0
1
Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law
Jilid II: Pembahasan Agraria dan Lingkungan
disusun oleh:
Antonius Havik Indradi
Aqshal Muhammad Arsyah
Kevin Daffa Athilla
Naufal Hilmy
Tariq Hidayat Pangestu
2
Quick Review
Polemik penerapan metode Omnibus Law untuk meningkat invetasi di Indonesia tidak hanya
bertentangan dengan masalah-masalah formil yang mengacu pada Undang-Undang tentang Peraturan
Pembentukan Perundangan-Undangan (UU P3) dan beberapa doktrin terkait, tetapi juga bertentangan
dengan masalah materiil terkait dengan Agraria dan Lingkungan. Beberapa ketentuan di dalam RUU
Cipta Kerja (Cipker) telah menggambarkan secara jelas bahwa pemerintah hanya memfokuskan
kepada pertumbuhan ekomomi negara semata, tanpa adanya pertimbangan lebih lanjut mengenai
kemudahan perizinan investasi yang berdampak buruk terhadap agraria dan lingkungan sehingga
menyengsarakan masayarakat secara umum.
Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan tanah yang seharusnya
pro rakyat ternyata menjadi pro kapital dikarenakan pengelolaan tanah yang seharusnya
mengedepankan nilai kemanfaatan untuk masyarakat secara umum tergantikan oleh nilai
kemanfaatan yang hanya dirasakan oleh golongan tertentu dan mengedepankan pertumbuhan
ekonomi negara saja, sehingga kesempatan di dalam pemanfaatan tanah menciptakan suatu
ketimpangan yang tidak menjunjung tinggi keadilan sosial sebagaimana tercantum di dalam Pasal 33
UUD 1945.1 Selain itu, terkait dengan kebijakan lingkungan di RUU Cipker semakin memperkuat
corak antroposentrisme yang hanya memandang hubungan kepentingan manusia dan lingkungan,
sehingga mengabaikan pengakuan nilai-nilai intristik yang dimiliki lingkungan itu sendiri. Keinginan
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi negara membuat pemerintah tidak dapat menunjukkan
keseriusannya dalam melaksanakan perlindungan lingkungan di Indonesia.
Pengkajian ini dimaksudkan untuk membahas terkait permasalahan agraria dan lingkungan
dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Diharapkan melalui kajian materiil RUU Cipker sebagai
salah satu metode Omnibus Law oleh pemerintah dapat membantu memberikan tambahan
pemahaman publik sekaligus kritik terhadap berbagai ketentuan di dalamnnya.
1 Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Impelementasi, Kompas, Jakarta.
3
Permasalahan Bank Tanah
Diaturnya ketentuan mengenai lembaga pengelolaan tanah atau bank tanah di dalam pasal
123-128 RUU Cipker yang ketentuannya sama dengan yang diatur dalam pasal 75-79 RUU
Pertanahan. Secara konsep bank tanah dimaksudkan sebagai kegiatan pemerintah untuk menyediakan
tanah mulai dari penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan tanah
baik publik maupun privat.2 Idealnya metode yang diusung dalam bank tanah adalah kontrol pasar
dan stabilisasi tanah pasar lokal. Bank tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pelbagai keperluan
pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi APBN/ APBD, mengurangi konflik dalam proses
pembebasan tanah dan mengurangi dampak buruk liberalisasi tanah.3 Secara umum bank tanah dibagi
menjadi dua yaitu bank tanah umum (general land banking) dan bank tanah khusus (project land
banking). Apabila melihat definisi bank tanah umum lebih condong terkait penggunaan tanahnya
tidak ditentukan lebih dahulu karena tujuannya mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan
dan/atau mengatur harga tanah dan/atau memperoleh capital gain dari nilai lebih sebagai akibat
investasi publik dan/atau mengatur penggunaan tanah, termasuk mengenai, waktu, lokasi, jenis, dan
skala pengembangannya.4 Sedangkan bank tanah khusus meliputi meliputi penyediaan tanah untuk
pembaharuan perkotaan, pengembangan industri, pembangunan perumahan, dan fasilitas umum.5
Apabila melihat ketentuan di dalam pasal 73 RUU Pertanahan dan pasal 124 RUU Cipker yang
berbunyi:
Badan bank tanah menjamin ketersediaan Tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan,
untuk:
a. kepentingan umum;
b. kepentingan sosial;
c. kepentingan pembangunan;
d. pemerataan ekonomi;
e. konsolidasi lahan; dan
f. Reforma Agraria
dimana di dalam pasal tersebut sudah jelas ditentukan dalam penggunaan tanahnya masih abstrak
sehingga bisa dilihat corak bank tanah yang dibangun adalah bank tanah umum. Secara umum tujuan
bank tanah adalah mengarahkan pengembangan penggunaan tanah dan mempengaruhi harga tanah.6
2 Maria Op.cit, hlm. 8 3 Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta. hlm. 45. 4 Maria SW Sumardjono., Loc.cit hlm. 9. 5 ibid 6 ibid
4
Dalam RUU ini perlu dilihat apa tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dan apakah bisa-bisa
mewujudkan filosofis ekonomi berkeadilan bukan hanya pemanis di atas kertas semata.
Salah satu tujuan penyelenggaraan bank tanah adalah untuk kepentingan umum. Menarik
untuk dibahas terkait hal tersebut apakah benar-benar ditujukan untuk kepentingan umum atau hanya
untuk kepentingan segelintir orang. Apabila melihat ketentuan tempat yang termasuk kepentingan
umum terdapat perluasan bidang yang diatur dalam pasal 10 RUU Cipker lingkup pengadaan lahan
yaitu:
a. Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas;
b. Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
c. Kawasan Industri yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah;
d. Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,, atau Badan Usaha Milik Daerah;
dan
e. Kawasan lainnya yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah.
Apabila melihat hal di atas politik hukumnya terlihat jelas adalah condong ke arah para
pemegang modal dimana konsekuensinya sektor-sektor tersebut bisa dengan mudah dijadikan dalih
pembebasan lahan yang tentunya akan merugikan masyarakat dengan kondisi sosial yang subordinat.
Apalagi di dalam praktik kerap terjadi warga pemilik lahan merasa jumlah ganti kerugian tidak
sepadang dengan nilai kerugian baik secara materiil maupun immateriil yang timbul akibat adanya
pelepasan hak tersebut.7 Namun ada harapan karena bisa saja sesuai dengan ketentuan pasal di atas
bank tanah bisa menjadi pendorong terwujudnya reforma agrarian dan pemerataan ekonomi. Oleh
sebab itu, perlu dilihat apakah filosofi, urgensi, dan metode bank tanah benar-benar sesuai dengan
kepentingan rakyat banyak atau tidak agar bisa menentukan apakah eksistensinya benar-benar
dibutuhkan atau sebaliknya. Permasalahan lain terkait bank tanah ini adalah terkait pembiayaannya
berasal darimana. Apabila melihat ketentuan Pasal 126 Sumber kekayaan Lembaga Pengelolaan
Tanah dapat berasal dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Pendapatan sendiri;
7 Ranitya Ganindha, 2016, Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi
Masyarakat untuk Kepentingan Umum, Jurnal Arena Hukum UB.
5
c. penyertaan modal negara;dan/atau
d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melihat corak bank tanah yang akan dibuat yang cenderung bank tanah umum tentunya
pembiayaan yang dibutuhkan akan jauh lebih besar, tidak seperti bank tanah khusus yang skalanya
lebih terbatas serta dapat diharapkan banyak berperan dalam pengendalian penggunaan tanah dan
menekan harga tanah.8 Tentunya akan menjadi pertanyaan apakah skema pembiayaan bank tanah
seperti menggunakan pendapatan sendiri akan efektif? Atau apabila menggunakan anggaran negara
tidak menjadi beban anggaran? Dan bagaimana agar menghindari tujuan bank tanah dan skema
pembiayaan yang ada? Ini perlu dijawab agar ide pembentukan bank tanah benar-benar didasarkan
pada pertimbangan yang menyeluruh. Terakhir kita juga perlu mempertanyakan apakah dengan
adanya Bank Tanah ini mampu menghadirkan keseimbangan antara kepentingan rakyat luas dan para
investor, tidak hanya berat sebelah dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Permasalahan Hak Pengelolaan (HPL)
Terdapat beberapa permasalahan terkait pengaturan hak pengelolaan yang terdapat dalam
RUU Cipker. Secara garis besar pengaturan dalam RUU a quo tidak meluruskan bahwa hak
pengelolaan ini sebagai ‘fungsi’ melainkan menjadi hak yang bersifat keperdataan.9 Maria SW
Sumardjono menyatakan bahwa HPL bukanlah hak atas tanah tetapi merupakan bagian dari Hak
Menguasai Negara yang sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang HPL.10
Permasalahan-permasalahan utama terkait HGU diatas tanah HPL, hubungan hukum antara
pemegang HPL dan pihak ketiga yang mengesampingkan HPL sebagai aset, dan perpanjangan jangka
waktu HPL yang bisa diberikan sekaligus. Perlu ditengahkan terlebih dahulu yang dimaksud HPL
menurut ketentuan pasal 1 ayat 2 PP nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah adalah hak menguasai negara yang kewenangan pelaksannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Dalam pasal 2 ayat 3 UU nomor 20 tahun 2000 tentang
Perubahan Atas UU nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan juga
disebutkan yang dimaksud HPL adalah hak menguasai Negara atas tanah yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan
8 Maria SW Sumardjono, op.cit. hlm. 10 9 Maria SW Sumardjono, RUU Cipta Kerja dan Pertanahan, Opini Kompas 22 Februari 2020 10 Maria SW Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kompas, Jakarta, hlm.
213.
6
dan penggunaan tanah, mempergunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, dan
menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak
ketiga.
Asal muasal hak pengelolaan ini secara tersirat dapat ditemukan pada ketentuan penjelasan II
angka 2 UUPA, yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan
penguasa (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi pelaksanaan tugasnya
masing-masing. Sedangkan yang dimaksud hak guna usaha menurut ketentuan pasal 28 ayat 1 UU
nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah Hak guna-usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan. Apabila meletakkan hak guna usaha di atas HPL jelas-jelas bertentangan
dengan UUPA. Pun lebih lanjut apabila melihat beberapa peraturan pelaksanannya dalam ketentuan
dalam PP nomor 40 tahun 1996 yang dapat diberikan hak diatas tanah HPL adalah HGB dan Hak
Pakai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa RUU Cipker ini justru ingin menguatkan hak pengelolaan
dalam ranah keperdataan. Permasalahan selanjutnya terdapat dalam ketentuan pasal 131 ayat 2 RUU
Cipker yaitu:
“Di atas Tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak
ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan/atau Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
Padahal seperti diketahui bersama bahwa subjek hukum yang dapat mempunyai HPL dalam
perundangan ditentukan adalah BUMN/BUMD, PT Persero, Badan-Badan Otoritas dan Instansi
Pemerintah termasuk Pemda. Pengelolaan atas tanah dalam HPL mengandung maksud bahwa,
menurut sifatnya merupakan pelimpahan sebagian dari hak menguasai Negara atas tanah yang
diberikan kepada badan-badan pemerintah/Pemerintah Daerah. Dengan kata lain HPL disini akan
menjadi asset untuk para pemegangnya agar tugas dan fungsi yang mereka jalankan dapat berjalan
dengan baik. Sekalipun dikerjasamakan dengan pihak ketiga, seperti HGB dan hak pakai, yang harus
dikonversi terlebih dahulu sesuai ketentuan pasal 2 Peraturan Menteri Agraria nomor 9 tahun 1965.
7
Dalam hal ini dapat disimpulkan hal-hal yang diatur dalam RUU Cipker diatas berpotensi menggeser
HPL yang sebagai aset instansi-instansi publik.
Permasalahan Hak Pengelolaan Selama 90 Tahun
Dalam RUU Cipker Pasal 127 ayat 3 disebutkan bahwa jangka waktu hak atas tanah berupa
Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bagunan (HGB), dan Hak Pakai diatas HPL diberikan selama
90 tahun sebagai suatu cara memikat hati investor, tetapi pemberian waktu pengelolaan selama 90
tahun atas hak pengolaan merupakan suatu pelanggaran terhadap konstitusi.11 Selain itu, hal tersebut
bertetangan juga dengan pengelolaan HGU dan HGB di dalam UUPA yang menyatakan bahwa HGU
hanya dapat diberikan paling lama 25 tahun kecuali untuk perusahaan yang membutuhkan waktu
lebih lama sehingga waktu yang diberikan paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25
tahun, sedangkan pengelolaan HGB diberikan paling lama 30 tahun dan dapat di perpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun.12
Memikat hati para investor dengan pemberian tambahan waktu HPL di dalam RUU Cipker
bukanlah yang pertama kalinya terjadi, tetapi ketentuan tersebut sudah pernah diatur di dalam Pasal
22 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal a quo mengatur perpanjangan hak
atas tanah di muka sekaligus dan pembaruan kembali untuk HGU paling lama 95 tahun, HGB paling
lama 80 Tahun, dan Hak Pakai paling lama 70 Tahun.13 Namun, ketentuan tersebut sepanjang
mengenai “di muka sekaligus” dan “sekaligus di muka” telah dicabut oleh Putusan MK pada tahun
2008 karena dinilai mengurangi prinsip hak menguasai negara sebagaimana dimaksud pada pasal 33
UUD 1945.14 Pasca putusan tersebut, ketentuan mengenai hak atas tanah dikembalikan pada UUPA.
Maka, munculah suatu pertanyaan apakah pemerintah memang sengaja untuk tidak menghormati
Putusan MK yang menilai penguasaan negara tidak dapat dikesampingkan dalam mendatangkan
investor ke Indonesia? Padahal perbedaan antara ketentuan di dalam UUPA dan RUU Cipker dapat
menimbulkan konflik antar norma hukum dan dapat dinilai gagal dalam mengiplemantasikan tujuan
11 Maria SW Sumardjono, RUU Cipta kerja dan pertanahan, opini kompas, 22 Februari 2020 12 Vide Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043). 13 Vide Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724) 14 Vide Putusan MK perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret 2008.
8
dari optimalisasi pengelolaan sumberdaya agraria dan sumber daya alam sebagaimana diatur di dalam
TAP MPR NOMOR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Permasalahan lain dari HPL selama 90 Tahun berkaitan dengan retribusi tanah yang semakin
lama, karena berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agaria
bahwa salah satu objek retribusi tanah adalah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta
tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun setelah haknya berakhir. Artinya pengelolaan tanah yang terlantar oleh pemerintah untuk di
retribusikan baru dapat dilakukan setelah 90 tahun ditambah penelantaran selama 1 tahun oleh
pemegang hak atas tanah. Kemudian, Pasal 30 RUU Cipker juga turut memperpanjang masalah
retribusi tanah karena pasal tersebut menghapus ketentuan Pasal 16 UU Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan terkait dengan kewajiban pengusahaan lahan oleh perusahaan dan redistribusi
tanah, artinya penghapusan pasal tersebut telah menghilangkan kewajiban perusahaan yang telah
memperoleh hak atas tanah untuk sesegera mungkin memanfaatkan tanah tersebut dan sekaligus
menghilangkan status tanah terlantar dari perkebunan agar dapat dimanafaatkan untuk kepentingan
lain, hal demikian dapat menyebabkan tanah tersebut tidak dapat di redistribusikan dan upaya
pemberian kesempatan pemanfaatan tanah semakin tidak adil.
9
Debirokratisasi di Sektor Lingkungan
yang Memperlebar Resiko Kerusakan Lingkungan
RUU Cipker memuat perubahan dan penghapusan terkait pasal-pasal yang meregulasi
pengelolaan lingkungan sebagai suatu hal yang menjadi tanggung jawab dalam menjalankan kegiatan
usaha atau kegiatan. Dalam menjalankan suatu usaha, tentulah akan menghasilkan limbah dari sisa-
sisa produksi. Limbah tersebut berpotensi mengganggu masyarakat dalam mendapati kehidupan yang
layak dari segi lingkungan hidup. Hak untuk mendapat lingkungan hidup yang layak diatur dalam
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”
Lebih lanjut lagi, Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjawab tantangan tersebut dengan meregulasi birokrasi yang
mampu melindungi hak setiap orang untuk mendapat lingkungan hidup yang layak.
Di lain sisi, UU PPLH dicoba untuk diubah pada beberapa pasalnya terkait birokrasi atau
prosedur yang ada dengan harapan akan memudahkan perizinan investor dalam berinvestasi. Tidak
bisa dipungkiri bahwa penderegulasian tersebut tentu akan membawa resiko pada pencemaran
lingkungan. RUU Cipker mencoba menyederhanakan segala perizinan yang ada dalam melaksanakan
kegiatan atau usaha yang mempunyai dampak pada lingkungan. Debirokratisasi ini sangatlah
dikhawatirkan menimbulkan banyaknya oknum yang menyepelekan atau bahkan mencurangi
beberapa prosedur yang ada seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), izin lingkungan,
dan UKL-UPL. Hal ini juga merupakan akibat perubahan sistematika pendekatan berbasis regulasi
(License Approach) menjadi pendekatan berbasis risiko (Risk-Based Approach) karena pendekatan
berbasis regulasi dipandang pemerintah membebani kegiatan usaha dan membuat proses bisnis
menjadi tidak efektif dan efisien.15
Terdapat pula perubahan pada pengenaan sanksi pada perusahaan yang awalnya sanksi pidana
dengan sifat primum remidium menjadi sanksi ‘administratif’ berupa denda yang apabila tidak dapat
dilaksanakan akan dikenai sanksi pidana berupa hukuman penjara. Hal-hal seperti inilah yang patut
15 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja.
10
kita kritisi bersama dalam pembuatan kajian ini. Salah satu perubahan yang signifikan terkait dengan
perubahan pendekatan a quo adalah dihapusnya izin lingkungan. Di dalam pasal 23 angka 1 terkait
perubahan pasal 1 angka 35 RUU Cipker disebutkan:
“Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan Uji
Kelayakan Lingkungan Hidup, sementara Pernyataan Kesanggupan Lingkungan Hidup dikeluarkan
oleh perusahaan terkait, yang mana nanti di dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan
hidup tadi, perusahaan dapat menyatakan sendiri pemenuhan standar UKL-UPL yang sudah
ditentukan pemerintah pengkategoriannya berdasarkan pendekatan berbasis risiko. Hal ini jelas-jelas
menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup. Terlebih di dalam pasal
23 angka 16 terkait perubahan pasal 37 RUU Cipker disebutkan bahwa izin usaha dapat dibatalkan
apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung
cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan
kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan
hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Lalu muncul pertanyaan kenapa pemerintah bisa melakukan hal seperti ini? Terasa sangat
janggal ketika suatu syarat perizinan bermasalah, izin tetap dikeluarkan tetapi bisa dicabut ketika
kesalahan-kesalahan tersebut “ditemukan” di masa depan. Pemerintah seolah-olah tidak berdaya
menghadapi para investor yang sudah secara terang-terangan mencengkram negeri ini dengan cakar
mereka. Keinginan pemerintah untuk bisa menjadi negara berdikari mungkin akan menjadi mimpi
utopis yang tidak akan pernah terwujud.
Terkait dengan Amdal, bisa kita perhatikan pada Pasal 1 angka 11 UU PPLH terkait ketentuan
umum yang berbunyi:
“11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal,
adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
11
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Pada pasal 23 angka 1 terkait perubahan pasal 1 angka 11 RUU Cipker diubah menjadi:
“11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal
adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Esensi dari suatu Amdal adalah menjadi instrumen kebijakan yang valid dalam meminimalisir
dampak kerusakan lingkungan yang ada karena pada dasarnya Amdal adalah kajian yang saintifik
dan berupa keharusan untuk mendapatkan izin lingkungan yang pada akhirnya mendapat izin
usaha. Namun, dalam RUU Cipker ini terdapat pereduksian pada Pasal 23 dari Amdal yang awalnya
merupakan suatu keperluan (wajib) lalu hanya menjadi bahan pertimbangan pengambilan
keputusan. Efek lebih lanjutnya ialah Amdal hanya dianggap sebagai pelengkap saja dalam
mendapatkan birokrasi berusaha. Dengan demikian, dampak lingkungan terkesan bukan menjadi
permasalahan utama dalam kegiatan berusaha yang perlu diperhatikan.
Permasalahan berikutnya terkait Amdal ialah ketidakjelasan kriteria Amdal yang dimuat pada
RUU Cipker. Pada pasal 23 ayat (1) UU PPLH, kriteria Amdal telah dirinci secara detail dan
komprehensif sehingga berbunyi:
“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan Amdal terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang
hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta
lingkungan sosial dan budaya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
e. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
f. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
g. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.”
12
Lalu diubah pada pasal 23 butir 3 RUU Cipker menjadi:
“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan
proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial,
ekonomi, dan budaya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
Bila kita bandingkan dengan UU PPLH, yang memiliki sembilan poin (seperti misal
pengubahan bentang alam, eksploitasi sumber daya alam, dll), pasal tersebut tentu
mensimplifikasikan kriteria tersebut dan mengerucutkan hanya menjadi empat bidang saja. Ketentuan
lebih lanjut mengenai kriteria tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Timbul
pertanyaan, apakah PP yang terdelegasi pada pasal tersebut akan mengubah kriteria lama? Jika iya,
akan seperti apa kriterianya? Jika tidak, mengapa perlu diatur lebih lanjut dengan PP?16 Penyusunan
Amdal diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi:
“(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.”
Namun, frasa ‘dengan melibatkan masyarkat’ dihapus pada RUU Cipker sehingga menjadi:
“(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh
pemrakarsa.”
Kita patut menyoroti hal ini karena pelibatan masyarakat jelas-jelas tidak diindahkan. Seharusnya
perhatian pada dampak lingkungan menjadi tanggungan bersama. Lingkungan hidup merupakan
kesaruan ruang Lebih lanjut lagi, ayat (2) pada Pasal yang sama dalam UU PPLH yang menyatakan
prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap yang awalnya berbunyi:
“(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi
yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.”
Diubah menjadi:
“(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang
terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”
16 I Gusti Agung Made Wardhana, Hasil wawancara Dema Justicia dengan dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana, pada 18 Februari 2020.
13
Partisipasi masyarakat diletakkan sebagai bagian dari hak atas lingkungan hidup dan
implikasinya adalah mengharuskan adanya jaminan-jaminan hukum dalam pelaksanaannya.17
Dengan menghilangkan ‘prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap’ dan
menambahkan frasa ‘yang terkena dampak langsung’, masyarakat yang dimaksud dalam pasal
tersebut terdiri dari: masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan yang
terpengaruh atas segala bentuk keputusan proses dalam Amdal. Dalam hal ini, RUU Cipker
melupakan esensi dari lingkungan hidup dimana di dalamnya komponen biotik dan abiotik
saling memengaruhi satu sama lain. Sudah seharusnya masyarakat, baik yang terkena dampaknya
secara langsung maupun tidak, dapat mengakses informasi secara transparan. Tentu saja hal ini untuk
bahan pengkajian yang akan dilakukan masyarakat sekitar maupun pemerhati dan pakar lingkungan
yang mana dapat menjadi kajian yang valid.
Dampak lingkungan bersifat transboundary yakni tidak mengenal batas yang bersifat
geografis namun ada juga masyarakat yang terkena dampak namun secara tak langsung.18 Seperti
misal turis yang datang ke suatu pasar ikan untuk membeli ikan dengan maksud untuk dikonsumsi
yangmana ikan tersebut diambil dari sungai yang tercemar.19 Amat disayangkan apabila yang
dilibatkan dalam penyusunan dokumen Amdal hanya masyarakat yang terkena dampak langsung saja.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagai pemerhati lingkungan, disini juga tidak
diindahkan. LSM secara historis lahir dari semangat reformasi untuk mewujudkan demokrasi dengan
memerjuangkan kepentingan dan hak-haknya.20 Masyarakat melalui LSM mampu mengkritisi
pemerintah dengan perspektifnya dan dengan memaparkan bagaimana sesuatu harus dilakukan secara
normatif demi tujuan yang baik. Untuk itu amat disayangkan apabila masyarakat yang menyusun
dokumen Amdal ini tidak semuanya dapat terlibat. Penilaian dokumen amdal telah diatur pada pasal
29 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi:
“(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”
17 Ashabul Kahpi, “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurisprudentie, Vol. 2, No. 2,
Desember, 2015. 18 Totok Dwi Diantoro, Kuliah perdana Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 13
Februari 2020. 19 , I Gusti Agung Made Wardhana, Op. cit, Hasil wawancara. 20 Wahyu Faturrahman R, et. al, “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah”, Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah, Vol. 5, No. 1, Juni,
2013.
14
Komisi ini terdiri dari banyak aspek tokoh seperti pakar, masyarakat, instansi lingkungan
hidup. Dengan demikian kelayakan dokumen Amdal secara saintifik dan sosiologis dapat
terkonfirmasi. Namun, lagi-lagi terkait hal-hal yang terkait validitas Amdal dideregulasi. Pasal
tersebut dihapus pada RUU Cipker. Amdal menjadi sekadar keperluan administratif saja bukan kajian
penyokong perusahaan dalam mendirikan usahanya.
Hukum lingkungan menurut Drupsteen dapat dipandang sebagai bidang hukum yang
fungsional.21 Instrumen peraturan hukum lingkungan dikatakan bersifat fungsional karena
didalamnya termuat unsur-unsur bidang hukum administrasi negara, pidana, serta perdata. Maka,
penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan ketentuan sanksi
dalam ketiga lapangan hukum diatas. Hal ini bertujuan untuk memberikan kekuatan memaksa bagi
para pelaku usaha untuk mengikuti segala peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Dari
segi hukum administrasi negara, penerapan hukumnya dapat melalui gugatan pada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang dapat diajukan oleh perorangan maupun badan hukum perdata terhadap kebijakan
administratif yang menyalahi peraturan mengenai lingkungan hidup, aspek pidana diterapkan melalui
instansi pemerintah, serta dalam aspek perdata dapat dilakukan pengajuan gugatan oleh masyarakat,
badan hukum perdata atau instansi pemerintah.22
Rezim hukum UU PPLH mengakomodir secara cukup komprehensif mengenai aspek
penegakan hukum ketiga bidang tersebut. Dari sisi pengawasan dan pengenaan sanksi administratif,
UU PPLH mengatur dalam bab XII mengenai Pengawasan dan Sanksi Administratif yang dimuat
sepanjang Pasal 71 sampai dengan Pasal 83.23 Ketentuan pengawasan yang dimuat dalam Pasal 71
hingga 74 melibatkan berbagai unsur, antara lain menteri, gubernur, bupati/walikota, serta dapat
dilibatkannya pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.24 Pengawasan
ini ditujukan kepada para penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan berkaitan dengan ketentuan Izin
Lingkungan yang mereka miliki. Menjadi menarik apabila kita membandingkan ketentuan
pengawasan ini dengan rumusan RUU Cipker, dimana terdapat perubahan atas Pasal 71 UU PPLH,
21 Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia: Edisi Kedua, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 199 22 Ibid. 23 Vide Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059). 24 Ibid.
15
serta terhadap Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 dinyatakan untuk dihapus. Pasal 71 UU PPLH
menyatakan :
“(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung
jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat
fungsional.”
Terdapat perubahan mengenai pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
kegiatan berusaha oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Apabila kita bandingkan dalam
ketentuan perubahan pasal a quo dalam RUU Cipker yang menyatakan :
“(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat menetapkan pejabat
pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan
Peraturan Pemerintah.”
Dapat dicermati bahwa kewenangan pengawasan yang diatur dalam RUU Cipker diamanatkan
kepada pemerintah pusat yang dapat menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Poin ini cukup
menarik, karena tidak salah apabila diistilahkan bahwa model pengawasan akan mengarah pada aspek
sentralisme pemerintah pusat. Selanjutnya, rezim hukum UU PPLH pada prinsipnya memberikan
ruang dilakukannya pengawasan secara “dua jalur”. Hal ini dapat ditinjau lebih lanjut dalam muatan
Pasal 72 undang-undang a quo yang menyatakan :
“Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
izin lingkungan.”
16
Selanjutnya Pasal 73 menyatakan :
“Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.”
Ketentuan diatas bermakna bahwa pada prinsipnya gubernur dan bupati/walikota berwenang
melakukan pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing.
Selanjutnya, apabila terdapat “pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan
hidup” maka menteri terkait, yakni Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan
oleh pemerintah daerah.25 Dalam RUU Cipker, sebagaimana telah dinyatakan diatas, Pasal 72 dan
73 dihapuskan. Maka, hal ini semakin menguatkan sentralisme pengawasan lingkungan hidup oleh
pemerintah pusat. Kiranya tidak salah apabila publik akan menyikapi secara skeptis konsep
pengawasan ini, mengingat pentingnya manajemen pengawasan yang perlu disusun oleh pemerintah
pusat secara komprehensif serta perlunya dukungan sumber daya yang dibutuhkan.
Pengutamaan Sanksi Administratif dibandingkan Sanksi Pidana
di dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup
Selanjutnya mengenai konsep sanksi administratif yang diterapkan dalam tata kelola
peraturan mengenai lingkungan hidup yang mendapatkan perubahan yang cukup mendasar dalam
RUU Cipker. Sanksi administratif sendiri dimaksudkan sebagai sarana penegakan hukum dengan
instrument penegakan melalui pejabat pemerintah yang berwenang menjatuhkan sanksi tanpa perlu
melalui proses pengadilan terhadap para penanggung jawab usaha/kegiatan yang memberi dampak
negatif terhadap ketentuan bidang hukum lingkungan administrasi.26 Konsep dari diadakannya sanksi
administratif dimaksudkan untuk memberikan tindakan pemerintah terhadap pelanggaran perundang-
undangan yang berlaku, dimana tindakan pemerintah ini memiliki sifat Reparatoir atau berusaha
mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.27 Dimensi hukum lingkungan administrasi juga
memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif terhadap kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau
25 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 216 26 Ibid 27 Syahrul Machmud, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia : Asas Subsidiaritas dan Asas Precautionary
Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Penerbit Mandar Maju, bandung, hlm 79
17
persyaratan pengelolaan lingkungan.28 Hal ini bermakna bahwa aspek pengawasan aparat pemerintah
yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan akan meminimalkan potensi kerusakan
lingkungan. Apabila suatu kegiatan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, maka aparat
pemerintah yang berwenang akan menjatuhkan suatu sanksi administratif kepada pelanggar. Pasal 76
UU PPLH menyatakan :
“(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.”
Materi muatan Pasal 76 UU PPLH diatas mengatur secara tegas mengenai apa saja bentuk
sanksi administratif yang dapat diterapkan oleh pemerintah, dalam hal ini maka pihak yang
berwenang sesuai ketentuan undang-undang a quo adalah menteri, gubernur, maupun bupati/walikota
ketika dalam menjalankan fungsi pengawasanannya menemui adanya penyimpangan terhadap
ketentuan pengelolaan lingkungan hidup oleh para pelaku usaha. Pun demikian pengenaan sanksi
adminstratif yang diatur dalam Pasal 76 UU PPLH juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Berita Negara Nomor
314 Tahun 2013). Sedangkan dalam perubahan Pasal 76 UU PPLH yang dimuat dalam RUU Cipker
menyatakan :
“(1) Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap
Persetujuan Lingkungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.”
Dapat kita cermati disini bahwa yang ditunjuk RUU Cipker sebagai pihak yang berwenang
menjatuhkan sanksi administratif adalah pemerintah pusat, berbeda dengan rumusan Pasal 76 ayat 1
UU PPLH diatas. Selebihnya, pengaturan lebih lanjut akan dimuat dalam Peraturan Pemerintah yang
diamanatkan untuk dibuat. Kembali dapat dilihat adanya corak sentralisasi pengawasan kegiatan
28 Takdi Rahmandi, Op cit, hlm 215
18
berusaha yang berkaitan dengan dampak lingkungan oleh pemerintah pusat. Hal inilah yang juga
menjadi prinsip utama diadakannya penyusunan Omnibus Law RUU Cipker, yakni pemangkasan
regulasi yang berbelit sehingga pemerintah pusat pun akan mengambil peran secara dominan.29
Mengenai konsep sanksi administratif yang diatur dalam RUU Cipker, terdapat rumusan Pasal 167
Ayat (4) dan (5) RUU Cipker yang menyatakan :
“(4) Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan
tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap
Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemilik Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya
dapat mengenai sanksi administratif kepada pemilik Perizinan Berusaha.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan berusaha;
c. pengenaan denda administratif;
d. pengenaan daya paksa polisional;
e. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau
f. pencabutan Perizinan Berusaha.”
Perlu menjadi perhatian bagi penyusunan sanksi administratif yang nantinya akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah agar pemberian sanksi administrasi tidak keluar dari prinsip dan tujuan
dasarnya yakni agar perbuatan yang melanggar ketentuan hukum dalam konteks pengelolaan dan
pemeliharaan lingkungan hidup dapat diatasi dan para pihak yang bertanggung jawab juga turut
mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya pelanggaran serta menerapkan sanksi
administratif sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.30
Penghapusan Ketentuan Pencabutan Izin Lingkungan
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Dapat kita cermati pula mengenai penghapusan Pasal 38 UU PPLH yang mengatur mengenai
pencabutan Izin Lingkungan melalui PTUN serta Pasal 93 UU PPLH yang mengatur tentang Gugatan
Administratif. Pasal 38 UU tersebut menyatakan:
“Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan
dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.”
29 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 180 30 Andi Hamzah, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta hlm. 82
19
Selanjutnya Pasal 93 menyatakan :
“(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara
apabila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-
UPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu
pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.”
Pasal ini dihapus dalam ketentuan RUU Cipker. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya
perubahan atas terminologi Izin Lingkungan dan perubahan mekanisme perizinan usaha yang
berkaitan dengan aspek lingkungan hidup dalam RUU Cipker.31 Terminologi Izin Lingkungan pun
dihapus dalam RUU Cipker. Sedangkan konsep Amdal serta dokumen UKL-UPL juga berubah.
Pencabutan Perizinan Berusaha diatur dalam perubahan Pasal 37 UU PPLH yang dimuat dalam RUU
Cipker, yang berbunyi:
“Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung
cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan
kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan
lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.”
31 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja
20
Penghapusan Prinsip Strict Liablity
Selanjutnya dapat dikritisi adanya perubahan terhadap ketentuan Pasal UU PPLH yang
mengatur mengenai prinsip atau asas “Strict Liability”. Apakah yang dimaksud dengan “Strict
Liability” tersebut?
Prinsip ini dikenal juga sebagai prinsip atau asas tanggung jawab mutlak32 atau dikenal juga
sebagai tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan.33 Asas ini dapat ditarik perspektif historis
penggunaannya sejak sekitar tahun 1686 dari sebuah kasus di Inggris yakni kasus Ryland vs.
Fletcher.34 Dalam perkembangannya asas ini diadopsi dalam berbagai peraturan perundang-undangan
nasional maupun konvensi-konvensi internasional. Asas ini merupakan suatu doktrin
pertanggungjawaban perdata di lingkungan hidup, dimana tanggung jawab muncul seketika tanpa
perlu didasarkan atau diadakan pembuktian atas kesalahan, atau liability without fault.35 Asas ini
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pemenuhan hukum dalam lapangan lingkungan hidup di
masyarakat, apabila terdapat kegiatan atau usaha yang berdampak besar serta mengandung risiko
signifikan. Dalam hal mengenai pencemaran dan atau perusakan lingkungan terkadang terdapat
kemungkinan adanya kondisi yang menyulitkan para pencari keadilan untuk mengemukakan secara
teknis tentang bukti-bukti pencemaran dan/atau perusakan tersebut. Dalam hal penerapan asas ini,
khususnya dalam lapangan hukum lingkungan, pada dasarnya pembuktian yang paling sulit adalah
bukan membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan dari pelaku, akan tetapi aspek kausalitas atau
hubungan sebab akibat yang berkaitan antara perbuatan pelaku usaha/kegiatan dengan kerugian yang
didapat penderita. Hal ini berkaitan dengan kompleksitas sifat zat-zat kimiawi dan reaksinya satu
sama lain maupun reaksinya dengan komponen abiotik dan biotik dalam suatu ekosistem yang
akhirnya berpengaruh pada kesehatan manusia.
Dalam rezim hukum postif mengenai lingkungan hidup di Indonesia, UU PPLH mengatur
mengenai Tanggung Jawab Mutlak pada Pasal 88 Paragraf 2 undang-undang a quo. Pasal 88 UU
PPLH tersebut menyatakan :
32 Takdir Rahmadi, Op.cit ̧hlm. 272. 33 Syachrul Machmud, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Asas Subsidiaritas dan Precautionary Principle
Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Penerbit Mandar Maju, Bandung hlm. 111 34 Ibid. 35 Ibid.
21
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Asas “Strict liability” dapat kita jumpai dalam rumusan frasa “...bertanggung jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” yang ada pada rumusan pasal
diatas. Sedangkan dapat kita cermati rumusan perubahan Pasal 88 UU PPLH dalam RUU Cipker
yang menyatakan :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Dihilangkannya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam rumusan diatas akan
menghilangkan prinsip “Strict liability” yang sebelumnya diatur dalam UU PPLH. Hal ini tentunya
berpotensi mempersempit peluang masyarakat pencari keadilan yang diduga terdampak pencemaran
lingkungan. Naskah Akademik RUU Cipker menegaskan bahwa pertanggungjawaban atas
pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus didasarkan pada pembuktian.36 Masih
mengenai pencemaran dan bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha/kegiatan, Pasal 168 RU Cipker
mencantumkan kewajiban pemilik Perizinan Berusaha yang memberi dampak kerusakan lingkungan
untuk memulihkan kerusakannya, dengan bunyi pasal secara lengkap :
“Setiap pemilik Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya
menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), pemilik Perizinan
Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya.”
Dengan adanya muatan pasal ini, memang secara normative terdapat instrument pemaksa bagi
pemilik Perizinan Berusaha untuk menjalankan tindakan pemulihan kerusakan lingkungan. Namun,
masyarakat dan pemerintah tentunya harus mampu mengawasai dan melaksanakan amanat pasal ini
secara komprehensif, sehingga pasal ini nantinya akan memiliki fungsi keberlakuan secara sosiologis.
36 Vide Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, hlm. 233
22
Pada prinsipnya, tahapan pembahasan RUU Cipker memerlukan adanya keterbukaan terhadap
akses informasi bagi masyarakat, sehingga segala aspirasi dan masukan dari multi unsur masyarakat
yang berkepentingan dengan adanya RUU ini dapat diserap dan diaplikasikan melalui produk hukum
tersebut. Beberapa catatan diatas muncul sebagai isu yang hangat diperbincangkan ditengah
masyarakat dan kiranya perlu untuk mendapat perhatian dari pemerintah demi terwujudnya suatu
produk hukum yang tidak meninggalkan sifat hukum yang merupakan suatu sistem yang terintegrasi
dan berlandaskan pada asas-asas hukum yang ada.
23
Referensi
A. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4724)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 5059).
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Berita Negara Nomor 314 Tahun 2013).
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
B. Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret 2008
C. Buku
Hamzah, Andi, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Limbong,Bernhard, 2013, Bank Tanah, Margaretha Putaka, Jakarta
Machmud, Syachrul, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Asas Subsidiaritas dan
Precautionary Principle Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.
Rahmadi,Takdir, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia: Edisi Kedua, Rajawali Pers, Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W., 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Impelementasi, Kompas,
Jakarta.
24
Sumardjono, Maria S.W., 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kompas,
Jakarta
D. Jurnal
Ranitya Ganindha, 2016, Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif
Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat untuk Kepentingan Umum, Jurnal Arena Hukum UB.
Ashabul Kahpi, “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurisprudentie,
Vol. 2, No. 2, Desember, 2015.
Wahyu Faturrahman R, et. al, “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah”, Jurnal Manajemen
Pembangunan Daerah, Vol. 5, No. 1, Juni, 2013.
E. Hasil Wawancara
I Gusti Agung Made Wardhana, Hasil wawancara Dema Justicia dengan dosen hukum lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana, pada 18 Februari
2020.
F. Perkuliahan
Diantoro, Totok Dwi, Kuliah perdana Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada pada 13 Februari 2020.
G. Berita
Maria SW Sumardjono, RUU Cipta Kerja dan Pertanahan, Opini Kompas 22 Februari 2020