+ All Categories
Home > Documents > KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

Date post: 18-Nov-2021
Category:
Upload: others
View: 13 times
Download: 2 times
Share this document with a friend
15
1 KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG DIBUAT UNTUK PENYELESAIAN UTANG PIUTANG OLEH PARA PIHAK (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1395 K/PDT/2017) Eviana Putri Anggraini Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email : [email protected] Suraji Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Pujiyono Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Abstract This paper discusses about position a Binding sale and Purchase Agreement which was created to settle a debt by the parties and to find out the legal consequences from The Binding sale and Purchase Agreement to settle a debt from Supreme Court Decision number 1395 K/Pdt/2017. The research method used is normative juridical which is a legal research literature conducted on secondary data. The results of this study, the Binding sale and Purchase Agreement has violated the rule of law and is one of form smuggling of law, so that position of The Binding sale and Purchase Agreement which was created to settle a debt do not have legal force and legal consequences from The Binding sale and Purchase Agreement to settle a debt from Supreme Court Decision number 1395 K/Pdt/2017 that is null and void or in this case can be interpreted that invalid and has no binding power for the partie. Keywords : Position, Binding sale and Purchase Agreement and legal consequences Abstrak Penulisan ini membahas mengenai kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang oleh para pihak dan untuk mengetahui akibat hukum dari dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk penyelesaian utang piutang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yang merupakan penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder. Sehingga hasil penelitian ini, PPJB tersebut telah menyalahi aturan hukum dan merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum sehingga kedudukan PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan akibat dari PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017 yaitu batal demi hukum atau dalam hal ini dapat dikatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Kata Kunci : Kedudukan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Akibat Hukum.
Transcript
Page 1: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

1

KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG

DIBUAT UNTUK PENYELESAIAN UTANG PIUTANG OLEH PARA PIHAK

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1395 K/PDT/2017)

Eviana Putri Anggraini

Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email : [email protected]

Suraji

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: [email protected]

Pujiyono

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: [email protected]

Abstract

This paper discusses about position a Binding sale and Purchase Agreement which was created

to settle a debt by the parties and to find out the legal consequences from The Binding sale and

Purchase Agreement to settle a debt from Supreme Court Decision number 1395 K/Pdt/2017.

The research method used is normative juridical which is a legal research literature conducted

on secondary data. The results of this study, the Binding sale and Purchase Agreement has

violated the rule of law and is one of form smuggling of law, so that position of The Binding

sale and Purchase Agreement which was created to settle a debt do not have legal force and

legal consequences from The Binding sale and Purchase Agreement to settle a debt from

Supreme Court Decision number 1395 K/Pdt/2017 that is null and void or in this case can be

interpreted that invalid and has no binding power for the partie.

Keywords : Position, Binding sale and Purchase Agreement and legal consequences

Abstrak

Penulisan ini membahas mengenai kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang

dibuat untuk penyelesaian utang piutang oleh para pihak dan untuk mengetahui akibat hukum

dari dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk penyelesaian utang piutang dalam Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis

normatif, yang merupakan penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan terhadap data yang

bersifat sekunder. Sehingga hasil penelitian ini, PPJB tersebut telah menyalahi aturan hukum

dan merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum sehingga kedudukan PPJB yang dibuat

untuk penyelesaian utang piutang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan akibat dari

PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

1395 K/Pdt/2017 yaitu batal demi hukum atau dalam hal ini dapat dikatakan tidak sah dan tidak

memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak.

Kata Kunci : Kedudukan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Akibat Hukum.

Page 2: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

2

A. Pendahuluan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan yang

dibuat oleh para pihak dalam hal ini penjual dan pembeli dalam hal peralihan hak atas

tanah yang belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPJB

merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas dasar kesepakatan, dalam rangka mengatur

kepentingan para pihak. PPJB sebenarnya belum diatur dalam perundang-undangan yang

dan dalam praktik PPJB dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah tangan. Notaris

dalam membuat akta PPJB, bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN) yang memberikan

kewenangan kepada notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.1

Keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN harus dipahami sedemikian adanya

sebagai dasar bagi notaris untuk membuat akta PPJB dan secara normatif diterima

sedemikian rupa sebagai norma yang berlaku sebagai hukum positif. Prinsip yang

terpenting dalam PPJB tersebut adalah perjanjian tersebut berisi klausula-klausula yang

sesuai dengan kepentingan dan kesepakatan para pihak, serta hak-hak dan kewajiban

(prestasi) yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh penjual dan pembeli.

PPJB adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum

dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual

beli tersebut. Dalam hal PPJB hak atas tanah permasalahan yang mungkin akan muncul

akibat belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli antara lain adalah sertifikat tanah yang

belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadi pelunasan harga atau pajak-pajak

yang dikenakan terhadap jual beli tanah tersebut yang belum dapat dibayar baik oleh

penjual atau pembeli. Pada PPJB tersebut para pihak yang akan melakukan jual beli sudah

terikat serta sudah mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi perjanjian sebagaimana

yang di sepakati dalam PPJB.2

Dalam perkembangannya, pembuatan PPJB tidak hanya karena dilatar belakangi

akibat belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli, tetapi PPJB tersebut dibuat

dilatarbelakangi adanya perjanjian utang piutang. Utang piutang seringkali terjadi di

masyarakat terutama utang piutang antara perseorangan, seseorang meminjam uang dengan

jaminan barang yang dimiliki oleh pihak yang berhutang dan juga jaminan hak atas tanah.

Pada umumnya seorang kreditur dan debitur membuat Akta Pengakuan Hutang

dengan jaminan hak atas tanah dan dibuatkan pula Akta Pemberian Hak Tanggungan yang

apabila sewaktu-waktu debitur ingkar janji (wanprestasi) maka akan ditempuh melalui

proses lelang, akan tetapi masih banyak terjadi penyimpangan proses hukum di mana

kreditur dan debitur tadi membuat perbuatan hukum lain, yakni PPJB yang disertai dengan

kuasa menjual. PPJB tersebut diikuti pembuatan akta kuasa menjual yang seolah-seolah

telah terjadi kesepakatan jual beli hak atas tanah antara pihak penjual dan pembeli yang

sebenarnya untuk penyelesaian utang piutang bukan karena adanya peralihan hak jual beli

atas tanah.

1 Ghani Rachman Wibowo, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang

Sebenarnya Adalah Perjanjian Utang Piutang Oleh Para Pihak, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,

Tesis, 2018. 2 Retno Puspo Dewi, Pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Akibat Wanprestasi (Studi

Putusan Nomor : 200/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel), Jurnal Repertorium Volume IV No. 2, 2017, hlm. 143

Page 3: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

3

Seperti dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017 dengan

menekankan pada alasan pengambilan keputusan yang menyebabkan pembatalan Akta

Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Jual Beli Tanah dengan kasus sebagai berikut : Para

Penggugat (suami istri ) dan Tergugat I mulanya mempunyai Hubungan hukum yaitu utang

piutang pada tahun 2006 sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dengan batas

waktu pinjaman 2 bulan. Kemudian para pihak membuat akta dihadapan Notaris Marina

Soewana, S.H (Tergugat II) yaitu Akta Pengakuan Hutang Nomor 02 tertanggal 03

Oktober 2006 dan melegalisasi Surat Pernyataan Barang Jaminan Nomor 68/L/2006 yang

dibuat di bawah tangan pada tanggal 03 Oktober 2006. Barang jaminan yaitu 4 buah

perhiasan milik Para Penggugat senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kemudian Tergugat II atas keinginan Tergugat I membuat Akta Pengikatan Jual

Beli pada tanggal 03 Oktober 2006, yang dalam akta tersebut dan akta pengakuan hutang

terdapat klausula kuasa jual dengan objek diluar jaminan hutang yaitu Sertifikat Hak Guna

Bangunan Nomor 621/ Petukangan Utara setempat dikenal sebagai PT. Alfa Goldland

Realty Blok K.6 Kaveling Nomor 29, seluas 312 m² (tiga ratus dua belas meter persegi)

menurut gambar situasi tertanggal 1 April 1992 Nomor 14/1992, dan Sertipikat tersebut

dikeluarkan oleh lnstansi yang berwenang di Kotamadya Jakarta Selatan tertanggai 1

Oktober 1992, terdaftar atas nama Maria Fransiska Kartika/Penggugat II.

Karena krisis keuangan para penggugat belum bisa melunasi hutangnya, tetapi Para

Penggugat telah berusaha untuk mengangsur hutangnya sehingga dalam kurun waktu

hingga tahun 2007 Para Penggugat telah membayar hutangnya kepada Tergugat I sebesar

Rp393.750.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh tiga juta tujuh ratus lima puluh juta

rupiah) namun karena masih belum lunas pula hingga pertengahan tahun 2008, kemudian

Penggugat diminta kembali untuk menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

pada tanggal 11 Juli 2008 yang didalamnya terdapat klausula kuasa jual dihadapan Notaris

Marina Soewana, S.H (Tergugat II) atas Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 621/

Petukangan seluas 312 m² dengan memberi harga pasaran senilai Rp. 950.000.000,00

dibawah harga nilai jual, dengan janji bahwa kalau hutangnya telah lunas maka objek

gugatan akan dikembalikan kepada Para Penggugat dimana perjanjian tersebut hanyalah

akan dijadikan pegangan Tergugat I saja.

Berdasarkan PPJB tersebut oleh Tergugat I digunakan untuk membuat Akta Jual

Beli Tanah (AJB) Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 yang dibuat dihadapan Ny

Sastriany Josoprawiro, SH., Notaris/PPAT di Jakarta Selatan (Tergugat III), dan kemudian

ditingkatkan menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 3770 Petukangan Utara, atas

nama Lisa Juliana Tanjung (Tergugat I). Bahwa diketahui sebelumnya hubungan hukum

antara para Penggugat dengan Tergugat I adalah utang piutang bukan jual beli objek

gugatan, yang seolah-olah menjadikan tanah dan bangunan milik Para Penggugat beralih

kepada Tergugat I.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang akan dituangkan dalam tulisan yang berjudul : Kedudukan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk Penyelesaian Utang Piutang Oleh

Para Pihak. Berdasarkan judul tersebut maka penulis membahasa dua rumusan masalah

yaitu : Bagaimana kedudukan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang di buat untuk

penyelesaian utang piutang oleh para pihak? dan Apa akibat hukum dari dibuatnya

Perjajian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut untuk penyelesain utang piutang oleh para

pihak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017?

Page 4: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

4

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian doktrinal atau dikenal juga sebagai penelitian

hukum normatif. Penelitian dengan metode hukum normatif disebut juga dengan penelitian

hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut

penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada

peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan penelitian

perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan

terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.3

Penelitian ini menggunakan Data Sekunder yang berupa bahan-bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritotif, artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.4 Dalam penelitian ini bahan hukum primer, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

e. Yurisprudensi

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang digunakan sebagai penjelas dari bahan hukum primer, yang terdiri atas

hasil karya ilmiah sarjana dan hasil penelitian yang terkait dengan objek penelitian.

Penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal

hukum dan artikel serta literatur lainnya yang relevan dengan penelitian ini. Dalam

penelitian ini bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal ilmiah, maupun

makalah yang berkaitan dengan perjanjian, hubungan hukum utang piutang, dan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Pada penulisan ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Dimana penelitian

deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,

gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau

untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat.5 Maka penulis akan memberikan gambaran mengenai keadaan hubungan

hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan perjanjian utang piutang dan

akibat dari PPJB tersebut dalam penyelesaian utang piutang.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk

Penyelesaian Utang Piutang Oleh Para Pihak

3 Suratman & H.Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta, 2013, hlm. 51 4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 181 5 Amirudiin & H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,

2004, hlm. 25

Page 5: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

5

a. Perjanjian Pengikatan Jual beli (PPJB) Sebagai Perjanjian Pendahuluan

Dalam Peralihan Hak Atas Tanah

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah satu perjanjian yang dibuat

oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah atau bangunan sebagai pengikatan

awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPJB dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat

atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh para pihak

sebelum AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan

dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah atau bangunan dari

penjual kepada pembeli.

Lahirnya PPJB sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa

persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli

hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual

beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang

undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang

akan melakukan jual beli hak atas tanah.

Bahwa PPJB merupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli

sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus

dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertipikat hak atas tanah belum

ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-

pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik

oleh penjual atau pembeli. 6

Pembuatan Akta PPJB dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah

tangan. Dalam hal pembuatan PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta

autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata bahwa suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang

ditetapkan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Notaris merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan membuat akta

autentik berdasarkan Undang-Undang. Kewenangan Notaris ini sesuai dengan

ketentuan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan :

“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta

otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan

grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu

tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

ditetapkan oleh undang-undang”.

Para pihak dalam membuat PPJB dengan didasarkan pada kesepakatan

yang dituangkan dalam perjanjian dengan melihat ketentuan dalam Pasal 1320

Kitab Undang-undang Hukum tentang syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan

empat syarat yaitu :

6 Retno Puspo Dewi,Op.Cit, 143

Page 6: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

6

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3) Suatu hal tertentu, dan

4) Suatu sebab yang halal

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para

pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuian kemauan atau

saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak

dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat

dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.7 Syarat yang pertama

dimaksudkan bahwa di antara pihak-pihak harus ada kemauan yang bebas untuk

saling mengadakan suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada, apabila suatu

sepakat itu diberikan atau terjadi karena adanya kekhilafan, penipuan atau paksaan

(Pasal 1321 KUH Perdata).

Syarat yang kedua ialah adanya kecakapan dari para pihak untuk saling

membuat suatu perikatan. Sehubungan dengan hal tersebut oleh Pasal 1329

KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat

perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.

Dengan demikian oleh undang-undang ditentukan adanya golongan-golongan

orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, seperti itu ditentukan dalam

Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: mereka itu ialah orang-orang

yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

Syarat ketiga adalah perjanjian itu harus mengenai sesuatu hal yang

tertentu, dalam hal ini yang dimaksudkan ialah mengenai obyek dari perjanjian

atau pokok perjanjian. Berdasarkan Pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus

mempunyai pokok suatu barang yang sedikit sudah ditentukan. Dan tidaklah

menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan/tertentu, asal saja jumlah

itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Kemudian Syarat yang keempat ialah

mengenai causa yang dihalalkan, yang dimaksud dengan causa itu ialah isi dan

tujuan daripada perjajian itu sendiri. Yang dimaksud dengan causa yang tidak

dihalalkan ialah causa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau

ketertiban umum.8 Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif,

karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan

itu.9

Kedudukan PPJB sendiri dalam hukum perjanjian merupakan suatu

perjanjian yang lahir karena adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan

berkontrak berkaitan erat dengan asas konsensualisme atau sepakat antara para

pihak yang membuat perjanjian. Tanpa adanya sepakat dari salah satu pihak yang

membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat adalah tidak sah. Sebaliknya,

7 H. Ridwan Syahrani, S.H, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 2006, hlm.

205 8 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta:Liberty,

1984, hlm. 33-34 9 R Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta:Intermasa, 2005, hlm. 17

Page 7: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

7

apabila suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan, kecakapan, memenuhi objek

tertentu serta klausul yang halal maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para

pihak. Oleh karena itu, PPJB berkedudukan sebagai salah satu jenis perjanjian yang

obligatoir dan konsensuil yang tunduk pada ketentuan Pasal 1320, Pasal 1457, serta

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.10 Berdasarkan asas kebebesan

berkontrak para pihak dapat membuat suatu perjanjian berisi apa saja dan

berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan

ketertiban umum dan kesusilaan.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan

yang dibuat oleh para pihak dalam peralihan hak atas tanah yang belum dapat

dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Masyarakat dapat

memilih untuk mengadakan perjanjian pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat

para pihak, dimana perjanjian pendahuluan itu akan berisikan bahwa pihak penjual

dan pihak pembeli berjanji bahwa pada saat segala persyaratan yang menyangkut

pelaksanaan jual beli tersebut telah terpenuhi secara sepenuhnya, para pihak akan

melakukan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

berwenang.

b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat Berdasarkan Hubungan

Hukum Utang Piutang

Perjanjian utang piutang tidak hanya dapat dilakukan dengan lembaga

perbankan saja melainkan dapat pula dilakukan dengan siapa saja yang mempunyai

kemampuan untuk itu, melalui perjanjian utang piutang antara pemberi pinjaman di

satu pihak dan penerima pinjaman di lain pihak. Selanjutnya dalam kegiatan pinjam

meminjam uang yang terjadi dalam masyarakat dapat diperhatikan bahwa pada

umumnya sering dipersyaratkan adanya jaminan utang oleh pihak pemberi

pinjaman kepada pihak penerima pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang

(benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji

penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan

memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.11

Jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor atas

pembayaran utang-piutang yang telah diberikannya kepada debitor, dimana hal ini

terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir

tehadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.12

Para pihak yang terkait dalam utang piutang, baik kreditor, debitor, atau pihak lain

harus mendapat perlindungan melalui lembaga jaminan yang bisa memberi

kepastian hukum bagi semua pihak. Lembaga jaminan merupakan kebutuhan bagi

kreditor untuk memperkecil resiko dalam menyalurkan kredit.

Dalam prakteknya perjanjian dituangkan dalam perjanjian jaminan secara

umum yang tunduk kepada Pasal 1131 KUH Perdata, isinya; "Segala barang-barang

bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan

10 R.Subekti & R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Agraria dan

Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:PT. Pradnya Paramita, 2001, hlm. 128. 11 Astrian Endah Pratiwi, Perjanjian Utang Piutang Dengan Jaminan Penguasaah Tanah Pertanian Oleh

Para Pihak Berpiutang, Privat Law Vol. No. 2 Juli-Desember 2017, hlm.94 12 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang¸ Jakarta:Erlangga, 2013, hlm. 8

Page 8: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

8

ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu". Barang-

barang objek jaminan adalah barang yang dapat dinilai dan dapat diperdagangkan.

Sistem jaminan kebendaan yang tunduk pada Pasal 1131 KUHPerdata

tersebut diistilahkan dengan Jaminan Umum. Sementara itu ada jaminan khusus

yakni penjaminan yang diatur di dalam undang-undang khusus seperti fidusia dan

hak tanggungan yang bersifat eksekutorial.

Jaminan yang paling diterima oleh kreditor adalah berupa tanah, karena

tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak akan mengalami penurunan

nilainya. Fungsi tanah sebagai jaminan suatu utang atau agunan kredit,

keberadaannya diatur salah satunya dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Atas Tanah (selanjutnya disebut UUHT). UUHT menjadi dasar

hukum mengenai apa saja yang dapat dijadikan jaminan sesuatu utang, kedudukan

obyek jaminan terhadap utang, siapa yang dapat memberi dan menerima suatu

jaminan serta bagaimana penyerahan dan penerimaan jaminan sesuatu utang.13

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap

kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Maksud dari kreditor diutamakan dari

kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak

tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk

pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi

pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya.14 Dengan demikian

maka hak tanggungan merupakan suatu lembaga hak jaminan atas tanah guna

pelunasan suatu utang piutang yang diperjanjikan, bukan dengan membuat

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah guna pelunasan utang piutang.

Terkait mengenai Perjajian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai

penyelesaian utang piutang antara para pihak, berdasarkan kasus dalam putusan

Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017 diketahui bahwa Para Penggugat

(suami istri ) dan Tergugat I mulanya mempunyai hubungan hukum yaitu utang

piutang dengan dibuatnya Akta Pengakuan Hutang di hadapan Notaris (Tergugat II)

dan membuat Surat Pernyataan Jaminan dibawah tangan dan dilegalisasi oleh

Tergugat II berupa jaminan perhiasan. Tidak hanya itu pada tanggal yang sama

seperti perbuatan hukum diatas yaitu tanggal 03 Oktober 2006 dibuatlah Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB). Dalam Akta Pengakuan Hutang dan PPJB tersebut

terdapat klausul kuasa jual dengan objek diluar jaminan hutang yaitu Sertifikat Hak

Guna Bangunan (HGB) dengan atas nama Penggugat I. Seiring berjalannya waktu

13 Annisa Ridha Watikno, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Hak Atas Tanah

yang Belum Terdaftar Akibat Debitor Wanprestasi, Repertorium:Jurnal Hukum Vol.6, 2019, hlm. 4. 14 Nurjannah, Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah (Tinjauan

Filosofis), Jurnal: Jurisprudentie, Volume 5 Nomor 1, Juni 2018, hlm.199

Page 9: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

9

karena krisis keuangan, penggugat belum sepenuhnya melunasi hutangnya sampai

batas waktu perjanjian utang piutang dan memohon kebijakan dari Tergugat I.

Kemudian dari Tergugat I meminta kembali Penggugat I untuk menandatangani

PPJB pada tanggal 11 Juli 2008 yang didalamnya terdapat klausul kuasa jual yang

dibuat dihadapan Tergugat II.

Berdasarkan PPJB tersebut oleh Tergugat I digunakan untuk membuat Akta

Jual Beli Tanah pada tanggal 20 Agustus 2008, dengan Tergugat I bertindak baik

sebagai penjual (pihak pertama) atas dasar kuasa menjual dari Penggugat I dan

sekaligus bertindak selaku pembeli (pihak kedua) yang dibuat dihadapan Notaris

lain (Tergugat III). Akhirnya terbitlah Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas

nama Tergugat I dan kemudian ditingkatkan menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM).

PPJB yang diikuti dengan kuasa menjual yang seolah-seolah telah terjadi

kesepakatan jual beli hak atas tanah antara pihak penjual dan pembeli yang

sebenarnya untuk penyelesaian utang piutang bukan karena adanya peralihan hak

jual beli atas tanah tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum. Perjanjian

Pengikatan Jual Beli dan kuasa menjual tidak boleh menjadi motif sebagai cara

pembayaran utang piutang.

Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam kasus tersebut

bahwa PPJB yang dibuat secara notarill memuat sebab yang palsu yang dimana

bukan karena peralihan jual beli tanah melainkan untuk pelunasan hutang piutang

yang dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata maka

tidak memenuhi syarat subjektif dan unsur objektif. PPJB tersebut dibuat oleh para

pihak atas kehendak yang tidak bebas karena adanya penyalahgunaa keadaan

dimana salah satu pihak sedang terpuruk keadaan ekonominya yang mengandung

unsur suatu kekhilafan, penipuan atau paksaan. Berdasarkan Pasal 1335

KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat

karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Hal ini

mengatur suatu perjanjian tanpa sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu

sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Perjanjian tersebut dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk

keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian, Dapat

dikatakan adanya unsure penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan Keadaan

merupakan salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan

ekonomi (eenmisch verwicht) pada salah satu pihak yang mengganggu

keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga tidak ada kehendak yang bebas

untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu

perjanjian.15

Dengan demikian terkait Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk

penyelesaian utang piutang telah menyalahi aturan hukum yang mengandung

sesuatu sebab yang palsu dan terlarang dan merupakan salah satu bentuk

penyelundupan hukum seolah olah terjadi peralihan berupa jual beli dengan

melakukan pelanggaran hukum dengan membuat dokumen berupa akta Pengikatan

15 H.P Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden),

Yogyakarta:Liberty, 2010, hlm. 101

Page 10: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

10

Perjanjian Jual beli yang dibuat secara notariil sehingga kedudukan Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang tersebut

tidak mempunyai kekuatan hukum.

2. Akibat Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk

Penyelesaian Utang Piutang Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395

K/Pdt/2017

Kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017, sebelumnya

telah dijatuhkan putusan dalam Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan

Tinggi DKI Jakarta. Dalam putusan perkara Nomor 214/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Sel telah

dibatalkan dengan Putusan Tinggi DKI Jakarta Putusan Nomor 143/PDT/2016/PT.DKI

dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Banding sebagai berikut :

Dalam Pokok Perkara :

Bahwa mengenai pertimbangan hukum dan kesimpulan Majelis Hakim Tingkat

Pertama Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat

dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut :

a. bahwa yang menjadi pokok sengketa antara Para Pembanding semula Para

Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi dengan Para Terbanding semula

Para Tergugat Konpensi adalah hubungan hutang-piutang pada Tahun 2006

berdasarkan Akta Pengakuan Hutang Nomor 02 tertanggal 3 Oktober 2006 di

hadapan Notaris Marina Soemana, S.H., Para Pembanding semula Para Penggugat

Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi berhutang kepada Terbanding I semula

Tergugat I Konpensi/Penggugat Rekonpensi uang sejumlah Rp2.000.000.000,00

(dua milyar rupiah) dengan jaminan 4 (empat) buah perhiasan dengan total nilai

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan tanah berikut bangunan yang terletak

di Taman Alfa Goldland Realty Blok K.6 Kavling Nomor 29 seluas 312 meter

persegi. Dengan Batas Waktu Pinjaman selama 2 (dua) bulan.

b. Bahwa sampai dengan bulan Juli 2008, ternyata Para Pembanding semula Para

Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi belum melunasi hutangnya kepada

Terbanding I semula Tergugat I Konpensi/ Penggugat Rekonpensi; Bahwa Para

Pembanding semula Para Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi tidak

dapat membayar hutang tersebut karena sangat terpuruk kehidupan ekonominya.

c. Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 45 tanggal 11 Juli 2008 yang dibuat di hadapan

Notaris Marina Soewana, S.H. Dalam akta memuat klausal tentang “kuasa” pada

pasal 3 dimana Pihak Pertama memberi kuasa kepada Pihak Keduaatau

orang/badan lain yang ditunjuk oleh Pihak Kedua untuk melaksanakan jual-beli

tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, apabila oleh

sebab apapun Pihak Pertama berhalangan untuk melakukan jual-beli, maka Pihak

Kedua berhak melaksanakan sendiri jual-beli atas tanah tersebut tanpa perlu

hadirnya Pihak Pertama;

Adanya kuasa mutlak yang dilarang di dalam Intruksi Menteri Dalam Negeri

Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat Kuasa Mutlak. Yang

dipergunakan oleh pihak Terbanding I semula Tergugat I Konpensi/Penggugat

Rekonpensi untuk melaksanakan jual-beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus

2008 yang dibuat di hadapan Notaris Marina Soewana, S.H.,

Page 11: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

11

d. Para Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekopensi telah berhasil mempertahankan

dalili gugatannya dan Para Terbanding semula Para Tergugat Konpensi telah

terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van

Onstandigheden)

Bahwa hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung

Republik Indonesia. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

3666 K/PDT/ 1992 tanggal 26 Oktober 1994, menyatakan “Keadaan Tergugat yang

dalam keadaan kesulitan ekonomi digunakan Penggugat agar melakukan tindakan

hukum yang merugikan Tergugat atau menguntungkan Penggugat, Penggugat

melakukan perbuatan penyalah gunaan keadaan (Misbruik Van Onstandigheden)

dan tindakan hukum yang dilakukan Penggugat dinyatakan batal”. Yurisprudensi

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 275 K/PDT/ 2004 tanggal 29

Agustus 2005, menyatakan “Jual-beli yang semula didasari utang-piutang adalah

perjanjian semu, di mana pihak penjual dalam posisi lemah dan terdesak sehingga

mengandung penyalahgunaan ekonomi”.

Dari pertimbangan dan alasan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut diatas bahwa

dalam hal mengenai Pengikatan Jual Beli (PPJB) dibuat sebagai penyelesaian utang

piutang antara para pihak bukan karena akan melakukan jual beli tanah dihadapan

Pejabat Pembuat Tanah (PPAT) , berdasarkan Yurisprudensi Putusan MARI 3247

K/Pdt/1987 menyatakan Perjanjian Jual Beli dengan tekanan utang-piutang merupakan

penyalahgunaan keadaan batal demi hukum.16 Dan berdasarkan Yuriprudensi MARI

3666 K/Pdt/1997 tanggat 26 Oktober 1994 yang berbunyi sebagai berikut: "Keadaan

Tergugat yang dalam keadaan kesulitan ekonomi digunakan Penggugat agar melakukan

tindakan hukum yang merugikan Tergugat dan menguntungkan Penggugat, Penggugat

melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (Misbruik van omstandigheden) dan

tindakan hukum yang dilakukan Tergugat dinyatakan batal".

Mengenai adanya perbuatan Penyalahgunaan keadaan (misbruik van

omstandigheden) yang dilakukan oleh Tergugat, hal ini terjadi manakala seseorang di

dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk

melakukan penilaian (judgement) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak

dapat mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan karena

salah satu pihak dalam perjanjian memiliki kedudukan lebih tinggi, sedangkan pihak

yang lain mempunyai kedudukan yang lebih rendah. Pihak yang memiliki kedudukan

lebih tinggi itu mengambil keuntungan secara tidak pantas dari pihak lainnya yang

lebih rendah. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang

demikian lebih mengarah kepada penyalahgunaan dalam hal keunggulan ekonomis

maupun kejiwaan.17 Maka dari itu penggugat yang dalam keadaan lemah ekonominya

dan tidak dapat melunasi hutangnya dengan tepat waktu maka tidak dapat melakukan

penilaian mengenai akibat dibuatnya PPJB atas hak tanah miliknya sehingga Penggugat

16 Dr. Agung Iriantoro, S.H.,M.H, “Pengikatan Jual Beli dan Permasalahan Hukum”, Makalah Seminar

problematika Hukum Akta-Akta Notaris Serta Implementasi GRIPS Dalam Tugas dan Fungsi Notaris,

Surakarta, 16 Februari 2019, hlm. 17 17 Dwi Fidhayanti, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) Sebagai Larangan Dalam

Perjanjian Syariah. Jurisdictie: Jurnal hukum dan Syariah Vol. 9 No. 2, 2018, hlm. 167.

Page 12: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

12

tidak bisa mengambil keputusan secara mandiri dan mengikuti apa yang diinginkan

Tergugat atas hak tanah miliknya.

Terkait PPJB yang dibuat tersebut tidak terpenuhinya syarat subjektif dan syarat

objektif dari syarat sahnya perjanjian. Perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak atas

kehendak yang tidak bebas yang dapat mengandung unsur-unsur kekhilafan, penipuan

atau paksaan karena adanya salah satu pihak terpuruk keadaan ekonominya dan

perjanjian tersebut telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang yaitu

didasarkan atas utang piutang bukan karena jual beli tanah. Maka dengan demikian

perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu

perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal.18

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Kasasi dalam putusannya

tanggal 19 Oktober 2017 Nomor 1395 K/Pdt/2017 menilai pertimbangan hukum

putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 143/PDT/2016/PT.DKI tanggal 9 Mei

2016 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

214/Pdt.G/2014/PN.Jkt tanggal 9 Februari 2015 yang mengabulkan permohonan

banding dari para pembanding semula para penggugat Konpensi/Para Tergugat

Rekonpensi tersebut sudah tepat dan benar. Mahkamah Agung tidak dapat

membenarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat

I/Terbanding I karena putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak

bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, dengan pertimbangan sebagai

berikut :

a. Bahwa Surat Kuasa Mutlak yang digunakan oleh Tergugat I untuk melaksanakan

jual beli sebagaimana Akta Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008

adalah bentuk Surat Kuasa yang dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam

Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat SuratKuasa Mutlak;

b. Bahwa Akta Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 dipergunakan

oleh Tergugat I untuk mengurus balik nama (peralihan hak) dari Hak Guna

Bangunan Nomor 621/Petukangan Utara atas nama Maria Fransiska Kartika

tanggal 1 Oktober 1992 menjadi Hak Milik Nomor 3770/Petukangan Utara atas

nama Nyonya Lisa Julianda Tanjung tanggal 7 Oktober 2008;

c. Bahwa dengan demikian Tergugat telah melakukan perbuatan penyalahgunaan

keadaan sehingga Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 45 tanggal 11 Juli 2008 dan

Akta pengikatan Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 harus

dinyatakan batal demi hukum;

Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) meskipun dilakukan secara

notariil tetaplah tidak sah sebab dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk

keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian dan dasar dari

PPJB bukanlah Peralihan Hak Jual Beli melainkan utang piutang. Akibatnya Akta

Pengikatan Jual Beli Nomor 45 tanggal 11 Juli 2008 yang memuat Surat Kuasa Mutlak

yang merupakan bentuk Surat Kuasa yang dilarang berdasarkan Instruksi Menteri

Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat Surat Kuasa Mutlak

yang digunakan oleh Tergugat I untuk melaksanakan jual beli sebagaimana Akta Jual

Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 harus dinyatakan batal demi hukum

18 R.Subekti, R Tjitrosudibio, Op.Cit, hal. 20

Page 13: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

13

yang berdampak pada Akta Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008

dipergunakan oleh Tergugat I untuk mengurus balik nama (peralihan hak) dari Hak

Guna Bangunan Nomor 621/Petukangan Utara atas nama Maria Fransiska Kartika

tanggal 1 Oktober 1992 menjadi Hak Milik Nomor 3770/Petukangan Utara atas nama

Nyonya Lisa Julianda Tanjung tanggal 7 Oktober 2008 dinyatakan batal demi hukum.

Maka dengan demikian, menurut penulis putusan Mahkamah Agung tersebut

sudah tepat dengan melihat akibat hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang telah dinyatakan batal demi hukum,

artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan. Berdasarkan asas kebebesan berkontrak para pihak dapat membuat suatu

perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar peraturan

perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan, tetapi dalam hal ini perjanjian

tersebut memuat penyimpangan hukum dimana Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

dan kuasa menjual tidak boleh menjadi motif sebagai cara pembayaran utang piutang.

Sehingga tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, dan adanya unsur

penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

D. Penutup

Kesimpulan

1. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian

pendahuluan yang dibuat oleh para pihak dalam peralihan hak atas tanah yang

belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tetapi

dalam PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang telah menyalahi aturan

hukum. Perjanjian tersebut dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk

keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian yang dapat

dikatakan adanya penyalahgunaan keadaan. Kemudian dasar dibuatnya PPJB

tersebut mengandung sesuatu sebab yang palsu dan terlarang yaitu salah satu

bentuk penyelundupan hukum seolah olah terjadi peralihan berupa jual beli dengan

melakukan penyimpangan hukum dengan membuat dokumen berupa akta

Pengikatan Perjanjian Jual beli yang dibuat secara notariil yang seharusnya tidak

dapat dilakukan dalam penyelesaian utang piutang, sehingga kedudukan PPJB yang

dibuat untuk penyelesaian utang piutang tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum.

2. Dalam Perjanjian utang piutang dengan jaminan sertipikat tanah, kreditur dan

debitur membuat Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan tersebut dibuatkan pula

Akta Pemberian Hak Tanggungan. Akan tetapi adanya penyimpangan hukum

bahwa kreditur dan debitur membuat perbuatan hukum lain, yakni membuat

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan kuasa menjual. Atas Akibat

Hukum dari PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang, dalam putusan

Mahkamah Agung meyatakah PPJB tersebut batal demi hukum. Hal ini telah

sesuai, bahwa perjanjian tersebut memuat penyimpangan hokum karena PPJB tidak

boleh menjadi motif sebagai cara pembayaran utang piutang. Sehingga tidak

terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, dan adanya unsur penyalahgunaan keadaan

(misbruik van omstandigheden) mengakibatkan PPJB dan produk hukum yang

dihasilkan dari dasar PPJB tersebut batal demi hukum yang artinya dari semula

tidak pernah dilahirkan sautu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Page 14: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

14

Saran

Kepada para pihak yang melakukan utang piutang dengan menggunakan

jaminan utang berupa sertifikat hak atas tanah dapat dilakukan dengan Hak

Tanggungan. Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan

berhak menjual melalui pelelangan umum, dengan memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Sehingga tidak ada

kerugian yang ditimbulkan bagi kedua belah pihak.

Kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman utang dengan dibuatnya

Hak Tanggungan atas jaminan tanah dapat menerima pelunasan utang dari hasil

penjualan lelang tanpa harus membuat Pejanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang

dasarnya bukan untuk penyelesaian utang piutang. Bagi debitur dalam penandatangan

perjanjian harus dipahami dan dimengerti mengenai isi dari perjanjian agar tidak

mengalami kerugian, sehingga kedudukan atas aset atau tanah yang dimiliki sebagai

jaminan utang itu jelas adanya.

Daftar Pustaka

Buku

Amirudiin, H.Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:PT.

Raja Grafindo Persada.

Fuady, Munir. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta:Erlangga.

Hadisoeprapto, Hartono. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.

Yogyakarta:Liberty.

Marzuki,Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana Prenada Media

Group.

Panggabean, H.P. 2010. Penya lahgunaan keadaan(misbruik van omstandigheden),

Yogyakarta:Liberty.

Subekti, R. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta:Intermasa.

Subekti, R, R Tjitrosudibio. 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang

Undang Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:PT. Pradnya

Paramita.

Suratman, H Philips Dillah. 2013. Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta.

Syahrani,H. Ridwan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,

Bandung:Alumni.

Jurnal

Dewi, Retno Puspo. 2017. Pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Akibat

Wanprestasi (Studi Putusan Nomor : 200/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel). Jurnal

Repertorium Volume IV No. 2.

Fidhayanti, Dwi. 2018. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden)

Sebagai Larangan Dalam Perjanjian Syariah. Jurisdictie: Jurnal hukum dan

Syariah Vol. 9 No. 2.

Iriantoro, Agung. 2019. “Pengikatan Jual Beli dan Permasalahan Hukum”, Makalah

Seminar problematika Hukum Akta-Akta Notaris Serta Implementasi GRIPS

Dalam Tugas dan Fungsi Notaris.

Pratiwi, Astrian Endah. 2017. Perjanjian Utang Piutang Dengan Jaminan Penguasaah

Page 15: KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) …

15

Tanah Pertanian Oleh Para Pihak Berpiutang. Privat Law Vol. No. 2.

Watikno, Annisa Ridha. 2019. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang

Jaminan Hak Atas Tanah yang Belum Terdaftar Akibat Debitor Wanprestasi,

Repertorium:Jurnal Hukum Vol.6.

Wibowo, Ghani Rachman. 2018. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan

Kuasa Menjual yang Sebenarnya Adalah Perjanjian Utang Piutang Oleh Para

Pihak, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tesis.

Nurjannah. 2018. Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas

Tanah (Tinjauan Filosofis), Jurnal: Jurisprudentie, Volume 5 Nomor 1, Juni.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.


Recommended