Kepempimpinan Pesantren
45
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
KEPEMPIMPINAN PESANTREN : TRADISI DAN MODERNISASI
Oleh : AGUS FAWAIT Dosen STAI At-Taqwa Bondowoso
Email : [email protected]
Abstrak
The tradition of leadership that develops in islamic boarding school is
considered something of a legacy. In addition, the famous islamic
boarding school with charismatic leadership model or even
militaristic. It will certainly have negative implications on the
development of boarding schools in the face of the regulation of the
times. Leadership model needs to be developed so critically and
mutualist, in order to realize boarding in accordance with the
expectations of society, and be able to compete in the contestation of
education in the modern era. Because lead is essentially determine
what is good and true to be implemented, making a grand program in
accordance with the interests of consumers "students and the
community", creating the desired dynamics of the boarding school so
that stakeholders boarding berkomintmen and have responsibilities,
obligations with vigor and enthusiasm to realize the things that have
been set. Leadership models offered are boarding schools need to
apply the foundation of leadership models (multileader),
transformative leadership and educational leadership. This leadership
model does not mean eliminating the spirit or pesantren leadership
tradition, but tradition is the development of leadership and strategy
combines traditional leadership model boarding school with modern
leadership theories.
Keywords ; Leadership, Islamic Boarding School, Tradition and
Modernisation
A. Pendahuluan
Seiring dengan mainstream perkembangan sains dan teknologi atau yang
dikenal dengan era globalisasi,1 pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan
sosial budaya yang tak terelakkan.2 Sebagai konsekuensi logis, hal tersebut harus
direspon secara mutualistis dan menuntut pesantren untuk berbenah diri menuju
perubahan. Hal ini, tentu sebagai imbas dari retorika perkembangan zaman yang
menuntut semua lini diwarnai dengan tawaran canggih teknologi informasi.
Walaupun pada hakikatnya, semua itu harus sedikit menenggelamkan ciri khas
pondok pesantren yang menjadi warisan sejarah dari para pendahulu pondok
pesantren.
ISSN : 1907-8013
Kepempimpinan Pesantren
46
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Kiprah pesantren patut diperhitungkan survevisasinya sebagai lembaga
pendidikan Islam. Kalau di nilai dari sejak kemunculannya, pesantren telah lama
menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kontribusi penting dalam ikut andil
mencerdaskan kehidupan bangsa.3 Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta
besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak
diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan
dan moral.
Apabila dicermati, Indonesia terdapat sekitar 24.206 pondok pesantren yang
tersebar diseluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya.4 Bahkan, dihuni
tidak kurang dari tiga juta santri.5
Yang menjadi misi utama pesantren adalah mencetak kader atau intelektual
muslim yang memiliki ilmu agama yang mumpuni dengan metode, kekhasan dan
tradisi yang menjadi karakteristik pesantren. Secara potensial hal tersebut bisa
dijadikan dasar pijak dalam menyikapi globalisasi. Namun persoalannya adalah
bagaimana mengembangkan tradisi tersebut dalam dunia pesantren dan upaya
membumikannya dalam keseharian santri dan masyarakat, serta merelevansikan
tradisi-tradisi tersebut dalam konteks kekinian?
Menjawab hal itu, A‟la mengusulkan agar pada pesantren dilakukan
pengembalian pendidikan pada makna hakiki.6 Dari itu, yang harus difikirkan oleh
para pengelola pondok pesantren adalah tentang bagamana menyuguhkan format
baru serta racikan-racikan ide tentang prospek pondok pesantren masa depan.
Sehingga dengan begitu pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman
dan secara arif akan dapat menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren juga dipacu
memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan
maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya
persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu,
memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put
pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat
Islam. Ini mengindikasikan bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan
internal dan inovasi baru di berbagai bidang, baik pada sisi tradisi keilmuannya,
setting lembaga yang ada di dalamnya dan teknik manajerial “kepemimpinan”,
Kepempimpinan Pesantren
47
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
tujuannya tidak lain agar pesantren mampu meningkatkan mutu dan kualitasnya.
Dari itu A‟la mengungkapkan bahwa pesantren harus mampu mencari solusi yang
benar-benar mencerahkan, sehingga pada satu sisi dapat menumbuhkankembangkan
kaum santri yang memiliki wawasan luas yang gamang menghadapi modernitas dan
sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya dan pada sisi lain dapat
mengantarkan masyarkat menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan
yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.7
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks kepemimpinan di
pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan. Jika
aspek tersebut tidak mendapatkan perhatian yang proporsional dan akademis untuk
segera dibenahi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat, tentu akan mengancam survival pesantren di era sekarang dan
mendatang.
Kepemimpinan pesantren secara umum diterima sebagai sesuatu yang
bersifat warisan. Artinya ia dilanjutkan oleh orang terdekat sering secara biologis.
Hal ini memiliki implikasi positif maupun negatif. Ini adalah bagian dari tradisi
pesantren, yang menurut perspektif tradisional, hal tersebut meruapakan sesuatu
yang wajar-wajar saja dan menjadi bagian dari ciri khas pondok pesantren.
Sebagai lembaga ‟pembumian‟ Islam di masyarakat, pemimpin pesantren
setidaknya membutuhkan dua kriteria untuk menjalankan fungsi pesantren secara
maksimal. Pertama ; kapasitas keilmuan dan kedua ; dedikasi tinggi pada
masyarakat yang menjadi objek dakwahnya.
Keilmuan yang memadai penting dimiliki oleh pemimpin pesantren karena
tugas yang ia emban tidak mungkin dilaksanakan tanpa kapasitas ilmiah yang
memadai. Kedua, pemimpin pesantren haruslah seseorang yang memiliki
kemampuan mengomunikasikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, disamping
pula dedikasi tinggi untuk mengislamkan masyarakat dalam maknanya yang paling
luas.
Persoalan terjadi ketika terdapat seorang suksesor tradisional (baca: gus,
lora) yang tidak memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang
pemimpin pesanteren. Ia terpaksa atau dalam beberapa kasus memaksa untuk
menjadi pemimpin pesantren karena tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat
Kepempimpinan Pesantren
48
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
mengharuskan ia menjadi pemimpin. Tradisi ini terus berjalan karena anggapan
umum bahwa kepemimpinan pesantren adalah kepemimpinan-berdasar-keturunan.
Tapi bila kita menilik bahwa fungsi utama pesantren adalah lembaga pembumian
nilai-nilai Islam di masyarakat, pemimpin pesantren haruslah dipilih berdasar
kompetensi keilmuannya dan dedikasinya pada masyarakat.
B. Kiai dan Paradigma Klasik Kepemimpinan Pesantren
Kyai merupakan elemen yang esensial dari suatu pesantren, untuk itu yang
menjadi salah satu penentu pertumbuhan pesantren semata-mata bergantung kepada
kemampuan pribadi “Kiai”.
Dhofier, membagi gelar Kiai pada tiga jenis :
1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
umpamanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang
ada dikeraton Yogyakarta;
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya;
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama islam yang
memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab islam
klasik kepada para santrinya. Selain gelar Kiai, ia juga sering disebut seorang
yang alim (orang yang dalam pengetahuan islamnya).8
Sedangkan menurut Ziemek pengertian Kiai adalah pendiri dan pemimpin
sebuah pesantren sebagi muslim „terpelajar‟ telah membaktikan hidupnya demi
Allah, serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam
melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata Kiai
disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam.9
Mas'ud mengklasifikasikan Kiai kedalam lima tipologi:
1. Kiai (ulama) encyclopedi dan multidisipliner yang mengonsentrasikan diri
dalam dunia ilmu; belajar, mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab,
seperti Nawai al-Bantani.
2. Kiai yang ahli dalam salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam.
Karena keahlian mereka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan, pesantren
mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mereka. Dikarenakan
keahlian juga, Mahfuz al Tirmisi dikenal sebagai seorang „allamah, al-
Kepempimpinan Pesantren
49
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
muhaddits, serta al musnid, dan terkadang dipandang sebagai Al-Bukhari
(w.870 abad XIX).
3. Kiai karismatik yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan
keagamaan, khususnya dari sufismenya, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
4. Kiai keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah
dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik
bersamaan dengan misi sunnisme atau aswaja dengan bahasa retorikal yang
efektif. Asnawi Kudus termasuk dalam kategori ini dan menempati kedudukan
istimewa didalam kehidupan masyarakat Jawa dengan mengokohkan dirinya
sebagai seorang pemimpin berpengaruh dan terkenal dikalangan santri Jawa.
5. Kiai pergerakan, seperti KH. Hasyim Asy'ari. Karena peran dan skill
kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi
yang didirikannya, serta kedalaman ilmu pengetahuan keagamaan, yang dia
peroleh dari para ulama paling disegani dalam komunitas pesantren.10
Keberhasilan atau kegagalan sebuah pesantren akan sangat ditentukan oleh
tingkat keteguhan dan kesungguhan pengasuhnya “pemimpin”, karena itu
sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan jika ada banyak pengamat menilai bahwa
pesantren itu merupakan persoalan enterprise para pengasuhnya. Itulah sebabnya
kelangsungan hidup sebuah pesantren sangat bergantung pada kemampuan
pesantren tersebut untuk memperoleh seorang Kiai pengganti yang berkemampuan
cukup tinggi pada waktu ditinggal mati (Baca; wafat) Kiai yang terdahulu.11
Demikian ketatnya hubungan antara Kiai dengan pesantren yang di pimpin,
sehingga tidaklah sedikit diantara mereka yang memahami hal tersebut sebagai
pengabdian agar dapat berbuat sesuatu yang lebih baik bagi kemaslahatan umat.
Dalam kerangka administrasi pendidikan, pondok pesantren selalu dikaitkan
dengan adanya instituisi badan wakaf, para anggota badan wakaf itulah yang secara
kolektif menentukan perjalanan pesantren, akan tetapi pengaturan demikian itu lebih
dimaksudkan untuk menjamin tingkat stablitas pesantren, khususnya jika para
pendiri dan pengasuhnya sudah tidak ada lagi.
Dalam situasi seperti di atas, maka hidup matinya pesantren berada pada
tangan pengasuh atau pendirinya, dalam konteks seperti inilah persoalan enterprise
hendaknya dipahami.
Kepempimpinan Pesantren
50
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Menurut Wahid, Selain Kiai pesantren adalah orang yang memimpin dan
memenej pesantren menjadi lebih berkembang, Kiai pesantren juga mengganggap
bahwa pesantren yang dipimpin adalah miliknya sehingga Kiai memiliki kekuasaan
mutlak terhadap pesantren yang dipimpin. Dengan kata lain, Kiai dan para
pembantunya merupakan hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara explisit
diakui dalam lingkungan pesantren.12
Segala bentuk kebijakan yang berkembang di pesantren adalah wewenang
mutlak Kiai. Berkaitan dengan penetapan kebijakan pendidikan, pengajaran, lebih-
lebih menyangkut aspek menejerial pihak lain hanya sebatas sebagai pelengkap.
Kebijakan mutlaknya hanya ada pada seorang pengasuh.
Demikian besar kekuasaan Kiai dalam pondok pesantren sebab kondisi
sosial budaya dan sosio psykis penghuni lembaga pendidikan yang mirip kerajaan
kecil ini dapat menerima kelangsungan dan kelanggengan otoritas mutlak
berdasarkan ciri watak santri yang selalu ta‟dzhim dan tidak berani menyangkal
kehendak Kiai.
Tradisi kepemimpinan pesantren secara umum diterima sebagai sesuatu yang
bersifat warisan. Artinya ia dilanjutkan oleh orang yang memiliki garis keturunan
dengan pengasuh sebelumnya. Dalm hal ini Mastuhu menggambarkan bahwa model
estafet pergantian kepemimpinan yang ada di Pesantren biasanya turun-temurun dari
pendiri ke anak ke menantu ke cucu atau ke santri senior. Artinya ahli waris pertama
adalah anak lai-laki, yang senior dan dianggap cocok oleh Kiai dan masyarakat
untuk menjadi Kiai, baik dari segi kealimannya (moralitas/akhlak) maupun dari segi
kedalaman ilmu agamanya. Jika hal ini tidak mungkin, misalnya karena pendiri
tidak punya anak laki-laki yang cocok untuk menggantikannya, maka ahli waris
kedua adalah menantu, kemudian sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika
semuanya tidak mungkin, maka ada kemungkinan dilanjutkan oleh bekas santri
senior.13
Namun genitas kepemimpinan tersebut bukanlah merupakan suatu jaminan
pesantren akan menjadi lebih berkembang dan maju, bisa jadi sebaliknya. Persoalan
ini terjadi ketika pengganti (Baca ; Gus/Lora) tidak memiliki kapasitas dan
kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin pesantren. Ia
terpaksa atau dalam beberapa kasus memaksa menjadi pemimpin pesantren karena
Kepempimpinan Pesantren
51
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat mengharuskan ia menjadi pemimpin.
Tradisi ini terus berjalan karena anggapan umum bahwa kepemimpinan pesantren
adalah kepemimpinan berdasar keturunan. Tapi bila kita menilik bahwa fungsi
utama pesantren adalah lembaga pembumian nilai-nilai Islam di masyarakat,
pemimpin pesantren haruslah dipilih berdasar kompetensi keilmuannya dan
dedikasinya pada masyarakat.
Tradisi kepemimpinan tradisional seperti yang digambarkan di atas bukan
merupakan masalah bila calon pemimpin memiliki kapasitas yang cukup dan sesuai
dengan strandar kepemimpinan dan keilmuan. Tapi harus menjadi catatan bersama,
keterkaitan keluarga dengan pemimpin sebelumnya atau dalam hal ini adalah garis
keturunan, tidak boleh menjadi satu-satunya standar dalam pergantian
kepemimpinan di pesantren.
C. Tawaran Transformasi Kepemimpinan Pesantren Masa Depan
Pemahaman kepemiminan (leadership) sudah barang tentu berbeda dengan
pengertian pemimpin (leader). Dawam dan Ta'arifin dalam Mastukki mengatakan
bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang atau
kelompok dengan masksud untuk mencapai suatu tujuan atau karena alasan lain.
Artinya, kepemimpinan adalah aktifitas dalam mempengaruhi dan membimbing
satu kelompok dengan segala relevansinya sehingga tercapai tujuan kelompok itu.14
Sebagai suatu proses mempengaruhi, maka kepemimpinan merupakan proses
mempengaruhi seseorang sehingga mau melakukan pekerjaan dengan sukarela
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kouzaz dan Posner dalam menjelaskan
“Leadership is relationship, one between constituent and leader what base on
mutual needs and interest”. Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa,
Kepemimpinan adalah hubungan, satu antara unsur dan pemimpin dasar apa yang
pada atas kebutuhan timbal balik dan minat. Maksudnya adalah, kepemimpinan itu
terdiri dari adanya pemimpin, dan yang dipimpin dan situasi saling memerlukan
antara satu dengan yang lain.15
Kepemimpinan sebagai suatu proses di dalamnya terkandung interaksi tiga
faktor penting yaitu fungsi pemimpin, pengikut dan situasi yang melingkupinya.
Kepempimpinan Pesantren
52
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Dan hal ini tidak hanya ada pada sebuah organisasi besar atau perusahan yang
terkenal melainkan pesantren juga memiliki proses yang sama.
Dalam tradisi kepemimpinan tradisional di pondok pesantren, kekuasaan dan
kewenangan mutlak semuanya tergantung pada kebijakan Kiai. Karena yang
menjadi power dalam hal ini adalah kharisma seorang kiai. Dari itu akhirnya
memunculkan istilah bahwa kepemimpinan Kiai pesantren cendrung ke arah
Kharismatik. Sesuai dengan pendapat A‟la bahwa Pesantren meski tidak semua,
selama ini dikelola seadanya dengan kesan menonjol pada penanganan individual
dan bernuansa kharismatik.16
Dengan perkataan lain, Wahid mengatakan, Kiai dan
para pembantunya merupakan hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit
diakui dalam lingkungan pesantren.17
Kuatnya power atau kekuasaan seorang kiai di pondok pesantren, tentu
menjadi bukti bahwa system kepemimpinan yang diterapkan tidak lain adalah
mengarah bentuk implementasi kharisma yang dimiliki. Model kepemimpinan yang
demikian tidak hanya berpengaruh dalam lingkup pondok pesantren saja, melainkan
juga berimplikasi pada masyarakat umum. Raharjo mengatakan, Pola hubungan
kekerabatan yang dibangun Kiai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup efektif.
Sehingga tradisi pesantren dapat berkembang menjadi sistem sosial yang memiliki
pengaruh kepada masyarakat luas. Pengaruh pesantren dengan sneoritas Kiainya,
tidak hanya pada pesoalan sosial keagamaan tetapi berpengaruh juga pada persoalan
ekonomi dan politik.18
Model kepemimpinan Total Power bukan merupakan sesatu yang tanpa
masalah, namun hal itu justru menyisakan kerugian terhadap pesantren dan akan
menghambat terhadap kelancaran perkembangan pesantren. Dengan alasan, pola
strategi pembangunan dalam pesantren hanya bersifat individual yaitu keputusan
seutuhnya ada ditangan Kiai, dengan tanpa ada kebijakan professional yang
melibatkan para stake holder-nya dan memberikan kebebasan berfikir, berkehendak
dan bertindak bagi par santri dan para pengurus.
Dari itu kemudian Gusdur berpendapat bahwa watak kepemimpinan
kharismatik kiai pesantren, menyebabkan pola kepemimpinan belum menetap di
pesantren.19
Di samping itu, masih ada empat kerugian dai kepemimpinan
kharismatik tersebut. Pertama, munculnya ketidak pastian dalam perkembangan
Kepempimpinan Pesantren
53
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
pesantren, karena semua keputusan bergantung pada pribadi sang pemimpin “kiai”.
Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu untuk mencoba pola-pola
pengembangan yang sekiranya belum di terima oleh kepemimpinan yang ada.
Ketiga, pola pergantian kepemimpian berlangsung secara tiba-tiba dan tidak
direncanakan. Keempat, terjadinya pembaharuan dalam tingkat-tingkat
kepemimpinan di pesantren, antara tingkat lokal, regional dan nasional.20
Senada dengan itu, Madjid menambahkan bahwa kerugian pemimpinan
kharismatik juga meliputi:
1. Kharisma ; Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak
demokratis, sebab tidaklah rasional. Apalagi jika disertai tindakan-tindakan yang
bertujuan memelihara karisma itu, seperti menjaga jarak dengan para santri. Pola
kepemimpinan seperti ini, akan menghilangkan kualitas demokrasinya.
2. Personal ; Karena kepemimpinan Kiai merupakan kepemimpian karismatik
maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan ini
mengandung implikasi bahwa seorang Kiai tidak mungkin digantikan oleh orang
lain serta sulit ditundukkan dalam rule of game sistem administrasi dan
manajemen pesantren.
3. Relegio – Feodalisme ; Seorang Kiai selain menjadi pimpinan agama sekaligus
merupakan traditional mobility dalam masyarakat feudal. Feodalisme yang
terbungkus keagamaan ini bila disalah gunakan, jauh lebih berbahaya dari pada
feodalisme bahasa.
4. Kecakapan Teknis ; Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu,
maka faktor kacakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan ini
menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dalam perkembangan
zaman.21
Dari fakta yang demikian, maka dibutuhkan solusi konstruktif yang nantinya
dapat menyelesaikan problematika yang berkembang di pesantren. Walaupun pada
hakikatnya proyek tersebut akan sedikit mengikis peran Kiai sebagai top leader
pesantren yang selama ini notaben memiliki kekuasaan total (total power) atas
pondok pesantren yang dipimpin. Namun hal itu perlu dilakukan adalah guna
servevisasi pesantren di masa yang akan datang.
Kepempimpinan Pesantren
54
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Kenyataan ini sejalan dengan pendapatnya Soebahar bahwa Perubahan
institusi pendidikan islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan,
sebagaimana pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan islam juga
menganut prinsip “continuity and change”.22
Agenda transformasi kepemimpinan pondok pesantren pada hakikatnya
adalah lebih mempertegas pembagian wilayah kerja pengurus pondok pesantren. Hal
ini tentu juga merupakan bagian dari solusi untuk meringankan beban berat yang
sedang di pikul oleh seorang kiai. Transformasi kepemimpinan ini juga
mempertegas bahwa Kiai tidak lagi menjadi orang yang memiliki kebijakan penuh
terhadap sebuah pondok pesantren yang beliau pimpin melainkan hanya sebagai
pengasuh yang kebijakannya juga ada ditangan pengurus-pengurus pesantren.
Kepemimpinan Kharismatik yang selama ini dominan dilingkungan pondok
pesantren, perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai islam dan nilai
modernitas itu sendiri. Manajemen kharismatik tersebut tidak harus dieliminasi, tapi
disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama.
Melalui itu, akan melahirkan suatu manajemen yang modern tanpa kehilangan
rohnya yang bersifat moral.23
Namun jika sedikit meminjam bahasanya Ary Ginanjar Agustian bahwa
seorang pemimpin yang berhasil bukan karena kekuasaanya, tetapi karena
kemapuannya memberikan motivasi dan kekuatan kepada orang lain.24
Dari itu dapat diambil kesimpulan bahwa, sosok pemimpin pesantren yang
ideal adalah pemimpin yang mampu memberikan pencerahan kepada para
pengurus, santri dan masyarakat. Serta memberikan kebebasan demi mewujudkan
cita-cita dan harapan pesantren, serta memberi kekuasaan untuk bersama-sama
menjalankan roda organisasi pesantren menuju lebih kondisi yang lebih baik.
Menurut Suharto, Kiai di Pesantren harus memerankan dirinya seabagai manajer
dan leader sekaligus. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat pemimpin
memiliki derajat yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai
ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara
itu, pemimpin dipandang memilik peran lebih strategis. Ia harus memiliki visi ke
masa depan, menentukan arah, memiliki strategi dan sekaligus memiliki
Kepempimpinan Pesantren
55
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
kemampuan persuasif untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya ke arah yang
diinginkan.25
Gaspersz juga menegaskan bahwa pemimpin bertugas mengembangkan visi
(vision), menyesuaikan (align), memberdayakan (empower), melatih (coach),
mempedulikan (care).26
Terkait dengan hal tersebut, dalam upaya mensinergiskan kepemimpinan
yang terdapat dalam lembaga pendidikan pesantren, maka dibutuhkan modernisasi
kepemimpinan. Adapaun modernisasi kepemimpinan yang ditawarkan adalah
sebagai berikut :
a. Kepemimpinan Yayasan
Dari deskripsi Pola kepemimpinan karismatik yang berkembang pondok
pesantren. Dapat diramalkan bahwa, pesantren lambat laun akan ditinggal oleh
para santri dan pengurusnya, jadi tidak dapat bertahan lama ketika pola
kepemimpinannya berkutat pada pola tradisional.
Maka untuk mengatasi kepincangan tersebut, perlu dilakukan format
ulang terhadap pola kepemimpinan pondok pesantren yang ada. Yaitu dengan
pola kepemimpinan yayasan.
Kecendrungan membentuk yayasan, ternyata hanya diminati oleh
pesantren yang tergolong modern. Dan pola ini, masih belum mampu memikat
prinsip yang telah dibangun oleh pondok pesantren tradisional.
Keberadaan yayasan di pondok pesantren memang memiliki konsekuensi
logis. Karena pada hakikatnya, yayasan telah mengubah pola manajerial yang
terdapat dalam pondok pesantren. Otoritas tidak lagi mutlak terhandel oleh
seorang Kiai melainkan secara kolektif ditangani oleh semua pengurus pesantren
melalui pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing pengurus.
Menurut Qomar, Konsekuensinya dalam keadaan tertentu pesantren
perlu menerapkan pola kepemimpinan multileader. Misalnya, ada pesantren
yang menerapkan pola dua pemimpin, yaitu pemimpin urusan luar dan
pemimpin bidang kepesantrenan.27
Model kepemimpinan yayasan ini sesuai dengan pendapat Gaspersz
bahwa tugas pemimpin adalah ;
Kepempimpinan Pesantren
56
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
1. Menetapkan dewan kualitas
2. Menetapkan kebijakan kualitas
3. Menetapkan dan menyebarluaskan sasaran kualitas
4. Memberikan dan menyiapkan sumber-sumber daya
5. Memberikan dan menyiapkan diklat tentang solusi masalah kualitas
6. Menetapkan tim peningkatan kualitas
7. Merangsang peningkatan kualitas terus menerus
8. Memberikan pengakuan dan pengargaan atas preatasi.28
Artinya, sistem kepemimpinan pondok pesantren tersebut harus lebih
mengarah pada pola kepemimpinan kolektif. Artinya, kepemimpinan yang
menitik beratkan pada penanganan banyak orang. Dengan pola kepemimpinan
seperti ini, pesantren akan mampu berkiprah dalam era modernisasi dengan
formatnya yaitu pesantren modern. Jadi, dengan pola ini, eksistensi pondok
pesantren tidak lagi tergantung pada Kiai sebagai premis tunggal dari pondok
pesantren.
b. Kepemimpinan Transformatif
Burns menjelaskan tentang kepemimpinan dari waktu ke waktu
menunjukkan bahwa pemimpin yang paling sukses untuk melakukan perubahan
adalah mereka yang telah berusaha menerapkan kepemimpinan transformatif
atau transformasional.29
Istilah transformatif berinduk dari kata transform, yang bermakna
mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda.
Berarti suatu proses kepemimpinan yang berusaha mentransformasikan nilai-
nilai, baik yang berkaitan dengan intelektual, spiritual atau bahkan sosial kepada
pihak yang dipimpin, guna melahirkan sebuah perubahan pada arah yang lebih
positif.
Dalam pada itu, kepemimpinan pesantren harus selayaknya rekonstruksi
namun bahasa rekonstruksi disini bukan berarti mengeliminasi kepemimpinan
kharismatik yang selama ini telah menjadi ciri khas kepemimpinan pondok
pesantren namun dari kepemimpinan kharismatik tersebut harus disandingkan
dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama. Dalam
hal ini, kepemimpinan transformatif merupakan sebuah bingkai yang mencoba
Kepempimpinan Pesantren
57
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
menyandingkan kepemimpinan kharismatik dengan era perkembangan zaman.
Melalui hal itu, keterkaitan dua unsur tersebut akan melahirkan suatu
manajemen modern tanpa menghilangkan rohnya yang bersifat moral.
Menurut Gaspersz, seorang pemimpin harus mampu mentransformasikan
visi organisasi “pesantren” kedalam sebuah tindakan. Secara rinci Gaspersz
mengurai bahwa yang dimaksud mentransformasikan misi ke dalam tindakan
adalah ;
1. Valuting ; pemimpin melihat visi
2. Reflection ; pemimpin menerima visi
3. Articulation ; pemimpin memasyarakatkan visi
4. Planning ; pemimpin mengembangkan strategi
5. Action ; pemimpin memobilasasi orang30
Dalam kaitannya dengan kepemimpinan transformatif, Beare, Cldwell
dan Milikan menjelaskan karakteristik-karakteristik kepemimpinan transformatif
sebagai berikut:
1. Memiliki kapasitas kerjasama dengan orang lain untuk merumuskan visi
lembaga.
2. Memiliki jati diri (personal Platform) yang mewarnai tingakan prilakunya.
3. Mampu mengkomunikasikan dengan cara-cara yang dapat menumbuhkan
komitmen dikalangan staf, murid, orang tua dan pihak lain dalam komunitas
sekolah (termasuk pesantren)
4. Menampilkan banyak corak peran kepemimpinan secara tekhnis, humanistik,
edukatif, simbolik dan kultural.
5. Mengikuti dan merespon trend dan isu, ancaman dan peluang dalam
lingkungan pendidikan dan masyarakat luas, baik secara lokal, nasional dan
internasional, dan mengantisipasi dampaknya terhadap pendidikan,
khususnya terhadap lembaga yang dipimpinnya.
6. Memberdayakan staf dan komunitas sekolah dengan melibatkan mereka
dalam proses pembuatan keputusan.31
Membangun pola baru dalam kepemimpinan di pondok pesantren adalah
bagian dari prasyarat untuk mengeksiskan pesantren masa depan. Kiai dalam hal
ini sebagai top leader di pesantren dalam hal ini diharapkan mampu
Kepempimpinan Pesantren
58
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
mewujudkan visi pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang berperan
sesuai dengan hakikat dan tujuannya. Untuk itu, maka Kiai pesantren harus
memiliki keterampilan dalam memimpin.
Berkaitan dengan hal di atas, Suharto merumuskan lima keterampilan
yang harus dimiliki oleh kiai pesantren yaitu :
1. Kiai Pesantren harus mampu mengidentifikasi dan memecahkan permasalah
dengan melibatkan seluruh komponen pesantren
2. Memanfaatkan daya dan dana untuk menghasilkan keputusan yang
berkualitas dalam mencapai target yang optimal
3. Mengelola dan menyajikan informasi dengan akurat, cepat dan mudah
dicerna oleh para pelaksana di lapangan
4. Mahir berkomunikasi dengan berbagai pihak
5. Mengoptimalkan partisipasi seluruh komponen pesantren maupun pihak-
pihak lain untuk ikut memikirkan pesantren.32
Maka dengan begitu, kepemimpinan transformatif adalah sebuah ide
baru yang seharusnya diaplikasikan dalam pondok pesantren karena dengan
kepemimpinan transformatif, pemberdayaan stage holder akan mampu
terimplementasikan dengan rapi walaupun hal itu juga akan mengurangi peran
Kiai dalam menata pesantren namun bukan berarti dengan pemberdayaan serta
pelurusan stage holder pendidikan Kiai akan kehilangan kharismanya sebagai
sosok seorang Kiai, namun disitu jika difikir lebih panjang akan menunjang
terhadap kesuksesan Kiai dalam mengurus pendidikan (pesantren). Serta akan
meningkatkan kecintaan dan kepercayaan pengurus, santri dan masyarakat
terhadap Kiai.
Berkaitan dengan hal diatas, Ary Ginanjar merumuskan lima tangga
kepemimpinan sebagai berikut:
1. Pemimpin yang dicintai
2. Pemimpin yang dipercaya
3. Pembimbing
4. Pemimpin yang berkepribadian
5. Pemimpin yang abadi.33
Kepempimpinan Pesantren
59
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Pertama, Pemimpin yang dicintai, pemimpin disini dimaksudkan agar
para pemimpin termasuk pemimpin pesantren harus mampu menghargai orang
yang dipimpin, karena pada hakekatnya pemimpin akan akan dipatuhi jika
pemimpin tersebut dicintai oleh orang yang dipimpin serta mencintai orang yang
dipimpin. Pernyataan ini melukiskan bahwa seorang pemimpin harus mampu
menghubungkan secara baik dengan orang lain dengan cara mencintai mereka.
Kedua, Pemimpin yang dipercaya. Seorang yang memiliki integrasi
tinggi adalah orang yang penuh dengan keberanian untuk meraih apa yang
dicita-citakan. Cita-cita yang dimiliki seorang pemimpin akan mampu
mendorong kepribadian untuk tetap konsisten serta komitmen untuk menjadi
pemimpin yang baik dan dapat dipercaya. Pada hakikatnya, orang akan dapat
dipercaya apabila sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik
serta jujur dalam melaksanakan amanah yang diemban. Melaksanakan amanah
disini dimaksudkan pada bagaimana dia menjalani roda kepemimpinan apakah
cendrung liberal atau otoriter serta memaksakan kehendak karena memiliki
kekuasaan, atau bahkan tidak pernah memberdayakan staf dan bawahan dalam
bidang kontruksi lembaga yang dipimpin.
Ketiga, Pembimbing, term ini dimaksudkan adalah agar sebagai seorang
pemimpin harus mampu mendidik, memotivasi serta mengarahkan gerak
langkah yang terjadi pada orang yang dipimpin termasuk dalam kalangan
pondok pesantren. Begitu pula dengan pemimpin pesantren yang pada umumnya
disebut Kiai harus mampu mengarahkan, mendidik serta memotivasi para santri,
ustadz dan pengurus-pengurus lainnya agar orang-orang tersebut mampu
menjadi orang yang ter-berdayakan.
Keempat, Pemimpin yang berkepribadian. Ary Ginanjar mengatakan
bahwa, Pemimpin tidak akan berhasil memimpin orang lain apabila dia belum
berhasil memimpin dirinya sendiri.34
Jadi pada hakikatnya, sebelumnya menjadi seorang pemimpin pertama-
tama yang menjadi agenda penting adalah mengevaluasi kepribadian yang
dimiliki serta meluruskannya pada jalan yang lebih benar sebelum beranjak
memimpin orang lain.
Kepempimpinan Pesantren
60
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Kelima, Pemimpin Abadi, Jika sedikit menelisik para pemimpin
pesantren pada era klasik sekitar tahun 1970, sepertinya masih tersisa kenangan-
kenangan yang hal itu sulit terhapus dari memori otak dan qolbu santri serta
masyarakat. Seperti model kepemimpinan yang telah di terapkan oleh para tokoh
semisal KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asyari Jombang, KH. Moh. Hasan
Genggong, KH. Zaini Mun‟in Paiton dan KH. As‟ad Syamsul Arifin Situbondo.
Para Kiai tersebut adalah pemimpinan abadi yang pemikiran dan perjuangnya
tetap abadi hingga saat ini, atau bahkan tetap menjadi rujukan dalam
pengembangan pesantren.
Dengan demikian dapat di petik kesimpulan bahwa pemimpin yang abadi
adalah pemimpin yang mampu mempengaruhi, dicintai, dipercaya dan juga
pembimbing yang baik adalah pemimpin yang setiap titahnya tetap diaplikasikan
oleh umat manusia walaupun pada hakikatnya pemimpin tersebut sudah tiada.
Dengan demikian maka kepemimpinan transformatif menekankan bahwa
sebagai seorang pemimpin harus mampu menjadi pemimpin yang dicintai,
dipercaya, pembimbing, berkepribadian, serta abadi. Dengan begitu roda
kepemimpinan dalam pondok pesantren akan berjalan sesuai dengan konteks
perubahan zaman serta Kiai sebagai pusat utama kepemimpinan pondok
pesantren akan mampu berperan mengarahkan pesantren yang dipimpin serta
mampu memberdayakan santri, ustad dan masyarakat.
c. Kepemimpinan Edukatif
Dalam rangka pengelolaan pesantren hendaknya memberi kontribusi
positif bagi santri dengan meningkatkan kualitas intelektual serta akhlak para
santri sesuai dengan hakikat islam secara kaffaf. Untuk mencapai hal tersebut
jelas dibutuhkan kepemimpinan pendidikan seoptimal mungkin agar pendidikan
yang dipimpin betul-betul terarah selayaknya lembaga pendidikan yang
seutuhnya.
Masyhud mengatakan, Secara umum, peranan pemimpin edukasional
(pendidikan) dalam dunia pesantren dapat diidealisasikan dalam empat hal
penting, yaitu : 1) Misi dan Tujuan, 2) Proses belajar mengajar 3) Iklim belajar,
dan 4) Lingkungan yang mendukung.35
Kepempimpinan Pesantren
61
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Terkait dengan hal tersebut, Masyhud memperjelas empat term yang
menjadi idealisasi pondok pesantren sebagai berikut :
1. Sisi misi dan tujuan
a) Merumuskan misi dan tujuan lembaga yang dipimpinnya.
b) Dan mengkomunikasikan misi dan tujuan tersebut kepada komunitas
pendidikan pesantren.
2. Dalam proses belajar mengajar
a) Mendorong mutu pembelajaran
b) Membimbing dan mengevaluasi pembelajaran
c) Mengkordinasikan kurikulum
d) Memantau kegiatan belajar mengajar santri
3. Iklim belajar
a) Menetapakan harapan-harapan dan standart yang positif
b) Memelihara fisibilitas
c) Memberi rangsangan kepada guru dan santri agar giat bekerja
d) Mendorong pengembangan kapasitas guru dan santri
4. Dari sisi Lingkungan
a) Menciptakan lingkungan yang aman dan teratur
b) Memberi peluang seluas-luasnya kepada santri untuk berpartisipasi dalam
program pesantren.
c) Mengembangkan kerjasama dan keterpaduan staf
d) Menjamin sumber-sumber dalam luar dalam rangka pencapaian tujuan
lembaga pesantren
e) Mempererat hubungan antara keluarga santri dan pesantren.36
D. Penutup
Dari pembahasan yang telah dikemukakan, secara konklusif dapat diambil
kesimpulan bahwa kepemimpinan Pesantren dengan paradigma klasik ternyata
memupuskan sejuta harapan pengembangan pesantren. Hal itu dikarenakan
kebijakan sentral yang ditangani oleh seorang Kiai pesantren.
Kepempimpinan Pesantren
62
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Disamping hal tersebut, kerugian dari kepemipinan Pesantren dengan
paradigma klasik, karena adanya estafet kepemimpinan yang turun temurun, dan hal
itu dilakukan tanpa memperhatikan kapasitas dan kualitas keilmuan yang dimiliki
oleh calon pengganti dari pengasuh sebelumnya.
Idealnya, dalam rangka menciptakan harmonisasi kepemimpinan masa
depan, pesantren harus merekonstruksi tradisi yang ada, serta memikirkan nasib
pesantren kedepan. Untuk itu, kepemimpinan yang perlu diterapkan dalam pondok
pesantren adalah model kepempinan Yayasan, kepemimpinan transformatif, dan
kepemimpinan edukatif.
Catatan Akhir
1 Globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi, regulasi, privatisasi, adopsi sistem politik
demokrasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain globalisasi adalah neo-liberalisme yang pada intinya
membiarkan pasar bekerja secara bebas. Abd. A‟la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka
Pesantren, 2006), 7. Globalisasi secara sederhana dapat disebutkan dengan satu kata : “mendunia”.
Artinya, sistem kehidupan Internasional, lintas bangsa, negara, budaya dan agama. Mastuhu, Sistem
Pendidikan Nasional Visioner, (Tangerang:Lentera Hati, 2007), 9. 2 Kemajuan informasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika sosial-ekonomi
(lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar
bebas (free market). Marzuki Wahid, (Eds.). 2001. Pesantern Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. (Jakarta:Pustaka Hidayah), 210. 3 Nurcholis Madjid, 2000. Pesantren Dari Pendidikan Hingga Politik. (Bina Pesantren : 7(81):10.
4 Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. (Jakarta:Kemenag RI), 97
5 Jika ditinjau dari sisi gender maka jumlah Santri di Pondok Pesantren secara total adalah sebanyak
1.953.992 atau 53,6% untuk santri Laki-laki, sementara sebanyak 1.693.727 atau 46,4% adalah Santri
Perempuan. Jumlah total Santri yang belajar di Pondok Pesantren adalah sebanyak 3.647.719 orang. Lihat
; Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. (Jakarta:Kemenag RI), 98-99 6 Abd. A‟la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), 10
7 A‟la, Pembaharuan, 8
8 Zamakhyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,(Jakarta : LP3ES, 1991),
55 9 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial. (Jakarta : P3M, 1986), 67
10 Abdurrahman Mas‟ ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta : LKis,
2004), 236-237 11
Dhofier, Tradisi Pesantren, 61 12
Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat. Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa. (Yogyakarta :
LKis, 1999), 141 13
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS, 1994), 88 14
Mastukki. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren Suatu Konsep Pengembangan Mutu Madrasah.
(Jakarta : Departemen Agama RI, 2004), 12 15
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pres, 2005), 83 16
Abd. A „la, Pembaharuan Pesantren. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2006), 21 17
Dirdjosanjoto, Memelihara Umat. Kiai Pesantren, 141 18
Khoiro Ummatin, Perilaku Politik Kiai. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), 8 19
Abdurrahman Wahid. Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta : CV. Dharma Bhakti, 1987), 167. 20
Wahid, Bunga Rampai,168-169. 21
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam. (Surabaya : Erlangga, 2007), 68
Kepempimpinan Pesantren
63
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
22
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru sampai UU Sisdiknas,
(Jember, Pena Salsabila, 2012), 8 23
A „la, Pembaharuan Pesantren. 24 24
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Memabangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. (Jakarta :
Arga, 2005), 106 25
Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi,
(Surabaya:Imtiyaz, 2011), 144 26
Vincent Gaspersz, TQM untuk praktisi bisnis dan Industri, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008),
48 27
Qomar, Manajemen Pendidikan, 71 28
Gaspersz, TQM untuk praktisi, 50 29
Sulthon Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2005), 41 30
Gaspersz, TQM untuk praktisi, 49 31
Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen, 42-43 32
Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, 147 33
Agustian, Rahasia Sukses, 99 34
Agustian, Rahasia Sukses, 109 35
Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen, 45 36
Masyhud, dan Husnuridho. Manajemen, 45
Kepempimpinan Pesantren
64
at-taqwã, Vol. 7 No. 1, Juli
2015
Daftar Pustaka
A „la, Abd, 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta : Pustaka Pesantren
Dhofier, Zamakhyari, 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiai,Jakarta. LP3ES
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat. Kiai Pesantren – Kiai Langgar di
Jawa. Yogyakarta : LKis
Gaspersz, Vincent, 2008. TQM untuk praktisi bisnis dan Industri, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Ginanjar, Ary, Agustian, 2005. Rahasia Sukses Memabangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ. Jakarta : Arga
Madjid, Nurcholis, 2000. Pesantren Dari Pendidikan Hingga Politik. Bina Pesantren.
Mas‟ ud, Abdurrahman, 2004. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi,
Yogyakarta : LKis
Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta:INIS
Mastuhu, 2007. Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Tangerang:Lentera Hati
Mastukki. 2004. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren Suatu Konsep
Pengembangan Mutu Madrasah. Jakarta : Departemen Agama RI
Masyhud, Sulthon, dan Husnuridho. 2005. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta :
Diva Pustaka
Qomar, Mujamil. 2007: Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya : Erlangga
Setditjen Pendidikan Islam, 2009. Statistik Pendidikan Tahun 2009. Jakarta:Kemenag
RI
Soebahar, Abd. Halim, 2012. Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru sampai
UU Sisdiknas, Jember, Pena Salsabila
Suharto, Babun, 2011. Dari Pesantren Untuk Umat, Reinventing Eksistensi Pesantren di
Era Globalisasi, Surabaya:Imtiyaz
Syafaruddin, 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pres
Ummatin, Khoiro. 2002. Perilaku Politik Kiai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Wahid, Abdurrahman, 1987. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta : CV. Dharma Bhakti.
Wahid, Marzuki, (Eds.). 2001. Pesantern Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. Jakarta:Pustaka Hidayah
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta : P3M