1
KEDUDUKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG
DIBUAT UNTUK PENYELESAIAN UTANG PIUTANG OLEH PARA PIHAK
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1395 K/PDT/2017)
Eviana Putri Anggraini
Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : [email protected]
Suraji
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Pujiyono
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
This paper discusses about position a Binding sale and Purchase Agreement which was created
to settle a debt by the parties and to find out the legal consequences from The Binding sale and
Purchase Agreement to settle a debt from Supreme Court Decision number 1395 K/Pdt/2017.
The research method used is normative juridical which is a legal research literature conducted
on secondary data. The results of this study, the Binding sale and Purchase Agreement has
violated the rule of law and is one of form smuggling of law, so that position of The Binding
sale and Purchase Agreement which was created to settle a debt do not have legal force and
legal consequences from The Binding sale and Purchase Agreement to settle a debt from
Supreme Court Decision number 1395 K/Pdt/2017 that is null and void or in this case can be
interpreted that invalid and has no binding power for the partie.
Keywords : Position, Binding sale and Purchase Agreement and legal consequences
Abstrak
Penulisan ini membahas mengenai kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang
dibuat untuk penyelesaian utang piutang oleh para pihak dan untuk mengetahui akibat hukum
dari dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli untuk penyelesaian utang piutang dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif, yang merupakan penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan terhadap data yang
bersifat sekunder. Sehingga hasil penelitian ini, PPJB tersebut telah menyalahi aturan hukum
dan merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum sehingga kedudukan PPJB yang dibuat
untuk penyelesaian utang piutang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan akibat dari
PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1395 K/Pdt/2017 yaitu batal demi hukum atau dalam hal ini dapat dikatakan tidak sah dan tidak
memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak.
Kata Kunci : Kedudukan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Akibat Hukum.
2
A. Pendahuluan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan yang
dibuat oleh para pihak dalam hal ini penjual dan pembeli dalam hal peralihan hak atas
tanah yang belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPJB
merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas dasar kesepakatan, dalam rangka mengatur
kepentingan para pihak. PPJB sebenarnya belum diatur dalam perundang-undangan yang
dan dalam praktik PPJB dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah tangan. Notaris
dalam membuat akta PPJB, bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN) yang memberikan
kewenangan kepada notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.1
Keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN harus dipahami sedemikian adanya
sebagai dasar bagi notaris untuk membuat akta PPJB dan secara normatif diterima
sedemikian rupa sebagai norma yang berlaku sebagai hukum positif. Prinsip yang
terpenting dalam PPJB tersebut adalah perjanjian tersebut berisi klausula-klausula yang
sesuai dengan kepentingan dan kesepakatan para pihak, serta hak-hak dan kewajiban
(prestasi) yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh penjual dan pembeli.
PPJB adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual
beli tersebut. Dalam hal PPJB hak atas tanah permasalahan yang mungkin akan muncul
akibat belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli antara lain adalah sertifikat tanah yang
belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadi pelunasan harga atau pajak-pajak
yang dikenakan terhadap jual beli tanah tersebut yang belum dapat dibayar baik oleh
penjual atau pembeli. Pada PPJB tersebut para pihak yang akan melakukan jual beli sudah
terikat serta sudah mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi perjanjian sebagaimana
yang di sepakati dalam PPJB.2
Dalam perkembangannya, pembuatan PPJB tidak hanya karena dilatar belakangi
akibat belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli, tetapi PPJB tersebut dibuat
dilatarbelakangi adanya perjanjian utang piutang. Utang piutang seringkali terjadi di
masyarakat terutama utang piutang antara perseorangan, seseorang meminjam uang dengan
jaminan barang yang dimiliki oleh pihak yang berhutang dan juga jaminan hak atas tanah.
Pada umumnya seorang kreditur dan debitur membuat Akta Pengakuan Hutang
dengan jaminan hak atas tanah dan dibuatkan pula Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
apabila sewaktu-waktu debitur ingkar janji (wanprestasi) maka akan ditempuh melalui
proses lelang, akan tetapi masih banyak terjadi penyimpangan proses hukum di mana
kreditur dan debitur tadi membuat perbuatan hukum lain, yakni PPJB yang disertai dengan
kuasa menjual. PPJB tersebut diikuti pembuatan akta kuasa menjual yang seolah-seolah
telah terjadi kesepakatan jual beli hak atas tanah antara pihak penjual dan pembeli yang
sebenarnya untuk penyelesaian utang piutang bukan karena adanya peralihan hak jual beli
atas tanah.
1 Ghani Rachman Wibowo, Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang
Sebenarnya Adalah Perjanjian Utang Piutang Oleh Para Pihak, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Tesis, 2018. 2 Retno Puspo Dewi, Pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Akibat Wanprestasi (Studi
Putusan Nomor : 200/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel), Jurnal Repertorium Volume IV No. 2, 2017, hlm. 143
3
Seperti dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017 dengan
menekankan pada alasan pengambilan keputusan yang menyebabkan pembatalan Akta
Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Jual Beli Tanah dengan kasus sebagai berikut : Para
Penggugat (suami istri ) dan Tergugat I mulanya mempunyai Hubungan hukum yaitu utang
piutang pada tahun 2006 sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dengan batas
waktu pinjaman 2 bulan. Kemudian para pihak membuat akta dihadapan Notaris Marina
Soewana, S.H (Tergugat II) yaitu Akta Pengakuan Hutang Nomor 02 tertanggal 03
Oktober 2006 dan melegalisasi Surat Pernyataan Barang Jaminan Nomor 68/L/2006 yang
dibuat di bawah tangan pada tanggal 03 Oktober 2006. Barang jaminan yaitu 4 buah
perhiasan milik Para Penggugat senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kemudian Tergugat II atas keinginan Tergugat I membuat Akta Pengikatan Jual
Beli pada tanggal 03 Oktober 2006, yang dalam akta tersebut dan akta pengakuan hutang
terdapat klausula kuasa jual dengan objek diluar jaminan hutang yaitu Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 621/ Petukangan Utara setempat dikenal sebagai PT. Alfa Goldland
Realty Blok K.6 Kaveling Nomor 29, seluas 312 m² (tiga ratus dua belas meter persegi)
menurut gambar situasi tertanggal 1 April 1992 Nomor 14/1992, dan Sertipikat tersebut
dikeluarkan oleh lnstansi yang berwenang di Kotamadya Jakarta Selatan tertanggai 1
Oktober 1992, terdaftar atas nama Maria Fransiska Kartika/Penggugat II.
Karena krisis keuangan para penggugat belum bisa melunasi hutangnya, tetapi Para
Penggugat telah berusaha untuk mengangsur hutangnya sehingga dalam kurun waktu
hingga tahun 2007 Para Penggugat telah membayar hutangnya kepada Tergugat I sebesar
Rp393.750.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh tiga juta tujuh ratus lima puluh juta
rupiah) namun karena masih belum lunas pula hingga pertengahan tahun 2008, kemudian
Penggugat diminta kembali untuk menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
pada tanggal 11 Juli 2008 yang didalamnya terdapat klausula kuasa jual dihadapan Notaris
Marina Soewana, S.H (Tergugat II) atas Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 621/
Petukangan seluas 312 m² dengan memberi harga pasaran senilai Rp. 950.000.000,00
dibawah harga nilai jual, dengan janji bahwa kalau hutangnya telah lunas maka objek
gugatan akan dikembalikan kepada Para Penggugat dimana perjanjian tersebut hanyalah
akan dijadikan pegangan Tergugat I saja.
Berdasarkan PPJB tersebut oleh Tergugat I digunakan untuk membuat Akta Jual
Beli Tanah (AJB) Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 yang dibuat dihadapan Ny
Sastriany Josoprawiro, SH., Notaris/PPAT di Jakarta Selatan (Tergugat III), dan kemudian
ditingkatkan menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 3770 Petukangan Utara, atas
nama Lisa Juliana Tanjung (Tergugat I). Bahwa diketahui sebelumnya hubungan hukum
antara para Penggugat dengan Tergugat I adalah utang piutang bukan jual beli objek
gugatan, yang seolah-olah menjadikan tanah dan bangunan milik Para Penggugat beralih
kepada Tergugat I.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang akan dituangkan dalam tulisan yang berjudul : Kedudukan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk Penyelesaian Utang Piutang Oleh
Para Pihak. Berdasarkan judul tersebut maka penulis membahasa dua rumusan masalah
yaitu : Bagaimana kedudukan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang di buat untuk
penyelesaian utang piutang oleh para pihak? dan Apa akibat hukum dari dibuatnya
Perjajian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut untuk penyelesain utang piutang oleh para
pihak dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017?
4
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian doktrinal atau dikenal juga sebagai penelitian
hukum normatif. Penelitian dengan metode hukum normatif disebut juga dengan penelitian
hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut
penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan penelitian
perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan
terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.3
Penelitian ini menggunakan Data Sekunder yang berupa bahan-bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritotif, artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.4 Dalam penelitian ini bahan hukum primer, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
e. Yurisprudensi
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang digunakan sebagai penjelas dari bahan hukum primer, yang terdiri atas
hasil karya ilmiah sarjana dan hasil penelitian yang terkait dengan objek penelitian.
Penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal
hukum dan artikel serta literatur lainnya yang relevan dengan penelitian ini. Dalam
penelitian ini bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal ilmiah, maupun
makalah yang berkaitan dengan perjanjian, hubungan hukum utang piutang, dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Pada penulisan ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Dimana penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau
untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat.5 Maka penulis akan memberikan gambaran mengenai keadaan hubungan
hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan perjanjian utang piutang dan
akibat dari PPJB tersebut dalam penyelesaian utang piutang.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk
Penyelesaian Utang Piutang Oleh Para Pihak
3 Suratman & H.Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta, 2013, hlm. 51 4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 181 5 Amirudiin & H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,
2004, hlm. 25
5
a. Perjanjian Pengikatan Jual beli (PPJB) Sebagai Perjanjian Pendahuluan
Dalam Peralihan Hak Atas Tanah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) adalah satu perjanjian yang dibuat
oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah atau bangunan sebagai pengikatan
awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPJB dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat
atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh para pihak
sebelum AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan
dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah atau bangunan dari
penjual kepada pembeli.
Lahirnya PPJB sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli
hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual
beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang
undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang
akan melakukan jual beli hak atas tanah.
Bahwa PPJB merupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli
sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus
dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertipikat hak atas tanah belum
ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-
pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik
oleh penjual atau pembeli. 6
Pembuatan Akta PPJB dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah
tangan. Dalam hal pembuatan PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta
autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditetapkan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Notaris merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan membuat akta
autentik berdasarkan Undang-Undang. Kewenangan Notaris ini sesuai dengan
ketentuan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan :
“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang”.
Para pihak dalam membuat PPJB dengan didasarkan pada kesepakatan
yang dituangkan dalam perjanjian dengan melihat ketentuan dalam Pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum tentang syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat yaitu :
6 Retno Puspo Dewi,Op.Cit, 143
6
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu, dan
4) Suatu sebab yang halal
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para
pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuian kemauan atau
saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat
dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.7 Syarat yang pertama
dimaksudkan bahwa di antara pihak-pihak harus ada kemauan yang bebas untuk
saling mengadakan suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada, apabila suatu
sepakat itu diberikan atau terjadi karena adanya kekhilafan, penipuan atau paksaan
(Pasal 1321 KUH Perdata).
Syarat yang kedua ialah adanya kecakapan dari para pihak untuk saling
membuat suatu perikatan. Sehubungan dengan hal tersebut oleh Pasal 1329
KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.
Dengan demikian oleh undang-undang ditentukan adanya golongan-golongan
orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, seperti itu ditentukan dalam
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: mereka itu ialah orang-orang
yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
Syarat ketiga adalah perjanjian itu harus mengenai sesuatu hal yang
tertentu, dalam hal ini yang dimaksudkan ialah mengenai obyek dari perjanjian
atau pokok perjanjian. Berdasarkan Pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus
mempunyai pokok suatu barang yang sedikit sudah ditentukan. Dan tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan/tertentu, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Kemudian Syarat yang keempat ialah
mengenai causa yang dihalalkan, yang dimaksud dengan causa itu ialah isi dan
tujuan daripada perjajian itu sendiri. Yang dimaksud dengan causa yang tidak
dihalalkan ialah causa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum.8 Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.9
Kedudukan PPJB sendiri dalam hukum perjanjian merupakan suatu
perjanjian yang lahir karena adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan
berkontrak berkaitan erat dengan asas konsensualisme atau sepakat antara para
pihak yang membuat perjanjian. Tanpa adanya sepakat dari salah satu pihak yang
membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat adalah tidak sah. Sebaliknya,
7 H. Ridwan Syahrani, S.H, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:Alumni, 2006, hlm.
205 8 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta:Liberty,
1984, hlm. 33-34 9 R Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta:Intermasa, 2005, hlm. 17
7
apabila suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan, kecakapan, memenuhi objek
tertentu serta klausul yang halal maka perjanjian tersebut sah dan mengikat para
pihak. Oleh karena itu, PPJB berkedudukan sebagai salah satu jenis perjanjian yang
obligatoir dan konsensuil yang tunduk pada ketentuan Pasal 1320, Pasal 1457, serta
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.10 Berdasarkan asas kebebesan
berkontrak para pihak dapat membuat suatu perjanjian berisi apa saja dan
berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan
ketertiban umum dan kesusilaan.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan
yang dibuat oleh para pihak dalam peralihan hak atas tanah yang belum dapat
dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Masyarakat dapat
memilih untuk mengadakan perjanjian pendahuluan yang bertujuan untuk mengikat
para pihak, dimana perjanjian pendahuluan itu akan berisikan bahwa pihak penjual
dan pihak pembeli berjanji bahwa pada saat segala persyaratan yang menyangkut
pelaksanaan jual beli tersebut telah terpenuhi secara sepenuhnya, para pihak akan
melakukan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
berwenang.
b. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat Berdasarkan Hubungan
Hukum Utang Piutang
Perjanjian utang piutang tidak hanya dapat dilakukan dengan lembaga
perbankan saja melainkan dapat pula dilakukan dengan siapa saja yang mempunyai
kemampuan untuk itu, melalui perjanjian utang piutang antara pemberi pinjaman di
satu pihak dan penerima pinjaman di lain pihak. Selanjutnya dalam kegiatan pinjam
meminjam uang yang terjadi dalam masyarakat dapat diperhatikan bahwa pada
umumnya sering dipersyaratkan adanya jaminan utang oleh pihak pemberi
pinjaman kepada pihak penerima pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang
(benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji
penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan
memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.11
Jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor atas
pembayaran utang-piutang yang telah diberikannya kepada debitor, dimana hal ini
terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assesoir
tehadap perjanjian pokoknya berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.12
Para pihak yang terkait dalam utang piutang, baik kreditor, debitor, atau pihak lain
harus mendapat perlindungan melalui lembaga jaminan yang bisa memberi
kepastian hukum bagi semua pihak. Lembaga jaminan merupakan kebutuhan bagi
kreditor untuk memperkecil resiko dalam menyalurkan kredit.
Dalam prakteknya perjanjian dituangkan dalam perjanjian jaminan secara
umum yang tunduk kepada Pasal 1131 KUH Perdata, isinya; "Segala barang-barang
bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan
10 R.Subekti & R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Agraria dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:PT. Pradnya Paramita, 2001, hlm. 128. 11 Astrian Endah Pratiwi, Perjanjian Utang Piutang Dengan Jaminan Penguasaah Tanah Pertanian Oleh
Para Pihak Berpiutang, Privat Law Vol. No. 2 Juli-Desember 2017, hlm.94 12 Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang¸ Jakarta:Erlangga, 2013, hlm. 8
8
ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu". Barang-
barang objek jaminan adalah barang yang dapat dinilai dan dapat diperdagangkan.
Sistem jaminan kebendaan yang tunduk pada Pasal 1131 KUHPerdata
tersebut diistilahkan dengan Jaminan Umum. Sementara itu ada jaminan khusus
yakni penjaminan yang diatur di dalam undang-undang khusus seperti fidusia dan
hak tanggungan yang bersifat eksekutorial.
Jaminan yang paling diterima oleh kreditor adalah berupa tanah, karena
tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak akan mengalami penurunan
nilainya. Fungsi tanah sebagai jaminan suatu utang atau agunan kredit,
keberadaannya diatur salah satunya dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Atas Tanah (selanjutnya disebut UUHT). UUHT menjadi dasar
hukum mengenai apa saja yang dapat dijadikan jaminan sesuatu utang, kedudukan
obyek jaminan terhadap utang, siapa yang dapat memberi dan menerima suatu
jaminan serta bagaimana penyerahan dan penerimaan jaminan sesuatu utang.13
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Maksud dari kreditor diutamakan dari
kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak
tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk
pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi
pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya.14 Dengan demikian
maka hak tanggungan merupakan suatu lembaga hak jaminan atas tanah guna
pelunasan suatu utang piutang yang diperjanjikan, bukan dengan membuat
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas tanah guna pelunasan utang piutang.
Terkait mengenai Perjajian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai
penyelesaian utang piutang antara para pihak, berdasarkan kasus dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017 diketahui bahwa Para Penggugat
(suami istri ) dan Tergugat I mulanya mempunyai hubungan hukum yaitu utang
piutang dengan dibuatnya Akta Pengakuan Hutang di hadapan Notaris (Tergugat II)
dan membuat Surat Pernyataan Jaminan dibawah tangan dan dilegalisasi oleh
Tergugat II berupa jaminan perhiasan. Tidak hanya itu pada tanggal yang sama
seperti perbuatan hukum diatas yaitu tanggal 03 Oktober 2006 dibuatlah Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB). Dalam Akta Pengakuan Hutang dan PPJB tersebut
terdapat klausul kuasa jual dengan objek diluar jaminan hutang yaitu Sertifikat Hak
Guna Bangunan (HGB) dengan atas nama Penggugat I. Seiring berjalannya waktu
13 Annisa Ridha Watikno, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Hak Atas Tanah
yang Belum Terdaftar Akibat Debitor Wanprestasi, Repertorium:Jurnal Hukum Vol.6, 2019, hlm. 4. 14 Nurjannah, Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah (Tinjauan
Filosofis), Jurnal: Jurisprudentie, Volume 5 Nomor 1, Juni 2018, hlm.199
9
karena krisis keuangan, penggugat belum sepenuhnya melunasi hutangnya sampai
batas waktu perjanjian utang piutang dan memohon kebijakan dari Tergugat I.
Kemudian dari Tergugat I meminta kembali Penggugat I untuk menandatangani
PPJB pada tanggal 11 Juli 2008 yang didalamnya terdapat klausul kuasa jual yang
dibuat dihadapan Tergugat II.
Berdasarkan PPJB tersebut oleh Tergugat I digunakan untuk membuat Akta
Jual Beli Tanah pada tanggal 20 Agustus 2008, dengan Tergugat I bertindak baik
sebagai penjual (pihak pertama) atas dasar kuasa menjual dari Penggugat I dan
sekaligus bertindak selaku pembeli (pihak kedua) yang dibuat dihadapan Notaris
lain (Tergugat III). Akhirnya terbitlah Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas
nama Tergugat I dan kemudian ditingkatkan menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM).
PPJB yang diikuti dengan kuasa menjual yang seolah-seolah telah terjadi
kesepakatan jual beli hak atas tanah antara pihak penjual dan pembeli yang
sebenarnya untuk penyelesaian utang piutang bukan karena adanya peralihan hak
jual beli atas tanah tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum. Perjanjian
Pengikatan Jual Beli dan kuasa menjual tidak boleh menjadi motif sebagai cara
pembayaran utang piutang.
Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam kasus tersebut
bahwa PPJB yang dibuat secara notarill memuat sebab yang palsu yang dimana
bukan karena peralihan jual beli tanah melainkan untuk pelunasan hutang piutang
yang dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata maka
tidak memenuhi syarat subjektif dan unsur objektif. PPJB tersebut dibuat oleh para
pihak atas kehendak yang tidak bebas karena adanya penyalahgunaa keadaan
dimana salah satu pihak sedang terpuruk keadaan ekonominya yang mengandung
unsur suatu kekhilafan, penipuan atau paksaan. Berdasarkan Pasal 1335
KUHPerdata menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Hal ini
mengatur suatu perjanjian tanpa sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Perjanjian tersebut dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk
keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian, Dapat
dikatakan adanya unsure penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan Keadaan
merupakan salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan
ekonomi (eenmisch verwicht) pada salah satu pihak yang mengganggu
keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga tidak ada kehendak yang bebas
untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu
perjanjian.15
Dengan demikian terkait Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk
penyelesaian utang piutang telah menyalahi aturan hukum yang mengandung
sesuatu sebab yang palsu dan terlarang dan merupakan salah satu bentuk
penyelundupan hukum seolah olah terjadi peralihan berupa jual beli dengan
melakukan pelanggaran hukum dengan membuat dokumen berupa akta Pengikatan
15 H.P Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden),
Yogyakarta:Liberty, 2010, hlm. 101
10
Perjanjian Jual beli yang dibuat secara notariil sehingga kedudukan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Akibat Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang Dibuat Untuk
Penyelesaian Utang Piutang Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395
K/Pdt/2017
Kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2017, sebelumnya
telah dijatuhkan putusan dalam Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta. Dalam putusan perkara Nomor 214/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Sel telah
dibatalkan dengan Putusan Tinggi DKI Jakarta Putusan Nomor 143/PDT/2016/PT.DKI
dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Banding sebagai berikut :
Dalam Pokok Perkara :
Bahwa mengenai pertimbangan hukum dan kesimpulan Majelis Hakim Tingkat
Pertama Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat
dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut :
a. bahwa yang menjadi pokok sengketa antara Para Pembanding semula Para
Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi dengan Para Terbanding semula
Para Tergugat Konpensi adalah hubungan hutang-piutang pada Tahun 2006
berdasarkan Akta Pengakuan Hutang Nomor 02 tertanggal 3 Oktober 2006 di
hadapan Notaris Marina Soemana, S.H., Para Pembanding semula Para Penggugat
Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi berhutang kepada Terbanding I semula
Tergugat I Konpensi/Penggugat Rekonpensi uang sejumlah Rp2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah) dengan jaminan 4 (empat) buah perhiasan dengan total nilai
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan tanah berikut bangunan yang terletak
di Taman Alfa Goldland Realty Blok K.6 Kavling Nomor 29 seluas 312 meter
persegi. Dengan Batas Waktu Pinjaman selama 2 (dua) bulan.
b. Bahwa sampai dengan bulan Juli 2008, ternyata Para Pembanding semula Para
Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi belum melunasi hutangnya kepada
Terbanding I semula Tergugat I Konpensi/ Penggugat Rekonpensi; Bahwa Para
Pembanding semula Para Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekonpensi tidak
dapat membayar hutang tersebut karena sangat terpuruk kehidupan ekonominya.
c. Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 45 tanggal 11 Juli 2008 yang dibuat di hadapan
Notaris Marina Soewana, S.H. Dalam akta memuat klausal tentang “kuasa” pada
pasal 3 dimana Pihak Pertama memberi kuasa kepada Pihak Keduaatau
orang/badan lain yang ditunjuk oleh Pihak Kedua untuk melaksanakan jual-beli
tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, apabila oleh
sebab apapun Pihak Pertama berhalangan untuk melakukan jual-beli, maka Pihak
Kedua berhak melaksanakan sendiri jual-beli atas tanah tersebut tanpa perlu
hadirnya Pihak Pertama;
Adanya kuasa mutlak yang dilarang di dalam Intruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat Kuasa Mutlak. Yang
dipergunakan oleh pihak Terbanding I semula Tergugat I Konpensi/Penggugat
Rekonpensi untuk melaksanakan jual-beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus
2008 yang dibuat di hadapan Notaris Marina Soewana, S.H.,
11
d. Para Penggugat Konpensi/Para Tergugat Rekopensi telah berhasil mempertahankan
dalili gugatannya dan Para Terbanding semula Para Tergugat Konpensi telah
terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van
Onstandigheden)
Bahwa hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
3666 K/PDT/ 1992 tanggal 26 Oktober 1994, menyatakan “Keadaan Tergugat yang
dalam keadaan kesulitan ekonomi digunakan Penggugat agar melakukan tindakan
hukum yang merugikan Tergugat atau menguntungkan Penggugat, Penggugat
melakukan perbuatan penyalah gunaan keadaan (Misbruik Van Onstandigheden)
dan tindakan hukum yang dilakukan Penggugat dinyatakan batal”. Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 275 K/PDT/ 2004 tanggal 29
Agustus 2005, menyatakan “Jual-beli yang semula didasari utang-piutang adalah
perjanjian semu, di mana pihak penjual dalam posisi lemah dan terdesak sehingga
mengandung penyalahgunaan ekonomi”.
Dari pertimbangan dan alasan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut diatas bahwa
dalam hal mengenai Pengikatan Jual Beli (PPJB) dibuat sebagai penyelesaian utang
piutang antara para pihak bukan karena akan melakukan jual beli tanah dihadapan
Pejabat Pembuat Tanah (PPAT) , berdasarkan Yurisprudensi Putusan MARI 3247
K/Pdt/1987 menyatakan Perjanjian Jual Beli dengan tekanan utang-piutang merupakan
penyalahgunaan keadaan batal demi hukum.16 Dan berdasarkan Yuriprudensi MARI
3666 K/Pdt/1997 tanggat 26 Oktober 1994 yang berbunyi sebagai berikut: "Keadaan
Tergugat yang dalam keadaan kesulitan ekonomi digunakan Penggugat agar melakukan
tindakan hukum yang merugikan Tergugat dan menguntungkan Penggugat, Penggugat
melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (Misbruik van omstandigheden) dan
tindakan hukum yang dilakukan Tergugat dinyatakan batal".
Mengenai adanya perbuatan Penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) yang dilakukan oleh Tergugat, hal ini terjadi manakala seseorang di
dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk
melakukan penilaian (judgement) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak
dapat mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan karena
salah satu pihak dalam perjanjian memiliki kedudukan lebih tinggi, sedangkan pihak
yang lain mempunyai kedudukan yang lebih rendah. Pihak yang memiliki kedudukan
lebih tinggi itu mengambil keuntungan secara tidak pantas dari pihak lainnya yang
lebih rendah. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang
demikian lebih mengarah kepada penyalahgunaan dalam hal keunggulan ekonomis
maupun kejiwaan.17 Maka dari itu penggugat yang dalam keadaan lemah ekonominya
dan tidak dapat melunasi hutangnya dengan tepat waktu maka tidak dapat melakukan
penilaian mengenai akibat dibuatnya PPJB atas hak tanah miliknya sehingga Penggugat
16 Dr. Agung Iriantoro, S.H.,M.H, “Pengikatan Jual Beli dan Permasalahan Hukum”, Makalah Seminar
problematika Hukum Akta-Akta Notaris Serta Implementasi GRIPS Dalam Tugas dan Fungsi Notaris,
Surakarta, 16 Februari 2019, hlm. 17 17 Dwi Fidhayanti, Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) Sebagai Larangan Dalam
Perjanjian Syariah. Jurisdictie: Jurnal hukum dan Syariah Vol. 9 No. 2, 2018, hlm. 167.
12
tidak bisa mengambil keputusan secara mandiri dan mengikuti apa yang diinginkan
Tergugat atas hak tanah miliknya.
Terkait PPJB yang dibuat tersebut tidak terpenuhinya syarat subjektif dan syarat
objektif dari syarat sahnya perjanjian. Perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak atas
kehendak yang tidak bebas yang dapat mengandung unsur-unsur kekhilafan, penipuan
atau paksaan karena adanya salah satu pihak terpuruk keadaan ekonominya dan
perjanjian tersebut telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang yaitu
didasarkan atas utang piutang bukan karena jual beli tanah. Maka dengan demikian
perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal.18
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Kasasi dalam putusannya
tanggal 19 Oktober 2017 Nomor 1395 K/Pdt/2017 menilai pertimbangan hukum
putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 143/PDT/2016/PT.DKI tanggal 9 Mei
2016 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
214/Pdt.G/2014/PN.Jkt tanggal 9 Februari 2015 yang mengabulkan permohonan
banding dari para pembanding semula para penggugat Konpensi/Para Tergugat
Rekonpensi tersebut sudah tepat dan benar. Mahkamah Agung tidak dapat
membenarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat
I/Terbanding I karena putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, dengan pertimbangan sebagai
berikut :
a. Bahwa Surat Kuasa Mutlak yang digunakan oleh Tergugat I untuk melaksanakan
jual beli sebagaimana Akta Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008
adalah bentuk Surat Kuasa yang dilarang berdasarkan Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat SuratKuasa Mutlak;
b. Bahwa Akta Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 dipergunakan
oleh Tergugat I untuk mengurus balik nama (peralihan hak) dari Hak Guna
Bangunan Nomor 621/Petukangan Utara atas nama Maria Fransiska Kartika
tanggal 1 Oktober 1992 menjadi Hak Milik Nomor 3770/Petukangan Utara atas
nama Nyonya Lisa Julianda Tanjung tanggal 7 Oktober 2008;
c. Bahwa dengan demikian Tergugat telah melakukan perbuatan penyalahgunaan
keadaan sehingga Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 45 tanggal 11 Juli 2008 dan
Akta pengikatan Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 harus
dinyatakan batal demi hukum;
Bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) meskipun dilakukan secara
notariil tetaplah tidak sah sebab dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk
keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian dan dasar dari
PPJB bukanlah Peralihan Hak Jual Beli melainkan utang piutang. Akibatnya Akta
Pengikatan Jual Beli Nomor 45 tanggal 11 Juli 2008 yang memuat Surat Kuasa Mutlak
yang merupakan bentuk Surat Kuasa yang dilarang berdasarkan Instruksi Menteri
Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Membuat Surat Kuasa Mutlak
yang digunakan oleh Tergugat I untuk melaksanakan jual beli sebagaimana Akta Jual
Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008 harus dinyatakan batal demi hukum
18 R.Subekti, R Tjitrosudibio, Op.Cit, hal. 20
13
yang berdampak pada Akta Jual Beli Nomor 109/2008 tanggal 20 Agustus 2008
dipergunakan oleh Tergugat I untuk mengurus balik nama (peralihan hak) dari Hak
Guna Bangunan Nomor 621/Petukangan Utara atas nama Maria Fransiska Kartika
tanggal 1 Oktober 1992 menjadi Hak Milik Nomor 3770/Petukangan Utara atas nama
Nyonya Lisa Julianda Tanjung tanggal 7 Oktober 2008 dinyatakan batal demi hukum.
Maka dengan demikian, menurut penulis putusan Mahkamah Agung tersebut
sudah tepat dengan melihat akibat hukum dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang telah dinyatakan batal demi hukum,
artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Berdasarkan asas kebebesan berkontrak para pihak dapat membuat suatu
perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan, tetapi dalam hal ini perjanjian
tersebut memuat penyimpangan hukum dimana Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
dan kuasa menjual tidak boleh menjadi motif sebagai cara pembayaran utang piutang.
Sehingga tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, dan adanya unsur
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
D. Penutup
Kesimpulan
1. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian
pendahuluan yang dibuat oleh para pihak dalam peralihan hak atas tanah yang
belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tetapi
dalam PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang telah menyalahi aturan
hukum. Perjanjian tersebut dilakukan dimana salah satu pihak sedang terpuruk
keadaan ekonominya sehingga tidak bebas dalam membuat perjanjian yang dapat
dikatakan adanya penyalahgunaan keadaan. Kemudian dasar dibuatnya PPJB
tersebut mengandung sesuatu sebab yang palsu dan terlarang yaitu salah satu
bentuk penyelundupan hukum seolah olah terjadi peralihan berupa jual beli dengan
melakukan penyimpangan hukum dengan membuat dokumen berupa akta
Pengikatan Perjanjian Jual beli yang dibuat secara notariil yang seharusnya tidak
dapat dilakukan dalam penyelesaian utang piutang, sehingga kedudukan PPJB yang
dibuat untuk penyelesaian utang piutang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum.
2. Dalam Perjanjian utang piutang dengan jaminan sertipikat tanah, kreditur dan
debitur membuat Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan tersebut dibuatkan pula
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Akan tetapi adanya penyimpangan hukum
bahwa kreditur dan debitur membuat perbuatan hukum lain, yakni membuat
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan kuasa menjual. Atas Akibat
Hukum dari PPJB yang dibuat untuk penyelesaian utang piutang, dalam putusan
Mahkamah Agung meyatakah PPJB tersebut batal demi hukum. Hal ini telah
sesuai, bahwa perjanjian tersebut memuat penyimpangan hokum karena PPJB tidak
boleh menjadi motif sebagai cara pembayaran utang piutang. Sehingga tidak
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, dan adanya unsur penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden) mengakibatkan PPJB dan produk hukum yang
dihasilkan dari dasar PPJB tersebut batal demi hukum yang artinya dari semula
tidak pernah dilahirkan sautu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
14
Saran
Kepada para pihak yang melakukan utang piutang dengan menggunakan
jaminan utang berupa sertifikat hak atas tanah dapat dilakukan dengan Hak
Tanggungan. Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan
berhak menjual melalui pelelangan umum, dengan memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Sehingga tidak ada
kerugian yang ditimbulkan bagi kedua belah pihak.
Kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman utang dengan dibuatnya
Hak Tanggungan atas jaminan tanah dapat menerima pelunasan utang dari hasil
penjualan lelang tanpa harus membuat Pejanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang
dasarnya bukan untuk penyelesaian utang piutang. Bagi debitur dalam penandatangan
perjanjian harus dipahami dan dimengerti mengenai isi dari perjanjian agar tidak
mengalami kerugian, sehingga kedudukan atas aset atau tanah yang dimiliki sebagai
jaminan utang itu jelas adanya.
Daftar Pustaka
Buku
Amirudiin, H.Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:PT.
Raja Grafindo Persada.
Fuady, Munir. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta:Erlangga.
Hadisoeprapto, Hartono. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.
Yogyakarta:Liberty.
Marzuki,Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana Prenada Media
Group.
Panggabean, H.P. 2010. Penya lahgunaan keadaan(misbruik van omstandigheden),
Yogyakarta:Liberty.
Subekti, R. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta:Intermasa.
Subekti, R, R Tjitrosudibio. 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang
Undang Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta:PT. Pradnya
Paramita.
Suratman, H Philips Dillah. 2013. Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta.
Syahrani,H. Ridwan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Bandung:Alumni.
Jurnal
Dewi, Retno Puspo. 2017. Pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Akibat
Wanprestasi (Studi Putusan Nomor : 200/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel). Jurnal
Repertorium Volume IV No. 2.
Fidhayanti, Dwi. 2018. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden)
Sebagai Larangan Dalam Perjanjian Syariah. Jurisdictie: Jurnal hukum dan
Syariah Vol. 9 No. 2.
Iriantoro, Agung. 2019. “Pengikatan Jual Beli dan Permasalahan Hukum”, Makalah
Seminar problematika Hukum Akta-Akta Notaris Serta Implementasi GRIPS
Dalam Tugas dan Fungsi Notaris.
Pratiwi, Astrian Endah. 2017. Perjanjian Utang Piutang Dengan Jaminan Penguasaah
15
Tanah Pertanian Oleh Para Pihak Berpiutang. Privat Law Vol. No. 2.
Watikno, Annisa Ridha. 2019. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Pemegang
Jaminan Hak Atas Tanah yang Belum Terdaftar Akibat Debitor Wanprestasi,
Repertorium:Jurnal Hukum Vol.6.
Wibowo, Ghani Rachman. 2018. Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan
Kuasa Menjual yang Sebenarnya Adalah Perjanjian Utang Piutang Oleh Para
Pihak, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tesis.
Nurjannah. 2018. Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas
Tanah (Tinjauan Filosofis), Jurnal: Jurisprudentie, Volume 5 Nomor 1, Juni.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.