dalam Partai Aceh yang dipimpin oleh
Muzakkir Manaf. Pada fase berikutnya, PNA bahkan menjadi saingan
politik PA yang paling kuat. Selain PNA, lahir pula dua partai politik
lokal lainnya, yaitu Partai Damai Aceh (PDA) dan Partai Sira, untuk
mengikuti pemilihan legislatif 2014 (Gade, 2012: 64).
2) Pemilihan Umum: GAM dalam Demokrasi
Tahun 2004 menjadi tahun politik dan demokrasi Indonesia.
Pemilihan langsung tidak hanya berlaku bagi anggota DPR namun
juga pemilihan presiden. Pasca pemilu 2004, pemilihan langsung juga
diberlakukan untuk pemilihan kepala daerah. Di Aceh, ini juga
merupakan fase baru setelah konflik panjang membuat ketidak
stabilan sosial-politik dan ekonomi Aceh. Disamping itu, adanya
peraturan baru tentang pencalonan jalur independen bagi calon
kepala daerah, dan eksistensi partai politik lokal mewarnai proses
demokrasi Aceh yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
Menghadapi pemilihan kepala daerah tahun 2006, KPA
sebagai wadah integrasi politik mantan anggota GAM menyiapkan
diri untuk ikut serta dalam pemilu. Dalam proses pencalonan kepala
daerah, sempat terjadi perpecahan dalam tubuh Komite Peralihan
Aceh (KPA) pusat terkait siapa yang akan diusung sebagai calon
kepala daerah. Perpecahan ini terjadi antara kelompok tua yang
selama konflik lebih banyak bermukim di Swedia, dengan kalangan
muda yang berperang di Aceh. Kelompok tua yang dipelopori oleh
Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Zakaria Saman, dan Muhammad
Usman Lampoh Awe mendukung pasangan calon Humam Hamid
dan Hasbi Abdullah sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 99 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
Sementara kelompok muda seperti Nur Djuli, Bakhtiar Abdullah,
Sofyan Dawood, mendukung pasangan Irwandi Yusuf dan
Muhammad Nazar. Pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah
akhirnya mendapatkan dukungan dari Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan diusung oleh partai tersebut. Sementara
pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar maju melalui jalur
independen yang didukung oleh koalisi KPA dan SIRA (Torquist,
2010: 334-335).
Selain kedua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
tersebut, ada enam pasangan calon lain yang mendaftarkan diri
dalam pertarungan pilkada 2006 ini. Malik Raden berpasangan
dengan Sayeg Fuad Zakaria diusung oleh koalisi beberapa partai
nasional (Golkar, PDIP, Demokrat dan PKPI), kemudian pasangan
Azwar Abubakar dan Nasir Djamil diusung oleh PAN dan PKS,
lalu Ghazali Abbas Adan dan Salahuddin Alfata maju melalui jalur
independen yang berbasiskan masyarakat sipil. Selanjutnya Partai
Bulan Bintang (PBB) mengusung pasangan Iskandar Hoesin dan
Saleh Manaf, gabungan partai nasional lainnya PBR, PPNUI dan PKB
mengusung Tamlicha Ali dan Harmen Nuriqman. Terakhir pasangan
Djalil Yusuf dan Syauqas Rahmatillah maju melalui jalur independen.
Semua pasangan memiliki basis sosial masing-masing, terutama
pasangan calon yang diusung oleh partai politik. Demikian pula
dengan pasangan yang maju melalui jalur independen, mereka juga
memiliki pengaruh yang cukup kuat.
Beberapa lembaga survei memprediksikan bahwa pemilihan
gubernur dan wakil gubernur ini akan berlangsung dalam dua
putaran dan akan dimenangkan oleh pasangan calon yang diusung
100 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
oleh partai politik nasional. Menurut IFES, kondisi sosial masyarakat
Aceh pasca konflik dan tsunami akan menghambat pasangan calon
untuk mendulang suara lebih dari 26%. Sementara LSI
memprediksikan bahwa pemilihan gubernur akan dimenangkan oleh
pasangan calon dari partai nasional seperti Golkar dan PAN. Hal ini
dipengaruhi oleh popularitas pasangan calon yang pernah
mendapatkan posisi jabatan, sementara pasangan dari kalangan GAM
kemungkinan akan mendapatkan penolakan dari beberapa kelompok
seperti kelompok anti separatis dan lainnya.
Namun pada kenyataannya, kemenangan diperoleh oleh
pasangan calon yang memiliki hubungan erat dengan GAM dan
maju melaui jaur independen, yaitu pasangan Irwandi Yusuf dan
Muhammad Nazar. Secara sosiologis, pasangan calon tersebut tidak
memiliki basis sosial politik sebagaimana partai-partai nasional pada
umumnya. Keterkaitan kedua pasangan calon dengan GAM akan
mengurangi dukungan dari kelompok anti separatis. Secara
popularitas, keduanya juga tidak terlalu populer dibandingkan
dengan beberapa pasangan calon yang pernah memiliki jabatan
seperti Azwar Abubakar. Namun tak dapat dielakkan bahwa
pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar tampil sebagai
pasangan alternatif yang menjadi harapan baru masyarakat ketika
partai-partai nasionalis dianggap lebih pro pada kepentingan Jakarta
dibandingkan kepentingan rakyat. Kemenangan Irwandi Yusuf dan
Muhammad Nazar dalam pemilu ini merupakan proses awal
reintegrasi GAM dalam sistem politik Aceh yang kemudian
membawa pengaruh pada proses politik berikutnya.
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 101 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
1 1 1 1 1
4 4 5
8 10
33
PBBPKB
PatriotPKPIPDAPPPPKS
PANGolkar
DemokratPA
Jumlah Perolehan Kursi
Partai Politik Dalam Pemilu
Anggota DPR Aceh Tahun
2009
3) Kontestasi Politik; Partai Lokal vs Nasional
Dalam tatanan Aceh yang baru pasca perdamaian, pemilihan
umum legislatif Aceh sedikit berbeda dengan daerah lain di
Indonesia, dengan keikutsertaan partai politik lokal yang memberi
warna baru dalam proses pemilihan. Pemilihan legislatif ini juga
menjadi wujud pelaksanaan proses reintegrasi pasca perdamaian.
Pemilihan legislatif pertama yang dilakukan pada tahun 2009
merupakan awal kebangkitan demokrasi di Aceh. Pemilihan ini
diikuti oleh 34 partai politik nasional ditambah 6 partai politik lokal
(Gade, 2012:64). Partai-partai nasional yang sebelumnya menguasai
DPR Aceh harus bersaing dengan partai-partai lokal yang baru lahir
setrelah perdamaian. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi
partai nasional, karena keberadaan partai nasional masih sering
dikaitkan dengan politik Jakarta yang masih terkesan memarjinalkan
Aceh. Kehadiran partai lokal membawa harapan baru bagi
masyarakat Aceh yang terkesan lebih pro rakyat Aceh.
a) Pemilihan Legislatif
Dalam pemilihan umum yang
dilaksanakan serentak di seluruh
Indonesia pada tanggal 9 april 2009,
partai Aceh menang mutlak di
sejumlah kabupaten/kota di Aceh,
juga di tingkat provinsi. Secara
mutlak Partai Aceh menguasai
hampir 50% kursi parlemen DPR Aceh.
Partai Aceh mendapatkan 33 kursi dari
jumlah 69 kursi. Jumlah kursi yang diperoleh PA bahkan jauh
102 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
berbeda dengan kursi partai Demokrat yang menjadi pemenang
pemilu secara nasional. Partai Aceh yang baru muncul dan pertama
kali ikut dalam pemilihan legislatif mampu menggeser posisi partai-
partai nasional yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik
Aceh. Kemengang Partai Aceh dalam pemilihan legislatif ini
menunjukkan bahwa Partai Aceh yang merupakan representasi GAM
pada masa lalu masih memiliki kekuatan basis sosial yang kuat di
kalangan grassroot, dan basis sosial tersebut erat dipengaruhi oleh
kondisi konflik masa lalu.
Kemenangan PA dalam pemilu legislatif Aceh tersebut
kemudian memperluas keikutsertaan mantan anggota GAM dalam
politik kekuasaan Aceh. Karena selain kemenangan di legislatif, GAM
bersama KPA sebelumnya juga telah memperoleh kemenangan
untuk pasangan Irwandi-Nazar pada pemilihan kepala daerah
tahun 2006. Di satu sisi kemenangan partai Aceh bisa saja dilihat
sebagai kemenangan rakyat yang membawa harapan baru dalam
pemerintahan Aceh. Namun di sisi lain, dominasi partai Aceh dan
mantan pejuang GAM ini bisa dianggap membahayakan
birokrasi dan sistem demokrasi Aceh. Kemenangan ini menjadi
tiket untuk kembali bertarung dalam pemilihan legislatif tahun
2014.
Sebelum pemilihan legislatif tahun 2014, sebagian pendukung
Partai Aceh membentuk Partai lokal baru, yaitu PNA, yang juga
memiliki basis yang sama dengan PA. Secara sosiologis, konsentrasi
massa yang sebelumnya menjadi basis sosial PA akan terpecah, dan
tentu akan mempengaruhi perolehan suara dan kursi DPRA.
Pemilihan legislatif 2014 juga sangat menentukan karena banyak
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 103 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
8
1
4
9
3
8
7
6
1
3
29
1
NasDem
PKB
PKS
Golkar
Gerindra
Demokrat
PAN
PPP
PDA
PNA
PA
PBB
Jumlah Perolehan Kursi
Partai Politik Dalam
Pemilu Anggota DPR Aceh
Tahun 2014
yang meramalkan bahwa partai
politik lokal paling lama hanya
bertahan 2 periode atau sekitar 10
tahun. Tentu ini menjadi tantangan
besar bagi GAM untuk
mempertahankan posisi dalam
struktur pemerintahan Aceh. Di
tingkat nasional, KPU melakukan
seleksi terhadap partai-partai politik
yang akan mengikuti pemilu 2014.
Ada 12 partai yang lolos seleksi secara
nasional, yaitu NasDem, PKB, PKS, Golkar, Gerindra, Demokrat,
PPP, PAN, PDIP, Hanura, PBB, dan PKPI. Sementara di Aceh,
pemilihan diikuti oleh 10 partai nasional di tambah tiga partai
politik lokal yang telah lolos seleksi, yaitu PA, PNA, dan PDA. Hasil
pemilu yang dilaksanakan secara serentak pada 9 April 2014 ini,
secara nasional dimenangkan oleh PDIP dengan perolehan suara
sekitar 18,95 persen suara. Hasil ini ternyata juga tidak berlaku di
Aceh yang sama sekali tidak memberikan tempat kepada PDIP.
Kursi DPR Aceh ternyata tetap didominasi oleh Partai Aceh yang
mendapatkan 29 kursi dari jumlah 81 kursi. Jumlah ini memang lebih
sedikit dibandingkan periode sebelumnya. Sementara itu, Partai
Nasional Aceh yang menjadi rival Partai Aceh hanya mendapatkan
3 kursi parlemen, dan partai lokal lainnya yang menjadi wadah
politik ulama yaitu PDA hanya mendapatkan 1 kursi. Sisanya dibagi-
bagi kepada beberapa partai nasional kecuali PDIP dan Hanura yang
tidak mendapatkan jatah kursi parlemen Aceh.
104 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Dengan perolehan suara yang cukup signifikan, PA kembali
mendulang kemenangan dan mendominasi kursi kekuasaan
parlemen Aceh. Kemenangan ini tentu berpengaruh pada setiap
kebijakan yang akan ditelorkan oleh DPR Aceh. Kemenangan PA
dalam dua kali pemilihan legislatif Aceh pasca perdamaian menjadi
kunci penting dalam pemilu-pemilu lainnya, baik pilkada maupun
pemilihan presiden. Dengan demikian, kunci kekuasaan Aceh saat
ini berada di tangan Partai Aceh, tidak hanya berpengaruh pada
kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, namun juga
berpengaruh pada berbagai proses politik Aceh.
b) Pilkada tahun 2012
Dalam UUPA pasal 65 ayat 1, tertulis bahwa kepala daerah di
Aceh dipilih secara langsung oleh rakyat setiap lima tahun sekali
melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, dan dilaksanakan
secara jujur dan adil. Pilkada tahun 2006 merupakan pemilihan
langsung pertama bagi masyarakat Aceh yang menjadi cerminan
pengimplementasian MoU Helsinki, UUPA, dan sistem demokrasi.
Pemilihan kepala daerah di Aceh terbilang inovatif dengan adanya
calon kepala daerah yang maju melalui jalur independen. Artinya,
setiap elit lokal Aceh bisa mencalonkan diri tanpa harus berafiliasi
dengan partai politik. Bahkan pada pemilihan kepala daerah tahun
2006, sebagian besar kabupaten/kota bahkan provinsi Aceh
dimenangkan oleh calon yang maju melalui jalur independen.
Pada pemilihan kepala daerah tahun 2012, sistem pemilihan
tersebut kembali berlaku. Ada lima pasangan yang mendaftarkan diri
sebagai calon gubernur dan wakil gubernur, baik melalui dukungan
partai politik ataupun melalui jalur perseorangn atau independen.
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 105 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
Hal itu juga dilakukan di sejumlah daerah di Aceh untuk pemilihan
bupati dan wakil bupati, ataupun Walikota dan wakil Walikota.
Pemilihan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 9 april 2012 di
seluruh Aceh. Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
memilih maju melalui jalur indpenden, yaitu Ahmad Tajuddin dan T.
Suriansyah, Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan, Darni Daud dan
Ahmad Fauzi. Sementara itu, dua pasangan lainnya diusung oleh
partai politik yakni pasangan Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah
diusung oleh koalisi partai Demokrat, PPP dan Partai SIRA, lalu
pasangan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf diusung oleh Partai
Aceh. Belakangan, kandidat Partai Aceh ini ikut didukung oleh
beberapa partai nasional lainnya (Gade, 2012: 98-104).
Hasil pemilihan langsung pada April 2012 secara mutlak
dimenangkan oleh pasangan Zaini-Muzakkir yang diusung oleh
Partai Aceh. Pasangan “Zikir” ini memperoleh 55,75% suara rakyat
Aceh mengungguli pasangan rivalnya, Irwandi-Muhyan yang hanya
mendapatkan 29,18% suara. Zaini merupakan mantan petinggi GAM
dan Muzakkir mantan petinggi militer GAM. Keduanya akan
menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur untuk periode 2012-
2017. Sementara tiga pasangan lainnya, hanya mampu
mengumpulkan suara kurang dari 10% suara (Gade, 2012: 106). Secara
sosiologis, persebaran basis sosial pendukung sebenarnya cukup
merata, hanya saja, kemenangan Partai Aceh dalam pemilu legislatif
2009 menjadi modal untuk memenangkan pasangan calon Zikir tanpa
harus berkoalisi dengan beberapa partai lain. Basis Sosial partai Aceh
yang kuat di level grassroot cukup membantu pasangan Zikir untuk
106 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
menang. Apalagi keduanya berasal dari daerah basis Partai Aceh,
Zaini dari Pidie, dan Muzakkir Manaf dari Aceh Utara.
c) Pemilihan Presiden
Pemilihan presiden selalu dilaksanakan pada tahun yang sama
dengan pemilihan legislatif. Artinya, pemilihan presiden secara
langsung sudah dilakukan dua kali, yaitu tahun 2009 dan tahun 2014.
Kedua pemilu ini memberikan ketegangan politik yang cukup tinggi,
terutama di kalangan elit-elit politik. Di kalangan sipil masyarakat,
kedua pemilu ini selalu menjadi harapan bagi keberlangsungan
perdamaian Aceh. Pada pemilu 2009, ada 3 pasangan calon yang akan
dipilih oleh masyarakat Indonesia, yaitu pasangan SBY-Boediono,
pasangan JK-Wiranto, dan pasangan Megawati-Prabowo. Ketiga
Pasangan ini tidak ada yang asing Bagi masyarakat Aceh. SBY dan JK
merupakan pasangan presiden periode sebelumnya, sementara
Megawati merupakan presiden kelima Indonesia yang memimpin
selama masa darurat militer di Aceh. Dari berbagai prediksi yang
muncul, JK akan mendapatkan kemenangan mutlak di Aceh. Hal ini
mengingat JK memiliki peran yang besar dalam proses perdamaian
Aceh. JK juga berulang kali membangun hubungan dengan Partai
Aceh yang baru saja memangkan Pemilihan legislatif Aceh tahun
2009 (Gade, 2010: 68-69).
Pada kenyataannya, hasil penghitungan suara di Aceh setelah
pemilu menunjukkan bahwa pasangan SBY-Boediono menang secara
mutlak dengan perolehan suara sekitar 93%. kemenangan SBY ini
tidak bisa dilepaskan dari peran Partai Aceh. Tim kampanye SBY-
Boediono di Aceh didominasi oleh mantan petinggi GAM seperti
Sofyan Dawood dan Irwandi Yusuf. Di beberapa daerah basis GAM,
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 107 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
SBY menang mutlak dari Jusuf Kalla (Gade, 2010: 69-70). Partai Aceh
sebagai wadah politik GAM menjadi tombak kemenangan mutlak
SBY-Boediono di Aceh.
Pada pemilihan presiden tahun 2014, perbedaan mewarnai
dukungan GAM kepada pasangan calon presiden. Hanya ada dua
pasangan yangg mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan
wakil presiden Indonesia periode 2014-2019, yaitu pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla dan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Sejak awal, PA sudah menyatakan dukungannya kepada pasangan
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Namun ketika KPU
mengesahkan bahwa hanya ada dua pasangan calon presiden dan
wakil presiden, suara PA menjadi pecah. Kelompok tua GAM yang
tergabung dalam Tuha Peuet2 Partai Aceh seperti Zaini Abdullah,
Malik Mahmud dan Zakaria Saman, memilih untuk mendukung
Jokowi-JK. Sementara kelompok muda yang dipelopori oleh
Muzakkir Manaf tetap mendukung pasangan Prabowo-Hatta (Lintas
Gayo, 5 Juni 2014). Di sisi lain, PNA menyatakan dukungannya
kepada pasangan Jokowi-JK dengan dalih bahwa JK memiliki jasa
bagi perdamaian Aceh, sehingga diyakinkan akan menjaga
perdamaian Aceh dan merealisasi semua turunan UUPA. Hasil
pemilu menunjukkan perolehan suara Prabowo-Hatta unggul tipis
dari perolehan suara pasangan Jokowi-JK. Prabowo-Hatta mendulang
54,39% suara, sementara pasangan Jokowi-JK mengumpulkan 45,61%
suara. Pasangan Prabowo-Hatta tidak mendapatkan kemenangan
2 Tuha Peuet merupakan pembina. Ini merupakan istilah yang dipakai pada zaman
kerajaan bagi mereka yang menduduki posisi penasehat. Dalam struktur Partai Aceh, istilah
Tuha Peuet tidak jauh berbeda maknanya dengan yang dipaki pada masa kerajaan, Tuha
Peuet Partai Aceh merupakan Pembina atau Penasehat Partai yang terdiri dari angkatan tua
GAM
108 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
mutlak seperti pasangan SBY- Boediono yang juga didukung oleh
Partai Aceh. Hal ini dapat dipahami mengingat suara di tingkatan
elit Aceh sudah pecah, maka tentu akan berpengaruh pada
dukungan di tingkatan grasroot.
D. Penutup
Tsunami merupakan pintu bagi penyelesaian konflik Aceh
yang kemudian mencapai titik temu dengan ditanda tanganinya draft
MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca itu, UUPA
dibentuk, qanun tentang partai politik lokal disahkan dan GAM
bertransformasi menjadi partai politik lokal, lalu muncul pula
sejumlah partai politik lokal lain. Sejak itu, konstelasi dan kontestasi
politik di Aceh sudah tidak lagi didomiasi oleh pusat, tetapi sudah
diwarnai oleh dimensi lokal yang berupa partai lokal dan mantan-
mantan anggota pergeraan atau GAM.
Kemenangan Partai Aceh (PA) sebagai representasi GAM
dalam berbagai pemilihan umum di Aceh pasca perdamaian,
menunjukkan bagaimana masyarakat menaruh harapan yang besar
terhadap GAM dalam membangun Aceh dan tidak terlalu terikat
kepada pusat. Panggung politik sebagai alat perjuangan baru dalam
mewujudkan cita-cita perjuangan pasca perdamaian membuahkan
hasil yang cukup memuaskan, kontestasi politik yang terjadi berhasil
dimenangkan. Namun, kontstelasi politik yang dinominasi oleh
mantan anggota pergerakan secara empiris ternyata belum mampu
membawa Aceh keluar dari berbagai problem sosial. Konflik memang
telah selesai, tetapi masalah sosial yang berupa kemiskinan dan
pengangguran masih belum mampu diatasi meski pemangku
kebijakan di parleman maupun eksekutif adalah mereka yang dulu
Siti Ikramatoun & Khairul Amin| 109 Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015)
memperjuangkan itu. Ruang-ruang kekuasaan yang dihuni oleh
mantan kombatan sepertinya berhasil “menjebak” dan membawa
mereka keluar dari cita-cita luhur perjuangan, sehingga meski mereka
telah berkuasa namun masyarakat masih tetap menderita.
Selain itu, kekalahan partai-partai nasional sejak pemilu tahun
2009 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai-
partai nasional yang masih “berpusat” di Jakarta sangat rendah.
Partai-partai nasional yang dianggap terlalu mengakomodasi
kepentingan Pusat dan sering kali mengabaikan kepentingan rakyat
membuat masyarakat Aceh lebih memilih partai lokal. Munculnya
GAM dalam politik kekuasaan Aceh dalam bentuk partai lokal
kemudian menjadi harapan masyarakat Aceh pasca MoU, yaitu
harapan akan lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat Aceh
dengan pendekatan keacehan. Kemenangan demi kemenganga partai
lokal tentunya menjadi sinyal bagi partai nasional untuk bisa
mengakomodir kepentingan lokal dan sekaligus aktor pergerakan
dalam komposisi partai agar partai nasional dapat kembali ikut
memenangi kontestasi politik di Aceh saat ini.
E. Daftar Pustaka
Basyar, M. Hamdan (ed). 2008. Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gade, Fakhrurradzie (ed.). 2012. Rekam Jejak Demokrasi Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing
Hadi, Amirul. 2010. Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Hartmann, Michael. 2007. The Sociology of Elites. Oxon: Routledge
Hillman, Ben. (2012). Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia. Asian Ethnicity, Vol. 13, No. 4: 419–440
110 |Jurnal Sosiologi USK
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018
Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I (Robert M.Z. Lawang, Penerjemah). Jakarta: Gramedia
Kawilarang, Harry. 2008. Aceh Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing
Kingsbury, D. 2006. Peace in Aceh: a Personal Account of the Helsinki Peace Process. Jakarta: Equinox Publishing.
Lane, J.-E., & Ersson, S. 2000. The New Institutional Politics: Performance and outcomes. London: Routledge.
Lipset, Seymour Martin. 2007. Political Man: Basis Sosial tentang Politik (Endi Haryono, Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Neuman, W. Laurence. 2003. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik (7th ed.) Jakarta: PT Gramedia
Tornquist, Olle (ed.). 2011. Aceh: Peran Demokrasi Bagi Perdamaian dan Rekonstruksi. Yogyakarta: PCD Press
Dokumen
Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, perjanjian RI-GAM tahun 2005 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Situs Internet dan Media Online
http://aceh.tribunnews.com/
http://atjehpost.co
http://www.bandaacehkota.go.id/
http://www.sinarharapan.co/
Volume 12, Nomor 1, Juni 2018