+ All Categories
Home > Spiritual > KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Date post: 22-Aug-2019
Category:
Upload: afawait
View: 20 times
Download: 1 times
Share this document with a friend
Description:
The tradition of leadership that develops in islamic boarding school is considered something of a legacy. In addition, the famous islamic boarding school with charismatic leadership model or even militaristic. It will certainly have negative implications on the development of boarding schools in the face of the regulation of the times. Leadership model needs to be developed so critically and mutualist, in order to realize boarding in accordance with the expectations of society, and be able to compete in the contestation of education in the modern era. Because lead is essentially determine what is good and true to be implemented, making a grand program in accordance with the interests of consumers "students and the community", creating the desired dynamics of the boarding school so that stakeholders boarding berkomintmen and have responsibilities, obligations with vigor and enthusiasm to realize the things that have been set. Leadership models offered are boarding schools need to apply the foundation of leadership models (multileader), transformative leadership and educational leadership. This leadership model does not mean eliminating the spirit or pesantren leadership tradition, but tradition is the development of leadership and strategy combines traditional leadership model boarding school with modern leadership theories.
Popular Tags:
20
Kepempimpinan Pesantren 45 at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli 2015 KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI Oleh : AGUS FAWAIT Dosen STAI At-Taqwa Bondowoso Email : [email protected] Abstrak The tradition of leadership that develops in islamic boarding school is considered something of a legacy. In addition, the famous islamic boarding school with charismatic leadership model or even militaristic. It will certainly have negative implications on the development of boarding schools in the face of the regulation of the times. Leadership model needs to be developed so critically and mutualist, in order to realize boarding in accordance with the expectations of society, and be able to compete in the contestation of education in the modern era. Because lead is essentially determine what is good and true to be implemented, making a grand program in accordance with the interests of consumers "students and the community", creating the desired dynamics of the boarding school so that stakeholders boarding berkomintmen and have responsibilities, obligations with vigor and enthusiasm to realize the things that have been set. Leadership models offered are boarding schools need to apply the foundation of leadership models (multileader), transformative leadership and educational leadership. This leadership model does not mean eliminating the spirit or pesantren leadership tradition, but tradition is the development of leadership and strategy combines traditional leadership model boarding school with modern leadership theories. Keywords ; Leadership, Islamic Boarding School, Tradition and Modernisation A. Pendahuluan Seiring dengan mainstream perkembangan sains dan teknologi atau yang dikenal dengan era globalisasi, 1 pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tak terelakkan. 2 Sebagai konsekuensi logis, hal tersebut harus direspon secara mutualistis dan menuntut pesantren untuk berbenah diri menuju perubahan. Hal ini, tentu sebagai imbas dari retorika perkembangan zaman yang menuntut semua lini diwarnai dengan tawaran canggih teknologi informasi. Walaupun pada hakikatnya, semua itu harus sedikit menenggelamkan ciri khas pondok pesantren yang menjadi warisan sejarah dari para pendahulu pondok pesantren. ISSN : 1907-8013
Transcript
Page 1: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

45

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Oleh : AGUS FAWAIT Dosen STAI At-Taqwa Bondowoso

Email : [email protected]

Abstrak

The tradition of leadership that develops in islamic boarding school is

considered something of a legacy. In addition, the famous islamic

boarding school with charismatic leadership model or even

militaristic. It will certainly have negative implications on the

development of boarding schools in the face of the regulation of the

times. Leadership model needs to be developed so critically and

mutualist, in order to realize boarding in accordance with the

expectations of society, and be able to compete in the contestation of

education in the modern era. Because lead is essentially determine

what is good and true to be implemented, making a grand program in

accordance with the interests of consumers "students and the

community", creating the desired dynamics of the boarding school so

that stakeholders boarding berkomintmen and have responsibilities,

obligations with vigor and enthusiasm to realize the things that have

been set. Leadership models offered are boarding schools need to

apply the foundation of leadership models (multileader),

transformative leadership and educational leadership. This leadership

model does not mean eliminating the spirit or pesantren leadership

tradition, but tradition is the development of leadership and strategy

combines traditional leadership model boarding school with modern

leadership theories.

Keywords ; Leadership, Islamic Boarding School, Tradition and

Modernisation

A. Pendahuluan

Seiring dengan mainstream perkembangan sains dan teknologi atau yang

dikenal dengan era globalisasi,1 pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan

sosial budaya yang tak terelakkan.2 Sebagai konsekuensi logis, hal tersebut harus

direspon secara mutualistis dan menuntut pesantren untuk berbenah diri menuju

perubahan. Hal ini, tentu sebagai imbas dari retorika perkembangan zaman yang

menuntut semua lini diwarnai dengan tawaran canggih teknologi informasi.

Walaupun pada hakikatnya, semua itu harus sedikit menenggelamkan ciri khas

pondok pesantren yang menjadi warisan sejarah dari para pendahulu pondok

pesantren.

ISSN : 1907-8013

Page 2: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

46

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Kiprah pesantren patut diperhitungkan survevisasinya sebagai lembaga

pendidikan Islam. Kalau di nilai dari sejak kemunculannya, pesantren telah lama

menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi penting dalam ikut andil

mencerdaskan kehidupan bangsa.3 Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta

besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak

diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan

dan moral.

Apabila dicermati, Indonesia terdapat sekitar 24.206 pondok pesantren yang

tersebar diseluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya.4 Bahkan, dihuni

tidak kurang dari tiga juta santri.5

Yang menjadi misi utama pesantren adalah mencetak kader atau intelektual

muslim yang memiliki ilmu agama yang mumpuni dengan metode, kekhasan dan

tradisi yang menjadi karakteristik pesantren. Secara potensial hal tersebut bisa

dijadikan dasar pijak dalam menyikapi globalisasi. Namun persoalannya adalah

bagaimana mengembangkan tradisi tersebut dalam dunia pesantren dan upaya

membumikannya dalam keseharian santri dan masyarakat, serta merelevansikan

tradisi-tradisi tersebut dalam konteks kekinian?

Menjawab hal itu, A‟la mengusulkan agar pada pesantren dilakukan

pengembalian pendidikan pada makna hakiki.6 Dari itu, yang harus difikirkan oleh

para pengelola pondok pesantren adalah tentang bagamana menyuguhkan format

baru serta racikan-racikan ide tentang prospek pondok pesantren masa depan.

Sehingga dengan begitu pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman

dan secara arif akan dapat menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak.

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren juga dipacu

memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan

maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya

persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu,

memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put

pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat

Islam. Ini mengindikasikan bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan

internal dan inovasi baru di berbagai bidang, baik pada sisi tradisi keilmuannya,

setting lembaga yang ada di dalamnya dan teknik manajerial “kepemimpinan”,

Page 3: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

47

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

tujuannya tidak lain agar pesantren mampu meningkatkan mutu dan kualitasnya.

Dari itu A‟la mengungkapkan bahwa pesantren harus mampu mencari solusi yang

benar-benar mencerahkan, sehingga pada satu sisi dapat menumbuhkankembangkan

kaum santri yang memiliki wawasan luas yang gamang menghadapi modernitas dan

sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya dan pada sisi lain dapat

mengantarkan masyarkat menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan

yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.7

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks kepemimpinan di

pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan. Jika

aspek tersebut tidak mendapatkan perhatian yang proporsional dan akademis untuk

segera dibenahi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan

masyarakat, tentu akan mengancam survival pesantren di era sekarang dan

mendatang.

Kepemimpinan pesantren secara umum diterima sebagai sesuatu yang

bersifat warisan. Artinya ia dilanjutkan oleh orang terdekat sering secara biologis.

Hal ini memiliki implikasi positif maupun negatif. Ini adalah bagian dari tradisi

pesantren, yang menurut perspektif tradisional, hal tersebut meruapakan sesuatu

yang wajar-wajar saja dan menjadi bagian dari ciri khas pondok pesantren.

Sebagai lembaga ‟pembumian‟ Islam di masyarakat, pemimpin pesantren

setidaknya membutuhkan dua kriteria untuk menjalankan fungsi pesantren secara

maksimal. Pertama ; kapasitas keilmuan dan kedua ; dedikasi tinggi pada

masyarakat yang menjadi objek dakwahnya.

Keilmuan yang memadai penting dimiliki oleh pemimpin pesantren karena

tugas yang ia emban tidak mungkin dilaksanakan tanpa kapasitas ilmiah yang

memadai. Kedua, pemimpin pesantren haruslah seseorang yang memiliki

kemampuan mengomunikasikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, disamping

pula dedikasi tinggi untuk mengislamkan masyarakat dalam maknanya yang paling

luas.

Persoalan terjadi ketika terdapat seorang suksesor tradisional (baca: gus,

lora) yang tidak memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang

pemimpin pesanteren. Ia terpaksa atau dalam beberapa kasus memaksa untuk

menjadi pemimpin pesantren karena tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat

Page 4: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

48

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

mengharuskan ia menjadi pemimpin. Tradisi ini terus berjalan karena anggapan

umum bahwa kepemimpinan pesantren adalah kepemimpinan-berdasar-keturunan.

Tapi bila kita menilik bahwa fungsi utama pesantren adalah lembaga pembumian

nilai-nilai Islam di masyarakat, pemimpin pesantren haruslah dipilih berdasar

kompetensi keilmuannya dan dedikasinya pada masyarakat.

B. Kiai dan Paradigma Klasik Kepemimpinan Pesantren

Kyai merupakan elemen yang esensial dari suatu pesantren, untuk itu yang

menjadi salah satu penentu pertumbuhan pesantren semata-mata bergantung kepada

kemampuan pribadi “Kiai”.

Dhofier, membagi gelar Kiai pada tiga jenis :

1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;

umpamanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang

ada dikeraton Yogyakarta;

2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya;

3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama islam yang

memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab islam

klasik kepada para santrinya. Selain gelar Kiai, ia juga sering disebut seorang

yang alim (orang yang dalam pengetahuan islamnya).8

Sedangkan menurut Ziemek pengertian Kiai adalah pendiri dan pemimpin

sebuah pesantren sebagi muslim „terpelajar‟ telah membaktikan hidupnya demi

Allah, serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam

melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata Kiai

disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam.9

Mas'ud mengklasifikasikan Kiai kedalam lima tipologi:

1. Kiai (ulama) encyclopedi dan multidisipliner yang mengonsentrasikan diri

dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab,

seperti Nawai al-Bantani.

2. Kiai yang ahli dalam salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam.

Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren

mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka. Dikarenakan

keahlian juga, Mahfuz al Tirmisi dikenal sebagai seorang „allamah, al-

Page 5: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

49

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

muhaddits, serta al musnid, dan terkadang dipandang sebagai Al-Bukhari

(w.870 abad XIX).

3. Kiai karismatik yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan

keagamaan, khususnya dari sufismenya, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.

4. Kiai keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah

dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik

bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja dengan bahasa retorikal yang

efektif. Asnawi Kudus termasuk dalam kategori ini dan menempati kedudukan

istimewa didalam kehidupan masyarakat Jawa dengan mengokohkan dirinya

sebagai seorang pemimpin berpengaruh dan terkenal dikalangan santri Jawa.

5. Kiai pergerakan, seperti KH. Hasyim Asy'ari. Karena peran dan skill

kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi

yang didirikannya, serta kedalaman ilmu pengetahuan keagamaan, yang dia

peroleh dari para ulama paling disegani dalam komunitas pesantren.10

Keberhasilan atau kegagalan sebuah pesantren akan sangat ditentukan oleh

tingkat keteguhan dan kesungguhan pengasuhnya “pemimpin”, karena itu

sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan jika ada banyak pengamat menilai bahwa

pesantren itu merupakan persoalan enterprise para pengasuhnya. Itulah sebabnya

kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan

pesantren tersebut untuk memperoleh seorang Kiai pengganti yang berkemampuan

cukup tinggi pada waktu ditinggal mati (Baca; wafat) Kiai yang terdahulu.11

Demikian ketatnya hubungan antara Kiai dengan pesantren yang di pimpin,

sehingga tidaklah sedikit diantara mereka yang memahami hal tersebut sebagai

pengabdian agar dapat berbuat sesuatu yang lebih baik bagi kemaslahatan umat.

Dalam kerangka administrasi pendidikan, pondok pesantren selalu dikaitkan

dengan adanya instituisi badan wakaf, para anggota badan wakaf itulah yang secara

kolektif menentukan perjalanan pesantren, akan tetapi pengaturan demikian itu lebih

dimaksudkan untuk menjamin tingkat stablitas pesantren, khususnya jika para

pendiri dan pengasuhnya sudah tidak ada lagi.

Dalam situasi seperti di atas, maka hidup matinya pesantren berada pada

tangan pengasuh atau pendirinya, dalam konteks seperti inilah persoalan enterprise

hendaknya dipahami.

Page 6: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

50

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Menurut Wahid, Selain Kiai pesantren adalah orang yang memimpin dan

memenej pesantren menjadi lebih berkembang, Kiai pesantren juga mengganggap

bahwa pesantren yang dipimpin adalah miliknya sehingga Kiai memiliki kekuasaan

mutlak terhadap pesantren yang dipimpin. Dengan kata lain, Kiai dan para

pembantunya merupakan hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara explisit

diakui dalam lingkungan pesantren.12

Segala bentuk kebijakan yang berkembang di pesantren adalah wewenang

mutlak Kiai. Berkaitan dengan penetapan kebijakan pendidikan, pengajaran, lebih-

lebih menyangkut aspek menejerial pihak lain hanya sebatas sebagai pelengkap.

Kebijakan mutlaknya hanya ada pada seorang pengasuh.

Demikian besar kekuasaan Kiai dalam pondok pesantren sebab kondisi

sosial budaya dan sosio psykis penghuni lembaga pendidikan yang mirip kerajaan

kecil ini dapat menerima kelangsungan dan kelanggengan otoritas mutlak

berdasarkan ciri watak santri yang selalu ta‟dzhim dan tidak berani menyangkal

kehendak Kiai.

Tradisi kepemimpinan pesantren secara umum diterima sebagai sesuatu yang

bersifat warisan. Artinya ia dilanjutkan oleh orang yang memiliki garis keturunan

dengan pengasuh sebelumnya. Dalm hal ini Mastuhu menggambarkan bahwa model

estafet pergantian kepemimpinan yang ada di Pesantren biasanya turun-temurun dari

pendiri ke anak ke menantu ke cucu atau ke santri senior. Artinya ahli waris pertama

adalah anak lai-laki, yang senior dan dianggap cocok oleh Kiai dan masyarakat

untuk menjadi Kiai, baik dari segi kealimannya (moralitas/akhlak) maupun dari segi

kedalaman ilmu agamanya. Jika hal ini tidak mungkin, misalnya karena pendiri

tidak punya anak laki-laki yang cocok untuk menggantikannya, maka ahli waris

kedua adalah menantu, kemudian sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika

semuanya tidak mungkin, maka ada kemungkinan dilanjutkan oleh bekas santri

senior.13

Namun genitas kepemimpinan tersebut bukanlah merupakan suatu jaminan

pesantren akan menjadi lebih berkembang dan maju, bisa jadi sebaliknya. Persoalan

ini terjadi ketika pengganti (Baca ; Gus/Lora) tidak memiliki kapasitas dan

kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin pesantren. Ia

terpaksa atau dalam beberapa kasus memaksa menjadi pemimpin pesantren karena

Page 7: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

51

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat mengharuskan ia menjadi pemimpin.

Tradisi ini terus berjalan karena anggapan umum bahwa kepemimpinan pesantren

adalah kepemimpinan berdasar keturunan. Tapi bila kita menilik bahwa fungsi

utama pesantren adalah lembaga pembumian nilai-nilai Islam di masyarakat,

pemimpin pesantren haruslah dipilih berdasar kompetensi keilmuannya dan

dedikasinya pada masyarakat.

Tradisi kepemimpinan tradisional seperti yang digambarkan di atas bukan

merupakan masalah bila calon pemimpin memiliki kapasitas yang cukup dan sesuai

dengan strandar kepemimpinan dan keilmuan. Tapi harus menjadi catatan bersama,

keterkaitan keluarga dengan pemimpin sebelumnya atau dalam hal ini adalah garis

keturunan, tidak boleh menjadi satu-satunya standar dalam pergantian

kepemimpinan di pesantren.

C. Tawaran Transformasi Kepemimpinan Pesantren Masa Depan

Pemahaman kepemiminan (leadership) sudah barang tentu berbeda dengan

pengertian pemimpin (leader). Dawam dan Ta'arifin dalam Mastukki mengatakan

bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang atau

kelompok dengan masksud untuk mencapai suatu tujuan atau karena alasan lain.

Artinya, kepemimpinan adalah aktifitas dalam mempengaruhi dan membimbing

satu kelompok dengan segala relevansinya sehingga tercapai tujuan kelompok itu.14

Sebagai suatu proses mempengaruhi, maka kepemimpinan merupakan proses

mempengaruhi seseorang sehingga mau melakukan pekerjaan dengan sukarela

untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kouzaz dan Posner dalam menjelaskan

“Leadership is relationship, one between constituent and leader what base on

mutual needs and interest”. Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa,

Kepemimpinan adalah hubungan, satu antara unsur dan pemimpin dasar apa yang

pada atas kebutuhan timbal balik dan minat. Maksudnya adalah, kepemimpinan itu

terdiri dari adanya pemimpin, dan yang dipimpin dan situasi saling memerlukan

antara satu dengan yang lain.15

Kepemimpinan sebagai suatu proses di dalamnya terkandung interaksi tiga

faktor penting yaitu fungsi pemimpin, pengikut dan situasi yang melingkupinya.

Page 8: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

52

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Dan hal ini tidak hanya ada pada sebuah organisasi besar atau perusahan yang

terkenal melainkan pesantren juga memiliki proses yang sama.

Dalam tradisi kepemimpinan tradisional di pondok pesantren, kekuasaan dan

kewenangan mutlak semuanya tergantung pada kebijakan Kiai. Karena yang

menjadi power dalam hal ini adalah kharisma seorang kiai. Dari itu akhirnya

memunculkan istilah bahwa kepemimpinan Kiai pesantren cendrung ke arah

Kharismatik. Sesuai dengan pendapat A‟la bahwa Pesantren meski tidak semua,

selama ini dikelola seadanya dengan kesan menonjol pada penanganan individual

dan bernuansa kharismatik.16

Dengan perkataan lain, Wahid mengatakan, Kiai dan

para pembantunya merupakan hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit

diakui dalam lingkungan pesantren.17

Kuatnya power atau kekuasaan seorang kiai di pondok pesantren, tentu

menjadi bukti bahwa system kepemimpinan yang diterapkan tidak lain adalah

mengarah bentuk implementasi kharisma yang dimiliki. Model kepemimpinan yang

demikian tidak hanya berpengaruh dalam lingkup pondok pesantren saja, melainkan

juga berimplikasi pada masyarakat umum. Raharjo mengatakan, Pola hubungan

kekerabatan yang dibangun Kiai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup efektif.

Sehingga tradisi pesantren dapat berkembang menjadi sistem sosial yang memiliki

pengaruh kepada masyarakat luas. Pengaruh pesantren dengan sneoritas Kiainya,

tidak hanya pada pesoalan sosial keagamaan tetapi berpengaruh juga pada persoalan

ekonomi dan politik.18

Model kepemimpinan Total Power bukan merupakan sesatu yang tanpa

masalah, namun hal itu justru menyisakan kerugian terhadap pesantren dan akan

menghambat terhadap kelancaran perkembangan pesantren. Dengan alasan, pola

strategi pembangunan dalam pesantren hanya bersifat individual yaitu keputusan

seutuhnya ada ditangan Kiai, dengan tanpa ada kebijakan professional yang

melibatkan para stake holder-nya dan memberikan kebebasan berfikir, berkehendak

dan bertindak bagi par santri dan para pengurus.

Dari itu kemudian Gusdur berpendapat bahwa watak kepemimpinan

kharismatik kiai pesantren, menyebabkan pola kepemimpinan belum menetap di

pesantren.19

Di samping itu, masih ada empat kerugian dai kepemimpinan

kharismatik tersebut. Pertama, munculnya ketidak pastian dalam perkembangan

Page 9: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

53

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

pesantren, karena semua keputusan bergantung pada pribadi sang pemimpin “kiai”.

Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu untuk mencoba pola-pola

pengembangan yang sekiranya belum di terima oleh kepemimpinan yang ada.

Ketiga, pola pergantian kepemimpian berlangsung secara tiba-tiba dan tidak

direncanakan. Keempat, terjadinya pembaharuan dalam tingkat-tingkat

kepemimpinan di pesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional.20

Senada dengan itu, Madjid menambahkan bahwa kerugian pemimpinan

kharismatik juga meliputi:

1. Kharisma ; Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak

demokratis, sebab tidaklah rasional. Apalagi jika disertai tindakan-tindakan yang

bertujuan memelihara karisma itu, seperti menjaga jarak dengan para santri. Pola

kepemimpinan seperti ini, akan menghilangkan kualitas demokrasinya.

2. Personal ; Karena kepemimpinan Kiai merupakan kepemimpian karismatik

maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan ini

mengandung implikasi bahwa seorang Kiai tidak mungkin digantikan oleh orang

lain serta sulit ditundukkan dalam rule of game sistem administrasi dan

manajemen pesantren.

3. Relegio – Feodalisme ; Seorang Kiai selain menjadi pimpinan agama sekaligus

merupakan traditional mobility dalam masyarakat feudal. Feodalisme yang

terbungkus keagamaan ini bila disalah gunakan, jauh lebih berbahaya dari pada

feodalisme bahasa.

4. Kecakapan Teknis ; Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu,

maka faktor kacakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan ini

menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dalam perkembangan

zaman.21

Dari fakta yang demikian, maka dibutuhkan solusi konstruktif yang nantinya

dapat menyelesaikan problematika yang berkembang di pesantren. Walaupun pada

hakikatnya proyek tersebut akan sedikit mengikis peran Kiai sebagai top leader

pesantren yang selama ini notaben memiliki kekuasaan total (total power) atas

pondok pesantren yang dipimpin. Namun hal itu perlu dilakukan adalah guna

servevisasi pesantren di masa yang akan datang.

Page 10: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

54

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Kenyataan ini sejalan dengan pendapatnya Soebahar bahwa Perubahan

institusi pendidikan islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan,

sebagaimana pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan islam juga

menganut prinsip “continuity and change”.22

Agenda transformasi kepemimpinan pondok pesantren pada hakikatnya

adalah lebih mempertegas pembagian wilayah kerja pengurus pondok pesantren. Hal

ini tentu juga merupakan bagian dari solusi untuk meringankan beban berat yang

sedang di pikul oleh seorang kiai. Transformasi kepemimpinan ini juga

mempertegas bahwa Kiai tidak lagi menjadi orang yang memiliki kebijakan penuh

terhadap sebuah pondok pesantren yang beliau pimpin melainkan hanya sebagai

pengasuh yang kebijakannya juga ada ditangan pengurus-pengurus pesantren.

Kepemimpinan Kharismatik yang selama ini dominan dilingkungan pondok

pesantren, perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai islam dan nilai

modernitas itu sendiri. Manajemen kharismatik tersebut tidak harus dieliminasi, tapi

disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama.

Melalui itu, akan melahirkan suatu manajemen yang modern tanpa kehilangan

rohnya yang bersifat moral.23

Namun jika sedikit meminjam bahasanya Ary Ginanjar Agustian bahwa

seorang pemimpin yang berhasil bukan karena kekuasaanya, tetapi karena

kemapuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain.24

Dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa, sosok pemimpin pesantren yang

ideal adalah pemimpin yang mampu memberikan pencerahan kepada para

pengurus, santri dan masyarakat. Serta memberikan kebebasan demi mewujudkan

cita-cita dan harapan pesantren, serta memberi kekuasaan untuk bersama-sama

menjalankan roda organisasi pesantren menuju lebih kondisi yang lebih baik.

Menurut Suharto, Kiai di Pesantren harus memerankan dirinya seabagai manajer

dan leader sekaligus. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat pemimpin

memiliki derajat yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai

ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara

itu, pemimpin dipandang memilik peran lebih strategis. Ia harus memiliki visi ke

masa depan, menentukan arah, memiliki strategi dan sekaligus memiliki

Page 11: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

55

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

kemampuan persuasif untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya ke arah yang

diinginkan.25

Gaspersz juga menegaskan bahwa pemimpin bertugas mengembangkan visi

(vision), menyesuaikan (align), memberdayakan (empower), melatih (coach),

mempedulikan (care).26

Terkait dengan hal tersebut, dalam upaya mensinergiskan kepemimpinan

yang terdapat dalam lembaga pendidikan pesantren, maka dibutuhkan modernisasi

kepemimpinan. Adapaun modernisasi kepemimpinan yang ditawarkan adalah

sebagai berikut :

a. Kepemimpinan Yayasan

Dari deskripsi Pola kepemimpinan karismatik yang berkembang pondok

pesantren. Dapat diramalkan bahwa, pesantren lambat laun akan ditinggal oleh

para santri dan pengurusnya, jadi tidak dapat bertahan lama ketika pola

kepemimpinannya berkutat pada pola tradisional.

Maka untuk mengatasi kepincangan tersebut, perlu dilakukan format

ulang terhadap pola kepemimpinan pondok pesantren yang ada. Yaitu dengan

pola kepemimpinan yayasan.

Kecendrungan membentuk yayasan, ternyata hanya diminati oleh

pesantren yang tergolong modern. Dan pola ini, masih belum mampu memikat

prinsip yang telah dibangun oleh pondok pesantren tradisional.

Keberadaan yayasan di pondok pesantren memang memiliki konsekuensi

logis. Karena pada hakikatnya, yayasan telah mengubah pola manajerial yang

terdapat dalam pondok pesantren. Otoritas tidak lagi mutlak terhandel oleh

seorang Kiai melainkan secara kolektif ditangani oleh semua pengurus pesantren

melalui pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing pengurus.

Menurut Qomar, Konsekuensinya dalam keadaan tertentu pesantren

perlu menerapkan pola kepemimpinan multileader. Misalnya, ada pesantren

yang menerapkan pola dua pemimpin, yaitu pemimpin urusan luar dan

pemimpin bidang kepesantrenan.27

Model kepemimpinan yayasan ini sesuai dengan pendapat Gaspersz

bahwa tugas pemimpin adalah ;

Page 12: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

56

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

1. Menetapkan dewan kualitas

2. Menetapkan kebijakan kualitas

3. Menetapkan dan menyebarluaskan sasaran kualitas

4. Memberikan dan menyiapkan sumber-sumber daya

5. Memberikan dan menyiapkan diklat tentang solusi masalah kualitas

6. Menetapkan tim peningkatan kualitas

7. Merangsang peningkatan kualitas terus menerus

8. Memberikan pengakuan dan pengargaan atas preatasi.28

Artinya, sistem kepemimpinan pondok pesantren tersebut harus lebih

mengarah pada pola kepemimpinan kolektif. Artinya, kepemimpinan yang

menitik beratkan pada penanganan banyak orang. Dengan pola kepemimpinan

seperti ini, pesantren akan mampu berkiprah dalam era modernisasi dengan

formatnya yaitu pesantren modern. Jadi, dengan pola ini, eksistensi pondok

pesantren tidak lagi tergantung pada Kiai sebagai premis tunggal dari pondok

pesantren.

b. Kepemimpinan Transformatif

Burns menjelaskan tentang kepemimpinan dari waktu ke waktu

menunjukkan bahwa pemimpin yang paling sukses untuk melakukan perubahan

adalah mereka yang telah berusaha menerapkan kepemimpinan transformatif

atau transformasional.29

Istilah transformatif berinduk dari kata transform, yang bermakna

mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda.

Berarti suatu proses kepemimpinan yang berusaha mentransformasikan nilai-

nilai, baik yang berkaitan dengan intelektual, spiritual atau bahkan sosial kepada

pihak yang dipimpin, guna melahirkan sebuah perubahan pada arah yang lebih

positif.

Dalam pada itu, kepemimpinan pesantren harus selayaknya rekonstruksi

namun bahasa rekonstruksi disini bukan berarti mengeliminasi kepemimpinan

kharismatik yang selama ini telah menjadi ciri khas kepemimpinan pondok

pesantren namun dari kepemimpinan kharismatik tersebut harus disandingkan

dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama. Dalam

hal ini, kepemimpinan transformatif merupakan sebuah bingkai yang mencoba

Page 13: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

57

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

menyandingkan kepemimpinan kharismatik dengan era perkembangan zaman.

Melalui hal itu, keterkaitan dua unsur tersebut akan melahirkan suatu

manajemen modern tanpa menghilangkan rohnya yang bersifat moral.

Menurut Gaspersz, seorang pemimpin harus mampu mentransformasikan

visi organisasi “pesantren” kedalam sebuah tindakan. Secara rinci Gaspersz

mengurai bahwa yang dimaksud mentransformasikan misi ke dalam tindakan

adalah ;

1. Valuting ; pemimpin melihat visi

2. Reflection ; pemimpin menerima visi

3. Articulation ; pemimpin memasyarakatkan visi

4. Planning ; pemimpin mengembangkan strategi

5. Action ; pemimpin memobilasasi orang30

Dalam kaitannya dengan kepemimpinan transformatif, Beare, Cldwell

dan Milikan menjelaskan karakteristik-karakteristik kepemimpinan transformatif

sebagai berikut:

1. Memiliki kapasitas kerjasama dengan orang lain untuk merumuskan visi

lembaga.

2. Memiliki jati diri (personal Platform) yang mewarnai tingakan prilakunya.

3. Mampu mengkomunikasikan dengan cara-cara yang dapat menumbuhkan

komitmen dikalangan staf, murid, orang tua dan pihak lain dalam komunitas

sekolah (termasuk pesantren)

4. Menampilkan banyak corak peran kepemimpinan secara tekhnis, humanistik,

edukatif, simbolik dan kultural.

5. Mengikuti dan merespon trend dan isu, ancaman dan peluang dalam

lingkungan pendidikan dan masyarakat luas, baik secara lokal, nasional dan

internasional, dan mengantisipasi dampaknya terhadap pendidikan,

khususnya terhadap lembaga yang dipimpinnya.

6. Memberdayakan staf dan komunitas sekolah dengan melibatkan mereka

dalam proses pembuatan keputusan.31

Membangun pola baru dalam kepemimpinan di pondok pesantren adalah

bagian dari prasyarat untuk mengeksiskan pesantren masa depan. Kiai dalam hal

ini sebagai top leader di pesantren dalam hal ini diharapkan mampu

Page 14: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

58

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

mewujudkan visi pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang berperan

sesuai dengan hakikat dan tujuannya. Untuk itu, maka Kiai pesantren harus

memiliki keterampilan dalam memimpin.

Berkaitan dengan hal di atas, Suharto merumuskan lima keterampilan

yang harus dimiliki oleh kiai pesantren yaitu :

1. Kiai Pesantren harus mampu mengidentifikasi dan memecahkan permasalah

dengan melibatkan seluruh komponen pesantren

2. Memanfaatkan daya dan dana untuk menghasilkan keputusan yang

berkualitas dalam mencapai target yang optimal

3. Mengelola dan menyajikan informasi dengan akurat, cepat dan mudah

dicerna oleh para pelaksana di lapangan

4. Mahir berkomunikasi dengan berbagai pihak

5. Mengoptimalkan partisipasi seluruh komponen pesantren maupun pihak-

pihak lain untuk ikut memikirkan pesantren.32

Maka dengan begitu, kepemimpinan transformatif adalah sebuah ide

baru yang seharusnya diaplikasikan dalam pondok pesantren karena dengan

kepemimpinan transformatif, pemberdayaan stage holder akan mampu

terimplementasikan dengan rapi walaupun hal itu juga akan mengurangi peran

Kiai dalam menata pesantren namun bukan berarti dengan pemberdayaan serta

pelurusan stage holder pendidikan Kiai akan kehilangan kharismanya sebagai

sosok seorang Kiai, namun disitu jika difikir lebih panjang akan menunjang

terhadap kesuksesan Kiai dalam mengurus pendidikan (pesantren). Serta akan

meningkatkan kecintaan dan kepercayaan pengurus, santri dan masyarakat

terhadap Kiai.

Berkaitan dengan hal diatas, Ary Ginanjar merumuskan lima tangga

kepemimpinan sebagai berikut:

1. Pemimpin yang dicintai

2. Pemimpin yang dipercaya

3. Pembimbing

4. Pemimpin yang berkepribadian

5. Pemimpin yang abadi.33

Page 15: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

59

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Pertama, Pemimpin yang dicintai, pemimpin disini dimaksudkan agar

para pemimpin termasuk pemimpin pesantren harus mampu menghargai orang

yang dipimpin, karena pada hakekatnya pemimpin akan akan dipatuhi jika

pemimpin tersebut dicintai oleh orang yang dipimpin serta mencintai orang yang

dipimpin. Pernyataan ini melukiskan bahwa seorang pemimpin harus mampu

menghubungkan secara baik dengan orang lain dengan cara mencintai mereka.

Kedua, Pemimpin yang dipercaya. Seorang yang memiliki integrasi

tinggi adalah orang yang penuh dengan keberanian untuk meraih apa yang

dicita-citakan. Cita-cita yang dimiliki seorang pemimpin akan mampu

mendorong kepribadian untuk tetap konsisten serta komitmen untuk menjadi

pemimpin yang baik dan dapat dipercaya. Pada hakikatnya, orang akan dapat

dipercaya apabila sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik

serta jujur dalam melaksanakan amanah yang diemban. Melaksanakan amanah

disini dimaksudkan pada bagaimana dia menjalani roda kepemimpinan apakah

cendrung liberal atau otoriter serta memaksakan kehendak karena memiliki

kekuasaan, atau bahkan tidak pernah memberdayakan staf dan bawahan dalam

bidang kontruksi lembaga yang dipimpin.

Ketiga, Pembimbing, term ini dimaksudkan adalah agar sebagai seorang

pemimpin harus mampu mendidik, memotivasi serta mengarahkan gerak

langkah yang terjadi pada orang yang dipimpin termasuk dalam kalangan

pondok pesantren. Begitu pula dengan pemimpin pesantren yang pada umumnya

disebut Kiai harus mampu mengarahkan, mendidik serta memotivasi para santri,

ustadz dan pengurus-pengurus lainnya agar orang-orang tersebut mampu

menjadi orang yang ter-berdayakan.

Keempat, Pemimpin yang berkepribadian. Ary Ginanjar mengatakan

bahwa, Pemimpin tidak akan berhasil memimpin orang lain apabila dia belum

berhasil memimpin dirinya sendiri.34

Jadi pada hakikatnya, sebelumnya menjadi seorang pemimpin pertama-

tama yang menjadi agenda penting adalah mengevaluasi kepribadian yang

dimiliki serta meluruskannya pada jalan yang lebih benar sebelum beranjak

memimpin orang lain.

Page 16: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

60

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Kelima, Pemimpin Abadi, Jika sedikit menelisik para pemimpin

pesantren pada era klasik sekitar tahun 1970, sepertinya masih tersisa kenangan-

kenangan yang hal itu sulit terhapus dari memori otak dan qolbu santri serta

masyarakat. Seperti model kepemimpinan yang telah di terapkan oleh para tokoh

semisal KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asyari Jombang, KH. Moh. Hasan

Genggong, KH. Zaini Mun‟in Paiton dan KH. As‟ad Syamsul Arifin Situbondo.

Para Kiai tersebut adalah pemimpinan abadi yang pemikiran dan perjuangnya

tetap abadi hingga saat ini, atau bahkan tetap menjadi rujukan dalam

pengembangan pesantren.

Dengan demikian dapat di petik kesimpulan bahwa pemimpin yang abadi

adalah pemimpin yang mampu mempengaruhi, dicintai, dipercaya dan juga

pembimbing yang baik adalah pemimpin yang setiap titahnya tetap diaplikasikan

oleh umat manusia walaupun pada hakikatnya pemimpin tersebut sudah tiada.

Dengan demikian maka kepemimpinan transformatif menekankan bahwa

sebagai seorang pemimpin harus mampu menjadi pemimpin yang dicintai,

dipercaya, pembimbing, berkepribadian, serta abadi. Dengan begitu roda

kepemimpinan dalam pondok pesantren akan berjalan sesuai dengan konteks

perubahan zaman serta Kiai sebagai pusat utama kepemimpinan pondok

pesantren akan mampu berperan mengarahkan pesantren yang dipimpin serta

mampu memberdayakan santri, ustad dan masyarakat.

c. Kepemimpinan Edukatif

Dalam rangka pengelolaan pesantren hendaknya memberi kontribusi

positif bagi santri dengan meningkatkan kualitas intelektual serta akhlak para

santri sesuai dengan hakikat islam secara kaffaf. Untuk mencapai hal tersebut

jelas dibutuhkan kepemimpinan pendidikan seoptimal mungkin agar pendidikan

yang dipimpin betul-betul terarah selayaknya lembaga pendidikan yang

seutuhnya.

Masyhud mengatakan, Secara umum, peranan pemimpin edukasional

(pendidikan) dalam dunia pesantren dapat diidealisasikan dalam empat hal

penting, yaitu : 1) Misi dan Tujuan, 2) Proses belajar mengajar 3) Iklim belajar,

dan 4) Lingkungan yang mendukung.35

Page 17: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

61

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Terkait dengan hal tersebut, Masyhud memperjelas empat term yang

menjadi idealisasi pondok pesantren sebagai berikut :

1. Sisi misi dan tujuan

a) Merumuskan misi dan tujuan lembaga yang dipimpinnya.

b) Dan mengkomunikasikan misi dan tujuan tersebut kepada komunitas

pendidikan pesantren.

2. Dalam proses belajar mengajar

a) Mendorong mutu pembelajaran

b) Membimbing dan mengevaluasi pembelajaran

c) Mengkordinasikan kurikulum

d) Memantau kegiatan belajar mengajar santri

3. Iklim belajar

a) Menetapakan harapan-harapan dan standart yang positif

b) Memelihara fisibilitas

c) Memberi rangsangan kepada guru dan santri agar giat bekerja

d) Mendorong pengembangan kapasitas guru dan santri

4. Dari sisi Lingkungan

a) Menciptakan lingkungan yang aman dan teratur

b) Memberi peluang seluas-luasnya kepada santri untuk berpartisipasi dalam

program pesantren.

c) Mengembangkan kerjasama dan keterpaduan staf

d) Menjamin sumber-sumber dalam luar dalam rangka pencapaian tujuan

lembaga pesantren

e) Mempererat hubungan antara keluarga santri dan pesantren.36

D. Penutup

Dari pembahasan yang telah dikemukakan, secara konklusif dapat diambil

kesimpulan bahwa kepemimpinan Pesantren dengan paradigma klasik ternyata

memupuskan sejuta harapan pengembangan pesantren. Hal itu dikarenakan

kebijakan sentral yang ditangani oleh seorang Kiai pesantren.

Page 18: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

62

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Disamping hal tersebut, kerugian dari kepemipinan Pesantren dengan

paradigma klasik, karena adanya estafet kepemimpinan yang turun temurun, dan hal

itu dilakukan tanpa memperhatikan kapasitas dan kualitas keilmuan yang dimiliki

oleh calon pengganti dari pengasuh sebelumnya.

Idealnya, dalam rangka menciptakan harmonisasi kepemimpinan masa

depan, pesantren harus merekonstruksi tradisi yang ada, serta memikirkan nasib

pesantren kedepan. Untuk itu, kepemimpinan yang perlu diterapkan dalam pondok

pesantren adalah model kepempinan Yayasan, kepemimpinan transformatif, dan

kepemimpinan edukatif.

Catatan Akhir

1 Globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi, regulasi, privatisasi, adopsi sistem politik

demokrasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain globalisasi adalah neo-liberalisme yang pada intinya

membiarkan pasar bekerja secara bebas. Abd. A‟la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka

Pesantren, 2006), 7. Globalisasi secara sederhana dapat disebutkan dengan satu kata : “mendunia”.

Artinya, sistem kehidupan Internasional, lintas bangsa, negara, budaya dan agama. Mastuhu, Sistem

Pendidikan Nasional Visioner, (Tangerang:Lentera Hati, 2007), 9. 2 Kemajuan informasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika sosial-ekonomi

(lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar

bebas (free market). Marzuki Wahid, (Eds.). 2001. Pesantern Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan

Transformasi Pesantren. (Jakarta:Pustaka Hidayah), 210. 3 Nurcholis Madjid, 2000. Pesantren Dari Pendidikan Hingga Politik. (Bina Pesantren : 7(81):10.

4 Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. (Jakarta:Kemenag RI), 97

5 Jika ditinjau dari sisi gender maka jumlah Santri di Pondok Pesantren secara total adalah sebanyak

1.953.992 atau 53,6% untuk santri Laki-laki, sementara sebanyak 1.693.727 atau 46,4% adalah Santri

Perempuan. Jumlah total Santri yang belajar di Pondok Pesantren adalah sebanyak 3.647.719 orang. Lihat

; Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. (Jakarta:Kemenag RI), 98-99 6 Abd. A‟la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), 10

7 A‟la, Pembaharuan, 8

8 Zamakhyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,(Jakarta : LP3ES, 1991),

55 9 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial. (Jakarta : P3M, 1986), 67

10 Abdurrahman Mas‟ ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta : LKis,

2004), 236-237 11

Dhofier, Tradisi Pesantren, 61 12

Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat. Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa. (Yogyakarta :

LKis, 1999), 141 13

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS, 1994), 88 14

Mastukki. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren Suatu Konsep Pengembangan Mutu Madrasah.

(Jakarta : Departemen Agama RI, 2004), 12 15

Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pres, 2005), 83 16

Abd. A „la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), 21 17

Dirdjosanjoto, Memelihara Umat. Kiai Pesantren, 141 18

Khoiro Ummatin, Perilaku Politik Kiai. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), 8 19

Abdurrahman Wahid. Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta : CV. Dharma Bhakti, 1987), 167. 20

Wahid, Bunga Rampai,168-169. 21

Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam. (Surabaya : Erlangga, 2007), 68

Page 19: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

63

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

22

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru sampai UU Sisdiknas,

(Jember, Pena Salsabila, 2012), 8 23

A „la, Pembaharuan Pesantren. 24 24

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Memabangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. (Jakarta :

Arga, 2005), 106 25

Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi,

(Surabaya:Imtiyaz, 2011), 144 26

Vincent Gaspersz, TQM untuk praktisi bisnis dan Industri, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008),

48 27

Qomar, Manajemen Pendidikan, 71 28

Gaspersz, TQM untuk praktisi, 50 29

Sulthon Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2005), 41 30

Gaspersz, TQM untuk praktisi, 49 31

Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen, 42-43 32

Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, 147 33

Agustian, Rahasia Sukses, 99 34

Agustian, Rahasia Sukses, 109 35

Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen, 45 36

Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen, 45

Page 20: KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI

Kepempimpinan Pesantren

64

at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli

2015

Daftar Pustaka

A „la, Abd, 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta : Pustaka Pesantren

Dhofier, Zamakhyari, 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiai,Jakarta. LP3ES

Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat. Kiai Pesantren – Kiai Langgar di

Jawa. Yogyakarta : LKis

Gaspersz, Vincent, 2008. TQM untuk praktisi bisnis dan Industri, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta

Ginanjar, Ary, Agustian, 2005. Rahasia Sukses Memabangun Kecerdasan Emosi dan

Spiritual ESQ. Jakarta : Arga

Madjid, Nurcholis, 2000. Pesantren Dari Pendidikan Hingga Politik. Bina Pesantren.

Mas‟ ud, Abdurrahman, 2004. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi,

Yogyakarta : LKis

Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta:INIS

Mastuhu, 2007. Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Tangerang:Lentera Hati

Mastukki. 2004. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren Suatu Konsep

Pengembangan Mutu Madrasah. Jakarta : Departemen Agama RI

Masyhud, Sulthon, dan Husnuridho. 2005. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta :

Diva Pustaka

Qomar, Mujamil. 2007: Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya : Erlangga

Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. Jakarta:Kemenag

RI

Soebahar, Abd. Halim, 2012. Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru sampai

UU Sisdiknas, Jember, Pena Salsabila

Suharto, Babun, 2011. Dari Pesantren Untuk Umat, Reinventing Eksistensi Pesantren di

Era Globalisasi, Surabaya:Imtiyaz

Syafaruddin, 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pres

Ummatin, Khoiro. 2002. Perilaku Politik Kiai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Wahid, Abdurrahman, 1987. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta : CV. Dharma Bhakti.

Wahid, Marzuki, (Eds.). 2001. Pesantern Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan

Transformasi Pesantren. Jakarta:Pustaka Hidayah

Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta : P3M


Recommended